Pencarian

Hijaunya Lembah Hijaunya 1

04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 1


un kemudian wajahnya menjadi tenang. Nafasnya pun
kemudian mengalir semakin lama semakin teratur. Dengan
kemampuan y ang tinggi serta daya tahannya yang besar, maka
perlahan-lahan keadaan Naga Angkasa menjadi berangsur
baik, meski pun dengan terbatas berpijak pada sisa-sisa tenaga
dan kemampuannya. Sementara itu, Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa
Semu, Wantilan dan Mahisa Amping duduk dibawah pohon
yang lain tidak terlalu jauh dari tempat Naga Angkasa
mencoba membenahi dirinya.
Baru beberapa saat kemudian, maka nampak Naga
Angkasa telah m enarik nafas dalam-dalam. Dengan demikian
maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engerti, bahwa Naga
Angkasa telah mulai membaik.
Ternyata Naga Angkasa memerlukan waktu cukup lama
untuk mengatasi keadaannya. Namun akhirnya, tangannya
.y ang bersilang didadanya itu pun telah diurainya. Kedua
telapak tangannya y ang kemudian merapat dan diangkat
perlahan-lahan. Ketika kemudian tangan itu pun turun lagi
sampai kedadanya, maka Naga Angkasa pun telah selesai
dengan pemusatan nalar budinya untuk mengatasi kesulitan di
dalam diriny a selalu dengan pengobatan pada tubuhnya.
Naga Angkasa pun kemudian telah mengurai kakinya
pula. Ketika ia beringsur untuk bangkit, Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat telah mendekatinya sambil mengamati
keadaannya. "Jangan tergesa-gesa bangkit jika kekuatanmu masih
belum mapan," berkata Mahisa Murti.
Naga Angkasa tersenyum. Katanya: "Aku sudah menjadi
lebih baik." Sebenarnyalah ketika Naga Angkasa kemudian bangkit
berdiri, m aka keadaannya memang sudah menjadi semakin
baik. Darahnya sudah mengalir wajar sebag'aimana
pernafasannya. Sambil merentangkan tangannya ia berkata: "Aku sudah
menjadi baik kembali. Jika kita akan m eneruskan perjalanan,
maka aku sudah mampu berjalan sebagaimana kalian. Kita
dapat berjalan perlahan-lahan, tetapi selangkah demi
selangkah kita akan maju."
Mahisa Murti mengangguk kecil. Tetapi ia berkata: "Kita
tidak akan tergesa-gesa bergerak. Sebaiknya kita beristirahat
lebih lama." "Untuk apa"," bertanya Naga Angkasa, "untuk
menunggu aku agar menjadi semakin kuat" "
"Untuk menunggu kita semuanya," jawab Mahisa Murti.
Naga Angkasa tersenyum. Katanya: "Kita semua sudah cukup
kuat untuk melanjutkan perjalanan. Aku y akin itu."
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Meski pun agak ragu
ia berkata: "Baiklah. Jika kau sudah merasa keadaanmu cukup
baik. Kita dapat saja berjalan perlahan -lahan dan berhenti
setiap saat kita merasa letih."
Naga Angkasa tersenyum. Tetapi pada senyumnya itu
terpancar betapa pahit hatinya. Orang lain itu ternyata jauh
lebih dari saudara-saudara seperguruannya sendiri.
Mahisa Murti pun kemudian memberikan isyarat kepada
saudara-saudaranya untuk bersiap-siap. Mereka akan segera
melanjutkan perjalanan meski pun hanya beberapa langkah.
Namun, demikian m ereka bersiap untuk mulai dengan
perjalanan mereka, Naga Angkasa dan orang-orang yang
bersamanya telah terkejut. Dihadapan mereka meski pun agak
jauh, berdiri berjajar beberapa orang laki -laki yang
menghadang perjalanan yang baru mereka mulai.
Mahisa Murti yang berdiri di dekat Naga Angkasa
berdesis "Siapakah mereka" Apakah kau mengenal" "
Suara Naga Angkasa menjadi sangat dalam: "Mereka
adalah saudara-saudara seperguruanku."
Mahisa Murti memang sudah mengira bahwa orangorang
itu tentu mempunyai hubungan dengan Naga Angkasa.
Karena itu, maka ia pun bertanya: "Apakah yang akan kau
lakukan" " Naga Angkasa termangu-mangu sejenak. Ketika ia
melihat sebongkah batu padas, maka ia pun telah duduk di
atasnya. Sambil menunduk ia berkata: "Anak-anak muda.
Tinggalkan aku sendiri disini."
"Apa yang akan kau lakukan"," bertanya Mahisa Pukat.
"Aku sudah membunuh tiga adik seperguruanku. Aku
telah menyaksikan kematian saudaraku y ang terdekat, Naga
Pratala. Aku juga sudah menyaksikan kematian guruku.
Sekarang, aku tidak mau lagi melihat kematian-kematian dari
keluarga perguruanku," berkata Naga Angkasa.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu
sejenak. Namun Mahisa Pukat kemudian b ertanya: " Jadi apa
yang akan kau lakukan" "
"Aku tidak akan membunuh lagi," jawab Naga Angkasa.
"Bagaimana jika mereka akan membunuhmu"," bertanya
Mahisa Pukat pula. Naga Angkasa menarik nafas dalam-dalam. Katanya:
" Itu akan lebih baik daripada aku membunuh mereka.
Dipandang dari segi ilmu dan kekuatanku y ang telah tumbuh
kembali, m aka aku y akin bahwa aku akan dapat m embunuh
mereka semuanya. Tetapi agaknya akan lebih baik jika aku
sa jalah y ang harus mati."
"Persoalannya akan segera selesai. Tidak ada lagi orang
yang harus dikejar-kejar karena dianggap bersalah."
"Tetapi apakah kau memang merasa bersalah","
bertanya Mahisa Murti. "Ya. Aku memang merasa bersalah. Seharusnya aku mati
lebih dahulu daripada guru," jawab Naga Angkasa.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun ia
masih berusaha untuk mencegah keputus-a saan Naga Angkasa
menghadapi saudara-saudara seperguruannya.
"Jika kau tidak mau membunuh, kau dapat menghindari
mereka. Dengan ilmumu kau akan dapat melepaskan diri dari
adik-adik seperguruanmu. Kau tidak usah membunuhnya.
Tetapi kau tidak pula membunuh dirimu sendiri."
Tetapi Naga Angkasa menggeleng. Katanya: "Itu pun
bukan satu peny elesaian. Mereka tentu akan mencariku
sampai ke ujung bumi. Mereka tidak akan dapat berhenti
memburuku jika mereka belum mati atau aku belum mati.
Karena itu, maka biarlah persoalan ini selesai. Biarlah aku
dibunuhnya dan untuk seterusnya perguruanku akan menjadi
tenang kembali." " Itu sama sekali bukan sikap seorang laki -laki y ang
mempunyai harga diri," berkata Mahisa Murti.
"Aku t erikat kepada janji setiaku terhadap
perguruanku," jawab Naga Angkasa.
"Sudah terlambat," jawab Mahisa Pukat: "kau sudah
melakukan pelanggaran atas janji setiamu. Kau sudah
membunuh tiga orang saudara seperguruanmu. Kenapa
kemudian kau m enjadi berputus asa dan m embiarkan dirimu
dicincang dan dikoy ak-koy ak oleh orang-orang y ang sekedar
haus melihat kematianmu tanpa mengerti alasannya" "
" Itu sudah keputusanku," jawab Naga Angkasa.
"Aku berkeberatan," desis Mahisa Pukat.
Tetapi jawab Naga Angkasa tegas: "Kau tidak berhak
mencampuri persoalan didalam perguruanku."
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia
tidak dapat membantah. Ia memang tidak berhak mencampuri
persoalan di dalam perguruan Naga Angkasa sepanjang tidak
menyentuh dirinya. Meski pun demikian Mahisa Pukat masih juga berkata:
"Tentu Naga Angkasa. Kami sama sekali tidak berhak
mencampuri persoalan didalam perguruanmu. Tetapi sudah
tentu sebagai seorang yang mengenalmu dengan baik, aku
dapat memberikan pendapatku kepadamu. Aku sadar, bahwa
pendapatku itu dapat saja kau tolak atau bahkan bertentangan
dengan sikapmu sendiri. Tetapi itu tidak apa-apa. Aku
menganggap bahwa pendapatku ini lebih baik aku sampaikan
kepadamu daripada tidak sama sekali."
Naga Angkasa mengangguk sambil berkata: "Aku
mengerti. Tetapi sebaiknya aku menentukan sikapku sendiri."
Mahisa Murti y ang sebenarnya juga ingin mengatakan
sesuatu terpaksa membatalkannya, karena ia pun sadar,
bahwa niat Naga Angkasa telah tetap.
Ketika kemudian Naga Angkasa berdiri tegak
memandang ke arah saudara-saudara seperguruannya, maka
ia pun telah m enarik pedangnya. Tetapi kemudian pedang itu
telah dilemparkannya beberapa langkah daripadanya sambil
berkata: "Aku tidak memerlukannya. Setelah mati, pedang itu
tidak ada gunanya." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya dapat menyibak
ketika Naga Angkasa kemudian melangkah perlahan-lahan
mendekati beberapa orang y ang berdiri berjajar memenuhi
jalan dari satu sisi sampai ke sisi y ang lain.
Dengan jantung yang berdebar-debar mereka melihat
Naga Angkasa melangkah dengan pasti m endekati adik-adik
seperguruannya. Meski pun tanpa senjatanya Naga Angkasa
akan dapat membunuh mereka semua dengan ilmunya Naga
Pa sa, tetapi bahwa senjatanya telah dilemparkan itu adalah
pertanda bahwa ia memang tidak ingin melawan. Naga
Angkasa telah membulatkan tekadnya untuk mati, jika mati itu
akan mengakhiri per soalan y ang berkepanjangan di
perguruannya, sehingga perguruannya itu pada akhirnya tentu
akan hancur sama sekali. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ternyata tidak dapat
membiarkan Naga Angkasa berjalan untuk meny erahkan
lehernya begitu saja. Hampir diluar sadarnya, maka keduanya
telah berjalan mendekati Naga Angkasa yang rasa-rasanya
justru m enjadi semakin jauh. Dihadapannya telah m enganga
mulut seekor ular naga y ang besar, y ang siap untuk
menelannya. S ekali Naga Angkasa memasuki mulut ular yang
menganga itu tanpa berniat sama sekari untuk mengadakan
perlawanan, maka ia akan hilang untuk selama-lamanya. Naga
Angkasa akan lenyap ditelan bumi sebagaimana Naga Pratala
dan gurunya serta ketiga orang saudara seperguruannya.
Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akhirnya
berhenti. Mereka melihat Naga Angkasa menjadi semakin
dekat dengan beberapa orang laki -laki yang berdiri
menghadang di jalan di-hadapan mereka.
Tetapi y ang terjadi, sama sekali tidak terduga-duga.
Ketika Naga Angkasa kemudian berhenti beberapa langkah di
hadapan adik-adik seperguruannya, maka tiba -tiba saja orangorang
yang berdiri tegak di hadapannya itu telah b erjongkok
bersama-sama. Naga Angkasa pun terkejut. Ia tidak mengira bahwa
itulah yang terjadi. Ia m engira bahwa orang-orang itu akan
menarik pedang mereka dan mencincangnya sampai lumat
kerena ia telah dianggap berkhianat.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Dengan nada rendah Mahisa Pukat berkata: "Kita
terlalu berprasangka buruk."
Mahisa Murti m engangguk". Sementara itu, y ang tertua
di-antara adik seperguruan Naga Angkasa itu pun berkata
dengan suara sendat: "Kami mohon am pun."
Naga Angkasa termangu-mangu sejenak. Dipandanginya
wajah-wajah yang menunduk di hadapannya. Untuk beberapa
saat Naga Angkasa memang tidak yakin akan pendengarannya.
Namun ia mendengar adik seperguruannya yang tertua
di-antara mereka y ang berjongkok dihadapannya itu berkata
selanjutnya: "Kami tidak akan berani menentang kakang Naga
Angkasa." Naga Angkasa menarik nafas dalam-dalam. Dengan
nada berat ia bertanya: "Jadi itukah alasan kalian untuk tidak
membalas dendam" "
"Maksud kakang"," bertanya adiknya y ang tertua.
"Jadi kalian tidak berusaha membunuh aku karena
kalian takut mati"," bertanya Naga Angkasa.
Wajah adik seperguruannya itu m enjadi tegang. Namun
ia pun menjawab: "Tidak. Sama sekali tidak. Jika kakang
menghendaki, maka kami akan menyerahkan leher kami. Jika
kakang ingin membunuh kami, maka kami dengan rela
menyerahkan nyawa kami."
"Jadi apa maksud kalian dengan tidak akan berani
menentang aku"," bertanya Naga Angkasa.
"Kakang adalah saudara seperguruan kami yang tertua.
Sepeninggal guru, m aka kakang adalah penggantinya," jawab
saudara seperguruannya itu.
"Tetapi apakah kau tidak tahu, bahwa guru telah berniat
menghukumku," berkata Naga Angkasa: "aku telah dianggap
bersalah oleh guru."
Saudara-saudara seperguruan itu pun termangu-mangu
sejenak. Namun y ang tertua diantara mereka menjawab:
"Tetapi aku ingin mendengar dari kakang Naga Angkasa,
apakah kakang Naga Angkasa merasa benar-benar bersalah"
Jika kakang Naga Angkasa merasa benar-benar bersalah, tentu
tidak akan membunuh ketiga orang saudara seperguruan kita."
Naga Angkasalah yang kemudian terdiam sejenak.
Ternyata bahwa adik-adik seperguruannya y ang lebih muda
justru mampu berpikir dengan lebih bening. Penalaran mereka
mampu bekerja lebih baik daripada ketiga orang kakak-kakak
seperguruan mereka y ang dianggap lebih berilmu.
Karena itu, maka Naga Angkasa pun kemudian
menjawab: "Aku bertindak dengan landasan keyakinanku.
Karena itu, m aka aku telah mempertahankan key akinan itu
dan terpaksa membunuh ketiga orang saudara
seperguruanku." "Keputusan kakang untuk tidak melawan kami telah
membuat kami semakin yakin bahwa kakang memang tidak
bersalah. Kakang tidak sekedar ingin mempertahankan hidup.
Tetapi tentu mempertahankan satu key akinan. Terbukti
kemudian kakang siap menyerahkan hidup dan m ati kakang
kepada kami," berkata adik seperguruannya itu.
Naga Angkasa menarik nafas dalam-dalam. Katanya
kemudian: "Baiklah. Jika kalian mau mengakui aku sebagai
saudara tuamu yang pantas kau anggap sebagai ganti gurumu,
maka aku pun tidak akan berkeberatan. Semula aku sudah
memutuskan untuk pergi meninggalkan padepokan kita ke
mana saja m engikuti langkah kaki. Tetapi kedatangan kalian
telah memberikan kesadaran baru kepadaku untuk kembali ke


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

padepokan." "Terima kasih kakang," jawab adik seperguruannya,
"padepokan kami memang memerlukan seorang pemimpin
yang dapat membangunkan kembali dan bahkan jika mungkin
mengembangkannya." "Aku akan kembali," berkata Naga Angkasa kemudian.
Namun katanya kemudian: "tetapi aku menuntut kesediaan
kalian untuk bekerja keras. Tanpa bantuan kalian dan
kesediaan bekerja keras dalam segala bidang, maka aku tidak
akan berarti apa -apa. Kita tentu akan sia-sia saja berusaha
membangun padepokan itu."
"Kami akan melakukan apa saja y ang baik bagi
padepokan kita," jawab adik seperguruannya, "kami
menunggu perintah kakang. Tenaga dan bahkan apa yang ada
pada kami, akan kami serahkan kepada kebesaran nama
perguruan dan padepokan kita."
Naga Angkasa m engangguk-angguk kecil. Dengan nada
dalam ia berkata: "Baiklah. Kita akan ber sama-sama kembali
ke padepokan." Naga Angkasa berhenti sejenak, lalu, "Tetapi
aku ingin memperkenalkan kalian kepada dua orang anak
muda yang memiliki ilmu y ang sangat tinggi, yang
mengembara bersama dengan beberapa orang yang telah
diangkat menjadi saudara -saudaranya. Mereka telah
menjalani laku dengan tapa ngrame. Suatu laku y ang dapat
membuat jiwa mereka menjadi tenang. Mereka menolong
orang-orang yang m emerlukan, melindungi orang-orang yang
lemah dan membantu orang yang kekurangan."
Saudara-saudara seperguruannya termangu-mangu.
Namun Naga Angkasa minta m ereka bangkit dan berkenalan
dengan Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu, Wantilan
dan Mahisa Amping. "Apa y ang mereka lakukan ternyata mempengaruhi
penalaranku, atas sikapku selama ini. Apalagi setelah Naga
Pratala terbunuh. Sehingga akhirnya, aku mendengarkan
suara nuraniku yang menjadi semakin keras, melampaui
kerasnya suara dan sikap guru," berkata Naga Angkasa.
Dengan demikian maka saudara-saudara
seperguruannya pun telah berkenalan dengan Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat serta ketiga orang saudara-saudara
angkatnya. Dengan keterangan y ang diberikan Naga Angkasa
kepada saudara-saudaranya seperguruannya, maka mereka
pun telah ikut mengagumi kedua orang anak muda itu.
"Dalam usianya y ang masih sangat m uda, mereka telah
mampu melampaui tataran ilmu guru yang kami kira tidak ada
duanya di dunia ini," berkata salah seorang dari mereka.
"Tidak," jawab Mahisa Murti, "ilmu gurumu memang
tidak ada duanya di dunia ini. Jika kami berhasil
mengalahkannya adalah karena kami telah melawan
berpasangan. Dengan demikian maka kalian dapat m enduga,
seberapa tinggi ilmu guru kalian itu. Berpasangan pun kami
ternyata telah mengalami luka-luka yang berbahaya."
"Jika kelak kalian seumur dengan guru, maka ilmu
kalian akan mampu menggugurkan gunung dan mengeringkan
lautan," berkata yang lain.
"Jangan berlebih -lebihan," berkata Mahisa Pukat.
Namun dalam pada itu, maka Naga Angkasa pun telah
menyatakan niatnya untuk kembali ke padepokannya
sebagaimana dikatakannya kepada saudara-saudara
seperguruannya. "Hal itu tentu akan lebih baik," sahut Mahisa Murti,
"dengan demikian maka padepokan kalian, lebih-lebih lagi
perguruan kalian tidak akan hilang sia -sia. Apa pun yang
pernah terjadi, maka kalian akan dapat mempergunakannya
bagi perjalanan perguruanmu di masa depan. Pengalaman itu
akan dapat membuat kalian lebih berhati-hati."
Naga Angkasa mengangguk-angguk. Katanya kemudian:
"Perkenankan kami minta diri. Kami berharap agar kalian
bersedia singgah di padepokanku."
"Lain kali kami akan berusaha," jawab Mahisa Murti
yang kemudian mendapat ancar-ancar letak perguruan Naga
Angkasa. Dalam pada itu, maka Naga Angkasa y ang telah memiliki
kembali pedangnya yang telah dilemparkannya, telah minta
diri. Ia telah mengurungkan niatnya untuk menjadi kawan
seperjalanan Mahisa Murti dan saudara-saudaranya.
"Kau akan menemukan arah yang jauh lebih baik
daripada menjadi kawan seperjalanan kami. Karena j ika kau
kembali ke padepokanmu, maka kau akan dapat m emberikan
arti bagi hidupmu. Jauh lebih baik daripada y ang dapat kau
berikan jika kau sekedar mengembara seperti yang kami
lakukan. Sebenarnyalah kami pun telah merindukan
padepokan kami," desis Mahisa Muri.
Naga Angkasa mengangguk-angguk. Dengan nada dalam
ia berkata: "Aku ingin mengucapkan terima kasihku sekali lagi.
Kal ian telah menumbuhkan kesadaranku akan diriku sendiri."
Mahisa Murti t ersenyum. Katanya: "Untuk selanjutnya,
jangan sampai kau kehilangan dirimu lagi. Jangan sampai kau
tidak mengenali lagi kepribadianmu."
Naga Angkasa mengangguk-angguk. Katanya: "Kita akan
sal ing berdoa." "Demikianlah, maka Naga Angkasa pun telah
meninggalkan Mahisa Murti dan saudara-saudaranya. Dengan
langkah tetap ia berjalan diiringi oleh saudara-saudara
seperguruannya y ang bagaikan anak ayam kehilangan
induknya. Kehadiran Naga Angkasa di padepokan mereka,
telah menumbuhkan kembali harapan mereka untuk
membangunkan padepokan yang telah lama mereka huni itu.
Namun mereka pun sadar, bahwa kehadiran Naga
Angkasa itu tentu akan merupakan hembusan angin yang
baru. Berbeda dengan nafas y ang pernah mengaliri rongga
kehidupan padepokan mereka, justru karena Naga Angkasa
telah menemukan dirinya sendiri.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu, Wantilan
dan Mahisa Amping memperhatikan orang -orang yang
berjalan menjauh itu dengan jantung yang berdebaran.
Semakin lama iring-iringan itu menjadi semakin jauh. Namun
mereka menuju ke satu tempat y ang pasti bagi masa depan
mereka. Demikian mereka menghilang, maka Mahisa Murti pun
menarik nafas dalam-dalam sambil berkata: "Mereka telah
menemukan tempat mereka yang sewajarnya untuk menempa
diri menghadapi masa depan. Kita pun akan segera kembali ke
padepokan. Pengalaman y ang telah kita petik cukup banyak,
sehingga jika kita memiliki kemampuan untuk
mengetrapkannya di sepanjang perjalanan hidup kita, m aka
tentu akan memberikan arti tersendiri."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya: "Kita
harus segera kembali ke padepokan kita. Kita akan dapat
berbuat lebih banyak lagi."
Mahisa Amping ikut menjadi gembira. Sebenarnya ia
sudah merasa letih dengan pengembaraan itu. Meski pun ia
tidak ingin menentukan rencana y ang lain, seandainya ia
mendapat kesempatan untuk menyatakannya, tetapi menuju
ke sebuah padepokan tentu akan lebih baik daripada berjalan
sepanjang waktu. Di sebuah padepokan ia tentu akan
mendapat lebih banyak kesempatan meningkatkan ilmunya,
meski pun ia t idak ingin mengulangi cara-cara y ang pernah
ditempuhnya justru karena ia telah tersesat memasuki satu
lingkungan yang gelap. Mahisa Murti sempat menangkap kila san wajah Mahisa
Amping yang cerah itu, meski pun kemudian kesan itu segera
hilang dari wajah anak itu.
Tetapi Mahisa Murti tidak bertanya sesuatu. Ia sudah
dapat meraba apa y ang terbersit di hati anak itu.
Bahkan Mahisa Semu dan Wantilan pun berharap
sebagaimana Mahisa Amping. Mereka juga ingin mendapat
kesempatan lebih banyak menekuni ilmunya, meski pun
disepanjang jalan, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sempat
menuntun mereka dengan cara yang khusus.
Beberapa saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru
masih belum mengajak mereka beranjak dari tempat itu.
Keduanya masih berbincang tentang berbagai macam
persoalan. Namun akhirnya, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
mengajak saudara -saudaranya untuk meneruskan perjalanan.
"Kita sudah cukup beristirahat. Bukan saja secara wadag,
tetapi kadang-kadang perasaan kita menjadi lebih menghadapi
peristiwa-peri stiwa yang tiba -tiba saja datang beruntun,"
berkata Mahisa Murti, "karena itu, maka meski pun kita sudah
cukup beristirahat bagi wadag kita, kadang-kadang kita
memerlukan beristirahat secara jiwani."
Mahisa Semu menganguk kecil. Sementara Wantilan
yang lebih tua dari mereka berkata: "Aku mengerti. Kita
memang memerlukannya, karena dengan demikian jiwa kita
akan menjadi segar. Bukan hanya wadag kita."
"Ya. Selama ini peri stiwa demi peristiwa menyusul.
Namun kita memang dengan sengaja menangkap peristiwaperistiwa
itu dalam laku y ang kita jalani. Tapa ngrame.
Sekaligus kita telah mendapat banyak sekali pengalamanpengalaman
yang berarti bagi hidup kita. Namun dengan
demikian, maka jiwa kita rasa-rasanya menjadi sangat letih,"
berkata Mahisa Murti kemudian.
"Saatnya untuk benar-benar beristirahat telah datang,"
sambung Mahisa Pukat: "dan kita benar-benar akan
beristirahat. "Kami akan merasa senang sekali," berkata Wantilan
kemudian, "meski pun kami tidak mengalami keletihan seperti
kalian berdua, namun ketahanan jiwani kami tentu jauh lebih
lemah." Tetapi Mahisa Murti menggeleng. Katanya: "Belum
tentu. Ketahanan jiwani memiliki banyak sangkutan.
Menghadapi kekerasan mungkin jiwa paman Wantilan mudah
tergetar. Tetapi menghadapi persoalan yang lain, mungkin
paman Wantilan mempunyai ketahanan jiwani y ang lebih
besar." Wantilan terseny um. Katanya: "Aku masih harus
mendapat tempaan y ang cukup baik bagi wadagku mau pun
bagi jiwaku." Mahisa Murti pun tersenyum. Namun kemudian ia
berkata: "Marilah kita melanjutkan perjalanan. Kita
beristirahat sambil berjalan. Kita tidak perlu memikirkan apaapa
lagi. Kita hanya memikirkan perjalanan kembali ke
padepokan. Kita akan menempuh satu perjalanan tamasya
yang mengasy ikkan."
Wantilan justru tertawa. Sambil m engangguk-angguk ia
berkata: "Marilah. Kita akan pergi bertamasya."
Demikianlah mereka berlima telah melanjutkan
perjalanan. Mereka memang berusaha untuk tidak
memikirkan persoalan-persoalan yang dapat membebani
pikiran dan perasaan mereka. Tetapi mereka mencoba untuk
melepaskan segala macam beban, kecuali menempuh
perjalanan kembali ke padepokan.
Seperti biasanya, Mahisa Amping sering berjalan
mendahului yang lain. Kesukaannya memanjat pohon m asih
sa ja mengganggunya ketika ia melihat sebatang pohon randu.
Bahkan hampir di luar sadarnya telah melangkah mendekati
pohon itu. "Hati-hati," tiba -tiba saja Mahisa Semu
memperingatkannya, "cabang dan ranting batang randu tidak
terlalu kokoh." Peringatan itu justru memberikan kemungkinan kepada
Mahisa Amping untuk memanjat. Tetapi ia harus berhati-hati.
Mahisa Amping memang memanjat. Semakin lama
semakin tinggi. Ketika saudara-saudaranya lewat di bawah
pohon itu, Mahisa Amping masih berada di atas.
"Turunlah," berkata Mahisa Semu: "jika kami menjadi
semakin jauh, kau akan ketinggalan."
Mahisa Amping termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian ia pun telah bersiap-siap untuk turun. Tetapi
perhatiannya telah tertarik kepada sekerumunan orang di
tempat y ang agak jauh, di balik tikungan dihadapan mereka.
"Kita akan melalui tikungan itu"," bertanya Mahisa
Amping dari atas pohon. "Ya, kenapa"," bertanya Mahisa Semu.
"Apakah kita masih beristirahat"," bertanya anak itu
pula. "Ya. Kita berjalan seenaknya. Kita akan berhenti kapan
kita ingin berhenti," jawab Mahisa Semu, "tetapi turunlah."
Mahisa Amping memang tergesa -gesa turun. Untunglah
bahwa cabang yang diinjaknya tidak patah.
"Sebaiknya kita m engambil jalan lain," berkata anak itu
dengan gelisah. "Kenapa"," bertanya Mahisa Semu.
"Jika kita ingin beristirahat, kita jangan berjalan terus
melalui tikungan itu," berkata Mahisa Amping.
"Kenapa"," bertanya Mahisa Semu.
"Jika kita melalui tikungan itu, maka kita tentu tidak
akan dapat beristirahat, karena t entu ada masalah baru yang
akan kita jumpai," berkata anak itu mantap.
"Apa yang telah kau lihat"," bertanya Mahisa Semu.
"Sekerumunan orang disebelah tikungan," jawab Mahisa
Amping. "Kenapa mereka berkerumun"," bertanya Mahisa Semu
pula. "Aku tidak tahu," jawab Mahisa Amping.
Mahisa Semu menarik nafas dalam-dalam. Namun
Mahisa Murti pun kemudian berkata: "Tidak selalu di tempat
orang banyak berkerumun kita akan menghadapi per soalan
baru. Mungkin orang itu berkerumun untuk satu keperluan.
Mungkin pula karena mereka sedang membicarakan sesuatu."
Mahisa Amping termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian ia pun berkata: "Tetapi kerumunan orang itu
nampak gelisah." Mahisa Pukatnun tertawa. Katanya: "Kita akan
melihatnya. Mudah-mudahan bukan persoalan y ang akan
menghambat perjalanan kita dan mengganggu istirahat dan
tamasya kita sekarang ini."
Mahisa Amping tidak menjawab. Tetapi ia berjalan saja
di belakang Mahisa Semu. Namun dalam pada itu, ia sudah
meraba hulu senjatanya.

04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wantilan y ang melihatnya, tersenyum. Katanya:
"Kenapa dengan senjatamu" "
"Aku akan menariknya jika perlu," jawab Mahisa
Amping. Wantilan pun tertawa. Tetapi ia tidak berkata apa-apa.
Demikianlah, m ereka memang melanjutkan perjalanan
lewat tikungan di hadapan m ereka. Ketika mereka melewati
tikungan itu, mereka memang melihat beberapa orang sedang
berkerumun di depan sebuah rumah. Nampaknya Mahisa
Amping dapat melihatnya dari atas pohon randu itu tanpa
mengetahui alasannya, kenapa mereka berkerumun serta tidak
melihat kegiatan apa y ang sedang mereka lakukan.
Meski pun demikian, Mahisa Murti dan saudarasaudaranya
memang harus berjalan berhati-hati. Beberapa
orang berada di luar regol. Sementara y ang lain ada di dalam
regol. Ketika mereka berjalan dimuka regol, ternyata orangorang
y ang berkerumun itu tidak banyak yang memperhatikan
mereka. Mereka membiarkan saja kelima orang itu lewat. Jika
satu dua orang diantara mereka berpaling, tidak seorang pun
yang menyapa mereka. Namun justru Mahisa Amping lah yang ingin
mengetahui, orang-orang y ang sibuk itu sedang berbuat apa.
Karena itu, maka diam-diam ia telah bergeser mendekati salah
seorang diantara mereka yang berdiri agak terpisah dan
bertanya: "Apa yang sedang terjadi disini" "
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
ia pun tersenyum sambil berkata: "Disini sedang dipersiapkan
satu pertunjukkan ngger. Nanti malam akan ada pertunjukkan
tari topeng di pendapa."
Mahisa Amping mengangguk-angguk. Sementara itu,
orang itu pun berkata selanjutnya: "Ki Bekel sedang
menikahkan anaknya. Anak perempuan."
Mahisa Amping mengangguk-angguk. Katanya: "Terima
kasih paman." Berlari -lari kecil Mahisa Amping menghampiri saudarasaudaranya
y ang menunggunya di seberang jalan. Dengan
gagap Mahisa Amping mengatakan bahwa nanti malam ada
pertunjukkan tari topeng di rumah itu.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Bagaimana
pun juga ia dapat mengerti, bahwa di masa kanak-kanak tentu
ada k einginan untuk m elihat satu pertunjukkan meski pun ia
tidak mengetahui apa y ang terjadi di atas pendapa.
Karena itu, m aka Mahisa Murti pun kemudian berkata:
"Kita akan m encari tem pat bermalam y ang tidak terlalu jauh
dari tempat ini. Malam nanti kita akan dapat ikut melihat
pertunjukkan itu." "Benar begitu"," bertanya Mahisa Amping dengan wajah
yang cerah. "Ya," jawab Mahisa Murti ter senyum.
Semuanya tidak berkeberatan. Mereka sudah terlalu
lama mengalami ketegangan. Karena itu, maka sekali-sekali
mereka memang memerlukan sesuatu yang lain. Apalagi
mereka sudah bertekad untuk beristirahat sepenuhnya.
Sejenak kemudian mereka meneruskan perjalanan.
Tetapi mereka tidak tergesa -gesa. Mereka justru ingin mencari
tempat bermalam di sekitar tempat itu. Tetapi tidak di banjar.
Jika mereka berusaha di banjar, maka mereka tidak akan
bebas keluar dan masuk reg ol di malam hari jika mereka ingin
melihat pertunjukkan di pendapa.
Sementara itu matahari m emang sudah m enjadi terlalu
rendah. Ketika mereka sampai ke sebuah padang perdu, maka
mereka sepakat untuk bermalam di tempat itu. Apalagi di
dekat tempat itu terdapat sebuah sungai kecil yang airnya
cukup jernih. Ketika kemudian gelap turun, maka Mahisa Amping
telah m engajak untuk pergi ke tempat pertunjukkan. Namun
Mahisa Semu berkata: "Pertunjukkan tentu masih belum
dimulai sekarang ini. Nanti, wayah sirep bocah, pertunjukkan
itu baru akan mulai dengan gending-gending pembukaan dan
gending-gending untuk menerima para tamu yang datang."
"Jadi kapan tari topeng itu dimulai"," bertanya Mahisa
Amping. "Nanti, saat sirep uwong," jawab Mahisa Semu. Mahisa
Amping jadi gelisah. Ia takut pertunjukkan itu justru sudah
selesai jika mereka pergi terlalu malam.
Tetapi Mahisa Murti pun kemudian berkata: "Kita
berangkat sekarang. Tetapi tidak langsung menonton
pertunjukkan itu. Kita akan makan lebih dahulu."
"Apakah masih ada kedai y ang buka"," bertanya Mahisa
Amping. "Di tempat pertunjukkan kita akan dapat membeli
berbagai macam makanan," jawab Mahisa Murti.
Mahisa Amping memang menjadi gembira. Setelah
berbenah diri, m erekapiin telah berangkat m enuju k e tempat
pertunjukkan. "Apakah tadi kita lewat tempat ini"," bertanya Mahisa
Amping ketika m elihat jalan y ang menjadi ramai oleh orangorang
y ang berjualan. "Ya. Sebagai seorang pengembara kau harus dapat
dengan tajam mengingat apa y ang pernah kau lihat," berkata
Mahisa Pukat. "Aku memang tahu bahwa seharusnya kita memang
lewat jalan ini. Aku mengenali beberapa tanda-tanda ini.
Tetapi aku menjadi heran, bahwa jalan ini menjadi sangat
ramai." Yang mendengar kata -kata Mahisa Amping itu
tersenyum. Ia memang jarang sekali mendapat kesempatan
untuk melihat keramaian. Sekali dua kali agaknya ia m emang
pernah melihatnya, tetapi tentu sangat jarang sekali.
Kelima orang itu sempat duduk di bawah sebatang
pohon menghadapi seorang penjual makanan. Sambil
menunggu pertunjukkan mulai, maka mereka telah sempat
makan ketela pohon rebus dan jagung bakar.
"Nah, ternyata tidak setiap k esibukan yang nampak itu
berarti keributan," berkata Mahisa Murti kepada Mahisa
Amping. "Ketika kau memanjat pohon dan melihat kesibukan
disini, maka kau langsung menganggapnya sebagai satu
keributan y ang akan dapat menghambat perjalanan kita. Nah,
ternyata yang kau lihat kali ini justru satu kegembiraan. Dalam
hal seperti ini maka kita tidak akan terhambat."
Mahisa Amping mengangguk-angguk. Ia terbiasa
melihat keributan. Jika beberapa orang berkumpul, itu berarti
menghambat perjalanan mereka, karena diantara mereka
harus ada y ang turun tangan menanggapi satu persoalan yang
gawat. Ternyata tidak setiap terlihat beberapa orang berkumpul
tentu merupakan keributan.
Sambil makan ketela rebus dan jagung bakar, maka
setiap kali Mahisa Amping memang bertanya apakah tont onan
di pendapa sudah mulai. "Belum," jawab Mahisa Murti.
"Suara gamelan itu "," desis Mahisa Amping.
"Suaranya akan berbeda -jika pertunjukan sudah mulai.
Iramanya berbeda dan suara penonton pun akan dapat kita
kenali jika pertunjukan sudah dimulai," jawab Mahisa Murti
yang masih makan ketela rebus dan jagung bakar. Sementara
itu Mahisa Pukat sibuk menguliti kacang rebus. Sedangkan
Mahisa Semu lebih senang makan pisang rebus.
Mahisa Amping yang gelisah itu akhirnya minta ijin
kepada Mahisa Murti untuk m elihat ke dalam reg ol apakah
pertunjukkan sudah dimulai.
Mahisa Murti ter senyum sambil berkata: "Lihatlah.
Tetapi berhati-hatilah. Kami menunggu disini."
Mahisa Amping pun kemudian melangkah perlahanlahan
di sela-sela orang banyak meny elinap m asuk kedalam
regol. Di pendapa memang masih belum ada pertunjukkan.
Tetapi suara gamelan sudah terdengar riuh. Di halaman
rumah itu sudah banyak t erdapat penonton y ang m enunggu.
Sementara agak jauh dari pendapa, sekelompok anak-anak
sedang bermain-main. Mahisa Amping sempat mendekati mereka. Anak-anak
itu dengan gembira bermain sambil menyany ikan lagu
dolanan. Semakin lama terdengar semakin riuh tanpa
menghiraukan tontonan yang masih belum mulai serta orangorang
y ang semakin banyak memasuki halaman.
Mahisa Amping menarik nafas panjang. Ia ikut
merasakan kegembiraan anak-anak itu. Bahkan ia tertarik
ketika sekelompok anak-anak y ang sedikit lebih besar dari
dirinya bermain binten. Satu permainan anak laki-laki yang
sangat menarik baginya. Seorang dari anak-anak remaja itu berdiri dengan
kakinya sebelah melangkah ke depan. Kemudian seorang yang
lain akan m engambil ancang-ancang. Mereka m asing-masing
akan membenturkan kaki mereka dengan sekuat tenaga.
Siapa yang terjatuh dianggap kalah. Sehingga akhirnya
akan bertemu orang-orang y ang terkuat saja.
Sorak anak-anak y ang menonton permainan itu
gemuruh. Satu-satu remaja yang bermain itu jatuh. Namun
tidak seorang pun yang menjadi marah. Mereka dengan jujur
mengakui kekalahan mereka jika seseorang memang kalah.
Mahisa Amping ingin ikut bermain. Tetapi ia menahan
diri. Ia sadar, bahwa orang lain bagi anak-anak itu akan dapat
menimbulkan masalah. Ketika Mahisa Amping berpaling, maka dilihatnya
sekelompok anak-anak perempuan telah bermain dengan
caranya. Mereka menutup mata seorang diantara mereka.
Kemudian meraba-raba kawannya y ang duduk-dengan
menyembuny ikan wajah mereka diantara lutut mereka. Jika ia
dapat menebak namanya dengan tepat, maka y ang namanya
ditebak itu akan menggantikannya. Jika ia luput menebak,
maka ia akan mengulangi lagi dengan ditutup matanya pula.
Mahisa Amping menarik riafas dalam-dalam. Hampir
sa ja ia bertubrukan dengan seorang anak laki -laki y ang berlari
kencang kemudian berpegang pada sudut gandok rumah yang
besar itu. Kawannya mengejarnya sekencang-kencangnya.
Namun ia gagal. Ternyata sekelompok anak laki -laki yang lain telah
bermain sembuny i-sembunyian.
Mahisa Amping kemudian berdiri termangu-mangu.
Selama ini ia seakan-akan tidak pernah mendapat kesempatan
untuk bermain seperti anak-anak sebayanya itu. Dari hari ke
hari ia berjalan saja dari satu tempat ke tempat lain. Sepanjang
jalan ia harus berlatih olah kanuragan. Meningkatkan daya
tahan tubuh dengan melakukan berbagai macam latihan dan
gerakan y ang berat. Namun yang dilakukan itu sama sekali
bukan permainan. Meski pun ia melakukan dengan penuh
minat. Namun yang dilakukan itu tidak menimbulkan
kegembiraan dan kesenangan jiwa kanak-kanaknya.
Mahisa Amping kemudian telah melangkah ke reg ol.
Tontonan di pendapa memang belum mulai. Tetapi anak-anak
telah mendapat kegembiraan ter sendiri. Jika tontonan yang
sebenarnya mulai, anak-anak itu sudah letih bermain.
Sebagian dari m ereka justru akan segera tertidur di serambi
gandok rumah itu. Ketika kemudian Mahisa Amping kembali ketempat
saudara saudaranya menunggu, ia masih melihat Wantilan
meneguk air sere y ang hangat.
"He, kau minum atau tidak"," bertanya Wantilan.
"Ya paman," jawab Mahisa Amping. Wantilan pun
kemudian memesan wedang sere hangat untuk Mahisa
Amping, Ternyata beberapa saat kemudian, maka tontonan dipendapa
benar-benar sudah dimulai. Setelah membayar harga
makanan dan minuman, maka Mahisa Amping telah menarik
sa ja tangan Wantilan masuk ke halaman.
Penonton memang sudah penuh di sekitar pendapa itu.
Mahisa Amping memang sempat menengok ke sudut halaman.
Ternyata sudut halaman itu sudah sepi. Anak-anak yang
bermain itu memang telah ada di sekitar pendapa. Namun
sebelum wayang t openg itu mulai, seorang anak sudah tidur
mendengkur di serambi gandok.
Mahisa Amping ternyata senang sekali melihat wayang
topeng di pendapa. Karena ia sulit untuk melihat karena
orang-orang dewasa berdiri berjejal-jejal, maka Mahisa Semu
telah berkata: "Mari, duduk dipundakku. Bukankah kau jarang
mendapat kesempatan untuk nonton."
Satu kesempatan y ang m enyenangkan. Mahisa Amping
segera naik ke pundak Mahisa Semu dan melihat dengan jelas,
tari topeng di pendapa. Beberapa kali Mahisa Amping ikut bertepung tangan jika
terjadi perang. Tetapi sebenarnyalah ia tidak begitu m engerti
apa y ang dilihatnya. Jika ia bertepuk tangan dengan mantap
karena orang lain juga bertepuk tangan.
Namun tiba-tiba saja Mahisa Amping terkejut.
Seseorang telah memukul punggungnya meski pun tidak
begitu keras. Ketika Mahisa Amping berpaling, maka orang itu
berkata: "Kau kira ini rumahmu he" Kau menutupi aku."
Mahisa Amping termangu-mangu. Tetapi ia m enjawab:
"Jika aku turun, akulah yang tidak melihat."
Orang itu m enjawab: "Itu salahmu. Kau tidak b erdiri di
depan." Mahisa Semu pun kemudian menurunkan Mahisa
Amping. Sementara Mahisa Amping berkata: "Disini aku tidak
melihat apa-apa." Tetapi Mahisa Murti yang menjawab: "Kau dapat
menyusup dan menonton di baris paling depan. Disana banyak
anak-anak. Tetapi hati-hati. Jangan membuat persoalan."
Mahisa Amping tidak menjawab. Tetapi ia memang
berusaha untuk menyusup diantara para penonton dan berdiri
di paling depan diantara beberapa orang anak-anak yang
dilihatnya tadi bermain-main di sudut halaman. Tetapi
agaknya anak-anak itu sudah mengantuk.
Tetapi Mahisa Amping tidak tahu bahwa orang y ang
memukulnya meski pun tidak t erlalu keras itu masih saja
bergeremang. "Anak tidak tahu diri. Disangkanya hanya ia sendiri y ang
menonton. Atau disangkanya rumah ini milik neneknya."


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia
berusaha untuk tidak menghiraukan kata-kata orang itu.
Tetapi Mahisa Semulah yang tidak dapat menahan diri
lagi. Karena itu, maka akhirnya ia menjawab: "Bukankah anak
itu sudah aku turunkan."
" Itu karena aku m emaksa anak itu turun," jawab orang
tu: "jika tidak, maka anak itu tentu masih menutupi aku
sekarang." Mahisa Semu m engatupkan giginya rapat -rapat. Tetapi
ia tidak menjawab. Ia berusaha untuk seakan-akan tidak
mendengar suara orang y ang berkeramang itu.
Beberapa saat kemudian geramangnya memang mereda.
Tetapi orang itu justru mendesak maju menyusup diantara
beberapa orang penonton y ang lain sehingga orang-orang yang
didesaknya telah berpaling.
Tetapi demikian orang-orang itu melihatnya, maka
mereka pun telah meny ibak dan memberikan jalan kepadanya.
Mahisa Pukat menggamit Mahisa Semu sambil berkata:
"Ternyata orang itu bukan orang kebanyakan. Setidaktidaknya
ia m empunyai pengaruh y ang besar terhadap orangorang
di sekitar tempat ini."
Mahisa Semu mengangguk-angguk. Tetapi ia merasa
bahwa ia sudah berusaha berbuat baik. Ia sudah m elakukan
apa y ang dikehendaki oleh orang itu.
Beberapa lama memang tidak terjadi sesuatu.
Pertunjukkan itu berlangsung terus. Sementara penonton pun
sekali-sekali bertepuk tangan.
Namun Mahisa Murti dan saudara-saudaranya memang
terkejut ketika tiba -tiba saja Mahisa Amping terlempar ke kaki
mereka. "Amping," desis Mahisa Murti, "ada apa." Mahisa
Amping pun kemudian telah meloncat bangkit sambil
berdesis: "Aku tidak tahu, aku tidak berbuat apa-apa."
"Omong kosong," geram orang y ang ternyata orang y ang
merasa penglihatannya terganggu oleh Mahisa Amping ketika
ia duduk di pundak Mahisa Semu, "ia telah mengganggu anakanak
yang sedang tidur." "Aku tidak menganggu," jawab Mahisa Amping, "aku
membangunkan mereka ketika di pentas para penari sedang
menarikan tari perang."
"Aku tampar mulutmu jika kau berbohong," geram orang
itu. Beberapa orang m emang telah berpaling. Tetapi ketika
mereka melihat orang y ang marah itu, maka justru telah
bergeser. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dapat membaca
pertanda itu. Karena itu, m aka Mahisa Murti pun kemudian
berkata: "Baiklah. Marilah kita mencari tempat lain. Kita
melihat dari kejauhan saja."
"Kalian harus keluar dari halaman ini," geram orang itu,
"kalian hanya mengganggu saja disini."
"Aku ingin melihat tari itu," jawab Mahisa Amping.
Tetapi orang itu memang marah. Karena itu, dengan
kecepatan yang tinggi sekali, ia menampar wajah Mahisa
Amping. Namun orang itu terkejut. Tangannya ternyata tidak
mengenai wajah Mahisa Amping. Tetapi tangannya telah
membentur tangan Mahisa Murti.
Orang itu memang menjadi sangat marah. Tetapi
sebelum ia mengatakan sesuatu, Mahisa Murti telah
mendahuluinya: "Ki Sanak. Aku tahu kau marah. Tetapi tidak
baik bertengkar disini. Karena itu, jika kau masih ingin
menyelesaikan persoalan ini, kita akan keluar dari halaman
ini. Biarlah adikku itu meneruskan m enonton pertunjukkan
ini. Kau dan aku sajalah y ang keluar dan jika kau kehendaki
membuat perhitungan."
"Setan kau," geram orang itu.
"Jangan m embuat orang sebanyak ini gelisah," berkata
Mahisa Murti, "sudah aku katakan, m arilah kita keluar. Kita
mencari tempat y ang sepi dan kita dapat berbuat sesuatu
untuk memecahkan per soalan y ang kita hadapi. Persoalan
yang sebenarnya tidak ada artinya. Tetapi nampaknya kau
ingin membesarkannya."
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
ia bertanya: "Kau siapa he" Agaknya kau belum mengenal aku"
" "Tentu Ki Sanak. Aku memang belum mengenal Ki
Sanak. Baru sekarang kita bertemu. Nampaknya pada
pertemuan kita ini, telah terjadi salah paham. Sebenarnya
tidak perlu terjadi salah paham seperti ini. Tetapi marilah,
mungkin kita dapat menjernihkan suasana," berkata Mahisa
Murti. "Kau m emang telalu sombong. Tetapi ada baiknya juga
kau mulai mengenal aku," berkata orang itu.
Ternyata orang itu tidak menunggu Mahisa Murti. Ia
justru melangkah lebih dahulu menuju ke reg ol.
Mahisa Murti masih sempat berbisik kepada Mahisa
Pukat: "Kau disini. Awasi y ang lain."
Mahisa Pukat mengangguk sambil berdesis: "Hati-hati."
Mahisa Murti mengangguk. Ia pun kemudian segera
mengikuti orang y ang ternyata sudah berada di regol.
Beberapa saat kemudian, keduanya telah berada di jalan.
Mahisa Murti mengikuti saja ke mana orang itu pergi. Agaknya
ia sudah mengenal tempat itu dengan baik.
Beberapa saat kemudian, orang itu berbelok lewat
sebuah lorong sempit. Kemudian m emasuki sebuah padang
rumput y ang tidak terlalu luas di sebelah tanggul sungai.
Diatas tanggul orang itu berhenti. Sambil bertolak
pinggang ia menunggu Mahisa Murti yang melangkah
mendekat. "Kau terlalu sombong Ki Sanak," geram orang itu,
"seharusny a kau tidak membuat aku marah."
"Aku justru ingin menjernihkan suasana Ki Sanak,"
berkata Mahisa Murti. "Tidak ada y ang harus dijernihkan. Kau sudah
menantang aku. Sekarang kita sudah siap untuk berkelahi,"
berkata orang itu. "Tunggu Ki Sanak," jawab Mahisa Murti, "sebenarnya
apakah alasan kita bahwa kita harus berkelahi" "
"Kau sudah menantang aku," geram orang itu, "kau
tantang aku diluar halaman rumah orang yang sedang
menyelenggarakan tari di rumahnya itu."
"Aku hanya tidak ingin mengganggu orang lain y ang
sedang menikmati tont onan itu. Karena itu, aku ajak kau
berbicara di luar," jawab Mahisa Murti.
"Bagiku itu sudah merupakan tantangan. Kita harus
selesaikan dengan cara yang paling pantas bagi laki -laki,"
jawab orang itu. "Bukankah tidak ada sebab dan alasannya bagi kita
untuk berkelahi disini"," bertanya Mahisa Murti.
"Persetan," geram orang itu, "jangan banyak bicara. Kau
sengaja mempermainkan aku he" "
"Tidak Ki Sanak," jawab Mahisa Murti, "tetapi apakah
sebenarnya y ang m embuat Ki Sanak begitu cepat marah dan
mengambil kesimpulan seperti ini" Apakah Ki Sanak
menganggap bahwa kekerasan adalah cara yang terbaik untuk
menyelesaikan satu masalah" "
"Cukup," bentak orang itu, "anak itu sudah kau pakai
alat untuk membuat perkara. Tetapi sayang, kali ini kau
bertemu dengan orang y ang barangkali belum pernah kau
pikirkan." "Maksudmu"," bertanya Mahisa Murti.
"Aku adalah orang yang paling disegani di tempat ini.
Kau tahu bagaimana orang-orang menyibak saat aku lewat.
Nah, kau jangan meny esal, bahwa kau telah berada di sini
seorang diri berhadapan dengan aku," berkata orang itu.
"Maksudmu"," bertanya Mahisa Murti sekali lagi.
"Aku akan membuat kau jera. Untuk selanjutnya kau
harus ingat, siapa aku. Jika kau datang lagi ke padukuhan ini,
maka kau tidak akan membuat kesalahan yang sama seperti
malam ini," berkata orang itu.
Mahisa Murti termangu -mangu sejenak. Tetapi agaknya
memang tidak ada jalan untuk menghindari benturan
kekerasan. Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian
berkata: "Kau begitu cepat kehilangan kendali atas
perasaanmu sendiri. Tetapi apa boleh buat. Jika itu satusatunya
jalan yang kau pilih."
"Jadi kau berani melawan aku"," bertanya orang itu.
"Sebenarnya aku tidak m emilih jalan ini. Tetapi j ika ini
satu -satunya jalan y ang ingin kau tempuh," jawab Mahisa
Murti. Orang itu m enggeram. Dengan marah ia bergeser maju
sambil berkata: "Jika kau ingin mempergunakan pedangmu,
pergunakan. Aku tidak memerlukan senjata."
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ternyata
orang itu sama sekali tidak tahu m enahu tentang pedangnya.
Namun Mahisa Murti itu menjawab: "Aku juga tidak akan
mempergunakan senjata. Aku kira itu adil."
"Cukup," geram orang itu: "jangan menghina lagi."
Mahisa Murti tidak menjawab lagi. Bagaimana pun juga ia
memang harus mempersiapkan diri.
Seperti yang sudah diperhitungkan, maka orang itu pun
dengan garangnya telah menyerang. Tetapi tangannya sama
sekali tidak menyentuh anak muda itu. Beberapa kali ia
melakukannya, tetapi sekian kali pula ia gagal. Anak muda itu
seakan-akan merupakan bayangan y ang tidak dapat disentuh
oleh tenaga wadag. Semakin cepat orang itu meny erang, maka bay angan itu
semakin cepat pula berterbangan kian kemari.
"Anak iblis, siapa kau sebenarnya he" Hantu"," bertanya
orang itu. Mahisa Murti yang kemudian berdiri beberapa langkah
dari orang itu tertawa. Ia sama sekali tidak mengalami
kesulitan. Bahkan hanya mempergunakan kemampuan
kanuragan ke-wadagan. Ternyata orang y ang m erasa dirinya
disegani itu sama sekali tidak mempunyai bekal cukup.
Bahkan masih jauh dari kemampuan yang telah dimiliki oleh
Mahisa Semu dan Wantilan.
"Nah," berkata Mahisa Murti: "apakah kau sudah puas
dengan caramu untuk membuat peny elesaian" "
"Persetan," geram orang itu, "kau harus menyadari
kesalahanmu." "Jangan begitu Ki Sanak," berkata Mahisa Murti, "apa
pun y ang kau lakukan, aku tidak bersalah. Seandainya kau
berhasil memaksa mulutku mengakui kesalahan, tetapi
sebenarnyalah bahwa aku tidak bersalah."
"Cukup," bentak orang itu, "kau harus merasa bahwa kau
memang ber salah. Aku dapat berbuat kasar terhadapmu."
"Tidak Ki Sanak. Kau tidak akan dapat berbuat apa -apa.
Bukankah kau telah mencoba"," bertanya Mahisa Murti.
Tetapi orang itu sama sekali tidak menghiraukan. Ia
justru sudah siap untuk meny erangnya lagi.
"Apakah kau belum yakin bahwa kau tidak dapat
menyentuhku"," bertanya Mahisa Murti.
Orang ku tidak menjawab. Tetapi dengan garangnya
orang itu meny erang Mahisa Murti.
Pertempuran yang sama sekali tidak seimbang telah
terjadi lagi. Tetapi Mahisa Murti sama sekali tidak
membalasnya. Ia berloncatan menghindari serangan lawannya
seperti bay angan hantu di gelapnya malam.
Sementara itu suara gamelan masih juga terdengar
bertalu-talu. Kadang-kadang keras meny entak, kadang-kadang
lembut ngerangin. Beberapa saat kemudian, maka sekali lagi orang itu
berhenti meny erang. Nafasny a terengah-engah. Bahkan
keringatnya bagaikan telah terperas habis.
"Kau anak iblis," geram orang itu.
"Apakah kau masih ingin meneruskan rencanamu
memaksa aku mengakui kesalahan"," bertanya Mahisa Murti.
"Kau memang bersalah," teriak orang itu.
Mahisa Murti tertawa. Katanya: "Kau memang keras
kepala. Tetapi kau tidak memiliki pertimbangan yang baik
untuk menilai kenyataan yang kau hadapi."
"Tutup mulutmu," geram orang itu, "berlututlah dan
minta ampun kepadaku."
Tetapi Mahisa Murti berkata: "Sebaiknya kau mulai
terbangun dari mimpimu. Mungkin kau orang y ang paling
disegani di daerah ini. Tetapi ternyata bahwa kau tidak akan
berhasil memaksa aku. Jika aku kehilangan kesabaranku,
maka aku akan dapat berbuat sesuatu."
"Kau kira aku dapat kau takut-takuti"," jawab orang itu.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Orang itu memang
keras kepala. Tetapi beberapa kali Mahisa Murti pernah
menghadapi orang seperti itu. Ia sudah mempunyai cara
sendiri untuk menundukkannya.
Karena itu, seperti yang pernah dilakukannya, ketika
orang itu meny erang lagi, maka Mahisa Murti telah
berloncatan menghindari. Ia sama sekali tidak memberi
kesempatan lawannya meny entuhnya. Ia tidak ingin
mempergunakan ilmu y ang dapat membuat lawannya itu
kehilangan tenaga. Tetapi ia membiarkan lawannya itu
kehabisan tenaga dengan wajar.
Sebenarnyalah, beberapa saat kemudian, maka orang itu
telah kehabisan tenaga tanpa sekali pun m ampu meny entuh
lawannya. Ketika ia mulai menurunkan seranganserangannya,
maka Mahisa Murti telah memancingnya dengan
menyentuh dahinya dengan ujung jarinya tanpa mendapat
kesulitan apapun. Kemudian m enarik telinganya atau sekalisekali
mencengkam rambutnya. Dengan demikian maka orang itu menjadi semakin
marah dan berusaha menghentak-hentakkan kemampuannya
yang tersisa. Namun akhirnya orang itu menjadi tidak berday a. Ketika
ia mengayunkan tangannya untuk menyerang tanpa mengenai
sa saran, maka ia pun telah terhuyung-huyung. Bahkan
beberapa kali hal itu terjadi. Sehingga pada satu saat, Mahisa
Murti pun telah berdiri di atas tanggul sungai.
Seperti y ang diinginkan, maka orang itu telah
menyerang Mahisa Murti y ang berdiri bertolak pinggang.
Namun demikian sisa tenaga orang itu terayun, Mahisa Murti


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan gerak sederhana telah menghindar.
Orang itu terhuyung-huyung sejenak. Tetapi ternyata ia
tidak berhasil m engekang diri sehingga ia pun telah terjebur
ke dalam sungai. Untunglah sungai itu adalah sungai yang
dangkal. Tetapi berlumpur.
Dengan susah payah orang itu berusaha untuk bangkit.
Kemudian m erangkak ke t ebing yang rendah. Tubuhnya dan
pakaiannya telah menjadi basah kuyub. Bukan saja karena air
sungai y ang dingin, tetapi juga karena lumpur yang kotor.
Hampir saja orang itu menjadi putus-a sa, ketika
beberapa kali ia mencoba merangkak mencapai punggung
tanggul namun gagal. Baru kemudian Mahisa Murti
menjulurkan tangannya dan menariknya keatas.
"Kenapa kau masih juga sempat mandi"," bertanya
Mahisa Murti. Orang itu mengumpat. Katanya: "Aku memang harus
membunuhmu" Tetapi Mahisa Murti bertanya lagi: "Apa y ang
sebenarnya terjadi atasmu" Apakah kau masih juga belum
melihat kenyataan ini" "
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
ia pun menarik nafas dalam-dalam. Ia m emang tidak dapat
mengingkari kenyataan, bahwa ia sama sekali tidak berdaya
menghadapi orang itu. "Nah," berkata Mahisa Murti: "apakah kau dapat
mengerti apa y ang telah terjadi."
"Siapakah kau sebenarnya"," bertanya orang itu.
"Kami adalah pengembara. Sebenarnya kami tidak ingin
memperlihatkan kelebihan kami. Kami berusaha untuk
berbuat sebaik-baiknya. Tetapi kau telah m emaksaku," jawab
Mahisa Murti. Orang itu terduduk diatas tanggul. Dengan nada rendah
ia berkata: "Aku tidak dapat berbuat lain. Ayahku adalah
seorang yang ditakuti di padukuhan ini. Ayah telah
memaksaku agar aku m engikuti jejaknya. Aku harus m enjadi
orang y ang ditakuti pula disini."
"Apakah kau merasa berhasil"," bertanya Mahisa Murti.
"Sebagaimana kau lihat. Aku memang ditakuti. Sebagian
karena sikap dan kelebihanku. Tetapi sebagian karena nama
besar ayahku sehingga orang segan melawanku," jawab orang
itu. "Dan kau bertindak sewenang-wenang terhadap orang
lain"," bertanya Mahisa Murti.
Orang itu tidak menjawab.
"Baiklah," berkata Mahisa Murti: "pulanglah. Tetapi
sekali-sekali kau dapat berkata kepada ayahmu, bahwa kau
tidak perlu berbuat seperti itu. Wibawa seseorang tidak selalu
diangkat karena kemamuan olah kanuragan y ang tinggi.
Tetapi mungkin dengan sikap dan tingkah laku y ang baik."
Tetapi orang itu menggeleng. Katanya: "Aku tidak
berani." "Kau harus berani," berkata Mahisa Murti, "ilmumu
sama sekali tidak mendukung sikapmu. Jika benar-benar ada
orang berilmu y ang memiliki sikap y ang kasar, maka kau akan
mengalami kesulitan. Mungkin ay ahmu m emiliki ilmu yang
memadai. Tetapi kau tidak."
Orang itu menunduk. Sementara itu Mahisa Murti
bertanya: "Kenapa kau tidak mewarisi ilmu ayahmu" "
"Aku juga mencoba untuk melakukannya. Tetapi
mungkin aku memang lamban sehingga aku memerlukan
waktu yang lama untuk meningkatkan ilmu," jawab orang itu.
"Sementara itu ayahmu tergesa-gesa ingin melihat kau
menjadi seorang y ang ditakuti oleh orang-orang disekitarmu."
Orang itu mengangguk. "Sudahlah," berkata Mahisa Murti, "kau tidak boleh larut
dalam keadaan yang tidak menentu. Kau harus segera memilih
landasan hidup y ang sesuai dengan kemampuanmu."
Tetapi orang itu menggeleng. Katanya: "Aku tidak
dapat." "Kau belum mencoba. Berkatalah berterus terang kepada
ay ahmu," berkata Mahisa Murti.
Tetapi orang itu menggeleng. Katanya: "Aku tidak
berani." Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun ia
pun bertanya: "Apakah ayahmu ada di tempat keramaian" "
"Tidak," jawab orang itu.
"Dimana"," bertanya Mahisa Murti pula.
"Di rumah," jawab orang itu.
"Aku akan menemui ay ahmu," berkata Mahisa Murti
kemudian. Orang itu ragu-ragu. Dengan nada rendah ia
berkata: "Ayahku sulit untuk diajak berbicara. Ia ka sar dan
barangkali kau harus berkelahi lagi. Tetapi ayahku m emiliki
kemampuan yang tinggi. Tidak seperti aku."
"Mungkin ia bersikap lain kepadaku," jawab Mahisa
Murti. Namun kemudian katanya: "Tetapi kau jangan
tersinggung jika aku akan menunjukkan bahwa kau telah
mandi di lumpur." Orang itu tidak menjawab. Tetapi ia sadar, bahwa ia
harus membawa orang y ang telah m embuatnya ba sah kuyup
itu pulang. Ketika mereka melewati tempat keramaian itu, Mahisa
Murti sempat menemui Mahisa Pukat dan berkata: "Tunggu
aku disini. Jika pertunjukkan ini selesai dan aku belum
datang, kembalilah ke tempat kita bermalam."
"Apa yang akan kau lakukan"," bertanya Mahisa Pukat.
"Apakah kau tidak memerlukan seorang kawan","
bertanya Mahisa Pukat pula.
Mahisa Murti menggeleng. Katanya: "Tidak. Aku akan
pergi sendiri." "Tetapi berhati-hatilah," berkata Mahisa Pukat pula.
Mahisa Murti pun kemudian telah mengikuti orang yang baru
sa ja dikalahkannya itu. Ia sadar, bahwa orang tuanya tentu
seorang yang berilmu tinggi, y ang ingin melihat anaknya
seperti diriny a sendiri. Namun ternyata bahwa anaknya
berbeda dengan diriny a. Tingkat kemampuannya dan
kecerdasannya tidak sama. Tetapi justru karena itu, maka
anaknya selalu mengalami ketakutan.
Beberapa saat kemudian, maka m ereka memang telah
memasuki sebuah rumah dengan halaman y ang cukup luas.
Mereka pun kemudian telah naik ke pendapa. Dengan kasar
Mahisa Murti mengetuk pintu rumah orang itu.
Pemilik rumah itu terkejut. Tidak ada orang yang berani
berlaku demikian. Anaknya pun tidak.
Dengan hati-hati orang itu pergi ke pintu, kemudian
membukanya. Tetapi demikian pintu terbuka, maka Mahisa Murti telah
melemparkan anaknya laki -laki yang basah dan kotor karena
lumpur itu ke kakinya. " Ini anakmu," geram Mahisa Murti.
Orang yang dilemparkan itu sama sekali tidak berniat
untuk melawan. Ia mengerti maksud Mahisa Murti. Karena
ay ahnya seorang y ang kasar, m aka Mahisa Murti pun telah
bertindak kasar pula. Orang itu terkejut. Ia melihat anaknya kemudian
terbaring di lantai. Sekali ia menggeliat dan berusaha untuk
bangkit. Tetapi ia telah terjatuh lagi.
"Setan kau. Kau apakan anakmu"," geram orang itu.
" Ia telah berlaku ka sar. Kami sama-sama menonton
wayang t openg. Tetapi ia telah menantangku," jawab Mahisa
Murti. "Tentu ada sebabnya," jawab ayahnya.
"Tidak. Hanya karena ia berdiri dibelakangku. Aku tidak
tahu kapan ia datang dan sejak kapan ia berdiri di belakangku.
Yang aku tahu, ia merasa aku menghalangi penglihatannya
dan kemudian menantangku berkelahi," jawab Mahisa Murti.
Orang tua itu menggeram. "Tetapi anakmu ternyata tidak lebih dari tikus kecil. Aku
kira ayahnya juga sebangsa tikus tanah," geram Mahisa Murti.
Orang tua itu menggeram. Dengan garangnya ia berkata:
"Aku akan membunuhmu."
"Berlututlah dan minta maaf kepadaku atau kau juga
akan mengalami nasib seperti anakmu," bentak Mahisa Murti.
Orang itu tidak dapat m enahan hati lagi. Ia sama sekali
tidak pernah mendapat perlakuan seburuk itu. Karena itu,
maka ia pun telah m elangkahi tubuh anaknya dan berkata:
"Jangan meny esal bahwa aku akan mengoy ak mulutmu."
Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi ia berkata: "Kita
akan bertempur di halaman."
Mahisa Murti pun kemudian telah turun ke halaman.
Orang tua itu tidak berbicara lagi. Ia pun langsung
meloncat meny erang Mahisa Murti.
Mahisa Murti cukup berhati-hati. Ia mengerti, bahwa
orang tua itu tentu memiliki ilmu yang lebih tinggi dari
anaknya. Bahkan menurut pengakuan anaknya, ia sama sekali
tidak mampu meny erap ilmu ay ahnya y ang dianggapanya
terlalu tinggi. Namun Mahisa Murti berhasil menghindari serangannya
itu. Sambil meloncat ke samping, maka Mahisa Murti telah
menjulurkan kakinya. Ternyata orang itu memiliki
kemampuan gerak y ang sangat tinggi, sehingga dengan cepat
pula ia menangkis serangan kaki Mahisa Murti itu.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, keduanya telah
sal ing meny erang. Namun Mahisa Murti tidak lagi bertempur
dengan tenaga wadagnya sebagaimana ia mengalahkan
anaknya, membiarkannya kehabisan tenaga dengan cara yang
wajar. Menghadapi ayahnya y ang memiliki kemampuan
bergerak .yang cepat sekali, Mahisa Murti telah
mempergunakan ilmunya menghisap tenaga lawannya.
Mahisa Murti m emang ingin m enyelesaikannya dengan
cepat, karena dengan demikian, orang tua itu akan semakin
merasa dirinya kecil. Kecuali itu, ia tidak ingin Mahisa Pukat
dan saudara-saudaranya y ang lain menjadi cemas jika ia
terlalu lama pergi. Sejenak kemudian, maka keduanya telah bertempur.
Keduanya berloncatan dengan cepatnya. Bahkan Mahisa Murti
mulai mengagumi kemampuan orang itu. Agaknya ia telah
menyerap ilmu yang khusus dapat membuatnya bergerak
demikian cepatnya. Tubuhnya m enjadi ringan sekali, seolaholah
tidak memiliki bobot sama sekali. Ia m ampu meloncat
tinggi-tinggi dan kemudian melayang menukik seperti seekor
burung alap-alap menyambar buruannya.
Beberapa kali Mahisa Murti sempat menangkis
serangan-serangan itu. Namun beberapa kali ia benar-benar
dapat dikenai serangan orang tua itu. Ketika serangan orang
tua itu mengenai punggungnya, Mahisa Murti hampir saja
jatuh terjerembab. Kadang-kadang Mahisa Murti bahkan
kehilangan lawannya dan tiba-tiba saja serangannya datang
dari arah y ang tidak diduganya.
Anak lawan Mahisa Murti itu m enjadi berdebar-debar.
Ia sudah memperingatkan bahwa ay ahnya berilmu tinggi.
Namun anak muda itu berniat untuk berbuat sesuatu bagi
ay ahnya. Ketika beberapa kali Mahisa Murti dapat dikenai oleh
serangan-serangan ayahnya, maka ia m enjadi cemas. Bahwa
justru anak muda itulah yang dikalahkannya.
Tetapi Mahisa Murti memang tidak ingin membinasakan
lawannya, sehingga ia tidak melontarkan ilmunya yang
dahsy at. Bahkan ia tidak memukul lawannya dengan
kemampuan tertinggi ilmu Bajra Geni. Yang ditrapkan
hanyalah ilmunya yang mampu menghisap tenaga lawannya
dalam setiap sentuhan. Sebenarnyalah, beberapa saat kemudian, orang tua itu
merasakan sesuatu yang aneh pada dirinya. Begitu cepat ia
merasa tenaganya menjadi susut. Ia tidak lagi mampu
berloncatan, melenting dan bahkan bagaikan terbang.
Tenaganya seakan-akan sama sekali t idak mampu
mendukungnya lagi. Karena itu, maka orang itu pun telah meloncat
mengambil jarak untuk menilai keadaan dirinya.
"Apakah kau sudah puas"," bertanya Mahisa Murti.
"Apa yang telah terjadi dengan diriku"," desis orang itu.
"Apa maksudmu"," justru Mahisa Murti bertanya lagi.
Orang itu termangu-mangu. Bahkan untuk sesaat ia
menjadi bimbang. Tetapi ia sadar, bahwa ada yang tidak wajar
terjadi pada diriny a. Dalam pada itu, anaknya telah berdiri beberapa langkah
dari padanya. Ia melihat ay ahnya menjadi gelisah. Bahkan
nampak demikian letihnya setelah mengerahkan
kemampuannya melawan anak muda itu.
"Ternyata anak muda itu memang berilmu sangat
tinggi," berkata anaknya didalam hatinya.
Namun dalam kegelisahan itu ayahnya sempat berkata:
"Apakah kau mengerti, apa y ang telah terjadi padaku" Aku
tidak pernah merasa begitu cepat kehilangan tenaga dan
kemampuan. Tetapi kali ini aku tidak mampu bertempur
melampaui beberapa langkah saja."
Mahisa Murti t iba-tiba sikapnya telah berubah. Ia tidak
lagi menjadi kasar dan garang. Dengan nada rendah ia
berkata: "Sudahlah Ki Sanak. Tidak ada y ang perlu dirisaukan.
Aku hanya ingin berbicara sedikit kepadamu."
Orang itu termangu-mangu. Namun kemudian ia
bertanya: "Siapakah kau sebenarya."
"Aku adalah seorang pengembara. Aku mengembara
bersama beberapa orang saudaraku. Adikku tiba-tiba ingin
menonton tontonan y ang jarang sekali sempat dilihatnya.
Tetapi diluar kehendakku aku telah terlibat dalam kesalah
pahaman dengan anakmu. Kami memang berkelahi. Tetapi
kemampuan anakmu sama sekali tidak memadai sikapnya
yang kasar, yang sebenarnya tidak perlu dilakukan," berkata
Mahisa Murti. Orang tua itu mengerutkan keningnya. Katanya: "Ia
seorang laki-laki. Ia harus bersikap seperti seorang laki-laki."
"Apa yang harus dilakukan seorang laki -laki menurut
pendapatmu" Berkelahi atau berbuat aneh-aneh. Kasar dan
memaksakan kehendaknya kepada orang lain," berkata
Mahisa Murti. Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
ia menjawab: "Seorang laki -laki tidak boleh menunjukkan
kelemahan sedikit pun dalam keadaan apa pun dan
menghadapi persoalan apapun," jawab orang itu.


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apakah y ang kau maksudkan dengan kelemahan","
bertanya Mahisa Murti: "apakah berbaik hati kepada orang
lain, m enolong dan melindungi, bersahabat dan cinta ka sih
termasuk kelemahan y ang tidak boleh disandang oleh seorang
laki -laki" " Orang itu menjadi bingung. Sementara Mahisa Murti
berkata selanjutnya: "Kau dapat merenungkannya. Di saatsaat
mendatang kau dapat menentukan kembali sikapmu
terhadap anakmu dan kepada orang lain. Kau harus menilai
kembali pengertianmu tentang kelemahan bagi seorang lakilaki."
Orang itu tiba-tiba saja mengangguk.
"Anakmu bukan seorang yang tepat untuk kau pahat
menjadi seorang yang dapat kau sebut sebagai laki-laki
menurut citramu. Tetapi pada sisi lain, ia akan dapat menjadi
seorang y ang baik bagi orang lain."
Ayahnya menarik nafas dalam-dalam. Hampir diluar
sa darnya ia berkata: "Marilah anak muda. Silahkan duduk."
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Ia sadar, bahwa
ia tidak boleh terlalu lama disitu. Tetapi ia ingin berbicara
dengan orang itu tentang anaknya serba sedikit.
Karena itu maka Mahisa Murti pun kemudian telah
duduk di pendapa rumah itu.
Mahisa Pukat y ang m asih ada di halaman rumah y ang
sedang meny elenggarakan keramaian itu memang menjadi
gelisah. Setiap kali ia berpaling m emandangi regol halaman.
Namun Mahisa Murti masih belum nampak datang.
Mahisa Amping sendiri sudah melupakan apa yang telah
terjadi atas dirinya. Meski pun sekali-sekali ia teringat juga
kepada Mahisa Murti, namun ia lebih tertarik kepada
tontonan yang disaksikannya.
Mahisa Semulah yang kemudian mendekati Mahisa
Pukat sambil bertanya: "Apakah Mahisa Murti belum datang"
" "Aku juga menjadi gelisah," jawab Mahisa Pukat.
"Aku akan mencarinya," berkata Mahisa Semu. Tetapi
Mahisa Pukat menggeleng: "Kita tidak tahu ke mana ia pergi.
Sebaiknya kita menunggu sejenak. Jika pertunjukkan ini
mendekati akhirnya dan Mahisa Murti belum kembali, aku
akan mencarinya." Mahisa Semu mengangguk-angguk kecil. Sementara itu
Wantilan tengah mengawasi Mahisa Amping y ang sudah
berada di paling depan lagi. Diantara anak-anak y ang sebagian
sudah tertidur di bibir pendapa.
Namun sekali-sekali Mahisa Amping juga masih saja
bertanya apakah Mahisa Murti sudah kembali.
" Ia akan segera kembali," jawab Wantilan.
Mahisa Amping segera berada di antara anak-anak muda
itu kembali. Namun setelah menunggu beberapa saat, sebelum
pertunjukkan itu berakhir, maka Mahisa Murti benar-benar
telah kembali. Mahisa Pukat y ang melihat Mahisa Murti
melangkah m emasuki reg ol halaman itu pun menarik nafas
dalam-dalam. "Apa yang terjadi"," bertanya Mahisa Pukat kemudian.
"Sedikit pembicaraan," jawab Mahisa Murti yang sempat
berceritera sedikit tentang orang yang kemudian telah
menyadari kesalahannya dengan memaksakan kehendaknya
kepada anaknya. "Sokurlah," desis Mahisa Pukat: "kami disini sudah
menjadi gelisah." "Bukankah pertunjukkan belum berakhir"," bertanya
Mahisa Murti. Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam.
Pertunjukkan memang belum selesai. Tetapi ia memang
benar-benar menjadi gelisah.
Karena itu, maka jawab Mahisa Pukat: "Rasa -rasanya
aku sudah sangat lama menunggu."
Mahisa Murti tertawa pendek. Tetapi ia pun kemudian
telah bertanya: "Dimana Mahisa Amping?"
" Ia sudah kembali berada di depan. Di bibir pendapa
bersama dengan anak-anak yang lain," jawab Mahisa Pukat.
"Biarlah ia menonton pertunjukkan yang jarang
dilihatnya sampai selesai," berkata Mahisa Murti. ,
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat rasa-rasanya
tidak tahan berdiri terlalu lama, sementara mereka tidak dapat
melihat dengan leluasa karena orang -orang y ang bergantiganti,
datang dan pergi, bahkan sekali-sekali mendesak
mereka ke samping dan bahkan ke belakang. Karena itu, maka
keduanya pun telah bergeser dan bahkan duduk di dekat regol
halaman setelah mereka memberitahukan kepada Mahisa
Semu. "Kau tidak senang menonton tari topeng"," bertanya
Mahisa Semu. "Bukannya tidak senang, tetapi aku memang ingin
beristirahat," berkata Mahisa Murti.
Sambil duduk disebelah reg ol keduanya sempat
memesan wedang jahe yang dapat membuat tubuh mereka
menjadi segar. Sementara Mahisa Semu dan Wantilan tengah
menunggu Mahisa Amping y ang m enonton di paling depan.
Apalagi karena Mahisa Semu dan Wantilan sendiri adalah
orang-orang y ang senang akan tont onan seperti itu.
Menj elang pagi, tontonan itu baru selesai. Ketika orangorang
meninggalkan tempat pertunjukkan, maka beberapa
orang anak masih saja tertidur di bibir pendapa. Namun
Mahisa Amping tidak tertidur. Bahkan ia sama sekali tidak
merasa mengantuk. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat setelah membayar
minuman mereka, telah melangkah perlahan-lahan keluar
regol bersama arus orang y ang meny esak di pintu gerbang.
Namun akhirnya kelima orang itu pun telah berada di
jalan. Mereka berjalan bersama-sama dengan orang-orang
yang keluar dari halaman itu kembali pulang ke rumah
masing-masing. Namun kelima orang itu tidak pulang ke
rumah mereka. Mereka telah berbelok melalui lorong -lorong
sempit menuju ke sebuah padang yang telah mereka
persiapkan sebagai tempat penginapan mereka.
Tetapi Mahisa Amping tidak mengeluh. Ia sempat
berceritera tentang pertunjukkan yang dilihatnya. Ternyata
Mahisa Amping tidak begitu j elas jalan c eriteranya. Tetapi ia
senang melihatnya. Namun akhirnya Mahisa Murti berkata: "Sebentar lagi
langit akan menjadi merah. Pergunakan sisa malam ini sebaikbaiknya
Amping." Mahisa Amping termangu-mangu. Namun kemudian
Mahisa Pukat pun berkata pula: "Tidurlah m eski pun hanya
sebentar bersama Mahisa Semu dan Wantilan."
"Apakah kalian tidak mengantuk"," bertanya Wantilan.
"Kami sempat tidur bersandar dinding di sebelah regol
sambil menikmati wedang jahe," jawab Mahisa Pukat.
Mahisa Semulah y ang kemudian berkata: "Baiklah. Kami
akan tidur barang sejenak."
Ketiga orang itu pun kemudian telah mencari tempat
masing-masing untuk berbaring. Ternyata Mahisa Amping
adalah justru yang terakhir dapat memejamkan m atanya. Ia
masih saja membayangkan beberapa orang penari yang
membuatnya menjadi kagum. Bagaimana penari itu menari
perang dengan pedang dan perisai ditangan.
Tetapi Mahisa Amping ternyata telah terlambat bangun.
Ketika semuanya sudah berbenah diri, maka Mahisa Amping
pun sedang membuka m atanya. Ia memang terkejut bahwa
sinar matahari ternyata telah meny entuh tubuhnya. Ketika
kemudian ia bangkit, ia melihat keempat saudaranya y ang lain
sudah duduk bercakap-cakap.
"Tidurmu ny enyak sekali," berkata Mahisa Murti,
"apakah kau bermimpi menjadi seorang penari topeng" "
Mahisa Amping tidak menjawab. Tetapi ia berdiri sambil
menggeliat. Tanpa mengucapkan kata-kata ia pun telah pergi
ke sebuah sungai kecil y ang tidak jauh dari tempat itu.
Beberapa saat kemudian, mereka sudah siap. Namun
Mahisa Amping masih sering nampak merenung. Ternyata
yang ditontonnya itu memberikan kesan y ang dalam di
hatinya. "Apakah kita sudah siap untuk berangkat"," bertanya
Mahisa Murti. Semuanya mengangguk kecil. Mahisa Amping pun
mengangguk pula. Namun sebenarnyalah perutnya merasa
lapar, justru karena hampir semalam suntuk ia terjaga.
Namun agaknya Mahisa Pukat mengerti keadaan anak
itu. Apalagi setiap kali Mahisa Amping mengusap perutnya
yang bagaikan gemericik. "Pertama kali, kita akan mencari sebuah kedai," berkata
Mahisa Pukat. Mahisa Semu dan Wantilan tertawa. Namun Mahisa
Amping hanya menundukkan kepalanya saja.
Sejenak kemudian, kelima orang itu telah meninggalkan
tempatnya. Mereka menyusuri jalan di tengah-tengah bulak
panjang menuju ke sebuah padukuhan y ang cukup besar.
Namun tiba -tiba Mahisa Amping yang berjalan di paling
depan telah t erhenti dan hampir di luar sadarnya ia berkata:
"Apa yang terjadi" "
"Kenapa"," bertanya Mahisa Murti.
"Banyak orang berkerumun di pinggir jalan," desis
Mahisa Amping. "Kenapa dengan orang yang berkerumun"," bertanya
Mahisa Pukat. "Apakah kita harus berhenti lagi sehari atau dua"," desis
anak itu. Mahisa Pukat tertawa. Katanya: "Bukankah baru saja
kau salah tebak. Kemarin ketika kau memanjat, kau m elihat
orang berkerumun. Ternyata bukan apa-apa, justru semalam
ada tont onan di tempat itu. Dan kita tidak perlu berhenti satu
atau dua hari. Kita sempat minum wedang jahe dan membeli
makanan seberapa kita inginkan."
"Tetapi terjadi juga sesuatu dengan kakang Mahisa
Murti," berkata Mahisa Amping.
"Apa yang terjadi"," bertanya Mahisa Murti.
"Tentu sesuatu. Jika kakang Mahisa Murti tidak dapat
mengatasi per soalan yang dihadapinya, maka kita memang
akan tertahan," jawab Mahisa Amping.
Mahisa Murti pun tertawa. Katanya: "Ternyata kau
benar. Sampai sekarang kita m enjumpai sekerumunan orang,
maka tentu akan terjadi masalah yang akan dapat
menghambat perjalanan kita. Tetapi bukankah kita memang
sudah bertekad untuk melakukannya" "
"Ya," jawab Mahisa Amping, "masalahnya bukan kita
lakukan atau tidak kita lakukan. Tetapi kebenaran dugaanku."
Yang mendengar jawaban itu justru tertawa. Mahisa
Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan Wantilan.
Namun dengan heran Mahisa Amping memandang
mereka berganti-ganti. Kenapa mereka ju stru
mentertawakannya. Tetapi Mahisa Amping kemudian tidak menghiraukan
mereka lagi. Ia berjalan terus di paling depan.
Ketika Mahisa Amping berpaling, m aka Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat y ang berjalan di belakangnya terseny um.
Ternyata orang-orang yang berkerumun itu adalah orangorang
y ang sedang memperbaiki parit y ang longsor.
Beberapa saat setelah mereka melewati sekelompok
orang y ang sedang bersiap-siap untuk mulai bekerja itu,
Mahisa Murti bertanya sambil tertawa: "Apakah kita dihambat
oleh mereka. "Hanya satu kebetulan," jawab Mahisa Amping tanpa
berpaling. Mahisa Murti tertawa. Tetapi ia tidak bertanya lagi.
Dalam pada itu, maka mereka pun menjadi semakin dekat
dengan padukuhan di hadapan mereka. Padukuhan yang agak
besar, y ang tentu cukup ramai. Apalagi melihat jalan yang
cukup besar yang mereka lalui, juga banyak dilalui orang.
Sebenarnyalah ketika mereka mengikuti jalan itu,
ternyata mereka menuju ke sebuah pasar y ang terdapat di
tengah-tengah padukuhan itu. Pasar y ang cukup ramai yang
dikunjungi oleh orang-orang dari padukuhan lain.
"Amping," berkata Mahisa Murti: "disana juga banyak
orang y ang berkerumun."
" Itu pasar," jawab Mahisa Amping: "m eski pun
demikian, pasar juga sering menghambat perjalanan kita."
Mahisa Murti m engangguk kecil. Katanya: "Ya. Kadangkadang
memang demikian." Yang kemudian mereka cari adalah sebuah kedai. Di
sebelah pasar itu memang terdapat beberapa buah kedai yang
berjajar di pinggir jalan.
"Nah," berkata Mahisa Pukat, "bukankah kau
memerlukannya, semalam suntuk kau menonton
pertunjukkan itu, sehingga kau telah hampir tidak tidur sama
sekali. Karena itu, maka kau menjadi lapar dan sekarang, kita
memasuki salah satu dari kedai -kedai itu."
"Yang mana"," justru Mahisa Ampinglah y ang bertanya.
"Yang mana saja yang kau sukai," jawab Mahisa Pukat.
"Yang di tengah," jawab Mahisa Amping.
"Yang mana. Ada beberapa kedai yang di tengah," jawab
Mahisa Semu. "Yang mana aja," jawab anak itu.
Ternyata Mahisa Amping tidak menunggu pertanyaanpertanyaan
lagi. Ia pun kemudian telah mendahului masuk ke
dalam sebuah kedai y ang terhitung besar diantara beberapa
buah kedai y ang berjajar di pinggir jalan itu.
Sejenak kemudian kelima orang itu telah memesan
minuman dan makanan mereka masing -masing. Sesuai
dengan kesukaan mereka sendiri -sendiri.
Sementara itu, sambil menunggu pesanan mereka,
Mahisa Amping telah m elangkah ke pintu. Di depan pintu ia
melihat-lihat orang y ang lalu lalang, dan keramaian di pasar di
hadapannya. Ketika dua orang berkuda lewat di depan kedai itu,
Mahisa Amping sempat mengangguk-angguk. Ia kagum
melihat pakaian dan perhiasan di dada kedua orang itu.
Bahkan timangnya pun diperlihatkan di sela-sela bajunya
justru karena terbuat dari emas bertretes berlian.
"Bagus sekali," desis Mahisa Amping. Namun anak itu
tidak bergeser dari tempatnya. Ia sadar, bahwa saudarasaudaranya


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tentu tidak mengijinkannya meninggalkan kedai
itu dan berkeliaran sendiri di jalan yang ramai itu atau bahkan
di pasar. Tetapi ia sempat melihat kedua orang y ang berpakaian
sebagaimana orang -orang kaya itu singgah di kedai tepat
disebelah kedai tempat mereka berhenti memesan makanan
dan minuman. Namun demikian orang itu hilang di dalam kedai
sebelah, maka Mahisa Amping telah bergeser mundur. Tibatiba
saja keningnya telah berkerut.
Ada sesuatu yang bergejolak di dalam hatinya. Anak itu
sendiri tidak tahu apa sebabnya. Namun demikian kedua
orang yang nampaknya kay a raya itu memasuki kedai sebelah,
ada sesuatu yang bergetar di dalam dadanya.
Karena itu, maka ia pun telah menemui saudarasaudaranya.
Dengan suara bergetar ia telah menceriterikan
apa y ang telah dilihatnya."
Mahisa Murti menepuk bahu anak itu. Sambil ter senyum
ia berkata: "Tenanglah. Tidak akan terjadi apa-apa dengan
kita. "Tetapi orang itu"," bertanya Mahisa Amping.
Mahisa Murti menggeleng. Katanya: "Duduklah.
Minumanmu hampir siap. Sebentar lagi kita akan dapat
meneguk minuman yang baru disiapkan itu."
Mahisa Amping mengangguk. Tetapi ada dor ongan
padanya untuk kembali ke pintu.
"Kasihan anak itu," desis Mahisa Murti, "ia selalu
dibayangi oleh kecurigaan, kecemasan dan gambarangambaran
y ang m enegangkan. Karena setiap kali ia menjadi
curiga. Demikian juga ketika ia melihat dua orang yang
mengenakan pakaian y ang agak meny olok dan bernilai tinggi,
maka jantungnya- pun telah tergetar. Ia mulai membayangkan
orang-orang y ang akan merampoknya atau melakukan tindak
kekerasan y ang lain."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Sementara itu
Wantilan berkata: "Di sepanjang perjalanan dan
pengembaraan ini, anak itu terlalu sering melihat kekerasan
sehingga tidak ada kemungkinan lain y ang terjadi selain
kekerasan." Mahisa Pukat pun kemudian menyahut: "Kita memang
harus segera sampai ke padepokan. Dengan demikian kita
akan dapat beristirahat. Mudah-mudahan kita belum
terlambat sehingga gambaran-gambaran yang buram dalam
kehidupan ini tidak terlanjur terpahat di dinding jantungnya."
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud
Mahisa Pukat dan Wantilan.
Namun sementara itu, Mahisa Semu t elah bangkit pula
sambil bergeremang: "Begitu lama minuman itu" "
Ia tidak menunggu jawaban siapapun. Namun ia pun
telah m elangkah ke pintu pula dan berdiri di sebelah Mahisa
Amping. "Di mana orang y ang kau katakan itu"," bertanya Mahisa
Semu. "Di kedai sebelah. Rasa-rasanya sesuatu akan t erjadi,"
berkata Mahisa Amping. "Tidak Amping. Tidak akan terjadi apa -apa. Marilah,
minuman kita sudah siap," ajak Mahisa Semu.
Mahisa Amping menarik nafas dalam-dalam. Tetapi
sebenarnyalah telah dihidangkan minuman dan makanan yang
dipesannya. Karena itu, Mahisa Semu pun telah membimbing Mahisa
Amping untuk masuk dan duduk di tempatnya. Sementara
pesanannya telah tersedia.
"Makanlah," desis Mahisa Murti: "jangan hiraukan apaapa.
Kita haus dan lapar."
Mahisa Amping tidak menjawab. Tetapi ia memang haus
dan lapar. Namun sambil minum dan makan, Mahisa Amping
seakan-akan tengah menunggu sesuatu y ang akan terjadi.
Setiap kali ia berpaling ke pintu.
"Kenapa kau nampak ragu-ragu?" bertanya Mahisa
Pukat. "Ada sesuatu y ang mengganggu perasaanku," jawab anak
itu. "Apa"," bertanya Mahisa Pukat pula.
"Aku tidak tahu," jawab Mahisa Amping.
Namun selagi anak itu kemudian meneguk
minumannya, maka terdengar keributan yang bagaikan
meledak di kedai sebelah.
Orang-orang y ang berada di kedai itu pun menjadi
gugup. Mereka segera bangkit berdiri dan berlari -larian
keluar. Demikian pula Mahisa Amping. Ia adalah orang
pertama yang sampai diluar pintu.
Beberapa orang bahkan menjadi ketakutan dan
meninggalkan tempat itu tanpa membayar lebih dahulu.
Namun ada pula yang ingin tahu apa yang telah terjadi.
Mahisa Murti yang kemudian berdiri di sebelah Mahisa
Amping memang merasa heran. Ternyata penggraita anak itu
demikian tajamnya. Seakan-akan ia mengetahui apa y ang akan
terjadi. Sementara itu, mereka menyaksikan kedua orang y ang
mengenakan timang emas tretes berlian itu sedang bertempur
melawan ampat orang y ang bertubuh tinggi tegap dan
berwajah kasar. Nampaknya keempat orang itu adalah orangorang
yang berniat jahat dengan merampas barang-barang
berharga yang dikenakan oleh kedua orang itu.
Beberapa orang telah berkerumun pada jarak y ang
cukup. Kedua orang itu ternyata memiliki ilmu yang tinggi,
sehingga meski pun mereka harus bertempur melawan ampat
orang, namun kedua orang itu nampaknya akan mampu
bertahan. Beberapa orang yang tidak tahan lagi melihat
perkelahian itu memang sudah m eninggalkan tempatnya atau
berdiri di belakang orang lain. Bersembuny i sambil mengintip.
Mahisa Amping berdiri tegak seperti patung. Ia telah
melihat apa y ang dicemaskannya. Dua orang itu harus
berkelahi melawan ampat orang y ang tubuhnya bagaikan
tubuh raksasa. Beberapa saat pertempuran itu berlangsung. Namun
kedua orang itu masih tetap mampu bertahan.
Mahisa Murti dan saudara-saudaranya menyaksikan
pertempuran itu dengan saksama. Kedua orang yang memakai
perhiasan yang serba mahal dan pakaian yang bagus itu tentu
dua orang seperguruan. Mereka dapat mengenali unsur-unsur
gerak keduanya y ang bersumber dari dasar yang sama meski
pun m asing-masing memiliki jalur perkembangan y ang agak
berbeda. Sementara itu, keempat orang y ang bertubuh raksasa itu
masing-masing masih belum memiliki i lmu setingkat dengan
kedua orang itu. Tetapi karena mereka berjumlah dua kali
lipat, maka keempat orang itu mampu bertempur untuk
beberapa lama. Namun akhirnya, keempat orang itu semakin
lama semakin nampak m engalami kesulitan. Kedua orang itu
semakin lama justru menjadi semakin garang.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Dengan demikian agaknya mereka tidak usah ikut
campur. Kedua orang itu mampu mempertahankan dirinya
dari gangguan orang-orang yang menginginkan harta
bendanya y ang sangat berharga itu.
"Seharusnya mereka tidak mengenakan pakaian y ang
dapat menarik perhatian orang lain seperti itu," berkata
Mahisa Murti: "apalagi dalam sebuah perjalanan panjang."
"Kadang-kadang orang menganggap bahwa barangbarang
itu sudah dibelinya dengan mahal. Dengan demikian
maka barang-barang itu sebaiknya dipakainya sehingga
pemilikannya atas barang-barang itu ada artinya," berkata
Mahisa Pukat. "Tetapi ternyata barang-barang itu telah mengundang
kesulitan. Untuk ia memiliki kemampuan untuk
mempertahankannya," berkata Mahisa Murti pula.
"Justru karena itu," sahut Mahisa Pukat, "kedua orang
itu tidak merasa takut seandainya ada orang y ang ingin
merampas miliknya karena mereka akan mampu
melindunginya." Mahisa Murti tidak berbicara lagi. Diperhatikannya
kedua orang y ang semakin lama semakin mendesak lawannya.
"Sokurlah," berkata Mahisa Murti, "marilah, kita dapat
meneruskan menikmati makanan dan minuman kita. Kita
berharap bahwa perkelahian itu akan segera selesai."
Namun tiba -tiba saja Mahisa Amping mendekati Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat sambil bertanya: "Kakang berdua
menebak siapakah y ang akan menang" "
"Kedua orang itu" jawab Mahisa Pukat, "keempat orang
itu akan gagal dan bahkan akan tertangkap."
"Menilik kemampuan mereka agaknya memang
demikian. Tetapi sebenarnya aku berharap keempat orang
itulah yang menang," berkata Mahisa Amping.
"Belum tentu yang jumlahnya banyak itu akan menang,"
berkata Mahisa Pukat, "bukankah kau sudah sering melihat
dan kau tentu juga dapat menilai perkelahian itu karena
semakin lama menjadi semakin jelas, bahwa keempat orang
itu telah terdesak,"
Mahisa Amping tidak m enjawab. Namun pemilik kedai
yang kemudian berdiri di sebelah Mahisa Murti berdesis di
luar sadarnya: "Setan itu akan terlepa s lagi."
Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Ada tanggapan
yang agak aneh dihatinya ketika ia mendengar desah pemilik
kedai itu. Karena itu ketika kemudian pemilik kedai itu
melangkah masuk kembali ke dalam kedainya, m aka Mahisa
Murti telah mengikutinya.
"Ki Sanak," berkata Mahisa Murti, "aku tidak m engenal
mereka. Tetapi menurut dugaanku, kedua orang yang
berpakaian dan memakai perhiasan yang mahal itu sedang
mempertahankan harta miliknya dari orang y ang berusaha
merampoknya." Pemilik kedai itu termangu-mangu. Namun Mahisa
Murti telah mendesaknya. "Tetapi agaknya ada tanggapan lain
ketika aku mendengar desah Ki Sanak, seolah-olah bahwa
seseorang y ang menjadi buruan akan terlepas lagi dari tangan
pemburunya." Wajah orang itu menjadi tegang. Katanya: "Aku tidak
berkata apa-apa." "Ki Sanak," berkata Mahisa Murti, "sekali lagi aku
katakan, aku tidak mengenal mereka semuanya. Bahkan
semula aku mengira akan terjadi perampokan disini.
Untunglah bahwa kedua orang yang dirampok itu berhasil
mempertahankan diri."
Tetapi pemilik kedai itu kemudian m enggeleng sambil
berkata: "Tidak Ki Sanak. Keduanya tidak mengalami
perampokan." "Jadi apa y ang telah terjadi"," desak Mahisa Murti.
Orang itu m erenung sejenak. Namun ia pun menjawab: "Aku
tidak tahu apa -apa."
"Jadi kau tidak mau mengatakan yang sebenarnya","
bertanya Mahisa Murti. "Aku memang tidak tahu apa-apa," jawab orang itu.
"Baiklah. Jika demikian aku akan bertanya kepada kedua
orang itu setelah m ereka m emenangkan perkelahian. Apakah
kira-kira maksud Ki Sanak dengan mengatakan bahwa setan
itu akan terlepas lagi," berkata Mahisa Murti.
"Jangan, jangan Ki Sanak," cegah orang itu.
"Apa salahnya," jawab Mahisa Murti.
"Aku akan mengalami kesulitan," jawab orang itu.
"Kenapa"," bertanya Mahisa Murti pula.
Orang itu menjadi bingung. Tetapi agaknya ia tidak
dapat berbuat lain. Apalagi karena ancaman Mahisa Murti
untuk menyampaikannya kepada kedua orang itu.
Untuk beberapa saat orang itu menjadi tegang.
Sementara itu, perkelahian di luar kedai itu masih
berlangsung. Ampat orang yang bertubuh raksasa itu memang
sulit untuk dapat mengatasi kemampuan yang tinggi dari
kedua orang lawan mereka, sehingga semakin lama mereka
menjadi semakin terdesak.
"Apa kau benar -benar tidak mau mengatakannya","
bertanya Mahisa Murti tiba-tiba.
Pemilik kedai itu m emang menjadi ragu-ragu. Namun
akhirnya ia terpaksa menjawab: " Justru keduanyalah yang
ingin kami tangkap."
"Kenapa"," bertanya Mahisa Murti.
Orang itu masih saja ragu-ragu.
"Jadi keduanya tidak sedang dirampok oleh keempat
orang itu"," bertanya Mahisa Murti.
"Tidak," jawab pemilik kedai itu.
"Jadi"," desak Mahisa Murti.
"Setiap hari pasaran seperti ini, saat pasar itu m enjadi
paling ramai selama sepekan, kedua orang itu tentu datang.
Semua orang harus menyediakan apa y ang dimintanya.
Biasanya berupa uang dan besarnya berapa saja sesuka hati
mereka. Tidak seorang pun dapat mencegahnya sehingga kami
benar-benar selalu dibayangi oleh ketegangan disetiap harihari
pasaran," jawab pemilik kedai itu.
"Kenapa orang-orang y ang berjualan di pasar itu tidak
berpindah ke pasar y ang lain saja"," bertanya Mahisa Murti.
"Pasar ini adalah pasar y ang telah sekian lama
memberikan kehidupan bagi kami. Bagi kami, yang berjualan
di pasar ini, akhirnya tidak mempunyai pilihan lain daripada
memenuhi permintaan keduanya daripada kami tidak
mendapatkan apa-apa sama sekali," jawab pemilik kedai itu.
"Apakah y ang kau katakan itu benar"," bertanya Mahisa
Murti. "Ya. Aku berkata sebenarnya," jawab orang itu. Mahisa
Murti m engangguk-angguk. Katanya: "Aku akan menanyakan
kepada kedua orang itu, apakah ia benar -benar berbuat seperti
itu." "Ki Sanak," berkata pemilik kedai itu: "apakah
keuntunganmu dengan berbuat demikian" Jika hal itu sekedar
sebagai satu cara agar kau tidak usah membayar harga
makanan dan m inuman yang telah kau beli, maka kau dapat
melakukannya tanpa berbuat seperti itu. Kecuali jika kau
memang ingin melihat aku dibantai oleh kedua orang itu
disini."

04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mahisa Murti justru menjadi termangu-mangu.
"Baiklah. Jika aku harus mati hari ini karena kau, biarlah
aku mengalaminya. Ternyata bahwa y ang akhirnya
menyebabkan kematianku bukan kedua orang itu sendiri."
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar,
bahwa ia telah membuat pemilik kedai itu menjadi sangat
ketakutan. Karena itu, maka ia pun kemudian berkata:
"Seandainya keempat orang itu berhasil m enangkapnya, apa
yang akan mereka lakukan" "
Orang itu termangu-mangu. Tetapi ia b ertanya: "Untuk
apa kau bertanya seperti itu?"
"Aku hanya ingin mengetahuinya," jawab Mahisa Murti.
"Mereka adalah orang-orang y ang telah diminta
bantuannya oleh Ki Bekel yang m endapat pengaduan kami.
Jika kedua orang itu tertangkap, maka mereka akan
dihadapkan kepada Ki Demang untuk diadili. Hukuman bagi
keduanya tentu hukuman yang sangat berat, karena keduanya
pernah melakukan pembunuhan disini dan juga di tempat
lain," jawab pemilik kedai itu.
"Kenapa orang-orang y ang ada di sekitar arena
pertempuran itu tidak ada yang membantu" Jika mereka
bersama-sama membantu menangkap orang itu, maka
keduanya tentu akan tertangkap. Sementara mereka tidak
akan dapat mengenali wajah-wajah kalian seorang demi
seorang," berkata Mahisa Murti.
Tetapi pemilik kedai itu menjawab: "Keduanya sudah
mengenali kami semuanya."
Mahisa Murti pun kemudian telah meninggalkan pemilik
kedai itu. Pertempuran masih berlangsung diluar. Keempat
orang itu dengan menghentakkan segenap kemampuan yang
ada pada mereka. Namun ternyata mereka ju stru semakin
terdesak. Serangan-serangan kedua orang itu m emang sangat
berbahaya. Tangan dan kaki m ereka berganti-ganti mengenai
tubuh lawan-lawan mereka yang bertubuh raksasa. Bahkan
tubuh-tubuh raksasa itu setiap kali telah terdor ong dan
bahkan beberapa kali mereka hampir saja kehilangan
keseimbangan. Pa da saat-saat yang paling gawat, maka keempat orang
itu telah m enarik senjata mereka. Golok yang besar. Pedang,
parang dan y ang seorang bersenjata kapak.
Tetapi pemilik kedai y ang kemudian berdiri di belakang
Ma-hisa Murti itu berdesis: "Senjata-senjata orang-orang yang
akan menangkap mereka itu hanya akan mempercepat
kematian mereka." Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi ia bergeser
mendekati seorang yang lain, yang melihat dari sudut kedai
sebelah. Ternyata orang itu adalah pemilik kedai sebelah.
Dengan sedikit mengancam Mahisa Murti akhirnya juga
mendapat keterangan y ang sama tentang kedua orang yang
berpakaian dan memakai perhiasan yang mahal itu.
Dengan demikian, maka barulah Mahisa Murti yakin,
bahwa kedua orang itu m emang orang -orang y ang dibenci di
tempat itu. Tetapi juga ditakuti. Apalagi keduanya benar-benar
pernah melakukan pembunuhan di tempat itu dan di beberapa
tempat y ang lain. Karena itu, maka sejenak kemudian maka Mahisa Murti
pun t elah m endekati Mahisa Pukat dan m embisikkan sedikit
keterangn tentang kedua orang laki-laki y ang berpakaian dan
memakai perhiasan mahal itu.
Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Tetapi ia
kemudian berdesis: "Aku memang melihat keduanya
mempergunakan unsur-unsur gerak yang kasar. Aku mulai
curiga dengan sikap mereka itu."
"Ternyata dugaanku atas mereka salah," berkata Mahisa
Murti. "Aku pun semula menganggap bahwa keduanya sedang
dirampok," jawab Mahisa Pukat.
Keduanya kemudian terdiam. Mereka memperhatikan
perkelahian y ang menjadi semakin berat sebelah. Keempat
orang itu hampir menjadi tidak berdaya. Sekali-sekali ada
diantara m ereka yang terlempar jatuh terbanting. Meski pun
dengan susah payah orang itu segera bangkit kembali, namun
mereka tidak lagi mampu b ertempur dengan sepenuh tenaga.
Tulang-tulang mereka menjadi semakin sakit. Bahkan seakanakan
menjadi retak di beberapa tempat.
Apalagi ketika keempat orang itu sudah bersenjata.
Maka di tubuh mereka mulai terdapat goresan-goresan. Kedua
orang y ang berpakaian dan memakai perhiasan y ang mahal itu
pun kemudian telah bersenjata pula. Senjata mereka ternyata
dapat bergerak lebih cepat dari keempat pucuk senjata orangorang
y ang bertubuh raksasa itu.
Namun keempat orang y ang semakin terdesak itu
ternyata benar -benar bertanggung jawab atas
kesanggupannya. Nampaknya mereka akan bertempur sampai
kemungkinan terakhir y ang dapat mereka lakukan. Agaknya
mereka sama sekali tidak berniat menyingkir dari
kesanggupan yang telah diberikan.
Tetapi menurut perhitungan Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat, keempat orang itu tentu benar-benar akan terbunuh.
Setidak-tidaknya mereka akan terluka parah atau bahkan
mengalami cacat sumur hidup mereka. Kedua orang yang
nampaknya seperti orang-orang terhormat itu, mampu
berbuat kasar dan bahkan keji. Senjata mereka yang memiliki
kemampuan gerak melampaui senjata keempat lawannya,
benar-benar telah m engoy ak tubuh-tubuh raksasa itu silang
menyilang. Keempat orang itu hampir tidak berdaya sama sekali.
Kematian memang sudah berada di ambang pintu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih ragu-ragu
sejenak. Mereka menjadi bingung. Apakah mereka benarbenar
tidak ingin lagi mencampuri persoalan orang lain
setelah mereka menyatakan laku yang mereka jalani telah
selesai. Tetapi akhirnya keduanya memang tidak dapat berdiam
diri. Menjalani laku atau tidak, tetapi keduanya tidak dapat
melihat ketidak adilan itu terjadi.
Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian telah
menggamit Mahisa Pukat sambil berkata: "Kita akan
melibatkan diri." Mahisa Pukat tidak bertanya lagi. Ia pun segera
meloncat m endekati arena. Sementara Mahisa Murti sempat
berpesan kepada Wantilan: "Jaga Amping."
Tanpa menunggu jawaban, maka Mahisa Murti pun
telah berlari pula ke arena.
Kedua orang y ang hampir meny elesaikan pertempuran
itu terkejut. Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mendekati
mereka maka salah seorang dari mereka berkata: "Terima
kasih atas kesediaan Ki Sanak membantu kami. Tetapi kami
berdua nampaknya akan mampu meny elesaikan per soalan
kami sendiri. Keempat orang ini tidak akan berhasil
merampok kami." "Apakah kau kira kami akan membantu kalian"," justru
Mahisa Pukatlah yang bertanya.
"Jadi apa yang akan kalian lakukan" Di pihak manakah
kalian berdiri"," orang itu pun ganti bertanya.
"Jangan ingkar Ki Sanak," berkata Mahisa Murti: "apa
sa ja y ang pernah kau lakukan selama ini disini" Bukankah
timang y ang kau pakai itu hasil pemerasan yang telah kau
lakukan bertahun-tahun" Semua usaha untuk mencegah
tingkah laku kalian ternyata gagal. Bahkan kali ini usaha untuk
menangkap kalian pun nampaknya akan gagal."
Kedua orang itu menggeram. Seorang diantaranya
berkata lantang: "Jangan mencampuri persoalan orang lain."
Sementara itu, salah seorang diantara keempat orang itu
berkata: "Jika kami gagal melaksanakan kesanggupan kami,
biarlah kami mati di arena ini."
"Kami berdua ada di pihak kalian," berkata Mahisa
Pukat. "Jangan korbankan dirimu. Biar kami saja y ang menjadi
korban kali ini. Tetapi itu adalah karena kesanggupan kami.
Bagaimana pun juga kami mempunyai harga diri," jawab
seorang y ang lain dari orang-orang y ang bertubuh raksasa itu.
"Maaf Ki Sanak," berkata Mahisa Murti, "soalnya bukan
sekedar harga diri. Tetapi kedua orang itu harus dihentikan
segala tingkah lakunya. Kalau perlu biarlah kematian
menghentikannya." "Persetan kau," teriak seorang diantara kedua orang itu.
"Jadi kau juga ingin mati."
"Mungkin kau dapat mengalahkan mereka berempat.
Tetapi tidak kami berenam," jawab Mahisa Pukat.
Kedua orang itu tidak m enjawab. Tetapi senjata mereka
pun semakin cepat berputar.
Sementara itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
pun segera memasuki arena pertempuran.
Dengan demikian, maka kedua orang itu memang harus
membagi diri. Ma sing-masing menghadapi tiga orang. Dua
orang diantaranya y ang bertubuh raksasa itu sudah hampir
tidak berdaya sama sekali.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak berniat
memperkecil peranan mereka. Biarlah keempat orang itu
harga diriny a tetap tidak hancur di mata orang-orang yang
semula mempercayainya. Karena itu, m aka baik Mahisa Murti, mau pun Mahisa
Pukat justru lebih banyak berusaha mengganggu dan
merampas perhatian lawan-lawannya, sehingga dengan
demikian memberi kesempatan kepada orang-orang yang
bertubuh raksasa itu untuk meny erang mereka.
Dengan kehadiran Mahisa Murti dan Mahisa Pukat,
maka keempat orang itu merasa bahwa beban mereka menjadi
jauh lebih ringan. Ujung-ujung senjata kedua orang yang
sedang diburunya itu tidak lagi menyentuh kulit m ereka dan
melukai mereka. Perhatian kedua orang itu justru lebih banyak
tertuju kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Demikian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik
senjata mereka, maka kedua orang itu pun sudah mulai
merasa gentar. Pedang itu bukan pedang kebanyakan.
Warnanya y ang agak kehijau-hijauan telah menunjukkan nilai
dari sepasang pedang yang berada di tangan kedua orang anak
muda itu. Beberapa saat kemudian, maka kedua orang itu memang
menjadi semakin terdesak. Tetapi keempat orang yang
bertubuh raksasa itu rasa -rasanya memang sudah tidak
bertenaga lagi. Tangan m ereka sudah menjadi terlalu lemah
untuk mengangkat dan m engayunkan senjata-senjata m ereka
yang besar. Sementara darah semakin banyak mengalir dari
tubuh mereka. Karena itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun
berusaha untuk memberikan kesempatan mereka untuk
beristirahat semakin banyak.
Bahkan kemudian Mahisa Murti telah berkata: "Jika
kalian membawa obat bagi luka -luka kalian, maka
beristirahatlah. Obati luka-luka itu. Nanti kalian akan dapat
bertempur kembali." "Tetapi mereka akan melarikan diri," berkata salah
seorang dari mereka. "Tidak. Mereka tidak akan melarikan diri, karena
mereka bukan orang-orang y ang licik," jawab Mahisaa Murti.
"Persetan," geram kedua orang itu hampir bersamaan.
Keempat orang itu termangu-mangu. Namun ternyata mereka
pun telah m encoba bergeser m enjauhi arena. Sejenak m ereka
masih berdiri dengan senjata y ang siap terayun. Tetapi ketika
mereka melihat kedua orang anak muda itu tidak mengalami
terlalu banyak kesulitan, maka m ereka pun telah m elangkah
menepi dan tanpa dapat mengingkari kenyataan mereka
menyaksikan, bahwa anak-anak muda itu justru mampu
mengimbangi kedua orang yang berilmu tinggi itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang tidak
mempunyai pilihan lain. Keadaan keempat orang yang
bertubuh raksasa itu memang tidak memungkinkan lagi untuk
tetap mempertahankan kewibawaan mereka. Karena itu, maka
mereka memang harus melepaskan kesediaan mereka untuk
menangkap kedua orang itu.
Sementara itu kedua orang yang berpakaian dan
memakai perhiasan y ang mahal itu mulai mengumpat -umpat.
Ternyata anak-anak muda itu benar-benar mampu
mengimbangi kemampuan ilmu pedang mereka.
Dengan demikian maka pertempuran pun semakin lama
menjadi semakin sengit. Kedua orang itu telah berusaha untuk
meningkatkan ilmu mereka. Tetapi betapa pun ilmu mereka
menjadi semakin tinggi, namun kedua anak muda itu mampu
mengimbanginya. Sehingga karena itu, maka pertempuran itu
pun kemudian telah menjadi pertemuran y ang sulit untuk
diamati oleh orang-orang kebanyakan.
Keempat orang y ang sempat mengobati luka-lukanya itu
pun kemudian telah beranjak m endekati arena pertempuran
lagi. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berusaha
mencegah mereka berempat.
"Beristirahatlah lebih dahulu," berkata Mahisa Murti.
Keempat orang itu termangu-mangu. Namun menurut
penilaian m ereka, pertempuran itu memang menjadi semakin
rumit. Tetapi bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, kedua
orang itu belum memaksanya untuk untuk m empergunakan
ilmunya. Mereka masih mempergunakan kemampuan olah
kanuragan y ang sewajarnya.
Meski pun demikian, kedua orang yang sedang m enjadi
buruan itu sudah mengalami banyak kesulitan. Bahkan
seorang diantara mereka telah mulai tersentuh senjata Mahisa
Pukat. Meski pun hanya segores kecil di lengannya.
"Meny erahlah," berkata Mahisa Pukat: "kau tidak akan
diadili disini. Tetapi kau akan dibawa menghadap Ki Buyut
agar kau mendapat perlakuan sewajarnya."
Lawan Mahisa Pukat itu pun mengumpat. Katanya: "Kau
agaknya memang telah memilih mati. Umurmu masih muda.
Tetapi kau telah menjadi jemu untuk tetap hidup.
Tetapi demikian mulutnya terkatup, pedang Mahisa
Pukat telah meny entuh kulitnya lagi.
0oo0dw0oo0 (Bersambung ke Jilid 87 )
Conv ert by :

04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Editing: MCH Pdf ebook : Dan HIJAUNYA LEMBAH HIJAUNYA LERENG PEGUNUNGAN Jilid 87 Cetakan Pertama PENERBIT: "MURIA" YOGYAKARTA Kolaborasi 2 Website : dengan Pelangi Di Singosari / Pembuat Ebook : Sumber Buku Karya SH MINTARDJA
Scan DJVU : Ismoyo, Arema
Converter : Editor : MCH dan Pdf ebook : --ooo0dw0ooo- Naskah ini untuk keperluan kalangan sendiri,
penggemar karya S.H. Mintardja dimana saja berada y ang
berkumpul di Web Pelangi Singosari dan Tiraikasih
Jilid 087 SEKALI lagi orang itu mengumpat. Tetapi luka-luka
memang telah tergores di kulitnya dan ia tidak dapat
mengingkarinya lagi. Sementara itu, Mahisa Mufti pun telah berusaha untuk
menyentuh tubuh lawannya. Dengan hati-hati ia berusaha
untuk meng-gores tubuh lawannya dengan pedangnya.
Mahisa Murti tidak ingin melukai lawannya terlalu
parah. Karena itu, maka ia memang harus berhati-hati.
Ketika lawan Mahisa Murti itu telah terluka pula, maka
kedua orang itu pun metasa bahwa mereka benar-benar
berada dalam bahaya. Mereka mulai m elihat satu kenyataan,
bahwa kedua anak muda itu memiliki ilmu yang jauh lebih
tinggi dari mereka. Sementara itu, Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa
Amping menyaksikan pertempuran itu dengan seksama.
Ternyata di sekitar arena pertempuran itu, meski pun agak
jauh. masih juga terdapat beberapa orang y ang m enyaksikan
pertempuran itu pula. Beberapa orang pemilik kedai yang
berjajar di pinggir jalan di sebelah pa sar itu. Beberapa orang
pedagang yang berjualan didalam pasar dan beberapa orang
lainnya. Namun pada umumnya mereka tidak berani
menyaksikan pertempuran itu di tempat terbuka.
Bagaimana pun juga kedua orang y ang akan ditangkap
itu adalah orang y ang ditakuti.
Sementara itu, Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa
Amping justru melangkah semakin dekat. Mereka sudah dapat
memperhitungkan akhir dari pertempuran itu. Bahkan
menurut Mahisa Semu dan Wantilan, kedua orang itu masih
belum dapat disebut orang-orang berilmu tinggi.
Keempat orang bertubuh raksasa yang ternyata tidak
mampu mengalahkan kedua orang itu, berdiri termangumangu.
Mereka pun harus mengakui kenyataan itu. Betapa
pun mereka mencoba untuk mempertahankan harga diri,
namun mereka tidak dapat ingkar bahwa kedua anak muda itu
memang memiliki kelebihan. Mereka berdua nampaknya
memang akan dapat menguasai kedua orang y ang akan
mereka tangkap tetapi gagal itu.
Namun sementara itu pertempuran masih berlangsung.
Mahisa Murti sudah menggoreskan pedangnya ditubuh
lawannya. Langsung meny ilang dadanya meski pun tidak
terlalu dalam. Tetapi darah sudah mulai menitik dari
sepanjang luka yang menyilang itu.
Pertempuran pun telah m enjadi berat sebelah. Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat segera berhasil menguasai lawan
masing-masing, sehingga kedua orang y ang berpakaian dan
mengenakan perhiasan y ang mahal itu tidak akan mampu
mengadakan perlawanan lebih lama lagi.
Kedua orang itu pun menyadari akan hal itu. Karena itu,
seorang diantara mereka telah berdesis sambil meloncat
mengambil jarak: "Ki Sanak. Apakah kita 'tidak dapat berbicara
dengan baik" " "Apakah kalian meny erah"," bertanya Mahisa Murti.
"Dengarlah baik-baik," berkata lawan Mahisa Murti y ang
sudah mengambil jarak itu. Lalu katanya pula: "Aku
mempunyai pendapat yang barangkali baik bagi kita masingmasing."
Mahisa Murti memang menghentikan serangannya. Dan
ia -pnn kemudian bertanya: "Apa pendapatmu" "
"Lepaskan kami," jawab orang itu.
"Maaf Ki Sanak. Sudah tentu aku tidak dapat. Kau narus
ditangkap dan diserahkan kepaaa Ki Buyut," jawab Mahisa
Murti. "Tunggu," berkata orang itu, "tentu tidak begitu saja.
Tetapi kau akan mendapat imbalan yang menarik" "
"Apa"," bertanya Mahisa Murti.
"Kau berdua akan mendapat timang emas kami. Timang
kami bukan saja terbuat dari emas, tetapi juga bermata
berlian," berkata orang itu.
Tetapi Mahisa Murti justru tersenyum sambil berkata:
"Serahkan timang emasmu kepada Ki Buyut karena benda itu
juga kau dapat dari pasar ini."
"Pikirkanlah. Jangan dungu. Timang ini harganya tentu
mahal sekali.," desis orang itu.
"Tetapi mana y ang lebih mahal. Timang emas bermata
berlian itu atau harga diriku" Pribadiku"," justru Mahisa Murti
lah y ang bertanya. "Apa artinya harga diri dibandingkan dengan uang"
Dengan emas dan permata" Kau dapat pergi jauh dan
membangunkan harga dirimu di tempat y ang jauh itu.
Sementara kau sudah m enjadi seorang y ang kay a," orang itu
masih mencoba membujuk. Tetapi Mahisa Murti menggeleng. Katanya: "Lihat
kawanmu. Pedang saudaraku telah melukainya lagi."
"Jadi kau menolak"," bertanya orang itu.
"Ya," jawab Mahisa Murti dengan tegas.
Orang itu tidak bertanya apa pun lagi. Dengan serta
merta ia telah meloncat sambil mengayunkan senjatanya
dengan deras sekali mengarah ke leher Mahisa Murti.
Tetapi Mahisa Murti m emang sudah m emperhitungkan
bahwa orang itu tentu akan segera meny erangnya. Karena itu,
ayunan senjata itu dengan tangkasny a telah ditangkisnya
dengan pedangnya pula. Satu benturan keras telah terjadi. Namun ternyata
bahwa orang itu telah hampir saja kehilangan senjatanya.
Tangannya terasa bagaikan meny entuh bara api.
Tetapi orang itu masih berhasil mempertahankannya
meski pun sekali lagi ia harus meloncat mengambil jarak.
Mahisa Murti memang tidak memburunya.
Pasangan Naga Dan Burung Hong 3 Meraba Matahari Karya Sh Mintardja Pedang Bunga Bwee 2
^