Pencarian

Penguasa Alam 3

Siluman Ular Putih 13 Penguasa Alam Bagian 3


ku. Kulihat senjatamu adalah anak panah. Ini cocok
sekali. Kau dapat membunuhnya dengan mudah, asal
tahu caranya."
"Caranya bagaimana, Eyang?" kejar murid Eyang
Begawan Kamasetyo mulai berbinar.
"Hm... begini! Kalau ingin membunuhnya, kau ha-
rus dapat menyerang Penguasa Alam dengan senjata
anak panah itu. Tapi syaratnya, ujung runcing anak
panahmu harus menyentuh tanah, sebelum menyen-
tuh tubuh Penguasa Alam. Kalau tidak, jangan harap
kau dapat membunuhnya. Kukira hanya cara itulah
yang paling mudah untuk melumpuhkan Penguasa
Alam, Cucuku. Lekas, kembali ke puncak Gunung
Kembang. Dan, temui Penguasa Alam!"
"Baiklah kalau memang Eyang menghendaki de-
mikian juga. Sekarang juga aku mohon pamit. Selamat
tinggal, Eyang!" ucap Siluman Ular Putih seraya hendak berkelebat.
"Eh... tunggu!" cegah Eyang Bromo, membuat So-ma menghentikan gerakannya.
"Ada apa lagi, Eyang?"
"Bawalah lukisan itu! Katanya kau ingin menye-
rahkan harta karun pada Kanjeng Adipati!" ujar Eyang Bromo, mengingatkan.
"Oh, iya! Hampir aku lupa!"
Soma menepuk jidatnya sendiri. Lalu dengan
langkah terburu, segera diambilnya Lukisan Darah
yang disandarkan di batang pohon tak jauh dari Eyang Bromo bersemadi. Dan
tubuhnya segera berkelebat cepat meninggalkan tempat Eyang Bromo.
Eyang Bromo hanya memperhatikan kepergian
murid Eyang Begawan Kamasetyo, lalu kedua kelopak
matanya pun kembali terpejam.
*** 10 Matahari pagi bersinar cerah. Awan putih meng-
hampar di angkasa biru. Angin seolah malas berhem-
bus, membuat suasana mayapada terasa lengang.
Hanya kicauan beberapa burung jalak yang beterban-
gan dari sebuah ranting ke ranting pohon satunya se-
sekali memecahkan kelengangan.
Di puncak Gunung Kelud embun pagi baru saja
tersibak pergi. Namun, masih menebar ke segenap
penjuru. Di sebuah padang yang cukup luas beberapa
orang berpakaian rimba persilatan tampak duduk me-
lingkari sebuah perapian yang telah padam. Melihat
pakaian mereka, jelas kalau orang-orang itu adalah
para pendekar yang akan mengadakan pertemuan di
puncak gunung ini. Wajah-wajah mereka menyiratkan
perasaan ingin tahu apa yang akan dibicarakan.
Seorang lelaki tua tak henti-hentinya selalu terse-
nyum menyambut kedatangan para pendekar yang ba-
ru datang. Usia lelaki itu kira-kira enam puluh tahun.
Meski usianya sudah tergolong senja, namun tubuh-
nya yang tinggi besar masih tampak segar dan kekar.
Itu dapat dilihat dari otot-otot lengannya yang bertonjolan. Wajahnya pun tidak
menunjukkan kalau
usianya sudah lanjut. Wajah itu tampak demikian ga-
gah dengan rambutnya yang gondrong dibiarkan terge-
rai di bahu. Pakaiannya putih bersih. Di pergelangan tangan kanan-kirinya
terdapat dua gelang akar bahar.
Lelaki itu dikenal sebagai Penguasa Gunung Kelud.
Namanya, Ki Rombeng.
Kali ini wajah Ki Rombeng tampak demikian mu-
ram. Dia baru saja menerima laporan tentang
pengkhianatan Pangeran Pemimpin terhadap Kadipa-
ten Pleret dari kedua orang murid kembarnya yang
bernama Ken Umi dan Ken Sari. Kedua orang gadis
cantik berpakaian ketat warna hijau muda itu kini duduk bersimpuh di sampingnya.
Ki Rombeng menggumam tak jelas. Jiwa kepende-
karannya merasa tergugah oleh pemberontakan Pange-
ran Pemimpin. Namun untuk beberapa saat, lelaki ini
hanya membungkam. Tak sepatah kata pun terucap
dari bibirnya yang berkemik-kemik. Padahal puluhan
orang pendekar yang berkumpul di tempat ini sudah
tak sabar menunggu jalannya pertemuan.
"Ki Rombeng! Kenapa tidak dimulai saja perte-
muan ini. Apa kau sedang menunggu tokoh-tokoh sak-
ti lainnya?" ujar seorang lelaki gagah berusia lima puluh lima tahun. Tubuhnya
tinggi tegap. Rambutnya di-
kuncir sebagian di belakang. Jubahnya besar berwarna kuning keemasan. Tokoh ini
dikenal sebagai Pendekar
Bintang Emas. Di samping Pendekar Bintang Emas, tampak pula
tokoh-tokoh tua dunia persilatan seperti Tabib Agung ataupun Raja Penyihir. Dan
mereka sepertinya sudah
tak sabar menunggu Ki Rombeng membuka suara.
Namun ternyata lelaki tua itu tetap membungkam. Ke-
palanya hanya menggeleng perlahan sewaktu menden-
gar pertanyaan Pendekar Bintang Emas tadi.
"Hm...! Aku mengerti, kau sedang menunggu
Eyang Bromo, Penyair Sinting, Pendekar Kilat Buana
maupun beberapa tokoh tua lainnya. Tapi, orang-orang yang kusebutkan tadi
memiliki watak aneh. Meski kita telah mengundang, belum tentu mereka sudi
berkunjung kemari. Mereka hanya akan keluar dari tempat
persembunyiannya bila dunia persilatan benar-benar
terancam!" tandas Pendekar Bintang Emas lagi tanpa diminta.
"Ya ya ya...! Aku tahu itu," desah Ki Rombeng akhirnya mau membuka suara seraya
mengangguk- angguk. "Lalu, bagaimana dengan Eyang Begawan
Kamasetyo sendiri" Apakah ia juga tidak sudi berkun-
jung ke puncak Gunung Kelud ini?"
"Apalagi tua bangka itu! Mana sudi ia turun gu-
nung" Anaknya saja masih berwujud ular putih. Ka-
tanya, ia tidak akan turun gunung sebelum putrinya
belum dapat menjelma kembali menjadi manusia bi-
asa." Kali ini yang menyahut adalah Raja Penyihir.
Orang tua ini memang pernah berkunjung ke puncak
Gunung Bucu. Memang, alasan Eyang Begawan Ka-
masetyo dimakluminya. Namun wataknya yang aneh
tetap saja menunjukkan kejengkelan hatinya melihat
tokoh-tokoh tua dunia persilatan banyak yang tidak
hadir di tempat ini.
"Baiklah! Kalau begitu, sebaiknya kita mulai saja,"
sahut Ki Rombeng akhirnya.
Sejenak Ki Rombeng mengedarkan pandangan ke
segenap penjuru, memperhatikan beberapa orang pen-
dekar yang menghadiri jalannya pertemuan.
"Mungkin saudara-saudara sekalian sudah dapat
menebak, apa yang akan kita bicarakan dalam perte-
muan para pendekar kali ini. Pembicaraan ini tidak
lain adalah mengenai pengkhianatan Raden Sembodo
yang kini bergelar Pangeran Pemimpin yang bermak-
sud akan merebut takhta Kadipaten Pleret. Apakah
saudara-saudara sekalian ada yang ingin melaporkan
sesuatu atau ingin mengusulkan sesuatu barangka-
li...?" Ki Rombeng sejenak menghentikan bicara. Sepasang matanya yang tajam
kembali menyapu semua
yang hadir di puncak Gunung Kelud satu persatu.
Namun tidak ada tanda-tanda kalau para pendekar
yang ingin angkat bicara.
"Tampaknya saudara-saudara sekalian tidak ada
yang ingin melapor maupun mengusulkan sesuatu.
Baiklah. Kalau begitu, sekarang aku ingin bertanya.
Tindakan apakah yang akan kita lakukan atas
pengkhianatan Pangeran Pemimpin?"
"Aku ada pendapat, Ki Rombeng!" teriak salah seorang pendekar yang duduk tepat
berhadapan dengan
Ki Rombeng, seraya mengacungkan telunjuk jarinya ke
atas. Dia adalah seorang pemuda tampan berusia dua
puluh lima tahun. Jubahnya berwarna biru muda.
Rambutnya dikuncir sebagian ke belakang. Tubuhnya
tinggi tegap. Tampak gagang pedangnya menyembul
dari balik punggung.
"Baiklah! Silakan kau mengeluarkan pendapatmu,
Manik Biru!" ujar Ki Rombeng.
"Begini...," buka pemuda tampan yang dipanggil Manik Biru sambil membetulkan
letak duduknya. "Kita semua sudah tahu kalau Pangeran Pemimpin bermaksud
memberontak Kadipaten Pleret. Dan kita semua
juga tahu kalau Pangeran Pemimpin pun mempunyai
banyak sekutu yang kebanyakan terdiri dari tokoh se-
sat dunia persilatan. Sebagai seorang pendekar, ten-
tunya aku ingin kita semua turut membantu Kadipa-
ten Pleret guna menumpas Pangeran Pemimpin. Teru-
tama sekali, menumpas sekutu-sekutunya! Begitulah
kiranya pendapatku, Ki Rombeng!"
"Baik, baik! Pendapatku pun demikian," ujar Ki Rombeng seraya mengangguk-angguk.
Lalu Ki Rombeng pun kembali meminta pendapat
pada beberapa orang pendekar yang hadir.
Dengan semangat tinggi, beberapa orang pendekar
muda mendukung usul Manik Biru agar golongan
pendekar memberantas sekutu-sekutu Pangeran Pe-
mimpin. Namun ada beberapa orang pendekar yang
mengusulkan agar Ki Rombeng mengutus seseorang
lebih dulu untuk melaporkan kesediaan para pendekar
pada Adipati Pleret dalam membantu prajurit-prajurit kadipaten.
Ki Rombeng menerima usul dan pendapat para
pendekar muda dengan hati senang. Memang begitu-
lah sifat para pendekar muda. Selalu meledak-ledak,
dan tinggi semangatnya. Ki Rombeng tahu itu.
"Baiklah! Kita semua memang sadar. Tak mungkin
kita berpangku tangan melihat keamanan Kadipaten
Pleret terancam. Dan kukira tidak ada jeleknya kalau kita harus mengirim salah
seorang utusan guna membicarakan hal ini pada Kanjeng Adipati. Dan kukira
orang yang paling tepat untuk melakukan tugas ini
adalah Pendekar Bintang Emas. Karena aku tahu, ia
sudah mempunyai hubungan yang cukup akrab den-
gan pihak kadipaten. Bagaimana, Saudara Pendekar
Bintang Emas?"
"Dengan senang hati aku menerima tugas itu, Ki.
Kebetulan sekali aku pun mempunyai murid yang ma-
sih terhitung adik tiri Kanjeng Adipati," sahut Pendekar Bintang Emas.
"Maaf, saudara-saudara sekalian! Aku datang terlambat. Aku adalah utusan Kanjeng
Adipati!" Ki Rombeng dan semua yang ada di puncak Gu-
nung Kelud buru-buru memalingkan kepala ke arah
datangnya suara. Dari arah barat puncak Gunung Ke-
lud tampak seorang gadis cantik tengah berkelebat cepat menuju tempat pertemuan.
Sebentar saja, tak jauh dari mereka telah berdiri
seorang gadis cantik berusia tujuh belas tahun. Wa-
jahnya bulat telur dengan rambut digelung ke atas.
Tubuhnya yang tinggi ramping dibalut pakaian ketat
warna kuning. Di punggungnya tampak menyembul
gagang pedang. "Sekartaji...! Apa yang kau lakukan di tempat ini?"
tegur Pendekar Bintang Emas begitu mengenali gadis
cantik itu. "Maaf, Guru! Juga saudara-saudara sekalian!"
ucap gadis yang ternyata Putri Sekartaji seraya menju-ra hormat pada gurunya,
Pendekar Bintang Emas. Lalu
gadis ini menjura hormat pada semua yang hadir di
puncak Gunung Kelud. "Terus terang, aku datang atas nama Kanjeng Adipati.
Setelah menimbang persoalan
yang tengah dihadapi kadipaten, dengan sangat ren-
dah hati Kanjeng Adipati meminta bantuan pada para
pendekar untuk menumpas Pangeran Pemimpin yang
bermaksud memberontak Kadipaten Pleret! Terutama
sekali, menumpas sekutu-sekutunya yang kebanyakan
dari golongan sesat dunia persilatan."
"Ya ya ya...! Dengan senang hati kami para pendekar bersedia membantu pihak
kadipaten. Untuk itulah
kami berkumpul di tempat ini. Tapi terlebih dahulu,
sudilah Tuan Putri duduk! Maaf, tempatnya tidak se-
suai dengan yang Tuan Putri bayangkan!" ucap Ki Rombeng berbasa basi.
"Terima kasih, Ki. Begini juga sudah cukup," sahut Putri Sekartaji sopan, lalu
segera menghenyakkan pantatnya di antara para pendekar lain.
"Sekartaji! Aku tidak percaya kalau Kanjeng Adipati mengutusmu kemari?" tegur
Pendekar Bintang Emas.
"Maaf, Guru. Murid memang utusan Kanjeng Adi-
pati," ucap Putri Sekartaji, berdusta. Padahal keper-giannya dari kadipaten pun
tidak diketahui Kanjeng
Adipati, melainkan atas perintah Siluman Ular Putih.
"Hm...!" gumam Pendekar Bintang Emas tak jelas.
Tampak sekali kalau omongan muridnya tidak diper-
cayanya. "Sudahlah, Sobatku Pendekar Bintang Emas! Ku-
kira masalah ini tak perlu diperpanjang. Pokoknya
baik diminta maupun tidak, sudah semestinya kita ha-
rus membantu kadipaten," kata Ki Rombeng menenga-hi. "Dan patut kau ketahui,
Tuan Putri! Kami sebenarnya sudah mengutus gurumu, Pendekar Bintang Emas
untuk menemui Kanjeng Adipati."
Putri Sekartaji hanya membungkam. Tampak se-
kali kalau hatinya sangat cemas. Entah mencemaskan
Siluman Ular Putih yang sedang mengikuti kepergian
Pendidik Ulung dan kawan-kawannya, atau karena ta-
kut kalau gurunya akan melaporkan perihal dirinya
pada Kanjeng Adipati.
"Ada apa, Sekartaji" Tampaknya kau tidak menye-
tujui kalau gurumu ini yang menjadi utusan para pen-
dekar untuk menemui Kanjeng Adipati?" tanya Pendekar Bintang Emas mencium
kecemasan Putri Sekartaji.
"Tidak, Guru. Malah aku senang kalau Guru sen-
diri yang akan menemui Kanjeng Adipati," kilah Putri Sekartaji gugup.
"Begitu" Tapi kenapa kau tampak cemas sekali?"
kejar Pendekar Bintang Emas tak puas.
"Hm...," Putri Sekartaji menggigit bibirnya sendiri.
"Sebenarnya iya, Guru. Tapi bukannya aku mence-
maskan diriku sendiri. Melainkan, sedang mence-
maskan seseorang."
"Siapa?"
"Aku tidak tahu persis namanya, Guru. Katanya...
katanya ia juga ingin menghadiri pertemuan para pen-
dekar di puncak Gunung Kelud. Tapi entah kenapa,


Siluman Ular Putih 13 Penguasa Alam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dua hari yang lalu aku melihat orang itu pergi bersama Raja Racun dan kawan-
kawan. Terus terang aku curiga sekali, Guru. Sebab dalam rombongan Raja Racun
itu, terdapat juga Raja Maling yang membawa Lukisan
Darah!" "Apa" Lukisan Darah"! Jadi, Raja Malingkah yang telah mencuri Lukisan Darah?"
sentak Pendekar Bin-
tang Emas terkejut. Semua yang ada di puncak Gu-
nung Kelud ini pun tampak terkejut mendengar kete-
rangan Putri Sekartaji.
"Benar. Tapi sebenarnya bukan hal itu yang aku
cemaskan, Guru. Melainkan orang tua itu, Guru. Kami
memang pernah bertemu. Katanya, ia adalah gurunya
Pelajar Agung yang kini menjadi kaki tangan Pangeran Pemimpin!"
"Celaka! Dia pasti Pendidik Ulung! Pantas dari tadi aku tidak melihat batang
hidungnya. Harusnya ia sudah berada di sini!" kata Ki Rombeng. "Tapi.... Tapi,
apakah Tuan Putri tahu ke mana perginya Pendidik
Ulung dan Raja Racun itu?"
"Sayang sekali tidak, Ki. Tapi, bukan mustahil kalau mereka ingin mencari harta
karun seperti yang tergambar dalam peta Lukisan Darah."
Ki Rombeng menggertakkan gerahamnya kuat-
kuat, lalu mengangguk-angguk.
"Tampaknya ini bukan urusan main-main. Aku
tahu betul, siapa Pendidik Ulung. Ia bukanlah tokoh
sesat. Tapi, kenapa ia mau bergabung dengan Raja Ra-
cun dan kawan-kawan" Ini pasti ada apa-apanya!" desis Ki Rombeng penuh
kemarahan. "Jangan khawatir, Ki! Sekarang temanku, Siluman Ular Putih sedang mengikuti
kepergian mereka. Malah
kalau bisa, temanku ingin menyelamatkan orang tua
itu!" ujar Putri Sekartaji.
"Tidak! Mereka pasti akan mendapat celaka," sentak Ki Rombeng cemas bukan main.
"Kalau kepergian mereka memang benar ingin mendapatkan harta karun, pasti akan
berhadapan dengan seorang tokoh
yang bergelar Penguasa Alam. Sebab, dialah yang se-
benarnya memiliki harta karun itu!"
"Lalu, apa yang harus kita lakukan, Ki" Tampak-
nya urusan ini bukan urusan sembarangan," tanya
Manik Biru angkat bicara.
"Kita harus membantu Siluman Ular Putih untuk
menyelamatkan Pendidik Ulung. Sebab, Penguasa
Alam sangat sakti. Konon ia tidak bisa mati. Inilah yang mencemaskanku!"
"Kalau begitu, aku ingin mengajak beberapa para pendekar untuk membantu Siluman
Ular Putih menyelamatkan Pendidik Ulung!" tegas Manik Biru lagi bersemangat.
"Begitu juga boleh. Tapi harap hati-hati! Penguasa Alam sangat sakti. Belum lagi
Raja Racun dan kawan-kawannya. Kukira kau harus membawa teman-
temanmu yang kira-kira dapat menghadapi mereka,
Manik Biru."
"Tentu, Ki. Sekarang juga kami akan berangkat,"
sahut Manik Biru semangat.
"Pergilah!"
Manik Biru segera beranjak dari tempat duduk-
nya. Lalu dipilihnya beberapa orang pendekar yang ki-ra-kira dapat menghadapi
Penguasa Alam maupun Ra-
ja Racun dan kawan-kawan. Dan kebetulan pula Raja
Penyihir pun sudi bergabung dengan Manik Biru.
Setelah semuanya beres, rombongan pendekar
yang dipimpin Manik Biru pun segera meninggalkan
puncak Gunung Kelud.
"Kukira, aku pun harus segera menemui Kanjeng
Adipati, Ki Rombeng," cetus Pendekar Bintang Emas sepeninggal Manik Biru dan
kawan-kawan. "Itu juga baik, Sobat. Jangan lupa, sampaikan sa-lamku pada Kanjeng Adipati!"
ujar Ki Rombeng.
"Tentu," sahut Pendekar Bintang Emas, lalu segera berbalik. "Sekartaji! Kau ikut
aku!" lanjutnya.
"Tapi, Guru. Aku.... Aku...," Putri Sekartaji terga-gap. Karena, ia memang lebih
senang menunggu keda-
tangan Siluman Ular Putih daripada mengikuti keper-
gian gurunya ke Kadipaten Pleret.
"Ayo!"
Pendekar Bintang Emas segera menyambar lengan
muridnya. Segera dipaksanya gadis itu meninggalkan
puncak Gunung Kelud.
Sepeninggal guru dan murid itu, Ki Rombeng pun
segera membubarkan jalannya pertemuan para pende-
kar. *** 11 "Bodoh! Benar-benar bodoh! Menghadapi Pengua-
sa Alam seorang saja tidak becus!"
Pangeran Pemimpin yang marah bukan main
sampai terlonjak tubuhnya dari kursi kebesarannya
begitu mendengar laporan Raja Racun. Seketika kedua
telapaknya mencengkeram kedua lengan kursi kebesa-
rannya erat-erat. Sehingga lengan kursi itu kontan
hancur, mengepulkan asap tipis berwarna hitam.
Raja Racun dan Raja Golok diam menekuri lantai.
Pendidik Ulung pun diam tak bergerak. Hanya sepa-
sang matanya saja yang jelalatan memperhatikan se-
putar ruangan dengan pandang mata kosong. Hal ini
makin mengundang kemarahan Pangeran Pemimpin.
"Bedebah! Apakah tua bangka ini juga tidak ber-
guna, he"!" hardik Pangeran Pemimpin kasar seraya menuding ke arah Pendidik
Ulung. Pendidik Ulung tetap diam seperti semula. Sama
sekali tidak dipedulikannya bentakan Pangeran Pe-
mimpin. "Kami, termasuk tua bangka ini, sudah berusaha
keras untuk mendapatkan harta karun itu. Tapi
sayang, kesaktian Penguasa Alam benar-benar sulit dicari tandingannya. Aji
'Tangkal Petir'-nya benar-benar membuat kami kewalahan," jelas Raja Racun.
"Apa pun alasannya, kalian tetap tolol! Bagaimana ini bisa terjadi" Kalian
berenam! Masa' menghadapi
Penguasa Alam yang hanya seorang diri saja tidak be-
cus! Benar-benar memuakkan! Malah dua orang di an-
tara kalian tewas! Pakai ini!" hardik Pangeran Pemimpin gusar bukan main seraya
menuding keningnya
sendiri. "Tapi, Pangeran! Kesaktian Penguasa Alam benar-
benar hebat. Tidak seorang pun mampu menandingi
kesaktiannya. Dia tidak bisa mati!" kilah Raja Racun membela diri.
"Mustahil!" Pangeran Pemimpin bangkit dari kursi saking gusarnya. "Tak mungkin
ada orang yang tak bi-sa mati! Bilang saja kalian tidak becus! Habis perkara!"
Lelaki setengah baya ini memang paling benci
mendengar orang lain membicarakan kesaktian Pen-
guasa Alam. Baginya, dialah satu-satunya orang sakti tanpa tanding. Dan ia yakin
sekali mampu menundukkan Penguasa Alam.
"Benar. Sahabatku benar. Bilang saja kalian tidak becus. Pakai alasan lagi!"
timpal Pelajar Agung makin memojokkan Raja Racun dan Raja Golok.
"Tapi sebenarnya bukan itu saja persoalannya,
Pangeran," kilah Raja Golok mulai angkat bicara.
"Alasan apa lagi, Raja Golok"!" hardik Pangeran Pemimpin tak suka. Sepasang
matanya berkilat-kilat
penuh kemarahan.
"Sebenarnya kami masih sanggup melawan kesak-
tian Penguasa Alam, Pangeran. Tapi sayang, pemuda
sinting itu kembali menghalang-halangi maksud kita
untuk mendapatkan harta karun."
"Siapa pemuda sinting yang kau maksud, Raja Go-
lok?" tanya Pangeran Pemimpin penasaran.
"Siapa lagi kalau bukan Siluman Ular Putih, Pangeran!"
"Setan alas! Bocah sinting itu benar-benar lan-
cang! Aku harus secepatnya membereskannya!" desah Pelajar Agung tak dapat lagi
mengendalikan amarah.
"Sekarang, di mana Siluman Ular Putih berada, Raja Golok"!"
"Aku tidak tahu persis, Pelajar Agung. Mungkin
pemuda sinting itu sedang merayu Penguasa Alam un-
tuk mendapatkan harta karun. Sebab, pemuda itu pun
telah merampas Lukisan Darah dari tangan Raja Mal-
ing," jelas Raja Golok.
"Jahanam! Ini tidak bisa didiamkan. Lukisan Da-
rah harus secepatnya didapatkan kembali berikut
bunga, bila kita masih ingin mendapatkan harta ka-
run," geram Pangeran Pemimpin gusar
"Kalau begitu, sekarang juga aku akan mencari Siluman Ular Putih sekaligus
merampas harta karun da-
ri tangan Penguasa Alam," tegas Pelajar Agung tiba-tiba. "Baik. Kukira saat ini
kau memang harus turun tangan sendiri, Sobat," sambut Pangeran Pemimpin
akhirnya. "Tapi untuk lebih amannya, ajaklah tua bangka itu beserta Raja Racun
dan Raja Golok!"
"Sebenarnya aku tidak memerlukan mereka. Den-
gan kedua tanganku, aku masih sanggup melenyapkan
Siluman Ular Putih. Sekaligus, mendapatkan harta ka-
run dari tangan Penguasa Alam. Tapi kalau kau me-
mang menghendaki demikian, aku hanya menurut,"
sahut Pelajar Agung angkuh.
Pangeran Pemimpin tertawa. Entah kenapa tiba-
tiba saja Pangeran Pemimpin tertawa bergelak. Mung-
kin juga merasa kesal melihat sikap angkuh Pelajar
Agung. "Aku tahu. Kau memang hebat, Sobat. Aku senang
mendapat teman sepertimu. Berangkatlah kalau kau
memang menginginkannya, Sobat!" ujar Pangeran Pemimpin di antara tawanya yang
bergelak. "Baik."
Pelajar Agung lantas beranjak dari tempat duduk-
nya. Lalu tanpa banyak cakap lagi, segera tangannya
mengisyaratkan pada Raja Racun dan Raja Golok un-
tuk segera mengikuti.
Raja Racun dan Raja Golok mengangguk. Lalu di-
ikuti Pendidik Ulung, mereka segera menyusul Pelajar Agung.
*** 12 Bulan sepotong yang masih menggantung di ang-
kasa tak mampu menerangi puncak Gunung Kembang.
Langit sedikit dipoles warna keperakan. Namun tetap
saja tak mampu menembus kegelapan malam.
Dalam kegelapan malam, tampak sesosok bayan-
gan putih keperakan terus berkelebat cepat dari lereng barat menuju puncak
Gunung Kembang. Gerakan kedua kakinya ringan sekali laksana terbang. Sejurus
kemudian sosok bayangan itu tiba di puncak Gunung
Kembang. Ternyata sosok bayangan yang mampu berlari ce-
pat laksana terbang itu adalah seorang pemuda be-
rambut gondrong. Pakaiannya rompi dan celana bersi-
sik warna putih keperakan. Melihat ciri-cirinya, sudah pasti pemuda itu memang
murid Eyang Begawan Kamasetyo yang bergelar Siluman Ular Putih!
Soma alias Siluman Ular Putih yang kini sudah
mengetahui kelemahan aji 'Tangkal Petir' milik Penguasa Alam sengaja tidak
langsung bertindak. Sepasang
matanya yang tajam ini terus bergerak-gerak ke sege-
nap penjuru mencari-cari orang yang diinginkan. Na-
mun setelah beberapa saat, Penguasa Alam belum juga
ditemukannya. "Penguasa Alam! Keluar! Kau masih hutang ba-
rang satu dua jurus padaku! Malam ini juga kau harus segera melunasinya!" teriak
Soma lantang memecah keheningan malam.
Tidak ada sahutan. Namun tiba-tiba puncak Gu-
nung Kembang terasa bergetar hebat. Selang beberapa
saat, terdengar satu gerengan hebat seolah-olah ingin merobek angkasa!
"He he he...! Rupanya kau mendengar juga, Pen-
guasa Alam. Aku senang sekali. Hayo, lekas tunjukkan batang hidungmu yang besar,
Penguasa Alam!"
Kembali tak ada sahutan. Hanya saja, puncak
Gunung Kembang kembali bergetar hebat.
"Setan alas! Tak tahunya hanya kau, Kunyuk
Gondrong!" terdengar berat dan kasar. Tampak sekali nadanya sangat merendahkan
Siluman Ular Putih.
Baru saja gema suara itu menghilang, berkelebat
satu bayangan yang langsung mendarat di hadapan
Soma. "Ya... aku! Memangnya kenapa" Terkejut" Tidak,
kan?" sahut Soma seenaknya
Geraham Penguasa Alam bergemeletukkan mena-
han geram. Tampak sekali parasnya demikian menge-
rikan. Rahangnya mengembung. Sepasang matanya
menyala! "Bagus! Rupanya kau masih punya nyali juga, Bo-
cah! Apa kau punya nyawa rangkap, heh"!"
"Nyawa rangkap" Tentu, tentu! Aku punya. Lihat-
lah!" sahut Soma asal-asalan. Telapak tangannya lalu
menepuk-nepuk perutnya beberapa kali. Selang bebe-
rapa saat. Brut! Brut! Terdengar suara aneh dari lubang pantat Siluman
Ular Putih disertai bau busuk menyengat.
Soma tertawa terpingkal-pingkal.
"Nah, itulah nyawa rangkapku, Penguasa Alam!
Apa kau juga punya nyawa cadangan?" lanjut Siluman Ular Putih, makin sulit
dikendalikan. "Setan alas! Tak ada gunanya bicara denganmu,
Bocah! Makanlah gada besiku! Hea...!"
Disertai gerengan murka, Penguasa Alam segera
memutar-mutar gada di tangannya. Begitu deras puta-
rannya membuat angin kencang berkesiur menyam-
bar-nyambar kulit tubuh.
Melihat jurus pembuka Penguasa Alam, Siluman
Ular Putih masih tersenyum-senyum menggoda. Na-
mun diam-diam otaknya terus bekerja keras sembari
mencabut keluar senjata andalannya, Anak Panah
Bercakra Kembar!
"Hm...! Menurut keterangan Eyang Bromo, dengan
senjata inilah aku dapat mengalahkan Penguasa Alam.
Sebab kalau menunggu sampai fajar tiba, itu jelas tidak mungkin," gumam Siluman
Ular Putih dalam hati.
Penguasa Alam hanya mendengus. Tampak sekali
kalau sikapnya sangat merendahkan Siluman Ular Pu-
tih. "Keluarkanlah semua kepandaianmu mumpung
belum modar, Bocah!" ejek Penguasa Alam.
"Tentu, tentu! Tapi, mungkin bukannya aku yang


Siluman Ular Putih 13 Penguasa Alam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

modar. Melainkan nyawamulah yang akan melawat ke
dasar neraka. Maka cepatlah kau bertobat! Siapa tahu malaikat penjaga kubur
masih sudi mengampuni nyawa busukmu," balas Siluman Ular Putih.
"Bedebah! Bicaramu terlalu kelewatan, Bocah!
Kau memang patut dimusnahkan!"
"Boleh. Asal izinkan dulu aku merampas harta karun yang kau kangkangi! Kalau kau
keberatan, terpak-
sa ya... nyawamulah yang jadi taruhan," ejek Siluman Ular Putih.
Bukan main murkanya Penguasa Alam mendengar
ejekan Siluman Ular Putih yang makin keterlaluan. Gi-gi-gigi gerahamnya
bergemeletakkan. Rahangnya ber-
tonjolan, pertanda amarahnya tak dapat lagi dikenda-
likan. Maka....
"Heaaa...!"
Diiringi gemboran keras, Penguasa Alam mener-
jang Siluman Ulir Putih hebat. Gada di tangan kanan-
nya diayunkan dari atas ke bawah, bermaksud memu-
kul hancur batok kepala si pemuda. Sedang telapak
tangan kirinya yang telah berubah menjadi kuning
hingga ke pangkal lengan siap pula melontarkan puku-
lan maut 'Kelabang Kuning'.
"Hup...!"
Siluman Ular Putih segera melemparkan tubuhnya
ke samping. Pada saat yang sama, Penguasa Alam
mendorongkan telapak tangan kirinya ke depan. Seke-
tika melesat selarik sinar kuning dari telapak tangannya yang disertai angin
berhawa busuk. Untungnya murid Eyang Begawan Kamasetyo te-
lah siap siaga. Begitu membuang tubuhnya, telapak
tangan kirinya telah berubah menjadi putih terang segera didorong ke depan
disertai tenaga sakti 'Inti Bu-mi'. Wesss! Wesss!
Blaaammm...!!! Terdengar satu ledakan hebat ketika dua kekua-
tan dahsyat bertemu pada satu titik. Puncak Gunung
Kembang bergetar hebat laksana ada gempa! Tanah
dan pasir kontan terbongkar, berhamburan tinggi ke
udara. Tubuh Penguasa Alam sendiri pun bergetar hebat.
Kedua telapak kakinya melesak beberapa dim ke da-
lam tanah! Namun keadaan ini masih jauh mengun-
tungkan dibandingkan keadaan murid Eyang Begawan
Kamasetyo yang terpental beberapa tombak ke bela-
kang. Parasnya pias. Kedua bibirnya berkemik-kemik
menahan guncangan dalam dada!
"Sontoloyo! Manusia hitam ini benar-benar lihai.
Sulit rasanya aku mengalahkannya. Kukira senjata
andalanku harus segera kugunakan," gumam Soma
dalam hati. Melihat musuh mudanya masih bersimpuh di ta-
nah, Penguasa Alam mulai mengumbar tawanya. Sebe-
lah lengannya bertolak pinggang dengan kepala men-
dongak ke atas. Seolah-olah ia ingin menunjukkan ke-
perkasaannya. "Siapa pun juga tidak ada yang mampu membu-
nuhku! Biar Raja Akhirat sekalipun datang kemari!"
desis Penguasa Alam, jumawa.
"Jangan takabur, Manusia Hitam! Siapa pun juga
tak luput dari kematian. Termasuk juga kau! Apalagi
sekarang, aku mencium bau tanah dari tubuhmu. Itu
jelas menandakan kalau masa hidupmu di dunia ini
akan berakhir!" balas Siluman Ular Putih yang kini telah tegak kembali di
hadapan Penguasa Alam.
"Keparat! Aku tidak bisa mati, tahu! Berkat aji
'Tangkal Petir', aku tetap tidak dapat mati sampai seribu tahun kemudian."
"Hari ini adalah hari yang keseribu tahun, Manusia Hitam! Maka hari ini pulalah
hari kematianmu!"
sahut Siluman Ular Putih seraya menimang-nimang
senjata pemberian Eyang Begawan Kamasetyo. Sepa-
sang matanya memandang tajam Penguasa Alam.
"Kiranya aku harus berlaku cerdik. Aku tidak bo-
leh gagal. Aku harus mempertimbangkannya matang-
matang...," desah Soma dalam hati.
"Kuhormati nyali besarmu, Bocah! Namun kau te-
tap tidak dapat membunuhku. Apalagi ingin merampas
harta karun itu!" dengus Penguasa Alam.
"Aku tidak butuh rasa hormatmu. Aku butuh har-
ta karun itu, Penguasa Alam. Mengenai nyawamu, bi-
arlah Yang Maha Kuasa yang menentukannya sendiri!"
tukas Siluman Ular Putih.
"Baik. Kalau begitu, hari inilah aku yang ingin menjadi malaikat maut untuk
mencabut nyawamu,
Bocah!" "Boleh. Asal kau sanggup."
Diam-diam Siluman Ular Putih pun mulai menge-
rahkan tenaga dalam ke dalam batang senjata anda-
lannya. Seketika hawa dingin yang bukan kepalang
kontan memenuhi tempat itu.
Penguasa Alam hanya sempat mengerutkan ken-
ing sebentar. Kemudian dengan kemarahan meluap,
segera diserangnya Siluman Ular Putih.
"Makanlah gada besiku, Bocah! Hea...!"
Dikawal bentakan nyaring, Penguasa Alam segera
meluruk deras sambil mengayunkan gada di tangan
kanannya. Siluman Ular Putih mempertimbangkannya den-
gan cermat. Untung saja jaraknya dengan Penguasa
Alam masih cukup jauh, kira-kira tiga tombak. Hal ini membuatnya tersenyum
senang. "Kukira, sekaranglah saat yang tepat untuk me-
lumpuhkan Penguasa Alam. Hanya saja aku harus ha-
ti-hati terhadap gada lelaki itu maupun pukulan
'Kelabang Kuning'-nya...," pikir Siluman Ular Putih dalam hati.
Seketika Siluman Ular Putih segera melontarkan
senjata anak panahnya ke depan. Namun dengan se-
nyum meremehkan Penguasa Alam menggerakkan ga-
danya untuk menangkis datangnya serangan. Namun
alangkah terkejutnya ketika senjata anak panah itu tidak langsung menyerang
dirinya, melainkan malah
melesat ke tanah. Begitu menyentuh tanah, baru sen-
jata pusaka itu menyerang Penguasa Alam dengan ke-
cepatan luar biasa!
"Setan alas! Rupanya bocah sinting itu telah mengetahui kelemahan aji 'Tangkal
Petir'! Pasti Eyang
Bromo-lah yang memberitahukannya. Siapa lagi kalau
bukan orang tua itu!" geram Penguasa Alam kalang kabut.
Ketika senjata Anak Panah Bercakra Kembar me-
nyerang, Penguasa Alam segera memutar gadanya se-
demikian rupa. Wesss! "Heh"!"
Penguasa Alam terkejut bukan main saat merasa-
kan berkesiurnya angin dingin yang tahu-tahu me-
nyambar gada di tangan kanannya. Dan ketika Pengu-
asa Alam memperhatikan, ternyata Siluman Ular Putih
baru saja melontarkan pukulan tenaga 'Inti Bumi' ke
arah gadanya. Bukkk! "Hghhh...!"
Penguasa Alam menggembor penuh kemarahan.
Untuk beberapa saat, gada di tangannya tergetar. Na-
mun pada saat itu, Anak Panah Bercakra Kembar telah
mengancam ulu hatinya dengan kecepatan luar biasa!
Seketika paras Penguasa Alam pucat pasi. Kerin-
gat dingin kontan membasahi sekujur tubuhnya. Un-
tuk menangkis jelas tidak mungkin. Karena ujung
anak panah sudah demikian dekat, maka tanpa am-
pun lagi.... Clep! "Aeeehhh...!!!"
Penguasa Alam menjerit setinggi langit saat Anak
Panah Bercakra Kembar menembus ulu hatinya. Sua-
ranya nyaring seolah-olah ingin merobek angkasa. Tu-
buhnya yang biasanya menyala begitu terkena senjata
tajam maupun berbagai macam pukulan maut, entah
kenapa kali ini tubuhnya tidak menyala lagi seperti biasa. Jelas, aji 'Tangkal
Petir' berikut aji-aji lainnya telah sirna!
Namun dengan kemarahan meluap, Penguasa
Alam terus berusaha menyerang Siluman Ular Putih.
Sayang, serangannya kini tak berarti apa-apa lagi. Sehingga, Siluman Ular Putih
dapat menghindarinya
dengan mudah. Dan makin lama, tubuh Penguasa
Alam yang limbung makin kehilangan keseimbangan.
"Budak hina! Kau harus mod.... Uhughh...!" Penguasa Alam terbatuk keras.
Darah merah makin merembes keluar dari balik
ulu hati. Penguasa Alam tidak tahan lagi dengan sik-
saan itu. Dan tiba-tiba dicabutnya senjata Anak Panah Bercakra Kembar.
Presss! "Aaah...!"
Begitu senjata tercabut, seketika Penguasa Alam
kontan meraung hebat. Keseimbangan tubuhnya ma-
kin sulit dikendalikan. Dan tanpa ampun lagi, Pengua-sa Alam ambruk ke tanah.
Tangannya menggapai-
gapai sebentar, kemudian diam tak bergerak-gerak la-
gi. Tewas! *** Siluman Ular Putih melangkah mendekati tubuh
Penguasa Alam. Dibalikkannya tubuh tinggi besar itu
dengan kaki kiri. Ternyata matinya Penguasa Alam da-
lam keadaan melotot. Telapak tangan kirinya mende-
kap erat dadanya yang bersimbah darah.
"Ah...! Seharusnya kau tidak boleh mati dulu,
Penguasa Alam. Kau belum menunjukkan letak harta
karun itu," gumam Siluman Ular Putih.
Memang, untuk mendapat keterangan dari sosok
Penguasa Alam yang telah tewas membeku, jelas tidak
mungkin. Maka tidak ada pilihan lain bagi Siluman
Ular Putih kecuali harus segera mencari sendiri. Untuk itu segera diambilnya
Lukisan Darah yang tadi disandarkan di batang pohon tak jauh dari tempat pertem-
puran. Sejenak diamatinya lukisan buatan Pelukis
Sinting Tanpa Tanding dengan seksama.
"Hm...! Letak harta karun itu berada di atas tonjolan ini. Dan ini adalah
menunjukkan puncak Gunung
Kembang. Tapi, apa maksud titik-titik merah kecil di peta ini" Dan apa pula
maksud tanda anak panah ini"
Ah...! Pasti di sinilah letaknya harta karun itu!" duga Siluman Ular Putih.
Segera perhatiannya diarahkan
pada puncak Gunung Kembang sambil terus melang-
kah. Agak lama juga murid Eyang Begawan Kamasetyo
menyusuri puncak Gunung Kembang sambil sesekali
mencocokkan keadaan sekitar dengan peta yang ter-
dapat dalam Lukisan Darah.
Selang beberapa saat, akhirnya Soma dapat me-
nemukan tempat yang dimaksud. Karena Lukisan Da-
rah itu memang asli buatan Pelukis Sinting Tanpa
Tanding yang sudah selesai dikerjakan, maka dalam
waktu yang tak lama, Soma telah tiba di tempat yang
dimaksudkan. "Ah...! Jangan-jangan titik-titik merah dalam Lukisan Darah ini adalah semak-
semak belukar di hada-
panku. Lalu tanda anak panah ini menunjuk ke ba-
wah" Yah.... Kukira aku harus meloncat turun. Siapa
tahu di balik semak belukar inilah letaknya harta karun?" pikir Siluman Ular
Putih mantap. Sehabis berpikir, Soma segera meneliti semak be-
lukar itu, dan terus menelusurinya. Kini ia telah sampai di ujung jurang.
Soma memekik kegirangan. Ternyata, ia menemu-
kan sebuah batu besar yang terdapat sebuah tanda
anak panah terbuat dari semak belukar! Itulah tanda
terakhir di mana letaknya harta karun!
"Pasti! Pasti di bawah batu itulah letaknya harta karun! Kalau tidak, bisa jadi
malah berada di dasar jurang...," pikir Soma lagi, menduga-duga. "Yah...! Kukira
aku harus secepatnya meneliti tempat ini. Pertama aku harus membongkar batu ini
terlebih dahulu. Tapi
sebelumnya, aku ingin menyelidiki keadaan jurang ini terlebih dahulu. Ya ya
ya...." Soma mulai melongokkan kepala ke dasar jurang.
Samar-samar dari terangnya sinar rembulan, pemuda
itu bisa melihat lekukan kecil di tebing bawah. Dan di mulut lekukan, terdapat
pula tanda anak panah yang
terbuat dari semak belukar!
"Di sini! Ya ya ya...! Di sinilah letaknya harta karun itu!" pekik Soma
kegirangan. Lalu dengan agak terburu-buru, Siluman Ular Pu-
tih segera menuju tempat yang dimaksud. Memang
agak sulit. Tapi bagi Soma yang sudah memiliki ilmu
meringankan tubuh tingkat tinggi, bukanlah satu pe-
kerjaan sulit. Dengan menancapkan jari-jari tangannya ke dinding-dinding tebing,
akhirnya murid Eyang Begawan Kamasetyo ini sampai di lekukan tebing bagian
bawah Dan begitu menjejakkan kakinya di sana, Soma
kontan membelalakkan matanya penuh takjub!
"Bukan main...!" desah Siluman Ular Putih penuh takjub seraya menepuk jidatnya
sendiri. Di hadapan si pemuda kini tampak setumpuk
emas permata yang memancarkan sinar beraneka
warna! "Gila! Buat apa menumpuk harta sebanyak ini"
Dasar manusia-manusia serakah! Kukira aku harus
segera melaporkan harta karun ini pada Kanjeng Adi-
pati..," desis Soma tak henti-hentinya sambil terus menggeleng-gelengkan kepala.
*** 13 Mendung di puncak Gunung Kembang telah teru-
sir oleh angin. Hamparan kabut tipis yang menyelimuti badan gunung pun perlahan
pudar tersibak oleh sinar
matahari. Kini suasana berganti terang benderang. Beberapa ekor burung jalak
beterbangan ke sana kemari
dengan kicau merdunya.
Dari bawah lereng sebelah barat, tampak empat
sosok bayangan tengah berkelebat cepat menuju pun-


Siluman Ular Putih 13 Penguasa Alam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cak Gunung Kembang. Gerakan kedua kaki mereka
ringan sekali. Laksana capung, keempat sosok bayan-
gan itu akhirnya menghentikan lesatan di puncak Gu-
nung Kembang. Sejenak sosok yang berada paling depan memper-
hatikan keadaan seputar dengan seksama. Dan ke-
ningnya pun berkerut melihat puncak Gunung Kem-
bang berantakan seperti baru saja terjadi pertarungan hebat.
"Mana orang yang bergelar Penguasa Alam?" tanya sosok yang ternyata seorang
pemuda tampan berjubah
hitam dengan penutup kepala memanjang berwarna
hitam. Melihat penampilannya yang mirip seorang ter-
pelajar pada masa itu, pemuda itu tidak lain adalah
Prameswara alias Pelajar Agung.
Di belakang Pelajar Agung ternyata adalah Pendi-
dik Ulung, Raja Racun, dan Raja Golok. Mereka juga
tengah memperhatikan keadaan sekitar.
"Tampak sekali kalau di sini baru saja terjadi pertarungan hebat. Mungkin pemuda
sinting yang berge-
lar Siluman Ular Putih itu sudah tewas di tangan Penguasa Alam. Atau kalau
tidak, malah sebaliknya. Pe-
muda sinting itu telah dapat mengalahkan Penguasa
Alam sekaligus mengangkangi harta karun itu!" duga Raja Racun.
"Hm...! Aku harus mendapatkan semuanya. Harta
karun itu, Siluman Ular Putih, juga Penguasa Alam
yang katanya sakti tanpa tanding!" desis Pelajar Agung ketus.
"Aku tahu. Tapi tidak ada salahnya kalau seka-
rang kita harus mencari Penguasa Alam terlebih dahu-
lu. Sebab bukan mustahil Siluman Ular Putih telah tewas di tangannya," ujar Raja Racun.
"Yah...! Bisa jadi," dengus Pelajar Agung.
Dan dengan rahang mengembung, Pelajar Agung
kembali memperhatikan seputar puncak Gunung
Kembang seksama.
"Penguasa Alam! Keluar! Aku datang ingin menan-
tangmu bertarung!" teriak Pelajar Agung.
Tidak ada sahutan. Puncak Gunung Kembang pun
tidak bergetar seperti biasa. Hal ini membuat Pelajar Agung penasaran.
"Manusia pengecut! Lekas tunjukkan batang hi-
dungmu!" teriak Pelajar Agung, lebih lantang.
"He he he.... Menantang bertarung atau memang
menginginkan harta karun?"
Tiba-tiba terdengar teriakan nyaring yang datang-
nya dari lereng sebelah timur. Pelajar Agung mengge-
ram penuh kemarahan. Buru-buru kepalanya berpal-
ing ke arah datangnya suara. Tampak beberapa sosok
bayangan anak manusia tengah berkelebat cepat me-
nuju puncak Gunung Kembang dari lereng sebelah ti-
mur. "Siapa lagi manusia-manusia pencari mati itu,
he"!"
*** Beberapa tokoh bayangan yang datang dari lereng
sebelah timur puncak Gunung Kembang kini telah te-
gak di hadapan Pelajar Agung dan kawan-kawannya.
Rombongan yang baru datang itu tidak lain adalah
pendekar yang dipimpin Raja Penyihir dan Manik Biru.
"Jaga bacotmu, Bocah! Apa kau tidak tahu tengah berhadapan dengan siapa, he"!"
bentak Raja Penyihir galak.
Meski mulutnya berkata demikian, sebenarnya
Raja Penyihir merasa heran sekali melihat Pendidik
Ulung berada pula di sana. Dan lebih herannya lagi ketika melihat guru Pelajar
Agung itu tak ubahnya seper-ti mayat hidup. Wajahnya pucat pasi. Tindak tanduk-
nya pun kaku dengan tatapan kosong.
"Hm...! Jadi yang dikatakan Putri Sekartaji benar.
Ternyata telah terjadi sesuatu terhadap sahabatku."
Sehabis menggumam begitu, Raja Penyihir mena-
tap tajam Pendidik Ulung.
"Marabunta! Apa kau tidak keliru" Buat apa ber-
gabung dengan manusia-manusia ular ini"!" tegur Raja Penyihir memanggil nama
asli Pendidik Ulung.
Pendidik Ulung memalingkan kepala ke arah Raja
Penyihir. Gerakannya kaku. Sepasang matanya yang
mencorong terus memperhatikan Raja Penyihir dengan
sinar kosong. "Siapa Marabunta" Aku bukan sahabatmu! Aku
bukan siapa-siapa! Aku hanya tunduk pada laki-laki
ini!" sahut Pendidik Ulung datar, sambil menunjuk pa-da Raja Racun.
Raja Penyihir mengangguk-angguk.
"Jadi benar! Tak kusangka sobatku yang sakti ini dapat dilumpuhkan oleh Raja
Racun. Kukira aku harus menyelamatkannya terlebih dahulu," lanjut Raja Penyihir
dalam hati. Diam-diam Raja Penyihir pun mulai mengerahkan
ilmu sihirnya, siap mempengaruhi jalan pikiran Pendidik Ulung.
"Orang tua! Lagakmu pongah sekali. Aku tidak
percaya kalau kau bisa menggonggong senyaring ini!"
ejek Pelajar Agung.
"Hmmm...! Mungkin memang beginilah tampang-
tampang manusia penjilat. Pantas...!" balas Raja Penyihir seraya mengangguk-
angguk. "Hati-hati, Pelajar Agung! Orang tua sinting ini tidak lain adalah Raja
Penyihir! Mungkin kita harus melenyapkan tua bangka itu terlebih dahulu! Sebab
bu- kan mustahil mereka juga menginginkan harta karun,"
bisik Raja Racun pada Pelajar Agung.
Pelajar Agung mengangguk-angguk. Senyum licik-
nya tampak terkembang di bibir.
"Memang tidak ada maling yang mau mengaku.
Bilang saja kalian juga menginginkan harta karun.
Habis perkara!" hardik Pelajar Agung.
Raja Penyihir tertawa bergelak. Tongkat hitam di
tangan kanannya diketuk-ketukkan ke tanah seenak-
nya. Hebatnya, puncak Gunung Kembang langsung
berguncang hebat. Bagian tanah yang terkena ketukan
tongkat kontan berlubang besar!
"Lucu! Lucu sekali! Bisa-bisanya manusia setolol ini bicara seperti ini. Hm...!
Jangan-jangan hanya
buang air saja! Tapi kalau buang air, kok lewat atas.
Hih...!" ejek Raja Penyihir tanpa ampun.
"Manusia penjilat macam dia sama saja. Bicara
dengan buang air tetap saja bau!" ejek pula Manik Bi-ru. "Setan alas! Kaulah
yang pertama kali harus ku-musnahkan, Tua Bangka Keriputan! Makanlah puku-
lan 'Cahaya Kilat Biru'-ku! Hea...!" bentak Pelajar Agung seraya menghentakkan
kedua tangannya yang
telah berubah menjadi biru.
Werrr...! Seketika terdengar bunyi menggemuruh tatkala
dua larik sinar biru melesat dari kedua telapak tangan Pelajar Agung ke arah
Raja Penyihir. Raja Penyihir hanya tersenyum sebelum akhirnya
segera melontarkan pukulan maut 'Tangan Gaib Pe-
nindih Setan'. Begitu kedua telapak tangannya dihan-
tamkan ke depan, seketika meluruk dua gulungan
asap tebal berwarna putih.
Besss...!!! Tak ada bunyi ledakan hebat kala dua tenaga da-
lam beradu di udara. Namun anehnya, tubuh Raja Pe-
nyihir dan Pelajar Agung sama-sama terguncang hebat!
Selang beberapa saat, tubuh Pelajar Agung terpental
ke belakang dengan paras pias!
"Setan alas! Hajar tua bangka keriputan ini!" teriak Pelajar Agung seraya
menuding ke arah Raja Pe-
nyihir. Tanpa banyak cakap Raja Racun dan Raja Golok
yang dibantu Pendidik Ulung segera menyerang Raja
Penyihir. Namun baru saja ketiga orang itu berkelebat, Manik Biru dan beberapa
pendekar lain telah menghadang.
"Kau jangan gegabah, Manik Biru! Pendidik Ulung ini sahabatku! Biar aku yang
melumpuhkannya. Kau
boleh ajak beberapa orang temanmu untuk menghajar
penjilat itu!" tunjuk Raja Penyihir ke arah Pelajar Agung.
"Baik!"
Manik Biru segera mengajak dua orang kawannya
untuk menyerang Pelajar Agung yang tengah bersiap-
siap membantu Raja Racun dan Raja Golok.
"Pelajar Agung! Biarlah kedua orang tua itu bera-du otot. Akulah lawanmu!"
bentak Manik Biru. Lalu dibantu kedua orang kawannya, mereka segera menyerang
Pelajar Agung. "Bagus! Manusia penjilat macammu memang pan-
tas dicincang ramai-ramai, Bocah! Bersiap-siaplah kau pesan peti mati terlebih
dulu, Bocah!" ejek Raja Penyihir. Habis mengejek, Raja Penyihir segera
berkelebat ke arah ketiga orang kawannya yang tampak kewalahan menghadapi
serangan-serangan Pendidik Ulung,
Raja Racun, dan Raja Golok.
"Marabunta! Tahan! Kau tidak boleh berlaku se-
wenang-wenang! Hayo, lekas tetap di tempatmu!" bentak Raja Penyihir dengan suara
bergetar-getar aneh
yang menyerang jalan pikiran Pendidik Ulung.
Tubuh Pendidik Ulung kontan terguncang hebat.
Sepasang matanya mencorong aneh, pertanda mulai
terpengaruh sihir Raja Penyihir.
Raja Penyihir tertawa senang. Pada saat tubuh
Pendidik Ulung terguncang, tiba-tiba Raja Penyihir
berkelebat cepat. Kemudian dengan gerakan cepat luar biasa, tahu-tahu jari
tangannya telah menotok iga
Pendidik Ulung.
Tuk! Tuk! Seketika tubuh Pendidik Ulung kaku tak dapat
bergerak. Buru-buru Raja Penyihir menyambar tubuh
lelaki tua itu, lalu meletakkannya di tempat yang
aman. "Ha ha ha...! Sekarang bebas sudah kita mengha-
jar manusia-manusia penjilat ini, Kawan-kawan!" teriak Raja Penyihir di antara
tawanya yang bergelak.
Meski Pelajar Agung, Raja Racun, dan Raja Golok
masih di atas angin menghadapi pengeroyokan para
pendekar muda, namun saat melihat Pendidik Ulung
dapat diamankan oleh Raja Penyihir, mereka menda-
dak jadi gelisah. Apalagi kini Raja Penyihir mulai terjun dalam kancah
pertarungan. "Manik Biru! Biarkan aku main-main dengan ma-
nusia penjilat ini! Kau sekarang bebas memilih lawan.
Mau menjewer telinga Raja Racun sampai memerah,
boleh! Mau menggebuk pantat Raja Golok yang besar
juga boleh! Suka-suka kaulah, Manik Biru!" kata Raja Penyihir mengejek.
"Baik, Raja Penyihir!"
Manik Biru dan kedua orang kawannya serempak
bergerak lincah meninggalkan Pelajar Agung. Mereka
segera berkelebat, membantu mengeroyok Raja Racun
dan Raja Golok.
"He he he...! Tampaknya kau gusar sekali, Bocah.
Jangan khawatir! Aku tidak akan menyakitimu. Aku
hanya ingin menotokkan gigimu biar tak banyak men-
jual lagak. Hayo, maju!" ejek Raja Penyihir seraya menggerak-gerakkan tangannya
menggoda. Pelajar Agung menggeram penuh kemarahan. Ke-
dua pelipisnya bergerak-gerak, pertanda murid murtad ini tak dapat lagi
mengendalikan amarahnya yang
menggelegak. "Bacotmu sungguh memerahkan telingaku, Tua
Bangka Keriputan! Aku tak segan-segan lagi meme-
cahkan batok kepalamu! Bersiap-siaplah menerima
kematianmu, Bangsat!" teriak Pelajar Agung, membentak.
Habis menggeram, Pelajar Agung tak tanggung-
tanggung lagi segera mengeluarkan salah satu jurus
andalan yang dipelajari dari Pendidik Ulung, yakni 'Tulisan Maut Dewa Kayangan'.
Kemudian tanpa banyak
cakap, kedua telunjuk kirinya menggurat-gurat ke
udara membentuk sebuah huruf gaib yang diciptakan
Pendidik Ulung.
Telunjuk kanannya bergerak lemah gemulai dari
kanan ke kiri. Sementara telunjuk kiri bergerak dari kiri ke kanan. Dari
guratan-guratan kedua telunjuk-nya, terdengar bunyi mencicit yang teramat
memekak- kan telinga! Melihat jurus-jurus yang dikeluarkan Pelajar
Agung, Raja Penyihir jadi terperanjat. Bukannya kaget melihat kehebatan jurus
itu, melainkan heran kenapa
Pelajar Agung dapat menguasai jurus-jurus andalan
Pendidik Ulung sahabatnya.
"Hebat! Memang hebat jurus itu, Bocah Tengil.
Tak kusangka kau bisa mengelabui sahabatku untuk
mengajari jurus 'Tulisan Maut Dewa Kayangan'. Entah
dengan cara apa kau dapat merayu sahabatku. Tapi
jangan dikira aku takut menghadapi jurusmu! Hayo
tunjukkan kebolehanmu, Bocah!"
"Jahanam! Kematian sudah di depan mata, masih
juga menjual lagak!" dengus Pelajar Agung.
Suara mencicit dari guratan-guratan kedua telun-
juk jari Pelajar Agung terdengar makin memekakkan
telinga. Hal ini membuat Raja Penyihir tak berani
main-main lagi. Meski telah mengetahui kelemahan ju-
rus itu, namun tetap saja harus bertindak hati-hati.
Dan pada saat Pelajar Agung telah mempertemu-
kan kedua ujung telunjuk jarinya ke udara, seketika
dua larik sinar putih berkilauan melesat menyerang
Raja Penyihir. Wesss! Wesss! Pada saat yang sama, Raja Penyihir segera meng-
hantamkan kedua telapak tangannya ke depan, men-
gerahkan pukulan 'Tangan Gaib Penindih Setan'. Seke-
tika asap putih bergulung-gulung meluruk memapak
serangan Pelajar Agung.
Besss...! Kembali tak ada letusan hebat manakala tenaga
dalam kedua orang itu beradu di udara. Namun dari
paras mereka jelas menandakan kalau Raja Penyihir
dan Pelajar Agung tengah melipatgandakan tenaga da-
lam. "Hea...!"
Dikawal bentakan nyaring, tiba-tiba Raja Penyihir
menyentakkan kedua telapak tangannya ke depan.


Siluman Ular Putih 13 Penguasa Alam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bukkk! "Aaa...!"
Bak layangan putus dari benangnya, tubuh Pela-
jar Agung kontan terpental disertai teriakan menyayat.
Begitu jatuh berdebam ke tanah, parasnya pucat pasi.
Darah segar tampak mengalir dari sudut-sudut bibir,
pertanda telah menderita luka dalam cukup parah.
Pelajar Agung kecewa bukan main. Tubuhnya te-
rasa lemas akibat luka dalamnya. Tangan kanannya
pun tak henti-hentinya memegangi dada, berusaha
menahan guncangan luka dalamnya.
"Teman-teman, cepat tinggalkan tempat ini!" teriak Pelajar Agung tiba-tiba.
Kemudian tanpa banyak cakap lagi, lelaki ini sege-
ra berkelebat cepat meninggalkan tempat pertarungan.
Kebetulan, Raja Racun dan Raja Golok pun baru saja
tegak berdiri setelah mendapat hajaran dari lawan-
lawannya. Maka begitu mendapat kesempatan, mereka
cepat berkelebat, melarikan diri.
"Teman-teman, jangan kejar! Berbahaya! Lekas
cari Siluman Ular Putih!" perintah Raja Penyihir ketika
beberapa orang pendekar muda itu bermaksud menge-
jar Pelajar Agung dan kawan-kawannya.
"Tapi...," tukas Manik Biru keberatan.
"Jangan tapi-tapian! Keselamatan Siluman Ular
Putih lebih penting dibanding mereka, tahu"! Lekas ca-ri Siluman Ular Putih!"
hardik Raja Penyihir.
"Baik."
Sebenarnya para pendekar muda itu merasa kebe-
ratan melepas ketiga penjilat Pangeran Pemimpin begi-tu saja. Namun untuk
mengabaikan keselamatan Si-
luman Ular Putih, mereka juga tak kalah beratnya.
Maka meski dengan hati berat, mereka segera mencari
Siluman Ular Putih.
Sementara, Raja Penyihir sendiri segera meng-
hampiri tubuh Pendidik Ulung di luar tempat pertem-
puran dan berusaha mengobatinya. Kini yang tinggal
hanya keheningan sebagai saksi bisu atas sebuah pra-
hara yang baru saja terjadi.
SELESAI Segera ikuti lanjutannya!!!
Serial Siluman Ular Putih dalam episode:
SENGKETA TAKHTA LELUHUR
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Perawan Buronan 2 Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L Mustika Naga Hijau 2
^