Pencarian

Sengketa Tahta Leluhur 2

Siluman Ular Putih 14 Sengketa Tahta Leluhur Bagian 2


Rondo Kasmaran tersenyum manis. Sedikit pun
tidak membayangkan rasa takut mendengar ancaman
Soma. Hal ini malah membuat si pemuda jadi terhe-
ran-heran. "Jangan-jangan apa yang dikatakan Rondo Kas-
maran benar" Dia bukan mata-mata musuh, melain-
kan utusan para pendekar. Mampus aku!" gumam
Soma dalam hati gelisah.
Pintu kamar terbuka. Ternyata yang muncul me-
mang Kanjeng Adipati Reksopati. Di belakangnya Putri
Sekartaji masih memberengut kesal.
"Kau.... Kau Sukesi! Ah...! Kenapa kau meringkuk
begitu" Siapa yang mcmperlakukanmu seperti ini?" berondong Adipati Pleret, cemas
bercampur terkejut.
Rondo Kasmaran hanya tersenyum. Sepasang ma-
tanya yang nakal sempat melirik ke arah Soma penuh
kemenangan. Si pemuda hanya bisa menggaruk-garuk kepala
sebagai tanda kesalahannya. Kemudian tanpa diperin-
tah, Soma segera melepaskan totokan Rondo Kasma-
ran. "Betul, kan" Untung saja aku tidak minta kau di-gantung!" goda Rondo
Kasmaran. Putri Sekartaji pun gelisah sekali. Tadi, gadis ini
sama sekali tidak mengira kalau wanita cantik yang
dipondong Soma ke kamar adalah Rondo Kasmaran.
Hatinya yang kelewat panas membuat matanya seolah
tertutup. "Sebenarnya ada apa, Soma" Kenapa temanku ini
berada di sini" Apa kau tadi menangkapnya?" tanya
Adipati Pleret.
"Benar, Kanjeng. Tadi aku memang menangkap-
nya. Kukira ia mata-mata musuh," jawab Soma kaku.
"Dia bukan mata-mata. Dia temanku!" sahut Adipati Pleret cepat.
"Ah...!" sahut Soma gelisah.
"Sudahlah! Sekarang kau mau melaporkan apa,
Sukesi?" Kanjeng Adipati mengalihkan perhatian pada Rondo Kasmaran. Dan itu
cukup membebaskan Soma
dari rasa gelisah.
"Aku cuma ingin memberitahukan kalau pasukan-
pasukan Pangeran Pemimpin mulai bergerak menuju
kemari. Maksudku dalam waktu dekat-dekat ini mere-
ka akan menyerang Kadipaten Pleret," lapor Rondo
Kasmaran. "Ah...!" desah Adipati Pleret hampir bersamaan dengan Soma dan Putri Sekartaji.
"Dari mana kau dapat mengetahui berita ini, Su-
kesi?" tanya Adipati Pleret lagi.
"Aku melihatnya sendiri, Kanjeng. Di samping itu,
aku memang sudah lama mengawasi sepak terjang
Pangeran Pemimpin berikut anak buahnya," jelas Ron-do Kasmaran.
"Hm...!" Kanjeng Adipati Pleret menggeretakkan gerahamnya penuh kemarahan. "Apa
para pendekar yang berkumpul di puncak Gunung Kelud sudah, tahu
hal ini, Sukesi?"
"Sudah, Kanjeng. Tadi siang, aku sempat mela-
porkan hal ini pada Ki Rombeng di puncak Gunung
Kelud." "Bagus! Kalau begitu aku harus secepatnya me-
nyiapkan prajurit-prajurit," kata Adipati Pleret seraya bergegas keluar kamar.
Dengan langkah mantap, Rondo Kasmaran pun
segera mengikuti langkah Kanjeng Adipati Pleret.
Soma dan Putri Sekartaji yang masih berada di be-
lakang sejenak saling termangu. Seolah mereka terba-
wa arus pikiran masing-masing.
"Rupanya kita sama-sama salah paham, ya?" ce-
tus Soma. "Maksudmu?" Putri Sekartaji mengangkat alisnya heran.
"Aku telah mencurigai kalau Rondo Kasmaran
adalah mata-mata musuh. Kau sendiri menuduhku te-
lah berbuat macam-macam dengan wanita itu. Apa ini
bukan salah paham namanya?" papar Soma.
Putri Sekartaji memberengut. Entah kenapa tiba-
tiba wajahnya merona merah.
"Kau menyindirku"' desis Putri Sekartaji.
"Eh...! Siapa yang menyindir" Aku tidak menyin-
dirmu. Aku hanya mengatakan yang sebenarnya.
Atau... jangan-jangan kau memang mencemburui wa-
nita itu?" tukas Soma sambil memperhatikan Putri Sekartaji.
"Tidak lucu! Siapa yang cemburu" Mau bermain
gila dengan Rondo cantik itu, kek. Mau tidak, kek. Sia-
pa peduli" Itu urusanmu!" sergah Putri Sekartaji ketus. Ketus sekali Bahkan si
gadis bergegas keluar ka-
mar. "Eh... tunggu! Kenapa kau jadi uring-uringan begini?"
Buru-buru Soma mengejar, segera menangkap
pergelangan tangan Putri Sekartaji. Namun dengan ka-
sar si gadis menepiskan tangan Siluman Ular Putih.
"Lepaskan! Aku benci kau!" teriak Putri Sekartaji.
"Iya, iya! Tapi kenapa kau jadi uring-uringan begi-ni" Apa salahku?" tanya Soma
masih belum mengerti
"Tanyakan saja pada dirimu sendiri!"
Putri Sekartaji mempercepat langkahnya. Diam-
diam, sebenarnya ia pun mengharap kalau murid
Eyang Begawan Kamasetyo akan mengejar. Namun
sayang, Siluman Ular Putih malah menggaruk-garuk
kepala. Si gadis jadi kesal bukan main. Saking tidak
kuat menahan perasaan kesal, ia berlari ke kamarnya,
dan langsung menangis di balik pintu.
*** 5 Malam kian menegang dengan bulan sepotong
menggantung di angkasa. Ratusan prajurit Kadipaten
Pleret mulai bergerak menuju luar batas kadipaten.
Memang di sanalah ajang pertempuran akan digelar.
Sebuah tempat sengketa yang siap dibanjiri darah
Kuda-kuda tunggangan meringkik. Debu-debu be-
terbangan diterjang kaki-kaki kuda para panglima pe-
rang. Derap langkah ratusan prajurit berderak mem-
bahana. Di sebuah ladang kering yang dikelilingi bebukitan
tandus, sebuah peristiwa mengerikan tidak lama lagi
akan terjadi. Darah-darah prajurit perkasa, darah-
darah manusia laknat, maupun darah-darah manusia
penjilat akan tumpah ruah menjadi satu dalam sebuah
peperangan. Kini prajurit-prajurit gagah Kadipaten Pleret mulai
memasuki dataran tandus. Seorang lelaki gagah ber-
pakaian perang dengan pangkat senopati mendadak
menghentikan langkah kudanya. Para perwira pun
yang masing-masing mengepalai lima puluh prajurit
yang berjalan kaki juga menghentikan langkah kuda.
Di depan sana, telah bersiaga pula sosok-sosok
berpakaian warna-warni dengan senjata di tangan. Se-
bagian dari mereka berpakaian sebagaimana orang
persilatan. Mereka berteriak riuh rendah sambil men-
gacungkan senjata tinggi-tinggi. Di antara mereka,
tampak seorang lelaki berpakaian surjan tengah men-
gacung-acungkan keris di tangan kanan. Sementara
tangan kirinya memegangi tali kendali kuda.
"Serang...!!!" teriak lelaki yang tak lain Pangeran Pemimpin lantang
Tangan kiri Pangeran Pemimpin pun segera mena-
rik tali kekang, membuat kuda hitam tunggangannya
mengangkat kedua kaki depan tinggi-tinggi sebelum
akhirnya berlari cepat ke depan.
Melihat Pimpinan Partai Kawula Sejati itu telah
bertindak, berpuluh-puluh pengikutnya segera berla-
rian mencari lawan masing-masing diiringi teriakan-
teriakan lantang.
"Hea..! Hea...!"
Sementara itu beberapa sekutu Pangeran Pemim-
pin ikut mengiringi di belakang dengan teriakan-
teriakan membahana.
Begitu melihat pasukan Pangeran Pemimpin mulai
bergerak menyerang, senopati itu pun segera meniup
terompet di tangan kanan yang terbuat dari tanduk
kerbau. "Huuuunggg...! Huuuungggg...!"
Terompet perang telah berbunyi. Suara riuh ren-
dah ratusan prajurit Kadipaten Pleret menyambuti pe-
nuh semangat. Senopati yang memimpin prajurit Kadi-
paten Pleret segera memacu kudanya cepat-cepat. Di
tangan kanannya kini telah tergenggam sebilah keris
yang memancarkan sinar biru. Setiap orang yang hi-
dup di lingkungan kadipaten ini tahu kalau senopati
yang dikenal sebagai pemilik keris Dayang Biru ber-
nama Gajah Keling.
"Hea...! Hea...!"
Senopati Gajah Keling terus memacu kudanya ce-
pat. Di belakangnya, empat perwira dan dua ratus pra-
jurit Kadipaten Pleret turut pula menyertai dengan
senjata terhunus. Mereka semua siap menyabung
nyawa. Trang! Trang! Terdengar dentang senjata beradu yang disertai
pijaran bunga api. Jerit-jerit kematian dan teriakan
penambah semangat pertarungan saling bersahutan.
Satu persatu tubuh-tubuh bersimbah darah ambruk
ke tanah. Di sini nyawa mereka kembali dipertaruh-
kan. Kalau beruntung, mereka akan kembali mencari
lawan baru. Tak ada kekejaman melebihi kekejaman perang.
Inilah gambaran nyawa sebuah peperangan. Bagi para
prajurit, mereka bertempur untuk mempertahankan
kedaulatan kadipaten. Tak heran bila mereka berta-
rung penuh semangat tanpa mengenal takut sedikit
pun. "Sembodo, Manusia Pemberontak! Kaulah lawan-
ku!" Gajah Keling memekik penuh kemarahan ketika
melihat Sembodo atau yang lebih terkenal dengan ju-
lukan Pangeran Pemimpin tanpa malu tengah menga-
muk hebat membunuhi prajurit-prajurit Kadipaten Ple-
ret. Sementara senopati Kadipaten Pleret itu sendiri
susah sekali keluar dari keroyokan Sepasang Mayat
Merah dari Lembah Duka yang dibantu Iblis Muka Me-
rah. Namun meski dikeroyok demikian hebat oleh tiga
tokoh sesat yang menjadi sekutu Pangeran Pemimpin,
Senopati Gajah Keling tampak masih sanggup melade-
ni. Bahkan serangan-serangan baliknya sempat pula
membuat ketiga orang pengeroyoknya kocar-kacir.
"Makanlah keris Dayang Biruku! Hea!" Dikawal bentakan nyaring, tiba-tiba Gajah
Keling berkelebat cepat
sambil menggerakkan keris di tangan kanannya ke
arah dada Iblis Muka Merah. Sambil menyerang, Gajah
Keling membuat satu gerakan aneh untuk berkelit dari
serangan-serangan Sepasang Mayat Merah dari Lem-
bah Duka. Melihat datangnya serangan yang sama sekali tak
terduga, Iblis Muka Merah jadi terperangah. Meski ter-
desak namun akal sehatnya untuk menghindar belum
hilang. Maka dengan cepat, tiba-tiba pedangnya dige-
rakkan sedemikian rupa.
"Uts..., ohh...!"
Namun betapa terkejutnya Iblis Muka Merah keti-
ka tiba-tiba di tangan Gajah Keling berkelit dari samp-
ing kanan. Dan dengan satu gerakan indah, keris itu
meluncur deras ke dadanya. Lalu....
Cleppp! "Aaa...!"
Telak sekali keris di tangan Gajah Keling menghu-
jam ulu hati Iblis Muka Merah hingga meraung setinggi
langit. Dan begitu keris tercabut, tubuh Iblis Muka Me-
rah pun kontan jatuh berdebam ke tanah bersimbah
darah. Sebentar ia menggelepar-gelepar, namun seju-
rus kemudian tidak bergerak-gerak lagi dengan seku-
jur tubuh membiru!
Sepasang Mayat Merah murka bukan main. Sung-
guh sulit dipercaya kalau Iblis Muka Merah akan me-
nemui ajal secepat itu. Padahal ia merupakan seorang
tokoh berilmu tinggi. Namun anehnya, ia tak berdaya
menerima serangan Senopati Gajah Keling.
"Jahanam...! Kau harus membayar nyawa teman-
ku, Senopati Keparat!" dengus Iblis Mayat Merah penuh kemarahan. Parasnya yang
kemerah-merahan
tampak demikian mengerikan. Lalu dikawal teriakan
membelah angkasa, kembali diserangnya Senopati Ga-
jah Keling. "Enyahlah kalian dari hadapanku! Aku tak sudi
melayani kalian!" bentak Senopati Gajah Keling sengit.
Lebih lagi ketika melihat sepak terjang Pangeran Pe-
mimpin yang tengah membantai prajurit-prajurit Kadi-
paten Pleret. Maka kemarahannya kian meledak-ledak
saja. "Bajingan! Kaulah lawanku, Pangeran Pemberontak! Minggir! Beri aku jalan!"
hardik Senopati Gajah Keling kasar.
Sang panglima menggerakkan kerisnya ke kanan
kiri, bermaksud mengusir Sepasang Mayat Merah dari
Lembah Duka. Namun mana sudi kedua tokoh sesat
itu menuruti kemauan Senopati Gajah Keling. Malah
dengan rasa penasaran memuncak, mereka kembali
menghadang jalan sang senopati.
"Jangan terburu-buru, Senopati Keparat! Urusan
di sini belum selesai!" cegat Iblis Mayat Merah seraya, menghujamkan pedang di
tangan kanan dari atas ke
bawah. Senopati Gajah Keling tak sudi lagi berurusan
dengan Sepasang Mayat Merah dari Lembah Duka. Ba-
ginya keselamatan anak buahnya yang terancam amu-
kan Pangeran Pemimpin justru lebih penting. Maka ke-
tika mendapat kesempatan, segera tubuhnya melent-
ing tinggi ke udara. Setelah berputaran beberapa kali,
ia berkelebat cepat meninggalkan kedua orang penge-
royoknya.

Siluman Ular Putih 14 Sengketa Tahta Leluhur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ki Prenjak! Dan kau, Ki Jalak Manuro! Hajar tua
bangka dari Lemah Duka itu! Biar aku yang mengurus
manusia pemberontak bergelar Pangeran Pemimpin!"
perintah Senopati Gajah Keling pada dua dari empat
perwiranya, sebelum membuat serangan.
Tanpa banyak cakap dua perwira yang bernama Ki
Prenjak dan Ki Jalak Manuro segera berkelebat ke arah
Sepasang Mayat Merah. Sementara, Senopati Gajah
Keling terus berkelebat mendekati Pangeran Pemimpin.
Anehnya Pangeran Pemimpin hanya tertawa-tawa.
"Mundur...!!!"
"Keparat! Mau lari ke mana, Pangeran Pemberon-
tak"! Akulah lawanmu!" bentak Senopati Gajah Keling penuh kemarahan.
'"Hati-hati, Kawan! Mungkin manusia pemberon-
tak itu tengah merencanakan sesuatu!"
Senopati Gajah Keling menoleh sebentar ketika
terdengar sebuah suara bernada memperingatkan.
Ternyata, suara itu berasal dari mulut Siluman Ular
Putih. Melihat siapa yang memperingatkan, Senopati Ga-
jah Keling hanya mengangguk. Lalu dengan kemara-
han meluap kembali tubuhnya berkelebat mengejar
Pangeran Pemimpin yang terus bergerak mundur, wa-
lau sebenarnya keadaannya saat itu belum terjepit.
Siluman Ular Putih heran bukan main. Sebenar-
nya, ia ingin sekali berhadapan dengan Pangeran Pe-
mimpin. Namun berhubung takut menyinggung pera-
saan Senopati Gajah Keling, terpaksa murid Eyang Be-
gawan Kamasetyo hanya menghadapi beberapa orang
tokoh sesat yang menjadi sekutu Pangeran Pemimpin.
Dengan ban-tuan Putri Sekartaji, para pengeroyoknya
dapat dipermainkan dengan mudah.
"Tak mungkin Pangeran Pemimpin bermaksud
mengalah. Padahal kedudukannya belum terjepit. Pasti
ini sebuah siasatnya!" gumam murid Eyang Begawan
Kamasetyo dalam hati.
Dan ketika pertempuran mulai memasuki dataran
tandus yang diapit dua bukit kecil di kanan kiri, ter-
nyata dugaan Siluman Ular Putih. Tiba-tiba....
"Suiiit...!"
Pangeran Pemimpin bersuit nyaring. Sebentar ke-
mudian, Pangeran Pemimpin berikut anak buahnya
berlari meninggalkan tempat pertarungan. Dan bersa-
maan itu, tiba-tiba terdengar bunyi bergemuruh yang
datang dari atas bukit!
Siluman Ular Putih terkejut bukan main. Seketika
kepalanya dipalingkan ke atas. Ternyata berpuluh-
puluh batu sebesar kerbau tengah meluncur cepat
menyerang para prajurit-prajurit Kadipaten Pleret!
"Ah...!" pekik Senopati Gajah Keling gusar bukan main.
Keadaan kali ini benar-benar kurang mengun-
tungkan bagi para prajurit. Ternyata mereka telah ter-
jebak! Tentu saja keadaan ini sangat mengkhawatir-
kan. Maka tanpa banyak cakap, prajurit-prajurit itu
segera berlarian ke sana kemari menghindari serangan
batu-batu. Tapi keadaan ini malah makin memperbu-
ruk beberapa orang prajurit di belakang!
Tentu saja beberapa orang prajurit itu kontan ber-
lari kalang kabut. Namun di saat berpaling ke bela-
kang, di celah-celah bukit bagian belakang telah
menghadang sepasukan pemanah!
Bukan main geramnya hati Senopati Gajah Keling
melihat bahaya besar mengancam pasukannya. Se-
mentara serangan-serangan batu sebesar kerbau dari
puncak bukit pun tak dapat tertahankan lagi! Tanpa
ampun, beberapa orang prajurit Kadipaten Pleret ter-
lindas batu-batu sebesar kerbau!
Keadaan ini makin bertambah parah manakala
beberapa orang prajurit-prajurit Kadipaten Pleret me-
nemui ajal oleh batang anak panah yang menembus
tubuh! *** Di tempat lain, tepatnya di Kadipaten Pleret itu
sendiri, ternyata Pangeran Pemimpin pun telah mene-
rapkan satu siasat jitu. Diam-diam beberapa orang to-
koh sesat yang dipimpin Pelajar Agung telah menyusup
ke dalam lingkungan kadipaten.
Hal ini tentu saja sangat di luar perhitungan Se-
nopati Gajah Keling maupun Kanjeng Adipati Pleret.
Untungnya, sang senopati tidak membawa semua pra-
jurit ke kancah pertempuran. Tidak kurang dari dua
ratus prajurit Kadipaten Pleret sengaja ditinggal seba-
gai pasukan cadangan. Dan hal ini pulalah yang sedi-
kitnya dapat menolong keselamatan Adipati Pleret.
Begitu beberapa orang tokoh sesat yang dipimpin
Pelajar Agung memasuki lingkungan kadipaten, maka
tak heran kalau kedatangan pasukan kecil Pangeran
Pemimpin itu telah diketahui beberapa orang prajurit
jaga. "Bajingan! Pasukan-pasukan pemberontak ini menyusup ke kadipaten!" teriak
seorang prajurit jaga nyaring.
Teriakan ini telah menyadarkan beberapa orang
prajurit lain. Maka dengan teriakan-teriakan nyaring
penuh kemarahan, beberapa orang prajurit segera
memanggil prajurit-prajurit. Akibatnya dalam waktu
yang tidak lama pasukan kecil Pangeran Pemimpin
yang di pimpin Pelajar Agung telah dikepung prajurit-
prajurit Kadipaten Pleret.
"Prajurit-prajurit tolol! Enyahlah kalian dari hadapan kami!" dengus Pelajar
Agung, beringas.
"Justru kalianlah yang angkat kaki dari tempat ini Manusia-manusia Pemberontak!"
hardik seorang lelaki gagah berpangkat perwira yang menjadi pimpinan prajurit
Kadipaten Pleret
Dikalangan Kadipaten Pleret, lelaki gagah ini di-
kenal bernama Ki Ageng Selo!
"He he he...! Tua bangka ini bisa juga membacot!
Tak kusangka sudah setua ini masih-bisa menggong-
gong nyaring!" ejek Pelajar Agung, memerahkan telinga Ki Ageng Selo.
Ki Ageng Selo menggeram penuh kemarahan. Tan-
gan kirinya langsung dikibaskan ke depan.
"Prajurit! Hajar manusia-manusia pemberontak
ini!" teriaknya lantang.
Ki Ageng Selo cepat mencabut keris dari balik
punggung. Sambil menggembor lantang, diterjangnya
Pelajar Agung. Keris di tangan kanannya membuat ge-
rakan menusuk mengarah dada. Sedang tangan ki-
rinya siap melontarkan pukulan maut.
Melihat Ki Ageng Selo telah bertindak, prajurit-
prajurit Kadipaten Pleret yang jumlahnya hampir dua
ratus orang pun tidak mau ketinggalan. Dengan ber-
bagai macam senjata di tangan, mereka segera maju
menyerang. Meski berjumlah tak kurang dari empat puluh
orang, namun pasukan Pangeran Pemimpin yang di-
pimpin Pelajar Agung tidak bisa dianggap sembaran-
gan. Mereka adalah para tokoh sakti dunia persilatan
yang bersekutu dengan Pangeran Pemimpin. Di anta-
ranya terlihat guru dan murid, yakni Bajing Ireng dan
Bajing Biru. Maka tak heran kalau serangan prajurit-
prajurit Kadipaten Pleret dapat diladeni dengan mu-
dah. Begitu tokoh-tokoh sesat itu bertindak jerit-jerit kematian dari para
prajurit pun mulai terdengar susul
menyusul. Satu persatu mereka roboh ke tanah dalam
keadaan bersimbah darah. Sementara dengan kejinya
tokoh-tokoh sesat itu terus menuntut korban nyawa
para prajurit. Darah merah telah melumuri bumi pertiwi. Para
prajurit Kadipaten Pleret yang bertekad membela bumi
pertiwi rela mempertaruhkan selembar nyawa!
Sementara Ki Ageng Selo sendiri tak bisa berbuat
banyak. Apalagi, serangannya tadi dapat diatasi Pelajar Agung dengan mudah.
Begitu kerisnya dihujamkan, ti-ba-tiba dengan kecepatan luar biasa Pelajar Agung
te- lah melepas tendangan ke tangannya.
Plak! Keris di tangan Ki Ageng Selo terpental. Dan se-
waktu hendak melontarkan pukulan maut; Pelajar
Agung memutar tubuhnya sambil melepas sapuan kaki
kiri ke dada. Bukkk! "Aaahhh...!"
Telak sekali tendangan kaki kanan Pelajar Agung
menghajar dada. Seketika tubuh tinggi kekar Ki Ageng
Selo terpental ke belakang. Darah segar langsung me-
nyembur keluar saat tubuhnya jatuh berdebam ke ta-
nah. Sebentar ia melejang-lejang, lalu tidak bergerak-
gerak lagi. Tewas!
Bukan main kagetnya prajurit-prajurit Kadipaten
Pleret melihat pimpinan mereka dapat dirobohkan mu-
suh hanya dalam sekali gebrak! Ini sungguh di luar
dugaan. Akibatnya bak anak ayam kehilangan induk,
prajurit-prajurit Kadipaten Pleret makin dibuat kocar-
kacir. Tanpa, ampun, tokoh-tokoh sakti itu terus me-
nebar kematian terhadap prajurit-prajurit Kadipaten
Pleret. Kini prajurit-prajurit gagah Kadipaten Pleret itu
benar-benar tak berdaya menghadapi amukan sekutu
Pangeran Pemimpin. Apalagi ketika Pelajar Agung telah
mengerahkan ilmu 'Amblas Bumi'. Bukan main kecut-
nya hati mereka. Satu persatu para prajurit tewas ter-
kubur hidup-hidup setelah terbetot ke dalam tanah!
Keadaan benar-benar genting. Keamanan kadipa-
ten terancam. Keselamatan Adipati Pleret pun tak ter-
jamin. Perlahan namun pasti, tokoh-tokoh sesat itu te-
rus memasuki lingkungan kadipaten. Para prajurit Ka-
dipaten Pleret yang berusaha menahan sekuat tenaga,
hanya mendapat kesia-siaan. Bahkan kemudian tewas
begitu mendapat serangan dari sekutu Pangeran Pe-
mimpin! Tiba-tiba suasana hiruk pikuk yang diiringi bera-
dunya senjata tajam, telah dikejutkan oleh bunyi-
bunyi sangkala yang mengangkasa. Rupanya ada salah
seorang prajurit Kadipaten Pleret yang telah meniup
sangkala sebagai tanda bahaya. Kemudian suara te-
rompet itu pun terdengar saling sahut menyahut, seo-
lah ingin mengabarkan pada alam semesta bahwa
angkara murka kembali merajalela...
*** 6 Adipati Reksopati terlihat tegang di tempatnya.
Suara tiupan sangkala tadi seolah-olah ingin meluluh-
lantakkan apa saja yang ada di muka bumi. Tangan-
nya gemetar, pertanda jiwanya tengah terguncang.
Beberapa orang punggawa kadipaten yang turut
menemani di ruang pendopo merasa cemas bukan
main. Mereka tahu, perasaan apa yang tengah-dialami
junjungannya. Mereka juga tahu, apa yang akan di-
alami bila takhta Kadipaten Pleret jatuh ke tangan
Pangeran Pemimpin.
"Maaf, Kanjeng Adipati! Rasanya hamba tidak bisa
berpangku tangan saja. Hamba harus membantu te-
man-teman," ucap seorang lelaki berpangkat tumeng-
gung mengusik kecemasan Adipati Pleret.
"Benar, Kanjeng Adipati. Tampaknya prajurit-
prajurit kita kewalahan menghadapi serangan musuh.
Hamba harus secepatnya membantu, Kanjeng," tam-
bah seorang punggawa.
"Hhh...!" Adipati Pleret menarik napas dalam-
dalam dan menghembuskannya kuat-kuat. "Tampak-
nya memang demikian. Tumenggung Batu Ampel. Dan
kau, Ki Demang Jarakan! Lekas bawa beberapa tokoh
sakti kadipaten untuk membantu!"
"Maaf, Kanjeng Adipati! Hamba datang melapor!"
Tiba-tiba seorang prajurit datang tergopoh-gopoh,
langsung menghadap. Buru-buru Kanjeng Adipati Ple-
ret dan juga semua yang berada di ruang pendopo me-
noleh. Mereka menatap dengan kening berkerut pada
prajurit yang baru datang dengan sembah penuh hor-
mat. "Apa yang ingin kau laporkan, Prajurit?" tanya Adipati Reksopati, tak
sabar. "Keadaan benar-benar genting, Kanjeng. Beberapa
tokoh sakti dunia persilatan yang menjadi sekutu Pan-
geran Pemimpin diam-diam menyusup ke dalam ling-
kungan kadipaten. Mereka membantai prajurit-prajurit
kita tanpa ampun. Bahkan Ki Ageng Selo pun tewas di
tangan mereka, Kanjeng," lapor sang prajurit.
"Keparat!" desis Kanjeng Adipati Pleret penuh kemarahan. "Tumenggung Batu Ampel!
Dan kau, Ki De-
mang Jarakan. Lekas hadang mereka! Jangan biarkan
mereka masuk kemari!"
"Baik, Kanjeng! Tapi apa tidak sebaiknya untuk
sementara Kanjeng Adipati menyingkir terlebih dahu-
lu," usul Tumenggung Batu Ampel, cemas.
Kanjeng Adipati Pleret menggeleng mantap dengan
geraham berkerut-kerut geram.
"Tidak, Tumenggung! Apa pun yang terjadi, aku
harus tetap di takhtaku. Biar nyawa sekalipun taru-
hannya!" tandas Kanjeng Adipati Pleret, mantap. "Sekarang lekas kalian
berangkat!"
"Baik, Kanjeng. Hamba mohon pamit."
"Hati-hatilah! Aku merestui kepergian kalian!"
Tumenggung Batu Ampel dan Ki Demang Jarakan
sejenak menangkupkan kedua telapak tangan di depan
hidung penuh hormat. Lalu dengan sigap mereka sege-
ra melangkah keluar diikuti beberapa orang punggawa
lain. Adipati Pleret mendesis-desis penuh kemarahan.
Samar-samar suara denting senjata beradu mulai
mendekati lingkungan istana kadipaten....
*** Sebuah pembantaian besar-besaran mulai ber-


Siluman Ular Putih 14 Sengketa Tahta Leluhur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

langsung. Batu-batu sebesar kerbau yang meluruk ce-
pat dari atas bukit dan berpuluh-puluh batang anak
pariah yang datang bak air hujan, rasanya sulit dihin-
dari. Semua bergerak pada satu titik sasaran, yakni
prajurit-prajurit gagah Kadipaten Pleret!
Menyadari diri mereka masuk dalam jebakan, Se-
nopati Gajah Keling murka bukan main. Lebih lagi ke-
tika tadi mendengar tipuan sangkala yang saling susul.
Jelas ini merupakan petaka bagi Kadipaten Pleret!
Isyarat sangkala itu mengabarkan kalau keamanan
Kadipaten Pleret terancam!
"Bajingan pemberontak! Aku akan mengadu nya-
wa dengan kalian!" geram Senopati Gajah Keling tak dapat lagi mengendalikan
amarah. Sekali menghentakkan kaki ke tanah, tahu-tahu
tubuh tinggi kekar Senopati Gajah Keling telah mence-
lat tinggi ke udara. Kemudian dengan ilmu meringan-
kan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi, lelaki
gagah ini terus berusaha naik ke atas bukit. Namun
sayang, serangan-serangan batu Sebesar kerbau dari
atas bukit langsung menghadang langkahnya. Senopa-
ti Gajah Keling berusaha bertahan dan terus memak-
sakan diri untuk naik ke atas bukit. Hingga pada ak-
hirnya.... Dukkk! Tiba-tiba sebuah batu sebesar kerbau yang dihan-
curkan dari bukit menghantam punggung Senopati
Gajah Keling hingga memekik penuh kemarahan. Se-
ketika keseimbangan tubuhnya hilang. Maka tanpa
ampun lagi, tubuhnya terus berguling-gulingan ke ba-
wah. Untung saja Siluman Ular Putih segera melesat
cepat. Langsung disambarnya tubuh Senopati Gajah
Keling dan dibawa ke tempat aman.
Sementara Senopati Gajah Keling telah diamankan
Siluman Ular Putih, mendadak jerit-jerit kematian di
bawah sana terdengar makin mengerikan. Tanpa am-
pun, batu-batu gunung yang dimuntahkan dari atas
bukit terus meluncur cepat, langsung menghantam pa-
ra prajurit Kadipaten Pleret di bawahnya. Belum lagi
serangan anak-anak panah di belakang mereka.
Keadaan ini benar-benar sangat memprihatinkan.
Hampir separo prajurit Kadipaten Pleret tewas terkena
hantaman batu dan anak-anak panah. Seketika sua-
sana di dataran tandus di bawah sana berubah menja-
di ajang pembantaian mengerikan.
Siluman Ular Putih bergidik menyaksikan keja-
dian mengenaskan ini. Untuk beberapa saat ia masih
belum tahu apa yang harus dilakukan. Dari tadi, pe-
muda ini hanya berusaha menghindari setiap serangan
yang mengarah ke tubuhnya sambil sesekali menolong
beberapa orang prajurit Kadipaten Pleret yang terde-
sak. "Kita harus melakukan sesuatu, Soma! Tak
mungkin kita membiarkan prajurit-prajurit itu mati
konyol," kata Putri Sekartaji tiba-tiba.
"Aku sedang memikirkannya, Putri. Apa kau su-
dah menemukan jalan keluar?" sahut Soma.
"Hm,..! Tampaknya kita harus menggempur pasu-
kan-pasukan pemanah itu! Kita robek pertahanannya
biar para prajurit bisa menyelamatkan diri dari jalan
yang kita robek!" cetus si gadis yang tak mau ketinggalan untuk ikut berperang.
"Bagus! Otakmu cukup cemerlang, Putri! Kukira
kau tadi kebingungan untuk menyelamatkan diri. Eh
ternyata otakmu boleh juga," puji Soma, lalu disusul senyum menggoda.
"Aku tidak butuh pujianmu, Soma. Hayo, lekas ki-
ta bertindak!" tukas Putri Sekartaji cepat.
"Tunggu!"
''Apalagi"!"
Putri Sekartaji berbalik kesal. Soma yang dipan-
dangi Putri Sekartaji tajam malah mengumbar senyum.
"Tidak ada apa-apa. Aku hanya mau tanya. Apa
kau tidak marah lagi padaku" Sebab sejak bar...."
"Sudahlah, Soma!" potong Putri Sekartaji. "Kalau aku masih marah padamu, buat
apa aku mengajakmu
bicara!" "Jadi, kau...?"
Soma tak meneruskan ucapannya, ketika melihat
Putri Sekartaji telah melesat dengan pedang di tangan
menuju ke pasukan pemanah lawan. Tentu saja Soma
tidak ingin gadis itu melakukan tugas berat seorang di-
ri. Maka tanpa banyak cakap, tubuhnya segera berke-
lebat menyusul Putri Sekartaji.
"Ha ha ha...! Prajurit-prajurit tolol! Mampuslah!
Kalian semua!"
Tiba-tiba terdengar suara tawa seseorang dari atas
bukit. Soma yang sudah dapat menyusul Putri Sekar-
taji, segera mendongak ke atas dan menggeram penuh
kemarahan. Ia cukup tahu, siapa lelaki berpakaian
surjan yang berkacak pinggang di atas bukit itu. Dia
tidak lain memang Pangeran Pemimpin!
"Pangeran tengik! Tak tahu malu! Kau harus ber-
tanggung jawab atas perbuatanmu!" teriak Soma nyaring. Pangeran Pemimpin hanya
tertawa bergelak.
Soma tidak mempedulikannya. Segera diikutinya
gadis cantik murid Pendekar Bintang Emas itu dalam
menerjang pasukan pemanah yang bersembunyi di ba-
lik celah-celah bukit. Tidak gampang memang melaku-
kan tugas berat itu. Soma menyadarinya. Untuk itu
kedua tangannya mengebut-ngebut untuk menangkis
serangan anak panah sambil terus berkelebat maju.
Perlahan-lahan Soma dan Putri Sekartaji mende-
kati pasukan pemanah lawan. Kemudian dengan satu
loncatan indah, mereka telah melepas serangan.
Set! Set! "Heaaa...!"
Meski hujan anak panah terus menyerang, Soma
dan Putri Sekartaji terus berusaha balik menyerang.
Sambil melayang di udara, mereka menghentakkan
kedua tangan melontarkan pukulan maut ke arah ta-
nah dengan maksud untuk menakut-nakuti.
Blam! Kenyataan siasat Soma dan Putri Sekartaji berha-
sil. Begitu pukulan mereka menghantam tanah, pulu-
han pasukan pemanah langsung kocar-kacir. Saat itu-
lah kedua anak muda ini melancarkan serangan se-
sungguhnya Blam! Blam! Meski hanya dua orang, dalam waktu yang tidak
lama pasukan pemanah lawan telah lari tunggang
langgang bergabung dengan pasukan-pasukan lain
Kesempatan ini tentu saja segera digunakan Se-
nopati Gajah Keling untuk menarik mundur pasukan-
nya beberapa saat. Sebab atas kejadian tadi, banyak
prajurit Kadipaten Pleret yang jadi ciut nyalinya.
"Setan alas! Lagi-lagi kau yang menggagalkan ren-
canaku, Siluman Ular Putih!" desis Pangeran Pemim-
pin di atas bukit
Siluman Ular Putih hanya tertawa bergelak.
"Serang...!" teriak Pangeran Pemimpin lantang seraya mengibaskan tangan
kanannya. Pangeran Pemimpin segera meloncat ke atas
punggung kudanya. Lalu dengan kasar disentakkan-
nya tali kekangnya kuat-kuat. Binatang tunggangan
itu meringkik keras dengan kedua kaki depan terang-
kat tinggi-tinggi.
Ketua Partai Kawula Sejati ini tidak mempeduli-
kannya. Tangan kanannya segera menggebah badan
kuda tunggangannya. Sehingga kuda hitam itu pun
berlari kencang menuruni bukit diikuti kuda-kuda
tunggangan anggota Partai Kawula Sejati.
"Hea...! Hea...!"
Sementara itu berpuluh-puluh pasukan berkuda
Partai Kawula Sejati mulai berdatangan dari empat
penjuru mata angin. Jumlahnya jauh lebih banyak tiga
kali lipat daripada pasukan Partai Kawula Sejati yang
pertama. Keadaan ini benar-benar di luar dugaan Senopati
Gajah Keling. Ia tidak mengira Pangeran Pemimpin
masih menyimpan pasukan-pasukan di balik bukit.
Sungguh nyali mereka jadi ciut. Apalagi mereka baru
saja digempur habis-habisan oleh pasukan Pangeran
Pemimpin dalam jebakan tadi.
"Sontoloyo! Rupanya Pangeran Pemimpin itu pin-
tar juga mengatur siasat perang!" gerutu Soma kesal.
Sepasang mata si pemuda tertumbuk pada pasu-
kan-pasukan Pangeran Pemimpin yang mulai datang
menyerang dari empat penjuru. Senopati Gajah Keling
dan Putri Sekartaji pun tampak gelisah sekali.
"Putri! Mari kita menghadang jalan Pangeran Pe-
mimpin! Biar Senopati Gajah Keling dan prajuritnya
menggempur pasukan-pasukan itu!" teriak Soma tiba-
tiba. "Baik," sahut Putri Sekartaji penuh semangat.
"Harap kalian hati-hati! Pangeran Pemimpin dan an-
tek-anteknya sangat berbahaya!" pesan Senopati Gajah Keling.
"Terima kasih, Paman," sahut Putri Sekartaji
hampir bersamaan dengan Soma.
Soma dan Putri Sekartaji segera berkelebat cepat
menghadang Pangeran Pemimpin beserta beberapa
orang sekutunya. Bahkan saat ini Rondo Kasmaran
pun ikut membantu, meski tidak mendapat perintah
dari murid Eyang Begawan Kamasetyo.
"Terima kasih! Ternyata kau mau membantu ka-
mi, Rondo Kasmaran," ucap Soma begitu tiba di jalan yang diduga bakal dilalui
Pangeran Pemimpin beserta
para sekutunya dan masih di sekitar ajang pertarun-
gan. Rondo Kasmaran tersenyum manis.
"Diminta atau tidak, aku harus membantu kalian
menumpas manusia-manusia gila pangkat itu!" sahut
Rondo Kasmaran, lalu kembali mengumbar senyum.
"Heaaa...! Hea...!"
Pangeran Pemimpin dan pasukannya mulai berda-
tangan. Tangan kirinya yang memegang tali kekang te-
rus disentak-sentakkannya kasar. Sementara tangan
kanannya yang memegang keris pusakanya diacung-
acungkan ke atas. Di belakangnya, beberapa tokoh se-
sat dunia persilatan turut menyertai.
"Siluman Ular Putih! Kaulah orang pertama yang
harus ku enyahkan!" teriak Pangeran Pemimpin penuh kemarahan, ketika berhenti
pada jarak lima tombak di
depan Siluman Ular Putih.
"Kebetulan sekali. Aku juga menginginkannya.
Apalagi tanganku. Rasa-rasanya sudah tidak sabar un-
tuk menghajar pantatmu!" ejek Siluman Ular Putih.
"Setan alas! Jangan menyesal kalau kau telah ber-
temu aku, Bocah!" geram Pangeran Pemimpin, lang-
sung melompat dari punggung kuda. Karena memang
hanya dengan cara itu ia dapat menyerang Siluman
Ular Putih dengan leluasa.
"Nah! Begitu juga boleh. Sebab, aku takut kalau-
kalau kudamu yang tak bersalah malah jadi sasaran."
"Jangan banyak bacot, Bocah! Ingat! Kematianmu
sudah di depan mata!" dengus Pangeran Pemimpin ka-
sar. "Teman-teman! Hajar bocah sinting ini!" lanjut Pangeran Pemimpin seraya
meluruk menerjang.
Pertarungan tak seimbang tak dapat dielakkan la-
gi. Pangeran Pemimpin yang dibantu hampir dua pu-
luh tokoh sesat dunia persilatan sudah melepas seran-
gan ke arah Siluman Ular Putih beserta Putri Sekartaji
dan Rondo Kasmaran.
Siluman Ular Putih sedikit pun tidak berani me-
mandang ringan. Meski bibirnya selalu menyungging-
kan senyum, namun diam-diam telah pula mengelua-
rkan jurus andalan 'Terjangan Maut Ular Putih'. Kedua
telapak tangannya yang berwarna putih terang hingga
ke pangkal siku pun siap melontarkan pukulan tenaga
'Inti Bumi' Seperti yang telah dilakukan murid Eyang Bega-
wan Kamasetyo, Putri Sekartaji dan Rondo Kasmaran
pun telah mengeluarkan jurus-jurus andalan. Dengan
sebilah pedang pusaka, adik tiri Adipati Reksopati ini
segera memainkan jurus 'Pedang Bintang Emas' cip-
taan Pendekar Bintang Emas.
Demikian pula Rondo Kasmaran. Sebagai seorang
murid tokoh sakti dari wilayah timur, segera dikelua-
rkannya jurus-jurus andalan. Meski hanya mengguna-
kan tangan kosong, namun jurus-jurusnya untuk be-
berapa saat mampu memudarkan serangan-serangan
lawan. "Bedebah! Kalian memang patut modar di tangan
kami!" geram Pangeran Pemimpin.
Kedua telapak tangan lelaki setengah baya ini
yang mendadak berubah jadi hitam legam pun segera
didorongkan ke depan. Seketika melesat dua larik si-
nar hitam legam yang disertai bau busuk luar biasa ke
arah murid Eyang Begawan Kamasetyo. Bahkan sebe-
lum serangan itu mengenai sasaran, terlebih dahulu
berkesiut hawa panas bukan kepalang menampar-
nampar kulit tubuh.
Siluman Ular Putih menggeretakkan gerahamnya
kuat-kuat. Sungguh berbahaya sekali bila serangan
dihindari. Sebab dibelakangnya masih ada Putri Sekar-
taji dan Rondo Kasmaran. Tidak ada pilihan lain. Se-
rangan itu pun harus dipapaki.
"Hea...!"
Dikawal bentakan nyaring, tiba-tiba Siluman Ular
Putih menghentakkan kedua tangannya melontarkan
pukulan tenaga 'Inti Bumi'. Seketika meluruk dua larik
sinar putih terang dari telapak tangannya.
Wesss! Wesss! Blaaam...!!!

Siluman Ular Putih 14 Sengketa Tahta Leluhur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hebat bukan main bentrokan dua tenaga dalam
barusan. Bumi laksana diguncang prahara. Angin pa-
nas akibat bentrokan berkesiur ke segenap penjuru,
menghantam apa saja di sekitarnya. Beberapa orang
prajurit Kadipaten Pleret dari beberapa orang anak
buah Pangeran Pemimpin seketika menjerit menyayat
dengan sekujur tubuh hangus terbakar!
Siluman Ular Putih sendiri terdorong beberapa
langkah ke belakang. Parasnya pias. Kedua telapak
tangannya terasa bagai terpanggang bara api!
"Semprul! Tak kusangka akan begini akibat tang-
kisan ku. Bukan saja aku hampir celaka, bahkan aki-
bat angin sambarannya mampu membunuh beberapa
orang prajurit di sekitar tempat ini!" desah Siluman Ular Putih dalam hati.
Pangeran Pemimpin tertawa bergelak. Tubuhnya
yang tadi sempat tergetar kini sudah dapat terkuasai.
Malah kini dengan pukulan maut yang teramat meng-
giriskan, kembali diterjangnya Siluman Ular Putih.
Siluman Ular Putih terus berusaha menghindar
sebisanya. Karena kalau ditangkis, bukan mustahil
akibatnya akan seperti tadi.
"Paman Senopati! Bawa pasukanmu minggir dari
pertarungan kami!" teriak Soma.
Namun sayang apa yang tengah dialami Senopati
Gajah Keling dan para prajuritnya tak jauh berbeda,
malah jauh lebih parah. Serangan-serangan pasukan
Partai Kawula Sejati yang saat ini jumlahnya jauh lebih banyak, benar-benar
membuat Senopati Kadipaten
Pleret dan para prajurit kalang kabut. Padahal di sana
Pendekar Bintang Emas pun turut membantu. Namun,
tetap saja Senopati Gajah Keling belum mampu men-
gatasi serangan-serangan.
Ini benar-benar memprihatinkan. Lambat laun pa-
ra prajurit Kadipaten Pleret pasti dapat dikalahkan.
Sedang Soma yang dibantu Putri Sekartaji dan Rondo
Kasmaran belum sanggup menghadapi gempuran-
gempuran Pangeran Pemimpin yang dibantu dua pu-
luh orang tokoh sesat.
"Ha ha ha...! Apa lagi yang ingin kau pamerkan,
Bocah"! Kematian kalian sudah di depan mata! Tak
ada gunanya berkoar. Kalian tetap saja akan modar!"
Pangeran Pemimpin tertawa bergelak. Wajahnya
yang berkulit putih bersih kini tampak menyiratkan
kekejian luar biasa.
"Makanlah pukulan 'Pelebur Bumi'-ku, Bocah!"
Pangeran Pemimpin segera mengempos tenaga da-
lamnya. Dan baru saja cucu Eyang Pamekasan itu
hendak mendorongkan kedua telapak tangan ke de-
pan, mendadak....
"Manusia laknat! Sungguh memalukan perbua-
tanmu ini! Kau tak pantas mengumbar maut dengan
pukulan 'Pelebur Bumi'-mu di sini!"
Mendadak terdengar bentakan keras menggelegar
yang disusul berkelebatnya berpuluh-puluh bayangan
ke arah pertarungan.
*** 7 Sepasang mata culas Pangeran Pemimpin berkilat-
kilat penuh kemarahan, menatap serombongan orang
berpakaian sebagaimana kaum persilatan yang seper-
tinya dari golongan putih; Sementara orang yang tadi
membentak sekaligus mengenali pukulan maut Pange-
ran Pemimpin adalah seorang lelaki gagah berusia
enam puluh, tahun. Tubuhnya tinggi besar, menam-
pakkan otot-otot lengan yang bertonjolan meski
usianya sudah di ambang senja. Pakaiannya putih.
Dua gelang akar bahar menghiasi pergelangan tangan-
nya. "Keparat kau, Ki Rombeng!" desis Pangeran Pemimpin menggeram penuh
kemarahan. Kedua telapak tangan Ketua Partai Kawula Sejati
yang berwarna hitam legam hingga ke pangkal siku ini
kembali mendorong ke depan. Sedikitpun tidak dihi-
raukan teriakan lelaki berpakaian putih-putih yang
memang Ki Rombeng. Maka saat itu pula melesat dua
larik sinar hitam legam yang disertai bau busuk bukan
kepalang menyerang Siluman Ular Putih!
Namun sebelum Siluman Ular Putih melontarkan
pukulan tenaga dalam 'Inti Bumi', mendadak Ki Rom-
beng telah mendorongkan kedua telapak tangannya ke
depan. Wesss! Seketika dari kedua telapak tangan tokoh sakti
dari Gunung Kelud itu telah meluruk asap putih ber-
gulung-gulung, langsung membungkus sinar hitam le-
gam pukulan Pangeran Pemimpin.
Besss! Tidak ada ledakan yang berarti akibat bentrokan
dua tenaga dalam tingkat tinggi barusan. Namun
anehnya, tubuh Pangeran Pemimpin dan Ki Rombeng
sama-sama bergetar hebat. Paras mereka pucat pasi
dengan tubuh terhuyung-huyung beberapa langkah ke
belakang. "Setan alas kau, Tua Bangka dari Gunung Kelud.
Hm...!" desis Pangeran Pemimpin.
"Itu belum seberapa Pangeran Pemimpin!" ejek Ki Rombeng.
"Bajingan! Kau akan menyesal telah berlaku lan-
cang terhadapku, Ki Rombeng!"
"Aku tidak akan menyesal membunuh manusia
pengecut macam kau, Sembodo!" ucap Ki Rombeng
dingin. Pangeran Pemimpin tak lagi menyahuti ucapan Ki
Rombeng, kecuali hanya menggeretakkan gerahamnya
penuh kemarahan. Kemudian dibuatnya beberapa ge-
rakan tangan dengan kuda-kuda rendah. Terakhir ke-
dua telapaknya menangkup di depan dada. Kedua bi-
birnya pun lantas berkemik-kemik kebat.
Ki Rombeng terhenyak melihat ajian yang akan
dikeluarkan Pangeran Pemimpin. Saking kagetnya, da-
danya sampai tertarik ke belakang.
"Hm...! Tak kusangka! Rupanya Eyang Pamekasan
telah menurunkan aji 'Setan Kober' padamu, Bocah.
Sungguh berbahaya. Manusia berhati ular macammu
sampai memiliki aji 'Setan Kober'...!"
"Bagus! Rupanya kau sudah cukup mengenal aji
'Setan Kober'. Berarti kau tidak akan mati penasaran.
Sekarang bersiap-siap menerima kematianmu hari ini,
Tua Bangka Keparat!"
Ki Rombeng menarik kaki kirinya ke belakang
membuat kuda-kuda kokoh. Kedua telapak tangannya
yang telah berubah jadi putih berkilauan membuka di
sisi pinggang dengan jari-jari mengarah ke bawah.
Namun.... "Toeettt...!"
"Heh..."!"
Mendadak kesiagaan Ki Rombeng terusik oleh
bunyi sangkala yang saling susul di kejauhan sana.
Dan belum sempat mengerti apa yang terjadi.....
"Ki Rombeng! Tolong cepat ajak beberapa orang
pendekar ke Kadipaten Pleret. Tiupan sangkala itu
menandakan kalau Kadipaten Pleret terancam ba-
haya!" Terdengar teriakan seseorang dari samping.
Ki Rombeng gusar bukan main. Baginya keama-
nan Kadipaten Pleret adalah segala-galanya. Maka
tanpa mempedulikan Pangeran Pemimpin, kepalanya
segera dipalingkan ke samping.
Ternyata yang berteriak tadi adalah Senopati Ga-
jah Keling, setelah meninggalkan dua orang penge-
royoknya. Wajah kerasnya menegang.
"Apa kau bilang, Senopati Gajah Keling" Keama-
nan Kadipaten Pleret terancam?" tanya Ki Rombeng,
seolah minta kepastian.
"Benar, Ki. Tiupan sangkala itu menandakan ka-
lau keamanan kadipaten benar-benar terancam. Cepat,
Ki! Ajak beberapa orang pendekar lain untuk memban-
tu prajurit-prajurit yang berjaga di dalam kadipaten,"
ujar Senopati Gajah Keling cemas bukan main.
"Hm...! Baiklah," kata Ki Rombeng akhirnya. Bu-ru-buru lelaki tua ini
memalingkan kepala ke arah Si-
luman Ular Putih.
"Kau pasti pendekar muda yang akhir-akhir ini
membuat gempar dunia persilatan. Apa kau sanggup
menahan manusia pemberontak itu?" lanjut Ki Rom-
beng seraya menudingkan telunjuk jarinya ke arah
Pangeran Pemimpin.
Pangeran Pemimpin yang saat itu hendak melon-
tarkan aji 'Setan Kober' hanya menggeram penuh ke-
marahan. Kedua pelipisnya bergerak-gerak pertanda
tak dapat lagi mengendalikan amarah.
"Aku akan berusaha dengan segenap tenagaku,
Orang Tua," sahut Siluman Ular Putih mantap.
"Baik. Kalau begitu, hati-hatilah. Di samping me-
miliki aji 'Pelebur Bumi', ia juga memiliki aji 'Setan Kober' yang amat
berbahaya. Selamat tinggal, Anak Mu-
da. Terpaksa kita harus membagi pekerjaan," ingat Ki Rombeng seraya berkelebat
cepat. Siluman Ular Putih tidak menyahut. Saat ini, So-
ma memang harus menghadapi Pangeran Pemimpin.
"Kau gantinya tua bangka keparat itu, Bocah Sint-
ing! Makanlah aji 'Setan Kober'-ku! Hea...!"
Dikawal bentakan nyaring Pangeran Pemimpin se-
gera menghantam kedua telapak tangannya ke depan.
Kali ini bukan lagi dua larik sinar hitam legam yang
melesat cepat, melainkan dua gulungan asap hitam
tebal yang baru memanjang ke depan. Dan hebatnya,
sejurus kemudian dua gulungan asap tebal itu telah
berubah menjadi sesuatu yang teramat mengerikan!
Wutt...! Dua kepala bayi yang memiliki taring panjang
dengan kulit hitam dengan tiba-tiba menjulurkan tan-
gannya ke depan. Lama kelamaan tangan kedua bayi
itu menjadi besar, dan terus mengejar Siluman Ular
Putih! Siluman Ular Putih sejenak terkesima. Sungguh
baru kali ini murid Eyang Begawan Kamasetyo mene-
mui ajian yang demikian aneh. Untuk beberapa saat,
pemuda ini pun hanya melongo menyaksikan dua so-
sok mengerikan. Akibatnya, ia terlupa untuk melon-
tarkan pukulan tenaga 'Inti Bumi'. Maka tanpa ampun
lagi.... Crep! "Aakh...!"
Leher Siluman Ular Putih tahu-tahu telah ter-
cengkeram tangan-tangan bayi aneh di hadapannya!
Siluman Ular Putih kewalahan bukan main. Na-
pasnya mendadak sesak. Tubuhnya menyentak-
nyentak seperti orang menjelang menemui ajal. Sedang
sepasang matanya melotot tak berkedip!
"Nggghhh...! Nggghhh...!"
Siluman Ular Putih terus melejang-lejang sembari
menggerak-gerakkan kepalanya ke sana kemari.
"Soma...!" pekik Putri Sekartaji cemas bukan
main. Sejenak gadis cantik murid Pendekar Bintang
Emas itu terpana melihat dua sosok bayi aneh dari ke-
dua telapak tangan Pangeran Pemimpin yang tengah
menyerang Siluman Ular Putih. Putri Sekartaji tak ta-
han lagi melihat penderitaan Siluman Ular Putih. Maka
dengan lengkingan tinggi, tubuhnya berkelebat cepat
meninggalkan lawannya. Pedang di tangan kanannya
dikibaskan untuk menebas sosok bayi aneh yang ten-
gah menjerat leher Siluman Ular Putih.
Wessss! "Heh..."!"
Putri Sekartaji melongo. Tebasan pedangnya se-
perti menebas angin. Sedang dua sosok bayi aneh itu
tetap saja mencengkeram leher Siluman Ular Putih!
Pada saat demikian, tiba-tiba gulungan hitam tangan
bayi aneh itu telah meluruk ke dadanya
Dess...! "Aaakh...!"
Cepat dan telak sekali tangan bayi aneh itu meng-
hantam dada Putri Sekartaji hingga memekik kesaki-
tan. Tubuhnya terpental ke belakang, dan jatuh berde-
bam ke tanah. Putri Sekartaji mencoba merangkak bangun. Na-
mun sayang, tubuhnya kembali luruh. Dadanya yang
terkena hantaman tadi terasa mau jebol.
"Hoeekh...!"
Putri Sekartaji tak tahan lagi. Darah merah kehi-
taman kontan menyembur keluar dari mulutnya. Tu-
buhnya menggigil. Parasnya mendadak jadi pias!
"Ba... bajingan...!!!" pekik Siluman Ular Putih susah bukan main.
Karena terdorong rasa sakit yang mencengkeram
leher dan juga melihat Putri Sekartaji telah terluka, Siluman Ular Putih jadi
tak dapat mengendalikan diri la-
gi. Diam-diam mulai dikerahkannya aji Titisan Silu-
man Ular Putih. Begitu kedua bibirnya berkemik-
kemik membaca mantra ajian ciptaan Eyang Begawan
Kamasetyo di Gunung Bucu, maka seketika mengepul
asap putih tipis yang segera menyelimuti tubuh Soma.
Dan ketika asap yang menyelimuti tubuh Soma
hilang tersapu angin, maka yang terlihat kini adalah
sosok panjang berwarna putih sebesar pohon kelapa
dengan taring-taring mengerikan! Itulah sosok Siluman
Ular Putih! "Ggggeeerrr...!!!"
*** "Si...! Siluman Ular Putih...!"
Pekikan nyaring seseorang membuat pertempuran
mendadak jadi berhenti. Sepasang mata mereka mem-


Siluman Ular Putih 14 Sengketa Tahta Leluhur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

beliak lebar seolah tak percaya melihat sosok besar
panjang berwarna putih dengan taring runcing. Semua
bagai mimpi. Semua di luar angan mereka.
"Gggeeerrr...!"
Sosok ular putih raksasa itu mengeluarkan geren-
gan hebat. Suaranya berat menggiriskan, seolah ingin
merobek angkasa!
Sambil menggereng, Siluman Ular Putih mengge-
liatkan tubuhnya sedemikian rupa. Gerakannya tam-
pak biasa saja. Namun akibatnya, bumi laksana di-
guncang prahara!
Pangeran Pemimpin sendiri pun terkesiap kaget.
Sepasang matanya membelalak liar. Perlahan-lahan
tangan hitam bayi anehnya mengendur. Namun masih
tetap berwujud dua sosok bayi hitam mengerikan.
"Hebat, hebat! Jadi inikah sosok Siluman Ular Pu-
tih yang menggemparkan dunia persilatan" Hem...!"
Tiba-tiba Pangeran Temimpin tertawa. Entah
hanya untuk menindih perasaan ngerinya, atau me-
mang memandang rendah lawan. Yang jelas, langkah-
nya sempat tersurut beberapa tindak ke belakang.
Mungkin gentar. Mungkin malah sebaliknya!
Siluman Ular Putih tak banyak membuat gerakan
berarti kecuali hanya mengibas-ngibaskan ekor ke ka-
nan kiri. Kilatan sepasang matanya yang berwarna me-
rah saga seolah ingin menelan musuhnya bulat-
bulat.... *** 8 Fajar di Kadipaten Pleret mulai menyingsing. Tak
seperti biasanya, fajar terasa demikian mencekam,
mengerikan. Jerit kematian, bau anyir darah yang
mengambang di mana-mana, serta dentingan senjata
tajam beradu mewarnai suasana pagi itu. Sementara
matahari seolah malas beranjak dari singgasananya.
Sinarnya yang ramah hangat tertutup awan kelabu.
Seolah tak kuasa menyaksikan kejadian mengerikan di
mayapada ini. Kini apa yang terjadi di Kadipaten Pleret, tak
ubahnya seperti pembantaian besar-besaran. Tokoh-
tokoh sesat yang menjadi sekutu Pangeran Pemimpin
dengan leluasa mengayunkan tangan maut sekehen-
dak hati. Tanpa ada yang menghalangi.
Nyaris hanya Tumenggung Batu Ampel dan Ki
Demang Jarakan saja yang masih sanggup bertahan.
Itu saja keadaannya sudah sangat mengkhawatirkan.
Pakaiannya compang-camping. Banyak luka bacokan
senjata tajam di sekujur tubuhnya. Namun kedua
orang perwira kadipaten itu tetap berusaha bertahan,
walau nyawa taruhannya.
"Reksopati! Adipati keparat! Keluar kau! Lihat! Lihat yang kami lakukan pada
prajurit-prajuritmu! Apa
kau tega membiarkan mereka mati konyol" Lekas se-
rahkan kepalamu pada kami!" teriak Bajing Ireng nyaring. Bersama Bajing Ireng
gurunya, Bajing Biru terus
mengeroyok Tumenggung Batu Ampel. Sambil mem-
permainkan lawannya tak henti-hentinya ia berteriak
begitu. Bahkan dengan menggunakan jurus andalan-
nya, hampir saja kepala Tumenggung Batu Ampel di-
penggalnya. Untung saja Tumenggung Batu Ampel cukup sia-
ga. Begitu melihat bahaya mengancam, segera ditang-
kisnya kilatan mata pedang di tangan Bajing Biru den-
gan keris Tranggg! "Akh..,!"
Tumenggung Batu Ampel mengeluh tertahan. Ke-
ris di tangannya mental entah ke mana. Pada saat
yang sama tongkat hitam milik Bajing Ireng kembali
mengancam. Tumenggung Batu Ampel mengeluh. Ia
hanya melihat gulungan sinar hitam kemudian....
Bukkk! "Aaakh...!"
Telak sekali tongkat hitam di tangan Bajing Ireng
mendarat di dada, membuat Tumenggung Batu Ampel
memekik tertahan. Tubuhnya kontan mencelat ke be-
lakang. Dadanya yang terkena hantaman tongkat tera-
sa mau jebol, meremukkan tiga tulang iga!
"Jahanam! Aku akan mengadu nyawa denganmu,
Manusia-manusia Pemberontak!" geram Tumenggung
Batu Ampel penuh kemarahan.
Karena terdorong amarah menggelegak, mendadak
Tumenggung Batu Ampel jadi nekat. Disertai gerengan
keras, tiba-tiba diterjangnya Bajing Ireng.
"Hea...!"
"Bajing Ireng tersenyum dingin. Tubuhnya digeser
sedikit ke samping. Lalu dengan satu gerakan memati-
kan, tahu-tahu tongkat hitam di tangannya telah ber-
kelebat cepat. Prakkk! Tumenggung Batu Ampel tak sempat mengelua-
rkan keluhan ketika tongkat hitam milik Bajing Ireng
mendarat telak di kepala. Seketika tubuhnya jatuh
berdebam ke tanah. Kepalanya yang terkena hantaman
kontan retak, mengeluarkan darah merah keputihan.
Ki Demang Jarakan murka bukan main. Melihat
Tumenggung Batu Ampel telah menemui ajal, lelaki ini
jadi menggembor penuh kemarahan. Ingin rasanya ia
membalas kematian rekannya. Namun sayang, gempu-
ran-gempuran lawan sedikit pun tidak memberi ke-
sempatan padanya untuk bertindak.
"Bajingan kau, Rantai Kumala! Kau sama saja
dengan tua bangka keparat itu! Demi Tuhan, aku akan
menghabisi kalian semua!" dengus Ki Demang Jarakan penuh kemarahan. Tubuhnya
gemetaran saking tak
kuatnya menahan amarah menggelegak terhadap la-
wannya, seorang tokoh sesat bernama Rantai Kumala.
"Boleh. Boleh saja. Asal kau sanggup. Awas, jaga
batok kepalamu!" ejek Rantai Kumala.
Habis mengejek, Rantai Kumala telah mendahului
menyerang. Rantai baja berwarna kuningnya kembali
diputar-putar hingga menimbulkan suara menderu,
siap meremukkan tubuh Ki Demang Jarakan.
Meski dengan susah payah, akhirnya Ki Demang
Jarakan dapat keluar dari tekanan-tekanan Rantai
Kumala. Namun ketika Bajing Ireng dan Bajing Biru
ikut turut mengeroyok, keadaan benar-benar jadi be-
rubah. Jangankan untuk membalas. Untuk keluar dari
tekanan-tekanan ketiga orang pcngeroyoknya pun su-
lit! Rupanya keadaan ini pun tak jauh berbeda den-
gan prajurit-prajurit Kadipaten Pleret lain. Ibarat laron bertemu api, satu
persatu para prajurit gagah kadipaten menemui ajal. Jumlah mereka lambat laun
menyu- sut, benar-benar mencemaskan!
Meski demikian, semangat juang para prajurit Ka-
dipaten Pleret patut diacungi jempol. Demi menegak-
kan kebenaran di muka bumi, mereka terus berusaha
bertahan. Sebaliknya, tokoh-tokoh sesat yang menjadi seku-
tu Pangeran Pemimpin tak segan-segannya terus
membantai. Ibarat mendapat permainan baru, tangan-
tangan maut mereka terus merenggut korban dengan
jurus andalan masing-masing.
Dengan mengerahkan ilmu 'Amblas Bumi', Pelajar
Agung terus membetoti dan mengubur satu persatu
prajurit Kadipaten Pleret tanpa ampun. Dan bilamana
tanah di hadapan bergerak-gerak, paras para prajurit
sudah jadi pias. Mereka tahu, petaka apa yang akan
dialami. Terkubur hidup-hidup!
Brolll...! Namun kini mendadak tanah di hadapan para
prajurit Kadipaten Pleret membuncah tinggi ke udara.
Dari buncahan tanah, samar-samar muncul sesosok
bayangan hitam tengah berdiri sambil berkacak ping-
gang dengan angkuh. Meski tersenyum, namun tam-
pak mengundang maut!
Beberapa orang prajurit Kadipaten Pleret jadi ciut
nyalinya. Ketakutan mendera hati mereka. Semangat
juang pun luluh. Sepasang mata mereka membelalak
ngeri, memperhatikan sosok seorang pemuda tampan
dengan rambut dikuncir sebagian ke belakang. Jubah-
nya besar berwarna hitam, serta topi hitam yang me-
manjang pada bagian atasnya. Dialah sosok Pelajar
Agung yang telah membuat ciut nyali para prajurit!
"Kalian para prajurit Kadipaten Pleret! Dengar!
Buka telinga lebar-lebar! Lekas, suruh adipati keparat
itu keluar! Kalau tidak, jangan harap kami mengam-
puni kalian! Kami akan menumpas habis kalian se-
mua!" teriak Pelajar Agung nyaring, disertai pengerahan tenaga dalam melalui
suara. Sebelum ada yang menyahut, mendadak....
"Cck cck cck...! Pongah benar lagak manusia satu
ini! Sepertinya dia saja yang punya jagat!"
Tiba-tiba terdengar seseorang menyahut. Kemu-
dian, berkelebat beberapa sosok bayangan ke tempat
pertempuran. Pelajar Agung melengak kaget. Seketika sepasang
matanya membelalak liar. Di hadapan mereka kini
tampak beberapa orang pendekar yang dipimpin Ki
Rombeng telah hadir di tempat pertempuran. Bahkan
tanpa basa-basi langsung menyerang beberapa tokoh
sesat sekutu Pangeran Pemimpin.
Pelajar Agung menggeram penuh kemarahan. Le-
bih lagi ketika orang yang menyahut tadi tak lain dari
Raja Penyihir! Seorang tokoh sakti yang telah mem-
permalukan dirinya sewaktu terjadi pertarungan di
puncak Gimung Kembang. Maka tak heran betapa gu-
sarnya hatinya melihat kehadiran Raja Penyihir di an-
tara rombongan para pendekar yang dipimpin Ki Rom-
beng. (Untuk mengetahui pertarungan antara Raja Pe-
nyihir dan Pelajar Agung, silakan baca : "Penguasa Alam").
"Keparat! Kalian semua mengacaukan rencana
kami!" geram Pelajar Agung murka
"Rencana busuk sudah pasti akan kacau. Kenapa
kalian masih juga berencana?" ejek Raja Penyihir.
"Setan! Jaga bacotmu, Tua Bangka Keparat! Apa
kau pikir, aku dapat menerima kekalahanku begitu sa-
ja, he"! Sekaranglah saatnya membalas kekalahanku!"
"Boleh, boleh! Asal kau sanggup," kata Raja Penyihir memanas-manasi.
Pelajar Agung mendongkol bukan main. Diam-
diam mulai dikerahkannya ilmu 'Amblas Bumi'nya
kembali. Begitu ilmu yang dipelajarinya dari mendiang
'Manusia Rambut Merah' dikeluarkan, seketika tubuh-
nya berputar-putar laksana gasing. Tanah tempat ber-
pijak kedua kakinya pun kontan membuncah ke uda-
Harpa Iblis Jari Sakti 19 Pendekar Rajawali Sakti 76 Iblis Penggali Kubur Gerombolan Bidadari Sadis 1
^