Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 2

05 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintarja Bagian 2


Pandan Wangi yang semula sekedar mengimbangi usaha suaminya, itupun ternyata mau tidak mau harus ikut serta dalam arus memperdalam ilmunya pula agar ia tidak ketinggalan jika ia harus memberikan imbangan sebagai kawan berlatih. Tetapi seperti Swandaru maka Pandan Wangipun lebih banyak dipengaruhi oleh tata gerak lahiriah. Ia pada dasarnya memang memiliki ketangkasan dan kecepatan mempermainkan senjata rangkapnya. Kakinya lincah seperti burung sikatan, dan nafasnyapun benar-benar telah terlatih hampir sempurna.
Meskipun kedua suami isteri itu pada dasarnya bersumber pada ilmu yang berbeda, tetapi dengan sungguh-sungguh keduanya berusaha saling mengisi dan saling meningkatkan ilmu masing-masing. Keduanya bahkan lambat laun menemukan persesuaikan untuk menjadikan kedua ilmu dari dua sumber itu menjadi dua aliran ilmu yang dapat saling berpasangan.
Sementara itu. Sekar Mirahpun mempergunakan sanggar itu untuk menempa diri bergantian waktunya dengan kakaknya suami isteri. Dibawah bimbingan dan pengawasan gurunya, Sekar Mirah ingin mengikuti jalan pikiran Swandaru, membuat Sangkal Putung menjadi Kademangan terkuat dan mampu menjaga diri sendiri.
Gejolak hati Swandaru itu ternyata berpengaruh pula pada anak-anak muda di Sangkal Putung. Sebelum Swandaru terjun kedalam lingkungan para pengawal untuk membentuk mereka, maka anak-anak muda sudah mulai dengan latihan atas kehendak mereka sendiri dengan cara yang pernah mereka dapatkan sebelumnya.
Dalam pada itu, Kiai Gringsing yang berada dipadepokan kecilnya, pada suatu saat merasa didesak oleh kerinduannya kepada muridnya yang seorang. Itulah sebabnya maka pada suatu saat, ia minta diri kepada Ki Waskita dan Glagah Putih untuk pergi ke Sangkal Putung.
"Kiai akan pergi seorang diri?" bertanya Ki Waskita.
"Demikianlah Ki Waskita. Aku justru ingin menitipkan padepokan kecil dan Glagah Putih kepada Ki Waskita. Aku hanya pergi untuk sehari. Meskipun malam hari, aku tentu akan kembali karena aku tidak akan bermalam di Sangkal Putung."
Kedatangan Kiai Gringsing di Sangkal Putung, terasa memberikan kegembiraan dan gairah yang lebih mantap bagi Swandaru. Bagaimanapun juga kehadiran gurunya menunjukkan kepadanya, bahwa gurunya tidak melupakannya.
"Usahamu memberikan kebanggaan padaku Swandaru," berkata Kiai Gringsing, "Karena dengan demikian ternyata bahwa kau tidak terhenti pada suatu tempat. Kau akan tetap maju dengan caramu. Seperti juga aku memberikan kesempatan bagi Agung Sedayu yang kini sedang berusaha untuk menemukan dirinya sendiri dalam ungkapan ilmunya, karena sebenarnyalah yang aku berikan hanyalah dasarnya semata-mata, yang masih harus dibentuk sesuai dengan kepribadianmu masing-masing."
Swandaru merasa bangga atas pujian itu. Dengan demikian maka gurunya tentu merestui semua rencananya.
"Guru," berkata Swandaru kemudian, "Anak-anak muda di Sangkal Putung ternyata bertekad untuk membuat Kademangan ini menjadi Kademangan yang kuat, yang dapat melindungi dirinya sendiri. Itulah sebabnya maka aku merasa perlu untuk menempa diri lebih dahulu, sebelum aku kemudian memberikan tuntunan sekedarnya kepada para pengawal."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, "Itu namanya ilmumu adalah ilmu yang hidup. Mudah-mudahan kau berhasil."
"Aku berharap guru merestuinya."
"Tentu Swandaru. Aku berharap bahwa kau akan mendapatkan kemantangan ilmu yang dijiwai oleh kepribadianmu. Yang akan memancar kemudian dari ilmumu itu justru kepribadianmu. Jika kau orang yang rendah hati, maka akan nampak jelas, bahwa setiap unsur gerak dari ilmumu akan kau lambari dengan dasar kepribadianmu itu. Kau akan berhati-hati dan tidak mempergunakan kapan saja kau ingin. Kau akan menghindari perbuatan yang dilandasi oleh kekerasan. Kau akan menganggap dirimu kurang penting untuk menunjukkan ilmumu disetiap saat. Dan kau tidak akan sakit hati jika orang lain menganggap ilmumu adalah ilmu yang rendah sepanjang orang itu tidak merugikanmu." Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu. "tetapi jika ilmu yang semakin masak itu dilambari dengan sifat tinggi hati, maka akan nampak jelas pula padamu. Setiap saat kau akan menunjukkan kelebihanmu dari orang lain. Kau akan mempunyai perasaan harga diri yang berlebih-lebihan, dan menganggap orang lain kurang berharga. Kau akan memaksakan kehendakmu dengan kekerasan, dan kau akan mempelihatkan betapa tinggi ilmu yang kau miliki."
Swandaru mengerutkan keningnya. Terasa sesuatu bergetar didalam dadanya. Sekilas ia memang mencoba mengamati dirinya sendiri. Tetapi karena ia masih belum berkesempatan, maka Swandaru itupun hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja tanpa menjawab.
Dalam kesempatan itu. Kiai Gringsing masih memberikan banyak pesan. Semakin tinggi ilmu seseorang, maka tanggung jawabnyapun menjadi semakin berat pula. Juga perjuangan untuk mengekang diripun menjadi semakin rumit, karena kecenderungan sifat manusia untuk memaksakan kehendaknya kepada orang lain.
Swandaru mencoba mendengarkan dan mengerti arti dari segala pesan gurunya. Meskipun demikian ia masih belum sempat meneliti kedalam dirinya, apakah yang dikatakan gurunya itu sekedar pesan atau sudah merupakan suatu peringatan, karena gejala-gejala seperti yang dikatakan gurunya itu sudah mulai nampak.
Waktu yang sehari itu ternyata dipergunakan oleh Kiai Gringsing dengan sebaik-baiknya. Ia sempat melihat muridnya berlatih. Ia mempergunakan sedikit waktunya untuk berbincang dengan Ki Sumangkar, untuk berbicara tentang banyak hal dengan Pandan Wangi dan Sekar Mirah, dan untuk membicarakan perkembangan Swandaru dengan Ki Demang Sangkal Putung.
"Ada yang aneh dalam pengamatan Kiai," berkata Ki Demang, "nampaknya Swandaru selalu dikejar oleh ketidak puasan terhadap suasana disekelilingnya."
Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, "Itu adalah gejala yang wajar dari anak-anak muda Ki Demang. Yang penting, kita yang tua-tua, wajib memberikan arah yang sepatutnya."
"Itulah yang sulit Kiai. Anak-anak muda sekarang merasa dirinya lebih pandai dari yang tua-tua. Dan memang didalam kenyataannya, Swandaru memiliki kelebihan daripadaku. Tetapi kelebihan dalam olah kanuragan dan mungkin juga kecerdasan berpikir, bukannya merupakan kepastian ujud dari kelebihan pengabdian yang wajar dan benar."
"Kiai," Ki Demang melanjutkan, "aku merasa, bahwa anak-anak muda cenderung untuk melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh orang-orang tua. Mereka juga mencoba melonggarkan ikatan-ikatan yang ada. Aku tidak berkeberatan Kiai. Tetapi hendaknya anak-anak muda jangan menyimpang dari dasar tatanan hidup yang pokok. Dan dalam setiap perbedaan pandangan, maka anak-anak muda tentu menganggap orang-orang tua bersalah tanpa meneliti sebab dan akibatnya."
Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, "Mudah-mudahan pada suatu saat jarak antara yang tua dan yang muda itu dapat dipersempit. Jika masing-masing pihak bersedia untuk melihat kepada diri sendiri, maka akan diketemukan pendekatan-pendekatan yang mantap bagi masa depan."
Ki Demang mengangguk-angguk. Mereka masih berbicara beberapa lama lagi, sehingga kemudian datang saatnya Kiai Gringsing minta diri.
"Guru tidak bermalam disini?" bertanya Swandaru ketika Kiai Gringsing minta diri kepadanya didalam sanggarnya.
"Aku akan datang setiap kali. Padepokan Karang di Jati Anom itu sama sekali tidak jauh. Aku akan datang kapan saja aku ingin. Apalagi nampaknya sekarang keadaan menjadi semakin tenang."
Kekecewaan nampak membayang diwajah Swandaru. Bagaimanapun juga ada perasaan yang kurang mantap terhadap sikap gurunya. Bahkan kemudian terdengar ia berdesis, "Kakang Agung Sedayu mempunyai kesempatan yang lebih baik daripadaku."
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Kemudian sambil tersenyum ia berkata, "Tidak Swandaru. Agung Sedayu mempunyai kesempatan yang sama. Ia membawa bekal yang sama denganmu. Dan berdasarkan bekal itu ia telah mencari sendiri ujud dari ilmunya berdasarkan kepribadiannya. Kepribadian inilah yang mungkin akan memberikan ciri yang berbeda antara kau dan Agung Sedayu dalam perkembangan selanjutnya. Tetapi ciri-ciri tata gerak dasar kalian berdua akan tetap sama dan sejalan."
Swandaru tidak menyahut lagi. Namun justru karena itu, telah tumbuh dorongan didalam hatinya, bahwa meskipun ia tidak ditunggui oleh gurunya, namun perkembangan ilmunya tidak boleh katah dengan ilmu yang akan dicapai oleh Agung Sedayu.
Itulah sebabnya, sepeninggal gurunya, Swandaru justru menjadi semakin tekun berlatih. Pandan Wangi tidak dapat ingkar lagi, bahwa iapun harus ikut serta dalam arus penyempurnaan ilmunya. Meskipun mula-mula ia hanya sekedar mengimbangi dan memancing pengerahan tenaga Swandaru, namun ternyata kemudian, bahwa Pandan Wangipun telah melakukannya peningkatan pula dengan caranya. Dalam waktu-waktu senggang, justru saat-saat sanggar itu belum dipergunakan, Pandan Wangi kadang-kadang telah mendahului. Dengan langkah-langkah yang sederhana ia mencoba mencari kesempurnaan pada ilmunya.
Berbeda dengan mereka yang berlatih dengan bekal yang ada pada dirinya. Sekar Mirah masih tetap berada dalam bimbingan gurunya. Karena itulah maka ia tidak mengalami kesulitan apapun juga. Namun agaknya bahwa tingkat ilmunya memang masih belum sejajar dengan kakaknya Swandarudan kakak iparnya Pandan Wangi.
Dengan demikian, maka Sangkal Putungpun kemudian telah diliputi oleh suasana peningkatan ilmu. Sesuai dengan perhatian Swandaru yang lebih banyak tertuju pada yang lahir, maka tekanan peningkatan ilmunyapun lebih banyak nampak pada yang lahiriah. Kecepatan bergerak kekuatan tangan dan kaki, serta ketahanan, tubuh. Namun karena ketekunannya, maka ternyata Swandaru yang pada dasarnya mempunyai kekuatan yang besar, telah berkembang menjadi seorang raksasa yang mengagumkan.
Namun justru karena itulah, ternyata Pandan Wangi mengalami kesulitan. Menurut kodrat lahiriahnya, ia tidak akan dapat mengimbangi kekuatan jasmani Swandaru. Karena itulah, maka ia harus mencari imbangan kekuatan dari dalam dirinya. Dari kekuatan cadangan yang tersedia. Sehingga dengan demikian, ia memerlukan latihan-latihan khusus yang terpisah.
Tetapi untuk menghindari salah paham, agar Swandaru tidak menyangkanya menyembunyikan suatu rahasia pada ilmunya, maka ia membiarkan Swandaru menungguinya jika ia kehendaki.
"Kau hanya membuang-buang waktu saja Pandan Wangi," kadang-kadang Swandaru memperingatkan.
"Aku tidak dapat berlatih seperti kau kakang. Tenagaku tidak sekuat tenagamu, sehingga aku memerlukan kekuatan yang lain dari kekuatan wadag."
Swandaru hanya mengangguk-angguk saja. Tetapi ia melihat sesuatu yang lain pada Pandan Wangi. Kekuatannya yang bagaikan berlipat meskipun hanya pada saat-saat tertentu.
Tetapi Swandaru agaknya kurang tertarik. Ia menganggap bahwa dengan demikian, ia mulai kehilangan kepercayaannya kepada kekuatan wadagnya, meskipun ia sadar, bahwa dengan demikian, maka ia yang pada dasarnya memiliki kekuatan raksasa itu, akan menjadi semakin mengerikan.
Meskipun demikian, bukannya berarti bahwa Swandaru mengabaikan kekuatan yang memang ada pada dirinya itu. Tetapi ia menganggap bahwa apabila ia mempunyai banyak waktu dan tidak dalam keadaan yang men desak, maka ia baru akan mulai mempelajarinya dengan sungguh-sungguh.
Sementara itu didalam sebuah goa diseberang hutan tidak terlalu jauh dari Jati Anom, Agung Sedayupun sedang menekuni ilmunya dengan segenap hati. Perbedaan pribadi antara Swandaru dan Agung Sedayu memang melahirkan banyak perbedaan pada ungkapan ilmunya meskipun bersumber dari orang yang sama.
Setiap pagi Agung Sedayu masih saja merangkak melalui lubang kecil yang melingkar-melingkar berbelok-belok turun kejalur goa. Untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari, Agung Sedayu melakukan pekerjaan sewajarnya. Mencuci beras kemudian menjerangnya sampai masak. Merebus air untuk minum dan kebutuhan-kebutuhan yang lain sebagaimana kebutuhannya sehari-hari dipadepokan.
Namun lutut Agung Sedayu tidak terluka lagi jika ia merangkak sepanjang lubang yang berbelok-belok itu. Bahkan dengan demikian seolah-olah ia mendapatkan kekuatan baru pada urat-urat kaki dan tangannya.
Tetapi semakin tekun ia berlatih didalam bilik yang dialiri udara dari dua buah lubang sempit dibagian atasnya itu, tanpa dikehendakinya sendiri, maka iapun menjadi semakin jarang merangkak sepanjang lubang itu. Jika mula-mula ia setiap pagi sudah turun dari biliknya, maka dihari hari berikutnya Agung Sedayu sudah tidak tentu lagi waktunya keluar dari dalam ruangannya. Kadang-kadang siang, dan kadang-kadang sore. Dan bahkan kemudian, seolah-olah ia mengatur jarak yang semakin panjang. Sehari, dua hari dan akhirnya tiga hari.
Dari segi kepentingan wadagnya, maka Agung Sedayu mengalami kekurangan makan dan minum, sehingga ia menjadi semakin kurus karenanya. Tetapi dari segi lain, Agung Sedayu banyak menemukan rahasia yang sebelumnya belum pernah dikenalnya. Rahasia tentang kekuatan didalam dirinya sendiri. Bukan sekedar kekuatan yang nampak dalam ungkapan wadag meskipun dari saluran kekuatan cadangan didalam dirinya, tetapi juga kekuatan yang tersalur lewat inderanya yang lain.
Dihari-hari berikutnya, Agung Sedayu melatih ketajaman penglihatannya dan kekuatan yang tersirat dari sorot matanya. Ketajaman pandangan matanya seakan-akan dapat melontarkan kekuatan tersendiri yang tidak dapat diukur dengan kewadagan.
Disamping penglihatannya, Agung Sedayu melatih pendengarannya. Bermalam-malam ia duduk sambil memejamkan matanya, setelah disiang hari ia menekuni latihan-latihan yang lain. Ia berusaha untuk dapat mempergunakan segenap indera yang lain jika matanya tertutup atau jika ia berada di dalam gelap yang peka.
Pendengaran Agung Sedayupun menjadi semakin tajam. Disepinya malam telinganya sempat berlatih untuk membedakan setiap suara. Desir angin yang lembut dan sentuhan kaki bilalang dibatu karang diatas biliknya, atau seekor cengkering yang terperosok masuk.
Bahkan sambil memejamkan matanya ia mempertajam syaraf peraba di jari-jarinya. Ia dapat membedakan benda apakah yang telah disentuhnya dengan jari-jarinya. Halusnya batu karang yang diasah oleh titik air dan halusnya batu hitam yang tergolek didalam bilik itu.
Ketajaman penciumannyapun menjadi berlipat ganda. Seolah-olah ia memiliki naluri pada indera penciumannya untuk membedakan setiap benda meskipun ia tidak melihatnya.
Demikianlah Agung Sedayu berlatih terus. Mengosongkan diri sudah bukan persoalan yang sulit baginya. Dan dalam beberapa hari didalam biliknya ia sudah mampu menyadap semua tata gerak yang pernah dikenalnya dan dikaji buruk baiknya bagi kemantapan ilmunya.
Agung Sedayu sama sekali tidak merasa menyalahi perguruannya, karena Kiai Gringsing selalu memberikan kesempatan kepadanya untuk memperkaya ilmunya. Namun, meskipun demikian, Kiai Gringsing juga memberikan batasan, bahwa Agung Sedayu harus menyisihkan ilmu yang bersumber pada kekuatan hitam. Dan Kiai Gringsingpun telah memberikan ciri-cirinya kepadanya.
Sehingga dengan demikian Agung Sedayu dapat menyingkirkan semua tata gerak yang sama sekali tidak menguntungkan bagi ilmunya dan bagi dirinya sendiri.
Meskipun kedua saudara seperguruan murid Kiai Gringsing itu tidak bersepakat terlebih dahulu, namun keduanya telah bersama-sama tenggelam dalam peningkatan diri sesuai dengan kepribadian masing-masing. Di Sangkal Putung, Swandaru dengan tekad yang bergelora tengah menempa diri Kekuatan jasmaniahnya kian hari menjadi kian mapan dan bagaikan bertambah-tambah. Kadang-kadang ia tidak lagi mempergunakan senjata pedangnya untuk meyakinkan kekuatannya. Tetapi Swandarupun telah membuat sebuah bindi yang berat.
Dengan senjata bindi, maka perisai sama sekali tidak akan berarti apa-apa bagi lawan-lawannya. Dengan kekuatannya yang sangat besar, maka perisai dari besipun dapat dirusakkannya dengan bindinya. Apalagi perisai yang dibuat dari kayu.
Sesuai dengan cara masing-masing meningkatkan ilmunya, maka sarananyapun menjadi berbeda pula. Bahkan untuk memelihara agar tenaganya tetap utuh, Swandaru justru makan berlipat dari biasanya. Di malam hari setelah ia berlatih-latih mati-matian, maka iapun selalu mencari nasi dan lauk pauknya, sehingga Pandan Wangi yang kemudian menjadi terbiasa, tidak saja sekedar melayaninya berlatih, tetapi juga harus menyiapkan makan dan minumnya secukupnya.
Didalam goa. Agung Sedayu mengalami keadaan yang agak berbeda. Ia justru telah terlibat dalam pemusatan pikiran dan indera, sehingga kadang-kadang ia lupa untuk keluar dari biliknya dan menanak nasi. Itulah sebabnya, maka makan dan minumpun justru menjadi terlantar.
Tetapi Agung Sedayu tidak begitu memerlukannya. Ia tidak terlalu banyak mempergunakan tenaga wadagnya seperti Swandaru. Ia mempelajari langsung inti dari tata gerak yang akan berarti dalam pelontaran tenaga cadangannya. Dengan gerak yang sedikit, ia akan mampu melepaskan tenaga yang cukup besar.
Bahkan kadang-kadang Agung Sedayu lebih banyak duduk bersila diatas sebuah batu dengan tangan bersilang. Sambil memejamkan matanya, ia mulai membayangkan dalam angan-angannya, latihan yang penuh dengan pelontaran tenaga. Semakin dalam ia tenggelam dalam pemusatan pikiran dan indera, maka latihan yang demikian menjadi semakin hidup didalam dirinya. Meskipun wadagnya tidak bergerak sama sekali, tetapi rasa-rasanya Agung Sedayu telah mematangkan setiap tata gerak dalam hubungan yang serasi dan meyakinkan.
Namun demikian, meskipun Agung Sedayu hanya duduk diatas sebuah batu, namun dalam keadaan yang demikian, keringatnya mengalir diseluruh tubuhnya bagaikan sedang mandi.
Dalam kesempatan yang lain. Agung Sedayu dengan sungguh-sungguh melatih ketajaman penglihatannya. Bahkan Agung Sedayu telah disentuh oleh perasaan yang lain dengan tatapan matanya. Itulah sebabnya, maka ia-pun telah mempergunakan waktu yang khusus bagi latihan matanya.
Kadang-kadang ia duduk untuk waktu yang sangat lama sambil memandang sesuatu yang telah ditentukannya sendiri pada dinding bilik itu. Dalam remang-remang cahaya matahari yang masuk lewat lubang dilangit-langit bilik dalam goa itu, ia dapat melihat benda apapun juga. Bahkan dimalam hari matanya sudah mulai dapat menembus gelap pekat meskipun untuk jarak tertentu.
Namun agaknya sesuatu telah terasa dalam getar sorot mata Agung Sedayu. Ia tidak saja melihat benda yang dipandanginya tanpa berkedip. Tetapi ia merasa seakan-akan ada sentuhan antara tatapan matanya dengan benda itu secara wadag.
Dengan tekun Agung Sedayu memperhatikan gejala itu. Kemudian dengan tekun pula, berdasarkan ilmu yang ada padanya, ia mencari perkembangan dari gejala yang diketemukan.
Sentuhan yang bersifat wadag dari tatapan matanya itu semakin lama semakin terasa meskipun dalam hubungan yang tidak bersifat wadag. Itulah yang senantiasa dicari Agung Sedayu dalam latihan-latihannya yang semakin lama menjadi semakin berat.
Namun ketika terasa sesuatu telah meyakinkannya, maka iapun kemudian meletakkan sebuah batu kecil diatas sebuah batu padas. Iapun kemudian duduk bersila sambil menyilangkan tangannya didadanya. Dengan tajam ia memandangi batu kecil itu. Semakin lama semakin tajam dan seolah-olah kemudian didunia tidak ada benda lain kecuali batu kecil itu.
Agung Sedayu memusatkan segala pikiran dan inderanya kepada penglihatannya. Sentuhan yang bersifat wadag dari kekuatan yang tidak bersifat wadag itu semakin lama menjadi semakin terasa. Agung Sedayu dengan sepenuh hati mempelajari watak dari peristiwa yang dialaminya itu. Perlahan-lahan tetap yakin ia mencoba mempergunakan sentuhan yang bersifat wadag itu meskipun dengan sangat hati-hati.
Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Ternyata batu kecil itu mulai beringsut.
Agung Sedayu menghentikan pengenalannya pada gejala baru dari ilmunya itu. Tetapi dengan demikian ia merasa, bahwa ia telah berhasil meningkatkan dasar-dasar yang pernah diterimanya dari gurunya dengan perkembangan yang agak jauh, meskipun mungkin gurunya sudah mengenalnya lebih dahulu, namun dengan sengaja tidak menunjukkanya kepadanya, agat ia mampu mencarinya sendiri.
Demikianlah latihan-latihan itupun diulang-ulanginya. Batu yang digerakkannyapun semakin lama menjadi semakin besar. Bahkan kemudian Agung Sedayu menemukan gejala yang agak berbeda dalam perkembangannya. Dengan kekuatan matanya ia mampu memecahkan sebutir batu padas yang mula-mula kecil saja. Tetapi semakin lama semakin besar.
Karena itulah, maka Agung Sedayupun kemudian membagi waktunya sebaik-baiknya. Ia tidak melupakan latihan ketrampilan wadagnya. tetapi juga kekuatan-kekuatan yang ada didalam dirinya. Bahkan kekuatan matanya yang tidak bersifat hubungan wadag tetapi mempunyai sentuhan langsung yang bersifat wadag.
Hari-hari menjadi terlalu pendek bagi Agung Sedayu. Namun sekali-sekali ia masih juga merangkak turun dan menyalakan api. Menjerang nasi dan air untuk sekedar memelihara tenaga jasmaniahnya agar tidak kehilangan keseimbangan, karena ia dalam ujudnya tidak akan dapat ingkar dari kodratnya. Bahwa untuk keutuhan jasmaninya ia harus makan dan minum.
Jika didalam mengembangkan ilmunya, Agung Sedayu memilih tempat yang sepi dan tersendiri, agar pemusatan pikiran dan inderanya tidak terganggu, maka Swandaru berbuat sebaliknya. Semakin lama sanggarnya menjadi semakin ramai. Beberapa orang yang harus membantunya menjadi bertambah-tambah sejalan dengan perkembangan tenaga Swandaru yang semakin besar.
Namun dalam saat-saat tertentu, Swandaru juga memerlukan keterasingan. Kadang-kadang Swandaru tidak mau diganggu oleh orang lain didalam Sanggarnya kecuali kehadiran Pandan Wangi, dan kadang-kadang Sekar Mirah bersama gurunya.
Dengan demikian, maka perkembangan ilmu Swandarupun telah maju dengan pesat pula, sejajar dengan kemajuan ilmu Pandan Wangi sendiri, yang seolah-olah sekedar terdorong kuwajibannya.
Tetapi dalam pada itu, Sekar Mirahpun telah berubah menjadi seorang yang semakin perkasa. Tongkatnya yang mengerikan itu, benar-benar akan mengumandangkan lagu maut ditangannya, jika ia berhadapan dengan lawan.
Ternyata bahwa Ki Sumangkarpun telah menuntun satu-satunya muridnya dengan sungguh-sungguh. Ia tidak ingin cabang perguruannya menjadi pudar dan apalagi punah. Karena itu, maka muridnya, serendah-rendahnya harus memiliki kematangan ilmu seperti dirinya sendiri dalam perkembangannya nanti, sehingga bekal yang diberikannyapun haruslah mencukupi.
Namun disamping tuntutan olah kanuragan, Ki Sumangkarpun selalu berusaha untuk memberikan warna yang lain pada watak dan sifat Sekar Mirah. Sedikit demi sedikit, ia berusaha untuk memberikan kesadaran kepada muridnya, bahwa yang penting didalam hidup ini, bukannya sekedar warna-warna meriah pada segi lahiriahnya saja. Itulah sebabnya seseorang kadang-kadang lebih condong mementingkan kehidupan rohaniahnya saja.
"Kau tidak usah berbuat demikian," berkata Ki Sumangkar, "kau tidak usah mengasingkan diri untuk memusatkan segala perhatian kepada yang rohaniah. Bagimu, jika yang rohaniah dan jasmaniah itu mempunyai keseimbangan, maka agaknya sudah cukup memadai. Kau tetap hidup seperti yang kau hayati sekarang didalam ujud lahiriahnya, tetapi kau juga memelihara pendekatan diri kepada Yang Maha Kuasa, sehingga apa yang sudah kau miliki itu, kau sadari sepenuhnya, adalah kurnianya. Dengan demikian kau akan selalu mengucapkan terima kaisah dan tidak perlu didesak oleh keinginan yang tamak untuk memiliki yang bersifat lahiriah semata-mata."
Jika guru memberikan petunjuk kepadanya, Sekar Mirah selalu mendengarkannya dengan sungguh-sungguh. Sehari dua hari nasehat-nasehat itu selalu diingatnya. Tetapi dihari berikutnya, semuanya itu mulai kabur. Meskipun pada kesempatan lain, jika gurunya menasehatinya lagi, yang kabur itu menjadi jelas kembali.
Namun ternyata bahwa watak dan sifat Sekar Mirah telah mencengkam jiwanya dengan kuat. Semua nasehat dan petunjuk, merupakan penghambat yang lemah. Meskipun ada juga pengaruhnya serba sedikit.
Tetapi Sumangkar tidak jemu-jemunya. Betapa tipisnya pengaruh kata-katanya, namun jika yang tipis itu setiap kali dipulaskannya, maka warna itu semakin lama akan menjadi semakin tebal juga.
Dalam kesibukan itu, waktu terasa berjalan sangat cepat. Didalam ruang yang tertutup, didalam gelapnya malam, Agung Sedayu melihat bayangan bulan yang menyusup lewat lubang dilangit-langit. Dengan berdebar-debar Agung Sedayu mencoba melihat bulan itu, yang ternyata bahwa bulan hampir menjadi bulat.
"Waktu itu terlalu cepat mendesakku," desisnya, "aku masih memerlukan lebih banyak lagi. Tetapi guru berpesan, agar aku kembali kepadepokan kecil itu saat purnama naik."
Bagaimanapun juga. Agung Sedayu tidak akan melanggar pesan gurunya. Meskipun jika perlu, ia akan mengulangi lagi memasuki mulut goa di tebing sungai yang curam itu.
Namun, yang dilakukannya kemudian adalah memanfaatkan waktu yang sempit itu sebaik-baiknya. Dengan ketekunan yang semakin tinggi, ia berlatih terus. Kakinya menjadi semakin cepat, dan tanganyapun mampu bergerak sehingga seolah olah Agung Sedayu mempunyai sepuluh pasang tangan yang bergerak bersama-sama. Jika sepasang tangannya memegang senjata, maka yang sepasang itupun seolah-olah telah berubah menjadi sepuluh pasang senjata.
Pada saat-saat terakhir. Agung Sedayu mulai dengan mempergunakan senjata ciri perguruannya. Setelah ia mampu mempergunakan apa saja yang ada sebagai senjatanya, maka latihan-latihan yang terakhir dan terberat adalah mempergunakan cambuknya.
Agung Sedayu mengenal senjatanya seperti ia mengenal anggauta badannya sendiri. Ia tahu pasti, berapakah jumlah karah-karah besi baja yang melingkar pada juntai cambuknya, sehingga seolah-olah dapat menghitung, berapakah karah besi bajanya yang menyentuh tubuh lawan jika ujung cambuknya mengenai sasarannya.
Dengan latihan yang hampir sempurna. Agung Sedayu mulai mencoba mempergunakan tenaga cadangannya yang tersalur lewat anggauta badannya dan bahkan lewat senjatanya, sehingga tenaga yang terlontar menjadi berlipat ganda. Bahkan dengan menyalurkan tenaga cadangannya senjatanyapun seolah-olah telah berubah pula menjadi senjata yang luar biasa kuatnya. Cambuknya yang terbuat dari janget tinatelon rangkat dengan karah-karah besi baja itu seolah-olah dapat berubah menjadi serat baja yang dianyam kuat sekali, sehingga dengan sepenuh tenaga yang tersalur, mampu membelah batu hitam.
Dengan demikian, maka cambuk Agung Sedayu itupun telah mempunyai arti tersendiri. Cambuk itu bagaikan mempunyai kekuatan yang tidak dapat dijajagi.
Namun dengan penuh kesabaran Agung Sedayu mengerti, bahwa bukannya cambuknya itulah yang telah berubah dan memiliki kekuatan-kekuatan tertentu yang dapat membantunya, namun kekuatan yang ada didalam cambuknya itu justru datang daripadanya. Tanpa kekuatan didalam dirinya, cambuknya adalah sekedar janget dengan karah-karah besi baja. Seperti cambuk yang sejak lama dimilikinya. Tidak ada bedanya sama sekali.
Ketika waktu semakin mendesaknya lagi. maka Agung Sedayu merasa bahwa latihan jasmaniahnya telah cukup. Yang akan dilakukannya kemudian adalah memperkuat kekuatan didalam dirinya. Juga kekuatan matanya yang mempunyai sentuhan bersifat wadag dengan kekuatan yang tidak bersifat wadag.
Sejalan dengan usaha terakhir pada waktu yang sempit bagi Agung Sedayu itu. maka Swandaru yang meskipun tidak merasa dibatasi oleh waktu dan ruang, telah meningkatkan pula latihan-latihannya. Kekuatannyapun bagaikan telah berlipat.
Seperti Agung Sedayu. maka setelah Swandaru mengalami mempergunakan berbagai macam senjata disaat-saat latihan, iapun akhirnya kembali kepada senjatanya sendiri. Cambuk bercincin besi baja pada juntainya.
Dengan tenaga raksasa Swandaru merupakan orang yang sangat berbahaya dengan senjatanya. Rasa-rasanya ujung cambuknya akan merupakan buaian maut yang sulit dihindari.
Namun agak berbeda dari Agung Sedayu, bahwa sentuhan ujung cambuk Swandaru adalah ayunan kekuatan tangan yang berpangkal pada tangkai cambuknya. Semakin kuat ayunan tangan Swandaru, maka semakin dahsyatlah ledakan ujung cambuk itu.
Tetapi ternyata bahwa Swandaru tidak puas dengan karah-karah besi baja yang melingkar pada juntai cambuknya. Ia menganggap bahwa jarak cincin itu masih terlalu jarang. Karena itulah, maka ia telah memesan kepada seorang pandai besi yang terbaik untuk membuat karah-karah besi baja yang terbaik pula.
"Sulit sekali," pandai besi itu menggeleng-gelengkan kepalanya, "memasang gelang-gelang kecil pada juntai cambuk itu harus bersama-sama saat membuatnya."
"Kau tentu mempunyai akal."
"Aku dapat memasang lempeng-lempeng baja yang kemudian ditempat melingkar pada juntai cambukmu," berkata pandai besi itu, "tetapi tentu tidak akan sekuat karah-karah baja yang merupakan cincin yang bulat."
"Terserahlah. Mungkin memang tidak sekuat karah-karah yang sudah ada."
Tetapi dengan lempeng-lempeng baja yang kau lingkarkan pada juntai cambuk itu diantara karah-karah yang terlalu jarang, maka ujung cambukku akan menjadi semakin berbahaya. Sentuhnya akan membelah kulit dan meremukkan tulang. Hanya orang-orang tertentu sajalah yang akan dapat melawan aku."
Pandai besi itu mengangguk-angguk. Dan iapun melakukannya seperti yang dikatakannya. Dibuatnya kepingan baja selebar jari. Kemudian kepingan baja itupun dilingkarkan seperti sebentuk cincin pada juntai cambuk Swandaru meskipun tidak dapat melingkar seperti cincin karena ujung dan pangkalnya hanya sekedar berpaut dan tidak menyatu seperti karah-karah yang sudah ada yang memang berbentuk cincin. Tetapi seperti yang dikatakan oleh pandai besi itu, bahwa memasang karah-karah baja seperti itu, memang harus dilakukan pada saat cambuk itu dibuat.
Demikianlah maka cambuk Swandaru menjadi lebih dahsyat lagi dengan kepingan-kepingan baja yang melingkari juntainya dibeberapa bagian diantara cincin-cincinnya. Ketika kepingan-kepingan itu telah terpasang, maka dengan serta merta Swandaru telah mencobanya.
Ketika sebuah ledakan yang tidak terlalu keras terdengar dibelakang halaman pandai besi itu, maka robohlah tiga batang pisang sekaligus.
Swandaru tersenyum. Katanya, "Aku hanya mengayunkan dengan sebagian kecil tanganku. Tetapi kepingan-kepingan baja itu telah membuat cambukku seakan-akan menjadi semakin tajam.
Pandai besi itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia tersenyum ketika Swandaru melemparkan beberapa keping uang kepadanya.
Disanggarnya Swandaru ingin mencoba mempergunakan cambuknya. Ia tidak dapat mempergunakan seorang lawan untuk meyakinkan kekuatan senjatanya, karena hal itu akan dapat membahayakan jiwanya. Karena itulah ia ingin mencoba betapa dahsyat ledakan cambuknya pada seekor binatang.
"Tangkaplah seekor harimau," perintah Swandaru kepada para pengawal. "Bukanlah kalian dapat melakukannya dengan pasangan seperti yang sering kalian lakukan?"
Para pengawalpun melakukan seperti yang diperintahkan oleh Swandaru. Dengan umpan seekor kambing, mereka menggali sebuah lubang didalam hutan.
Di malam hari, mereka mendengar aum kemarahan yang menggapai-gapai dari dalam lubang yang dalam itu, sehingga merekapun yakin, bahwa mereka telah berhasil menangkap seekor harimau.
"Biarlah ia tetap didalam lubang itu," berkata Swandaru, "kita akan mengepungnya dan membiarkan ia meloncat naik."
"Maksudmu?" "Aku akan mencoba juntai cambukmu pada kulitnya yang liat itu."
Dipagi harinya, sekelompok pengawal dari Sangkal Putung telah berada didalam hutan. Atas perintah Swandaru mereka mengepung lubang perangkap itu dalam lingkaran yang agak besar. Ditangan mereka telah tergenggam senjata telanjang.
Diantara para pengawal itu terdapat Pandan Wangi, Sekar Mirah dan Sumangkar.
"Taruhlah sebatang kayu, agar harimau itu sempat naik," perintah Swandaru.
Beberapa orang pengawalpun kemudian memasukkan sebatang kayu yang sengaja dapat dipergunakan oleh harimau itu untuk memanjat naik.
Seperti yang diharapkan, harimau itupun perlahan-lahan memanjat kayu yang tersandar pada lubang yang lelah mengurungnya semalam suntuk. Namun demikian kepalanya tersembul, maka terdengarlah aum kemarahannya karena ia melihat beberapa orang yang berdiri dalam sebuah lingkaran dengan senjata telanjang.
Swandaru tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia-pun maju selangkah mendekati lubang itu. Dengan ujung cambuknya ia mengganggu harimau itu agar segera meloncat keluar dan menyerangnya.
Sejenak harimau itu masih termangu-mangu. Namun gangguan juntai cambuk Swandaru membuatnya benar-benar semakin marah. Karena itulah, maka harimau itupun kemudian meloncat dengan liarnya sambil mengaum semakin keras.
Swandaru meloncat surut. Iapun kemudian menyiapkan dirinya untuk melawan harimau itu dengan sungguh-sungguh. Ia ingin melihat, apakah juntai cambuknya akan mampu membelah kulit harimau itu.
Harimau itu tidak menunggu lebih lama lagi. Ketika kemarahannya telah memuncak, maka iapun segera meloncat sambil menjulurkan kedua kaki depannya menerkam Swandaru yang berada dipaling dekat dihadapannya.
Pada saat yang diperhitungkan itulah Swandaru meloncat kesamping. Kemudian dengan segenap kekuatannya ia mengayunkan cambuknya kearah punggung harimau yang menerkamnya itu.
Terdengarlah sebuah ledakan yang dahsyat, disusul oleh aum harimau yang bagaikan membelah hutan itu.
Buku 102 ORANG-orang yang membuat lingkaran disekitar arena itu termangu-mangu sejenak. Mereka bagaikan dicengkam oleh peristiwa yang hampir diluar nalar. Ledakan cambuk Swandaru telah mengenai punggung harimau yang menerkamnya dan karah-karah besi baja dan kepingan-kepingan baja yang melingkar diantaranya ternyata telah berhasil menyobek kulit harimau itu, sehingga luka yang panjang telah menganga dipunggungnya.
Ketika darah mulai mengalir dari luka itu, maka harimau itupun menjadi bagaikan gila. Perasaan sakit yang tiada taranya telah mencengkamnya. Namun agaknya ia tidak mau menyerah. Dengan garang ia menggeram, dan sekali lagi menyerang Swandaru dengan kedua kakinya yang terjulur kedepan, dengan kuku-kuku yang tajam runcing.
Tetapi sekali lagi harimau itu terdorong surut. Sekali lagi cambuk Swandaru meledak, langsung mengenai kepala harimau itu.
Harimau itu terjatuh dan berguling beberapa kali. Aumnya menghentak penuh kemarahan. Namun ledakan cambuk Swandaru bergema lebih keras. Dan harimau iru-pun menggeliat kesakitan. Disusul oleh ledakan sekali lagi, sekali lagi.
Orang-orang Sangkal Putung berdiri mematung diseputar arena itu seperti orang yang sedang bermimpi. Mereka melihat luka yang silang melintang menyobek kulit harimau itu. Jalur-jalur yang panjang menganga sampai panjang.
Mengerikan sekali desis Pandan Wangi memalingkan wajahnya ketika beberapa kali lagi Swandaru masih ingin meyakinkan kedahsyatan cambuknya.
Ketika harimau itu menggeliat sekali lagi, maka Swandaru pun maju selangkah mendekatinya. Perlahan-lahan ia mengangkat cambuknya. Ia ingin meledakkan cambuknya untuk yang terakhir kali dan membunuh harimau itu sekaligus.
Terdengarlah ledakan yang sangat keras bagaikan ledakan petir di langit. Dengan sepenuh tenaga cambuk Swandaru terayun dan mengakhiri perjuangannya melawan harimau itu dalam rangka menguji kemampuan tenaganya.
Pada saat yang hampir bersamaan, didalam sebuah goa yarg sepi dan terpencil, telah terdengar pula ledakan yang sangat dahsyat mengguncang bagaikan gempa yang keras. Seonggok batu karang telah hancur pecah menjadi debu.
Sesaat ruang didalam goa itu menjadi gelap, sehingga Agung Sedayu sendiri justru harus menutup hidungnya dengan telapak tangannya. Napasnya rasa-rasanya menjadi sesak oleh debu yang menghambur memenuhi ruangan yang diguncang oleh kedahsyatan kekuatan cambuk Agung Sedayu.
Ketika ruangan itu kemudian menjadi terang kembali, maka Agung Sedayu melihat kepingan-kepingan batu-batu padas yang berserakan berhamburan diseluruh ruangan.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam ia telah berhasil menyalurkan tenaga cadangannya sepenuhnya pada ujung senjatanya, sehingga ujung cambuknya yang lemas itu, telah mampu meremukkan seonggok batu karang yang keras.
Sejenak Agung Sedayu berdiri termangu mangu kemudian satu-satu ia melangkah dan duduk diatas sebuah batu yang lain merenungi kepingan batu karang yang telah dipecahkannya.
Ketika Swandaru dan pengiringnya berpacu kembali ke Sangkal Putung sambil membawa tubuh harimau yang terluka parah silang melintang itu. Agung Sedayu " " didalam biliknya. Sejenak ia masih duduk termangu-mangu. Tetapi ia sadar ... ... sudah sampai pada batas yang diberikannya " ... sebulan.
Aku tinggal mempunyai waktu ... " , berkata Agung Sedayu kepada " tetapi aku kira semua yang penting sudah aku lakukan dan masih berharap bahwa aku akan mendapatkan kesempatan mematangkannya lain kali. Tetapi sekarang aku sudah berhasil membuka pintu dan memasukinya setiap saat yang aku kehendaki.
Agung Sedayu mengusap keringat yang membasahi keningnya. Sejenak ia masih duduk " " sejenak kemudian iapun teringat bahwa sudah " " tidak turun dan menanak nasi.
Karena itu, maka iapun perlahan-lahan " menuruni lubang sempit yang berbelok belok " " merangkak turun, ia selalu merasa seolah-olah ia sedang beristirahat barang beberapa saat dan melihat-lihat dam diU'a: lingkungan dinding goa.
Ketika kemudian Agung Sedayu berada dimulut goa untuk mencari air, maka hampir diluar sadarnya ia memperhatikan cahaya matahari yang jatuh diatas dedaunan yang hijau rimbun ditebing sungai yang curam itu. Selembut angin yang berhembus menyusuri tebing sungai itu telah mengguncang dedaunan yang bergeser satu-satu diperapian cahaya matahari.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam ia sendiri kurang mengerti, kenapa ia senang sekali, memandang cahaya matahari yang jatuh didedaunan yang hijau segar.
Sejenak Agung Sedayu mengambil nafas panjang sekali. Lalu melangkah kesungai membawa mangkuk yang dibuatnya dari pelepah upih.
Seperti yang selalu dilakukannya, maka Agung Sedayupun kemudian menanak nasi dan menjerang air utuk minum. Agaknya kali yang terakhir karena dihari berikutnya ia harus kembali kepada gurunya di padepokan kecil yang telah dibangunnya.
Agung Sedayu tiba-tiba telah dicengkam kerinduan kepada kemenakannya, Glagah Putih.
Ketika Agung Sedayu kembali kedaiam biliknya, ia masih ingin mempergunakan sisa waktu sebaik-baiknya. Setelah duduk merenung sejenak, maka mulailah ia dengan latihan-latihan terakhirnya bagi kekuatan-kekuatan yang diketemukannya didalam goa itu.
Sejenak kemudian iapun telah duduk bersila diatas sebuah batu padas didalam ruangan. Kedua tangannyapun telah bersilang didadanya. Setelah mapan, maka mulailah ia memusatkan segenap pikiran, perasaan dan inderanya dalam pemusatan kekuatannya pada sorot matanya yang memiliki kemampuan sentuhan yang bersifat wadag.
Beberapa saat kemudian Agung Sedayu teluh mulai dengan sentuhan-sentuhan sorot matanya meraba dinding ruangan itu. Ia sengaja tidak mempergunakan benda-benda lain, tetapi ia ingin mengetahui kekuatan rabaan sorot matanya pada dinding ruangan didalam goa itu.
Sesaat kemudian nampak ketegangan telah mencengkam Agung Sedayu. Keringatnya mulai mengalir dikulitnya. Semakin lama nampak betapa ia telah tenggelam dalam pengerahan tenaga pada sorot matanya yang mempunyai sifat wadag itu.
Dalam puncak kekuatannya, perlahan-lahan nampak goresan-goresan kecil pada dinding ruangan itu. Semakin lama menjadi semakin jelas. Sehingga akhirnya, goresan-goresan itu nampak sebagai retak-retak yang menjalar pada dinding goa itu.
Sesaat kemudian, dalam hentakkan kekuatannya. Agung Sedayu sadar, bahwa dinding goa itupun pula pecah dan sedikit demi sedikit batu-batu padas mulai berguguran.
Kesadaran itulah, yang kemudian mulai menahan arus kekuatannya yang lebih dahsyat lagi. Itulah yang sebenarnya ingin diketahuinya, betapa jauhnya kekuatan matanya yang tidak bersifat wadag, tetapi mempunyai kekuatan yang bersifat wadag itu.
Agung Sedayu menghentikan rabaan dan sentuhan kekuatan matanya dahsyat itu. Ia sengaja tidak menggunakan segenap kekuatannya, agar dinding, goa itu tidak menjadi rusak karenanya.
Ketika ia sudah selesai dengan pemusatan kekuatannya, dan kemudian melapaskannya, terasa betapa kelelahan telah mencengkamnya. Namun perlahan-lahan ia bangkit dan berjalan mendekati guguran padas yang runtuh dari dinding goa itu. Retak-retak yang masih melekat pada dinding nampak tusukan-tusukan yang seolah-olah telah menghentak pada batu-batu padas itu.
Perlahan-lahan Agung Sedayu pun meraba dengan tangannya. Debu yang tebalpun kemundian runtuh pula. Debu yang melekat pada dinding yang setiap saat bertambah-tambah tebal beberapa lapis.
Namun, ketika tangannya meraba ditempat yang agak tinggi, pada bagian-bagian yang runtuh oleh sentuhan matanya, ketajaman alat perabanya telah menyentuh sesuatu. Itulah sebabnya, maka dengan berdebar-debar iapun mulai menghapus debu yang tebal pada dinding goa itu.
Agung Sedayu terkejut. Ia melihat beberapa buah lukisan yang lamat-lamat pada dinding goa itu, yang seakan-akan telah hilang tertutup oleh debu yang tebal.
"Ilmu kanuragan," ia bergumam dengan wajah yang tegang.
Agung Sedayu tidak sabar lagi. Ia melepas kain panjangnya yang dengan serta merta dikibas-kibaskan pada dinding goa itu untuk menghapus debu permukaan dinding goa yang luas.
Dengan berdebar-debar Agung Sedayu kemudian mulai memperhatikan lukisan-lukisan itu. Dengan segera ia mengenal, ilmu itu adalah ilmu yang sedang ditekuninya di padepokannya bersama gurunya, Ki Waskita dan pamannya Widura.
"Ilmu yang pernah diturunkan oleh ayah kepada kakang Untara dan yang pernah diterima oleh paman Widura," desisnya dengan hati yang berdebar-debar.
Dengan tergesa-gesa, seolah-olah sedang dikejar oleh waktu yang semakin sempit, ia mulai menelusur ilmu itu dari permulaan. Sebagai seorang yang memiliki ilmu yang tinggi dalam tatarannya, serta orang yang serba sedikit telah pernah mengenal ilmu itu pula, maka Agung Sedayupun segera mengetahui pangkal dari pada ilmu itu.
Dengan penuh gairah ia memperhatikan setiap tingkatan ilmu yang semakin lama menjadi semakin sempurna itu.
"O, betapa dahsyatnya. Ilmu itu akan sampai pada unsur gerak yang paling tinggi. Dengan mengenal lukisan-lukisan ini, maka seseorang akan mendapat tuntunan unsur-unsur gerak dari ilmu itu sampai ketingkat terakhir." berkata Agung Sedaya didalam hatinya, sementara ia melangkah terus mengelilingi dinding gua yang penuh dengan lukisan itu. Tingkat demi tingkat, dan semakin tinggi letak lukisan itu, semakin tinggi pula tingkat ilmu yang terlukis didinding goa itu. Beberapa tulisan yang terselip diantara lukisan-lukisan itu memberikan beberapa petunjuk yang semakin jelas, bahwa orang yang melukis itu dengan sengaja telah memberikan dasar-dasar ilmunya yang semakin meningkat dalam urutan yang paling wajar, sampai akhirnya tentu akan mencapai puncaknya.
Akhirnya Agung Sedayu yang sudah memiliki ilmu puncak itu tidak sabar lagi. Iapun mempercepat langkahnya. Dengan bekal yang ada padanya, ia langsung dapat mengenali tingkatan ilmu yang terlukis pada dinding goa itu.
Namun tiba-tiba langkahnya tertegun. Ia sudah sampai pada lukisan-lukisan yang semakin rumit. Untunglah bahwa ia pernah berusaha untuk mengenali dirinya sendiri lewat lukisan-lukisan yang pernah dibuatnya di Sangkal Putung. Dengan heran ia melihat, seolah-olah lukisan-lukisan itu telah terpancang pada dinding goa itu pula.
"Secara naluriah aku mengikuti perkembangan ilmuku waktu itu dengan benar," gumam Agung Sedayu.
Dibantu dengan tangannya, ia mulai menelusur lukisan tata gerak dan sikap pemusatan tenaga dan tenaga cadangan yang ada pada diri seseorang. Sikap puncak seperti yang baru saja dicapainya didalam goa itu. Bahkan ada satu lukisan itu menuntun seseorang kepada tingkatan yang lebih tinggi, yang seolah-olah tidak lagi dapat dicapai dengan tanpa melepaskan diri dari kewadagan.
Agung Sedayu benar-benar menjadi tegang. Ia melihat arah ilmu itu pada suatu tingkatan yang paling " dan penuh rahasia. Ia melihat seseorang mulai dengan tata gerak halusnya tanpa menyertakan ujud wadagnya -i;k melakukan sesuatu yang bersifat wadag. Seperti rabaan sorot matanya. Namun lebih luas dan tinggi. Bukan saja sorot matanya, tetapi seluruh dirinya yang harus melepaskan diri dari dirinya yang bersifat wadag, meskipun untuk tujuan yang bersifat wadag pula.
Agung Sedayu benar benar menjadi berdebar-debar, ia memperhatikan lukisan itu satu-satu. Namun semakin lama menjadi semakin berdebar-debar. Diujung lukisan itu, ia melihat retak-retak dinding goa yang bahkan sebagian permukaan telah dirontokkan dengan tatapan matanya.
"Puncak ilmu ini ada diujung itu," desis Agung Sedayu yang menjadi ragu ragu. Bahkan kemudian kakinya bagaikan tidak mau melangkah lagi oleh kecemasannya sendiri. Dinding itu telah runtuh disebagian kecil oleh kekuatan sorot matanya, justru pada bagian-bagian yang terpenting dari lukisan itu.
Agung Sedayu belum sempat mempelajari dengan teliti lukisan-lukisan yang ada didinding itu. Tetapi pengamatannya yang tajam telah dapat manangkap, bahwa sikap yang nampak pada lukisan didinding akan sampai pada suatu puncak ilmu yang sulit untuk dicapai, meskipun dengan dasar yang ada padanya, akan dapat dipelajarinya.
Selangkah Agung Sedayu maju. Tangannya masih meraba lukisan-lukisan pada dinding goa itu. Ia mulai melihat sikap yang mapan untuk sampai pada tingkat ilmu tertinggi dari cabang perguruan ayahnya sendiri.
Tetapi ketika ia maju selangkah lagi, hatinya bagaikan rontok oleh kekecewaan yang memuncak. Dinding goa itu sudah retak, dan lukisan-lukisan yang terpahat pada dinding itu telah ikut rontok pula. Justru tepat pada sikap puncak dari ilmu cabang perguruan yang sedang diamatinya, cabang perguruan ayahnya sendiri.
Kekecewaan yang tajam telah menusuk jantungnya, jika saja lukisan itu masih ada, ia akan mendapat tuntunan untuk mempelajarinya lebih jauh. Meskipun ia telah sampai pada puncak ilmunya sendiri, tetapi agaknya masih ada selapis yang lebih tinggi yang dapat dipelajarinya dari lukisan-lukisan yang terdapat didinding gua itu.
Tetapi kaki Agung Sedayu bagaikan menjadi tidak berdaya sama sekali. Ketika terpandang olehnya bagian-bagian dari lukisan itu yang patah dan pecah karena reruntuhan dinding goa itu.
"O," Agung Sedayu tiba-tiba saja telah terduduk dengan lemahnya, "aku telah merusak peninggalan yang tidak ternilai harganya ini."
Kekecewaan penyesalan dan berbagai macam perasaan telah bercampur-baur didalam dirinya. Ia merasa telah kehilangan barang yang paling berharga. Yang dicarinya dan belum pernah diketemukaanya. Tetapi kemudian dengan penuh kesadaran ia melihat yang belum diketemukan itu telah hilang.
Penyesalan yang menghentak dadanya itu bagaikan telah menghisap semua kekuatan tubuhnya. Ilmunya yang dahsat tidak berarti sama sekali untuk melawan kekecewaan didalam diri. Bahkan dengan geram ia menyesali diri. Betapa sombongnya aku. Kenapa aku telah mencoba memecahkan dinding padas itu" Kenapa aku tidak mempergunakan batu-batu atau sasaran lain, selain dinding goa" Kini aku telah membuat kesalahan yang tidak bisa terampuni.
Agung Sedayu menutup kedua belah matanya. Yang hilang itu tidak akan dapat diketemukannya lagi.
Untuk beberapa saat Agung Sedayu terduduk dengan lemahnya menyesali dirinya. Terasa matanya menjadi panas, dan seakan-akan ia telah menutup pintunya sendiri bagi ilmu yang lebih sempurna.
Sekilas ia memandang dinding goa itu sekali lagi. Matanya yang tajam dapat melihat goresan-goresan halus yang tidak begitu dalam pada dinding gua itu. Memang tidak begitu jelas. Apalagi setelah tertutup debu bertahun-tahun lamanya. Lukisan itu benar-benar telah ".
Agung Sedayu menemukan kembali lukisan " tertutup debu itu " setelah ia menemukan pula harapan terakhir. Bagian yang terpenting.
Yang ada itu tidak berarti apa-apa lagi b il n tiba-tiba Agung Sedayu menggeram, "Aku sudah mencapai tingkat ilmu sejajar dengan ilmu tertinggi ilmu yang masih tersisa pada dinding goa itu. Meskipun dari cabang perguruan yang lain, namun aku yakin bahwa tingkat itu sudah aku capai. Tanpa peningkatan lagi, maka lukisan-lukisan itu sudah tidak akan ada artinya apa-apa lagi. Daripada ilmu itu diketemukan oleh orang lain, yang mungkin akan dapat disalah gunakan, maka sebaiknya, lukisan itu aku hancurkan saja sama sekali."
Agung Sedayu tiba-tiba saja bagaikan menemukan kembali kekuatannya. Dengan hati yang geram ia meloncat berdiri. Dengan kaki renggang dan tangan bersilang didada, ia mulai mempersiapkan diri. Ia ingin menghapus semua lukisan yang ada dengan tatapan matanya.
Namun tiba-tiba saja seolah-olah ia melihat Glagah Putih melintas dihadapan matanya. Seolah-olah ia melihat anak muda itu mencoba mencegahnya dan bertanya, "Apakah aku tidak berhak ikut mewarisinya ?"
Sejenak Agung Sedayu termangu-mangu. Namun kemudian ia menarik nafas dalam-dalam. Bayangan Glagah Putih mulai bermain diangan-angannya.
"Kasihan anak itu," desis Agung Sedayu, "iapun berhak mewarisi ilmu itu seperti aku dan kakang Untara. Adalah tidak adil jika aku merusak seluruhnya. Bahwa aku telah mematahkan puncak ilmu itu, adalah benar-benar suatu kecelakaan."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sekali lagi dipandanginya dinding goa yang runtuh itu. Justru pada tingkat ilmu yang tertinggi.
Namun tiba-tiba sorot matahari yang tersisa menerobos masuk pada lubang dilangit-langit goa itu, seolah-olah ia melihat sorot yang ajaib bagi dirinya. Ia sadar, bahwa sorot itu adalah sorot matahari. Sorot yang memancar dari benda langit yang masih tetap menjadi rahasia. Mungkin seseorang masih akan dapat mencari beberapa unsur kejelasan mengenai matahari itu sendiri. Tetapi dalam hubungan yang utuh dari seluruh isi langit, maka manusia bagaikan berhadapan dengan rahasia yang maha besar dan tidak terungkapkan.
Dan kini, kesadaran itulah yang telah menikam jantung Agung Sedayu. Dalam alam yang kecil inipun ia masih harus menjumpai rahasia yang tidak terungkapkan. Batas yang diperkenankan dicapainya adalah batas yang masih ada. Seolah olah sorot matahari itu sudah memperingatkannya. bahwa memang belum waktunya baginya untuk mengetahui rahasia tertinggi dari ilmu itu Rahasia yang untuk sementara masih diselubungi oleh batasan dari Sumber segala yang ada.
"Ternyata bahwa kesempatan bagiku masih selalu dibatasi oleh kekuasaanNya," berkata Agung Sedayu.
Dengan demikian ia justru merasa telah bersalah bahwa ia hampir saja kehilangan akal karena puncak ilmu yang tidak dapat dicapainya itu. Hampir saja ia melupakan keterbatasannya sebagai manusia yang tidak lebih dari debu dalam imbangan seluruh alam.
"Betapa sombongnya aku," desisnya, "yang sudah aku capai rasa-rasanya masih selalu kurang tanpa pernyataan terima kasih sama sekali dari Sumber Kurnia ini. Seharusnya aku berlutut dan mengucapkan terima kasih bahwa aku telah mencapai sesuatu yang sangat berharga. Bukan sebaliknya mengumpati diri sendiri dengan tamaknya."
Agung Sedayupun kemudian mencoba mengendapkan hatinya, betapapun kekecewaannya kadang-kadang masih terasa menyentuh perasaannya. Namun kemudian ia justru duduk sambil menyilangkan tangannya. Ia merasa wajib untuk mengucapkan sukur kepada Yang Maha Kasih, yang lelah memperkenankannya membuka pintu bagi pencapaian ilmunya yang semakin meningkat.
"Bahwa aku masih belum diperkenankan mencapai tingkatan ilmu yang tertinggi, itu memang masih belum waktunya," berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri.
Dengan demikian, Agung Sedayu dapat sekedar mengobati kekecewaannya dengan pengakuannya atas kekecilan dirinya sendiri dalam hubungannya dengan alam yang besar dan apalagi dengan penciptanya.
Dengan pengakuannya itu, maka Agung Sedayu merasa bahwa yang perlu dilakukannya didalam goa itu memang sudah cukup. Tepat dalam jarak waktu yang diberikan oleh gurunya, ia dapat menyelesaikan pencapaian yang panjang dari bagian terakhir yang paling sulit. Bahkan ia telah sampai pada pencapaian yang penting, dengan kemampuannya mempergunakan tenaga yang tidak bersifat wadag dalam sentuhan yang bersifat wadag.
Dalam pada itu, Swandaru Geni yang berlatih dengan gigihnya, telah mencapai tingkatan yang lebih tinggi pula dalam oleh kanuragan meskipun dalam segi yang berbeda dengan Agung Sedayu sesuai dengan perhatiannya terhadap keadaan disekitarnya. Ia menjadi seorang yang tangkas seperti kijang, tetapi kuat seperti seekor gajah. Senjatanya yang mendapat sedikit tambahan pada juntainya, merupakan senjata yang sangat berbahaya, karena setiap sentuhan akan dapat merobek kulit daging. Jangankan kulit daging seseorang, bahkan seekor harimaupun tidak dapat menahan goresan juntai cambuk yang menyobek kulitnya.
Menjelang malam purnama naik, Kiai Gringsing duduk dipendapa padepokan kecilnya bersama Ki Waskita. Glagah Putih masih sibuk dibelakang menyalakan lampu yang akan dipasang diregol dan pendapa padepokan itu.
"Hari ini adalah hari terakhir yang aku berikan kepada Agung Sedayu," berkata Kiai Gringsing.
Ki Waskita mengangguk-angguk. Katanya, "Mudah-mudahan Agung Sedayu tidak salah hitung atau tenggelam dalam kesibukan sehingga ia tidak ingat lagi akan waktu. Jika ia menyadari saat ini, maka ia tentu akan datang tepat pada waktunya."
Kiai Gringsing mengangguk angguk. Katanya, "Agung Sedayu adalah anak yang patuh. Aku percaya, jika tidak ada halangan apapun juga, ia akan datang hari ini, selambat-lambatnya akhir malam nanti."
Ki Waskitapun mengangguk-angguk. Agung Sedayu bukannya orang yang biasa mengabaikan perintah.
Dalam pada itu, Agung Sedayu memang sudah berkemas meninggalkan bilik didalam goanya. Ketika ia menengadahkan wajahnya, maka lubang dilangit-langit bilik itu sudah menjadi buram.
Perlahan-lahan Agung Sedayupun kemudian meninggalkan bilik itu dengan hati yang berat. Seolah-olah ia masih ingin tinggal lebih lama lagi. Tetapi tidak dapat mengabaikan perintah gurunya, bahwa waktu yang sebulan itu sudah lalu.
Sekali lagi ia merangkak keluar dari lubang yang panjang dan berkelok-kelok turun kejalur goa. Kemudian membenahi barang barang yang masih akan dibawanya kembali. Beberapa lembar pakaian.
Ketika Agung Sedayu melangkah keluar dari mulut goa, terasa kakinya bagaikan menjadi lemah, seperti juga otot-ototnya yang terasa letih sekali.
Ternyata selama didalam goa, Agung Sedayu telah memeras semua tenaga yang ada, sedangkan ia hampir tidak menghiraukan makan dan minumnya. Bekal yang dibawanya, yang memang kurang mencukupi itu, ternyata justru masih tersisa.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa ketekunannya berlatih telah membuatnya kadang-kadang lupa kepada wadagnya, kepada tubuhnya, sehingga baru disaat terakhir terasa betapa sebenarnya lemahnya badannya.
Tetapi ternyata bahwa kekurangan bagi tubuhnya itu tidak mempengaruhi latihan-latihan yang dilakukannya. Seolah-olah ia mendapatkan kekuatan yang lain kecuali kekuatan tubuhnya semata-mata. Dan ternyata bahwa ia telah dapat mempergunakan sebaik-baiknya.
Setelah semuanya selesai, maka Agung Sedayupun kemudian bersiap-siap untuk meninggalkan goa itu. Dengan ragu-ragu ia melangkah. Namun rasa-rasanya langkahnya menjadi semakin berat. Ketika sekali lagi ia berhenti dan berpaling, maka dilihatnya wajah goa itu telah disaput oleh gelapnya malam.
Namun dalam pada itu cahaya yang kekuning-kuningan mulai me " " ; Bulan yang bulat telah timbul dari balik cakrawala.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dengan taadpinyn yang lemah ia berjalan membawa sebungkus kecil pakaiannya menyusur tebing sungai yang curam.
Dalam perjalanan kembali kepadepokan, mulailah Agung Sedayu membayangkan masa lampaunya. Ia memang heran bahwa dimasa kanak-kanak ia sudah pernah datang ketempat itu bersama kakaknya, Untara. Itu adalah sesuatu yang menimbulkan berbagai pertanyaan.
"Agaknya dengan sengaja ayah menunjukkan tempat ini. Ayah dengan sengaja mendorong kakang Untara dan yang kebetulan aku waktu itu mengikutinya, pergi kemulut goa ini, karena didalamnya justru terdapat tuntunan ilmu yang mencapai tingkat tertinggi itu," berkata Agng Sedayu kepada diri sendiri, "tetapi kenapa ayah tidak berterus terang, sehingga sampai pada akhir hayatnya, ayah tidak sempat memberitahukan sesuatu mengenai isi goa itu?"
Tetapi pertanyaan itu akan tetap menjadi pertanyaan. Bahkan Agung Sedayupun menjadi ragu-ragu, apakah ayahnya juga mengetahui bahwa didalam goa itu ada lukisan-lukisan pokok-pokok tata gerak dan sikap dari ilmu yang dimiliki oleh ayahnya itu.
Agung Sedayu termangu-mangu. Rasa-rasanya lukisan-lukisan itu memang belum pernah disentuh oleh seseorang untuk waktu yang lama sekali. Menilik tataran ilmu kakaknya, maka tentu Untarapun belum pernah melihat lukisan-lukisan ilmu didalam goa itu.
"Rahasia yang sulit untuk dipecahkan," gumam Agung Sedayu kepada diri sendiri.
Karena itulah, maka untuk sementara Agung Sedayu ingin menyimpan rahasia itu di dalam hatinya, "Mungkin pada suatu saat ia dapat menemukan jalan pemecahan yang dapat mengungkap ruang didalam goa itu."
Dalam pada itu, ketika ia mulai mendaki tebing, terasa tubuhnya manjadi letih sekali. Dengan demikian ia semakin menyadari, betapa keterbatasannya sebagai makhluk yang sangat kecil itu. Betapapun tingginya pencapaian ilmu seseorang, namun ia tetap merupakan mahkluk yang dibatasi oleh kodratnya.
"Agaknya aku terlalu tekun berlatih, sehingga aku melupakan wadagku," desis Agung Sedayu.
Demikianlah, maka iapun mulai berangkak-rangkak naik keatas tebing yang curam. Keletihannya terasa sangat mengganggunya. Meskipun karena tekadnya dan latihan-latihan yang pernah dilakukan, maka akhirnya ia dapat mengatasi kesulitan itu. Dengan bantuan cahaya bulan bulat dilangit ia melihat dengan jelas, tebing yang curam dengan batu-batu padas yang menjorok. Di bawah kakinya, nampak mengalir air yang bening memantulkan cahaya bulan yang jauh pada aliran riak yang keputih-putihan disela-sela batu-batu yang besar.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dengan tatapan mata yang redup, seakan-akan ia mengucapkan selamat tinggal kepada sungai, tepian dan tebing yang curam itu.
Perlahan-lahan Agung Sedayupun kemudian melanjutkan perjalanannya kesebuah padepokan kecil diluar Kademangan Jati Anom. Padepokan yang belum lama dibangunnya bersama Kiai Gringsing, Glagah Putih dan dibantu oleh Ki Waskita, dengan tenaga dan bahan-bahan yang dikirim oleh kakaknya, Ki Untara dan pamannya Ki Widura.
Tetapi Agung Sedayu masih harus melintasi hutan yang meskipun tidak begitu lebat, tetapi cukup memperlambat langkahnya yang kelelahan dan lemah. Untunglah bahwa didalam hutan itu ia tidak menemukan gangguan apapun juga. Seandainya ia bertemu dengan binatang buas diperjalanannya, maka ia harus mengerahkan tenaga dan kemampuannya pada saat wadagnya tidak memungkinkan.
"Mungkin aku dapat melawannya," berkata Agung Sedayu didalam hati, "tetapi aku tentu akan kehabisan tenaga sama sekali, sehingga perjalananku menjadi semakin lambat."
Namun Agung Sedayu ternyata dapat meninggalkan hutan itu tanpa rintangan apapun juga. Ia mendengar juga aum harimau dikejauhan. Tetapi agaknya harimau itu tidak mencium baunya dan tidak mengganggu perjalanannya.
Agung Sedayu masih mempunyai waktu semalam untuk mencapai padepokannya, meskipun dengan demikian ia sudah melampui batas waktu meskipun hanya sedikit. Tetapi agaknya gurunyapun membatasi waktunya sampai menjelang pagi.
Perjalanan Agung Sedayu bukannya perjalanan yang terlalu panjang. Karena itu, betapa letih dan lemahnya, ia masih mampu untuk menempuh perjalanan kembali kepadepokan meskipun memerlukan waktu yang cukup lama.
Semakin dekat Agung Sedayu dengan padepokannya, ia menjadi semakin berdebar-debar. Banyak yang akan dapat disampaikan, kepada gurunya, hasil dari saat-saat ia mengasingkan diri. Pencapaian tingkat ilmu yang lebih tinggi akan menggembirakan hati gurunya. Juga bentuk-bentuk yang lain dari berbagai macam sikap dan tata gerak akan menumbuhkan kemungkinan-kemungkinan yang lebih luas padanya dimasa depan.
Namun hatinya masih juga berdebar-debar jika ia mengenang lukisan-lukisan pada dinding ruang didalam goa itu, yang justru telah hilang bagian yang terpenting dan tertinggi.
Demikianlah, akhirnya Agung Sedayupun telah menelusuri jalan yang langsung menuju kepadepokannya. Jalan yang tidak begitu lebar dan masih terlalu sepi. Apalagi dimalam hari.
"Tetapi aku tidak kembali dengan tangan hampa," berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri.
Langkahnya terhenti sejenak, ketika dari kejauhan ia melihat lampu obor diregol padepokannya yang kecil. Padepokannya yang baru ditinggalkan tidak lebih dari satu bulan, tetapi rasa-rasanya sudah terlalu lama. Apalagi padepokan itu memang padepokan yang masih baru baginya.
Langkahnya jadi semakin berat, semakin ia mendekati pintu regol. Karena itu, ketika ia telah berdiri diluar pintu, maka sekali lagi ia terhenti sejenak mengatur pernafasannya. Badannya memang terasa sangat letih dan lemah.
Dengan ragu-ragu iapun kemudian mendorong pintu regol padepokannya. Ternyata pintu itu tidak diselarak, hingga iapun dengan mudah dapat membukanya.
Namun ketika ia melangkah masuk, terasa dadanya menjadi berdebar-debar. Ternyata ia masih melihat dua orang duduk dipendapa, menghadapi lampu minyak yang masih menyala, mangkuk minuman dan beberapa potong makanan.
"Guru masih bangun. Agaknya dengan sengaja ia menunggu kedatanganku bersama Ki Waskita, ternyata dari persediaan yang ada." katanya didalam hati.
Dalam pada itu, Kiai Gringsing yang sengaja menunggu kedatangannya bersama Ki Waskita, seperti yang diduganya, sengaja duduk dipendapa berdua sambil berbincang-bincang panjang lebar. Mula-mula Glagah Putih ikut bersama mereka. Ialah yang menyediakan minuman dan makanan, karena ia sendiri ingin ikut serta. Tetapi iapun ternyata letih dan kantuk, sehingga iapun telah tertidur disudut pendapa itu juga.
Ternyata gerit pintu regol itu telah didengar oleh kedua orang tua yang ada dipendapa. Ketika mereka memperhatikan keremangan bayangan regol halaman, maka mereka sudah melihat sesosok tubuh yang perlahan-lahan memasuki halaman.
Kiai Gringsing bergeser setapak, sementara Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Kedua orang tua itu memperhatikan sesosok yang berjalan tertatih-tatih melintasi cahaya bulan yang jatuh dihalaman.
"Ki Waskita," desis Kiai Gringsing. "Aku melihat kekurangan pada anak itu."
"Nampaknya ia lemah sekali," sahut Ki Waskita.
Keduanya yang semula ingin menunggu saja dipendapa, kemudian merubah niatnya. Dengan tergesa-gesa keduanyapun kemudian bangkit berdiri dan menyongsong turun kehalaman.
"Agung Sedayu," desis Kiai Gringsing.
Agung Sedayu mencoba tersenyum. Tetapi rasa-rasanya kepalanya menjadi pening, sehingga langkahnyapun menjadi semakin lamban.


05 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintarja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kenapa kau" " bertanya Kiai Gringsing sambil menangkap lengannya, sementara Ki Waskita memegang lengannya yang lain.
Agung Sedayu tidak segera menjawab. Ia mencoba menenangkan hatinya dan mengatur perasaannya.
Tetapi Kiai Gringsing adalah orang yang cukup berpengalaman. Rabaan tangannya segera memberikan kesan kepadanya, kekurangan yang ada pada muridnya. Dan agaknya demikian juga pada Ki Waskita. Tangannya yang memegang lengan Agung Sedayu segera memberi tahukan kepadanya, bahwa tubuh Agung Sedayu menjadi sangat kurus dan lemah.
Keduanyapun kemudian memapah Agung Sedayu naik kependapa dan didudukkannya diatas tikar yang putih. Kiai Gringsingpun kemudian menuangkan minuman yang sudah agak dingin pada mangkuk Glagah Putih dan kemudian memberikan kepada Agung Sedayu, "Minumlah. Kau letih sekali."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Iapun kemudian menerima mangkuk itu. Namun rasa-rasanya tangannya menjadi gemetar.
Dengan dibantu oleh Kiai Gringsing, maka Agung Sedayupun kemudian minum beberapa teguk. Meskipun minuman itu sudah tidak lagi cukup panas, tetapi masih memberikan kesegaran pada tubuhnya.
"Makanlah," desis Ki Waskita sambil memberikan beberapa potong makanan kepada Agung Sedayu yang letih.
Hampir diluar sadarnya, Agung Sedayupun kemudian mengambil sepotong makanan dan dengan tangan yang gemetar, iapun segera menyuapi mulutnya yang terasa menjadi tegang.
Kiai Gringsing dan Ki Waskita masih belum bertanya sesuatu. Tetapi seolah-olah mereka sudah dihadapkan pada peristiwa yang dapat diketahuinya dari ujung dan pangkalnya. Agung Sedayu tentu terlalu tekun melatih diri, sehingga ia melupakan kebutuhan jasmaniahnya. Kekurangan makan dan minum akan membuat tubuhnya menjadi lemah dan letih betapapun tinggi ilmu seseorang. Yang dapat dilakukan adalah membiasakan diri mengurangi makan dan minum. Tetapi pada batas-batas tertentu bagi kemampuan daya tahan wadagnya, karena makan dan minum adalah kebutuhan mutlak menurut kodratnya.
Setelah minum beberapa teguk dan makan sepotong makanan, maka Kiai Gringsing mulai bertanya kepada muridnya tentang keselamatannya selama dalam perjalanan yang dilakukannya tepat sampai batas terakhir yang diberikan kepadanya.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Minum yang seteguk dan makanan yang sepotong, rasa-rasanya telah memberikan pengaruh kepada tubuhnya.
Perlahan-lahan Agung Sedayu bergeser sambil mencoba menjawab pertanyaan gurunya tentang keselamatannya.
"Kau kurus sekali," berkata Kiai Gringsing, "waktu yang sebulan telah melarutkan kulit dagingmu."
Agung Sedayu menundukkan kepalanya.
"Aku dapat menebak apa yang kau lakukan. Kau tidak sempat, atau kurang memperhatikan wadagmu. Sebelum aku bertanya tentang peningkatan ilmumu selama kau dalam perjalanan, maka kesan yang aku lihat pertama-tama adalah ketidak seimbangan antara kemauanmu untuk mencapai sesuatu dengan pemeliharaan jasmanimu yang merupakan ujud dari dirimu, karena kau bukanlah Agung Sedayu tanpa wadagmu."
Agung Sedayu hanya menundukkan wajahnya saja. Ia menyadari bahwa keseimbangan itu memang kurangi dipeliharanya.
"Itu bukan berarti bahwa kau harus memanjakan wadagmu semata mata. Tetapi wadagmu terdiri dari tulang dan daging yang memerlukan pemeliharaan yang cukup. Kau memang dapat menguranginya dengan latihan-latihan tersendiri, tetapi dalam lintas-lintas yang tidak akun dapat kau lampaui."
"Ya guru," jawab Agung Sedayu, "kemudian aku menyadari. Dan aku telah mengalami akibatnya. Selanjutnya aku akan dapat selalu mengingatnya."
"Baiklah," berkata Kiai Gringsing, "tentu banyak yang dapat kau ceriterakan selama perjalananmu yang pendek itu. Mungkin kau hanya sekedar berjalan saja sebulan penuh. Mungkin kau berhenti ditempat-tempat tertentu. Atau mungkin kau mengalami benturan kekerasan dengan binatang buas atau menolong orang-orang yang mengalami kesusahan. Tetapi nampaknya kau masih terlampau lemah sekarang ini. Aku tahu, bahwa kelemahanmu itu justru menunjukkan kesungguhanmu. Tetapi ketidak seimbangan itu tidak menguntungkanmu," Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu. "sekarang, beristirahatlah. Minumlah beberapa teguk lagi, dan makanlah satu atau dua potong makanan. Kemudian kau mencuci kaki dipakiwan dan beristirahatlah. Aku tidak tergesa-gesa untuk mendengarkan ceriteramu yang panjang."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Iapun kemudian minum lagi beberapa teguk dan makan sepotong makanan. Ia sadar, dalam keadaan yang demikian, ia tidak boleh makan terlalu banyak, agar perutnya tidak terganggu karenanya.
Seperti yang dipesankan gurunya, maka ia tidak akan menceriterakan pengalamannya saat itu. Ia memang ingin beristirahat menjelang matahari terbit.
Namun dalam pada itu, Glagah Putih yang tertidur disudut pendapa ternyata telah terbangun oleh pembicaraan mereka. Karena itu, ketika ia melihat Agung Sedayu, iapun segera melompat dan dengan tergesa-gesa mendekatinya.
"Jangan kau ganggu dahulu kakakmu," berkata Ki Waskita, "ia masih terlalu lemah."
Glagah Putih yang mula-mula tidak memperhatikan keadaan Agung Sedayu, mencoba mengamatinya. Dan iapun kemudian dapat melihat dalam cahaya lampu minyak, bahwa Agung Sedayu memang nampak kurus dan pucat.
"Apakah kau sakit kakang" " bertanya Glagah Putih.
Agung Sedayu menggeleng. Katanya dalam nada datar, "Aku sehat-sehat saja."
"Tetapi kau kurus dan pucat."
Agung Sedayu mencoba tersenyum betapapun kecutnya.
"Biarlah kakakmu kepakiwan," potong Kiai Gringsing ketika ia melihat Glagah Putih masih akan bertanya berkepanjangan.
Glagah Putih menarik nafas panjang. Tetapi iapun kemudian membiarkan Agung Sedayu melangkah perlahan-lahan menuju kepakiwan. Minuman yang diteguknya telah memberikan sedikit kesegaran pada tubuhnya, sehingga meskipun kadang-kadang ia masih harus berpegangan batang-batang perdu dikebun belakang, namun iapun sempat membersihkan diri dan kemudian memasuki ruang dalam langsung kebiliknya.
Meskipun bilik itu sudah ditinggalkannya sebulan, agaknya Glagah Putih telah memeliharanya dengan rapi, sehingga ketika ia memasukinya, seolah-olah ia berada pada suasana sebelum ia meninggalkan padepokan kecilnya.
Setelah berganti pakaian, maka Agung Sedayupun mencoba membaringkan dirinya dipembaringan. Terasa alangkah nikmatnya. Punggungnya yang bagaikan retak, rasa-rasanya dapat menjadi lurus dan pulih kembali. Dengan berbaring ia dapat mengatur pernafasannya dan keadaan tubuhnya yang letih sekali.
Setelah beberapa lama ia berada didalam goa, duduk dan bersandar batu-batu padas yang keras, maka pembaringannya segera memberikan suasana yang lain dan nyaman. Itulah sebabnya, maka kesadarannyapun segera menjadi kabur.
Sesaat kemudian Agung Sedayu itupun telah tertidur nyenyak.
"Anak itu agaknya letih sekali," gumam Kiai Gringsing yang ternyata telah duduk dipendapa semalam suntuk bersama Ki Waskita, karena ternyata sejenak kemudian langit diujung Timurpun telah menjadi kemerah-merahan.
"Aku akan mengambil air," desis Glagah Putih.
"Masih terlalu pagi." sahut Kiai Gringsing.
"Tetapi disaat-saat begini aku tidak akan dapat tidur lagi."
Glagah Putih tidak menunggu jawaban Kiai Gringsing. Iapun segera pergi kesumur, mengambil air untuk mengisi jambangan dipakiwan dan didapur.
Sementara itu. Kiai Gringsing dan Ki Waskita justru memasuki biliknya masing-masing. Meskipun mereka tidak akan tidur menjelang fajar, namun merekapun masih sempat membaringkan dirinya dipembaringan.
Ketika derit senggot terdengar semakin keras, maka Kiai Gringsingpun telah bangkit pula dari pembaringannya. Seperti biasa iapun mengambil sapu lidi, dan seperti biasanya pula ia membersihkan halaman depan, sementara Ki Waskita mulai membersihkan longkangan.
Padepokan kecil itu rasa-rasanya telah mulai bangun. Namun diantara penghuninya masih ada yang tidur dengan nyenyaknya, seolah-olah tidak menghiraukan orang-orang lain yang sudah mulai sibuk dengan kerjanya sehari-hari.
Tetapi Kiai Gringsing memang membiarkan Agung Sedayu tidur sepuas-puasnya. Dengan demikian maka keadaan tubuhnya akan menjadi bertambah baik setelah dengan sungguh-sungguh ia melatih diri selama sebulan.
Glagah Putih yang sedang menimba air, tidak henti-hentinya bertanya kepada diri sendiri, apakah Agung Sedayu sedang menderita sakit.
"Tetapi nampaknya ia memang sakit. Pucat, kurus dan lemah sekali." Glagah Putih mencoba menjawabnya.
Demikian nyenyaknya Agung Sedayu tidur, maka ia baru terbangun ketika cahaya matahari yang menyusup dinding jatuh dliwajahnya. Sambil mengedip-ngedipkan matanya, ia mencoba mengetahui waktu dengan bayangan cahaya matahari yang menyusup masuk kedalam biliknya.
"O, sudah terlalu siang," desisnya.
Perlahan lahan ia bangkit. Tubuhnya masih terasa lemah, meskipun sudah agak menjadi segar sedikit setelah beristirahat beberapa lamanya.
Ketika ia keluar dari biliknya, ia mendengar kesibukan dilongkangan. Dengan ragu-ragu ia menengok lewat pintu butulan. Ternyata Ki Waskita sedang membelah kayu dengan sebuah kapak kecil.
Sambil tersenyum Ki Waskita menyapa Agung Sedayu yang menggosok matanya, "Kau sudah bangun Agung Sedayu."
Agung Sedayu menarik nafas. Jawabnya, "Aku tidur terlalu nyenyak. Agaknya aku telah bangun kesiangan."
"Sekali-sekali kau boleh bangun kesiangan."
"Dimanakah Glagah Putih?" ia bertanya.
"Tengoklah didapur. Baru saja ia ribut kehabisan kayu bakar. Dan aku sedang membuat kayu bakar baginya."
Agung Sedayu kemudian pergi kedapur. Dilihatnya Glagah Putih sedang sibuk menghembus api diperapian yang agaknya masih terlalu basah, sehingga nyalanya agak kurang baik.
"Nafasmu akan habis," desis Agung Sedayu.
"O, marilah kakang." Glagah Putih tiba-tiba saja telah bangkit, "semalam Kiai Gringsing mencegah aku mengganggu kakang. Apakah kakang sedang sakit ?"
"Sudah aku katakan, aku tidak apa-apa."
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Tetapi Agung Sedayulah yang kemudian berbicara lagi, "Apimu. Air itu tidak akan mendidih. Dan bahkan akan berbau asap jika apimu tidak kau nyalakan."
"O," Glagah Putihpun berjongkok lagi dimuka perapian. Sekali lagi ia menghembus api itu, sehingga matanya menjadi merah karena asap. Namun akhirnya apinya itupun menyala.
Agung Sedayupun kemudian duduk didekat Glagah Putih. Rasa-rasanya menyenangkan sekali duduk dimuka api dibawah periuk untuk menanak nasi. Seakan-akan Agung Sedayu sedang melepaskan semua persoalannya dengan ilmunya yang membuatnya menjadi sangat letih.
Namun sejenak kemudian, ketika api sudah menyala, mulailah Glagah Putih dengan pertanyaannya yang beruntun, seolah-olah pertanyaan itu sudah disusunnya sejak beberapa hari yang lalu.
Agung Sedayu tersenyum. Jawabnya, "Aku akan berceritera tentang perjalananku. Tetapi tidak sekarang. Aku masih sangat letih."
"O," Glagah Putih menjadi kecewa. Tetapi menilik keadaan tubuhnya. Agung Sedayu memang nampak sangat letih.
"Perjalananku adalah perjalanan yang menyenangkan," berkata Agung Sedayu, "banyak manfaat yang dapat diambil."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi ternyata bahwa Agung Sedayu benar-benar belum akan menceriterakan kepadanya, meskipun hanya sebagian kecil saja.
Tetapi Glagah Putih tidak memaksanya. Ia tahu bahwa Agung Sedayu benar-benar sangat letih. Sehingga karena itu, maka iapun tidak bertanya lagi tentang perjalanan Agung Sedayu dan menyimpan keinginannya sampai saatnya Agung Sedayu bersedia menceriterakan.
Sebenarnyalah Agung Sedayu masih ingin minta banyak pertimbangan dari gurunya dan Ki Waskita tentang pengalamannya selama ia meninggalkan padepokan. Apakah yang dapat dilakukannya kemudian bagi dirinya dan mungkin bagi Glagah Putih.
Dalam pada itu Kiai Gringsing juga sudah menunggu kesempatan untuk mendengarkan ceritera muridnya. Tetapi ia masih dapat mengerti sampai keadaan Agung Sedayu menjadi semakin baik. Setelah sehari berada dipadepokan, nampaknya ia tentu akan memerlukan beberapa hari untuk memulihkan keadaan tubuhnya yang kekurus-kurusan itu.
Disore hari, setelah semua pekerjaan selesai, maka Agung Sedayupun duduk dipendapa padepokan kecilnya bersama mereka, maka Agung Sedayu berkata, "Glagah Putih. Tentu menyenangkan sekali jika kita duduk dipendapa sambil minum-minuman panas."
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Tetapi ternyata ia cukup cerdas menangkap maksud kakaknya, sehingga iapun kemudian meninggalkan pendapa dan pergi kedapur.
"Aku tidak boleh ikut mendengarkannya," gumamnya.
Dalam pada itu, di pendapa, Agung Sedayu yang telah nampak lebih segar itupun mulai dengan ceriteranya. Sejak ia berangkat, semuanya yang telah terjadi, dan jarak jangkauannya atas peningkatan ilmunya.
Kiai Gringsing dan Ki Waskita mendengarkannya dengan bersungguh-sungguh. Mereka membayangkan, apakah yang telah terjadi atas muridnya itu, seolah-olah mereka dapat melihat sendiri, apa yang sudah dilakukan oleh Agung Sedayu.
"Jadi kau tidak pergi terlalu jauh Agung Sedayu," bertanya Kiai Gringsing.
"Tidak guru. Aku tidak pergi terlalu jauh."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Dalam pada itu, iapun mulai membayangkan muridnya yang seorang lagi. Swandaru Geni. Meskipun Kiai Gringsing belum melihat hasil, peningkatan kedua muridnya itu atas ilmu yang diberikan kepada mereka, namun Kiai Gringsing sudah dapat membayangkan perbedaan ciri dan pribadi dari ilmu yang ada dikedua muridnya yang memang memiliki dasar kepribadian yang berbeda itu.
Sambil menarik nafas dalam-dalam. Kiai Gringsing bertanya, "Agung Sedayu. Bagaimanakah mungkin kau dapat menemukan goa ditebing sungai yang curam itu."
"Sejak kecil aku pernah melihat mulut goa itu," jawab Agung Sedayu.
"Sejak kecil" " Kiai Gringsing menjadi heran.
Agung Sedayupun kemudian menceriterakan teka-teki didalam hatinya. Apakah pada saat itu ayahnya dengan sengaja memberikan petunjuk kepada Untara agar ia datang dan memasuki goa itu.
Kiai Griungsing menarik nafas dalam-dalam tetapi iapun tidak dapat menemukan jawabannya dengan pasti.
"Aku kira dugaanmu mendekati kebenaran," berkata gurunya, "tetapi selanjutnya Ki Sadewa tidak sempat memberikan petunjuk lebih jauh lagi sampai saat ajalnya."
"Jika ayah benar mengetahuinya, kenapa ayah tidak pernah berterus terang, atau setidak-tidaknya ceritera tentang goa itu" Jika ceriteranya memberikan arah meskipun serba sedikit, tentu kakang Untara akan berusaha untuk mencarinya."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, "Memang kita tahu apa yang sudah terjadi sebenarnya. Tetapi agaknya memang ada hubungannya bahwa pada masa kanak-kanak Untara telah menemukan mulut goa itu. tetapi yang dewasanya tidak menghiraukannya lagi."
"Dan aku sudah merusakkan pahatan lukisan pada dinding goa itu guru."
Kiai Gringsing termangu-mangu. Ia mencoba menilai apa saja yang sudah dilakukan oleh Agung Sedayu. Pencapaiannya yang cukup banyak, tetapi juga kekecewaan, yang mencengkamnya karena ia telah merusakkan serangkaian lukisan pada dinding goa itu.
Namun dalam pada itu, secara keseluruhan. Pencapaian ilmu, ternyata Agung Sedayu pesat sekali, jauh diatas dugaan gurunya. Gurunya sama sekali masih belum memperhitungkan bahwa Agung Sedayu akan dapat mengembangkan ilmunya dengan sentuhan yang tidak bersifat wadag, tetapi mempunyai akibat yang bersifat wadag dengan tatapan matanya. Tetapi ternyata bahwa Agung Sedayu telah sampai pada tataran itu. Bahkan ia agaknya sudah mulai dipengaruhi oleh lukisan yang dilihatnya, tetapi yang bagian terpentingnya telah terhapus oleh tatapan matanya itu, karena Agung Sedayu sudah mulai mempercakapkan tentang lontaran ilmu tanpa sentuhan wadag. Pelepasan diri dari ujud wadag untuk melakukan perbuatan yang bersifat wadag.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Perkembangan ilmu Agung Sedayu memang jauh bersifat kedalam. Namun dalam pada itu, perkembangan ilmu Swandaru agaknya nampak pada perkembangan keluar, pada ujud jasmaniahnya yang memang memiliki kekuatan melampaui kekuatan sewajarnya.
Ki Waskita yang mendengar pula ceritera Agung Sedayu tentang dirinya selama ia berada di dalam goa itu-pun mengangguk-angguk, iapun dapat membayangkan, betapa pesatnya kemajuan yang telah dicapainya. Bahkan Agung Sedayu sudah dapat menyentuh dengan tatapan matanya atas benda-benda dengan sifat sentuhan wadag.
"Ia masih terlalu muda," berkata Ki Waskita didalam hatinya, "tetapi ia sudah menguasai ilrnu yang sangat tinggi. Untunglah bahwa sifat-sifatnya sangat menguntungkan, sehingga ilmu yang dikuasainya agaknya tidak akan disalah gunakan."
Agak berbeda dengan Kiai Gringsing, maka tanggapan Ki Waskita terhadap Agung Sedayu terasa lebih baik dari tanggapannya atas Swandaru. Kiai Gringsing yang menganggap keduanya adalah muridnya yang berhak mendapat bekal yang sama dari padanya, agaknya mempunyai tanggapan yang agak bersifat khusus. Kiai Gringsing selalu mencoba menganggap keduanya sama dalam pandangannya, tanpa membeda-bedakan.
Tetapi Ki Waskita yang berdiri diluar lingkungan keluarga perguruan kecil itu, dapat melihat dengan jarak. Ia dapat membedakan sifat dan watak kedua murid Kiai Gringsing tanpa terikat oleh perasaan seorang guru terhadap kedua muridnya yang harus diperlakukan sama.
Bagi Ki Waskita, Swandaru agaknya berkembang kearah yang kurang menguntungkan. Keberhasilannya selama ini dan penghormatan yang meriah disaat perkawinannya, telah mendorongnya untuk merasa dirinya terlalu besar. Dengan demikian, maka sikapnyapun agaknya telah terpengaruh pula.
Meskipun demikian, ia bukannya tidak melihat kekurangan pada Agung Sedayu. Jika secara jiwani ia kurang lapang untuk memuat ilmu yang dicapainya dalam usia yang masih terlalu muda, maka iapun akan terpengaruh olehnya. Ia akan tenggelam kedalam dunia khayalan dan angan-angan. Ia akan hanyut dalam pencapaian ilmu yang lebih tinggi, setingkat demi setingkat, tanpa menghiraukan keseimbangan perkembangan diri, jasmaniah maupun rohaniah. Sehingga apabila ia tergelincir selapis, maka syarafnya akan dapat terganggu.
"Mudah-mudahan ia tidak kehilangan keseimbangan dan pengamatan dirinya," desis Ki Waskita didalam hatinya.
Dalam pada itu, agaknya Kiai Gringsing masih belum ingin memberikan tanggapan langsung kepada muridnya. Ia masih mencoba untuk mempertimbangkan lebih masak lagi apakah yang sebaiknya dilakukan.
Namun sementara itu, Kiai Gringsing bukannya sama sekali tidak memberikan pesan. Katanya, "Baiklah Agung Sedayu. Masih banyak yang harus aku urai dari keteranganmu. Tetapi sementara ini, biarlah Glagah Putih mendapat tuntunan yang lebih baik. Kau adalah orang yang memiliki kemampuan itu. Kau dapat mengosongkan dirimu dari pengetahuan yang kau miliki dengan sadar, sehingga dengan bersih dari segala macam pengaruh, kau dapat menuntun Glagah Putih sesuai dengan ilmu dasar yang dipelajarinya."
"Tetapi sampai dimanakah tingkat pengetahuan dan pengenalanku atas ilmu itu guru" " bertanya Agung Sedayu.
"Memang tidak lebih dari pamanmu Widura. Tetapi jika kau berbekal penglihatanmu atas lukisan pada dinding bilik didalam goa seperti yang kau katakan, maka kau tentu dapat mencapai tingkat ilmu yang lebih tinggi dari pamanmu Widura dan kakakmu Untara." jawab Kiai Gringsing, "sehingga pada suatu saat, jika waktunya tiba, maka Glagah Putih akan dapat memanfaatkan lukisan-lukisan didalam goa itu sendiri dengan bekal yang sudah dimilikinya, sehingga ia akan dapat menyadap ilmu itu dengan benar dan tidak tersesat."
"Tetapi ia tidak akan pernah dapat mencapai tingkat tertinggi dari ilmunya, guru. Karena aku sudah menghapusnya dari dinding goa itu."
Tetapi Kiai Gringsing menggeleng. Katanya, "Belum pasti demikian. Mungkin tingkat kecerdasan Glagah Putih memungkinkannya untuk mencapai tingkat itu dengan bahan yang sudah dimilikinya. Atau mungkin ia menemukan sumber lain yang dapat menyempurnakan ilmunya sampai tingkat tertinggi."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.
Semuanya masih akan berlangsung Agung Sedayu. Juga mengenai dirimu sendiri. Pada suatu saat. jika ada waktu yang baik, aku tentu ingin melihat kenyataan dari tingkat ilmumu. Sehingga dengan demikian penilaianku atasmu menjadi pasti."
Agung Sedayu mengangguk kecil. Katanya, "Kapan saja guru perintahkan, aku akan melakukannya."
"Kau masih harus memulihkan keadaan jasmanimu yang susut dan lemah. Pada suatu saat tubuhmu akan pulih dan kau akan dapat menunjukkan tingkat ilmumu dengan pasti dan meyakinkan."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia menyadari, bahwa dengan demikian bukan berarti bahwa kerjanya sudah selesai. Ia masih harus berada didalam sanggar bersama gurunya dan Ki Waskita untuk menilai tingkat ilmunya yang terakhir. Bukan hanya satu dua hari. Apalagi dengan kuwajibannya terhadap Glagah Putih.
Sejenak kemudian, agaknya Kiai Gringsing sudah tidak ingin lagi membicarakan peningkatan ilmu Agung Sedayu. sehingga Agung Sedayupun kemudian pergi kedapur memanggil Glagah Putih.
"Apakah air itu belum mendidih?"
Meskipun sebenarnya air sudah lama mendidih, namun Glagah Putih yang mengerti banwa pembicaraan baru saja selesai menjawab, "Baru saja kakang."
"Nah, guru dan Ki Waskita sudah menunggu."
Glagah Putihpun kemudian menyiapkan minuman dan kemudian membawanya ke pendapa.
" " berikutnya, maka Agung Sedayupun " " seperti sediakala. Namun iapun " " dengan tuntunannya " Glagah Putih " " seperti pesan gurunya. Agung Sedayu masih belum menceriterakan tentang lukisan yang terdapat pada dinding ruang didalam goa itu, agar Glagah Putih tidak tergesa-gesa menguasai ilmu tertinggi, sehingga dapat menumbuhkan kejutan didalam dirinya dan ketidak seimbangan dalam urutan ilmunya itu.
Dalam pada itu, yang dilakukan oleh Agung Sedayu adalah suatu kewajiban yang sulit. Tidak seperti kebanyakan orang-orang yang memiliki ilmu dan ingin menurunkan ilmunya kepada muridnya, maka Agung Sedayu justru sedang mengajarkan ilmu yang tidak dikuasainya benar kepada orang lain.
Tetapi Agung Sedayupun sadar, bahwa yang dilakukan itu hanyalah sekedar tataran terendah dari peningkatan ilmu Glagah Putih, karena pada suatu saat Glagah Putih akan dapat menemukan jalurnya tersendiri.
Namun dalam hal itu, Agung Sedayu tidak berdiri sendiri. Pamannya, Widura selalu berusaha membantunya meskipun ia merasa bahwa ternyata Agung Sedayu lebih banyak menguasai daripada dirinya, meskipun Agung Sedayu telah memiliki jalur tersendiri dalam cabang perguruan yang berbeda.
Selain usahanya meningkatkan ilmu Glagah Putih, maka Agung Sedayupun dengan tekun melakukan pekerjaan sehari-hari. Ia tidak terlambat pergi kesawah, bergantian dengan Glagah Putih menelusur air, jika parit menjadi kering. Memelihara kebun dan pohon buah-buahan. Membersihkan rumah dan bangunan-bangunan yang ada dipadepokan itu serta memperbaiki kekurangan dan kerusakan-kerusakan kecil yang timbul kemudian.
Sementara itu, disebelah menyebelah tanah persawahan Agung Sedayu, telah terbentang pula beberapa bahu sawah. Mereka adalah orang-orang yang telah mendapat ijin dari Ki Demang di Jati Anom untuk membuka tanah persawahan dibawah petunjuk Agung Sedayu disesuaikan dengan kemungkinan penggunaan air dan pemeliharaan selanjutnya.
Bahkan ternyata kemudian, bahwa beberapa orang anak muda seakan-akan telah memaksa untuk ikut tinggal di padepokan kecil, karena mereka sebenarnya ingin pula mendapatkan sedikit kemampuan dalam olah kanuragan.
"Kalian akan menjadi cantrik dipadepokanku" " bertanya Agung Sedayu kepada anak-anak muda yang sebenarnya adalah kawan-kawannya bermain dimasa kanak-kanak.
"Apapun yang harus kami lakukan, kami tidak akan berkeberatan," jawab salah seorang dari mereka.
Setelah mendapat persetujuan dari gurunya, maka Agung Sedayupun dapat memilih tiga orang diantara mereka untuk tinggal bersamanya dipadepokan kecil itu.
Dengan demikian, maka padepokan itu menjadi semakin ramai. Tiga orang anak muda itu ternyata dengan sungguh-sungguh ingin luluh dalam kehidupan yang berat dipadepokan kecil itu. Mereka harus memenuhi segala kebutuhan mereka sendiri. Dari menanam bahan makan mereka, sehingga menjadikan makanan itu siap untuk dimakan. Bahkan merekapun harus dapat mencukupi kebutuhan sandang dan keperluan-keperluan lain. Kebutuhan bagi rumah dan bangunan-bangunan yang adar bagi kuda mereka dan bagi semua yang diperlukan.
"Kita akan segera dilepaskan oleh kakang Untara dan paman Widura," berkata Agung Sedayu kepada anak-anak muda itu, "sehingga kita harus dapat berdiri sendiri. Makan, minum, pakaian dan semua kebutuhan harus kita usahakan dengan kemampuan yang ada pada kita sendiri."
Tetapi anak-anak muda itu sudah menyatakan tekadnya. Satu-satunya keinginan mereka adalah mendapatkan tuntunan dalam olah kanuragan. Meskipun tidak harus mencapai tingkat tertinggi, namun sekedarnyalah cukup untuk membela diri.
Dari hari kehari, maka keadaan tubuh Agung Sedayupun menjadi berangsur pulih kembali. Ia tidak lagi nampak pucat dan kurus. Justru pekerjaannya sehari-hari yang berat, selain disawah juga disanggar, telah membuatnya nampak segar dan gembira.
Baru setelah Agung Sedayu menjadi pulih sama sekali, gurunya mulai ingin menilai kemampuan yang dapat dikuasainya setelah ia berusaha meningkatkan ilmunya. Meskipun dengan lesan Agung Sedayu pernah melaporkan kepada gurunya, namun Kiai Gringsing ingin melihat, apakah yang dikatakan itu sesuai benar dengan kenyataannya.
Karena itulah maka ia telah menentukan waktu yang paling baik untuk mengadakan penilaian itu. Bersama Ki Waskita, maka iapun membawa Agung Sedayu kedalam sanggarnya, setelah lewat tengah malam. Setelah Glagah Putih dan para cantrik dipadepokan itu tidur nyenyak.
"Agung Sedayu," berkata gurunya, "tiba-tiba saja timbul niatku untuk menengok Swandaru ke Sangkal Putung. Aku ingin juga mengadakan penilaian atas peningkatan ilmu yang dicapainya. Namun sebelum itu, aku ingin meyakinkan diriku, bahwa kemampuan benar-benar telah mencapai tingkat seperti yang pernah kau katakan kepadaku."
Agung Sedayu menundukkan kepalanya. Jika ia harus menunjukkan kemampuannya kepada orang lain, maka ia tentu akan menjadi segan. Tetapi karena hal itu diminta oleh gurunya, serta agar gurunya dapat memberikan penilaian yang tepat, maka iapun berniat untuk menunjukkan tingkat yang sebenarnya memang sudah dicapainya.
"Marilah Agung Sedayu," berkata Kiai Gringsing, "tunjukkan kepadaku. Terserah kepadamu, yang manakah yang menurut penilaianmu cukup mewakili kemampuanmu."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian menjawab, "Guru, apakah aku diperkenankan menunjukkan sentuhan pandangan mataku atas sesuatu benda dalam sifat wadag."
"Cobalah Agung Sedayu. Pilihkah sasaran yang dapat kau pergunakan."
Agung Sedayupun kemudian mengambil sebongkah Batu hitam dari kebun dipadepokannya, Diletakkannya batu itu diujung sanggar. Kemudian ia duduk beberapa langkah dari batu itu. Bersila sambil menyilangkan kedua tangannya didadanya.
Kiai Gringsing dan Ki Waskita yang ingin menyaksikan kemampuan anak muda itupun duduk sebelah menyebelah. Merekapun menjadi tegang pula ketika mereka melihat Agung Sedayu mulai mengatur pernafasannya.
Dengan hati yang berdebar-debar kedua orang tua itu menunggu. Mereka dapat mengikuti, tingkat pengetrapan ilmu Agung Sedayu. Sejak ia memusatkan inderanya dan menyalurkan kekuatan pada sorot matanya dengan sifat wadag untuk meraba batu yang menjadi sasarannya.
Sejenak suasana menjadi tegang. Agung Sedayu yang memusatkan segenap, kekuatannya pada pancaran matanya yang ditrapkan dalam sifat wadag itu menjadi semakin lama semakin tegang pula, sehingga pada suatu saat, ketika kekuatannya mulai tersalur disorot matanya dalam sifat wadag, keringatnya rasa-rasanya telah membasahi seluruh tubuhnya.
Namun dalam pada itu, batu yang dipandanginya itupun mulai bergetar. Ketika Agung Sedayu seakan-akan menghentakkan kekuatannya, maka tiba-tiba batu itupun menjadi retak dan pecah berkeping keping.
Kiai Gringsing dan Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Mereka telah menyaksikan kemampuan ilmu Agung Sedayu. Ternyata bahwa yang sebulan itu telah membuat Agung Sedayu seorang yang benar-benar mumpuni. Seorang yang memiliki kemampuan yang luar biasa, yang jarang dimiliki oleh setiap orang.
Ketika Agung Sedayu telah berhasil memecahkan batu itu, maka perlahan-lahan iapun mulai mengendapkan ilmunya kembali, sehingga sejenak kemudian maka iapun telah melepaskan pemusatan inderanya dan menarik nafas dalam-dalam.
"Luar biasa Agung Sedayu," berkata Kiai Gringsing, "kau telah mencapai suatu tingkat diluar dugaanku. Kau telah memiliki ilmu yang sulit dicapai. Justru kau telah dapat menemukannya sendiri dalam pencapaian selama kau berada didalam goa itu."
Agung Sedayu menundukkan kepalanya. Katanya dengan nada datar, "Tetapi pencapaianku inilah yang telah menghapuskan petunjuk pada puncak ilmu yang terlukis pada dinding goa itu guru."
"Itu bukan salahmu. Tentu setiap orang akan melakukan kesalahan yang serupa karena ketidak tahuannya. Siapapun tidak akan mengira bahwa pada dinding goa itu terdapat lukisan tentang ilmu yang tersusun dalam urutan yang lengkap seperti yang kau katakan itu meskipun hanya pokok-pokoknya saja." Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu. "sehingga dengan demikian, maka kau telah menemukan dua hasil yang sangat penting. Peningkatan ilmumu sendiri, dan susunan ilmu Ki Sadewa yang lengkap. Bukankah dengan demikian usaha kita untuk mewujudkan kembali jalur ilmu itu menjadi jauh lebih mudah. Kita tidak usah bersusah payah mempelajarinya dari bahan-bahan yang memang sangat sedikit. Dari tata gerak dasar ilmu Glagah Putih. Dari tata gerak dan sikap Ki Widura. Kau kini dapat langsung menemukan seluruhnya meskipun tidak dengan tingkat puncaknya. Namun untuk mencapai kemampuan sampai selapis dibawah tingkat puncak itupun aku kira jarang yang akan dapat melakukannya. Mudah-mudahan Glagah Putih akan dapat menjadi pewaris yang baik dari ilmu itu, yang pada saatnya akan dapat mempelajarinya dari unsur-unsur gerak yang terpahat didinding goa itu. Tentu saja setelah bekalnya cukup lengkap."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sementara Ki Waskita hanya menyaksikan saja pembicaraan antara guru dan murid itu. Ia sudah merasa ikut berbahagia atas pencapaian diluar dugaan itu, sehingga dengan demikian Agung Sedayu kini sudah menjadi seorang anak muda yang jarang ada bandingnya.
Namun dalam pada itu, agaknya Kiai Gringsing masih ingin melengkapi pengenalannya atas muridnya setelah mencapai tingkat yang lebih tinggi itu dalam tata gerak dan olah kanuragan. Karena itu maka, katanya, "Agung Sedayu, setelah aku melihat kemampuanmu dalam unsur yang khusus dari ilmumu, maka kini aku ingin melihat, kemampuan wadagmu. Aku ingin melihat bagaimana kau mempergunakan wadagmu dalam ungkapan ilmumu dan penggunaannya. Mungkin kau telah meningkatkan kemampuanmu pula dalam ujud jasmaniah, sehingga dalam sentuhan wadagmu yang langsung, kaupun mampu menunjukkan kekuatan yang meningkat."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia memandang isi sanggar itu. Namun ia tidak menemukan sasaran yang dapat dipergunakan untuk menunjukkan peningkatan kekuatan ilmunya yang dapat disalurkan lewat wadagnya.
"Aku dapat mendengar dan melihat pada gerak dan getar ujung cambukmu."
Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Lalu Katanya, "Baiklah guru. Aku akan mencoba menunjukkannya."
Agung Sedayupun kemudian segera bersiap. Sejenak kemudian ia mulai menunjukkan kemampuan jasmaninya dengan lambaran ilmu yang sudah semakin meningkat. Ternyata bahwa ia mampu bergerak dengan kecepatan yang luar biasa. Kakinya menjadi sangat lincah dan kuat.
Untuk beberapa saat Agung Sedayu meloncat-loncat seolah-olah kakinya tidak berjejak diatas tanah.
Gurunya memandang sambil mengerutkan keningnya. Demikian juga Ki Waskita yang mengagumi kecepatan bergerak Agung Sedayu. Apalagi ketika kemudian Agung Sedayu meloncat keatas sebuah amben bambu. Ia masih bergerak dengan cepatnya. Namun amben bambu yang biasanya berderak-derak itu sama sekali tidak berguncang, bahkan sama sekali tidak berderit.
Kedua orang tua yang menyaksikannya benar-benar menjadi kagum. Tubuh Agung Sedayu yang bergerak dengan cepatnya itu menjadi seakan-akan seringan kapuk kapas. Tanpa bobot.
Sejenak kemudian Agung Sedayu telah meloncat turun dari amben bambu dan seperti pesan gurunya, ia telah mengurai senjatanya. Sejenak senjata itu berputar ditangannya. Namun kemudian dengan sepenuh kekuatannya ia mengayunkan cambuknya dan karena tidak ada sasaran lain, maka iapun telah menghantam lantai sanggar itu.
Terdengarlah ledakan yang dahsyat. Disusul dengan hamburan debu yang tiba-tiba saja telah membuat ruang itu menjadi gelap. Sinar lampu minyak tidak mampu menembus lapisan debu yang berhamburan memenuhi sanggarnya.
Kiai Gringsing dan Ki Waskita yang berada didalam sanggar itu benar-benar telah dicengkam oleh kekaguman yang luar biasa. Kekuatan itu adalah kekuatan yang tidak terkirakan, dan terlebih-lebih lagi, ternyata bahwa Agung Sedayu telah mampu menyalurkan kekuatannya pada benda-benda yang digenggamnya, sehingga seolah-olah benda-benda itu, khususnya senjatanya telah menjadi bagian dari tubuhnya.
Sejenak sanggar itu menjadi sepi. Agung Sedayu yang telah melepaskan segenap kekuatannya yang tersalur pada cambuknya, berdiri tegak dalam tebaran debu yang semakin lama menjadi semakin tipis.
Demikian juga Kiai Gringsing dan Ki Waskita. Sambil menahan nafas mereka menunggu. Perlahan-lahan debu yang memenuhi ruangan itu seakan-akan telah mengendap. Dan perlahan-lahan pula muncullah bayangan Agung sedayu yang berdiri tegak diatas kedua kakinya yang renggang sambil menggenggam cambuknya. Tangan kanannya menggenggam tangkainya, sedang tangan kirinya memegang ujung juntainya. Didepan kakinya menganga sebuah jalur yang lebar dan dalam menyilang hampir dari dinding sampai kedinding.
Kiai Gringsing dan Ki Waskita termangu-mangu sejenak. Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya Ki Waskita melangkah maju mendekati lubang yang menjadi pertanda betapa dahsyatnya kekuatan Agung Sedayu.
"Luar biasa," desisnya didalam hati.
Agung Sedayu masih berdiri termangu-mangu. Ia menunggu tanggapan gurunya atas pencapaiannya.
"Duduklah Agung Sedayu," berkata gurunya kemudian.
Ketiganyapun kemudian duduk diatas sebuah amben dipinggir sanggar itu. Perlahan-lahan udara didalam ruang itu telah menjadi bersih kembali. Namun rasa-rasanya ditubuh mereka yang berada didalam ruang itu telah melekat debu yang tebal. Terlebih-lebih karena keringat yang mengembun.
"Sebenarnya aku tidak ingin memuji dihadapanmu Agung Sedayu," berkata gurunya, "tetapi aku tidak dapat mengatakan lain kecuali kekagumanku atas tingkat yang kau capai hanya dalam waktu satu bulan. Itulah agaknya yang menyebabkan kau menjadi kurus dan pucat, bahkan hampir tidak bertenaga, karena kau telah kehilangan keseimbangan antara tekad dan batas kemampuan jasmaniahmu. Untunglah bahwa kau tidak terbenam dalam keadaan yang sulit. Kau dapat mencapai tingkat yang hampir sempurna, sementara jasmanipun masih belum terlambat untuk disegarkan kembali."
Agung Sedayu tidak menjawab.
"Tetapi yang telah kau lakukan hendaknya menjadi pengalaman. Kau telah mencapai ilmu yang sangat tinggi. Kau telah mampu mempergunakan yang tidak bersifat wadag untuk perbuatan yang bersifat wadag. Kekuatan jasmaniahpun telah menjadi berlipat ganda karena kau telah mampu menguasai kekuatan cadangan didalam dirimu, dan menguasai benda-benda yang ada ditanganmu seperti tubuhmu sendiri, juga dalam penyaluran kekuatan itu," Kiai Gringsing berhenti sejenak, "namun demikian, kau tidak dapat meninggalkan kodratmu. Itu adalah suatu syarat, bahwa betapapun juga, kau adalah mahluk yang tidak berarti dihadapan Yang Maha Pencipta, sehingga kau tidak akan dapat melepaskan diri dari hukum-hukumnya yang berlaku mutlak bagi setiap manusia."
Agung Sedayu masih tetap menundukkan kepalanya. Namun kata-kata itu benar-benar telah meresap didalam hatinya. Dan iapun sadar sepenuhnya, betapa kebanggan mencengkam hati karena pencapaian itu, namun ia tetap hanya sebutir debu didalam alam semesta, dan sama sekali tidak mempunyai arti khusus bagi putaran yang harus berlangsung seperti kodratnya.
Karena itulah maka Agung Sedayu merasa bahwa ia harus lebih menundukkan kepalanya kepada Yang Maha Kuasa, yang telah memberikan kemampuan kepadanya, lebih banyak dari kebanyakan orang.
Dengan demikian maka seolah-olah Agung Sedayupun telah berjanji kepada dirinya sendiri, bahwa ia akan mempergunakan kurnia itu untuk kebesaran nama-Nya dijalan yang sesuai dengan kehendak-Nya.
Setelah beristirahat sejenak, dan Kiai Gringsing telah memberikan penilaian dan pesan pesan, maka merekapun kemudian meninggalkan sanggar itu dan setelah membersihkan diri dipakiwan. maka masing-masing telah kembali kedalam biliknya.
Langkah Agung Sedayu tertegun ketika ia melihat dari sela-sela pintu biliknya, Glagah Putih masih duduk dipembaringannya. Bahkan seakan-akan ia sedang merenungi sesuatu yang penting baginya.
Sambil mendorong piuntu kesamping Agung Sedayu menjengukkan kepalanya. Dengan nada datar ia bertanya, "Kau belum tidur?"
Glagah Putih menggeleng. "Jadi kau masih duduk disitu sejak sore?"
"Aku sudah tidur," jawabnya kemudian, "tetapi aku terbangun oleh suara cambuk kakang Agung Sedayu."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Kemudian ia-pun bertanya, "Kenapa kau tahu bahwa bunyi cambuk itu adalah cambukku" Bukan cambuk Kiai Gringsing."
"Kenapa Kiai Gringsing bermain-main dengan cambuk lewat tengah malam seperti ini jika tidak ada kepentingan apapun juga ?"
"Kenapa dengan aku?"
"Kakang tentu sedang berlatih. Ketika aku menjenguk, aku melihat lampu di sanggar masih menyala terang benderang."
Agung Sedayu tersenyum. Katanya, "Kau memang cerdik. Tidurlah. Besok kau mendapat kesempatan untuk berlatih bersamaku."
Glagah Putih tidak menyahut. Namun iapun kemudian membaringkan dirinya ketika Agung Sedayu meninggalkannya sambil menutup pintu biliknya.
Meskipun demikian ia masih sempat bertanya, "Kau tidur dimana kakang?"
Dari balik pintu Agung Sedayu menjawab, "Aku tidur dibelakang."
"Apakah anak-anak dibelakang juga terbangun ?"
"Aku tidak tahu," jawab Agung Sedayu.
Glagah Putih tidak bertanya lagi. Sejenak ia mencoba mendengarkan desir langkah Agung Sedayu. Ketika ia tidak dapat mendengar apapun juga, maka iapun mencoba untuk memejamkan matanya.
Di pagi harinya, Agung Sedayu, Glagah Putih dan tiga orang yang menyatakan dirinya menjadi cantrik dipadepokan itupun sibuk menimbun lubang yang membujur dilantai sanggar padepokan kecil itu. Dengan herannya mereka bertanya, kenapa didalam sanggar itu tiba-tiba saja telah terjadi lubang yang panjang itu.
Tetapi Agung Sedayu tidak mengatakan bahwa lubang itu adalah bekas lecutan cambuknya yang didasari dengan kekuatan yang luar biasa.
Dalam pada itu, Kiai Gringsing yang didesak oleh keinginannya melihat kemajuan muridnya yang seorang lagi, telah bersiap-siap. Ketika Agung Sedayu dan Glagah Putih kemudian selesai dengan pekerjaannya menimbuni lubang didalam sanggar itu, maka Kiai Gringsing-pun minta diri kepada mereka.
"Berapa lama guru berada di Sangkal Putung" " bertanya Agung Sedayu.
"Aku pernah pergi ke Sangkal Putung dan tidak bermalam disana. Tetapi karena kini kau ada, maka aku tidak segan-segan meninggalkan Ki Waskita dan bermalam di Sangkal Putung barang satu dua malam."
Agung Sedayu mengangguk-angguk, sementara Kiai Gringsing melanjutkan, "Aku titipkan seisi padepokan ini kepada Ki Waskita."
Ki Waskita tersenyum. Jawabnya, "Jadi aku masih belum berkesempatan untuk pulang meskipun aku sudah lama sekali meninggalkan rumah dan pekerjaanku."
Kiai Gringsingpun tersenyum pula. Katanya, "Hanya untuk satu atau dua malam."
Akhirnya seisi padepokan itupun mengantar Kiai Gringsing sampai kepintu gerbang dan mengikuti derap kudanya sampai hilang ditikungan dengan tatapan mata.
"Marilah," ajak Ki Waskita, "aku kira Kiai Gringsing benar-benar tidak akan lama. Sementara kita masih mempunyai kewajiban melakukan tugas kita sehari-hari disini. Membersihkan kebun dan halaman Memelihara tanaman dan pohon buah buahan, melihat air disawah, dan kerja-kerja yang lain. Kecuali itu, kita masing-masing juga berkewajiban nuntuk melatih diri dalam olah kanuragan. Terutama Glagah Putih yang akhir-akhir ini nampak semakin meningkat."
"Ah, Ki Waskita selalu memuji."
"Bukan sekedar memuji. Tetapi sebenarnyalah demikian. Perlahan-lahan kita akan menemukan urutan ilmu yang disebut ayahmu hampir punah itu."
Sepasang Pedang Iblis 23 Pendekar Super Sakti Serial Bu Kek Siansu 7 Karya Kho Ping Hoo Jurus Tanpa Bentuk 16
^