Pencarian

Samurai Pengembara 1 2

Shugyosa Samurai Pengembara 1 Bagian 2


dengan gemas. Mereka berpelukan, lalu bergulingan di atas futon (kasur tipis
yang digelar di lantai).
Itulah saat-saat bahagia yang tak terlupakan.
Ketika akhirnya Saburo Mishima diangkat sebagai
pengawal istana, isterinya menjadi teman istri Shogun Ashikaga. Mereka
bersahabat, karena keduanya memiliki anak yang sebaya. Natane Yoshioka sering
berlatih kendo (ilmu pedang) dengan Kojiro. Mereka mengisi hari-hari kosong,
dengan belajar ilmu pedang di sebuah dojo (tempat berlatih bela diri) yang
berada di lingkungan istana. Saburo melatih mereka bagaimana
cara memegang pedang, dan menggunakannya untuk
menyerang atau menangkis. Pada saat-saat seperti itu, Itzumi sering datang
membawakan makanan untuk
mereka. Seusai berlatih kendo, biasanya mereka mi-
num sake dan menikmati dengaku (makanan khas Jepang yang dibuat dari tahu yang
dipanggang kemudian
ditaburi taocho).
Perkembangan pelajaran kendo yang diberikan Sa-
buro, sangat dihargai oleh Shogun Ashikaga, karena
itu ia kemudian diangkat sebagai guru resmi Natane
Yoshioka. Sejak saat itu, Ashikaga menyuruh Natane
memanggil Saburo dengan sebutan sensei atau guru.
Pada mulanya Saburo agak keberatan, namun sebagai
seorang samurai, ia pantang membantah permintaan
shogun. "Shogun Ashikaga telah memberikan pada kita se-
mua yang tidak terduga," kata Itzumi suatu hari ketika mereka berbaring di kamar
hanya berdua. "Aku sendiri tidak pernah membayangkan suatu saat akan tinggal
di dalam lingkungan istana."
"Aku pun tidak pernah menduganya."
"Karunia ini harus kita balas."
"Dengan apa?"
"Kesetiaan."
"Aku setia padanya."
"Aku pun demikian."
"Bagaimana denganku, apakah engkau tidak akan
setia padaku?"
Itzumi tersenyum, ia mengecup bibir suaminya de-
ngan mesra. "Jangan khawatir," bisiknya lirih. "Aku
akan setia padamu melebihi kesetiaanku pada siapa
pun juga."
"Juga dengan kesetiaanmu pada Shogun Ashikaga?"
"Kesetiaanku padamu berbeda dengan kesetiaanku
padanya," kata Itzumi tanpa tekanan. "Tetapi sama he-batnya."
Tak pernah diduga, kesetiaan pada keluarga Ashi-
kaga, harus ditebus oleh Itzumi dengan nyawanya. Sa-
tu hal yang membuat kemarahan Saburo seperti tak
tertahankan, ternyata kematian isterinya justru di tangan Ishida Mitsunari!
"Berapa lama kita akan berada di sini, Sensei?" ti-
ba-tiba Natane Yoshioka bertanya pada Saburo.
"Kita harus menunggu sampai keadaan benar-benar
aman. Nobunaga saat ini pasti terus melakukan pen-
carian. Dia tidak akan berhenti sebelum berhasil me-
menggal kepala Anda."
"Kita benar-benar seperti penjahat yang dikejar-kejar pemburu."
"Hidup Anda merupakan ancaman baginya. Karena
itu Nobunaga pasti bersedia membayar berapa pun un-
tuk memastikan kematian Anda."
Natane Yoshioka terdiam. Pandangannya menyapu
panorama di sekitarnya. Dari tempat mereka berdiri,
tampak keindahan Kota Kamakura. Kecuali dua sungai
yang mengapit istana, terlihat desa-desa di sekitarnya.
Lalu jauh di belakang, tampak menjulang Gunung Fuji
dengan salju abadinya.
Kabut transparan yang menyelimuti bukit itu, tak
menutupi panorama indah bunga-bunga sakura yang
mulai bermekaran. Warna kuning dan merah menjadi-
kan titik pandang yang menawan.
Telah tiga hari mereka bersembunyi di bukit itu. Se-
tiap hari hanya makan buah-buahan dan membakar
ikan yang dapat mereka tangkap di sungai yang meng-
alir di bawah bukit tersebut. Biasanya Saburo menu-
runi bukit menjelang fajar, ia akan kembali sesaat sebelum matahari terbit.
Biasanya ia membawa beberapa
ikan yang berhasil ditangkap dengan tombaknya.
Dua kali ia hampir kepergok patroli pasukan Nobu-
naga, karena itu Saburo kemudian bersikap lebih hati-hati. Bila tidak perlu
sekali, ia tidak menuruni bukit.
Bagi Saburo, sesungguhnya bukan sesuatu yang sulit
untuk meninggalkan bukit itu, tetapi dua anak terse-
but merupakan persoalan tersendiri. Lebih-lebih Na-
tane Yoshioka yang masih mengenakan pakaian ista-
na. Anak itu dengan mudah menarik perhatian orang
yang melihatnya.
"Kita harus keluar dari sini," kata Natane Yoshioka
tanpa berpaling pada Saburo. Ini sikap yang sangat
khas pada keturunan Ashikaga itu. Meskipun usianya
baru sebelas tahun, namun sikap dan perilakunya mem-
perlihatkan kharisma seorang shogun. Sikap tersebut mengandung sedikit
kesombongan, sekaligus pancaran
benih-benih kekuasaan. "Cepat atau lambat, pasukan
Nobunaga akan sampai di sini. Bila mereka berhasil
menemukan persembunyian kita, rasanya kita tak
mungkin memiliki kesempatan untuk meloloskan diri.
Bagaimana pun kita harus mencari jalan keluar, Sen-
sei." "Semua jalan telah dikepung. Bahkan Nobunaga me-
nempatkan tentaranya di setiap jarak dua ratus meter.
Ia benar-benar tak membiarkan kita keluar dari tempat ini."
"Bila dia mempersempit pengepungannya, kita pasti
tertangkap."
"Itulah yang sekarang sedang saya pikirkan."
"Tidak adakah penduduk di sekitar tempat ini yang
dapat menolong...."
"Sekarang bukan saatnya untuk mengharapkan
pertolongan orang lain," tukas Saburo cepat. "Kita tidak tahu apa-apa. Dalam
keadaan seperti saat ini, setiap orang dapat menjadi pengkhianat untuk kesela-
matan dirinya. Jangan mempercayai siapa pun."
"Menurut Sensei, berapa lama kita dapat bertahan
di sini?" "Tidak akan lama lagi."
"Lalu ke mana kita akan pergi?"
"Itulah yang sedang saya pikirkan."
"Bagaimana kalau kita ke Edo?"
"Ke Edo atau ke mana pun sama saja. Persoalannya
adalah bagaimana cara keluar dari kepungan tentara
Nobunaga. Mereka sekarang berada di mana-mana.
Sepertinya tidak ada tempat yang tidak dijaga."
"Tidak mungkinkah di antara mereka ada yang ma-
sih setia pada ayahku?"
"Mungkin ada. Mungkin tidak. Kita tidak dapat me-
ngetahuinya."
"Bagaimana cara terbaik untuk mengetahuinya?"
"Turun ke desa terdekat."
"Itu gagasan bagus!"
"Tetapi cara itu mengandung risiko."
"Apa risikonya?"
"Bila mereka berpihak pada Nobunaga, dalam wak-
tu singkat kita akan menghadapi bahaya besar. Me-
reka akan membongkar seluruh bukit ini untuk me-
nemukan Anda."
"Itu lebih baik daripada kita berdiam diri di sini seperti orang terpenjara."
Saburo Mishima membungkukkan badan. "Boleh-
kah saya mencegah Anda?"
"Sebaiknya tidak," jawab Natane Yoshioka enteng.
"Saya ingin membuktikan seberapa besar kesetiaan
rakyat pada ayahku. Besok, menjelang fajar menying-
sing, saya akan turun ke desa terdekat. Kita akan tahu seberapa besar
sesungguhnya bahaya yang kita hadapi." "Apakah tidak berbahaya?"
"Saat ini tidak ada yang tidak berbahaya. Apa pun
risikonya, kita harus berani menghadapinya."
"Pernahkah saya mengajarkan pada Anda, Yoshio-
ka-san, tentang ajaran Soen Tzu mengenai sebuah pe-
ngepungan?"
"Rasanya belum."
"Maukah Anda mendengarkannya?"
"Coba katakan."
"Soen Tzu adalah seorang panglima perang Cina
yang sangat terkenal. Pada lima ratus tahun sebelum
Masehi, ia telah menuangkan buah pikirannya menge-
nai strategi militer dalam buku yang diberi judul Seni Berperang. Satu ajarannya
mengatakan: Jika lawan kuat di segala posisi, bersiap-siaplah untuk
menghadapinya. Jika lawan lebih kuat, menghindarlah! Kita sekarang tahu, pasukan
Nobunaga jauh lebih kuat diban-
ding kita bertiga, bukankah kita lebih baik menghinda-rinya saja?"
"Kenapa kita harus berguru pada orang Cina?"
"Kita dapat belajar tentang kebijaksanaan hidup da-
ri siapa pun juga."
*** NOBUNAGA KOTA Kamakura seketika senyap. Udara diliputi kete-
gangan. Angin yang masih membawa bau anyir darah,
bertiup sepoi-sepoi. Debu dan sampah beterbangan di
jalan-jalan. Orang-orang berdiri di tepi jalan, mereka berkumpul
untuk menyambut kedatangan Nobunaga. Dalam se-
buah prosesi arak-arakan yang panjang, disertai iring-an suara genderang,
Nobunaga memasuki Kamakura
dengan penuh kemenangan. Iring-iringan itu hampir
satu kilometer panjangnya, terdiri dari dua ribu pasukan dari berbagai jenis
tentara. Dimulai dengan barisan genderang yang ditabuh lelaki-lelaki
bertelanjang dada. Mereka mengenakan kain merah sebatas pinggang, dan ikat
kepala warna putih. Suara genderang
itu ditabuh bertalu-talu, sebagai isyarat agar penduduk membungkuk, memberikan
hormat pada Shogun
Nobunaga. Menurut kepercayaan mereka, suara gende-
rang itu merupakan pengusir bala bagi mereka.
Di belakang penabuh genderang, tampak seratus
orang pasukan tombak yang membawa bendera warna
merah dengan gambar naga, lambang kebesaran No-
bunaga. Mereka melangkah tenang, namun waspada.
Rambut mereka tersimpan dalam topi warna merah,
sama dengan warna bendera.
Di belakang pasukan pembawa tombak itulah, Sho-
gun Nobunaga duduk di atas pelana seekor kuda war-
na hitam, melenggang memasuki istana Kamakura de-
ngan gagah. Seluruh tubuhnya dibalut pakaian perang, kain brokat warna merah
dengan hiasan gambar naga
dari benang emas. Dari bahu, siku, pergelangan ta-
ngan, lutut, dan betisnya dilindungi keping-keping besi pelindung bagian tubuh
dalam pertempuran. Ia mengenakan sarung torso yang menutupi bagian dada
hingga perut, berupa sisik-sisik besi berwarna emas.
Lehernya ditutup kerah besi warna hitam, bahunya di-
lindungi cukin terbuat dari baja, sementara kepalanya mengenakan pelindung
terbuat dari bilah-bilah besi
yang penuh hiasan. Di pinggangnya terselip pedang
panjang dan pendek yang dilapisi emas. Tatapan ma-
tanya tajam. Kumisnya yang panjang dan jenggotnya
yang lebat mempertegas kewibawaan lelaki itu. Sinar
matanya menyapu ke setiap lorong kota, seakan ingin
mengatakan bahwa segalanya kini telah menjadi milik-
nya. Nobunaga adalah seorang samurai sejati yang ber-
hasil menjadi penguasa di Jepang. Ia lahir di Kiyoto, di sebuah dusun kecil
tempat perguruan Yagyu didirikan.
Ayahnya seorang samurai, sementara ibunya seorang
petani yang mencari uang dengan membuat tatami.
Sejak kecil, ayahnya memang mengharapkan anaknya
menjadi samurai. Meskipun isterinya menentang kei-
nginan itu, namun ayah Nobunaga tak peduli. Hampir
setiap hari ia melatih anaknya bermain pedang. Kete-
kunan ini akhirnya membuahkan hasil. Pada usia
enam tahun, Nobunaga telah berhasil menguasai ilmu
pedang ayahnya.
Pada usia enam belas tahun, ayahnya memasukkan
anaknya ke perguruan Yagyu, sebuah perguruan silat
yang sangat termasyhur dengan permainan pedang-
nya. Di sini bakat Nobunaga berkembang pesat. Per-
mainan pedangnya tak terkalahkan oleh siapa pun.
Bahkan ia berhasil menaklukkan dua belas samurai
dalam sebuah pertarungan sengit. Disiplin yang dite-
rapkan ayahnya sejak kecil, telah membentuk sema-
ngat bushido dalam dirinya. Ia selalu pantang menye-
rah. Tetapi kehebatan permainan pedang itu, tidak ber-
pengaruh apa-apa dalam kehidupannya. Ia tetap hidup
dalam kemiskinan. Para shogun dan daimyo (pengu-
asa-penguasa wilayah) sebagian besar hanya memper-
kaya diri sendiri. Mereka tidak memikirkan kehidupan kaum samurai yang
sesungguhnya menjadi benteng
pertahanan di wilayahnya. Hingga pada suatu hari,
Nobunaga menjumpai ayahnya terluka parah karena
melawan perampok. Daimyo Kawabata, tempat di mana
ayahnya mengabdi, justru mempersalahkan ayahnya
karena gagal mengusir perampok. Bahkan sehari se-
sudah ayah Nobunaga meninggal, Kawabata mengusir
keluarganya. Sejumlah samurai suruhan Kawabata,
membakar rumah Nobunaga.
Nobunaga marah. Sangat marah. Dengan pedang
milik ayahnya, Nobunaga melabrak Daimyo Kawabata.
Seorang diri ia menghadapi tiga puluh orang samurai.
Sebuah pertarungan antara hidup dan mati terjadi.
Dan Nobunaga keluar sebagai pemenang. Ia musnah-
kan seluruh keluarga Kawabata, lalu mengangkat diri
sebagai daimyo di wilayah itu.
Itulah titik tolak kemasyhuran Nobunaga. Dengan
memimpin para samurai yang berhasil ia kalahkan, sa-
tu per satu wilayah di sekitarnya ia taklukkan.
Kaisar Yoritomo, yang pada waktu itu berkuasa di
Jepang, merasa gentar menghadapi Nobunaga. Karena


Shugyosa Samurai Pengembara 1 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu ia segera mengirim utusan untuk mengangkat No-
bunaga sebagai shogun. Dengan mengangkatnya seba-
gai shogun, Kaisar berharap dapat menghentikan pere-
butan kekuasaan di wilayahnya. Ternyata ia keliru.
Nobunaga justru semakin bersemangat menaklukkan
daerah-daerah di sekitarnya.
"Aku memimpikan hanya ada seorang shogun di ba-
wah kaisar," kata Nobunaga suatu hari. "Karena hanya
dengan penguasa tunggal, tahta dapat dipertahankan.
Kekuasaan yang terbagi-bagi, merupakan benih perla-
wanan yang berbahaya. Aku tidak menghendaki hal
seperti itu terjadi. Bila hanya ada Shogun Nobunaga di Jepang, negeri ini pasti
akan lebih menyenangkan. Tidak ada pertikaian atau pertempuran atau perebutan
wilayah kekuasaan."
Sikap itulah yang kini terpancar di sinar mata No-
bunaga ketika ia menuju istana Kamakura.
Di belakang Nobunaga, tampak tandu-tandu yang
dipikul sejumlah orang, berisi para geisha (wanita peng-hibur) yang siap
melayani Nobunaga. Meskipun me-
reka tersembunyi dalam tandu, namun semua orang
mengetahui, Nobunaga memiliki geisha-geisha yang
terkenal kecantikannya. Bahkan satu di antaranya,
menurut desas-desus, mempunyai kekuasaan melebihi
istri Nobunaga sendiri.
Naoko, salah seorang geisha berasal dari Fujiwara,
memiliki kecantikan luar biasa.
Di belakang geisha itu, berbaris lebih dari seribu
pasukan, yang terdiri dari samurai-samurai sejati. Semua membawa dua pedang,
sebagai pertanda bahwa
mereka adalah samurai yang mengabdi pada pengu-
asa. Meskipun pakaian mereka warna-warni, tak seo-
rang pun memakai warna merah, warna yang hanya
boleh dikenakan oleh Shogun Nobunaga. Rambut para
samurai diikat di atas kepala, dengan rambut di dahi dicukur habis, hingga
mempertegas garis keras pada
wajah mereka. Celana dan lengan baju mereka yang
besar, melambai-lambai tertiup angin seiring dengan
langkah mereka.
Penduduk Kamakura langsung membungkukkan
kepala pada saat Nobunaga lewat di depan mereka.
Suasananya terasa mencekam. Suasana itu semakin
menekan perasaan, karena di kanan kiri jalan, atas pe-
rintah Nobunaga, banyak berdiri tiang gantungan yang dipakai menggantung para
samurai yang telah mereka
kalahkan. Dalam jarak tiga kilometer dari gerbang istana, ada hampir lima ratus
tubuh samurai yang di-
gantung. Nobunaga tersenyum tipis menyaksikan ke-
kejamannya. "Kekejaman ini akan membuat semua orang tak be-
rani melawanku," kata Nobunaga pada Konishiwa -
panglima perang Ashikaga yang telah memihak pada-
nya. "Mereka akan mengetahui, aku tak segan melaku-
kan penumpasan sekejam-kejamnya untuk memperta-
hankan kekuasaanku."
"Benar, Yang Mulia."
"Kemenangan ini akan menjadi awal langkahku un-
tuk menguasai seluruh Jepang. Aku ingin para daimyo
di Hokaido, Kyiushu, Honshu, hingga Edo, memberi-
kan pengakuan atas kekuasaanku."
"Perintah itu akan segera kami laksanakan."
"Satu hal yang membuat kemenanganku kali ini ti-
dak lengkap, adalah lolosnya anak Ashikaga dan hi-
langnya Pedang Muramasa."
"Saya pun menyesalkan hal itu."
"Itu adalah kesalahan Ishida Mitsunari. Dia yang
harus bertanggung jawab atas hal itu."
"Sebagai seorang samurai, dia telah gagal menja-
lankan kewajibannya. Yang Mulia dapat menghukum-
nya." "Apa hukuman yang harus kujatuhkan terhadap-
nya?" "Perintahkan dia melakukan seppuku."
Shogun Nobunaga menoleh pada Konishiwa, ia me-
nyadari seppuku merupakan hukuman yang setimpal
untuk menebus kegagalan Mitsunari. Tetapi cara itu
akan membuat lelaki tersebut tetap terhormat. Bagi
orang Jepang, kematian sebagai penebusan dosa ada-
lah kehormatan terbesar.
Di depan gerbang istana, Shogun Nobunaga mem-
beri isyarat agar seluruh pasukannya berhenti. Ia melihat sebuah tiang besar
telah ditancapkan di depan
pintu, di atasnya tergantung kepala Shogun Ashikaga
yang telah dipenggal. Kepala itu berwarna pucat dan
dikerumuni lalat yang beterbangan di sekitarnya.
"Sudah lama saya ingin memenggal kepalanya," ka-
ta Nobunaga sambil tersenyum. "Tidak kusangka se-
mua bisa terjadi jauh lebih mudah dibanding yang ku-
perkirakan. Saya sangat menghargai bantuan Anda,
Konishiwa."
"Terima kasih, Yang Mulia."
"Kita akan merayakan kemenangan ini dengan pes-
ta tujuh hari tujuh malam, sekaligus sebagai perayaan kepindahanku ke istana
Kamakura. Aku ingin Anda
kumpulkan seluruh geisha di kota ini, juga panggil penari dari Fujiwara untuk
memeriahkan pestaku. Ja-
ngan dilupakan pertunjukan sumo terbaik dari negeri ini. Kukira semua prajurit
perlu istirahat dan memperoleh hiburan."
"Baik, Yang Mulia."
*** Saburo Mishima melompati parit yang melintang di
bawah pohon sakura, ia kemudian bergegas menuju
gubuk tempat persembunyian mereka.
Beberapa hari lalu, mereka menemukan sebuah gu-
buk kosong, bekas tempat membuat moxa, sejenis obat yang dipakai untuk
menghilangkan rasa sakit. Pembuatan moxa merupakan salah satu mata pencaharian
penduduk setempat. Biasanya pada musim semi, pen-
duduk mencari mugwort di sekitar Gunung Ibuki.
Mugwort yang telah diperoleh, kemudian mereka ke-
ringkan pada musim panas. Baru pada musim gugur
dan musim panas, penduduk membuatnya menjadi
moxa. Karena sekarang musim semi, gubuk-gubuk yang
biasa dipakai membuat moxa banyak yang kosong, di-
tinggalkan para petani untuk mencari bahan obat-
obatan itu. Karena itu, ketika menemukan gubuk ter-
sebut, Saburo menganggap Tuhan berniat menyela-
matkan mereka. Bukan saja karena gubuk tersebut
dapat dipakai bersembunyi, tetapi sisa-sisa moxa yang ada di tempat itu, dapat
mereka pergunakan untuk
mengobati lukanya.
Di dalam gubuk itu, Natane Yoshioka sedang duduk
bersila sambil memegang pedangnya. Kojiro duduk di
sampingnya sambil menahan kantuk. Ketika mende-
ngar bunyi rumput ilalang terinjak kaki, kedua anak
itu saling berpandangan. Secara refleks Yoshioka mendorong bilah Pedang Muramasa
dari sarungnya.
Mereka bernapas lega ketika melihat Saburo Mishi-
ma yang datang.
"Hari ini kita akan mengadakan pesta," kata Saburo
sambil memperlihatkan seekor ayam di tangannya.
"Ayam ini kuperoleh dari rumah petani di bawah sa-
na." "Engkau mencurinya, Sensei?" Yoshioka bertanya.
"Ya. Saya terpaksa mencuri karena pemiliknya tidak
ada. Semua orang berangkat ke Kamakura untuk me-
nyambut kedatangan Nobunaga."
"Mereka sekarang telah memasuki istana?"
"Tampaknya begitu. Saya sempat melihat iring-
iringan mereka dari jauh."
"Berapa banyak pasukannya?"
"Saya tidak tahu pasti, tetapi saya kira tidak kurang dari dua ribu orang.
Melihat rombongan itu, tampaknya Nobunaga akan memindahkan pusat pemerinta-
han di Kamakura."
"Dia merampas istana ayahku."
"Itulah yang terjadi."
"Dia telah membunuh kedua orang tuaku."
"Dia juga membunuh ibuku," Kojiro tiba-tiba berka-
ta. Ini mengejutkan Mishima. Selama ini, Kojiro jarang mengungkapkan
perasaannya. "Suatu saat saya akan
membalas."
"Saya pun akan membalas," sahut Yoshioka. "Me-
reka telah merampas semua milikku."
"Kita semua akan membalas," tukas Mishima de-
ngan suara mengandung kemarahan. "Tetapi tidak se-
karang. Kita harus mengumpulkan kekuatan terlebih
dulu sebelum melawan Nobunaga. Kekuatannya tidak
dapat kita anggap ringan. Dia memiliki samurai-sa-
murai terbaik di daerah ini."
"Lalu apa yang harus kita lakukan?"
"Kita harus membangun kekuatan terlebih dulu.
Anda sendiri, harus mulai memperdalam ilmu pedang.
Suatu saat Anda akan memerlukannya."
"Baiklah. Saya akan mempelajarinya. Kapan engkau
dapat mengajariku bermain pedang?"
"Kita mulai besok pagi."
*** Nobunaga berendam di kolam air hangat Istana Kama-
kura. Ia membiarkan Naoko menyabuni seluruh tubuh-
nya. Air hangat itu meresap ke dalam pori-pori kulitnya, membuat tubuhnya segar.
Inilah yang sangat ia
sukai dari Naoko, geisha tersebut mengetahui apa yang paling disukai seorang
laki-laki. Suatu kemanjaan seksual yang penuh imajinasi.
Sambil membiarkan geisha itu membersihkan tu-
buhnya, Nobunaga memandangi tubuh polos wanita
itu. Tubuhnya benar-benar menggiurkan. Meskipun kecil, seperti umumnya wanita
Jepang, namun Naoko
memiliki tubuh yang sempurna. Kulitnya halus seperti lilin, kuning langsat,
payudaranya besar namun indah, pinggulnya juga besar dan sangat menggairahkan.
Raut wajahnya yang oval, dilengkapi hidung bangir,
dan bibir sensual, menyebabkan kecantikannya tak
tertandingi. Lebih dari semua kecantikan fisik itu, Naoko selalu memiliki gaya
bercinta yang memabukkan.
Sebelum mereka bercinta, selalu diawali dengan
mandi bersama. Geisha itu dengan penuh kemesraan
membersihkan seluruh tubuh Nobunaga. Ia terus me-
nyabuni tubuh lelaki tersebut, seluruhnya. Dari ujung kaki sampai leher
Nobunaga. Semua itu merupakan
awal permainan cinta yang penuh sensasi
"Siapa yang disuruh memimpin perburuan anak
Ashikaga?" Naoko bertanya sambil terus membelai tu-
buh Nobunaga. "Aku telah memerintahkan Konishiwa mengepung
seluruh wilayah Kamakura. Mereka tidak akan dapat
lari." "Tidak perlukah dibuat pengumuman tentang pe-
ngejaran itu?"
"Maksudmu?"
"Seperti sayembara dengan hadiah. Saya kira sema-
kin cepat kita berhasil memenggal kepala Yoshioka,
semakin baik. Jangan memberi kesempatan bagi me-
reka untuk memperoleh sekutu."
"Bagaimana caranya?"
"Keluarkan dekrit untuk perburuan kepala mereka."
Nobunaga diam. Ia menatap wajah Naoko dengan
penuh rasa kagum.
"Rupanya kau tidak hanya pintar bercinta," kata
Nobunaga kemudian. "Tetapi juga bersiasat perang."
"Bercinta dan berperang adalah sama saja," jawab
Naoko manja. "Keduanya memerlukan seni dan kecer-
dasan." Nobunaga hanya dapat mendesis ketika Naoko mu-
lai membelai-belai pahanya.
"Kau selalu berhasil merangsangku, Naoko-san."
"Kalau begitu saya ingin membuktikannya."
"Tanpa membuktikan pun, kau sudah mengetahui-
nya." Naoko tersenyum, giginya yang putih bersih tampak
mempesona. "Kemarilah, aku ingin menciummu," kata Nobunaga
sambil mengulurkan tangan.
"Benarkah hanya ingin menciumku?"
"Aku tidak tahu."
Dengan mesra Naoko mendekat, kemudian mereka
berciuman dengan mesra. Lalu penuh nafsu. Gairah di
dalam diri Nobunaga seakan tersulut api. Ia mendekap kekasihnya dengan erat,
lalu menciuminya bertubi-tubi. Dimulai dari bibir, lalu turun ke leher, bahu,
kemudian turun lagi ke bawah.... Naoko memeluk erat lelaki itu.
"Oh, nikmat sekali...."
Nobunaga menarik pinggul Naoko ke pangkuannya,
kemudian dengan hentakan lembut ia memeluk tubuh
wanita itu. Terdengar desis mereka. Air hangat di kolam itu terus berasap,
menciptakan sensasi kehanga-
tan yang luar biasa. Setiap kali mereka bergerak, gelombang panas menyelimuti
tubuh mereka. Naoko bergerak dengan lembut, membuat perasaan
Nobunaga seakan melayang ke dunia lain.... Mereka
menyatu dalam irama yang menghempas-hempas,
menciptakan gelombang kehangatan yang nikmat dan
sensasional. Bagi Nobunaga sendiri, bercinta di kolam air hangat terasa sangat
menyenangkan, enerjinya seakan berlipat ganda, sehingga ia dapat bercinta dalam
waktu lama. Kehangatan yang berubah-ubah antara
rasa nikmat dan air panas, menyebabkan konsentra-
sinya tak hanya tercurah pada permainan cinta terse-
but. Ketika mereka telah bercinta lebih dari setengah
jam, Naoko berkata, "Nikmati, Yang Mulia. Nikmati!"
Naoko kemudian bergerak lebih cepat. Lebih cepat.
Tidak lagi lembut, tetapi kini liar dan sesekali kasar.
Nobunaga memejamkan mata rapat-rapat, ia merasa-
kan seluruh tubuhnya bergetaran dengan hebat, dan


Shugyosa Samurai Pengembara 1 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akhirnya laki-laki itu meraih tubuh Naoko dan men-
dekapnya dengan erat. Sangat erat. Ia merasakan seluruh kelenjar dalam tubuhnya
meledak dalam perasaan
sensasional yang sangat nikmat. Setengah jam kemu-
dian, Nobunaga membuka mata dengan rasa letih yang
menggerogoti tubuhnya. Ia melihat Naoko telah berpa-
kaian. "Hei, engkau mau ke mana?"
"Menjumpai Konishiwa-san."
"Untuk apa?"
"Memberitahukan dekrit Anda; siapa pun yang da-
pat memenggal kepala Yoshioka dan membawa Pedang
Muramasa kemari, mereka akan memperoleh hadiah
seribu real."
Nobunaga terbelalak, "Seribu real?"
"Ya," jawab Naoko mantap. "Apa artinya seribu real
dibanding istana Kamakura ini. Saya akan menyuruh
Konishiwa mengumumkannya."
*** PENGUSIRAN KAKI gempal dan berotot, terangkat tinggi dan sebentar melayang-layang sebelum
menghantam lantai dengan
suara berdebum. Tangan yang kekar berubah menjadi
tinju sebesar batu, menghunjam, dan membuat rua-
ngan seketika bergetar. Dua petarung yang hampir te-
lanjang, sama-sama siap melempar lawan keluar are-
na. Ketegangan benar-benar memenuhi udara.
Suasana sangat mencekam. Orang-orang di sekitar
arena bersorak-sorak kegirangan untuk kedua pegulat
di atas dohyo, ring sumo. Jeritan histeris dan teriakan tertuju pada kedua
pesumo itu. Semua memberikan
semangat bagi sumotori yang dijagoi.
"Takinada!" jerit seorang gadis jelita. "Rebut keme-
nanganmu untukku!"
"Aku sayang kamu!" pekik seorang gadis lain. "Lem-
par musuhmu ke luar arena!"
Takinada melangkah ke dalam dohyo sambil mena-
burkan segenggam garam (tatacara penyucian) ke uda-
ra. Para penonton pria yang setengah mabuk, dan se-
jumlah samurai, bersorak-sorak. Mereka benar-benar
menikmati pertarungan itu.
Kashima, dengan tubuh yang amat gemuk, mulai
melancarkan pukulan ke dada Takinada. Ia mengga-
saknya dengan dorongan tubuh, dan berusaha menja-
tuhkan lawannya. Dalam seketika, mereka terlibat do-
rong mendorong dengan seluruh kekuatan. Takinada
terdesak di pinggir lingkaran kapur putih, ia berusaha bertahan sekuat tenaga.
Napas Kashima mendengus,
mata lelaki itu melotot seperti seekor banteng yang
tengah marah. "Kau akan kulempar keluar arena," desis Kashima.
Hanya sedetik Kashima mengucapkan kata-kata itu,
tetapi itu sudah cukup menjadi peluang bagi Takinada untuk mencengkeram tali
pinggangnya, kemudian dengan kekuatan penuh melemparkannya ke luar ring.
Kashima jatuh menggelimpang di luar dohyo.
Tepuk tangan terdengar gemuruh.
"Hidup Takinada! Hidup Takinada!" terdengar sorak
sorai membahana. Sejumlah samurai beranjak ke doh-
yo untuk mengangkat Takinada. Mereka menumpah-
kan kegembiraan sambil minum sake. Kaum wanita
mengelu-elukan sambil menari-nari.
Shogun Nobunaga yang menyaksikan pertarungan
itu dari tempat yang tinggi, turut bertepuk tangan. Sudah lama sejak terjadi
pertikaian dengan Ashikaga, ia tidak menyaksikan sumo. Karena itu malam ini ia
tampak mengumbar senyum ceria. Tiga orang geisha yang
melayaninya turut tersenyum menyaksikan kegembi-
raan Nobunaga. Sambil sesekali membelai tangan Nao-
ko, lelaki itu tertawa-tawa gembira.
Selain kendo, Nobunaga memang sangat menyukai
sumo. Olah raga gulat khas Jepang ini telah berusia
lebih dari dua ratus tahun, namun kian lama pertun-
jukannya justru kian memikat. Pada festival Koguryo, berdatangan pesumo dari
seluruh Jepang. Mereka
mengadu kekuatan untuk membuktikan siapa yang
terbaik di antara mereka. Dan kini, telah tiga tahun Takinada membuktikan
dirinya sebagai pesumo terbaik.
"Aku ingin didirikan sebuah tempat pertarungan
sumo secara tetap di Kamakura," kata Nobunaga pada
Konishiwa yang duduk di sebelahnya. "Kita dapat men-
datangkan pesumo-pesumo dari Koguryo atau Kiyoto
untuk meramaikan pertunjukan ini."
"Koguryo memang tempat kelahiran pesumo yang
hebat, Yang Mulia."
"Itu sebabnya kuminta kau mencari pesumo dari
sana." "Baik. Saya akan melaksanakan perintah, Yang Mu-
lia." "Jangan lupa, cari pula penari-penari dari Izu agar
pertunjukan tambah meriah."
"Saya rasa itu gagasan yang menarik."
"Bagaimana menurut pendapatmu, Naoko-san?"
Naoko mengerling pada Nobunaga dengan manja.
"Sepanjang mereka memang penari, saya rasa tidak
apa-apa." "Apa maksudmu dengan mengatakan 'memang pe-
nari'?" "Siapa tahu Konishiwa justru membawa para geisha."
Nobunaga tertawa terbahak-bahak, kemudian de-
ngan ujung jarinya ia menjentik dagu Naoko.
"Rupanya kau cemburu, Naoko-san."
"Apakah saya tidak boleh cemburu?"
"Tentu boleh. Tetapi jangan sekali-kali kau perli-
hatkan di depan Konishiwa-san. Dia akan tahu kele-
mahanku... ha... ha... ha."
Tiba-tiba seorang samurai datang. Laki-laki itu
membungkukkan badan hingga kepalanya menyentuh
lantai. "Ishida Mitsunari telah menghadap," kata samurai
itu tanpa mengangkat kepala. "Dia saat ini berada di Istana Dalam ingin bertemu
Yang Mulia."
Nobunaga menoleh pada Konishiwa, kemudian ber-
kata dalam irama stakato yang cepat.
"Saya akan menemuinya. Suruh dia menunggu."
"Haik!"
*** Di Istana Dalam, Ishida Mitsunari bersimpuh di atas
tatami. Laki-laki itu mengenakan pakaian serba putih, lengkap dengan ikat kepala
warna putih. Di depannya
tampak samurai yang diletakkan melintang. Di sisi pedang itu, terdapat pedang
pendek, dan satu cangkir
sake. Suatu tanda bahwa Mitsunari ingin melakukan
seppuku. Nobunaga muncul dari belakang, diiringi Konishiwa,
dan sejumlah pengawalnya. Ketika lelaki tersebut muncul, semua orang di dalam
ruangan itu serentak mem-
bungkukkan badan hingga kepala mereka menyentuh
lantai. "Ishida Mitsunari!"
"Haik, Yang Mulia."
"Engkau telah gagal menjalankan kewajibanmu se-
hingga anak Ashikaga lolos dan Pedang Muramasa le-
nyap." "Benar, Yang Mulia."
"Kau tidak pantas memperoleh penghormatan seba-
gai seorang samurai. Satu-satunya tebusan untuk ke-
gagalan adalah kematian. Tetapi kegagalanmu kali ini jauh lebih buruk dari
kegagalan apa pun juga. Lolosnya Yoshioka menjadi benih bahaya yang tak dapat
di- cegah. Karena itu aku akan menghukummu."
Mitsunari membungkukkan badan penuh hormat,
"Saya minta diizinkan untuk melakukan seppuku."
"Seppuku?"
"Benar, Yang Mulia. Rasanya saya tak sanggup me-
nanggungkan rasa malu. Telah menjadi kewajiban
saya sebagai seorang samurai untuk menebus kegaga-
lan ini dengan nyawa."
"Seorang samurai pantang melakukan kegagalan,"
kata Nobunaga dalam nada tinggi. "Kau tidak pantas
menjadi samurai."
"Yang Mulia!" Mitsunari mengangkat kepala. Ia sa-
ngat kaget mendengar pernyataan Nobunaga. Kata-
kata Nobunaga memberi isyarat bahwa ia tak diizinkan melakukan seppuku. Ini
berarti ia akan menanggungkan penghinaan seumur hidupnya. Bila dugaan ini be-
nar, berarti Nobunaga telah mencampakkan dirinya
dengan penuh kehinaan.
Nobunaga berkata, "Engkau tidak kuizinkan mela-
kukan seppuku. Kau harus menjalani hukuman karena
kegagalanmu. Hari ini juga, kau harus meninggalkan
Kamakura. Kau tidak kuizinkan memasuki wilayah ke-
kuasaanku sebelum kau berhasil membawa kepala Yo-
shioka dan menyerahkan Pedang Muramasa padaku.
Hanya itu penebusan yang dapat kau lakukan."
"Saya memohon ampun, Yang Mulia," kata Mitsuna-
ri sambil menahan isak tangis. Pengusiran terhadap-
nya benar-benar merupakan hukuman yang sangat
mengerikan. Lebih dari itu, dengan kaki yang hanya
tinggal sebelah, bagaimana mungkin ia akan menga-
lahkan Saburo Mishima" "Rasanya saya tidak sanggup
menanggungkan hukuman itu, izinkan saya melaku-
kan seppuku saat ini juga."
"Tidak!" jawab Nobunaga tegas. Suaranya menggun-
tur hingga membuat semua orang yang ada di ruangan
itu terkesima. "Aku sudah mengatakan keputusanku.
Tak seorang pun kubiarkan mengubahnya. Hari ini,
kau akan diantar keluar dari Kamakura, sesudah itu
carilah orang-orang yang sudah kaubiarkan selamat
dari pengepungan. Hanya dengan membawa kepala
Yoshioka dan Pedang Muramasa, namamu akan kupu-
lihkan sebagai seorang samurai, dan janjiku akan ku-
penuhi untuk mengangkatmu sebagai seorang da-
imyo." Seusai berkata begitu, Nobunaga bangkit berdiri, la-
lu tanpa berpaling lelaki itu bergegas pergi. Semua
orang yang ada di ruangan itu membungkukkan badan
dengan penuh hormat.
*** Senja merah. Matahari mulai terbenam. Langit di atas
Kota Kamakura seperti hamparan darah. Sejauh mata
memandang, hanya warna merah yang tampak.
Sebuah gerobak yang ditarik seekor kuda tua keluar
dari gerbang istana. Kecuali seorang lelaki tua, enam orang samurai berjalan di
sisi kanan dan sisi kiri gerobak itu. Mereka mengenakan topi tikar berbentuk bu-
lat, tatapan mereka lurus ke depan. Selama perja-
lanan, tak seorang pun membuka percakapan. Semua
membisu seakan menyembunyikan suatu rahasia.
Di dalam gerobak itu, Ishida Mitsunari duduk sam-
bil menahan kepedihan. Ini merupakan penghinaan
tak terperikan. Pengusiran kali ini telah menghancurkan seluruh impiannya.
Angan-angan menjadi daimyo,
kini menjadi berantakan. Kekalahannya melawan Sa-
buro telah menjadi malapetaka dahsyat dalam hidup-
nya. Semua ini memang kesalahannya, ia terlalu me-
remehkan Saburo. Dalam pertempuran di Bukit Huy,
ia terlanjur membayangkan Saburo pasti tewas, se-
hingga dengan mudah ia memenggal kepala Ashikaga,
menumpas seluruh keluarganya, dan merebut Pedang
Muramasa. Ternyata apa yang dikhayalkan tidak men-
jadi kenyataan. Ia tidak menduga sama sekali, Saburo akan kembali ke istana
untuk menyelamatkan Yoshioka.
Selama ini ia tahu, Saburo memang seorang samu-
rai yang hebat. Karena itu Ishida Mitsunari mencoba
bersiasat dengan mengirimnya ke medan pertempuran,
tak terbayangkan sedikit pun kalau akhirnya lelaki tersebut mengetahui
siasatnya. Dan celakanya, dalam
pertarungan di lorong rahasia itu, Mishima berhasil
mengalahkannya.
Sebenarnya persoalan akan selesai apabila Saburo
membunuhnya. Ternyata tidak, lelaki yang telah ber-
hasil memotong kakinya itu, membiarkan Mitsunari te-
tap hidup. Saburo tahu, dengan cara itu, Mitsunari justru akan mengalami
penghinaan paling keji bagi se-
orang samurai. Dia sengaja tidak membunuhku, karena ingin melihat aku mengalami penghinaan ini.
Bangsat! Kesedihan tiba-tiba mendidihkan darah dalam tu-
buh Mitsunari. Berbagai perasaan berkecamuk dalam
dirinya. Rasa terhina, menyesal, kecewa, marah, dan
api kebencian membangkitkan daya hidup lelaki itu. Ia menyadari, satu-satunya
cara untuk membersihkan
namanya, hanya dengan membunuh Saburo, memeng-
gal kepala Yoshioka, dan merebut kembali Pedang Mu-
ramasa. Hanya dengan cara itu ia dapat menghapus
penghinaan ini.
Bisa saja ia sekarang melakukan bunuh diri, tetapi
namanya akan tetap tercemar selamanya. Ia tak ingin
hal itu terjadi. Karenanya, pilihan satu-satunya adalah mencari Saburo untuk
melaksanakan pembalasan
dendam, sekaligus pembersihan namanya.
Ishida Mitsunari mengangkat kepala, matanya me-
mancarkan hawa pembunuhan yang mengerikan. Ke-
dua gerahamnya saling beradu, dan tubuhnya bergetar
hebat. Api dendam telah menguasai setiap pori-pori
tubuhnya. Ketika matanya menatap pada kakinya yang
terpenggal, seluruh hawa kemarahan dalam dirinya tak terbendung lagi.
"Turunkan aku di sini!" teriaknya lantang.
Keenam samurai yang mengawalnya tak bereaksi.
Menimpali pun tidak. Mereka seakan tidak mendengar
teriakan itu. "Hei, turunkan aku di sini!" sekali lagi Mitsunari
berteriak. "Aku akan mencari Saburo!"


Shugyosa Samurai Pengembara 1 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Salah seorang samurai menoleh, ketika matanya
bertatapan dengan Ishida, ia segera membuang muka.
Sikap samurai itu jelas merupakan penghinaan bagi
Ishida. Belum pernah selama ini ia diperlakukan se-
perti itu. Kemarahannya benar-benar sampai ubun-
ubun. Karena itu ia berteriak sekali lagi, "Hentikan gerobak ini. Biar aku turun
di sini!" Tidak seorang pun menggubris teriakannya. Ishida
Mitsunari meraih pedangnya kemudian menebas tali-
tali pengikat gerobak itu, seketika gerobak itu terbuka.
Pada saat keenam samurai masih terperanjat menyak-
sikan tindakannya, Mitsunari telah berguling, menja-
tuhkan diri dari dalam gerobak. Ia langsung memasang kuda-kuda dengan bersimpuh
untuk menghadapi segala kemungkinan.
Keenam samurai yang mengawal gerobak itu lang-
sung mengepungnya.
"Kalian sebaiknya tinggalkan aku di sini," kata Ishi-da dengan suara bergetar
karena marah. "Katakan pa-
da Shogun Nobunaga, saya telah meninggalkan wila-
yahnya. Saya akan memburu Saburo untuk merebut
Pedang Muramasa!"
Reaksi keenam samurai itu adalah menyerang seca-
ra bersamaan. Bagi mereka tak ada pilihan lain. Kegagalan mengawal Ishida hingga
keluar wilayah Kamaku-
ra, sama dengan hukuman mati. Mereka tak ingin
mengalami kegagalan itu.
Dua orang samurai bergerak serentak, mereka me-
nebaskan pedang secara vertikal, Ishida menangkis
dengan gerakan jurus 'Mengoyak Rembulan'. Terde-
ngar gemerincing pedang beradu, dan sebelum kedua
samurai itu hilang rasa kagetnya, Ishida telah menebas dengan ayunan pedang
berputar seperti baling-baling.
Kedua tubuh samurai itu ambruk dengan darah me-
ngucur dari luka mereka.
Begitu temannya ambruk, dua orang lagi menye-
rang, Ishida segera berbalik, dan berguling menyong-
song serangan itu sambil membabatkan pedangnya.
Sabetan itu demikian kuat, sehingga kedua lengan pe-
nyerangnya langsung terpenggal. Terdengar jeritan melengking samurai itu,
sebelum akhirnya ia rubuh ke
tanah setelah Ishida menikamnya dari belakang.
Samurai berikutnya menyerang serentak dari tiga
jurusan, namun dengan gesit Ishida berguling ke ka-
nan sembari menebas ke bawah. Saat ia berguling, ke-
tiga samurai itu serempak mengayunkan pedang ke
arah kepala. Ishida berhasil menangkis, kemudian
mengirim sabetan ke perut lawannya. Ketiga samurai
tersebut meloncat ke belakang. Mereka kemudian
kembali bersiaga untuk menyerang.
Ketiga samurai itu mengangkat pedang tinggi-tinggi
di atas kepala, rupanya mereka akan menyerang de-
ngan jurus 'Pedang Membelah Awan'. Ishida segera
menarik pedangnya rapat di bahu, matanya menatap
tajam gerak-gerik ketiga musuhnya.
"Pergunakan jurus 'Membelah Awan'," kata Ishida
menggeram. "Kalian akan merasakan kehebatan jurus
pedang 'Menepis Halilintar'."
Secara serempak ketiga samurai itu menyerbu, te-
riakan mereka sesungguhnya sangat menggetarkan.
Namun Ishida telah siap, ia tetap diam, membiarkan
lawan mendekatinya, satu detik sebelum ayunan pe-
dang musuh menyentuh tubuhnya, Mitsunari bergul-
ing ke depan sambil menebaskan pedang ke perut la-
wannya. Ketiga samurai itu menjerit sambil mendekap
luka menganga di perutnya. Mereka ambruk ke tanah.
Mati. Laki-laki tua penarik gerobak gemetaran menyaksi-
kan pembantaian di depannya. Seluruh tubuhnya se-
rasa membeku. Tatapannya nanar. Rasa takut yang
luar biasa, membuat lelaki tersebut tak mampu meng-
gerakkan badannya. Kebekuan itu mencair ketika Ishi-
da membabatkan pedang ke wajahnya. Ia merasakan
darah mengucur deras dari batok kepala hingga dada-
nya. Seluruh tubuhnya dirasakan lumpuh, kemudian
melayang ambruk ke tanah. Lalu semuanya gelap guli-
ta. Ishida Mitsunari memutar pedangnya, kemudian
memasukkan pedang tersebut ke dalam sarungnya.
"Kalian sudah kuperingatkan," kata Mitsunari di-
ngin. "Bila pedangku sudah tercabut dari sarungnya,
aku pantang memasukkan kembali tanpa membunuh
musuhku." Mitsunari mengambil topi pandan milik musuhnya.
Sesudah mengenakan di kepalanya, ia berjalan terta-
tih-tatih meninggalkan tempat itu.
Saatnya aku memburu Yoshioka dan Saburo Mi-
shima! *** JALAN PEDANG MUSIM semi menampilkan pemandangan yang sangat
indah. Bunga-bunga sakura bermekaran, sementara
daun-daunnya menampilkan pesona keindahan yang
menawan. Kabut transparan yang menyelimuti lereng
bukit, tempat persembunyian Saburo dan Yoshioka,
tampak seperti kelambu tipis.
Gubuk itu berada di lereng bukit, diapit dua buah
sungai yang berair jernih. Bagi Saburo, letak gubuk itu sangat menguntungkan.
Kedua sungai tersebut dapat
dianggap sebagai parit pertahanan yang baik. Selain
itu, sungai tersebut memberikan ikan untuk mereka
makan. Pada sore hari, bila tidak sedang latihan, Saburo tak jarang mengajak
Yoshioka dan Kojiro mencari ikan. Kedua anak itu dengan wajah ceria membuka ba-
tu-batu di sungai tersebut untuk menangkap ikan.
Hampir sebulan mereka bersembunyi, belum per-
nah sekali pun mereka bertemu dengan orang lain.
Gubuk itu seakan ditinggalkan oleh pemiliknya.
Di senja hari yang cerah itu, tampak Kojiro dan Yo-
shioka tengah berlatih kendo. Saburo telah membua-
tkan mereka pedang kayu dari pohon ek. Dengan pe-
nuh semangat, kedua anak sebaya itu memutar-mu-
tarkan pedang, kemudian sesekali menebas sambil
berteriak nyaring. Saburo memperhatikan setiap gerak kedua anak itu dengan
seksama, dan ia menyadari keduanya adalah calon samurai berbakat.
Yoshioka yang kini memiliki tubuh kecil, memiliki
otot lentur, dan gerakan yang luwes. Ia memiliki kelincahan luar biasa.
Permainan pedangnya sangat berba-
haya. Berbeda dengan Yoshioka, Kojiro memiliki tubuh tegap dan otot yang kuat.
Meskipun tidak begitu lincah, ia mempunyai kekuatan yang sangat mengagum-
kan. Sabetan pedangnya, kelak bisa sangat berbahaya.
Satu hal yang menggembirakan Saburo, kedua anak
itu mau menjalankan latihan secara keras dan tanpa
banyak bertanya. Secara diam-diam semangat bushido
mengaliri darah Yoshioka maupun Kojiro.
"Kalian harus memulai dari ryo-kuruma, sabetan pedang Sepasang Roda," kata
Saburo memberikan pene-
gasan pada Yoshioka dan Kojiro. "Sabetan ini menjadi dasar setiap serangan.
Tanpa penguasaan yang baik
atas jurus 'Sepasang Roda', kalian akan gagal menguasai jurus lainnya.
"Saya tidak akan gagal, Sensei," sahut Yoshioka te-
gas. "Saya juga tidak akan gagal," sambung Kojiro.
"Jurus 'Sepasang Roda' merupakan tebasan melin-
tang di arah pinggul musuh," kata Saburo menje-
laskan. "Ini merupakan ujian pertama permainan pe-
dang setiap samurai."
Yoshioka dan Kojiro segera melaksanakan perintah
Saburo. Mereka menebas dengan gesit. Berulang-ulang
kedua anak itu menebas, sampai akhirnya Saburo meng-
hentikannya. "Dalam permainan pedang, sabetan harus tepat, ti-
dak boleh bergeser seinci pun," kata Saburo memberi
penjelasan. "Setiap inci perbedaan, akan mengubah jurus yang dilakukan. Ada enam
belas tebasan yang ha-
rus dikuasai oleh setiap samurai."
"Ajarkan pada kami, Sensei," kata Yoshioka berse-
mangat. "Benar. Biarkan kami mempelajarinya."
"Ryo-kuruma, tebasan pedang pada pinggul. Tai-tai, sabetan pedang pada garis
bahu. Sabetan ini hanya
memiliki selisih satu inci dari batas leher, karena itu tak seorang samurai pun
boleh meleset melakukan tebasannya."
Yoshioka berkata, "Kedengarannya rumit sekali."
"Di istana tidak ada pelajaran seperti itu," Kojiro
menimpali. "Ini adalah pelajaran seorang samurai untuk me-
nempuh Jalan Pedang. Permainan kendo tidak dibu-
tuhkan lagi saat ini. Setiap saat kita dapat menghadapi musuh. Mereka memiliki
ilmu silat yang dapat membunuh kita, bukan permainan pura-pura di dalam do-jo.
Karena itu, kita pun akan menghadapi dengan jurus pedang yang mematikan. Kita
berada dalam kea-
daan tanpa pilihan, hidup atau mati."
Pada malam harinya, Saburo menjelaskan ilmu pe-
dang dengan menggambar tubuh manusia. Dia mene-
rangkan empat tebasan pedang seorang samurai.
Sesudah ryo-kuruma dan tai-tai, Saburo menje-
laskan karigane, ilmu 'Pedang Angsa Liar'. Sabetan pedang persis di atas dada
secara horisontal. Kemudian chiwari, ilmu 'Pedang Membelah Dada', sabetan ini
hanya satu inchi di bawah karigane. Namun karena
chiwari melewati tulang dada, tebasan ini lebih sulit dilakukan dibanding
karigane. Kecuali itu, sasarannya
pun lebih luas.
"Empat tebasan pedang itu harus dikuasai secara
baik oleh seorang samurai," kata Saburo. "Kalian ha-
rus melatihnya tanpa salah. Bila kalian masih salah
melakukannya, kalian tak mungkin mempelajari ilmu
pedang berikutnya."
Esoknya Yoshioka dan Kojiro mulai melatih keem-
pat ilmu pedang itu. Mereka melakukannya dengan
penuh semangat. Bahkan hingga siang hari, mereka
terus menjalani latihan tanpa merasa lelah. Dengan teliti Saburo mengawasi
latihan itu. Setiap kali ada yang melakukan kekeliruan, dengan penuh kesabaran
lelaki itu membetulkannya.
Hampir empat hari Yoshioka dan Kojiro mempelajari
keempat ilmu pedang itu. Pada hari berikutnya, Sabu-
ro mengajak mereka kembali menghadapi gambar tu-
buh manusia. "Ini adalah o-kesa, ilmu 'Pedang Jubah Pendeta',"
kata Saburo menjelaskan.
"Jubah pendeta?" Yoshioka bertanya heran.
"Ya."
"Kenapa disebut demikian?"
"Sabetan pedang ini dilakukan miring dari leher ke
arah bawah ketiak, persis garis pembuka jubah pende-
ta." "Oh."
"Sabetan ini sangat mematikan, karena itu kalian
harus bersikap hati-hati bila menghadapi musuh yang
mengangkat pedangnya ke samping. Tebasannya sulit
dihindari, dan sangat mematikan."
O-kesa terbukti sebuah jurus pedang yang tidak se-
derhana. Berulang kali Yoshioka dan Kojiro mencoba
melakukannya, namun selalu keliru. Kadang terlalu
rendah, sehingga mengenai bahu. Kadang terlalu ting-
gi, hingga mengenai leher. Namun dengan ketekunan
luar biasa, akhirnya mereka berhasil menguasai ilmu pedang itu. Saburo merasa
puas. "Saya merasa bangga dengan kemampuan kalian
menguasai ilmu pedang yang kuberikan," kata Saburo.
"Namun ilmu pedang saja tidak cukup untuk melawan
musuh. Di dalam semangat bushido, kalian harus me-
ningkatkan keberanian."
Yoshioka berkata, "Kami memiliki keberanian itu."
"Saya tidak takut pada siapa pun," lanjut Kojiro
bangga. "Justru keberanian yang kalian miliki saat ini me-
rupakan kelemahan yang harus dihindari."
"Maksudnya?"
"Keberanian berbeda dengan sikap tak punya rasa
takut. Keberanian adalah sikap yang bersumber pada
keyakinan, bahwa kalian akan memenangkan suatu
pertarungan. Seorang samurai harus yakin akan me-
nang, ia harus berani menumpas rasa takut di dalam
jiwanya, untuk menghadapi kematian. Keyakinan bah-
wa kematiannya merupakan wujud kewajiban seorang
samurai adalah inti keberanian."
Yoshioka dan Kojiro mengerutkan dahi, dengan ke-
terbatasan pikirannya, mereka mencoba memahami
ucapan Saburo. "Kalian harus berani menyongsong kematian," lan-
jut Saburo datar. "Hanya dengan sikap itulah kalian
dapat memiliki keberanian untuk bertarung. Kebera-
nian untuk mati adalah dasar memerangi rasa takut."
"Kenapa seorang samurai tidak boleh takut?"
"Karena ketakutan akan membuat jiwa gemetar,
dan melenyapkan keyakinannya untuk menang."
"Bagaimana kalau perasaan itu tak dapat dihilang-
kan?" "Hindarilah pertarungan itu. Hanya dengan meng-
hindar kalian dapat memupuk kembali keberanian
yang hilang."
"Tetapi bukankah seorang samurai dilarang bersi-
kap pengecut?"
"Menghindar bukanlah sikap pengecut. Menghindar
merupakan bagian dari siasat pertarungan. Di saat
badai menghempasmu, apakah engkau harus terus
berlayar?"
"Tidak."
"Itulah hakikat penghindaran. Jangan menentang
badai. Biarkan ia reda, dan kalian dapat kembali berlayar. Keberhasilan
pelayaran adalah inti kemenangan."
Kojiro berkata, "Kedengarannya sangat rumit."


Shugyosa Samurai Pengembara 1 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Itu bagian dari ilmu pedang yang harus kalian pe-
lajari." "Sepertinya itu bukan ilmu pedang...."
"Ilmu pedang bukan hanya bagaimana cara meng-
gunakan pedang, tetapi bagaimana cara memenangkan
suatu pertarungan."
Pada malam hari, sambil berbaring di atas jerami,
Saburo Mishima memberikan pengetahuan lain ten-
tang taktik dan kehidupan. Seperti biasa, Saburo se-
nang menceritakan tentang Soen Tzu:
Tulisan Soen Tzu mengenai "Seni Berperang" me-
narik perhatian Raja Ho Lu, dari negara Wu. Ketika
Soen Tzu menghadap raja tersebut, Raja Ho Lu berka-
ta, "Saya telah membaca dengan penuh perhatian bu-
ku Anda yang terdiri dari tiga belas bab itu. Dapatkah saya menguji teori Anda?"
Soen Tzu menjawab, "Silakan, Yang Mulia."
Ho Lu bertanya lagi, "Untuk mengujinya, dapatkah
digunakan wanita?"
"Dapat."
Kemudian dipanggillah 180 orang dayang-dayang
istana dan dibagi dalam dua kelompok. Masing-masing
kelompok dipimpin oleh seorang selir kesayangan raja.
Soen Tzu minta agar perempuan-perempuan itu di-
lengkapi tombak dan perisai. Setelah itu berkatalah
Soen Tzu kepada perempuan-perempuan tersebut.
"Saya kira kalian telah mengetahui perbedaan an-
tara depan dan belakang, tangan kiri dan tangan ka-
nan." Para wanita itu menjawab serentak, "Ya."
"Jika saya katakan 'Pandangan ke depan', kalian
harus menghadap lurus ke depan. Jika saya katakan
'Menghadap ke kiri' kalian harus berputar menghadap
ke kiri. Demikian pula jika saya berkata 'Balik kanan'
atau 'Balik kiri' kalian harus melakukannya. Apakah
kalian mengerti?"
Para wanita itu menjawab, "Mengerti!"
Latihan pun dimulai. Dengan diiringi bunyi gende-
rang, Soen Tzu mulai memberikan aba-aba, "Balik ka-
nan!" Wanita-wanita itu justru meledak tertawa.
Soen Tzu berkata, "Jika ucapan tidak jelas, bila pe-
rintah yang dikeluarkan tidak dipahami, panglimanya
yang salah. Mengerti?"
"Mengerti!"
Latihan pun dimulai lagi. Kali ini perintahnya, "Ha-
dap kiri!"
Sekali lagi wanita-wanita itu tertawa.
Soen Tzu berkata, "Jika kata-kata yang diucapkan
tidak jelas, bila perintah yang diberikan tidak dipahami, panglimanya yang
salah. Tetapi jika perintah yang
dikeluarkan jelas dan tidak dipatuhi, maka itu meru-
pakan kesalahan perwiranya. Oleh karena itu perwi-
ranya harus dihukum dan pancunglah pimpinan pa-
sukannya."
Soen Tzu segera memberikan perintah lagi, namun
kedua pasukan wanita itu masih juga tertawa. Tanpa
kebimbangan sedikit pun, Soen Tzu segera memerin-
tahkan algojo memancung kepala kedua pimpinan ke-
lompok itu. Raja Ho Lu yang menyaksikan dari tribun dan meli-
hat kedua dayang kesayangannya dijatuhi hukuman
pancung, segera mengirim pesan, "Kami sangat puas
dengan kemampuan jenderal mengendalikan pasukan.
Jika Anda menghukum mati kedua wanita itu, maka
kami akan kehilangan selera makan dan minum. Kami
minta agar keduanya tidak perlu dipancung."
Soen Tzu menjawab, "Sekali saya memperoleh pe-
nugasan dari raja untuk menjadi panglima pasukan,
maka ada perintah tertentu yang tak dapat kami lak-
sanakan sesuai dengan kedudukan saya."
Maka kedua wanita itu pun dipenggal kepalanya
dan kedudukannya sebagai pemimpin pasukan diganti
dengan perempuan lain.
Sesudah hukuman mati dijalankan, genderang di-
tabuh. Gadis-gadis itu pun berlatih dengan sungguh-
sungguh. Cara berbaris mereka benar seperti yang di-
perintahkan, tanpa ketawa sedikit pun.
Melihat kenyataan itu, Raja Ho Lu sangat terkesan,
akhirnya ia mengangkat Soen Tzu menjadi panglima
besar tentaranya. Di tangan jenderal itulah Kerajaan Wu mengalami kejayaan. Ke
arah barat, mereka menaklukkan Kerajaan Ch'u dengan menduduki Ying, ibu
kota kerajaan tersebut. Ke utara ia mengalahkan Nega-ra Ch'i dan Chin.
Kemenangan-kemenangan itu mem-
peroleh sambutan serta kekaguman bangsawan-
bangsawan Cina lainnya. Kerajaan Wu semasa pasu-
kannya dipimpin Soen Tzu menjadi salah satu kera-
jaan terbesar di seluruh daratan Cina.
Yoshioka dan Kojiro mendengarkan cerita itu de-
ngan penuh minat.
"Apakah kalian tahu kenapa Soen Tzu memperoleh
kemasyhuran?" tanya Saburo pada kedua anak itu.
"Karena dia seorang ahli strategi perang," jawab Yo-
shioka. "Bukan itu maksud saya."
Kojiro, sambil menahan kantuk, menjawab, "Karena
dia ahli pedang."
"Bukan."
"Karena apa, Sensei?"
"Karena dia adalah orang yang berani melaksana-
kan keyakinannya."
*** PENGEJARAN SHOGUN Nobunaga sedang menciumi Naoko, salah se-
orang geisha kesayangannya. Wanita itu tergial sambil mendesah manja. Wajahnya
yang berbentuk oval dengan garis mata yang mencuat ke atas, mempertegas
garis kecantikannya. Rambutnya yang hitam lebat dis-
anggul tinggi di atas kepalanya. Gerak-geriknya yang gemulai menampilkan
sensualitas yang menggiurkan.
Payudaranya besar di atas pinggang yang kecil dan
pinggul yang besar memang sangat menggairahkan.
Naoko termasuk geisha dari Fujiwara yang sangat dis-
ayangi oleh Nobunaga. Bahkan menurut desas-desus,
wanita itu berperan dalam pengambilan-pengambilan
keputusan politik Nobunaga. Termasuk di antaranya,
penaklukan Shogun Ashikaga.
Menurut kabar angin, kecuali ambisi Nobunaga
menjadi satu-satunya shogun di Jepang, penaklukan
itu didorong oleh permintaan Naoko yang ingin tinggal di Istana Kamakura.
Menurut sejumlah sumber, sebelum menjadi kekasih Nobunaga, Naoko pernah menja-
lin cinta dengan Shogun Ashikaga. Mereka bertemu di
Fujiwara, kota kecil di pinggir Kamakura yang dijadikan pusat pelacuran. Mereka
memadu cinta hampir
setiap minggu. Selain memiliki kecantikan luar biasa, Naoko, seorang geisha yang
memiliki daya pikat tersendiri. Ia pandai menari dan memainkan shamizen (alat
musik yang baru saja ditemukan di Edo).
Pada malam bulan purnama, Shogun Ashikaga da-
tang ke Fujiwara. Ia berbaring polos di kolam mem-
biarkan seluruh tubuhnya dimandikan oleh kekasih-
nya. Sesudah itu, ia akan duduk menikmati sake sam-
bil mendengarkan permainan shamizen geisha kesa-
yangannya. Barulah setelah larut malam, mereka
menghabiskan waktu dengan bercinta.
Di atas ranjang, Naoko adalah seorang pecinta yang
hebat. Ia memberikan pelayanan terhadap Ashikaga
dengan sepenuh hati. Mempraktekkan berbagai posisi,
semata-mata untuk memuaskan kekasihnya. Buku
seks Jepang Kuno, Kagemusha, yang selalu dipraktekkan Naoko, menjadikan Ashikaga
tergila-gila pada wa-
nita itu. Sampai suatu hari shogun tersebut berjanji untuk mengawininya.
Naoko tersenyum penuh rasa bahagia. Jantungnya
berdetak lebih kencang. Ia benar-benar merasa men-
dapatkan karunia.
"Benarkah Yang Mulia akan membawa saya ke ista-
na?" Naoko bertanya dengan manja.
"Kau akan tinggal di Istana Kamakura bersamaku,"
kata Ashikaga sambil menciumi tubuh Naoko. "Aku tak
Pulau Kera 1 Pendekar Patung Emas Pendekar Bersinar Kuning Karya Qing Hong Kembang Bukit Lontar 2
^