Pencarian

Hijaunya Lembah Hijaunya 10

04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 10


Sebagaimana yang mereka ketahui sebelumnya, bahwa
Kediri tidak pernah merasa pantas untuk berada di bawah
kepemimpinan Singasari. Hampir di setiap masa
pemerintahan di Kediri terjadi pergolakan. Beberapa orang di
antara para pemimpin Kediri selalu berusaha untuk membuat
persoalan dengan Singasari. Setidak-tidaknya mereka
berusaha untuk menjajagi kekuatan Singasari.
"Apakah hal ini perlu dilaporkan?" bertanya Mahisa Pukat.
Tetapi Mahisa Murti menggeleng sambil berkata, "belum
sekarang. Kita harus melihat perkembangan lebih luas. Jika
kita laporkan sekarang, maka mungkin Singasari akan terlalu
awal melakukan tindakan yang kurang sesuai dengan langkahlangkah
yang telah diambil oleh Kediri."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun ia masih
bertanya, "Bagaimana jika hal ini kita sampaikan kepada
ay ah?" "Ayah sebagai apa?" bertanya Mahisa Murti.
"Ya. Kita sampai sekarang tidak mengetahui, apa y ang
terjadi dengan ayah di Singasari," desis Mahisa Pukat.
"Kita akan mencari kesempatan y ang paling baik untuk
pergi ke Singasari. Kita memang perlu m engetahui, apa yang
terjadi atas ayah di Singasari," berkata Mahisa Murti, "tetapi
sudah tentu kita harus mempertimbangkan segala
kemungkinan yang dapat terjadi dengan padepokan kita ini
jika kita meninggalkannya."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Kita
memang tidak dapat begitu saja meninggalkan padepokan dan
perguruan ini." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang sepakat untuk
pergi ke Singasari. Tetapi mereka pun sepakat untuk tidak
dengan serta merta meninggalkan padepokan serta
perguruannya. *** Namun dalam pada itu petugas sandi dari Kediri y ang
mendapat tugas untuk membunuh kawannya sendiri tanpa
dikenali oleh sa sarannya, telah keluar dari hutan yang lebat
dan menemui kawannya y ang lain untuk memberitahukan
hasil tugasnya. "Tetapi anak-anak muda di padepokan itu ternyata
memang berilmu sangat tinggi. Aku tidak mengetahui bahwa
keduanya mengikuti aku dan mendengar apa yang aku katakan
kepada Lintang Johar. Aku kira tidak seorang pun yang
mendengar kecuali petugas y ang dungu tetapi sombong itu.
Aku telah mengatakan alasan kenapa ia harus dibunuh. Aku
menganggap bahwa semuanya itu akan dibawanya mati tanpa
ada orang lain yang akan mengetahuinya. Tetapi t ernyata aku
keliru. Kedua anak muda itu mendengar dan m ereka hadir
untuk melindungi Lintang Johar. Untunglah bahwa sedikit
ilmuku m ampu untuk m engelabui anak-anak muda itu. Aku
sempat melemparkan paser beracun sangat tajam sebelum aku
harus melarikan diri. Jika aku bertempur terus, maka aku pun
tentu akan mati pula, meskipun nampaknya anak-anak muda
itu tidak begitu bernafsu membunuh lawan-lawannya."
Kawannya mengerutkan keningnya. Katanya, "Ternyata hal
ini akan dapat menjadi gawat. Mungkin kedua orang anak
muda itu akan sampai juga ke Singasari. Apalagi Mahendra
telah berada di Singasari pula."
"Jadi?" bertanya Kecubung Ungu.
"Keduanya harus dihancurkan. Lebih baik dengan seluruh
padepokannya," berkata kawannya.
"Kita membawa sepasukan prajurit Kediri?" bertanya
Kecubung Ungu. "Ternyata kau juga dungu," jawab kawannya. Lalu katanya,
"jangan libatkan prajurit Kediri."
"Lalu?" bertanya Kecubung Ungu.
"Mulai kapan kau menjadi prajurit sandi. Kau cukup cerdik
meskipun licik, meminjam tangan orang lain untuk
membunuh Lintang Johar. Tetapi kau kehilangan akal
menghadapi anak-anak muda itu," berkata kawannya.
"Mungkin akalku sudah habis sekarang," jawab Kecubung
Ungu. Kawannya terseny um. Katanya, "Kita gerakkan sebuah
perguruan yang memadai. Jika terjadi benturan, maka
persoalannya adalah persoalan antara perguruan. Orang lain
tidak akan menarik garis ke Kediri."
Orang yang mempergunakan pertanda Kecubung Ungu itu
mengangguk-angguk. Katanya, "Kau memang selalu lebih
cerdik." "Kau harus lebih memperhatikan segala segi
kemungkinan," berkata kawannya.
"Baik. Pikiranmu cemerlang. Kita gerakkan sebuah
perguruan. Mungkin Kediri harus mengeluarkan uang, untuk
itu dan setumpuk janji-janji," berkata Kecubung Ungu.
"Ya. Kita akan minta salah seorang yang cukup
berpengalaman untuk melakukannya. Kita tidak boleh
terlambat. Sebelum kedua orang anak muda itu m emberikan
laporan," berkata kawannya.
"Siapakah yang pantas untuk membujuk sebuah perguruan
yang meyakinkan untuk menyerang perguruan Bajra Seta"
Alasannya dapat saja dibuat-buat. Tetapi yang penting
perguruan itu harus meyakinkan," berkata prajurit sandi yang
memperkenalkan gelar Kecubung Ungu.
"Kita minta Akuwu Kuda Paningal dari Pakuwon Sangotan.
Aku m engenalnya dengan baik dan aku y akin bahwa Akuwu
Kuda Paningal akan dapat bekerja sama dengan baik untuk
kepentingan ini," berkata kawannya.
"Terserah kepadamu. Tetapi laporan tentang tugas-tugas
sandi itu harus dipotong sebelum kedua anak muda itu pergi
ke Singasari," berkata kawannya.
"Seorang di antara kita harus mengawasi mereka," berkata
Kecubung Ungu, "tentu bukan aku, karena aku telah dikenal
bukan saja oleh kedua orang itu. Tetapi para cantrik pun telah
mengenal aku pula." "Baiklah," berkata kawannya, "kita akan bekerja sebaikbaiknya
agar tugas ini dapat berjalan dengan baik. Kita tidak
boleh gagal. Meskipun lawan kita terlalu berat. Kita harus
melawan orang-orang Kediri yang lemah hati dan terbius oleh
sikap baik orang-orang Singasari dan kemudian Singasari
sendiri. Tetapi orang -orang Kediri sudah semakin banyak yang
bangkit. Jika rencana sebelumnya pernah gagal, itu karena
beberapa orang menjadi ragu-ragu."
Orang yang berciri sandi Kecubung Ungu itu menganggukangguk.
Sementara kawannya berkata lebih lanjut, "Aku akan
mencari orang yang akan dapat mengawasi dengan baik
padepokan dan perguruan Bajra Seta. Sementara itu, kita akan
mempersiapkan rencana y ang besar itu."
Dengan demikian, maka kedua orang itu pun dengan
tergesa -gesa telah melakukan langkah-langkah yang menurut
pendapat mereka akan berarti bagi rencana besar beberapa
orang pemimpin dari Kediri.
Yang mereka lakukan pertama-tama adalah menemui Sang
Akuwu Kuda Paningal. Seorang Akuwu yang akan bersedia
membantu mereka memotong hubungan antara padepokan
Bajra Sela dengan Singasari.
Namun sementara itu, dua orang prajurit sandi y ang lain
telah mendapat perintah untuk mengamati keadaan
padepokan itu. Mereka ditugaskan untuk mengamati terutama
kedua orang anak muda yang memimpin padepokan Bajra
Seta. "Mereka tidak akan begitu saja pergi," berkata petugas
sandi yang akan berhubungan dengan Akuwu Kuda Paninggal.
"Mereka harus memperhitungkan berbagai segi jika mereka
akan meninggalkan padepokannya, karena mereka adalah
pemimpin y ang bertanggung jawab."
Sementara itu, ternyata Akuwu Kuda Paningal,
sebagaimana diperhitungkan bersedia membantu kedua
petugas sandi itu. Ia sependapat bahwa memang sebaiknya
tidak perlu menarik langsung jalur ke Kediri. Orang-orang
yang y akin akan tujuan perjuangan m ereka, maka orang itu
tentu akan bersedia m enanggung akibat dari setiap langkah
yang mereka ambil tanpa haru menarik garis ke Kediri.
Demikianlah, maka Akuwu Kuda Paningal telah
mempersilahkan kedua orang petugas sandi itu tinggal di
Pakuwon. Akuwu sendiri telah memanggil dua orang
pemimpin dari dua buah perguruan y ang terbaik di Pakuwon
itu. "Aku tidak y akin bahwa satu perguruan akan dapat
berhasil. Karena itu, agar tidak usah mengulang lagi, aku akan
menggerakkan dua perguruan y ang besar y ang sudah jelas
berdiri di sisi kita." berkata Akuwu Kuda Paningal.
" Itu tentu lebih baik Akuwu," berkata petugas sandi itu,
"dengan demikian Bajra Seta akan benar-benar dihancurkan
sehingga mereka tidak akan memberikan laporan ke Singasari
apa yang telah mereka dengar. Karena jika hal ini didengar
oleh Singasari dan m ereka mulai melakukan persiapan yang
sebenarnya, maka kita justru akan terpukul."
Ketika kedua Pemimpin padepokan itu telah menghadap,
maka Akuwu pun telah m emberitahukan, bahwa Akuwu akan
minta mereka melakukan tugas yang sangat berat.
"Dua buah padepokan aku kira cukup memadai," berkata
Akuwu Kuda Paningal. Empu Angin, salah seorang pemimpin dari kedua
perguruan itu dengan serta m erta b erkata, "Serahkan k epada
perguruan kami. Kami akan menghancurkan padepokan itu
dan menumpas segala isinya."
Tetapi Empu Pitrang, pemimpin y ang seorang lagi berkata
lebih lantang, "Serahkan kepadaku. Aku akan memimpin
dengan bijaksana dan bertanggung jawab. Kedua orang anak
muda itu akan aku tangkap hidup atau mati."
Akuwu Kuda Paningal ter senyum. Katanya, "Aku memang
menjadi bangga bahwa kalian m enyatakan kesediaan kalian.
Tetapi tentu saja hanya seorang di antara kalian y ang akan
memimpin." "Serahkan kepadaku Sang Akuwu," berkata Empu Angin.
"Akuwu tidak akan pernah melupakan kemampuanku,"
sahut Empu Pitrang dengan serta merta.
"Ya, y a," jawab Akuwu Kuda Paningal, "aku akan m emilih
seorang di antara kalian. Bukan soal apa -apa. Aku y akin akan
kemampuan kalian masing-masing. Kalian berilmu tinggi
sehingga sulit untuk mengimbangi kemampuan masingmasing.
Karena itu akan memilih kalian berdasarkan atas
umur kalian. Empu Angin tentu lebih tua dari Empu Pitrang.
Karena itu, maka aku minta Empu Angin akan memimpin
tugas ini. Aku sama sekali tidak merendahkan Empu Pitrang.
Tetapi seperti y ang aku katakan, aku hanya mengingat umur
kalian." Empu Pitrang mengangguk kecil. Katanya, "Apa boleh
buat." "Nah. Kalian akan m enjalankan tugas y ang aku bebankan
kepada kalian. Ingat, tugas ini adalah tugas negara. Karena itu,
siapa yang tidak melakukannya dengan sungguh-sungguh,
maka akibatnya akan tidak menyenangkan. Bersama kalian,
aku akan mengirim sekelompok petugas sandi untuk
mengamati apa y ang terjadi dan akan selalu memberikan
laporan kepadaku," berkata Akuwu Kuda Paningal.
Kedua orang pemimpin padepokan itu mengangguk. Empu
Angin dengan nada tinggi berkata, "Aku akan menjunjung
segala tugas dengan sebaik-baiknya."
"Nah," berkata Akuwu Kuda Paningal, "biarlah petugas
sandi dari Kediri yang akan menyertai kalian memberikan
sedikit gambaran tentang tugas kalian."
Prajurit sandi y ang bergelar sandi Kecubung Ungu itu pun
segera memberitahukan tentang medan y ang akan mereka
hadapi. Tentang perguruan Bajra Seta dan tentang para
pemimpinnya yang sangat berwibawa dan berilmu tinggi.
"Kau sengaja m enakut-nakuti kami," berkata Empu Angin
sambil tertawa. "Tidak," jawab Kecubung Ungu.
"Atau merendahkan kami," sahut Empu Pitrang.
"Juga tidak. Tetapi apakah kalian ingin aku mengatakan
yang tidak sebenarnya, sehingga kalian tidak dapat m enilai
kekuatan y ang sebenarnya akan kalian hadapi" Kepura-puraan
seperti itulah y ang sering menghancurkan kita sebelum kita
mulai dengan satu tugas y ang besar," sahut Kecubung Ungu,
"Aku adalah seorang prajurit. Aku tahu bagaimana bersikap
menghadapi kekuatan lawan."
"Baiklah," berkata Empu Angin, "kami berterima ka sih atas
keterangan yang kau berikan."
Namun dalam pada itu, Akuwu Kuda Paningal telah
bertanya kepada Empu Angin, "Apakah petugas sandi itu
sebaiknya m eny ertai kalian ke padepokan Bajra Seta" Orang
itu pernah langsung berada di dalam padepokan itu dan
karena itu, ia mampu berceritera tentang isi dari padepokan
itu." "Mungkin sebagai petunjuk jalan," berkata Empu Angin,
"dengan kehadirannya, maka kami tidak perlu mencari-cari di
mana letak padepokan Bajra Seta."
"Baiklah," berkata Akuwu Kuda Paningal, "ia akan
menyertaimu. Kau dapat berbicara tentang banyak hal dengan
petugas sandi itu. Ia tahu benar garis-garis keinginan para
pemimpin di Kediri. Meskipun aku juga pernah berbicara
langsung dengan mereka, namun petugas sandi itu adalah
pengemban perintah mereka langsung."
"Kami sama sekali tidak berkeberatan. Tetapi kami tidak
mau dicampuri, cara y ang akan kami ambil untuk
menghancurkan padepokan itu," jawab Empu Angin.
Akuwu Kuda Paningal mengangguk-angguk. Katanya
kepada Kecubung Ungu, "Kau mendengar langsung dari
orang-orang y ang akan memimpin pasukan menuju ke
padepokan dan perguruan Bajra Seta. Lakukan sebagaimana
persetujuan kita kali ini."
Demikianlah, maka kedua orang pemimpin padepokan itu
telah mempersiapkan diri. Mempersiapkan orang-orangnya
yang terpilih. Para cantrik dibawah pimpinan beberapa orang
Putut yang memiliki ilmu y ang mencuat lebih tinggi dari para
cantrik yang lain. Pa da hari yang sudah ditentukan, dua hari setelah perintah
Akuwu jatuh, m aka kedua pasukan itu pun telah berangkat
dari Pakuwon Sangotan. Petugas sandi dari Kediri yang


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendapat gelar sandi Kecubung Ungu itu telah meny ertai
mereka sebagai petunjuk jalan. Namun sebagaimana diminta
oleh para pemimpin dari kedua padepokan yang terlibat
petugas sandi itu tidak boleh mencampuri kepemimpinan
Empu Angin dan Empu Pitrang atas para putut dan cantrik
mereka masing-masing. Perjalanan yang ditempuh oleh pasukan itu tidak satu
perjalanan panjang. Mereka semula berusaha untuk tidak
menimbulkan persoalan di perjalanan. Sehingga tidak ada
berita yang akan menjalar mendahului pa sukan itu sampai ke
padepokan. Namun Empu Angin pun berkata, "Apa salahnya jika
mereka tahu bahwa kita akan datang" Biarlah mereka bersiap
dan berbenah diri. Namun mereka akan segera kami
hancurkan. Bukahkah m enurut Kecubung Ungu jumlah kita
cukup besar dan menurut perkiraannya lebih banyak dari
orang-orang Bajra Seta"
"Apakah mereka tidak akan sempat minta bantuan kepada
Singasari, misalnya?" bertanya seorang putut.
"Tentu tidak. Jaraknya terlalu jauh. Untuk mendapat
bantuan dari Singasari diperlukan waktu lebih dari dua hari.
Seandainya seorang cantrik berkuda berangkat ke Singsari,
maka prajurit berkuda Singasari akan datang setelah
padepokan itu menjadi karang abang. Aku memang ingin
membakar seluruh padepokan itu dan memusnahkan segala
isiny a," jawab Empu Angin.
Pututnya mengerutkan keningnya. Wajahnya
membayangkan keragu-raguan. Namun Empu Angin berkata,
"Persoalannya adalah persoalan y ang cukup gawat. Jika
persoalannya hanya menyangkut padepokan kita dengan
padepokan Bajra Seta saja, maka aku tidak akan sampai sejauh
itu. Tetapi persoalannya adalah persoalan yang sangat gawat
karena taruhannya adalah Kediri dengan isiny a."
Putut itu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya
lebih lanjut. Demikian perjalanan mereka pun semakin lama menjadi
semakin mendekati padepokan Bajra Seta. Seperti yang
dikatakan oleh Empu Angin, m ereka sama sekali tidak perlu
cemas bahwa orang-orang Bajra Seta akan mengetahui
kedatangan mereka. Mereka itu, maka tanpa raguragu,
pasukan yang datang dari dua padepokan itu pun telah
membuat perkemahan untuk bermalam di tempat yang terbuka.
Mereka sama sekali tidak berusaha
mencari tempat y ang terlindung
atau tidak banyak dilihat orang.
"Mereka tidak tahu siapa kita
dan seandainya tahu pun, kita
tidak berkeberatan," berkata
Empu Angin, "besok kita akan
meneruskan perjalanan. Kita
sudah tidak terlalu jauh lagi. Kita
besok akan m embuat perkemahan
pula di sekitar padepokan itu.
Baru hari berikutnya kita akan menghancurkan padepokan
Bajra Seta. Beberapa orang putut dan cantrik mencoba untuk
memberikan beberapa peringatan tentang bahaya yang
mungkin akan meny ergap mereka. Bagaimana pun juga
padepokan Bajra Seta adalah padepokan y ang besar.
Tetapi Empu Angin dan Empu Pitrang menjadi terlalu
yakin akan diri mereka sendiri, sehingga mereka agak
mengesampingkan bahaya sebagaimana dikatakan oleh putut
dan cantrik itu. "Meny enangkan sekali untuk m emberi kesempatan kepada
para penghuni padepokan Bajra Seta untuk menjadi cemas
dan ketakutan," berkata Empu Angin.
Kehadiran sebuah pasukan yang besar memang telah
menarik perhatian orang-orang padukuhan. Karena itu, maka
beberapa orang anak muda telah berusaha untuk melihat
sendiri perkemahan itu, meskipun dari kejauhan.
Sebenarnyalah mereka m elihat satu daerah yang luas yang
diperuntukkan bagi perkemahan itu. Di beberapa tempat
nampak beberapa orang berkerumun sambil membuat
perapian. "Satu pasukan yang besar," berkata seorang anak muda
kepada kawannya, y ang bersama-sama m elihat perkemahan
itu dari sebuah bukit kecil t idak terlalu jauh dari padukuhan
mereka. "Apakah mereka mendendam kepada orang-orang y ang
telah m embuat padukuhan baru itu sebagaimana yang terjadi
beberapa saat y ang lalu?" desis kawannya.
"Mungkin. Tetapi pasukan itu terlalu besar. Jika padukuhan
itu tidak minta bantuan padepokan Bajra Seta, maka
padukuhan itu tidak akan mampu bertahan," berkata anak
muda yang pertama. "Tetapi beberapa waktu y ang lalu, mereka mampu
mengusir orang-orang y ang menyerang padukuhan itu," sahut
yang lain. "Pasukan yang datang saat itu tidak sebesar sekarang ini.
Lihat, berapa kelompok di antara mereka membuat perapian.
Yang lain berserakan dimana-mana," berkata anak muda yang
pertama. "Jadi, apa yang sebaikny a kita lakukan?" bertanya
kawannya. "Kita sampaikan hal ini kepada orang-orang di padukuhan
baru itu dan sekaligus ke padepokan," jawab anak muda yang
pertama. Demikianlah, bersama-sama dengan beberapa orang anak
muda yang lain mereka telah pergi ke padukuhan baru yang
dihuni oleh orang-orang yang semula merupakan tawanan di
padepokan Bajra Seta, namun yang benar-benar telah
menyadari kesesatan jalan hidup mereka dan berusaha untuk
meniti jalan kembali. Bahkan di sepanjang perjalanan, mereka telah
memberitahukan kepada padukuhan-padukuhan yang mereka
lewati. Beberapa padukuhan ternyata telah menaruh perhatian
yang sangat besar terhadap peri stiwa itu. Apalagi padukuhanpadukuhan
yang telah mengirimkan anak-anak mudanya
untuk belajar ke padepokan Bajra Seta.
Tetapi agaknya persoalannya masih belum jelas, sehingga
mereka tidak segera mengambil langkah-langkah tertentu.
Seorang y ang berpengaruh atas anak-anak muda di
padukuhan-ny a berkata, "Kita tidak dapat berbuat apa -apa
malam ini. Besok pagi-pagi kita akan pergi ke padepokan."
Namun dalam pada itu, beberapa anak muda telah
menempuh perjalanan dimalam hari. Mereka telah
mendatangi padukuhan baru yang beberapa saat sebelumnya
telah membuat serangan dari orang-orang yang mendendam.
"Mungkin mereka y ang terusir dari pertempuran saat itu
datang lagi membawa kawan-kawan mereka," berkata anak
muda itu kepada orang-orang padukuhan baru itu.
Orang y ang dianggap pemimpin dari padukuhan baru itu
menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kenapa mereka masih
sa ja mengganggu kami di sini. Sebenarnya kami dapat
menempuh jalan kita masing-masing. Kami tidak pernah
mengganggu mereka, hendaknya mereka juga tidak
mengganggu kami." Anak-anak muda itu hanya dapat mengangguk-angguk saja.
Namun pemimpin padukuhan baru itu berkata, "Ketika
mereka meny erang beberapa waktu yang lampau sementara
kami mencoba menghadapi mereka dengan kekuatan kami
sendiri, pemimpin padepokan Bajra Seta telah m eny esalkan
hal itu. Korban ternyata cukup banyak yang jatuh. Sementara
kami saat itu juga tidak terkendali lagi."
"Yang datang kali ini jumlah cukup besar," berkata anak
muda itu, "karena itu, maka sebaiknya hal ini disampaikan
kepada padepokan Bajra Seta."
"Kami sependapat," jawab pemimpin padukuhan itu, "agar
kami tidak dianggap melakukan kesalahan lagi jika kami
menghadapi mereka sendiri."
"Agaknya jumlahnya pun sama sekali tidak seimbang,"
berkata anak muda y ang mewakili kawan-kawan mereka itu.
Demikianlah, maka anak-anak muda itu pun telah pergi ke
padepokan bersama dengan beberapa orang padukuhan.
Mereka telah bertemu langsung dengan Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat. "Apakah kalian dapat melihat langsung ke perkemahan
itu?" bertanya Mahisa Murti.
"Ya," jawab anak muda y ang melihat perkemahan itu dari
bukit kecil didekat padukuhannya.
"Terima kasih atas pemberitahuan ini," berkata Mahisa
Murti, "nampaknya mereka terlalu yakin akan kekuatan
mereka. Tetapi kami belum dapat mengatakan apa-apa.
Namun kami tahu, bahwa kami harus mempersiapkan diri.
Jika mereka berkepentingan dengan padepokan kami, m aka
besok mereka tentu akan m aju lagi semakin dekat," berkata
Mahisa Murti. Lalu katanya pula, "Namun kami harus sudah
bersiap-siap sejak sekarang. Demikian pula padukuhan baru
itu. Jika besok kita dapat mengetahui sasaran utama dari
pasukan y ang besar itu, maka kita akan dapat mempersiapkan
diri baik-baiknya. Apakah padepokan ini atau padukuhan itu."
Demikianlah, m aka anak-anak m uda itu pun telah minta
diri. "Kami akan kembali ke padukuhan kami dan ikut bersiapsiap
pula." Mahisa Murti ter senyum. Katanya, "Terima kasih. Tetapi
jika y ang datang itu orang-orang yang membawa dendam,
kalian harus sangat berhati-hati."
Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Katanya,
"Mudah-mudahan segala kesulitan dapat di atasi oleh
padepokan ini." Sepeninggal anak-anak muda itu, maka Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat memang memberikan perintah-perintah kepada
para cantrik. Mereka harus bersiap-siap menghadapi segala
kemungkinan. Menurut perhitungan sekelompok orang yang
tidak diketahui dengan jelas itu tentu tidak akan datang ke
padepokan malam itu. Tetapi bagaimanapun juga segalanya
harus diper siapkan dengan sebaik-baiknya.
"Lipatkan jumlah para cantrik yang berada di panggungan
pengawasan. Sehingga mereka dapat berjaga-jaga bergantian,"
perintah Mahisa Murti. Sementara itu, semua penjagaan pun semakin ditingkatkan.
Pintu-pintu butulan mendapat pengawasan, baik dari
panggungan di belakang dinding padepokan, maupun dari
dalam padepokan. Apalagi pintu gerbang padepokan itu.
Selain padepokan itu, maka di padukuhan baru itu pun
telah terjadi persiapan yang melibatkan hampir semua orang
laki -laki. Bahkan mereka y ang rambutnya telah berwarna
rangkap, namun masih mampu memegang senjata dengan
kokoh, telah ikut pula berjaga-jaga.
"Tetapi kita jangan terpancing untuk menghamburkan
tenaga tanpa arti," berkata pemimpin padukuhan itu,
"sebagian dari kita harus sempat beristirahat bergantian.
Meskipun harus tidur di gardu-gardu."
Dengan demikian maka suasana di padepokan dan di
padukuhan baru itu memang menjadi agak tegang. Tetapi
dengan hati yang mantap penghuninya telah bersedia
menghadapi segala kemungkinan untuk meny elamatkan
padepokan dan padukuhan mereka y ang letaknya memang
tidak begitu jauh itu. Seperti yang diperhitungkan, maka malam itu memang
tidak terjadi sesuatu. Ternyata orang-orang y ang berkemah itu
tidur dengan ny enyak semalam suntuk k ecuali y ang b ertugas
berjaga-jaga. Mereka membuat perapian untuk
menghangatkan badan mereka. Bahkan beberapa orang di
antara mereka telah sempat mengambil ketela pohon yang
ditanam di pategalan di dekat tempat mereka berkemah.
Pagi-pagi orang-orang itu pun tidak bergegas meninggalkan
perkemahan mereka dan melanjutkan perjalanan. Tetapi
dengan seenaknya mereka menunggu makanan mereka
dipersiapkan oleh para petugas y ang memang khusus untuk
itu. Baru setelah matahari naik, pasukan itu mulai bergerak
meneruskan perjalanan mereka.
"Kita sudah tidak begitu jauh lagi," berkata petugas sandi
dari Kediri yang mempunyai gelar sandi Kecubung Ungu.
"Apakah tengah hari kita akan sampai," bertanya Empu
Angin. "Tengah hari kita akan sampai," jawab Kecubung Ungu.
"Bagus," jawab Empu Angin, "ada kesempatan untuk
melihat-lihat padepokan itu sebelum kita
menghancurkannya." "Maksudmu?" bertanya Kecubung Ungu.
"Melihat-lihat," jawab Empu Angin.
Kecubung Ungu tidak bertanya lagi. Ia m encoba m engerti
maksud Empu Angin. Namun ia pun m enangkap sikap yang
akan dapat merugikan diri sendiri. Baik Empu Angin maupun
Empu Pitrang terlalu y akin akan kemampuan diri dan
kelebihan kekuatan para cantrik padepokan mereka masingmasing,
sehingga dengan demikian mereka telah
merendahkan kekuatan padepokan Bajra Seta.
Tetapi Kecubung Ungu tidak merasa perlu untuk berkalikali
memberikan peringatan. Ia sudah pernah
memberitahukan kelebihan para pemimpin padepokan Bajra
Seta. Dan ia menganggap bahwa itu sudah cukup.
Seperti y ang mereka perhitungkan, maka mereka
mendekati padepokan menjelang matahari sampai ke puncak.
Beberapa orang di antara mereka mendapat perintah untuk
mencari tempat berkemah y ang paling baik.
" Ingat, besok pagi-pagi sebelum m atahari terbit kita akan
bergerak. Kita akan menyerang mereka dan
menghancurkannya," berkata Empu Angin kepada orang yang
mendapat perintah untuk mencari tempat berkemah, "karena
itu, tempat berkemah itu jangan terlalu jauh dari padepokan.
Sore nanti aku sendiri akan melihat-lihat padepokan itu
sambil memperingatkan agar padepokan Bajra Seta bersiapsiap
menghadapi sergapan kami esok pagi-pagi."


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kecubung Ungu seakan-akan tidak peduli lagi terhadap
sikap Empu Angin itu. Meskipun sebenarnya ia menjadi
cemas. Dalam pada itu, sudah dipersiapkan sejak malam harinya,
anak-anak muda dari beberapa padukuhan. Demikian
matahari terbit mereka telah pergi ke padepokan untuk
mencari keterangan tentang kemungkinan yang bakal terjadi.
Tetapi mereka sekaligus telah minta diri karena mungkin
mereka tidak akan kembali lebih dahulu menjelang
pertempuran y ang dapat saja terjadi setiap saat.
Sebelum tengah hari, anak-anak muda itu memasuki
padepokan. Beberapa saat lebih dahulu dari kehadiran
pasukan yang akan meny erang padepokan itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menerima mereka
dengan baik. Tetapi setiap kali kedua anak muda itu selalu
memperingatkan bahwa mereka belum tahu siapakah yang
bakal datang. "Kita harus sangat berhati-hati," pesan Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat. Ternyata beberapa saat kemudian, Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat telah mendapat laporan, bahwa sebuah pasukan
yang kuat telah berkemah tidak jauh dari padepokan itu.
"Mereka telah datang," berkata Mahisa Murti.
Diperintahkannya beberapa orang cantrik untuk
mengamati orang-orang itu. Namun ia selalu berpesan,
"berhati-hatilah. Kita tidak tahu, siapakah mereka dan kita
pun belum dapat menduga, sejauh manakah kemampuan
mereka. Baik secara pribadi maupun sebagai satu kesatuan."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah memberikan
perintah lewat dua orang cantrik kepada orang-orang yang
tinggal di padukuhan agar bersiap sepenuhnya. Mereka harus
siap untuk bergerak dengan cepat. Namun mereka pun harus
memberikan isyarat jika justru mereka y ang menjadi sasaran.
"Menilik perkemahan yang mereka buat, mereka
nampaknya berkepentingan dengan padepokan ini," berkata
cantrik yang memberikan laporan.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun ia pun
kemudian berdesis kepada Mahisa Pukat, "Nampaknya ada
hubungannya dengan petugas sandi yang terlepas itu. Ia
benar-benar ingin memotong laporan y ang mungkin akan kita
sampaikan tentang sikap beberapa orang pemimpin di Kediri."
"Apakah pasukan itu pasukan Kediri yang tidak
mengenakan kelengkapan dan pertanda keprajuritan?" desis
Mahisa Pukat. "Memang mungkin. Tetapi mungkin juga tidak. Nampaknya
Kediri atau katakanlah beberapa orang pemimpin Kediri tentu
akan berusaha untuk mencuci tangan seandainya langkahlangkah
yang diambil ini gagal," sahut Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun ia sadar, bahwa
pasukan itu tentu pasukan y ang kuat, karena mendukung satu
usaha y ang besar, menghapus jejak dari satu sikap yang ada di
Kediri." Namun Mahisa Murti masih menunggu laporan orangorangnya
y ang diperintahkannya untuk mengamati pasukan
yang sedang berkemah itu. Sementara itu Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat telah menyusun semua kekuatan y ang ada di
padepokannya. Kedua anak muda itu tidak dapat menganggap
kehadiran pasukan itu sebagaimana pasukan dari penjahat
yang ingin membalas dendam beberapa saat y ang lalu.
Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat juga tidak dapat
menggantungkan keselamatan padepokannya kepada orang
lain. Mereka harus tampil sebagai pemimpin yang
bertanggung jawab, karena mereka tidak akan dapat minta
bantuan kepada Pakuwon Sangling atau ke Singsari.
Dalam keadaan y ang demikian, maka Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat merasa bahwa hubungan mereka y ang akrab
dengan padukuhan di sekitarnya telah memberikan banyak
arti bagi padepokannya. Dalam keadaan yang gawat, ternyata
padukuhan-padukuhan y ang merasa pernah mendapat
bantuan dalam ujud apa pun juga dari padepokan Bajra Seta,
telah ikut berusaha memperingan beban padepokan itu.
Namun sebenarnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat merasa
sangat gelisah dengan anak-anak muda itu. Jika y ang datang
adalah sepasukan prajurit Kediri dengan tataran kemampuan
yang tinggi, maka anak-anak muda itu harus mendapat
sandaran kekuatan dari para cantrik y ang t erlatih. Demikian
pula sekelompok cantrik yang masih baru, y ang baru
mengenal dasar-dasar olah kanuragan.
Sementara itu, orang-orang y ang tinggal di padukuhan y ang
baru telah menghim pun kekuatan pula. Meskipun tidak
terlalu besar, namun mereka yakin bahwa bantuan mereka
akan berarti bagi padepokan Bajra Seta. Namun mereka masih
mencari cara y ang paling baik y ang dapat mereka pergunakan.
Ketika dua orang di antara orang-orang padukuhan y ang
baru itu datang k e padepokan untuk mendapatkan perintahperinlah,
maka Mahisa Murti berpesan kepada mereka,
"bersiap sajalah sebaik-baiknya. Nanti malam, aku akan
memberikan petunjuk apa yang harus kalian lakukan.
Sementara ini kami sedang berusaha menilai keadaan."
Sebenarnyalah padukuhan itu sudah bersiap. Berbagai
macam senjata telah di tempatkan di tempat yang paling
mapan. Baik untuk dipergunakan maupun untuk dibawa ke
padepokan. Mereka mempunyai beberapa ikat senjata
cadangan. Namun mereka pun telah menyiapkan busur dan
anak panah. Mungkin senjata jarak jauh itu akan berarti bagi
mereka. Namun dalam pada itu, di sore hari, para petugas y ang
mengamati keadaan di panggungan di belakang dinding
padepokan terkejut ketika m ereka melihat sekelompok orang
yang mendekati dinding padepokan. Mereka memang berhenti
agak jauh. Namun dengan tenangnya mereka berjalan hilir
mudik di arah pintu gerbang padepokan itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat y ang mendapat laporan
segera naik keatas pintu gerbang. Mereka melihat orang-orang
itu yang nampaknya sedang menilai kekuatan dinding dan
pintu gerbang padepokan itu.
"Mereka tentu bagian dari orang-orang y ang berkemah itu,"
berkata cantrik y ang telah mengamati tempat orang-orang
yang berkemah tidak jauh dari padepokan itu.
"Jika demikian, aku akan turun dan menemui mereka,"
berkata Mahisa Murti. Para cantrik termangu-mangu sejenak. Mereka menyadari,
bahwa langkah itu sangat berbahaya bagi kedua pemimpin
mereka. Namun Mahisa Murti berkata, "Mereka juga hanya
sekelompok kecil. Aku juga akan membawa beberapa orang
cantrik." Demikianlah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah bersiapsiap
untuk keluar dari regol padepokannya. Mahisa Semu telah
dibawanya pula bersama Wantilan. Namun Mahisa Amping
tidak diijinkan ikut keluar regol padepokan.
"Kau melihat saja dari atas pintu gerbang," berkata Mahisa
Murti. Sejenak kemudian, maka pintu gerbang padepokan itu
terbuka. Orang-orang y ang sedang melihat-lihat dan dengan
sengaja menunjukkan satu sikap yang terlalu y akin akan
kemampuan diri, telah terkejut. Apalagi ketika mereka melihat
beberapa orang keluar dari padepokan. Tidak lebih banyak
dari orang-orang yang dibawanya.
Empu Angin memandang sekelompok orang itu dengan
mata yang tidak berkedip. Sementara Empu Pitrang berdesis,
"Alangkah sombongnya mereka."
"Mereka masih t erlalu muda untuk menghadapi bahaya
yang sebenarnya sebagaimana sekarang ini," berkata Empu
Angin, " seperti kanak-kahak y ang tidak tahu, betapa panasnya
bara." "Aku ingin menangkap mereka sekarang," berkata Empu
Pitrang. "Jangan tergesa -gesa. Kita tidak membawa kekuatan cukup.
Jika para cantrik itu menghambur keluar, kita akan
mengalami kesulitan." cegah Empu Angin.
"Sementara itu kita panggil orang-orang kita," jawab Empu
Pitrang. "Mereka belum siap, karena mereka baru akan bergerak
besok pagi-pagi," jawab Empu Angin pula.
Empu Pitrang tidak berkata lebih lanjut. Namun terdengar
giginya gemeretak. Sikap para pemimpin padepokan itu benarbenar
telah meny inggung perasaannya.
"Seharusnya mereka tidak berani keluar dari gerbang
padepokannya," geram Empu Pitrang kemudian.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
telah m enjadi semakin dekat. Dengan tanpa ragu -ragu, maka
kedua anak muda bersama beberapa orang cantrik itu berhenti
hanya beberapa langkah saja di hadapan Empu Angin dan
Empu Pitrang. "Luar biasa," desis Empu Angin.
"Apa yang luar biasa?" bertanya Mahisa Murti.
"Ternyata kalian adalah anak-anak muda yang sangat
berani," berkata Empu Angin selanjutnya.
"Kenapa?" bertanya Mahisa Murti.
"Kalian memang terlalu sombong. Kau kira pada saat
seperti ini kami tidak dapat membunuh kalian?" bertanya
Empu Angin. Namun jawab Mahisa Murti benar-benar mengejutkan.
Katanya, "Tidak. Kalian tidak dapat m embunuh kami. Tetapi
jika kami m au, kamilah y ang akan dapat m embunuh kalian.
Kami dapat mengerahkan seluruh kekuatan di padepokan ini
langsung meny erang kalian. Betapa pun tinggi ilmu kalian,
namun kalian tidak akan mampu melawan. Nah, tanpa kalian,
apakah artinya pasukanmu diperkemahan itu" Tetapi kami
bukan orang yang licik, yang meny erang justru kalian sedang
dalam puncak kelemahan."
"Setan kau," geram Empu Pitrang, "jika saja aku tidak
mengingat harga diri, maka kalian akan menjadi lumat
sekarang ini." "Sebenarnya apa yang kalian maui?" Mahisa Murti
mendahului Mahisa Pukat y ang telah bergeser maju.
Mahisa Pukat hanya dapat m enarik nafas panjang untuk
mengendapkan hatinya y ang bergejolak.
"Anak-anak m uda," berkata
Empu Angin, "Aku datang
untuk melihat-lihat padepokanmu. Aku pun datang
untuk memberitahukan kepadamu, bahwa besok kami
akan m emasuki padepokanmu
dan membakar segala isinya.
Membunuh segala penghuninya. Maaf, hal ini
terpaksa kami lakukan, karena
kami merasa wajib untuk melakukan. Kecuali jika kalian
memang orang-orang y ang sangat licik dan pengecut,
sehingga kalian akan lari
mengungsi malam nanti. Kam i
tidak akan berkeberatan. Tetapi kami akan m enutup semua jalan dari dan menuju ke
padepokan ini." Tanggapan anak-anak muda itu pun sangat mengejutkan
Empu Angin dan Empu Pitrang. Kedua anak muda itu t etap
tenang tanpa menunjukkan kegelisahan dan gejolak
perasaannya. Seakan-akan yang dikatakan oleh Empu Angin
itu tidak lebih sebuah desah angin didedaunan.
"Kau dengar kata-kataku anak muda?" bentak Empu Angin
yang menjadi marah. "Aku mendengar," jawab Mahisa Murti, "tetapi belum
saatnya membacakan dongeng bagi anak-anak menjelang
tidur. Nanti jika matahari terbenam dan wajah sepi bocah
telah sampai, ulangi dongeng itu. Anak-anak akan segera
tertidur ny enyak." Empu Pitrang hampir tidak dapat menguasai diri. Tetapi
ketika ia bergerak, Mahisa Pukat pun telah bergerak pula.
Namun ternyata Empu Angin m asih dapat m enahan diri.
Dengan nada mengancam ia berkata, "Baiklah. Aku akan
kembali ke perkemahan. Tetapi ingat, besok pagi-pagi sekali
aku sudah datang lagi untuk menghancurkan padepokanmu.
Membakar semua bangunan yang ada dan membunuh semua
orang di dalamnya." Tetapi Mahisa Murti tersenyum. Katanya, "Selamat sore Ki
Sanak. Besok pagi-pagi kami menunggu kehadiranmu.
Sebaiknya jangan terlalu pagi agar kami sempat makan dan
minum." Jantung Empu Pitrang memang akan pecah mendengar
kata-kata y ang sangat m enyakitkan itu. T etapi ia tidak dapat
berbuat apa -apa karena Empu Angin ju stru mengajaknya
pergi. Di sepanjang jalan kembli ke perkemahan Empu Pitrang
mengumpat-umpat sejadi-jadiny a. Seakan-akan tidak ada
kata-kata kotor lagi y ang dapat diucapkan untuk melepaskan
kemarahannya y ang bagaikan menyumbat jalur
pernafasannya. Tetapi Empu Angin berkata, "besok aku ingin m enangkap
anak-anak itu hidup-hidup. Mereka tentu akan dapat menjadi
permainan y ang meny enangkan sekali."
"Ya. Aku setuju," berkata Empu Pitrang, "aku m emerlukan
mereka." Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang masih
berada di luar dinding padepokannya telah memerintahkan
orang-orang padukuhan baru itu untuk bersiap-siap. Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat melihat, betapa pasukan y ang datang
itu merupakan pasukan y ang sangat berbahaya.
Beberapa orang cantrik terpilih telah diperintahkan pula
untuk mengamati keadaan dan memberikan laporan terusmenerus
tidak usah m enunggu perkembangan apa pun yang
terjadi. Sejenak kemudian, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
telah berbicara dengan sungguh-sungguh bersama beberapa
orang cantrik tertua, Wantilan dan Mahisa Semu. Kemudian
menyusul pula pemimpin dari padukuhan baru yang tumbuh
semakin subur itu. Beberapa orang pemimpin kelompok anakanak


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

muda dari padukuhan-padukuhan y ang ada di
padepokan itu telah diajak berbicara pula.
Namun perintah y ang keluar dari bilik pembicaraan adalah,
semua orang harus segera beristirahat. Mereka supay a makan
lebih awal dan kemudian tidur barang sejenak.
"Kita harus bersiap-siap di tengah malam," para pemimpin
kelompok dari para cantrik itu memberikan perintah.
Para cantrik itu pun menduga, bahwa orang-orang y ang
sedang berkemah itu dapat saja bergerak di tengah m alam.
Karena itu, maka mereka harus berhati-hati. Mereka harus
mempergunakan waktu sebaik-baiknya untuk beristirahat.
Namun dalam pada itu, di sebuah bangsal para pemimpin
padepokan itu masih berunding dengan sungguh-sungguh.
Bahkan beberapa saat kemudian, m ereka telah berpindah ke
sanggar terbuka. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
memberikan beberapa petunjuk dan peragaan, apa yang harus
mereka lakukan. Bahkan ketika hari m enjadi gelap, mereka
telah m emasang obor-obor untuk menerangi sanggar terbuka
itu. "Semua pemimpin kelompok harus memahami," berkata
Mahisa Murti, "kita memiliki satu kelebihan. Kita lebih
menguasai m edan dari mereka. Sementara itu, para cantrik
yang mengamati mereka telah dapat memberikan laporan
lebih terperinci. Agaknya mereka dengan sengaja membiarkan
perkemahan mereka diawasi. Namun ingat, setelah gelap,
mereka pun tentu akan mengawasi semua jalan menuju ke
padepokan ini. Mereka tidak akan membiarkan kita
mengungsi meninggalkan padepokan ini. Tetapi sekali lagi.
Kita lebih menguasai medan."
Ketika segalanya sudah jelas, maka pertemuan itu pun telah
dibubarkan. Para pemimpin kelompok kemudian kembali ke
kelompok mereka masing-masing. Namun mereka tidak
memberitahukan apa pun juga kepada para cantrik. Apalagi
sebagian dari m ereka telah berbaring di pembaringan untuk
secepatnya beristirahat. Demikian pula anak-anak muda yang
datang dari padukuhan-padukuhan. Mereka telah mendapat
tempat khusus untuk bermalam.
Menj elang tengah malam, maka para pemimpin kelompok
telah berbenah diri. Sejenak kemudian, maka mereka pun
telah mempersiapkan kelompok masing-masing. Mereka harus
bersiap untuk bertempur menghadapi lawan yang harus
dianggap mempunyai kekuatan yang sangat besar.
Selagi kelompok-kelompok itu bersiap, maka sekelompok
cantrik terpilih telah bersiap untuk menjalankan tugasnya.
Tetapi mereka tidak segera berangkat meninggalkan
padepokan itu lebih dahulu.
Baru ketika semuanya sudah siap, maka perintah pun telah
diberikan berantai. Ternyata para cantrik akan keluar dari padepokan. Mereka
akan menempuh jalan y ang berada di luar jangkauan
pengawasan orang -orang yang ada di perkemahan.
Meskipun demikian, namun beberapa orang akan bertugas
untuk mendahului setiap jalur jalan y ang akan ditempuh oleh
para cantrik itu. Namun perintah itu pun belum jelas benar. Para pemimpin
kelompok baru mengumpulkan dan mengatur kelompokkelompok
mereka masing-masing. Malam pun m enjadi semakin dalam. Tengah malam pun
telah dilewati. Ketika isy arat terakhir telah diberikan, maka beberapa
orang pengamat khusus telah keluar dari padepokan. Mereka
tidak keluar regol depan. Tetapi mereka mempergunakan, tali
turun dari bagian belakang padepokan.
Sejenak kemudian maka mereka pun telah meny ebar.
Mereka m elihat keadaan di sekitar padepokan dengan sebaikbaiknya.
Mereka meyakinkan diri bahwa jalan-jalan y ang akan
ditempuh oleh para cantrik tidak ada dalam jangkauan
pengamatan orang-orang perkemahan.
Kelebihan para cantrik dengan menguasai medan lebih baik
dan orang -orang di perkemahan memungkinkan para cantrik
yang mengamati keadaan itu melihat lingkungan dengan
tuntas. Mereka dapat m engetahui di mana orang-orang yang
datang dan mengancam padepokan mereka itu melakukan
pengamatan. Seperti yang diperhitungkan, hanya jalan-jalan yang cukup
pantas untuk dilalui sebuah iring-iringan sajalah yang mereka
amati. Mereka tidak mengamati jalan-jalan setapak atau
bahkan pematang-pematang sawah dan lorong -lorong
pategalan. Dalam waktu yang ditentukan, maka para pengamat itu
telah kembali dan memberikan isyarat kepada para pemimpin
padepokan itu untuk mulai dengan sebuah tindakan yang
sudah diperhitungkan masak -masak.
Sebenarnyalah sejenak kemudian, maka sebuah reg ol
butulan telah terbuka. Sekelompok kecil cantrik telah keluar
dari pintu butulan itu. Sementara itu, kelompok-kelompok
yang lain telah keluar pula lewat tiga pintu butulan.
Malam itu para cantrik telah menempuh sebuah perjalanan
pendek. Tetapi mereka memang tidak melalui jalan
sewajarnya. Mereka justru telah melalui jalan-jalan setapak
dan lorong-lor ong di antara pategalan. Sementara itu, di
depan setiap kelompok yang menempuh jalan berbeda telah
berjalan lebih dahulu dua orang cantrik yang harus mengamati
keadaan. Ketika para cantrik itu sampai di tempat masing-masing,
barulah mereka tahu apa y ang harus mereka lakukan. Di
hadapan mereka nampak perkemahan orang-orang y ang telah
berniat untuk menghancurkan padepokan dan perguruan
Bajra Seta. Ternyata para cantrik dari padepokan itu justru telah
berada di seputar perkemahan orang-orang itu itu m eskipun
pada jarak yang masih belum terlalu dekat, sehingga belum
sampai pada tangkapan pengamatan para petugas mereka.
Demikian mereka berada di t empat yang telah ditentukan,
maka para pemimpin kelompok telah m emberikan beberapa
petunjuk kepada mereka, apa y ang harus mereka lakukan.
"Yang akan bergerak lebih dahulu adalah sekelompok
cantrik y ang telah terpilih," berkata seorang pemimpin
kelompok, "jika mereka berhasil, maka giliran y ang kemudian
adalah kita." Dengan demikian beberapa saat lamanya para cantrik itu
menunggu. Sementara itu, beberapa orang cantrik yang
dipimpin oleh Mahisa Semu telah merayap mendekati
perkemahan. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dengan sengaja
telah melepaskan Mahisa Semu y ang sudah cukup lama
ditempa. Sebelum di padepokan itu, ia sudah mengalami
latihan-latihan yang berat di sepanjang perjalanan, sehingga
sekaligus menimba pengalaman.
"Hati-hati," pesan Mahisa Murti, "kalian memiliki
pengenalan atas medan jauh lebih baik dari mereka."
Mahisa Semu m engangguk. Katanya, "Aku m ohon kakang
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat serta para cantrik berdoa
untuk kami." Mahisa Murti menepuk bahu anak muda itu. Katanya,
?"Tentu. Setiap kali kita semuanya berdoa untuk keselamatan
kita." Sejenak kemudian Mahisa Semu telah bergerak bersama
sepuluh orang cantrik pilihan. Tugas mereka mengacaukan
perkemahan itu. Jika mungkin mereka harus membakar
tempat per sediaan makan dan perlengkapan mereka, yang
sudah dapat diketahui tempatnya oleh orang-orang yang
mengamati perkemahan itu dengan sak sama.
Sebelas orang telah merangkak mendekati perkemahan.
Mereka membawa beberapa buah obor minyak serta beberapa
ikat blarak kering. Beberapa kampil biji jarak y ang akan
dilemparkan di tempat api y ang sudah menyala.
Dengan sangat hati-hati sebelas orang itu berhasil
mendekati perkemahan. Mereka berputar ke arah belakang
perkemahan mendekati tempat persediaan bahan makanan
dan perlengkapan. Beberapa saat lagi, para petugas di dapur
itu tentu sudah akan terbangun. Mereka harus menyiapkan
makan bagi para cantrik kedua padepokan yang akan
menyerang padepokan Bajra Seta itu.
Demikian m ereka berada di belakang sebuah gubug kecil
tempat mereka menyimpan bahan makanan dan
perlengkapan, maka para cantrik itu pun telah membuat api.
Dengan batu titikan dan seonggok amput aren. Dengan cepat
mereka harus meniup api yang sepeletik itu sehingga menjadi
besar. Seorang harus melindungi api itu sehingga tidak
nampak dari lingkungan di sekitarnya. Baru ketika api itu
mulai menyala dan membakar sebuah obor blarak maka oborobor
minyak pun dengan cepat pula menyala. Beberapa
onggok blarak yang diletakkan di belakang gubug kecil itu pun
dengan cepat terbakar. Sementara itu, sekampil biji jarak
kering telah dilemparkan pada nyala api y ang mulai menjilat.
Tetapi ny ala api obor b elarak itu tentu akan dengan cepat
surut. Namun sebelum api itu surut, maka biji jarak yang
dilempar itu pun telah mulai m enyala. Demikian pula gubug
kecil itu. Namun api itu pun dengan cepat diketahui pula. Beberapa
orang y ang bertugas pun berlari-larian sambil berteriak-teriak.
Namun beberapa orang cantrik y ang lain telah mendapat
tugas m ereka masing-masing. Empat orang di antara m ereka
dengan tangkas telah melepaskan anak panah dari busur
mereka. Para petugas y ang sedang berjaga-jaga itu pun tidak sempat
berteriak lagi, ketika anak panah para cantrik dari Bajra Seta
itu mengenai dada mereka.
Meskipun demikian beberapa orang yang lain pun segera
telah berlari -larian pula mendekat, namun beberapa anak
panah yang menyusul telah sempat memberikan waktu bagi
api yang menyala itu membakar gubug kecil dan kemudian
menjilat segala isinya. Tetapi perkemahan itu pun kemudian telah terbangun.
Semua orang telah bangkit dan bergegas pergi ke t empat api
yang menyala semakin besar. Onggokan-onggokan belarak,
ranting-ranting kecil y ang diambil dari persediaan di
perkemahan itu sendiri, beberapa kampil biji jarak yang telah
kering, obor-obor minyak yang dilemparkan pula ke gubug
kecil itu dan gubug kecil itu sendiri y ang terbuat dari kayu,
bambu dan batang ilalang, telah membuat api itu dengan cepat
menjilat bagaikan ingin menggapai langit, meskipun api itu
tidak akan bertahan lama. Namun jika kemudian api itu surut,
maka semua per sediaan bahan makanan dan perlengkapan
bagi orang-orang y ang sedang berkemah itu telah habis. Tidak
ada yang akan dapat mereka makan. Minum pun mereka akan
minum air y ang harus mereka lakukan. Demikian api menyala
semakin besar, maka pasukan para cantrik dari padepokan
Bajra Seta, anak-anak muda dari beberapa padukuhan dan
orang-orang padukuhan baru itu pun mulai bergeser
mendekat. Tetapi mereka belum mendapat isy arat untuk
bergerak. Sementara itu, orang-orang Bajra Seta yang telah berhasil
membakar segala per sediaan bahan makan dan perlengkapan
itu- pun telah berhasil meloloskan diri. Sebagaimana
dikatakan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, bahwa
mereka mengenal medan jauh lebih baik, telah membuat
mereka mampu melepaskan diri dari kejaran orang-orang
yang ada di perkemahan itu.
Empu Angin dan Empu Pitrang hanya dapat m engumpatumpat
saja. Dengan nada tinggi Empu Angin berkata hampir
berteriak, "besok, pagi-pagi benar kita balas sakit hati kita."
Para cantrik dari perguruan y ang dipimpin oleh Empu
Angin dan Empu Pitrang itu m emang hanya dapat m eny esali
kelengahan para petugas, terutama para petugas di dapur.
Seorang cantrik hampir tidak dapat menguasai dirinya dan
menyerang pemimpin dari mereka yang berjaga-jaga di dapur
malam itu. Untunglah beberapa orang kawannya sempat
melerai mereka. Dalam pada itu, Empu Angin berteriak pula, "Lupakan
persediaan makanan yang terbakar itu. Besok kita akan
mengambil per sediaan makanan yang lebih banyak dan lebih
baik di padepokan. Kita tentu tidak akan pernah kelaparan.
Apalagi di sekitar tempat itu terdapat banyak padukuhanpadukuhan
yang akan dapat m emberikan beras lebih banyak
dari yang kita perlukan."
Pernyataan Empu Angin itu memang dapat membuat para
cantriknya menjadi tenang.
Sementara itu, petugas sandi Kediri yang ada di dalam
perkemahan itu pula menjadi semakin y akin akan kemampuan
para pemimpin padepokan Bajra Seta. Tanpa per sediaan
makanan meskipun hanya untuk esok pagi, kekuatan pasukan
yang dipimpin Empu Angin dan Empu Pitrang itu tidak akan
memiliki ke kuatan utuh. Jika besok pertempuran terjadi,
menjelang tengah hari, para cantrik y ang dipimpin oleh Empu
Angin dan Empu Pitrang itu tentu sudah mulai dipengaruhi
oleh perasaan lapar mereka. Mungkin perasaan lapar itu
sendiri akan dapat dilupakan jika mereka menghadapi senjata
terhunus. Namun kekuatan mereka tidak akan mampu
bertahan lebih lama lagi jika keringat telah mengalir.
Tetapi petugas sandi dari Kediri itu telah menjadi kecewa
atas tanggapan kedua orang pemimpin dari pasukan yang
akan menyerang padepokan Bajra Seta itu. Karena itu, maka ia
pun justru telah kembali ke pembaringan.
Ketika k eadaan sudah m enjadi tenang serta api pun mulai
su sut, para cantrik telah mencari tem pat untuk berbaring lagi
meskipun waktunya telah hampir habis. Namun rasa-rasanya
malam-malam yang dingin itu telah m embuat mata mereka
melekat kembali. Beberapa saat kemudian, perkemahan itu telah menjadi
sepi kembali. Tetapi para petugas telah mendapat perintah
untuk lebih berhati-hati. Beberapa saat lagi, para penjaga itu
harus sudah membangunkan semua orang di perkemahan itu.
Karena tidak ada lagi yang akan dimasak dan dimakan pagi
itu, maka para petugas y ang seharusnya berada di dapur,
harus ikut bersama para cantrik y ang lain menghancurkan
pertahanan padepokan Bajra Seta. Sekaligus mereka akan
mendapatkan bahan makanan untuk persediaan mereka
selama berada di padepokan itu.
Untuk m enghilangkan kejengkelan dan kemarahan, maka


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

para cantrik dibawah pimpinan Empu Angin dan Empu
Pitrang itu telah dibiarkan tertidur kembali. Menjelang fajar
mereka akan dengan cepat dapat m empersiapkan diri, karena
mereka tidak perlu lagi menunggu makanan dan minuman
mereka. Saat itulah y ang ditunggu oleh Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat. Suasana di padepokan itu telah diwarnai dengan
kecemasan, kemarahan dan dendam.
Tetapi Empu Angin dan Empu Pitrang sendiri sama sekali
tidak ingin tertidur kembali. Mereka meny esali apa yang
terjadi. Tetapi mereka tidak dapat menghukum siapa pun
karena dengan demikian hanya akan mengurangi kekuatan
pasukan itu sendiri. Namun sudah terbersit di kepala mereka,
jika mereka telah berhasil menduduki padepokan dan merebut
segala persediaan makan dari perbekalan, maka y ang bersalah
tentu akan diusut kembali dan hukuman pun tidak akan dapat
dihindarkan. Sementara itu, Empu Angin dan Empu Pitrang memang
membiarkan orang -orangnya t ertidur. Mereka harus
melupakan kebakaran y ang baru-saja terjadi serta akibatnya.
Nanti, demikian mereka bangun, maka mereka pun harus
segera bersiap dan menyerang padepokan Bajra Seta.
mPu Angin dan Empu Pitrang tidak mempersiapkan
peralatan apa pun untuk memecahkan pintu gerbang. Mereka
juga tidak membawa tampar dan tali apa pun untuk
memanjat. Keduanya telah memutuskan untuk membakar saja
dinding padepokan, terutama pintu-pintunya. Pintu gerbang
dan pintu butulan. Yang m ereka persiapkan adalah ranting
dan kayu-kayu kering, minyak yang tersisa serta semua onc or
dan obor, serta blarak. Mereka ingin membalas kebakaran
yang telah terjadi di perkemahan itu. Empu Angin dan Empu
Pitrang telah mempersiapkan kelompok-kelompok yang harus
melindungi kawan-kawannya yang membakar dinding yang
paling lemah serta pintu-pintunya. Mereka telah dipersiapkan
dengan busur dan anak panah serta lembing-lembing yang
tajam. Menj elang pagi, maka semua orang di perkemahan itu telah
dibangunkan. Dengan cepat mereka bersiap. Tidak ada
makanan dan tidak ada m inuman hangat. Semua per sediaan
dan peralatan telah terbakar.
Dengan singkat Empu Angin dan Empu Pitrang telah
memberikan perintah-perintah. Beberapa orang Putut yang
memiliki kemampuan lebih tinggi dari para cantrik segera
tanggap. Beberapa orang cantrik telah ditunjuk untuk
membawa kayu-kayu kering, belarak, ilalang kering, minyak
yang masih tersisa serta semua obor dan onc or.
Beberapa saat kemudian, maka pasukan itu telah mulai
bergerak. Pa sukan y ang telah dibekali dengan kejengkelan dan
kecewa, karena sama sekali tidak ada per sediaan makan dan
minum. Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
memberikan isyarat kepada para cantrik, anak-anak muda
yang bergabung dengan pasukannya serta orang-orang yang
berada di padukuhan yang baru itu. Mereka harus
mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Justru saat pasukan
lawan itu mulai bergerak.
Sebenarnyalah, ketika iring-iringan itu lepas dari
perkemahan dan merayap di sepanjang jalan menuju ke
padepokan, maka perintah Mahisa Murti pun telah dijatuhkan.
Para cantrik, anak-anak muda dari beberapa padukuhan yang
bersama dengan mereka serta para penghuni padukuhan yang
baru, dengan serta m erta telah m eny erang iring-iringan yang
sama sekali tidak mengira bahwa serangan y ang tiba-tiba itu
akan datang. Para petugas y ang mengamati keadaan pun telah
berada di dalam iring-iringan itu pula, sehingga mereka tidak
melihat kedatangan pasukan yang tiba -tiba saja telah
menyerang. Medan pertempuran y ang terjadi memang menjadi
panjang. Mahisa Murti memang menghendaki hal yang
demikian. Sementara itu, para cantriknya telah
mempersiapkan serangan dengan cara yang tidak
diperhitungkan sama sekali oleh pasukan Empu Angin dan
Empu Pitrang, y ang jumlahnya memang lebih besar dari
pasukan yang dipimpin langsung oleh Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat itu. Ketika pasukan Empu Angin dan Empu Pitrang terkejut
mendapat serangan yang tiba -tiba serta dengan serta merta
bersiap menghadapi mereka, maka dari sisi y ang lain,
beberapa orang cantrik yang bertugas t elah meny erang iringiringan
y ang panjang itu dengan busur dan anak panah.
Beberapa orang di dalam iring-iringan itu tidak sempat
berbuat sesuatu. Punggung mereka tiba -tiba saja telah
tertembus anak panah. Hampir berbareng, mereka yang
terkena anak panah itu pun telah terjatuh di tanah sambil
berteriak kesakitan. Bahkan ada di antara mereka yang justru
tidak sempat berteriak lagi.
Dalam keadaan yang demikian, maka pasukan Empu
Angin dan Empu Pitrang memang menjadi bingung. Mereka benar-benar tidak mengira bahwa mereka akan
menghadapi serangan yang membingungkan itu. Empu Angin dan Empu Pitrang yang
telah merendahkan orangorang
padepokan Bajra Seta, tidak sempat meny esali diri.
Keadaan telah menjadi sangat
rumit. Empu Angin y ang berusaha
untuk mengatasi keadaan telah
berteriak, "jangan hiraukan
orang-orang licik yang menyerang kalian dengan anak panah dari belakang. Jumlah
mereka tidak banyak, y ang berperisai harus berusaha
melindungi diri dan kawan-kawannya. Sementara seluruh
pasukan harus menghadapi serangan dari induk pasukan."
Sebenarnyalah para Putut telah m eneriakkan perintah itu
sambung bersambung sampai ke ujung. Dengan geram para
cantrik itu pun telah berlari-larian meny ongsong serangan
dari induk pasukan y ang dipimpin langsung oleh Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat. Namun beberapa orang telah berusaha melindungi kawankawannya
dengan peri sai. Sementara para cantrik yang
dipersiapkan oleh Empu Angin dan Empu Pitrang melindungi
kawan-kawannya yang akan membakar pintu gerbang telah
mempergunakan anak panah dan busur mereka untuk
melawan serangan y ang datang dari belakang, meskipun
mereka harus bergerak mundur mengikuti gerak seluruh
pasukan. Tetapi dengan demikian, maka lontaran anak panah dari
pasukan Empu Angin dan Empu Pitrang itu mampu menyusut
tekanan para cantrik dari perguruan Bajra Seta.
Sebenarnyalah yang terjadi itu telah menggetarkan jantung
Empu Angin dan Empu Pitrang. Ternyata anak-anak muda
yang ditemuinya di muka pintu gerbang padepokan Bajra Seta
bukan hanya mampu berbicara dengan sombong dan bahkan
membual untuk menutupi kelemahannya. Mereka ternyata
memiliki keberanian yang luar biasa y ang tidak diperkirakan
sama sekali sebelumnya. Bahkan Empu Angin dan Empu Pitrang pun mulai
mempertimbangkan pendapat prajurit sandi dari Kediri yang
semula dianggapnya tidak lebih dari sikap sangat berhati -hati.
Menghadapi serangan y ang tiba -tiba dan tidak
diperhitungkan sama sekali itu, Empu Angin dan Empu
Pitrang hanya dapat meny esuaikan diri. Ternyata para cantrik
dari padepokan Bajra Sela dalam keremangan fajar telah
sempat menyusun gelar yang melebar.
Empu Angin dan Empu Pitrang sama sekali tidak
mempersiapkan diri untuk bertempur di tempat terbuka.
Mereka sejak semula telah mempersiapkan diri untuk
mengepung sebuah padepokan dan menghancurkannya.
Terakhir kedua pemimpin itu sepakat untuk membakar pintu
gerbang padepokan Bajra Seta y ang terbuat dari kayu yang
tebal. Namun Empu Angin dan Empu Pitrang
memperhitungkan bahwa pintu itu akan dapat dibakarnya
bersama panggungan di atasnya. Demikian pula pintu-pintu
gerbang butulan yang lebih kecil.
Tetapi justru orang-orang padepokan itulah y ang telah ke
luar dari sarang mereka dan meny erang pasukan y ang sedang
merayap dalam bentangan y ang melebar.
Empu Angin dan Empu Pitrang memang berusaha
menyusut bentangan itu. Satu-satunya gelar y ang dapat
dipersiapkan dalam waktu dekat adalah gelar Emprit Neba.
Gelar y ang memang paling sesuai dengan sifat dan watak para
cantrik kedua padepokan itu. Keras dan ka sar. Terlalu percaya
kepada diri sendiri dan kemampuan mereka secara pribadi.
Empu Angin dan Empu Pitrang berharap bahwa benturan
yang akan terjadi, tentu akan merusak gelar lawan serta
memancing mereka untuk bertempur dalam lingkaranlingkaran
pertemuran y ang terpecah-pecah. Sehingga akan
terjadi perang brubuh. Dalam keadaan yang demikian, maka
para cantrik y ang melontarkan anak panah dari belakang tidak
akan berani menyerang mereka lagi, karena para cantrik itu
tidak akan m au memikul akibat bahwa anak panah mereka
akan mengenai kawan-kawan mereka sendiri.
Demikianlah, maka Empu Angin dan Empu Pitrang pun
telah meneriakkan aba-aba kepada seluruh pasukannya untuk
menyerang para cantrik dari perguruan Bajra Seta dengan
gelar Emprit Neba. Dengan demikian, maka seluruh kekuatan pasukan itu pun
telah berlari-larian sambil mengacu-acukan senjata mereka
menyerang para cantrik dari perguruan Bajra Seta yang
memasang gelar Wulan Tumanggal.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat y ang melihat serangan itu
pun dengan segera telah m emberikan aba -aba untuk mengisi
gelar Wulan Punanggal itu dengan gelar y ang lain. Gelar
Jurang Grawah, justru pada saat lawan mempergunakan Gelar
Emprit Neba. Sementara itu, ketika pasukan Empu Angin dan Empu
Pitrang berlari-larian meny erang, maka para cantrik yang
mempergunakan busur dan anak panah telah mempergunakan
saat y ang pendek itu untuk mengurangi jumlah lawan mereka.
Beberapa orang memang jatuh tertelungkup ketika punggung
mereka tertusuk anak panah.
Ketika kedua pasukan itu berbenturan, maka langit pun
menjadi semakin terang. Kedua belah pihak m enjadi semakin
jelas, siapa-siapa y ang mereka hadapi. Sebuah perguruan yang
harus membela diri melawan dua perguruan y ang cukup besar
di bawah pimpinan Empu angin dan Empu Pitrang.
Beruntunglah perguruan Bajra Seta bahwa anak-anak muda
dari beberapa perguruan telah membantu mereka
mempertahankan perguruan dan padepokan Bajra Seta.
Demikian pula orang-orang yang telah membangunkan sebuah
padukuhan baru. Meskipun jumlah mereka tidak begitu
banyak, tetapi mereka adalah orang-orang yang memiliki
pengalaman y ang luas ditambah dengan pengetahuan olah
kanuragan yang lebih mapan, sehingga dengan demikian,
mereka adalah orang -orang yang tangguh menghadapi
keadaan yang betapa pun sulitnya.
Ternyata Empu Angin dan Empu Pitrang yang langsung
turun di arena pertempuran itu, sama sekali tidak mengekang
diri. Tanpa ampun, orang-orang y ang m enghalangi geraknya
telah dilumpuhkannya. Tetapi mereka tidak t erlalu lama berkesempatan untuk
membantai lawan-lawannya. Dengan segera Mahisa Murti
telah menghadapi Empu Angin, sementara Mahisa Pukat telah
berada di hadapan Empu Pitrang.
Meskipun kedua orang pemimpin padepokan y ang
menyerang perguruan Bajra Seta itu telah melihat keny ataan,
ketangkasan berpikir dan menentukan sikap dari dari para
pemimpin perguruan Bajra Seta, namun melihat kehadiran
anak-anak muda itu, keduanya masih saja menganggap
mereka masih kanak-kanak.
Karena itu, ketika Mahisa Murti berdiri tegak di hadapan
Empu Angin, maka Empu Angin itu pun berkata, "say ang. Kau
ternyata harus mati muda. Tetapi yang terjadi itu adalah buah
dari biji yang pernah kau taburkan. Jika kau tidak dengan
sombong mengganggu orang lain, maka kami tidak akan
datang mengadilimu sekarang ini."
"Aku tidak tahu apa yang kau katakan. Aku tidak m engerti
yang kau maksud dengan ceriteramu itu," jawab Mahisa Murti.
"Jika demikian, sebaiknya kau m ati dalam kedunguanmu.
Mungkin kau akan merasa lebih berbahagia karena jika kau
mengerti, betapa dungunya kau, maka kau tentu akan
menyesal," berkata Empu Angin.
Mahisa Murti memang tidak mengerti maksud Empu
Angin. Karena itu maka ia pun tidak menjawab. Tetapi ia
sudah mempersiapkan diri sebaik-baiknya untuk melawannya.
Sementara itu Empu Pitrang y ang lebih garang dari Empu
Angin telah bersiap pula menghancurkan Mahisa Pukat.
Dengan kasar ia m embentak, "Kau anak iblis, meny erahlah.
Kau akan m endapat jalan kematian y ang terbaik. Tetapi jika
kau ingin melawan aku, maka kau akan meny esal di saat-saat
terakhir dari hidupmu."
Mahisa Pukat m emang tersinggung m endengar kata-kata
itu. Dengan lantang pula ia m enjawab, "Kenapa bukan kau
sa ja yang berlutut di hadapanku sambil menunduk" Aku akan
memenggal lehermu seperti memenggal batang pisang."
Empu Pitrang itu menggeretakkan giginya. Dengan
garangnya ia pun meloncat meny erang Mahisa Pukat.
Senjatanya, sebuah tombak pendek telah berputar dan
menyambar dalam ayunan mendatar. Namun ketika Mahisa
Pukat meloncat surut, ujung tombak itu telah mengejarnya.
Tetapi Mahisa Pukat cukup tangkas untuk menghindari
kejaran ujung tombak itu.
Sejenak kemudian, maka pertempuran pun telah menjadi
semakin sengit. Para cantrik dari perguruan Bajra Seta telah
mengetrapkan gelar Jurang Grawah dengan baik. Ketika


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

benturan antara kedua pasukan terjadi, maka lapisan pertama
dari gelar Wulan Tumanggal pasukan perguruan Bajra Seta
telah terbuka. Demikian beberapa orang lawan menyusup
masuk, maka lapisan pertama itu telah menutup kembali.
Sementara itu, m aka para cantrik dalam gelar Emprit Neba
yang terserap dalam gelar Jurang Grawah harus menghadapi
lawan pada lapisan berikutnya y ang dengan tiba -tiba saja
menyerang mereka. Ketika matahari kemudian memanjat semakin tinggi, maka
pertempuran pun menjadi semakin seru. Ternyata di saat
benturan kedua pasukan terjadi, para cantrik dari perguruan
Empu Angin dan Empu Pitrang telah banyak susut. Kecuali
serangan anak panah para cantrik dari arah yang
berseberangan induk pasukannya, m aka sergapan y ang tibatiba
dari pasukan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, telah
sempat menguasai kesempatan-kesempatan pertama dalam
pertempuran itu. Selanjutnya gelar tangkap pada pasukan dari
perguruan Bajra Seta telah membingungkan lawan-lawan
mereka pula. Empu Angin dan Empu Pitrang benar-benar tidak mengira
bahwa pasukannya yang dianggapnya cukup tangguh itu akan
mengalami kesulitan menghadapi perguruan Bajra Seta yang
dipimpin oleh anak-anak muda.
Tetapi Empu Angin dan Empu Pitrang masih m empunyai
satu key akinan bahwa kemenangan terakhir akan ada pada
mereka. "Jika anak ini telah kehilangan kemampuannya untuk
melawan, m aka cantrik-cantriknya akan dengan cepat dapat
dibinasakannya," berkata Empu Angin di dalam hatinya.
Namun ia m asih juga ingin m enangkap Mahisa Murti hiduphidup
jika mungkin. "Jika aku dapat menangkapnya hidup-hidup, maka anak itu
akan dapat menjadi permainan y ang menyenangkan," berkata
Empu Angin di dalam hatinya.
Sementara itu Empu Angin ternyata masih belum
mempergunakan senjatanya. Ia masih berusaha untuk
mengalahkan lawannya, tetapi tidak membunuhnya.
Tetapi ternyata Mahisa Murti bukan anak muda y ang
dengan mudah dapat dikuasainya. Bahkan karena Empu
Angin masih belum bersenjata, Mahisa Murti pun masih
belum mempergunakan senjatanya pula.
Dengan tangkasnya Empu Angin berloncatan meny erang
Mahisa Murti. Semakin lama semakin cepat. Ayunan
tangannya rasa-rasanya menjadi semakin berat pula.
"Kenapa kau tidak m empergunakan senjatamu?" bertanya
Empu Angin. Jawaban Mahisa Murti memang membuat t elinganya
menjadi merah. Katanya, "Tanganku lebih tajam dari
pedangku. He, kenapa kau juga tidak bersenjata?"
mPu Angin mengeram. Namun serangannya pun m enjadi
semakin garang. Tangannya bergerak berputaran. Namun
kemudian m enebas dengan cepatnya. Jari-jarinya y ang lurus
merapat, mematuk ke arah lambung.
Namun dengan tangkas Mahisa Murti berloncatan
menghindari serangan-serangan itu. Bahkan tiba -tiba saja
dengan gerak berputar kakinya terayun menyambar ke arah
kening. Jika mereka berhasil, m aka day a tahan orang-orang y ang
menyerang padepokan Bajra Seta itu tentu akan dengan cepat
su sut. Namun sebenarnyalah, bahwa jumlah pasukan y ang
menyerang perguruan Bajra Seta itu memang cepat susut.
Dalam laku tangkap Jurang Grawah, setiap kali cantrik dari
perguruan y ang dipimpin oleh Empu Angin dan Empu Pitrang
itu hilang seorang demi seorang.
Tetapi sementara itu, beberapa orang Putut dalam pasukan
yang m eny erang perguruan Bajra Seta itu memang memiliki
kelebihan dari para cantrik kebanyakan. Cantrik-cantrik
terpilih sajalah y ang harus melawan mereka agar Putut-putut
yang bagaikan m engamuk itu tertahan. Jika seorang cantrik
tidak mampu menahannya, maka dua orang cantrik dari
perguruan Bajra Seta ikan bersama-sama menghadapi mereka.
Sementara itu, seorang di antara para Putut y ang memiliki
ilmu yang mulai mapan masih saja bertempur melawan
Mahisa Semu. Ternyata bahwa ilmu y ang t elah diwarisi oleh
Mahisa Semu telah cukup dipergunakannya sebagai bekal
untuk menghadapi pertempuran yang sesungguhnya.
Dengan ilmu pedangnya y ang mapan, maka Mahisa Semu
telah menghadapinya dengan darah y ang hampir mendidih.
Tongkat baja y ang dipergunakannya sebagai senjata telah
terayun -ayun mengerikan. Namun pedang Mahisa Semu pun
bergerak cepat sekali. Beberapa kali benturan telah terjadi.
Meskipun menghantam tongkat baja yang keras, namun
pedang Mahisa Semu sama sekali tidak m enjadi cacat, karena
pedangnya itu pun telah dibuat dari besi baja pilihan.
Pertempuran antara keduanya memang menjadi semakin
sengit. Putut itu semakin lama m enjadi semakin marah. Ia
tidak dengan cepat menguasai lawannya yang m asih sangat
muda itu. Bahkan sekali-sekali ia justru mulai terdesak surut.
"Anak iblis," Putut itu menggeram.
"Kenapa?" bertanya Mahisa Semu, "apakah kau mulai
letih?" "Tutup mulutmu," bentak Putut itu, "atau aku akan
mengoy akannya." "Kau tidak usah terlalu bernafsu," berkata Mahisa Semu,
"nikmati saja kenyataan y ang kau hadapi. Bukankah kita
memiliki kesempatan yang sama?"
"Aku bunuh kau dengan caraku," geram Putut itu sambil
menghentakkan tongkat bajanya.
"Kau atau aku," sahut Mahisa Semu, "semuanya tergantung
sekali kepada Yang Maha Agung."
Putut itu berusaha untuk memaksakan kemampuannya
mengakhiri perlawanan Mahisa Semu y ang masih sangat
muda itu. Namun Mahisa Semu justru memanfaatkan
kemarahan Putut itu untuk memancingnya mengerahkan
kekuatannya. Namun ketangkasan permainan pedang Mahisa Semu
memang sulit untuk di atasi. Meskipun Putut itu kemudian
telah sampai pada tataran tertinggi dari ilmunya.
Di induk pasukan Empu Angin masih b ertempur melawan
Mahisa Murti dengan sengitnya. Keduanya adalah orangorang
yang memiliki kelebihan y ang bahkan di luar penalaran
orang kebanyakan. Empu Angin y ang mampu bergerak dengan
kecepatan y ang sangat tinggi itu, ternyata tidak mampu
melampaui tataran kemampuan Mahisa Murti.
Namun Empu Angin adalah bukan orang kebanyakan. Di
saat y ang paling gawat, maka ia pun telah mengerahkan
kemampuannya y ang tertinggi.
Tetapi, Mahisa Murti pun telah meningkatkan
kemampuannya pula sehingga mampu mengimbangi
kecepatan gerak Empu Angin. Dengan demikian maka
pertempuran di antara mereka masih saja berlangsung dengan
sengitnya. Dalam keadaan yang semakin sulit bagi pasukannya, maka
Empu Angin tidak m empunyai pilihan lain. Ia harus dengan
secepatnya menghancurkan lawannya y ang masih muda itu
dan menolong seluruh pasukannya y ang semakin terjepit.
Empu Angin mengerti bahwa satu-satu orangnya terjebak
dalam gelar Jurang grawah y ang merupakan gelar rangkapan
dari gelar Wulan Tumanggal y ang semakin mencengkam.
Kedua ujung gelar itu rasa-rasanya menjadi semakin menjepit
pasukan Empu Angin dan Empu Pitrang y ang m emilih gelar
Emprit Neba. Ternyata Empu Angin masih memiliki ilmu simpanan y ang
mendebarkan. Sebagai seorang yang dikagumi dan dihormati
oleh seisi padepokannya, maka Empu Angin tidak akan
membiarkan dirinya dikalahkan hanya oleh seorang anak
muda. Karena itu, maka sejenak kemudian, Empu Angin telah
mengetrapkan ilmu simpanannya.
Ketika Empu Angin itu semakin terdesak oleh kesulitan atas
seluruh pasukannya, maka Empu Angin telah melontarkan
ilmu pamungkasny a. Mahisa Murti y ang melihat Empu Angin itu berdiri tegak di
atas kedua kakinya, kemudian mengangkat tangan kanannya,
telah mempersiapkan diri pula menghadapi lontaran ilmu
yang sudah diduganya. Sebenarnyalah, dari telapak tangan Empu Angin itu telah
meloncat lidah api, yang menyambar ke arah lawannya
bagaikan petir kecil y ang meloncat menyambar dengan
dahsy atnya. Mahisa Murti y ang telah bersiap menghadapi kemungkinan
ini telah meloncat menghindar. Loncatan lidah api yang
meskipun nampaknya hanya seleret kecil itu ternyata telah
mengejutkannya. Lidah api yang tidak mengenainya itu telah
menyentuh tanah dan sebuah ledakan telah terjadi. Segumpal
tanal bagaikan dilempar ke udara dan runtuh menghambur di
sekitarnya. Beberapa orang yang sedang bertempur di sekitarnya telah
menyibak. Bukan saja orang-orang padepokan Bajra Seta,
tetapi juga para cantrik dari padepokan Empu Angin sendiri.
"Dari iblis mana kau mendapat kemampuan bergerak
begitu cepat," geram Empu Angin. Lalu katanya, "Tetapi
bagaimanapun juga kau mampu menghindar, namun akhirnya
petirku akan menyambar kepalamu hingga pecah."
Mahisa Murti yang telah melenting berdiri termangumangu
sejenak. Ia sadar, bahwa lidah api itu benar-benar akan
dapat membakar tubuhnya dan barangkali memecahkan
kepalanya seperti y ang dikatakan oleh Empu Angin itu.
Namun sebelum hal itu terjadi, m aka Mahisa Murti tentu
akan berusaha mencegahnya.
Dalam pada itu, maka Mahisa Murti itu pun kemudian
berkata, "Ki Sanak. Apakah y ang sebenarnya dapat kau
lakukan. Meskipun kau berilmu rangkap tujuh, namun orangorangmu
sudah menjadi semakin tidak berdaya. Jika kau mau
melihat kenyataan, maka aku kira, kita masih mempunyai
kesempatan untuk berbicara."
Tetapi Empu Angin sama sekali t idak mendengarkannya.
Sekali lagi ia mengangkat tangannya dan seleret lidah api telah
meloncat menyambar. Namun Mahisa Murti pun cukup tangkas. Dengan
kecepatan yang sangat tinggi, ia pun telah meloncat dan
berguling di tanah. Kemudian melenting berdiri.
Namun sekali lagi tanah tempat Mahisa Murti semula
berpijak bagaikan m eledak dan m enghamburkan gumpalangumpalan
tanah ke udara. Para cantrik dari Padepokan Empu Angin y ang semula
telah berputus a sa telah bangkit kembali. Meskipun jumlah
mereka telah jauh berkurang, namun bahwa pemimpin
mereka telah m elepaskan ilmu simpanannya, telah membuat
para cantrik itu berpengharapan. Menurut pengertian m ereka
tidak ada orang y ang m ampu m elepaskan diri dari serangan
ilmu Empu Angin itu. Menurut pengalaman para cantrik, yang
terlontar dari tangan Empu Angin itu adalah inti dari arus
angin yang dahsy at y ang menggumpal menyatu memadat
menjadi lidah api yang menggetarkan.
Namun para cantrik yang sempat menyaksikan lontaran
ilmu Empu Angin itu pun terkejut. Ternyata pimpinan
padepokan Bajra Seta itu mampu menghindarkan diri dari
sambaran kekuatan ilmu Empu Angin itu.
Meskipun kemudian Empu Angin mengulanginya, tetapi
ilmu y ang dahsy at itu ternyata tidak meny entuh sa sarannya.
Empu Angin sendiri menjadi semakin marah. Namun justru
karena itu, maka ia menjadi semakin tergesa -gesa
melontarkan ilmunya sehingga bidikannya pun menjadi
semakin kurang terarah. Sementara itu, medan pertempuran itu pun benar-benar
telah dikuasai oleh para cantrik, dari padepokan Bajra Seta,
anak-anak muda padukuhan di sekitarnya dan orang-orang
yang tinggal di padukuhan baru. Para cantrik dari dua
padepokan y ang meny erang padepokan Bajra Seta itu ternyata
tidak berdaya lagi. Bukan saja untuk menghancurkan
padepokan Bajra Seta, bahkan untuk melindungi diri sendiri
pun nampaknya mereka sudah mengalami kesulitan.
Namun para penghuni padukuhan baru itu pun ternyata
telah terkendali. Tidak seperti saat mereka bertempur
melawan orang-orang y ang mendendam kepada mereka.
Ber sama para cantrik dari padepokan Bajra Seta maka mereka
telah berusaha untuk mengekang diri sejauh dapat mereka
lakukan. Sementara itu, Mahisa Pukat y ang bertempur melawan
Empu Pitrang telah berusaha memperingatkan pula, bahwa
orang-orangnya telah tidak berdaya lagi.
"Jika kau dan saudaramu itu terbunuh, maka para cantrik
dari perguruan Bajra Seta pun tidak akan berarti apa-apa lagi.
Dalam waktu sekejap, mereka akan segera kami bantai sampai
orang y ang terakhir," berkata Empu Pitrang.
"Nampaknya kau sempat mengigau meskipun kau tidak
tidur," berkata Mahisa Pukat.
Empu Pitrang y ang merasa ter singgung telah melompat
sanibil menebas dengan ujung senjatanya. Tetapi Mahisa
Pukat dengan tangkas bergeser surut.
"Kau pun akan segera mati," geram Empu Pitrang,
"saudaramu tidak akan berumur sampai sepenginang lagi.
Apalagi Empu Angin telah melepaskan ilmu pamungkasnya.
Saudaramu tentu akan segera menjadi lumat."
Demikian kata -kata itu selesai, terdengar ledakkan ilmu
Empu Angin y ang melontarkan debu berhamburan. Sementara
Mahisa Murti masih berdiri tegak beberapa langkah dari
ledakan tanah yang menghambur itu.
"Nah, lihat," berkata Mahisa Pukat, " saudaraku masih tetap
tegar." "Tetapi kau tidak akan dapat bertahan," geram Empu
Pitrang. Mahisa Pukat pun telah dengan sungguh-sungguh
memperhatikan setiap gerak lawannya yang menurut
perhitungannya tentu akan segera sampai pada ilmu
pamungkasny a, sebagaimana Empu Angin.
Sebenarnyalah bahwa Empu Pitrang pun telah
mempertimbangkan untuk membunuh saja anak muda itu
dengan ilmu pamungkasny a. Agaknya sulit baginya untuk


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berusaha menangkap anak itu hidup-hidup. Sebagaimana
Empu Angin pun telah melontarkan ilmu tertinggi yang
dimilikinya tanpa mempertimbangkan lagi usaha untuk
menangkapnya hidup-hidup.
Karena itu, ketika Empu Pitrang mendapat kesempatan,
maka ia pun telah mengacukan tombaknya ke arah Mahisa
Pukat. Dengan satu hentakan ilmu, maka t ombak itu seakanakan
telah m eny emburkan api yang mematuk ke arah tubuh
Mahisa Pukat. Mahisa Pukat yang telah bersedia menghadapi serangan itu
pun dengan serta merta telah meloncat menghindar, sehingga
api y ang meluncur itu tidak mengenainya.
Namun Mahisa Pukat pun mengetahui, betapa dahsy atnya
serangan itu. Jika api y ang m enyembur dan meluncur cepat
itu m engenainya, maka tubuhnya tentu akan m enjadi hangus
terbakar. Namun, dalam keadaan y ang gawat itu Mahisa Pukat masih
mampu menilai bahwa serangan Empu Angin nampaknya
lebih berbahaya dari serangan Empu Pitrang.
Untuk beberapa saat Mahisa Pukat masih berusaha
mengatasi ilmu itu dengan kemampuan ilmu pedangnya. Jika
serangan itu datang, maka Mahisa Pukat telah meloncat
melenting untuk menghindar. Namun tiba-tiba saja ia telah
meloncat meny erang dengan pedangnya yang terjulur
panjang. Tetapi ternyata sulit juga bagi Mahisa Pukat untuk
menggapai orang itu dengan ujung pedangnya.
Sementara itu, pertempuran pun sudah menjadi semakin
pasti. Keseimbangannya telah banyak berubah. Mahisa Semu
yang bertempur melawan seorang Putut ternyata
menunjukkan kemampuan ilmu pedangnya yang tinggi.
Dengan demikian, maka disaat-saat terakhir, Mahisa Semu
telah berhasil m endesak lawannya sehingga pada suatu saat,
Putut itu tidak lagi mampu mengelakkan serangan Mahisa
Semu. Ketika pedang Mahisa Semu terayun dengan deras
menyilang, maka ujung pedang itu telah meny entuh dada
lawannya. Kulit Putut itu pun telah
terkoyak karenanya. Sebuah
luka telah menganga. Namun Putut itu ternyata memiliki daya tahan yang sangat kuat. Meskipun dari
lukanya darah telah mengalir,
namun ia masih bertempur dengan sengitnya. "Meny erahlah," berkata
Mahisa Semu, "atau kau akan
kehabisan darah." "Persetan," geram Putut
itu, "aku akan memenggal
lehermu." Tetapi ternyata bahwa Mahisa Semu bergerak jauh
lebih cepat dari Putut itu.
Mulutnya belum lagi terkatub, ujung pedang Mahisa Semu
telah menggapai tubuh itu. Meskipun Putut itu meloncat
mengelak, tetapi pundaknya masih juga tergores sehingga
terluka. Putut itu mengumpat semakin kasar. Namun serangan
Mahisa Semu menjadi semakin menekan pula.
Namun Mahisa Semu masih juga memperingatkannya
kembali, "Ma sih ada kesempatan untuk meny erah."
Tetapi orang itu sama sekali tidak mau m enyerah. Ia ingin
mempergunakan saat Mahisa Semu m emperingatkannya itu.
Dengan serta merta ia meloncat sambil menebas dengan
pedangnya mendatar ke arah leher.
Jika pedang itu dapat mengenai sasarannya, maka Mahisa
Semu benar-benar akan kehilangan kepalanya. Serangan itu
ternyata disertai dengan hentakkan kekuatannya y ang tersisa.
Meledak dan begitu tiba-tiba.
Namun Mahisa Semu y ang telah bersiaga sepenuhnya itu
melihat kedatangan serangan itu. Karena itu, dengan
tangkasnya, hampir di luar sadarnya, anak muda itu telah
mengelak sambil merendah. Namun tangannya telah
menjulurkan pedangnya justru m eny ongsong loncatan tubuh
lawannya y ang mengayunkan senjatanya.
Yang terdengar adalah jerit kesakitan. Ujung pedang
Mahisa Semu y ang teracu lurus ke depan itu telah
menghunjam ke tubuh Putut itu justru karena dorongan tubuh
Putut itu sendiri. Mahisa Semu pun kemudian dengan tangkasnya meloncat
bangkit sambil menarik pedangnya.
Sejenak Putut itu terhuyung-huyung. Namun kemudian iapun
telah terjatuh seperti sebatang pohon pisang. Tidak
bertenaga sama sekali. Mahisa Semu termangu-mangu sejenak. Ujung pedangnya
ternyata sempat menembus dada orang itu sampai ke jantung.
Ketika pedang itu ditarik, maka tubuh itu sudah tidak
bernyawa lagi. Sementara itu, maka pasukan Empu Angin dan Empu
Pitrang benar-benar sudah tidak mampu lagi
mempertahankan dirinya. Karena itu, maka beberapa orang
dengan licik justru berusaha untuk menghindari pertempuran.
Mereka justru menjauhi para cantrik dan lawan-lawan mereka
yang lain. Bahkan kemudian, mereka menjadi putus a sa.
Namun ternyata mereka masih m encoba untuk menunggu
sambil berusaha meny elamatkan diri m ereka. Jika saja Empu
Angin dan Empu Pitrang berhasil, maka dalam keadaan yang
gawat sekalipun, mereka akan dengan cepat dapat menyapu
lawan-lawan mereka. Tetapi y ang terjadi tidak seperti yang dikehendaki. Para
cantrik Bajra Seta justru semakin menguasai medan yang
mereka kenal dengan baik itu.
Gelar Wulan Tumanggal rasa-rasanya menjadi semakin
menjepit mereka. Orang-orang yang berusaha menghindari
benturan kemampuan dengan para cantrik Bajra Seta dan
bersembunyi di belakang kawan-kawan mereka y ang masih
mempunyai keberanian untuk bertempur, tidak mendapat
tempat lagi. Karena itu, maka di luar kehendak m ereka, maka mereka
berusaha untuk tetap hidup dengan mempertahankan diri
mereka masing-masing. "Meny erah sajalah," berkata para cantrik yang telah
menguasai medan. Memang ada di antara mereka yang berpendapat, lebih baik
menyerah daripada jantung mereka ditembus oleh ujung
senjata. Tetapi hal itu sama sekali tidak dikehendaki oleh Empu
Angin maupun Empu Pitrang. Dengan lantang Empu Angin
berteriak, "Siapa yang berkhianat akan aku bunuh bersama
orang-orang dari padepokan Bajra Seta."
Namun untuk membunuh seorang lawannya y ang masih
muda, Empu Angin tidak mampu melakukannya. Serangannya
dengan sambaran petir yang mendebarkan jantung itu tidak
mampu mengenai sa sarannya. Semakin menghentak-hentak
kemarahan di dadanya, serta semakin gelisah Empu Angin
karena keadaan pasukannya, maka serangannya justru
menjadi semakin jauh dari sasaran.
Tetapi Empu Angin benar-benar tidak mau berhenti.
Semakin lama serangannya menjadi semakin sering. Bahkan
kemudian serangannya datang susul menyusul tidak hentihentinya.
Betapa pun Mahisa Murti memiliki kemampuan untuk
menghindari serangan itu, namun jika sambaran lidah api
yang meloncat dari tangannya itu datang beruntun, susul
menyusul, maka Mahisa Murti pun mengalami kesulitan pula.
Ia harus meloncat, berguling, melenting berdiri dan
menjatuhkan dirinya lagi. Sementara itu nampaknya Empu
Angin itu sama sekali tidak berniat untuk meny erah meskipun
pasukannya benar-benar telah dihancurkan.
Karena itu, maka Mahisa Murti pun tidak lagi
memperpanjang kesempatan lagi bagi Empu Angin. Ia sudah
cukup lama menunggu, namun justru serangan-serangannya
sa jalah y ang menjadi semakin deras datang susul-menyusul.
Dengan demikian, maka Mahisa Murti pun akhirnya
sampai kepada satu keputusan untuk menghentikan seranganserangan
itu. Sementara Empu Angin masih aja menyerang dengan
sengitnya, maka Mahisa Murti masih mencoba untuk sekali
lagi berteriak, "Empu. Kau sudah kehabisan kekuatan.
Meny erahlah." Namun Empu Angin telah menjawab dengan lontaran
ilmunya y ang garang. Serangan lidah api y ang meluncur dari
telapak tangannya. Mahisa Murti masih juga harus meloncat menghindari
serangan itu dengan kecepatan yang sangat tinggi.
Namun serangan itu m erupakan serangan yang terakhir.
Mahisa Murti benar-benar tidak memberi kesempatan lagi
kepada Empu Angin yang menganggap bahwa anak muda itu
hanya mampu berloncatan menghindari seranganserangannya.
Ketika kemudian Empu Angin meny erangnya sekali lagi,
Mahisa Murti tidak berusaha untuk menghindarinya. Tetapi ia
telah membalas serangan itu dengan serangan pula. Ketika
Mahisa Murti kemudian juga mengangkat tangannya, m aka
ilmunya pun telah m eloncat meluncur menyambar serangan
Empu Angin y ang menyambar ke arahnya.
Dengan demikian, dua kekuatan ilmu telah saling
berbenturan dengan dahsyatnya di udara. Namun yang
getarannya telah memental kembali memukul ke arah
sumbernya. Mahisa Murti memang terdor ong selangkah surut. Dadanya
terasa dihentak oleh kekuatan y ang besar, sehingga terasa
menjadi sesak. Namun Mahisa Murti dengan cepat berusaha
mengatasinya dengan daya tahan tubuhnya yang sangat tinggi.
Sementara itu, y ang terjadi pada Empu Angin adalah
bencana y ang mengakhiri bukan saja perlawanannya, tetapi
juga hidupnya. Dengan kerasnya Empu Angin telah terhempas beberapa
langkah surut. Kemudian seakan-akan telah terbanting jatuh
berguling beberapa kali. Ia hanya dapat menggeliat. Namun
kemudian, nafasny a pun telah terputus di kerongkongan.
Kematian Empu Angin adalah satu pukulan y ang sangat
pahit bagi Empu Pitrang. Meskipun ia masih melawan dengan
tombak pendeknya dan dengan ilmunya yang garang, namun
Mahisa Pukat ternyata tidak dapat ditundukkannya. Semburan
api dari senjatanya sama sekali tidak mampu mematahkan
perlawanan Mahisa Pukat dengan ilmu pedangnya. Bahkan
semakin lama ujung pedang itu menjadi semakin dekat
berterbangan seperti seekor ny amuk di telinganya.
Mahisa Pukat mempergunakan setiap kesempatan untuk
meloncat mengurangi jarak. Meskipun setiap kali Empu
Pitrang berusaha menjauh dan meny erang dengan semburan
api dari ujung senjatanya, namun ia memang tidak dapat
mengatasi kemampuan ilmu pedang lawannya yang masih
muda itu. Demikian serangan apinya meluncur lepas dari
sa saran, maka Mahisa Pukat telah meloncat dan meny erang
dengan ujung pedangnya. Beberapa kali Mahisa Pukat berhasil
menekan Empu Pitrang sehingga tidak sempat
mempergunakan ilmunya. Namun pada kesempatan lain, ia
masih mampu melepaskan diri dari libatan pedang Mahisa
Pukat dan kembali meny erang dengan ilmunya yang
mendenbarkan itu. Namun Mahisa Pukat masih mempunyai keyakinan, bahwa
ia akan mampu menghentikan perlawanan itu dengan ilmu
pedangnya saja, tanpa ilmu pamungkasnya.
Tetapi ternyata usaha Mahisa Pukat tidak segera berhasil.
Meskipun dalam keadaan yang sulit, namun Empu Pitrang
masih juga mampu melepaskan ilmunya y ang akan dapat
membakar tubuh Mahisa Pukat.
Sementara itu pertempuran yang sebenarnya sudah hampir
berhenti sama sekali. Hanya sekelompok orang yang seakanakan
berniat untuk membunuh dirinya sajalah y ang masih
memberikan perlawanan. Terutama para pengikut Empu
Pitrang. Seperti Empu Angin, maka Empu Pitrang sama sekali tidak
menghiraukan ketika Mahisa Pukat m emberinya peringatan
untuk meny erah. Sehingga karena itu, maka Mahisa Pukat pun
menjadi jemu untuk bertempur terus berlama-lama.
Dengan demikian maka Mahisa Pukat telah merubah
niatnya untuk menundukkan lawannya dengan ilmu
pedangnya. Selain memerlukan waktu yang panjang, maka jika
ia lengah sedikit saja, maka ilmu lawannya akan dapat
membakarnya. Karena itu, maka ketika beberapa kali serangan Empu
Pitrang harus dihindari dengan loncatan-loncatan panjang
serta sekali-sekali menjatuhkan diri dan berguling di tanah,
maka Mahisa Pukat pun kemudian telah mengetrapkan
ilmunya yang paling menggetarkan.
Dengan tangkas Mahisa Pukat mengelakkan serangan
terakhir Empu Pitrang y ang meluncur ke arahnya. Mahisa
Pukat yang menjatuhkan dirinya itu berguling sekali. Namun
tanpa bangkit lagi, diacukannya ujung pedangnya, m engarah
ke tubuh Empu Pitrang. Seberkas sinar yang kehijau-hijauan
telah meluncur dari ujung pedang itu menyambar ke arah
lawannya. Empu Pitrang melihat serangan itu. Namun, dengan
menengadahkan dadanya Empu Pitrang tidak berniat
menghindar. Bahkan dengan hentakkan yang dilandasi dengan
segenap kekuatannya yang tersisa serta k emampuannya pada
puncak ilmunya, Empu Pitrang membentur serangan itu
dengan ilmunya pula. Api y ang merah meny embur dari ujung
senjatanya meny ongsong serangan Mahisa Pukat.
Kedua kekuatan ilmu itu pun berbenturan, Empu Pitrang
bahkan Sempat berteriak dengan kerasny a, "Kau akan menjadi
lumat karenanya." Mahisa Pukat masih bertiarap sambil mengacukan ujung
pedangnya. Dilihatnya sekejap kemudian benturan yang
dahsy at telah terjadi, ia pun merasakan getaran dari benturan
itu seakan-akan telah terpental menghantam dirinya sendiri.
Namun dengan kekuatan day a tahannya, Mahisa Pukat


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tetap tidak tergeser dari tempatnya, meskipun nafasnya
menjadi sesak. Tetapi sementara itu, terdengar teriakan yang bagaikan
menghentak langit, Empu Pitrang y ang marah, dendam dan
kecewa itu telah t erlempar beberapa langkah surut. Namun
getaran y ang membentur dadanya seakan-akan telah meremas
jantung. Ternyata Empu Pitrang pun tidak mampu bertahan.
Dadanya seakan-akan telah menjadi hangus. Karena itu, maka
seperti Empu Angin, maka Empu Pitrang pun kemudian
terbaring diam. Jantungnya y ang terbakar tidak lagi berdetak
di dadanya. Dengan demikian m aka pertempuran pun telah berhenti.
Satu dua orang cantrik kedua orang yang terbunuh itu, masih
sa ja dengan mengamuk sejadi-jadiny a, justru dengan tekad
untuk mati bersama-sama guru mereka.
Namun sejenak kemudian, maka pertempuran itu pun
benar-benar telah berhenti. Beberapa orang justru tertawan.
Namun dalam keadaan y ang terakhir, justru ketegangan
mencengkam di saat-saat kedua pemimpin padepokan yang
menyerang perguruan Bajra Seta itu terbunuh, disamping
orang-orang y ang sengaja membunuh diri untuk membela
kematian pemimpin mereka, ternyata ada juga di antara para
cantrik y ang sempat melarikan diri. Di antara mereka yang
hilang dari pertempuran adalah petugas sandi dari Kediri yang
disebut Kecubung Ungu. Ternyata petugas sandi itu memang licin. Ia masih mampu
melepaskan diri dari tangan para cantrik di padepokan Bajra
Seta itu. Apalagi ia m emang sudah m emperhitungkan, bahwa
kesombongan Empu Angin dan Empu Pitrang akan meny eret
mereka ke dalam kesulitan. Bahkan kemusnahan.
Dalam pertempuran itu, ternyata beberapa korban memang
telah jatuh. Seperti yang terdahulu, maka di antara anak-anak
muda y ang dengan suka-rela membantu padepokan Bajra Seta
itu pun telah jatuh korban pula.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sempat menundukkan
kepala mereka. Dengan nada dalam Mahisa Murti berkata,
"Apa y ang dapat aku katakan kepada keluarga mereka yang
gugur" Dahulu aku pernah mengucapkan terima kasih yang
tidak terhingga atas pengorbanan anak-anak muda dari
padukuhan-padukuhan itu. Apakah sekarang aku cukup
mengulangi pernyataan terima kasih itu" Sementara itu,
keluarga mereka benar -benar telah gugur di padepokan ini?"
"Kita saling m emerlukan," berkata salah seorang di antara
pemimpin anak-anak muda dari padukuhan itu, "karena itu,
maka kita memang saling membantu dan saling berk orban."
"Pengorbanan apa y ang pernah kami berikan kepada
kalian?" desis Mahisa Murti.
"Kami m endapat banyak sekali ilmu dan pengetahuan dari
padepokan ini m eskipun kami tidak menyatakan diri sebagai
cantrik dari perguruan Bajra Seta. Tetapi kami merasa bahwa
kami adalah keluarga dari padepokan Bajra Seta. Sehingga
dengan demikian kami memang wajib untuk ikut
mempertahankannya." Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi pengertian semacam
itu telah didengarnya sejak semula, mereka ikut dalam
kegiatan padepokan Bajra Seta. Tetapi sudah tentu tidak harus
dibayar dengan jiwa mereka.
Untunglah bahwa sebagian besar korban di antara anakanak
muda dari padukuhan-padukuhan itu hanya terluka.
Namun ada juga yang ternyata telah gugur di pertempuran.
Meskipun hanya tiga orang. Sedangkan y ang terluka cukup
parah empat orang, sedangkan yang terluka ringan terdapat
duabelas orang. Jumlah cantrik padepokan y ang m enjadi korban memang
lebih banyak. Tetapi itu adalah memang tanggung jawab
mereka untuk mempertahankan perguruan mereka.
Dengan wajah murung Mahisa Murti itu berdesis di telinga
Mahisa Pukat, " Jika hal seperti ini sering terjadi, maka orangorang
padukuhan di sekitar padepokan ini akan mengutuk
kehadiran padepokan ini, karena setiap saat ada saja anakanak
muda mereka y ang terbunuh."
"Kita harus berusaha bahwa jika terjadi benturan kekuatan
di waktu-waktu mendatang, kita tidak usah membiarkan anakanak
muda itu berada di padepokan," berkata Mahisa Pukat,
"kita berterima kasih atas kesediaan mereka. Tetapi mereka
tidak seharusnya gugur dalam pertempuran seperti ini.
Mereka masih muda sehingga mereka merupakan harapan
bagi keluarga mereka. Agak berbeda dengan keadaan kita yang
memang telah bulat meny erahkan diri bagi sebuah
perguruan." Mahisa Murti m engangguk-angguk. Namun sekali lagi ia
harus menemui orang tua anak-anak muda y ang menjadi
korban. Yang gugur, maupun yang luka-luka.
Sementara itu, para cantrik pun menjadi sibuk. Mereka
harus m engumpulkan kawan-kawan mereka y ang terluka dan
yang telah gugur. Demikian pula orang-orang yang tinggal di
padukuhan y ang baru itu.
Selain itu, para cantrik pun harus mengurus orang-orang
yang meny erah. Tetapi juga di antara lawan mereka yang
terbunuh dan terluka. Hari itu seisi padepokan memang menjadi sibuk. Baru
menjelang tengah malam kesibukan mereka berkurang.
Namun m ereka masih harus mengawasi para tawanan yang
hampir kelaparan, sekaligus meny ediakan makan dan minum
buat mereka. "Jika mereka sempat makan sebelum bertempur, mungkin
tenaga mereka akan jauh lebih besar dari yang kita hadapi hari
ini," berkata salah seorang cantrik yang ikut membakar
persediaan makanan dan perbekalan pasukan yang hendak
menyerang padepokan Bajra Seta itu.
"Ya, terutama setelah matahari m encapai puncak langit,"
jawab kawannya. Sebenarnyalah bahwa tanpa persediaan makan dan minum
menjelang pasukan itu berangkat ke medan, ternyata
pengaruhnya cukup besar bagi ketahanan pasukan.
Namun dalam pada itu, ketika sebagian besar dari para
cantrik beristirahat, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
tengah membicarakan per soalan y ang mereka hadapi.
Keduanya menyadari, bahwa kehadiran pasukan itu tentu ada
hubungannya dengan pendengaran mereka atas sikap Kediri
sebagaimana dikatakan oleh petugas sandi yang akan
membunuh kawannya sendiri itu.
"Kita tidak dapat cukup bahan dari orang-orang y ang
tertawan," berkata Mahisa Pukat, "y ang mereka ketahui adalah
pemimpin mereka masing-masing. Empu Angin dan Empu
Pitrang. Selebihnya mereka tidak tahu apa-apa."
"Ya. Meskipun satu dua di antara mereka sadar atau tidak
sa dar telah mengatakan hubungan antara serangan mereka
dengan sikap Kediri. Tetapi y ang mereka ketahui memang
terlalu sedikit," jawab Mahisa Murti.
"Sekarang, bagaimana sikap kita selanjutnya" Apakah kita
tidak akan melaporkan hal ini kepada Singasari. Tetapi jika
kita pergi ke Singasari, bagaimana dengan padepokan ini
sepeninggal kita" Atau seorang dari kita pergi ke Singasari,
yang lain menunggui padepokan ini," berkata Mahisa Pukat.
"Mungkin itu adalah satu-satunya jalan," jawab Mahisa
Murti, "salah seorang dari kita pergi ke Singasari."
"Baiklah," desis Mahisa Pukat, "biarlah aku pergi ke
Singasari. Kau tinggal di sini, menyelesaikan persoalan yang
sedang kita hadapi. Namun jika terjadi sesuatu, padepokan ini
tidak kosong sama sekali."
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, "berapa orang
kau perlukan untuk meny ertaimu dalam perjalanan ke
Singasari?" "Aku hanya memerlukan Mahisa Semu. Biarlah ia ikut pergi
ke Singasari. Sementara paman Wantilan dapat kau jadikan
kawan berbincang-bincang di Samping para cantrik yang
sudah dianggap memiliki wawasan y ang cukup luas," jawab
Mahisa Pukat. Mahisa Murti termangu-mangu. Rasa-rasanya memang
sulit untuk melepas Mahisa Pukat hanya dengan Mahisa Semu
pergi ke Singasari justru dalam keadaan y ang gawat itu.
Namun agaknya Mahisa Pukat sudah membulatkan hati
untuk melakukannya. Ia menolak ketika Mahisa Murti
menawarkan beberapa orang cantrik terpilih untuk meny ertai
perjalanannya. "Semakin banyak orang akan semakin menarik perhatian,"
jawab Mahisa Pukat. Namun akhirnya Mahisa Murti berkata, "Sebaiknya kau
membawa sepa sang pedang kita. Jika sepasang pedang itu
menyatu, maka kekuatannya akan bertambah. Demikian pula
jika kau pergunakan sebagai pintu lontaran ilmumu."
Mahisa Pukat termangu -mangu sejenak. Namun kemudian
ia pun berkata, "Kau memerlukannya. Agaknya padepokan ini
masih saja diintai oleh kekuatan-kekuatan yang tidak kita
ketahui sebelumnya."
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Sementara
Mahisa Pukat berkata, "Agaknya di perjalanan aku akan lebih
aman daripada kau yang tinggal di padepokan."
Mahisa Murti memang tidak memaksa Mahisa Pukat untuk
membawa sepasang pedang. Agaknya Mahisa Pukat merasa
bahwa ia cukup membawa sebuah saja dari sepasang pedang
itu. Akhirnya kedua anak muda itu memutuskan bahwa Mahisa
Pukat dan Mahisa Semu akan
pergi ke Singasari berselang sehari
setelah segala sesuatunya
diselesaikan. Sebenarnyalah dihari y ang
sudah ditentukan Mahisa Pukat
dan Mahisa Semu pun telah siap
untuk berangkat. Bukan saja siap
dengan segala macam bekal y ang
diperlukan. Tetapi juga siap untuk
melakukan tugas mereka sebaikbaiknya.
Satu hal y ang jarang terjadi
bahwa Mahisa pukat akan melakukan tugasnya tanpa Mahisa
Murti. Demikian pula sebaliknya.
Namun keduanya sadar, bahwa mereka tidak akan dapat selalu
bersama-sama. Pada suatu saat maka m ereka m emang harus
melakukan tugas yang berbeda m eskipun untuk kepentingan
bersama. Mahisa Semu memang merasa bangga, bahwa ia mendapat
kepercayaan untuk bersama-sama dengan Mahisa Pukat
melakukan tugas yang penting. Namun Mahisa Semu pun
sa dar, bahwa ia harus ikut bertanggung jawab agar tugasnya
dapat berhasil dengan baik.
Sebelum matahari terbit, maka keduanya telah
meninggalkan padepokan. Mahisa Murti, Wantilan dan para
cantrik melepaskan mereka sampai ke reg ol.
Dalam keremangan pagi keduanya berpacu menembus
kabut y ang turun perlahan-lahan menjelang matahari terbit di
sebelah Timur. Demikian keduanya hilang dari pandangan mereka y ang
berdiri diregol padepokan, maka pintu gerbang padepokan itu
pun telah ditutup kembali. Mereka yang tinggal di padepokan
hanya dapat berdoa, semoga perjalanan Mahisa Pukat dan
Mahisa Semu mendapat perlindungan dari Yang Maha Agung.
Sementara itu, kedua orang anak muda y ang meninggalkan
gerbang padepokan itu meluncur seperti anak panah yang
lepas dari busurnya. Mereka berpacu disepanjang jalan,
meskipun tidak terlalu kencang agar kuda m ereka tidak cepat
menjadi letih. Namun demikian, maka keduanya telah memilih jalan y ang
tidak terlalu ramai agar perjalanan mereka tidak banyak
mendapat hambatan. Mereka menyadari sepenuhnya, bahwa
mereka akan menempuh jalan y ang panjang.
Disaat Mahisa Pukat dan Mahisa Semu berpacu di atas
punggung kudanya, maka Mahisa Murti masih saja sibuk
dengan para cantrik yang terluka. Bahkan anak-anak muda
padukuhan di sekitar padepokan itu yang t erluka masih pula
di rawat di padepokan itu agar mereka mendapat pengobatan
yang baik dan teratur. Sedangkan di antara mereka yang
terluka adalah para cantrik dari kedua padepokan y ang telah
menyerang padepokan Bajra Seta itu.
Namun Mahisa Murti berharap, bahwa para tawanan itu
akan dapat bersikap lebih baik dari para tawanan yang
terdahulu, y ang terdiri dari para penjahat y ang m endendam.
Sedangkan para penjahat itu pun ternyata mampu
dijinakkannya. Sehingga karena itu, maka Mahisa Murti pun
berharap bahwa para cantrik itu pun akan dapat
dijinakkannya pula. *** Ketika kemudian matahari menjadi semakin tinggi, Mahisa
Pukat telah menjadi semakin jauh. Mereka telah berada di
lingkungan yang tidak banyak m ereka kenal. Namun Mahisa
Pukat sebagai pengembara tidak akan menjadi bingung dan
kehilangan arah. Ditengah hari saat matahari ada dipuncak langit, maka
keduanya telah b eristirahat disebuah kedai y ang cukup besar
di sudut sebuah pasar y ang ramai. Meskipun matahari sudah
tepat berada di atas kepala, tetapi m asih saja ada orang yang
keluar masuk pasar itu. Tetapi semakin lama memang menjadi
semakin jarang. Orang-orang y ang berjualan pun mulai
membenahi barang-barang dagangannya. Namun demikian
kedai itu masih banyak dikunjungi orang.
Mahisa Pukat dan Mahisa Semu t ernyata mendapat kedai
yang pelay anannya cukup baik. Kuda mereka pun
mendapatkan m inum air jernih dan m endapat rumput yang
segar. Tetapi selagi mereka meneguk minuman hangat yang telah
dihidangkan oleh pelayan kedai itu serta mulai menyuapi
mulut mereka dengan nasi yang masih hangat pula, mereka
dikejutkan oleh kedatangan beberapa orang y ang m emasuki
kedai itu. Seorang anak muda dengan pakaian yang lebih baik
dari orang kebanyakan diiringi oleh tiga orang pengawalnya.
Sikap anak muda itu juga menunjukkan bahwa ia m emiliki
kelebihan dari orang kebanyakan.


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebenarnyalah beberapa orang yang sudah ada di kedai itu
serentak bangkit berdiri sambil membungkuk hormat.
Mahisa Pukat dan Mahisa Semu y ang tidak mau
menimbulkan per soalan telah bangkit pula sebagaimana orang
lain serta membungkuk hormat pula.
Tanpa m enghiraukan orang-orang yang menghormatinya,
anak muda itu pun telah mengambil tempat ditengah-tengah
bersama ketiga orang pengawalnya. Dengan tergopoh-gopoh
pelayan kedai itu mendekatinya menunggu perintah anak
muda itu. Yang memberikan pesanan kepada pelay an itu ternyata
bukan anak itu sendiri. Tetapi seorang di antara para
pengawalnya berkata, "Bukankah kau sudah terbiasa dengan
kesenangannya" Nah, berikan semangkuk wedang asem.
Ingat, jangan terlalu asam. Gulanya gula aren. Bukan gula
kelapa. Mengerti." "Ya, ya Ki Sanak," jawab pelay an itu.
"Kemudian tiga mangkuk wedang sere untuk kami bertiga,"
berkata orang itu pula. "Ya. Ya Ki Sanak. Tetapi apakah aku juga harus
menyediakan makan?" bertanya pelayan itu.
Pengawal itu mengerutkan keningnya. Namun ia pun
kemudian bertanya, "Apakah anakmas ingin makan?"
"Ya," jawab anak muda itu pendek.
Orang itu m engangguk-angguk. Katanya kemudian kepada
pelayan kedai itu, "Ya. Seperti bia sanya. Nasi hangat. Jangan
diberi sayur atau lauk y ang pedas."
"Daging ayam y ang basah atau y ang kering?" bertanya
pelayan itu. "Kau sudah tahu kebiasaannya," desis pengawal itu.
"Jeroan basah," berkata pelay an itu.
"Nah, ternyata kau masih m engingatnya," jawab pengawal
itu. Mahisa Pukat dan Mahisa Semu sempat memperhatikan
sejenak. Tetapi tidak ada m asalah apa pun y ang terjadi. Anak
muda y ang nampaknya terhormat itu pun tidak berbuat apaapa
kecuali duduk diam menunggu pesannya. Para
pengawalnya tidak menunjukkan sikap yang menarik
perhatian. Seorang dari antara para pengawal itu berpesan
minuman dan makanan secara wajar.
Sementara itu pengawalnya itu pun berkata, "jangan lupa.
Kami pun ingin makan. Tiga mangkuk nasi dengan sambal.
Dendeng ragi dan lalapan. Ingat?"
"Ya. Ya Ki Sanak," pelay an itu mengangguk-angguk.
Mahisa Pukat dan Mahisa Semu tidak memperhatikan
mereka lagi. Bia sa saja. Tidak ada yang menarik perhatian.
Orang-orang lain yang ada di kedai itu pun nampaknya
tidak memberikan perhatian khusus kecuali saat anak muda
itu masuk. Mereka berdiri dan menghormat. Termasuk Mahisa
Pukat. Tetapi y ang menarik perhatian Mahisa Pukat justru orangorang
yang ada di kedai itu satu-satu telah meninggalkan
tempat duduk mereka. Seorang demi seorang telah membayar
makanan dan minuman mereka untuk seterusny a bangkit
berdiri dan melangkah keluar lewat pintu samping.
Bahkan kemudian kedai itu menjadi hampir kosong
karenanya. Dua orang yang telah berhenti di depan pintu pun
mengurungkan niatnya untuk masuk.
Mahisa Pukat dan Mahisa Semu yang masih makan itu pun
sal ing berpandangan sejenak. Namun karena mereka tidak
tahu kenapa hal itu terjadi, maka mereka masih saja
melanjutkan makan dan minum.
Sesaat kemudian, maka pelayan kedai itu pun telah
menghidangkan pesanan anak muda dengan ketiga
pengawalnya. Minuman dan makan. Mereka nikmati pesanan
mereka itu tanpa menghiraukan keadaan di sekitarnya.
Anak muda itu ternyata bukan anak muda yang banyak
tingkah. Ia terima saja minuman dan makan yang dihidangkan
oleh pelay an kedai itu. Nampaknya pelay an itu pun telah
terbiasa dengan kesukaan anak muda itu.
Namun yang Mahisa Pukat dan Mahisa Semu menjadi
heran, pelay an itu kemudian telah m enghidangkan minuman
pula kepada mereka tanpa diminta.
Tetapi sebelum Mahisa Pukat dan Mahisa Semu bertanya,
pelayan itu telah berbisik, "Akan terjadi kerusuhan di sekitar
tempat ini." Kisah Pedang Bersatu Padu 19 Pendekar Pulau Neraka 55 Nyi Roro Sekar Mayang Memanah Burung Rajawali 30
^