Hijaunya Lembah Hijaunya 23
04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 23
Gemak Langkas terdiam sejenak. Ia memang nampak raguragu.
Tetapi kemudian katanya, "Ada dua keuntungan yang
dapat diambil oleh guru. Karena aku terlibat, serta aku pula
sebab utama dari peri stiwa ini, maka ay ahku telah ikut
membeayai pasukan Ngancas betapapun ayah merasa
berkeberatan. Selebihnya, guru berpendapat bahwa di
Pa depokan Bajra Seta yang besar ini selain senjata tentu
terdapat harta benda y ang cukup berharga sehingga akan
menguntungkan guru."
Mahisa Murti m enarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku
sudah mengira bahwa di samping alasan yang dikemukakan
tentang pembalasan dendam, maka tentu ter sembunyi
kepentingan y ang lain. Hal itu dapat dibaca dari sifat Empu
Damar. Bukankah kau seorang murid y ang mendapat
perhatian sangat besar dari gurumu karena kau mampu
mengupahnya lebih dari y ang lain" Bukankah gurumu setiap
saat y ang ditentukan justru datang kepadamu untuk
mengajarmu dalam olah kanuragan karena kau membayar?"
Gemak Langkas mengangguk sambil menjawab, "Ya.
Memang demikian. Semakin banyak ayah memberi uang,
semakin sering guru datang kerumah."
"Dengan demikian, maka gurumu sama sekali tidak
bersandar pada kewajiban seorang guru. Tetapi yang
dilakukan diperhitungkan atas dasar upah semata -mata tanpa
pertanggung-jawaban atas keberhasilan murid-muridnya."
"Aku baru menyadari kemudian," desis Gemak Langkas.
"Dan kau sekarang ter seret dalam arus ketamakan
gurumu," berkata Mahisa Murti kemudian.
"Aku meny esal," desis Gemak Langkas hampir tidak
terdengar. Tetapi Mahisa Murti percaya bahwa peny esalan itu
terlontar dari da sar hatinya.
Meskipun demikian Mahisa Murti tidak dapat berbuat lain
kecuali mematuhi pesan dari kedua orang petugas sandi dari
Singasari itu. Para tawanan untuk sementara dititipkan
kepada Padepokan Bajra Seta sampai pada saatnya nanti
dijemput oleh sepasukan prajurit dari Singasari.
Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian berkata.
"Aku percaya kepadamu Gemak Langkas. Tetapi aku tidak
dapat melepaskanmu dari paugeran."
"Aku tidak akan dapat ingkar," jawab Gemak Langkas,
"apapun y ang harus aku jalani sebagai hukuman atas tingkah
lakuku, akan aku jalani. Bahkan seandainya aku harus
dihukum mati." "Tidak, kau tidak akan dihukum mati," jawab Mahisa
Murti. "Akulah y ang menyebabkan segala ini terjadi," jawab
Gemak Langkas. "Tetapi t idak semua kesalahan ada padamu," desis Mahisa
Murti kemudian, "kesalahan terbesar adalah justru pada
gurumu. Ia telah memanfaatkan persoalan yang kau sulut
untuk memuaskan ketamakannya."
"Terima kasih atas sikapmu. Mudah-mudahan sikap para
pemimpin di Singasari sama seperti sikapmu itu. Aku tidak
tahu apa y ang akan dikatakan oleh saudaramu, Mahisa Pukat
yang m engalami langsung benturan kepentingan dengan aku,
sehingga per soalannya telah berkepanjangan dan mungkin
kau benar, telah dimanfaatkan oleh guru."
Sementara itu kedua petugas sandi Singosari y ang berada di Pa depokan Bajra Seta setelah minta diri kepada Mahisa Murti,
langsung pulang kembali ke Singosari untuk menghadap dan
memberi laporan kepada pimpinannya y aitu Arya Kuda
Cemani. Begitu sampai di Singosari kedua petugas sandi
tersebut langsung menghadap Arya Kuda Cemani dan
melaporkan seluruh kejadian di padepokan Bajra Seta.
Setelah menerima laporan dari kedua petugas sandi
tersebut Arya Kuda Cemani menugaskan keduanya untuk
segera menemui Ki Mahendra guna menyampaikan seluruh
peristiwa peny erangan padepokan Bajra Seta oleh Padepokan
Ngancas dan tiga padepokan pendukungnya y ang dipimpin
oleh mPu Damar. "Besok pergilah kalian menemui Ki Mahendra untuk
menceritakan seluruh kejadian tersebut" (yg ketikan b iru ini
adalah tambahan ku sendiri krn sepertinya ga nyambung ke
alenia berikut ini-) Kedua petugas sandi itu mengangguk-angguk. Seorang di
antara mereka menjawab, "Baiklah. Kami besok akan
menemui Ki Mahendra di tempat tinggalnya."
Arya Kuda Cemani itu berpikir sejenak. Namun kemudian
ia berkata, "Biarlah aku besok akan datang bersamamu
menemui Ki Mahendra dan Mahisa Pukat. Lebih baik m ereka
mendengar langsung dari kita daripada dari orang lain yang
mungkin sudah ditambah atau dikurangi."
Sebenarnyalah di hari berikutnya mereka bertiga telah
menemui Mahendra dan Mahisa Pukat di tempat tinggal
mereka, di bagian belakang istana Singasari. Dengan hati-hati
Arya Kuda C emani telah menceriterakan apa yang dilakukan
oleh kedua orang petugasnya itu.
" Biarlah m ereka menceriterakan apa yang telah terjadi di
Pa depokan Bajra Seta," berkata Arya Kuda Cemani.
Dengan tegang Mahendra dan Mahisa Pukat kemudian
mendengarkan ceritera kedua orang petugas sandi itu. Apa
sa ja y ang telah terjadi di Padepokan Bajra Seta.
Mahisa Pukat mendengar peri stiwa di padepokan Bajra
Seta itu dengan hati yang tegang. Bahkan kemudian dengan
lantang ia bertanya, "Kenapa aku tidak diberi tahu
sebelumnya" Seharusnya aku juga berada di Padepokan saat
itu." "Maaf ngger," jawab Arya Kuda Cemani, "ternyata kami
salah menilai kekuatan Padepokan Ngancas. Kami tahu bahwa
Pa depokan Ngancas didukung oleh tiga padepokan sekaligus.
Tetapi ternyata jumlah kekuatannya lebih dari y ang kami
lihat." Mahisa Pukat menggeretakkan giginya. Tetapi ia tidak
dapat marah kepada Arya Kuda Cemani. Apalagi yang
dilakukan Arya Kuda C emani semata-mata karena Arya Kuda
Cemani ingin membantu Padepokan Bajra Seta.
Bagaimanapun juga, perbuatan itu dilandasi dengan maksud
yang baik. Mahendra lah y ang kemudian berkata, "Kami mengucapkan
terima kasih Raden. Seandainya Raden tidak memberitahukan
kedatangan beberapa padepokan y ang m eny erang Padepokan
Bajra Seta itu, keadaannya tentu akan menjadi lebih buruk."
"Tetapi kami harus minta maaf kepada Mahisa Murti,"
berkata Arya Kuda Cemani, "seharusnya kami dapat berbuat
lebih baik." Tiba-tiba saja Mahisa Pukat memotong pembicaraan itu,
"Besok aku akan pergi ke Padepokan."
"Sebaiknya kau pergi besok lusa saja ngger," minta Arya
Kuda Cemani, "besok lusa aku akan mengirimkan sekelompok
prajurit untuk menjemput para tawanan. Kami tidak dapat
membiarkan para tawanan itu menjadi beban padepokan
Bajra Seta." Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Rasa -rasanya saat
itu juga ia ingin terbang ke Padepokan Bajra Seta. Ia ingin
melihat akibat dari pertempuran y ang baru saja terjadi.
Tetapi ay ahnya berkata, "Agaknya memang sebaiknya kau
pergi bersama-sama dengan para prajurit itu Pukat. Bukan
karena aku cemaskan kau selama dalam perjalanan. Tetapi
agaknya lebih baik kau tempuh perjalananmu tidak seorang
diri." Mahisa Puakt termangu-mangu sejenak. Namun ia pun
kemudian tidak dapat menolaknya.
Demikianlah, seperti y ang telah direncanakan maka Mahisa
Pukat pun telah pergi ke Padepokan Bajra Seta bersama
sekelompok prajurit yang akan menjemput para tawanan.
Dengan jantung yang gemuruh, seperti derap kaki-kaki kuda
para prajurit dalam perjalanan itu, Mahisa Pukat seakan-akan
merasa perjalanan itu terlalu panjang.
Namun, betapapun terasa perjalanan itu terlalu lama, maka
akhirnya iring-iringan itu sampai ke Padepokan Bajra Seta.
Mahisa Pukat pun telah meloncat turun dari kudanya. Oleh
perasaan y ang bergejolak di dalam jantungnya, juga oleh
perasaan bahwa ia adalah peny ebab dari pertempuran yang
telah terjadi itu maka Mahisa Pukat pun telah berlari memeluk
saudaranya sambil berdesis, "Maafkan aku. Aku tidak tahu apa
yang terjadi di sini. Para petugas sandi sengaja tidak
memberitahukan peri stiwa ini kepadaku."
Mahisa Murti pun harus mengatur gejolak perasaannya.
Baru kemudian ia menjawab, "Segalanya telah b erlalu, Pukat.
Ternyata kami mampu bertahan meskipun harus jatuh
korban." "Seandainya aku tahu," suara Mahisa Pukat menjadi sangat
dalam. "Sudahlah," berkata Mahisa Murti kemudian, "Yang Maha
Agung masih melindungi padepokan kita."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk kecil. Sementara itu,
Mahisa Murti pun telah mempersilahkan para prajurit untuk
naik kependapa. Namun hanya para pemimpinnya sajalah
yang k emudian naik, sedangkan yang lain berada di serambi
bangunan say ap Padepokan Bajra Seta.
Setelah m engucapkan selamat datang, maka para cantrikpun
telah menyuguhkan minuman dan makanan kepada para
prajurit yang datang untuk menjemput para tawanan di
Pa depokan Bajra Seta. Namun mereka tidak dapat hari itu
juga kembali ke Singasari. Para prajurit itu harus bermalam di
Pa depokan itu. Baru di keesokan harinya mereka akan kembali
ke Singasari. Dalam pada itu, maka Mahisa Pukat pun telah menanyakan
dimana Mahisa Amping yang masih belum dilihatnya sejak ia
datang. Tetapi sebelum anak itu dipanggil, maka Mahisa
Amping sudah berdiri termangu-mangu dipintu pringgitan
bangunan induk Padepokan itu.
"Amping," panggil Mahisa Pukat, "kemarilah."
Mahisa Amping pun dengan ragu-ragu mendekat.
Demikian ia berdiri didekat Mahisa Pukat duduk, maka
tangannya pun telah ditariknya dan anak itu pun
didudukannya di sebelahnya.
"Kau tidak apa-apa?" bertanya Mahisa Pukat.
"Aku tidak apa-apa kakang," jawab anak itu. Tetapi diluar
dugaan anak itu bertanya, "Kemana kakang selama ini"
Kenapa baru sekarang kakang datang?"
"Kakakmu mempunyai tugas di Singasari," Mahisa
Murtilah y ang menyahut. Mahisa Pukat menarik nafas panjang-panjang. Dengan
nada rendah ia berkata, "Maafkan aku Amping. Aku tidak
dapat ikut mempertahankan Padepokan ini."
Mahisa Amping kemudian berkata, "Meskipun aku tidak
apa-apa, t etapi beberapa orang cantrik telah gugur."
"Aku m enyesal bahwa aku t idak ada di padepokan waktu
itu," desis Mahisa Pukat.
"Sudahlah Amping," berkata Mahisa Murti, "kau sebaiknya
justru mengatakan bahwa Yang Maha Agung masih
melindungi kita." Tetapi Mahisa Amping masih saja berkata, "Kakang Mahisa
Semu dan paman Wantilan terluka."
"He?" jawab Mahisa Pukat berkerut dalam.
"Tetapi luka mereka tidak parah," sahut Mahisa Murti
dengan serta merta. "Antarkan aku kepada mereka," berkata Mahisa Pukat
dengan wajah y ang tegang.
Mahisa Amping mengangguk. Tetapi Mahisa Murti pun
berkata, "Marilah." lalu katanya kepada para pemimpin
prajurit y ang ada dipendapa, "Silahkan duduk dahulu Ki
Sanak. Marilah, silahkan minuman dan makanannya."
Sejenak kemudian, maka Mahisa Pukat telah berada di
dalam bilik Mahisa Semu. Mahisa Semu memang terluka.
Tetapi tidak terlalu parah. Bahkan ia sudah nampak tenaganya
sebagian besar pulih kembali.
Meskipun demikian, peny esalan semakin mencengkam
jantung Mahisa Pukat. Apalagi ketika kemudian ia melihat
keadaan Wantilan y ang nampak lebih parah dari Mahisa
Semu. Dengan geram Mahisa Pukat pun bertanya, "Dimana para
tawanan itu?" Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Dengan ragu-ragu
ia bertanya, "Untuk apa kau cari para tawanan?"
"Aku dengar di antara m ereka terdapat G emak Langkas."
jawab mahisa Pukat. "Ya," jawab Mahisa Murti.
"Aku ingin bertemu dan berbicara dengan Gemak Langkas.
Ia adalah sumber dari segala-galanya. Seharusny a ia berani
mempertanggung-jawabkan akibat dari perbuatannya. Aku
akan menantangnya untuk berperang tanding"
"Jika kau sudah mampu mengalahkan gurunya. Jika kau
benar-benar menantangnya, artinya sama saja bahwa kau
membunuh seorang y ang telah menyerah dan menjadi
tawanan." "Tetapi kau tahu akibat dari perbuatannya itu. Beberapa
orang cantrik telah gugur. Beberapa orang anak muda dan
orang-orang dari padukuhan di sebelah-meny ebelah
padepokan ini telah gugur pula. Bukankah sudah sepantasnya
ia m endapat hukuman y ang terberat?" berkata Mahisa Pukat
dengan wajah y ang tegang.
"Aku sependapat Pukat. Tetapi siapakah yang berhak
menjatuhkan hukuman y ang terberat itu?" bertanya Mahisa
Murti. Mahisa Pukat termangu -mangu sejenak. Namun kemudian
ia menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kalau saja ketika
pertempuran itu terjadi aku ada di sini."
"Sudahlah Pukat. Kita semua meny esali apa y ang telah
terjadi. Tetapi yang telah terjadi itu tidak akan dapat dirubah
lagi. Karena itu, kita harus menerimanya dengan tabah.
Apalagi Yang Maha Agung ternyata masih melindungi
padepokan ini." Mahisa Pukat tidak menyahut. Tetapi yang terdengar
adalah gemeretak giginya.
"Marilah," berkata Mahisa Murti, "kita temui tamu-tamu
kita. Para prajurit dari Singasari yang besok akan membawa
para tawanan itu ke Kotaraja untuk mendapatkan pengadilan."
04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mahisa Pukat mengangguk kecil. Tetapi ketika ia berpaling
dan m emandang mata Mahisa Amping, maka seakan-akan ia
sedang bercermin dan m elihat kesalahannya sendiri sebagai
beban yang harus dipikulnya.
Tetapi seperti y ang dikatakan oleh Mahisa Murti, bahwa
yang telah terjadi itu memang telah terjadi. Apapun sikap dan
tanggapannya, namun ia tidak akan dapat m erubah keadaan
yang telah lewat itu, kecuali menyesalinya.
Demikianlah, maka Mahisa Pukat pun bersama-sama
dengan Mahisa Murti telah berada kembali di pendapa
menemui para tamu mereka dari Singasari.
Beberapa saat kemudian, Mahisa Murti pun telah
mempersilahkan para prajurit dari Singasari itu untuk
beristirahat. Besok pagi-pagi sekali mereka akan m enempuh
perjalanan kembali ke Singasari.
Sebagian dari para prajurit memang segera beristirahat
ditempat yang sudah disediakan. Tetapi beberapa orang yang
lain masih ingin berjalan-jalan melihat -lihat padepokan itu
dan sekitarnya. Namun mereka esok hari memang harus berangkat
sebelum m atahari terbit. Para tawanan itu tidak m enempuh
perjalanan berkuda. Tetapi mereka akan berjalan kaki menuju
ke Kotaraja. Dalam pada itu, di pendapa bangunan induk Padepokan
Bajra Seta, Mahisa Murti duduk berdua dengan Mahisa Pukat.
Ternyata Mahisa Pukat menjadi bimbang, apakah besok ia
akan kembali ke Singasari atau tidak.
Tetapi Mahisa Murti kemudian berkata, "Pergilah.
Sebaiknya kau untuk sementara memang tetap berada di
Kotaraja. Biarlah aku mengurus Padepokan ini. Percayalah,
bahwa aku akan berbuat sebaik-baiknya, sehingga padepokan
ini tidak akan mengalami masa surut. Sementara itu di
Kotaraja kau dapat menemani ayah y ang sudah menjadi
semakin tua. Agaknya ayah merasa lebih senang berada di
Singasari daripada berada di Pakuwon Sangling bersama
Kakang Mahisa Bungalan."
Mahisa Pukat masih saja nampak ragu-ragu. Dengan nada
dalam ia pun berkata, "Peri stiwa yang baru saja terjadi
membuat aku merasa bersalah, bahwa aku tidak berada di
padepokan." "Bukan salahmu," sahut Mahisa Murti, "seharusny a kau
dan kita semuanya berterima kasih dan mengucap sukur
bahwa Yang Maha Agung masih melindungi kita."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Sekilas terbayang
wajah Sasi. Mahisa Pukat memang merasa lebih tenang jika ia
berada dekat gadis itu. Tetapi justru karena itu, ia merasa
semakin bersalah. Sementara Mahisa Murti dan para cantrik
Pa depokan Bajra Seta bertempur mempertaruhkan ny awa,
maka ia sendiri berada di Singasari semata-mata untuk
kepentingan dirinya sendiri. Bahkan untuk kesenangannya
sendiri. Tetapi Mahisa Murti y ang melihatnya bimbang itu pun
berkata selanjutnya, "Sudahlah. Jangan t erlalu banyak
membuat pertimbangan-pertimbangan. Seandainya ada
sesuatu yang penting, maka biarlah aku memanggilmu."
Mahisa Pukat mengangguk kecil. Namun ia masih juga
berkata, "Rasa -rasanya aku tidak akan dapat meninggalkan
Mahisa Semu dan apalagi paman Wantilan y ang terluka cukup
berat." "Tetapi luka-luka mereka akan segera sembuh, karena
luka-luka mereka hanya terdapat dipermukaan kulit saja,
sebagaimana yang aku alami m eskipun tidak sebanyak yang
dialami oleh Mahisa Semu dan apalagi paman Wantilan."
Sementara itu, Mahisa Murti pun sempat menceriterakan
bahwa agaknya Empu Damar yang sudah dapat dikalahkan
oleh Mahisa Pukat itu mampu mengenali bahwa Mahisa Murti
pun memiliki kemampuan ilmu untuk menghisap kekuatan
dan kemampuan lawan meskipun hanya untuk sementara,
sehingga Empu Damar selalu berusaha menghindari setiap
sentuhan senjata. Bahkan Empu Damar telah mempergunakan
senjata jarak jauh berupa gelang-gelang besi baja putih.
Mahisa Pukat hanya dapat mengangguk-angguk saja.
Sementara Mahisa Murti selalu mendesaknya agar Mahisa
Pukat besok kembali ke Singasari bersama para prajurit yang
akan membawa para tawanan y ang dititipkan di Padepokan
Bajra Seta. Akhirnya, Mahisa Pukat pun dapat mengatasi keraguraguannya.
Apalagi setiap kali ia teringat kepada Sasi. Karena
itu, maka katanya, "Baiklah. Besok aku akan kembali ke
Singasari. Biarlah aku berkata sejujurnya, bahwa aku ingin
tetap berada di Singasari untuk sementara bukan saja karena
aku ingin menemani ayah. Tetapi juga karena aku telah terikat
karena kehadiran Sasi di dalam perjalanan hidupku."
Jantung Mahisa Murti memang berdesir. Tetapi ia berhasil
menekan gejolak perasaan yang hampir sampai kepermukaan
dan kemudian mengendapkannya kembali. Mahisa Murti
memang sudah berniat untuk melupakan Sasi sama sekali.
Demikian, sebelum tengah malam, m aka padepokan Bajra
Seta telah menjadi sepi. Para prajurit Singasari y ang berada di
padepokan itu sudah tidur lelap. Demikian pula Mahisa Pukat
telah berada di atas pembaringannya meskipun ia masih
belum tertidur. Yang masih berjaga-jaga adalah para cantrik yang sedang
bertugas. Mereka berada di regol induk dan regol butulan dan
dipanggungan disudut-sudut dinding padepokan. Sementara
itu setiap kali dua orang cantrik telah meronda berkeliling
halaman di sekitar padepokan mereka yang tertidur ny enyak.
Kecuali itu masih ada tiga gardu di kebun belakang padepokan
yang ditunggui oleh beberapa orang cantrik.
Malam itu terasa betapa lengangnya. Yang terdengar
hanyalah suara cengkerik dan bilalang di dedaunan.
Dikejauhan terdengar gonggong anjing liar y ang berkeliaran
mencari mangsa. Mahisa Pukat y ang tidak segera dapat tidur, akhirnya
terlelap juga. Demikian juga Mahisa Murti. Yang ju stru masih
beberapa kali bangkit duduk di pembaringannya adalah
Mahisa Amping. Anak itu tidak tahu kenapa ia tidak segera dapat tidur
seperti bia sanya. Baru ketika orang-orang y ang bertugas di dapur mulai
terbangun dan m empersiapkan makan pagi bagi m ereka yang
akan berangkat ke Singasari beserta para tawanan, Mahisa
Amping dapat memejamkan matanya.
Sementara itu, kesibukan di dapur mirip saat-saat Pa depokan Bajra Seta menghadapi serangan. Para
petugas di dapur memang harus mempersiapkan makan dan minum bagi banyak orang, termasuk para tawanan. Sebelum m atahari terbit,
maka nasi pun telah masak.
Sementara itu, para prajurit
pun telah mempersiapkan diri. Demikian pula para tawanan, betapa pun mereka merasa malas untuk
menempuh perjalanan ke Singasari dengan dikawal oleh sepa sukan prajurit. Di sepanjang jalan mereka akan
menjadi tontonan. Sedangkan setiap orang akan m engetahui
bahwa mereka adalah tawanan yang sedang digiring oleh para
prajurit. Tetapi mereka tidak dapat berbuat lain. Bahkan di
Pa depokan Bajra Seta mereka telah diperlakukan dengan baik,
mereka telah merasa berterima kasih.
Sebelum mereka mulai menempuh perjalanan, maka
mereka pun telah dibawa ke dapur untuk menerima makan
pagi mereka, sementara para prajurit telah dipersilahkan
makan di pendapa. Nasi y ang masih hangat dengan sayur dan
lauk y ang masih hangat pula. Sementara para prajurit sedang
makan, maka para cantriklah y ang mengawasi para tawanan
yang sedang makan di sebelah dapur.
Sejenak kemudian maka semuanya pun telah siap di
halaman depan Padepokan Bajra Seta. Para prajurit, para
tawanan dan Mahisa Pukat y ang akan pergi bersama para
prajurit itu. Dalam pada itu, meskipun Mahisa Amping belum terlalu
lama tidur, namun ia pun telah berada di halaman itu pula.
Bahkan ia sempat mendekati Mahisa Pukat sambil berkata, "Di
sini kakang Mahisa Murti seorang diri."
Mahisa Pukat mengusap kepala anak itu. Katanya, "Aku
tidak akan selamanya berada di Singasari."
Sementara Mahisa Murti pun berkata, "Bukankah sudah
aku katakan, bahwa kakakmu Mahisa Pukat sedang
menyelesaikan satu tugas di Singasari" Jika segalanya sudah
selesai, maka kakakmu Mahisa Pukat akan segera kembali."
Anak itu memejamkan matanya, seolah-olah ia sedang
melihat sesuatu. Tidak dengan mata wadagnya, tetapi dengan
mata hatinya. "Apa y ang sedang kau renungkan?" bertanya Mahisa Murti.
Anak itu menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya wajah
Mahisa Pukat. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu.
Mahisa Pukat dan Mahisa Murti berpandangan sejenak.
Anak itu seolah-olah tahu apa yang sebenarnya dilakukan oleh
Mahisa Pukat selama ia berada di Singasari.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun tidak mengatakan
sesuatu. Mereka tahu bahwa anak itu mempunyai kelebihan
dengan penglihatan batinnya m eskipun kadang-kadang anak
itu tidak tanggap akan maknanya. Tetapi Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat meyakininya, bahwa jika anak itu menjadi
semakin dewasa, maka day a urainya tentu akan menjadi
semakin tajam pula. Sejenak kemudian, maka Mahisa Pukat pun telah minta diri
kepada Mahisa Murti dan para cantrik y ang juga berkumpul di
sisi halaman Padepokan Bajra Seta. Demikian pula para
pemimpin prajurit dan bahkan para tawanan.
Tanpa diduga, Gemak Langkas telah melangkah mendekati
Mahisa Pukat yang berdiri di sebelah Mahisa Murti, sehingga
tiba -tiba Mahisa Pukat menjadi tegang.
Namun Gemak Langkas itu kemudian berdesis setelah ia
berhenti selangkah di hadapan Mahisa Pukat, "Aku sudah
minta maaf kepada Mahisa Murti y ang juga tersentuh akibat
dendam y ang menyala di dada guru. Aku merasa masih
berhutang jika aku belum minta maaf kepadamu. Bahwa yang
terjadi ini memang bersumber dari kesalahanku. Tetapi api
yang menyala sepeletik k ecil itu telah disiram dengan minyak
oleh guru." Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Sementara
Gemak Langkas berkata selanjutnya, "Aku mohon maaf
sedalam-dalamnya serta aku ingin menyatakan peny esalanku
pula. Aku akan patuh mengikuti segala perintah. Di Singasari
aku sudah siap menerima segala macam hukuman y ang paling
pantas diberikan kepadaku."
"Aku mempercayainya," desis Mahisa Murti, "Gurunya
telah memanfaatkan api y ang telah dinyalakannya, y ang hanya
sepeletik kecil itu. Empu Damar tidak hanya membawa
dendamnya kemari. Tetapi sebenarnyalah bahwa ia ingin
merampok Padepokan Bajra Seta. Bahwa persoalan Gemak
Langkas adalah semata-mata satu alasan yang tidak masuk
akal. Bahkan persoalannya itu akan menelan korban yang
cukup banyak." Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Namun diluar
sa darnya, anak muda itu telah memandang wajah Mahisa
Amping yang berkerut. Tetapi kemudian ia berkata kepada
Gemak Langkas, "Akupun percaya kepadamu. Aku memaafkan
kesalahanmu. Tetapi aku tidak tahu bagaimana sikap para
Senapati di Singasari."
"Apapun y ang akan ditimpakan atasku, aku tidak
menghiraukannya lagi. Bahwa kau telah memaafkan
kesalahanku kepadamu, hatiku telah menjadi tenang."
"Hutangmu telah kau lunasi," desis Mahisa Pukat.
"Terima kasih," jawab Gemak Langkas, "dengan demikian,
aku menjadi lebih tabah menghadapi hukuman apa pun yang
akan diberikan kepadaku."
Mahisa Pukat hanya dapat m enarik nafas dalam-dalam. Ia
melihat wajah Gemak Langkas yang menjadi terang. Anak
muda itu benar -benar merasa bahwa ia tidak mempunyai
beban lagi. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menyatakan
untuk memaafkan kesalahan-kesalahannya.
Dalam pada itu, maka baik para prajurit Singasari maupun
para tawanan telah siap untuk berangkat. Para prajurit
menempuh perjalanan ke Singasari di atas punggung kuda
masing-masing, sementara para tawanan harus berjalan kaki.
Para pemimpin prajurit Singasari sepakat untuk
membiarkan para tawanan berjalan tanpa terikat tangan
apalagi kakinya. Para prajurit telah mengetahui letak
Pa depokan-padepokan mereka sehingga jika mereka
melarikan diri, maka padepokan merekalah yang akan menjadi
sa saran. Bahkan mungkin para prajurit terpaksa mengambil
langkah-langkah y ang lebih keras untuk mencegah.
Demikianlah, sejenak kemudian maka iring-iringan dari
Pa depokan Bajra Seta itu pun mulai bergerak. Para tawanan
yang memandang jalan yang membujur panjang dalam
keremangan fajar menjadi berdebar-debar. Mereka harus
berjalan menempuh perjalanan yang jauh ke Singasari dalam
keadaan y ang pahit. Meskipun mereka tidak terikat, tetapi
setiap orang akan mentertawakan mereka sebagai orang-orang
yang digiring oleh para prajurit sebagaimana para penjahat.
Sementara itu para prajurit pun merasa malas untuk duduk
di atas punggung kuda, tetapi kudanya merangkak seperti
siput mengikuti iring-iringan para tawanan.
Tetapi mereka tidak dapat mengelak, karena mereka sedang
menjalankan tugas keprajuritan.
Sepeninggal para prajurit dan para tawanan, Padepokan
Bajra Seta memang terasa menjadi sepi. Apalagi perasaan
Mahisa Amping yang kecil itu. Kepergian Mahisa Pukat
membuatnya merasa seakan-akan kehilangan. Meskipun
04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebelumnya Mahisa Pukat sudah berada di Singasari, tetapi
ketika Mahisa Pukat kembali hanya untuk sehari, terasa bahwa
kepergiannya memang membuat sesuatu hilang dari
Pa depokan Bajra Seta. Apalagi anak itu pun tahu, bahwa
sebenarnya Mahisa Murti pun merasa kehilangan pula.
Namun agaknya Mahisa Murti berusaha untuk
menyembuny ikan perasaan itu.
Diluar sadarnya, maka Mahisa Amping kemudian seakanakan
telah mengurung diri di dalam bilik Mahisa Semu dan
Wantilan yang terluka. Anak itu menunggui mereka dan
melayani keperluan mereka.
Mahisa Murti agaknya dapat melihat pula gejolak perasaan
anak itu. Namun bagi Mahisa Murti perasaan itu dalam kadar
yang berbeda terdapat pula pada setiap cantrik di Padepokan
Bajra Seta. Karena itu, maka Mahisa Murti sendiri harus
berusaha meny embuny ikan perasaannya itu. Mahisa Amping
jangan sampai m elihat lagi bagaimana ia berusaha melarikan
diri dari perasaannya, karena hal itu akan sangat berpengaruh
terhadap perkembangan jiwa anak itu.
Karena itu, maka Mahisa Murti ingin mengisi perasaannya
dan juga perasaan para cantrik dengan langkah-langkah yang
berarti. Dipanggilnya setiap pemimpin kelompok cantrik
Pa depokan Bajra Seta. Dengan jelas Mahisa Murti
menunjukkan kelemahan para cantrik menghadapi serangan
dari lawan y ang jumlahnya lebih besar.
"Kita melihat bahwa para cantrik dari Padepokan Ngancas
lebih mementingkan kemampuan mereka secara pribadi. Aku
tidak mengatakan bahwa hal itu lebih baik dari cara yang kita
tempuh. Namun alangkah baiknya, jika kemampuan kita
bertempur dalam kerja sama y ang mapan disertai kemampuan
secara pribadi y ang lebih tinggi. Meskipun selama ini kita juga
memperhatikan kemampuan para cantrik secara pribadi,
tetapi aku y akin bahwa hal itu masih dapat ditingkatkan."
Dengan demikian, maka Mahisa Murti telah
memerintahkan untuk mempertinggi gelombang latihan para
cantrik Padepokan Bajra Seta. Mahisa Murti juga
memerintahkan untuk menyusun kembali susunan waktu
latihan bagi para cantrik sesuai dengan tataran mereka.
"Kita juga harus mengetahui tataran setiap orang di dalam
Pa depokan ini. Tataran kemampuan tidak dapat diukur
dengan waktu seberapa lama mereka berada di padepokan ini.
Tetapi sejak pekan mendatang, kita akan menyusun tataran
para cantrik menurut kemampuan mereka. Dengan demikian
maka latihan-latihan berikutnya akan dapat ditata kembali
sesuai dengan pengelompokan para cantrik itu." berkata
Mahisa Murti kemudian. Para pemimpin kelompok itu pun mengangguk-angguk.
Mereka sadar, bahwa kerja itu adalah kerja y ang besar bagi
Pa depokan Bajra Seta. Mereka harus menilik orang perorang
agar mereka dapat menyusun pengelompokan yang paling
cermat. Demikianlah, maka sejak saat yang ditentukan, Padepokan
Bajra Seta m enjadi sibuk. Setiap pemimpin kelompok harus
melihat kembali para cantriknya untuk menempatkan mereka
pada kelompok-kelompok y ang tepat. Seorang demi seorang
mereka harus menunjukkan kemampuan mereka sejauh dapat
mereka lakukan. Dengan demikian, maka seluruh halaman padepokan telah
dipergunakan. Bukan saja sanggar tertutup dan sanggar
terbuka. Tetapi juga disudut-sudut halaman, kebun dan
tempat -tempat terbuka lainnya. Bahkan beberapa kelompok
harus melakukannya di luar, karena tidak ada tempat lagi
dilingkungan dinding halaman padepokan.
Tetapi, di sekitar Padepokan Bajra Seta m emang terdapat
ara-ara yang cukup luas. Selain tempat untuk menggembala
ternak yang terdapat di padepokan itu, ara-ara itu sengaja
dibuat untuk memberikan batas antara lingkungan padepokan
dan lingkungan di sekitarnya. Ara-ara itu juga memberikan
jarak pandang y ang cukup bagi isi padepokan y ang sedang
mengawasi keadaan di sekitarnya. Terutama jika ada m usuh
yang mendatanginya. Namun, ternyata latihan-latihan itu telah menarik
perhatian para penghuni padukuhan di sekitar padepokan itu.
Bahkan beberapa orang telah datang untuk menanyakan,
apakah bahaya masih saja mengancam padepokan itu
sehingga seisi padepokan harus menempa diri.
Mahisa Murti yang menemui beberapa orang yang datang
itu telah menjelaskan persoalannya. Dengan sungguh-sungguh
Mahisa Murti berkata, "Sepengetahuanku, tidak ada ancaman
lagi atas Padepokan ini. Kami hanya ingin menutup
kelemahan-kelemahan yang kami dapati dalam pertempuran
yang baru saja terjadi. Lebih dari itu, kami ingin mengisi
perasaan kehilangan setelah kepergian Mahisa Pukat. Setiap
kali para cantrik mempertanyakannya meskipun setiap kali
aku sudah memberikan jawabnya. Tetapi rasa-rasanya
jawabku selalu tidak memuaskan mereka. Latihan-latihan ini
akan merampas segala pemusatan perhatian serta nalar budi
mereka, sehingga mereka tidak akan selalu teringat kepada
kepergian Mahisa Pukat y ang memang sudah cukup lama
mengasuh mereka." Orang-orang padukuhan itu m engangguk-angguk. Seorang
di antara mereka berkata, "Ya. Agaknya Mahisa Pukat telah
terlalu lama pergi."
"Beberapa hari y ang lalu, ia datang kemari bersama para
prajurit Singasari yang mengambil para tawanan itu. Tetapi
juga hanya sehari sebagaimana para prajurit," berkata Mahisa
Murti kemudian. "Apakah Mahisa Pukat sekarang menjadi seorang
prajurit?" bertanya salah seorang dari mereka.
"Tidak," jawab Mahisa Murti, "pada saatnya ia akan
kembali ke padepokan ini."
Orang-orang itu m engangguk-angguk. Namun seorang di
antara mereka berkata, "Jika demikian, apakah kami, laki-laki
dari padukuhan sebelah menyebelah diperbolehkan ikut
berlatih?" "Bukankah kalian telah melakukan latihan-latihan
keprajuritan meskipun tidak sedalam para prajurit?" bertanya
Mahisa Murti dengan ragu.
"Ya. Tetapi apa salahnya kami memperdalam kemampuan
kami" Dalam keadaan tertentu kami berjanji untuk membantu
padepokan ini sejauh dapat kami lakukan," berkata seorang di
antara mereka. "Terima kasih. Telah banyak sekali bantuan y ang kalian
berikan k epada kami. Bukan saja tenaga, harta-benda, tetapi
lebih dari itu. Kalian telah memberikan anak-anak muda yang
terbaik dari padukuhan-padukuhan di sekitar padepokan ini,"
jawab Mahisa Murti. Lalu katanya, "Mereka telah
mempertaruhkan nyawa mereka."
"Bukankah hal itu kita lakukan timbal balik?" sahut salah
seorang di antara mereka.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya
kemudian, "Sudah barang tentu kami tidak merasa
berkeberatan sama sekali untuk membantu kalian berlatih
memperdalam kemampuan kalian. Tetapi kami minta waktu
sepekan untuk mengatur dan mempersiapkan tenaga para
cantrik agar kami dapat memenuhi keinginan kalian dengan
sebaik-baiknya." "Kapanpun kami mendapat kesempatan, kami
mengucapkan terima kasih," berkata salah seorang dari
mereka y ang datang menemui Mahisa Murti itu.
Dengan demikian maka baik Mahisa Murti, maupun orangorang
dari padukuhan telah mengatur persiapan untuk
melakukan latihan-latihan. Mereka telah membentuk
kelompok-kelompok sebagaimana para cantrik di padepokan.
Ber sama Mahisa Murti mereka telah m engatur segala macam
ketentuan, pembagian waktu dan tempat bagi mereka yang
akan berlatih di padepokan Bajra Seta.
Dengan demikian maka Mahisa Murti harus meny isihkan
tenaga beberapa orang cantrik terbaik untuk memberikan
latihan-latihan kepada anak-anak muda dan orang-orang yang
berniat untuk meningkatkan kemampuan mereka. Ternyata
bahwa latihan-latihan itu mendapat perhatian yang sangat
besar. 0oo0dw0oo0 (Bersambung ke Jilid 106)
Scanning: Ki Ismoy o Conv ert/Pr oofing: Ki Raharga
Rechecking/Editing: Ki Arema
Pdf ebook : Dan HIJAUNYA LEMBAH HIJAUNYA LERENG PEGUNUNGAN Jilid 106 Cetakan Pertama PENERBIT: "MURIA" YOGYAKARTA Kolaborasi 2 Website : dengan Pelangi Di Singosari / Pembuat Ebook : Sumber Buku Karya SH MINTARDJA
Scan DJVU : Ismoyo, Arema
Converter : Editor : Pdf ebook : --ooo0dw0ooo- Naskah ini untuk keperluan kalangan sendiri,
penggemar karya S.H. Mintardja dimana saja berada y ang
berkumpul di Web Pelangi Singosari dan Tiraikasih
Jilid 106 NAMUN y ang pertama-tama dilakukan oleh para cantrik
adalah menilai kemampuan mereka y ang menyatakan diri
untuk ikut berlatih di padepokan itu. Meskipun tidak sangat
teliti sebagaimana saat mereka menilai kemampuan para
cantrik, namun penilaian itu dapat dipergunakan untuk
membagi-bagi orang-orang padukuhan yang mengikuti
latihan-latihan itu dalam kelompok-kelompok tanpa
memperhatikan dari padukuhan mana saja mereka berasal.
Ketika saatnya latihan-latihan itu dimulai, ternyata bahwa
kemauan mereka tidak kalah tinggi dari para cantrik di
Pa depokan Bajra Seta itu. Meskipun waktu yang
diperuntukkan bagi mereka lebih pendek dari para cantrik,
tetapi kemauan mereka ternyata benar-benar membakar
jantung mereka. Karena itu, maka para cantrik tidak ingin mengecewakan
mereka sehingga para cantrikpun menunjukkan kemauan yang
tinggi menuntun mereka meningkatkan kemampuan orangorang
dari padukuhan-padukuhan sebelah meny ebelah
padepokan itu. Dengan demikian m aka seisi Padepokan Bajra Seta telah
menjadi sibuk. Latihan-latihan berlangsung dengan kemauan
yang tinggi. Mahisa Murtipun tenggelam pula dalam
kesibukan itu. Bahkan Mahisa Murti secara khusus telah
menempa Mahisa Amping dan Mahisa Semu. Tetapi Mahisa
Murtipun telah memberikan waktunya untuk Wantilan yang
memang mempunyai tataran y ang berbeda serta landasan
ilmu y ang berbeda pula, sehingga Wantilanpun harus
mendapat penanganan yang khusus.
Dengan caranya, maka seisi Padepokan Bajra Seta itupun
menjadi semakin meningkat pula. Para cantrik tertua dari
padepokan itupun langsung mendapat latihan-latihan dari
Mahisa Murti sendiri, sehingga dengan demikian maka Mahisa
Murti benar-benar telah menghabiskan waktunya bagi
padepokannya. Dalam kesempatan tertentu, Mahisa Semupun telah diberi
wewenang oleh Mahisa Murti untuk memberikan latihanlatihan
kepada para cantrik y ang masih muda. Bukan saja
muda umurnya, tetapi juga mereka yang belum lama berada di
padepokan itu. Tetapi Mahisa Murti tidak dapat meny erahkan
sekelompok cantrik kepada Wantilan, karena Wantilan
mempunyai dasar yang berbeda. Hanya untuk latihan-latihan
dasar y ang sifatnya umum, Wantilan dapat membantu Mahisa
Murti memberikan tuntunan kepada para cantrik. Terutama
mengenai ketahanan tubuh serta penguasaan gerak-gerak
dasar yang paling sederhana untuk mempersiapkan para
cantrik itu mulai dengan gerak-gerak dasar y ang menjurus
pada unsur-unsur ilmu y ang dipelajari.
Dengan latihan-latihan khusus yang berat, maka Mahisa
Amping ternyata tumbuh sejalan dengan pertumbuhan
ilmunya. Dengan demikian maka ilmu y ang dipelajarinya
seakan-akan telah m enyatu didalam dirinya. Sadar atau tidak
sa dar, maka setiap gerak anak itu seakan-akan telah terkendali
dengan mapan. Mahisa Semupun semakin lama menjadi semakin
meyakinkan. Tenaganya tumbuh dengan mantap sebagaimana
tubuhnya y ang berkembang dengan tinggi dan kekar. Latihanlatihan
yang berat telah membentuk tubuhnya menjadi
seorang y ang gagah dan kuat.
Setiap pagi, Mahisa Semu telah berlatih sambil membentuk
tubuhnya menurut petunjuk Mahisa Murti. Sejak sebelum
matahari t erbit, Mahisa Semu telah m enitikkan keringat dari
lubang-lubang kulitnya bersama beberapa orang cantrik yang
diserahkan kepadanya. Mereka memanfaatkan lingkungan
yang luas serta lereng-lereng pegunungan disekitar
padepokan. Meskipun demikian, para cantrik itu tidak melupakan
tugas-tugas m ereka sehari -hari dalam kehidupan sewajarnya.
Setelah berlatih dipagi hari, kemudian membersihkan diri dan
makan pagi, maka para cantrik itupun telah melakukan tugas
mereka sehari -hari. Diantara mereka ada yang pergi ke sawah
yang diperuntukkan bagi Padepokan Bajra Seta. Ada yang
pergi ke kolam-kolam ikan, ke pategalan dan ada yang
melakukan tugas-tugas y ang lain. Pande besi dengan
kemampuan y ang lebih dari pande besi kebanyakan setelah
mereka mendapat tuntunan khusus. Ada diantara mereka yang
mengurusi peternakan dan pekerjaan-pekerjaan y ang lain.
Tetapi diantara mereka terdapat kelompok-kelompok y ang
04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berada di sanggar-sanggar bergantian. Mereka dengan
sungguh-sungguh berusaha meningkatkan kemampuan ilmu
mereka. Baru menjelang sore, maka hampir semua cantrik
turun untuk melakukan latihan-latihan sehingga halaman,
kebun dan bahkan ara-ara di luar dinding padepokan menjadi
penuh, termasuk anak-anak muda dan orang-orang
padukuhan disekitar Padepokan Bajra Seta, sesuai dengan
tataran dan tingkat kemampuan mereka masing -masing.
Sementara Padepokan Bajra Seta tenggelam dalam
kesibukan y ang memberikan arti y ang penting bagi
perkembangan Padepokan itu, maka Mahisa Pukat yang
berada di Kotaraja telah menjalani kehidupannya dalam
suasana y ang berbeda. Hubungannya semakin lama menjadi
semakin akrab dengan Sasi. Ternyata orang tua Sasi benarbenar
tidak berkeberatan atas hubungan itu sebagaimana
Mahendra sendiri. Namun dalam keadaan-keadaan tertentu,
Mahisa Pukat masih saja merenungi dirinya sendiri dalam
hubungannya dengan padepokan yang telah ditinggalkan
meskipun menurut pengertiannya hanya sementara.
Tetapi setiap kali sebuah pertanyaanpun timbul "Apakah
benar bahwa ia hanya meninggalkan padepokannya untuk
sementara?" Apalagi ketika pada suatu ketika ayahnya, Mahendra
memanggilnya dan dengan sungguh-sungguh berkata
kepadanya "Mahisa Pukat. Aku m elihat bahwa hubunganmu
dengan Sasi semakin lama menjadi semakin bersungguhsungguh.
Bukan niatku untuk m enghalangi, apalagi menurut
penilaianku Arya Kuda Cemani tidak berkeberatan sama sekali
dengan hubunganmu itu. Tetapi dengan demikian m aka ada
satu hal y ang harus kau perhatikan."
Mahisa Pukat memperhatikan kata-kata ay ahnya itu
dengan sungguh-sungguh pula. Namun sudah terasa olehnya,
kemana arah pembicaraan ayahnya itu.
Karena itu, Mahisa Pukat tidak terkejut ketika ayahnya
kemudian berkata "Mahisa Pukat. Masih ada satu hal yang
harus kau penuhi sebelum kau benar-benar memasuki satu
lingkungan kehidupan yang baru. Mak sudku, apabila kau
benar-benar ingin berumah tangga."
Mahisa Pukat menundukkan kepalanya. Tetapi ia sudah
tahu bahwa ay ahnya tentu akan berbicara tentang
kehidupannya setelah ia benar-benar memasuki jenjang
kehidupan berkeluarga. Tetapi Mahisa Pukat tidak ingin mendahului ayahnya.
Karena itu, maka ia hanya diam sambil menunggu.
Sebenarnyalah ayahnyapun kemudian berkata "Mahisa
Pukat. Kau harus mulai berpikir sejak sekarang. Jika kau kelak
berumah tangga, apay g akan kau lakukan" Apakah kau akan
kembali ke padepokan dan mengajak isterimu hidup menurut
caramu di padepokan" atau kau mulai membayangkan satu
bentuk kehidupan yang lain?"
Mahisa Pukat tidak segera menjawab. Namun
sebenarnyalah bahwa Mahendra memang menjadi gelisah
memikirkannya. Jika Mahisa Pukat ingin hidup di padepokan,
maka ia m erasa sangat kasihan kepada Mahisa Murti. Tanpa
setahu Mahisa Pukat, maka Mahisa Murti hidupnya akan
tersiksa setiap hari untuk waktu yang panjang tanpa batas.
Bahwa dengan mengorbankan perasaannya sendiri Mahisa
Murti telah m eninggalkan Mahisa Pukat di Singasari. Mahisa
Murti termasuk seorang anak muda y g tahu diri dan tidak
mementingkan diriny a sendiri. Tetapi jika ia ter siksa setiap
hari, maka ada kemungkinan bahwa Mahisa Murtilah yg kelak
akan meninggalkan Padepokan Bajra Seta. Sementara itu
belum tentu bahwa Sasi akan dapat menerima satu bentuk
kehidupan di padepokan. Mungkin sebelum perkawinan itu terjadi, selagi anganangannya
melambung tinggi, Sasi berniat untuk hidup
bersama dalam keadaan apapun. Meskipun demikian, apa
yang t erjadi kemudian mungkin akan berbeda. Sasi dapat saja
terbentur pada batas kemampuannya untuk menyesuaikan
dirinya, sehingga kehidupan di padepokan akan terasa sangat
membosankan. Dalam pada itu, Mahisa Pukatpun menjadi bimbang pula.
Apalagi ketika ayahnya berkata "Pukat. Sampai sekarang kau
adalah seorang pemimpin sebuah padepokan. Kau hidup
dalam satu suasana y ang sangat khusus. Sementara Sasi
terbiasa hidup di Kotaraja. Aku tidak dapat membayangkan,
apakah jadiny a jika Sasi kau ajak mencoba hidup di padepokan
dengan gaya hidup orang -orang padepokan."
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Ia tahu bahwa
ay ahnya ingin menasehatkan kepadanya agar ia tidak
membawa Sasi ke padepokan. Namun Mahisa Pukat tidak tahu
pasti alasan ayahnya y g sebenarnyalah Mahisa Murti telah
mengorbankan perasaannya yg tertuju kepada Sasi.
Bagi Mahisa Pukat, maka alasan utama adalah kebiasaan
dan tatanan hidup keluarga Sasi yang jauh berbeda dengan
tatanan hidup di padepokan, sehingga dengan demikian, maka
satu kemungkinan y ang tidak diharapkan akan dapat terjadi
atas Sasi. Dengan nada dalam, m aka Mahisa Pukatpun justru telah
bertanya "Ayah, aku justru ingin mendapat petunjuk dari
ay ah." Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada
dalam iapun berkata "Mahisa Pukat. Jika kau bertanya
kepadaku, maka jawabku tentu m engandung pengertian yang
menguntungkan diriku pula. Karena bagaimanapun aku tidak
dapat melepaskan kepentinganku sendiri."
"Maksud ay ah?" bertanya Mahisa Pukat.
"Mahisa Pukat. Aku ingin menasehatkan kepadamu,
sebaiknya kau tidak usah kembali ke padepokan. Setidaktidaknya
untuk sementara. Kau dapat mencari sumber
kehidupan disini. Adalah kebetulan bahwa aku mempunyai
hubungan betapapun jauhnya dengan Sri Maharaja. Jika kau
berminat, aku dapat m embawa kau menghadap. Jika bukan
Sri Maharaja, maka aku dapat menyampaikannya Wreda
Menteri atau pejabat-pejabat y ang lain y ang aku kenal."
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Namun dengan
nada rendah ia berkata "Tetapi apa y ang dapat aku lakukan
ay ah" Selama ini aku hidup disebuah padepokan, sehingga
yang aku kerjakan tidak lebih dari pekerjaan seorang cantrik
dan sekaligus seorang petani. Jika aku harus bekerja diistana,
apa y ang dapat aku perbuat selain menjadi juru taman."
Tetapi ayahnya m enggeleng. Katanya "Kau dapat menjadi
seorang prajurit. Kau mempunyai kemampuan dasar dalam
olah kanuragan. bahkan jika dilakukan pendadaranpun kau
akan mempunyai kesempatan cukup untuk diterima diantara
mereka y ang menyatakan keinginan mereka menjadi prajurit.
Bahkan mungkin kau akan dapat diterima menjadi Pelay an
Dalam yang mempunyai tugas keprajuritan didalam
lingkungan istana" Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ia teringat kepada
saudara-saudara Sasi dan kawan-kawannya. Tataran
kemampuan m ereka tidak terlalu tinggi, sehingga j ika ia ikut
dalam pendadaran, maka kemampuannya tentu lebih baik dari
anak-anak muda itu. Untuk beberapa saat Mahisa Pukat termangu-mangu.
Namun kemudian iapun menjawab "Aku menurut saja, yang
mana y ang terbaik menurut ayah."
"Ada dua bidang y ang terbaik bagimu. Bidang keprajuritan
atau sebagai Pelay an Dalam. Jika kesempatan terbuka, bagiku
kau lebih baik menjadi seorang Pelayan Dalam. Tugasnya
mirip dengan tugas keprajuritan, tetapi juga mempunyai
tanggung jawab atas keamanan seisi istana dan melayani isi
istana pula" "Narpacunadka maksud ayah?" bertanya Mahisa Pukat.
"Bukan. Tetapi Pelay an Dalam m emang dapat diperintah
oleh Narpacundaka." Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya "Mana y ang
baik menurut ay ah, aku tidak akan berkeberatan
melakukannya." Mahendra mengangguk-angguk. Tetapi untuk sementara ia
sudah berhasil m emisahkan Mahisa Pukat dari Mahisa Murti
apabila Mahisa Pukat benar-benar akan berumah tangga
dengan seorang gadis yang kebetulan pernah menarik hati
Mahisa Murti itu pula. Tetapi sebagai akibat dari keinginannya itu, maka
Mahendrapun harus menghubungi para pejabat di istana
Singasari. Bahkan ternyata kemudian, dalam satu kesempatan
Mahendra sempat menghadap Sri Maharaja di Singasari.
Ternyata keinginan Mahendra untuk mengabdikan anak
laki -lakinya itu telah didengar pula oleh Sri Maharaja di
Singasari. Ternyata Sri Maharaja justru dengan senang hati
memerintahkan agar anak laki -laki Mahendera itu dapat
diterima sebagai Pelay an Dalam.
Mahendra memang menjadi sangat bergembira.
Sebagaimana dititahkan oleh Sri Maharaja, maka
Mahendrapun telah m enghubungi Manggala yang memimpin
Pelay an Dalam di Istana Singasari itu.
"Apa titah Sri Maharaja?" bertanya Gajah Saraya, Manggala
yang memimpin Pelay an Dalam itu.
"Seperti yang sudah aku katakan" jawab Mahendra "Sri
Maharaja bertitah bahwa Sri Maharaja berkenan atas
permohonan anakku untuk menjadi Pelayanan Dalam."
"Untuk apa hal seperti ini kau sampaikan kepada Sri
Maharaja" Bukankah ada bermacam-macam persoalan yang
harus dipikirkan oleh Sri Maharaja" Tentu Sri Maharaja tidak
sempat memikirkan persoalan anakmu itu."
"Tetapi Sri Maharaja ju stru sudah mendengar bahwa
Mahisa Pukat ingin mengabdikan diri dalam lingkungan
Pelay an Dalam di Istana Singasari. Sebelum aku m engatakan
sesuatu tentang anakku itu, maka Sri Maharajalah y ang ju stru
bertanya kepadaku." "Mustahil" jawab Gajah Saraya "aku belum pernah
menyampaikannya kepada Sri Maharaja."
"Entahlah. Aku tidak tahu, siapakah y ang
menyampaikannya kepada Sri Maharaja. Tetapi Sri Maharaja
sudah mengetahuinya dan bahkan Sri Maharaja berkenan
sekali atas keinginan anakku itu jawab Mahendra.
"Mahendra" berkata Gajah Saraya "sebenarnya kau tidak
perlu bertumpu kepada Sri Maharaja. Bukankah sebelumnya
aku juga sudah menyatakan akan mengusahakan agar anakmu
dapat diterima asal anakmu memenuhi persyaratannya."
"Aku mengucapkan terima kasih, Gajah Saraya" sahut
Mahendra "mudah-mudahan anak itu m emenuhi syarat yang
diwajibkan." "Tetapi aku justru menjadi kecewa karena kau telah
menyampaikan langsung kepada Sri Maharaja. Agaknya kau
tidak percaya kepadaku." berkata Gajah Saraya itu kemudian.
"Kau salah paham Gajah Saraya" jawab Mahendra "aku
sudah mengatakan yang sebenarnya. Tetapi justru kau yang
tidak percaya kepadaku. Cobalah kau ingat-ingat, siapa saja
yang pernah mengetahui bahwa anakku akan mengabdikan
diri dalam lingkungan Pelay an Dalam di Istana Singasari"
Mungkin orang itulah yang telah m enyampaikannya kepada
Sri Maharaja." "Apakah kepentingan mereka menyampaikan hal ini
kepada Sri Maharaja?" bertanya Gajah Saraya.
Mahendra hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi
ia mengerti, bahwa Arya Kuda Cemani juga pernah mendengar
keinginannya untuk mengabdikan anaknya dalam lingkungan
Pelay an Dalam. Bahkan Arya Kuda Cemani sangat menyetujui,
karena hal itu langsung atau tidak langsung menyangkut diri
Arya Kuda Cemani itu sendiri. Justru karena Mahisa Pukat
telah berhubungan degnan Sa si, anak perempuan Arya Kuda
Cemani itu. "Apakah Arya Cemani yang telah menyampaikan keinginan
Mahisa Pukat itu k epada Sri Maharaja?" bertanya Mahendra
di dalam hatinya. Tetapi sudah barang tentu bahwa Mahendra
tidak mengatakan hal itu kepada Gajah Saraya.
Tetapi salah paham itu harus diluruskan.
Karena itu, maka Mahendrapun kemudian berkata "Baiklah
Gajah Saraya. Pada kesempatan lain, jika aku menghadap lagi,
maka aku akan bertanya kepada Sri Maharaja, siapakah yang
telah menyampaikan keinginan Mahisa Pukat untuk mengabdi
itu kepada Sri Maharaja."
"Kau berani melakukannya ?" bertanya Gajah Saraya.
"Kenapa tidak " Sri Maharaja adalah seorang y ang hatinya
seluas lautan. Demikian pula Ratu Angabaya, sepupu Sri
Maharaja y ang mendampinginya memerintah di Singasari itu.
Seandainya aku m enyampaikan pertanyaan itu, maka keduaduanya
tentu tidak akan marah."
"Kau terlalu deksura, Mahendra. Kau kira keduanya itu
kawanmu bermain?" berkata Gajah Saraya.
"Tentu tidak Gajah Saraya. Tetapi aku mengenal keduanya
sejak lama. S ejak saudara -saudaraku masih m engabdi disini."
jawab Mahendra. Lalu katanya pula "Kaupun tentu mengerti,
kenapa aku sekarang tinggal di Istana Singasari."
Gajah Saraya termangu-mangu sejenak. Tetapi ia harus
menilai kembali keberadaan Mahendra di Istana itu.
Meskipun demikian, Gajah Saraya itu berkata "Baiklah.
Apapun y ang kau lakukan, akulah yang berwenang untuk
melakukan pendadaran atas anakmu itu. Akulah y ang dapat
menilai, apakah anakmu pantas menjadi seorang Pelay an
Dalam atau tidak." Pernyataan itu memang membuat jantung Mahendra
berdesir. Namun Mahendra sadar, bahwa ia memang tidak dapat
berbuat banyak tanpa harus menimbulkan persoalan dengan
Gajah Saraya. Karena itu, maka Mahendra memang lebih
banyak menunggu. Mahendra berniat agar anaknya dapat
diterima dalam lingkungan Pelay an Dalam tanpa membuat
persoalan. Karena itu, maka sebaiknya Mahisa Pukat
menempuh sy arat-syarat y ang sewajarnya dilakukan untuk
dapat diterima menjadi Pelay an Dalam.
Ketika hal itu dikatakan kepada Arya Kuda Cemani, maka
Arya Kuda Cemani itupun berkata "Gajah Saraya ternyata
tidak berpandangan luas. Hatinya getas seperti ranting yang
kering. Sentuhan kecil saja membuat hatinya patah.
Seharusnya ia tidak merasa tersinggung. Jika hal itu diketahui
Sri Maharaja, maka justru Gajah Sarayalah yang akan
mendapat murka."
04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tetapi biarlah Mahisa Pukat memasuki lingkungan
Pelay an Dalam sesuai dengan syarat-sy arat yang harus
ditempuhnya." berkata Mahendra kemudian.
Arya Kuda Cemani mengangguk-angguk. Katanya "Ya, aku
yakin syarat apapun yang diberikan, jika itu tetap dalam
kewajaran, tentu akan dapat dilaluinya. Pendadaran yang
betapapun beratnya asal masih sesuai dengan paugeran yang
berlaku tentu akan dapat diatasinya. Kecuali jika ada
permainan lain. Jika hal itu terjadi, aku mempunyai wewenang
untuk memberikan laporan."
"Mudah-mudahan hal seperti itu tidak perlu terjadi"
berkata Mahendra. Arya Kuda Cemani ter senyum. Sambil mengangguk-angguk
ia b erkata "Akhirnya kita juga berpaling k epada kepentingan
diri. Jika persoalannya menyangkut diri kita masing-masing
langsung atau tidak langsung, rasa -rasanya kita juga ingin
turut campur." "Ya" jawab Mahendra. Namun katanya kemudian "Tetapi
justru rasa keadilan kita tersinggung."
Arya Kuda Cemani tertawa. Tetapi mereka sepakat untuk
tidak berbuat sesuatu sampai saat pendadaran itu datang.
Mereka akan menyaksikan apakah pendadaran itu
berlangsung wajar atau tidak.
Adalah kebetulan bahwa istana Singsari memang sedang
membutuhkan sepuluh orang Pelayan Dalam baru.
Diutamakan mereka y ang masih muda dengan harapan bahwa
mereka dihari mendatang akan dapat m enjadi Pelay an Dalam
yang mampu menggantikan mereka yang menjadi semakin
tua. Karena y ang menyatakan diri untuk memasuki lingkungan
Pelay an Dalam itu melebihi dari yang dibutuhkan, maka
mereka y ang m enyatakan diri untuk ikut dalam pendadaran
sudah menyadari, bahwa pendadaran akan berlangsung berat.
Duapuluh lima orang akan mengikuti pendadaran. Sementara
yang akan diterima hanya sepuluh orang.
Meskipun demikian Mahendra tidak ingin menempuh jalan
pintas m eskipun seandainya hal itu dapat dilakukan. Apalagi
Sri Maharaja sendiri telah menyatakan berkenan jika anak
Mahendra dapat diterima menjadi Pelay an Dalam.
Demikianlah, maka pada saat yang telah ditentukan, maka
Manggala Gajah Saraya telah memanggil keduapuluh lima
orang yang menyatakan diri untuk memasuki lingkungan
Pelay an Dalam itu. Mereka akan mengikuti pendadaran y ang akan dibaktikan
dalam beberapa tahap. Tahap pertama, duapuluh lima orang itu harus m enempuh
perjalanan dalam jarak t ertentu. Jalan itu melalui beberapa
rintangan alam yang cukup berat. Jalan y ang memang dipilih
melalui lereng -lereng bukit, m eny eberang sungai dan hutanhutan
kecil. Perjalanan yang akan makan waktu sehari
semalam tanpa membawa bekal sama sekali. Mereka yang
dapat menembus rintangan alam itulah yang kemudian akan
mengikuti pendadaran yang kedua.
Mereka akan dilepas seorang demi seorang tanpa diberi
ancar-ancar jalan y ang akan m ereka lalui. Yang ada hanyalah
isy arat-isy arat yang harus mereka cari disepanjang jalan.
Ditempat-tempat tertentu mereka akan menjumpai gardugardu
y ang ditunggui oleh para prajurit. Mereka harus
menyatakan diri kepada para prajurit itu jika mereka telah
melewati gardu itu. Satu saja gardu terlampaui, maka m ereka
dianggap gagal dalam pendadaran tahap pertama.
Demikianlah, maka duapuluh lima. orang itupun telah
bersiap. Mereka y ang akan melakukan pendadaranpun telah
bersiap. Sementara itu itu Manggala Gajah Sarayapun
menunggui pendadaran itu langsung ditempat para peserta
dilepas. Pa da saat y ang sudah ditemukan, maka mulailah orang
yang pertama dilepas untuk menjalani pendadaran. Orang
yang pertama itu dilepas di pagi hari. Meskipun demikian
pada saatnya, maka perjalanannya akan m enembus gelapnya
malam pula. Demikianlah berjarak waktu tertentu, telah dilepas orang
kedua, ketiga, keempat dan seterusnya Dalam urutan itu
ternyata Mahisa Pukat adalah orang y ang terakhir dilepas. Ia
justru dilepas saat matahari
telah terbenam. Sebenarnya Mahisa Pukat sudah merasakan keganjilan
ketika ia diny atakan sebagai
orang terakhir. Ia tidak merasa ikut membuka lontar
yang didalamnya tertulis urutan keberangkatan pada
pendadaran itu sebagaimana
yang lain. Menurut seorang
prajurit y ang mengatur pendadaran, Mahisa Pukat justru peserta susulan yang
tidak turut dalam undian.
"Kau harus mengucap terima kasih bahwa kau dapat
ikut serta" berkata seorang
prajurit ketika ia menanyakan hal itu.
Mahisa Pukat tidak m empersoalkannya lagi. Jika ia m asih
bertanya tentang beberapa hal, maka mungkin sekali ia akan
mengalami kesulitan karena sikap prajurit itu. Karena itu,
maka Mahisa Pukatpun menerima saja apa y ang harus
dilakukan. Baginya sama saja, apakah ia mendapat giliran
pertama atau terakhir. Semuanya akan mengalami waktu yang
sama. Sehari semalam. Yang berangkat pagi hari, pada saatnya
akan berjalan juga digelapnya malam. Bahkan Mahisa Pukat
merasa beruntung, bahwa y ang telah berjalan lebih dahulu
daripadanya sebanyak duapuluh ampat orang, sehingga
jejaknyapun menjadi semakin banyak. Dengan demikian maka
ia akan menjadi lebih mudah menelusuri jalan y ang harus
dilaluinya dalam pendadaran itu.
Demikianlah, maka pada saat yang ditentukan, Mahisa
Pukatpun telah dilepas pula. Sementara gelap malampun
mulai turun perlahan-lahan. Namun bagi Mahisa Pukat
kegelapan itu tidak banyak mempengaruhinya.
Sejenak kemudian, Mahisa Pukatpun telah berjalan melalui
jalan y ang sepi. Ketajaman penglihatannya mampu melihat
dengan baik meskipun gelap menjadi semakin kelam. Dilangit
bintang berhamburan. Selembar awan lewat. Tetapi langit
tetap jernih. Dengan melihat bintang Gubuk Penceng dan bintang
Waluku Mahisa Pukat mampu mengenali arah. Ia tahu pasti
kemana ia berjalan. Ketika jalan berbelok, maka tanpa kesulitan ia mengetahui
arah, kemana ia harus pergi, karena ia m elihat isyarat yang
jelas. Beberapa cabang pepohonan sengaja ditebas. Sehingga
dengan demikian, maka Mahisa Pukatpun telah mengikuti
petunjuk itu. Disamping isy arat itu, maka jejak mereka yang ter -
dahulupun telah menuntun arah bagi Mahisa Pukat, sehingga
ia tidak harus terlalu banyak berpikir.
Semakin lama jalanpun menjadi semakin jauh. Jalan
setapak yang jarang dilalui orang. Bahkan kemudian
memasuki sebuah padang rumput tempat para gembala
menggembalakan kambingnya.
Pa dang rumput itu m emang agak luas. Rerumputan y ang
hijau itu mulai dibasahi oleh embun y ang mulai turun.
Mahisa Pukatpun merasakan bahwa malam memang
menjadi semakin dingin. Tetapi ia berjalan terus. Ia belum
merasakan rintangan yang berarti pada perjalanannya itu.
Ketika ia melewati tanggul sebuah susukan y ang agak besar,
tiba -tiba saja Mahisa Pukat dikejutkan suara anjing yang
menggonggong. Tidak terlalu jauh dari tanggul yang
dilewatinya. Tetapi Mahisa Pukat justru tersenyum. Telinganya y ang
tajam segera mengetahui, suara gonggongan anjing yang
seakan-akan suara seekor anjing y ang sangat besar itu adalah
suara orang. "Tentu satu dua orang prajurit y ang mendapat tugas
mengganggu mereka y ang melakukan pendadaran" berkata
Mahisa Pukat didalam hatinya.
Tetapi justru karena itu timbul niat Mahisa Pukat untuk
bermain-main dengan mereka.
Ketika suara anjing itu menjadi semakin dekat, maka
Mahisa Pukatpun telah ikut pula m enirukan suara anjing itu.
Hampir mirip dengan suara yang menjadi semakin dekat itu.
Yang terdengar kemudian adalah suara tertawa. Dua orang
tidak dapat menahan tertawa mereka. Bahkan kedua orang
prajurit telah muncul dari balik serumpun perdu. Sambil
melangkah mendekati, seorang diantara mereka berkata
"Selamat anak muda. Mudah-mudahan kau dapat melewati
pendadaran ini dengan baik."
"Terima kasih" jawab Mahisa Pukat yang juga tertawa.
Bahkan katanya "Bukankah aku orang terakhir" Marilah, kita
berjalan bersama-sama."
Kedua orang itu tertawa semakin keras. Katanya "Tentu
akan merugikanmu. Jika kau ketahuan berjalan bersama kami,
maka kau tentu dianggap gugur dalam pendadaran ini.
Sementara itu kamipun akan kembali ketempat kalian dilepas,
sehingga kita akan berlawanan arah."
Mahisa Pukatpun sambil tertawa berkata "Baiklah. Kita
akan berpisah." Kedua orang itu berdiri untuk memperhatikan Mahisa
Pukat berjalan memasuki kegelapan. Namun seorang diantara
kedua orang prajurit itu berkata "Anak y ang berani dan ramah.
Aku kira ia akan dapat melewati pendadaran ini."
"Tetapi ia baru m ulai. Masih banyak rintangan yang lain
yang barangkali lebih rumit. Apalagi rintangan alam yang
berat," jawab orang lain.
Orang yang pertama itu mengangguk-angguk sambil
bergumam "Tetapi y ang seorang ini nampak sangat yakin akan
dirinya." "Ya" jawab kawannya "anak ini memang mempunyai
kelebihan. Meskipun sebagian besar memang tidak menjadi
ketakutan, tetapi tanggapan anak ini terasa akrab."
Sementara itu Mahisa Pukatpun telah meneruskan
perjalanannya. Jalan yang sempit y ang kemudian menurut
isy arat yang ada, menuju kesebuah sendang y ang terpencil.
Sendang yang nampaknya jarang dipergunakan airnya.
Beberapa pohon besar tumbuh disekitarnya sehingga suasanya
memang menjadi sangat meny eramkan.
Tetapi bagi Mahisa Pukat, hal itu tidak dapat menggetarkan
bulu-bulunya. Mahisa Pukat berjalan saja mengikuti isyarat
dan bahkan jejak y ang dapat dilihatnya dalam kegelapan,
meskipun kadang-kadang ia harus meraba dengan jari-jarinya.
Beberapa saat maka Mahisa Pukatpun telah tenggelam
dalam gelapnya bayang-bayang beberapa batang pohon
raksasa. Ada diantaranya pohon preh, pohon nyamplung dan
pohon cangkring y ang berduri.
Untuk beberapa saat Mahisa Pukat berhenti dibawah
pepohonan itu sambil mengamat-amati batang-batang raksasa
yang tumbuh bagaikan menjulang kelangit. Kemudian
bay angan hitam dirim bunnya dedaunan. Sekali-sekali
terdengar suara burung malam y ang m emecah sepi. Burung
bence yang suaranya bagaikan menyayat jantung. Memikik
tinggi kemudian hilang dibawa terbang.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Mula-mula ia
mengira bahwa suara itu juga suara seseorang untuk menakutnakuti,
setidak -tidaknya menggetarkan jantung mereka yang
ikut pendadaran. Tetapi ternyata tidak. Suara itu benar-benar
suara burung bence. Mahisa Pukat y akin akan hal itu ketika
burung bence itu terbang meninggalkan pohon ny amplung
raksasa yang tumbuh diantara pohon-pohon raksasa y ang lain.
Mahisa Pukat hanya dapat termangu -mangu sejenak. Baru
kemudian ia berniat meneruskan perjalanannya. Jalan sempit
yang lewat diantara dua batang pohon raksasa. Disebelah kiri
pohon beringin dengan sulur-sulur y ang bergayutan yang
membuat suasana menjadi bertambah seram. Sedangkan
disebelahnya adalah sebatang pohon cangkring berdiri hampir
berimpit dengan sebatang pohon yang sangat besar dengan
jenis daun y ang berbeda. Daun cangkring dan daun benda.
Namun karena kebiasaan seorang pengembara, maka
Mahisa Pukat melangkah tanpa ragu melalui celah-celah
pohon-pohon raksasa itu. Namun Mahisa Pukat memang menjadi terkejut.
Telinganya menangkap desir lembut. Karena itu, maka iapun
segera mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan yang
tidak dikehendaki. Sambil berjalan maka ia benar-benar
memperhatikan suasana. Beberapa langkah Mahisa Pukat berjalan dan lewat
diantara batang-batang raksasa itu, maka tiba-tiba sebuah
bay angan putih terayun menyambarnya. Demikian cepatnya,
sehingga hampir saja bayangan putih itu sempat menyambar
kepalanya. Tetapi dengan tangkas Mahisa Pukat menghindar, sehingga
bay angan putih itu lewat saja sejengkal dari tubuhnya.
Terayun deras seolah-olah terbang kedahan pepohonan.
Tetapi bay angan putih itu tiba-tiba berhenti. Bahkan terayun
kembali seolah-oleh sekali lagi ingin menyambar Mahisa
Pukat y ang berdiri termangu-mangu.
Tetapi pikiran Mahisa Pukat cukup terang. Bayangan itu
tentu hanya sebuah benda y ang terayun karena terikat pada
salah satu dahan pohon-pohon raksasa itu. Tidak ada bedanya
dengan suara gonggongan anjing itu. Tentu para prajurit telah
menakut-nakuti m ereka yang ikut dalam pendadaran untuk
memperlemah keberanian mereka meneruskan perjalanan.
Sekali lagi timbul niat Mahisa Pukat untuk bermain-main.
Ketika benda itu menyambarnya, maka Mahisa Pukat sekali
lagi menghindar. Tetapi ia tidak berlari menjauh. Ia ju stru
menunggu benda itu terayun sekali lagi.
Sebenarnyalah, benda yang berwarna putih yang seakanakan
menggelantung terbang itu terayun lagi menyambarnya.
Dengan cepat Mahisa Pukat meloncat m enangkap benda itu
dan menariknya keras-keras.
Seperti y ang diperhitungkannya, maka tali pengikat benda
04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang dihentakkannya itu telah terlepas. Bahkan kain
pembungkus benda y ang diay unkan itu telah koyak.
Sambil memeluk benda y ang terbungkus kain putih itu
Mahisa Pukat melangkah meneruskan perjalanan.
Tetapi dua orang prajurit ternyata telah mengejarnya
sambil berteriak "He, anak muda. Jangan kau bawa benda itu."
Mahisa Pukat berhenti.Tetapi iapun berkata "Aku adalah
orang terakhir, sehingga benda ini tidak akan dipergunakan
lagi." "Tetapi aku harus membawanya kembali." sahut salah
seorang dari kedua prajurit itu.
Mahisa Pukat meny erahkan benda itu sambil t ertawa.
Katanya "Marilah. Benda itu hanya akan menjadi beban saja
bagiku". Kedua orang prajurit itupun tertawa. Tetapi seorang
diantara m ereka berkata "Kau telah m engoy akkan kain putih
ini." "Apakah masih akan terpakai?" bertanya Mahisa Pukat.
"Setidak-tidaknya dapat aku pergunakan untuk celana
anakku," jawab salah seorang dari kedua prajurit itu.
Mahisa Pukat tertawa semakin keras. Kedua prajurit itupun
tertawa berkepanjangan pula.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, Mahisa Pukatpun
telah meninggalkan kedua orang prajurit itu. Sambil
melambaikan tangannya prajurit itu berkata "Selamat anak
muda. Semoga kau berhasil."
"Terima kasih. Doakan saja, agar aku mampu mengatasi
pendadaran ini." Ternyata Mahisa Pukat justru telah menarik perhatian para
prajurit yang bertugas. Tetapi rintangan y ang masih harus
dilaluinya masih cukup banyak. Justru rintangan alam. Lereng
bukit, tanah-tanah m iring yang terjal, sungai dan hutan yang
masih dihuni binatang buas.
Tetapi dengan tegar Mahisa Pukat berjalan terus. Dilaluinya
rintangan demi rintangan y ang memang disediakan oleh alam.
Dengan hati-hati Mahisa Pukat memanjat lereng bukit kecil
yang terjal, berbatu-batu padas yang runcing. Ketika ia sampai
kepuncak bukit kecil itu, dilihat sebuah pelita minyak kecil
yang nyalanya menggeliat ditiup angin malam.
Mahisa Pukat mengetahui, bahwa pelita itu dipasang pada
sebuah gardu. Salah satu dari gardu -gardu y ang harus
disinggahi selama ia menempuh perjalanan pendadaran.
Ada empat orang prajurit y ang bertugas di gardu itu.
Demikian Mahisa Pukat mendekat, mska salah seorang dari
para prajurit itupun berkata "Kau orang terakhir anak muda."
"Ya" jawab Mahisa Pukat "aku dilepas y ang terakhir."
"Bagus. Berjalanlah terus. Sampai pada gardu ini,
semuanya masih genap duapuluh lima orang. Tetapi dua orang
sudah mulai nampak meragukan akan keberhasilannya.
Meskipun demikian, keduanya meneruskan perjalanan."
Mahisa Pukatpun kemudian telah minta diri. Dalam
kegelapan malam y ang semakin dalam ia meneruskan
perjalanan. Sekali-sekali ia memandang langit y ang bersih.
Bintang Gubug Penceng dan Bintang Waluku sudah bergerak
semakin ke Barat. Bahkan di langit sudah nampak Bintang
Bima Sakti. Mahisa Pukat berhenti ketika ia sampai ke ngarai setelah
menuruni bukit k ecil itu. Kakinya memang terasa agak l etih.
Batu-batu padas terasa menggelitik tapak kakinya.
Untuk beberapa saat Mahisa Pukat beristirahat. Ia sadar
bahwa perjalanannya masih jauh.
Angin malam semilir membuat tubuh Mahisa Pukat
menjadi segar kembali. Perlahan-lahan ia meneruskan
perjalanannya menempuh jalur pendadaran y ang masih jauh.
Anak muda itu tertegun ketika di depannya membentang
sebuah sungai y ang meskipun tidak terlalu lebar, tetapi airnya
cukup deras. Batu-batu y ang besar berserakan dimana-mana.
Mahisa Pukatpun dengan hati-hati menuruni tebing sungai
dan mencoba menjajagi airnya.
Terasa airnya memang sangat dingin. Namun ia tidak
mempunyai pilihan kecuali meny eberang jika ia ingin diterima
menjadi Pengawal Dalam di Istana Singasari.
Ternyata tidak terlalu sulit bagi Mahisa Pukat. Namun
demikian, pakaiannya menjadi basah. Sehingga ia harus
berjalan dengan pakaian basah di udara yang dingin di malam
yang kelam. Jalan yang terbentang dihadapannya kemudian adalah
padang perdu y ang agak luas. Mahisa Pukat y ang sudah
terbiasa mengembara itu mengenali, bahwa setelah padang
perdu yang semakin banyak dipadati pohon-pohon perdu,
biasanya jalan itu akan sampai ke pinggir hutan.
Ketika Mahisa Pukat kemudian memandang kekejauhan
dan melihat bay angan pepohonan y ang rapat membujur
panjang, maka Mahisa Pukatpun mengetahui bahwa yang
dihadapannya itu bukan jajaran padukuhan, tetapi tentu
sebuah hutan meskipun tidak t erlalu besar.
"Memang lebih senang lewat di hutan itu siang hari"
berkata Mahisa Pukat di dalam hatinya.
Tetapi ia tidak dapat memilih. Yang lainpun juga tidak
dapat memilih, karena bagi mereka diberlakukan undian
untuk menentukan saat keberangkatan mereka. Hanya Mahisa
Pukat sajalah diantara para peserta y ang tidak ikut dalam
undian. Namun ditentukan sebagai orang yang berangkat
terakhir. Tetapi sebelum para peserta pendadaran itu sampai ke
hutan, maka mereka akan melalui sebuah gardu lagi. Dari
kejauhan Mahisa Pukat sudah melihat lam pu minyak yang
menyala berkeredipan. Agaknya para prajuritpun
memperhitungkan, bahwa kehadiran gardu itu akan dapat
memberikan sedikit ketenangan bagi para peserta y ang kurang
memiliki keberanian memasuki lingkungan hutan meskipun
hutan yang terhitung kecil.
Ketika Mahisa Pukat singgah di gardu itu, maka iapun
disambut dengan baik oleh para prajurit yang bertugas. Tidak
hanya empat tetapi enam orang. Mahisa Pukat diberitahu
bahwa para peserta semuanya masih utuh, duapuluh lima
orang. Dari para prajurit yang bertugas di gardu itu Mahisa Pukat
mendapat pinjaman sebilah pisau b elati panjang yang tajam.
Dengan nada berat prajurit itu berkata "Kau akan memasuki
jalan ditepi sebuah hutan. Karena itu, maka kau akan
mendapat pinjaman sebilah pisau belati panjang. Tetapi pisau
itu harus kau kembalikan kepada para prajurit y ang ada di
gardu berikutnya, setelah kau melalui hutan itu."
"Terima kasih" jawab Mahisa Pukat sambil menerima pisau
belati itu. Dengan pisau belati di tangan, maka Mahisa Pukat menjadi
semakin tegar. Sebenarnya ia memang tidak memerlukan
pisau itu. Tetapi rasa -rasanya memang lebih tenang membawa
sebilah pisau belati untuk memasuki lingkungan hutan.
Setidak-tidaknya pisau itu akan dapat dipergunakan untuk
membersihkan ranting-ranting y ang menghalangi jalan.
Beberapa saat kemudian, maka perjalanan Mahisa Pukat
telah menjadi semakin dekat
dengan hutan yang.membentang
dihadapannya. Hutan yang meskipun tidak begitu besar,
tetapi nampaknya cukup lebat,
membujur sampai kelereng perbukitan. Mahisa Pukat y ang sudah mengembara melewati lingkungan y ang luas, tetapi
ternyata ia belum pernah melewati jalan-jalan yang
dipergunakan untuk pendadaran
itu m eskipun hanya sekitar Kota
raja saja. Agaknya lingkungan itu m emang lingkungan y ang khusus
untuk kepentingan latihan-latihan para prajurit serta untuk
pendadaran sebagaimana yang sedang terjadi itu.
Dengan sebilah pisau belati panjang Mahisa Pukat berjalan
melalui padang perdu yang semakin rapat. Seperti yang
diperhitungkan maka sejenak kemudian, maka Mahisa Pukat
itu telah m endekati sebuah hutan. Jalan yang dilaluinya itu
akan melewati pinggir hutan y ang gelap itu.
Tetapi Mahisa Pukat sama sekali t idak merasa gentar
menghadapi jalan yang dilaluinya itu. Apalagi ia membawa
sebilah pisau dilambungnya.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, Mahisa Pukat telah
memasuki hutan yang ternyata menurut pengamatan Mahisa
Pukat berdasarkan pengalamannya hutan itu adalah hutan
tutupan. Hutan y ang khusus dipergunakan sebagai arena
perburuan orang -orang tertentu. Bahkan mungkin keluarga
Sri Maharaja di Singasari.
Namun dengan demikian Mahisa Pukatpun menyadari
bahwa hutan itu tentu masih dihuni oleh binatang-binatang
buas yang menjadi sa saran buruan para pemburu.
Karena itu, maka bagaimanapun juga Mahisa Pukat harus
berhati-hati. Demikian ia m emasuki jalan ditepi hutan, maka
ia mulai memperhatikan arah angin.
Ternyata hembusan angin agak kurang menguntungkan
baginya. Angin berhembus kearah hutan y ang pekat itu. Tetapi
Mahisa Pukat berjalan terus. Binatang buas tidak selalu akan
menyerang meskipun binatang itu mencium bau seseorang.
Bahkan binatang-binatang yang tidak terpaksa karena lapar
tidak akan meny erang seseorang.
Demikianlah, maka Mahisa Pukatpun menyusuri jalan
dipinggir hutan itu. Dengan saksama ia memusatkan
perhatiannya pada keadaan sekelilingnya. Bukan saja ia
berusaha untuk melihat setiap gerak didalam kegelapan.
Tetapi telinganyapuri dipergunakannya sebaik-baiknya.
Tiba-tiba saja Mahisa Pukat terkejut. Ia m endengar suara
yang aneh. Derak kayu yang saling bergeser.
Tetapi suara itu disusul aum harimau y ang mengoyak
sepinya malam. Mahisa Pukat dengan cepat mempersiapkan diri. Ia justru
meloncat keluar dari jalur jalan dan berdiri di daerah padang
perdu y ang agak longgar. Oleh bintang-bintang di langit maka
padang perdu itu gelapnya tidak sepekat gelapnya pinggir
hutan yang dilindungi oleh rim bunnya pepohonan.
Sejenak Mahisa Pukat menunggu. Aum harimau itu masih.
terdengar. Tetapi ia masih berharap bahwa harimau itu tidak
mencarinya meskipun mungkin harimau itu sudah m encium
baunya. Tetapi y ang terjadi tidak seperti yang diharapkan oleh
Mahisa Pukat. Agaknya harimau itu benar-benar kelaparan.
Ketika harimau itu muncul dari balik pepohonan hutan, maka
harimau itu nampak garang sekali. Dalam kegalapan
ketajaman mata Mahisa Pukat masih dapat melihat lamatlamat
harimau itu merangkak perlahan-lahan sambil
menengadahkan kepalanya. Agaknya harimau itu sedang
meyakinkan diriny a tentang bau y ang tercium oleh hidungnya
dalam keadaan yang sangat lapar.
Mahisa Pukat m enarik nafas dalam-dalam. Dalam keadaan
yang tegang itu ia masih sempat membuat perhitungan.
Harimau itu tentu harimau y ang dengan sengaja dilepaskan
dari kandang atau perangkapnya. Agaknya harimau itu
dibiarkan kelaparan sehingga dengan demikian harimau itu
menjadi semakin buas. Ternyata harimau itu berhasil mengetahui arah Mahisa
Pukat berdiri. Perlahan-lahan harimau itu melangkah
mendekati Mahisa Pukat. Terdengar harimau itu menggeram.
Mahisa Pukat meraba pisau belatinya. Tetapi iapun
kemudian memutuskan untuk tidak berlama-lama melayani
harimau itu. Ia harus meny elesaikan perjalanannya sekitar
sehari-semalam. Jika ia terlalu lama berhenti dipinggir hutan
itu, maka perjalanannya akan tertunda, sehingga ada alasan
bagi orang-orang yang tidak senang akan kehadirannya dalam
pendadaran itu untuk menganggap bahwa ia mengalami
kelambatan terlalu lama dari waktu yang telah ditentukan,
sehingga ia dapat dianggap gagal dalam pendadaran tataran
pertama. Tetapi Mahisa Pukatpun yakin bahwa tentu ada orang y ang
mengawasi apa y ang akan terjadi. Apakah orang itu berada
dibalik pepohonan atau y ang paling mungkin adalah ju stru
memanjat pepohonan untuk menghindari serangan harimau
yang kelaparan itu. Yang tidak dapat ditebak oleh Mahisa Pukat, apakah
kehadiran seekor harimau itu berlaku juga pada duapuluh
ampat orang lainnya yang mengikuti pendadaran itu, atau
hanya disediakan baginya oleh orang-orang y ang tidak senang
akan keikut sertaannya dalam pendadaran itu.
Karena itu, maka Mahisa Pukatpun berusaha untuk
menghindari penglihatan orang-orang itu jika mungkin ada.
Demikianlah, maka Mahisa Pukatpun kemudian telah
berlari cepat -cepat menjauhi hutan itu melintasi padang
perdu. Namun dalam pada itu, harimau yang lapar itupun
tidak mau melepaskan mangsanya. Karena itu sambil
mengaum harimau itupun meloncat mengejar Mahisa Pukat.
Mahisa Pukat y ang mengerahkan tenaga dalamnya itu
memang dapat berlari cepat sekali. Tetapi harimau itupun
mampu berlari cepat pula.
Dengan cepat Mahisa Pukat menempuh sisa perjalanannya
yang masih separo lebih. Sementara itu, ia mulai memanjat
lereng pegunungan lagi. Tetapi pebukitan yang didakiny a itu
tidak lagi berbatu-batu padas yang menyakiti kakinya. Tetapi
justru tanah terasa sangat licin.
Tetapi bagi Mahisa Pukat perjalanan itu masih belum
membuatnya mengalami kesulitan.
Ketika fajar meny ingsing, maka Mahisa Pukat telah turun
dari pebukitan dan berjalan di ngarai y ang datar. Sebuah
padang rumput y ang luas terbentang dihadapannya.
Ketika matahari terbit, maka terasa udara y ang segar
berhembus lembut. Tetapi di padang rumput itu tidak banyak
terdapat pepohonan. Hanya beberapa batang pohon saja
tumbuh pada jarak y ang cukup jauh.
Semakin lama maka panas mataharipun semakin terasa
menyengat kulit. Sementara itu leher Mahisa Pukat mulai
04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
merasa haus. Sedangkan ia sama sekali tidak membawa bekal
apapun. Di kejauhan Mahisa Pukat melihat bay angan pepohonan
yang hijau. Ia tidak tahu apakah yang nampak itu padukuhan
atau hutan. Tetapi m enurut perhitungan Mahisa Pukat, jalan
itu tentu tidak akan melalui padukuhan-padukuhan y ang akan
dapat memberikan dukungan kepada para peserta
pendadaran. Jika haus, maka di padukuhan itu tentu tersedia
air. Sementara jika lapar, maka akan dapat dicari makan
bagaimanapun caranya. Tetapi ternyata jalan y ang harus ditempuh tidak menuju ke
bay angan pepohonan itu. Ia harus berbelok melalui jalan
setapak justru menghindari pepohonan yang hijau segar.
Mahisa Pukatpun kemudian berbelok mengikuti lor ong
sempit itu. Menurut penglihatannya, maka para peserta yang
terdahulu tentu juga berjalan melalui jalan itu.
Sementara itu maka sengatan mataharipun semakin terasa.
Leher Mahisa Pukat semakin terasa kering. Tetapi ia m asih
belum menjumpai parit, sungai atau anak sungai. Ia juga tidak
menjumpai sumber mata air disepanjang lorong sempit di
tengah-tengah padang rumput y ang luas itu. Apalagi
rerumputan itupun kemudian menjadi semakin kuning. Tanah
mulai bercampur dengan pasir dan kerikil. Sehingga panaspun
terasa semakin membakar tubuhnya.
Keringatpun membasahi kulit Mahisa Pukat dari ujung
kepala sampai keujung kakinya. Tetapi Mahisa Pukat masih
tetap berjalan dengan langkah y ang mantap.
"Memang lebih senang yang mendapat giliran pertama"
berkata Mahisa Pukat didalam hatinya "ketika menempuh
perjalanan di pebukitan dan hutan, hari masih terang.
Sementara ketika menempuh padang ini matahari sudah
tenggelam." Tetapi Mahisa Pukat tidak dapat merasa iri. Beberapa orang
diurutan terakhir juga mengalami sebagaimana yang
dialaminya. Orang y ang keduapuluh ampat hanya berselisih
beberapa saat saja daripadanya.
Ketika Mahisa Pukat melihat segerumpul pepohonan
raksasa di tengah-tengah padang itu, maka naluri
pengembaranya m engatakan kepadanya, bahwa di tempat itu
ada air. Meskipun barangkali tidak terlalu banyak.
Karena itu, meskipun arah perjalanannya tidak m endekati
sekelompok pepohonan itu, maka Mahisa Pukat sengaja telah
menyimpang meskipun agak jauh.
Sebenarnyalah, di tempat itu Mahisa Pukat memang
menemukan sebuah sumber air yang cukup besar. Bahkan
airnya melimpah mengalir kesebuah parit. Tetapi parit itu
tidak menyilang jalan y ang harus dilalui jalan yang harus
ditempuh oleh mereka yang mengikuti pendadaran.
Ternyata Mahisa Pukat sempat menghilangkan hausnya,
sementara ia masih harus berjalan cukup panjang.
Tetapi setelah minum, maka tubuh Mahisa Pukat terasa
semakin segar. Ia dapat berjalan lebih cepat lagi. Bahkan
seakan-akan Mahisa Pukat itu telah berlari-lari kecil untuk
mengganti waktu y ang dipergunakan meny impang beberapa
saat ketika ia m encari sumber air y ang tidak terletak dekat
dengan jalan y ang harus ditempuh.
Tetapi ia tidak harus t etap b erjalan selalu diteriknya sinar
matahari. Beberapa saat kemudian, maka Mahisa Pukatpun
telah m emasuki sebuah hutan kecil. Hutan y ang nampaknya
tidak begitu buas. Pepohonan yang tumbuh didalamnya tidak
terlalu lebat. Tetapi m emang tidak mustahil bahwa di tempat
itu juga terdapat binatang buas.
Karena itu, maka Mahisa Pukat harus berhati-hati.
Mungkin saja tiba -tiba seekor harimau terlepas dari
perangkapnya dan berusaha menerkamnya lagi.
Tetapi agaknya dihutan kecil itu memang tidak terdapat
seekor harimaupun. Yang terdapat dihutan itu ternyata adalah
beberapa ekor ular. Seekor ular gadung yang tidak t erlalu
besar telah m enyambarnya dari sebatang pohon. Untunglah
Mahisa Pukat sempat meloncat menghindar. Meskipun ia
mempunyai penangkal racun, namun ia masih belum m erasa
perlu untuk menunjukkan kepada para prajurit yang menilai
pendadaran itu. Jika terdapat gigitan seekor ular, tetapi ia
tidak mengalami sesuatu, maka hal itu akan dapat m enarik
perhatian. "Mudah-mudahan tidak ada seorangpun y ang digigit ular
disini" desis Mahisa Pukat. Ia memang m enganggap tempat
itu sangat berbahaya bagi sebuah pendadaran.
Beberapa puluh langkah lagi, maka langkah Mahisa
Pukatpun terhenti. Ia melihat seekor ular sawah melintasi
jalan y ang akan dilaluinya. Tetapi karena ular sawah bukan
termasuk ular yang berbahaya, maka Mahisa Pukat tidak
bergeser dari tempatnya berdiri.
"Hutan ular" desis Mahisa Pukat. Bahkan ketika ia hampir
sampai diujung hutan kecil itu, ia masih bertemu dengan
seekor ular bandotan. Ular yang sangat berbisa, sehingga
karena itu, maka Mahisa Pukatpun harus bersiap-siap
menghadapinya, karena ular bandotan memang sering
menyerang lebih dahulu. Tetapi justru karena Mahisa Pukat berdiri mematung, maka
ular bandotan itupun segera bergeser menjauh dan masuk
kedalam lebatnya hutan. Agaknya udara yang panas telah
membuat ular-ular di hutan itu dan sekitarnya kepanasan dan
mencari tempat yang lebih sejuk.
Demikianlah beberapa saat kemudian, Mahisa Pukat telah
berada di ujung hutan, sementara matahari telah lewat puncak
langit. Jantungnya berdesir ketika demikian ia lewat hutan itu,
maka ia telah melihat sebuah lagi gardu yang dijaga oleh
beberapa orang prajurit. Ketika Mahisa Pukat mendekati
gardu itu untuk menyatakan kehadirannya, maka para prajurit
di gardu itu menyambutnya dengan sikap y ang wajar. Memang
agak berbeda dengan para prajurit y ang ada di gardu setelah ia
melewati hutan perburuan.
"Bukankah kau tidak apa-apa?" bertanya salah seorang
prajurit "maksudku, bukankah kau tidak dipatuk ular."
"Hampir saja" jawab Mahisa Pukat "ular gadung y ang
menyambar aku dari pepohonan dan ular bandotan"
"Sokurlah" desis prajurit itu. "Ada tiga orang y ang tidak
sempat menghindar sehingga dipatuk ular. Ketiganya masih
ada disini. Tetapi ketiganya sudah diobati."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk kecil. Katanya
"Untunglah bahwa mereka sempat tertolong."
"Setiap kali kami melihat keadaan. Atau mereka y ang
digigit ular biasanya berlari keluar dari hutan itu."
Muhisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya "agaknya
gardu ini memang ditempatkan disini bukan saja untuk
mengamati para peserta pendadaran, tetapi juga untuk
menolong mereka yang mengalami kecelakaan."
"Ya" jawab salah seorang prajurit.
"Lalu bagaimana dengan mereka?" bertanya Mahisa Pukat
sambil memperhatikan ketiga orang anak muda yang
berbaring disebuah amben y ang besar di gardu itu.
"Keadaan mereka sudah berangsur baik" jawab prajurit itu.
"Maksudku, apakah dengan demikian mereka dianggap
gagal dalam pendadaran y ang mereka ikuti?"
Prajurit itu termangu-mangu sejenak. Dengan dahi y ang
berkerut iapun berkata "Agaknya memang demikian anak
muda. Karena itu kau dapat bersukur bahwa kau tangkas
sehingga kau dapat lolos dari patukan ular dihutan itu seperti
kawan-kawanmu y ang lain."
"Bukan karena ketangkasanku" jawab Mahisa Pukat "tetapi
aku justru diam mematung ketika ular itu lewat."
"Jika demikian otakmulah y ang tangkas" jawab prajurit itu.
"Terima kasih" jawab Mahisa Pukat y ang sejenak kemudian
minta diri untuk melanjutkan tugas pendadarannya.
Jalan yang dihadapinya kemudian nampaknya tidak lagi
terlalu sulit. Meskipun jalan menjadi turun naik karena
padang perdu yang memang tidak rata. Tetapi jalan yang
menanjak dan menurun tidak terasa terlalu terjal. Namun
demikian, langit terasa bagaikan membara. Matahari yang
sudah melewati puncaknya justru terasa semakin panas.
Sinarnya menerpa tubuh Mahisa Pukat serta memeras
keringatnya dari seluruh wajah kulitnya.
Perasaan haus telah kembali mengganggunya. Meskipun
demikian namun Mahisa Pukat memperhitungkan bahwa ia
tidak akan kehabisan tenaga sampai saatnya ia sampai
ketempat y ang sudah ditentukan sebagai tujuan akhir dari
pendadaran, seandainya ia tidak mendapat air.
Dalam pada itu, ketika Mahisa Pukat melintasi daerah y ang
agak tinggi, maka ia melihat dua punggung gumuk yang
memanjang. Pengalamannya mengatakan, bahwa diantara
kedua punggung gumuk y ang memanjang itu terdapat sungai
atau anak sungai meskipun mungkin sudah mengering.
Karena itu, maka seperti yang telah dilakukan Mahisa
Pukat ingin keluar dari jalur perjalanannya menuju ketempat
yang diperkirakan mengandung air itu. Bahkan sebuah anak
sungai. Tetapi sebelum ia benar-benar memasuki padang perdu
yang panas itu, tiba-tiba saja ia mendengar suara seseorang
yang mengerang. Dengan cepat Mahisa Pukat meloncat
melintasi tikungan ditebing y ang agak tinggi.
Demikian ia melampaui tikungan itu, maka iapun telah
melihat seseorang y ang duduk bersandar tebing. Wajahnya
pucat sementara keringatnya bagaikan terperas dari seluruh
tubuhnya. Bibirnya nampak kering dan tubuhnya menjadi
sangat lemah. "Kau kenapa?" bertanya Mahisa Pukat.
"Aku tidak tahan lagi. Leherku bagaikan terbakar." desisnya
hampir tidak terdengar. "Apakah kau salah seorang peserta pendadaran untuk
memasuki lingkungan Pelay an Dalam?" bertanya Mahisa
Pukat. "Kau berada di urutan keberapa?" bertanya Mahisa Pukat
pula. "Dua puluh dua" jawab orang itu dengan nafas terengahengah.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak
bertanya anak-anak muda y ang digigit ular itu berada pada
urutan keberapa. Namun tanpa ditanya anak muda y ang kehausan itu,
berkata "Sudah ada dua orang y ang lewat mendahului aku.
Tetapi mereka tidak berhenti sama sekali. Aku tidak
menyalahkan mereka, karena mereka juga kehausan dan
lebih." Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Tetapi ia tidak
berniat meninggalkan anak muda itu dalam keadaannya.
Karena itu, maka katanya "Tunggulah. Aku akan mencari air."
"Kemana kau mencari air?" bertanya orang itu dengan
suara yang lemah. "Jika didekat tempat ini ada air, aku akan mengambil
untukmu." jawab Mahisa Pukat.
"Tetapi itu akan memakan waktu yang panjang. Kau akan
melampaui waktu yang ditetapkan sehingga kau akan
dianggap gagal pula." berkata anak muda itu.
" Itu bukan soal. Tetapi keadaanmu yang sangat lemah ini
memerlukan pertolongan. Seandainya aku gagal karena ini,
aku tidak meny esal. Aku m asih akan m endapat kesempatan
untuk mengikuti pendadaran pada kesempatan berikutnya
atau untuk menjadi prajurit," jawab Mahisa Pukat.
Anak muda itu tidak m enjawab. Sementara Mahisa Pukat
berkata selanjutnya "Tunggulah disini. Bertahanlah."
Sejenak kemudian maka Mahisa Pukatpun segera meloncat
berlari menuju ke gumuk yang memanjang membujur hampir
sejajar dengan jalan ayang harus dilalui.
Ternyata Mahisa Pukat masih mampu berjalan cepat.
Beberapa langkah dari gumuk y ang ternyata merupakan tebing
yang agak tinggi itu, Mahisa Pukat sudah mendengar
gemericik air. "Air"desisny a.
Sebenarnyalah, ketika ia berdiri dialas tebing, ia melihat air
yang mengalir. Meskipun tidak begit u deras, tetapi cukup
melimpah dibanding dengan
kebutuhan Mahisa Pukat. Dengan hati-hati Mahisa Pukatpun kemudian turun kesungai kecil itu. Dengan jarijarinya
ia menyibak air y ang jernih dan kemudian dengan
kedua telapak tangan y ang
ditakupkan maka iapun meneguk air itu pula. Tubuh Mahisa Pukat terasa
segar kembali sebagaimana
ketika ia minum sebelumnya.
Sebenarnyalah bahwa Mahisa
Pukat masih belum benar-benar
kehausan karena ia telah menemukan sumber air sebelum ia sampai ke hutan kecil itu.
Tetapi yang juga penting baginya adalah bahwa ia ingin juga
membantu anak muda yang kehausan itu.
Karena itu, maka Mahisa Pukatpun telah mencari daun
tales yang lebar y ang kebetulan tumbuh dipinggir sungai itu.
Dengan daun tales itu Mahisa Pukat dengan hati-hati
membawa air naik keatas tebing dan berjalan cepat-cepat
kembali ke tempat anak muda itu menunggunya.
Ketika Mahisa Pukat sampai ketempat anak muda itu, maka
didapatinya anak muda itu terbaring diam. Matanya terpejam
sedangkan bibirnya y ang kering menganga.
Dengan cepat Mahisa Pukat mendekatinya dan meraba
dada orang itu. Ternyata bahwa nafasny a masih mengalir
melalui lubang hidungnya.
Dengan hati-hati Mahisa Pukat telah menitikkan air kebibir
yang kering itu. Setitik dua titik, ternyata telah membuat anak
muda itu sadar kembali. "Minumlah" desis Mahisa Pukat.
Anak m uda itu tersenyum. Titik-titik air itu benar-benar
membuat tubuh anak muda itu menjadi bergetar kembali.
Darahnya y ang seakan-akan hampir berhenti mengalir itu,
telah membuat jantungnya berdetak wajar.
Perlahan-lahan anak muda itu telah bangkit dan duduk.
Beberapa teguk ia minum air didaun tales y ang lebar itu.
04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sejenak kemudian maka anak muda itu sudah dapat
tersenyum. Katanya "Terima kasih Ki Sanak. Aku merasa
hidup kembali setelah nyawaku berada di ujung rambutku."
"Sudahlah" berkata Mahisa Pukat "sebentar lagi tenagamu
akan tumbuh kembali meskipun tidak dapat dengan serta
merta pulih kembali. Tetapi kau akan dapat meneruskan
perjalanan. Setidak-tidaknya sampai ke gardu mendatang."
Anak muda itu mengangguk. Katanya "Ya. Aku akan
meneruskan perjalanan sampai ke gardu. Berangkatlah lebih
dahulu, agar kau tidak t erlambat. Lihat matahari telah turun
semakin rendah. Agaknya kau adalah orang terakhir dalam
pendadaran ini." "Ya" jawab Mahisa Pukat "aku memang orang terakhir."
"Orang y ang ke duapuluh tiga dan duapuluh empat sudah
lewat beberapa saat yang lalu" desis anak muda itu.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Marilah. Kita berjalan bersama-sama."
"Jangan" berkata anak muda itu "nanti kau terlambat"
Tetapi Mahisa pukat tidak mau meninggalkan anak muda
itu. Dibantunya anak muda itu bangkit dan kemudian berjalan
perlahan-lahan. Namun agaknya air yang telah diminum itu
membuat anak muda itu mampu berjalan agak cepat.
"Aku tidak berharap untuk dapat diterima" berkata anak
muda itu. "Tetapi kaupun tidak seharusnya terbaring di padang perdu
itu" jawab Mahisa Pukat.
Anak muda itu mengangguk kecil.
Setelah beberapa saat mereka berjalan, maka keduanya
terkejut. Mereka melihat muncul dihadapan mereka dua orang
berkuda menuju kearah mereka.
Meskipun mungkin mereka juga tergesa -gesa karena
mereka tidak mau terlambat, tetapi setidak-tidaknya mereka
dapat melaporkan kepada gardu berikutnya yang mereka
lewati. Untunglah bahwa para prajurit itu merasa bertanggung
jawab atas keselamatan para peserta sehingga dua orang yang
masih belum lewat telah dicarinya.
"Tentang ketiga orang yang berada di gardu disebelah
hutan itu, agaknya para prajurit di gardu itu telah m endapat
laporan" berkata Mahisa Pukat didalam hatinya. Setidaktidaknya
dari para peserta. "Jika belum prajurit itu tentu menanyakannya" berkata
Mahisa Pukat kepada diri sendiri.
Demikianlah Mahisa Pukatpun telah menempuh bagian
terakhir dari pendadarannya. Ketika matahari menjadi
semakin rendah, m aka Mahisa Pukat berjalan semakin cepat,
sehingga sebelum matahari hilang dari langit menjelang senja,
maka Mahisa Pukat telah memasuki lingkaran sasaran akhir
dari pendadaran yang sedang dilakukannya.
Mahisa Pukat m emang menjadi berdebar-debar ketika ia
memasuki sebuah pudukuhan yang diisyaratkan sebagai
tujuan akhir. Padukuhan y ang dikelilingi lingkungan
persawahan dan pategalan yang subur.
Demikian Mahisa Pukat memasuki sebuah jalan y ang agak
lebar y ang turun kesebuah bulak yang luas, terasa betapa
dadanya m enjadi lapang. Dengan cepat ia melangkah m enuju
pintu gerbang padukuhan itu melewati pategalan y ang sedang
ditanami palawija. Agaknya air agak sulit mencapai daerah
pategalan y ang m emang agak lebih tinggi. Namun pategalan
itu bukannya pategalan yang gersang.
Ketika Mahisa Pukat mendekati pintu gerbang padukuhan
itu, ternyata beberapa orang prajurit telah menunggu. Bahkan
anak-anak muda banyak pula berdiri diseputar pintu gerbang
itu. Agaknya mereka m emang menunggu orang terakhir yang
mengikuti pendadaran itu.
Demikian Mahisa Pukat memasuki pintu gerbang, maka
anak-anak muda itupun bertepuk tangan riuh. Seorang
prajurit menyatakan bahwa anak muda yang datang itu adalah
peserta yang terakhir yang memasuki batas jarak pendadaran
dalam waktu yang tidak lebih dari batas y ang ditentukan.
Oleh seorang prajurit Mahisa Pukat langsung dibawa ke
banjar padukuhan. Demikian ia memasuki halaman banjar,
maka iapun m elihat beberapa orang perwira telah berada di
banjar. Termasuk Gajah Saraya.
Bahkan Mahisa Pukatpun melihat beberapa orang prajurit
yang dapat dikenalinya sebagai para petugas y ang berada di
sepanjang lintasan pendadarannya.
Seorang prajurit yang bertugas menerima para peserta
itupun kemudian telah mempersilahkan Mahisa Pukat untuk
langsung naik ke serambi samping.
Mahisa Pukat mengangguk hormat. Iapun segera
melangkah menuju keserambi samping.
Prajurit y ang m empersilahkan naik keserambi itu sempat
berkata kepadanya "Anak muda. Kau nampak masih begitu
segar, sementara kawan-kawanmu semuanya nampak
kelelahan." Mahisa Pukat termangu -mangu sejenak. Namun kemudian
iapun menjawab "Aku hanya berpura-pura. Sebenarnyalah aku
hampir menjadi pingsan."
Prajurit itu tersenyum. Katanya "kau kira aku tidak dapat
melihat keadaanmu dan keadaan kawan-kawanmu" Aku
mampu memperbandingkannya. Aku justru ingin
mengucapkan selamat kepadamu. Mudah-mudahan pada
pendadaran selanjutnya kau juga mampu menunjukkan
kelebihanmu seperti sekarang ini."
Mahisa Pukat m enarik nafas dalam-dalam. Dengan nada
dalam ia menjawab "Doakan saja Ki Sanak."
Prajurit itu menepuk bahu Mahisa Pukat. Katanya "Kau
tentu memiliki tenaga setegar seekor kuda."
Mahisa Pukatlah yang tersenyum. Katanya "Mungkin.
Tetapi seekor kuda kerdil."
Prajurit itu tertawa. Sambil menunjuk ia berkata "Disana
mereka y ang baru saja menyelesaikan pendadaran menunggu.
Ada beberapa orang y ang tidak dapat mencapai tempat ini.
Say ang sekali bahwa mereka tidak dapat ikut meramaikan
pendadaran berikutnya. Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya "Mudahmudahan
aku dapat menembus pendadaran berikutnya.
Tetapi apakah aku boleh mengerti, pendadaran ini
diselenggarakan dalam berapa lapis?"
"Tentu boleh" jawab prajurit itu "ada tiga lapis. Nampaknya
kau sudah meny elesaikan pendadaran pada lapis pertama."
"Mudah-mudahan" jawab Mahisa Pukat.
Prajurit itu termangu-mangu sejenak. Ia telah memandang
keadaan disekelilingnya. Baru kemudian ia berdesis "Aku tidak
ingin mendahului para perwira yang akan mengambil
keputusan. Tetapi nampaknya kau memenuhi segala
persy aratan. Bahkan melebihi dari yang lain, karena kau masih
nampak paling tegar diantara kawan-kawanmu y ang lain."
Mahisa Pukat tertawa kecil. Katanya "Kau masih saja
memuji. Terima kasih."
Demikianlah, maka Mahisa Pukatpun segera naik ke
serambi. Demikian ia memasuki serambi y ang dibatasi dinding
sebelah itu, maka dilihatnya beberapa orang y ang duduk
diatas tikar itu terbentang seluas serambi itu. Bahkan ada
diantara mereka y ang terbaring dan menjulurkan kaki
kelelahan. Mahisa Pukat tidak ingin m endapat perhatian lebih dari
mereka y ang telah berada diserambi. Mereka adalah anakanak
muda yang baru saja menyelesaikan pendadaran.
Terutama mereka y ang meny elesaikan pendadaran pada
giliran-giliran terakhir.
Karena itu, demikian ia melangkah masuk, maka iapun
segera menjatuhkan dirinya sambil menjelujurkan kakinya.
Dipijit-pijitny a kakinya sehingga Mahisa Pukatpun nampak
kelelahan seperti kawan-kawannya y ang lain. Seorang yang
bertubuh tinggi besar yang duduk t idak jauh dari Mahisa
Pukat bertanya "Kaukah y ang mendapat giliran terakhir ?"
"Ya"jawab Mahisa Pukat "hampir saja aku tidak m encapai
tempat ini." "Aku juga" berkata anak muda yang bertubuh raksa sa itu
"untunglah bahwa pada saat-saat terakhir aku masih mampu
mengerahkan sisa -sisa tenagaku meskipun nafasku hampir
terputus." "Aku hampir berputus asa" desis seorang anak muda y ang
bertubung sedang. Namun pada tubuhnya y ang sedang itu
nampak tersimpan kekuatan y ang besar. Meskipun demikian
ia juga nampak kelelahan sebagaimana anak muda yang
bertubuh raksasa itu. Sesaat kemudian, seorang anak muda yang berjambang
lebat, berkumis tebal dan berikat kepala hitam memasuki
serambi itu pula. Nampaknya ia justru sudah cukup lama
beristirahat sehingga tubuhnya sudah nampak semakin segar.
Dengan nada tinggi ia berkata "Baru pada pendadaran
pertama, kalian sudah hampir mati kehabisan nafas.
Bagaimana dengan pendadaran berikutnya " Kenapa kalian
tidak menarik diri saja daripada hanya membuang-buang
waktu ?" Anak muda y ang bertubuh raksasa itu mengerutkan
dahinya. Tiba-tiba saja ia bertanya "Kau peserta pada urutan
keberapa ?" "Kedua" jawab anak muda y ang berjambang lebat itu.
"Kau sudah sempat beristirahat" desis y ang bertubuh
raksasa tetapi masih kelelahan itu.
"Sejak aku sampai ketempat ini, aku sama sekali tidak
merasa letih. Aku tetap segar. Pendadaran ini tidak berarti
apa-apa bagiku." jawab anak muda yang berjambang lebat.
Mahisa Pukat rnulai cemas bahwa pembicaraan itu akan
berkepanjangan. Tetapi ternyata anak muda yang bertubuh
raksasa itu berdesis "Ternyata aku harus memikul beban berat
badanku lebih dari berat badanmu. Aku hampir mati
diperjalanan." Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Pembicaraan
itupun terhenti karenanya. Ju stru karena pengakuan anak
muda yang bertubuh raksasa itu.
Dalam pada itu, seorang prajurit telah datang untuk
memberitahukan kepada Mahisa Pukat, bahwa telah
disediakan minuman dan makanan didapur banjar itu.
Mahisa Pukat mengangguk sambil berdesis "Terima kasih."
"Apakah kau masih dapat berjalan ke dapur ?" bertanya
prajurit itu. "Tentu" jawab Mahisa Pukat "tenggorokanku kering dan
sudah tentu perutku sangat lapar."
Mahisa Pukatpun kemudian berdiri dan berjalan tertatihtatih
menuruni tangga serambi. Sementara itu anak muda
berjambang lebat itu tertawa sambil b erkata "Seharusnya kau
tidak usah ikut pendadaran ini. Ikut saja pendadaran untuk
menjadi juru madaran."
Mahisa Pukat memang berpaling. Tetapi ia tidak ingin
menjawab. Namun yang justru m enjawab adalah anak muda
bertubuh raksasa "Tetapi ia berhasil mencapai batas akhir
seperti kita. Aku juga kelelahan dan hampir semuanya
mengalaminya. Bahkan barangkali kaupun juga kelelahan
ketika kau baru saja datang."
"Tidak" jawab anak muda berjambang itu "aku datang
dalam keadaan yang masih segar sama sekali."
Anak muda berjambang itu tidak mengira bahwa prajurit
yang mempersilahkan Mahisa Pukat itulah yang akan
menyahut "Jangan berbohong. Aku melihat bagaimana kau
memasuki pintu gerbang banjar ini."
Anak muda itu berpaling. Wajahnya memang menjadi
merah. Namun ia masih juga menjawab "Tetapi
bagaimanapun juga, aku memasuki halaman ini dalam
keadaan yang lebih baik dari kalian semuanya."
Ternyata anak-anak muda y ang lain merasa lebih baik
berdiam diri. Mereka masih ingin beristirahat. Karena itu
maka mereka tidak merasa perlu untuk berbantah.
Mahisa Pukat yang berjalan ke dapur agaknya lupa bahwa
ia seharusnya masih kelelahan. Tetapi Mahisa Pukat berjalan
setegar prajurit yang mengajaknya ke dapur.
Anak-anak muda diserambi tidak sempat
memperhatikannya. Tetapi prajurit itu berkata "Keadaanmu
jauh lebih baik dari anak muda berjambang itu."
"Aku kelelahan, kehausan dan kelaparan," jawab Mahisa
Pukat "tetapi aku sempat beristirahat sejenak, sehingga
keadaanku menjadi lebih baik.
Prajurit itu tidak berkata apa-apa lagi. Sementara itu
Mahisa Pukatpun telah berada didapur untuk meneguk
minuman hangat dan makan. Tetapi petugas yang
menghidangkan kepadanya memperingatkan bahwa sebaiknya
Mahisa Pukat tidak tergesa-gesa meneguk minumannya dan
jangan makan terlalu banyak.
Malam itu, semua peserta harus tidur di banjar. Besok pagipagi
mereka akan mendengarkan beberapa keterangan tentang
pendadaran pada tataran pertama itu.
Namun m alam itu Mahisa Pukat sempat berbicara dengan
beberapa orang peserta pendadaran. Diantara mereka, tidak
seorangpun yang mengalami seekor harimau di hutan
perburuan. Hanya Mahisa Pukat sebagai orang terakhir
sa jalah yang mendapat serangan seekor harimau loreng yang
besar dan justru kelaparan.
Tetapi Mahisa Pukat tidak dapat menganggap bahwa y ang
terjadi itu satu usaha untuk menggagalkan pendadaran yang
dijalaninya. Mungkin secara kebetulan memang ada seekor
harimau lapar y ang keluar dari hutan disaat ia lewat.
Sementara hal itu m asih m enjadi teka -teki, Mahisa Pukat
tidak membesar-besarkan persoalan itu. Bahkan dengan sadar
ia berusaha untuk tidak menimbulkan kesan bahwa ia telah
diserang seekor harimau sehingga anak muda yang diajaknya
berbicara segera melupakan pertanyaan Mahisa Pukat tentang
seekor harimau di hutan perburuan.
Malam itu ternyata semua prajurit yang bertugas dalam
pendadaran sudah berkumpul. Mereka m emberikan laporan
kepada para petugas yang akan m enentukan, siapakah yang
dianggap mampu meny elesaikan pendadaran pada tataran
pertama dengan baik dan siapa yang tidak.
Dalam pada itu Gajah Saraya sebagai Manggala Pelay an
Dalam menunggui pembicaraan penentuan itu. Tetapi ia tidak
banyak ikut cam pur. Ia sudah m empercayakan keputusan itu
kepada para perwira y ang ditunjuknya untuk melakukan
pendadaran itu.
04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dari duapuluh peserta pendadaran ternyata delapan orang
dinyatakan gagal. Dengan demikian m aka tujuh belas orang
akan mengikuti pendadaran pada tataran berikutnya.
Ketika keputusan itu diumumkan pada pagi harinya, maka
para peserta itu sudah tidak terkejut lagi. Bahkan mereka yang
gagal pun telah merasa sejak sebelumnya, bahwa mereka tidak
akan mendapat kesempatan untuk mengikuti pendadaran
berikutnya. Mahisa Pukat ternyata mendapat kesempatan untuk
mengikuti pendadaran para tataran berikutnya. Meskipun ia
merasa bahwa ada sesuatu yang tidak wajar, khusus bagi
dirinya, namun ternyata ia telah mampu mengatasi bukan saja
pendadaran itu sendiri, tetapi juga satu sikap yang tidak wajar
terhadap diriny a. Terutama ketika tiba-tiba saja seekor
harimau telah meny erangnya ketika ia berada di hutan
perburuan. Juga kenapa para prajurit y ang bertugas di gardu
dibelakang hutan perburuan itu merasa heran, bahwa
pisaunya tidak bernoda darah.
Tetapi Mahisa Pukat tidak m engungkapkan kecurigaannya
itu kepada kawan-kawannya.
Baru kemudian, ketika Mahisa Pukat dan para peserta itu
diperkenankan pulang ke rumah masing -masing untuk
menunggu saatnya pendadaran pada tataran kedua, Mahisa.
Pukat menceriterakan kecurigaannya itu kepada ay ahnya.
Mahendra mengangguk-angguk mendengar pengaduan
anaknya itu. Namun demikian ia berkata "Tetapi ternyata kau
masih mendapat perlindungan dari Yang Maha Agung.
Ber sy ukurlah bahwa kau masih akan mendapat kesempatan
untuk mengikuti pendadaran pada tataran berikutnya."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya "Ya ay ah.
Mudah-mudahan aku dapat meny elesaikan pendadaran pada
tataran-tataran berikutnya dengan baik."
"Karena itu, berdoalah. Kau tidak dapat sekedar
mengandalkan kemampuan dan ilmumu. Tetapi juga perkenan
dari Yang Maha Agung. Meskipun menurut perhitungan
lahiriah kau mempunyai kelebihan dari anak-anak muda yang
lain, tetapi mungkin ada unsur-unsur y ang tidak diketahui
sebelumnya, sebagaimana tiba -tiba hadirnya seekor harimau
di hutan perburuan itu, akan dapat mengganggu pelaksanaan
pendadaranmu. Bahkan mungkin menggagalkannya."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud
ay ahnya, karena iapun pernah mendengar ayahnya berkata
meskipun tidak langsung, bahwa ada orang y ang tidak
menginginkannya menjadi Pelayan Dalam. Bukan karena
sikap dan tingkah laku Mahisa Pukat atau karena sebab-sebab
lain y ang menyangkut anak mudaitu, karena orang tidak
senang melihatnya m emasuki lingkungan Pelay an Dalam itu
belum m engenal secara pribadi anak muda itu. Tetapi ju stru
karena orang itu m erasa tersinggung bahwa Mahendra telah
berhubungan langsung dengan Sri Maharaja.
Dengan demikian maka Mahisa Pukat memang harus
berhati-hati untuk seterusny a. Ia memang harus selalu berdoa
untuk mendapat perlindungan dan bimbingan dari Yang Maha
Agung. Dalam pada itu, diluar pengetahuan Mahisa Pukat, maka
beberapa orang tengah membicarakan kelebihan seorang anak
muda peserta terakhir dari pendadaran itu. Seorang dari
antara para prajurit yang bertugas telah berbincang dengan
seorang kawannya tentang kelebihan Mahisa Pukat.
"Harimau itu diketemukan m ati" desis salah seorang dari
prajurit itu. "Ya. Dan tanpa diketahui bagaimana caranya membunuh
harimau itu. Harimau itu tidak t erluka pada kulitnya.
Pisaunyapun tidak berbekas darah." sahut kawannya.
"Anak muda itu " sengaja memancing harimau itu ke padang
perdu sehingga sulit untuk dapat diawasi. Baru kemudian
Raja Naga 7 Bintang 3 Fear Street - Sagas Ix Hati Seorang Pemburu Heart Of The Hunter Suramnya Bayang Bayang 18
Gemak Langkas terdiam sejenak. Ia memang nampak raguragu.
Tetapi kemudian katanya, "Ada dua keuntungan yang
dapat diambil oleh guru. Karena aku terlibat, serta aku pula
sebab utama dari peri stiwa ini, maka ay ahku telah ikut
membeayai pasukan Ngancas betapapun ayah merasa
berkeberatan. Selebihnya, guru berpendapat bahwa di
Pa depokan Bajra Seta yang besar ini selain senjata tentu
terdapat harta benda y ang cukup berharga sehingga akan
menguntungkan guru."
Mahisa Murti m enarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku
sudah mengira bahwa di samping alasan yang dikemukakan
tentang pembalasan dendam, maka tentu ter sembunyi
kepentingan y ang lain. Hal itu dapat dibaca dari sifat Empu
Damar. Bukankah kau seorang murid y ang mendapat
perhatian sangat besar dari gurumu karena kau mampu
mengupahnya lebih dari y ang lain" Bukankah gurumu setiap
saat y ang ditentukan justru datang kepadamu untuk
mengajarmu dalam olah kanuragan karena kau membayar?"
Gemak Langkas mengangguk sambil menjawab, "Ya.
Memang demikian. Semakin banyak ayah memberi uang,
semakin sering guru datang kerumah."
"Dengan demikian, maka gurumu sama sekali tidak
bersandar pada kewajiban seorang guru. Tetapi yang
dilakukan diperhitungkan atas dasar upah semata -mata tanpa
pertanggung-jawaban atas keberhasilan murid-muridnya."
"Aku baru menyadari kemudian," desis Gemak Langkas.
"Dan kau sekarang ter seret dalam arus ketamakan
gurumu," berkata Mahisa Murti kemudian.
"Aku meny esal," desis Gemak Langkas hampir tidak
terdengar. Tetapi Mahisa Murti percaya bahwa peny esalan itu
terlontar dari da sar hatinya.
Meskipun demikian Mahisa Murti tidak dapat berbuat lain
kecuali mematuhi pesan dari kedua orang petugas sandi dari
Singasari itu. Para tawanan untuk sementara dititipkan
kepada Padepokan Bajra Seta sampai pada saatnya nanti
dijemput oleh sepasukan prajurit dari Singasari.
Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian berkata.
"Aku percaya kepadamu Gemak Langkas. Tetapi aku tidak
dapat melepaskanmu dari paugeran."
"Aku tidak akan dapat ingkar," jawab Gemak Langkas,
"apapun y ang harus aku jalani sebagai hukuman atas tingkah
lakuku, akan aku jalani. Bahkan seandainya aku harus
dihukum mati." "Tidak, kau tidak akan dihukum mati," jawab Mahisa
Murti. "Akulah y ang menyebabkan segala ini terjadi," jawab
Gemak Langkas. "Tetapi t idak semua kesalahan ada padamu," desis Mahisa
Murti kemudian, "kesalahan terbesar adalah justru pada
gurumu. Ia telah memanfaatkan persoalan yang kau sulut
untuk memuaskan ketamakannya."
"Terima kasih atas sikapmu. Mudah-mudahan sikap para
pemimpin di Singasari sama seperti sikapmu itu. Aku tidak
tahu apa y ang akan dikatakan oleh saudaramu, Mahisa Pukat
yang m engalami langsung benturan kepentingan dengan aku,
sehingga per soalannya telah berkepanjangan dan mungkin
kau benar, telah dimanfaatkan oleh guru."
Sementara itu kedua petugas sandi Singosari y ang berada di Pa depokan Bajra Seta setelah minta diri kepada Mahisa Murti,
langsung pulang kembali ke Singosari untuk menghadap dan
memberi laporan kepada pimpinannya y aitu Arya Kuda
Cemani. Begitu sampai di Singosari kedua petugas sandi
tersebut langsung menghadap Arya Kuda Cemani dan
melaporkan seluruh kejadian di padepokan Bajra Seta.
Setelah menerima laporan dari kedua petugas sandi
tersebut Arya Kuda Cemani menugaskan keduanya untuk
segera menemui Ki Mahendra guna menyampaikan seluruh
peristiwa peny erangan padepokan Bajra Seta oleh Padepokan
Ngancas dan tiga padepokan pendukungnya y ang dipimpin
oleh mPu Damar. "Besok pergilah kalian menemui Ki Mahendra untuk
menceritakan seluruh kejadian tersebut" (yg ketikan b iru ini
adalah tambahan ku sendiri krn sepertinya ga nyambung ke
alenia berikut ini-) Kedua petugas sandi itu mengangguk-angguk. Seorang di
antara mereka menjawab, "Baiklah. Kami besok akan
menemui Ki Mahendra di tempat tinggalnya."
Arya Kuda Cemani itu berpikir sejenak. Namun kemudian
ia berkata, "Biarlah aku besok akan datang bersamamu
menemui Ki Mahendra dan Mahisa Pukat. Lebih baik m ereka
mendengar langsung dari kita daripada dari orang lain yang
mungkin sudah ditambah atau dikurangi."
Sebenarnyalah di hari berikutnya mereka bertiga telah
menemui Mahendra dan Mahisa Pukat di tempat tinggal
mereka, di bagian belakang istana Singasari. Dengan hati-hati
Arya Kuda C emani telah menceriterakan apa yang dilakukan
oleh kedua orang petugasnya itu.
" Biarlah m ereka menceriterakan apa yang telah terjadi di
Pa depokan Bajra Seta," berkata Arya Kuda Cemani.
Dengan tegang Mahendra dan Mahisa Pukat kemudian
mendengarkan ceritera kedua orang petugas sandi itu. Apa
sa ja y ang telah terjadi di Padepokan Bajra Seta.
Mahisa Pukat mendengar peri stiwa di padepokan Bajra
Seta itu dengan hati yang tegang. Bahkan kemudian dengan
lantang ia bertanya, "Kenapa aku tidak diberi tahu
sebelumnya" Seharusnya aku juga berada di Padepokan saat
itu." "Maaf ngger," jawab Arya Kuda Cemani, "ternyata kami
salah menilai kekuatan Padepokan Ngancas. Kami tahu bahwa
Pa depokan Ngancas didukung oleh tiga padepokan sekaligus.
Tetapi ternyata jumlah kekuatannya lebih dari y ang kami
lihat." Mahisa Pukat menggeretakkan giginya. Tetapi ia tidak
dapat marah kepada Arya Kuda Cemani. Apalagi yang
dilakukan Arya Kuda C emani semata-mata karena Arya Kuda
Cemani ingin membantu Padepokan Bajra Seta.
Bagaimanapun juga, perbuatan itu dilandasi dengan maksud
yang baik. Mahendra lah y ang kemudian berkata, "Kami mengucapkan
terima kasih Raden. Seandainya Raden tidak memberitahukan
kedatangan beberapa padepokan y ang m eny erang Padepokan
Bajra Seta itu, keadaannya tentu akan menjadi lebih buruk."
"Tetapi kami harus minta maaf kepada Mahisa Murti,"
berkata Arya Kuda Cemani, "seharusnya kami dapat berbuat
lebih baik." Tiba-tiba saja Mahisa Pukat memotong pembicaraan itu,
"Besok aku akan pergi ke Padepokan."
"Sebaiknya kau pergi besok lusa saja ngger," minta Arya
Kuda Cemani, "besok lusa aku akan mengirimkan sekelompok
prajurit untuk menjemput para tawanan. Kami tidak dapat
membiarkan para tawanan itu menjadi beban padepokan
Bajra Seta." Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Rasa -rasanya saat
itu juga ia ingin terbang ke Padepokan Bajra Seta. Ia ingin
melihat akibat dari pertempuran y ang baru saja terjadi.
Tetapi ay ahnya berkata, "Agaknya memang sebaiknya kau
pergi bersama-sama dengan para prajurit itu Pukat. Bukan
karena aku cemaskan kau selama dalam perjalanan. Tetapi
agaknya lebih baik kau tempuh perjalananmu tidak seorang
diri." Mahisa Puakt termangu-mangu sejenak. Namun ia pun
kemudian tidak dapat menolaknya.
Demikianlah, seperti y ang telah direncanakan maka Mahisa
Pukat pun telah pergi ke Padepokan Bajra Seta bersama
sekelompok prajurit yang akan menjemput para tawanan.
Dengan jantung yang gemuruh, seperti derap kaki-kaki kuda
para prajurit dalam perjalanan itu, Mahisa Pukat seakan-akan
merasa perjalanan itu terlalu panjang.
Namun, betapapun terasa perjalanan itu terlalu lama, maka
akhirnya iring-iringan itu sampai ke Padepokan Bajra Seta.
Mahisa Pukat pun telah meloncat turun dari kudanya. Oleh
perasaan y ang bergejolak di dalam jantungnya, juga oleh
perasaan bahwa ia adalah peny ebab dari pertempuran yang
telah terjadi itu maka Mahisa Pukat pun telah berlari memeluk
saudaranya sambil berdesis, "Maafkan aku. Aku tidak tahu apa
yang terjadi di sini. Para petugas sandi sengaja tidak
memberitahukan peri stiwa ini kepadaku."
Mahisa Murti pun harus mengatur gejolak perasaannya.
Baru kemudian ia menjawab, "Segalanya telah b erlalu, Pukat.
Ternyata kami mampu bertahan meskipun harus jatuh
korban." "Seandainya aku tahu," suara Mahisa Pukat menjadi sangat
dalam. "Sudahlah," berkata Mahisa Murti kemudian, "Yang Maha
Agung masih melindungi padepokan kita."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk kecil. Sementara itu,
Mahisa Murti pun telah mempersilahkan para prajurit untuk
naik kependapa. Namun hanya para pemimpinnya sajalah
yang k emudian naik, sedangkan yang lain berada di serambi
bangunan say ap Padepokan Bajra Seta.
Setelah m engucapkan selamat datang, maka para cantrikpun
telah menyuguhkan minuman dan makanan kepada para
prajurit yang datang untuk menjemput para tawanan di
Pa depokan Bajra Seta. Namun mereka tidak dapat hari itu
juga kembali ke Singasari. Para prajurit itu harus bermalam di
Pa depokan itu. Baru di keesokan harinya mereka akan kembali
ke Singasari. Dalam pada itu, maka Mahisa Pukat pun telah menanyakan
dimana Mahisa Amping yang masih belum dilihatnya sejak ia
datang. Tetapi sebelum anak itu dipanggil, maka Mahisa
Amping sudah berdiri termangu-mangu dipintu pringgitan
bangunan induk Padepokan itu.
"Amping," panggil Mahisa Pukat, "kemarilah."
Mahisa Amping pun dengan ragu-ragu mendekat.
Demikian ia berdiri didekat Mahisa Pukat duduk, maka
tangannya pun telah ditariknya dan anak itu pun
didudukannya di sebelahnya.
"Kau tidak apa-apa?" bertanya Mahisa Pukat.
"Aku tidak apa-apa kakang," jawab anak itu. Tetapi diluar
dugaan anak itu bertanya, "Kemana kakang selama ini"
Kenapa baru sekarang kakang datang?"
"Kakakmu mempunyai tugas di Singasari," Mahisa
Murtilah y ang menyahut. Mahisa Pukat menarik nafas panjang-panjang. Dengan
nada rendah ia berkata, "Maafkan aku Amping. Aku tidak
dapat ikut mempertahankan Padepokan ini."
Mahisa Amping kemudian berkata, "Meskipun aku tidak
apa-apa, t etapi beberapa orang cantrik telah gugur."
"Aku m enyesal bahwa aku t idak ada di padepokan waktu
itu," desis Mahisa Pukat.
"Sudahlah Amping," berkata Mahisa Murti, "kau sebaiknya
justru mengatakan bahwa Yang Maha Agung masih
melindungi kita." Tetapi Mahisa Amping masih saja berkata, "Kakang Mahisa
Semu dan paman Wantilan terluka."
"He?" jawab Mahisa Pukat berkerut dalam.
"Tetapi luka mereka tidak parah," sahut Mahisa Murti
dengan serta merta. "Antarkan aku kepada mereka," berkata Mahisa Pukat
dengan wajah y ang tegang.
Mahisa Amping mengangguk. Tetapi Mahisa Murti pun
berkata, "Marilah." lalu katanya kepada para pemimpin
prajurit y ang ada dipendapa, "Silahkan duduk dahulu Ki
Sanak. Marilah, silahkan minuman dan makanannya."
Sejenak kemudian, maka Mahisa Pukat telah berada di
dalam bilik Mahisa Semu. Mahisa Semu memang terluka.
Tetapi tidak terlalu parah. Bahkan ia sudah nampak tenaganya
sebagian besar pulih kembali.
Meskipun demikian, peny esalan semakin mencengkam
jantung Mahisa Pukat. Apalagi ketika kemudian ia melihat
keadaan Wantilan y ang nampak lebih parah dari Mahisa
Semu. Dengan geram Mahisa Pukat pun bertanya, "Dimana para
tawanan itu?" Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Dengan ragu-ragu
ia bertanya, "Untuk apa kau cari para tawanan?"
"Aku dengar di antara m ereka terdapat G emak Langkas."
jawab mahisa Pukat. "Ya," jawab Mahisa Murti.
"Aku ingin bertemu dan berbicara dengan Gemak Langkas.
Ia adalah sumber dari segala-galanya. Seharusny a ia berani
mempertanggung-jawabkan akibat dari perbuatannya. Aku
akan menantangnya untuk berperang tanding"
"Jika kau sudah mampu mengalahkan gurunya. Jika kau
benar-benar menantangnya, artinya sama saja bahwa kau
membunuh seorang y ang telah menyerah dan menjadi
tawanan." "Tetapi kau tahu akibat dari perbuatannya itu. Beberapa
orang cantrik telah gugur. Beberapa orang anak muda dan
orang-orang dari padukuhan di sebelah-meny ebelah
padepokan ini telah gugur pula. Bukankah sudah sepantasnya
ia m endapat hukuman y ang terberat?" berkata Mahisa Pukat
dengan wajah y ang tegang.
"Aku sependapat Pukat. Tetapi siapakah yang berhak
menjatuhkan hukuman y ang terberat itu?" bertanya Mahisa
Murti. Mahisa Pukat termangu -mangu sejenak. Namun kemudian
ia menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kalau saja ketika
pertempuran itu terjadi aku ada di sini."
"Sudahlah Pukat. Kita semua meny esali apa y ang telah
terjadi. Tetapi yang telah terjadi itu tidak akan dapat dirubah
lagi. Karena itu, kita harus menerimanya dengan tabah.
Apalagi Yang Maha Agung ternyata masih melindungi
padepokan ini." Mahisa Pukat tidak menyahut. Tetapi yang terdengar
adalah gemeretak giginya.
"Marilah," berkata Mahisa Murti, "kita temui tamu-tamu
kita. Para prajurit dari Singasari yang besok akan membawa
para tawanan itu ke Kotaraja untuk mendapatkan pengadilan."
04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mahisa Pukat mengangguk kecil. Tetapi ketika ia berpaling
dan m emandang mata Mahisa Amping, maka seakan-akan ia
sedang bercermin dan m elihat kesalahannya sendiri sebagai
beban yang harus dipikulnya.
Tetapi seperti y ang dikatakan oleh Mahisa Murti, bahwa
yang telah terjadi itu memang telah terjadi. Apapun sikap dan
tanggapannya, namun ia tidak akan dapat m erubah keadaan
yang telah lewat itu, kecuali menyesalinya.
Demikianlah, maka Mahisa Pukat pun bersama-sama
dengan Mahisa Murti telah berada kembali di pendapa
menemui para tamu mereka dari Singasari.
Beberapa saat kemudian, Mahisa Murti pun telah
mempersilahkan para prajurit dari Singasari itu untuk
beristirahat. Besok pagi-pagi sekali mereka akan m enempuh
perjalanan kembali ke Singasari.
Sebagian dari para prajurit memang segera beristirahat
ditempat yang sudah disediakan. Tetapi beberapa orang yang
lain masih ingin berjalan-jalan melihat -lihat padepokan itu
dan sekitarnya. Namun mereka esok hari memang harus berangkat
sebelum m atahari terbit. Para tawanan itu tidak m enempuh
perjalanan berkuda. Tetapi mereka akan berjalan kaki menuju
ke Kotaraja. Dalam pada itu, di pendapa bangunan induk Padepokan
Bajra Seta, Mahisa Murti duduk berdua dengan Mahisa Pukat.
Ternyata Mahisa Pukat menjadi bimbang, apakah besok ia
akan kembali ke Singasari atau tidak.
Tetapi Mahisa Murti kemudian berkata, "Pergilah.
Sebaiknya kau untuk sementara memang tetap berada di
Kotaraja. Biarlah aku mengurus Padepokan ini. Percayalah,
bahwa aku akan berbuat sebaik-baiknya, sehingga padepokan
ini tidak akan mengalami masa surut. Sementara itu di
Kotaraja kau dapat menemani ayah y ang sudah menjadi
semakin tua. Agaknya ayah merasa lebih senang berada di
Singasari daripada berada di Pakuwon Sangling bersama
Kakang Mahisa Bungalan."
Mahisa Pukat masih saja nampak ragu-ragu. Dengan nada
dalam ia pun berkata, "Peri stiwa yang baru saja terjadi
membuat aku merasa bersalah, bahwa aku tidak berada di
padepokan." "Bukan salahmu," sahut Mahisa Murti, "seharusny a kau
dan kita semuanya berterima kasih dan mengucap sukur
bahwa Yang Maha Agung masih melindungi kita."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Sekilas terbayang
wajah Sasi. Mahisa Pukat memang merasa lebih tenang jika ia
berada dekat gadis itu. Tetapi justru karena itu, ia merasa
semakin bersalah. Sementara Mahisa Murti dan para cantrik
Pa depokan Bajra Seta bertempur mempertaruhkan ny awa,
maka ia sendiri berada di Singasari semata-mata untuk
kepentingan dirinya sendiri. Bahkan untuk kesenangannya
sendiri. Tetapi Mahisa Murti y ang melihatnya bimbang itu pun
berkata selanjutnya, "Sudahlah. Jangan t erlalu banyak
membuat pertimbangan-pertimbangan. Seandainya ada
sesuatu yang penting, maka biarlah aku memanggilmu."
Mahisa Pukat mengangguk kecil. Namun ia masih juga
berkata, "Rasa -rasanya aku tidak akan dapat meninggalkan
Mahisa Semu dan apalagi paman Wantilan y ang terluka cukup
berat." "Tetapi luka-luka mereka akan segera sembuh, karena
luka-luka mereka hanya terdapat dipermukaan kulit saja,
sebagaimana yang aku alami m eskipun tidak sebanyak yang
dialami oleh Mahisa Semu dan apalagi paman Wantilan."
Sementara itu, Mahisa Murti pun sempat menceriterakan
bahwa agaknya Empu Damar yang sudah dapat dikalahkan
oleh Mahisa Pukat itu mampu mengenali bahwa Mahisa Murti
pun memiliki kemampuan ilmu untuk menghisap kekuatan
dan kemampuan lawan meskipun hanya untuk sementara,
sehingga Empu Damar selalu berusaha menghindari setiap
sentuhan senjata. Bahkan Empu Damar telah mempergunakan
senjata jarak jauh berupa gelang-gelang besi baja putih.
Mahisa Pukat hanya dapat mengangguk-angguk saja.
Sementara Mahisa Murti selalu mendesaknya agar Mahisa
Pukat besok kembali ke Singasari bersama para prajurit yang
akan membawa para tawanan y ang dititipkan di Padepokan
Bajra Seta. Akhirnya, Mahisa Pukat pun dapat mengatasi keraguraguannya.
Apalagi setiap kali ia teringat kepada Sasi. Karena
itu, maka katanya, "Baiklah. Besok aku akan kembali ke
Singasari. Biarlah aku berkata sejujurnya, bahwa aku ingin
tetap berada di Singasari untuk sementara bukan saja karena
aku ingin menemani ayah. Tetapi juga karena aku telah terikat
karena kehadiran Sasi di dalam perjalanan hidupku."
Jantung Mahisa Murti memang berdesir. Tetapi ia berhasil
menekan gejolak perasaan yang hampir sampai kepermukaan
dan kemudian mengendapkannya kembali. Mahisa Murti
memang sudah berniat untuk melupakan Sasi sama sekali.
Demikian, sebelum tengah malam, m aka padepokan Bajra
Seta telah menjadi sepi. Para prajurit Singasari y ang berada di
padepokan itu sudah tidur lelap. Demikian pula Mahisa Pukat
telah berada di atas pembaringannya meskipun ia masih
belum tertidur. Yang masih berjaga-jaga adalah para cantrik yang sedang
bertugas. Mereka berada di regol induk dan regol butulan dan
dipanggungan disudut-sudut dinding padepokan. Sementara
itu setiap kali dua orang cantrik telah meronda berkeliling
halaman di sekitar padepokan mereka yang tertidur ny enyak.
Kecuali itu masih ada tiga gardu di kebun belakang padepokan
yang ditunggui oleh beberapa orang cantrik.
Malam itu terasa betapa lengangnya. Yang terdengar
hanyalah suara cengkerik dan bilalang di dedaunan.
Dikejauhan terdengar gonggong anjing liar y ang berkeliaran
mencari mangsa. Mahisa Pukat y ang tidak segera dapat tidur, akhirnya
terlelap juga. Demikian juga Mahisa Murti. Yang ju stru masih
beberapa kali bangkit duduk di pembaringannya adalah
Mahisa Amping. Anak itu tidak tahu kenapa ia tidak segera dapat tidur
seperti bia sanya. Baru ketika orang-orang y ang bertugas di dapur mulai
terbangun dan m empersiapkan makan pagi bagi m ereka yang
akan berangkat ke Singasari beserta para tawanan, Mahisa
Amping dapat memejamkan matanya.
Sementara itu, kesibukan di dapur mirip saat-saat Pa depokan Bajra Seta menghadapi serangan. Para
petugas di dapur memang harus mempersiapkan makan dan minum bagi banyak orang, termasuk para tawanan. Sebelum m atahari terbit,
maka nasi pun telah masak.
Sementara itu, para prajurit
pun telah mempersiapkan diri. Demikian pula para tawanan, betapa pun mereka merasa malas untuk
menempuh perjalanan ke Singasari dengan dikawal oleh sepa sukan prajurit. Di sepanjang jalan mereka akan
menjadi tontonan. Sedangkan setiap orang akan m engetahui
bahwa mereka adalah tawanan yang sedang digiring oleh para
prajurit. Tetapi mereka tidak dapat berbuat lain. Bahkan di
Pa depokan Bajra Seta mereka telah diperlakukan dengan baik,
mereka telah merasa berterima kasih.
Sebelum mereka mulai menempuh perjalanan, maka
mereka pun telah dibawa ke dapur untuk menerima makan
pagi mereka, sementara para prajurit telah dipersilahkan
makan di pendapa. Nasi y ang masih hangat dengan sayur dan
lauk y ang masih hangat pula. Sementara para prajurit sedang
makan, maka para cantriklah y ang mengawasi para tawanan
yang sedang makan di sebelah dapur.
Sejenak kemudian maka semuanya pun telah siap di
halaman depan Padepokan Bajra Seta. Para prajurit, para
tawanan dan Mahisa Pukat y ang akan pergi bersama para
prajurit itu. Dalam pada itu, meskipun Mahisa Amping belum terlalu
lama tidur, namun ia pun telah berada di halaman itu pula.
Bahkan ia sempat mendekati Mahisa Pukat sambil berkata, "Di
sini kakang Mahisa Murti seorang diri."
Mahisa Pukat mengusap kepala anak itu. Katanya, "Aku
tidak akan selamanya berada di Singasari."
Sementara Mahisa Murti pun berkata, "Bukankah sudah
aku katakan, bahwa kakakmu Mahisa Pukat sedang
menyelesaikan satu tugas di Singasari" Jika segalanya sudah
selesai, maka kakakmu Mahisa Pukat akan segera kembali."
Anak itu memejamkan matanya, seolah-olah ia sedang
melihat sesuatu. Tidak dengan mata wadagnya, tetapi dengan
mata hatinya. "Apa y ang sedang kau renungkan?" bertanya Mahisa Murti.
Anak itu menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya wajah
Mahisa Pukat. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu.
Mahisa Pukat dan Mahisa Murti berpandangan sejenak.
Anak itu seolah-olah tahu apa yang sebenarnya dilakukan oleh
Mahisa Pukat selama ia berada di Singasari.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun tidak mengatakan
sesuatu. Mereka tahu bahwa anak itu mempunyai kelebihan
dengan penglihatan batinnya m eskipun kadang-kadang anak
itu tidak tanggap akan maknanya. Tetapi Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat meyakininya, bahwa jika anak itu menjadi
semakin dewasa, maka day a urainya tentu akan menjadi
semakin tajam pula. Sejenak kemudian, maka Mahisa Pukat pun telah minta diri
kepada Mahisa Murti dan para cantrik y ang juga berkumpul di
sisi halaman Padepokan Bajra Seta. Demikian pula para
pemimpin prajurit dan bahkan para tawanan.
Tanpa diduga, Gemak Langkas telah melangkah mendekati
Mahisa Pukat yang berdiri di sebelah Mahisa Murti, sehingga
tiba -tiba Mahisa Pukat menjadi tegang.
Namun Gemak Langkas itu kemudian berdesis setelah ia
berhenti selangkah di hadapan Mahisa Pukat, "Aku sudah
minta maaf kepada Mahisa Murti y ang juga tersentuh akibat
dendam y ang menyala di dada guru. Aku merasa masih
berhutang jika aku belum minta maaf kepadamu. Bahwa yang
terjadi ini memang bersumber dari kesalahanku. Tetapi api
yang menyala sepeletik k ecil itu telah disiram dengan minyak
oleh guru." Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Sementara
Gemak Langkas berkata selanjutnya, "Aku mohon maaf
sedalam-dalamnya serta aku ingin menyatakan peny esalanku
pula. Aku akan patuh mengikuti segala perintah. Di Singasari
aku sudah siap menerima segala macam hukuman y ang paling
pantas diberikan kepadaku."
"Aku mempercayainya," desis Mahisa Murti, "Gurunya
telah memanfaatkan api y ang telah dinyalakannya, y ang hanya
sepeletik kecil itu. Empu Damar tidak hanya membawa
dendamnya kemari. Tetapi sebenarnyalah bahwa ia ingin
merampok Padepokan Bajra Seta. Bahwa persoalan Gemak
Langkas adalah semata-mata satu alasan yang tidak masuk
akal. Bahkan persoalannya itu akan menelan korban yang
cukup banyak." Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Namun diluar
sa darnya, anak muda itu telah memandang wajah Mahisa
Amping yang berkerut. Tetapi kemudian ia berkata kepada
Gemak Langkas, "Akupun percaya kepadamu. Aku memaafkan
kesalahanmu. Tetapi aku tidak tahu bagaimana sikap para
Senapati di Singasari."
"Apapun y ang akan ditimpakan atasku, aku tidak
menghiraukannya lagi. Bahwa kau telah memaafkan
kesalahanku kepadamu, hatiku telah menjadi tenang."
"Hutangmu telah kau lunasi," desis Mahisa Pukat.
"Terima kasih," jawab Gemak Langkas, "dengan demikian,
aku menjadi lebih tabah menghadapi hukuman apa pun yang
akan diberikan kepadaku."
Mahisa Pukat hanya dapat m enarik nafas dalam-dalam. Ia
melihat wajah Gemak Langkas yang menjadi terang. Anak
muda itu benar -benar merasa bahwa ia tidak mempunyai
beban lagi. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menyatakan
untuk memaafkan kesalahan-kesalahannya.
Dalam pada itu, maka baik para prajurit Singasari maupun
para tawanan telah siap untuk berangkat. Para prajurit
menempuh perjalanan ke Singasari di atas punggung kuda
masing-masing, sementara para tawanan harus berjalan kaki.
Para pemimpin prajurit Singasari sepakat untuk
membiarkan para tawanan berjalan tanpa terikat tangan
apalagi kakinya. Para prajurit telah mengetahui letak
Pa depokan-padepokan mereka sehingga jika mereka
melarikan diri, maka padepokan merekalah yang akan menjadi
sa saran. Bahkan mungkin para prajurit terpaksa mengambil
langkah-langkah y ang lebih keras untuk mencegah.
Demikianlah, sejenak kemudian maka iring-iringan dari
Pa depokan Bajra Seta itu pun mulai bergerak. Para tawanan
yang memandang jalan yang membujur panjang dalam
keremangan fajar menjadi berdebar-debar. Mereka harus
berjalan menempuh perjalanan yang jauh ke Singasari dalam
keadaan y ang pahit. Meskipun mereka tidak terikat, tetapi
setiap orang akan mentertawakan mereka sebagai orang-orang
yang digiring oleh para prajurit sebagaimana para penjahat.
Sementara itu para prajurit pun merasa malas untuk duduk
di atas punggung kuda, tetapi kudanya merangkak seperti
siput mengikuti iring-iringan para tawanan.
Tetapi mereka tidak dapat mengelak, karena mereka sedang
menjalankan tugas keprajuritan.
Sepeninggal para prajurit dan para tawanan, Padepokan
Bajra Seta memang terasa menjadi sepi. Apalagi perasaan
Mahisa Amping yang kecil itu. Kepergian Mahisa Pukat
membuatnya merasa seakan-akan kehilangan. Meskipun
04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebelumnya Mahisa Pukat sudah berada di Singasari, tetapi
ketika Mahisa Pukat kembali hanya untuk sehari, terasa bahwa
kepergiannya memang membuat sesuatu hilang dari
Pa depokan Bajra Seta. Apalagi anak itu pun tahu, bahwa
sebenarnya Mahisa Murti pun merasa kehilangan pula.
Namun agaknya Mahisa Murti berusaha untuk
menyembuny ikan perasaan itu.
Diluar sadarnya, maka Mahisa Amping kemudian seakanakan
telah mengurung diri di dalam bilik Mahisa Semu dan
Wantilan yang terluka. Anak itu menunggui mereka dan
melayani keperluan mereka.
Mahisa Murti agaknya dapat melihat pula gejolak perasaan
anak itu. Namun bagi Mahisa Murti perasaan itu dalam kadar
yang berbeda terdapat pula pada setiap cantrik di Padepokan
Bajra Seta. Karena itu, maka Mahisa Murti sendiri harus
berusaha meny embuny ikan perasaannya itu. Mahisa Amping
jangan sampai m elihat lagi bagaimana ia berusaha melarikan
diri dari perasaannya, karena hal itu akan sangat berpengaruh
terhadap perkembangan jiwa anak itu.
Karena itu, maka Mahisa Murti ingin mengisi perasaannya
dan juga perasaan para cantrik dengan langkah-langkah yang
berarti. Dipanggilnya setiap pemimpin kelompok cantrik
Pa depokan Bajra Seta. Dengan jelas Mahisa Murti
menunjukkan kelemahan para cantrik menghadapi serangan
dari lawan y ang jumlahnya lebih besar.
"Kita melihat bahwa para cantrik dari Padepokan Ngancas
lebih mementingkan kemampuan mereka secara pribadi. Aku
tidak mengatakan bahwa hal itu lebih baik dari cara yang kita
tempuh. Namun alangkah baiknya, jika kemampuan kita
bertempur dalam kerja sama y ang mapan disertai kemampuan
secara pribadi y ang lebih tinggi. Meskipun selama ini kita juga
memperhatikan kemampuan para cantrik secara pribadi,
tetapi aku y akin bahwa hal itu masih dapat ditingkatkan."
Dengan demikian, maka Mahisa Murti telah
memerintahkan untuk mempertinggi gelombang latihan para
cantrik Padepokan Bajra Seta. Mahisa Murti juga
memerintahkan untuk menyusun kembali susunan waktu
latihan bagi para cantrik sesuai dengan tataran mereka.
"Kita juga harus mengetahui tataran setiap orang di dalam
Pa depokan ini. Tataran kemampuan tidak dapat diukur
dengan waktu seberapa lama mereka berada di padepokan ini.
Tetapi sejak pekan mendatang, kita akan menyusun tataran
para cantrik menurut kemampuan mereka. Dengan demikian
maka latihan-latihan berikutnya akan dapat ditata kembali
sesuai dengan pengelompokan para cantrik itu." berkata
Mahisa Murti kemudian. Para pemimpin kelompok itu pun mengangguk-angguk.
Mereka sadar, bahwa kerja itu adalah kerja y ang besar bagi
Pa depokan Bajra Seta. Mereka harus menilik orang perorang
agar mereka dapat menyusun pengelompokan yang paling
cermat. Demikianlah, maka sejak saat yang ditentukan, Padepokan
Bajra Seta m enjadi sibuk. Setiap pemimpin kelompok harus
melihat kembali para cantriknya untuk menempatkan mereka
pada kelompok-kelompok y ang tepat. Seorang demi seorang
mereka harus menunjukkan kemampuan mereka sejauh dapat
mereka lakukan. Dengan demikian, maka seluruh halaman padepokan telah
dipergunakan. Bukan saja sanggar tertutup dan sanggar
terbuka. Tetapi juga disudut-sudut halaman, kebun dan
tempat -tempat terbuka lainnya. Bahkan beberapa kelompok
harus melakukannya di luar, karena tidak ada tempat lagi
dilingkungan dinding halaman padepokan.
Tetapi, di sekitar Padepokan Bajra Seta m emang terdapat
ara-ara yang cukup luas. Selain tempat untuk menggembala
ternak yang terdapat di padepokan itu, ara-ara itu sengaja
dibuat untuk memberikan batas antara lingkungan padepokan
dan lingkungan di sekitarnya. Ara-ara itu juga memberikan
jarak pandang y ang cukup bagi isi padepokan y ang sedang
mengawasi keadaan di sekitarnya. Terutama jika ada m usuh
yang mendatanginya. Namun, ternyata latihan-latihan itu telah menarik
perhatian para penghuni padukuhan di sekitar padepokan itu.
Bahkan beberapa orang telah datang untuk menanyakan,
apakah bahaya masih saja mengancam padepokan itu
sehingga seisi padepokan harus menempa diri.
Mahisa Murti yang menemui beberapa orang yang datang
itu telah menjelaskan persoalannya. Dengan sungguh-sungguh
Mahisa Murti berkata, "Sepengetahuanku, tidak ada ancaman
lagi atas Padepokan ini. Kami hanya ingin menutup
kelemahan-kelemahan yang kami dapati dalam pertempuran
yang baru saja terjadi. Lebih dari itu, kami ingin mengisi
perasaan kehilangan setelah kepergian Mahisa Pukat. Setiap
kali para cantrik mempertanyakannya meskipun setiap kali
aku sudah memberikan jawabnya. Tetapi rasa-rasanya
jawabku selalu tidak memuaskan mereka. Latihan-latihan ini
akan merampas segala pemusatan perhatian serta nalar budi
mereka, sehingga mereka tidak akan selalu teringat kepada
kepergian Mahisa Pukat y ang memang sudah cukup lama
mengasuh mereka." Orang-orang padukuhan itu m engangguk-angguk. Seorang
di antara mereka berkata, "Ya. Agaknya Mahisa Pukat telah
terlalu lama pergi."
"Beberapa hari y ang lalu, ia datang kemari bersama para
prajurit Singasari yang mengambil para tawanan itu. Tetapi
juga hanya sehari sebagaimana para prajurit," berkata Mahisa
Murti kemudian. "Apakah Mahisa Pukat sekarang menjadi seorang
prajurit?" bertanya salah seorang dari mereka.
"Tidak," jawab Mahisa Murti, "pada saatnya ia akan
kembali ke padepokan ini."
Orang-orang itu m engangguk-angguk. Namun seorang di
antara mereka berkata, "Jika demikian, apakah kami, laki-laki
dari padukuhan sebelah menyebelah diperbolehkan ikut
berlatih?" "Bukankah kalian telah melakukan latihan-latihan
keprajuritan meskipun tidak sedalam para prajurit?" bertanya
Mahisa Murti dengan ragu.
"Ya. Tetapi apa salahnya kami memperdalam kemampuan
kami" Dalam keadaan tertentu kami berjanji untuk membantu
padepokan ini sejauh dapat kami lakukan," berkata seorang di
antara mereka. "Terima kasih. Telah banyak sekali bantuan y ang kalian
berikan k epada kami. Bukan saja tenaga, harta-benda, tetapi
lebih dari itu. Kalian telah memberikan anak-anak muda yang
terbaik dari padukuhan-padukuhan di sekitar padepokan ini,"
jawab Mahisa Murti. Lalu katanya, "Mereka telah
mempertaruhkan nyawa mereka."
"Bukankah hal itu kita lakukan timbal balik?" sahut salah
seorang di antara mereka.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya
kemudian, "Sudah barang tentu kami tidak merasa
berkeberatan sama sekali untuk membantu kalian berlatih
memperdalam kemampuan kalian. Tetapi kami minta waktu
sepekan untuk mengatur dan mempersiapkan tenaga para
cantrik agar kami dapat memenuhi keinginan kalian dengan
sebaik-baiknya." "Kapanpun kami mendapat kesempatan, kami
mengucapkan terima kasih," berkata salah seorang dari
mereka y ang datang menemui Mahisa Murti itu.
Dengan demikian maka baik Mahisa Murti, maupun orangorang
dari padukuhan telah mengatur persiapan untuk
melakukan latihan-latihan. Mereka telah membentuk
kelompok-kelompok sebagaimana para cantrik di padepokan.
Ber sama Mahisa Murti mereka telah m engatur segala macam
ketentuan, pembagian waktu dan tempat bagi mereka yang
akan berlatih di padepokan Bajra Seta.
Dengan demikian maka Mahisa Murti harus meny isihkan
tenaga beberapa orang cantrik terbaik untuk memberikan
latihan-latihan kepada anak-anak muda dan orang-orang yang
berniat untuk meningkatkan kemampuan mereka. Ternyata
bahwa latihan-latihan itu mendapat perhatian yang sangat
besar. 0oo0dw0oo0 (Bersambung ke Jilid 106)
Scanning: Ki Ismoy o Conv ert/Pr oofing: Ki Raharga
Rechecking/Editing: Ki Arema
Pdf ebook : Dan HIJAUNYA LEMBAH HIJAUNYA LERENG PEGUNUNGAN Jilid 106 Cetakan Pertama PENERBIT: "MURIA" YOGYAKARTA Kolaborasi 2 Website : dengan Pelangi Di Singosari / Pembuat Ebook : Sumber Buku Karya SH MINTARDJA
Scan DJVU : Ismoyo, Arema
Converter : Editor : Pdf ebook : --ooo0dw0ooo- Naskah ini untuk keperluan kalangan sendiri,
penggemar karya S.H. Mintardja dimana saja berada y ang
berkumpul di Web Pelangi Singosari dan Tiraikasih
Jilid 106 NAMUN y ang pertama-tama dilakukan oleh para cantrik
adalah menilai kemampuan mereka y ang menyatakan diri
untuk ikut berlatih di padepokan itu. Meskipun tidak sangat
teliti sebagaimana saat mereka menilai kemampuan para
cantrik, namun penilaian itu dapat dipergunakan untuk
membagi-bagi orang-orang padukuhan yang mengikuti
latihan-latihan itu dalam kelompok-kelompok tanpa
memperhatikan dari padukuhan mana saja mereka berasal.
Ketika saatnya latihan-latihan itu dimulai, ternyata bahwa
kemauan mereka tidak kalah tinggi dari para cantrik di
Pa depokan Bajra Seta itu. Meskipun waktu yang
diperuntukkan bagi mereka lebih pendek dari para cantrik,
tetapi kemauan mereka ternyata benar-benar membakar
jantung mereka. Karena itu, maka para cantrik tidak ingin mengecewakan
mereka sehingga para cantrikpun menunjukkan kemauan yang
tinggi menuntun mereka meningkatkan kemampuan orangorang
dari padukuhan-padukuhan sebelah meny ebelah
padepokan itu. Dengan demikian m aka seisi Padepokan Bajra Seta telah
menjadi sibuk. Latihan-latihan berlangsung dengan kemauan
yang tinggi. Mahisa Murtipun tenggelam pula dalam
kesibukan itu. Bahkan Mahisa Murti secara khusus telah
menempa Mahisa Amping dan Mahisa Semu. Tetapi Mahisa
Murtipun telah memberikan waktunya untuk Wantilan yang
memang mempunyai tataran y ang berbeda serta landasan
ilmu y ang berbeda pula, sehingga Wantilanpun harus
mendapat penanganan yang khusus.
Dengan caranya, maka seisi Padepokan Bajra Seta itupun
menjadi semakin meningkat pula. Para cantrik tertua dari
padepokan itupun langsung mendapat latihan-latihan dari
Mahisa Murti sendiri, sehingga dengan demikian maka Mahisa
Murti benar-benar telah menghabiskan waktunya bagi
padepokannya. Dalam kesempatan tertentu, Mahisa Semupun telah diberi
wewenang oleh Mahisa Murti untuk memberikan latihanlatihan
kepada para cantrik y ang masih muda. Bukan saja
muda umurnya, tetapi juga mereka yang belum lama berada di
padepokan itu. Tetapi Mahisa Murti tidak dapat meny erahkan
sekelompok cantrik kepada Wantilan, karena Wantilan
mempunyai dasar yang berbeda. Hanya untuk latihan-latihan
dasar y ang sifatnya umum, Wantilan dapat membantu Mahisa
Murti memberikan tuntunan kepada para cantrik. Terutama
mengenai ketahanan tubuh serta penguasaan gerak-gerak
dasar yang paling sederhana untuk mempersiapkan para
cantrik itu mulai dengan gerak-gerak dasar y ang menjurus
pada unsur-unsur ilmu y ang dipelajari.
Dengan latihan-latihan khusus yang berat, maka Mahisa
Amping ternyata tumbuh sejalan dengan pertumbuhan
ilmunya. Dengan demikian maka ilmu y ang dipelajarinya
seakan-akan telah m enyatu didalam dirinya. Sadar atau tidak
sa dar, maka setiap gerak anak itu seakan-akan telah terkendali
dengan mapan. Mahisa Semupun semakin lama menjadi semakin
meyakinkan. Tenaganya tumbuh dengan mantap sebagaimana
tubuhnya y ang berkembang dengan tinggi dan kekar. Latihanlatihan
yang berat telah membentuk tubuhnya menjadi
seorang y ang gagah dan kuat.
Setiap pagi, Mahisa Semu telah berlatih sambil membentuk
tubuhnya menurut petunjuk Mahisa Murti. Sejak sebelum
matahari t erbit, Mahisa Semu telah m enitikkan keringat dari
lubang-lubang kulitnya bersama beberapa orang cantrik yang
diserahkan kepadanya. Mereka memanfaatkan lingkungan
yang luas serta lereng-lereng pegunungan disekitar
padepokan. Meskipun demikian, para cantrik itu tidak melupakan
tugas-tugas m ereka sehari -hari dalam kehidupan sewajarnya.
Setelah berlatih dipagi hari, kemudian membersihkan diri dan
makan pagi, maka para cantrik itupun telah melakukan tugas
mereka sehari -hari. Diantara mereka ada yang pergi ke sawah
yang diperuntukkan bagi Padepokan Bajra Seta. Ada yang
pergi ke kolam-kolam ikan, ke pategalan dan ada yang
melakukan tugas-tugas y ang lain. Pande besi dengan
kemampuan y ang lebih dari pande besi kebanyakan setelah
mereka mendapat tuntunan khusus. Ada diantara mereka yang
mengurusi peternakan dan pekerjaan-pekerjaan y ang lain.
Tetapi diantara mereka terdapat kelompok-kelompok y ang
04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berada di sanggar-sanggar bergantian. Mereka dengan
sungguh-sungguh berusaha meningkatkan kemampuan ilmu
mereka. Baru menjelang sore, maka hampir semua cantrik
turun untuk melakukan latihan-latihan sehingga halaman,
kebun dan bahkan ara-ara di luar dinding padepokan menjadi
penuh, termasuk anak-anak muda dan orang-orang
padukuhan disekitar Padepokan Bajra Seta, sesuai dengan
tataran dan tingkat kemampuan mereka masing -masing.
Sementara Padepokan Bajra Seta tenggelam dalam
kesibukan y ang memberikan arti y ang penting bagi
perkembangan Padepokan itu, maka Mahisa Pukat yang
berada di Kotaraja telah menjalani kehidupannya dalam
suasana y ang berbeda. Hubungannya semakin lama menjadi
semakin akrab dengan Sasi. Ternyata orang tua Sasi benarbenar
tidak berkeberatan atas hubungan itu sebagaimana
Mahendra sendiri. Namun dalam keadaan-keadaan tertentu,
Mahisa Pukat masih saja merenungi dirinya sendiri dalam
hubungannya dengan padepokan yang telah ditinggalkan
meskipun menurut pengertiannya hanya sementara.
Tetapi setiap kali sebuah pertanyaanpun timbul "Apakah
benar bahwa ia hanya meninggalkan padepokannya untuk
sementara?" Apalagi ketika pada suatu ketika ayahnya, Mahendra
memanggilnya dan dengan sungguh-sungguh berkata
kepadanya "Mahisa Pukat. Aku m elihat bahwa hubunganmu
dengan Sasi semakin lama menjadi semakin bersungguhsungguh.
Bukan niatku untuk m enghalangi, apalagi menurut
penilaianku Arya Kuda Cemani tidak berkeberatan sama sekali
dengan hubunganmu itu. Tetapi dengan demikian m aka ada
satu hal y ang harus kau perhatikan."
Mahisa Pukat memperhatikan kata-kata ay ahnya itu
dengan sungguh-sungguh pula. Namun sudah terasa olehnya,
kemana arah pembicaraan ayahnya itu.
Karena itu, Mahisa Pukat tidak terkejut ketika ayahnya
kemudian berkata "Mahisa Pukat. Masih ada satu hal yang
harus kau penuhi sebelum kau benar-benar memasuki satu
lingkungan kehidupan yang baru. Mak sudku, apabila kau
benar-benar ingin berumah tangga."
Mahisa Pukat menundukkan kepalanya. Tetapi ia sudah
tahu bahwa ay ahnya tentu akan berbicara tentang
kehidupannya setelah ia benar-benar memasuki jenjang
kehidupan berkeluarga. Tetapi Mahisa Pukat tidak ingin mendahului ayahnya.
Karena itu, maka ia hanya diam sambil menunggu.
Sebenarnyalah ayahnyapun kemudian berkata "Mahisa
Pukat. Kau harus mulai berpikir sejak sekarang. Jika kau kelak
berumah tangga, apay g akan kau lakukan" Apakah kau akan
kembali ke padepokan dan mengajak isterimu hidup menurut
caramu di padepokan" atau kau mulai membayangkan satu
bentuk kehidupan yang lain?"
Mahisa Pukat tidak segera menjawab. Namun
sebenarnyalah bahwa Mahendra memang menjadi gelisah
memikirkannya. Jika Mahisa Pukat ingin hidup di padepokan,
maka ia m erasa sangat kasihan kepada Mahisa Murti. Tanpa
setahu Mahisa Pukat, maka Mahisa Murti hidupnya akan
tersiksa setiap hari untuk waktu yang panjang tanpa batas.
Bahwa dengan mengorbankan perasaannya sendiri Mahisa
Murti telah m eninggalkan Mahisa Pukat di Singasari. Mahisa
Murti termasuk seorang anak muda y g tahu diri dan tidak
mementingkan diriny a sendiri. Tetapi jika ia ter siksa setiap
hari, maka ada kemungkinan bahwa Mahisa Murtilah yg kelak
akan meninggalkan Padepokan Bajra Seta. Sementara itu
belum tentu bahwa Sasi akan dapat menerima satu bentuk
kehidupan di padepokan. Mungkin sebelum perkawinan itu terjadi, selagi anganangannya
melambung tinggi, Sasi berniat untuk hidup
bersama dalam keadaan apapun. Meskipun demikian, apa
yang t erjadi kemudian mungkin akan berbeda. Sasi dapat saja
terbentur pada batas kemampuannya untuk menyesuaikan
dirinya, sehingga kehidupan di padepokan akan terasa sangat
membosankan. Dalam pada itu, Mahisa Pukatpun menjadi bimbang pula.
Apalagi ketika ayahnya berkata "Pukat. Sampai sekarang kau
adalah seorang pemimpin sebuah padepokan. Kau hidup
dalam satu suasana y ang sangat khusus. Sementara Sasi
terbiasa hidup di Kotaraja. Aku tidak dapat membayangkan,
apakah jadiny a jika Sasi kau ajak mencoba hidup di padepokan
dengan gaya hidup orang -orang padepokan."
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Ia tahu bahwa
ay ahnya ingin menasehatkan kepadanya agar ia tidak
membawa Sasi ke padepokan. Namun Mahisa Pukat tidak tahu
pasti alasan ayahnya y g sebenarnyalah Mahisa Murti telah
mengorbankan perasaannya yg tertuju kepada Sasi.
Bagi Mahisa Pukat, maka alasan utama adalah kebiasaan
dan tatanan hidup keluarga Sasi yang jauh berbeda dengan
tatanan hidup di padepokan, sehingga dengan demikian, maka
satu kemungkinan y ang tidak diharapkan akan dapat terjadi
atas Sasi. Dengan nada dalam, m aka Mahisa Pukatpun justru telah
bertanya "Ayah, aku justru ingin mendapat petunjuk dari
ay ah." Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada
dalam iapun berkata "Mahisa Pukat. Jika kau bertanya
kepadaku, maka jawabku tentu m engandung pengertian yang
menguntungkan diriku pula. Karena bagaimanapun aku tidak
dapat melepaskan kepentinganku sendiri."
"Maksud ay ah?" bertanya Mahisa Pukat.
"Mahisa Pukat. Aku ingin menasehatkan kepadamu,
sebaiknya kau tidak usah kembali ke padepokan. Setidaktidaknya
untuk sementara. Kau dapat mencari sumber
kehidupan disini. Adalah kebetulan bahwa aku mempunyai
hubungan betapapun jauhnya dengan Sri Maharaja. Jika kau
berminat, aku dapat m embawa kau menghadap. Jika bukan
Sri Maharaja, maka aku dapat menyampaikannya Wreda
Menteri atau pejabat-pejabat y ang lain y ang aku kenal."
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Namun dengan
nada rendah ia berkata "Tetapi apa y ang dapat aku lakukan
ay ah" Selama ini aku hidup disebuah padepokan, sehingga
yang aku kerjakan tidak lebih dari pekerjaan seorang cantrik
dan sekaligus seorang petani. Jika aku harus bekerja diistana,
apa y ang dapat aku perbuat selain menjadi juru taman."
Tetapi ayahnya m enggeleng. Katanya "Kau dapat menjadi
seorang prajurit. Kau mempunyai kemampuan dasar dalam
olah kanuragan. bahkan jika dilakukan pendadaranpun kau
akan mempunyai kesempatan cukup untuk diterima diantara
mereka y ang menyatakan keinginan mereka menjadi prajurit.
Bahkan mungkin kau akan dapat diterima menjadi Pelay an
Dalam yang mempunyai tugas keprajuritan didalam
lingkungan istana" Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ia teringat kepada
saudara-saudara Sasi dan kawan-kawannya. Tataran
kemampuan m ereka tidak terlalu tinggi, sehingga j ika ia ikut
dalam pendadaran, maka kemampuannya tentu lebih baik dari
anak-anak muda itu. Untuk beberapa saat Mahisa Pukat termangu-mangu.
Namun kemudian iapun menjawab "Aku menurut saja, yang
mana y ang terbaik menurut ayah."
"Ada dua bidang y ang terbaik bagimu. Bidang keprajuritan
atau sebagai Pelay an Dalam. Jika kesempatan terbuka, bagiku
kau lebih baik menjadi seorang Pelayan Dalam. Tugasnya
mirip dengan tugas keprajuritan, tetapi juga mempunyai
tanggung jawab atas keamanan seisi istana dan melayani isi
istana pula" "Narpacunadka maksud ayah?" bertanya Mahisa Pukat.
"Bukan. Tetapi Pelay an Dalam m emang dapat diperintah
oleh Narpacundaka." Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya "Mana y ang
baik menurut ay ah, aku tidak akan berkeberatan
melakukannya." Mahendra mengangguk-angguk. Tetapi untuk sementara ia
sudah berhasil m emisahkan Mahisa Pukat dari Mahisa Murti
apabila Mahisa Pukat benar-benar akan berumah tangga
dengan seorang gadis yang kebetulan pernah menarik hati
Mahisa Murti itu pula. Tetapi sebagai akibat dari keinginannya itu, maka
Mahendrapun harus menghubungi para pejabat di istana
Singasari. Bahkan ternyata kemudian, dalam satu kesempatan
Mahendra sempat menghadap Sri Maharaja di Singasari.
Ternyata keinginan Mahendra untuk mengabdikan anak
laki -lakinya itu telah didengar pula oleh Sri Maharaja di
Singasari. Ternyata Sri Maharaja justru dengan senang hati
memerintahkan agar anak laki -laki Mahendera itu dapat
diterima sebagai Pelay an Dalam.
Mahendra memang menjadi sangat bergembira.
Sebagaimana dititahkan oleh Sri Maharaja, maka
Mahendrapun telah m enghubungi Manggala yang memimpin
Pelay an Dalam di Istana Singasari itu.
"Apa titah Sri Maharaja?" bertanya Gajah Saraya, Manggala
yang memimpin Pelay an Dalam itu.
"Seperti yang sudah aku katakan" jawab Mahendra "Sri
Maharaja bertitah bahwa Sri Maharaja berkenan atas
permohonan anakku untuk menjadi Pelayanan Dalam."
"Untuk apa hal seperti ini kau sampaikan kepada Sri
Maharaja" Bukankah ada bermacam-macam persoalan yang
harus dipikirkan oleh Sri Maharaja" Tentu Sri Maharaja tidak
sempat memikirkan persoalan anakmu itu."
"Tetapi Sri Maharaja ju stru sudah mendengar bahwa
Mahisa Pukat ingin mengabdikan diri dalam lingkungan
Pelay an Dalam di Istana Singasari. Sebelum aku m engatakan
sesuatu tentang anakku itu, maka Sri Maharajalah y ang ju stru
bertanya kepadaku." "Mustahil" jawab Gajah Saraya "aku belum pernah
menyampaikannya kepada Sri Maharaja."
"Entahlah. Aku tidak tahu, siapakah y ang
menyampaikannya kepada Sri Maharaja. Tetapi Sri Maharaja
sudah mengetahuinya dan bahkan Sri Maharaja berkenan
sekali atas keinginan anakku itu jawab Mahendra.
"Mahendra" berkata Gajah Saraya "sebenarnya kau tidak
perlu bertumpu kepada Sri Maharaja. Bukankah sebelumnya
aku juga sudah menyatakan akan mengusahakan agar anakmu
dapat diterima asal anakmu memenuhi persyaratannya."
"Aku mengucapkan terima kasih, Gajah Saraya" sahut
Mahendra "mudah-mudahan anak itu m emenuhi syarat yang
diwajibkan." "Tetapi aku justru menjadi kecewa karena kau telah
menyampaikan langsung kepada Sri Maharaja. Agaknya kau
tidak percaya kepadaku." berkata Gajah Saraya itu kemudian.
"Kau salah paham Gajah Saraya" jawab Mahendra "aku
sudah mengatakan yang sebenarnya. Tetapi justru kau yang
tidak percaya kepadaku. Cobalah kau ingat-ingat, siapa saja
yang pernah mengetahui bahwa anakku akan mengabdikan
diri dalam lingkungan Pelay an Dalam di Istana Singasari"
Mungkin orang itulah yang telah m enyampaikannya kepada
Sri Maharaja." "Apakah kepentingan mereka menyampaikan hal ini
kepada Sri Maharaja?" bertanya Gajah Saraya.
Mahendra hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi
ia mengerti, bahwa Arya Kuda Cemani juga pernah mendengar
keinginannya untuk mengabdikan anaknya dalam lingkungan
Pelay an Dalam. Bahkan Arya Kuda Cemani sangat menyetujui,
karena hal itu langsung atau tidak langsung menyangkut diri
Arya Kuda Cemani itu sendiri. Justru karena Mahisa Pukat
telah berhubungan degnan Sa si, anak perempuan Arya Kuda
Cemani itu. "Apakah Arya Cemani yang telah menyampaikan keinginan
Mahisa Pukat itu k epada Sri Maharaja?" bertanya Mahendra
di dalam hatinya. Tetapi sudah barang tentu bahwa Mahendra
tidak mengatakan hal itu kepada Gajah Saraya.
Tetapi salah paham itu harus diluruskan.
Karena itu, maka Mahendrapun kemudian berkata "Baiklah
Gajah Saraya. Pada kesempatan lain, jika aku menghadap lagi,
maka aku akan bertanya kepada Sri Maharaja, siapakah yang
telah menyampaikan keinginan Mahisa Pukat untuk mengabdi
itu kepada Sri Maharaja."
"Kau berani melakukannya ?" bertanya Gajah Saraya.
"Kenapa tidak " Sri Maharaja adalah seorang y ang hatinya
seluas lautan. Demikian pula Ratu Angabaya, sepupu Sri
Maharaja y ang mendampinginya memerintah di Singasari itu.
Seandainya aku m enyampaikan pertanyaan itu, maka keduaduanya
tentu tidak akan marah."
"Kau terlalu deksura, Mahendra. Kau kira keduanya itu
kawanmu bermain?" berkata Gajah Saraya.
"Tentu tidak Gajah Saraya. Tetapi aku mengenal keduanya
sejak lama. S ejak saudara -saudaraku masih m engabdi disini."
jawab Mahendra. Lalu katanya pula "Kaupun tentu mengerti,
kenapa aku sekarang tinggal di Istana Singasari."
Gajah Saraya termangu-mangu sejenak. Tetapi ia harus
menilai kembali keberadaan Mahendra di Istana itu.
Meskipun demikian, Gajah Saraya itu berkata "Baiklah.
Apapun y ang kau lakukan, akulah yang berwenang untuk
melakukan pendadaran atas anakmu itu. Akulah y ang dapat
menilai, apakah anakmu pantas menjadi seorang Pelay an
Dalam atau tidak." Pernyataan itu memang membuat jantung Mahendra
berdesir. Namun Mahendra sadar, bahwa ia memang tidak dapat
berbuat banyak tanpa harus menimbulkan persoalan dengan
Gajah Saraya. Karena itu, maka Mahendra memang lebih
banyak menunggu. Mahendra berniat agar anaknya dapat
diterima dalam lingkungan Pelay an Dalam tanpa membuat
persoalan. Karena itu, maka sebaiknya Mahisa Pukat
menempuh sy arat-syarat y ang sewajarnya dilakukan untuk
dapat diterima menjadi Pelay an Dalam.
Ketika hal itu dikatakan kepada Arya Kuda Cemani, maka
Arya Kuda Cemani itupun berkata "Gajah Saraya ternyata
tidak berpandangan luas. Hatinya getas seperti ranting yang
kering. Sentuhan kecil saja membuat hatinya patah.
Seharusnya ia tidak merasa tersinggung. Jika hal itu diketahui
Sri Maharaja, maka justru Gajah Sarayalah yang akan
mendapat murka."
04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tetapi biarlah Mahisa Pukat memasuki lingkungan
Pelay an Dalam sesuai dengan syarat-sy arat yang harus
ditempuhnya." berkata Mahendra kemudian.
Arya Kuda Cemani mengangguk-angguk. Katanya "Ya, aku
yakin syarat apapun yang diberikan, jika itu tetap dalam
kewajaran, tentu akan dapat dilaluinya. Pendadaran yang
betapapun beratnya asal masih sesuai dengan paugeran yang
berlaku tentu akan dapat diatasinya. Kecuali jika ada
permainan lain. Jika hal itu terjadi, aku mempunyai wewenang
untuk memberikan laporan."
"Mudah-mudahan hal seperti itu tidak perlu terjadi"
berkata Mahendra. Arya Kuda Cemani ter senyum. Sambil mengangguk-angguk
ia b erkata "Akhirnya kita juga berpaling k epada kepentingan
diri. Jika persoalannya menyangkut diri kita masing-masing
langsung atau tidak langsung, rasa -rasanya kita juga ingin
turut campur." "Ya" jawab Mahendra. Namun katanya kemudian "Tetapi
justru rasa keadilan kita tersinggung."
Arya Kuda Cemani tertawa. Tetapi mereka sepakat untuk
tidak berbuat sesuatu sampai saat pendadaran itu datang.
Mereka akan menyaksikan apakah pendadaran itu
berlangsung wajar atau tidak.
Adalah kebetulan bahwa istana Singsari memang sedang
membutuhkan sepuluh orang Pelayan Dalam baru.
Diutamakan mereka y ang masih muda dengan harapan bahwa
mereka dihari mendatang akan dapat m enjadi Pelay an Dalam
yang mampu menggantikan mereka yang menjadi semakin
tua. Karena y ang menyatakan diri untuk memasuki lingkungan
Pelay an Dalam itu melebihi dari yang dibutuhkan, maka
mereka y ang m enyatakan diri untuk ikut dalam pendadaran
sudah menyadari, bahwa pendadaran akan berlangsung berat.
Duapuluh lima orang akan mengikuti pendadaran. Sementara
yang akan diterima hanya sepuluh orang.
Meskipun demikian Mahendra tidak ingin menempuh jalan
pintas m eskipun seandainya hal itu dapat dilakukan. Apalagi
Sri Maharaja sendiri telah menyatakan berkenan jika anak
Mahendra dapat diterima menjadi Pelay an Dalam.
Demikianlah, maka pada saat yang telah ditentukan, maka
Manggala Gajah Saraya telah memanggil keduapuluh lima
orang yang menyatakan diri untuk memasuki lingkungan
Pelay an Dalam itu. Mereka akan mengikuti pendadaran y ang akan dibaktikan
dalam beberapa tahap. Tahap pertama, duapuluh lima orang itu harus m enempuh
perjalanan dalam jarak t ertentu. Jalan itu melalui beberapa
rintangan alam yang cukup berat. Jalan y ang memang dipilih
melalui lereng -lereng bukit, m eny eberang sungai dan hutanhutan
kecil. Perjalanan yang akan makan waktu sehari
semalam tanpa membawa bekal sama sekali. Mereka yang
dapat menembus rintangan alam itulah yang kemudian akan
mengikuti pendadaran yang kedua.
Mereka akan dilepas seorang demi seorang tanpa diberi
ancar-ancar jalan y ang akan m ereka lalui. Yang ada hanyalah
isy arat-isy arat yang harus mereka cari disepanjang jalan.
Ditempat-tempat tertentu mereka akan menjumpai gardugardu
y ang ditunggui oleh para prajurit. Mereka harus
menyatakan diri kepada para prajurit itu jika mereka telah
melewati gardu itu. Satu saja gardu terlampaui, maka m ereka
dianggap gagal dalam pendadaran tahap pertama.
Demikianlah, maka duapuluh lima. orang itupun telah
bersiap. Mereka y ang akan melakukan pendadaranpun telah
bersiap. Sementara itu itu Manggala Gajah Sarayapun
menunggui pendadaran itu langsung ditempat para peserta
dilepas. Pa da saat y ang sudah ditemukan, maka mulailah orang
yang pertama dilepas untuk menjalani pendadaran. Orang
yang pertama itu dilepas di pagi hari. Meskipun demikian
pada saatnya, maka perjalanannya akan m enembus gelapnya
malam pula. Demikianlah berjarak waktu tertentu, telah dilepas orang
kedua, ketiga, keempat dan seterusnya Dalam urutan itu
ternyata Mahisa Pukat adalah orang y ang terakhir dilepas. Ia
justru dilepas saat matahari
telah terbenam. Sebenarnya Mahisa Pukat sudah merasakan keganjilan
ketika ia diny atakan sebagai
orang terakhir. Ia tidak merasa ikut membuka lontar
yang didalamnya tertulis urutan keberangkatan pada
pendadaran itu sebagaimana
yang lain. Menurut seorang
prajurit y ang mengatur pendadaran, Mahisa Pukat justru peserta susulan yang
tidak turut dalam undian.
"Kau harus mengucap terima kasih bahwa kau dapat
ikut serta" berkata seorang
prajurit ketika ia menanyakan hal itu.
Mahisa Pukat tidak m empersoalkannya lagi. Jika ia m asih
bertanya tentang beberapa hal, maka mungkin sekali ia akan
mengalami kesulitan karena sikap prajurit itu. Karena itu,
maka Mahisa Pukatpun menerima saja apa y ang harus
dilakukan. Baginya sama saja, apakah ia mendapat giliran
pertama atau terakhir. Semuanya akan mengalami waktu yang
sama. Sehari semalam. Yang berangkat pagi hari, pada saatnya
akan berjalan juga digelapnya malam. Bahkan Mahisa Pukat
merasa beruntung, bahwa y ang telah berjalan lebih dahulu
daripadanya sebanyak duapuluh ampat orang, sehingga
jejaknyapun menjadi semakin banyak. Dengan demikian maka
ia akan menjadi lebih mudah menelusuri jalan y ang harus
dilaluinya dalam pendadaran itu.
Demikianlah, maka pada saat yang ditentukan, Mahisa
Pukatpun telah dilepas pula. Sementara gelap malampun
mulai turun perlahan-lahan. Namun bagi Mahisa Pukat
kegelapan itu tidak banyak mempengaruhinya.
Sejenak kemudian, Mahisa Pukatpun telah berjalan melalui
jalan y ang sepi. Ketajaman penglihatannya mampu melihat
dengan baik meskipun gelap menjadi semakin kelam. Dilangit
bintang berhamburan. Selembar awan lewat. Tetapi langit
tetap jernih. Dengan melihat bintang Gubuk Penceng dan bintang
Waluku Mahisa Pukat mampu mengenali arah. Ia tahu pasti
kemana ia berjalan. Ketika jalan berbelok, maka tanpa kesulitan ia mengetahui
arah, kemana ia harus pergi, karena ia m elihat isyarat yang
jelas. Beberapa cabang pepohonan sengaja ditebas. Sehingga
dengan demikian, maka Mahisa Pukatpun telah mengikuti
petunjuk itu. Disamping isy arat itu, maka jejak mereka yang ter -
dahulupun telah menuntun arah bagi Mahisa Pukat, sehingga
ia tidak harus terlalu banyak berpikir.
Semakin lama jalanpun menjadi semakin jauh. Jalan
setapak yang jarang dilalui orang. Bahkan kemudian
memasuki sebuah padang rumput tempat para gembala
menggembalakan kambingnya.
Pa dang rumput itu m emang agak luas. Rerumputan y ang
hijau itu mulai dibasahi oleh embun y ang mulai turun.
Mahisa Pukatpun merasakan bahwa malam memang
menjadi semakin dingin. Tetapi ia berjalan terus. Ia belum
merasakan rintangan yang berarti pada perjalanannya itu.
Ketika ia melewati tanggul sebuah susukan y ang agak besar,
tiba -tiba saja Mahisa Pukat dikejutkan suara anjing yang
menggonggong. Tidak terlalu jauh dari tanggul yang
dilewatinya. Tetapi Mahisa Pukat justru tersenyum. Telinganya y ang
tajam segera mengetahui, suara gonggongan anjing yang
seakan-akan suara seekor anjing y ang sangat besar itu adalah
suara orang. "Tentu satu dua orang prajurit y ang mendapat tugas
mengganggu mereka y ang melakukan pendadaran" berkata
Mahisa Pukat didalam hatinya.
Tetapi justru karena itu timbul niat Mahisa Pukat untuk
bermain-main dengan mereka.
Ketika suara anjing itu menjadi semakin dekat, maka
Mahisa Pukatpun telah ikut pula m enirukan suara anjing itu.
Hampir mirip dengan suara yang menjadi semakin dekat itu.
Yang terdengar kemudian adalah suara tertawa. Dua orang
tidak dapat menahan tertawa mereka. Bahkan kedua orang
prajurit telah muncul dari balik serumpun perdu. Sambil
melangkah mendekati, seorang diantara mereka berkata
"Selamat anak muda. Mudah-mudahan kau dapat melewati
pendadaran ini dengan baik."
"Terima kasih" jawab Mahisa Pukat yang juga tertawa.
Bahkan katanya "Bukankah aku orang terakhir" Marilah, kita
berjalan bersama-sama."
Kedua orang itu tertawa semakin keras. Katanya "Tentu
akan merugikanmu. Jika kau ketahuan berjalan bersama kami,
maka kau tentu dianggap gugur dalam pendadaran ini.
Sementara itu kamipun akan kembali ketempat kalian dilepas,
sehingga kita akan berlawanan arah."
Mahisa Pukatpun sambil tertawa berkata "Baiklah. Kita
akan berpisah." Kedua orang itu berdiri untuk memperhatikan Mahisa
Pukat berjalan memasuki kegelapan. Namun seorang diantara
kedua orang prajurit itu berkata "Anak y ang berani dan ramah.
Aku kira ia akan dapat melewati pendadaran ini."
"Tetapi ia baru m ulai. Masih banyak rintangan yang lain
yang barangkali lebih rumit. Apalagi rintangan alam yang
berat," jawab orang lain.
Orang yang pertama itu mengangguk-angguk sambil
bergumam "Tetapi y ang seorang ini nampak sangat yakin akan
dirinya." "Ya" jawab kawannya "anak ini memang mempunyai
kelebihan. Meskipun sebagian besar memang tidak menjadi
ketakutan, tetapi tanggapan anak ini terasa akrab."
Sementara itu Mahisa Pukatpun telah meneruskan
perjalanannya. Jalan yang sempit y ang kemudian menurut
isy arat yang ada, menuju kesebuah sendang y ang terpencil.
Sendang yang nampaknya jarang dipergunakan airnya.
Beberapa pohon besar tumbuh disekitarnya sehingga suasanya
memang menjadi sangat meny eramkan.
Tetapi bagi Mahisa Pukat, hal itu tidak dapat menggetarkan
bulu-bulunya. Mahisa Pukat berjalan saja mengikuti isyarat
dan bahkan jejak y ang dapat dilihatnya dalam kegelapan,
meskipun kadang-kadang ia harus meraba dengan jari-jarinya.
Beberapa saat maka Mahisa Pukatpun telah tenggelam
dalam gelapnya bayang-bayang beberapa batang pohon
raksasa. Ada diantaranya pohon preh, pohon nyamplung dan
pohon cangkring y ang berduri.
Untuk beberapa saat Mahisa Pukat berhenti dibawah
pepohonan itu sambil mengamat-amati batang-batang raksasa
yang tumbuh bagaikan menjulang kelangit. Kemudian
bay angan hitam dirim bunnya dedaunan. Sekali-sekali
terdengar suara burung malam y ang m emecah sepi. Burung
bence yang suaranya bagaikan menyayat jantung. Memikik
tinggi kemudian hilang dibawa terbang.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Mula-mula ia
mengira bahwa suara itu juga suara seseorang untuk menakutnakuti,
setidak -tidaknya menggetarkan jantung mereka yang
ikut pendadaran. Tetapi ternyata tidak. Suara itu benar-benar
suara burung bence. Mahisa Pukat y akin akan hal itu ketika
burung bence itu terbang meninggalkan pohon ny amplung
raksasa yang tumbuh diantara pohon-pohon raksasa y ang lain.
Mahisa Pukat hanya dapat termangu -mangu sejenak. Baru
kemudian ia berniat meneruskan perjalanannya. Jalan sempit
yang lewat diantara dua batang pohon raksasa. Disebelah kiri
pohon beringin dengan sulur-sulur y ang bergayutan yang
membuat suasana menjadi bertambah seram. Sedangkan
disebelahnya adalah sebatang pohon cangkring berdiri hampir
berimpit dengan sebatang pohon yang sangat besar dengan
jenis daun y ang berbeda. Daun cangkring dan daun benda.
Namun karena kebiasaan seorang pengembara, maka
Mahisa Pukat melangkah tanpa ragu melalui celah-celah
pohon-pohon raksasa itu. Namun Mahisa Pukat memang menjadi terkejut.
Telinganya menangkap desir lembut. Karena itu, maka iapun
segera mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan yang
tidak dikehendaki. Sambil berjalan maka ia benar-benar
memperhatikan suasana. Beberapa langkah Mahisa Pukat berjalan dan lewat
diantara batang-batang raksasa itu, maka tiba-tiba sebuah
bay angan putih terayun menyambarnya. Demikian cepatnya,
sehingga hampir saja bayangan putih itu sempat menyambar
kepalanya. Tetapi dengan tangkas Mahisa Pukat menghindar, sehingga
bay angan putih itu lewat saja sejengkal dari tubuhnya.
Terayun deras seolah-olah terbang kedahan pepohonan.
Tetapi bay angan putih itu tiba-tiba berhenti. Bahkan terayun
kembali seolah-oleh sekali lagi ingin menyambar Mahisa
Pukat y ang berdiri termangu-mangu.
Tetapi pikiran Mahisa Pukat cukup terang. Bayangan itu
tentu hanya sebuah benda y ang terayun karena terikat pada
salah satu dahan pohon-pohon raksasa itu. Tidak ada bedanya
dengan suara gonggongan anjing itu. Tentu para prajurit telah
menakut-nakuti m ereka yang ikut dalam pendadaran untuk
memperlemah keberanian mereka meneruskan perjalanan.
Sekali lagi timbul niat Mahisa Pukat untuk bermain-main.
Ketika benda itu menyambarnya, maka Mahisa Pukat sekali
lagi menghindar. Tetapi ia tidak berlari menjauh. Ia ju stru
menunggu benda itu terayun sekali lagi.
Sebenarnyalah, benda yang berwarna putih yang seakanakan
menggelantung terbang itu terayun lagi menyambarnya.
Dengan cepat Mahisa Pukat meloncat m enangkap benda itu
dan menariknya keras-keras.
Seperti y ang diperhitungkannya, maka tali pengikat benda
04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang dihentakkannya itu telah terlepas. Bahkan kain
pembungkus benda y ang diay unkan itu telah koyak.
Sambil memeluk benda y ang terbungkus kain putih itu
Mahisa Pukat melangkah meneruskan perjalanan.
Tetapi dua orang prajurit ternyata telah mengejarnya
sambil berteriak "He, anak muda. Jangan kau bawa benda itu."
Mahisa Pukat berhenti.Tetapi iapun berkata "Aku adalah
orang terakhir, sehingga benda ini tidak akan dipergunakan
lagi." "Tetapi aku harus membawanya kembali." sahut salah
seorang dari kedua prajurit itu.
Mahisa Pukat meny erahkan benda itu sambil t ertawa.
Katanya "Marilah. Benda itu hanya akan menjadi beban saja
bagiku". Kedua orang prajurit itupun tertawa. Tetapi seorang
diantara m ereka berkata "Kau telah m engoy akkan kain putih
ini." "Apakah masih akan terpakai?" bertanya Mahisa Pukat.
"Setidak-tidaknya dapat aku pergunakan untuk celana
anakku," jawab salah seorang dari kedua prajurit itu.
Mahisa Pukat tertawa semakin keras. Kedua prajurit itupun
tertawa berkepanjangan pula.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, Mahisa Pukatpun
telah meninggalkan kedua orang prajurit itu. Sambil
melambaikan tangannya prajurit itu berkata "Selamat anak
muda. Semoga kau berhasil."
"Terima kasih. Doakan saja, agar aku mampu mengatasi
pendadaran ini." Ternyata Mahisa Pukat justru telah menarik perhatian para
prajurit yang bertugas. Tetapi rintangan y ang masih harus
dilaluinya masih cukup banyak. Justru rintangan alam. Lereng
bukit, tanah-tanah m iring yang terjal, sungai dan hutan yang
masih dihuni binatang buas.
Tetapi dengan tegar Mahisa Pukat berjalan terus. Dilaluinya
rintangan demi rintangan y ang memang disediakan oleh alam.
Dengan hati-hati Mahisa Pukat memanjat lereng bukit kecil
yang terjal, berbatu-batu padas yang runcing. Ketika ia sampai
kepuncak bukit kecil itu, dilihat sebuah pelita minyak kecil
yang nyalanya menggeliat ditiup angin malam.
Mahisa Pukat mengetahui, bahwa pelita itu dipasang pada
sebuah gardu. Salah satu dari gardu -gardu y ang harus
disinggahi selama ia menempuh perjalanan pendadaran.
Ada empat orang prajurit y ang bertugas di gardu itu.
Demikian Mahisa Pukat mendekat, mska salah seorang dari
para prajurit itupun berkata "Kau orang terakhir anak muda."
"Ya" jawab Mahisa Pukat "aku dilepas y ang terakhir."
"Bagus. Berjalanlah terus. Sampai pada gardu ini,
semuanya masih genap duapuluh lima orang. Tetapi dua orang
sudah mulai nampak meragukan akan keberhasilannya.
Meskipun demikian, keduanya meneruskan perjalanan."
Mahisa Pukatpun kemudian telah minta diri. Dalam
kegelapan malam y ang semakin dalam ia meneruskan
perjalanan. Sekali-sekali ia memandang langit y ang bersih.
Bintang Gubug Penceng dan Bintang Waluku sudah bergerak
semakin ke Barat. Bahkan di langit sudah nampak Bintang
Bima Sakti. Mahisa Pukat berhenti ketika ia sampai ke ngarai setelah
menuruni bukit k ecil itu. Kakinya memang terasa agak l etih.
Batu-batu padas terasa menggelitik tapak kakinya.
Untuk beberapa saat Mahisa Pukat beristirahat. Ia sadar
bahwa perjalanannya masih jauh.
Angin malam semilir membuat tubuh Mahisa Pukat
menjadi segar kembali. Perlahan-lahan ia meneruskan
perjalanannya menempuh jalur pendadaran y ang masih jauh.
Anak muda itu tertegun ketika di depannya membentang
sebuah sungai y ang meskipun tidak terlalu lebar, tetapi airnya
cukup deras. Batu-batu y ang besar berserakan dimana-mana.
Mahisa Pukatpun dengan hati-hati menuruni tebing sungai
dan mencoba menjajagi airnya.
Terasa airnya memang sangat dingin. Namun ia tidak
mempunyai pilihan kecuali meny eberang jika ia ingin diterima
menjadi Pengawal Dalam di Istana Singasari.
Ternyata tidak terlalu sulit bagi Mahisa Pukat. Namun
demikian, pakaiannya menjadi basah. Sehingga ia harus
berjalan dengan pakaian basah di udara yang dingin di malam
yang kelam. Jalan yang terbentang dihadapannya kemudian adalah
padang perdu y ang agak luas. Mahisa Pukat y ang sudah
terbiasa mengembara itu mengenali, bahwa setelah padang
perdu yang semakin banyak dipadati pohon-pohon perdu,
biasanya jalan itu akan sampai ke pinggir hutan.
Ketika Mahisa Pukat kemudian memandang kekejauhan
dan melihat bay angan pepohonan y ang rapat membujur
panjang, maka Mahisa Pukatpun mengetahui bahwa yang
dihadapannya itu bukan jajaran padukuhan, tetapi tentu
sebuah hutan meskipun tidak t erlalu besar.
"Memang lebih senang lewat di hutan itu siang hari"
berkata Mahisa Pukat di dalam hatinya.
Tetapi ia tidak dapat memilih. Yang lainpun juga tidak
dapat memilih, karena bagi mereka diberlakukan undian
untuk menentukan saat keberangkatan mereka. Hanya Mahisa
Pukat sajalah diantara para peserta y ang tidak ikut dalam
undian. Namun ditentukan sebagai orang yang berangkat
terakhir. Tetapi sebelum para peserta pendadaran itu sampai ke
hutan, maka mereka akan melalui sebuah gardu lagi. Dari
kejauhan Mahisa Pukat sudah melihat lam pu minyak yang
menyala berkeredipan. Agaknya para prajuritpun
memperhitungkan, bahwa kehadiran gardu itu akan dapat
memberikan sedikit ketenangan bagi para peserta y ang kurang
memiliki keberanian memasuki lingkungan hutan meskipun
hutan yang terhitung kecil.
Ketika Mahisa Pukat singgah di gardu itu, maka iapun
disambut dengan baik oleh para prajurit yang bertugas. Tidak
hanya empat tetapi enam orang. Mahisa Pukat diberitahu
bahwa para peserta semuanya masih utuh, duapuluh lima
orang. Dari para prajurit yang bertugas di gardu itu Mahisa Pukat
mendapat pinjaman sebilah pisau b elati panjang yang tajam.
Dengan nada berat prajurit itu berkata "Kau akan memasuki
jalan ditepi sebuah hutan. Karena itu, maka kau akan
mendapat pinjaman sebilah pisau belati panjang. Tetapi pisau
itu harus kau kembalikan kepada para prajurit y ang ada di
gardu berikutnya, setelah kau melalui hutan itu."
"Terima kasih" jawab Mahisa Pukat sambil menerima pisau
belati itu. Dengan pisau belati di tangan, maka Mahisa Pukat menjadi
semakin tegar. Sebenarnya ia memang tidak memerlukan
pisau itu. Tetapi rasa -rasanya memang lebih tenang membawa
sebilah pisau belati untuk memasuki lingkungan hutan.
Setidak-tidaknya pisau itu akan dapat dipergunakan untuk
membersihkan ranting-ranting y ang menghalangi jalan.
Beberapa saat kemudian, maka perjalanan Mahisa Pukat
telah menjadi semakin dekat
dengan hutan yang.membentang
dihadapannya. Hutan yang meskipun tidak begitu besar,
tetapi nampaknya cukup lebat,
membujur sampai kelereng perbukitan. Mahisa Pukat y ang sudah mengembara melewati lingkungan y ang luas, tetapi
ternyata ia belum pernah melewati jalan-jalan yang
dipergunakan untuk pendadaran
itu m eskipun hanya sekitar Kota
raja saja. Agaknya lingkungan itu m emang lingkungan y ang khusus
untuk kepentingan latihan-latihan para prajurit serta untuk
pendadaran sebagaimana yang sedang terjadi itu.
Dengan sebilah pisau belati panjang Mahisa Pukat berjalan
melalui padang perdu yang semakin rapat. Seperti yang
diperhitungkan maka sejenak kemudian, maka Mahisa Pukat
itu telah m endekati sebuah hutan. Jalan yang dilaluinya itu
akan melewati pinggir hutan y ang gelap itu.
Tetapi Mahisa Pukat sama sekali t idak merasa gentar
menghadapi jalan yang dilaluinya itu. Apalagi ia membawa
sebilah pisau dilambungnya.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, Mahisa Pukat telah
memasuki hutan yang ternyata menurut pengamatan Mahisa
Pukat berdasarkan pengalamannya hutan itu adalah hutan
tutupan. Hutan y ang khusus dipergunakan sebagai arena
perburuan orang -orang tertentu. Bahkan mungkin keluarga
Sri Maharaja di Singasari.
Namun dengan demikian Mahisa Pukatpun menyadari
bahwa hutan itu tentu masih dihuni oleh binatang-binatang
buas yang menjadi sa saran buruan para pemburu.
Karena itu, maka bagaimanapun juga Mahisa Pukat harus
berhati-hati. Demikian ia m emasuki jalan ditepi hutan, maka
ia mulai memperhatikan arah angin.
Ternyata hembusan angin agak kurang menguntungkan
baginya. Angin berhembus kearah hutan y ang pekat itu. Tetapi
Mahisa Pukat berjalan terus. Binatang buas tidak selalu akan
menyerang meskipun binatang itu mencium bau seseorang.
Bahkan binatang-binatang yang tidak terpaksa karena lapar
tidak akan meny erang seseorang.
Demikianlah, maka Mahisa Pukatpun menyusuri jalan
dipinggir hutan itu. Dengan saksama ia memusatkan
perhatiannya pada keadaan sekelilingnya. Bukan saja ia
berusaha untuk melihat setiap gerak didalam kegelapan.
Tetapi telinganyapuri dipergunakannya sebaik-baiknya.
Tiba-tiba saja Mahisa Pukat terkejut. Ia m endengar suara
yang aneh. Derak kayu yang saling bergeser.
Tetapi suara itu disusul aum harimau y ang mengoyak
sepinya malam. Mahisa Pukat dengan cepat mempersiapkan diri. Ia justru
meloncat keluar dari jalur jalan dan berdiri di daerah padang
perdu y ang agak longgar. Oleh bintang-bintang di langit maka
padang perdu itu gelapnya tidak sepekat gelapnya pinggir
hutan yang dilindungi oleh rim bunnya pepohonan.
Sejenak Mahisa Pukat menunggu. Aum harimau itu masih.
terdengar. Tetapi ia masih berharap bahwa harimau itu tidak
mencarinya meskipun mungkin harimau itu sudah m encium
baunya. Tetapi y ang terjadi tidak seperti yang diharapkan oleh
Mahisa Pukat. Agaknya harimau itu benar-benar kelaparan.
Ketika harimau itu muncul dari balik pepohonan hutan, maka
harimau itu nampak garang sekali. Dalam kegalapan
ketajaman mata Mahisa Pukat masih dapat melihat lamatlamat
harimau itu merangkak perlahan-lahan sambil
menengadahkan kepalanya. Agaknya harimau itu sedang
meyakinkan diriny a tentang bau y ang tercium oleh hidungnya
dalam keadaan yang sangat lapar.
Mahisa Pukat m enarik nafas dalam-dalam. Dalam keadaan
yang tegang itu ia masih sempat membuat perhitungan.
Harimau itu tentu harimau y ang dengan sengaja dilepaskan
dari kandang atau perangkapnya. Agaknya harimau itu
dibiarkan kelaparan sehingga dengan demikian harimau itu
menjadi semakin buas. Ternyata harimau itu berhasil mengetahui arah Mahisa
Pukat berdiri. Perlahan-lahan harimau itu melangkah
mendekati Mahisa Pukat. Terdengar harimau itu menggeram.
Mahisa Pukat meraba pisau belatinya. Tetapi iapun
kemudian memutuskan untuk tidak berlama-lama melayani
harimau itu. Ia harus meny elesaikan perjalanannya sekitar
sehari-semalam. Jika ia terlalu lama berhenti dipinggir hutan
itu, maka perjalanannya akan tertunda, sehingga ada alasan
bagi orang-orang yang tidak senang akan kehadirannya dalam
pendadaran itu untuk menganggap bahwa ia mengalami
kelambatan terlalu lama dari waktu yang telah ditentukan,
sehingga ia dapat dianggap gagal dalam pendadaran tataran
pertama. Tetapi Mahisa Pukatpun yakin bahwa tentu ada orang y ang
mengawasi apa y ang akan terjadi. Apakah orang itu berada
dibalik pepohonan atau y ang paling mungkin adalah ju stru
memanjat pepohonan untuk menghindari serangan harimau
yang kelaparan itu. Yang tidak dapat ditebak oleh Mahisa Pukat, apakah
kehadiran seekor harimau itu berlaku juga pada duapuluh
ampat orang lainnya yang mengikuti pendadaran itu, atau
hanya disediakan baginya oleh orang-orang y ang tidak senang
akan keikut sertaannya dalam pendadaran itu.
Karena itu, maka Mahisa Pukatpun berusaha untuk
menghindari penglihatan orang-orang itu jika mungkin ada.
Demikianlah, maka Mahisa Pukatpun kemudian telah
berlari cepat -cepat menjauhi hutan itu melintasi padang
perdu. Namun dalam pada itu, harimau yang lapar itupun
tidak mau melepaskan mangsanya. Karena itu sambil
mengaum harimau itupun meloncat mengejar Mahisa Pukat.
Mahisa Pukat y ang mengerahkan tenaga dalamnya itu
memang dapat berlari cepat sekali. Tetapi harimau itupun
mampu berlari cepat pula.
Dengan cepat Mahisa Pukat menempuh sisa perjalanannya
yang masih separo lebih. Sementara itu, ia mulai memanjat
lereng pegunungan lagi. Tetapi pebukitan yang didakiny a itu
tidak lagi berbatu-batu padas yang menyakiti kakinya. Tetapi
justru tanah terasa sangat licin.
Tetapi bagi Mahisa Pukat perjalanan itu masih belum
membuatnya mengalami kesulitan.
Ketika fajar meny ingsing, maka Mahisa Pukat telah turun
dari pebukitan dan berjalan di ngarai y ang datar. Sebuah
padang rumput y ang luas terbentang dihadapannya.
Ketika matahari terbit, maka terasa udara y ang segar
berhembus lembut. Tetapi di padang rumput itu tidak banyak
terdapat pepohonan. Hanya beberapa batang pohon saja
tumbuh pada jarak y ang cukup jauh.
Semakin lama maka panas mataharipun semakin terasa
menyengat kulit. Sementara itu leher Mahisa Pukat mulai
04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
merasa haus. Sedangkan ia sama sekali tidak membawa bekal
apapun. Di kejauhan Mahisa Pukat melihat bay angan pepohonan
yang hijau. Ia tidak tahu apakah yang nampak itu padukuhan
atau hutan. Tetapi m enurut perhitungan Mahisa Pukat, jalan
itu tentu tidak akan melalui padukuhan-padukuhan y ang akan
dapat memberikan dukungan kepada para peserta
pendadaran. Jika haus, maka di padukuhan itu tentu tersedia
air. Sementara jika lapar, maka akan dapat dicari makan
bagaimanapun caranya. Tetapi ternyata jalan y ang harus ditempuh tidak menuju ke
bay angan pepohonan itu. Ia harus berbelok melalui jalan
setapak justru menghindari pepohonan yang hijau segar.
Mahisa Pukatpun kemudian berbelok mengikuti lor ong
sempit itu. Menurut penglihatannya, maka para peserta yang
terdahulu tentu juga berjalan melalui jalan itu.
Sementara itu maka sengatan mataharipun semakin terasa.
Leher Mahisa Pukat semakin terasa kering. Tetapi ia m asih
belum menjumpai parit, sungai atau anak sungai. Ia juga tidak
menjumpai sumber mata air disepanjang lorong sempit di
tengah-tengah padang rumput y ang luas itu. Apalagi
rerumputan itupun kemudian menjadi semakin kuning. Tanah
mulai bercampur dengan pasir dan kerikil. Sehingga panaspun
terasa semakin membakar tubuhnya.
Keringatpun membasahi kulit Mahisa Pukat dari ujung
kepala sampai keujung kakinya. Tetapi Mahisa Pukat masih
tetap berjalan dengan langkah y ang mantap.
"Memang lebih senang yang mendapat giliran pertama"
berkata Mahisa Pukat didalam hatinya "ketika menempuh
perjalanan di pebukitan dan hutan, hari masih terang.
Sementara ketika menempuh padang ini matahari sudah
tenggelam." Tetapi Mahisa Pukat tidak dapat merasa iri. Beberapa orang
diurutan terakhir juga mengalami sebagaimana yang
dialaminya. Orang y ang keduapuluh ampat hanya berselisih
beberapa saat saja daripadanya.
Ketika Mahisa Pukat melihat segerumpul pepohonan
raksasa di tengah-tengah padang itu, maka naluri
pengembaranya m engatakan kepadanya, bahwa di tempat itu
ada air. Meskipun barangkali tidak terlalu banyak.
Karena itu, meskipun arah perjalanannya tidak m endekati
sekelompok pepohonan itu, maka Mahisa Pukat sengaja telah
menyimpang meskipun agak jauh.
Sebenarnyalah, di tempat itu Mahisa Pukat memang
menemukan sebuah sumber air yang cukup besar. Bahkan
airnya melimpah mengalir kesebuah parit. Tetapi parit itu
tidak menyilang jalan y ang harus dilalui jalan yang harus
ditempuh oleh mereka yang mengikuti pendadaran.
Ternyata Mahisa Pukat sempat menghilangkan hausnya,
sementara ia masih harus berjalan cukup panjang.
Tetapi setelah minum, maka tubuh Mahisa Pukat terasa
semakin segar. Ia dapat berjalan lebih cepat lagi. Bahkan
seakan-akan Mahisa Pukat itu telah berlari-lari kecil untuk
mengganti waktu y ang dipergunakan meny impang beberapa
saat ketika ia m encari sumber air y ang tidak terletak dekat
dengan jalan y ang harus ditempuh.
Tetapi ia tidak harus t etap b erjalan selalu diteriknya sinar
matahari. Beberapa saat kemudian, maka Mahisa Pukatpun
telah m emasuki sebuah hutan kecil. Hutan y ang nampaknya
tidak begitu buas. Pepohonan yang tumbuh didalamnya tidak
terlalu lebat. Tetapi m emang tidak mustahil bahwa di tempat
itu juga terdapat binatang buas.
Karena itu, maka Mahisa Pukat harus berhati-hati.
Mungkin saja tiba -tiba seekor harimau terlepas dari
perangkapnya dan berusaha menerkamnya lagi.
Tetapi agaknya dihutan kecil itu memang tidak terdapat
seekor harimaupun. Yang terdapat dihutan itu ternyata adalah
beberapa ekor ular. Seekor ular gadung yang tidak t erlalu
besar telah m enyambarnya dari sebatang pohon. Untunglah
Mahisa Pukat sempat meloncat menghindar. Meskipun ia
mempunyai penangkal racun, namun ia masih belum m erasa
perlu untuk menunjukkan kepada para prajurit yang menilai
pendadaran itu. Jika terdapat gigitan seekor ular, tetapi ia
tidak mengalami sesuatu, maka hal itu akan dapat m enarik
perhatian. "Mudah-mudahan tidak ada seorangpun y ang digigit ular
disini" desis Mahisa Pukat. Ia memang m enganggap tempat
itu sangat berbahaya bagi sebuah pendadaran.
Beberapa puluh langkah lagi, maka langkah Mahisa
Pukatpun terhenti. Ia melihat seekor ular sawah melintasi
jalan y ang akan dilaluinya. Tetapi karena ular sawah bukan
termasuk ular yang berbahaya, maka Mahisa Pukat tidak
bergeser dari tempatnya berdiri.
"Hutan ular" desis Mahisa Pukat. Bahkan ketika ia hampir
sampai diujung hutan kecil itu, ia masih bertemu dengan
seekor ular bandotan. Ular yang sangat berbisa, sehingga
karena itu, maka Mahisa Pukatpun harus bersiap-siap
menghadapinya, karena ular bandotan memang sering
menyerang lebih dahulu. Tetapi justru karena Mahisa Pukat berdiri mematung, maka
ular bandotan itupun segera bergeser menjauh dan masuk
kedalam lebatnya hutan. Agaknya udara yang panas telah
membuat ular-ular di hutan itu dan sekitarnya kepanasan dan
mencari tempat yang lebih sejuk.
Demikianlah beberapa saat kemudian, Mahisa Pukat telah
berada di ujung hutan, sementara matahari telah lewat puncak
langit. Jantungnya berdesir ketika demikian ia lewat hutan itu,
maka ia telah melihat sebuah lagi gardu yang dijaga oleh
beberapa orang prajurit. Ketika Mahisa Pukat mendekati
gardu itu untuk menyatakan kehadirannya, maka para prajurit
di gardu itu menyambutnya dengan sikap y ang wajar. Memang
agak berbeda dengan para prajurit y ang ada di gardu setelah ia
melewati hutan perburuan.
"Bukankah kau tidak apa-apa?" bertanya salah seorang
prajurit "maksudku, bukankah kau tidak dipatuk ular."
"Hampir saja" jawab Mahisa Pukat "ular gadung y ang
menyambar aku dari pepohonan dan ular bandotan"
"Sokurlah" desis prajurit itu. "Ada tiga orang y ang tidak
sempat menghindar sehingga dipatuk ular. Ketiganya masih
ada disini. Tetapi ketiganya sudah diobati."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk kecil. Katanya
"Untunglah bahwa mereka sempat tertolong."
"Setiap kali kami melihat keadaan. Atau mereka y ang
digigit ular biasanya berlari keluar dari hutan itu."
Muhisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya "agaknya
gardu ini memang ditempatkan disini bukan saja untuk
mengamati para peserta pendadaran, tetapi juga untuk
menolong mereka yang mengalami kecelakaan."
"Ya" jawab salah seorang prajurit.
"Lalu bagaimana dengan mereka?" bertanya Mahisa Pukat
sambil memperhatikan ketiga orang anak muda yang
berbaring disebuah amben y ang besar di gardu itu.
"Keadaan mereka sudah berangsur baik" jawab prajurit itu.
"Maksudku, apakah dengan demikian mereka dianggap
gagal dalam pendadaran y ang mereka ikuti?"
Prajurit itu termangu-mangu sejenak. Dengan dahi y ang
berkerut iapun berkata "Agaknya memang demikian anak
muda. Karena itu kau dapat bersukur bahwa kau tangkas
sehingga kau dapat lolos dari patukan ular dihutan itu seperti
kawan-kawanmu y ang lain."
"Bukan karena ketangkasanku" jawab Mahisa Pukat "tetapi
aku justru diam mematung ketika ular itu lewat."
"Jika demikian otakmulah y ang tangkas" jawab prajurit itu.
"Terima kasih" jawab Mahisa Pukat y ang sejenak kemudian
minta diri untuk melanjutkan tugas pendadarannya.
Jalan yang dihadapinya kemudian nampaknya tidak lagi
terlalu sulit. Meskipun jalan menjadi turun naik karena
padang perdu yang memang tidak rata. Tetapi jalan yang
menanjak dan menurun tidak terasa terlalu terjal. Namun
demikian, langit terasa bagaikan membara. Matahari yang
sudah melewati puncaknya justru terasa semakin panas.
Sinarnya menerpa tubuh Mahisa Pukat serta memeras
keringatnya dari seluruh wajah kulitnya.
Perasaan haus telah kembali mengganggunya. Meskipun
demikian namun Mahisa Pukat memperhitungkan bahwa ia
tidak akan kehabisan tenaga sampai saatnya ia sampai
ketempat y ang sudah ditentukan sebagai tujuan akhir dari
pendadaran, seandainya ia tidak mendapat air.
Dalam pada itu, ketika Mahisa Pukat melintasi daerah y ang
agak tinggi, maka ia melihat dua punggung gumuk yang
memanjang. Pengalamannya mengatakan, bahwa diantara
kedua punggung gumuk y ang memanjang itu terdapat sungai
atau anak sungai meskipun mungkin sudah mengering.
Karena itu, maka seperti yang telah dilakukan Mahisa
Pukat ingin keluar dari jalur perjalanannya menuju ketempat
yang diperkirakan mengandung air itu. Bahkan sebuah anak
sungai. Tetapi sebelum ia benar-benar memasuki padang perdu
yang panas itu, tiba-tiba saja ia mendengar suara seseorang
yang mengerang. Dengan cepat Mahisa Pukat meloncat
melintasi tikungan ditebing y ang agak tinggi.
Demikian ia melampaui tikungan itu, maka iapun telah
melihat seseorang y ang duduk bersandar tebing. Wajahnya
pucat sementara keringatnya bagaikan terperas dari seluruh
tubuhnya. Bibirnya nampak kering dan tubuhnya menjadi
sangat lemah. "Kau kenapa?" bertanya Mahisa Pukat.
"Aku tidak tahan lagi. Leherku bagaikan terbakar." desisnya
hampir tidak terdengar. "Apakah kau salah seorang peserta pendadaran untuk
memasuki lingkungan Pelay an Dalam?" bertanya Mahisa
Pukat. "Kau berada di urutan keberapa?" bertanya Mahisa Pukat
pula. "Dua puluh dua" jawab orang itu dengan nafas terengahengah.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak
bertanya anak-anak muda y ang digigit ular itu berada pada
urutan keberapa. Namun tanpa ditanya anak muda y ang kehausan itu,
berkata "Sudah ada dua orang y ang lewat mendahului aku.
Tetapi mereka tidak berhenti sama sekali. Aku tidak
menyalahkan mereka, karena mereka juga kehausan dan
lebih." Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Tetapi ia tidak
berniat meninggalkan anak muda itu dalam keadaannya.
Karena itu, maka katanya "Tunggulah. Aku akan mencari air."
"Kemana kau mencari air?" bertanya orang itu dengan
suara yang lemah. "Jika didekat tempat ini ada air, aku akan mengambil
untukmu." jawab Mahisa Pukat.
"Tetapi itu akan memakan waktu yang panjang. Kau akan
melampaui waktu yang ditetapkan sehingga kau akan
dianggap gagal pula." berkata anak muda itu.
" Itu bukan soal. Tetapi keadaanmu yang sangat lemah ini
memerlukan pertolongan. Seandainya aku gagal karena ini,
aku tidak meny esal. Aku m asih akan m endapat kesempatan
untuk mengikuti pendadaran pada kesempatan berikutnya
atau untuk menjadi prajurit," jawab Mahisa Pukat.
Anak muda itu tidak m enjawab. Sementara Mahisa Pukat
berkata selanjutnya "Tunggulah disini. Bertahanlah."
Sejenak kemudian maka Mahisa Pukatpun segera meloncat
berlari menuju ke gumuk yang memanjang membujur hampir
sejajar dengan jalan ayang harus dilalui.
Ternyata Mahisa Pukat masih mampu berjalan cepat.
Beberapa langkah dari gumuk y ang ternyata merupakan tebing
yang agak tinggi itu, Mahisa Pukat sudah mendengar
gemericik air. "Air"desisny a.
Sebenarnyalah, ketika ia berdiri dialas tebing, ia melihat air
yang mengalir. Meskipun tidak begit u deras, tetapi cukup
melimpah dibanding dengan
kebutuhan Mahisa Pukat. Dengan hati-hati Mahisa Pukatpun kemudian turun kesungai kecil itu. Dengan jarijarinya
ia menyibak air y ang jernih dan kemudian dengan
kedua telapak tangan y ang
ditakupkan maka iapun meneguk air itu pula. Tubuh Mahisa Pukat terasa
segar kembali sebagaimana
ketika ia minum sebelumnya.
Sebenarnyalah bahwa Mahisa
Pukat masih belum benar-benar
kehausan karena ia telah menemukan sumber air sebelum ia sampai ke hutan kecil itu.
Tetapi yang juga penting baginya adalah bahwa ia ingin juga
membantu anak muda yang kehausan itu.
Karena itu, maka Mahisa Pukatpun telah mencari daun
tales yang lebar y ang kebetulan tumbuh dipinggir sungai itu.
Dengan daun tales itu Mahisa Pukat dengan hati-hati
membawa air naik keatas tebing dan berjalan cepat-cepat
kembali ke tempat anak muda itu menunggunya.
Ketika Mahisa Pukat sampai ketempat anak muda itu, maka
didapatinya anak muda itu terbaring diam. Matanya terpejam
sedangkan bibirnya y ang kering menganga.
Dengan cepat Mahisa Pukat mendekatinya dan meraba
dada orang itu. Ternyata bahwa nafasny a masih mengalir
melalui lubang hidungnya.
Dengan hati-hati Mahisa Pukat telah menitikkan air kebibir
yang kering itu. Setitik dua titik, ternyata telah membuat anak
muda itu sadar kembali. "Minumlah" desis Mahisa Pukat.
Anak m uda itu tersenyum. Titik-titik air itu benar-benar
membuat tubuh anak muda itu menjadi bergetar kembali.
Darahnya y ang seakan-akan hampir berhenti mengalir itu,
telah membuat jantungnya berdetak wajar.
Perlahan-lahan anak muda itu telah bangkit dan duduk.
Beberapa teguk ia minum air didaun tales y ang lebar itu.
04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sejenak kemudian maka anak muda itu sudah dapat
tersenyum. Katanya "Terima kasih Ki Sanak. Aku merasa
hidup kembali setelah nyawaku berada di ujung rambutku."
"Sudahlah" berkata Mahisa Pukat "sebentar lagi tenagamu
akan tumbuh kembali meskipun tidak dapat dengan serta
merta pulih kembali. Tetapi kau akan dapat meneruskan
perjalanan. Setidak-tidaknya sampai ke gardu mendatang."
Anak muda itu mengangguk. Katanya "Ya. Aku akan
meneruskan perjalanan sampai ke gardu. Berangkatlah lebih
dahulu, agar kau tidak t erlambat. Lihat matahari telah turun
semakin rendah. Agaknya kau adalah orang terakhir dalam
pendadaran ini." "Ya" jawab Mahisa Pukat "aku memang orang terakhir."
"Orang y ang ke duapuluh tiga dan duapuluh empat sudah
lewat beberapa saat yang lalu" desis anak muda itu.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Marilah. Kita berjalan bersama-sama."
"Jangan" berkata anak muda itu "nanti kau terlambat"
Tetapi Mahisa pukat tidak mau meninggalkan anak muda
itu. Dibantunya anak muda itu bangkit dan kemudian berjalan
perlahan-lahan. Namun agaknya air yang telah diminum itu
membuat anak muda itu mampu berjalan agak cepat.
"Aku tidak berharap untuk dapat diterima" berkata anak
muda itu. "Tetapi kaupun tidak seharusnya terbaring di padang perdu
itu" jawab Mahisa Pukat.
Anak muda itu mengangguk kecil.
Setelah beberapa saat mereka berjalan, maka keduanya
terkejut. Mereka melihat muncul dihadapan mereka dua orang
berkuda menuju kearah mereka.
Meskipun mungkin mereka juga tergesa -gesa karena
mereka tidak mau terlambat, tetapi setidak-tidaknya mereka
dapat melaporkan kepada gardu berikutnya yang mereka
lewati. Untunglah bahwa para prajurit itu merasa bertanggung
jawab atas keselamatan para peserta sehingga dua orang yang
masih belum lewat telah dicarinya.
"Tentang ketiga orang yang berada di gardu disebelah
hutan itu, agaknya para prajurit di gardu itu telah m endapat
laporan" berkata Mahisa Pukat didalam hatinya. Setidaktidaknya
dari para peserta. "Jika belum prajurit itu tentu menanyakannya" berkata
Mahisa Pukat kepada diri sendiri.
Demikianlah Mahisa Pukatpun telah menempuh bagian
terakhir dari pendadarannya. Ketika matahari menjadi
semakin rendah, m aka Mahisa Pukat berjalan semakin cepat,
sehingga sebelum matahari hilang dari langit menjelang senja,
maka Mahisa Pukat telah memasuki lingkaran sasaran akhir
dari pendadaran yang sedang dilakukannya.
Mahisa Pukat m emang menjadi berdebar-debar ketika ia
memasuki sebuah pudukuhan yang diisyaratkan sebagai
tujuan akhir. Padukuhan y ang dikelilingi lingkungan
persawahan dan pategalan yang subur.
Demikian Mahisa Pukat memasuki sebuah jalan y ang agak
lebar y ang turun kesebuah bulak yang luas, terasa betapa
dadanya m enjadi lapang. Dengan cepat ia melangkah m enuju
pintu gerbang padukuhan itu melewati pategalan y ang sedang
ditanami palawija. Agaknya air agak sulit mencapai daerah
pategalan y ang m emang agak lebih tinggi. Namun pategalan
itu bukannya pategalan yang gersang.
Ketika Mahisa Pukat mendekati pintu gerbang padukuhan
itu, ternyata beberapa orang prajurit telah menunggu. Bahkan
anak-anak muda banyak pula berdiri diseputar pintu gerbang
itu. Agaknya mereka m emang menunggu orang terakhir yang
mengikuti pendadaran itu.
Demikian Mahisa Pukat memasuki pintu gerbang, maka
anak-anak muda itupun bertepuk tangan riuh. Seorang
prajurit menyatakan bahwa anak muda yang datang itu adalah
peserta yang terakhir yang memasuki batas jarak pendadaran
dalam waktu yang tidak lebih dari batas y ang ditentukan.
Oleh seorang prajurit Mahisa Pukat langsung dibawa ke
banjar padukuhan. Demikian ia memasuki halaman banjar,
maka iapun m elihat beberapa orang perwira telah berada di
banjar. Termasuk Gajah Saraya.
Bahkan Mahisa Pukatpun melihat beberapa orang prajurit
yang dapat dikenalinya sebagai para petugas y ang berada di
sepanjang lintasan pendadarannya.
Seorang prajurit yang bertugas menerima para peserta
itupun kemudian telah mempersilahkan Mahisa Pukat untuk
langsung naik ke serambi samping.
Mahisa Pukat mengangguk hormat. Iapun segera
melangkah menuju keserambi samping.
Prajurit y ang m empersilahkan naik keserambi itu sempat
berkata kepadanya "Anak muda. Kau nampak masih begitu
segar, sementara kawan-kawanmu semuanya nampak
kelelahan." Mahisa Pukat termangu -mangu sejenak. Namun kemudian
iapun menjawab "Aku hanya berpura-pura. Sebenarnyalah aku
hampir menjadi pingsan."
Prajurit itu tersenyum. Katanya "kau kira aku tidak dapat
melihat keadaanmu dan keadaan kawan-kawanmu" Aku
mampu memperbandingkannya. Aku justru ingin
mengucapkan selamat kepadamu. Mudah-mudahan pada
pendadaran selanjutnya kau juga mampu menunjukkan
kelebihanmu seperti sekarang ini."
Mahisa Pukat m enarik nafas dalam-dalam. Dengan nada
dalam ia menjawab "Doakan saja Ki Sanak."
Prajurit itu menepuk bahu Mahisa Pukat. Katanya "Kau
tentu memiliki tenaga setegar seekor kuda."
Mahisa Pukatlah yang tersenyum. Katanya "Mungkin.
Tetapi seekor kuda kerdil."
Prajurit itu tertawa. Sambil menunjuk ia berkata "Disana
mereka y ang baru saja menyelesaikan pendadaran menunggu.
Ada beberapa orang y ang tidak dapat mencapai tempat ini.
Say ang sekali bahwa mereka tidak dapat ikut meramaikan
pendadaran berikutnya. Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya "Mudahmudahan
aku dapat menembus pendadaran berikutnya.
Tetapi apakah aku boleh mengerti, pendadaran ini
diselenggarakan dalam berapa lapis?"
"Tentu boleh" jawab prajurit itu "ada tiga lapis. Nampaknya
kau sudah meny elesaikan pendadaran pada lapis pertama."
"Mudah-mudahan" jawab Mahisa Pukat.
Prajurit itu termangu-mangu sejenak. Ia telah memandang
keadaan disekelilingnya. Baru kemudian ia berdesis "Aku tidak
ingin mendahului para perwira yang akan mengambil
keputusan. Tetapi nampaknya kau memenuhi segala
persy aratan. Bahkan melebihi dari yang lain, karena kau masih
nampak paling tegar diantara kawan-kawanmu y ang lain."
Mahisa Pukat tertawa kecil. Katanya "Kau masih saja
memuji. Terima kasih."
Demikianlah, maka Mahisa Pukatpun segera naik ke
serambi. Demikian ia memasuki serambi y ang dibatasi dinding
sebelah itu, maka dilihatnya beberapa orang y ang duduk
diatas tikar itu terbentang seluas serambi itu. Bahkan ada
diantara mereka y ang terbaring dan menjulurkan kaki
kelelahan. Mahisa Pukat tidak ingin m endapat perhatian lebih dari
mereka y ang telah berada diserambi. Mereka adalah anakanak
muda yang baru saja menyelesaikan pendadaran.
Terutama mereka y ang meny elesaikan pendadaran pada
giliran-giliran terakhir.
Karena itu, demikian ia melangkah masuk, maka iapun
segera menjatuhkan dirinya sambil menjelujurkan kakinya.
Dipijit-pijitny a kakinya sehingga Mahisa Pukatpun nampak
kelelahan seperti kawan-kawannya y ang lain. Seorang yang
bertubuh tinggi besar yang duduk t idak jauh dari Mahisa
Pukat bertanya "Kaukah y ang mendapat giliran terakhir ?"
"Ya"jawab Mahisa Pukat "hampir saja aku tidak m encapai
tempat ini." "Aku juga" berkata anak muda yang bertubuh raksa sa itu
"untunglah bahwa pada saat-saat terakhir aku masih mampu
mengerahkan sisa -sisa tenagaku meskipun nafasku hampir
terputus." "Aku hampir berputus asa" desis seorang anak muda y ang
bertubung sedang. Namun pada tubuhnya y ang sedang itu
nampak tersimpan kekuatan y ang besar. Meskipun demikian
ia juga nampak kelelahan sebagaimana anak muda yang
bertubuh raksasa itu. Sesaat kemudian, seorang anak muda yang berjambang
lebat, berkumis tebal dan berikat kepala hitam memasuki
serambi itu pula. Nampaknya ia justru sudah cukup lama
beristirahat sehingga tubuhnya sudah nampak semakin segar.
Dengan nada tinggi ia berkata "Baru pada pendadaran
pertama, kalian sudah hampir mati kehabisan nafas.
Bagaimana dengan pendadaran berikutnya " Kenapa kalian
tidak menarik diri saja daripada hanya membuang-buang
waktu ?" Anak muda y ang bertubuh raksasa itu mengerutkan
dahinya. Tiba-tiba saja ia bertanya "Kau peserta pada urutan
keberapa ?" "Kedua" jawab anak muda y ang berjambang lebat itu.
"Kau sudah sempat beristirahat" desis y ang bertubuh
raksasa tetapi masih kelelahan itu.
"Sejak aku sampai ketempat ini, aku sama sekali tidak
merasa letih. Aku tetap segar. Pendadaran ini tidak berarti
apa-apa bagiku." jawab anak muda yang berjambang lebat.
Mahisa Pukat rnulai cemas bahwa pembicaraan itu akan
berkepanjangan. Tetapi ternyata anak muda yang bertubuh
raksasa itu berdesis "Ternyata aku harus memikul beban berat
badanku lebih dari berat badanmu. Aku hampir mati
diperjalanan." Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Pembicaraan
itupun terhenti karenanya. Ju stru karena pengakuan anak
muda yang bertubuh raksasa itu.
Dalam pada itu, seorang prajurit telah datang untuk
memberitahukan kepada Mahisa Pukat, bahwa telah
disediakan minuman dan makanan didapur banjar itu.
Mahisa Pukat mengangguk sambil berdesis "Terima kasih."
"Apakah kau masih dapat berjalan ke dapur ?" bertanya
prajurit itu. "Tentu" jawab Mahisa Pukat "tenggorokanku kering dan
sudah tentu perutku sangat lapar."
Mahisa Pukatpun kemudian berdiri dan berjalan tertatihtatih
menuruni tangga serambi. Sementara itu anak muda
berjambang lebat itu tertawa sambil b erkata "Seharusnya kau
tidak usah ikut pendadaran ini. Ikut saja pendadaran untuk
menjadi juru madaran."
Mahisa Pukat memang berpaling. Tetapi ia tidak ingin
menjawab. Namun yang justru m enjawab adalah anak muda
bertubuh raksasa "Tetapi ia berhasil mencapai batas akhir
seperti kita. Aku juga kelelahan dan hampir semuanya
mengalaminya. Bahkan barangkali kaupun juga kelelahan
ketika kau baru saja datang."
"Tidak" jawab anak muda berjambang itu "aku datang
dalam keadaan yang masih segar sama sekali."
Anak muda berjambang itu tidak mengira bahwa prajurit
yang mempersilahkan Mahisa Pukat itulah yang akan
menyahut "Jangan berbohong. Aku melihat bagaimana kau
memasuki pintu gerbang banjar ini."
Anak muda itu berpaling. Wajahnya memang menjadi
merah. Namun ia masih juga menjawab "Tetapi
bagaimanapun juga, aku memasuki halaman ini dalam
keadaan yang lebih baik dari kalian semuanya."
Ternyata anak-anak muda y ang lain merasa lebih baik
berdiam diri. Mereka masih ingin beristirahat. Karena itu
maka mereka tidak merasa perlu untuk berbantah.
Mahisa Pukat yang berjalan ke dapur agaknya lupa bahwa
ia seharusnya masih kelelahan. Tetapi Mahisa Pukat berjalan
setegar prajurit yang mengajaknya ke dapur.
Anak-anak muda diserambi tidak sempat
memperhatikannya. Tetapi prajurit itu berkata "Keadaanmu
jauh lebih baik dari anak muda berjambang itu."
"Aku kelelahan, kehausan dan kelaparan," jawab Mahisa
Pukat "tetapi aku sempat beristirahat sejenak, sehingga
keadaanku menjadi lebih baik.
Prajurit itu tidak berkata apa-apa lagi. Sementara itu
Mahisa Pukatpun telah berada didapur untuk meneguk
minuman hangat dan makan. Tetapi petugas yang
menghidangkan kepadanya memperingatkan bahwa sebaiknya
Mahisa Pukat tidak tergesa-gesa meneguk minumannya dan
jangan makan terlalu banyak.
Malam itu, semua peserta harus tidur di banjar. Besok pagipagi
mereka akan mendengarkan beberapa keterangan tentang
pendadaran pada tataran pertama itu.
Namun m alam itu Mahisa Pukat sempat berbicara dengan
beberapa orang peserta pendadaran. Diantara mereka, tidak
seorangpun yang mengalami seekor harimau di hutan
perburuan. Hanya Mahisa Pukat sebagai orang terakhir
sa jalah yang mendapat serangan seekor harimau loreng yang
besar dan justru kelaparan.
Tetapi Mahisa Pukat tidak dapat menganggap bahwa y ang
terjadi itu satu usaha untuk menggagalkan pendadaran yang
dijalaninya. Mungkin secara kebetulan memang ada seekor
harimau lapar y ang keluar dari hutan disaat ia lewat.
Sementara hal itu m asih m enjadi teka -teki, Mahisa Pukat
tidak membesar-besarkan persoalan itu. Bahkan dengan sadar
ia berusaha untuk tidak menimbulkan kesan bahwa ia telah
diserang seekor harimau sehingga anak muda yang diajaknya
berbicara segera melupakan pertanyaan Mahisa Pukat tentang
seekor harimau di hutan perburuan.
Malam itu ternyata semua prajurit yang bertugas dalam
pendadaran sudah berkumpul. Mereka m emberikan laporan
kepada para petugas yang akan m enentukan, siapakah yang
dianggap mampu meny elesaikan pendadaran pada tataran
pertama dengan baik dan siapa yang tidak.
Dalam pada itu Gajah Saraya sebagai Manggala Pelay an
Dalam menunggui pembicaraan penentuan itu. Tetapi ia tidak
banyak ikut cam pur. Ia sudah m empercayakan keputusan itu
kepada para perwira y ang ditunjuknya untuk melakukan
pendadaran itu.
04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dari duapuluh peserta pendadaran ternyata delapan orang
dinyatakan gagal. Dengan demikian m aka tujuh belas orang
akan mengikuti pendadaran pada tataran berikutnya.
Ketika keputusan itu diumumkan pada pagi harinya, maka
para peserta itu sudah tidak terkejut lagi. Bahkan mereka yang
gagal pun telah merasa sejak sebelumnya, bahwa mereka tidak
akan mendapat kesempatan untuk mengikuti pendadaran
berikutnya. Mahisa Pukat ternyata mendapat kesempatan untuk
mengikuti pendadaran para tataran berikutnya. Meskipun ia
merasa bahwa ada sesuatu yang tidak wajar, khusus bagi
dirinya, namun ternyata ia telah mampu mengatasi bukan saja
pendadaran itu sendiri, tetapi juga satu sikap yang tidak wajar
terhadap diriny a. Terutama ketika tiba-tiba saja seekor
harimau telah meny erangnya ketika ia berada di hutan
perburuan. Juga kenapa para prajurit y ang bertugas di gardu
dibelakang hutan perburuan itu merasa heran, bahwa
pisaunya tidak bernoda darah.
Tetapi Mahisa Pukat tidak m engungkapkan kecurigaannya
itu kepada kawan-kawannya.
Baru kemudian, ketika Mahisa Pukat dan para peserta itu
diperkenankan pulang ke rumah masing -masing untuk
menunggu saatnya pendadaran pada tataran kedua, Mahisa.
Pukat menceriterakan kecurigaannya itu kepada ay ahnya.
Mahendra mengangguk-angguk mendengar pengaduan
anaknya itu. Namun demikian ia berkata "Tetapi ternyata kau
masih mendapat perlindungan dari Yang Maha Agung.
Ber sy ukurlah bahwa kau masih akan mendapat kesempatan
untuk mengikuti pendadaran pada tataran berikutnya."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya "Ya ay ah.
Mudah-mudahan aku dapat meny elesaikan pendadaran pada
tataran-tataran berikutnya dengan baik."
"Karena itu, berdoalah. Kau tidak dapat sekedar
mengandalkan kemampuan dan ilmumu. Tetapi juga perkenan
dari Yang Maha Agung. Meskipun menurut perhitungan
lahiriah kau mempunyai kelebihan dari anak-anak muda yang
lain, tetapi mungkin ada unsur-unsur y ang tidak diketahui
sebelumnya, sebagaimana tiba -tiba hadirnya seekor harimau
di hutan perburuan itu, akan dapat mengganggu pelaksanaan
pendadaranmu. Bahkan mungkin menggagalkannya."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud
ay ahnya, karena iapun pernah mendengar ayahnya berkata
meskipun tidak langsung, bahwa ada orang y ang tidak
menginginkannya menjadi Pelayan Dalam. Bukan karena
sikap dan tingkah laku Mahisa Pukat atau karena sebab-sebab
lain y ang menyangkut anak mudaitu, karena orang tidak
senang melihatnya m emasuki lingkungan Pelay an Dalam itu
belum m engenal secara pribadi anak muda itu. Tetapi ju stru
karena orang itu m erasa tersinggung bahwa Mahendra telah
berhubungan langsung dengan Sri Maharaja.
Dengan demikian maka Mahisa Pukat memang harus
berhati-hati untuk seterusny a. Ia memang harus selalu berdoa
untuk mendapat perlindungan dan bimbingan dari Yang Maha
Agung. Dalam pada itu, diluar pengetahuan Mahisa Pukat, maka
beberapa orang tengah membicarakan kelebihan seorang anak
muda peserta terakhir dari pendadaran itu. Seorang dari
antara para prajurit yang bertugas telah berbincang dengan
seorang kawannya tentang kelebihan Mahisa Pukat.
"Harimau itu diketemukan m ati" desis salah seorang dari
prajurit itu. "Ya. Dan tanpa diketahui bagaimana caranya membunuh
harimau itu. Harimau itu tidak t erluka pada kulitnya.
Pisaunyapun tidak berbekas darah." sahut kawannya.
"Anak muda itu " sengaja memancing harimau itu ke padang
perdu sehingga sulit untuk dapat diawasi. Baru kemudian
Raja Naga 7 Bintang 3 Fear Street - Sagas Ix Hati Seorang Pemburu Heart Of The Hunter Suramnya Bayang Bayang 18