Pencarian

Misteri Dewa Langit 1

Siluman Ular Putih 10 Misteri Dewa Langit Bagian 1


Hak cipta dan copy right pada
penerbit dibawah lindungan
undang-undang Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
1 Wajah bulan di angkasa bagaikan berselimut
duka. Awan-awan kelabu di sekitarnya membuat bulan
malas tersenyum. Tak ada kegairahan terpancar pada
wajah sang Dewi Malam. Sementara angin yang ber-
hembus semilir seolah tak berdaya mengusir awan ke-
labu di angkasa raya.
Cahaya bulan yang demikian temaram seolah
tak mampu menerangi sebuah dataran luas berumput
di luar Hutan Watu Malang. Di pinggiran dataran, sebuah pohon randu tua tumbuh
rindang dengan daun-
daunnya yang berjuntaian berdiri kokoh. Batangnya
yang sebesar dua lingkaran tangan manusia dewasa
telah keropos di sana-sini termakan usia. Sebagian
akarnya yang berwarna kuning bertonjolan keluar.
Di sebuah celah pada batang pohon randu yang
kerowok samar-samar terlihat sesosok tubuh terbung-
kus pakaian putih-putih tengah khusuk bertapa.
Sungguh aneh. Dalam ruangan di dalam pohon yang
luasnya tak lebih dari setengah tombak didiami satu sosok yang tak lain seorang
lelaki tua yang umurnya sulit ditaksir. Pintu masuknya pun sempit sekali. Tak
lebih dari ukuran badan manusia. Dari, semak belukar dan lumut yang melapisi
pohon maupun tubuhnya, jelas kalau lelaki itu telah berada cukup lama di dalam
celah pohon. Rambut panjang lelaki itu digelung ke atas. Alis
mata dan bulu mata semuanya berwarna putih. Wa-
jahnya tirus kepucatan, karena sejak berada di dalam celah pohon ini jarang
sekali terkena sinar matahari.
Tubuhnya pun kurus kering seperti tak bertenaga.
Meski demikian, wajahnya yang renta penuh keriput
masih tetap menampakkan sisa-sisa ketampanannya
di waktu muda. Sebenarnya siapakah lelaki berpakaian putih-
putih itu" Mengapa ia bersemadi di dalam batang po-
hon" Sejarah rimba persilatan sebenarnya pernah
mencatat adanya seorang tokoh sakti yang jarang se-
kali menemui lawan tanding. Ia berjuluk Dewa Langit.
Tak seorang pun tahu, siapa nama aslinya. Yang jelas, Dewa Langit adalah tokoh
besar yang namanya sempat
tercatat oleh para pujangga di tanah Jawa ini.
Hanya beberapa gelintir orang saja yang sang-
gup menandingi kesaktian Dewa Langit. Satu di anta-
ranya adalah Eyang Bromo. Namun sejak Eyang Bro-
mo menghilang dari dunia persilatan, Dewa Langit jadi kebingungan sendiri.
Dengan ajian 'Sukma Sejati'-nya yang dimiliki justru membuat tokoh sakti itu
kebingungan. Akibat memiliki ajian 'Sukma Sejati'-nya, De-wa Langit ini menemui
kesulitan untuk menemui ke-
matian! Dan, sosok yang berada di dalam celah pohon itu lak lain adalah Dewa
Langit. Dengan cara bertapa di dalam celah batang pohon, Dewa Langit berusaha
mencari wangsit agar Hyang Widi sudi mengabulkan
keinginannya. Sebelum mendapat wangsit, Dewa Lan-
git bertekad untuk tidak keluar dari tempatnya.
Berpuluh-puluh tahun Dewa Langit terus ber-
tapa. Sayang, sampai saat ini Sang Hyang Widi belum mengabulkan keinginannya.
Namun Dewa Langit tidak
putus asa. Ia telah bertekad untuk menemui jalan kematian dengan cara bertapa.
Telah sangat lama ia hidup di dunia. Telah banyak asam garam yang telah di-
telannya. Sebagai tokoh teratas dunia persilatan, tak ada lagi lawan yang mampu
menghadapinya. Entah karena apa, mendadak pohon itu berge-
tar hebat laksana diguncang oleh sebuah kekuatan
dahsyat. Padahal tanah di sekitarnya tetap tenang. Sedikit pun tidak ada tanda-
tanda kalau ada gempa. Cukup aneh memang! Malah sebagian daun-daunnya
mulai berguguran!
Dan sewaktu pohon randu tadi bergetar hebat,
tubuh kurus kering Dewa Langit pun ikut bergetar hebat. Parasnya mendadak
tegang. Keringat dingin pun
mulai membasahi sekujur tubuhnya. Sementara dari
alam bawah sadarnya, mendadak....
"Wahai, Anak Manusia! Bangunlah! Sesung-
guhnya permintaanmu sangat mustahil. Kau tidak se-
patutnya meminta mati sebelum waktunya! Kau sangat
lancang dalam hal ini, Anak Manusia! Apa kau tidak
sadar kalau mati dan hidup itu di tangan Sang Pencip-ta" Mengapa kau nekat
mencari jalan di luar kehen-
dak-Nya?" Sebuah suara gaib yang entah dari mana da-
tangnya, menelusup ke telinga Dewa Langit. Begitu
gaung suara gaib itu sirna, batang pohon randu itu
pun makin bergetar hebat. Bumi berguncang laksana
ada gempa. Tubuh Dewa Langit sendiri pun tergetar-
getar hebat. Parasnya yang tirus menegang. Kedua bibirnya berkemik-kemik seperti
ada sesuatu yang di-
ucapkan dari alam bawah sadarnya.
"Siapa kau sebenarnya" Mengapa kau melarang
caraku dalam mencari kematian. Aku sudah bosan hi-
dup. Aku sudah ingin bersanding dengan Pendamping
Setia ku" Mengapa kau larang aku?"
"Adalah orang pengecut bila meminta keinginan
di luar kehendak-Nya. Tapi, baiklah. Berhubung kau
bersikeras untuk menemui jalan kematian, aku pemi-
lik Kitab Sukma Sejati yang kau temukan di batang
pohon randu ini, terpaksa akan memberimu cara."
Kembali suara gaib itu bergema ke segenap
penjuru alam pikiran Dewa Langit.
Tubuh Dewa Langit pun kembali bergetar he-
bat. Parasnya tampak demikian tegang. Kedua bi-
birnya pun berkemik-kemik hebat.
"Ja.... Jadi" Kau.... Kau Eyang Parikesit?"
"Tak usah banyak tanya, Muridku! Meski aku
belum pernah bertemu denganmu, namun aku tetap
menganggapmu sebagai muridku. Karena, kaulah yang
telah mewarisi ajian 'Sukma Sejati'-ku. Dan karena
mendengar permintaanmu ini, aku jadi tidak tenang di alamku. Maka, sekarang
dengarlah apa yang kuterima
dari kabar gaib."
"Terima kasih, Eyang. Tak kusangka kau sudi
membantuku. Dan sebelumnya, aku minta maaf kalau
keinginanku membuatmu tidak dapat tenang di alam
mu. Namun seperti yang tersirat dalam Kitab Sukma
Sejati, aku tidak akan menemukan kematian walau di-
keroyok oleh puluhan tokoh sakti. Untuk itu, aku ingin sekali dapat hidup tenang
di sisi Hyang Widi seperti Eyang saat ini. Namun sayang, aku belum menemukan
caranya Eyang," ucap Dewa Langit.
"Dengarlah, Muridku! Sebenarnya ada dua ja-
lan kematian yang telah kuterima. Namun, mungkin
hanya jalan kedua saja yang dapat mewujudkan kein-
ginanmu, Muridku," lanjut suara bergema itu.
"Katakan, Eyang! Aku sudah tidak sabar men-
dengarnya."
"Baiklah. Pertama, kau akan dapat menemui ja-
lan kematian setelah menemukan dan menelan daun
lontar merah seperti yang pernah kulakukan beratus-
ratus tahun lalu. Dan kukira, jalan kedua yang harus
kau tempuh adalah bila sudah terkena ilmu aneh dari seorang anak manusia yang
juga dilahirkan dengan
cara aneh. Kukira, hanya itu saja kabar gaib yang kuterima, Muridku."
"Lalu, apakah berarti aku harus menempuh ja-
lan kedua, Eyang?"
"Kukira hanya itu, Muridku. Sebab, aku dulu
pernah melakukan jalan pertama. Dan sekarang, kuki-
ra hanya jalan kedua itulah jika kau menginginkan
kematian."
"Tapi... tapi, bagaimana aku dapat menemukan
anak manusia yang dilahirkan dengan cara aneh seka-
ligus juga memiliki ilmu aneh, Eyang?"
"Untuk hal ini, sayang sekali aku tidak dapat
membantumu, Muridku. Sebab hanya itu sajalah ka-
bar gaib yang kuterima. Sekarang kau bangunlah dari tempat bertapa mu. Dan, cari
anak manusia yang kumaksudkan. Selamat tinggal, Muridku! Aku harus se-
cepatnya kembali ke alamku. Nah, selamat tinggal...!"
"Tunggu, Eyang!"
Namun suara itu memang tak muncul-muncul
lagi. Bahkan mendadak berkesiur angin kencang seba-
gai pertanda kalau Eyang Parikesit benar-benar telah kembali ke alamnya.
Padahal, ia pun masih membutuhkan beberapa keterangan yang mungkin dapat di-
butuhkan. "Oh..., Eyang! Kenapa kau siksa aku seperti
ini" Bagaimana aku dapat menemukan jalan kema-
tian" Aku sudah bosan hidup, Eyang! Aku tersiksa
memiliki ajian 'Sukma Sejati' walau sebenarnya dulu aku sangat membutuhkannya,"
keluh Dewa Langit begitu kelopak matanya terbuka.
Wajahnya yang semula kepucatan mendadak
berubah kemerahan. Kedua pelipisnya pun bergerak-
gerak, pertanda tokoh sakti tanpa tanding ini tak dapat lagi mengendalikan
kegeraman hatinya.
"Tak mungkin aku dapat menemukan orang
yang kau maksudkan, Eyang. Mana mungkin, Eyang.
Mana mungkin...!!!"
Dewa Langit tak dapat lagi menahan kekesa-
lannya. Kedua tangannya yang bergetar mendadak dis-
entakkan ke samping. Kelihatannya seperti gerakan
biasa. Namun setelah itu....
Brakkk...!!! Batang pohon randu sebesar lingkaran dua
tangan manusia dewasa itu mendadak hancur beran-
takan seperti terbelah jadi beberapa bagian. Bersa-
maan dengan itu, Dewa Langit mencelat keluar dari
dalam batang pohon yang terbelah. Tubuhnya yang
tinggi kurus tampak melayang-layang indah, sebelum
akhirnya menjejak tanah membelakangi pohon.
Tepat ketika sosok berpakaian putih-putih itu
mendarat, batang pohon randu itu tumbang dan jatuh
berdebam ke tanah. Bumi bergetar hebat. Debu-debu
kontan membubung tinggi memenuhi sekitarnya.
Sedang Dewa Langit tampak masih tegak di
tempatnya. Sedikit pun juga tidak terpengaruh oleh
keadaan di belakangnya. Kepalanya mendongak tinggi-
tinggi menatap angkasa raya dengan kedua bibir ber-
getar. Bulan purnama di atas sana tetap bermuram
durja oleh awan kelabu yang membungkusnya. Berjuta
bintang di angkasa pun sepertinya malas tersenyum.
"Oh..., Hyang Widi...! Kenapa jalan hidupku
demikian buruk" Apa salahku, Hyang Widi" Apa kare-
na aku mempelajari Kitab Sukma Sejati yang membuat
aku begini" Tapi, bukankah Kau tahu! Ilmu yang ku
peroleh ini hanya untuk membela jalan mu, jalan ke-
benaran" Lantas, kenapa di saat aku ingin menemui-
Mu, malah ini yang ku peroleh?" keluh Dewa Langit dalam hati, seolah-olah ingin
menyesali kiprahnya di rimba persilatan.
Namun apa yang dikeluhkan Dewa Langit
hanya bergema dalam relung-relung hatinya yang gelisah. Sedikit pun tidak ada
tanda-tanda akan mendapat petunjuk dari Yang Maha Kuasa.
Dewa Langit kini menggereng hebat. Suaranya
yang berat dan kasar sampai bergema keempat penju-
ru. "Keparat...! Semuanya membisu! Semuanya tak
mau dengar keluhan! Semuanya tak berguna!" teriak Dewa Langit lantang. "Kini tak
ada pilihan lain. Terpaksa aku harus turun tangan sendiri. Aku harus
mencari anak manusia yang dilahirkan secara aneh,
sekaligus juga memiliki ilmu aneh. Persetan! Ke ujung akhirat pun aku harus
dapat menemukan orang itu!
Tak akan kubiarkan orang lain membunuhnya, sebe-
lum keinginanku terkabul!"
Dewa Langit sejenak masih mendongak ke atas.
Rahangnya bergemeletukkan pertanda tak dapat lagi
mengendalikan amarahnya yang menggelegak.
"Yah...! Siapa pun juga tak boleh mengusik
orang yang kumaksudkan," gumam Dewa Langit se-
raya mengangguk-angguk.
Habis menggumam begitu, Dewa Langit berke-
lebat cepat meninggalkan tempat itu. Kedua kakinya
tampak seperti menjejak biasa. Namun anehnya,
hanya dalam beberapa kali jejak saja sosok tinggi kurusnya telah menghilang di
balik kegelapan.
*** 2 Siang terik di Lembah Selaksa Pasir. Matahari
menyorot garang memanggang bumi, membuat udara
panas menebar ke segenap penjuru. Karena angin se-
perti malas berhembus, maka suasana siang itu pun
tak ubahnya seperti dalam kubangan bara api.
Di luar lembah itu, tepatnya di jalanan setapak
yang berdebu, angin malah berhembus kencang. Aki-
batnya debu-debu dan daun-daun kering di sekitar jalan itu berhamburan tinggi ke
udara, membuat seo-
rang pemuda tampan yang melintas jalan ini mengi-
bas-ngibaskan kedua tangannya. Sambil mengusir de-
bu-debu dan daun-daun kering yang beterbangan den-
gan kedua tangannya, mulutnya mengoceh tidak ka-
ruan. Namun rupanya pusaran angin seperti tidak
peduli dengan ocehan si pemuda. Pusarannya malah
makin kencang, memaksa pemuda berambut gondrong
itu menyembunyikan wajah di balik kedua lengannya.
"Sontoloyo! Dasar angin tak tahu diri! Bukan-
nya berhembus semilir, eh... malah ngamuk! Mana bi-
sa nyaman kalau begini"!" omel si pemuda sambil terus menyembunyikan wajahnya.
Selang beberapa saat, pusaran angin pun ber-
henti. Debu-debu dan daun-daun kering yang tadi di-
terbangkan angin perlahan-lahan kembali jatuh ke
bumi. Sementara si pemuda telah menurunkan tan-
gannya. Sepasang matanya yang berwarna kebiruan


Siluman Ular Putih 10 Misteri Dewa Langit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sejenak memperhatikan keadaan sekitarnya.
"Busyet! Tempat macam apa ini! Kok mirip ku-
bangan pasir. Panas lagi!" celoteh pemuda itu lagi.
Si pemuda kira-kira berusia delapan belas ta-
hun. Wajahnya tampan kekanak-kanakan. Rambutnya
yang gondrong dibiarkan tergerai di bahu. Tubuhnya
yang tinggi kekar terbalut pakaian rompi dan celana bersisik warna putih
keperakan. Di balik rompinya
yang terbuka tampak sebuah rajahan bergambar ular
putih kecil di dadanya yang kekar. Dan menilik ciri-cirinya, pemuda tampan itu
tidak lain adalah murid
Eyang Begawan Kamasetyo. Siapa lagi kalau bukan
Soma alias Siluman Ular Putih"
"Ah...! Bisa modar kalau kepanasan seperti ini.
Sebaiknya aku beristirahat barang sejenak. Ah... di depan sana ada sebuah pohon.
Kukira cukup untuk be-
ristirahat barang sejenak," murid Eyang Begawan Kamasetyo ini tersenyum senang
dengan mata meman-
dang tak berkedip ke arah yang dimaksud.
Habis berkata begitu, Soma segera melangkah
mendekati pohon tak jauh dari tempatnya berdiri.
Sembari terus berjalan, terus diperhatikannya keadaan sekitar dengan kening
berkerut. Hanya beberapa keja-pan si pemuda tiba di dekat batang pohon. Segera
tubuhnya direbahkan seenaknya di atas akar-akar pohon yang bertonjolan.
Namun di saat murid Eyang Begawan Kama-
setyo ini tengah menikmati semilir angin di bawah sebuah pohon rindang dengan
mata terkantuk-kantuk,
mendadak.... Debu-debu beterbangan - Prol
Daun-daun kering beterbangan - Prol
Angin tengik memang tidak tahu diri - Prol
Di lembah berpasir lagi - Prol
Menyebalkan - Prol
Panas sekali - Prol
Prol- Prooolll!
Kening Siluman Ular Putih bertautan ketika
mendengar suara cempreng dalam bentuk nyanyian
yang tak enak didengar. Seketika matanya tertuju ke ujung jalan setapak sana.
Tampak seorang lelaki tua tengah melenggang santai dengan tongkat terantuk-
antuk. Usia lelaki itu kira-kira tujuh puluh tahun.
Rambutnya yang panjang tampak awut-awutan tak te-
rawat. Wajahnya kasar penuh tonjolan daging. Sedang tubuhnya yang tinggi kurus
dibalut pakaian ketat
warna biru. "Siapakah kakek tua berpakaian biru ini" Rasa-
rasanya aku belum pernah mengenalnya...," tanya So-ma dalam hati.
Dan begitu langkah si tua berpakaian biru ma-
kin dekat, Soma pun hanya membiarkan Saja. Tak ada
keinginan untuk menggoda. Ia malah lebih senang
menikmati angin semilir yang mengelus-elus tubuh-
nya. Namun rupanya tidak demikian halnya sang
kakek. Begitu berada di depan murid Eyang Begawan
Kamasetyo, sejenak langkahnya berhenti. Sepasang
matanya yang berwarna kelabu pun terus perhatikan
Soma dengan seksama.
"Semprul! Mau apa orang tua ini" Kenapa ia
memandangi aku, seperti melihat gadis cantik" Heran"
Jangan-jangan ia suka padaku" Wah, gawat kalau be-
gini...?" bisik Siluman Ular Putih curiga dalam hati.
Habis bergumam begitu, Soma menyelonjorkan
kedua kaki seenaknya dengan tangan tetap bertelekan menyangga kepala. Tampak
nyaman sekali. Namun
meski terkantuk-kantuk menikmati semilirnya angin,
sebenarnya murid Eyang Begawan Kamasetyo ini tetap
memperhatikan gerak-gerik si tua aneh di hadapan-
nya. "Heran-heran! Rasa-rasanya hidungku men-
cium bau bangkai di tempat ini. Hey, Anak Muda! Apa kau sumber bau bangkai ini?"
tegur orang tua berpakaian biru itu buka suara.
Seketika mengangkat kepalanya. Ditatapnya
orang tua di hadapannya dengan sinar mata tak se-
nang. Hatinya jadi mengkelap dikatakan sumber bau
bangkai. "Ah, iya! Kau pasti yang berbau bangkai itu,
Anak Muda. Tak mungkin ramalanku salah. Dan kau
pun harus mengakui kebenaran ramalanku. Kalau ti-
dak, berarti mati!!" sentak lelaki tua itu mengagetkan.
Tanpa sadar Soma pun segera mencium tu-
buhnya sendiri. Namun sama sekali tidak tercium bau bangkai pada tubuhnya. Ia
hanya mencium bau kecut,
karena hampir dua hari belum mandi. Menyadari uca-
pan orang tua berpakaian biru itu tidak benar, Soma pun lalu tersenyum.
"Maaf, Orang Tua! Apa tidak salah penciuman-
mu" Mana mungkin aku yang masih muda, berbau
bangkai" Kalau kau mungkin pantas. Umurmu saja
sudah berbau tanah" Sebab kau sudah tua peot lagi.
Rasa-rasanya untuk membawa tubuh kurusmu saja
kau tak sanggup. Jadi wajar saja kalau kaulah yang
berbau bangkai, Orang Tua!" balas si pemuda tenang.
Orang tua berpakaian biru itu melotot garang.
Tampak sekali kalau hatinya gusar mendengar ucapan
pemuda di hadapannya.
"Jadi, kau tidak mempercayai ramalanku, Bo-
cah?" desis si tua ini.
"Ah...! Bukan begitu. Mana berani sih aku tidak mempercayai ramalanmu. Cuma
seperti yang kukata-kan tadi, ramalanmu terbalik. Bukannya aku yang bau
bangkai. Tapi kau, Orang Tua!" kata Soma seraya sunggingkan senyum.
"Bedebah! Bicaramu berbelit-belit, Bocah! Na-
mun kau tetap saja tidak mempercayai ramalanku. Ke-
tahuilah, Bocah Edan! Ramalan si Peramal Maut, tidak akan dan belum pernah luput
dari kebenaran. Namun
kalau kau tetap tidak mempercayaiku, berarti kau pun layak modar di tanganku!"
dengus lelaki tua berpakaian biru-biru yang ternyata bergelar Peramal Maut
garang Sekali lagi Soma pun tersentak kaget begitu
mendengar ucapan orang tua berpakaian biru ini. Sa-
ma sekali tidak diduga kalau saat ini ia tengah berhadapan dengan Peramal Maut
yang namanya sudah
sangat kondang di dunia persilatan.
"Ah...! Tak kusangka hari ini aku akan bertemu orang tua sakti dari Gunung
Kembang yang bergelar
Peramal Maut. Menurut keterangan Eyang, aku harus
berhati-hati terhadapnya. Namun Eyang pun juga me-
nyarankan agar tidak menganggap enteng apa yang di-
katakan Peramal Maut. Ya ya ya...! Ini berarti aku harus setengah mempercayai
ramalannya," gumam Soma dalam hati sambil mengangguk-angguk.
"Bagaimana, Bocah" Apa kau masih belum
mempercayai ramalanku?" usik Peramal Maut.
"Ah...! Bagaimana, ya" Terserah kau sajalah.
Aku sih nurut-nurut saja. Mau bau bangkai kek, bau
tanah kek, atau bau apa saja, aku nurut orang tua,"
sahut Soma seenaknya.
Namun justru Peramal Maut mendengus penuh
kemarahan. Rahangnya mengembung. Kedua pelipis-
nya pun bergerak-gerak, pertanda amarahnya tak da-
pat lagi dikendalikan.
"Kau mempermainkanku, Bocah. Memang tam-
paknya kau mempercayaiku. Tapi, jangan dikira aku
tidak mengetahui isi hatimu. Dan karena hanya mem-
percayai sebagian dari ramalanku, maka kau pun pa-
tut modar di tanganku. Siapa pun juga harus modar di tanganku, kalau tidak
mempercayai ramalanku. Sekarang, terimalah kematianmu hari ini, Bocah!" bentak
Peramal Maut penuh kemarahan.
Habis menggeram begitu, Peramal Maut pun
segera memasang kuda-kuda. Kedua telapak tangan-
nya yang telah berubah jadi merah darah digerak-
gerakkan sedemikian rupa di depan dada. Sedang se-
pasang matanya yang tajam terus memperhatikan Si-
luman Ular Putih.
"Ah...! Pantas saja kau dijuluki Peramal Maut, Orang Tua. Rupanya kau selalu
menginginkan nyawa
orang yang tidak mempercayai ramalanmu. Tapi apa
kau lupa kalau aku masih mempercayai ramalanmu,
Orang Tua! Mengapa kau menginginkan nyawaku?"
kata Soma masih tetap enak-enakan tiduran dengan
kepala bertelekan sebelah lengan.
"Jangan banyak bacot! Sikapmu pun menun-
jukkan kalau kau hanya sebagian mempercayai rama-
lanku. Sekarang, makanlah pukulan maut 'Gelap
Ngampar'-ku! Heaaa...!"
Diiringi teriakan lantang, Peramal Maut mendo-
rongkan kedua telapak tangannya ke depan. Seketika
tampak dua larik sinar merah darah melesat dari kedua telapak tangannya yang
dikawal oleh angin panas berkesiur kencang. Namun dengan gerakan luar biasa
cepat, si pemuda langsung bergulingan di tanah
menghindarinya.
Wesss! Wesss! Brakkk...!!! Batang pohon di belakang Siluman Ular Putih
tadi kontan tumbang, dan jatuh berdebam ke tanah.
Seketika debu-debu membubung tinggi memenuhi
tempat itu. Melihat serangan pertamanya dapat dihindari
dengan mudah, Peramal Maut pun jadi gusar bukan
main. Dan dikawal bentakan nyaring, begitu kakinya
menjejak tanah kembali diterjangnya Siluman Ular Putih. Seketika tubuh tinggi
kurusnya telah berubah jadi bayangan biru, terus merangsek Siluman Ular Putih.
"Hea...! Hea...!"
Peramal Maut berkah-kali mencoba dengan ju-
rus-jurus tipuan. Namun, sayangnya Siluman Ular Pu-
tih selalu saja dapat menghindarinya dengan mudah.
Malah kalau si pemuda itu mau, tak jarang banyak kesempatan lowong untuk
melancarkan serangan balik.
Maka, hal ini pulalah yang membuat kemarahan Pe-
ramal Maut makin menggelegak
"Setan alas! Jangan dikira kau sudah di atas
angin hingga tak mau balas seranganku, Bocah! Ba-
gaimanapun juga, kau harus modar di tangan ku, Bo-
cah! Heaaa...!"
Peramal Maut terus menekan pertahanan Si-
luman Ular Putih. Tangan kanannya membentuk
cengkeraman berkelebatan hebat siap meremukkan
batok kepala Siluman Ular Putih. Sedang tangan ki-
rinya yang terkepal erat, siap pula mendaratkan bogem mentah.
"Hea...! Hea...!"
"Ah...! Kau ini bagaimana sih, Orang Tua" Ke-
napa kau berhasrat sekali dengan nyawaku. Padahal di antara kita tidak ada
silang sengketa. Apa tidak sebaiknya kita selesaikan urusan sampai di sini?"
ujar Soma sambil terus berkelebatan menghindari serangan.
"Boleh boleh! Asal kepalamu kau tinggalkan di
sini!" dengus Peramal Maut penuh kemarahan
"Ah...! Kau terlalu memaksaku, Orang Tua. Pa-
dahal aku sama sekali tidak ada hasrat untuk berta-
rung denganmu."
"Peduli setan! Mau bernafsu, kek! Tidak, kek!
Pokoknya aku harus membunuhmu!"
Peramal Maut makin memperhebat tekanan-
nya. Kedua telapak tangannya yang. berubah jadi me-
rah darah itu sesekali menyambar-nyambar ganas.
Dan tentu saja lama-kelamaan Siluman Ular Putih jadi kewalahan sendiri. Kalau
terus menghindar tanpa mau membalas serangan, bukan mustahil akan celaka. Ma-ka
ketika serangan-serangan Peramal Maut makin
menghebat, terpaksa jurus 'Terjangan Maut Ular Putih'
harus dikeluarkan
"Heaaa...!"
Disertai bentakan membelah angkasa, Siluman
Ular Putih mengeluarkan jurus andalannya. Segera di-balasnya serangan Peramal
Maut. Kedua telapak tan-
gannya yang membentuk kepala ular sesekali mengu-
sap cepat melepas serangan balik yang tak kalah he-
bat. Wuttt! Wuttt! Saking cepatnya serangan Soma membuat Pe-
ramal Maut agak terkesima. Dan ini membuat perta-
hanannya lowong. Akibatnya, tanpa disadari patukan
telapak tangan Siluman Ular Putih telah menyusup cepat. Lalu...
Bukkk! Bukkk! "Aaakh...!"
Telak sekali dada Peramal Maut terkena patu-
kan tangan kanan kiri Siluman Ular Putih. Tubuh
tinggi kurusnya seketika terpental jauh ke belakang
disertai teriakan kesakitan bercampur kemarahan. Sedang dadanya yang terkena
patukan terasa seperti
mau jebol! Padahal, Siluman Ular Putih hanya sedikit mengerahkan tenaga dalam.
"Sudahlah, Orang Tua! Sebaiknya kita akhiri
urusan ini sampai di sini saja! Toh, sebenarnya di antara kita tidak ada silang
sengketa," kata Siluman Ular Putih kurang bernafsu.
Peramal Maut sedikit pun tidak mempedulikan
ucapan Siluman Ular Putih sambil berusaha bangkit,
sejenak dipandanginya Siluman Ular Putih dengan ra-
hang mengembung. Begitu ia memasang kuda-kuda,
kedua telapak tangannya makin berubah merah hing-
ga sampai ke pangkal siku. Dan diiringi gemboran keras, kembali kedua telapak
tangannya didorongkan ke depan melepas pukulan 'Gelap Ngampar'.
Wesss! Wesss! Saat itu pula melesat dua larik sinar merah da-
rah dari kedua telapak tangan Peramal Maut ke arah
tubuh Siluman Ular putih.
Soma mendengus jengkel. Ia yang dari tadi su-
dah bersikap mengalah. Maka tak mungkin tubuhnya
sudi dijadikan sasaran empuk pukulan 'Gelap Ngam-
par'. Maka demi untuk lindungi selembar nyawa, Soma pun segera mengerahkan
tenaga dalam ke kedua tangan. Lalu disertai teriakan keras, tangan kanannya
menyentak ke depan dengan pukulan tenaga 'Inti Bu-
mi'. Wesss! Wesss! Blaaarrrr...!!!
Terdengar ledakan hebat di udara saat dua te-
naga dalam tingkat tinggi beradu. Bumi berguncang
hebat! Debu-debu dan semua yang ada di sekitar tem-
pat pertarungan seketika berhamburan di udara! Se-
dang tubuh Peramal Maut pun kontan melayang jauh


Siluman Ular Putih 10 Misteri Dewa Langit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ke belakang! Parasnya tampak demikian piasnya, per-
tanda telah mengalami luka dalam cukup hebat!
Sewaktu terjadi bentrokan tadi, Siluman Ular
Putih sendiri pun sempat terguncang hebat. Malah kedua kakinya tampak melesak
beberapa dim ke dalam
tanah berpasir!
"Maafkan aku, Orang Tua! Demi Tuhan, aku ti-
dak bermaksud mencelakakanmu. Selamat tinggal,
Orang Tua!" kata Siluman Ular Putih penuh sesal.
Habis berkata begitu, murid Eyang Begawan
Kamasetyo ini segera berkelebat cepat meninggalkan
tempat itu. Peramal Maut yang sudah bangkit, geram bu-
kan main. Lalu sambil mendekap dadanya erat-erat,
segera tubuhnya berkelebat cepat berusaha menyusul
Siluman Ular Putih. Namun sayangnya baru saja bebe-
rapa langkah, bayangan putih keperakan murid Eyang
Begawan Kamasetyo telah begitu jauh melesat.
Sekali lagi Peramal Maut hanya menggeram pe-
nuh kemarahan. Dengan menderita luka dalam cukup
parah, tak mungkin ia melanjutkan pengejaran. Maka
dengan terpaksa langkahnya dihentikan tepat di ba-
wah pohon. Segera lelaki ini duduk bersemadi untuk
menyembuhkan luka dalamnya.
"Tunggulah pembalasanku, Bocah Bau Bang-
kai!" desis Peramal Maut sebelum mulai bersemadi.
*** 3 Malam berselimut awan, menutupi bintang
yang seharusnya bertaburan di angkasa. Gemericik air di Grojogan Sewu terdengar
sampai jauh keluar hutan luas yang mengelilinginya. Sebuah hutan yang ditum-buhi
pohon-pohon besar dan menjulang tinggi ke ang-
kasa. Seolah-olah, ingin menggapai cakrawala.
Sementara tak jauh dari aliran Grojogan Sewu
terdengar suara teriakan seperti orang berlatih silat.
Memang di sebuah tanah datar yang tak begitu luas,
seorang gadis berusia kira-kira delapan belas tahun lengah memantapkan jurus-
jurusnya. Wajahnya berbentuk bulat telur dengan kulit putih bersih. Rambutnya
yang hitam lurus dikuncir dua ke belakang. Se-
dang tubuhnya yang tinggi ramping dibalut pakaian
ringkas warna hijau
"Hea...! Hea...!"
Dengan sebilah pedang di tangan kanan, gadis
cantik itu meliuk-liuk indah serta berkelebat ke sana kemari. Seolah-olah ada
musuh di hadapannya, pedangnya terus mengibas-ngibas laksana seekor kupu-
kupu yang tengah menghisap madu bunga. Meski ter-
kadang gerakan-gerakan pedangnya tampak lembut
dan perlahan, namun sesungguhnya di situlah letak
kekuatan jurusnya. Dan di saat musuh lengah, tiba-
tiba gerakan pedangnya berubah cepat laksana kilat.
Lalu.... Wesss! Wesss!
Crakkk! Crakkk!
Berkali-kali pedang di tangan si gadis bergerak-
gerak lincah membabat batang pohon yang dibayang-
kan sebagai seorang musuh. Hanya dalam waktu tidak
lama, ranting-ranting pohon itu pun telah gundul ter-tebas pedangnya.
Sementara tak jauh dari tempat si gadis berla-
tih berdiri tegak seorang lelaki setengah baya yang tengah mengamati. Sesekali
kepalanya mengangguk-
angguk penuh kagum, pertanda puas dengan jurus-
jurus yang diperagakan si gadis.
"Bagus, bagus! Tak kusangka kau dapat men-
guasai jurus-jurus 'Pedang Kumbang Hitam'-ku den-
gan baik, Ningtyas. Aku si Raja Pedang, bangga sekali mempunyai murid
sepertimu," puji lelaki setengah baya itu.
Dia adalah seorang lelaki berusia lima puluh
lima tahun. Wajahnya berbentuk persegi penuh den-
gan kumis dan jenggot. Sepasang matanya tajam, me-
nyimpan ketelengasan yang nyaris tersembunyi. Ram-
butnya panjang dikuncir sebagian ke belakang.
Sedang tubuhnya yang tinggi besar dibalut pa-
kaian ringkas berwarna kuning.
"Terima kasih, Guru. Semua ini tak lepas dari
bimbingan Guru," sahut gadis cantik yang dipanggil Ningtyas itu merendah.
Lelaki setengah baya bertubuh tinggi besar
yang berjuluk Raja Pedang ini tertawa gembira.
"Sekarang coba peragakan pukulan 'Bara Nera-
ka'!" ujar si Raja Pedang, sedikit jumawa.
"Baik, Guru!"
Kepala Ningtyas menunduk dengan tangan me-
rapat di depan dada. Lalu tubuhnya digeser sedikit ke samping. Kini membuat
kuda-kuda kokoh disertai
pengerahan tenaga dalam. Kedua telapak tangannya
yang telah berubah jadi merah menyala segera dido-
rongkan ke depan ke arah sebuah batang pohon. Seke-
tika tampak dua leret sinar merah menyala melesat da-
ri kedua telapak tangannya.
Wesss! Wesss! Brakkk...!!! Batang pohon sebesar satu lingkaran tangan
manusia dewasa kontan berderak hebat begitu terhan-
tam sinar-sinar merah dari kedua telapak tangan Ningtyas. Pohon itu bergoyang-
goyang sebentar, lalu jatuh berdebam ke tanah. Seketika debu-debu dan semua
yang ada di dekat tempat itu berhamburan tinggi ke
udara dalam keadaan kering terbakar. Pada bagian batang pohon yang terkena
pukulan 'Bara Neraka' tadi
kontan berlobang besar, mengepulkan asap tipis kemerah-merahan.
Raja Pedang terkekeh puas. Kepalanya men-
gangguk penuh kegembiraan. Namun belum sempat le-
laki setengah baya itu buka suara....
"Hem...! Pukulan 'Bara Neraka'" Bagus! Serem
kedengarannya. Tapi sayang gadis itu belum mengua-
sai sepenuhnya!"
"Heh..."!"
*** Raja Pedang tersentak kaget ketika terdengar
suara dari belakang agak menyamping. Buru-buru ke-
palanya berpaling ke arah datangnya suara. Tampak
tak jauh dari pohon yang tumbang terkena pukulan
'Bara Neraka' tampak telah berdiri seorang lelaki tua renta berpakaian ringkas
warna putih. Wajahnya tirus kepucatan saking jarangnya terkena sinar matahari.
Rambutnya yang panjang telah memutih. Alis mata
dan bulu matanya pun juga berwarna putih. Tubuhnya
kurus kering seperti tak bertenaga. Meski demikian, wajahnya yang renta penuh
keriput masih tetap me-
nampakkan sisa-sisa ketampanannya di waktu muda.
"Siapa kau, Orang Tua" Kenapa mengganggu
kami berlatih?" tanya Raja Pedang berusaha mene-nangkan dirinya.
Melihat kehadiran orang tua renta berpakaian
putih-putih yang tidak diketahui sebelumnya, mem-
buat Raja Pedang dan Ningtyas kagum setengah mati.
Betapa tidak" Kehadiran yang tanpa suara itu me-
nandakan kalau lelaki tua ini memiliki ilmu meringankan tubuh yang sudah sangat
tinggi. Dan ini membuat mereka merasa harus berhati-hati. Tanpa sadar lelaki
setengah baya itu meraba gagang pedang yang terselip di balik pinggang. Sedang
Ningtyas makin mempererat pegangan pedang di tangan kanannya.
"Kukira aku harus hati-hati. Melihat kemuncu-
lannya yang tidak diketahui, bukan mustahil kalau
orang tua renta itu memiliki kepandaian di atasku. Sorot matanya yang tajam
jelas membuktikan kalau te-
naga dalamnya tinggi sekali," gumam Raja Pedang dalam hati
"Bukan main kemunculan orang tua renta ini!
Kenapa aku maupun Guru tidak dapat mendengar
langkah-langkahnya sebelum ia muncul" Hm...! Kukira tak ada jeleknya kalau aku
harus hati-hati. Siapa tahu orang tua ini sengaja mencari penyakit?" gumam
Ningtyas, pada saat yang bersamaan.
"Maaf, jika kedatanganku mengganggu kalian.
Sebenarnya aku, Dewa Langit tidak ingin mengganggu
kalian berlatih. Terus terang aku hanya ingin mena-
nyakan beberapa pertanyaan. Barangkali, kalian dapat membantuku," ucap lelaki
tua yang ternyata Dewa Langit. Sekali lagi Raja Pedang tersentak kaget. Sepasang
matanya pun membelalak liar, mendengar nama
yang disebutkan si tua renta itu.
"Hm..., Dewa Langit! Rasa-rasanya aku pernah
mendengar tokoh satu ini berpuluh tahun lalu. Konon kesaktiannya pun tinggi
sekali. Jarang sekali menemui lawan tandingan. Tapi, kenapa ia mendadak menda-
tangi tempat tinggalku" Mau apa orang tua ini sebe-
narnya" Ah, ia tak mungkin hanya ingin meminta be-
berapa keterangan dariku. Pasti ada apa-apanya!"
Dengan gigi bergemeretak, Raja Pedang me-
mandang dingin pada Dewa Langit.
"Huh! Rupanya kau Dewa Langit yang kesohor
itu! Tapi siapa peduli dengan bacotmu"! Tanyakan saja pada setan-setan
gentayangan penunggu hutan ini!"
sahut Raja Pedang tajam menyengat.
Dewa Langit tersenyum arif. Sedikit pun tidak
tersinggung mendengar kata Raja Pedang.
"Guru...! Kukira orang ini bermaksud baik. Tak pantas kalau kita
memperlakukannya semena-mena,
Guru," sela Ningtyas turut angkat bicara.
"Diam kau, Ningtyas! Sekali lagi buka suara,
aku tak segan-segan lagi menghukummu!" hardik Raja Pedang kasar.
Dewa Langit tetap tersenyum arif.
"Bicaramu sungguh manis, Gadis. Tidak seperti
gurumu itu. Dan kukira kau tidak pantas mempunyai
guru macam dia, Gadis," kata Dewa Langit seraya menggerakkan ujung dagunya ke
arah Raja Pedang.
Raja Pedang kembali menggeretakkan gera-
hamnya penuh kemarahan. Tampak kedua pelipisnya
bergerak-gerak pertanda amarahnya tak terkendali.
"Setan alas! Dulu aku memang pernah men-
dengar nama besarmu di dunia persilatan, Dewa Lan-
git. Tapi meski kesaktianmu setinggi langit, jangan dikira aku takut
menghadapimu, Orang Tua!" bentak Ra-
ja Pedang. "Sayang sekali aku tidak butuh sesumbarmu,
Orang Muda," tukas Dewa Langit. "Aku tahu, tentu kalian sangat terganggu melihat
kedatanganku ini. Tapi tak apa-apa. Mungkin kalian masih sudi mendengar
pertanyaanku. Apakah di antara kalian ada yang pernah mendengar seorang anak
manusia yang terlahir
dengan cara aneh, sekaligus memiliki kesaktian aneh?"
Raja Pedang dan Ningtyas sejenak menautkan
alis mata. "Pertanyaanmu aneh, Orang Tua Sinting. Mana
mungkin ada orang terlahir dengan cara aneh," jawab Raja Pedang, seenaknya.
"Kukira jawabanku pun sama dengan Guru,
Orang Tua. Sepanjang umur hidupku, rasanya belum
pernah aku mendengar orang yang dilahirkan dengan
cara aneh, sekaligus memiliki ilmu aneh," timpal Ningtyas. "Baiklah kalau kalian
memang tidak tahu. Tapi, apakah barangkali kalian dapat membantuku pada
siapa aku bertanya?"
"Keparat! Sudah kubilang tidak tahu, masih sa-
ja mengumbar bacot. Apa kau pikir aku takut men-
dengar nama besarmu, he"!" bentak Raja Pedang
mengkelap bukan main.
"Terserah apa katamu. Yang jelas, aku tidak ingin bermusuhan denganmu," jawab
Dewa Langit enteng. "Setan alas! Aku jadi ingin lihat apa kehebatanmu juga,
sehebat bacotmu"!"
Si Raja Pedang langsung melompat menyerang
dengan jurus-jurus ganas.
Dewa Langit mengeluh dalam hati. Tentu saja
ia tidak ingin membiarkan tubuhnya jadi sasaran em-
puk serangan-serangan Raja Pedang. Dengan sedikit
memiringkan tubuhnya ke samping, tiba-tiba tepukan
tangannya telah bergerak amat cepat. Bahkan sama
sekali tak disadari oleh si Raja Pedang. Akibatnya....
Bukkk...! "Aaa...!"
Raja Pedang meraung hebat saat tangan Dewa
Langit mendarat telak di dadanya. Darah segar kontan menyembur dari mulut.
Tubuhnya pun terpental ke
belakang dan jatuh berdebam ke tanah, melejang-
lejang sebentar dan tidak bergerak-gerak lagi. Tewas!
Sejenak Dewa Langit terpaku di tempatnya,
seolah tak percaya dengan apa yang dilakukan.
"Ya ampun! Kenapa aku bertindak kelewat ba-
tas. Oh...! Hyang Widi! Maafkanlah aku! Aku tak me-
nyangka pukulanku akan berakibat begini...," keluh Dewa Langit dalam hati penuh
sesal. "Guruuu...!"
Ningtyas memekik menyayat melihat tubuh Ra-
ja Pedang tahu-tahu sudah terkapar tak berdaya. Ke-
mudian dengan mata liar ditatapnya Dewa Langit.
"Laknat! Kau... kau harus bertanggung jawab
utas kekejian ini, Orang Tua!" bentak Ningtyas.
"Heaaat...!"
Disertai bentakan keras, Ningtyas yang telah
menghimpun tenaga dalamnya segera menghentakkan
kedua tangannya. Seketika dari kedua telapak tangannya yang telah berubah merah
menyala, melesat dua
berkas sinar merah. Jelas, gadis itu tengah mengerahkan pukulan 'Bara Neraka'.
Wesss! Wesss! Brakkk...!!! Batang pohon di belakang Dewa Langit kontan
tumbang begitu terkena pukulan 'Bara Neraka'. Rant-
ing-ranting dan daun-daun pohon itu pun hangus ter-
bakar! Sementara, justru lelaki tua itu telah melayang di udara, lalu meluruk ke
arah si gadis. Betapa ilmu meringankan tubuh Dewa Langit telah mencapai tingkat
yang tinggi, sehingga Ningtyas tak sempat melihat gerakannya.
Ningtyas baru sadar ketika mendengar suara
tawa Dewa Langit yang entah tiba-tiba datangnya dari belakang. Bahkan belum
sempat gadis cantik berpakaian hijau itu berpaling, tahu-tahu....
Tuk! "Oh...!"
Si gadis mendesah lirih ketika tengkuknya telah
terkena totokan dari arah belakang. Namun anehnya
begitu terkena totokan tubuhnya masih dapat digerakkan. Hanya saja gadis ini
merasakan hawa dingin akibat totokan jari-jari tangan Dewa Langit yang terus
menerabas menyerang ulu hatinya!
"Keparat! Demi Tuhan aku akan menuntut ba-


Siluman Ular Putih 10 Misteri Dewa Langit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

las atas kematian guruku Raja Pedang, Manusia Lak-
nat!" dengus Ningtyas penuh kemarahan.
Kedua telapak tangannya yang masih berubah
merah menyala kembali didorongkan ke arah Dewa
Langit. Seketika tampak dua leret sinar merah menyala melesat dari kedua telapak
tangannya. Dewa Langit menggeleng-gelengkan kepala. Ka-
lau ia menginginkan nyawa gadis cantik di hadapan-
nya, sudah dari tadi lawan dibuat terkapar di tanah.
Namun rupanya lelaki tua ini memang tidak menghen-
dakinya. "Jangan terlalu gegabah, Gadis! Terus terang
aku menyesal telah membunuh gurumu" Hayo, lekas
hentikan seranganmu!"
Tapi, mana mau Ningtyas yang tengah terpukul
melihat gurunya tewas di tangan Dewa Langit menuru-
ti perintah Dewa Langit" Malah dengan kemarahan
meluap kembali diserangnya lelaki tua itu.
Melihat datangnya serangan-serangan, Dewa
Langit hanya sedikit menggeser tubuhnya ke samping.
Dan pada saat Ningtyas kembali menerjang, jari-jari tangannya kembali
melancarkan totokan ke arah pinggang. Tukkk! Tukkk!
"Ohh...!"
Dua kali pinggang Ningtyas terkena totokan ja-
ri-jari tangan Dewa Langit. Seketika tubuh si gadis ka-ku tak dapat digerakkan
dengan mata melotot lebar-
lebar. "Jahanam! Hayo lepaskan totokanku. Dan kita bertanding sampai ada yang
modar!" sentak si gadis.
"Aku tahu, tentu kau sangat marah melihat aku
telah menewaskan gurumu. Tapi dengarlah, Gadis! Se-
sungguhnya kau tak pantas mempunyai guru macam
dia. Kalau kau tak keberatan, aku ingin mewariskan
sesuatu padamu. Tapi, aku pun juga minta agar kau
mencarikan pemuda yang kumaksudkan. Ingat, Gadis!
Aku menunggu kedatanganmu empat puluh hari di
muka, di sebuah dataran berumput di luar Hutan Wa-
tu Malang."
Ningtyas tidak menyahut. Amarahnya yang
menggelegak membuat sepasang matanya terus me-
mandangi Dewa Langit penuh kemarahan.
Dewa Langit sejenak memperhatikan Ningtyas.
Lalu tanpa banyak cakap lagi, segera ditotok jalan darah di pinggang Ningtyas
dua kali untuk membe-
baskan pengaruh totokan. Dan begitu tubuh Ningtyas
terbebas, Dewa Langit segera berkelebat cepat mening-
galkan tempat ini.
Ningtyas menggeram penuh kemarahan. Tak
mungkin ia mengejar Dewa Langit. Hanya dalam bebe-
rapa kelebatan saja, sosok tinggi kurus si tua itu telah menghilang di balik
kegelapan malam.
*** 4 Dewa Langit terus berkelebat cepat tanpa tu-
juan pasti. Ke mana kakinya melangkah, ke situlah
arah tujuannya. Sementara dalam pikirannya terus
berkecamuk, bagaimana agar secepatnya dapat mene-
mukan pemuda aneh yang sekaligus memiliki ilmu
aneh seperti kabar gaib yang diterimanya dari men-
diang gurunya bernama Parikesit.
"Ah...! Kukira ucapan Raja Pedang tadi benar.
Tak mungkin aku menemukan anak manusia yang ter-
lahir aneh sekaligus memiliki ilmu aneh. Hm...! Ba-
gaimana ini" Rasanya mustahil. Tapi biar bagaimana-
pun, aku harus dapat menemukannya. Aku sudah je-
nuh hidup di dunia ini," desah Dewa Langit dalam ha-ti.
Hampir semalaman tokoh sakti dari Hutan Wa-
tu Malang itu menempuh perjalanan yang tak jelas
juntrungannya. Dan selama melakukan perjalanan,
banyak sudah tokoh sakti dunia persilatan yang di-
mintai keterangan. Namun, tak ada satu pun yang da-
pat menunjukkan di mana anak manusia yang dimak-
sudkan. "Sulit! Bagaimana mungkin aku dapat mene-
mukan anak manusia yang kumaksudkan" Dari se-
kian banyak tokoh dunia persilatan yang sempat ku-
mintai keterangan, tak ada satu pun juga memberikan keterangan pasti. Ah...!
Jangan-jangan kabar gaib yang diterima Eyang Parikesit hanyalah mimpi kosong
belaka. Kalau iya, ah...! Bagaimana aku dapat menemukan jalan kematian" Oh...!"
keluh Dewa Langit merasa galau.
Dan baru saja lelaki tua ini mengeluh begitu,
mendadak pendengarannya yang tajam menangkap ge-
rakan halus di belakang jauh dari tempatnya berlari.
Tanpa banyak cakap segera langkahnya dihentikan.
Sementara sepasang pendengarannya makin diperta-
jam. "Hm...! Kalau pendengaranku tidak salah, langkah-langkah halus yang
terdengar terdiri dari dua
orang. Dan kini mereka tengah berdiri di balik rin-
dangnya sebuah pohon depan sana. Ya ya ya...! Se-
baiknya aku ke sana. Siapa tahu mereka dapat mem-
berikan keterangan," pikir Dewa Langit.
Saat itu pula Dewa Langit pun segera meloncat
ke atas pohon. Lalu dengan kecepatan dahsyat, tu-
buhnya berkelebatan dari pohon satu ke pohon lain.
Dan sebentar saja Dewa Langit sampai di pohon yang
dimaksudkan. Begitu sampai di pohon itu, Dewa Langit pun
segera menjulurkan kepala ke bawah. Tampak di balik pohon yang dimaksudkan, dua
orang laki-laki tua tengah celingukkan ke sana kemari seperti mencari se-
suatu. Orang di sebelah kanan adalah seorang lelaki tua berusia sekitar tujuh
puluh tahun. Rambutnya
yang panjang memutih digelung ke atas. Wajahnya pu-
cat pasi mirip wajah mayat. Sedang tubuhnya yang
tinggi kurus menyerupai jerangkong hidup dibalut kain katun warna putih.
Di sebelahnya juga seorang lelaki tua renta be-
rusia sekitar tujuh puluh lima tahun. Rambutnya yang panjang memutih dibiarkan
tergerai di bahu. Bentuk
wajahnya agak aneh, yakni menyerupai wajah bayi.
Sedang tubuhnya yang pendek kurus dibalut pakaian
ringkas warna hitam.
"Hantu Pocong! Tak mungkin Siluman Ular Pu-
tih lenyap begitu saja. Pasti ia masih bersembunyi di sekitar tempat ini!" kata
lelaki tua berwajah bayi.
"Ya ya ya...! Benar, Iblis Muka Bayi! Rupanya
kabar yang kudengar ternyata benar. Pemuda murid
Eyang Begawan Kamasetyo itu ternyata memiliki ke-
saktian hebat. Buktinya saja kita sampai kehilangan jejak. Apalagi ilmu
meringankan tubuhnya tadi. Bukan main...! Kita sendiri pun sampai kewalahan
mengikutinya," sahut lelaki tua berbalut kain kafan yang dipanggil Hantu Pocong.
Kedua lelaki tua memang dedengkot dunia per-
silatan golongan hitam. Dan mengenai kemunculan
mereka yang secara mendadak, sebenarnya hanya ke-
betulan saja. Sebagai tokoh-tokoh nomor satu di dunia persilatan, mereka merasa
penasaran sekali dengan
tersiarnya kabar gencar tentang munculnya seorang
pendekar muda bergelar Siluman Ular Putih. Seperti
desas-desus yang terdengar, konon kesaktian pende-
kar muda itu tinggi sekali. Maka begitu mendengar desas-desus itu, Hantu Pocong
dan Iblis Muka Bayi me-
rasa penasaran bukan main. Mereka ingin sekali men-
jajal kesaktian Siluman Ular Putih.
Namun sewaktu Hantu Pocong dan Iblis Muka
Bayi tengah beristirahat setelah melakukan pencarian, tiba-tiba melihat sesosok
bayangan putih tengah ber-
kelebat cepat melintasi tempat mereka. Apalagi ketika menyadari ilmu meringankan
tubuh bayangan putih
yang semula dikira Siluman Ular Putih tampak demi-
kian hebat. Maka kedua tokoh hitam itu berkesimpu-
lan kalau bayangan yang tengah diikuti itu adalah
orang yang tengah dicari. Namun sayangnya di saat
tengah melakukan pengejaran terhadap bayangan pu-
tih yang sebenarnya Dewa Langit, mendadak mereka
kehilangan jejak. Melihat buruannya lenyap bak ditelan bumi, maka kedua orang
itu pun memutuskan un-
tuk beristirahat kembali.
"Ya ya ya...! Harus kita akui kalau pemuda
yang bergelar Siluman Ular Putih itu hebat. Tapi, aku sedikit pun tidak gentar
menghadapinya. Pokoknya,
sekarang kita lanjutkan pengejaran. Mungkin pemuda
tengik itu telah berhasil mengecoh kita, lalu kembali meneruskan perjalanan,"
ajak Iblis Muka Bayi.
"Ya ya ya...! Kalau begitu buat apa buang-
buang waktu! Rasa-rasanya tanganku sudah gatal-
gatal ingin menghajar pendekar muda itu. Hayo, kita teruskan pencarian kita,
Iblis Muka Bayi!" kata Hantu Pocong menyahuti.
Namun belum sempat kedua tokoh itu bertin-
dak lebih lanjut, tiba-tiba dikejutkan oleh gerakan-gerakan halus tak jauh dari
tempat itu. Sebagai tokoh silat tinggi sudah pasti Hantu Pocong dan Iblis Muka
Bayi dapat merasakannya. Maka seketika, kepala mereka segera berpaling ke
samping. Seketika itu pula, mata kedua tokoh sesat ini
terbeliak liar. Di hadapan mereka kini telah berdiri sesosok lelaki tua renta
dengan pakaian ringkas warna putih-putih. Rambutnya yang panjang memutih
sebagian digelung ke atas. Sosok itu tidak lain dari sosok yang tengah dikejar
oleh mereka sendiri.
"Manusia-manusia pengecut! Sebenarnya apa
yang kau inginkan dariku" Kenapa kau buntuti aku?"
tegur Dewa Langit kalem.
Hantu Pocong dan Iblis Muka Bayi melengak
kaget. Bukan saja kaget melihat kemunculan lelaki tua renta itu yang tidak
terduga-duga sama sekali, namun juga kaget melihat kalau yang dikejar tadi jelas
bukan sosok Siluman Ular Putih yang sedang mereka cari.
"Melihat ciri-cirinya, jelas orang tua renta di hadapan kita bukan Siluman Ular
Putih. Sebab, kabar yang tersiar mengatakan, Siluman Ular Putih adalah
seorang pemuda dan berparas tampan. Tapi, bagaima-
na mungkin kemunculannya sama sekali tidak terden-
gar oleh ku" Dan siapa pula dia" Rasa-rasanya selama malang melintang di dunia
persilatan aku belum pernah melihatnya," gumam Hantu Pocong dalam hati seraya
menautkan alis.
Sedang di samping Hantu Pocong, Iblis Muka
Bayi itu pun tampak tengah berpikir keras. Agaknya ia pun cukup terkejut melihat
kemunculan lelaki tua
yang memang Dewa Langit.
"Hebat! Kalau kedatangannya sampai tidak ter-
dengar, berarti kepandaiannya tak bisa dianggap re-
meh. Dan yang jelas lagi, orang tua renta ini bukanlah Siluman Ular Putih," kata
batin Iblis Muka Bayi penuh kagum. "Siapa kau, Orang Tua"!" bentak Hantu Pocong.
"Melihat ciri-ciri, tampaknya kalian bukan
orang baik-baik. Sungguh sayang, kalian yang sudah
tua seperti ini masih suka membuat onar," sindir Dewa Langit, tanpa menjawab
pertanyaan Hantu Pocong.
Hantu Pocong dan Iblis Muka Bayi melengak
kaget. Belum pernah rasanya mereka dipandang ren-
dah demikian rupa selama malang melintang di dunia
persilatan. Mendengar sindiran Dewa Langit.
Iblis Muka Bayi sejenak mengalihkan pandang
matanya ke arah Hantu Pocong. Dan seperti diberi
aba-aba, mendadak kedua tokoh sesat itu tertawa bergelak. "Heran heran!
Beraninya kau mengumbar suara demikian nyaringnya. Apa matamu sudah lamur
tengah berhadapan dengan siapa, he"!" bentak Hantu Pocong lagi.
Dewa Langit mengulas senyum. Tampak sekali
kalau ia tidak gentar menghadapi kedua tokoh sesat di hadapannya.
"Kau akan menyesal seumur hidup berani ber-
tindak lancang di hadapan Dewa Langit!" sahut Dewa Langit, tak kalah gertak.
Kali ini rasa kaget Hantu Pocong dan Iblis Mu-
ka Bayi tak dapat dibayangkan lagi mendengar nama
Dewa Langit disebut. Namun kekagetan mereka hanya
sebentar. Setelah dapat mengendalikan perasaan, ke-
dua orang tua itu pun lantas tertawa bergelak. Sebagai tokoh tua dunia
persilatan, mereka jelas pernah mendengar tokoh sakti tanpa tanding yang
bergelar Dewa Langit, walau belum pernah bertemu sebelumnya. Tapi sifat mereka
yang sombong mengalahkan segalanya.
Apalagi mereka juga belum pernah menjajal kesaktian Dewa Langit.
"Setan! Tak kusangka Dewa Langit yang sudah
lama menyembunyikan diri kini kembali muncul di
dunia persilatan," dengus batin Hantu Pocong.
"Hm...! Bukankah Dewa Langit sudah mati"
Tapi, kenapa mendadak muncul ke dunia persilatan"
Ah...! Jangan-jangan kabar bohong yang telah kudengar tentang kematian Dewa
Langit hanyalah dusta be-
laka. Dan tak kusangka sama sekali kalau hari ini aku
dapat bertemu tokoh sakti yang sering digunjingkan
tokoh-tokoh tua dunia persilatan," gumam Iblis Muka Bayi dalam hati.
Namun untuk menutupi kegusaran, Iblis Muka
Bayi dan Hantu Pocong malah makin melipat ganda-
kan tawanya. "Keparat! Kau pikir hanya kau saja yang dita-
kuti di dunia persilatan, he"! Jangan ngelindur, Orang Tua Bau Tanah! Aku, Iblis
Muka Bayi, sedikit pun tidak gentar menghadapi nama besarmu. Malah hari ini
juga aku akan menjajal kehebatanmu yang konon tan-
pa tanding itu. Hayo kita bermain-main sebentar dengan orang tua renta itu,
Hantu Pocong! Tanganku su-
dah lama karatan ingin menghajar orang," ajak Iblis Muka Bayi, disambut tawa
bergelak. "Maut ada di tangan Hyang Widi. Sesungguh-
nya kalian tidak pantas, kenapa kalian suka bicara
tentang maut. Sebab hanya Yang Maha di Atas sajalah yang patut membicarakannya.
Untuk, itu mari kita saling bergandeng tangan, sama-sama melangkah dengan
kasih sayang!" ujar Dewa Langit. "Tapi sebelumnya, kalau kalian tidak keberatan,
aku ingin meminta beberapa keterangan dari kalian...."
Sejenak Dewa Langit menghentikan bicara. Se-
pasang matanya yang berwarna kelabu, mendadak
mencorong tajam ke arah Iblis Muka Bayi dan Hantu
Pocong. "Apakah kalian dapat membantuku di mana aku dapat menemukan anak manusia
yang terlahir secara aneh sekaligus memiliki ilmu aneh"!" lanjut Dewa Langit.
"Pertanyaan aneh. Kukira jalan pikiranmu pun aneh. Kenapa tidak kau tanyakan
saja pada Raja Akhirat nanti"!" ejek Iblis Muka Bayi sinis.
Habis mengejek begitu, Iblis Muka Bayi segera
menutulkan kaki kanannya ke tanah, seketika tubuh-
nya berkelebat cepat menyerang Dewa Langit hebat.
Melihat Iblis Muka Bayi telah bertindak, Hantu


Siluman Ular Putih 10 Misteri Dewa Langit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pocong pun tak mau ketinggalan. Tubuhnya segera
berkelebat menyerang.
"Hea...! Hea...!"
Diiringi bentakan keras, Dewa Langit meliuk-
liukkan tubuhnya menghindari serangan. Dan begitu
serangan lewat di sisinya, tubuhnya segera berbalik.
Begitu berkelebat, segera dikeluarkannya jurus-jurus andalan. Tangan kanannya
yang terkepal siap melepas jotosan ke arah muka Hantu Pocong. Sementara tangan
kirinya dengan jari-jari membuka siap pula men-
daratkan totokan-totokan.
Hebat bukan main serangan-serangan balik
Dewa Langit. Bahkan sebelum serangan-serangannya
mengenai sasaran, terlebih dahulu berkesiur angin
dingin. Wesss! Wesss!
Tukkk! Tukkk! "Aakh...!"
Dua kali totokan-totokan 'Jari-jari Suci' Dewa
Langit dipapak oleh telapak tangan kanan Iblis Muka Bayi. Seketika tokoh sesat
ini meraung keras. Telapak tangan kanannya yang memapak seraya mau remuk!
Sedang Hantu Pocong yang terbebas dari joto-
san tangan Dewa Langit, segera melancarkan serangan balik. Tangan kirinya
mencengkeram dari bawah ke
atas. Tangan kanannya yang membentuk cakar segera
membabat cepat ke arah ulu hati lawannya.
Dewa Langit hanya tersenyum dingin melihat
serangan-serangannya dapat dimentahkan oleh kedua
orang pengeroyoknya. Padahal kini Iblis Muka Bayi
pun telah meloloskan senjata andalan berupa sebuah cemeti berekor sembilan.
Sebelum Iblis Muka Bayi mengebutkan ceme-
tinya, Dewa Langit telah berkelebat cepat ke arah Hantu Pocong. Begitu cepatnya,
sehingga Hantu Pocong
pontang-panting dibuatnya. Bahkan tiba-tiba Dewa
Langit mendapat kesempatan baik.
Begitu Hantu Pocong melenting ke belakang.
Dewa Langit segera mengikutinya. Dari atas, tokoh
berjiwa arif ini langsung mematuk pinggang Hantu Pocong dengan totokan 'Jari-
jari Suci' Dan...
Tukkk! Tukkk!! Telak sekali pinggang Hantu Pocong terkena to-
tokan. Seketika tubuh tinggi kurusnya ambruk di tanah tanpa bisa mendarat empuk.
Pinggang yang terke-
na totokan terasa mau hancur!
"Heaaa...!"
Ctarrrr...! Tepat ketika Dewa Langit mendarat manis di
tanah, cemeti Iblis Muka Bayi meluncur datang. Secepatnya lelaki tua ini
membuang tubuhnya ke samping.
Jdarri...! Tanah tempat Dewa Langit tadi berdiri kontan
terbongkar oleh cemeti Iblis Muka Bayi. Namun pada
saat itu, Dewa Langit telah melenting kembali. Bahkan sebelum Iblis Muka Bayi
mengebutkan cemetinya, De-wa Langit telah berkelebat cepat
Bed! Bed! Jari-jari tangan Dewa Langit kembali melancar-
kan totokan-totokan maut ke ubun-ubun Iblis Muka
Bayi. Tentu saja lelaki tua bermuka bayi itu tidak ingin tubuhnya jadi sasaran
empuk. Seketika tubuhnya
diemposkan ke samping.
Tetapi baru saja tokoh sesat itu berkelit, men-
dadak arah totokan Dewa Langit telah berubah, lang-
sung mengancam dada Iblis Muka Bayi. Lalu....
Tukkk! Tukkk! "Aaakh...!"
Iblis Muka Bayi memekik setinggi langit ketika
dadanya terkena totokan Dewa Langit. Sakitnya bukan main. Tubuh pun kontan
terpental beberapa tombak
ke belakang tanpa dapat bergerak lagi.
Dewa Langit tersenyum kecut. Dipandanginya
kedua lawan yang tengah merintih-rintih.
"Sungguh sayang sekali.... Kalian orang-orang
tua yang berkepandaian, namun tak mau mengamal-
kannya pada jalan kebenaran. Tapi, tak apa-apalah!
Barang kali kalian masih bermurah hati untuk mem-
beritahukan, di mana aku dapat menemukan pemuda
yang kumaksudkan...," kata Dewa Langit, lembut.
Hantu Pocong dan Iblis Muka Bayi yang nya-
linya sudah ciut, mendapat kenyataan kalau kesaktian Dewa Langit amat tinggi,
sejenak saling berpandangan.
"Mana sudi aku memberi keterangan padamu,
Dewa Langit! Tanyakan saja pada arwah-arwah gen-
tayangan hutan ini!" sahut Iblis Muka Bayi, ketus.
Dewa Langit tersenyum arif. Tentu saja ia ma-
sih ingin membutuhkan keterangan dari Hantu Pocong
dan Iblis Muka Bayi. Maka tanpa menghiraukan oce-
han Iblis Muka Bayi, Dewa Langit melangkah tenang
mendekati. "Maaf! Bukannya aku yang menyakiti kalian.
Tapi, apakah kalian tidak ingin memberitahu ku, pada siapa aku harus bertanya?"
ucap Dewa Langit penuh tekanan. Kedua matanya menyorot tajam, penuh perbawa
menggetarkan. Hantu Pocong dan Iblis Muka Bayi seketika
makin ciut nyalinya. Mereka tidak menyangka kalau
Dewa Langit memiliki perbawa demikian hebatnya.
Maka begitu melihat kedua bola mata lelaki arif itu, tak urung hati mereka
bergetar. "Mana aku tahu" Kenapa kau tidak tanyakan
saja pada Peramal Maut" Mungkin orang tua sinting
dari Gunung Kembang itu tahu, di mana dan siapa
orang yang tengah kau cari!" sahut Iblis Muka Bayi, berusaha memberanikan diri.
"Kalian tahu, itu bukan jawaban!" sahut Dewa Langit, dingin dan penuh tekanan.
Hantu Pocong dan Iblis Muka Bayi yang me-
nyadari kalau keadaannya kurang menguntungkan
kembali saling berpandangan.
"Demi iblis! Aku tidak tahu. Mungkin Peramal
Maut tahu, di mana dan siapa orang yang kau cari,"
tandas Hantu Pocong gelagapan saking takutnya.
"Hm...!, Peramal Maut! Lagi-lagi orang ini me-
nyebut Peramal Maut. Bisa jadi aku dapatkan keterangan orang yang sedang kucari
itu darinya. Ya ya ya.
Dari sorot matanya, dia berkata jujur...!" gumam Dewa Langit dalam hati.
Puas menatap Hantu Pocong, Dewa Langit me-
natap Iblis Muka Bayi. Dari pancaran sinar mata, De-wa Langit yakin kalau tokoh
sesat itu pun memang berusaha untuk jujur.
"Lalu di mana aku dapat menemukan Peramal
Maut, Hantu Pocong"!" kata Dewa Langit lebih lanjut
"Aku... aku tidak tahu, Dewa Langit. Demi iblis, aku tidak tahu. Peramal Maut
memang tak pernah
memiliki tempat tinggal tetap. Ia selalu berkelana dari tempat yang satu ke
tempat lain," jawab Hantu Pocong seadanya.
"Terima kasih! Akhirnya kau mau bermurah
hati juga padaku," ujar Dewa Langit
Lalu tanpa banyak cakap, Dewa Langit segera
berkelebat cepat dan langsung menotok kedua tokoh
sesat itu kembali. Dan seketika tubuhnya berkelebat meninggalkan tempat ini
Begitu bebas dari totokan, Hantu Pocong dan
Iblis Muka Bayi kesal bukan main. Api dendam makin
membara dalam dada mereka setelah dibuat malu oleh
Dewa Langit. *** 5 Tak jauh dari Lembah Selaksa Pasir, tepatnya
di bawah rindangnya sebuah pohon, seorang lelaki tua berusia tujuh puluh tahun
tengah duduk bersila dengan kedua telapak tangan merangkap di depan dada.
Setelah hampir setengah harian lelaki berpakaian biru-biru yang tidak lain
Peramal Maut ini bersemadi, dadanya terasa nyaman. Rupanya, ia baru saja dapat
menyembuhkan luka dalamnya akibat pertarungannya
melawan Siluman Ular Putih.
Namun baru saja Peramal Maut menghentikan
semadi dengan sebuah napas panjang, mendadak pen-
ciumannya yang tajam merasakan bau busuk yang
sangat luar biasa. Sambil tetap memejamkan mata,
ujung hidungnya mencoba mengendus-endus. Kemu-
dian seraya membuka kelopak matanya perlahan, ke-
palanya berpaling ke arah datangnya bau busuk. Dan
anehnya lagi, makin lama bau busuk itu makin me-
nyengat hidung!
"Ah...! Bau busuk apa lagi ini" Kok, terasa begitu menyengat?" gumam Peramal
Maut. Ketika lelaki ini berpaling ke arah ujung jalan
sebelah barat, sepasang mata kelabunya menangkap
sesosok bayangan putih tengah melintas cepat ke
arahnya. Makin dekat bayangan itu, Peramal Maut ya-
kin kalau itu adalah seorang lelaki tua berpakaian putih-putih yang tengah
melintas jalan setapak menuju ke arahnya. Segera saja ia meloncat bangun, siap
menghadang lelaki yang kian dekat ke arahnya.
"Tunggu! Kau tidak boleh lewat begitu saja se-
belum aku tahu siapa dirimu!" bentak Peramal Maut, ketika lelaki tua yang baru
datang telah berjarak lima tombak.
Lelaki berpakaian putih-putih yang tak lain dari
Dewa Langit menghentikan langkahnya. Sepasang ma-
tanya yang tajam terus meneliti sosok berpakaian biru-biru di hadapannya dengan
kening berkerut.
"Ada apa, Sobat" Kenapa kau menahan lang-
kahku?" sapa Dewa Langit, bertanya.
Peramal Maut tersenyum angkuh. Sepasang
matanya yang kelabu tak henti-hentinya memperhati-
kan Dewa Langit.
"Hm...! Bau busuk itu memang dari tubuhmu,
Orang Tua Keriput. Itu menandakan kalau sebentar
lagi kau akan menemui kematian!" gumam Peramal Maut, enteng.
Dewa Langit tersenyum tenang mendengar ka-
ta-kata berbau ancaman. Matanya yang arif meman-
carkan perbawa kuat.
"Benarkah aku akan menemui kematian" Apa
bukan orang tua ini mengada-ada" Tapi, kenapa uca-
pannya demikian tepat?" tanya Dewa Langit dalam ha-ti.
Mata Dewa Langit bersinar cerah. Sungguh ia
kagum dengan dugaan lelaki di hadapannya yang
mampu merubah keinginannya.
"Ah...! Benarkah?" tanya Dewa Langit penuh minat. "Eh...! Jadi kau tidak percaya
dengan ramalan Peramal Maut, he"!" bentak Peramal Maut. Kedua bola matanya
terbeliak penuh kemarahan.
Sekali lagi Dewa Langit dibuat terkesiap kaget.
Saking kagetnya, kedua bola matanya kontan membe-
liak, seolah-olah tak mempercayai pendengarannya.
"Jadi... Jadi" Kaukah yang bergelar Peramal
Maut?" tanya Dewa Langit.
"Sudah tahu kenapa tanya-tanya segala! Dan
kenapa kau tidak mempercayai ramalanku"! Kau me-
ragukan ramalanku, ya" Kalau begitu, kau harus
modar di tanganku!"
"Tunggu, Peramal Maut! Justru aku ingin ber-
tanya padamu. Kalau memang kau orang tua bergelar
Peramal Maut, tentu dapat menunjukkan tentang anak
manusia yang terlahir dengan cara aneh, sekaligus
memiliki ilmu aneh pula. Cepat katakan di mana anak manusia yang kumaksudkan
itu, Peramal Maut?" ujar Dewa Langit tak sabar.
Mendengar pertanyaan Dewa Langit, entah ka-
rena apa, mendadak ingatan Peramal Maut tertuju pa-
da Siluman Ular Putih. Lelaki berpakaian biru-biru ini pun mendengar ada seorang
pemuda sakti yang dilahirkan dari rahim seekor ular betina!
"Hm...! Aku yakin, tentu pemuda sakti itu yang dimaksudkannya," gumam Peramal
Maut seperti pada diri sendiri.
"Siapa bocah sakti yang kau maksudkan, Pe-
ramal Maut?" tanya Dewa Langit tak sabar.
"Dia bergelar Siluman Ular Putih!" sahut Peramal Maut dengan sepasang mata
menerawang. Sejenak tubuh Dewa Langit tergetar hebat begi-
tu mendengar julukan anak manusia yang terlahir se-
cara aneh. Dan sejenak itu pula kepalanya mengang-
guk-angguk dengan senyum tipis terkembang di bibir
keriputnya. "Ya ya ya...! Kukira ucapannya benar adanya.
Aku harus secepatnya dapat menemukan pemuda itu,"
gumam Dewa Langit dengan kepala mengangguk-
angguk. "Kalau begitu, kuucapkan terima kasih atas keteranganmu."
Baru saja Dewa Langit akan berkelebat me-
ninggalkan tempat itu, tiba-tiba....
"Dasar orang tua tak tahu diri! Tadi kau ragu-
kan ramalanku. Tapi, begitu kutunjukkan siapa pe-
muda yang kau cari, kau malah seenak perutmu akan
meninggalkan aku. Apa itu tidak menjengkelkan, he"!"
hardik Peramal Maut, langsung menghadang.
"Ada apa lagi, Sobat" Apa kau juga bermaksud
menghalang-halangi langkahku?" pancing Dewa Langit.
"Tua bangka tak tahu diri! Kau harus mem-
bayar mahal atas ramalanku. Lima puluh keping emas
pun belum cukup ditambah kelancangan sikapmu. Se-
karang bersiap-siaplah menerima kematianmu hari ini Keparat!"
"Lakukan saja kalau kau memang bisa. Malah
aku senang sekali bila kau dapat membunuhku!" ujar Dewa Langit tanpa bermaksud
menyinggung perasaan
Peramal Maut. "Keparat! Kelancanganmu sudah bertumpuk!
Tak mungkin aku membiarkanmu pergi begitu saja.
Makanlah bogem mentahku ini, Tua Bangka Bau
Bangkai!" Peramal Maut yang sudah telanjur tersinggung
atas ucapan Dewa Langit tadi, tanpa banyak cakap segera melayangkan bogem mentah
ke arah rahang Dewa
Langit. Wuttt! Wuttt!
Dua kali lontaran pukulan tangan kanan kiri
Peramal Maut mengenai tempat kosong. Padahal Dewa
Langit hanya sedikit menggeser tubuhnya. Lelaki ber-baju biru ini gusar bukan
main. Rasanya belum per-
nah serangan-serangan mautnya dapat dihindari mu-
suh dengan demikian mudah. Dan ini membuatnya
mengkelap. Saat itu juga daya serangnya ditingkatkan.
Tongkat di tangan kanannya pun segera berkelebat cepat ke beberapa jalan
kematian di tubuh Dewa Langit.


Siluman Ular Putih 10 Misteri Dewa Langit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wuttt! Wuttt! Plakkk! Plakkk!
Dua kali Dewa Langit mampu menahan tongkat
di tangan Peramal Maut dengan telapak tangannya.
Sementara Peramal Maut sama sekali tidak menduga
kalau Dewa Langit berani menangkis serangan-
serangan tongkatnya hanya menggunakan tangan ko-
song. Dan hebatnya lagi, justru telapak tangan kanannya yang terasa bergetar
hebat! Sementara tangan De-wa Langit seperti tak terpengaruh sama sekali.
Geraham Peramal Maut menggeletak mengung-
kapkan kemarahannya. Kedua pelipisnya bergerak-
gerak, diamuk oleh amarah menggelegak. Kemudian....
"Terimalah pukulan 'Gada Akhirat'-ku ini!
Heaaat...!"
Disertai teriakan keras, Peramal Maut segera
menyentakkan kedua tangannya yang telah berisi te-
naga dalam tinggi. Maka seketika dari kedua telapak tangan Peramal Maut melesat
dua buah sinar merah
kekuningan. Ketika dua larik sinar merah kekuningan itu
dalam luncurannya, tiba-tiba menjadi beberapa ba-
gian, namun tetap mengarah ke tubuh Dewa Langit.
"Hm.... Kalau begini terus, ku tahan dengan
ajian 'Sukma Sejati'," gumam Dewa Langit segera menyentakkan kedua tangannya ke
depan begitu sinar-
sinar merah kekuningan setengah tombak lagi meng-
hajar tubuhnya.
Wesss! Wesss! Bummm...!!! Sinar-sinar merah kekuningan dari kedua tela-
pak tangan Peramal Maut mendadak buyar begitu ter-
papak ajian 'Sukma Sejati'. Sedang tubuh Peramal
Maut sendiri kontan terpental beberapa tombak ke belakang. Untung saja lelaki
ini mampu membuat puta-
ran di udara. Namun tetap saja keseimbangan tubuh-
nya tidak dapat dikendalikan. Saat kedua kakinya me-napak ke tanah. Tubuhnya
langsung saja terhuyung-
huyung beberapa langkah ke belakang.
Peramal Maut mengerang hebat. Telapak tan-
gan kanannya mendekap dadanya yang terasa bergo-
lak. Namun tetap saja usahanya sia-sia bila untuk
menahan sesuatu yang menggedor-gedor dadanya.
"Hoeeekh...!"
Peramal Maut kontan memuntahkan darah se-
gar. "Cukup sampai di sini kita main-main, Peramal
Maut! Selamat tinggal!" kata Dewa Langit.
Habis berkata demikian, Dewa Langit pun sege-
ra menjejak tanah. Saat itu pula tubuhnya berkelebat cepat meninggalkan tempat
ini. Hanya dalam beberapa kelebatan saja, sosok tinggi kurusnya telah jauh di
ujung jalan depan sana.
"Setan alas! Tak kusangka kesaktian tua bang-
ka bau tanah itu demikian hebat! Siapakah dia sebe-
narnya" Rasa-rasanya aku belum pernah mengenal-
nya?" gumam Peramal Maut dalam hati.
Namun setelah memeras daya ingatnya, Peram-
al Maut belum juga tahu siapa lawan sebenarnya. Ke-
mudian sambil menahan luka dalamnya yang belum
begitu pulih akibat pertarungannya dengan Siluman
Ular Putih, tubuhnya segera berkelebat cepat tinggalkan tempat ini dengan
mengerahkan ilmu meringan-
kan tubuh sekadarnya.
*** 6 Kendati sinar matahari berusaha menembus
kerimbunan hutan di Bukit Karang Kajen, tetap saja
suasana dalam hutan terasa lengang dan lembab.
Di bawah sebuah pohon besar yang tumbuh
rindang di tengah hutan, seorang pemuda berambut
gondrong tergerai di bahu tengah asyik menikmati daging kelinci panggang.
Sepasang mata pemuda berpa-
kaian rompi dan celana bersisik warna putih kepera-
kan itu sebentar-sebentar mengerjap-ngerjap penuh
nikmat. Lalu begitu daging kelinci telah pindah ke dalam perutnya, buru-buru
dipotesnya paha kelinci yang sedikit hangus dan menebarkan aroma kurang sedap.
"Semprul! Tak seharusnya paha kelinci kesu-
kaanku ini terlalu hangus. Tapi, tak apa-apalah! Biar hangus, toh masih terasa
daging," celoteh pemuda yang tak lain Soma pada diri sendiri.
Sehabis mengoceh begitu, pemuda berjuluk Si-
luman Ular Putih ini segera menyantap paha kelinci
panggang. Terlalu panas memang, tapi tidak dipedulikannya. Meski lidahnya terasa
seperti terbakar, mu-
lutnya terus mengunyah lahap.
Namun di saat Siluman Ular Putih tengah asyik
menikmati paha kelinci kesukaannya, tiba-tiba kesu-
nyian hutan terusik oleh suara tangis seseorang.
Sejenak Soma pun menghentikan kunyahan-
nya. Sepasang matanya bergerak-gerak ke arah da-
tangnya suara sambil beranjak bangun.
"Eh...! Siapa yang menangis di hutan sesepi ini"
Menilik suara tangisnya, tampaknya ia seorang gadis.
Ya ya ya...! Benar seorang gadis. Sebaiknya, kulihat sa-ja sebentar. Siapa tahu
ia gadis cantik" Atau malah, jangan-jangan peri hutan ini yang tengah kesepian
mencari mangsa" Hih.... Jadi ngeri aku! Tapi, tak ada jeleknya kalau aku
melihatnya sebentar," gumam Siluman Ular Putih dalam hati.
Segera Soma melemparkan paha kelincinya ke
semak-semak belukar di depannya. Lalu dengan ilmu
meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkat
tinggi, tubuhnya berkelebat cepat ke arah datangnya suara. Tidak lama kemudian,
Soma segera menemukan asal suara tangis tadi. Dan rupanya, harapan Siluman Ular
Putih terkabul. Ternyata, yang tengah menangis di balik batang pohon adalah
seorang gadis cantik! "Huh! Baik benar nasibku kali ini. Tak kusangka harapanku terkabul. Tak
kuduga, ternyata yang
menangis seorang gadis cantik!" oceh Siluman Ular Putih lagi dalam hati.
Namun, Soma belum juga beranjak dari tem-
patnya bersembunyi. Malah dengan senyum nakal ter-
kembang di bibir, sepasang mata tajamnya terus men-
jilati gadis cantik di hadapannya, penuh kagum.
Sosok gadis yang tengah diperhatikan memang
cantik. Usianya paling baru delapan belas tahun. Namun wajahnya yang berbentuk
bulat telur terlihat
kuyu dengan air mata membasahi pipi. Bentuk kedua
bibirnya tipis kemerah-merahan bak delima merekah.
Bentuk hidungnya mancung. Belum lagi dengan ram-
butnya yang hitam panjang dikuncir dua ke belakang!
Sementara bentuk tubuhnya yang ramping dibalut pa-
kaian ringkas warna hijau.
"Bukan main! Benar-benar cantik gadis satu
ini. Tak kusangka di tengah hutan sesepi ini ternyata ada penghuninya seorang
gadis cantik!" celoteh Soma dalam hati.
Lalu dengan langkah hati-hati, Siluman Ular
Putih pun mulai mendekati si gadis.
Mendengar langkah-langkah halus mendekati,
si gadis buru-buru mengangkat wajahnya seraya me-
nyeka airmata dengan sedikit agak gugup. Lalu kepa-
lanya menoleh ke arah Soma.
"Kenapa kau hapus air matamu, Nona" Kukira
kau malah tambah manis dengan airmata bercucuran
begitu," usik Soma mulai membuka percakapan.
Si gadis kembali menunduk, menyembunyikan
kepalanya dalam-dalam. Sewaktu bersitatap dengan
pemuda tampan di hadapannya, tiba-tiba saja hatinya jadi berdegup aneh. Namun
secepat itu pula ia berusaha menguasai perasaannya. Segera kepalanya diangkat
kembali. Sepasang matanya pun lantas bergerak-gerak aneh, memperhatikan sosok
Siluman Ular Putih seksama. "Jangan buang air matamu percuma, Nona!
Aku takut burung-burung akan beterbangan dan ma-
tahari malas bersinar begitu mendengar suara tangis-mu yang teramat menyayat
hati," usik Siluman Ular Putih lagi, mulai kambuh penyakitnya.
"Diam! Namaku bukan Nona! Aku Ningtyas!
Dan lagi, tak seharusnya kau mencampuri urusanku,
Pemuda Usil! Mau aku menangis di sini kek, di tempat lain kek. Apa pedulimu?"
bentak si gadis yang ternyata Ningtyas, murid tunggal si Raja Pedang.
"Cccck...! Cccckkk...! Oh... jadi namamu Ning-
tyas" Bagus juga namamu. Oh, ya Ningtyas. Apa kau
tidak lihat kalau burung-burung kontan beterbangan, begitu mendengar suara
tangismu?" goda Siluman Ular Putih. "Pemuda nyinyir! Apa telingamu budek" Aku
bilang diam! Kenapa kau masih ngoceh tidak karuan?"
sungut si gadis jengkel.
Si pemuda tersenyum-senyum nakal. Lalu tan-
pa mempedulikan kemarahan si gadis, Soma meletak-
kan pantat di depannya.
"Uh... genit!"
Sambil memaki begitu, si gadis menyingkir
agak menjauh. Sementara Soma hanya garuk-garuk
kepala melihat sikap Ningtyas.
"Ah...! Kenapa menyingkir, Ningtyas" Apa kau
tak tahan dengan bau tubuhku" Sudah dua hari ini
aku memang tak sempat mandi. Jadi, ya maklumlah
kalau bau badanku sedikit kurang sedap. Tapi, kau
mau kan kalau aku ingin bersahabat denganmu?" celoteh Soma seolah-olah tidak
menyadari kejengkelan
Ningtyas. "Atau..." Jangan-jangan kau sewot melihat pemuda setampan aku ini"
Jangan begitu, ah! Nanti
aku jadi besar kepala, lho!"
"Tak ada gunanya bicara dengan pemuda sint-
ing macam kau!" sungut Ningtyas jengkel, seraya
bangkit. Namun di saat gadis itu hendak beranjak me-
ninggalkan tempat ini, entah bagaimana tiba-tiba lengan tangan kanannya telah
terpegang oleh tangan Si-
luman Ular Putih.
"Eh...! Mau apa kau ini, he"! Beruntung aku tidak merobek-robek mulutmu. Pakai
pegang-pegang tangan lagi. Lepaskan!" bentak Ningtyas kesal.
Tangan kanan si gadis yang terpegang Soma
segera disentakkan keras-keras. Namun sedikit pun Siluman Ular Putih tidak mau
mengendurkan pegangan-
nya. Begitu Ningtyas kembali menyentakkan tangan-
nya, si pemuda makin memperketat pegangannya. Se-
hingga, gadis cantik itu meringis kesakitan.
Siluman Ular Putih tidak peduli. Malah bibirnya
Si Rase Hitam 7 Pendekar Naga Putih 82 Tujuh Satria Perkasa Irama Seruling Menggemparkan Rimba Persilatan 5
^