Pencarian

Iblis Pemanggil Roh 2

Siluman Ular Putih 09 Iblis Pemanggil Roh Bagian 2


nyair Sinting tahu-tahu telah mendarat di tengkuk kepala Siluman Ular Putih.
Maka saat itu juga, kepala ular raksasa itu terkulai lemas dan jatuh ke tanah!
Sementara begitu mendarat di tanah dengan
gerakan manis, bukan main senangnya Penyair Sinting melihat hasil kerjanya.
Ternyata, Siluman Ular Putih dapat dilumpuhkan dengan totokan 'Jari-jari Suci'
mi-liknya! "He he he.... Chiaaa...!"
Sambil terkekeh-kekeh senang, lelaki tua itu
kembali berkelebat. Jari-jari tangannya kembali melepas cepat totokan ke
punggung dan ekor Siluman Ular Putih. Tuk! Tuk!
Saat itu pula, tubuh Siluman Ular Putih tak
berdaya di tanah! Lalu seketika asap putih tipis pun kembali bergulung-gulung
menyelimuti sekujur tubuhnya ketika asap tebal yang menyelimuti sirna tertiup
angin, maka yang tampak adalah seorang pemuda
berambut gondrong berpakaian rompi dan celana ber-
sisik putih keperakan tengah terkapar tak berdaya di tanah! "He he he...!
Akhirnya kau kalah juga di tanganku, Bocah! Ajian 'Titisan Siluman Ular Putih'
memang hebat. Tapi, masih jauh lebih hebat dibanding
totokan 'Jari-jari Suci'-ku, Bocah! Selamat tinggal! Aku pergi dulu. Lain kali
aku pasti akan menguji keheba-tanmu lagi!"
Penyair Sinting terkekeh senang. Kedua ka-
kinya cepat menutul ke tanah. Dan sembari bersiul-
siul senang, ditinggalkannya tempat itu.
"Orang tua! Bebaskan dulu totokanku!" teriak Soma geram bukan main.
Tapi, Penyair Sinting malah terus berkelebat
cepat. Gerakan kedua kakinya memang seperti me-
langkah biasa. Namun anehnya dalam waktu singkat,
sosok tinggi kurusnya telah lenyap di tikungan depan sana. Siluman Ular Putih
menggerendeng penuh kemarahan. Saat itu tubuhnya memang masih telentang
tak berdaya di tanah. Dan kebetulan sekali, sinar matahari tepat menerpa
wajahnya. Soma kesal bukan
main. Matanya terasa pedih terus bersitatap dengan
sinar matahari! Sedang tubuhnya masih kaku tak da-
pat digerakkan!
"Alamak! Pantas saja aku tadi malam bermimpi
jelek. Tak tahunya mau mengalami nasib seperti ini...!"
umpatnya dalam hati.
Sementara itu samar-samar Soma masih me-
nangkap suara Penyair Sinting yang tengah membaca-
kan bait-bait sajaknya!
5 Hampir setengah harian Soma masih menggele-
tak tak berdaya di tanah berdebu. Sinar matahari tak henti-hentinya menjilati
wajah dan tubuhnya. Dan tak henti-hentinya ia menggerendeng dalam hati.
Baru ketika matahari sudah sedikit condong di
ufuk barat perlahan-lahan Soma dapat menggerak-
gerakkan tangannya. Diam-diam pun kembali tenaga
dalamnya dikerahkan untuk memunahkan totokan
Penyair Sinting.
Selang beberapa saat, Soma dapat terbebas dari
seluruh totokan. Dengan gerakan masih kaku, pemuda
ini bangkit berdiri. Kini, sekujur tubuhnya terasa pegal-pegal ketika
punggungnya diliukkan ke kanan kiri Kretek! Kretek!
Terdengar tulang-tulang dalam tubuh Soma
saling berkeretakan. Sedikit pemuda ini merasa lega.
Tulang-tulang dalam tubuhnya sudah tidak kaku lagi
seperti tadi. Lalu sejenak, pandangan matanya beredar ke sekitar hutan itu.
Semilir angin membuat pemuda gondrong ber-
gelar Siluman Ular Putih itu senang berlama-lama di sini. Perlahan-lahan
dihirupnya udara sebanyak-banyaknya, lalu dihembuskannya perlahan-lahan. Kini
dadanya terasa segar.
Sejenak. pemuda itu memandang Ke depan.
Dan seketika kakinya menjejak tanah. Maka seketika
tubuhnya melesat cepat. Dan kini yang tinggal hanya titik bayangan putih kecil
di kejauhan sana.
*** Di ufuk sebelah barat sana matahari mulai re-
bah dalam pangkuannya. Cahayanya yang berwarna
merah tembaga sebagian memoles langit sebelah barat, sebagian pula memoles atap
markas Perguruan Kaki
Angin di Lembah Tegal Arum.
Dalam terpaan lembut sore itu, seorang pemu-
da tampan dengan rambut gondrong sebahu tengah
berdiri tegak tak bergerak di bawah rindangnya sebuah pohon mangga. Usianya
kira-kira delapan belas tahun.
Wajahnya berbentuk lonjong kekanak-kanakan. Tu-
buhnya tinggi kekar, terbalut pakaian rompi dan cela-na bersisik warna putih
keperakan. Pada dadanya
tampak rajahan bergambar ular putih kecil dari rom-
pinya yang terbuka tanpa kancing. Sedang sepasang
mata birunya terus memperhatikan bangunan besar di
hadapannya dengan kening berkerut.
Pemuda bergelang akar bahar yang tidak lain
Soma alias Siluman Ular Putih merasa heran dengan
keadaan bangunan gedung di hadapannya yang terli-
hat lengang. Selain sepasang matanya yang terus
memperhatikan suasana dalam bangunan itu, diam-
diam pendengarannya pun mulai dipasang. Namun
anehnya, bangunan itu seperti tidak berpenghuni.
"Heran!" desis pemuda itu dalam hati. "Mengapa bangunan sebesar ini tidak
berpenghuni" Menilik
keadaannya, bangunan itu sepertinya cukup terawat.
Tapi mengapa aku tidak mendengar tarikan atau desa-
han napas penghuninya?"
Siluman Ular Putih makin dalam mengerutkan
kening. Seperti biasa, tangan kanannya pun lantas
menggaruk-garuk kepala. Memang, bila tengah kebin-
gungan, murid Eyang Begawan Kamasetyo itu selalu
bertingkah laku demikian. Kemudian entah siapa yang menuntun langkah kakinya,
perlahan-lahan mulai di-dekatinya bangunan di hadapannya.
Pintu gerbang depan bangunan itu telah terle-
wati. Suasana dalam ruangan tampak sepi-sepi saja.
Namun ketika Siluman Ular Putih hendak meneruskan
langkahnya.... "Ohh...!"
Soma mendesah kaget. Di hadapannya terlihat
beberapa mayat. Pemuda bergelimpangan di halaman
depan bangunan. Ada yang tewas dengan kepala pe-
cah. Ada yang perutnya jebol. Ada pula yang dadanya hancur. Tanpa sadar, Soma
jadi bergidik melihat bekas pembantaian di depannya. Darah merah kering tampak
berserakan menodai tempat itu. Perlahan-lahan
langkahnya pun diteruskan. Dan matanya langsung
membentur dinding depan pendopo bangunan yang
bertuliskan; 'Markas Perguruan Kaki Angin'.
"Ah...! Jadi di sini merupakan Markas Pergu-
ruan Kaki Angin?" desah Soma tak mengerti. "Lantas"
Siapa orang yang telah keji menebar maut di tempat
ini?" Sekali lagi Soma menggaruk-garuk kepalanya.
Bingung. Di kejauhan sana tampak sesosok mayat
berpakaian kuning tengah tergeletak tak jauh dari mulut pendopo. Perlahan pemuda
ini meneruskan lang-
kahnya mendekati mayat itu yang diduga adalah orang pertama dari Perguruan Kaki
Angin. Sebab hanya
mayat berpakaian kuning itulah yang paling tua
usianya. Jadi, bisa jadi mayat orang tua itulah pemilik
Perguruan Kaki Angin!
Sejenak Siluman Ular Putih berdiri tegak di ha-
dapan mayat sosok berpakaian kuning. Keadaan orang
tua itu pun sangat mengenaskan. Dadanya jebol. Ba-
nyak darah kering menodai pakaian kuningnya. Perla-
han-lahan Soma mulai menekuk kedua lututnya. Dite-
litinya mayat itu seksama. Namun di saat tengah me-
meriksa, tiba-tiba pendengarannya yang tajam men-
dengar langkah-langkah halus memasuki halaman de-
pan bangunan. "Hm...! Jangan-jangan orang di belakangku itu-
lah yang telah menebar maut di tempat ini?" gumam Soma dalam hati.
Baru saja Soma menggumam seperti itu, men-
dadak.... "Iblis...! Pasti kaulah yang telah membunuh
ayahku, Malaikat Kaki Seribu beserta murid-muridnya!
Demi Tuhan, aku akan mengadu nyawa denganmu!"
Terdengar bentakan garang dari seseorang yang
diiringi berkesiurnya hawa dingin yang menyerang murid Eyang Begawan Kamasetyo!
Wessss! Dengan gerakan enak sekali, Siluman Ular Pu-
tih sedikit menggeser duduknya ke samping. Maka se-
leret sinar merah menyala yang datangnya dari bela-
kang terus menerabas ke depan, lalu menghantam
tiang soko guru bangunan perguruan hingga roboh.
Kepala Soma cepat berpaling ke belakang den-
gan kening berkerut penuh keheranan!
Siapakah sosok penyerang Siluman Ular Putih"
Di hadapan Siluman Ular Putih kini telah berdi-
ri seorang gadis cantik berusia sekitar delapan belas tahun. Rambutnya hitam
panjang dikuncir ke belakang. Wajahnya berbentuk bulat telur. Sepasang ma-
tanya lebar bersinar jeli. Hidungnya mancung. Pas sekali dengan bentuk bibirnya
yang merah tipis dan bentuk dagunya yang runcing. Sedang tubuhnya yang
tinggi ramping dengan kulit putih bersih terbalut pakaian ketat warna kuning.
Soma jadi semakin tak mengerti, karena gadis
cantik di hadapannya tahu-tahu menuduhnya sebagai
pembunuh di tempat ini. Bahkan sebelum pemuda ini
melakukan bantahan, si gadis telah menyerangnya.
Makanya begitu habis menghindar, Siluman Ular Putih cuma terlongong bengong.
"Bedebah! Jangan harap kau lolos dari lubang
kematianmu, Kunyuk Gondrong! Nih, makanlah puku-
lan 'Pulung Geni'-ku!"
Dengan kemarahan membludak, si gadis mem-
buka kedua telapak tangannya yang berwarna merah
menyala di pinggang. Dan begitu didorongkan ke de-
pan, seketika dua larik sinar merah menyala meluncur dari kedua telapak
tangannya. "Eh eh eh...! Jangan sembarangan saja main
tuduh. Aku kebetulan lewat sini. Dan ketika kutemu-
kan mayat-mayat ini aku segera memeriksanya!" teriak Siluman Ular Putih seraya
berkelit ke samping.
Baru saja Siluman Ular Putih menegakkan tu-
buhnya, si gadis telah kembali menghentakkan kedua
tangannya. Maka sekali lagi dua larik sinar merah menyala melesat dari kedua
telapak tangan.
Brakkk! Brakkk!
Dua buah tiang besar penyangga bangunan ro-
boh terkena sinar merah yang tak mengenai sasaran
sesungguhnya. Suara bergemuruh terdengar mengirin-
gi runtuhnya bagian bangunan perguruan
Si gadis geram bukan main melihat serangan-
nya selalu menemui kegagalan. Kini ia tak lagi berusa-
ha menyerang. Sepasang matanya mencorong tajam,
menatap pemuda gondrong di hadapannya. Lalu den-
gan air mata berlinang, gadis itu segera menghambur ke arah mayat yang berbaju
kuning yang tak lain
mayat Malaikat Kaki Seribu.
"Ayaaahh...!"
Tangis gadis yang tak lain Pulasari tak dapat
ditahan lagi begitu berada dekat mayat Malaikat Kaki Seribu. Sambil mengumbar
isak tangisnya, dipeluknya mayat lelaki yang merupakan ayah angkatnya.
"Ma... maafkan aku, Ayah! Terpaksa aku pu-
lang terlambat. Pa.... Paman Pendekar Bintang Emas
meminta ku untuk menginap barang satu-dua malam.
Sebenarnya aku keberatan, Ayah. Tapi, Paman Pende-
kar Bintang Emas terus memaksa. Sehingga, aku pu-
lang terlambat...," ucap gadis itu memelaskan. "Tapi, demi Tuhan aku tidak
menyangka semuanya akan begini.... Aku tidak menyangka, kau dan juga saudara-
saudara seperguruanku akan tewas secara menge-
naskan. Oh...! Demi Tuhan! Aku bersumpah, Ayah!
Akan kubalaskan sakit hatimu! Juga sakit hati sauda-ra-saudara seperguruanku!
Sekarang tenangkanlah
kau di alam akhirat, Ayah...!"
Kini tangis Pulasari mulai sedikit mereda. Na-
mun sepasang matanya yang indah makin berkilat-
kilat penuh kemarahan. Perlahan-lahan pula gadis itu beranjak dari tempatnya.
"Kau jangan salah sangka, Nona! Aku bukanlah
pembunuh ayahmu maupun murid-murid Perguruan
Kaki Angin ini. Seperti yang telah ku jelaskan tadi, aku hanya kebetulan lewat
sini. Lalu aku merasa heran
dengan keadaan padepokan ini. Namun ketika aku
masuk, di halaman depan padepokanmu ini kulihat
banyak sekali mayat berserakan," jelas Siluman Ular
Putih membela diri.
"Cih...! Memalukan! Mana ada maling mau
mengaku!" desis Pulasari tak dapat lagi menahan amarahnya yang menggelegak.
Kedua tangannya yang sudah gatal ingin
menghajar pemuda gondrong di hadapannya segera
mainkan jurus 'Kaki Angin'. Tangan kanannya diang-
kat tinggi-tinggi ke udara. Tangan kirinya dipentangkan lurus ke depan. Dengan
cara itu Pulasari mulai
buka serangan. "Hyaaat...!"
Dengan bentakan nyaring segera menerjang
Soma. Tangan kanannya digunakan untuk menotok
ubun-ubun kepala si pemuda. Sementara tangan ki-
rinya digunakan untuk menotok ulu hati!
Hebat bukan main serangan gadis itu kali ini.
Bahkan sebelum serangannya datang terlebih dahulu
berkesiur angin dingin menerpa tubuh Soma. Seran-
gan-serangan kedua telapak tangan Pulasari yang
menggunakan pukulan 'Pulung Geni' agaknya tidak
boleh dianggap enteng. Sedangkan gerakan sepasang
kakinya cepat luar biasa laksana angin!
"Ah...! Kau ini bagaimana, sih"! Demi Tuhan
aku bukan yang membunuh Malaikat Kaki Seribu be-
serta murid-muridnya. Kalau tidak percaya, apa kau
tidak melihat kalau darah yang menempel di baju
mayat-mayat itu sudah mengering"!" sanggah Soma sambil berloncatan ke sana
kemari menghindari serangan. Biar bagaimanapun, ia tak ingin menjatuhkan
tangan sembarangan.
Pulasari sejenak menghentikan serangan den-
gan sikap meragu. Sepasang matanya yang jeli melirik ke arah mayat-mayat yang
bergelimpangan di halaman
depan padepokan. Memang benar kalau darah mayat-


Siluman Ular Putih 09 Iblis Pemanggil Roh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mayat itu sudah mengering.
"Hm...! Kau pikir aku bodoh"! Memang darah
mayat-mayat itu sudah kering. Tapi aku tak peduli.
Kau yang pertama kulihat di sini. Maka tak ada alasan lagi. Kaulah si pembunuh
itu!" "Ya, ampun! Mesti dengan cara apa aku menje-
laskannya padamu, Nona?" kata Soma kebingungan sambil, garuk-garuk kepala.
"Dengan nyawa busukmu!" Habis berkata begi-tu, Pulasari pun kembali melanjutkan
serangan. Kedua telapak tangannya yang telah berobah menjadi merah
menyala hingga ke pangkal lengan segera membuat ge-
rakan. Lalu tiba-tiba tubuhnya yang tinggi ramping segera mencelat tinggi ke
udara. Tangan kanannya te-
rangkat siap menjebol ubun-ubun kepala. Sedangkan
tangan kirinya siap mencengkeram ulu hati Soma!
"Huh...! Kenapa nasib sial menghantui ku te-
rus" Hampir seharian aku tersiksa karena tertotok dan terpanggang panasnya
matahari, kini malah dituduh
sebagai pembunuh keji...! Sial-sial! Pantas saja tadi malam aku mimpi jelek!"
gerutu Soma dalam hati kesal.
Namun tentu saja Siluman Ular Putih tak sudi
membiarkan dirinya dijadikan bulan-bulanan seran-
gan-serangan Pulasari. Maka begitu serangan-
serangan si gadis hampir mengenai tubuhnya, Soma
berkelebat cepat. Tubuhnya berkelit-kelit lincah di antara serangan-serangan
Pulasari. Memasuki jurus ketiga puluh enam, Pulasari
jadi jengkel bukan main. Dan kecurigaannya terhadap pemuda gondrong di
hadapannya pun makin bertambah. "Meski kesaktianmu setinggi langit, aku
Pulasari, tak akan takut menghadapimu, Kunyuk Gondrong!"
dengus si gadis.
"Oh...! Jadi namamu Pulasari?" ujar Siluman Ular Putih seraya mengangguk-angguk.
"Baik, baik!
Aku juga ingin mengenalkan diri. Namaku Soma. Aku
pengembara miskin lagi bodoh. Tapi, aku senang sekali berkenalan denganmu!
Apalagi, wajahmu pun cantik.
Rugi kalau menampik perkenalan mu!"
"Pemuda edan! Siapa sudi berkenalan dengan-
mu"!" geram Pulasari bukan main marahnya.
Si gadis merasa dipermainkan oleh pemuda
gondrong di hadapannya. Maka dengan kemarahan
meluap, kembali diserangnya Siluman Ular Putih den-
gan garang. "Lho lho lho..." Kok malah jadi begini urusan-
nya" Bukankah kau yang terlebih dahulu memperke-
nalkan diri" Lalu, mengapa malah marah-marah sete-
lah aku memperkenalkan diri"!" tukas Soma pura-pura bersikap bodoh.
Kemudian ketika serangan-serangan Pulasari
mulai mendekati tubuhnya, Soma cepat berkelit ke
samping. Sambil bergerak demikian, tangan kanannya
berkelebat ke arah punggung Pulasari yang kini telan-jur lewat di sisi.
Tukkk! Tepat sekali totokan jari tangan Siluman Ular
Putih mendarat di punggung Pulasari. Akibatnya, seketika itu tubuh si gadis kaku
tak dapat digerakkan!
Pulasari geram bukan main. Sepasang matanya
membelalak liar. Sungguh sama sekali tidak dikira kalau hanya dalam satu
gebrakan dirinya dapat dilum-
puhkan oleh pemuda gondrong di hadapannya.
"Jangan sering-sering melototi aku, ah! Nanti
matamu malah bisa loncat keluar!" goda Soma.
Pulasari mengerutkan gerahamnya kuat-kuat.
Sepasang matanya yang indah makin membelalak liar.
"Kenapa sih kau senang melototi aku" Atau...
jangan-jangan kau mulai naksir aku, ya?" goda Soma lagi
Kepala si pemuda bergerak-gerak sedemikian
rupa, mengawasi gadis cantik di hadapannya. Lalu di-elus-elus rambutnya ke
belakang, seperti orang tengah merapikan rambut.
"Bagaimana" Cukup tampan kan aku?" ledek
Soma, senang sekali melihat rona merah di pipi Pulasari. Pulasari menggeram
penuh kemarahan. Rona
merah di pipinya tampak makin kentara. Memang ha-
rus diakui, pemuda gondrong di hadapannya cukup
tampan. Dan tak dipungkiri sifat kewanitaannya pun
tergoda. Namun karena tengah mengalami guncangan
batin melihat ayahnya dan saudara-saudara pergu-
ruannya terbunuh secara keji, Pulasari pun menutup
rasa terpesonanya.
"Kunyuk gondrong tak tahu malu! Belum puas
aku kalau belum merobek-robek mulutmu yang lan-
cang ini!" bentak si gadis, sambil mengenyahkan perasaan yang menggoda hatinya.
"Apa ini berarti fitnahanmu tadi dicabut, se-
hingga kau ingin mencium... eh salah! Maksudku, kau ingin merobek-robek
mulutku?" tanya Soma pura-pura berlagak pilon.
"Bedebah! Kau mempermainkan aku, Kunyuk
Gondrong! Hayo lekas lepaskan totokanku. Dan kita
bisa bertanding sampai ada yang mampus!" teriak Pulasari tak dapat lagi
mengendalikan amarahnya. Kalau saja tidak tertotok, sudah pasti gadis ini akan
segera melontarkan pukulan 'Pulung Geni'. Namun kali ini
niatnya hanya dapat tersimpan dalam hati.
"Ya, sudah. Kalau kau masih menuduhku de-
mikian. Yang penting, aku tidak! Kau dengar itu, Pulasari" Aku tidak pernah
membunuh ayahmu maupun
saudara-saudara seperguruanmu! Titik!" tandas Soma.
Habis berkata begitu, lalu Siluman Ular Putih
mendongak. Dilihatnya awan hitam tebal yang sesekali diiringi kilat menyambar-
nyambar ganas tengah bergulung-gulung di angkasa.
"Hm... mau hujan," lanjut pemuda gondrong murid Eyang Begawan Kamasetyo seperti
berkata pada diri sendiri. "Yah.... Daripada meladeni omongan gadis keras kepala, lebih baik
aku beristirahat barang sejenak. Toh, sebentar lagi juga malam."
Tanpa banyak cakap lagi, Soma segera berjalan
menuju ke pendopo. Dan si pemuda nangkring see-
naknya di atas reruntuhan tiang soko guru pendopo.
Pulasari jengkel bukan main. Diam-diam sepa-
sang mata jelinya melirik ke atas. Memang benar, sebentar lagi hujan akan turun.
Dan hatinya jadi gelisah sekali. "Ah...! Bagaimana ini?" gumam Pulasari dalam
hati. "Mungkinkah pemuda sinting itu yang telah membunuh Ayah dan saudara-
saudara seperguruanku" Melihat kesaktiannya yang tinggi, bukan musta-
hil pembunuhnya adalah si kunyuk gondrong itu. Tapi, mengapa ia tidak
membunuhku" Toh kalau mau, bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan. Ibarat
membalikkan telapak tangan saja. Ah! Bagaimana ini?"
"Bagaimana" Apa kau lebih senang bermain
hujan-hujanan di situ daripada ngobrol bersamaku di sini?" goda Soma lagi.
Geraham Pulasari berkerutuk menahan geram.
Tentu saja ia tidak ingin bermain hujan-hujanan. Tapi dalam keadaan tertotok
seperti itu, bagaimana mung-
kin ia dapat berjalan ke pendopo"
"Soma! Benarkah kau tidak membunuh Ayah
dan saudara-saudara seperguruanku?" tanya Pulasari tiba-tiba.
"Hm...! Mendengar nada bicaramu, sepertinya
kau mulai ragu-ragu, Pulasari. Aku senang sekali melihat perubahan mu. Dan lebih
senang lagi, kalau kau mau jadi sahabatku."
"Cerewet! Katakan saja! Kau pembunuh Ayah
dan saudara-saudara seperguruanku atau tidak"!" po-tong Pulasari cepat.
"Lho..." Tadi kan sudah aku bilang kalau aku
bukan pembunuh Ayah dan saudara-saudara sepergu-
ruanmu" Masa' kau tidak mendengar, sih?" kata Soma diiringi senyum nakal terukir
di bibir. Pulasari mendengus kesal. Sepasang matanya
masih menatap Soma penuh kebencian. Namun terus
terang, kini dalam hatinya mulai ragu-ragu.
"Lantas kalau bukan kau, siapa pembunuh
Ayah dan saudara-saudara seperguruanku yang sebe-
narnya?" "Tadi aku kan sedang menyelidikinya. Tapi,
kaulah yang membuat urusan jadi begini!" tukas Soma enteng, "Tapi ngomong-
ngomong, apa kau sudah mulai berobah pikiran" Maksudku, apa kau sudah tidak lagi
menuduhku sebagai pembunuh?"
"Tidak segampang itu, tahu"!" sun gut Pulasari kesal. "Ya, sudah! Tapi, setidak-
tidaknya kau pasti mau jadi sahabatku."
Kening Pulasari berkerut dalam. Namun tiba-
tiba sepasang matanya berkilat-kilat gembira.
"Tidak gampang, tahu! Ada syaratnya!" kata Pulasari tetap dengan suara ketus.
"Baik, baik! Aku setuju. Siapa sih, yang tidak mau jadi sahabat seorang gadis
cantik sepertimu" Ta-pi, syaratnya jangan berat-berat, ya!" sahut Soma menggoda.
Meski bicaranya masih ketus, tapi Soma dapat
melihat kalau sepasang mata indah Pulasari tadi sempat berkilat-kilat penuh
kegembiraan. Melihat itu, si pemuda jadi agak curiga. Namun, sikap curiganya
tetap tidak ditunjukkan.
"Jadi, kau mau menerima syarat ku, Kunyuk
Gondrong?" lanjut Pulasari.
"Asal kau tidak lagi menyebutku kunyuk gon-
drong, aku pasti akan menyetujui syarat-syaratmu,"
sahut Soma hati-hati."Baiklah, Soma. Sekarang laksanakan syarat
ku yang pertama!" ujar Pulasari.
"Apa?" tanya Soma.
"Lepaskan totokanku terlebih dahulu!"
"Tapi.... Tapi... kau tidak akan menyerangku la-gi, kan?" Soma ragu-ragu, namun
cepat meloncat turun. Kini Siluman Ular Putih berjalan mendekati Pulasari. Baru
lima langkah, mendadak langkahnya ter-
henti. Langsung dipandanginya Pulasari penuh curiga.
"Tidak," kata Pulasari.
"Janji, ya?"
"Iya!"
Soma tersenyum senang. Kembali ia berjalan
mendekati Pulasari. Kemudian dengan sekali totok,
maka pengaruh totokan di tubuh Pulasari pun punah.
"Nah! Sekarang katakan, syarat yang kedua!"
ujar Siluman Ular Putih.
Pulasari tidak langsung menjawab. Sejenak se-
pasang matanya terus perhatikan mayat ayahnya dan
kedelapan orang saudara seperguruannya. Lalu seben-
tar kemudian matanya merembang. Perlahan-lahan
butir-butir air bening meluncur dari sudut-sudut matanya. "Lho" Kok, malah
menangis" Apa syaratmu hanya itu?" tanya Soma.
Pulasari melotot gusar.
"Sekarang, lekas kau kubur mayat ayahku dan
kedelapan orang saudara seperguruanku ini!" ujar Pulasari ketus.
"Sendiri"!" Soma membelalakkan matanya lebar. "Ya sendiri!"
"Hm...!" Soma garuk-garuk kepala. "Lalu, apa syarat yang ketiga?"
"Kau harus mencari pembunuh Ayah dan sau-
dara-saudara seperguruanku yang sebenarnya!"
"Baik, baik. Tanpa diminta pun, aku pasti akan membantumu! Asal kau mau mencium
mulutku dulu seperti yang kau katakan tadi!"
"Apa"!"
6 Malam bergerak merambat. Hawa dingin menu-
suk kulit. Di atas Bukit Menjangan, tepatnya di pinggir makam Penghuni Alam
Maut, duduk bersila satu sosok tubuh terbungkus pakaian serba hitam. Sepasang
matanya terpejam rapat-rapat. Kedua bibirnya berke-
mik-kemik. Entah membacakan mantra apa.
Disaput oleh sinar rembulan tampak jelas wa-
jah tirus seorang lelaki tua. Rambutnya putih tergerai di bahu. Di depannya
tampak asap putih kebiruan
mengepul ke atas, menebarkan bau kemenyan yang
menyengat. Memang, lelaki tua yang tengah duduk di
dekat makam Penghuni Alam Maut itu tidak lain ada-
lah Iblis Pemanggil Roh!
Ketika malam telah mencapai titik tengahnya,
tiba-tiba di hadapan Iblis Pemanggil Roh telah berdiri sebuah orang-orangan
sawah. Namun kepala tempurung dan badan kayunya tampak seperti hidup! Ya, ia tak
lain adalah si Jerangkong.
Begitu matanya terbuka, Iblis Pemanggil Roh
tertawa senang.
"Bagus, bagus! Kau memang pesuruh baik, Je-
rangkong!" sambut Iblis Pemanggil Roh.
Seperti tak ingin menanggapi sosok aneh Je-
rangkong tetap tenang di tempatnya. Sedikit pun tak mengeluarkan kata-kata.
Sepasang tangan kayu dan
kepala tempurungnya pun tidak bergerak. Tetap diam, siap menunggu perintah
berikutnya. "Baik, baik! Tampaknya kau memang sudah ti-
dak sabar untuk menjalankan perintahku lagi," ujar Iblis Pemanggil Roh seraya
mengangguk-angguk. "Sekarang, dengarlah baik-baik. Tugas kali ini cukup berat.
Kau harus dapat membunuh pemuda sakti yang
bergelar Siluman Ular Putih. Kalau perlu, sekalian si-kat gurunya yang bernama
Eyang Begawan Kamasetyo
di puncak Gunung Bucu! Kau paham" Aku ingin men-
guasai dunia persilatan!"
Jerangkong tetap tidak mengeluarkan suara
sedikit pun. Ia tetap berdiri tegak di tempatnya, tanpa membuat gerakan apa-apa.
"Nanti kalau kau sudah membunuh kedua
orang itu, baru kuberitahukan tokoh-tokoh mana yang harus ditundukkan. Sekarang,
mendekatlah! Ada sesuatu yang ingin kuberikan padamu!" ujar Iblis Pe-
manggil Roh lagi.
Seperti memiliki nyawa si Jerangkong mende-
kati Iblis Pemanggil Roh. Caranya aneh sekali! Bagian bawah tubuhnya yang
berbentuk lancip terangkat, lalu meluncur. Dan ia berhenti persis di hadapan
lelaki tirus itu. Iblis Pemanggil Roh tidak begitu memperhatikan bagaimana
caranya si Jerangkong mendekat tadi.
Saat itu, tubuhnya sudah berbalik. Tangan kanannya
lalu meraih cawan kayu berisi cairan kuning yang
mendidih! "Menurutlah! Aku ingin menyiramkan kuning
ini ke sekujur tubuhmu. Kau tentu belum tahu. Hanya dengan cara inilah aku ingin
menurunkan semua ke-pandaianku padamu. Sebab, orang-orang yang kau
hadapi nanti bukanlah tokoh-tokoh sembarangan.
Nah, sekarang bersiap-siaplah!"
Iblis Pemanggil Roh beranjak berdiri. Sementa-
ra tangan kanannya menggenggam cawan kayu. Kedua
bibirnya sejenak berkemik-kemik, membacakan man-
tra-mantra. Lalu dengan wajah menegang, mulai ditu-
angkannya cairan kuning dari cawan kayu ke kelapa
tempurung Jerangkong.
Ajaib sekali! Begitu cairan kuning itu memba-
sahi kepala tempurung, mendadak terdengar bunyi
bergemeletak seperti terbakar! Namun anehnya sosok
Jerangkong itu tidak rusak sedikit pun! Hanya kain
putih pembalut badan kayunya sajalah yang berubah


Siluman Ular Putih 09 Iblis Pemanggil Roh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berwarna kuning yang menebarkan bau wangi keme-
nyan! Iblis Pemanggil Roh tertawa senang. Cawan di tangan kanannya dibuang ke
semak belukar. "Nah! Sekarang, kau telah mewarisi semua ke-
pandaianku. Kesaktianku sekarang berlipat ganda.
Kau tidak dapat dikalahkan oleh tokoh sakti papan
atas dunia persilatan mana pun! Biar sepuluh orang
sakti maju bersamaan, kau tetap dapat mengalahkan
mereka. Nah! Sekarang, cobalah pukulan maut 'Roh
Pembawa Petaka'-ku!"
Jerangkong memutar tubuhnya ke samping.
Kedua tangan kayunya tiba-tiba telah berobah menjadi hitam legam! Dan sekali
didorong ke depan, seketika terlihat dua leret sinar hitam legam melesat cepat
ke arah pohon beringin tua di sampingnya.
Blaaarrr...! Pohon beringin sebesar dua lingkaran tangan
manusia dewasa ini kontan tumbang! Bagian batang-
nya yang terkena pukulan 'Roh Pembawa Petaka' ber-
lobang, mengepulkan asap hitam! Lalu....
Brrrrukkk...! Selang beberapa saat, terdengar suara berge-
muruh dari batang pohon beringin yang tumbang sal-
ing tumpang tindih dengan pohon beringin yang tum-
bang tempo hari. Debu-debu membubung tinggi. Bu-
rung-burung yang bersarang di pohon beringin itu beterbangan! Namun, mereka
tidak dapat berbuat ba-
nyak selain riuh berkicau, kemudian terbang tinggi di antara kegelapan malam.
Iblis Pemanggil Roh tertawa bergelak. Kepa-
lanya mendongak ke atas memandang angkasa biru!
"Bagus, bagus! Dengan kesaktianmu sekarang
ini, aku yakin kau dapat melaksanakan semua perin-
tahku, Jerangkong! Kukira sekarang tidak ada lagi
yang dikhawatirkan. Sebentar lagi aku pasti akan dapat merajai dunia persilatan.
Kini semua tugas berat itu terpikul di pundakmu, Jerangkong. Nah. Berang-katlah!
Bunuh pemuda sakti yang bergelar Siluman
Ular Putih!" perintah Iblis Pemanggil Roh penuh keku-
atan sakti. Dengan gerakan kaku si Jerangkong segera
berbalik ke samping. Kemudian dengan gerakan aneh,
badan kayunya tahu-tahu telah melenting tinggi ke
udara. Gerakannya kali ini makin bertambah ringan
dan cepat. Dan begitu ujung kayu pada bagian bawah
tubuhnya menyentuh tanah, Jerangkong kembali me-
lenting tinggi ke udara. Dan sebentar kemudian
bayangan pendeknya menghilang di antara kegelapan
malam. Iblis Pemanggil Roh tertawa bergelak. Kepa-
lanya mendongak ke atas, memandang angkasa biru.
Seolah-olah ia ingin menantang semua penghuni ang-
kasa raya! 7 Tanah kering pecah berpetak-petak oleh musim
kemarau kali ini. Sesekali debu-debu beterbangan tertiup angin kering. Siang ini
terasa lengang. Tiada suara unggas maupun binatang liar lainnya. Hanya desiran
angin dataran tandus di luar Hutan Minden yang
membuat suasana terasa sedikit nyaman.
Dalam terpaan lembut angin pedataran, tam-
pak dua sosok anak manusia tengah berkelebat menu-
ju Hutan Minden. Yang berpakaian rompi dan celana
bersisik warna putih keperakan adalah seorang pemu-
da tampan berambut gondrong sebatas bahu. Di da-
danya terdapat rajahan bergambar ular putih kecil
yang terlihat dari balik rompi tanpa kancingnya. Ia tak lain dari Soma alias
Siluman Ular Putih.
Di sebelah Soma adalah seorang gadis cantik
berpakaian ketat warna kuning. Usianya kira-kira delapan belas tahun. Rambutnya
hitam panjang dikuncir ke belakang. Gadis cantik itu tidak lain dari Pulasari,
putri angkat Malaikat Kaki Seribu.
Memang, kini kedua anak muda itu tengah
mencari orang yang tengah menebar maut di Pergu-
ruan Kaki Angin. Setelah menguburkan mayat Malai-
kat Kaki Seribu beserta kedelapan orang muridnya,
Soma dan Pulasari sempat bermalam di Perguruan Ka-
ki Angin. Baru pagi harinya mereka memulai penca-
rian. "Kita beristirahat sebentar, Soma. Aku letih,"
pinta Pulasari.
Pulasari menghentikan langkahnya di pinggiran
jalan setapak di samping Hutan Minden. Keringat
membasahi wajah gadis itu. Pipinya menjadi kemerah-
merahan setelah hampir seharian berlari.
Tanpa banyak cakap Soma pun menghentikan
langkahnya di samping Pulasari. Sejenak dipandan-
ginya gadis cantik di hadapannya disertai senyumnya yang dianggap paling manis.
Namun belum sempat
membuka suara....
"Jangan cengengesan! Kau pikir aku senang
melihat tampang jelek mu, he"!" bentak si gadis, garang. Senyum Soma berubah
jadi cengiran. Tangan
kanannya lalu menggaruk-garuk kepala.
"Mau istirahat, mengapa pakai bentak-bentak
begitu"!" tukas Soma seraya berjalan mendekati sebuah pohon rindang. Lalu dengan
seenaknya, tubuh-
nya direbahkan di tanah rerumputan. Sebelah tangan-
nya dipergunakan untuk menopang kepala. Sedang
sepasang matanya terus menatap Pulasari dengan se-
nyum terkembang di bibir.
Pulasari jengkel sekali ditatap seperti itu. Na-
mun disadari, tak ada gunanya bertengkar mulut den-
gan pemuda di hadapannya. Ia hanya berjalan mende-
kati rindangnya sebuah pohon, lalu duduk merenung
membelakangi murid Eyang Begawan Kamasetyo itu.
Sepasang matanya terus memperhatikan tanah kering
di hadapannya dengan pikiran semrawut. Tampak pula
matanya mulai merembang oleh air mata.
"Langit cukup cerah. Matahari bersinar terang.
Tapi, mengapa aku tidak merasa nyaman di tempat ini.
Debu-debu beterbangan, membuat sesak napasku sa-
ja," celoteh Soma. Entah, ditujukan pada siapa.
Sepasang matanya terus memperhatikan tanah
tandus di hadapannya. Seolah-olah bicaranya dituju-
kan pada tanah tandus itu.
Sementara, tiba-tiba Pulasari balikkan tubuh-
nya. Sepasang matanya yang indah berkilat-kilat pe-
nuh kemarahan. "Kau menyindir ku, he"!" bentak si gadis ter-singgung.
Soma tersentak kaget. Lebih kagetnya lagi keti-
ka melihat sepasang mata indah Pulasari berkilat-kilat penuh kemarahan.
"Lho lho..." Siapa yang menyindir" Aku tidak
menyindir siapa-siapa. Aku hanya menyayangkan
keindahan alam ini," kilah Soma.
"Menyayangkan... menyayangkan! Tapi bicara-
mu tadi menyindir ku, tahu!" dengus Pulasari ketus.
Soma menggaruk-garuk kepala dengan sikap
bingung. "Heran! Mengapa kau selalu bicara ketus begi-
tu" Apa salahku?" gumam Soma seraya menggelenggeleng. "Hm...! Maunya aku sih
ya... mbok bicaranya sedikit lembut. Sedikit mesra. Biar enak didengar
orang, begitu."
Hati Pulasari kian kesal. Sepasang matanya
makin berkilat-kilat memandangi si gondrong di hadapannya. Namun sayangnya, Soma
sedang asyik mem-
perhatikan dataran tandus di hadapannya. Lalu entah karena apa, tiba-tiba mata
dan telinganya menegang, seperti ada sesuatu yang mengusiknya.
"Kau jangan bertingkah macam-macam, Soma!
Apa kau ingin aku mem...."
Pulasari tidak dapat melanjutkan bicara ketika
melihat tangan Soma mengisyaratkan dirinya agar di-
am. "Tunggu, Pulasari! Apa kau tidak mendengar
sesuatu?" kata Soma dengan pendengaran dipertajam.
Pulasari pun kontan diam. Diam-diam penden-
garannya pun ikut dipertajam.
"Kalau kau belum menemukan pemuda yang
bergelar Siluman Ular Putih, sebaiknya lekas pergi ke puncak Gunung Bucu. Di
sanalah orang tua sakti bernama Eyang Begawan Kamasetyo bertapa. Cepat ke
sana. Dan bunuh tua bangka itu!"
Lapat-lapat telinga kedua anak muda itu men-
dengar suara seseorang tak jauh dari tempat mereka.
Suara bisikan itu halus sekali, seperti suara desau angin pegunungan. Namun,
cukup terdengar oleh Pula-
sari. Kening Pulasari berkerut dalam. Suara bisikan itu demikian halus seperti
dikirim dari jarak jauh. Di-am-diam si gadis kagum sekali dengan sang empunya
suara yang mampu mengirimkan dari jarak sejauh itu.
Lalu, siapakah orang yang diperintahnya itu" Dan,
siapa pula pemuda sakti bergelar Siluman Ular Putih"
Juga, siapa pula orang tua sakti Eyang Begawan Ka-
masetyo" "Hm...! Jangan-jangan pemuda sakti yang dis-
ebut-sebut dalam bisikan itu adalah pemuda sinting di hadapanku ini. Sebab, Ayah
pun pernah bercerita kalau di rimba persilatan ada seorang pemuda sakti yang
bergelar Siluman Ular Putih. Ciri-cirinya berpakaian rompi dan celana bersisik
warna putih keperakan. Ju-ga, memiliki rajahan gambar ular putih kecil di da-
danya. Ah... ya! Pemuda ini memiliki ciri-ciri yang co-cok dengan apa yang
pernah diceritakan Ayah. Pasti
pemuda sakti bergelar Siluman Ular Putih itu adalah pemuda sinting di hadapanku
ini. Tapi, mengapa si-kapnya ugal-ugalan sekali...?"
"Pulasari! Apa kau tidak mendengar bisikan ta-
di?" Sebelum pertanyaan Pulasari terjawab, Siluman
Ular Putih telah. membuka suara.
"Hh...!" Pulasari menghela napas panjang.
"Yah...! Aku memang mendengar suara bisikan itu. Ta-pi, apakah... apakah, pemuda
sakti yang bergelar Siluman Ular Putih itu adalah kau, Soma?"
Soma tidak menjawab pertanyaan Pulasari. Ka-
rena saat ini perhatiannya tengah tertuju pada sesosok bayangan aneh yang tengah
melintasi jalan setapak di depannya. Sosok yang tengah melesat cepat itu
berbentuk orang-orang yang sering digunakan para petani di sawah untuk mengusir
burung. Kepalanya terbuat
dari tempurung kelapa. Sekujur badan dan kedua tan-
gan dan kakinya terbuat dari kayu terbalut kain ber-lumuran bercak-bercak
kuning. Dan anehnya lagi, so-
sok benda aneh itu menebarkan bau kemenyan!
Soma menggeleng-geleng saking takjubnya.
Dan belum sempat pemuda murid Eyang Begawan
Kamasetyo itu buka suara....
"Hentikan langkahmu, Jerangkong! Kau tak
usah repot-repot mencari pemuda sakti yang bergelar Siluman Ular Putih. Calon
korbanmu itu kini berada di depanmu bersama seorang gadis cantik! Cepat bunuh
mereka!" Kembali terdengar bisikan halus yang sampai di
telinga Soma dan Pulasari.
*** "Jerangkong..."!" gumam Soma dan Pulasari hampir bersamaan.
Sejenak Soma dan Pulasari saling bersitatap
penuh keheranan. Sosok benda aneh yang kini tegak
di hadapan mereka sungguh mengagumkan. Bagaima-
na mungkin orang-orangan itu dapat berlari secepat
ini"! Siapa pula yang telah mengendalikannya" Dan
bagaimana mungkin si pengendali orang-orangan itu
mampu melihat kalau orang yang sedang dicarinya"
"Hm...! Tampaknya ada orang yang berkepan-
daian tinggi yang akan membuat kacau dunia persila-
tan dengan cara mengendalikan orang-orangan yang
disebut Jerangkong ini?" gumam Soma dalam hati.
"Siapa yang mengendalikan mu, Jerangkong?"
tanya Soma, lalu cepat meloncat bangun.
Pulasari pun cepat meloncat bangun. Sepasang
mata jelinya terus memperhatikan si Jerangkong di
hadapannya dengan kening berkerut.
Seperti biasa, tak sepatah kata pun yang teru-
cap dari sosok benda aneh di hadapan Soma dan Pula-
sari. Bahkan kedua tangan kayunya yang sudah bero-
bah menjadi kuning tahu-tahu mendorong ke depan.
Wesss! Wesss! Maka seketika itu juga dua leret sinar kuning
dari tangan kayu si Jerangkong melesat ke depan me-
nyerang Soma dan Pulasari!
"Uts...!"
Brakkk! Siluman Ular Putih dan Pulasari sama-sama
membuang tubuh ke samping. Dan dua sinar kuning
itu terus melesat, langsung menghantam dua batang
pohon minden besar hingga tumbang saling tumpang
tindih! Debu-debu kontan membubung tinggi begitu
dua pohon itu jatuh berdebam di tanah berdebu! Pada bagian batang pohon yang
terkena sinar kuning tadi
tampak berlobang besar mengepulkan asap kuning!
Itulah pukulan 'Darah Mayat' yang mengiriskan dari si Jerangkong.
"Hm...! Jangan-jangan kesaktian Jerangkong
inilah yang telah membuat Malaikat Kaki Seribu dan
kedelapan orang muridnya tewas, sesuai hasil penyeli-dikanku," gumam Soma dalam
hati, begitu bangkit.
Dengan gerakan ringan Siluman Ular Putih me-
lompat ke hadapan si Jerangkong.
"Jangkrik! Tak kusangka kau mampu melepas
kesaktian demikian keji, Jerangkong!" kata Soma penuh kagum. "Apa kesaktianmu
itu yang telah menewaskan Malaikat Kaki Seribu beserta kedelapan orang muridnya,
Jerangkong?"
Pulasari tersentak kaget. Tak disangka kalau
Jerangkong itulah yang telah menewaskan ayah ang-
katnya beserta kedelapan saudara seperguruannya.
"Jahanam! Ternyata kau yang telah mene-
waskan Ayah dan kedelapan orang saudara seperguru-
anku, Jerangkong! Siapa yang menyuruhmu menebar
maut di Perguruan Kaki Angin, he"!" bentak Pulasari, tak dapat lagi
mengendalikan amarahnya.
Kedua tangannya yang telah berobah menjadi
merah menyala segera melontarkan pukulan 'Pulung
Geni' ke arah sosok benda aneh di hadapannya!
Wesss! Wesss! Dua leret sinar merah menyala melesat dari ke-


Siluman Ular Putih 09 Iblis Pemanggil Roh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dua telapak tangan Pulasari, siap menghancurkan so-
sok benda aneh itu.
Namun Jerangkong itu ternyata sudah bersiap-
siap dari semula. Kedua tangan kayunya yang berwar-
na kuning tahu-tahu telah mengibas, melepas pukulan
'Darah Mayat'. Wesss! Wesss! Bummm...!!! Terdengar ledakan hebat di udara ketika puku-
lan 'Pulung Geni' Pulasari terpapak oleh pukulan
'Darah Mayat'. Tubuh Jerangkong sedikit bergoyang-
goyang. Sedang tubuh tinggi ramping Pulasari lang-
sung terpental beberapa tombak ke belakang, berpu-
tar-putar sebentar dan akhirnya jatuh berdebuk di tanah! Wajahnya pucat pasi!
Menderita sekali keadaan-
nya. Perutnya pun terasa bergolak. Lalu....
"Hooeeekh...!"
Pulasari muntahkan darah merah kekuningan
dari mulutnya! Lalu tubuhnya terkulai ke tanah tak
bergerak-gerak lagi!
Bukan main terkejutnya Soma melihat Pulasari
dapat dirobohkan sosok benda aneh itu hanya dalam
satu gebrakan! Ia sendiri belum tentu mampu mero-
bohkan Pulasari dalam satu gebrakan. Tapi, Jerang-
kong ini..." Benar-benar mengagumkan!
"Semprul! Tak kusangka kepandaianmu seting-
gi ini, Jerangkong!" desis Soma.
Si Jerangkong tak mengeluarkan sepatah kata
pun. Kedua tangan kayunya yang kini telah berobah
menjadi hitam legam siap melontarkan pukulan 'Roh
Pembawa Petaka' yang telah diturunkan oleh Iblis Pe-
manggil Roh. Dan begitu tangan kayunya mengibas.
Wesss! Wesss...!
Seketika itu dua leret sinar hitam legam dari
kedua tangan kayu Jerangkong kontan melesat cepat
menyerang murid Eyang Begawan Kamasetyo!
Soma menggerendeng kesal. Dua kali perta-
nyaannya tidak digubris sosok benda aneh di hada-
pannya. Maka begitu dua leret sinar hitam legam dua tombak lagi menghantam
tubuhnya, cepat pukulan tenaga 'Inti Bumi' dikerahkan. Seketika melesat dua
sinar putih dari kedua tangannya.
Wesss! Wesss! Blaaarrr..!!! Terdengar satu letusan hebat kala empat buah
sinar berlainan jenis saling bertemu di satu titik. Bumi bergetar hebat laksana
gempa! Daun-daun minden
berguguran. Malah sebagian layu!
Sosok Jerangkong hanya sedikit bergoyang-
goyang. Namun tidak demikian halnya Siluman Ular
Putih. Saat itu pula tubuh tinggi kekarnya terjajar beberapa langkah ke belakang
dengan wajah berubah
seperti kapas. Jelas, tenaga dalam Siluman Ular Putih kalah satu tingkat
ketimbang si Jerangkong.
Sembari membesut darah yang mengalir di su-
dut-sudut bibir, Soma cepat meloncat ke depan. Begitu tenaga dalamnya
dilipatgandakan, tangan kanannya
yang mengandung tenaga 'Inti Api' telah berobah menjadi merah menyala. Sementara
tangan kirinya pun telah berobah menjadi putih terang penuh tenaga 'Inti Bumi'.
"Chiaaat...!"
Dan jurus 'Terjangan Maut Ular Putih' diguna-
kan, Soma berkelebat cepat menyerang si Jerangkong
di hadapannya hebat. Kedua telapak tangannya yang
membentuk kepala ular mematuk-matuk, berusaha
menyelinap di antara gulungan-gulungan kuning ke-
dua tangan Jerangkong.
Wesss! Wesss! Namun si Jerangkong pun tak mau kalah.
Sambil berkelit menghindar ia terus mengurung Soma.
Sehingga berkali-kali Siluman Ular Putih harus berkelit ke sana kemari. Walaupun
terus berusaha meng-
hindar, tetap saja si pemuda belum mampu keluar dari gulungan-gulungan kuning
kedua tangan kayu Jerangkong.
Sampai sepuluh jurus berlalu, Siluman Ular
Putih pun belum mampu balas menyerang. Jangankan
untuk membalas. Untuk keluar dari kurungan sepa-
sang tangan kayu Jerangkong pun tidak mampu!
"Hyaaat! Hyaaat!"
Siluman Ular Putih mencoba merubah gaya
bertarungnya. Kedua telapak tangannya yang mem-
bentuk kepala ular cepat ditekuk sedikit ke samping.
Lalu ditangkisnya serangan tangan kayu Jerangkong!
Plakkk! Kendati tangan kayu si Jerangkong dapat ter-
tangkis, tapi tak urung Siluman Ular Putih meringis kesakitan. Kedua telapak
tangannya bahkan terasa
mau remuk! Untungnya saat menangkis tadi tenaga
dalamnya dikerahkan sepenuhnya. Hingga, ia hanya
menderita kulit luarnya saja.
Wuuut...! Di saat telapak tangan kanan Siluman Ular Pu-
tih hendak meneruskan serangan, tiba-tiba sembari
meloncat tinggi ke udara tangan kayu kiri Jerangkong telah mengibas mengirimkan
pukulan 'Darah Mayat'.
Wesss! Siluman Ular Putih terkesiap kaget! Tak mung-
kin serangan maut Jerangkong dapat dihindari. Apala-gi dalam jarak demikian
dekat. Maka tak ada pilihan lain, kecuali harus menangkis. Maka tanpa banyak
pikir lagi, tangannya mengibas melepas pukulan sakti
tenaga 'Inti Api'!
Bummm...!!! Hebat bukan main pertemuan dua tenaga da-
lam di udara kali ini. Sosok Jerangkong tergetar hebat.
Tubuhnya bergoyang-goyang. Namun, yang dialami Si-
luman Ular Putih lebih hebat lagi. Karena saat ini tubuh tinggi kekarnya
terpental beberapa tombak ke belakang bak layangan putus. Begitu tubuhnya
memben- tur batang pohon di belakangnya, langsung melorot ke tanah berdebu.
"Hooeeekh...!"
Siluman Ular Putih muntahkan darah merah
kekuningan dari mulutnya. Wajahnya pias bagaikan
kapas. Tampak sisa-sisa darah terlihat di sudut-sudut bibir. Siluman Ular Putih
menggereng penuh kemarahan. Saking tidak kuatnya menahan amarah, tiba-tiba
sekujur tubuhnya mulai dipenuhi asap putih tipis.
Sampai akhirnya sosok bayangan tubuhnya tidak keli-
hatan sama sekali!
Dan ketika asap putih tebal yang menyelimuti
tubuh Siluman Ular Putih hilang tertiup angin.
"Ggggeeerrr...!!!"
8 Laksana petarung sejati yang ingin melihat apa
yang akan dilakukan lawan selanjutnya, sejenak Je-
rangkong menghentikan serangan. Di hadapannya kini
tampak sesosok tubuh putih panjang sebesar pohon
kelapa! Sepasang matanya berwarna merah saga den-
gan taring-taring mengerikan! Terkadang di balik asap putih terlihat punggung
ular putih sebesar pohon kelapa itu yang menyembul-nyembul. Sebentar kemu-
dian, tampak kepala ular putih itu yang menyembul
tinggi ke atas.
Dan si Jerangkong ternyata hanya sebentar sa-
ja menghentikan serangan. Kedua tangan kayunya kini kembali berwarna kuning
sampai ke pangkal lengan.
Lalu tahu-tahu si Jerangkong telah mengibaskan ke-
dua tangan kayunya untuk melepas pukulan 'Darah
Mayat'. Wesss! Wesss!
Bukkk! Bukkk! Dua sinar kuning dari tangan kayu Jerangkong
telak sekali mengenai tubuh ular putih raksasa perwu-judan dari murid Eyang
Begawan Kamasetyo. Tubuh
panjang ular putih itu terpental ke samping, menciptakan debu-debu yang
membubung tinggi memenuhi
tempat pertempuran. Namun anehnya, tubuh Siluman
Ular Putih tidak sedikit pun terluka.
Malah kini sepasang matanya makin berwarna
merah saga. Dan disertai gerengan panjang, ular putih raksasa itu menerjang
garang si Jerangkong.
Wesss! Wesss! Sebelum serangan-serangan Siluman Ular Pu-
tih mengenai sasaran, terlebih didahului oleh angin berkesiur kencang. Namun,
sosok Jerangkong sedikit
pun tidak menunjukkan rasa takut. Malah dipapaknya
serangan-serangan Siluman Ular Putih dengan puku-
lan 'Darah Mayat'.
Wesss! Wesss! Bukkk! Bukkk! Sekali lagi tubuh besar Siluman Ular Putih ter-
pental ke belakang. Bumi bergetar keras begitu tubuhnya jatuh berdebum ke tanah!
Debu-debu jalanan
kembali membubung tinggi memenuhi tempat itu. Si-
luman Ular Putih menggereng penuh kemarahan. Tar-
ing-taringnya yang runcing tampak demikian mengeri-
kan. Kembali disertai gerengan yang mampu mengge-
tarkan tanah di sekitarnya, ular putih raksasa itu
kembali menerjang dengan terkaman-terkaman dan
kibasan-kibasan ekor.
"Ggggeceerrr...!!!"
Seperti tak mengenal takut lagi-lagi si Jerang-
kong mengibaskan kedua tangan kayunya. Maka,
kembali dua larik sinar kuning melesat dari kedua
tangan kayunya untuk memapaki serangan-serangan
Siluman Ular Putih.
"Ggggeeerrrr...!"
Namun kali ini Siluman Ular Putih sedikit ber-
tindak cerdik. Begitu dua larik sinar kuning siap mela-brak tubuhnya, dengan
gerakan lincah tubuhnya me-
rendah untuk menghindar. Bersamaan dengan mele-
satnya serangan-serangan si Jerangkong ekornya dikibaskan kuat-kuat.
Prakkk! Kibasan ekor Siluman Ular Putih telak sekali
menghantam sasaran. Akibatnya, tubuh kayu dan ke-
pala tempurung si Jerangkong hancur berantakan.
Kepalanya terpental ke belakang. Kedua tangan dan
sebagian tubuhnya berpencaran ke samping kanan ki-
ri! Namun selang beberapa saat....
Tap! Tap! Tiba-tiba terjadi sesuatu hal yang di luar piki-
ran manusia! Tubuh aneh si Jerangkong yang hancur
berpencaran mendadak berlompatan, lalu saling ber-
sambungan seperti semula! Pertama, kedua tangan
kayunya. Baru kemudian disusul kepala tempurung
yang terlempar jauh ke belakang.
Sementara sosok panjang ular putih raksasa
itu pun sempat terlongong melihat kejadian aneh di
hadapannya. Untuk beberapa saat, serangan-
serangannya dihentikan.
Dan kesempatan ini digunakan si Jerangkong
untuk balas menyerang. Kini kedua tangan kayunya
telah berubah menjadi hitam legam! Berarti ia telah menyiapkan pukulan maut 'Roh
Pembawa Petaka'-nya
yang diturunkan Iblis Pemanggil Roh.
Wesss! Wesss! Buukk! Buuukk! Sosok panjang ular putih itu kembali terpental
beberapa tombak ke belakang. Tubuhnya berdebum
menciptakan debu-debu yang membubung tinggi! Dan
sebelum Siluman Ular Putih mampu bersiap kembali,
si Jerangkong kembali melancarkan serangan-
serangan maut. "Gggeeeerrr...!!!"
Ular putih raksasa itu menggereng hebat, lalu
segera berkelit ke samping. Ujung ekornya dikibaskan, berusaha menghantam si
Jerangkong. Namun dengan gesit sekali sosok Jerangkong
meloncat tinggi ke udara. Dan begitu ujung runcing
bagian bawah tubuhnya menyentuh tanah, tubuhnya
kembali menyerang Siluman Ular Putih hebat!
Siluman Ular Putih kewalahan bukan main.
Meski tubuhnya kebal terhadap berbagai macam pu-
kulan maut, namun keadaan ini tetap saja membuat-
nya kewalahan! Berkali-kali tubuh panjangnya terkena sambaran-sambaran sinar
kuning dari kedua tangan
kayu si Jerangkong. Dan berkali-kali pula tubuhnya
jatuh berdebam ke tanah!
Dan pada saat Siluman Ular Putih tengah ter-
desak hebat....
Kucari tempat semayam yang nyaman di bumi
Tapi bumi bukanlah tempat yang nyaman.
Berjalanlah aku menurut kehendakku, dan aku
diperbudaknya. Kalau ku puas apa adanya, aku pun akan mer-
deka! Terdengar lantunan syair dari seseorang.
Belum hilang gaung merdu suara sajak itu, ta-
hu-tahu di luar tempat pertempuran telah berdiri tegak seorang lelaki tua tinggi
kurus berpakaian putih-putih!
9 Tak jauh di luar pertarungan antara Siluman
Ular Putih melawan si Jerangkong, berdiri seorang lelaki tua renta berpakaian
putih-putih! Wajahnya putih bersih. Sepasang matanya yang tajam bersinar terang.
Rambutnya yang memutih dibiarkan meriap di bahu.
Usianya sulit sekali ditaksir. Mungkin di atas delapan puluhan atau sembilan
puluh tahunan. Yang jelas, lelaki tua renta tak lain adalah Penyair Sinting!
Habis mendendangkan bait-bait sajaknya,
orang tua itu pun lantas gerak-gerakkan lonceng di
tangan kanannya ke sana kemari.
Klinting! Klinting!
Aneh sekali! Suara lonceng itu demikian keras-
nya seperti hendak menulikan telinga, walau Penyair Sinting hanya menggerak-
gerakkan biasa saja. Bahkan
kalau yang mendengar hanya memiliki tenaga dalam
rendah, bukan mustahil gendang telinganya akan pe-
cah. Namun, tentu saja hal itu sama sekali tidak


Siluman Ular Putih 09 Iblis Pemanggil Roh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mempengaruhi si Jerangkong. Jangankan terusik oleh
suara lonceng, melihat kehadiran lelaki tua sakti dari Gunung Slamet itu tidak!
Malah kini dengan kedua
tangan kayunya berwarna kuning kembali diserangnya
Siluman Ular Putih dengan hebat!
Dengan segenap kemampuannya. Siluman Ular
Putih terus melayani gempuran-gempuran si Jerang-
kong. Sedang Penyair Sinting hanya menonton dengan
sikap heran. Bagaimana mungkin sosok benda mati itu dapat menyerang Siluman Ular
Putih dengan demikian
hebat" Dan siapa pula yang mengendalikannya"
"Hm...! Sungguh keji orang yang tega mengusik
arwah yang sudah mati! Ini pasti perbuatan Iblis Pemanggil Roh dari Lembah Duka.
Kalau tidak, siapa lagi tokoh dunia persilatan yang mampu memanggil sekaligus
mengendalikan arwah orang mati! Hm...! Ya ya
ya...! Dan kalau tidak salah, pukulan Jerangkong itu bernama pukulan 'Darah
Mayat' milik mendiang Penghuni Alam Maut...."
Sehabis menggumam begitu, Penyair Sinting
memandang liar Siluman Ular Putih.
"Bocah tolol! Kenapa tidak lekas-lekas kau ba-
wa gadismu yang cantik itu pergi dari sini. Lekas! Biar aku main-main sebentar
dengan makhluk aneh ini,"
bentak Penyair Sinting pada Soma yang masih berben-
tuk Siluman Ular Putih.
Belum habis gema bentakannya, Penyair Sint-
ing segera berkelebat. Dipapaknya serangan-serangan Jerangkong dengan ajian
andalan 'Pancar Surya'! Kedua tangannya yang telah berobah menjadi putih ber-
kilauan bergerak-gerak laksana kitiran.
Bummm! Terdengar ledakan hebat di udara yang mem-
buat bumi berguncang. Debu-debu pun beterbangan
menutupi pandangan. Tubuh Penyair Sinting ter-
huyung-huyung beberapa langkah ke belakang. Ia se-
perti merasa dikeroyok dua tenaga dalam berbeda. Sedang sosok Jerangkong hanya
bergetar-getar sebentar.
Lalu tanpa mempedulikan keadaan Penyair Sinting
kembali diserangnya Siluman Ular Putih dengan hebat!
"Hm...! Tak kusangka kalau Iblis Pemanggil Roh telah menurunkan ilmu andalannya
pada Jerangkong
ini. Sungguh dunia persilatan akan tertimpa petaka
kalau aku tidak dapat mengatasinya. Tapi, bagaimana caranya" Rupanya tenaga
dalam Penghuni Alam Maut
telah menyatu dengan tenaga dalam Iblis Pemanggil
Roh. Rasanya sulit sekali aku mengalahkannya...,"
gumam Penyair Sinting dalam hati.
Sementara saat itu, tubuh Siluman Ular Putih
tengah diselimuti asap tebal. Sehingga, sosok panjangnya tidak kelihatan sama
sekali. Namun ketika dua larik sinar kuning menyerangnya, tak urung juga Silu-
man Ular Putih menggereng hebat penuh kemarahan.
Sebab pada saat hendak menjelma kembali menjadi
Pendekar Kelana 6 Pendekar Gila 5 Kelelawar Iblis Merah Dedemit Rimba Dandaka 2
^