Pencarian

Rahasia Kalung Permata Hijau 2

Siluman Ular Putih 25 Rahasia Kalung Permata Hijau Bagian 2


sedikit pun tidak mengalami pengaruh apa-apa.
"Hik hik hik...! Payungku ini benar-benar
berjasa. Hm...! Tak percuma aku memilikinya...,"
gumam Putri Hijau sambil memutar-mutar
payung di tangan kanannya manakala seranganserangan Gembong Kenjeran mereda.
Gembong Kenjeran heran bukan main. Bagaimana mungkin payung butut di tangan
Putri Hijau mampu mengatasi semua seranganserangannya. Sungguh tak masuk akal.
Diamdiam lelaki ini jadi bertanya-tanya, siapa perempuan cantik di hadapannya
itu. "Siapa kau sebenarnya, Perempuan Hina"!"
tanya Gembong Kenjeran, akhirnya.
"Kan aku sudah bilang, aku ya aku. Tapi,
agar kau tak penasaran kukira tak jeleknya aku
memperkenalkan diri. Ketahuilah! Gelarku sebenarnya tak sebagus gelarmu. Aku
Putri Hijau. Jelas"!" jelas Putri Hijau mantap.
Seketika paras Gembong Kenjeran jadi pias
begitu mendengar julukan perempuan cantik di
hadapannya, "Hm...! Jadi perempuan inikah yang bergelar Putri Hijau" Pantas saja kalau semua
seranganku dapat dipatahkan...," gumam Gembong
Kenjeran dalam hati.
Menyadari siapa perempuan cantik di hadapannya, saat itu juga nyali Gembong
Kenjeran amblas entah ke mana. Ia kini tak berani memandang remeh lagi pada Putri Hijau.
Malah justru yang dipikirkan adalah, bagaimana caranya
melarikan diri.
Begitu mendapat satu siasat, Gembong
Kenjeran melompat ke arah Ratu Adil yang masih
tertotok. Sekali renggut, tubuh murid Ratu Alit
dari Nusa Kambangan telah berada dalam ancamannya.
"Berani kau mendekat, akan kubunuh gadis ini, Perempuan Hina!" ancam Gembong
Kenjeran dengan tangan terkepal erat, siap meremukkan batok kepala Ratu Adil.
Putri Hijau kesal bukan main, sungguh tak
disangka kalau Gembong Kenjeran akan bertindak seculas itu, Untuk menyelamatkan
Ratu Adil, rasanya tak mungkin. Jangankan untuk menyelamatkan gadis itu. Untuk bergerak
saja, bukan mustahil Gembong Kenjeran akan segera menghabisi nyawa gadis itu.
"Curang! Beginikah yang namanya tindakan seorang lelaki" Memalukan!" geram Putri
Hijau. "Terserah kau mau ngomong apa, Perempuan hina! Kalau kau berani bergerak sedikit
saja, aku tak segan-segan membunuh gadis ini!"
ancam Gembong Kenjeran sembari melangkah
mendekati tubuh Dewi Bunga Bangkai yang masih tergeletak pingsan. Dan dengan
tangan kirinya, Gembong Kenjeran cepat meraih tubuh
Dewi Bunga Bangkai dan membawanya ke pundak.
Putri Hijau sama sekali tak berdaya dibuatnya, kecuali hanya menggeletukkan
geraham penuh kemarahan. Bagaimanapun juga, hatinya
amat mengkhawatirkan keselamatan Ratu Adil.
Untuk itu otaknya segera berputar keras.
"Dengar, Putri Hijau! Kalau kau berani
mengejarku, aku akan membunuh gadis ini!" teriak Gembong Kenjeran.
Di ujung teriakannya, tokoh sesat dari Hutan Kenjeran itu segera berkelebat
cepat meninggalkan tempat itu.
Putri Hijau geram bukan main. Namun belum sempat mengejar, tiba-tiba terdengar
keluhan seseorang. Maka cepat kepalanya berpaling ke
arah datangnya suara.
Ternyata, suara keluhan itu keluar dari
mulut Siluman Ular Putih. Sekali lihat saja perempuan ini tahu kalau murid Eyang
Begawan Kamasetyo itu menderita luka dalam yang parah.
Terlambat sedikit saja, bukan mustahil keselamatan Siluman Ular Putih tak akan
tertolong lagi.
Menyadari hal ini, segera diputuskannya untuk
menyembuhkan luka dalam pemuda itu terlebih
dulu. *** 7 Perlahan-lahan Putri Hijau memeriksa tubuh Siluman Ular Putih seksama. Seperti
dugaannya, ternyata pemuda itu memang menderita
luka dalam hebat. Sedikit saja terlambat mengobati, bukan mustahil nyawanya akan
melayang. Pertama-tama yang dilakukan adalah menyalurkan hawa murni ke tubuh Siluman Ular
Putih. Dengan meletakkan kedua telapak tangan
ke dada Siluman Ular Putih, Putri Hijau mulai
mengerahkan hawa murni. Tak selang beberapa
lama, hawa panas yang mengaduk-aduk dalam
tubuh murid Eyang Begawan Kamasetyo itu mulai
mereda. Namun, Siluman Ular Putih belum juga
siuman, kecuali hanya sesekali mengeluarkan keluhan.
Perlahan-lahan Putri Hijau menarik tangannya kembali. Matanya yang tajam terus memandang sekujur tubuh Siluman Ular
Putih yang menghitam seksama. Sambil menggumam, kepalanya menggeleng-geleng. Entah, apa
yang terlintas dalam benak perempuan sakti yang sebenarnya sudah berusia lanjut
itu. Meski bilur-bilur hitam akibat cengkeraman tangan-tangan bayi hitam itu agak
berkurang, namun Putri Hijau kewalahan juga. Dia tidak tahu, bagaimana harus
menyembuhkan luka
dalam Siluman Ular Putih, karena memang bukan
ahli obat. Di saat Putri Hijau tengah kebingungan
memikirkan luka dalam Siluman Ular Putih, tibatiba....
Aku adalah bangkai
Bangkai kejang nan kaku
Seorang hamba yang dating
Dengan lemah gemulai
Penuh pengakuan, juga penyesalan
Sementara api yang dinyalakan-Nya
Membakar otot-otot dan hati
Betapa sangat sempit
Lorong jalan kehidupan
Di alam dunia....
"Pasti tua bangka sinting itu yang datang
kemari," duga Putri Hijau dalam hati, lalu melangkah berdiri.
Dan kenyataannya memang benar. Belum
sempat hilang gaung suara syair itu, Putri Hijau
melihat seorang lelaki tua dengan pakaian serba
putih tengah melenggang santai di jalan setapak
yang menuju tempat bekas pertarungan.
"Wahai, Sobatku! Kemarilah! Aku butuh
bantuanmu," sapa Putri Hijau, ramah seperti biasanya. Dan tak lupa menyebut
kata-kata 'wahai'
pada setiap orang.
Lelaki tua berpakaian serba putih yang
memang Penyair Sinting menyahut. Kedua bibirnya terus melantunkan bait-bait
syairnya. Namun
toh langkahnya menghampiri Putri Hijau.
Bagiku.... Cuma ada satu keheranan
Tumpahnya mata Lemah lunglainya tulang
Berlalunya pengharapan
Manakala dirimu tahu
Tentang semua ini
Maka.... "Sudah! Sudah! Aku malas mendengar
ocehanmu, Orang Sinting! Cepat bantu aku!" ujar
Putri Hijau, sedikit ketus.
Penyair Sinting tersenyum arif. Mulutnya
tak lagi berkemik-kemik melantunkan bait-bait
syairnya. Hanya langkahnya saja yang tetap lemah gemulai menghampiri Putri
Hijau. Kelihatannya seperti melangkah biasa, namun hebatnya
cepat luar biasa. Hingga dalam waktu yang tidak
lama, sosok Penyair Sinting telah tegak di hadapan Putri Hijau.
"Hm...! Sekali lihat saja aku tahu kalau bocah gondrong ini pasti terkena
cengkeraman tangan-tangan bayi hitam keparat itu. Entah siapa
yang melakukan. Mungkin manusia jahanam Pamekasan itu," gerutu Penyair Sinting.
"Kalau sudah tahu, kenapa diam saja" Cepat obati dia!" tukas Putri Hijau tak
sabar. "Nenek cantik! Dari dulu kau selalu membentak-bentak. Apa kau pikir usiamu jauh
lebih tua dibanding aku, hingga seenaknya saja membentak-bentak aku, hah"!" sungut
Penyair Sinting.
"Ah...! Sayang sekali aku tak ada waktu
untuk meladenimu, Kakek Sinting. Lekas obati
kawanmu ini! Aku akan menolong Ratu Adil yang
tengah dilarikan Gembong Kenjeran."
"Hey! Aku sendiri akan mencari orang yang
kau sebutkan barusan itu. Apa kau melihatnya?"
"Sudahlah! Jangan banyak tanya! Kau urus
saja bocah gondrong itu!" tukas Putri Hijau, lalu
segera berkelebat cepat meninggalkan tempat itu.
"Sontoloyo! Enak saja main perintah. Dia
pikir aku ini apa?" sungut Penyair Sinting kesal.
Lebih kesal lagi manakala Penyair Sinting
mendengar suara tawa Putri Hijau di kejauhan
sana. Namun akhirnya mau juga lelaki tua ini
mengobati Siluman Ular Putih.
"Sial benar nasibmu, Bocah! Kenapa kau
biarkan tubuhmu babak belur begini," gerutu Penyair Sinting entah apa maksudnya.
Di ujung kalimatnya tangan Penyair Sinting
segera merogoh sesuatu di kantong bajunya. Ternyata yang diambil adalah sebuah
bungkusan kecil berisi bubuk-bubuk putih. Dijumputnya bubuk-bubuk putih itu, dan
ditaburkan ke sekujur
tubuh Siluman Ular Putih yang menghitam.
Cesss! Aneh! Tiba-tiba bubuk-bubuk putih itu
mengeluarkan suara seperti bara api tersiram air
tatkala ditaburkan ke sekujur tubuh Siluman
Ular Putih yang menghitam. Asap kehitamhitaman pun mengepul ke atas. Tak selang
beberapa lama, bubuk-bubuk putih itu telah berubah
menjadi hitam! Dan hebatnya lagi, sekujur tubuh
Siluman Ular Putih yang menghitam pun sirna!
Siluman Ular Putih mengerang beberapa
kali. Sementara Penyair Sinting cepat menotok
beberapa jalan darah di tubuh pemuda itu. Kini
terlihat tubuh Siluman Ular Putih pun tergetar,
karena Penyair Sinting menotoknya dengan jurus
'Totokan Jari-jari Suci'.
Kini tubuh Siluman Ular Putih tak sekadar
bergeser lagi, tapi mulai menggeliat-geliat. Kelo-
pak matanya pun perlahan-lahan mulai membuka.
"Mana tua bangka itu" Mana" Aku harus
membunuhnya. Aku harus menolong sahabatku!"
teriak Siluman Ular Putih, begitu siuman.
"Eh eh eh...! Kau memakiku, Bocah?" ujar
Penyair Sinting sambil menarik dadanya.
Siluman Ular Putih melongo. Saking kalutnya memikirkan keselamatan Ratu Adil,
pemuda itu sampai lupa terhadap Penyair Sinting. Ia malah sibuk mencari Ratu Adil dan
Gembong Kenjeran dengan pandangan matanya.
"Kau.... Kau" Bagaimana kau bisa berada
di sini, Kek?" tanya Siluman Ular Putih keheranan.
"Goblok! Siapa lagi kalau bukan karena
nenek cantik itu!" tukas Penyair Sinting.
"Maksudmu" Putri Hijau?"
"Ya!"
"Ke mana dia sekarang?"
"Tidak tahu. Katanya ingin menyelamatkan
Ratu Adil."
"Hm...! Kalau begitu, aku harus ke sana.
Aku pun harus menolong sahabatku!"
Siluman Ular Putih cepat melompat bangun. Namun, Penyair Sinting cepat menyambar
lengannya. "Tunggu! Seenaknya saja kau mau meninggalkanku," ujar Penyair Sinting,
bersungutsungut.
"Ada apa, Kek" Kenapa kau menahan langkahku?"
"Jangan sewot! Aku cuma mau tanya. Apakah kau kenal Gembong Kenjeran?"
"Bukan kenal lagi. Dialah yang melarikan
Ratu Adil."
"Oh, ya" Aku lupa. Tadi nenek cantik itu
juga bilang begitu. Tapi apakah Gembong Kenjeran yang melukaimu dengan aji
'Setan Kober'?"
"Ya!"
"Goblok!" sergah Penyair Sinting memaki
kasar. "Kau kan murid Begawan Kamasetyo. Jadi
tentu memiliki ilmu 'Tenaga Sakti Inti Kapas'.
Lantas kenapa tak kau gunakan untuk menghadapi aji 'Setan Kober'?"
"Aku tak sempat berpikir ke sana, Kek. Tapi, apakah benar jurus 'Tenaga Sakti
Inti Kapas'ku dapat mengalahkan aji 'Setan Kober'?" tanya
Siluman Ular Putih, ngeri juga bila membayangkan tangan-tangan bayi hitam itu.
"Ya."
"Ah...! Kalau begitu, aku harus cepat mencari Gembong Kenjeran."
"Bagus. Aku pun juga ingin mencarinya.
Ayo!" Tanpa banyak cakap lagi, Penyair Sinting
segera berkelebat cepat meninggalkan tempat itu.
Sementara Siluman Ular Putih tidak langsung
menyusul, melainkan segera mengambil anak panahnya yang tertancap di batang
pohon, baru kemudian berkelebat menyusul.
*** 8 Gembong Kenjeran yang tengah mabuk kepayang melihat kemolekan tubuh Ratu Adil,
seolah tak mempedulikan apa yang akan terjadi. Baginya, yang penting adalah
melampiaskan nafsu
bejatnya. Maka begitu memasuki gua tempat persembunyiannya di sekitar Hutan
Kenjeran, tanpa
banyak membuang waktu segera dibawanya Dewi
Bunga Bangkai dan Ratu Adil ke sebuah ruangan.
Ruangan itu memang tidak begitu luas. Lebarnya tak lebih dari tiga kali empat
tombak. Sebuah obor besar yang tertancap di salah satu
dinding, membuat suasana dalam ruangan gua
itu terang benderang. Di atas tumpukan jerami,
Gembong Kenjeran merebahkan tubuh Dewi Bunga Bangkai yang masih tak sadarkan
diri perlahan. Sementara tubuh Ratu Adil tetap berada dalam pondongannya.
"Lepaskan aku! Lepaskan aku, Pengecut!"


Siluman Ular Putih 25 Rahasia Kalung Permata Hijau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

teriak Ratu Adil kalap.
Gembong Kenjeran hanya tertawa bergelak,
tak sudi menuruti perintah Ratu Adil. Segera dibawanya gadis itu ke ruang
sebelah. Namun baru
saja melangkah....
"Kakang!"
Terdengar teguran seseorang, membuat
Gembong Kenjeran terpaksa menahan langkah.
Lalu badannya berbalik. Ternyata Dewi Bunga
Bangkai telah siuman. Dan memang, perempuan
cantik itulah yang tadi menegurnya.
"Kau membawa gadis itu pula, Kang?"
tanya Dewi Bunga Bangkai, sambil menggigit bibir
menahan luka dalamnya.
"Iya. Kenapa?"
"Apa kau ingin...?" tanya Dewi Bunga
Bangkai tanpa berlanjut, seolah mengerti apa
yang diinginkan Gembong Kenjeran.
"Ya! Kau sedang terluka. Jadi tak mungkin
aku bisa menikmati tubuhmu. Minumlah saja obat ini biar luka dalammu berkurang,"
ujar Gembong Kenjeran, lalu segera mengambil butiranbutiran obat dan
melemparkannya ke arah Dewi
Bunga Bangkai. Tepp! Dewi Bunga Bangkai cepat menangkap obat pemberian Gembong Kenjeran.
Gembong Kenjeran sendiri tak lagi mempedulikan Dewi Bunga Bangkai. Saat ini ia
sudah melangkah meninggalkan Dewi Bunga Bangkai
seorang diri. Walaupun Dewi Bunga Bangkai seorang
wanita yang berhati keji dan sudah terbiasa melakukan hubungan intim dengan
banyak lelaki, tetap saja merasa iri melihat Gembong Kenjeran
begitu bernafsu terhadap gadis tawanannya. Namun karena pada dasarnya wanita itu
pun tak mencintai Gembong Kenjeran, maka keresahannya cepat reda. Dan setelah menelan
obat pemberian Gembong Kenjeran, dirinya telah tenggelam
dalam semadi. *** Di ruang sebelah....
Sambil tertawa bergelak Gembong Kenjeran
merebahkan tubuh Ratu Adil ke tumpukan jerami. Tubuhnya sendiri pun segera
bersimpuh di samping si gadis. Sepasang matanya yang berwarna merah saga tak henti-hentinya
menjilati setiap lekuk tubuh murid Ratu Alit dari Nusa Kambangan.
"Mau kau apakan aku, Pengecut"!" teriak
Ratu Adil, kalut bukan main.
Inilah saat-saat yang paling mendebarkan
bagi gadis itu. Meski belum pernah mengalami,
namun naluri kewanitaannya mengatakan kalau
dirinya bakal mengalami musibah yang jauh lebih
mengerikan dibanding kematian!
"Kau tentunya tahu, Manis. Ilmu silatmu
hebat. Kuharap, di atas ranjang pun kau jauh lebih hebat. Ayo, tunjukkan
kehebatanmu, Manis!"
oceh Gembong Kenjeran dengan jakun turun
naik. Nyaris mau muntah Ratu Adil mendengar
ucapan Gembong Kenjeran. Pandangan lelaki itu
pun seolah hendak menelan dirinya bulat-bulat.
Berkali-kali gadis ini berusaha melepaskan totokan, namun tetap saja tak mampu.
Malah tarikan-tarikan napasnya makin membuat Gembong
Kenjeran menelan liurnya sendiri.
"He he he...! Tubuhmu tampak makin
menggairahkan bila kau menggeliat-geliat seperti
itu, Manis," kekeh Gembong Kenjeran. Jari-jari
tangannya yang kasar pun mulai merenggut kain
penutup tubuh Ratu Adil.
Bret! Bret! Dua kali tangan Gembong Kenjeran bergerak, maka seketika itu juga pakaian Ratu
Adil robek. Kini satu pemandangan indah terbentang di
depan mata. Ratu Adil menjerit-jerit kalap. Ingin rasanya ia menutupi bagian-bagian tubuhnya
yang amat mengundang gairah bagi setiap laki-laki.
Namun sayang, hal itu tak mampu dilakukan.
Tanpa sadar matanya berair saking ngerinya
membayangkan musibah yang bakal menimpa dirinya.
Sementara mata Gembong Kenjeran sendiri
seolah terpaku menatap tubuh mulus di hadapannya. Ingin rasanya ia segera
menubruknya. Namun entah kenapa, tiba-tiba pandang matanya
jadi liar tatkala melihat seutas kalung yang dihiasi permata indah warna hijau
di leher Ratu Adil!
Untuk sesaat Gembong Kenjeran terpaku
laksana melihat setan di siang bolong. Ratu Adil
yang belum menyadari apa yang tengah bergolak
dalam hati Gembong Kenjeran makin berteriakteriak kalap. Lebih kalap lagi
manakala wajah Gembong Kenjeran mulai mendekati wajahnya.
Dan saking tidak kuatnya menahan musibah
yang bakal menimpa dirinya, gadis ini hanya memejamkan matanya. Air matanya pun
terlihat makin membasahi pipi.
Bret! Ratu Adil terkesiap ketika merasakan sesuatu tanggal dari lehernya. Setelah itu,
ia tak merasakan apa-apa. Hanya dengusan-dengusan
Gembong Kenjeran saja yang terdengar. Perlahanlahan, si gadis memberanikan diri
membuka kelopak matanya.
Sungguh jauh di luar perkiraan Ratu Adil.
Ternyata Gembong Kenjeran bukannya tengah
memandangi tubuhnya yang polos, melainkan
tengah memandangi kalung permata hijau yang
direnggutnya barusan.
"Pengecut! Berikan kalung itu!" teriak Ratu
Adil begitu menyadari kalau pemberian gurunya
telah direnggut Gembong Kenjeran. Baginya, kalung itu adalah segala-galanya,
karena satusatunya bukti untuk dapat menemukan ayah
kandungnya. "Dari mana kau dapatkan kalung itu"!"
bentak Gembong Kenjeran dengan pandang mata
nanar. Suara bentakannya pun tak lagi segalak
tadi. Malah, Ratu Adil seperti merasakan getarangetaran aneh dalam bentakan
barusan. "Berikan kalung itu, Pengecut!"
"Jawab dulu pertanyaanku! Aku tak akan
memberikan kalung ini sebelum kau menjawab
pertanyaanku!"
Ratu Adil memekik penuh kemarahan.
Namun karena tak ada pilihan lain, akhirnya dipenuhinya permintaan Gembong
Kenjeran. "Aku.... Aku mendapatkan kalung itu dari
guruku," jawab Ratu Adil.
"Siapa gurunya?" kejar Gembong Kenjeran.
"Ratu Alit."
"Hm...! Lalu, bagaimana kalung ini sampai
bisa jatuh ke tangan gurumu" Jawab dengan jujur!"
Ratu Adil menelan ludahnya sebentar. "Guruku.... Guruku mendapat kalung itu dari
seorang perempuan yang tengah sekarat di tepi pantai Nusa Kambangan...."
Gadis itu lantas menceritakan latar belakang hidupnya seperti waktu Ratu Alit
menceritakan kepadanya. Sejak ia ditemukan, sampai dirinya turun gunung.
Lengkap, tanpa ditambah
dan dikurangi. (Untuk mengetahui latar belakang
Ratu Adil, silakan baca episode : "Setan Haus Darah").
Sementara Gembong Kenjeran yang mendengar cerita Ratu Adil malah makin tegang
wajahnya.... *** Gembong Kenjeran bungkam seribu bahasa
begitu Ratu Adil selesai bercerita. Entah kenapa
tiba-tiba raut wajah tokoh sesat dari Hutan Kenjeran ini jadi sedih. Kedua
bibirnya pun berkemikkemik. Entah, apa yang tengah dipikirkan. Bahkan kini
didekapnya erat-erat kalung itu dalam
dadanya. "Jadi, kaukah bayi perempuan itu?" tanya
Gembong Kenjeran, seperti ingin meyakinkan diri.
"Yah...! Akulah bayi perempuan itu," sahut
Ratu Adil, mantap.
"Jadi.... Jadi" Ah...!" keluh Gembong Kenjeran sedih bukan main.
Paras lelaki ini yang biasanya garang, entah kenapa jadi muram. Seolah tengah
menanggung derita yang teramat sangat.
"Katakan! Siapa nama ayahmu yang sedang kau cari itu!" pinta Gembong Kenjeran
bergegas. Jantungnya makin berdetak keras, khawatir kalau jawaban gadis itu sama
dengan apa yang
ada dalam benaknya.
"Guruku bilang, kalau aku ingin bertemu
ayah kandungku, aku harus mencari seseorang
yang bernama Gendon Prakoso. Dialah ayah kandungku!"
Mencelos hati Gembong Kenjeran mendengar jawaban gadis itu. Jelas nama Gendon
Prakoso terucap dari bibir gadis yang hendak diperkosanya! Wajahnya seketika
jadi pucat pasi.
"A.... Akulah Gendon Prakoso itu, Nak....
A... Aku ayah kandungmu...! Maafkan aku, Nak....
Ohh.... Terkutuknya ak...!" desah Gembong Kenjeran mirip kerbau mau disembelih.
"Kau.... Kaukah Gendon Prakoso" Oh...!"
pekik Ratu Adil, tak kalah kaget.
Lalu, entah kenapa tiba-tiba Ratu Adil menangis menyayat. Entah bahagia dapat
menemukan ayah kandungnya kembali, entah benci melihat ayah kandungnya ternyata
seorang penjahat
keji. Bahkan hampir saja menodai dirinya!
Gembong Kenjeran tergugu di tempatnya.
Napasnya memburu menahan guncangan dalam
hatinya. Untuk sesaat lelaki yang semula garang
ini seperti tak tahu apa yang harus diperbuat. Perasaan bersalah terhadap
mendiang istrinya yang
dulu diperlakukan sewenang-wenang, juga perasaan berdosa karena hampir saja
menodai putri kandungnya sendiri, begitu memukul batinnya.
Namun manakala melihat Ratu Adil masih tertotok, segera dibebaskannya totokan
itu. "Ayah...!" pekik Ratu Adil mengharukan,
langsung dipeluknya Gembong Kenjeran.
Gendon Prakoso alias Gembong Kenjeran
mendekap erat-erat. Perasaan yang semula begitu
menggebu-gebu ingin merusak kehormatan Ratu
Adil, kontan sirna begitu mengetahui kalau gadis
itu adalah putri kandungnya sendiri.
"Sekali lagi. Maafkan ayahmu, Nak! Maafkan ayahmu...!" ucap Gembong Kenjeran
merintih lirih dan bergetar.
Ratu Adil diam tak menyahut, tapi justru
lebih senang menghamburkan tangisnya dalam
pelukan ayah kandungnya yang amat dirindukan.
"Kenapa kau diam saja, Anakku" Apa kau
tak sudi memaafkan ayahmu yang telah bergelimangan dosa?" tanya Gendon Prakoso.
Ratu Adil menggeleng-geleng pelan. Kedua
bahunya tampak masih bergerak turun naik.
Gembong Kenjeran sedih sekali melihat
keadaan putri tunggalnya. Apalagi manakala melihat wajah putrinya yang bersimbah
airmata. Hampir saja lelaki ini tak kuat menahan guncangan dalam hatinya.
"Maafkan ayahmu, Nak! Maafkan ayahmu...!" ucap Gembong Kenjeran.
Untuk sesaat Ratu Adil masih membungkam.
"Sebenarnya masih ada satu hal yang mesti
kusampaikan padamu. Ayah," kata Ratu Adil.
"Tentang apa?" tanya Gendon Prakoso.
"Tentang Teguh Sayekti...."
"Teguh Sayekti" Siapa dia?"
"Kakak Kandungku!"
"Astaga..."! Ya, ampun.... Oh, Gusti.... Ampunkan hamba-Mu yang hina ini. Dengan
anak sulungku pun aku lupa...."
Bukan main terpukulnya Gendon Prakoso,
betapa selama ini anak sulungnya pun terlupakan. Ingin rasanya ia menjerit, tapi
berusaha ditahannya.
"Ba... bagaimana kabar kakak kandungmu" Sejak kutinggal, aku tak pernah
mendengarnya lagi. Apakah kau pernah bertemu dengannya?" tanya Gendon Prakoso,
berdebar. "Kami berjumpa setelah sama-sama dewasa, Ayah. Tapi sayang, perjumpaan itu
teramat singkat. Kakang Teguh Sayekti telah tewas di tangan Hantu Tangan Api!" jelas
Ratu Adil, kelu. (Untuk jelasnya baca episode : "Warisan Agung").
"Keparat! Huh! Aku harus membuat perhitungan dengannya!" desis Gendon Prakoso.
"Tak perlu, Ayah. Hantu Tangan Api telah
dimusnahkan oleh Siluman Ular Putih," jelas Ratu Adil, membuat ayah kandungnya
kembali tergugu.
"Oh, Gusti. Betapa hatiku telah berlumur
dosa.... Maafkan aku, Teguh.... Ayah telah berdosa terhadapmu.... Semoga kau
tenang di alam sana..."
"Bahkan guru Kakang Sayekti pun telah
tewas...," lanjut Ratu Adil.
"Siapa gurunya?"
"Kakek Pikun dari Gunung Slamet. Dan
ayah sendirilah yang membunuhnya...," jelas Ratu Adil terus terang.
"Ohh...!"
Hanya itu yang keluar dari mulut Gendon
Prakoso. Makin galau saja hatinya. Keangkuhannya kini terbang entah ke mana.
Dosa-dosanya terdahulu seolah membuat keangkerannya pudar.
Yang ada kini hanya rasa penyesalan.
"Se.... Sebenarnya sulit sekali memaafkan
kesalahanmu. Ayah. Tapi.... Tapi, baiklah. Aku
akan memaafkanmu. Asal, Ayah sudi meninggalkan jalan sesat yang selama ini kau
tempuh." Gembong Kenjeran tercekat. Memang
keangkerannya telah hilang. Tapi ada hal lain
yang mengganggu benaknya. Yakni, perjanjiannya
dengan Eyang Pamekasan.
"Bagaimana, Ayah" Apakah kau keberatan?"
Gembong Kenjeran tetap masih membungkam. Hatinya gelisah sekali. Berkali-kali ia


Siluman Ular Putih 25 Rahasia Kalung Permata Hijau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghela napas resah.
"Kalau kau keberatan, sebaiknya bunuh
saja aku, Ayah. Atau, terserah mau kau apakan
aku," desak Ratu Adil.
"Tidak! Tidak mungkin aku mencelakakanmu, Nak. Dosa-dosaku sudah bertumpuk.
Aku menyesal. Menyesal sekali."
"Kalau begitu, berarti Ayah masih senang
bergelimangan dunia sesat! Apa Ayah juga masih
menginginkan nyawa Siluman Ular Putih dan Penyair Sinting" Padahal, merekalah
yang membela Kakang Teguh Sayekti mati-matian."
Berat sekali rasanya menjawab pertanyaan
Ratu Adil, Gembong Kenjeran mengeluh berulangulang. Parasnya pun menegang.
"Apakah kau tidak ingin meninggalkan dunia sesat, lalu hidup bersama putrimu,
Ayah?" bujuk Ratu Adil.
"Aku.... Aku... sudah bersumpah pada seseorang untuk membunuh Siluman Ular Putih
dan Penyair Sinting...."
"Lupakan sumpah itu, Ayah!"
"Tidak semudah itu, Putriku, Orang itu
pasti akan membunuhku."
"Nyawa terletak bukan pada tangan seseorang, Ayah! Melainkan pada Yang Maha
Kuasa. Kalau Yang Maha Kuasa menghendaki nyawa
Ayah sekarang juga, itu bukan pekerjaan sulit.
Demikian juga sebaliknya,"
"Sungguh kau bijaksana sekali, Anakku.
Terus terang aku jadi malu. Baiklah! Mulai sekarang, akan kutinggalkan dunia
sesat. Dan kita hidup bersama."
"Terima kasih, Ayah! Akhirnya kau sadar
juga," kembali Ratu Adil menubruk Gembong
Kenjeran dan memeluknya erat-erat.
"Justru aku yang patut berterima kasih
padamu, Anakku. Oh, ya. Sebenarnya, siapa nama aslimu, Anakku?"
"Yustika, Ayah."
"Nah...! Sekarang lekas kenakan kembali
pakaianmu, Yustika. Aku ingin mengajakmu pergi
ke tempat yang jauh."
"Baik, Ayah."
Buru-buru Ratu Adil melepaskan pelukan
ayahnya. Agak malu juga hatinya manakala dirinya masih telanjang. Maka cepat
pakaiannya dikenakan kembali.
Sementara Ratu Adil mengenakan pakaiannya, tampak Gembong Kenjeran duduk
berlutut menghadap dinding-dinding gua. Parasnya
menegang. Kedua bibirnya pun berkemik-kemik.
"Guru...! Maafkan muridmu, Guru! Terpaksa aku harus mencabut sumpahku. Demi
menunjukkan kasih sayangku terhadap putri tunggalku,
aku rela mengkhianatimu. Hukumlah aku! Hukumlah aku kalau kau menghendaki,
Guru...," bisik hati Gembong Kenjeran.
*** 9 Aneh! Tiba-tiba permukaan air sendang tempat
Eyang Pamekasan bertapa bergolak. Semula
hanya gelembung-gelembung kecil saja, namun
tak selang berapa lama air sendang itu bahkan
membuncah tinggi ke udara!
Bersamaan dengan itu, mendadak muncul
satu sosok tubuh berpakaian serba hitam dari
dasar sendang. Mula-mula yang terlihat hanya
kepalanya, lalu disusul sosoknya yang masih dalam keadaan bersemadi!
"Bajingan! Kau harus membayar mahal
atas pengkhianatanmu ini, Muridku!" dengus kakek yang memiliki wajah tirus dan
rambut putih digelung ke atas penuh kemarahan. Sepasang
matanya yang berwarna merah saga tampak mencorong beringas. Lalu dengan ilmunya
yang tinggi, perlahan-lahan sosok renta yang masih dalam
keadaan bersemadi itu mulai bergerak menuju
tepian sendang. Hebatnya lagi, begitu tiba di tepian sendang dan melompat
keluar, ternyata pakaian yang dikenakan tidak basah!
Bukan main! Entah menggunakan ilmu
apa hingga kakek renta yang memang Eyang Pamekasan ini mampu melakukan hal
seperti itu. "Setan alas! Jangan dikira aku tak tahu di
mana tempat persembunyianmu, Murid Keparat!"
maki Eyang Pamekasan tak dapat lagi mengendalikan amarah.
Andai saja saat itu muridnya yang bernama
Gembong Kenjeran ada di hadapannya, sudah
pasti Eyang Pamekasan akan melabraknya. Namun sayang, Gembong Kenjeran tak
berada di tempat itu. Terpaksa Eyang Pamekasan harus
menangguhkan hawa amarahnya yang menggelegak sampai ubun-ubun.
Di lain kejap, Eyang Pamekasan segera
berkelebat cepat meninggalkan tempat pertapaannya. Dengan ilmu meringankan
tubuhnya hebat luar biasa, sosoknya telah meluncur cepat
laksana anak panah terlepas dari busur.
"Kenapa kau bersedih. Ayah" Apa kau tidak senang hidup bersamaku?"
Terdengar suara lembut Ratu Adil mengusik keresahan ayahnya.
Gembong Kenjeran yang saat itu masih
duduk berlutut menghadap dinding gua hanya
menghela napas sesak. Tampak sekali kalau lelaki
berjubah kuning ini tengah gelisah memikirkan
ancaman gurunya. Ia yakin sekali kalau Eyang
Pamekasan akan menuntut tanggung jawab atas
pengkhianatannya. Cepat atau lambat!
"Ada apa, Ayah" Kenapa kelihatan sedih?"
usik Ratu Adil lagi.
"Aku bingung, Putriku. Entah kenapa tibatiba saja aku mengkhawatirkan bila
guruku meminta tanggung jawabku," keluh Gembong Kenjeran, mendesah.
Ratu Adil melangkah mendekat. Ia yang kini telah mengenakan pakaiannya kembali
tampak begitu anggun walau robek di sana-sini. Gembong
Kenjeran yang melihat robekan-robekan kain putrinya hanya tersenyum kecut.
"Bangunlah, Ayah! Tak ada gunanya Ayah
tenggelam dalam kesedihan. Apalagi mengkhawatirkan sesuatu yang belum jelas,"
ujar Ratu Adil sambil merengkuh bahu ayahnya.
Gembong Kenjeran menurut dipapah putrinya. Melihat kasih sayang Ratu Adil yang
amat mendalam terhadap dirinya, lelaki ini menjadi
semakin trenyuh. Hal ini pula yang diam-diam
membuatnya bertekad untuk meninggalkan dunia
sesat yang selama ini digeluti.
"Kau benar, Yustika. Kupikir, tak ada gunanya mengkhawatirkan suatu kejadian
yang belum jelas. Kalau guruku, Eyang Pamekasan ingin
menghukumku karena tak mentaati perintahnya,
aku sudah siap. Mati pun aku tak peduli. Hanya
yang kukhawatirkan, kalau semisalnya aku mati,
lalu kau akan hidup dengan siapa?"
"Sebaiknya Ayah tak perlu punya perasaan
apa-apa terhadapku maupun terhadap hal-hal
yang belum jelas. Semua ini terserah pada titah
Yang Maha Kuasa. Kita serahkan saja semua persoalan ini pada-Nya. Niscaya kita
akan mendapat kedamaian."
"Baiklah, Putriku. Aku akan menuruti apa
yang kau nasihatkan."
"Maaf, Ayah! Aku bukannya menasihati
atau mengguruimu," ucap Ratu Adil malu-malu.
"Tidak. Kau memang pantas menasihati
maupun mengguruiku, Putriku. Sebab, kau memang lebih arif dibanding ayahmu!"
"Ah...! Sudahlah! Kenapa Ayah malah memujiku" Nanti aku jadi besar kepala, lho?"
seloroh Ratu Adil. "Kau memang pantas berbesar kepala, Putriku. Habis, kau memang jauh lebih hebat
dibanding ayahmu."
"Ah...! Ayah ini bisa saja! Kalau kepalaku
besar, nanti siapa yang mau menjadi menantumu?"
"Jadi" Kau sudah punya kekasih, Putriku?"
"Hm...!"
Ratu Adil tak langsung menjawab. Entah
kenapa tiba-tiba saja di benaknya terbayang wajah Siluman Ular Putih. Semakin
diingat, hatinya
semakin gelisah saja. Padahal belum ada setengah hari berpisah dengan Siluman
Ular Putih. Tapi, rasa-rasanya seperti sudah lama sekali.
"Aneh! Ada apa sebenarnya dengan hatiku"
Kenapa aku seperti merasakan ada sesuatu yang
hampa dalam hatiku...?" desah Ratu Adil dalam
hati. "Lho..." Kok, malah melamun?"
"Ah..., Ayah. Mengagetkanku saja," kata
Ratu Adil malu-malu.
Gembong Kenjeran tertawa. Alangkah lepasnya suara tawa itu terdengar di telinga
Ratu Adil. Seolah, tak memiliki beban lagi.
"Pasti kau sedang memikirkan seseorang.
Siapakah pemuda yang beruntung itu, Putriku?"
cecar Gendon Prakoso alias Gembong Kenjeran.
"Sudah, ah! Kenapa Ayah jadi cerewet, sih"
Katanya ingin mengajakku pergi ke tempat yang
jauh?" tukas Ratu Adil, sengaja mengalihkan
pembicaraan. "Ayo! Tapi kapan-kapan kau kenalkan kekasihmu itu padaku, ya!" goda Gembong
Kenjeran gembira. Ratu Adil cemberut.
Gembong Kenjeran tertawa senang seraya
merengkuh bahu Ratu Adil. Diajaknya gadis itu
untuk keluar dari gua tempat persembunyian.
"Kakang! Apakah kau hendak meninggalkanku?"
Tiba-tiba terdengar suara halus seseorang
bernada menegur. Seketika Gembong Kenjeran
dan Ratu Adil memalingkan kepala ke arah datangnya suara.
Di ruang sebelah dalam gua, Dewi Bunga
Bangkai tengah melangkah mendekati Gembong
Kenjeran dan Ratu Adil. Tampak wajah perempuan cantik itu tak lagi pucat,
pertanda luka dalamnya mulai berangsur sembuh.
"Ayah! Biarkan aku menghajar wanita keparat ini. Ayah!" Ratu Adil memberontak
dari rengkuhan tangan ayahnya.
"Tunggu, Putriku! Kau tak boleh sembarangan menurunkan tangan maut!" cegah
Gembong Kenjeran.
"Kenapa?" tanya Ratu Adil gusar. Bagaimanapun juga, gadis ini masih penasaran
belum dapat merobohkan Dewi Bunga Bangkai.
"Kakang Gembong Kenjeran! Biarkan gadis
sial itu bertingkah! Aku ingin melihat, sampai di
mana kehebatannya!" tukas Dewi Bunga Bangkai
sengit. "Jangan sembarangan bicara, Dewi Bunga
Bangkai! Gadis ini tak lain dari putriku. Siapa saja yang berani mengganggunya,
aku tak akan tinggal diam!" hardik Gembong Kenjeran.
"Jadi" Kau lebih memilih gadis sial itu dibanding aku, Kakang Gembong
Kenjeran"!" teriak
Dewi Bunga Bangkai, seolah tak percaya melihat
perubahan sikap Gembong Kenjeran.
"Dia putriku. Bagaimanapun juga, aku
akan membelanya."
"Hm...! Jadi, kau mulai tak menyukaiku,
ya"! Baik! Jangan dikira aku akan diam begitu saja menerima penghinaan orang!"
sentak Dewi Bunga Bangkai. "Pergilah! Tak ada gunanya kau mengancamku!"
"Baik! Aku memang akan meninggalkan
tempat ini. Tapi, ingat! Aku pasti akan datang
menuntut balas," dengus Dewi Bunga Bangkai
penuh kemarahan. Di akhir kalimatnya, murid
Ratu Bangkai dari Lembah Selaksa Kematian itu
segera berkelebat cepat meninggalkan tempat itu.
Gembong Kenjeran memandangi kepergian
Dewi Bunga Bangkai sedih. Bukan sedih karena
ditinggal, melainkan sedih karena sudah telanjur
bergaul akrab dengan perempuan cantik itu.
"Ayo, kita tinggalkan tempat ini, Putriku!"
ajak Gembong Kenjeran mendahului, karena tak
ingin mendengar pertanyaan putrinya tentang
hubungannya dengan Dewi Bunga Bangkai.
"Baik," sahut Ratu Adil singkat.
Gembong Kenjeran segera mengajak putrinya keluar. Namun baru saja hendak
melangkah, tiba-tiba....
"Gembong Kenjeran! Keluar! Aku datang
ingin menemuimu!"
Gembong Kenjeran gusar bukan main ketika tiba-tiba mendengar bentakan keras dari
luar gua. Hatinya khawatir kalau-kalau Eyang Pamekasan yang datang ingin meminta
pertanggungjawabannya. Tanpa sadar kepalanya berpaling memandang pada Ratu Adil,
seolah-olah ingin minta
pertimbangan. Ratu Adil mengangguk. Maka Gembong
Kenjeran pun segera mengajak putrinya keluar
dari tempat persembunyian.
*** 10 Di luar gua tempat persembunyian, seorang lelaki tua berpakaian ringkas berwarna
biru telah menunggu kedatangan Gembong Kenjeran.
Tubuhnya amat kurus. Rambutnya awut-awutan
tak terawat. Dari wajahnya yang kepucatan tampak dipenuhi tonjolan-tonjolan
daging hidup. Dia
tak lain adalah Peramal Maut.
Melihat siapa yang datang, Gembong Kenjeran jadi menghela napasnya lega. Tanpa
banyak membuang waktu putrinya segera diajak keluar
dari mulut gua yang tertutup semak belukar.
"Hup! Hup!"
Kini Gembong Kenjeran dan Ratu Adil telah
berdiri tegak di hadapan Peramal Maut. Mereka
sejenak saling berpandangan. Sementara bagi Peramal Maut, hatinya merasa heran


Siluman Ular Putih 25 Rahasia Kalung Permata Hijau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melihat Ratu Adil bersama Gembong Kenjeran.
"Hm...! Rupanya gadis bengal itu sudah
dapat kau tundukkan, Gembong Kenjeran," gumam Peramal Maut, sembarangan.
"Jangan bicara sembarangan, Peramal
Maut! Dia putriku," hardik Gembong Kenjeran.
"Oh...! Putrimu?" sentak Peramal Maut
membelalak lebar. Lalu pandangannya dialihkan
ke arah Ratu Adil. "Benar kan apa yang kuramalkan beberapa hari lalu" Ternyata
orang yang kau cari tak seperti yang kau harapkan, bukan?"
"Tak semua ramalanmu benar, Peramal
Maut. Buktinya aku dapat membujuk ayahku untuk kembali ke jalan lurus," sergah
Ratu Adil sengit. (Untuk mengetahui ramalan Peramal Maut
terhadap Ratu Adil, harap baca episode: "Setan
Haus Darah").
"Oho..." Kembali ke jalan lurus" Benarkah"
Apa tidak salah pendengaranku?"
"Tidak, Peramal Maut. Berkat nasihat putriku, sekarang aku sadar. Aku tak ingin
bergelimang dosa lagi!" tegas Gendon Prakoso.
Peramal Maut tertawa bergelak. Lucu sekali
melihat Gembong Kenjeran yang sebelumnya tokoh sesat tiba-tiba bertekuk lutut
hanya karena mendengar nasihat seorang gadis.
"Bukan main. Ini benar-benar satu kejutan. Gembong Kenjeran ternyata bertekuk
lutut hanya karena seorang gadis. Ha ha ha...!" tawa
Peramal Maut terdengar sangat melecehkan.
"Peramal Maut! Apa kau datang kemari
hanya untuk memperolokku?" tegur Gembong
Kenjeran tak senang.
Peramal Maut menghentikan tawanya. Sepasang matanya mendadak menatap tajam
Gembong Kenjeran.
"Tidak! Buat apa aku memperolokmu. Tidak diperolok pun kau sudah merasa malu.
Aku datang kemari hanya ingin menagih janjimu."
"Janji" Janji apa?"
"Ha ha ha...! Hm.... Beginikah ciri-ciri
orang yang sudah tobat" Heran" Kenapa bisa lupa" Bukankah kau akan memberikan
obat penawar racun kalau aku sudah menyampaikan pesanmu pada Siluman Ular Putih
dan Penyair Sinting" Nah! Sekarang apa yang kau inginkan sudah
kulaksanakan. Mungkin sebentar lagi mereka
akan kemari. Ayo! Sekaranglah saatnya kau
memberikan obat penawar racun itu."
"Hm...! Baik," sahut Gembong Kenjeran.
Tangan kanannya segera mengambil butiran kuning dari satu jubahnya, dan
dilemparkan ke arah
Peramal maut. "Terimalah obat penawar racun
ini, Peramal Maut!"
Werrr! Werrr! Dengan sigap Peramal Maut segera menangkap butiran-butiran kuning yang meluncur
deras. Hebatnya, kedua telapak tangan Peramal
Maut kontan bergetar keras manakala menangkap. Padahal, kelihatannya Gembong
Kenjeran hanya melemparkan pelan saja!
Untuk menutupi keterkejutannya, Peramal
Maut hanya tertawa. Hatinya sebenarnya merasa
heran juga. Sungguh tak disangka kalau akan
mendapat obat penawar racun begitu mudah.
Seandainya saja Gembong Kenjeran belum bertobat, bukan mustahil Peramal Maut
akan mendapat kesulitan. Bahkan bukan mustahil pula nyawanya akan melayang.
"Terima kasih. Sekarang aku baru percaya
kalau kau telah bertobat," ujar Peramal Maut. Lalu buru-buru ditelannya dua
butiran kuning pemberian Gembong Kenjeran. (Untuk mengetahui Peramal Maut terkena racun oleh
Gembong Kenjeran, silakan baca episode : "Wasiat Kematian"),
Begitu merasakan kesegaran dalam tubuhnya, Peramal Maut tersenyum senang.
Dipandanginya Gembong Kenjeran dengan mata berbinar.
"Sekarang urusan di antara kita tuntas sudah. Dan karena tak ada lagi yang patut
dibicarakan, aku pun tak ingin lagi berlama-lama di tempat ini. Selamat
tinggal!" kata Peramal Maut.
Namun belum sempat lelaki tua itu menjejakkan kakinya ke tanah hendak berkelebat
meninggalkan tempat itu, mendadak....
"Murid murtad! Aku datang meminta pertanggung-jawabanmu!"
Peramal Maut terkesiap ketika terdengar
bentakan dari sebelah barat, ia seperti mengenali
bentakan barusan itu.
"Dia datang. Aku harus dapat memanfaatkannya untuk melampiaskan dendamku pada
Gembong Kenjeran," batin Peramal Maut.
Seperti yang dialami Peramal Maut, Gembong Kenjeran juga terkejut bukan main.
Meski sosoknya belum kelihatan, lelaki ini tahu siapa
pemilik suara itu.
Dan kenyataannya memang benar. Belum
sempat hilang gaung bentakan, tiba-tiba dari sebelah barat Hutan Kenjeran muncul
sesosok bayangan hitam-hitam ke tempat itu. Sosok itu
adalah seorang lelaki tua renta berpakaian serba
hitam. Rambutnya yang putih digelung ke atas.
Dia tak lain dari Eyang Pamekasan!
Dengan ilmu meringankan tubuhnya yang
cepat luar biasa, ternyata Eyang Pamekasan telah
tiba di tempat persembunyian Gembong Kenjeran.
Tidak mengherankan memang. Eyang Pamekasan
yang sebenarnya memiliki aji 'Penuntun Sukma'
yang belum pernah diturunkan pada siapa pun,
tentu saja dapat menemukan tempat persembunyian Gembong Kenjeran dengan mudah.
"Benarkah kau telah mengkhianati perintahku, Gendon Prakoso?"
Seketika paras Gembong Kenjeran pucat
pasi. Untuk beberapa saat lelaki ini tak mampu
membuka suara. Hatinya tegang. Seumur hidupnya baru kali ini hatinya merasa
tegang dan takut. Takut akan ajalnya, juga takut akan berpisah
dengan putrinya.
"Kenapa diam saja, Gendon"! Benarkah
kau telah mengkhianati perintahku?"
"Ha ha ha...! Sungguh malang nasibmu,
Pamekasan. Punya murid tapi tak mau berbakti.
Buat apa murid macam itu" Bikin sakit gigi saja!"
selak Peramal Maut memanas-manasi.
"Diam kau, Peramal Maut! Aku tak butuh
ocehanmu!" bentak Eyang Pamekasan.
"Ha ha ha...! Kau akan menyesal besar kalau tak mau mendengar ocehanku,
Pamekasan. Akulah saksi atas pengkhianatan muridmu," kata
Peramal Maut, kian membuat Eyang Pamekasan
penasaran. "Gendon Prakoso! Benarkah apa yang diucapkan, Peramal Maut?"
"Maaf, Guru! Dengan sangat terpaksa, murid mencabut semua sumpah yang pernah
diucapkan," ucap Gembong Kenjeran sambil menangkupkan kedua telapak tangan ke
depan dada. "Kau dengar sendiri, apa yang diucapkan
murid kesayanganmu itu, kan?" selak Peramal
Maut lagi, mengejek.
"Bangsat! Jadi benar kau telah mengkhianatiku, Murid Murtad"!"
"Adalah kekejian di atas kekejian bila seseorang menghalang-halangi seseorang
untuk kembali ke jalan lurus. Semua ini harusnya diterima dengan lapang dada. Bukan
malah sebaliknya!" sela Ratu Adil.
"Bocah lancang! Beraninya kau menasihatiku! Siapa kau sebenarnya, he"!" bentak
Eyang Pamekasan. "Dia itu putri kandung muridmu, Pamekasan. Dan dia pulalah yang telah membuat
muridmu keblinger."
"Kurang ajar! Berarti kalian berdua memang patut mampus di tanganku! Minggir!"
Eyang Pamekasan mendorong tubuh Peramal Maut kasar. Lalu dengan kemarahan
memuncak, diterjangnya Gembong Kenjeran dengan
ganas. Wutt! Wuttt! Angin berkesiur keras manakala bogem
mentah Eyang Pamekasan berkelebat.
Anehnya Gembong Kenjeran tetap tegak di
tempatnya. Sedikit pun tidak ada niatan untuk
menghindar atau menangkis. Malah, serangan
gurunya diterima dengan mata terbuka. Akibatnya....
Bukkk! Bukkk! Telak sekali bogem mentah Eyang Pamekasan mendarat di dada Gembong Kenjeran.
Seketika tubuh lelaki itu terpental ke belakang, dan terbanting keras. Darah
segar kontan menyembur
dari mulutnya. Gembong Kenjeran mengerang hebat. Dadanya yang terkena hantaman
seolah mau jebol! "Ayah!" jerit Ratu Adil memilukan.
Gadis itu segera menubruk ayahnya dan
berusaha membangunkannya. Namun, Gembong
Kenjeran malah menggelengkan kepala.
"Hukumlah aku kalau kau menghendaki,
Guru! Aku memang bersalah. Aku patut mendapat hukumanmu! Tapi, tolong! Jangan
libatkan putriku dengan masalahku ini!"
Eyang Pamekasan menggeram penuh kemarahan. Sekali menjejak kembali diterjang
Gembong Kenjeran ganas. Kali ini tendangan kakinya yang keras kembali siap
mengancam dada.
Lagi-lagi Gembong Kenjeran tetap tak mau
bergeming dari tempatnya. Melihat itu, Ratu Adil
jadi gusar sekali. Tanpa pikir panjang segera disambarnya tubuh ayahnya untuk
menghindar. Bukan main geramnya hati Eyang Pamekasan melihat Ratu Adil ikut campur tangan.
Menyadari serangannya hanya mengenai angin ko-
song, lelaki tua sesat itu jadi kian beringas. Sepasang matanya yang mencorong
tampak demikian
mengerikan memandang ke arah Ratu Adil dan
Gembong Kenjeran. Dan kini, selangkah demi selangkah didekatinya ayah beranak
itu. "Selamatkanlah dirimu, Anakku! Cepat!"
ujar Gembong Kenjeran gusar bukan main.
"Tidak! Apa pun yang akan terjadi tak
mungkin aku meninggalkanmu. Ayah!" tegas Ratu
Adil. "Tapi...."
"Tanggalkan kepala putrimu dulu baru
kuizinkan pergi!" tuding Eyang Pamekasan ke
arah Ratu Adil.
Di ujung kalimatnya Eyang Pamekasan tak
segan-segan lagi kembali melabrak Gembong Kenjeran dan Ratu Adil.
Wuttt! Wuttt! Kembali tendangan-tendangan kaki Eyang
Pamekasan mengancam ayah dan anak itu. Seperti sebelumnya, Gembong Kenjeran
tetap tak mau bergeming dari tempatnya. Lelaki itu tetap
duduk berlutut menunggu hukuman gurunya.
Namun belum sempat serangan Eyang Pamekasan mengenai dada, tiba-tiba Gembong
Kenjeran melihat selarik sinar putih memapak datangnya serangan.
Srattt! Eyang Pamekasan terkesiap kaget. Buruburu kakinya ditarik kalau tidak ingin
terbabat sambaran pedang di tangan Ratu Adil.
"Kurang ajar! Beraninya kau menghalang-
halangi maksudku, Gadis! Makanlah pukulan
'Pelebur Bumi'-ku! Hea!"
Dikawal bentakan nyaring, Eyang Pamekasan yang tak dapat lagi mengendalikan
amarah segera melontarkan pukulan maut ke arah Ratu
Adil. Seketika meluruk dua larik sinar hitam legam dari kedua telapak tangannya
siap melabrak tubuh Ratu Adil.
Wesss! Wesss! Ratu Adil tercekat, tak menyangka akan
mendapat serangan demikian hebat dari Eyang
Pamekasan. Untuk menghindar maupun memapak rasanya tidak mungkin. Di samping
serangan itu demikian tiba-tiba, juga dilontarkan dari jarak
yang demikian dekat.
Dan belum sempat Ratu Adil memikirkan
tindakan apa yang dilakukan, tiba-tiba meluruk
dua larik sinar hitam legam memapak serangan
Eyang Pamekasan.
Blammm! Blammm!
Terdengar ledakan hebat di udara. Tubuh
Eyang Pamekasan yang sempat terjajar tampak
bergetar hebat. Parasnya menyiratkan keterkejutan melihat orang yang memapak
serangannya. "Bangsat! Berani kau melawan gurumu,
Murid Murtad!" hardik Eyang Pamekasan gusar
bukan main melihat Gembong Kenjeran berani
memapak serangannya.
Gembong Kenjeran yang sempat terjungkal
beberapa tombak berusaha bangkit. Wajahnya
pucat pasi dengan napas tersengal. Dadanya terasa seperti mau ambrol akibat
benturan tadi. "Maaf, Guru! Aku hanya ingin melindungi
putriku," ucap Gembong Kenjeran tersendatsendat. Sambil menekap dadanya, lelaki
ini berusaha berdiri kokoh.
Ratu Adil yang melihat keadaan ayahnya,
segera menyilangkan pedangnya di depan dada,
bermaksud menghalang-halangi Eyang Pamekasan.
"Kalau kau berani melukai ayahku, aku
siap mengadu jiwa denganmu, Orang Tua!" tegas
Ratu Adil, sedikit pun tidak menyiratkan perasaan takut.
"Yustika! Pergilah! Biar urusan ini Ayah
yang menangani," teriak Gembong Kenjeran khawatir.
"Tidak, Ayah. Aku tak mungkin meninggalkanmu."
"Bangsat hina! Aku akan melenyapkan kalian berdua!" bentak Eyang Pamekasan.
"Tunggu, Pamekasan! Agar kau lebih leluasa menghukum muridmu, biarkan aku
mainmain sebentar dengan gadis bengal itu!" usul Peramal Maut sambil melompat ke
tempat pertarungan.
Eyang Pamekasan tampak ragu-ragu. Sejenak dipandanginya Peramal Maut tajam-
tajam. "Baiklah. Kau boleh memperlakukan gadis
bengal itu sesukamu, Peramal Maut!" putus


Siluman Ular Putih 25 Rahasia Kalung Permata Hijau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Eyang Pamekasan akhirnya.
Peramal Maut tertawa bergelak, senang sekali mendapat kesempatan untuk menghajar
Ratu Adil. "Terima kasih, Pamekasan. Ayo, kita hajar
manusia-manusia tak tahu diri ini!" sambut Peramal Maut gembira.
Eyang Pamekasan diam tak menyahut.
Amarahnya yang memuncak membuat perhatiannya hanya terpusat pada Gembong
Kenjeran. Namun belum sempat kedua tokoh sesat itu membuka serangan, tiba-
tiba.... "Wah...! Kebetulan sekali sudah berkumpul
semua di sini. Apa kabar, Pamekasan?"
*** 11 Eyang Pamekasan menggeram penuh kemarahan. Sepasang matanya yang berkilat-kilat
segera dialihkan ke arah datangnya suara. Ternyata, tak jauh dari tempat itu
telah berdiri seorang perempuan cantik berusia tiga puluh lima
tahun. Tubuhnya yang dibungkus pakaian ketat
warna hijau pupus menebarkan aroma harum
bunga melati. Sedang rambutnya yang hitam panjang digelung ke atas. Sambil
mengumbar senyum, perempuan cantik itu terus mempermainkan payung di tangan
kanannya. Seperti pakaiannya, payung itu juga berwarna hijau pupus.
"Putri Hijau...!" desis Eyang Pamekasan.
"Wah...! Beruntung sekali kau masih mengenaliku, Pamekasan! Apa kabar" Kenapa
kau tak menjawab pertanyaanku?" kata perempuan cantik
itu yang memang Putri Hijau sambil tetap mengumbar senyum.
"Tak ada gunanya menjawab pertanyaanmu. Karena, memang aku tak ada urusan
denganmu," sahut Eyang Pamekasan ketus.
"Oh... begitu. Tapi, muridmu telah melarikan temanku yang cantik itu. Jadi
kukira aku berhak mencampuri urusanmu," tandas Putri Hijau sambil menudingkan ujung
payungnya ke arah Ratu Adil.
"Walaupun kau berurusan dengan murid
murtadku, tapi jangan harap bisa menghakimi
muridku! Karena, akulah yang berhak."
"Oho...! Kau bilang murid murtad" Ada apa
sebenarnya?" sentak Putri Hijau membeliakkan
matanya yang indah.
"Sobatku, Putri Hijau! Ketahuilah! Gembong Kenjeran adalah ayah kandungku. Aku
telah memintanya untuk kembali ke jalan lurus. Tapi,
orang tua itu menghalangi niat baik orangtua ku,"
sela Ratu Adil sambil menudingkan ujung pedang
ke arah Eyang Pamekasan.
"Ah...! Kalau begitu kau yang salah, Pamekasan. Masa' muridmu mau tobat tak
diizinkan"
Yang benar saja, ah"! Kalau kau memang biangnya orang sesat, sehingga tak suka
melihat orang bertobat. Biarkanlah muridmu menempuh jalannya sendiri!"
"Jangan banyak omong, Putri Hijau! Kalau
berani menghalang-halangi niatku, maka kaulah
yang pertama kali akan kumusnahkan!" dengus
Eyang Pamekasan sarat ancaman.
"Oho...! Sungguh nyaring suaramu, Pamekasan. Sepertinya kau saja yang berkuasa
di muka bumi," ejek Putri Hijau.
"Sobatku, Putri Hijau! Tolong bantu ayahku. Ia tak mau melawan gurunya. Ayahku
lebih baik memilih mati daripada harus melawan," pinta Ratu Adil.
"Hm...! Itu bagus. Itu tanda-tandanya
orang mau tobat. Tentu aku akan melindunginya.
Nah, Pamekasan! Seperti yang kau dengar dari
sobatku yang cantik jelita itu, aku diminta untuk
melindungi Gembong Kenjeran. Sebenarnya, aku
juga belum yakin benar kalau muridmu akan bertobat. Tapi menimbang permintaan
sobatku, tak ada salahnya kalau aku melindungi murid murtadmu!"
"Bangsat! Kalau begitu majulah! Akan kulihat, sampai di mana kehebatanmu!" putus
Eyang Pamekasan.
Meski berkata begitu, tapi toh lelaki tua itu
sendiri yang lebih dulu membuka serangan. Tidak
tanggung-tanggung, dikerahkannya pukulan andalan 'Pelebur Bumi'. Maka begitu
kedua telapaknya berubah hitam legam hingga pangkal, segera
dihantamkannya ke depan.
Wesss! Wesss! Tak terhindarkan lagi, dua larik sinar hitam legam langsung melesat dari kedua
telapak tangan Eyang Pamekasan yang disertai hawa panas bukan kepalang, siap melabrak
tubuh Putri Hijau. Putri Hijau sempat menyunggingkan se-
nyum. Namun diam-diam telah pula dikerahkan
tenaga dalam tinggi. Dan begitu serangan meluruk segera dipapaknya.
Blammm! Saat itu juga terdengar satu ledakan hebat
di udara begitu dua kekuatan dahsyat beradu.
Tubuh kedua orang itu pun sama-sama terjajar
ke belakang. *** Sementara itu, Peramal Maut pun mulai
membuka serangan. Dengan tongkat di tangan
kanan, segera diterjangnya Ratu Adil hebat.
Tongkat di tangan kanannya pun telah berseliweran mengerikan, mengancam tubuh
Ratu Adil yang terus berkelebat cepat menghindari dan menangkis.
Takkk! Takkk! Dua kali pedang di tangan Ratu Adil menangkis. Dan akibatnya tongkat di tangan
Peramal Maut kontan terbabat buntung menjadi dua
bagian. "Setan!"
Peramal Maut menggembor penuh kemarahan. Sisa tongkat di tangan kanannya
dilemparkan ke samping. Lalu, sejenak pikirannya dipusatkan. Pada saat itu,
kedua telapaknya mulai
menghitam hingga ke pangkal lengan.
Ratu Adil maklum kalau Peramal Maut mulai mengerahkan pukulan andalan. Tanpa
banyak pikir panjang, pedangnya segera disimpan kemba-
li dan siap menghadapi Peramal Maut dengan pukulan andalan 'Cakar Naga
Samudera'. Maka begitu tenaga dalamnya dikerahkan, tampak jari-jari
tangannya berubah menjadi biru.
Di hadapannya, mata Peramal Maut sempat terbelalak lebar melihat musuhnya mulai
mengerahkan pukulannya. Bagaimanapun juga,
lelaki tua ini pernah merasakan kehebatan pukulan murid Ratu Alit. Untuk itu, ia
tidak ingin celaka untuk yang kedua kali. Maka tenaga dalamnya ditambah menjadi
kekuatan penuh.
Ratu Adil sendiri tak berani bersikap ayalayalan. Dua kali gadis ini hampir
celaka di tangan
Peramal Maut. Dan itu semua hanya karena kelicikan tokoh sesat dari puncak
Gunung Kembang itu. Maka untuk menghadapi pertarungan, tindakannya harus lebih hati-hati. Ia
tidak ingin terkena tipu muslihatnya untuk yang ketiga kali.
(Mengenai pertarungan Peramal Maut dan Ratu
Adil sebelumnya, silakan baca episode : "Setan
Haus Darah" dan "Hantu Tangan Api").
"Hea!"
Bersamaan teriakannya yang nyaring, tibatiba Peramal Maut menghentakkan kedua
telapak tangan ke depan. Hebat bukan main. Dua larik
sinar hitam legam segera meluruk dari kedua telapak tangannya yang disertai hawa
dingin membekukan tulang.
Wesss! Wesss! Ratu Adil tak ingin banyak membuangbuang waktu. Begitu melihat datangnya
serangan, jari-jari tangannya segera digurat-guratkan ke
udara. Akibatnya dari jari-jari tangannya kontan
melesat cepat sepuluh larik sinar biru memapak
pukulan Peramal Maut.
Cesss! Cesss! Sepuluh larik sinar biru dari jari-jari tangan Ratu Adil seperti mencelup dalam
kubangan air. Namun hebatnya, dua larik sinar hitam legam
milik Peramal Maut sempat tertahan lalu ambyar
ke udara! Pesss! Hawa panas dan dingin dari bentrokan segera menguar memenuhi tempat pertarungan.
Seketika, ranting-ranting pohon berderak dengan
daun-daun dalam keadaan hangus terbakar! Sebagian lainnya kontan berubah menjadi
kusam! Sementara, tubuh Peramal Maut dan Ratu
Adil sama-sama terpental jauh ke belakang. Namun, Ratu Adil cepat dapat
menguasai keseimbangan. Walau parasnya menjadi pias, namun
dapat tersenyum puas melihat hasil serangannya.
Di hadapannya, tubuh Peramal Maut masih terduduk di tanah dengan napas memburu.
Pakaian yang dikenakan tampak bolong-bolong,
akibat terkena lesatan sinar biru dari jari-jari tangan Ratu Adil. Untung saja,
tenaga dalamnya segera dikerahkan, hingga luka yang diderita tak
begitu parah. "Bangsat hina! Kau pikir mudah merobohkanku, he"!" geram Peramal Maut meledak-
ledak. Di ujung geramannya, tokoh sesat dari
puncak Gunung Kembang ini segera melompat
bangun, Tubuhnya sempat limbung begitu ka-
kinya menjejak tanah. Namun keseimbangan tubuhnya cepat dapat dikuasai. Kedua
telapak tangannya kini telah berubah kuning hingga pangkal
lengan, pertanda telah mengerahkan tenaga dalam tinggi.
"Hati-hati, Anakku! Ia akan mengeluarkan
pukulan 'Gada Akhirat'!" teriak Gembong Kenjeran, dari luar tempat pertarungan.
"Jangan khawatir. Ayah! Asal tua bangkai
itu tak berbuat licik, pasti aku dapat mengatasinya," sahut Ratu Adil, merasa
terharu melihat
ayahnya masih terduduk di luar tempat pertarungan akibat luka dalamnya.
"Gadis pongah! Makanlah pukulan 'Gada
Akhirat'-ku! Hea!"
Seiring teriakan keras, tiba-tiba Peramal
Maut menyentakkan telapak tangannya ke depan,
membuat dua larik sinar kuning berkilauan melesat ke depan. Hawa panas yang
bukan kepalang pun sempat menampar-nampar kulit Ratu Adil
sebelum mencapai sasaran.
Ratu Adil menggeletukkan geraham sekuatnya. Sinar biru di jari-jari tangannya
pun makin terang. Lalu dengan menambah tenaga dalam sepenuhnya, jari-jari tangannya
segera digurat-guratkan kembali ke udara.
Srattt! Srattt!
Saat itu pula sepuluh larik sinar biru dari
jari-jari tangan Ratu Adil melesat cepat. Suaranya
mencicit, sebelum akhirnya memapak dua larik
sinar kuning milik Peramal Maut.
Besss! Bumi bergetar hebat ketika terjadi benturan dua kekuatan dahsyat. Gulungan-
gulungan sinar biru dan sinar kuning tampak tertahan di
udara. Di kejap lain, sosok Peramal Maut terpental jauh ke belakang dengan
teriakannya melengking tinggi.
Bukkk! Tubuh Peramal Maut terbanting keras. Dari
lobang hidung dan telinganya mengeluarkan darah segar. Mulutnya mengerang hebat.
Tangannya menggapai-gapai ke udara, lalu luruh ke tanah
dan tidak bergerak-gerak lagi. Tewas!
*** 12 "Ha ha ha...! Lihatlah, Pamekasan! Nyawa
sobatmu telah dijemput malaikat maut! Sebentar
lagi pasti giliranmu!"
Suara merdu Putri Hijau terdengar amat
menyakitkan telinga Eyang Pamekasan. Tentu saja hal ini makin membuat amarah
lelaki tua itu makin berkobar. Maka dengan disertai pekik kemarahan, diterjangnya Putri Hijau
ganas. Tidak tanggung-tanggung, kali ini disertai pengerahan
pukulan 'Panglarut Banyu Putih'. Maka begitu
tangannya dihentakkan, seketika meluncur dua
gulungan asap putih berkilauan menyeruak.
Wesss! Wesss! "Wah...! Rupanya kau sudah tak sabar in-
gin bertemu malaikat maut, Pamekasan! Baiklah.
Kudoakan agar kau cepat pergi," ejek Putri Hijau.
Di akhir ejeknya, Putri Hijau segera membuka payungnya lebar-lebar. Tatkala
gulungan asap putih dari tangan Eyang Pamekasan semakin dekat dengan tubuhnya, tubuhnya
cepat berlindung ke balik payung yang terbuka.
Besss! Aneh! Ternyata payung di tangan Putri Hijau tidak mengalami kerusakan apa-apa. Malah
yang terjadi justru sebaliknya. Dua gulungan asap putih itu tertahan di udara!
"Hik hik hik...! Alangkah nyamannya berlindung di balik payungku ini. Untung aku
selalu membawanya. Kalau tidak, bisa celaka aku," oceh
Putri Hijau. Eyang Pamekasan jadi gusar bukan main.
Padahal kedua telapak tangannya makin bergetar
hebat. Sedang dua gulungan asap dari kedua telapak tangannya tetap saja tak
mampu menembus payung di tangan Putri Hijau. Melihat hal ini
dicobanya melipatgandakan tenaga dalam.
"Hea!"
Bersama teriakannya yang nyaring, tibatiba Eyang Pamekasan menyentakkan
tangannya kuat-kuat. Akibatnya, gulungan asap putih miliknya makin hebat menerjang payung
di tangan Putri Hijau.
Buk! Buk! Hebat lagi, ternyata payung di tangan Putri
Hijau mampu menahan datangnya serangan. Wa-
lau payung itu sempat bergetar keras, namun serangan-serangan Eyang Pamekasan
jadi tertahan! Tiba-tiba Putri Hijau memutar payungnya
kuat. Akibatnya, gulungan asap dari kedua telapak tangan Eyang Pamekasan ambyar!
Sedangkan tubuh Eyang Pamekasan terpental ke belakang.


Siluman Ular Putih 25 Rahasia Kalung Permata Hijau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tubuh Putri Hijau sendiri pun kontan tergetar hebat. Tampak paras cantiknya
pucat pasi, pertanda mengalami luka dalam yang cukup parah. Namun bibir itu masih dapat
menyunggingkan senyum.
"Hup!"
Pada saat itu tiba-tiba Putri Hijau menjejakkan kakinya ke udara. Sekali
tangannya dikebutkan, lima larik sinar kecil yang menebarkan
bau harum langsung melesat cepat ke arah Eyang
Pamekasan. Werrr! Werrr! Eyang Pamekasan terkesiap kaget. Tubuhnya yang saat itu masih melayang-layang di
udara tak siap untuk menerima datangnya serangan.
Namun, lelaki tua itu tak kehabisan akal. Ujung
pakaiannya cepat dikebutkan, membuat serangkum angin keras langsung memapak
serangan lawan. Tuk! Tuk! Tuk! Tuk! Tuk!
Lima larik sinar biru kecil yang memang
berupa lima buah bunga melati biru langsung luruh ke tanah! Dan begitu menyentuh
tanah, hawa harum bunga melati itu pun menebar, amat menyengat hidung Eyang Pamekasan! Tapi
semakin lama menghirup bau harum itu, kepalanya jadi
pening! "Celaka! Aku bisa mampus terkena racun
bunga melati biru itu. Aku harus secepatnya
mengeluarkan aji 'Setan Kober'-ku...," rutuk
Eyang Pamekasan dalam hati.
Tanpa banyak pertimbangan lagi, Eyang
Pamekasan segera menelangkupkan kedua telapak tangan di depan dada disertai
pengerahan tenaga dalam. Saat itu juga, kedua telapak tangannya berubah menjadi
hitam legam hingga pangkal
lengan! Lalu dikawal bentakan nyaring, kedua telapak tangannya disentakkan ke
depan. Buesss! Kini dari kedua telapak tangan Eyang Pamekasan menyembul keluar dua kepala bayi
hitam dengan tangan-tangannya yang menjulur
panjang ke arah Putri Hijau!
Seperti sewaktu menghadapi Gembong
Kenjeran, Putri Hijau segera berlindung di balik
payungnya. Hebat bukan main! Tangan-tangan
bayi hitam milik Eyang Pamekasan tak mampu
menembus kehebatan payung di tangan Putri Hijau!
Bukan main terkejutnya lelaki tua ini
sungguh tidak disangka kalau serangan tangantangan bayi hitamnya tetap saja tak
mampu menembus payung di tangan Putri Hijau.
"Hik hik hik...! Tuhan memang maha adil.
Beruntung benar aku memiliki Payung Kedamaian ini, hingga dapat terhindar dari
tangantangan kotor manusia-manusia yang berhati ib-
lis," kata Putri Hijau sambil tertawa makin membuat hati Eyang Pamekasan
penasaran. Eyang Pamekasan bungkam seribu bahasa.
Perasaan malu dan geram bercampur dalam dada. Saat itu pula tenaga dalamnya
ditambah, seolah hendak memaksakan tangan-tangan bayi hitamnya untuk
mencengkeram payung di tangan
Putri Hijau. Pada saat yang sama, tiba-tiba Putri Hijau
memutar payung di tangan kanannya cepat.
Serrr! Serangkum angin keras laksana gelombang
badai kontan melabrak tangan-tangan bayi hitam.
"Aaakh...!"
Eyang Pamekasan memekik keras. Tubuhnya kontan limbung ke samping, Sedangkan
tangan-tangan bayi hitamnya pun seketika lenyap,
sehingga membuatnya gusar bukan main. Parasnya pucat pasi. Dari lobang hidungnya
tampak mengalir darah segar! Pakaian yang dikenakannya
pun robek di sana sini!
Di hadapannya, tampak Putri Hijau mengebutkan tangannya. Seketika, berpuluh
sinar biru kecil melesat cepat ke arah Eyang Pamekasan.
Eyang Pamekasan yang telah menderita luka dalam cukup hebat segera berkelebat
menghindar. Namun karena gerakannya agak lambat,
maka beberapa bunga melati biru milik Putri Hijau sempat menghantam dadanya!
Plukk! Plukkk! "Aaakh...!"
Eyang Pamekasan meraung setinggi langit
ketika tubuhnya jatuh ke tanah. Rasa nyeri yang
bukan kepalang terasa hebat menyerang dada.
Sekujur tubuhnya pun menggigil hebat!
"Hoeekh!"
Darah segar kebiru-biruan langsung menyembur dari mulut Eyang Pamekasan. Tangan
kanannya cepat mendekat dada kuat-kuat. Sepasang matanya yang tajam pun mulai
jelalatan ke sana kemari. Lalu tanpa banyak membuang waktu, tubuhnya segera bangkit dan
berkelebat cepat
meninggalkan tempat pertarungan.
"Hey...! Kau mau ke mana, Pamekasan"!
Kenapa lari terbirit-birit?"
Mendadak terdengar suara teguran yang
disusul dengan berkelebatnya dua sosok bayangan yang langsung menghadang langkah
Eyang Pamekasan. *** Sepasang mata Eyang Pamekasan berkilatkilat liar. Dua orang penghadangnya
ternyata dua orang musuh bebuyutan yang sebenarnya tengah
dicari. Mereka tak lain adalah Penyair Sinting dan
Siluman Ular Putih.
Menyadari dirinya telah menderita luka dalam hebat, jelas tak mungkin lelaki tua
sesat itu dapat melampiaskan dendamnya. Apalagi di situ
masih ada Putri Hijau yang lihai. Menghadapi Putri Hijau saja, ia belum mampu.
Apalagi sekarang
muncul Siluman Ular Putih dan Penyair Sinting.
Maka ciutlah nyali Eyang Pamekasan.
"Pamekasan! Kau bilang ingin menghabisi
nyawaku" Ayo, bunuh aku kalau bisa!" hardik
Penyair Sinting sambil membusungkan dada.
Eyang Pamekasan diam tak menyahut. Matanya kian jelalatan ke sana kemari mencari
peluang untuk melarikan diri. Namun sayang, peluang itu tak ada. Malah kini
Putri Hijau sudah
bergabung dengan Penyair Sinting dan Siluman
Ular Putih. "Tua bangka macam kau memang patut
dimusnahkan dari muka bumi ini. Sudah tua bukannya bertobat, malah menjadi biang
pembuat onar. Huh!" dengus Siluman Ular Putih
"Kau benar, Bocah Sinting. Tua bangka ini
memang palut dilenyapkan," timpal Penyair Sinting.
"Wahai, sobat-sobatku Penyair Sinting dan
Siluman Ular Putih! Ucapan kalian kurasa memang benar. Sepertinya aku mulai
mendengar malaikat maut mulai gentayangan di tempat ini.
Pasti, ia ingin merenggut tua bangka Pamekasan
itu!" tuding Putri Hijau ke arah Eyang Pamekasan.
"Ha ha ha...!"
Entah karena tegang, entah saking tak
kuatnya menahan malu, tiba-tiba Eyang Pamekasan tertawa bergelak. Suara tawanya
terdengar sumbang seperti orang putus asa.
"Kalian semua tak mungkin dapat membunuhku! Kecuali.... Huh...!"
Dikawal dengusan, tiba-tiba Eyang Pamekasan mengangkat dua jari tangannya ke
atas, la- lu dihujamkan ke ubun-ubun kepalanya sendiri
dengan kekuatan tenaga dalam penuh.
Crokkk! Darah segar berikut isi kepala langsung
menyemburat keluar. Perlahan-lahan Eyang Pamekasan luruh ke tanah. Tubuhnya
mengejangngejang sebentar, lalu tidak bergerak-gerak lagi.
Untuk beberapa saat, Putri Hijau, Penyair
Sinting, dan Siluman Ular Putih hanya tercekat
melihat kejadian menggiriskan barusan. Mereka
semua tidak menyangka kalau Eyang Pamekasan
akan bertindak nekat menghabisi nyawanya sendiri.
"Yah...! Mungkin memang beginilah yang
dikehendaki Yang Maha Kuasa...;" desah Putri Hijau sambil mendesah panjang.
Penyair Sinting tampak masih tercekat di
tempatnya. Namun tidak demikian halnya Siluman Ular Putih. Begitu murid Eyang
Begawan Kamasetyo melihat Ratu Adil yang tengah mengobati luka dalam Gembong Kenjeran,
buru-buru menghampiri walau dengan sinar mata penuh keheranan.
"Bagaimana kabarmu, Yustika" Kau tidak
apa-apa?" sapa Siluman Ular Putih sambil mengerling ke arah Gembong Kenjeran.
Ratu Adil yang tahu apa arti kerling mata
Siluman Ular Putih tersenyum.
"Ternyata Gendon Prakoso yang kita cari
adalah Gembong Kenjeran, Soma;" jelasnya.
"Jadi...?"
"Ya! Inilah ayah kandungku yang sebenar-
nya, Soma," Ratu Adil memeluk ayahnya eraterat.
Siluman Ular Putih melongo. Masih belum
mengerti apa yang dikatakan Ratu Adil.
"Siluman Ular Putih! Aku menyesal sekali.
Selama ini, aku begitu bodoh. Bahkan aku sampai menghendaki nyawamu. Juga,
menghendaki nyawa siapa saja yang menghalang-halangiku. Terus terang, aku sudah insaf. Aku
tobat. Kau tidak
bertanya siapa yang membuatku jadi begini, Siluman Ular Putih?" ucap Gembong
Kenjeran. "Tentu karena putrimu yang cantik jelita
itu, bukan?" tebak Siluman Ular Putih asal saja.
Ratu Adil tertunduk malu.
"Benar! Memang putrikulah yang telah
membuatku sadar. Terus terang, aku bangga sekali memiliki putri seperti ini,"
kata Gembong Kenjeran sambil mendekap Ratu Adil erat. "Tapi,
sudikah kau memaafkan kesalahanku selama
ini?" "Tentu! Tapi kau juga harus meminta maaf
pada orang-orang yang telah kau sakiti. Termasuk
juga, orang tua itu. Eh, di manakah mereka?"
Siluman Ular Putih celingukkan ke sana
kemari. Tapi sosok Putri Hijau dan Penyair Sinting sudah meninggalkan tempat
itu. "Ah...! Dasar orang-orang sinting! Seenak
perutnya saja ngeloyor," rutuk si pemuda.
"Sadahlah! Mereka itu orang-orang aneh.
Buat apa mencarinya," kata Gembong Kenjeran,
lalu merangkak bangun. "Sebentar." Lelaki itu
lantas melangkah, mendekati mayat Eyang Pame-
kasan. "Soma! Ayahku sudah tobat. Apa kau pikir
baik kalau misalnya aku mengajaknya hidup di
Nusa Kambangan?" tanya Ratu Adil, meminta
pendapat. "Kau dan ayahmu akan hidup di Nusa
Kambangan?"
"Ya. Kenapa?"
"Hm...! Tak apa-apa," sahut Soma gugup.
Ratu Adil memandang Soma sebentar. Entah kenapa, hatinya jadi gelisah sekali.
"Sebenarnya, aku senang sekali melakukan
perjalanan bersamamu. Soma. Tapi setelah bertemu ayah kandungku, terpaksa aku
harus menemaninya. Kapan-kapan kau tengok aku di Nusa
Kambangan, ya?" desah Ratu Adil.
Siluman Ular Putih mengangguk pelan.
"Terima kasih, Soma. Kau baik sekali...,"
ucap Ratu Adil. Seketika gadis itu menubruk si
pemuda. Kepalanya langsung direbahkan ke dada
Siluman Ular Putih.
Soma mendekap si gadis erat. Dibelainya
rambut Ratu Adil lembut.
"Ayo, kita bantu ayahmu menguburkan
mayat Eyang Pamekasan," ajak Siluman Ular Putih.
Ratu Adil mendesah. Hatinya agak kecewa
saat Siluman Ular Putih melepaskan pelukannya.
Namun manakala si pemuda kembali menggenggam jari-jari tangan dan menggandeng
lengannya untuk mendekati ayah kandungnya, Ratu Adil
merasa bahagia. Senyumnya pun tampak jelas
terkembang di bibir.
SELESAI https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
Scan/PDF: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Dendam Membara 1 Bende Mataram Karya Herman Pratikto Pesanggrahan Telaga Warna 2
^