Pencarian

Misteri Bayi Ular 1

Siluman Ular Putih 01 Misteri Bayi Ular Bagian 1


MISTERI BAYI ULAR Hak cipta dan copy right pada
penerbit dibawah lindungan
undang-undang Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
http://duniaabukeisel.blogspot.com
1 Matahari siang menebarkan sinar-
sinarnya yang kelewat panas. Debu-debu beterbangan diterjang seekor kuda jantan
hitam yang melaju kencang di atas tanah datar di pinggiran lereng sebelah
selatan Pegunungan Dieng.
Penunggang kuda itu adalah seorang
pemuda tampan berpakaian biru-biru. Matanya yang setajam mata burung rajawali
dengan sepasang alis tebal berwarna hitam tak lepas memperhatikan jalan
didepannya. Karena bisa-bisa kudanya terperosok atau menabrak pepohonan yang melintang.
Lincah dan tangkas sekali dia mengendalikan kudanya. Hidung pemuda ini mancung,
pas sekali dengan bentuk bibirnya yang tipis.
Rambut gondrongnya yang dibiarkan tergerai di bahunya semakin menambah
ketampanannya. Dia tak lain memang Mahesa.
Pemuda tampan ini terus memacu ku-
danya menuju ke sisi lereng sebelah barat. Tujuannya hanya ingin menemui
gurunya, Pendekar Pedang Kilat Buana yang bertapa di lereng sebelah barat Gunung
Batu. Mendadak saja Mahesa menarik tali
kekang, membuat kudanya berhenti dengan kedua kaki depan diangkat. Tinggi-tinggi
sambil meringkik. Kalau saja dia kurang sigap, pasti sudah terlempar dari pung-
gung kudanya. Sebentar saja kuda hitam itu telah bisa dikendalikan.
Kini, Mahesa menatap ke depan, ke
arah dua orang kakek berpakaian serba hitam yang telah menghadangnya. Yang satu
bertubuh gempal, terbungkus pakaian hitam yang sedikit kedodoran. Laki-laki tua
berkepala botak ini tak lain adalah salah seorang tokoh sesat dari utara. Nama
sebenarnya adalah Benawa, namun lebih terkenal julukannya. Raja Golok Dari
Utara! Di sebelah kiri Benawa adalah seo-
rang kakek bertubuh tinggi kurus. Raut wajahnya mengerikan dengan mata sebelah
kiri rusak dan kedua bibir robek memanjang di kanan-kiri. Sementara lubang
hidungnya hanya satu, sehingga kalau bicara suaranya jadi sengau. Namun di
kawasan selatan tokoh yang satu ini sangat dita-kuti lawan-lawannya. Dia tidak
lain adalah Raja Racun Dari Selatan!
Melihat kemunculan kedua orang to-
koh itu, Mahesa sempat terkejut juga.
Apalagi dia memang sempat berurusan dengan salah satunya, yakni Raja Racun Dari
Selatan, beberapa bulan yang lalu di Lembah Kematian. Bisa ditebak kalau pengha-
dangan kedua tokoh sesat itu kali ini tentu ingin membalas dendam.
Mahesa memang tidak bisa menganggap remeh. Apalagi kepandaian Raja Golok Dari
Utara pun tidak jauh beda dari Raja Racun
Dari Selatan. Mungkin bila berhadapan sa-tu lawan satu, Mahesa masih dapat
mengatasinya. Namun kalau mereka maju bareng, inilah yang meresahkannya!
"Hm.... Kalian rupanya" Ada keperluan apa menghadangku?" tanya Mahesa kalem,
seraya meloncat turun dari kudanya.
Gerakannya ringan sekali tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Jelas ilmu
meringankan tubuhnya telah sangat tinggi.
"Tikus busuk! Jangan berlagak bodoh! Kau masih berurusan denganku," bentak Raja
Racun Dari Selatan dengan suaranya yang sengau.
"Itu bukan salahku. Tapi kau sendi-rilah yang cari penyakit!" kilah Mahesa.
"Bedebah! Jadi bocah inikah yang menghajarmu, Kakang?" timpal Raja Golok Dari
Utara, geram. "Ya! Bocah inilah yang berjuluk Pendekar Kujang Emas, murid tunggal Pendekar
Pedang Kilat Buana," sahut Raja Racun Dari Selatan.
"Hm...," gumam Raja Golok Dari Utara tak jelas.
Matanya yang merah memandang tajam
pada Mahesa, seolah-olah omongan Raja Racun Dari Selatan tidak dipercayai.
"Kalau begitu buat apa kita buang-buang waktu"
Kita cincang saja bocah keparat ini rame-rame. Ayo, Kakang!"
Sehabis berkata begitu, tanpa ba-
nyak membuang-buang waktu, Raja Golok Da-ri Utara langsung berkelebat menyerang.
Senjata andalannya yang berupa golok berputar-putar bagai kitiran. Hebat sekali
serangan kakek iblis itu. Gerakan-gerakan kaki dan tangannya pun cepat sekali,
membuat pakaian hitamnya yang kedodoran berkibar-kibar.
"Hm.... Jadi, inikah yang kalian kehendaki" Baik. Jangan dikira aku takut
menghadapi kalian."
Begitu kibasan golok menyambar, Ma-
hesa sedikit miringkan tubuhnya ke kiri sehingga serangan itu menebas angin.
Sambil bergerak demikian senjata pusakanya yang berupa kujang pun cepat
diloloskan dari pinggang. Namun saat itu pula Raja Racun Dari Selatan telah
menghadang dengan jurus-jurus andalannya.
Mahesa cepat membuang tubuhnya ke
kiri menghindari pukulan beracun Raja Racun Dari Selatan. Saat yang sama tebasan
golok Raja Golok Dari Utara melayang mengancam. Mau tak mau Mahesa segera
menangkis dengan kujangnya yang berwarna kuning keemasan.
Cring! Bunga api kontan berpijar ketika
golok di tangan Raja Golok Dari Utara berbenturan dengan kujang di tangan
Mahesa. Sementara tubuh kedua orang itu sama-sama bergetar hebat, pertanda
tenaga da- lam mereka berimbang.
"Bagus! Tidak percuma kau mendapat julukan Pendekar Kujang Emas, Bocah!" pu-ji
Raja Golok Dari Utara, penasaran.
Raja Racun Dari Selatan gemas bukan main. Serangan pertamanya tadi mudah sekali
dapat dimentahkan.
"Jangan main-main, Raja Golok! Cepat habisi bocah keparat itu!" Raja Racun Dari
Selatan menggeram penuh kemarahan.
Wajahnya kelam membesi dengan rahang bertonjolan. Kedua telapak tangannya telah
berubah menjadi hitam legam, siap melancarkan pukulan 'Telapak Tangan Kelabang
Hitam'! Mahesa tidak main-main lagi. Puku-
lan yang mengandung hawa dingin itu sudah pernah dirasakan kehebatannya. Dan
jurus andalannya pun mulai siap-siap dikeluarkan. Jurus 'Kilat Menyambar Bumi'.
Sebenarnya jurus itu lebih cocok bila dimainkan dengan senjata pedang. Akan
tetapi Mahesa sudah terbiasa memainkannya dengan kujang. Bahkan sudah merasa
lebih cocok. "Hiyaaat!"
Raja Golok Dari Utara kembali me-
nerjang dengan goloknya. Sementara Raja Racun Dari Selatan dengan jurus-jurus
mautnya. Mahesa cepat memutar kujangnya un-
tuk melindungi diri dari serangan dua orang kakek berhati iblis itu yang terus
meningkat. Untuk beberapa saat pemuda murid Pendekar Pedang Kilat Buana itu
masih dapat mengimbangi. Namun ketika pertarungan mulai menginjak jurus sepuluh,
Mahesa jadi kewalahan bukan main. Entah sudah berapa kali tubuhnya yang tinggi
kekar itu harus berjumpalitan ke udara. Pakaian biru-birunya mulai compang-
camping tidak karuan akibat sabetan-sabetan golok Raja Golok Dari Utara.
Demikian pula lengan kanannya yang menghitam akibat pukulan
'Telapak Tangan Kelabang Hitam' dari Raja Racun Dari Selatan.
Pada jurus ketiga belas hampir saja bahu kanan Mahesa terkena sambaran golok di
tangan Raja Golok Dari Utara. Untungnya dia cepat melenting tinggi keluar da-ri
kancah pertempuran, lalu mendarat manis tanpa sedikit pun menimbulkan suara.
"He he he,..! Rupanya hanya segini kehebatan Pendekar Kujang Emas!" ejek Ra-ja
Golok Dari Utara melecehkan.
Mahesa tidak mempedulikan ocehan
Raja Golok Dari Utara. Jurus-jurus andalannya kini siap dikeluarkan. Pada saat
yang sama kedua lawannya telah kembali menerjang.
"Hyaaat...!"
Mahesa meloncat tinggi ke udara me-
nyongsong serangan. Setelah berputaran beberapa kali tubuhnya menukik ke bawah
siap menembus ubun-ubun Raja Racun Dari
Selatan dengan ujung mata kujangnya.
Raja Racun Dari Selatan kaget bukan kepalang. Wajahnya yang mengerikan itu pucat
pasi. Sungguh tidak disangka kalau pemuda itu bisa melepas serangan sehebat itu.
"Jurus 'Kilat Pembawa Maut'" desis iblis tua bersuara sengau itu seraya melempar
tubuhnya ke belakang.
"Heaaa...!"
Raja Golok Dari Utara melesat ce-
pat. Cepat digantikannya kedudukan Raja Racun Dari Selatan. Untuk sesaat Raja
Golok Dari Utara kewalahan bukan main menghadapi Mahesa. Untungnya Raja Racun
Dari Selatan segera membantu dengan melepas pukulan Telapak Tangan Kelabang
Hitam da-ri jarak jauh.
Mahesa terperangah. Sedikit seran-
gannya pada Raja Golok Dari Utara diken-durkan, lalu melompat ke belakang
membuat jarak. Kesempatan ini cepat digunakan Raja Racun Dari Selatan untuk kembali berga-bung
dengan kawannya. Maka kembali pertarungan seru berlangsung.
Mahesa terus mendesak kedua iblis
tua itu dengan jurus 'Kilat Pembawa Maut'. Dan untuk sesaat jalannya pertarungan
dapat dikuasai. Namun beberapa jurus kemudian, perlahan namun pasti, gulungan-
gulungan sinar kuning dari kujang-
nya yang mengurung Raja Golok Dari Utara dan Raja Racun Dari Selatan mulai
mengen-dor. Dan selanjutnya ganti Mahesa-lah yang terdesak hebat.
"Ha ha ha...! Sekarang rasakan balasan ku, Bocah! Jangan harap lolos dari
tanganku!" leceh Raja Racun Dan Selatan kegirangan.
Mahesa tidak gentar sedikit pun.
Meski keadaannya tidak menguntungkan, namun terus mencoba bertahan. Sebagai
seorang pendekar, pantang bagi dirinya untuk kabur meninggalkan pertarungan. Dan
akibatnya sungguh berbahaya.
Ketika Mahesa hendak miringkan tu-
buhnya ke kiri menghindari bacokan golok Raja Golok Dari Utara, tiba-tiba saja
pukulan 'Telapak Tangan Kelabang Hitam' da-ri Raja Racun Dari Selatan melesat
dari belakang tanpa sempat dihindari. Maka tanpa ampun lagi....
Dugh! "Augh!"
Mahesa terpekik tertahan saat pung-
gungnya terkena pukulan berhawa dingin itu. Tepat pada bagian yang menjadi
sasaran langsung berubah menghitam. Tubuhnya kontan terhuyung-huyung ke depan
disertai muntahan darah segar.
Saat itu, Raja Golok Dari Utara
yang tepat berada di depan Mahesa sudah mengangkat goloknya tinggi-tinggi. Tubuh
pemuda itu akan dibelahnya. Dalam keadaan terluka parah seperti itu, Mahesa
masih sempat membanting tubuhnya ke kiri. Serangan golok memang bisa dihindari.
Namun serangan Raja Racun Dari Selatan selanjutnya yang berupa tendangan
berputar tepat mengenai dada.
Desss...! "Augh!"
Sekali lagi Mahesa memekik terta-
han. Tubuhnya yang tinggi kekar kembali terlempar ke belakang. Wajahnya seketika
itu juga pucat pasi. Matanya berkunang-kunang. Mahesa benar-benar pasrah.
Keadaannya saat ini sungguh sangat mengkha-watirkan.
Raja Golok Dari Utara dan Raja Ra-
cun Dari Selatan tertawa-tawa kegirangan.
Golok di tangan Raja Golok Dari Utara siap membelah tubuh Mahesa. Demikian pula
Raja Racun Dari Selatan yang siap melontarkan pukulan Telapak 'Tangan Kelabang
Hitam' ke ubun-ubun kepala pemuda itu.
Namun.... Wesss...! "Heh"!"
* * * Tiba-tiba saja terdengar suara men-
desis yang didahului dengan bau harum bunga melati menyerang Raja Racun Dari
Selatan dan Raja Golok Dari Utara.
Kedua tokoh sesat itu terkesiap bu-
kan kepalang. Seketika mereka langsung melempar tubuh ke samping kanan-kiri.
Begitu bangkit, betapa terkejutnya mereka ketika melihat seekor ular naga putih
sebesar pohon kelapa melintas!
"Siluman Naga Puspa...!" pekik Raja Golok Dari Utara dan Raja Racun Dari Selatan
berbarengan. Ular naga putih yang dipanggil Si-
luman Naga Puspa langsung memutar tubuhnya, begitu serangannya gagal. Sepasang
matanya mencorong memandangi Raja Golok Dari Utara dan Raja Racun Dari Selatan
penuh kemarahan. Mulutnya mendesis-desis mengerikan menampakkan sepasang
taringnya yang runcing.
Memang, aneh sekali siluman ular
itu. Tubuhnya yang sebesar pohon kelapa bukannya menebarkan bau amis, tapi malah
bau harum bunga melati. Raja Golok Dari Utara dan Raja Racun Dari Selatan memang
pernah mendengar ciri-ciri serta nama siluman itu. Namun baru kali ini mereka
bertemu langsung. Dan tak urung kedua tokoh golongan hitam itu jadi ciut
nyalinya ketika merasa yakin kalau binatang jeja-dian itu adalah Siluman Naga
Puspa. Mereka terperanjat ketika Siluman Naga Puspa kembali menyerang.
Wesss...! Siluman Naga Puspa melesat ke de-
pan. Taring-taringnya yang tajam siap meremukkan kepala Raja Racun Dari Selatan.
Sedang ekornya siap menghajar Raja Golok Dari Utara.
Brakkk! Hebat sekali serangan ular raksasa
itu. Ranting-ranting pohon kering dalam jarak dua puluh depa langsung berderak
berjatuhan terkena angin sambarannya. Namun yang dihadapi Siluman Naga Puspa
kali ini bukanlah tokoh sembarangan. Walaupun sempat tercekat, namun Raja Golok
Dari Utara dan Raja Racun Dari Selatan yang sudah terbiasa malang melintang di
dunia persilatan sudah bisa menguasai keadaan.
Dengan gerakan cepat serangan Siluman Na-ga Puspa dapat dielakkan dengan mudah.
Bahkan Raja Golok Dari Utara sempat meng-hujamkan golok ke tubuh siluman ular
itu. Crag! Crag! Dua kali mata golok membacok tubuh
Siluman Naga Puspa. Namun akibatnya justru tangan Raja Golok Dari Utara yang
kesemutan. Mata goloknya terasa seperti membentur besi baja yang kuat sekali.
Jangankan untuk melukai tubuh ular itu.
Bahkan mata golok di tangan Raja Golok Dari Utara itu sendi yang rompal!
Bukan main! Raja Golok Dari Utara
sempat terlongong sebentar melihat kesaktian Siluman Naga Puspa. Seolah
pandangan matanya sendiri tidak dipercayai. Dan di saat Raja Golok Dari Utara terlongong
itulah, tahu-tahu ekor Siluman Naga Puspa telah berkelebat cepat sekali.
Bukkk! "Augh!"
Raja Golok Dari Utara menjerit ke-
sakitan. Tubuhnya yang gempal langsung terlempar beberapa tombak ke samping
kanan. Sementara Siluman Naga Puspa mende-
sis hebat. Sepasang matanya kini mencorong tajam ke arah Raja Racun Dari
Selatan. "Keparat! Kau ingin mampus di tanganku, he"! Nih, terima pukulan 'Telapak Tangan
Kelabang Hitam'ku!" bentak Raja Racun Dari Selatan sambil menghentakkan tangan
kanannya dengan kuda-kuda kokoh.
Wesss! Seleret sinar hitam legam melesat
dari telapak tangan kanan Raja Racun Dari Selatan. Begitu cepat sinar itu
meluruk, menghantam tubuh Siluman Naga Puspa dengan telak sekali.


Siluman Ular Putih 01 Misteri Bayi Ular di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Buk! Buk! Siluman Naga Puspa terlempar ke
samping kiri. Namun sedikit pun tidak mengalami cidera. Dia hanya mendesis-desis
penuh kemarahan.
"Zzzttt...!"
Disertai desis kemarahan, Siluman
Naga Puspa mencelat tinggi siap meremukkan batok kepala Raja Racun Dari Selatan.
"Ah...!"
Bukan main terperangahnya Raja Ra-
cun Dari Selatan melihat ketangguhan siluman ular itu. Tadi dia sempat
terlongong, mengagumi kehebatan Siluman Naga Puspa. Tanpa disadari, dia lupa
akan datangnya bahaya.
Pada saat yang gawat Raja Golok Da-
ri Utara segera melesat. Beberapa kali mata goloknya dibacokkan ke tubuh Siluman
Naga Puspa. Crak! Crak! Siluman Naga Puspa marah bukan
main. Kendati tak mengalami cidera, namun sudah alasan baginya untuk melenyapkan
tokoh licik itu. Segera dia bersiap menyerang. Namun....
"Ratri! Hentikan!"
Terdengar suara halus bernada te-
gas, membuat kepala Siluman Naga Puspa berpaling ke samping. Dilihatnya seorang
lelaki berusia tujuh puluh tahun dengan pakaian putih bersih tahu-tahu telah
berdiri tak jauh dari tempat pertarungan.
Wajahnya putih bersih. Rambutnya yang putih memanjang digelung ke atas.
Sedang jenggotnya yang juga putih
bersih dibiarkan tergerai.
"Begawan Kamasetyo...!" sebut Raja Golok Dari Utara hampir berbarengan den-
gan Raja Racun Dari Selatan.
Lelaki tua yang dipanggil Begawan
Kamasetyo memperhatikan kedua orang itu sebentar.
"Lagi-lagi kalian yang membuat onar di tempat ini!" gumam Begawan Kamasetyo
penuh wibawa. Sebentar mata tajam lelaki ini mem-
perhatikan Siluman Naga Puspa. Dan dia memberi isyarat pada siluman aneh itu
untuk kembali ke tempatnya semula. Namun anehnya, Siluman Naga Puspa malah
mendesis-desis seperti ingin melaporkan sesuatu kepada Begawan Kamasetyo.
Begawan Kamasetyo mengangguk-
anggukkan kepala.
"Sudah kuduga," gumam Begawan Kamasetyo lagi seraya mengalihkan perhatian pada
Raja Golok Dari Utara dan Raja Racun Dari Selatan. Jelas sekali kalau ia tidak
menyukai kehadiran kedua kakek berhati iblis itu.
"Nah, tunggu apa lagi" Mengapa kalian tidak cepat-cepat angkat kaki dari sini"!"
kata Begawan Kamasetyo lagi.
"Jangan sombong, Begawan Kama-
setyo!" hardik Raja Golok pari Utara geram.
"Aku bicara baik-baik. Mengapa kalian membentak-bentak aku?" tukas Begawan
Kamasetyo tanpa berkesan marah.
"Tua bangka keparat! Lagakmu som-
bong sekali! Apa kesombonganmu ini dapat menolong nyawa busukmu, he"!" bentak
Raja Golok Dari Utara gusar sekali.
Dan sehabis berkata begitu, kakek
iblis itu pun langsung menyerang Begawan Kamasetyo dengan golok. Pada saat
hampir bersamaan Raja Racun Dari Selatan mencelat, ikut menyerang.
Begawan Kamasetyo hanya menggeleng-
geleng dengan helaan napas tipis. Begitu serangan kedua tokoh sesat itu
mendekat, tubuhnya sedikit dimiringkan ke kiri. Sehingga sambaran golok dapat
dihindari dengan baik. Bahkan sekaligus membalas serangan kedua kakek iblis itu
dengan totokan jari-jari tangannya.
Tuk! Tuk! "Aaakh...!"
Semua itu dilakukan Begawan Kama-
setyo dengan cepat sekali. Sehingga dalam sekejap saja, iga kiri Raja Golok Dari
Utara dan ulu hati Raja Racun Dari Selatan terkena totokan jari-jari tangan
Begawan Kamasetyo, mereka kontan terpekik dengan wajah pucat pasi. Tubuh mereka
terjajar beberapa langkah. Tampak baju di bagian tubuhnya yang tertotok tadi
berlubang! "Apa kalian masih tetap bersikeras untuk tidak cepat-cepat angkat kaki dari
tempat ini?" kata Begawan Kamasetyo penuh perbawa.
Raja Golok Dari Utara dan Raja Ra-
cun Dari Selatan cukup tahu diri. Mereka bukanlah orang-orang bodoh. Menghadapi
Siluman Naga Puspa saja masih kewalahan.
Apalagi sekarang ditambah Begawan Kamasetyo"
"Ingat, Begawan! Kau harus membayar mahal penghinaanmu ini," desis Raja Golok
Dari Utara penuh kemarahan. Sedang Raja Racun Dari Selatan hanya mendelik penuh
kebencian. Sehabis berkata begitu, kedua iblis ini segera berbalik. Begitu menjejakkan
kaki, mereka segera berkelebat meninggalkan tempat itu. Dalam sekejap saja
mereka telah menjadi dua titik hitam di kejauhan sana, lalu menghilang di lereng
pegunun-gan. Begawan Kamasetyo menggeleng-
gelengkan kepala.
"Dunia persilatan bisa cepat tamat kalau orang-orang seperti mereka tidak cepat
dibasmi," gerutu orang tua itu pada diri sendiri. "Sayang sekali aku tidak
mempunyai murid. Tapi...?"
Tiba-tiba saja Begawan Kamasetyo
teringat pemuda yang hendak ditolongnya tadi. Dengan gerakan ringan, cepat
didekatinya Mahesa. Di tempat itu ternyata Siluman Naga Puspa yang sebenarnya
adalah anak kandungnya sendiri tengah menunggui Mahesa. Begawan Kamasetyo
trenyuh sekali.
Ditepuk-tepuknya kepala Siluman Naga Puspa sebentar. Lalu dipondongnya Mahesa
yang tak sadarkan diri menuju ke tempat pertapaannya di sebelah barat lereng
Pegunungan Dieng.
Siluman Naga Puspa mengikutinya da-
ri belakang dengan desisan-desisannya yang aneh!
*** Mahesa telah direbahkan di ranjang.
Sementara Siluman Naga Puspa ikut masuk ke dalam kamar, memperhatikan Begawan
Kamasetyo yang sedang mengobati Mahesa.
"Ohh...!"
Mahesa tersadar dengan lenguhan ha-
lus menyertai. Sebelum mata Mahesa terbuka, Siluman Naga Puspa cepat keluar.
Sedangkan Begawan Kamasetyo langsung merasakan kejanggalan sikap putrinya.
"Terima kasih, Kek. Kau telah menyelamatkan nyawaku," ujar Mahesa dengan susah
payah, setelah matanya terbuka dan samar-samar melihat seorang laki-laki tua di
sisinya. "Jangan banyak bicara dulu, Anak Muda! Urusan terima kasih bisa diurus nanti.
Sekarang, minum saja obat itu! Pukulan 'Telapak Tangan Kelabang Hitam' Ra-ja
Racun Dari Selatan memang keji sekali.
Untungnya tubuhmu cukup kuat," ujar Bega-
wan Kamasetyo. Mahesa mengangkat tubuhnya dengan
susah payah. Begawan Kamasetyo membantu menyandarkannya ke dinding gua.
"Nah! Sekarang, minumlah obat ini!"
Begawan Kamasetyo menyorongkan gelas dari batok kelapa itu ke dekat mulut
Mahesa. Mahesa meminumnya. Pahit! Perlahan-
lahan cairan kental berwarna hitam itu masuk ke dalam perutnya. Langsung terasa
panas, seperti mau membakar ususnya. Mahesa menggigil. Keringat sebesar biji
jagung segera membasahi keningnya. Bibirnya digigit kuat-kuat.
"Bersemadi lah, Anak Muda! Nanti hawa panas itu akan hilang sendiri. Jika
tubuhmu cukup kuat menahan racun kelabang hitam, mungkin dalam dua atau tiga
hari kemudian kau akan sembuh."
"Terima kasih, Kek."
Mahesa mengangkat tubuhnya. Tidak
terlalu berat seperti tadi. Hanya saja, hawa panas dalam perutnya masih
berputar-putar. Mahesa tidak membuang-buang waktu lagi. Segera diambilnya sikap
bersemadi. Langsung pikirannya dipusatkan pada Sang Pencipta.
Begawan Kamasetyo berjalan keluar.
Di mulut gua, Siluman Naga Puspa sedang memandang hamparan pematang di kejauhan
sana. Lelaki tua ini segera mendekati putrinya.
"Ada apa, Ratri" Mengapa kau tidak menemani Ayah menyembuhkan pemuda itu?"
tanya Begawan Kamasetyo.
Siluman Naga Puspa menoleh. Wajah-
nya lain dari biasanya.
Begawan Kamasetyo terkejut. Sepa-
sang mata yang mencorong di depannya berair. Aneh sekali!
"Kau menangis, Ratri" Ada apa?"
tanya Begawan Kamasetyo heran.
Siluman Naga Puspa mendesis-desis.
Tingkahnya aneh sekali. Begawan Kamasetyo mendengarkan dengan seksama.
"Oh...! Kau menanyakan nama pemuda itu?" tebak lelaki tua ini.
Siluman Naga Puspa mengangguk.
"Hm, Aku lupa belum menanyakannya."
Siluman Naga Puspa mendesis-desis
lagi. "Ya..., ya! Nanti aku tanyakan, siapa nama pemuda itu," kata Begawan Kamasetyo
menukas. Matanya yang tua memandangi putrinya penuh perhatian.
Siluman Naga Puspa mengalihkan pan-
dangan ke hamparan pematang di kejauhan sana. Sepasang matanya yang mencorong
tetap berair. "Ada apa, Ratri" Apakah kau..., kau menyukainya?" tanya Begawan Kamasetyo, kelu.
Siluman Naga Puspa diam tak menya-
hut. Kepalanya ditundukkan dalam-dalam.
Aneh sekali. Tingkah lakunya saat itu persis sekali seperti seorang gadis. Andai
saja wujudnya berupa sosok manusia, tentu pipinya akan merona merah dan ter-sipu
malu. Begawan Kamasetyo trenyuh sekali.
Tak sepatah kata pun terucap dari bibirnya. Dipandangnya wajah putrinya
sebentar, lalu melangkah masuk ke dalam mulut gua yang bernama Gua Burangrang.
*** Waktu terus bergulir, meniti alam.
Tiga hari terlewat sudah. Kesehatan Mahesa pun sudah pulih seperti sedia ka-la.
Wajahnya yang tampan tidak lagi pucat. Dan saat ini, dia sedang duduk bersimpuh
di depan Begawan Kamasetyo.
"Aku mengucapkan terima kasih banyak, Kek. Kau telah menyelamatkan nyawaku.
Seumur hidup, aku tidak bisa melupakan kebaikanmu, Kek," ucap Mahesa, seraya
merangkapkan tangan di depan hidung.
Begawan Kamasetyo diam sambil men-
gelus-elus jenggotnya yang panjang memutih. Matanya sayu memandangi Mahesa.
Hatinya sedih, menyadari kalau putrinya mencintai Mahesa!
"Jangan terlalu banyak peradatan, Anak Muda! Sebaiknya ceritakan saja mengapa
kau sampai bentrok dengan Raja Golok
Dari Utara clan Raja Racun Dari Selatan tempo hari!" ujar Begawan Kamasetyo.
"Tidak terlalu istimewa, Kek. Beberapa bulan yang lalu, aku pernah bentrok
dengan Raja Racun Dari Selatan. Mungkin dia masih penasaran, Kek...."
"Bukan hanya penasaran. Tapi, juga ingin menghendaki nyawamu, Anak Muda!"
sela Begawan Kamasetyo.
"Ya, ya. Aku mengerti, Kek."
"Nah! Sekarang, rencanamu mau ke mana, Anak Muda" Apakah kau masih ingin
beristirahat di sini barang beberapa ha-ri?" tanya Begawan Kamasetyo ingin tahu.
"Aku ingin meneruskan perjalanan ke Gunung Batu, Kek. Aku masih mempunyai
sedikit urusan dengan Eyang Guru."
"Hm.... Kalau boleh tahu, siapa na-ma gurumu, Anak Muda?"
"Hm..., hm. Sebenarnya, aku malu.
Guruku sering berpesan agar jangan menyebut-nyebut nama Guru. Tapi berhubung
Kakek telah banyak berbuat baik, aku akan mengakuinya. Terus terang guruku
bernama Eyang Ki Ageng Banaran, atau lebih terkenal sebagai Pendekar Pedang
Kilat Buana."
"Pantas! Pantas! Ilmu silatmu tinggi sekali," puji Begawan Kamasetyo penuh
kagum. "Ah! Kepandaianku belum seberapa, Kek. Aku masih perlu banyak belajar," de-
sah Mahesa merendah.
"Tidak! Jangan terlalu merendahkan diri, Anak Muda. Buktinya saja, kau mampu
menghadapi Raja Racun Dari Selatan dan Raja Golok Dari Utara!"
"Itu belum seberapa, Kek. Buktinya, aku kalah. Untung Kakek cepat datang
menolong."
Begawan Kamasetyo tersenyum. Dia
sudah cukup paham dengan watak para pendekar seperti Mahesa. Dan inilah yang
meresahkan Begawan Kamasetyo, karena selama tiga hari ini diam-diam Siluman Naga
Puspa selalu memperhatikan pemuda itu dengan sorot mata aneh. Sorot mata yang
penuh kasih! Sebenarnya, ini yang membuat Bega-
wan Kamasetyo menahan kepergian Mahesa.
Di sisi lain, dia harus memikirkan keadaan putrinya yang masih berwujud ular
raksasa. Sampai saat ini dia tidak tahu harus bertindak bagaimana. Terus terang,
semua ini karena kesalahannya, dan kesalahan putrinya sendiri. Ratri dulu begitu
nekat ingin menguasai ilmu 'Titisan Siluman Ular Putih'. Namun karena tidak kuat
menahan pantangan sewaktu sedang bertapa, Ratri berubah wujud menjadi Siluman
Naga Puspa yang selalu menebarkan harum bunga melati. Aneh sekali, memang.
Mungkin itu dikarenakan Ratri adalah seorang gadis cantik. Ataukah memang watak
dari ilmu itu sendiri" Tak ada yang tahu.
Bahkan Begawan Kamasetyo pun tidak
tahu. Otaknya benar-benar buntu. Sudah bertahun-tahun dia bertapa untuk meminta
petunjuk Yang Maha Kuasa, namun belum ju-ga dikabulkan. Sebenarnya dalam dirinya
ada keinginan untuk meminta petunjuk pada Mahesa. Namun entah mengapa, dia malu
melakukannya. "Mahesa...!" panggil Begawan Kamasetyo tanpa sadar menyebut nama pemuda di
hadapannya. Padahal dia sudah cukup mengenal nama pemuda itu, selama dirawat di
tempat kediamannya, Gua Burangrang.
"Ada apa, Kek" Nampaknya kau ingin menanyakan sesuatu padaku?" tanya Mahesa.
"Ya..., ya! Sebenarnya aku memang ingin menanyakan sesuatu padamu, Mahesa.
Namun terus terang aku ragu-ragu, apakah kau dapat menolongku atau tidak."
"Katakanlah, Kek! Mudah-mudahan aku bisa menjawabnya," ujar Mahesa.
Begawan Kamasetyo diam sejenak. Ma-
tanya yang tajam memperhatikan Mahesa seksama.
"Ya..., ya! Aku memang mau mengatakannya padamu, Mahesa," kata begawan
Kamasetyo. Sejenak lelaki tua ini menghentikan bicaranya. Tiba-tiba saja dirasakan dinding-
dinding gua itu bergetar-getar hebat diiringi harum bunga melati yang menyen-
gat hidung. Mahesa cepat meloncat dari tempat
duduknya. Dengan seksama matanya memperhatikan mulut gua.
"Bau apa ini, Kek" Kok, wangi sekali?" tanya Mahesa.
Begawan Kamasetyo tidak mempeduli-
kannya. Malah diperhatikannya sisi dinding gua yang lain.
"Ratri! Hentikan!" teriak Begawan Kamasetyo menggemuruh memenuhi ruangan.
Mahesa terlongong. Dia tidak tahu,
kepada siapa Begawan Kamasetyo berbicara.
Dan anehnya, sehabis Begawan Kamasetyo berteriak, perlahan-lahan getaran-getaran
dinding gua pun mereda. Demikian pula bau harum bunga melati yang memenuhi
ruangan. "Ada apa ini, Kek" Kok, tiba-tiba saja Kakek berbicara dengan seseorang?"
tanya Mahesa. Begawan Kamasetyo mengisyaratkan
Mahesa untuk duduk. Dan pemuda itu pun menurutinya.
"Kau tahu, mengapa tiba-tiba saja dinding gua itu bergetar, Mahesa?" tanya
Begawan Kamasetyo.


Siluman Ular Putih 01 Misteri Bayi Ular di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mahesa menggelengkan kepalanya.
"Putriku keberatan aku menceritakan persoalan kami padamu, Mahesa," Begawan
Kamasetyo menjawab pertanyaannya sendiri dengan wajah sedih.
"Putri Kakek" Maksud..., maksudku,
Kakek mempunyai anak?" tanya Mahesa tak habis pikir.
Begawan Kamasetyo mengangguk.
"Tapi..., tapi, me..., mengapa Kakek tidak mengenalkannya padaku?" tuntut
Mahesa. "Putriku tidak mau. Dia malu bertemu denganmu."
"Mengapa, Kek?" tanya Mahesa tak mengerti.
Begawan Kamasetyo menggelengkan ke-
palanya. Lemah.
"Tolong, Kek! Aku ingin mengenal putrimu."
"Tidak bisa!"
"Mengapa, Kek?" desak Mahesa penasaran.
"Sudahlah! Sebaiknya jangan membicarakan putriku," ujar Begawan Kamasetyo seraya
mengibaskan tangannya. "Cepatlah kau tinggalkan tempat ini! Katanya, kau ingin
meneruskan perjalanan?"
"Kakek mengusirku?" tanya Mahesa penasaran sekali.
"Bukan begitu. Tapi, sebaiknya cepatlah tinggalkan tempat ini!"
Mahesa menghela napas berat.
"Baiklah!"
Mahesa beranjak dari tempat duduk-
nya, lalu melangkah. Begawan Kamasetyo mengantarnya sampai ke mulut gua. Dengan
berat hati pemuda itu meninggalkan tempat
ini. Begawan Kamasetyo terus mengikuti
kepergian Mahesa dengan pandangan matanya. Cepat sekali gerakan kaki pemuda itu.
Dalam sekejap saja, pemuda itu sudah sampai di lereng sebelah barat, dan
menghilang di balik rimbunnya pepohonan.
Sementara itu dari tempat persembu-
nyiannya, Siluman Naga Puspa memperhatikan kepergian Mahesa dengan pandangan ma-
ta aneh. Sepasang matanya yang mencorong itu berair. Aneh sekali!
Begawan Kamasetyo yang baru saja
mencari putrinya di tempat pertapaannya mendekat. Hatinya sedih sekali melihat
Ratri yang terus memperhatikan lereng sebelah barat, arah Mahesa pergi tadi.
"Ratri! Mengapa kamu keluar dari tempat pertapaanmu?" tanya Begawan Kamasetyo.
Ratri atau Siluman Naga Puspa itu
diam tak menyahut. Sepasang matanya yang mencorong itu semakin dibasahi air. Dan
mulutnya keluar desis-desis aneh.
"Oh...! Aku mengerti, Anakku! Aku mengerti. Kau..., kau mencintainya?" ke-luh
Begawan Kamasetyo.
Siluman Naga Puspa mendesis-desis
lagi, seolah-olah sedang mengadukan na-sibnya kepada Begawan Kamasetyo.
"Teruslah bertapa, Anakku! Mintalah petunjuk pada Yang Maha Kuasa! Siapa tahu
Dia mau bermurah hati padamu."
Sambil berkata begitu, Begawan Ka-
masetyo mengalihkan pandangan ke angkasa.
Bibirnya berkemik-kemik memanjatkan doa.
2 Siluman Naga Puspa telah kembali ke tempat pertapaannya. Dia bertekad akan terus
meminta petunjuk pada Yang Maha Kuasa. Dan sebelum permohonannya dikabulkan, dia
tidak akan keluar dari tempat pertapaannya.
Siluman Naga Puspa tidak pernah
berputus asa hingga tak terasa tiga puluh sembilan hari terlewat sudah. Dan
tepat pada malam ke empat puluh hari, tiba-tiba saja asap putih bergulung-gulung
di depannya. Perlahan asap itu menjelma menjadi seorang pemuda tampan yang baru-
baru ini telah ditolong dan sekaligus dicin-tainya. Mahesa!
Hampir saja perasaan Siluman Naga
Puspa tergugah. Namun kali ini Siluman Naga Puspa tidak ingin gagal untuk yang
kedua kalinya. Dulu kira-kira empat tahun lalu, saat bertapa seperti ini dia
pernah digoda seorang pemuda tampan yang sangat dicintai. Namanya Sangaji.
Waktu itu, Ratri benar-benar tidak
dapat mengendalikan diri lagi. Teriakan-teriakan Begawan Kamasetyo yang
memperin- gatkannya tidak lagi dihiraukannya. Begitu melihat Sangaji, pendekar muda yang
sebenarnya sudah meninggal sewaktu bertempur hebat melawan Algojo Dari Timur
bersamanya beberapa tahun lalu, Ratri pun langsung menubruk dengan segenap
perasaan cintanya. Dia tak peduli kalau sedang bertapa. Begitu tersadar kalau
Sangaji ternyata hanyalah godaan saja, Ratri pun langsung menjerit menyayat.
Apalagi perlahan-lahan dari ujung kakinya hingga ke tubuhnya, mulai berubah
menjadi tubuh ular. Bukan main menyayatnya tangis Ratri saat itu.
Namun, untungnya dalam bertapanya
kali ini, Ratri atau Siluman Naga Puspa cepat tersadar kalau Mahesa yang berada
di hadapannya hanyalah godaan semata!
Atas dorongan kehendak suci untuk menjelma kembali menjadi manusia biasa,
Siluman Naga Puspa pun dapat mengatasinya. Perlahan-lahan gulungan asap putih
yang menjelma menjadi Mahesa pun buyar. Namun tidak lama kemudian....
"Wahai, Anak Manusia! Sebenarnya keinginanmu telah dikabulkan. Tapi, ingat!
Waktumu tidak lama. Hanya satu tahun. Ingat itu, Anak Manusia! Waktumu hanya
satu tahun...."
Terdengar suara menggema yang entah dari mana datangnya. Begitu suara itu
menghilang, secara ajaib sekali sekujur
tubuh Siluman Naga Puspa pun mulai diba-luti asap putih kekuning-kuningan. Dan
ketika asap itu menghilang perlahan-lahan, tampaklah seorang gadis cantik
berpakaian kuning dengan rambut hitam panjang digelung ke atas dalam keadaan
duduk bersemadi!
Ratri terkejut bukan main. Dipan-
danginya sekujur tubuhnya dengan mata terbelalak, seolah-olah kurang memper-
cayai penglihatannya. Namun bila teringat waktu yang diberikan Yang Maha Kuasa
hanya satu tahun, gadis itu jadi menangis sedih.
"Ratri! Kau.... Kau sudah berubah...?" pekik Begawan Kamasetyo yang telah
berdiri di ambang pintu ruangan pertapaan anaknya.
Ratri tidak menyahut. Suara tangis-
nya terdengar semakin memilukan.
Ayah gadis ini berjalan mendekat.
"Kau harus bersyukur, Ratri! Kau harus bersyukur. Mengapa malah menangis?"
tanya Begawan Kamasetyo heran bukan main.
Ratri menubruk Begawan Kamasetyo,
langsung menangis sepuas-puasnya dalam pelukan ayahnya.
"Lho" Kok, malah menangis" Ada apa ini?"
"Aku..., aku hanya diberi waktu se-tahun, Ayah. Setelah itu aku kembali berwujud
menjadi ular," tutur Ratri menangis
memilukan hati.
Hati Begawan Kamasetyo trenyuh se-
kali. Matanya perih saking tidak kuatnya menahan guncangan batinnya.
"Tabahkan hatimu, Anakku!" ujar Begawan Kamasetyo seraya memeluk tubuh putrinya
erat-erat. "Izinkan aku turun gunung, Ayah!"
pinta Ratri di antara suara tangisnya.
"Kau ingin mencari Mahesa?" tebak Begawan Kamasetyo, dapat membaca jalan pikiran
anaknya. "Benar, Ayah. Aku..., aku sangat mencintainya...."
Tak tega Begawan Kamasetyo untuk
mencegah kemauan Ratri saat itu walau hatinya berat sekali.
"Pergilah, Ratri! Lakukan apa yang kau inginkan!" kata Begawan Kamasetyo serak.
Ratri memeluk tubuh ayahnya erat-
erat. *** Ratri memacu kudanya tanpa tujuan.
Sudah dua minggu lebih gadis putri Begawan Kamasetyo keluar masuk hutan belanta-
ra. Namun, pemuda yang dicarinya belum juga ditemukan. Ratri tidak putus asa.
Keinginannya untuk bertemu Mahesa demikian menggebu-gebunya. Tak peduli siang
maupun malam, kudanya terus dipacu. Dan dia hanya beristirahat seperlunya saja.
Dan di siang yang panas ini, ketika matahari panas memanggang bumi, Ratri tengah
menuruni lereng Gunung Kembang.
Dalam keadaan perlahan begini, tampak jelas wajahnya yang cantik sekali.
Rambutnya yang hitam panjang digelung ke atas.
Bola matanya berwarna hitam pas sekali dengan alisnya yang hitam. Hidungnya
mancung, bibirnya pun tipis berwarna merah merekah. Sedang tubuhnya yang tinggi
ramping dibalut pakaian kuning-kuning.
Baru saja gadis ini menuruni le-
reng, mendadak saja....
"Hieeekh...!"
Tiba-tiba saja kuda Ratri meringkik hebat dengan kedua kaki depan terangkat
tinggi-tinggi. Ratri terkejut dan kewalahan bukan main. Tubuhnya yang tinggi
ramping hampir saja terlempar. Sesaat kemudian, tubuh kudanya terbetot masuk ke
dalam tanah. Ratri tak dapat lagi mengendalikan
kudanya. Cepat dia melenting turun dari punggung kudanya. Begitu mendarat,
matanya liar mencari siapa yang telah usil menghalangi jalannya. Hatinya kesal
bukan main saat tidak menemukan siapa-siapa.
"Bedebah! Siapa yang berani usil menghalangi jalanku"!" teriak Ratri penuh
kemarahan. Tidak ada sahutan. Namun Ratri
hanya mendengar suara tawa seseorang yang entah dari mana datangnya. Kepalanya
ce-lingukan mencari-cari di ranting-ranting beberapa pohon yang tumbuh di
sekitarnya. Tapi tetap saja orang yang dicarinya tidak ditemukan. Malah, suara tawa orang
itu semakin memekakkan gendang telinganya.
Ratri menggeram marah. Dia yakin,
suara sumbang itulah yang telah menghadang jalannya. Entah menggunakan ilmu apa,
hingga menyebabkan kudanya ketakutan dan terperosok ke dalam tanah. Mungkin
menggunakan semacam ilmu menyedot tenaga hingga menyebabkan kudanya mati lemas.
Dan berarti orang itu berkepandaian tinggi. Menyadari hal ini Ratri harus hati-
hati menghadapi orang itu.
"Pengecut! Ayo, tampakkan dirimu kalau ingin merasakan tajamnya pedangku!"
teriak Ratri membahana memenuhi dataran tandus berbatu itu.
"He he he...! Aku di sini, Cah Ayu!
Mengapa kau marah-marah?"
Ratri cepat berbalik. Di ranting
pohon yang menjuntai ke jalan setapak itu, tampak seorang lelaki duduk menjuntai
sambil ongkang-ongkang kaki. Padahal ranting itu hanya sebesar jari kelingk-ing.
Namun anehnya tidak patah atau bergoyang-goyang menahan berat badannya yang
tinggi besar seperti raksasa. Pakaiannya norak sekali. Berwarna merah dan
kuning. Kepalanya hampir gundul, terkecuali yang tersisa dan dikuncir ke atas.
Wajah lelaki berusia sekitar lima
puluh tahun itu sangat menyeramkan. Matanya besar dengan hidung besar tanpa
kumis dan jenggot. Rahangnya yang keras bertonjolan dengan sebuah anting bundar
besar menggelantung di telinga kirinya.
Dia tidak lain adalah salah seorang tokoh sesat dari timur. Siapa lagi kalau
bukan Algojo Dari Timur!
Mata Ratri terbelalak lebar. Bukan-
nya takut melihat orang yang menghadang jalannya, melainkan heran melihat
kedatangan Algojo Dari Timur. Padahal tadi, tempat Algojo Dari Timur duduk
ongkang-ongkang kaki sudah diperhatikan. Dan sekarang tahu-tahu orang itu sudah
duduk di sana. Ratri jadi tidak habis pikir. Bagaimana telinganya bisa tidak
mendengar langkah kaki orang itu selagi perhatiannya tertuju ke tempat lain" Dan
ini jelas membuktikan kalau ilmu meringankan tubuh orang itu tinggi sekali. Mau
tak mau gadis ini harus hati-hati sekali menghadapinya.
"Hm...! Rupanya kau Algojo Dari Timur!" desis Ratri penuh kemarahan.
Lelaki tinggi besar ini tertawa
mengakak. Nadanya menyepelekan Ratri.
Gadis itu menggeretakkan geraham-
nya. Suara tawa algojo itu demikian memekakkan telinganya. Maka cepat tenaga
dalamnya dikerahkan untuk melindungi gendang telinganya.
Algojo Dari Timur semakin mening-
katkan suara tawanya, membuat tubuh Ratri gemetaran. Dan pada puncaknya, gadis
ini tidak tahan lagi. Kalau hal ini dibiarkan dia bisa mati diserang suara tawa
Algojo Dari Timur. Maka segera kedua tangannya menghentak ke depan.
"Pukulan 'Inti Bumi'! Heaaa...!"
Wesss! Seleret sinar putih terang dari te-
lapak tangan kiri Ratri melesat menyerang Algojo Dari Timur.
"Hm...!"
Algojo Dari Timur menggumam tak je-
las, seraya meloncat turun dari ranting pohon. Setelah berputaran beberapa kali,
kakinya mendarat manis di hadapan Ratri tanpa menimbulkan suara.
Trasss! Tepat pada saat itu, pohon yang di-
tinggalkan Algojo Dari Timur langsung layu menghitam, begitu pukulan 'Inti Bu-
mi' Ratri menghantam.
"Hmm...! Apa kabar, si tua bangka keparat itu, Ratri?" sapa Algojo Dari Timur
lagi, dingin menggetarkan.
Ratri menggeram marah. Yang dimak-
sudkan si tua bangka keparat itu tidak lain adalah ayahnya sendiri, Begawan
Kamasetyo. "Dua kali kau telah menghinaku, Algojo! Pertama kau menghadangku dan membunuh
kudaku. Kedua, kau hina ayahku. Aku tidak akan mengampuni nyawa busukmu.
Hyaaat...!"
Sehabis berkata begitu, Ratri lang-
sung menyerang Algojo Dari Timur dengan kedua tangannya menghentak berganti-
ganti, melepaskan pukulan-pukulan mautnya. Yang kanan mengandung tenaga pukulan
'Inti Api' sedang yang kiri mengandung tenaga pukulan 'Inti Bumi'.
Algojo Dari Timur cukup mengenali
pukulan maut itu. Dan dia tidak berani main-main. Segera kedua tangannya
menghentak pula, setelah merangkum pukulan
'Badai Gurun Pasir'. Akibatnya....
Blar! Blar...! Dua ledakan dahsyat terdengar dis-
ertai percikan bunga api. Sementara, tampak Algojo Dari Timur tergetar hebat.
Sedang Ratri terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang. Dari sini bisa dili-
hat kalau tenaga dalam Algojo Dari Timur lebih tinggi satu atau dua tingkat.
Ratri yang menyadari keadaan itu
tidak berani mengadu tenaga dalam lagi.
Untuk itu, segera jurus 'Ular Naga Membelah Bumi' dimainkan. Maka dalam sekejap
saja tubuhnya telah bergerak lincah menyerang Algojo Dari Timur.
Mendapat serangan dahsyat ini Algo-
jo Dari Timur kewalahan bukan main. Gerakan-gerakan kaki dan tangan gadis itu
sulit sekali diimbangi. Dan hampir sepuluh jurus lebih, lelaki tinggi kekar itu
belum dapat membalas serangan. Padahal dia telah mengeluarkan jurus andalannya.
Maka secepat kilat tubuhnya melenting ke belakang, membuat jarak.
"Gggeeerrr...!"
Algojo Dari Timur menggeram marah.
Kedua tangannya segera disilangkan di depan dada. Kedua kakinya direntangkan
lebar-lebar. Sedang kedua telapak tangannya sampai ke pangkal lengan telah
berubah menjadi merah kekuning-kuningan penuh ha-wa racun.
"Pukulan 'Pemecah Bumi'...!" desis Ratri ngeri.
Dulu sebelum gadis itu menjelma
menjadi siluman ular putih, kehebatan pukulan itu pernah dirasakannya. Dan
sekarang dia tidak ingin mengulangi kekala-hannya beberapa tahun lalu. Namun
untuk mengeluarkan ilmu pamungkasnya, Ratri tidak berani. Dia takut tubuhnya
kembali menjelma menjadi siluman ular putih!
Sring! "Heaaa...!"
Terpaksa Ratri mencabut pedang dari
balik punggungnya, dan langsung menyerang terlebih dahulu. Sementara Algojo Dari
Timur tenang-tenang saja menghadapinya.
Kedua telapak tangannya yang telah memerah pun segera dihentakkan ke depan


Siluman Ular Putih 01 Misteri Bayi Ular di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memapak serangan Ratri.
"Hup!"
Ratri meloncat tinggi ke udara.
Sambil menghindari pukulan berhawa panas itu, ujung pedangnya siap mengancam
ubun-ubun Algojo Dari Timur.
"Ah...!".
Algojo Dari Timur melempar tubuhnya ke samping kanan. Sambil bergulingan kembali
pukulan mautnya dilontarkan.
Wesss! Seleret sinar merah kekuning-
kuningan itu kembali mengancam. Ratri kaget bukan main. Sungguh tidak disangka
dirinya akan diserang dalam jarak yang demikian dekat. Maka tanpa ampun lagi....
Buk! "Augh!"
Tubuh ramping yang melayang-layang
itu pun terkena pukulan berhawa panas milik Algojo Dari Timur. Ratri memekik
kecil. Tubuhnya langsung terlempar beberapa tombak ke belakang. Dadanya yang
terkena pukulan terasa nyeri bukan main, pertanda mengalami luka dalam yang
parah. "Huaagh!"
Begitu jatuh ke tanah Ratri memun-
tahkan darah segar. Wajahnya pucat pasi.
Bibirnya bergetar-getar. Gadis ini berusaha bangun, namun tak mampu. Tubuhnya
yang lemah itu pun terkulai ke tanah.
Melihat hal ini, Algojo Dari Timur
tertawa-tawa kegirangan seraya bangkit berdiri. Didekatinya tubuh gadis itu, dan
berjongkok di sisinya.
"Hm.... Sayang sekali kau harus ma-ti dalam usia muda, Cah Ayu. Tapi..., tidak!
Tidak! Aku akan menikmati tubuhmu, baru aku membunuhmu," kata Algojo Dari Timur
kegirangan. Ratri pucat pasi mendengar ucapan
lelaki tinggi besar itu. Bukannya takut mati, melainkan ngeri membayangkan
tubuhnya akan dinikmati iblis berkepala botak itu. Dan dengan gerakan cepat
tahu-tahu.... Tuk! Tuk! Algojo Dari Timur menotok tubuh Ra-
tri! Gadis ini mengeluh kecil tanpa bisa menggerakkan tubuhnya lagi. Ingin
rasanya bunuh diri saat itu juga, tapi apa
dayanya sekarang"
Tangan Algojo Dari Timur yang kekar tahu-tahu menyambar pakaian di tubuh Ratri.
Bret! Bret! Ratri memekik tertahan. Matanya
liar memandangi Algojo Dari Timur.
"Jahanam busuk! Apa yang ingin kau
lakukan"!" teriak Ratri serak.
"He he he...! Apa yang ingin kula-kukan"!"
Algojo Dari Timur mengerjap-
ngerjapkan matanya nakal. Tubuh mulus di depan matanya demikian menggiurkan.
Naf-sunya kontan bergolak. Dia menelan ludah-nya beberapa kali.
"Kau lihat saja, Cah Ayu. Pasti mengasyikkan...," lanjut Algojo Dari Timur
dengan suara tersendat di tenggoro-kan.
Ratri memejamkan matanya. Setetes
air matanya jatuh membasahi pipi. Dia tidak tahu musibah apa yang akan
dihadapinya. Yang jelas, lebih kejam dan kematian.
*** "Iblis Gundul Dari Timur! Hentikan perbuatanmu!"
Tiba-tiba terdengar bentakan nyar-
ing yang menggema memenuhi lereng Gunung Kembang.
Algojo Dari Timur memalingkan kepa-
lanya ke belakang. Di hadapannya saat ini berdiri seorang pemuda tampan
berpakaian biru-biru. Wajahnya berbentuk lonjong.
Matanya tajam seperti burung rajawali.
Hidungnya mancung dengan bibir tipis.
Rambut gondrongnya dibiarkan tergerai di
bahunya. Ratri kaget bukan main, namun se-
kaligus senang. Pemuda tampan di hadapannya adalah orang yang sedang
dicaricarinya selama ini.
"Mahesa...!" panggil Ratri tanpa sadar.
Mahesa menoleh ke arah Ratri dengan pandangan heran bercampur gembira.
Kecantikan gadis itu memang membuat darahnya berdesir. Namun sayangnya, dia
tidak mengenali siapa gadis ini. Pemuda itu hanya tersenyum manis ke arah Ratri,
lalu kembali perhatiannya ditujukan ke arah Algojo Dari Timur.
"Keparat! Lagi-lagi kau yang meng-halangiku," geram Algojo Dari Timur penuh
kemarahan. Parangnya yang dari tadi dis-embunyikan di balik punggung segera
dikeluarkan. Cukup besar dan panjang.
Mahesa hanya tersenyum. Sekali dia
pernah berhadapan dengan Algojo Dari Timur dalam sebuah pertarungan sengit. Di
akhir pertarungan, Algojo Dan Timur harus mengakui keunggulan Mahesa, dan
terpaksa melarikan diri. Dan kalau sekarang harus bertarung kembali, pemuda itu
sama sekali tidak gentar.
"Ya..., ya! Aku memang paling senang mencampuri urusan orang lain. Terutama
sekali, orang-orang macam kau!" sahut Mahesa kalem.
"Bedebah! Kalau dulu aku melarikan diri bukan berarti kalah, Pendekar Kujang
Emas! Aku waktu itu belum beruntung saja.
Dan sekarang, kesaktianku telah bertambah. Maka, hati-hatilah...."
"Ayo, majulah! Jangan pintar ber-koar saja!" balas Mahesa memanas-manasi.
Algojo Dari Timur menggeram penuh
kemarahan. Rahangnya yang keras bertonjolan. Matanya liar memandangi Mahesa yang
dikenal sebagai Pendekar Kujang Emas.
"Demi iblis! Akan kucincang tubuhmu, Pendekar Kujang Emas. Hiyaaat...!"
Algojo Dari Timur meloncat tinggi
ke udara. Gerakannya mantap dan lincah sekali seperti seekor burung garuda.
Parang di tangan kanannya diayunkan sedemikian rupa, menyerang tubuh Mahesa.
Pendekar Kujang Emas cepat mencabut kujangnya. Tangannya cepat mengebut,
menangkis babatan parang Algojo Dari Timur.
Trang! Terjadi benturan keras. Mahesa
hanya terjajar beberapa langkah. Sedangkan Algojo Dari Timur terpental deras.
Untung dia cepat mematahkan luncuran tubuhnya dengan bersalto. Namun begitu
mendarat, tubuhnya sempat terhuyung-huyung.
Tanpa membuang-buang waktu
lagi, Mahesa langsung menyerang Algojo Dari Timur dengan jurus-jurus saktinya. Mau tak
mau, lelaki tinggi besar itu segera me-
layani. Maka dalam sekejap, tubuh mereka telah berubah menjadi bayangan biru dan
kuning kemerah-merahan.
"Hiyaaat...!"
Pendekar Kujang Emas semakin mem-
pertajam serangan-serangannya. Akibatnya dalam beberapa jurus kemudian, Algojo
Da-ri Timur tidak dapat membalas. Dia hanya dapat bertahan. Pada satu kesempatan
yang baik, Mahesa dapat memasukkan ujung mata kujangnya tepat mengenai dada
Algojo Dari Timur.
Crap! "Augkh...!"
Algojo Dari Timur memekik kesaki-
tan. Begitu ujung kujang itu dicabut, darah pun mulai menyembur keluar dari lu-
kanya. Algojo Dari Timur menggeram penuh
kemarahan. Luka di dadanya memang tidak begitu membahayakannya. Secepat kilat,
lelaki ini memutar parangnya membalas serangan-serangan Mahesa. Namun, yang
dihadapi bukan pendekar kemarin sore. Dengan meliuk-liukkan tubuhnya, Pendekar
Kujang Emas membuat serangan-serangan Algojo Da-ri Timur hanya menemui jalan
buntu. Apalagi ketika pemuda itu mulai memainkan jurus sakti 'Kilat Menyambar
Bumi'. Algojo Dari Timur benar-benar tak
berkutik. Tubuhnya yang tinggi besar entah sudah berapa kali harus berjumpalitan
di udara. "Setan alas!" maki Algojo Dari Timur menggeretakkan gerahamnya. Matanya liar
memandangi Mahesa
Pendekar Kujang Emas tersenyum men-
gejek melihat kedua telapak tangan Algojo Dari Timur telah berubah menjadi merah
kekuning-kuningan.
"Ayo! Keluarkan semua kepandaianmu, Algojo. Aku siap meladenimu," ejek pemuda
murid Pendekar Pedang Kilat Buana ini.
"Pemuda sombong! Kau akan tahu akibatnya."
Sehabis berkata demikian, Algojo
Dari Timur pun kembali menyerang. Tidak lagi menggunakan parangnya, melainkan
dengan kedua telapak tangan yang telah berubah menjadi merah kekuning-kuningan.
"Hm...! Cuma pukulan 'Pemecah Mangkuk', eh salah! 'Pemecah Bumi'," ledek Mahesa,
semakin membuat telinga lelaki tinggi besar itu memerah
"Keparat!"
Hanya itu yang keluar dari mulut
Algojo Dari Timur saking tidak kuat menahan amarah. Dan kedua telapak tangannya
yang berwarna merah itu langsung menyambar ke tubuh Pendekar Kujang Emas.
Mahesa menarik tubuhnya ke samping.
Tangannya yang terangkum pukulan 'Cahaya Kilat Biru' mengibas, memapak.
Derrr! Akibat yang ditimbulkan sungguh he-
bat bukan main. Terdengar ledakan keras.
Udara di sekitar tempat itu jadi panas.
Pohon-pohon pun menjadi layu!
Sementara itu tubuh Algojo Dari Ti-
mur terlempar beberapa tombak ke belakang. Dari mulutnya mengeluarkan darah
segar, pertanda tokoh sesat dari timur itu mengalami luka dalam cukup parah. Dia
berusaha bangkit, namun terasa ada beban berat yang mengganduli.
Sedangkan Mahesa yang sempat ter-
guncang akibat benturan tenaga dalam ta-di, tertawa sumbang. Wajahnya pucat,
namun berusaha tetap kokoh pada kuda-
kudanya. "Ilmu apa lagi yang akan kau keluarkan, Algojo Dari Timur"!" tantang Pendekar
Kujang Emas meledek.
Algojo Dari Timur meringis kesaki-
tan dengan napas turun naik bagai anjing kehausan. Kembali dia merangkak bangun
dengan susah payah.
"Jahanam! Kali ini aku mengaku kalah, Bocah. Tapi, ingat! Aku belum pernah
melepaskan musuhku begitu saja. Tunggu saja balasan ku, Bocah!!"
"Nyawa sudah menyangkut di tenggo-rokan, masih juga besar kepala!" leceh Mahesa.
Algojo Dari Timur mendelik. Wajah-
nya kelam membesi saking tidak kuatnya
menahan amarah. Lalu kakinya cepat meng-geser, siap meninggalkan tempat itu,
Tiba-tiba saja Pendekar Kujang Emas teringat gadis cantik yang terkapar di bawah
pohon nangka itu. Sekali pandang saja pemuda ini tahu kalau gadis itu menderita
luka parah, akibat pukulan beracun Algojo Dan Timur. Teringat itu, langsung
tubuhnya mengejar Algojo Dari Timur.
"Tunggu dulu! Iblis Gundul" ujar Pendekar Kujang Emas, menghadang. "Kau tidak
boleh seenak perutmu meninggalkan tempat ini!"
"Apa lagi?" bentak Algojo Dari Timur penuh kemarahan.
"Kau harus memberikan obat penawar racun mu pada gadis itu," sahut Mahesa,
enteng. "Kepandaian ilmu silatmu tinggi.
Mengapa tidak kau sendiri saja yang mengobatinya"!" tukas Algojo Dari Timur.
"Aku bukan ahli obat, tahu"! Ayo, berikan obat itu padaku!"
"Kalau aku tidak mau"!"
"Kau akan tahu akibatnya. Apa kau pikir pukulanku tadi tidak mengandung racun,
he"! Kau akan mampus dalam tiga hari ini, tahu?" ancam Mahesa berbohong.
"Hah"!"
Algojo Dari Timur melengak kaget.
Matanya mendelik dengan wajah memucat.
"Coba saja tarik napasmu dalam-
dalam, kalau tidak percaya. Ada rasa nyeri, kan" Ada rasa sesak dalam
dadamu...?"
ujar Pendekar Kujang Emas, menakut-
nakuti. Algojo Dari Timur penasaran. Lang-
sung napasnya dihela dalam-dalam. Dan, memang benar apa yang dikatakan Mahesa
barusan. Ada rasa nyeri pada dadanya. Dan napasnya pun terasa sesak. Menyadari
hal ini wajah Algojo Dari timur semakin pucat pasi.
Mahesa tersenyum dingin. Dalam ha-
ti, dia menertawakan kebodohan laki-laki tinggi besar ini. Sudah pasti dada
Algojo Dari Timur merasa nyeri dengan napasnya sesak, karena menderita luka
dalam cukup parah.
"Benarkan, apa yang kukatakan tadi"
Nah, sekarang cepat berikan obat penawar racun mu. Nanti, kuberitahukan cara
meng-hilangkan racun dari pukulanku tadi,"
ujar Mahesa senang.
Algojo Dari Timur bersungut-sungut, namun merogoh juga kantong obat penawar
racunnya dari balik jubah. Diambilnya dua butir obat pulung kecil berwarna hitam
dari kantongnya. Lalu dilemparkannya ke arah Mahesa.
Pendekar Kujang Emas cepat menang-
kapnya. "Nah! Sekarang, cepat katakan apa obat penawar racun mu, Bocah?" tanya Al-
gojo Dari Timur tak sabar.
"Gampang. Gampang sekali obat penawar racun ku. Mandilah selama tujuh hari tujuh
malam di Sungai Serayu, biar bau badanmu hilang. Itu saja. Gampang kan?"
"Bedebah! Kau membohongiku, Bocah"!" bentak Algojo Dari Timur penuh kemarahan.
Mahesa tertawa terbahak-bahak. Se-
nang sekali dia berhasil mempermainkan Algojo Dari Timur. Sementara lelaki
tinggi besar ini hanya bisa memaki-maki, sebelum akhirnya lari meninggalkan
tempat itu. *** Pendekar Kujang Emas masih tertawa-
tawa di tempatnya. Matanya berair saking senangnya mempermainkan tokoh sesat
berkepala botak itu. Namun ketika mendengar erangan halus dari belakang, Mahesa
baru tersadar. Cepat dihampirinya Ratri.
Sejenak Mahesa terpaku melihat se-
bagian tubuh mulus di hadapannya. Dia seperti bingung tak tahu apa yang harus
di-perbuat. "To..., tolong aku, Mahesa?" rintih Ratri.
Mahesa tersentak. Tanpa diminta
pun, dia senang sekali melakukannya. Namun melihat sebagian tubuh yang
menggiurkan di depannya, pendekar Kujang Emas pun
jadi jengah sekali. Sambil menutup kedua bola matanya, pemuda ini mendekati
Ratri. Segera ditotoknya tubuh gadis itu beberapa kali, untuk membebaskan pengaruh
totokan Algojo Dari Timur.
Ratri terbebas dari pengaruh toto-
kan. Seketika secepatnya dia mengenakan pakaian kembali.
Mahesa mengalihkan perhatian ke
tempat lain. Dan ketika diyakini gadis itu selesai berpakaian, baru kepalanya
berani menoleh.
"Minumlah obat penawar racun ini!"
ujar Mahesa mengulurkan obat pulung pem-berian Algojo Dari Timur tadi.
Ratri menerimanya dengan malu-malu.
Lalu diminumnya obat itu. Perlahan-lahan bagian tubuhnya yang terkena pukulan
'Pemecah Bumi' dari Algojo Dari Timur mulai pulih.
Melihat kesehatan Ratri yang be-
rangsung-angsur pulih, Mahesa tersenyum cerah. Tadi hatinya sudah cemas kalau-
kalau Algojo Dari Timur membohongi dirinya.
"Bagaimana keadaanmu sekarang?"


Siluman Ular Putih 01 Misteri Bayi Ular di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanya Pendekar Kujang Emas penuh perhatian.
Ratri meremas-remas jarinya malu-
malu. "Sudah mendingan, Mahesa," sahut gadis ini.
"Aku bingung, kau sudah tahu nama-
ku. Siapa kau sebenarnya?" tanya Mahesa.
Ratri diam membisu. Kepalanya sema-
kin ditundukkan dalam-dalam.
"Aku.... Aku mendengar nama besarmu di dunia persilatan dari orang-orang yang
aku temui di sepanjang perjalanan...,"
sahut Ratri terpaksa berbohong untuk menutupi rasa malunya.
Mahesa mengangguk-anggukkan kepa-
lanya. "Ya, ya, ya...! Benar juga...," gumam Pendekar Kujang Emas. "Lantas siapa
namamu?" "Ratri...."
Mahesa tersenyum.
"Manis sekali namamu. Aku senang berkawan denganmu," puji Mahesa.
Betapa senangnya hati Ratri saat
ini. Pancaran mata pemuda di depannya terasa sekali menembus hatinya. Dan
suasana jadi hening ketika tak ada yang bersuara.
"Tujuanmu mau ke mana, Ratri?"
tanya Mahesa, memecah keheningan.
"Tidak tahu. Aku hanya menuruti langkah kakiku," sahut Ratri.
"Hm...," Mahesa menautkan kedua
alisnya. "Bagaimana kalau kau kuajak menemani menemui seseorang?"
Ratri memandang seraut wajah tampan di hadapannya sebentar. Lalu, kepalanya
mengangguk malu-malu.
Mahesa tersenyum cerah. Hatinya
berbunga-bunga saat pandangan mata Ratri demikian lembut menembus relung
hatinya. "Sebaiknya sekarang saja berangkat!" ujar Mahesa segera beranjak dari tempat
duduknya. Ratri tidak menyahut. Namun dia ju-
ga beranjak dari tempat duduknya. Tak la-ma gadis ini telah berjalan di samping
Mahesa menuruni lereng Gunung Kembang.
*** Matahari baru saja bersinar di ufuk sebelah timur. Sinarnya yang lembut men-
gusap mayapada. Di lereng sebelah barat Gunung Batu, tampak dua orang anak muda
berkelebat menaiki gunung yang penuh bebatuan. Suara canda mereka terdengar
memecah kesunyian hutan di lereng gunung ini. Yang satu adalah seorang gadis
cantik berpakaian serba kuning. Sedang di sebelahnya seorang pemuda tampan
berambut gondrong dengan pakaian biru-biru. Mereka tidak lain Mahesa dan Ratri.
Selama tiga hari melakukan perjala-
nan ke Gunung Batu, hubungan kedua orang itu semakin akrab. Mereka tidak lagi
bersikap sungkan, seperti sewaktu pertama kali berkenalan. Malah Ratri yang
semula nampak malu-malu, kini mulai bersikap manja pada pemuda berjuluk Pendekar
Kujang Emas. Tentu saja Mahesa senang sekali ra-
sa berjalan bersama gadis yang mulai dis-ukainya. Demikian pula Ratri. Apalagi,
dia turun gunung justru hanya untuk mencari pemuda bernama Mahesa. Namun sampai
saat ini gadis itu belum menceritakan maksud tujuannya. Tentu saja karena malu!
"Kakang! Sebenarnya kita mau ke ma-na, sih?" tanya gadis itu merajuk manja.
"Kan aku sudah bilang, ke Gunung Batu," sahut Mahesa pura-pura marah.
"Iya. Tapi, apa maksud kita ke sa-na?" tanya Ratri semakin menggemaskan.
"Aku hanya ingin memberi tahu pada guruku kalau sudah menyelesaikan tugasku
membantu Paman Gagak Seto," jawab Pendekar Kujang Emas.
"Cuma itu?" tanya Ratri lagi.
"Iya. Eh..., eh, tidak! Maksud-ku..., maksudku aku ingin memohon doa restu guru
untuk...."
Mahesa tidak meneruskan bicaranya.
Malah dibalasnya pandangan Ratri.
"Untuk apa Kang" Kok, tak diteruskan?" tuntut Ratri.
"Hm.... Untuk..., untuk.... Tapi kau jangan marah, ya?" pinta Mahesa.
"Apa dulu dong?" desak Ratri dengan suara menggemaskan.
"Aku..., aku ingin meminta pada Eyang Guruku untuk..., untuk me..., mela-marmu,
Ratri." Susah sekali Mahesa mengucapkannya.
Dan hatinya merasa lega sekali ketika ka-ta-kata itu berhasil meluncur keluar.
Sedang Ratri langsung diam terce-
kat. Matanya yang indah membelalak lebar, seolah tidak percaya dengan apa yang
dikatakan Mahesa barusan.
"Kau..., kau keberatan menjadi istriku, Ratri?" tanya Mahesa berharap-harap
cemas. "Kau..., Kau nakal sekali, Kakang!"
Ratri tidak mampu menjawab, kecuali berlari meninggalkan Mahesa. Hatinya
sebenarnya bahagia mendengar apa yang dikatakan pemuda itu barusan. Namun dari
panggilannya terhadap Mahesa yang berubah menjadi 'kakang', bisa ditebak kalau
hatinya berbunga-bunga.
"Ratri, tunggu! Kau belum menjawab pertanyaanku. Apa kau mau menjadi istriku,
Ratri?" teriak Mahesa lantang.
Gadis itu tidak menghiraukan teria-
kan Mahesa. Ratri malah terus lari.
Melihat tingkah laku Ratri, Mahesa
jadi gemas sekali. Segera disusulnya gadis itu. Dan dalam sekejap saja Mahesa
telah berada di samping Ratri.
Ratri memberengut manja ketika len-
gannya diraih Mahesa. Terpaksa langkahnya dihentikan.
"Bagaimana, Ratri" Apa kau mau menjadi istriku?" tanya Pendekar Kujang Emas
tak sabar. "Ah, Kakang ini! Mana aku tahu! Tanyakan saja pada ayahku!" sahut Ratri.
Suaranya terdengar manja dan menggemaskan.
"Siapa ayahmu, Ratri. Aku pasti akan meminta Eyang Guru untuk melamar pa-da
ayahmu, Ratri."
"Sabarlah! Tanyakan dulu hal ini pada Eyang Gurumu," ujar Ratri seraya
bergelayut manja pada lengan Mahesa.
Melihat sikap manja Ratri, Mahesa
kian kasmaran. Wajah cantik Ratri itu demikian dekatnya dengan wajahnya. Hasrat-
nya tidak tahan lagi untuk mencium Ratri.
Namun ketika perlahan-lahan wajah pemuda itu mendekat ke bibir, Ratri
memberontak. Begitu terlepas dari pelukan Mahesa, Ratri berlari meninggalkannya.
*** Puncak Gunung Batu yang tidak ter-
lalu tinggi dipenuhi hamparan batu sebesar kerbau. Pada lereng sebelah barat,
terdapat sebuah gua besar. Di situlah Ki Ageng Banaran yang di dunia persilatan
lebih dikenal sebagai Pendekar Pedang Kilat Buana tinggal.
Mulut gua batu itu tidak terlalu
besar. Cukup dilalui satu orang saja. Ketika Mahesa dan Ratri masuk ke dalam,
ternyata perut gua cukup lebar dan terdapat ruangan-ruangan di beberapa tempat.
Dan Pendekar Kujang Emas mengajak gadis itu masuk ke salah satu ruangan.
Begitu mereka masuk, tampak seorang lelaki tua renta sedang khusuk bersemadi di
atas batu bundar menghadap ke barat.
Usianya itu sulit sekali ditafsirkan.
Yang jelas di atas sembilan puluh tahun atau mungkin malah hampir menginjak
sera-tus tahun! Pakaiannya putih bersih. Rambutnya yang panjang memutih
dibiarkan tergerai menutupi punggung.
Mahesa cepat mengajak Ratri duduk
bersimpuh di samping lelaki yang tak lain Ki Ageng Banaran.
"Eyang...," panggil Mahesa lirih.
Lelaki tua renta itu memalingkan
kepala. Tubuhnya yang kurus kering tampak ringkih sekali seperti orang sakit.
Namun anehnya, sepasang matanya yang tua mencorong tajam. Jelas, tenaga dalam
orang tua itu sudah mencapai tingkat tinggi sekali.
"Bagaimana kabar pamanmu, Cucuku?"
tanya Ki Ageng Banaran dengan suara berat.
"Baik, Eyang."
"Apa kau sudah membantu meringankan masalah pamanmu?" tanya Ki Ageng Banaran
lagi. Mata tajam lelaki tua renta itu te-
rus memperhatikan gadis cantik di samping
cucunya. Namun Mahesa dan Ratri yang me-nundukkan kepala tidak mengetahuinya...,
betapa Ki Ageng Banaran terus memperhatikan gadis cantik di hadapannya dengan
seksama. Dan dahinya pun berkernyit dalam-dalam. Dari kekuatan batinnya dapat
dirasakan kalau gadis cantik di hadapannya bukanlah manusia sewajarnya!
"Sudah, Eyang. Malah Paman Gagak Seto menitip salam untuk Eyang."
"Hm...," gumam Ki Ageng Banaran sambil mengelus-elus jenggotnya yang panjang
memutih. Kepalanya mengangguk-
angguk, entah apa yang dipikirkannya.
"Siapa gadis itu, Cucuku?"
"Dia..., teman baikku, Eyang. Namanya Ratri."
Mahesa menghentikan bicaranya se-
bentar. Dia sedang menimbang-nimbang keinginan hatinya agar Eyang Gurunya mau
melamar Ratri pada orang tuanya.
"Maksudku, aku minta agar Eyang su-di melamar Ratri untukku, Eyang," lanjut
Mahesa, nekat. "Hm...," Ki Ageng Banaran masih mengelus-elus jenggotnya. Matanya yang tajam
terus memperhatikan Ratri seksama.
"Sudikah Eyang melamarkan Ratri untukku?" tanya Mahesa tak sabar.
"Sebentar. Siapa nama ayahmu, Ratri?" tanya Ki Ageng Banaran pada Ratri.
"Begawan Kamasetyo, Kek," jawab Ra-
tri. Ki Ageng Banaran dan Mahesa tersen-
tak kaget. Terutama sekali Mahesa. Sungguh tidak disangka kalau Ratri adalah
putri Begawan Kamasetyo.
Sementara itu Ki Ageng Banaran men-
gangguk-anggukkan kepala penuh kagum, tidak lagi mencurigai Ratri seperti tadi.
Mungkin dikarenakan dia tahu kalau Begawan Kamasetyo mempunyai satu ilmu simpa-
nan yang diberi nama 'Titisan Siluman Ular Putih'. Dan dalam pikirannya dia
mengira kalau Ratri sudah dapat menguasai ilmu pamungkas sahabatnya.
"Kau.... Kau putri Begawan Kamasetyo, Ratri?" tanya Mahesa tak percaya.
Ratri mengangguk pelan.
"Tapi..., tapi mengapa waktu itu kau tidak mau menemuiku?" tanya Mahesa masih
belum mengerti.
Ratri tersenyum pahit, Sulit sekali menjawab pertanyaan Mahesa. Dan teringat
keadaannya saat itu, tak urung Ratri jadi sedih.
"Jadi, kau ini putri tunggal Adi Begawan Kama setyo?" tanya Ki Ageng Banaran
"Benar, Kek," jawab Ratri singkat.
Kembali dia teringat keadaan di-
rinya. Dan itu membuat air matanya semakin tidak dapat dibendung.
Mahesa membeliakkan matanya heran.
Namun sebelum pertanyaannya diteruskan, Ki Ageng Banaran sudah menyerobot.
"Terus terang aku senang sekali bertemu denganmu, Ratri. Dan mengenai permintaan
Mahesa, nanti akan kubicarakan pada Adi Begawan Kamasetyo. Aku kira Adi Begawan
Kamasetyo tidak akan mengecewakan harapan kalian."
"Terima kasih, Eyang," ucap Mahesa, sambil merangkapkan kedua telapak tangan di
depan hidung. "Ya..., ya! Nanti pada malam purnama bulan ini Eyang akan datang berkunjung ke
lereng Pegunungan Dieng. Tidak lama lagi. Jadi, sebaiknya kalian berangkat dulu
saja ke sana. Nanti Eyang menyusul belakangan. Jangan lupa, sampaikan salam
Eyang pada Adi Begawan Kamasetyo, Mahesa."
"Baik, Eyang."
"Nah. Sekarang kalian berangkatlah!" ujar Ki Ageng Banaran.
Mahesa memberi hormat sebentar, ke-
mudian segera mengajak Ratri keluar dari dalam gua. Sementara gadis itu masih
menangis sesenggukan. Dalam hati, pemuda ini merasa heran sekali mengapa
kekasih-nya menangis demikian menyedihkan. Hatinya yang masih penasaran jadi
tidak te-ga untuk mengusik kesedihannya.
Malam purnama bulan ini telah tiba.
Ki Ageng Banaran duduk di serambi mulut
gua bersama Begawan Kamasetyo. Mereka ba-ru saja merestui pernikahan Ratri dan
Mahesa. Sedang kedua anak muda itu kini be-
rada di sebuah kamar dalam gua. Mereka yang sedang dimabuk cinta tengah asyik
menikmati indahnya malam pertama. Dan sejak malam itu, Ratri dan Mahesa hidup
bahagia. Mereka hidup penuh cinta kasih dalam bahtera asmara.
Hari demi hari, bulan demi bulan
terlewat sudah. Ratri yang mulai mengandung benih cinta kasihnya dengan Mahesa
mulai dicekam perasaan takut. Takut kehilangan Mahesa, juga takut dirinya
kembali menjelma menjadi siluman ular!
3 Kegelisahan Ratri di kamarnya sema-
kin menjadi-jadi. Betapa tidak" Waktu yang telah ditentukan Yang Maha Kuasa
telah usai! Dan ini sebentar lagi, berarti dia akan kembali menjelma menjadi
siluman ular! Padahal bayi dalam kandungannya beberapa hari lagi akan lahir. Hal
ini membuatnya terus memohon pada Yang Maha Kuasa agar menunda waktu yang telah
ditentukan. Ratri sudah membicarakan kesulitan-
nya pada ayahnya. Disepakati, begitu Ra-
tri kembali menjelma menjadi siluman ular, mereka harus kembali mengasingkan
diri dari dunia persilatan. Begawan Kamasetyo tidak mampu menjawab permintaan
anaknya. Hanya kepalanya mengangguk sedih.
Tepat pada tengah malam, tiba-tiba
saja Ratri merasakan sekujur tubuhnya dingin sekali. Dan ini membuatnya gelisah
sekali! Dia terus memohon pada Yang Maha Kuasa agar mau menangguhkan waktu yang
telah ditentukan. Namun apa yang menjadi keinginannya tinggal berupa harapan
hampa. Setelah demam dalam tubuhnya menghilang, asap putih kekuning-kuningan
mulai menyelimuti dirinya. Dan hidungnya seketika mencium bau harum bunga melati
memenuhi kamarnya!
Ratri menangis menjadi-jadi. Dis-
adari kalau itu adalah tanda-tanda kalau dirinya akan kembali menjelma sebagai
siluman ular. Begawan Kamasetyo yang mendengar
tangis anaknya cepat masuk ke dalam kamar Ratri. Dan betapa terkejutnya dia
melihat sekujur tubuh putrinya mulai diselimuti asap putih kekuning-kuningan.
Untungnya, malam itu Mahesa sedang tidak ada di rumah, karena tengah pergi
menemui gurunya di puncak Gunung Batu
Lelaki tua ini tidak tahu, apakah
ketidakberadaan Mahesa memang sudah di-
atur Yang Maha Kuasa atau tidak. Yang jelas, perlahan-lahan tubuh Ratri mulai
berubah wujud sebagai siluman ular. Pertama dari kedua kakinya kemudian merambah
ke betis, perut, lalu dada.
Ratri makin menjerit-jerit. Dan je-
rit tangisnya langsung terhenti begitu kepalanya mulai berubah menjadi kepala
siluman ular putih. Siluman Naga Puspa!
Begawan Kamasetyo tak mampu lagi
berkata-kata. Matanya menatap nanar ke tubuh putrinya yang telah menjelma
kembali menjadi siluman ular putih. Bibirnya bergetar-getar hebat menahan
guncangan batinnya. Suara tangisan Ratri sudah tidak terdengar lagi. Hanya
desisan-desisan Siluman Naga Puspa saja yang terdengar, menyayat perasaan lelaki
tua itu. Tidak ada pilihan lain lagi. Seper-
ti yang telah diminta Ratri, mereka berdua harus kembali mengasingkan diri dari
dunia ramai. Tak sanggup bagi Ratri melihat Mahesa merana dalam hidupnya. Dia
benar-benar malu untuk bertemu suaminya.
Maka pada malam itu juga, Begawan Kamasetyo mengajak Ratri meninggalkan Gua
Burangrang! * * * Tiga hari kemudian Mahesa pulang
kembali ke Gua Burangrang. Dan dia tidak
menemukan siapa-siapa lagi di sana. Mahesa terus mencarinya ke segenap penjuru


Siluman Ular Putih 01 Misteri Bayi Ular di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gua, sambil terus memanggil-manggil nama istrinya. Namun tetap saja istrinya tak
Makam Bunga Mawar 1 Gento Guyon 13 Dedel Duel Tugas Rahasia 1
^