Pencarian

Hijaunya Lembah Hijaunya 2

04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 2


Dibiarkannya orang itu memperbaiki keadaannya. Namun
selangkah demi selangkah Mahisa Murti maju mendekatinya.
Orang y ang hampir kehilangan senjata itu pun telah
bersiap. Sekali-sekali ia masih bergeser mundur sambil
mengacukan senjatanya. Mahisa Murti m elangkah maju semakin dekat. Tetapi ia
masih berkata: "Meny erahlah. Kau akan dibawa kepada Ki
Buyut. Jangan mencoba lagi menyuap aku, karena menyuap
itu merupakan satu kesalahan y ang dapat dihukum. Dengan
demikian maka usahamu akan dapat memperberat
hukumanmu." "Tutup mulutmu," geram orang itu, "jangan berpurapura
seakan-akan kau tidak pernah melakukan kesalahan
sekecil apapun. Jika kau ingin aku memberikan lebih dari yang
aku tawarkan, katakan saja. Aku akan mengusahakannya."
"Sudah aku katakan. Hukumanmu akan dapat berlipat,"
sahut Mahisa Murti. Orang itu mengumpat. Sekali lagi ia meloncat sambil
mengayunkan senjatanya sekuat sisa tenaganya. Namun sekali
lagi Mahisa Murti menangkisny a sehingga senjata orang itu
kemudian telah benar-benar terlepas dan terlempar beberapa
langkah dari orang itu. Orang itu tidak sempat mengambilnya. Mahisa Murti
ternyata lebih cepat m enggapai senjata itu dengan kakinya,
dan mendorongnya semakin jauh.
"Sebaiknya kau melihat kenyataan ini," b erkata Mahisa
Murti. "Persetan kau," geram orang itu.
Namun Mahisa Murti berkata: "Kesabaran seseorang
ada batasnya. Aku akan dapat kehilangan kesabaran, sehingga
aku akan meny elesaikan pertempuran ini hingga tuntas."
Wajah orang itu memang menegang. Apalagi ketika
kemudian dilihatnya kawannya telah t erlempar jatuh
terbanting di tanah. Orang itu sempat memperhatikan kawannya y ang
mencoba bangkit. Namun tubuhnya tertahan ujung pedang
Mahisa Pukat yang melekat di dadanya.
"Kau lihat," desis Mahisa Murti.
Orang itu terdiam. Sementara itu terdengar Mahisa
Pukat bertanya kepada lawannya: "Apakah kau m asih akan
melawan?" Orang y ang terbaring itu tidak menjawab.
"Kau sadar, bahwa jika aku m enekan pedangku, maka
ujungnya tentu akan menghunjam sampai ke jantungmu,"
berkata Mahisa Pukat. Lawannya masih berdiam diri.
Namun akhirnya Mahisa Pukat tidak dapat menahan diri
lagi. Katanya: "Jika kau masih tidak menjawab, maka aku
benar-benar akan m embunuhmu. Kau tahu bahwa tidak akan
ada orang yang menyesali kematianmu. Semua orang ju stru
berharap bahwa kau dibunuhnya saja langsung disini. Tidak
ada gunanya kau diserahkan kepada Ki Buyut."
Yang terdengar adalah gigi orsng itu gemrtak menahan
gejolak jantungnya. Namun Mahisa Pukat berkata selanjutnya: "Atau kau
ingin aku meninggalkanmu disini" Keempat orang yang
bertmpur melawanmu itu masih ada disini, mereka sudah siap
untuk melanjutkan pertempuran."
Orang yang terbaring dengan ujung pedang di dadanya
lama ia belum dapat menjawab, sementara Mahisa Murti telah
bertanya pula kepada lawannya: "Nah. kau dengar pertanyaan
saudaraku itu. Kalian berdua akan kami serahkan kepada
keempat orang itu. Mereka bersama-sama dengan orang-orang
yang sekarang menyaksikan pertempuran ini akan
mengadilimu dan langsung menjatuhkan hukuman atasmu.
Barangkali itu memang lebih baik daripada kau harus dibawa
kepada Ki Buyut. Karena Ki Buyut itu pun akan dapat
menjatuhkan hukuman yang cukup berat bagi kalian.
Hukuman picis misalnya."
Kedua orang itu menjadi pucat.
Namun akhirnya orang yang telah kehilangan senjatanya
itu berdesis: "Aku menyerah."
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Sementara
Mahisa Pukat masih ingin lawannya itu juga mengucapkan
pengakuannya. Ternyata orang itu tidak dapat berbuat lain. ia
pun kemudian berdesis: "Aku meny erah."
"Lepaskan senjatamu," berkata Mahisa Pukat. Orang itu
pun segera melepaskan senjatanya pula. Sesaat kemudian
maka Mahisa Pukat pun telah memberikan kesempatan
lawannya itu untuk berdiri. Namun kemudian Mahisa Murti
telah memberi isyarat kepada keempat orang bertubuh raksasa
itu mendekat. " Ikat mereka," berkata Mahisa Murti. "Kalian berempat
dapat membawanya kepada Ki Buyut langsung atau kepada Ki
Bekel lebih dahulu atau kebiasaan yang mana yang berlaku
disini." Salah seorang dari keempat orang itu menjawab:
"Karena kami mendapat perintah dari Ki Bekel, maka kami
akan membawanya kepada Ki Bekel lebih dahulu. Baru
kemudian, Ki Bekel akan membawanya kepada Ki Buyut."
"Baiklah," berkata Mahisa Murti, "ikat tangan m ereka.
Hati-hati, jangan sampai terlepas. Jika ikatan itu dapat
dilepaskan oleh mereka, maka mereka akan dapat terlepas
pula dari tangan kalian. Dengan demikian, maka mereka tentu
akan menjadi lebih garang lagi."
Keempat orang itu mengangguk-angguk. Namun
seorang di-antara mereka berkata: "Kami akan mengikat
mereka. Tetapi biarlah salah seorang dari kami melaporkan
hal ini kepada Ki Bekel. Biarlah Ki Bekel mengetahui, siapakah
sebenarnya yang telah mampu mengalahkan kedua orang itu."
" Itu tidak perlu," berkata Mahisa Murti, "yang penting,
kedua orang itu sudah tertangkap. Bawa saja kepada Ki Bekel.
Ki Bekel akan menentukan langkah-langkah berikutnya."
Keempat orang itu termangu -mangu. Namun akhirnya
mereka telah mencari tali untuk mengikat tangan kedua orang
yang telah dikalahkan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
itu. "Nah," berkata Mahisa Murti: "Silahkan. Keduanya tidak
berbahaya lagi bagi kalian berempat dalam keadaan seperti
itu. Meski pun demikian, kalian harus tetap berhati-hati
karena kaki mereka masih tetap beba s."
Keempat orang itu mengangguk-angguk. Seorang
diantara mereka berkata: "Terima kasih. Kami akan
membawanya kepada Ki Bekel."
Tetapi diluar dugaan orang itu kemudian berkata kepada
orang-orang yang ada di sekitarnya: "Mari, ikut kami ke
rumah Ki Bekel untuk meny erahkan orang ini."
Beberapa orang nampak ragu-ragu. Tetapi kebencian
mereka sudah begitu meluap kepada kedua orang itu. Karena
itu, m aka beberapa orang laki -laki y ang sedikit mempunyai
keberanian telah melangkah maju.
Sejenak kemudian, sebuah iring-iringan telah
meninggalkan halaman kedai itu, m elintasi jalan y ang ramai,
menuju kc rumah Ki Bekel.
Orang-orang yang ada di pasar itu pun telah beramairamai
menonton orang y ang dibencinya itu terikat kedua belah
tangannya dan digiring seperti seorang penc opet yang
tertangkap. Kedua orang itu memang merasa tidak berdaya lagi.
Selain tubuh m ereka yang telah menjadi sangat lebih, kulit
mereka pun telah tergores senjata. Darah telah m eleleh dari
luka-luka mereka. Beberapa saat kemudian, mereka, telah menelusuri jalan
bulak menuju ke padukuhan induk. Sementara iring-iringan
itu ternyata semakin lama menjadi semakin panjang. Ju stru
orang yang tidak m engenal kedua orang itu telah ikut pula
mengiringkannya ke rumah Ki Bekel.
Kedua orang y ang tangannya terikat itu mengumpat
tidak ada habis-habisnya. Tetapi keempat orang yang
mengetahui kemampuan kedua orang itu, telah m engikatnya
erat-erat, sehingga tidak ada kemungkinan bagi kedua orang
itu untuk meloloskan diri dengan cara apa pun juga. Meski
pun kaki mereka-masih beba s, tetapi tidak akan dapat banyak
memberikan arti bagi usaha mereka untuk membebaskan diri
tanpa tangan-tangan mereka.
Karena itu, maka mereka berdua harus membiarkan diri
mereka dibawa memasuki halaman rumah Ki Bekel tanpa
perlawanan apa pun juga. Sementara itu, Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa
Semu, Wantilan dan Mahisa Amping, telah berada kembali di
dalam kedai. Pemilik kedai itu pun telah ber sikap sangat baik kepada
mereka. Dihidangkannya berbagai macam makanan dan
minuman yang tidak dimintanya sekalipun.
Namun Mahisa Murti telah mencegahnya: "Terima kasih
Ki Sanak. Jangan berlebihan. Kami tidak akan dapat makan
semuanya ini sampai habis."
"Kau t elah m elakukan sesuatu yang sangat berarti bagi
kami, orang -orang y ang berjualan di pasar ini anak-anak
muda." "Kami tidak melakukan apa-apa," jawab Mahisa Murti.
"Kedua orang itu adalah orang-orang yang sangat
berbahaya bagi kami. Mereka telah memeras dan tanpa
mempunyai bela s ka sihan sama sekali. Jika kalian tidak
menolong, maka keempat orang y ang dimintai bantuan oleh Ki
Bekel itu, tentu benar-benar akan mereka bunuh. Kami pun
akan mengalami nasib y ang paling buruk dari keadaan yang
sudah lama terasa sangat menekan ini," berkata pemilik kedai
itu. "Ah, bukankah tidak ada y ang berarti y ang aku lakukan
bagi kalian"," berkata Mahisa Murti: "kami telah berbuat
sebagaimana seharusnya dalam hubungan antara sesama.
Tidak ada yang lebih."
"Semua orang mengucapkan terima kasih kepada
kalian," berkata pemilik kedai itu.
"Sudahlah," b erkata Mahisa Murti, "kami sudah sangat
keny ang. Kami akan membayar harga makanan y ang telah
kami habiskan." "Tidak. Itu tidak perlu. Makanan dan minuman itu tidak
berarti apa-apa," sahut pemilik kedai itu.
"Jangan begitu. Aku adalah pembeli. Kewajibanku
membayar harga barang-barang y ang telah aku beli," jawab
Mahisa Murti. "Adalah kewajibanku dan orang-orang di pasar ini untuk
mengucapkan terima kasih kepada kalian dengan cara kami,"
berkata pemilik kedai itu, "sebagaimana orang-orang lain yang
ada di luar." Mahisa Murti termangu -mangu. Namun ketika ia
menyadari, maka dilihatnya diluar kedai itu berkerumun
banyak orang. Mereka ingin menyaksikan anak-anak muda
yang telah mampu mengalahkan dua orang y ang untuk waktu
yang lama telah memeras mereka.
Mahisa Pukat dan y ang lain pun telah melihat pula
orang-orang y ang berkerumun itu, mencoba melihat mereka
dari luar pintu kedai. Namun dengan demikian, m aka mereka justru m erasa
tidak betah lagi duduk di kedai itu. Berpuluh-puluh pasang
mata memandangi mereka. "Marilah kita pergi," desis Mahisa Pukat.
Mahisa Murti mengangguk kecil. Katanya kemudian:
"Marilah." Tetapi pemilik kedai itu tetap menolak uang y ang
diserahkan oleh Mahisa Murti.
Mahisa Murti dan saudara-saudaranya y ang telah berdiri
telah melangkah keluar dari kedai itu. Ternyata Mahisa Murti
telah m eninggalkan uang di salah sebuah mangkuk makanan
yang telah dipergunakannya.
Demikian mereka keluar, maka orang-orang yang ada di
luar kedai itu telah meny ibak. Mereka memandang anak-anak
muda itu dengan penuh kekaguman. Apalagi sikap mereka
yang wajar tanpa menunjukkan kesombongan sama sekali.
Namun Mahisa Murti dan saudara -saudaranya justru
menjadi gelisah. Langkah m erek rasa-rasanya menjadi sangat
berat. Semua mata memandangi mereka dan mengikuti
langkah mereka sampai jauh.
"Kakiku seperti digantungi timah," desis Mahisa Pukat
yang sempat berpaling. Ia masih melihat beberapa orang
memandangi mereka. Pemilik kedai yang semula menganggap ia telah serba
sedikit menghormati kemenangan anak-anak muda itu dengan
suguhannya y ang tidak perlu dibayar, ternyata terkejut ketika
dilihatnya beberapa keping uang ada didalam m angkuk yang
akan dicuci. Bahkan lebih banyak dari harga makanan yang
seharusnya. "Orang-orang aneh," berkata pemilik kedai itu y ang
kemudian telah menceriterakan kepada orang-orang yang
berada di luar kedainya. "Hanya orang-orang yang berilmu sangat tinggi sajalah
yang mampu mengalahkan kedua orang itu," berkata salah
seorang diantara orang-orang y ang berada di luar kedai itu
tanpa mengetahui tataran olah kanuragan.
"Ternyata keempat orang yang bertubuh meyakinkan itu
pun tidak dapat mengalahkan mereka berdua," sahut yang
lain. Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
itu pun sudah menjadi semakin jauh.
Sebenarnyalah kelima orang itu sudah berada di dalam
bulak y ang panjang. Sementara itu Mahisa Murti telah
bertanya kepada Mahisa Amping: "Kesan apa y ang kau
tangkap tentang orang-orang itu sehingga seakan-akan kau
mengetahui bahwa akan terjadi perkelahian itu" "
Mahisa Amping termangu-mangu. la mencoba
mengingat apa yang terasa didalam hatinya ketika ia m elihat
kedua orang itu. Tetapi anak itu menggeleng sambil berkata: "Aku tidak
mendapat kesan apa-apa. Aku hanya merasa ingin melihat apa
yang bakal terjadi. Mungkin karena aku m elihat pakaian dan
perhiasan y ang sangat baik, sehingga kemungkinan buruk
dapat terjadi atas kedua orang itu."


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak Amping," sahut Mahisa Murti, "mula-mula kami
pun mengira demikian. Tetapi ternyata ketika aku bertanya
kepadamu, siapakah diantara mereka y ang akan menang, kau
tidak berpihak kepada kedua orang itu. Tetapi kau berharap
keempat orang y ang hampir saja kalah itulah y ang sebaiknya
menang." Mahisa Amping mengerutkan keningnya. Namun sambil
menggeleng ia b erkata: "Aku tidak tahu. Aku tidak lagi ingat,
kesan apakah yang saat itu ada di dalam kepalaku."
"Amping," berkata Mahisa Murti, "ada sesuatu y ang
tidak kau sadari. Tetapi baiklah. Kau masih terlalu kecil untuk
mengenalinya. Besok, jika kau tumbuh menjadi remaja, maka
kau harus mulai mempelajari gejala -gejala di dalam dirimu."
Mahisa Amping mengerutkan keningnya. Tetapi ia justru
menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berdesis: "Aku tidak
tahu." Mahisa Pukatlah y ang kemudian m enepuk pundaknya
sambil berkata: "Jangan kau coba untuk mengerti sekarang."
Mahisa Semu pun berkata pula: "Sudahlah. Kali ini kau
masih belum tanggap. Tetapi ada baiknya di kesempatan lain
kau mengingatnya." Mahisa Amping mengangguk kecil. Tetapi ia tidak tahu
apa y ang dikatakan oleh anak-anak muda itu.
Demikianlah, maka mereka pun telah meneruskan
perjalanan. Mereka menyusuri jalan bulak panjang. Di sebelah
menyebelah jalan tumbuh pepohonan yang daunnya membuat
bay ang-bay ang di atas dataran y ang memanjang di antara
kotak-kotak sawah y ang hijau.
Namun Mahisa Amping ternyata mulai m emperhatikan
dirinya sendiri. Sedikit-sedikit m emang terkila s di kepalanya,
kesan y ang tertangkap saat kedua orang yang berpakaian dan
memakai perhiasan yang mahal itu lewat.
Tetapi kepala anak itu menjadi pening ketika ia
memaksa untuk mengingat apa.yang dilihatnya. Justru karena
angan-angannya semakin lama menjadi semakin kabur.
Wantilan y ang berjalan di sebelahnya melihat gejolak
perasaan anak itu. Karena itu, maka ia pun telah berdesis:
"Kau masih mencoba mengingat-ingat" "
"Ya," jawab Mahisa Am ping.
"Jangan," berkata Wantilan: "jika kau m emaksa dirimu
melihat kembali bay angan yang telah menjadi kabur, m aka
kau akan mengalami gangguan perasaan. Jika hal itu terjadi
beberapa kali, maka itu akan menjadi beban bagimu. Semakin
lama semakin berat, semakin berat, sehingga pada suatu saat,
kau tidak akan dapat memikulnya lagi."
Mahisa Amping menarik nafas dalam-dalam.
"Lihat, jalan yang terbentang dihadapan kita," desis
Wantilan. Mahisa Amping mengerutkan keningnya. Namun ia pun
kemudian tersenyum sambil berkata: "Baiklah. Aku akan
berjalan di paling depan."
Wantilan tersenyum pula sambil mengangguk.
Sesaat kemudian anak itu pun telah berlari mendahului
keempat orang y ang lain. Beberapa puluh langkah di depan
baru ia berhenti. Dilihatnya sebuah sungai y ang menyilang
jalan. Mereka harus menuruni tebing y ang landai untuk
menyeberang. Di sebelah bawah tempat peny eberangan itu, Mahisa
Amping melihat beberapa orang y ang sedang mencari ikan.
Nampaknya mereka beramai-ramai membuka sebuah rumpon
yang cukup besar. Anak-anak pun m enjadi ikut bergembira
sambil berendam di dalam air, m embongkar batu-batu yang
bertimbun. Beberapa orang anak muda y ang lebih besar
tengah sibuk mengatur icir dan aliran air yang disisihkan.
Ternyata Mahisa Amping pun tertarik untuk melihatnya.
Karena itu, maka ia pun segera turun dan mendekati anakanak
yang sedang mencari ikan itu.
Beberapa orang anak telah berpaling. Mereka melihat
Mahisa Amping y ang belum pernah mereka kenal.
Seorang diantara mereka pun bertanya: "Untuk apa kau
kemari" Kau anak padukuhan mana" "
Mahisa Amping termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian ia pun m enjawab: "Aku kebetulan saja lewat. Aku
hanya ingin melihat apa y ang kalian lakukan."
"Kaukah y ang sering merusak rumpon ini"," tiba -tiba
seorang y ang lain bertanya.
"Aku belum pernah datang ke tempat ini. Baru sekali ini.
Itu pun hanya sekedar lewat," jawab Mahisa Amping.
Anak-anak yang lain nampaknya tidak begitu
menghiraukan. Mahisa Amping memang bersikap wajar saja.
Ia pun tidak berdiri terlalu dekat.
Ketika keempat orang y ang lain telah sampai ke tanggul,
maka Mahisa Amping pun telah meninggalkan anak-anak yang
sedang mencari ikan itu. "Sikap mereka tidak bersahabat," berkata Mahisa
Amping. "Kenapa"," bertanya Wantilan.
"Tiba-tiba saja mereka menuduh aku sering merusak
rumpon mereka," jawab Mahisa Amping.
"Apa jawabmu"," bertanya Mahisa Semu.
"Aku katakan, bahwa aku baru sekali ini lewat," jawab
Mahisa Amping. Mahisa Semu menepuk bahu anak itu. Katanya:
"Ternyata kau cerdik juga."
Mahisa Amping menarik nafas dalam-dalam. Namun ia
menangkap satu kesan, bahwa anak-anak muda dan kanakkanak
y ang ada di sungai itu selalu dibay angi oleh kecurigaan
terhadap orang yang tidak dikenalnya.
Ternyata yang mendengar ceritera Mahisa Amping
tentang anak-anak y ang berada di sungai itu telah
menimbulkan kesan yang sama bagi m ereka. Bahkan Mahisa
Murti kemudian berdesis: "Agaknya orang tua mereka pun
bersikap seperti itu pula."
"Mungkin orang-orang padukuhan di depan," berkata
Mahisa Pukat. "Berhati -hatilah," pesan Mahisa Murti: "kita tidak usah
menanggapi sikap mereka."
Karena itulah, ketika mereka memasuki padukuhan di
hadapan mereka, Mahisa Amping tidak lagi berjalan beberapa
langkah di depan. Tetapi anak itu berjalan di sebelah Mahisa
Semu. Ternyata kelima orang itu sama sekali tidak
mendapatkan kesan sebagaimana y ang m ereka duga. Orangorang
padukuhan itu adalah orang-orang yang bersikap wajar.
Tidak tanda-tanda lain pada mereka.
Karena itu, maka kelima orang itu meneruskan
perjalanan m ereka tanpa hambatan. Perjalanan y ang m asih
panjang. Lewat sedikit tengah hari mereka singgah di sebuah
kedai. Setelah beristirahat sejenak, maka mereka pun telah
melanjutkan perjalanan mereka.
Seperti malam sebelumnya, ketika matahari menjadi
semakin rendah, maka m ereka pun telah berhenti di dekat
sebuah hutan yang agaknya tidak t erlalu lebat. Setelah
beristirahat sejenak serta mengeringkan keringat, maka
Mahisa Amping pun telah bersiap-siap untuk berlatih.
"Masih ada waktu sebelum gelap," berkata anak itu.
Mahisa Semu dan Wantilan pun telah bersiap-siap pula.
Mereka tidak ingin melewatkan waktu sama sekali.
Kesempatan yang kecil sekali pun telah mereka pergunakan
sebaik-baiknya untuk menempa diri.
Mahisa Murti sempat menunggui Mahisa Amping y ang
berlatih, sementara Mahisa Pukat berada bersama Mahisa
Semu dan Wantilan y ang memperdalam ilmu pedang mereka.
Seperti kebiasaan mereka, pada kesempatan seperti itu,
mereka akan mempergunakannya sampai matahari
menghilang di balik cakrawala. Baru kemudian, mereka turun
ke sungai dan membersihkan diri sebelum tidur.
Tetapi Mahisa Murti telah membagi tugas kepada
keempat orang diantara mereka untuk berjaga-jaga. Kepada
Mahisa Am-ping Mahisa Murti berkata: "Kau dapat memilih,
bersama siapa kau akan berjaga-jaga."
"Aku akan berjaga-jaga bersama orang y ang pertama,"
jawab anak itu. Yang mendengar jawaban itu terseny um. Ternyata anak
itu cukup cerdik, sehingga kemudian ia akan dapat tidur
sepanjang malam. Sementara itu, keempat orang y ang lain telah
menentukan pembagian waktu dengan undian. Ternyata
bahwa yang mendapat giliran pertama adalah Mahisa Pukat,
kemudian Wantilan. Ketiga adalah Mahisa Semu dan keempat
adalah Mahisa Murti. Ternyata Mahisa Amping telah menepati janjinya. Ia
telah ikut berjaga-jaga bersama Mahisa Pukat. Ketika Mahisa
Pukat kemudian membangunkan Wantilan dan tugas
berikutnya diserahkan kepada Wantilan, maka Mahisa
Amping pun kemudian telah ikut tidur pula ber sama Mahisa
Pukat. Agaknya malam itu, mereka sama sekali tidak mendapat
gangguan apapun. Nyamuk memang cukup banyak. Tetapi
mereka dapat juga tidur ny enyak di saat-saat m ereka tidak
bertugas. Namun ketika Mahisa Murti yang mendapat giliran
terakhir berjaga-jaga, maka ia telah menyadari, bahwa sesuatu
telah terjadi. Karena itu, maka ia pun telah menggambil
Mahisa Pukat y ang telah cukup lama tidur sejak tugasnya di
giliran pertama. Tetapi demikian bangun, maka Mahisa Murti pun telah
berdesis: "Hati-hati."
Mahisa Pukat segera tanggap, bahwa sesuatu telah
terjadi. Karena itu, maka ia tidak bangkit. Sambil berbaring ia
bertanya: "Apa yang telah terjadi?"
"Tempat ini telah dikepung," berkata Mahisa Murti.
"Sejak kapan"," bertanya Mahisa Pukat.
"Mereka baru mulai," jawab Mahisa Murti: "Tetapi
mereka memang berdatangan dari beberapa penjuru."
Mahisa Pukat mengangguk kecil. Katanya: "Apa
sebenarnya yang mereka kehendaki."
"Aku belum tahu," jawab Mahisa Murti.
Mahisa Pukat tidak bertanya lagi. Sementara itu, orang
memang telah berdatangan semakin banyak.
"Mereka akan mulai bertindak setelah terang," berkata
Mahisa Murti pula. Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi
katanya kemudian: "Ya. Mereka baru akan berbuat sesuatu
setelah matahari terbit."
"Masih ada waktu untuk berbaring," berkata Mahisa
Murti sambil tersenyum. Tetapi Mahisa Pukat pun berkata: "y ang lain perlu
dibangunkan agar mereka tidak terkejut."
Mahisa Murti mengangguk. Perlahan-lahan ia bergeser
dan membangunkan Mahisa Semu dan Wantilan. Tetapi
seperti kepada Mahisa Pukat, m aka Mahisa Murti pun telah
memberi isyarat agar mereka tetap di tempat.
"Mereka masih belum akan bergerak," berkata Mahisa
Murti perlahan-lahan. Dengan demikian, maka Mahisa Murti sendiri masih saja
duduk di tempatnya. Namun ketajaman penggraitanya telah
memberitahukan kepadanya, bahwa tempat itu telah benarbenar
terkepung, meski pun tidak pada jarak yang dekat.
Beberapa saat orang-orang y ang berada di padang itu
menunggu. Rasa-rasanya mereka sudah semalam suntuk
berada di tempat itu dalam ketegangan.
Namun ketika fajar menjadi semakin terang, t erdengar
seseorang berteriak: "He, siapa y ang berada di situ" "
"Mereka mulai menyapa," berkata Mahisa Murti.
"He, apakah kalian tidak mendengar?" teriakan itu
terdengar lagi. Mahisa Murtilah y ang kemudian berdiri. Melangkah dua
langkah ke arah suara itu sambil bertanya: "Apakah yang
kalian maksud?" "Aku bertanya, siapa y ang berada disitu" Bukan apa."
Orang y ang berteriak itu membentak keras-keras.
"Oo kami," jawab Mahisa Murti. "Ampat orang
pengembara dan seorang anak-anak."
"Pengembara dari mana dan untuk apa"," desak orang
itu. "Kenapa k ita harus berteriak-teriak"," bertanya Mahesa
Murti, "kemarilah. Kita dapat berbicara dengan baik."
"Kalian ingin menjebak kami"," bertanya suara itu.
"Sama sekali tidak. Kami bukan orang -orang licik y ang
tengah memasang perangkap," berkata Mahisa Murti.
"Majulah. Salah seorang dari kalian. Kami akan datang,"
terdengar suara itu pula.
Mahisa Murti pun kemudian telah melangkah maju
beberapa langkah, sementara dari arah y ang berlawanan dua
orang telah melangkah mendekati Mahisa Murti.
Ketiga orang itu sudah mengacukan senjata mereka
ketika mereka berhadapan dengan Mahisa Murti.
"Nah," berkata Mahisa Murti kemudian, "sekarang,
katakan keperluan kalian."
"Jangan berpura-pura dungu seperti itu," berkata orang
yang datang bersama dengan dua orang kawannya itu, "kau
tentu sudah tahu sebelum aku."
"Aku tidak tahu maksud Ki Sanak," jawab Mahisa Murti.
"Aku sudah mengira bahwa jawabanmu tentu demikian.
Karena itu, maka kami sudah berunding, bahwa kami ingin
memaksa kalian agar berbicara," jawab orang itu.
"Barangkali Ki Sanak bersedia memberitahukan, kenapa
kami harus ditangkap. Padahal sepanjang perasaan dan
pengetahuan kami, kami tidak pernah berbuat salah terhadap
kalian, kalian kami baru sekali ini bertemu."
Tetapi orang-orang y ang datang itu nampaknya tidak
mau mendengarkannya. Dengan suara lantang seorang
diantara mereka bertanya: "Di mana kawan-kawanmu yang
lain?" "Kami berlima. Tidak ada kawan yang lain," berkata
Mahisa Murti dengan nada tinggi.
"Jangan bohongi kami. Kami sudah bertekad memaksa
kalian untuk berbicara," geram orang itu.


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Berbicara tentang apa" Sejak tadi kau berkata seperti
itu. Tetapi kau tidak mau m enjelaskan, apa yang sebenarnya
terjadi," berkata Mahisa Murti yang mulai menjadi jengkel.
"Kaulah y ang harus berbicara kepada kami," teriak orang
yang datang itu dengan marah," di m ana kalian sembunyikan
ternak kami. Di mana kau sembuny ikan hasil rampokan kalian
di padukuhan kami. Kalian lakukan semuanya dengan tibatiba
sehingga kami tidak sempat mengadakan perlawanan.
Tetapi laki -laki di padukuhan kami bukan pengecut. Kami
lacak perjalanan kalian. Ternyata ada keterangan tentang lima
orang yang tidur di padang terbuka seperti ini. Hanya
perampok-perampoklah yang melakukannya. Karena itu, kami
berkesimpulan, bahwa kalian adalah sebagian dari perampok
yang dua malam y ang lalu telah merampok beberapa orang di
padukuhan kami, serta membawa ternak-tenak kami.
Beberapa ekor lembu dan kerbau serta kambing."
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya:
"Tentu karena salah paham. Kami tidak pernah merampok.
Jika kami merampok lembu, kerbau dan kambing, maka
binatang-binatang itu tentu masih ada disini sekarang."
"Tentu tidak. Kawan-kawanmu tentu sudah
menjualnya," berkata orang y ang marah itu, "sekarang,
katakan. Di mana kawan-kawanmu serta hasil rampokanmu
sebelum kami bertindak."
"Ki Sanak," berkata Mahisa Murti, "sekali lagi aku
beritahukan bahwa kami tidak merampok apapun. Jangan
terlalu mudah untuk menuduh seseorang yang tidak bersalah.
Kal ian dapat saja bertindak atas kami. Tetapi jika kemudian
kalian sadari bahwa itu karena satu kesalahan, maka apakah
kalian tidak akan menyesal" "
"Kami tidak salah paham," berkata orang itu, "sekarang
katakan di mana kawan-kawanmu. Kalian harus
mengembalikan semua yang telah kalian ambil. Kemudian
kalian harus menerima hukuman yang akan kami berikan
kepada kalian." "Hukuman apa y ang kalian jatuhkan kepada orangorang
y ang merampok di padukuhan kalian?" bertanya Mahisa
Murti. "Terserah kepada orang banyak," jawab orang itu.
"Apakah tidak kalian serahkan kepada Ki Bekel atau Ki
Buyut atau orang lain y ang berwenang"," bertanya Mahisa
Murti. "Kamilah yang paling berwenang," jawab orang itu.
" Itu adalah kesalahan kalian y ang terbesar," berkata
Mahisa Murti dengan nada tinggi, "kalian merasa berhak
menentukan hukuman kepada orang lain yang belum tentu
bersalah." "Cukup," bentak orang itu, "sekarang bicaralah. Kau
termasuk gerombolan siapa dan dimana mereka sekarang. Di
mana ternak kam i dan di mana harta orang-orang padukuhan
kami. Jika kau mau berbicara, maka hukuman kepada kalian
tentu akan sedikit ringan. Kalian akan dibunuh dengan cepat.
Bukannya dengan perlahan-lahan."
"Jangan bertindak sewenang-wenang Ki Sanak," berkata
Mahisa Murti. "Kau pernah mendengar bahwa seseorang diikat pada
tonggak dibawah sebuah gerojogan"," bertanya orang itu, "air
yang jatuh dari gerojogan yang kecil itu akan melubangi
kepalanya. Memang mungkin diperlukan waktu yang lama.
Orang yang diikat itu tentu sudah m enjadi gila sebelum mati
karena kepalanya berlubang."
"Kau pernah melakukan hal seperti itu"," bertanya
Mahisa Pukat. "Kenapa kau bertanya"," orang itu justru bertanya.
"Jika kau pernah melakukannya, aku bunuh kau,"
bentak Mahisa Murti, "kawan-kawanmu yang pernah
melakukannya atau menjatuhkan hukuman picis atau
sebangsanya, akan aku bunuh sekarang juga."
Orang itu terkejut. Tiba-tiba saja mereka y ang
mendekati Mahisa Murti itu bergeser mundur. Suara Mahisa
Murti serta sikapnya y ang keras ternyata telah m engejutkan
mereka. Tetapi orang itu kemudian berkata: "Jangan menggertak
kami. Jangan menakut-nakuti kami."
"Aku tidak m enakut-nakuti kalian. Tetapi aku berkata
sebenarnya." Mahisa Murti pun berteriak juga.
Mahisa Pukat, Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa
Amping yang juga sudah bangkit berdiri, m enjadi berdebardebar.
Nampaknya orang-orang y ang mengepung itu tidak lagi
dapat diajak untuk berbicara.
Sementara itu Mahisa Semu menggamit Mahisa Amping
sambil bertanya: "Apakah kau tidak merasakan getaran isyarat
bahwa hal ini akan terjadi sebagaimana kau tahu bahwa dua
orang y ang berpakaian dan membawa perhiasan yang baik dan
mahal itu akan kalah dan mereka memang penjahat" "
" Isy arat bagaimana"," bertanya Mahisa Am ping.
"Getaran di jantungmu. Isy arat apa pun yang dapat kau
tarik kesimpulan bahwa sesuatu akan terjadi atas kita," jawab
Mahisa Semu. "Aku tidak mengerti," jawab Mahisa Amping y ang
nampak agak kebingungan karena pertanyaan Mahisa Semu.
Mahisa Semu menarik nafas dalam-dalam. Sementara
Wantilan pun berkata: "Ia akan menjadi bingung. Belum
saatnya ia m enerima pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Atau,
ia memang tidak mendapatkannya. Juga apa yang pernah
terjadi hanya satu kebetulan."
Mahisa Semu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak
bertanya lagi. Sementara itu, Mahisa Murti memandang orang-orang
yang m endekatinya itu dengan sor ot mata y ang tajam. Tetapi
orang-orang itu berusaha untuk tidak menunjukkan
goncangan di dalam jantung mereka. Seorang diantara mereka
justru membentak-bentak: "Sekarang bicaralah. Di mana
kawan-kawanmu" Di mana ternak itu kalian sembunyikan.
Atau kami akan segera mengambil tindakan y ang sesuai
dengan kesalahan y ang telah kalian perbuat."
"Apa yang akan kalian lakukan, akan kami lakukan pula
atas kalian. Katakan, apa y ang akan kalian lakukan"
Membunuh, menghukum dengan hukuman y ang paling berat,
hukuman picis misalnya. Atau apa"," bertanya Mahisa Murti.
Lalu katanya pula: "Atau kalian akan melepaskan kami pergi
tanpa mempersoalkan tuduhan-tuduhan y ang tidak masuk
akal itu atau apa" Ingat, kami akan melakukan apa yang kalian
ingin lakukan atas kami."
Orang-orang itu memang menjadi bingung. Namun
orang y ang diiringi oleh kawan-kawannya itu membentak:
"Kalian memang cerdik. Tetapi kami bukan orang-orang
dungu yang dapat kalian bohongi dengan cara seperti itu. Satu
cara untuk m elepaskan diri. Cepat katakan atau aku panggil
orang-orangku." "Apa y ang akan kalian lakukan" Katakan, agar aku dapat
menentukan langkah-langkah berikutnya. Apa yang akan kami
lakukan atas kalian," Mahisa Murti membentak pula.
Orang-orang itu tidak telaten lagi. Mereka memang
mengira bahwa anak muda itu sekedar berusaha untuk
menakut-nakuti mereka. Karena itu, maka orang yang
nampaknya pemimpin dari orang-orang yang mengepung
anak-anak muda itu memberikan isy arat kepada kawankawannya
untuk mulai bergerak. Mahisa Murti menarik nafas, dalam-dalam. Ia memang
menjadi bimbang, apakah y ang sebaiknya dilakukan. Sudah
tentu anak muda itu tidak ingin membunuh siapa pun juga
diantara orang-orang y ang tidak mengerti apa y ang mereka
lakukan itu. Beberapa saat lamanya Mahisa Murti termangu-mangu.
Namun akhirnya ia berkata: "Aku sudah memperingatkan
kalian." Orang-orang itu tidak menghiraukannya. Perlahan-lahan
orang-orang yang mengepung Mahisa Murti dan saudarasaudaranya
itu bergerak semakin maju, sehingga kepungan itu
pun semakin lama menjadi semakin sempit.
Mahisa Pukat, Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa
Amping pun menjadi bingung. Mereka tidak tahu apa yang
harus mereka lakukan. Namun dalam pada itu, Mahisa Murtilah y ang
melangkah mundur dan bergabung dengan saudarasaudaranya
sambil berdessis: "Apa y ang sebaikny a kami
lakukan" " Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Tetapi ia justru
bertanya: "Apa" "
"Kita lawan mereka," berkata Mahisa Amping: "kita akan
mengalahkan mereka."
Mahisa Murti memandang orang-orang y ang
mengepungnya. Ternyata memang cukup banyak. Selangkah
demi selangkah mereka maju semakin dekat.
Namun tiba-tiba Mahisa Amping berkata: "Kenapa kita
tidak bertempur" "
"Mereka tidak menyadari apa y ang mereka lakukan
terhadap kita. Mereka tidak tahu siapakah kita sebenarnya dan
karena mereka orang-orang yang agaknya sudah terlalu sering
mendapat gangguan oleh orang-orang jahat, maka sikap
mereka menjadi kasar. Tetapi belum tentu bahwa mereka
memang orang-orang kasar," berkata Mahisa Murti.
"Jika demikian, kita harus melarikan diri," berkata
Mahisa Amping. " Itu lebih baik. Kita tidak akan membuat kesalahan
dengan membunuh satu atau dua orang diantara mereka,"
sahut Mahisa Murti. Yang lain hanya mengangguk-angguk saja. Sementara
Mahisa Amping berkata: "Apakah kita tidak dapat menerobos
kepungan y ang tipis itu" "
Mahisa Murti mengangguk. Katanya: "Tentu saja dapat."
"Jika demikian, kenapa kita melarikan diri saja
menembus kepungan itu"," bertanya Mahisa Amping.
Mahisa Murti memandang Mahisa Pukat sejenak. Lalu ia
pun berdesis: "Ya. Kita akan menembus kepungan itu.
Kemudian kita akan melarikan diri. Biarlah Mahisa Semu dan
paman Wantilan m endahului k ita sambil membawa Amping.
Kita akan m enahan orang-orang yang mengejar kita sampai
kalian bertiga menjadi jauh. Kemudian kami berdua pun akan
melarikan diri." "Kenapa kita tidak bersama-sama saja"," bertanya
Mahisa Semu. "Jika kita berlari bersama-sama, maka mereka akan
mengejar kita dan pertempuran akan berlangsung lama dan
keras sehingga mungkin kita tidak dapat menghindari
jantuhnya korban. Mungkin kita akan dapat m enang. Tetapi
tentu dengan korban y ang semakin banyak diantara mereka
jika sikap mereka masih tetap keras," jawab Mahisa Murti.
Mahisa Pukat m engangguk-angguk. Jumlah orang y ang
mengepung itu memang cukup banyak, sehingga jika m ereka
harus bertempur, maka korban pun akan berjatuhan. Jika
mereka tidak mengurangi jumlah lawan, m aka pertempuran
itu tentu tidak akan selesai.
Karena itu, maka Mahisa Murti dan saudara-saudaranya
telah memilih menghindari pertempuran. Meski pun orangorang
itu akan dapat menuduh mereka sebagai pengecut,
maka m ereka tidak akan terlalu bersakit hati, karena orangorang
itu tidak tahu siapa mereka sebenarnya.
Dengan bulat hati, maka mereka pun telah berusaha
untuk memilih lapisan yang dianggapnya paling lemah.
Dengan nada rendah Mahisa Murti pun berkata: "Kita tembus
lapisan di bawah pohon kering itu. Nampaknya dinding
kepungan di tempat itu lemah. Kemudian Mahisa Semu dan
Mahisa Am ping akan meninggalkan arena, disusul oleh paman
Wantilan. Kami akan menahan orang-orang y ang mengejar
kita sambil undur. Baru kemudian kami akan melarikan diri
menyusul kalian. Tetapi tiba -tiba saja Mahisa Amping bertanya:
"Bagaimana jika ada orang y ang melihat, kakang berdua
melarikan diri" "
Mahisa Pukat sempat tertawa pendek. Katanya: "Kami
akan memakai kedok untuk selapan hari."
Mahisa Amping tidak menjawab lagi. Namun ia pun
telah m emperhtikan tempat y ang ditunjuk oleh Mahisa Murti
itu. Nampaknya tempat itu memang paling lemah dibanding
dengan dinding kepungan di tempat y ang lain.
Karena itu, maka Mahisa Murti pun berbisik:
"Bersiaplah. Aku akan memberikan aba -aba. Jangan menarik
perhatian." Sementara itu kepungan memang menjadi semakin
rapat. Orang yang nampaknya menjadi pemimpin dari
sekelompok orang itu m asih beteriak: "Meny erahlah. Kalian
akan mendapat perlakuan lebih baik daripada kalian melawan.
Kal ian hanya perlu berbicara sedikit."
Tetapi Mahisa Murti tidak menghiraukannya. Ia pun
kemudian telah memberikan isyarat kepada saudarasaudaranya
untuk dengan cepat menembus kepungan.
Langkah yang tidak diduga itu memang mengejutkan.
Mahisa Amping ternyata berlari di paling depan.
Mahisa Semu pun kemudian telah menyusulnya. Dengan
cemas ia berkata hampir berteriak: "Amping, tunggu."
Mahisa Amping memang tidak menghiraukan. Tetapi
Mahisa Semu dan Wantilan pun segera m enyusul dan berlari
sebelah meny ebelah. Baru di belakang mereka adalah Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat. Serangan Mahisa Semu dan Wantilan serta Mahisa
Amping benar-benar mengejutkan. Orang-orang yang tidak
terbiasa bertempur itu hampir tidak melakukan perlawanan.
Mereka justru menyibak meski pun sekali-sekali pedang
mereka berputar juga. Dengan demikian m aka Mahisa Semu, Mahisa Amping
dan Wantilan dengan mudah dapat melintasi dinding
kepungan itu. Demikian pula Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Namun dalam pada itu terdengar seseorang berteriak:
"Jangan biarkan mereka lolos. Mereka adalah sumber
keterangan tentang perampok-perampok itu. Mereka akan
dapat m enunjukkan di mana harta benda rampokan itu serta
ternak kita disembunyikan."


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Beberapa orang y ang mendengar teriakan itu dengan
cepat berusaha mengepung mereka kembali. Tetapi Mahisa
Semu, Mahisa Amping dan Wantilan sudah menjadi agak jauh.
Hanya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sajalah yang m asih
cukup dekat. Karena itu, maka sasaran mereka pun terutama
tertuju kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang dengan
sengaja membuat jarak dari Mahisa Semu, Mahisa Amping
dan Wantilan. Keduanya memang akan berusaha menahan
orang-orang y ang mengejar mereka. Jika jarak Mahisa
Amping telah menjadi cukup jauh, maka Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat akan dengan mudah melarikan diri. Dengan
dukungan kekuatan cadangan di dalam tubuh m ereka, maka
mereka akan dapat berlari lebih cepat dari orang kebanyakan.
Sementara itu, orang-orang y ang mengejar mereka telah
menjadi semakin dekat dengan Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat. Mereka telah mengacu-acukan senjata mereka. Bahkan
ada di-antara mereka y ang telah melemparkan tombak
mereka. Namun gagal mengenai sa saran.
Tetapi karena Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang
sengaja tidak berlari terlalu kencang, akhirnya orang-orang
yang mengejarnya di paling depan telah menyusulnya.
Akhirnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru telah
berhenti. Mereka telah mencabut pedang mereka. Tidak untuk
membunuh. Tetapi sekedar untuk menghambat gerak maju
orang-orang y ang mengejar mereka itu.
Namun ternyata pedang keduanya telah mengejutkan
orang-orang yang mengejarnya. Pedang yang lain dari
kebanyakan pedang. Bahkan mirip dengan sebilah keris
raksasa. Bentuknya memang tidak begitu mengejutkan. Tetapi
bahwa daun senjata itu seakan-akan bercahaya kehijauhijauan,
maka orang-orang itu pun menjadi tertegun
karenanya. Namun sekali lagi terdengar pemimpin mereka
berteriak: "Tangkap. Jika melawan, kalian dapat
membunuhnya. Jangan beri kesempatan untuk melarikan
diri." Orang-orang yang mengejarnya itu pun telah mendesak
maju dengan serentak. Namun justru ketika Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat berhenti, mereka pun berhenti pula. Bahkan jika
anak-anak muda itu maju, mereka justru surut.
Ternyata pemimpin mereka telah mendekat pula. Orang
yang menemui Mahisa Murti dengan para pengiringnya.
Wajahnya merah membara. Kemarahannya seakan-akan tidak
tertahankan lagi. Ketika orang itu dan para pengiringnya
mendekat, maka orang -orang.yang lain pun telah meny ibak.
"Kau keras kepala," geram orang itu.
"Ki Sanak," berkata Mahisa Murti kemudian: "sikap
kalian memang-mengherankan. Bagaimana mungkin kalian
dengan kekuatan sebesar ini dapat dirampok dan ternak kalian
dapat dibawa oleh sekelompok penjahat" Sekarang kalian
berusaha memburu para perampok. Kenapa tidak kalian lawan
saat mereka merampok padukuhan kalian."
"Aku datang terlambat," jawab pemimpin orang-orang
padukuhan itu. "Maksud Ki Sanak"," bertanya Mahisa Murti.
"Aku telah beberapa lama mengembara. Ketika aku
pulang bersama beberapa orang kawanku, baru aku tahu apa
yang terjadi," jawab orang itu.
"Jadi kalian pernah mengembara"," bertanya Mahisa
Murti. "Ya," jawab orang itu.
"Jika demikian kenapa kau berlaku sewenang-wenang
terhadap pengembara seperti kami"," bertanya Mahisa Murti.
"Kau kira aku tidak diperlakukan sewenang-wenang","
justru orang itu yang bertanya.
"Jadi kau sekedar akan membalas dendam"," desak Ma -
hisa Murti. "Tidak," orang itu membentak, "aku dan saudarasaudaraku
menuntut hak kami y ang kalian bawa."
"Apakah kalian juga pernah dituduh merampok ketika
mengembara"," bertanya Mahisa Pukat tiba -tiba.
Orang itu m engerutkan keningnya. Namun kemudian ia
pun telah menjawab dengan suara lantang: "Per setan."
"Jadi kau belum pernah m engalami sebagaimana kami
alami sekarang"," bertanya Mahisa Pukat.
"Cukup. Tangkap mereka. Jika m ereka melawan, kalian
dapat membunuhnya," teriak pemimpin kelompok orangorang
padukuhan itu. Namun m enurut perhitungan Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat, Mahisa Semu, Mahisa Amping dan Wantilan sudah
menjadi cukup jauh, sehingga mereka tidak perlu
mencemaskannya lagi. Dengan demikian, maka ketika orang-orang padukuhan
itu mulai bergerak, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
bergeser mundur meski pun keduanya masih mengacukan
pedang-pedang mereka. Tetapi beberapa saat kemudian, maka
tiba -tiba saja Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu telah saling
memberi isy arat. Serentak keduanya meloncat dan m elarikan
diri. Pemimpin orang-orang padukuhan itu pun telah
berteriak: "Jangan biarkan mereka lari. Mereka adalah
perampok-peram-pok y ang kita cari. Berhari -hari kita
mengamati sawah, ladang dan bahkan padang-padang ilalang.
Jika mereka lepas, belum tentu kita akan dapat menangkapnya
lagi." Orang-orang padukuhan itu pun telah menghambur.
Mereka telah berusaha mengejar kedua orang itu.
Sementara itu, di kejauhan Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat m elihat Mahisa Semu, Mahisa Amping dan Wantilan
berlari-lari. Nampaknya Mahisa Amping m enolak untuk didukung
oleh Ma -hisa Semu atau Wantilan. Tetapi anak itu lari cukup
cepat. "Jarak itu sudah cukup jauh," berkata Mahisa Murti
sambil berlari. "Ya. Mereka tidak akan dapat menangkapnya," sahut
Mahisa Pukat. Sebenarnyalah orang -orang padukuhan itu masih juga
mengejar. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ternyata
berlari t erlalu cepat, sehingga jarak diantara mereka pun
semakin lama menjadi semakin jauh.
Tetapi pemimpin kelompok itu berteriak terus: "Kita
tentu akan m enangkapnya, di padukuhan sebelah kita akan
membunyikan kent ongan. Orang-orang padukuhan itu tentu
tidak akan berkeberatan. Jika setiap padukuhan
mendengarnya dan berjaga-jaga maka kita akan mendapat
bantuan mereka." Teriakan itu masih juga dapat didengar oleh Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat. Sambil berlari Mahisa Pukat berkata:
"Jika mereka sempat membuny ikan kentongan, maka
kemungkinan buruk dapat terjadi. Mungkin akan terjadi
benturan kekerasan. Dan kita terpaksa melakukan sesuatu
untuk meny elamatkan diri."
Mahisa Murti m emang menjadi cemas. Sambil berlari
terus Mahisa Murti berkata: "Kita membuat permainan untuk
menghentikan mereka."
"Maksudmu"," bertanya Mahisa Pukat.
"Pohon di depan itu akan membantu kita," desis Mahisa
Murti. "Maksudmu, kita merobohkan pohon itu"," desak
Mahisa Pukat. "Tidak perlu pohonnya. Kita patahkan beberapa
dahannya y ang menyilang diatas jalan. Demikian kita lewat
beberapa langkah, maka kita berhenti dan mematahkan
dahan-dahan yang cukup besar itu," jawab Mahisa Murti.
Ternyata Mahisa Pukat tanggap. Karena itu, maka ia
telah berlari lebih kencang lagi, sehingga jarak antara kedua
anak muda itu dengan orang-orang y ang mengejarnya menjadi
semakin jauh. Namun orang-orang padukuhan itu sama sekali tidak
berputus a sa. Dua atau tiga orang diantara mereka akan
berbelok menuju padukuhan terdekat.
Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
berlari melintasi pohon besar di pinggir jalan itu. Beberapa
langkah dari pohon itu mereka berhenti.
Sejenak kemudian, maka kedua orang itu telah bersiap.
Demikian orang-orang y ang memburunya itu menjadi
semakin dekat, maka Mahisa Murti pun berdesis: "Aku akan
menghitung sampai tiga bilangan."
Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi ia pun telah
bersiap. Orang-orang padukuhan y ang mengejar mereka menjadi
heran. Kenapa kedua orang itu justru berhenti.
Karena itu, maka mereka pun telah bersiap-siap
menghadapi segala kemungkinan.
Sementara itu pemimpin orang-orang padukuhan itu
pun berteriak: "Cepat. Nampaknya mereka telah kehabisan
tenaga sehingga tidak dapat lari lebih jauh lagi."
Tetapi ketika orang-orang padukuhan itu berlari
semakin cepat sambil mengacukan senjatanya, maka terjadilah
peristiwa yang sama sekali tidak diduganya. Hitungan Mahisa
Murti sudah sampai pada hitungn ke tiga. Dengan demikian,
maka keduanya telah mengangkat tangan mereka dan
melontarkan kekuatan ilmu mereka menghantam dua batang
pohon yang meny ilang diatas jalan yang akan dilalui oleh
orang-orang y ang mengejarnya.
Terdengar derak dahan itu patah. Kemudian dua batang
dahan y ang berdaun lebat telah patah dan runtuh jatuh
menyilang jalan. Orang-orang yang mengejar Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat itu t erkejut. Dengan serta m erta mereka telah berhenti
berlari dan bahkan berdesakan mundur beberapa langkah.
Ketika dua batang dahan itu sudah jatuh dan meny ilang
jalan, maka orang-orang padukuhan itu berdiri termangumangu.
Pemimpin dari orang-orang yang mengejar Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat itu justru mematung. Ia tahu bahwa
hanya ilmu y ang sangat tinggi sajalah yang dapat
dipergunakan untuk mematahkan dahan-dahan pohon sebesar
itu. Diluar sadarnya ia berkata didalam hatinya: "Jika
kekuatan ilmu itu ditujukan kepada kami, maka apakah
jadiny a" " Namun dalam pada itu, pemimpin dari orang-orang
padukuhan itu masih berdiri tegak bagaikan membeku.
Bahkan ketika ia melihat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
kemudian melangkah pergi meninggalkan mereka. Semakin
lama semakin jauh. Sementara itu, orang-orang padukuhan itu pun menjadi
bingung. Mereka tidak tahu apa y ang harus mereka lakukan.
Meski pun sebenarnya m ereka dapat menyusup di sela-sela
daun atau sedikit melangkahi tanggul parit dan pematang
mereka akan dapat melintasi dahan y ang patah itu, namun
mereka tidak berani melakukannya. Apalagi pemimpin mereka
masih belum, memberikan perintah apa-apa.
Baru beberapa saat kemudian pemimpin orang-orang
padukuhan itu berkata: "Kita tidak akan dapat mengejar
mereka." "Kita loncati tanggul dan pematang," teriak seseorang.
"Jangan berpura -pura menjadi seorang pemberani. Kau
lihat apa y ang telah mereka lakukan" Mereka mampu
mematahkan dahan pohon sebesar itu. Ilmunya y ang dahsyat
mampu pula menyapu kita semuanya jika mereka mau. Tetapi
mereka tidak melakukannya."
"Jadi"," bertanya orang-orang padukuhan itu.
"Kita memang salah sangka. Jika mereka benar-benar
perampok y ang keji, mereka tidak akan memberikan
peringatan sebagaimana m ereka lakukan itu. Tetapi mereka
akan langsung menghancurkan kita semua."
Orang-orang padukuhan itu termangu-mangu. Namun
pemimpin itu berkata: "Berhentilah disini. Aku akan menemui
kedua orang anak muda itu."
Orang itu tidak menunggu jawaban. Ia pun segera
menyusup dan meloncati dahan y ang patah m enyilang jalan.
Berlari -lari kecil ia menyusul Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
yang berjalan menjauhi batang pohon yang melintang jalan
itu. Namun keduanya akhirnya tahu bahwa seseorang tengah
menyusulnya. "Apakah kita akan berhenti"," bertanya Mahisa Pukat.
"Kita akan berhenti," jawab Mahisa Murti, "ada dua
kemungkinan. Orang itu akan mengakui kesalahannya atau
akan menantang kita bertempur karena orang itu memiliki
ilmu y ang sangat tinggi."
Mahisa Pukat mengangguk. Karena itu, maka mereka
pun telah berhenti menunggu orang itu mendekati mereka.
Beberapa langkah di hadapan Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat orang itu berhenti. Dengan nada dalam ia berkata:
"Anak-anak muda, maafkan kami. Kami tidak tahu, betapa
tinggi ilmu Ki Sanak. Dan betapa besar jiwa Ki Sanak berdua."
"Sudahlah," berkata Mahisa Murti, "lain kali berhatihatilah
menuduh orang. Sebenarnyalah kami sedang dalam
perjalanan kembali ke padepokan. Kami segan untuk
bertempur dengan siapapun, karena sebenarnya kami telah
menjalani laku tapa ngrame meski pun kami berniat untuk
mengakhirinya." "Kami mengucapkan terima kasih atas sikap kalian,"
berkata orang itu, "kami berjanji untuk bertindak lebih
berhati-hati pada kesempatan lain. Sebenarnyalah kam i sudah
merasa sangat tersiksa dengan tingkah laku orang-orang jahat
itu. Demikian aku kembali, maka aku telah menyusun
kekuatan untuk melawan mereka."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Dengan nada rendah Mahisa Pukat berkata: "Tetapi kau telah
salah mengetrapkan kekuatan y ang telah kau susun."
"Aku merasakan kesalahan itu," jawab pemimpin
sekelompok orang-orang padukuhan itu.
"Kau dapat membayangkan, seandainya orang yang kau
tuduh itu tidak m empunyai kemampuan membela diri, maka


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ia akan dapat benar-benar m ati ter sia -sia. Padahal ia tidak
bersalah sama sekali," berkata Mahisa Pukat selanjutnya.
"Ya," jawab orang itu sambil menunduk.
"Seharusnya kau memang dihukum," berkata Mahisa
Pukat kemudian: "tetapi tidak untuk kali ini."
"Terima kasih anak muda," berkata orang itu: "aku
mohon maaf atas nama semua orang sepadukuhan."
"Kembalilah kepada orang-orangmu. Aku senang
melihat kau berhasil m enyusun sekelompok kekuatan untuk
melawan perampok dan kejahatan-kejahatan lain. Tetapi tidak
boleh salah sasaran. Lain kali jika kau menangkap seseorang,
maka kau harus membawa orang itu kepada Ki Bekel untuk
memeriksanya. Jika kau bunuh orang itu dan ternyata tidak
bersalah, maka kau bukan saja akan memikul beban
peny esalan sepanjang umurmu, tetapi juga beban di hidup
abadimu kemudian," berkata Mahisa Murti.
Orang itu mengangguk-angguk dalam-dalam. Dengan
nada dalam penuh peny esalan ia berkata: "Aku berjanji untuk
menjadi lebih berhati-hati."
"Kembalilah," berkata Mahisa Murti kemudian.
Orang itu pun kemudian telah minta diri untuk kembali
kepada kawan-kawannya yang termangu-mangu di k ejauhan.
Sekali lagi orang itu membungkuk dalam-dalam. Kemudian
perlahan-lahan ia melangkah kembali dengan peny esalan yang
mendalam. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memandang orang itu
sejenak. Dilihatnya orang itu mengajak kawan-kawannya
menyingkirkan dua batang dahan yang melintang di jalan.
Namun ternyata dahan itu terlalu berat untuk diangkat.
Mereka harus memotong dengan pedang ranting-rantingnya
beberapa batang dan meny eretnya ke pinggir.
"Biarlah mereka mengingatnya apa y ang telah terjadi
itu," berkata Mahisa Murti: "marilah. Kita akan meneruskan
perjalanan. Mahisa Semu, paman Wantilan dan Mahisa
Amping telah berada di kejauhan."
Mahisa Pukat m engangguk kecil. Mereka pun kemudian
melangkah menyusul saudara-saudara mereka y ang telah
mendahului mereka. Di kejauhan, Mahisa Aming sempat memanjat sebatang
pohon y ang tidak terlalu tinggi. Ia sempat melihta Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat y ang telah berjalan menyusul mereka.
"Tidak terjadi sesuatu atas kakang Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat," berkata Mahisa Am ping.
Mahisa Semu dan Wantilan y ang berjalan agak mendaki
telah melihat pula apa yang terjadi. Dengan nada rendah
Wantilan berkata: "Untunglah bahwa orang-orang itu jatuh ke
tempat yang lunak. Jika mereka terbanting jatuh di batu
padas, maka tulang-tulang mereka akan berpatahan."
"Siapa"," bertanya Mahisa Semu.
"Orang-orang padukuhan itu," jawab Wantilan. Mahisa
Semu mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud
Wantilan. Karena itu, ia berkata: "Mudah-mudahan
mereka benar -benar meny esali kesalahannya. Meski pun kita
disini tidak mendengar apa yang mereka bicarakan, tetapi
menilik sikapnya, maka orang padukuhan itu telah menyesal."
"Ya," jawab Wantilan sambil mengangguk-angguk.
Mahisa Amping y ang telah turun dari pohon y ang dipanjatnya
telah duduk di atas sebuah batu sambil bersandar sebatang
pohon: "Kita akan menunggu disini. Jarak ini cukup jauh,
sedangkan kakang Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berjalan
perlahan-lahan saja."
Mahisa Semu dan Wantilan pun telah duduk pula
menunggu kedatangan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Sementara mereka menunggu, maka Mahisa Amping
sempat melihat kelompok-kelompok burung bangau yang
terbang di udara. Mereka melintas dengan cepat dalam iringiringan
y ang seakan-akan diatur dengan rapi.
Namun kemudian, seperti pasir yang dibaurkan, burung
pipit menghambur turun ke atas batang padi yang sedang
berbuah. "Kenapa tidak ada orang y ang menunggu padi itu","
bertanya Mahisa Amping. Mahisa Semu dan Wantilan pun m engangguk-angguk.
Katanya: "Ya, kenapa" "
Sejauh-jauh mereka memandang, mereka sama sekali
tidak m elihat seorang pun y ang berada di sawah sementara
padi mulai menguning. "Agaknya pengaruh k eadaan," berkata Wantilan: "tentu
ada hubungannya dengan sikap orang -orang padukuhan yang
telah mengejar Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu."
"Nampaknya kejahatan itu telah terjadi di padukuhanpadukuhan
di sekitar tempat ini," berkata Mahisa Semu. Lalu
katanya pula: "Karena itu agaknya maka orang-orang tidak
berani turun ke sawah, meski pun di siang hari."
Wantilan mengangguk-angguk. Sementara itu Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat telah melangkah semakin dekat.
"Marilah," berkata Mahisa Murti ketika ia telah berdiri
dihadapan Mahisa Amping: "kita melanjutkan perjalanan."
Mereka berlima pun telah melanjutkan perjalanan.
Ternyata perjalanan mereka memang cukup panjang. Mereka
telah jauh meninggalkan padepokan mereka untuk waktu yang
sangat panjang. Karena itu, ketika mereka berniat kembali,
mereka pun harus menempuh jalan panjang pula.
Ketika m ereka kemudian melintasi sebuah padukuhan
yang besar sementara matahari menjadi semakin tinggi, maka
mereka telah singgah disebuah kedai.
Mahisa Amping y ang memang sudah menjadi lapar,
telah memasuki kedai itu dengan wajah y ang cerah.
Namun, demikian ia berada di dalam kedai itu, maka ia
telah memandang berkeliling. Beberapa kali mereka
mengalami persoalan ketika mereka berada di dalam kedai.
Namun kedai itu tidak terlalu banyak dikunjungi orang.
Meski pun ada juga satu dua orang y ang ada di dalam, namun
mereka ternyata hanya minum sambil memungut sepotong
makanan, kemudian meninggalkan kedai itu. Agaknya mereka
hanyalah orang-orang y ang tinggal dekat dengan kedai itu
sa ja. "Nampaknya jalan ini tidak terlalu ramai," berkata
Mahisa Murti. "Ya," sahut pemilik kedai: "sejak sebulan y ang lalu."
Mahisa Murti m engerutkan keningnya. Dengan ragu -ragu ia
bertanya: "Kenapa sejak sebulan y ang lalu" "
"Sebelumnya jalan ini termasuk jalan yang ramai. Tetapi
sejak sebulan y ang lalu segala-galanya telah berubah," berkata
pemilik kedai itu. "Apa yang berubah"," bertanya Mahisa Murti.
"Lingkungan di sekitar padukuhan ini menjadi gelisah.
Banyak terjadi k erusuhan, sehingga jarang orang berani
berpergian keluar dari padukuhan mereka masing-masing.
Dengan demikian maka jalan yang menghubungkan
padukuhan y ang satu dengan padukuhan y ang lain ini menjadi
sepi," jawab pemilik kedai itu.
"Bukankah dengan demikian penghasilan Ki Sanak
menjadi jauh berkurang"," bertanya Mahisa Pukat pula.
"Tentu Ki Sanak. Tetapi aku tidak dapat berbuat apa -
apa. Aku hanya dapat mengeluh karena tidak banyak lagi
orang yang sempat singgah di kedaiku ini," berkata pemilik
kedai itu kemudian. Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ia dapat mengerti
keadaan pemilik kedai itu. Sudah tentu ia tidak akan mampu
me-rubah keadaan itu. Namun Mahisa Pukat masih juga bertanya: "Apakah
keadaan seperti ini menebar di daerah y ang luas" "
"Lebih dari ampat atau lima Kabuyutan mengalaminya,"
jawab pemilik kedai itu. Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tetapi ia masih
bertanya lagi: "Apakah Ki Sanak tahu, apakah yang
menyebabkan perubahan itu" "
"Tidak. Aku tidak tahu. Tiba-tiba saja keamanan jalanjalan
di bulak-bulak panjang menjadi terganggu. Beruntunglah
Ki Sanak, bahwa Ki Sanak tidak mengalami gangguan apa pun
di perjalanan," berkata pemilik kedai itu.
Mahisa Pukat masih saja mengangguk-angguk. Tetapi ia
pun kemudian berkata kepada Mahisa Murti: "Agaknya
kerusuhan di tem pat ini dilakukan oleh k elompok y ang sama,
yang telah melakukan kejahatan di padukuhan yang telah
bangkit itu." "Apa yang Ki Sanak m aksud"," bertanya pemilik kedai
itu. "Di sebuah padukuhan y ang juga termasuk besar seperti
padukuhan ini, orang-orangnya telah bangkit. Mereka telah
menyusun satu kelompok y ang bukan saja terdiri dari anakanak
muda. Nampaknya mereka telah menyatakan diri
menjadi pengawal padukuhan. Dengan kelompok pengawal
itu, maka diharapkan keadaan padukuhan itu menjadi lebih
baik. Para penjahat harus berpikir ulang jika mereka akan
memasuki padukuhan itu atau melakukan kejahatan di bulakbulak
persawahan milik padukuhan itu," jawab Mahisa Pukat.
"Padukuhan y ang mana"," bertanya pemilik kedai itu
pula. "Sayang, kami tidak bertanya namanya. Tetapi kami
telah melalui padukuhan itu dan melihat kesiagaannya yang
tinggi," jawab Mahisa Pukat pula.
Pemilik kedai itu m engangguk-angguk. Tetapi katanya:
"Kami tidak mempunyai orang kuat yang mau menggerakkan
anak-anak muda di padukuhan ini. Ki Bekel sudah terlalu tua.
Beberapa orang bebahu justru menjadi ketakutan- karena
pada umumnya mereka sudah menjadi kaya. Mereka takut
akan mengalami sesuatu sehingga harus meninggalkan
kekay aan mereka itu."
"Memang seharusnya ada orang kuat itu," berkata
Mahisa Pukat. Tetapi pembicaraan mereka terhenti. Pemilik kedai itu
melihat tiga orang y ang mendekati kedainya. Berbisik pemilik
kedai itu berkata: "Hati-hatilah. Mereka bukan orang-orang
padukuhan ini seperti Ki Sanak. Tetapi sejak lima hari yang
lalu ia selalu datang ke kedai ini."
"Terima kasih atas peringatan ini," jawab Mahisa Murti:
"kami tidak akan berbuat sesuatu y ang dapat membuat
mereka menjadi marah."
Sebenarnyalah ketiga orang itu pun telah singgah di
kedai itu pula. Tetapi mereka lebih senang duduk di sebuah
lincak bambu di luar kedai itu.
"Didalam udaranya terlalu panas," berkata salah seorang
dari antara mereka. Pemilik kedai itu tidak menjawab. Ia masih saja
melayani perm intaan Mahisa Amping. Sementara itu, seorang
lagi telah masuk kedalam kedai itu serta memesan minuman
semangkuk. Tetapi setiap kali orang itu selalu memperhatikan
orang-orang y ang ada diluar kedai itu. Sehingga dengan
demikian maka Mahisa Murti pun menjadi semakin
memperhatikan ketiga orang itu pula.
Tetapi ternyata ketiga orang itu tidak berbuat sesuatu.
Sampai saatnya kelima orang itu selesai makan dan m inum,
ketiga orang itu masih berada di luar. Mereka memang
memesan minuman juga. Tetapi mereka tidak masuk kedalam
kedai. Mahisa Murtilah y ang kemudian membayar harga
minuman dan makanan. Ketika ia mengambil uang
dikampilnya, maka pemilik kedai itu sempat memperhatikan
isiny a. Cukup banyak. Karena itu, tiba-tiba saja pemilik kedai itu berkata:
"Hati-hati dengan uangmu yang banyak itu. Kau akan
melewati bulak yang panjang. Sementara itu daerah ini sudah
tidak aman lagi." Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Dengan nada
rendah ia pun bertanya: " Jadi bagaimana menurut pendapat
Ki Sanak" "Berbahaya bagimu membawa uang sebanyak itu lewat
bulak panjang. Apalagi jika y ang membawa uang itu bukan
hanya Ki Sanak seorang diri."
Mahisa Murti menjawab dengan suara keras: "Ya Ki
Sanak. Kami masing-masing m emang membawa uang cukup.
Jika kami kehabisan uang maka senjata kami ini harganya
mahal sekali. Kami dapat menjualnya dan kami akan merasa
sangat berat membawa uang hasil penjualannya.
Pemilik kedai itu termangu-mangu sejenak. Namun ia
pun kemudian menarik nafas dalam-dalam setelah ia m elihat
hulu pedang Mahisa Murti dan Mahisa Pukat y ang terbuat dari
emas. Sejenak kemudian, maka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat telah mengajak saudara-saudaranya untuk
meninggalkan kedai itu. Tetapi beberapa saat kemudian, Mahisa Murti telah
terhenti ketika tangan Mahisa Amping menggamitnya. Dengan
nada dalam ia berkata: "Aku menjadi berdebar-debar."
"Kenapa "," bertanya Mahisa Murti.
"Siapa tiga orang y ang duduk-duduk diluar kedai itu
kakang"," bertanya Mahisa Amping.
"Tentu saja aku tidak tahu," jawab Mahisa Murti:
"kenapa" "
"Wajah mereka bercahaya kehitam-hitaman.," jawab
Mahisa Amping. Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Nampaknya
anak itu telah disentuh oleh isy arat y ang kadang-kadang
muncul di hatinya, namun kadang-kadang tidak sama sekali.
Isy arat itu ternyata dekat sekali dengan perhitungan
Mahisa Murti. Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat menjadi semakin berhati-hati.
Sementara itu Mahisa Amping telah bertanya kepada
Mahisa Murti: "Kenapa kakang tadi berbicara dengan keras,
bahwa kakang mempunyai banyak uang. Kakang mengatakan
bahwa kami semua membawa uang."
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya:
"Tidak apa-apa Amping. Aku hanya ingin sedikit
meny ombongkan diri."
Mahisa Amping mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak
menyahut lagi. Demikianlah maka beberapa orang itu telah berjalan
menyusuri bulak-bulak panjang. Beberapa kali Mahisa Murti


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memandang berkeliling. Tetapi ia tidak melihat seorangpun.
Namun ketika mereka sampai ke sebuah simpang ampat
di tengah-tengah bulak panjang, maka m ereka telah melihat
beberapa orang berdiri bertolak pinggang. Enam orang.
"Kakang," berkata Mahisa Amping: "lihat mereka.
Bukankah tiga orang diantara mereka adalah orang-orang
yang berada di kedai itu " "
"Ya," jawab Mahisa Murti.
"Mereka mendengar kata-kata kakang," jawab Mahisa
Amping. Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi pada suatu saat,
Mahisa Amping akan tahu kenapa ia berbuat seperti itu.
Beberapa saat kemudian, maka kelima orang itu telah
melangkah semakin dekat dengan keenam orang y ang telah
menunggu itu. Mahisa Murti y ang berjalan di paling depan
sama sekali tidak menjadi ragu-ragu melangkah. Bahkan
dengan tetap ia berjalan semakin dekat dengan keenam orang
itu. Baru beberapa langkah didepan orang-orang itu Mahisa
Murti berhenti sambil berkata: "Ki Sanak. Aku akan lewat."
Yang terdengar adalah suara tertawa. Seorang diantara
ke enam orang itu berkata: "Kau adalah orang-orang yang
sombong. Kau dengan sengaja memamerkan uangmu. Kami
memang tertarik Ki Sanak. Karena itu, kami menunggu kalian
disini." Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya:
"Apakah kau sadar, bahwa yang kau lakukan itu bertentangan
dengan paugeran" "
Tetapi orang itu tertawa semakin keras. Katanya:
"Apakah artinya paugeran bagi kami" "
"Paugeran mengikat semua orang," jawab Mahisa Murti.
"Kami adalah orang-orang y ang berdiri diluar segala
paugeran. Kami adalah orang-orang bebas y ang berbuat sesuai
dengan keinginan kami sendiri.," berkata orang itu.
"Tidak ada seorang pun y ang dapat melepaskan diri dari
paugeran. Setiap pelanggaran pasti akan mendapat
hukumannya.," desis Mahisa Murti.
Tetapi orang-orang itu justru tertawa. Seorang diantara
mereka berkata: "Apakah paugeran dapat menjerat kami
sekarang." Mahisa Murti mengangguk-angguk sambil menjawab:
"Tentu. Paugeran akan menjerat kalian sekarang, jika kalian
tetap berniat melanggar paugeran."
"Kita akan melihat, apakah paugeran dapat mencegah
niat kami mengambil uang kalian, emas dihulu senjata kalian
dan apa pun y ang ada pada kalian."
"Kami pernah mengalami hal y ang sama seperti ini.
Orang y ang m engetahui bahwa kami membawa banyak uang
ketika kami m embayar makanan dan minuman pada sebuah
kedai. Tetapi orang y ang akan berbuat jahat itu melihat sendiri
uangku yang tanpa sengaja nampak olehnya. Kali ini kalian
juga akan merampas uangku karena kalian tahu bahwa aku
membawa uang banyak. Kalian mengetahuinya ketika kami
akan membayar makanan dan minuman di sebuah kedai.
Bedanya, kalian agaknya telah bekerja bersama dengan
pemilik kedai itu. Pemilik kedai itu telah memberikan isyarat
kepada kalian, bahwa seseorang ternyata membawa uang
banyak sehingga pantas untuk dirampok diperjalanan,"
berkata-Mahisa Murti. "Setan kau," geram orang yang agaknya pemimpin dari
sekelompok penyamun itu: "tetapi apa pun juga yang kau
katakan, kami akan merampas uang dan barang-barang
kalian." "Tidak," jawab Mahisa Murti: "Kami akan menangkap
kalian dan sekaligus pemilik kedai itu. Kalian akan kami
serahkan kepada Ki Bekel di padukuhan yang baru saja kami
tinggalkan." Pemimpin sekelompok penyamun itu tertawa. Katanya:
"Bagaimana kalian akan menangkap kami. Jumlah kami lebih
banyak dari kalian. Kami adalah orang-orang y ang sangat
ditakuti disini." "Mungkin kalian sangat ditakuti disini. Tetapi kami pun
sangat ditakuti orang disana. Karena itu, sebaiknya kalian
urungkan saja niat kalian. Biarlah kami lewat. Diantara kita
tidak ada persoalan apa pun lagi.," berkata Mahisa Murti.
"Ternyata mulutmu lebih tajam dari ujung senjata. Kau
kira dengan caramu kau akan berhasil melalui daerah kami
tanpa gangguan"," desis pemimpin kelompok itu.
"Dalam waktu sehari, kami sudah mengalami dua
persoalan y ang sangat m enjengkelkan. Salah paham dengan
orang-orang padukuhan yang sedang bangkit untuk melawan
para penjahat. Dan sekarang menghadapi kalian disini.,"
berkata Mahisa Pukat: " sebaiknya kalian lekas kami
selesaikan. Kami akan segera meneruskan perjalanan."
"Kamilah y ang akan meny elesaikan kalian. Tetapi tidak
perlu tergesa-gesa. Kesombongan kalian membuat kami ingin
melihat kalian ketakutan sebelum kalian semuanya terbunuh
disini. Agaknya sangat meny enangkan."
"Apa yang menyenangkan "," bertanya Mahisa Pukat
"Melihat orang ketakutan sebelum matinya. Apalagi
orang orang sombong seperti kalian," Jawab orang itu.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya: "Kau
benar. Meny enangkan sekali melihat kau ketakutan sebelum
mati." Orang itu mengumpat. Ternyata anak-anak muda itu
sama sekali tidak ketakutan. Bahkan nampaknya mereka juga
ingin melakukan sebagaimana yang akan mereka lakukan.
Karena itu, maka pemimpin kelompok peny amun itu
pun segera memberi isy arat kepada kawan-kawannya.
Dalam waktu sekejap, keenam orang itu telah melingkari
Mahisa Murti dan saudara-saudaranya. Namun kelima orang
yang dikepung itu pun telah bersiap pula menghadapi segala
kemungkinan. Bahkan Mahisa Amping pun telah bersiap pula.
Dalam k eadaan seperti itu Mahisa Semu masih sempat
bertanya kepada Mahisa Amping: "Kau mau apa" "
"Bukankah mereka akan meny erang kita"," jawab
Mahisa Amping. "Dan kau"," bertanya Mahisa Semu pula.
"Bertempur. Siapa tahu ada y ang m enyerang aku. Atau
akan menangkap aku sebagai barang taruhan.," jawab Mahisa
Amping. Mahisa Semu tersenyum. Tetapi mereka tidak sempat berbicara lebih panjang lagi.
Orang-orang y ang mengepung itu mulai bergerak. Dua orang
telah meloncat menyerang dengan garangnya. Mahisa Semu
dan Wantilan telah meny ongsongnya. Mereka pun segera
terlibat dalam pertempuran y ang sengit.
Sementara itu ampat orang y ang lain mulai bergerak
pula. Pemimpin sekelompok peny amun itu berkata:
"Sudahlah. Jangan terlalu banyak tingkah, serahkan saja
semua yang kami minta."
"Bukankah kami berniat menangkap kalian "," sahut
Mahisa Murti. Jawaban itu telah membuat telinga pemimpin
sekelompok peny amun itu semakin marah. Karena itu m aka
katanya: "Bunuh saja orang-orang ini."
"Bukan main," berkata Mahisa Murti didalam hatinya:
"Hari itu ia sudah m endapat ancaman untuk dibunuh sampai
dua kali." Sejenak kemudian, Mahisa Murti telah bertempur
melawan dua orang sekaligus. Demikian pula Mahisa Pukat.
Orang-orang itu agak mengabaikan kehadiran Mahisa
Amping. Beberapa saat kemudian, maka pertempuran itu menjadi
semakin sengit. Mereka semakin menebar di sepanjang jalan
yang sepi di tengah-tengah bulak itu.
Namun perhitungan orang-orang yang mendapat isy arat
dari pemilik kedai itu tidak tepat. Mereka tidak segera dapat
menguasai anak-anak muda itu.
Bahkan orang y ang m erampok itu semakin lama justru
menjadi semakin heran, bahwa anak-anak muda itu masih saja
mampu bertahan. Mereka sama sekali tidak nampak gugup
atau cemas melihat keadaan yang mereka hadapi. Dengan
tangkas anak-anak muda itu masih saja berloncatan dengan
cepat. Karena itu maka pemimpin sekelompok penyamun
itulah y ang menjadi cemas. Dengan mengerahkan segenap
tenaga dan kemampuan bersama dengan orang-orangnya ia
berusaha untuk dengan segera menundukkan lawanlawannya.
Tetapi anak-anak muda itu m asih saja melawan dengan
segar. Tenaganya masih sesegar ketika mereka mulai
bertempur. Semakin lama para penyamun itu pun m ulai menjadi
letih. Tenaga mereka mulai susut dan kegelisahan di hati
mereka menjadikan jantung mereka semakin bergejolak.
Para penyamun itu sama sekali tidak menyangka, bahwa
anak-anak muda itulah y ang semakin lama justru semakin
menguasai arena pertempuran.
Pa da saat-saat terakhir, para penyamun itu masih
berusaha. Dua orang lawan Mahisa Murti telah
menghentakkan kemampuan mereka untuk mengalahkan
lawannya. Tetapi Mahisa Murti sama sekali tidak nampak gugup. Ia
masih saja berloncatan dengan tenaga y ang masih utuh.
Bahkan serangan-serangannya semakin lama menjadi semakin
cepat. Senjata para peny amun itu rasa -rasanya tidak lagi
sanggup membendung ujung pedang di tangan Mahisa Murti.
Pedang yang memiliki ciri kekhususannya. Namun Mahisa
Murti sempat bertanya: "Apakah kau masih menginginkan
hulu pedangku yang terbuat dari emas ini" "
Lawan-lawan Mahisa Murti itu tidak sempat menjawab.
Ketika pedang Mahisa Murti. terjulur, maka mereka telah
berloncatan menjauh. Demikian pula dua orang yang bertempur melawan
Mahisa Pukat. Bahkan seorang diantara mereka sempat
menggeram: "Apakah aku berhadapan dengan ilmu iblis."
Tetapi para penyamun itu sudah masuk ke dalam
pertempuran. Mereka tidak dapat lagi menghindarkan diri
dari keny ataan, bahwa mereka memang telah menyamun.
"Meny erahlah," berkata Mahisa Pukat kemudian: "kami
tidak akan mengambil tindakan sendiri. Yang akan kami
lakukan adalah meny erahkan kalain kepada Ki Bekel atau Ki
Buyut bersama-sama dengan pemilik kedai itu. Ternyata ia
adalah orang y ang licik."
"Aku tidak akan menyerah," jawab seorang diantara
kedua orang lawan-lawannya: "kami justru akan m emotong
lidahmu yang selalu mengucapkan kata-kata yang
menyakitkan hati itu."
"Aku hanya menawarkan satu peny elesaian yang paling
baik kalian," berkata Mahisa Pukat: "karena jika kita
bertempur terus, m aka ada kemungkinan lain dapat terjadi.
Kami tidak sempat membawamu kepada Ki Bekel atau Ki
Buyut karena tubuh kalian akan terkapar mati disini."
"Persetan, tutup mulutmu," salah seorang lawan Mahisa
Pukat berteriak demikian gejolak didalam hatinya menjadi
semakin mengguncang keseimbangan jiwanya.
Yang terdengar kemudian adalah suara tertawa Mahisa
Pukat. Justru berkepanjangan. Katanya: "Dalam keadaan
seperti ini kau masih saja sempat membual."
Tetapi lawan Mahisa Pukat itu terkejut ketika ujung
pedang anak muda itu hampir saja menggapai keningnya.
Namun mereka memang tidak dapat mengingkari
keny ataan. Meski pun berdua melawan seorang, tetapi lawanlawan
Mahisa Pukat mengalami banyak kesulitan.
Demikian pula orang yang bertempur m elawan Mahisa
Semu. Mahisa Semu ternyata sudah menjadi semakin maju
dengan latihan-latihan yang dilakukan sepanjang perjalanan.
Ilmu pedangnya menjadi semakin mapan. Bahkan nampak
betapa Mahisa Semu mulai menguasai bagian-bagian yang
paling rumit dari ilmu pedangnya.
Lambat laun tetapi pasti, Mahisa Semu semakin lama
semakin mendesak lawannya y ang masih bergerak dengan
kasar dan buas. Wantilan justru bertempur agak jauh dari arena
pertempuran y ang lain. Ia berloncatan kian kemari dengan
tangkasnya. Senjatanya terayun-ayun mengerikan. Memang
agak berbeda dengan cara Mahisa Semu menghadapi
lawannya. Tetapi Wantilan memang menimbulkan kesan agak
keras dan kasar. Dengan demikian, maka keenam orang perampok itu
semakin kehilangan pegangan. Mereka terdesak oleh
kemampuan ilmu lawannya. Sementara itu Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat masih sekedar mempergunakan ilmu
kewadagannya yang biasa, namun ternyata itu pun telah
membuat lawan-lawan mereka bingung.
Dalam pada itu sekali lagi Mahisa Murti masih
memperingatkan mereka. Dengan lantang Mahisa Murti
berkata: "Hentikan perlawanan atau kalian menunggu
permainan ini benar-benar sampai tuntas" -r -
"Cukup," teriak pemimpinnya, "jika kau memang jantan,
lawan aku sampai salah satu pihak tidak mampu lagi
mengangkat senjatanya atau mati."
"Kita masih bertempur Ki Sanak," berkata Mahisa Murti,
"seharusny a kau merasa, apa y ang sedang kau alami itu."
Pemimpin sekelompok penyamun itu menggeram
marah. Tetapi betapa pun ia ingkar dari keny ataan, tetapi
keny ataan itu m emang harus berlaku. Anak muda itu benarbenar
tangguh dan tidak mengenal letih. Sudah sekian lama
pertempuran itu berlangsung, mereka masih tetap segar.
Dengan demikian maka pemimpin perampok itu
menjadi semakin gelisah. Meski pun ia masih nampak garang
dan kata-katanya masih menggelegar bagaikan guruh di langit,
tetapi sebenarnyalah hatinya menjadi semakin kecut. Ia
menjadi semakin m enyadari akan kelemahannya dihadapan
anak muda itu. Berdua ia tidak mampu berbuat apa-apa.
Demikian juga dua orang kawannya y ang lain, sedangkan
kedua orang yang lain lagi masing-masing telah mendapat
lawan yang tidak dapat dikalahkannya
Sementara itu Mahisa Pukat masih juga berkata:


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sudahlah. Jangan memaksa pertempuran ini sampai
membunuh kalian semuanya tanpa ampun. Sekali lagi aku
katakan, jika kalian meny erah, persoalannya akan kami
serahkan kepada Ki Buyut. Demikian juga pemilik kedai yang
ternyata telah m embantu kalian m engisy aratkan orang-orang
yang pantas kalian rampok di perjalanan."
Tidak ada seorang pun y ang menjawab. Tetapi kedua
orang lawan Mahisa Pukat itu telah berusaha menghentakkan
ilmu mereka. Tetapi keduanya sama sekali tidak berhasil mendesak
Mahisa Pukat barang sejengkalpun.
Dengan demikian, maka baik lawan Mahisa Murti, lawar
Mahisa Pukat m au pun lawan Mahisa Semu dan Wantilan,
benar benar tidak akan mampu mengimbangi ketangkasan
anak-anak muda itu. Namun dalam keadaan y ang sulit itu, pada saat hampir
sa ja para perampok itu meny erah, tiba-tiba saja telah
terdengar suara tertawa yang telah mengusik perasaan
mereka. Hampir berbareng semua orang telah berpaling. Bukan
sa ja Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan Wantilan,
tetapi juga lawan-lawan mereka.
Bagaimana pun juga, yang mereka lihat adalah seorang
yang mendebarkan jantung. Orang itu adalah pemilik kedai
yang baru saja mereka singgahi.
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun
sebelum ia bertanya sesuatu, orang itu telah melangkah
mendekat sambil berkata: "Kalian m emang luar biasa anakanak
muda." Tidak terdengar jawaban. Sementara Mahisa Murti dan
saudara-saudara menjadi semakin ber siaga.
"Aku tidak mengira bahwa kalian mampu mengatasi
kegarangan kawan-kawanku itu," berkata orang ituv
"Jadi kaukah otak dari permainan ini"," bertanya Mahisa
Murti. - "Bukan," jawab orang itu: "kita semuanya sudah sepakat
untuk bermain-main. Tidak ada seorang pun diantara kami
yang dapat dituduh sebagai otaknya atau sekedar pelaksana."
"Baiklah," berkata Mahisa Murti, "tawaran kami masih
kami berikan. Meny erahlah agar kita semuanya tidak
menyesali diri sebagai pembunuh. Apakah kalian y ang mati
atau kami yang mati, namun akan terjadi salah satu pihak
diantara kita adalah pembunuh. Tetapi menilik keseimbangan
kekuatan kami, maka kamilah yang akan meny esal bahwa
kami membunuh kalian."
"Cukup," berkata pemilik kedai itu, "jangan membual.
Aku sudah merasa kelebihan kalian di saat kalian
meninggalkan kedai. Jika kalian bukan orang-orang yang
memiliki ilmu, maka kalian tidak akan dengan sengaja
menawarkan uang, hulu pedang dan m ilik kalian y ang lain,
karena kalian nampaknya sudah mencurigai aku dan kawankawanku
itu." "Jadi kau sudah m enduga bahwa kami akan m elawan?"
bertanya Mahisa Murti. "Ya, sebagaimana kalian mencurigai kami, aku pun
merasa curiga atas kalian. Karena itu, maka aku telah hadir di
tempat ini pula. Tetapi seperti yang aku katakan, aku kira
kalian akan meny esali kesombongan kalian karena kalian akan
digilas oleh para perampok itu. Namun ternyata tidak. Kalian
mampu mengatasi para perampok yang sampai saat sebelum
kau datang, adalah perampok y ang sangat ditakuti dan tidak
pernah gagal m enelan korbannya," berkata pemilik kedai itu.
Lalu katanya pula: "Nah, karena kalian ternyata tidak dapat
dikalahkan oleh para perampok itu, maka akulah y ang akan
mengalahkan kalian. Enam orang itu akan melawan tiga orang
diantara kalian, sedangkan aku akan membunuh kalian
seorang demi seorang."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu
sejenak. Tetapi ia percaya bahwa pemilik kedai itu tentu orang
berilmu tinggi. Dengan demikian maka mereka pun menjadi lebih
berhati-hati menghadapi orang itu.
Sebenarnyalah, orang itu ternyata telah memilih Mahisa
Murti untuk menjadi lawannya yang pertama. Sementara
kedua orang lawan Mahisa Murti pun telah bergeser
menjauhinya. "Nah," berkata orang itu: "sekarang kau tentu tidak akan
menawarkan kepada kami untuk meny erah."
"Tawaran tetap sebelum kalian terbunuh disini," jawab
Mahisa Murti. Pemilik k edai itu mengerutkan dahinya. Namun ia pun
kemudian tertawa lagi. Katanya: "Kau masih saja
meny ombongkan diri di saat-saat terakhir dari hidupmu.
Bagus. Sebaiknya kau memang m ati dengan wajah tengadah
daripada mati dengan wajah menuduk."
Mahisa Murti tidak menjawab lagi. Tetapi ia sudah
bersiap m enghadapi segala kemungkinan. Apa pun y ang akan
terjadi, maka ia tidak akan mengingkarinya.
Sementara itu Mahisa Pukat memang mencemaskan
Mahisa Semu dan Wantilan. Mahisa Pukat menyadari, bahwa
jika Mahisa semu dan Wantilan masing-masing harus
bertempur melawan dua orang, maka mereka akan segera
mengalami kesulitan, meski pun dalam pertempuran seorang
lawan seorang, keduanya masih menunjukkan kelebihannya.
Dengan demikian maka Mahisa Pukat itu pun tiba -tiba
sa ja bereriak: "Marilah Ki Sanak. Siapakah yang ingin mati
lebih dahulu, datangklah kepadaku."
Para perampok y ang meninggalkan Mahisa Murti itu
pun merasa tersinggung pula. Apalagi ketika Mahisa Pukat
berkata: "Kalian kira bahwa kedatangan seorang kawan itu
akan dapat menyelamatkan kalian" Kalian yang telah
bertempur untuk beberapa lama aku m engetahui, bahwa apa
pun yang kalian lakukan, maka kalian akan mati. Dengan
demikin maka diantara kalian yang sudah siap untuk
menyerah, sebaiknya kalian lanjutkan rencana kalian untuk
menyerah itu. Dengan demikian maka jiwa kalian akan
diselamatkan." "Persetan," geram salah seorang y ang telah bertempur
melawan Mahisa Murti itu: "kau terlalu sombong."
"Bukankah kau termasuk orang y ang telah menjadi
pucat dan hampir menangis ketakutan, sehingga kalian
hampir saja menyerah"," bertanya Mahisa Pukat.
Kedua orang yang baru saja meninggalkan Mahisa Murti
itu ternyata telah m endekatinya pula sambil berkata: "Kami
ingin membunuhmu lebih dahulu sebelum membunuh kawankawanmu."
Mahisa Pukat melangkah surut. Ia sadar, bahwa ia pun
akan mengalami kesulitan untuk melawan ampat orang
sekaligus. Tetapi ia masih berharap akan dapat dengan
bermacam-macam cara bertahan lebih lama daripada Mahisa
Semu dan Wantilan bila mereka masing -masing harus
bertahan menghadapi dua orang.
Sejenak kemudian, maka Mahisa Pukat telah bertempur
melawan ampat orang sekaligus yang mendendamnya karena
mereka telah merasa tersinggung oleh kata-kata anak muda
itu. Dalam beberapa saat kemudian, maka pertempuran
telah menjadi semakin sengit. Keempat orang lawan Mahisa
Pukat itu benar-benar telah berusaha untuk membunuhnya.
Mereka m eny erang susul m enyusul sementara keempat orang
itu berdiri mengelilingi Mahisa Pukat y ang berloncatan kian
kemari. Tetapi Mahisa Pukat memang tangkas. Karena itu, maka
serangan-serangan keempat lawannya tidak segera dapat
mengenainya. Namun beberapa saat kemudian, Mahisa Pukat merasa,
bahwa memang t erlalu berat untuk melawan ampat orang
dengan kekuatan dan kemampuan kewadagannya saja, betapa
pun ia tangkas bergerak dan memiliki ilmu pedang yang tinggi.
Sementara itu, Mahisa Murti pun telah mulai bertempur
pula melawan pemilik k edai itu. Sambil tertawa pemilik kedai
itu berkata: "Nasibmu memang buruk karena telah
membawamu ke kedaiku. Tetapi seandainya kau tidak t erlalu
sombong, maka kau tidak akan mengundang aku kemari."
"Jadi maksudmu, sebaiknya kami membiarkan diri kami
dibunuh oleh perampok-perampok itu sehingga kau tidak
perlu datang"," bertanya Mahisa Murti.
"Jika sejak awalnya kau menyerahkan semua y ang
dimintanya, mungkin kau akan mendapat kesempatan untuk
hidup," jawab pemilik kedai itu.
"Tidak. Kami memang memancing agar kau datang.
Semua orang y ang terlibat. Seandainya masih ada orang lain
lagi, sebaiknya ia hadir di pertempuran ini," jawab Mahisa
Murti. Orang itu menggeram. Ia meloncat semakin garang.
Senjatanya berputaran dengan ganasnya menyambarnyambar.
Tetapi Mahisa Murti cukup tangkas menghadapinya.
Pedangnya pun dengan cepat berputar pula. Bahkan seakanakan
telah membentuk dinding baja mengelilinginya.
Demikian rapatnya sehingga sulit untuk ditembus oleh ujung
senjata lawannya. Pemilik kedai itu ternyata juga memiliki senjata y ang
menggetarkan. Sebuah kapak y ang tidak terlalu besar.
Tangkainya memang agak terlalu panjang jika diukur dengan
kapak kebanyakan. Namun kapak itu tidak hanya bermata
sebelah, tetapi kapak bermata rangkap.
Ternyata pemilik kedai itu memang seorang y ang
berilmu tinggi. Beberapa saat kemudian, setelah keringatnya
mulai membasahi kulitnya, maka pemilik kedai itu telah
menghentakkan ilmunya yang menandainya sebagai seorang
yang berilmu tinggi. Ayunan kapaknya bukan saja sangat
berbahaya karena tajamnya yang akan dapat mengoy ak kulit
dagingnya, tetapi desir anginnya telah mulai menghembuskan
udara panas. Namun ilmu itu sama sekali t idak mengerutkan
perlawanan Mahisa Murti. Ia justru merasa semakin tegar
menghadapi lawan y ang berilmu tinggi.
Dalam pada itu, Mahisa Pukat memang telah menjadi
semakin terdesak. Tetapi hal itu sama sekali tidak mengecilkan
hati Mahisa Murti. Ia yakin bahwa Mahisa Pukat masih akan
mampu bangkit dan melindungi dirinya sendiri. Sementara
Mahisa Semu dan Wantilan tidak mengalami kesulitana paapa
menghadapi lawan mereka. Bahkan keduanya semakin
nampak akan dapat menguasai lawan masing-masing.
Sementara itu pemilik kedai itu telah meningkatkan
ilmunya pula. Kapaknya menjadi semakin cepat menyambarnyambar,
sementara udara panas semakin meny engat
kulitnya. Mahisa Murti masih bertahan beberapa saat. Tetapi
ketika udara panas itu semakin menggigit, maka ia pun mulai
mengerahkan ilmunya pula. Pedangnya yang memang
berwarna kehijauan itu mulai menyala. Daun pedang itu
seakan-akan bukan saja berwarna kehijauan, tetapi juga
memancarkan sinar y ang berwarna kehijauan pula.
Ternyata daun pedang Mahisa Murti telah menarik
perhatian pemilik kedai itu. Ia segera mengerti, bahwa anak
muda y ang dihadapinya benar-benar anak muda y ang berilmu
tinggi. Karena itu maka pemilik kedai itu merasa harus
berhati-hati. Tetapi ia tidak dapat menarik diri. Ia justru semakin
meningkatkan ilmunya. Ketika ilmu itu sampai ke puncak,
maka sebenarnyalah tubuh Mahisa Murti bagaikan berada di
dalam lingkungan bara api.
Keringat telah m embasahi tubuh Mahisa Murti. Namun
ia tidak ingin menjadi hangus. Karena itu, maka ia pun
berusaha untuk menghentikan serangan panas itu atas
tubuhnya yang seakan-akan terpanggang diatas bara.
Mahisa Murti y ang menganggap bahwa pemilik kedai itu
sebagai orang y ang sangat berbahaya telah memutuskan untuk
membuat perhitungan sampai tuntas. Menurut perhitungan
Mahisa Murti orang itu tidak akan dapat diperbaiki lagi
tingkah lakunya. Nampaknya ia telah begitu yakin akan
kebenaran jalan yang ditempuhnya meski pun ia sadar, bahwa
jalan itu adalah jalan kegelapan. Kebenaran bagi pemilik kedai
itu adalah kebenaran bagi dirinya sendiri yang justru
bertentangan dengan kebenaran yang berlaku dalam
hubungannya dengan sesama.
Karena itu, maka Mahisa Murti yang marah itu pun telah
menghentakkan ilmunya pula. Pedangnya tidak lagi sekedar
memancar, tetapi seakan-akan telah terbakar. Bunga api yang
berwarna kehijauan menjilat dari seluruh tubuh pedang itu.
Pemilik kedai itu memang menjadi berdebar-debar
melihat pedang Mahisa Murti. Namun ia merasa bahwa panas
udara y ang memancar oleh hentakkan ilmunya akan dapat
menghanguskan tubuh lawannya yang masih sangat muda itu.
Tetapi Mahisa Murti y ang menjadi semakin marah telah
mengacukan pedangnya ke arah orang itu. Dengan satu
hentakkan kekuatan ilmunya, maka dari ujung pedang yang
teracu kepada pemilik kedai itu telah m eluncur cahaya yang
kehijauan pula. Tetapi pemilik kedai itu memang tangkas. Ia sempat
meloncat dan berguling menghindar. Geraknya memang
sangat cepat, sehingga ia berhasil membebaskan diri dari
semburan cahaya y ang berwarna kehijauan itu.
Tetapi Mahisa Murti y ang kulitnya bagaikan telah
menjadi hangus itu tidak melepaskannya. Ia pun kemudian
telah meny erang lawannya sekali lagi. Namun sekali lagi ia
dapat menghindar. Mahisa Murti m emang menjadi berdebar-debar melihat
kemampuannya bergerak cepat. Ketika Mahisa Murti telah
bersiap untuk menyerang lagi, tiba-tiba orang itu sudah
melenting. Kapaknya menyambar dengan ayunan yang
menggetarkan jantung. Namun Mahisa Murti sempat
menangkis serangan itu dan bahkan sekaligus memutar
pedangnya mendatar menyambar ke arah dada. Tetapi dengan
gerakan sederhana orang itu telah melepaskan diri dari
jangkauan ujung pedang anak muda itu. Bahkan panas udara
karena kekuatan ilmunya telah membakar Mahisa Murti
sehingga keringatnya benar-benar terperas dari tubuhnya.
Tetapi Mahisa Murti pun tidak mau membiarkan dirinya
menjadi abu. Sekali lagi ia telah melepaskan serangan dengan


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melontarkan ilmu lewat ujung pedangnya. Tetapi sekali lagi
Mahisa Murti telah gagal. Bahkan orang itu telah menjatuhkan
dirinya berguling dan sekaligus kapaknya menyambar ke arah
lutut. Mahisa Murti sempat mengelak. Tetapi b egitu cepatnya
kapak itu bagaikan menggeliat. Satu sentuhan telah
mengoy akkan kulit paha Mahisa Murti.
Mahisa Murti berdesis menahan sakit. Tetapi untuk
memperbaiki keadaannya, ia langsung menjulurkan
pedangnya ke arah orang itu. Satu leret sinar kehijauan telah
menyambarnya. Tetapi orang itu berguling sekali lagi. Kemudian
melenting berdiri beberapa langkah di depan Mahisa Murti.
Dengan satu loncatan panjang orang itu menggapai leher
Mahisa Murti dengan kapaknya.
Mahisa Murti memang harus menangkis serangan itu.
Tetapi ternyata pula bahwa tenaga orang itu t erlalu kuat.
Hampir saja pedangnya terlempar. Untunglah bahwa daya
tahan Mahisa Murti cukup besar untuk mengatasiny a.
Namun sentuhan itu justru mulai diharapkan oleh
Mahisa Murti. Setelah bertempur beberapa saat, ia mulai
dapat membaca kebia saan lawannya, sehingga ia dapat
memancing serangan-serangan y ang akan dapat ditangkisnya.
Tetapi Mahisa Murti hampir tidak mampu bertahan atas
panasnya udara y ang serasa semakin meningkat. Namun
karena setiap kali orang itu harus menghindari serangan
Mahisa Murti, maka Mahisa Murti masih mampu m enahan
hingga panasny a tidak menyamai panasnya api neraka.
Yang terjadi kemudian adalah serangan y ang dibalas
dengan serangan. Beberapa kali telah terjadi sentuhan senjata
dan kegelisahan pun menyala dalam dada Mahisa Murti.
Serangan-serangan Mahisa Murti memang berhasil
mengurangi hembusan panas di sekitar tubuh lawannya. Saatsaat
lawannya melenting dan berguling menghindar, maka
panas udara itu pun seakan-akan telah menurun. Tetapi jika
orang itu telah tegak kembali, maka tubuh Mahisa Murti pun
kembali bagaikan terbakar. Namun dengan mengerahkan daya
tahanannya, maka Mahisa Murti selalu berusaha menggapai
tubuh lawannya dengan pedangnya, agar lawannya itu
kemudian menangkis serangannya. Atau sebaliknya, Mahisa
Murti memancing lawannya untuk meny erangnya dengan
kapaknya untuk ditangkisnya.
Pemilik kedai itu ternyata menjadi heran melihat Mahisa
Murti masih juga mampu bertahan. Sambil berloncatan
menyerang dengan kapaknya selain dengan panasnya udara,
orang itu berkata: "Ternyata kau memang seorang yang luar
biasa anak muda. Seharusnya kau sudah mati. Tetapi kau
mampu bertahan untuk beberapa saat. Yang aku tidak tahu,
darimana kau m ewarisi ilmu y ang mampu kau lontarkan itu.
Bahkan seakan-akan dapat meluncur dari ujung pedangmu."
Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi ia meny erang
lebih sering. Pemilik kedai itu pun menjadi semakin sering
menghindar dan untuk menghentikan serangan Mahisa Murti,
maka pemilik kedai itu berusaha bertempur pada jarak yang
dekat. Kecuali untuk membakar kulit anak muda itu, ia pun
mampu menggapainya dengan kapaknya, sehingga Mahisa
Murti tidak sempat menyerangnya.
Keringat benar-benar telah terperas dari tubuh Mahisa
Murti. Hampir saja ia meninggalkan arena karena ia tidak
tahan lagi panasny a udara di sekitar tubuh lawannya. Namun
jika ia menghindar, bukan berarti lawannya tidak akan
mengejarnya. Karena itu, maka usaha Mahisa Murti justru semakin
sering meny erang dan membiarkan dirinya diserang.
Dalam pada itu, Mahisa Pukat yang bertempur melawan
ampat orang itu pun tidak membiarkan dirinya terdesak terus.
Ia pun telah m elepaskan ilmunya untuk menghisap kekuatan
lawan-lawannya. Dengan demikian, maka Mahisa Pukat dengan sengaja
telah bergeser mundur setiap kali lawannya mendesaknya.
Namun ia selalu berusaha menangkis serangan-serangan yang
datang beruntun dari keempat orang lawannya. Hanya pada
saat -saat tertentu Mahisa Pukat memang menghentak mereka
dan dan mendesaknya dengan putaran pedangnya. Namun
yang penting bagi Mahisa Pukat adalah, bahwa lawannya itu
telah menangkis serangan-serangannya.
Mahisa Semu dan Wantilan tidak menemui kesulitan
sama sekali. Mereka mendesak lawannya terus.
Sementara itu Mahisa Amping menjadi gelisah. Yang
nampak olehnya adalah keadaan Mahisa Pukat yang
disangkanya menjadi semakin terdesak. Ia ingin Mahisa Semu
dan Wantilan untuk segera mengakhiri pertempurannya,
kemudian m ereka membantu Mahisa Pukat melawan ampat
orang perampok itu. Tetapi Mahisa Amping tidak begitu menyadari apa yang
terjadi atas Mahisa Murti. Ia tidak mengerti bahwa lawan
Mahisa Murti itu mampu melepaskan panas dan bagaikan
membakar kulit lawannya. "Kau masih mampu bertahan juga"," geram orang itu,
"seharusny a kau sudah terkapar karena panasnya udara tidak
akan tertanggungkan lagi oleh siapa pun juga saat aku
menghentakkan ilmuku sampai ke puncak."
Namun Mahisa Murti justru masih m ampu ter senyum
betapa pun ia harus mengerahkan daya tahannya. Katanya:
"Kita akan melihat, siapakah diantara kita yang akan lebih
dahulu kehilangan kesempatan."
"Anak iblis," geram orang itu sambil meningkatkan
ilmunya benar-benar sampai tuntas.
Tetapi bagi Mahisa Murti, udara panas itu pun justru
telah mulai menyusut. Meski pun orang itu merasa telah
menghentakkan ilmunya sampai ke batas, namun panasnya
tidak mampu membakar dan menghanguskan kulit Mahisa
Murti. Semakin sering ia menyerang Mahisa Murti dan
berhasil ditangkis dengan pedangnya atau sebaliknya, m aka
kemampuannya itu telah semakin menyusut.
Meski pun demikian pertempuran diantara keduanya
masih berlangsung dengan keras dan cepat. Serangan demi
serangan telah diluncurkan oleh kedua belah pihak. Keduanya
sal ing mendesak dan saling bertahan.
Mahisa Murti yang berusaha untuk sebanyak-banyaknya
beradu senjata itu, pada satu saat telah kehilangan
kesempatan untuk menangkis serangan lawannya karena
kecepatannya yang sangat tinggi. Yang dapat dilakukan hanya
menggeliat dan sedikit bergeser. Namun ternyata bahwa
tajamnya kapak lawannya sempat tergores di lengannya.
Sebuah luka telah m enganga. Meski pun tidak terlalu
parah namun dari luka itu darah telah mengalir dengan
derasnya. "Kau sudah mendekati saat-saat terakhirmu," berkata
pemilik kedai itu sambil tertawa.
Namun Mahisa Murti m enjawab: "Orang-orang seperti
kau ini memang tidak sepantasnya untuk mendapat
kesempatan pengampunan. Kau akan segera melihat bahwa
permainanmu akan berakhir hari ini."
"Persetan," geram orang itu.
Namun ketika ia meloncat menerkam Mahisa Murti,
maka ia merasa sesuatu yang lain pada dirinya. Gerakannya
mulai menjadi lambat. Sedangkan lawannya justru nampak
semakin segar, seakan-akan panas udara tidak lagi terasa.
Dengan tangkasny a Mahisa Murti telah menangkis
terkaman kapak lawannya menyamping. Demikian kerasnya
benturan itu terjadi, sehingga orang itu hampir saja
kehilangan keseimbangan. Tetapi dengan cepat ia berusaha untuk memperbaiki
kedudukannya. Namun dengan cepat pula Mahisa Murti telah
menyerang kembali. Demikian orang itu berdiri tegak, m aka
pedang Mahisa Murti telah terjulur.
Orang itu masih sempat menangkisnya. Bahkan
kemudian ia pun dengan cepat pula berusaha meny erang.
Dengan demikian ia memperhitungkan, Mahisa Murti tidak
sempat meny erangnya dengan m elepaskan loncatan-loncatan
cahaya yang mampu menyambar dan meledakkannya.
Tetapi orang itu tidak memperhitungkan kemungkinan
lain y ang dapat membuat ilmunya menjadi rapuh.
Demikian pula keempat lawan Mahisa Pukat. Dengan
garang keempat orang itu telah mendesak terus. Sambil
berloncatan surut Mahisa Pukat telah menangkis seranganserangan
lawan mereka. Bahkan sekali-sekali Mahisa Pukat
membuat loncatan-loncatan panjang. Namun tiba -tiba ia pun
telah meloncat meny erang dengan garangnya pula.
Benturan-benturan senjata menjadi semakin sering
terjadi. Namun Mahisa Pukat justru merasa bahwa ia mulai
berhasil. Mahisa Pukat tidak m erasa lagi tekanan y ang terlalu
berat dari keempat lawannya. Mereka menjadi semakin
lamban dan bahkan kekuatan mereka pun telah mulai
menyusut. Keempat lawannya kurang menyadari, apa y ang
sebenarnya telah terjadi. Mereka memang mulai merasa
tenaga mereka telah menjadi susut. Begitu cepat dibandingkan
dengan saat-saat sebelumnya jika m ereka menghadapi lawanlawan
mereka. Mereka dapat bertempur sehari penuh tanpa
mengalami keletihan sepert saat itu.
"Mungkin karena anak ini bertempur sambil
berloncatan," berkata orang-orang itu didalam hatinya untuk
membesarkan hati mereka sendiri.
Sementara itu Mahisa Semu dan Wantilan nampaknya
sudah hampir menyelesaikan lawan-lawan mereka. Perampok
itu itu terdesak semakin jauh. Mahesa Semu Mahisa Semu
justru telah menggores pundak lawannya.
Sedangkan Mahesa Murti masih bertmpur dengan
lawannya yang memiliki daya tahan yang sangat tinggi,
sehingga ia masih saja m ampu bertempur dengan cepat dan
panas yang memancar dari ilmunya masih saja
menggelisahkan Mahisa Murti, meski pun sudah menjadi
semakin susut. Namun darah masih menitik dari luka Mahisa Murti.
Semakin keras ia bertempur, maka darah itu menetes semakin
banyak. Tetapi ternyata bahwa betapa pun tinggi day a tahan
tubuh lawannya, namun akhirnya Mahisa Murti dapat
mendesaknya. Bahkan kemudian ujung pedangnya ju stru
hampir saja menggapai kulit lawannya itu.
Lawannya telah mengumpat kasar. Ternyata pemilik
kedai itu benar-benar orang berilmu tinggi. Meski pun
kekuatannya sudah mulai susut, namun ternyata ia masih
mampu menghentakkan kemampuannya sehingga kapaknya
berhasil m eny entuh lagi kulit Mahisa Murti. Ternyata kapak
itu telah meny entuh dadanya. Hanya segores kecil. Tetapi
karena kapak itu sangat tajam, maka goresan kecil itu telah
merobek kulit Mahisa Murti.
Kemarahan Mahisa Murti semakin memuncak. Ia pun
menyadari, bahwa panas y ang bagaikan membakar tubuhnya
telah m emeras keringatnya dan bahkan m emeras tenaganya.
Dengan demikian maka tenaga Mahisa Murti itu pun telah
menjadi susut. Namun tidak secepat lawannya.
Karena itu, maka beberapa saat kemudian, maka pemilik
kedai itu telah mulai kehilangan banyak kesempatan. Ia
merasa geraknya menjadi semakin lamban.
Bahkan kakinya seakan-akan menjadi semakin berat.
Kapaknya pun bagaikan berubah menjadi semakin besar.
Mahisa Murti y ang sangat marah itu tidak menyiany
iakan setiap kesempatan. Ia sudah berniat untuk
menyelesaikan lawannya yang menurut perhitungannya tidak
mungkin lagi untuk merubah sikap dan pandangan hidupnya.
Karena itu, maka disaat-saat Mahisa Murti mendapat
kesempatan, maka ia tidak m elepaskannya. Ketika ia sempat
menembus pertahanan kapak lawannya, maka pedangnya
telah berhasil menggores meny ilang lam bung pemilik kedai
itu. Pemilik kedai itu meloncat surut. Wajahnya menjadi
tegang. Namun perasaan sakit telah m enggigit pada lukanya.
Meski pun luka itu tidak begitu dalam, tetapi luka itu
membuatnya kehilangan key akinan atas dirinya sendiri.
Apalagi ketika ia menyadari bahwa kekuatan dan
kemampuannya memang susut jauh lebih cepat dari yang
seharusnya. "Ternyata kau licik," geram pemilik kedai itu: "kau telah
mempergunakan ilmu siluman itu untuk mencuri kekuatan
dan kemampuanku." "Apakah kau t idak mempergunakan ilmu iblis","
bertanya Mahisa Murti, "kau memang berilmu tinggi. Tetapi
ternyata kau telah m emilih hidup dari m alapetaka y ang kau
timbulkan atas orang lain."
"Persetan," pemilik kedai itu hampir berteriak. Dengan
sisa tenaganya ia telah menyerang Mahisa Murti. Namun
ternyata panas y ang dilepaskan dari ilmunya sudah tidak
berarti lagi. Namun Mahisa Murti sudah terlanjur menjadi sangat
marah. Karena itu ket ika lawannya itu m eny erangnya dengan
ayunan kapaknya, m aka Mahisa Murti tidak sempat berpikir
panjang lagi. Dengan sikapnya ia m engelak. Demikian kapak
itu terayun di depan dadanya, maka ia pun telah meloncat
menyerang. Ia tidak meny erang dengan lontaran ilmunya,
tetapi ujung pedangnya yang bagaikan menyala itu langsung
menghunjam ke dalam jantung lawannya itu. Seorang yang
sehari-hari menjadi penunggu kedai y ang tidak lagi banyak
dikunjungi orang. Namun y ang ternyata memiliki kemampuan
yang sangat tinggi. Tetapi ternyata pada suatu saat pemilik kedai itu telah
bertemu dengan seorang lawan y ang tidak dapat
dikalahkannya. Pemilik kedai itu memang memiliki ilmu y ang sangat
tinggi. Namun betapa pun tinggi ilmu seseorang, namun ia
harus mengakui, bahwa betapa lemahnya seseorang
menghadapi rahasia yang tersembuny i di seputarnya.
Pemilik kedai yang kemudian terbaring sambil
mengerang itu masih sempat berdesis: "Kau m emang orang
yang luar biasa. Kau dapat m engalahkan aku, sehingga aku
harus mati hanya untuk per soalan y ang tidak berarti ini."
Mahisa Murti tidak m enjawab. Namun ia menyaksikan


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pemilik kedai itu menghembuskan nafasnya y ang terakhir.
Sementara itu maka Mahisa Pukat ternyata tanggap akan
keadaan. Ia tidak boleh melumpuhkan lawannya sampai tidak
berday a. Mereka harus diserahkan kepada Ki Bekel yang
nampaknya mengalami kesulitan dengan gangguan yang
terjadi di lingkungannya.
Dalam pada itu, selagi Mahisa Pukat menjadi semakin
garang di mata keempat lawannya, Mahisa Semu dan
Wantilan benar-benar telah menundukkan lawan mereka.
Lawan Wantilan bahkan telah meny erah dan melemparkan
senjatanya. Sementara itu Mahisa Semu pun telah mendesak
lawannya sehingga tidak berday a.
Namun dalam pada itu, selagi pertempuran itu
mendekati akhirnya, maka ternyata beberapa orang telah
menyaksikannya dari kejauhan. Semula satu dua orang petani
yang berada di sawah telah menyaksikan pertempuran itu.
Namun mereka tidak berani berbuat sesuatu. Mereka
menyadari bahwa perampok yang berkeliaran di sekitar
tempat itu sangat berbahaya. Karena itu, maka mereka pun
telah berusaha melaporkannya kepada Ki Bekel.
Tetapi Ki Bekel pun ternyata ragu-ragu untuk bertindak,
sehingga karena itu, maka ia pun telah mengambil sikap
dengan sangat berhati-hati. Ia mengajak beberapa bebahu
untuk melihat apa yang telah terjadi. Mereka dapat
menentukan sikap setelah mereka menyaksikan apa yang
terjadi di bulak panjang itu.
Mahisa Murti y ang telah meny elesaikan lawannya,
ternyata sempat melihat orang-orang y ang bersembunyi di
gerumbul-gerumbul itu. Tetapi Mahisa Murti sama sekali
belum menyapa mereka karena Mahisa Murti tahu bahwa
mereka tentu bukan kawan dari para perampok itu .
Mahisa Pukat masih harus menundukkan keempat
lawannya. Ia tidak dapat memperhatikan keadaan di
sekitarnya, karena ia tidak mau menjadi lalai dan justru akan
membunuh salah seorang dari keempat lawannya yang akan
dipaksanya meny erah itu.
Ternyata keempat lawannya itu benar-benar tidak
mampu bertahan lagi. Ketika mereka sudah menjadi semakin
lemah, maka Mahisa Pukat tidak lagi mempergunakan
ilmunya itu. Ia benar -benar bertempur dengan
mempergunakan pedangnya yang berwarna kehijau-hijauan,
namun daun pedang itu sudah tidak m enyala lagi. Dari daun
pedang itu tidak lagi menjilat lidah api yang juga berwarna
kehijauan. Namun keempat lawannya itu sudah hampir tidak
berday a meski pun mereka masih juga mampu menggerakkan
senjata mereka. Tetapi setiap kali ia merasa ujung pedang
Mahisa Pukat telah menyentuh kulitnya.
"Meny erahlah," berkata Mahisa Pukat: "atau kalian akan
terbunuh seperti pemilik kedai yang ternyata adalah
pemimpin kalian" "
Keempat orang itu tidak mempunyai pilihan lain.
Mereka tidak ingin mati terbaring di tengah-tengah bulak.
Karena itu, maka orang tertua diantara mereka telah
meloncat mundur dengan sisa tenaganya sambil melemparkan
senjatanya. "Aku meny erah," berkata orang itu.
Karena itu, yang lain pun telah m elakukannya. Mereka
pun telah melemparkan senjata-senjata mereka.
Dengan demikian maka pertempuran di bulak itu telah
berakhir. Lawan Wantilan dan Mahisa Semu pun telah
meletakkan senjata mereka pula.
Demikian orang-orang itu menyerah, maka tiba -tiba saja
Mahisa Murti berkata lantang: "Marilah Ki Sanak. Aku tahu,
kalian tentu bukan kawan-kawan dari para perampok itu.
Keluarlah. Kalian tidak perlu bersembunyi."
Ki Bekel yang membawa beberapa orang bebahu itu pun
kemudian telah memberi isy arat kepada para bebahu untuk
keluar dari persembuny ian mereka. Mereka pun percaya
bahwa anak-anak muda itu tentu bukan penjahat. Justru ia
telah berhasil mengalahkan para penjahat.
Mahisa Pukat y ang telah menguasai keempat orang
perampok itu pun kemudian berkata: "Bergeraklah. Kalian
harus menemui orang -orang padukuhan itu, siapa pun
mereka." Keempat orang itu memang menjadi pucat. Jika mereka
jatuh ke tangan orang-orang padukuhan y ang selama ini
merasa ketakutan, mungkin nasibny a akan menjadi sangat
buruk. Ki Bekellah yang kemudian berdiri di paling depan untuk
menemui Mahisa Murti dan saudara-saudaranya. Meski pun
agak ragu-ragu, namun Ki Bekel kemudian m emperkenalkan
dirinya: "Aku adalah Bekel dari padukuhan ini."
"Oo," Mahisa Murti mengangguk-angguk: "adalah
kebetulan sekali bahwa Ki Bekel telah datang ke tempat ini."
"Seseorang melihat pertempuran disini. Tetapi karena
selama ini daerah ini terhitung sangat berbahaya, maka aku
telah bertindak dengan sangat berhati-hati," berkata Ki Bekel.
"Kami dapat mengerti," jawab Mahisa Murti: "mudahmudahan
sejak sekarang terjadi perubahan di lingkungan yang
selama ini merupakan daerah y ang berbahaya itu."
"Apa y ang telah terjadi disini"," bertanya Ki Bekel.
Mahisa Murti pun telah menceriterakan tentang pemilik kedai
yang sebenarnya adalah justru pimpinan dari tindak kejahatan
itu. Bagaimana ia m emberikan isy arat-isy arat kepada orangorang
yang menjadi kaki tangannya. Orang-orang yang
diduganya memiliki bekal perjalanan y ang cukup banyak, atau
Pendekar Cacad 17 Tembang Tantangan Karya S H Mintardja Keris Pusaka Sang Megatantra 13
^