Pencarian

Misteri Dewa Langit 2

Siluman Ular Putih 10 Misteri Dewa Langit Bagian 2


terus mengumbar senyum nakal.
"Aku paling ngenes kalau mendengar suara
tangis. Apalagi suara tangisnya gadis cantik sepertimu, Ningtyas,"
"Sekali ini kau tidak mau lepaskan tanganku,
jangan dikira aku tidak berani menamparmu, Keparat!"
bentak Ningtyas penuh kemarahan.
"Namaku bukan Keparat. Namaku Soma. Kau
sendiri, kenapa menangis seorang diri di tengah hutan sunyi ini?" tukas Siluman
Ular Putih, terus menggoda seraya memamerkan giginya yang putih-putih.
Ningtyas gusar bukan main. Sepasang matanya
yang indah berkilat-kilat penuh kemarahan,
"Ah...! Kenapa kau tampak uring-uringan begi-
ni" Baiklah. Aku akan melepaskan pegangan tangan-
mu. Tapi tolong ceritakan, kenapa kau menangis di si-ni!" susul Soma sambil
melepaskan tangannya
"Pemuda sinting! Mana sudi aku bicara den-
ganmu"!" sentak Ningtyas kasar.
Soma garuk-garuk kepala. Entah kenapa, meli-
hat sikap gadis cantik di hadapannya, tiba-tiba saja rambut murid Eyang Begawan
Kamasetyo yang bergelar Siluman Ular Putih itu jadi gatal.
Ningtyas mencibir sinis. Mungkin muak melihat
sikap Soma. Kemudian tanpa banyak cakap lagi, si gadis segera berkelebat cepat
meninggalkan tempat ini Kembali Soma hanya bisa menggaruk-garuk
kepala. Sementara matanya masih menatapi sosok
tinggi ramping yang terus berkelebat.
"Ah...! Dasar nasib sial! Sebenarnya aku ingin bercakap-cakap barang sebentar
untuk sekedar mengusir sepi. Tapi, sayang. Rupanya gadis cantik itu tidak
tertarik padaku. Baiklah. Kukira, lain waktu aku masih bisa menemuinya.
Sekarang, sebaiknya aku meng-
habiskan daging kelinciku dulu, baru meneruskan perjalanan," desah Soma dalam hati.
*** 7 Ningtyas terus berkelebat cepat meninggalkan
puncak Bukit Karang Kajen. Saat ini, rasa dendam
bercampur kekecewaan berkecamuk dalam hati murid
Raja Pedang itu. Gurunya tewas di tangan Dewa Lan-
git. Dan ia sebagai murid, merasa harus berbakti terhadap gurunya. Makanya, kini
Ningtyas bertekad men-
cari Dewa Langit untuk meminta pertanggung-
jawabannya. "Dewa Langit...!" desis Ningtyas penuh kemarahan. "Kini tak ada pilihan lain
lagi. Terpaksa aku ha-
rus menuruti keinginanmu. Tapi, ingat! Walau sebe-
narnya aku tak sealiran dengan guruku, tapi sebagai murid bagaimanapun juga
harus berbakti. Aku harus
meminta pertanggungjawabanmu Dewa Langit atas te-
wasnya guruku!"
Ningtyas sejenak menghentikan langkahnya.
Dadanya yang membusung bergerak turun naik, me-
mendam kemarahan membludak. Udara segar di luar
hutan Bukit Karang Kajen terasa sesak.
"Tapi, ke mana aku harus mencari orang. Seo-
rang anak manusia yang terlahir dengan cara aneh,
sekaligus memiliki ilmu aneh pula seperti yang di inginkan Dewa Langit" Hm...!
Rasanya mustahil. Mana
mungkin di dunia ini ada anak manusia yang terlahir aneh" Huh! Aku bagai mencari
jarum ditumpukan je-rami saja! Sungguh bukan satu pekerjaan mudah,"
dengus murid Raja Pedang gelisah.
Dan baru saja Ningtyas akan melanjutkan per-
jalanan, mendadak telinganya mendengar suara angin
berkesiur kencang ke arahnya,
Werrr! Werrr! Bagaikan ada angin puting beliung, ranting-
ranting pohon, debu-debu jalanan bercampur daun-
daun kering kontan beterbangan tinggi ke udara. Po-
hon-pohon besar di sekitar tempat itu pun meliuk-liuk ke sana kemari mengikuti
arah angin. Tubuh Ningtyas pun mulai limbung dipermain-
kan angin. Pakaian hijau-hijaunya berkibar-kibar
membuat beberapa kancing baju bagian atasnya tang-
gal. Sehingga menampakkan sebagian dadanya yang
membusung indah. Tapi si gadis tidak menyadarinya.
Perhatiannya saat ini tengah dipusatkan pada angin
puting beliung yang tiba-tiba menyerangnya. Bahkan
pusaran angin itu makin kencang. Sementara tubuh-
nya pun mulai limbung tak terkendali. Padahal tenaga dalamnya pun telah
dikerahkan. "Setan alas! Pasti ada orang sakti yang usil di sekitar tempat ini!" maki
Ningtyas, ketika setangan angin puting beliung mulai berhenti.
Dan baru saja murid Raja Pedang itu menarik
napas lega, tiba-tiba....
"Ha ha ha...! Selamat datang di tempatku, Ga-
dis Cantik! Senang sekali aku menerima kedatangan-
mu!" Ningtyas menggeram penuh kemarahan ketika mendengar suara berat ditingkahi
suara tawa yang
menggetarkan. Suara tawa itu terdengar menggema ke
segenap penjuru. Seketika si gadis mengedarkan pan-
dangan mencari sumber suara. Namun sayang, asal
suara tawa itu seperti berubah-rubah. Terkadang terdengar di timur, namun
sebentar kemudian seperti datang dari barat. Bahkan kemudian sudah pindah ke
sebelah lain, sebelum si gadis bisa menentukannya.
"Keparat! Tunjukkan dirimu, Manusia Penge-
cut!" bentak Ningtyas penuh kemarahan, disertai pengerahan tenaga dalam pada
suaranya. Tapi suara tawa itu kian terdengar bergelak.
Dan karena disertai dorongan tenaga dalam, membuat
sekujur tubuh Ningtyas menggigil hebat. Namun buru-
buru murid Raja Pedang itu mengerahkan hawa murni
hingga sedikit dapat mengusir pengaruh suara baru-
san. "Hm...! Sudah jelas, orang itu pasti memiliki tenaga dalam hebat. Kukira
aku harus berhati-hati
menghadapinya," keluh si gadis perlahan sekali.
Sejenak Ningtyas menunggu kemunculan orang
yang menyerangnya lewat suara tawa barusan. Namun
yang ditunggu tak juga menampakkan batang hidung-
nya. "Bedebah! Kau belum juga menunjukkan ba-
tang hidungmu, he"! Baik! Kalau begitu. Makanlah
pukulan 'Bara Neraka'-ku! Heaaa...!"
Dikawal bentakan nyaring, mendadak Ningtyas
mendorongkan kedua telapak tangannya yang telah
berubah jadi merah kekuningan ke arah semak-semak
belukar. Seketika dua buah sinar merah kekuningan
meluncur cepat menghantam semak-semak belukar.
Prasss! Semak belukar yang jadi sasaran kemarahan
gadis cantik itu terpapas habis. Sebagian lainnya hangus terbakar, dan masih
mengobarkan api di sana-sini!
Geraham Ningtyas bergemeletak penuh kema-
rahan. Sedikit pun tidak ada tanda-tanda kalau si pe-milik suara terpengaruh
oleh sambaran pukulan 'Bara Neraka'. Malah selang beberapa saat....
"Bagus, bagus! Rupanya kau punya sedikit ke-
pandaian juga, Nona" Senang sekali kalau Algojo Dari Timur dapat berkenalan
denganmu. Apalagi, kalau
mau menemaniku barang dua atau tiga malam," lanjut suara tanpa wujud itu.
Ningtyas muak sekali mendengar ocehan suara
yang berbau cabul itu. Namun kali ini mendadak kepalanya berpaling ke belakang.
Dan betapa terkejutnya gadis itu ketika melihat di atas ranting kecil sebesar
ja-ri kelingking tampak seorang lelaki tinggi besar ter-bungkus pakaian merah
dan kuning. Rambut kepa-
lanya dikuncir ke atas. Hanya itu saja rambutnya. Se-lebihnya, plontos! Sebuah
anting besar pun tampak
menghiasi telinga kirinya. Wajahnya dingin mem-
bayangkan kekejian luar biasa. Hidungnya besar den-
gan mata bulat besar. Rahangnya besar menyiratkan
kelicikan. Ia tak lain memang Algojo Dari Timur. (Un-
tuk mengetahui siapa Algojo Dari Timur silakan baca:
"Misteri Bayi Ular" dan "Manusia Rambut Merah").
"Kenapa menghadang langkahku, he"!" bentak Ningtyas mengkelap.
Algojo Dari Timur hanya memperdengarkan su-
ara sumbang. Dan begitu tawanya mereda, tubuhnya
segera melenting tinggi ke udara, membuat pakaiannya yang kedodoran berkibar-
kibar. Tepat ketika lelaki kasar itu mendarat, seketika
tanah di sekitar tempat ini bergetar hebat! Pada bagian yang terkena injakan
kontan berlobang besar!
"Kenapa" Kau tanyakan kenapa, Cah Ayu?" tukas Algojo Dari Timur disusul suara
tawa bergelak. "Baik, baik! Aku Algojo Dari Timur yang menguasai Hutan Karang Kajen ini tentu
saja mengharapkan upe-ti dari orang yang melintas!"
Ningtyas mengeluh dalam hati. Meski belum
pernah bertemu, namun menurut keterangan dari
mendiang gurunya, tokoh sesat dari timur itu memiliki kesaktian tinggi. Bahkan
sama sekali tidak mengenal belas kasihan.
"Hm...! Rupanya hari ini aku tengah berhada-
pan dari tokoh sesat dari timur itu. Agaknya aku harus hati-hati. Sebab menurut
keterangan Guru, tokoh sesat ini sangat licik dan keji!" kata Ningtyas dalam
hati. "Hm...! Algojo Dari Timur! Kukira, dosamu su-
dah bertumpuk. Alangkah akan nyamannya bila
orang-orang macam kau ini lekas-lekas enyah dari
bumi. Dan akulah yang akan mengirim nyawa busuk-
mu menemui kakek moyangmu di alam kubur!" den-
gus murid Raja Pedang ketus.
Algojo Dari Timur tertawa bergelak. Saking ge-
linya, tokoh sesat dari Hutan Karang Kajen ini sampai mengeluarkan airmata!
"Lucu! Lucu sekali! Baru kali ini aku melihat
seorang gadis segalak dirimu. Baik, baik! Tunjukkan kebolehanmu, bagaimana
caranya menghajarku! Tapi
kalau tak sanggup, kau harus membalas serangan-
serangan di atas tempat itu, Nona."
Ningtyas mengkelap bukan main. Saking ama-
rahnya tak dapat dikendalikan segera kedua telapak
tangannya yang telah berubah jadi merah kekuningan
didorongkan ke depan.
Wesss! Wesss! Seketika meluruk dua sinar merah kekuningan
dari kedua telapak tangan murid Raja Pedang siap melabrak tubuh tinggi besar
Algojo Dari Timur!
Tentu saja tokoh sesat bertubuh tinggi besar itu
tak sudi tubuhnya dijadikan sasaran. Ketika sedikit la-gi kedua sinar itu
melabrak tubuhnya, secepatnya kedua tangannya yang berisi tenaga dalam tinggi
dihentakkan. "Aji 'Pemecah Bumi'! Heaaa...!"
Bummm...! Terjadi ledakan hebat bukan main ketika dua
kekuatan dahsyat bertemu. Seketika bumi pun ber-
guncang! Ranting-ranting pohon berderak dengan
daun-daun hangus terbakar!
Algojo Dari Timur yang baru saja melepas ajian
'Pemecah Bumi' tertawa bergelak. Kedua kakinya sem-
pat melesak beberapa dim ke dalam. Sedang sewaktu
terjadinya bentrokan tadi, tubuh si gadis kontan limbung. Melihat calon
mangsanya belum bisa mengen-
dalikan keseimbangan, tokoh sesat dari Hutan Karang Kajen itu pun segera
melompat cepat. Jari-jari tangannya terkembang, siap menotok tubuh Ningtyas.
Begitu cepat gerakannya, sehingga....
Tukkk! Tukkk! "Aaahh...!" Ningtyas memekik tertahan saat totokan Algojo Dari Timur mendarat di
atas dadanya. Seketika tubuh murid Raja Pedang itu pun kaku tak
dapat bergerak "Ha ha ha...!"
Saat mendarat, Algojo Dari Timur tertawa ber-
gelak. Sepasang matanya berkilat-kilat terus menjilati tubuh Ningtyas tanpa
berkedip. Apalagi ketika sepasang mata bengisnya tertumbuk pada bagian membu-
sung di dada murid Raja Pedang yang sedikit terbuka.
Seolah gejolak hatinya tak kuasa lagi ditahan untuk segera menikmati tubuh
Ningtyas. "Kau cantik sekali, Nona! Rasanya tak mungkin
lagi kubiarkan tubuhmu yang montok begini," desah Algojo Dari Timur sambil
menelan ludahnya sendiri
Habis berkata begitu, tokoh sesat dari Hutan
Karang Kajen ini segera mendekati tubuh Ningtyas. Ja-ri-jari tangannya yang
besar segera bergerak cepat.
Dan.... Bret! Bret!
"Aauww...!"
Ningtyas menjerit ngeri. Tanpa ampun lagi pa-
kaian hijaunya di bagian dadanya robek, menampak-
kan sepasang buah dadanya yang besar menggairah-
kan. "Bajingan! Lepaskan aku! Lepaskan aku...!!!" teriak Ningtyas kalang kabut.
Algojo Dari Timur tak peduli lagi. Begitu meli-
hat sepasang buah dada yang terasa mengundang,
tangan-tangan kekarnya segera meraih tubuh Ning-
tyas. Langsung direbahkannya gadis itu di atas rerumputan. Ningtyas berteriak-
teriak menyayat, menyadari
kalau sebentar lagi sebuah petaka bakal merenggut
kehormatannya. Gigi-giginya yang runcing berkali-kali mencoba menggigit ke sana
kemari. Namun dengan
mudahnya Algojo Dari Timur mempermainkannya.
Bahkan kemudian tangannya bergerak-gerak liar,
menjamah dua bukit kembar milik Ningtyas setelah
menindihnya. Menyadari kehormatannya terancam, murid
Raja Pedang itu mulai putus asa. Tanpa disadari airmata pun menitik. Dengan
suara tersendat-sendat,
berkali-kali Ningtyas minta dirinya dilepaskan. Namun suara-suara itu dianggap
sebagai rintihan penuh nikmat oleh lelaki kasar itu.
"Jangan menangis, Cah Ayu! Kau tidak akan ku
sakiti. Aku malah akan membawamu terbang jauh ke
langit tingkat tujuh," desis Algojo Dari Timur.
"Boleh-boleh saja kau ajak gadis cantik itu terbang jauh. Tapi, hati-hati! Nanti
malah kau sendiri yang jatuh ke comberan!"
"Heh..."!"
Tiba-tiba terdengar suara dari arah samping
yang disertai serangkum angin dingin ke arah Algojo Dari Timur. Lelaki sesat ini
cepat menggulingkan tubuhnya, kalau tak ingin celaka.
Brakkk! Batang pohon sebesar satu lingkaran tangan
manusia yang tak jauh dari tempat itu kontan tum-
bang dan jatuh berdebam ke tanah terkena serangan


Siluman Ular Putih 10 Misteri Dewa Langit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nyasar. Debu-debu pun langsung membubung tinggi
menyelimuti tempat itu!
Sewaktu menggulingkan tubuhnya ke samping,
sial bagi Algojo Dari Timur. Ternyata di sampingnya telah menunggu sebuah
kubangan Lumpur
"Nah nah...! Kubilang apa" Akhirnya jatuh ke
comberan, kan?" ejek sosok penyerangnya.
Algojo Dari Timur marah bukan main. Apalagi
ketika mendengar suara tawa yang mencemooh di-
rinya. Melihat siapa yang datang menolong, Ningtyas tak dapat lagi kendalikan
perasaannya. Airmatanya
yang membasahi pipinya pun makin dibiarkan mem-
banjir. Kedua bibirnya bergetar-getar. Matanya terus memandangi sosok pemuda
yang berdiri tak jauh darinya. "Kau.... Kau! Terima kasih atas pertolonganmu,
Soma," ucap murid Raja Pedang bergetar.
*** 8 Sosok pemuda berambut gondrong yang me-
mang Soma alias Siluman Ular Putih hanya terse-
nyum-senyum nakal. Sementara sepasang matanya
yang tajam pun terus menatap sepasang bukit kembar
Ningtyas yang membusung indah.
Sementara Ningtyas yang tidak menyadari kea-
daan dirinya hanya menangis sesenggukan. Namun
sepasang matanya yang indah pun sesekali mencuri
pandang pada sesosok pemuda tampan di hadapan-
nya. Algojo Dari Timur yang sudah cukup mengenal
siapa pemuda tampan di hadapannya kontan membe-
liakkan matanya liar. Selang beberapa saat, kedua pelipisnya bergerak-gerak
penuh kemarahan.
"Bangsat! Lagi-lagi kau yang menghalang-
halangi niatku, Siluman Ular Putih!" bentak Algojo Da-ri Timur, langsung
meloncat bangun.
Mendengar nama pemuda tampan itu disebut,
kekaguman Ningtyas pun makin bertambah. Meski be-
lum pernah bertemu sebelumnya, namun dari kabar
yang tersiar ia tahu kalau pemuda itu adalah seorang pendekar muda yang akhir-
akhir ini menggemparkan
dunia persilatan.
"Selamat bertemu kembali, Algojo Dari Timur.
Aku memang senang menghalang-halangi maksud bu-
sukmu. Juga maksud orang-orang yang telengas lain-
nya," kata Soma, kalem.
"Setan alas! Kali ini aku tidak akan mele-
paskanmu lagi, Siluman Gondrong! Jangan dikira setelah kau mengalahkan aku waktu
itu, aku sudi mene-
rima kekalahan begitu saja, he"! Sekaranglah saatnya untuk membalas
kekalahanku!" dengus Algojo Dari Timur, kalap.
Memang, setelah dikalahkan oleh Siluman Ular
Putih di puncak Gunung Merapi, diam-diam tokoh se-
sat dari Hutan Karang Kajen itu pulang ke tempat per-sembunyiannya. Dan di
tempat itu, giat melatih jurus-jurus silat dan kesaktian selama berbulan-bulan
tanpa mengenal lelah. Dan kini setelah jurus-jurus silatnya dan kesaktiannya
dapat disempurnakan, maka tak heran kalau Algojo Dari Timur kini tidak merasa
gentar menghadapi Siluman Ular Putih.
"Sekarang kau muncul di hadapanku, Siluman
Ular Putih! Kebetulan sekali. Tangan-tanganku sudah lama sekali ingin membeset
jantungmu," geram Algojo Dari Timur penuh kemarahan.
Algojo Dari Timur segera mementangkan ka-
kinya lebar-lebar. Perlahan-lahan, tangan kanannya
yang terkepal bergerak menyilang di atas kepala. Tan-
gan kirinya yang juga terkepal diletakkan di sisi pinggang. Lalu....
"Hea...! Hea...!"
Diiringi bentakan nyaring, tubuh tinggi besar
Algojo Dari Timur segera berkelebat cepat menyerang Siluman Ular Putih. Tangan
kanannya yang terkepal
erat cepat melepas bogem mentah ke wajah si pemuda.
Sedang tangan kiri yang juga terkepal erat siap pula didaratkan ke ulu hati.
Hebat bukan main serangan-serangan tokoh
sesat dari Hutan Karang Kajen itu. Sebelum serangannya tiba, terlebih dahulu
telah berkesiur angin dingin menyambar-nyambar kulit tubuh Siluman Ular Putih.
Melihat datangnya serangan, murid Eyang Be-
gawan Kamasetyo itu segera membuka jurus-jurus
'Terjangan Maut Ular Putih' yang menjadi andalannya.
Sedang kedua telapak tangannya yang kini berubah
jadi putih terang siap melontarkan pukulan maut te-
naga 'Inti Bumi'.
"Heaaa...!"
Dan begitu serangan-serangan Algojo Dari Ti-
mur mulai mendekati sasaran, kedua telapak tangan
Siluman Ular Putih yang membentuk dua kepala ular
pun segera bergerak lincah.
Plakkk! Plakkk!
Begitu terjadi benturan tangan, dengan gerakan
sulit terduga Algojo Dari Timur melayangkan bogem
mentah ke beberapa bagian yang mematikan di tubuh
Siluman Ular Putih. Namun pada saat itu, si pemuda
segera dapat membaca arah gerakan. Cepat bagai kilat segera dipapakinya pukulan-
pukulan Algojo Dari Timur dengan gerakan patukan-patukan kedua telapak
tangannya. Plakkk! Plakkk!
Serangan-serangan Algojo Dari Timur berhasil
ditangkis oleh patukan-patukan kedua tangan Siluman Ular Putih. Seketika buku-
buku tangan lelaki sesat
membiru seperti membentur lempengan baja yang kuat
sekali! Algojo Dari Timur menggeram penuh kemara-
han. Namun sebelum sempat melancarkan serangan
susulan, tanpa terduga-duga tubuh Siluman Ular Pu-
tih telah berkelebat cepat. Patukan-patukan kedua
tangannya tahu-tahu telah mengancam dada lelaki se-
sat itu. Tukkk! Tukkk!
Telak sekali patukan kedua telapak tangan Si-
luman Ular Putih yang membentuk dua kepala ular
mendarat di dada Algojo Dari Timur. Seketika tubuh
tokoh itu terjajar beberapa langkah ke belakang. Parasnya pucat pasi! Seisi
dadanya yang terkena patukan tadi terasa mau jebol!
Algojo Dari Timur menggeram penuh kemara-
han. Sepasang matanya yang besar berkilat-kilat. Lalu dengan kasar, senjata
andalannya yang berupa parang besar dikeluarkan. Kilatan-kilatan mata parang
yang terkena sinar matahari memendarkan cahaya mengiriskan. Lalu disertai
teriakan membelah langit, Algojo Dari Timur kembali menerjang Siluman Ular Putih
dengan parang berputar-putar kencang.
"Ah...! Kau ini tak ubahnya seperti penjagal sa-pi saja, Algojo Dari Timur. Hei!
Ingat, ya! Aku bukan sapi yang seenaknya dapat dijagal!" ejek Siluman Ular
Putih. Algojo Dari Timur sedikit pun tak tertarik untuk meladeni ocehan murid
Eyang Begawan Kamasetyo.
Malah parang di tangannya makin bergerak-gerak
mengiriskan. Namun anehnya, Siluman Ular Putih
enak-enakan berkelit ke sana kemari sambil bersiul-
siul gembira. Bahkan sesekali disusupkannya patu-
kan-patukan kedua tangannya ke tubuh Algojo Dari
Timur. "Hia...! Kena!"
Tukkk! Tukkk! "Aaakh...!"
Algojo Dari Timur menjerit kesakitan. Batok ke-
palanya yang terkena patukan tangan Siluman Ular
Putih terasa mau pecah. Untung saja tadi tenaga da-
lamnya telah dikerahkan. Sehingga patukan-patukan
Siluman Ular Putih tidak terlalu membahayakan, wa-
lau kepalanya masih berdenyut-denyut.
Menyadari serangan-serangannya hanya me-
nemui kesia-siaan, Algojo Dari Timur menggembor pe-
nuh kemarahan. Kedua telapak tangannya yang telah
berubah kuning berkilauan siap melontarkan pukulan
'Badai Gurun Pasir'. Dan begitu kedua telapak tangannya dihantamkan ke depan.
Seketika serangkum angin
panas yang bukan kepalang meluncur dari kedua tela-
pak tangannya. Melihat serangan yang demikian hebat, Silu-
man Ular Putih tak berani lagi bersikap ayal-ayalan.
Segera dikeluarkannya pukulan maut tenaga 'Inti Bu-
mi'. Seketika kedua telapak tangannya pun berubah
jadi putih terang. Kemudian dengan menggunakan se-
pertiga bagian tenaga dalamnya, segera dipapakinya
serangan Algojo Dari Timur.
Wesss! Wesss! Memang tak ada ledakan hebat dari bentrokan
dua tenaga dalam barusan. Namun selang beberapa
saat, tiba-tiba angin panas dari kedua telapak tangan Algojo Dari Timur telah
buyar, langsung menyambar-nyambar ranting-ranting dan daun-daun di sekitar
tempat pertarungan. Seketika di sekitar tempat pertarungan pun bagai hangus
terbakar! "Hup...!"
Algojo Dari Timur segera buang tubuhnya ke
samping. Dan ketika kembali tegak, wajah garang to-
koh sesat dari Hutan Karang Kajen itu berubah pias-
nya. Telapak tangannya pun mendekap erat ke dada,
seolah-olah ingin menahan guncangan dalam tubuh-
nya. Namun sayangnya Algojo Dari Timur tak kuasa.
Dari rahangnya yang mengembung pun segera me-
nyemburkan darah segar!
"Nah! Sekarang baru aku pinjam parangmu.
Aku ingin lihat seperti apa sih, enaknya jadi pejagal manusia-manusia sapi
macammu," celoteh Siluman Ular Putih menggoda, lalu segera mendekati Algojo Da-
ri Timur. Paras Algojo Dari Timur tampak makin pucat
bagai mayat. Seketika nyalinya pun lumer. Dan saat
melihat Siluman Ular Putih mulai melangkah mende-
kati, segera tubuhnya berkelebat cepat meninggalkan tempat ini.
Siluman Ular Putih tak berhasrat mengejar.
Perhatiannya kini tertuju pada gadis cantik yang sempat menggoda hatinya dan
masih terbaring di atas rerumputan.
*** Wajah cantik murid si Raja Pedang mendadak
jadi berseri-seri. Senyum manisnya pun tampak ter-
sungging di bibir. Namun ketika menyadari sikapnya
tadi sewaktu mereka masih berada di puncak Bukit
Karang Kajen, mendadak sikapnya jadi salah tingkah.
"Ah...! Aku benar-benar minta maaf, Soma.
Demi Tuhan, aku tidak menduga kalau kau adalah Si-
luman Ular Putih yang sedang banyak dibicarakan
orang," ucap Ningtyas gugup.
Soma alias Siluman Ular Putih hanya terse-
nyum. Sementara sepasang matanya yang tajam tak
henti-hentinya memandangi buah dada Ningtyas yang
membusung indah. Dan tanpa sadar, si pemuda jadi
menelan ludahnya sendiri.
Ningtyas yang kini menyadari keadaan dirinya
jadi malu bukan main. Semburat rona merah pun kon-
tan menghiasi kedua pipinya. Namun ketika hendak
menutupi buah dadanya, gadis cantik itu jadi menge-
luh. Ternyata tubuhnya masih kaku tak dapat dige-
rakkan. "To.... Tolonglah bebaskan totokanku, Soma!"
pinta Ningtyas malu-malu.
Soma yang masih terpaku pada sepasang buah
dada yang terpentang di depan mata itu mendadak jadi tersentak kaget dan salah
tingkah. Saking kagetnya, tanpa sadar dadanya ditarik ke belakang.
"Ah, ya" Apa tadi kau bilang, Ningtyas?" Ningtyas mengeluh. Sebenarnya, mulutnya
ingin sekali mengeluarkan cacian. Namun buru-buru niatnya di-
urungkan. "Aku tertotok. Tolonglah bebaskan totokanku,
Soma," pinta Ningtyas sedikit lebih lancar.
"Oh...!" Soma menepuk jidatnya. "Kenapa aku jadi lupa begini" Baiklah!"
Dengan menahan perasaan jengah, terpaksa
Ningtyas hanya memejamkan kedua bola matanya se-
waktu murid Eyang Begawan Kamasetyo menotok pu-
lih tubuhnya. Dan begitu terbebas, murid Raja Pedang segera menggulingkan
tubuhnya ke samping.
"Tolong belakangi aku sebentar, Soma! Aku in-
gin membetulkan pakaianku," ujar Ningtyas.
"Baik."
Tanpa banyak cakap, Soma segera berbalik.
Sambil menunggu gadis itu membetulkan pakaian,
murid Eyang Begawan Kamasetyo mencoba membuka
percakapan. "Sebenarnya, kenapa tadi kau menangis demi-
kian menyedihkan di dalam hutan?"
Ningtyas yang tengah sibuk membetulkan pa-
kaian sengaja tidak langsung menjawab. Dan dengan
agak gugup pakaiannya yang robek memanjang di sa-
na sini diikat. Memang tidak begitu rapi dan masih
menampakkan sebagian lekuk-lekuk tubuhnya. Tapi
itu sudah cukup. Baru kemudian Ningtyas segera
mendekati pemuda penolongnya.
"Sebelumnya aku minta maaf atas kelakuanku
tadi, Soma! Aku memang sedang bersedih. Guruku,
Raja Pedang tewas di tangan manusia durjana yang
bergelar Dewa Langit."
"Ya ya ya...! Tapi, sekarang aku sudah diperbo-lehkan melihat tubuh..., eh!
Maksudku, bolehkah aku berbalik?" kata Soma buru-buru mengulangi ucapannya.
Sebenarnya sewaktu gadis cantik di belakang-
nya tadi berbicara, murid Eyang Begawan Kamasetyo
masih sangat terkesan dengan tubuh Ningtyas yang terus membayang di benaknya.
"Tentu! Tentu! Kenapa tidak?"
Soma pun segera berbalik. Senyum nakalnya
pun kontan tersungging di bibir begitu melihat gadis cantik di hadapannya.
Sejenak pandang matanya pun
terus menelusuri tubuh tinggi ramping di hadapannya.
"Kau... kau tampak cantik sekali dalam kea-
daan begini, Ningtyas."
Sekali lagi Ningtyas tersenyum. Hatinya merasa
tersanjung mendengar perkataan pemuda tampan di
hadapannya. "Oh, iya. Tadi kau menyebut-nyebut Raja Pe-
dang dan Dewa Langit. Ada apa sih sebenarnya" Kena-
pa kau tadi menangis demikian menyedihkan?" ulang Soma. Ningtyas bungkam. Kedua
bibirnya yang tipis
berwarna kemerahan tampak bergetar bila teringat sepak terjang Dewa Langit yang


Siluman Ular Putih 10 Misteri Dewa Langit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telah menewaskan gu-
runya, sekaligus membuat dirinya menderita.
Sementara itu Soma yang kurang memperhati-
kan gadis cantik di hadapannya sudah meletakkan
pantatnya di atas rerumputan. Lalu ditariknya lengan Ningtyas.
"Hayo, duduk! Kan enak kalau bicara sambil
duduk begini," ujarnya.
Ningtyas yang merasa lamunannya dibuyarkan
oleh tarikan tangan Soma pun segera tersadar. Namun untuk sesaat, ia belum juga
buka suara. Perasaannya yang menggemuruh sejenak dibiarkan bermain dalam
hati. Namun perlahan ia mulai dapat kendalikan perasaannya yang galau. Dan
mulailah si gadis bercerita.
Selama Ningtyas bercerita, Soma hanya men-
gangguk-angguk saja. Tak ada keinginan untuk memo-
tong cerita Ningtyas. Namun ketika Ningtyas berkali-kali menyebut nama Dewa
Langit, si pemuda jadi mu-
lai tertarik. "Apa" Kau bilang, kau diberi tugas untuk dapat menemukan seorang anak manusia
yang dilahirkan
secara aneh dan sekaligus memiliki ilmu aneh pula,
Ningtyas?"
"Iya. Dan untuk itu pula manusia durjana De-
wa Langit itu melukaiku. Entah kenapa, sejak terkena
totokan tua bangka keparat itu, ulu hatiku terasa nyeri bukan main. Tapi, tak
apalah. Nanti kalau aku sudah menemukan orang yang dicari Dewa Langit, baru aku
boleh menemuinya di Hutan Watu Malang," sungut murid Raja Pedang.
"Dewa Langit..." Rasa-rasanya aku pernah
mendengar nama itu. Kalau tidak salah, dulu eyang
pernah bercerita. Dewa Langit adalah serang tokoh
sakti yang jarang sekali mendapat lawan tanding. Konon hanya Eyang Bromo sajalah
yang dapat menan-
dingi kesaktiannya. Tapi, kenapa menebar angkara
murka di dunia persilatan" Bukankah ia dari golongan putih" Ah...! Bisa jadi
bukan Dewa Langit yang seperti diceritakan Eyang. Sebab menurut cerita Eyang,
tokoh itu sudah sangat tua. Dan kini sudah lama tidak menampakkan diri di dunia
persilatan. Entah ia menyembunyikan diri, atau memang sudah mati. Tapi menurut
perkiraanku, pasti bukan Dewa Langit yang diceritakan Eyang," gumam murid Eyang
Begawan Kamasetyo dalam hati.
Sambil melamun begitu, Soma mengangguk-
anggukkan kepalanya.
"Memang sulit untuk mencari anak manusia
yang seperti diinginkan Dewa Langit. Tapi, tak apa-
apalah! Aku pasti akan membantumu. Cuma sekarang,
ke mana aku mesti mencari manusia yang bergelar
Dewa Langit itu, Ningtyas?" tanya Soma.
"Aku sendiri tidak tahu, Soma. Tapi, kau berha-ti-hatilah kalau bertemu
dengannya. Kesaktiannya
tinggi sekali. Bahkan guruku pun dapat ditewaskan-
nya hanya dalam satu gebrakan. Sungguh tidak ma-
suk akal. Guruku yang sakti itu dapat dirobohkan
hanya dalam satu gebrakan. Kuharap kau... kau...."
Ningtyas tak jadi melanjutkan kata-katanya.
Tiba-tiba lidahnya terasa kelu. Semburat rona merah pun kembali menghiasi pipi.
"Kau berharap apa, Ningtyas" Kenapa kau tidak
melanjutkan?" usik Soma.
"Aku.... Aku...." Ningtyas gelagapan. Debar-debar aneh dalam hatinya makin
membuat rona merah
di kedua pipinya terlihat jelas.
Mendadak Soma pun tertawa bergelak, mem-
buat Ningtyas memandangi dengan kening berkerut.
"Apa kau mengkhawatirkan keselamatanku,
Ningtyas" Kulihat wajahmu selalu merona merah. Pasti kau mengkhawatirkan
keselamatanku. Tak mungkin
meleset tebakanku, bukan?" tebak murid Eyang Begawan Kamasetyo, besar kepala.
Ningtyas gelisah sekali. Tapi memang benar apa
yang diucapkan pemuda tampan di sampingnya. Dan
untuk mengakuinya, mana mungkin gadis cantik ini
berani. Dan hal ini pula yang membuat tawa murid
Eyang Begawan Kamasetyo makin bergelak.
Dan di saat Soma hendak membuka suara
kembali, mendadak pendengarannya yang tajam me-
nangkap gerakan-gerakan halus beberapa orang ten-
gah mendekati tempat ini.
"Kalau ada apa-apa tenang saja, Ningtyas!
Tampaknya ada dua orang tengah mendengarkan
pembicaraan kita."
*** 9 Ningtyas melengak kaget. Diam-diam hatinya
makin kagum pada pemuda tampan di sampingnya.
Namun, rupanya ia pun tak dapat menahan rasa ingin
tahunya. Dan ketika kepalanya berpaling ke samping, keningnya lantas berkerut.
Tak jauh dari tempat mereka, tampak dua
orang lelaki tua tengah tegak mengamati. Kedua orang lelaki tua itu sama-sama
sudah berusia lanjut. Yang sebelah kanan mengenakan pakaian kafan warna putih.
Tubuhnya tinggi kurus. Rambutnya yang panjang
memutih digelung ke atas. Wajahnya pun pucat mirip
mayat. Sedang lelaki tua di sebelahnya memiliki paras lucu menyerupai wajah
bayi. Rambutnya putih dibiarkan riap-riapan di bahu. Tubuhnya yang pendek kurus
dibalut pakaian ringkas warna hitam. Melihat ciri-cirinya, mereka tidak lain
dari Hantu Pocong dan Iblis Muka Bayi.
Sejak mereka dikalahkan oleh Dewa Langit,
Hantu Pocong dan Iblis Muka Bayi jadi kesal sekali.
Untung saja mereka dapat membebaskan diri dari to-
tokan Dewa Langit. Kemudian mereka sepakat untuk
mencari Siluman Ular Putih.
"Cepat jawab pertanyaanku! Benarkah kau ber-
gelar Siluman Ular Putih!" bentak Hantu Pocong garang. Soma alias Siluman Ular
Putih tenang saja, seperti tak mempedulikan kehadiran kedua orang tua
itu. "Kau ini bertanya pada siapa, Pak Tua," kata Soma, kalem.
"Keparat! Aku bertanya padamu, tahu?" bentak Hantu Pocong lagi. "Sekarang
katakan! Benarkah kau yang bergelar Siluman Ular Putih?"
"Oh...! Jadi kau bertanya padaku" Kenapa ka-
sar amat" Sopan sedikit dong?"
"Jangan banyak bacot! Apa kau tidak tahu ten-
gah berhadapan dengan siapa, he"!" bentak Iblis Muka Bayi garang.
Siluman Ular Putih sebenarnya heran, karena
kedua orang tua itu seperti mempunyai maksud yang
tidak baik. Lebih heran lagi, karena rasa-rasanya ia belum pernah bertemu
mereka. Jadi, tak ada alasan me-
reka memusuhinya.
"Heran-heran! Kenapa selalu saja ada orang
yang meributkan siapa aku" Hey, dengar! Kenapa sih
kalian usil bertanya tentang siapa aku sengaja" Dasar kurang kerjaan! Sudah tua
bukannya sadar, malah
mau cari penyakit!" gerutu si pemuda kesal.
"Bedebah! Kau bilang apa, Bocah"!" sentak Iblis Muka Bayi gusar bukan main.
"Aku tidak ingin apa-apa. Kenapa kalian uring-
uringan begini" Maaf deh kalau bicaraku tadi sedikit menyinggung perasaan.
Makanya omonganku jangan
dimasukin ke hati. Coba dimasukkan ke mulut, aku
jamin pasti kalian kenyang," celoteh Soma seenak dengkul.
"Bajingan! Kau jangan berlagak pilon, Bocah!
Melihat ciri-cirimu, pasti kaulah kunyuk kudisan bergelar Siluman Ular Putih!"
bentak Hantu Pocong.
Soma sejenak hanya cengar-cengir sambil ga-
ruk-garuk kepala. Namun belum sempat murid Eyang
Begawan Kamasetyo buka suara, tiba-tiba....
"Goblok! Dasar orang tua-orang tua goblok! Ke-
napa pakai tanya-tanya segala"! Kunyuk gondrong itulah yang bergelar Siluman
Ular Putih!"
Sebuah bentakan keras terdengar, disertai ber-
kelebatnya satu bayangan biru ke arah mereka.
*** Seketika paras Hantu Pocong dan Iblis Muka
Bayi memerah. Keningnya pun berkerut-kerut melihat
seorang lelaki tua berpakaian biru telah berdiri tegak di tempat itu. Rambutnya
awut-awutan tak terawat.
Wajahnya kasar dipenuhi tonjolan daging. Sedang tu-
buhnya yang tinggi kurus dibalut pakaian ketat warna biru. "Peramal Maut! Berani
kau menghinaku seperti itu"!" bentak Hantu Pocong garang.
"Apa kau sudah bosan hidup hingga berani
membacot begitu, Peramal Maut"!" bentak pula Iblis Muka Bayi tak kalah garang.
Lelaki tua yang memang Peramal Maut hanya
tertawa bergelak seraya ketuk-ketukkan tongkat di
tangan kanannya ke tanah. Aneh! Meski tongkatnya
diketuk-ketukkan. Perlahan, namun seketika tanah di sekitar tempat itu bergetar!
Pada bagian yang terkena ketukan tongkat pun kontan berlobang!
Sementara Siluman Ular Putih merasa dongkol
bukan main melihat kemunculan Peramal Maut. De-
mikian juga Ningtyas. Meski mulutnya terkunci rapat-rapat, namun menilik kilatan
sepasang matanya yang
indah itu jelas kalau murid Raja Pedang ini tak me-
nyukai kehadiran lelaki tua jago meramal itu.
"Kenapa tak berani" Memang kenyataannya ka-
lian semua tolol. Pemuda yang sedang kalian cari-cari itulah yang berjuluk
Siluman Ular Putih; Hayo, kenapa kalian hanya memandangi aku! Kunyuk gondrong
itu masih punya hutang barang satu dua gebukan pada-
ku. Dan aku tak sabar lagi untuk menagih, berikut
bunganya," teriak Peramal Maut nyaring.
Habis berteriak begitu, Peramal Maut segera
menerjang Siluman Ular Putih hebat. Dalam sekali ke-
lebatan saja, tongkat hitam di tangan kanannya telah berubah jadi gulungan hitam
yang terus mendesak lawannya.
Melihat Peramal Maut mendahului, tentu saja
Hantu Pocong dan Iblis Muka Bayi tak mau ketingga-
lan. Dengan senjata masing-masing, mereka pun sege-
ra menyerang hebat.
"Hea...! Hea...!"
Dikeroyok bertiga begitu, Siluman Ular Putih
kewalahan bukan main. Gempuran-gempuran ketiga
lawannya, berkali-kali mengancam beberapa jalan ke-
matian di tubuhnya. Untung saja sampai sejauh ini serangan-serangan ketiga orang
pengeroyoknya dapat
dihindari dengan melompat ke sana kemari.
Tapi, tentu saja murid Eyang Begawan Kama-
setyo itu tidak ingin diserang habis-habisan. Apalagi paduan serangan ketiga
orang pengeroyok makin be-ringas saja. Maka tidak ada pilihan lagi, kecuali
membalas ketiga serangan. Namun kali ini jurus-jurus andalan yang dipelajarinya
dari eyangnya di Gunung Bu-cu tidak dikeluarkan, justru si pemuda kini berniat
mengerahkan ilmu yang dipelajarinya di Lembah Kodok Perak untuk membalas
serangan ketiga orang
pengeroyoknya. Begitu Soma terbebas dari serangan dengan
membuat lentingan tubuh menjauh, Siluman Ular Pu-
tih pun segera menekuk kedua lututnya. Lalu sambil
berloncatan ke sana kemari mirip seekor kodok, segera diserang ketiga lawannya.
"Kooook...!!!"
Tiba-tiba terdengar bunyi mirip kodok dari mu-
lut Siluman Ular Putih. Bersamaan dengan itu, kedua telapak tangannya cepat
didorong ke depan. Maka seketika serangkum angin dingin dari ilmu 'Kodok Perak
Sakti' melesat cepat.
Wesss! Wesss! Bumm...!!! Hebat bukan main bunyi ledakan barusan, saat
'Kokok Perak Sakti' Siluman Ular Putih hanya meng-
hantam tanah. Untung saja ketiga orang pengeroyok-
nya bisa menghindar dengan membuang tubuh mas-
ing-masing. Seketika bumi pun bergetar hebat laksana ada gempa!
Selagi Siluman Ular Putih hendak menyerang
kembali, tiba-tiba Ningtyas meluruk menyerang para
pengeroyok Siluman Ular Putih yang telah bangkit berdiri. Pedang di tangan
kanannya segera berkelebat liar mencari sasaran. Namun sayangnya yang dihadapi
gadis cantik itu bukan tokoh sembarangan.
Ketiga tokoh itu adalah para dedengkot dunia
persilatan yang memiliki kepandaian tinggi. Sehingga tak heran bila serangan
gadis itu mudah sekali dimentahkan. Wesss!
Bahkan pada saat Ningtyas hendak melontar-
kan pukulan maut 'Bara Neraka', tiba-tiba melesat angin berkesiur menyerang.
Seketika Ningtyas segera
mengurungkan serangan. Lalu, melirik ke belakang.
Ternyata punggungnya tengah terancam gebukan
tongkat di tangan Peramal Maut.
"Uts!"
Si gadis cepat berkelit ke samping. Namun
sayangnya, saat itu Hantu Pocong dan Iblis Muka Bayi telah menunggu dengan
sambaran tulang paha manusia dan cemeti berekor sembilan.
"Ah...!" pekik Ningtyas gugup.
Belum sempat Si gadis bertindak lebih lanjut,
tahu-tahu senjata-senjata kedua tokoh sesat itu telah
menghantam tubuh Ningtyas.
Bukkk! Ctarr...!
"Augh...!"
Siluman Ular Putih hanya bisa terpana melihat
tubuh Ningtyas jatuh berdebam ke tanah dan tak da-
pat bangun lagi. Soma yang semula sengaja memberi
kesempatan gadis itu untuk mengumbar serangan jadi
menyesali kebodohannya. Maka hatinya kontan tersa-
put kemarahan. Saking tak dapat mengendalikan ama-
rah, mendadak rambut kepalanya telah berubah jadi
ratusan ular putih hidup yang meliuk-liuk!
"Jahanam! Kalian benar-benar manusia jaha-
nam tak tahu malu! Demi Tuhan aku tidak akan mem-
biarkan kalian menebar angkara murka di depan ma-
taku!" bentak Siluman Ular Putih penuh kemarahan.
Srat! Saat itu pula Siluman Ular Putih mengeluarkan
senjata andalan, sebuah anak panah berbentuk aneh.
Bagian ujung runcing anak panah yang sedikit me-
lengkung ke atas berbentuk kepala ular. Di kanan kiri kepala ular terdapat dua
buah cakra kembar dari besi putih. Sedang pada bagian badan yang berupa badan
ular, terdapat beberapa lobang suling. Itulah Anak Panah Bercakra Kembar, sebuah
senjata pusaka yang ja-
rang tandingannya.
Bahkan begitu murid Eyang Begawan Kama-
setyo ini mengerahkan tenaga dalam, seketika hawa
dingin yang bukan kepalang telah memenuhi tempat
itu. Entah bagaimana, baik ilmu meringankan tubuh


Siluman Ular Putih 10 Misteri Dewa Langit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

maupun tenaga dalam si pemuda kontan bertambah
begitu senjata andalannya dikeluarkan.
"Heaaa...!"
Dan dengan teriakan membelah angkasa, Silu-
man Ular Putih kembali menerjang ketiga orang penge-
royoknya. Telapak tangan kirinya yang berwarna putih terang siap melontarkan
pukulan tenaga 'Inti Bumi'.
Tangan kanannya yang memegang Anak Panah Berca-
kra Kembar berputar-putar menerbitkan angin panas.
Begitu murid Siluman Ular Putih menerjang,
senjata Anak Panah Bercakra Kembar segera dilem-
parkan ke arah Iblis Muka Bayi. Tepat saat senjata itu melesat, Siluman Ular
Putih pun melancarkan serangan dengan kedua telapak tangannya yang telah penuh
tenaga 'Inti Bumi' dan tenaga 'Inti Api'. Arahnya tertuju pada Hantu Pocong dan
Peramal Maut. Wesss! Wesss! Seketika melesat dua larik sinar merah dan si-
nar putih terang dari kedua telapak tangan Siluman
Ular Putih. Hantu Pocong dan Peramal Maut tentu saja tidak ingin jadi sasaran
empuk. Maka dengan ajian
andalan mereka pun segera memapaki.
Wesss! Wesss! Bummm...!!! Hebat bukan main ledakan yang terjadi ketika
satu kekuatan dahsyat bertemu kekuatan dahsyat
lainnya. Bumi pun bergetar. Tanah-tanah berhambu-
ran tinggi ke udara. Bahkan batang-batang pohon di
sekitar tempat pertarungan hangus terbakar!
Sementara sewaktu Siluman Ular Putih melem-
parkan senjata pusakanya, Iblis Muka Bayi hanya tersenyum dingin seperti
meremehkan. Tetapi ketika senjata anak panah itu berhasil dihindari, Iblis Muka
Bayi kontan terperanjat. Ternyata senjata itu mampu berbalik, dan menyerangnya
kembali. Meski demikian Iblis Muka Bayi tidak gugup. Segera cemeti di tangan
kanannya digerakkan beberapa kali.
Ctarrr! Ctaaarrr!
Taakkk! Telak sekali senjata anak panah itu tertangkis
lecutan cemeti di tangan Iblis Muka Bayi. Seketika senjata andalan Siluman Ular
Putih melesat ke samping.
Kebetulan sekali arahnya menuju ke tubuh
Soma yang sempat terhuyung-huyung beberapa lang-
kah ke belakang. Maka dengan napas tersengal, murid Eyang Begawan Kamasetyo itu
kembali dapat menangkap senjata andalannya.
Siluman Ular Putih kini telah berdiri tegak di
luar pertarungan. Senjata anak panahnya telah dis-
elipkan kembali ke balik rompi. Kemudian jalan pikirannya mulai dipusatkan, siap
mengerahkan ajian
pamungkas 'Titisan Siluman Ular Putih'. Namun
sayangnya baru saja hendak membacakan mantra
ajian.... "Sungguh memalukan! Tua bangka-tua bangka memalukan! Beraninya cuma
mengeroyok anak ingu-san!" Terdengar bentakan nyaring yang disusul mele-satnya
angin dingin ke arah tiga orang pengeroyok Siluman Ular Putih.
*** 10 Tiga orang pengeroyok Siluman Ular Putih seke-
tika melengak kaget. Dan ketika merasakan angin
dahsyat yang mendadak menyerang, tanpa pikir pan-
jang lagi mereka membuang tubuh masing-masing ke
samping. Sehingga, lesatan angin itu terus menerabas ke belakang, menghantam
batang-batang pohon di belakang. Brakkk!!!
Batang pohon di belakang ketiga orang penge-
royok Siluman Ular Putih kontan berderak, lalu jatuh berdebam ke tanah. Daun-
daunnya pun membeku.
Begitu ketiganya terbebas dari serangan maut,
ketiga tokoh sesat itu pun kontan membeliakkan mata lebar-lebar. Saat itu di
hadapan mereka telah berdiri tegak seorang lelaki amat tua berpakaian putih-
putih. Rambutnya memutih digelung ke atas. Wajahnya telah
penuh keriput. Namun tubuhnya yang kurus kering
tak bertenaga, ternyata menyimpan kekuatan luar bi-
asa! "Dewa Langit...!!!" desis ketiga orang pengeroyok Siluman Ular Putih hampir
bersamaan Siluman Ular Putih sendiri pun sempat terke-
jut. Ia tidak menyangka kalau lelaki tua renta di sampingnya itulah yang tadi
menyerang ketiga orang pengeroyoknya dengan demikian hebat.
"Sungguh tak kusangka orang tua renta. Tam-
paknya tak bertenaga, tapi mampu melancarkan se-
rangan hebat. Dan tampaknya ketiga orang tokoh sesat di hadapanku ini jerih
sekali menghadapi orang tua
renta ini. Dewa Langit...! Hm...! Inikah manusia durjana yang dimaksudkan
Ningtyas" Tapi, kenapa ia meno-
longku?" gumam hati Siluman Ular Putih.
"Dewa Langit! Apa matamu buta"! Pemuda yang
sedang kami keroyok itulah yang sedang kau cari-cari!
Dialah yang bergelar siluman Ular Putih. Tapi, kenapa kau malah menyerang kami?"
teriak Peramal Maut nyaring.
"Hm...!" lelaki tua yang tak lain Dewa Langit menggumam tak jelas. Kepalanya pun
segera berpaling ke arah Siluman Ular Putih sambil mengangguk-angguk.
"Jadi" Pemuda inikah yang telah dilahirkan
dengan cara aneh" Sungguh kebetulan sekali...," desis Dewa Langit dalam hati.
"Bagaimana, Dewa Langit" Kenapa diam saja"
Bukankah kau menginginkan pemuda itu" Hayo, kita
hajar kunyuk gondrong ini ramai-ramai! Atau kau in-
gin menghajarnya sendiri" Jadi biarlah kami menonton saja," kata Peramal Maut
lagi. Siluman Ular Putih terkesiap kaget.
"Ah...! Bagaimana ini kalau sampai orang tua
renta di sampingku termakan kata-kata Peramal Maut.
Benar-benar celaka tiga belas! Menghadapi Peramal
Maut yang dibantu kedua orang temannya saja ra-
sanya sulit. Apalagi sekarang ditambah lelaki renta di sampingku yang tampaknya
sangat ditakuti Peramal
Maut dan kedua orang kawannya" Ah...! Bagaimana
mungkin aku dapat menghadapi mereka"!" gumam ha-ti Siluman Ular Putih.
"Aku paling benci melihat cara bertarung ke-
royokan. Dengan dalih apa pun juga, aku tak sudi menuruti keinginan kalian.
Malah, justru sebaliknya aku ingin melindunginya!" tunjuk Dewa Langit pada
Siluman Ular Putih. "Dan bagi siapa saja yang menginginkan nyawa pemuda ini,
maka akulah orang yang per-
tama akan membelanya. Apa kalian bertiga masih in-
gin mengeroyoknya?"
Hantu Pocong, Iblis Muka Bayi, dan Peramal
Maut terperanjat. Mereka tidak menyangka kalau De-
wa Langit malah justru melindungi Siluman Ular Pu-
tih. "Sungguh aneh watak manusia sinting ini. Ke-
marin ingin mencari Siluman Ular Putih. Tapi begitu ketemu, kenapa mendadak
pikirannya berubah" Dasar
orang tua sinting!" gerutu Iblis Muka Bayi penuh kemarahan.
Dewa Langit tersenyum hambar. Selangkah
demi selangkah mulai didekati Hantu Pocong dan ke-
dua orang kawannya.
Siluman Ular Putih yang merasa di atas angin
membusungkan dada. Lalu dengan langkah mantap, ia
berjalan mengekor di belakang Dewa Langit.
"Hayo, sekarang kalian mau apa lagi"! Aku ti-
dak takut lagi menghadapi keroyokan kalian. Majulah kalau ingin kugebuk pantat
kalian!" ejek Siluman Ular Putih. Peramal Maut dan Hantu Pocong mengkelap
bukan main. Kalau saja di situ tidak ada Dewa Langit, sudah pasti akan kembali
diserangnya Siluman Ular
Putih. Namun berhubung tokoh sakti itu berada pada
pihak Siluman Ular Putih, terpaksa mereka hanya bisa melotot gusar.
Namun rupanya tidak demikian halnya Iblis
Muka Bayi. Meski telah merasakan kehebatan Dewa
Langit, namun ia sedikit pun tidak gentar.
"Dewa Langit! Kuakui, waktu itu aku kalah da-
rimu. Namun, sedikit aku tidak gentar menghadapimu!
Sekarang kalau kau ingin melindungi pemuda tengil
itu, majulah! Aku siap melayanimu!"
Mendengar ucapan Iblis Muka Bayi, seketika
nyali Hantu Pocong dan Peramal Maut yang semula
menciut kini mendadak berkobar-kobar.
"Setan alas! Kau boleh ditakuti banyak tokoh
dunia persilatan, Dewa Langit! Tapi seperti yang dikatakan Iblis Muka Bayi,
sekali lagi kami belum kalah!"
"Nah! Sekarang, kau bisa berbuat apa, Dewa
Langit" Apa kau sanggup menghadapi kami?" tantang pula Peramal Maut.
"Jangan banyak bacot, Peramal Maut! Akulah
lawanmu," teriak Siluman Ular Putih jengkel.
Habis berteriak begitu, Siluman Ular Putih me-
lompat menerjang Peramal Maut. Kedua telapak tan-
gannya yang membentuk dua kepala ular segera berke-
lebat cepat ke arah tubuh Peramal Maut. Namun
sayangnya baru saja Siluman Ular Putih berada di
udara, Hantu Pocong dan Iblis Muka Bayi segera da-
tang menghadang.
"Makanlah cemetiku, Bocah Gondrong!" teriak Iblis Muka Bayi garang.
Ctarrr...! Wuttt...! Cemeti berekor sembilan di tangan kanan Iblis
Muka Bayi pun segera menyambar-nyambar ganas
menyerang Siluman Ular Putih yang terpaksa harus
menarik serangannya. Sedang tulang paha manusia di
tangan Hantu Pocong menyambar deras ke arah Silu-
man Ular Putih.
"Hea...! Hea...!"
Dikawal teriakan nyaring, Peramal Maut pun
turut pula mengeroyok Siluman Ular Putih. Dalam se-
kali kelebatan saja, mendadak tongkat hitam di tangan kanannya telah berubah
jadi gulungan hitam yang terus mendesak sosok putih keperakan si pemuda.
"Manusia-manusia durjana tak tahu malu! Ka-
lian semua memang patut diberi pelajaran!" geram De-wa Langit murka.
Maka dengan ilmu meringankan tubuh yang
sudah mencapai tingkat tinggi, Dewa Langit berkele-
bat. Segera diserangnya ketiga orang pengeroyok Siluman Ular Putih. Jari-jari
tangannya yang telah berubah putih berkilauan pun segera menyosor-nyosor ke sana
kemari siap menotok tubuh ketiga tokoh sesat
itu. Wesss! Wesss! Ketiga orang pengeroyok Siluman Ular Putih se-
rentak menghentikan serangan. Tubuh mereka segera
dibuang ke belakang. Namun meski totokan-totokan
Dewa Langit hanya mengenai tempat kosong, tak
urung ketiga tokoh sesat itu pun masih saja merasa-
kan hawa dingin menyambar-nyambar dada.
"Mampuslah kalian! Sekarang aku pun juga in-
gin menghajar kalian. Tapi mana ya lawan yang akan
ku pilih" Ah, iya" Sebaiknya aku akan menghajar ma-
nusia culas bergelar Peramal Maut saja!" celoteh Siluman Ular Putih, setelah
beberapa saat mendarat di tanah seraya memperhatikan pertarungan.
Habis berceloteh, Siluman Ular Putih pun sege-
ra meluruk ke arah Peramal Maut. Kedua telapak tan-
gannya yang telah berubah jadi putih terang segera didorong ke depan. Seketika
dua larik sinar putih terang melesat dari kedua telapak tangannya.
Wesss! Wesss! Tentu saja Peramal Maut tidak ingin jadi sasa-
ran empuk serangan-serangan Siluman Ular Putih.
Dengan mengandalkan pukulan 'Gelap Ngampar' pun
segera dipapaki serangan Siluman Ular Putih. Saat itu pula kedua tangannya
menghentak disertai tenaga dalam tinggi.
Blaaar...! Seketika tubuh Peramal Maut mencelat ke be-
lakang. Sekujur tubuhnya menggigil kedinginan! Pa-
rasnya pun tampak pucat pasi, pertanda menderita lu-ka dalam cukup hebat.
Sementara begitu Siluman Ular Putih kembali
menerjang Peramal Maut, Dewa Langit telah mencecar
Hantu Pocong dan Iblis Muka Bayi. Dengan ajian
'Sukma Sejati' kedua telapak tangannya yang telah berubah jadi putih berkilauan
menghentak ke arah ke-
dua tokoh sesat itu.
Tentu saja Iblis Muka Bayi dan Hantu Pocong
tidak ingin jadi sasaran empuk serangan-serangan
Dewa Langit. Begitu melihat dua sinar putih berki-
lauan menyerang, mereka segera menggabungkan te-
naga dalam. Lalu secara bersamaan, mereka menghen-
takkan kedua telapak tangannya, memapak pukulan
'Sukma Sejati' milik Dewa Langit.
Wesss! Wesss! Bumm...! Bummm...!
Terdengar dua kali ledakan hebat di udara.
Bumi laksana diguncang angin prahara! Ranting-
ranting pohon di sekitar pertarungan kontan berderak!
Sebagian daun-daunnya ada yang hangus terbakar.
Sebagian lainnya membeku!
Sewaktu terjadinya bentrokan tadi, seketika tu-
buh Iblis Muka Bayi dan Hantu Pocong kontan lim-
bung ke samping dengan wajah pucat pasi. Seisi dada mereka terasa terguncang
hebat! Dewa Langit tersenyum kecut. Dan ia memang
tidak ingin membiarkan kedua tokoh sesat itu bertingkah di muka bumi. Segera
diserangnya kedua lawan-
nya. Hantu Pocong dan Iblis Muka Bayi yang belum
bisa menguasai keadaan kontan mengeluarkan kerin-
gat dingin. Mereka berusaha menghindar, namun ge-
rakan Dewa Langit lebih cepat. Akibatnya....
Bukkk! Bukkk! "Aaah...!"
"Akh...!"
Telak sekali tepukan kedua tangan Dewa Langit
mendarat di ulu hati Hantu Pocong dan Iblis Muka
Bayi. Disertai semburan darah segar mereka berteriak menyayat dengan tubuh
terjajar beberapa langkah ke
belakang. Ketika tubuh mereka membentur batang po-
hon, langsung luruh ke atas tanah. Pingsan!
Sejenak Dewa Langit memperhatikan dua tokoh
sesat yang terbujur pingsan. Lalu pandang matanya
dialihkan ke arah Siluman Ular Putih yang tengah bertarung hebat melawan Peramal
Maut. Dalam pertarungannya murid Eyang Begawan
Kamasetyo tengah melontarkan pukulan tenaga 'Inti


Siluman Ular Putih 10 Misteri Dewa Langit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bumi'. Peramal Maut yang tampak kewalahan meng-
hadapi Siluman Ular Putih terpaksa harus memapak
pukulan maut 'Gelap Ngampar'.
Blarrr...! Karena Peramal Maut ragu-ragu, tubuhnya pun
kontan melayang-layang bak layangan putus begitu
terjadi bentrokan di udara yang menimbulkan ledakan dahsyat. Kemudian begitu
kedua kakinya menjejak tanah, tubuhnya segera berkelebat meninggalkan tempat
ini. Sebenarnya Siluman Ular Putih ingin sekali
mengejar. Namun karena teringat akan keselamatan
Ningtyas niatnya diurungkan. Dan meski tampaknya
merelakan kepergian Peramal Maut, namun tidak de-
mikian mulutnya.
"Jangkrik! Kalau saja aku tidak ingat akan ke-
selamatan Ningtyas, sudah pasti kubuat pepesan teri tubuhmu, Peramal Maut!"
teriak Siluman Ular Putih seraya berbalik. Kakinya segera melangkah lebar
mendekati tubuh Ningtyas, Namun baru saja melangkah,
mendadak.... "Tetap di tempatmu, Siluman Ular Putih! Kalau
tidak, biarkan gadis itu mati sekarang juga!"
Terdengar bentakan keras, membuat langkah
Soma terhenti. 11 Kening Siluman Ular Putih berkerut dalam me-
natap sosok yang mengeluarkan bentakan. Sosok yang
tak lain Dewa Langit itu kini malah melangkah mendekati tubuh Ningtyas. Semula
si pemuda merasa cemas
bukan main. Namun ketika dilihatnya orang tua renta itu menotok beberapa jalan
darah dan mengurut tengkuk tubuh gadis itu, baru Soma merasa lega.
"Aneh...! Rasanya belum pernah aku bertemu
orang macam dia. Ternyata Ningtyas yang telah dicelakakan, eh, malah sekarang
diobati," gumam Soma dalam hati
Selang beberapa saat, Ningtyas pun mulai si-
uman. Perlahan-lahan kelopak matanya pun mulai
membuka. Namun saat itu pula, Ningtyas memekik
tertahan. Sepasang matanya yang semula bersinar in-
dah, mendadak berkilat-kilat penuh kemarahan.
"Jangan terlalu banyak bergerak, Cah Ayu...!
Luka dalammu belum begitu pulih. Minumlah obat
ini!" kata Dewa Langit lembut seraya menyerahkan ob-at pulung yang diambil dari
dalam saku bajunya.
Sejenak Ningtyas membelalak heran melihat pe-
rubahan sikap orang tua renta yang telah menewaskan gurunya. Dan ketika Dewa
Langit mengulurkan obat
pemunah racun, Ningtyas pun tampak masih ragu-
ragu. "Ambillah, Cah Ayu." Ujar Dewa Langit lembut.
"Mungkin kau tidak menyadari kalau sebenarnya totokanku tempo hari masih
mempengaruhi tubuhmu.
Aku menyesal sekali, Cah Ayu. Untuk itu telanlah obat pemunah racun ini"
Ningtyas masih membisu. Hanya sepasang ma-
tanya yang berkilat-kilat, terus memandang paras De-wa Langit tak percaya.
"Hm...! Apakah kau masih ingat mendiang gu-
rumu, Cah Ayu?" lanjut Dewa Langit, seolah-olah dapat menebak jalan pikiran
Ningtyas. "Ah...! Aku menyesal sekali Aku sendiri tidak tahu, kenapa sampai
demikian keji aku mencelakakan gurumu. Mungkin
aku terlalu kecewa dengan jalan hidupku akhir-akhir ini, sehingga membuatku jadi
khilaf. Maka, kalau kau tidak keberatan, sebagai tebusan atas kesalahanku,
sudilah kau mempelajari kitab-kitab peninggalan ku.
Dan kau bisa mengambilnya sendiri di goa kecil, di
luar Hutan Watu Malang"
Ningtyas yang semula merasa geram bukan
main melihat gurunya tewas di tangan Dewa Langit,
entah kenapa kemarahannya lumer. Malah kini ha-
tinya sangat terharu dengan apa yang diucapkan orang tua renta di hadapannya.
"Kau... Kau mau ke mana, Orang Tua" Tam-
paknya kau ingin pergi jauh?" tanya Ningtyas dengan suara bergetar.
Dewa Langit tersenyum gusar. Namun ketika
sepasang matanya yang berwarna kelabu tertumbuk
pada pemuda berpakaian putih keperakan yang masih
berada di tempatnya, Dewa Langit pun melebarkan se-
nyum. "Tetaplah tenang di tempatmu, Cah Ayu! Kuharap kau jangan terlalu banyak
ulah bila terjadi sesuatu denganku," ujar Dewa Langit, lalu buru-buru meloncat
bangun. Soma yang masih berdiri di tempatnya hanya
menggaruk-garuk kepala seraya berpaling ke tempat
lain. Seolah-olah, ia tidak menyadari dirinya tengah diperhatikan Dewa Langit
dan Ningtyas! "Siluman Ular Putih! Demi Tuhan aku senang
sekali bertemu denganmu. Sekarang kuminta tun...."
Dewa Langit menghentikan bicaranya. Namun
sepasang matanya yang berwarna kelabu terus perha-
tikan pemuda tampan di hadapannya.
"Ah...! Kukira tidak seharusnya aku berterus
terang mengatakan maksud tujuanku. Bila aku berke-
ras kepala meminta pemuda itu menunjukkan ilmu
anehnya untuk membunuhku, sudah pasti pemuda ini
keberatan. Dan bisa jadi malah tidak mau menuruti
keinginanku. Sedang aku tidak menginginkannya. Ya
ya ya...! Memang sebaiknya aku tak usah memberita-
hukannya," gumam Dewa Langit dalam hati.
Mendengar Dewa Langit menghentikan bicara,
murid Eyang Begawan Kamasetyo tetap saja tenang di
tempatnya. Seolah-olah, tak ingin lagi bicara dengan orang tua renta di
hadapannya. "Anak muda! Kukira sudah saatnya kita berta-
rung. Aku tak ingin kita buang-buang waktu lagi!" kata Dewa Langit, mengejutkan.
"Eh...! Apa tadi kau bilang, Orang Tua" Kita
bertarung" Yang benar, ah"! Mana berani aku kurang
ajar padamu. Toh, di antara kita tak ada silang sengketa. Kau ini ada-ada saja,
Orang Tua! Tadi kau sibuk membantuku menghadapi keroyokan. Tapi sekarang,
kau malah memintaku untuk bertarung!" tukas Soma tak dapat menahan perasaan
herannya lagi. "Terserah kau mau omong apa, Anak Muda!
Pokoknya, aku harus menantangmu bertarung!" tandas Dewa Langit.
"Kenapa harus?"
"Karena aku...," hampir saja Dewa Langit kele-pasan bicara. Untung saja ia
segera teringat akal bu-lusnya. "Karena... karena memang aku menginginkan
nyawamu, Anak Muda."
"Kau plintat-plintut, Orang Tua! Aku tak per-
caya omonganmu. Kalau memang iya, pasti kau men-
ginginkan sesuatu dariku. Entah apa" Yang jelas, ma-na sudi aku bertarung
denganmu tanpa sebab pasti,"
tolak Soma. "Sudah kuduga! Pemuda di hadapanku ini pasti
akan keberatan," gumam Dewa Langit lagi dalam hati.
"Kalau begitu aku harus memaksamu Bocah"!"
"Kau ini sebenarnya menginginkan apa, sih"
Kenapa nafsu sekali ingin bertarung denganku?"
"Jangan banyak tanya! Cepat sambut pukulan-
ku!" teriak Dewa Langit lantang.
Habis berkata begitu, Dewa Langit pun segera
membuka jurusnya. Jari-jari tangannya yang telah berubah jadi putih berkilauan
telah terangkat. Namun
sayangnya baru saja bermaksud akan menyerang, ti-
ba-tiba Ningtyas telah berkelebat menghadang lang-
kahnya. "Jangan, Orang Tua! Kalau kau benar-benar
menyesal telah menewaskan guruku, kau tidak boleh
menyerang Soma. Kalau kau tetap keras kepala, lang-
kahi dulu mayatku. Baru kau boleh menyerang Soma!"
teriak Ningtyas lantang
Dewa Langit menggeram penuh kemarahan.
Tampak sekali kalau hatinya sangat bimbang. Namun,
bila teringat akan maksud tujuannya, kebimbangan di hatinya pun sirna.
"Kau tetap tenang di tempatmu, Cah Ayu! Aku
tidak bermaksud mencelakakan pemuda itu," ujar De-wa Langit, tandas.
"Aku tak percaya. Kau pasti akan mencelaka-
kan Soma," sergah si gadis.
"Ah...! Kau hanya menghalang-halangi mak-
sudku saja. Sebaiknya tonton saja, apakah aku ingin membunuh Siluman Ular Putih
atau tidak," kata Dewa Langit lagi.
Lalu dengan ilmu meringankan tubuhnya yang
luar biasa, tahu-tahu tubuh Dewa Langit telah berkelebat cepat, langsung menotok
tubuh Ningtyas.
Tuk! Tuk! Begitu tubuhnya terkena totokan, seketika itu
juga kaku, tak dapat digerakkan. Kemudian dengan
menahan perasaan gusar, Ningtyas pun terpaksa
hanya dapat menonton apa yang akan dilakukan Dewa
Langit. "Sekarang tunjukkan kehebatanmu, Bocah!
Kudengar kau memiliki ilmu aneh, hingga mendapat
julukan Siluman Ular Putih. Hayo, sekarang tunjukkan ilmu anehmu padaku!" teriak
Dewa Langit tak sabar lagi. Saat itu pula, Dewa Langit meluruk deras menyerang
Siluman Ular Putih. Ia yang ingin segera menemui kematian, tidak tanggung-
tanggung lagi untuk
mengeluarkan ajian 'Sukma Sejati' agar Siluman Ular Putih mau mengerahkan ilmu
pamungkasnya. Maka
begitu, 'Sukma Sejati' dikerahkan, seketika kedua telapak tangan Dewa Langit
telah berubah jadi putih berkilauan hingga sampai ke pangkal siku! Kemudian
dengan sebagian tenaga dalamnya, lelaki tua itu segera menghantamkan kedua
tangannya ke depan.
Wesss! Wesss! Hebat bukan main serangan Dewa Langit. Sebe-
lum pukulan 'Sukma Sejati' mengenai sasaran, terlebih dahulu berkesiur angin
dingin mendahului!
Diam-diam Siluman Ular Putih mengeluh dalam
hati. Kendati tak berhasrat untuk bertarung, tentu sa-ja tubuhnya tidak ingin
jadi sasaran empuk serangan-
serangan Dewa Langit. Maka begitu menyadari da-
tangnya bahaya, segera tubuhnya melenting ke samp-
ing. Sehingga dua larik sinar putih terang dari kedua telapak tangan Dewa Langit
terus menerabas ke belakang, menghantam batang pohon.
Brakkk!!! Seketika batang pohon di belakang Siluman
Ular Putih tumbang, lalu jatuh berdebam ke tanah!
Debu-debu membubung tinggi, memenuhi tempat per-
tarungan! Begitu Siluman Ular Putih mendarat, Dewa
Langit yang sudah merasa geram karena serangannya
hanya dihindari, kembali menerjang. Jurus-jurus saktinya langsung digelar,
diiringi pukulan 'Sukma Sejati'.
"Jangkrik! Rupanya orang tua sinting ini benar-benar menginginkan nyawaku!
Padahal dari tadi aku
sudah berusaha mengalah. Tapi entah kenapa, Dewa
Langit terus mendesakku seperti orang kesurupan!"
"Ah...! Kalau begini terus, bisa modar aku!" keluh Siluman Ular Putih dalam
hati. Serangan-serangan Dewa Langit makin meng-
hebat. Malah dengan kekuatan tenaga dalam sepe-
nuhnya, tokoh sakti dari Hutan Watu Malang ini kem-
bali melontarkan pukulan 'Sukma Sejati'.
"Hea...! Hea...!"
Dikawal teriakan nyaring, Dewa Langit segera
mendorong kedua telapak tangan ke depan. Seketika,
melesat dua larik sinar putih berkilauan dari kedua telapak tangannya.
"Sontoloyo! Rupanya orang tua renta ini me-
maksaku bertarung! Baiklah! Daripada mati konyol,
kukira tak ada jeleknya meladeni serangan-serangan
orang tua sinting ini!" omel murid Eyang Begawan Kamasetyo dalam hati.
Saat itu Siluman Ular Putih mendorongkan ke-
dua telapak tangannya yang telah penuh tenaga 'Inti Bumi' ke depan. Maka melesat
pula dua larik sinar putih terang dari kedua telapak tangan Soma, memapaki
pukulan 'Sukma Sejati'.
Blaammm...! Hebat bukan main bentrokan dua tenaga dalam
di udara kali ini! Bumi berguncang hebat. Tanah-tanah di sekitar pertarungan
kontan terbongkar ke udara!
Bak karung basah, tubuh Siluman Ular Putih
mencelat beberapa tombak ke belakang. Untung saja
tubuhnya mampu membuat putaran. Sehingga, daya
luncur tubuhnya bisa dipatahkan. Namun begitu ke-
dua kakinya menjejak tanah, tetap saja keseimbangan tubuhnya tak dapat
dikendalikan. Malah parasnya pun tampak demikian pias dengan darah segar
berleleran di sudut-sudut bibir. Jelas murid Eyang Begawan Ka-
masetyo itu mengalami luka dalam.
"Semprul! Tak kusangka aku dapat dirobohkan
tua bangka di hadapanku ini hanya dalam satu gebra-
kan!" dengus hati Siluman Ular Putih.
Saat itu, Dewa Langit pun kembali menyerang
hebat. Diam-diam Siluman Ular Putih mengeluh dalam
hati. Kali ini sulit rasanya menghindari gempuran-
gempuran lawan. Dan kenyataannya memang demi-
kian. Belum sempat murid Eyang Begawan Kamasetyo
ini bertindak, tiba-tiba tepukan tangan Dewa Langit telah mengancam dadanya.
Dan.... Bukkk! Bukkk! Telak sekali hantaman tangan Dewa Langit
mendarat di dada Siluman Ular Putih. Seketika tubuh si pemuda limbung ke
samping, lalu jatuh berdebam
ke tanah! Parasnya kian pucat bagai mayat! Sedang
dadanya yang terkena hantaman tangan terasa mau
jebol! Siluman Ular Putih mengerang hebat. Dan begi-tu meloncat bangun, darah
segar tersembur dari mu-
lutnya. "Slompret! Benar-benar slompret! Tua bangka ini rupanya benar-benar
menginginkan nyawaku. Kukira sudah saatnya aku mengeluarkan ajian 'Titisan
Siluman Ular Putih' seperti yang diinginkan orang tua itu," pikir Soma dalam
hati. Maka tanpa banyak cakap lagi, Soma segera
memusatkan jalan pikirannya. Sementara itu, kedua
bibirnya mulai berkemik-kemik, membaca mantra
ajian 'Titisan Siluman Ular Putih'. Dan begitu selesai, seketika itu pula
sekujur tubuhnya diselimuti asap putih tipis. Sehingga, bayangan tinggi kekarnya
tidak kelihatan sama sekali!
Melihat ilmu aneh yang tengah dikeluarkan Si-
luman Ular Putih, sejenak Dewa Langit pun menghen-
tikan serangan. Sepasang matanya yang berwarna ke-
labu terus memandangi asap putih yang bergulung-
gulung di hadapannya tanpa berkedip. Dan ketika


Siluman Ular Putih 10 Misteri Dewa Langit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

asap yang menyelimuti sekujur tubuh Siluman Ular
Putih sirna, seketika itu pula....
"Ggggeeerrr...!!!"
* * * "Si.... Siluman Ular Putih...!" pekik Dewa Langit.
Ningtyas pun tak urung terperangah dengan
mata melotot. Namun ketika gadis ini berniat berlari karena ngeri, tetap saja
tubuhnya masih terpaku karena tertotok,
"Hm...! Rupanya inikah yang disebut-sebut il-
mu aneh yang dapat membunuhku...?" gumam Dewa
Langit menegang, saking gembiranya melihat ilmu
yang tengah dikeluarkan murid Eyang Begawan Kama-
setyo. Sejenak tokoh sakti dari Hutan Watu Malang
itu belum melanjutkan serangan. Hanya sepasang ma-
tanya saja yang terus memandang takjub pada sosok
panjang sebesar pohon kelapa berwarna putih.
"Oh...! Hyang Widi! Rupanya kau telah menga-
bulkan permintaanku. Terima kasih, Hyang Widi. Se-
karang juga aku siap menerima jalan kematianku," desah Dewa Langit seraya
mendongakkan kepala.
Dan dengan wajah berseru, Dewa Langit kem-
bali memperhatikan sosok mengerikan di hadapannya.
Hatinya kini lapang. Apalagi saat itu sosok panjang Siluman Ular Putih mulai
mengibas-ngibaskan ekornya
ke sana kemari, siap menyerang Dewa Langit.
Diam-diam Dewa Langit jadi gembira. Dan se-
perti dugaannya, ternyata ular putih raksasa itu kini menerjang hebat dengan
terkaman-terkaman mengiriskan. Aneh! Dengan senyum terkembang, Dewa Lan-
git siap menerima serangan-serangan Siluman Ular
Putih tanpa sedikit pun berusaha mengelak. Hal ini
tentu saja sangat mencemaskan hati Ningtyas yang
menonton jalannya pertarungan tanpa dapat mengge-
rakkan tubuhnya.
Buk! Buk! "Ohh...!"
Ketika terjangan Siluman Ular Putih mengenai
sasaran, Ningtyas memekik lirih. Matanya terpejam rapat-rapat. Lalu....
"Aaa...!"
Saat mata murid si Raja Pedang terpejam tiba-
tiba terdengar satu lengking kematian yang teramat
menyayat hati. Ningtyas penasaran bukan main. Buru-buru
kelopak matanya kembali dibuka. Dan saat itu pula, si gadis memekik, melihat
tubuh bersimbah darah milik
Dewa Langit yang telah terkapar di atas tanah di sampingnya. Dadanya bergerak
turun naik. Kembali terjadi keanehan. Meski mendapat luka teramat parah, Dewa
Langit tampak berusaha tersenyum.
"Kau.... Kau, kenapa tidak berusaha menghin-
dar, Orang Tua?" tanya Ningtyas, tak dapat menahan perasaan heran.
"Me... memang inilah yang kuinginkan, Cah
Ayu. Aku sudah jenuh. Aku sudah muak melihat kehi-
dupan ini. Dan hanya dengan cara inilah aku dapat
menemukan kematian," jelas Dewa Langit, tersengal.
Ningtyas terharu sekali. Tak disangka, Dewa
Langit memang menginginkan kematian di tangan Si-
luman Ular Putih.
Saat yang sama sekujur tubuh Siluman Ular
Putih mulai diselimuti asap putih tipis. Sehingga,
bayangan sosok panjang sebesar pohon kelapa itu ti-
dak kelihatan sama sekali. Lalu saat asap putih itu sirna tertiup angin, maka
yang tampak kini hanya sosok pemuda berambut gondrong murid Eyang Bega-
wan Kamasetyo! "Ah...! Kenapa jadi begini?" teriak Soma begitu kembali menjelma jadi manusia
biasa. Habis berteriak begitu, Siluman Ular Putih se-
gera berlari ke arah Dewa Langit. Rasa menyesal yang teramat sangat tiba-tiba
membaluri hatinya. Lalu dengan agak gugup, segera diraihnya kepala Dewa Langit
ke atas pangkuannya.
Meski dengan susah payah, Dewa Langit tetap
berusaha tersenyum.
"Terima kasih, Anak Muda. Kau baik sekali.
Kau telah antarkan aku menemui Pendampingku Yang
Setia. Kalau kau tertarik, sekalian ajak gadis itu mempelajari kitab-kitab
peninggalan ku. Asal, jangan Kitab Sukma Sejati! Itu amat berbahaya, Anak Muda.
Kukira hanya itu pesanku, Anak Muda! Selamat tinggal!" ucap Dewa Langit lirih.
Dan perlahan-lahan, Dewa Langit pun meme-
jamkan matanya rapat-rapat. Dadanya yang tadi ter-
sengal, perlahan-lahan tenang kembali. Tokoh sakti
dari Hutan Watu Malang ini pun telah berangkat ke
tempat kekal yang diinginkannya.
"Sungguh orang tua hebat! Tak kusangka ia
menginginkan kematian dari tanganku," desah Siluman Ular Putih dalam hati.
Siluman Ular Putih lantas bangkit sambil
membopong tubuh Dewa Langit yang telah menjadi
mayat. Murid Eyang Begawan Kamasetyo ini segera
mendekati Ningtyas yang masih tertotok.
"Bagaimana ini, Ningtyas" Apa tidak sebaiknya
kita kuburkan saja di tempat kediamannya, di Hutan
Watu Malang" Kukira ini akan lebih baik bagi ketente-raman arwahnya?" tanya Soma
meminta pendapat.
"Baiklah. Aku menurut saja. Asal...."
"Asal apa?" potong Soma. "Asal berduaan denganku, kan?"
"Apa"! Enak saja!" sungut Ningtyas kesal.
"Lantas?"
"Aku memang ingin mengikutimu. Tapi, aku ju-
ga ingin mempelajari kitab-kitab peninggalannya," jelas Ningtyas.
"Oh, begitu...?" desah Soma.
"Iya. Makanya cepat bebaskan totokanku!"
"Baik."
Soma cepat menotok tubuh Ningtyas, hingga
dapat kembali menggerakkan tubuhnya. Kemudian si
pemuda segera mengajak pergi meninggalkan tempat
ini. Kedua tangannya masih memondong jasad Dewa
Langit yang perlahan-lahan mulai dingin dan kaku.
Angin pun berbisik-bisik, seolah membicarakan
keanehan Dewa Langit yang menginginkan kematian-
nya di tangan seorang pendekar yang dilahirkan secara aneh, serta memiliki ilmu
aneh. SELESAI Segera hadir kembali!!!
Serial Siluman Ular Putih dalam episode:
PERSEKUTUAN MAUT
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Naga Jawa Negeri Di Atap Langit 12 Joko Sableng Jejak Darah Masa Lalu Alap Alap Laut Kidul 8
^