Pencarian

Sayembara Angkin Pembawa 1

Siluman Ular Putih 08 Sayembara Angkin Pembawa Maut Bagian 1


Hak cipta dan copy right pada
penerbit dibawah lindungan
undang-undang Dilarang mengcopy atau memperbanyak seba-
gian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
http://duniaabukeisel.blogspot.com
1 Matahari pagi belum begitu tinggi beranjak dari
garis edarnya. Sinarnya yang kuning keemasan ber-
pendaran di permukaan sendang, seolah-olah mencip-
takan batu-batu permata berkilau. Di tengah sendang seorang gadis cantik
berenang ke sana kemari, seolah ingin menghilangkan segala kepenatan dan
kelelahan. Kini dengan gerakan indah, gadis cantik itu be-
renang menuju ke balik batu hitam besar di sebelah barat sendang. Tubuhnya yang
putih bersih tampak
berkilat-kilat kala gadis itu melompat ke balik batu besar. Pakaiannya yang
kuning keemasan segera ditarik.
Dan, mulailah gadis itu berpakaian.
Baru saja gadis itu selesai berpakaian, menda-
dak. "Angkin Pembawa Maut! Aku datang memenuhi panggilan surat undanganmu!"
Terdengar teriakan keras yang disusul dengan
berkelebatnya dua sosok tubuh. Dan tahu-tahu, dua
sosok itu telah berdiri tegak di pinggir sendang.
Sosok yang berdiri di sebelah kanan adalah
seorang lelaki berjubah merah darah. Tubuhnya tinggi besar. Wajahnya kasar penuh
benjolan. Sepasang matanya tajam. Hidungnya besar dengan kumis lebat melintang.
Rambutnya panjang sebahu.
Sementara sosok di sebelah kiri juga seorang le-
laki berjubah merah darah. Hanya saja, tubuhnya kurus kering seperti orang
penyakitan. Rambutnya panjang keriting dengan kulit hitam legam. Wajahnya putih
bersih tanpa kumis dan jenggot.
Usia mereka kelihatannya tak jauh berbeda, ki-
ra-kira empat puluh tahunan. Di dunia persilatan, se-
benarnya kedua orang lelaki berjubah merah darah itu termasuk orang-orang dari
golongan putih. Tapi
mungkin karena sama-sama belum punya istri, se-
hingga tak heran kalau mata mereka tampak liar saat memandang gadis yang
ternyata Angkin Pembawa
Maut. Dan di dunia persilatan kedua orang itu lebih terkenal dengan julukan
Sepasang Manusia Jubah Merah dari Gunung Perahu! Yang bertubuh tinggi besar
berjuluk Badar Angin! Sedang yang bertubuh kurus
kering seperti orang penyakitan bergelar Badar Topan!
"Keluarlah kau, Angkin Pembawa Maut! Kami
sudah jauh-jauh datang kemari memenuhi undan-
ganmu, kenapa kau masih menyembunyikan diri?"
ujar yang bergelar Badar Topan, tak sabar.
Sepasang mata lelaki kurus kering ini yang
mencorong teres memperhatikan batu hitam besar di
sebelah barat sendang dengan sinar tajam penuh ha-
srat. Kedua pelipisnya yang bergerak-gerak, pertanda tak sabar lagi ingin
melihat kecantikan Puspa Sari.
Memang, sejak cintanya bertepuk sebelah tan-
gan terhadap Siluman Ular Putih, Angkin Pembawa
Maut dihantui rasa benci tak terkira. Gadis cantik bekas murid Istana Ular Emas
ini teramat mencintai So-ma. Namun sayangnya, pemuda tampan murid Eyang
Begawan Kamasetyo itu tidak menanggapi cintanya.
(Silakan baca serial Siluman Ular Putih dalam episode:
"Tombak Raja Akhirat").
Sejak itu Angkin Pembawa Maut lebih senang
menyembunyikan diri di sebuah gua kecil tak jauh dari Sendang Mangu. Sebuah
sendang luas berair sangat
jernih dengan dua pohon beringin tua tumbuh rindang di tepian sebelah barat.
Selama menyembunyikan diri, rasa cinta gadis
bernama asli Puspa Sari terhadap Soma yang semula
menggebu, kini telah berubah jadi rasa benci teramat dalam. Dari rasa bencinya,
timbul keinginan untuk
melampiaskan sakit hatinya.
Maka tiga hari yang lalu Angkin Pembawa Maut
telah menyebar surat undangan kepada beberapa to-
koh dunia persilatan, khususnya kepada golongan putih. Apa maksudnya gadis ini
menyebar undangan"
*** "Hup!"
Angkin Pembawa Maut cepat melompat tinggi
ke udara. Setelah berputaran beberapa kali, mantap sekali kakinya mendarat di
atas batu hitam. Gerakannya ringan sekali, tanpa menimbulkan suara sedikit pun!
Sejenak Badar Angin dan Badar Topan menatap
tajam sosok cantik yang tengah berdiri di atas batu hitam itu. Sosok gadis
cantik berpakaian kuning keemasan itu tampak demikian memikat pesona. Tubuhnya
tinggi ramping terlapis kulit putih bersih. Rambutnya yang basah dibiarkan
tergerai di bahu, semakin memikat hasrat kelaki-lakian. Wajahnya berbentuk bulat
te-lur. Sepasang matanya berbinar-binar indah bak bintang kejora. Hidungnya
mancung. Bentuk bibirnya tipis kemerahan dengan dagu runcing.
Melihat kecantikan gadis di hadapannya, tanpa
sadar Badar Angin dan Badar Topan menelan ludah-
nya sendiri. Jakun mereka bergerak turun naik, seolah tak sabar lagi untuk
memperistri Puspa Sari
"Aku bangga memiliki istri secantikmu, Angkin Pembawa Maut. Sekarang, katakan!
Apa syaratnya seperti yang tertulis dalam surat undanganmu, Angkin Pembawa
Maut"!" ujar Badar Angin lagi.
Puspa Sari mengangguk-angguk. Sosoknya
yang menyimpan sejuta pesona tampak demikian ang-
gun dengan sebuah tombak kuning yang ujungnya
runcing berwarna kemerahan. Itulah Tombak Raja Ak-
hirat pemberian murid Eyang Begawan Kamasetyo!
"Sebelumnya aku mengucapkan terima kasih
atas kedatangan kalian. Seperti yang telah kalian ketahui, dalam surat
undanganku aku memang meminta
kalian untuk berkumpul di tempat ini. Dan, bagi siapa saja yang dapat memenuhi
syarat, aku bersedia jadi istri salah satu di antara kalian. Bahkan aku tidak
segan-segan pula menghadiahkan Tombak Raja Akhirat
milikku ini pada calon suamiku," jelas Angkin Pembawa Maut dengan suara merdu
sambil mengangkat
tinggi-tinggi tombak kuning di tangan.
Sejenak mata Badar Angin dan Badar Topan te-
rus melekat pada Tombak Raja Akhirat di tangan Angkin Pembawa Maut. Kedua orang
tokoh dari Gunung
Perahu itu memang pernah mendengar tentang kehe-
batan Tombak Raja Akhirat. Dan mendengar hadiah
yang akan diberikan, mereka jadi gembira bukan main.
Untuk jadi suami Angkin Pembawa Maut yang cantik
jelita itu saja sudah cukup membuat gembira. Apalagi ditambah hadiah Tombak Raja
Akhirat! "Sekarang katakan, apa permintaanmu!" desak Badar Angin tak sabar.
"Tunggu! Kalian tidak boleh mendahuluiku!
Akulah yang pantas menjadi suami Angkin Pembawa
Maut!" Belum sempat Angkin Pembawa Maut buka suara, mendadak terdengar teriakan
seseorang. Dan belum hilang gaung suara teriakan itu, tahu-tahu di tepi sendang
telah berdiri tegak seorang pemuda tampan
berpakaian ringkas warna jingga. Gerakannya saat
berkelebat pun aneh sekali. Bak seekor capung, gerakan kedua kakinya ringan
sekali saat menutul tanah.
Namun hebatnya, hanya dalam beberapa kejapan mata
saja pemuda berambut gondrong itu telah berdiri tegak tak jauh dari Sepasang
Manusia Jubah Merah dari
Gunung Perahu. Diam-diam Angkin Pembawa Maut memandang
penuh kagum sosok pemuda di samping Sepasang
Manusia Jubah Merah dari Gunung Perahu. Bukan sa-
ja kagum melihat ketampanannya, melainkan juga
amat kagum melihat ilmu meringankan tubuh yang di-
peragakan pemuda tampan berusia dua puluh lima ta-
hun itu! "Hei"! Kalian dua monyet tua kesasar dari Gu-
nung Perahu, tidak boleh mendahuluiku. Hanya Jiwo
Langgenglah yang pantas jadi suami Angkin Pembawa
Maut! Bukan kalian, tahu!" bentak pemuda berpakaian ringkas warna jingga yang
ternyata bernama Jiwo
Langgeng, lantang.
"Bedebah! Kau berani merendahkan kami, Se-
pasang Manusia Jubah Merah dari Gunung Perahu,
he"! Di atas langit, masih ada langit! Jadi jangan jual lagak di hadapan kami,
tahu"!" bentak Badar Angin garang. "Kalian tak lebih dua ekor monyet tua dari
Gunung Perahu. Tak perlu ada yang ditakutkan," ejek Ji-wo Langgeng dingin.
"Jahanam! Kau memang layak modar di tan-
ganku, Bocah!" dengus Badar Angin penuh kemarahan, seraya mengerahkan tenaga
dalamnya ke kedua
tangan. Kedua telapak tangan lelaki tinggi besar itu telah berubah merah
menyala. "Terimalah pukulan
'Menggulung Angin Topan'!" teriak Badar Angin.
Namun baru saja, Badar Angin mengangkat ke-
dua telapak tangannya, tiba-tiba....
"Minggir! Siapa pun juga yang berani mendahu-
luiku, berarti mati!"
Semua yang ada di tempat ini terperanjat kaget,
ketika terdengar bentakan keras yang menusuk gen-
dang telinga. Jelas suara teriakan itu diiringi tenaga dalam tinggi. Buktinya
dua batang pohon beringin tua yang tumbuh rindang di pinggir sendang sebelah
barat bergetar! Daun-daunnya berguguran begitu terkena ge-taran suara barusan!
Dan belum sempat gaung teria-
kan itu hilang, dari arah utara Sendang Mangli telah berkelebat sesosok bayangan
hitam dengan kecepatan luar biasa!
*** 2 Sepasang alis mata Angkin Pembawa Maut ber-
taut dalam, melihat seorang lelaki berpakaian serba hitam yang kini telah
berdiri tegak di hadapan ketiga orang tamu undangannya. Lelaki bertubuh tinggi
besar itu berusia sekitar lima puluh lima tahun. Wajah aneh, lebih mirip wajah
monyet. Sepasang matanya bulat.
Hidungnya lebar kemerah-merahan. Dan sekujur tu-
buhnya yang tinggi besar dipenuhi bulu-bulu lebat.
Angkin Pembawa Maut memang belum men-
genal lelaki berwajah kera di hadapannya. Namun kalau menilik suara teriakannya
tadi, jelas kalau lelaki itu memiliki tenaga dalam hebat.
"Hm...! Kalau melihat ciri-ciri mu, kau pasti ra-ja-nya monyet yang bergelar
Datuk Wanoro dari Hutan
Kera!" tebak Jiwo Langgeng, bernada melecehkan.
Sementara Badar Angin yang tadi hendak lon-
tarkan pukulan maut ke arah Jiwo Langgeng pun kini mengalihkan perhatian pada
lelaki bernama Datuk
Wanoro itu. "Bocah edan! Bacotmu membuatku terhina!
Apa kau punya nyawa rangkap, sehingga berani men-
gumbar bacot begitu, he"!" bentak Datuk Wanoro penuh kemarahan.
Jiwo Langgeng menarik sudut bibirnya, terse-
nyum menghina. Telunjuk tangan kanannya lantas di-
tudingkan ke arah Datuk Wanoro.
"Jangankan hanya menghadapi seekor monyet
tua. Menghadapi sepuluh harimau pun aku tak akan
lari!" tantang Jiwo Langgeng sengit.
"Setan Alas! Belum puas aku kalau belum me-
remukkan bacotmu, Bocah! Heaaa...!"
Datuk Wanoro tak dapat mengendalikan ama-
rahnya lagi. Disertai teriakan keras, tubuhnya berkelebat cepat menerjang Jiwo
Langgeng. Gerakan-gerakan tubuhnya yang mirip seekor kera, bergerak-gerak liar
ke sana kemari sambil melancarkan serangan.
Namun, Jiwo Langgeng sedikit pun tidak gen-
tar. Dengan jurus-jurus andalannya yang disertai ilmu meringankan tubuh tingkat
tinggi, akhirnya pemuda
itu dapat menghindari serangan dengan mudah. Bah-
kan sambil meliuk-liukkan tubuhnya, dia membalas
menyerang tak kalah hebatnya.
Melihat jalannya pertarungan antara Datuk
Wanoro melawan Jiwo Langgeng, diam-diam Angkin
Pembawa Maut jadi tersenyum gembira. Memang itu-
lah yang diinginkannya. Dalam undangannya, gadis ini membuat sebuah sayembara
untuk tokoh-tokoh golongan putih. Ia ingin tahu, sampai di mana kehebatan
para pengikut sayembara. Dan pemenang sayembara
itu akan dijadikannya suami, sekaligus dihadiahi Tombak Raja Akhirat!
"Setan Alas! Kau memang patut modar di tan-
ganku, Bocah!" bentak Datuk Wanoro sambil terus menggebrak lawannya.
"Lakukanlah! Jangan banyak bacot! Sesumbar
mu yang ingin mengalahkan Sepasang Manusia Jubah
Merah tak ada artinya. Buktinya, untuk menjatuhkan ku saja kau belum mampu,"
ejek Jiwo Langgeng cerdik sambil terus meladeni serangan. Dengan berkata begitu,
ia memang tengah bermaksud memancing Sepa-
sang Manusia Jubah Merah dari Gunung Perahu un-
tuk sama-sama mengeroyok Datuk Wanoro yang ko-
sen. "Benar! Kau tadi sangat merendahkan kami, Datuk Wanoro. Apa dengan ucapanmu
tadi kau sudah siap pergi ke neraka"!" teriak Badar Angin, yang merasa terpancing dengan kata-
kata Jiwo Langgeng.
"Ha ha ha...! Bacot bocah edan ini memang cu-
kup berbisa. Tapi kalau kau ingin sekali modar di tanganku, kenapa tidak
sekalian maju mengeroyokku,
he"!" balas lelaki berwajah monyet itu, jumawa.
"Bedebah! Kau akan merasakan akibat mulut
sombong mu, Manusia Monyet!" teriak Badar Angin.
Lelaki tinggi besar berjubah merah itu segera
mengalirkan tenaga dalamnya ke kedua telapak tan-
gannya sambil membuat kuda-kuda kokoh. Namun
baru saja tokoh dari Gunung Perahu itu mengangkat
kedua tangannya....
"Tunggu, Badar Angin. Kau jangan terlalu mu-
dah termakan omongan pemuda itu! Kelihatannya ia bermaksud memanfaatkan tenagamu
untuk mengeroyok Datuk Wanoro!" cegah Badar Topan, berteriak.
"Kau jangan membacot seenak dengkul mu,
Badar Topan! Manusia monyet itu memang tadi berka-
ta begitu. Apa telingamu budek?" cibir Jiwo Langgeng kesal, karena siasatnya
terbaca Badar Topan.
"Mulutmu benar-benar berbisa, Bocah! Manu-
sia monyet itu memang tadi berkata begitu. Tapi kau pun tidak bisa memanfaatkan
tenaga kami!"
"Setan Alas! Kau memang licik!" bentak Datuk Wanoro penuh kemarahan.
"Kurang ajar! Pemuda itu benar-benar licik.
Makanlah pukulan 'Menggulung Angin Topan' milikku, Bocah!" geram Badar Angin,
baru sadar kalau tadi hendak 'dikadali'.


Siluman Ular Putih 08 Sayembara Angkin Pembawa Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Habis menggeram begitu, Badar Angin menge-
rahkan tenaga dalamnya kembali. Kini kedua telapak tangannya telah berubah merah
menyala. Kalau tadi pukulan mautnya hendak ditujukan kepada Datuk
Wanoro, kali ini ditujukan pada Jiwo Langgeng.
Wesss! Wesss! Dua rangkum angin kencang bergulung-gulung
kontan melesat cepat ke arah Jiwo Langgeng begitu
Badar Angin menghentakkan kedua tangannya.
"Uts...!"
Jiwo Langgeng yang baru saja menghindari se-
rangan Datuk Wanoro, terpaksa harus melenting ke
belakang kembali.
Brakkk! Sebatang pohon beringin tua yang tumbuh rin-
dang di pinggir sendang kontan tumbang dan jatuh
berdebum, begitu terkena pukulan Badar Angin. Sebagian daun-daunnya rontok dan
beterbangan di udara!
Sedang pada bagian batang pohon yang terkena puku-
lan tampak berlubang besar, mengepulkan asap tipis kemerah-merahan!
Sementara Jiwo Langgeng tadi yang menjadi
sasaran, sudah mendarat manis di tanah. Namun baru saja menegakkan tubuhnya,
mendadak Datuk Wanoro
sudah kembali meluruk untuk menuntaskan urusan-
nya. Begitu cepat gerakan lelaki berwajah monyet
ini, sehingga Jiwo Langgeng tak sempat menghinda-
rinya. Sehingga....
Bukkk! Bukkk! Telak sekali dua pukulan Datuk Wanoro men-
darat di dada Jiwo Langgeng. Seketika tubuh pemuda itu terjajar beberapa langkah
ke belakang. Dadanya yang terkena pukulan terasa mau jebol. Mulutnya meringis
menahan sakit tak terkira.
"Bagus! Memang sebaiknya kita cincang bocah
bermulut ular ini rame-rame!" teriak pula Badar Topan. Memang, lelaki kurus
kering ini juga merasa
gemas sekali dengan ucapan Jiwo Langgeng. Maka se-
gera diserangnya pemuda itu. Kedua telapak tangan-
nya yang telah berubah merah menyala pun segera
menghentak, melepas pukulan 'Menggulung Angin To-
pan'. Pada saat yang demikian, agaknya Jiwo Lang-
geng tak mau kecolongan lagi. Maka begitu tenaga dalamnya dikerahkan, kedua
tangannya pun cepat
menghentak. Wesss! Wesss! Bummm...! Terdengar satu ledakan hebat di udara saat
pukulan Badar Topan beradu dengan pukulan yang di-
lepaskan Jiwo Langgeng. Bumi bergetar hebat laksana gempa! Ranting-ranting pohon
di sekitar pertarungan berderak dengan daun-daun berguguran!
Tubuh Jiwo Langgeng sendiri pun kontan ter-
lempar beberapa tombak ke belakang, lalu jatuh berdebum ke tanah! Wajahnya pucat
pasi! Agaknya pe-
muda ini alot juga. Buktinya, dia cepat bangkit berdiri dengan wajah beringas.
"Jahanam...!" teriak Jiwo Langgeng bak banteng terluka seraya membesut darah
yang membasahi sudut-sudut bibir.
Sebelum Jiwo Langgeng membuka serangan,
Datuk Wanoro, Badar Angin, dan Badar Topan telah
menyerang hebat. Serangan-serangan mereka dikawal
oleh angin panas yang menderu-deru.
"Angkin Pembawa Maut! Apakah begitu aturan
mainnya untuk mengikuti sayembara yang kau ada-
kan"!" teriak Jiwo Langgeng sambil berkelebatan ke sana kemari menghindari
serangan-serangan ketiga
orang pengeroyoknya.
Angkin Pembawa Maut terhenyak. Gadis ini ba-
ru sadar kalau sayembaranya berubah menjadi perta-
rungan tak seimbang. Tentu saja ia tak ingin tokoh-tokoh itu bertarung, sebelum
mengikuti sayembara.
Sejenak sepasang matanya yang berbinar-binar mem-
perhatikan pemuda dari Lembah Patak Banteng yang
mulai terdesak hebat.
"Berhenti!" teriak Angkin Pembawa Maut alias Puspa Sari lantang. Suaranya
menggema memenuhi
tempat itu. Keempat orang tokoh yang sedang bertarung
hebat di pinggir sendang itu pun kontan menghentikan serangan. Jiwo Langgeng
yang tertolong oleh teriakan Angkin Pembawa Maut tadi segera melenting ke
belakang. Wajahnya tampak pucat pasi. Pakaiannya pun
robek di sana-sini terkena sambaran pukulan tiga
pengeroyoknya! "Kenapa kau menghentikan kami untuk mem-
bunuh bocah tak tahu diri itu, Angkin Pembawa
Maut?" tukas Badar Angin lantang.
"Bukan. Bukan itu maksudku! Aku hanya tidak
ingin kalian membuang-buang tenaga di tempat ini!
Aku hanya ingin kalian menuruti permintaanku," jelas Puspa Sari, tenang.
"Tapi, bocah tak tahu diri ini harus dilenyapkan dulu! Aku muak sekali melihat
lagaknya yang congkak!" teriak Badar Angin lagi penuh kemarahan.
"Aku tidak mau tahu. Itu bukan urusanku.
Yang jelas, seperti yang telah kalian ketahui dalam surat undanganku, aku
bersedia jadi istri salah satu di antara kalian, asal kalian sanggup menuruti
permintaanku, aku juga akan memberikan Tombak Raja Ak-
hirat ini pada calon suamiku!" tandas Angkin Pembawa Maut tenang.
"Kalau begitu, cepat katakan apa permintaan-
mu, Angkin Pembawa Maut!" desak Jiwo Langgeng tak sabar. "Hm...!" gumam Angkin
Pembawa Maut tak jelas. Sejenak mata Puspa Sari menyapu wajah
keempat orang tokoh di hadapannya saksama. Entah
kenapa, tiba-tiba saja hatinya nyeri sekali kalau teringat Soma. Namun dengan
cepat gadis ini menguatkan
hatinya. "Sebenarnya, permintaanku hanya satu. Aku
hanya menginginkan nyawa seseorang yang telah me-
nyakiti hatiku!" lanjut Puspa Sari, kembali pandangannya menyapu wajah keempat
orang itu. "Katakan! Siapa orang yang telah menyakiti hatimu itu, Calon Istriku! Aku sudah
tak sabar lagi untuk melenyapkannya!" ujar Datuk Wanoro diiringi se-
nyum yang lebih mirip seringai.
Sepasang matanya pun terus menatap tubuh
Puspa Sari yang membangkitkan birahinya. Dan seke-
tika itu nafasnya tersengal, membayangkan sean-
dainya tubuh indah itu berada dalam pelukannya!
Angkin Pembawa Maut bergidik ngeri. Rasanya
tak sanggup membayangkan kalau dirinya jadi istri
manusia kera itu. Namun bila teringat akan ulah So-ma, rasa jijiknya berusaha
dienyahkan jauh-jauh.
"Bangkotan tua macam dia mana pantas jadi
suamimu, Angkin Pembawa Maut. Kujamin, lelaki itu
tidak dapat membahagiakan mu!" seru Jiwo Langgeng lantang.
Datuk Wanoro menggeram penuh kemarahan.
Sepasang matanya yang berkilat-kilat dialihkan ke
arah Jiwo Langgeng penuh kemarahan. Namun belum
sempat tokoh dari Hutan Kera itu buka suara, Angkin Pembawa Maut telah
mendahului. "Dengar baik-baik! Pemuda yang telah menyaki-
ti hatiku tidak lain adalah pemuda sakti yang bergelar Siluman Ular Putih!"
"Siluman Ular Putih...!" ulang Datuk Wanoro hampir bersamaan dengan tiga orang
tokoh sesaat lainnya. "Yah! Apa kalian takut mendengar nama besar-
nya?" pancing Angkin Pembawa Maut. Datuk Wanoro tertawa bergelak.
"Siapa yang takut" Aku memang pernah men-
dengar nama besarnya. Tapi Datuk Wanoro sedikit pun tidak gentar menghadapinya!
Dan rasanya, aku sudah tidak sabar lagi untuk segera memenggal leher pemuda
bergelar Siluman Ular Putih itu!" tandas Datuk Wanoro.
"Setan Alas! Rupanya tokoh itu yang menyakiti
hatimu, Angkin Pembawa Maut" Huh! Aku juga sudah
tidak sabar lagi untuk segera memenggal lehernya dan membawanya kemari!" teriak
Jiwo Langgeng, dengan sikap pongah.
"Jangan khawatir, Angkin Pembawa Maut! Da-
lam jangka tidak lebih dari satu purnama, kami pasti akan segera membawa
kepalanya padamu!" kata Badar Topan, tak mau kalah.
Puspa Sari mengangguk-angguk. Wajahnya
tampak demikian tegang membayangkan kepala pe-
muda tampan yang sebenarnya masih sangat dicin-
tainya itu dipenggal oleh keempat tamu undangannya.
"Nah! Kukira, sekarang tak ada lagi yang perlu dibicarakan. Aku menunggu hasil
kerja kalian di sini.
Dan kalian boleh membawa kepala pemuda itu kemari
sebagai bukti!"
"Apa kau tidak akan mungkir kalau kami telah
dapat membunuh Siluman Ular Putih, Angkin Pemba-
wa Maut?" tanya Badar Angin tiba-tiba.
"Aku pantang menjilat ludah sendiri!" tegas Angkin Pembawa Maut tersinggung.
"Baik, kalau begitu, kami segera mohon diri,"
pamit Badar Angin lagi.
"Pergilah! Aku menunggu di sini."
Sejenak Badar Angin mengalihkan pandangan-
nya ke arah Badar Topan. Lelaki kurus itu mengang-
guk. Lalu tanpa banyak cakap, Sepasang Manusia Ju-
bah Merah dari Gunung Perahu berkelebat cepat me-
ninggalkan tempat itu.
"Ah...! Aku pun juga tidak ingin kalah cepat,"
kata Datuk Wanoro, segera berkelebat pula.
"Aku juga. Selamat tinggal, Calon Istriku!" kata Jiwo Langgeng, segera pula
meninggalkan tempat itu.
Angkin Pembawa Maut sejenak memperhatikan
keempat tamu undangannya yang berkelebat cepat,
hingga menghilang di kerimbunan hutan di depan sa-
na. Lalu dengan wajah menegang, kepalanya mendon-
gak. Tampak awan hitam bergulung-gulung di angka-
sa, pertanda sebentar lagi akan turun hujan lebat.
"Maafkan aku, Soma! Terpaksa aku melakukan
ini. Kaulah yang membuat hatiku merana. Dan, kau
pulalah yang harus menebus akibatnya...!" gumam Angkin Pembawa Maut dengan mata
mulai mengem-bang oleh air mata.
*** 3 Pagi cerah. Matahari di ufuk timur seolah ter-
senyum dengan sinarnya yang kuning kemilauan. An-
gin semilir perbukitan ditingkahi kicauan beberapa bu-rung di dahan turut
menyambut datangnya pagi.
Dari jalan setapak pinggiran Hutan Seruni,
tampak seorang pemuda berambut gondrong tengah
bersiul-siul. Sesekali pemuda berpakaian rompi dan celana bersisik warna putih
keperakan itu menghentikan langkahnya. Kepalanya mendongak memperhati-
kan langit biru di angkasa. Lalu sambil tersenyum-
senyum gembira, pemuda bergelang akar bahar yang
memiliki rajahan bergambar ular putih kecil di dada itu kembali melanjutkan
langkahnya. Namun baru beberapa langkah, pemuda gon-
drong yang tidak lain Soma alias Siluman Ular Putih itu terkejut oleh....
"Itu malingnya! Itu malingnya, Ayah!"
Terpaksa Soma menghentikan langkah ketika
mendengar teriakan nyaring. Saat itu dilihatnya seorang anak lelaki berusia
delapan tahun dengan kepala mengenakan caping lebar tengah menuding-nudingkan
telunjuk jarinya ke arahnya.
Di sebelah anak kecil itu, tampak seorang lelaki
bertubuh tinggi kekar. Otot-otot lengannya bertonjolan.
Matanya menatap tajam murid Eyang Begawan Kama-
setyo saksama. Wajahnya yang berkulit hitam karena sering terpanggang sinar
matahari tampak menegang.
"Jadi, Kunyuk Gondrong ini yang telah mencuri kerbau-kerbau milik kita, Pawit?"
kata lelaki berkumis lebat yang usianya sekitar tiga puluh tiga tahun itu.
"Benar, Ayah. Siapa lagi kalau bukan orang itu.
Tadi aku melihatnya dengan jelas! Pemuda gondrong
yang mengenakan rompi putih inilah yang telah menggiring kerbau-kerbau kita dari
sawah, Ayah!" sahut bocah bernama Pawit, anak dari lelaki berkumis lebat itu.
Soma terkesiap kaget. Sepasang matanya yang
tajam membeliak lucu saking terkejutnya.
"Eh eh eh...! Tak ada hujan tak ada angin, kenapa kalian enteng sekali menuduhku
sebagai pencuri kerbau"! Siapa yang mencuri" Aku tidak mencuri kerbau kalian"
Melihatnya pun belum pernah," tukas So-ma, heran.
"Mana ada maling yang mau mengaku! Cepat
katakan! Di mana kerbau-kerbauku kau jual, Kunyuk
Gondrong!" bentak laki-laki berpakaian ketat warna coklat itu penuh kemarahan.
"Ya, ampun! Kalian tega amat. Masa' pemuda
setampan aku dituduh mencuri kerbau. Yang benar
saja, ah"!" sergah Soma, berusaha berseloroh.
"Keparat! Jadi kau mungkir, Bocah"!"
"Aku takkan mungkin mungkir kalau memang
aku pencurinya."
"Tidak bisa! Anakku tak mungkin berbohong.
Tadi jelas-jelas menunjuk kalau kaulah yang menggiring kerbau-kerbau milikku!"
tandas lelaki berkumis lebat itu garang.
"Hm...! Bisa jadi mata anakmulah yang lamur,
Paman." "Apa" Kau mengatakan mata anakku lamur"
Dasar maling! Kaulah yang mencuri kerbau-kerbau milikku. Sekarang cepat katakan,
di mana kerbau-
kerbauku! Kalau tidak, jangan salahkan kalau aku
terpaksa membunuhmu!" bentak lelaki itu garang.
Habis membentak begitu, ayah dari bocah ber-
nama Pawit cepat mencabut parang panjang yang
menggelantung di pinggang. Lalu langsung diserang-
nya Siluman Ular Putih.
"Heit! Tunggu dulu, Paman. Jangan menyerang
membabi buta begini! Sungguh aku bukan pencuri
kerbau seperti yang kau tuduhkan!" sergah Soma seraya berkelit ke sana kemari,
menghindari serangan.
"Mana ada maling yang mau mengaku. Seka-
rang cepat katakan! Di mana kerbau-kerbau milikku!
Atau, parang ini akan memenggal lehermu!" ancam pemilik kerbau itu kalap. Parang
di tangan kanannya makin bergerak-gerak liar menyerang Siluman Ular Putih.
"Ya, ampun! Kau ini bagaimana sih, Paman"
Aku ini bukan pencuri kerbau. Tapi kalau kau tetap menuduhku demikian, baiklah!
Sekarang, sebaiknya
tunggulah di tempat ini. Aku akan mencari orang yang telah mencuri kerbau
kalian!" Habis berkata begitu, Siluman Ular Putih cepat
berkelebat. Tangannya bergerak cepat. Gerakannya cepat sekali, sehingga sulit
diikuti pandang mata. Tahu-tahu....


Siluman Ular Putih 08 Sayembara Angkin Pembawa Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tuk! Tuk! Lelaki pemilik kerbau itu kaget bukan main ke-
tika tahu-tahu tubuhnya terasa kaku tak dapat digerakkan, begitu terkena totokan
murid Eyang Begawan Kamasetyo. Namun sepasang matanya yang tajam terus berkilat-
kilat memandangi pemuda gondrong di
hadapannya penuh kemarahan.
"Maling! Kau apakan ayahku, Maling"!" teriak Pawit lantang. Tangan kanannya yang
mungil telah mencabut sabit dari balik pinggang.
Soma tertawa. "Ayahmu tidak apa-apa, Dik. Sekarang temani
saja ayahmu di sini, ya! Awas, jangan sampai dipatuk ayam! Aku akan mencari
pencuri kerbau kalian," ujar Soma lucu.
Bocah berusia delapan tahun itu sejenak me-
mandang Siluman Ular Putih bingung. Namun ketika
dilihatnya ayahnya masih tegak kaku di tempatnya,
akhirnya diturutinya perintah Soma. Sementara saat itu Siluman Ular Putih telah
berkelebat jauh meninggalkan tempat ini.
*** Soma yang telah berkelebat cepat meninggalkan
Hutan Seruni mendadak melihat dua sosok anak muda
tengah menggiring dua ekor kerbau. Yang sebelah kanan adalah seorang pemuda
berambut gondrong di-
kuncir ke belakang. Pakaiannya ketat warna biru. Sedang di sebelahnya adalah
seorang pemuda berambut
gondrong sebahu, berpakaian rompi dan celana ber-
warna putih! "Hm...! Rupanya pemuda sebelah kiri itulah
yang mungkin mirip denganku," gumam murid Eyang
Begawan Kamasetyo dalam hati.
Lalu tanpa banyak kata lagi, Soma segera ber-
kelebat cepat mengejar dua pemuda yang diduga sebagai pencuri kerbau di
hadapannya. "Hei, Kawan! Hendak kau bawa ke mana ker-
bau-kerbau ini?" sapa Soma begitu berhenti di dekat dua orang pemuda itu.
Dua orang pencuri kerbau itu tersentak dengan
wajah pias. Namun ketika berbalik mendadak kening
kedua pemuda itu berkerut. Di hadapannya kini telah berdiri seorang pemuda
berambut gondrong yang memiliki wajah polos mirip wajah anak-anak.
"Keparat! Kukira siapa. Tak tahunya cuma ku-
nyuk gondrong berotak miring! Hayo, cepat kita lanjutkan perjalanan, Kunto!"
maka pemuda berompi putih kepada kawannya.
"Pemuda sinting! Memalukan! Cakep-cakep be-
rotak miring!" desis pemuda yang dipanggil Kunto jengkel. Soma tersenyum-senyum
nakal seraya garuk-garuk kepala. Kelakuan Siluman Ular Putih makin
menguatkan dugaan kedua pemuda itu, kalau Soma
memang sinting.
"Sialan! Hari ini kok sial banget, sih! Sudah dituduh pencuri, dikatakan berotak
miring lagi!" rutuk Soma kesal.
"Apa tadi kau bilang, Kunyuk Sinting" Berani
kau menuduh kami pencuri, he"!" bentak pemuda berompi putih lantang saat
mendengar gumaman murid
Eyang Begawan Kamasetyo tadi.
"Ah...! Aku tak mungkin berani berkata begitu.
Tapi kalau melihat sikap kalian yang uring-uringan begini, jangan-jangan malah
kalianlah yang telah mencuri kerbau milik petani yang tadi kutemui!"
"Keparat! Jangan sembarangan main tuduh,
Kunyuk!" bentak pemuda berompi putih lantang seraya mencabut pedangnya.
"Kalau bukan pencuri, kenapa kalian membawa
kerbau-kerbau melewati hutan" Bukankah di seberang hutan ini ada jalanan desa
yang lebih dekat dengan kadipaten, kalau memang ingin menjual kerbau-kerbau ini"
Hayo, jawab!" goda Soma.
"Setan Alas! Kerbau-kerbau ini mau dibawa me-
lewati hutan kek, lewat jalan desa kek, itu bukan uru-sanmu! Kenapa kau usil
amat"!" bentak pemuda berompi putih lantang.
"Karena kalian mencuri kerbau milik petani
yang kutemui tadi itu! Dan karena kau mengenakan
rompi dan celana putih, maka akulah yang dituduh
mencuri kerbau-kerbau ini. Itu kan namanya mence-
markan nama baikku. Masa' ganteng-ganteng begini
dituduh pencuri kerbau!"
"Keparat! Mulutmu terlalu lancang, Kunyuk!
Nih, makan pedangku!" dengus pemuda berompi putih.
"Heaaat...!"
Disertai teriakan keras, pemuda berompi putih
itu mengangkat pedangnya. Namun sebelum pedang
itu dibabatkan, tiba-tiba pemuda yang berpakaian hitam cepat merentangkan tangan
kanannya. "Tunggu, Jarot! Kukira tak ada gunanya mela-
deni pemuda sinting ini! Sebaiknya cepat serahkan sa-ja kerbau-kerbau ini pada
Juragan Lawe!" cegah Kunto kalem pada pemuda berbaju rompi putih yang bernama
Jarot. "Baik!" sahut Jarot berat.
Jarot lantas menatap Soma dengan mata melo-
tot. "Kau jangan ke mana-mana, Kunyuk! Sebentar
lagi aku pasti akan datang untuk memenggal kepala-
mu!" Soma tertawa bergelak.
"Pergiliih! Aku pasti akan menunggumu di sini.
Tapi kukira, kerbau-kerbau ini belum tentu mau di-
ajak pergi. Coba lihat baik-baik matanya yang memerah itu!" ujar Soma seraya
memungut dua kerikil kecil.
Seketika, disambitkannya kerikil-kerikil itu ke jalan darah di bagian tengkuk
kerbau. Kerbau-kerbau itu kontan melenguh panjang
dengan mata berwarna merah saga. Gerakan-gerakan
kedua kerbau itu pun kontan jadi liar! Dan ketika berbalik, kedua pemuda pencuri
itu terkejut melihat sepasang mata kerbau-kerbau yang mendadak jadi merah
menyala. "Hayo, kerbau-kerbau dungu! Hajar pencuri-
pencuri kecil itu! Seruduk perutnya sampai mbrodol!"
teriak Soma gembira.
Dan seperti mengerti, tiba-tiba dua ekor kerbau
itu mendengus panjang dengan air liur berleleran.
Ekor mereka mengkibas-kibas, lalu menerjang kedua
orang pemuda pencuri itu.
Tentu saja dua pemuda pencuri itu tak ingin
jadi sasaran kerbau-kerbau yang tengah kalap. Buru-buru mereka melempar tali
pengikat dan lari tung-
gang-langgang. Namun kedua ekor kerbau yang tengah kalap itu terus mengejar.
Dan.... Bukkk! Bukkk! Telak sekali tanduk kedua ekor kerbau itu me-
nyeruduk punggung kedua pemuda pencuri itu hingga
jatuh berguling-gulingan. Lalu mereka cepat meloncat bangun, dan kembali lari
tunggang-langgang.
"Hayo, cepat seruduk kedua pencuri kecil itu!
Seruduk pantat mereka sampai matang!" teriak Soma
seraya berkelebat mengikuti gerakan kedua ekor kerbau kalap itu.
Kedua orang pemuda pencuri itu menjerit-jerit
ketakutan. Sementara kedua ekor kerbau di belakang mereka terus mengejar ganas.
Untung saja, kedua pemuda itu segera menemukan dua pohon. Segera mere-
ka memanjat, untuk menyelamatkan diri.
Soma menggerutu kesal. Dilihatnya dua ekor
kerbau yang tengah kalap itu terus menunggu kedua
orang pemuda pencuri itu turun. Namun ketika ber-
maksud kembali menotok pulih jalan darah di tengkuk kedua ekor kerbau itu,
mendadak pendengaran Siluman Ular Putih yang tajam menangkap gerakan-
gerakan halus di balik semak. Dan....
Werrr! Werrr! Mendadak melesat dua sinar hitam legam dari
semak belukar di samping ke arah dua ekor kerbau
itu. Soma terkesiap kaget. Buru-buru dilemparkan-
nya dua kerikil kecil di tangannya, menangkis serangan gelap itu.
Pluk! Pluk! Begitu dua sinar hitam legam dari semak belu-
kar itu dapat ditangkis dengan sambitan kerikil, Siluman Ular Putih kontan
membeliakkan matanya lebar.
Dua sinar hitam yang tertangkis sambitan kerikilnya ternyata adalah dua batang
jarum hitam beracun. Dan begitu batang-batang jarum itu rontok ke tanah, rumput-
rumput di sekitar tempat itu kontan terbakar!
"Bagus, bagus! Dasar pemuda sinting tak bero-
tak! Nyawa dua ekor kerbau pun kau bela. Tapi, kena-pa nyawa dua cecurut itu
dibiarkan terancam serudukan-serudukan kerbau kalap itu, he"!"
Terdengar teriakan lantang yang disusul berke-
lebatnya sesosok bayangan jingga dari semak.
*** 4 Kedua alis mata Soma bertaut, menatap sosok
pemuda tampan berpakaian jingga yang kini telah berdiri di hadapannya. Rambut
pemuda itu dikuncir ke
belakang. Sepasang matanya tajam penuh kelicikan.
Siapa lagi pemuda beralis tebal itu kalau bukan Jiwo Langgeng"
"Jangan seenaknya bicara, Kawan! Justru nya-
wa kedua ekor kerbau itulah jauh lebih berharga dibanding nyawa dua orang
pencuri itu," sergah Soma acuh tak acuh.
Habis berkata begitu Soma kembali memungut
dua buah kerikil kecil. Dengan satu gerakan berisi tenaga dalam, dilontarkannya
kedua kerikil ke arah
tengkuk kerbau-kerbau itu.
Tuk! Tuk! Dua kerbau itu kontan melenguh panjang begi-
tu terkena totokan dari lontaran batu kerikil itu. Sepasang mata mereka yang
memerah kontan berubah re-
dup. Gerakan-gerakan mereka yang liar perlahan mu-
lai tenang kembali. Sementara dua orang pemuda pencuri kerbau itu segera
meloncat turun dari batang pohon, dan cepat lari tunggang-langgang meninggalkan
tempat itu. "Hei"! Kalian tidak boleh meninggalkan tempat ini! Urusanku dengan kalian belum
selesai. Nanti kalau kalian sudah bertemu pemilik kerbau itu baru kalian pergi.
Sekarang, tunggulah di situ!" teriak Soma
yang telah kembali memungut dua buah kerikil kecil.
Secepatnya dilontarkan kedua kerikil itu ke arah dua orang pemuda pencuri tadi.
Tukkk! Tukkk! Telak sekali lemparan dua kerikil murid Eyang
Begawan Kamasetyo ini mengenai punggung kedua
orang pemuda itu. Seketika tubuh mereka kaku, tak
dapat digerakkan.
"Nah, begitu kan baik. Sekarang kalian harus
ikut aku menemui pemilik kerbau itu!"
Soma tersenyum-senyum nakal. Lalu dengan
langkah santai segera didekatinya dua orang pencuri kerbau itu.
"Tunggu!" teriak Jiwo Langgeng tiba-tiba. "Menilik ciri-ciri mu, benarkah kau
pemuda yang bergelar Siluman Ular Putih?"
Langkah Soma terpaksa berhenti. Sejenak di-
pandanginya pemuda tampan berpakaian ketat warna
jingga di hadapannya saksama. Lalu keningnya berkerut dalam.
"Aku tidak tahu siapa kau. Dan aku juga tidak tahu, apa maksud bicaramu tadi,"
sahut Soma asal bunyi. Jiwo Langgeng tertawa bergelak. Kepalanya
mendongak tinggi-tinggi. Selang beberapa saat, wajah garang Jiwo Langgeng
memandang tajam pada Soma.
"Bodoh! Aku tahu, kaulah pemuda sinting yang
bergelar Siluman Ular Putih. Sekarang cepat tanggalkan kepalamu mumpung
kesabaranku belum habis!"
desis Jiwo Langgeng.
"Heran! Heran! Sebenarnya yang sinting itu aku atau kau" Tadi aku dituduh
pencuri kerbau dan dituduh berotak miring. Kini malah ada orang yang men-
ginginkan kepalaku! Heran-heran! Apa sekarang dunia
ini makin banyak dijejali orang berotak miring. Atau, memang zamannya sudah
miring"!" gumam murid
Eyang Begawan Kamasetyo seperti pada diri sendiri.
"Kaulah yang berotak miring, Kunyuk! Seka-
rang lekas tanggalkan kepalamu! Atau biar aku yang memenggal kepalamu"!" kata
Jiwo Langgeng pongah.
"Ah, iya! Sekarang ketahuan. Kaulah yang berotak miring, kawan! Masa' tidak ada
hujan dan tidak ada angin tiba-tiba aku harus memenggal kepalaku?"
sahut Siluman Ular Putih kalem.
"Bagus! Jadi kau memang menginginkan aku
yang memenggal kepalamu, Kunyuk"!" dengus Jiwo Langgeng angkuh. "Nah, sekarang
bersiaplah. Karena kepalamu sebentar lagi akan ku tukar dengan calon istriku
yang cantik!"
Habis mendengus begitu, Jiwo Langgeng men-
cabut keris berlekuk tujuh dari dalam sarung. Kemudian tanpa banyak cakap lagi,
segera diserangnya Siluman Ular Putih.
"Tunggu! Tadi kau bilang kepalaku akan ditu-
kar dengan calon istrimu" Lalu siapa calon istrimu itu, Kawan" Dan siapa pula
kau ini?" cegah Siluman Ular Putih seraya meliuk-liukkan tubuhnya menghindari
serangan-serangan Jiwo Langgeng.
"Orang yang akan mencabut nyawa busukmu
adalah Jiwo Langgeng, Kunyuk!" bentak Jiwo Langgeng jengkel. Keris di tangan
kanannya makin bergerak-gerak menggiriskan. Bahkan disertai deru angin setiap
keris itu berkelebat.
"Lalu siapa calon istrimu itu, Jiwo Langgeng?"
tanya Soma penasaran.
"Tanyakan saja sendiri pada malaikat maut!"
"Hm...! Tampaknya kau jual mahal, Jiwo Lang-
geng. Mengetahui nama calon istrimu yang cantik saja tidak boleh. Nanti kalau
kurebut, malah kau sendiri yang nyap-nyapan!" celoteh Soma, menggoda. Tubuhnya
meliuk-liuk cepat menghindari serangan-serangan Jiwo Langgeng yang semakin
ganas. "Bedebah! Ternyata nama besarmu bukan
hanya sekadar kertas bungkus bubur, Kunyuk! Tapi
aku belum yakin, apa kau sanggup menerima pukulan
maut 'Banteng Ketaton' milikku"!" dengus pemuda dari Lembah Patak Banteng mulai
kesal juga melihat serangan-serangannya dapat dihindari Siluman Ular Putih
dengan mudah. Siluman Ular Putih hanya tersenyum-senyum
menggoda. Namun ketika dilihatnya kedua telapak
tangan Jiwo Langgeng mulai berubah merah jambu
hingga ke siku, mau tidak mau keningnya berkerut ju-ga. Dari bau anyir yang
ditimbulkan, tahulah kalau pukulan pemuda lawannya mengandung racun keji.
Siluman Ular Putih tak berani main-main lagi.
Segera dikerahkannya tenaga dalam, membuat kedua
telapak tangannya mulai jadi putih terang hingga ke siku! "Jangan cengengesan!
Sebentar lagi kau akan kukirim ke neraka, Kunyuk!" dengus Jiwo Langgeng
"Hea...!"
Dua larik sinar merah jambu seketika melesat
dari kedua telapak tangan Jiwo Langgeng ke arah Siluman Ular Putih begitu kedua
telapak tangannya ter-hentak ke depan. Hebatnya serangan itu dikawal angin


Siluman Ular Putih 08 Sayembara Angkin Pembawa Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dingin yang menderu-deru.
Siluman Ular Putih sejenak tersenyum kecut.
Namun tiba-tiba kedua tangannya menghentak, melon-
tarkan pukulan sakti 'Tenaga Inti Bumi'.
Wesss! Wesss! Bummm...! Terdengar ledakan hebat di udara begitu terjadi
benturan dua kekuatan dahsyat. Bumi bergetar hebat!
Ranting-ranting pohon berderak dengan daun-daun
berguguran dalam keadaan hangus.
Sementara tubuh Jiwo Langgeng terjajar bebe-
rapa langkah ke belakang. Wajahnya pucat pasi! Sekujur tubuhnya menggigil.
"Bagaimana" Apa sekarang kau juga belum
mau memperkenalkan calon istrimu yang cantik pada-
ku?" ledek Soma yang juga sempat tergetar hebat akibat bentrokan tadi. Namun
pemuda ini masih tetap tegak di tempatnya. Sepasang matanya yang tajam terus
memandangi Jiwo Langgeng.
Jiwo Langgeng sedikit pun tidak menggubris
pertanyaan Siluman Ular Putih. Malah sambil membe-
sut darah yang membasahi bibir dipasangnya kuda-
kuda rendah. Seketika, kedua tangannya menghentak, melepas pukulan maut 'Banteng
Ketaton' disertai tenaga dalam tinggi.
"Hea...!"
"Ukh...! Dasar pemuda berotak miring! Ditanya baik-baik malah ngamuk," celoteh
Siluman Ular Putih menggoda.
Dan ketika melesat dua larik sinar merah jam-
bu dari kedua telapak tangan Jiwo Langgeng. Siluman Ular Putih tak segan-segan
lagi menambahkan kekuatan tenaga dalamnya. Saat itu kedua tangannya menghentak
pula. Wesss! Wesss! Bummm...! "Aaakh...!"
Sekali lagi terdengar ledakan hebat di udara
yang diiringi jeritan seseorang. Tak lama, tampak satu
sosok tubuh jatuh berdebum ke tanah dengan wajah
pias! Tubuh Jiwo Langgeng!
Siluman Ular Putih tersenyum kecut.
"Nah! Sekarang katakan, siapa calon istrimu
yang cantik itu" Dan mengapa pula ia menginginkan
nyawaku" Hayo, jawab! Kalau tidak kepalamu lah yang akan kupenggal?" ancam Soma,
bermaksud menggoda.
Jiwo Langgeng berusaha tersenyum, namun
yang tampak adalah seringai kesakitan. Dadanya tera-sa nyeri saat bangkit. Namun
mendadak tangannya
menelusup ke dalam saku, lalu mengibas.
Saat itu pula, dua buah benda bulat sebesar
kerikil melesat ke arah Siluman Ular Putih. Namun
dengan tangkas, Soma melenting ke belakang.
Blarrr...! Seketika ledakan kecil terdengar, disertai uap
hitam bergulung-gulung menghalangi pandangan, be-
gitu Siluman Ular Putih mendarat empuk di tanah.
Soma mengibas-ngibaskan tangannya mengusir uap
hitam yang bergulung-gulung akibat dua benda kecil yang dilemparkan Jiwo
Langgeng. Dan ketika uap hitam bergulung-gulung itu hilang, sosok Jiwo Langgeng
pun telah lenyap.
"Ada-ada saja! Orang mau punya istri, kok pa-
kai minta kepalaku segala! Memangnya kepalaku tum-
bal apa?" sungut Soma kesal.
*** 5 "Lihat, Pawit! Itu kerbau-kerbau milik kita!" pekik ayah Pawit gembira, kala
sepasang matanya meli-
hat Soma tengah menggiring kerbau-kerbau milik me-
reka, diikuti dua pemuda berpakaian rompi putih dan pemuda berpakaian hitam.
"Benar, Ayah! Itu kerbau-kerbau milik kita!"
pekik Pawit kegirangan, lalu cepat berlari menghampiri Soma. "Benar kerbau-
kerbau ini milikmu, Adik Kecil?"
tanya Soma begitu Pawit berada di dekatnya.
"Benar, Kak. Kerbau-kerbau ini memang milik
ayahku. Tapi..., tapi kenapa pencurinya jadi tiga
orang?" tanya bocah kecil itu lugu. Sebentar sepasang matanya yang berbinar
memperhatikan dua orang pemuda berambut gondrong di kanan kiri Soma. Seben-
tar pandangannya telah beralih ke arah Soma.
"Ah...! Kau masih menuduhku pencuri, Bocah?"
tukas Soma. "Eh...! Bukan! Bukan kau pencurinya, Kak.
Yah-yah...! Kedua orang itulah yang telah mencuri
kerbauku!"
"Syukur kalau kau masih ingat, Dik. Sekarang
kita menemui ayahmu!" ajak Soma.
"Baik, Kak."
Diikuti bocah kecil yang tengah kegirangan ka-
rena telah menemukan kerbau-kerbaunya kembali,
Soma terus mengajak kedua pemuda pencuri kerbau
itu menemui lelaki berkumis lebat.
"Bagaimana keadaanmu, Paman" Tidak enak
kan berdiri kaku seperti itu?" ledek Soma diiringi senyum nakal. Lalu segera
dibebaskannya totokan di tubuh lelaki itu.
Begitu terbebas dari totokan, tubuh lelaki ber-
kumis dapat digerakkan kembali.
"Maafkan keteledoranku, Anak Muda!" ucap lelaki pemilik kerbau ramah.
"Sudahlah, Paman. Yang penting kedua pencuri
itu sudah kutangkap. Dan aku terbebas dari bacokan parang mu?" ujar Soma.
"Sekali lagi aku minta maaf, Anak Muda!"
"Sekarang, uruslah kedua orang pencuri tengik ini. Tapi jangan dibunuh! Bawa
saja mereka ke balai desa. Biar kepala desa yang mengadili!"
"Baik, Anak Muda. Sekarang juga aku akan
membawa mereka menemui Ki Lantuk," sahut pemilik kerbau itu patuh.
Meski demikian, rasa jengkel masih menghing-
gapi dada si pemilik kerbau. Maka begitu berada di dekat kedua pencuri itu,
segera dilontarkannya pukulan bertubi-tubi.
"Aaah...!"
"Aaakh...!"
Karena tertotok, kedua pencuri itu hanya dapat
menjerit-jerit. Namun pemilik kerbau itu terus menghajar mereka. Dan setelah
puas menghajar, pemilik
kerbau itu pun segera menyeret kedua orang pencuri pergi dari tempat ini.
"Sayang sekali! Masih muda, jadi pencuri.
Huh!" gumam Soma dalam hati.
Habis menggumam begitu, Soma berkelebat
meninggalkan tempat itu. Namun baru beberapa lang-
kah, mendadak satu sosok tubuh berpakaian serba hitam telah menghadang
langkahnya. "Bocah Gendeng! Lekas katakan! Benarkah kau
yang bergelar Siluman Ular Putih"!"
*** Soma menyipitkan matanya, memandangi seso-
sok lelaki berusia lima puluh lima tahun yang kini te-
lah tegak di hadapannya. Wajahnya bulat menyerupai wajah monyet. Sepasang
matanya bulat dengan hidung lebar. Sedang tubuhnya yang tinggi kekar dipenuhi
bu-lu-bulu hitam.
"Hm...! Lagi-lagi aku mendapat pertanyaan se-
rupa. Kalau tadi pemuda bernama Jiwo Langgeng, kini seorang laki-laki tua
berwajah mirip monyet. Sebenarnya ada apa di balik ini semua" Dan siapa pula
lelaki ini...?" gumam Soma dalam hati.
Siluman Ular Putih memang makin tak menger-
ti saja. Seribu pertanyaan seolah menggayuti benaknya. "Kenapa kau tampak uring-
uringan, Orang Tua" Apa kerbau-kerbaumu dicuri maling?" kata So-ma, tak
pedulikan pertanyaan lelaki berwajah monyet.
"Setan Alas! Kau jangan berlagak bodoh, Bocah!
Melihat ciri-ciri mu, kau pasti pemuda bergelar Siluman Ular Putih! Benarkah
itu, Bocah"!" bentak lelaki yang tak lain Datuk Wanoro.
"Kalau memang iya, kenapa, Orang Tua" Apa
kau ingin memenggal kepalaku, lalu kau serahkan pa-da calon istrimu yang cantik
jelita?" duga Soma.
"Bagus! Rupanya kau sudah mengetahuinya,
Bocah! Sekarang kau harus menuruti permintaan ca-
lon istriku! Aku akan memenggal kepalamu!"
Siluman Ular Putih mendesah lirih. Rupanya
tebakannya mengena.
"Kalau ingin kepalaku, kau berani menawar be-
rapa" Dibayar dengan istrimu yang cantik jelita itu pun, belum tentu aku mau!"
goda Soma. "Setan Alas! Berani kau mempermainkan Datuk
Wanoro, Bocah"!"
"Kenapa tidak" Kau sendiri berani memper-
mainkan kepalaku!"
"Setan Alas! Makanlah pukulan maut 'Gada
Bumi'-ku! Hea...!"
Diiringi bentakan keras memekakkan telinga,
Datuk Wanoro segera mendorongkan kedua telapak
tangannya ke depan. Seketika tampak dua larik sinar kuning berkilauan melesat
dari kedua telapak tangannya ke arah Siluman Ular Putih!
"Ah, kau ini! Pagi-pagi saja sudah cari ribut!"
gerutu Siluman Ular Putih, seraya menghentakkan kedua tangannya. Dipapakinya
pukulan Datuk Wanoro
dengan pukulan 'Tenaga Inti Bumi'.
Wesss! Wesss! Bummm...! Terdengar satu ledakan dahsyat di Udara ketika
dua tenaga dalam bentrok. Pada saat yang sama, tu-
buh Datuk Wanoro terjajar beberapa langkah ke belakang dengan wajah pucat pasi.
Sepasang matanya me-
lotot seolah tidak percaya kalau pemuda gondrong di hadapannya mampu memapaki
pukulan mautnya.
Sementara itu Soma hanya sedikit bergetar aki-
bat bentrokan tadi. Hal ini membuat Datuk Wanoro
menggembor penuh kemarahan.
"Heaaa...!"
Disertai teriakan merobek langit, tubuh tinggi
kekar lelaki itu cepat melenting tinggi. Begitu berada di udara, tangan kirinya
cepat bergerak dari kiri-kanan, bermaksud menampar kepala Soma.
Wut! Wut! Siluman Ular Putih sedikit menggeser tubuhnya
ke samping, membuat tamparan Datuk Wanoro hanya
menyambar angin kosong. Namun pada saat yang
singkat tangan kanan Datuk Wanoro telah mengirim-
kan jotosan ke ubun-ubun.
Siluman Ular Putih terkesiap kaget! Ia tidak
menyangka kalau dirinya akan tertipu mentah-mentah oleh serangan Datuk Wanoro.
Namun secepatnya tubuhnya dibuang ke samping. Sayang, gerakannya ter-
lambat. Dan....
Bukkk! Telak sekali jotosan Datuk Wanoro menghan-
tam bahu kanan Siluman Ular Putih. Tubuh pemuda
ini pun kontan terhuyung-huyung ke depan, lalu jatuh tersungkur ke tanah. Bahu
kanannya terasa nyeri bukan main.
"Sontoloyo! Kau berbakat juga jadi penipu be-
sar, Manusia Monyet!" dengus murid Eyang Begawan Kamasetyo jengkel.
Sekali menggerakkan tubuhnya, Siluman Ular
Putih cepat meloncat bangun. Namun pada saat yang
sama, Datuk Wanoro kembali menerjang. Gerakan-
gerakan tubuhnya mirip seekor monyet yang berloncatan ke sana kemari, sebelum
akhirnya lancarkan se-
rangan mautnya.
"Hea...! Hea...!"
Hebat bukan main serangan-serangan Datuk
Wanoro kali ini. Begitu hebatnya, sehingga setiap tangannya berkelebat terdengar
kesiur angin dingin yang menampar-nampar wajah Siluman Ular Putih!
Siluman Ular Putih cepat mengerahkan jurus
sakti 'Terjangan Maut Ular Putih'. Kedua telapak tangannya yang membentuk dua
kepala ular cepat berge-
rak di antara gulungan-gulungan serangan Datuk Wa-
noro. Dan pada satu kesempatan, murid Eyang Bega-
wan Kamasetyo ini dapat melepas patukan tangan ka-
nan ke dada. Bukkk! Bukkk! Dua kali dada Datuk Wanoro terkena patukan
telak tangan Siluman Ular Putih. Tubuhnya yang tinggi
besar kontan terjajar ke belakang. Wajahnya mene-
gang. Dadanya yang terkena patukan terasa mau ber-
guncang. Gerahamnya berkerut-kerut, menahan luka
dalam dadanya. "Heaaa...!"
Tanpa menghiraukan rasa sakit, Datuk Wanoro
kembali menerjang Siluman Ular Putih. Kedua telapak tangannya yang telah berubah
kuning berkilauan segera melontarkan pukulan 'Gada Bumi'.
Wusss...! Wusss...!
Dua larik sinar kuning berkilauan melesat dari
kedua telapak tangan Datuk Wanoro. Di tempatnya,
Siluman Ular Putih melipatgandakan tenaga dalamnya, membuat kedua telapak
tangannya hingga ke pangkal
siku makin berubah putih terang. Dan sekali dido-
rongkan ke depan, seketika melesat dua larik sinar putih terang.
Wesss! Wesss! Bummm...! Kembali terdengar ledakan dahsyat begitu dua
kekuatan dahsyat bertemu pada satu titik. Debu-debu beterbangan. Daun-daun
berguguran. Malah ada seba-giannya yang hangus terbakar!
Tubuh Datuk Wanoro sendiri terpental jauh ke
belakang disertai teriakan kesakitan. Begitu mencium tanah lelaki itu muntahkan
darah segar! Kedua telapak tangannya pun terasa membeku. Hawa dingin akibat
bentrokan tadi terasa berputar-putar dalam tubuhnya!
Dengan tertatih-tatih tokoh dari Hutan Kera itu
mencoba bangun. Namun, sayangnya tubuhnya kem-
bali luruh ke tanah.
"Aduuuh...! Kenapa kau nungging-nungging se-
perti tikus comberan masuk angin, Manusia Monyet!
Hayo lekas bangun! Nanti kau dimarahi calon istrimu!"
ejek Siluman Ular Putih.
Datuk Wanoro menggereng penuh kemarahan.
Meski tubuhnya terasa mau remuk, namun terus me-
maksakan diri untuk bangun. Dan begitu dapat me-
loncat bangun, sepasang matanya yang bulat kontan
melotot. Seakan-akan ingin ditelannya bulat-bulat pemuda gondrong di hadapannya!
Di saat Datuk Wanoro dilanda kegusaran inilah
mendadak.... "Memalukan! Tampangnya saja yang angker!
Tapi menghadapi pemuda dungu itu tak becus!"


Siluman Ular Putih 08 Sayembara Angkin Pembawa Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebuah suara yang memerahkan telinga ter-
dengar, disusul berkelebatnya dua sosok bayangan
berjubah merah dari arah samping.
*** 6 Sepasang mata bulat Datuk Wanoro makin
berkilat-kilat penuh kemarahan. Dua sosok yang kini berdiri tak jauh dari
tempatnya berusia sekitar empat puluh tahun. Mereka mengenakan jubah berwarna
merah darah. Yang sebelah kanan adalah lelaki bertubuh tinggi besar. Wajahnya
kasar penuh benjolan kecil. Sepasang matanya tajam. Hidungnya besar dengan kumis
lebat melintang. Rambutnya panjang sebahu. Ia tak lain dari Badar Angin.
Sosok di sebelah Badar Angin juga lelaki berju-
bah merah darah. Tubuhnya kurus kering seperti
orang berpenyakitan. Rambutnya panjang keriting
dengan kulit hitam legam. Wajahnya tanpa kumis dan jenggot. Siapa lagi tokoh ini
kalau bukan Badar Topan"
Kedua orang itu dikenal sebagai Sepasang Manusia
Jubah Merah dari Gunung Perahu.
Melihat siapa yang datang, kegusaran Datuk
Wanoro tak dapat ditahan lagi.
"Jaga bacotmu, Badar Topan! Kau sendiri be-
lum tentu dapat mengalahkannya. Sekali kepruk saja tubuhmu akan hancur!" dengus
Datuk Wanoro dalam kemarahan menggelegak.
Badar Topan tersenyum dingin. Sepasang ma-
tanya yang mencorong terus memandangi Siluman
Ular Putih. "Siapa lagi dua orang berjubah merah darah
ini" Menilik gelagatnya, sudah pasti mereka juga menginginkan nyawaku. Lalu,
siapakah yang berdiri di balik semua kekacauan ini?" tanya Siluman Ular Putih
dalam hati. "Hanya menghadapi kunyuk geblek ini saja tak
becus," dengus Badar Topan sangat merendahkan Datuk Wanoro.
Meski mulutnya berkata demikian, sebenarnya
hati Badar Topan pun mulai dipenuhi tanda tanya.
Dengan sepasang matanya yang mencorong, kembali
diperhatikannya pemuda gondrong di hadapannya.
"Kalau Datuk Wanoro dapat dibuat jatuh ban-
gun, sudah pasti pemuda yang tampak blo'on ini me-
miliki kepandaian lumayan. Menilik ciri-cirinya, bisa jadi kunyuk gondrong
inilah yang bergelar Siluman
Ular Putih. Sebab, hanya tokoh sakti saja yang dapat mengalahkan Datuk Wanoro.
Kalau tidak, mustahil
kunyuk gondrong ini dapat mengalahkan manusia
berwajah monyet itu," gumam Badar Topan dalam hati.
Makin tajam mata Badar Topan menatap Soma.
"Bocah! Benarkah kau yang bergelar Siluman
Ular Putih"!" bentak Badar Topan garang.
Siluman Ular Putih tersenyum kecut. Lalu en-
tah kenapa, tangannya menggaruk-garuk kepala.
"Alamak! Entah mimpi apa aku semalam" Kok
nasibku jelek amat" Sudah bertemu manusia monyet,
pakai bertemu dua orang pemain lenong kesasar yang juga menginginkan nyawaku.
Hei, Orang Tua! Sebenarnya ada apa hingga kalian memusuhi ku?" tanya Soma dengan
lantang pada Badar Angin dan Badar
Topan. "Jangan-jangan soal perempuan lagi...."
"Sebenarnya kami tidak ingin memusuhi mu,
Bocah. Kami berdua hanya menginginkan kepalamu
untuk ditukar dengan calon istriku!" sahut Badar Topan dengan senyum terkembang
di bibir. "Siapakah calon istrimu itu, Orang Tua?" tanya Soma penasaran.
"Buat apa kau bertanya kalau akhirnya akan
modar juga di tangan kami" Sekarang bersiap-siaplah menerima kematianmu hari
ini, Bocah!" ancam Badar Topan. Sejenak perhatiannya dialihkan ke arah Badar
Angin. Badar Angin pun anggukkan kepala tanda setuju.
"Semprul! Kalian pikir kepalaku ini barang mu-rahan"! Hayo lekas maju! Kalau
ingin kugebuk pantat kalian!" Saat itu pula murid Eyang Begawan Kamasetyo ini
memasang kuda-kuda. Kedua telapak tangannya
yang membentuk dua kepala ular disilangkan sedemi-
kian rupa di depan dada. Lalu sambil tersenyum nakal pantatnya digoyang-goyang!
"Hayo maju! Kenapa kalian hanya melotot saja!"
ejek Siluman Ular Putih.
"Kunyuk Sinting! Kau akan menyesal telah di-
lahirkan di bumi, Bocah!" dengus Badar Angin yang dari tadi hanya bungkam saja.
Saat itu juga kakinya menjejakkan tanah. Dan tahu-tahu tubuh tinggi besarnya
sudah menerjang Siluman Ular Putih.
Tangan kanan Badar Angin bergerak sedemi-
kian rupa, siap mengirimkan jotosan ke bagian dada.
Sedang tangan kirinya siap pula mencengkeram dari
samping. "Hiaaat...!"
Bersamaan dengan itu, Badar Topan pun me-
nerjang Siluman Ular Putih tak kalah hebat. Seperti berlomba, Sepasang Manusia
Jubah Merah dari Gunung Perahu terus mendesak Siluman Ular Putih tan-
pa ampun. Sementara Siluman Ular Putih sedikit pun ti-
dak gentar menghadapi dua orang pengeroyoknya. Ma-
lah sambil bersiul-siul kegirangan, diladeninya serangan-serangan kedua lawan
dengan jurus 'Terjangan
Maut Ular Putih'. Kedua telapak tangannya yang membentuk dua kepala ular
sesekali menyelinap di antara gulungan-gulungan serangan Sepasang Manusia Jubah
Merah. "Hea...! Hea...!"
Diiringi teriakan-teriakan memekakkan gen-
dang telinga, Siluman Ular Putih merangsek maju.
Perlahan namun pasti, murid Eyang Begawan
Kamasetyo itu mulai dapat mendesak kedua lawan.
Bahkan sepuluh jurus kemudian, Badar Angin dan
Badar Topan hampir tidak dapat membalas. Jangan-
kan untuk membalas. Untuk keluar dari gempuran-
gempuran murid Eyang Begawan Kamasetyo itu ra-
sanya sulit! Sambil bersiul-siul Siluman Ular Putih terus
mendesak kedua orang pengeroyoknya. Hingga pada
suatu kesempatan baik, tiba-tiba kedua tangannya
yang membentuk kepala ular disusupkan secara ber-
gantian di antara serangan-serangan balik Badar Angin dan Badar Topan. Dan....
Bukkk! Bukkk! "Aaakh...!"
Telak sekali patukan tangan kanan-kiri Silu-
man Ular Putih menghantam dada kedua lawannya.
Seketika Sepasang Manusia Jubah Merah memekik ke-
ras dengan tubuh terjajar beberapa langkah ke belakang! Wajah mereka meringis
kesakitan. "Kubilang apa"! Untung saja dadamu tidak je-
bol, Badar Topan. Padahal kalian maju bareng. Memalukan sekali!" ejek Datuk
Wanoro di antara tawa berge-laknya. Badar Topan menggeram penuh kemarahan
mendengar ejekan Datuk Wanoro. Sejenak matanya
menatap lelaki berwajah monyet itu, lalu berbalik ke arah Siluman Ular Putih.
"Kau memang hebat, Siluman Ular Putih. Tapi,
jangan bangga dulu. Aku belum yakin, apa kau sang-
gup menerima pukulan 'Menggulung Angin Topan'-
ku?" ancam Badar Topan.
Habis berkata begitu, Badar Topan segera
menggerakkan dagunya memberi isyarat pada Badar
Angin. Badar Angin menganggukkan kepala. Kedua te-
lapak tangannya yang telah dialiri tenaga dalam seketika berubah jadi merah
menyala! Lalu tanpa banyak cakap lagi, Badar Topan dan Badar Angin segera
mendorongkan kedua telapak tangan ke depan secara bersamaan!
"Hea...!"
Wesss! Wesss! Siluman Ular Putih mundur satu tindak. Ga-
bungan dua tenaga dalam dari Sepasang Manusia Ju-
bah Merah dari Gunung Perahu tidak boleh dipandang ringan. Itu bisa dirasakan
dari hawa panas menyengat yang mendahului serangan!
Seketika murid Eyang Begawan Kamasetyo ini
segera mengerahkan tenaga dalamnya dengan kuda-
kuda kokoh. Agaknya Siluman Ular Putih siap melepas pukulan sakti 'Tenaga Inti
Bumi' yang diga-bungkan
'Tenaga Inti Api'.
"Hea...!"
Dua larik sinar merah menyala dan putih te-
rang langsung meluncur dari kedua telapak tangan Siluman Ular Putih, memapak
pukulan 'Menggulung An-
gin Topan'. Wesss! Wesss! Bummm...!
Hebat bukan main dahsyatnya pertemuan te-
naga dalam di udara kali ini. Bumi bergetar hebat laksana gempa! Ranting-ranting
pohon berderak dengan
daun-daun berguguran hangus!
Tubuh Badar Angin dan Badar Topan pun tam-
pak terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang.
Wajah mereka menampakkan seringai kesakitan.
Namun hal ini masih agak mendingan diband-
ing tubuh Siluman Ular Putih yang terjengkang, dan jatuh berdebam ke tanah.
Parasnya tampak demikian
pias. Seisi dadanya terasa mau jebol. Kedua telapak tangannya terasa terpanggang
bara api yang panas
bukan kepalang!
Wesss...! Pada saat yang gawat bagi Siluman Ular Putih,
mendadak meluruk serangkum angin dingin dari ke-
dua telapak tangan Datuk Wanoro. Siluman Ular Putih kaget bukan main, tanpa bisa
menghindar. Dan...
Desss...! Tubuh Soma kembali terpental. Untung saja,
tenaga dalamnya telah dikerahkan. Sehingga, tidak menderita luka dalam yang
parah. Namun meski demikian, wajahnya makin pias. Keringat dingin tampak
membasahi kening.
"Manusia licik! Pintarnya cuma mengambil
keuntungan sendiri! Apa kau tidak malu dengan tin-
dakanmu tadi, he"! Kamilah yang berhak membunuh
pemuda itu. Bukan kau!" bentak Badar Angin tak senang. Datuk Wanoro hanya
tertawa-tawa pongah. Wa-
jah liciknya dihadapkan ke arah Siluman Ular Putih.
Sedang kedua telapak tangannya yang terkembang
siap pula melontarkan pukulan mautnya.
"Heaaah...!"
Sambil menggeram penuh kemarahan, Siluman
Ular Putih cepat meloncat bangun. Dan ketika dilihatnya Datuk Wanoro kembali
menyerang, segera dike-
rahkannya pukulan 'Tenaga Inti Api' dengan sepenuh kekuatan tenaga dalam.
Blarrr...! Kembali terdengar letusan hebat, membuat
udara bagai bergetar. Hawa panas menyengat kontan
memenuhi tempat pertarungan.
Sementara tubuh Datuk Wanoro terpental be-
berapa tombak ke belakang, dan jatuh berdebam ke
tanah! Ia berusaha bangkit, namun sayangnya kembali luruh ke tanah setelah
memuntahkan darah segar.
Siluman Ular Putih sendiri hanya terjajar bebe-
rapa langkah ke belakang. Hawa dingin dari pukulan Datuk Wanoro hanya sesaat
mempengaruhi tubuhnya.
Dan setelah mengerahkan tenaga dalam, hawa dingin
yang menyerang tubuhnya pun lenyap.
"Manusia Culas! Kau memang patut mendapat
ganjaran seperti itu!" ejek Badar Topan.
Mata Datuk Wanoro melotot garang. Tubuhnya
saat itu terasa remuk. Dengan susah payah, akhirnya Tokoh dari Hutan Kera itu
pun dapat berdiri kembali.
Namun, ia sudah tidak punya nyali lagi untuk menyerang Siluman Ular Putih.
Sementara itu Siluman Ular Putih telah kembali dikeroyok demikian hebat oleh
Sepasang Manusia Jubah Merah dari Gunung Perahu.
Namun ternyata pemuda itu tetap dapat meladeni serangan-serangan Badar Angin dan
Badar Topan. Bah-
kan.... Bukkk! Bukkk!
"Aaakh...!"
Kembali patukan-patukan tangan kanan-kiri
murid Eyang Begawan Kamasetyo mendarat di dada
Badar Angin. Lelaki tinggi kekar itu kontan meraung setinggi langit. Tubuhnya
terjajar beberapa langkah ke belakang. Jubahnya yang terkena patukan seperti
hangus terbakar!
Dalam waktu yang amat singkat, Siluman Ular
Putih sudah menerjang Badar Topan. Patukan-
patukan kedua tangannya yang dialiri dengan pukulan sakti 'Tenaga Inti Api'
terus mencecar tubuh kerempeng Badar Topan tanpa ampun.
Hingga pada suatu saat....
Bukkk! Bukkk! "Aaakh...!"
Patukan-patukan tangan Siluman Ular Putih
berhasil menghajar tubuh Badar Topan. Lelaki kerempeng ini memekik setinggi
langit. Pada saat tubuhnya limbung, tendangan melingkar Siluman Ular Putih
menghajar punggungnya.
Desss...! "Aaakh...!"
Tanpa ampun, Badar Topan terjerembab ke ta-
nah, tidak dapat bangun lagi!
Melihat itu nyali Badar Angin jadi ciut. Begitu
melirik ke samping, ternyata Datuk Wanoro pun sudah tidak ada lagi di tempatnya.
Lalu tatapannya beralih pada tubuh adik seperguruannya yang tengah terkapar di
tanah. Sebenarnya, lelaki tinggi besar ini ingin menolong Badar Topan. Namun
ketika dilihatnya mata Siluman Ular Putih berkilat-kilat penuh kemarahan,
tanpa banyak pikir panjang lagi kakinya segera menjejak tanah. Seketika tubuhnya
berkelebat meninggalkan tempat ini.
Siluman Ular Putih sejenak masih memandangi
ke arah Badar Angin yang lenyap tadi. Sebenarnya, ia ingin mengejar. Namun
ketika melihat Badar Topan
masih tergeletak di tanah, niatnya lantas diurungkan.
"Tak ada pilihan lain. Aku harus mengorek ke-
terangan dari manusia kerempeng itu. Aku penasaran sekali. Siapa sebenarnya yang
berdiri di balik semua ini" Kenapa banyak orang yang menginginkan nyawaku?"
gumam Soma dalam hati.
Soma lalu berjalan mendekati Badar Topan
yang terkapar di tanah. Namun baru beberapa lang-
kah.... Wesss...!
Tiba-tiba Siluman Ular Putih merasakan berke-
siurnya angin dingin menyerang dirinya dari belakang!
Maka secepatnya ia berpaling ke belakang.
"Heh..."!"
Seketika itu Soma tersentak, berpuluh-puluh
sinar kuning keemasan berkeredepan menyerang di-


Siluman Ular Putih 08 Sayembara Angkin Pembawa Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rinya bak air hujan dicurahkan dari langit!
"Uts...!"
Tanpa pikir panjang, Siluman Ular Putih segera
membuang tubuhnya ke samping sambil mengibaskan
tangan kirinya menyampok sinar-sinar kuning keema-
san itu. Begitu selamat dari sinar-sinar kuning itu, Siluman Ular Putih jadi
mengomel panjang pendek Kare-na ia melihat kini tubuh Badar Topan telah dipenuhi
jarum-jarum emas yang terlepas dari tangkisannya.
Dan sekujur tubuh kerempeng itu kontan kekuning-
kuningan. Jelas, racun jarum-jarum emas itu telah
merenggut nyawa Badar Topan!
"Sontoloyo! Murid Istana Ular Emas mana lagi
yang berani membuat ulah, he"!" dengus Siluman Ular Putih. Menyadari orang yang
hendak dikorek keteran-gannya telah tak bernyawa lagi, Soma pun segera meloncat
ke atas pohon di dekatnya.
Selang beberapa saat, Siluman Ular Putih meli-
hat sesosok bayangan kuning keemasan tengah berke-
lebat cepat jauh di ujung hutan. Tak lama, bayangan itu telah menghilang di
balik rimbunnya hutan.
"Haram jadah! Dasar murid-murid Istana Ular
Emas tak tahu diri! Sudah diberi ampun masih saja
membuat ulah!" omel Siluman Ular Putih kesal.
Dengan muka bersungut-sungut, Soma segera
meloncat turun dari atas pohon.
*** 7 "Maafkan aku, Soma!" desah Angkin Pembawa Maut.
Wajah gadis ini dipenuhi air mata. Memang
Puspa Sari-lah yang baru saja membunuh Badar To-
pan di luar Hutan Seruni. Kini gadis itu telah kembali ke tempat
persembunyiannya di gua Sendang Mangli.
Karena takut rahasianya terbongkar bila Soma mengorek keterangan dari Badar
Topan, maka Angkin Pem-
bawa Maut terpaksa membunuh Badar Topan.
"Aku menyesal sekali, Soma. Begitu aku meli-
hat wajahmu, rasanya aku tak tega. Aku.... Aku men-cintaimu, Soma. Tapi, kenapa
kau tega menyakiti hatiku" Oh...!" desah Angkin Pembawa Maut.
Namun ketika kembali teringat akan keakraban
Soma dengan Aryani, mendadak sepasang mata Ang-
kin Pembawa Maut yang bersimbah air mata jadi berkilat-kilat penuh kemarahan.
(Silakan baca serial Siluman Ular Putih dalam episode: "Tombak Raja Akhirat").
"Kini hatiku telah terluka, Soma. Kaulah yang melukainya! Dan kau pulalah yang
harus bertanggung jawab! Muak aku melihat tampangmu!" desis Puspa Sari dengan
mata makin jalang.
Angkin Pembawa Maut yang semula duduk me-
ratap sambil menyandarkan punggung di dinding, kini telah berdiri tegak di
tengah-tengah ruangan dalam gua. Tombak Raja Akhirat di tangan kanannya sejenak
diperhatikan dengan saksama.
"Hm...! Dengan Tombak Raja Akhirat pembe-
rianmu ini aku akan membunuhmu, Soma!" desis
Angkin Pembawa Maut.
Hatinya yang gundah makin tersulut amarah.
Dan hanya dengan kematian Soma sajalah amarah
Angkin Pembawa Maut dapat padam. Kini dalam kea-
daan tegang begitu, sejenak keningnya berkerut dalam.
Samar-samar telinganya mendengar langkah halus se-
seorang melintas bagian atas gua.
"Angkin Pembawa Maut! Boleh aku masuk ke
dalam goamu?"
Terdengar suara dari luar, membuat Angkin
Pembawa Maut mendesah gusar.
"Keparat! Siapa lagi manusia di luar itu?" desis Angkin Pembawa Maut penuh
kemarahan. Lalu berge-gas gadis ini melangkah keluar.
*** Begitu sampai di luar gua, kening Angkin Pem-
bawa Maut berkerut. Sosok yang tengah tegak di de-
pan mulut gua tempat persembunyiannya ternyata so-
sok pemuda berparas tampan berpakaian ketat warna
jingga. Siapa lagi kalau bukan Jiwo Langgeng"
Menilik pakaiannya yang compang-camping
dan parasnya yang pucat pasi, Angkin Pembawa Maut
dapat menduga kalau pemuda dari Lembah Patak Ban-
teng itu menemui kegagalan.
"Jiwo Langgeng! Mau apa kau datang kemari"
Apa kau sudah mendapat syarat yang kuminta"!" bentak Angkin Pembawa Maut tak
senang. Jiwo Langgeng tak langsung menjawab. Sepa-
sang matanya yang tajam memperhatikan tombak di
tangan Angkin Pembawa Maut penuh hasrat. Kemu-
dian matanya beralih pada sosok padat penuh gairah di hadapannya.
Tubuh Angkin Pembawa Maut yang terbungkus
pakaian warna kuning keemasan itu tampak mencip-
takan lekuk-lekuk menggairahkan. Rasanya Jiwo
Langgeng sudah tak sabar lagi untuk dapat menikma-
tinya. Namun selanjutnya pemuda ini jadi mengeluh
dalam hati. Angkin Pembawa Maut risih sekali diperhatikan
pemuda tampan di hadapannya seperti itu. Baginya,
ketampanan Jiwo Langgeng belum seberapa bila di-
bandingkan Siluman Ular Putih. Dan hal ini pulalah yang membuat kemarahannya
bangkit. "Jiwo Langgeng! Apa telingamu sudah tuli" Ke-
napa kau tidak jawab pertanyaanku"!" bentak Puspa Sari. Jiwo Langgeng tergagap
sebentar. Tampak ja-kunnya bergerak turun naik. Bibirnya mengumbar se-
nyum menjijikkan.
"Tampaknya kau tidak senang melihat keda-
tanganku, Angkin Pembawa Maut" Apa kau lupa kalau
aku adalah salah seorang pengikut sayembara mu?"
tukas Jiwo Langgeng kalem.
"Aku tidak lupa, Jiwo Langgeng! Aku cuma in-
gin tanya, mau apa kau datang kemari" Apa kau su-
dah dapatkan syaratnya"!" bentak Angkin Pembawa Maut ketus.
Jiwo Langgeng menghela napas panjang. Raut
wajahnya kontan jadi kuyu.
"Menyesal sekali, Angkin Pembawa Maut. Aku
telah berusaha keras. Tapi, kunyuk sinting itu bukanlah lawanku," keluh Jiwo
Langgeng, bergetar suaranya.
"Kalau begitu, kenapa kau datang kemari"! Ke-
napa tidak pulang saja ke Lembah Patak Banteng"!" te-rabas Puspa Sari.
"Aku..., aku ingin kau menolongku," sahut pemuda itu, perlahan.
"Menolongmu"!" kening Angkin Pembawa Maut tampak makin berkerut-kerut. Sepasang
matanya yang indah terus memandangi pemuda tampan namun culas di hadapannya.
"Yah! Kau harus menolongku, Angkin Pembawa
Maut. Bukankah kau menginginkan kematian pemuda
sinting bergelar Siluman Ular Putih itu?"
"Ya," sahut Puspa Sari singkat. "Nah! Kalau kau tidak keberatan, aku ingin
pinjam Tombak Raja Akhirat-mu untuk menghadapi Siluman Ular Putih. Apa
kau tidak keberatan?"
Angkin Pembawa Maut gusar bukan main.
Dengan meminjamkan Tombak Raja Akhirat pada Jiwo
Langgeng, bukankah berarti ia membuka kedoknya
sendiri. Soma yang cerdik tentu dapat menduga, kalau orang yang berdiri di balik
semua kekacauan ini adalah Angkin Pembawa Maut!
"Tidak bisa. Aku keberatan, Jiwo Langgeng," to-lak Puspa Sari, tegas.
"Kenapa kau keberatan, Angkin Pembawa
Maut" Bukankah kau menginginkan pemuda itu
mampus" Atau..., jangan-jangan kau mulai berubah
pikiran" Dan tentu Siluman Ular Putih-lah yang kau harapkan. Begitu...?"
Bukan main geramnya hati Angkin Pembawa
Maut mendengar ucapan Jiwo Langgeng kali ini. Me-
mang, sebenarnya gadis ini masih mencintai Soma.
Maka tak heran bila mendadak pipinya jadi merona
merah. Dan Jiwo Langgeng dapat melihat jelas rona
merah di pipinya.
Pemuda itu tertawa bergelak.
"Sakit hatiku kalau ternyata kau berubah pikiran, Angkin Pembawa Maut. Jauh-jauh
aku datang kemari hanya untuk menemui orang bingung. Menye-
balkan sekali!" ejek Jiwo Langgeng.
"Siapa yang bingung"!" sentak Angkin Pembawa Maut melotot gusar. "Aku tidak
bingung! Aku masih menginginkan nyawa pemuda itu!"
"Kalau begitu, cepat pinjami aku Tombak Raja
Akhirat-mu!" tukas Jiwo Langgeng.
Angkin Pembawa Maut mendengus sambil
menggeleng-geleng.
"Tidak bisa! Aku tidak bisa meminjamkan Tom-
bak Raja Akhirat ini pada siapa pun juga."
"Kalau begitu, kau tidak sungguh-sungguh
menginginkan nyawa Siluman Ular Putih, Angkin
Pembawa Maut!"
"Apa pun yang kau ucapkan, aku tidak akan
meminjamkan Tombak Raja Akhirat ini padamu. Juga,
pada pengikut sayembara lain. Tapi yang jelas niatku untuk membunuh Siluman Ular
Putih tidak main-main! Belum puas hatiku kalau belum melihat pemuda itu mampus!
Sekarang kalau kau memang punya kepandaian, lekas tinggalkan tempat ini! Penggal
kepala pemuda itu. Dan, bawa kemari! Mustahil aku men-gingkari janji ku!" tandas
Puspa Sari. Sakit sekali hati Jiwo Langgeng mendengar
ucapan Angkin Pembawa Maut yang ketus itu. Namun,
ia tidak punya alasan lagi untuk berlama-lama di tempat itu. Hanya sepasang
matanya saja yang sempat
memperhatikan lekuk-lekuk tubuh Angkin Pembawa
Maut. Begitu mengundang gairahnya!
Lalu setelah memendam gairah yang memun-
cak, pemuda dari Lembah Patak Banteng itu segera
berkelebat meninggalkan tempat ini.
Angkin Pembawa Maut masih berdiri di depan
mulut gua. Tubuhnya menggigil saking tak dapat mengendalikan amarahnya yang
menggelegak. Sementara
kedua bibirnya pun bergetar-getar hebat.
"Soma...!" keluh Angkin Pembawa Maut dalam hati. "Kali ini aku tak mungkin
mengurungkan niatku.
Cepat atau lambat, kau harus mampus...!"
*** 8 Terdorong rasa ingin memiliki tubuh Angkin
Pembawa Maut yang teramat mengundang gairah, Jiwo
Langgeng terus berkelebat sambil terus memutar otaknya. Keningnya terus
Kemelut Di Cakrabuana 7 Nurseta Satria Karang Tirta Karya Kho Ping Hoo Walet Emas Perak 11
^