Istana Ular Emas 1
Siluman Ular Putih 05 Istana Ular Emas Bagian 1
ISTANA ULAR EMAS Hak cipta dan Copy Right
Pada Penerbit Di bawah Lindungan Undang-Undang
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak Sebagian atau
Seluruh Isi Buku Ini
Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit
Serial Siluman Ular Putih
Dalam Episode 5:
Istana Ular Emas
128 Hal.; 12 x 18 Cm
1 "Manusia-manusia tolol! Apakah kalian masih
belum mau tunduk di bawah kekuasaan Bunda Kura-
wa"! Ini peringatan terakhir. Sebentar lagi, tali-tali gantungan akan
melenyapkan kalian"!"
Suara bernada ancaman itu terlontar dari seo-
rang perempuan berpakaian kuning keemasan yang
berdiri paling depan, di tengah halaman sebuah ban-
gunan megah. Aneh sekali! Mendengar ancaman dari wanita
yang menamakan diri Bunda Kurawa, tiga orang yang
tengah menghadapi tiang gantungan malah tersenyum
dingin. Sama sekali mereka tak menjawab. Namun si-
nar mata mereka memancarkan keberanian luar biasa.
Bak seorang ratu, Bunda Kurawa yang berdiri di
antara seratus orang wanita di halaman depan bangu-
nan ini tersenyum angkuh. Usianya kira-kira lima pu-
luh lima tahun. Meski demikian, wajahnya masih tetap kelihatan cantik seperti
baru saja berusia tiga puluh tahunan. Kulit wajahnya putih bersih. Sepasang
matanya tajam. Hidungnya mancung. Bibir tipisnya, ber-
warna merah. Rambut hitamnya digelung ke atas. Pa-
kaiannya indah, terbuat dari sutera berwarna kuning
keemasan. Memang karena selalu memiliki murid yang se-
muanya wanita sebanyak seratus orang, maka orang-
orang dunia persilatan pun menjulukinya Bunda Ku-
rawa. Kurawa sendiri adalah perlambang orang-orang
berhati culas. Dan sejak suaminya, Raja Ular Emas,
hilang tak ketahuan rimbanya, maka wanita cantik itulah yang memegang tampuk
pimpinan sebuah pergu-
ruan silat yang dikenal bernama Istana Ular Emas.
Bunda Kurawa bertepuk sekali. Tak lama, bebe-
rapa orang muridnya yang juga berpakaian ketat ber-
warna kuning keemasan segera beringsut beberapa
langkah dari barisan.
"Bunda! Apakah hukuman gantung terhadap
orang-orang tolol itu bisa dilaksanakan sekarang?"
tanya salah seorang murid, tanpa memanggil 'guru' seperti pada dunia persilatan
kebanyakan. Murid itu adalah seorang gadis cantik berusia
dua puluh tujuh tahun. Wajahnya berbentuk bulat te-
lur. Sepasang matanya jeli. Hidungnya mancung. Tu-
buhnya tinggi ramping. Rambutnya juga digelung ke
atas, mirip Bunda Kurawa. Dia adalah murid tertua.
Mendengar pertanyaan muridnya, Bunda Kurawa
hanya mengangguk angkuh.
"Cepat laksanakan, Teratai Emas! Kalau perlu,
kuliti tubuh mereka! Biar tahu rasa, tengah berhada-
pan dengan siapa"!"
Gadis cantik bernama Teratai Emas menjura
hormat sebentar di hadapan Bunda Kurawa, kemudian
dengan gesitnya berkelebat mendekati tiga orang yang akan menjalani hukuman
gantung. Ketiga orang itu sebenarnya bukanlah tokoh-
tokoh sembarangan di dunia persilatan. Yang paling
kanan adalah seorang lelaki bertubuh tinggi besar.
Usianya kira-kira empat puluh tahun. Wajahnya keras
dengan rahang bertonjolan. Sepasang matanya tajam.
Rambutnya yang panjang dibiarkan tergerai di bahu.
Melihat pakaiannya yang berupa jubah berwarna jing-
ga, dia adalah Ketua Perguruan Tangan Baja yang
bermarkas di puncak Gunung Tidar. Namanya, Ki De-
nawa. Dalam rimba persilatan dia dikenal sebagai Tangan Baja dari Gunung Tidar.
Di sebelah Ki Denawa adalah seorang perempuan
tua berusia enam puluh tahun. Rambutnya yang pan-
jang memutih digelung keatas. Wajahnya tirus penuh
kerut-kerutan. Kedua pipinya peot. Sepasang matanya
rabun berwarna putih. Kalau melihat ciri pakaiannya
yang ringkas berwarna hijau, bisa diduga bahwa dia
adalah Ketua Perguruan Naga Laut yang menguasai
pantai utara Pulau Jawa. Namanya, Nyi Kuweni. Julu-
kannya adalah Naga Buta dari Pantai Pemalang.
Sedang yang paling kiri adalah seorang laki-laki
bertubuh pendek gempal. Kulitnya hitam legam. Ma-
tanya bulat besar. Hidungnya bundar. Bibirnya dower
dengan gigi kuning. Rambutnya awut-awutan. Pa-
kaiannya pun kumal berwarna hitam. Jarang sekali
orang yang mengetahui nama aslinya. Hanya yang je-
las, di dunia persilatan ia sering disebut Ki Sorogompo (Untuk mengetahui tokoh
yang satu ini, silakan baca serial Siluman Ular Putih dalam episode perdana
"Miste-ri Bayi Ular").
Beberapa hari yang lalu Bunda Kurawa telah
memerintahkan murid-muridnya untuk menaklukkan
beberapa perguruan silat. Dan ketiga orang yang siap digantung adalah tokoh-
tokoh dunia persilatan yang
telah ditaklukkan. Memang, kalau saja murid-murid
Istana Ular Emas tidak bertindak curang, belum tentu mereka dapat diringkus
dengan begitu mudahnya.
Meski dengan cara curang, bukan masalah bagi
Bunda Kurawa untuk menaklukkan mereka. Yang
penting, keinginannya untuk menguasai dunia persila-
tan dapat terwujud.
Kini, ketiga orang tokoh itu tak ubahnya seperti
para pesakitan yang hanya tinggal menunggu ajal. Me-
reka benar-benar tak berdaya. Kedua kaki mereka di-
ikat dengan rantai baja yang saling bersambungan sa-
tu dengan lain. Di samping itu, beberapa mata pedang
murid-murid Istana Ular Emas siap pula menembus
tubuh mereka bila berusaha meloloskan diri. Kendati
begitu, mereka tak gentar sedikit pun.
"Manusia-manusia tolol! Sekali lagi kukatakan,
apakah kalian belum mau takluk di bawah kekuasaan
Bunda Kurawa?" bentak Teratai Emas galak.
"Setan alas! Siapa sudi takluk di bawah kaki
Bunda Kurawa! Ia tak ubahnya bajingan yang cuma
berani main keroyok!" teriak Ki Denawa alias Tangan Baja seraya tudingkan
telunjuknya ke arah Bunda Kurawa. Bunda Kurawa hanya tersenyum dingin. Namun
tidak demikian Teratai Emas. Mendengar tantangan
Tangan Baja, gadis itu sudah menjadi gusar.
"Percuma! Percuma saja kau tantang Bunda ka-
mi kalau akhirnya roboh juga. Bukankah itu hanya
membuang-buang waktu?"
"Babi buntung! Kalian benar-benar merendahkan
kami. Ayo, sekarang lepaskan rantai baja ini. Dan kita bertanding sampai ada
yang modar! Apa kau terlalu
pengecut untuk menerima tantanganku, Bunda Kura-
wa!" teriak Naga Buta kalap.
"Percuma! Apa kalian tidak dengar omonganku,
he"! Apa pun yang kalian inginkan, tetap saja percuma kalau akhirnya harus
menghadapi tiang gantungan.
Sebaiknya buang saja keinginan kalian yang aneh-
aneh itu! Atau cepat kalian berlutut di hadapan Bunda kami. Siapa tahu beliau
mau mengampuni kesombon-gan kalian!" bentak Teratai Emas lagi, galak.
Sementara itu Ki Sorogompo hanya celingak-
celinguk memperhatikan gadis-gadis cantik yang men-
gelilingi panggung tempat para tokoh persilatan itu
hendak digantung. Seolah-olah, ia tak memperdulikan
pertengkaran kedua orang temannya. Malah kini se-
nyum nakalnya semakin terkembang di bibir.
"Heran" Benar-benar mengherankan! Bagaimana
Bunda Kurawa bisa mengumpulkan gadis cantik seba-
nyak ini" Apa... jangan-jangan dunia bagian Lembah
Kuripan ini memang ditakdirkan berisi gadis-gadis
cantik" Oh...! Alangkah menyenangkannya kalau Bun-
da Kurawa sudi mengizinkan ku tinggal di sini. Apalagi kalau gadis-gadis cantik
itu mau denganku, He he
he...'" oceh Ki Sorogompo seraya memamerkan gigi-giginya yang berwarna kuning.
Mendengar celotehan lelaki tua berkulit hitam le-
gam itu, tak urung juga beberapa orang murid Istana
Ular Emas sempat tertawa cekikikan. Namun tidak de-
mikian Teratai Emas dan Bunda Kurawa yang berwa-
tak dingin. Kening mereka berkerut dalam dengan se-
pasang mata memperhatikan Ki Sorogompo.
"Lho, lho..." Kok, kalian melototi aku. Aku kan sekadar iseng memperhatikan
mereka. Bukankah
keindahan hasil ciptaan Tuhan sayang bila dilewatkan begitu saja. Bukankah
begitu, Nona Teratai Emas yang cantik dan galak?" celoteh Ki Sorogompo seenak
perutnya. Teratai Emas mengerutkan gerahamnya kuat-
kuat. Sepasang matanya semakin tajam memperhati-
kan Ki Sorogompo.
"Kematian sudah di depan mata masih berting-
kah aneh!" hardik Teratai Emas gusar seraya isya-ratkan tangan kanannya kepada
adik-adik sepergu-
ruannya. Sepuluh orang murid Istana Ular Emas cepat
mendorong kasar ketiga tawanan untuk lebih dekat
pada tali-tali gantungan. Bunyi bergemerincing lang-
sung terdengar begitu tubuh ketiga orang itu terdorong ke depan. Sementara
beberapa mata pedang di bela-
kang ketiga tokoh itu siap siaga bila terjadi sesuatu.
Naga Buta dan Tangan Baja geram bukan main.
Tak henti-hentinya mereka menyumpah serapah. Wa-
jah-wajah mereka pun menegang dengan rahang-
rahang bertonjolan. Namun tidak demikian Ki Soro-
gompo. Meski kematian sudah di depan mata, tapi
tampak masih saja bertingkah aneh-aneh. Malah kepa-
lanya yang botak dijulur-julurkan masuk ke dalam lu-
bang tali gantungan. Dan sembari menjulur-julurkan
lidahnya, orang tua berkulit hitam legam itu pun mulai berkaok-kaok.
"Ah...! Sebenarnya nyaman sekali berada di da-
lam tali gantungan ini. Cuma sayang, tali gantungan
ini milik nenek-nenek peot keji. Hi...! Aku jadi ngeri...,"
celoteh Ki Sorogompo seraya menarik kembali kepa-
lanya dari dalam tali gantungan.
Tampak wajah dingin Bunda Kurawa makin ke-
lam membesi. Kedua alisnya ditautkan dalam-dalam.
Namun belum sempat membuka suara, tiba-tiba ber-
kelebat sesosok bayangan kuning keemasan yang
langsung berlutut di hadapannya.
"Bunda...! Maafkan hamba, Bunda! Hamba tidak
sanggup menjaga keselamatan Mbakyu Cantrik Tu-
dung Pandan...," lapor satu sosok yang ternyata seorang wanita cantik.
"Ceritakan apa yang terjadi, Setan Cantik!" ujar Bunda Kurawa.
Wajah murid di hadapan Bunda Kurawa memang
cantik berbentuk bulat telur. Kulit wajahnya putih bersih. Rambutnya panjang
dibiarkan tergerai di bahu.
Sepasang matanya berbinar-binar indah. Hidungnya
mancung. Pas sekali dengan bentuk bibirnya yang me-
rah tipis dan juga bentuk dagunya yang runcing. Se-
dang tubuhnya yang tinggi ramping dibalut pakaian
ketat warna kuning keemasan. Memang gadis cantik
ini tidak lain adalah Setan Cantik yang baru saja lari tunggang langgang dari
Pekarangan Terlarang, markas
Perguruan Kelelawar Putih (Untuk mengetahui lebih jelas silakan baca serial
Siluman Ular Putih dalam episode: "Pedang Kelelawar Putih").
Di hadapan Bunda Kurawa, tampak wajah cantik
Setan Cantik demikian pucat pasi. Kedua bibirnya pun bergetar-getar.
"Apa maksud ucapanmu tadi, Setan Cantik"!"
bentak Bunda Kurawa dengan kening berkerut dalam.
"Ma.... Maafkan hamba, Bunda! Mbakyu....
Mbakyu Cantrik Tudung Pandan tewas di tangan Lela-
ki Berkumis Kucing. Hamba... hamba tidak dapat me-
nyelamatkannya, Bunda. Karena hamba sendiri juga
sedang menghadapi keroyokan hebat ketiga orang mu-
rid utama Lowo Kuru," ucap Setan Cantik.
"Siapa pun juga tidak boleh menghina murid-
murid Istana Ular Emas! Jangankan membunuh.
Menghina saja harus kita balas. Darah dibalas darah!
Nyawa dibalas nyawa! Dan kau sendiri, Setan Cantik!
Kau pun harus bertanggung jawab atas tewasnya Can-
trik Tudung Pandan. Untuk melengkapi jumlah seratus
orang muridku, kau harus secepatnya mencari seorang
gadis berbakat yang kecantikannya sama persis den-
gan Cantrik Tudung Pandan. Kalau kau tidak dapat
mendapatkan gadis pengganti Cantrik Tudung Pandan
dalam semalam, hm... hm...! Terpaksa kau pun tak
layak lagi hidup di muka bumi!" bentak Bunda Kurawa, murka.
"Baik, Bunda. Secepatnya hamba akan menda-
patkan gadis cantik yang seperti Bunda inginkan. Dan hamba pun akan menuntut
balas atas tewasnya
Mbakyu Cantrik Tudung Pandan!" sahut Setan Cantik,
tegas. "Bagus! Itu baru namanya murid Istana Ular Emas! Tapi, tunggu dulu! Apa
selama kau berpetua-lang pernah bertemu pemuda sakti bergelar Siluman
Ular Putih yang akhir-akhir ini menggegerkan dunia
persilatan, Setan Cantik?" tanya Bunda Kurawa lagi.
"Pernah, Bunda. Bukan saja pernah bertemu,
bahkan hamba pun pernah bentrok dengannya," sahut Setan Cantik semangat.
"Hm...!"
Bunda Kurawa menggumam tak jelas seraya
mengangguk-anggukkan kepalanya angkuh.
"Setan Cantik! Kuminta kau pancing pendekar
muda itu kemari. Kalau bisa, bunuh sekalipun tak
mengapa. Pokoknya semua tokoh sakti dunia persila-
tan harus tunduk di bawah perintahku!"
"Hamba akan berusaha sekuat tenaga, Bunda."
"Baik! Memang itu yang kuinginkan. Sekarang,
cepat bergabung dengan teman-temanmu."
Siluman Ular Putih 05 Istana Ular Emas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Baik, Bunda," sahut Setan Cantik.
Kemudian setelah menjura hormat sebentar, Se-
tan Cantik pun cepat berkelebat bergabung dengan
teman-temannya yang berbaris rapi mengelilingi tiang gantungan.
Sementara itu Bunda Kurawa maju dua tindak.
Sepasang matanya tajam memandang tiga orang tawa-
nannya. Bibirnya pun sunggingkan senyum dingin.
"Puah...! Lagakmu bak seorang ratu saja, Perem-
puan Keparat! Padahal kau tak ubahnya pelayan. Me-
malukan sekali! Badan sudah bau tanah, masih saja
menebar dosa. Mengapa tidak cepat-cepat bertobat"!
Barangkali saja Raja Akhirat masih sudi mengampuni
nyawa busukmu," teriak Ki Denawa alias Tangan Baja garang.
"Setan alas! Beraninya kau menghina bunda ka-
mi seperti itu, he"!" bentak Teratai Emas. Tangan kanannya pun cepat mengibas
dua kali ke pipi Tangan
Baja. Plak! Plak!
Dua kali pipi Tangan Baja terkena tamparan tan-
gan Teratai Emas tanpa dapat dihindari, membuat ke-
palanya bergerak ke kiri dan kanan.
Tangan Baja menggeram penuh kemarahan. Ke-
dua pipinya terasa nyeri bukan main. Memang, tampa-
ran Teratai Emas tadi bukanlah sembarangan tampa-
ran. Melainkan penuh dengan tenaga dalam.
"Manusia-manusia tak tahu diri! Kalian memang
pantas mendapat hukumanku! Heaaa...!"
Habis berkata begitu, Bunda Kurawa lantas
menggerakkan tangan kanannya. Maka seketika itu ti-
ga leret sinar kuning melesat dari jari-jari tangannya ke arah ketiga orang
tawanannya. Cras! Cras! "Aaakh..!" ,
Tangan Baja dan Naga Buta menjerit setinggi
langit. Wajahnya pucat pasi. Dada mereka yang terke-
na lesatan sinar kuning terasa nyeri bukan main, ba-
gaikan diamuk puluhan jarum racun. Tubuh Tangan
Baja menggeliat-geliat dengan darah segar membasahi
sudut-sudut bibir!
Sewaktu melihat sinar kuning menyerang mere-
ka, Ki Sorogompo sempat juga terkejut. Diam-diam te-
naga dalamnya dikerahkan. Hingga sewaktu pukulan
sinar kuning Bunda Kurawa mengenai dada, dia pun
pura-pura terhuyung-huyung menahan nyeri!
"Hm...! Apa kalian masih tidak mau takluk pada
Bunda Kurawa, he"!" bentak Teratai Emas sinis.
"Siapa sudi takluk di bawah kakinya" Sean-
dainya nenek-nenek peot itu dapat mengalahkanku sa-
ja, belum tentu aku mau takluk. Apalagi kalau aku
dapat menggebuknya. Bukankah ini terbalik na-
manya?" tukas Naga Buta penuh kemarahan.
Merah padamlah wajah Teratai Emas mendengar
gurunya yang tampak masih segar itu disebut sebagai
nenek-nenek peot. Maka kembali tangannya bergerak.
Plak! Plak! Kepala Naga Buta sempat oleng ke kanan kiri.
Pipinya yang terkena tamparan tadi terasa nyeri bukan main. Naga Buta
menggerutkan gerahamnya penuh kemarahan. Wajahnya menegang. Rahangnya bergemele-
tukkan. Sembari mendengus-denguskan hidungnya,
dia mencoba mengenali siapa penamparnya tadi.
"Teratai Emas! Kalau kucium harum tubuhmu,
aku yakin kau adalah seorang gadis cantik. Tapi, mengapa kelakuanmu tidak sesuai
kecantikanmu" Sung-
guh sayang! Masih muda sudah bergelimang angkara
murka!" desis Naga Buta.
"Jangan berkhotbah, Kunyuk Buta! Sekarang te-
rima saja kematianmu hari ini kalau memang tidak
ada keinginan untuk merubah pikiran," dengus Teratai Emas. Sehabis berkata
begitu, Teratai Emas pun memalingkan kepala ke arah Bunda Kurawa.
"Yang Mulai Bunda Kurawa! Apakah hukuman
gantung ini bisa segera dimulai?"
Bunda Kurawa mengangguk-angguk angkuh. Se-
jenak dipandanginya muridnya yang cantik. Lalu pan-
dangannya beralih ke arah ketiga orang tawanannya.
"Hm...! Tidak ada pilihan lain! Ketiga kunyuk tua ini. memang patut mampus! Tapi
sebelumnya aku ingin bertanya. Apakah di antara kalian ada yang ingin
meminta permintaan terakhir sebelum nyawa dijemput
Raja Akhirat?" kata Bunda Kurawa, pongah.
Naga Buta dan Tangan Baja hanya bisa mengge-
rutkan gerahamnya penuh kemarahan. Kedua pelipis-
nya bergerak-gerak, saking tidak kuatnya menahan
amarah yang menggelegak. Hanya sepasang matanya
saja yang terus melotot ke arah Bunda Kurawa.
"Bagus! Memang percuma bicara dengan orang-
orang keras kepala. Sekarang terima saja kematian kalian hari ini!" geram Bunda
Kurawa seraya menggerakkan tangan kanannya sebagai tanda perintah.
"Eh eh eh...! Tunggu dulu, Bunda Kurawa! Aku...
aku punya keinginan yang besar sekali. Tapi... tapi aku ragu-ragu apakah kau
dapat memenuhi permintaanku
atau tidak," cegah Ki Sorogompo tiba-tiba.
"Katakan apa permintaan terakhirmu, Ki Soro-
gompo!" bentak Bunda Kurawa.
"He he he...! Aku... aku ingin cepat-cepat berte-mu Tuhan...."
Beberapa orang murid Istana Ular Emas kontan
tertawa mengikik begitu mendengar permintaan ter-
akhir Ki Sorogompo. Namun tidak demikian Bunda
Kurawa. Ia yang memiliki watak kejam hanya terse-
nyum dingin. "Orang tua edan! Kematian sudah di depan mata,
masih saja bersikap aneh!"
"Nah, nah...! Ternyata kau tidak dapat menga-
bulkan permintaanku, bukan" Padahal, tadinya aku
ingin melaporkan kebobrokanmu pada Tuhan. Biar
Tuhan langsung mengirimkan malaikat maut untuk
segera mengirim nyawa busukmu ke dasar neraka."
"Setan alas! Sebaiknya hukuman gantung ini
jangan ditunda-tunda, Bunda! Buat apa meladeni oce-
han orang tua sinting itu. Percuma saja!" lengking Te-
ratai Emas penuh kemarahan.
Bunda Kurawa mengangguk-angguk.
"Cepat, laksanakan hukuman gantung!"
Tanpa diperintah sekali lagi, ketiga orang murid
Istana Ular Emas yang berada di belakang Tangan Ba-
ja, Naga Buta, dan Ki Sorogompo mengalungkan lu-
bang tali gantungan ke leher. Namun sebelum salah
seorang murid Istana Ular Emas sempat mengalung-
kan tali gantungan ke leher Ki Sorogompo, orang tua
berkulit hitam legam itu sudah julurkan kepalanya ke dalam lubang tali
gantungan. "Oh...! Kerinduanku yang abadi...! Izinkanlah aku menemui-Mu! Aku ingin sekali
melihat keindahan wajah-Mu. Biar aku lebih yakin kalau wajah-Mu jauh le-
bih indah dibanding wajah peot manusia jahanam
Bunda Kurawa...," oceh Ki Sorogompo dengan suara bergetar.
Wajah Tangan Baja dan Naga Buta pun makin
pias. Perasaan tegang jelas menyelimuti hati kedua
orang itu. Bagaimanapun mereka menyesali mati den-
gan cara sekonyol itu. Mereka lebih suka mati dengan cara bertarung.
Dan sewaktu mendengar celotehan tadi, bukan
main murkanya tokoh sesat dari Istana Ular Emas itu.
Wajah dinginnya terlihat makin kelam. Bibir tipisnya mendesis-desis penuh
kemarahan. Dan saking tidak
kuat menahan amarahnya, ia sampai tidak dapat ber-
kata-kata. Melihat kemurkaan Bunda Kurawa, tanpa ba-
nyak cakap lagi Teratai Emas segera memerintahkan
ketiga orang adik seperguruannya untuk segera mele-
pas pengait yang diinjak para tawanannya. Dengan
demikian papan yang berada tepat di kaki ketiga orang itu akan terlepas,
menciptakan tiga buah lubang ber-
bentuk segi empat.
"Hekkkhhh...!"
Terdengar tiga kali suara napas tertahan, serta
erangan lirih memilukan. Seketika itu juga tubuh keti-ga orang tawanan itu
langsung tergantung di atas
panggung. Tangan Baja dan Naga Buta berkelojotan. Mata
mereka terbeliak lebar dengan lidah terjulur panjang-panjang. Suasana halaman
depan Istana Ular Emas
makin dicekam ketegangan. Matahari pun malas ter-
senyum. Angin tak lagi berhembus. Dan selang bebe-
rapa saat tubuh kedua orang itu pun tidak lagi bergerak-gerak. Mati!
Sementara, tidak demikian halnya Ki Sorogompo.
Entah menggunakan ilmu apa, orang tua bertubuh
gempal itu tampak nyaman sekali di bawah tiang gan-
tungan. Malah tadi sempat tersenyum nakal ke arah
Bunda Kurawa sebelum akhirnya matanya terpejam
untuk bersemadi!
Kening Bunda Kurawa berkerut dalam. Ia masih
belum mengerti, mengapa tubuh pendek gempal Ki So-
rogompo itu tampak demikian nyamannya berada di
bawah tiang gantungan. Tidak seperti kedua orang te-
mannya yang telah pergi ke akhirat.
"Coba sepuluh orang berjaga-jaga di sini. Terus terang, aku masih ragu-ragu.
Apakah orang tua bertubuh gempal itu sudah mati atau belum. Tapi, coba ka-
lian jaga baik-baik! Kalau sampai matahari terbit besok masih tampak nyaman
seperti itu, kalian boleh langsung membunuhnya! Paham?" ujar Bunda Kurawa.
"Paham, Bunda," sahut murid-murid Istana Ular Emas serempak.
Murid-murid Istana Ular Emas masih belum be-
ranjak dari tempatnya ketika Bunda Kurawa pergi dari
tempat ini. Mereka tetap tegak di tempatnya, sampai
Bunda Kurawa masuk ke dalam istananya diiringi Se-
tan Cantik dan Teratai Emas.
* * * 2 Kabut perlahan-lahan tersibak oleh sinar mata-
hari yang baru saja menampakkan diri di ufuk timur.
Kokok ayam hutan terdengar saling sambut menyapa
hari di ambang pagi. Sementara, angin dingin pegu-
nungan terasa lembut menusuk kulit.
Dalam terpaan lembut angin pegunungan, seo-
rang pemuda tampan berpakaian rompi dan celana
bersisik warna putih keperakan tengah asyik mering-
kuk di atas celah-celah pohon beringin. Tampak nya-
man sekali tidurnya. Kedua tangannya di sedekapkan
di depan dada. Dan pada bagian dadanya yang terbuka
karena rompinya yang tidak memiliki kancing, tampak-
lah rajahan bergambar ular putih. Melihat ciri-cirinya, bisa dipastikan kalau
pemuda gondrong itu tak lain
murid tunggal Eyang Begawan Kamasetyo dari Gunung
Bucu. Soma alias Siluman Ular Putih!
Trang! Trang! Tengah Soma tertidur pulas, tiba-tiba terdengar
suara denting senjata beradu. Seperti tak peduli Soma menggeliat sebentar. Lalu
kembali tidurnya dilanjutkan dengan berbantalkan sebelah lengan.
"Heaaat...!".
Trang! Trang! Suara-suara bentakan dan denting senjata bera-
du makin mendekati tempat pemuda gondrong itu ti-
dur. Kali ini Soma tidak tahan lagi. Suara-suara beri-sik itu membuatnya
terbangun. Perlahan-lahan sepa-
sang mata birunya membuka. Lalu masih bertelekan
sebelah lengan, kepalanya melongok ke bawah. Di ba-
wah sana tampak beberapa orang gadis cantik berpa-
kaian kuning keemasan tengah bertempur hebat me-
lawan seorang laki-laki gagah berjubah jingga besar.
Laki-laki itu kira-kira berusia empat puluh ta-
hun. Wajahnya berbentuk kotak dengan kulit putih
bersih. Sepasang matanya besar, rahang-rahangnya
keras bertonjolan, Agaknya orang tua gagah berhidung mancung dengan sepasang
alis tebal itu memiliki watak keras. Buktinya saja, meski sekujur tubuhnya te-
lah bersimbah darah masih saja memberi perlawanan
gigih. "Huh...! Dasar orang-orang kurang kerjaan! Pagi-pagi saja sudah ribut-
ribut. mencari mati!" gerutu So-ma kesal.
"Ki Bagus Jelantik! Percuma saja melawan kami!
Sebaiknya cepatlah menyerah! Dan, serahkan Tongkat
Bajamu pada kami sebagai tanda taklukmu pada Bun-
da Kurawa, pemilik Istana Ular Emas!" bentak salah seorang gadis cantik
berpakaian kuning itu, garang.
"Keparat! Siapa sudi takluk di bawah pengaruh
manusia laknat Bunda Kurawa! Kau bunuh sekalipun,
belum tentu arwahku takluk di bawah pengaruhnya!"
balas laki-laki gagah yang ternyata bernama Ki Bagus Jelantik itu, tak mau
kalah. Kening Soma berkerut dalam. Ia memang belum
pernah mendengar tokoh bergelar Bunda Kurawa, pe-
milik Istana Ular Emas itu. Namun ketika tiba-tiba melihat beberapa jarum emas
yang berkeredepan menye-
rang Ki Bagus Jelantik, tak urung pemuda itu jadi terkejut juga dibuatnya.
"Bukankah jarum-jarum emas itu juga diguna-
kan Setan Cantik dan Cantrik Tudung Pandan ketika
menghadapi murid-murid Perguruan Kelelawar Putih
beberapa hari lalu" Lantas, apa hubungan mereka
dengan gadis-gadis cantik berpakaian kuning keema-
san itu" Ah...! Mengapa aku jadi bodoh begini! Sudah pasti Setan Cantik dan
Cantrik Tudung Pandan juga
murid-murid Istana Ular Emas!" gumam Soma dalam hati. Soma mengangguk-angguk.
Kini tidak lagi tidu-ran seperti tadi, melainkan telah berdiri tegak di atas
ranting pohon beringin. Sejenak diperhatikannya pertarungan dibawahnya.
"Ki Bagus Jelantik! Jangan khawatir! Aku datang membantumu!" teriak Soma seraya
menjejakkan kakinya ke ranting pohon dan cepat melesat turun.
Gerakan kedua kaki si pemuda ringan sekali.
Sama sekali tidak menimbulkan suara kala kedua ka-
kinya mendarat.
Baik Ki Bagus Jelantik maupun murid-murid Is-
tana Ular Emas kini sama-sama terkejut. Sejenak me-
reka menghentikan pertarungan dengan kening berke-
rut. Di tengah-tengah mereka kini telah berdiri tegak seorang pemuda tampan
berpakaian rompi dan celana
bersisik berwarna putih keperakan. Dan yang mem-
buat heran Ki Bagus Jelantik maupun murid-murid Is-
tana Ular Emas adalah ketika melihat sebuah rajahan
Siluman Ular Putih 05 Istana Ular Emas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bergambar ular putih di dada pemuda gondrong itu.
"Jangan-jangan pemuda gondrong inilah yang
bergelar Siluman Ular Putih," duga salah seorang murid Istana Ular Emas dalam
hati. "Terima kasih atas bantuanmu, Anak Muda. Sia-
pa pun kau, mari kita hadapi murid-murid Istana Ular Emas yang pongah ini!" ucap
Ki Bagus Jelantik se-
nang. Sekali tubuh lelaki ini berkelebat, kembali tongkat baja di tangan
kanannya bergulung-gulung menye-
rang murid-murid Istana Ular Emas. Meski Ki Bagus
Jelantik telah terluka cukup parah, namun serangan-
serangan tongkat bajanya tidak boleh dianggap ringan.
Malah belum sempat serangannya mengenai sasaran,
terlebih da-bum telah berkesiur hawa dingin menye-
rang murid-murid Istana Ular Emas.
"Lekaslah kalian enyah dari hadapanku sebelum
tongkat bajaku meremukkan batok kepala kalian!"
bentak Ki Bagus Jelantik, di antara gulungan-
gulungan tongkat bajanya yang mengurung pertaha-
nan murid-murid Istana Ular Emas.
Sementara Soma pun cepat mengerahkan jurus
'Terjangan Maut Ular Putih'. Bahkan tangan kirinya
yang berobah menjadi putih terang telah siap pula menampar dengan pukulan sakti
'Tenaga Inti Bumi', Se-
dang tangan kanannya yang telah berobah menjadi
merah menyala siap mematuk tubuh murid-murid Is-
tana Ular Emas dengan pukulan sakti 'Tenaga Inti Api'.
Melihat ilmu yang dikeluarkan Siluman Ular Pu-
tih, Ki Bagus Jelantik mengangguk-angguk penuh ka-
gum. "Hanya orang-orang yang memiliki tenaga dalam tinggi sajalah yang mampu
membagi-bagi dua tenaga
dalam yang saling berlawanan di masing-masing tan-
gannya. Satu menimbulkan hawa panas, sedang yang
satunya menimbulkan hawa dingin. Benar-benar men-
gagumkan! Masih semuda ini sudah mampu mengua-
sai dua tenaga dalam yang saling berlawanan sifatnya.
Aku sendiri yang sudah berlatih berpuluh-puluh tahun belum dapat melakukannya.
Tapi pemuda ini... hm...!
Benar-benar mengagumkan!" gumam Ki Bagus Jelan-
tik dalam hati.
Dan kenyataannya serangan-serangan Soma
alias Siluman Ular Putih itu memang benar-benar dah-
syat. Tamparan tangan kirinya menyebabkan berke-
siurnya hawa dingin. Sedang patukan-patukan telapak
tangan kanannya yang membentuk kepala ular me-
nimbulkan hawa panas, sebelum serangan sebenarnya
mengenai sasaran.
Wesss! Wesss! Hebat bukan main serangan-serangan Siluman
Ular Putih. Perlahan namun pasti, keempat orang mu-
rid Istana Ular Emas mulai terdesak hebat. Bahkan tak jarang tamparan-tamparan
dan patukan-patukannya
berhasil mendarat di tubuh lawan-lawannya.
Plak! Plak! "Aaakh...!"
Untung saja Siluman Ular Putih hanya menggu-
nakan setengah bagian tenaga dalamnya. Sehingga,
murid-murid Istana Ular Emas yang terkena tamparan
dan patukan hanya terhuyung-huyung beberapa lang-
kah. Namun sama sekali tidak membahayakan jiwa
mereka. Namun tidak demikian halnya Ki Bagus Jelantik.
Ia yang merasa gusar sekali dengan sepak terjang mu-
rid-murid Istana Ular Emas, tak segan-segannya me-
nurunkan tangan mautnya. Maka sebentar saja kedua
orang pengeroyok Ki Bagus Jelantik terdesak hebat.
Jangankan untuk membalas serangan. Untuk keluar
dari kurungan gulungan-gulungan tongkat baja Ki Ba-
gus Jelantik saja mereka tak mampu.
"Hyaaat! Hyaaat!"
Tanpa ampun Ki Bagus Jelantik terus mendesak
hebat kedua orang pengeroyoknya. Bahkan tak jarang
pula sambaran-sambaran tongkat baja di tangannya
telak mengenai beberapa bagian tubuh pengeroyoknya.
Bukkk! Bukkk! "Augh...!" pekik salah seorang pengeroyok, begitu punggungnya terkena sambaran
tongkat baja. Seketika itu juga tubuh perempuan ini terjerem-
bab ke depan. Punggungnya yang terkena sambaran
tongkat baja tadi terasa nyeri bukan alang kepalang.
Ki Bagus Jelantik yang sedang gusar itu terus
mengamuk hebat. Gulungan-gulungan tongkat ba-
janya makin menggiriskan, menyerang para penge-
royok. Namun di saat tengah mendesak hebat, salah
seorang pengeroyoknya yang tadi terkena pukulan
tongkat bajanya mengeluarkan suitan panjang.
Set! Set! Bersamaan dengan itu jarum-jarum emas yang
berkeredepan kembali menyerang hebat Ki Bagus Je-
lantik. Cepat lelaki ini memutar tongkat bajanya me-
nangkis rontok jarum-jarum emas itu.
Belum juga Ki Bagus Jelantik bersiap kembali,
dua orang pengeroyok telah berkelebat cepat mening-
galkan tempat itu. Keadaan ini pun juga dialami Siluman Ular Putih. Disaat sibuk
menghindari jarum-
jarum emas yang berkeredepan, keempat orang penge-
royoknya pun telah berkelebat cepat meninggalkan
arena pertarungan.
Ki Bagus Jelantik menggeram penuh kemarahan.
Seketika dia mengempos tenaganya untuk mengejar.
Namun baru saja bergerak, mendadak orang tua bertu-
buh tinggi kekar itu mengerang hebat seraya mende-
kap dadanya kuat-kuat. Seketika itu juga wajahnya
pucat pasi. Rupanya sewaktu menangkis rontok ja-
rum-jarum emas itu tadi, ternyata masih ada yang lo-
los dari tangkisannya, dan melesat menembus da-
danya. Sekali lagi Ki Bagus Jelantik menggeram penuh
kemarahan. Lalu tangan kanannya bergerak mencabut
jarum emas yang menancap dadanya. Untung saja ja-
rum emas itu belum amblas masuk ke dalam tubuh-
nya. Sehingga, tidak begitu membahayakan bagi kese-
lamatannya. Namun demikian, tetap saja ia roboh tak
sadarkan diri, begitu jarum emas tercabut dari da-
danya. *** Sepasang mata biru Siluman Ular Putih membe-
liak heran. Sejenak ia terpaku di tempatnya, tak tahu apa yang dialami Ki Bagus
Jelantik. Namun ketika
orang tua itu roboh tak sadarkan diri, Soma cepat berkelebat menghampiri. Sekali
lihat saja, pemuda ini ta-hu kalau Ki Bagus Jelantik terkena racun dari jarum-
jarum emas murid-murid Istana Ular Emas.
"Hm...! Sungguh keji racun jarum-jarum emas
ini. Aku harus secepatnya mengeluarkan racun dari
dalam tubuhnya," gumam Soma dalam hati.
Saat itu pula Siluman Ular Putih langsung me-
meriksa dada Ki Bagus Jelantik. Keningnya berkerut
dalam-dalam, pertanda mencemaskan keselamatan le-
laki setengah baya ini.
"Ah... sial! Terpaksa aku harus menyedot racun
ini!" rutuk Soma.
Lalu pemuda gondrong itu pun cepat menotok
beberapa jalan darah di bagian dada Ki Bagus Jelantik agar racun yang mengeram
tidak menyebar ke bagian
lain. Dengan gerakan cepat, Siluman Ular Putih sedikit merobek baju bagian dada
Ki Bagus Jelantik yang berwarna -kuning keemasan. Kini Soma menempelkan
mulutnya ke dada lelaki itu.
"Ugh...! Kenapa darah orang tua ini jadi dingin sekali seperti es?" gumam Soma
dalam hati, sembari terus menyedot racun.
Selang beberapa saat, darah yang tersedot di mu-
lut Soma pun tidak lagi darah dingin seperti es, tapi sebaliknya. Hal ini
pertanda racun yang mengeram dalam dada Ki Bagus Jelantik telah dapat
dikeluarkan. Soma sendiri pun cepat memuntahkan darah itu kem-
bali. Betapa darah yang dimuntahkan tampak berwar-
na merah kekuning-kuningan tercampur racun keji
ular emas. Pemuda tampan ini hanya geleng-gelengkan ke-
pala, lalu kembali menotok beberapa jalan darah di
bagian dada Ki Bagus Jelantik. Dan yang terakhir, dia menotok pada tengkuk.
"Ugh...!" keluh Ki Bagus Jelantik, perlahan-lahan membuka kelopak matanya.
"Syukurlah kau sudah sadar, Orang Tua," kata Soma lega.
Ki Bagus Jelantik tersenyum tipis. Kemudian
sambil mendekap dada dengan tangan kanan, dicoba
untuk duduk. Agak susah payah akhirnya orang tua
bertubuh tinggi kekar itu akhirnya dapat duduk bersi-la di depan Soma.
"Terima kasih, Anak Muda. Tapi... tapi kalau boleh tahu, apakah racun yang
mengeram dalam tubuh-
ku sudah dikeluarkan...."
"Sudah, Orang Tua."
"Kok, dadaku masih terasa nyeri sekali?"
"Mungkin itulah kehebatan racun ular emas.
Meski racun itu telah dikeluarkan, tapi sebaliknya kau jangan terlalu banyak
mengerahkan tenaga dalammu,
Orang Tua. Dan untuk mempercepat kesembuhanmu,
sebaiknya carilah seorang tabib! Barangkali saja ke-
sembuhanmu dapat di percepat."
"Sebegitu kejikah racun ular emas yang menge-
ram dalam tubuhku, Anak Muda?" tanya Ki Bagus Jelantik cemas.
"Aku kurang tahu, Orang Tua. Aku sendiri bukan
ahli racun. Tapi, sudahlah! Sebaiknya turuti saja kata-kataku tadi! Dan kalau
kau tidak keberatan, bolehkah aku tahu mengapa kau bisa berurusan dengan murid-
murid Istana Ular Emas itu?"
Ki Bagus Jelantik tidak langsung menjawab. Di-
tariknya napas panjang berulang-ulang.
"Ketahuilah, Anak Muda! Semua ini disebabkan
sepak terjang Bunda Kurawa, pemilik Istana Ular
Emas yang ingin menguasai dunia persilatan. Dan un-
tuk mewujudkan nafsu gilanya itu, tak segan-segan dia membunuh tokoh-tokoh sakti
yang tidak mau takluk
di bawah pengaruhnya. Bahkan tak jarang pula men-
gutus murid-muridnya untuk menculik beberapa ke-
tua perguruan silat yang masih bersikeras tidak mau takluk. Dan satu di antara
ketua perguruan silat yang diculik murid-murid Istana Ular Emas adalah kakak
seperguruanku, Ketua Perguruan Tangan Baja atau le-
bih terkenal sebagai Tangan Baja dari Gunung Tidar.
Dan untuk itu pulalah aku bermaksud menyelamatkan
kakak seperguruanku. Tapi sayang. Di tengah perjala-
nan aku di hadang murid-murid Istana Ular Emas. Se-
hingga akhirnya aku bertemu denganmu di sini, Anak
Muda." "Hm...!" ujar Soma seraya mengangguk-
anggukkan kepala.
"Jadi begitu persoalannya...."
"Ya! Dan kalau kau ingin benar-benar menolong-
ku sekaligus menyelamatkan dunia persilatan, cepat-
lah selamatkan tokoh-tokoh sakti dunia persilatan
yang tertawan di Istana Ular Emas. Termasuk juga, Ki Denawa alias Tangan Baja
kakak seperguruanku itu,
Anak Muda! Syukur kalau kau dapat membunuh ma-
nusia keparat Bunda Kurawa itu."
"Baiklah, Orang Tua. Itu memang sudah menjadi
kewajibanku. Tapi, di manakah letak Istana Ular Emas itu, Orang Tua?"
"Di sana! Di Lembah Kuripan! Berjalanlah ke
arah matahari terbit! Nanti tak jauh dari muara Kali Angkrik kau pasti akan
menemukan sebuah lembah
bernama Kuripan. Dan di lembah itu pulalah kau akan
dapat menemukan Istana Ular Emas yang menjadi
markas Bunda Kurawa dan murid-muridnya."
"Baiklah, Orang Tua. Sekarang juga aku akan
pergi ke sana. Dan, jangan lupa. Kalau ingin cepat
sembuh dari lukamu, kau harus cepat mencari seo-
rang tabib. Selamat tinggal, Orang Tua!"
"Tunggu dulu, Anak Muda!" cegah Ki Bagus Jelantik tiba-tiba.
"Ada apa lagi, Orang Tua?" tanya Soma seraya menunda langkahnya.
"Kalau melihat ciri-cirimu, apakah kau pemuda
sakti yang bergelar Siluman Ular Putih itu, Anak Mu-
da?" "Ah...! Kau ini ada-ada saja, Orang Tua. Mana pantas aku mendapat gelar
semewah itu. Jangan-jangan, malah kau yang salah lihat! Coba perhatikan
baik-baik apa yang ada di belakangmu, Orang Tua!
Jangan-jangan dia itulah yang kau maksud Siluman
Ular Putih! Coba perhatikan baik-baik...!" ujar Soma diam-diam mulai mengerahkan
kekuatan batinnya.
Seketika itu juga suara si pemuda pun mulai
bergetar-getar aneh menyerang jalan pikiran Ki Bagus Jelantik.
Tentu saja Ki Bagus Jelantik mengikuti petunjuk
jari Soma yang menunjuk di belakangnya. Dan begitu
orang tua itu memalingkan kepalanya ke belakang, se-
ketika juga parasnya berobah jadi pucat pasi. Sepa-
sang matanya membelalak liar. Di hadapannya kini
tampak seekor ular putih sebesar pohon kepala den-
gan kedua taringnya yang berkilauan! Sedang sepa-
sang matanya yang berwarna merah menyala terus
memandangi Ki Bagus Jelantik beringas!
"Si.... Siluman Ular Putih...!" desis Ki Bagus Jelantik gemetar saking takutnya.
Soma alias Siluman Ular Putih hanya tertawa-
tawa. "Benar. Itulah Siluman Ular Putih, Orang Tua.
Tapi sebaiknya, menontonnya jangan terlalu dekat-
dekat. Jangan-jangan malah kau yang terkena ter-
kamnya. Selamat tinggal!"
Seketika Soma pun cepat menjejakkan kakinya
ke tanah. Dan cepat pula dia berkelebat ke arah matahari terbit disertai gelak
tawa. Tidak lama kemudian, suara tawa pemuda gondrong itu pun menghilang. Sedang
Soma entah sudah berada di mana.
Namun bersamaan dengan menghilangnya suara
tawa pemuda itu, sosok memanjang sebesar pohon ke-
pala di hadapan Ki Bagus Jelantik pun menghilang
bak asap tertiup angin!
Ki Bagus Jelantik menghela napas lega. Wajah-
nya tampak masih pias. Kedua bibirnya pun bergetar-
Siluman Ular Putih 05 Istana Ular Emas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
getar, saking herannya.
"Pemuda hebat...! Tapi sayang, sikapnya terlalu ugal-ugalan...," desah Ki Bagus
Jelantik sebelum akhirnya berkelebat cepat meninggalkan tempat itu.
* * * 3 Soma terus berlari kencang menuju muara Kali
Angkrik. Gerakan kedua kakinya aneh sekali seperti
bersejingkat. Namun hebatnya, tubuh tinggi kekar pe-
muda gondrong itu terlihat ringan sekali laksana terbang. Dan kecepatan larinya
pun luar biasa. Itulah il-mu meringankan tubuh 'Menjangan Kencana' yang di-
pelajari dari eyangnya, Eyang Begawan Kamasetyo di
Gunung Bucu. Maka tak heran bila dalam waktu kurang dari se-
tengah hari, Siluman Ular Putih pun telah sampai di
sebuah hutan jati, tak jauh dari muara Kali Angkrik.
Dan kini di hadapan pemuda gondrong ini memben-
tang sebuah sungai. Itulah aliran sungai Kali Angkrik.
Lebarnya kurang lebih lima puluh tombak dan cukup
dalam. Namun pada saat musim kemarau seperti hari
itu arusnya tidak terlalu deras. Sehingga, mudah bagi orang yang ingin
menyeberangi menggunakan perahu.
Soma buru-buru lari mendekati tepi sungai. Dan
tiba-tiba sepasang mata birunya melihat sebuah pera-
hu kecil tengah berjalan perlahan. Penumpangnya ada-
lah seorang gadis cantik berpakaian ketat warna kun-
ing keemasan. "Jangan-jangan gadis itu salah seorang murid Istana Ular Emas. Kalau iya"
Wah...! Bisa gawat...! Tapi, mengapa aku harus takut" Toh, gadis itu cuma
sendiri. Mengapa aku harus takut...?" gumam si pemuda dengan kening berkerut.
Berpikir demikian, Soma jadi ingin memancing
perhatian. Sejenak diperhatikannya gadis itu.
"Hai.... Nona dalam perahu! Tunggu sebentar!
Apa kau tidak tahu kalau di bukit seberang sana ba-
nyak ular beracun" Mengapa kau hendak ke sana" Di
seberang sana juga banyak orang jahat. Apa kau tidak takut"!" teriaknya.
Gadis berpakaian kuning keemasan itu segera
berpaling ke belakang, menatap dengan mata menyipit
pada pemuda gondrong yang tengah berdiri di tepi
sungai. Namun sebentar kemudian dia hanya menjen-
gekkan hidungnya.
Wajah si gadis terlihat dingin sekali. Namun te-
tap saja tidak mengurangi kecantikannya. Wajahnya
yang berbentuk bulat telur benar-benar cantik, mele-
bihi kecantikan gadis yang pernah dijumpai Soma se-
lama ini. Kulitnya putih bersih. Pas sekali dengan hidungnya yang mancung dan
sepasang matanya yang
indah bak bintang kejora. Demikian pula bentuk da-
gunya yang runcing. Kedua bibirnya pun merah tipis.
Sedang tubuhnya yang tinggi ramping dibalut pakaian
ketat warna kuning keemasan. Benar-benar menga-
gumkan kecantikannya.
Untuk beberapa saat, Soma sempat dibuatnya
terpesona. Seolah-olah sukmanya terbetot oleh satu
kekuatan gaib yang kasat mata. Dan tanpa disadari,
diam-diam si pemuda mulai terpikat kecantikan gadis
itu. Sementara itu, si gadis yang melihat Soma masih berdiri terkesima di
tempatnya mulai mengayuh balik
perahunya menuju tepi sungai. Dan begitu sampai ke-
dua kakinya menutul ke papan perahu. Maka seketika
tubuhnya melayang tinggi ke udara. Setelah membuat
salto beberapa kali, kedua kakinya menjejak tanah di depan Soma. Gerakannya
ringan sekali, sama sekali
tidak menimbulkan suara saat menjejak daun-daun
kering di depan si pemuda.
Lalu dengan sinar mata dingin, gadis cantik itu
terus menatap wajah Soma saksama. Sama sekali mu-
lutnya tak mengumbar ocehan apa-apa.
Soma yang ditatap terus-terusan tak urung juga
jadi salah tingkah. Pipinya sebentar sudah jadi merah padam seperti kepiting
rebus. "Tolol! Mengapa aku jadi salah tingkah begini"
Aku kan laki-laki" Masa menghadapi gadis cantik saja jadi kaku begini!" rutuk si
pemuda dalam hati.
Berpikir demikian, maka Siluman Ular Putih pun
balik menatap wajah cantik gadis itu. Kini dua pasang mata saling tatap dan
sama-sama diam membisu. Tak
sepatah kata pun terucap dari bibir mereka yang ber-
getar-getar penuh pesona. Dan keadaan ini berlang-
sung cukup lama. Hingga akhirnya....
"Sebenarnya kau ini siapa" Beraninya benar
memandangi aku demikian rupa, heh"!" bentak gadis cantik itu galak.
Soma terkesiap. Sepasang mata birunya sejenak
membelalak liar..
"Kalau gadis cantik itu boleh memandang wajah-
ku, mengapa aku harus tunduk di bawah sorot ma-
tanya?" gumam Soma dalam hati.
Tapi, sebenarnya bukan itu saja yang menjadi
pikiran pemuda gondrong murid Eyang Begawan Ka-
masetyo ini. Melainkan, ia juga heran melihat sikap
kaku gadis cantik di hadapannya. Demikian juga wa-
jahnya yang dingin mirip orang terkena sihir!
"Namaku Soma, Nona. Dan kau sendiri siapa,
Nona" Bolehkah aku menanyakan satu hal...?"
Gadis cantik berpakaian kuning keemasan itu
tersenyum kaku. Sepasang mata jelinya tajam meman-
dangi wajah si pemuda.
"Siapa sudi bicara dengan pemuda gondrong ma-
cam kau"! Sebaiknya cepat tinggalkan tempat ini sebe-
lum nyawamu melayang!" hardik gadis cantik itu ketus. Ditegur ketus demikian,
Soma tidak menjadi gu-
sar. Bibirnya tetap menyunggingkan senyum.
"Maaf, Nona! Kuharap jangan cepat tersinggung!
Soal mati hidup bukan di tanganmu. Jadi, kuharap ja-
ngan menghalang-halangi maksudku!" jawab Siluman Ular Putih, tandas.
"Kalau begitu kau kemari mau apa"!" bentak si gadis, galak.
"Hm.... Kedatanganku kemari tidak ada niat ja-
hat secuil pun terhadapmu. Lantas kenapa kau begini
galak" Terus terang kukatakan padamu, kalau konon
bisa ular emas ampuh sekali untuk obat penyembuh
luka dalam. Maka sekarang aku hendak pergi ke Lem-
bah Kuripan, tempat Istana Ular Emas. Bolehkah aku
pergi ke seberang sana bersama-sama?" jelas Soma berdusta.
Paras gadis cantik itu berobah seketika.
"Sungguh besar nyalimu, Pemuda Bengal"! Bera-
pa tinggi kepandaianmu berani ke Lembah Kuripan"
Apa kau sudah bosan hidup, he"!" bentak si gadis, bengis.
"Kalau Nona berani, mengapa aku tidak berani?"
jawab Soma dengan senyum tetap terkembang di bibir.
Sambil berkata demikian, Siluman Ular Putih
pun cepat menutulkan kedua kakinya ke tanah. Seke-
tika tubuhnya melayang tinggi ke udara. Tiga kali dia berputaran di udara, lalu
tubuh tinggi kekarnya telah tegak di atas perahu. Gerakan kedua kakinya ringan
sekali, laksana capung hinggap di dahan. Sementara
badan perahu itu pun tidak bergoyang-goyang saat
menerima berat badan Soma!
"Huh...! Hup!"
Gadis cantik itu mendengus penuh kemarahan.
Sekali kakinya menjejak tanah, tubuh tinggi ramping-
nya melayang menyusul Soma. Dan kini gadis cantik
itu pun telah tegak di depan si pemuda.
"Sebenarnya kau ini siapa, heh"! Cepat katakan
terus terang! Jangan kau kira Angkin Pembawa Maut
bisa gampang menerima hinaan orang! Di samping itu,
siapa pun yang berani masuk ke dalam Istana Ular
Emas berarti mati!" bentak gadis cantik yang mengaku berjuluk Angkin Pembawa
Maut dengan tangan ikut
juga bergerak dua kali. Dan....
Serrrr! Serrrr!
Seketika tiga sinar kuning keemasan yang ber-
kerdepan cepat melesat menyerang tiga bagian jalan
darah di tubuh Soma. Kemudian menyusul sosok
bayangan tipis memanjang berwarna kuning keemasan
turut pula menyerang. Bahkan sebelum serangan-
serangan itu menemui sasaran, terlebih dahulu telah
berkesiur angin dingin menyerang pemuda gondrong
murid Eyang Begawan Kamasetyo dari Gunung Bucu.
Soma terkesiap kaget.
"Eh...! Kalau begitu, kau juga salah seorang murid Istana Ular Emas, Angkin
Pembawa Maut!" seru Soma seraya mengebutkan rompinya, menangkis rontok sinar-
sinar kuning yang ternyata jarum-jarum
emas Angkin Pembawa Maut. Sedang jari-jari tangan
kanannya cepat menyentil balik sosok bayangan tipis
memanjang yang ternyata angkin panjang milik gadis
itu. Bed! Kini angkin kuning itu pun balik menyerang
Angkin Pembawa Maut. Untung saja dia cepat melom-
pat ke atas, lalu mendarat ringan kembali di perahu.
"He he he.... Terus terang kukatakan, tujuanku
ke Istana Ular Emas adalah untuk membebaskan ta-
wanan...!" kata Soma, tegas.
Angkin Pembawa Maut yang baru saja terhindar
dari serangan balik angkin kuningnya hanya melotot
gusar. Apalagi melihat serangan-serangannya dapat
dimentahkan pemuda gondrong lawan dengan begitu
mudah. Dan yang lebih menjengkelkan lagi, ternyata
pemuda gondrong itu ingin membebaskan para tawa-
nan di Istana Ular Emas.
"Membebaskan para tawanan" Huh...! Seberapa
tinggi kepandaianmu sehingga berani mencari mati un-
tuk membebaskan para tawanan guruku?" tukas Angkin Pembawa Maut yang ternyata
murid seorang tokoh
wanita sesat yang berjuluk Bunda Kurawa.
"Sekarang kau jangan banyak tanya dulu, Angkin
Pembawa Maut!" desis Soma kalem. "Kalau kukatakan, kau tentu tidak lepas dari
rembetannya."
Angkin Pembawa Maut gusar bukan main. Wajah
dinginnya menegang penuh kemerahan. Lalu tangan
kirinya kembali mengibas, melepas jarum-jarum
emasnya ke arah Soma. Sedang tangan kanannya ce-
pat menggerakkan angkin panjangnya yang terkadang
bisa berobah kaku seperti lempengan baja.
"Bunda Kurawa belum pernah membiarkan
orang lain masuk ke dalam Lembah Kuripan! Kau jan-
gan coba-coba pergi ke sana, Pemuda Gondrong! Lekas
tinggalkan tempat ini!"
Set! Set! Set! Melihat serangan-serangan Angkin Pembawa
Maut yang demikian hebat, Soma tidak berani bertin-
dak gegabah. Diam-diam mulai dikeluarkannya jurus-
jurus sakti 'Terjangan Maut Ular Putih'. Sedang tangan kirinya yang berwarna
putih terang, siap menangkis
angkin kuning dengan menggunakan 'Tenaga Sakti Inti
Bumi'. Sementara tangan kanannya yang telah bero-
bah menjadi merah menyala telah bergerak cepat seka-
li menjentik jarum-jarum emas dengan 'Tenaga Sakti
Inti Api' Tik! Tik! Tik! Tiga kali jari-jari tangan Siluman Ular Putih ce-
pat bergerak. Sedang tangan kirinya telah mengibas
cepat melibat angkin kuning gadis itu.
"Heaaa...!"
Sekali lagi Angkin Pembawa Maut menggeram pe-
nuh kemarahan. Angkinnya yang terlibat tangan kiri
Siluman Ular Putih cepat ditarik kuat-kuat. Sedangkan tubuhnya cepat dimiringkan
ke kiri, menghindari serangan-serangan balik jarum-jarum emasnya. Sekali-
gus, bermaksud melemparkan tubuh Siluman Ular Pu-
tih ke dalam air dengan tarikan angkinnya.
Wesss! Memang benar tubuh tinggi kekar Siluman Ular
Putih dapat tertarik oleh Angkin Pembawa Maut. Na-
mun sebenarnya, diam-diam pemuda murid Eyang Be-
gawan Kamasetyo itu punya satu rencana bagus. Begi-
tu melayang-layang di udara, tubuhnya cepat menukik
tajam. Jari-jari tangannya yang terkembang bergerak
cepat, melepas totokan.
Tuk! Tuk! "Ah...!" pekik Angkin Pembawa Maut kaget bukan kepalang dengan tubuh lemas
seperti dilolosi tulang-tulangnya.
Serangan-serangan Siluman Ular Putih sungguh
di luar dugaan si gadis. Gerakannya pun cepat sekali, sulit diikuti pandangan
mata. Ia hanya sempat melihat berkelebatnya jari-jari tangan Siluman Ular Putih,
sebelum iganya tertotok.
Tanpa ampun tubuh tinggi ramping Angkin Pem-
bawa Maut ambruk, menyebabkan perahu kecil itu
oleng tak mampu menahan berat badan Angkin Pem-
bawa Maut. Apalagi jatuhnya tepat di pinggir perahu.
Maka seketika perahu itu pun terbalik. Dan bersa-
maan dengan itu, tubuh Soma dan Angkin Pembawa
Maut tercebur ke dalam sungai!
Byuuur! Byuuur!
Soma yang sejak kecil belum pernah meninggal-
kan puncak Gunung Bucu, tidak tahu bagaimana ca-
ranya harus bertindak di dalam air. Maka begitu pera-hu terbalik, si pemuda
langsung megap-megap tidak
karuan. Dan tanpa terhalangi lagi air sungai itu pun masuk ke dalam mulutnya.
Sebenarnya tadi ia bermaksud loncat ke tepian, tapi sayang perahu sudah
menjauh ke tengah.
"Jangkrik gempul! Monyet budukan! Hap...!
Hap...!" Baru saja Soma mengeluarkan sumpah serapah,
tiba-tiba air sungai yang bergelombang kembali masuk ke dalam mulutnya. Siluman
Ular Putih kewalahan
bukan main. Sebentar tubuhnya tenggelam ke dalam
air, sebentar kemudian kembali menyembul ke permu-
kaan sungai dengan, mulut megap-megap. Meski de-
mikian, ia tak henti-hentinya menggapai-gapaikan tangan mencari tempat bersauh.
Dan ketika melihat tubuh Angkin Pembawa Maut
belum sempat tenggelam ke dasar sungai, buru-buru
Soma menyambar lengannya. Kemudian dengan meng-
gerak-gerakkan kaki sebisanya, segera ditariknya tu-
Siluman Ular Putih 05 Istana Ular Emas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
buh Angkin Pembawa Maut. Meski terkadang timbul
tenggelam di air, perlahan-lahan sembari menyeret
lengan Angkin Pembawa Maut, Soma pun mulai men-
dekati badan perahu.
Selang beberapa saat, si pemuda dapat meraih
badan perahu dengan lengan kiri. Sedang tangan ka-
nannya masih berpegangan pada lengan halus Angkin
Pembawa Maut. Soma lega bukan main. Sementara itu perahu te-
rus hanyut ke tepi seberang.
Agak lama kedua orang itu terapung-apung di
atas air. Dan Soma yang sudah mendapat pegangan
baru, entah mengapa enggan sekali melepaskan lengan
halus Angkin Pembawa Maut. Kemudian sambil mena-
rik lengan Angkin Pembawa Maut dengan tangan ka-
nan, si pemuda terus menggerak-gerakkan kakinya.
Hingga akhirnya, sampailah mereka ke seberang sun-
gai. "Ah.... Setan alas! Hampir saja aku modar di dasar sungai!" geram Soma.
jengkel, begitu tiba di tepi sungai sambil membopong Angkin Pembawa Maut.
Sementara saat ini wajah Angkin Pembawa Maut
sudah pucat pasi. Dan yang membuat Soma jadi tak
habis pikir, suhu badan si gadis dingin sekali seperti es. Padahal perutnya baru
sedikit kemasukan air.
Soma hanya menggeleng-gelengkan kepala. Ke-
mudian tanpa banyak pikir lagi, segera disambarnya
kedua kaki gadis itu, dan diangkatnya tinggi-tinggi.
Seketika itu juga air segera keluar dari mulut gadis itu.
Tapi hanya sedikit. Setelah itu berhenti, tidak keluar lagi. "Aneh...! Kenapa
badannya dingin sekali" Apa mungkin ia sudah mati" Tidak! Ia tidak boleh mati!
Sayang sekali gadis cantik ini harus mati dalam usia mu-da. Tidak! Ia tidak
boleh mati!" gumam Soma dalam hati. Tapi pemuda ini tidak mungkin melanjutkan
la-munannya, karena harus menolong gadis cantik itu
terlebih dahulu. Maka, lantas telinganya didekatkan di
atas dada membusung Angkin Pembawa Maut. Ternya-
ta detak jantungnya masih bergerak-gerak. Sekalipun
amat lemah, tapi harapan untuk hidup masih besar.
Sebenarnya Soma tidak tahu, mengapa harus
memperhatikan keselamatan gadis cantik di bawah
kakinya. Padahal ia tahu, Angkin Pembawa Maut san-
gat kejam dan tidak berperi kemanusiaan. Karena ba-
gaimanapun juga, gadis ini adalah salah seorang mu-
rid Istana Ular Emas yang terkenal licik dan berhati keji. Namun keragu-raguan
Soma alias Siluman Ular
Putih hanya sebentar. Setelah termangu beberapa
saat, lantas dibukanya totokan jalan darah di tubuh
gadis cantik itu. Kemudian kantung kuning yang berisi jarum-jarum emas di
pinggang Angkin Pembawa Maut
segera diambilnya.
Setelah kantung kecil itu ditanggalkan dari tem-
patnya, baru Soma mulai memeriksa dan mencari-cari
letak keanehan tubuh gadis cantik itu. Namun tetap
saja si pemuda tidak berhasil. Padahal tadi ia sudah menotok beberapa jalan
darah di iga, punggung, dan
tengkuk gadis itu. Namun hasilnya" Badan Angkin
Pembawa Maut tetap dingin seperti es!
Siluman Ular Putih heran bukan main.
"Celaka...! Jangan-jangan gadis cantik ini me-
mang berdarah dingin...," keluh Soma kebingungan.
Dan karena saking bingungnya, Soma menggaruk-
garuk kepala. "Ah! Bagaimana ini" Kalau dibiarkan saja, bukan mustahil ia bisa mati. Ah!
Biarlah kucoba menyalurkan tenaga dalam. Siapa tahu ada hasilnya...," gumam So-
ma lagi dalam hati.
Maka tanpa banyak pikir panjang lagi Siluman
Ular Putih menempelkan telapak tangan kanannya di
punggung Angkin Pembawa Maut. Langsung dikerah-
kannya 'Tenaga Sakti Inti Api' yang mengandung hawa
panas. Kini perlahan-lahan hawa panas dari telapak
tangan kanannya yang telah berobah menjadi merah
menyala sampai ke pangkal lengan, mulai menghangati
tubuh Angkin Pembawa Maut.
Selang beberapa saat, sekujur badan Angkin
Pembawa Maut pun mulai dijalari hawa panas. Wajah-
nya yang semula kepucatan kini pun mulai tampak
memerah. "Nah, nah...! Dia sudah mulai siuman...!" desah Soma, girang.
*** Ternyata apa yang diduga Siluman Ular Putih
terbukti. Perlahan-lahan Angkin Pembawa Maut pun
mulai membuka kelopak matanya yang dihiasi bulu-
bulu mata lentik. Begitu menyadari keadaan, kedua
matanya kontan membelalak liar. Apalagi saat itu me-
rasakan ada dua tangan panas dari seseorang tengah
meraba-raba sekujur tubuhnya.
Angkin Pembawa Maut kaget bukan kepalang.
Cepat ia melompat bangun.
"Kau..." Kau apakan aku, Kunyuk Gondrong"!"
Plak! Plak! Gadis itu membentak pemuda gondrong di hada-
pannya sambil melepas tamparan di kedua pipi Soma.
Siluman Ular Putih yang saat itu tengah meme-
riksa tubuh Angkin Pembawa Maut kaget bukan main.
Kedua pipinya yang terkena tamparan tadi terasa pa-
nas, menciptakan guratan-guratan berwarna merah di
kedua pipi. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri.
"Lho, lho..." Kok, malah menamparku" Apa sa-
lahku" Aku kan sedang memeriksa tubuhmu yang
dingin seperti es...?" tukas Soma seraya mengelus-elus pipi kanannya dengan
telapak tangan.
Sambil bangkit berdiri Angkin Pembawa Maut
membeliakkan matanya sebentar. Diam-diam tanpa
disadari suatu perubahan besar mulai terjadi pada dirinya. Entah mengapa,
pandangan matanya tidak lagi
dingin seperti tadi. Malah kali ini tampak demikian
sendu saat menatap pemuda tampan di hadapannya.
Namun, itu hanya sebentar. Karena tiba-tiba saja
Angkin Pembawa Maut merasakan sekujur tubuhnya
gemetar mirip orang kedinginan. Wajahnya sebentar
berobah menjadi pucat pasi, sebentar kemudian kem-
bali menjadi kemerah-merahan.
Kening Soma berkerut dalam. Ia masih belum
mengerti, mengapa wajah gadis cantik di hadapannya
sebentar-sebentar berobah seperti itu. Demikian pula sekujur tubuhnya yang
tampak gemetar mirip orang
kedinginan. Si pemuda benar-benar tidak tahu! Lalu,
perlahan-lahan mulai mendekati gadis itu.
"Apakah kau... kau masih merasa kedinginan...?"
tanya si pemuda.
Angkin Pembawa Maut melangkah mundur, men-
jauhi pemuda tampan di hadapannya. Sepasang mata
jelinya tampak membeliak lebar.
"Kau.... Kau...! Siapa kau sebenarnya" Kenapa
kau begitu kejam memperlakukan diriku" Sekarang,
hilang sudah semua kepandaianku serta tenaga da-
lamku...?" tanya si gadis dengan suara bergetar.
Sekali lagi Siluman Ular Putih hanya menge-
rutkan keningnya dalam-dalam. Ia sama sekali tidak
mengerti maksud gadis itu.
Kresek! "Hei..."!"
Pemuda ini tersentak ketika telinganya menang-
kap suara kresek dari dedaunan yang tak jauh dari
tempatnya berdiri. Cepat Soma menatap ke bawah.
Dan alangkah terkejutnya hatinya saat matanya meli-
hat seekor ular kecil berwarna kuning keemasan ten-
gah menjulur-julurkan lidah ke arahnya.
"Hup!"
Soma cukup tahu, bagaimana ganasnya racun
ular emas itu. Maka secepatnya kedua kakinya menje-
jak tanah. Tubuhnya melompat ke belakang. Dan begi-
tu mendarat ia sudah siap siaga. Seluruh perhatiannya dipusatkan pada setiap
gerak-gerik ular emas itu.
Hina Kelana 1 Pendekar Pulau Neraka 36 Titisan Siluman Harimau Iblis Sungai Telaga 4
ISTANA ULAR EMAS Hak cipta dan Copy Right
Pada Penerbit Di bawah Lindungan Undang-Undang
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak Sebagian atau
Seluruh Isi Buku Ini
Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit
Serial Siluman Ular Putih
Dalam Episode 5:
Istana Ular Emas
128 Hal.; 12 x 18 Cm
1 "Manusia-manusia tolol! Apakah kalian masih
belum mau tunduk di bawah kekuasaan Bunda Kura-
wa"! Ini peringatan terakhir. Sebentar lagi, tali-tali gantungan akan
melenyapkan kalian"!"
Suara bernada ancaman itu terlontar dari seo-
rang perempuan berpakaian kuning keemasan yang
berdiri paling depan, di tengah halaman sebuah ban-
gunan megah. Aneh sekali! Mendengar ancaman dari wanita
yang menamakan diri Bunda Kurawa, tiga orang yang
tengah menghadapi tiang gantungan malah tersenyum
dingin. Sama sekali mereka tak menjawab. Namun si-
nar mata mereka memancarkan keberanian luar biasa.
Bak seorang ratu, Bunda Kurawa yang berdiri di
antara seratus orang wanita di halaman depan bangu-
nan ini tersenyum angkuh. Usianya kira-kira lima pu-
luh lima tahun. Meski demikian, wajahnya masih tetap kelihatan cantik seperti
baru saja berusia tiga puluh tahunan. Kulit wajahnya putih bersih. Sepasang
matanya tajam. Hidungnya mancung. Bibir tipisnya, ber-
warna merah. Rambut hitamnya digelung ke atas. Pa-
kaiannya indah, terbuat dari sutera berwarna kuning
keemasan. Memang karena selalu memiliki murid yang se-
muanya wanita sebanyak seratus orang, maka orang-
orang dunia persilatan pun menjulukinya Bunda Ku-
rawa. Kurawa sendiri adalah perlambang orang-orang
berhati culas. Dan sejak suaminya, Raja Ular Emas,
hilang tak ketahuan rimbanya, maka wanita cantik itulah yang memegang tampuk
pimpinan sebuah pergu-
ruan silat yang dikenal bernama Istana Ular Emas.
Bunda Kurawa bertepuk sekali. Tak lama, bebe-
rapa orang muridnya yang juga berpakaian ketat ber-
warna kuning keemasan segera beringsut beberapa
langkah dari barisan.
"Bunda! Apakah hukuman gantung terhadap
orang-orang tolol itu bisa dilaksanakan sekarang?"
tanya salah seorang murid, tanpa memanggil 'guru' seperti pada dunia persilatan
kebanyakan. Murid itu adalah seorang gadis cantik berusia
dua puluh tujuh tahun. Wajahnya berbentuk bulat te-
lur. Sepasang matanya jeli. Hidungnya mancung. Tu-
buhnya tinggi ramping. Rambutnya juga digelung ke
atas, mirip Bunda Kurawa. Dia adalah murid tertua.
Mendengar pertanyaan muridnya, Bunda Kurawa
hanya mengangguk angkuh.
"Cepat laksanakan, Teratai Emas! Kalau perlu,
kuliti tubuh mereka! Biar tahu rasa, tengah berhada-
pan dengan siapa"!"
Gadis cantik bernama Teratai Emas menjura
hormat sebentar di hadapan Bunda Kurawa, kemudian
dengan gesitnya berkelebat mendekati tiga orang yang akan menjalani hukuman
gantung. Ketiga orang itu sebenarnya bukanlah tokoh-
tokoh sembarangan di dunia persilatan. Yang paling
kanan adalah seorang lelaki bertubuh tinggi besar.
Usianya kira-kira empat puluh tahun. Wajahnya keras
dengan rahang bertonjolan. Sepasang matanya tajam.
Rambutnya yang panjang dibiarkan tergerai di bahu.
Melihat pakaiannya yang berupa jubah berwarna jing-
ga, dia adalah Ketua Perguruan Tangan Baja yang
bermarkas di puncak Gunung Tidar. Namanya, Ki De-
nawa. Dalam rimba persilatan dia dikenal sebagai Tangan Baja dari Gunung Tidar.
Di sebelah Ki Denawa adalah seorang perempuan
tua berusia enam puluh tahun. Rambutnya yang pan-
jang memutih digelung keatas. Wajahnya tirus penuh
kerut-kerutan. Kedua pipinya peot. Sepasang matanya
rabun berwarna putih. Kalau melihat ciri pakaiannya
yang ringkas berwarna hijau, bisa diduga bahwa dia
adalah Ketua Perguruan Naga Laut yang menguasai
pantai utara Pulau Jawa. Namanya, Nyi Kuweni. Julu-
kannya adalah Naga Buta dari Pantai Pemalang.
Sedang yang paling kiri adalah seorang laki-laki
bertubuh pendek gempal. Kulitnya hitam legam. Ma-
tanya bulat besar. Hidungnya bundar. Bibirnya dower
dengan gigi kuning. Rambutnya awut-awutan. Pa-
kaiannya pun kumal berwarna hitam. Jarang sekali
orang yang mengetahui nama aslinya. Hanya yang je-
las, di dunia persilatan ia sering disebut Ki Sorogompo (Untuk mengetahui tokoh
yang satu ini, silakan baca serial Siluman Ular Putih dalam episode perdana
"Miste-ri Bayi Ular").
Beberapa hari yang lalu Bunda Kurawa telah
memerintahkan murid-muridnya untuk menaklukkan
beberapa perguruan silat. Dan ketiga orang yang siap digantung adalah tokoh-
tokoh dunia persilatan yang
telah ditaklukkan. Memang, kalau saja murid-murid
Istana Ular Emas tidak bertindak curang, belum tentu mereka dapat diringkus
dengan begitu mudahnya.
Meski dengan cara curang, bukan masalah bagi
Bunda Kurawa untuk menaklukkan mereka. Yang
penting, keinginannya untuk menguasai dunia persila-
tan dapat terwujud.
Kini, ketiga orang tokoh itu tak ubahnya seperti
para pesakitan yang hanya tinggal menunggu ajal. Me-
reka benar-benar tak berdaya. Kedua kaki mereka di-
ikat dengan rantai baja yang saling bersambungan sa-
tu dengan lain. Di samping itu, beberapa mata pedang
murid-murid Istana Ular Emas siap pula menembus
tubuh mereka bila berusaha meloloskan diri. Kendati
begitu, mereka tak gentar sedikit pun.
"Manusia-manusia tolol! Sekali lagi kukatakan,
apakah kalian belum mau takluk di bawah kekuasaan
Bunda Kurawa?" bentak Teratai Emas galak.
"Setan alas! Siapa sudi takluk di bawah kaki
Bunda Kurawa! Ia tak ubahnya bajingan yang cuma
berani main keroyok!" teriak Ki Denawa alias Tangan Baja seraya tudingkan
telunjuknya ke arah Bunda Kurawa. Bunda Kurawa hanya tersenyum dingin. Namun
tidak demikian Teratai Emas. Mendengar tantangan
Tangan Baja, gadis itu sudah menjadi gusar.
"Percuma! Percuma saja kau tantang Bunda ka-
mi kalau akhirnya roboh juga. Bukankah itu hanya
membuang-buang waktu?"
"Babi buntung! Kalian benar-benar merendahkan
kami. Ayo, sekarang lepaskan rantai baja ini. Dan kita bertanding sampai ada
yang modar! Apa kau terlalu
pengecut untuk menerima tantanganku, Bunda Kura-
wa!" teriak Naga Buta kalap.
"Percuma! Apa kalian tidak dengar omonganku,
he"! Apa pun yang kalian inginkan, tetap saja percuma kalau akhirnya harus
menghadapi tiang gantungan.
Sebaiknya buang saja keinginan kalian yang aneh-
aneh itu! Atau cepat kalian berlutut di hadapan Bunda kami. Siapa tahu beliau
mau mengampuni kesombon-gan kalian!" bentak Teratai Emas lagi, galak.
Sementara itu Ki Sorogompo hanya celingak-
celinguk memperhatikan gadis-gadis cantik yang men-
gelilingi panggung tempat para tokoh persilatan itu
hendak digantung. Seolah-olah, ia tak memperdulikan
pertengkaran kedua orang temannya. Malah kini se-
nyum nakalnya semakin terkembang di bibir.
"Heran" Benar-benar mengherankan! Bagaimana
Bunda Kurawa bisa mengumpulkan gadis cantik seba-
nyak ini" Apa... jangan-jangan dunia bagian Lembah
Kuripan ini memang ditakdirkan berisi gadis-gadis
cantik" Oh...! Alangkah menyenangkannya kalau Bun-
da Kurawa sudi mengizinkan ku tinggal di sini. Apalagi kalau gadis-gadis cantik
itu mau denganku, He he
he...'" oceh Ki Sorogompo seraya memamerkan gigi-giginya yang berwarna kuning.
Mendengar celotehan lelaki tua berkulit hitam le-
gam itu, tak urung juga beberapa orang murid Istana
Ular Emas sempat tertawa cekikikan. Namun tidak de-
mikian Teratai Emas dan Bunda Kurawa yang berwa-
tak dingin. Kening mereka berkerut dalam dengan se-
pasang mata memperhatikan Ki Sorogompo.
"Lho, lho..." Kok, kalian melototi aku. Aku kan sekadar iseng memperhatikan
mereka. Bukankah
keindahan hasil ciptaan Tuhan sayang bila dilewatkan begitu saja. Bukankah
begitu, Nona Teratai Emas yang cantik dan galak?" celoteh Ki Sorogompo seenak
perutnya. Teratai Emas mengerutkan gerahamnya kuat-
kuat. Sepasang matanya semakin tajam memperhati-
kan Ki Sorogompo.
"Kematian sudah di depan mata masih berting-
kah aneh!" hardik Teratai Emas gusar seraya isya-ratkan tangan kanannya kepada
adik-adik sepergu-
ruannya. Sepuluh orang murid Istana Ular Emas cepat
mendorong kasar ketiga tawanan untuk lebih dekat
pada tali-tali gantungan. Bunyi bergemerincing lang-
sung terdengar begitu tubuh ketiga orang itu terdorong ke depan. Sementara
beberapa mata pedang di bela-
kang ketiga tokoh itu siap siaga bila terjadi sesuatu.
Naga Buta dan Tangan Baja geram bukan main.
Tak henti-hentinya mereka menyumpah serapah. Wa-
jah-wajah mereka pun menegang dengan rahang-
rahang bertonjolan. Namun tidak demikian Ki Soro-
gompo. Meski kematian sudah di depan mata, tapi
tampak masih saja bertingkah aneh-aneh. Malah kepa-
lanya yang botak dijulur-julurkan masuk ke dalam lu-
bang tali gantungan. Dan sembari menjulur-julurkan
lidahnya, orang tua berkulit hitam legam itu pun mulai berkaok-kaok.
"Ah...! Sebenarnya nyaman sekali berada di da-
lam tali gantungan ini. Cuma sayang, tali gantungan
ini milik nenek-nenek peot keji. Hi...! Aku jadi ngeri...,"
celoteh Ki Sorogompo seraya menarik kembali kepa-
lanya dari dalam tali gantungan.
Tampak wajah dingin Bunda Kurawa makin ke-
lam membesi. Kedua alisnya ditautkan dalam-dalam.
Namun belum sempat membuka suara, tiba-tiba ber-
kelebat sesosok bayangan kuning keemasan yang
langsung berlutut di hadapannya.
"Bunda...! Maafkan hamba, Bunda! Hamba tidak
sanggup menjaga keselamatan Mbakyu Cantrik Tu-
dung Pandan...," lapor satu sosok yang ternyata seorang wanita cantik.
"Ceritakan apa yang terjadi, Setan Cantik!" ujar Bunda Kurawa.
Wajah murid di hadapan Bunda Kurawa memang
cantik berbentuk bulat telur. Kulit wajahnya putih bersih. Rambutnya panjang
dibiarkan tergerai di bahu.
Sepasang matanya berbinar-binar indah. Hidungnya
mancung. Pas sekali dengan bentuk bibirnya yang me-
rah tipis dan juga bentuk dagunya yang runcing. Se-
dang tubuhnya yang tinggi ramping dibalut pakaian
ketat warna kuning keemasan. Memang gadis cantik
ini tidak lain adalah Setan Cantik yang baru saja lari tunggang langgang dari
Pekarangan Terlarang, markas
Perguruan Kelelawar Putih (Untuk mengetahui lebih jelas silakan baca serial
Siluman Ular Putih dalam episode: "Pedang Kelelawar Putih").
Di hadapan Bunda Kurawa, tampak wajah cantik
Setan Cantik demikian pucat pasi. Kedua bibirnya pun bergetar-getar.
"Apa maksud ucapanmu tadi, Setan Cantik"!"
bentak Bunda Kurawa dengan kening berkerut dalam.
"Ma.... Maafkan hamba, Bunda! Mbakyu....
Mbakyu Cantrik Tudung Pandan tewas di tangan Lela-
ki Berkumis Kucing. Hamba... hamba tidak dapat me-
nyelamatkannya, Bunda. Karena hamba sendiri juga
sedang menghadapi keroyokan hebat ketiga orang mu-
rid utama Lowo Kuru," ucap Setan Cantik.
"Siapa pun juga tidak boleh menghina murid-
murid Istana Ular Emas! Jangankan membunuh.
Menghina saja harus kita balas. Darah dibalas darah!
Nyawa dibalas nyawa! Dan kau sendiri, Setan Cantik!
Kau pun harus bertanggung jawab atas tewasnya Can-
trik Tudung Pandan. Untuk melengkapi jumlah seratus
orang muridku, kau harus secepatnya mencari seorang
gadis berbakat yang kecantikannya sama persis den-
gan Cantrik Tudung Pandan. Kalau kau tidak dapat
mendapatkan gadis pengganti Cantrik Tudung Pandan
dalam semalam, hm... hm...! Terpaksa kau pun tak
layak lagi hidup di muka bumi!" bentak Bunda Kurawa, murka.
"Baik, Bunda. Secepatnya hamba akan menda-
patkan gadis cantik yang seperti Bunda inginkan. Dan hamba pun akan menuntut
balas atas tewasnya
Mbakyu Cantrik Tudung Pandan!" sahut Setan Cantik,
tegas. "Bagus! Itu baru namanya murid Istana Ular Emas! Tapi, tunggu dulu! Apa
selama kau berpetua-lang pernah bertemu pemuda sakti bergelar Siluman
Ular Putih yang akhir-akhir ini menggegerkan dunia
persilatan, Setan Cantik?" tanya Bunda Kurawa lagi.
"Pernah, Bunda. Bukan saja pernah bertemu,
bahkan hamba pun pernah bentrok dengannya," sahut Setan Cantik semangat.
"Hm...!"
Bunda Kurawa menggumam tak jelas seraya
mengangguk-anggukkan kepalanya angkuh.
"Setan Cantik! Kuminta kau pancing pendekar
muda itu kemari. Kalau bisa, bunuh sekalipun tak
mengapa. Pokoknya semua tokoh sakti dunia persila-
tan harus tunduk di bawah perintahku!"
"Hamba akan berusaha sekuat tenaga, Bunda."
"Baik! Memang itu yang kuinginkan. Sekarang,
cepat bergabung dengan teman-temanmu."
Siluman Ular Putih 05 Istana Ular Emas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Baik, Bunda," sahut Setan Cantik.
Kemudian setelah menjura hormat sebentar, Se-
tan Cantik pun cepat berkelebat bergabung dengan
teman-temannya yang berbaris rapi mengelilingi tiang gantungan.
Sementara itu Bunda Kurawa maju dua tindak.
Sepasang matanya tajam memandang tiga orang tawa-
nannya. Bibirnya pun sunggingkan senyum dingin.
"Puah...! Lagakmu bak seorang ratu saja, Perem-
puan Keparat! Padahal kau tak ubahnya pelayan. Me-
malukan sekali! Badan sudah bau tanah, masih saja
menebar dosa. Mengapa tidak cepat-cepat bertobat"!
Barangkali saja Raja Akhirat masih sudi mengampuni
nyawa busukmu," teriak Ki Denawa alias Tangan Baja garang.
"Setan alas! Beraninya kau menghina bunda ka-
mi seperti itu, he"!" bentak Teratai Emas. Tangan kanannya pun cepat mengibas
dua kali ke pipi Tangan
Baja. Plak! Plak!
Dua kali pipi Tangan Baja terkena tamparan tan-
gan Teratai Emas tanpa dapat dihindari, membuat ke-
palanya bergerak ke kiri dan kanan.
Tangan Baja menggeram penuh kemarahan. Ke-
dua pipinya terasa nyeri bukan main. Memang, tampa-
ran Teratai Emas tadi bukanlah sembarangan tampa-
ran. Melainkan penuh dengan tenaga dalam.
"Manusia-manusia tak tahu diri! Kalian memang
pantas mendapat hukumanku! Heaaa...!"
Habis berkata begitu, Bunda Kurawa lantas
menggerakkan tangan kanannya. Maka seketika itu ti-
ga leret sinar kuning melesat dari jari-jari tangannya ke arah ketiga orang
tawanannya. Cras! Cras! "Aaakh..!" ,
Tangan Baja dan Naga Buta menjerit setinggi
langit. Wajahnya pucat pasi. Dada mereka yang terke-
na lesatan sinar kuning terasa nyeri bukan main, ba-
gaikan diamuk puluhan jarum racun. Tubuh Tangan
Baja menggeliat-geliat dengan darah segar membasahi
sudut-sudut bibir!
Sewaktu melihat sinar kuning menyerang mere-
ka, Ki Sorogompo sempat juga terkejut. Diam-diam te-
naga dalamnya dikerahkan. Hingga sewaktu pukulan
sinar kuning Bunda Kurawa mengenai dada, dia pun
pura-pura terhuyung-huyung menahan nyeri!
"Hm...! Apa kalian masih tidak mau takluk pada
Bunda Kurawa, he"!" bentak Teratai Emas sinis.
"Siapa sudi takluk di bawah kakinya" Sean-
dainya nenek-nenek peot itu dapat mengalahkanku sa-
ja, belum tentu aku mau takluk. Apalagi kalau aku
dapat menggebuknya. Bukankah ini terbalik na-
manya?" tukas Naga Buta penuh kemarahan.
Merah padamlah wajah Teratai Emas mendengar
gurunya yang tampak masih segar itu disebut sebagai
nenek-nenek peot. Maka kembali tangannya bergerak.
Plak! Plak! Kepala Naga Buta sempat oleng ke kanan kiri.
Pipinya yang terkena tamparan tadi terasa nyeri bukan main. Naga Buta
menggerutkan gerahamnya penuh kemarahan. Wajahnya menegang. Rahangnya bergemele-
tukkan. Sembari mendengus-denguskan hidungnya,
dia mencoba mengenali siapa penamparnya tadi.
"Teratai Emas! Kalau kucium harum tubuhmu,
aku yakin kau adalah seorang gadis cantik. Tapi, mengapa kelakuanmu tidak sesuai
kecantikanmu" Sung-
guh sayang! Masih muda sudah bergelimang angkara
murka!" desis Naga Buta.
"Jangan berkhotbah, Kunyuk Buta! Sekarang te-
rima saja kematianmu hari ini kalau memang tidak
ada keinginan untuk merubah pikiran," dengus Teratai Emas. Sehabis berkata
begitu, Teratai Emas pun memalingkan kepala ke arah Bunda Kurawa.
"Yang Mulai Bunda Kurawa! Apakah hukuman
gantung ini bisa segera dimulai?"
Bunda Kurawa mengangguk-angguk angkuh. Se-
jenak dipandanginya muridnya yang cantik. Lalu pan-
dangannya beralih ke arah ketiga orang tawanannya.
"Hm...! Tidak ada pilihan lain! Ketiga kunyuk tua ini. memang patut mampus! Tapi
sebelumnya aku ingin bertanya. Apakah di antara kalian ada yang ingin
meminta permintaan terakhir sebelum nyawa dijemput
Raja Akhirat?" kata Bunda Kurawa, pongah.
Naga Buta dan Tangan Baja hanya bisa mengge-
rutkan gerahamnya penuh kemarahan. Kedua pelipis-
nya bergerak-gerak, saking tidak kuatnya menahan
amarah yang menggelegak. Hanya sepasang matanya
saja yang terus melotot ke arah Bunda Kurawa.
"Bagus! Memang percuma bicara dengan orang-
orang keras kepala. Sekarang terima saja kematian kalian hari ini!" geram Bunda
Kurawa seraya menggerakkan tangan kanannya sebagai tanda perintah.
"Eh eh eh...! Tunggu dulu, Bunda Kurawa! Aku...
aku punya keinginan yang besar sekali. Tapi... tapi aku ragu-ragu apakah kau
dapat memenuhi permintaanku
atau tidak," cegah Ki Sorogompo tiba-tiba.
"Katakan apa permintaan terakhirmu, Ki Soro-
gompo!" bentak Bunda Kurawa.
"He he he...! Aku... aku ingin cepat-cepat berte-mu Tuhan...."
Beberapa orang murid Istana Ular Emas kontan
tertawa mengikik begitu mendengar permintaan ter-
akhir Ki Sorogompo. Namun tidak demikian Bunda
Kurawa. Ia yang memiliki watak kejam hanya terse-
nyum dingin. "Orang tua edan! Kematian sudah di depan mata,
masih saja bersikap aneh!"
"Nah, nah...! Ternyata kau tidak dapat menga-
bulkan permintaanku, bukan" Padahal, tadinya aku
ingin melaporkan kebobrokanmu pada Tuhan. Biar
Tuhan langsung mengirimkan malaikat maut untuk
segera mengirim nyawa busukmu ke dasar neraka."
"Setan alas! Sebaiknya hukuman gantung ini
jangan ditunda-tunda, Bunda! Buat apa meladeni oce-
han orang tua sinting itu. Percuma saja!" lengking Te-
ratai Emas penuh kemarahan.
Bunda Kurawa mengangguk-angguk.
"Cepat, laksanakan hukuman gantung!"
Tanpa diperintah sekali lagi, ketiga orang murid
Istana Ular Emas yang berada di belakang Tangan Ba-
ja, Naga Buta, dan Ki Sorogompo mengalungkan lu-
bang tali gantungan ke leher. Namun sebelum salah
seorang murid Istana Ular Emas sempat mengalung-
kan tali gantungan ke leher Ki Sorogompo, orang tua
berkulit hitam legam itu sudah julurkan kepalanya ke dalam lubang tali
gantungan. "Oh...! Kerinduanku yang abadi...! Izinkanlah aku menemui-Mu! Aku ingin sekali
melihat keindahan wajah-Mu. Biar aku lebih yakin kalau wajah-Mu jauh le-
bih indah dibanding wajah peot manusia jahanam
Bunda Kurawa...," oceh Ki Sorogompo dengan suara bergetar.
Wajah Tangan Baja dan Naga Buta pun makin
pias. Perasaan tegang jelas menyelimuti hati kedua
orang itu. Bagaimanapun mereka menyesali mati den-
gan cara sekonyol itu. Mereka lebih suka mati dengan cara bertarung.
Dan sewaktu mendengar celotehan tadi, bukan
main murkanya tokoh sesat dari Istana Ular Emas itu.
Wajah dinginnya terlihat makin kelam. Bibir tipisnya mendesis-desis penuh
kemarahan. Dan saking tidak
kuat menahan amarahnya, ia sampai tidak dapat ber-
kata-kata. Melihat kemurkaan Bunda Kurawa, tanpa ba-
nyak cakap lagi Teratai Emas segera memerintahkan
ketiga orang adik seperguruannya untuk segera mele-
pas pengait yang diinjak para tawanannya. Dengan
demikian papan yang berada tepat di kaki ketiga orang itu akan terlepas,
menciptakan tiga buah lubang ber-
bentuk segi empat.
"Hekkkhhh...!"
Terdengar tiga kali suara napas tertahan, serta
erangan lirih memilukan. Seketika itu juga tubuh keti-ga orang tawanan itu
langsung tergantung di atas
panggung. Tangan Baja dan Naga Buta berkelojotan. Mata
mereka terbeliak lebar dengan lidah terjulur panjang-panjang. Suasana halaman
depan Istana Ular Emas
makin dicekam ketegangan. Matahari pun malas ter-
senyum. Angin tak lagi berhembus. Dan selang bebe-
rapa saat tubuh kedua orang itu pun tidak lagi bergerak-gerak. Mati!
Sementara, tidak demikian halnya Ki Sorogompo.
Entah menggunakan ilmu apa, orang tua bertubuh
gempal itu tampak nyaman sekali di bawah tiang gan-
tungan. Malah tadi sempat tersenyum nakal ke arah
Bunda Kurawa sebelum akhirnya matanya terpejam
untuk bersemadi!
Kening Bunda Kurawa berkerut dalam. Ia masih
belum mengerti, mengapa tubuh pendek gempal Ki So-
rogompo itu tampak demikian nyamannya berada di
bawah tiang gantungan. Tidak seperti kedua orang te-
mannya yang telah pergi ke akhirat.
"Coba sepuluh orang berjaga-jaga di sini. Terus terang, aku masih ragu-ragu.
Apakah orang tua bertubuh gempal itu sudah mati atau belum. Tapi, coba ka-
lian jaga baik-baik! Kalau sampai matahari terbit besok masih tampak nyaman
seperti itu, kalian boleh langsung membunuhnya! Paham?" ujar Bunda Kurawa.
"Paham, Bunda," sahut murid-murid Istana Ular Emas serempak.
Murid-murid Istana Ular Emas masih belum be-
ranjak dari tempatnya ketika Bunda Kurawa pergi dari
tempat ini. Mereka tetap tegak di tempatnya, sampai
Bunda Kurawa masuk ke dalam istananya diiringi Se-
tan Cantik dan Teratai Emas.
* * * 2 Kabut perlahan-lahan tersibak oleh sinar mata-
hari yang baru saja menampakkan diri di ufuk timur.
Kokok ayam hutan terdengar saling sambut menyapa
hari di ambang pagi. Sementara, angin dingin pegu-
nungan terasa lembut menusuk kulit.
Dalam terpaan lembut angin pegunungan, seo-
rang pemuda tampan berpakaian rompi dan celana
bersisik warna putih keperakan tengah asyik mering-
kuk di atas celah-celah pohon beringin. Tampak nya-
man sekali tidurnya. Kedua tangannya di sedekapkan
di depan dada. Dan pada bagian dadanya yang terbuka
karena rompinya yang tidak memiliki kancing, tampak-
lah rajahan bergambar ular putih. Melihat ciri-cirinya, bisa dipastikan kalau
pemuda gondrong itu tak lain
murid tunggal Eyang Begawan Kamasetyo dari Gunung
Bucu. Soma alias Siluman Ular Putih!
Trang! Trang! Tengah Soma tertidur pulas, tiba-tiba terdengar
suara denting senjata beradu. Seperti tak peduli Soma menggeliat sebentar. Lalu
kembali tidurnya dilanjutkan dengan berbantalkan sebelah lengan.
"Heaaat...!".
Trang! Trang! Suara-suara bentakan dan denting senjata bera-
du makin mendekati tempat pemuda gondrong itu ti-
dur. Kali ini Soma tidak tahan lagi. Suara-suara beri-sik itu membuatnya
terbangun. Perlahan-lahan sepa-
sang mata birunya membuka. Lalu masih bertelekan
sebelah lengan, kepalanya melongok ke bawah. Di ba-
wah sana tampak beberapa orang gadis cantik berpa-
kaian kuning keemasan tengah bertempur hebat me-
lawan seorang laki-laki gagah berjubah jingga besar.
Laki-laki itu kira-kira berusia empat puluh ta-
hun. Wajahnya berbentuk kotak dengan kulit putih
bersih. Sepasang matanya besar, rahang-rahangnya
keras bertonjolan, Agaknya orang tua gagah berhidung mancung dengan sepasang
alis tebal itu memiliki watak keras. Buktinya saja, meski sekujur tubuhnya te-
lah bersimbah darah masih saja memberi perlawanan
gigih. "Huh...! Dasar orang-orang kurang kerjaan! Pagi-pagi saja sudah ribut-
ribut. mencari mati!" gerutu So-ma kesal.
"Ki Bagus Jelantik! Percuma saja melawan kami!
Sebaiknya cepatlah menyerah! Dan, serahkan Tongkat
Bajamu pada kami sebagai tanda taklukmu pada Bun-
da Kurawa, pemilik Istana Ular Emas!" bentak salah seorang gadis cantik
berpakaian kuning itu, garang.
"Keparat! Siapa sudi takluk di bawah pengaruh
manusia laknat Bunda Kurawa! Kau bunuh sekalipun,
belum tentu arwahku takluk di bawah pengaruhnya!"
balas laki-laki gagah yang ternyata bernama Ki Bagus Jelantik itu, tak mau
kalah. Kening Soma berkerut dalam. Ia memang belum
pernah mendengar tokoh bergelar Bunda Kurawa, pe-
milik Istana Ular Emas itu. Namun ketika tiba-tiba melihat beberapa jarum emas
yang berkeredepan menye-
rang Ki Bagus Jelantik, tak urung pemuda itu jadi terkejut juga dibuatnya.
"Bukankah jarum-jarum emas itu juga diguna-
kan Setan Cantik dan Cantrik Tudung Pandan ketika
menghadapi murid-murid Perguruan Kelelawar Putih
beberapa hari lalu" Lantas, apa hubungan mereka
dengan gadis-gadis cantik berpakaian kuning keema-
san itu" Ah...! Mengapa aku jadi bodoh begini! Sudah pasti Setan Cantik dan
Cantrik Tudung Pandan juga
murid-murid Istana Ular Emas!" gumam Soma dalam hati. Soma mengangguk-angguk.
Kini tidak lagi tidu-ran seperti tadi, melainkan telah berdiri tegak di atas
ranting pohon beringin. Sejenak diperhatikannya pertarungan dibawahnya.
"Ki Bagus Jelantik! Jangan khawatir! Aku datang membantumu!" teriak Soma seraya
menjejakkan kakinya ke ranting pohon dan cepat melesat turun.
Gerakan kedua kaki si pemuda ringan sekali.
Sama sekali tidak menimbulkan suara kala kedua ka-
kinya mendarat.
Baik Ki Bagus Jelantik maupun murid-murid Is-
tana Ular Emas kini sama-sama terkejut. Sejenak me-
reka menghentikan pertarungan dengan kening berke-
rut. Di tengah-tengah mereka kini telah berdiri tegak seorang pemuda tampan
berpakaian rompi dan celana
bersisik berwarna putih keperakan. Dan yang mem-
buat heran Ki Bagus Jelantik maupun murid-murid Is-
tana Ular Emas adalah ketika melihat sebuah rajahan
Siluman Ular Putih 05 Istana Ular Emas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bergambar ular putih di dada pemuda gondrong itu.
"Jangan-jangan pemuda gondrong inilah yang
bergelar Siluman Ular Putih," duga salah seorang murid Istana Ular Emas dalam
hati. "Terima kasih atas bantuanmu, Anak Muda. Sia-
pa pun kau, mari kita hadapi murid-murid Istana Ular Emas yang pongah ini!" ucap
Ki Bagus Jelantik se-
nang. Sekali tubuh lelaki ini berkelebat, kembali tongkat baja di tangan
kanannya bergulung-gulung menye-
rang murid-murid Istana Ular Emas. Meski Ki Bagus
Jelantik telah terluka cukup parah, namun serangan-
serangan tongkat bajanya tidak boleh dianggap ringan.
Malah belum sempat serangannya mengenai sasaran,
terlebih da-bum telah berkesiur hawa dingin menye-
rang murid-murid Istana Ular Emas.
"Lekaslah kalian enyah dari hadapanku sebelum
tongkat bajaku meremukkan batok kepala kalian!"
bentak Ki Bagus Jelantik, di antara gulungan-
gulungan tongkat bajanya yang mengurung pertaha-
nan murid-murid Istana Ular Emas.
Sementara Soma pun cepat mengerahkan jurus
'Terjangan Maut Ular Putih'. Bahkan tangan kirinya
yang berobah menjadi putih terang telah siap pula menampar dengan pukulan sakti
'Tenaga Inti Bumi', Se-
dang tangan kanannya yang telah berobah menjadi
merah menyala siap mematuk tubuh murid-murid Is-
tana Ular Emas dengan pukulan sakti 'Tenaga Inti Api'.
Melihat ilmu yang dikeluarkan Siluman Ular Pu-
tih, Ki Bagus Jelantik mengangguk-angguk penuh ka-
gum. "Hanya orang-orang yang memiliki tenaga dalam tinggi sajalah yang mampu
membagi-bagi dua tenaga
dalam yang saling berlawanan di masing-masing tan-
gannya. Satu menimbulkan hawa panas, sedang yang
satunya menimbulkan hawa dingin. Benar-benar men-
gagumkan! Masih semuda ini sudah mampu mengua-
sai dua tenaga dalam yang saling berlawanan sifatnya.
Aku sendiri yang sudah berlatih berpuluh-puluh tahun belum dapat melakukannya.
Tapi pemuda ini... hm...!
Benar-benar mengagumkan!" gumam Ki Bagus Jelan-
tik dalam hati.
Dan kenyataannya serangan-serangan Soma
alias Siluman Ular Putih itu memang benar-benar dah-
syat. Tamparan tangan kirinya menyebabkan berke-
siurnya hawa dingin. Sedang patukan-patukan telapak
tangan kanannya yang membentuk kepala ular me-
nimbulkan hawa panas, sebelum serangan sebenarnya
mengenai sasaran.
Wesss! Wesss! Hebat bukan main serangan-serangan Siluman
Ular Putih. Perlahan namun pasti, keempat orang mu-
rid Istana Ular Emas mulai terdesak hebat. Bahkan tak jarang tamparan-tamparan
dan patukan-patukannya
berhasil mendarat di tubuh lawan-lawannya.
Plak! Plak! "Aaakh...!"
Untung saja Siluman Ular Putih hanya menggu-
nakan setengah bagian tenaga dalamnya. Sehingga,
murid-murid Istana Ular Emas yang terkena tamparan
dan patukan hanya terhuyung-huyung beberapa lang-
kah. Namun sama sekali tidak membahayakan jiwa
mereka. Namun tidak demikian halnya Ki Bagus Jelantik.
Ia yang merasa gusar sekali dengan sepak terjang mu-
rid-murid Istana Ular Emas, tak segan-segannya me-
nurunkan tangan mautnya. Maka sebentar saja kedua
orang pengeroyok Ki Bagus Jelantik terdesak hebat.
Jangankan untuk membalas serangan. Untuk keluar
dari kurungan gulungan-gulungan tongkat baja Ki Ba-
gus Jelantik saja mereka tak mampu.
"Hyaaat! Hyaaat!"
Tanpa ampun Ki Bagus Jelantik terus mendesak
hebat kedua orang pengeroyoknya. Bahkan tak jarang
pula sambaran-sambaran tongkat baja di tangannya
telak mengenai beberapa bagian tubuh pengeroyoknya.
Bukkk! Bukkk! "Augh...!" pekik salah seorang pengeroyok, begitu punggungnya terkena sambaran
tongkat baja. Seketika itu juga tubuh perempuan ini terjerem-
bab ke depan. Punggungnya yang terkena sambaran
tongkat baja tadi terasa nyeri bukan alang kepalang.
Ki Bagus Jelantik yang sedang gusar itu terus
mengamuk hebat. Gulungan-gulungan tongkat ba-
janya makin menggiriskan, menyerang para penge-
royok. Namun di saat tengah mendesak hebat, salah
seorang pengeroyoknya yang tadi terkena pukulan
tongkat bajanya mengeluarkan suitan panjang.
Set! Set! Bersamaan dengan itu jarum-jarum emas yang
berkeredepan kembali menyerang hebat Ki Bagus Je-
lantik. Cepat lelaki ini memutar tongkat bajanya me-
nangkis rontok jarum-jarum emas itu.
Belum juga Ki Bagus Jelantik bersiap kembali,
dua orang pengeroyok telah berkelebat cepat mening-
galkan tempat itu. Keadaan ini pun juga dialami Siluman Ular Putih. Disaat sibuk
menghindari jarum-
jarum emas yang berkeredepan, keempat orang penge-
royoknya pun telah berkelebat cepat meninggalkan
arena pertarungan.
Ki Bagus Jelantik menggeram penuh kemarahan.
Seketika dia mengempos tenaganya untuk mengejar.
Namun baru saja bergerak, mendadak orang tua bertu-
buh tinggi kekar itu mengerang hebat seraya mende-
kap dadanya kuat-kuat. Seketika itu juga wajahnya
pucat pasi. Rupanya sewaktu menangkis rontok ja-
rum-jarum emas itu tadi, ternyata masih ada yang lo-
los dari tangkisannya, dan melesat menembus da-
danya. Sekali lagi Ki Bagus Jelantik menggeram penuh
kemarahan. Lalu tangan kanannya bergerak mencabut
jarum emas yang menancap dadanya. Untung saja ja-
rum emas itu belum amblas masuk ke dalam tubuh-
nya. Sehingga, tidak begitu membahayakan bagi kese-
lamatannya. Namun demikian, tetap saja ia roboh tak
sadarkan diri, begitu jarum emas tercabut dari da-
danya. *** Sepasang mata biru Siluman Ular Putih membe-
liak heran. Sejenak ia terpaku di tempatnya, tak tahu apa yang dialami Ki Bagus
Jelantik. Namun ketika
orang tua itu roboh tak sadarkan diri, Soma cepat berkelebat menghampiri. Sekali
lihat saja, pemuda ini ta-hu kalau Ki Bagus Jelantik terkena racun dari jarum-
jarum emas murid-murid Istana Ular Emas.
"Hm...! Sungguh keji racun jarum-jarum emas
ini. Aku harus secepatnya mengeluarkan racun dari
dalam tubuhnya," gumam Soma dalam hati.
Saat itu pula Siluman Ular Putih langsung me-
meriksa dada Ki Bagus Jelantik. Keningnya berkerut
dalam-dalam, pertanda mencemaskan keselamatan le-
laki setengah baya ini.
"Ah... sial! Terpaksa aku harus menyedot racun
ini!" rutuk Soma.
Lalu pemuda gondrong itu pun cepat menotok
beberapa jalan darah di bagian dada Ki Bagus Jelantik agar racun yang mengeram
tidak menyebar ke bagian
lain. Dengan gerakan cepat, Siluman Ular Putih sedikit merobek baju bagian dada
Ki Bagus Jelantik yang berwarna -kuning keemasan. Kini Soma menempelkan
mulutnya ke dada lelaki itu.
"Ugh...! Kenapa darah orang tua ini jadi dingin sekali seperti es?" gumam Soma
dalam hati, sembari terus menyedot racun.
Selang beberapa saat, darah yang tersedot di mu-
lut Soma pun tidak lagi darah dingin seperti es, tapi sebaliknya. Hal ini
pertanda racun yang mengeram dalam dada Ki Bagus Jelantik telah dapat
dikeluarkan. Soma sendiri pun cepat memuntahkan darah itu kem-
bali. Betapa darah yang dimuntahkan tampak berwar-
na merah kekuning-kuningan tercampur racun keji
ular emas. Pemuda tampan ini hanya geleng-gelengkan ke-
pala, lalu kembali menotok beberapa jalan darah di
bagian dada Ki Bagus Jelantik. Dan yang terakhir, dia menotok pada tengkuk.
"Ugh...!" keluh Ki Bagus Jelantik, perlahan-lahan membuka kelopak matanya.
"Syukurlah kau sudah sadar, Orang Tua," kata Soma lega.
Ki Bagus Jelantik tersenyum tipis. Kemudian
sambil mendekap dada dengan tangan kanan, dicoba
untuk duduk. Agak susah payah akhirnya orang tua
bertubuh tinggi kekar itu akhirnya dapat duduk bersi-la di depan Soma.
"Terima kasih, Anak Muda. Tapi... tapi kalau boleh tahu, apakah racun yang
mengeram dalam tubuh-
ku sudah dikeluarkan...."
"Sudah, Orang Tua."
"Kok, dadaku masih terasa nyeri sekali?"
"Mungkin itulah kehebatan racun ular emas.
Meski racun itu telah dikeluarkan, tapi sebaliknya kau jangan terlalu banyak
mengerahkan tenaga dalammu,
Orang Tua. Dan untuk mempercepat kesembuhanmu,
sebaiknya carilah seorang tabib! Barangkali saja ke-
sembuhanmu dapat di percepat."
"Sebegitu kejikah racun ular emas yang menge-
ram dalam tubuhku, Anak Muda?" tanya Ki Bagus Jelantik cemas.
"Aku kurang tahu, Orang Tua. Aku sendiri bukan
ahli racun. Tapi, sudahlah! Sebaiknya turuti saja kata-kataku tadi! Dan kalau
kau tidak keberatan, bolehkah aku tahu mengapa kau bisa berurusan dengan murid-
murid Istana Ular Emas itu?"
Ki Bagus Jelantik tidak langsung menjawab. Di-
tariknya napas panjang berulang-ulang.
"Ketahuilah, Anak Muda! Semua ini disebabkan
sepak terjang Bunda Kurawa, pemilik Istana Ular
Emas yang ingin menguasai dunia persilatan. Dan un-
tuk mewujudkan nafsu gilanya itu, tak segan-segan dia membunuh tokoh-tokoh sakti
yang tidak mau takluk
di bawah pengaruhnya. Bahkan tak jarang pula men-
gutus murid-muridnya untuk menculik beberapa ke-
tua perguruan silat yang masih bersikeras tidak mau takluk. Dan satu di antara
ketua perguruan silat yang diculik murid-murid Istana Ular Emas adalah kakak
seperguruanku, Ketua Perguruan Tangan Baja atau le-
bih terkenal sebagai Tangan Baja dari Gunung Tidar.
Dan untuk itu pulalah aku bermaksud menyelamatkan
kakak seperguruanku. Tapi sayang. Di tengah perjala-
nan aku di hadang murid-murid Istana Ular Emas. Se-
hingga akhirnya aku bertemu denganmu di sini, Anak
Muda." "Hm...!" ujar Soma seraya mengangguk-
anggukkan kepala.
"Jadi begitu persoalannya...."
"Ya! Dan kalau kau ingin benar-benar menolong-
ku sekaligus menyelamatkan dunia persilatan, cepat-
lah selamatkan tokoh-tokoh sakti dunia persilatan
yang tertawan di Istana Ular Emas. Termasuk juga, Ki Denawa alias Tangan Baja
kakak seperguruanku itu,
Anak Muda! Syukur kalau kau dapat membunuh ma-
nusia keparat Bunda Kurawa itu."
"Baiklah, Orang Tua. Itu memang sudah menjadi
kewajibanku. Tapi, di manakah letak Istana Ular Emas itu, Orang Tua?"
"Di sana! Di Lembah Kuripan! Berjalanlah ke
arah matahari terbit! Nanti tak jauh dari muara Kali Angkrik kau pasti akan
menemukan sebuah lembah
bernama Kuripan. Dan di lembah itu pulalah kau akan
dapat menemukan Istana Ular Emas yang menjadi
markas Bunda Kurawa dan murid-muridnya."
"Baiklah, Orang Tua. Sekarang juga aku akan
pergi ke sana. Dan, jangan lupa. Kalau ingin cepat
sembuh dari lukamu, kau harus cepat mencari seo-
rang tabib. Selamat tinggal, Orang Tua!"
"Tunggu dulu, Anak Muda!" cegah Ki Bagus Jelantik tiba-tiba.
"Ada apa lagi, Orang Tua?" tanya Soma seraya menunda langkahnya.
"Kalau melihat ciri-cirimu, apakah kau pemuda
sakti yang bergelar Siluman Ular Putih itu, Anak Mu-
da?" "Ah...! Kau ini ada-ada saja, Orang Tua. Mana pantas aku mendapat gelar
semewah itu. Jangan-jangan, malah kau yang salah lihat! Coba perhatikan
baik-baik apa yang ada di belakangmu, Orang Tua!
Jangan-jangan dia itulah yang kau maksud Siluman
Ular Putih! Coba perhatikan baik-baik...!" ujar Soma diam-diam mulai mengerahkan
kekuatan batinnya.
Seketika itu juga suara si pemuda pun mulai
bergetar-getar aneh menyerang jalan pikiran Ki Bagus Jelantik.
Tentu saja Ki Bagus Jelantik mengikuti petunjuk
jari Soma yang menunjuk di belakangnya. Dan begitu
orang tua itu memalingkan kepalanya ke belakang, se-
ketika juga parasnya berobah jadi pucat pasi. Sepa-
sang matanya membelalak liar. Di hadapannya kini
tampak seekor ular putih sebesar pohon kepala den-
gan kedua taringnya yang berkilauan! Sedang sepa-
sang matanya yang berwarna merah menyala terus
memandangi Ki Bagus Jelantik beringas!
"Si.... Siluman Ular Putih...!" desis Ki Bagus Jelantik gemetar saking takutnya.
Soma alias Siluman Ular Putih hanya tertawa-
tawa. "Benar. Itulah Siluman Ular Putih, Orang Tua.
Tapi sebaiknya, menontonnya jangan terlalu dekat-
dekat. Jangan-jangan malah kau yang terkena ter-
kamnya. Selamat tinggal!"
Seketika Soma pun cepat menjejakkan kakinya
ke tanah. Dan cepat pula dia berkelebat ke arah matahari terbit disertai gelak
tawa. Tidak lama kemudian, suara tawa pemuda gondrong itu pun menghilang. Sedang
Soma entah sudah berada di mana.
Namun bersamaan dengan menghilangnya suara
tawa pemuda itu, sosok memanjang sebesar pohon ke-
pala di hadapan Ki Bagus Jelantik pun menghilang
bak asap tertiup angin!
Ki Bagus Jelantik menghela napas lega. Wajah-
nya tampak masih pias. Kedua bibirnya pun bergetar-
Siluman Ular Putih 05 Istana Ular Emas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
getar, saking herannya.
"Pemuda hebat...! Tapi sayang, sikapnya terlalu ugal-ugalan...," desah Ki Bagus
Jelantik sebelum akhirnya berkelebat cepat meninggalkan tempat itu.
* * * 3 Soma terus berlari kencang menuju muara Kali
Angkrik. Gerakan kedua kakinya aneh sekali seperti
bersejingkat. Namun hebatnya, tubuh tinggi kekar pe-
muda gondrong itu terlihat ringan sekali laksana terbang. Dan kecepatan larinya
pun luar biasa. Itulah il-mu meringankan tubuh 'Menjangan Kencana' yang di-
pelajari dari eyangnya, Eyang Begawan Kamasetyo di
Gunung Bucu. Maka tak heran bila dalam waktu kurang dari se-
tengah hari, Siluman Ular Putih pun telah sampai di
sebuah hutan jati, tak jauh dari muara Kali Angkrik.
Dan kini di hadapan pemuda gondrong ini memben-
tang sebuah sungai. Itulah aliran sungai Kali Angkrik.
Lebarnya kurang lebih lima puluh tombak dan cukup
dalam. Namun pada saat musim kemarau seperti hari
itu arusnya tidak terlalu deras. Sehingga, mudah bagi orang yang ingin
menyeberangi menggunakan perahu.
Soma buru-buru lari mendekati tepi sungai. Dan
tiba-tiba sepasang mata birunya melihat sebuah pera-
hu kecil tengah berjalan perlahan. Penumpangnya ada-
lah seorang gadis cantik berpakaian ketat warna kun-
ing keemasan. "Jangan-jangan gadis itu salah seorang murid Istana Ular Emas. Kalau iya"
Wah...! Bisa gawat...! Tapi, mengapa aku harus takut" Toh, gadis itu cuma
sendiri. Mengapa aku harus takut...?" gumam si pemuda dengan kening berkerut.
Berpikir demikian, Soma jadi ingin memancing
perhatian. Sejenak diperhatikannya gadis itu.
"Hai.... Nona dalam perahu! Tunggu sebentar!
Apa kau tidak tahu kalau di bukit seberang sana ba-
nyak ular beracun" Mengapa kau hendak ke sana" Di
seberang sana juga banyak orang jahat. Apa kau tidak takut"!" teriaknya.
Gadis berpakaian kuning keemasan itu segera
berpaling ke belakang, menatap dengan mata menyipit
pada pemuda gondrong yang tengah berdiri di tepi
sungai. Namun sebentar kemudian dia hanya menjen-
gekkan hidungnya.
Wajah si gadis terlihat dingin sekali. Namun te-
tap saja tidak mengurangi kecantikannya. Wajahnya
yang berbentuk bulat telur benar-benar cantik, mele-
bihi kecantikan gadis yang pernah dijumpai Soma se-
lama ini. Kulitnya putih bersih. Pas sekali dengan hidungnya yang mancung dan
sepasang matanya yang
indah bak bintang kejora. Demikian pula bentuk da-
gunya yang runcing. Kedua bibirnya pun merah tipis.
Sedang tubuhnya yang tinggi ramping dibalut pakaian
ketat warna kuning keemasan. Benar-benar menga-
gumkan kecantikannya.
Untuk beberapa saat, Soma sempat dibuatnya
terpesona. Seolah-olah sukmanya terbetot oleh satu
kekuatan gaib yang kasat mata. Dan tanpa disadari,
diam-diam si pemuda mulai terpikat kecantikan gadis
itu. Sementara itu, si gadis yang melihat Soma masih berdiri terkesima di
tempatnya mulai mengayuh balik
perahunya menuju tepi sungai. Dan begitu sampai ke-
dua kakinya menutul ke papan perahu. Maka seketika
tubuhnya melayang tinggi ke udara. Setelah membuat
salto beberapa kali, kedua kakinya menjejak tanah di depan Soma. Gerakannya
ringan sekali, sama sekali
tidak menimbulkan suara saat menjejak daun-daun
kering di depan si pemuda.
Lalu dengan sinar mata dingin, gadis cantik itu
terus menatap wajah Soma saksama. Sama sekali mu-
lutnya tak mengumbar ocehan apa-apa.
Soma yang ditatap terus-terusan tak urung juga
jadi salah tingkah. Pipinya sebentar sudah jadi merah padam seperti kepiting
rebus. "Tolol! Mengapa aku jadi salah tingkah begini"
Aku kan laki-laki" Masa menghadapi gadis cantik saja jadi kaku begini!" rutuk si
pemuda dalam hati.
Berpikir demikian, maka Siluman Ular Putih pun
balik menatap wajah cantik gadis itu. Kini dua pasang mata saling tatap dan
sama-sama diam membisu. Tak
sepatah kata pun terucap dari bibir mereka yang ber-
getar-getar penuh pesona. Dan keadaan ini berlang-
sung cukup lama. Hingga akhirnya....
"Sebenarnya kau ini siapa" Beraninya benar
memandangi aku demikian rupa, heh"!" bentak gadis cantik itu galak.
Soma terkesiap. Sepasang mata birunya sejenak
membelalak liar..
"Kalau gadis cantik itu boleh memandang wajah-
ku, mengapa aku harus tunduk di bawah sorot ma-
tanya?" gumam Soma dalam hati.
Tapi, sebenarnya bukan itu saja yang menjadi
pikiran pemuda gondrong murid Eyang Begawan Ka-
masetyo ini. Melainkan, ia juga heran melihat sikap
kaku gadis cantik di hadapannya. Demikian juga wa-
jahnya yang dingin mirip orang terkena sihir!
"Namaku Soma, Nona. Dan kau sendiri siapa,
Nona" Bolehkah aku menanyakan satu hal...?"
Gadis cantik berpakaian kuning keemasan itu
tersenyum kaku. Sepasang mata jelinya tajam meman-
dangi wajah si pemuda.
"Siapa sudi bicara dengan pemuda gondrong ma-
cam kau"! Sebaiknya cepat tinggalkan tempat ini sebe-
lum nyawamu melayang!" hardik gadis cantik itu ketus. Ditegur ketus demikian,
Soma tidak menjadi gu-
sar. Bibirnya tetap menyunggingkan senyum.
"Maaf, Nona! Kuharap jangan cepat tersinggung!
Soal mati hidup bukan di tanganmu. Jadi, kuharap ja-
ngan menghalang-halangi maksudku!" jawab Siluman Ular Putih, tandas.
"Kalau begitu kau kemari mau apa"!" bentak si gadis, galak.
"Hm.... Kedatanganku kemari tidak ada niat ja-
hat secuil pun terhadapmu. Lantas kenapa kau begini
galak" Terus terang kukatakan padamu, kalau konon
bisa ular emas ampuh sekali untuk obat penyembuh
luka dalam. Maka sekarang aku hendak pergi ke Lem-
bah Kuripan, tempat Istana Ular Emas. Bolehkah aku
pergi ke seberang sana bersama-sama?" jelas Soma berdusta.
Paras gadis cantik itu berobah seketika.
"Sungguh besar nyalimu, Pemuda Bengal"! Bera-
pa tinggi kepandaianmu berani ke Lembah Kuripan"
Apa kau sudah bosan hidup, he"!" bentak si gadis, bengis.
"Kalau Nona berani, mengapa aku tidak berani?"
jawab Soma dengan senyum tetap terkembang di bibir.
Sambil berkata demikian, Siluman Ular Putih
pun cepat menutulkan kedua kakinya ke tanah. Seke-
tika tubuhnya melayang tinggi ke udara. Tiga kali dia berputaran di udara, lalu
tubuh tinggi kekarnya telah tegak di atas perahu. Gerakan kedua kakinya ringan
sekali, laksana capung hinggap di dahan. Sementara
badan perahu itu pun tidak bergoyang-goyang saat
menerima berat badan Soma!
"Huh...! Hup!"
Gadis cantik itu mendengus penuh kemarahan.
Sekali kakinya menjejak tanah, tubuh tinggi ramping-
nya melayang menyusul Soma. Dan kini gadis cantik
itu pun telah tegak di depan si pemuda.
"Sebenarnya kau ini siapa, heh"! Cepat katakan
terus terang! Jangan kau kira Angkin Pembawa Maut
bisa gampang menerima hinaan orang! Di samping itu,
siapa pun yang berani masuk ke dalam Istana Ular
Emas berarti mati!" bentak gadis cantik yang mengaku berjuluk Angkin Pembawa
Maut dengan tangan ikut
juga bergerak dua kali. Dan....
Serrrr! Serrrr!
Seketika tiga sinar kuning keemasan yang ber-
kerdepan cepat melesat menyerang tiga bagian jalan
darah di tubuh Soma. Kemudian menyusul sosok
bayangan tipis memanjang berwarna kuning keemasan
turut pula menyerang. Bahkan sebelum serangan-
serangan itu menemui sasaran, terlebih dahulu telah
berkesiur angin dingin menyerang pemuda gondrong
murid Eyang Begawan Kamasetyo dari Gunung Bucu.
Soma terkesiap kaget.
"Eh...! Kalau begitu, kau juga salah seorang murid Istana Ular Emas, Angkin
Pembawa Maut!" seru Soma seraya mengebutkan rompinya, menangkis rontok sinar-
sinar kuning yang ternyata jarum-jarum
emas Angkin Pembawa Maut. Sedang jari-jari tangan
kanannya cepat menyentil balik sosok bayangan tipis
memanjang yang ternyata angkin panjang milik gadis
itu. Bed! Kini angkin kuning itu pun balik menyerang
Angkin Pembawa Maut. Untung saja dia cepat melom-
pat ke atas, lalu mendarat ringan kembali di perahu.
"He he he.... Terus terang kukatakan, tujuanku
ke Istana Ular Emas adalah untuk membebaskan ta-
wanan...!" kata Soma, tegas.
Angkin Pembawa Maut yang baru saja terhindar
dari serangan balik angkin kuningnya hanya melotot
gusar. Apalagi melihat serangan-serangannya dapat
dimentahkan pemuda gondrong lawan dengan begitu
mudah. Dan yang lebih menjengkelkan lagi, ternyata
pemuda gondrong itu ingin membebaskan para tawa-
nan di Istana Ular Emas.
"Membebaskan para tawanan" Huh...! Seberapa
tinggi kepandaianmu sehingga berani mencari mati un-
tuk membebaskan para tawanan guruku?" tukas Angkin Pembawa Maut yang ternyata
murid seorang tokoh
wanita sesat yang berjuluk Bunda Kurawa.
"Sekarang kau jangan banyak tanya dulu, Angkin
Pembawa Maut!" desis Soma kalem. "Kalau kukatakan, kau tentu tidak lepas dari
rembetannya."
Angkin Pembawa Maut gusar bukan main. Wajah
dinginnya menegang penuh kemerahan. Lalu tangan
kirinya kembali mengibas, melepas jarum-jarum
emasnya ke arah Soma. Sedang tangan kanannya ce-
pat menggerakkan angkin panjangnya yang terkadang
bisa berobah kaku seperti lempengan baja.
"Bunda Kurawa belum pernah membiarkan
orang lain masuk ke dalam Lembah Kuripan! Kau jan-
gan coba-coba pergi ke sana, Pemuda Gondrong! Lekas
tinggalkan tempat ini!"
Set! Set! Set! Melihat serangan-serangan Angkin Pembawa
Maut yang demikian hebat, Soma tidak berani bertin-
dak gegabah. Diam-diam mulai dikeluarkannya jurus-
jurus sakti 'Terjangan Maut Ular Putih'. Sedang tangan kirinya yang berwarna
putih terang, siap menangkis
angkin kuning dengan menggunakan 'Tenaga Sakti Inti
Bumi'. Sementara tangan kanannya yang telah bero-
bah menjadi merah menyala telah bergerak cepat seka-
li menjentik jarum-jarum emas dengan 'Tenaga Sakti
Inti Api' Tik! Tik! Tik! Tiga kali jari-jari tangan Siluman Ular Putih ce-
pat bergerak. Sedang tangan kirinya telah mengibas
cepat melibat angkin kuning gadis itu.
"Heaaa...!"
Sekali lagi Angkin Pembawa Maut menggeram pe-
nuh kemarahan. Angkinnya yang terlibat tangan kiri
Siluman Ular Putih cepat ditarik kuat-kuat. Sedangkan tubuhnya cepat dimiringkan
ke kiri, menghindari serangan-serangan balik jarum-jarum emasnya. Sekali-
gus, bermaksud melemparkan tubuh Siluman Ular Pu-
tih ke dalam air dengan tarikan angkinnya.
Wesss! Memang benar tubuh tinggi kekar Siluman Ular
Putih dapat tertarik oleh Angkin Pembawa Maut. Na-
mun sebenarnya, diam-diam pemuda murid Eyang Be-
gawan Kamasetyo itu punya satu rencana bagus. Begi-
tu melayang-layang di udara, tubuhnya cepat menukik
tajam. Jari-jari tangannya yang terkembang bergerak
cepat, melepas totokan.
Tuk! Tuk! "Ah...!" pekik Angkin Pembawa Maut kaget bukan kepalang dengan tubuh lemas
seperti dilolosi tulang-tulangnya.
Serangan-serangan Siluman Ular Putih sungguh
di luar dugaan si gadis. Gerakannya pun cepat sekali, sulit diikuti pandangan
mata. Ia hanya sempat melihat berkelebatnya jari-jari tangan Siluman Ular Putih,
sebelum iganya tertotok.
Tanpa ampun tubuh tinggi ramping Angkin Pem-
bawa Maut ambruk, menyebabkan perahu kecil itu
oleng tak mampu menahan berat badan Angkin Pem-
bawa Maut. Apalagi jatuhnya tepat di pinggir perahu.
Maka seketika perahu itu pun terbalik. Dan bersa-
maan dengan itu, tubuh Soma dan Angkin Pembawa
Maut tercebur ke dalam sungai!
Byuuur! Byuuur!
Soma yang sejak kecil belum pernah meninggal-
kan puncak Gunung Bucu, tidak tahu bagaimana ca-
ranya harus bertindak di dalam air. Maka begitu pera-hu terbalik, si pemuda
langsung megap-megap tidak
karuan. Dan tanpa terhalangi lagi air sungai itu pun masuk ke dalam mulutnya.
Sebenarnya tadi ia bermaksud loncat ke tepian, tapi sayang perahu sudah
menjauh ke tengah.
"Jangkrik gempul! Monyet budukan! Hap...!
Hap...!" Baru saja Soma mengeluarkan sumpah serapah,
tiba-tiba air sungai yang bergelombang kembali masuk ke dalam mulutnya. Siluman
Ular Putih kewalahan
bukan main. Sebentar tubuhnya tenggelam ke dalam
air, sebentar kemudian kembali menyembul ke permu-
kaan sungai dengan, mulut megap-megap. Meski de-
mikian, ia tak henti-hentinya menggapai-gapaikan tangan mencari tempat bersauh.
Dan ketika melihat tubuh Angkin Pembawa Maut
belum sempat tenggelam ke dasar sungai, buru-buru
Soma menyambar lengannya. Kemudian dengan meng-
gerak-gerakkan kaki sebisanya, segera ditariknya tu-
Siluman Ular Putih 05 Istana Ular Emas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
buh Angkin Pembawa Maut. Meski terkadang timbul
tenggelam di air, perlahan-lahan sembari menyeret
lengan Angkin Pembawa Maut, Soma pun mulai men-
dekati badan perahu.
Selang beberapa saat, si pemuda dapat meraih
badan perahu dengan lengan kiri. Sedang tangan ka-
nannya masih berpegangan pada lengan halus Angkin
Pembawa Maut. Soma lega bukan main. Sementara itu perahu te-
rus hanyut ke tepi seberang.
Agak lama kedua orang itu terapung-apung di
atas air. Dan Soma yang sudah mendapat pegangan
baru, entah mengapa enggan sekali melepaskan lengan
halus Angkin Pembawa Maut. Kemudian sambil mena-
rik lengan Angkin Pembawa Maut dengan tangan ka-
nan, si pemuda terus menggerak-gerakkan kakinya.
Hingga akhirnya, sampailah mereka ke seberang sun-
gai. "Ah.... Setan alas! Hampir saja aku modar di dasar sungai!" geram Soma.
jengkel, begitu tiba di tepi sungai sambil membopong Angkin Pembawa Maut.
Sementara saat ini wajah Angkin Pembawa Maut
sudah pucat pasi. Dan yang membuat Soma jadi tak
habis pikir, suhu badan si gadis dingin sekali seperti es. Padahal perutnya baru
sedikit kemasukan air.
Soma hanya menggeleng-gelengkan kepala. Ke-
mudian tanpa banyak pikir lagi, segera disambarnya
kedua kaki gadis itu, dan diangkatnya tinggi-tinggi.
Seketika itu juga air segera keluar dari mulut gadis itu.
Tapi hanya sedikit. Setelah itu berhenti, tidak keluar lagi. "Aneh...! Kenapa
badannya dingin sekali" Apa mungkin ia sudah mati" Tidak! Ia tidak boleh mati!
Sayang sekali gadis cantik ini harus mati dalam usia mu-da. Tidak! Ia tidak
boleh mati!" gumam Soma dalam hati. Tapi pemuda ini tidak mungkin melanjutkan
la-munannya, karena harus menolong gadis cantik itu
terlebih dahulu. Maka, lantas telinganya didekatkan di
atas dada membusung Angkin Pembawa Maut. Ternya-
ta detak jantungnya masih bergerak-gerak. Sekalipun
amat lemah, tapi harapan untuk hidup masih besar.
Sebenarnya Soma tidak tahu, mengapa harus
memperhatikan keselamatan gadis cantik di bawah
kakinya. Padahal ia tahu, Angkin Pembawa Maut san-
gat kejam dan tidak berperi kemanusiaan. Karena ba-
gaimanapun juga, gadis ini adalah salah seorang mu-
rid Istana Ular Emas yang terkenal licik dan berhati keji. Namun keragu-raguan
Soma alias Siluman Ular
Putih hanya sebentar. Setelah termangu beberapa
saat, lantas dibukanya totokan jalan darah di tubuh
gadis cantik itu. Kemudian kantung kuning yang berisi jarum-jarum emas di
pinggang Angkin Pembawa Maut
segera diambilnya.
Setelah kantung kecil itu ditanggalkan dari tem-
patnya, baru Soma mulai memeriksa dan mencari-cari
letak keanehan tubuh gadis cantik itu. Namun tetap
saja si pemuda tidak berhasil. Padahal tadi ia sudah menotok beberapa jalan
darah di iga, punggung, dan
tengkuk gadis itu. Namun hasilnya" Badan Angkin
Pembawa Maut tetap dingin seperti es!
Siluman Ular Putih heran bukan main.
"Celaka...! Jangan-jangan gadis cantik ini me-
mang berdarah dingin...," keluh Soma kebingungan.
Dan karena saking bingungnya, Soma menggaruk-
garuk kepala. "Ah! Bagaimana ini" Kalau dibiarkan saja, bukan mustahil ia bisa mati. Ah!
Biarlah kucoba menyalurkan tenaga dalam. Siapa tahu ada hasilnya...," gumam So-
ma lagi dalam hati.
Maka tanpa banyak pikir panjang lagi Siluman
Ular Putih menempelkan telapak tangan kanannya di
punggung Angkin Pembawa Maut. Langsung dikerah-
kannya 'Tenaga Sakti Inti Api' yang mengandung hawa
panas. Kini perlahan-lahan hawa panas dari telapak
tangan kanannya yang telah berobah menjadi merah
menyala sampai ke pangkal lengan, mulai menghangati
tubuh Angkin Pembawa Maut.
Selang beberapa saat, sekujur badan Angkin
Pembawa Maut pun mulai dijalari hawa panas. Wajah-
nya yang semula kepucatan kini pun mulai tampak
memerah. "Nah, nah...! Dia sudah mulai siuman...!" desah Soma, girang.
*** Ternyata apa yang diduga Siluman Ular Putih
terbukti. Perlahan-lahan Angkin Pembawa Maut pun
mulai membuka kelopak matanya yang dihiasi bulu-
bulu mata lentik. Begitu menyadari keadaan, kedua
matanya kontan membelalak liar. Apalagi saat itu me-
rasakan ada dua tangan panas dari seseorang tengah
meraba-raba sekujur tubuhnya.
Angkin Pembawa Maut kaget bukan kepalang.
Cepat ia melompat bangun.
"Kau..." Kau apakan aku, Kunyuk Gondrong"!"
Plak! Plak! Gadis itu membentak pemuda gondrong di hada-
pannya sambil melepas tamparan di kedua pipi Soma.
Siluman Ular Putih yang saat itu tengah meme-
riksa tubuh Angkin Pembawa Maut kaget bukan main.
Kedua pipinya yang terkena tamparan tadi terasa pa-
nas, menciptakan guratan-guratan berwarna merah di
kedua pipi. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri.
"Lho, lho..." Kok, malah menamparku" Apa sa-
lahku" Aku kan sedang memeriksa tubuhmu yang
dingin seperti es...?" tukas Soma seraya mengelus-elus pipi kanannya dengan
telapak tangan.
Sambil bangkit berdiri Angkin Pembawa Maut
membeliakkan matanya sebentar. Diam-diam tanpa
disadari suatu perubahan besar mulai terjadi pada dirinya. Entah mengapa,
pandangan matanya tidak lagi
dingin seperti tadi. Malah kali ini tampak demikian
sendu saat menatap pemuda tampan di hadapannya.
Namun, itu hanya sebentar. Karena tiba-tiba saja
Angkin Pembawa Maut merasakan sekujur tubuhnya
gemetar mirip orang kedinginan. Wajahnya sebentar
berobah menjadi pucat pasi, sebentar kemudian kem-
bali menjadi kemerah-merahan.
Kening Soma berkerut dalam. Ia masih belum
mengerti, mengapa wajah gadis cantik di hadapannya
sebentar-sebentar berobah seperti itu. Demikian pula sekujur tubuhnya yang
tampak gemetar mirip orang
kedinginan. Si pemuda benar-benar tidak tahu! Lalu,
perlahan-lahan mulai mendekati gadis itu.
"Apakah kau... kau masih merasa kedinginan...?"
tanya si pemuda.
Angkin Pembawa Maut melangkah mundur, men-
jauhi pemuda tampan di hadapannya. Sepasang mata
jelinya tampak membeliak lebar.
"Kau.... Kau...! Siapa kau sebenarnya" Kenapa
kau begitu kejam memperlakukan diriku" Sekarang,
hilang sudah semua kepandaianku serta tenaga da-
lamku...?" tanya si gadis dengan suara bergetar.
Sekali lagi Siluman Ular Putih hanya menge-
rutkan keningnya dalam-dalam. Ia sama sekali tidak
mengerti maksud gadis itu.
Kresek! "Hei..."!"
Pemuda ini tersentak ketika telinganya menang-
kap suara kresek dari dedaunan yang tak jauh dari
tempatnya berdiri. Cepat Soma menatap ke bawah.
Dan alangkah terkejutnya hatinya saat matanya meli-
hat seekor ular kecil berwarna kuning keemasan ten-
gah menjulur-julurkan lidah ke arahnya.
"Hup!"
Soma cukup tahu, bagaimana ganasnya racun
ular emas itu. Maka secepatnya kedua kakinya menje-
jak tanah. Tubuhnya melompat ke belakang. Dan begi-
tu mendarat ia sudah siap siaga. Seluruh perhatiannya dipusatkan pada setiap
gerak-gerik ular emas itu.
Hina Kelana 1 Pendekar Pulau Neraka 36 Titisan Siluman Harimau Iblis Sungai Telaga 4