Pencarian

Sengketa Tahta Leluhur 3

Siluman Ular Putih 14 Sengketa Tahta Leluhur Bagian 3


ra. Dan perlahan-lahan tubuh Pelajar Agung telah am-
blas ke dalam bumi!
Raja Penyihir tercekat.
"Semprul! Rupanya ia juga murid dari si biang ke-
rok Manusia Rambut Merah!" gerutu Raja Penyihir dalam hati.
Melihat Pelajar Agung mulai bertindak, Raja Pe-
nyihir makin meningkatkan kewaspadaan. Apalagi saat
tanah di hadapannya bergerak-gerak. cepat ke arah-
nya. Tuk! Tuk! Raja Penyihir mengetuk-ngetukkan tongkatnya
beberapa kali. Saat itu pula tanah di sekitar tempat
pertempuran bergetar hebat! Sementara gundukan ta-
nah di hadapan Raja Penyihir makin mendekati sasa-
ran. "Hup!"
Tiba-tiba Raja Penyihir melompat tinggi ke udara.
Setelah berputaran beberapa kali, tubuhnya meluruk
deras dengan tongkat hitam mengarah pada tanah
yang bergerak-gerak. Lalu...
Blesss! Tanah itu bergetar hebat laksana ada gempa. Se-
dang begitu mendarat, Raja Penyihir membiarkan un-
tuk beberapa saat tanah yang bergetar. Indra keenam-
nya terus ditujukan pada tanah dibawahnya.
Broll...!! Mendadak tanah di hadapan Raja Penyihir mem-
buncah tinggi ke udara disertai menyeruaknya satu
sosok bayangan hitam dari dalam tanah. Sebelum Raja
Penyihir menyadari apa yang terjadi, telah berkelebat
dua cahaya biru yang menggemuruh ke arahnya. Bu-
ru-buru Raja Penyihir menghentakkan kedua tangan-
nya melontarkan pukulan 'Tangan Gaib Penindih Se-
tan'. "Hea...!"
Blaaam...!!! Terdengar satu ledakan hebat saat dua kekuatan
dahsyat beradu pada titik tengah. Tampak sosok hitam
tubuh Pelajar Agung terpental ke belakang, lalu jatuh
menimpa beberapa orang kawannya di belakang! Pa-
rasnya pias. Darah segar meleleh membasahi sudut-
sudut bibir, pertanda menderita luka dalam cukup pa-
rah. Tepat saat tubuh Pelajar Agung melayang tadi, Ki
Rombeng melancarkan tendangan sampingnya ke tu-
buh Bajing Ireng.
Bukkk! Telak sekali tendangan kaki kiri Ki Rombeng men-
genai iga Bajing Ireng. Seketika tubuh tokoh sesat ini
melintir ke samping. Pada saat yang sama, di sana te-
lah menanti kilatan mata pedang dari salah seorang
pendekar. Dan....
Crakkk! Ada sebuah benda yang jatuh dan menggelinding.
Sementara darah merah menyembur dari leher Bajing
Ireng. Lelaki itu bergoyang-goyang sebentar, lalu am-
bruk ke tanah! Satu persatu sekutu-sekutu Pangeran Pemimpin
menemui ajal. Para pendekar yang dipimpin Ki Rombeng terus
menggempur sekutu-sekutu Pangeran Pemimpin tanpa
ampun. Bajing Biru yang kalap melihat kematian gu-
runya jadi mengamuk hebat. Kilatan-kilatan pedang di
tangan kanannya berkelebatan mengerikan.
Ken Umi dan Ken Sari cepat datang menghadang
dengan pedang masing-masing.
Bajing Biru terus mengamuk hebat. Namun teba-
san-tebasan pedangnya dapat dipatahkan Ken Umi
dan Ken Sari. Malah hampir saja bahu kanan Bajing
Ireng terkena tebasan pedang di tangan Ken Sari.
"Wanita sundal! Kaulah yang harus membayar
nyawa guruku!"
Bajing Biru menggeram. Kedua pelipisnya berge-
rak-gerak, pertanda tak dapat lagi mengendalikan
amarah. Sehabis menggeram, kembali diterjangnya
Ken Umi dan Ken Sari.
Wutt...! Wuuttt...!
Tebasan-tebasan pedang Bajing Biru makin mem-
bahayakan. Namun percuma saja menjadi murid Ki
Rombeng kalau Ken Umi dan Ken Sari tidak dapat me-
layaninya. Dengan satu gerakan nyilang, tiba-tiba pe-
dang di tangan Ken Umi telah mengancam leher Bajing
Biru. "Akh...!"
Bajing Biru terperangah. Sulit rasanya menghin-
dari serangan itu. Namun tentu saja tubuhnya tidak
sudi jadi sasaran empuk serangan Ken Umi. Dengan
gerakan tidak terduga, Bajing Biru nekat mengayun-
kan pedang ke arah Ken Umi dari arah berlawanan.
"Ah...!"
Kini ganti Ken Umi yang terperangah kaget. Si ga-
dis sadar, ternyata Bajing Biru bermaksud mengadu
nyawa. Namun untuk menghindar jelas tidak mungkin.
Tak ada pilihan, karena memang itu jalan satu-
satunya! Tapi....
Crakkk! "Aaah...!"
Terdengar satu pekik setinggi langit. Bukan dari
mulut Ken Umi, melainkan dari mulut Bajing Biru!
Sejenak Ken Umi gemetar di tempat. Tadi matanya
memang sempat melihat kilatan, pedang di tangan
saudaranya ke arah Bajing Biru.
"Ja.... Jahanam...!"
Bajing Biru terhuyung-huyung ke belakang. Pe-
rutnya yang terkena tebasan pedang Ken Sari terkuak
berikut isinya. Lelaki ini meringis menahan sakit. Ke-
dua tangannya menyangga isi perut. Namun sayang,
keseimbangan tubuhnya tak tertahankan lagi. Tanpa
ampun tubuhnya ambruk ke tanah. Melejang-lejang
sebentar, lalu tidak bergerak-gerak sama sekali.
Satu lagi sekutu Pangeran Pemimpin menemui aj-
al. *** 9 Sebuah pertarungan tingkat tinggi mulai digelar.
Siluman Ular Putih yang kini telah menjelma menjadi
sosok ular putih raksasa hanya mengibas-ngibaskan
ekornya untuk beberapa saat. Bumi bergetar! Debu-
debu beterbangan!
Di depannya, kedua tangan Pangeran Pemimpin
makin terjulur panjang, membentuk dua sosok bayi hi-
tam yang mengerikan. Tangan-tangan bayi hitam itu
pun menjulur ke depan, menggapai-gapai tubuh Silu-
man Ular Putih!
"Gggeeerrr...!!!"
Siluman Ular Putih menggereng hebat. Ujung
ekornya dikibaskan ke samping.
"Hup!"
Pangeran Pemimpin hanya perlu mengangkat ke-
dua kakinya bergantian, menghindari kibasan ekor Si-
luman Ular Putih. Sedang kedua tangan bayi hitam itu
terus menjulur ke depan.
"Hoaahhh...!"
Crap! Siluman Ular Putih mencaplok salah satu tangan
aneh berbentuk bayi. Tak ada pengaruh apa-apa. Tan-
gan itu tidak mengalami apa-apa. Kejadiannya tak
jauh berbeda saat Putri Sekartaji membabat tangan
aneh itu. Sewaktu Siluman Ular Putih mencaplok, se-
perti memangsa angin saja.
"Gggeeerrr...!"
Siluman Ular Putih menggereng hebat. Sedangkan
Pangeran Pemimpin tertawa bergelak.
Tangan-tangan berbentuk bayi itu kini malah me-
lilit tubuh Siluman Ular Putih. Semakin lama libatan-
nya semakin mengencang. Siluman Ular Putih mengi-
baskan ekornya kesana kemari. Meski tidak terpenga-
ruh oleh libatan tangan-tangan bayi, namun kemara-
hannya makin tersulut.
Wuttt...! Ekor Siluman Ular Putih mendadak mengibas
jauh ke depan. Begitu cepatnya sehingga....
Bukkk! "Aaakh...!"
Pangeran Pemimpin meraung setinggi langit. Kiba-
san ekor ular putih raksasa itu membuat tubuhnya
terlempar ke samping. Bagian punggungnya yang ter-
kena kibasan terasa mau remuk! Akibatnya libatan
tangan-tangan bayi itu jadi mengendur!
Pangeran Pemimpin geram bukan main. Tak
mungkin libatan tangan bayi itu tidak mempengaruhi
Siluman Ular Putih sama sekali. Mustahil! Jangankan
tubuh Siluman Ular Putih yang hanya sebesar batang
pohon kelapa. Batu sebesar gajah pun akan hancur
berkeping-keping bila terkena libatannya.
Didorong rasa penasaran bukan main, Pangeran
Pemimpin kembali merapalkan aji 'Setan Kober' lebih
hebat. Maka dua sosok bayi aneh di pergelangan ke-
dua tangannya pun menyerang kembali. Sepasang ma-
tanya menyorot merah. Tangan-tangan itu pun bak
tangan-tangan raksasa hitam yang terus menjulur,
meraih tubuh Siluman Ular Putih. Melibat dan mence-
kik leher kuat-kuat!
"Ggggeeerrr...! Gggggeeerrr...!!!"
Buk! Buk! Siluman Ular Putih mengibaskan ekornya ke sana
kemari. Percuma. Libatan-libatan tangan-tangan aneh
itu makin mencekik leher. Sulit rasanya keluar dari li-
batan. Pangeran Pemimpin tertawa bergelak. Wajahnya
mendadak jadi mengerikan. Sepasang matanya meme-
rah seperti sepasang mata bayi aneh miliknya.
"Mampus kau, Siluman Ular Putih! Sekarang bisa
apa, he"!"
Pangeran Pemimpin tertawa gembira melihat liba-
tan-libatan tangan-tangan bayi makin kokoh. Namun
mendadak sekujur tubuh Siluman Ular Putih telah di-
penuhi asap putih tipis.
"Heh..."!"
Pangeran Pemimpin tersentak. Libatan tangan-
tangan anehnya di tubuh Siluman Ular Putih pun
mengendur. Sementara dari gulungan asap putih tebal yang
menyelimuti, sosok panjang Siluman Ular Putih me-
nyeruak keluar. Taring-taringnya yang runcing siap
mencabik-cabik tubuh Pangeran Pemimpin.
"Bangsat! Siluman Ular Putih keparat!"
Pangeran Pemimpin geram bukan main, karena
merasa tertipu oleh Siluman Ular Putih. Dan ketika ta-
di libatan tangan-tangan bayinya sempat dikendurkan,
tubuhnya kini jadi sasaran empuk taring-taring Silu-
man Ular Putih Krakkk! "Aaa...!"
Pangeran Pemimpin menggembor setinggi langit
seraya memberontak melepaskan diri. Pakaiannya ro-
bek di sana sini menampakkan cairan berwarna merah
darah di sekujur tubuh. Untung saja ia dapat keluar
dari, moncong Siluman Ular Putih. Namun, tetap saja
tubuhnya terasa ngilu bukan alang kepalang hingga
limbung ke samping.
Kesempatan ini tentu saja tidak disia-siakan Si-
luman Ular Putih. Begitu tubuh Pangeran Pemimpin
menjauh, ekornya telah dikibaskan cepat luar biasa.
Dan.... Blakkk! "Aaakh...!"
Sekali lagi Pangeran Pemimpin menggembor se-
tinggi langit. Tubuhnya terpental jauh ke belakang,
meliuk-liuk sebentar dan jatuh berdebam ke tanah.
Bagian punggung yang terkena hantaman terasa mau
remuk! Seketika parasnya pun jadi pucat pasi! Gigitan
taring-taring Siluman Ular Putih tadi pun terasa nyeri
bukan kepalang seperti menusuk-nusuk dada!
Mendadak pemandangan di hadapan Pangeran
Pemimpin jadi kabur. Ia tidak tahu kalau gigitan Silu-
man Ular Putih mengandung racun berbahaya hampir
sulit dicari obat pemunahnya!
"Setan alas!" geram Pangeran Pemimpin murka.
Karena terdorong rasa sakit, mendadak Pangeran
Pemimpin menyilangkan kedua kakinya dan duduk
bersemadi. Kedua bibirnya segera berkemik-kemik
dengan mata terpejam rapat-rapat.
Sejenak sosok ular putih raksasa itu terlonglong.
Mungkin menyangka kalau Pangeran Pemimpin tengah
menyembuhkan luka dalamnya. Hingga hal ini me-
maksa Siluman Ular Putih menghentikan serangan.
Sementara Pangeran Pemimpin terus khusuk ber-
semadi. Kedua bibirnya terus berkemik-kemik. Sege-
nap rasa dan pikirannya tengah ditujukan ke sebuah
tempat yang cukup jauh dari tempat pertempuran.
Yakni, ke Sendang Kenjeran!
"Eyang! Datanglah, Eyang! Aku membutuhkan
kehadiranmu.:.," desah Pangeran Pemimpin berulang-
ulang dalam hati.
*** Aneh! Seketika air Sendang Kenjeran mendadak bergo-
lak. Makin lama golakannya makin menghebat, laksa-
na ada naga besar tengah mengguncang dasar sen-
dang! Selang beberapa saat, tampak sesosok bayangan


Siluman Ular Putih 14 Sengketa Tahta Leluhur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berpakaian hitam-hitam muncul ke permukaan sen-
dang masih dalam keadaan bersemadi! Kedua kakinya
dilipat rapat. Kedua telapak tangannya bersedekap
dengan mata terpejam. Sosok lelaki tua inilah yang ta-
di dipanggil Pangeran Pemimpin. Siapa lagi kalau bu-
kan Eyang Pamekasan! Kakek sekaligus guru Pangeran
Pemimpin"!
Perlahan-lahan Eyang Pamekasan pun membuka
kelopak matanya. Parasnya yang pucat tampak keme-
rah-merahan. Sepasang matanya bersinar nyalang!
Berkilat-kilat penuh kemarahan. Panggilan cucu ter-
sayangnya itulah yang membuatnya bangun dari se-
madi. "Cucuku...! Aku datang...!"
Hanya itu yang diucapkan Eyang Pamekasan. Ke-
mudian sosok yang masih bersemadi itu terus melun-
cur ketepian sendang dalam sikap bersemadi.
"Hup!"
Baru ketika mendekati bibir sendang, Eyang Pa-
mekasan meloncat tinggi ke udara. Anehnya air sen-
dang itu sedikit pun tidak bergolak manakala Eyang
Pamekasan meloncat dari permukaannya. Lebih he-
batnya lagi, pakaian di tubuhnya sedikit pun tidak ba-
sah! Hebat! Entah menggunakan ilmu apa hingga
orang tua itu mampu berbuat demikian. Yang jelas,
sekarang sosok tinggi kurus Eyang Pamekasan terus
berkelebat cepat ke arah timur. Gerakan kedua ka-
kinya ringan sekali, laksana anak panah terlepas dari
busur. Hingga dalam beberapa kelebatan saja sosok
Eyang Pamekasan telah berubah menjadi satu titik hi-
tam di kejauhan sana. Tepat di mana matahari me-
nampakkan sinarnya yang berwarna kuning keema-
san. *** Matahari merah di ufuk timur mulai menjarah
bumi. Menjarah segenap yang ada dialam mayapada.
Namun sinarnya seperti tak bergairah! Tak seharusnya
demikian! Seolah sang raja slang merasa ikut berdosa
menyaksikan pembantaian demi pembantaian yang
terjadi di mayapada!
Mengerikan! Itulah yang terjadi di Kadipaten Pleret. Lambat
laun, berkat bantuan para pendekar, satu persatu se-
kutu Pangeran Pemimpin dapat dilumpuhkan. Kini
keadaan mulai berbalik. Semangat juang para prajurit
Kadipaten Pleret yang semula menciut, kini kembali
berkobar-kobar.
Pedang kembali digenggam erat. Tameng diangkat.
Perang! Pelajar Agung dan kawan-kawan nyaris tak dapat
melakukan perlawanan. Satu persatu mereka dijemput
ajal dengan cara sama. Sama-sama mengerikan. Tu-
buh-tubuh penuh sayatan dan hujaman tergelar di si-
ni. "Bajingan! Kalian memporak-porandakan rencana
kami! Demi iblis! Aku akan membunuh kalian semua!"
teriak Pelajar Agung murka.
"Jangan banyak mengumbar suara, Bocah Pon-
gah! Menghadapiku saja masih kalang kabut. Pakai
mau membunuh kami semua lagi! Huh!" ejek Raja Pe-
nyihir memerahkan telinga Pelajar Agung.
"Bajingan! Kaulah yang pertama kuremukkan ba-
tok kepalamu, Tua Bangka Keparat!"
"Biasa. Lagu kuno. Tadi kau juga bilang begitu.
Buktinya apa?" ejek Raja Penyihir menyakitkan.
Bukan main murkanya hati Pelajar Agung kali ini.
Teman-temannya sudah banyak yang memenuhi ajal.
Bahkan Raja Racun dan Raja Golok sekutu dekatnya
pun telah menemui ajal, Hal ini pulalah yang menyulut
kemarahannya. "Heaaa...!"
Dengan menggembor penuh kemarahan, tiba-tiba
Pelajar Agung segera mengeluarkan jurus-jurus ampuh
'Tulisan Maut Dewa Kayangan'. Sebuah jurus maut
ciptaan Pendidik Ulung yang telah dikhianati.
Begitu Pelajar Agung mengeluarkan jurus anda-
lan, seketika kedua telunjuk jarinya telah menggurat-
gurat ke udara. Jari telunjuk kanan menggurat-gurat
lemah gemulai dari kanan ke kiri. Sedang jari-jari te-
lunjuk kiri menggurat lemah gemulai dari kiri ke ka-
nan, membentuk sebuah huruf gaib ciptaan Pendidik
Ulung. "Ciit..! Sritt...!"
Memang hebat bukan main jurus-jurus Pelajar
Agung ciptaan Pendidik Ulung itu. Di samping gura-
tan-guratan telunjuknya mampu mengeluarkan suara
mencicit yang teramat memekakkan telinga, jurus-
jurus itu pun mampu menjebol tembok baja selembar
tiga jengkal hanya dengan telunjuk jari!
Melihat jurus-jurus yang dikeluarkan Pelajar
Agung, anehnya Raja Penyihir hanya tersenyum-
senyum saja. Bukannya ia ingin memandang remeh
lawan. Melainkan, diam-diam tengah bersiap-siap
mengeluarkan pukulan "Tangan Gaib Penindih Setan'-
nya. Karena memang hanya pukulan itulah yang
mampu melumpuhkan jurus 'Tulisan Maut Dewa
Kayangan' ciptaan Pendidik Ulung.
"Majulah, Bocah! Akan kulihat, sampai di mana
kepongahanmu!" tantang Raja Penyihir lagi.
Pelajar Agung tidak menyahut, kecuali hanya
menggeretakkan gerahamnya kuat-kuat. Jelas amarah
bekas murid Pendidik Ulung itu sudah mencapai pun-
cak ubun-ubun. Kemudian dengan segenap tenaga da-
lam yang dimiliki, Pelajar Agung mempertemukan dua
telunjuk jarinya di udara.
Sraaatt...! Seketika melesat seleret sinar putih menyilaukan
mata dari pertemuan dua telunjuk jari Pelajar Agung
ke arah Raja Penyihir!
"Hmm...!" Raja Penyihir bergumam tak jelas. Lelaki tua ini tak berani main-main
lagi. Begitu melihat datangnya serangan, segera kedua telapak tangannya
yang juga berwarna putih berkilauan dihantamkan ke
depan. Blaaammm...! Terdengar satu ledakan hebat manakala tenaga
dalam kedua orang itu bertemu pada satu titik. Seketi-
ka angin dingin akibat bentrokan bertiup kencang,
memporak-porandakan apa saja yang berada di sekitar
tempat pertarungan. Daun-daun membeku! Beberapa
orang prajurit Kadipaten Pleret yang berkepandaian
rendah kontan menggigil kedinginan!
Tubuh Pelajar Agung sendiri limbung ke samping.
Parasnya pias! Seisi dadanya terasa berguncang hebat!
Hampir saja keseimbangan tubuhnya tak dapat diken-
dalikan kalau saja tidak cepat-cepat menjejakkan ka-
kinya ke tanah. Namun baru saja kedua kakinya men-
jejak tanah, mendadak segulung sinar hitam di tangan
Raja Penyihir telah menyerang dari samping.
"Hup...!"
Pelajar Agung berusaha menghindar sebisa mung-
kin. Buru-buru tubuhnya dilempar ke belakang. Tapi
sayang, gerakan tubuhnya masih kalah cepat. Akibat-
nya.... Bukkk! Bukkk! Dua kali tongkat hitam di tangan Raja Penyihir
menghajar punggung. Pelajar Agung menggereng pe-
nuh kemarahan. Untung saja tadi tenaga dalamnya te-
lah dikerahkan sebelum serangan lawan mengenai sa-
saran sehingga meski punggung terasa berdenyut, na-
mun masih sedikit menolongnya dari luka dalam yang
bisa membahayakan nyawa.
"Bagaimana dengan gebukan tongkatku, Bocah"
Enakkan?" ejek Raja Penyihir.
Pelajar Agung tidak menyahut. Amarahnya makin
membakar darah dalam dada. Tanpa banyak cakap la-
gi, segera kedua telunjuk jarinya digurat-guratkan
kembali ke udara. Kali ini gerakan-gerakan tubuh
maupun jari-jari tangannya tampak demikian lamban.
Namun anehnya, malah membuat suara mencicit ma-
kin memekakkan telinga!
"Kuakui, jurus 'Tulisan Maut Dewa Kayangan'-mu
memang hebat, Bocah. Tapi sayang, kau tetap tidak
mampu mengalahkanku," oceh Raja Penyihir.
"Setan alas! Jangan dikira kau sudah di atas an-
gin, Tua Bangka Keparat! Aku belum kalah!"
"Bagus! Kalau begitu, kau masih ingin merasakan
gebukan tongkatku, he"! Majulah! Sebenarnya aku
mudah saja merobohkanmu. Dengan kekuatan sihir-
ku, kujamin kau pasti merangkak-rangkak memohon
ampun padaku. Tapi, itu tidak kulakukan. Aku tidak
akan mengerahkan kekuatan sihirku. Aku malah lebih
senang mempermainkan manusia pengecut macammu!
Hayo, majulah!"
"Setan alas! Kuakui, tua bangka di hadapanku ini
memang lihai. Baik ilmu sihir maupun ilmu silatnya.
Rasanya tak mungkin aku dapat mengalahkannya. Ta-
pi, apa boleh buat" Kalau memang terpaksa, tak ada
pilihan lain. Aku harus melarikan diri...," kata hati Pelajar Agung.
"Hey" Kenapa berhenti" Hayo, serang aku! Apa
kau takut" Baik. Kalau begitu, aku yang akan mengha-
jarmu. Hitung-hitung membalas sakit hati Adipati Ple-
ret." Raja Penyihir mulai memasang kuda-kuda. Na-
mun belum sempat bertindak, mendadak....
"Bedebah! Kau tidak patut menghukum bocah itu,
Raja Penyihir! Melainkan akulah yang berhak..."
Terdengar bentakan keras yang disusul berkele-
batnya satu sosok bayangan hitam ke arah pertarun-
gan. *** 10 Raja Penyihir mendengus gusar. Di hadapannya
kini telah berdiri tegak seorang lelaki tua seusia den-
gannya. Tubuhnya tinggi kurus. Rambutnya putih
nyaris tak kentara oleh penutup kepala berwarna hi-
tam yang memanjang pada bagian atas. Jubahnya hi-
tam besar kedodoran sampai lutut. Siapa lagi tokoh
yang mempunyai ciri-ciri seperti itu kalau bukan Pen-
didik Ulung"
Lelaki tua ini memang telah mendapat perawatan
dari Tabib Agung di puncak Gunung Kelud. Begitu ra-
cun ular kobra putih milik Raja Racun dapat dikelua-
rkan, Pendidik Ulung pun segera menyusul Ki Rom-
beng dan para pendekar Jain. Namun ketika sampai di
tempat pertempuran di luar Kadipaten Pleret, Pendidik
Ulung jadi kecewa. Untung saja Senopati Gajah Keling
memberi tahu kemungkinan kalau Pelajar Agung ju-
stru turut menyerang Kadipaten Pleret.
Atas keterangan Senopati Gajah Keling, maka
Pendidik Ulung segera menuju Kadipaten Pleret. Se-
dang Tabib Agung diminta Senopati Gajah Keling un-
tuk menghadapi sekutu-sekutu Pangeran Pemimpin
lain-nya. (Untuk mengetahui bagaimana Pendidik
Ulung sampai terkena racun ular kobra putih, silakan
baca : "Lukisan Darah" dan "Penguasa Alam").
"Apa kau bilang, Pendidik Ulung" Hanya kau yang
berhak menghukum Bocah Tengil ini"! Aku juga ber-
hak!" tukas Raja Penyihir.
Raja Penyihir uring-uringan. Sepasang matanya
membelalak. Tongkat hitam di tangan kanannya dike-
tuk-ketuk gusar.
'"Apa pun katamu, itu bukan urusanmu. Minggir!"
sentak Pendidik Ulung, mengusir. Tangan kanannya
dikibaskan ke belakang.
Raja Penyihir yang terdorong ke belakang jadi ma-
kin gusar dibuatnya.
"Tua bangka tak tahu diri! Sudah ditolong, pakai
mengusir lagi! Huh!" dengus Raja Penyihir kesal. Namun, akhirnya lelaki tua ini
mau juga menyingkir. Ia
kemudian membantu menumpas sekutu-sekutu Pan-
geran Pemimpin lainnya.
Pendidik Ulung tak menyahut. Sepasang matanya
berkilat-kilat penuh kemarahan memandangi bekas
muridnya. "Murid murtad! Sekaranglah saatnya aku meng-
hukummu! Cepat cabut senjatamu! Kita bertarung
sampai ada yang modar!" bentak Pendidik Ulung se-
raya mencabut senjata andalannya. Sepasang pena
berbulu! Pelajar Agung ragu-ragu. Namun karena memang
tidak ada pilihan lain, terpaksa dicabutnya keluar sen-
jata andalan, walau sebenarnya bukan senjata andalan
miliknya sendiri. Melainkan, senjata andalan Pendekar
Kujang Emas yang berupa kujang berwarna kuning
keemasan. Kujang Emas!
"Hm...! Senjata itu milik mendiang Pendekar Ku-
jang Emas. Kau tak berhak memiliki senjata pusaka
itu. Aku harus mengembalikannya pada yang berke-
pentingan!" gumam Pendidik Ulung.
"Jangan banyak omong, Orang Tua! Kalau mau
menghukumku, silakan! Tapi, ingat! Jangan dikira aku
pasrah saja!" tantang Pelajar Agung.
"Bagus! Memang itu yang kuinginkan!" sahut Pendidik Ulung cepat
Tanpa banyak cakap lagi segera lelaki tua ini me-
masang kuda-kuda. Kedua pena di tangannya segera
digurat-guratkan ke udara. Seketika terdengar bunyi
mencicit yang teramat memekakkan telinga dari gura-
tan-guratan kedua pena di tangan Pendidik Ulung.
Perlahan-lahan tokoh sakti dari Lembah Kaliurang itu
pun mulai melangkah lemah gemulai mendekati Pela-
jar Agung.

Siluman Ular Putih 14 Sengketa Tahta Leluhur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pelajar Agung tidak mau mengeluarkan jurus yang
sama. Ia tahu, betapa hebatnya bekas gurunya kalau
sudah mengeluarkan jurus-jurus 'Tulisan Maut Dewa
Kayangan' ciptaannya. Maka untuk menandingi segera
dikeluarkannya jurus milik Pendekar Kujang Emas
yang bernama jurus 'Pedang Pembawa Maut'!
Meski hanya menggunakan sebilah kujang, na-
mun tidak jadi soal bagi Pelajar Agung. Karena ia su-
dah terbiasa melatih jurus 'Pedang Pembawa Maut'
dengan sebilah kujang! Maka begitu melihat bekas gu-
runya mulai mendekat, segera diserangnya. Sedang
tangan kirinya yang telah berubah jadi biru siap me-
lontarkan pukulan 'Cahaya Kilat Biru'.
Cring! Cring! Beberapa kali sambaran kujang di tangan Pelajar
Agung dapat tertangkis sepasang pena yang bergerak
lemah gemulai di tangan Pendidik Ulung. Entah kena-
pa, Pelajar Agung merasa tangannya kesemutan.
"Bedebah! Rupanya tua bangka ini telah menge-
rahkan segenap kekuatan tenaga dalamnya. Aku harus
segera mengeluarkan pukulan 'Cahaya Kilat Biru' se-
belum tua bangka itu mempertemukan ujung kedua
penanya. Yah...!"
Berpikir demikian, Pelajar Agung lantas meng-
gembor keras. Tangan kirinya yang telah berubah jadi
biru sampai ke pangkal lengan segera dihentakkan ke
depan. Maka seketika melesat selarik sinar biru yang
menggemuruh dari telapak tangan kiri Pelajar Agung,
siap melabrak tubuh Pendidik Ulung.
Namun Pelajar Agung kecele. Dengan satu gera-
kan tak terduga, tiba-tiba Pendidik Ulung telah mem-
pertemukan kedua ujung penanya di udara. Seketika
itu pula meluruk seleret sinar putih berkilauan dari
ujung-ujung pena yang dipertemukan, ke arah sinar
biru milik Pelajar Agung!
Blaaaarrrr...!!!
Terdengar satu ledakan hebat begitu kedua suara
itu berbenturan di udara. Bumi laksana diguncang
prahara. Hawa panas akibat bentrokan dua tenaga da-
lam tadi menebar ke mana-mana, membakar prajurit-
prajurit Kadipaten Pleret yang berkepandaian rendah.
Juga, membakar ranting-ranting pohon di sekitar tem-
pat pertarungan!
Tubuh Pendidik Ulung sendiri sempat terguncang
hebat. Kedua telapak kakinya melesak beberapa dim
ke dalam tanah. Namun keadaan ini masih jauh lebih
menguntungkan dibanding Pelajar Agung
Pelajar Agung yang sebenarnya sudah menderita
luka dalam yang cukup lama akibat pertarungannya
dengan Raja Penyihir tadi, tak dapat lagi mengendali-
kan keseimbangan tubuhnya. Maka tanpa ampun ia
langsung terpental jauh ke belakang!
Pelajar Agung mengeluh dalam hati. Parasnya
pias! Tampak darah segar membasahi sudut-sudut bi-
bir, pertanda luka dalamnya makin parah!
Pendidik Ulung mendengus dingin. Sedikit puri ia
tidak ingin memberi kesempatan pada Pelajar Agung
untuk membalas serangan. Namun belum sempat to-
koh sakti dari Lembah Kaliurang itu bertindak, men-
dadak terdengar suara ribut-ribut dari teriakan para
prajurit Kadipaten Pleret.
Sekilas Pendidik Ulung melirik dengan ekor mata.
Ternyata, pertempuran di sebelah telah usai. Sekutu-
sekutu Pangeran Pemimpin sudah banyak yang dilum-
puhkan. Namun, banyak juga yang melarikan diri.
Pendidik Ulung tak mempedulikan lagi. Keingi-
nannya saat itu hanya untuk membunuh Pelajar
Agung. "Kau akan secepatnya menyusul teman-temanmu
itu, Bocah! Bersiap-siaplah menerima kematianmu!"
ancam Pendidik Ulung dingin dan menggetarkan. Ke-
dua penanya pun kembali digurat-guratkan di udara
membentuk huruf gaib ciptaannya sendiri.
Pelajar Agung merasa cemas bukan main. Tak
mungkin ia melanjutkan pertempuran seorang diri.
Maka tak ada pilihan lain, kecuali harus melarikan di-
ri. Namun ketika hendak melarikan diri dengan ilmu
'Amblas Bumi', mendadak Pendidik Ulung telah melon-
tarkan pukulan 'Tangan Penggebuk Dewa'.
"Hea...!"
Bukkk! Pelajar Agung menjerit setinggi langit saat seran-
gan Pendidik Ulung mengenai sasaran. Seketika tu-
buhnya melayang bak layangan putus. Namun akibat-
nya Pelajar Agung tetap mengerahkan ilmu 'Amblas
Bumi'. Maka saat kedua kakinya mendarat, tubuhnya
pun amblas ke dalam bumi!
Pendidik Ulung gusar bukan main. Cepat dikejar-
nya gerakan gundukan pasir di hadapannya. Lalu
kembali dilontarkannya pukulan 'Tangan Penggebuk
Dewa' secara membabi buta.
Blaaam! Blaaam...!!!
"Kendalikan amarahmu, Sobat! Dia telah pergi!"
cegah Raja Penyihir yang tahu-tahu telah tegak di
sampingnya. "Aku harus menghukumnya...! Aku harus meng-
hukumnya...!" desis Pendidik Ulung penuh kemarahan.
"Belum puas aku kalau belum memecahkan batok ke-
palanya! Ia telah mencemarkan nama baikku! Hea...!"
"Tunggu...!" cegah Raja Penyihir.
Pendidik Ulung mana sudi mendengar ucapan Ra-
ja Penyihir. Ia terus saja berkelebat cepat ke arah ba-
rat, dan menghilang di kerapatan hutan depan sana.
Raja Penyihir hanya menggeleng-geleng disertai
dengusan napas prihatin.
*** "Cucuku, bangun! Kau tak pantas bersimpuh be-
gitu! Kau adalah calon adipati. Bangun!"
Pangeran Pemimpin yang masih duduk bersimpuh
tersentak kaget mendengar sebuah suara penuh tena-
ga dalam. Kelopak matanya buru-buru dibuka. Bibir-
nya lantas tersenyum. Senyum bangga melihat sosok
yang diharapkan bantuannya telah datang. Dialah
Eyang Pamekasan!
Dengan ilmu meringankan tubuhnya yang luar bi-
asa. Eyang Pamekasan telah tiba di tempat pertempu-
ran dalam waktu singkat. Dan getaran-getaran suara
batin Pangeran Pemimpin itulah yang menuntun lang-
kah Eyang Pamekasan menuju tempat pertempuran!
"Terima kasih, Eyang. Ternyata kau sudi memban-
tuku," ucap Pangeran Pemimpin sambil menang-
kupkan kedua telapak tangan di depan dada penuh
hormat. Eyang Pamekasan mengibaskan tangan sebagai
isyarat. Pangeran Pemimpin tahu. Cepat ia melompat
bangun. "Gggggeeerrr...!!!"
Sementara sosok ular putih raksasa penjelmaan
Soma menggereng. Sepasang matanya yang berwarna
merah saga mencorong tajam, memperhatikan lelaki
tua renta di hadapannya penuh tanda tanya.
Eyang Pamekasan sendiri pun tampak heran. Ke-
ningnya berkerut-kerut. Sepertinya ia sudah tahu, sia-
pa yang menjelma jadi sosok ular putih raksasa.
"Dia.... Dia Siluman Ular Putih, Eyang,!!, jelas
Pangeran Pemimpin dapat membaca keheranan eyang-
nya. Eyang Pamekasan mengangguk-angguk. "Sebaik-
nya cepat kita bertindak, Eyang. Mumpung anak bua-
hku masih sanggup bertahan. Kalau saja eyang dapat
membunuh ular keparat itu dan juga semua pendekar
yang turut membantu, pasti kita akan menang,
Eyang." Eyang Pamekasan tak menyahuti. Selangkah demi
selangkah mulai didekatinya Siluman Ular Putih.
Langkahnya baru berhenti ketika tokoh dari Sendang
Kenjeran itu kembali mendengar gerengan ular putih
raksasa di hadapannya.
"Hhh...! Kau pasti ada sangkut pautnya dengan
tua bangka dari Gunung Bucu itu. Begawan Kama-
setyo. Bah!" dengus Eyang Pamekasan dapat menduga
siapa sosok yang menjelma menjadi Siluman Ular Pu-
tih. Siluman Ular Putih hanya menggereng. Ekornya
dikibaskan ke sana kemari. Seolah hatinya gusar meli-
hat Pangeran Pemimpin mulai membantai prajurit-
prajurit Kadipaten Pleret tanpa ampun dengan meng-
gunakan aji 'Setan Kober'.
"Ggggeeerrrr...!!!"
Siluman Ular Putih makin mengibas-ngibaskan
ekornya tak sabar. Lalu dengan gerengan hebat, tahu-
tahu sosok besar panjang Siluman Ular Putih telah
menerjang Pangeran Pemimpin garang.
Namun pada saat yang sama Eyang Pamekasan
telah menghentakkan kedua tangan ke arah Siluman
Ular Putih. Bukkk! Siluman Ular Putih menggereng hebat. Tubuhnya
meliuk sebentar, lalu terlempar jauh ke samping. Se-
pasang matanya mencorong mengerikan memandangi
sosok tua yang tadi melontarkan pukulan maut terha-
dapnya saat menerjang Pangeran Pemimpin.
Siluman Ular Putih kembali mengibas-ngibaskan
ekornya penuh kemarahan. Sepasang matanya menco-
rong tampak demikian mengerikan. Lalu disertai ge-
rengan hebat, Siluman Ular Putih balik menerjang
Eyang Pamekasan. Moncongnya yang besar dibuka le-
bar-lebar, menampakkan taring-taringnya yang runc-
ing. "Ggggeeerrr...!!!"
Eyang Pamekasan tersenyum dingin, seraya sedi-
kit menggeser tubuhnya ke samping. Dan sebelum
ekor Siluman Ular Putih menghajar tubuhnya, kembali
tangannya menghentak.
"Makanlah pukulan 'Pelebur Bumi'-ku! Hea...!"
Begitu Eyang Pamekasan menghantamkan kedua tela-
pak tangannya ke depan, seketika melesat dua larik
sinar hitam legam dari kedua telapak tangannya.
Bukkk! Bukkk! Sekali lagi Siluman Ular Putih menggereng hebat.
Tubuhnya yang terhantam pukulan 'Pelebur Bumi'
kontan terlempar ke samping dan jatuh berdebam me-
nerbangkan debu-debu!
Namun anehnya sedikit pun tubuh Siluman Ular
Putih tidak mengalami cedera. Padahal tadi Eyang Pa-
mekasan telah membayangkan kalau tubuh Siluman
Ular Putih akan hancur berkeping-keping.
"Keparat! Rupanya kau kebal terhadap pukulan
'Pelebur Bumi'-ku, he"!" Eyang Pamekasan membela-
lakkan matanya heran.
Siluman Ular Putih menggeliat ke sana kemari se-
bentar. Kemudian dengan sepasang matanya yang
mencorong, sejenak diperhatikannya kakek tua renta
di hadapannya sengit.
"Majulah! Aku ingin lihat! Apa tubuhmu juga keb-
al terhadap 'Cemeti Api'-ku!"
Cttttaaarr...! Eyang Pamekasan tahu-tahu telah mengeluarkan
sebuah cambuk berwarna merah dari pinggang dan
langsung melecutkannya ke bawah. Seketika tanah di
bawahnya yang terkena lecutan kontan menyala!
"Ggggeerrrr! Gggggeeeerrr...!!!"
Siluman Ular Putih gusar bukan main. Dari tadi ia
hanya mengibas-ngibaskan ekornya. Tampak sekali
kalau hatinya ragu-ragu, apakah sanggup menerima
lecutan cemeti di tangan tokoh sesat dari Sendang
Kenjeran atau tidak.
"Ggggeeeerrrr...!!!"
Namun akhirnya Siluman Ular Putih menerjang
juga ke arah Eyang Pamekasan disertai gerengan be-
ringas. Eyang Pamekasan menyunggingkan bibirnya, ter-
senyum dingin. Cemeti di tangan kanannya segera di-
lecutkan ke udara menyambut lesatan Siluman Ular
Putih Ctarrr! Ctaaarrr!!!
Prakkk! Prakkk!
Dua kali lecutan 'Cemati Api' di tangan Eyang Pa-
mekasan mendarat di sasaran. Namun, Siluman Ular
Putih hanya menggereng hebat. Bagian tubuhnya yang
terkena lecutan Cemeti Api sempat menyala, namun
hanya sebentar. Selang beberapa saat, api yang mem-
bakar tubuhnya hilang dengan sendirinya!
"Heh..."!"
Eyang Pamekasan melongo kaget. Sungguh tak
disangka kalau tubuh Siluman Ular Putih ternyata ti-
dak mengalami luka sedikit pun akibat lecutan Cemeti
Api-nya! Eyang Pamekasan tak percaya. Ia harus
membuktikannya lagi. Maka sekali tubuhnya berkele-
bat, cemeti di tangan kanannya kembali menderu-deru
di sekujur tubuh Siluman Ular Putih.
Ctarrr! Ctarrrr!
Berkali-kali tubuh Siluman Ular Putih terkena le-
cutan cemeti, namun tidak mengalami cedera sedikit
pun. Memang, tubuh Siluman Ular Putih sempat me-
nyala, tapi hanya sebentar. Selang beberapa saat, api
di sekujur tubuhnya padam sendiri.
Bukan main geramnya hati Eyang Pamekasan.
Kali ini sepasang matanya yang kelabu harus dipaksa
untuk terbelalak kembali. Bahkan kibasan ekor Silu-
man Ular Putih tadi sempat menghajar tubuhnya.
Meski Eyang Pamekasan tidak mengalami luka sedikit
pun, namun sudah cukup menyulut amarahnya.


Siluman Ular Putih 14 Sengketa Tahta Leluhur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jahanam! Kali ini kalau kau masih sanggup ber-
tahan, aku patut berguru padamu, Siluman Ular Pu-
tih!" dengus Eyang Pamekasan penuh kemarahan.
Cemeti Api di tangan kanan lelaki tua ini kembali
disimpan di pinggang. Lalu kedua telapak tangannya
digosok-gosokkan sedemikian rupa. Seketika kedua te-
lapak tangannya telah berubah jadi putih berkilauan
disertai kepulan asap putih yang menebarkan hawa
dingin bukan kepalang!
"Hebat! Kau memang hebat, Siluman Ular Putih!
Tapi aku belum percaya kalau kau juga sanggup me-
nerima aji 'Panglarut Banyu Putih'-ku! Majulah! Aku
ingin lihat sampai di mana kehebatanmu!"
Siluman Ular Putih menggereng hebat. Sepasang
matanya yang berwarna merah semakin menggidikkan.
Kemudian dengan kemarahan meluap, sosok ular pu-
tih raksasa itu kembali menerjang hebat Eyang Pame-
kasan! Eyang Pamekasan sempat menyurutkan langkah-
nya setindak ke belakang. Lalu disertai kekuatan tena-
ga dalam penuh, kedua telapak tangannya segera dido-
rongkan ke depan. Seketika tampak asap putih berki-
lauan bergulung-gulung memapak serangan Siluman
Ular Putih. Pesss! Siluman Ular Putih menggereng setinggi langit.
Asap putih yang dingin bukan kepalang makin mem-
bungkus tubuhnya yang terus menggeliat-geliat hebat
ke sana kemari. Rasa dingin yang teramat menusuk
kulit tubuh benar-benar membuatnya jadi tidak tahan.
Selang beberapa saat, sosok ular putih raksasa itu
diam tak bergerak-gerak lagi. Sekujur tubuhnya mem-
beku tak dapat digerakkan. Hanya sepasang matanya
saja yang mencorong penuh kemarahan.
Eyang Pamekasan tertawa sumbang. Selangkah
demi selangkah, didekatinya Siluman Ular Putih. Ke-
dua telapak tangannya yang berwarna putih berki-
lauan kembali siap melontarkan aji 'Panglarut Banyu
Putih'. Namun belum sempat tokoh dari Sendang Ken-
jeran bertindak mendadak perhatiannya terusik oleh....
Klinting! Klinting!
Terdengar suara lonceng yang memekakkan telin-
ga. "Bedebah! Siapa berani bermain gila denganku"!"
geram Eyang Pamekasan dengan sepasang mata berki-
lat-kilat penuh kemarahan.
Tak ada sahutan. Hanya samar-samar terdengar
seseorang tengah membacakan bait syair....
Kawan...... Kuberi kau pengetahuan,
Jika kau inginkan tirai terbuka.
Datanglah ke jalanku,
Dan ikuti aturanku mencinta.
Sebab mata air Sabda yang melimpah,
ada bersamaku....
*** 11 "Keparat! Tua bangka itu lagi!" dengus Eyang Pamekasan kalap bukan main.
Di kejauhan sana, tampak seorang lelaki tua renta
berpakaian putih bersih. Rambutnya digelung ke atas!
Dengan lenggang seenaknya, lelaki tua itu menuju
tempat pertempuran.
Meski melenggang seenaknya, namun dalam wak-
tu singkat si kakek telah berada di tempat pertempu-
ran. Mulutnya terus mengoceh membacakan bait-bait
sajak sambil terus membunyikan lonceng kecil di tan-
gan kanannya. Klinting! Klinting!
"Hm...! Cck cck cck...! Bocah sinting itu...! Kasihan...," gumam si kakek.
Lelaki tua ini menggeleng-gelengkan kepala. Entah
heran, entah takjub melihat tubuh Siluman Ular Putih
membeku. Lalu kakinya melangkah mendekati Silu-
man Ular Putih.
"Pasti kau biang keroknya! Heran"! Sudah tua
bangka begini, masih juga bertingkah! Dasar tua
bangka kurang kerjaan!" lanjut si kakek mengomel.
Habis mengomel, si kakek segera menepuk tubuh
Siluman Ular Putih sekali. Hebatnya, seketika tubuh
Siluman Ular Putih kontan dapat bergerak-gerak lagi.
Sebenarnya siapakah kakek tua renta yang dapat
memunahkan aji 'Panglarut Banyu Putih' milik Eyang
Pamekasan dengan demikian mudah" Dia tak lain ada-
lah Penyair Sinting. Seorang sesepuh sakti dunia persi-
latan yang jarang sekali menampakkan diri di dunia
ramai, kecuali bila ada keperluan. Satu di antara ke-
munculannya adalah sewaktu membantu Siluman Ular
Putih menghadapi jelangkung. (Baca kisah: "Iblis Pe-manggil Roh").
Melihat Penyair Sinting telah memunahkan aji
'Panglarut Banyu Putih'-nya, Eyang Pamekasan jadi
murka. Ia tadi memang ingin mencegah perbuatan Pe-
nyair Sinting. Namun entah kenapa, ia tak mampu me-
lakukannya. "Keparat! Kau lancang sekali, Penyair Sinting! Kau harus membayarnya mahal!"
Eyang Pamekasan membentak penuh kemarahan.
Kedua telapak tangannya yang telah berwarna putih
berkilauan segera didorongkan ke depan. Seketika me-
luruk dua asap putih tebal berkilauan ke arah Penyair
Sinting dan Siluman Ular Putih.
"Eh... tunggu! Aku belum sempat mengurus bocah
sinting ini. Kenapa kau malah mengurusku" Apa kau
kurang urusan, he"!" teriak Penyair Sinting mulai
kambuh penyakitnya.
Sembari berteriak begitu, Penyair Sinting berkelit
dengan melompat ke atas. Saat meluruk, segera dis-
ambarnya ekor Siluman Ular Putih dan ditariknya
kuat-kuat ke samping. Dengan demikian, serangan
Eyang Pamekasan hanya mengenai angin kosong.
"Ggggeeerrr...!"
Siluman Ular Putih menggereng penuh kemara-
han. Sepasang matanya yang mencorong terus mem-
perhatikan Eyang Pamekasan tajam-tajam.
"Har-her-har-her! Sudah sana! Minggir! Ini ba-
gianku!" usir Penyair Sinting.
Tangan kanan lelaki tua ini segera mendorong ke
depan. Seketika ada satu kekuatan yang tidak terlihat
telah mendorong tubuh Siluman Ular Putih hingga ter-
lempar jauh, langsung menimpa beberapa orang yang
tengah bertarung.
Penyair Sinting melonjak-lonjak gembira.
"Mampus kalian! Ada yang tergencet! Ada yang
ngacir ketakutan!"
"Tua bangka sinting! Berani kau bertingkah ma-
cam-macam di hadapanku, he!" bentak Eyang Pame-
kasan. Buru-buru Penyair Sinting berbalik.
"Eh, iya! Sampai aku lupa. Apa kabar, Pameka-
san?" sapa Penyair Sinting, kebodoh-bodohan.
"Jangan banyak bacot! Kita selesaikan urusan kita
disini!" "Eh eh eh...! Rupanya kau sudah tidak sabar, Pa-
mekasan. Baik! Apa kita mau adu gebuk-gebukan"
Atau mau adu mulut" Atau mau adu...."
"Setan alas!"
'Tidak mau! Aku tidak mau adu setan alas. Aku
tidak punya setan. Aku tidak punya alas. Sawah apa-
lagi!" Bukan main mengkelapnya hati Eyang Pamekasan
dipermainkan seperti itu. Tanpa banyak cakap segera
kedua telapak tangannya digosok-gosokkan. Seketika
tangan tokoh sesat dari Sendang Kenjeran telah beru-
bah jadi putih berkilauan.
Penyair Sinting bukannya tidak tahu betapa he-
batnya aji 'Panglarut Banyu Putih'- milik Eyang Pame-
kasan. Namun, sikapnya masih saja ayal-ayalan. Seenak-
nya sendiri. Meski begitu, diam-diam mulai disiapkan-
nya pukulan 'Tameng Selaksa Prahara' yang sengaja
diciptakan untuk menghadapi aji 'Panglarut Banyu Pu-
tih'. Kening Eyang Pamekasan sempat berkerut. Ia
memang belum tahu pukulan apa yang akan dikelua-
rkan musuh bebuyutannya nanti. Namun begitu ia ti-
dak mau ambil peduli. Dengan raut wajah menegang,
pertanda segenap kekuatan tenaga dalamnya telah di-
kerahkan, tahu-tahu Eyang Pamekasan telah melon-
tarkan aji 'Panglarut Banyu Putih'.
Wesss! Wesss! Seketika dua gulungan asap putih tebal yang
mengandung hawa dingin bukan kepalang telah bergu-
lung-gulung cepat ke arah Penyair Sinting.
Penyair Sinting sempat berceloteh menggoda sebe-
lum menghentakkan kedua telapak tangannya ke de-
pan. Lalu.... Blesss! Tak ada bunyi ledakan yang berarti. Namun, gu-
lungan-gulungan putih dari kedua telapak tangan
Eyang Pamekasan sempat terhadang di tengah jalan.
Kedua tokoh sakti itu terus menambah kekuatan tena-
ga dalam. Tak ada yang mau mengalah satu sama lain.
Paras-paras mereka kini pun memucat. Keringat dingin
membasahi sekujur tubuh.
"Mampus kau, Pamekasan! Hea...!"
Tiba-tiba Penyair Sinting melipatgandakan tenaga
dalamnya serentak, membuat tubuh Eyang Pamekasan
bergoyang-goyang. Sementara dua gulungan asap pu-
tih tebal pun makin mendekati tubuh Eyang Pameka-
san. Paras Eyang Pamekasan makin pias. Keringat
dingin membanjir di sekujur tubuh. Ia terus berusaha
bertahan mati-matian. Celaka besar bila gulungan-
gulung-an dari kedua telapak tangannya sampai
menghantam dirinya. Tentu saja lelaki ini tidak ingin
tubuhnya mati membeku karena ajian miliknya sendi-
ri. Selang beberapa saat, adu tenaga dalam tingkat
tinggi itu makin menegangkan. Terutama sekali bagi
Eyang Pamekasan. Karena, gulungan-gulungan asap
tebalnya terhalang oleh sesuatu tameng yang kuat luar
biasa. Eyang Pamekasan berusaha bertahan. Namun
percuma. Gulungan-gulungan asap putih tebal itu ma-
kin mendekati tubuh. Ia harus bertindak cerdik kalau
tidak ingin celaka!
"Hea...!"
Tiba-tiba Eyang Pamekasan melipatgandakan te-
naga dalamnya sampai puncaknya. Di saat gulungan-
gulungan asap tebalnya tertahan, saat itulah lelaki tua ini melompat tinggi ke
udara. Sehingga, gulungan-gulungan asap tebal itu terus menerabas ke belakang
dan.... Blaaar...!!! Terdengar satu ledakan hebat saat gulungan-
gulungan asap tebal itu menghantam bukit. Tak lama
terdengar suara menggemuruh dari lereng-lereng bukit
yang berguguran.
Penyair Sinting sempat terkejut, namun tetap ti-
dak kehilangan akal. Begitu melihat tubuh Eyang Pa-
mekasan masih melayang-layang di udara, tubuhnya
berkelebat cepat. Segera dilontarkannya tusukan 'Jari-
jari Suci'-nya.
Tukkk! Tukkk! "Aaakh...!"
Eyang Pamekasan meraung keras. Tubuhnya me-
lintir ke samping, lalu jatuh berdebam ke tanah. Ba-
gian tubuhnya yang terkena tusukan jari kontan ber-
lobang mengucurkan darah segar!
"Keparat! Kau.... Kau.,.."
Eyang Pamekasan gemetar di tempatnya. Paras-
nya pias. Tampak sekali kalau hatinya mulai ciut
menghadapi musuh bebuyutannya. Sialnya lagi, ter-
nyata cucunya pun mulai terdesak hebat oleh Siluman
Ular Putih! "Sembodo! Cepat tinggalkan tempat ini!" perintah Eyang Pamekasan tiba-tiba
begitu bangkit. Lalu tubuhnya segera berkelebat cepat meninggalkan tempat
pertempuran. "Eh..., Sontoloyo! Kau hendak ke mana" Urusan
kita belum selesai. Kenapa kau ngacir, he"! Aku belum
puas menggebukmu. Hayo, berhenti!" teriak Penyair
Sinting kalang kabut.
Tapi, mana Sudi Eyang Pamekasan yang sudah
terluka parah menuruti teriakan Penyair Sinting. Ma-
lah dengan ilmu meringankan tubuhnya yang cepat
luar biasa, Eyang Pamekasan malah menambah kece-
patan larinya. "Ah...! Kau tidak boleh meninggalkanku! Aku ha-
rus menggebuk pantatmu sampai merah!" sungut Pe-
nyair Sinting kesal.
Beberapa orang prajurit Kadipaten Pleret yang me-
lihat tingkah Penyair Sinting sempat tersenyum geli.
Lebih-lebih ketika Penyair Sinting terus berteriak-
teriak kalang kabut sambil terus mengejar Eyang Pa-
mekasan di kejauhan sana.
Jelas tak mungkin Penyair Sinting dapat mengejar
Eyang Pamekasan. Namun dasar orang tua sinting, te-
rus dikejarnya Eyang Pamekasan. Dan baru langkah-
nya berhenti kala tidak lagi menemukan bayangan
Eyang Pamekasan.
Penyair Sinting uring-uringan bukan main dan te-
rus berteriak-teriak kalang kabut.
*** Pangeran Pemimpin gusar bukan main. Bukannya
lelaki ini tidak mau menuruti perintah Eyang Pameka-
san untuk melarikan diri, namun karena keadaannya
memang tidak memungkinkan. Beberapa orang pende-
kar yang sudah menyelesaikan pertarungan telah


Siluman Ular Putih 14 Sengketa Tahta Leluhur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membentuk lingkaran, membuat semacam arena per-
tarungan antara Pangeran Pemimpin melawan Siluman
Ular Putih. Seketika paras Pangeran Pemimpin berubah pias.
Tak mungkin ia melarikan diri. Satu-satunya jalan ha-
nyalah mengadu nyawa dengan Siluman Ular Putih!
Berpikir demikian, Pangeran Pemimpin makin melipat-
gandakan tenaga dalamnya. Berkat ajian 'Setan Kober'
dua sosok bayi hitam di pergelangan tangannya tam-
pak demikian mengerikan. Tangan-tangannya menju-
lur-julur ke depan, siap mencengkeram tubuh Siluman
Ular Putih. Berdasarkan pengalamannya berulang-ulang, Si-
luman Ular Putih tentu saja tidak ingin tubuhnya ter-
cengkeram tangan-tangan hitam milik bayi aneh di
pergelangan tangan Pangeran Pemimpin. Ia harus ber-
tindak cerdik. Begitu tangan-tangan bayi hitam itu
menjulur ke depan, tiba-tiba Siluman Ular Putih me-
liuk cepat. Dan tahu-tahu tubuhnya meluncur ke arah
Pangeran Pemimpin.
Pangeran Pemimpin kaget bukan main. Tangan-
tangan hitam si bayi tak mungkin dapat bertindak se-
cepat itu untuk menghambat laju Siluman Ular Putih.
Dan kenyataannya memang demikian. Baru saja hen-
dak menggerak-gerakkan tangan-tangan bayinya,
mendadak Siluman Ular Putih telah melihat tubuhnya
kuat! Rrapp! Pangeran Pemimpin menggeliat-geliat kesakitan.
Tubuhnya terus meronta berusaha melepaskan libatan
Siluman Ular Putih. Namun percuma. Libatan Siluman
Ular Putih malah makin kuat, walau tangan-tangan hi-
tam bayi itu berusaha keras untuk menarik-narik.
"Ggggeeeerrrr...!!!"
Pucat pasi paras Pangeran Pemimpin kini. Pada
saat yang sama tiba-tiba moncong Siluman Ular Putih
telah berada persis di depan wajahnya. Taring-
taringnya yang runcing siap meremukkan batok kepa-
la. "Aaaahhh...!"
Pangeran Pemimpin mengeluh dalam hati. Ia be-
rusaha menghindar dari terkaman Siluman Ular Putih.
Namun.... Kresss! "Aaa...!"
Tanpa ampun bahu kanan Pangeran Pemimpin ja-
di santapan empuk ular putih raksasa itu. Seketika
Pangeran Pemimpin meraung setinggi langit. Hanya
yang terkena taring-taring terasa nyeri bukan main.
Darah segar pun menetes keluar.
Sementara Siluman Ular Putih sendiri tak mau
melepaskan mangsanya. Taring-taringnya yang runc-
ing terus saja ditancapkan di bahu Pangeran Pemim-
pin. Bahkan tubuh Pangeran Pemimpin diputar-putar
demikian rupa di udara.
"Tahan! Lepaskan Kangmas. Sembodo!"
Tiba-tiba terdengar teriakan seseorang memasuki
tempat pertarungan.
"Ggggeeerrrr...!!'
Siluman Ular Putih menggereng hebat, melihat sa-
tu sosok yang berlari ke tengah pertempuran. Ia adalah
seorang lelaki gagah berusia empat puluh tahun. Pa-
kaiannya menunjukkan kalau ia adalah Adipati Pleret.
"Soma! Lepaskan Kangmas Sembodo!" teriak lelaki yang tak lain Adipati Reksopati
penuh harap. Siluman Ular Putih ragu-ragu. Sejenak diperhati-
kannya ke sekeliling tempat pertempuran yang ternya-
ta telah dipenuhi para pendekar yang tadi ikut bertem-
pur di lingkungan kadipaten. Dan setelah dapat me-
lumpuhkan tokoh-tokoh sesat sekutu Pangeran Pe-
mimpin, mereka pun segera menuju tempat pertempu-
ran di luar Kadipaten Pleret atas perintah Adipati Ple-
ret sendiri. "Soma! Lepaskan Kangmas Sembodo!" pinta Adi-
pati Pleret lagi.
Andai saja sosok ular putih raksasa itu dapat bi-
cara, sudah pasti akan bertanya, mengapa" Namun,
rupanya Siluman Ular Putih hanya menggereng. Lalu
segera dilemparkannya tubuh Pangeran Pemimpin ke
sembarang tempat.
Bukkk! Habis melempar, mendadak sekujur tubuh ular
putih raksasa ini telah dipenuhi asap putih tipis. Se-
hingga sosok besar panjangnya tidak kelihatan sama
sekali. Dan saat asap putih tipis yang menyelimuti tu-
buhnya hilang tertiup angin, maka seketika yang tam-
pak bukan lagi sosok Siluman Ular Putih. Melainkan,
sosok pemuda bertubuh tinggi besar berpakaian rompi
dan celana bersisik warna putih keperakan. Itulah so-
sok murid Eyang Begawan Kamasetyo yang bergelar Si-
luman Ular Putih!
Melihat kejadian langka di hadapannya, beberapa
orang prajurit Kadipaten Pleret dan juga beberapa
orang pendekar muda yang belum pernah melihat ke-
hebatan Siluman Ular Putih hanya melongo sambil
menggeleng-geleng penuh kagum.
"Terimakasih, Soma. Kau baik sekali!" ucap Adipati Pleret.
Lelaki setengah baya ini bukannya tidak menga-
gumi kehebatan murid Eyang Begawan Kamasetyo,
melainkan karena merasa memelas dengan keadaan
Pangeran Pemimpin.
"Kangmas Sembodo! Kenapa Kangmas menempuh
jalan seperti ini" Kalau saja Kangmas meminta takhta
Kadipaten Pleret dengan cara baik-baik, sudah pasti
aku menyerahkannya. Tapi, kenapa Kangmas melaku-
kan ini?" tanya Adipati Reksopati.
Pangeran Pemimpin yang mendapat luka parah di
sekujur tubuhnya hanya mendengus penuh kebencian.
Sepasang matanya berkilat-kilat mengerikan.
"Kenapa, Kangmas?"
Pangeran Pemimpin tak menyahut. Amarahnya
membuatnya sulit mengendalikan diri. Di samping ia
juga menderita luka dalam yang cukup parah.
"Tai kucing! Kau hanya berkhotbah. Padahal se-
mua tahu, kau berjiwa busuk! Apa kau pikir aku bo-
doh dengan sikap lembutmu ini. Tidak! Aku tidak bo-
doh! Aku tahu, apa yang kau maksud. Bukankah kau
ingin merebut hati para prajuritmu, bukan" Juga me-
rebut hati para pendekar gagah yang membantu praju-
ritmu?" tukas Pangeran Pemimpin penuh kemarahan.
Tubuh lelaki ini limbung ke sana kemari. Namun
Pangeran Pemimpin tetap memaksakan diri untuk ber-
tahan. "Jawab, Reksopati! Kenapa hanya membisu"!"
bentak Pangeran Pemimpin garang.
"Kau salah, Kangmas. Demi Tuhan aku tidak ber-
maksud demikian," sanggah Adipati Reksopati.
"Keparat! Kau memang berhati ular, Reksopati!
Kau patut mampus di tanganku!" teriak Pangeran Pe-
mimpin kalap. Sambil berteriak, Pangeran Pemimpin berlari ke
arah Adipati Pleret dengan keris terhunus di tangan
kanan. Semua yang berada di tempat pertempuran terpe-
kik kaget. Jarak antara Pangeran Pemimpin dan Adipa-
ti Pleret demikian dekat. Sulit sekali rasanya bagi Adipati Pleret untuk
menghindar. Namun....
Crakkk! Ada sesuatu yang jatuh dan menggelinding. Darah
segar yang menyembur keluar. Tapi bukan dari leher
Adipati Reksopati, melainkan dari leher Pangeran Pe-
mimpin. Kepala tokoh sesat ini telah menggelinding en-
tah kemana! Adipati Reksopati gemetar dibuatnya. Sepasang
matanya membelalak liar ke arah tubuh Pangeran Pe-
mimpin. Lalu sepasang matanya bergerak-gerak liar ke
arah Putri Sekartaji yang telah berdiri di samping
mayat Pangeran Pemimpin. Dialah yang berkelebat ce-
pat, langsung tadi menebas kepala Pangeran Pemim-
pin. "Maafkan aku, Kangmas Adipati! Kukira Kangmas
Sembodo memang patut mendapat hukuman mati,"
ucap Putri Sekartaji lembut. Pedang di tangan kanan-
nya tampak masih berlumuran darah Pangeran Pe-
mimpin. Adipati Reksopati hanya menggeleng-geleng. Tak
sepatah kata pun terucap dari bibirnya yang bergetar-
getar. Semua yang berada di tempat pertempuran itu
pun seperti dicekam sepi. Hanya angin saja yang terus
berhembus, seolah ingin mengabarkan pada alam ka-
lau telah terjadi banjir darah di tempat ini!
SELESAI Segera terbit!!!
Serial Siluman Ular Putih dalam episode:
PENGASUH SETAN Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Geger Pantai Rangsang 2 Pendekar Naga Putih 53 Pasukan Pembunuh Lembah Nirmala 8
^