Pencarian

Hijaunya Lembah Hijaunya 11

04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 11


"Kenapa?" desis Mahisa Pukat.
"Anak muda itu datang untuk memenuhi tantangan
sekelompok anak muda yang lain," jawab pelayan itu.
"Siapakah anak muda itu?" bertanya Mahisa Semu
perlahan-lahan. "Putera Ki Buyut," jawab pelay an itu. Lalu katanya pula
sambil m emungut mangkuk-mangkuk yang kotor, "Lawannya
anak muda saudagar yang kaya dari Kabuyutan sebelah.
Daerah ini adalah daerah perbatasan."
"Apakah soalnya?" bertanya Mahisa Semu.
"Kedua-duanya masih muda. Kedua-duanya mencintai
gadis yang sama. Tanpa sepengetahuan gadis itu, mereka
bertaruh di perbatasan ini," jawab pelayan itu, "karena itu
orang-orang lain memilih telah menyingkir."
Mahisa Pukat masih ingin bertanya lagi. Tetapi pelay an itu
sudah menjadi gelisah. Dengan cepat ia benahi mangkukmangkuk
kotor dan bahkan m angkuk minuman kedua anak
muda itu m eskipun masih belum dihabiskan. Tetapi mereka
sudah diganti minuman y ang baru.
Namun dalam pada itu, Mahisa Pukat berbisik di telinga
Mahisa Semu, "Apakah mereka hanya berempat?"
Mahisa Semu justru ingin melihat apa yang telah terjadi.
Karena itu maka katanya, "Kita duduk saja di sini."
Ternyata Mahisa Pukat mengangguk kecil. Namun dalam
pada itu, salah seorang pengawal anak muda itu tiba -tiba saja
berkata, "Yang dikatakan oleh pelay an kedai itu memang
benar anak-anak muda."
Mahisa Pukat dan Mahisa Semu terkejut. Ternyata orang
itu mengerti apa y ang diberitahukan oleh Pelay an itu.
Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Semu memandang
pelayan y ang membawa mangkuk-mangkuk kotor itu, nampak
bahwa pelay an itu pun terkejut.
Tetapi pengawal anak muda itu berkata, "Meskipun aku
tidak mendengar apa y ang kalian bicarakan, tetapi menilik
sikap kalian, maka aku tahu bahwa pelayan itu
memberitahukan, bahwa kami sedang menunggu orang yang
menantang kami. Agaknya pelay an itu juga minta kalian
meninggalkan tempat ini agar kalian tidak terlibat."
Mahisa Pukat dan Mahisa Semu tidak menjawab.
Sementara orang itu berkata selanjutnya, "Jika kalian tidak
ingin mengalami kesulitan, sebaiknya kalian memang
menyingkir. Orang-orang yang menantang kami adalah orangorang
yang kadang-kadang tidak sempat berpikir panjang.
Karena itu, aku pun sependapat dengan pelayan itu,
tinggalkan tempat ini jika kalian sudah m erasa cukup makan
dan minum." Mahisa Pukat dan Mahisa Semu justru mendjapat kesan
yang baik pada orang-orang itu. Anak muda itu memang
agaknya tidak peduli kepada keadaan di sekitarnya. Tetapi
mungkin karena ia terlalu manja atau sedikit sombong. Tetapi
ia bukan orang yang sering membuat kesulitan pada orang
lain. Karena itu, maka Mahisa Pukat pun menjawab, "Terima
kasih Ki Sanak. Tetapi perkenankan kami menghabiskan
minuman kami." "Silahkan. Kami memang tidak mengusir kalian," jawab
pengawal itu, "tetapi kami tidak mau meny eret kalian dalam
kesulitan karena kalian tidak tahu menahu per soalan yang
sedang kami hadapi."
"Terima kasih Ki Sanak," jawab Mahisa Pukat.
Di luar dugaan, anak muda itu justru telah bangkit dan
melangkah mendekati Mahisa Pukat dan Mahisa Semu.
Bahkan ia pun telah duduk bersama mereka.
"Sebenarnya aku tidak menghendaki peny elesaian cara ini,"
berkata anak muda itu. "Apa y ang terjadi?" di luar sadarnya Mahisa Pukat telah
bertanya. "Persoalan y ang sebenarnya memalukan. Seorang gadis.
Tetapi aku pun merasa malu jika tantangannya tidak aku
terima. Ia menantang aku berkelahi. Siapa y ang kalah harus
minggir," jawab anak muda itu. Lalu katanya, "Tetapi jika hal
ini diketahui gadis yang sama-sama kami cintai itu, maka aku
justru menduga, bahwa gadis itu akan meninggalkan kami
berdua." "Sebaiknya kau abaikan saja tantangan itu," berkata Mahisa
Pukat. "Mereka akan menghina aku. Bukan saja aku, tetapi seluruh
anak muda di Kabuyutanku, karena aku adalah anak Ki Buyut
yang dianggap mewakili semua anak-anak muda di seluruh
Kabuyutan." Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ia memang tidak dapat
melihat kemungkinan lain kecuali menerima tantangan itu.
Namun dalam pada itu, seorang pengawalnya telah
mendekatinya sambil berkata, "Marilah. Duduklah di sana
agar anak-anak muda itu tidak terlibat."
Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya sambil
bangkit berdiri, "Hati-hatilah. Tetapi sebaiknya kau
menyingkir." "Terima kasih. Nanti jika minumku habis," jawab Mahisa
Pukat. Anak muda itu tidak menghiraukannya lagi. Tetapi ia
kembali duduk di tengah-tengah kedai itu. Diteguknya
minumannya y ang masih tersisa. Namun kemudian ia duduk
sa ja sambil memandang kekejauhan.
Tetapi mereka terkejut ketika tiba -tiba muncul dari pintu
samping seorang bertubuh tinggi tegap membawa tongkat baja
yang kehitam-hitaman. "Ternyata kau datang," geramnya.
Anak muda itu berpaling. Dahinya berkerut. Katanya, "Di
mana anak itu?" " Ia ada di sebelah. Ia sudah menunggu," jawab orang
bertubuh tinggi tegap itu.
Anak muda itu tidak menunggu lagi. Ia pun segera bangkit
dan melangkah keluar kedai itu lewat pintu samping.
Mahisa Pukat dan Mahisa Semu pun telah beringsut pula.
Mereka membayar makanan dan minuman mereka.
"Kalian akan ke mana?" bertanya pelayan kedai itu.
"Melihat," jawab Mahisa Pukat.
"Jangan. Lebih baik kau meny ingkir saja. Kau jangan mainmain
dengan persoalan seperti ini. Mungkin anak Ki Buyut itu
tidak berbuat apa -apa atas kalian. Tetapi para pengawal anak
saudagar itu sering berbuat aneh-aneh di sini," jawab pelay an
itu. Tetapi Mahisa Pukat menjawab, "Terima kasih. Tetapi kami
ingin melihat apa yang terjadi. Kam i memang tidak akan ikut
campur." Pelay an itu tidak mencegah mereka lagi. Sementara Mahisa
Pukat dan Mahisa Semu telah masih di dalam kedai, tetapi di
depan pintu samping. Ternyata seseorang telah memindahkan kuda mereka ke
sebelah lain. Agaknya tempat itu akan dipergunakan untuk
melakukan perkelahian antara kedua orang anak muda.
Ternyata y ang disebut anak saudagar kaya itu memang
seorang y ang berwajah keras. Juga masih muda. Sambil
tersenyum ia m elangkah k e tengah-tengah halaman samping
yang agak luas. "Ternyata kau juga laki-laki," katanya.
Anak Ki Buyut itu tidak m enjawab. Ia masih berdiri saja
memandangi anak muda yang menantangnya itu.
"He, kau sudah menjadi tuli atau bisu?" geram anak Ki
Saudagar itu. Anak Ki Buyut itu tidak menyahut.
Namun justru karena itu, maka anak saudagar itu m enjadi
marah dan berkata, "Baik. Kalau kau tidak dapat lagi
mengatakan sepatah kata pun, maka kau akan meny esal,
karena kau tidak dapat memberikan pesan apa pun juga
kepada pengawal-pengawalmu."
Anak Ki Buyut masih tetap berdiam diri. Namun tiba -tiba ia
bersiaga menghadapi segala kemungkinan. Satu kakinya maju
setengah langkah. Kedua tangannya bersilang di depan
dadanya sambil sedikit merendah pada lututnya.
"Anak iblis," geram anak saudagar kaya di Kabuyutan
sebelah, "kau kira kuasa ayahmu dapat menolongmu?"
Anak Ki Buyut itu justru maju selangkah sambil
mempersiapkan diri sebaik-baiknya.
Sikap itu membuat anak saudagar kaya itu gelisah. Namun
kemudian tiba -tiba anak saudagar itu telah menyerang dengan
kakinya. Tetapi anak Ki Buyut sudah siap menghadapi segala
kemungkinan. Karena itu ketika serangan itu datang, m aka
anak Ki Buyut itu dengan cepat dapat mengingkarinya.
Bahkan ia t idak saja bergeser menyamping. Namun tiba-tiba
sa ja ia meloncat maju sambil mengayunkan tangannya
mendatar ke samping. Tetapi anak saudagar itu pun telah, mampu mengelak pula.
Dengan demikian, maka perkelahian di antara kedua orang
anak muda itu dengan cepat telah berkembang. Keduanya
mengerahkan kemampuan masing-masing. Semakin cepat
perkelahian itu berlangsung, maka y ang menang akan merasa
semakin dihormati oleh anak-anak muda dari kedua
Kabuyutan itu. Namun siapakah y ang menang dan siapakah y ang kalah
masih belum nampak jelas. Keduanya masih saling meny erang
dan saling menghindar. Tiga orang pengawal anak Ki Buyut memperhatikan
perkelahian itu dengan seksama. Sementara itu sesuai dengan
tantangan anak saudagar itu, pengawal anak saudagar itu juga
tiga orang. Termasuk seorang y ang bertubuh raksasa.
Sejenak keduanya tenggelam dalam perkelahian y ang
sengit. Keduanya masih muda. Keduanya memiliki bekal ilmu
yang mapan sehingga dengan demikian maka perkelahian itu
semakin lama menjadi semakin sengit.
Dalam kekalutan gerak, maka masing -masing telah mampu
mengenai tubuh lawannya. Namun pukulan sisi telapak tangan
anak Ki Buyut itu telah mampu menggoy ahkan pertahanan
anak Ki Saudagar, sehingga hampir saja anak Ki Saudagar itu
jatuh terjerem bab. Namun ternyata ia cukup tangkas. Ia ju stru
telah menjatuhkan dirinya dan berguling beberapa kali. Tetapi
dengan tangkas pula ia pun telah melenting bangkit berdiri.
Anak Ki Buyut ternyata telah memburunya. Tetapi
lawannya sudah siap menghadapinya.
Pertempuran pun telah berlanjut. Keduanya benar-benar
mengerahkan segenap kemampuan mereka. Dengan penuh
kebencian masing-masing telah berusaha untuk
memenangkan perkelahian itu.
Tetapi semakin lama ternyata ketahanan tubuh anak Ki
Buyut itu nampak lebih baik. Keduanya y ang memiliki
kemampuan y ang seimbang itu, telah terpengaruh oleh
kelebihan daya tahan tubuh anak Ki Buyut itu.
Karena itu, maka keseimbangan perkelahian itu pun telah
berubah. Jika semula keduanya saling meny erang dan saling
mempertahankan diri dengan seimbang, lambat laun maka
anak Ki Saudagar itu mulai bergeser beberapa langkah surut.
Day a tahan anak Ki Buyut bukan saja m ampu mengatasi
perasaan sakit dan lelah, namun juga mampu bertahan untuk
berkelahi dengan kekuatan dan tenaga y ang hampir tidak
berubah. Keringat y ang mengalir dari tubuhnya tidak
mempengaruhi kekuatan dan kemampuannya. Karena itu,
ketika ketahanan tubuh lawannya mulai mengendor, kekuatan
dan kemampuan anak Ki Buyut itu seakan-akan telah
meningkat. Anak Ki Saudagar itu sempat mengumpat-umpat. Namun
tiba -tiba saja suaranya terputus. Ternyata bibirnya telah
tersentuh tangan anak Ki Buyut yang menyerangnya dengan
tiba -tiba. Untunglah bahwa sentuhan itu tidak mengakibatkan
giginya berpatahan, meskipun terasa sedikit sakit.
Para pengawal anak Ki Saudagar dan pengawal anak Ki
Buyut y ang masing-masing berjumlah tiga orang memang
menjadi tegang. Tetapi setiap kali ketiga orang pengawal anak
Ki Buyut itu bersorak kegirangan jika tangan anak Ki Buyut itu
mengenai tubuh lawannya. Ketiga orang pengawal anak Ki Saudagar pun berbuat pula
demikian. Tetapi sorak y ang menghentak semakin lama
semakin sering dilakukan oleh anak Ki Buyut.
Ketiga orang pengawal anak Ki Saudagar itu menjadi
cemas. Mereka tidak dapat membiarkan m omongan mereka
kalah. Karena jika demikian, akibatnya akan buruk sekali bagi
mereka. Ki Saudagar tentu akan menjadi sangat marah.
"Kenapa aku tidak berbuat sesuatu," berkata pengawal anak
Ki Saudagar. 0oo0dw0oo0 (Bersambung ke Jilid 95) Conv er by Editing: MCH Pdf ebook : Dan HIJAUNYA LEMBAH HIJAUNYA LERENG PEGUNUNGAN Jilid 95 Cetakan Pertama PENERBIT: "MURIA" YOGYAKARTA Kolaborasi 2 Website : dengan Pelangi Di Singosari / Pembuat Ebook : Sumber Buku Karya SH MINTARDJA
Scan DJVU : Ismoyo, Arema
Converter : Editor : MCH dan Pdf ebook : --ooo0dw0ooo- Naskah ini untuk keperluan kalangan sendiri,
penggemar karya S.H. Mintardja dimana saja berada y ang
berkumpul di Web Pelangi Singosari dan Tiraikasih
Jilid 095

04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

KARENA itu, maka orang bertubuh tinggi tegap itu pun
berkata: "Aku tidak mempunyai pilihan lain. Aku harus
mengakhiri kesombongan anak-anak itu."
Orang yang bertubuh tinggi tegap itu pun kemudian telah
memberi isyarat k epada kawan-kawannya. Ia akan bertindak
untuk membantu momongannya. Ia tidak peduli apa yang
akan dikatakah oleh anak Ki Buyut itu serta para pengawalnya.
"Jika para pengawal anak Ki Buyut itu akan ikut campur,
kalian dapat meny elesaikan mereka dengan caramu," berkata
orang y ang bertubuh tinggi tegap itu.
Tanpa menghiraukan apa-apa lagi, maka orang y ang
bertubuh tinggi tegap itu telah m eloncat m emasuki arena. Ia
langsung melangkah ke arah kedua orang anak muda yang
sedang berkelahi itu. Tetapi ternyata seorang dari para pengawal anak Ki Buyut
itu telah melihatnya. Ia pun segera berlari m encegah orang
yang bertubuh tinggi besar itu.
"Kita tidak akan ikut campur, " berkata pengawal anak Ki
Buyut. "Persetan," geram orang y ang bertubuh tinggi tegap itu
"Minggir. Atau kau yang akan aku lumpuhkan lebih dahulu."
"Kau kira aku membiarkan kakiku kau patahkan","
bertanya pengawal anak Ki Buyut itu.
Orang yang bertubuh tinggi tegap itu tidak menjawab. Ia
langsung mengayunkan tangannya meny erang pengawal anak
Ki Buyut itu. Namun pengawal anak Ki Buyut yang lebih kecil itu
ternyata cukup tangkas. Dengan sigapnya ia telah
mengelakkan serangan itu. Bahkan dengan cepat sekali ia
telah membalas serangan itu dengan ay unan tangannya,
memukul ke arah dada. Orang y ang bertubuh tinggi itu masih sempat bergeser
surut. Namun lawannya y ang lebih kecil itu tidak
melepaskannya, dengan cepat ia memburunya. Dengan satu
loncatan m elingkar, kakinya telah terayun menghantam dada
orang itu. Serangan kaki itu cukup keras, sementara orang y ang
bertubuh tinggi itu tidak sempat menghindar. Karena itu,
ketika kaki pengawal anak Ki Buyut itu mengenai dadanya,
maka orang y ang bertubuh tinggi itu telah terdorong beberapa
langkah surut. Orang itu memang tidak t erjatuh. Bahkan ia
masih mampu menguasai keseimbangannya. Namun bahwa
tubuhnya telah dikenai oleh serangan lawannya itu,
membuatnya menjadi sangat marah.
Dengan demikian maka perkelahian antara kedua pengawal
dari kedua orang anak muda y ang telah berkelahi itu pun
semakin lama menjadi semakin sengit pula. Bahkan kemudian
kedua orang pengawal y ang lain pun telah berkelahi pula,
sehingga delapan orang telah berkelahi di halaman samping
kedai itu. Pemilik kedai itu memang menjadi berdebar-debar. Jika
perkelahian itu meluas, maka kedainya akan dapat menjadi
ajang perkelahian pula. Tetapi pemilik kedai itu berharap bahwa perkelahian itu
akan terbatas dengan delapan orang itu saja.
Meski pun demikian, ia masih saja merasa cemas. Jika
terjadi diantara m ereka menjadi korban, maka ia pun tentu
akan menjadi sasaran pertanyaan orang-orang dari kedua
Kabuyutan y ang bermusuhan itu.
Beberapa saat kemudian, maka ternyata bahwa anak Ki
Buyut itu semakin mendesak lawannya, anak seorang
saudagar kaya di Kabuyutan sebelah. Seorang saudagar kaya
yang mempunyai pengaruh yang besar di Kabuyutannya.
Sedang para pengawalnya pun nampaknya lebih baik dari
para pengawal anak saudagar kaya itu, sehingga dua orang
dari ketiga orang pengawal itu berhasil mendesak lawan-lawan
mereka pula. Hanya pengawal y ang kebetulan berkelahi
melawan orang yang bertubuh tinggi tegap itu harus memeras
keringat untuk dapat bertahan. Orang y ang bertubuh raksasa
itu ternyata memiliki day a tahan y ang sangat besar.
Tetapi sementara itu, kedua orang pengawal anak saudagar
kaya itu semakin tidak mempunyai kesempatan lagi
melindungi dirinya. Sebagaimana momongan mereka, m aka
keduanya pun semakin sering dikenai oleh serangan lawannya.
Bahkan salah seorang pengawal anak saudagar kaya itu telah
terdorong beberapa langkah surut dan jatuh terbanting di
tanah. Tertatih-tatih ia mencoba berdiri. Namun demikian ia
berhasil berdiri, lawannya telah meloncat dengan cepatnya
menghantam dadanya dengan tumit kakinya.
Sekali lagi orang itu jatuh berguling. Meski pun ia masih
juga mencoba berdiri, tetapi ia sudah tidak berdaya lagi.
Hanya karena orang itu takut dianggap tidak membantu
momongannya, maka ia masih mencoba untuk bertahan.
Tetapi lawannya sudah tidak menghiraukannya lagi. Ia
justru b erlari membantu kawannya yang terdesak oleh orang
yang bertubuh tinggi tegap itu.
Melawan dua orang, maka orang yang bertubuh tinggi
tegap itu merasa sangat berat. Beberapa kali tubuhnya telah
dikeaai serangan kedua lawannya itu. Ketika kawannya yang
sudah tidak berdaya itu mencoba mendekatinya untuk
membantu, maka sekali lagi orang itu m endapat serangan di
keningnya. Sekali lagi orang itu terdorong dan tidak berhasil
mempertahankan keseimbangannya lagi. Ia pun kemudian
jatuh untuk ketiga kalinya. Kepalanya y ang membentur tanah
yang keras, membuatnya sangat pening dan bahkan kemudian
segala-galanya menjadi kekuning-kuningan.
Dalam waktu dekat, maka anak saudagar kaya dan para
pengawalnya menjadi semakin tidak mampu lagi mengatasi
kesulitan. Mereka semakin terdesak dan kehilangan
kesempatan. Beberapa kali anak saudagar kaya itu harus berloncatan
mengambil jarak, sehingga arena pertempuran itu telah
bergeser dari tempat semula.
Namun anak Ki Buyut itu mendesak terus. Beberapa kali ia
sempat mengenai tubuh lawannya. Dan bahkan ia pun
kemudian bertanya: "Kapan kita menentukan siapa y ang kalah
dan siapa y ang menang?"
"Persetan kau," geram lawannya yang menyerangnya
dengan mengerahkan kemampuannya.
Namun lawannya tidak berhasil mendesaknya. Apalagi pula
pengawalnya yang tinggal dua orang. Yang bertubuh tinggi
tegap itu pun harus berloncatan surut, karena dua orang
lawannya membuatnya semakin bingung. Sementara
pengawalnya yang seorang lagi juga tidak dapat bertahan lebih
lama. Dalam keadaan yang demikian, maka mereka semakin
terdesak ke jalan. Mahisa Murti dan Mahisa Semu yang semula melihat
perkelahian itu dari pintu samping, telah berpindah. Mereka
duduk di dekat pintu depan yang lebih lebar, sehingga mereka
dapat menyaksikan pertempuran y ang telah bergeser itu
dengan jelas. Sementara itu bukan saja pelayan kedai itu, tetapi juga
pemiliknya telah memperingatkan mereka, agar jangan berada
di tempat y ang dapat dilihat oleh anak saudagar kaya serta
orang-orangnya. "Kenapa?" bertanya Mahisa Semu.
"Mereka adalah pendendam," jawab pemilik kedai itu, "hari
ini anak saudagar kaya yang m engandalkan kekayaannya itu
mendapat lawan seimbang. Bahkan nampaknya lebih kuat
daripadanya. Mudah-mudahan ia menjadi jera dan tidak
sewenang-wenang lagi."
"Bagaimana dengan anak Ki Buyut"," bertanya Mahisa
Semu. " Ia memang pendiam. Tidak peduli. Tetapi ia bukan orang
yang suka mencampuri persoalan orang lain dan tidak terbia sa
membuat orang lain mengalami kesulitan. Tetapi agaknya
karena ia ditantang, maka ia pun melayaninya."
"Kedai ini terletak di mana" Di daerah Ki Buyut itu atau
daerah Kabuyutan lain sebagaimana saudagar kaya itu?"
bertanya Mahisa Pukat. "Aku masih berada di daerah Ki Buyut y ang anaknya
berkelahi itu. Tetapi jalan itu adalah batasnya. Jika
perkelahian itu bergeser terus, maka mereka akan memasuki
Kabuyutan sebelah," jawab pemilik kedai itu.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Sebenarnyalah
perkelahian itu bergeser menyeberangi jalan dan akhirnya
terjadi di seberang. Pemilik kedai dan pelayannya y ang tidak berani
menyaksikan perkelahian itu dengan terbuka, sempat melihat
lewat beberapa lubang dinding di sudut dapurnya. Mereka
tidak lagi memperingatkan Mahisa Pukat dan Mahisa Semu
yang nampaknya tidak menghiraukan peringatan mereka.
Dalam pada itu, ketika keadaan anak saudagar kaya dari
Kabuyutan di seberang jalan itu semakin sulit, tiba -tiba saja
telah terdengar sultan nyaring. Satu isyarat y ang m ula-mula
memang tidak begitu diketahui maksudnya.
Namun tiba-tiba saja dari balik beberapa gerumbul perdu
di seberang jalan, telah m uncul beberapa orang anak muda
yang dengan serta telah berlari-larian mendekati arena.
"Curang," geram Mahisa Semu.
"Ya. Itu sudah diduga," sahut pemilik kedai yang melihat
perkelahian itu dari celah-celah dinding di dapurnya.
Anak Ki Buyut itu m emang agak terkejut. Demikian pula
ketiga orang pengawalnya. Dengan latang anak Ki Buyut itu
berkata: "Aku memang sudah curiga. Tetapi aku
menyanggahnya sendiri. Apalagi per soalan kita adalah
persoalan harga diri. Apakah untuk kepentingan
mempertahankan harga diri itu kau ingin mengorbankan
harga diri?" "Persetan dengan harga diri," geram anak saudagar kaya
itu. "Aku adalah anak seorang Buyut," berkata anak Ki Buyut
itu, "apakah kau kira ayahku dan seluruh Kabuyutanku akan
membiarkan hal ini terjadi?"
"Kabuyutanku juga sudah siap. Kita akan bertempur jika
kau berusaha untuk menggerakkan orang-orangmu. Ayahku
dapat mengupah orang-orang dari luar Kabuyutan. Tiga orang
gegedug yang sekarang juga hadir merupakan contoh dari
orang-orang y ang diupah ayahku itu. Jika ayahmu benarbenar
ingin berperang, maka Kabuyutanmu akan menjadi
karang abang," ancam anak saudagar kaya itu.
Tetapi anak Ki Buyut itu pun berkata: "Kau kira kami
menjadi ketakutan" Jika kau curang kali ini, maka aku akan
benar-benar mengerahkan anak-anak muda dan para
pengawal Kabuyutan."
"Kau kira kau mampu melakukan" Tiga bulan kau akan
berbaring di pembaringanmu. Orang-orangku akan
membuatmu jera sampai ke anak cucumu," teriak anak
saudagar kaya itu. Anak Ki Buyut itu tidak mempunyai pilihan. Sebenarnyalah
diantara beberapa orang yang muncul dari balik geromboIan
itu, terdapat tiga orang y ang b ertampang garang. Meski pun
tubuhnya tidak sebesar pengawal anak saudagar kaya yang
bertubuh raksasa itu, namun nampak disorot matanya, bahwa
mereka lebih keras dan kasar. Juga mereka nampaknya
memiliki kemampuan dalam olah kanuragan.
Anak Ki Buyut itu m emang harus berpikir keras. Ada dua
pilihan y ang dapat diambilnya. Melawan dengan
mempertaruhkan nyawanya untuk mempertahankan harga
diri, atau melarikan diri.
Sebenarnya anak Ki Buyut itu pun menyadari, seandainya
ia melarikan diri dari arena, ia tidak akan direndahkan oleh
siapa pun karena lawannyalah y ang curang. Namun rasarasanya
seorang laki-laki y ang menghindar dari kesulitan
namanya akan tetap menjadi cacat.
Karena apa pun y ang akan terjadi, anak Ki Buyut itu tidak
beringsut dari tempatnya.
Sementara itu pemilik kedai itu berteriak tertahan di
belakang lubang dinding: "Lari. Kenapa tidak lari saja?"
"Ya," desis Mahisa Pukat, "seharusnya ia meny ingkir dari
arena. Itu bukan lari. Tetapi menghindari sikap y ang sangat
licik." "Ya. Bukan melarikan diri. Tetapi menghindari
kecurangan," ulang pemilik kedai itu.
Namun tidak seorang pun diantara orang-orang y ang
dimaksud itu mendengar. Tetapi ternyata ketiga orang pengawal anak Ki Buyut itu
pun termasuk orang -orang y ang b erani. Ket ika mereka y akin
bahwa anak Ki Buyut itu tidak akan meninggalkan arena,
maka dengan serta merta mereka pun menyerang lawan-lawan
mereka y ang masih saja termangu-mangu. Dengan hentakkan
yang tiba -tiba saja, maka orang y ang bertubuh raksaa itu sama
sekali tidak mampu menghindar. Dua orang pengawal Ki
Buyut itu bersama-sama menghantam dadanya dan
lambungnya, sehingga orang y ang bertubuh tinggi besar itu
terbungkuk. Namun kemudian pukulan yang terakhir dari
kedua orang itu bersamaan membuat raksasa itu jatuh dan
pingsan karenanya. Demikian pula seorang pengawal yang
lain. Ia pun dengan serta merta telah mendapat serangan yang
tidak dapat dihindarinya. Bahkan dua orang y ang telah
membuat orang b ertubuh tinggi besar itu pingsan, t elah ikut
menyerangnya sehingga ia pun menjadi pingsan pula.
Dengan demikian ampat orang itu t elah bebas dari lawanlawannya
y ang terdahulu. Namun m ereka akan berhadapan
dengan lawan y ang jauh lebih berat.
"Licik. Kau serang mereka tanpa memberinya peringatan,"
geram anak saudagar kaya itu.
"Persetan sahut anak Ki Buyut, "kau bawa sekian banyak
orang termasuk ketiga orang gegedug itu. Apakah itu bukan
sikap yang licik" Curang" Pengecut?"
Tetapi anak saudagar kaya itu tertawa. Katanya: "Kau
menjadi ketakutan karenanya. Tetapi sudah terlambat. Kau
akan dilumpuhkan. Juga bukan kau akan terbaring dan
memerlukan pelayanan orang lain. Kau akan dimandikan di
pembaringan seperti bay i. Kau akan disuapi dan jika kau
sembuh kelak, kau akan menjadi cacat. Jika ay ahmu marah,
maka perang akan terjadi. Kabuyutanmu anak hancur lumat."
"Cukup. Kau tidak perlu membual seperti itu. Aku akan


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menanggung segala akibat dari sikapku," bentak anak Ki
Buyut. "Ada satu cara y ang dapat kau tempuh," berkata anak
saudagar kaya itu, "tinggalkan tempat ini dan untuk
seterusnya jangan ganggu gadis itu lagi."
"Kau bukan laki-laki," geram anak Ki Buyut, "kenapa kau
tidak menantang aku berperang tanding sampai tuntas"
Kenapa kau m elibatkan sekian banyak orang untuk per soalan
yang sangat pribadi ini?"
" Itulah kekuasaan uang yang dimiliki oleh keluargaku.
Jangan iri. Ayahku kaya raya dan dapat mengupah orang
untuk melakukan hal seperti ini," jawab anak saudagar kaya
itu. Lalu katanya "Kenapa kau tidak melakukannya" Bukankah
ay ahmu seorang Buyut yang juga terhitung kaya?"
Mahisa Pukat ternyata tidak dapat menahan diri lagi.
Ketika anak-anak muda yang bermunculan dari balik
gerumbul dengan tiga orang gedebug itu menjadi semakin
dekat dan mulai m engepung anak Ki Buyut dan ketiga orang
pengawalnya, maka ia pun telah menggamit Mahisa Semu.
Bahkan Mahisa Pukat langsung meloncat ke halaman kedai itu
sambil berteriak: "Tidak selamanya uang dapat menguasai
keadaan." Semua orang berpaling kepadanya. Sementara itu Mahisa
Pukat dan Mahisa Semu telah m elangkah m endekati m ereka
yang sudah siap untuk bertempur lagi itu.
Pemilik kedai itu terkejut bukan buatan. Ternyata kedua
orang tamunya itu langsung melibatkan dirinya dalam
pertengkaran itu. "Kami berdua, tanpa kekuasaan uang, menyatakan
memihak kepada anak Ki Buyut," berkata Mahisa Pukat sambil
melangkah mendekati anak Ki Buyut dengan tiga orang
pengawalnya yang sudah terkepung. Bahkan dengan tidak
menghiraukan anak-anak muda y ang mengepung itu,
keduanya justru menyibak mereka dan masuk ke dalam
lingkaran kepungan itu. "Siapa kau?" geram anak saudagar kaya itu.
"Siapa pun aku, kau tidak peduli. Apakah kau akan membeli
namaku dengan uangmu?" bertanya Mahisa Pukat.
" Iblis kau geram anak saudagar,kaya itu apakah kau
menyadari, apa y ang kau lakukan?"
"Tentu. Aku akan merasa berbahagia dapat membantu
orang yang telah diperlakukan dengan curang. Aku tidak
peduli apakah kami akan menang atau kalah," jawab Mahisa
Pukat. Wajah anak saudagar kaya itu menjadi merah. Selangkah ia
maju sambil berkata: "Kau akan menyesal. Jika aku
mengancam akan membuat anak Ki Buyut yang tidak tahu diri
itu menjadi cacat, maka aku benar-benar berniat
membunuhmu. Tidak ada orang yang akan menuntut aku
disini. Sekali lagi aku katakan bahwa uang ay ahku akan dapat
menyelesaikan segala-galanya."
"Aku tidak takut mati untuk melakukan apa y ang aku yakini
kebenarannya," jawab Mahisa Pukat, "tetapi sadari, bahwa jika
aku mati, maka tentu ada diantara kalian y ang mati. Aku tidak
tahu siapa y ang akan mati diantara kalian. Kau, mungkin kau,
kau atau gegedug itu. Ny awaku nilainya sama dengan lima
orang diantara kalian. Demikian pula adikku ini. Karena itu,
jika kami berdua mati, maka sepuluh orang diantara kalian
akan mati." Ternyata ancaman Mahisa Pukat itu telah menggetarkan
jantung anak-anak muda y ang mengepung anak Ki Buyut itu.
Namun anak saudagar kaya itu berkata kepada ketiga orang
gegedug itu: "Selesaikan kedua anak itu. Jangan ragu-ragu.
Aku yang bertanggung jawab."
Ketiga orang gegedug itu pun kemudian telah bergeser
mendekati Mahisa Pukat dan Mahisa Semu. Ternyata mereka
benar-benar berniat untuk membunuh keduanya, karena
ketiga orang gegedug itu langsung menggenggam senjata
mereka di tangan. Seorang diantara mereka menggenggam
sebuah golok y ang besar. Seorang memegang kapak yang
bermata rangkap dan seorang lagi membawa pedang yang
panjang. Namun tiba -tiba saja Mahisa Pukat pun berkata kepada
Mahisa Semu: "Jangan ragu -ragu m embunuh mereka bertiga.
Kita akan segera menghilang dari tempat ini, sehingga mereka
tidak akan dapat menuntut kita."
"Setan alas," salah seorang dari ketiga orang gegedug itu
mengumpat. Seorang yang bersenjata kapak y ang tajam di
kedua sisi itu pun segera m eloncat m enyerang Mahisa Pukat.
Namun anak muda itu sudah benar -benar bersiap. Dengan
sigapnya ia meloncat menghindar. Namun gegedug yang
membawa golok ttu tidak membiarkannya. Ia pun telah
memutar goloknya pula dan langsung meny erang.
Tetapi Mahisa Pukat benar-benar telah bersiap. Dengan
sigapnya ia berloncatan menghindari serangan-serangan yang
kemudian datang beruntun.
Sementara itu, Mahisa Semu pun telah mengenggam
pedangnya pula. Yang kemudian berdiri berhadapan dengan
anak muda itu adalah gegedug yang bersenjata pedang yang
panjang itu. Sejenak kemudian pertempuran antara kedua
anak muda dari perguruan Bajra Seta melawan tiga orang
gegedug itu pun telah berlangsung dengan sengitnya. Ketiga
orang gegedug yang merasa memiliki kemampuan y ang tinggi
itu berusaha untuk dengan secepatnya meny elesaikan kedua
orang anak muda itu. Apalagi dua orang diantaranya
bertempur melawan seorang saja.
Tetapi ternyata bahwa kedua orang itu tidak segera dapat
menguasai Mahisa Pukat y ang telah menggenggam pedangnya
pula. Pedang yang terbuat dari besi baja yang seakan-akan
bercahaya kehijau-hijauan.
Kedua gegedug itu memang tergetar hatinya melihat daun
pedang di tangan Mahisa Pukat itu. Namun karena mereka
merasa memiliki kemampuan y ang sangat mereka banggabanggakan
selama ini, maka mereka pun berusaha dengan
cepat membunuhnya. Mahisa Pukat pun merasakan kesungguhan kedua orang
gegedug itu untuk membunuhnya. Karena itu, maka Mahisa
Pukat pun m enjadi semakin marah. Ternyata pengaruh uang
anak muda y ang tamak itu telah m embuat para gegedug itu
kehilangan kendali sama sekali. Mereka tidak lagi sempat
memikirkan apa yang sedang mereka lakukan itu.
Karena itu, maka Mahisa Pukat pun berniat untuk dengan
cepat menyelesaikan para gegedug itu. Mereka harus menebus
kedunguan mereka dengan harga y ang sangat mahal,
Adalah diluar dugaan bahwa justru Mahisa Pukatlah y ang
dengan cepat menguasai kedua orang lawannya. Pedangnya berputaran dengan cepat, menggapaigapai.
Dalam waktu y ang singkat, maka ujung pedang Mahisa Pukat telah
melukai seorang diantara kedua gegedug itu. Orang yang bersenjata kapak itu
pun telah mengaduh kesakitan ketika luka menganga di pundaknya. Sementara itu, Mahisa Semu pun telah menunjukkan kemampuannya yang tinggi dalam ilmu pedang. Ia pun
dengan cepat telah menguasai lawannya. Pedang lawannya
yang panjang itu sama sekali tidak mampu mengimbangi
kecepatan gerak pedang Mahisa Semu.
Karena itu, maka beberapa saat kemudian, maka segores
luka telah meny ilang di dada lawannya.
Ketiga orang yang telah disebut sebagai gegedug itu
menjadi sangat marah pula. Mereka adalah orang-orang yang
sangat ditakuti. Namun menghadapi anak-anak muda itu
ternyata mereka tidak mampu mengatasinya.
Sementara itu, lawan Mahisa Pukat y ang seorang lagi, y ang
bersenjata golok itu pun tidak mampu menghindar atau
menangkis ujung pedang Mahisa Pukat yang mematuk dengan
cepatnya. Karena itu, maka lam bungnya tiba -tiba saja telah
terkoyak, sehingga darahnya memancar dari lukanya yang
menganga. Anak Ki Buyut dan ketiga orang pengawalnya justru
bagaikan membeku. Demikian pula anak saudagar kaya serta
anak- anak muda y ang mengepung dan kemudian seakan-akan
telah membuat lingkaran pertempuran itu.
Dalam keadaan yang demikian itu, maka anak saudagar
kaya itu pun telah tersentak dari keheranannya. Ia pun segera
melihat keadaan yang tidak menguntungkan, sehingga karena
itu, m aka ia pun segera, berteriak kepada anak-anak muda
yang mengepung arena itu: "Jangan seperti orang-orang yang
kehilangan akal. Cepat. Lakukan tugas kalian. Aku yang
bertanggung jawab atas segala-galanya.
Anak-anak muda y ang jumlahnya cukup banyak itu m asih
sa ja ragu-ragu. Tiga orang gegedug itu ternyata tidak berdaya
menghadapi dua orang anak muda y ang tidak mereka kenal
yang tiba -tiba saja telah ikut serta dalam pertempuran itu.
Tetapi anak saudagar kaya itu sekali lagi berteriak: "Cepat.
Lakukan. Siapa y ang tidak mendengar perintahku, akan
menyesal kelak." Ancaman itu memang dapat menggerakkan anak-anak
muda itu. Selagi ketiga gegedug itu masih sempat melawan
meski pun dalam kesulitan. Apalagi yang terluka di
lambungnya. Darah semakin lama semakin banyak mengalir,
sehingga akhirnya, orang itu pun telah jatuh terkapar dengan
lemahnya. Tiga orang anak muda telah membawanya menepi,
sementara dua orang y ang lain berlari-lari kembali k e arena,
seorang diantara mereka telah merawatnya sedapat-dapatnya.
Tinggal dua orang gegedug yang masih ikut dalam
pertempuran itu. Namun keduanya sudah terluka. Tetapi
ternyata bahwa keduanya masih berbahaya. Apalagi kemudian
datang anak-anak muda membantu mereka.
Anak Ki Buyut dan tiga orang pengawalnya pun telah
berkelahi lagi. Tetapi lawan-lawan mereka adalah anak-anak
muda yang tidak mempunyai bekal t erlalu banyak dalam olah
kanuragan. Meski pun demikian jumlah mereka yang banyak
itu pun telah berpengaruh pula.
Beberapa orang telah membantu kedua orang gegedug y ang
terluka itu pula. Namun demikian, anak-anak muda itu tidak
dengan cepat mampu rnenempatkan diri dalam satu
kerjasama y ang mapan. Bahkan kadang-kadang kedua
gegedug itu justru m erasa terganggu oleh kehadiran m ereka.
Tetapi kedua gegedug itu tidak berani mengusir mereka,
karena dalam saat-saat tertentu kedua gegedug itu dapat
berlindung di balik senjata anak-anak muda itu untuk
beberapa saat. Mahisa Pukat dan Mahisa Semu memang m enjadi raguragu.
Mereka tidak dapat memperlakukan anak-anak muda itu
sebagai mana kedua orang gegedug yang masih mereka
hadapi: Karena itu, maka tata gerak kedua anak muda itu pun
menjadi agak ragu-ragu pula.
Namun ketika anak-anak muda itu m ulai terasa semakin
menekan mereka, maka Mahisa Pukat dan Mahisa Semu mulai
menjadi semakin keras pula. Terutama Mahisa Semu.
Dengan demikian, maka pedangnya pun berputaran
semakin cepat pula. Tetapi yang menjadi sa saran utama bagi
Mahisa Semu masih juga gegedug y ang sudah dilukainya itu.
Namun gegedug itu pun ternyata memanfaatkan anak-anak
muda itu untuk melindunginya. Tetapi tiba-tiba saja ia telah
meloncat meny erang dengan garangnya.
Mula-mula Mahisa Semu memang menjadi sedikit
mengalami kesulitan. Namun akhirnya kemudaannyalah yang
mulai berbicara dengan bahasa pedangnya.
"Bukan salahku," berkata Mahisa Semu tiba -tiba. Lawanlawannya
memang menjadi heran mendengar Mahisa Semu
itu tiba -tiba saja telah berkata lantang. Seorang di antara
lawan-lawannya itu sempat bertanya: "Apa y ang bukan
salahmu" "Saudaraku telah memperingatkan bahwa aku akan
membunuh sedikitnya lima orang jika kalian tidak
menyingkir," jawab Mahisa Semu.
Ancaman itu membuat anak-anak muda itu ragu-ragu.
Tetapi gegedug itu pun berkata: "Jangan hiraukan katakatanya.
Ternyata anak itu sudah mulai menjadi ketakutan."
Namun belum lagi kata-kata itu selesai diucapkan, maka
seorang anak muda telah berteriak kesakitan. Ujung pedang
Mahisa Semu telah singgah di lengannya.
Meski pun luka itu t idak terlalu dalam, namun terasa
pedihnya meny engat sampai ke tulang.
"Sebentar lagi lehermu," desis Mahisa Semu.
Lawan-lawannya menjadi semakin gentar melihat darah di
lengan kawannya itu. Bahkan kemudian Mahisa Semu telah
mendesak gegedug itu dan memaksanya berloncatan untuk
mengambil jarak. Namun anak-anak muda itu tidak lagi
mendesak dan mengurungnya. Mereka mulai merasa cemas
bahwa ujung pedang anak muda itu akan melukai m ereka di
leher seperti yang dikatakannya.
Mahisa Semu memang mempergunakan kesempatan itu.
Dengan cepat maka pedangnya terayun mendatar. Tetapi
Mahisa Semu sendiri terkejut ketika ia melihat sebuah pedang
lawannya terlempar jatuh. Sambil berteriak kesakitan anak
muda y ang kehilangan senjatanya itu menggenggam
pergelaran tangannya. Ternyata darah mengalir cukup deras.
"Cepat, rawat lukamu teriak Mahisa Semu. Jika t erlambat
kau benar -benar akan mati kehabisan darah."
"Aku tidak mau mati," teriak anak muda itu.
" Ikat tanganmu agar darahnya tidak mengalir terlalu deras
Mahisa Semu pun berteriak.
Anak muda yang pergelangan tangannya tersay at pedang
itu pun telah berjongkok di luar arena. Dilepasny a ikat
kepalanya untuk mengikat tangannya yang berdarah. Namun
ternyata darah masih saja tetap mengalir.
Sementara itu, Mahisa Semu masih bertempur terus.
Karena anak-anak muda yang lain telah menjadi ragu-ragu,
maka Mahisa Semu menjadi semakin berbahaya bagi gegedug


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu. Sehingga akhirnya gegedug yang dibanggakan oleh anak
saudagar yang kay a raya dan yang sudah terluka itu melarikan
diri dari arena tanpa menghiraukan apa pun lagi.
Anak saudagar kaya itu sempat melihatnya berlari. Iapun
berteriak dengan lantang: "Jangan lari. Tunggu."
Tetapi gegedug itu sama sekali tidak berpaling. Bahkan
sejenak kemudian, gegedug y ang bertempur melawan Mahisa
Pukat pun telah berlari pula.
Mahisa Semu dan Mahisa Pukat m emang tidak m emburu
gegedug yang melarikan diri itu. Bagi mereka, sikap itu telah
cukup memberikan bukti bahwa gegedug itu bukan hantu yang
harus ditakuti. Ketika kedua orang gegedug itu m elarikan diri, anak-anak
muda itu pun menjadi semakin ragu-ragu. Namun anak
saudagar kaya itu masih berteriak: "Jangan beri mereka
kesempatan. Jumlah kita cukup banyak untuk menghancurkan
mereka. Namun teriakan itu t idak lagi mampu membangkitkan
keberanian y ang cukup. Karena itu, maka anak-anak muda itu
masih saja tetap ragu-ragu.
Sementara itu, Mahisa Semu pun berkata kepada lawanlawan
yang mengelilinginya: "Tunggu. Aku akan mengobati
kawanmu y ang terluka di pergelangan. Berbahaya sekali jika
darahnya tidak mau pampat.
Anak-anak muda y ang mendengarnya seakan-akan diluar
sa dar telah beringsut meny ibak. Sementara itu Mahisa Semu
berjalan dengan tenangnya mendekati anak muda yang
pergelangannya terluka. "Jangan bunuh aku," anak mdda itu ketakutan.
"Lihat pergelanganmu y ang terluka. Ikat dibagian atas
lukanya. Bukan pada lukanya itu sendiri," berkata Mahisa
Semu. Tetapi darahnya memang banyak sekali m engalir. Karena
itu, maka Mahisa Semu pun menjadi cemas.
Dari kantung ikat pinggangnya Mahisa Semu mengambil
sebuah bumbung bambu kecil berisi obat luka y ang dibawanya
dari padepokan Bajra Seta. Dengan obat itu yang ditaburkan
sedikit pada lukanya, maka Mahisa Semu berharap bahwa luka
itu akan pampat. Ketika obat itu tertabur diatas lukanya, anak itu m emang
berteriak. Terasa luka itu bagaikan disentuh api. Tetapi
kemudian darahnya menjadi semakin pampat, sehingga
akhirnya tidak lagi mengalir dari luka ifu.
"Jangan banyak bergerak," berkata Mahisa Semu, "jika kau
gerak-gerakkan tanganmu ini, maka darah pun akan keluar
lagi dan sulit untuk dipampatkan."
Anak muda itu mengangguk-angguk.
"Nah, jangan kau gantungkan tanganmu. Tekuklah pada
sikumu dan pegangi pergelangan tanganmu. Tetapi jangan
sampai terpijit," pesan Mahisa Semu.
Demikian darah di luka anak muda itu pampat, maka
Mahisa Semu telah bersiap pula.
Sementara itu, anak saudagar kaya itu masih saja berteriakteriak.
Katanya: "Kenapa kalian diam seperti patung?"
" Ia sedang mengobati luka kawan kami," jawab salah
seorang. "Jangan hiraukan. Bunuh selagi ia lengah," teriak anak
saudagar y ang bertempur melawan anak Ki Buyut itu.
"Kawan kami akan mati pula karena darahnya mengalir
terus," teriak anak muda itu.
"Kalau perlu bunuh sekali anak itu agar tidak mengganggu
kalian," jawab anak saudagar kay a raya itu.
Tidak ada lagi yang berteriak. Tetapi jawaban itu benarbenar
membuat anak-anak muda itu sakit hati. Sehingga
karena itu, maka mereka pun tidak lagi bertempur dengan
sungguh-sungguh. Apalagi Mahisa Semu pun tidak lagi
bersungguh-sungguh pula. Demikian pula Mahisa Pukat. Ia bertempur tidak jauh dari
anak Ki Buyut dan ketiga orang pengawalnya. Sekali-sekali
Mahisa Pukat telah berloncatan mengurangi tekanan yang
dilakukan oleh anak-anak muda yang jumlahnya memang jauh
lebih banyak itu atas anak Ki Buyut dan ketiga orang
pengawalnya. Ketika Mahisa Pukat m erasa bahwa nampaknya anak Ki
Buyut dan para pengawalnya mulai letih, maka ia pun mulai
mendesak lawan-lawannya. Dua orang hampir berbareng telah
dilukainya meski pun tidak terlalu dalam. Namun perasaan
pedih y ang menggigit itu membuat mereka telah mundur dari
arena. Demikian pula seorang y ang lain. Kemudian seorang
lagi dan seorang lagi. Dengan demikian maka anak-anak muda itu menjadi
semakin tidak berday a. Mereka juga merasa ketakutan bahwa
pada suatu saat merekalah yang t erluka. Bahkan mungkin
lebih parah dari kawan-kawannya yang lain.
Karena itu, maka anak saudagar kaya itu semakin lama
menjadi semakin cemas. Ia sama sekali tidak mengira bahwa
ada dua orang anak muda yang dengan tiba-t iba saja telah ikut
campur sehingga rencananya menjadi gagal sama sekali. Ia
tidak sempat menyakiti dan bahkan m embuat anak Ki Buyut
itu menjadi jera. Bahkan anak itu tentu akan menjadi semakin
sombong menurut penilaian anak saudagar kaya itu.
Tetapi anak saudagar kaya itu memang tidak dapat berbuat
banyak. Anak-anak muda yang dibawanya benar-benar tidak
lagi mampu m enguasai ketakutan m ereka. Ketika sekali lagi
ujung pedang Mahisa Pukat m elukai seorang diantara anak
muda itu, maka y ang lain pun telah berloncatan surut.
Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Sementara anak
saudagar kaya y ang bertempur melawan anak Ki Buyut itu
berteriak: "Kenapa kalian m enjadi ketakutan he" Hancurkan
mereka." Tetapi anak-anak muda itu melihat darah di tubuh
beberapa orang kawan mereka sehingga tubuh mereka pun
menjadi gemetar. Seorang diantara kawan mereka duduk
sambil menangis kesakitan. Seorang lagi merintih tidak putusputusnya.
Ada juga diantara y ang telah mengalirkan darah
dari tubuhnya itu masih tetap tegar dan siap untuk bertempur.
Tetapi kawan-kawannyalah yang tidak lagi sanggup berbuat
sesuatu. Meski pun anak saudagar kaya itu beberapa kali
mengancam mereka, namun mereka tetap saja berdiri
termangu-mangu meski pun di tangan mereka masih
tergenggam senjata. Yang kemudian terdengar adalah suara Mahisa Pukat:
"Nah, siapa lagi diantara kalian y ang ingin menjadi korban.
Mungkin orang berikutnya tidak hanya t erluka, tetapi
terbunuh. Aku sebenarnya sama sekali tidak mengalami
kesulitan untuk membunuh berapa pun aku mau diantara
kalian. Tetapi karena aku tidak ingin melakukannya, maka
kalian masih akan tetap hidup. Hanya mereka y ang keras
kepala sajalah yang akan aku habisi umurnya."
Anak-anak muda itu pun menjadi semakin ketakutan,
sehingga tidak lagi ada yang berani memasuki arena
pertempuran. Kawan-kawan anak saudagar yang semula
bertempur melawan Ki Buyut bersama pengawalnya pun telah
menarik diri pula dari arena. Demikian pula orang-orang yang
bertempur melawan Mahisa Semu.
Sejenak kemudian, maka Mahisa Pukat itu pun berkata
lantang: "Nah, bukankah sebaikny a y ang berkelahi itu hanya
orang-orang yang berkepentingan" Dalam hal ini, anak Ki
Buyut itu dengan anak Ki Saudagar kaya itu" Biarlah m ereka
menyelesaikan persoalan pribadi mereka berdua. Yang lain,
yang tidak tahu menahu persoalannya, tidak boleh turut
campur. Karena itu, siapa yang merasa tidak berkepentingan,
minggir. Atau akan berhadapan dengan aku dan saudaraku."
Suasana menjadi tegang. Anak-anak muda y ang ada di
tempat itu memang dicengkam oleh kebimbangan. Namun jika
mereka ikut campur, maka mereka memang akan mengalarni
kesulitan. Anak muda yang tidak dikenal itu benar-benar
mampu melakukan sebagaimana dikatakannya.
Anak saudagar kaya itu termangu -mangu sejenak. Ia sadar,
bahwa Ia memang tidak akan dapat memaksa kawankawannya.
Namun untuk bertempur sendiri melawan anak Ki
Buyut itu, ia pun menjadi ragu-ragu.
Tetapi anak saudagar kaya itu sadar pula, jika ia m enolak
berkelahi lagi m elawan anak Ki Buyut, maka Ia akan menjadi
bahan ejekan kawan-kawannya.
Namun anak saudagar kaya itu tidak ingkar, bahwa
sebelumnya ia benar-benar tidak mampu m engalahkan anak
Ki Buyut itu. Tetapi ia tidak mempunyai pilihan lain. Ia harus
mengulangi perkelahiannya melawan anak Ki Buyut itu
seorang diri. Meski pun ia sudah dikalahkannya, namun ia
berharap bahwa anak Ki Buyut itu telah menjadi letih.
Namun sebenarnyalah bahwa ia sendirilah y ang menjadi
letih. Karena itu, ketika ia benar-benar harus berhadapan
dengan anak Ki Buyut itu, maka anak saudagar kaya itu
hampir-hampir tidak bertenaga lagi.
Karena itu, anak itu pun kemudian memperhitungkan,
bahwa ia harus mempergunakan sisa tenaganya itu sebaikbaiknya.
Ternyata ia telah mengambil satu sikap yang tidak terduga.
Anak saudagar kaya itu telah m empergunakan sisa t enaganya
itu untuk melarikan diri.
Tanpa menghiraukan kawan-kawannya, maka anak
saudagar kaya itu pun segera meloncat melarikan diri.
Mahisa Semu sudah siap untuk menyusulnya. Namun
Mahisa Pukat berkata: "Sudahlah. Jangan kau kejar anak itu.
Ia berlari dengan sangat ketakutan. Jika kau masih juga
mengejarnya, maka anak itu akan mati ketakutan."
Mahisa Semu memang urung meloncat mengejar anak
saudagar kaya raya itu. Dalam pada itu, Mahisa Pukat telah berdiri berhadapan
dengan anak-anak muda yang menjadi ragu-ragu dan cemas
akan nasib diri m ereka sendiri. Jika anak m uda itu ternyata
anak muda yang garang, maka mereka akan mengalami nasib
buruk. Tetapi Mahisa Pukat tidak berbuat apa -apa. Demikian pula
kepada para pengawal anak saudagar kaya itu. Orang yang
bertubuh tinggi tegap yang telah duduk di tanah dengan
jantung yang berdebaran juga tidak mengalami perlakuan
yang kasar. Kepada anak-anak itu ia berkata: "Rawat gegedug y ang
agak parah itu. Demikian pula kawan-kawanmu y ang terluka.
Namun pada kali lain, kalian jangan menyurukkan diri ke
dalam kesulitan seperti ini. Untunglah aku dan saudaraku lagi
sabar, jika kami sedang dalam genggaman kesulitan hidup,
maka sikap kami akan berbeda."
Anak-anak muda yang masih tinggal itu menjadi sangat
gelisah. Tetapi t ernyata bahwa kedua orang anak muda yang
tiba -tiba saja telah hadir dan melibatkan diri itu memang tidak
mengambil tindakan apa-apa sebagaimana mereka katakan.
Mereka nampaknya memang bukan orang-orang yang garang
dan kasar sebagaimana gegedug yang telah m ereka kalahkan
itu. Dalam pada itu maka sekali lagi Mahisa Pukat berkata:
"Tinggalkan tempat ini. Rawat kawan-kawanmu y ang terluka.
Bawa gegedug serta kawan-kawanmu yang luka itu ke rumah
anak saudagar kay a y ang tamak tetapi ternyata sangat licik itu.
Aku harap anak muda itu bertanggung jawab."
Namun tiba -tiba salah seorang anak muda itu berkata:
"Bagaimana jika anak Ki Saudagar itu justru marah dan
menghukum kami." "Bagaimana mungkin hal itu dilakukan?" bertanya Mahisa
Pukat. " Ia sangat keras dan kasar," jawab anak muda yang lain.
"Bukankah ia seorang diri" Apakah seorang diri ia dapat
menghukum kalian semuanya?" bertanya Mahisa Pukat.
" Ia mempunyai uang. Ia dapat mengupah orang untuk
menghukum kami," sahut anak muda itu.
"Dan kalian diam saja" Membiarkan diri kalian dihukum"
Dicambuk atau diikat di halaman di bawah terik matahari atau
hukuman apa?" bertanya Mahisa Pukat.
Anak-anak muda itu termangu-mangu. Namun kemudian
yang lain menjawab: "Pernah terjadi kawan kami yang
dianggapnya bersalah diikat di belakang seekor kuda yang
kemudian berlari-lari di padang rumput. Hanya beberapa saat.
Tetapi tubuhnya telah penuh dengan luka-luka. Ketika
kemudian tali ikatannya dibuka anak itu sudah tidak dapat
berdiri." "Saat itu apa yang kalian lakukan" Menonton" Atau kalian
justru ikut menghukumnya" Apa" Apa y ang kalian lakukan"
Kal ian semuanya tentu tidak mencegah hal itu terjadi. Kalian
merasa ikut senang m elihat hukuman itu terjadi karena jiwa
kalian tidak lebih dari jiwa budak yang rendah, yang nilainya
tidak lebih dari upah yang pernah kalian terima. Nah, jika
sejak hari ini kalian bersatu dan m emantapkan diri menjadi
anak muda y ang m empunyai harga diri, m aka anak itu tidak
akan dapat berbuat apa-apa. Jika ia membentak, kalian
semuanya harus m embentak. Jika anak itu memukul seorang
diantara kalian, maka kalian semuanya m emukul. Tetapi jika
ada satu saja diantara kalian yang berkhianat terhadap kawankawan
kalian dan kembali ke jiwa budak yang rendah, maka
kalian m emang akan kembali m engalami masa yang buram.
Hidup kalian akan selalu di bawah bayang-bay ang anak muda
itu dengan uang dan kekay aannya y ang melimpah."
Anak-anak itu mulai berpikir tentang sikap m ereka selama
itu. Mereka seakan-akan memang selalu berada di bawah
bay angan uang anak saudagar kaya itu.
Kemudian Mahisa Pukat pun bertanya: "Bagaimana dengan
sikap Ki Buyut?" "Ki Buyut tidak pernah menunjukkan sikap y ang tegas.
Yang berkuasa di Kabuyutan kami agaknya memang bukan Ki
Buyut. Tetapi saudagar y ang kaya raya itu," jawab salah
seorang diantara mereka. "Jika demikian, maka kalian semuanya sebaiknya datang ke
rumah Ki Buyut dan menyampaikan permohonan agar Ki
Buyut bersedia menjadi pemimpin sejati bagi Kabuyutan
kalian," berkata Mahisa Pukat.
Anak-anak muda itu termangu-mangu. Dari wajah mereka
Mahisa Pukat dapat membaca, bahwa agaknya Ki Buyut sukar
untuk merubah sikapnya. Agaknya sudah t erlalu lama Ki
Buyut dibayangi oleh kekuasaan uang yang ditaburkan oleh


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saudagar kaya itu. "Anak-anak muda," berkata Mahisa Pukat: "jika demikian,
maka adalah saatnya kalian berbuat sesuatu. Anak-anak muda
adalah citra masa depan Kabuyutan. Jika kalian mulai
sekarang sudah dibay angi dengan uang, maka kelak, siapa pun
yang akan memegang jabatan di Kabuyutan ini, akan selalu
dibayangi oleh kekuasaan uang itu pula. Karena itu, kalianlah
yang harus merubah keadaan. Kalian wajib menentukan
perubahan-perubahan itu sesuai dengan kehendak kalian. Jika
kalian bersikap tegas dalam persatuan y ang kokoh, maka
kalian tentu akan berhasil."
"Kami y ang ada disini belum seluruh kekuatan anak-anak
muda Kabuyutan. Mungkin kawan-kawan kami masih ada
yang dapat diperintah dengan uang oleh anak Ki Saudagar
itu," berkata salah seorang anak muda.
"Kalian harus bertindak cepat. Demikian kalian nanti
kembali ke padukuhan, hubungi kawan-kawan kalian.
Hubungi Ki Buyut dan t entukan langkah-langkah berikutnya.
Jika ternyata masih ada anak-anak muda yang menjual harga
dirinya, maka kalian dapat memaksa mereka dengan
kekerasan. Jika kalian mengalami kesulitan, maka anak Ki
Buyut ini tentu akan bersedia membantu kalian," berkata
Mahisa Pukat. "Aku tidak berkeberatan,"
sahut anak Ki Buyut, "aku
sebenarnya juga ingin menawarkan bantuan itu, tetapi aku tidak mendapat
kesempatan untuk berbicara."
"Terima kasih," beberapa
orang anak muda y ang semula
membantu anak Ki Saudagar
itu berbareng menjawab. Nampaknya mereka mengerti
apa yang sebaikny a mereka
lakukan. Namun dalam pada itu, seorang anak muda y ang nampaknya lebih tua dari kawan-kawannya berkata: "Tetapi ingat. Ki Saudagar itu sendiri adalah seorang yang
berilmu tinggi, Sebagai seorang yang pekerjaannya menempuh
perjalanan dari tempat ke tempat dari Kabuyutan ke
Kabuyutan, maka adalah seorang yang berilmu tinggi."
Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Ia pun teringat
kepada ayahnya, y ang juga seorang yang berjual beli wesi aji,
batu-batu akik dan permata y ang datang dari satu tempat ke
tempat lain. Ayahnya pun memiliki bekal y ang cukup untuk
melindungi dirinya serta barang-barang y ang diperjual belikan
itu. "Mungkin Ki Saudagar juga memiliki kemampuan seperti
ay ah," berkata Mahisa Pukat di dalam hatinya.
Sementara itu, anak Ki Buyut itu pun berkata: "Jika Ki
Saudagar ikut cam pur, maka biarlah ayahku juga ikut
campur." Anak-anak muda itu termangu-mangu. Namun bagi
mereka, baik Ki Saudagar mau pun Ki Buyut akan dapat
menjadi berbahaya. Untuk waktu yang lama, Ki Buyut seakanakan
memang bekerja untuk saudagar itu serta mengabaikan
kepentingan orang banyak. Seolah-olah Ki Buyut itu m emang
hanya mengabdi kepada Ki Saudagar itu saja.
Dalam pada itu, selagi anak-anak muda itu masih
diombang-ambingkan oleh keragu-raguan mereka terhadap Ki
Buyut serta kekuasaan y ang sangat besar dari saudagar yang
kaya raya itu, maka jantung mereka bagaikan berhenti
berdetak ketika mereka melihat tiga orang y ang berjalan
dengan tergesa-gesa ke arah mereka.
Ketiganya adalah Ki Buyut, saudagar yang kay a raya itu dan
di belakang mereka adalah anak Ki Saudagar y ang telah
melarikan diri dari arena.
Seorang dari antara anak-anak muda itu berdesis: " Itu
adalah Ki Saudagar serta Ki Buyut sendiri,"
"Satu kesempatan," berkata Mahisa Pukat, "tentukan siakap
dan katakan kepada mereka."
Tetapi anak-anak muda yang semula nampak lebih berani
bersikap, justru ketika Ki Buyut dan saudagar kaya itu datang,
jantung mereka menjadi berkerut kembali.
Sebelum ketiga orang itu sampai ke bekas arena
pertempuran itu, Ki Saudagar telah b erteriak: "Di mana anak
yang sombong, y ang telah dengan licik m enghina anak-anak
muda sekabuyutan kami."
Tidak seorang pun y ang menjawab. Namun semua orang
tahu, bahwa y ang dimaksud adalah Mahisa Pukat dan Mahisa
Semu. Karena itu, maka semua orang telah berpaling ke arah
mereka berdua. Mahisa Pukat dan Mahisa Semu pun menyadari, bahwa
mereka berdua akan m enjadi pusar kemarahan Ki Saudagar.
Tetapi apa boleh buat. Sebenarnyalah, ketika saudagar kaya itu sudah berdiri
diantara beberapa orang anak muda y ang kebingungan itu,
maka anaknya pun berkata: "Kedua orang itulah y ang telah
menghina kami ayah."
"Bagus," berkata Ki Saudagar, "aku harus membuat mereka
menjadi jera. Aku harus menunjukkan bahwa mereka bukan
orang y ang tidak terkalahkan di dunia ini."
"Sama sekali tidak Ki Saudagar," berkata Mahisa Pukat
kemudian, "apa yang aku lakukan disini adalah sekedar
membantu anak-anak muda y ang m engalami perlakuan licik
dari anakmu dan kawan-kawannya."
"Bohong," teriak anak saudagar kaya itu, "ia telah menghina
aku dan kawan-kawanku."
"Bertanyalah kepada setiap orang," desis Mahisa Pukat.
Ki Saudagar itu pun memandang berkeliling. Tiba-tiba saja
ia mendekati seorang anak muda. Mencengkam pundaknya
sambil bertanya: "Siapakah y ang licik dan sombong" Katakan.
Anakku atau anak-anak muda itu?"
Anak muda y ang dicengkam pundaknya itu menjadi sangat
ketakutan. Seandainya saat itu ia dicekik sampai m ati, tidak
akan ada orang y ang berani menuntut.
Karena itu, ketika cengkaman di pundaknya itu menjadi
semakin keras, ia pun menjawab dengan suara bergetar: "Yang
licik adalah kedua orang anak muda itu."
Mahisa Pukat tiba-tiba tertawa. Katanya: "Baiklah. Aku
tidak menyalahkan kau. Kau sudah lama berada di bawah
bay angan kuasanya. Kau tentu tidak dapat dengan serta merta
melepaskannya begitu saja."
"Setan kau," geram Ki Buyut: "kenapa kau membuat
daerahku m enjadi kisruh. Tanpa kau berdua, Kabuyutan ini
adalah Kabuyutan yang tenang. Tetapi setelah kau berdua
datang, maka Kabuyutan ini telah menjadi kacau sehingga
nampaknya telah terjadi perkelahian."
"Paman," berkata anak Ki Buyut seberang jalan, "paman
jangan berpura-pura. Paman tentu mengenal aku. Kenapa
paman tidak bertanya kepadaku, apa y ang telah terjadi di sini.
"Kembalilah ke seberang jalan ngger. Jangan ikut campur.
Aku tidak akan m enganggapmu ikut bersalah. Justru karena
aku mengenal orang tuamu. Buyut dari Kabuyutan di seberang
jalan." "Aku akan mendudukkan persoalannya pada keadaan yang
sewajarnya, paman," berkata anak Ki Buyut itu, "nanti paman
akan, dapat menilai apa yang sesungguhnya telah terjadi
disini." "Kau akan memfitnah anakku, he," geram Ki Saudagar.
Tetapi anak Ki Buyut itu menjawab: "Fitnah dan keny ataan itu
lain." Namun dalam pada itu, saudagar kaya itu pun berkata
kepada Ki Buyut: "Usir anak itu Ki Buyut. Ia m emang anak
seorang Buyut, tetapi bukan Kabuyutan ini. Ia adalah anak
seorang Buyut di Kabuyutan seberang."
"Sekali lagi aku persilahkan kau pergi ngger," berkata Ki
Buyut. "Paman," jawab anak itu: "y ang mempunyai persoalan
disini adalah aku dan anak Ki Saudagar itu. Bukan kedua
orang anak muda y ang paman tuduh telah mengacaukan
keadaan. Yang mula-mula berkelahi adalah aku dan anak Ki
Saudagar itu." "Cukup," bentak Ki Saudagar, "jika kau masih tetap
memfitnah anakku, maka aku akan dapat mencekikmu. Aku
tidak takut meskipun ay ahmu seorang Buyut sekalipun."
"Soalnya bukan takut atau tidak takut," jawab anak Ki
Buyut itu, "tetapi k ita harus m encari kebenaran. Apakah yang
sudah terjadi disini."
"Tutup mulut. Atau aku akan menyumbat mulutmu dengan
batu"," teriak saudagar kaya itu.
Namun keadaan menjadi semakin tegang, ketika m ereka
melihat dan seberang jalan beberapa orang telah berdatangan.
Diantara mereka adalah Ki Buyut dari Kabuyutan seberang
jalan. "Apa yang terjadi?" bertanya Ki Buyut, "aku mendapat
laporan, bahwa anakku telah berkelahi disini."
"Ya. Anakmu telah menyerang anak-anak muda dari
Kabuyutan kami," jawab Ki Saudagar.
Tetapi anak Ki Buyut itu berkata: "Bukankah ay ah sudah
mengenal Ki Saudagar ini" Apakah ay ah percaya akan katakatanya?"
"Aku bertanya kepadamu, apakah yang telah terjadi?"
bertanya Ki Buyut kepada anaknya.
"Aku telah berkelahi dengan anak Ki Saudagar itu apa pun
sebabnya. Tetapi dengan licik ia meninggalkan arena dan
memanggil ayahnya," jawab anak Ki Buyut.
"Kenapa kau tidak memanggil aku"," bertanya Ki Buyut.
"Sebenarnya aku tidak ingin melibatkan orang-orang tua.
Biarlah persoalan kami kami selesaikan sendiri," jawab anak
Ki Buyut. "Tetapi ia sudah memanggil ayahnya dan Ki Buyut seberang
itu pula. Untung ada yang memberitahukan kepadaku apa
yang terjadi disini," geram Ki Buyut itu.
"Jadi Ki Buyut berniat untuk melindungi anak Ki Buyut
yang telah memfitnah anakku he"," bertanya Ki Saudagar.
"Setiap orang tua anak selalu melindungi anak-anaknya.
Dan aku pun akan berbuat demikian," jawab Ki Buyut.
"Meski pun anakmu bersalah dan bahkan melakukan
kejahatan"," bertanya Ki Saudagar.
"Kalau itu terbukti, tentu saja tidak. S etiap orang tua akan
memberikan sedikit hukuman kepada anaknya y ang ber salah
dan bahkan melakukan kejahatan. Aku pun akan berbuat
demikian dan Ki Saudagar pun sebaiknya berbuat seperti itu
pula," sahut Ki Buyut.
Ki Saudagar itu pun termangu-mangu. Ia tahu bahwa
anaknya memang sering melakukan kesalahan-kesalahan.
Tetapi ia tidak pernah menghukumnya atau sedikit
memberikan pelajaran kepadanya. Bahkan setiap kali Ki
Saudagar itu selalu melindungi anaknya apa pun yang
diperbuatnya. Apalagi Ki Saudagar itu merasa bahwa ia
memiliki uang untuk meny ebarkan pengaruhnya, selebihnya ia
pun termasuk. seorang y ang berilmu tinggi.
Namun ternyata sejenak kemudian ia pun berkata: "Anakku
adalah seorang anak penurut. Ia tidak pernah berbuat sesuatu
yang dapat mengganggu orang lain. Karena itu, tentu
anakmulah yang mendahului menimbulkan per soalan disini,
yang sudah bukan daerahmu."
"Marilah, kita akan melihat kebenaran," jawab Ki Buyut.
"Aku akan m enjadi saksi," berkata Mahisa Pukat tiba-tiba:
"anak Ki Saudagar itulah yang lebih dahulu menantang. Anak
Ki Buyut sedang m akan di kedai itu bersama kami berdua.
Kami memang belum mengenalnya waktu itu. Namun kami
melihat orang yang bertubuh raksasa itu datang
memanggilnya. Maka perkelahian pun terjadi."
"Kau jangan membual," bentak anak Ki Saudagar.
Namun Mahisa Pukat tidak menghiraukannya. Katanya:
"Tetapi jika kita biarkan anak Ki Saudagar itu berkelahi
melawan anak Ki Buyut, maka anak Ki Saudagar itu akan
kalah. Dan itu terbukti. Anak Ki Saudagar kalah dan melarikan
diri dari arena, tetapi yang kemudian datang bersama ayahnya
dan Ki Buyut." "Cukup bentak Ki Saudagar, "aku dapat menyumbat
mulutmu." "Kau kira aku tidak dapat menyumbat mulutmu dengan
hulu pedangku ini he"," Mahisa Pukat pun membentak.
Bahkan kemudian katanya dengan suara lantang, "kau kira
uangmu dan kemampuan ilmumu akan dapat
menyembuny ikan kenyataan" Aku menjai muak melihat
tampangmu dan caramu mengelabui orang lain untuk
melindungi anakmu. Untuk melindungi kesalahan dan
kejahatan y ang telah dilakukannya. Tanpa kau sadari kau ajari
anakmu m enjadi pengecut y ang licik yang tidak akan dapat
berdiri diatas key akinan dirinya sendiri."
"Diam," saudagar itu berteriak. Kemarahannya sudah
memanjat sampai ubun-ubunnya: "Kau siapa he" Kenapa kau
berani mengumpatiku" Agaknya kau belum tahu siapa aku?"
Tetapi Mahisa Pukat pun telah benar-benar m enjadi muak
melihat kelicikan saudagar kaya itu. Karena itu, maka ia pun
menjawab tidak kalah lantangnya: "Siapa pun kau, tetapi aku
tidak senang melihat kau dan anakmu yang sangat licik itu
memfitnah orang lain. Aku tahu dan melihat sendiri apa yang
terjadi disini. Karena itu, maka sebelum kau m eny esal, ambil
anakmu, bahwa ia pulang dan kau harus menghukumnya, agar
pada kesempatan lain ia tidak bertindak begitu licik, pengecut
dan tidak tahu diri."
Wajah saudagar kaya itu menjadi merah. Dengan suara
yang bergetar menahan kemarahannya ia berkata: "Kau kira
aku hanya dapat mengupah orang untuk membungkam
mulutmu" Tidak. Aku sendiri akan dapat melakukannya.
Jangan meny esal. Orang-orang yang ada di tempat ini
sekarang akan menjadi saksi, bahwa bukan akulah yang telah
memulainya. Tetapi kau. Anak ingusan yang tidak tahu diri.
Betapa pun tinggi ilmumu, tetapi kau yang baru pandai
berjalan kemarin sore telah berani menghina orang tua."
"Kau lebih dahulu menghina aku," geram Mahisa Pukat.
"Persetan semuanya. Bersiaplah. Aku akan m enghajarmu
agar kau dapat berbuat lebih sopan terhadap orang-orang tua,"


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

geram saudagar kaya itu. Mahisa Pukat tidak menjawab lagi. Tetapi ia pun sudah
bersiap menghadapi segala kemungkinan. Sementara itu, ia
justru telah menyarungkan pedangnya karena Saudagar kaya
itu tidak bersenjata. Tetapi saudagar itu tidak begitu memperhatikan pedang
Mahisa Pukat. Kemarahannya tidak lagi memberinya
kesempatan untuk memperhatikan apa pun juga, selain wajah
anak muda y ang ingin diremasnya itu.
Sejenak kemudian keduanya telah bersiap. Mahisa Pukat
pun menjadi sangat berhati-hati. Ia sadar, bahwa saudagar itu
tentu benar-benar memiliki bekal ilmu y ang tinggi. Karena itu
ia tidak akan dapat menganggapnya sebagai lawan y ang akan
sangat mudah diatasiny a. Bahkan mungkin, ia akan
menghadapi kesulitan karena ilmu lawannya y ang lebih tinggi
daripadanya. Tetapi Mahisa Pukat memang tidak ingin membiarkan
sikap y ang semena-mena itu. Setidak-tidaknya y ang dilakukan
itu merupakan satu peringatan, bahwa tidak semua orang
begitu saja tunduk dan pasrah atas segala langkah yang
diambilnya. Saudagar y ang marah itu ternyata tidak m enunggu lebih
lama lagi. Dengan garangnya ia mulai meny erang. Meski pun
saudagar itu juga memperhitungkan kemungkinan bahwa
lawannya y ang muda itu mempunyai bekal ilmu, namun
menilik umurnya maka saudagar itu menganggap bahwa
ilmunya tentu belum terlalu matang.
Tetapi serangan pertama itu, sama sekali tidak dapat
menyentuh sasarannya. Ketika saudagar itu melihat lawannya
yang muda itu bergeser m enghindar, saudagar itu menggeliat
menggapai sasaran. Tetapi anak muda itu dengan cepat pula
mampu menghindar lagi. "Anak iblis," saudagar itu mengumpat. Tiba-tiba saja ia
sudah melompat. Kakinya terangkat tinggi, mengarah ke dada
Mahisa Pukat. Tetapi Mahisa Pukat telah memiringkan
tubuhnya. Dengan tangan kiri ia menekan kaki y ang terjulur
itu kesamping. Cukup keras sehingga saudagar itu terputar
setengah lingkaran. Namun dengan itu maka dengan satu
putaran, tangannya telah terayun mendatar menyambar
kening. Memang hampir saja keningnya dapat disentuh oleh
serangan saudagar kaya itu. Tetapi ternyata Mahisa Pukat
memang cukup tangkas. Sambil menarik satu kakinya surut,
Mahisa Pukat memiringkan kepalanya sehingga keningnya
luput dari sambaran tangan saudagar itu.
Sementara itu, sebelum saudagar itu siap mengatur
serangan berikutnya, Mahisa Pukatlah yang ju stru
menyerangnya. Kaki anak muda itu berputar menebas
lambung. Tetapi saudagar itu pun masih mampu
menghindarinya pula. Namun Mahisa Pukat ju stru
memburunya. Satu loncatan panjang dengan kaki
menyamping. Begitu cepat menggapai dada, sehingga
saudagar itu justru meloncat selangkah surut.
Pertempuran y ang baru sejenak itu, membuat saudagar
kaya itu semakin marah. Ternyata anak muda itu memang
memiliki bekal ilmu y ang cukup tinggi.
Sementara Ki Saudagar bertempur melawan Mahisa Pukat,
Ki Buyut y ang menguasai lingkungan arena perkelahian itu
mulai bergeser mendekati arena. Namun Ki Buyut dari
seberang jalan justru berkata: "Sudahlah Ki Buyut. Sebaiknya
kita m enjadi penonton yang baik. Jika kita melibatkan diri,
maka akibatnya akan menjadi sangat buruk. Kabuyutan kita
akan saling bermusuhan. Di mana pun orang dari lingkungan
Ki Buyut bertemu dengan orang dari lingkunganku, tentu akan
berkelahi. Karena itu, sebaikny a kita tidak berbuat apa -apa
sekarang ini. Kewajiban kita adalah justru memisahkan
mereka y ang berkelahi, jika mereka bersedia."
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti maksud
Ki Buyut seberang jalan, sehingga karena itu, maka ia pun
masih saja berdiri termangu-mangu.
Sementara itu, pertempuran pun semakin lama menjadi
semakin seru. Masing -masing y ang menjajagi kemampuan
lawannya, telah mulai meningkatkan ilmunya ke tataran yang
semakin lama menjadi semakin tinggi.
Namun saudagar kay a itu pun menjadi semakin heran pula
terhadap lawannya yang masih muda itu. Sebagai seorang
saudagar y ang terbiasa berkeliling dari satu ke tempat yang
lain, ia memiliki pengalaman y ang luas. Namun di rumahnya
sendiri, tiba-tiba saja telah bertemu dengan seorang anak
muda yang mampu bertahan terhadap ilmunya untuk
beberapa lama. Bahkan meski pun ia mulai meningkatkan
ilmunya, anak muda itu masih juga mampu mengimbanginya.
Ki Saudagar mengumpat kasar. Sementara Mahisa Pukat
telah m eningkatkan ilmunya pula sehingga saudagar kaya itu
tidak segera mampu mengalahkannya.
Dalam pada itu, kedua orang Buyut yang menyaksikan
pertempuran itu pun menjadi berdebar-debar. Mereka
menyadari, bahwa kedua orang y ang bertempur itu telah mulai
melepaskan kemampuan ilmu masing-masing. Ki Saudagar
tidak sekedar bertempur dengan kekuatan wadagnya. Tetapi ia
mulai melepaskan tenaga cadangan di dalam dirinya pula.
Namun demikian, anak m uda yang melawannya itu tidak
segera terlempar dari arena dan jatuh terbanting di tanah.
Tetapi anak muda itu masih juga selalu mengimbanginya.
Seakan-akan seberapa kekuatan dan kemampuan Ki Saudagar
meningkat, anak muda itu pun mampu mengimbanginya pula.
Anak saudagar kaya serta anak Ki Buyut diseberang jalan
itu pun termangu-mangu pula. Anak saudagar kaya yang
terlalu y akin akan kelebihan ay ahnya sehingga membuatnya
menjadi sombong dan sewenang-wenang didukung oleh
kekay aan yang melimpah, menjadi cemas melihat
pertempuran itu. Ia tidak melihat ay ahnya mendesak anak
muda itu. Memburunya, memukulnya habis-habisan sehingga
anak itu menjadi pingsan. Tetapi beberapa kali justru ayahnya
harus berloncatan menghindari serangan lawannya yang cepat
dan berbahaya. Sehingga dengan demikian maka kedua orang
yang bertempur itu pun nampaknya saling mendesak dan
sal ing menghindar. Namun bagi Mahisa Semu, pertempuran itu masih baru
berada pada tataran yang paling bawah. Mahisa Pukat masih
akan dapat meningkatkan kemampuannya berlapis-lapis jika
ia menghendaki. Tetapi saudagar itu pun masih belum memanjat pada
tataran t ertinggi dari ilmunya. Ia masih meningkatkan tataran
kemampuan selapis demi selapis, sehingga demikian, saudagar
itu ingin mengetahuinya, sampai lapisan yang manakah
kemampuan anak muda yang telah berani menghinanya itu.
Namun lapis demi lapis sudah dilaluinya, anak muda itu
masih saja m ampu m engimbanginya. Bahkan anak muda itu
semakin lama justru menjadi semakin garang.
Saudagar itu mulai menjadi gelisah. Ia tidak lagi dapat
menganggap anak muda itu sebagai anak ingusan. Bahkan ia
mulai cemas bahwa ia akan mengalami kesulitan
menghadapinya. "Anak ini memang aneh," berkata saudagar itu di dalam
hatinya. Dengan demikian, saudagar itu menjadi tidak sabar lagi. Ia
tidak lagi meningkatkan ilmunya selapis demi selapis. Dalam
kegelisahannya, ia langsung ingin mengetahui, apakah ia akan
dapat mengalahkan anak muda itu atau tidak.
Karena itulah, maka tiba -tiba saja serangan saudagar itu
menghentak mendesak Mahisa Pukat. Beberapa langkah
Mahisa Pukat meloncat surut. Ia tidak siap menghadapi
serangan y ang tiba -tiba saja dilontarkan dengan segenap
tenaga dan kemampuan. Bahkan telah m engangkat segenap
tenaga di dalam dirinya. Namun ternyata bahwa saudagar kaya itu masih harus
mengumpat. Mahisa Pukat yang meloncat beberapa langkah surut itu dengan cepat
menyesuaikan dirinya. Ia pun
telah meningkatkan ilmunya
mengimbangi kemampuan saudagar itu. Bahkan Mahisa
Pukat yang menyadari, bahwa
saudagar itu ingin segera
menghabisiny a, maka ia pun
telah berusaha mendesaknya
pula. Mahisa Pukat pun ingin
dengan cepat menyelesaikan
pertempuran itu. Tetapi ternyata bahwa Mahisa Pukat pun harus menghadapi satu kekuatan ilmu yang
tinggi. Saudagar yang menyadari, bahwa kekuatan dan
kemampuannya tidak akan mampu m engatasi lawannya yang
muda itu, maka ia pun telah membangunkan ilmu
pamungkasny a. Dengan tangkasny a saudagar itu telah mengambil jarak.
Kemudian berdiri tegak dengan kaki renggang. Kedua
tangannya terjulur ke depan, namun kemudian kedua telapak
tangannya pun dikatubkannya.
Saudagar itu pun kemudian maju selangkah demi
selangkah mendekati Mahisa Pukat y ang termangu -mangu.
Kedua telapak tangan y ang dikatubkannya itu pun kemudian
digerakkannya. Kedua telapak tangan itu saling menggosok
perlahan-lahan. Mahisa Pukat melihat asap tipis mengepul dari antara
kedua tangan saudagar kaya itu. Bahkan kemudian tangan
saudagar itu semakin lama menjadi semakin merah membara.
Semua orang y ang melihatnya menjadi berdebar-debar.
Anak Ki Buyut itu pun menjadi gelisah. Anak muda itu turun
ke gelanggang sekedar membantunya. Namun ialah yang
kemudian akan mengalami bencana yang paling berat. Jika
tangan y ang membawa itu meny entuh tubuhnya, maka bagian
tubuh itu pun akan menjadi hangus karenanya, sebagaimana
kulit yang tersentuh bara api y ang pariasnya melampaui bara
api tempurung kelapa. Tetapi anak Ki Buyut itu tidak dapat berbuat apa-apa. Ia
merasa bahwa ia pun tidak akan dapat menahan ilmu yang
mengerikan itu. Bahkan ay ahnya pun tidak. Satu-satunya cara
untuk mengalahkannya adalah melawan saudagar kaya itu
bersama-sama. Namun di tem pat itu ada pula ki Buyut dari sebelah justru
yang menguasai lingkungan tempat pertempuran itu terjadi.
Jika ia ikut campur dengan beberapa orang y ang ada, m aka
orang-orang Kabuyutanya pun akan ikut campur pula.
Dengan demikian maka anak Ki Buyut itu menjadi semakin
gelisah. Apalagi ia sadar, bahwa ia tidak dapat berbuat apa-apa
sama sekali. Tetapi ternyata pertempuran itu segera berakhir. Mahisa
Semu m emang m enjadi berdebar-debar pula m elihat tangan
yang merah membara. Tetapi ia tidak begitu yakin, bahwa
tangan y ang membara itu akan mampu meny entuh tubuh
Mahisa Pukat. Mahisa Pukat sendiri memang tidak menjadi gelisah
melihat ilmu y ang menggetarkan itu. Baginya, ilmu itu masih
belum berada di luar kemungkinan untuk melawannya.
Namun Mahisa Pukat masih tidak ingin menghancurkan
lawannya dengan ilmunya y ang m ampu dilontarkannya dari
jarak jauh. Ia pun tidak mempergunakan ilmu y ang dapat
menghisap kekuatan ilmu lawannya yang bertangan bara itu.
Karena setiap sentuhan akan berarti kulitnya y ang t ersentuh
akan menjadi hangus. Karena itu, maka untuk melawan ilmu lawannya y ang
kemudian bertangan bara itu adalah pedangnya.
Sesaat kemudian, Mahisa Pukat itu pun telah
menggenggam pedangnya yang berwarna kehijau-hijauan.
"Pedangmu akan luluh menjadi gelali," geram saudagar
kaya itu. Mahisa Pukat memang m enjadi ragu -ragu. Namun ia pun
kemudian yakin akan kemampuan pedangnya. Pedangnya
bukan sekedar pedang yang dibuat oleh pande besi di pinggirpinggir
pasar yang barangkali memang akan dapat luluh
terkena bara yang panasny a melampaui bara tempurung
kelapa itu. Tetapi Mahisa Pukat bukan saja pernah m enghadapi ilmu
seperti itu. Tetapi bahkan dari orang yang tangannya membara
itu terpancar panasnya api bagaikan perapian.
Namun saudagar kay a itu tidak memiliki kelengkapan ilmu
yang demikian. Ia hanya dapat m enjadikan tangannya merah
membara. Dalam pertempuran selanjutnya, dengan sengaja saudagar
kaya itu telah menyentuh ranting-ranting pepohonan perdu
yang tumbuh di sekitar arena pertempuran. Asap pun
mengepul dan ranting-ranting itu menjadi hangus berpatahan.
Tetapi Mahisa Pukat bukan sebangsa ranting perdu. Karena
itu maka tangan saudagar kaya itu tidak dengan serta m erta
mampu menggapainya sebagaimana ia menggapai rantingranting
perdu itu. Bahkan sejenak kemudian, maka pedang Mahisa Pukat pun
telah berputaran. Semakin cepat semakin cepat, sehingga
menjadi segulung warna kehijauan yang bergerak di sekitar Ki
saudagar itu. Dengan demikian maka pertempuran itu pun menjadi
semakin sengit. Ki Saudagar dengan ilmunya berusaha untuk
benar-benar m embunuh Mahisa Pukat. Namun Mahisa Pukat
ternyata m emiliki ilmu pedang yang sangat tinggi, sehingga
saudagar kaya y ang tangannya membara itu tidak sempat
menyentuhnya. Tetapi saudagar kaya itu yakin, jika ia berhasil meny entuh
pedang Mahisa Pukat, maka pedang itu tentu akan luluh oleh
panasnya bara api pada tangannya itu.
Mahisa Pukat y ang y akin pula akan kelebihan pedangnya,
justru telah memberikan kesempatan kepada lawannya untuk
menyentuh pedangnya. Ketika Mahisa Pukat berusaha untuk
menggapai tubuh lawannya dengan ujung pedangnya, maka ia
tidak segera menarik pedangnya yang terjulur itu.
Dengan serta merta saudagar kaya itu telah menjepit daun
pedang itu dengan kedua telapak tangannya y ang m embara.


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Demikian kuatnya, sehingga Mahisa Pukat tidak segera
mampu menariknya. Tetapi Mahisa Pukat memang tidak tergesa-gesa. Ia sama
sekali tidak mencemaskan daun pedangnya. Betapa pun
panasnya tangan saudagar y ang membara itu, namun
pedangnya sama sekali tidak terpengaruh karenanya.
Bahkan sebenarnya Mahisa Pukat mendapat kesempatan
untuk mempergunakan ilmunya untuk menghisap kekuatan Ki
Saudagar saat ia berusaha menjepit daun pedangnya. Tetapi
Mahisa Pukat tidak melakukannya. Jika saudagar itu
kehilangan kekuatan dan ilmunya, maka pertempuran pun
akan berakhir. Mahisa Pukat tidak akan mendapat
kesempatan untuk berbuat apa pun juga terhadap saudagar itu
jika ia kemudian jatuh di tanah dengan lemahnya.
Karena itu, maka untuk beberapa saat Mahisa Pukat
membiarkan lawannya menjepit daun pedangnya. Namun
kemudian ia pun bertanya: "Apakah kau sudah yakin bahwa
tanganmu tidak mampu meluluhkan baja pedangku.
"Persetan kau," geram saudagar itu. Demikian ia yakin
bahwa pedang anak muda itu tidak luluh oleh ilmunya, maka
dengan serta merta ia pun telah melepaskannya dan meloncat
menyerang tubuh Mahisa Pukat dengan telapak tangannya.
Tetapi Mahisa Pukat pun telah bersiap. Karena itu, m aka
demikian pedangnya terlepas, maka ia pun telah
menggerakkan ujung pedangnya itu.
Terdengar keluhan tertahan. Saudara kaya itu pun telah
melenting surut beberapa langkah. Ternyata bahwa segores
luka telah menganga di lengannya sebelah kiri.
Saudagar kaya itu kemudian telah mengumpat kasar. Darah
telah mengalir dari lukanya.
"Kau akan meny esal atas kesombonganmu," katanya
kemudian. Tetapi Mahisa Pukat justru tersenyum sambil berkata:
"Nah. Kau telah terluka. Pikirkan baik-baik apakah kau akan
menyerah atau tidak."
Saudagar kaya itu tidak m enjawab. Dengan serta m erta ia
telah menyerang Mahisa Pukat pula. Namun seperti seranganserangan
sebelumnya, tangannya y ang membara itu sama
sekali tidak dapat meny entuh kulit anak muda itu. Sementara
itu pedang Mahisa Pukat pun telah berputaran pula semakin
cepat. Betapa pun saudagar kaya itu mempercepat irama
serangan-serangannya, namun ia tidak mampu bergerak lebih
cepat melampaui ujung pedang Mahisa Pukat. Setiap kali,
seakan-akan ujung pedang itu telah m enahan tata geraknya.
Disaat-saat ia meloncat meny erang, maka ujung pedang itu
selalu m enghadang. Bahkan kemudian mematuk kearah dada
saudagar kaya itu, atau menebas ke arah lehernya.
Beberapa kali saudagar itulah yang hampir saja tersentuh
oleh ujung senjata lawannya. Tetapi tangannya y ang bagaikan
membara itu sama sekali tidak mampu m enggapai kulit anak
muda itu. Apalagi setelah ia yakin, bahwa panas ilmunya tidak
mampu meluluhkan daun pedang Mahisa Pukat.
Sebenarnyalah saudagar kaya itu semakin lama semakin
terdesak. Mahisa Pukat y ang memang menjadi marah atas
tingkah laku saudagar kaya itu sengaja mendesaknya terus.
Meskipun beberapa kali saudagar kaya itu meloncat
menghindar, namun ujung pedang Mahisa Pukat seakan-akan
selalu memburunya. Seperti seekor lalat y ang berterbangan.
Sekali-sekali hingga ke kulit saudagar kay a itu.
Ki Saudagar berteriak semakin marah, ketika sekali lagi
kulitnya tergores ujung pedang. Tepat pada pundak kirinya.
Sehingga luka itu terasa betapa pedihnya.
Sambil memburu terus Mahisa Pukat masih juga
menawarkan agar Saudagar itu m eny erah. Tetapi tawaran itu
sama sekali tidak dihiraukannya. Ia tentu akan merasa sangat
terhina, jika saudagar kaya itu, meski pun telah
menghentakkan ilmunya yang dapat membuat tangannya
membara, namun sama sekali tidak berdaya menghadapi
seorang anak muda dengan senjata pedangnya. tetapi satu
keny ataan bahwa ia memang tidak mampu menembus
pertahanan Mahisa Pukat dengan putaran pedangnya yang
berwarna kehijau-hijauan itu.
Ki Demang dari seberang jalan y ang mengikuti
pertempuran menarik nafas dalam-dalam. Katanya: "Anak
muda itu ternyata adalah seorang y ang berilmu sangat tinggi:"
Anaknya yang mendengar kata-kata itu berdesis: "Aku tidak
mengira bahwa pada suatu saat aku dapat melihat orang-orang
berilmu tinggi bertempur dengan mengerahkan ilmu mereka."
"Ki Saudagar itu juga berilmu tinggi. Tetapi anak muda itu
jauh melampauinya. Nampaknya ia sama sekali tidak
mengalami kesulitan, sementara Ki Saudagar telah
mengerahkan ilmunya yang dibanggakannya. Selain bagi anak
muda itu, maka ilmu saudagar itu benar-benar ilmu yang
sangat berbahaya. Jika saudagar kaya itu benar-benar marah,
maka biasanya telapak tangan dengan ilmu yang demikian itu
akan membekas di-dada. Seakan-akan didada lawannya itu
telah dibuat lukisan telapak tangan y ang membara itu, karena
kulitnya yang terbakar. Tetapi yang kini terjadi, adalah kulit
saudagar itulah yang dilukisi dengan goresan-goresan saling
menyilang dengan ujung pedang."
Sebenarnyalah Ki Saudagar itu berteriak marah sekali
ketika pedang Mahisa Pukat menggores dadanya dan
meninggalkan goresan m eny ilang. Tidak cukup dalam untuk
menghentikan perlawanan Ki Saudagar. Tetapi goresan itu
membuat jantung Ki Saudagar menjadi bagaikan pecah oleh
kemarahan y ang menghentak.
Tetapi saudagar kaya itu tidak dapat lari dari kenyataan. Ia
tidak dapat menyalurkan kemarahannya itu lewat ilmunya. Ia
benar-benar tidak mampu meny entuh kulit lawannya yang
masih muda itu. S etiap kali ujung pedang lawannya itu telah
menghadang. Bahkan ketika ia terlanjur meloncat menerkam
ke arah wajah lawannya, pedang itu hampir saja terhunjam di
dadanya. Namun ia masih sempat menggeliat menghindari
ujung pedang y ang tiba-tiba menunggu loncatannya itu.
Namun beberapa saat kemudian, maka sekali lagi ujung
pedang lawannya y ang muda itu melukainya. Daging pahanya
telah menganga oleh ujung pedang Mahisa Pukat yang
tajamnya melampaui ujung duri landak y ang buas.
Ki Saudagar itu meloncat surut. Darah telah melumuri
seluruh tubuhnya bercampur dengan keringat y ang bagaikan
terperas dari tubuhnya. Tetapi ia tidak mampu mengalahkan lawannya. Bahkan ia
benar-benar tidak dapat lari dari kenyataan, bahwa tubuhnya
telah terluka di beberapa tempat. Darahnya telah banyak
mengalir dan sama sekali tidak ada harapan untuk dapat
memenangkan pertempuran itu.
Sementara itu, anak Ki Saudagar itu beberapa kali telah
mengumpat kasar. Tetapi ia pun harus melihat keny ataan itu
pula. Ayahnya yang dibanggakannya itu ternyata tidak mampu
berbuat apa-apa m enghadapi seorang anak muda y ang begitu
sa ja hadir dalam perkelahian itu. Anak muda y ang kebetulan
berada di kedai tempat anak Ki Buyut itu juga singgah untuk
menunggunya. Tetapi anak saudagar itu pun tidak dapat berbuat apa -apa
pula. Ia hanya dapat menyaksikan, bagaimana ayahnya
mengalami kesulitan menghadapi anak muda itu. Bahkan
kemudian dengan jantung yang berdebaran ia harus
menyaksikan betapa keringat ayahnya telah bercampur
dengan darah. Namun akhirnya, tenaga Ki Saudagar itu pun menjadi
semakin su sut. Bukan karena kekuatan ilmu Mahisa Pukat
yang m ampu m enghisap kekuatan dan i lmu lawannya, tetapi
karena darah y ang semakin banyak mengalir dari lukalukanya.
Telapak tangan saudagar kaya itu masih m erah membara.
Tetapi semakin lama maka bara itu pun menjadi semakin
pudar. Namun Mahisa Pukat bukan seorang pembunuh y ang tidak
berjantung. Ketika ia melihat lawannya menjadi lemah, ia pun
tidak lagi memutar pedangnya. Bahkan k emudian pedangnya
itu pun telah menunduk pula.
Saudagar kaya itu masih berdiri tegak. Tetapi kemudian
diamatinya telapak tangannya y ang memudar, karena tidak
ada lagi tenaganya dan tenaga dalamnya y ang mampu
mendukung kekuatan ilmunya itu.
"Kau t idak mempunyai kesempatan lagi Ki Sanak," berkata
Mahisa Pukat. Wajah saudagar kaya itu m enjadi pucat. Apalagi ketika ia
sempat memandang telapak tangannya yang tidak lagi
semerah bara. Meski pun masih nampak sisa -sisa kekuatan
ilmunya, tetapi tangannya itu tidak lagi mampu membakar
kulit lawannya. Seandainya telapak tangan itu meny entuh
kulit Mahisa Pukat, maka y ang terasa tidak lebih panas dari
panasnya sinar matahari saat itu.
"Kau tidak dapat m empergunakan uang dan kekayaanmu
untuk menolongmu Ki Sanak," berkata Mahisa Pukat
kemudian. Jawaban Ki Saudagar itu tidak terduga oleh Mahisa Pukat
dan bahkan oleh orang-orang yang ada di sekitar arena.
Katanya: "Ya. Ki Sanak. Kau benar. Uang dan kekaya"nku
dalam keadaan seperti ini tidak dapat menolongku. Tidak
dapat meny elamatkan aku seandainya kau akan
membunuhku. Karena itu, maka aku akan merelakan umurmu
kepadamu." Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya: "Ki
Buyut kedua-duanya. Kalian dengar apa yang dikatakan oleh
Ki Saudagar. Ia sudah menyerah."
Diluar sadar kedua orang Buyut itu pun mengangguk.
" Ia pun mengakui bahwa uang dan kekayaannya tidak akan
dapat m enolongnya," berkata Mahisa Pukat kemudian. Kedua
orang Buyut itu mengangguk lagi.
"Nah, jika demikian, maka orang y ang dapat
menyelamatkannya sekarang dari maut tentu lebih berharga
dari uang y ang dimilikinya," berkata Mahisa Pukat.
Kedua orang Buyut itu termangu-mangu. Sementara
Mahisa Pukat bertanya kepada Ki Saudagar: "Bukankah begitu
Ki Saudagar?" Saudagar kaya itu tidak dapat berbuat lain kecuali
mengangguk mengiakan. "Baiklah," berkata Mahisa Pukat: "aku tidak akan
membunuhmu. Tetapi ingat kata-katamu, bahwa kau m asih
menghargai nyawamu lebih tinggi dari uang dan harta
bendamu. Karena itu, jika kemudian nyawamu masih tinggal
di dalam tubuhmu, kau tidak boleh lagi menyandarkan
hidupmu pada harta Benda dan kekay aanmu, seakan-akan
dengan kekay aanmu kau dapat berbuat apa saja. Gegedug
yang kau upah itu pun tidak dapat meny elesaikan per soalan.
Kau sendiri y ang berilmu tinggi, juga tidak dapat berbuat apaapa,
padahal harta dan kekayaanmu tidak dapat dihitung lagi."
Saudagar itu mengangguk lagi sambil berkata: "Aku
mengerti." "Karena itu pergunakanlah harta dan kekayaanmu sebaikbaiknya.
Ingat, jika kau sekarang m ati, kau tidak akan dapat
membawanya," berkata Mahisa Pukat pula.
"Ya," desis saudagar kaya itu.
"Baiklah," berkata Mahisa Pukat. "Ki Buyut dari kedua
daerah y ang bertetangga ini menjadi saksi bahwa Ki Saudagar
telah merubah sikapnya. Ia tidak lagi bertumpu kepada
kekuatan y ang disangkanya tidak dapat dilawan dari harta dan
kekay aannya." Kedua orang Buyut itu mengangguk-angguk. Sementara
Mahisa Pukat pun berkata selanjutnya kepada Ki Saudagar:
"Karena itu, kau harus mempergunakan harta kekayaanmu
untuk tujuan y ang baik, y ang bermanfaat bagi orang-orang
yang didalam hidupnya seakan-akan tidak pernah m enikmati
kesenangan sama sekali. Bukan sebaliknya kau pergunakan
harta dan kekayaanmu untuk menyakiti hati sesamamu yang
tidak mempunyai harta dan kekayaan seperti y ang kau miliki."
Ki Saudagar y ang masih dilumuri keringat bercampur
darah itu mengangguk. "Nah," berkata Mahisa Pukat kepada anak Ki Saudagar itu,
"rawat ay ahmu baik-baik. Ia masih diperlukan oleh
keluargamu. Ia masih harus bekerja untuk menghidupimu."
Anak saudagar kaya itu termangu-mangu. Ra sa-rasanya
harga dirinya benar-benar telah jatuh dan terinjak sama sekali.
Namun ay ahnya itu berkata: "Kau dengar kata-katanya?"
Anaknya itu mengangguk. "Bawa aku pulang. Undang anak muda itu datang ke rumah
kami. Aku ingin menghormati orang yang telah mengalahkan
aku dalam usianya yang masih sangat muda itu," berkata
saudagar kaya y ang m enjadi sangat lemah itu. Lukanya yang
paling dalam justru luka di pahanya. Karena luka di dada, di
pundak, lengan dan goresan-goresan lain seakan-akan hanya
melukai kulitnya saja meski pun darah masih juga menitik dari
luka itu. Anaknya masih saja ragu -ragu. Namun akhirnya ia pun
berkata: "Ki Sanak. Ayah minta kau bersedia singgah di rumah
kami." Tetapi Mahisa Pukat menggeleng sambil m enjawab: "Maaf
Ki Sanak. Aku dalam perjalanan y ang tergesa -gesa. Karena itu,
aku tidak dapat singgah meski pun hanya sebentar. Aku
mengucapkan terima kasih atas kesempatan y ang Ki Sanak
berikan kepadaku." "Jangan menolak anak muda," suara Ki Saudagar itu
hampir tidak dapat didengarnya.
Namun Mahisa Pukat menjawab: "Kau memerlukan
perawatan segera. Pada kesempatan lain aku akan singgah ke
rumahmu." Saudagar itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi wajahnya
yang pucat dan lesu itu membayangkan kekecewaan hatinya.
Sementara itu Mahisa Pukat pun berkata: "Bawa ay ahmu
pulang segera. Jangan menunggu sampai terlambat."
Anaknya pun k emudian memapah saudagar kaya itu. Dua
orang dengan serta merta telah membantunya.
Ki Buyut y ang merasa berhutang budi kepada Mahisa Pukat
dan Mahisa Semu itu pun telah m inta kedua anak muda itu
singgah. Tetapi t ernyata Mahisa Pukat dan Mahisa Semu itu
pun dengan terpaksa menolak permintaan itu.
"Kami m ohon maaf," berkata Mahisa Pukat berulang kali,
"yang kami harapkan, bahwa untuk selanjutnya tidak terjadi


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sesuatu di Kabuyutan ini. Kedua-duanya. Karena ketenangan
dan kedamaian akan dapat menjadi pangkal peningkatan
tataran hidup para penghuni kedua Kabuyutan"
Kedua orang Buyut itu hanya termangu-mangu saja.
Mereka tidak lagi dapat m enahan ketika Mahisa Pukat dan
Mahisa Semu minta diri untuk melanjutkan perjalanan.
Keduanya kemudian masih singgah untuk mengambil
kuda-kuda mereka. Namun keduanya terkejut k etika pemilik
kedai itu m eny ongsong m ereka dengan membawa sebungkus
makanan. "Jangan m enolak," berkata pemilik kedai itu, "sama sekali
tidak ada niat untuk mengecilkan arti kalian. Tetapi y ang aku
lakukan benar-benar timbul karena niat baik. Aku kagum akan
kemampuan kalian berdua. Tetapi lebih kagum lagi,
bagaimana kalian mengakhiri pertentangan yang timbul
antara kedua Kabuyutan itu."
"Sebenarnya Ki Sanak tidak perlu berbuat demikian," desis
Mahisa Pukat. "Aku mohon maaf. Dan aku mohon, jangan menolak," berkata pemilik kedai itu. Mahisa Pukat m elihat kejujuran yang terpancar di mata pemilik kedai itu.
Karena itu, maka ia pun kemudian berkata: "Baiklah Ki Sanak. Aku
berterima kasih atas bekal yang Ki Sanak berikan kepada kami."
Demikianlah, sejenak kemudian Mahisa Pukat dan Mahisa Semu pun telah melanjutkan perjalanannya. Orangorang
y ang masih berkumpul itu pun melambaikan tangan
mereka. Demikian pula kedua orang anak muda itu.
Sikap Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah m enimbulkan
kekaguman kepada orang-orang yang menyaksikannya, apa
yang telah dilakukannya. Bahkan saudagar kaya itu pun
merasa bahwa sulit baginya untuk menemukan orang-orang
seperti itu lagi. Berilmu tinggi tetapi juga berbudi luhur.
Sementara itu, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah
berderap semakin lama semakin jauh. Sehingga akhirnya
hilang dari pandangan mata orang -orang yang telah
menyimpan kesan tersendiri kepada mereka.
Mahisa Semu masih juga berpaling. Tetapi ia pun sudah
tidak melihat lagi tangan-tangan yang melambai tinggi-tinggi.
"Apakah mereka tidak akan berselisih lagi"," bertanya
Mahisa Semu. "Setidak-tidaknya untuk beberapa saat," jawab Mahisa
Pukat: "tetapi aku berharap bahwa untuk selanjutnya
berselisihan itu tidak akan terjadi lagi.
"Aku memang melihat kesungguhan pada kata-kata
saudagar kaya itu," berkata Mahisa Semu.
"Jika tidak ada iblis melekat lagi di tubuhnya, ia tentu akan
selalu ingat, bahwa ny awanya telah diperpanjang. Ia sendiri
merasa bahwa ia akan mati dalam pertempuran itu. Tetapi
ternyata ia masih tetap hidup. Keadaan itu tentu sempat
mempengaruhi jiwanya sehingga terjadi perubahan sikap yang
mendasar," sahut Mahisa Pukat.
Mahisa Semu mengangguk-angguk kecil. Katanya:
"Bagaimana dengan anaknya?"
"Ayahnya akan memberikan petunjuk kepadanya," jawab
Mahisa Pukat, "tetapi agaknya sikap anaknya memang lebih
keras dari sikap ayahnya meski pun kesalahan utama tetap ada
pada ay ahnya yang memanjakannya."
Mahisa Semu mengangguk-angguk. Ia dapat mengerti
keterangan Mahisa Pukat. Ia pun berharap bahwa anak
saudagar kay a itu dapat menyadari apa y ang sebenarnya telah
terjadi. Namun dalam pada itu, Mahisa Semu tiba-tiba berkata:
"Kita mempunyai bekal cukup banyak."
"Pemilik kedai itu ternyata orang baik," desis Mahisa Pukat.
Mahisa Semu mengangguk-angguk. Sementara kuda-kuda
itu pun berlari mengikuti jalan y ang cukup besar m eski pun
tidak terlalu ramai. Ketika m ereka sudah menempuh jarak yang agak panjang,
maka mereka pun segera berhenti untuk memberi kesempatan
kuda mereka beri stirahat. Sementara itu langit menjadi suram.
Agaknya mereka tertahan cukup lama untuk mengatasi
perkelahian yang hampir saja membakar dua Kabuyutan yang
bertetangga. "Kita tidak dapat sampai ke Kotaraja," berkata Mahisa
Pukat. "Kita bermalam di perjalanan"," bertanya Mahisa Semu.
"Ya. Meski pun jaraknya sudah tidak begitu jauh lagi,
biarlah kita berhenti," berkata Mahisa Pukat kemudian.
Keduanya pun kemudian telah berhenti di sebuah banjar
padukuhan di padukuhan berikutnya. Kepada penunggu
banjar Mahisa Pukat menyatakan permintaannya apakah
keduanya dapat berhenti dan bermalam di banjar itu.
Penunggu banjar itu ragu -ragu. Namun kemudian orang itu
pun berkata: "Baiklah. Tetapi tempatnya tidak begitu baik."
"Ah," desis Mahisa Pukat: "tempat itu sudah jauh dari
pantas bagi kami berdua."
Keduanya kemudian telah mengikat kuda mereka di
sebelah banjar padukuhan itu. Oleh penunggu banjar itu,
keduanya mendapat tempat di serambi sebelah kanan.
Tempatnya memang terbuka sehingga angin malam yang
dingin akan berhembus mengipasi tubuh mereka.
Namun keduanya memiliki pengalaman mengembara.
Mereka terbiasa tidur di mana pun juga. Bahkan di tempattempat
terbuka. Dengan demikian maka serambi itu m emang
cukup pantas bagi keduanya.
Apalagi ketika kemudian, setelah malam meny elimuti
padukuhan itu, hujan pun mulai turun. Semakin lama semakin
lebat, sehingga keduanya merasa sangat berterima kasih dapat
berlindung di bawah atap serambi banjar itu. Bahkan atas ijin
penunggu banjar itu, mereka telah menempatkan kuda mereka
dibawah teritis sehingga sedikit terlindung dari air hujan yang
deras., Di dinginnya malam y ang basah, penunggu banjar itu telah
membawa ketela rebus kepada Mahisa Pukat dan Mahisa
Semu. Bahkan ia pun sempat untuk ikut duduk di serambi itu
beberapa lama. Penunggu banjar itu heran ketika Mahisa Pukat dan Mahisa
Semu membuka bekal yang mereka dapat dari pemilik kedai di
tempat y ang hampir saja terbakar oleh permusuhan itu.
"Pemilik k edai yang baik," desis penunggu banjar ketika ia
diberi tahu darimana asal bekal mereka itu.
"Silahkan Ki Sanak," Mahisa Pukat mempersilahkan.
Disamping ketela rebus yang dibawa oleh penunggu banjar
itu, mereka juga menghadapi sebungkus makanan yang
bermacam-macam jeni snya.
Menj elang tengah malam, maka penunggu banjar itu
berkata: "Sudahlah Ki Sanak. Kalian harus beristirahat.
Beri stirahatlah. Aku juga sudah mulai mengantuk."
Namun sebelum penunggu banjar itu beranjak dari
tempatnya, mereka mendengar jerit tertahan seorang
perempuan. "Apa itu"," justru penunggu banjar itu bertanya.
Mahisa Pukat dan Mahisa Semu termangu-mangu.
Ternyata suara itu terdengar lagi di sela-sela deru air hujan
yang lebat diatas banjar itu.
Ternyata beberapa saat kemudian, beberapa orang laki -laki
telah memasuki halaman banjar itu dan langsung naik ke
pendapa. Mereka telah membawa seorang perempuan yang
nampaknya berusaha untuk melawan.
Ketika beberapa orang laki -laki itu melihat tiga orang di
serambi, maka tiba -tiba saja seorang diantara mereka
membentak: "Jangan mencampuri persoalan kami."
Ketiga orang itu memang hanya berdiam diri saja. Mahisa
Pukat dan Mahisa Semu tidak tahu, apakah y ang harus mereka
lakukan. Sementara penunggu banjar itu menjadi bingung.
Dalam pada itu, seorang laki -laki yang lain berkata kepada
perempuan itu: "Aku tidak mau kau tipu lagi. Tunjukkan
sekarang, di mana kau simpan barang-barang itu.
"Kau jangan m embuat aku semakin marah. Kita sekarang
berada di banjar y ang agak jauh dari rumah orang-orang
padukuhan. Orang -orang di serambi itu pun tidak akan
berbuat apa-apa untuk mencegah aku jika aku sudah
kehilangan kesabaran," bentak laki -laki itu.
"Aku tidak bersalah," perempuan itu berteriak. Tetapi
suaranya hilang ditelan oleh deru hujan y ang lebat.
"Kau jangan ingkar. Selama ini aku berikan apa saja y ang
kau m inta. Ternyata semua yang aku berikan kepadamu itu
kau berikan pula kepada seorang laki -laki. Nah, di mana
rumah orang itu" semua barang-barangku tentu tersimpan
disana. Aku tahu, laki-laki itu tinggal di padukuhan ini. Tetapi
yang mana" "Bohong, semua itu bohong," teriak perempuan itu pula.
"Jika demikian, di mana perhiasan itu?"
Perempuan itu m asih saja berteriak. Perhiasan itu adalah
perhiasanku sendiri. Barang-barang itu barang-barangku
sendiri." "Aku membeli semuanya itu," jawab laki-laki itu.
"Tetapi barang itu sudah kau berikan kepadaku. Barangbarang
itu telah menjadi m ilikku. Terserah kepadaku, apakah
barang-barang itu aku jual, atau aku buang ke sungai atau
untuk apapun," suara perempuan itu meninggi.
"Kau tidak menghargai pemberianku," geram laki-laki itu.
" Itu terserah kepadaku," jawab perempuan itu.
"Kau m emang iblis betina. Baik, baik. Jika demikian, kau
tidak boleh pulang ke rumah itu lagi. Rumah itu adalah
rumahku. Sebenarnya aku ingin memberikan rumah itu
kepadamu. Tetapi aku urungkan niatku," berkata laki-laki
yang marah itu. "Rumah itu sudah rumahku," teriak perempuan itu.
" Ingat. Jika kau berani menginjakkan kakimu di halaman
rumah itu, apalagi bersama-sama dengan laki -laki itu, m aka
kau akan aku bunuh bersama-sama dengan laki -laki itu.
Sekarang tunjukkan di mana rumahnya. Aku akan
menyerahkan kau kepadanya," teriak laki -laki itu.
"Tidak. Kau akan menipuku. Kau akan berbuat jahat
kepadanya," sahut perempuan itu tidak kalah kerasnya. Lalu
katanya: " Jika kau ingin membunuh, bunuh aku."
"Aku tidak mau mengotori tanganku dengan darah iblis
betina seperti kau ini," jawab laki -laki itu. Lalu katanya kepada
kawan-kawannya: "Kita tinggalkan perempuan itu disini. Ia
sudah berada di banjar padukuhan laki -laki yang diberinya
apa yang aku berikan kepadanya. Aku tidak peduli lagi apa
yang akan dilakukannya."
Demikianlah, maka beberapa orang laki -laki itu telah
meninggalkan banjar itu menyusup dalam hujan yang lebat.
Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan penunggu banjar itu benarbenar
tidak mencampuri persoalan mereka. Namun ketika
beberapa orang laki -laki itu telah pergi, sedangkan perempuan
itu menangis di pendapa banjar, maka penunggu banjar itu
pun telah melangkah naik ke pendapa mendekatinya.
"Apa y ang sebenarnya telah terjadi"," bertanya penunggu
banjar itu. "Aku diusirnya dari rumah," jawab perempuan itu, "ia
menuduh yang bukan-bukan."
"Tetapi apakah benar, bahwa barang-barang y ang dibelinya
untukmu kau berikan kepada orang lain"," bertanya penunggu
banjar itu. "Barang-barang itu sudah hakku. Terserah kepadaku,"
jawab perempuan itu disela -sela isaknya.
"Jangan begitu. Kau menyakiti hatinya. Jika ia memberimu
apa saja, itu tentu ada pamrihnya," berkata penunggu banjar
itu. " Ia telah m endapatkan apa y ang ia inginkan dariku. Aku
telah m emberikan apa y ang ia kehendaki," jawab perempuan
itu. "Tetapi tentu tidak sedangkal itu. Ia tentu memerlukan
kesetiaanmu. Apakah ia beristri yang lain"," bertanya
penunggu banjar itu. "Tidak," jawab perempuan itu.
"Jika demikian, maka kau adalah satu-satunya isterinya
yang diharapkan setia kepadanya," berkata penunggu banjar
itu. "Aku belum isterinya," jawab perempuan itu.
"Meski pun belum, tetapi ia tentu akan memperlakukan kau
sebagai isterinya karena ia memang belum beristri," berkata
penunggu banjar itu. " Ia tahu bahwa aku tidak ingin menjadi isterinya. Aku
menolak ketika ia mengajak aku meresmikan perkawinan,"
berkata perempuan itu. "Jika demikian, maka kau memang seorang perempuan
yang tidak tahu diri," geram penunggu banjar itu: "Nah, jika
demikian, pergilah kepada laki-laki yang kau beri apa y ang kau
terima dari seorang y ang telah kau peras itu."
Perempuan itu termangu-mangu sejenak. Katanya
kemudian: "Aku tidak berani. Malam terlalu gelap dan hujan
sangat lebat." "Sebaiknya kau tidak bermalam di banjar ini," berkata
penunggu banjar yang menjadi tidak senang kepada
perempuan itu. "Aku takut pergi," berkata perempuan itu.
"Jika demikian, biarlah aku panggil saja laki-laki itu. Aku
tentu m engenalnya jika ia penghuni padukuhan ini," berkata
penunggu banjar itu pula.
"Kau tidak perlu memanggilnya. Antar saja aku ke rumahnya," berkata
perempuan itu, "bukankah
dengan demikian, kau tidak
perlu membawa orang itu

04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemari." "Aku tidak mau mengantarmu. Aku tidak mau berjalan di malam hari
begini dalam keadaan hujan
bersamamu," jawab penunggu banjar itu. Lalu
katanya pula: "Sebut nama
laki -laki itu." Perempuan itu ragu-ragu. Namun kemudian ia menyebut nama: "Panangkil. Namanya
Panangkil. "Panangkil"," penunggu banjar itu terkejut. Tetapi ia tidak
berkata apa-apa lagi. "Ya, kenapa"," bertanya perempuan itu.
Penunggu banjar itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya:
"Tidak apa-apa. Tetapi rumahnya agak jauh."
"Karena itu, bawa aku ke sana," minta perempuan itu.
"Tidak. Aku tidak mau," jawab penunggu banjar itu sekali
lagi. Perempuan itu m emang menjadi heran, kenapa penunggu
banjar itu lebih senang memanggilnya daripada membawanya
kepada laki-laki itu. Tetapi bagaimana pun juga ia memaksa,
tetapi penunggu banjar itu tetap tidak mau membawanya.
Ketika penunggu banjar itu pergi memanggil laki-laki yang
bernama Panangkil itu, maka ia berpesan kepada Mahisa
Pukat dan Mahisa Semu: "Jangan tidur dahulu. T olong awasi
perempuan itu. Aku akan memanggil orang yang disebutnya."
Mahisa. Pukat dan Mahisa Semu mengangguk.
"Aku akan menunggumu kembali," desis Mahisa Pukat.
Demikianlah, maka penunggu banjar itu pun telah
mengenakan caping belarak yang lebar dan turun ke halaman.
Malam memang gelap sekali, sehingga sejenak kemudian,
penunggu banjar itu sudah tidak nampak lagi sebelum orang
itu keluar dari regol halaman.
Mahisa Pukat dan Mahisa Semu tidak beranjak dari
tempatnya. Lampu banjar y ang berkeredipan memang mampu
menggapai sampai ke serambi. Tetapi perempuan itu tidak
dapat melihat dengan jelas, kedua orang y ang berada di
serambi itu. Di pendapa perempuan itu duduk kedinginan. Pakaiannya
memang basah oleh hujan. Tetapi ia tidak beringsut dari
tempat duduknya. Dengan demikian maka mereka saling berdiam diri. Mahisa
Pukat dan Mahisa Semu tidak menyapanya dan perempuan itu
pun tidak berbicara apapun.
Namun justru dengan demikian maka uasana terasa
menjadi tegang. Ternyata mereka memerlukan waktu y ang agak lama untuk
menunggu. Baru beberapa saat kemudian, penunggu banjar
itu kembali bersama seorang laki -laki yang bertubuh tinggi
tegap dan kekar. "Kakang," perempuan itu bangkit dan dengan tergesa -gesa
meny ongsong itu. Namun nampaknya sikap laki-laki itu dingin sekali, seperti
dinginnya malam itu y ang dibasahi oleh hujan yang lebat.
"Aku telah diusir dari rumahku kakang," berkata
perempuan itu. "Kenapa"," bertanya laki-laki itu singkat.
"Hubungan diantara kita sudah diketahuinya. Bahkan ia
tahu bahwa barang-barang dan perhiasan y ang diberikan
kepadaku telah aku berikan kepadamu," jawab perempuan itu.
"Lalu, sekarang apa yang kau kehendaki"," bertanya laki -
laki itu. Perempuan itu memang menjadi heran mendengar
pertanyaan laki -laki y ang bertubuh tinggi, tegap dan kekar itu.
Karena itu, maka ia pun justru bertanya: "Kenapa kau
bertanya seperti itu"
"Jadi, aku harus bertanya bagaimana"," laki-laki itu m asih
bertanya lagi. Perempuan itu menjadi semakin heran. Maka katanya:
"Aku tidak dapat pulang ke rumahku lagi. Karena itu, m aka
aku akan ikut ke rumahmu."
"Ke rumahku"," laki -laki itu membelalakkan matanya: "itu
tidak mungkin. Isteriku akan marah."
"Kau beristri"," perempuan itu hampir memekik.
"Ya. Kenapa" Kau heran?" laki-laki itu justru bertanya.
"Kau tidak pernah mengatakannya sebelumnya," berkata
perempuan itu. "Aku tidak m enganggap perlu untuk m engatakan hal itu
kepadamu. Aku memang sudah beristri dan beranak tiga
orang. Nah, kau sekarang sudah tahu. Karena itu, pulanglah.
Jangan ganggu keluargaku," berkata laki-laki itu.
Perempuan itu terkejut mendengar jawaban laki-laki itu.
Dengan nada keheranan ia bertanya: "Maksudmu kau tidak
mau menerima aku?" "Sudah tentu. Aku sudah beristri dan beranak. Aku
mencintai isteri dan anak-anakku. Kau harus mengerti itu,"
jawab laki -laki itu. "Tetapi selama ini kau telah menerima pemberianku.
Barang-barang berharga dan perhiasan. Semua y ang aku
terima telah aku berikan kepadamu," perempuan itu hampir
berteriak. "Terima kasih atas pemberianmu. Isteri dan anak-anakku
pun berterima kasih kepadamu," berkata laki-laki itu.
"Gila. Hanya begitukah tanggapanmu atas kedatangankusetelah
aku diusir dari rumah itu"," perempuan itu berteriak
semakin keras. "Jadi apa lagi" Kau sudah tidak akan dapat memberi apaapa
lagi kepadaku. Kepada keluarganku," berkata laki-laki itu.
"Tetapi, jika aku memberikan barang-barang itu kepadamu,
tentu kau tahu maksudku," perempuan itu menjadi semakin
keras berteriak. Tetapi hujan masih saja tercurah dari langit,
Bayi Satu Suro 1 Pendekar Slebor 19 Perompak Perompak Laut Cina Rahasia Lenyapnya Mayat Mahesa 2
^