Pencarian

Hijaunya Lembah Hijaunya 22

04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 22


cantrik Padepokan Bajra Seta telah berjuang dengan sepenuh
tenaga dan kemampuan untuk menahan arus para para
peny erang. Satu dua tangga memang sudah dicoba untuk
dipasang. Tetapi dengan bambu-bambu panjang para cantrik
dari Padepokan Bajra Seta telah mendorong tangga-tangga itu
sehingga roboh. Tetapi arus serangan para cantrik dari Padepokan Ngan-cas
dan tiga padepokan y ang lain itu mengalir seperti banjir
bandang. Rasa-rasanya sulit bagi para cantrik padepokan
Bajra Seta untuk membendungnya. Hujan panah seakan-akan
tidak berarti sama sekali bagi m ereka. Beberapa orang yang
terjatuh, tidak menghalangi arus serangan mereka. Tanggatanggapun
mulai diangkat untuk disandarkan pada dinding
padepokan. Semakin lama semakin banyak.
Dengan tombak dan lembing serta senjata-senjata y ang
sudah siap ditangan, para cantrik Padepokan Bajra Seta
mencoba menahan gerak maju lawan. Dengan segenap
kemampuan para cantrik itu bertempur. Satu dua orang lawan
terlempar jatuh dengan dada yang koyak. Namun y ang lain
mengalir tidak berkeputusan.
Pa da saat yang gawat itu, maka tiba-tiba saja terdengar
teriakan-teriakan y ang m emekakan telinga. Dari segala arah
menghambur anak-anak muda dari padukuhan-padukuhan
disekitar Padepokan Bajra Seta.
Ternyata jumlah mereka cukup banyak meskipun jauh lebih
kecil dari jumlah para cantrik dari keempat Padepokan yang
sedang meny erang padepokan Bajra Seta.
Tetapi kedatangan mereka benar-benar m engejutkan para
cantrik dari keempat padepokan y ang sedang meny erang
Pa depokan Bajra Seta itu.
Dengan demikian maka perhatian para cantrik dari
padepokan-padepokan y ang meny erang Bajra Seta itu telah
terbagi. Sebagian dari mereka segera berbalik untuk melawan
anak-anak muda yang datang meny erang itu.
Tekanan mereka terhadap kekuatan y ang ada di atas
panggungan di belakang dinding padepokan memang
berkurang. Para cantrik Padepokan Bajra Seta
mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Pada saat
para cantrik y ang m eny erang itu bimbang mengambil sikap,
maka serangan dari atas dinding pun benar-benar bagaikana
tertumpah dari langit. Tetapi itu tidak berlangsung lama. Sementara para
pengikutnya ragu-ragu, mPu Damar dengan cepat m engambil
keputusan. Ia pun berteriak menjatuhkan perintah setelah
melihat jumlah peny erang y ang datang itu "Tinggalkan
padepokan Bajra Seta untuk sementara. Hancurkan orangorang
y ang dengan licik menyerang dari belakang. Jumlah
mereka tidak begitu banyak. Mereka akan dapat dengan cepat
dibinasakan. Jika perlu kita m enunda serangan kita t erhadap
Pa depokan Bajra Seta sampai esok."
Perintah itupun telah diteriakkan beranting. Setiap
peniimpin kelompok telah m eneriakkan kembali perintah itu.
Sehingga perintah itu bagaikan mengalir mengelilingi dinding
padepokan. Para cantrik yang sudah terlanjur memasang tangga dan
bahkan mulai memanjat telah berloncatan turun. Sambil
berusaha menangkis anak panah y ang mengejar mereka, maka
merekapun telah berusaha m enjauhi dinding yang digapainya
dengan susah payah. Mereka telah merobohkan tangga-tangga
yang sebagian telah mereka pasang agar tidak ditarik naik oleh
para cantrik y ang berada di panggungan.
Namun kebijaksanaan y ang diperintahkan oleh mPu Damar
itu memang satu-satunya cara yang paling baik untuk
dilakukan pada keadaan seperti itu. Lebih baik m encurahkan
perhatian dan langsung meny elesaikan salah satu tugas
daripada sebagian-sebagian tetapi tidak segera dapat selesai
dengan tuntas. Orang-orang padukuhan y ang menyerang para cantrik dari
keempat padepokan itu memang terkejut ketika mereka
melihat, semua orang dalam pasukan lawan itu telah berbalik
menghadapi mereka. Sekilas mereka segera menyadari, jika demikian maka
kekuatan merekapun akan dapat dihancurkan sampai lumat.
Tetapi anak-anak muda dan orang-orang padukuhan itu
tidak berlari meninggalkan arena. Seorang y ang memimpin
kelompok yang berada diarah depan padepokan itu berteriak
"Marilah kita bertempur sampai akhir. Sulung masuk kedalam
perapihan. Meskipun kita akan lebur menjadi debu, tetapi kita
tentu sudah berhasil mengurangi jumlah mereka sebanyak
dapat kita lakukan. Sisa kekuatan mereka tidak akan dapat
mereka pergunakan untuk memasuki padepokan Bajra Seta,
sehingga kematian kita tentu tidak akan sia-sia."
Teriakan itu telah disambut oleh sorak yang gemuruh
bagaikan hendak merobohkan langit. Bahkan sorak itu
merambat kekelompok-kelompok y ang ada di samping
padepokan. Ternyata Mahisa Murtipun menjadi cemas melihat keadaan
itu. mPu Damar benar-benar mengerahkan semua kekuatan
yang dibawanya untuk menghancurkan kelompok-kelompok
anak-anak muda dan orang-orang y ang datang dari
padukuhan-padukuhan. Meskipun jumlah mereka cukup
banyak, tetapi masih jauh lebih sedikit dari jumlah para
cantrik y ang datang meny erang Padepokan Bajra Seta.
Ber sama dengan para cantrik Bajra Setapun nampaknya
jumlah anak-anak muda dan orang-orang padukuhan itu
masih berselisih dibanding dengan para peny erang.
"Tetapi selisih itu tidak banyak" desis Mahisa Murti.
Ketika kedua pasukan itu benar-benar hampir berbenturan,
maka Mahisa Murti harus mengambil sikap yang cepat dan
berarti bagi Padepokan dan bagi
anak-anak muda dan orang-orang
padukuhan itu. Karena itu, maka tiba-tiba saja
Mahisa Murti itupun t elah
memberikan perintah "Semua
orang dari Padepokan ini keluar.
Kita bertempur diluar dinding
Pa depokan. Kita tidak dapat
membiarkan anak-anak muda dari
padukuhan-padukuhan y ang
datang untuk membantu kita itu
dibantai habis-habisan."
Perintah itupun dengan cepat menjalar. Semua orang telah
meneriakkan aba-aba itu. "Ambil tali dan pergunakan untuk turun disegala arah dari
Pa depokan ini" perintah Mahisa Murti pula. Bahkan kemudian
perintahnya pula "Buka, pintu gerbang utama. Buka pula
gerbang-gerbang butulan."
Perintah itupun segera dilaksanakan. Para cantrik memang
tidak akan sampai hati melihat anak-anak muda dan orangorang
padukuhan dibantai sampai habis oleh orang-orang
yang meny erang Padepokan Bajra Seta itu. Sementara mereka
datang untuk sekedar membantu meringankan beban
Pa depokan itu. Sejenak kemudian, maka pintu-pintu gerbangpun telah
terbuka. Seperti banjir bandang y ang memecahkan
bendungan, m aka para cantrikpun menghambur keluar dari
padepokan. Yang kemudian terkejut adalah mPu Damar dan para
cantriknya yang telah berbalik menghadapi orang-orang
padukuhan itu. Mereka tidak mengira bahwa para cantrik dari
padepokan Bajra Seta akan keluar dari batas dinding
padepokan. mPu Damar memang tidak mempunyai pilihan lain kecuali
membuka dua medan. Seperti pedang bermata dua, maka
pasukannyapun harus menghadapi lawan dari dua arah.
Melihat para cantrik menghambur keluar, maka anak-anak
muda dan orang-orang padukuhan itupun bersorak sekali lagi.
Gemuruh suaranya sekali lagi bagaikan mengguncang langit.
Sejenak kemudian, maka benturanpun telah terjadi antara
pasukan mPu Damar dan anak-anak muda serta orang-orang
padukuhan. Sentuhan dua kekuatan itu telah menggetarkan
medan. Ternyata anak-anak muda dan orang-orang padukuhan itu
memiliki kemampuan untuk bertempur. Bahkan ada diantara
mereka y ang telah memiliki senjata sebagaimana yang
dipergunakan oleh para cantrik dari Padepokan Bajra Seta.
Senjata yang dibuat dengan cara dan bahan yang khusus.
Meskipun senjata itu ujudnya cukup besar dan panjang, tetapi
senjata itu tidak begitu berat sebagaimana ujudnya. Tetapi
kekuatan pedang itu tidak kalah dari pedang y ang terbuat dari
baja pilihan yang berat. Pedang-pedang yang khusus itu ternyata mampu
mengejutkan lawan-lawan mereka. Ternyata dengan senjata
yang besar itu, anak-anak muda dan orang-orang padukuhan
itu dapat memutar dan mempergunakannya dengan terampil.
Kekuatan mPu Damar dan padepokan-padepokan y ang
mendukungnya memang mampu menggetarkan dan
mendesak anak-anak muda dan orang-orang padukuhan.
Namun hanya sebentar. Ketika para cantrik Padepokan Bajra
Seta telah menyusul mereka, maka kekuatan merekapun
segera telah terbagi. Demikianlah, maka disekitar Padepokan Bajra Seta itupun
segera terjadi perang brubuh. Kedua belah pihak sama sekali
tidak mempergunakan gelar. Mereka lebih banyak bertumpu
kepada k emampuan pribadi, sehingga dengan demikian maka
pertempuranpun menjadi benturan kekuatan disepanjang
medan. Namun karena latihan-latihan y ang berat maka para
cantrik Bajra Seta masih juga memikirkan kemungkinan untuk
sal ing bekerja bersama dan saling mengisi disetiap lubanglubang
pertempuran. Mereka masih juga mempergunakan
penalaran sehingga dalam keadaan tertentu telah terbentuk
kelompok-kelompok kecil yang bersama-sama mengatasi
kesulitan-kesulitan y ang terjadi di medan pertempuran.
Sementara itu, para cantrik dari Padepokan Ngancas lebih
banyak m engandalkan kemampuan pribadi mereka m asingmasing.
mPu Damar selalu membanggakan cantrik-cantriknya y ang
secara pribadi memiliki kelebihan dari kawan-kawannya,
sehingga karena itu, maka para cantrik itu seakan-akan telah
berlomba untuk menjadi lebih baik dari y ang lain.
mPu Damar yang marah itupun kemudian telah
meneriakkan berbagai macam perintah untuk membakar
jantung para pengikutnya. Perintah-perintahnya yang
disambut dan diteriakkan ulang oleh para pemimpin
kelompok itupun ternyata mampu didengar oleh para cantrik
yang ada di belakang Padepokan Bajra Seta.
Tetapi para cantrik dari Padepokan Bajra Seta pun tahu apa
yang harus mereka lakukan. Mereka tidak mudah terpengaruh
oleh perintah-perintah yang diteriakkan oleh para cantrik dari
Pa depokan Ngancas y ang menyambung perintah-perintah dari
mPu Damar. Dengan demikian maka pertempuran di sekitar Padepokan
Bajra Seta itupun semakin lama menjadi semakin sengit.
Mahisa Murti y ang memperhitungkan bahwa kekuatan utama
dari para peny erang itu akan membebani pertahanan para
cantrik dari Padepokan Bajra Seta, ternyata masih belum
seluruhnya sebagaimana diharapkan. Ma sih ada kelompokkelompok
cantrik dari Padepokan Ngancas dan ketiga
padepokan pendukungnya y ang masih saja mengarahkan
kekuatan mereka kepada anak-anak m uda dan orang-orang
padukuhan y ang datang membantu.
Untunglah bahwa anak-anak muda dan orang-orang
padukuhan itu tidak terlalu lemah. Mereka telah mengalami
latihan-latihan y ang cukup. Apalagi orang-orang padukuhan
khusus yang pernah bertualang di dunia gelap.
Ju stru para cantrik dari Padepokan Ngancas dan ketiga
padepokan y ang lain yang kebetulan b ertemu dengan orangorang
dari padukuhan yang khusus itulah y ang menjadi
terkejut. Tiba-tiba saja m ereka telah bertemu dengan orangorang
y ang b ertempur dengan keras. Bahkan ketika keringat
mulai membasahi tangannya, maka seakan-akan kebia saan
mereka di medan pertempuran menjadi kambuh. Mereka
menjadi kasar. Apalagi dengan dasar y ang kasar itu mereka
telah mendapat latihan-latihan bagaimana seharusnya
mereka mempergunakan senjata. Sehingga karena itu, dalam
kekasaran mereka, maka mereka adalah orang -orang yang
sangat berbahaya bagi lawan-lawan mereka.
Dalam pada itu, maka untuk beberapa langkah, maka anakanak
muda dan orang-orang padukuhan itu memang terdesak.
Tetapi para cantrik telah memancing sebagian besar kekuatan
lawan agar mereka mengarahkan perlawanan m ereka k epada
para cantrik dari Padepokan Bajra Seta.
Kelompok-kelompok y ang kuat dari para cantrik itu telah
mencoba menusuk m emasuki garis pertempuran agar lawanlawan
mereka semakin memperhatikan mereka. Dengan
menusuk sedalam-dalamnya ke belakang garis benturan, maka
para cantrik dari Padepokan Ngancas dan padepokanpadepokan
y ang mendukungnya memang merasa semakin
terganggu. Karena itu, maka mereka tidak dapat mengarahkan
perhatian mereka terbesar pada usaha untuk menumpas anakanak
muda dan orang-orang padepokan yang jumlahnya
memang tidak t erlalu banyak.
Tetapi karena para cantrik dari padepokan Ngancas telah
memasuki celah-celah garis pertempuran, maka mereka harus
benar-benar membagi perhatian mereka. Termasuk para
cantrik y ang berhadapan dengan anak-anak muda dan orangorang
padukuhan itu. Demikianlah pertempuran itu semakin lama menjadi
semakin sengit. Suara senjata beradu berdentangan disela-sela
teriakan-teriakan yang membahana.
Sementara itu, Gemak Langkas sendiri berada tidak jauh
dari gurunya. Ia m elihat pertempuran garang telah terjadi di
mana-mana. Ia melihat bagaimana pedang mengoy ak dada
lawannya dan bagaimana ujung tombak menghunjam sampai
ke jantung. Tubuh Gemak Langkas menjadi gemetar karenanya. Ia


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak mengira bahwa perkenalannya dengan Sasi telah mampu
membakar permusuhan yang begitu besar. Meskipun
kemudian persoalannya telah berkembang, tetapi yang
melepaskan sepeletik bara diatas sekam adalah dirinya. Bara
itu kemudian telah berkembang menjadi semakin besar
semakin besar, sehingga membakar lumbung.
Tetapi semuanya sudah terjadi. Gurunya sama sekali tidak
mau mendengarkan pendapat ay ahnya. Bahkan gurunya itu
mampu mempengaruhi pendapatnya, sehingga ia sendiri telah
hanyut ke dalam gejolak yang telah menimbulkan perang yang
mendebarkan jantung itu. Kematian demi kematian telah
terjadi di sekitar Padepokan Bajra Seta.
Tetapi Gemak Langkas telah berada di lidahnya api y ang
berkobar. Karena itu ia tidak dapat berbuat lain kecuali harus
menyesuaikan dirinya. Karena itulah, m aka Gemak Langkas pun kemudian telah
menggenggam pedangnya. Sambil berteriak nyaring ia telah
berlari memasuki lingkungan pertempuran yang seru.
Sementara itu mPu Damar sendiri yang melihat serangan
para cantrik dari Padepokan Bajra Seta segera m enempatkan
dirinya. Ia langsung membawa beberapa orang cantriknya
yang terbaik untuk melawan kekuatan pasukan induk dari
Pa depokan Bajra Seta. Di sisi dan belakang padepokan, pertempuran pun telah
berkobar pula dengan sengitnya. Anak-anak muda dan orangorang
padukuhan memang terdesak pula. Bahkan mereka
harus berusaha dengan cepat menjaga jarak karena lawan
datang seperti pasir dihamburkan dari tepian.
Namun Wantilan yang berada di bagian belakang
Pa depokan Bajra Seta telah memerintahkan para cantrik
untuk lebih cepat menyusul lawan-lawan mereka yang
berusaha untuk menghancurkan anak-anak muda dan orangorang
padukuhan yang datang membantu. Dengan demikian
maka arus serangan para cantrik dari Padepokan Ngancas dan
para pendukungnya itu telah t erhambat. Sebagian besar dari
mereka harus berbalik lagi untuk menghadapi para cantrik
dari Padepokan Bajra Seta y ang memburu mereka sambil
bersorak gemuruh. Dengan demikian maka pertempuranpun telah terjadi
dengan sengitnya. Orang-orang dari Padepokan Ngancas dan
para pendukungnya harus bertempur menghadapi lawan di
kedua arah y ang berlawanan.
Pemimpin dari salah satu padepokan y ang mendukung
Pa depokan Ngancas, salah seorang murid mPu Damar yang
dianggap sudah memiliki tingkat ilmu yang cukup, memimpin
peny erangan dibagian belakang Padepokan Ngancas itu.
Dengan garangnya ia meneriakkan perintah-perintah bagi
para cantrik untuk menghancurkan lawan mereka di kedua sisi
itu. Wantilan y ang melihat kehadirannya, dengan cepat
berusaha untifk langsung menghadapinya. Dimintanya
beberapa orang cantrik menyertainya untuk membuka jalan,
agar ia dapat langsung bertemu dengan pemimpin pasukan
lawan yang ada dibelakang Padepokan Bajra Seta itu.
Demikian Wantilan ada didepannya, maka iapun segera
berteriak "He, kaukah y ang memimpin pasukan di bagian
belakang ini y ang bertempur seperti harimau terluka?"
Orang itu mengerutkan dahinya. Kemudian iapun bertanya
"Siapa Kau" Apakah kau sengaja menghadapi aku?"
"Aku Wantilan, salah seorang cantrik dari Padepokan Bajra
Seta." jawab Wantilan sambil mengangkat pedangnya.
"Bagus" kata pemimpin padepokan itu "Aku Sanggatama,
salah seorang murid terpercaya mPu Damar yang memimpin
Pa depokan Sangganala."
"Bagus" jawab Wantilan "jika demikian, kau dapat memilih
langkah bagi orang-orangmu. Bertempur terus dan hancur
atau minggir saja." "Setan kau Wantilan" geram Sanggatama "kau kira kau
siapa he" Begitu sombongnya kau berani menghina aku."
Tetapi Wantilan tertawa. Katanya "Jangan sakit hati" jawab
Wantilan "kita berada dipeperangan."
Sanggatama tidak menjawab. Tetapi ia telah menembus
arena langsung menyerang Wantilan yang telah siap
menghadapinya. Bahkan Wantilan masih tertawa sambil
meloncat menghindar "Bagus, seranganmu sangat berbahaya."
"Persetan" geram Sanggatama "Kau memang terlalu
sombong. Jangan m eny esali nasibmu bahwa kau tidak akan
keluar dari arena pertempuran ini."
"Kau lihat orang-orangmu terjepit." desis Wantilan.
"Tidak. Pa sukanku adalah tombak bermata dua. Pangkal
dan ujungnya akan menghancurkan lawan." jawab
Sanggatama. Wantilan tidak menjawab lagi. Ia sudah dapat membuat
lawannya menjadi sangat marah sehingga tidak dapat lagi
menahan gejolak perasaannya. Serangannya datang bagaikan
angin pusaran. Tetapi Sanggatama tidak sempat
mempergunakan penalarannya sebaik-baiknya karena
jantungnya bagaikan terbakar.
Sejenak kemudian maka keduanya telah bertempur dengan
sengitnya. Sanggatama y ang marah itu meny erang Wantilan
dengan segenap kemampuannya. Ia ingin segera m enghabisi
lawannya y ang sombong itu. Selain dengan demikian ia dapat
mengambil lawan yang lain, maka para cantrik Padepokan
Bajra Seta yang bertempur dibelakang padepokannya itu akan
kehilangan ketegaran jiwani jika pemimpinnya telah
dibunuhnya. Sanggatama memang seorang y ang memiliki kemampuan
yang tinggi, namun ia telah berhadapan dengan Wantilan.
Seorang yang telah ditempa secara khusus oleh Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat justru karena ia m emiliki jalur penguasaan
ilmu y ang keliru sebelumnya.
Dengan demikian maka Wantilan adalah seorang y ang
memiliki bekal y ang cukup untuk menghadapi murid
terpercaya mPu Damar itu. Yang bahkan telah memimpin
sebuah Padepokan y ang disebutnya Padepokan Sangganala.
Dengan demikian maka keduanyapun telah bertempur
dengan sengitnya. Beberapa orang cantrik dari kedua
padepokan y ang sedang bertempur itu, berusaha untuk
menjaga agar pemimpinnya masing-masing agar tidak
mendapat serangan tiba -tiba atau dari belakang. Sambil
bertempur disebelah-meny ebelah, para cantrik itu tetap
mengawasi kedua orang pemimpin yang sedang bertempur
dengan sengitnya itu. Sanggatama memang menjadi semakin marah ketika
serangan-serangannya tidak segera mampu mengakhiri
pertempuran itu. Ternyata Wantilan adalah seorang yang
tangkas dan kuat. Ia masih tetap saja mampu mengimbangi
kecepatan gerak dan kekuatan Sanggatama y ang semakin
meningkat itu. Namun Wantilanpun harus mengerahkan kemampuannya
pula. Murid terpercaya mPu Damar itu mampu bergerak cepat.
Kekuatannyapun telah m engejutkan Wantilan. Namun tidak
menjadi gentar karenanya.
Pedang Wantilan adalah pedang yang menurut ujudnya
terhitung besar dan panjang. Tetapi Wantilan merasa bahwa
pedangnya tidak terlalu berat. Apalagi Wantilan yang telah
berlatih untuk mempergunakan tenaga cadangannya serta
kemampuan untuk membangunnya membuatnya menjadi
seorang yang membuat lawannya berdebar -debar. Dengan
pedangnya itu, maka jangkauannyapun menjadi cukup
panjang, sedangkan kekuatan tenaga dalamnya membuat
ayunan pedang itu melepaskan kekuatan y ang sangat besar.
Sanggatama ketika melihat pedang yang besar itu, merasa
bahwa kecepatannya bermain pedang akan dapat mendahului
putaran pedang y ang besar itu, sehingga serangannya akan
dapat menyusup menggapai tubuh Wantilan.
Tetapi Sanggatama menjadi heran melihat putaran pedang
Wantilan. Meskipun pedang itu cukup besar dan panjang,
tetapi Wantilan menggerakkannya dengan tangkas dan
cekatan seperti menggerakkan sebatang lidi saja.
Apalagi ternyata pula bahwa ilmu pedang Wantilan cukup
memadai untuk melawan ilmu pedang Sanggatama.
Dengan demikian maka pertempuran antara Wantilan dan
para cantrik Padepokan Bajra Seta melawan Sanggatama dari
Pa depokan Sangganala itu semakin lama menjadi semakin
sengit. Sementara itu, anak-anak dan orang-orang dari
padukuhan-padukuhan disekitar Padepokan Bajra Seta yang
datang membantu, telah bertempur pula dengan kerasnya.
Kemampuan mereka bermain senjata, dialasi dengan
kebiasaan mereka sehari-hari bekerja keras di sawah,
diladang, dikebun dan di pategalan serta pekerjaan mereka
yang lain telah m embuat mereka menjadi orang-orang yang
tangguh dipertempuran. Tenaga mereka cukup besar
sementara ketrampilan mereka ber olah senjata cukup terlatih.
Beberapa orang y ang bersenjata kapak y ang besar benarbenar
membuat lawan-lawannya berdebar-debar. Kapak itu
ditangannya bukan saja disaat-saat mereka berada di m edan
perang. Tetapi pekerjaan mereka sehari-hari sebagai tukang
blandong y ang sering memotong dan membelah pohon-pohon
besar sebagai pekerjaan sambilan disamping bertani,
membuat mereka sangat akrab dengan watak kapak-kapak
mereka. Sementara itu, beberapa orang jagal lembu dan
kerbau yang setiap hari bermain-main dengan parang yang
tajamnya melampaui pisau pencukur itupun telah
mempermainkan senjata mereka dengan tangkasnya.
Disisi lain, Mahisa Semu y ang muda itu telah mengejutkan
pula para cantrik dari Padepokan Ngancas dan para
pendukungnya. Mereka tidak mengira bahwa anak y ang masih
nampak sangat muda itu telah memasuki medan pertempuran
dengan putaran senjata y ang mendebarkan jantung.
Yang dihadapi oleh Mahisa Semu adalah para cantrik dari
Pa depokan Ngancas didukung oleh para cantrik dari
Pa depokan yang dipimpin oleh Sawung Tunggul, juga salah
seorang murid terpercaya dari mPu Damar. Sawung Tunggul
juga meny ebut perguruannya dengan perguruan Sawung
Tunggul y ang berada di Padepokan Sawung Tunggul.
Sawung Tunggul sendiri memang juga masih terhitung
muda. Tetapi tidak semuda Mahisa Semu. Bahkan Sawung
Tunggul sedikit lebih tua dibandingkan dengan Mahisa Murti.
Ketika ia bertemu dengan Mahisa Semu di pertempuran,
maka dengan heran ia bertanya "He, anak muda. Kenapa kau
bermain-main dipertempuran y ang sengit ini?"
"Kau mulai merendahkan aku" sahut Mahisa Semu.
"Aku tidak berniat merendahkanmu. Tetapi apakah
kerjamu di pertempuran ini?" bertanya Sawung Tunggul.
"Aku memang sedang melihat pertempuran ini" jawab
Mahisa Semu "nampaknya para cantrik dari Padepokan
Ngancas tidak mempunyai banyak kesempatan."
"Mungkin" jawab Sawung Tunggul "tetapi disini bukan
hanya ada para cantrik dari Padepokan Ngancas."
"Ya. Aku tahu. Ada tiga padepokan y ang mendukung
Pa depokan Ngancas."
"Antara lain adalah padepokanku. Padepokan Sawung
Tunggul, sama seperti namaku sendiri."
"0" Mahisa Semu mengangguk-angguk. Sementara Sawung
Tunggul bertanya "Siapa namamu anak muda?"
"Mahisa Semu" "Apakah kau juga saudaranya Mahisa Murti." bertanya
lawannya y ang mulai memperhatikan Mahisa Semu.
"Ya. Aku adiknya" jawab Mahisa Semu. Sebenarnyalah
Sawung Tunggul menjadi berdebar-debar.
Ternyata ia telah bertemu dengan saudara Mahisa Murti
yang telah didengar namanya, justru karena saudaranya yang
lain, Mahisa Pukat pernah mengalahkan gurunya, mPu
Damar. -ooo0dw0ooo- (bersambung jilid 105) Conv erter & editor by
Pdf ebook : Dan HIJAUNYA LEMBAH HIJAUNYA LERENG PEGUNUNGAN Jilid 105 Cetakan Pertama PENERBIT: "MURIA" YOGYAKARTA Kolaborasi 2 Website : dengan Pelangi Di Singosari / Pembuat Ebook : Sumber Buku Karya SH MINTARDJA
Scan DJVU : Ismoyo Convert/Proofing: Ki Raharga
Rechecking/Editing: Ki Arema
Final edit & Pdf ebook :
--ooo0dw0ooo- Naskah ini untuk keperluan kalangan sendiri,
penggemar karya S.H. Mintardja dimana saja berada y ang
berkumpul di Web Pelangi Singosari dan Tiraikasih
Jilid 105 letaknya sehingga membuat jalannya cerita tidak
nyambung, kami mencoba utk menggeserkan alenia tersebut
ke susunan alenia lain sehingga nyambung dengan ketikan
biru Juga ada jalan cerita yang terputus kami mencoba sendiri
menambah beberapa alinea untuk menyambung alur
ceritanya semoga bacanya jadi lebih enak, hihi ")
NAMUN, Sawung Tunggul itu pun kemudian m enggeram,
"Anak muda. Meskipun kau adalah saudara Mahisa Murti dan
tentu juga saudara Mahisa Pukat, namun umurmu masih
belum seberapa. Kau belum pantas untuk memasuki arena
pertempuran seperti ini."
"Bagaimana y ang pantas menurut penilaianmu" Yang
sudah tua atau pikun atau seumurmu?" bertanya Mahisa
Semu. "Agaknya lidahmu juga setajam pedangmu itu," desis


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sawung Tunggul, "jika demikian, baiklah. Kita berhadapan
sebagai lawan dalam sebuah pertempuran. Bukan salahku jika
aku telah menyakiti dan apalagi membunuh anak-anak, karena
anak-anak itu bermain-main di gelanggang pertempuran."
Tetapi y ang lebih menyakitkan hati Sawung Tunggul adalah
bahwa Mahisa Semu justru tertawa. Katanya, "Aku senang
bertemu dengan kau. Ternyata kau juga senang bergurau."
" Iblis kecil," geram Sawung Tunggul, "ternyata umurmu
memang tidak akan panjang, karena sebentar lagi kau akan
mati." Mahisa Semu masih saja tertawa. Tetapi ia tidak menjawab.
Ia melihat kemarahan telah menyala di mata Sawung Tunggul
itu, sehingga karena itu maka ia harus menjadi sangat berhatihati.
Sebenarnyalah, maka sekejap kemudian Sawung Tunggul
itu telah meloncat menyerang Mahisa Semu. Agaknya ia masih
tetap menganggap Mahisa Semu itu sebagai kanak-kanak.
Karena itu, maka serangannya pun sama sekali tidak
berbahaya bagi Mahisa Semu yang telah ditempa oleh Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat. Dengan tangkasnya Mahisa Semu
menghindari serangan itu. Bahkan dengan tidak diduga sama
sekali, anak muda itu demikian kakinya meny entuh tanah,
tubuhnya telah melenting meny erang Sawung Tunggul yang
masih merasa kehilangan lawannya itu.
Serangan itu menjadi sangat mengejutkan. Namun Sawung
Tunggul ternyata masih sempat meloncat menghindari
serangan itu, bahkan dengan satu loncatan panjang.
Mahisa Semu memang tidak memburunya. Dibiarkannya
Sawung Tunggul memperbaiki kedudukannya. Bahkan Mahisa
Semu yang masih sangat muda itu sempat bertanya, "Apakah
kau terkejut?" Sawung Tunggul tidak menjawab. Tetapi ia menggeram
sambil berkata, "Kau memang harus diselesaikan dengan cara
yang terbaik bagi orang-orang y ang berada di pertempuran."
"Kita memang berada di pertempuran," jawab Mahisa
Semu. "Setan kau," Sawung Tunggul itu pun berteriak sambil
meloncat meny erang. Tetapi Sawung Tunggul menjadi lebih
berhati-hati. Ternyata anak y ang dianggapnya m asih t erlalu
muda itu memiliki bekal kemampuan yang m emadai untuk
memasuki arena pertempuran.
Dengan demikian maka kedua orang itu pun segera terlibat
dalam pertempuran y ang sengit. Sawung Tunggul yang marah
itu segera mengerahkan kemampuannya setelah ia sempat
menjajagi kemampuan Mahisa Semu. Sawung Tunggul ingin
segera menghentikan perlawanan anak muda y ang telah
dengan sombong berani menghadapinya itu.
Demikianlah, maka sejenak kemudian keduanya telah
terlibat kedalam pertempuran y ang sengit. Sawung Tunggul
benar-benar menjadi heran setelah ia benar-benar
membenturkan ilmunya melawan anak yang masih
dianggapnya sangat muda itu.
Di sekitar keduanya itu pertempuran masih berlangsung
dengan sengitnya. Para cantrik dari padepokan-padepokan
yang bermusuhan itu telah mengerahkan kemampuan mereka.
Di sisi lain anak-anak muda dan orang-orang padukuhan di
sekitar Padepokan Bajra Seta masih bertempur dengan
sengitnya pula. Ternyata bahwa mereka pun memiliki
kemampuan y ang harus diperhitungkan oleh para cantrik dari
Pa depokan Ngancas dan padepokan-padepokan yang
mendukungnya. Karena itu maka pertempuran pun menjadi semakin sengit.
Ketika matahari naik semakin tinggi, maka keringat pun
menjadi semakin membasahi pakaian mereka y ang sedang
bertempur itu. Di sisi yang lain dari Padepokan Bajra Seta, pertempuran
masih juga berlangsung seperti di medan yang lain. Para
cantrik telah mengerahkan kemampuan mereka masingmasing
sehingga mereka m enjadi saling mendesak dan saling
bertahan. Di depan Padepokan Bajra Seta, pasukan induk dari
Pa depokan Ngancas telah mengerahkan segenap kekuatan
yang ada pada mereka. Mereka memang berusaha untuk
menumpas anak-anak muda dan orang-orang padukuhan yang
datang membantu. Tetapi ternyata mereka tidak dapat
melakukannya. Para cantrik dari Padepokan Bajra Seta benarbenar
telah meny erap sebagian besar dari kekuatan para
cantrik yang meny erang Padepokan Bajra Seta itu.
Dalam pada itu, dua orang petugas sandi dari Singasari
memperhatikan pertempuran itu dengan berdebar-debar.
Kekuatan kedua belah pihak nampaknya tidak banyak terpaut.
Jumlahnya mungkin memang agak berbeda. Padepokan
Ngancas yang didukung oleh ketiga padepokan y ang lain
datang dengan jumlah y ang lebih banyak. Namun pada
benturan pertama, jumlah mereka memang sudah berkurang.
Sementara itu, maka kedatangan anak-anak muda dan orangorang
dari padukuhan-padukuhan telah mengurangi selisih
jumlah kedua kekuatan yang sedang bertempur itu.
Dengan demikian maka sulit bagi kedua orang petugas
sandi itu untuk menduga-duga, siapakah yang akan menang
dalam pertempuran itu. Meskipun mereka berharap bahwa
Pa depokan Bajra Seta akan dapat mempertahankan dirinya.
Keduanya bahkan telah naik ke panggungan di sebelah
pintu gerbang yang terbuka itu untuk melihat apa y ang telah
terjadi di arena. Dari tempat y ang agak tinggi itu mereka dapat
mengamati pertempuran yang terjadi setidak -tidaknya
dibagian depan Padepokan Bajra Seta.
Sementara itu satu dua kelompok cantrik Padepokan Bajra
Seta masih t etap berada di dalam padepokan. Terutama para
cantrik y ang belum lama berada di padepokan itu. Mereka
harus berjaga-jaga jika ada satu dua orang lawan yang
menyusup memasuki dinding padepokan untuk merusak dan
apalagi membakar padepokan itu.
Untuk beberapa saat kedua orang petugas sandi itu
mencoba untuk m enilai. Menurut penglihatan mereka, para
cantrik Padepokan Bajra Seta memang memiliki beberapa
kelebihan dari lawan mereka.
Selagi keduanya mengamati pertempuran itu, keduanya
terkejut ketika tiba -tiba saja Mahisa Amping telah berdiri di
sebelah mereka. Dengan tegang anak itu melihat pertempuran
yang sedang terjadi di depan padepokan Bajra Seta.
"He, kenapa kau ikut kemari?" bertanya salah seorang
petugas sandi yang telah mengenal Mahisa Amping
sebelumnya. "Aku ingin melihat pertempuran itu," jawab Mahisa
Amping tanpa berpaling. Perhatiannya memang terpancang pada pertempuran yang
sedang terjadi. Kedua belah pihak telah mengerahkan segenap
tenaga dan kemampuan mereka. Dengan senjata beradu
ditimpa oleh teriakan-teriakan y ang gemuruh serta bunga api
yang menghambur dari benturan senjata, membuat suasana
pertempuran itu menjadi semakin menggetarkan jantung.
Salah seorang dari kedua orang petugas sandi itu pun
berkata, "Sebaiknya kau berada di bangunan induk Padepokan
ini. Perang bukan tempat bagi anak-anak. Kau akan m elihat
kekerasan dan bahkan akibat y ang mengerikan dari
pertempuran itu." Mahisa Amping tidak menjawab. Tetapi ia tidak beringsut
dari tempatnya. Seorang cantrik y ang juga bertugas mengamati keadaanpun
telah mendekatinya pula. Katanya, "Ma suklah. Tempat ini
termasuk tempat y ang berbahaya."
Tetapi Mahisa Amping menggeleng. Katanya, "Mereka tidak
akan sempat datang kemari."
"Belum tentu ngger," sahut salah seorang petugas sandi,
"kita masih belum dapat meramal, siapakah yang akan
menang dalam pertempuran ini meskipun kita semua berdoa,
semoga para cantrik dari Padepokan Bajra Seta mendapat
perlindungan dari Yang Maha Agung."
Mahisa Amping termangu-mangu sejenak. Namun ia tidak
menjawab lagi. Para petugas sandi serta cantrik y ang mendekatinya itu pun
tidak berkata apa-apa lagi. Ternyata Mahisa Amping memang
tidak ingin meninggalkan tempatnya.
Dengan demikian maka mereka y ang berada di panggungan
itu pun kembali memperhatikan pertempuran y ang tengah
berlangsung dengan sengitnya itu.
Sebenarnyalah para cantrik dari Padepokan Ngancas
berusaha dengan sekuat-kuat tenaga dan kemampuan mereka
untuk memecahkan pertahanan Padepokan Bajra Seta. Namun
Empu Damar masih saja mengumpat-umpat karena kehadiran
anak-anak muda dan orang-orang yang meny erang
pasukannya dari belakang, yang dengan demikian terasa
sangat mengganggu usahanya untuk memecahkan pertahanan
Pa depokan Bajra Seta y ang ternyata cukup kuat.
Tetapi Empu Damar tidak dapat begitu saja menumpahkan
kemarahannya kepada orang-orang yang tidak diketahui asal -
usulnya itu. Tetapi Empu Damar tahu bahwa mereka tentu
bukan cantrik dari Padepokan Bajra Seta, menilik sikap,
pakaian dan tataran umur mereka yang jaraknya cukup jauh.
Ada yang masih sangat muda, tetapi ada y ang warna
rambutnya sudah mulai mendua.
Demikianlah, pertempuran itu pun menjadi semakin sengit.
Semakin tinggi matahari, maka mereka y ang sedang
bertempur itu pun menjadi semakin garang. Tubuh mereka
menjadi basah oleh keringat dan bahkan darah. Beberapa
orang telah terkapar jatuh dan tidak bergerak lagi. Satu di
antara mereka masih sempat mendapat pertolongan dan
dibawa menepi. Namun ada y ang tidak sempat tertolong
karena darah yang terlalu banyak mengalir dari luka yang
parah. Dalam pada itu, maka di induk pasukan masingmasing,
para pemimpin dari kedua belah pihak berusaha
mengendalikan pasukannya masing-masing. Namun akhirnya,
pemimpin tertinggi dari kedua belah pihak itu pun harus pula
terlibat dalam pertempuran y ang semakin sengit.
Mahisa Murti tidak dapat membiarkan Empu Damar
bertindak semena-mena terhadap para cantrik dari Padepokan
Bajra Seta. Dengan ilmunya yang tinggi, ia dapat membunuh
terlalu banyak jika Empu Damar itu tidak mendapat lawan
yang memadai. Karena itulah, maka Empu Damar itu akhirnya
berhadapan dengan Mahisa Murti sendiri. Sehingga dengan
demikian maka keduanya pun segera terlibat dalam
pertempuran y ang sengit.
Meskipun Empu Damar tidak yakin bahwa Mahisa Murti
itu juga m emiliki ilmu y ang jarang ada duanya sebagaimana
dimiliki oleh Mahisa Pukat, namun Empu Damar itu cukup
berhati-hati menghadapi pemimpin dari Padepokan Bajra Seta
itu. Mula-mula Empu Damar berusaha untuk menjajagi
kemampuan Mahisa Murti. Dengan cepat ia melihat anak
muda itu dalam pertempuran yang rumit. Unsur-unsur gerak
yang kadang-kadang mengejutkan itu memang mampu
mendesak Mahisa Murti untuk beberapa saat. Namun
kemudian ternyata bahwa Mahisa Murti pun mampu
menyesuaikan dirinya. Anak muda itu pun mampu bergerak
cepat pula sebagaimana dilakukannya.
Karena itulah maka Empu Damar harus meningkatkan
ilmunya pula. Bahkan ia menjadi semakin berhati-hati, jika
sa ja terasa pengaruh ilmu lawannya pada kekuatan dan
kemampuannya, sebelum terlambat ia harus segera
menentukan sikap. Dalam pada itu, Mahisa Murti pun agaknya merasa betapa
lawannya sangat berhati-hati dan berusaha sebanyak mungkin
menghindari sentuhan-sentuhan senjata. Ia sudah m endapat
keterangan dari Arya Kuda Cemani, bahwa Empu Damar
pernah dikalahkan oleh Mahisa Pukat dengan ilmunya yang
mampu menghisap kekuatan dan kemampuan lawan itu.
Namun dengan demikian maka Mahisa Murti pun harus
menghadapi lawannya dengan sangat b erhati-hati. Lawannya
tentu sudah memperhitungkan bahwa ia pun memiliki ilmu
sebagaimana Mahisa Pukat yang pernah b ertempur melawan
Empu Damar di Singasari. Namun sedemikian jauh, Mahisa Murti masih belum
mengalami kesulitan. Ketika kemudian Empu Damar
mempertunjukkan kemampuannya dalam ilmu pedang, maka
Mahisa Murti pun telah mengimbanginya pula.
Dengan demikian maka pertempuran antara Empu Damar
melawan Mahisa Murti pun semakin lama semakin meningkat
pula. Sementara itu, pertempuran di sekitar padepokan itu
pun masih saja berlangsung dengan sengitnya. Para cantrik
dari kedua belah pihak telah mengerahkan segenap
kemampuan mereka. Para cantrik dari Padepokan Ngancas
lebih percaya kepada kemampuan mereka secara pribadi.
Sedangkan para cantrik Padepokan Bajra Seta y ang telah
menempa diri secara pribadi, mereka pun telah mendasari
kemampuan mereka dalam ikatan kerja sama yang mapan.
Sehingga mereka dapat saling mengisi dalam perang brubuh
yang ribut itu. Dalam pada itu, justru karena para cantrik dari Padepokan
Ngancas dan padepokan-padepokan y ang m endukungnya itu
harus membuka dua garis pertempuran, maka tugas mereka
memang terasa sangat berat. Anak-anak muda dan orangorang
padukuhan itu ternyata bukannya orang-orang yang
tidak memiliki kemampuan dalam olah senjata.
Wantilan y ang bertempur melawan Sanggatama telah
mengerahkan kemampuannya pula. Demikian pula lawannya,
murid t erpercaya dari Empu Damar. Namun ternyata bahwa
Sanggatama tidak dapat dengan segera menguasai medan.
Apalagi para cantrik yang bertempur bersamanya semakin
merasa tertekan pula dari kedua sisi. Para cantrik Padepokan
Bajra Seta dengan kekuatan yang sangat besar telah mendesak
lawan-lawan mereka. Sementara itu anak-anak muda dan
orang-orang padukuhanpun nampaknya juga mampu
menunjukkan bahwa mereka memiliki bekal kemampuan
untuk bertempur dalam perang yang sebenarnya. Beberapa
kali mereka memang sudah terlibat dalam pertempuran,
sehingga sebagian besar dari mereka memang sudah memiliki
selain bekal ilmu juga pengalaman.
Karena itu, maka bagi para cantrik dari padepokanpadepokan
yang mendukung Padepokan Ngancas anak-anak
muda dan orang-orang padukuhan itu merupakan lawan yang


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak boleh diabaikan. Sementara itu, Sanggatama sendiri ternyata semakin lama
justru merasa semakin cepat. Wantilan y ang memang telah
mapan dengan bekal ilmunya setelah pernah mengalami
kesulitan, ternyata merupakan seorang y ang kuat, tangkas dan
mempunyai pengalaman y ang cukup.
Karena itu, maka beberapa saat kemudian, meskipun
Sanggatama telah mengerahkan sejauh ilmu yang diterima
dari Empu Damar, namun ia masih belum dapat m enguasai
Wantilan y ang semakin mapan justru setelah tubuhnya basah
oleh keringat. Sanggatama yang telah menerima dasar ilmu gurunya, telah
pula berusaha untuk mengetrapkannya. Sambaran angin dari
ayunan pedangnya memang terasa meny entuh kulit Wantilan.
Mula-mula sentuhan itu terasa menghangatkan kulitnya.
Namun kemudian tusukan-tusukan yang tajam mulai
mengganggunya. Wantilan menyadari bahwa ia berhadapan dengan seorang
yang m emiliki kemampuan ilmu dasar dari ilmu y ang tinggi.
Karena itu Wantilan harus berhati-hati. Jika ilmu itu semakin
meningkat, maka ia tentu akan mengalami kesulitan, sehingga
ia harus mengatasinya dengan cara yang khusus.
Namun dalam pada itu, selagi masih sempat, maka
Wantilan telah mengerahkan kemampuan ilmu pedangnya.
Dengan pedangnya y ang khusus, maka Wantilan telah melibat
lawannya dengan derasnya. Serangan-serangannya mengalir
seperti banjir bandang. Meskipun di kulitnya terasa cubitancubitan
ilmu lawannya y ang semakin menyakitinya, namun
Wantilan mencoba mengatasinya dengan daya tahannya yang
terlatih. Dengan demikian, maka Wantilan memang bukan sekedar
sa saran serangan lawannya. Tetapi serangan-serangan
Wantilan pun akhirnya mampu menembus pertahanan
Sanggatama. Meskipun kulit Wantilan merasa semakin pedih, namun
Sanggatama itu terkejut, ketika tiba -tiba serangan pedang
Wantilan mendatar mengarah ke lehernya datang begitu
cepatnya justru ketika Wantilan m eny eringai m enahan pedih
kulitnya yang t ertusuk hempasan angin dari seranggan
Sanggatama. Dengan cepat Sanggatama berusaha untuk menangkisnya.
Sehingga sebuah benturan y ang keras telah t erjadi. Namun
Wantilan tidak memberi kesempatan Sanggatama m eny erang
dengan ayunan pedangnya karena angin yang menerpanya
akan m embuat kulitnya m enjadi pedih. Dengan menggeliat,
pedangnya telah berputar. Dengan cepat Wantilan berusaha
menggapai tubuh lawannya dengan ujung pedang.
Tetapi Sanggatama sempat bergeser surut selangkah,
sehingga ujung pedang Wantilan tidak menyentuhnya. Namun
Wantilan tidak berhenti memburu lawannya. Sekali lagi
pedangnya berputar. Ia menebas lawannya dengan sekuat
tenaga. Pedangnya yang besar dan panjang ikut terayun
didorong oleh kekuatan tubuhnya y ang besar.
Satu benturan yang keras telah terjadi. Wantilan tidak
membiarkan satu kesempatan berlalu, ketika ternyata orang
itu tergetar surut. Pedangnya
itu pun dengan cepat terjulur
menggapai tubuh Sanggatama. Sanggatama menggeliat. Ia berusaha menghindar sambil mengayunkan senjatanya. Angin y ang tajam memang menyambar Wantilan. Namun Wantilan telah mengerahkan daya tahannya. Ia mengabaikan perasaan pedih y ang menyengat kulitnya. Dengan
kemampuan yang masih ada,
ia pun telah meloncat lagi
memburu lawannya. Sanggatama yang surut beberapa langkah untuk mengambil
jarak telah memutar pedangnya secepat dapat dilakukan.
Anginpun ikut berputar pula dan menerpa tubuh lawannya.
Tetapi tingkat kemampuan Sanggatama memang masih
belum setinggi Empu Damar. Karena itu, Wantilan y ang tidak
memiliki kemampuan setinggi Mahisa Murti masih mampu
mengatasinya dengan daya tahannya. Meskipun Wantilan
masih harus meny eringai menahan pedih yang menusuk
kulitnya, tetapi Wantilan tetap memburu lawannya. Ilmu
pedangnya memang lebih baik dari Sanggatama meskipun
Sanggatama memiliki kelebihan daripadanya.
Sebenarnyalah bahwa Wantilan tidak banyak memberi
kesempatan kepada Sangga-tama untuk mengetrapkan
ilmunya y ang baru dimiliki dasarnya saja. Sanggatama seakanakan
tidak sempat meny erang sama sekali. Yang dilakukan
kemudian adalah sekedar bertahan dan melindungi dirinya
dari permainan ilmu pedang Wantilan.
Tetapi pertempuran di sekitar Sanggatama itu memang
tidak mendukung perlawanan-ny a. Para cantrik dari
Pa depokan Bajra Seta semakin mendesaknya sehingga
pertahanan para cantrik dari Padepokan Ngancas dan
pendukungnya menjadi goy ah. Anak-anak m uda dan orangorang
padukuhan itu pun ternyata telah mampu
mempertahankan garis pertahanan mereka setelah tekanan
lawan mereka tidak lagi terlalu berat karena terhisap oleh para
cantrik dari Padepokan Bajra Seta.
Demikianlah, maka saat-saat y ang gawat Sanggatama
memang memberi isy arat kepada para cantriknya untuk
membantunya. Tetapi ternyata sulit bagi para cantrik itu
untuk melakukannya. Para cantrik Padepokan Bajra Setapun
dengan cepat tanggap akan keadaan. Karena itu, maka mereka
pun telah berusaha untuk menahan agar para murid
Sanggatama tidak dapat membantunya.
Dengan demikian, maka Sanggatama semakin lama justru
menjadi semakin terdesak. Ketika pada saat-saat y ang berat ia
mencoba untuk menembus serangan-serangan Wantilan,
maka justru Wantilan telah memanfaatkan saat itu sebaikbaiknya.
Meskipun terpaan udara yang bagaikan menghambur
karena ayunan pedang Sanggatama membuat kulitnya terluka
dan darah mulai mengembun dari kulitnya bersama dengan
arus keringatnya karena daya tahan dan kemampuan Wantilan
masih dapat ditembus oleh ilmu lawannya, namun dengan
kemampuan ilmu pedangnya, Wantilan telah berhasil
mengenai tubuh Sanggatama. Seleret luka telah meny ilang di
dada murid terpercaya Empu Damar itu.
Sanggatama menggeram marah. Tetapi darah telah
mengalir dari lukanya y ang m enjadi pedih ketika keringatnya
menyentuh luka itu. Dengan sisa kemampuan dan tenaganya, maka Sanggatama
berusaha untuk menyerang kembali. Sambil menghentakkan
ilmunya, maka pedang Sanggatama itu terayun dengan
derasnya. Ia tidak lagi m emperhitungkan, apakah pedangnya
akan m engenai tubuh lawannya atau tidak, karena ia y akin
bahwa ilmunya akan dapat mengakhiri perlawanan Wantilan.
Tetapi Sanggatama salah hitung. Dengan keadaan y ang
semakin sulit, Wantilan tidak lagi membuat perhitungan yang
rumit. Yang dilakukannya kemudian adalah mengerahkan sisa
tenaga dan ilmu pedangnya untuk meny erang habis-habisan
lawannya meskipun tajam ilmu lawannya y ang bagaikan duri
menusuk-nusuk kulitnya sampai berdarah.
Dengan demikian maka pedang Wantilan y ang mempunyai
jarak jangkau lebih panjang dari lawannya serta k emampuan
ilmu pedang yang lebih tinggi, maka sekali lagi Wantilan
mampu mengoyak tubuh lawannya.
Keduanya memang nampak semakin letih. Tetapi keduanya
memang harus mengerahkan sisa-sisa kemampuan mereka.
Pada kesempatan terakhir, maka siapa yang mampu
menembus pertahanan lawannyalah yang akan mampu keluar
dari arena pertempuran itu.
Sementara itu para cantrik dari kedua belah pihak m elihat
siapa y ang telah mencucurkan darah. Namun m ereka tidak
dapat berbuat banyak. Jika salah satu pihak berniat membantu
pemimpinnya, maka y ang lain telah menghalanginya.
Dengan demikian m aka pertempuran di sekitar Wantilan
dan Sanggatama yang sedang bertempur habis-habisan itu
pun menjadi semakin sengit pula. Bahkan bukan saja di
sekitar kedua orang pemimpin itu. Diseluruh medan di
belakang Padepokan Bajra Seta itu pun pertempuran memang
menjadi semakin sengit. Panas matahari, k eringat dan luka2
oleh goresan senjata ditubuh telah membuat orang-orang yang
sedang bertempur itu menjadi semakin garang.
Bukan saja di belakang Padepokan Bajra Seta, tetapi juga di
sebelah meny ebelah Padepokan itu. Mahisa Semu pun
bertempur dengan mengerahkan segenap kemampuannya
pula. Lawannyapun telah memiliki dasar ilmu sebagaimana
Sanggatama. Namun Mahisa Semu ternyata memiliki
kecepatan bergerak untuk menghindari sentuhan angin yang
timbul dari ayunan senjata lawannya, karena angin itu seakanakan
telah menaburkan berpuluh bahkan beratus duri yang
tajam. Tetapi pada satu saat Mahisa Semu memang sulit untuk
menghindari angin y ang menerpa tubuhnya karena tebasan
senjata lawannya yang garang itu.
Karena itu maka ia pun m engalami sebagaimana dialami
oleh Wantilan. Kulitnya menjadi pedih. Setiap putaran senjata
maka seakan-akan beratus duri yang tajam telah dihamburkan
dan menusuk kulit Mahisa Semu.
Mahisa Semu m engeram m enahan pedih. Apalagi ternyata
kemudian angin yang menerpa kulitnya itu mampu
melukainya. Angin itu benar -benar telah menusuk dan
menghunjam masuk ke setiap lubang kulitnya, sehingga
lubang-lubang kulit Mahisa Semu itu telah terluka dan darah
pun mulai mengembun. Pa da saat yang ber samaan Wantilan telah mengambil sikap.
Apapun y ang terjadi atas dirinya, ia tidak mau hancur sendiri.
Karena itu, maka satu-satunya cara yang dapat dilakukannya,
adalah meny erang lawannya dengan mengerahkan segenap
sisa tenaga dan kemampuan yang ada padanya.
Sambil menggeram marah, Wantilan telah meloncat
memburu lawannya. Ia berusaha agar lawannya tidak
mendapat kesempatan sama sekali untuk menggerakkan dan
apalagi memutar pedangnya, sehingga anginpun bagaikan
bergetar pengalir menusuk di setiap lubang kulitnya.
Dengan demikian maka Wantilan berusaha untuk
memanfaatkan pedangnya yang lebih panjang.
Sanggatama memang terkejut mengalami serangan y ang
keras itu. Permainan pedang Wantilan y ang sangat berbahaya
membuatnya harus menjadi sangat berhati hati. Beberapa kali
Sanggatama meloncat menghindar dan m enangkis serangan
yang datang beruntun seperti ombak di lautan m enghantam
tebing. Jika sekali-sekali Sanggatama sempat mengayunkan dan
memutar pedangnya, maka Wantilan hanya menggerakkan
giginya menahan pedih yang meny engat di seluruh permukaan
kulitnya. Tetapi, serangannya sama sekali tidak mereda.
Bahkan kemana pun Sanggatama bergeser, maka Wantilan
pun selalu memburunya. Dengan darah yang memerah diseluruh tubuhnya, maka
sekali lagi Wantilan mampu menggapai tubuh lawannya.
Lambung Sanggatama lah yang kemudian terkoyak dan
menganga. Sanggatama mengerang kesakitan. Sedangkan Wantilan
yang sudah sampai pada batas-batas terakhir kemampuannya
itu melihat Sanggatama terhuyung surut.
Karena itu sebelum Wantilan sendiri kehilangan
keseimbangannya maka ia pun telah meloncat dengan
kekuatannya y ang terakhir. Pedangnya terjulur lurus
memburu lawannya yang terhuyung surut. Sanggatama
mencoba untuk menangkis serangan itu. Tetapi ia sudah
terlalu lemah. Meskipun pedangnya terangkat, tetapi ia tidak
lagi mampu m enangkis serangan itu, sehingga ujung pedang
yang didorong oleh berat tubuh Wantilan itu telah menembus
pertahanan Sanggatama y ang sudah hampir kehilangan
keseimbangannya itu. Yang terdengar adalah umpatan keras. Sanggatama
terdorong surut. Ujung pedang Wantilan yang terjulur lurus ke
depan telah menghunjam ke dada Sanggatama.
Sanggatama tidak sempat mengulangi umpatannya.
Tubuhnya yang terdorong surut itu pun kemudian telah jatuh
terlentang. Namun dalam pada itu, ternyata Wantilan pun telah
kehilangan keseimbangannya. Ketika Sanggatama jatuh
terlentang, maka pedang yang terhunjam di dadanya telah
tertarik oleh tubuhnya. Ternyata Wantilan sudah tidak mampu
lagi menahannya, sehingga ia pun justru telah ikut tertarik
pula dan jatuh menimpa tubuh Sanggatama y ang sudah tidak
bernapas lagi. Para cantrik dari kedua belah pihak terkejut m elihat akhir
dari pertempuran itu. Beberapa orang telah berusaha
meloloskan diri dari pertempuran untuk mendekati kedua
orang pemimpin mereka yang jatuh terkulai.
Namun m ereka tidak dapat melakukannya, justru karena
kedua belah pihak ingin melakukannya. Beberapa orang
cantrik yang mendekat telah terlibat langsung dalam
pertempuran y ang sengit.
Demikian para cantrik itu saling meny erang, agaknya
Wantilan masih dapat bergerak dan bergeser dari tempatnya.
Meskipun tenaganya sudah terkuras habis, namun Wantilan
masih sempat merangkak menjauhi tubuh Sanggatama.
Dengan m enghentakkan kemampuannya serta kerja sama
yang baik, dua orang cantrik sempat menggapai Wantilan
justru karena kedua orang cantrik dari Padepokan lawannya
juga berusaha mendekati tubuh Sanggatama.
Tetapi, tubuh Sanggatama itu sudah tidak mampu bergerak
lagi. Darahnya sudah mulai membeku, sedangkan jantungnya
telah berhenti berdetak. Wantilan y ang menjadi sangat lemah itu masih berusaha
untuk bangkit berdiri. Meskipun ia tidak mampu lagi


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bertempur, tetapi bahwa ia masih tetap hidup tentu akan
mempengaruhi ketahanan jiwa para cantrik yang m eny erang
Pa depokan Bajra Seta itu.
Sebenarnyalah, dibantu oleh dua orang cantrik, maka
Wantilan telah mengangkat pedangnya tinggi-tinggi.
Sementara seorang di antara para cantrik itu berteriak
nyaring, " Inilah aku. Selesaikan tugas kalian he para cantrik
Pa depokan Bajra Seta."
Para cantrik Bajra Seta, apalagi para cantrik dari
padepokan y ang meny erang mereka, tidak sempat
membedakan suara siapakah y ang m enggetarkan medan itu.
Namun suara itu telah disambut dengan teriakan gemuruh
para cantrik dari Padepokan Bajra Seta, seakan-akan hendak
meruntuhkan awan y ang berarak di langit.
Sejalan dengan itu, maka para cantrik Padepokan Bajra
Seta serta anak-anak muda dan orang-orang dari padukuhan
itu pun telah menghentakkan kemampuan mereka meny erang
pasukan lawan y ang masih tersisa.
Namun, keadaan Wantilan sendiri ternyata menjadi
semakin gawat. Karena itu, maka kedua orang yang
membantunya berdiri dan mengangkat pedangnya itu pun
telah m embawa Wantilan justru m enepi. Tetapi orang-orang
yang bertempur itu sudah menjadi semakin seru, hingga
mereka tidak lagi sempat melihat, apakah pemimpin pasukan
dari Padepokan Bajra Seta itu masih mampu b ertempur atau
tidak. Namun teriakan-teriakan para cantrik dari Padepokan
Bajra Seta memang meny ebutkan bahwa Sanggatama telah
mati. Sementara para pengikutnya tidak dapat membantah
keny ataan itu. Sehingga dengan demikian, maka para
pengikutnya pun menjadi semakin gelisah. Kekuatan
Pa depokan Bajra Seta ternyata cukup besar untuk menghadapi
kekuatan empat padepokan y ang telah datang meny erang.
Para peny erang itu tidak pernah tahu siapakah sebenarnya
anak-anak muda dari arah luar Padepokan Bajra Seta,
meskipun mereka dapat menduga bahwa mereka tentu bukan
para cantrik dari Padepokan Bajra Seta.
Dengan kematian Sanggatama maka perlawanan para
cantrik dari padepokan Ngancas serta padepokan yang
mendukungnya di bagian belakang Padepokan Bajra Seta itu
pun mulai goyah. Semakin lama mereka merasa semakin
terdesak justru dari dua arah, sehingga karena itu, maka
mereka pun telah terjepit.
Satu-satunya jalan yang dapat mereka tempuh adalah
bergeser ke samping dan bergabung dengan kawan-kawan
mereka yang berada di sebelah m enyebelah Padepokan Bajra
Seta. Tanpa seorang pemimpin y ang memegang kendali, maka
kemungkinan satu -satunya itulah yang telah mereka pilih
karena mereka merasa tidak mampu lagi untuk bertahan
menghadapi serangan dari kedua sisi itu.
Tetapi di salah satu sisi dari Padepokan Bajra Seta, Sawung
Tunggul yang memimpin para cantrik dari Padepokan
Ngancas dan dari padepokan y ang dipimpinnya sendiri tengah
bertempur melawan seorang y ang dianggapnya masih t erlalu
muda. Tetapi ternyata bahwa anak yang terlalu muda itu
memiliki ilmu yang sangat mengejutkannya.
Dengan tangkasnya Mahisa Semu berloncatan menghindari
serangan-serangannya. Bukan saja menghindari ujung
senjatanya, tetapi Mahisa Semu sempat juga menghindari
sambaran angin y ang bagaikan dihamburkan dari ay unan
pedang lawannya. Tetapi Mahisa Semu memang tidak selalu berhasil. Kadangkadang
Mahisa Semu juga terlambat, sehingga sentuhan angin
yang bagaikan percikan duri -duri tajam itu sempat mengenai
dan seolah-olah menghunjam masuk lewat lubang-lubang
kulitnya dan bahkan telah melukainya.
Mahisa Semu telah menggeretakkan giginya ketika
perasaan pedih semakin menggigit kulitnya. Bahkan di
beberapa tempat, darah pun mulai mengembun.
Dengan demikian maka Mahisa Semu pun telah
mengerahkan kemampuannya pula. Ia tidak mau dihancurkan
dengan cara itu oleh Sawung Tunggul.
Karena itu, maka Mahisa Semu pun telah berusaha
mempercepat serangan-serangannya agar Sawung Tunggul
tidak sempat mengayunkan pedangnya dengan lambaran
ilmunya, sehingga sambaran anginya dapat m elukai lubanglubang
kulitnya, sehingga di antara keringat y ang mengalir
telah mengembun pula darah.
Tetapi, Mahisa Semu benar-benar mengalami kesulitan.
Betapapun Mahisa Semu berusaha untuk bergerak dengan
kecepatan tertinggi yang dapat dilakukannya, namun Mahisa
Semu tidak dapat membebaskan diri seluruhnya dari
sambaran-sambaran angin yang meny engatnya.
Sementara itu, para cantrik di sekitarnya telah b ertempur
dengan sengitnya. Untunglah bahwa para cantrik dari
Pa depokan Bajra Seta masih mampu bertahan, sementara
anak-anak muda dan orang-orang padukuhan bertempur
dengan gigihnya pula. Mahisa Semu m emang agak terkejut melihat para cantrik
dari padepokan-padepokan y ang meny erang Padepokan Bajra
Seta yang berada di belakang Padepokan telah bergeser dan
bergabung dengan kawan-kawannya di medan sebelah
Pa depokan Bajra Seta itu.
Semula Mahisa Semu mengira bahwa para cantrik
Pa depokan Bajra Seta yang bertahan di belakang Padepokan
dibawah pimpinan Wantilan telah dikuasai sepenuhnya oleh
lawan-lawannya sehingga sebagian dari lawan-lawannya itu
telah melimpah dan membantu kekuatan disamping
Pa depokan. Para cantrik dibawah pimpinan Mahisa Semu itu pun
terkejut pula. Mereka merasa beban mereka akan b ertambah
dengan kedatangan orang-orang baru itu.
Bahkan beberapa orang cantrik telah mulai menghentakkan
kemampuan mereka. Apapun y ang terjadi, maka mereka harus
berusaha mempertahankan Padepokan mereka.
Namun, akhirnya mereka menyadari bahwa dugaan mereka
tidak seluruhnya benar. Ternyata bahwa para cantrik dari
Pa depokan Bajra Seta telah memburu lawan-lawan mereka
yang bergabung di medan di sebelah padepokan.
Dengan demikian maka pertempuran di sebelah Padepokan
itu pun menjadi semakin sengit. Sorak gemuruh bersahutsahutan
di antara kedua belah pihak.
Untuk sementara maka garis pertempuran pun telah
menjadi goy ah. Keseimbangan baru tidak segera dicapai.
Bahkan dalam beberapa hal, para cantrik dari Padepokan
Bajra Seta yang berada di ujung telah merasa terdesak.
Tetapi itu tidak terjadi terlalu lama. Ketika para cantrik dari
Pa depokan Bajra Seta telah menempatkan diri, demikian pula
anak-anak muda dan orang-orang dari padukuhan-padukuhan
di sekitar Padepokan Bajra Seta y ang telah dengan suka rela
membantu, telah mapan, maka mulai terasa bahwa Padepokan
Bajra Seta tidak lagi merasa terdesak.
Bahkan semakin lama, para cantrik Bajra Seta mulai
merasa bahwa merekalah y ang mulai mendesak pasukan
lawan. Sawung Tunggul y ang memimpin para cantrik dari
Pa depokan Ngancas dan padepokannya sendiri menyadari
bahwa pasukannya mengalami kesulitan. Bahkan kemudian
terasa bahwa pasukannya mulai berguncang. Bahwa para
cantrik y ang bertempur di belakang Padepokan itu telah
mengalir ke sebelah-menyebelah adalah pertanda bahwa
pasukan dari Padepokan Ngancas dan padepokan yang
mendukungnya m engalami kesulitan. Khususnya di belakang
Pa depokan Bajra Seta. Karena itu, maka Sawung Tunggul pun telah membulatkan
tekadnya untuk secepatnya membinasakan lawannya yang
masih sangat muda itu. Apalagi ketika ia m enyadari, bahwa
Sanggatama tidak muncul bersama para cantrik itu. Memang
masih ada kemungkinan bahwa Sanggatama masih berada di
belakang padepokan atau berada di sisi yang lain dari
padepokan itu. Namun Sawung Tunggul tidak mau mengalami
akibat y ang lebih buruk.
Dengan demikian, maka Sawung Tunggul pun telah
menghentakkan segenap kemampuan yang ada padanya untuk
secepatnya menyelesaikan lawannya y ang masih sangat muda
itu. Kemudian ia akan dapat menangani seluruh medan yang
menjadi tanggung jawabnya.
Sekejap kemudian maka Sawung Tunggul itu pun mulai
memutar pedangnya lebih cepat. Putaran pedang y ang seakanakan
telah menghamburkan duri-duri y ang tajam lebih banyak
lagi. Pedang Sawung Tunggul telah terayun dengan derasnya,
kemudian menebas dengan kecepatan y ang sangat tinggi.
Namun kemudian terjulur menikam kearah jantung.
Mahisa Semu dengan tangkasnya menghindari setiap
serangan yang datang. Pedang lawannya memang tidak
menyentuh tubuhnya. Tetapi sambaran anginnya yang disertai
kekuatan ilmu yang telah disadapnya dari gurunya, meskipun
baru alasnya saja, telah menyakiti seluruh tubuhnya. Duri-duri
tajam y ang tidak terhitung jumlahnya rasa-rasanya telah
menyengat dan menusuk masuk ke dalam lubang-lubang
kulitnya. Bahkan kemudian darah pun semakin banyak m engembun
di wajah kulitnya, bercampur dengan keringatnya.
Mahisa Semu memang mengalami kesulitan m enghadapi
lawannya. Tetapi anak muda itu tidak cepat berputus-a sa. Ia
masih berusaha untuk mematahkan kemampuan lawannya.
Dengan geram Mahisa Semu mencoba meny erang dengan
cepat dan kuat agar Sawung Tunggul tidak sempat
mengayunkan senjatanya selain menangkis seranganserangannya.
Tetapi, ternyata bahwa Sawung Tunggul y ang memiliki
pengalaman y ang lebih luas dari Mahisa Semu itu justru selalu
berusaha mengambil jarak. Kemudian ia pun mulai m emutar
senjatanya dan meny erang dengan segenap kemampuannya.
Mahisa Semu benar-benar kehilangan kesempatan. Namun
Mahisa Semu tidak meny erang begitu saja. Dalam kesulitan
itu, maka Mahisa Semu telah teringat akan pisau b elati kecil
yang selalu dibawanya. Dalam keadaan terdesak, maka tibatiba
Mahisa Semu itu pun telah menarik pisaunya dan dengan
kecepatan y ang sangat tinggi, bahkan di luar perhitungan
lawannya telah melontarkan pisau belatinya itu.
Sawung Tunggul memang terkejut. Tetapi ternyata ia
terlambat mengambil sikap. Pisau itu terbang demikian tibatiba
dan demikian cepatnya mengarah dadanya.
Sawung Tunggul m emang masih m enggeliat menghindar.
Namun pisau y ang m eluncur begitu cepatnya itu m asih juga
hinggap dipundaknya. Justru pundak kanannya.
Terdengar Sawung Tunggul mengaduh kesakitan. Pisau
belati itu telah memutuskan urat dipundaknya, sehingga
tangan kanannya seakan-akan telah menjadi hampir lumpuh.
Meskipun tangan itu masih mampu menggerakkan
pedangnya, namun Sawung Tunggul tidak lagi mempunyai
kemampuan untuk bergerak cepat dan dengan kekuatan
sepenuhnya. "Kau licik anak iblis,"
teriak Sawung Tunggul. "Kenapa?" bertanya
Mahisa Semu. "Kau telah melemparkan pisau untuk menyerang aku," geram
Sawung Tunggul "Kenapa licik" Bukankah di samping pedangmu kau juga melepaskan ilmumu yang lain, sehingga darah mengembun di seluruh permukaan kulitku." " Itu hakku," jawab
Sawung tunggul. "Pisau itu adalah pisauku. Adalah hakku untuk
mempergunakan seribu jeni s senjata sekalipun untuk
menghadapimu." Sawung Tunggul menggeram. Darah mengalir semakin
banyak dari pundaknya. Sementara itu tangan kanannya
menjadi semakin lemah. Dengan demikian maka ia tidak lagi
mengayunkan pedangnya dengan keras dan cepat dengan
lambaran ilmunya sehingga udara dapat menghambur
bagaikan hamburan duri y ang tajam menusuk kulit.
Karena itulah maka dalam pertempuran selanjutnya,
Mahisa Semu y ang dari seluruh permukaan kulitnya bagaikan
mengembun darah, mampu mengatasi kemampuan ilmu
pedang lawannya yang menjadi lam ban.
Dipasukan induk Empu Damar y ang berhadapan dengan
Mahisa Murti telah bertempur dengan serunya. Berdasarkan
pengalamannya bertempur melawan Mahisa Pukat, maka
Empu Damar menjadi sangat berhati-hati.
Sementara itu pertempuran para cantrik di pa sukan induk
itu pun menjadi semakin sengit pula. Kedua belah pihak telah
mengerahkan kemampuan mereka. Ternyata bahwa pasukan
dari Padepokan Ngancas terlalu kuat di pasukan induk itu.
Untunglah bahwa sekelompok anak-anak muda dan orangorang
dari padukuhan di sekitar padepokan itu telah
berdatangan membantu. Meskipun isy arat yang m ereka lihat
adalah bukan isyarat y ang dimaksud, tetapi kedatangan
mereka memang diperlukan oleh Padepokan Bajra Seta.
Tetapi, di sisi y ang lain dari Padepokan Bajra Seta,
keseimbangan pertempuran agar menyulitkan para cantrik
dari Padepokan Bajra Seta. Para cantrik yang dipimpin oleh
seorang cantrik y ang mendapat kepercayaan dari Mahisa
Murti itu ternyata m endapat lawan yang cukup berat. Murid
Empu Damar yang memimpin di sisi sebelah kanan
Pa depokan Bajra Seta, ternyata membawa kekuatan yang
cukup besar. Selain para cantrik dari Padepokan Ngancas,
maka para cantrik dari padepokan y ang dipimpin oleh seorang
murid terpercaya dari Empu Damar itu jumlahnya cukup
banyak sehingga para cantrik dari Padepokan Bajra Seta
merasa mendapat tekanan yang sangat berat
Meskipun anak-anak muda dan orang-orang dari
padukuhan-padukuhan di sekitar Padepokan Bajra Seta


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bertempur dengan berani, namun jumlah lawan memang
terlalu banyak. Apalagi ketika tiba-tiba mengalir para cantrik dari belakang
Pa depokan Bajra Seta. Pertahanan Bajra Seta memang telah
berguncang. Tetapi sesaat kemudian, maka kekuatan Bajra
Setapun telah m enyusul pula dari arah belakang Padepokan,
sehingga dengan demikian maka keseimbangannya pun telah
berubah pula. Namun ketika kemudian pertempuran itu berlangsung
beberapa saat setelah goncangan itu terjadi, maka ternyata
bahwa jumlah lawan masih tetap terlalu banyak bagi
Pa depokan Bajra Seta. Perlahan-lahan kekuatan pertahanan para cantrik Bajra
Seta mulai terdesak. Juga di medan y ang lain, anak-anak
muda dan orang-orang dari padukuhan telah mengalami
tekanan y ang sangat berat pula.
Dalam pada itu, maka Mahisa Amping yang berada di atas
panggungan telah bergeser dari dinding di bagian kedepan
kesisi sebelah kanan. Dengan kerut dikening ia melihat
bagaimana para cantrik dari Padepokan Bajra Seta telah
terdesak. Ia melihat bahwa jumlah lawan memang terlalu
banyak di sisi sebelah kanan itu.
Wajah Mahisa Amping menjadi tegang. Tetapi ia tidak
dapat berteriak memberikan laporan kepada Mahisa Murti,
karena pertempuran di bagian depan Padepokan Bajra Seta itu
pun berlangsung dengan sengitnya. Masih belum diketahui
siapakah di antara kedua kekuatan itu akan dapat
memenangkan pertempuran. Karena itu, maka Mahisa Amping pun telah turun dari
panggungan di sisi sebelah kanan dan berlari ke dinding
dibagian belakang. Tetapi dibagian belakang padepokan itu
sudah tidak terjadi lagi pertempuran. Yang ada hanyalah
mereka yang menjadi korban terbujur lintang di antara
mereka y ang terluka parah.
Karena itu, maka Mahisa Amping pun segera berlari pula ke
sisi sebelah kiri. Di sisi sebelah kiri para cantrik Padepokan
Bajra Seta dipimpin oleh Mahisa Semu y ang perlahan-lahan
tetapi pasti dapat menguasai lawannya, Sawung Tunggul.
Meskipun beberapa orang cantriknya membantu, tetapi
Sawung Tunggul semakin lama semakin kehilangan
kekuatannya, sehingga sulit baginya untuk bertahan lebih
lama lagi terhadap Mahisa Semu.
Tetapi Mahisa Semu sendiri memang sudah menjadi sangat
letih. Darah telah mewarnai hampir seluruh permukaan
kulitnya, meskipun tidak menitik.
Namun dalam pada itu, para cantrik dari Padepokan Bajra
Setapun dengan pasti pula dapat menguasai lawan mereka
yang menjadi semakin lemah. Bahkan kemudian, ternyata
bahwa Sawung Tunggul tidak lagi mampu memberikan
perlawanan. Darah mengalir dari luka-lukanya yang
menggores tubuhnya kemudian selain luka dipundaknya.
Dengan demikian, maka pasukan lawan di sebelah kiri itu
pun semakin lama telah menjadi semakin terdesak pula, ju stru
dari dua sisi. Mahisa Amping m enyaksikan pertempuran di sisi sebelah
kiri itu dengan kening y ang berkerut. Jantungnya terasa
berdetak terlalu cepat, ju stru karena ia menjadi bimbang.
Apakah ia harus berteriak m emberitahukan keadaan pasukan
di sisi sebelah kanan dari padepokan Bajra Seta itu.
Namun akhirnya Mahisa Amping tidak dapat menahan diri
lagi. Dengan lantang suara kanak-kanaknya telah melengking,
"He, kakang Mahisa Semu. Perintahkan sebagian dari para
cantrik untuk pergi ke sisi sebelah kanan."
Mahisa Semu mendengar teriakan itu. Sementara itu,
beberapa orang cantrik telah berusaha meny elamatkan
Sawung Tunggul, perhatian Mahisa Semu yang sejenak
terhadap teriakan Mahisa Amping seakan-akan telah
memberikan kesempatan kepada para cantrik untuk menolong
pemimpin mereka, Sawung Tunggul.
Dengan cepat, maka Sawung Tunggul itu pun telah dibawa
oleh murid- muridnya meny ingkir dari medan.
Namun dalam pada itu, para cantrik dari Padepokan
Ngancas serta padepokan-padepokan yang mendukungnya,
telah kehilangan pemimpinnya. Sementara itu meskipun
Mahisa Semu sudah menjadi sangat letih, tetapi ia masih
berdiri di tengah-tengah m edan pertempuran dengan pedang
di tangannya. Beberapa orang cantrik memang harus
mengawalnya agar Mahisa Semu tidak menjadi sasaran
serangan beberapa orang lawan bersama-sama.
Sementara itu, masih terdengar suara Mahisa Amping,
"Kakang Mahisa Semu, apakah kau dapat memerintahkan
sebagian para cantrik untuk membantu medan di sebelah
kanan Padepokan?" Mahisa Semu yang letih itu pun kemudian mengangkat
pedangnya. Namun ia masih juga dapat berteriak dengan
suara lantang untuk memerintahkan beberapa kelompok
cantrik untuk bergeser ke medan di sebelah kanan.
Perintah Mahisa Semu itulah dilanjutkan oleh dua orang
penghubung kepada kelompok-kelompok yang dimaksud.
Tetapi setelah kelompok-kelompok itu bergeser lewat
belakang dinding Padepokan Bajra Seta, keseimbangan
pertempuran itu sama sekali t idak terpengaruh. Apalagi
pasukan lawan yang sudah tidak mempunyai pimpinan lagi.
Mereka seakan-akan telah kehilangan tumpuan.
Dengan demikian maka para cantrik dari Padepokan
Ngancas dan padepokan-padepokan yang mendukungnya
dimedan sebelah kiri Padepokan Bajra Seta itu semakin lama
menjadi semakin terdesak. Seorang cantrik dari Padepokan
Ngancas mencoba m engambil alih pimpinan, namun ia tidak
sanggup mengangkat kemampuan seluruh kekuatan
pasukannya. Meskipun Mahisa Semu sudah menjadi t erlalu
lemah, t etapi ia masih berpikir bening. Perintah-perintahnya
masih mapan, sementara para cantrik yang terpilih berada di
sekitarnya. Selain untuk melindunginya, juga untuk
meneruskan perintah-perintahnya.
Kelompok-kelompok cantrik yang b erlari -lari lewat bagian
belakang Padepokan Bajra Seta itu pun segera mencapai
medan di sebelah kanan. Mereka langsung melibatkan diri
kedalam kancah pertempuran. Karena mereka memasuki
arena pertempuran dari ujung, maka mereka pun telah
bertempur di ujung medan pertempuran y ang menjadi
semakin sengit. Mula-mula pengaruhnya memang tidak begitu terasa.
Tetapi semakin lama, maka kekuatan y ang datang itu semakin
merembes ke dalam medan pertempuran, sehingga kelompokkelompok
baru itu mulai terasa pengaruhnya.
Murid Empu Damar yang memimpin pasukan di sisi
sebelah kanan itu pun segera memerintahkan agar pasukannya
menjadi semakin cepat bergerak. Mereka sudah melihat
kemenangan diambang pintu. Tetapi kedatangan kelompokkelompok
baru itu rasa-rasanya memang sangat mengganggu.
Tetapi murid kepercayaan Empu Damar y ang ditugaskan di
sisi sebelah kanan itu masih melihat kemungkinan bahwa ia
akan dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik. Karena itu,
maka ia pun segera m eneriakkan perintah, agar para cantrik
dibawah pimpinannya segera menyelesaikan tugas mereka.
" Jangan ragu -ragu," orang itu berteriak, "hancurkan saja
semua cantrik dari padepokan Bajra Seta."
Tetapi orang itu tidak dapat ingkar dari keny ataan.
Kelompok-kelompok y ang baru datang itu benar-benar telah
menggetarkan medan. Dengan garangnya para cantrik itu telah menusuk garis
pertempuran memasuki arena pertempuran lebih dalam lagi.
Meskipun hal itu dilakukan di ujung arena, tetapi
pengaruhnya telah merambat ke ujung y ang lain.
Sementara itu, anak-anak muda dan orang-orang dari
Padukuhan di sekitar Padepokan Bajra Seta sudah mulai
cemas karena tekanan yang sangat berat atas mereka. Namun
tekanan itu kemudian m emang terasa agak longgar. Karena
itu, m aka anak-anak muda dan orang-orang padukuhan itu
sempat memperhatikan pertempuran yang terjadi di sisi
sebelah kanan padepokan Bajra Seta.
Dalam pada itu, murid terpercaya Empu Damar y ang
memimpin pasukan dari Padepokan Ngancas dan Padepokanpadepokan
y ang mendukungnya, memang menghadapi
kesulitan untuk berusaha berhadapan dengan pemimpin
pasukan dari Padepokan Bajra Seta. Cantrik dari padepokan
Bajra Seta itu merasa bahwa ia masih belum m emiliki ilmu
setinggi murid Empu Damar. Karena itu, maka ia telah
berusaha membentuk satu kelompok kecil khusus untuk
menghadapi murid mPu.Damar itu. Cantrik itu telah
bertempur bersama-sama dengan kedua orang cantrik yang
lain. Seorang di antara ketiganya bersenjata sebuah tombak
pendek, seorang bersenjata pedang yang cukup panjang,
sementara cantrik yang ketiga bersenjata pedang rangkap
dikedua tangannya. Namun ketika murid Empu Damar itu terdesak, maka
seperti kedua orang murid Empu Damar yang lain, orang itu
pun telah m engetrapkan ilmunya. Setiap ayunan senjatanya,
maka rasa-rasanya anginpun telah menghamburkan tajamnya
duri-duri menusuk lubang-lubang kulit.
Namun, ketiga orang cantrik itu berusaha untuk dapat
bekerja bersama. Setiap orang dengan senjatanya masingmasing
m emang berusaha untuk m eny erang. Namun setiap
kali mereka harus melangkah surut. Hembusan angin itu
membuat seluruh permukaan kulit mereka menjadi pedih.
Dengan demikian, maka ketiga orang cantrik itu benarbenar
kehilangan kesempatan untuk menyerang. Setiap kali
mereka hanya dapat mencoba meny erang selagi perhatian
murid Empu Damar itu tertuju kepada orang lain. Namun
demikian m urid Empu Damar itu berputar, maka anginpun
mengalir dengan derasny a, menyakiti kulit para cantrik itu.
" Jangan lari," geram murid Empu Damar itu.
Tidak seorang cantrik pun menjawab. Tetapi pertempuran
itu pun masih juga berlangsung-dengan sengitnya.
Beberapa orang cantrik memang menjadi kebingungan
mengatasi murid Empu Damar y ang memimpin pasukannya di
sisi sebelah kanan itu. Tidak ada seorang cantrik pun dari
Pa depokan Bajra Seta y ang mampu mengimbangi ilmunya.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sudah memberikan
beberapa petunjuk dan tuntunan kepada para cantriknya bila
dalam pertempuran mereka menjumpai lawan yang demikian.
Karena itulah, m aka para cantrik itu pun kemudian telah
sampai pada usaha mereka yang terakhir. Mereka bertiga
dengan cepat saling memberikan isy arat. Justru karena
mereka tidak mampu mendekat karena ilmu lawannya.
Pa da saat-saat murid Empu Damar itu juga berusaha
menyelesaikan ketiga orang cantrik yang bertempur bersama
lawannya, maka murid Empu Damar itu telah berloncatan
sambil mengayun-ayunkan senjatanya. Angin y ang bagaikan
mengamburkan beribu-ribu duri tajam itu benar-benar telah
menyakiti kulit para cantrik dari padepokan Bajra Seta. Ujungujung
duri y ang tajam itu seakan-akan telah menghunjam
menusuk kelubang-lubang kulit mereka.
Pa da saat yang demikian itulah maka para cantrik itu telah
mengerahkan segenap kemampuan mereka. Meskipun mereka
tidak mempunyai lambaran ilmu sebagaimana lawannya,
tetapi mereka memiliki kemampuan berpikir. Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat telah banyak memberikan petunjuk kepada
mereka, sehingga m ereka m empunyai berbagai macam upaya
untuk mengatasi keadaan lawannya yang sulit didekatinya itu.
Ketika pertempuran itu menjadi semakin sengit, maka
cantrik Padepokan Bajra Seta y ang m emiliki pedang rangkap
itu telah meny erang dengan cepat, sebilah pedangnya terjulur
lurus kedepan namun lawannya sempat menangkis
serangannya, bahkan kemudian pedang lawannya itu terayun
deras sekali mengarah ke lehernya. Meskipun cantrik itu
sempat menghindar dengan merendahkan diri, tetapi
sambaran angin serangan lawannya itu telah menerpa
kulitnya. Cantrik itu meny eringai menahan pedih yang
menggigit sehingga terdengar keluhannya yang tertahan.
Namun, demikian ia meloncat bangkit, maka kedua belah
senjatanyapun segera berputar berporos pada tubuhnya.
Demikian cepatnya, sehingga lawannya harus m eloncat surut.
Tetapi, ketika cantrik itu mencoba memburunya, sekali lagi
murid Empu Damar itu mengayunkan pedangnya pula.
Cantrik dari Padepokan Bajra Seta itu menyeringai
menahan sengatan ujung-ujung duri di lubang-lubang
kulitnya. Demikian pedihnya, sehingga cantrik itu rasarasanya
tidak mampu lagi berbuat sesuatu. Pada saat yang
demikian, murid Empu Damar itu ingin mempergunakan
kesempatan untuk mengakhiri perlawanan cantrik itu. Tetapi,
ternyata bahwa niat itu masih harus tertunda. Sebilah pedang
panjang terjulur hampir menikam lambungnya. Sehingga
murid Empu Damar itu harus meloncat surut. Tetapi ketika
lawannya itu mencoba memburunya, maka murid Empu
Damar itu dengan cepat telah memutar pedangnya
menyelimuti tubuhnya. Cantrik Padepokan Bajra Seta itu terpaksa mengurungkan
niatnya. Cantrik itu justru bergeser surut.
Tetapi, murid Empu Damar itu tidak mau melepaskan
lawannya begitu saja setelah ia kehilangan kesempatan untuk
menyingkirkan lawannya y ang terdahulu. Dengan tangkasnya
murid Empu Damar itu telah meloncat menikam ke arah
jantung. Cantrik itu terkejut. Demikian cepatnya serangan itu
datang. Dengan serta merta maka cantrik itu menggeliat.
Namun ujung pedang lawannya itu masih juga mengenai
tubuhnya. Seleret luka telah mengoy ak lambung.
Tetapi bukan saja pedihnya luka. Getaran angin y ang keras
benar-benar telah menggigit hampir seluruh permukaan
kulitnya. Sehingga karena itu, maka cantrik itu telah berguling
jatuh sambil mengerang kesakitan.
Tetapi murid Empu Damar y ang marah itu tidak
menghentikan serangannya. Dengan geram ia telah
mengangkat pedangnya untuk menghabisi jiwa cantrik yang
telah terluka itu. Pa da saat y ang demikian, maka cantrik dari Padepokan
Bajra Seta yang lain, tidak mempunyai kemungkinan lain
kecuali mempergunakan kemungkinan terakhir yang pernah


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka sadap dari Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Pa da saat murid Empu Damar itu mengayunkan
pedangnya, maka sebatang tombak telah meluncur dengan
derasnya. Cantrik y ang bersenjata tombak itu kecuali memang
tidak sempat menggapai lawannya, ia pun merasa bahwa sulit
baginya untuk menembus perisai y ang m elindungi lawannya
dengan getaran udara y ang seakan-akan telah
menghamburkan beribu-ribu duri itu.
Murid Empu Damar y ang sedang memusatkan
perhatiannya kepada cantrik y ang sudah terluka di lam bung
itu, ternyata terlambat untuk mengetahui serangan yang
dilontarkan itu. Meskipun demikian ia masih m encoba untuk
menangkis serangan itu. Tetapi murid Empu Damar itu tidak mampu untuk
sepenuhnya menghindarkan serangan ujung tombak itu.
Meskipun ujung t ombak itu tidak m engoy ak jantung, namun
ujung tombak itu telah menyentuh lengannya.
Murid Empu Damar itu mengumpat. Ujung tombak itu
memang hanya sekedar menggores lengannya. Sama sekali
tidak membahayakan jiwanya. Namun justru pada saat murid
Empu Damar itu mengusap lukanya, maka diluar dugaan,
sepasang pedang telah terbang pula menyambarnya.
Dengan tangkasnya murid Empu Damar itu meloncat
menghindar. Sepasang pedang itu memang tidak
mengenainya. Namun murid Empu Damar itu telah
melupakan sesuatu. Cantrik yang terluka lambungnya itu telah
sempat bangkit. Meskipun cantrik itu tidak sempat berdiri,
namun sambil berlutut pada sebelah kakiny a, m aka dengan
sisa tenaganya pedangnya telah terjulur dari arah samping.
Murid Empu Damar y ang baru saja tegak setelah
menghindari sepa sang pedang yang menyambarnya, ternyata
tidak sempat berbuat banyak. Ujung pedang itu langsung
menghunjam ke lambungnya, menghunjam sampai ke rongga
dadanya. Murid Empu Damar itu m engaduh tertahan. Dengan sorot
mata penuh kebencian ia memandang cantrik yang
lambungnya sudah terluka itu. Dengan tenaganya yang
terakhir, murid Empu Damar itu mencoba mengangkat
pedangnya. Namun ternyata ia tidak mampu lagi
melakukannya. Sejenak ia terhuyung. Kemudian, tertatih-tatih
dan akhirnya tubuhnya pun roboh jatuh terbanting ditanah.
Ternyata m urid Empu Damar itu tidak m ampu bertahan
terlalu lama. Lukanya yang parah kemudian telah mengakhiri
perlawanannya. Para cantrik dari Padepokan Bajra Seta y ang melihat
kematian murid Empu Damar y ang memimpin pasukan di sisi
kanan itu, telah bersorak m embahana. Mereka meneriakkan
kematian pimpinan pa sukan lawannya itu. Meskipun mereka
pun harus meratapi seorang di antara para cantrik yang
terluka parah. Cantrik yang terluka lambungnya itu, demikian
ia berhasil menghunjamkan pedangnya, maka ia pun langsung
menjadi pingsan. Beberapa orang cantrik segera berusaha menolongnya,
sementara y ang lain melindunginya.
Namun dalam pada itu, bantuan yang datang dari sisi
sebelah kiri, y ang kemudian disusul oleh kematian pemimpin
pasukan di sisi sebelah kanan itu telah sangat berpengaruh
atas keseimbangan seluruh pertempuran di sisi sebelah kanan
itu. Setiap orang dari pasukan y ang meny erang Padepokan
Bajra Seta itu menjadi sangat berdebar-debar. Mereka telah
kehilangan pemimpin mereka sementara cantrik Bajra Seta
telah memperkuat kedudukannya di sisi sebelah kanan.
Dengan demikian, maka kekuatan pasukan Padepokan
Ngancas dan padepokan-padepokan yang mendukungnya
telah menjadi semakin terdesak. Terutama di belakang, di sisi
sebelah kiri dan sisi sebelah kanan. Kekuatan para peny erang
itu tidak mampu lagi untuk tetap mempertahankan
keseimbangan pertempuran. Bahkan para cantrik dari
padepokan-padepokan y ang menyerang Padepokan Bajra Seta
dari arah belakang itu pun sama sekali sudah disapu oleh para
cantrik dari Padepokan Bajra Seta.
Hanya di bagian depan Padepokan sajalah pertempuran
masih berlangsung dengan sengitnya. Kekuatan Padepokan
Ngancas memang sebagian besar terbesar berada di bagian
depan padepokan. Dengan garang mereka bertempur bersama
dengan beberapa m urid Empu Damar y ang sudah dianggap
cukup mempunyai bekal. Termasuk Gemak Langkas.
Sementara Empu Damar sendiri tengah berhadap dengan
Mahisa Murti. Dengan mengerahkan segenap kemampuan, maka para
cantrik dari Padepokan Bajra Seta berusaha untuk
mempertahankan garis pertempuran agar tidak bergeser
semakin dekat dengan dinding padepokan. Tetapi pertahanan
itu rasa-rasanya selalu berguncang. Bahkan seakan-akan telah
merangkak mendekati dinding.
Di atas dinding, para cantrik y ang bertugas mengawasi
keadaan memang menjadi cemas. Bahkan mereka telah
memberikan isy arat kepada pasukan cadangan yang
jumlahnya hanya sedikit, dan bahkan bekal ilmu m ereka pun
masih sangat sedikit pula, untuk bersiap-siap agar para
peny erang tidak dapat memasuki regol Padepokan yang
memang sudah terbuka. Dua orang petugas sandi yang mengamati pertempuran
menjadi berdebar-debar. Ternyata mereka tidak dapat
berpangku tangan. Meskipun mereka sadar, bahwa mereka
berdua tidak akan berarti apa-apa, namun jika terpaksa
mereka memang harus turun dimedan pertempuran, setidak
tidaknya untuk mempengaruhi agar para cantrik dari
Pa depokan Bajra Seta tetap berbesar hati.
Sementara itu, anak-anak muda dan orang-orang dari
padukuhan di sekitar Padepokan Bajra Seta y ang bertempur
dibagian depan dari padepokan itu pun harus mengerahkan
segenap keampuhan mereka agar mereka tidak terlempar dari
pertempuran. Tetapi tekanan lawan memang terasa sangat berat.
Namun dalam pada itu, para cantrik yang bertugas di dalam
lingkungan dinding Padepokan telah kehilangan Mahisa
Amping. Tiba-tiba saja anak itu tidak ada lagi di atas
panggungan. Ketika hal itu ditanyakan kepada kedua orang
petugas sandi, apakah Mahisa Amping bersama mereka, maka
mereka pun menjadi cemas pula.
"Anak itu tidak ada di sini," jawab salah seorang di antara
kedua orang petugas sandi itu.
Beberapa orang cantrik memang menjadi bingung. Mereka
menjadi gelisah karena mereka tidak segera menemukan
Mahisa Amping. Beberapa orang telah m encarinya di seluruh
padepokan. Setiap bangunan telah dimasuki dengan
memanggil nama anak itu. Tetapi anak itu tidak diketemukan.
Karena itu, maka keduanya pun telah mengambil
keputusan untuk turun ke arena. Namun seorang di antara
mereka m asih sempat berkata, "Jika anak itu belum kalian
ketemukan, maka carilah keluar dinding Padepokan."
Cantrik itu mengangguk sambil menjawab, "Baiklah. Kami
akan mencarinya." Demikianlah keduanya pun telah turun dari panggungan.
Mereka telah keluar pula dari gerbang induk Padepokan Bajra
Seta langsung menuju ke medan pertempuran.
Sementara itu, Mahisa Amping memang tidak berada di
lingkungan dinding padepokan lagi. Diam-diam anak itu
sudah berlari keluar. Diluar pengamatan para cantrik Mahisa Amping berlari
melewati bagian belakang Padepokan Bajra Seta yang sudah
tidak lagi menjadi ajang pertempuran, melingkar dan
kemudian menuju ke sisi arena pertempuran y ang lain di sisi
kanan Padepokan Bajra Seta.
Sementara itu, para cantrik Bajra Seta telah hampir
menguasai k eseluruhan medan di sisi kanan itu. Para cantrik
dari Padepokan Ngancas dan padepokan-padepokan yang
mendukungnya sudah tidak banyak dapat berbuat. Bahkan
mereka seakan-akan telah m enjadi putus asa dan kehilangan
harapan untuk dapat bertahan.
Sementara itu, para pemimpin kelompok dari para cantrik
Pa depokan Bajra Seta sempat meneriakkan kesempatan agar
pasukan yang menyerang Padepokan Bajra Seta itu menyerah.
Kesempatan itu memang tidak segera dipergunakan.
Sebagian dari mereka yang m eny erang Padepokan Bajra Seta
itu masih ragu-ragu. Namun mereka memang sudah tidak
berpengaruh lagi. Sementara itu, maka anak-anak muda dan orang -orang dari
padukuhan di sekitar padepokan yang berada di sisi sebelah
kanan itu pun tidak lagi mengalami perlawanan yang berarti.
Lawan-lawan mereka lebih banyak bergeser mundur dan
merapat di antara mereka yang terdesak dari kedua sisi.
Bahkan sebagian besar dari mereka tidak lagi m empunyai
keberanian untuk bertempur sepeninggal pemimpin mereka,
salah seorang di antara murid-murid Empu Damar yang
terpercaya. Pa da saat yang demikian itulah Mahisa Am ping telah hadir
di antara anak-anak muda dan orang-orang dari padukuhan
sebelah. Ternyata m ereka terkejut juga melihat kehadiran Mahisa
Amping. Justru karena beban mereka tidak lagi terasa berat,
maka beberapa orang telah mengerumuni anak itu.
"Dengan siapa kau datang kemari?" bertanya seorang di
antara mereka y ang berkerumun itu.
"Sendiri," jawab Mahisa Amping.
"Kenapa kau kemari dalam keadaan seperti ini?" bertanya
orang itu. "Bukankah tugas kalian
di sini tidak terlalu mengikat lagi sehingga sebagian dari kalian dapat
meninggalkan tempat ini?"
bertanya Mahisa Amping. "Mak sudmu?" bertanya
orang itu. "Para cantrik Padepokan
kita di bagian depan agak
mengalami kesulitan. Meskipun belum kehilangan kemungkinan dan belum kehilangan harapan. Daripada mereka harus menyerahkan korban terlalu banyak untuk bertahan, apakah tidak sebaiknya jika sebagian dari kalian
pergi ke bagian depan padepokan membantu kawan-kawan
kalian di sana?" berkata Mahisa Amping.
"Apakah benar begitu" Kenapa tidak ada penghubung y ang
datang kemari m embawa perintah bagi kami?" jawab orang
itu. "Pertempuran masih berlangsung dengan sengitnya.
Kakang Mahisa Murti belum sempat memberikan perintah,"
jawab Mahisa Amping. "Darimana kau tahu keadaan medan" Apakah kau berada
di sana sebelum kau datang kemari?"
"Aku berada di panggungan di sebelah pintu. Aku m elihat
pertempuran yang terjadi di medan itu," jawab Mahisa
Amping. "Tunggu di sini," desis orang itu.
" Jangan menunggu pasukan Bajra Seta pecah," jawab
Mahisa Amping. "Tetapi bukankah aku harus memberikan laporan?" sahut
orang itu. Mahisa Amping tidak menjawab, sementara orang itu pun
segera berlari m enemui pemimpin pasukan anak-anak muda
dan orang-orang padukuhan y ang berada di sisi kanan yang
mereka tunjuk sendiri dengan kesepakatan bersama.
Karena pertempuran sudah mereda, maka pemimpin
pasukan itu sempat mendengarkan laporan orang y ang baru
sa ja menemui Mahisa Amping itu dengan seksama.
"Baiklah," berkata orang itu, "aku akan memerintahkan
tiga kelompok di antara kita untuk pergi kebagian depan
Pa depokan ini untuk membantu pasukan induk."
Demikianlah, sejenak kemudian maka tiga kelompok dari
anak-anak muda dan orang-orang padukuhan di sekitar
Pa depokan Bajra Seta itu pun mulai bergerak. Mereka berlari
dengan cepat menuju ke pasukan induk yang bertempur di
bagian depan padepokan Bajra Seta itu.
Para cantrik dari padepokan Ngancas sempat menjadi
gelisah. Tetapi jumlah itu memang tidak bertambah. Meskipun
demikian tiga kelompok anak-anak muda dan orang-orang
padukuhan itu sempat mengguncang medan.
< ".. sepertinya ada bagian cerita yang hilang di s ini "..>
Dalam pada itu, pertempuran pun masih berlangsung
dengan sengitnya. Kedua belah pihak masih saling m endesak.
Masing-masing telah mengerahkan segenap kemampuan
mereka y ang tersisa. Para cantrik Padepokan Bajra Seta seakan-akan telah
menguasai seluruh medan setelah murid kepercayaan Empu
Damar tersingkir dari arena pertempuran. Para cantrik dari
Pa depokan Ngancas dan padepokan-pasepokan yang
mendukungnya sudah tidak m emiliki harapan lagi, sehingga
mereka lebih banyak menghindar dari pada mempertahankan
diri. Selagi di depan Padepokan Bajra Seta itu masih
berlangsung pertempuran sengit, maka Mahisa Amping yang
telah menemui anak-anak muda dan orang-orang dari
padukuhan yang bertempur di sisi kanan, telah berlari pula ke
sisi sebelah kiri. Namun, Mahisa Semu yang m emimpin para cantrik dari
Pa depokan Bajra Seta itu pun telah menjadi sangat letih.
Tetapi ketika ia ditemui Mahisa Amping yang menyusup
medan, maka Mahisa Semu itu sempat terkejut.
"Kenapa kau di sini?" bertanya Mahisa Semu.
"Bukankah tugas para cantrik di medan ini sudah tidak
begitu berat lagi?" bertanya Mahisa Amping.
"Ya. Mereka akan dipaksa untuk meny erah. Kenapa?"
"Apakah kakang dapat mengurangi kekuatan di medan ini


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lagi sebagaimana kakang lakukan sebelumnya?" bertanya
Mahisa Amping agak ragu. "Apa maksudmu" Apakah keadaan di sisi kanan masih
terlalu sulit?" bertanya Mahisa Semu.
"Tidak," jawab Mahisa Amping, "Tetapi justru pada
pasukan induk." Mahisa Semu mengerutkan keningnya. Dengan cemas ia
bertanya, "Bagimana dengan pasukan induk?"
"Ma sih belum nampak bahwa pasukan induk akan dapat
menguasai medan. Bahkan kakang Mahisa Murti masih
bertempur dengan sengitnya melawan pemimpin pasukan
yang meny erang Padepokan ini," jawab Mahisa Amping.
Mahisa Semu termangu-mangu sejenak. Namun ia pun
segera memerintahkan kepada seorang cantrik
penghubungnya, untuk memerintahkan beberapa kelompok
cantrik bergeser membantu medan di depan Padepokan.
Apalagi ketika Mahisa Semu melihat lawan-lawannya di sisi
sebelah kiri itu sudah mulai meny erah.
Dengan demikian maka beberapa kelompok cantrik Bajra
Setapun telah bergerak. Meskipun mereka sudah menjadi letih
sebagaimana para cantrik dari kedua belah pihak yang
bertempur itu, namun mereka masih juga berlari -larian
melingkari sudut Padepokan menuju ke pasukan induk
mereka. Kehadiran beberapa kelompok cantrik Bajra Seta itu sekali
lagi telah mengguncang medan. Bahkan kemudian mereka
telah m enentukan keseimbangan pertempuran. Para cantrik
dari Padepokan Ngancas yang semula masih berpengharapan,
telah menjadi gelisah. Para cantrik dari sisi sebelah kiri itu langsung m emasuki
arena dan menusuk pasukan lawan dari samping.
Dengan demikian maka para cantrik dari Padepokan
Ngancas itu seakan-akan telah terkepung. Di depan mereka
para cantrik dari Padepokan Bajra Seta semakin mendesak.
Dari sisi lain, anak-anak m uda dan orang-orang padukuhan
yang menekan mereka semakin kuat. Kemudian datang
beberapa kelompok anak-anak muda dan orang-orang
padukuhan dari sisi kanan, disusul kemudian beberapa
kelompok cantrik dari sisi kiri.
Dalam pada itu, m aka pertempuran antara Mahisa Murti
dengan Empu Damar menjadi semakin sengit. Setiap kali
Empu Damar telah m elontarkan sejenis senjatanya ke arah
Mahisa Murti. Meskipun senjata itu tidak mengenainya,
namun sambaran anginnya membuat Mahisa Murti semakin
kesakitan. Senjata y ang dilemparkan oleh Empu Damar itu ternyata
adalah semacam gelang-gelang baja putih. Senjata yang sangat
berbahaya. Jika senjata itu menyentuh kepala, maka kepala itu
tentu akan pecah. Bahkan gelang-gelang baja putih itu akan
dapat mematahkan tulang-tulang di tubuh lawannya yang
dapat dikenainya. Bahkan tulang lengan sekalipun.
Jika senjata itu tidak mengenai lawan, maka sambaran
anginnya telah cukup menyakitinya. Seakan-akan ratusan
duri-duri kecil yang tajam telah mengorek setiap lubang
kulitnya. Dengan demikian maka Empu Damar telah berusaha
memaksakan kemenangan segera atas Mahisa Murti ju stru
karena ia mengetahui bahwa para cantrik dari Padepokan
Ngancas telah terdesak, dan bahkan hampir terhimpit di
tengah-tengah kepungan para cantrik dari Padepokan Bajra
Seta serta anak-anak muda dan orang-orang dari padukuhan
di sekitar Padepokan Bajra Seta itu.
Karena itu, maka serangan-serangan Empu Damar pun
menjadi semakin cepat pula, meskipun keringat telah
membasahi seluruh tubuhnya.
Dengan lontaran-lontaran senjatanya maka Empu Damar
berhasil m embatasi serangan-serangan Mahisa Murti. Ju stru
karena Empu Damar telah mengetahui bahwa Mahisa Murti
sebagaimana Mahisa Pukat memiliki kemampuan untuk
menghisap kekuatan dan kemampuan lawannya.
"Seandainya aku tahu bahwa Mahisa Pukat m emiliki ilmu
itu," berkata Empu Damar di dalam hatinya, "maka aku tidak
akan dipermalukannya di hadapan banyak orang. Di hadapan
murid-muridku pula."
Dengan dada tengadah Empu Damar menekan Mahisa
Murti sehingga Mahisa Murti beberapa kali harus berloncatan
surut. Bahkan pada saat-saat terakhir Empu Damar hampir
pasti, bahwa ia akan dapat mengalahkan Mahisa Murti.
Mahisa Murti y ang selalu diburu oleh senjata-senjata Empu
Damar y ang dilontarkan dengan kekuatan yang sangat besar
bahkan dibarengi dengan ilmunya pula sehingga hembusan
anginnya telah menyakitinya, akhirnya harus m engambil satu
sikap untuk mengatasiny a. Mahisa Murti tidak dapat
membiarkan dirinya diburu oleh senjata Empu Damar
sehingga setiap kali Mahisa Murti harus berloncatan
menghindar dan bahkan sambil menyeringai menahan pedih.
Sementara itu, pertempuran di sekitarnya memang menjadi
semakin sengit. Bahkan beberapa orang cantrik y ang sedang
bertempur harus m engalami nasib buruk. Gelang-gelang baja
putih yang dilemparkan oleh Empu Damar sekali-sekali ju stru
mengenai para cantrik. Sekali-sekali justru cantrik dari
Pa depokan Ngancas yang sedang bertempur melawan cantrik
dari Padepokan Bajra Seta.
Karena itulah, m aka Mahisa Murti pun telah m emutuskan
untuk menghentikan serangan-serangan Empu Damar
sebelum gelang-gelang itu mematahkan tulang-tulangnya.
Apalagi darah y ang mengembun dari lubang-lubang kulitnya
telah menjadi semakin banyak pula.
Ketika kemudian gelang-gelang itu menyambarnya lagi,
maka Mahisa Murti harus berloncatan menghindarinya
sejauh-jauh dapat dilakukan, agar hembusan angin yang
menyambar tubuhnya tidak terlalu menyakitinya. Sementara
itu, Mahisa Murti sudah tidak mempunyai kesempatan lagi
untuk mendekati lawannya untuk meny erangnya dengan
ujung pedangnya yang berwarna kehijau-hijauan.
Pa da saat-saat yang sulit dibawah ancaman lontaran
gelang-gelang baja putih itulah, Mahisa Murti kemudian telah
mengerahkan ilmunya y ang lain. Bukan sekedar menghisap
tenaga dan kemampuan lawannya, tetapi ia pun harus
menyerangnya. Demikianlah, maka ketika sebuah gelang baja putih
menyambarnya maka Mahisa Murti telah meloncat ke
samping untuk menghindarkan diriny a. Tetapi Mahisa Murti
masih harus menyeringai menahan perasaan pedih yang
menggigit. Bahkan untuk beberapa saat Mahisa Murti harus
mengerahkan daya tahannya untuk mengatasiny a meskipun
darah masih saja mengembun dikulitnya.
Tetapi, agaknya Empu Damar tidak memberinya
kesempatan. Sekali lagi gelang-gelang baja itu menyambarnya.
Hampir saja senjata yang menggetarkan udara itu menyambar
keningnya. Namun meskipun Mahisa Murti sempat
menghindari sentuhan senjata itu, namun sambaran anginnya
benar-benar telah menyakitinya. Mahisa Murti berdesah
menahan sakit sambil m elenting m enjauh. Tetapi angin telah
menyambarnya dan perasaan pedihpun semakin menusuk
kulit. Belum lagi Mahisa Murti sempat memperbaiki
kedudukannya, m aka sekali lagi Empu Damar melemparkan
gelang-gelang besi bajanya. Gelang-gelang y ang memang tidak
begitu besar, tetapi Mahisa Murti m enyadari bahwa gelanggelang
itu sangat berbahaya baginya.
Karena itu, maka Mahisa Murti pun tidak mempunyai
kesempatan untuk meloncat menghindar. Yang dapat
dilakukannya adalah justru menjatuhkan dirinya.
Gelang-gelang itu memang tidak mengenainya. Tetapi
sambaran angin itu masih saja menyakitinya.
Dalam keadaan y ang demikian, maka Mahisa Murti tidak
mempunyai pilihan lain. Apalagi ket ika melihat bahwa Empu
Damar sudah mengambil lagi gelang-gelang baja dari kantong
ikat pinggangnya y ang besar.
Mahisa Murti tidak mau disakiti lagi. Ia tidak m embiarkan
darahnya y ang mengembun semakin membasahi kulitnya.
Karena itu, maka agaknya memang sudah tiba waktunya
Mahisa Murti berusaha mengakhiri pertempuran itu.
Dengan cepat Mahisa Murti y ang menyiapkan dirinya,
memusatkan nalar budinya. Ia tidak merasa perlu untuk
bangkit lebih dahulu. Namun sambil berbaring di tanah, maka
diacukannya pedangnya ke arah lawannya. Dengan cepat pula
Mahisa Murti telah melepaskan kemampuannya meny erang
lawannya dari jarak jauh, tepat pada saat Empu Damar siap
melontarkan senjatanya. Empu Damar sama sekali tidak m engira bahwa serangan
yang dahsy at itu akan datang. Yang diperhitungkan hanyalah
ilmu Mahisa Murti y ang dapat menghisap kekuatan dan
tenaga lawan. Karena itu, Empu Damar menjadi sangat
terkejut melihat seleret sinar bagaikan m eluncur dari ujung
pedang Mahisa Murti. Ternyata serangan Mahisa Murti datang demikian
cepatnya. Sebelum gelang-gelang bajanya terlepas dari
tangannya, maka serangan Mahisa Murti telah m enerpanya.
Demikian dahsyatnya, sehingga Empu Damar telah terlempar
beberapa langkah surut. Bahkan rasa-rasanya dadanya telah
meledak sehingga isi dadanya telah rontok karenanya.
Empu Damar yang tidak menduga akan mendapat serangan
yang demikian dahsy atnya, sama sekali tidak sempat berbuat
sesuatu. Ia masih sadar ketika ia terbanting jatuh. Bahkan
sempat m engumpat kasar. Empu Damar sempat menyadari
betapa dahsyatnya ilmu anak muda itu. Selain ilmu yang
jarang ada duanya, yang mampu menghisap tenaga dan
kekuatan lawan, ternyata ia juga m emiliki ilmu yang dahsyat
dan keras. Namun Empu Damar sudah tidak mempunyai kesempatan
lagi. Lamat-lamat masih terdengar sorak para cantrik
Pa depokan Bajra Seta membahana. Ia pun samar-samar masih
melihat Mahisa Murti dibawah perlindungan para cantrik
melangkah mendekatinya. Tetapi sejenak kemudian, semuanya menjadi gelap.
Jantungnya pun terasa berdetak semakin cepat sehingga
akhirnya, Empu Damar kehilangan segenap kesadarannya.
Bahkan jantungnya pun telah berhenti berdetak pula.
Para cantrik dari Padepokan Ngancas menjadi gelisah.
Beberapa orang murid Empu Damar yang masih bertahan,
termasuk Gemak Langkas memang m enjadi bingung. Mereka
tidak dapat mengambil sikap dengan cepat, apalagi mengambil
alih pimpinan. Kematian Empu Damar benar-benar telah
mengguncang jiwa mereka, sehingga mereka tidak mampu lagi
mengambil sikap apapun juga.
Ju stru karena itu, maka para cantirk dari Padepokan
Ngancas itu benar-benar telah kehilangan pegangan. Sebagian
dari m ereka justru bertempur membabi buta. Tetapi sebagian
yang lain dengan serta merta telah melemparkan senjata
mereka dan meny erah. Apalagi kekuatan Bajra Seta di depan padepokannya itu
semakin bertambah, sehingga akhirnya, orang-orang yang
menyerang Padepokan Bajra Seta itu tidak lagi mampu
berbuat apa-apa. Sehingga dengan demikian maka serangan
mereka telah dipatahkan dengan mutlak.
Dengan demikian, maka para pengikut Empu Damar itu di
segala medan telah dikuasai. Mereka berangsur-angsur telah
menyerah dan meletakkan senjata mereka.
Karena itu, maka sebelum matahari merendah di kaki langit
sebelah barat, maka pertempuran itu telah dapat diselesaikan.
Tetapi bukan berarti bahwa segala-galanya telah selesai.
Ternyata dalam pertempuran itu telah jatuh korban dari kedua
belah pihak. Bahkan anak-anak muda dan orang -orang dari
padukuhan di sekitar Padepokan Bajra Seta.
Para cantrik, anak-anak muda dan orang-orang dari
padukuhan sebelah m enyebelah bahkan para pengikut Empu
Damar yang menyerah masih harus sibuk mengumpulkan
mereka y ang terluka dan bahkan terbunuh di peperangan.
Mahisa Murti m emandangi tubuh y ang m embeku berjajar
di halaman serta para cantrik yang terluka yang ditempatkan
di pendapa bangunan induk Padepokan Bajra Seta dengan
wajah yang sayu. Tidak seorang pun y ang mampu mencegah korban y ang
berjatuhan di setiap peperangan. Jika peperangan itu m asih
berulang, maka tubuh-tubuh y ang membeku dan berlumuran
darah masih saja akan berhamburan di medan.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam ketika dua orang
petugas sandi y ang telah ikut t erjun di pertempuran itu
mendekatinya. Seorang di antara mereka berkata,
"Peperangan selalu berakhir seperti ini."
"Ya," jawab Mahisa Murti. Katanya selanjutnya, "Tetapi hal
seperti ini masih saja terulang apapun alasannya."
Kedua orang petugas sandi itu mengangguk-angguk.
Sementara itu Mahisa Amping pun telah melangkah dengan
ragu-ragu mendekat. Ternyata Mahisa Murti telah mendapat laporan tentang
anak itu dari mereka telah dihubunginya.
Bahkan sebelum Mahisa Murti mengatakan sesuatu,
Mahisa Amping telah mendahuluinya, "Maaf kakang. Aku
telah melakukannya tanpa seijin kakang."
Mahisa Murti tersenyum melihat tingkah anak itu. Katanya,
"Baiklah. Kau telah berusaha membantu pertempuran yang
telah terjadi dengan caramu. Kau telah berusaha membagi
kekuatan para cantrik sesuai dengan kebutuhan. Karena itu,
apa yang kau lakukan mempunyai akibat y ang baik bagi
Pa depokan kita." Mahisa Murti berhenti sejenak.
Dipandanginya anak yang kemudian menunduk dalam-dalam
itu. Katanya selanjutnya, "Tetapi lain kali berhati-hatilah. Jika
kau m enerobos medan, maka hal itu akan sangat berbahaya
bagimu." Mahisa Amping mengangguk-angguk sambil menjawab,
"Ya Kakang. Aku tidak akan melakukannya lagi."
"Baiklah," berkata Mahisa Murti sambil membelai kepala
anak itu, "kau harus berhati-hati bermain-main dengan
peperangan. Kau lihat, betapa ganasny a pertempuran itu.
Yang berjajar di halaman itu adalah mereka yang telah
menjadi korban. Mereka akan segera diangkat ke serambi
sebelum besok pagi dimakamkan. Sedangkan y ang ada di


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pendapa itu adalah mereka yang terluka parah."
Mahisa Amping mengangguk-angguk kecil. Bukan untuk
pertama kalinya ia melihat akibat dari sebuah peperangan.
Sejenak kemudian maka Mahisa Murti pun berkata kepada
kedua orang petugas sandi dari Singasari itu, "Marilah, kita
lihat keadaan Mahisa Semu dan paman Wantilan."
Mahisa Murti pun kemudian bersama-sama dengan kedua
orang itu sambil menggandeng Mahisa Amping melihat
keadaan Mahisa Semu dan Wantilan di bilik mereka.
Ternyata keadaan Wantilan lebih buruk dari Mahisa Semu.
Mahisa Semu memang nampak terlalu letih. Kulitnya juga
menjadi merah. Meskipun darah y ang mengembun sudah
dibersihkan, namun bekas-bekas terpaan ilmu lawannya
masih nampak kemerah-merahan. Sedangkan Wantilan benarbenar
terdapat luka dikulitnya. Di beberapa bagian kulitnya
menjadi terkelupas. Perasaan pedih masih saja menggigit di
beberapa bagian kulitnya, sehingga Wantilan memerlukan
perawatan y ang lebih bersungguh-sungguh. Dalam pada itu, di antara
para pengikut Empu Damar yang menyerah dan menjadi
tawanan adalah Gemak Langkas. Betapa peny esalan
mencengkam jantungnya. Ia
melihat sendiri betapa saudara-saudara seperguruannya terbaring tanpa bernafas lagi. Besok
mereka sudah harus dikembalikan kepangkuan bumi tanpa pernah bangkit
kembali. Sementara y ang lain
lagi terbaring sambil mengerang kesakitan karena luka-lukanya yang parah.
Mahisa Murti y ang oleh kedua orang petugas sandi
diberitahukan, bahwa Gemak Langkas itulah yang menjadi api
yang kemudian membakar Padepokan Bajra Seta yang
meskipun dapat dipadamkan tetapi telah menelan banyak
korban itu, telah memanggil-ny a untuk menemuinya.
Namun, sejak Mahisa Murti berbicara dengan Gemak
Langkas, maka ia telah mendapat kesan bahwa Gemak
Langkas m erasa sangat meny esal atas segala peristiwa yang
telah terjadi itu. "Sejak semula, aku dan ay ahku sudah berusaha mencegah
guru untuk melakukan balas dendam," berkata Gemak
Langkas. "Tetapi kami tidak berhasil. Karena aku merasa
bahwa aku adalah sebab dari persoalan ini, maka aku merasa
mempunyai kewajiban untuk ikut bersama guru meny erang
Pa depokan Bajra Seta."
" Jadi alasan Empu Damar menyerang padepokan ini hanya
dendam semata-mata?" bertanya Mahisa Murti.
Gemak Langkas termangu-mangu. Namun kemudian ia
berkata, "Ternyata tidak. Meskipun tidak berterus-terang,
tetapi guru menganggap bahwa ada sesuatu yang berharga di
Pa depokan Bajra Seta. Ada sejenis senjata y ang agak lain dari
kebanyakan senjata. Dan itu ternyata dalam pertempuran yang
terjadi. Senjata para cantrik Bajra Seta mempunyai kelebihan
dari senjata kami." "Hanya karena senjata-senjata itu?" desak Mahisa Murti.
Pendekar Cengeng 3 Pemberontakan Taipeng Karya Kho Ping Hoo Legenda Bunga Persik 4
^