Pencarian

Penguasa Alam 2

Siluman Ular Putih 13 Penguasa Alam Bagian 2


man kontan berlubang besar setelah tanahnya ter-
bongkar. Penguasa Alam menggeram penuh kemarahan.
Sepasang matanya yang berwarna merah menyala ma-
kin berkilat-kilat mengerikan.
"Jahanam...! Jangan dikira aku tidak dapat me-
lumat kalian semua! Makanlah gadaku! Heaaa...!"
Dengan teriakan membelah langit, Penguasa Alam
melesat deras. Gada besi di tangan kanannya kembali
diayunkan dari samping kanan ke kiri. Begitu ganas
serangan itu, sampai-sampai Pendidik Ulung tak
mampu menghindarinya. Lalu....
Bukkk! "Aaakh...!"
Tubuh Pendidik Ulung limbung ke samping. Tapi
seketika tubuhnya cepat diputar. Lalu dengan satu
ayunan tubuh, jari-jarinya berkelebat ke pinggang
Penguasa Alam. Wutt...! Penguasa Alam melompat setindak ke belakang,
membuat serangan Pendidik Ulung hanya menyambar
angin. Bahkan gada di tangan kanannya kembali me-
layang ke arah kepala Pendidik Ulung. Untungnya pa-
da saat yang sama, Algojo Dari Timur cepat meluruk
sambil mengibaskan parang besar, memapas gerakan
gada si tangan Penguasa Alam.
Trang! Bunga api kontan berpijar saat parang besar yang
berisi tenaga dalam tinggi berbenturan dengan gada
Penguasa Alam. Tubuh tinggi besar Algojo Dari Timur
sendiri sempat terhuyung-huyung beberapa tindak ke
belakang, pertanda tenaga dalam tokoh sesat dari wi-
layah timur itu masih kalah beberapa tingkat di bawah Penguasa Alam.
Melihat Algojo Dari Timur kewalahan menghadapi
Penguasa Alam, Raja Racun segera berkelebat cepat
menerjang. Di belakangnya, Denok Supi, Raja Golok,
dan Raja Maling pun segera membantu.
Wuttt! Wuttt! Empat senjata berbeda milik Raja Racun, Denok
Supi, Raja Golok, dan Raja Maling berkelebatan siap
mencincang tubuh Penguasa Alam. Namun anehnya,
lelaki bertubuh raksasa ini hanya diam di tempatnya.
Sedikit pun tidak ada keinginan untuk menghindar,
seolah siap menyambut datangnya maut.
Hal ini tentu saja sangat mengejutkan hati para
pengeroyok. Namun karena sudah telanjur ingin segera mendapatkan harta karun,
maka tanpa mengenal belas kasihan sedikit pun mereka malah makin melipat-
gandakan tenaga dalam.
Crakkk! Crakkk!
Telak sekali empat senjata tajam itu mengenai tu-
buh Penguasa Alam. Namun anehnya sedikit pun tu-
buhnya tak terluka! Malah begitu senjata-senjata itu menghantam seketika tampak
semburat cahaya merah
menyala dari tubuh Penguasa Alam!
"Aaah...!"
Hebatnya lagi, mendadak keempat orang penge-
royok itu kontan menjerit setinggi langit. Buru-buru mereka membuang tubuh
masing-masing ke belakang!
"Aji.... Aji 'Tangkal Petir'...!" desis Denok Supi ter-kesima.
Tubuh wanita sesat ini tadi sempat merasakan sa-
tu getaran hebat begitu pedangnya membabat tubuh
Penguasa Alam. Bahkan kini tubuhnya luruh ke tanah
dengan wajah pias!
Hal yang sama pun dialami ketiga orang penge-
royok Penguasa Alam lainnya. Seketika mereka kontan
merasakan satu getaran hebat yang tiba-tiba menye-
rang. Bahkan dengan napas tersengal, mereka luruh di tanah, seolah-olah telah
kehilangan banyak tenaga!
"Bagus! Rupanya kalian sudah tahu ajian 'Tangkal Petir'-ku! Maka saat ini
pulalah kalian semua harus
modar di tanganku!" dengus Penguasa Alam garang, langsung meluruk deras.
Gada besi kuning di tangan kanan lelaki raksasa
ini kembali bergerak mengerikan. Keempat orang pen-
geroyok Penguasa Alam yang masih bersimpuh di ta-
nah tak bertenaga semakin pucat pasi. Rasanya sulit
bagi mereka menghindari serangan. Dan sedikit lagi
gada di tangan kanan Penguasa Alam menemui sasa-
ran, mendadak Penguasa Alam menghentikan seran-
gannya disertai dengusan penuh kemarahan. Saat ini
dirasakannya angin panas yang bukan kepalang telah
menyambar punggungnya. Lalu....
Bukkk! Bukkk! "Heeah...!"
Penguasa Alam menggembor penuh kemarahan.
Seketika tubuhnya terpental jauh ke belakang, mem-
buat amarahnya makin memuncak ke ubun-ubun.
Namun hebatnya, tubuh tinggi besarnya sedikit pun
tidak mengalami cedera!
"Heaaa...!"
Bahkan dengan teriakan ganas, Penguasa Alam
bangkit berdiri. Seketika, diserangnya Algojo Dari Timur yang tadi melontarkan
serangan dengan pukulan
jarak jauh. "Setan alas! Kaulah yang pertama kali modar di
tanganku, Setan Gundul!" bentak Penguasa Alam di antara ayunan gada di tangannya
yang mengerikan.
"Uts...!"
Algojo Dari Timur segera merunduk ke bawah. Di
saat gada di tangan Penguasa Alam menyambar tem-
pat kosong, mendadak ujung runcing parang di tan-
gannya telah menyodok ulu hati dengan kekuatan pe-
nuh. Clep! "Augh...!"
Seketika Penguasa Alam memekik setinggi langit.
Begitu parang menembus ulu hati, mendadak sekujur
tubuh Penguasa Alam menyala! Pada saat itulah Pen-
guasa Alam kembali menggerakkan gadanya menye-
rang balik Algojo Dari Timur tanpa ampun!
"Makanlah gada besiku, Setan Gundul!" bentak Penguasa Alam, di antara kelebatan
gadanya yang disertai tenaga dalam penuh. Dan....
Prakkk! Darah merah seketika berhamburan dari kepala
Algojo Dari Timur ketika gada Penguasa Alam meng-
hantam kepala. Tanpa mengeluarkan erangan tubuh
tokoh sesat dari timur itu ambruk. Tubuhnya yang
tinggi besar melejang-lejang, lalu tak bergerak-gerak lagi. Tewas!
Melihat salah seorang pengeroyok tewas, nafsu
membunuh Penguasa Alam malah makin menjadi. Dan
di saat lelaki tinggi besar ini hendak menghabisi Raja Racun yang baru saja
merangkak bangun, mendadak....
"Heaaat...!"
"Uts...!"
Pendidik Ulung datang menghadang. Jari-jari tan-
gannya yang berwarna putih berkilauan gantian men-
gancam sepasang mata Penguasa Alam!
Penguasa Alam melompat mundur beberapa tin-
dak. Walau dirinya kebal terhadap berbagai macam
pukulan maut dan senjata tajam berkat aji 'Tangkal
Petir', namun tetap saja tidak mampu melindungi ba-
gian mata. Itu sebabnya ia harus segera menghindar.
Pada saat yang sama, Denok Supi telah bangkit
dan kembali menyerang. Pedang di tangannya kembali
siap mengancam sepasang mata Penguasa Alam. Bu-
ru-buru lelaki tinggi besar ini memutar gada untuk
menangkis. Sementara tangan kirinya menyusup me-
nyerang dada kiri wanita sesat itu.
Trang! Crap! "Aaa...!"
Denok Supi menjerit menyayat. Tubuhnya kontan
ambruk dan melejang-lejang sebentar. Kemudian keti-
ka nyawanya lepas dari badan, tubuhnya diam tak
bergerak dengan dada berlubang!
"Grrahhh...!"
Penguasa Alam mendengus mirip kerbau mau dis-
embelih. Jantung Denok Supi yang telah tercengkeram
di tangan kiri, segera dilontarkan ke arah Pendidik
Ulung yang kembali datang menyerang.
"Tua bangka macammu pun tak pantas lagi ber-
hadapan denganku! Majulah! Aku juga ingin melihat
apakah jantungmu juga berwarna merah?" ejek Penguasa Alam.
"Uts...!"
Srett! Srett! Pendidik Ulung hanya mengegoskan tubuh ke
samping seraya meloloskan senjata andalan yang be-
rupa sepasang pena. Kali ini tidak tanggung-tanggung lagi. Segera dikeluarkannya
jurus pamungkas 'Tulisan Maut Dewa Kayangan' yang dipadukan dengan totokan
'Jari Putih Dewa Kayangan'!
Penguasa Alam tersenyum dingin. Dilihatnya,
Pendidik Ulung mulai menggurat-guratkan kedua
ujung penanya di udara membentuk huruf-huruf gaib
ciptaannya sendiri. Pena di tangan kanan menggurat-
gurat lembut dari kanan ke kiri. Pena di tangan kiri menggurat-gurat lembut dari
kiri ke kanan. Dan....
Ciit...! Ciiittt...!
Seketika terdengar suara mencicit yang teramat
memekakkan telinga.
Penguasa Alam yang semula memandang remeh
jurus yang dikeluarkan Pendidik Ulung, sejenak
menghentikan serangan. Kini sepasang matanya berki-
lat-kilat penuh kagum melihat jurus hebat yang tengah dikeluarkan Pendidik
Ulung. Maka saat itu juga ajian
'Tangkal Petir'-nya makin dilipatgandakan.
"Hea...!"
Tiba-tiba Pendidik Ulung mempertemukan kedua
ujung senjata di tangannya di udara. Seketika tampak selarik sinar putih yang
menyilaukan mata telah melesat menyerang tubuh Penguasa Alam!
Bukkk! Penguasa Alam menggereng hebat. Suaranya yang
keras dan berat seakan-akan ingin merobek angkasa
raya. Sedang tubuhnya pun kontan terbanting keras di
tanah, begitu selarik sinar putih tadi mengenai da-
danya. Namun berkat aji 'Tangkal Petir', kembali tubuh
Penguasa Alam tidak terluka! Jangankan terluka, ter-
gores kulit tubuhnya pun tidak! Bahkan begitu bang-
kit, lelaki bertubuh raksasa itu segera menyerang ganas. Memang sungguh hebat
bukan main aji 'Tangkal
Petir' milik Penguasa Alam. Hal ini diam-diam mem-
buat hati Raja Racun dan kawan-kawan mulai ciut.
Apalagi menyadari kalau dua dari mereka telah terbu-
jur kaku menjadi mayat Entah sudah berapa kali me-
reka mencari akal untuk menundukkan Penguasa
Alam. Namun anehnya lelaki tinggi besar itu tetap saja sulit ditundukkan. Malah
kini serangan-serangan baliknya kocar-kacir.
"Bedebah! Kau belum mau juga menunjukkan di
mana letaknya harta karun. Penguasa Alam"!" bentak Raja Maling garang.
"Jangan banyak bacot! Kau tidak layak menyebut-
nyebut harta karun milikku! Kematian macam apa
yang kau inginkan sekarang! Biar aku lebih mudah
mengirim nyawa busukmu ke dasar neraka!" bentak Penguasa Alam sambil terus
menyerang hebat.
"Bagus! Kau memang hebat, Penguasa Alam! Tapi
kalau kau masih bersikeras tidak mau menunjukkan
letak harta karun, apa kau pikir kau sanggup meng-
hadapi aji 'Sirep Sukma'-ku he"!" balas Raja Maling.
"Keluarkanlah semua kepandaianmu! Aku tidak
takut! Siapa pun juga yang berani mengusik harta ka-
run milikku, berarti mati!" dengus Penguasa Alam tak kalah gertak.
"Betul! Apalagi meminta hak yang bukan miliknya!
Termasuk juga kau, Penguasa Alam! Kau pun tak pan-
tas memiliki harta karun itu!"
Tiba-tiba terdengar sebuah sahutan yang entah
dari mana datangnya.
*** 7 Penguasa Alam, Raja Maling, Raja Racun, dan Ra-
ja Golok terperangah kaget. Seketika sepasang mata
mereka melotot ke arah datangnya suara. Tak jauh di
hadapan mereka kini berdiri seorang pemuda beram-
but gondrong yang memiliki rajahan bergambar ular
putih kecil di dada yang terbungkus rompi bersisik
warna putih keperakan. Celananya pun bersisik warna
putih keperakan. Dia tidak lain adalah murid Eyang
Begawan Kamasetyo yang bergelar Siluman Ular Putih!
"Setan alas! Tak tahunya hanya seekor monyet ke-sasar!" dengus Penguasa Alam
jengkel. Namun rupanya tidak demikian halnya para utu-
san Pangeran Pemimpin. Dari raut wajah jelas mereka
sangat terkejut melihat kemunculan murid Eyang Be-
gawan Kamasetyo itu. Terutama, Raja Racun, Raja Go-
lok, dan Raja Maling yang sedikit pernah merasakan
kehebatan Siluman Ular Putih. Sedang Pendidik Ulung
hanya tegak kaku mirip orang linglung. Sedikit pun tidak terpengaruh oleh
kemunculan Siluman Ular Putih
yang sempat dikenalnya. Malah sepasang matanya
yang mencorong tajam memperhatikan Penguasa
Alam, karena memang diperintahkan untuk membu-
nuh lelaki bertubuh raksasa itu.
"Hm...! Jadi rupanya benar. Pasti ada apa-apanya dengan orang tua di hadapanku.
Kalau tidak salah, dalam tubuhnya telah mengeram satu hawa racun yang
mempengaruhi jalan pikirannya. Entah hawa racun
apa. Dan kalau aku ingin menyelamatkannya sekaligus
merebut Lukisan Darah di tangan Raja Maling, aku ha-
rus berlaku hati-hati. Kalau perlu, harus menghindari bentrokan dengan Penguasa
Alam. Kulihat tokoh sesat
dari Gunung Kembang memiliki aji 'Tangkal Petir' yang sangat dahsyat...," gumam
Siluman Ular Putih dalam hati. Dan mendengar bentakan Penguasa Alam tadi,
Siluman Ular Putih hanya tersenyum-senyum nakal.
Namun otaknya yang cerdik terus bekerja, bagaimana


Siluman Ular Putih 13 Penguasa Alam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

caranya agar Penguasa Alam tetap menghadapi para
utusan Pangeran Pemimpin.
"Selamat bertemu kembali, Raja Racun, Raja Go-
lok, dan kau Raja Maling! Apa kabar" Apa kalian ber-
maksud membuat onar di tempat ini" Pantas saja Pen-
guasa Alam tidak menyukai kedatangan kalian!" oceh Siluman Ular Putih cerdik.
"Tutup bacotmu, Bocah! Kau pun mau apa datang
kemari"! Mau merampas harta karun itu, kan"!" bentak Penguasa Alam garang.
"Sabar, Penguasa Alam! Kukira kau sedikit lebih bermurah hati dibanding tiga
bangkotan tua itu! Aku
tidaklah selicik ketiga orang utusan Pangeran Pemim-
pin!" tangkis Siluman Ular Putih, seraya menunjuk Ra-ja Racun dan dua orang
kawannya. "Setan alas! Kau belum menjawab pertanyaanku,
Bocah! Mau apa kau datang kemari, he"!" hardik Penguasa Alam lagi garang.
Siluman Ular Putih hanya tersenyum. Lalu entah
kenapa, tangannya sudah menggaruk-garuk kepala.
"Aku tidak mau apa-apa. Tapi kalau kau ingin lihat apa yang akan kulakukan,
baiklah! Sekarang,
minggirlah sebentar! Atau kalau kau tidak ada kerjaan, boleh menghajar Raja
Racun dan Raja Golok yang
pongah itu. Terus terang, aku ada sedikit urusan den-
gan manusia gembur ini!" tuding Soma yang dikenal sebagai Siluman Ular Putih
pada Raja Maling.
Begitu habis kata-katanya, Siluman Ular Putih se-
gera berjalan mendekati Raja Maling. Tanpa sadar, lelaki gembur itu menyurutkan
langkah setindak ke be-
lakang. "Hayo, Penguasa Alam! Cepat hajar dua bangkotan tua itu! Biar aku mengurus
manusia gembur ini!" kata Soma, seraya menatap Penguasa Alam.
"Jangan banyak bacot, Bocah! Kau pun tak akan
lepas dari tangan mautku!" hardik Penguasa Alam.
Namun, akhirnya ia mau juga menuruti kata-kata Si-
luman Ular Putih.
"Iya, iya! Masalah urusanmu denganku gampang.
Asal, urus dulu dua bangkotan tua itu. Biar aku yang mengurus manusia gembur
ini. Nanti kalau sudah selesai, baru urusan kita diselesaikan," sahut murid
Eyang Begawan Kamasetyo sekenanya.
Habis berkata, perhatian Siluman Ular Putih pun
kembali tertuju pada Raja Maling.
"Ayo, Raja Maling! Kenapa melotot saja" Apa nya-limu sekarang sudah terbang"
Ah...! Kenapa mesti ta-
kut padaku" Hayo, maju! Aku ingin lihat, seperti apa sih kehebatan Raja Maling
yang telah berani mencuri
Lukisan Darah di kadipaten!" ejek Siluman Ular Putih memanas-manasi.
"Kunyuk gondrong! Kalau kami tidak sedang
mempunyai urusan besar, sudah pasti kuremukkan
batok kepalamu! Lekas enyah dari hadapanku!" bentak Raja Maling, menutupi rasa
gentarnya. Soma hanya tertawa kecil. Sementara saat itu,
Penguasa Alam sudah kembali bertarung hebat mela-
wan ketiga orang pengeroyoknya. Melihat hal ini Siluman Ular Putih tersenyum
senang. Ternyata, siasat
mengadu dombanya berjalan lancar.
"Memang sebenarnya aku malas berurusan den-
ganmu. Takut! Takut ketularan penyakit jahilmu. Mal-
ing" Hih...! Aku tak sudi jadi maling! Hayo, sekarang lekas serahkan barang
curianmu padaku, Biang Maling!" lanjut Soma.
"Hm...! Rupanya kau pun berminat memiliki Luki-
san Darah, Bocah! Jangan mimpi!"
"Ah...! Kau ini sebenarnya ngomong apa buang air sih" Kalau ngomong kok bau.
Tapi, kalau buang air
kok lewat mulut, hih!"
Bukan main marahnya Raja Maling mendengar
ejekan pemuda berjuluk Siluman Ular Putih kali ini. Ia hanya sempat menggereng
penuh kemarahan, sebelum
akhirnya menyerang hebat dengan rantai baja di tan-
gan. "Jahanam! Mulutmu terlalu lancang, Bocah! Makanlah rantai bajaku!" bentak
Raja Maling tak dapat lagi mengendalikan amarah.
Sambil masih memegang Lukisan Darah di tangan
kiri, Raja Maling mengayunkan rantai baja di tangan
kanan dari atas ke bawah. Dengan cara demikian Si-
luman Ular Putih hendak dirobohkannya hanya dalam
satu gebrakan. "Jangan terlalu bernafsu, Raja Maling! Awas jaga kumismu! Nanti brondol baru
tahu," ejek Siluman Ular Putih.
Siluman Ular Putih terus memanas-manasi sambil
berkelebat cepat ke sana kemari. Dan dengan gerakan
yang cepat luar biasa, tahu-tahu tangan kirinya telah berkelebat ke arah kumis
Raja Maling. Bret! "Auuhh...!"
Raja Maling meraung kesakitan saat kumisnya di-
buat brondol oleh Soma. Seketika darah segar menetes dari kumisnya yang tercabut
paksa sebagian. Dan di
saat Raja Maling terperangah kaget, tahu-tahu Silu-
man Ular Putih telah merampas Lukisan Darah di tan-
gan kirinya. Raja Maling menggeram penuh kemarahan.
Soma hanya tertawa bergelak.
"Ah...! Sekarang kau kelihatan lucu sekali, Raja Maling! Kumismu brondol
sebagian! Kau.... Kau kini
mirip benar orang-orangan yang dipajang di tengah
sawah!" ejek Soma sambil menuding muka Raja Maling. Bukan main gusarnya Raja
Maling saat itu. Belum pernah ia mendapat hinaan demikian rupa. Apalagi,
oleh seorang pemuda bau kencur seperti itu.
"Jahanam...! Belum puas aku kalau belum mere-
guk darah busukmu, Bocah! Sekarang, terimalah ke-
matianmu hari ini dengan aji 'Sirep Sukma'-ku!"
Mendadak Raja Maling menangkupkan kedua te-
lapak tangan di depan dada. Kedua bibirnya pun ber-
kemik-kemik membaca mantra aji 'Sirep Sukma'. Se-
lang beberapa saat, Siluman Ular Putih merasakan tu-
buhnya lemas sekali. Kelopak matanya terasa berat,
seolah mendapat serangan kantuk luar biasa! Bahkan
kini mulai limbung tak bertenaga.
"Celaka! Kenapa tiba-tiba mataku jadi berat seka-li" Ah...! Jangan-jangan tua
bangka itu mulai menge-
rahkan aji 'Sirep Sukma'!" gumam Soma berusaha se-kuat tenaga melawan kekuatan
gaib yang tiba-tiba
menyerang dirinya. "Hm...! Mumpung kekuatan gaib Raja Maling belum bertambah,
kukira aku harus segera mengerahkan ilmu sihirku yang kupelajari dari Raja
Penyihir...."
Maka tanpa banyak pikir panjang lagi Siluman
Ular Putih segera mengerahkan kekuatan batin. Tam-
pak kedua bibirnya mulai berkemik-kemik menyerang
balik kekuatan gaib Raja Maling.
"Semprul! Kau menggunakan ilmu sulap macam
apa, he"! Kenapa mataku jadi mengantuk begini" Kau
curang, Raja Maling! Jangan-jangan malah kau yang
ku-rang tidur! Hayo, buruan tidur! Kulihat matamu
mengantuk sekali!"
Hebat bukan main getaran suara murid Eyang Be-
gawan Kamasetyo yang mengandung kekuatan sihir,
langsung menyerang balik kekuatan gaib Raja Maling.
Seketika tubuh Raja Maling jadi bergetar hebat. Tu-
buhnya limbung tak bertenaga! Kedua kelopak ma-
tanya tiba-tiba merasakan kantuk luar biasa. Lelaki ini berusaha mengerahkan
kekuatan gaibnya. Namun
sayang, yang keluar hanya keluhan kecil. Ia tak sanggup melawan getaran kekuatan
ilmu sihir Siluman
Ular Putih. Selang beberapa saat, perlahan-lahan tubuh Raja
Maling luruh ke tanah dan tidur mendengkur!
Soma tertawa bergelak, puas melihat kehebatan
ilmu sihirnya. "Ah...! Kau ini bagaimana sih, Raja Maling"! Tadi menyuruhku tidur. Sekarang,
malah kau yang ngorok!
Sudah, ah! Sana kalau mau ngorok! Jangan di sini!"
ejek Soma, seraya menendang tubuh Raja Maling.
Bukkk! Tanpa ampun, tubuh Raja Maling langsung men-
celat tinggi ke udara dan jatuh bergulingan dari puncak Gunung Kembang tanpa
sedikit pun mampu men-
geluarkan erangan!
Siluman Ular Putih menatapi Lukisan Darah di
tangannya penuh kagum. Lalu tubuhnya berkelebat
cepat. Begitu sampai di tempat yang aman, disembu-
nyikannya Lukisan Darah di sebuah semak-semak
tebal. Sehingga tak seorang pun yang akan menyangka
kalau di tempat itu terdapat benda berharga.
Selesai dengan pekerjaannya, Siluman Ular Putih
kembali berkelebat ke tempat semula. Dan baru saja
kakinya berhenti melangkah....
"Bedebah! Kau telah membunuh Raja Maling, Bo-
cah!" bentak Raja Racun yang sempat melihat perbua-tan Soma tadi.
*** Entah kenapa Siluman Ular Putih malah mengga-
ruk-garuk kepala. Senyum nakalnya pun tak tersungg-
ing di bibir. "Siapa yang membunuh" Aku tidak membunuh.
Aku hanya sebal melihat Raja Maling ngorok di sini.
Lalu kutendang saja dia," kilah Siluman Ular Putih pu-ra-pura bersikap bodoh.
Raja Racun mengeretakkan geraham penuh kema-
rahan. "Jahanam...! Kau harus bertanggung jawab atas
tewasnya Raja Maling, Bocah!" geram Raja Racun.
Sekali memijakkan kakinya ke tanah, tahu-tahu
Raja Racun telah meninggalkan pertarungannya den-
gan Penguasa Alam. Lalu, mantap sekali kakinya men-
darat beberapa tombak di depan Siluman Ular Putih.
Dan saat melihat sikap Siluman Ular Putih yang pura-
pura berlagak pilon, Raja Racun tidak kuat menahan
gejolak amarahnya.
"Kau memang patut modar di tanganku, Bocah!
Terimalah aji 'Telapak Tangan Kelabang Hitam'-ku ini!
Heaaa...!" bentak Raja Racun garang.
Tanpa banyak cakap lagi, Raja Racun segera
menghentakkan kedua tangannya ke depan melontar-
kan pukulan maut 'Telapak Tangan Kelabang Hitam'.
Seketika melesat dua larik sinar hitam legam dari kedua telapak tangannya yang
disertai gemuruh angin
dingin, siap melabrak tubuh Siluman Ular Putih.
Melihat datangnya serangan maut, Siluman Ular
Putih pun tidak berani bersikap seenaknya lagi. Kedua telapak tangannya yang
telah berubah jadi putih terang penuh dengan tenaga 'Inti Bumi' segera
didorongkan ke depan.
Wesss! Wesss! Blammm...! Terdengar satu ledakan dahsyat di udara begitu
dua kekuatan dahsyat beradu. Puncak Gunung Kem-
bang kontan bergetar hebat seolah ada gempa! Tanah
di seputar tempat pertarungan pun berhamburan ting-
gi ke udara! Tubuh Raja Racun sendiri pun terpental beberapa
tombak ke belakang. Parasnya pias! Tampak darah se-
gar membasahi sudut-sudut bibir pertanda telah men-
derita luka dalam.
Sementara tubuh Siluman Ular Putih hanya tersu-
rut beberapa tindak ke belakang. Namun sedikit pun
tidak membahayakan bagi keselamatan murid Eyang
Begawan Kamasetyo.
"Bajingan! Kau selalu menghalang-halangi mak-
sudku, Bocah! Demi iblis aku bersumpah akan mem-
bunuhmu!" dengus Raja Racun penuh kemarahan.
Siluman Ular Putih hanya tersenyum menggoda.
Mulutnya dimoncongkan ke depan mengejek Raja Ra-
cun. "Manusia-manusia berhati ular macammu me-
mang patut kubasmi, Raja Racun! Enyahlah ke tempat
asalmu di dasar neraka!" desis Soma tak kalah gertak.
Kedua telapak tangan Siluman Ular Putih yang
berwarna putih berang kembali didorongkan ke depan.
Seketika kembali meluruk dua larik sinar putih terang dari kedua telapak
tangannya. "Hup!"
Blarrr...! Raja Racun menggulingkan tubuhnya ke samping
hingga pukulan tenaga 'Inti Bumi' menghantam batu
sebesar gajah di belakangnya hingga hancur berkep-
ing-keping! Kalau saja Raja Racun sedikit terlambat, bukan mustahil tubuhnyalah
yang akan hancur!
Hal ini tentu saja makin membuat nyali Raja Ra-
cun menciut. Apalagi saat itu, Penguasa Alam tampak
masih sanggup meladeni gempuran-gempuran kedua
orang pengeroyoknya dengan mudah. Malah berkali-
kali tubuh Pendidik Ulung dan Raja Golok dibuat jum-
palitan ke sana kemari.
Raja Racun gusar bukan main. Kalau keadaan itu
dibiarkan lebih lama, bukan mustahil Pendidik Ulung
dan Raja Golok akan tewas di tangan Penguasa Alam.
Sedang hal itu tidak diinginkannya. Maka melihat keadaan yang kurang
menguntungkan, ia merasa harus
bertindak. "Teman-teman! Kita harus melaporkan kejadian
ini pada Pangeran Pemimpin! Kita tak mungkin mene-
ruskan pekerjaan ini selama masih ada kunyuk gon-
drong itu!" teriak Raja Racun.
"Ya ya ya...! Begitu juga boleh! Daripada nyawa kalian melayang percuma di
tempat ini!"celoteh Soma menimpali.
Raja Racun hanya melototkan matanya. Lalu
hanya sekali menjejak tanah, tahu-tahu tubuh tinggi
kurusnya telah berkelebat cepat menuruni puncak
Gunung Kembang.
Di tempat lain, Pendidik Ulung dan Raja Golok se-
dikit mendapat kesulitan saat hendak meninggalkan
tempat pertarungan. Karena Penguasa Alam terus
men-desak. Namun setelah Pendidik Ulung dan Raja
Golok melontarkan pukulan jarak jauh mereka dapat
meninggalkan tempat pertarungan walau harus men-
derita luka dalam cukup parah.


Siluman Ular Putih 13 Penguasa Alam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan begitu melihat sosok Pendidik Ulung berkele-
bat cepat menuruni puncak Gunung Kembang, Silu-
man Ular Putih yang semula tidak ada niat mengejar
karena lebih mengutamakan merebut harta karun dari
tangan Penguasa Alam, tiba-tiba telah berkelebat ce-
pat. Langsung dihadangnya Pendidik Ulung. Namun
sayangnya lelaki tua itu malah segera menghentakkan
kedua tangannya ke arah Siluman Ular Putih.
Soma menggerutu kesal, saat melihat dua larik si-
nar putih menyilaukan mata melesat dari kedua tela-
pak tangan Pendidik Ulung. Dengan gerakan menga-
gumkan tubuhnya segera dibuang ke samping. Dan
saat selamat dari pukulan jarak jauh, Soma melihat
bayangan Pendidik Ulung dan Raja Golok telah meng-
hilang entah ke mana.
Siluman Ular Putih kembali menggerutu kesal.
Namun belum sempat bertindak, mendadak....
"Sekarang giliranmu, Bocah! Kau harus modar di
tanganku!"
*** 8 Siluman Ular Putih melengak kaget. Di hadapan-
nya kini telah berdiri tegak Penguasa Alam yang menatap beringas dengan sinar
mata berkilatan.
Soma hanya tersenyum. Sedikit pun hatinya tidak
gentar menghadapi kehebatan Penguasa Alam.
"Kukira aku pun harus berkata demikian. Kaulah
giliranku berikutnya. Sekarang, tunjukkan letak harta karun itu," ujar Siluman
Ular Putih. "Setan alas! Jadi, kau pun menginginkan harta
karun itu, Bocah"!" teriak Penguasa Alam garang.
"Bukan. Tepatnya, bukan aku. Aku hanya ingin
mengembalikan harta karun itu pada Kanjeng Adipati
Pleret." "Bagus! Kalau begitu majulah! Aku tak sabar lagi untuk segera meremukkan batok
kepalamu, Bocah!"
dengus Penguasa Alam sengit.
Lelaki bertubuh raksasa ini segera memutar-
mutar gada besi kuning di tangan kanannya, mencip-
takan angin kencang yang menyambar-nyambar kulit
tubuh Siluman Ular Putih.
Soma makin meningkatkan kewaspadaan. Ia tahu,
Penguasa Alam amat sakti. Untuk itu segera dikelua-
rkannya jurus andalan 'Terjangan Maut Ular Putih' begitu serangan Penguasa Alam
meluncur datang.
"Hea...!"
Dikawal bentakan nyaring, Penguasa Alam men-
gayunkan gada di tangan kanannya dari samping ka-
nan. Sementara, kaki kanannya pun siap pula men-
gancam iga Siluman Ular Putih.
"Hup...!"
Siluman Ular Putih sedikit merundukkan kepala.
Kemudian dengan gerakan cepat sekali dihindarinya
tendangan kaki Penguasa Alam, menggulingkan tu-
buhnya sambil bergerak demikian kedua tangannya
melepas patukan-patukan dahsyat.
Bukkk! Bukkk! Telak sekali Soma bisa mendaratkan patukan di
paha Penguasa Alam dua kali. Namun anehnya, justru
telapak tangannya yang merasa kesemutan. Kedua te-
lapak tangannya tadi seolah membentur tembok baja
yang kuat sekali. Jangankan meremukkan tulang pa-
ha. Membuat lecet kulit tubuhnya pun tidak. Malah
sekujur tubuh Penguasa Alam kini menyala. Dan he-
batnya lagi, Siluman Ular Putih merasakan satu geta-
ran hebat saat Penguasa Alam balik menyerang.
Siluman Ular Putih meraung keras. Buru-buru
tubuhnya dibuang ke samping. Tanpa sadar, keringat
dingin telah membasahi sekujur tubuhnya.
"Jangkrik! Tak kusangka tubuh Penguasa Alam
mampu mengeluarkan satu getaran hebat yang mam-
pu menyedot tenaga lawan! Hm...! Aku harus berhati-
hati sambil terus mencari titik kelemahannya...," gumam murid Eyang Begawan
Kamasetyo dalam hati.
Penguasa Alam tertawa bergelak. Wajahnya tam-
pak demikian garangnya.
"Jangankan bocah ingusan macam kau! Sepuluh
orang gurumu disuruh maju sekali pun, aku masih
sanggup menghadapi!" ejek Penguasa Alam. Saat itu pula gada di tangan kanannya
diayunkan kesana kemari seirama gerakan tubuh Siluman Ular Putih yang
terus berlompatan menghindar.
Diam-diam Siluman Ular Putih mengeluh dalam
hati. Rasanya ia makin kesulitan menghindari gempu-
ran-gempuran Penguasa Alam yang kian mengganas.
Apalagi untuk menemukan titik kelemahannya. Silu-
man Ular Putih kini benar-benar kewalahan bukan
main. Entah sudah berapa kali tubuhnya dibuat jatuh
bangun oleh amukan gada di tangan Penguasa Alam.
"Modar! Makanlah, gadaku ini, Bocah!"
Wuttt...! Tiba-tiba Penguasa Alam mengayunkan gada dari
samping dengan menggunakan gerak tipu yang bagus
sekali. Soma yang mengira lelaki tinggi besar itu akan menendang tubuhnya,
mendadak terperangah kaget
ketika melihat gada yang meluruk begitu cepat. Silu-
man Ular Putih berusaha menghindar sebisa mungkin.
Tapi sayang gerakannya terlambat. Maka tanpa ampun
lagi.... Bukkk! "Aaakh...!"
Siluman Ular Putih memekik dahsyat. Kepalanya
kontan terdongak akibat hantaman gada Penguasa
Alam pada bagian punggungnya. Karena tidak tahan
lagi, tubuhnya pun kontan jatuh bergulingan.
Penguasa Alam terus mengejar dengan sabetan-
sabetan gada di tangan. Hantaman-hantaman gadanya
yang tak menemui sasaran hanya membuat tanah di
puncak Gunung Kembang berhamburan tinggi di uda-
ra. Namun itu tidak digubrisnya. Tubuhnya terus saja berkelebat mengejar Siluman
Ular Putih dengan ayunan gadanya.
"Sontoloyo! Kalau begini terus caranya aku bisa cepat modar!" keluh murid Eyang
Begawan Kamasetyo kebingungan melihat kesaktian Penguasa Alam.
Namun untuk beberapa saat Siluman Ular Putih
masih sanggup bertahan dengan terus bergulingan
menghindar. Hingga pada satu kesempatan, akhirnya Siluman
Ular Putih dapat keluar dari tekanan-tekanan seran-
gan-serangan Penguasa Alam. Dan saat itu pula, sege-
ra dikeluarkannya senjata andalan yang berupa Anak
Panah Bercakra Kembar.
Sesuai namanya, senjata pemberian Eyang Bega-
wan Kamasetyo itu memang berupa anak panah. Na-
mun bentuknya tidaklah lazim seperti anak panah ke-
banyakan. Bagian ujung runcingnya melengkung ke
atas, membentuk kepala ular yang di kanan-kirinya
terdapat dua cakra kembar terbuat dari baja murni.
Sedang pada bagian batang anak panah, hampir se-
muanya berbentuk badan ular yang dihiasi beberapa
lubang mirip lubang suling.
Dan begitu Siluman Ular Putih mengerahkan te-
naga dalam, mendadak sekujur tubuhnya terasa jadi
ringan sekali. Tenaga dalamnya pun bertambah bebe-
rapa kali lipat!
"Kau memang hebat, Penguasa Alam! Tak percu-
ma kau menyandang gelar itu. Tapi sayang, kela-
kuanmu bobrok! Kau rampas kekayaan kadipaten
hanya untuk kepentingan pribadi! Sungguh memalu-
kan sikapmu ini, Penguasa Alam!" ejek Siluman Ular Putih begitu mendapatkan
kesempatan mencari napas.
Pemuda ini kini telah siap menanti serangan.
"Jangan banyak bacot! Kematian sudah di depan
mata, pakai berkhotbah lagi!" hardik Penguasa Alam.
Gada besi kuning di tangan kanan Penguasa Alam
kembali bergerak-gerak mengerikan siap menghantam
tubuh lawan. Dan kini Siluman Ular Putih tak segan-
segannya untuk segera mengeluarkan jurus 'Ular
Kembar Mengejar Mangsa'. Kedua telapak tangannya
pun kini telah berubah jadi merah menyala penuh te-
naga 'Inti Api'
"Keluarkanlah semua kepandaianmu, Bocah! Kau
tetap tidak akan mampu mengalahkanku!" ejek Penguasa Alam.
Habis mengejek, Penguasa Alam segera menge-
rahkan kekuatan tenaga dalamnya setinggi mungkin,
hingga membuat otot-otot lehernya bertonjolan. Maka-
seketika tangan kirinya telah berubah jadi kuning dengan bau busuk menusuk
hidung. "Kau lihat pukulan apa ini, Bocah" Dengan puku-
lan 'Belatung Kuning' inilah aku akan membuat nya-
wamu meregang! Hea...!"
Diiringi teriakan nyaring, Penguasa Alam segera
mendorongkan telapak tangan kirinya ke depan. Seke-
tika melesat selarik sinar kuning dari telapak tangan kirinya.
Siluman Ular Putih sendiri pun tidak mau tang-
gung-tanggung lagi. Begitu melihat datangnya seran-
gan, segera dilontarkannya senjata anak panahnya ke
depan. Bersamaan itu, segera pula dilepaskannya pu-
kulan tenaga 'Inti Api' untuk memapak.
Wesss! Wesss! Blaammm...! "Aaakh...!"
Siluman Ular Putih memekik menyayat. Tubuhnya
kontan terpental ke belakang akibat bentrokan tadi.
Seketika parasnya berubah seperti kapas pertanda
mengalami luka dalam.
Sementara, melihat lesatan anak panah yang
mendahului serangan Siluman Ular Putin tadi, Pengu-
asa Alam hanya tertawa bergelak. Apalagi, ketika melihat hasil serangannya
barusan. Dan dengan sedikit
menggerakkan gada di tangan kanan, senjata anak
panah Siluman Ular Putih pun melenceng ke samping.
"Bocah bau kencur! Terimalah kematianmu hari
ini!" Sambil tertawa bergelak, Penguasa Alam siap meremukkan batok kepala
Siluman Ular Putih dengan
gada di tangan. Sedikit pun tidak dipedulikannya keadaan sekitar. Padahal, saat
itu senjata Anak Panah
Bercakra Kembar yang tadi melenceng kini telah me-
mutar balik. Bahkan kembali menyerang tubuh Pen-
guasa Alam dengan kecepatan luar biasa!
Di tempatnya, Siluman Ular Putih sudah terlihat
parah. Sulit rasanya menghindari hantaman gada di
tangan Penguasa Alam. Apalagi dalam jarak demikian
hebat. Namun ketika dilihatnya senjata Anak Panah
Bercakra Kembar kembali menyerang Penguasa Alam,
diam-diam murid Eyang Begawan Kamasetyo ini gem-
bira bukan main.
Clap! Seperti yang diduga, senjata anak panah Siluman
Ular Putih ternyata memang menancap di punggung
Penguasa Alam. Namun lagi-lagi satu hal aneh terjadi.
Tubuh Penguasa Alam langsung menyala begitu pung-
gungnya terhantam. Sedangkan Anak Panah Bercakra
Kembar kembali terpental balik. Siluman Ular Putih
benar-benar tidak habis pikir melihat senjata pusa-
kanya tidak mampu menembus kulit tubuh Penguasa
Alam. "Edan! Tak kusangka demikian hebatnya aji
'Tangkal Petir' milik Penguasa Alam! Mungkin hanya
dengan ajian 'Titisan Siluman Ular Putih' sajalah aku dapat menundukkannya...,"
puji Soma dalam hati seraya menangkap kembali senjata pusakanya yang ter-
pental ke arahnya.
Selang beberapa saat, tiba-tiba sekujur tubuh mu-
rid Eyang Begawan Kamasetyo, telah diselimuti asap
putih tipis. Sehingga kini bayangan tinggi kekarnya tidak kelihatan sama sekali!
Dan ketika asap putih tipis yang menyelimuti tubuh Soma hilang tertiup angin,
maka seketika itu....
"Ggggeeerrr...!"
*** Sepasang mata merah milik Penguasa Alam kon-
tan berkilat-kilat penuh keheranan. Ternyata, sosok
murid Eyang Begawan Kamasetyo kini telah menjelma
menjadi seekor ular putih sebesar pohon kelapa den-
gan taring-taringnya yang mengerikan!
"Si... Siluman Ular Putih...!" desis Penguasa Alam penuh takjub.
Namun, keterkejutan Penguasa Alam hanya se-
bentar. Setelah dapat menguasai perasaan, tawanya
pun berkumandang.
"Keluarkanlah semua kepandaianmu, Bocah! Se-
dikit pun aku tidak gentar menghadapi ular jejadian-
mu!" leceh Penguasa Alam.
Ular raksasa di hadapan Penguasa Alam mengi-
bas-ngibaskan ekornya kesana kemari, membuat de-
bu-debu beterbangan. Sedang sepasang matanya yang
mencorong terus memperhatikan Penguasa Alam ta-
jam. "Ggggeeerrr...!!!"
Tiba-tiba ular putih jelmaan Soma mengeluarkan
gerengan hebat yang menggetar-getarkan puncak Gu-
nung Kembang. Lalu seketika sosok panjangnya mele-
sat cepat menerjang.
Wesss! Angin kencang berkesiur menyambar-nyambar
kulit tubuh Penguasa Alam ketika mulut Siluman Ular
Putih menganga lebar, menampakkan langit-langit mu-
lutnya yang berwarna merah semangka. Taring-
taringnya yang berkilauan tampak demikian mengeri-
kan, seolah siap memangsa tubuh Penguasa Alam. Be-
lum lagi kibasan-kibasan ekornya yang mampu meme-
cahkan batu sebesar gajah!
Melihat datangnya serangan, Penguasa Alam
hanya mendengus. Secepatnya tubuhnya sedikit diges-
er ke samping. Dan tiba-tiba, gada di tangannya


Siluman Ular Putih 13 Penguasa Alam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghantam tubuh ular raksasa itu.
Bukkk! Bukkk! Dua kali gada di tangan Penguasa Alam mendarat
telak. Siluman Ular Putih menggeliat hebat sebelum
akhirnya jatuh berdebam ke tanah. Debu-debu kontan
membubung tinggi, menutupi sebagian sosok ular rak-
sasa itu. "Ha ha ha...!"
Penguasa Alam kembali mengumbar suara tawa.
Namun mendadak terhenti kala melihat sepasang mata
mencorong berwarna merah menyala milik Siluman
Ular Putih yang demikian mengerikan di balik gulun-
gan debu yang membubung tinggi! Dan belum sempat
lelaki tinggi besar itu bertindak, tahu-tahu sosok pan-
jang Siluman Ular Putih kembali menerjang hebat dis-
ertai kibasan ekornya.
Bukkk! Seketika tubuh Penguasa Alam menyala meski
sempat terbanting keras ke tanah. Namun sedikit pun
ia tidak mengalami luka berarti! Malah sebaliknya, Siluman Ular Putih-lah yang
meraung hebat seolah-olah
ingin memecah angkasa raya! Sosoknya yang besar
panjang pun tampak bergetar hebat, merasakan geta-
ran aneh yang datangnya dari dalam tubuh Penguasa
Alam! "Ggggeeerrr...!"
Siluman Ular Putih mengibas-ngibaskan ekornya
demikian rupa. Lalu kembali diterjangnya Penguasa
Alam hebat. Seperti biasa, ekornya pun digerakkan
demikian rupa. Namun kali ini gerakannya bukan lagi
ingin menghantam, melainkan ingin melibat tubuh
Penguasa Alam. Plekkk! Tubuh Penguasa Alam kini terlilit tubuh meman-
jang Siluman Ular Putih. Semakin lama lilitannya ma-
kin mengencang. Sementara moncongnya yang men-
ganga lebar tak ampun lagi segera mencaplok kepala
Penguasa Alam! Krakkk! Telak sekali taring-taring runcing Siluman Ular
Putih melumat kepala Penguasa Alam. Namun apa
yang terjadi berikutnya sungguh membuat Siluman
Ular Putih mengejang hebat. Kilatan cahaya merah da-
ri tubuh Penguasa Alam langsung masuk ke dalam tu-
buh ular raksasa ini.
"Grrr...!"
Siluman Ular Putih menggereng laksana terkena
sambaran kilat. Perlahan-lahan tubuhnya melorot.
Dan begitu menyentuh tanah, seketika sosok panjang
Siluman Ular Putih itu pun kembali diselimuti asap
putih tipis, sehingga bayangannya tidak kelihatan sa-ma sekali!
Untuk beberapa saat, Penguasa Alam hanya me-
mandangi Siluman Ular Putih dengan kewaspadaan
tinggi. Gada besi kuning di tangan kanannya digeng-
gam erat-erat, siap menghadapi kemungkinan yang
bakal terjadi. Dan seketika sikap tegang Penguasa
Alam sirna saat samar-samar dari bidik asap putih terlihat sesosok pemuda
berambut gondrong dengan pa-
kaian rompi dan celana bersisik warna putih kepera-
kan. Ya, Soma kini tengah menggeletak tak berdaya!
Pingsan! Penguasa Alam tertawa bergelak. Kepalanya men-
dongak ke atas memandang angkasa raya. Bulan sepo-
tong tampak bersembunyi di balik awan hitam, seolah
takut menghadapi apa yang akan terjadi.
"Ha ha ha...! Rupanya tidak percuma aku menda-
pat gelar Penguasa Alam! Siapa berani bertindak lan-
cang padaku, berarti mati!" teriak Penguasa Alam bergema di angkasa raya. Tampak
dadanya bergerak tu-
run naik dengan kedua tangan saling bertolak ping-
gang. Pongah sekali sikapnya.
Selang beberapa saat, Penguasa Alam kembali
memandangi tubuh pemuda gondrong di hadapannya
dengan seksama. Entah kenapa, mulutnya menggerutu
kesal. Lalu dengan lagak pongah, segera diangkatnya
gada besi kuningnya tinggi-tinggi.
"Terimalah kematianmu hari ini, Bocah! Heaaa...!"
Bummm...! Tanah dan debu di puncak Gunung Kembang kon-
tan terbongkar ke udara! Bagian yang terkena hanta-
man gada langsung berlubang besar!
Namun anehnya di dasar kubangan itu tidak
nampak lagi sosok tubuh murid Eyang Begawan Ka-
masetyo yang terkapar tak berdaya. Kecuali, hanya
gundukan-gundukan pasir!
Bukan main murkanya Penguasa Alam melihat ca-
lon korbannya hilang tak berbekas. Ia tadi memang
sempat melihat selarik sinar putih menggulung tubuh
Siluman Ular Putih, sebelum gadanya menghantam.
Namun betapa terkejutnya saat gadanya hanya meng-
hantam tanah! "Setan alas! Siapa berani bermain gila dengan
Penguasa Alam, he"!"
*** 9 Sepasang mata Penguasa Alam merah menyala
berkilat-kilat penuh kemarahan menjilati sosok yang
kini tegak di hadapannya yang telah menyelamatkan
Siluman Ular Putih. Entah dengan menggunakan ilmu
apa, ia tidak tahu.
Sosok di hadapan Penguasa Alam adalah seorang
lelaki tua renta berambut panjang memutih sebahu.
Tubuhnya kurus kering seakan tak bertenaga. Pa-
kaiannya hanya berupa kain putih panjang yang hanya
diselempangkan begitu saja. Namun menilik sepasang
matanya yang mencorong, entah kenapa Penguasa
Alam jadi ciut nyalinya!
"E.... Eyang.... Bromo!" desis Penguasa Alam, seolah tak percaya dengan
penglihatannya.
Sosok tua berpakaian kain putih yang dipanggil
Eyang Bromo hanya mengangguk-angguk, lalu meng-
geleng-gelengkan kepala. Kedua bibirnya berkemik-
kemik seolah-olah tidak mempedulikan Penguasa
Alam. Apalah artinya sebuah nama, kalau kita tak dapat menjaga harkat dan martabat.
Sebagaimana semestinya gunung dan lautan yang
selalu tegak pasrah menerima kodrat..
Lalu kenapa anak manusia mesti berlaku pongah!
Bukan main murkanya Penguasa Alam mendengar
sindiran lelaki tua yang merupakan tokoh nomor satu
di dunia persilatan yang jarang sekali menampakkan
diri. Dan konon bila Eyang Bromo telah menampakkan
diri di dunia persilatan bakal gempar! Semua orang
dunia persilatan percaya ini. Termasuk juga Penguasa Alam.
"Eyang Bromo...! Di antara kita tidak ada silang sengketa! Kenapa hari ini kau
mencampuri urusanku,
he"!" bentak Penguasa Alam berusaha menutupi ke-gentarannya.
Eyang Bromo hanya tersenyum arif. Sedikit pun
tidak tersinggung mendengar bentakan Penguasa Alam
barusan. "Rasa welas asih seseorang tidak akan membiar-
kan orang berlaku semena-mena. Kekuasaan mutlak
adalah ada pada Yang Maha Tunggal. Kenapa kau
hendak membunuh musuhmu yang tidak berdaya?"
ucap Eyang Bromo arif.
"Bedebah! Bicaramu kedengarannya enak di telin-
ga. Tapi, tetap saja kau ingin mencampuri urusanku!
Apa kau pikir aku takut menghadapimu, he"!" bentak Penguasa Alam.
"Tidak semestinya kau takut pada sesamamu. Me-
lainkan, takutlah pada apa yang kau perbuat di muka
bumi! Kukira kau sudah cukup malang melintang di
dunia persilatan. Kenapa kau tidak cepat-cepat kem-
bali pada kiblatmu?" tegur Eyang Bromo halus.
"Setan alas! Bicaramu terlalu petitak-petitik,
Orang Tua! Aku jadi ingin melihat, apakah ilmu silat-mu juga selihai lidahmu,
he"! Rasakan gada besiku!
Heaa...!" Disertai bentakan keras, Penguasa Alam segera
mengangkat gadanya tinggi-tinggi. Lalu dengan kekua-
tan tenaga dalam penuh, tiba-tiba gada di tangan ka-
nannya dihantamkan keras ke tubuh Eyang Bromo
yang sama sekali tak bergerak menghindar. Sehingga...
Blesss! Telak sekali gada di tangan Penguasa Alam meng-
hantam dada Eyang Bromo. Namun anehnya, sedikit
pun Eyang Bromo tidak mengalami cedera! Pukulan
gada besi kuning Penguasa Alam seolah menghantam
gundukan kapas yang teramat lembut.
Penguasa Alam melotot tak percaya dengan hati
cemas bukan main. Keringat dingin mulai membasahi
kening. Dan lebih hebatnya lagi, perlahan-lahan tenaga dalamnya terus tersedot
ke dalam tubuh Eyang Bromo.
Sehingga lama kelamaan tubuhnya lemas tak bertena-
ga! Kalau saja Eyang Bromo menghendaki, bukan
mustahil nyawa Penguasa Alam melayang saat itu ju-
ga. Untung saja lelaki tua arif itu buru-buru menyambar tubuh Siluman Ular
Putih. Seketika tubuhnya ber-
kelebat cepat meninggalkan puncak Gunung Kembang.
Hanya dalam beberapa kelebatan saja sosoknya telah
menghilang di balik kegelapan malam!
Sejenak Penguasa Alam diam membisu di tempat-
nya. Hanya sepasang matanya yang berkilat-kilat me-
nyimpan bara dendam.
"Keparat! Kali ini terpaksa aku menerima penghinaanmu, Eyang Bromo. Tapi, demi
iblis! Aku bersum-
pah akan menuntut balas penghinaanmu ini! Tunggu-
lah pembalasanku, Eyang Bromo!" geram Penguasa
Alam dengan geraham gemeletukkan menahan amarah
menggelegak. *** Siluman Ular Putih mengerjap-ngerjapkan kelopak
matanya pedih. Cahaya matahari siang terasa teramat
menusuk bola matanya.
"Ah...! Di manakah aku ini" Bukankah semalam
aku... pingsan sewaktu bertarung melawan Penguasa
Alam. Ah...! Jangan-jangan memang aku sudah di
alam baka" Tapi kenapa aku.... Augh...!"
Soma buru-buru mendekap dadanya kuat-kuat.
Dadanya tiba-tiba terasa nyeri bukan main sewaktu
mau beranjak bangun.
"Ah...! Rupanya aku masih di dunia! Tak mungkin orang mati dapat merasakan rasa
nyeri demikian hebat!" gerutu murid Eyang Begawan Kamasetyo dalam hati Selang
beberapa saat, perlahan-lahan si pemuda
mencoba bangun. Dengan agak susah payah, akhirnya
Soma dapat juga duduk bersila. Pertama-tama yang di-
lihatnya adalah sebuah air terjun yang dikelilingi tebing-tebing curam dengan
pohon-pohon rindang yang
batangnya sebesar dua kali lingkaran tangan manusia
dewasa. Tak jauh dari air terjun, tampak sesosok lelaki tua renta berkain putih
panjang sebagai penutup tubuhnya. Ia tengah khusuk bersemadi di atas batu pu-
tih pipih. Rambutnya yang panjang memutih dibiarkan ter-
gerai di bahu. Kedua bibirnya terus berkemik-kemik
sambil memilin-milin tasbih di tangan kanannya.
"Pasti orang tua itulah yang telah menyela-
matkanku. Sebab tidak mungkin aku sampai di tempat
ini begitu saja. Tapi... tapi.... Ah! Bukankah orang tua itu Eyang Bromo?"
sentak murid Eyang Begawan Ka-
masetyo dalam hati.
Siluman Ular Putih terus memperhatikan sosok
tua di atas batu pipih dekat air terjun.
"Ah, iya! Kenapa aku jadi pikun begini?" gumam Soma lagi seraya menepuk jidatnya
sendiri. Perlahan-lahan Soma mulai bangkit berdiri. Dide-
katinya tempat Eyang Bromo bersemadi, lalu duduk
berlutut di hadapannya.
"Terima kasih, Eyang. Lagi-lagi kaulah yang telah menyelamatkanku," ucap Soma
penuh hormat. Perlahan-lahan Eyang Bromo mulai membuka ke-
lopak matanya. Dalam jarak dekat seperti ini, paras
Eyang Bromo tampak demikian tua penuh kerut-
merut. Alis dan bulu matanya berwarna putih, pertan-
da usianya sudah sangat lanjut. Namun anehnya ia
masih memiliki gigi yang putih bersih!
"Bangunlah, Cucuku! Jangan terlalu berlebihan
padaku! Hanya pada Yang Maha Kuasa sajalah kau
patut berlebihan!" tegur Eyang Bromo dengan suara arif. "Iya, Eyang."
"Sekarang dengarlah, Cucuku! Ada sesuatu yang
ingin kuceritakan padamu!" ujar Eyang Bromo.
"Apa itu, Eyang?"
Eyang Bromo tidak langsung menjawab, melain-
kan hanya menghela nafasnya berulang-ulang.
"Apa kau tidak ingin tahu siapa Penguasa Alam
itu sebenarnya, Cucuku?" Eyang Bromo balik ber-
tanya. "Tentu, Eyang. Aku penasaran sekali. Siapa sih
dia sebenarnya" Dan mengapa pula aji 'Tangkal Petir'
miliknya sulit sekali dikalahkan?" tuntut Siluman Ular Putih penuh semangat.
"Aji 'Tangkal Petir' adalah satu ajian yang sangat hebat dan sulit sekali dicari
tandingannya. Ajian itu
dulu diciptakan oleh sahabatku yang bergelar Pelukis Sinting Tanpa Tanding. Dia
pulalah yang telah melukis Lukisan Darah yang telah raib dicuri orang."
"Ah...! Maaf, Eyang! Lukisan itu...."
"Jangan khawatir, Cucuku! Eyang sempat mem-
bawa lukisan itu kemari. Itu!" tukas Eyang Bromo lalu menunjuk Lukisan Darah
yang disandarkan di sebuah
batang pohon. "Sebenarnya, secara kebetulan aku me-lihatmu saat menyembunyikan
Lukisan Darah. Dan
setelah lukisan itu kuambil kembali aku mengikutimu, sampai akhirnya aku
menolongmu."


Siluman Ular Putih 13 Penguasa Alam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Terima kasih, Eyang. Ternyata kau pun sudi ber-susah payah membawa lukisan itu
kemari," ucap So-ma lega. "Tapi ngomong-ngomong, kenapa Penguasa Alam mengakui
kalau dirinyalah yang berhak atas harta karun itu?"
"Harta karun itu memang sebenarnya milik Pen-
guasa Alam."
Soma melengak kaget, mendengar penjelasan
Eyang Bromo. "Lho" Kok bisa begitu, Eyang" Apa bukan milik
kadipaten?" tanya Soma heran.
"Sabar, Cucuku! Nanti juga sampai ke sana. Sekarang, apa kau tidak ingin tahu
siapa Penguasa Alam?"
"Tentu, Eyang."
"Dia adalah murid sobatku yang berjuluk Pelukis Sinting Tanpa Tanding!"
"Hm... ya! Aku juga sudah menduga demikian,
Eyang. Tapi, kenapa Penguasa Alam melenceng dari ja-
lan kebaikan" Bukankah Pelukis Sinting Tanpa Tand-
ing itu dari golongan putih?"
"Pintar! Rupanya otakmu bekerja juga, Cucuku.
Penguasa Alam memang murid Pelukis Sinting Tanpa
Tanding. Tapi bukan berarti harus menempuh jalan
seperti jalan yang telah ditempuh gurunya. Sebab Pen-
guasa Alam pun memiliki pribadi sendiri. Meski men-
jadi murid sahabatku, ternyata diam-diam ia berguru
pada tokoh sesat yang bergelar Pengasuh Setan. Bah-
kan bukan itu saja. Penguasa Alam pun paling suka
menimbun harta kekayaan yang semuanya hasil dari
rampokannya!"
"Oh...!" desah murid Eyang Begawan Kamasetyo seraya mengangguk-anggukkan kepala.
"Lalu, kejadian selanjutnya bagaimana, Eyang?"
"Akhirnya sobatku tahu semua sepak terjang mu-
ridnya di luar. Pelukis Sinting murka. Ia terus mencari muridnya untuk dimintai
pertanggungjawaban. Tapi
sayang, muridnya tidak ditemukannya. Ia hanya me-
nemukan tumpukan harta karun yang disembunyikan
di suatu tempat. Sobatku marah bukan main. Lalu
harta karun milik muridnya yang murtad itu pun sege-
ra diboyong ke tempat lain. Sebelumnya sobatku me-
ninggalkan pesan pada si murid murtad agar datang
menemuinya. Singkat cerita, akhirnya Penguasa Alam
datang menemui gurunya. Lalu, terjadi pertarungan
hebat antara guru dan si murid murtad. Berkat ilmu
yang telah diajarkan Pengasuh Setan, akhirnya so-
batku dapat dikalahkan oleh muridnya sendiri. Mung-
kin karena mengira gurunya sudah tewas, Penguasa
Alam pun akhirnya meninggalkan begitu saja. Padahal
saat itu sobatku hanya pingsan walaupun lukanya cu-
kup parah. Dan sewaktu aku datang berkunjung, kuli-
hat sobatku tengah asyik melukis. Lagi-lagi lukisan
wanita tanpa busana! Itu memang satu kesukaan so-
batku. Dan lebih herannya lagi, ternyata lukisan itu dibuat dengan darah!
Darahnya sendiri lagi! Memang
sinting sahabatku itu. Tapi, apa boleh buat" Memang
itulah wataknya."
"Lalu, di manakah dia sekarang, Eyang?" potong Soma.
"Maksudmu... sobatku?"
"Iya, Eyang."
"Terakhir aku melihatnya di Goa Bedakah. Ka-
tanya ia ingin segera mencari Penguasa Alam dan Pen-
gasuh Setan untuk melampiaskan dendam kesumat-
nya." "Ya ya ya...! Sekarang aku mulai paham, Eyang.
Lalu, kenapa Lukisan Berdarah itu bisa berada di
ruang pusaka Kadipaten Pleret?"
"Akulah yang menyerahkannya pada Kanjeng Adi-
pati Pleret Tua. Sobatku memang menyuruhku men-
gantarkan lukisan itu pada Kanjeng Adipati. Katanya, lukisan itu berisi peta
tempat penyimpanan harta karun milik Penguasa Alam."
"Hm...! Sekarang jelas sudah persoalannya, Eyang.
Aku sekarang merasa mantap untuk menyelamatkan
harta karun itu pada pemiliknya yang sebenarnya,
yakni Kanjeng Adipati Pleret."
"Itu sudah menjadi kewajibanmu, Cucuku. Untuk
itu, kau harus berhati-hati berhadapan lagi dengan
Penguasa Alam. Sebab di samping memiliki kesaktian
yang hebat, ia pun palang pintu terakhir untuk men-
dapatkan harta karun," kata Eyang Bromo mengin-
gatkan. "Terus terang, itulah yang membuatku bingung,
Eyang. Ternyata sampai sekarang, aku belum juga
menemukan kelemahannya. Di samping itu aku juga
bingung, kenapa Penguasa Alam yang jadi palang pin-
tu terakhir untuk mendapatkan harta karun?"
"Mengenai kenapa Penguasa Alam yang menjadi
palang pintu terakhir, sebenarnya demikian, Cucuku.
Waktu sebelum terjadi pertarungan, sebenarnya so-
batku memang sedang melukis peta tempat disembu-
nyikannya harta karun milik Penguasa Alam. Namun
sebelum sempat lukisan itu selesai, Penguasa Alam
keburu datang. Dan sewaktu si murid murtad itu da-
pat mengalahkan gurunya, harta karunnya ingin sege-
ra didapatkan kembali dengan membawa peta dalam
lukisan yang belum jadi. Namun kenyataannya sampai
sekarang, Penguasa Alam belum mendapatkannya
kembali. Maka sekaranglah kesempatanmu untuk me-
nyelamatkan harta karun itu pada Kanjeng Adipati!
Sebab, harta kekayaan Penguasa Alam itu adalah hasil rampokan dari kekayaan
Kadipaten Pleret itu sendiri."
"Baiklah, Eyang. Aku memang ingin segera me-
nyerahkan harta karun itu pada Kanjeng Adipati. Tapi sayang, aku belum tahu
kelemahan Penguasa Alam,"
desah Soma. "Hm...! Sebenarnya kau dapat mengalahkannya,
Cucuku." Soma mendongak. Dipandanginya orang tua renta
di hadapannya dengan sinar mata tak percaya.
"Bagaimana mungkin, Eyang" Buktinya aku di-
buat babak belur begini. Untung saja Eyang segera datang menolong. Kalau tidak,
tak tahulah bagaimana
nasibku." "Aku mengerti, Cucuku. Tapi, bukankah kau pun
telah menguasai ilmu tenaga sakti 'Inti Kapas' yang telah diajarkan eyangmu di
Gunung Bucu, kan?"
"Hm...! Iya, Eyang. Memangnya kenapa?"
"Sebenarnya dengan menggunakan ilmu itu pun,
kau dapat mengalahkan Penguasa Alam. Hanya saja
aku sangsi. Sebab bila tenaga dalammu kalah jauh di
bawah Penguasa Alam, bukan mustahil malah kau
sendiri yang akan celaka."
"Lalu aku mesti bagaimana, Eyang?" tanya Soma putus asa.
"Hm...!" gumam Eyang Bromo sambil, mengelus-elus jenggotnya sebentar. "Seperti
kukatakan tadi. Beberapa hari lalu, aku sempat menemui sobatku, Pelu-
kis Sinting Tanpa Tanding di tempatnya Goa Bedakah.
Dia yang telah bertapa bertahun-tahun, kini sudah
mengetahui kelemahan ilmu Penguasa Alam. Menurut
sobatku, ada dua cara yang paling ampuh untuk men-
galahkan Penguasa Alam," ungkap Eyang Bromo setelah diam untuk beberapa saat.
"Apa itu, Eyang?" kejar Soma semangat. "Pertama.
Kau harus bisa mengulur waktu agar dapat bertarung
dengan Penguasa Alam hingga matahari terbit. Karena
di saat seperti itulah Penguasa Alam sudah tidak me-
miliki kesaktian apa-apa. Maka kau dapat membu-
nuhnya dengan mudah. Tapi, rasa-rasanya kau akan
mengalami kesulitan untuk melakukan cara yang per-
tama. Sebab biasanya, Penguasa Alam tidak pernah
malang melintang di dunia persilatan sampai terdengar kokok ayam jantan tiga
kali. Biasanya sebelum ayam
jantan berkokok tiga kali, ia sudah kembali ke tempat persembunyiannya."
"Ah...! Kenapa rumit begini, Eyang" Dan seper-
tinya tak masuk akal. Masa' sih semua kesaktian Pen-
guasa Alam akan punah bila matahari terbit?" keluh Soma seolah tak percaya.
"Itulah keanehan ilmu yang diajarkan Pengasuh
Setan. Demikian pula ilmu yang diajarkan sobatku. Il-mu itu pun akan punah bila
tubuh Penguasa Alam su-
dah ter-kena sinar matahari. Namun keuntungannya,
sesuai julukannya, Penguasa Alam tidak dapat mati
selama matahari belum terbit."
"Lalu cara yang kedua apa, Eyang?" tanya Soma tak lagi bergairah.
"Nah! Ini mungkin cara termudah bagimu, Cucu-
Para Ksatria Penjaga Majapahit 9 Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen Harimau Mendekam Naga Sembunyi 18
^