Hijaunya Lembah Hijaunya 12
04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 12
sehingga suara perempuan itu bagaikan hilang ditelan
gemuruhnya buny i hujan. "Ya aku tahu. Dan aku telah m emenuhinya. Bukankah itu
namanya adil" Aku memberimu apa yang kau perlukan dan
kau memberiku apa yang aku sekeluarga memerlukannya.
Uang dan perhiasan itu. Isteriku b erterima kasih kepadamu,"
jawab laki -laki itu. Penunggu banjar itu, bahkan Mahisa Pukat dan Mahisa
Semu, terkejut mendengar jawaban itu. Seakan-akan sudah
diatur sehingga perempuan itu seakan-akan dihadapkan pada
jawabannya sendiri. Ternyata laki-laki itu bersikap
sebagaimana ia bersikap kepada laki -laki yang telah
meninggalkannya di banjar itu.
Untuk beberapa saat perempuan itu terbungkam. Namun
kemudian ia pun menangis sambil berteriak: "Kau laki-laki
iblis. Laki-laki tidak tahu diri."
"Terserahlah," berkata laki -laki itu masih dalam sikap y ang
dingin, "mungkin aku iblis atau tidak tahu diri atau sebutan
buruk yang lain, tetapi persoalan diantara kita sudah selesai.
Seperti orang yang berjual beli. Setelah barang-barangnya
diserahkan dan setelah dibayar oleh pihak lain, maka jual beli
itu sah dan selesai."
- Tidak. Kita tidak sedang berjual b eli," tangis perempuan
itu. "Sudahlah. Aku akan pulang. Anak dan istriku kedinginan
di rumah. Hujan justru m enjadi semakin lebat," berkata laki -
laki itu. "Aku tidak m au kau tinggalkan sendiri," tangis perempuan
itu pula. "Aku tidak mengundangmu kemari," jawab laki-laki itu.
Namun penunggu banjar itu ternyata tidak dapat berdiam
diri saja. Akhirnya ia pun m enengahi: " Jika kau tidak dapat
membawa perempuan itu pulang, bawalah ke mana saja."
"Ke mana?" laki -laki itu mengerutkan keningnya.
"Jangan tinggalkan perempuan itu di banjar ini," berkata
penunggu banjar itu kemudian.
"Aku tidak mempunyai urusan lagi dengan perempuan itu,"
geram laki-laki y ang disebut Penangkil itu.
"Apa pun persoalan kalian, tetapi bawa perempuan itu ke
mana saja. Bagaimana pun juga kau lebih berkepentingan
dengan perempuan itu daripada aku," berkata penunggu
banjar itu. Penangkil itu menjadi ragu-ragu. Namun kemudian ia
berkata: "Baiklah. Aku akan membawanya kepada bibi di
pinggir padukuhan ini."
"Bibi siapa?" bertanya penunggu banjar itu.
"Bibi Rumi. Ia adalah adik ay ahku y ang telah tidak ada,"
jawab Penangkil. "Terserah kepadamu," berkata penunggu banjar itu.
"Aku m inta diri," desis Penangkil kemudian. Lalu katanya
kepada perempuan itu: "marilah, kita akan pergi ke rumah
bibi. Kau akan berada di sana sampai besok. Kemudian kita
akan menentukan sikap."
Perempuan itu termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian laki -laki itu telah menarik tangannya turun ke
halaman betapaun lebatnya hujan.
Keduanya ternyata telah menuju ke arah y ang lain dari arah
rumah laki -laki itu, karena keduanya memang tidak akan pergi
ke rumah laki-laki yang telah menyatakan diriny a beranak dan
beristri. Dalam hujan y ang lebat, laki -laki itu telah m enarik tangan
perempuan itu sambil berkata: "Cepat. Hujan sangat lebat.
Kita dapat menjadi sakit karenanya."
Perempuan itu tidak menjawab. Tetapi ia berusaha berjalan
lebih cepat. Demikianlah, berlari -lari kecil perempuan itu mengikuti
laki -laki yang masih saja menarik tangannya. Tangannya
begitu kuat sehingga ia tidak dapat terlepas dari
genggamannya. "Kita pergi ke mana?" bertanya perempuan itu.
"Bukankah sudah aku katakan, kita pergi ke rumah bibi,"
jawab laki -laki itu. Perempuan itu pun terdiam. Langkahnya menjadi semakin
cepat. Dalam hujan perempuan itu terengah-engah.
"Kita berhenti dahulu," minta perempuan itu.
"Sudah tidak begitu jauh. Nanti kita beristirahat. Kau dapat
meminjam pakaian bibi dan menghangatkan badanmu di
depan perapian sambil merebus air," berkata laki-laki itu.
Perempuan itu berusaha untuk tetap berlari-lari kecil meski
pun kakinya terasa mulai letih.
Beberapa saat kemudian, perempuan itu terkejut. Ia justru
berusaha berhenti sejenak. Meski pun suara hujan masih
berbaur dengan suara angin, namun perempuan itu
mendengar deru suara air yang mengalir deras.
"Suara apa itu?" bertanya perempuan itu.
"Sungai. Disitu ada sungai. Rumah bibi memang dekat
dengan sebuah sungai. Mungkin sungai itu menjadi banjir
karena hujan yang lebat. Nampaknya di bukit hujan sudah
turun lebih lama sehingga sungai itu menjadi banjir."
Perempuan itu m ulai menjadi ragu-ragu. Namun laki-laki
itu menariknya terus. Semakin lama deru sungai y ang memang banjir itu
terdengar semakin jela s. Gelap malam memang menjadi
semakin pekat. Perempuan yang tidak begitu mengenal daerah
itu tidak tahu, bahwa di depan mereka ternyata terdapat
sebuah sungai. Tepian sungai itu tidak landai seperti tempat
peny eberangan yang sering dilihatnya. Tetapi tebing sungai itu
cukup curam. Ketika sekali kilat rnenyambar, maka perempuad itu
terkejut. Ia melihat tebing y ang curam menganga. Dibawah
nampak sungai y ang meski pun tidak terlalu besar, tetapi
airnya sedang banjir. Tentu tidak seorang pun y ang akan dapat
berenang menentang arus banjir itu.
Perempuan itu tiba-tiba telah berusaha untuk meronta.
Demikian tiba -tiba, sehingga tangannya memang terlepas.
Dengan serta merta ia mencoba untuk berlari menembus gelap
dan hujan. Tetapi laki -laki itu berlari lebih cepat. Dengan segera
perempuan itu pun telah dikuasainya kembali.
"Kau akan lari ke mana"," geram laki -laki itu.
"Aku takut," suara perempuan itu gemetar.
"Kau tidak usah takut. Banjir itu akan menjadi kawanmu
yang akrab," berkata laki-laki itu.
"Maksudmu?" perempuan itu menjadi semakin ketakutan.
"Jangan meny esali perbuatanmu. Kau akan aku lemparkan
ke dalam sungai itu," jawab laki-laki itu.
"Tidak. Tidak. Jangan," perempuan itu berteriak sekuatkuatnya.
Tetapi suaranya hilang ditelan deru hujan dan banjir.
Laki-laki itu tiba-tiba tertawa. Suara tertawanya seperti
suara tertawa iblis dari neraka. Katanya: "Kau sudah tidak
mempunyai tempat lagi. Laki-laki itu sudah meninggalkanmu.
Dan aku tidak m emerlukanmu lagi. Riak banjir itulah yang
kemudian akan memelukmu."
"Jangan. Jangan. Aku akan pergi. Aku tidak akan
mengganggumu," tangis perempuan itu.
Tetapi laki -laki itu m embentaknya kasar: "Diam. Kau kira
aku akan menjadi bela s kasihan melihat wajahmu itu, he"
Wajah iblis betina yang tidak tahu diri. Siapa y ang mau
menjadi suamimu" Perempuan laknat y ang hanya pantas
menjadi isi neraka. Kau akan merusak keluargaku he" Kau
telah m emeras laki-laki itu dan sekarang kau akan menyakiti
hati isteriku." Perempuan itu menjadi semakin ketakutan. Ra sa-rasanya
tangan-tangan iblis memang sudah mencekiknya ketika
tangan-tangan laki-laki itu memegang lehernya.
"Kau boleh memilih. Mati aku cekik kemudian aku
lemparkan ke sungai, atau aku lemparkan kau hidup-hidup,
kemudian mati terbenam ke dalam banjir setelah kepalamu
membentur-bentur tebing. He, pilih y ang mana," suara laki itu
benar-benar seperti suara iblis.
"Kasihani aku. Aku mohon ampun. Aku tidak akan
mengganggumu. Biar aku pergi ke mana saja.," tangis
perempuan itu memelas. "Tidak. Selama kau masih hidup, maka kau tentu masih
akan membayangi keluargaku. Sekarang adalah kesempatan
yang paling baik untuk melemparkanmu ke sungai. Kemudian
aku akan pergi ke rumah bibi untuk minta agar ia
membantuku." Perempuan itu memang hampir pingsan karenanya.
Sementara Panangkil itu berkata selanjutnya: "Besok bibi akan
menjawab setiap pertanyaan, bahwa aku memang telah
menitipkan kau kepadanya. Tetapi kau minta ijin ke pakiwan
dan tidak pernah kembali lagi. Bibi akan mencarimu dan
bertanya kepada semua orang y ang dijumpainya. Dengan
demikian setiap orang akan mengatakan bahwa kau telah
membunuh diri. Jika kemudian mayatmu diketemukan, maka
semua orang akan memandang tubuhmu sambil berdesis
bahwa perempuan laknat itu telah membunuh diri. Kau telah
menuai benih yang kau tanam sendiri."
"Ampun, ampunkan aku. Aku belum ingin mati," tangis
perempuan itu. "Cukup. Sekarang pilih. Aku cekik kau sampai m ati, atau
aku lemparkan kau ke sungai itu," geram laki-laki itu.
"Jangan, jangan," perempuan itu meronta.
Tetapi jari-jari laki -laki itu memang telah mencengkam
lehernya. Namun laki -laki itu berkata: "Aku tidak mau meninggalkan
bekas dilehermu. Aku ingin melemparkan kau saja ke arus
banjir." Perempuan itu kemudian telah diseretnya ke tebing y ang
curam. Namun langkah laki -laki itu terhenti. Ketika sekali lagi kilat
menyambar, maka dilihatnya seorang laki-laki yang lain
berdiri tegak dengan mengenakan caping belarak y ang lebar.
"Setan, siapa kau"," geram Panangkil.
" Ingat-ingat. Namaku Mahisa Pukat. Aku adalah orang
yang tadi berada di serambi banjar. Aku memang sedang
berteduh. Karena itu aku m engetahui apa y ang kau lakukan.
Aku m emang sudah curiga m elihat sikapmu. Karena itu, aku
telah m engikutimu sampai ke tebing yang curam itu," jawab
Mahisa Pukat. "Apa yang akan kau lakukan"," bertanya Panangkil.
"Mencegah pembunuhan ini. Jika kau tidak dapat
menerima perempuan itu, maka biarlah ia pergi ke m ana saja
ia maui. Tetapi jangan kau bunuh dengan cara seperti itu,"
jawab Mahisa Pukat. "Buat apa perempuan iblis itu dihidupi" Ia tidak pantas
hidup diantara perempuan di padukuhan ini. Ia telah
menghina martabatnya sendiri," jawab laki-laki itu.
"Dan kau" Kau t elah melakukan hal y ang sama. Kau telah
menghina martabat laki -laki. Jika perempuan itu harus mati
menurut pendapatmu, maka kau pun harus mati, karena kau
telah m embuat kesalahan y ang sama. Kau pun laknat seperti
perempuan itu," Mahisa Pukat pun menggeram.
"Kau tidak usah ikut campur per soalanku," teriak laki-laki
itu. Tetapi Mahisa Pukat m enjawab dengan nada rendah, "Aku
mendengar pembicaraan kalian. Karena itu, aku merasa
terpanggil untuk ikut campur, karena kau berlaku tidak adil."
"Cukup," teriak laki-laki itu, "jika kau tidak mau pergi,
maka kau pun akan aku lemparkan ke sungai y ang banjir itu."
"Kau tidak akan dapat membunuh perempuan itu di
hadapan sedikitnya seorang sak si. Jika aku pergi dan kau tetap
melemparkan perempuan itu, maka aku akan dapat
mengatakan kepada orang-orang padukuhan ini, bahkan
kepada Ki Bekel, bahwa kau telah membunuh perempuan itu,"
berkata Mahisa Pukat. Panangkil berpikir sejenak. Namun kemudian katanya:
"Jika demikian, maka kau pun harus dibunuh."
"Jangan membuat persoalan dengan aku. Sebaiknya
lepaskan saja perempuan itu. Biarkan saja ia pergi kemana ia
ingin pergi. Ia sudah berjanji tidak akan mengganggumu lagi,"
berkata Mahisa Pukat. "Tidak. Aku akan membunuhnya dan membunuhmu pula,"
geram laki-laki itu. Mahisa Pukat justru melangkah maju sambil berkata:
"Tidak. Kau tidak akan membunuh siapapun."
Adalah diluar dugaan ketika laki-laki itu tiba -tiba saja telah
menyerang Mahisa Pukat. Agar perempuan itu tidak melarikan
diri, maka perempuan itu telah dipukulnya dengan keras sekali
sehingga perempuan itu menjadi pingsan.
Mahisa Pukat memang sudah bersiaga. Karena itu, maka
serangan itu sama sekali tidak mengejutkannya.
Penglihatannya y ang tajam melihat bagaimana laki -laki itu
berusaha untuk mendorongnya dengan serangan kaki ke
tebing sungai. Tetapi serangan itu sama sekali tidak meny entuh sasaran.
Dengan tangkasnya Mahisa Pukat telah menghindar.
Sementara itu, agar perempuan yang pingsan dalam hujan
yang lewat tidak membahayakan jiwanya, maka Mahisa Semu
telah dengan diam-diam mengambil perempuan itu dan
membawanya ke bawah pepohonan. Dipangkasnya sebatang
pohon pisang untuk melindungi wajah perempuan itu dari
guyuran air y ang deras. Namun kemudian Mahisa Pukat telah melemparkan caping
belaraknya yang lebar kepada Mahisa Semu sambil berkata:
"Pakailah." "Siapa orang itu ?" bertanya Panangkil.
"Aku tidak sendiri di serambi. Kau lihat itu. Biarlah ia
menolong perempuan yang kau pukul sampai pingsan itu,"
jawab Mahisa Pukat. Panangkil benar-benar menjadi marah. Dengan segenap
kemampuannya ia telah meny erang Mahisa Pukat. Namun
Mahisa Pukat memang bukan lawannya. Dalam waktu yang
terhitung singkat, laki-laki itu telah dikenai beberapa kali oleh
serangan Mahisa Pukat sehingga beberapa kali terdengar ia
mengaduh. Tetapi laki -laki itu memang keras kepala. Ia masih saja
berusaha melawan Mahisa Pukat. Beberapa kali ia berusaha
04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyerang meski pun justru tubuhnya sendirilah yang dikenai
oleh serangan Mahisa Pukat.
"Meny erahlah," berkata Mahisa Pukat, "kau akan kami
bawa ke banjar bersama perempuan itu. Persoalanmu akan
menjadi persoalan y ang akan diselesaikan oleh Ki Bekel."
Tidak. Aku tidak mau," teriak laki -laki itu, "kau dan
perempuan itu harus mati."
Mahisa Pukat menjai tidak telaten. Maka ia pun telah
mendesak laki-laki itu dan dengan cepat berhasil m enangkap
tangannya, memutarnya dan memilinnya dengan kuat.
Laki-laki itu berusaha meronta. Tetapi Mahisa Pukat
mendorongnya ke tepi tebing itu sambil berkata: "Lihat, arus
banjir itu tidak saja mampu menghanyutkan perempuan itu.
Tetapi kau pun akan hanyut pula. Kepalamu akan membenturbentur
tebing sebagaimana akan dapat t erjadi pada
perempuan itu sebelum kau diseret ke laut."
Wajah Panangkil m enjadi tegang. Ketika kilat memancar
dengan terangnya, maka Panangkil m elihat jelas, banjir yang
bergulung -gulung mengalir deras. Tebing yang curam
menganga seperti mulut raksasa y ang siap menelannya.
Sedangkan suaranya y ang menderu-deru seperti deru nafas
iblis dari dasar neraka."
Panangkil tiba-tiba menjadi ketakutan. Ketika Mahisa
Pukat mendor ongnya lebih dekat, maka laki -laki itu berteriak:
"Jangan-jangan."
"Kau kira aku menjadi belas kasihan kepadamu," geram
Mahisa Pukat. Laki-laki itu seakan-akan telah mendengar suaranya sendiri
ketika ia hampir saja m elemparkan perempuan itu ke sungai
yang sedang banjir itu. Sementara itu Mahisa Pukat berkata
selanjutnya: "Tidak ada y ang akan menangisimu jika mayatmu
besok diketemukan, laki -laki laknat. Kau telah m erendahkan
martabat seorang laki -laki dengan memeras perempuan itu.
Aku yang juga seorang laki -laki, merasa telah kau khianati
karena martabatku pun tentu akan ikut goncang."
Mahisa Pukat mendorong laki-laki itu semakin dekat. Sekali
lagi kilat memancar. Dan laki-laki itu menjadi lemah tidak
berday a. Kekuatannya seakan-akan telah terhisap habis oleh
perasaan takut y ang mencengkam.
Namun Mahisa Pukat membentaknya: "Bangkit. Aku
mendorongmu, atau kau berbuat sebagai seorang laki-laki.
Meloncat sendiri kedalam sungai itu."
Tetapi laki -laki itu justru memohon sambil menangis:
"Ampun. Aku mohon ampun."
"Mohon am pun kepada siapa"," bertanya Mahisa Pukat.
"Kepadamu," jawab orang itu.
"Jika aku mengampunimu, kau mau apa?" bertanya Mahisa
Pukat. "Aku akan melakukan apa pun," jawab laki-laki itu.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia
berpaling kepada Mahisa Semu, maka ia m elihat perempuan
itu sudah sadar dari pingsannya. Karena itu, maka Mahisa
Pukat pun berkata: "Marilah. Kita pergi ke banjar. Bukan aku
yang akan meny elesaikan per soalan kalian, tetapi Ki Bekel."
"Kau akan melaporkannya kepada Ki Bekel"," laki-laki itu
menjadi cemas. "Ya.," jawab Mahisa Pukat: "karena Ki Bekel adalah
pemimpin dari padukulian ini."
"Jangan," minta laki-laki itu.
"Kau dapat memilih. Persoalan ini akan aku serahkan
kepada Ki Bekel, atau kau terjun ke sungai y ang banjir itu,"
geram Mahisa Pukat. Panangkil menjadi kebingungan. Kedua-duanya tidak
menarik baginya. Namun Mahisa Pukat berkata: "Kau harus
memilih salah satu dari kedua pilihan itu."
Panangkil hanya dapat menundukkan kepalanya. Dengan
nada berat ia berkata: "Aku tidak mau terjun ke sungai itu."
Demikianlah, maka Panangkil dan perempuan itu pun telah
dibawa ke banjar. Penunggu banjar itulah y ang kemudian
pergi rumah Ki Bekel untuk mengadu.
Ternyata Ki Bekel a dalah seorang yang benar-benar
bertanggung jawab atas tugasnya. Meski pun hujan lebat dan
malam dinginnya menusuk tulang, namun Ki Bekel telah pergi
ke banjar bersama dua orang peronda yang ada di gardu di
depan rumahnya dari antara lima orang peronda. Bahkan
sempat mengajak Ki Jagabaya bersamanya.
Ketika di banjar ia menerima penjelasan tentang hubungan
antara Panangkil dan perempuan itu serta keputusan
Panangkil untuk m embunuh perempuan itu, m aka Ki Bekel
pun berkata: "Jadi kau masih saja akan mengacaukan
padukuhan kita sendiri, Panangkil. Sudah beberapa kali kau
mendapat peringatan dari Ki Jagabaya. Bahkan pernah orangorang
padukuhan ini hampir saja beramai-ramai
membunuhmu karena tingkah lakumu itu. Sekarang kau telah
melakukan satu kesalahan lagi yang bahkan hampir saja
menelan korban jiwa. Apakah sebaiknya kau aku serahkan saja
kepada orang-orang padukuhan. Mumpung sungai itu sedang
banjir" Mungkin kau akan diikat dan dimasukkan ke dalam
sungai itu. Orang-orang sepadukuhan akan melihat kau
mencoba untuk berenang. Jika kau hanyut, maka tali itu akan
ditarik. Tetapi kemudian akan diulur lagi jika sekali lagi
mencoba berenang." "Jangan Ki Bekel. Aku mohon maaf," minta Panangkil.
"Sudah berapa kali kau m inta maaf kepadaku, kepada Ki
Jagabaya dan kepada seisi padukuhan"," bertanya Ki Bekel.
Panangkil tidak menjawab. Tetapi kepalanya menunduk
dalam-dalam. "Aku akan bertanya saja kepada rakyat padukuhan ini.
Apakah mereka masih bersedia memberikan ampun
kepadamu atau tidak. Jika tidak, ter serah kepada mereka,"
berkata Ki Bekel. "Jangan Ki Bekel. Jangan dengan cara itu," minta
Panangkil. Ki Bekel termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya kepada kedua orang per onda y ang menyertainya:
"Panggil isterinya. Biar ia tahu apa yang dilakukan oleh
suaminya." "Jangan panggil isteriku, jangan," minta Panangkil. Tetapi
Ki Bekel tetap pada pendiriannya. Dan kedua orang itu pun
segera meninggalkan banjar.
Ketika perempuan itu dengan pakaian yang basah meski
pun ia m emakai caping belarak yang besar, sampai ke banjar,
maka ia menjadi heran. Dilihatnya beberapa orang ada di
banjar, termasuk suaminya.
Ki Bekellah yang kemudian mengatakan kepada perempuan
itu apa yang telah dilakukan suaminya terhadap perempuan
yang telah berada di banjar itu.
Wajah perempuan itu menjadi merah. Tiba-tiba saja ia
telah merehut parang per onda yang memanggilnya. Hampir
sa ja kepala suaminya telah dipecahkannya dengan parang itu.
Untunglah beberapa orang sempat melerainya.
"Biar aku bunuh laki -laki keparat itu," perempuan itu
berteriak sambil menangis. Namun ketika ia melihat
perempuan yang telah berada di banjar itu, ia pun telah
meronta sambil berteriak pula: "Kaulah sumber dari laknat ini.
Kau pun harus dibunuh."
Perempuan yang hampir saja dilemparkan ke sungai y ang
banjir itu menjadi ketakutan. Tetapi ia pasrahkan dirinya
kepada orang-orang yang ada di banjar itu termasuk Ki Bekel.
Sebenarnyalah Ki Bekel t elah m erampas parang di tangan
perempuan itu. Dengan nada seorang pemimpin ia berkata:
Kita ingin menyelesaikan persoalan ini dengan baik. Kita
bukan keluarga orang -orang liar yang tidak tahu caranya
memecahkan persoalan dengan nalar."
"la telah berkhianat terhadap keluarganya Ki Bekel," tangis
isteri Panangkil. Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya: "Aku mengerti.
Tetapi bukankah kau dapat berbicara dengan suamimu?"
"Apakah kata-katanya masih dapat dipercaya"," bertanya
isterinya. Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Ia sendiri juga
bertanya seperti itu. Apakah kata-katanya masih dapat
dipercaya" Tetapi sebagai seorang Bekel ia masih juga
mencoba untuk mencari jalan y ang terbaik y ang dapat
ditempuh. Karena itu, maka Ki Bekel itu pun berkata:
"Sekarang, ajak suamimu berbicara dihadapanku. Ia tahu
bahwa aku adalah Bekel dari padukuhan ini. Kata-kata yang
diucapkan dihadapanku, tentu akan m engikat. Bukan hanya
aku saja saksiny a. Tetapi beberapa orang, termasuk Ki
Jagabaya." Perempuan itu termangu-mangu. Namun kemudian ia
bertanya kepada suaminya: "Sekarang apa niatmu" Mencerai
aku atau apa?" "Tidak," jawab Panangkil, "aku tidak ingin menceraimu."
"Kau tidak usah berpura-pura. Jika kau memang sudah
jemu beristerikan aku, cerai saja aku. Aku akan membawa
semua anak-anakku. Aku m asih akan dapat m emberi m ereka
makan serta mendidik mereka untuk menjadi orang baik-baik
kelak." "Tidak. Jangan pergi. Apalagi membawa anak-anak. Aku
tidak dapat berpisah dengan anak-anak," jawab Panangkil.
"Tetapi apakah kau mengeri, apa yang telah kau lakukan
itu"," bertanya isterinya.
"Aku minta maaf. Aku tidak mempunyai cara lain. Aku
sudah tidak berani m encuri karena ancaman Ki Bekel," jawab
Panangkil. "Kau kira aku senang jika kau mencuri"," geram isterinya.
"Satu-satunya jalan adalah memeras orang lain. Aku sama
sekali tidak berniat apa pun juga terhadap perempuan itu
selain memeras. Aku ingin m encukupi kebutuhan keluargaku
sehingga dapat hidup pantas," jawab Panangkil.
"Tidak. Itu sangat m emalukan. Besok, apa yang masih ada
harus kau kembalikan kepada perempuan itu. Aku berjanji
untuk mengganti semua barang-barang dan perhiasan yang
telah kau t erima dan kau jual untuk menghidupi kami
sekeluarga. Aku kira selama ini kau benar-benar berhasil
berdagang wesi aji dan batu-batu bertuah, sehingga hidup
keluarga kita dapat menjadi semakin baik. Ternyata apa yang
kau lakukan adalah perbuatan laknat itu," teriak perempuan
itu tanpa dapat mengendalikan perasaannya lagi.
"Aku minta maaf kepadamu," jawab Panangkil.
"Sudah berapa kali kau m inta maaf kepadaku tetapi m asih
sa ja kau melakukan kesalahan. Meski pun kesalahan itu tidak
sama, tetapi jiwanya sama-sama satu pengkhianatan," geram
isterinya. "Kali ini aku berbicara di hadapan saksi-saksi. Ki Bekel, Ki
Jagabaya, anak-anak muda itu dan y ang lain," sahut
Panangkil. Jika aku tidak m enepatinya, maka aku tentu akan
menerima hukuman y ang paling berat."
Isterinya termangu -mangu sejenak. Sementara Ki Bekel
berkata: "Baiklah, maaf dan m engaku ber salah. Ia tidak akan
melakukannya lagi dikemudian hari."
Namun isteri Panangkil itu berkata: "Aku ingin mendengar
janjinya sekali lagi."
"Berjanjilah sekali lagi," minta Ki Bekel.
"Ya. Aku memang berjanji," jawab laki-laki itu.
"Berjanji apa"," isterinya menjerit tinggi.
"Aku berjanji untuk tidak mengulangi semua perbuatanku
yang buruk. Tidak mencuri lagi dan tidak m emeras," berkata
Panangkil. "Hanya itu"," bertanya isteriny a.
"Apalagi y ang harus dikatakan"," bertanya Ki Bekel.
"la berjanji untuk tidak memeras, tetapi ia justru
mengawini perempuan itu," suaranya agak menurun.
Ki Bekel menarik nafas. Katanya: "Ucapkan janjimu
selengkap-lengkapnya."
Panangkil termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia
berkata: "Aku tidak akan mencuri, tidak akan memeras dan
tidak akan berhubungan lagi dengan perempuan itu."
"Nah, Ki Bekel dan Ki Jagabaya menjadi saksi," desis
perempuan itu. "Nah, sebaiknya kau percaya. Aku akan turut mengawasi.
Jika ia masih bertabiat buruk, maka aku minta kau ikhlaskan
suamimu untuk aku serahkan kepada orang banyak.
Hukumannya tidak akan dibatasi dengan paugeran apa pun
juga," berkata Ki Bekel kemudian.
Namun ternyata perempuan itu ragu-ragu. Ia memang
merasa ngeri mendengar ancaman Ki Bekel itu. Bagaimana
pun juga laki-laki jahat itu adalah suaminya.
Baiklah," berkata Ki Bekel, "sekarang pulanglah dengan
membawa kesaksian kami. Mudah-mudahan keluargamu
menjadi semakin baik."
0oo0dw0oo0 (Bersambung ke jilid 96).
Conv er by Editing: MCH Pdf ebook : HIJAUNYA LEMBAH HIJAUNYA LERENG PEGUNUNGAN Jilid 96 Cetakan Pertama PENERBIT: "MURIA" YOGYAKARTA Kolaborasi 2 Website : dengan Pelangi Di Singosari / Pembuat Ebook : Sumber Buku Karya SH MINTARDJA
Scan DJVU : Ismoyo, Arema
Converter : Editor : MCH dan Pdf ebook : --ooo0dw0ooo- Naskah ini untuk keperluan kalangan sendiri,
penggemar karya S.H. Mintardja dimana saja berada y ang
berkumpul di Web Pelangi Singosari dan Tiraikasih
Jilid 096
04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
PEREMPUAN y ang datang ke banjar itu dengan diseret
oleh beberapa laki -laki itu agaknya mampu menempatkan
dirinya. Ia merasa lebih baik diam saja selama terjadi
pembicaraan antara suami laki -laki itu akan dapat menjadi
mata gelap. Karena itu, maka y ang dapat dilakukannya adalah
menunggu suami isteri itu meninggalkan banjar padukuhan.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, Panangkil dan
isterinya telah meninggalkan banjar itu. Mereka berjalan
begitu saja didalam hujan yang lebat dengan taping blarak
diatas kepala. Setelah keduanya pergi, maka Ki Bekel mulai berbicara
dengan perempuan y ang kedinginan itu.
"Nah, sekarang kau bagaimana?" bertanya Ki Bekel.
Perempuan itu term enung sejenak. Namun kemudian ia
justru telah menangis. "Kenapa kau menangis lagi?" bertanya Ki Bekel.
Perempuan itu tidak segera menjawab, Namun kemudian
sambil mengusap air matanya ia berkata tidak tahu lagi, apa
yang harus aku lakukan."
"Kau tentu tahu, akibat yang kau sandang ini adalah hasil
perbuatanmu sendiri," berkata Ki Bekel.
Perempuan itu mengangguk.
"Nah, sekarang kau harus mencoba mencari peny elesaian,"
berkata Ki Bekel pula. Tetapi y ang terdengar adalah isak tangisnya. Katanya: "
Laki-laki itu tidak mau lagi menerima aku di rumahnya.
Panangkil ternyata telah menipuku. Aku sudah tidak
mempunyai apa-apa lagi.,"
"Apakah kau masih mempunyai orang tua?" bertanya Ki
Bekel. Perempuan itu mengangguk. Tetapi katanya: " Ayah dan
ibuku sudah tua sekali."
"Tetapi bukankah mereka mempunyai tempat tinggal","
bertanya Ki Bekel pula. "Ya. Mereka mempunyai tempa tinggal," jawab perempuan
itu. "Jika demikian lebih baik kau kembali saja kepada mereka.
Agaknya itu lebih baik daripada kau dilemparkan ke sungai
yang banjir itu," berkata Ki Bekel pula.
Perempuan itu berpikir sejenak. Tetapi nalarnya benarbenar
buntu. Karena itu, masih sambil menangais ia berkata: "
Baiklah. Besok aku akan kembali kepada kedua orang tuaku."
"Baiklah," berkata Ki Bekel: "c obalah untuk
memperbaharui cara hidupmu. Kau harus jujur menghadapi
setiap orang. Jika kau tidak hidup dalam satu keny ataan
sewajarnya, maka kau akan dapat mengalami per soalan
seperti sekarang ini."
"Aku mengerti Ki Bekel," jawab perempuan itu.
Nah. Biarlah kau diijinkan untuk berada di banjar ini
semalam," berkata Ki Bekel. Lalu katanya kepada penunggu
banjar itu: "Apakah isterimu dapat meminjamkan selembar
pakaiannya kepada perempuan y ang kedinginan itu?"
"Tetapi, tetapi biarlah Ki Bekel yang mengatakan
kepadanya. Jika aku sendiri yang mengatakan, maka dapat
terjadi salah paham," jawab penunggu banjar itu.
Ki Bekel tersenyum. Ia mengenal keluarga penunggu banjar
itu. Maka Ki Bekel itu pun berkata: "Baiklah. Biar aku yang
mengatakannya." Karena Ki Bekel y ang mengatakannya, maka isteri
penunggu banjar itu pun tidak berkeberatan untuk
meminjamkan pakaiannya sepengadeg.
Beberapa saat kemudian, m aka Ki Bekel pun telah minta
diri bersama bebahu yang meny ertainya. Namun kepada
Penunggu banjar itu, Ki Bekel juga menganjurkan agar
memberikan pinjaman pakaian bagi kedua anak muda yang
juga menjadi basah kuyup itu.
Tetapi malam itu, amben di serambi telah dipergunakan
oleh perempuan y ang telah merasa kehilangan segala-galanya
itu. Sementara Mahisa Pukat dan Mahisa Semu terpaksa tidur
di pendapa banjar dengan selembar tikar pandan. Terasa
dinginnya memang meresap sampai ke sungsum. Namun bagi
kedua anak muda itu, tidur di banjar terasa lebih baik dari
pada di tempat terbuka disiram dengan hujan y ang lebat.
Namun beberapa saat kemudian hujan pun mulai reda.
Ketika Mahisa Pukat dan Mahisa Semu sempat t ertidur, maka
fajar pun mulai mengintip. Namun meski pun hanya sebentar,
tetapi kesempatan itu telah dipergunakan oleh Mahisa Pukat
dan Mahisa Semu sebaik- baiknya.
Ketika matahari terbit, maka perempuan y ang tidur di
banjar itu pun telah minta diri. Ketika ia akan berganti dengan
pakaiannya yang masih ba sah, maka isteri pemilik banjar itu
berkata: "Sudahlah, pakai saja pakaianku. Bukan pakaian yang
baik dan mahal. Sekedar untuk menahan dingin. Bawa
pakaianmu y ang basah. Mungkin dapat kau keringkan di
jalan." Perempuan itu mengucapkan terima kasih. Ternyata ia
tidak dapat menahan air m atanya, bahwa masih ada orang
yang merasa belas kasihan kepadanya, karena ia merasa
betapa dosa telah tertimbun didalam dirinya.
Tetapi Mahisa Pukat dan Mahisa Semu ternyata masih
belum meninggalkan barak. Mereka telah menjemur
pakaiannya lebih dahulu. Apalagi semua pakaian yang
dibawanya, yang memang hanya selembar dan selembar kain
panjang y ang dibawanya selain sebuah celana, telah basah.
"Apakah aku diperbolehkan berada di banjar sampai
pakaianku kering?" Penunggu banjar itu tertawa. Katanya: " Tentu saja. Apalagi
kau telah berbuat sesuatu di padukuhan ini. Kau telah
menghindarkan satu pembunuhan keji. Untuk itu, seisi
padukuhan ini tentu akan berterima kasih kepadamu."
"Terima kasih untuk apa" Kami tidak berbuat apa -apa.
Hanya sekedar melakukan kewajiban," sahut Mahisa Pukat.
Lalu katanya: "Semoga perempuan itu selamat."
Penunggu banjar itu m enarik nafas dalam-dalam. Dengan
nada dalam ia berkata: "Ya. Setelah kau selamatkan semalam,
mudah-mudahan ia selamat sampai ke rumah orangtuanya."
Mahisa Pukat menangguk kecil Tetapi ia tidak menjawab.
Dalam pada itu, Mahisa Semulah yang sibuk menjemur
pakaiannya. Sementara penunggu banjar itu berkata: "Anakanak
muda. Maaf bahwa aku tidak dapat berbuat seperti
isteriku. Ia dapat memberikan sepengadeg pakaiannya kepada
perempuan itu, karena ia masih mempunyai pakaian yang
dapat aku berikan kepadanya."
Mahisa Pukat dan Mahisa Semu tertawa. Dengan nada
tinggi Mahisa Pukat berkata: "Aku sudah berterima ka sih,
bahwa semalam aku tidak kedinginan dengan mengenakan
pakaian yang basah kuyup oleh hujan itu."
Penunggu banjar itu mengerutkan keningnya. Namun ia
pun kemudian tersenyum pula. Dan bahkan tertawa.
Sambil menunggu, ternyata isteri penunggu banjar itu telah
merebus ket ela pohon pula seperti semalam. Karena itu, maka
mahisa Pukat dan Mahisa Semu pun telah sempat makan
ketela rebus dan minum wedang jahe y ang hangat dengan gula
kelapa. Ketika matahari naik sepenggalah, maka pakaian kedua
anak muda itu pun telah menjadi agak kering. Karena itu,
maka mereka pun segera berganti pakaian. Bahkan mereka
sempat mencuci pakaian yang dipinjamnya dari penunggu
banjar itu. "Sudahlah," berkata penunggu banjar itu, "kalian tidak usah
mencucinya." Tetapi Mahisa Pukat menjawab: "Biarlah. Jika matahari
terang, pakaian itu akan segera kering."
Penunggu banjar itu tidak mencegah lagi. Nampaknya
kedua anak muda itu tidak m au meninggalakan pakaian yang
kotor itu begitu saja setelah mereka memakainya semalam.
Demikianlah, maka beberapa saat kemudian, Mahisa Pukat
dan Mahisa Semu pun telah minta diri. Mereka akan
melanjutkan perjalanan menuju ke Singasari. Mereka akan
menemui Mahendra y ang telah lebih dehulu berangkat
bersama para prajurit y ang menjemputnya.
Mahisa Pukat dan Mahisa Semu berharap bahwa sebelum
gelap mereka sudah akan berada di Kotaraja. Meski pun
mereka berangkat agak siang, tetapi jarak yang harus
ditempuh tidak lagi memerlukan waktu satu hari penuh.
Setelah semalaman hujan turun dengan lebat, maka hari itu
justru terasa cerah. Jalan-jalan masih basah. Namun langit
nampak bersih. Bahkan tidak berawan.
"Air di langit telah habis tercurah semalam," desis Mahisa
Semu. Mahisa Pukat tertawa. Katanya: "Ya. Tidak ada yang
tersisa." Namun ketika mereka melalui jalan y ang menjelujur
di sebelah tanggul sungai yang banjir, Mahisa Pukat berkata:
"Lihat, jika semalam perempuan itu dilemparkan ke dalam air,
mungkin kita akan m enemukan mayatnya tersangkut di akar
serumpun bambu y ang hampir dihanyutkan banjir itu."
Mahisa Semu menarik nafas dalam-dalam. Katanya:
"Memang mengerikan. Untunglah kita sempat mencegahnya."
"Laki-laki itu nampaknya memang tidak dapat dipercaya,"
desis Mahisa Pukat. "Tetapi perempuan itu pun memang perempuan laknat. Ia
mengkhianati seorang laki -laki y ang memberi apa saja yang
dimintanya," desis Mahisa Semu, "tetapi ia terbentur pada
sikap seorang laki-laki laknat pula."
"Satu pantulan sikap y ang menghukumnya," berkata
Mahisa Pukat tetapi penderitaan batinnya adalah hukuman
yang sudah cukup berat."
Mahisa Semu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak
menyahut lagi. Ia pun justru merenung tentang perempuan
yang hampir saja dit elan oleh banjir y ang sisanya masih
nampak. Air sungai itu masih keruh dan deras. Bahkan masih
nampak putaran-putaran meski pun tidak sebesar semalam.
Ketika matahari menjadi semakin tinggi, maka Mahisa
Pukat dan Mahisa Semu telah berpacu di jalan yang semakin
rata dan terpelihara baik. Tetapi lewat tengah hari, kedua anak
muda itu mulai merasa haus sehingga keduanya telah singgah
disebuah kedai di pinggir jalan.
Setelah makan dan minum secukupnya, serta kuda mereka
pun telah mendapat minum serta makan, maka keduanya siap
melanjutkan perjalanan. Tetapi sepintas mereka masih sempat. mendengar dua
orang berkuda y ang menambatkan kudanya berbicara diantara
mereka. Seorang diantara m ereka berkata: "Singa-sari telah
tidak lagi sekuat sebelumnya. Semakin lama menjadi semakin
kehilangan wibawanya. Justru karena Singasari merasa terlalu
kuat sebelumnya." Mahisa Pukat dan Mahisa Semu tidak mendengar apa y ang
mereka bicarakan kemudian. Tetapi pembicaraan y ang pendek
itu sangat menarik perhatian mereka.
Sambil meneruskan perjalanan, maka Mahisa Pukat
berkata: "Satu sikap yang perlu diperhatikan oleh Singasari."
"Mereka menilai Singasari y ang mulai surut," berkata
Mahisa Pukat. "Kita harus menghubungkan dengan kegiatan Kediri
sekarang ini," desis Mahisa Pukat.
Mahisa Semu m engangguk-angguk. Kepergian mereka ke
Singasari antara lain juga karena persoalan y ang menyangkut
sikap Kediri. Meski pun sikap itu bukan sikap Kediri
seutuhnya, namun per soalannya akan m enyangkut hubungan
selanjutnya antara Singasari dan Kediri.
Untuk beberapa saat kedua anak muda itu terdiam. Mereka
seakan-akan sedang menilai keadaan yang nampaknya
menjadi semakin suram. Sementara itu, kuda-kuda mereka pun berpacu terus
menuju k e Singasari. Langit yang ber sih mulai digayuti awan
yang kelabu. Namun keduanya menduga bahwa hujan lama
turun. Bahkan karena angin yang agak kencang dan S elatan,
awan itu akan hanyut ke Utara.
Beberapa saat kemudian, kedua anak muda itu
memperlambat derap kuda-kuda mereka. Dari kejauhan
mereka melihat beberapa orang berkuda menuju kearah
mereka. Nampaknya sekelompok prajurit y ang sedang
meronda. Ketika mereka berpapasan, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu
telah berhenti dan menepi. Mereka memberi jalan kepada
sekelompok orang berkuda y ang ternyata memang prajurit
Singasari. Namun pemimpin dari sekelompok prajurit itu telah
memberikan isy arat kepada prajurit -prajuritnya untuk
berhenti. Mahisa Pukat dan Mahisa Semu memang menjadi
termangu-mangu. Sementara pemimpin sekelompok prajurit
itu mendekat sambil bertanya: "Anak-anak muda. Apakah
kalian bertemu dengan dua orang berkuda"."
Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Namun ia pun
kemudian menjawab: "Tidak Ki Sanak. Rasa-rasanya kami hari
ini tidak berpapasan dengan dua orang berkuda. Memang ada
beberapa kali kami berpapasan. Tetapi satu-satu. Nampaknya
orang-orang padukuhan y ang pulang dari menjual hasil
buminya." "Bukan," sahut pemimpin prajurit itu, "bukan itu y ang aku
maksud. Tetapi dua orang berkuda seperti kalian y ang sedang
menempuh perjalanan."
Tiba-tiba saja Mahisa Pukat teringat kedua orang di kedai
itu. Karena itu, maka katanya: "Ki Sanak. Kami memang tidak
berpapasan. Tetapi di sebuah kedai kami melihat beberapa
ekor kuda t ertambat. Apakah mungkin ada diantara mereka
itu." "Kedai yang mana ?" bertanya pemimpin prajurit itu.
"Di pinggir jalan ini. Tidak terlalu jauh," jawab Mahisa
Pukat. Pemimpin sekelompok prajurit itu termangu-mangu. Tetapi
ia pun kemudian bertanya: "Siapakah anak muda berdua ini ?"
"Kami datang dan padepokan Bajra Seta. Kami akan
menemui seorang keluarga kami di Kotaraja," jawab Mahisa
Pukat. Pemimpin sekelompok prajurit itu mengangguk-angguk.
Namun katanya kemudian: "Anak-anak muda. Aku tidak ingin
mengganggu perjalananmu. Tetapi kami ingin melakukan
tugas kami dengan sebaik-baiknya bagi kepentingan Singasari.
04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Karena itu, maka aku minta kalian berdua bersedia
menunjukkan kepada kami, dimana letak kedai itu."
"Di pinggir jalan ini. Tidak terlalu jauh," jawab Mahisa
Pukat. Tetapi prajurit itu tetap saja berkata: "Kami minta Ki Sanak
tidak berkeberatan membantu sekelompok prajurit dalam
tugasnya." "Tetapi bagaimanakah nantinya, jika kedua orang itu
kemudian mendendam kami. Berbeda terhadap karena kalian
adalah prajurit." "Kalian tidak akan diganggu. Apalagi kami hanya ingin
kalian menunjukkan kedai itu. Jika perlu kalian tidak usah
mendekati kedai itu. Apalagi menunjukkan orangnya," berkata
pemimpin prajurit itu. "Bagaimana mungkin aku dapat menunjukkan orangnya
karena aku belum pernah melihatnya," jawab Mahisa Pukat.
Namun pemimpin prajurit itu memang agak memaksa.
Katanya: "Aku minta Ki Sanak bersedia membantu prajurit."
Mahisa Pukat tidak mempunyai pilihan lain. Namun ia
masih sempat bertanya: "Kenapa kalian cari kedua orang itu ?"
"Keduanya orang Kediri y ang katanya mencari saudaranya.
Tetapi temyata tidak ketemu," jawab pemimpin prajurit itu.
"Hanya karena kedua orang itu mencari saudaranya di
Kotaraja " Apakah ada keberatannya jika hal itu dilakukan ?"
bertanya Mahisa Pukat. "Tentu saja tidak. Jika kami mencarinya tentu ada
pertimbangan-pertimbangan lain," jawab pemimpin prajurit
itu. "Tetapi kenapa baru sekarang. Tidak saat kedua orang itu
masih berada di Kotaraja?" bertanya Mahisa Pukat pula.
"Nampaknya kalian t erlalu banyak ingin mengerti," berkata
pemimpin prajurit itu. Namun katanya: "Tetapi baiklah aku
menjawabnya. Untuk terakhir kalinya," pemimpin prajurit itu
terdiam. Namun kemudian katanya: "Kami baru mendapatkan
laporan tentang sikap kedua orang itu setelah keduanya pergi.
Kami mendapat tugas untuk mencarinya. Nah, jelas. Sekarang
kalian tidak usah bertanya lagi. Marilah, kita sudah terlalu
banyak kehilangan waktu."
Mahisa Pukat dan Mahisa Semu tidak dapat menolak.
Mereka pun kemudian memutar kudanya dan berjalan
seiring dengan para prajurit.
Ternyata mereka belum terlalu jauh dari kedai itu. Karena
itu, maka beberapa saat kemudian, maka kedai itu pun sudah
mulai nampak. Sementara itu, orang-orang yang ada dikedai itu pun telah
melihat debu yang mengepul dari kejauhan. Agaknya mereka
dapat melihat, bahwa y ang datang adalah sekelompok prajurit
Singasari. Ketika sekelompok prajurit itu kemudian berhenti di depan
kedai itu, maka pemimpin kelompok itu bersama dengan dua
orang pengiringnya telah memasuki kedai itu. Ia melihat
beberapa orang berada didalam kedai itu. Namun pemimpin
sekelompok prajurit itu agaknya menjadi ragu-ragu.
Karena itu, m aka ia pun telah m emanggil seorang prajurit
lagi mendekatinya sambil bertanya: "Yang mana orang yang
kau maksud ?" Prajurit itu memandang setiap orang yang ada didalam
kedai itu. Namun tidak seorang pun yang dapat dikenalinya.
Bahkan prajurit itu kemudian menggeleng sambil berdesis:
"Tidak ada diantara mereka."
Dari pintu samping pemimpin prajurit itu memang melihat
beberapa ekor kuda y ang tertambat. Namun agaknya kuda
orang lain. Bukan orang y ang dimaksud.
Mahisa Pukat dan Mahisa Semu pun kemudian telah
sempat mengamati kuda y ang tertambat. Mereka masih
melihat kedua ekor kuda dari orang-orang yang telah
memperbincangkan kemunduran Singasari. Namun ketika
Mahisa Pukat dan Mahisa Semu melihat kedalam kedai itu,
mereka tidak melihat kedua orang penunggangnya.
Tetapi Mahisa Pukat dan Mahisa Semu tidak m engatakan
sesuatu. Mereka tidak berani memberikan keterangan apapun,
karena mereka tidak tahu pasti apakah yang sebenarnya
terjadi. Pemimpin prajurit itu telah minta ijin kepada pemilik kedai
untuk melihat-lihat isi kedainya. Bahkan sampai ke halaman
di belakang kedai itu. Namun mereka tidak melihat orang lain
kecuali yang sedang makan dan minum didalam kedai itu.
Ketika mereka yakin bahwa y ang mereka cari tidak ada,
maka para prajurit itu pun telah meninggalkan kedai itu.
Kepada Mahisa Pukat dan Mahisa Semu, pemimpin prajurit
itu pun berkata: "Kami mengucapkan terima kasih anak muda.
Maaf, bahwa kami telah menghambat perjalanan kalian.
Kal ian telah berusaha membantu tugas kami, para prajurit."
Mahisa Pukat pun mengangguk hormat sambil berkata:
"Agaknya itu sudah menjadi kewajiban kami."
Ketika para prajurit itu melanjutkan perjalanan, Mahisa
Semu pun berdesis: "Meski pun ketika kami diminta untuk
melakukan kewajiban ini kami merasa agak segan."
Mahisa Pukat tertawa. Katanya: "Kita telah kehilangan
waktu. Tetapi kita kemudian dapat berbangga bahwa kita
sudah membantu para prajurit."
Mahisa Semu pun tertawa pula. Katanya kemudian:
"Beberapa saat lagi, para prajurit itu tentu akan kembali.
Mereka tentu tidak akan melakukan pelacakan tanpa ujung.
Jika m ereka sampai di padukuhan itu dan tidak seorang pun
dapat memberikan petunjuk maka mereka tentu akan
kembali." "Ya. Mereka tentu segera kembali." Mahisa Pukat berhenti
sejenak. Lalu katanya: "Tetapi rasa-rasanya kuda-kuda itu
masih belum berkurang jumlahnya. Namun kedua orang yang
telah b erbicara tentang kemunduran Singasari itu telah tidak
ada didalam kedai itu."
Mahisa Semu mengangguk-angguk. Katanya: "Marilah. Kita
melanjutkan perjalanan."
Tetapi ketika mereka sudah siap untuk berangkat, dari
pintu kedai itu mereka melihat seseorang turun dari atap
rumah itu. Disusul seorang lagi meloncat pula.
Ketika keduanya melihat Mahisa Pukat dan Mahisa Semu,
maka seorang diantaranya berkata: "Bukankah kedua orang
itu y ang berpapasan dengan kita saat kita datang ?"
"Bukan berpapasan. Saat itu kita m enambatkan kuda kita,
keduanya meninggalkan kedai ini," berkata y ang seorang.
"Jika demikian, tentu kedua anak muda itulah yang telah
memberitahukan keberadaan kita disini," geram orang
pertama. "Ya. Tentu keduanya," sahut yang lain.
Pemilik kedai itu pun tiba-tiba saja telah keluar pula dari
kedainya dan berkata: "Ya. Keduanya adalah anak-anak muda
yang baru saja keluar dari kedai ini. Mereka kembali dengan
membawa sekelompok prajurit."
"Anak iblis," geram salah seorang dari kedua orang itu,
"jadi kalian yang telah m embawa prajurit-prajurit itu kemari
he ?" Mahisa Pukat dan Mahisa Semu mulai m enyadari, bahwa
orang-orang itu telah menunjuk kepada mereka. Karena itu,
maka Mahisa Pukat pun berkata: " Itu tidak benar. Kami hanya
mengatakan ada beberapa ekor kuda di kedai ini. Itu pun
justru karena m ereka bertanya apakah kami bertemu dengan
orang-orang berkuda."
"Omong kosong," geram orang itu, "keriapa kau turut
campur persoalan orang lain ?"
"Kami tidak sengaja mencampurinya." jawab Mahisa Pukat.
"Jadi apa y ang kau lakukan ?" bertanya orang lain.
"Kami sekedar m emenuhi perintah para prajurit itu untuk
menunjukkan kedai ini," jawab Mahisa Pukat.
Kedua orang itu menjadi semakin marah. Seorang diantara
mereka pun berkata: " Jika kau tidak memberikan laporan
tentang kami, maka para prajurit itu tentu tidak akan sampai
kemari." "Apa yang aku laporkan tentang kalian " Apakah kalian
melakukan kejahatan disini dan kebetulan aku melihat
sehingga aku m emberikan laporan tentang kejahatan kalian "
Aku tidak melihat apa-apa. Aku melihat kalian berhenti dan
masuk ke kedai ini seperti orang-orang lain. Apa y ang kau
laporkan " Apa yang aku lihat " Dan apakah yang sebenamya
terjadi " Sikap kalian justru menimbulkan kecurigaan padaku,
bahwa kalian memang m elakukan kejahatan," jawab Mahisa
Pukat y ang juga mulai menjadi marah.
Wajah kedua orang itu menjadi merah. Demikian pula pemilik kedai itu. Dengan geram seorang diantara kedua orang itu bertanya: "Siapa sebenarnya kalian berdua "
Petugas sandi atau apa ?"
"Aku bukan apa-apa. Aku sedang pergi ke Singasari untuk mengunjungi ay ahku,"
jawab Mahisa Pukat. "Kalian memang anak -
anak y ang malang. Justru
karena kalian terlalu banyak mencampuri persoalan orang lain dan karena kalian terlalu banyak tahu
tentang kami, maka biarlah kalian berhenti sampai disini.
Biarlah ayahmu m enunggu sampai batas hidupnya karena ia
tidak akan melihatmu lagi."
"Apa artinya ?" bertanya Mahisa Pukat.
"Kau berdua membuat aku marah. Karena itu, maka kalian
harus mati," berkata orang itu.
"Begitu mudahnya membunuh orang seperti membunuh
seekor ay am untuk di jual di kedai itu," geram Mahisa Pukat,
"kau kira kami ini apa ?"
"Jadi kau mau apa ?" bertanya orang itu, "kami sudah
sepakat untuk menghukummu. Membunuhmu dan mengubur
mayatmu di belakang kedai. Orang-orang y ang ada didalam
kedai itu tidak akan membantumu."
"Mereka akan dapat menjadi saksi perbuatanmu," desis
Mahisa Pukat. "Mereka adalah kawan-kawanku," jawab orang itu.
Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Didalam kedai itu
ada lima orang. Pemilik kedai dan dua orang pembantunya
nampaknya adalah pembantu-pembantu orang-orang itu pula
selain kedua orang itu sendiri. Sehingga dengan demikian
semuanya ada sepuluh orang.
"Jangan meny esali nasibmu y ang buruk," berkata orang itu,
"marilah, pergilah ke belakang kedai itu. Kau akan
diperlakukan dengan baik. Kami bersama-sama akan
membantu menggali lubang itu. Kemudian kalian berdua
berbaring dengan tenang. Kami akan menempatkan ujung
pedang kami di dada kalian, tepat diarah jantung. Kami
berjanji tidak akan menimbulkan kesakitan pada kalian
menjelang kematian kalian."
Mahisa Pukat dan Mahisa Semu benar-benar tersinggung.
Mereka tidak lagi berpikir tentang sepuluh orang. Apa pun
yang terjadi, mereka tidak mau dihinakan begitu saja. Jika
mereka harus mati, maka biarlah mereka mati dengan pedang
di tangan. Dengan gigi yang gemeretak Mahisa Pukat menjawab: "Jika
kalian ingin mati, matilah. Ny awaku nilai sama dengan lima
orang diantara kalian."
"Anak iblis," orang itu hampir berteriak, "jadi kau lebih
senang mati dalam penderitaan daripada mati dengan tenang."
"Cukup," bentak Mahisa Pukat, "atau kau m emang hanya
ingin berbicara, menakut-nakuti kemudian bersembuny i lagi
diatap ?" Kedua orang itu tidak menunggu lagi. Keduanya pun segera
bersiap, sedangkan Mahisa Pukat dan Mahisa Semu masih
sempat menambatkan kudanya menepi.
Nampaknya memang tidak ada peny elesaian lain. Kedua
orang yang dicari oleh para prajurit itu benar-benar akan
membunuh Mahisa Pukat dan Mahisa Semu yang dianggapnya
telah melaporkan kehadiran mereka kepada para prajurit
Singasari. Tetapi Mahisa Pukat pun telah bersiap pula m enghadapi
segala kemungkinan. Demikian pula Mahisa Semu.
Sejenak kemudian, maka kedua orang itu pun mulai
menempatkan diri menghadapi Mahisa Pukat dan y ang lain
Mahisa Semu. Dengan lantang seorang diantara mereka berteriak sambil
menyerang. "Kau memilih jalan y ang buruk."
Tetapi Mahisa Pukat yang m endapat serangan itu sudah
siap menghadapinya, karena itu maka dengan tangkas pula ia
pun telah menghindar. Bahkan sekaligus meny erang.
Lawannya menggeliat kemudian berputar. Kakiny a terayun
mendatar, namun sama sekali tidak menyentuh Mahisa Pukat
yang merendah sambil menyapu kaki lawannya yang lain.
Namun lawannya cukup tangkas. Dengan satu kakinya ia telah
melenting menghindari sapuan kaki Mahisa Pukat.
Sementara itu Mahisa Semu pun telah bertempur pula. Ia
pun telah b erloncatan dengan tangkas pula. Meski pun anak
muda itu baru mulai, tetapi ia sudah cukup mempunyai
pengalaman sehingga ia pun segera meny esuaikan diri dengan
serangan-serangan lawannya yang ternyata juga bukan
seorang y ang berilmu tinggi.
Dalam waktu y ang pendek, baik Mahisa Pukat mau pun
Mahisa Semu telah berhasil menguasai lawan-lawannya.
Bahkan m ereka telah m endesak sehingga lawan-lawannya itu
seakan-akan tidak lagi mempunyai kesempatan untuk
bergerak. Mereka setiap kali menjadi bingung menghadapi
kecepatan gerak anak-anak muda itu.
Karena itu, maka kedua orang itu pun segera memberi
isy arat kepada orang-orang y ang lain y ang ada di kedai itu
untuk membantu mereka. " Ingat," berkata Mahisa Pukat, "nyawaku nilainya sama
dengan lima orang diantara kalian. Bahkan lebih. Karena itu,
jika kalian ingin membunuh kami berdua, m aka kalian pun
akan m ati. Atau bahkan kalian semua akan mati, dan kami
04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berdua akan tetap hidup."
Kedua orang itu berteriak marah. Sementara kawankawannya,
bahkan termasuk pemilik kedai dan dua orang
pembantunya telah mengepung Mahisa Pukat dan Mahisa
Semu. Bahkan ternyata mereka semuanya telah
mengacungkan senjata mereka masing2. Beberapa helai
pedang, sebuah bindi dan baik pemilik kedai itu mau pun
kedua pembantunya ternyata bersenjata kapak. Agaknya
mereka memang saudara seperguruan y g membuka kedai itu
untuk tujuan tertentu. "Kau tidak akan dapat mengelak lagi," geram pemilik kedai
itu, " sebenarnya aku sudah tidak sabar lagi untuk
membunuhmu. Mungkin kemenangan kecilmu itu
membuatmu berbangga. Tetapi kapak-kapak kami akan
mengoy ak leher kalian berdua. Kau tidak usah bermimpi
untuk dapat membunuh kami semua. Jika kau berhasil
membunuh seorang saja diantara kami, maka kau benar2
seorang anak muda y ang luar biasa. Aku akan menyembahmu
sampai ke anak cucu."
Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Dengan nada datar
ia berkata: "Kau akan benar-benar m enjadi budakku sampai
keanak cucu. Aku tidak akan hanya membunuh seorang.
Tetapi semuanya. Kecuali kau, karena kau akan menjadi
budakku sampai keanak cucumu."
"Anak iblis kau," pemilik kedai itu menjadi sangat marah.
Ternyata anak-anak muda itu sama sekali tidak menjadi
gentar. Bahkan keduanya justru menantang m ereka dengan
berani. Karena itu, maka pemilik kedai y ang tiba -tiba saja justru
mengambil alih pimpinan itu memberi isy arat, agar orangorang
yang mengepung kedua orang anak muda itu bergerak
semakin merapat. Mahisa Pukat memperhatikan sepuluh orang y ang telah
mengepung mereka itu satu persatu. Wajah-wajah yang garang
dan sikap yang kasar. "Ternyata aku berhadapan dengan sekelompok petugas
sandi dari Kediri," berkata Mahisa Pukat.
"Kau boleh mengigau apa saja menjelang kematianmu,"
geram pemilik kedai itu. Mahisa Pukat tidak menyahut lagi. Ia pun segera
mempersiapkan diri menghadapi orang-orang yang telah
mengepungnya. Demikianlah, sejenak kemudian bertempuran pun telah
terjadi. Pemilik kedai itu telah meny erang dengan garangnya.
Disusul oleh kedua orang pelay annya. Sementara itu, y ang lain
masih saja termangu-mangu di sekitar arena pertempuran itu.
Mereka masih menilai apa yang terjadi. Sementara itu,
sebenarnyalah m ereka menganggap pemilik k edai dan kedua
orang pelay annya itu adalah orang-orang y ang berilmu tinggi,
karena sebenarnyalah mereka adalah petugas sandi yang
mendapat kepercay aan untuk m engawasi Kotaraja Singasari.
Kedai itu tidak lebih dari kedok y ang m enyamarkan tempat
pertemuan para petugas sandi yang bertugas mengamati
Kotaraja Singaraja. Sedangkan pemilik kedai itu adalah orang
yang mengatur segala-galanya bagi para petugas sandi itu.
Sejenak kemudian, pertempuran pun menjadi semakin
sengit. Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah bertempur
berpasangan menghadapi k etiga orang y ang bersenjata kapak
itu. Namun Mahisa Pukat dan Mahisa Semu tidak
membiarkan diri mengalami kesulitan sehingga mereka pun
mempergunakan pedang mereka pula.
Pemilik kedai itu m emang sempat terkejut melihat pedang
Mahisa Pukat. Tetapi ia tidak mempunyai kesempatan untuk
menilainya, karena Mahisa Pukat ju stru telah m eny erangnya.
Dalam pertempuran itu, Mahisa Pukat sendiri tidak
mengalami kesulitan menghadapi lawan-lawannya. Mahisa
Semu pun masih juga mampu bertahan dalam pertempuran
itu, karena lawan-lawannya baru tiga orang y ang bergerak.
Dua orang y ang bertempur lebih dahulu telah bergeser menepi
dan bahkan bergantian menyaksikan pertempuran itu.
Namun menurut penilaian Mahisa Pukat, jika y ang lain
turun pula ke arena, maka Mahisa Semu akan segera
mengalami kesulitan. Tetapi untuk sementara Mahisa Pukat masih belum
mengambil langkah-langkah penyelamatan. Ia masih berharap
bahwa Mahisa Semu akan mampu mengatasi segala kesulitan
yang bakal datang. Sebenamyalah, ketiga orang bersenjata kapak itu juga tidak
mampu menekan Mahisa Pukat dan Mahisa Semu. Bahkan
sekali-sekali ketiganya harus berloncatan menjauhi kedua
orang anak muda itu. Pemilik kedai yang mendapat tugas untuk mengatur segala
sesuatunya mengenai pengamatan atas Kotaraja itu, ternyata
tidak memiliki cukup kemampuan untuk mengalahkannya
anak-anak muda y ang semula dianggapnya tidak banyak
berarti itu. Karena itu, m aka pemilik kedai itu pun telah m emberikan
isy arat kepada semua orang-orangnya untuk bergerak.
"Kita tidak mempunyai banyak waktu," berkata pemilik
kedai itu. Dengan demikian, maka sepuluh orang itu pun telah
bergerak bersama-sama. Mereka m elangkah dengan hati-hati
mendekati pusat lingkaran dengan senjata teracu.
"Kita harus dengan cepat meny eretnya dan menguburnya di
belakang kedai ini," berkata pemilik k edai itu, "sebentar lagi,
iring-iringan prajurit itu agaknya akan kembali setelah mereka
yakin tidak akan menemukan apa yang mereka cari."
Serentak sepuluh orang itu pun bergerak. Namun Mahisa
Pukat dan Mahisa Semu pun tidak sekedar menunggu. Dengan
tangkasnya keduanya justru meloncat menyambar orangorang
y ang mengepung mereka itu.
Dengan demikian maka pertempuran pun segera telah
berlangsung dengan sengitnya. Sepuluh orang yang berusaha
membunuh kedua orang anak muda itu telah mengerahkan
segenap kemampuan mereka.
Mereka bukannya orang-orang y ang sama sekali tidak
berday a. Itulah sebabnya maka beberapa saat kemudian, maka
Mahisa Semu benar-benar m engalami kesulitan. Betapa pun
Mahisa Pukat mengerahkan segenap kemampuannya,
memancing lawan agar perhatian mereka sebagian terbesar
tertuju padanya, namun Mahisa Semu masih saja m engalami
kesulitan. Bahkan sejenak kemudian, ujung pedang seorang diantara
mereka telah meny entuh kulit Mahisa Semu. Memang tidak
menimbulkan luka y ang mencemaskan. Tetapi seleret luka itu
telah menitikkan darah. Mahisa Semu mengeram oleh kemarahan y ang mulai
memanasi darahnya. Tetapi bagaimana pun juga, ia harus
mengakui keterbatasannya. Bahkan ilmunya masih jauh dari
ilmu y ang dimiliki oleh Mahisa Pukat.
Kesepuluh orang lawannya, nampaknya dapat membaca
kelemahan kedua orang anak muda itu. Karena itu, seranganserangan
berikutnya justru lebih banyak ditujukan kepada
Mahisa Semu. Mahisa Pukat pun mengerti perhitungan lawannya. Karena
itu, maka ia tidak mempunyai pilihan lain kecuali
mempercepat pertempuran itu dengan menundukkan lawanlawannya.
Ketika Mahisa Semu harus berloncatan mengambil jarak
untuk menghindari serangan lawan-lawannya, bahkan tajam
kapak pemilik kedai itu juga telah meny entuh kulit Mahisa
Semu, maka Mahisa Pukat telah benar-benar menjadi marah.
Ia pun kemudian telah m elepaskan ilmunya y ang seakanakan
ter sembuny i dibalik kemampuannya dalam ilmu pedang.
Mahisa Pukat pun kemudian telah m engetrapkan i lmunya
yang mampu m enghisap kekuatan dan kemampuan lawannya
sehingga dengan demikian maka perlawanan mereka pun akan
segera mengendor. Sejenak kemudian, maka Mahisa Pukat pun telah m enghentakkan
kemampuan ilmu pedangnya. Sambil berloncatan
maka pedangnya bergerak menyambar-ny ambar, berputar,
kemudian berayun menyilang, mematuk dan sekali-sekali
menebas kearah leher. Dengan demikian maka tekanan terhadap Mahisa Semupun
sedikit mengendor. Namun beberapa orang telah
mendapat kesempatan untuk dengan cepat berusaha
menyelesaikan Mahisa Semu lebih dahulu.
Mahisa Semu memang harus mengerahkan tenaga dan
kemampuannya untuk menghadapi lawan-lawannya yang
mempunyai perhitungan yang justru semakin menyulitkannya.
Mereka justru berusaha sejauh mungkin untuk menekan dan
menyelesaikan Mahisa Semu lebih dahulu.
Tetapi Mahisa Pukat y ang bagaikan meloncat-loncat
berterbangan mengelilingi arena itu memang agak
mempersulit gerak lawan- lawannya. Tetapi hampir semuanya
diantara m ereka berpikir, bahwa dengan caranya itu, Mahisa
Pukat tidak akan m ampu bertahan untuk waktu y ang cukup
lama. Beberapa saat lagi, anak muda itu tentu akan kehabisan
tenaga dan dengan demikian maka mereka akan dengan
mudah meny elesaikannya. "Bahkan mungkin kami akan dapat m enyelesaikan keduaduanya
bersamaan," berkata pemilik kedai itu dengan para
pembantunya y ang tanggap telah memancing agar Mahisa
Pukat bergerak lebih banyak. Bahkan ada diantara mereka
yang memancing Mahisa Pukat untuk berloncatan dengan
langkah-langkah panjang. Dengan demikian mereka
mengharap agar Mahisa Pukat dengan cepat kehilangan
sebagian besar dari tenaganya.
Mahisa Pukat memang berloncatan dengan langkahlangkah
panjang. Pedangnya menyambar-nyambar. Setiap kali
terdengar dentang senjatanya beradu. Hampir setiap orang
diantara sepuluh orang itu, pernah membenturkan senjatanya
dengan pedang Mahisa Pukat. Sementara itu Mahisa Semu
berusaha untuk meny esuaikan diri dengan langkah-langkah
Mahisa Pukat yang panjang dan garang.
Sebenarnyalah Mahisa Pukat memang dengan sengaja
membiarkan diriny a terpancing dengan gerakan-gerakan
panjang. Dengan demikian, maka Mahisa Semu akan
mendapat kesempatan bergerak lebih luas, sementara
lawannya y ang berjarak jauh, tidak akan menekannya dengan
ketat. Sedangkan Mahisa Pukat telah m endapat kesempatan
untuk meny entuh mereka seorang demi seorang.
Beberapa orang diantara kesepuluh orang itu dengan
geramnya telah berusaha untuk menghentikan putaran pedang
Mahisa Pukat. Beberapa kali terjadi benturan-bcnturan yang
keras. Namun Mahisa Pukat sama sekali tidak berminat lagi
untuk melemparkan senjata lawan- lawannya.
Meski pun demikian, tetapi sekali sekali Mahisa Semu
memang mengalami kesulitan. Segores luka lagi telah
menyilang di punggungnya. Tidak terlalu dalam, tetapi
memanjang melintang. Mahisa Pukat benar-benar menjadi cemas. Namun lukaluka
ditubuh Mahisa Semu sama sekali tidak mengurangi
tenaga dan kemampuannya. Ilmu pedangnya masih
mepdebarkan lawan-lawannya, sementara Mahisa Pukat
bertempur bagaikan seekor burung sikatan berburu bilalang.
Sepuluh orang yang dengan geramnya berusaha membunuh
kedua orang anak muda itu menjadi semakin bernafsu ketika
mereka melihat darah y ang mengembun ditubuh Mahisa Semu
bercampur dengan keringat. Mereka semakin pasti, bahwa
mereka akan dapat m eny elesaikan kedua orang anak muda
yang mereka anggap telah melaporkan kehadiran mereka
kepada para prajurit Singasari.
Sebenarnyalah, Mahisa Semu memang menjadi semakin
terdesak. Selain darahnya y ang mengalir, tenaganya pun mulai
su sut. Apalagi semakin kuat ia mengerahkan tenaganya, maka
darah pun menjadi semakin deras mengalir dari tubuhnya.
"Jangan menyesal anak muda," geram pemilik kedai itu,
"kalian berdua akan mati dan akan kami kuburkan di belakang
kedai ini. Tetapi karena kalian telah melawan, maka jalan
kematian kalian akan m enjadi sangat buruk. Mungkin kalian
tidak pernah membayangkan bahwa kalian akan mati muda
dengan cara y ang mengerikan sekali, karena kalian akan
merasakan betapa gelapny a lubang kubur itu. Untuk beberapa
saat kalian akan tetap hidup meski pun kalian telah ditimbuni
dengan tanah dan bebatuan."
Mahisa Semu dan Mahisa Pukat sama sekali tidak
menjawab. Namun Mahisa Pukat justru bergerak lebih cepat
lagi. Disentuhnya setiap ujung pedang lawan-lawannya dan
setiap kali sentuhan itu berusaha diulanginya.
Demikianlah, beberapa saat kemudian, ketika keadaan
Mahisa Semu m enjadi semakin parah, maka beberapa orang
diantara sepuluh orang itu merasa aneh dengan dirinya
sendiri. Mereka tidak lagi setangkas sebelumnya. Meski pun
mereka dapat mengerti bahwa tenaga mereka akan susut,
tetapi tentu tidak akan secepat yang terjadi.
Satu dua orang y ang luput dari sentuhan senjata Mahisa
Pukat memang masih tetap garang. Namun Mahisa Semu
tidak lagi merasa betapa beratnya tekanan lawan-lawannya.
Ketika tinggal satu dua orang y ang meny erangnya dengan
garang, maka Mahisa Semu masih mampu mengatasinya
dengan ilmu pedangnya. Sementara itu, Mahisa Pukat berusaha untuk m eny entuh
pula senjata dari mereka yang masih t etap bertempur dengan
garangnya. Mereka y ang masih belum dipengaruhi oleh
ilmunya yang mampu meny erap tenaga dan kemampuan
lawan-lawannya. Mula-mula mereka sama sekali t idak menghiraukan
sentuhan-sentuhan pedang Mahisa Pukat. Mereka mengira
bahwa tenaga Mahisa Pukat m emang sudah menjadi susut.
Karena itu, maka sentuhan- sentuhan pedangnya tidak lagi
menggetarkan senjata lawannya.
Namun yang terjadi kemudian adalah sama sekali tidak
mereka ketahui sebab-sebabnya. Tenaga mereka telah menjadi
su sut dengan cepat. Sehingga dengan demikian, maka sepuluh
orang itu menjadi tidak berbahaya sama sekali bagi Mahisa
Pukat dan Mahisa Semu. Mahisa Pukat sengaja melepaskan ilmunya dan tidak
lagi berusaha menghisap sisa
tenaga yang ada. Tetapi Mahisa
04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pukat telah berbisik ditelinga
Mahisa Semu - Kita bertahan
sampai para prajurit itu kembali "Ya," jawab Mahisa Semu.
"Apakah luka-lukamu berbahaya?" bertanya Mahisa
Pukat. "Tidak. Hanya terasa
menjadi pedih oleh keringat,"
jawab Mahisa Semu "Tenagamu mulai susut," desis Mahisa Pukat.
"Bukan karena darah yang mengalir terlalu banyak," jawab
Mahisa Pukat. Dengan demikian maka Mahisa Pukat dan Mahisa Semu
benar-benar hanya sekedar bertahan. Tetapi sepuluh orang itu
tidak lagi terasa garang. Gerak mereka menjadai lamban
sekali. Ayunan senjata mereka tidak lagi menimbulkan desir
angin. Karena itu, maka Mahisa Pukat dan Mahisa Semu tidak
merasa perlu lagi untuk m engerahkan segenap kemampuan
mereka. Namun mereka melayani lawan-lawan mereka dengan
sekedar bergeser menghindar dan berloncatan.
"Jangan lari," pemilik kedai itu masih berteriak.
Mahisa Pukat justru tertawa sambil menjawab: "Apakah
kau akan mampu mengejar aku" Aku tidak akan lari. Tetapi
kau pun tidak akan mampu menangkap aku."
Pemilik kedai itu menggeram. Rasa-rasanya ia ingin
meloncat, menerkam Mahisa Pukat. Tetapi ketika hal itu
dilakukan justru ia hampir saja jatuh terjerembab.
Sepuluh orang itu rasa -rasanya menjadi kelelahan dan
kehilangan tenaga mereka. Karena itu, maka mereka pun telah
mengumpat-umpat kasar. Apalagi ketika mereka melihat debu dikejauhan. Mereka
menyadari bahwa para prajurit itu telah kembali ketika
mereka merasa kehilangan jejak buruan mereka.
Dengan lantang Mahisa Pukat berkata: "Mahisa Semu.
Tahan mereka, sehingga tidak seorang pun yang melarikan
diri." Orang-orang yang bertempur melawan Mahisa Pukat dan
Mahisa Semu itu memang menjadi bingung. Satu dua diantara
mereka memang ingin melarikan diri. Tetapi Mahisa Semu
dan Mahisa Pukat selalu berhasil menahan mereka dan
menyeretnya kembali ke arena perkelahian itu. Agaknya
sepuluh orang yang menjadi lemah itu tidak juga mampu
untuk berlari lebih cepat dari jangkauan tangan Mahisa Semu
dan Mahisa Pukat. Ada diantara m ereka y ang telah m elemparkan senjatanya
untuk menyatakan diri tidak t erlibat dalam pertempuran itu.
Namun Mahisa Semu akan dapat menunjukkan senjatasenjata
yang telah dilemparkan itu.
Dengan demikian, ketika sekelompok prajurit itu kembali
dari perburuan mereka yang gagal, maka mereka heran
melihat apa y ang telah terjadi.
Pemimpin prajurit itu pun telah bertanya dengan lantang:
"Apa yang terjadi disini?"
"Ternyata dugaan kami benar," berkata Mahisa Pukat,
"mereka telah mendendam kami dan berusaha untuk
membunuh kami berdua."
"Lalu ?" desak pemimpin sekelompok prajurit itu.
"Kami terpaksa melawan," jawab Mahisa Pukat.
Pemimpin sekelompok prajurit itu termangu-mangu. Ia
memang ragu- ragu untuk mempercayai kata-kata Mahisa
Pukat itu. Namun sebelum ia menyatakan sesuatu, prajurit y ang
mengenali dua orang buruan itu pun dengan serta merta
berkata: " Itulah mereka. Dua orang y ang kita cari."
"Kenapa tiba -tiba keduanya ada disini ?" bertanya
pemimpin sekelompok prajurit itu.
"Mereka bersembuny i di atap," jawab Mahisa Pukat,
"sementara itu, ternyata pemilik kedai ini serta orang-orang
yang aku kira sedang membeli minuman dan makanan itu
adalah kawan-kawan mereka."
Pemilik kedai itu merasa tidak ada gunanya untuk
membantah. Anak muda y ang seorang itu telah terluka. Lukaluka
itu akan dapat ikut berbicara tentang diri mereka.
Sebenamyalah pemimpin prajurit itu juga melihat luka di
tubuh Mahisa Semu. Karena itu maka ia pun dengan cepat
dapat mengambil kesimpulan bahwa memang telah terjadi
pertempuran di depan kedai itu.
Atas permintaan pemimpin prajurit itu, Mahisa Pukat telah
menceritakan apa yang telah terjadi. Ia pun menunjukkan
luka-luka di tubuh Mahisa Semu.
"Jadi kalian berhasil mengalahkan sepuluh orang itu ?"
bertanya pemimpin kelompok prajurit itu.
"Mungkin hanya satu kebetulan," jawab Mahisa Pukat.
Namun pemimin prajurit itu melihat bahwa sepuluh orang
itu seakan-akan sudah tidak berday a lagi untuk meneruskan
pertempuran, sementara kedua orang anak muda itu m asih
kelihatan tegar, meski pun seorang diantara mereka terluka.
Namun untuk mey akinkan kenyataan yang dihadapinya,
pemimpin prajurit itu pun bertanya: "Siapakah sebenarnya
kalian berdua anak muda."
"Kami datang dari sebuah padepokan yang jauh. Kami ingin
mengunjungi ay ahku yang telah lebih dahulu pergi ke
Singasari," jawab Mahisa Pukat.
"Siapakah nama ayah kalian. Barangkali aku pernah
mengenalnya atau setidak -tidaknya mendengar namanya ?"
bertanya pemimpin prajurit itu.
"Ayahku seorang pedagang keliling. Namanya Mahendra,"
jawab Mahisa Pukat. "Ki Mahendra, adik seperguruan Mahisa Agni dan Witantra
yang telah tidak ada lagi ?" bertanya pemimpin prajurit itu.
"Ya. Agaknya itulah ay ahku. adik seperguruan paman
Witantra, bukan paman Mahisa Agni," jawab Mahisa Pukat.
Pemimpin prajurit itu mengangguk-angguk. Katanya. "Ya.
Aku tahu. Ki Mahendra berada di istana. Aku pun menjadi
percaya atas kenyataan yang aku hadapi. Sepantasnya jika
kalian dapat mengalahkan sepuluh orang sekaligus. Jika saja
kalian bukan anak Ki Mahendra, mungkin aku masih bimbang
untuk mengakui keny ataan y ang terjadi ini."
Mahisa Pukat tidak menjawab lagi. Namun ia pun berkata:
"Terserah orang- orang itu kepada kalian. Jangan dipaksa
untuk terlalu banyak bergerak. Mereka memang telah
kehilangan sebagian dari kekuatan m ereka. Karena itu, maka
jika kalian membawanya ke Singasari, kalian tentu
memerlukan waktu y g panjang. Mereka akan berjalan lamban
dan barangkali harus mengerahkan sisa-sisa tenaga yang
masih ada." Pemimpin sekelompok prajurit itu mengangguk-angguk.
Katanya: "Baiklah. Aku akan membawa mereka ke Singasari.
Biarlah mereka membenahi kedainya lebih dahulu."
"Kami akan mendahului kalian," berkata Mahisa Pukat.
"Bagaimana dengan luka-luka itu ?" bertanya pemimpin
prajurit itu. Mahisa Pukat m emandangi Mahisa Semu sejenak. Namun
Mahisa Semu pun berkata: "Tidak apa-apa. Bukankah lukaluka
itu hanya sekedar goresan-goresan kecil "
"Tetapi biarlah darahnya tidak mengalir lagi," berkata
pemimpin prajurit itu, "aku membawa obat untuk kepentingan
sementara." Namun Mahisa Pukat pun menyahut: "Baiklah. Bukan
karena lukanya y ang parah. Tetapi biarlah tidak menarik
perhatian banyak orang."
Namun kemudian Mahisa Semu tidak sekedar mengobati
luka-luka dengan obat y ang dibawanya sendiri. Tetapi ia
sempat pergi ke sumur untuk membersihkan darahnya yang
inengotori tubuhnya, meski pun terasa pedih.
Selagi Mahisa Semu membenahi dirinya, maka Mahisa
Pukat sempat menyaksikan para perajurit y ang menawan
sepuluh orang buruan. Dua diantara para tawanan adalah
orang y ang memang sedang mereka cari. Sedangkan y ang lain,
karena m ereka terlibat pula, maka m ereka pun telah menjadi
tawanan pula. Namun melihat keadaan kesepuluh orang y ang sudah
menjadi lemah itu, maka para prajurit merasa tidak perlu
mengikat tangan mereka. Para prajurit membiarkan saja
mereka bebas tanpa terikat tangan dan kakinya. Sepuluh orang
itu tidak akan dapat melarikan diri apalagi melawan.
Beberapa orang prajurit memang bertanya-tanya didalam
hati, apakah y ang telah terjadi atas kesepuluh orang itu
sehingga mereka benar-benar telah kehilangan sebagian besar
dari tenaga mereka. Tetapi pemimpin para prajurit itu agaknya mengerti, bahwa
keadaan itu tentu ditimbulkan oleh satu kekuatan yang belum
mereka mengerti yang dipancarkan oleh anak-anak muda itu.
Beberapa saat kemudian, setelah Mahisa Semu selesai,
maka Mahisa Pukat pun telah minta diri kepada para prajurit
Singasari itu untuk mendahului mereka, karena perjalanan
para prajurit itu tentu akan menjadi sangat lamban. Para
tawanan itu tidak akan dapat berjalan cepat, meski pun
seandainya mereka dilecut sekalipun.
Demikianlah, maka Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah
bersiap m eninggalkan kedai y ang telah ditutup itu. Pemimpin
prajurit y ang kemudian m engetahui bahwa Mahisa Pukat itu
adalah anak Mahendra, berkata dengan nada rendah, "Kami
minta maaf, bahwa kami telah menghambat perjalanan
kalian." Mahisa Pukat tersenyum. Katanya: "Sebenarnya semula aku
juga merasa segan untuk kembali sampai ke kedai ini. Tetapi
ternyata hal itu ada juga hasilnya, sehingga apa y ang kita
lakukan bersama-sama tidak sia-sia."
"Ya," desis pemimpin prajurit itu, "tetapi tanpa kalian kami
tidak akan berhasil melakukan tugas ini."
Mahisa Pukat tersenyum. Namun ia telah mengajak Mahisa
Semu untuk melanjutkan perjalanan. Mahisa Semu pun masih
sempat juga minta diri untuk kemudian segera berpacu
mengikuti derap kaki kuda Mahisa Pukat.
Sementara itu, para prajurit dan sepuluh orang y ang
tertawan itu sempat memandangi kedua ekor kuda yang
berlari meninggalkan kepulan debu yang kelabu.
"Nah," berkata pemimpin prajurit itu, " sekarang baru
kalian tahu dengan siapa kalian berhadapan."
Kesepuluh orang itu termangu-mangu. Mereka memang
tidak tahu siapakah kedua orang anak m uda itu meski pun
mereka mendengar pembicaraan antara pemimpin prajurit itu
dengan Mahisa Pukat. Orang-orang yang tertawan itu memang
belum tahu, siapakah Mahendra itu.
Namun pemimpin prajurit itu b erkata, "Ketahuilah bahwa
anak-anak muda itu adalah anak Ki Mahendra. Ki Mahendra
adalah saudara seperguruan dari seorang yang bernama
Witantra yang pernah berada di Kediri sebagaimana Mahisa
Agni." Para tawanan itu mulai merenungkan kata-kata itu. Mereka
mulai dapat membayangkan, bahwa Mahendra tentu orang
yang memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Karena itu,
maka anaknya pun memiliki ilmu yang tinggi pula sehingga
mereka ber sepuluh tidak mampu sama sekali menghadapinya.
Namun dalam pada itu, pemimpin prajurit itu pun berkata
lantang: "Marilah. Kita pun akan segera pergi ke Singasari.
Beruntunglah kalian menjumpai lawan sebagaimana kedua
orang anak muda itu. Meski pun seandainya mereka
kehendaki mereka dapat membunuh kalian semuanya."
Tetapi tiba -tiba pemilik kedai itu berkata: "Mereka dan juga
kalian tidak akan membunuh kami, karena kalian memerlukan
keterangan kami. Namun satu hal yang perlu kalian ketahui,
tidak sepatah kata pun akan dapat kalian peras dari mulut
kami." Wajah pemimpin prajurit itu berkerut. Namun kemudian ia
pun berkata: "Kami dapat membunuh beberapa diantara
kalian. Kami akan dapat mensisakan satu orang atau dua
orang atau tiga orang. Tetapi jika kami kehendaki kami akan
mensisakan sembilan orang saja. Seorang diantara mereka
akan kami bunuh tanpa senjata dan tidak meny eret orang yang
kesepuluh itu dibelakang kaki kuda kami."
Pemilik kedai itu menegang sejenak. Nampaknya ada
sesuatu yang ingin diteriakkannya. Namun pemimpin prajurit
itu berkata: "Siapkan tali sabut kelapa itu. Siapkan kuda yang
paling tegar diantara kuda-kuda kita."
"Kuda Ki Lurah sendiri," desis seorang prajurit.
Pemimpin prajurit itu termangu -mangu sejenak. Namun
kemudian ia pun berdesis: "Ya. Kudaku sendiri."
Wajah pemilik kedai itu menjadi tegang. Tetapi ia tidak
mengulangi lagi kata-katanya. Nampaknya ia pun menjadi
cemas bahwa para prajurit itu benar-benar akan
memperlakukannya dengan kasar.
Demikianlah, sejenak kemudian, maka sepuluh orang
tawanan itu telah diperintahkan untuk berjalan di depan.
Kemudian para prajurit yang berkuda itu mengikutinya di
belakang. Mereka berjalan lambat sekali. Para tawanan yang benarbenar
nampak lemah dan hampir tidak bertenaga. Namun
mereka memang terpaksa untuk menempuh jarak y ang cukup
jauh. Para prajurit itu sebenarnya memang tidak telaten. Tetapi
mereka tidak dapat memaksa orang-orang itu berjalan lebih
cepat meski pun m ereka disakiti sekalipun. Bahkan mereka
akan dapat menjadi pingsan dan justru tidak dapat
melanjutkan perjalanan. Sementara itu, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah
mendekati pintu gerbang Kotaraja. Keduanya memang
menjadi ragu -ragu. Namun keduanya pun kemudian telah
memasuki pintu gerbang induk Kotaraja Singasari.
Para petugas yang ada di pintu gerbang telah
menghentikannya. Agaknya penjagaan di pintu gerbang itu
lebih ketat dari biasanya. Meski pun Mahisa Pukat sudah lama
tidak melalui pintu gerbang itu, namun terasa sikap dan
tanggapan para petugas terhadap orang- orang yang melewati
pintu gerbang itu. Namun ternyata Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah
tertahan di pintu gerbang. Berhubung dengan laporan tentang
04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dua orang berkuda y ang dicurigai, maka pemimpin prajurit
yang bertugas di pintu gerbang telah menaruh perhatian
terhadap kedua orang anak muda itu. Meski pun ciri-ciri yang
disebutkan berbeda, tetapi para prajurit itu harus berhati-hati
menghadapi para prajurit sandi y ang terbiasa
mempergunakan penyamaran.
"Duduklah di gardu," berkata seorang prajurit, "kalian
harus menjawab beberapa pertanyaan. Jika jawaban kalian
tidak meyakinkan, maka kalian akan dihadapkan kepada
prajurit y ang pernah m emberikan laporan tentang kehadiran
prajurit sandi dari Kediri."
"Bukankah tidak ada masalah antara Singasari dan Kediri
?" bertanya Mahisa Pukat.
"Kamilah yang akan bertanya kepada kalian. Bukan
sebaliknya," sahut prajurit itu.
Mahisa Pukat dan Mahisa Semu tidak berniat untuk
melakukan tindakan yang dapat menimbulkan per soalan.
Karena itu, maka keduanya melakukan apa yang
diperintahkan oleh para prajurit itu.
Sejenak kemudian, m aka Mahisa Pukat dan Mahisa Semu
telah duduk di gardu di sebelah pintu gerbang induk Singasari.
Mereka telah menambatkan kuda-kuda mereka di belakang
gardu itu. Pertanyaan yang pertama, y ang dilontarkan oleh seorang
prajurit yang ditugaskan untuk meneliti kedua orang anak
muda itu adalah: "Kalian petugas sandi dan Kediri "
"Bukan," jawab Mahisa Pukat. Anak muda itu masih akan
memberikan keterangan. Tetapi prajurit itu memotongnya:
"Jawab pertanyaanku saja."
Mahisa Pukat pun terdiam.
"Kenapa kau mengamati keadaan Kotaraja Singasari "
Bukankah Kediri termasuk wilayah Singasari?" desak prajurit
itu. Mahisa Pukat memang menjadi agak bingung. Namun
kemudian ia menjawab: "Kami tidak mengamati Kotaraja.
Kami baru akan memasuki Kotaraja."
"Kau tidak perlu berbohong. Kami sudah mendapat
keterangan tentang dua orang petugas sandi yang dikirim oleh
Kediri. Sikap itu telah membuat Singasari ju stru
memperhatikan perkembangan Kediri sekarang ini," berkata
prajurit itu. Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Sulit baginya
untuk memberikan penjelasan karena prajurit itu nampaknya
tidak senang mendengar jawaban selain y ang sudah disiapkan
di kepalanya. Namun karena itu Mahisa Pukat justru berkata: "Ternyata
tidak hanya dua orang yang telah dikirim oleh sekelompok
orang di Kediri. Tetapi sepuluh orang."
Prajurit itu terkejut. Tiba -tiba saja ia membentak: "Jadi kau
bersama dengan sepuluh orang datang ke Kotaraja ?"
"Bukan aku," jawab Mahisa Pukat.
"Kau jangan mencoba untuk mempermainkan kami," geram
prajurit itu, "kau tahu bahwa aku dapat membunuh kalian
berdua tanpa persoalan apapun."
" Itukah yang pantas dilakukan oleh seorang prajurit ?"
bertanya Mahisa Pukat. Wajah prajurit itu menjadi merah. Tiba-tiba saja ia
berteriak-" Iblis kau. Sebut, siapakah kawan-kawanmu itu."
Beberapa orang prajurit telah tertarik mendengar
bentakan-bentakan y ang keras itu, sehingga beberapa orang
diantara mereka telah mendekat.
"Apa katanya ?" bertanya salah seorang diantara mereka.
" Ia mengaku datang ke Kotaraja bersama dengan sepuluh
orang." jawab prajurit itu.
"Sepuluh orang ?" beberapa diantara para prajurit itu
bertanya hampir berbareng.
Mahisa Pukat dan Mahisa Semu saling berpandangan
sejenak. Namun agaknya Mahisa Semu pun mengerti maksud
Mahisa Pukat. Karena itu, maka ia pun hanya berdian did saja.
Pemimpin prajurit y ang bertugas yang nampaknya
mendengar pula pernyataan Mahisa Pukat itu pun telah
melangkah mendekat sambil berkata: "aku minta kau berkata
dengan bersungguh-sungguh. Kau tahu akibatnya jika kau
mencoba mempermainkan kami. Katakan, apakah benar kau
datang ber sama sepuluh orang petugas sandi dan Kediri."
"Bukan kami bersama sepuluh orang. Tetapi petugas sandi
dari Kediri itu ada sepuluh orang." jawab Mahisa Pukat.
Wajah pemimpin prajurit itu menjadi tegang. Katanya:
"Sekali lagi aku bertanya apakah kau datang bersama sepuluh
orang petugas sandi dari Kediri?"
Mahisa Pukat justru menjawab tegas: "Tidak."
"Kesabaran kam i sudah habis. Tetapi kami masih mencoba
ingin mendengar jawabmu," geram pemimpin kelompok itu.
"Aku dapat m enjelaskan. Beri aku waktu untuk b erbicara,
agar per soalannya menjadi jelas," berkata Mahisa Pukat.
"Bukankan kau sudah berbicara sejak tadi ?" bentak
pemimpin prajurit itu. "Aku perlu kesempatan. Tadi aku sama sekali tidak boleh
berbicara. Aku hanya boleh menjawab pertanyaan-pertanyaan
sa ja. Padahal y g akan aku jelaskan itu termasuk per soalan
yang penting," jawab Mahisa Pukat.
"Aku tidak sabar," teriak seorang prajurit, "biarlah aku
mencekikmu." "Seret anak anak itu ke tengah halaman. Ikat pada tonggak
tonggak kayu itu. Kita akan bertanya kepada m ereka dengan
ditangan," teriak y ang lain.
Mahisa Semu memang menjadi gelisah. Tetapi Mahisa
Pukat masih nampak tenang-tenang saja. Bahkan ia berkata:
"Dengan siapa sebenarnya aku berhadapan" Dengan prajurit
Singasari" Prajurit Kediri atau berhadapan dengan
sekelompok orang yang tidak terkendali oleh paugeran apa
pun juga sehingga dapat berbuat sesuka hati ?"
"Diam kau," teriak pemimpin prajurit itu.
"Bagaimana aku harus diam " Kalian harus mendengarkan
penjelasanku. Sepuluh orang petugas sandi dari Kediri itu
sudah tertangkap. Akulah yang menangkap mereka," Mahisa
Pukat pun telah berteriak pula.
Para prajurit itu termangu-mangu sejenak. Bahkan mereka
sal ing berpandangan. Namun seorang diantara mereka
berkata lantang: "Kau sedang mengigau anak-anak muda."
"Aku berkata sebenarnya. Tunggulah kawan-kawanmu y ang
sedang menggiring sepuluh orang petugas sandi itu.
Sekelompok prajurit berkuda itu akan datang dengan
membawa para tawanan. Bertanyalah kepada mereka,
siapakah y ang telah menangkap para petugas sandi itu,"
berkata Mahisa Pukat dengan lantang.
Ternyata sikap Mahisa Pukat cukup meyakinkan m ereka,
sehingga karena itu, maka pemimpin prajurit itu bertanya:
"Apakah kau tidak berbohong " Sekelompok prajurit berkuda
memang sedang mengejar para petugas sandi. Tetapi hanya
dua orang. Bukan sepuluh."
"Sudah aku katakan, tidak hanya dua orang. Tetapi
sepuluh." jawab Mahisa Pukat.
"Bohong," teriak salah seorang prajurit.
"Selesaikan dengan cara y ang sesuai dengan sikap seorang
prajurit," geram prajurit y ang lain.
"Bagaimana menurut pendapatmu cara y ang sesuai dengan
sikap seorang prajurit ?" terdengar seseorang bertanya.
Ketika mereka berpaling, m ereka melihat seorang perwira
dari pasukan berkuda telah berada didalam pintu gerbang.
Dua dari pasukan berkuda telah berada di dalam pintu
gerbang. Dua orang prajurit y ang bertugas hanya
memandanginya dengan bingung.
"Apa yang sedang kalian lakukan ?" bertanya perwira
prajurit dari pasukan berkuda yang memimpin sekelompok
prajurit berkuda mencari jejak dari orang-orang y ang disangka
petugas sandi dari Kediri itu.
Mahisa Pukat dan Mahisa Semu pun mengenali perwira
yang berada dipintu gerbang itu. Karena itu, m aka k eduanya
telah melangkah mendekati: "Dimana para tawanan itu ?"
"Bersama pasukan kami," jawab pemimpin prajurit berkuda
yang masih duduk dipunggung kudanya, "aku sengaja
mendahului mereka. Sebenarnya aku ingin mempersiapkan
tempat bagi sepuluh orang petugas sandi dari Kediri itu," ia
berhenti sejenak, lalu, "Apa yang terjadi disini ?"
"Nah, aku ingin bertanya," berkata Mahisa Pukat,
"bagaimana jawabmu jika aku berkata bahwa aku dan
adikkulah y ang telah m enangkap sepuluh petugas sandi dari
Kediri itu." Perwira itu mengerutkan keningnya, sementara para
prajurit y ang bertugas diregol itu termangu-mangu. Bahkan
mereka menjadi tegang ketika m ereka melihat perwira yang
masih duduk dipunggung kuda itu terseny um.
Kemudian jawabnya: "Ya. Kalian berdualah yang telah
menangkap para tawanan itu. Bahkan seorang diantara kalian
berdua telah terluka m eski pun hanya goresan-goresan tipis
ditubuh. Apa sebenarnya yang terjadi."
"Mereka menuduhaku justru petugas sandi dari Kediri,"
jawab Mahisa Pukat. Perwira prajurit berkuda itu mengerutkan keningnya.
Namun ia pun kemudian berkata: "Hanya salah paham saja.
Lupakan." "Tunggu," berkata pemimpin prajurit y ang bertugas di
regol, "jika benar orang-orang itu sudah m enangkap sepuluh
petugas sandi dari Kediri, manakah orang-orang itu?"
"Sudah aku katakan. Mereka akan segera datang bersama
para prajurit berkuda. Aku mendahului mereka untuk
menyiapkan tempat bagi para tawanan," jawab pemimpin
pasukan berkuda itu. "Kenapa kau harus bersusah pay ah menyiapkan tempat
bagi mereka " Bukankah tempat itu sudah ada. Kau tinggal
membawanya kesana dan menyerahkan para tawanan itu
kepada para prajurit yang bertugas."
"Aku m emang akan berbicara dengan para prajurit y ang
bertugas," jawab pemimpin pasukan berkuda y ang m emburu
petugas sandi itu. "Sebaiknya kau menunggu pa sukanmu dan sepuluh orang
tawanan seperti yang kau katakan itu," berkata pemimpin
prajurit y ang bertugas itu.
Perwira prajurit berkuda itu mengerutkan keningnya.
Dengan nada berat ia pun bertanya: "Jadi kau juga mencurigai
aku, bahwa aku akan meny elamatkan dua orang yang kau
tuduh petugas sandi dan Kediri ini " Dengan demikian kau
pun menuduh bahwa aku telah berkhianat dan berpihak
kepada Kediri " "Tidak sejauh itu," jawab pemimpin prajurit yang bertugas
itu, "aku hanya ingin berhati-hati dengan tugasku."
"Aku tidak mau kalian
perlakukan seperti itu,"
berkata pemimpin prajurit
berkuda itu. Lalu katanya
kepada Mahisa Pukat dan Mahisa Semu, "marilah. Kita
masuk ke Kotaraja. Bukankah kau akan berbicara dengan ay ahmu "."
"Tunggu," potong
pemimpin prajurit yang bertugas, "aku minta kalian
menunggu seluruh pasukan berkuda dan sepuluh orang
tawanan seperti yang kau katakan." "Aku tidak peduli," jawab
perwira prajurit berkuda itu, "jika kau memaksa aku
menunggu mereka, maka pasukanku akan menahan kalian
dengan tuduhan m enghambat tugas yang dibebankan k epada
kami, pasukan berkuda. Jika kalian m enolak, maka kita akan
bertempur. Aku tidak peduli apakah aku akan ditangkap
karena telah bertempur dengan sesama prajurit Singasari dan
akan diadili. Tetapi aku mempunyai harga diri."
"Kami pun mempunyai harga diri," jawab prajurit y ang
bertugas. Tetapi -perwira pasukan berkuda itu berkata kepada
Mahisa Pukat dan Mahisa Semu: "Ambil kuda-kuda kalian."
Keduanya pun kemudian telah mengambil kuda-kuda
mereka. Sementara para prajurit yang bertugas telah bersiap
pula. Pemimpinnya pun kemudian telah memerintahkan
orang-orangnya untuk berpencar.
Perwira pasukan berkuda itu pun kemudian berkata kepada
Mahisa Pukat: "Kau tadi dapat m engalahkan sepuluh orang
hanya berdua. Sekarang, kita bertiga. Disini ada kira-kira
sepuluh orang prajurit."
"Kalian akan melawan prajurit yang sedang m enjalankan
tugasnya ?" bertanya pemimpin prajurit yang bertugas di pintu
gerbang itu. Tetapi perwira prajurit berkuda itu pun bertanya: "Jadi kau
juga akan dengan sengaja menghambat tugasku ?"
Kedua belah pihak pun kemudian telah bersiap. Mahisa
Pukat dan Mahisa Semu y ang juga tersinggung atas perlakuan
para prajurit itu temyata tidak berpikir panjang. Mereka pun
kemudian telah bersiap pula.
"Aku adalah perwira dan pasukan berkuda," berkata
pemimpin sekelompok prajurit berkuda itu, "aku akan
bertempur diatas punggung kuda. Jangan menyesal jika
terjadi sesuatu atas kalian."
Orang-orang y ang lalu lalang di pintu gerbang induk itu
semula tidak memperhatikan apa y ang akan terjadi. Mereka
mengira bahwa prajurit-prajurit itu sedang bercakap-cakap
seperti biasa. Atau barangkali sedikit bertengkar tentang
persoalan-persoalan kecil yang terjadi diantara mereka.
Namun kemudian mereka melihat bahwa pertengkaran itu
menjadi semakin bersungguh-sungguh. Apalagi ketika para
prajurit y ang bertugas dipintu gerbang itu mulai memencar.
Namun dalam pada itu, ketika keadaan menjadi semakin
panas, mereka telah melihat iring-iringan pasukan berkuda di
kejauhan. Mereka maju dengan sangat lambat karena orangorang
yang telah mereka tawan tidak dapat berjalan lebih
cepat lagi. Perwira pasukan berkuda yang melihat pasukannya di
kejauhan itu tiba -tiba telah menggerakkan tali kudanya.
Demikian tiba-tiba sehingga kuda itu meloncat dan berpacu
04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan kencang. Namun ia masih sempat berteriak: "Anakanak
muda. Tunggu aku disitu."
Para prajurit y ang bertugas memang terkejut. Mereka tidak
sempat menahan. Sementara perwira itu berpacu dengan
cepat menuju ke pasukannya yang berjalan lamban.
Para prajurit y ang bertugas diregol itu m enjadi berdebardebar.
Sementara Mahisa Pukat dan Mahisa Semu berdiri
tegak disisi kuda m ereka. Namun mereka tidak berniat untuk
meninggalkan tempat itu. Untuk beberapa saat suasana menjadi tegang. Beberapa
orang prajurit y ang bertugas itu menjadi berdebar -debar.
Mereka tidak tahu apa y ang akan dilakukan oleh perwira
itu. Apakah ia sekedar berlindung di dalam pasukannya, atau
ia mempunyai niat lain. Beberapa saat kemudian, maka perwira itu telah sampai ke
pasukannya. Para prajurit y ang berada di regol tidak tahu
perintah apa yang diberikannya kepada prajurit-prajuritnya.
Namun sejenak kemudian separo dari prajurit berkuda itu pun
telah meninggalkan pasukannya, berpacu mengiringi
pemimpinnya. Sementara delapan atau sembilan orang yang
lain tetap mengawal sepuluh orang y ang sudah menjadi lemah.
Bahkan mereka seakan-akan tidak mampu lagi untuk
meneruskan perjalanan. Delapan orang prajurit berkuda telah berpacu ke pintu
gerbang kota. Debu yang kelabu mengepul tinggi.
Pemimpin prajurit di regol itu berdiri tegak di depan pintu
gerbang y ang terbuka lebar. Ia pun segera tanggap, bahwa
pemimpin prajurit berkuda itu akan mempergunakan
kekerasan. Agaknya ia benar-benar ter singgung mendapat
perlakuan dan para prajurit di pintu gerbang.
Tetapi segalanya telah terjadi. Pemimpin prajurit di pintu
gerbang itu harus mempertanggung jawabkannya.
Mahisa Pukat dan Mahisa Semu pun kemudian sempat juga
melihat sekelompok prajurit berkuda berpacu menuju ke pintu
gerbang. "Kesalah-pahaman itu telah berkembang," desis Mahisa
Pukat. "Aku akan bertanggung jawab," geram pemimpin
prajurit itu. "Ada seribu macam bentuk pertanggung jawaban,"
desis Mahisa Pukat "Kau tidak usah ikut campur," bentak pemimpin prajurit
itu. Mahisa Pukat tidak berbicara lagi. Ia memang tidak
sebaiknya mencampuri persoalan para prajurit. Namun
dengan demikian Mahisa Pukat mengetahui bahwa diantara
para prajurit kadang-kadang dapat terjadi salah paham.
Apalagi antar kesatuan sehingga dapat menimbulkan akibat
yang justru merugikan segala pihak.
Beberapa saat kemudian, maka para prajurit dan pa sukan
berkuda itu telah memasuki pintu gerbang tanpa
menghiraukan para prajurit y ang b ertugas. Ternyata perwira
yang memimpin sekelompok pasukan berkuda itu seakan-akan
tidak melihat para prajurit yang berada di sekitar pintu
gerbang itu. Tetapi pemimpin pasukan berkuda itu berhenti sejenak
sambil berkata kepada Mahisa Pukat dan Mahisa Semu.
"Marilah. Kita teruskan perjalanan kita memasuki Kotaraja.
Tidak akan ada orang yang menahan kalian. Nanti, kami
antarkan kalian kepada ayah kalian, Ki Mahendra."
Para prajurit y ang berjaga-jaga di pintu gerbang saling
berpandangan sejenak. Pemimpin prajurit berkuda itu sama
sekali tidak menyapa m ereka, seakan-akan m ereka tidak ada
di situ. Namun pemimpin prajurit y ang bertugas diregol itu
agaknya juga menahan. Meski pun ia tersinggung oleh sikap
itu, tetapi ia menyadari, bahwa pemimpin prajurit berkuda itu
telah tersinggung pula oleh sikapnya.
Mahisa Pukat dan Mahisa Semu termangu-mangu sejenak.
Tetapi keduanya menarik nafas panjang ketika mereka telah
memasuki Kotaraja bersama sekelompok prajurit berkuda.
Tidak terjadi benturan kekerasan antara kedua kesatuan yang
berbeda dan masing- masing merasa sedang m elakukan tugas
mereka. "Ternyata para pemimpinnya mampu menahan diri,"
berkata Mahisa Pukat hampir berbisik ditelinga Mahisa Semu.
"Ya. Syukurlah," sahut Mahisa Semu, "jika terjadi benturan
kekerasan, maka kita berdua akan terlibat."
"Kita hanya sebagai saksi," jawab Mahisa Pukat.
"Justru karena itu, kesaksian kita akan dapat tidak
menguntungkan bagi salah satu pihak," berkata Mahisa Semu.
"Ya. Mungkin pihak-pihak yang merasa kita rugikan akan
mendendam kepada kita," desis Mahisa Pukat.
Keduanya pun terdiam. Mereka telah memasuki Kotaraja
tanpa diganggu lagi oleh para prajurit y ang bertugas di pintu
gerbang. "Mereka ingin menunjukkan bahwa mereka mempunyai
kekuasaan," berkata pemimpin sekelompok pa sukan berkuda
itu, "aku dapat mengerti, karena itulah yang dapat mereka
lakukan." Mahisa Pukat dan Mahisa Semu mengerutkan keningnya.
Namun m ereka berkata didalam hati: " Para prajurit di pintu
gerbang itu tentu akan berkata lain."
Tetapi sementara itu Mahisa Pukat sempat bertanya:
"Bagaimana dengan para prajurit yang membawa para
tawanan?" "Sudah jela s. Mereka justru tidak akan diganggu," jawab
pemimpin sekelompok pasukan berkuda itu.
Mahisa Pukat pun mengangguk-angguk. Ia pun yakin,
bahwa yang kemudian menyusul di belakang mereka itu tidak
akan mengalami gangguan apa pun juga.
Sementara itu, maka perwira pa sukan berkuda itu berkata
kepada Mahisa Pukat: "Aku akan menghubungi para petugas
yang akan menerima para tawanan. Nanti aku antar kau ke
istana." "Terima kasih," jawab Mahisa Pukat, "tetapi aku tidak perlu
membuatmu menjadi sibuk."
"Tidak. Tidak. Setelah aku meny erahkan para tawanan
tugasku selesai," berkata pemimpin sekelompok pasukan
berkuda itu. "Kau tidak membuat taporan?" bertanya Mahisa
Pukat. Pemimpin sekelompok pasukan berkuda yang bertugas
memburu dua orang petugas sandi dari Kediri dan ternyata
justru berhasil menangkap sepuluh orang itu terse-ny um,
Katanya: "Tentu. Aku harus membuat laporan kepada
Senapati y ang memerintahku. Tetapi itu dapat aku lakukan
setelah aku mengantarmu ke istana."
"Terima kasih," jawab Mahisa Pukat
Bertiga diiringi beberapa orang prajurit berkuda mereka
telah menemui perwira y ang bertugas di barak tahanan.
Pemimpin pasukan berkuda itu telah memberitahukan, bahwa
ia telah membawa sepuluh orang tahanan. Mereka adalah
petugas sandi dari Kediri.
"Tetapi bukan oleh pimpinan pemerintahan di Kediri
apalagi oleh Sri Baginda," berkata perwira pasukan berkuda
itu. "Jadi oleh siapa?" bertanya perwira yang bertugas di barak
tahanan itu. "Oleh para pemimpin termasuk para pangeran y ang sejak
semula tidak mau tunduk kepada per setujuan y ang telah
dibuat antara Kediri dan Singasari. Mereka merasa bahwa
tidak sepantasnya Kediri tunduk kepada Singasari," jawab
pemimpin pasukan berkuda itu.
"Baiklah," berkata perwira yang bertugas di barak tahanan,
"mereka akan kami tempatkan di bilik y ang khusus."
"Mereka semuanya sepuluh orang," berkata pemimpin
pasukan berkuda itu, "letakkan m ereka di dua atau tiga bilik
agar mereka tidak sempat membicarakan rencana-rencana
mereka atau menentukan sikap bersama."
Perwira di barak tahanan itu mengangguk. Jawabnya:
"Baik. Semuanya akan kami atur."
Pemimpin pasukan berkuda itu pun kemudian telah
memerintahkan para prajurit yang meny ertainya untuk
menunggu kawan-kawannya. Ia sendiri akan pergi ke istana
untuk mengantarkan kedua orang anak muda itu.
Demikianlah maka diantar oleh perwira dari pasukan
berkuda itu Mahisa Pukat dan Mahisa Semu menuju ke istana.
Mereka berkuda menyusuri jalan-jalan kota. Jalan y ang sudah
agak lama tidak dilaluinya.
Di pintu gerbang samping istana Singasari m ereka tidak
menemui kesulitan apapun. Perwira dari pasukan berkuda itu
telah menemui pemimpin prajurit yang bertugas dan
mengatakan maksud kunjungan kedua orang anak muda itu.
"Jadi mereka anak-anak Ki Mahendra," desis pemimpin
prajurit y ang bertugas itu.
"Ya. Mereka ingin m enemui ayahnya," jawab perwira dari
pasukan berkuda itu. Oleh seorang prajurit y ang bertugas ketiga orang itu pun
telah diantarkan ke bangsal y ang diperuntukkan bagi
Mahendra di halaman belakang istana.
Mahendra agak terkejut melihat kedatangan Mahisa Pukat
dan Mahisa Semu. Keduanya serta perwira pasukan berkuda
yang mengantar keduanya pun dipersilahkan masuk ke
bangsal y ang m emang khusus diperuntukkan bagi Mahendra
itu. Namun perwira prajurit berkuda itu tidak dapat ikut
berbincang bersama mereka. Katanya: "Aku harus
memberikan laporan tentang tugasku. Bahkan mungkin kalian
berdua akan mendapat beberapa pertanyaan tentang para
tawanan itu, karena kalian berdualah y ang sebenarnya telah
menangkap mereka." "Bukan kami," jawab Mahisa Pukat, "tetapi kalian. Aku kira
keterangan yang demikian akan lebih baik dan tidak akan
menyangkut banyak pihak."
Perwira itu tertawa. Katanya: "Para tawanan itu juga punya
mulut. Mereka dapat menceriterakan apa y ang telah terjadi."
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Para tawanan
itu memang akan dapat berceritera tentang peri stiwa yang
telah terjadi. Bahkan mungkin dibumbui disana-sini sehingga
persoalan menjadi lain dari peristiwa yang sebenarnya.
Adalah bijaksana pendapat perwira pasukan berkuda itu,
bahwa sepuluh orang itu harus dipisah-pisahkan, sehingga
mereka tidak sempat membuat keterangan palsu y ang telah
mereka rancang bersama. Meski pun Mahendra m empersilahkan perwira itu untuk
singgah barang sejenak, namun ia telah m inta diri karena ia
harus memberikan laporan segera tentang tugas yang
dibebankan kepadanya. Sementara itu, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah duduk
berbincang dengan Mahendra. Yang ditanyakan pertama
sekali adalah keselamatan penghuni padepokan Bajra Seta.
Baru kemudian keperluan Mahisa Pukat dan Mahisa Semu
datang ke Singasari. Mahisa Pukat pun kemudian telah menceriterakan apa y ang
telah terjadi di padepokan Bajra Seta. Orang-orang yang
datang untuk membalas dendam tidak begitu merisaukan.
Namun kemudian hubungannya dengan langkah-langkah yang
telah diambil oleh orang- orang Kediri atau para pengikutnya.
"Tentu bukan karena Sri Baginda di Kediri," berkata Mahisa
Pukat y ang justru pernah bekerja bagi tugas-tugas sandi di
Kediri. Mahendra mengangguk-angguk. Sementara Mahisa Pukat
berkata: "Kami ingin memberikan peringatan tentang para
petugas sandi Kediri y ang tersebar. Ternyata di Kotaraja hal
seperti itu juga terjadi dan sudah dimengerti."
Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Katanya: "Ya. Para
pernimpin di Singasari telah m engetahui k egiatan seperti itu.
Memang bukan kegiatan dari Sri Baginda di Kediri. Mereka
adalah orang-orang y ang selalu tidak puas dengan keadaan
yang berkembang di Kediri sampai saat ini. Bukankah hal
seperti ini sudah berlangsung lama " Dan kau sendiri ju stru
pernah berada di lingkungan yang sedang bertentangan di
Kediri itu sendiri ?"
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun kemudian ia
pun bertanya: "Jadi apa y ang akan dilakukan oleh Singasari
terhadap mereka. Para petugas sandi itu ?"
"Kita memperlakukan mereka tidak sebagai prajurit atau
petugas sandi Kediri," jawab Mahendra.
"Maksud ay ah " Mereka dianggap orang -orang liar atau
bahkan pengkhianat ?" Mahisa Pukat menjadi cemas.
Mahendra, menarik nafas d dalam-dalam. Katanya: "Tidak
sekeras itu. Tetapi mereka bukanlah petugas atau prajurit dari
satu negara y ang sedang berperang dengan Singasari. Kepada
para prajurit dan petugas yang meny erah, akan diperlakukan
sesuai dengan sikap seorang kesatria yang menghadapi lawan
yang sudah tidak berdaya."
"Jadi, bukankah seperti y ang aku katakan " Para petugas
Sandi itu tidak mendapat perlindungan paugeran sebagaimana
seorang prajurit atau petugas satu negara yang t ertangkap
meski pun sedang bermusuhan ?" desak Mahisa Pukat.
"Tetapi para prajurit Singasari masih memperlakukan
mereka dengan cukup baik. Namun hukuman yang diberikan
kepada mereka adalah hukuman yang paling sesuai dengan
langkah-langkah y ang telah mereka ambil," jawab Mahendra.
"Hukuman mati ?" bertanya Mahisa Pukat.
"Hanya mereka yang bertanggungjawab," jawab Mahendra,
"tetapi Singasari tidak mudah menjatuhkan hukuman mati."
Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Namun ia tidak
dapat mengatakan apa pun terhadap kebijaksanaan yang
berlaku di Singasari. Namun dalam pada itu, Mahisa Pukat pun kemudian
sempat pula bertanya: "Sementara ini ayah di Singasari telah
berbuat apa saja " Apakah ay ah ditetapkan sebagai hamba di
istana ini atau kedudukan lain ?"
"Ya. Aku telah m enjadi salah seorang hamba diistana ini.
Sebagaimana kakang Witantra dan kakang Mahisa Agni, aku
ditugaskan untuk memberikan pertimbangan-pertimbangan
atas beberapa hal yang dianggap penting," jawab Mahendra.
"Jadi, jika ayah menganggap ada sesuatu y ang penting,
ay ah datang menghadap Sri Maharaja ?" bertanya Mahisa
Pukat. Tetapi Mahendra menggeleng. Katanya: "Tidak. Jika Sri
04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Maharaja menganggap perlu berbicara dengan aku, maka aku
dipanggilnya." Mahendra berhenti sejenak, lalu, "m emang
agak berbeda dengan kakang Mahisa Agni yang telah dianggap
keluarga sendiri. Bahkan Sri Maharaja dalam olah kanuragan
telah mendapat tuntunan antara lain dari kakang Mahisa Agni.
Demikian juga kakang Witantra meski pun jaraknya lebih jauh
dari kakang Mahisa Agni. Dan sekarang, jarakku lebih jauh
lagi." "Barangkali Sri Maharaja ingin memberikan kedudukan
yang terhormat kepadaku, karena aku adalah orang terdekat
dari kakang Mahisa Agni dan kakang Witantra."
"Jika demikian, apakah tidak lebih baik ay ah berada di
padepokan ?" bertanya Mahisa Pukat.
"Aku juga berpikir demikian. Tetapi sudah tentu tidak
dalam waktu dekat. Aku harus menghormati uluran tangan Sri
Maharaja kepadaku. Mungkin uluran itu akan sampai juga ke
padepokan Bajra Seta. Setidak-tidaknya restu Sri Maharaja
akan dapat mempunyai pengaruh y ang besar diantara
perguruan-perguruan y ang lain," jawab Mahendra.
"Tetapi bukankah kita dapat mandiri " Tanpa bantuan dari
siapa pun padepokan dan perguruan Bajra Seta akan tetap
tegar," jawab Mahisa Pukat.
"Aku percaya. Tetapi apa salahnya kita m enerima uluran
tangan Sri Maharaja " Apakah dengan demikian kita akan
merasa terikat oleh kebaikan hati sehingga kita harus berbuat
sesuai dengan y ang dikehendaki oleh Sri Maharaja meski pun
seandainya, sekali lagi aku katakan, seandainya itu
bertentangan dengan nurani kita ?" bertanya ayahnya.
Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Sementara
Mahendra berkata selanjutnya: "Kita tidak u sah dibayangi oleh
perasaan seperti itu. Jika Sri Maharaja memberikan restu,
tentu dengan niat baik. Kita pun dapat m enerimanya dengan
baik pula. Seandainya kita kemudian berbuat bagi Singasari
sesuai dengan nurani kita, apakah kita merasa bersalah " Kita
memang dapat melihat dan berbicara tentang hal-hal yang
tidak sesuai dengan nurani kita. Tetapi bukankah tidak
semuanya y ang dilakukan oleh Sri Maharaja bertentangan
dengan nurani kita?"
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak segera
menawab. "Sudahlah," berkata ayahnya, "beristirahatlah.
Maksud kedatanganmu ke Singasari sudah m enjadi pertanda
niat baik y ang tumbuh dari hatimu. Bagaimana pun juga, yang
kau sampaikan kepadaku akan dapat menjadi bahan
pertimbangan. Bahkan akar gerakan dari orang-orang Kediri
yang menentang kebijaksanaan Sri Baginda telah menjalar
sampai ke padukuhan-padukuhan y ang jauh dari Kotaraja."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ternyata justru telah
terjadi arus y ang berbalik. Mahisa Pukat ternyata tidak
membawa keterangan baru bagi Kotaraja tentang para petugas
sandi, tetapi justru membawa berita bahwa petugas-petugas
sandi itu telah sampai di padukuhan-padukuhan jauh diluar
Kotaraja. Namun kedua-duanya memang hal y ang penting untuk
diketahui oleh para pemimpin di Singasari.
Dalam pada itu, maka Mahendra pun bertanya kepada
anaknya: "Bukankah kau akan berada di Kotaraja barang dua
tiga hari?" "Mahisa Murti sendiri di padepokan," jawab Mahisa Pukat.
"Tetapi ia mempunyai banyak kawan," desis Mahendra.
Mahisa Pukat memang menjadi ragu-ragu. Namun
kemudian katanya: "Baiklah. Aku akan berada di Kotaraja dua
atau selama-lamanya tiga hari."
Namun satu hal yang tidak diketahui oleh Mahisa Pukat
adalah sikap salah seorang prajurit yang berada di pintu
gerbang saat Mahisa Pukat dan Mahisa Semu memasuki
Kotaraja. Prajurit yang merasa dirinya m emiliki kelebihan. Ia
tidak percaya bahwa Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah
berhasil menangkap sepuluh orang petugas sandi itu.
"Hanya sebuah lelucon," katanya kepada kawan-kawannya.
"Tetapi para prajurit
yang menggiring para tawanan itu juga mengatakan demikian,"
jawab pemimpin prajurit yang bertugas, y ang merasa ter singgung oleh sikap perwira pasukan berkuda itu. Namun seorang kawannya berkata: "Aku
percaya bahwa hal itu terjadi." "Kenapa"," bertanya
prajurit y ang tidak percaya itu. "Mereka adalah anak Mahendra," jawab kawannya itu. "Yang berilmu tinggi adalah Mahendra. Itu pun kita belum
pernah nielihat buktinya, apakah benar ilmu kanuragannya
yang tinggi atau sekedar karena ia memilik pandangan luas
tentang pemerintahan sehingga diangkat menjadi salah
seorang penasehat Sri Maharaja," jawab prajurit yang tidak
percaya itu. "Para prajurit dari pasukan berkuda itu tentu tidak akan
berbohong. Untuk apa mereka mengatakan bahwa
keduanyalah y ang telah menangkap sepuluh orang petugas
sandi itu" Bukankah mereka lebih berbangga jika mereka
mengatakan bahwa merekalah y ang telah berhasil menangkap
para tawanan itu, justru m elampaui tugas y ang dibebankan
kepada m ereka untuk menangkap hanya dua orang diantara
para petugas sandi itu?" sahut pemimpinnya.
"Tentu kita tidak tahu maksud y ang ter sembunyi dibalik
tindakan m ereka y ang tidak kita m engerti itu," jawab prajurit
Pembalasan Dimalam Halloween 1 Dewi Ular Puncak Kematian Cinta Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong 2
sehingga suara perempuan itu bagaikan hilang ditelan
gemuruhnya buny i hujan. "Ya aku tahu. Dan aku telah m emenuhinya. Bukankah itu
namanya adil" Aku memberimu apa yang kau perlukan dan
kau memberiku apa yang aku sekeluarga memerlukannya.
Uang dan perhiasan itu. Isteriku b erterima kasih kepadamu,"
jawab laki -laki itu. Penunggu banjar itu, bahkan Mahisa Pukat dan Mahisa
Semu, terkejut mendengar jawaban itu. Seakan-akan sudah
diatur sehingga perempuan itu seakan-akan dihadapkan pada
jawabannya sendiri. Ternyata laki-laki itu bersikap
sebagaimana ia bersikap kepada laki -laki yang telah
meninggalkannya di banjar itu.
Untuk beberapa saat perempuan itu terbungkam. Namun
kemudian ia pun menangis sambil berteriak: "Kau laki-laki
iblis. Laki-laki tidak tahu diri."
"Terserahlah," berkata laki -laki itu masih dalam sikap y ang
dingin, "mungkin aku iblis atau tidak tahu diri atau sebutan
buruk yang lain, tetapi persoalan diantara kita sudah selesai.
Seperti orang yang berjual beli. Setelah barang-barangnya
diserahkan dan setelah dibayar oleh pihak lain, maka jual beli
itu sah dan selesai."
- Tidak. Kita tidak sedang berjual b eli," tangis perempuan
itu. "Sudahlah. Aku akan pulang. Anak dan istriku kedinginan
di rumah. Hujan justru m enjadi semakin lebat," berkata laki -
laki itu. "Aku tidak m au kau tinggalkan sendiri," tangis perempuan
itu pula. "Aku tidak mengundangmu kemari," jawab laki-laki itu.
Namun penunggu banjar itu ternyata tidak dapat berdiam
diri saja. Akhirnya ia pun m enengahi: " Jika kau tidak dapat
membawa perempuan itu pulang, bawalah ke mana saja."
"Ke mana?" laki -laki itu mengerutkan keningnya.
"Jangan tinggalkan perempuan itu di banjar ini," berkata
penunggu banjar itu kemudian.
"Aku tidak mempunyai urusan lagi dengan perempuan itu,"
geram laki-laki y ang disebut Penangkil itu.
"Apa pun persoalan kalian, tetapi bawa perempuan itu ke
mana saja. Bagaimana pun juga kau lebih berkepentingan
dengan perempuan itu daripada aku," berkata penunggu
banjar itu. Penangkil itu menjadi ragu-ragu. Namun kemudian ia
berkata: "Baiklah. Aku akan membawanya kepada bibi di
pinggir padukuhan ini."
"Bibi siapa?" bertanya penunggu banjar itu.
"Bibi Rumi. Ia adalah adik ay ahku y ang telah tidak ada,"
jawab Penangkil. "Terserah kepadamu," berkata penunggu banjar itu.
"Aku m inta diri," desis Penangkil kemudian. Lalu katanya
kepada perempuan itu: "marilah, kita akan pergi ke rumah
bibi. Kau akan berada di sana sampai besok. Kemudian kita
akan menentukan sikap."
Perempuan itu termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian laki -laki itu telah menarik tangannya turun ke
halaman betapaun lebatnya hujan.
Keduanya ternyata telah menuju ke arah y ang lain dari arah
rumah laki -laki itu, karena keduanya memang tidak akan pergi
ke rumah laki-laki yang telah menyatakan diriny a beranak dan
beristri. Dalam hujan y ang lebat, laki -laki itu telah m enarik tangan
perempuan itu sambil berkata: "Cepat. Hujan sangat lebat.
Kita dapat menjadi sakit karenanya."
Perempuan itu tidak menjawab. Tetapi ia berusaha berjalan
lebih cepat. Demikianlah, berlari -lari kecil perempuan itu mengikuti
laki -laki yang masih saja menarik tangannya. Tangannya
begitu kuat sehingga ia tidak dapat terlepas dari
genggamannya. "Kita pergi ke mana?" bertanya perempuan itu.
"Bukankah sudah aku katakan, kita pergi ke rumah bibi,"
jawab laki -laki itu. Perempuan itu pun terdiam. Langkahnya menjadi semakin
cepat. Dalam hujan perempuan itu terengah-engah.
"Kita berhenti dahulu," minta perempuan itu.
"Sudah tidak begitu jauh. Nanti kita beristirahat. Kau dapat
meminjam pakaian bibi dan menghangatkan badanmu di
depan perapian sambil merebus air," berkata laki-laki itu.
Perempuan itu berusaha untuk tetap berlari-lari kecil meski
pun kakinya terasa mulai letih.
Beberapa saat kemudian, perempuan itu terkejut. Ia justru
berusaha berhenti sejenak. Meski pun suara hujan masih
berbaur dengan suara angin, namun perempuan itu
mendengar deru suara air yang mengalir deras.
"Suara apa itu?" bertanya perempuan itu.
"Sungai. Disitu ada sungai. Rumah bibi memang dekat
dengan sebuah sungai. Mungkin sungai itu menjadi banjir
karena hujan yang lebat. Nampaknya di bukit hujan sudah
turun lebih lama sehingga sungai itu menjadi banjir."
Perempuan itu m ulai menjadi ragu-ragu. Namun laki-laki
itu menariknya terus. Semakin lama deru sungai y ang memang banjir itu
terdengar semakin jela s. Gelap malam memang menjadi
semakin pekat. Perempuan yang tidak begitu mengenal daerah
itu tidak tahu, bahwa di depan mereka ternyata terdapat
sebuah sungai. Tepian sungai itu tidak landai seperti tempat
peny eberangan yang sering dilihatnya. Tetapi tebing sungai itu
cukup curam. Ketika sekali kilat rnenyambar, maka perempuad itu
terkejut. Ia melihat tebing y ang curam menganga. Dibawah
nampak sungai y ang meski pun tidak terlalu besar, tetapi
airnya sedang banjir. Tentu tidak seorang pun y ang akan dapat
berenang menentang arus banjir itu.
Perempuan itu tiba-tiba telah berusaha untuk meronta.
Demikian tiba -tiba, sehingga tangannya memang terlepas.
Dengan serta merta ia mencoba untuk berlari menembus gelap
dan hujan. Tetapi laki -laki itu berlari lebih cepat. Dengan segera
perempuan itu pun telah dikuasainya kembali.
"Kau akan lari ke mana"," geram laki -laki itu.
"Aku takut," suara perempuan itu gemetar.
"Kau tidak usah takut. Banjir itu akan menjadi kawanmu
yang akrab," berkata laki-laki itu.
"Maksudmu?" perempuan itu menjadi semakin ketakutan.
"Jangan meny esali perbuatanmu. Kau akan aku lemparkan
ke dalam sungai itu," jawab laki-laki itu.
"Tidak. Tidak. Jangan," perempuan itu berteriak sekuatkuatnya.
Tetapi suaranya hilang ditelan deru hujan dan banjir.
Laki-laki itu tiba-tiba tertawa. Suara tertawanya seperti
suara tertawa iblis dari neraka. Katanya: "Kau sudah tidak
mempunyai tempat lagi. Laki-laki itu sudah meninggalkanmu.
Dan aku tidak m emerlukanmu lagi. Riak banjir itulah yang
kemudian akan memelukmu."
"Jangan. Jangan. Aku akan pergi. Aku tidak akan
mengganggumu," tangis perempuan itu.
Tetapi laki -laki itu m embentaknya kasar: "Diam. Kau kira
aku akan menjadi bela s kasihan melihat wajahmu itu, he"
Wajah iblis betina yang tidak tahu diri. Siapa y ang mau
menjadi suamimu" Perempuan laknat y ang hanya pantas
menjadi isi neraka. Kau akan merusak keluargaku he" Kau
telah m emeras laki-laki itu dan sekarang kau akan menyakiti
hati isteriku." Perempuan itu menjadi semakin ketakutan. Ra sa-rasanya
tangan-tangan iblis memang sudah mencekiknya ketika
tangan-tangan laki-laki itu memegang lehernya.
"Kau boleh memilih. Mati aku cekik kemudian aku
lemparkan ke sungai, atau aku lemparkan kau hidup-hidup,
kemudian mati terbenam ke dalam banjir setelah kepalamu
membentur-bentur tebing. He, pilih y ang mana," suara laki itu
benar-benar seperti suara iblis.
"Kasihani aku. Aku mohon ampun. Aku tidak akan
mengganggumu. Biar aku pergi ke mana saja.," tangis
perempuan itu memelas. "Tidak. Selama kau masih hidup, maka kau tentu masih
akan membayangi keluargaku. Sekarang adalah kesempatan
yang paling baik untuk melemparkanmu ke sungai. Kemudian
aku akan pergi ke rumah bibi untuk minta agar ia
membantuku." Perempuan itu memang hampir pingsan karenanya.
Sementara Panangkil itu berkata selanjutnya: "Besok bibi akan
menjawab setiap pertanyaan, bahwa aku memang telah
menitipkan kau kepadanya. Tetapi kau minta ijin ke pakiwan
dan tidak pernah kembali lagi. Bibi akan mencarimu dan
bertanya kepada semua orang y ang dijumpainya. Dengan
demikian setiap orang akan mengatakan bahwa kau telah
membunuh diri. Jika kemudian mayatmu diketemukan, maka
semua orang akan memandang tubuhmu sambil berdesis
bahwa perempuan laknat itu telah membunuh diri. Kau telah
menuai benih yang kau tanam sendiri."
"Ampun, ampunkan aku. Aku belum ingin mati," tangis
perempuan itu. "Cukup. Sekarang pilih. Aku cekik kau sampai m ati, atau
aku lemparkan kau ke sungai itu," geram laki-laki itu.
"Jangan, jangan," perempuan itu meronta.
Tetapi jari-jari laki -laki itu memang telah mencengkam
lehernya. Namun laki -laki itu berkata: "Aku tidak mau meninggalkan
bekas dilehermu. Aku ingin melemparkan kau saja ke arus
banjir." Perempuan itu kemudian telah diseretnya ke tebing y ang
curam. Namun langkah laki -laki itu terhenti. Ketika sekali lagi kilat
menyambar, maka dilihatnya seorang laki-laki yang lain
berdiri tegak dengan mengenakan caping belarak y ang lebar.
"Setan, siapa kau"," geram Panangkil.
" Ingat-ingat. Namaku Mahisa Pukat. Aku adalah orang
yang tadi berada di serambi banjar. Aku memang sedang
berteduh. Karena itu aku m engetahui apa y ang kau lakukan.
Aku m emang sudah curiga m elihat sikapmu. Karena itu, aku
telah m engikutimu sampai ke tebing yang curam itu," jawab
Mahisa Pukat. "Apa yang akan kau lakukan"," bertanya Panangkil.
"Mencegah pembunuhan ini. Jika kau tidak dapat
menerima perempuan itu, maka biarlah ia pergi ke m ana saja
ia maui. Tetapi jangan kau bunuh dengan cara seperti itu,"
jawab Mahisa Pukat. "Buat apa perempuan iblis itu dihidupi" Ia tidak pantas
hidup diantara perempuan di padukuhan ini. Ia telah
menghina martabatnya sendiri," jawab laki-laki itu.
"Dan kau" Kau t elah melakukan hal y ang sama. Kau telah
menghina martabat laki -laki. Jika perempuan itu harus mati
menurut pendapatmu, maka kau pun harus mati, karena kau
telah m embuat kesalahan y ang sama. Kau pun laknat seperti
perempuan itu," Mahisa Pukat pun menggeram.
"Kau tidak usah ikut campur per soalanku," teriak laki-laki
itu. Tetapi Mahisa Pukat m enjawab dengan nada rendah, "Aku
mendengar pembicaraan kalian. Karena itu, aku merasa
terpanggil untuk ikut campur, karena kau berlaku tidak adil."
"Cukup," teriak laki-laki itu, "jika kau tidak mau pergi,
maka kau pun akan aku lemparkan ke sungai y ang banjir itu."
"Kau tidak akan dapat membunuh perempuan itu di
hadapan sedikitnya seorang sak si. Jika aku pergi dan kau tetap
melemparkan perempuan itu, maka aku akan dapat
mengatakan kepada orang-orang padukuhan ini, bahkan
kepada Ki Bekel, bahwa kau telah membunuh perempuan itu,"
berkata Mahisa Pukat. Panangkil berpikir sejenak. Namun kemudian katanya:
"Jika demikian, maka kau pun harus dibunuh."
"Jangan membuat persoalan dengan aku. Sebaiknya
lepaskan saja perempuan itu. Biarkan saja ia pergi kemana ia
ingin pergi. Ia sudah berjanji tidak akan mengganggumu lagi,"
berkata Mahisa Pukat. "Tidak. Aku akan membunuhnya dan membunuhmu pula,"
geram laki-laki itu. Mahisa Pukat justru melangkah maju sambil berkata:
"Tidak. Kau tidak akan membunuh siapapun."
Adalah diluar dugaan ketika laki-laki itu tiba -tiba saja telah
menyerang Mahisa Pukat. Agar perempuan itu tidak melarikan
diri, maka perempuan itu telah dipukulnya dengan keras sekali
sehingga perempuan itu menjadi pingsan.
Mahisa Pukat memang sudah bersiaga. Karena itu, maka
serangan itu sama sekali tidak mengejutkannya.
Penglihatannya y ang tajam melihat bagaimana laki -laki itu
berusaha untuk mendorongnya dengan serangan kaki ke
tebing sungai. Tetapi serangan itu sama sekali tidak meny entuh sasaran.
Dengan tangkasnya Mahisa Pukat telah menghindar.
Sementara itu, agar perempuan yang pingsan dalam hujan
yang lewat tidak membahayakan jiwanya, maka Mahisa Semu
telah dengan diam-diam mengambil perempuan itu dan
membawanya ke bawah pepohonan. Dipangkasnya sebatang
pohon pisang untuk melindungi wajah perempuan itu dari
guyuran air y ang deras. Namun kemudian Mahisa Pukat telah melemparkan caping
belaraknya yang lebar kepada Mahisa Semu sambil berkata:
"Pakailah." "Siapa orang itu ?" bertanya Panangkil.
"Aku tidak sendiri di serambi. Kau lihat itu. Biarlah ia
menolong perempuan yang kau pukul sampai pingsan itu,"
jawab Mahisa Pukat. Panangkil benar-benar menjadi marah. Dengan segenap
kemampuannya ia telah meny erang Mahisa Pukat. Namun
Mahisa Pukat memang bukan lawannya. Dalam waktu yang
terhitung singkat, laki-laki itu telah dikenai beberapa kali oleh
serangan Mahisa Pukat sehingga beberapa kali terdengar ia
mengaduh. Tetapi laki -laki itu memang keras kepala. Ia masih saja
berusaha melawan Mahisa Pukat. Beberapa kali ia berusaha
04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyerang meski pun justru tubuhnya sendirilah yang dikenai
oleh serangan Mahisa Pukat.
"Meny erahlah," berkata Mahisa Pukat, "kau akan kami
bawa ke banjar bersama perempuan itu. Persoalanmu akan
menjadi persoalan y ang akan diselesaikan oleh Ki Bekel."
Tidak. Aku tidak mau," teriak laki -laki itu, "kau dan
perempuan itu harus mati."
Mahisa Pukat menjai tidak telaten. Maka ia pun telah
mendesak laki-laki itu dan dengan cepat berhasil m enangkap
tangannya, memutarnya dan memilinnya dengan kuat.
Laki-laki itu berusaha meronta. Tetapi Mahisa Pukat
mendorongnya ke tepi tebing itu sambil berkata: "Lihat, arus
banjir itu tidak saja mampu menghanyutkan perempuan itu.
Tetapi kau pun akan hanyut pula. Kepalamu akan membenturbentur
tebing sebagaimana akan dapat t erjadi pada
perempuan itu sebelum kau diseret ke laut."
Wajah Panangkil m enjadi tegang. Ketika kilat memancar
dengan terangnya, maka Panangkil m elihat jelas, banjir yang
bergulung -gulung mengalir deras. Tebing yang curam
menganga seperti mulut raksasa y ang siap menelannya.
Sedangkan suaranya y ang menderu-deru seperti deru nafas
iblis dari dasar neraka."
Panangkil tiba-tiba menjadi ketakutan. Ketika Mahisa
Pukat mendor ongnya lebih dekat, maka laki -laki itu berteriak:
"Jangan-jangan."
"Kau kira aku menjadi belas kasihan kepadamu," geram
Mahisa Pukat. Laki-laki itu seakan-akan telah mendengar suaranya sendiri
ketika ia hampir saja m elemparkan perempuan itu ke sungai
yang sedang banjir itu. Sementara itu Mahisa Pukat berkata
selanjutnya: "Tidak ada y ang akan menangisimu jika mayatmu
besok diketemukan, laki -laki laknat. Kau telah m erendahkan
martabat seorang laki -laki dengan memeras perempuan itu.
Aku yang juga seorang laki -laki, merasa telah kau khianati
karena martabatku pun tentu akan ikut goncang."
Mahisa Pukat mendorong laki-laki itu semakin dekat. Sekali
lagi kilat memancar. Dan laki-laki itu menjadi lemah tidak
berday a. Kekuatannya seakan-akan telah terhisap habis oleh
perasaan takut y ang mencengkam.
Namun Mahisa Pukat membentaknya: "Bangkit. Aku
mendorongmu, atau kau berbuat sebagai seorang laki-laki.
Meloncat sendiri kedalam sungai itu."
Tetapi laki -laki itu justru memohon sambil menangis:
"Ampun. Aku mohon ampun."
"Mohon am pun kepada siapa"," bertanya Mahisa Pukat.
"Kepadamu," jawab orang itu.
"Jika aku mengampunimu, kau mau apa?" bertanya Mahisa
Pukat. "Aku akan melakukan apa pun," jawab laki-laki itu.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia
berpaling kepada Mahisa Semu, maka ia m elihat perempuan
itu sudah sadar dari pingsannya. Karena itu, maka Mahisa
Pukat pun berkata: "Marilah. Kita pergi ke banjar. Bukan aku
yang akan meny elesaikan per soalan kalian, tetapi Ki Bekel."
"Kau akan melaporkannya kepada Ki Bekel"," laki-laki itu
menjadi cemas. "Ya.," jawab Mahisa Pukat: "karena Ki Bekel adalah
pemimpin dari padukulian ini."
"Jangan," minta laki-laki itu.
"Kau dapat memilih. Persoalan ini akan aku serahkan
kepada Ki Bekel, atau kau terjun ke sungai y ang banjir itu,"
geram Mahisa Pukat. Panangkil menjadi kebingungan. Kedua-duanya tidak
menarik baginya. Namun Mahisa Pukat berkata: "Kau harus
memilih salah satu dari kedua pilihan itu."
Panangkil hanya dapat menundukkan kepalanya. Dengan
nada berat ia berkata: "Aku tidak mau terjun ke sungai itu."
Demikianlah, maka Panangkil dan perempuan itu pun telah
dibawa ke banjar. Penunggu banjar itulah y ang kemudian
pergi rumah Ki Bekel untuk mengadu.
Ternyata Ki Bekel a dalah seorang yang benar-benar
bertanggung jawab atas tugasnya. Meski pun hujan lebat dan
malam dinginnya menusuk tulang, namun Ki Bekel telah pergi
ke banjar bersama dua orang peronda yang ada di gardu di
depan rumahnya dari antara lima orang peronda. Bahkan
sempat mengajak Ki Jagabaya bersamanya.
Ketika di banjar ia menerima penjelasan tentang hubungan
antara Panangkil dan perempuan itu serta keputusan
Panangkil untuk m embunuh perempuan itu, m aka Ki Bekel
pun berkata: "Jadi kau masih saja akan mengacaukan
padukuhan kita sendiri, Panangkil. Sudah beberapa kali kau
mendapat peringatan dari Ki Jagabaya. Bahkan pernah orangorang
padukuhan ini hampir saja beramai-ramai
membunuhmu karena tingkah lakumu itu. Sekarang kau telah
melakukan satu kesalahan lagi yang bahkan hampir saja
menelan korban jiwa. Apakah sebaiknya kau aku serahkan saja
kepada orang-orang padukuhan. Mumpung sungai itu sedang
banjir" Mungkin kau akan diikat dan dimasukkan ke dalam
sungai itu. Orang-orang sepadukuhan akan melihat kau
mencoba untuk berenang. Jika kau hanyut, maka tali itu akan
ditarik. Tetapi kemudian akan diulur lagi jika sekali lagi
mencoba berenang." "Jangan Ki Bekel. Aku mohon maaf," minta Panangkil.
"Sudah berapa kali kau m inta maaf kepadaku, kepada Ki
Jagabaya dan kepada seisi padukuhan"," bertanya Ki Bekel.
Panangkil tidak menjawab. Tetapi kepalanya menunduk
dalam-dalam. "Aku akan bertanya saja kepada rakyat padukuhan ini.
Apakah mereka masih bersedia memberikan ampun
kepadamu atau tidak. Jika tidak, ter serah kepada mereka,"
berkata Ki Bekel. "Jangan Ki Bekel. Jangan dengan cara itu," minta
Panangkil. Ki Bekel termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya kepada kedua orang per onda y ang menyertainya:
"Panggil isterinya. Biar ia tahu apa yang dilakukan oleh
suaminya." "Jangan panggil isteriku, jangan," minta Panangkil. Tetapi
Ki Bekel tetap pada pendiriannya. Dan kedua orang itu pun
segera meninggalkan banjar.
Ketika perempuan itu dengan pakaian yang basah meski
pun ia m emakai caping belarak yang besar, sampai ke banjar,
maka ia menjadi heran. Dilihatnya beberapa orang ada di
banjar, termasuk suaminya.
Ki Bekellah yang kemudian mengatakan kepada perempuan
itu apa yang telah dilakukan suaminya terhadap perempuan
yang telah berada di banjar itu.
Wajah perempuan itu menjadi merah. Tiba-tiba saja ia
telah merehut parang per onda yang memanggilnya. Hampir
sa ja kepala suaminya telah dipecahkannya dengan parang itu.
Untunglah beberapa orang sempat melerainya.
"Biar aku bunuh laki -laki keparat itu," perempuan itu
berteriak sambil menangis. Namun ketika ia melihat
perempuan yang telah berada di banjar itu, ia pun telah
meronta sambil berteriak pula: "Kaulah sumber dari laknat ini.
Kau pun harus dibunuh."
Perempuan yang hampir saja dilemparkan ke sungai y ang
banjir itu menjadi ketakutan. Tetapi ia pasrahkan dirinya
kepada orang-orang yang ada di banjar itu termasuk Ki Bekel.
Sebenarnyalah Ki Bekel t elah m erampas parang di tangan
perempuan itu. Dengan nada seorang pemimpin ia berkata:
Kita ingin menyelesaikan persoalan ini dengan baik. Kita
bukan keluarga orang -orang liar yang tidak tahu caranya
memecahkan persoalan dengan nalar."
"la telah berkhianat terhadap keluarganya Ki Bekel," tangis
isteri Panangkil. Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya: "Aku mengerti.
Tetapi bukankah kau dapat berbicara dengan suamimu?"
"Apakah kata-katanya masih dapat dipercaya"," bertanya
isterinya. Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Ia sendiri juga
bertanya seperti itu. Apakah kata-katanya masih dapat
dipercaya" Tetapi sebagai seorang Bekel ia masih juga
mencoba untuk mencari jalan y ang terbaik y ang dapat
ditempuh. Karena itu, maka Ki Bekel itu pun berkata:
"Sekarang, ajak suamimu berbicara dihadapanku. Ia tahu
bahwa aku adalah Bekel dari padukuhan ini. Kata-kata yang
diucapkan dihadapanku, tentu akan m engikat. Bukan hanya
aku saja saksiny a. Tetapi beberapa orang, termasuk Ki
Jagabaya." Perempuan itu termangu-mangu. Namun kemudian ia
bertanya kepada suaminya: "Sekarang apa niatmu" Mencerai
aku atau apa?" "Tidak," jawab Panangkil, "aku tidak ingin menceraimu."
"Kau tidak usah berpura-pura. Jika kau memang sudah
jemu beristerikan aku, cerai saja aku. Aku akan membawa
semua anak-anakku. Aku m asih akan dapat m emberi m ereka
makan serta mendidik mereka untuk menjadi orang baik-baik
kelak." "Tidak. Jangan pergi. Apalagi membawa anak-anak. Aku
tidak dapat berpisah dengan anak-anak," jawab Panangkil.
"Tetapi apakah kau mengeri, apa yang telah kau lakukan
itu"," bertanya isterinya.
"Aku minta maaf. Aku tidak mempunyai cara lain. Aku
sudah tidak berani m encuri karena ancaman Ki Bekel," jawab
Panangkil. "Kau kira aku senang jika kau mencuri"," geram isterinya.
"Satu-satunya jalan adalah memeras orang lain. Aku sama
sekali tidak berniat apa pun juga terhadap perempuan itu
selain memeras. Aku ingin m encukupi kebutuhan keluargaku
sehingga dapat hidup pantas," jawab Panangkil.
"Tidak. Itu sangat m emalukan. Besok, apa yang masih ada
harus kau kembalikan kepada perempuan itu. Aku berjanji
untuk mengganti semua barang-barang dan perhiasan yang
telah kau t erima dan kau jual untuk menghidupi kami
sekeluarga. Aku kira selama ini kau benar-benar berhasil
berdagang wesi aji dan batu-batu bertuah, sehingga hidup
keluarga kita dapat menjadi semakin baik. Ternyata apa yang
kau lakukan adalah perbuatan laknat itu," teriak perempuan
itu tanpa dapat mengendalikan perasaannya lagi.
"Aku minta maaf kepadamu," jawab Panangkil.
"Sudah berapa kali kau m inta maaf kepadaku tetapi m asih
sa ja kau melakukan kesalahan. Meski pun kesalahan itu tidak
sama, tetapi jiwanya sama-sama satu pengkhianatan," geram
isterinya. "Kali ini aku berbicara di hadapan saksi-saksi. Ki Bekel, Ki
Jagabaya, anak-anak muda itu dan y ang lain," sahut
Panangkil. Jika aku tidak m enepatinya, maka aku tentu akan
menerima hukuman y ang paling berat."
Isterinya termangu -mangu sejenak. Sementara Ki Bekel
berkata: "Baiklah, maaf dan m engaku ber salah. Ia tidak akan
melakukannya lagi dikemudian hari."
Namun isteri Panangkil itu berkata: "Aku ingin mendengar
janjinya sekali lagi."
"Berjanjilah sekali lagi," minta Ki Bekel.
"Ya. Aku memang berjanji," jawab laki-laki itu.
"Berjanji apa"," isterinya menjerit tinggi.
"Aku berjanji untuk tidak mengulangi semua perbuatanku
yang buruk. Tidak mencuri lagi dan tidak m emeras," berkata
Panangkil. "Hanya itu"," bertanya isteriny a.
"Apalagi y ang harus dikatakan"," bertanya Ki Bekel.
"la berjanji untuk tidak memeras, tetapi ia justru
mengawini perempuan itu," suaranya agak menurun.
Ki Bekel menarik nafas. Katanya: "Ucapkan janjimu
selengkap-lengkapnya."
Panangkil termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia
berkata: "Aku tidak akan mencuri, tidak akan memeras dan
tidak akan berhubungan lagi dengan perempuan itu."
"Nah, Ki Bekel dan Ki Jagabaya menjadi saksi," desis
perempuan itu. "Nah, sebaiknya kau percaya. Aku akan turut mengawasi.
Jika ia masih bertabiat buruk, maka aku minta kau ikhlaskan
suamimu untuk aku serahkan kepada orang banyak.
Hukumannya tidak akan dibatasi dengan paugeran apa pun
juga," berkata Ki Bekel kemudian.
Namun ternyata perempuan itu ragu-ragu. Ia memang
merasa ngeri mendengar ancaman Ki Bekel itu. Bagaimana
pun juga laki-laki jahat itu adalah suaminya.
Baiklah," berkata Ki Bekel, "sekarang pulanglah dengan
membawa kesaksian kami. Mudah-mudahan keluargamu
menjadi semakin baik."
0oo0dw0oo0 (Bersambung ke jilid 96).
Conv er by Editing: MCH Pdf ebook : HIJAUNYA LEMBAH HIJAUNYA LERENG PEGUNUNGAN Jilid 96 Cetakan Pertama PENERBIT: "MURIA" YOGYAKARTA Kolaborasi 2 Website : dengan Pelangi Di Singosari / Pembuat Ebook : Sumber Buku Karya SH MINTARDJA
Scan DJVU : Ismoyo, Arema
Converter : Editor : MCH dan Pdf ebook : --ooo0dw0ooo- Naskah ini untuk keperluan kalangan sendiri,
penggemar karya S.H. Mintardja dimana saja berada y ang
berkumpul di Web Pelangi Singosari dan Tiraikasih
Jilid 096
04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
PEREMPUAN y ang datang ke banjar itu dengan diseret
oleh beberapa laki -laki itu agaknya mampu menempatkan
dirinya. Ia merasa lebih baik diam saja selama terjadi
pembicaraan antara suami laki -laki itu akan dapat menjadi
mata gelap. Karena itu, maka y ang dapat dilakukannya adalah
menunggu suami isteri itu meninggalkan banjar padukuhan.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, Panangkil dan
isterinya telah meninggalkan banjar itu. Mereka berjalan
begitu saja didalam hujan yang lebat dengan taping blarak
diatas kepala. Setelah keduanya pergi, maka Ki Bekel mulai berbicara
dengan perempuan y ang kedinginan itu.
"Nah, sekarang kau bagaimana?" bertanya Ki Bekel.
Perempuan itu term enung sejenak. Namun kemudian ia
justru telah menangis. "Kenapa kau menangis lagi?" bertanya Ki Bekel.
Perempuan itu tidak segera menjawab, Namun kemudian
sambil mengusap air matanya ia berkata tidak tahu lagi, apa
yang harus aku lakukan."
"Kau tentu tahu, akibat yang kau sandang ini adalah hasil
perbuatanmu sendiri," berkata Ki Bekel.
Perempuan itu mengangguk.
"Nah, sekarang kau harus mencoba mencari peny elesaian,"
berkata Ki Bekel pula. Tetapi y ang terdengar adalah isak tangisnya. Katanya: "
Laki-laki itu tidak mau lagi menerima aku di rumahnya.
Panangkil ternyata telah menipuku. Aku sudah tidak
mempunyai apa-apa lagi.,"
"Apakah kau masih mempunyai orang tua?" bertanya Ki
Bekel. Perempuan itu mengangguk. Tetapi katanya: " Ayah dan
ibuku sudah tua sekali."
"Tetapi bukankah mereka mempunyai tempat tinggal","
bertanya Ki Bekel pula. "Ya. Mereka mempunyai tempa tinggal," jawab perempuan
itu. "Jika demikian lebih baik kau kembali saja kepada mereka.
Agaknya itu lebih baik daripada kau dilemparkan ke sungai
yang banjir itu," berkata Ki Bekel pula.
Perempuan itu berpikir sejenak. Tetapi nalarnya benarbenar
buntu. Karena itu, masih sambil menangais ia berkata: "
Baiklah. Besok aku akan kembali kepada kedua orang tuaku."
"Baiklah," berkata Ki Bekel: "c obalah untuk
memperbaharui cara hidupmu. Kau harus jujur menghadapi
setiap orang. Jika kau tidak hidup dalam satu keny ataan
sewajarnya, maka kau akan dapat mengalami per soalan
seperti sekarang ini."
"Aku mengerti Ki Bekel," jawab perempuan itu.
Nah. Biarlah kau diijinkan untuk berada di banjar ini
semalam," berkata Ki Bekel. Lalu katanya kepada penunggu
banjar itu: "Apakah isterimu dapat meminjamkan selembar
pakaiannya kepada perempuan y ang kedinginan itu?"
"Tetapi, tetapi biarlah Ki Bekel yang mengatakan
kepadanya. Jika aku sendiri yang mengatakan, maka dapat
terjadi salah paham," jawab penunggu banjar itu.
Ki Bekel tersenyum. Ia mengenal keluarga penunggu banjar
itu. Maka Ki Bekel itu pun berkata: "Baiklah. Biar aku yang
mengatakannya." Karena Ki Bekel y ang mengatakannya, maka isteri
penunggu banjar itu pun tidak berkeberatan untuk
meminjamkan pakaiannya sepengadeg.
Beberapa saat kemudian, m aka Ki Bekel pun telah minta
diri bersama bebahu yang meny ertainya. Namun kepada
Penunggu banjar itu, Ki Bekel juga menganjurkan agar
memberikan pinjaman pakaian bagi kedua anak muda yang
juga menjadi basah kuyup itu.
Tetapi malam itu, amben di serambi telah dipergunakan
oleh perempuan y ang telah merasa kehilangan segala-galanya
itu. Sementara Mahisa Pukat dan Mahisa Semu terpaksa tidur
di pendapa banjar dengan selembar tikar pandan. Terasa
dinginnya memang meresap sampai ke sungsum. Namun bagi
kedua anak muda itu, tidur di banjar terasa lebih baik dari
pada di tempat terbuka disiram dengan hujan y ang lebat.
Namun beberapa saat kemudian hujan pun mulai reda.
Ketika Mahisa Pukat dan Mahisa Semu sempat t ertidur, maka
fajar pun mulai mengintip. Namun meski pun hanya sebentar,
tetapi kesempatan itu telah dipergunakan oleh Mahisa Pukat
dan Mahisa Semu sebaik- baiknya.
Ketika matahari terbit, maka perempuan y ang tidur di
banjar itu pun telah minta diri. Ketika ia akan berganti dengan
pakaiannya yang masih ba sah, maka isteri pemilik banjar itu
berkata: "Sudahlah, pakai saja pakaianku. Bukan pakaian yang
baik dan mahal. Sekedar untuk menahan dingin. Bawa
pakaianmu y ang basah. Mungkin dapat kau keringkan di
jalan." Perempuan itu mengucapkan terima kasih. Ternyata ia
tidak dapat menahan air m atanya, bahwa masih ada orang
yang merasa belas kasihan kepadanya, karena ia merasa
betapa dosa telah tertimbun didalam dirinya.
Tetapi Mahisa Pukat dan Mahisa Semu ternyata masih
belum meninggalkan barak. Mereka telah menjemur
pakaiannya lebih dahulu. Apalagi semua pakaian yang
dibawanya, yang memang hanya selembar dan selembar kain
panjang y ang dibawanya selain sebuah celana, telah basah.
"Apakah aku diperbolehkan berada di banjar sampai
pakaianku kering?" Penunggu banjar itu tertawa. Katanya: " Tentu saja. Apalagi
kau telah berbuat sesuatu di padukuhan ini. Kau telah
menghindarkan satu pembunuhan keji. Untuk itu, seisi
padukuhan ini tentu akan berterima kasih kepadamu."
"Terima kasih untuk apa" Kami tidak berbuat apa -apa.
Hanya sekedar melakukan kewajiban," sahut Mahisa Pukat.
Lalu katanya: "Semoga perempuan itu selamat."
Penunggu banjar itu m enarik nafas dalam-dalam. Dengan
nada dalam ia berkata: "Ya. Setelah kau selamatkan semalam,
mudah-mudahan ia selamat sampai ke rumah orangtuanya."
Mahisa Pukat menangguk kecil Tetapi ia tidak menjawab.
Dalam pada itu, Mahisa Semulah yang sibuk menjemur
pakaiannya. Sementara penunggu banjar itu berkata: "Anakanak
muda. Maaf bahwa aku tidak dapat berbuat seperti
isteriku. Ia dapat memberikan sepengadeg pakaiannya kepada
perempuan itu, karena ia masih mempunyai pakaian yang
dapat aku berikan kepadanya."
Mahisa Pukat dan Mahisa Semu tertawa. Dengan nada
tinggi Mahisa Pukat berkata: "Aku sudah berterima ka sih,
bahwa semalam aku tidak kedinginan dengan mengenakan
pakaian yang basah kuyup oleh hujan itu."
Penunggu banjar itu mengerutkan keningnya. Namun ia
pun kemudian tersenyum pula. Dan bahkan tertawa.
Sambil menunggu, ternyata isteri penunggu banjar itu telah
merebus ket ela pohon pula seperti semalam. Karena itu, maka
mahisa Pukat dan Mahisa Semu pun telah sempat makan
ketela rebus dan minum wedang jahe y ang hangat dengan gula
kelapa. Ketika matahari naik sepenggalah, maka pakaian kedua
anak muda itu pun telah menjadi agak kering. Karena itu,
maka mereka pun segera berganti pakaian. Bahkan mereka
sempat mencuci pakaian yang dipinjamnya dari penunggu
banjar itu. "Sudahlah," berkata penunggu banjar itu, "kalian tidak usah
mencucinya." Tetapi Mahisa Pukat menjawab: "Biarlah. Jika matahari
terang, pakaian itu akan segera kering."
Penunggu banjar itu tidak mencegah lagi. Nampaknya
kedua anak muda itu tidak m au meninggalakan pakaian yang
kotor itu begitu saja setelah mereka memakainya semalam.
Demikianlah, maka beberapa saat kemudian, Mahisa Pukat
dan Mahisa Semu pun telah minta diri. Mereka akan
melanjutkan perjalanan menuju ke Singasari. Mereka akan
menemui Mahendra y ang telah lebih dehulu berangkat
bersama para prajurit y ang menjemputnya.
Mahisa Pukat dan Mahisa Semu berharap bahwa sebelum
gelap mereka sudah akan berada di Kotaraja. Meski pun
mereka berangkat agak siang, tetapi jarak yang harus
ditempuh tidak lagi memerlukan waktu satu hari penuh.
Setelah semalaman hujan turun dengan lebat, maka hari itu
justru terasa cerah. Jalan-jalan masih basah. Namun langit
nampak bersih. Bahkan tidak berawan.
"Air di langit telah habis tercurah semalam," desis Mahisa
Semu. Mahisa Pukat tertawa. Katanya: "Ya. Tidak ada yang
tersisa." Namun ketika mereka melalui jalan y ang menjelujur
di sebelah tanggul sungai yang banjir, Mahisa Pukat berkata:
"Lihat, jika semalam perempuan itu dilemparkan ke dalam air,
mungkin kita akan m enemukan mayatnya tersangkut di akar
serumpun bambu y ang hampir dihanyutkan banjir itu."
Mahisa Semu menarik nafas dalam-dalam. Katanya:
"Memang mengerikan. Untunglah kita sempat mencegahnya."
"Laki-laki itu nampaknya memang tidak dapat dipercaya,"
desis Mahisa Pukat. "Tetapi perempuan itu pun memang perempuan laknat. Ia
mengkhianati seorang laki -laki y ang memberi apa saja yang
dimintanya," desis Mahisa Semu, "tetapi ia terbentur pada
sikap seorang laki-laki laknat pula."
"Satu pantulan sikap y ang menghukumnya," berkata
Mahisa Pukat tetapi penderitaan batinnya adalah hukuman
yang sudah cukup berat."
Mahisa Semu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak
menyahut lagi. Ia pun justru merenung tentang perempuan
yang hampir saja dit elan oleh banjir y ang sisanya masih
nampak. Air sungai itu masih keruh dan deras. Bahkan masih
nampak putaran-putaran meski pun tidak sebesar semalam.
Ketika matahari menjadi semakin tinggi, maka Mahisa
Pukat dan Mahisa Semu telah berpacu di jalan yang semakin
rata dan terpelihara baik. Tetapi lewat tengah hari, kedua anak
muda itu mulai merasa haus sehingga keduanya telah singgah
disebuah kedai di pinggir jalan.
Setelah makan dan minum secukupnya, serta kuda mereka
pun telah mendapat minum serta makan, maka keduanya siap
melanjutkan perjalanan. Tetapi sepintas mereka masih sempat. mendengar dua
orang berkuda y ang menambatkan kudanya berbicara diantara
mereka. Seorang diantara m ereka berkata: "Singa-sari telah
tidak lagi sekuat sebelumnya. Semakin lama menjadi semakin
kehilangan wibawanya. Justru karena Singasari merasa terlalu
kuat sebelumnya." Mahisa Pukat dan Mahisa Semu tidak mendengar apa y ang
mereka bicarakan kemudian. Tetapi pembicaraan y ang pendek
itu sangat menarik perhatian mereka.
Sambil meneruskan perjalanan, maka Mahisa Pukat
berkata: "Satu sikap yang perlu diperhatikan oleh Singasari."
"Mereka menilai Singasari y ang mulai surut," berkata
Mahisa Pukat. "Kita harus menghubungkan dengan kegiatan Kediri
sekarang ini," desis Mahisa Pukat.
Mahisa Semu m engangguk-angguk. Kepergian mereka ke
Singasari antara lain juga karena persoalan y ang menyangkut
sikap Kediri. Meski pun sikap itu bukan sikap Kediri
seutuhnya, namun per soalannya akan m enyangkut hubungan
selanjutnya antara Singasari dan Kediri.
Untuk beberapa saat kedua anak muda itu terdiam. Mereka
seakan-akan sedang menilai keadaan yang nampaknya
menjadi semakin suram. Sementara itu, kuda-kuda mereka pun berpacu terus
menuju k e Singasari. Langit yang ber sih mulai digayuti awan
yang kelabu. Namun keduanya menduga bahwa hujan lama
turun. Bahkan karena angin yang agak kencang dan S elatan,
awan itu akan hanyut ke Utara.
Beberapa saat kemudian, kedua anak muda itu
memperlambat derap kuda-kuda mereka. Dari kejauhan
mereka melihat beberapa orang berkuda menuju kearah
mereka. Nampaknya sekelompok prajurit y ang sedang
meronda. Ketika mereka berpapasan, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu
telah berhenti dan menepi. Mereka memberi jalan kepada
sekelompok orang berkuda y ang ternyata memang prajurit
Singasari. Namun pemimpin dari sekelompok prajurit itu telah
memberikan isy arat kepada prajurit -prajuritnya untuk
berhenti. Mahisa Pukat dan Mahisa Semu memang menjadi
termangu-mangu. Sementara pemimpin sekelompok prajurit
itu mendekat sambil bertanya: "Anak-anak muda. Apakah
kalian bertemu dengan dua orang berkuda"."
Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Namun ia pun
kemudian menjawab: "Tidak Ki Sanak. Rasa-rasanya kami hari
ini tidak berpapasan dengan dua orang berkuda. Memang ada
beberapa kali kami berpapasan. Tetapi satu-satu. Nampaknya
orang-orang padukuhan y ang pulang dari menjual hasil
buminya." "Bukan," sahut pemimpin prajurit itu, "bukan itu y ang aku
maksud. Tetapi dua orang berkuda seperti kalian y ang sedang
menempuh perjalanan."
Tiba-tiba saja Mahisa Pukat teringat kedua orang di kedai
itu. Karena itu, maka katanya: "Ki Sanak. Kami memang tidak
berpapasan. Tetapi di sebuah kedai kami melihat beberapa
ekor kuda t ertambat. Apakah mungkin ada diantara mereka
itu." "Kedai yang mana ?" bertanya pemimpin prajurit itu.
"Di pinggir jalan ini. Tidak terlalu jauh," jawab Mahisa
Pukat. Pemimpin sekelompok prajurit itu termangu-mangu. Tetapi
ia pun kemudian bertanya: "Siapakah anak muda berdua ini ?"
"Kami datang dan padepokan Bajra Seta. Kami akan
menemui seorang keluarga kami di Kotaraja," jawab Mahisa
Pukat. Pemimpin sekelompok prajurit itu mengangguk-angguk.
Namun katanya kemudian: "Anak-anak muda. Aku tidak ingin
mengganggu perjalananmu. Tetapi kami ingin melakukan
tugas kami dengan sebaik-baiknya bagi kepentingan Singasari.
04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Karena itu, maka aku minta kalian berdua bersedia
menunjukkan kepada kami, dimana letak kedai itu."
"Di pinggir jalan ini. Tidak terlalu jauh," jawab Mahisa
Pukat. Tetapi prajurit itu tetap saja berkata: "Kami minta Ki Sanak
tidak berkeberatan membantu sekelompok prajurit dalam
tugasnya." "Tetapi bagaimanakah nantinya, jika kedua orang itu
kemudian mendendam kami. Berbeda terhadap karena kalian
adalah prajurit." "Kalian tidak akan diganggu. Apalagi kami hanya ingin
kalian menunjukkan kedai itu. Jika perlu kalian tidak usah
mendekati kedai itu. Apalagi menunjukkan orangnya," berkata
pemimpin prajurit itu. "Bagaimana mungkin aku dapat menunjukkan orangnya
karena aku belum pernah melihatnya," jawab Mahisa Pukat.
Namun pemimpin prajurit itu memang agak memaksa.
Katanya: "Aku minta Ki Sanak bersedia membantu prajurit."
Mahisa Pukat tidak mempunyai pilihan lain. Namun ia
masih sempat bertanya: "Kenapa kalian cari kedua orang itu ?"
"Keduanya orang Kediri y ang katanya mencari saudaranya.
Tetapi temyata tidak ketemu," jawab pemimpin prajurit itu.
"Hanya karena kedua orang itu mencari saudaranya di
Kotaraja " Apakah ada keberatannya jika hal itu dilakukan ?"
bertanya Mahisa Pukat. "Tentu saja tidak. Jika kami mencarinya tentu ada
pertimbangan-pertimbangan lain," jawab pemimpin prajurit
itu. "Tetapi kenapa baru sekarang. Tidak saat kedua orang itu
masih berada di Kotaraja?" bertanya Mahisa Pukat pula.
"Nampaknya kalian t erlalu banyak ingin mengerti," berkata
pemimpin prajurit itu. Namun katanya: "Tetapi baiklah aku
menjawabnya. Untuk terakhir kalinya," pemimpin prajurit itu
terdiam. Namun kemudian katanya: "Kami baru mendapatkan
laporan tentang sikap kedua orang itu setelah keduanya pergi.
Kami mendapat tugas untuk mencarinya. Nah, jelas. Sekarang
kalian tidak usah bertanya lagi. Marilah, kita sudah terlalu
banyak kehilangan waktu."
Mahisa Pukat dan Mahisa Semu tidak dapat menolak.
Mereka pun kemudian memutar kudanya dan berjalan
seiring dengan para prajurit.
Ternyata mereka belum terlalu jauh dari kedai itu. Karena
itu, maka beberapa saat kemudian, maka kedai itu pun sudah
mulai nampak. Sementara itu, orang-orang yang ada dikedai itu pun telah
melihat debu yang mengepul dari kejauhan. Agaknya mereka
dapat melihat, bahwa y ang datang adalah sekelompok prajurit
Singasari. Ketika sekelompok prajurit itu kemudian berhenti di depan
kedai itu, maka pemimpin kelompok itu bersama dengan dua
orang pengiringnya telah memasuki kedai itu. Ia melihat
beberapa orang berada didalam kedai itu. Namun pemimpin
sekelompok prajurit itu agaknya menjadi ragu-ragu.
Karena itu, m aka ia pun telah m emanggil seorang prajurit
lagi mendekatinya sambil bertanya: "Yang mana orang yang
kau maksud ?" Prajurit itu memandang setiap orang yang ada didalam
kedai itu. Namun tidak seorang pun yang dapat dikenalinya.
Bahkan prajurit itu kemudian menggeleng sambil berdesis:
"Tidak ada diantara mereka."
Dari pintu samping pemimpin prajurit itu memang melihat
beberapa ekor kuda y ang tertambat. Namun agaknya kuda
orang lain. Bukan orang y ang dimaksud.
Mahisa Pukat dan Mahisa Semu pun kemudian telah
sempat mengamati kuda y ang tertambat. Mereka masih
melihat kedua ekor kuda dari orang-orang yang telah
memperbincangkan kemunduran Singasari. Namun ketika
Mahisa Pukat dan Mahisa Semu melihat kedalam kedai itu,
mereka tidak melihat kedua orang penunggangnya.
Tetapi Mahisa Pukat dan Mahisa Semu tidak m engatakan
sesuatu. Mereka tidak berani memberikan keterangan apapun,
karena mereka tidak tahu pasti apakah yang sebenarnya
terjadi. Pemimpin prajurit itu telah minta ijin kepada pemilik kedai
untuk melihat-lihat isi kedainya. Bahkan sampai ke halaman
di belakang kedai itu. Namun mereka tidak melihat orang lain
kecuali yang sedang makan dan minum didalam kedai itu.
Ketika mereka yakin bahwa y ang mereka cari tidak ada,
maka para prajurit itu pun telah meninggalkan kedai itu.
Kepada Mahisa Pukat dan Mahisa Semu, pemimpin prajurit
itu pun berkata: "Kami mengucapkan terima kasih anak muda.
Maaf, bahwa kami telah menghambat perjalanan kalian.
Kal ian telah berusaha membantu tugas kami, para prajurit."
Mahisa Pukat pun mengangguk hormat sambil berkata:
"Agaknya itu sudah menjadi kewajiban kami."
Ketika para prajurit itu melanjutkan perjalanan, Mahisa
Semu pun berdesis: "Meski pun ketika kami diminta untuk
melakukan kewajiban ini kami merasa agak segan."
Mahisa Pukat tertawa. Katanya: "Kita telah kehilangan
waktu. Tetapi kita kemudian dapat berbangga bahwa kita
sudah membantu para prajurit."
Mahisa Semu pun tertawa pula. Katanya kemudian:
"Beberapa saat lagi, para prajurit itu tentu akan kembali.
Mereka tentu tidak akan melakukan pelacakan tanpa ujung.
Jika m ereka sampai di padukuhan itu dan tidak seorang pun
dapat memberikan petunjuk maka mereka tentu akan
kembali." "Ya. Mereka tentu segera kembali." Mahisa Pukat berhenti
sejenak. Lalu katanya: "Tetapi rasa-rasanya kuda-kuda itu
masih belum berkurang jumlahnya. Namun kedua orang yang
telah b erbicara tentang kemunduran Singasari itu telah tidak
ada didalam kedai itu."
Mahisa Semu mengangguk-angguk. Katanya: "Marilah. Kita
melanjutkan perjalanan."
Tetapi ketika mereka sudah siap untuk berangkat, dari
pintu kedai itu mereka melihat seseorang turun dari atap
rumah itu. Disusul seorang lagi meloncat pula.
Ketika keduanya melihat Mahisa Pukat dan Mahisa Semu,
maka seorang diantaranya berkata: "Bukankah kedua orang
itu y ang berpapasan dengan kita saat kita datang ?"
"Bukan berpapasan. Saat itu kita m enambatkan kuda kita,
keduanya meninggalkan kedai ini," berkata y ang seorang.
"Jika demikian, tentu kedua anak muda itulah yang telah
memberitahukan keberadaan kita disini," geram orang
pertama. "Ya. Tentu keduanya," sahut yang lain.
Pemilik kedai itu pun tiba-tiba saja telah keluar pula dari
kedainya dan berkata: "Ya. Keduanya adalah anak-anak muda
yang baru saja keluar dari kedai ini. Mereka kembali dengan
membawa sekelompok prajurit."
"Anak iblis," geram salah seorang dari kedua orang itu,
"jadi kalian yang telah m embawa prajurit-prajurit itu kemari
he ?" Mahisa Pukat dan Mahisa Semu mulai m enyadari, bahwa
orang-orang itu telah menunjuk kepada mereka. Karena itu,
maka Mahisa Pukat pun berkata: " Itu tidak benar. Kami hanya
mengatakan ada beberapa ekor kuda di kedai ini. Itu pun
justru karena m ereka bertanya apakah kami bertemu dengan
orang-orang berkuda."
"Omong kosong," geram orang itu, "keriapa kau turut
campur persoalan orang lain ?"
"Kami tidak sengaja mencampurinya." jawab Mahisa Pukat.
"Jadi apa y ang kau lakukan ?" bertanya orang lain.
"Kami sekedar m emenuhi perintah para prajurit itu untuk
menunjukkan kedai ini," jawab Mahisa Pukat.
Kedua orang itu menjadi semakin marah. Seorang diantara
mereka pun berkata: " Jika kau tidak memberikan laporan
tentang kami, maka para prajurit itu tentu tidak akan sampai
kemari." "Apa yang aku laporkan tentang kalian " Apakah kalian
melakukan kejahatan disini dan kebetulan aku melihat
sehingga aku m emberikan laporan tentang kejahatan kalian "
Aku tidak melihat apa-apa. Aku melihat kalian berhenti dan
masuk ke kedai ini seperti orang-orang lain. Apa y ang kau
laporkan " Apa yang aku lihat " Dan apakah yang sebenamya
terjadi " Sikap kalian justru menimbulkan kecurigaan padaku,
bahwa kalian memang m elakukan kejahatan," jawab Mahisa
Pukat y ang juga mulai menjadi marah.
Wajah kedua orang itu menjadi merah. Demikian pula pemilik kedai itu. Dengan geram seorang diantara kedua orang itu bertanya: "Siapa sebenarnya kalian berdua "
Petugas sandi atau apa ?"
"Aku bukan apa-apa. Aku sedang pergi ke Singasari untuk mengunjungi ay ahku,"
jawab Mahisa Pukat. "Kalian memang anak -
anak y ang malang. Justru
karena kalian terlalu banyak mencampuri persoalan orang lain dan karena kalian terlalu banyak tahu
tentang kami, maka biarlah kalian berhenti sampai disini.
Biarlah ayahmu m enunggu sampai batas hidupnya karena ia
tidak akan melihatmu lagi."
"Apa artinya ?" bertanya Mahisa Pukat.
"Kau berdua membuat aku marah. Karena itu, maka kalian
harus mati," berkata orang itu.
"Begitu mudahnya membunuh orang seperti membunuh
seekor ay am untuk di jual di kedai itu," geram Mahisa Pukat,
"kau kira kami ini apa ?"
"Jadi kau mau apa ?" bertanya orang itu, "kami sudah
sepakat untuk menghukummu. Membunuhmu dan mengubur
mayatmu di belakang kedai. Orang-orang y ang ada didalam
kedai itu tidak akan membantumu."
"Mereka akan dapat menjadi saksi perbuatanmu," desis
Mahisa Pukat. "Mereka adalah kawan-kawanku," jawab orang itu.
Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Didalam kedai itu
ada lima orang. Pemilik kedai dan dua orang pembantunya
nampaknya adalah pembantu-pembantu orang-orang itu pula
selain kedua orang itu sendiri. Sehingga dengan demikian
semuanya ada sepuluh orang.
"Jangan meny esali nasibmu y ang buruk," berkata orang itu,
"marilah, pergilah ke belakang kedai itu. Kau akan
diperlakukan dengan baik. Kami bersama-sama akan
membantu menggali lubang itu. Kemudian kalian berdua
berbaring dengan tenang. Kami akan menempatkan ujung
pedang kami di dada kalian, tepat diarah jantung. Kami
berjanji tidak akan menimbulkan kesakitan pada kalian
menjelang kematian kalian."
Mahisa Pukat dan Mahisa Semu benar-benar tersinggung.
Mereka tidak lagi berpikir tentang sepuluh orang. Apa pun
yang terjadi, mereka tidak mau dihinakan begitu saja. Jika
mereka harus mati, maka biarlah mereka mati dengan pedang
di tangan. Dengan gigi yang gemeretak Mahisa Pukat menjawab: "Jika
kalian ingin mati, matilah. Ny awaku nilai sama dengan lima
orang diantara kalian."
"Anak iblis," orang itu hampir berteriak, "jadi kau lebih
senang mati dalam penderitaan daripada mati dengan tenang."
"Cukup," bentak Mahisa Pukat, "atau kau m emang hanya
ingin berbicara, menakut-nakuti kemudian bersembuny i lagi
diatap ?" Kedua orang itu tidak menunggu lagi. Keduanya pun segera
bersiap, sedangkan Mahisa Pukat dan Mahisa Semu masih
sempat menambatkan kudanya menepi.
Nampaknya memang tidak ada peny elesaian lain. Kedua
orang yang dicari oleh para prajurit itu benar-benar akan
membunuh Mahisa Pukat dan Mahisa Semu yang dianggapnya
telah melaporkan kehadiran mereka kepada para prajurit
Singasari. Tetapi Mahisa Pukat pun telah bersiap pula m enghadapi
segala kemungkinan. Demikian pula Mahisa Semu.
Sejenak kemudian, maka kedua orang itu pun mulai
menempatkan diri menghadapi Mahisa Pukat dan y ang lain
Mahisa Semu. Dengan lantang seorang diantara mereka berteriak sambil
menyerang. "Kau memilih jalan y ang buruk."
Tetapi Mahisa Pukat yang m endapat serangan itu sudah
siap menghadapinya, karena itu maka dengan tangkas pula ia
pun telah menghindar. Bahkan sekaligus meny erang.
Lawannya menggeliat kemudian berputar. Kakiny a terayun
mendatar, namun sama sekali tidak menyentuh Mahisa Pukat
yang merendah sambil menyapu kaki lawannya yang lain.
Namun lawannya cukup tangkas. Dengan satu kakinya ia telah
melenting menghindari sapuan kaki Mahisa Pukat.
Sementara itu Mahisa Semu pun telah bertempur pula. Ia
pun telah b erloncatan dengan tangkas pula. Meski pun anak
muda itu baru mulai, tetapi ia sudah cukup mempunyai
pengalaman sehingga ia pun segera meny esuaikan diri dengan
serangan-serangan lawannya yang ternyata juga bukan
seorang y ang berilmu tinggi.
Dalam waktu y ang pendek, baik Mahisa Pukat mau pun
Mahisa Semu telah berhasil menguasai lawan-lawannya.
Bahkan m ereka telah m endesak sehingga lawan-lawannya itu
seakan-akan tidak lagi mempunyai kesempatan untuk
bergerak. Mereka setiap kali menjadi bingung menghadapi
kecepatan gerak anak-anak muda itu.
Karena itu, maka kedua orang itu pun segera memberi
isy arat kepada orang-orang y ang lain y ang ada di kedai itu
untuk membantu mereka. " Ingat," berkata Mahisa Pukat, "nyawaku nilainya sama
dengan lima orang diantara kalian. Bahkan lebih. Karena itu,
jika kalian ingin membunuh kami berdua, m aka kalian pun
akan m ati. Atau bahkan kalian semua akan mati, dan kami
04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berdua akan tetap hidup."
Kedua orang itu berteriak marah. Sementara kawankawannya,
bahkan termasuk pemilik kedai dan dua orang
pembantunya telah mengepung Mahisa Pukat dan Mahisa
Semu. Bahkan ternyata mereka semuanya telah
mengacungkan senjata mereka masing2. Beberapa helai
pedang, sebuah bindi dan baik pemilik kedai itu mau pun
kedua pembantunya ternyata bersenjata kapak. Agaknya
mereka memang saudara seperguruan y g membuka kedai itu
untuk tujuan tertentu. "Kau tidak akan dapat mengelak lagi," geram pemilik kedai
itu, " sebenarnya aku sudah tidak sabar lagi untuk
membunuhmu. Mungkin kemenangan kecilmu itu
membuatmu berbangga. Tetapi kapak-kapak kami akan
mengoy ak leher kalian berdua. Kau tidak usah bermimpi
untuk dapat membunuh kami semua. Jika kau berhasil
membunuh seorang saja diantara kami, maka kau benar2
seorang anak muda y ang luar biasa. Aku akan menyembahmu
sampai ke anak cucu."
Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Dengan nada datar
ia berkata: "Kau akan benar-benar m enjadi budakku sampai
keanak cucu. Aku tidak akan hanya membunuh seorang.
Tetapi semuanya. Kecuali kau, karena kau akan menjadi
budakku sampai keanak cucumu."
"Anak iblis kau," pemilik kedai itu menjadi sangat marah.
Ternyata anak-anak muda itu sama sekali tidak menjadi
gentar. Bahkan keduanya justru menantang m ereka dengan
berani. Karena itu, maka pemilik kedai y ang tiba -tiba saja justru
mengambil alih pimpinan itu memberi isy arat, agar orangorang
yang mengepung kedua orang anak muda itu bergerak
semakin merapat. Mahisa Pukat memperhatikan sepuluh orang y ang telah
mengepung mereka itu satu persatu. Wajah-wajah yang garang
dan sikap yang kasar. "Ternyata aku berhadapan dengan sekelompok petugas
sandi dari Kediri," berkata Mahisa Pukat.
"Kau boleh mengigau apa saja menjelang kematianmu,"
geram pemilik kedai itu. Mahisa Pukat tidak menyahut lagi. Ia pun segera
mempersiapkan diri menghadapi orang-orang yang telah
mengepungnya. Demikianlah, sejenak kemudian bertempuran pun telah
terjadi. Pemilik kedai itu telah meny erang dengan garangnya.
Disusul oleh kedua orang pelay annya. Sementara itu, y ang lain
masih saja termangu-mangu di sekitar arena pertempuran itu.
Mereka masih menilai apa yang terjadi. Sementara itu,
sebenarnyalah m ereka menganggap pemilik k edai dan kedua
orang pelay annya itu adalah orang-orang y ang berilmu tinggi,
karena sebenarnyalah mereka adalah petugas sandi yang
mendapat kepercay aan untuk m engawasi Kotaraja Singasari.
Kedai itu tidak lebih dari kedok y ang m enyamarkan tempat
pertemuan para petugas sandi yang bertugas mengamati
Kotaraja Singaraja. Sedangkan pemilik kedai itu adalah orang
yang mengatur segala-galanya bagi para petugas sandi itu.
Sejenak kemudian, pertempuran pun menjadi semakin
sengit. Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah bertempur
berpasangan menghadapi k etiga orang y ang bersenjata kapak
itu. Namun Mahisa Pukat dan Mahisa Semu tidak
membiarkan diri mengalami kesulitan sehingga mereka pun
mempergunakan pedang mereka pula.
Pemilik kedai itu m emang sempat terkejut melihat pedang
Mahisa Pukat. Tetapi ia tidak mempunyai kesempatan untuk
menilainya, karena Mahisa Pukat ju stru telah m eny erangnya.
Dalam pertempuran itu, Mahisa Pukat sendiri tidak
mengalami kesulitan menghadapi lawan-lawannya. Mahisa
Semu pun masih juga mampu bertahan dalam pertempuran
itu, karena lawan-lawannya baru tiga orang y ang bergerak.
Dua orang y ang bertempur lebih dahulu telah bergeser menepi
dan bahkan bergantian menyaksikan pertempuran itu.
Namun menurut penilaian Mahisa Pukat, jika y ang lain
turun pula ke arena, maka Mahisa Semu akan segera
mengalami kesulitan. Tetapi untuk sementara Mahisa Pukat masih belum
mengambil langkah-langkah penyelamatan. Ia masih berharap
bahwa Mahisa Semu akan mampu mengatasi segala kesulitan
yang bakal datang. Sebenamyalah, ketiga orang bersenjata kapak itu juga tidak
mampu menekan Mahisa Pukat dan Mahisa Semu. Bahkan
sekali-sekali ketiganya harus berloncatan menjauhi kedua
orang anak muda itu. Pemilik kedai yang mendapat tugas untuk mengatur segala
sesuatunya mengenai pengamatan atas Kotaraja itu, ternyata
tidak memiliki cukup kemampuan untuk mengalahkannya
anak-anak muda y ang semula dianggapnya tidak banyak
berarti itu. Karena itu, m aka pemilik kedai itu pun telah m emberikan
isy arat kepada semua orang-orangnya untuk bergerak.
"Kita tidak mempunyai banyak waktu," berkata pemilik
kedai itu. Dengan demikian, maka sepuluh orang itu pun telah
bergerak bersama-sama. Mereka m elangkah dengan hati-hati
mendekati pusat lingkaran dengan senjata teracu.
"Kita harus dengan cepat meny eretnya dan menguburnya di
belakang kedai ini," berkata pemilik k edai itu, "sebentar lagi,
iring-iringan prajurit itu agaknya akan kembali setelah mereka
yakin tidak akan menemukan apa yang mereka cari."
Serentak sepuluh orang itu pun bergerak. Namun Mahisa
Pukat dan Mahisa Semu pun tidak sekedar menunggu. Dengan
tangkasnya keduanya justru meloncat menyambar orangorang
y ang mengepung mereka itu.
Dengan demikian maka pertempuran pun segera telah
berlangsung dengan sengitnya. Sepuluh orang yang berusaha
membunuh kedua orang anak muda itu telah mengerahkan
segenap kemampuan mereka.
Mereka bukannya orang-orang y ang sama sekali tidak
berday a. Itulah sebabnya maka beberapa saat kemudian, maka
Mahisa Semu benar-benar m engalami kesulitan. Betapa pun
Mahisa Pukat mengerahkan segenap kemampuannya,
memancing lawan agar perhatian mereka sebagian terbesar
tertuju padanya, namun Mahisa Semu masih saja m engalami
kesulitan. Bahkan sejenak kemudian, ujung pedang seorang diantara
mereka telah meny entuh kulit Mahisa Semu. Memang tidak
menimbulkan luka y ang mencemaskan. Tetapi seleret luka itu
telah menitikkan darah. Mahisa Semu mengeram oleh kemarahan y ang mulai
memanasi darahnya. Tetapi bagaimana pun juga, ia harus
mengakui keterbatasannya. Bahkan ilmunya masih jauh dari
ilmu y ang dimiliki oleh Mahisa Pukat.
Kesepuluh orang lawannya, nampaknya dapat membaca
kelemahan kedua orang anak muda itu. Karena itu, seranganserangan
berikutnya justru lebih banyak ditujukan kepada
Mahisa Semu. Mahisa Pukat pun mengerti perhitungan lawannya. Karena
itu, maka ia tidak mempunyai pilihan lain kecuali
mempercepat pertempuran itu dengan menundukkan lawanlawannya.
Ketika Mahisa Semu harus berloncatan mengambil jarak
untuk menghindari serangan lawan-lawannya, bahkan tajam
kapak pemilik kedai itu juga telah meny entuh kulit Mahisa
Semu, maka Mahisa Pukat telah benar-benar menjadi marah.
Ia pun kemudian telah m elepaskan ilmunya y ang seakanakan
ter sembuny i dibalik kemampuannya dalam ilmu pedang.
Mahisa Pukat pun kemudian telah m engetrapkan i lmunya
yang mampu m enghisap kekuatan dan kemampuan lawannya
sehingga dengan demikian maka perlawanan mereka pun akan
segera mengendor. Sejenak kemudian, maka Mahisa Pukat pun telah m enghentakkan
kemampuan ilmu pedangnya. Sambil berloncatan
maka pedangnya bergerak menyambar-ny ambar, berputar,
kemudian berayun menyilang, mematuk dan sekali-sekali
menebas kearah leher. Dengan demikian maka tekanan terhadap Mahisa Semupun
sedikit mengendor. Namun beberapa orang telah
mendapat kesempatan untuk dengan cepat berusaha
menyelesaikan Mahisa Semu lebih dahulu.
Mahisa Semu memang harus mengerahkan tenaga dan
kemampuannya untuk menghadapi lawan-lawannya yang
mempunyai perhitungan yang justru semakin menyulitkannya.
Mereka justru berusaha sejauh mungkin untuk menekan dan
menyelesaikan Mahisa Semu lebih dahulu.
Tetapi Mahisa Pukat y ang bagaikan meloncat-loncat
berterbangan mengelilingi arena itu memang agak
mempersulit gerak lawan- lawannya. Tetapi hampir semuanya
diantara m ereka berpikir, bahwa dengan caranya itu, Mahisa
Pukat tidak akan m ampu bertahan untuk waktu y ang cukup
lama. Beberapa saat lagi, anak muda itu tentu akan kehabisan
tenaga dan dengan demikian maka mereka akan dengan
mudah meny elesaikannya. "Bahkan mungkin kami akan dapat m enyelesaikan keduaduanya
bersamaan," berkata pemilik kedai itu dengan para
pembantunya y ang tanggap telah memancing agar Mahisa
Pukat bergerak lebih banyak. Bahkan ada diantara mereka
yang memancing Mahisa Pukat untuk berloncatan dengan
langkah-langkah panjang. Dengan demikian mereka
mengharap agar Mahisa Pukat dengan cepat kehilangan
sebagian besar dari tenaganya.
Mahisa Pukat memang berloncatan dengan langkahlangkah
panjang. Pedangnya menyambar-nyambar. Setiap kali
terdengar dentang senjatanya beradu. Hampir setiap orang
diantara sepuluh orang itu, pernah membenturkan senjatanya
dengan pedang Mahisa Pukat. Sementara itu Mahisa Semu
berusaha untuk meny esuaikan diri dengan langkah-langkah
Mahisa Pukat yang panjang dan garang.
Sebenarnyalah Mahisa Pukat memang dengan sengaja
membiarkan diriny a terpancing dengan gerakan-gerakan
panjang. Dengan demikian, maka Mahisa Semu akan
mendapat kesempatan bergerak lebih luas, sementara
lawannya y ang berjarak jauh, tidak akan menekannya dengan
ketat. Sedangkan Mahisa Pukat telah m endapat kesempatan
untuk meny entuh mereka seorang demi seorang.
Beberapa orang diantara kesepuluh orang itu dengan
geramnya telah berusaha untuk menghentikan putaran pedang
Mahisa Pukat. Beberapa kali terjadi benturan-bcnturan yang
keras. Namun Mahisa Pukat sama sekali tidak berminat lagi
untuk melemparkan senjata lawan- lawannya.
Meski pun demikian, tetapi sekali sekali Mahisa Semu
memang mengalami kesulitan. Segores luka lagi telah
menyilang di punggungnya. Tidak terlalu dalam, tetapi
memanjang melintang. Mahisa Pukat benar-benar menjadi cemas. Namun lukaluka
ditubuh Mahisa Semu sama sekali tidak mengurangi
tenaga dan kemampuannya. Ilmu pedangnya masih
mepdebarkan lawan-lawannya, sementara Mahisa Pukat
bertempur bagaikan seekor burung sikatan berburu bilalang.
Sepuluh orang yang dengan geramnya berusaha membunuh
kedua orang anak muda itu menjadi semakin bernafsu ketika
mereka melihat darah y ang mengembun ditubuh Mahisa Semu
bercampur dengan keringat. Mereka semakin pasti, bahwa
mereka akan dapat m eny elesaikan kedua orang anak muda
yang mereka anggap telah melaporkan kehadiran mereka
kepada para prajurit Singasari.
Sebenarnyalah, Mahisa Semu memang menjadi semakin
terdesak. Selain darahnya y ang mengalir, tenaganya pun mulai
su sut. Apalagi semakin kuat ia mengerahkan tenaganya, maka
darah pun menjadi semakin deras mengalir dari tubuhnya.
"Jangan menyesal anak muda," geram pemilik kedai itu,
"kalian berdua akan mati dan akan kami kuburkan di belakang
kedai ini. Tetapi karena kalian telah melawan, maka jalan
kematian kalian akan m enjadi sangat buruk. Mungkin kalian
tidak pernah membayangkan bahwa kalian akan mati muda
dengan cara y ang mengerikan sekali, karena kalian akan
merasakan betapa gelapny a lubang kubur itu. Untuk beberapa
saat kalian akan tetap hidup meski pun kalian telah ditimbuni
dengan tanah dan bebatuan."
Mahisa Semu dan Mahisa Pukat sama sekali tidak
menjawab. Namun Mahisa Pukat justru bergerak lebih cepat
lagi. Disentuhnya setiap ujung pedang lawan-lawannya dan
setiap kali sentuhan itu berusaha diulanginya.
Demikianlah, beberapa saat kemudian, ketika keadaan
Mahisa Semu m enjadi semakin parah, maka beberapa orang
diantara sepuluh orang itu merasa aneh dengan dirinya
sendiri. Mereka tidak lagi setangkas sebelumnya. Meski pun
mereka dapat mengerti bahwa tenaga mereka akan susut,
tetapi tentu tidak akan secepat yang terjadi.
Satu dua orang y ang luput dari sentuhan senjata Mahisa
Pukat memang masih tetap garang. Namun Mahisa Semu
tidak lagi merasa betapa beratnya tekanan lawan-lawannya.
Ketika tinggal satu dua orang y ang meny erangnya dengan
garang, maka Mahisa Semu masih mampu mengatasinya
dengan ilmu pedangnya. Sementara itu, Mahisa Pukat berusaha untuk m eny entuh
pula senjata dari mereka yang masih t etap bertempur dengan
garangnya. Mereka y ang masih belum dipengaruhi oleh
ilmunya yang mampu meny erap tenaga dan kemampuan
lawan-lawannya. Mula-mula mereka sama sekali t idak menghiraukan
sentuhan-sentuhan pedang Mahisa Pukat. Mereka mengira
bahwa tenaga Mahisa Pukat m emang sudah menjadi susut.
Karena itu, maka sentuhan- sentuhan pedangnya tidak lagi
menggetarkan senjata lawannya.
Namun yang terjadi kemudian adalah sama sekali tidak
mereka ketahui sebab-sebabnya. Tenaga mereka telah menjadi
su sut dengan cepat. Sehingga dengan demikian, maka sepuluh
orang itu menjadi tidak berbahaya sama sekali bagi Mahisa
Pukat dan Mahisa Semu. Mahisa Pukat sengaja melepaskan ilmunya dan tidak
lagi berusaha menghisap sisa
tenaga yang ada. Tetapi Mahisa
04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pukat telah berbisik ditelinga
Mahisa Semu - Kita bertahan
sampai para prajurit itu kembali "Ya," jawab Mahisa Semu.
"Apakah luka-lukamu berbahaya?" bertanya Mahisa
Pukat. "Tidak. Hanya terasa
menjadi pedih oleh keringat,"
jawab Mahisa Semu "Tenagamu mulai susut," desis Mahisa Pukat.
"Bukan karena darah yang mengalir terlalu banyak," jawab
Mahisa Pukat. Dengan demikian maka Mahisa Pukat dan Mahisa Semu
benar-benar hanya sekedar bertahan. Tetapi sepuluh orang itu
tidak lagi terasa garang. Gerak mereka menjadai lamban
sekali. Ayunan senjata mereka tidak lagi menimbulkan desir
angin. Karena itu, maka Mahisa Pukat dan Mahisa Semu tidak
merasa perlu lagi untuk m engerahkan segenap kemampuan
mereka. Namun mereka melayani lawan-lawan mereka dengan
sekedar bergeser menghindar dan berloncatan.
"Jangan lari," pemilik kedai itu masih berteriak.
Mahisa Pukat justru tertawa sambil menjawab: "Apakah
kau akan mampu mengejar aku" Aku tidak akan lari. Tetapi
kau pun tidak akan mampu menangkap aku."
Pemilik kedai itu menggeram. Rasa-rasanya ia ingin
meloncat, menerkam Mahisa Pukat. Tetapi ketika hal itu
dilakukan justru ia hampir saja jatuh terjerembab.
Sepuluh orang itu rasa -rasanya menjadi kelelahan dan
kehilangan tenaga mereka. Karena itu, maka mereka pun telah
mengumpat-umpat kasar. Apalagi ketika mereka melihat debu dikejauhan. Mereka
menyadari bahwa para prajurit itu telah kembali ketika
mereka merasa kehilangan jejak buruan mereka.
Dengan lantang Mahisa Pukat berkata: "Mahisa Semu.
Tahan mereka, sehingga tidak seorang pun yang melarikan
diri." Orang-orang yang bertempur melawan Mahisa Pukat dan
Mahisa Semu itu memang menjadi bingung. Satu dua diantara
mereka memang ingin melarikan diri. Tetapi Mahisa Semu
dan Mahisa Pukat selalu berhasil menahan mereka dan
menyeretnya kembali ke arena perkelahian itu. Agaknya
sepuluh orang yang menjadi lemah itu tidak juga mampu
untuk berlari lebih cepat dari jangkauan tangan Mahisa Semu
dan Mahisa Pukat. Ada diantara m ereka y ang telah m elemparkan senjatanya
untuk menyatakan diri tidak t erlibat dalam pertempuran itu.
Namun Mahisa Semu akan dapat menunjukkan senjatasenjata
yang telah dilemparkan itu.
Dengan demikian, ketika sekelompok prajurit itu kembali
dari perburuan mereka yang gagal, maka mereka heran
melihat apa y ang telah terjadi.
Pemimpin prajurit itu pun telah bertanya dengan lantang:
"Apa yang terjadi disini?"
"Ternyata dugaan kami benar," berkata Mahisa Pukat,
"mereka telah mendendam kami dan berusaha untuk
membunuh kami berdua."
"Lalu ?" desak pemimpin sekelompok prajurit itu.
"Kami terpaksa melawan," jawab Mahisa Pukat.
Pemimpin sekelompok prajurit itu termangu-mangu. Ia
memang ragu- ragu untuk mempercayai kata-kata Mahisa
Pukat itu. Namun sebelum ia menyatakan sesuatu, prajurit y ang
mengenali dua orang buruan itu pun dengan serta merta
berkata: " Itulah mereka. Dua orang y ang kita cari."
"Kenapa tiba -tiba keduanya ada disini ?" bertanya
pemimpin sekelompok prajurit itu.
"Mereka bersembuny i di atap," jawab Mahisa Pukat,
"sementara itu, ternyata pemilik kedai ini serta orang-orang
yang aku kira sedang membeli minuman dan makanan itu
adalah kawan-kawan mereka."
Pemilik kedai itu merasa tidak ada gunanya untuk
membantah. Anak muda y ang seorang itu telah terluka. Lukaluka
itu akan dapat ikut berbicara tentang diri mereka.
Sebenamyalah pemimpin prajurit itu juga melihat luka di
tubuh Mahisa Semu. Karena itu maka ia pun dengan cepat
dapat mengambil kesimpulan bahwa memang telah terjadi
pertempuran di depan kedai itu.
Atas permintaan pemimpin prajurit itu, Mahisa Pukat telah
menceritakan apa yang telah terjadi. Ia pun menunjukkan
luka-luka di tubuh Mahisa Semu.
"Jadi kalian berhasil mengalahkan sepuluh orang itu ?"
bertanya pemimpin kelompok prajurit itu.
"Mungkin hanya satu kebetulan," jawab Mahisa Pukat.
Namun pemimin prajurit itu melihat bahwa sepuluh orang
itu seakan-akan sudah tidak berday a lagi untuk meneruskan
pertempuran, sementara kedua orang anak muda itu m asih
kelihatan tegar, meski pun seorang diantara mereka terluka.
Namun untuk mey akinkan kenyataan yang dihadapinya,
pemimpin prajurit itu pun bertanya: "Siapakah sebenarnya
kalian berdua anak muda."
"Kami datang dari sebuah padepokan yang jauh. Kami ingin
mengunjungi ay ahku yang telah lebih dahulu pergi ke
Singasari," jawab Mahisa Pukat.
"Siapakah nama ayah kalian. Barangkali aku pernah
mengenalnya atau setidak -tidaknya mendengar namanya ?"
bertanya pemimpin prajurit itu.
"Ayahku seorang pedagang keliling. Namanya Mahendra,"
jawab Mahisa Pukat. "Ki Mahendra, adik seperguruan Mahisa Agni dan Witantra
yang telah tidak ada lagi ?" bertanya pemimpin prajurit itu.
"Ya. Agaknya itulah ay ahku. adik seperguruan paman
Witantra, bukan paman Mahisa Agni," jawab Mahisa Pukat.
Pemimpin prajurit itu mengangguk-angguk. Katanya. "Ya.
Aku tahu. Ki Mahendra berada di istana. Aku pun menjadi
percaya atas kenyataan yang aku hadapi. Sepantasnya jika
kalian dapat mengalahkan sepuluh orang sekaligus. Jika saja
kalian bukan anak Ki Mahendra, mungkin aku masih bimbang
untuk mengakui keny ataan y ang terjadi ini."
Mahisa Pukat tidak menjawab lagi. Namun ia pun berkata:
"Terserah orang- orang itu kepada kalian. Jangan dipaksa
untuk terlalu banyak bergerak. Mereka memang telah
kehilangan sebagian dari kekuatan m ereka. Karena itu, maka
jika kalian membawanya ke Singasari, kalian tentu
memerlukan waktu y g panjang. Mereka akan berjalan lamban
dan barangkali harus mengerahkan sisa-sisa tenaga yang
masih ada." Pemimpin sekelompok prajurit itu mengangguk-angguk.
Katanya: "Baiklah. Aku akan membawa mereka ke Singasari.
Biarlah mereka membenahi kedainya lebih dahulu."
"Kami akan mendahului kalian," berkata Mahisa Pukat.
"Bagaimana dengan luka-luka itu ?" bertanya pemimpin
prajurit itu. Mahisa Pukat m emandangi Mahisa Semu sejenak. Namun
Mahisa Semu pun berkata: "Tidak apa-apa. Bukankah lukaluka
itu hanya sekedar goresan-goresan kecil "
"Tetapi biarlah darahnya tidak mengalir lagi," berkata
pemimpin prajurit itu, "aku membawa obat untuk kepentingan
sementara." Namun Mahisa Pukat pun menyahut: "Baiklah. Bukan
karena lukanya y ang parah. Tetapi biarlah tidak menarik
perhatian banyak orang."
Namun kemudian Mahisa Semu tidak sekedar mengobati
luka-luka dengan obat y ang dibawanya sendiri. Tetapi ia
sempat pergi ke sumur untuk membersihkan darahnya yang
inengotori tubuhnya, meski pun terasa pedih.
Selagi Mahisa Semu membenahi dirinya, maka Mahisa
Pukat sempat menyaksikan para perajurit y ang menawan
sepuluh orang buruan. Dua diantara para tawanan adalah
orang y ang memang sedang mereka cari. Sedangkan y ang lain,
karena m ereka terlibat pula, maka m ereka pun telah menjadi
tawanan pula. Namun melihat keadaan kesepuluh orang y ang sudah
menjadi lemah itu, maka para prajurit merasa tidak perlu
mengikat tangan mereka. Para prajurit membiarkan saja
mereka bebas tanpa terikat tangan dan kakinya. Sepuluh orang
itu tidak akan dapat melarikan diri apalagi melawan.
Beberapa orang prajurit memang bertanya-tanya didalam
hati, apakah y ang telah terjadi atas kesepuluh orang itu
sehingga mereka benar-benar telah kehilangan sebagian besar
dari tenaga mereka. Tetapi pemimpin para prajurit itu agaknya mengerti, bahwa
keadaan itu tentu ditimbulkan oleh satu kekuatan yang belum
mereka mengerti yang dipancarkan oleh anak-anak muda itu.
Beberapa saat kemudian, setelah Mahisa Semu selesai,
maka Mahisa Pukat pun telah minta diri kepada para prajurit
Singasari itu untuk mendahului mereka, karena perjalanan
para prajurit itu tentu akan menjadi sangat lamban. Para
tawanan itu tidak akan dapat berjalan cepat, meski pun
seandainya mereka dilecut sekalipun.
Demikianlah, maka Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah
bersiap m eninggalkan kedai y ang telah ditutup itu. Pemimpin
prajurit y ang kemudian m engetahui bahwa Mahisa Pukat itu
adalah anak Mahendra, berkata dengan nada rendah, "Kami
minta maaf, bahwa kami telah menghambat perjalanan
kalian." Mahisa Pukat tersenyum. Katanya: "Sebenarnya semula aku
juga merasa segan untuk kembali sampai ke kedai ini. Tetapi
ternyata hal itu ada juga hasilnya, sehingga apa y ang kita
lakukan bersama-sama tidak sia-sia."
"Ya," desis pemimpin prajurit itu, "tetapi tanpa kalian kami
tidak akan berhasil melakukan tugas ini."
Mahisa Pukat tersenyum. Namun ia telah mengajak Mahisa
Semu untuk melanjutkan perjalanan. Mahisa Semu pun masih
sempat juga minta diri untuk kemudian segera berpacu
mengikuti derap kaki kuda Mahisa Pukat.
Sementara itu, para prajurit dan sepuluh orang y ang
tertawan itu sempat memandangi kedua ekor kuda yang
berlari meninggalkan kepulan debu yang kelabu.
"Nah," berkata pemimpin prajurit itu, " sekarang baru
kalian tahu dengan siapa kalian berhadapan."
Kesepuluh orang itu termangu-mangu. Mereka memang
tidak tahu siapakah kedua orang anak m uda itu meski pun
mereka mendengar pembicaraan antara pemimpin prajurit itu
dengan Mahisa Pukat. Orang-orang yang tertawan itu memang
belum tahu, siapakah Mahendra itu.
Namun pemimpin prajurit itu b erkata, "Ketahuilah bahwa
anak-anak muda itu adalah anak Ki Mahendra. Ki Mahendra
adalah saudara seperguruan dari seorang yang bernama
Witantra yang pernah berada di Kediri sebagaimana Mahisa
Agni." Para tawanan itu mulai merenungkan kata-kata itu. Mereka
mulai dapat membayangkan, bahwa Mahendra tentu orang
yang memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Karena itu,
maka anaknya pun memiliki ilmu yang tinggi pula sehingga
mereka ber sepuluh tidak mampu sama sekali menghadapinya.
Namun dalam pada itu, pemimpin prajurit itu pun berkata
lantang: "Marilah. Kita pun akan segera pergi ke Singasari.
Beruntunglah kalian menjumpai lawan sebagaimana kedua
orang anak muda itu. Meski pun seandainya mereka
kehendaki mereka dapat membunuh kalian semuanya."
Tetapi tiba -tiba pemilik kedai itu berkata: "Mereka dan juga
kalian tidak akan membunuh kami, karena kalian memerlukan
keterangan kami. Namun satu hal yang perlu kalian ketahui,
tidak sepatah kata pun akan dapat kalian peras dari mulut
kami." Wajah pemimpin prajurit itu berkerut. Namun kemudian ia
pun berkata: "Kami dapat membunuh beberapa diantara
kalian. Kami akan dapat mensisakan satu orang atau dua
orang atau tiga orang. Tetapi jika kami kehendaki kami akan
mensisakan sembilan orang saja. Seorang diantara mereka
akan kami bunuh tanpa senjata dan tidak meny eret orang yang
kesepuluh itu dibelakang kaki kuda kami."
Pemilik kedai itu menegang sejenak. Nampaknya ada
sesuatu yang ingin diteriakkannya. Namun pemimpin prajurit
itu berkata: "Siapkan tali sabut kelapa itu. Siapkan kuda yang
paling tegar diantara kuda-kuda kita."
"Kuda Ki Lurah sendiri," desis seorang prajurit.
Pemimpin prajurit itu termangu -mangu sejenak. Namun
kemudian ia pun berdesis: "Ya. Kudaku sendiri."
Wajah pemilik kedai itu menjadi tegang. Tetapi ia tidak
mengulangi lagi kata-katanya. Nampaknya ia pun menjadi
cemas bahwa para prajurit itu benar-benar akan
memperlakukannya dengan kasar.
Demikianlah, sejenak kemudian, maka sepuluh orang
tawanan itu telah diperintahkan untuk berjalan di depan.
Kemudian para prajurit yang berkuda itu mengikutinya di
belakang. Mereka berjalan lambat sekali. Para tawanan yang benarbenar
nampak lemah dan hampir tidak bertenaga. Namun
mereka memang terpaksa untuk menempuh jarak y ang cukup
jauh. Para prajurit itu sebenarnya memang tidak telaten. Tetapi
mereka tidak dapat memaksa orang-orang itu berjalan lebih
cepat meski pun m ereka disakiti sekalipun. Bahkan mereka
akan dapat menjadi pingsan dan justru tidak dapat
melanjutkan perjalanan. Sementara itu, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah
mendekati pintu gerbang Kotaraja. Keduanya memang
menjadi ragu -ragu. Namun keduanya pun kemudian telah
memasuki pintu gerbang induk Kotaraja Singasari.
Para petugas yang ada di pintu gerbang telah
menghentikannya. Agaknya penjagaan di pintu gerbang itu
lebih ketat dari biasanya. Meski pun Mahisa Pukat sudah lama
tidak melalui pintu gerbang itu, namun terasa sikap dan
tanggapan para petugas terhadap orang- orang yang melewati
pintu gerbang itu. Namun ternyata Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah
tertahan di pintu gerbang. Berhubung dengan laporan tentang
04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dua orang berkuda y ang dicurigai, maka pemimpin prajurit
yang bertugas di pintu gerbang telah menaruh perhatian
terhadap kedua orang anak muda itu. Meski pun ciri-ciri yang
disebutkan berbeda, tetapi para prajurit itu harus berhati-hati
menghadapi para prajurit sandi y ang terbiasa
mempergunakan penyamaran.
"Duduklah di gardu," berkata seorang prajurit, "kalian
harus menjawab beberapa pertanyaan. Jika jawaban kalian
tidak meyakinkan, maka kalian akan dihadapkan kepada
prajurit y ang pernah m emberikan laporan tentang kehadiran
prajurit sandi dari Kediri."
"Bukankah tidak ada masalah antara Singasari dan Kediri
?" bertanya Mahisa Pukat.
"Kamilah yang akan bertanya kepada kalian. Bukan
sebaliknya," sahut prajurit itu.
Mahisa Pukat dan Mahisa Semu tidak berniat untuk
melakukan tindakan yang dapat menimbulkan per soalan.
Karena itu, maka keduanya melakukan apa yang
diperintahkan oleh para prajurit itu.
Sejenak kemudian, m aka Mahisa Pukat dan Mahisa Semu
telah duduk di gardu di sebelah pintu gerbang induk Singasari.
Mereka telah menambatkan kuda-kuda mereka di belakang
gardu itu. Pertanyaan yang pertama, y ang dilontarkan oleh seorang
prajurit yang ditugaskan untuk meneliti kedua orang anak
muda itu adalah: "Kalian petugas sandi dan Kediri "
"Bukan," jawab Mahisa Pukat. Anak muda itu masih akan
memberikan keterangan. Tetapi prajurit itu memotongnya:
"Jawab pertanyaanku saja."
Mahisa Pukat pun terdiam.
"Kenapa kau mengamati keadaan Kotaraja Singasari "
Bukankah Kediri termasuk wilayah Singasari?" desak prajurit
itu. Mahisa Pukat memang menjadi agak bingung. Namun
kemudian ia menjawab: "Kami tidak mengamati Kotaraja.
Kami baru akan memasuki Kotaraja."
"Kau tidak perlu berbohong. Kami sudah mendapat
keterangan tentang dua orang petugas sandi yang dikirim oleh
Kediri. Sikap itu telah membuat Singasari ju stru
memperhatikan perkembangan Kediri sekarang ini," berkata
prajurit itu. Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Sulit baginya
untuk memberikan penjelasan karena prajurit itu nampaknya
tidak senang mendengar jawaban selain y ang sudah disiapkan
di kepalanya. Namun karena itu Mahisa Pukat justru berkata: "Ternyata
tidak hanya dua orang yang telah dikirim oleh sekelompok
orang di Kediri. Tetapi sepuluh orang."
Prajurit itu terkejut. Tiba -tiba saja ia membentak: "Jadi kau
bersama dengan sepuluh orang datang ke Kotaraja ?"
"Bukan aku," jawab Mahisa Pukat.
"Kau jangan mencoba untuk mempermainkan kami," geram
prajurit itu, "kau tahu bahwa aku dapat membunuh kalian
berdua tanpa persoalan apapun."
" Itukah yang pantas dilakukan oleh seorang prajurit ?"
bertanya Mahisa Pukat. Wajah prajurit itu menjadi merah. Tiba-tiba saja ia
berteriak-" Iblis kau. Sebut, siapakah kawan-kawanmu itu."
Beberapa orang prajurit telah tertarik mendengar
bentakan-bentakan y ang keras itu, sehingga beberapa orang
diantara mereka telah mendekat.
"Apa katanya ?" bertanya salah seorang diantara mereka.
" Ia mengaku datang ke Kotaraja bersama dengan sepuluh
orang." jawab prajurit itu.
"Sepuluh orang ?" beberapa diantara para prajurit itu
bertanya hampir berbareng.
Mahisa Pukat dan Mahisa Semu saling berpandangan
sejenak. Namun agaknya Mahisa Semu pun mengerti maksud
Mahisa Pukat. Karena itu, maka ia pun hanya berdian did saja.
Pemimpin prajurit y ang bertugas yang nampaknya
mendengar pula pernyataan Mahisa Pukat itu pun telah
melangkah mendekat sambil berkata: "aku minta kau berkata
dengan bersungguh-sungguh. Kau tahu akibatnya jika kau
mencoba mempermainkan kami. Katakan, apakah benar kau
datang ber sama sepuluh orang petugas sandi dan Kediri."
"Bukan kami bersama sepuluh orang. Tetapi petugas sandi
dari Kediri itu ada sepuluh orang." jawab Mahisa Pukat.
Wajah pemimpin prajurit itu menjadi tegang. Katanya:
"Sekali lagi aku bertanya apakah kau datang bersama sepuluh
orang petugas sandi dari Kediri?"
Mahisa Pukat justru menjawab tegas: "Tidak."
"Kesabaran kam i sudah habis. Tetapi kami masih mencoba
ingin mendengar jawabmu," geram pemimpin kelompok itu.
"Aku dapat m enjelaskan. Beri aku waktu untuk b erbicara,
agar per soalannya menjadi jelas," berkata Mahisa Pukat.
"Bukankan kau sudah berbicara sejak tadi ?" bentak
pemimpin prajurit itu. "Aku perlu kesempatan. Tadi aku sama sekali tidak boleh
berbicara. Aku hanya boleh menjawab pertanyaan-pertanyaan
sa ja. Padahal y g akan aku jelaskan itu termasuk per soalan
yang penting," jawab Mahisa Pukat.
"Aku tidak sabar," teriak seorang prajurit, "biarlah aku
mencekikmu." "Seret anak anak itu ke tengah halaman. Ikat pada tonggak
tonggak kayu itu. Kita akan bertanya kepada m ereka dengan
ditangan," teriak y ang lain.
Mahisa Semu memang menjadi gelisah. Tetapi Mahisa
Pukat masih nampak tenang-tenang saja. Bahkan ia berkata:
"Dengan siapa sebenarnya aku berhadapan" Dengan prajurit
Singasari" Prajurit Kediri atau berhadapan dengan
sekelompok orang yang tidak terkendali oleh paugeran apa
pun juga sehingga dapat berbuat sesuka hati ?"
"Diam kau," teriak pemimpin prajurit itu.
"Bagaimana aku harus diam " Kalian harus mendengarkan
penjelasanku. Sepuluh orang petugas sandi dari Kediri itu
sudah tertangkap. Akulah yang menangkap mereka," Mahisa
Pukat pun telah berteriak pula.
Para prajurit itu termangu-mangu sejenak. Bahkan mereka
sal ing berpandangan. Namun seorang diantara mereka
berkata lantang: "Kau sedang mengigau anak-anak muda."
"Aku berkata sebenarnya. Tunggulah kawan-kawanmu y ang
sedang menggiring sepuluh orang petugas sandi itu.
Sekelompok prajurit berkuda itu akan datang dengan
membawa para tawanan. Bertanyalah kepada mereka,
siapakah y ang telah menangkap para petugas sandi itu,"
berkata Mahisa Pukat dengan lantang.
Ternyata sikap Mahisa Pukat cukup meyakinkan m ereka,
sehingga karena itu, maka pemimpin prajurit itu bertanya:
"Apakah kau tidak berbohong " Sekelompok prajurit berkuda
memang sedang mengejar para petugas sandi. Tetapi hanya
dua orang. Bukan sepuluh."
"Sudah aku katakan, tidak hanya dua orang. Tetapi
sepuluh." jawab Mahisa Pukat.
"Bohong," teriak salah seorang prajurit.
"Selesaikan dengan cara y ang sesuai dengan sikap seorang
prajurit," geram prajurit y ang lain.
"Bagaimana menurut pendapatmu cara y ang sesuai dengan
sikap seorang prajurit ?" terdengar seseorang bertanya.
Ketika mereka berpaling, m ereka melihat seorang perwira
dari pasukan berkuda telah berada didalam pintu gerbang.
Dua dari pasukan berkuda telah berada di dalam pintu
gerbang. Dua orang prajurit y ang bertugas hanya
memandanginya dengan bingung.
"Apa yang sedang kalian lakukan ?" bertanya perwira
prajurit dari pasukan berkuda yang memimpin sekelompok
prajurit berkuda mencari jejak dari orang-orang y ang disangka
petugas sandi dari Kediri itu.
Mahisa Pukat dan Mahisa Semu pun mengenali perwira
yang berada dipintu gerbang itu. Karena itu, m aka k eduanya
telah melangkah mendekati: "Dimana para tawanan itu ?"
"Bersama pasukan kami," jawab pemimpin prajurit berkuda
yang masih duduk dipunggung kudanya, "aku sengaja
mendahului mereka. Sebenarnya aku ingin mempersiapkan
tempat bagi sepuluh orang petugas sandi dari Kediri itu," ia
berhenti sejenak, lalu, "Apa yang terjadi disini ?"
"Nah, aku ingin bertanya," berkata Mahisa Pukat,
"bagaimana jawabmu jika aku berkata bahwa aku dan
adikkulah y ang telah m enangkap sepuluh petugas sandi dari
Kediri itu." Perwira itu mengerutkan keningnya, sementara para
prajurit y ang bertugas diregol itu termangu-mangu. Bahkan
mereka menjadi tegang ketika m ereka melihat perwira yang
masih duduk dipunggung kuda itu terseny um.
Kemudian jawabnya: "Ya. Kalian berdualah yang telah
menangkap para tawanan itu. Bahkan seorang diantara kalian
berdua telah terluka m eski pun hanya goresan-goresan tipis
ditubuh. Apa sebenarnya yang terjadi."
"Mereka menuduhaku justru petugas sandi dari Kediri,"
jawab Mahisa Pukat. Perwira prajurit berkuda itu mengerutkan keningnya.
Namun ia pun kemudian berkata: "Hanya salah paham saja.
Lupakan." "Tunggu," berkata pemimpin prajurit y ang bertugas di
regol, "jika benar orang-orang itu sudah m enangkap sepuluh
petugas sandi dari Kediri, manakah orang-orang itu?"
"Sudah aku katakan. Mereka akan segera datang bersama
para prajurit berkuda. Aku mendahului mereka untuk
menyiapkan tempat bagi para tawanan," jawab pemimpin
pasukan berkuda itu. "Kenapa kau harus bersusah pay ah menyiapkan tempat
bagi mereka " Bukankah tempat itu sudah ada. Kau tinggal
membawanya kesana dan menyerahkan para tawanan itu
kepada para prajurit yang bertugas."
"Aku m emang akan berbicara dengan para prajurit y ang
bertugas," jawab pemimpin pasukan berkuda y ang m emburu
petugas sandi itu. "Sebaiknya kau menunggu pa sukanmu dan sepuluh orang
tawanan seperti yang kau katakan itu," berkata pemimpin
prajurit y ang bertugas itu.
Perwira prajurit berkuda itu mengerutkan keningnya.
Dengan nada berat ia pun bertanya: "Jadi kau juga mencurigai
aku, bahwa aku akan meny elamatkan dua orang yang kau
tuduh petugas sandi dan Kediri ini " Dengan demikian kau
pun menuduh bahwa aku telah berkhianat dan berpihak
kepada Kediri " "Tidak sejauh itu," jawab pemimpin prajurit yang bertugas
itu, "aku hanya ingin berhati-hati dengan tugasku."
"Aku tidak mau kalian
perlakukan seperti itu,"
berkata pemimpin prajurit
berkuda itu. Lalu katanya
kepada Mahisa Pukat dan Mahisa Semu, "marilah. Kita
masuk ke Kotaraja. Bukankah kau akan berbicara dengan ay ahmu "."
"Tunggu," potong
pemimpin prajurit yang bertugas, "aku minta kalian
menunggu seluruh pasukan berkuda dan sepuluh orang
tawanan seperti yang kau katakan." "Aku tidak peduli," jawab
perwira prajurit berkuda itu, "jika kau memaksa aku
menunggu mereka, maka pasukanku akan menahan kalian
dengan tuduhan m enghambat tugas yang dibebankan k epada
kami, pasukan berkuda. Jika kalian m enolak, maka kita akan
bertempur. Aku tidak peduli apakah aku akan ditangkap
karena telah bertempur dengan sesama prajurit Singasari dan
akan diadili. Tetapi aku mempunyai harga diri."
"Kami pun mempunyai harga diri," jawab prajurit y ang
bertugas. Tetapi -perwira pasukan berkuda itu berkata kepada
Mahisa Pukat dan Mahisa Semu: "Ambil kuda-kuda kalian."
Keduanya pun kemudian telah mengambil kuda-kuda
mereka. Sementara para prajurit yang bertugas telah bersiap
pula. Pemimpinnya pun kemudian telah memerintahkan
orang-orangnya untuk berpencar.
Perwira pasukan berkuda itu pun kemudian berkata kepada
Mahisa Pukat: "Kau tadi dapat m engalahkan sepuluh orang
hanya berdua. Sekarang, kita bertiga. Disini ada kira-kira
sepuluh orang prajurit."
"Kalian akan melawan prajurit yang sedang m enjalankan
tugasnya ?" bertanya pemimpin prajurit yang bertugas di pintu
gerbang itu. Tetapi perwira prajurit berkuda itu pun bertanya: "Jadi kau
juga akan dengan sengaja menghambat tugasku ?"
Kedua belah pihak pun kemudian telah bersiap. Mahisa
Pukat dan Mahisa Semu y ang juga tersinggung atas perlakuan
para prajurit itu temyata tidak berpikir panjang. Mereka pun
kemudian telah bersiap pula.
"Aku adalah perwira dan pasukan berkuda," berkata
pemimpin sekelompok prajurit berkuda itu, "aku akan
bertempur diatas punggung kuda. Jangan menyesal jika
terjadi sesuatu atas kalian."
Orang-orang y ang lalu lalang di pintu gerbang induk itu
semula tidak memperhatikan apa y ang akan terjadi. Mereka
mengira bahwa prajurit-prajurit itu sedang bercakap-cakap
seperti biasa. Atau barangkali sedikit bertengkar tentang
persoalan-persoalan kecil yang terjadi diantara mereka.
Namun kemudian mereka melihat bahwa pertengkaran itu
menjadi semakin bersungguh-sungguh. Apalagi ketika para
prajurit y ang bertugas dipintu gerbang itu mulai memencar.
Namun dalam pada itu, ketika keadaan menjadi semakin
panas, mereka telah melihat iring-iringan pasukan berkuda di
kejauhan. Mereka maju dengan sangat lambat karena orangorang
yang telah mereka tawan tidak dapat berjalan lebih
cepat lagi. Perwira pasukan berkuda yang melihat pasukannya di
kejauhan itu tiba -tiba telah menggerakkan tali kudanya.
Demikian tiba-tiba sehingga kuda itu meloncat dan berpacu
04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan kencang. Namun ia masih sempat berteriak: "Anakanak
muda. Tunggu aku disitu."
Para prajurit y ang bertugas memang terkejut. Mereka tidak
sempat menahan. Sementara perwira itu berpacu dengan
cepat menuju ke pasukannya yang berjalan lamban.
Para prajurit y ang bertugas diregol itu m enjadi berdebardebar.
Sementara Mahisa Pukat dan Mahisa Semu berdiri
tegak disisi kuda m ereka. Namun mereka tidak berniat untuk
meninggalkan tempat itu. Untuk beberapa saat suasana menjadi tegang. Beberapa
orang prajurit y ang bertugas itu menjadi berdebar -debar.
Mereka tidak tahu apa y ang akan dilakukan oleh perwira
itu. Apakah ia sekedar berlindung di dalam pasukannya, atau
ia mempunyai niat lain. Beberapa saat kemudian, maka perwira itu telah sampai ke
pasukannya. Para prajurit y ang berada di regol tidak tahu
perintah apa yang diberikannya kepada prajurit-prajuritnya.
Namun sejenak kemudian separo dari prajurit berkuda itu pun
telah meninggalkan pasukannya, berpacu mengiringi
pemimpinnya. Sementara delapan atau sembilan orang yang
lain tetap mengawal sepuluh orang y ang sudah menjadi lemah.
Bahkan mereka seakan-akan tidak mampu lagi untuk
meneruskan perjalanan. Delapan orang prajurit berkuda telah berpacu ke pintu
gerbang kota. Debu yang kelabu mengepul tinggi.
Pemimpin prajurit di regol itu berdiri tegak di depan pintu
gerbang y ang terbuka lebar. Ia pun segera tanggap, bahwa
pemimpin prajurit berkuda itu akan mempergunakan
kekerasan. Agaknya ia benar-benar ter singgung mendapat
perlakuan dan para prajurit di pintu gerbang.
Tetapi segalanya telah terjadi. Pemimpin prajurit di pintu
gerbang itu harus mempertanggung jawabkannya.
Mahisa Pukat dan Mahisa Semu pun kemudian sempat juga
melihat sekelompok prajurit berkuda berpacu menuju ke pintu
gerbang. "Kesalah-pahaman itu telah berkembang," desis Mahisa
Pukat. "Aku akan bertanggung jawab," geram pemimpin
prajurit itu. "Ada seribu macam bentuk pertanggung jawaban,"
desis Mahisa Pukat "Kau tidak usah ikut campur," bentak pemimpin prajurit
itu. Mahisa Pukat tidak berbicara lagi. Ia memang tidak
sebaiknya mencampuri persoalan para prajurit. Namun
dengan demikian Mahisa Pukat mengetahui bahwa diantara
para prajurit kadang-kadang dapat terjadi salah paham.
Apalagi antar kesatuan sehingga dapat menimbulkan akibat
yang justru merugikan segala pihak.
Beberapa saat kemudian, maka para prajurit dan pa sukan
berkuda itu telah memasuki pintu gerbang tanpa
menghiraukan para prajurit y ang b ertugas. Ternyata perwira
yang memimpin sekelompok pasukan berkuda itu seakan-akan
tidak melihat para prajurit yang berada di sekitar pintu
gerbang itu. Tetapi pemimpin pasukan berkuda itu berhenti sejenak
sambil berkata kepada Mahisa Pukat dan Mahisa Semu.
"Marilah. Kita teruskan perjalanan kita memasuki Kotaraja.
Tidak akan ada orang yang menahan kalian. Nanti, kami
antarkan kalian kepada ayah kalian, Ki Mahendra."
Para prajurit y ang berjaga-jaga di pintu gerbang saling
berpandangan sejenak. Pemimpin prajurit berkuda itu sama
sekali tidak menyapa m ereka, seakan-akan m ereka tidak ada
di situ. Namun pemimpin prajurit y ang bertugas diregol itu
agaknya juga menahan. Meski pun ia tersinggung oleh sikap
itu, tetapi ia menyadari, bahwa pemimpin prajurit berkuda itu
telah tersinggung pula oleh sikapnya.
Mahisa Pukat dan Mahisa Semu termangu-mangu sejenak.
Tetapi keduanya menarik nafas panjang ketika mereka telah
memasuki Kotaraja bersama sekelompok prajurit berkuda.
Tidak terjadi benturan kekerasan antara kedua kesatuan yang
berbeda dan masing- masing merasa sedang m elakukan tugas
mereka. "Ternyata para pemimpinnya mampu menahan diri,"
berkata Mahisa Pukat hampir berbisik ditelinga Mahisa Semu.
"Ya. Syukurlah," sahut Mahisa Semu, "jika terjadi benturan
kekerasan, maka kita berdua akan terlibat."
"Kita hanya sebagai saksi," jawab Mahisa Pukat.
"Justru karena itu, kesaksian kita akan dapat tidak
menguntungkan bagi salah satu pihak," berkata Mahisa Semu.
"Ya. Mungkin pihak-pihak yang merasa kita rugikan akan
mendendam kepada kita," desis Mahisa Pukat.
Keduanya pun terdiam. Mereka telah memasuki Kotaraja
tanpa diganggu lagi oleh para prajurit y ang bertugas di pintu
gerbang. "Mereka ingin menunjukkan bahwa mereka mempunyai
kekuasaan," berkata pemimpin sekelompok pa sukan berkuda
itu, "aku dapat mengerti, karena itulah yang dapat mereka
lakukan." Mahisa Pukat dan Mahisa Semu mengerutkan keningnya.
Namun m ereka berkata didalam hati: " Para prajurit di pintu
gerbang itu tentu akan berkata lain."
Tetapi sementara itu Mahisa Pukat sempat bertanya:
"Bagaimana dengan para prajurit yang membawa para
tawanan?" "Sudah jela s. Mereka justru tidak akan diganggu," jawab
pemimpin sekelompok pasukan berkuda itu.
Mahisa Pukat pun mengangguk-angguk. Ia pun yakin,
bahwa yang kemudian menyusul di belakang mereka itu tidak
akan mengalami gangguan apa pun juga.
Sementara itu, maka perwira pa sukan berkuda itu berkata
kepada Mahisa Pukat: "Aku akan menghubungi para petugas
yang akan menerima para tawanan. Nanti aku antar kau ke
istana." "Terima kasih," jawab Mahisa Pukat, "tetapi aku tidak perlu
membuatmu menjadi sibuk."
"Tidak. Tidak. Setelah aku meny erahkan para tawanan
tugasku selesai," berkata pemimpin sekelompok pasukan
berkuda itu. "Kau tidak membuat taporan?" bertanya Mahisa
Pukat. Pemimpin sekelompok pasukan berkuda yang bertugas
memburu dua orang petugas sandi dari Kediri dan ternyata
justru berhasil menangkap sepuluh orang itu terse-ny um,
Katanya: "Tentu. Aku harus membuat laporan kepada
Senapati y ang memerintahku. Tetapi itu dapat aku lakukan
setelah aku mengantarmu ke istana."
"Terima kasih," jawab Mahisa Pukat
Bertiga diiringi beberapa orang prajurit berkuda mereka
telah menemui perwira y ang bertugas di barak tahanan.
Pemimpin pasukan berkuda itu telah memberitahukan, bahwa
ia telah membawa sepuluh orang tahanan. Mereka adalah
petugas sandi dari Kediri.
"Tetapi bukan oleh pimpinan pemerintahan di Kediri
apalagi oleh Sri Baginda," berkata perwira pasukan berkuda
itu. "Jadi oleh siapa?" bertanya perwira yang bertugas di barak
tahanan itu. "Oleh para pemimpin termasuk para pangeran y ang sejak
semula tidak mau tunduk kepada per setujuan y ang telah
dibuat antara Kediri dan Singasari. Mereka merasa bahwa
tidak sepantasnya Kediri tunduk kepada Singasari," jawab
pemimpin pasukan berkuda itu.
"Baiklah," berkata perwira yang bertugas di barak tahanan,
"mereka akan kami tempatkan di bilik y ang khusus."
"Mereka semuanya sepuluh orang," berkata pemimpin
pasukan berkuda itu, "letakkan m ereka di dua atau tiga bilik
agar mereka tidak sempat membicarakan rencana-rencana
mereka atau menentukan sikap bersama."
Perwira di barak tahanan itu mengangguk. Jawabnya:
"Baik. Semuanya akan kami atur."
Pemimpin pasukan berkuda itu pun kemudian telah
memerintahkan para prajurit yang meny ertainya untuk
menunggu kawan-kawannya. Ia sendiri akan pergi ke istana
untuk mengantarkan kedua orang anak muda itu.
Demikianlah maka diantar oleh perwira dari pasukan
berkuda itu Mahisa Pukat dan Mahisa Semu menuju ke istana.
Mereka berkuda menyusuri jalan-jalan kota. Jalan y ang sudah
agak lama tidak dilaluinya.
Di pintu gerbang samping istana Singasari m ereka tidak
menemui kesulitan apapun. Perwira dari pasukan berkuda itu
telah menemui pemimpin prajurit yang bertugas dan
mengatakan maksud kunjungan kedua orang anak muda itu.
"Jadi mereka anak-anak Ki Mahendra," desis pemimpin
prajurit y ang bertugas itu.
"Ya. Mereka ingin m enemui ayahnya," jawab perwira dari
pasukan berkuda itu. Oleh seorang prajurit y ang bertugas ketiga orang itu pun
telah diantarkan ke bangsal y ang diperuntukkan bagi
Mahendra di halaman belakang istana.
Mahendra agak terkejut melihat kedatangan Mahisa Pukat
dan Mahisa Semu. Keduanya serta perwira pasukan berkuda
yang mengantar keduanya pun dipersilahkan masuk ke
bangsal y ang m emang khusus diperuntukkan bagi Mahendra
itu. Namun perwira prajurit berkuda itu tidak dapat ikut
berbincang bersama mereka. Katanya: "Aku harus
memberikan laporan tentang tugasku. Bahkan mungkin kalian
berdua akan mendapat beberapa pertanyaan tentang para
tawanan itu, karena kalian berdualah y ang sebenarnya telah
menangkap mereka." "Bukan kami," jawab Mahisa Pukat, "tetapi kalian. Aku kira
keterangan yang demikian akan lebih baik dan tidak akan
menyangkut banyak pihak."
Perwira itu tertawa. Katanya: "Para tawanan itu juga punya
mulut. Mereka dapat menceriterakan apa y ang telah terjadi."
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Para tawanan
itu memang akan dapat berceritera tentang peri stiwa yang
telah terjadi. Bahkan mungkin dibumbui disana-sini sehingga
persoalan menjadi lain dari peristiwa yang sebenarnya.
Adalah bijaksana pendapat perwira pasukan berkuda itu,
bahwa sepuluh orang itu harus dipisah-pisahkan, sehingga
mereka tidak sempat membuat keterangan palsu y ang telah
mereka rancang bersama. Meski pun Mahendra m empersilahkan perwira itu untuk
singgah barang sejenak, namun ia telah m inta diri karena ia
harus memberikan laporan segera tentang tugas yang
dibebankan kepadanya. Sementara itu, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah duduk
berbincang dengan Mahendra. Yang ditanyakan pertama
sekali adalah keselamatan penghuni padepokan Bajra Seta.
Baru kemudian keperluan Mahisa Pukat dan Mahisa Semu
datang ke Singasari. Mahisa Pukat pun kemudian telah menceriterakan apa y ang
telah terjadi di padepokan Bajra Seta. Orang-orang yang
datang untuk membalas dendam tidak begitu merisaukan.
Namun kemudian hubungannya dengan langkah-langkah yang
telah diambil oleh orang- orang Kediri atau para pengikutnya.
"Tentu bukan karena Sri Baginda di Kediri," berkata Mahisa
Pukat y ang justru pernah bekerja bagi tugas-tugas sandi di
Kediri. Mahendra mengangguk-angguk. Sementara Mahisa Pukat
berkata: "Kami ingin memberikan peringatan tentang para
petugas sandi Kediri y ang tersebar. Ternyata di Kotaraja hal
seperti itu juga terjadi dan sudah dimengerti."
Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Katanya: "Ya. Para
pernimpin di Singasari telah m engetahui k egiatan seperti itu.
Memang bukan kegiatan dari Sri Baginda di Kediri. Mereka
adalah orang-orang y ang selalu tidak puas dengan keadaan
yang berkembang di Kediri sampai saat ini. Bukankah hal
seperti ini sudah berlangsung lama " Dan kau sendiri ju stru
pernah berada di lingkungan yang sedang bertentangan di
Kediri itu sendiri ?"
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun kemudian ia
pun bertanya: "Jadi apa y ang akan dilakukan oleh Singasari
terhadap mereka. Para petugas sandi itu ?"
"Kita memperlakukan mereka tidak sebagai prajurit atau
petugas sandi Kediri," jawab Mahendra.
"Maksud ay ah " Mereka dianggap orang -orang liar atau
bahkan pengkhianat ?" Mahisa Pukat menjadi cemas.
Mahendra, menarik nafas d dalam-dalam. Katanya: "Tidak
sekeras itu. Tetapi mereka bukanlah petugas atau prajurit dari
satu negara y ang sedang berperang dengan Singasari. Kepada
para prajurit dan petugas yang meny erah, akan diperlakukan
sesuai dengan sikap seorang kesatria yang menghadapi lawan
yang sudah tidak berdaya."
"Jadi, bukankah seperti y ang aku katakan " Para petugas
Sandi itu tidak mendapat perlindungan paugeran sebagaimana
seorang prajurit atau petugas satu negara yang t ertangkap
meski pun sedang bermusuhan ?" desak Mahisa Pukat.
"Tetapi para prajurit Singasari masih memperlakukan
mereka dengan cukup baik. Namun hukuman yang diberikan
kepada mereka adalah hukuman yang paling sesuai dengan
langkah-langkah y ang telah mereka ambil," jawab Mahendra.
"Hukuman mati ?" bertanya Mahisa Pukat.
"Hanya mereka yang bertanggungjawab," jawab Mahendra,
"tetapi Singasari tidak mudah menjatuhkan hukuman mati."
Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Namun ia tidak
dapat mengatakan apa pun terhadap kebijaksanaan yang
berlaku di Singasari. Namun dalam pada itu, Mahisa Pukat pun kemudian
sempat pula bertanya: "Sementara ini ayah di Singasari telah
berbuat apa saja " Apakah ay ah ditetapkan sebagai hamba di
istana ini atau kedudukan lain ?"
"Ya. Aku telah m enjadi salah seorang hamba diistana ini.
Sebagaimana kakang Witantra dan kakang Mahisa Agni, aku
ditugaskan untuk memberikan pertimbangan-pertimbangan
atas beberapa hal yang dianggap penting," jawab Mahendra.
"Jadi, jika ayah menganggap ada sesuatu y ang penting,
ay ah datang menghadap Sri Maharaja ?" bertanya Mahisa
Pukat. Tetapi Mahendra menggeleng. Katanya: "Tidak. Jika Sri
04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Maharaja menganggap perlu berbicara dengan aku, maka aku
dipanggilnya." Mahendra berhenti sejenak, lalu, "m emang
agak berbeda dengan kakang Mahisa Agni yang telah dianggap
keluarga sendiri. Bahkan Sri Maharaja dalam olah kanuragan
telah mendapat tuntunan antara lain dari kakang Mahisa Agni.
Demikian juga kakang Witantra meski pun jaraknya lebih jauh
dari kakang Mahisa Agni. Dan sekarang, jarakku lebih jauh
lagi." "Barangkali Sri Maharaja ingin memberikan kedudukan
yang terhormat kepadaku, karena aku adalah orang terdekat
dari kakang Mahisa Agni dan kakang Witantra."
"Jika demikian, apakah tidak lebih baik ay ah berada di
padepokan ?" bertanya Mahisa Pukat.
"Aku juga berpikir demikian. Tetapi sudah tentu tidak
dalam waktu dekat. Aku harus menghormati uluran tangan Sri
Maharaja kepadaku. Mungkin uluran itu akan sampai juga ke
padepokan Bajra Seta. Setidak-tidaknya restu Sri Maharaja
akan dapat mempunyai pengaruh y ang besar diantara
perguruan-perguruan y ang lain," jawab Mahendra.
"Tetapi bukankah kita dapat mandiri " Tanpa bantuan dari
siapa pun padepokan dan perguruan Bajra Seta akan tetap
tegar," jawab Mahisa Pukat.
"Aku percaya. Tetapi apa salahnya kita m enerima uluran
tangan Sri Maharaja " Apakah dengan demikian kita akan
merasa terikat oleh kebaikan hati sehingga kita harus berbuat
sesuai dengan y ang dikehendaki oleh Sri Maharaja meski pun
seandainya, sekali lagi aku katakan, seandainya itu
bertentangan dengan nurani kita ?" bertanya ayahnya.
Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Sementara
Mahendra berkata selanjutnya: "Kita tidak u sah dibayangi oleh
perasaan seperti itu. Jika Sri Maharaja memberikan restu,
tentu dengan niat baik. Kita pun dapat m enerimanya dengan
baik pula. Seandainya kita kemudian berbuat bagi Singasari
sesuai dengan nurani kita, apakah kita merasa bersalah " Kita
memang dapat melihat dan berbicara tentang hal-hal yang
tidak sesuai dengan nurani kita. Tetapi bukankah tidak
semuanya y ang dilakukan oleh Sri Maharaja bertentangan
dengan nurani kita?"
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak segera
menawab. "Sudahlah," berkata ayahnya, "beristirahatlah.
Maksud kedatanganmu ke Singasari sudah m enjadi pertanda
niat baik y ang tumbuh dari hatimu. Bagaimana pun juga, yang
kau sampaikan kepadaku akan dapat menjadi bahan
pertimbangan. Bahkan akar gerakan dari orang-orang Kediri
yang menentang kebijaksanaan Sri Baginda telah menjalar
sampai ke padukuhan-padukuhan y ang jauh dari Kotaraja."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ternyata justru telah
terjadi arus y ang berbalik. Mahisa Pukat ternyata tidak
membawa keterangan baru bagi Kotaraja tentang para petugas
sandi, tetapi justru membawa berita bahwa petugas-petugas
sandi itu telah sampai di padukuhan-padukuhan jauh diluar
Kotaraja. Namun kedua-duanya memang hal y ang penting untuk
diketahui oleh para pemimpin di Singasari.
Dalam pada itu, maka Mahendra pun bertanya kepada
anaknya: "Bukankah kau akan berada di Kotaraja barang dua
tiga hari?" "Mahisa Murti sendiri di padepokan," jawab Mahisa Pukat.
"Tetapi ia mempunyai banyak kawan," desis Mahendra.
Mahisa Pukat memang menjadi ragu-ragu. Namun
kemudian katanya: "Baiklah. Aku akan berada di Kotaraja dua
atau selama-lamanya tiga hari."
Namun satu hal yang tidak diketahui oleh Mahisa Pukat
adalah sikap salah seorang prajurit yang berada di pintu
gerbang saat Mahisa Pukat dan Mahisa Semu memasuki
Kotaraja. Prajurit yang merasa dirinya m emiliki kelebihan. Ia
tidak percaya bahwa Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah
berhasil menangkap sepuluh orang petugas sandi itu.
"Hanya sebuah lelucon," katanya kepada kawan-kawannya.
"Tetapi para prajurit
yang menggiring para tawanan itu juga mengatakan demikian,"
jawab pemimpin prajurit yang bertugas, y ang merasa ter singgung oleh sikap perwira pasukan berkuda itu. Namun seorang kawannya berkata: "Aku
percaya bahwa hal itu terjadi." "Kenapa"," bertanya
prajurit y ang tidak percaya itu. "Mereka adalah anak Mahendra," jawab kawannya itu. "Yang berilmu tinggi adalah Mahendra. Itu pun kita belum
pernah nielihat buktinya, apakah benar ilmu kanuragannya
yang tinggi atau sekedar karena ia memilik pandangan luas
tentang pemerintahan sehingga diangkat menjadi salah
seorang penasehat Sri Maharaja," jawab prajurit yang tidak
percaya itu. "Para prajurit dari pasukan berkuda itu tentu tidak akan
berbohong. Untuk apa mereka mengatakan bahwa
keduanyalah y ang telah menangkap sepuluh orang petugas
sandi itu" Bukankah mereka lebih berbangga jika mereka
mengatakan bahwa merekalah y ang telah berhasil menangkap
para tawanan itu, justru m elampaui tugas y ang dibebankan
kepada m ereka untuk menangkap hanya dua orang diantara
para petugas sandi itu?" sahut pemimpinnya.
"Tentu kita tidak tahu maksud y ang ter sembunyi dibalik
tindakan m ereka y ang tidak kita m engerti itu," jawab prajurit
Pembalasan Dimalam Halloween 1 Dewi Ular Puncak Kematian Cinta Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong 2