Pencarian

Iblis Pemanggil Roh 1

Siluman Ular Putih 09 Iblis Pemanggil Roh Bagian 1


Hak cipta dan copy right pada
penerbit di bawah lindungan
undang-undang Dilarang mengcopy atau memperbanyak seba-
gian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
1 Malam ini bulan bulat penuh perlahan naik ke
garis edarnya. Cahayanya terang keperakan dikelilingi kerlip berjuta bintang di
angkasa. Segumpal awan putih pun perlahan tertiup angin. Kini tiada lagi awan
bergulung di angkasa biru. Indah sekali purnama kali ini.
"Hauuungng...!"
Namun keindahan itu mendadak robek oleh
beberapa lolongan anjing hutan. Suaranya melengking tinggi saling bersahutan.
Begitu mengiriskan. Sementara bulan di atas sana seolah ikut merinding. Dan
puncak Bukit Menjangan pun dipenuhi oleh gema lo-
longan yang saling sambut.
Di bawah sebuah pohon beringin tua di salah
satu sisi bukit itu, tepatnya di pinggiran makam tua, satu sosok bertubuh kurus
tengah duduk berada di
pinggiran makam. Suasana yang mengerikan seperti
itu, sedikit pun tidak mempengaruhi kekhusukan so-
sok yang ternyata seorang lelaki kurus berwajah tirus.
Di atas akar-akar pohon beringin yang bertonjolan liar, laki-laki itu terus
berkomat-kamit. Entah membaca
mantra apa. Wajah tirus lelaki yang sudah dimakan usia ini
menegang. Sepasang matanya sesekali melirik ke arah papan nisan. Rambut putihnya
pun sesekali pula tergerai tertiup angin. Usianya kira-kira tujuh puluh tahunan.
Tubuhnya yang tinggi kurus terbalut pakaian
hitam kedodoran sampai lutut.
Di samping lelaki itu berdiri sebuah jerangkong.
Kepalanya terbuat dari tempurung kelapa. Kedua tan-
gannya maupun badannya terbuat dari kayu berbalut
kain putih. Bagian depan tempurung dihias mirip wa-
jah manusia. Sementara kakinya yang hanya satu me-
nancap ke dalam tanah. Tinggi jerangkong tidak ku-
rang dari sepanjang lengan orang dewasa.
Melihat papan nisan yang sudah lapuk dan
gompal di sana-sini, jelas kalau usia makam itu sudah sangat tua. Pada papan
nisan terdapat tulisan 'KI
DADUNG KAWUK alias PENGHUNI ALAM MAUT' yang
masih terlihat jelas.
Selang beberapa saat, wajah tirus lelaki ini se-
makin menegang. Sekujur tubuhnya bergetar hebat.
Kedua bibir pucatnya pun terus berkemik-kemik. Se-
pasang matanya mencorong tajam, memandangi gun-
dukan tanah merah di hadapannya.
Mendadak, tanah kuburan itu pun bergetar.
Mula-mula perlahan saja, namun tiba-tiba saja bergetar hebat. Sementara tubuh
lelaki berwajah tirus itu telah dibasahi keringat dingin. Sepasang matanya yang
mencorong tajam terus saja memandangi gundukan
tanah merah di hadapannya. Sedangkan tangan ka-
nannya terus menambahkan butiran-butiran keme-
nyan ke dalam pedupaan di sampingnya. Api dalam
pedupaan sejenak meliuk-liuk tinggi. Dan wangi ke-
menyan dari dalam pedupaan yang disertai asap putih makin menyesakkan dada.
Begitu asap menipis kembali, getaran tanah
makam tua itu telah sampai pada puncaknya. Pada
saat yang sama angin kencang yang entah dari mana
datangnya tiba-tiba bertiup kencang. Bahkan dua
buah pohon beringin tua yang menjulang tinggi bagai dua raksasa malam
berguncang. Daun-daunnya tak
kuasa bertahan dan segera beterbangan.
Seiring getaran yang menghebat, mendadak se-
leret asap kuning keluar dari bagian kepala kuburan!
Seperti memiliki mata, ujung asap kuning itu pun melesat dan masuk ke dalam
kepala jerangkong di samp-
ing lelaki kurus itu.
Blassss! Seketika itu juga tanah kubur jadi tenang kem-
bali. Demikian pula dua batang pohon beringin yang
tak bergerak-gerak lagi. Bersamaan dengan itu, angin kencang pun berhenti
bertiup. Si lelaki tirus tersenyum. Sepasang matanya
berkilat-kilat aneh melirik ke arah jerangkong di sampingnya. Kepalanya
mengangguk-angguk, menyiratkan
kegembiraan. "Bagus, bagus! Akhirnya kau mau keluar juga!"
desis si lelaki.
Begitu kemasukan asap kuning dari dalam ta-
nah kuburan tadi, jerangkong itu pun bergetar keras.
Kepala tempurungnya bergoyang-goyang, seolah-olah
menyahuti ucapan si lelaki tirus tadi.
Si lelaki tirus memutar tubuhnya, menghadap
benda aneh di samping. Senyumnya tampak tersungg-
ing di bibir. Lalu dikeluarkannya secarik kertas dari dalam saku baju. Sejenak
dibukanya lipatan kertas, la-lu diletakkan di depan jerangkong di hadapannya.
Dari pedupaan, diambilnya arang agak panjang dan langsung diikatkan di tangan
kanan jerangkong itu dengan tali. Cara mengikat arang itu pun persis seperti
orang akan menulis.
Kini semuanya telah beres. Lelaki berwajah ti-
rus itu tidak lagi membuat gerakan. Hanya sepasang
matanya saja terus memandangi sosok jerangkong di
hadapannya dengan sinar tajam.
"Jerangkong! Roh Ki Dadung Kawuk yang ber-
gelar Penghuni Alam Maut-kah yang masuk ke dalam
tubuhmu?" tanya lelaki berwajah tirus.
Tidak sepatah kata pun keluar dari jerangkong
itu. Namun perlahan-lahan arang yang terdapat di
tangan kanannya bergerak-gerak di atas kertas putih di hadapannya.
Sementara lelaki tirus itu menyunggingkan se-
nyum senang, ketika coretan-coretan ranting kayu di kertas itu jelas tertulis
kata 'Ya'. "Bagus, bagus! Ternyata kau memang roh
Penghuni Alam Maut. Aku senang sekali. Ha ha...!" ka-ta lelaki be wajah tirus di
antara tawanya yang bergelak.
Memang sewaktu masih hidupnya, Penghuni
Alam Maut menghirup otak mayat yang digalinya.
Dengan cara itu, ilmu 'Darah Mayat' yang ditekuninya kian mantap saja! Dan pada
saat itu hanya beberapa
orang pendekar golongan putih saja yang dapat me-
nandingi ilmu hitam Penghuni Alam Maut itu. Salah
satunya adalah tokoh bernama Eyang Bromo!
"Perkenalkan! Aku adalah Iblis Pemanggil Roh
dari Lembah Duka. Aku memanggilmu agar kau sudi
menolongku," lanjut lelaki tirus yang ternyata berjuluk Iblis Pemanggil Roh.
Jerangkong yang berisi roh Penghuni Alam
Maut kembali menggerakkan tangannya membuat co-
retan. Kini jelas terlihat tulisan 'Ya'. Dan berarti, roh Penghuni Alam Maut
bersedia menjalankan perintah
Iblis Pemanggil Roh.
"Bagus, bagus! Aku memang sudah menduga
demikian!" kata Iblis Pemanggil Roh. "Sekarang kau harus membantuku untuk
membunuh beberapa tokoh
sakti di dunia persilatan. Pertama, kau harus membunuh orang tua sakti yang
bergelar Malaikat Kaki Seri-bu! Karena, dialah orang yang telah membunuh guru-
ku yang berjuluk Iblis Tanpa Tanding. Dan mengingat
kau masih terhitung kakak seperguruan guruku, kau
tentu tidak keberatan, bukan?"
Iblis Pemanggil Roh sejenak menghentikan bi-
caranya. Sepasang matanya tajam memperhatikan je-
rangkong di depannya.
"Sedang tugas yang kedua, kau harus dapat
membunuh seorang pemuda sakti yang akhir-akhir ini
menggegerkan dunia persilatan. Namanya, aku belum
begitu kenal. Tapi ia dijuluki orang Siluman Ular Putih.
Nah sekarang, kukira cukup dua tugas penting itu du-lu yang harus kau
laksanakan! Tapi sebelum aku me-
lepasmu, terlebih dahulu aku ingin meyakinkan. Apa-
kah kau masih mampu menggunakan pukulan maut
mu 'Darah Mayat', seperti waktu masih hidup dulu"
Nah, cobalah pukul roboh dua pohon beringin tua di
belakangmu ini! Cepat laksanakan!"
Sehabis berkata begitu, Iblis Pemanggil Roh se-
gera mengambil arang di tangan kanan jerangkong dan membuangnya. Lalu, hamparan
kertas putih itu pun
segera dilipat kembali, dan dimasukkan ke dalam saku baju. Tanpa banyak cakap
lagi, jerangkong itu segera diputar hingga menghadap ke kedua batang pohon
beringin tua. Dan begitu Iblis Pemanggil Roh menggerakkan tangan jerangkong itu
ke depan dua kali....
Wesss! Wesss! Aneh sekali! Dari kedua tangan jerangkong
mendadak keluar dua leret sinar kuning ke arah dua
batang pohon beringin di depan.
Bummm! Bummm...!!!
Terdengar dua kali letusan hebat di udara. Ke-
dua pohon beringin bergoyang-goyang sebentar, lalu
terdengar suara berderak. Kemudian diakhiri bunyi
benturan keras sekali yang memecah keheningan ma-
lam, pohon-pohon itu ambruk menciptakan kepulan
debu yang membubung tinggi.
Iblis Pemanggil Roh tertawa bergelak sambil
mengangguk-angguk penuh keyakinan.
"Bagus, bagus! Sekarang cepat laksanakan tu-
gasmu, Jerangkong! Oh ya, Jerangkong" Aku lupa be-
lum memberitahukan tempat tinggal Malaikat Kaki Se-
ribu. Sekarang, kau harus menuju ke timur! Nanti kalau sudah sampai di Gunung
Ungaran, kau pasti akan
menemukan sebuah bukit. Nah, di Bukit Menjangan
itulah Malaikat Kaki Seribu tinggal bersama murid-
muridnya," ujar Iblis Pemanggil Roh.
Jerangkong memutar tubuhnya. Kemudian
dengan cara yang aneh sekali, tahu-tahu ia telah melenting tinggi ke udara.
Begitu ujung tubuh bagian ba-wahnya menyentuh tanah, tubuhnya kembali melent-
ing ke udara dan lenyap di kegelapan malam.
Iblis Pemanggil Roh sekali lagi tertawa bergelak.
Dan setelah tawanya reda, tokoh sesat itu pun duduk bersila di depan makam
Penghuni Alam Maut. Sebentar kemudian matanya telah terpejam. Kedua bibirnya
berkemik-kemik memberi petunjuk-petunjuk yang
sangat dibutuhkan Roh Iblis Penggali Kubur!
2 Berpuluh-puluh tahun lalu, antara Malaikat
Kaki Seribu dan Iblis Pemanggil Roh memang pernah
terjadi silang sengketa. Hal itu terjadi karena Iblis Pemanggil Roh telah
menculik Winarsih, salah seorang
murid Malaikat Kaki Seribu yang merupakan Ketua
Perguruan Kaki Angin.
Malaikat Kaki Seribu lantas melakukan penca-
rian Iblis Pemanggil Roh di Lembah Duka. Sesam-
painya di sana, Ketua Perguruan Kaki Angin itu tak
menemukan orang yang telah menculik putrinya. Na-
mun yang membuatnya terpukul, ternyata Winarsih te-
lah menjadi pemuas nafsu. Dan memiliki seorang bayi perempuan mungil. Agaknya,
gadis itu telah dijadikan istri secara paksa oleh Iblis Pemanggil Roh.
Tentu saja Malaikat Kaki Seribu jadi murka
mendapati Winarsih telah diperistri secara paksa oleh Iblis Pemanggil Roh. Maka
begitu Iblis Pemanggil Roh muncul di Lembah Duka, terjadilah pertarungan. Lewat
beberapa jurus, lelaki berwajah tirus itu dapat dikalahkan oleh Malaikat Kaki
Seribu. Namun pada saat riwayat Iblis Pemanggil Roh hampir tamat, mendadak
muncul Iblis Tanpa Tanding yang merupakan guru si
lelaki tirus. Maka kembali terjadi pertarungan.
Pertarungan yang hampir mencelakakan Malai-
kat Kaki Seribu, akhirnya berakhir. Malaikat Kaki Seribu pun dapat melenyapkan
Iblis Pemanggil Roh.
Melihat gurunya tewas di tangan musuh besar-
nya, Iblis Pemanggil Roh pun mengamuk hebat. Un-
tungnya, Malaikat Kaki Seribu dapat mengatasinya
dengan mudah. Sehingga, akhirnya Iblis Pemanggil
Roh melarikan diri.
Malaikat Kaki Seribu segera membawa Winar-
sih beserta bayi mungilnya ke Perguruan Kaki Angin.
Namun sayangnya umur wanita itu tidak lama setelah
sempat mengenyam suasana damai Perguruan Kaki
Angin tak lebih dari satu minggu. Maka sejak itu pula-lah bayi Winarsih
sepenuhnya berada dalam tanggung
jawab Malaikat Kaki Seribu, hingga tumbuh jadi seo-
rang gadis cantik jelita!
Kini di usianya di ambang senja, Malaikat Kaki
Seribu lebih banyak menghabiskan waktu dalam ruang
semadi. Semua urusan dalam Perguruan Kaki Angin
diserahkan pada murid tercintanya yang sudah diang-
gap seperti anak kandung sendiri. Dia adalah gadis
cantik anak Winarsih yang diberi nama Pulasari!
Meski usianya terbilang masih muda, namun
Pulasari jelas mampu menangani urusan Perguruan
Kaki Angin. Baik urusan dalam maupun urusan luar
perguruan itu. Tak heran bila Malaikat Kaki Seribu begitu menyayangi putri
angkatnya. Kali ini Pulasari tengah menjalankan tugasnya
di luar perguruan. Malaikat Kaki Seribu memintanya
untuk menghadapi pesta pernikahan anak salah seo-
rang sahabatnya, Pendekar Bintang Emas di Puncak
Gunung Lawu. Namun, sudah dua hari dua malam Pu-
lasari belum pulang ke Lembah Tegal Arum, tempat
Perguruan Kaki Angin bermarkas. Hal ini tentu saja
membuat lelaki tua itu gelisah.
Di ruang pendopo, Malaikat Kaki Seribu tam-
pak gelisah sekali menunggu kedatangan Pulasari.
Berkali-kali kepalanya melongok ke halaman depan.
Namun orang yang diharapkan belum juga menam-
pakkan batang hidungnya. Dihelanya napas panjang.
Keningnya berkerut. Sementara delapan orang murid
Perguruan Kaki Angin yang bersimpuh di lantai ikut-
ikutan gelisah.
"Sebaiknya Guru jangan terlalu merisaukan ke-
selamatan Adik Pulasari. Kukira kepandaian Adik Pu-
lasari sudah cukup tinggi untuk menjaga diri," cetus salah seorang murid
Perguruan Kaki Angin yang duduk paling depan penuh hormat.


Siluman Ular Putih 09 Iblis Pemanggil Roh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Benar, Guru. Kukira Kakang Permono betul.
Kepandaian Adik Pulasari sudah cukup tinggi untuk
sekadar menjaga diri. Bahkan berkali-kali kami dapat dikalahkannya, Guru,"
timpal lainnya.
Malaikat Kaki Seribu mengangguk-angguk. De-
sah nafasnya terdengar agak keras, pertanda sangat menggelisahkan keselamatan
putri angkatnya.
"Ya ya ya...! Memang kepandaian Pulasari su-
dah cukup untuk sekadar menjaga diri. Tapi biar ba-
gaimanapun, aku tetap merisaukan keselamatannya,"
kata orang tua itu.
Wajah Ketua Perguruan Kaki Angin tampak
demikian murung. Sepasang matanya yang mencorong
tajam menyiratkan kehebatan tenaga dalamnya. Ber-
kali-kali matanya melirik ke halaman depan.
Sebenarnya, usia Malaikat Kaki Seribu belum
terlalu tua. Paling baru enam puluh tahun. Tapi entah mengapa, wajahnya tampak
lebih tua daripada usia
yang sebenarnya. Rambutnya yang panjang berwarna
putih digelung ke atas. Di kepalanya tampak melingkar ikat kepala warna putih.
Sedang tubuh tinggi kurusnya dibalut pakaian ketat warna kuning muda.
"Baiklah. Kukira ucapan kalian semua benar.
Buat apa aku terlalu merisaukan keselamatan Pulasa-
ri" Toh, mati dan hidup manusia di tangan Tuhan. Sekarang, sebaiknya kalian
lekas tidur. Jangan lupa!
Dua di antara kalian harus berjaga!" ujar Malaikat Ka-ki Seribu lagi.
Sehabis berkata begitu, Malaikat Kaki Seribu
segera beranjak dari tempat duduk. Tanpa banyak ca-
kap lagi, orang tua itu pun masuk ke dalam ruang sebelah. Sedangkan beberapa
orang murid Perguruan
Kaki Angin tampak memperhatikan gurunya sebelum
akhirnya menghilang di balik pintu.
"Sekarang giliran siapa yang berjaga?" tanya murid yang tadi dipanggil Permono,
kembali buka suara.
"Kakang Turonggo dan Adi Bono, Kakang," sa-
hut seorang murid.
"Nah, sekarang Adi Turonggo dan Adi Bono le-
kas berjaga di pos kalian!" ujar Permono lagi.
Permono adalah murid tertua di Perguruan Ka-
ki Angin. Bila Pulasari keluar, maka pemuda berusia dua puluh empat tahun itulah
yang menangani semua
urusan dalam perguruan. Sikapnya cukup wibawa.
Sehingga, membuat Malaikat Kaki Seribu menyayan-
ginya. Bahkan pula dihormati oleh adik-adik seperguruannya.
"Baiklah, Kakang," sahut pemuda yang berna-ma Turonggo dan Bono hampir
bersamaan. Sehabis berkata begitu, kedua murid itu berge-
gas keluar dari pendopo. Sedang Permono dan kelima
orang adik seperguruan lainnya masih di tempatnya.
*** Malam yang makin merayap dengan udara din-
gin terasa dingin menusuk kulit, membuat orang lebih suka meringkuk di balik
selimut. Namun beberapa
orang murid Perguruan Kaki Angin masih berkumpul
di ruang pendopo. Sembari bermain dam-daman, me-
reka terus mengobrol tak karuan.
"Ah...! Aku sudah ngantuk. Aku tidur dulu ya,"
kata Permono setelah menguap lebar.
"Iya, ah! Aku juga sudah ngantuk. Main dam-
damannya diteruskan besok saja, Kang!" kata salah seorang adik seperguruan
Permono. "Bereskan dam-damannya, Lindu," ujar Permo-no.
Murid yang dipanggil Lindu segera membersih-
kan ruangan pendopo. Sedang kelima murid lainnya
sudah masuk ke kamar masing-masing. Dan di saat
tengah membersihkan ruang pendopo, mendadak..
"Aaa...!"
"Heh..."!"
Lindu kontan tersentak kaget mendengar suar
lengking kematian yang datangnya dari halaman depan pendopo!
Sejenak keningnya berkerut dalam-dalam. Se-
kali lagi terdengar lengking kematian yang datangnya dari halaman depan pendopo!
Malah kemudian....
"Teman-teman! Bantu aku menghadapi Je...."
Bukkk! Bukkk! "Aughhh...!!!"
Lindu sempat melihat Bono berlari sambil ber-
teriak-teriak. Namun tiba-tiba jeritan terhenti seiring dengan tubuhnya yang
roboh. Lindu tak buang-buang
waktu lagi. Sekali kakinya menjejak lantai pendopo, sosok tinggi kekarnya telah
tegak di halaman depan
pendopo diikuti beberapa murid lainnya. Dan apa yang dilihat, benar-benar
membuat amarah Lindu menggelegak. Ternyata Bono dan Turonggo telah tewas!
Dada mereka jebol berwarna kekuningan. Tam-
pak darah segar membasahi lobang telinga, hidung,
dan sela-sela bibir!
"Setan alas! Siapa berani menebar maut di Per-
guruan Kak...."
Sebelum bicara Lindu selesai tiba-tiba melesat
seleret sinar kuning dari samping.
"Awas dari samping...!"
Lindu terkesiap bukan main begitu menoleh ke
samping. Sinar kuning yang disertai hawa dingin siap menghantam tubuhnya.
Secepatnya dia membuang
tubuh ke samping.
"Hup...!"
Crass...! "Aaah...!"
Sayang, gerakan Lindu kalah cepat dibanding
sinar kuning yang menyerangnya! Tak urung, bahunya
masih sempat terkena. Seketika itu bahu kanannya
pun hancur. Tampak asap kuning tipis mengepul dari
luka! Lindu meringis menahan sakit setelah berhenti bergulingan. Perlahan-lahan
hawa dingin yang bukan
main mulai meresap dalam darahnya! Sekujur tubuh-
nya pun mulai berwarna kekuningan!
Lindu terkesiap bukan main. Tak disangka ka-
lau sinar kuning itu akan berakibat demikian mengi-
riskan. Dan lebih kagetnya lagi ketika pemuda itu melihat sebuah benda aneh
telah tegak di depannya. Sosok aneh itu mempunyai kepala dari tempurung kela-
pa! Sekujur badannya terbuat dari kayu berbalut kain putih! "Je....
Jerangkong..."!" desis Lindu tak percaya kalau sosok benda aneh itulah yang
telah mencelakakan dirinya dan juga Bono serta Turonggo.
Layaknya sebuah benda mati, benda aneh yang
tak lain Jerangkong itu tak mengeluarkan sepatah ka-ta pun. Hanya tangan
kanannya saja yang digerakkan
dari atas ke bawah. Namun, akibatnya hebat bukan
main. Dari tangan kayunya mendadak melesat seleret
sinar kuning ke arah Lindu!
Wesss! Sulit sekali rasanya Lindu, menghindar dari se-
rangan maut itu. Apalagi dalam jarak demikian dekatnya. Sedang tubuhnya sendiri
pun terasa sulit dige-
rakkan. Sementara racun sudah mulai menjalari tu-
buhnya! "Aaakh...!"
Lindu memekik menyayat. Beberapa orang te-
mannya yang sejak tadi berdiri di tempat itu hanya
terpaku saja. Apalagi, jarak mereka memang cukup
jauh. Tubuh Lindu tampak terpental beberapa tombak
ke belakang! Dadanya yang terkena sambaran sinar
kuning dari sosok aneh itu langsung jebol! Darah segar berwarna kekuningan
keluar dari lukanya! Dan begitu tubuh terjatuh ke tanah, tubuh tinggi kekarnya
pun tak bergerak lagi. Tewas!
"Keparat! Siapa yang menyuruhmu membunuhi
murid-murid Perguruan Kaki Angin, Jerangkong"!" teriak Permono yang telah berada
tak jauh dari tempat itu. Dari jarak jauh, tadi Permono sempat melihat seleret
sinar kuning yang keluar dari tangan kanan Jerangkong yang membuat Lindu tewas.
Dan seperti tadi, Jerangkong pun tidak berka-
ta-kata. Hanya kedua tangannya yang bergerak menye-
rang murid-murid Perguruan Kaki Angin yang kini te-
lah mengurung dirinya.
Wesss! Wesss! "Aakh...!"
"Aaakh...!"
Kembali dua sinar kuning dari tangan kayu Je-
rangkong meluruk cepat. Dan tanpa ampun lagi, dua
orang murid Perguruan Kaki Angin memekik setinggi
langit begitu terkena sambaran sinar kuning dari tangan Jerangkong. Tubuh mereka
kontan terpental bebe-
rapa tombak ke belakang, dan langsung ambruk tak
dapat bangun lagi. Perut mereka langsung jebol! Darah segar berhamburan
membasahi pakaian biru-biru mereka. Melihat kematian kedua adik seperguruannya,
Permono dan yang lainnya terbelalak lebar. Seolah mereka tidak percaya kalau
dalam satu gebrakan saja
dua orang dapat dirobohkan hanya oleh sosok benda
aneh itu. "Keparat! Kau harus merasakan pukulan maut
'Pulung Geni'!" bentak Permono lagi penuh kemarahan.
Tangan kanan lelaki ini yang sudah gatal ingin
menghajar Jerangkong, cepat membuat beberapa gera-
kan dengan kuda-kuda kokoh. Begitu kedua tangan-
nya menghentak....
Wesss...! Seketika seleret sinar merah menyala melesat
dari telapak tangan kanan Permono. Pada saat yang sama, Jerangkong pun
menggerakkan kedua tangannya kembali. Maka, seleret sinar kuning pun kembali
melesat. Lalu....
Blarrr...!!! Terdengar satu letusan hebat di udara mencip-
takan bunga api dan kepulan asap tebal. Dari kepulan asap, tampak Jerangkong itu
terjajar setindak ke belakang. Sedang tubuh Permono dan kedua orang teman-
nya terpental beberapa tombak ke belakang, lalu jatuh keras di tanah tanpa dapat
bangun lagi! Sekujur badan mereka berwarna kuning. Tampak darah segar keluar
dari lobang telinga, hidung, dan sela-sela bibir! Tak ada gerakan di tubuh
mereka. Mungkin langsung tewas! "Bagus, bagus! Sekarang cepatlah cari musuh
besarku yang berjuluk Malaikat Kaki Seribu, Jerangkong!" Sayup-sayup terdengar
satu suara halus seperti bisikan angin malam, bernada perintah pada Jerangkong
yang masih berdiam tegak tak bergerak di tempat pertarungan. Dan baru saja
Jerangkong hendak bergerak ke arah bangunan perguruan....
"Jahanam! Siapa yang menyuruhmu menebar
maut di Perguruan Kaki Angin, Jerangkong"!"
Mendadak terdengar bentakan keras menggele-
gar yang disusul berkelebatnya satu sosok bayangan
kuning. Sebentar saja di depan Jerangkong telah berdiri seorang lelaki tua
berbaju kuning.
Seperti biasa, si Jerangkong tak berkata sepa-
tah kata pun! Hanya kedua tangannya saja yang dige-
rakkan sedemikian rupa ke arah sosok tinggi kurus
berbaju kuning yang tak lain Malaikat Kaki Seribu.
Dan bersamaan dengan melesatnya sinar kuning dari
tangan kayu Jerangkong....
"Bagus, bagus! Memang itulah musuh besarku
si Malaikat Kaki Seribu. Lekas singkirkan bangkotan tua itu, Jerangkong!"
Kembali terdengar suara halus yang ditujukan
pada si Jerangkong. Suara yang tak lain berasal dari Iblis Pemanggil Roh!
3 Kening Malaikat Kaki Seribu berkerut dalam.
Bukan saja heran melihat pembantaian terhadap kede-
lapan orang muridnya, melainkan samar-samar telin-
ganya juga mendengar suara halus yang memerintah-
kan Jerangkong untuk membunuhnya. Dan dia yakin
itu adalah suara musuh besarnya yang tak lain Iblis Pemanggil Roh!
"Hm...! Rupanya kau suruhan manusia sesat
Iblis Pemanggil Roh, Jerangkong?" gumam Malaikat Kaki Seribu. "Arwah siapa kau
sebenarnya ini, Jerangkong" Mengapa kau mau disuruh Iblis Pemanggil
Roh"!" tanya Malaikat Kaki Seribu, nyaris mendesis.
Tidak sepatah kata pun yang keluar dari mulut
Jerangkong. Malah dengan gerakan-gerakan kaku, dia
melipatgandakan tenaga dalamnya. Begitu kedua tan-
gannya mengibas, seketika melesat sinar kuning ke
arah Malaikat Kaki Seribu.
Wesss! Wesss! Melihat sinar kuning berkeredepan yang mele-
sat dari tangan kayu Jerangkong, kening Malaikat Kaki Seribu makin berkerut
dalam. Apalagi ia juga merasakan angin dingin berkesiur. Secepatnya lelaki tua
berbaju kuning ini meloncat tinggi ke udara.
"Hm...! Kalau tidak salah, ini pukulan maut
'Darah Mayat' milik Penghuni Alam Maut Jadi, benar!
Kau pasti arwah mendiang Penghuni Alam Maut!" duga Malaikat Kaki Seribu, ketika
masih di udara.
Tetap saja si Jerangkong tidak bersuara sedikit
pun! Bahkan begitu serangan pertamanya gagal, kem-
bali kedua tangan kayunya digerakkan ke depan. Maka dua leret sinar kuning
melesat menyerang Malaikat
Kaki Seribu yang baru saja mendarat.
Malaikat Kaki Seribu tahu kalau sinar kuning
itu sangat berbahaya. Saat itu pula kedua tangannya diangkat. Begitu menghentak
ke depan seleret sinar
merah menyala meluncur dari kedua telapak tangan-
nya. Bummm...!!!
Satu letusan hebat langsung mengguncang
udara begitu sinar kuning milik si Jerangkong bertemu sinar merah Malaikat Kaki
Seribu. Bumi bergetar, seolah terjadi gempa. Ranting-ranting pohon berderak.
Malah sebagian layu dan berguguran. Tubuh tinggi kurus Malaikat Kaki Seribu pun
terhuyung-huyung bebe-
rapa langkah ke belakang. Wajahnya pucat pasi. Tam-
pak darah segar membasahi sudut-sudut bibir, per-
tanda tengah terluka dalam! Sedang sosok Jerangkong di hadapannya hanya
bergoyang-goyang sebentar!
Malaikat Kaki Seribu tahu kalau tenaga dalam-
nya kalah. Dari benturan barusan, dua tingkat di ba-wahnya dibanding tenaga
dalam si Jerangkong! Dan
begitu serangan kembali datang jurus-jurus andalan-
nya yang bernama 'Kaki Angin' dikeluarkan!
Sesuai julukan, kedua kaki tokoh pertama dari
Perguruan Kaki Angin, dapat bergerak cepat laksana
angin. Begitu cepatnya bergerak, sehingga seperti berobah menjadi banyak sekali.
Dan saat serangan-


Siluman Ular Putih 09 Iblis Pemanggil Roh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

serangan Jerangkong mulai mendekati tubuhnya, kaki
kanannya segera diangkat. Bersamaan dengan tangki-
san ini, Malaikat Kaki Seribu pun cepat putar kakinya sedemikian rupa dalam
kecepatan luar biasa!
Wesss! Plakkk! Kaki kiri Malaikat Kaki Seribu membentur tan-
gan kayu Jerangkong. Namun akibatnya, kaki kirinya
terasa nyeri bukan main. Kakinya tadi seperti mem-
bentur lempengan baja saja. Bahkan benturan tadi,
tubuhnya pun sempat limbung.
Kesempatan ini tidak disia-siakan si Jerang-
kong. Seperti memiliki mata saja, kedua tangan kayu si Jerangkong kembali
bergerak-gerak menggempur Malaikat Kaki Seribu! Tangan kanannya digunakan untuk
menyodok dada, sedang tangan kirinya siap melontarkan pukulan maut 'Darah
Mayat'! Hebat bukan main serangan-serangan Jerang-
kong kali ini. Bahkan sebelum serangan-serangan itu mengenai sasaran, terlebih
dahulu meluncur angin
dingin bukan main!
Malaikat Kaki Seribu tentu tidak ingin dirinya
terkecoh. Ketua Perguruan Kaki Angin ini sudah san-
gat banyak makan asam garam dunia persilatan. Ia ta-hu, serangan tangan kanan
Jerangkong yang menyo-
dok dadanya itulah merupakan serangan yang sesung-
guhnya. Sedang serangan tangan kirinya yang men-
gandung pukulan 'Darah Mayat' hanyalah pancingan
saja. Wutt...! Dan seperti yang telah diduga, ternyata seran-
gan tangan kanan si Jerangkong memang merupakan
serangan yang sesungguhnya. Untung saja, Malaikat
Kaki Seribu segera memiringkan tubuhnya ke samp-
ing. Sehingga jotosan tangan Jerangkong hanya men-
genai tempat kosong! Sedang pukulan tangan kiri Je-
rangkong terus menerabas ke depan, langsung meng-
hantam pohon mangga yang tumbuh rindang di hala-
man depan Perguruan Kaki Angin.
Brakkk! Pohon mangga besar itu bergoyang-goyang se-
bentar begitu terkena pukulan 'Darah Mayat' milik Jerangkong. Selang beberapa
saat, terdengar suara berderak ketika pohon mangga itu tumbang dan jatuh
berdebam ke tanah. Seketika itu debu-debu membu-
bung memenuhi tempat itu!
"Hup!"
Malaikat Kaki Seribu cepat menyingkir ke tem-
pat yang terang. Namun baru saja meloncat keluar dari kubangan debu yang
membubung tinggi, mendadak
sosok Jerangkong telah menghadang langkahnya. Le-
laki tua ini benar-benar tidak menyangka kalau ilmu meringankan tubuh si
Jerangkong demikian hebat.
Begitu berhadapan dengan Malaikat Kaki Seri-
bu, si Jerangkong kembali menggerakkan kedua tan-
gan kayunya, menyerang Malaikat Kaki Seribu. Kini ia tidak lagi menggunakan
jurus-jurus maut, melainkan
melepaskan dua leret sinar kuning yang begitu cepat penuh ancaman.
Malaikat Kaki Seribu mengeluh. Tak mungkin
serangan maut itu dihindarinya. Apalagi dalam jarak yang demikian dekatnya!
Tidak ada pilihan lain, terpaksa dipapakinya pukulan 'Darah Mayat' si Jerang-
kong. Maka tanpa banyak pikir panjang lagi, kedua telapak tangannya segera
didorongkan ke depan.
Wesss! Wesss! Blarrr...!!! Sekali lagi terdengar letusan hebat di udara
akibat pertemuan dua tenaga dalam tingkat tinggi tadi!
Bumi bergetar! Debu-debu beterbangan tersapu angin
pukulan kedua orang itu. Daun-daun mangga hangus
terbakar! Sedang pohon-pohon yang tidak terkena
sambaran pukulan barusan sempat bergoyang-goyang
terkena angin sambaran.
Tubuh tinggi kurus Malaikat Kaki Seribu pun
kembali terhuyung-huyung beberapa langkah ke bela-
kang. Wajahnya pucat pasi. Darah segar tampak kem-
bali membasahi mulut keriputnya. Jelas, luka dalam
orang pertama dari Perguruan Kaki Angin ini makin
gawat saja. Sementara sosok aneh Jerangkong hanya sem-
pat bergoyang-goyang sebentar! Sama sekali tidak ada pengaruh apa-apa akibat
bentrokan tadi.
Kini melihat musuh besar Iblis Pemanggil Roh
tampak semakin tak berdaya, layaknya seorang manu-
sia saja, sosok Jerangkong kembali menerjang! Tangan kanannya dihantamkan ke
depan. Sedang tangan kirinya siap melontarkan pukulan 'Darah Mayat'.
Tidak ada pilihan lain, Malaikat Kaki Seribu
terpaksa kembali harus menahan serangan Jerang-
kong. "Uh...!"
Namun sayang sekali. Gerakan tangan Malaikat
Kaki Seribu kalah cepat dibanding gerakan-gerakan
tangan si Jerangkong. Maka begitu terjadi bentrokan dua tenaga dalam di udara,
tanpa diduga-duga sama
sekali tangan kanan Jerangkong berputar sedemikian
rupa. Langsung dihujamkan ke ubun-ubun kepala Ma-
laikat Kaki Seribu!
Crokkk! "Aaa...!"
Seketika itu darah segar beserta isi kepala Ma-
laikat Kaki Seribu berhamburan keluar! Tubuh tinggi kurus lelaki itu melorot
jatuh. Dan begitu ambruk ke tanah, tubuhnya tidak lagi bergerak-gerak. Tewas!
"Bagus, bagus! Kau telah menjalankan tugasmu
dengan baik, Jerangkong! Sekarang cepat kembali ke
tempatmu semula! Temui aku di puncak Bukit Men-
jangan! Kutunggu kau di atas makammu!"
Tiba-tiba kembali terdengar suara halus bak ti-
upan angin malam yang memerintahkan Jerangkong
untuk kembali ke tempatnya semula. Sosok aneh itu
sejenak berbalik. Kemudian dengan gerakan aneh, ta-
hu-tahu sosoknya telah berkelebat cepat meninggalkan halaman depan Perguruan
Kaki Angin. 4 Matahari pagi baru saja mengintip malu-malu
dengan sinarnya yang kuning keemasan di ufuk timur
sana. Satu-dua bintang masih bergelantungan di ang-
kasa biru. Sementara angin dingin masih menusuk ku-
lit. Beberapa burung jalak terdengar riuh saling sahut ditingkahi oleh beberapa
ekor di sekitarnya yang ten-
gah berkelahi sambil beterbangan.
Di atas sebuah cabang pohon besar, seorang
pemuda gondrong berpakaian rompi dengan celana
bersisik warna putih keperakan tengah menikmati ti-
durnya yang nyaman. Suara-suara gaduh burung jalak
yang sedang bertengkar sama sekali tidak membuat tidurnya terganggu. Malah
senyum tipisnya tampak ter-
kembang di bibir. Entah mimpi apa yang membuat
pemuda gondrong itu senyum-senyum dalam tidurnya.
Kedua tangannya disedekapkan di depan dada. Sedang
kepalanya bersandar pada celah-celah pohon.
Tiba-tiba di antara riuhnya kicauan burung-
burung jalak terdengar pula suara bergemerincing
yang berisik bukan main. Sejenak burung-burung ja-
lak itu berhenti berkicau dengan mata memandang ke
bawah. Di bawah sana, tampak seorang lelaki tua renta tengah berjalan santai di
jalan setapak. Tangan kanannya memegang lonceng kecil yang terus digerak-
gerakkan sehingga menimbulkan bunyi bergemerinc-
ing. Orang tua renta berpakaian putih-putih itu terus menyusuri jalan di pinggir
Hutan Sawo Kembar.
Namun entah kenapa, tiba-tiba saja orang tua
itu berhenti melangkah. Kepalanya mendongak ke
atas, memperhatikan beberapa burung jalak yang ten-
gah bercanda di udara. Dan entah mengapa pula, bu-
rung-burung jalak itu pun seperti terpaku. Lalu mere-ka terbang jauh ke angkasa
biru, membentuk titik-titik hitam. Pada saat mendongak ke atas, maka tampaklah
kalau raut wajah lelaki tua renta itu demikian bersih.
Sepasang matanya yang tajam bersinar terang. Sedang rambutnya yang putih panjang
dibiarkan meriap di
bahu. Perhatian laki-laki tua renta itu kini tidak lagi
tertuju pada beberapa burung jalak yang sudah lenyap di ufuk barat sana,
melainkan ke arah jalan yang hendak dilaluinya sembari gerak-gerakkan lonceng
kecil di tangan kanan. Dan sambil menggerakkan lonceng
langkahnya pun dilanjutkan.
Klinting! Klinting!
Bergemerincing lonceng di tangan si tua ini
kembali memenuhi tempat itu. Bahkan tanpa mempe-
dulikan sekitarnya orang tua renta itu mulai memba-
cakan bait-bait syairnya.
Oleh seluruh isi alam hatimu tak terpuaskan.
Oh, kegilaanku. Mereka yang mengembara bo-
lak-balik gurun.
Akan sia-sia! Hanya diri yang bisa menghancurkan;
Pesona jahat dunia, itulah tenaga yang tak kita kenal. Gosok sampai cerlang
penglihatanmu! Terang; Adalah tanda kehidupan dan ombakmu harus
senantiasa bergelora.
Di manakah akal dan wahyu berselisih paham"
Iman akan sesaat...
Sejenak lelaki tua itu menghentikan sajaknya.
Keningnya berkerut-kerut. Entah lupa dengan bait-bait sajaknya, entah tidak.
Yang jelas, kini kepalanya tengah menengadah memandang angkasa biru. Selang
beberapa saat, kembali lonceng di tangan kanannya
digerak-gerakkan.
Klinting! Klinting!
Sementara itu pemuda di atas pohon yang ti-
durnya terganggu jadi jengkel sekali oleh suara klinting-klinting dari lonceng
di tangan lelaki tua renta ini.
Perlahan-lahan pemuda gondrong yang memiliki raja-
han bergambar ular putih di dada itu pun mulai men-
gucek-ngucek dan mengerjap-ngerjapkan kedua bola
matanya yang masih sepet. Lalu, kepalanya pun me-
longok ke bawah.
"Hm...! Tua bangka kurang kerjaan! Pagi-pagi
sudah mengganggu tidurku saja," omel pemuda yang tak lain Soma alias Siluman
Ular Putih, jengkel bukan main. Andai saja tahu siapa lelaki tua itu, sudah
pasti Soma tidak mungkin berani berkata selancang ini. Karena lelaki bertubuh
ringkih seperti tak bertenaga itu adalah salah seorang tokoh sakti tua di dunia
persilatan. Usianya sudah sangat tua. Mungkin hampir men-
capai sembilan puluh tahun. Sesuai kebiasaannya da-
lam membaca syair yang tak mengenal waktu dan
tempat, maka di dunia persilatan akan mencatat kalau ada seorang tokoh berjuluk
Penyair Sinting! Cukup
aneh memang. Tapi bukannya syair-syairnya yang mir-
ing, melainkan tingkah lakunya yang di luar kewaja-
ran. Namun kali ini Soma yang merasa jengkel ter-
ganggu tidurnya, tidak sempat berpikir sejauh itu. Apa kata hati pemuda murid
Eyang Begawan Kamasetyo
itulah yang dituruti. Maka begitu lelaki tua itu berjalan terseok-seok di bawah
pohon sawo tempatnya tertidur, Soma pun segera meloncat turun.
"Suara lonceng itu yang mengganggu tidurku.
Biar kurebut dan ku buang saja. Habis perkara!" gumam Soma jengkel.
Ketika kedua kaki Siluman Ular Putih mendarat
manis di hadapan Penyair Sinting, sedikit pun tidak
membuat debu-debu beterbangan! Jelas, ilmu merin-
gankan tubuh pemuda murid Eyang Begawan Kama-
setyo itu sudah sangat tinggi!
Sedang Penyair Sinting tampak tenang-tenang
saja begitu tangan pemuda itu menjulurkan ke depan
untuk meraih lonceng kecil.
"Heh..."!"
Soma kaget setengah mati ketika meraih lon-
ceng kecil di tangan Penyair Sinting. Betapa tidak. Ternyata, sedikit pun
lonceng itu tidak bergeming dari tempatnya!
Soma penasaran sekali. Sementara lelaki renta
di hadapannya masih tenang-tenang saja. Malah se-
nyum nakalnya tersungging di bibir. Sedikit pun tidak tampak kalau ia tengah
mengerahkan tenaga dalam.
Dan kini, Penyair Sinting malah mendongak,
memperhatikan beberapa ekor burung jalak hitam
yang beterbangan bebas di angkasa. Kedua bibirnya
berkemik-kemik seperti hendak membacakan bait-bait
sajaknya. Pengetahuan punya dua sayap.
Pendapat cuma punya satu sayap.
Pendapat mengurangi dan membatasi pener-
bangan. Burung dengan satu sayap akan cepat jatuh.
Dia cuma mampu terbang dengan dua-tiga kali
kepakkan sayap.
Burung, Pendapat, jatuh, dan bangun.
Terbang dengan satu sayap, dengan harapan
mencapai sarang.
Namun apabila ia bebas dari Pendapat, Penge-
tahuan akan menunjukkan wajahnya padanya.
Dan burung satu sayap akan menjadi dua
sayap. Lalu ia kembangkan sayapnya, tegak dan lurus
berjalan. Tak jatuh telentang ataupun tertelungkup.
Dia terbang membubung tinggi dengan dua
sayap. Seperti para malaikat yang tak pernah luput sedikit pun.
Soma menggumam tak jelas. Malah mungkin
menggerutu. Hatinya kesal sekali dipermalukan seperti itu. Apalagi oleh lelaki
renta yang tampak ringkih tak bertenaga! Dan yang lebih menggemaskan, lelaki di
hadapannya ini malah enak-enakan membacakan bait-
bait sajaknya! Si pemuda pun jadi geram bukan main. Saat
itu juga tenaga dalamnya dikerahkan. Bahkan dengan
kedua tangannya dibetotnya kuat-kuat lonceng di tangan Penyair Sinting! Namun
anehnya, tetap saja lon-
ceng itu tak bergeming sedikit pun! Malah saking
kuatnya Soma mengerahkan tenaga dalam....
Brut! Brut! Brut...!


Siluman Ular Putih 09 Iblis Pemanggil Roh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Angin dalam perut Soma tak bisa dikendalikan
lagi. Tanpa permisi angin berhawa busuk itu keluar
dari lobang pantatnya,
"He... he... he...!"
Penyair Sinting terkekeh senang. Tangan ki-
rinya mengibas-ngibas di depan hidung. Tangan ka-
nannya yang memegang lonceng cepat diputar balik ke belakang. Dan....
Ting! Telak sekali lonceng di tangan kanan Penyair
Sinting mendarat di batok kepala Soma hingga merin-
gis kesakitan. Untung saja Penyair Sinting tidak mengerahkan tenaga dalam. Jadi,
murid Eyang Begawan
Kamasetyo itu hanya merasa sakit kulit luarnya saja.
"Anak muda! Kau tak ubahnya seperti anak bu-
rung! Baru bisa belajar terbang saja, sudah berani jual lagak. Tapi, baiklah!
Melihat ciri-ciri mu, pasti kau pemuda dungu bergelar Siluman Ular Putih. Aku
jadi ingin buktikan, apakah kau pantas menyandang ge-
larmu," ejek Penyair Sinting.
Habis berkata begitu, lelaki tua itu pun segera
menarik ke belakang lonceng di tangan kanan. Semen-
tara tangan kiri dipentangkan lebar ke samping, seperti orang mau menampar.
Soma tersentak kaget. Sungguh tidak disangka
kalau orang tua renta di hadapannya mengenal julu-
kannya. Namun karena merasa jengkel dipermainkan,
membuat amarah murid Eyang Begawan Kamasetyo
yang bergelar Siluman Ular Putih itu tidak dapat dikendalikan.
"Heaaa...!
Disertai bentakan nyaring, tahu-tahu lonceng
di tangan Penyair Sinting telah berkelebat cepat menyerang batok kepala Soma.
Sedangkan tangan ka-
nannya menampar dari samping.
Soma tercekat. Karena belum sempat serangan-
serangan Penyair Sinting mengenai sasaran, terlebih dahulu terasa sambaran angin
dingin menyerang tubuhnya. Secepatnya dikeluarkan jurus 'Terjangan
Maut Ular Putih'. Lalu bagaikan kilat tubuhnya segera berkelebat di antara
gulungan-gulungan lonceng di
tangan Penyair Sinting. Kedua telapak tangannya yang membentuk kepala ular
sesekali menyelinap menotok
tubuh ringkih lelaki tua itu. Penyair Sinting terkekeh senang. "Sudah kuduga!
Kau pasti murid atau cucu Adi Begawan Kamasetyo. Bukankah jurus yang sedang
kau pamerkan bernama 'Terjangan Maut Ular Putih'?"
Siluman Ular Putih melompat mundur seraya
menghentikan serangan dengan wajah kaget. Bukan
saja kaget melihat serangan-serangannya dapat dihindari Penyair Sinting dengan
mudah, melainkan juga
karena Penyair Sinting juga mengenal jurus-jurusnya.
Bahkan lelaki tua ini pun mengenal Eyang Begawan
Kamasetyo. Saat itu pula sepasang mata birunya
memperhatikan orang tua renta di hadapannya sek-
sama. "Kalau orang tua renta ini mengenal jurusku dan juga mengenal Eyang
Begawan Kamasetyo, sudah
pasti ia sudah cukup mengenal eyang guruku. Lalu,
siapakah lelaki renta yang suka membacakan bait-bait sajak ini" Ah...! Jangan-
jangan orang tua renta di hadapanku ini salah seorang sahabat eyangku. Ya, dia
pasti Penyair Sinting!" gumam Soma dalam hati gelisah. "Hey, Bocah Dungu!
Mengapa kau memandangi aku seperti orang linglung"! Hayo lekas keluarkan jurus-
jurus andalanmu! Aku ingin lihat, apa kau sang-
gup menghadapi jurusku 'Orang Gila Bersyair'," tegur Penyair Sinting, jumawa.
Habis berkata begitu, lelaki ringkih ini segera
merentangkan kedua tangannya seperti orang sedang
membaca syair. Sedang mulutnya pun mulai mengoceh
tidak karuan. Soma tetap diam di tempatnya. Kini, ia mulai
menaruh rasa hormat pada orang tua renta di hada-
pannya. "Maafkan kekasaran sikapku tadi, Orang Tua!
Aku benar-benar khilaf. Aku tidak mengira kalau kau adalah sahabat eyangku,"
ucap Soma seraya mena-kupkan kedua telapak tangan ke depan hidung penuh
hormat. Penyair Sinting menggerutu kesal. Sepasang
matanya yang mencorong terus memandang tajam.
"Siapa" Siapa yang suruh kau bersikap meng-
hormat padaku, heh"! Mau aku teman eyangmu, kek.
Mau tidak, kek. Siapa peduli"! Pokoknya aku ingin lihat, apa kau sanggup
menghadapi jurus 'Orang Gila
Bersyair' andalanku?" tukas si tua sinting itu.
"Tapi, Orang Tua...."
"Sudah jangan banyak cincong!" bentak Penyair Sinting, memotong. "Cepat
keluarkan ajian 'Titisan Siluman Ular Putih'mu. Aku ingin lihat. Cepat!"
"Aku tidak berani bersikap kurang ajar, Orang
Tua. Ibu dan eyangku akan marah besar kalau aku
bersikap kurang ajar padamu," tolak Siluman Ular Putih, halus.
"Siapa suruh punya ibu dan eyang sebawel
itu"! Hayo lekas hadapi aku! Kalau tidak, biar ku paksa kau untuk keluarkan ilmu
andalanmu itu. Awas, lihat serangan! Heaaat...!"
Dikawal sebuah teriakan keras, Penyair Sinting
membuka serangan kembali. Sambil mengoceh tidak
karuan, kedua tangannya digerak-gerakkan mirip
orang tengah membaca syair! Akibatnya, sebelum se-
rangan sesungguhnya datang, Soma terlebih dahulu
merasakan hawa dingin menyambar-nyambar. Bah-
kan, si pemuda pun merasakan gendang telinganya
mau pecah mendengar ocehan Penyair Sinting yang
ternyata disertai tenaga dalam tinggi.
Namun Soma tetap tenang saja. Ia hanya sedi-
kit mengerahkan tenaga dalam untuk melindungi gen-
dang telinganya.
Melihat tindakan Soma yang tanpa perlawanan,
membuat Penyair Sinting jengkel. Namun serangan-
serangan itu justru malah makin diperhebat. Akibat-
nya.... Bukkk! Bukkk!
Berkali-kali pukulan-pukulan dan tamparan
tangan Penyair Sinting telak menghajar tubuh Siluman Ular Putih. Nyatanya, Soma
tetap tidak berani bersikap kurang ajar. Namun tentu saja tubuhnya tak ingin
terus menerus mendapat bogem mentah. Makanya, ia
hanya berjumpalitan ke sana kemari untuk menghin-
dari serangan-serangan Penyair Sinting.
Wesss! Wesss! Soma terus berjumpalitan, tanpa sedikit pun
berkeinginan untuk membalas. Dan itu membuatnya
berkali-kali berguling-gulingan ke sana kemari. Bahkan tidak jarang pula lonceng
di tangan kanan Penyair Sinting menghajar tubuhnya.
Dan yang menjengkelkan Siluman Ular Putih,
ternyata serangan-serangan Penyair Sinting bukannya mereda. Malah, semakin
menghebat. Namun kendati
merasa geram, Soma masih belum berani membalas.
Prakkk! Prakkk!
Dua kali lonceng kecil di tangan Penyair Sinting
mendarat di batok kepala Siluman Ular Putih, sampai meringis kesakitan. Meski
serangan-serangan lelaki
tua itu disertai tenaga dalam, namun tetap saja cukup membuat kepalanya
berdenyut. Bahkan sekujur tubuhnya sudah babak belur.
Begitu kepalanya terkena hajaran lonceng, Si-
luman Ular Putih cepat membuang tubuhnya ke samp-
ing. Sedangkan Penyair Sinting malah terkekeh senang sambil terus mencecar hebat
lawannya. "Mau terus menghindar, kek! Mau tidak mem-
balas seranganku, kek! Bukan urusanku. Yang pent-
ing, tanganku yang sudah gatal-gatal ingin menghajar
orang harus dituruti. Kebetulan sekali kau korbannya, Anak Muda. Awas, jaga
kepalamu!" oceh si orang tua ringkih yang ternyata berkepandaian tinggi ini.
Penyair Sinting terkekeh senang. Tangan ka-
nannya yang memegang lonceng kembali bergerak ce-
pat, menyerang batok kepala Siluman Ular Putih.
"Hup!"
Soma kembali harus berguling-gulingan ke
samping. Dalam hatinya terus menggerutu kesal. Me-
mang baru kali ini sikap ugal-ugalannya diuji.
"Jangkrik buntung! Babi ngepet! Tak kusangka
kalau orang tua renta ini berotak kurang waras. Sudah aku mengalah, eh... malah
menyerangku habis-habisan...," gerutu Soma dalam hati kesal.
"He he he...! Bagus! Rupanya gerakanmu cukup
gesit juga, Anak Muda. Kau memang pantas jadi murid Adi Begawan Kamasetyo. Tapi
jangan harap aku tega
membiarkan mu lolos dari gebukan loncengku. Aku
belum puas kalau belum menghajar pantatmu sampai
biru!" ceracau Penyair Sinting sambil terus menyerang Siluman Ular Putih dengan
senjata anehnya.
"Dasar manusia sinting! Aku bisa babak belur
di tangannya. Tidak ada pilihan lain. Daripada aku di-marahi ibu dan eyangku,
lebih baik aku kabur saja,"
gumam Soma dalam hati.
Habis menggumam begitu, Siluman Ular Putih
dengan gerakan cepat berguling-gulingan ke samping.
Begitu lolos dari serangan-serangan Penyair Sinting, kakinya segera menjejak ke
tanah, lalu berkelebat cepat meninggalkan tempat itu.
"Hey.... Hey! Mau lari ke mana kau, Bocah" Kau tidak boleh meninggalkan ku
seenak perutmu! Kau belum memamerkan ilmu bututmu ajian 'Titisan Siluman
Ular Putih'! Hayo, lekas hentikan langkahmu!"
Saat itu juga, Penyair Sinting menutulkan ke-
dua kakinya ke tanah. Seketika tubuhnya berkelebat
cepat, mengejar Siluman Ular Putih. Gerakan kedua
kakinya ini aneh sekali. Tampaknya seperti orang berjalan biasa. Namun anehnya,
dalam beberapa saat tu-
buhnya telah berdiri tegak di hadapan Siluman Ular
Putih. "He he he...! Kau tidak boleh lolos dari gebu-kanku, Bocah! Kau boleh
pamerkan ajian 'Titisan Si-
luman Ular Putih' baru boleh meninggalkan ku. Hayo
lekas keluarkan ilmu bututmu itu, Bocah!" hardik Penyair Sinting jengkel.
Soma menggerutu kesal. Padahal, tadi ilmu lari
cepat 'Menjangan Kencono' telah dikerahkan. Namun
anehnya, orang tua renta yang tampak ringkih itu
mampu mengejarnya!
"Hm...! Sungguh hebat ilmu meringankan tu-
buh orang tua renta ini," puji Soma dalam hati.
"Bocah dungu! Apa kau tuli" Hayo, lekas kelua-
rkan ajian 'Titisan Siluman Ular Putih'! Mengapa malah memandangi aku seperti
itu"!" bentak Penyair Sinting gemas.
"Kau ini sungguh keterlaluan, Orang Tua! Aku
sudah mengalah, tapi kau tetap saja memaksaku," gerutu Soma kesal.
Penyair Sinting terkekeh. Ia senang sekali meli-
hat sepasang mata biru Soma yang berkilat-kilat.
"Keterlaluan atau tidak keterlaluan, itu kan
hanya menurut omonganmu saja! Tapi, sudahlah! Aku
tidak ingin bersilat lidah denganmu! Sekarang lekas kau keluarkan ajian 'Titisan
Siluman Ular Putih' yang kau agung-agungkan itu!" ejek Penyair Sinting kesal.
Soma menggerendeng. Hatinya panas juga.
Berkali-kali orang tua di hadapannya itu menyebut-
nyebut ajian 'Titisan Siluman Ular Putih'. Bahkan berkali-kali pula mengejek
kalau ajian itu hanya ajian butut saja.
"Baik! Kalau memang itu yang kau inginkan,
Orang Tua! Tapi, jangan salahkan aku kalau nanti sedikit kurang ajar padamu,"
sahut Soma kesal.
Penyair Sinting terkekeh senang. Meski usianya
di ambang senja, namun memang paling senang men-
gadu kepandaian dengan siapa pun juga. Maka begitu
bertemu Siluman Ular Putih, penyakit lamanya kam-
buh. Begitu Soma merapalkan ajian 'Titisan Siluman Ular Putih' perlahan-lahan
sekujur tubuhnya pun mulai diselimuti asap putih tipis. Sehingga, bayangan
tinggi kekarnya pun tidak kelihatan sama sekali! Dan ketika asap tebal yang
menyelimuti sekujur tubuhnya sirna tertiup angin, maka seketika itu juga....
"Gggggeeerrr...!!!"
Mendengar gerengan barusan, Penyair Sinting
justru terkekeh. Samar-samar dari sisa-sisa asap putih yang menyelimuti tubuh
Soma, kini tampak sesosok
bayangan putih panjang sebesar pohon kelapa! Sepa-
sang matanya berwarna merah menyala dengan taring-
taring runcing! Itulah sosok Siluman Ular Putih!
"Ggggeeerrr...!!!"
Sejenak Siluman Ular Putih menggeliat-
geliatkan tubuhnya. Terkadang badannya yang me-
nyembul ke atas, terkadang kepalanya yang mendon-
gak tinggi-tinggi. Lalu dengan gerakan gesit sekali, ta-hu-tahu ular raksasa ini
telah menerjang hebat! Angin kencang berkesiur! Ranting-ranting pohon sawo di
hutan itu bergoyang-goyang terkena angin sambarannya!
Sembari terkekeh-kekeh senang, Penyair Sint-
ing cepat membuka jurus-jurus andalan 'Orang Gila
Bersyair'. Kedua tangannya segera dipentangkan lebar-lebar. Mulutnya tak henti-
hentinya mengoceh tidak karuan. Meski hanya ocehan-ocehan biasa, namun sebe-
narnya bisa memecahkan gendang telinga lawan yang
tenaga dalamnya rendah.
Namun anehnya, kali ini Siluman Ular Putih
sekali tak terpengaruh ocehan Penyair Sinting yang
penuh tenaga dalam tingkat tinggi! Melihat hal itu kening Penyair Sinting
berkerut dalam. Kini dipahami kalau tubuh Siluman Ular Putih kebal. Maka begitu
me- lihat ular raksasa itu menyerang, tubuhnya segera
berkelebat cepat.
Wesss! Wesss! Terkaman sosok memanjang Siluman Ular Pu-
tih hanya mengenai tempat kosong. Tubuhnya yang
besar menghantam tanah berdebu. Seketika itu debu-
debu membubung tinggi memenuhi tempat pertempu-
ran. "Ggggeeeerrr...!!!"
Siluman Ular Putih menggereng hebat. Suara
gerengannya menggema sampai jauh ke sudut-sudut
hutan. Lalu seketika murid Eyang Begawan Kamasetyo
itu menerjang garang. Angin kencang berkesiur mengiringi serangannya.
"Hup!"
Penyair Sinting cepat berkelebat di antara
bayangan sosok panjang Siluman Ular Putih. Tangan
kanan yang memegang lonceng berkali-kali menghan-
tam telak tubuh Siluman Ular Putih!
Bukkk! Bukkk! Namun, Siluman Ular Putih hanya sedikit
menggeliat. Padahal, hantaman lonceng tadi penuh tenaga dalam tingkat tinggi.
Batu sebesar gajah pun
akan hancur berkeping-keping terkena hantaman ba-
rusan. Namun anehnya tubuh Siluman Ular Putih te-
tap seperti semula! Jangankan hancur berkeping-


Siluman Ular Putih 09 Iblis Pemanggil Roh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keping, terluka pun tidak!
Kini Siluman Ular Putih kembali menerjang he-
bat. Terkaman-terkaman dan kibasan-kibasan ekornya
terus mencari sasaran. Debu-debu kembali membu-
bung tinggi kala serangan-serangan Siluman Ular Pu-
tih hanya mengenai tanah.
Penyair Sinting terkekeh senang. Namun diam-
diam mulai disiapkannya pukulan maut 'Pancar
Surya'! Dan saat tenaga dalamnya dikerahkan, maka
seketika itu kedua telapak tangannya mulai berobah
menjadi putih berkilauan hingga ke pangkal lengan!
Dan secepat kilat kedua telapak tangannya didorong-
kan ke depan! Wesss! Wesss! Seketika dua leret sinar putih berkilauan dari
pukulan 'Pancar Surya' meluruk deras ke arah Silu-
man Ular Putih. Lalu....
Bukkk! Bukkk! Tubuh Siluman Ular Putih yang masih me-
layang-layang di udara terpental beberapa tombak ke belakang. Debu-debu kembali
membubung tinggi begitu tubuhnya menghantam tanah! Samar-samar dari
debu yang bergulung-gulung, tampak sosok meman-
jang Siluman Ular Putih tengah menggeliat-geliat. Sepasang matanya mencorong
tajam. Lalu....
"Ggggrrr...!"
Dengan gerakan cepat luar biasa, kembali Si-
luman Ular Putih menerjang Penyair Sinting hebat.
Terkaman-terkaman dan kibasan-kibasan ekornya
makin mengiriskan. Jangankan tubuh kurus kering
Penyair Sinting, tubuh gajah pun akan remuk bila terkena sambarannya.
"Hiaaat...!"
Begitu melihat serangan-serangan Siluman Ular
Putih, Penyair Sinting pun kembali bergerak. Tubuh-
nya berkelebat di antara gulungan-gulungan serangan Siluman Ular Putih.
"Kau memang hebat, Siluman Ular Putih. Puku-
lan 'Pancar Surya'-ku pun tidak mampu melukai tu-
buhmu! Tapi, apa kau sanggup menahan totokan-
totokan 'Jari-jari Suci' milikku" Jangankan tubuh ular jejadian sepertimu. Tubuh
gajah pun akan kaku tak
dapat bergerak begitu terkena totokan 'Jari-jari Suci'-
ku!" Habis berkata begitu, sejenak Penyair Sinting mengawasi bagian-bagian tubuh
Siluman Ular Putih
dengan seksama. Setelah merasa yakin, lelaki tua ini berkelebat cepat. Jari-jari
kedua tangannya yang berwarna putih berkilau bergerak cepat seperti hendak
menotok. Lalu....
Tukkk! Tukkk! Benar saja dua kali totokan jari-jari tangan Pe-
Kisah Bangsa Petualang 11 Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung Pendekar Binal 6
^