Misteri Bayi Ular 2
Siluman Ular Putih 01 Misteri Bayi Ular Bagian 2
ditemukan! "Ratri!" teriak Mahesa menggetarkan dinding gua.
Pendekar Kujang Emas berlari ke mu-
lut gua, meneliti apakah selama ditinggal pergi ada seseorang yang datang
menyerang tempat persembunyian Begawan Kamasetyo.
Namun ternyata tidak ditemukan tanda-tanda bekas pertarungan. Dan ini semakin
membuat hatinya bingung. Seluruh dalam gua itu telah dicari, sekarang ke mana
lagi harus mencari istrinya dan Begawan Kamasetyo"
Tanpa rasa putus asa, Pendekar Ku-
jang Emas terus mencari ke segenap penjuru lereng Pegunungan Dieng, tanpa
mempedulikan dirinya lagi.
Hingga pada suatu hari, Mahesa me-
nemukan mayat seorang wanita muda yang masih memeluk bayinya!
Keadaan wanita itu mengenaskan se-
kali. Pakaiannya compang-camping tidak karuan. Darah segar bersimbah di tanah
sekitarnya. Wajahnya yang cantik pucat pasi. Rambutnya awut-awutan. Mungkin
wanita itu habis diperkosa segerombolan perampok yang malang melintang di
sekitar hutan Gunung Bucu ini. Kalau tidak, mana
mungkin bagian pangkal pahanya mengeluarkan darah.
Sedang bayi dalam pelukan wanita
itu kira-kira berusia enam bulan. Wajahnya tampan. Kulitnya putih bersih seperti
kulit ibunya. Dan bayi malang itu terus meronta-ronta di pelukan ibunya.
Tangisnya yang menyedihkan sungguh menyentuh perasaan Mahesa.
Seketika itu juga, Pendekar Kujang
Emas pun teringat akan penderitaan istrinya. Dan mungkin akan seperti itulah
nasib istri dan bayinya. Tidak! Dia tidak sanggup membayangkan penderitaan
istrinya! Untuk beberapa saat, Mahesa hanya
memandangi bayi malang itu dengan hati tak menentu. Dengan sekali lihat saja bi-
sa diketahui, kalau susunan tulang bayi itu sangat bagus dan kuat. Darahnya pun
bersih, pertanda mempunyai bakat cukup lumayan. Dan entah mengapa, hati Mahesa
jadi senang sekali. Perlahan-lahan mulai didekati mayat wanita itu. Lalu
dipondongnya bayi malang itu dengan tangan ki-ri. Sedang tangan kanannya meraba
denyut nadi di pergelangan tangan wanita itu.
Tak ada gerakan sama sekali!
Pendekar Kujang Emas meletakkan
bayi itu ke tempat yang aman. Setelah kembali ke tempat semula, dia mulai
membuat lubang dengan kujangnya. Dan berkat
tenaga dalamnya yang tinggi, sebentar sa-ja tercipta sebuah lubang besar untuk
menguburkan mayat wanita itu.
Hati-hati sekali dia memondong
mayat wanita itu, lalu meletakkannya ke dalam lubang. Perlahan-lahan pula Mahesa
mulai menguruk dengan tanah. Maka sebentar saja telah tercipta segundukan tanah
merah yang masih baru. Dan Mahesa memberi nisan pada kuburan itu dengan sebuah
batu sebesar kelapa.
Setelah menguburkan mayat wanita
itu, Mahesa kembali mengambil bayi terse-but lalu melangkah pergi. Arah
tujuannya adalah puncak Gunung Batu tempat gurunya Pendekar Pedang Kilat Buana
bertapa. Di sana dia akan mendidik bayi itu seperti anak kandungnya sendiri.
Bahkan akan pula dibekalinya dengan ilmu silat!
*** Ratri alias Siluman Naga Puspa men-
desis-desis hebat. Dia merasakan ada sesuatu yang bergerak-gerak dalam perutnya.
Melihat hal ini Begawan Kamasetyo jadi cemas sekali. Dia tidak tahu apa yang
harus dilakukan. Sedang Siluman Naga Puspa terus meronta-ronta menahan sakit.
Perutnya yang membusung seperti diremas-remas.
Wajah Siluman Naga Puspa benar-
benar tersaput rasa gelisah. Sepasang ma-
tanya mencorong menahan nyeri. Sedang kepalanya mengangguk-angguk sedemikian ru-
pa, layaknya seperti seorang wanita yang sedang mengurut-urut perutnya menjelang
kelahiran bayinya!
"Mungkin.... Mungkin kau akan mela-hirkan bayimu, Ratri?"
Hanya itu yang keluar dari mulut
Begawan Kamasetyo. Selebihnya dia hanya dapat memandangi perut anaknya dengan
ha-ti cemas. Dan apa yang dikatakan Begawan Ka-
masetyo memang benar. Baru saja kata-katanya tuntas....
"Oaaa...! Oaaa...!"
Terdengar suara tangis bayi, mem-
buat Begawan Kamasetyo tersentak. Pandangannya langsung tertuju ke arah ekor
ular siluman itu. Tampak tak jauh dari ekor Siluman Naga Puspa, tergolek seorang
bayi yang masih terbalut darah dan tersambung ari-ari.
Jadi, Siluman Naga Puspa telah me-
lahirkan bayinya! Bukan berbentuk ular, melainkan bayi manusia yang tampan
sekali! Dan yang lebih anehnya lagi, pada da-da kanan bayi itu terdapat rajahan
bergambar ular putih. Matanya agak kebiru-biruan, kulitnya putih walaupun masih
berlumur darah, namun bau badannya wangi sekali seperti harumnya bunga melati!
Begawan Kamasetyo cepat mendekati
bayi dan memondongnya erat-erat. Matanya yang tajam memperhatikan susunan
tulang-tulang bayi itu penuh kagum.
"Mau kau beri nama apa anakmu ini, Ratri?" tanya Begawan Kamasetyo sambil
menatap penuh suka cita pada anaknya.
Ratri mendesis menyebutkan satu na-
ma. "Apa" Soma?" kata Begawan Kamasetyo mengulangi ucapan anaknya yang hanya di-
mengerti olehnya.
Sekali lagi Siluman Naga Puspa men-
desis membenarkan ucapannya.
"Ya..., ya. Baik. Aku akan memberi nama anak ini Soma, seperti permintaan-mu."
Siluman Naga Puspa mendesis-desis
lagi. Entah bahagia melihat bayi yang ba-ru saja dilahirkan, atau sedih melihat
dirinya yang masih berwujud siluman ular putih!
Kemudian Siluman Naga Puspa kembali mendesis-desis lagi meminta Begawan
Kamasetyo mendekatkan bayinya ke sisi tubuhnya.
Begawan Kamasetyo tersenyum senang.
Didekatkannya bayi yang baru saja dilahirkan itu ke sisi anaknya.
Siluman Naga Puspa memandangi
bayinya dengan sepasang mata telah berair. Lalu bayi yang telah diberi nama Soma
itu pun segera dililitnya, persis
seperti tingkah seorang ibu sedang memeluk bayinya!
4 Waktu terus bergulir, tak tertahan-
kan. Semuanya telah diatur oleh Sang Pencipta. Dan tak terasa delapan belas
tahun terlewat sudah. Kini Bayi yang dilahirkan Siluman Naga Puspa yang telah
diberi nama Soma telah tumbuh menjadi seorang pemuda tampan. Kulit wajahnya
putih bersih. Matanya yang agak kebiru-biruan dihiasi sepasang alis tebal
berwarna hitam. Pas sekali dengan bentuk hidungnya yang mancung. Demikian pula
bentuk bibirnya yang tipis. Rambut gondrongnya dibiarkan tergerai di bahu. Di
dada kanannya terdapat seperti rajahan bergambar ular putih. Dan ini semakin
menambah kejantanan pemuda itu.
Tubuh Soma yang tinggi tegap diba-
lut rompi dan celana bersisik berwarna putih keperakan. Dan kini, pemuda tampan
itu sedang khusuk bersemadi untuk menyelesaikan latihan tahap akhirnya. Yakni,
sebuah jurus pamungkas hasil ciptaan Begawan Kamasetyo 'Titisan Siluman Ular
Putih'! Memang, hebat sekali jurus itu.
Bahkan Begawan Kamasetyo dan Ratri yang masih berwujud siluman ular putih pun
ti- dak bisa menganggap sembarangan. Dengan perasaan waswas kedua anak beranak itu
selalu ikut menemani Soma bertapa. Sudah empat puluh hari empat puluh malam Soma
bertapa. "Kerahkan seluruh kehendak sucimu, Cucuku!" teriak Begawan Kamasetyo, mulai
gelisah. Lelaki tua ini melihat sekujur tu-
buh Soma mulai dibasahi keringat. Wajahnya yang tampan menegang, seperti sedang
menghadapi sesuatu yang sulit sekali dikendalikan. Dan dari ubun-ubun kepalanya
perlahan-lahan mengepulkan asap putih, seiring tubuhnya yang bergetar hebat.
Siluman Naga Puspa mendesis-desis.
Begawan Kamasetyo semakin gelisah dibuatnya. Bagaimanapun juga, dia tidak ingin
cucunya mengalami bernasib sama dengan anaknya yang masih berwujud siluman ular
putih. "Kerahkan seluruh kehendak sucimu, Cucuku!" ujar Begawan Kamasetyo. Nada
suaranya penuh kegelisahan.
Dan apa yang sedang dikhawatirkan
Begawan Kamasetyo memang benar-benar sedang dialami Soma. Di hadapan pemuda itu,
saat ini seekor ular raksasa putih sebesar pohon kelapa siap memangsa tubuhnya.
Dari mulutnya yang terbuka dengan taringnya yang mengerikan mengeluarkan bau
amis yang bukan kepalang. Hampir saja Soma ti-
dak kuat menahan. Bukannya takut menjadi mangsa ular raksasa, melainkan tidak
kuat menahan bau amis yang keluar dari mulut ular itu.
Soma pasrah. Dia sadar, ular raksa-
sa putih itu hanya jelmaan dari ilmu yang sedang dituntutnya saja. Maka dengan
segenap kepasrahan dan keteguhan hatinya, akhirnya godaan itu dapat diatasi. Dan
perlahan ular raksasa putih jadi-jadian itu pun hilang dari pandangan.
Namun anehnya bersamaan dengan ke-
pulan asap putih yang menyelimuti tubuh ular raksasa putih itu menghilang tiba-
tiba saja muncul seorang gadis cantik.
Rambutnya yang hitam panjang itu dibiarkan tergerai di bahu. Pakaian yang dike-
nakannya pun sangat tipis berwarna putih menampakkan lekuk-lekuk tubuhnya. Bau
badan gadis itu pun wangi sekali, seperti bau harum bunga melati!
Soma memejamkan mata. Namun, tetap
saja lekuk-lekuk tubuh gadis cantik itu masih menghantui pikirannya. Hampir saja
godaan itu tidak kuat ditahan. Apalagi gadis cantik itu mulai berani mendekati
dan memeluknya!
"Tahan, Cucuku! Jangan sampai terpengaruh godaan itu. Itu hanya perasaanmu saja.
Ayo, lekaslah kerahkan seluruh kehendak sucimu kalau tidak ingin bernasib malang
menjadi siluman ular seperti ibu-
mu, Cucuku!" teriak Begawan Kamasetyo yang samar-samar mulai menyadarkan Soma
dari keadaan memabukkan.
Pemuda ini mengerahkan segenap ke-
kuatan batinnya untuk mengatasi godaan.
Akibatnya, gadis cantik itu menjerit ke-sakitan. Sekujur tubuhnya yang memeluk
tubuh Soma seperti terbakar kehendak suci yang timbul dari dalam diri pemuda
itu. Walaupun gadis itu sudah menjauh
dari tubuhnya, Soma terus mengerahkan kekuatan batinnya. Gadis cantik yang
sebenarnya jelmaan dari siluman itu makin menjerit-jerit ketakutan. Hingga
akhirnya sekujur tubuh gadis cantik itu pun mulai diselimuti asap putih. Dan
bersamaan dengan hilangnya asap putih yang bergulung-gulung itu, dia menghilang
dari pandangan Soma.
"Kau berhasil, Cucuku! Kau berhasil...!" pekik Begawan Kamasetyo girang bukan
main. Soma tersadar. perlahan-lahan ma-
tanya dibuka. "Berhasil" Berhasil apanya, Eyang?"
tanya Soma masih belum mengerti.
"Kau..., kau berhasil menguasai jurus sakti 'Titisan Siluman Ular Putih',
Cucuku. Kau sewaktu-waktu bisa berubah wujud menjadi siluman ular putih kalau
kau mau, Cucuku...."
Soma terlongong. Jadi karena itu
eyang dan ibunya bergembira" Pantas....
Di ufuk langit sebelah timur, mata-
hari baru saja menampakkan sinarnya yang kemerahan. Beberapa burung liar ramai
berkicau di dahan, mengumandangkan suaranya yang merdu menyambut pagi. Gumpalan-
gumpalan awan putih berarak-arak di angkasa. Sementara, tiupan angin lembut
turut mengiringi lahirnya hari ini.
Dalam terpaan lembut angin pagi di
lereng Gunung Bucu, tempat persembunyian Siluman Naga Puspa dan Begawan
Kamasetyo yang baru, Soma tengah giat menempa diri.
Rompi bersisiknya yang berwarna putih keperakan tanpa kancing, berkibar-kibar
ka-la pemuda berambut gondrong itu sibuk memainkan jurus sakti 'Terjangan Maut
Ular Putih', yang merupakan salah satu jurus andalan Begawan Kamasetyo. Gerakan
tangan dan kakinya lincah sekali. Kedua telapak tangannya yang membentuk kepala
ular terus bergerak dengan kecepatan dahsyat saling kejar-mengejar. Seolah-olah
di depannya ada musuh yang tengah kedodoran menghadapi jurusnya. Sementara kedua
kakinya bergerak cepat, seirama dengan kedua tangannya.
Pada saat bergerak maju seperti
ini, berarti Soma tengah membuka jurus sakti 'Ular Kembar Mengejar Mangsa' yang
tak kalah dahsyatnya dibanding jurus
'Terjangan Maut Ular Putih'. Dari gerakan
kedua telapak tangannya yang membentuk kepala ular, tercipta serangkum angin
kencang yang berkesiur menggoyang-goyangkan dedaunan dalam jarak sepuluh tombak.
Belum lagi kalau menilik hawa panas dan dingin yang diakibatkan dari sambaran-
sambaran kedua telapak tangannya.
Yang sebelah kanan mengandung pukulan sakti 'Tenaga Inti Api', sementara sebelah
kiri mengandung pukulan sakti 'Tenaga Inti Bumi'. Akibatnya pohon-pohon dalam
jarak sepuluh tombak yang tadi hanya bergoyang-goyang, kini sebagian ada yang
layu dan sebagian membeku.
Hebat sekali jurus sakti 'Ular Kem-
bar Mengejar Mangsa' itu. Begawan Kamasetyo dan Siluman Naga Puspa yang menonton
di pinggir tempat latihan, jadi terlongong saking kagumnya.
"Hyaaa...!"
Tiba-tiba Begawan Kamasetyo yang
dari tadi hanya menonton Soma telah berkelebat menyongsong tubuh Soma yang
berkelebatan. Tangan sebelah kanan lelaki tua itu telah berubah menjadi merah
penuh 'Tenaga Inti Api'! Sedang tangan kirinya berubah menjadi keputihan penuh 'Tenaga
Inti Bumi'. Dan kedua telapak tangan itu bergerak sedemikian rupa, siap memangsa
tubuh Soma. Soma tahu, serangan eyangnya tidak
main-main. Namun pemuda ini tidak menjadi
gugup. Malah sempat bersiul kecil mengejek eyangnya. Padahal keadaan dirinya
tidak menguntungkan. Saat itu juga segera dikerahkannya jurus 'Terjangan Maut
Ular Putih'. Dan dengan cerdiknya, Soma segera mengendurkan kedua telapak
tangannya yang tadi bermaksud memapak. Tubuhnya dimiringkan ke kiri. Lalu, cepat
sekali tangan kanannya berkelit, hendak menotok ketiak eyangnya.
"Ah...!"
Begawan Kamasetyo memekik tertahan.
Kalau serangannya terus dipaksakan, bukan mustahil ketiaknya lebih terdahulu
akan terkena totokan Soma. Untuk itu serangannya cepat dibatalkan. Sedang Soma
telah menegakkan tubuhnya kembali.
"Wah, wah, wah.... Mengapa Eyang kasar sekali"! Apa Eyang bermaksud membunuhku"
Aku belum mau mati, Eyang. Aku belum kawin...," gerutu Soma kesal.
Begawan Kamasetyo tidak mempeduli-
kan kekesalan cucunya. Seketika serangannya dilanjutkan, sekaligus ditingkatkan.
Soma kewalahan bukan main. Sambil
berjumpalitan menghindari serangan-
serangan eyangnya, tak henti-hentinya mulutnya terus mengoceh tidak karuan.
"Tunggu dulu, Eyang! Eyang mulai kebakaran jenggot, ya" Kenapa jadi uring-
uringan begini"!"
"Jangan banyak bicara, Cucuku!
Hayo, cepat balas serangan!"
Begawan Kamasetyo tidak mempeduli-
kan ocehan Soma. Kedua tangannya kembali bergerak cepat menyerang.
Jelas, Begawan Kamasetyo tengah
mengerahkan jurus maut 'Ular Kembar Mengejar Mangsa' Kedua telapak tangannya ki-
ni semakin berubah merah dan putih terang. Mengerikan sekali. Apalagi tenaga
dalamnya dikerahkan sepenuhnya. Jangankan terkena. Terkena sambaran anginnya
Siluman Ular Putih 01 Misteri Bayi Ular di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
saja bisa menyebabkan kematian lawan.
"Tidak. Aku tak mau berkelahi dengan Eyang," teriak Soma, cepat melempar
tubuhnya beberapa kali ke belakang.
"Aku akan memaksamu, Cucuku!" bentak Begawan Kamasetyo, geram melihat
serangannya dapat dihindari demikian mudah-nya. Kembali kedua tangannya yang
bergerak saling kejar-mengejar itu menyerang Soma.
"Adauw, tidak kena!" Soma berkelit ke samping.
Sementara itu Siluman Naga Puspa
mendesis-desis. Hatinya kesal melihat anaknya mulai bertingkah. Malah sejak ta-
di pun dia tidak dapat menahan perasaan gemasnya. Maka dengan kecepatan
mengagum-kan, ular siluman itu ikut menyerang So-ma!
Wesss! Harum bunga melati kontan menebar
ke sekitar tempat latihan, begitu tubuh besar memanjang sebesar pohon kelapa
menerjang. Dan mulutnya yang menganga lebar siap memangsa tubuh Soma.
"Bagus, Ratri! Ayo, kita beri pelajaran putramu yang nakal ini!" kata Begawan
Kamasetyo sambil meningkatkan serangan.
Soma kewalahan bukan main. Mengha-
dapi eyangnya saja belum tentu menang.
Apalagi sekarang ditambah ibunya, Siluman Naga Puspa. Tentu saja pemuda ini
tidak ingin dirinya dijadikan bulan-bulanan.
Sambil mengedumel panjang pendek, tubuhnya terus berjumpalitan menghindari
serangan ibunya dan eyangnya.
"Aduuuhh...! Ibu ini apa-apaan sih"
Kok, ikut-ikutan latah seperti Eyang"!"
teriak Soma kesal.
"Bocah goblok! Baru pertama kali ini aku melihat orang yang ingin jadi pendekar,
tapi bernyali kambing!" bentak Begawan Kamasetyo kesal, tanpa sedikit pun
mengendurkan serangan-serangannya.
"Siapa yang takut, Eyang" Aku hanya tak enak hati kalau nanti melukaimu. Biar
seribu orang pun aku tidak takut!" teriak Soma mulai panas.
"Ratri! Putramu pintar sekali mengumbar omongan. Tapi, tetap saja bernyali
kambing!" ejek Begawan Kamasetyo makin membuat Soma panas.
Siluman Naga Puspa mendesis-desis, membenarkan ucapan ayahnya.
"Aduh! Rupanya Ibu dan Eyang sudah kongkalikong. Baik! Aku tidak takut. Nih
lihat seranganku...."
Soma cepat melenting ke belakang,
mengambil jarak. Begitu mendarat, dipa-sangnya kuda-kuda kokoh. Kedua telapak
tangannya yang membentuk kepala ular disilangkan di depan dada, siap
mengeluarkan jurus maut 'Ular Putih Mengejar Mangsa'.
Telapak tangan yang sebelah kanan telah berubah menjadi kemerah-merahan penuh
'Tenaga Inti Api'. Sedang yang kiri telah berubah putih terang penuh 'Tenaga
Inti Bumi'. "Hyaaat...!"
Disertai teriakan keras membahana
Soma mencelat ke udara, menyongsong serangan Begawan Kamasetyo dan Siluman Naga
Puspa dengan kedua kakinya.
"Bagus, Cucuku! Rupanya kau mengalami banyak kemajuan. Tapi, jangan bangga dulu.
Sebab belum tentu kami dapat dika-lahkan!"
Begawan Kamasetyo cepat memapak se-
rangan Soma dengan jurus sakti 'Terjangan Maut Ular Putih'. Sedang Siluman Naga
Puspa segera mengibaskan ujung ekornya.
Dugh! Dugh! Terdengar dua kali benturan tenaga
dalam di udara. Akibatnya Soma terlempar
beberapa tombak. Cepat dia mematahkan lontaran tubuhnya dengan berjumpalitan.
Begitu mendarat, tubuhnya terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang. Tentu
saja kesempatan ini tidak disia-siakan Begawan Kamasetyo dan Siluman Naga Puspa
yang hanya bergetar akibat benturan tenaga dalam tadi.
"Curang! Ibu dan Eyang beraninya main keroyok. Hayo, kalau berani hadapi aku
satu lawan satu!" teriak Soma seraya berjumpalitan di udara. Kalang kabut dia
menghindari serangan-serangan ibu dan eyangnya.
"Bocah goblok! Aku dan ibumu sedang mengujimu, tahu"!" bentak Begawan Kamasetyo.
"Menguji.... Menguji macam apa ini"! Aku bisa babak belur sendiri!" gerutu Soma
kesal. "Makanya kalau tidak ingin babak belur, lekas balas serangan-serangan ka-mi!"
tantang Begawan Kamasetyo memanas-manasi.
"Huh! Repotnya kalau mau jadi pendekar. Kalau aku tahu sejak dulu begini
susahnya jadi pendekar, lebih baik jadi tukang sayur saja. Lebih aman. Tidak
babak belur macam begini!" omel Soma panjang pendek.
"Ngomong apa kau, he"!" bentak Begawan Kamasetyo lagi
"Tidak! Tidak! Aku tidak ngomong apa-apa, Eyang. Aku hanya melampiaskan
kekesalanku saja."
"Baik!" Begawan Kamasetyo menghentikan serangannya. "Sekarang begini saja.
Kalau mampu menghadapi kami berdua dalam tiga jurus, kau kuanggap menang dan
patut mendapatkan warisanku yang terakhir."
"Buat apa" Toh, Eyang sendiri belum tentu dapat mengalahkanku kalau tidak ada
Ibu?" tukas Soma, seenak isi perutnya Begawan Kamasetyo menggeram kesal.
"Bocah goblok! Ini semua demi kebaikanmu, tahu"! Hayo, cepat lawan kami!
Atau kau ingin babak belur?"
"Wah, wah, wah...! Ini namanya per-kosaan. Mentang-mentang kalian orang tua yang
telah membesarkanku, tidak seharusnya memaksakan kehendak kalian padaku.
Ini tidak baik, Eyang. Tidak baik...."
"Sudah! Sudah! Pusing aku meladeni omonganmu. Sekarang cepat hadapi kami berdua
dalam tiga jurus! Sanggup"!" hardik Begawan Kamasetyo tak sabar.
Soma menggerutu kesal.
"Tapi, masa' dalam tiga jurus saja aku tidak dapat menghadapi serangan mereka"
Percuma saja bertahun-tahun belajar silat di sini," gumam pemuda itu dalam hati.
Soma lantas memasang kuda-kuda ko-
koh. "Apalagi yang Eyang tunggu! Aku sudah siap, Eyang," tantang Soma.
"Baik," Begawan Kamasetyo menggeram. "Hayo, Ratri! Kita hajar anakmu yang pongah
ini!" Siluman Naga Puspa mendesis-desis.
Matanya yang biru mencorong tajam. Harum bunga melati di sekitar tempat latihan
makin mewangi pertanda jurus yang akan dikeluarkan tidak bisa dianggap
sembarangan. "Jurus satu!" pekik Begawan Kamasetyo lantang.
Tiba-tiba di tangan Begawan Kama-
setyo telah tergenggam senjata pusaka yang aneh sekali bentuknya. Sekilas
terlihat seperti anak panah. Namun anehnya mata anak panah itu berbentuk kepala
ular putih hingga ke pangkal. Dan dari pangkal anak panah berwujud seperti
pangkal anak panah kebanyakan. Sedang di kanan-kiri kepala ular tertancap dua
buah gerigi yang juga berwarna putih! Entah, apa nama senjata aneh itu. Yang
jelas gigi-gigi itu mirip sekali dengan senjata andalan Bathara Kresna. Cakra!
"Senjata apa itu, Eyang" Kok, bentuknya aneh sekali?" tanya Soma saking
herannya. "Sekarang bukan waktunya bercakap-cakap! Pokoknya, lihat saja bagaimana senjata
ini membuat tubuhmu babak belur!
Bahkan tidak mungkin nyawamu akan cepat minggat dari tubuhmu!" hardik Begawan
Kamasetyo, menakut-nakuti. "Jurus satu!"
Begawan Kamasetyo dan Siluman Naga Puspa serentak menyerang Soma. Dan begitu
senjata aneh di tangan lelaki tua ini bergerak menyerang, terlebih dahulu Soma
merasakan angin dingin berkesiur menyerang tubuhnya. Bahkan dari dua buah gerigi
di samping kanan-kiri kepala ular senjata aneh itu bertiup angin kencang yang
menyerang Soma.
Dari sudut lain, Siluman Naga Puspa pun menyerang tak kalah hebat. Bukan main
hebatnya serangan mereka, membuat Soma benar-benar kewalahan. Serangan Siluman
Naga Puspa memang tidak begitu membahayakan keselamatannya. Karena, Soma sudah
terbiasa berlatih tanding dengan ibunya.
Memang, yang sangat dikhawatirkan adalah serangan Begawan Kamasetyo dengan
senjata anehnya di tangan kanan.
Di saat terperangah itulah, diam-
diam Soma siap mengeluarkan segenap kepandaiannya. Akan tetapi ketika menyadari
senjata di tangan Begawan Kamasetyo mulai menyerang dan terjangan-terjangan
Siluman Naga Puspa pun siap meremukkan tulang-tulang tubuhnya, tak urung juga
Soma cepat membuang tubuhnya beberapa kali ke belakang. Namun Begawan Kamasetyo
dan Siluman Naga Puspa tak memberi kesempatan.
Mereka terus mendesak Soma dengan hebat.
"Hyaaat! Hyaaat!"
Soma kewalahan bukan main. Sikapnya yang biasa ugal-ugalan kali ini harus di-
pendamnya. Sedikit pun tidak diberi kesempatan untuk membalas. Jangankan
berpikir untuk membalas, untuk menghindar saja rasanya sudah tidak sanggup lagi.
"Uts!"
Bahkan hampir saja pemuda itu ter-
kena sambaran senjata aneh di tangan Begawan Kamasetyo. Untungnya, tubuhnya
dapat berkelit. Meskipun demikian, tetap saja Soma tidak dapat menghindar dari
serangan sabetan ekor Siluman Naga Puspa yang mendadak meluncur tajam.
Desss...! "Ugh...!"
Tubuh Soma kontan terlempar bebera-
pa tombak ke samping. Untung saja tidak begitu membahayakan keselamatan jiwanya.
Memang, Soma sudah melindungi bagian yang terkena sambaran ekor Siluman Naga
Puspa dengan tenaga dalam. Dan saat tubuhnya terlempar ke samping kiri, segera
dikerahkannya ilmu meringankan tubuh. Dan sekali genjot, tubuhnya sudah melayang
tinggi keluar dari tempat latihan.
Wajah pemuda tampan ini pucat pasi.
Keringat sebesar biji jagung telah membasahi keningnya.
"Jurus kedua!" teriak Begawan Kama-
setyo tanpa memberi kesempatan Soma untuk bernapas sedikit pun.
"Baru satu jurus saja sudah begini.
Apa aku dapat bertahan sampai jurus ketiga?" gerutu Soma.
Sejenak pemuda ini menunggu datang-
nya serangan berikut. Namun anehnya Begawan Kamasetyo tidak melanjutkan
serangan. Malah pantatnya dihenyakkan di rerumputan sambil meniup-niup pangkal senjata
anehnya. "Apa-apaan ini, Eyang" Kok, malah bermain suling?" ejek Soma langsung tertawa
terpingkal-pingkal.
Namun anehnya, begitu tawanya mere-
da, tiba-tiba saja Soma merasakan kalau suara senjata aneh di tangan Begawan
Kamasetyo yang juga bisa dijadikan seruling itu perlahan-lahan mulai menyerang
gendang telinganya!
Soma kaget bukan main. Belum sempat kekagetannya diatasi, tiba-tiba Siluman Naga
Puspa kembali menyerang garang. Bukan main bingungnya hati pemuda ini. Kalau
meladeni serangan-serangan Siluman Naga Puspa berarti membiarkan telinganya
diserang suara aneh dari senjata eyangnya. Dan kalau perhatiannya terpusat untuk
melawan suara aneh dari senjata di tangan eyangnya dengan jalan menutup pen-
dengarannya, berarti juga membiarkan dirinya diserang ibunya. Serba salah!
"Hyaaat...!"
Soma memekik dengan segenap tenaga
dalamnya. Rupanya dia memilih jalan kedua. Sambil menahan serangan-serangan
suara aneh dari senjata eyangnya, pemuda ini cepat meloncat tinggi ke udara,
hendak memapak serangan ibunya. Namun anehnya, di saat tubuhnya melayang tinggi
di udara itu, tiba-tiba saja serangan suara aneh dari senjata eyangnya seperti
hendak memecahkan gendang telinganya. Dan lebih anehnya lagi, sekujur tubuhnya
terasa sulit sekali digerakkan.
"Ah...!" pekik Soma kebingungan.
Sementara itu serangan Siluman Naga Puspa sudah demikian dekatnya. Tak mungkin
Soma menangkis serangan. Dan akibatnya...
Dugh! "Augh...!"
Tanpa ampun lagi, ekor Siluman Naga Puspa mendarat telak di dada Soma. Tubuhnya
terlontar beberapa, tombak disertai pekik tertahan.
Keadaan benar-benar tidak mengun-
tungkan bagi Soma. Sekujur tubuhnya terasa lemas bukan main. Belum lagi akibat
sabetan Siluman Naga Puspa tadi yang menyebabkan isi dadanya seperti mau pecah!
Bahkan dari mulutnya telah menyembur darah segar pertanda terluka dalam.
Tidak ada pilihan lain, Soma harus
cepat mengeluarkan jurus pamungkasnya, yakni 'Titisan Siluman Ular Putih' yang
baru saja dikuasai. Setelah berpikir demikian kekuatan batinnya segera
dikerahkan untuk melawan suara aneh dari senjata eyangnya, sekaligus untuk
mengeluarkan ilmu pamungkasnya.
Perlahan-lahan suara-suara aneh da-
ri senjata di tangan Begawan Kamasetyo terdengar lirih di telinga Soma. Dan
bersamaan dengan itu pula, sekujur tubuhnya mulai diselimuti uap putih tipis
yang makin lama makin tebal menutupi sekujur tubuhnya hingga tidak kelihatan
sama sekali. Dan entah mengapa, Siluman Naga Puspa sendiri pun tidak dapat
melanjutkan serangannya. Dia seperti ketakutan begitu melihat tubuh Soma mulai
ditutupi asap putih. Dan...
"Gggeeerrr...!"
Tiba-tiba saja, Soma telah menjelma menjadi Siluman Ular Putih! Bentuknya lebih
mengerikan dibanding keadaan Siluman Naga Puspa. Matanya biru mencorong,
memandang Begawan Kamasetyo dan Siluman Na-ga Puspa.
"Jurus ketiga!" pekik Begawan Kamasetyo lantang. "Ayo, Ratri! Kita hajar anakmu
yang nakal ini! Mengapa kau diam saja?"
Siluman Naga Puspa mendesis-desis
ngeri. "Apa kau takut melihat Soma yang telah berubah menjadi Siluman Ular Putih itu?"
tanya Begawan Kamasetyo heran.
Siluman Naga Puspa mendesis-desis,
membenarkan ucapan ayahnya.
"Hmm...!" Begawan Kamasetyo menggumam. "Tak kusangka kau takut melihat Soma yang
sudah berubah wujud menjadi Siluman Ular Putih ini, Ratri. Tapi, baiklah. Bi-ar
aku sendiri yang menghadapinya."
Sehabis berkata begitu, Begawan Ka-
masetyo kembali menyerang Soma dengan jurus 'Terjangan Maut Ular Putih'. Dan
anehnya lagi, senjata di tangannya dapat dilempar untuk menyerang Soma alias
Siluman Ular Putih. Dan bila serangannya gagal, senjata itu dapat kembali pada
pemi-liknya seperti layaknya sebuah bumerang.
Soma menggeram marah. Kali ini mu-
lai dibalasnya serangan-serangan Begawan Kamasetyo. Terjangan-terjangannya yang
dahsyat, membuat lelaki tua itu kewalahan meski memegang senjata anehnya. Dan
setelah beberapa saat lamanya kemudian Begawan Kamasetyo melenting ke belakang.
Begitu mendarat, tangan kanannya diangkat ke depan.
"Cukup, Soma! Eyang mengaku kalah,"
cegah Begawan Kamasetyo.
"Gggeeerrr...!"
Soma yang masih berwujud Siluman
Ular Putih mengeluarkan suara menggeram.
Dan bersamaan dengan itu, sekujur tubuhnya pun kembali diselimuti asap putih.
Sehingga, bayangan Siluman Ular Putih itu tidak kelihatan sama sekali.
* * * "Ha ha ha...! Bagaimana, Eyang" Apa Eyang masih meragukan kehebatanku" Tidak,
kan?" oceh Soma tertawa-tawa dari balik asap putih yang masih menyelimuti
tubuhnya. "Tapi ngomong-ngomong, senjata apa yang tadi Eyang gunakan" Kok aneh
sekali?" Begawan Kamasetyo menimang-nimang
senjata anehnya di tangan. Mata tuanya terus mengamati senjata di tangannya
penuh kagum. Mesti masih belum mampu menghadapi Soma, namun hatinya sangat
bangga memiliki senjata itu.
"Hei"! Nampaknya Eyang bangga sekali memiliki senjata itu" Apa Eyang lupa,
kehebatan senjata itu belum ada apa-apanya dibanding kehebatanku."
"Jangan cerewet, Cucuku! Kalau kau belum menguasai ilmu 'Titisan Siluman Ular
Putih', jangan harap, mampu menghadapi senjata ini. Bertahun-tahun aku membuat
senjata ini untuk bekalmu di dunia persilatan. Tapi sekarang, aku akan mewa-
riskannya padamu, Cucuku. Ini namanya senjata Anak Panah Bercakra Kembar."
"Anak Panah Bercakra Kembar?" ulang Soma penuh kagum.
Bagaimanapun juga tadi, pemuda ini
sempat merasakan kehebatan senjata itu.
Siluman Ular Putih 01 Misteri Bayi Ular di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dan dia senang sekali mendengar eyangnya akan mewariskan senjata itu padanya.
"Ya! Dan mulai hari ini, senjata itu akan kuberikan padamu. Pakailah senjata ini
bila perlu saja. Juga ilmu
'Titisan Siluman Ular Putih' itu. Nah, sekarang terimalah senjata ini, Cucuku!"
Begawan Kamasetyo menyerahkan sen-
jata itu pada Soma.
Soma mengamati senjata di tangannya penuh kagum.
"Terima kasih, Eyang. Tapi ngomong-ngomong soal ilmu 'Titisan Siluman Ular
Putih' itu, kok mengapa tadi Ibu kelihatan takut sekali menghadapiku. Dan
mengapa pula Ibu bisa jadi berubah menjadi siluman ular" Juga Eyang sendiri.
Mengapa tadi Eyang tidak mengeluarkan ilmu itu untuk menghadapiku?" cerocos Soma
bagai mercon terbakar.
"Aku memang belum mampu menguasai ilmu ciptaanku itu, Cucuku. Sebenarnya aku
bisa saja menguasai ilmu itu. Tapi Eyang takut tidak kuat melawan kehendak suci
dalam diriku. Dan mengenai ibumu mengapa tidak berani menghadapimu sewaktu sudah
menjelma menjadi Siluman Ular Putih, mungkin karena ilmu ibumu belum sem-
purna seperti dirimu, Cucuku. Bahkan bisa dikatakan, ibumu justru terkena getah
akibat terlalu ingin menguasainya. Sehingga ketika menghadapimu yang sudah
sepenuhnya menguasai ilmu itu, dia tidak berani. Sedang mengenai mengapa ibumu
berubah menjadi siluman ular seperti ini, karena sewaktu bertapa dulu, ibumu
tidak kuat menghadapi godaan seperti yang kau alami tadi. Sehingga, nasib ibumu
ya..., menjadi seperti ini...."
Soma trenyuh sekali mendengar kete-
rangan eyangnya. Tanpa sadar perhatiannya beralih pada ibunya. Kebetulan sekali
saat itu Ratri atau Siluman Naga Puspa pun sedang memperhatikan anaknya dengan
pandangan sedih.
Soma jadi tidak tahan lagi. Segera
didekati ibunya. Langsung dipeluknya tubuh siluman ular itu erat-erat. Hatinya
nyeri sekali. Namun, Soma cepat dapat mengendalikan perasaannya.
"Sudahlah, Bu! Ibu jangan terlalu bersedih. Tabahkan saja hati Ibu, semoga Yang
Maha Kuasa sudi mengabulkan doa ki-ta. Mudah-mudahan Ibu segera kembali menjelma
menjadi manusia," ucap Soma getir.
Siluman Naga Puspa menggeliat-
geliatkan tubuhnya gelisah. Sepasang matanya yang mencorong pun mulai berair
memandang ke langit, seperti sedang meminta petunjuk Yang Maha Kuasa. Kemudian
semba- ri terus memandang ke langit, Siluman Na-ga Puspa pun mendesis-desis sedih.
"Ya, ya, ya...! Memang sebaiknya Ibu terus melanjutkan bertapa, agar dapat
kembali menjelma menjadi manusia biasa...."
Siluman Naga Puspa menurunkan kepa-
lanya. Sepasang matanya yang mencorong semakin berair. Dan mulutnya pun
mendesis-desis lagi, mengungkit-ungkit kesedihannya di masa lampau.
"Sudahlah! Kalian tak perlu mengungkit-ungkit cerita sedih itu lagi. Sekarang
apalagi yang ingin kau tanyakan, Soma?" tukas Begawan Kamasetyo.
Soma mengalihkan perhatian pada
eyangnya. Pemuda yang pada dasarnya berwatak jenaka ini pun sudah dapat
melupakan kesedihan yang baru saja dialami. Sebentar kemudian bibirnya telah
mengulas senyum.
"Ya, ya, ya...! Masih ada satu hal yang mengganjal hatiku, Eyang. Mengapa aku
tidak bisa menebarkan bau harum bunga melati seperti Ibu" Ceritanya bagaimana,
Eyang?" "Mungkin dikarenakan kau laki-laki.
Tapi sebenarnya sewaktu lahir dari perut ibumu, kau juga sudah mengeluarkan bau
harum bunga melati. Tapi, begitu beranjak dewasa, bau harum itu pun hilang
dengan sendirinya," jelas Begawan Kamasetyo.
"Wah, wah, wah...! Mengapa bau wangi dalam tubuhku harus hilang, ya" Coba kalau
tidak. Pasti banyak gadis cantik yang akan mencintaiku! Aku jadi menyesal,"
gerutu Soma dengan raut wajah se-rius.
"Kau yang dipikirkan hanya gadis-gadis saja! Apa kau tidak ingin mencari siapa
ayahmu?" ejek Begawan Kamasetyo.
"Tentu, Eyang! Tentu! Apa Eyang sudah boleh mengizinkanku turun gunung?"
jawab Soma semangat.
"Tanyakan saja pada ibumu!"
Soma mengalihkan perhatian pada
ibunya. "Iya, Bu" Apa Ibu sudah mengizinkanku mencari ayahku?"
Ratri atau Siluman Naga Puspa men-
desis-desis. "Oh...! Ibu juga mengizinkan" Terima kasih, Bu. Lantas, siapa nama ayahku, Bu?"
tanya Soma. Siluman Naga Puspa kembali mende-
sis-desis. Desisan yang hanya diketahui Soma dan Begawan Kamasetyo.
"Mahesa" Murid Pendekar Pedang Kilat Buana atau yang lebih dikenal sebagai
Pendekar Kujang Emas?"
Siluman Naga Puspa mendesis-desis,
membenarkan ucapan Soma.
5 Lereng Gunung Batu terlihat menju-
lang tinggi di kejauhan, berselimut awan putih. Sedang matahari belum begitu
tinggi pada garis edarnya. Cahayanya yang keemasan hangat menyinari bumi. Dari
arah timur Lembah Kidung, Soma sedang berlari kencang menuju lereng Gunung Batu.
Tiba-tiba di hadapan pemuda itu
menghadang seorang gadis cantik. Umurnya kira-kira dua puluh delapanan. Tubuhnya
yang ketat dibungkus pakaian warna kuning. Rambutnya yang hitam panjang dikuncir
ke atas dengan pita warna kuning pu-la. Sebenarnya cantik sekali gadis itu.
Tapi karena dandanannya agak menor, membuat bedaknya yang tebal luntur oleh
keringat. "Tunggu dulu, Pemuda Tampan! Mau ke mana sih" Kok, buru-buru?" sapa gadis ini
genit. Matanya yang jelita mengerling nakal ke arah Soma.
Soma menghentikan langkahnya.
"Aku" Aku tidak ke mana-mana" Toh, apa bedanya sih ke mana-mana dan tidak ke
mana-mana?" jawab Soma seenak hati. "Ta-pi, ngomong-ngomong ada keperluan apa"
Kok menghadang langkahku" Apa tidak ada kerjaan lain kecuali menghadang
perjalananku"!"
Wanita cantik itu tersenyum manis.
"Ahh...! Mengapa kau jadi sewot begini?"
Soma menautkan sepasang alisnya
yang tebal. "Kalau dia wanita baik-baik, mengapa kelakuannya begini" Aku harus
ha-ti-hati. Jangan-jangan dia wanita nakal?"
gumamnya dalam hati.
"Lho, lho...! Kok, malah bengong"
Memangnya ada apa" Apa tadi kau belum diberi makan ayahmu?" ledek wanita itu
seraya meraih lengan Soma.
"Hei"! Apa-apaan, sih"!" sergah So-ma seraya mengibaskan tangannya kasar.
"Aduh! Lagakmu seperti orang suci saja! Tapi aku yakin, sekali saja kenal aku,
kau pasti akan tergila-gila," kata gadis ini ceriwis. "Ayolah, Pemuda Tampan!
Tunggu apalagi?"
"Ah...! Aku mau lewat!"
Soma nekat menerjang. Namun wanita
cantik itu kembali menghalangi langkahnya. Malah tangannya yang putih bersih
berani memeluk lengan Soma.
"Kau sebenarnya mau apa, sih" Aku mau lewat. Ayolah, beri aku jalan," kata Soma
kewalahan juga melihat kenekatan wanita itu.
"Gampang. Soal memberi jalan itu gampang," jawab gadis itu dengan senyum
menyebalkan. "Tapi, ada syaratnya?"
Soma menggerutu. Kedua lengan wani-
ta itu makin erat memegangi lengannya.
"Huh! Mimpi apa aku semalam, sehingga Tuhan mengirimkan manusia sundal ini" Can-
tiknya sih memang bolehlah. Tapi, buat apa kalau membawa penyakit?" gerutu Soma.
"Hey, kau ngomong apa"! Apa kau tidak pernah diajarkan sopan santun oleh ibumu?"
bentak wanita itu tersinggung.
Tanpa sadar kedua tangannya yang memegang lengan Soma dilepaskan, siap
melontarkan pukulan mautnya.
"Jangan terlalu perasa.... Aku tidak menyindir mu. Aku hanya mengatakan, wanita
secantik apa pun bisa juga membawa penyakit. Jadi, aku tidak mengatakan kalau
kau yang membawa penyakit," sergah Soma seraya bergerak mundur selangkah.
"Hen"! Itu sama saja mengatakan kalau aku pembawa penyakit!" tukas wanita cantik
itu marah. "Apa kau belum tahu, siapa aku sehingga kau berani berkata se-lancang
ini"!"
"Siapa kau" Ah, gampang saja. Kau tak ubahnya seperti perampok yang menghadang
perjalanan orang, masa' kau lupa?"
tukas Soma enteng. Sama sekali tidak takut menghadapi ancaman wanita itu.
Padahal kalau pemuda ini tahu siapa wanita di hadapannya, pasti akan terkejut.
Wanita cantik di hadapannya saat ini adalah Denok Supi, salah seorang tokoh
sesat yang merajai daerah barat. Usia sebenarnya sudah sangat tua. Tapi karena
memiliki semacam ilmu awet muda, sehingga nampak seperti seorang gadis.
"Dua kali kau menghinaku, Bocah!
Kau harus membayar penghinaanmu ini!"
Sehabis berkata begitu, Denok Supi
mengangkat tangannya tinggi-tinggi, siap melancarkan pukulan mautnya.
"Tunggu!" cegah Soma. "Sebenarnya kau mau apa" Bukankah di antara kita tidak ada
silang sengketa" Mengapa kau marah-marah begini?"
Denok Supi menggeram marah. Kedua
tangannya, yang sudah gatal tidak dapat lagi ditahan. Untungnya Soma sudah siap
siaga. Wuuttt...! "Uts!"
Begitu tangan Denok Supi bergerak
menampar pipinya, Soma cepat berkelebat ke samping kiri. Meski serangan wanita
itu dapat dihindari dengan mudah, namun hatinya sempat kaget. Betapa tidak"
Rupanya pukulan Denok Supi penuh dengan ha-wa racun. Dan ini dapat dirasakan dan
ha-wa dingin yang berbau amis sebelum tangan itu mengenai sasaran.
"Hm...! Rupanya kau punya sedikit kepandaian sehingga berani berkata selan-cang
tadi. Bagus! Akan kulihat sampai di mana kepandaianmu, Bocah!"
Tanpa banyak cakap lagi, Denok Supi cepat menyerang. Hatinya merasa penasaran
sekali melihat serangan pertamanya tadi dapat dihindari dengan mudah.
"Wah, wah, wah...! Apa-apaan kau ini" Mengapa urusan jadi runyam begini"
Sungguh aku tidak bermaksud menghinamu,"
kata Soma sambil berloncatan ke samping kiri menghindari serangan.
"Jangan banyak bacot! Aku harus me-nelanjangimu atas penghinaanmu ini, Bocah
Tampan!" dengus Denok Supi langsung mengerahkan jurus-jurus mautnya untuk
mendesak Soma. Pemuda ini kewalahan bukan main da-
lam menghindar. Dan tak henti-henti mulutnya mengoceh.
"Sungguh aku tidak bermaksud menghinamu. Tapi, baiklah! Kalau kau memang
tersinggung atas ucapanku tadi, aku akan cabut kembali ucapanku tadi."
"Enak saja! Omonganmu sudah telan-jur keluar! Tidak! Kau harus membayar
penghinaanmu!" dengus Denok Supi benar-benar penasaran bukan main. Sudah tiga
jurus lebih namun belum dapat juga menyentuh tubuh pemuda itu
"Waduh...! Maaf, deh! Aku benar-benar menyesal."
Denok Supi tidak mempedulikan oce-
han Soma lagi. Sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi yang sudah cukup
pengalaman malang melintang di dunia persilatan, hatinya merasa penasaran bukan
main dapat dipermainkan lawannya yang kelihatannya masih hijau. Dan agaknya, tokoh sesat
da-ri barat itu kini tidak sekadar memberi pelajaran pada Soma, melainkan
membunuhnya. Dan pada satu kesempatan yang tidak mungkin dihindari Soma, kedua
telapak tangan Denok Supi yang penuh racun kembali mengancam dada.
Wuuttt...! Soma kaget bukan main. Serangan ini jelas sangat membahayakan bagi
keselamatannya. Apalagi dalam jarak sedekat itu.
Tak ada pilihan lain, harus ditangkisnya kedua telapak tangan Denok Supi.
Duk! Duk! Terdengar suara benturan keras dari dua tenaga dalam tinggi di udara. Akibatnya
tubuh Soma bergoyang-goyang. Kedua kakinya melesak beberapa rambut ke dalam
tanah. Sedang Denok Supi terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang. Wajahnya
pucat pasi. Dan dari bibirnya mengeluarkan darah segar.
"Pukulan 'Tenaga Inti Bumi'...!"
desis Denok Supi kaget.
Soma sendiri kaget bukan main. Ti-
dak disangka pukulannya tadi menyebabkan musuhnya terluka. Dan lebih kagetnya
la-gi, musuhnya mengenali jurus pukulannya tadi.
Soma tersenyum-senyum bagai orang
bodoh. "Benar! Itu memang yang dinamakan pukulan sakti 'Tenaga Inti Bumi'. Apa kau
masih penasaran" Tapi, sayang. Aku tidak punya waktu meladenimu. Selamat
tinggal!" Sehabis berkata begitu, pemuda ini
segera mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya meninggalkan tempat itu. Dan dalam
sekejap saja, tubuhnya telah menghilang dari balik kerimbunan pohon cemara.
Denok Supi menggeram marah. Dalam
hatinya bertanya-tanya, siapa pemuda tampan berbaju rompi bersisik berwarna
putih keperakan tadi"
"Jahanam" Dia pasti murid si tua bangka Begawan Kamasetyo! Siapa lagi?"
desis Denok Supi penuh kemarahan, sebelum akhirnya meninggalkan tempat itu.
*** Di kaki langit sebelah barat, mata-
hari sebentar lagi tenggelam. Sinarnya yang keemasan mulai pudar, menebar ke
sebagian lereng barat Gunung Batu. Keadaan di sekitar puncak gunung itu sunyi.
Hanya terdengar beberapa kicauan burung yang hendak pulang ke sarang.
Dan dalam terpaan angin lembut sore itu, Soma berdiri mematung bagai tonggak tak
bernyawa. Matanya yang tajam menge-darkan pandangan ke segenap penjuru. Kedua
bibirnya berkemik-kemik, seperti me-
nyesali sesuatu.
"Aku sudah sampai di puncak Gunung Batu. Tapi, mengapa sepi sekali" Mana Mahesa,
si Pendekar Kujang Emas, ayahku itu" Kok dia tak muncul-muncul?" gumam Soma
kecewa. Sebatas mata memandang, Soma hanya
menemukan hamparan batu besar kecil. Tak ada satu tumbuhan pun yang tumbuh di
sa-na. Pemuda ini tidak putus asa. Dia terus mencari orang yang dimaksudkan
ibunya. Sehingga tak terasa senja mulai berganti malam.
Bulan sepotong di langit sebelah
timur, tidak cukup menerangi tempat itu.
Soma akhirnya memutuskan untuk melanjutkan pencariannya esok hari.
*** Dua tahun ke belakang, sebelum Soma menginjakkan kakinya di tempat yang sama, di
puncak Gunung Batu, Mahesa atau yang lebih terkenal sebagai Pendekar Kujang Emas
tengah duduk berhadap-hadapan dengan seorang pemuda tampan di atas bongkahan
batu Wajah pemuda itu tampan, berbentuk
bulat telur. Kulitnya putih bersih. Sepasang matanya yang tajam dihiasi alis
mata tebal. Hidungnya mancung, pas sekali dengan bentuk bibirnya yang tipis.
Tubuhnya tinggi kekar, dibalut pakaian rapi sekali, seperti pakaian terpelajar saat itu.
Sedang rambutnya yang gondrong dikuncir sebagian ke belakang, semakin menambah
ketampanannya. Gerak-gerik sikap pemuda itu pun
lembut. Sehingga membuat Mahesa sangat menyayanginya. Bahkan pemuda di
hadapannya sudah dianggap seperti anak kandung sendiri. Maka tak heran kalau
semua kepandaian ilmu silatnya diturunkan kepada pemuda itu. Seorang pemuda
malang yang dulu ditemukan dalam pelukan ibunya yang sudah menjadi mayat,
sewaktu Mahesa sedang mencari istrinya yang hilang entah ke mana.
"Prameswara...!" panggil Mahesa memecah keheningan malam. "Aku kira semua
kepandaian silatku telah kuturunkan semua padamu. Sekarang sudah saatnya kita
berpisah. Kalau kau tidak keberatan, tolong carikan istriku, Prameswara! Namanya
Ratri. Aku sudah terlalu tua untuk turun gunung. Apa kau tidak keberatan?"
"Tentu saja tidak, Guru. Seberat apa pun tugas Guru, akan kulaksanakan,"
jawab Prameswara, santun dan tegas.
"Ya, ya...! Aku percaya. Aku berpesan, gunakanlah semua kepandaianmu untuk
Siluman Ular Putih 01 Misteri Bayi Ular di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membela yang lemah dan menegakkan kebenaran. Tetaplah berpegang teguh pada apa
yang kuajarkan di sini. Mengerti?"
"Mengerti, Guru. Aku akan menjun-jung tinggi semua yang Guru ajarkan padaku,"
sahut Prarpeswara mantap.
"Nah, sekarang teruskanlah latihan-mu! Besok pagi kau boleh turun gunung!"
"Baik, Guru."
*** Siang di Desa Ganggurdi. Matahari
tersaput awan. Beberapa orang petani nampak baru pulang dari sawah. Suara canda
dan tawa mereka mengusik kesunyian desa.
Dari ujung desa yang lain, Prames-
wara mulai memperlambat langkahnya. Sedikit pun tidak nampak keringat membasahi
wajahnya, pertanda ilmu meringankan tubuhnya sudah mencapai tingkat tinggi.
Padahal dia baru saja menempuh perjalanan jauh. Sejak turun gunung, desa itulah
yang pertama kali dijumpainya.
Saat mulai memasuki jalan desa itu, Prameswara melihat suasana desa itu agak
ramai dibanding di ujung desa tadi. Beberapa orang petani yang tadi asyik
bercan-da mulai berpisah, pulang ke rumah masing-masing.
Prameswara masuk ke dalam sebuah
kedai, agak terpisah dari perumahan penduduk. Dua orang pelayan cantik menyambut
kedatangannya. Kebetulan suasana sedang sepi. Yang ada hanya Prameswara seorang.
"Silakan duduk, Tuan! Mau makan apa?" sambut salah seorang gadis cantik itu
senang. Sepasang matanya yang jeli menatap Prameswara penuh kagum.
Prameswara memperhatikannya sekilas dengan senyum terkembang di bibir.
"Tolong sediakan makanan dan arak yang paling enak di kedai ini!" ujar
Prameswara dengan suara santun. Namun anehnya, sikap pemuda itu sungguh tidak
cocok dengan tutur sapanya yang santun.
"Ba..., baik" sahut pelayan itu gugup. Sejenak pandangan matanya melirik
Prameswara. Prameswara mengacuhkannya,
Pelayan itu menghela napas panjang.
"Sayang! Dia memang tampan, tapi sombongnya tidak ketulungan," kata batin
pelayan itu, sebelum akhirnya masuk ke dalam
"Tuaaaampan sekali pemuda itu. Siapa namanya, Yu?" tanya pelayan lain penuh
kagum. "Huh! Sombongnya minta ampun. Boro-boro tahu namanya. Aku jadi sebel! Seper-
tinya dia saja yang paling tampan," gerutu pelayan yang tadi menyambut
kedatangan Prameswara kesal. "Sudah! Sekarang gili-ran mu mengantarkan makanan
ke depan!"
"Benar, nih" Apa kau tidak menyesal kalau pemuda itu jatuh cinta padaku?" ka-ta
pelayan yang satunya, senang dapat me-
layani tamunya yang tampan.
"Siapa peduli!"
"Baik, baik! Kalau begitu, aku akan mengantar makanan ini padanya. Lihat sa-ja,
Mbakyu! Aku pasti dapat menaklukkan pemuda yang katamu sombong itu," kata
pelayan berpakaian. Kebaya warna kuning itu senang. Kemudian bergegas dia
menyediakan makanan yang dipesan Prameswara.
"Silakan dimakan, Tuan! Ini arak dan makanan yang paling lezat di kedai ini.
Juga di kedai-kedai lainnya. Silakan! Silakan!" kata pelayan itu genit.
Lagi-lagi Prameswara hanya memper-
hatikan pelayan itu sekilas. Sama sekali tidak ada senyum. Bahkan matanya sinis
sekali memperhatikan pelayan itu. Lalu tanpa banyak cakap lagi, araknya mulai
ditenggak. Tidak seperti para tokoh dunia persilatan lainnya, arak putih itu di-
tuang dulu ke dalam gelas dari batu merah. Lalu ditenggaknya sedikit demi
sedikit. Pelayan berbaju kuning itu mengedu-
mel diperlakukan seperti itu. Namun dia tidak putus asa.
"Bagaimana, Tuan" Bukankah cukup enak arak di kedai ini?" kata pelayan ini
ceriwis. Prameswara memandang pelayar itu
tajam. "Beginikah
caramu menyambut tamu yang makan di sini?" gerendeng Prameswara.
"I.... Iya! Eh, ti... tidak, Tuan!"
jawab pelayan berkebaya kuning itu gugup.
"Kalau begitu, cepatlah enyah dari hadapanku!" usir Prameswara dingin.
"Ba...,baik!"
Pelayan berkebaya kuning itu ber-
maksud beranjak dari tempatnya. Namun ti-ba-tiba saja langkahnya berhenti, saat
dua orang lelaki aneh masuk ke dalam ke-dainya. Sejenak pelayan berkebaya kuning
itu memperhatikan heran ke arah kedua orang tamu anehnya. Yang satu bertubuh
pendek, berkulit hitam legam. Matanya bulat berwarna hitam. Hidungnya bundar.
Bibirnya yang berwarna hitam agak dlawer dengan gigi berwarna kuning. Rambutnya
pun awut-awutan, cocok sekali dengan pakaian hitam-hitamnya yang kumal.
Sedang laki-laki satunya bertubuh
tinggi kurus. Mukanya tirus dengan mata besar berwarna hitam. Hidungnya mancung
sekali, seperti hidung betet. Demikian juga giginya yang mancung menjorok ke
depan. Rambut dan pakaian laki-laki itu pun sama-sama kumalnya. Dan sembari
tertawa mengakak, mereka langsung menghenyakkan pantatnya tak jauh dari kursi
Prameswara. "Ayo, kita rayakan pertemuan kita di sini, Sorogompo! Kamu mau pesan apa?"
tanya laki-laki bertubuh tinggi kurus ke-
pada laki-laki bertubuh pendek yang dipanggil Sorogompo.
"Baik, Mayang Kekek. Rupanya hampir selama lima belas tahun kita berpisah,
sekarang kau sudah kaya, ya" Aku mau pesan arak yang paling wangi di sini. Juga,
makanan yang paling enak. Tapi kalau ada, aku lebih suka daging kambing. Biar
kuat itu.... Ha ha ha...!" sahut Sorogompo.
"Mintalah daging kambing dan arak yang paling wangi. Bahkan minta bintang pun,
aku pun tidak keberatan. Tapi bayar sendiri! Ha ha ha...! jawab laki-laki tinggi
kurus yang dipanggil Mayang Kekek, langsung disambung suaranya yang sember.
"Apa" Kau mau mempermainkan aku, Mayang Kekek" Kau tidak jadi mentraktir ku"!"
tukas Sorogompo mendelik gusar.
"Lho" Siapa peduli" Kau makan untuk mengisi perutmu sendiri. Aku juga. Siapa
peduli" Memangnya aku bapak moyangmu"!"
jawab Mayang Kekek acuh tak acuh.
"Kau menjatuhkan harga diriku, Mayang Kekek. Kalau saja tidak ada gadis cantik
di sampingku, aku tak akan marah.
Tapi sekarang, kau harus menerima akibat dari bacotmu yang lancang ini!"
Sorogompo cepat meraih asbak ter-
buat dari pangkal pohon bambu, langsung dilemparkannya ke arah muka Mayang
Kekek. Cepat sekali lemparan yang dilaku-
kan Sorogompo itu. Apalagi dalam jarak
yang demikian dekatnya. Namun, Mayang Kekek hanya tertawa-tawa saja melihat
serangan kawannya. Dan begitu asbak itu hendak menghajar wajahnya, jari telunjuk
tangan kanannya terangkat. Cepat diteri-manya asbak itu, dan diputar-putarnya
dengan tangan kirinya.
"Seranganmu lamban sekali, Sorogompo! Buat apa bertapa bertahun-tahun kalau
tenaga dalammu tetap seperti ini. Nih, asbakmu kukembalikan!" ejek Mayan Kekek,
seraya melontarkan kembali asbak itu ke muka Sorogompo.
Asbak itu terdorong ke depan.
Mayang Kekek penasaran sekali. Segera tenaga dalamnya dikerahkan. Dan akibatnya
asbak itu kembali lagi. Tentu saja Suro-gompo tidak mau kalah dalam adu tenaga
dalam itu. Demikian pula Mayang Kekek.
Kedua orang itu terus mengemposkan tenaga dalam hingga akhirnya asbak itu
tertahan di udara!
Pelayan berkebaya kuning yang sudah cukup berpengalaman berhadapan dengan tokoh-
tokoh sakti dunia persilatan hanya berdiri menggigil di tempatnya. Namun tidak
demikian Prameswara. Semula kedua orang tua itu memang dibiarkan menjual lagak
di depannya. Namun lama kelamaan merasa terganggu juga.
"Kalian ini orang tua tak tahu di-ri! Sudah bau tanah masih menjual lagak
di depanku!" bentak Prameswara sambil menggerakkan tangan kanannya santai,
seolah-olah sedang mengusir lalat di depan hidungnya. Akibatnya....
Prak! Asbak yang terkena pukulan jarak
jauh pemuda itu kontan pecah berantakan.
Dan akibatnya pula, tenaga dalam Mayang Kekek dan Sorogompo jadi saling serang
secara langsung.
Duk! Terdengar benturan tenaga dalam di
udara. Akibatnya, tubuh kedua orang itu bergetar hebat. Bangku tempat berpijak
langsung hancur berantakan.
Pelayan berkebaya kuning itu menje-
rit-jerit ketakutan, langsung ngacir ke dalam.
Kedua orang itu kontan menoleh ke
arah Prameswara. Mereka yakin pemuda itulah yang membuat ulah. Mata mereka
kontan membelalak lebar
"Anak muda"! Mengapa kau berani lancang mencampuri urusan kami"!" hardik Mayang
Kekek. Prameswara mendengus.
"Aku tidak bermaksud mencampuri urusan kalian" Tapi berhubung kalian telah
menjual lagak di depanku, aku tidak dapat membiarkannya. Apalagi, kalian telah
mengganggu selera makanku. Apa itu salah?"
"Salah! Itu jelas salah! Mau meng-
ganggu selera makanmu, kek. Mau membunuhmu sekalipun, kek. Apa pedulimu"!"
dengus Sorogompo. Tak dapat lagi amarah ditahan.
Dia melompat ke hadapan Prameswara. Kedua tangannya yang sudah gatal-gatal
langsung bergerak menampar.
Prameswara sedikit menarik tubuhnya ke belakang. Sedang tangan kanannya
menyambar mangkuk sopnya, menyerang Sorogompo.
Pyarrr...! "Aaakh...!"
Sorogompo memekik kaget. Untunglah Mayang Kekek segera membantu menahan serangan
Prameswara. Malah kalau pemuda itu tidak cepat melempar tubuhnya ke belakang,
bisa jadi tubuhnya sudah dibasahi kuah sopnya.
"Kau jangan turut campur, Mayang Kekek! Aku masih sanggup menghadapi bocah ini!"
Sorogompo cepat melesat ke depan.
Langsung diserangnya Prameswara dengan jurus-jurus andalan. Hebat sekali
serangan kakek bertubuh kerdil itu, membuat pemuda ini kewalahan bukan main.
Tubuhnya sudah beberapa kali berjumpalitan ke udara. Dan akhirnya mereka berdua
telah berada di luar kedai.
"Bagus! Rupanya kau punya sedikit kepandaian!" dengus Sorogompo gusar. Sudah
tiga jurus berlalu, namun belum juga
dapat menyentuh tubuh lawan.
"Tidak usah banyak bacot dulu, Orang Tua! Lihat saja bagaimana aku menghajarmu
nanti," kata Prameswara.
"Bocah sombong!" geram Sorogompo penuh kemarahan.
"Ayo, Sorogompo! Hajar saja bocah itu! Gebuk pantatnya!" teriak Mayang Kekek
dari luar kancah pertarungan.
Sorogompo meloncat ke depan. Pra-
meswara cepat membabat pedang. Segera disambutnya serangan itu. Tanpa membuang-
buang waktu lagi, Prameswara langsung memainkan jurus-jurus pedangnya yang
pernah dipelajari dari Pendekar Kujang Emas.
"Hm...! Kau pasti muridnya Pendekar Kujang Emas. Tapi, sayang. Kau tidak punya
sopan santun pada orang tua. Apa kau belum pernah diajari sopan santun oleh
gurumu"!" kata Sorogompo mulai mengenali jurus-jurus andalan Prameswara.
"Syukur kalau kau sudah tahu nama guruku. Jadi sudah seharusnya kau berte-kuk
lutut dan memohon maaf atas kelancan-ganmu!" desis Prameswara.
"Hm...! Kau memang patut diajari sopan santun Bocah. Biarlah aku yang me-wakili
gurumu mengajari sopan santun,"
kata Sorogompo kesal.
Meski hanya bersenjata tangan ko-
song, Sorogompo sama sekali tidak kewalahan menghadapi Prameswara yang
bersenjata pedang. Perlahan namun pasti, Sorogompo dapat mendesak. Bahkan sudah beberapa
kali tangannya berhasil mendarat telak di tubuh pemuda itu.
Prameswara menggeram penuh kemara-
han. Kedua tangannya kini telah berubah menjadi biru, siap melontarkan pukulan
mautnya. "Apa kau mengenali pukulan ini, Orang Tua?" ejek Prameswara.
"Hanya pukulan 'Cahaya Kilat Bi-ru'," desis Soro gompo. "Sayangnya pukulan maut
itu kau pergunakan dengan seme-na-mena. Kau memang tidak layak menjadi murid
Pendekar Kujang Emas. Sebagai te-mannya, aku merasa bertanggung jawab untuk
memberimu pelajaran."
"Jangan banyak bacot, Orang Tua!
Pukulan inilah yang akan mengantar nyawamu ke neraka!" bentak Prameswara.
"Lakukanlah! Akan kulihat, sampai di mana kehebatan pukulanmu," tantang
Sorogompo berani.
Bukan main marahnya Prameswara.
Ternyata pemuda ini memang berwatak sombong. Hatinya tidak terima direndahkan
sedemikian rupa. Maka dengan menggunakan jurus sakti 'Kilat Menyambar Bumi',
Prameswara kembali menerjang Sorogompo. Tangan kirinya yang telah berubah
menjadi biru, beberapa kali menyambar-nyambar ganas, Namun Sorogompo dapat
menghindari dengan mudah. "Terus pukul aku, Bocah! Mengapa berhenti"!" ejek Sorogompo.
"Jahanam! Hari ini adalah hari kematianmu, Orang Tua!"
Prameswara mempercepat gerakan pe-
dangnya. Tubuhnya yang tinggi kekar melenting ke udara. Dan ketika menukik ke
bawah, tahu-tahu ujung pedang di tangannya telah mengancam ubun-ubun Sorogompo.
Sedang tangan kirinya siap melontarkan pukulan 'Cahaya Kilat Biru'.
Hebat sekali serangan Prameswara.
Malah Sorogompo sendiri sempat terkejut dibuatnya. Namun sebagai seorang tokoh
silat yang sudah cukup berpengalaman, dia tidak jadi gugup, walau saat itu
kurang menguntungkan. Dengan miringkan tubuhnya ke kiri menghindari tusukan
pedang, tangan kanannya cepat memapak pukulan
'Cahaya Kilat Biru' di tangan kiri Prameswara. Bahkan juga dilontarkannya
pukulan saktinya yang diberi nama 'Orang Gila Mengamuk'.
Duk! Blarrr...! Hebat bukan main akibat pertemuan
dua tenaga dalam di udara itu. Bahkan tubuh Sorogompo yang pendek
bergoyanggoyang. Kedua kakinya melesak beberapa rambut ke dalam tanah. Sedang
tubuh Prameswara yang masih melayang-layang di
udara kembali terlempar ke udara. Sekujur tubuhnya menggigil. Wajahnya pucat
pasi. Dan dari kedua bibirnya mengalir darah segar, pertanda menderita luka dalam
cukup parah. "Bagaimana, Anak Muda" Apa kau masih punya muka melawan aku?" ejek Sorogompo
puas. "Kalau saja kau bukan murid Pendekar Kujang Emas sahabatku, tidak segan-
segannya aku membunuhmu. Tapi, kali ini kau kumaafkan. Sekarang pergilah! Aku
muak melihatmu!"
"Hey, tunggu! Jangan biarkan bocah itu pergi dulu, Sorogompo! Aku harus
menghajar pantatnya dulu!" teriak Mayang Kekek gemas.
Prameswara yang sudah tidak mempu-
nyai muka, cepat kabur dari tempat itu.
Meski menderita luka dalam yang cukup parah, namun dia dapat melangkah cepat dan
tempat ini. Mayang Kekek menghentak-hentakkan
kaki kanannya kesal bukan main.
"Ini semua gara-gara kau, Sorogompo! Kau harus membayar hutang pemuda itu!
Aku harus menggebuk pantatmu!" maki Mayang Kekek gemas.
6 Prameswara kecewa bukan main. Ma-
rah, benci dendam bercampur menjadi satu.
Apa yang dipelajarinya hampir delapan belas tahun lebih, ternyata hanya menemui
kesia-siaan belaka. Dia tidak dapat berbuat banyak dihina oleh Sorogompo. Watak
pemuda ini yang memang tinggi hati, tak ingin ada seorang pun melebihi dirinya,
merasa harus membalaskan sakit hatinya.
Siluman Ular Putih 01 Misteri Bayi Ular di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun karena belum mampu, dia ingin mencari seorang guru tangguh.
Itulah rencana yang sudah tersusun
dalam benak Prameswara. Padahal kalau mau mawas diri, kepandaiannya saat itu
sudah jauh dari lumayan. Dia tidak berpikir kalau musuh yang dihadapi tadi
adalah seorang tokoh sakti. Jangankan dirinya. Gurunya pun, belum tentu sanggup
mengalahkan Sorogompo. Akan tetapi, rupanya Prameswara tidak berpikir demikian.
Yang dipikirkan hanya kekalahan dan balas dendam saja.
"Untuk apa aku belajar silat bertahun-tahun kalau hanya menemukan kesia-siaan
seperti ini!" dengus Prameswara gelisah sambil melangkah gontai di pinggiran
Hutan Sawo Kembar. Berhari-hari dia melakukan perjalanan tanpa arah tujuan.
Penasarannya terlalu tenggelam dalam kesedihan, karena dipermalukan Sorogompo.
Dan ini membuat apa yang ditugaskan gurunya jadi terabaikan!
Menurut desas-desus yang sempat di-
dengar Prameswara di sepanjang perjalanan, di sebelah barat Hutan Sawo Kembar
ada seorang tokoh sakti berjuluk Manusia Rambut Merah. Konon, ilmu silatnya
tinggi sekali sehingga sulit sekali dicari tandingannya. Maka, kesanalah pemuda
itu melangkah menemui tokoh sesat itu.
Begitu sampai di sebelah barat hu-
tan ini tiba-tiba Prameswara merasa tanah tempatnya berpijak bergetar hebat,
membentuk garis seperti galian pasir mendekatinya. Belum hilang rasa kagetnya,
ti-ba-tiba kedua kakinya seperti terbetot dari dalam tanah.
Prameswara cepat mengerahkan ilmu
meringankan tubuhnya. Namun anehnya, kedua kakinya sulit sekali digerakkan. Dan
ini membuatnya, kalang kabut. Seketika itu juga tenaga dalamnya dikerahkan.
Tangan kanannya kini berwarna biru dan langsung dihantamkan ke tanah, Kemudian
dengan menggunakan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkat tinggi,
Prameswara cepat meloncat ke ranting pohon dibelakangnya.
Gundukan pasir di bawah terus men-
gejar ke akar pohon tempat Prameswara bertengger. Dalam beberapa kejap kemudian,
pohon itu tersedot dari dalam ta-
nah. "Heh"!"
Prameswara kaget bukan kepalang,
Pohon tempatnya berpijak hampir setengah-nya melesak ke dalam tanah. Cepat
pemuda itu meloncat ke ranting pohon lainnya.
Dan anehnya, gundukan tanah yang bergerak-gerak seperti punya mata saja dan
terus mengejar.
Dalam hati murid Pendekar Kujang
Emas ini berdecak kagum. Dia menduga, pasti ada orang pintar yang sedang unjuk
kepandaian padanya. Namun Prameswara tidak bisa menebak, ilmu apa yang
dipergunakan orang dalam tanah itu. Mungkin semacam ilmu 'Amblas Bumi' atau
semacam il-mu apa.
"Hup...!"
Prameswara kembali meloncat ke
ranting pohon lain. Dan kini gundukan tanah di bawahnya tidak mengejarnya. Tapi
bergetar-getar hebat. Dan tidak lama kemudian.....
Broll...! "Hyaaat...!"
Gundukan pasir itu membuncah seir-
ing teriakan seseorang yang melengking tinggi dari dalam gundukan tanah itu!
Terkejut bukan main Prameswara ke-
tika melihat dari dalam gundukan tanah muncul seorang laki-laki berpakaian merah
darah dengan satu lentingan cantik seka-
li. Setelah berputaran di udara, kakinya mendarat mantap di tanah.
Orang itu tinggi besar. Rambutnya
berwarna merah menyala. Dia sekarang berdiri beberapa tombak di depan
Prameswara. Wajahnya menampakkan kegarangan dengan mata besar. Hidungnya pun besar dipadu
alis mata dan kumis tebal yang berwarna kemerah-merahan.
"Pasti orang inilah yang berjuluk Manusia Rambut Merah," gumam Prameswara dalam
hati. Pemuda ini merasa harus menggunakan akalnya agar dapat membujuk orang tua yang
nampak baru berumur lima puluh lima tahunan itu untuk menjadi gurunya. Dia sudah
melihat ilmu yang sudah diperagakan orang itu. Tapi bagaimanapun juga,
Prameswara harus mengujinya! Dia tidak ingin hanya membuang-buang waktu kalau
ternyata orang ini berilmu rendah.
"Siapa pun yang berani melewati daerah kekuasaanku harus modar!" dengus lelaki
yang memang berjuluk Manusia Rambut Merah garang. Tubuhnya yang tinggi besar
tahu-tahu berkelebatan cepat ke ranting pohon tempat Prameswara bertengger.
Sedang tangannya yang berwarna merah menyala telah melontarkan pukulan mautnya.
Wesss...! Prakk! Ranting pohon tempat Prameswara
berpijak hancur berantakan. Sebagian yang lainnya layu! Untungnya, pemuda itu
cepat meloncat turun. Saat ini pikiran Prameswara mulai bekerja keras.
"Sabar, Orang Tua! Soal membunuhku itu gampang. Tapi kedatanganku kemari, justru
ingin bertemu denganmu...," cegah Prameswara santun.
"Jadi, kau menantangku"! Kau yang membangunkan tapa pendemku, Bocah?" hardik
Manusia Rambut Merah garang. Kedua tangannya yang berwarna merah menyala hingga
ke lengan kembali menyambar-nyambar tubuh Prameswara ganas.
Prameswara kewalahan bukan main da-
lam menghindari. Jangankan terkena pukulannya, terkena sambaran anginnya saja
Prameswara sudah merasakan hawa panas menyengat kulitnya.
"Aku tidak bermaksud demikian, Orang Tua. Terus terang, aku hanya ingin melihat
kebenaran desas-desus yang kuden-gar di sepanjang perjalananku tentang
kehebatanmu, Orang Tua. Bukankah kau yang berjuluk Manusia Rambut Merah?" oceh
Prameswara, mulai menjalankan siasatnya.
"Benar. Tapi itu bukan berarti aku harus mengurungkan niatku untuk membunuhmu,
Bocah!" hardik tokoh itu lagi garang.
"Aku tahu. Tapi percuma saja kalau ingin membuktikan kehebatanmu padaku. Aku
hanyalah anak kemarin sore. Sudah pasti akan kalah," sahut Prameswara merendah.
Manusia Rambut Merah gusar bukan
main dipanas-panasi seperti itu. Kedua kakinya yang besar bergetar-getar.
Demikian pula tanah yang dipijaknya.
"Jadi, tokoh silat mana yang pantas menjadi lawanku, Bocah?" kata Manusia Rambut
Merah gusar. "Banyak. Tapi, bukan itu maksud kedatanganku, Orang Tua!"
"Bedebah! Kau mulai mempermainkanku, Bocah"!"
"Tidak ada gunanya aku mempermain-kanmu, Orang Tua. Aku percaya kehebatanmu.
Untuk itu aku datang kemari. Maksudku tidak lain ingin berguru padamu," tutur
Prameswara semakin mantap dengan rencananya.
"Anjing kurap! Kau hanya mempermainkanku! Kau pikir gampang menjadi mu-ridku"!"
Bukan main marahnya Manusia Rambut
Merah mendengar penuturan Prameswara. Kedua kaki dan tangannya yang sudah lama
sekali tidak memakan korban terasa sudah gatal-gatal ingin dilampiaskannya.
Kemudian dengan satu gerakan sebat, kembali Manusia Rambut Merah menyerang
Prameswara. Nyali Prameswara tidak ciut. Sambil berloncatan menghindari serangan, mulut-
nya tak henti-hentinya mengejek.
"Heh"! Kau pikir aku pun gampang menerimamu sebagai guruku, Orang Tua!
Jangan harap dengan kehebatanmu ini aku mau menerima guru begitu saja!" kata
Prameswara sengaja memanas-manasi.
"Jahanam...! Sekarang katakan, siapa gurumu"! Biar aku patahkan batang le-
hernya"!" dengus Manusia Rambut Merah penasaran bukan main.
"Tidak segampang itu, Orang Tua.
Ada syaratnya," tangkis Prameswara makin membuat Manusia Rambut Merah penasaran.
Manusia Rambut Merah menghentikan
serangannya. Wajahnya kelam membesi dengan rahang bertonjolan.
"Katakanlah! Apa syaratmu, Bocah"!"
ujar Manusia Rambut Merah, keras.
"Tidak terlalu sulit sebenarnya.
Jika kau dapat membunuh guruku, aku hanya ingin agar kau mengangkatku sebagai
murid," sahut Prameswara penuh kemenangan.
"Anjing kurap! Babi gempul! Kau hanya mempermainkanku, Bocah"!"
Bukan main marahnya Manusia Rambut
Merah. Kedua telapak tangannya yang berwarna merah menyala kembali dihantamkan.
Hebat bukan main serangan-serangan
Manusia Rambut Merah itu. Kalau saja Prameswara tidak cepat membuang tubuhnya
beberapa kali ke samping kanan, sudah pasti terkena sambaran pukulan maut dari
tangan Manusia Rambut Merah. Dan melihat serangan-serangannya dapat dihindari, Manusia
Rambut Merah makin penasaran saja.
"Bilang saja kau tidak berani, Orang Tua! Pakai berdalih ingin membunuhku
segala! Jangankan membunuh guruku.
Menghadapi aku saja, kau masih kewalahan," pancing Prameswara, makin membuat
Manusia Rambut Merah penasaran.
Padahal, Prameswara sendiri sudah
mengeluarkan keringat dingin menghadapi serangan-serangan Manusia Rambut Merah
yang sangat ganas dan keji. Kalau saja tokoh sesat itu tidak menghentikan
serangan-serangannya. mungkin dalam satu atau dua jurus kemudian pemuda ini akan
tewas. Siasat menjual nama gurunya inilah satu-satunya yang paling ampuh untuk
mengobar-kan amarah Manusia Rambut Merah.
"Jahanam...! Sekarang katakan siapa nama gurumu, Bocah! Aku sudah gatal-gatal
ingin menghajar gurumu!" bentak Manusia Rambut Merah, gusar bukan main.
"Tapi, kau mau menerima syaratku, bukan?" tukas Prameswara senang
"Baik. Aku terima syaratmu!"
"Hm.... Kalau begitu...," Prameswara cepat memutar otaknya. "Sekarang begini
saja. Kau tidak perlu repot-repot men-datangi puncak Gunung Batu. Tapi sebaiknya
tantang saja guruku di puncak Gunung Merapi, tepat pada malam purnama bulan
ini. Apa kau menerimanya, Orang Tua?"
"Baik. Di mana pun tempatnya, aku siap meladeninya. Tapi, siapa nama gurumu
itu"!" bentak Manusia Rambut Merah bertanya penuh penasaran.
Prameswara tersenyum licik.
"Kau harus hati-hati kalau menghadapi guruku nanti. Guruku bernama Mahesa, atau
yang lebih dikenal sebagai Pendekar Kujang Emas. Apa kau masih berani
melanjutkan tantangan setelah kau tahu nama besar guruku?"
"Jahanam! Jangankan Pendekar Kujang Emas! Ditambah sepuluh orang seperti dia pun
aku tak akan mundur! Cepat sekarang sampaikan tantanganku pada gurumu, Bocah!"
"Baik! Sekarang juga aku akan pulang ke Gunung Batu untuk menyampaikan
tantanganmu ini. Tapi, ingat! Kau tidak boleh lupa dengan syarat yang telah kua-
jukan!" "Baik. Apa pun syaratnya, bukan masalah bagiku," geram Manusia Rambut Merah,
seakan-akan tidak sabar ingin segera bertemu Pendekar Kujang Emas.
Prameswara tersenyum. Hatinya ter-
Medali Wasiat 1 Pendekar Naga Putih 60 Goa Larangan Istana Karang Langit 3
ditemukan! "Ratri!" teriak Mahesa menggetarkan dinding gua.
Pendekar Kujang Emas berlari ke mu-
lut gua, meneliti apakah selama ditinggal pergi ada seseorang yang datang
menyerang tempat persembunyian Begawan Kamasetyo.
Namun ternyata tidak ditemukan tanda-tanda bekas pertarungan. Dan ini semakin
membuat hatinya bingung. Seluruh dalam gua itu telah dicari, sekarang ke mana
lagi harus mencari istrinya dan Begawan Kamasetyo"
Tanpa rasa putus asa, Pendekar Ku-
jang Emas terus mencari ke segenap penjuru lereng Pegunungan Dieng, tanpa
mempedulikan dirinya lagi.
Hingga pada suatu hari, Mahesa me-
nemukan mayat seorang wanita muda yang masih memeluk bayinya!
Keadaan wanita itu mengenaskan se-
kali. Pakaiannya compang-camping tidak karuan. Darah segar bersimbah di tanah
sekitarnya. Wajahnya yang cantik pucat pasi. Rambutnya awut-awutan. Mungkin
wanita itu habis diperkosa segerombolan perampok yang malang melintang di
sekitar hutan Gunung Bucu ini. Kalau tidak, mana
mungkin bagian pangkal pahanya mengeluarkan darah.
Sedang bayi dalam pelukan wanita
itu kira-kira berusia enam bulan. Wajahnya tampan. Kulitnya putih bersih seperti
kulit ibunya. Dan bayi malang itu terus meronta-ronta di pelukan ibunya.
Tangisnya yang menyedihkan sungguh menyentuh perasaan Mahesa.
Seketika itu juga, Pendekar Kujang
Emas pun teringat akan penderitaan istrinya. Dan mungkin akan seperti itulah
nasib istri dan bayinya. Tidak! Dia tidak sanggup membayangkan penderitaan
istrinya! Untuk beberapa saat, Mahesa hanya
memandangi bayi malang itu dengan hati tak menentu. Dengan sekali lihat saja bi-
sa diketahui, kalau susunan tulang bayi itu sangat bagus dan kuat. Darahnya pun
bersih, pertanda mempunyai bakat cukup lumayan. Dan entah mengapa, hati Mahesa
jadi senang sekali. Perlahan-lahan mulai didekati mayat wanita itu. Lalu
dipondongnya bayi malang itu dengan tangan ki-ri. Sedang tangan kanannya meraba
denyut nadi di pergelangan tangan wanita itu.
Tak ada gerakan sama sekali!
Pendekar Kujang Emas meletakkan
bayi itu ke tempat yang aman. Setelah kembali ke tempat semula, dia mulai
membuat lubang dengan kujangnya. Dan berkat
tenaga dalamnya yang tinggi, sebentar sa-ja tercipta sebuah lubang besar untuk
menguburkan mayat wanita itu.
Hati-hati sekali dia memondong
mayat wanita itu, lalu meletakkannya ke dalam lubang. Perlahan-lahan pula Mahesa
mulai menguruk dengan tanah. Maka sebentar saja telah tercipta segundukan tanah
merah yang masih baru. Dan Mahesa memberi nisan pada kuburan itu dengan sebuah
batu sebesar kelapa.
Setelah menguburkan mayat wanita
itu, Mahesa kembali mengambil bayi terse-but lalu melangkah pergi. Arah
tujuannya adalah puncak Gunung Batu tempat gurunya Pendekar Pedang Kilat Buana
bertapa. Di sana dia akan mendidik bayi itu seperti anak kandungnya sendiri.
Bahkan akan pula dibekalinya dengan ilmu silat!
*** Ratri alias Siluman Naga Puspa men-
desis-desis hebat. Dia merasakan ada sesuatu yang bergerak-gerak dalam perutnya.
Melihat hal ini Begawan Kamasetyo jadi cemas sekali. Dia tidak tahu apa yang
harus dilakukan. Sedang Siluman Naga Puspa terus meronta-ronta menahan sakit.
Perutnya yang membusung seperti diremas-remas.
Wajah Siluman Naga Puspa benar-
benar tersaput rasa gelisah. Sepasang ma-
tanya mencorong menahan nyeri. Sedang kepalanya mengangguk-angguk sedemikian ru-
pa, layaknya seperti seorang wanita yang sedang mengurut-urut perutnya menjelang
kelahiran bayinya!
"Mungkin.... Mungkin kau akan mela-hirkan bayimu, Ratri?"
Hanya itu yang keluar dari mulut
Begawan Kamasetyo. Selebihnya dia hanya dapat memandangi perut anaknya dengan
ha-ti cemas. Dan apa yang dikatakan Begawan Ka-
masetyo memang benar. Baru saja kata-katanya tuntas....
"Oaaa...! Oaaa...!"
Terdengar suara tangis bayi, mem-
buat Begawan Kamasetyo tersentak. Pandangannya langsung tertuju ke arah ekor
ular siluman itu. Tampak tak jauh dari ekor Siluman Naga Puspa, tergolek seorang
bayi yang masih terbalut darah dan tersambung ari-ari.
Jadi, Siluman Naga Puspa telah me-
lahirkan bayinya! Bukan berbentuk ular, melainkan bayi manusia yang tampan
sekali! Dan yang lebih anehnya lagi, pada da-da kanan bayi itu terdapat rajahan
bergambar ular putih. Matanya agak kebiru-biruan, kulitnya putih walaupun masih
berlumur darah, namun bau badannya wangi sekali seperti harumnya bunga melati!
Begawan Kamasetyo cepat mendekati
bayi dan memondongnya erat-erat. Matanya yang tajam memperhatikan susunan
tulang-tulang bayi itu penuh kagum.
"Mau kau beri nama apa anakmu ini, Ratri?" tanya Begawan Kamasetyo sambil
menatap penuh suka cita pada anaknya.
Ratri mendesis menyebutkan satu na-
ma. "Apa" Soma?" kata Begawan Kamasetyo mengulangi ucapan anaknya yang hanya di-
mengerti olehnya.
Sekali lagi Siluman Naga Puspa men-
desis membenarkan ucapannya.
"Ya..., ya. Baik. Aku akan memberi nama anak ini Soma, seperti permintaan-mu."
Siluman Naga Puspa mendesis-desis
lagi. Entah bahagia melihat bayi yang ba-ru saja dilahirkan, atau sedih melihat
dirinya yang masih berwujud siluman ular putih!
Kemudian Siluman Naga Puspa kembali mendesis-desis lagi meminta Begawan
Kamasetyo mendekatkan bayinya ke sisi tubuhnya.
Begawan Kamasetyo tersenyum senang.
Didekatkannya bayi yang baru saja dilahirkan itu ke sisi anaknya.
Siluman Naga Puspa memandangi
bayinya dengan sepasang mata telah berair. Lalu bayi yang telah diberi nama Soma
itu pun segera dililitnya, persis
seperti tingkah seorang ibu sedang memeluk bayinya!
4 Waktu terus bergulir, tak tertahan-
kan. Semuanya telah diatur oleh Sang Pencipta. Dan tak terasa delapan belas
tahun terlewat sudah. Kini Bayi yang dilahirkan Siluman Naga Puspa yang telah
diberi nama Soma telah tumbuh menjadi seorang pemuda tampan. Kulit wajahnya
putih bersih. Matanya yang agak kebiru-biruan dihiasi sepasang alis tebal
berwarna hitam. Pas sekali dengan bentuk hidungnya yang mancung. Demikian pula
bentuk bibirnya yang tipis. Rambut gondrongnya dibiarkan tergerai di bahu. Di
dada kanannya terdapat seperti rajahan bergambar ular putih. Dan ini semakin
menambah kejantanan pemuda itu.
Tubuh Soma yang tinggi tegap diba-
lut rompi dan celana bersisik berwarna putih keperakan. Dan kini, pemuda tampan
itu sedang khusuk bersemadi untuk menyelesaikan latihan tahap akhirnya. Yakni,
sebuah jurus pamungkas hasil ciptaan Begawan Kamasetyo 'Titisan Siluman Ular
Putih'! Memang, hebat sekali jurus itu.
Bahkan Begawan Kamasetyo dan Ratri yang masih berwujud siluman ular putih pun
ti- dak bisa menganggap sembarangan. Dengan perasaan waswas kedua anak beranak itu
selalu ikut menemani Soma bertapa. Sudah empat puluh hari empat puluh malam Soma
bertapa. "Kerahkan seluruh kehendak sucimu, Cucuku!" teriak Begawan Kamasetyo, mulai
gelisah. Lelaki tua ini melihat sekujur tu-
buh Soma mulai dibasahi keringat. Wajahnya yang tampan menegang, seperti sedang
menghadapi sesuatu yang sulit sekali dikendalikan. Dan dari ubun-ubun kepalanya
perlahan-lahan mengepulkan asap putih, seiring tubuhnya yang bergetar hebat.
Siluman Naga Puspa mendesis-desis.
Begawan Kamasetyo semakin gelisah dibuatnya. Bagaimanapun juga, dia tidak ingin
cucunya mengalami bernasib sama dengan anaknya yang masih berwujud siluman ular
putih. "Kerahkan seluruh kehendak sucimu, Cucuku!" ujar Begawan Kamasetyo. Nada
suaranya penuh kegelisahan.
Dan apa yang sedang dikhawatirkan
Begawan Kamasetyo memang benar-benar sedang dialami Soma. Di hadapan pemuda itu,
saat ini seekor ular raksasa putih sebesar pohon kelapa siap memangsa tubuhnya.
Dari mulutnya yang terbuka dengan taringnya yang mengerikan mengeluarkan bau
amis yang bukan kepalang. Hampir saja Soma ti-
dak kuat menahan. Bukannya takut menjadi mangsa ular raksasa, melainkan tidak
kuat menahan bau amis yang keluar dari mulut ular itu.
Soma pasrah. Dia sadar, ular raksa-
sa putih itu hanya jelmaan dari ilmu yang sedang dituntutnya saja. Maka dengan
segenap kepasrahan dan keteguhan hatinya, akhirnya godaan itu dapat diatasi. Dan
perlahan ular raksasa putih jadi-jadian itu pun hilang dari pandangan.
Namun anehnya bersamaan dengan ke-
pulan asap putih yang menyelimuti tubuh ular raksasa putih itu menghilang tiba-
tiba saja muncul seorang gadis cantik.
Rambutnya yang hitam panjang itu dibiarkan tergerai di bahu. Pakaian yang dike-
nakannya pun sangat tipis berwarna putih menampakkan lekuk-lekuk tubuhnya. Bau
badan gadis itu pun wangi sekali, seperti bau harum bunga melati!
Soma memejamkan mata. Namun, tetap
saja lekuk-lekuk tubuh gadis cantik itu masih menghantui pikirannya. Hampir saja
godaan itu tidak kuat ditahan. Apalagi gadis cantik itu mulai berani mendekati
dan memeluknya!
"Tahan, Cucuku! Jangan sampai terpengaruh godaan itu. Itu hanya perasaanmu saja.
Ayo, lekaslah kerahkan seluruh kehendak sucimu kalau tidak ingin bernasib malang
menjadi siluman ular seperti ibu-
mu, Cucuku!" teriak Begawan Kamasetyo yang samar-samar mulai menyadarkan Soma
dari keadaan memabukkan.
Pemuda ini mengerahkan segenap ke-
kuatan batinnya untuk mengatasi godaan.
Akibatnya, gadis cantik itu menjerit ke-sakitan. Sekujur tubuhnya yang memeluk
tubuh Soma seperti terbakar kehendak suci yang timbul dari dalam diri pemuda
itu. Walaupun gadis itu sudah menjauh
dari tubuhnya, Soma terus mengerahkan kekuatan batinnya. Gadis cantik yang
sebenarnya jelmaan dari siluman itu makin menjerit-jerit ketakutan. Hingga
akhirnya sekujur tubuh gadis cantik itu pun mulai diselimuti asap putih. Dan
bersamaan dengan hilangnya asap putih yang bergulung-gulung itu, dia menghilang
dari pandangan Soma.
"Kau berhasil, Cucuku! Kau berhasil...!" pekik Begawan Kamasetyo girang bukan
main. Soma tersadar. perlahan-lahan ma-
tanya dibuka. "Berhasil" Berhasil apanya, Eyang?"
tanya Soma masih belum mengerti.
"Kau..., kau berhasil menguasai jurus sakti 'Titisan Siluman Ular Putih',
Cucuku. Kau sewaktu-waktu bisa berubah wujud menjadi siluman ular putih kalau
kau mau, Cucuku...."
Soma terlongong. Jadi karena itu
eyang dan ibunya bergembira" Pantas....
Di ufuk langit sebelah timur, mata-
hari baru saja menampakkan sinarnya yang kemerahan. Beberapa burung liar ramai
berkicau di dahan, mengumandangkan suaranya yang merdu menyambut pagi. Gumpalan-
gumpalan awan putih berarak-arak di angkasa. Sementara, tiupan angin lembut
turut mengiringi lahirnya hari ini.
Dalam terpaan lembut angin pagi di
lereng Gunung Bucu, tempat persembunyian Siluman Naga Puspa dan Begawan
Kamasetyo yang baru, Soma tengah giat menempa diri.
Rompi bersisiknya yang berwarna putih keperakan tanpa kancing, berkibar-kibar
ka-la pemuda berambut gondrong itu sibuk memainkan jurus sakti 'Terjangan Maut
Ular Putih', yang merupakan salah satu jurus andalan Begawan Kamasetyo. Gerakan
tangan dan kakinya lincah sekali. Kedua telapak tangannya yang membentuk kepala
ular terus bergerak dengan kecepatan dahsyat saling kejar-mengejar. Seolah-olah
di depannya ada musuh yang tengah kedodoran menghadapi jurusnya. Sementara kedua
kakinya bergerak cepat, seirama dengan kedua tangannya.
Pada saat bergerak maju seperti
ini, berarti Soma tengah membuka jurus sakti 'Ular Kembar Mengejar Mangsa' yang
tak kalah dahsyatnya dibanding jurus
'Terjangan Maut Ular Putih'. Dari gerakan
kedua telapak tangannya yang membentuk kepala ular, tercipta serangkum angin
kencang yang berkesiur menggoyang-goyangkan dedaunan dalam jarak sepuluh tombak.
Belum lagi kalau menilik hawa panas dan dingin yang diakibatkan dari sambaran-
sambaran kedua telapak tangannya.
Yang sebelah kanan mengandung pukulan sakti 'Tenaga Inti Api', sementara sebelah
kiri mengandung pukulan sakti 'Tenaga Inti Bumi'. Akibatnya pohon-pohon dalam
jarak sepuluh tombak yang tadi hanya bergoyang-goyang, kini sebagian ada yang
layu dan sebagian membeku.
Hebat sekali jurus sakti 'Ular Kem-
bar Mengejar Mangsa' itu. Begawan Kamasetyo dan Siluman Naga Puspa yang menonton
di pinggir tempat latihan, jadi terlongong saking kagumnya.
"Hyaaa...!"
Tiba-tiba Begawan Kamasetyo yang
dari tadi hanya menonton Soma telah berkelebat menyongsong tubuh Soma yang
berkelebatan. Tangan sebelah kanan lelaki tua itu telah berubah menjadi merah
penuh 'Tenaga Inti Api'! Sedang tangan kirinya berubah menjadi keputihan penuh 'Tenaga
Inti Bumi'. Dan kedua telapak tangan itu bergerak sedemikian rupa, siap memangsa
tubuh Soma. Soma tahu, serangan eyangnya tidak
main-main. Namun pemuda ini tidak menjadi
gugup. Malah sempat bersiul kecil mengejek eyangnya. Padahal keadaan dirinya
tidak menguntungkan. Saat itu juga segera dikerahkannya jurus 'Terjangan Maut
Ular Putih'. Dan dengan cerdiknya, Soma segera mengendurkan kedua telapak
tangannya yang tadi bermaksud memapak. Tubuhnya dimiringkan ke kiri. Lalu, cepat
sekali tangan kanannya berkelit, hendak menotok ketiak eyangnya.
"Ah...!"
Begawan Kamasetyo memekik tertahan.
Kalau serangannya terus dipaksakan, bukan mustahil ketiaknya lebih terdahulu
akan terkena totokan Soma. Untuk itu serangannya cepat dibatalkan. Sedang Soma
telah menegakkan tubuhnya kembali.
"Wah, wah, wah.... Mengapa Eyang kasar sekali"! Apa Eyang bermaksud membunuhku"
Aku belum mau mati, Eyang. Aku belum kawin...," gerutu Soma kesal.
Begawan Kamasetyo tidak mempeduli-
kan kekesalan cucunya. Seketika serangannya dilanjutkan, sekaligus ditingkatkan.
Soma kewalahan bukan main. Sambil
berjumpalitan menghindari serangan-
serangan eyangnya, tak henti-hentinya mulutnya terus mengoceh tidak karuan.
"Tunggu dulu, Eyang! Eyang mulai kebakaran jenggot, ya" Kenapa jadi uring-
uringan begini"!"
"Jangan banyak bicara, Cucuku!
Hayo, cepat balas serangan!"
Begawan Kamasetyo tidak mempeduli-
kan ocehan Soma. Kedua tangannya kembali bergerak cepat menyerang.
Jelas, Begawan Kamasetyo tengah
mengerahkan jurus maut 'Ular Kembar Mengejar Mangsa' Kedua telapak tangannya ki-
ni semakin berubah merah dan putih terang. Mengerikan sekali. Apalagi tenaga
dalamnya dikerahkan sepenuhnya. Jangankan terkena. Terkena sambaran anginnya
Siluman Ular Putih 01 Misteri Bayi Ular di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
saja bisa menyebabkan kematian lawan.
"Tidak. Aku tak mau berkelahi dengan Eyang," teriak Soma, cepat melempar
tubuhnya beberapa kali ke belakang.
"Aku akan memaksamu, Cucuku!" bentak Begawan Kamasetyo, geram melihat
serangannya dapat dihindari demikian mudah-nya. Kembali kedua tangannya yang
bergerak saling kejar-mengejar itu menyerang Soma.
"Adauw, tidak kena!" Soma berkelit ke samping.
Sementara itu Siluman Naga Puspa
mendesis-desis. Hatinya kesal melihat anaknya mulai bertingkah. Malah sejak ta-
di pun dia tidak dapat menahan perasaan gemasnya. Maka dengan kecepatan
mengagum-kan, ular siluman itu ikut menyerang So-ma!
Wesss! Harum bunga melati kontan menebar
ke sekitar tempat latihan, begitu tubuh besar memanjang sebesar pohon kelapa
menerjang. Dan mulutnya yang menganga lebar siap memangsa tubuh Soma.
"Bagus, Ratri! Ayo, kita beri pelajaran putramu yang nakal ini!" kata Begawan
Kamasetyo sambil meningkatkan serangan.
Soma kewalahan bukan main. Mengha-
dapi eyangnya saja belum tentu menang.
Apalagi sekarang ditambah ibunya, Siluman Naga Puspa. Tentu saja pemuda ini
tidak ingin dirinya dijadikan bulan-bulanan.
Sambil mengedumel panjang pendek, tubuhnya terus berjumpalitan menghindari
serangan ibunya dan eyangnya.
"Aduuuhh...! Ibu ini apa-apaan sih"
Kok, ikut-ikutan latah seperti Eyang"!"
teriak Soma kesal.
"Bocah goblok! Baru pertama kali ini aku melihat orang yang ingin jadi pendekar,
tapi bernyali kambing!" bentak Begawan Kamasetyo kesal, tanpa sedikit pun
mengendurkan serangan-serangannya.
"Siapa yang takut, Eyang" Aku hanya tak enak hati kalau nanti melukaimu. Biar
seribu orang pun aku tidak takut!" teriak Soma mulai panas.
"Ratri! Putramu pintar sekali mengumbar omongan. Tapi, tetap saja bernyali
kambing!" ejek Begawan Kamasetyo makin membuat Soma panas.
Siluman Naga Puspa mendesis-desis, membenarkan ucapan ayahnya.
"Aduh! Rupanya Ibu dan Eyang sudah kongkalikong. Baik! Aku tidak takut. Nih
lihat seranganku...."
Soma cepat melenting ke belakang,
mengambil jarak. Begitu mendarat, dipa-sangnya kuda-kuda kokoh. Kedua telapak
tangannya yang membentuk kepala ular disilangkan di depan dada, siap
mengeluarkan jurus maut 'Ular Putih Mengejar Mangsa'.
Telapak tangan yang sebelah kanan telah berubah menjadi kemerah-merahan penuh
'Tenaga Inti Api'. Sedang yang kiri telah berubah putih terang penuh 'Tenaga
Inti Bumi'. "Hyaaat...!"
Disertai teriakan keras membahana
Soma mencelat ke udara, menyongsong serangan Begawan Kamasetyo dan Siluman Naga
Puspa dengan kedua kakinya.
"Bagus, Cucuku! Rupanya kau mengalami banyak kemajuan. Tapi, jangan bangga dulu.
Sebab belum tentu kami dapat dika-lahkan!"
Begawan Kamasetyo cepat memapak se-
rangan Soma dengan jurus sakti 'Terjangan Maut Ular Putih'. Sedang Siluman Naga
Puspa segera mengibaskan ujung ekornya.
Dugh! Dugh! Terdengar dua kali benturan tenaga
dalam di udara. Akibatnya Soma terlempar
beberapa tombak. Cepat dia mematahkan lontaran tubuhnya dengan berjumpalitan.
Begitu mendarat, tubuhnya terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang. Tentu
saja kesempatan ini tidak disia-siakan Begawan Kamasetyo dan Siluman Naga Puspa
yang hanya bergetar akibat benturan tenaga dalam tadi.
"Curang! Ibu dan Eyang beraninya main keroyok. Hayo, kalau berani hadapi aku
satu lawan satu!" teriak Soma seraya berjumpalitan di udara. Kalang kabut dia
menghindari serangan-serangan ibu dan eyangnya.
"Bocah goblok! Aku dan ibumu sedang mengujimu, tahu"!" bentak Begawan Kamasetyo.
"Menguji.... Menguji macam apa ini"! Aku bisa babak belur sendiri!" gerutu Soma
kesal. "Makanya kalau tidak ingin babak belur, lekas balas serangan-serangan ka-mi!"
tantang Begawan Kamasetyo memanas-manasi.
"Huh! Repotnya kalau mau jadi pendekar. Kalau aku tahu sejak dulu begini
susahnya jadi pendekar, lebih baik jadi tukang sayur saja. Lebih aman. Tidak
babak belur macam begini!" omel Soma panjang pendek.
"Ngomong apa kau, he"!" bentak Begawan Kamasetyo lagi
"Tidak! Tidak! Aku tidak ngomong apa-apa, Eyang. Aku hanya melampiaskan
kekesalanku saja."
"Baik!" Begawan Kamasetyo menghentikan serangannya. "Sekarang begini saja.
Kalau mampu menghadapi kami berdua dalam tiga jurus, kau kuanggap menang dan
patut mendapatkan warisanku yang terakhir."
"Buat apa" Toh, Eyang sendiri belum tentu dapat mengalahkanku kalau tidak ada
Ibu?" tukas Soma, seenak isi perutnya Begawan Kamasetyo menggeram kesal.
"Bocah goblok! Ini semua demi kebaikanmu, tahu"! Hayo, cepat lawan kami!
Atau kau ingin babak belur?"
"Wah, wah, wah...! Ini namanya per-kosaan. Mentang-mentang kalian orang tua yang
telah membesarkanku, tidak seharusnya memaksakan kehendak kalian padaku.
Ini tidak baik, Eyang. Tidak baik...."
"Sudah! Sudah! Pusing aku meladeni omonganmu. Sekarang cepat hadapi kami berdua
dalam tiga jurus! Sanggup"!" hardik Begawan Kamasetyo tak sabar.
Soma menggerutu kesal.
"Tapi, masa' dalam tiga jurus saja aku tidak dapat menghadapi serangan mereka"
Percuma saja bertahun-tahun belajar silat di sini," gumam pemuda itu dalam hati.
Soma lantas memasang kuda-kuda ko-
koh. "Apalagi yang Eyang tunggu! Aku sudah siap, Eyang," tantang Soma.
"Baik," Begawan Kamasetyo menggeram. "Hayo, Ratri! Kita hajar anakmu yang pongah
ini!" Siluman Naga Puspa mendesis-desis.
Matanya yang biru mencorong tajam. Harum bunga melati di sekitar tempat latihan
makin mewangi pertanda jurus yang akan dikeluarkan tidak bisa dianggap
sembarangan. "Jurus satu!" pekik Begawan Kamasetyo lantang.
Tiba-tiba di tangan Begawan Kama-
setyo telah tergenggam senjata pusaka yang aneh sekali bentuknya. Sekilas
terlihat seperti anak panah. Namun anehnya mata anak panah itu berbentuk kepala
ular putih hingga ke pangkal. Dan dari pangkal anak panah berwujud seperti
pangkal anak panah kebanyakan. Sedang di kanan-kiri kepala ular tertancap dua
buah gerigi yang juga berwarna putih! Entah, apa nama senjata aneh itu. Yang
jelas gigi-gigi itu mirip sekali dengan senjata andalan Bathara Kresna. Cakra!
"Senjata apa itu, Eyang" Kok, bentuknya aneh sekali?" tanya Soma saking
herannya. "Sekarang bukan waktunya bercakap-cakap! Pokoknya, lihat saja bagaimana senjata
ini membuat tubuhmu babak belur!
Bahkan tidak mungkin nyawamu akan cepat minggat dari tubuhmu!" hardik Begawan
Kamasetyo, menakut-nakuti. "Jurus satu!"
Begawan Kamasetyo dan Siluman Naga Puspa serentak menyerang Soma. Dan begitu
senjata aneh di tangan lelaki tua ini bergerak menyerang, terlebih dahulu Soma
merasakan angin dingin berkesiur menyerang tubuhnya. Bahkan dari dua buah gerigi
di samping kanan-kiri kepala ular senjata aneh itu bertiup angin kencang yang
menyerang Soma.
Dari sudut lain, Siluman Naga Puspa pun menyerang tak kalah hebat. Bukan main
hebatnya serangan mereka, membuat Soma benar-benar kewalahan. Serangan Siluman
Naga Puspa memang tidak begitu membahayakan keselamatannya. Karena, Soma sudah
terbiasa berlatih tanding dengan ibunya.
Memang, yang sangat dikhawatirkan adalah serangan Begawan Kamasetyo dengan
senjata anehnya di tangan kanan.
Di saat terperangah itulah, diam-
diam Soma siap mengeluarkan segenap kepandaiannya. Akan tetapi ketika menyadari
senjata di tangan Begawan Kamasetyo mulai menyerang dan terjangan-terjangan
Siluman Naga Puspa pun siap meremukkan tulang-tulang tubuhnya, tak urung juga
Soma cepat membuang tubuhnya beberapa kali ke belakang. Namun Begawan Kamasetyo
dan Siluman Naga Puspa tak memberi kesempatan.
Mereka terus mendesak Soma dengan hebat.
"Hyaaat! Hyaaat!"
Soma kewalahan bukan main. Sikapnya yang biasa ugal-ugalan kali ini harus di-
pendamnya. Sedikit pun tidak diberi kesempatan untuk membalas. Jangankan
berpikir untuk membalas, untuk menghindar saja rasanya sudah tidak sanggup lagi.
"Uts!"
Bahkan hampir saja pemuda itu ter-
kena sambaran senjata aneh di tangan Begawan Kamasetyo. Untungnya, tubuhnya
dapat berkelit. Meskipun demikian, tetap saja Soma tidak dapat menghindar dari
serangan sabetan ekor Siluman Naga Puspa yang mendadak meluncur tajam.
Desss...! "Ugh...!"
Tubuh Soma kontan terlempar bebera-
pa tombak ke samping. Untung saja tidak begitu membahayakan keselamatan jiwanya.
Memang, Soma sudah melindungi bagian yang terkena sambaran ekor Siluman Naga
Puspa dengan tenaga dalam. Dan saat tubuhnya terlempar ke samping kiri, segera
dikerahkannya ilmu meringankan tubuh. Dan sekali genjot, tubuhnya sudah melayang
tinggi keluar dari tempat latihan.
Wajah pemuda tampan ini pucat pasi.
Keringat sebesar biji jagung telah membasahi keningnya.
"Jurus kedua!" teriak Begawan Kama-
setyo tanpa memberi kesempatan Soma untuk bernapas sedikit pun.
"Baru satu jurus saja sudah begini.
Apa aku dapat bertahan sampai jurus ketiga?" gerutu Soma.
Sejenak pemuda ini menunggu datang-
nya serangan berikut. Namun anehnya Begawan Kamasetyo tidak melanjutkan
serangan. Malah pantatnya dihenyakkan di rerumputan sambil meniup-niup pangkal senjata
anehnya. "Apa-apaan ini, Eyang" Kok, malah bermain suling?" ejek Soma langsung tertawa
terpingkal-pingkal.
Namun anehnya, begitu tawanya mere-
da, tiba-tiba saja Soma merasakan kalau suara senjata aneh di tangan Begawan
Kamasetyo yang juga bisa dijadikan seruling itu perlahan-lahan mulai menyerang
gendang telinganya!
Soma kaget bukan main. Belum sempat kekagetannya diatasi, tiba-tiba Siluman Naga
Puspa kembali menyerang garang. Bukan main bingungnya hati pemuda ini. Kalau
meladeni serangan-serangan Siluman Naga Puspa berarti membiarkan telinganya
diserang suara aneh dari senjata eyangnya. Dan kalau perhatiannya terpusat untuk
melawan suara aneh dari senjata di tangan eyangnya dengan jalan menutup pen-
dengarannya, berarti juga membiarkan dirinya diserang ibunya. Serba salah!
"Hyaaat...!"
Soma memekik dengan segenap tenaga
dalamnya. Rupanya dia memilih jalan kedua. Sambil menahan serangan-serangan
suara aneh dari senjata eyangnya, pemuda ini cepat meloncat tinggi ke udara,
hendak memapak serangan ibunya. Namun anehnya, di saat tubuhnya melayang tinggi
di udara itu, tiba-tiba saja serangan suara aneh dari senjata eyangnya seperti
hendak memecahkan gendang telinganya. Dan lebih anehnya lagi, sekujur tubuhnya
terasa sulit sekali digerakkan.
"Ah...!" pekik Soma kebingungan.
Sementara itu serangan Siluman Naga Puspa sudah demikian dekatnya. Tak mungkin
Soma menangkis serangan. Dan akibatnya...
Dugh! "Augh...!"
Tanpa ampun lagi, ekor Siluman Naga Puspa mendarat telak di dada Soma. Tubuhnya
terlontar beberapa, tombak disertai pekik tertahan.
Keadaan benar-benar tidak mengun-
tungkan bagi Soma. Sekujur tubuhnya terasa lemas bukan main. Belum lagi akibat
sabetan Siluman Naga Puspa tadi yang menyebabkan isi dadanya seperti mau pecah!
Bahkan dari mulutnya telah menyembur darah segar pertanda terluka dalam.
Tidak ada pilihan lain, Soma harus
cepat mengeluarkan jurus pamungkasnya, yakni 'Titisan Siluman Ular Putih' yang
baru saja dikuasai. Setelah berpikir demikian kekuatan batinnya segera
dikerahkan untuk melawan suara aneh dari senjata eyangnya, sekaligus untuk
mengeluarkan ilmu pamungkasnya.
Perlahan-lahan suara-suara aneh da-
ri senjata di tangan Begawan Kamasetyo terdengar lirih di telinga Soma. Dan
bersamaan dengan itu pula, sekujur tubuhnya mulai diselimuti uap putih tipis
yang makin lama makin tebal menutupi sekujur tubuhnya hingga tidak kelihatan
sama sekali. Dan entah mengapa, Siluman Naga Puspa sendiri pun tidak dapat
melanjutkan serangannya. Dia seperti ketakutan begitu melihat tubuh Soma mulai
ditutupi asap putih. Dan...
"Gggeeerrr...!"
Tiba-tiba saja, Soma telah menjelma menjadi Siluman Ular Putih! Bentuknya lebih
mengerikan dibanding keadaan Siluman Naga Puspa. Matanya biru mencorong,
memandang Begawan Kamasetyo dan Siluman Na-ga Puspa.
"Jurus ketiga!" pekik Begawan Kamasetyo lantang. "Ayo, Ratri! Kita hajar anakmu
yang nakal ini! Mengapa kau diam saja?"
Siluman Naga Puspa mendesis-desis
ngeri. "Apa kau takut melihat Soma yang telah berubah menjadi Siluman Ular Putih itu?"
tanya Begawan Kamasetyo heran.
Siluman Naga Puspa mendesis-desis,
membenarkan ucapan ayahnya.
"Hmm...!" Begawan Kamasetyo menggumam. "Tak kusangka kau takut melihat Soma yang
sudah berubah wujud menjadi Siluman Ular Putih ini, Ratri. Tapi, baiklah. Bi-ar
aku sendiri yang menghadapinya."
Sehabis berkata begitu, Begawan Ka-
masetyo kembali menyerang Soma dengan jurus 'Terjangan Maut Ular Putih'. Dan
anehnya lagi, senjata di tangannya dapat dilempar untuk menyerang Soma alias
Siluman Ular Putih. Dan bila serangannya gagal, senjata itu dapat kembali pada
pemi-liknya seperti layaknya sebuah bumerang.
Soma menggeram marah. Kali ini mu-
lai dibalasnya serangan-serangan Begawan Kamasetyo. Terjangan-terjangannya yang
dahsyat, membuat lelaki tua itu kewalahan meski memegang senjata anehnya. Dan
setelah beberapa saat lamanya kemudian Begawan Kamasetyo melenting ke belakang.
Begitu mendarat, tangan kanannya diangkat ke depan.
"Cukup, Soma! Eyang mengaku kalah,"
cegah Begawan Kamasetyo.
"Gggeeerrr...!"
Soma yang masih berwujud Siluman
Ular Putih mengeluarkan suara menggeram.
Dan bersamaan dengan itu, sekujur tubuhnya pun kembali diselimuti asap putih.
Sehingga, bayangan Siluman Ular Putih itu tidak kelihatan sama sekali.
* * * "Ha ha ha...! Bagaimana, Eyang" Apa Eyang masih meragukan kehebatanku" Tidak,
kan?" oceh Soma tertawa-tawa dari balik asap putih yang masih menyelimuti
tubuhnya. "Tapi ngomong-ngomong, senjata apa yang tadi Eyang gunakan" Kok aneh
sekali?" Begawan Kamasetyo menimang-nimang
senjata anehnya di tangan. Mata tuanya terus mengamati senjata di tangannya
penuh kagum. Mesti masih belum mampu menghadapi Soma, namun hatinya sangat
bangga memiliki senjata itu.
"Hei"! Nampaknya Eyang bangga sekali memiliki senjata itu" Apa Eyang lupa,
kehebatan senjata itu belum ada apa-apanya dibanding kehebatanku."
"Jangan cerewet, Cucuku! Kalau kau belum menguasai ilmu 'Titisan Siluman Ular
Putih', jangan harap, mampu menghadapi senjata ini. Bertahun-tahun aku membuat
senjata ini untuk bekalmu di dunia persilatan. Tapi sekarang, aku akan mewa-
riskannya padamu, Cucuku. Ini namanya senjata Anak Panah Bercakra Kembar."
"Anak Panah Bercakra Kembar?" ulang Soma penuh kagum.
Bagaimanapun juga tadi, pemuda ini
sempat merasakan kehebatan senjata itu.
Siluman Ular Putih 01 Misteri Bayi Ular di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dan dia senang sekali mendengar eyangnya akan mewariskan senjata itu padanya.
"Ya! Dan mulai hari ini, senjata itu akan kuberikan padamu. Pakailah senjata ini
bila perlu saja. Juga ilmu
'Titisan Siluman Ular Putih' itu. Nah, sekarang terimalah senjata ini, Cucuku!"
Begawan Kamasetyo menyerahkan sen-
jata itu pada Soma.
Soma mengamati senjata di tangannya penuh kagum.
"Terima kasih, Eyang. Tapi ngomong-ngomong soal ilmu 'Titisan Siluman Ular
Putih' itu, kok mengapa tadi Ibu kelihatan takut sekali menghadapiku. Dan
mengapa pula Ibu bisa jadi berubah menjadi siluman ular" Juga Eyang sendiri.
Mengapa tadi Eyang tidak mengeluarkan ilmu itu untuk menghadapiku?" cerocos Soma
bagai mercon terbakar.
"Aku memang belum mampu menguasai ilmu ciptaanku itu, Cucuku. Sebenarnya aku
bisa saja menguasai ilmu itu. Tapi Eyang takut tidak kuat melawan kehendak suci
dalam diriku. Dan mengenai ibumu mengapa tidak berani menghadapimu sewaktu sudah
menjelma menjadi Siluman Ular Putih, mungkin karena ilmu ibumu belum sem-
purna seperti dirimu, Cucuku. Bahkan bisa dikatakan, ibumu justru terkena getah
akibat terlalu ingin menguasainya. Sehingga ketika menghadapimu yang sudah
sepenuhnya menguasai ilmu itu, dia tidak berani. Sedang mengenai mengapa ibumu
berubah menjadi siluman ular seperti ini, karena sewaktu bertapa dulu, ibumu
tidak kuat menghadapi godaan seperti yang kau alami tadi. Sehingga, nasib ibumu
ya..., menjadi seperti ini...."
Soma trenyuh sekali mendengar kete-
rangan eyangnya. Tanpa sadar perhatiannya beralih pada ibunya. Kebetulan sekali
saat itu Ratri atau Siluman Naga Puspa pun sedang memperhatikan anaknya dengan
pandangan sedih.
Soma jadi tidak tahan lagi. Segera
didekati ibunya. Langsung dipeluknya tubuh siluman ular itu erat-erat. Hatinya
nyeri sekali. Namun, Soma cepat dapat mengendalikan perasaannya.
"Sudahlah, Bu! Ibu jangan terlalu bersedih. Tabahkan saja hati Ibu, semoga Yang
Maha Kuasa sudi mengabulkan doa ki-ta. Mudah-mudahan Ibu segera kembali menjelma
menjadi manusia," ucap Soma getir.
Siluman Naga Puspa menggeliat-
geliatkan tubuhnya gelisah. Sepasang matanya yang mencorong pun mulai berair
memandang ke langit, seperti sedang meminta petunjuk Yang Maha Kuasa. Kemudian
semba- ri terus memandang ke langit, Siluman Na-ga Puspa pun mendesis-desis sedih.
"Ya, ya, ya...! Memang sebaiknya Ibu terus melanjutkan bertapa, agar dapat
kembali menjelma menjadi manusia biasa...."
Siluman Naga Puspa menurunkan kepa-
lanya. Sepasang matanya yang mencorong semakin berair. Dan mulutnya pun
mendesis-desis lagi, mengungkit-ungkit kesedihannya di masa lampau.
"Sudahlah! Kalian tak perlu mengungkit-ungkit cerita sedih itu lagi. Sekarang
apalagi yang ingin kau tanyakan, Soma?" tukas Begawan Kamasetyo.
Soma mengalihkan perhatian pada
eyangnya. Pemuda yang pada dasarnya berwatak jenaka ini pun sudah dapat
melupakan kesedihan yang baru saja dialami. Sebentar kemudian bibirnya telah
mengulas senyum.
"Ya, ya, ya...! Masih ada satu hal yang mengganjal hatiku, Eyang. Mengapa aku
tidak bisa menebarkan bau harum bunga melati seperti Ibu" Ceritanya bagaimana,
Eyang?" "Mungkin dikarenakan kau laki-laki.
Tapi sebenarnya sewaktu lahir dari perut ibumu, kau juga sudah mengeluarkan bau
harum bunga melati. Tapi, begitu beranjak dewasa, bau harum itu pun hilang
dengan sendirinya," jelas Begawan Kamasetyo.
"Wah, wah, wah...! Mengapa bau wangi dalam tubuhku harus hilang, ya" Coba kalau
tidak. Pasti banyak gadis cantik yang akan mencintaiku! Aku jadi menyesal,"
gerutu Soma dengan raut wajah se-rius.
"Kau yang dipikirkan hanya gadis-gadis saja! Apa kau tidak ingin mencari siapa
ayahmu?" ejek Begawan Kamasetyo.
"Tentu, Eyang! Tentu! Apa Eyang sudah boleh mengizinkanku turun gunung?"
jawab Soma semangat.
"Tanyakan saja pada ibumu!"
Soma mengalihkan perhatian pada
ibunya. "Iya, Bu" Apa Ibu sudah mengizinkanku mencari ayahku?"
Ratri atau Siluman Naga Puspa men-
desis-desis. "Oh...! Ibu juga mengizinkan" Terima kasih, Bu. Lantas, siapa nama ayahku, Bu?"
tanya Soma. Siluman Naga Puspa kembali mende-
sis-desis. Desisan yang hanya diketahui Soma dan Begawan Kamasetyo.
"Mahesa" Murid Pendekar Pedang Kilat Buana atau yang lebih dikenal sebagai
Pendekar Kujang Emas?"
Siluman Naga Puspa mendesis-desis,
membenarkan ucapan Soma.
5 Lereng Gunung Batu terlihat menju-
lang tinggi di kejauhan, berselimut awan putih. Sedang matahari belum begitu
tinggi pada garis edarnya. Cahayanya yang keemasan hangat menyinari bumi. Dari
arah timur Lembah Kidung, Soma sedang berlari kencang menuju lereng Gunung Batu.
Tiba-tiba di hadapan pemuda itu
menghadang seorang gadis cantik. Umurnya kira-kira dua puluh delapanan. Tubuhnya
yang ketat dibungkus pakaian warna kuning. Rambutnya yang hitam panjang dikuncir
ke atas dengan pita warna kuning pu-la. Sebenarnya cantik sekali gadis itu.
Tapi karena dandanannya agak menor, membuat bedaknya yang tebal luntur oleh
keringat. "Tunggu dulu, Pemuda Tampan! Mau ke mana sih" Kok, buru-buru?" sapa gadis ini
genit. Matanya yang jelita mengerling nakal ke arah Soma.
Soma menghentikan langkahnya.
"Aku" Aku tidak ke mana-mana" Toh, apa bedanya sih ke mana-mana dan tidak ke
mana-mana?" jawab Soma seenak hati. "Ta-pi, ngomong-ngomong ada keperluan apa"
Kok menghadang langkahku" Apa tidak ada kerjaan lain kecuali menghadang
perjalananku"!"
Wanita cantik itu tersenyum manis.
"Ahh...! Mengapa kau jadi sewot begini?"
Soma menautkan sepasang alisnya
yang tebal. "Kalau dia wanita baik-baik, mengapa kelakuannya begini" Aku harus
ha-ti-hati. Jangan-jangan dia wanita nakal?"
gumamnya dalam hati.
"Lho, lho...! Kok, malah bengong"
Memangnya ada apa" Apa tadi kau belum diberi makan ayahmu?" ledek wanita itu
seraya meraih lengan Soma.
"Hei"! Apa-apaan, sih"!" sergah So-ma seraya mengibaskan tangannya kasar.
"Aduh! Lagakmu seperti orang suci saja! Tapi aku yakin, sekali saja kenal aku,
kau pasti akan tergila-gila," kata gadis ini ceriwis. "Ayolah, Pemuda Tampan!
Tunggu apalagi?"
"Ah...! Aku mau lewat!"
Soma nekat menerjang. Namun wanita
cantik itu kembali menghalangi langkahnya. Malah tangannya yang putih bersih
berani memeluk lengan Soma.
"Kau sebenarnya mau apa, sih" Aku mau lewat. Ayolah, beri aku jalan," kata Soma
kewalahan juga melihat kenekatan wanita itu.
"Gampang. Soal memberi jalan itu gampang," jawab gadis itu dengan senyum
menyebalkan. "Tapi, ada syaratnya?"
Soma menggerutu. Kedua lengan wani-
ta itu makin erat memegangi lengannya.
"Huh! Mimpi apa aku semalam, sehingga Tuhan mengirimkan manusia sundal ini" Can-
tiknya sih memang bolehlah. Tapi, buat apa kalau membawa penyakit?" gerutu Soma.
"Hey, kau ngomong apa"! Apa kau tidak pernah diajarkan sopan santun oleh ibumu?"
bentak wanita itu tersinggung.
Tanpa sadar kedua tangannya yang memegang lengan Soma dilepaskan, siap
melontarkan pukulan mautnya.
"Jangan terlalu perasa.... Aku tidak menyindir mu. Aku hanya mengatakan, wanita
secantik apa pun bisa juga membawa penyakit. Jadi, aku tidak mengatakan kalau
kau yang membawa penyakit," sergah Soma seraya bergerak mundur selangkah.
"Hen"! Itu sama saja mengatakan kalau aku pembawa penyakit!" tukas wanita cantik
itu marah. "Apa kau belum tahu, siapa aku sehingga kau berani berkata se-lancang
ini"!"
"Siapa kau" Ah, gampang saja. Kau tak ubahnya seperti perampok yang menghadang
perjalanan orang, masa' kau lupa?"
tukas Soma enteng. Sama sekali tidak takut menghadapi ancaman wanita itu.
Padahal kalau pemuda ini tahu siapa wanita di hadapannya, pasti akan terkejut.
Wanita cantik di hadapannya saat ini adalah Denok Supi, salah seorang tokoh
sesat yang merajai daerah barat. Usia sebenarnya sudah sangat tua. Tapi karena
memiliki semacam ilmu awet muda, sehingga nampak seperti seorang gadis.
"Dua kali kau menghinaku, Bocah!
Kau harus membayar penghinaanmu ini!"
Sehabis berkata begitu, Denok Supi
mengangkat tangannya tinggi-tinggi, siap melancarkan pukulan mautnya.
"Tunggu!" cegah Soma. "Sebenarnya kau mau apa" Bukankah di antara kita tidak ada
silang sengketa" Mengapa kau marah-marah begini?"
Denok Supi menggeram marah. Kedua
tangannya, yang sudah gatal tidak dapat lagi ditahan. Untungnya Soma sudah siap
siaga. Wuuttt...! "Uts!"
Begitu tangan Denok Supi bergerak
menampar pipinya, Soma cepat berkelebat ke samping kiri. Meski serangan wanita
itu dapat dihindari dengan mudah, namun hatinya sempat kaget. Betapa tidak"
Rupanya pukulan Denok Supi penuh dengan ha-wa racun. Dan ini dapat dirasakan dan
ha-wa dingin yang berbau amis sebelum tangan itu mengenai sasaran.
"Hm...! Rupanya kau punya sedikit kepandaian sehingga berani berkata selan-cang
tadi. Bagus! Akan kulihat sampai di mana kepandaianmu, Bocah!"
Tanpa banyak cakap lagi, Denok Supi cepat menyerang. Hatinya merasa penasaran
sekali melihat serangan pertamanya tadi dapat dihindari dengan mudah.
"Wah, wah, wah...! Apa-apaan kau ini" Mengapa urusan jadi runyam begini"
Sungguh aku tidak bermaksud menghinamu,"
kata Soma sambil berloncatan ke samping kiri menghindari serangan.
"Jangan banyak bacot! Aku harus me-nelanjangimu atas penghinaanmu ini, Bocah
Tampan!" dengus Denok Supi langsung mengerahkan jurus-jurus mautnya untuk
mendesak Soma. Pemuda ini kewalahan bukan main da-
lam menghindar. Dan tak henti-henti mulutnya mengoceh.
"Sungguh aku tidak bermaksud menghinamu. Tapi, baiklah! Kalau kau memang
tersinggung atas ucapanku tadi, aku akan cabut kembali ucapanku tadi."
"Enak saja! Omonganmu sudah telan-jur keluar! Tidak! Kau harus membayar
penghinaanmu!" dengus Denok Supi benar-benar penasaran bukan main. Sudah tiga
jurus lebih namun belum dapat juga menyentuh tubuh pemuda itu
"Waduh...! Maaf, deh! Aku benar-benar menyesal."
Denok Supi tidak mempedulikan oce-
han Soma lagi. Sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi yang sudah cukup
pengalaman malang melintang di dunia persilatan, hatinya merasa penasaran bukan
main dapat dipermainkan lawannya yang kelihatannya masih hijau. Dan agaknya, tokoh sesat
da-ri barat itu kini tidak sekadar memberi pelajaran pada Soma, melainkan
membunuhnya. Dan pada satu kesempatan yang tidak mungkin dihindari Soma, kedua
telapak tangan Denok Supi yang penuh racun kembali mengancam dada.
Wuuttt...! Soma kaget bukan main. Serangan ini jelas sangat membahayakan bagi
keselamatannya. Apalagi dalam jarak sedekat itu.
Tak ada pilihan lain, harus ditangkisnya kedua telapak tangan Denok Supi.
Duk! Duk! Terdengar suara benturan keras dari dua tenaga dalam tinggi di udara. Akibatnya
tubuh Soma bergoyang-goyang. Kedua kakinya melesak beberapa rambut ke dalam
tanah. Sedang Denok Supi terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang. Wajahnya
pucat pasi. Dan dari bibirnya mengeluarkan darah segar.
"Pukulan 'Tenaga Inti Bumi'...!"
desis Denok Supi kaget.
Soma sendiri kaget bukan main. Ti-
dak disangka pukulannya tadi menyebabkan musuhnya terluka. Dan lebih kagetnya
la-gi, musuhnya mengenali jurus pukulannya tadi.
Soma tersenyum-senyum bagai orang
bodoh. "Benar! Itu memang yang dinamakan pukulan sakti 'Tenaga Inti Bumi'. Apa kau
masih penasaran" Tapi, sayang. Aku tidak punya waktu meladenimu. Selamat
tinggal!" Sehabis berkata begitu, pemuda ini
segera mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya meninggalkan tempat itu. Dan dalam
sekejap saja, tubuhnya telah menghilang dari balik kerimbunan pohon cemara.
Denok Supi menggeram marah. Dalam
hatinya bertanya-tanya, siapa pemuda tampan berbaju rompi bersisik berwarna
putih keperakan tadi"
"Jahanam" Dia pasti murid si tua bangka Begawan Kamasetyo! Siapa lagi?"
desis Denok Supi penuh kemarahan, sebelum akhirnya meninggalkan tempat itu.
*** Di kaki langit sebelah barat, mata-
hari sebentar lagi tenggelam. Sinarnya yang keemasan mulai pudar, menebar ke
sebagian lereng barat Gunung Batu. Keadaan di sekitar puncak gunung itu sunyi.
Hanya terdengar beberapa kicauan burung yang hendak pulang ke sarang.
Dan dalam terpaan angin lembut sore itu, Soma berdiri mematung bagai tonggak tak
bernyawa. Matanya yang tajam menge-darkan pandangan ke segenap penjuru. Kedua
bibirnya berkemik-kemik, seperti me-
nyesali sesuatu.
"Aku sudah sampai di puncak Gunung Batu. Tapi, mengapa sepi sekali" Mana Mahesa,
si Pendekar Kujang Emas, ayahku itu" Kok dia tak muncul-muncul?" gumam Soma
kecewa. Sebatas mata memandang, Soma hanya
menemukan hamparan batu besar kecil. Tak ada satu tumbuhan pun yang tumbuh di
sa-na. Pemuda ini tidak putus asa. Dia terus mencari orang yang dimaksudkan
ibunya. Sehingga tak terasa senja mulai berganti malam.
Bulan sepotong di langit sebelah
timur, tidak cukup menerangi tempat itu.
Soma akhirnya memutuskan untuk melanjutkan pencariannya esok hari.
*** Dua tahun ke belakang, sebelum Soma menginjakkan kakinya di tempat yang sama, di
puncak Gunung Batu, Mahesa atau yang lebih terkenal sebagai Pendekar Kujang Emas
tengah duduk berhadap-hadapan dengan seorang pemuda tampan di atas bongkahan
batu Wajah pemuda itu tampan, berbentuk
bulat telur. Kulitnya putih bersih. Sepasang matanya yang tajam dihiasi alis
mata tebal. Hidungnya mancung, pas sekali dengan bentuk bibirnya yang tipis.
Tubuhnya tinggi kekar, dibalut pakaian rapi sekali, seperti pakaian terpelajar saat itu.
Sedang rambutnya yang gondrong dikuncir sebagian ke belakang, semakin menambah
ketampanannya. Gerak-gerik sikap pemuda itu pun
lembut. Sehingga membuat Mahesa sangat menyayanginya. Bahkan pemuda di
hadapannya sudah dianggap seperti anak kandung sendiri. Maka tak heran kalau
semua kepandaian ilmu silatnya diturunkan kepada pemuda itu. Seorang pemuda
malang yang dulu ditemukan dalam pelukan ibunya yang sudah menjadi mayat,
sewaktu Mahesa sedang mencari istrinya yang hilang entah ke mana.
"Prameswara...!" panggil Mahesa memecah keheningan malam. "Aku kira semua
kepandaian silatku telah kuturunkan semua padamu. Sekarang sudah saatnya kita
berpisah. Kalau kau tidak keberatan, tolong carikan istriku, Prameswara! Namanya
Ratri. Aku sudah terlalu tua untuk turun gunung. Apa kau tidak keberatan?"
"Tentu saja tidak, Guru. Seberat apa pun tugas Guru, akan kulaksanakan,"
jawab Prameswara, santun dan tegas.
"Ya, ya...! Aku percaya. Aku berpesan, gunakanlah semua kepandaianmu untuk
Siluman Ular Putih 01 Misteri Bayi Ular di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membela yang lemah dan menegakkan kebenaran. Tetaplah berpegang teguh pada apa
yang kuajarkan di sini. Mengerti?"
"Mengerti, Guru. Aku akan menjun-jung tinggi semua yang Guru ajarkan padaku,"
sahut Prarpeswara mantap.
"Nah, sekarang teruskanlah latihan-mu! Besok pagi kau boleh turun gunung!"
"Baik, Guru."
*** Siang di Desa Ganggurdi. Matahari
tersaput awan. Beberapa orang petani nampak baru pulang dari sawah. Suara canda
dan tawa mereka mengusik kesunyian desa.
Dari ujung desa yang lain, Prames-
wara mulai memperlambat langkahnya. Sedikit pun tidak nampak keringat membasahi
wajahnya, pertanda ilmu meringankan tubuhnya sudah mencapai tingkat tinggi.
Padahal dia baru saja menempuh perjalanan jauh. Sejak turun gunung, desa itulah
yang pertama kali dijumpainya.
Saat mulai memasuki jalan desa itu, Prameswara melihat suasana desa itu agak
ramai dibanding di ujung desa tadi. Beberapa orang petani yang tadi asyik
bercan-da mulai berpisah, pulang ke rumah masing-masing.
Prameswara masuk ke dalam sebuah
kedai, agak terpisah dari perumahan penduduk. Dua orang pelayan cantik menyambut
kedatangannya. Kebetulan suasana sedang sepi. Yang ada hanya Prameswara seorang.
"Silakan duduk, Tuan! Mau makan apa?" sambut salah seorang gadis cantik itu
senang. Sepasang matanya yang jeli menatap Prameswara penuh kagum.
Prameswara memperhatikannya sekilas dengan senyum terkembang di bibir.
"Tolong sediakan makanan dan arak yang paling enak di kedai ini!" ujar
Prameswara dengan suara santun. Namun anehnya, sikap pemuda itu sungguh tidak
cocok dengan tutur sapanya yang santun.
"Ba..., baik" sahut pelayan itu gugup. Sejenak pandangan matanya melirik
Prameswara. Prameswara mengacuhkannya,
Pelayan itu menghela napas panjang.
"Sayang! Dia memang tampan, tapi sombongnya tidak ketulungan," kata batin
pelayan itu, sebelum akhirnya masuk ke dalam
"Tuaaaampan sekali pemuda itu. Siapa namanya, Yu?" tanya pelayan lain penuh
kagum. "Huh! Sombongnya minta ampun. Boro-boro tahu namanya. Aku jadi sebel! Seper-
tinya dia saja yang paling tampan," gerutu pelayan yang tadi menyambut
kedatangan Prameswara kesal. "Sudah! Sekarang gili-ran mu mengantarkan makanan
ke depan!"
"Benar, nih" Apa kau tidak menyesal kalau pemuda itu jatuh cinta padaku?" ka-ta
pelayan yang satunya, senang dapat me-
layani tamunya yang tampan.
"Siapa peduli!"
"Baik, baik! Kalau begitu, aku akan mengantar makanan ini padanya. Lihat sa-ja,
Mbakyu! Aku pasti dapat menaklukkan pemuda yang katamu sombong itu," kata
pelayan berpakaian. Kebaya warna kuning itu senang. Kemudian bergegas dia
menyediakan makanan yang dipesan Prameswara.
"Silakan dimakan, Tuan! Ini arak dan makanan yang paling lezat di kedai ini.
Juga di kedai-kedai lainnya. Silakan! Silakan!" kata pelayan itu genit.
Lagi-lagi Prameswara hanya memper-
hatikan pelayan itu sekilas. Sama sekali tidak ada senyum. Bahkan matanya sinis
sekali memperhatikan pelayan itu. Lalu tanpa banyak cakap lagi, araknya mulai
ditenggak. Tidak seperti para tokoh dunia persilatan lainnya, arak putih itu di-
tuang dulu ke dalam gelas dari batu merah. Lalu ditenggaknya sedikit demi
sedikit. Pelayan berbaju kuning itu mengedu-
mel diperlakukan seperti itu. Namun dia tidak putus asa.
"Bagaimana, Tuan" Bukankah cukup enak arak di kedai ini?" kata pelayan ini
ceriwis. Prameswara memandang pelayar itu
tajam. "Beginikah
caramu menyambut tamu yang makan di sini?" gerendeng Prameswara.
"I.... Iya! Eh, ti... tidak, Tuan!"
jawab pelayan berkebaya kuning itu gugup.
"Kalau begitu, cepatlah enyah dari hadapanku!" usir Prameswara dingin.
"Ba...,baik!"
Pelayan berkebaya kuning itu ber-
maksud beranjak dari tempatnya. Namun ti-ba-tiba saja langkahnya berhenti, saat
dua orang lelaki aneh masuk ke dalam ke-dainya. Sejenak pelayan berkebaya kuning
itu memperhatikan heran ke arah kedua orang tamu anehnya. Yang satu bertubuh
pendek, berkulit hitam legam. Matanya bulat berwarna hitam. Hidungnya bundar.
Bibirnya yang berwarna hitam agak dlawer dengan gigi berwarna kuning. Rambutnya
pun awut-awutan, cocok sekali dengan pakaian hitam-hitamnya yang kumal.
Sedang laki-laki satunya bertubuh
tinggi kurus. Mukanya tirus dengan mata besar berwarna hitam. Hidungnya mancung
sekali, seperti hidung betet. Demikian juga giginya yang mancung menjorok ke
depan. Rambut dan pakaian laki-laki itu pun sama-sama kumalnya. Dan sembari
tertawa mengakak, mereka langsung menghenyakkan pantatnya tak jauh dari kursi
Prameswara. "Ayo, kita rayakan pertemuan kita di sini, Sorogompo! Kamu mau pesan apa?"
tanya laki-laki bertubuh tinggi kurus ke-
pada laki-laki bertubuh pendek yang dipanggil Sorogompo.
"Baik, Mayang Kekek. Rupanya hampir selama lima belas tahun kita berpisah,
sekarang kau sudah kaya, ya" Aku mau pesan arak yang paling wangi di sini. Juga,
makanan yang paling enak. Tapi kalau ada, aku lebih suka daging kambing. Biar
kuat itu.... Ha ha ha...!" sahut Sorogompo.
"Mintalah daging kambing dan arak yang paling wangi. Bahkan minta bintang pun,
aku pun tidak keberatan. Tapi bayar sendiri! Ha ha ha...! jawab laki-laki tinggi
kurus yang dipanggil Mayang Kekek, langsung disambung suaranya yang sember.
"Apa" Kau mau mempermainkan aku, Mayang Kekek" Kau tidak jadi mentraktir ku"!"
tukas Sorogompo mendelik gusar.
"Lho" Siapa peduli" Kau makan untuk mengisi perutmu sendiri. Aku juga. Siapa
peduli" Memangnya aku bapak moyangmu"!"
jawab Mayang Kekek acuh tak acuh.
"Kau menjatuhkan harga diriku, Mayang Kekek. Kalau saja tidak ada gadis cantik
di sampingku, aku tak akan marah.
Tapi sekarang, kau harus menerima akibat dari bacotmu yang lancang ini!"
Sorogompo cepat meraih asbak ter-
buat dari pangkal pohon bambu, langsung dilemparkannya ke arah muka Mayang
Kekek. Cepat sekali lemparan yang dilaku-
kan Sorogompo itu. Apalagi dalam jarak
yang demikian dekatnya. Namun, Mayang Kekek hanya tertawa-tawa saja melihat
serangan kawannya. Dan begitu asbak itu hendak menghajar wajahnya, jari telunjuk
tangan kanannya terangkat. Cepat diteri-manya asbak itu, dan diputar-putarnya
dengan tangan kirinya.
"Seranganmu lamban sekali, Sorogompo! Buat apa bertapa bertahun-tahun kalau
tenaga dalammu tetap seperti ini. Nih, asbakmu kukembalikan!" ejek Mayan Kekek,
seraya melontarkan kembali asbak itu ke muka Sorogompo.
Asbak itu terdorong ke depan.
Mayang Kekek penasaran sekali. Segera tenaga dalamnya dikerahkan. Dan akibatnya
asbak itu kembali lagi. Tentu saja Suro-gompo tidak mau kalah dalam adu tenaga
dalam itu. Demikian pula Mayang Kekek.
Kedua orang itu terus mengemposkan tenaga dalam hingga akhirnya asbak itu
tertahan di udara!
Pelayan berkebaya kuning yang sudah cukup berpengalaman berhadapan dengan tokoh-
tokoh sakti dunia persilatan hanya berdiri menggigil di tempatnya. Namun tidak
demikian Prameswara. Semula kedua orang tua itu memang dibiarkan menjual lagak
di depannya. Namun lama kelamaan merasa terganggu juga.
"Kalian ini orang tua tak tahu di-ri! Sudah bau tanah masih menjual lagak
di depanku!" bentak Prameswara sambil menggerakkan tangan kanannya santai,
seolah-olah sedang mengusir lalat di depan hidungnya. Akibatnya....
Prak! Asbak yang terkena pukulan jarak
jauh pemuda itu kontan pecah berantakan.
Dan akibatnya pula, tenaga dalam Mayang Kekek dan Sorogompo jadi saling serang
secara langsung.
Duk! Terdengar benturan tenaga dalam di
udara. Akibatnya, tubuh kedua orang itu bergetar hebat. Bangku tempat berpijak
langsung hancur berantakan.
Pelayan berkebaya kuning itu menje-
rit-jerit ketakutan, langsung ngacir ke dalam.
Kedua orang itu kontan menoleh ke
arah Prameswara. Mereka yakin pemuda itulah yang membuat ulah. Mata mereka
kontan membelalak lebar
"Anak muda"! Mengapa kau berani lancang mencampuri urusan kami"!" hardik Mayang
Kekek. Prameswara mendengus.
"Aku tidak bermaksud mencampuri urusan kalian" Tapi berhubung kalian telah
menjual lagak di depanku, aku tidak dapat membiarkannya. Apalagi, kalian telah
mengganggu selera makanku. Apa itu salah?"
"Salah! Itu jelas salah! Mau meng-
ganggu selera makanmu, kek. Mau membunuhmu sekalipun, kek. Apa pedulimu"!"
dengus Sorogompo. Tak dapat lagi amarah ditahan.
Dia melompat ke hadapan Prameswara. Kedua tangannya yang sudah gatal-gatal
langsung bergerak menampar.
Prameswara sedikit menarik tubuhnya ke belakang. Sedang tangan kanannya
menyambar mangkuk sopnya, menyerang Sorogompo.
Pyarrr...! "Aaakh...!"
Sorogompo memekik kaget. Untunglah Mayang Kekek segera membantu menahan serangan
Prameswara. Malah kalau pemuda itu tidak cepat melempar tubuhnya ke belakang,
bisa jadi tubuhnya sudah dibasahi kuah sopnya.
"Kau jangan turut campur, Mayang Kekek! Aku masih sanggup menghadapi bocah ini!"
Sorogompo cepat melesat ke depan.
Langsung diserangnya Prameswara dengan jurus-jurus andalan. Hebat sekali
serangan kakek bertubuh kerdil itu, membuat pemuda ini kewalahan bukan main.
Tubuhnya sudah beberapa kali berjumpalitan ke udara. Dan akhirnya mereka berdua
telah berada di luar kedai.
"Bagus! Rupanya kau punya sedikit kepandaian!" dengus Sorogompo gusar. Sudah
tiga jurus berlalu, namun belum juga
dapat menyentuh tubuh lawan.
"Tidak usah banyak bacot dulu, Orang Tua! Lihat saja bagaimana aku menghajarmu
nanti," kata Prameswara.
"Bocah sombong!" geram Sorogompo penuh kemarahan.
"Ayo, Sorogompo! Hajar saja bocah itu! Gebuk pantatnya!" teriak Mayang Kekek
dari luar kancah pertarungan.
Sorogompo meloncat ke depan. Pra-
meswara cepat membabat pedang. Segera disambutnya serangan itu. Tanpa membuang-
buang waktu lagi, Prameswara langsung memainkan jurus-jurus pedangnya yang
pernah dipelajari dari Pendekar Kujang Emas.
"Hm...! Kau pasti muridnya Pendekar Kujang Emas. Tapi, sayang. Kau tidak punya
sopan santun pada orang tua. Apa kau belum pernah diajari sopan santun oleh
gurumu"!" kata Sorogompo mulai mengenali jurus-jurus andalan Prameswara.
"Syukur kalau kau sudah tahu nama guruku. Jadi sudah seharusnya kau berte-kuk
lutut dan memohon maaf atas kelancan-ganmu!" desis Prameswara.
"Hm...! Kau memang patut diajari sopan santun Bocah. Biarlah aku yang me-wakili
gurumu mengajari sopan santun,"
kata Sorogompo kesal.
Meski hanya bersenjata tangan ko-
song, Sorogompo sama sekali tidak kewalahan menghadapi Prameswara yang
bersenjata pedang. Perlahan namun pasti, Sorogompo dapat mendesak. Bahkan sudah beberapa
kali tangannya berhasil mendarat telak di tubuh pemuda itu.
Prameswara menggeram penuh kemara-
han. Kedua tangannya kini telah berubah menjadi biru, siap melontarkan pukulan
mautnya. "Apa kau mengenali pukulan ini, Orang Tua?" ejek Prameswara.
"Hanya pukulan 'Cahaya Kilat Bi-ru'," desis Soro gompo. "Sayangnya pukulan maut
itu kau pergunakan dengan seme-na-mena. Kau memang tidak layak menjadi murid
Pendekar Kujang Emas. Sebagai te-mannya, aku merasa bertanggung jawab untuk
memberimu pelajaran."
"Jangan banyak bacot, Orang Tua!
Pukulan inilah yang akan mengantar nyawamu ke neraka!" bentak Prameswara.
"Lakukanlah! Akan kulihat, sampai di mana kehebatan pukulanmu," tantang
Sorogompo berani.
Bukan main marahnya Prameswara.
Ternyata pemuda ini memang berwatak sombong. Hatinya tidak terima direndahkan
sedemikian rupa. Maka dengan menggunakan jurus sakti 'Kilat Menyambar Bumi',
Prameswara kembali menerjang Sorogompo. Tangan kirinya yang telah berubah
menjadi biru, beberapa kali menyambar-nyambar ganas, Namun Sorogompo dapat
menghindari dengan mudah. "Terus pukul aku, Bocah! Mengapa berhenti"!" ejek Sorogompo.
"Jahanam! Hari ini adalah hari kematianmu, Orang Tua!"
Prameswara mempercepat gerakan pe-
dangnya. Tubuhnya yang tinggi kekar melenting ke udara. Dan ketika menukik ke
bawah, tahu-tahu ujung pedang di tangannya telah mengancam ubun-ubun Sorogompo.
Sedang tangan kirinya siap melontarkan pukulan 'Cahaya Kilat Biru'.
Hebat sekali serangan Prameswara.
Malah Sorogompo sendiri sempat terkejut dibuatnya. Namun sebagai seorang tokoh
silat yang sudah cukup berpengalaman, dia tidak jadi gugup, walau saat itu
kurang menguntungkan. Dengan miringkan tubuhnya ke kiri menghindari tusukan
pedang, tangan kanannya cepat memapak pukulan
'Cahaya Kilat Biru' di tangan kiri Prameswara. Bahkan juga dilontarkannya
pukulan saktinya yang diberi nama 'Orang Gila Mengamuk'.
Duk! Blarrr...! Hebat bukan main akibat pertemuan
dua tenaga dalam di udara itu. Bahkan tubuh Sorogompo yang pendek
bergoyanggoyang. Kedua kakinya melesak beberapa rambut ke dalam tanah. Sedang
tubuh Prameswara yang masih melayang-layang di
udara kembali terlempar ke udara. Sekujur tubuhnya menggigil. Wajahnya pucat
pasi. Dan dari kedua bibirnya mengalir darah segar, pertanda menderita luka dalam
cukup parah. "Bagaimana, Anak Muda" Apa kau masih punya muka melawan aku?" ejek Sorogompo
puas. "Kalau saja kau bukan murid Pendekar Kujang Emas sahabatku, tidak segan-
segannya aku membunuhmu. Tapi, kali ini kau kumaafkan. Sekarang pergilah! Aku
muak melihatmu!"
"Hey, tunggu! Jangan biarkan bocah itu pergi dulu, Sorogompo! Aku harus
menghajar pantatnya dulu!" teriak Mayang Kekek gemas.
Prameswara yang sudah tidak mempu-
nyai muka, cepat kabur dari tempat itu.
Meski menderita luka dalam yang cukup parah, namun dia dapat melangkah cepat dan
tempat ini. Mayang Kekek menghentak-hentakkan
kaki kanannya kesal bukan main.
"Ini semua gara-gara kau, Sorogompo! Kau harus membayar hutang pemuda itu!
Aku harus menggebuk pantatmu!" maki Mayang Kekek gemas.
6 Prameswara kecewa bukan main. Ma-
rah, benci dendam bercampur menjadi satu.
Apa yang dipelajarinya hampir delapan belas tahun lebih, ternyata hanya menemui
kesia-siaan belaka. Dia tidak dapat berbuat banyak dihina oleh Sorogompo. Watak
pemuda ini yang memang tinggi hati, tak ingin ada seorang pun melebihi dirinya,
merasa harus membalaskan sakit hatinya.
Siluman Ular Putih 01 Misteri Bayi Ular di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun karena belum mampu, dia ingin mencari seorang guru tangguh.
Itulah rencana yang sudah tersusun
dalam benak Prameswara. Padahal kalau mau mawas diri, kepandaiannya saat itu
sudah jauh dari lumayan. Dia tidak berpikir kalau musuh yang dihadapi tadi
adalah seorang tokoh sakti. Jangankan dirinya. Gurunya pun, belum tentu sanggup
mengalahkan Sorogompo. Akan tetapi, rupanya Prameswara tidak berpikir demikian.
Yang dipikirkan hanya kekalahan dan balas dendam saja.
"Untuk apa aku belajar silat bertahun-tahun kalau hanya menemukan kesia-siaan
seperti ini!" dengus Prameswara gelisah sambil melangkah gontai di pinggiran
Hutan Sawo Kembar. Berhari-hari dia melakukan perjalanan tanpa arah tujuan.
Penasarannya terlalu tenggelam dalam kesedihan, karena dipermalukan Sorogompo.
Dan ini membuat apa yang ditugaskan gurunya jadi terabaikan!
Menurut desas-desus yang sempat di-
dengar Prameswara di sepanjang perjalanan, di sebelah barat Hutan Sawo Kembar
ada seorang tokoh sakti berjuluk Manusia Rambut Merah. Konon, ilmu silatnya
tinggi sekali sehingga sulit sekali dicari tandingannya. Maka, kesanalah pemuda
itu melangkah menemui tokoh sesat itu.
Begitu sampai di sebelah barat hu-
tan ini tiba-tiba Prameswara merasa tanah tempatnya berpijak bergetar hebat,
membentuk garis seperti galian pasir mendekatinya. Belum hilang rasa kagetnya,
ti-ba-tiba kedua kakinya seperti terbetot dari dalam tanah.
Prameswara cepat mengerahkan ilmu
meringankan tubuhnya. Namun anehnya, kedua kakinya sulit sekali digerakkan. Dan
ini membuatnya, kalang kabut. Seketika itu juga tenaga dalamnya dikerahkan.
Tangan kanannya kini berwarna biru dan langsung dihantamkan ke tanah, Kemudian
dengan menggunakan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkat tinggi,
Prameswara cepat meloncat ke ranting pohon dibelakangnya.
Gundukan pasir di bawah terus men-
gejar ke akar pohon tempat Prameswara bertengger. Dalam beberapa kejap kemudian,
pohon itu tersedot dari dalam ta-
nah. "Heh"!"
Prameswara kaget bukan kepalang,
Pohon tempatnya berpijak hampir setengah-nya melesak ke dalam tanah. Cepat
pemuda itu meloncat ke ranting pohon lainnya.
Dan anehnya, gundukan tanah yang bergerak-gerak seperti punya mata saja dan
terus mengejar.
Dalam hati murid Pendekar Kujang
Emas ini berdecak kagum. Dia menduga, pasti ada orang pintar yang sedang unjuk
kepandaian padanya. Namun Prameswara tidak bisa menebak, ilmu apa yang
dipergunakan orang dalam tanah itu. Mungkin semacam ilmu 'Amblas Bumi' atau
semacam il-mu apa.
"Hup...!"
Prameswara kembali meloncat ke
ranting pohon lain. Dan kini gundukan tanah di bawahnya tidak mengejarnya. Tapi
bergetar-getar hebat. Dan tidak lama kemudian.....
Broll...! "Hyaaat...!"
Gundukan pasir itu membuncah seir-
ing teriakan seseorang yang melengking tinggi dari dalam gundukan tanah itu!
Terkejut bukan main Prameswara ke-
tika melihat dari dalam gundukan tanah muncul seorang laki-laki berpakaian merah
darah dengan satu lentingan cantik seka-
li. Setelah berputaran di udara, kakinya mendarat mantap di tanah.
Orang itu tinggi besar. Rambutnya
berwarna merah menyala. Dia sekarang berdiri beberapa tombak di depan
Prameswara. Wajahnya menampakkan kegarangan dengan mata besar. Hidungnya pun besar dipadu
alis mata dan kumis tebal yang berwarna kemerah-merahan.
"Pasti orang inilah yang berjuluk Manusia Rambut Merah," gumam Prameswara dalam
hati. Pemuda ini merasa harus menggunakan akalnya agar dapat membujuk orang tua yang
nampak baru berumur lima puluh lima tahunan itu untuk menjadi gurunya. Dia sudah
melihat ilmu yang sudah diperagakan orang itu. Tapi bagaimanapun juga,
Prameswara harus mengujinya! Dia tidak ingin hanya membuang-buang waktu kalau
ternyata orang ini berilmu rendah.
"Siapa pun yang berani melewati daerah kekuasaanku harus modar!" dengus lelaki
yang memang berjuluk Manusia Rambut Merah garang. Tubuhnya yang tinggi besar
tahu-tahu berkelebatan cepat ke ranting pohon tempat Prameswara bertengger.
Sedang tangannya yang berwarna merah menyala telah melontarkan pukulan mautnya.
Wesss...! Prakk! Ranting pohon tempat Prameswara
berpijak hancur berantakan. Sebagian yang lainnya layu! Untungnya, pemuda itu
cepat meloncat turun. Saat ini pikiran Prameswara mulai bekerja keras.
"Sabar, Orang Tua! Soal membunuhku itu gampang. Tapi kedatanganku kemari, justru
ingin bertemu denganmu...," cegah Prameswara santun.
"Jadi, kau menantangku"! Kau yang membangunkan tapa pendemku, Bocah?" hardik
Manusia Rambut Merah garang. Kedua tangannya yang berwarna merah menyala hingga
ke lengan kembali menyambar-nyambar tubuh Prameswara ganas.
Prameswara kewalahan bukan main da-
lam menghindari. Jangankan terkena pukulannya, terkena sambaran anginnya saja
Prameswara sudah merasakan hawa panas menyengat kulitnya.
"Aku tidak bermaksud demikian, Orang Tua. Terus terang, aku hanya ingin melihat
kebenaran desas-desus yang kuden-gar di sepanjang perjalananku tentang
kehebatanmu, Orang Tua. Bukankah kau yang berjuluk Manusia Rambut Merah?" oceh
Prameswara, mulai menjalankan siasatnya.
"Benar. Tapi itu bukan berarti aku harus mengurungkan niatku untuk membunuhmu,
Bocah!" hardik tokoh itu lagi garang.
"Aku tahu. Tapi percuma saja kalau ingin membuktikan kehebatanmu padaku. Aku
hanyalah anak kemarin sore. Sudah pasti akan kalah," sahut Prameswara merendah.
Manusia Rambut Merah gusar bukan
main dipanas-panasi seperti itu. Kedua kakinya yang besar bergetar-getar.
Demikian pula tanah yang dipijaknya.
"Jadi, tokoh silat mana yang pantas menjadi lawanku, Bocah?" kata Manusia Rambut
Merah gusar. "Banyak. Tapi, bukan itu maksud kedatanganku, Orang Tua!"
"Bedebah! Kau mulai mempermainkanku, Bocah"!"
"Tidak ada gunanya aku mempermain-kanmu, Orang Tua. Aku percaya kehebatanmu.
Untuk itu aku datang kemari. Maksudku tidak lain ingin berguru padamu," tutur
Prameswara semakin mantap dengan rencananya.
"Anjing kurap! Kau hanya mempermainkanku! Kau pikir gampang menjadi mu-ridku"!"
Bukan main marahnya Manusia Rambut
Merah mendengar penuturan Prameswara. Kedua kaki dan tangannya yang sudah lama
sekali tidak memakan korban terasa sudah gatal-gatal ingin dilampiaskannya.
Kemudian dengan satu gerakan sebat, kembali Manusia Rambut Merah menyerang
Prameswara. Nyali Prameswara tidak ciut. Sambil berloncatan menghindari serangan, mulut-
nya tak henti-hentinya mengejek.
"Heh"! Kau pikir aku pun gampang menerimamu sebagai guruku, Orang Tua!
Jangan harap dengan kehebatanmu ini aku mau menerima guru begitu saja!" kata
Prameswara sengaja memanas-manasi.
"Jahanam...! Sekarang katakan, siapa gurumu"! Biar aku patahkan batang le-
hernya"!" dengus Manusia Rambut Merah penasaran bukan main.
"Tidak segampang itu, Orang Tua.
Ada syaratnya," tangkis Prameswara makin membuat Manusia Rambut Merah penasaran.
Manusia Rambut Merah menghentikan
serangannya. Wajahnya kelam membesi dengan rahang bertonjolan.
"Katakanlah! Apa syaratmu, Bocah"!"
ujar Manusia Rambut Merah, keras.
"Tidak terlalu sulit sebenarnya.
Jika kau dapat membunuh guruku, aku hanya ingin agar kau mengangkatku sebagai
murid," sahut Prameswara penuh kemenangan.
"Anjing kurap! Babi gempul! Kau hanya mempermainkanku, Bocah"!"
Bukan main marahnya Manusia Rambut
Merah. Kedua telapak tangannya yang berwarna merah menyala kembali dihantamkan.
Hebat bukan main serangan-serangan
Manusia Rambut Merah itu. Kalau saja Prameswara tidak cepat membuang tubuhnya
beberapa kali ke samping kanan, sudah pasti terkena sambaran pukulan maut dari
tangan Manusia Rambut Merah. Dan melihat serangan-serangannya dapat dihindari, Manusia
Rambut Merah makin penasaran saja.
"Bilang saja kau tidak berani, Orang Tua! Pakai berdalih ingin membunuhku
segala! Jangankan membunuh guruku.
Menghadapi aku saja, kau masih kewalahan," pancing Prameswara, makin membuat
Manusia Rambut Merah penasaran.
Padahal, Prameswara sendiri sudah
mengeluarkan keringat dingin menghadapi serangan-serangan Manusia Rambut Merah
yang sangat ganas dan keji. Kalau saja tokoh sesat itu tidak menghentikan
serangan-serangannya. mungkin dalam satu atau dua jurus kemudian pemuda ini akan
tewas. Siasat menjual nama gurunya inilah satu-satunya yang paling ampuh untuk
mengobar-kan amarah Manusia Rambut Merah.
"Jahanam...! Sekarang katakan siapa nama gurumu, Bocah! Aku sudah gatal-gatal
ingin menghajar gurumu!" bentak Manusia Rambut Merah, gusar bukan main.
"Tapi, kau mau menerima syaratku, bukan?" tukas Prameswara senang
"Baik. Aku terima syaratmu!"
"Hm.... Kalau begitu...," Prameswara cepat memutar otaknya. "Sekarang begini
saja. Kau tidak perlu repot-repot men-datangi puncak Gunung Batu. Tapi sebaiknya
tantang saja guruku di puncak Gunung Merapi, tepat pada malam purnama bulan
ini. Apa kau menerimanya, Orang Tua?"
"Baik. Di mana pun tempatnya, aku siap meladeninya. Tapi, siapa nama gurumu
itu"!" bentak Manusia Rambut Merah bertanya penuh penasaran.
Prameswara tersenyum licik.
"Kau harus hati-hati kalau menghadapi guruku nanti. Guruku bernama Mahesa, atau
yang lebih dikenal sebagai Pendekar Kujang Emas. Apa kau masih berani
melanjutkan tantangan setelah kau tahu nama besar guruku?"
"Jahanam! Jangankan Pendekar Kujang Emas! Ditambah sepuluh orang seperti dia pun
aku tak akan mundur! Cepat sekarang sampaikan tantanganku pada gurumu, Bocah!"
"Baik! Sekarang juga aku akan pulang ke Gunung Batu untuk menyampaikan
tantanganmu ini. Tapi, ingat! Kau tidak boleh lupa dengan syarat yang telah kua-
jukan!" "Baik. Apa pun syaratnya, bukan masalah bagiku," geram Manusia Rambut Merah,
seakan-akan tidak sabar ingin segera bertemu Pendekar Kujang Emas.
Prameswara tersenyum. Hatinya ter-
Medali Wasiat 1 Pendekar Naga Putih 60 Goa Larangan Istana Karang Langit 3