Penguasa Alam 1
Siluman Ular Putih 13 Penguasa Alam Bagian 1
Hak cipta dan copy right pada
penerbit di bawah lindungan
undang-undang https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Dilarang mengcopy atau memperbanyak seba-
gian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
1 "Ha ha ha...! Rupanya apa yang kau inginkan ter-kabul sudah, Pangeran Pemimpin!
Lihatlah! Apa yang
telah kulakukan terhadap Pendidik Ulung!"
Suara sember namun cukup menggema terdengar
dari dalam sebuah pendopo di sebuah bangunan besar
yang kini berdiri kokoh di Bukit Prewangan. Di tengah ruangan pendopo yang tidak
begitu luas itu berdiri
seorang lelaki tua. Usianya sekitar tujuh puluh tahun.
Wajahnya yang pucat terlihat mengerikan oleh mata
sebelah kiri yang rusak. Hidungnya gerowong dengan
bibir robek memanjang. Sedang sosoknya yang tinggi
kurus dibalut pakaian ketat warna hitam.
Telunjuk tangan kanan lelaki yang barusan bicara
ini menuding lelaki berjubah hitam panjang sampai lutut. Di kepala lelaki
berusia tujuh puluh enam tahun itu bertengger penutup kepala berwarna hitam.
Sekilas penampilannya memang mirip orang terpelajar pada
masa itu. Melihat cirri-cirinya, kakek tinggi bermata kelabu
itu tidak lain dari Pendidik Ulung. Namun entah kena-pa, penampilannya kini
tampak demikian menge-
naskan. Wajahnya yang putih bersih tampak seperti
kapas. Sepasang matanya yang biasanya mencorong
tajam kini bersinar aneh mirip orang linglung. Dan kini lelaki tua itu duduk
meringkuk tak jauh dari lelaki
berwajah menyeramkan. (Untuk mengetahui, kenapa
Pendidik Ulung berada di tempat ini, silakan baca:
"Lukisan Darah").
"Bagus-bagus! Rupanya tidak percuma kau men-
dapat gelar Raja Racun Dari Selatan, Sobat!" puji seorang lelaki gagah berusia
empat puluh tahun. Wajah-
nya putih bersih tanpa kumis dan jenggot. Tubuhnya
yang tinggi besar terbungkus pakaian surjan lengkap
dengan blangkon di kepala. Sekali lihat, sepertinya ia berhati lembut. Namun
menilik sepasang matanya
yang mencorong, jelas hatinya culas. Lelaki inilah yang dikenal sebagai Pangeran
Pemimpin, yang menguasai
bangunan besar Partai Kawula Sejati ini. Dan dengan
angkuhnya lelaki itu duduk di sebuah bangku kebesa-
ran berlapiskan emas murni.
Lelaki berwajah menyeramkan yang dipanggil Raja
Racun menegakkan dadanya bangga. Sejenak pandan-
gannya beredar ke segenap penjuru, seolah-olah ingin pamer pada semua yang ada
di ruangan pendopo.
"Lagakmu memuakkan sekali, Raja Racun! Kau
pikir aku tak bisa melakukannya"! Dengan mengguna-
kan racun kepitingku, aku yakin tua bangka ini pun
dapat kulumpuhkan!" sergah sebuah suara cempreng dari salah satu sudut ruangan
pendopo ini. Raja Racun menggeram. Sepasang matanya berki-
lat-kilat, langsung ke arah seorang wanita cantik berusia dua puluh delapan
tahun. Dengan senyum-senyum
genit, lagak si wanita terlihat sangat melecehkan.
Meski demikian, wanita berpakaian ringkas serba kun-
ing itu tak dapat menyembunyikan sikap genitnya.
"Denok Supi! Mulutmu terlalu lancang! Apa kau
sudah bosan hidup, he"!" dengus Raja Racun, penuh kemarahan.
Beberapa tokoh sesat lain yang berada di ruang
pendopo melengak kaget. Seketika mereka mengalih-
kan perhatian ke arah wanita cantik yang dikenal se-
bagai tokoh sesat dari barat itu. Memang cukup cantik sekali sosok Denok Supi
yang sebenarnya sudah berusia lanjut. Wajahnya berbentuk bulat telur. Sepasang
matanya berbinar-binar indah. Rambutnya yang hitam
panjang digelung ke atas, dihiasi untaian-untaian
permata yang sangat indah. Meski tangan kanannya
buntung sebatas lengan, namun kesaktiannya tak da-
pat diragukan lagi.
"Lancang maupun tidak, itu bukan urusanmu!
Yang jelas aku pun sanggup melakukan pekerjaan se-
pele seperti yang telah kau kerjakan!" dengus Denok Supi jengkel.
"Setan alas! Dari dulu kau memang selalu mele-
cehkan ku, Denok Supi! Sekarang kalau kau memang
mengaku mempunyai sedikit kepandaian, ayo kita te-
ruskan percekcokan ini di luar!" tantang lelaki berwajah seram itu sengit.
"Tunggu! Kalian tidak boleh bertindak di luar pen-getahuanku! Kalian adalah
sekutu-sekutuku! Kalau
kalian masih mengakuiku sebagai sekutu, mulai seka-
rang juga harus mentaati perintahku!" cegah Pangeran Pemimpin. Suaranya keras
penuh wibawa. Raja Racun dan Denok Supi sejenak hanya saling
berpandangan. Sepasang mata mereka berkilat-kilat
penuh kemarahan. Namun akhirnya kedua orang to-
koh sesat itu pun mau menuruti perintah Pangeran
Pemimpin. Denok Supi kembali duduk seperti semula. Se-
dang Raja Racun pun kembali menatap Pangeran Pe-
mimpin. "Baik, Pangeran. Aku telah melumpuhkan jalan
pikiran orang tua ini. Lalu, apa lagi yang harus kulakukan?" tanya Raja Racun
seraya menuding ke arah Pen-didik Ulung.
Bak orang yang kehilangan akal Pendidik Ulung
hanya memperhatikan Raja Racun dan Pangeran Pe-
mimpin sekilas. Lalu kepalanya kembali menunduk
menekuri lantai di hadapannya.
Pangeran Pemimpin sejenak memperhatikan sek-
sama Pendidik Ulung. Keadaan lelaki tua itu memang
sangat mengenaskan. Meski demikian penguasa Partai
Kawula Sejati ini masih waswas.
"Apa kau yakin kalau racun yang mengeram da-
lam tubuh tua bangka ini sudah mempengaruhi jalan
pikirannya, Raja Racun?" tanya Pangeran Pemimpin.
"Kenapa hal itu meski ditanyakan lagi, Pangeran"
Apa kau tidak mempercayai kehebatan racun bisa ular
kobra putihku yang telah kucampur beberapa ra-
muan?" sahut Raja Racun tak senang.
"Bukan begitu, Raja Racun. Bukankah wajar kan
kalau aku ragu-ragu. Sebab bukankah kita tahu, sebe-
rapa hebatnya kesaktian orang tua ini?" tukas Pangeran Pemimpin kalem.
"Ya ya ya...! Tapi aku yakin, Pangeran. Sehebat apa pun tua bangka ini, tak
mungkin dapat memunahkan racunku. Jangankan untuk memunahkannya.
Untuk mengetahui siapa dirinya saja belum tentu ia
mampu. Kalau kurang percaya, silakan menanyakan-
nya sendiri, Pangeran!" ujar Raja Racun.
Pangeran Pemimpin mengangguk-angguk. Tangan
kanannya sejenak mengelus-elus dagu. Sementara se-
pasang matanya terus memperhatikan Pendidik Ulung
seksama. "Orang tua! Siapa kau sebenarnya" Mengapa kau
berada di tempat ini?" tanya Pangeran Pemimpin pada Pendidik Ulung. Ia ingin
mengetahui seberapa jauh jalan pikiran lelaki tua itu dapat dilumpuhkan.
Pendidik Ulung mendongak kaget. Sepasang ma-
tanya yang mencorong aneh terus memperhatikan
Pangeran Pemimpin mirip orang linglung. Sambil ber-
tingkah demikian, sesekali kepalanya bergerak-gerak
seolah-olah sedang menafsirkan sesuatu.
"Orang tua! Siapa kau sebenarnya" Mengapa kau
berada di tempat ini?" ulang Pangeran Pemimpin.
"Aku.... Aku tid... tidak tahu. Kenapa aku sampai di tempat ini" Kau sendiri mau
apa di tempat ini?" sa-
hut Pendidik Ulung, yang tampaknya telah benar-
benar linglung.
Pangeran Pemimpin mengangguk-angguk. Tampak
sekali kalau Penguasa Partai Kawula Sejati ini puas
dengan hasil kerja Raja Racun.
"Ya, sudah! Teruskan saja mainanmu, Orang Tua!
Tapi kalau misalnya aku menyuruhmu untuk melaku-
kan sesuatu, kau harus mematuhi perintahku!"
Pendidik Ulung hanya mengangguk-angguk. Kela-
kuannya kali ini benar-benar seperti anak kecil. Sambil mengangguk-angguk tadi,
matanya terus menekuri
lantai di hadapannya dengan tatapan kosong!
Entah kenapa tiba-tiba Pangeran Pemimpin terta-
wa bergelak. Kepalanya mendongak ke atas sambil
menyandarkan punggungnya ke bangku kebesaran.
"Bagus-bagus! Aku senang sekali dengan hasil
kerjamu ini, Raja Racun. Sekarang aku ingin beberapa orang segera mengawal tua
bangka ini untuk menyelidiki siapa Penguasa Alam seperti yang tercantum da-
lam Lukisan Darah!"
"Baik," sahut beberapa orang tokoh sesat yang menjadi sekutu Pangeran Pemimpin
serempak. "Nah! Kalau begitu, cepatlah kalian berangkat!
Termasuk juga kau, Raja Racun! Kau harus mengawal
tua bangka ini!" ujar Pangeran Pemimpin.
"Tanpa diperintah pun, aku akan mengawal tua
bangka ini! Sekarang juga aku akan mengajaknya un-
tuk segera menyelidiki siapa Penguasa Alam!" sahut Raja Racun.
Lalu tatapan Raja Racun beralih pada Pendidik
Ulung yang tampak seperti orang linglung.
"Hayo ikut aku! Kau mendapat tugas penting dari Ketua Partai Kawula Sejati!"
ujar Raja Racun seraya menarik lengan Pendidik Ulung.
"Ba...baik."
Pendidik Ulung segera melompat bangun. Gerakan
kedua kakinya masih ringan seperti semula, seolah-
olah tidak terpengaruh sedikit pun dengan kesaktian
orang tua itu. Pangeran Pemimpin sejenak mengangguk-
anggukkan kepalanya sambil terus mengikuti arah ke-
pergian Pendidik Ulung yang diikuti oleh beberapa
orang tokoh sesat lainnya. Namun belum sempat
bayangan tinggi kurus Pendidik Ulung menghilang di
balik pintu ruang pendopo....
"Tunggu! Kalian semua tidak boleh mengajak pergi tua bangka itu begitu saja!"
Terdengar bentakan nyaring yang disusul berkele-
batnya sesosok bayangan ke tengah ruangan.
*** 2 Pangeran Pemimpin melengak kaget dengan kepa-
la berpaling ke arah datangnya suara. Dan matanya
langsung bertumbukan dengan mata seorang pemuda
tampan berusia dua puluh tahun yang tahu-tahu telah
berdiri tegak di tengah ruangan. Wajahnya berbentuk
lonjong dengan kulit putih bersih. Sepasang matanya
tajam bak mata rajawali. Hidungnya mancung. Ram-
butnya yang gondrong sebagian digelung ke belakang.
Sedang tubuhnya yang tinggi kekar dibalut jubah ber-
warna hitam yang panjang sampai lutut.
"Ah...! Rupanya kau, Sobatku Pelajar Agung! Ada apa" Tampaknya kau kurang
menyukai kalau tua
bangka itu menyelidiki Penguasa Alam" Kemarilah!
Ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu!" sambut Pangeran Pemimpin begitu
melihat siapa yang da-
tang. Pemuda tampan yang baru datang sebenarnya
memang murid Pendidik Ulung yang bergelar Pelajar
Agung. Dengan dengusan, ekor mata Pelajar Agung se-
jenak memperhatikan gurunya yang tertahan di dekat
pintu keluar. Sekali lihat saja ia tahu kalau dalam diri orang tua itu telah
mengeram racun keji. Entah racun apa, ia sendiri belum tahu pasti.
"Hm...! Rupanya orang tua tolol ini telah diracuni seseorang. Mungkin oleh Raja
Racun, mungkin juga
oleh Pangeran Pemimpin sendiri. Aku tidak tahu pasti.
Yang jelas Pangeran Pemimpin pasti tengah merenca-
nakan sesuatu!" desis si murid murtad Pendidik Ulung sambil menatap gurunya.
Kemudian tatapan pemuda ini beralih pada Pan-
geran Pemimpin.
"Sebenarnya hendak kau bawa ke mana orang tua
itu, Pangeran" Kenapa kulihat beberapa orangmu tu-
rut pula menyertainya?" tanya Pelajar Agung dengan ke-ning berkerut.
"Tenanglah, Sobat! Aku memang tengah merenca-
nakan sesuatu," jelas Pangeran Pemimpin seraya beranjak dari tempat duduk. Lalu
kakinya melangkah
mendekati Pelajar Agung, sekutu utamanya.
Si pemuda hanya melirik sebentar tangan Pange-
ran Pemimpin yang merangkul pundaknya dan menga-
jaknya duduk. "Kau tidak ingin menceritakan apa yang tengah
kau rencanakan, Pangeran?" tanya Pelajar Agung ka-ku. "Ah...! Sabarlah, Sobat!
Aku memang ingin mence-ritakannya," ujar Pangeran Pemimpin menukas.
"Kalau begitu, ceritakanlah!" tuntut si pemuda, tak sabar.
Lelaki setengah baya Penguasa Partai Kawula Se-
jati tersenyum. Dimakluminya tabiat pembantu uta-
manya. "Aku memang tengah memanfaatkan orang tua itu
untuk menyelidiki siapa Penguasa Alam. Kenapa nama
Penguasa Alam tercantum dalam Lukisan Darah?" jelas Pangeran Pemimpin kalem.
"Lalu, kau menyuruh beberapa tokoh sakti itu untuk mengikuti orang tua itu?"
tukas Pelajar Agung, tajam. "Sudah pasti. Bagaimanapun juga aku tak ingin tua
bangka itu mampus tanpa mendapatkan hasil bagi
kita dari Lukisan Darah!"
"Berarti kau telah melupakanku, Pangeran! Apa
kau tidak mempercayaiku lagi?"
"Bukan begitu maksudku, Sobat. Aku tetap mem-
percayaimu. Bahkan, kaulah pembantu utamaku.
Kaulah yang berhak menggantikan kedudukanku bila
aku keluar. Kenapa kau tanyakan itu lagi?"
"Hm...!" Pelajar Agung menggumam tak jelas. "Ta-pi, bukankah kau tahu kalau
akulah yang ingin me-
nyelidiki siapa manusia yang bergelar Penguasa Alam"
Lalu, kenapa kau menyuruh orang-orang itu untuk
menyelidik?"
"Ah...! Rupanya kau terlalu perasa, Sobat!" desah Pangeran Pemimpin seraya
menggeleng-geleng. Lalu di-tekuknya pundak Pelajar Agung beberapa kali. "Apakah
Siluman Ular Putih 13 Penguasa Alam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kau lupa bahwa kau tadi pingsan setelah berta-
rung dengan tua bangka itu" Untuk itu, aku ingin kau beristirahat barang
sebentar. Nanti bila tua bangka itu belum juga dapat menyelidiki siapa Penguasa
Alam, sudah pasti kau yang harus menyelidiki, sekaligus
mengambil harta karun yang seperti tercantum dalam
peta Lukisan Darah."
Pelajar Agung mengangguk-angguk. Memang pe-
muda ini baru saja siuman dari pingsan setelah berta-
rung dengan gurunya sendiri. Dan si murid murtad ini tidak tahu, siapa yang
telah membantu meringankan
luka dalamnya selama pingsan. Yang jelas luka dalam-
nya kini perlahan mulai sembuh. (Untuk mengetahui
pertarungan Pelajar Agung dengan Pendidik Ulung si-
lakan baca: "Lukisan Darah").
"Sebenarnya aku ingin sekali menyelidiki siapa
manusia pongah yang bergelar Penguasa Alam. Tapi,
baiklah. Kukira aku harus menjaga luka dalamku ter-
lebih da-hulu. Nanti kalau luka dalamku sudah benar-
benar sembuh, pasti aku akan segera menyelidiki Pen-
guasa Alam!"
"Terima kasih atas pengertianmu, Sobat!" ucap Pangeran Pemimpin seraya kembali
menepuk-nepuk pundak Pelajar Agung.
Lalu perhatian lelaki setengah baya itu beralih pa-
da Raja Racun beserta beberapa orang tokoh dunia
persilatan yang masih tertahan di ambang pintu ber-
sama Pendidik Ulung.
"Raja Racun! Lekaslah ajak tua bangka itu beserta teman-teman sekalian untuk
menyelidik Penguasa
Alam!" ujarnya.
"Baik," sahut Raja Racun beserta beberapa tokoh sesat serempak.
Pangeran Pemimpin mengangguk-angguk. Semen-
tara, Raja Racun telah mengajak Pendidik Ulung me-
ninggalkan ruang pendopo markas Partai Kawula Seja-
ti, diikuti beberapa tokoh sesat lainnya.
"Kalau begitu, bukankah sudah tidak ada lagi
yang patut dibicarakan, Pangeran?" kata Pelajar Agung tak sabar.
"Tunggulah, Sobat! Jangan buru-buru! Aku ingin
membicarakan sesuatu padamu," ujar Pangeran Pe-
mimpin cepat, seraya menahan lengan Pelajar Agung
yang bermaksud beranjak dari tempat duduk.
"Ada apa lagi, Pangeran" Tampaknya kau sudah
merencanakan sesuatu lagi?" tukas Pelajar Agung, kembali duduk seperti semula.
"Aku sebenarnya tidak sedang merencanakan se-
suatu. Aku hanya ingin bercakap-cakap denganmu.
Apa kau sendiri punya rencana?" tanya Pangeran Pemimpin setelah diam beberapa
saat. "Hm...! Aku sendiri belum mempunyai rencana.
Aku hanya ingin selekasnya membunuh musuh besar-
ku. Rasanya aku sudah tidak sabar lagi untuk segera
memecahkan batok kepalanya!" sahut Pelajar Agung dengan kegeraman yang amat
sangat. "Maksudmu, pemuda sinting bergelar Siluman
Ular Putih?" duga Pangeran Pemimpin.
"Yah...! Siapa lagi kalau bukan dia!"
"Aku mengerti kegusaranmu, Sobat. Aku sendiri
juga merasa penasaran dengan pemuda sinting itu.
Kalau saja Nimas Putri Sekartaji tidak diselamatkan olehnya, barangkali kita
sudah dapat menyusun rencana untuk menyingkirkan Adipati Pleret yang seka-
rang. Dan kau pun segera dapat mematahkan batang
leher Siluman Ular Putih."
Pelajar Agung tidak menyahut, kecuali hanya
mengangguk-angguk dengan gerahamnya bergemele-
tuk. "Kukira, kita sekarang tak perlu lagi membicarakan sesuatu. Pokoknya, kita
tinggal menunggu Raja
Racun dan kawan-kawannya! Apakah mereka dapat
menyelidiki Penguasa Alam atau tidak?" kata Pelajar Agung seraya beranjak dari
tempat duduk. Pangeran Pemimpin hanya mengangkat bahu. Ia
sendiri pun sependapat dengan Pelajar Agung. Dan ke-
tika si pemuda melangkah menuju kamar, Pangeran
Pemimpin membiarkannya.
"Hm...! Kukira aku pun perlu beristirahat barang
sejenak. Urusan perjuangan ini benar-benar menyita
tenaga dan pikiranku...," gumam Pangeran Pemimpin dalam hati.
*** 3 "Ayo dong panggil aku Kangmas, Putri Sekartaji.
Katanya kau akan memperkenalkan pada Adipati Ple-
ret sebagai calon adik ipar?"
Sambil berjalan mengekor di belakang wanita yang
dipanggil Putri Sekartaji, tak henti-hentinya pemuda yang berada di belakangnya
terus menggoda. Paras
pemuda itu memang tidak mengecewakan. Gadis can-
tik mana pun akan selalu betah bila berduaan den-
gannya. Di samping tampan, wajah pemuda itu pun
tampak polos kekanak-kanakan. Sepasang matanya
tajam bak sepasang mata rajawali. Hidungnya man-
cung dengan rahang menonjol. Rambutnya yang hitam
panjang dibiarkan tergerai di bahu. Sedang tubuhnya
yang tinggi kekar dibalut pakaian rompi dan celana
bersisik warna putih keperakan. Di kanan kiri perge-
langan tangannya melingkar dua gelang akar bahar.
Sementara di dadanya terdapat rajahan kecil bergam-
bar ular putih yang terlihat di balik rompi tanpa kanc-ing. Anak Panah Bercakra
Kembar pun tampak me-
nyembul dari balik pinggang. Siapa lagi pemuda ini kalau bukan Siluman Ular
Putih, seorang pendekar yang
sekarang ini tengah menggegerkan dunia persilatan"
Dan entah karena sebal mendengar godaan pemu-
da di belakang, mendadak gadis cantik yang tak lain
murid Pendekar Bintang Emas itu berbalik kasar.
"Soma! Jangan cerewet! Aku tak suka gurauanmu,
tahu"!" bentaknya.
Pemuda murid Eyang Begawan Kamasetyo itu
hanya tersenyum-senyum menggoda. Malah sepasang
matanya yang nakal terus memperhatikan kecantikan
gadis di hadapannya penuh kagum. Paras adik tiri
Pangeran Pemimpin itu memang benar-benar menga-
gumkan. Wajahnya berbentuk bulat telur dengan kulit
putih bersih. Sepasang matanya jernih. Hidungnya
mancung dengan kedua bibir berbentuk tipis kemerah-
merahan. Sedang tubuhnya yang tinggi ramping diba-
lut pakaian ketat warna kuning. Sungguh membuat
setiap laki-laki akan selalu betah memandangnya. Apalagi dengan rambutnya
digelung ke atas yang mene-
barkan harum bunga melati!
Soma benar-benar menikmati pemandangan indah
di hadapannya. Malah saking asyiknya menikmati ke-
cantikan Putri Sekartaji, murid Eyang Begawan Kama-
setyo ini bersiul-siul kecil!
"Edan! Rasa-rasanya baru kali ini aku bertemu
seorang gadis secantik ini. Hm...! Alangkah berun-
tungnya aku dapat berkawan dengannya...," gumam Soma.
"Kau beruntung! Aku yang rugi, tahu"! Hayo le-
kas! Kita meneruskan perjalanan! Sebentar lagi kita
akan sampai di pintu gerbang Kadipaten Pleret!" hardik Putri Sekartaji.
"Hm...! Ini berarti sebentar lagi aku pun akan ber-kenalan dengan calon kakak
iparku. Menyenangkan
sekali!" "Menyenangkan.... Menyenangkan, gundulmu!"
semprot Putri Sekartaji kasar.
"Tapi kau senang kan melakukan perjalanan ber-
dua denganku?"
"Soma!" Putri Sekartaji membanting kaki kanannya kesal namun penuh manja.
Sepasang matanya
berkilat-kilat penuh kemarahan.
"Kangmas Soma dong! Kan kau sudah berjanji
akan memanggilku Kangmas?" tukas Soma tak mem-
pedulikan kegusaran Putri Sekartaji.
"Sekali lagi kau menggoda, persahabatan kita putus!" "Ampun! Ampun! Jangan
begitu dong, ah! Kau memang semakin cantik kalau sedang marah begini.
Tapi aku juga tidak mau persahabatan kita putus,"
oceh Soma, memasang wajah memelas.
"Makanya jangan cerewet! Hayo, lekas kita mene-
ruskan perjalanan!"
"Baik."
*** Putri Sekartaji segera berkelebat cepat. Meski ha-
tinya saat itu gusar bukan main, namun diam-diam
sebenarnya makin terpesona dengan ketampanan
maupun sikap Siluman Ular Putih.
Sementara, Soma sendiri segera mengekor di bela-
kang Putri Sekartaji. Sambil berlari di belakang, rupanya Soma belum kapok juga.
Tak henti-hentinya Pu-
tri Sekartaji terus digoda. Namun kali ini si gadis tidak mempedulikannya.
Tubuhnya terus saja berkelebat ke
timur, menuju pintu gerbang Kadipaten Pleret. Dan bi-sa ditebak kalau ilmu
meringankan tubuh si gadis te-
lah begitu tinggi, maka kepandaiannya pun tak bisa di-remehkan. Terpaksa Siluman
Ular Putih harus mem-
percepat larinya kalau tidak ingin tertinggal.
Kini mereka, telah tiba di depan pintu gerbang
Kadipaten Pleret sebelah barat. Tampak puluhan pra-
jurit jaga kadipaten tengah siaga di tempat masing-
masing dengan senjata di tangan. Begitu melihat dua
sosok anak muda berhenti pada jarak tiga tombak di
depan pintu gerbang, prajurit-prajurit jaga itu segera menghadang. Namun ketika
mengenali siapa gadis
cantik itu, buru-buru sikap garang mereka jadi sirna.
"Oh.... Tuan Putri! Silakan masuk!" kata pemimpin prajurit jaga itu penuh
hormat. Tanpa banyak cakap, Putri Sekartaji segera berke-
lebat cepat masuk ke dalam halaman kadipaten. Meli-
hat Putri Sekartaji telah mendahului, dengan dada di-busungkan tinggi-tinggi
Siluman Ular Putih pun hen-
dak mengikuti. Putri Sekartaji yang terus berkelebat cepat tanpa menghiraukan
dirinya. Dan baru saja si
pemuda hendak melangkah mendadak berpuluh-puluh
prajurit jaga langsung menghadang.
"Tunggu! Pemuda sinting macammu tak boleh ma-
suk ke dalam lingkungan kadipaten seenak perut! Kau
harus kami geledah dulu sebelum masuk!" bentak kepala prajurit jaga itu garang.
Dia adalah seorang lelaki bertubuh tinggi kekar.
Wajahnya gagah dengan rahang menonjol menandakan
ketegasan sikapnya. Rambutnya yang hitam panjang
di-gelung ke atas. Sedang tubuhnya yang tinggi kekar dibalut pakaian prajurit
berwarna hijau.
Mendengar bentakan tadi, Siluman Ular Putih jadi
melengak kaget. Saking kagetnya, sampai tubuhnya
mundur selangkah ke belakang.
"Eh...! Beraninya kau bertindak lancang di hadapan teman tuan putrimu yang
tampan ini he"! Apa ma-
ta kalian buta" Aku ini teman istimewa tuan putrimu, tahu"!" balas Soma,
membentak. Beberapa orang prajurit jaga tersenyum-senyum.
Mungkin merasa geli melihat sikap Siluman Ular Putih sewaktu bicara tadi. Malah
ada seorang prajurit jaga yang meletakkan miring telunjuk jarinya di kening,
sebagai isyarat kalau pemuda tampan itu gila. Tentu saja hal ini makin membuat
Siluman Ular Putih sewot. Na-
mun belum sempat murid Eyang Begawan Kamasetyo
membuka suara "Pemuda sinting tak tahu malu! Mana pantas kau
jadi sahabat istimewa Tuan Putri. Aku saja tidak di-
anggap. Apalagi pemuda sinting macam kau! Huh! Da-
sar pemuda sinting!" bentak lelaki gagah, kepala prajurit itu.
"Eh.... Eh...! Seenaknya saja kau memakiku pe-
muda sinting! Aku ini temannya Tuan Putri. Masa' ka-
lian tak percaya?" tukas Soma.
"Jangan mengigau dapat berkawan dengan Tuan
Putri, Kunyuk Gondrong! Lekaslah enyah dari hada-
panku sebelum kesabaran kami habis!" hardik kepala prajurit jaga itu lagi,
garang. "Ah...! Jadi kalian tidak mempercayaiku" Baik!
Kalau begitu aku akan membuktikannya!"
Tawa beberapa orang prajurit jaga makin bergelak.
Namun Siluman Ular Putih tidak mempedulikan-
nya. Sambil melongok-longokkan kepalanya, ia terus
mencari sosok Putri Sekartaji. Namun sayang, sosok
gadis tadi telah berkelebat cepat di kejauhan sana.
Soma tidak peduli.
"Ooooi... Putri! Prajurit-prajurit tengil ini mengha-dangku! Lekaslah kau
kemari! Biar mereka tahu, siapa aku! Masa' mereka tidak percaya kalau aku ini
temanmu! Lekas kemari, Putri!" teriak Soma dengan kedua telapak tangan di depan
mulut. Sebentar Putri Sekartaji di kejauhan sana berhen-
ti. Lalu tubuhnya berbalik.
"Ki Suroso! Biarkan pemuda itu lewat!" teriaknya.
"Ba.... Baik, Tuan Putri," sahut kepala prajurit ja-ga yang dipanggil Ki Suroso
lantang. Siluman Ular Putin tersenyum-senyum penuh
kemenangan. "Benar, kan" Sudah kubilang, aku ini teman isti-
mewa tuan putrimu! Untung saja tuan putrimu tidak
menyuruhku mengemplang kepala kalian," oceh murid Eyang Begawan Kamasetyo kesal.
Lalu dengan dada membusung bangga, si pemuda
segera berkelebat cepat meninggalkan tempat itu. Segera disusulnya langkah Putri
Sekartaji. *** 4 Malam baru saja merambat. Lampu-lampu blen-
cong di seputar Kadipaten Pleret telah menyala sejak tadi. Membuat suasana di
seputar bangunan kadipaten jadi terang benderang.
Suasana ini rupanya tak jauh berbeda dengan di
dalam istana kadipaten. Meski tak dipungkiri, saat ini keamanan cukup tegang
oleh ulah Pangeran Pemimpin
yang bermaksud menggulingkan takhta kadipaten.
Namun setelah mendengar keterangan beberapa telik
sandi, wajah arif Adipati Pleret tidak terlalu mencemaskan memikirkan keamanan.
Siluman Ular Putih 13 Penguasa Alam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dari kursi kebesarannya, Adipati Pleret yang baru
saja menerima laporan hanya menghela napas beru-
lang-ulang. Lalu kepalanya menggeleng-geleng, seolah-olah tidak mengerti maksud
Pangeran Pemimpin yang
masih terhitung kakak tirinya.
"Aku benar-benar tidak mengerti. Apa yang harus kulakukan dengan sikap Kangmas
Sembodo yang bermaksud menggulingkan takhta Kadipaten Pleret. Kalau
saja ia meminta secara baik-baik dan dengan alasan
masuk akal, sudah pasti aku akan menyerahkan ke-
kuasaan dengan suka rela. Tapi sikapnya kali ini be-
nar-benar membuatku harus segera bertindak. Kira-
kira tindakan apa yang harus kulakukan, Paman Pa-
tih?" tanya Adipati Pleret dengan paras sedih.
Seorang lelaki tua berpakaian surjan lengkap den-
gan blangkon di kepala duduk bersimpuh di hadapan
Adipati Pleret. Sejenak kedua telapak tangannya di-
tangkupkan ke depan hidung penuh hormat.
"Hamba mohon maaf, Adipati. Kiranya tidak ada
pilihan lain. Kita harus secepatnya menumpas Pange-
ran Pemimpin berikut para pengikut Partai Kawula Se-
jati," katanya.
"Sebenarnya aku sudah memikirkannya, Paman
Reksopati. Tapi apakah tidak sebaiknya meminta ban-
tuan pada tokoh golongan putih guna menghadapi se-
kutu Kangmas Sembodo yang kebanyakan tokoh sesat
dunia persilatan" Sebab kalau memaksakan diri untuk
segera menyerang, terus terang aku khawatir dengan
prajurit-prajurit kita yang bakal kewalahan. Apalagi, saat ini Nimas Putri
Sekartaji menjadi tawanannya.
Meski Pringgondani telah meminta bantuan seorang
pendekar sakti untuk menyelamatkan Nimas Putri Se-
kartaji, namun tetap saja aku merasa khawatir," desah Adipati Pleret.
"Hamba mengerti kesulitan, Kanjeng Adipati. Apalagi Lukisan Darah pun telah
dicuri seseorang yang
menurut dugaan pasti salah seorang sekutu Pangeran
Pemimpin. Kalau tidak, siapa yang dapat melumpuh-
kan para prajurit yang menjaga pintu dengan demikian mudahnya" Pasti dialah
sekutu Pangiran Pemimpin!"
ungkap Patih bernama Reksopati.
"Lebih dari itu, Kangmas Sembodo pasti mempu-
nyai maksud-maksud lain. Cuma sayang, aku belum
tahu apa maksudnya di samping ingin merebut takhta
Kadipaten Pleret."
"Kukira apa yang Kangmas Adipati khawatirkan
tidaklah akan terjadi, Kangmas. Sebab aku telah dis-
elamatkan seseorang!"
Tiba-tiba terdengar sahutan nyaring yang datang-
nya dari pintu masuk pendopo. Semua mata langsung
tertuju ke sana.
*** Adipati Pleret melengak kaget ketika sepasang ma-
tanya yang tajam mengarah ke pintu masuk pintu
pendopo. Tampak Putri Sekartaji tengah menyeret len-
gan seorang pemuda berpakaian rompi dan celana ber-
sisik warna putih keperakan.
Beberapa orang punggawa kadipaten sempat men-
gerutkan kening melihat sikap pemuda gondrong yang
tak lain murid Eyang Begawan Kamasetyo yang berge-
lar Siluman Ular Putih.
Seperti tanpa mempedulikan keadaan sekeliling,
Siluman Ular Putih terus mengikuti tarikan tangan Putri Sekartaji. Sementara
tangannya terus menggaruk-
garuk kepala. Senyum nakalnya pun tampak tersungg-
ing di bibir. "Nimas Putri Sekartaji...!" desis Adipati Pleret penuh keterkejutan. Lelaki ini
segera bangkit dari tempat duduknya. Langsung menghampiri dan dipeluknya gadis
itu. "Aku benar-benar bahagia kau bisa selamat sampai di tempat ini. Apakah kau
baik-baik saja?"
"Ya, aku baik-baik saja. Berkat pemuda ini," sahut Putri Sekartaji.
Melihat sikap Soma di belakang Putri Sekartaji,
mata Adipati Pleret jadi menyipit setelah melepas pelu-kannya. Namun selaku
adipati, ia cukup bijaksana un-
tuk tidak mengusik teman adik tirinya.
"Apakah pemuda itu yang telah menyelamatkan-
mu?" duga Adipati Pleret.
Putri Sekartaji tidak langsung menjawab, melain-
kan segera menarik lengan Soma untuk bersimpuh di
hadapan Adipati Pleret. Soma celingak-celinguk sebentar, lalu menirukan gaya
Putri Sekartaji yang tengah menghaturkan sembah sungkem. Sikap pemuda ini
kaku sekali. "Benar, Kangmas Adipati. Pemuda inilah yang te-
lah menyelamatkanku dari cengkeraman tangan
Kangmas Sembodo," sahut si gadis.
"Kalau begitu, sungguh besar sekali jasamu, Anak Muda, Aku selaku Adipati Pleret
tak segan-segannya
untuk mengucapkan rasa terima kasih atas pertolon-
ganmu terhadap Nimas Putri Sekartaji," ucap Adipati Pleret seraya menepuk pundak
kedua anak muda itu
untuk bangun. "Duduklah di sampingku, Anak Muda!
Tak usah malu-malu! Aku yakin kau pasti pendekar
sakti yang dimaksudkan Pringgondani."
Siluman Ular Putih jadi jengah bukan main diper-
lakukan seperti itu. Tanpa sadar kepalanya menoleh
ke arah Putri Sekartaji yang malah mengerdipkan ma-
ta. Dan diisyaratkannya agar Siluman Ular Putih itu
untuk menuruti ajakan kakak tirinya.
Adipati Pleret telah melangkah dan duduk di
bangku kebesarannya diikuti Putri Sekartaji. Sementa-ra Siluman Ular Putih malah
menggaruk-garuk kepa-
lanya bingung. Namun akhirnya toh menurut juga du-
duk di samping Adipati Pleret tak jauh dari tempat duduk Putri Sekartaji.
"Sebagai seorang yang menyukai ilmu silat, tentu aku juga ingin tahu gelarmu di
dunia persilatan, Anak Muda?" tanya Adipati Pleret langsung dengan senyum
terkembang. "Dia seorang pendekar hebat, Kangmas. Meski ke-
pandaian Kangmas cukup hebat, namun jangan dikira
mampu bertahan barang satu atau dua jurus mela-
wannya!" Putri Sekartaji yang menyahut seraya meng-
gedikkan kepalanya ke arah pemuda tampan di sam-
pingnya penuh kagum.
"Oh, ya?" ujar Adipati Pleret makin kagum. Sebentar matanya memandang pada
Siluman Ular Putih. Se-
bentar kemudian beralih ke arah Putri Sekartaji disertai rasa penasaran.
"Benar, Kangmas. Kalau saja Kangmas Adipati ta-
hu gelarnya di dunia persilatan, tentu akan terkejut dibuatnya," tambah Putri
Sekartaji bersemangat. Entah kenapa tiba-tiba saja gadis ini jadi semangat
sekali menceritakan kehebatan Siluman Ular Putih pada ka-kaknya.
"Ah...! Kalau begitu, cepat katakan siapa gelarmu di dunia persilatan, Anak
Muda!" pinta Adipati Pleret penasaran.
"Aku.... Aku tidak punya gelar, Kanjeng Adipati.
Namaku Soma. Itu saja!" jawab murid Eyang Begawan Kamasetyo malu-malu.
"Bohong! Dialah yang bergelar Silurian Ular Putih, Kangmas!" lagi-lagi Putri
Sekartaji yang menyahut.
Terdengar pekik kaget beberapa orang punggawa
kadipaten. Termasuk juga Adipati Pleret, begitu men-
dengar penjelasan Putri Sekartaji kalau pemuda tam-
pan itu adalah pendekar muda yang namanya telah
menggemparkan dunia persilatan dengan julukan Si-
luman Ular Putih!
"Sungguh merupakan satu kehormatan besar! Tak
kusangka Siluman Ular Putih sudi menyambangi Ka-
dipaten Pleret!" decak Adipati Pleret penuh kagum.
Bukan main jengahnya Siluman Ular Putih diper-
lakukan seperti itu. Entah sudah berapa kali tangan-
nya menggaruk-garuk kepala saking jengahnya.
Putri Sekartaji malah tersenyum-senyum. Rasanya
puas sudah gadis itu membalas godaan-godaan Silu-
man Ular Putih selama ini.
"Sekarang ceritakan, apa saja yang telah kau ketahui, Nimas! Aku yakin kau pasti
mendapat beberapa
keterangan selama ditawan Kangmas Sembodo," pinta Adipati Pleret, sedikit
memberi napas pada Siluman
Ular Putih. Putri Sekartaji yang sedang memperolok Siluman
Ular Putih, mendadak menghentikan senyum keme-
nangannya. Parasnya segera dibuat bersungguh-
sungguh. Adipati Pleret dan juga semua yang ada di ruang
pendopo ini mulai mendengarkan keterangan Putri Se-
kartaji. Bahkan mereka berkali-kali mendesis penuh
ke-marahan begitu mendengar rencana keji Pangeran
Pemimpin. Untuk beberapa saat suasana di ruang
pendopo seperti dicekam perasaan tegang, terbawa
arus pikiran masing-masing.
"Hm...! Benar-benar tak kusangka kalau Kangmas
Sembodo mempunyai rencana selicik ini. Mengapa ia
tega-teganya memaksa Nimas Putri Sekartaji untuk
menandatangani surat perjanjian agar aku sudi me-
nyerahkan takhta Kadipaten Pleret padanya" Benar-
benar licik!" geram Adipati Pleret penuh kemarahan Semua yang berada di ruang
pendopo membisu.
Mereka seperti makin tenggelam dengan perasaan te-
gang. "Lalu, bagaimana dengan Lukisan Darah yang te-
lah raib dari ruang pusaka" Apakah kau juga menge-
tahuinya, Nimas?" tanya Adipati Pleret lagi.
Putri Sekartaji mendesah sebentar.
"Sebenarnya aku tidak tahu pasti, Kangmas. Na-
mun Siluman Ular Putih sempat melihat seseorang te-
lah membawa Lukisan Darah sewaktu hendak masuk
ke dalam markas Partai Kawula Sejati. Dan kalau tidak salah, sewaktu aku
diringkus Iblis Muka Merah dan
Setan Mayat Merah, aku sempat mendengar kalau Raja
Maling-lah yang telah mencuri Lukisan Darah!" papar si gadis.
"Raja Maling...!" desis Adipati Pleret penuh kemarahan. "Hm...! Sudah kuduga.
Pasti sekutu-sekutu Kangmas Sembodolah yang mencuri Lukisan Darah!"
"Kalau begitu, sebaiknya kita harus menumpas
Raden Sembodo selagi kekuatan mereka belum besar!"
usul Patih Reksopati tiba-tiba.
"Hm...! Ya ya ya...! Aku memang sedang merenca-
nakan itu, Paman. Tapi apa tidak sebaiknya kita me-
minta bantuan para pendekar guna menghadapi to-
koh-tokoh sesat yang bersekutu dengan Kangmas
Sembodo?" "Menurut hematku, memang demikianlah, Kan-
jeng Adipati," timpal Siluman Ular Putih. "Jika Kanjeng Adipati tidak keberatan,
sekarang juga aku akan
menghubungi beberapa orang pendekar. Kebetulan se-
kali, saat ini mereka tengah mengadakan pertemuan
untuk menumpas Pangeran Pemimpin yang sepak ter-
jangnya sudah kelewatan!"
"Boleh, boleh! Tapi, bukan berarti harus kau yang ke sana, Soma!" sahut Adipati
Pleret langsung memanggil nama Siluman Ular Putih.
"Kukira Kangmas Adipati benar. Kau jangan buru-
buru, Soma. Kangmas Adipati dapat menyuruh bebe-
rapa orang punggawa kadipaten yang berkepandaian
tinggi untuk menghadapi pertemuan para pendekar,"
timpal Putri Sekartaji keberatan.
Entah kenapa tiba-tiba si gadis merasa gelisah se-
kali bila berpisah dengan murid Eyang Begawan Ka-
masetyo ini. Walau tadi uring-uringan melihat sikap
Soma yang selalu menggoda dirinya, namun kali ini
benar-benar tidak rela kalau harus berpisah.
"Tidak, Putri. Keamanan kadipaten adalah segala-galanya bagiku," tukas Siluman
Ular Putih cepat.
Kembali Soma memandangi Adipati Pleret.
"Maaf, Kanjeng Adipati! Bukan berarti aku me-
mandang rendah punggawa-punggawa kadipaten. Jika
tidak keberatan, aku ingin Kanjeng Adipatilah yang
mengutusku untuk menghadiri pertemuan para pen-
dekar yang sebentar lagi akan dilangsungkan," lanjutnya. "Hhh...!" Adipati
Pleret menghela napas dalam-dalam seraya mengangguk-angguk. "Baiklah kalau
memang itu kemauanmu, Soma. Sebenarnya aku ingin
kau beristirahat barang satu atau dua malam di kadi-
paten. Tapi, sudahlah! Kalau kau memang ingin be-
rangkat, aku hanya bisa mengiringi kepergianmu den-
gan penuh persahabatan."
"Terima kasih atas kepercayaan ini, Kanjeng. Sekarang juga aku akan berangkat,"
ucap Siluman Ular Putih.
Saat itu juga, Siluman Ular Putih bergegas beran-
jak dari tempat duduknya. Kakinya segera melangkah
lebar-lebar meninggalkan pendopo kadipaten.
*** "Soma! Tunggu!"
Soma buru-buru menghentikan langkahnya di
luar Istana Kadipaten Pleret ketika mendengar suara
panggilan dari belakang. Ketika berbalik, dilihatnya Putri Sekartaji tengah
berkelebat cepat ke arahnya.
Soma hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat si
gadis yang tengah menyusulnya.
"Ada apa lagi, Putri Sekartaji?" tanya Soma begitu Putri Sekartaji menghentikan
langkah dua tombak di
depannya. "Aku ikut. Aku ingin menemanimu menghadiri
pertemuan para pendekar," sahut Putri Sekartaji agak
tersengal. "Tapi... tapi nanti Kangmas Adipati mencemaskan mu" Ya, kalau kau selamat" Kalau
misalnya kembali
tertawan oleh Pangeran Pemimpin, bagaimana?" tukas Siluman Ular Putih.
"Kan ada kau! Aku yakin, kau tentu tidak mem-
biarkan aku tertawan Pangeran Pemimpin, kan?" Putri Sekartaji merajuk manja.
"Tapi... tapi...."
"Tapi kenapa, Soma?" potong si gadis. "Apakah kau keberatan melakukan perjalanan
berdua denganku?" "Bukan begitu! Aku justru takut Kanjeng Adipati akan
mencemaskan mu. Terus terang, aku pun khawatir dengan keselamatanmu, Putri,"
sahut Siluman Ular Putih bingung.
"Bilang saja kau keberatan melakukan perjalanan denganku! Pakai alasan lagi!
Pokoknya, aku akan
menghadiri pertemuan para pendekar itu!" tandas Putri Sekartaji kesal.
"Baiklah! Tapi...."
Siluman Ular Putih 13 Penguasa Alam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ah, sudahlah! Kau memang menyebalkan, Soma!"
sungut Putri Sekartaji jengkel. Lalu tubuhnya berkelebat bermaksud meninggalkan
tempat itu. "Tunggu, Putri! Apa kau tidak ingin minta izin du-lu pada Kanjeng Adipati?"
teriak Soma, menahan langkah Putri Sekartaji.
Putri Sekartaji sedikit pun tidak mempedulikan te-
riakan Siluman Ular Putih. Malah langkahnya semakin
dipercepat keluar halaman istana.
"Aku sudah dewasa. Kukira aku tak perlu memin-
ta izin. Toh aku sudah dapat menentukan jalan hi-
dupku!" sahut Putri Sekartaji kesal.
Entah kenapa, Siluman Ular Putih hanya mengga-
ruk-garuk kepala. Kemudian ketika bayangan Putri
Sekartaji makin menjauh, pemuda sakti ini buru-buru
berkelebat menyusul.
"Baiklah, Putri. Kalau begitu, mari kita melakukan perjalanan bersama," kata
Siluman Ular Putih seperti berkata pada diri sendiri. Dan tubuhnya langsung
berkelebat cepat mengejar bayangan Putri Sekartaji.
Putri Sekartaji yang semula kecewa melihat Silu-
man Ular Putih belum juga menyusul, entah kenapa
kini menjadi gembira bukan main. Senyum tipisnya
pun tampak terkembang di bibir. Meski demikian, ke-
lebatan tubuhnya tak ingin diperlambat. Sehingga, hal ini membuat Siluman Ular
Putih harus mengerahkan
segenap ilmu meringankan tubuhnya.
*** 5 Malam merambat perlahan. Bulan sepotong seolah
malas bergelantung di bentangan langit sebelah timur.
Meski cuaca cukup cerah, namun suasana malam di
luar Kadipaten Pleret tampak demikian mencekam.
Angin pun seolah malas berhembus. Hanya sesekali
terdengar nyanyian jangkrik di balik semak belukar
yang mengusik kelengangan malam.
Dalam kelengangan malam itu tampak dua sosok
bayangan tengah berkelebat cepat menuju timur. Ge-
rakan kaki mereka cepat luar biasa, di antara kerapatan pohon Hutan Minden.
"Putri Sekartaji! Kenapa sih dari tadi kau hanya membisu saja" Apa kau sudah
bosan melakukan perjalanan bersamaku"!" oceh sosok di sebelah kanan pa-da sosok
bayangan yang dipanggil putri Sekartaji.
Sosok bayangan di sebelah kiri yang tak lain Putri
Sekartaji hanya menggerutu kesal. Sama sekali tidak
tertarik mendengar ocehan sosok di sebelahnya yang
tak lain Soma alias Siluman Ular Putih. Malah larinya makin dipercepat.
"Kau ini kenapa sih"! Tak seharusnya kau mem-
berengut seperti ini! Kasihan kan bulan sepotong di
atas sana. Nanti malah jadi tambah sedih," goda Siluman Ular Putih lagi.
"Banyak omong! Sebel aku!" sahut gadis ini dengan suara ketus.
"Nah, begitu dong! Kan jadi enak kedengarannya.
Jangan memberengut terus. Jangan-jangan kau se-
dang memikirkan kekasihmu, ya?" tebak murid Eyang Begawan Kamasetyo asal-asalan.
"Soma!" pekik Putri Sekartaji jengkel.
Seketika gadis itu menghentikan langkahnya. Se-
pasang matanya berkilat-kilat penuh kemarahan. So-
ma pun menghentikan langkahnya. Dan dengan enak-
nya ia menggaruk-garuk kepala, seolah merasa tak
berdosa. "Soma! Jangan seenaknya bicara! Aku sebel, ta-
hu!" hardik Putri Sekartaji.
"Ah...! Bukankah sebel itu berarti senang betul"
Duh, senangnya hatiku bila kau senang padaku!" oceh Soma seraya mendekap dada.
Putri Sekartaji mengkelap bukan main. Telapak
tangan kanannya sudah gatal. Maka tanpa banyak ca-
kap lagi tangan kanannya segera melayang ke arah pi-
pi Soma. "Tunggu! Apakah kau tidak mendengar langkah-
langkah halus menuju kemari?" cegah Soma tiba-tiba seraya mengangkat tangannya.
Putri Sekartaji buru-buru menahan gerakan tan-
gannya. Seketika telinganya dipasang tajam. Samar-
samar telinganya memang mendengar langkah-langkah
halus beberapa orang yang tengah menuju ke tempat
ini. "Iya. Aku mendengar langkah beberapa orang tengah menuju kemari," sahut
Putri Sekartaji seraya me-nurunkan tangannya kembali.
Soma makin mempertajam pendengarannya. Lalu
buru-buru ditariknya lengan Putri Sekartaji. Dan dengan gerakan cepat, Siluman
Ular Putih membawa gadis
itu melesat cepat ke atas sebuah pohon. Tepat ketika mereka mendarat di atas
sebuah dahan, tampak enam
sosok bayangan tengah berkelebat cepat menuju ke
tempat ini. Yang paling depan adalah seorang kakek
tua renta. Jubahnya yang kedodoran sampai lutut
berwarna hitam. Kepalanya mengenakan penutup yang
memanjang pada bagian atasnya. Dia tidak lain adalah Pendidik Ulung.
"Hm.... Pendidik Ulung.... Mengapa ia bersama Ra-ja Racun, Algojo Dari Timur,
Denok Supi, Raja Golok, dan Raja Maling" Ada apa dengannya?" gumam hati Siluman
Ular Putih. Memang di samping Pendidik Ulung tampak bebe-
rapa tokoh sesat yang sudah sangat dikenal Soma.
Putri Sekartaji hampir memekik melihat keenam
sosok yang sangat dikenalnya. Hampir saja gadis ini
memekik kaget kalau Soma tidak buru-buru mengisya-
ratkan dengan telunjuk jarinya di depan bibir.
Keenam sosok bayangan itu kini makin mendekati
tempat Soma dan Putri Sekartaji. Namun, Pendidik
Ulung yang berkelebat cepat bak mayat hidup yang di-
kendalikan mendadak menghentikan langkahnya.
"Tunggu! Rasa-rasanya aku mendengar gerakan-
gerakan halus tak jauh dari tempat ini!" ujar Pendidik Ulung tiba-tiba. Sepasang
matanya yang mencorong terus memperhatikan keadaan sekitarnya.
Raja Racun beserta keempat orang kawannya se-
gera menghentikan langkah di samping Pendidik
Ulung. Kemudian seperti mendapat perintah, segera
memperhatikan seputar tempat itu. Namun sayang,
mereka tidak mendapatkan sesuatu yang mencuriga-
kan. "Apa kau melihat sesuatu, Tua Bangka Keparat"!
Kami tidak melihat sesuatu. Ah...! Kau ini mengada-
ada saja!" tukas Raja Racun jengkel.
Di tempat persembunyiannya, Putri Sekartaji me-
rasa heran bukan main melihat Pendidik Ulung ber-
sama kelima orang tokoh sesat itu. Lebih herannya lagi ketika melihat sikapnya
yang mirip orang linglung.
Demikian pula Siluman Ular Putih yang tak habis
pikir sejak tadi.
"Sungguh aku tak mengerti, mengapa orang tua
itu bisa bersama-sama Raja Racun dan kawan-kawan"
Bukankah ia ingin menghadiri pertemuan para pende-
kar di puncak Gunung Kelud" Tapi, kenapa sekarang
berada di sini" Dan mengapa pula sikapnya tampak
aneh sekali. Wajahnya pucat pasi. Tingkah lakunya
kaku mirip mayat. Ah...! Pasti ada sesuatu terhadap
orang tua itu! Kalau tidak, mana mungkin sudi mela-
kukan perjalanan bersama Raja Racun dan kawan-
kawan," gumam Soma lagi.
"Aneh! Aku tak tahu, apa yang telah terjadi terhadap orang tua itu" Ada apa
sebenarnya" Dan bukan-
kah di tangan orang tua tinggi besar itu Lukisan Da-
rah" Mengapa bisa jatuh ke tangannya" Dan juga,
mengapa gambarnya bisa berubah menjadi gambar se-
buah peta" Atau, jangan-jangan lukisan itu bukan Lu-
kisan Darah" Ah...! Tak mungkin! Sewaktu aku kecil,
aku pernah iseng-iseng masuk ke ruang pusaka dan
melihat-lihat pusaka kadipaten, termasuk Lukisan Da-
rah itu! Ya ya ya...! Sekarang aku ingat. Itu pasti Lukisan Darah yang telah
dicuri orang!" pikir Putri Sekarta-
ji pula dalam hati.
Seketika Putri Sekartaji menggeretakkan gera-
hamnya penuh kemarahan. Ingin rasanya gadis itu se-
gera merampas Lukisan Darah kalau tidak merasakan
sentuhan lembut di jari-jari tangannya. Si gadis tersa-dar. Dilihatnya Soma
tengah menggeleng-gelengkan
kepala sambil menunjuk-nunjukkan jari ke bawah.
Putri Sekartaji mengangguk seraya menggigit bi-
bir. Di bawah sana tampak Raja Racun tengah mema-
rahi Pendidik Ulung. Anehnya lagi, yang dimarahi tampak demikian tunduk dan
takut. "Dasar tua bangka bau tanah! Mau modar saja
pakai bertingkah macam-macam! Hayo, lekas tinggal-
kan tempat ini!" hardik Raja Racun kasar pada Pendidik Ulung.
Pendidik Ulung hanya menunduk. Lalu setelah
lengannya disentak kasar, terpaksa tubuhnya segera
berkelebat di belakang Raja Racun yang kemudian
disusul yang lain.
"Ini bukan urusan main-main, Putri! Kulihat ada sesuatu yang tidak beres menimpa
orang tua yang pernah kita jumpai itu," kata Soma setelah keenam sosok itu menghilang di balik
kegelapan malam.
"Ya ya ya...! Aku juga dapat melihat kejadian yang tidak beres tengah menimpa
orang tua itu. Kasihan sekali!" desah Putri Sekartaji.
"Dan kukira, sekarang kita harus membagi tugas!
Sebenarnya, berat memang. Tapi, apa boleh buat" Ter-
paksa kita harus berpisah untuk sementara waktu.
Aku ingin menyelidiki sekaligus menyelamatkan orang
tua itu. Dan kau harus segera menuju puncak Gunung
Kelud, guna mengikuti jalannya pertemuan para pen-
dekar. Nanti kalau sudah selesai menyelamatkan orang tua itu, baru aku
menyusulmu ke puncak Gunung Kelud."
"Tapi...," keluh Putri Sekartaji keberatan. Tanpa sadar jari-jari tangannya
makin erat menggenggam ja-ri-jari tangan Soma.
"Tidak ada tapi-tapian, Putri. Ini bukan urusan main-main," ujar Siluman Ular
Putih dengan senyum manis terkembang di bibir.
"Ba... baiklah," sahut Putri Sekartaji seraya menunduk dalam-dalam. Tak kuat
rasanya ia mendapat
senyum manis pemuda tampan di hadapannya.
"Ya, sudah! Kalau begitu, lekas lepaskan tangan-ku. Dan kau boleh langsung
menuju ke puncak Gu-
nung Kelud!" ujar Soma, kali ini diiringi senyum menggoda.
Putri Sekartaji buru-buru melepaskan pegangan
tangannya. Parasnya pun mendadak jadi merona me-
rah. Untung saja kegelapan malam cukup menyembu-
nyikan wajahnya yang merah dadu, menahan malu.
"Kau memang sialan, Soma! Bisanya hanya meng-
godaku. Padahal, kau sendiri yang mulai menggeng-
gam tanganku!"
Soma hanya tertawa bergelak. Namun, juga tidak
menyangkal ucapan Putri Sekartaji.
"Iya, kan" Kau yang memulai?" sungut Putri Sekartaji kesal.
"Sudahlah! Soal sepele begitu saja dibesar-
besarkan. Sana kalau mau pergi!" kata Soma seraya mengibaskan tangannya,
mengisyaratkan agar Putri
Sekartaji cepat pergi.
"Enak saja bilang sudah!"
"Iya iya! Aku memang yang mulai. Tapi sudah,
dong! Sana kalau mau pergi!" kata Soma mengalah
"Baik. Tapi benar, ya" Kau harus menyusulku di
puncak Gunung Kelud!"
"Iya, iya!"
6 Menjelang pagi hari, Pendidik Ulung beserta lima
tokoh sesat yang mengikutinya tiba di puncak Gunung
Kembang. Sering kali lelaki tua itu memalingkan kepa-la ke belakang sambil
mengamati keadaan sekitar den-
gan seksama. Seolah, ia merasa ada penguntit sejak
mereka meninggalkan Hutan Minden.
Raja Racun yang tidak begitu mempedulikan Pen-
didik Ulung hanya mendengus geram.
"Hm...! Bisa jadi apa yang dikatakan tua bangka ini benar. Ada seseorang yang
terus mengikuti perjala-nanku bersama teman-teman. Sebab aku tahu, Pendi-
dik Ulung memiliki kesaktian tinggi. Rasa-rasanya aku sendiri pun sulit sekali
menundukkannya...," gumam lelaki berwajah seram ini.
Raja Racun lantas mengedarkan pandangannya ke
sekeliling. Lalu tatapannya berhenti pada Raja Maling.
"Raja Maling! Apa benar ini tempat yang dimaksud seperti yang tergambar peta
Lukisan Darah?" tanya Raja Racun.
"Benar! Benar sekali! Tempat inilah yang seperti tercantum dalam peta Lukisan
Darah. Aku yakin sekali, Raja Racun. Hayo, sekarang kita harus mencari
Penguasa Alam!"
"Tapi apa kau yakin kalau Penguasa Alamlah yang telah mengangkangi harta karun
milik Kadipaten Pleret selama ini, Raja Maling?" tanya Algojo Dari Timur ingin
tahu. Dia adalah seorang lelaki tinggi besar. Usianya li-
ma puluh tahun. Pakaiannya jubah besar berwarna
kuning dan merah. Wajahnya menyeramkan. Matanya
besar dan hidung besar. Di telinga kirinya menggan-
tung anting bundar besar. Kepalanya hampir plontos,
kecuali kuncir rambutnya di bagian atas.
"Aku sendiri kurang tahu pasti. Tapi bisa jadi
orang yang bergelar Penguasa Alam sedikit banyak
mengetahui letaknya harta karun itu. Sebab di dalam
Lukisan Darah pun, tercantum nama Penguasa Alam,"
sahut Raja Maling menjelaskan.
Tanpa ada yang tahu, tak jauh dari tempat itu se-
pasang mata tengah mengawasi. Pemilik sepasang ma-
ta itu adalah penguntit yang tadi sempat ditangkap gerakannya oleh Pendidik
Ulung. Dan sosok itu memang
Siluman Ular Putih. Kini Soma terkejut bukan main
begitu mendengar penjelasan Raja Maling.
"Hm...! Jadi Lukisan Darah yang telah dicuri Raja Maling menyimpan harta karun
Kadipaten Pleret. Pantas-pantas! Kepergian mereka kemari pun tentu atas
perintah Pangeran Pemimpin. Sebab, mereka semua
adalah kaki tangannya. Hm...! Kukira aku harus me-
nyelamatkan harta karun itu terlebih dahulu..," gumam Siluman Ular Putih dalam
hati. Habis menggumam, Siluman Ular Putih kembali
memperhatikan gerak-gerik enam orang yang diin-
tainya. Tampak sekali kalau Raja Racun tak sabar me-
nunggu munculnya Penguasa Alam.
"Penguasa Alam, keluar! Aku, Raja Racun Dari Selatan, ingin bertemu!" teriak
Raja Racun nyaring.
Tidak ada sahutan. Hanya suara kasar dan berat
milik Raja Racun saja yang bergema di lereng-lereng
Siluman Ular Putih 13 Penguasa Alam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jurang. Lelaki berwajah menyeramkan ini gusar bukan
main. "Penguasa Alam! Lekas tunjukkan batang hi-
dungmu! Aku ingin tahu, di mana kau sembunyikan
harta karun milik mendiang Pelukis Sinting Tanpa
Tanding!" Kali ini yang berteriak Raja Maling. Sebagai murid
Maling Tanpa Bayangan, sudah pasti ia tahu akan Lu-
kisan Darah. Berikut pembuatnya yang sekaligus juga
pemilik harta karun.
Kembali tidak ada sahutan. Pendidik Ulung beser-
ta kelima tokoh sesat yang berada di puncak Gunung
Kembang mulai dicekam perasaan tegang. Namun se-
lang beberapa saat....
"Ha ha ha...!"
Bummm...! Mendadak terdengar suara tawa bergelak yang
kemudian disusul bunyi keras bagai ledakan di kejau-
han yang mampu mengguncangkan puncak Gunung
Kembang! "Manusia bermulut kotor! Beraninya kau berkata
begitu padaku, he"! Akulah pemilik harta karun yang
sebenarnya!"
Mendadak terdengar bentakan nyaring. Anehnya
meski diucapkan dari jarak jauh, tapi mampu mengge-
tarkan jantung semua orang yang berada di puncak
Gunung Kembang. Jelas, orang yang membentak tadi
memiliki tenaga dalam luar biasa. Bahkan kemudian
disusuli oleh suara langkah yang cukup menggun-
cangkan tempat ini.
*** Pendidik Ulung dan semua yang berada di puncak
Gunung Kembang terkesiap kaget. Apalagi saat melihat seorang lelaki bertubuh
tinggi besar seperti raksasa berkulit hitam legam dari balik kegelapan malam.
Sosok itu demikian mengerikan. Sepasang matanya ber-
warna merah menyala. Wajahnya garang. Rambutnya
yang ikal dibiarkan awut-awutan di bahu. Sedang tu-
buhnya yang tinggi besar dibalut pakaian ketat warna hitam.
"Penguasa Alam...!" desis Raja Racun.
Sosok tinggi besar yang dikenal sebagai Penguasa
Alam menghentikan langkah beberapa tombak di de-
pan rombongan kecil utusan Pangeran Pemimpin itu.
Kedua kakinya dipentangkan lebar. Sepasang matanya
menatap satu persatu para tamu yang tak diundang.
"Siapa yang tadi bertingkah menyuruhku menun-
jukkan harta karun milikku"!" bentak Penguasa Alam garang.
Raja Racun dan kelima orang lainnya sempat me-
nyurutkan langkah setindak ke belakang. Diam-diam
mereka mulai dicekam rasa tegang.
"Kau tidak berhak mengangkangi harta karun mi-
lik Kadipaten Pleret, Penguasa Alam! Sekarang salah
seorang keturunan Adipati Pleret Tua yang bergelar
Pangeran Pemimpin ingin meminta harta karun itu
kembali. Harap kau sudi menyerahkannya secara baik-
baik!" kata Raja Maling lantang.
Penguasa Alam tertawa bergelak. Suaranya berat
dan kasar, seolah ingin merobek kesunyian malam.
Dan begitu tawanya berhenti, sepasang matanya berki-
lat-ki-lat penuh kemarahan dengan dada bergerak tu-
run naik. "Dengar, tikus-tikus comberan! Buka telinga ka-
lian lebar-lebar! Akulah pemilik harta karun itu yang sebenarnya. Siapa pun juga
tidak boleh merampas
harta karun itu dari tanganku!"
"Siapa percaya bacotmu, Penguasa Alam"! Lekas
tunjukkan letak harta karun itu! Atau kalau tak bisa, lekaslah kau enyah dari
hadapanku! Biar aku yang
men-cari sendiri," bentak Raja Maling jengkel.
Penguasa Alam mendengus. Sepasang matanya
sejenak memperhatikan Lukisan Darah di tangan Raja
Maling yang tidak lagi bergambar seorang wanita telanjang berwarna merah darah,
tapi gambar sebuah peta
yang menunjukkan letak harta karun yang tengah di-
perebutkan! "Setan alas! Jadi kalian sudah mendapatkan peta itu"! Berarti kalian semua harus
modar di tanganku!"
geram Penguasa Alam penuh kemarahan.
Habis menggeram, Penguasa Alam segera menca-
but senjata andalan berupa gada besi berwarna kuning yang terselip di punggung.
Dan disertai suara mengge-legar tubuhnya meluruk menyerang. Senjata andalan-
nya segera diputar-putar hebat.
Bet! Bet! Sebelum gada di tangan Penguasa Alam mengenai
sasaran, terlebih dahulu berkesiur angin kencang me-
nyambar-nyambar kulit tubuh. Keenam utusan Pange-
ran Pemimpin segera berloncatan ke sana kemari,
membuat hantaman gada di tangan Penguasa Alam sa-
lah sasaran. Blaaam...! Bumi bergetar hebat laksana ada gempa saat gada
itu menghantam tanah. Bagian yang terkena hanta-
Pemikat Iblis 1 Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Pendekar Kidal 7
Hak cipta dan copy right pada
penerbit di bawah lindungan
undang-undang https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Dilarang mengcopy atau memperbanyak seba-
gian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
1 "Ha ha ha...! Rupanya apa yang kau inginkan ter-kabul sudah, Pangeran Pemimpin!
Lihatlah! Apa yang
telah kulakukan terhadap Pendidik Ulung!"
Suara sember namun cukup menggema terdengar
dari dalam sebuah pendopo di sebuah bangunan besar
yang kini berdiri kokoh di Bukit Prewangan. Di tengah ruangan pendopo yang tidak
begitu luas itu berdiri
seorang lelaki tua. Usianya sekitar tujuh puluh tahun.
Wajahnya yang pucat terlihat mengerikan oleh mata
sebelah kiri yang rusak. Hidungnya gerowong dengan
bibir robek memanjang. Sedang sosoknya yang tinggi
kurus dibalut pakaian ketat warna hitam.
Telunjuk tangan kanan lelaki yang barusan bicara
ini menuding lelaki berjubah hitam panjang sampai lutut. Di kepala lelaki
berusia tujuh puluh enam tahun itu bertengger penutup kepala berwarna hitam.
Sekilas penampilannya memang mirip orang terpelajar pada
masa itu. Melihat cirri-cirinya, kakek tinggi bermata kelabu
itu tidak lain dari Pendidik Ulung. Namun entah kena-pa, penampilannya kini
tampak demikian menge-
naskan. Wajahnya yang putih bersih tampak seperti
kapas. Sepasang matanya yang biasanya mencorong
tajam kini bersinar aneh mirip orang linglung. Dan kini lelaki tua itu duduk
meringkuk tak jauh dari lelaki
berwajah menyeramkan. (Untuk mengetahui, kenapa
Pendidik Ulung berada di tempat ini, silakan baca:
"Lukisan Darah").
"Bagus-bagus! Rupanya tidak percuma kau men-
dapat gelar Raja Racun Dari Selatan, Sobat!" puji seorang lelaki gagah berusia
empat puluh tahun. Wajah-
nya putih bersih tanpa kumis dan jenggot. Tubuhnya
yang tinggi besar terbungkus pakaian surjan lengkap
dengan blangkon di kepala. Sekali lihat, sepertinya ia berhati lembut. Namun
menilik sepasang matanya
yang mencorong, jelas hatinya culas. Lelaki inilah yang dikenal sebagai Pangeran
Pemimpin, yang menguasai
bangunan besar Partai Kawula Sejati ini. Dan dengan
angkuhnya lelaki itu duduk di sebuah bangku kebesa-
ran berlapiskan emas murni.
Lelaki berwajah menyeramkan yang dipanggil Raja
Racun menegakkan dadanya bangga. Sejenak pandan-
gannya beredar ke segenap penjuru, seolah-olah ingin pamer pada semua yang ada
di ruangan pendopo.
"Lagakmu memuakkan sekali, Raja Racun! Kau
pikir aku tak bisa melakukannya"! Dengan mengguna-
kan racun kepitingku, aku yakin tua bangka ini pun
dapat kulumpuhkan!" sergah sebuah suara cempreng dari salah satu sudut ruangan
pendopo ini. Raja Racun menggeram. Sepasang matanya berki-
lat-kilat, langsung ke arah seorang wanita cantik berusia dua puluh delapan
tahun. Dengan senyum-senyum
genit, lagak si wanita terlihat sangat melecehkan.
Meski demikian, wanita berpakaian ringkas serba kun-
ing itu tak dapat menyembunyikan sikap genitnya.
"Denok Supi! Mulutmu terlalu lancang! Apa kau
sudah bosan hidup, he"!" dengus Raja Racun, penuh kemarahan.
Beberapa tokoh sesat lain yang berada di ruang
pendopo melengak kaget. Seketika mereka mengalih-
kan perhatian ke arah wanita cantik yang dikenal se-
bagai tokoh sesat dari barat itu. Memang cukup cantik sekali sosok Denok Supi
yang sebenarnya sudah berusia lanjut. Wajahnya berbentuk bulat telur. Sepasang
matanya berbinar-binar indah. Rambutnya yang hitam
panjang digelung ke atas, dihiasi untaian-untaian
permata yang sangat indah. Meski tangan kanannya
buntung sebatas lengan, namun kesaktiannya tak da-
pat diragukan lagi.
"Lancang maupun tidak, itu bukan urusanmu!
Yang jelas aku pun sanggup melakukan pekerjaan se-
pele seperti yang telah kau kerjakan!" dengus Denok Supi jengkel.
"Setan alas! Dari dulu kau memang selalu mele-
cehkan ku, Denok Supi! Sekarang kalau kau memang
mengaku mempunyai sedikit kepandaian, ayo kita te-
ruskan percekcokan ini di luar!" tantang lelaki berwajah seram itu sengit.
"Tunggu! Kalian tidak boleh bertindak di luar pen-getahuanku! Kalian adalah
sekutu-sekutuku! Kalau
kalian masih mengakuiku sebagai sekutu, mulai seka-
rang juga harus mentaati perintahku!" cegah Pangeran Pemimpin. Suaranya keras
penuh wibawa. Raja Racun dan Denok Supi sejenak hanya saling
berpandangan. Sepasang mata mereka berkilat-kilat
penuh kemarahan. Namun akhirnya kedua orang to-
koh sesat itu pun mau menuruti perintah Pangeran
Pemimpin. Denok Supi kembali duduk seperti semula. Se-
dang Raja Racun pun kembali menatap Pangeran Pe-
mimpin. "Baik, Pangeran. Aku telah melumpuhkan jalan
pikiran orang tua ini. Lalu, apa lagi yang harus kulakukan?" tanya Raja Racun
seraya menuding ke arah Pen-didik Ulung.
Bak orang yang kehilangan akal Pendidik Ulung
hanya memperhatikan Raja Racun dan Pangeran Pe-
mimpin sekilas. Lalu kepalanya kembali menunduk
menekuri lantai di hadapannya.
Pangeran Pemimpin sejenak memperhatikan sek-
sama Pendidik Ulung. Keadaan lelaki tua itu memang
sangat mengenaskan. Meski demikian penguasa Partai
Kawula Sejati ini masih waswas.
"Apa kau yakin kalau racun yang mengeram da-
lam tubuh tua bangka ini sudah mempengaruhi jalan
pikirannya, Raja Racun?" tanya Pangeran Pemimpin.
"Kenapa hal itu meski ditanyakan lagi, Pangeran"
Apa kau tidak mempercayai kehebatan racun bisa ular
kobra putihku yang telah kucampur beberapa ra-
muan?" sahut Raja Racun tak senang.
"Bukan begitu, Raja Racun. Bukankah wajar kan
kalau aku ragu-ragu. Sebab bukankah kita tahu, sebe-
rapa hebatnya kesaktian orang tua ini?" tukas Pangeran Pemimpin kalem.
"Ya ya ya...! Tapi aku yakin, Pangeran. Sehebat apa pun tua bangka ini, tak
mungkin dapat memunahkan racunku. Jangankan untuk memunahkannya.
Untuk mengetahui siapa dirinya saja belum tentu ia
mampu. Kalau kurang percaya, silakan menanyakan-
nya sendiri, Pangeran!" ujar Raja Racun.
Pangeran Pemimpin mengangguk-angguk. Tangan
kanannya sejenak mengelus-elus dagu. Sementara se-
pasang matanya terus memperhatikan Pendidik Ulung
seksama. "Orang tua! Siapa kau sebenarnya" Mengapa kau
berada di tempat ini?" tanya Pangeran Pemimpin pada Pendidik Ulung. Ia ingin
mengetahui seberapa jauh jalan pikiran lelaki tua itu dapat dilumpuhkan.
Pendidik Ulung mendongak kaget. Sepasang ma-
tanya yang mencorong aneh terus memperhatikan
Pangeran Pemimpin mirip orang linglung. Sambil ber-
tingkah demikian, sesekali kepalanya bergerak-gerak
seolah-olah sedang menafsirkan sesuatu.
"Orang tua! Siapa kau sebenarnya" Mengapa kau
berada di tempat ini?" ulang Pangeran Pemimpin.
"Aku.... Aku tid... tidak tahu. Kenapa aku sampai di tempat ini" Kau sendiri mau
apa di tempat ini?" sa-
hut Pendidik Ulung, yang tampaknya telah benar-
benar linglung.
Pangeran Pemimpin mengangguk-angguk. Tampak
sekali kalau Penguasa Partai Kawula Sejati ini puas
dengan hasil kerja Raja Racun.
"Ya, sudah! Teruskan saja mainanmu, Orang Tua!
Tapi kalau misalnya aku menyuruhmu untuk melaku-
kan sesuatu, kau harus mematuhi perintahku!"
Pendidik Ulung hanya mengangguk-angguk. Kela-
kuannya kali ini benar-benar seperti anak kecil. Sambil mengangguk-angguk tadi,
matanya terus menekuri
lantai di hadapannya dengan tatapan kosong!
Entah kenapa tiba-tiba Pangeran Pemimpin terta-
wa bergelak. Kepalanya mendongak ke atas sambil
menyandarkan punggungnya ke bangku kebesaran.
"Bagus-bagus! Aku senang sekali dengan hasil
kerjamu ini, Raja Racun. Sekarang aku ingin beberapa orang segera mengawal tua
bangka ini untuk menyelidiki siapa Penguasa Alam seperti yang tercantum da-
lam Lukisan Darah!"
"Baik," sahut beberapa orang tokoh sesat yang menjadi sekutu Pangeran Pemimpin
serempak. "Nah! Kalau begitu, cepatlah kalian berangkat!
Termasuk juga kau, Raja Racun! Kau harus mengawal
tua bangka ini!" ujar Pangeran Pemimpin.
"Tanpa diperintah pun, aku akan mengawal tua
bangka ini! Sekarang juga aku akan mengajaknya un-
tuk segera menyelidiki siapa Penguasa Alam!" sahut Raja Racun.
Lalu tatapan Raja Racun beralih pada Pendidik
Ulung yang tampak seperti orang linglung.
"Hayo ikut aku! Kau mendapat tugas penting dari Ketua Partai Kawula Sejati!"
ujar Raja Racun seraya menarik lengan Pendidik Ulung.
"Ba...baik."
Pendidik Ulung segera melompat bangun. Gerakan
kedua kakinya masih ringan seperti semula, seolah-
olah tidak terpengaruh sedikit pun dengan kesaktian
orang tua itu. Pangeran Pemimpin sejenak mengangguk-
anggukkan kepalanya sambil terus mengikuti arah ke-
pergian Pendidik Ulung yang diikuti oleh beberapa
orang tokoh sesat lainnya. Namun belum sempat
bayangan tinggi kurus Pendidik Ulung menghilang di
balik pintu ruang pendopo....
"Tunggu! Kalian semua tidak boleh mengajak pergi tua bangka itu begitu saja!"
Terdengar bentakan nyaring yang disusul berkele-
batnya sesosok bayangan ke tengah ruangan.
*** 2 Pangeran Pemimpin melengak kaget dengan kepa-
la berpaling ke arah datangnya suara. Dan matanya
langsung bertumbukan dengan mata seorang pemuda
tampan berusia dua puluh tahun yang tahu-tahu telah
berdiri tegak di tengah ruangan. Wajahnya berbentuk
lonjong dengan kulit putih bersih. Sepasang matanya
tajam bak mata rajawali. Hidungnya mancung. Ram-
butnya yang gondrong sebagian digelung ke belakang.
Sedang tubuhnya yang tinggi kekar dibalut jubah ber-
warna hitam yang panjang sampai lutut.
"Ah...! Rupanya kau, Sobatku Pelajar Agung! Ada apa" Tampaknya kau kurang
menyukai kalau tua
bangka itu menyelidiki Penguasa Alam" Kemarilah!
Ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu!" sambut Pangeran Pemimpin begitu
melihat siapa yang da-
tang. Pemuda tampan yang baru datang sebenarnya
memang murid Pendidik Ulung yang bergelar Pelajar
Agung. Dengan dengusan, ekor mata Pelajar Agung se-
jenak memperhatikan gurunya yang tertahan di dekat
pintu keluar. Sekali lihat saja ia tahu kalau dalam diri orang tua itu telah
mengeram racun keji. Entah racun apa, ia sendiri belum tahu pasti.
"Hm...! Rupanya orang tua tolol ini telah diracuni seseorang. Mungkin oleh Raja
Racun, mungkin juga
oleh Pangeran Pemimpin sendiri. Aku tidak tahu pasti.
Yang jelas Pangeran Pemimpin pasti tengah merenca-
nakan sesuatu!" desis si murid murtad Pendidik Ulung sambil menatap gurunya.
Kemudian tatapan pemuda ini beralih pada Pan-
geran Pemimpin.
"Sebenarnya hendak kau bawa ke mana orang tua
itu, Pangeran" Kenapa kulihat beberapa orangmu tu-
rut pula menyertainya?" tanya Pelajar Agung dengan ke-ning berkerut.
"Tenanglah, Sobat! Aku memang tengah merenca-
nakan sesuatu," jelas Pangeran Pemimpin seraya beranjak dari tempat duduk. Lalu
kakinya melangkah
mendekati Pelajar Agung, sekutu utamanya.
Si pemuda hanya melirik sebentar tangan Pange-
ran Pemimpin yang merangkul pundaknya dan menga-
jaknya duduk. "Kau tidak ingin menceritakan apa yang tengah
kau rencanakan, Pangeran?" tanya Pelajar Agung ka-ku. "Ah...! Sabarlah, Sobat!
Aku memang ingin mence-ritakannya," ujar Pangeran Pemimpin menukas.
"Kalau begitu, ceritakanlah!" tuntut si pemuda, tak sabar.
Lelaki setengah baya Penguasa Partai Kawula Se-
jati tersenyum. Dimakluminya tabiat pembantu uta-
manya. "Aku memang tengah memanfaatkan orang tua itu
untuk menyelidiki siapa Penguasa Alam. Kenapa nama
Penguasa Alam tercantum dalam Lukisan Darah?" jelas Pangeran Pemimpin kalem.
"Lalu, kau menyuruh beberapa tokoh sakti itu untuk mengikuti orang tua itu?"
tukas Pelajar Agung, tajam. "Sudah pasti. Bagaimanapun juga aku tak ingin tua
bangka itu mampus tanpa mendapatkan hasil bagi
kita dari Lukisan Darah!"
"Berarti kau telah melupakanku, Pangeran! Apa
kau tidak mempercayaiku lagi?"
"Bukan begitu maksudku, Sobat. Aku tetap mem-
percayaimu. Bahkan, kaulah pembantu utamaku.
Kaulah yang berhak menggantikan kedudukanku bila
aku keluar. Kenapa kau tanyakan itu lagi?"
"Hm...!" Pelajar Agung menggumam tak jelas. "Ta-pi, bukankah kau tahu kalau
akulah yang ingin me-
nyelidiki siapa manusia yang bergelar Penguasa Alam"
Lalu, kenapa kau menyuruh orang-orang itu untuk
menyelidik?"
"Ah...! Rupanya kau terlalu perasa, Sobat!" desah Pangeran Pemimpin seraya
menggeleng-geleng. Lalu di-tekuknya pundak Pelajar Agung beberapa kali. "Apakah
Siluman Ular Putih 13 Penguasa Alam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kau lupa bahwa kau tadi pingsan setelah berta-
rung dengan tua bangka itu" Untuk itu, aku ingin kau beristirahat barang
sebentar. Nanti bila tua bangka itu belum juga dapat menyelidiki siapa Penguasa
Alam, sudah pasti kau yang harus menyelidiki, sekaligus
mengambil harta karun yang seperti tercantum dalam
peta Lukisan Darah."
Pelajar Agung mengangguk-angguk. Memang pe-
muda ini baru saja siuman dari pingsan setelah berta-
rung dengan gurunya sendiri. Dan si murid murtad ini tidak tahu, siapa yang
telah membantu meringankan
luka dalamnya selama pingsan. Yang jelas luka dalam-
nya kini perlahan mulai sembuh. (Untuk mengetahui
pertarungan Pelajar Agung dengan Pendidik Ulung si-
lakan baca: "Lukisan Darah").
"Sebenarnya aku ingin sekali menyelidiki siapa
manusia pongah yang bergelar Penguasa Alam. Tapi,
baiklah. Kukira aku harus menjaga luka dalamku ter-
lebih da-hulu. Nanti kalau luka dalamku sudah benar-
benar sembuh, pasti aku akan segera menyelidiki Pen-
guasa Alam!"
"Terima kasih atas pengertianmu, Sobat!" ucap Pangeran Pemimpin seraya kembali
menepuk-nepuk pundak Pelajar Agung.
Lalu perhatian lelaki setengah baya itu beralih pa-
da Raja Racun beserta beberapa orang tokoh dunia
persilatan yang masih tertahan di ambang pintu ber-
sama Pendidik Ulung.
"Raja Racun! Lekaslah ajak tua bangka itu beserta teman-teman sekalian untuk
menyelidik Penguasa
Alam!" ujarnya.
"Baik," sahut Raja Racun beserta beberapa tokoh sesat serempak.
Pangeran Pemimpin mengangguk-angguk. Semen-
tara, Raja Racun telah mengajak Pendidik Ulung me-
ninggalkan ruang pendopo markas Partai Kawula Seja-
ti, diikuti beberapa tokoh sesat lainnya.
"Kalau begitu, bukankah sudah tidak ada lagi
yang patut dibicarakan, Pangeran?" kata Pelajar Agung tak sabar.
"Tunggulah, Sobat! Jangan buru-buru! Aku ingin
membicarakan sesuatu padamu," ujar Pangeran Pe-
mimpin cepat, seraya menahan lengan Pelajar Agung
yang bermaksud beranjak dari tempat duduk.
"Ada apa lagi, Pangeran" Tampaknya kau sudah
merencanakan sesuatu lagi?" tukas Pelajar Agung, kembali duduk seperti semula.
"Aku sebenarnya tidak sedang merencanakan se-
suatu. Aku hanya ingin bercakap-cakap denganmu.
Apa kau sendiri punya rencana?" tanya Pangeran Pemimpin setelah diam beberapa
saat. "Hm...! Aku sendiri belum mempunyai rencana.
Aku hanya ingin selekasnya membunuh musuh besar-
ku. Rasanya aku sudah tidak sabar lagi untuk segera
memecahkan batok kepalanya!" sahut Pelajar Agung dengan kegeraman yang amat
sangat. "Maksudmu, pemuda sinting bergelar Siluman
Ular Putih?" duga Pangeran Pemimpin.
"Yah...! Siapa lagi kalau bukan dia!"
"Aku mengerti kegusaranmu, Sobat. Aku sendiri
juga merasa penasaran dengan pemuda sinting itu.
Kalau saja Nimas Putri Sekartaji tidak diselamatkan olehnya, barangkali kita
sudah dapat menyusun rencana untuk menyingkirkan Adipati Pleret yang seka-
rang. Dan kau pun segera dapat mematahkan batang
leher Siluman Ular Putih."
Pelajar Agung tidak menyahut, kecuali hanya
mengangguk-angguk dengan gerahamnya bergemele-
tuk. "Kukira, kita sekarang tak perlu lagi membicarakan sesuatu. Pokoknya, kita
tinggal menunggu Raja
Racun dan kawan-kawannya! Apakah mereka dapat
menyelidiki Penguasa Alam atau tidak?" kata Pelajar Agung seraya beranjak dari
tempat duduk. Pangeran Pemimpin hanya mengangkat bahu. Ia
sendiri pun sependapat dengan Pelajar Agung. Dan ke-
tika si pemuda melangkah menuju kamar, Pangeran
Pemimpin membiarkannya.
"Hm...! Kukira aku pun perlu beristirahat barang
sejenak. Urusan perjuangan ini benar-benar menyita
tenaga dan pikiranku...," gumam Pangeran Pemimpin dalam hati.
*** 3 "Ayo dong panggil aku Kangmas, Putri Sekartaji.
Katanya kau akan memperkenalkan pada Adipati Ple-
ret sebagai calon adik ipar?"
Sambil berjalan mengekor di belakang wanita yang
dipanggil Putri Sekartaji, tak henti-hentinya pemuda yang berada di belakangnya
terus menggoda. Paras
pemuda itu memang tidak mengecewakan. Gadis can-
tik mana pun akan selalu betah bila berduaan den-
gannya. Di samping tampan, wajah pemuda itu pun
tampak polos kekanak-kanakan. Sepasang matanya
tajam bak sepasang mata rajawali. Hidungnya man-
cung dengan rahang menonjol. Rambutnya yang hitam
panjang dibiarkan tergerai di bahu. Sedang tubuhnya
yang tinggi kekar dibalut pakaian rompi dan celana
bersisik warna putih keperakan. Di kanan kiri perge-
langan tangannya melingkar dua gelang akar bahar.
Sementara di dadanya terdapat rajahan kecil bergam-
bar ular putih yang terlihat di balik rompi tanpa kanc-ing. Anak Panah Bercakra
Kembar pun tampak me-
nyembul dari balik pinggang. Siapa lagi pemuda ini kalau bukan Siluman Ular
Putih, seorang pendekar yang
sekarang ini tengah menggegerkan dunia persilatan"
Dan entah karena sebal mendengar godaan pemu-
da di belakang, mendadak gadis cantik yang tak lain
murid Pendekar Bintang Emas itu berbalik kasar.
"Soma! Jangan cerewet! Aku tak suka gurauanmu,
tahu"!" bentaknya.
Pemuda murid Eyang Begawan Kamasetyo itu
hanya tersenyum-senyum menggoda. Malah sepasang
matanya yang nakal terus memperhatikan kecantikan
gadis di hadapannya penuh kagum. Paras adik tiri
Pangeran Pemimpin itu memang benar-benar menga-
gumkan. Wajahnya berbentuk bulat telur dengan kulit
putih bersih. Sepasang matanya jernih. Hidungnya
mancung dengan kedua bibir berbentuk tipis kemerah-
merahan. Sedang tubuhnya yang tinggi ramping diba-
lut pakaian ketat warna kuning. Sungguh membuat
setiap laki-laki akan selalu betah memandangnya. Apalagi dengan rambutnya
digelung ke atas yang mene-
barkan harum bunga melati!
Soma benar-benar menikmati pemandangan indah
di hadapannya. Malah saking asyiknya menikmati ke-
cantikan Putri Sekartaji, murid Eyang Begawan Kama-
setyo ini bersiul-siul kecil!
"Edan! Rasa-rasanya baru kali ini aku bertemu
seorang gadis secantik ini. Hm...! Alangkah berun-
tungnya aku dapat berkawan dengannya...," gumam Soma.
"Kau beruntung! Aku yang rugi, tahu"! Hayo le-
kas! Kita meneruskan perjalanan! Sebentar lagi kita
akan sampai di pintu gerbang Kadipaten Pleret!" hardik Putri Sekartaji.
"Hm...! Ini berarti sebentar lagi aku pun akan ber-kenalan dengan calon kakak
iparku. Menyenangkan
sekali!" "Menyenangkan.... Menyenangkan, gundulmu!"
semprot Putri Sekartaji kasar.
"Tapi kau senang kan melakukan perjalanan ber-
dua denganku?"
"Soma!" Putri Sekartaji membanting kaki kanannya kesal namun penuh manja.
Sepasang matanya
berkilat-kilat penuh kemarahan.
"Kangmas Soma dong! Kan kau sudah berjanji
akan memanggilku Kangmas?" tukas Soma tak mem-
pedulikan kegusaran Putri Sekartaji.
"Sekali lagi kau menggoda, persahabatan kita putus!" "Ampun! Ampun! Jangan
begitu dong, ah! Kau memang semakin cantik kalau sedang marah begini.
Tapi aku juga tidak mau persahabatan kita putus,"
oceh Soma, memasang wajah memelas.
"Makanya jangan cerewet! Hayo, lekas kita mene-
ruskan perjalanan!"
"Baik."
*** Putri Sekartaji segera berkelebat cepat. Meski ha-
tinya saat itu gusar bukan main, namun diam-diam
sebenarnya makin terpesona dengan ketampanan
maupun sikap Siluman Ular Putih.
Sementara, Soma sendiri segera mengekor di bela-
kang Putri Sekartaji. Sambil berlari di belakang, rupanya Soma belum kapok juga.
Tak henti-hentinya Pu-
tri Sekartaji terus digoda. Namun kali ini si gadis tidak mempedulikannya.
Tubuhnya terus saja berkelebat ke
timur, menuju pintu gerbang Kadipaten Pleret. Dan bi-sa ditebak kalau ilmu
meringankan tubuh si gadis te-
lah begitu tinggi, maka kepandaiannya pun tak bisa di-remehkan. Terpaksa Siluman
Ular Putih harus mem-
percepat larinya kalau tidak ingin tertinggal.
Kini mereka, telah tiba di depan pintu gerbang
Kadipaten Pleret sebelah barat. Tampak puluhan pra-
jurit jaga kadipaten tengah siaga di tempat masing-
masing dengan senjata di tangan. Begitu melihat dua
sosok anak muda berhenti pada jarak tiga tombak di
depan pintu gerbang, prajurit-prajurit jaga itu segera menghadang. Namun ketika
mengenali siapa gadis
cantik itu, buru-buru sikap garang mereka jadi sirna.
"Oh.... Tuan Putri! Silakan masuk!" kata pemimpin prajurit jaga itu penuh
hormat. Tanpa banyak cakap, Putri Sekartaji segera berke-
lebat cepat masuk ke dalam halaman kadipaten. Meli-
hat Putri Sekartaji telah mendahului, dengan dada di-busungkan tinggi-tinggi
Siluman Ular Putih pun hen-
dak mengikuti. Putri Sekartaji yang terus berkelebat cepat tanpa menghiraukan
dirinya. Dan baru saja si
pemuda hendak melangkah mendadak berpuluh-puluh
prajurit jaga langsung menghadang.
"Tunggu! Pemuda sinting macammu tak boleh ma-
suk ke dalam lingkungan kadipaten seenak perut! Kau
harus kami geledah dulu sebelum masuk!" bentak kepala prajurit jaga itu garang.
Dia adalah seorang lelaki bertubuh tinggi kekar.
Wajahnya gagah dengan rahang menonjol menandakan
ketegasan sikapnya. Rambutnya yang hitam panjang
di-gelung ke atas. Sedang tubuhnya yang tinggi kekar dibalut pakaian prajurit
berwarna hijau.
Mendengar bentakan tadi, Siluman Ular Putih jadi
melengak kaget. Saking kagetnya, sampai tubuhnya
mundur selangkah ke belakang.
"Eh...! Beraninya kau bertindak lancang di hadapan teman tuan putrimu yang
tampan ini he"! Apa ma-
ta kalian buta" Aku ini teman istimewa tuan putrimu, tahu"!" balas Soma,
membentak. Beberapa orang prajurit jaga tersenyum-senyum.
Mungkin merasa geli melihat sikap Siluman Ular Putih sewaktu bicara tadi. Malah
ada seorang prajurit jaga yang meletakkan miring telunjuk jarinya di kening,
sebagai isyarat kalau pemuda tampan itu gila. Tentu saja hal ini makin membuat
Siluman Ular Putih sewot. Na-
mun belum sempat murid Eyang Begawan Kamasetyo
membuka suara "Pemuda sinting tak tahu malu! Mana pantas kau
jadi sahabat istimewa Tuan Putri. Aku saja tidak di-
anggap. Apalagi pemuda sinting macam kau! Huh! Da-
sar pemuda sinting!" bentak lelaki gagah, kepala prajurit itu.
"Eh.... Eh...! Seenaknya saja kau memakiku pe-
muda sinting! Aku ini temannya Tuan Putri. Masa' ka-
lian tak percaya?" tukas Soma.
"Jangan mengigau dapat berkawan dengan Tuan
Putri, Kunyuk Gondrong! Lekaslah enyah dari hada-
panku sebelum kesabaran kami habis!" hardik kepala prajurit jaga itu lagi,
garang. "Ah...! Jadi kalian tidak mempercayaiku" Baik!
Kalau begitu aku akan membuktikannya!"
Tawa beberapa orang prajurit jaga makin bergelak.
Namun Siluman Ular Putih tidak mempedulikan-
nya. Sambil melongok-longokkan kepalanya, ia terus
mencari sosok Putri Sekartaji. Namun sayang, sosok
gadis tadi telah berkelebat cepat di kejauhan sana.
Soma tidak peduli.
"Ooooi... Putri! Prajurit-prajurit tengil ini mengha-dangku! Lekaslah kau
kemari! Biar mereka tahu, siapa aku! Masa' mereka tidak percaya kalau aku ini
temanmu! Lekas kemari, Putri!" teriak Soma dengan kedua telapak tangan di depan
mulut. Sebentar Putri Sekartaji di kejauhan sana berhen-
ti. Lalu tubuhnya berbalik.
"Ki Suroso! Biarkan pemuda itu lewat!" teriaknya.
"Ba.... Baik, Tuan Putri," sahut kepala prajurit ja-ga yang dipanggil Ki Suroso
lantang. Siluman Ular Putin tersenyum-senyum penuh
kemenangan. "Benar, kan" Sudah kubilang, aku ini teman isti-
mewa tuan putrimu! Untung saja tuan putrimu tidak
menyuruhku mengemplang kepala kalian," oceh murid Eyang Begawan Kamasetyo kesal.
Lalu dengan dada membusung bangga, si pemuda
segera berkelebat cepat meninggalkan tempat itu. Segera disusulnya langkah Putri
Sekartaji. *** 4 Malam baru saja merambat. Lampu-lampu blen-
cong di seputar Kadipaten Pleret telah menyala sejak tadi. Membuat suasana di
seputar bangunan kadipaten jadi terang benderang.
Suasana ini rupanya tak jauh berbeda dengan di
dalam istana kadipaten. Meski tak dipungkiri, saat ini keamanan cukup tegang
oleh ulah Pangeran Pemimpin
yang bermaksud menggulingkan takhta kadipaten.
Namun setelah mendengar keterangan beberapa telik
sandi, wajah arif Adipati Pleret tidak terlalu mencemaskan memikirkan keamanan.
Siluman Ular Putih 13 Penguasa Alam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dari kursi kebesarannya, Adipati Pleret yang baru
saja menerima laporan hanya menghela napas beru-
lang-ulang. Lalu kepalanya menggeleng-geleng, seolah-olah tidak mengerti maksud
Pangeran Pemimpin yang
masih terhitung kakak tirinya.
"Aku benar-benar tidak mengerti. Apa yang harus kulakukan dengan sikap Kangmas
Sembodo yang bermaksud menggulingkan takhta Kadipaten Pleret. Kalau
saja ia meminta secara baik-baik dan dengan alasan
masuk akal, sudah pasti aku akan menyerahkan ke-
kuasaan dengan suka rela. Tapi sikapnya kali ini be-
nar-benar membuatku harus segera bertindak. Kira-
kira tindakan apa yang harus kulakukan, Paman Pa-
tih?" tanya Adipati Pleret dengan paras sedih.
Seorang lelaki tua berpakaian surjan lengkap den-
gan blangkon di kepala duduk bersimpuh di hadapan
Adipati Pleret. Sejenak kedua telapak tangannya di-
tangkupkan ke depan hidung penuh hormat.
"Hamba mohon maaf, Adipati. Kiranya tidak ada
pilihan lain. Kita harus secepatnya menumpas Pange-
ran Pemimpin berikut para pengikut Partai Kawula Se-
jati," katanya.
"Sebenarnya aku sudah memikirkannya, Paman
Reksopati. Tapi apakah tidak sebaiknya meminta ban-
tuan pada tokoh golongan putih guna menghadapi se-
kutu Kangmas Sembodo yang kebanyakan tokoh sesat
dunia persilatan" Sebab kalau memaksakan diri untuk
segera menyerang, terus terang aku khawatir dengan
prajurit-prajurit kita yang bakal kewalahan. Apalagi, saat ini Nimas Putri
Sekartaji menjadi tawanannya.
Meski Pringgondani telah meminta bantuan seorang
pendekar sakti untuk menyelamatkan Nimas Putri Se-
kartaji, namun tetap saja aku merasa khawatir," desah Adipati Pleret.
"Hamba mengerti kesulitan, Kanjeng Adipati. Apalagi Lukisan Darah pun telah
dicuri seseorang yang
menurut dugaan pasti salah seorang sekutu Pangeran
Pemimpin. Kalau tidak, siapa yang dapat melumpuh-
kan para prajurit yang menjaga pintu dengan demikian mudahnya" Pasti dialah
sekutu Pangiran Pemimpin!"
ungkap Patih bernama Reksopati.
"Lebih dari itu, Kangmas Sembodo pasti mempu-
nyai maksud-maksud lain. Cuma sayang, aku belum
tahu apa maksudnya di samping ingin merebut takhta
Kadipaten Pleret."
"Kukira apa yang Kangmas Adipati khawatirkan
tidaklah akan terjadi, Kangmas. Sebab aku telah dis-
elamatkan seseorang!"
Tiba-tiba terdengar sahutan nyaring yang datang-
nya dari pintu masuk pendopo. Semua mata langsung
tertuju ke sana.
*** Adipati Pleret melengak kaget ketika sepasang ma-
tanya yang tajam mengarah ke pintu masuk pintu
pendopo. Tampak Putri Sekartaji tengah menyeret len-
gan seorang pemuda berpakaian rompi dan celana ber-
sisik warna putih keperakan.
Beberapa orang punggawa kadipaten sempat men-
gerutkan kening melihat sikap pemuda gondrong yang
tak lain murid Eyang Begawan Kamasetyo yang berge-
lar Siluman Ular Putih.
Seperti tanpa mempedulikan keadaan sekeliling,
Siluman Ular Putih terus mengikuti tarikan tangan Putri Sekartaji. Sementara
tangannya terus menggaruk-
garuk kepala. Senyum nakalnya pun tampak tersungg-
ing di bibir. "Nimas Putri Sekartaji...!" desis Adipati Pleret penuh keterkejutan. Lelaki ini
segera bangkit dari tempat duduknya. Langsung menghampiri dan dipeluknya gadis
itu. "Aku benar-benar bahagia kau bisa selamat sampai di tempat ini. Apakah kau
baik-baik saja?"
"Ya, aku baik-baik saja. Berkat pemuda ini," sahut Putri Sekartaji.
Melihat sikap Soma di belakang Putri Sekartaji,
mata Adipati Pleret jadi menyipit setelah melepas pelu-kannya. Namun selaku
adipati, ia cukup bijaksana un-
tuk tidak mengusik teman adik tirinya.
"Apakah pemuda itu yang telah menyelamatkan-
mu?" duga Adipati Pleret.
Putri Sekartaji tidak langsung menjawab, melain-
kan segera menarik lengan Soma untuk bersimpuh di
hadapan Adipati Pleret. Soma celingak-celinguk sebentar, lalu menirukan gaya
Putri Sekartaji yang tengah menghaturkan sembah sungkem. Sikap pemuda ini
kaku sekali. "Benar, Kangmas Adipati. Pemuda inilah yang te-
lah menyelamatkanku dari cengkeraman tangan
Kangmas Sembodo," sahut si gadis.
"Kalau begitu, sungguh besar sekali jasamu, Anak Muda, Aku selaku Adipati Pleret
tak segan-segannya
untuk mengucapkan rasa terima kasih atas pertolon-
ganmu terhadap Nimas Putri Sekartaji," ucap Adipati Pleret seraya menepuk pundak
kedua anak muda itu
untuk bangun. "Duduklah di sampingku, Anak Muda!
Tak usah malu-malu! Aku yakin kau pasti pendekar
sakti yang dimaksudkan Pringgondani."
Siluman Ular Putih jadi jengah bukan main diper-
lakukan seperti itu. Tanpa sadar kepalanya menoleh
ke arah Putri Sekartaji yang malah mengerdipkan ma-
ta. Dan diisyaratkannya agar Siluman Ular Putih itu
untuk menuruti ajakan kakak tirinya.
Adipati Pleret telah melangkah dan duduk di
bangku kebesarannya diikuti Putri Sekartaji. Sementa-ra Siluman Ular Putih malah
menggaruk-garuk kepa-
lanya bingung. Namun akhirnya toh menurut juga du-
duk di samping Adipati Pleret tak jauh dari tempat duduk Putri Sekartaji.
"Sebagai seorang yang menyukai ilmu silat, tentu aku juga ingin tahu gelarmu di
dunia persilatan, Anak Muda?" tanya Adipati Pleret langsung dengan senyum
terkembang. "Dia seorang pendekar hebat, Kangmas. Meski ke-
pandaian Kangmas cukup hebat, namun jangan dikira
mampu bertahan barang satu atau dua jurus mela-
wannya!" Putri Sekartaji yang menyahut seraya meng-
gedikkan kepalanya ke arah pemuda tampan di sam-
pingnya penuh kagum.
"Oh, ya?" ujar Adipati Pleret makin kagum. Sebentar matanya memandang pada
Siluman Ular Putih. Se-
bentar kemudian beralih ke arah Putri Sekartaji disertai rasa penasaran.
"Benar, Kangmas. Kalau saja Kangmas Adipati ta-
hu gelarnya di dunia persilatan, tentu akan terkejut dibuatnya," tambah Putri
Sekartaji bersemangat. Entah kenapa tiba-tiba saja gadis ini jadi semangat
sekali menceritakan kehebatan Siluman Ular Putih pada ka-kaknya.
"Ah...! Kalau begitu, cepat katakan siapa gelarmu di dunia persilatan, Anak
Muda!" pinta Adipati Pleret penasaran.
"Aku.... Aku tidak punya gelar, Kanjeng Adipati.
Namaku Soma. Itu saja!" jawab murid Eyang Begawan Kamasetyo malu-malu.
"Bohong! Dialah yang bergelar Silurian Ular Putih, Kangmas!" lagi-lagi Putri
Sekartaji yang menyahut.
Terdengar pekik kaget beberapa orang punggawa
kadipaten. Termasuk juga Adipati Pleret, begitu men-
dengar penjelasan Putri Sekartaji kalau pemuda tam-
pan itu adalah pendekar muda yang namanya telah
menggemparkan dunia persilatan dengan julukan Si-
luman Ular Putih!
"Sungguh merupakan satu kehormatan besar! Tak
kusangka Siluman Ular Putih sudi menyambangi Ka-
dipaten Pleret!" decak Adipati Pleret penuh kagum.
Bukan main jengahnya Siluman Ular Putih diper-
lakukan seperti itu. Entah sudah berapa kali tangan-
nya menggaruk-garuk kepala saking jengahnya.
Putri Sekartaji malah tersenyum-senyum. Rasanya
puas sudah gadis itu membalas godaan-godaan Silu-
man Ular Putih selama ini.
"Sekarang ceritakan, apa saja yang telah kau ketahui, Nimas! Aku yakin kau pasti
mendapat beberapa
keterangan selama ditawan Kangmas Sembodo," pinta Adipati Pleret, sedikit
memberi napas pada Siluman
Ular Putih. Putri Sekartaji yang sedang memperolok Siluman
Ular Putih, mendadak menghentikan senyum keme-
nangannya. Parasnya segera dibuat bersungguh-
sungguh. Adipati Pleret dan juga semua yang ada di ruang
pendopo ini mulai mendengarkan keterangan Putri Se-
kartaji. Bahkan mereka berkali-kali mendesis penuh
ke-marahan begitu mendengar rencana keji Pangeran
Pemimpin. Untuk beberapa saat suasana di ruang
pendopo seperti dicekam perasaan tegang, terbawa
arus pikiran masing-masing.
"Hm...! Benar-benar tak kusangka kalau Kangmas
Sembodo mempunyai rencana selicik ini. Mengapa ia
tega-teganya memaksa Nimas Putri Sekartaji untuk
menandatangani surat perjanjian agar aku sudi me-
nyerahkan takhta Kadipaten Pleret padanya" Benar-
benar licik!" geram Adipati Pleret penuh kemarahan Semua yang berada di ruang
pendopo membisu.
Mereka seperti makin tenggelam dengan perasaan te-
gang. "Lalu, bagaimana dengan Lukisan Darah yang te-
lah raib dari ruang pusaka" Apakah kau juga menge-
tahuinya, Nimas?" tanya Adipati Pleret lagi.
Putri Sekartaji mendesah sebentar.
"Sebenarnya aku tidak tahu pasti, Kangmas. Na-
mun Siluman Ular Putih sempat melihat seseorang te-
lah membawa Lukisan Darah sewaktu hendak masuk
ke dalam markas Partai Kawula Sejati. Dan kalau tidak salah, sewaktu aku
diringkus Iblis Muka Merah dan
Setan Mayat Merah, aku sempat mendengar kalau Raja
Maling-lah yang telah mencuri Lukisan Darah!" papar si gadis.
"Raja Maling...!" desis Adipati Pleret penuh kemarahan. "Hm...! Sudah kuduga.
Pasti sekutu-sekutu Kangmas Sembodolah yang mencuri Lukisan Darah!"
"Kalau begitu, sebaiknya kita harus menumpas
Raden Sembodo selagi kekuatan mereka belum besar!"
usul Patih Reksopati tiba-tiba.
"Hm...! Ya ya ya...! Aku memang sedang merenca-
nakan itu, Paman. Tapi apa tidak sebaiknya kita me-
minta bantuan para pendekar guna menghadapi to-
koh-tokoh sesat yang bersekutu dengan Kangmas
Sembodo?" "Menurut hematku, memang demikianlah, Kan-
jeng Adipati," timpal Siluman Ular Putih. "Jika Kanjeng Adipati tidak keberatan,
sekarang juga aku akan
menghubungi beberapa orang pendekar. Kebetulan se-
kali, saat ini mereka tengah mengadakan pertemuan
untuk menumpas Pangeran Pemimpin yang sepak ter-
jangnya sudah kelewatan!"
"Boleh, boleh! Tapi, bukan berarti harus kau yang ke sana, Soma!" sahut Adipati
Pleret langsung memanggil nama Siluman Ular Putih.
"Kukira Kangmas Adipati benar. Kau jangan buru-
buru, Soma. Kangmas Adipati dapat menyuruh bebe-
rapa orang punggawa kadipaten yang berkepandaian
tinggi untuk menghadapi pertemuan para pendekar,"
timpal Putri Sekartaji keberatan.
Entah kenapa tiba-tiba si gadis merasa gelisah se-
kali bila berpisah dengan murid Eyang Begawan Ka-
masetyo ini. Walau tadi uring-uringan melihat sikap
Soma yang selalu menggoda dirinya, namun kali ini
benar-benar tidak rela kalau harus berpisah.
"Tidak, Putri. Keamanan kadipaten adalah segala-galanya bagiku," tukas Siluman
Ular Putih cepat.
Kembali Soma memandangi Adipati Pleret.
"Maaf, Kanjeng Adipati! Bukan berarti aku me-
mandang rendah punggawa-punggawa kadipaten. Jika
tidak keberatan, aku ingin Kanjeng Adipatilah yang
mengutusku untuk menghadiri pertemuan para pen-
dekar yang sebentar lagi akan dilangsungkan," lanjutnya. "Hhh...!" Adipati
Pleret menghela napas dalam-dalam seraya mengangguk-angguk. "Baiklah kalau
memang itu kemauanmu, Soma. Sebenarnya aku ingin
kau beristirahat barang satu atau dua malam di kadi-
paten. Tapi, sudahlah! Kalau kau memang ingin be-
rangkat, aku hanya bisa mengiringi kepergianmu den-
gan penuh persahabatan."
"Terima kasih atas kepercayaan ini, Kanjeng. Sekarang juga aku akan berangkat,"
ucap Siluman Ular Putih.
Saat itu juga, Siluman Ular Putih bergegas beran-
jak dari tempat duduknya. Kakinya segera melangkah
lebar-lebar meninggalkan pendopo kadipaten.
*** "Soma! Tunggu!"
Soma buru-buru menghentikan langkahnya di
luar Istana Kadipaten Pleret ketika mendengar suara
panggilan dari belakang. Ketika berbalik, dilihatnya Putri Sekartaji tengah
berkelebat cepat ke arahnya.
Soma hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat si
gadis yang tengah menyusulnya.
"Ada apa lagi, Putri Sekartaji?" tanya Soma begitu Putri Sekartaji menghentikan
langkah dua tombak di
depannya. "Aku ikut. Aku ingin menemanimu menghadiri
pertemuan para pendekar," sahut Putri Sekartaji agak
tersengal. "Tapi... tapi nanti Kangmas Adipati mencemaskan mu" Ya, kalau kau selamat" Kalau
misalnya kembali
tertawan oleh Pangeran Pemimpin, bagaimana?" tukas Siluman Ular Putih.
"Kan ada kau! Aku yakin, kau tentu tidak mem-
biarkan aku tertawan Pangeran Pemimpin, kan?" Putri Sekartaji merajuk manja.
"Tapi... tapi...."
"Tapi kenapa, Soma?" potong si gadis. "Apakah kau keberatan melakukan perjalanan
berdua denganku?" "Bukan begitu! Aku justru takut Kanjeng Adipati akan
mencemaskan mu. Terus terang, aku pun khawatir dengan keselamatanmu, Putri,"
sahut Siluman Ular Putih bingung.
"Bilang saja kau keberatan melakukan perjalanan denganku! Pakai alasan lagi!
Pokoknya, aku akan
menghadiri pertemuan para pendekar itu!" tandas Putri Sekartaji kesal.
"Baiklah! Tapi...."
Siluman Ular Putih 13 Penguasa Alam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ah, sudahlah! Kau memang menyebalkan, Soma!"
sungut Putri Sekartaji jengkel. Lalu tubuhnya berkelebat bermaksud meninggalkan
tempat itu. "Tunggu, Putri! Apa kau tidak ingin minta izin du-lu pada Kanjeng Adipati?"
teriak Soma, menahan langkah Putri Sekartaji.
Putri Sekartaji sedikit pun tidak mempedulikan te-
riakan Siluman Ular Putih. Malah langkahnya semakin
dipercepat keluar halaman istana.
"Aku sudah dewasa. Kukira aku tak perlu memin-
ta izin. Toh aku sudah dapat menentukan jalan hi-
dupku!" sahut Putri Sekartaji kesal.
Entah kenapa, Siluman Ular Putih hanya mengga-
ruk-garuk kepala. Kemudian ketika bayangan Putri
Sekartaji makin menjauh, pemuda sakti ini buru-buru
berkelebat menyusul.
"Baiklah, Putri. Kalau begitu, mari kita melakukan perjalanan bersama," kata
Siluman Ular Putih seperti berkata pada diri sendiri. Dan tubuhnya langsung
berkelebat cepat mengejar bayangan Putri Sekartaji.
Putri Sekartaji yang semula kecewa melihat Silu-
man Ular Putih belum juga menyusul, entah kenapa
kini menjadi gembira bukan main. Senyum tipisnya
pun tampak terkembang di bibir. Meski demikian, ke-
lebatan tubuhnya tak ingin diperlambat. Sehingga, hal ini membuat Siluman Ular
Putih harus mengerahkan
segenap ilmu meringankan tubuhnya.
*** 5 Malam merambat perlahan. Bulan sepotong seolah
malas bergelantung di bentangan langit sebelah timur.
Meski cuaca cukup cerah, namun suasana malam di
luar Kadipaten Pleret tampak demikian mencekam.
Angin pun seolah malas berhembus. Hanya sesekali
terdengar nyanyian jangkrik di balik semak belukar
yang mengusik kelengangan malam.
Dalam kelengangan malam itu tampak dua sosok
bayangan tengah berkelebat cepat menuju timur. Ge-
rakan kaki mereka cepat luar biasa, di antara kerapatan pohon Hutan Minden.
"Putri Sekartaji! Kenapa sih dari tadi kau hanya membisu saja" Apa kau sudah
bosan melakukan perjalanan bersamaku"!" oceh sosok di sebelah kanan pa-da sosok
bayangan yang dipanggil putri Sekartaji.
Sosok bayangan di sebelah kiri yang tak lain Putri
Sekartaji hanya menggerutu kesal. Sama sekali tidak
tertarik mendengar ocehan sosok di sebelahnya yang
tak lain Soma alias Siluman Ular Putih. Malah larinya makin dipercepat.
"Kau ini kenapa sih"! Tak seharusnya kau mem-
berengut seperti ini! Kasihan kan bulan sepotong di
atas sana. Nanti malah jadi tambah sedih," goda Siluman Ular Putih lagi.
"Banyak omong! Sebel aku!" sahut gadis ini dengan suara ketus.
"Nah, begitu dong! Kan jadi enak kedengarannya.
Jangan memberengut terus. Jangan-jangan kau se-
dang memikirkan kekasihmu, ya?" tebak murid Eyang Begawan Kamasetyo asal-asalan.
"Soma!" pekik Putri Sekartaji jengkel.
Seketika gadis itu menghentikan langkahnya. Se-
pasang matanya berkilat-kilat penuh kemarahan. So-
ma pun menghentikan langkahnya. Dan dengan enak-
nya ia menggaruk-garuk kepala, seolah merasa tak
berdosa. "Soma! Jangan seenaknya bicara! Aku sebel, ta-
hu!" hardik Putri Sekartaji.
"Ah...! Bukankah sebel itu berarti senang betul"
Duh, senangnya hatiku bila kau senang padaku!" oceh Soma seraya mendekap dada.
Putri Sekartaji mengkelap bukan main. Telapak
tangan kanannya sudah gatal. Maka tanpa banyak ca-
kap lagi tangan kanannya segera melayang ke arah pi-
pi Soma. "Tunggu! Apakah kau tidak mendengar langkah-
langkah halus menuju kemari?" cegah Soma tiba-tiba seraya mengangkat tangannya.
Putri Sekartaji buru-buru menahan gerakan tan-
gannya. Seketika telinganya dipasang tajam. Samar-
samar telinganya memang mendengar langkah-langkah
halus beberapa orang yang tengah menuju ke tempat
ini. "Iya. Aku mendengar langkah beberapa orang tengah menuju kemari," sahut
Putri Sekartaji seraya me-nurunkan tangannya kembali.
Soma makin mempertajam pendengarannya. Lalu
buru-buru ditariknya lengan Putri Sekartaji. Dan dengan gerakan cepat, Siluman
Ular Putih membawa gadis
itu melesat cepat ke atas sebuah pohon. Tepat ketika mereka mendarat di atas
sebuah dahan, tampak enam
sosok bayangan tengah berkelebat cepat menuju ke
tempat ini. Yang paling depan adalah seorang kakek
tua renta. Jubahnya yang kedodoran sampai lutut
berwarna hitam. Kepalanya mengenakan penutup yang
memanjang pada bagian atasnya. Dia tidak lain adalah Pendidik Ulung.
"Hm.... Pendidik Ulung.... Mengapa ia bersama Ra-ja Racun, Algojo Dari Timur,
Denok Supi, Raja Golok, dan Raja Maling" Ada apa dengannya?" gumam hati Siluman
Ular Putih. Memang di samping Pendidik Ulung tampak bebe-
rapa tokoh sesat yang sudah sangat dikenal Soma.
Putri Sekartaji hampir memekik melihat keenam
sosok yang sangat dikenalnya. Hampir saja gadis ini
memekik kaget kalau Soma tidak buru-buru mengisya-
ratkan dengan telunjuk jarinya di depan bibir.
Keenam sosok bayangan itu kini makin mendekati
tempat Soma dan Putri Sekartaji. Namun, Pendidik
Ulung yang berkelebat cepat bak mayat hidup yang di-
kendalikan mendadak menghentikan langkahnya.
"Tunggu! Rasa-rasanya aku mendengar gerakan-
gerakan halus tak jauh dari tempat ini!" ujar Pendidik Ulung tiba-tiba. Sepasang
matanya yang mencorong terus memperhatikan keadaan sekitarnya.
Raja Racun beserta keempat orang kawannya se-
gera menghentikan langkah di samping Pendidik
Ulung. Kemudian seperti mendapat perintah, segera
memperhatikan seputar tempat itu. Namun sayang,
mereka tidak mendapatkan sesuatu yang mencuriga-
kan. "Apa kau melihat sesuatu, Tua Bangka Keparat"!
Kami tidak melihat sesuatu. Ah...! Kau ini mengada-
ada saja!" tukas Raja Racun jengkel.
Di tempat persembunyiannya, Putri Sekartaji me-
rasa heran bukan main melihat Pendidik Ulung ber-
sama kelima orang tokoh sesat itu. Lebih herannya lagi ketika melihat sikapnya
yang mirip orang linglung.
Demikian pula Siluman Ular Putih yang tak habis
pikir sejak tadi.
"Sungguh aku tak mengerti, mengapa orang tua
itu bisa bersama-sama Raja Racun dan kawan-kawan"
Bukankah ia ingin menghadiri pertemuan para pende-
kar di puncak Gunung Kelud" Tapi, kenapa sekarang
berada di sini" Dan mengapa pula sikapnya tampak
aneh sekali. Wajahnya pucat pasi. Tingkah lakunya
kaku mirip mayat. Ah...! Pasti ada sesuatu terhadap
orang tua itu! Kalau tidak, mana mungkin sudi mela-
kukan perjalanan bersama Raja Racun dan kawan-
kawan," gumam Soma lagi.
"Aneh! Aku tak tahu, apa yang telah terjadi terhadap orang tua itu" Ada apa
sebenarnya" Dan bukan-
kah di tangan orang tua tinggi besar itu Lukisan Da-
rah" Mengapa bisa jatuh ke tangannya" Dan juga,
mengapa gambarnya bisa berubah menjadi gambar se-
buah peta" Atau, jangan-jangan lukisan itu bukan Lu-
kisan Darah" Ah...! Tak mungkin! Sewaktu aku kecil,
aku pernah iseng-iseng masuk ke ruang pusaka dan
melihat-lihat pusaka kadipaten, termasuk Lukisan Da-
rah itu! Ya ya ya...! Sekarang aku ingat. Itu pasti Lukisan Darah yang telah
dicuri orang!" pikir Putri Sekarta-
ji pula dalam hati.
Seketika Putri Sekartaji menggeretakkan gera-
hamnya penuh kemarahan. Ingin rasanya gadis itu se-
gera merampas Lukisan Darah kalau tidak merasakan
sentuhan lembut di jari-jari tangannya. Si gadis tersa-dar. Dilihatnya Soma
tengah menggeleng-gelengkan
kepala sambil menunjuk-nunjukkan jari ke bawah.
Putri Sekartaji mengangguk seraya menggigit bi-
bir. Di bawah sana tampak Raja Racun tengah mema-
rahi Pendidik Ulung. Anehnya lagi, yang dimarahi tampak demikian tunduk dan
takut. "Dasar tua bangka bau tanah! Mau modar saja
pakai bertingkah macam-macam! Hayo, lekas tinggal-
kan tempat ini!" hardik Raja Racun kasar pada Pendidik Ulung.
Pendidik Ulung hanya menunduk. Lalu setelah
lengannya disentak kasar, terpaksa tubuhnya segera
berkelebat di belakang Raja Racun yang kemudian
disusul yang lain.
"Ini bukan urusan main-main, Putri! Kulihat ada sesuatu yang tidak beres menimpa
orang tua yang pernah kita jumpai itu," kata Soma setelah keenam sosok itu menghilang di balik
kegelapan malam.
"Ya ya ya...! Aku juga dapat melihat kejadian yang tidak beres tengah menimpa
orang tua itu. Kasihan sekali!" desah Putri Sekartaji.
"Dan kukira, sekarang kita harus membagi tugas!
Sebenarnya, berat memang. Tapi, apa boleh buat" Ter-
paksa kita harus berpisah untuk sementara waktu.
Aku ingin menyelidiki sekaligus menyelamatkan orang
tua itu. Dan kau harus segera menuju puncak Gunung
Kelud, guna mengikuti jalannya pertemuan para pen-
dekar. Nanti kalau sudah selesai menyelamatkan orang tua itu, baru aku
menyusulmu ke puncak Gunung Kelud."
"Tapi...," keluh Putri Sekartaji keberatan. Tanpa sadar jari-jari tangannya
makin erat menggenggam ja-ri-jari tangan Soma.
"Tidak ada tapi-tapian, Putri. Ini bukan urusan main-main," ujar Siluman Ular
Putih dengan senyum manis terkembang di bibir.
"Ba... baiklah," sahut Putri Sekartaji seraya menunduk dalam-dalam. Tak kuat
rasanya ia mendapat
senyum manis pemuda tampan di hadapannya.
"Ya, sudah! Kalau begitu, lekas lepaskan tangan-ku. Dan kau boleh langsung
menuju ke puncak Gu-
nung Kelud!" ujar Soma, kali ini diiringi senyum menggoda.
Putri Sekartaji buru-buru melepaskan pegangan
tangannya. Parasnya pun mendadak jadi merona me-
rah. Untung saja kegelapan malam cukup menyembu-
nyikan wajahnya yang merah dadu, menahan malu.
"Kau memang sialan, Soma! Bisanya hanya meng-
godaku. Padahal, kau sendiri yang mulai menggeng-
gam tanganku!"
Soma hanya tertawa bergelak. Namun, juga tidak
menyangkal ucapan Putri Sekartaji.
"Iya, kan" Kau yang memulai?" sungut Putri Sekartaji kesal.
"Sudahlah! Soal sepele begitu saja dibesar-
besarkan. Sana kalau mau pergi!" kata Soma seraya mengibaskan tangannya,
mengisyaratkan agar Putri
Sekartaji cepat pergi.
"Enak saja bilang sudah!"
"Iya iya! Aku memang yang mulai. Tapi sudah,
dong! Sana kalau mau pergi!" kata Soma mengalah
"Baik. Tapi benar, ya" Kau harus menyusulku di
puncak Gunung Kelud!"
"Iya, iya!"
6 Menjelang pagi hari, Pendidik Ulung beserta lima
tokoh sesat yang mengikutinya tiba di puncak Gunung
Kembang. Sering kali lelaki tua itu memalingkan kepa-la ke belakang sambil
mengamati keadaan sekitar den-
gan seksama. Seolah, ia merasa ada penguntit sejak
mereka meninggalkan Hutan Minden.
Raja Racun yang tidak begitu mempedulikan Pen-
didik Ulung hanya mendengus geram.
"Hm...! Bisa jadi apa yang dikatakan tua bangka ini benar. Ada seseorang yang
terus mengikuti perjala-nanku bersama teman-teman. Sebab aku tahu, Pendi-
dik Ulung memiliki kesaktian tinggi. Rasa-rasanya aku sendiri pun sulit sekali
menundukkannya...," gumam lelaki berwajah seram ini.
Raja Racun lantas mengedarkan pandangannya ke
sekeliling. Lalu tatapannya berhenti pada Raja Maling.
"Raja Maling! Apa benar ini tempat yang dimaksud seperti yang tergambar peta
Lukisan Darah?" tanya Raja Racun.
"Benar! Benar sekali! Tempat inilah yang seperti tercantum dalam peta Lukisan
Darah. Aku yakin sekali, Raja Racun. Hayo, sekarang kita harus mencari
Penguasa Alam!"
"Tapi apa kau yakin kalau Penguasa Alamlah yang telah mengangkangi harta karun
milik Kadipaten Pleret selama ini, Raja Maling?" tanya Algojo Dari Timur ingin
tahu. Dia adalah seorang lelaki tinggi besar. Usianya li-
ma puluh tahun. Pakaiannya jubah besar berwarna
kuning dan merah. Wajahnya menyeramkan. Matanya
besar dan hidung besar. Di telinga kirinya menggan-
tung anting bundar besar. Kepalanya hampir plontos,
kecuali kuncir rambutnya di bagian atas.
"Aku sendiri kurang tahu pasti. Tapi bisa jadi
orang yang bergelar Penguasa Alam sedikit banyak
mengetahui letaknya harta karun itu. Sebab di dalam
Lukisan Darah pun, tercantum nama Penguasa Alam,"
sahut Raja Maling menjelaskan.
Tanpa ada yang tahu, tak jauh dari tempat itu se-
pasang mata tengah mengawasi. Pemilik sepasang ma-
ta itu adalah penguntit yang tadi sempat ditangkap gerakannya oleh Pendidik
Ulung. Dan sosok itu memang
Siluman Ular Putih. Kini Soma terkejut bukan main
begitu mendengar penjelasan Raja Maling.
"Hm...! Jadi Lukisan Darah yang telah dicuri Raja Maling menyimpan harta karun
Kadipaten Pleret. Pantas-pantas! Kepergian mereka kemari pun tentu atas
perintah Pangeran Pemimpin. Sebab, mereka semua
adalah kaki tangannya. Hm...! Kukira aku harus me-
nyelamatkan harta karun itu terlebih dahulu..," gumam Siluman Ular Putih dalam
hati. Habis menggumam, Siluman Ular Putih kembali
memperhatikan gerak-gerik enam orang yang diin-
tainya. Tampak sekali kalau Raja Racun tak sabar me-
nunggu munculnya Penguasa Alam.
"Penguasa Alam, keluar! Aku, Raja Racun Dari Selatan, ingin bertemu!" teriak
Raja Racun nyaring.
Tidak ada sahutan. Hanya suara kasar dan berat
milik Raja Racun saja yang bergema di lereng-lereng
Siluman Ular Putih 13 Penguasa Alam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jurang. Lelaki berwajah menyeramkan ini gusar bukan
main. "Penguasa Alam! Lekas tunjukkan batang hi-
dungmu! Aku ingin tahu, di mana kau sembunyikan
harta karun milik mendiang Pelukis Sinting Tanpa
Tanding!" Kali ini yang berteriak Raja Maling. Sebagai murid
Maling Tanpa Bayangan, sudah pasti ia tahu akan Lu-
kisan Darah. Berikut pembuatnya yang sekaligus juga
pemilik harta karun.
Kembali tidak ada sahutan. Pendidik Ulung beser-
ta kelima tokoh sesat yang berada di puncak Gunung
Kembang mulai dicekam perasaan tegang. Namun se-
lang beberapa saat....
"Ha ha ha...!"
Bummm...! Mendadak terdengar suara tawa bergelak yang
kemudian disusul bunyi keras bagai ledakan di kejau-
han yang mampu mengguncangkan puncak Gunung
Kembang! "Manusia bermulut kotor! Beraninya kau berkata
begitu padaku, he"! Akulah pemilik harta karun yang
sebenarnya!"
Mendadak terdengar bentakan nyaring. Anehnya
meski diucapkan dari jarak jauh, tapi mampu mengge-
tarkan jantung semua orang yang berada di puncak
Gunung Kembang. Jelas, orang yang membentak tadi
memiliki tenaga dalam luar biasa. Bahkan kemudian
disusuli oleh suara langkah yang cukup menggun-
cangkan tempat ini.
*** Pendidik Ulung dan semua yang berada di puncak
Gunung Kembang terkesiap kaget. Apalagi saat melihat seorang lelaki bertubuh
tinggi besar seperti raksasa berkulit hitam legam dari balik kegelapan malam.
Sosok itu demikian mengerikan. Sepasang matanya ber-
warna merah menyala. Wajahnya garang. Rambutnya
yang ikal dibiarkan awut-awutan di bahu. Sedang tu-
buhnya yang tinggi besar dibalut pakaian ketat warna hitam.
"Penguasa Alam...!" desis Raja Racun.
Sosok tinggi besar yang dikenal sebagai Penguasa
Alam menghentikan langkah beberapa tombak di de-
pan rombongan kecil utusan Pangeran Pemimpin itu.
Kedua kakinya dipentangkan lebar. Sepasang matanya
menatap satu persatu para tamu yang tak diundang.
"Siapa yang tadi bertingkah menyuruhku menun-
jukkan harta karun milikku"!" bentak Penguasa Alam garang.
Raja Racun dan kelima orang lainnya sempat me-
nyurutkan langkah setindak ke belakang. Diam-diam
mereka mulai dicekam rasa tegang.
"Kau tidak berhak mengangkangi harta karun mi-
lik Kadipaten Pleret, Penguasa Alam! Sekarang salah
seorang keturunan Adipati Pleret Tua yang bergelar
Pangeran Pemimpin ingin meminta harta karun itu
kembali. Harap kau sudi menyerahkannya secara baik-
baik!" kata Raja Maling lantang.
Penguasa Alam tertawa bergelak. Suaranya berat
dan kasar, seolah ingin merobek kesunyian malam.
Dan begitu tawanya berhenti, sepasang matanya berki-
lat-ki-lat penuh kemarahan dengan dada bergerak tu-
run naik. "Dengar, tikus-tikus comberan! Buka telinga ka-
lian lebar-lebar! Akulah pemilik harta karun itu yang sebenarnya. Siapa pun juga
tidak boleh merampas
harta karun itu dari tanganku!"
"Siapa percaya bacotmu, Penguasa Alam"! Lekas
tunjukkan letak harta karun itu! Atau kalau tak bisa, lekaslah kau enyah dari
hadapanku! Biar aku yang
men-cari sendiri," bentak Raja Maling jengkel.
Penguasa Alam mendengus. Sepasang matanya
sejenak memperhatikan Lukisan Darah di tangan Raja
Maling yang tidak lagi bergambar seorang wanita telanjang berwarna merah darah,
tapi gambar sebuah peta
yang menunjukkan letak harta karun yang tengah di-
perebutkan! "Setan alas! Jadi kalian sudah mendapatkan peta itu"! Berarti kalian semua harus
modar di tanganku!"
geram Penguasa Alam penuh kemarahan.
Habis menggeram, Penguasa Alam segera menca-
but senjata andalan berupa gada besi berwarna kuning yang terselip di punggung.
Dan disertai suara mengge-legar tubuhnya meluruk menyerang. Senjata andalan-
nya segera diputar-putar hebat.
Bet! Bet! Sebelum gada di tangan Penguasa Alam mengenai
sasaran, terlebih dahulu berkesiur angin kencang me-
nyambar-nyambar kulit tubuh. Keenam utusan Pange-
ran Pemimpin segera berloncatan ke sana kemari,
membuat hantaman gada di tangan Penguasa Alam sa-
lah sasaran. Blaaam...! Bumi bergetar hebat laksana ada gempa saat gada
itu menghantam tanah. Bagian yang terkena hanta-
Pemikat Iblis 1 Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Pendekar Kidal 7