Setan Haus Darah 1
Siluman Ular Putih 21 Setan Haus Darah Bagian 1
Hak cipta dan copy right pada
penerbit dibawah lindungan
undang-undang https://www.facebook.
com/DuniaAbuKeisel
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
1 Laut Selatan mulai dibaluri sinar kuning
keemasan dari ufuk timur sana. Pantulan cahaya
matahari menciptakan pernik-pernik di permukaan
air laut bak ribuan permata menghampar. Angkasa
raya masih berselimut awan putih yang berarak,
hingga membuat udara dingin pagi itu masih terasa.
Sebuah perahu Layar kecil bergerak perlahan
menuju pantai, membelah ombak-ombak yang kali
ini terlihat tenang. Di atasnya, berdiri satu sosok tubuh ramping terbungkus
pakaian ketat warna biru.
Rambutnya yang panjang digelung ke atas, dihiasi manik-manik permata warna biru
pula. Makin mendekati bibir pantai, makin jelas ka-
lau sosok ramping di atas perahu layar itu ternyata wanita cantik dengan tubuh
sintal. Sepasang mata cerah dengan hidung mancung. Bibirnya kemerahan, tampak
merekah bagai delima masak.
Begitu tiba di bibir pantai, si wanita bertubuh
sintal ini menyembunyikan perahunya di balik rindangnya pohon bakau. Kemudian
dengan satu lom-
patan yang ringan sekali, tahu-tahu tubuhnya telah mendarat di tanah berpasir.
Namun baru saja kakinya hendak melangkah, mendadak pendengaran-
nya yang tajam menangkap suara isak tangis bayi
yang datangnya dari semak belukar pantai.
Untuk beberapa saat wanita ini terus men-
dengarkan tangis bayi yang dilingkahi suara erangan dengan seksama. Karena
terdengar begitu memilu-kan hati, membuat ia mulai beringsut mendekati
arah datangnya suara. Pada jarak tertentu, tubuh-
nya melompat ringan ke arah semak. Dari gerakan-
nya bisa dipastikan kalau wanita ini memiliki kepandaian.
Begitu mendarat di balik semak belukar, pa-
ras wanita cantik ini mendadak pias. Dilihatnya seorang wanita muda tengah
terengah-engah menahan
sakit sambil memeluk bayi perempuannya yang te-
rus-terusan menangis.
Keadaan wanita itu amat mengenaskan. Pa-
kaiannya compang-camping tidak karuan. Darah se-
gar bersimbah di tanah sekitarnya dan di sekujur tubuhnya. Wajahnya yang cantik
tampak pucat pasi.
Rambutnya awut-awutan. Bisa jadi wanita itu habis diperkosa segerombolan
perampok yang akhir-akhir ini mengganas di sekitar pantai selatan.
Sedang bayi dalam pelukan wanita itu kira-
kira berusia empat bulan. Wajahnya mungil dan
menawan. Kulitnya putih bersih seperti kulit ibunya.
Dan si bayi terus berusaha meronta dari pelukan
ibunya. Tangisnya yang menyedihkan amat menyen-
tuh perasaan wanita berpakaian ketat warna biru
yang baru datang itu.
"Siapa yang memperlakukan semua ini,
Adik?" tanya si wanita baju biru sambil mencoba meraih bayi agar lebih leluasa
menolong ibunya.
Namun wanita malang itu malah mempererat pelu-
kannya dan memandang curiga. "Jangan cemas, Adik! Aku Ratu Alit ingin
menolongmu. Siapa namamu" Dan siapa yang membuatmu menderita se-
perti ini?"
Wanita malang itu mengeluh tertahan. Dari
bibirnya yang bergetar tampak mengalir darah segar.
Wanita berbaju biru yang menyebut dirinya Ratu Alit
tak membiarkan si wanita malang tersiksa lebih la-ma. Buru-buru ditotoknya
beberapa jalan darah di tubuh wanita malang itu.
"Percuma saja kau menolongku. Aku....
Aku...." Sebelum kalimatnya habis, kepala wanita itu
mendadak terkulai ke samping. Tak sadarkan diri.
Untung saja si bayi tetap berada dalam pelukannya.
Ratu Alit kembali menotok. Sekali lihat saja,
ia tahu kalau wanita itu memang menderita luka
cukup parah yang sulit sekali disembuhkan. Namun wanita berbaju biru itu tak
putus asa. Setelah me-nyingkirkan bayi dalam pelukan itu ke samping,
kembali ditotoknya tubuh wanita malang itu. Dan
perlahan-lahan, wanita itu membuka kelopak ma-
tanya kembali. "Di.... Di mana Yustika anakku?" tanya wanita malang itu menggapai-gapaikan
tangannya kesa-
na kemari. "Jangan cemas, Dik! Anakmu tidak ke mana-
mana. Ia masih di sampingmu. Sekarang katakan,
siapa namamu. Dan siapa yang membuatmu begi-
ni"!" Lega sudah hati si wanita malang melihat bayinya masih tergeletak tak jauh
darinya dalam keadaan tenang-tenang, tak menangis lagi. Kini
pandang matanya tampak demikian memelas seperti
tengah mengharap bantuan sang penolongnya.
"Kau tak mau mengatakannya?" desak Ratu Alit. "Namaku Kartika. Dan bajingan itu
tidak lain adalah suamiku sendiri. Di... dialah yang membua-tku seperti ini....
Ugh ugh...!" desah wanita malang
yang mengaku bernama Kartika itu, terbatuk batuk.
Darah segar pun kembali keluar dari mulutnya.
Ratu Alit cepat merengkuh bahu si wanita, la-
lu disenderkan pada dadanya. Segera ditotoknya da-da Kartika hingga napasnya tak
lagi terengah-engah.
"Suamimu" Kenapa bisa begini?" Ratu Alit membelalak tak percaya.
"Dia.... Dia menuduhku menyeleweng. Maka
ia... ia dan anak buahnya menghukumku seperti
ini." "Hhh...!"
Ratu Alit menghela napas sesak. Hatinya gu-
sar sekali membayangkan kelakuan suami Kartika.
Jelas sekali kalau nuraninya tak dapat menerima.
"Terlepas dari kau melakukan tindak penye-
lewengan ataupun tidak, suami tak berhak menyik-
samu seperti ini. Katakan, siapa suamimu"!" desak Ratu Alit.
"Gen.... Gendon Prakoso...," jawab wanita malang itu dengan hembuskan napas
berat. Nampak- nya keadaannya sudah amat payah dengan luka di
dadanya akibat tusukan-tusukan benda tajam.
"Gendon Prakoso...?" desis Ratu Alit dengan kening berkernyit. "Sayang sekali
aku tak mengenal nama itu. Tapi, aku pasti akan menyelidikinya."
"To.... Tolong anakku...! Aku.... Aku tak sanggup lagi.... Ra... rawatlah a...
anakku...."
Disertai hembusan napas terakhir kepala Kar-
tika terkulai dalam pangkuan Ratu Alit.
Bersamaan dengan itu, bayi mungil di samp-
ing Ratu Alit kontan menangis keras. Seolah-olah si bayi turut merasakan
kesedihan atas meninggalnya sang ibu. Perlahan-lahan Ratu Alit merebahkan tu-
buh Kartika di atas rerumputan. Sejenak perhatiannya tertuju pada sebuah kalung
emas yang berban-
dulkan permata hijau di leher Kartika. Segera diam-bilnya kalung itu dan
disimpan ke dalam sakunya.
* * * Matahari saat itu sudah melambung tinggi di
langit. Tangis bayi mungil di samping Ratu Alit pun mulai mereda beberapa saat
setelah jenazah sang
ibu selesai dikuburkan. Untuk sesaat Ratu Alit masih belum tahu apa yang harus
dilakukan. Bayi
mungil dalam pondongannya terus diperhatikannya
dengan pandang memelas.
"Kukira aku harus menyelidiki suami Kartika terlebih dulu. Kalau tak kutemukan,
baru kupu-tuskan untuk merawatnya. Kasihan sekali bayi ini.
Masih kecil sudah kehilangan ibunya...," gumam Ra-tu Alit dalam hati.
Lalu dengan satu kali hentakan kaki, Ratu
Alit segera berkelebat cepat meninggalkan tempat itu sambil terus memondong si
bayi malang. Ratu Alit berniat mencari Gendon Prakoso.
* * * Matahari merah jingga perlahan merangkak
naik di garis laut sana, mengusir embun sisa-sisa tadi malam. Sinar matahari
menghangati alam
mayapada ini, memberi udara baru bagi setiap mah-kluk. Ombak pantai Nusa
Kambangan berkejaran
bak tangan-tangan maut yang menjulur-julur me-
nampar batu karang, menimbulkan suara bergemu-
ruh. "Heaaa.... Heaaa...!"
Seiring suara angin kencang yang mendesau,
terdengar pula suara garang dari seorang gadis cantik yang tengah berlatih silat
di tepi pantai. Gerakannya lincah sekali. Kedua tangannya sesekali menyentak ke
depan melontarkan jotosan. Seolah, di hadapannya ada seorang musuh yang tengah
kewalahan menghadapi jurusnya. Sementara kedua ka-
kinya sesekali berlompatan ringan dari batu karang yang satu ke batu karang
lainnya. Seolah, tubuhnya tak berbobot. Padahal jarak antara batu-batu karang
itu cukup jauh, hampir mencapai enam sampai tujuh tombak. Sekali saja gadis itu
membuat kesalahan, bukan mustahil tubuhnya akan terbanting ke-
ras di batu-batu karang di pinggiran pantai yang di-kerubungi amukan ombak.
"Hiaaa...! Hap!"
Si cantik bertubuh mungil itu terus berkele-
bat lincah di antara batu-batu karang di tepi pantai.
Pakaian merah dan rambutnya yang dikuncir ke be-
lakang berkibar-kibar dipermainkan angin. Untuk
sesaat, gadis cantik itu menghentikan gerakan di atas batu karang. Tubuhnya yang
ramping tampak indah di balik pakaiannya yang serba merah. Wa-
jahnya bulat telur dengan sepasang mata berbinarbinar indah, dihiasi bulu-bulu
mata lentik. Dagunya runcing. Pas sekali dengan hidung yang mancung.
Di depan, seorang wanita cantik tengah du-
duk bersila di bongkahan batu karang. Wajahnya
yang cantik berbentuk lonjong. Sepasang matanya
berbinar-binar indah. Hidungnya mancung. Kedua
bibirnya tipis berwarna kemerahan. Belum lagi tubuhnya yang padat terbungkus
pakaian ketat warna biru menampakkan lekuk-lekuk menggairahkan.
Sedang rambutnya yang hitam panjang digelung ke
atas dihiasi dengan manik-manik permata berwarna biru. Siapakah sebenarnya
perempuan cantik berpakaian biru-biru ini"
Di dunia persilatan hanya ada seorang tokoh
sakti yang tinggal di Pulau Nusa Kambangan. Melihat ciri-cirinya, siapa lagi
tokoh itu kalau bukan Ra-tu Alit! Tujuh belas tahun yang lalu, Ratu Alit telah
berusaha menyelamatkan seorang wanita yang terluka parah di pantai Nusa
Kambangan. Sayang wa-
nita bernama Kartika yang juga membawa seorang
bayi itu tak lama kemudian tewas.
Si bayi kemudian tumbuh dewasa, menjadi
seorang gadis cantik yang kini sedang berlatih ilmu silat. Sampai saat ini,
gadis itu memang belum diberi tahu tentang asal-usul dirinya. Kendati pernah di-
tanyakan, tetapi Ratu Alit selalu mengelak, karena menganggap belum waktunya
untuk diceritakan. Ia
takut si gadis belum siap untuk mengetahui kea-
daan yang sebenarnya.
Ratu Alit sendiri waktu itu pernah mencari
ayah si bayi, yang telah menganiaya Kartika hingga menemui ajal. Sayang,
pencarian itu sia-sia. Sehingga akhirnya diputuskannya untuk merawat si bayi
saja, yang diketahui bernama Yustika.
Dalam menanyakan asal-usulnya, pertanyaan
Yustika sendiri sempat memojokkan Ratu Alit. Yaitu, saat kalau dirinya bukan ibu
si gadis. Akhirnya, Ra-
tu Alit menjelaskan kalau dirinya adalah salah seorang kerabat Kerajaan Mataram.
Ratu Alit kabur dari keputren karena tak se-
tuju dengan calon suami yang telah ditetapkan kedua orang-tuanya. Namun
orangtuanya pun ru-
panya tak tinggal diam. Dengan mengerahkan ba-
nyak pasukan, mereka terus mencari putrinya. Ma-
ka untuk menghindari kejaran pasukan-pasukan
Kerajaan Mataram, akhirnya Ratu Alit menyingkir
jauh ke selatan. Dan di Pulau Nusa Kambangan itulah Ratu Alit menyembunyikan
diri. Bertahun-tahun Ratu Alit hidup seorang diri
di pulau kecil sebelah selatan Pulau Jawa tanpa sanak saudara. Bertahun-tahun
pula wanita itu memi-sahkan diri dari kehidupan ramai. Hingga pada sua-tu saat,
ia menemukan sebuah kitab kuno yang tersimpan di dalam goa persembunyiannya.
Berkat ke- cerdasan dan ketelatenannya, akhirnya ilmu yang
terkandung dalam kitab kuno itu mampu dipelaja-
rinya. * * * "Yustika! Kenapa berhenti" Teruskan lati-
hanmu! Coba mainkan jurus 'Pedang Menembus Bu-
lan'!" kata Ratu Alit sambil tetap memejamkan mata.
Sejenak Yustika ragu-ragu, namun tak berani
melanggar perintah gurunya.
"Baik," sahutnya seraya mencabut keluar pedang yang menggelantung di pinggang
kiri. Yustika memusatkan pikirannya sebentar, la-
lu mulai memainkan jurus yang disebut gurunya.
Dengan sebilah pedang di tangan kanan, tubuhnya
berkelebat cepat ke sana kemari. Pedangnya dipu-
tar-putar cepat hingga yang terlihat hanya kilatan-kilatan saja.
Sambil terus memutar-mutar pedang, tubuh
Yustika sesekali meloncat dari bongkahan batu karang yang satu ke bongkahan batu
karang lainnya.
Saat melayang di udara, gerakannya indah sekali
laksana burung walet yang tengah menyambar
mangsa dengan pedang menghujam ke bawah. Seo-
lah-olah, di atas batu karang itu berdiri musuh yang menanti serangannya.
"Hea! Hea!"
Begitu kedua kakinya menjejak di bongkahan
batu karang tanpa menimbulkan suara sedikit pun, Yustika kembali memainkan
pedang di tangan kanannya. Terkadang gerakan pedangnya melambat,
namun tiba-tiba bisa berubah cepat luar biasa!
Werrr! Werrr! Lima belas jurus terlewati sudah. Yustika
sendiri tahu-tahu telah berdiri dengan pedang me-nyilang di depan dada. Napasnya
sedikit memburu.
Itu dapat dilihat dari sepasang buah dadanya yang bergerak naik turun. Dari
parasnya yang jelita tampak butiran keringat membasahi kening.
Ratu Arit membuka matanya perlahan. Lalu
Siluman Ular Putih 21 Setan Haus Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kepalanya mengangguk-angguk penuh kagum.
"Hebat, Muridku. Sejak kecil aku memang
sudah menduga kalau kau sangat berbakat. Jurus
'Pedang Menembus Bulan' yang baru saja kau main-
kan memang hebat," puji sang Guru.
"Terima kasih atas pujian. Guru," ucap Yustika seraya menjura penuh hormat.
"Aku senang sekali memiliki murid macam
kau, Yustika. Di samping sangat berbakat, kau pun memiliki sikap halus."
"Ini semua tak lepas dari didikan mu. Tapi...."
Yustika tak meneruskan ucapannya. Hatinya
ragu-ragu untuk meneruskan apa yang mengusik
hatinya selama ini.
"Ada apa, Yustika" Kenapa tak kau te-
ruskan?" kata Ratu Alit seraya memandang muridnya tajam.
"Bolehkah aku mengatakan sesuatu padamu,
Guru?" "Mendekatlah kalau kau ingin bicara, Yustika!" "Baik."
Yustika cepat menutulkan kakinya ke bong-
kahan batu karang. Dan kini tubuhnya telah berada di udara. Dengan satu putaran
indah, akhirnya kedua kakinya mendarat mulus di bongkahan batu ka-
rang tak jauh dari gurunya bersila.
"Duduklah, Yustika. Sedari tadi kuperhatikan kau tampak gelisah sekali. Apa yang
ingin kau katakan?" Perlahan-lahan Yustika meletakkan pantat-nya di hadapan
gurunya. Duduk bersila sambil me-
nenangkan perasaannya yang rusuh.
"Aku memang sedang gelisah. Kalau tak kebe-
ratan, izinkan aku untuk berpetualang. Guru."
"Hm...! Jadi, kau sudah tak betah tinggal ber-samaku di sini, Yustika?" tanya
Ratu Alit, memanc-ing. "Maafkan aku, Guru! Sebenarnya bukan itu maksudku."
"Lalu?"
"Se... semalam aku bermimpi bertemu kedua orang-tuaku. Kalau saja mimpiku benar,
aku ingin sekali bertemu mereka. Maka itulah aku gelisah sekali memikirkannya,
Guru." "Hm...! Kau mimpi bertemu kedua orangtua
mu, Yustika" Coba ceritakan dengan jelas!"
Yustika menghela napasnya sebentar. "Aku
bermimpi buruk, Guru. Kulihat, ibuku terjerumus
ke dalam lobang yang sangat dalam. Tapi, ayahku
malah tertawa-tawa. Te... terus-terang aku jadi ingin sekali bertemu kedua
orangtua ku. Apakah Guru
dapat membantuku menemukan mereka?"
Kini gantian Ratu Alit yang harus menghela
napas panjang. Lalu kepalanya menggeleng-geleng.
"Ada apa. Guru" Kenapa kau tampak geli-
sah?" "Aku khawatir kalau kau akan kecewa, Muridku. Mungkin mimpimu itu benar.
Tapi, terkadang
mimpi itu juga merupakan kebalikannya."
"Maksudmu?"
"Dalam mimpimu, kau seolah-olah melihat
kalau ayahmu bersenang-senang dalam penderitaan
orang lain. Tapi, mimpi tak selamanya benar. Karena bisa jadi ayahmu tak seperti
dalam bayanganmu
saat ini. Kau paham, Yustika?" urai Ratu Alit, tanpa bermaksud menyinggung
perasaan muridnya.
Yustika mengangguk.
"Aku mengerti maksud Guru. Tapi meski de-
mikian, bukan berarti aku harus membiarkan hati-
ku penasaran untuk mengetahui siapa kedua orang-
tua ku," kata Yustika mengeraskan niatnya.
Ratu Alit diam untuk beberapa saat. Bukan-
nya keberatan melepas muridnya berpetualang men-
cari keadaan orangtuanya, melainkan khawatir apa
yang diceritakannya nanti akan membuat Yustika
terpukul. Dan bila muridnya berkeras untuk berpetualang, ia juga khawatir akan
menemukan kesuli-
tan di dunia ramai. Sebab bukan mustahil dunia
persilatan yang penuh kelicikan itu justru akan
membuat muridnya celaka.
"Apakah Guru keberatan melepasku pergi?"
Ratu Alit mengangguk pelan.
Yustika mengeluh tertahan.
"Kenapa, Guru" Kenapa Guru tak mengizin-
kan aku mencari kedua orangtua ku?" tanya Yustika penasaran.
"Sebenarnya bukannya aku keberatan kau
mencari mereka, melainkan aku khawatir kalau kau akan celaka. Kau belum tahu,
macam apa dunia
persilatan itu. Apalagi buat gadis cantik semacam-mu." "Tapi, Guru...," Yustika
tetap bersikeras.
"Ya ya ya...! Aku tahu apa maksudmu, Yusti-
ka. Aku tak mungkin membiarkan kau penasaran
seperti ini."
"Jadi" Guru mengizinkanku untuk berpetua-
lang?" sambut Yustika dengan raut wajah gembira.
Ratu Alit mengangguk.
"Terima kasih. Guru. Terima kasih...." Yustika cepat menghaturkan sembah kepada
Ratu Alit. "Tunggu dulu, Yustika! Aku belum selesai bicara," tukas Ratu Alit. Tangan
kanannya segera merogoh sesuatu di balik pakaian biru-birunya. "Kau perlu
memakai kalung ini."
Ratu Alit segera menunjukkan sebuah kalung
berbandulkan permata hijau ke hadapan Yustika.
"Wow, bagusnya...! Kalung siapakah itu?"
"Dengarlah, Muridku. Agar kau tak penasa-
ran, sebaiknya dengarkan dulu ceritaku tujuh belas tahun lalu!"
"Baik."
Ratu Alit menghela napas sebentar. Sepasang
matanya yang berbinar indah meredup seolah-olah
tengah membayangkan kejadian tujuh belas tahun
lalu. Selang beberapa saat, Ratu Alit pun mulai bercerita....
2 Yustika masih terpekur di tempatnya ketika
Ratu Alit baru saja menyelesaikan ceritanya. Wajahnya berubah mendung kala
mendengar cerita gu-
runya barusan. Untuk sesaat, gadis ini tak dapat berkata-kata. Kedua bibirnya
bergetar-getar menahan tangis. Sungguh tak disangka kalau ibunya telah
meninggal. Dan yang menyebabkannya adalah...
ayahnya sendiri!
"Kau sekarang paham siapa pemilik kalung
ini sebenarnya?" tanya Ratu Alit seraya menimang kalung di tangan.
Yustika mengangguk perlahan.
"Nah...! Sekarang pakailah kalung ini" Karena memang kalung ini milikmu, warisan
mendiang ibumu.'" Ratu Alit mengangsurkan kalung itu ke hadapan Yustika.
Yustika ragu sejenak. Sepasang matanya yang
indah berkaca-kaca.
"Pakailah! Kenapa kau ragu-ragu?"
"Aku.... Aku tidak ragu-ragu, Guru. Aku...
aku hanya tidak tahu harus bagaimana untuk
membalas kebaikan Guru yang sudi merawat dan
mendidikku hingga aku dewasa seperti ini."
"Sudahlah, Yustika. Bagiku, kau sudah kua-
nggap seperti anak kandungku. Tak perlu kau men-
gungkit-ungkit peristiwa itu. Sekarang, ambil dan pakailah kalung ini!"
Yustika mengulurkan tangannya ke depan.
Tampak jari-jarinya gemetar kala menerima kalung milik mendiang ibunya. Namun
Yustika tidak segera mengenakannya. Melainkan, dipandanginya kalung
milik mendiang ibunya itu untuk beberapa saat. Sepasang mata Yustika pun makin
basah oleh air ma-
ta. "Aku sangat maklum kalau kau terpukul atas
peristiwa tujuh belas tahun lalu, Muridku. Tapi aku yakin, kau tentu dapat
melupakan kejadian pahit
itu," kata Ratu Alit perlahan.
Yustika mengangguk.
"Tapi bukan berarti aku harus melupakan
siapa yang telah mencelakakan mendiang Ibu, Guru.
Aku harus menuntut pertanggung jawaban atas te-
wasnya mendiang ibuku!" desis Yustika.
"Berarti kau akan membunuh ayah kan-
dungmu sendiri?" tukas Ratu Alit, tajam.
Yustika mengeluh. Hatinya rusuh bukan
main. Mungkinkah ia membunuh ayah kandungnya
yang telah menewaskan ibunya serta menelantarkan dirinya"
"Aku.... Aku tidak tahu. Guru. Sulit bagiku untuk memahami arti kehidupan yang
demikian rumit melingkar dalam diriku."
"Kalau memang ayah kandungmu yang telah
menewaskan ibumu, aku maklum kalau kau bin-
gung sekali. Sebagai seorang anak, tentu kau tak ingin berbuat durhaka. Apalagi,
sampai ingin membunuh orangtua sendiri. Rasanya kau memang dalam
keadaan sulit, Muridku."
"Bagaimanapun juga aku tetap akan mencari
orang yang bernama Gendon Prakoso. Terlepas ayah kandungku atau bukan, pokoknya
kalau ia masih malang melintang di dunia kejahatan, aku pasti
akan memberantasnya. Kukira aku hanya ingin
menggunakan dalih ini, Guru."
"Bagus, bagus. Itu artinya, kau harus me-
nyingkirkan dendammu lebih dulu....'"
Ratu Alit mengangguk-angguk kecil.
"Sekarang izinkan aku untuk berpetualang.
Guru!" tandas Yustika mendahului gurunya yang hendak angkat bicara.
"Hhh...!" Ratu Alit menghela napas panjang.
"Sebenarnya aku berat sekali melepasmu, Muridku.
Tapi aku pun maklum apa yang tengah bergolak da-
lam hatimu. Kalau aku menahanmu, berarti aku ku-
rang bijaksana. Hanya mementingkan diriku sendiri.
Tapi kalau membiarkan kau pergi aku pun... ah!
Baiknya kau pelajari dulu pukulan 'Cakar Naga Samudera'! Kukira baru aku lega
melepas kepergian-
mu, Yustika. Dan bila jurus ini kau kuasai, kau ku-beri gelar Ratu Adil!"
"Terima kasih. Guru. Kelak gelar itu akan ku-sandang sampai akhir hayatku!"
"Nah, sekarang bersiap-siaplah mempelajari
pukulan 'Cakar Naga Samudera', Muridku" Pu-
satkanlah jalan pikiranmu pada satu titik sasaran.
Serta, kendurkanlah semua urat saraf dalam tu-
buhmu?" "Baik, Guru."
3 Puncak Gunung Bucu berselimut awan putih.
Matahari yang bersinar keemasan berusaha menyi-
bak kabut yang bagaikan tirai putih di lereng sebelah timur. Sementara hawa
dingin yang mengung-
kungi bumi mulai sirna oleh hangatnya sang menta-ri. Embun-embun pagi di
ranting-ranting dahan
maupun di bongkahan-bongkahan batu di puncak
gunung tampak berkilauan bagai permata mutu
manikam tertimpa sinar matahari.
Di atas sebuah bongkahan batu besar, seo-
rang gadis cantik asyik memandang hamparan le-
reng-lereng terjal nun jauh di sana. Rambutnya yang hitam lebat sebatas punggung
bergerak-gerak tertiup angin pagi. Kulitnya putih bersih. Matanya bulat dan
tajam ditingkahi bulu mata panjang serta lentik. Hidungnya mancung. Pas sekali
dengan bibir merah yang tipis dan indah. Dadanya kencang
membusung, membayang jelas dari pakaian ketat-
nya yang berwarna hijau. Dari ujung-ujung rambutnya yang melingkar sebagian
dihiasi untaian bunga melati putih.
Sudah beberapa saat berlalu gadis jelita ini
hanya membisu seorang diri. Sepasang matanya
yang indah terus melekat pada pemandangan indah
nun jauh di sana. Menilik cara memandangnya, se-
benarnya gadis itu tidak sedang menikmati peman-
dangan indah pagi itu. Bahkan sebaliknya! Dari gu-
ratan-guratan keningnya yang sesekali mengernyit, juga tarikan-tarikan napasnya,
jelas kalau gadis itu tengah gelisah.
"Sekarang apa lagi yang harus kulakukan"
Musuh besarku Penghuni Kubur telah tewas di tan-
gan Raja Penyihir," gumamnya perlahan, nyaris tak kentara.
Si gadis membuang pandangannya ke arah
lain. Napasnya terasa sesak bila mengingat sepak terjang musuh besarnya.
"Hm...! Bajingan-bajingan itu telah tewas di tangan Raja Penyihir maupun Siluman
Ular Putih. Sekarang sebagai seorang anak, kukira aku harus
segera menemukan kubur kedua orangtua ku. Sesu-
lit apa pun, aku harus menemukannya!"
Gadis berwajah jelita ini mendesah panjang.
Bilur-bilur kesedihan dalam hatinya sedikit berkurang bila mengingat musuh-musuh
besarnya telah tewas. Meski tewas bukan di tangannya sendiri, namun gadis cantik yang tak lain
Arum Sari ini patut merasa lega. (Untuk mengetahui sepak terjang musuh besar
Arum Sari, silakan baca episode : "Titisan Alam Kegelapan" dan "Murka Penghuni
Kubur"). "Sekarang sudah saatnya aku meninggalkan
puncak Gunung Bucu ini. Sudah tiga hari tiga ma-
lam aku menginap di sini. Rasanya, tak enak kalau harus berlama-lama. Kukira,
aku harus secepatnya menyelidiki di mana kubur kedua orangtua ku...,"
lanjut Arum Sari perlahan.
Namun saat si gadis hendak menggerakkan
tubuh, tiba-tiba terdengar suara batuk-batuk kecil tak jauh di belakangnya.
Buru-buru Arum Sari berpaling ke arah da-
tangnya suara. Di belakangnya ternyata telah berdiri seorang pemuda tampan
dengan senyum manis terkembang di bibir.
Tampang pemuda di hadapan Arum Sari me-
mang cukup meyakinkan. Wajahnya berbentuk lon-
jong dengan rahang-rahang mengeras. Rambutnya
yang gondrong dibiarkan tergerai dipermainkan angin. Pakaiannya rompi dan celana
bersisik warna putih keperakan. Dua gelang akar bahar tampak
melingkar di pergelangan tangan. Sementara sebuah rajahan kecil bergambar ular
putih tergambar di da-da. Siapa lagi pemuda satu ini kalau bukan murid Eyang
Begawan Kamasetyo yang bergelar Siluman
Ular Putih! "Soma! Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Arum Sari untuk sekadar
menghilangkan keterkeju-tannya.
"Kok, malah tanya" Justru aku yang ingin
bertanya, kenapa kau tampak murung di tempat
ini?" tukas Siluman Ular Putih sambil memamerkan giginya yang putih bersih.
Seolah-olah dengan se-nyumnya, ia ingin sekali menarik perhatian Arum
Sari. "Nah...! Sekarang malah kau sendiri yang me-lamun. Apa kau sedang
memikirkan gadismu?" tebak Arum Sari, asal saja. Diam-diam diperhatikannya sikap
pemuda di hadapannya seksama.
"Ah... kau ini! Mana ada gadis yang mau denganku. Lagi pula mengapa memikirkan
Siluman Ular Putih 21 Setan Haus Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gadis lain kalau di hadapanku ada seorang gadis jelita" He he he...," celoteh Soma, asal
saja. Semburat rona merah kontan mewarnai pipi
Arum Sari. Hatinya pun mendadak jadi rusuh bukan main. Senang sekali hatinya
mendengar ucapan So-ma barusan.
"Lho" Kok, jadi senyum-senyum" Ada apa,
nih" Jangan-jangan malah kau sendiri yang lagi
memikirkan kekasihmu" Iya, kan?" lanjut Soma, meledek.
"Kali ini aku tidak sedang memikirkan siapa-siapa. Aku justru sedang memikirkan
mendiang ke- dua orangtua ku. Aku ingin sekali segera menemukan kubur mereka."
"Hm...! Kalau kau tak keberatan, aku ingin
sekali membantumu. Arum," cetus Siluman Ular Putih dengan nada lembut.
Hal ini malah makin membuat hati Arum Sari
blingsatan. Apalagi ketika Soma ikut duduk di sebelahnya seraya merengkuh
bahunya. Ingin rasanya
Arum Sari segera menyandarkan kepala ke dada Si-
luman Ular Putih.
"Tentu saja aku tak keberatan. Soma. Kau....
Kau adalah sahabatku yang paling baik," sambut Arum Sari. Nyaris mendesah.
"Aduuuh senangnya hatiku mendengar pujian
dari seorang gadis. Apalagi gadis secantikmu. Hm...!"
Siluman Ular Putih langsung memandang Arum Sari
lekat-lekat dengan kepala menggeleng-geleng penuh kagum melihat seraut wajah
cantik di hadapannya.
"Jangan memandangiku seperti itu, ah!" ujar Arum Sari tersipu malu. Rona merah
di pipinya pun makin kentara. Maka buru-buru kepalanya menunduk sambil memainkan
jari-jari tangannya.
"Ayo, kita kembali. Ibu dan eyangku ingin bicara denganmu."
Arum Sari mendongak memandang Siluman
Ular Putih tak mengerti. Bukannya keberatan diajak Soma menemui ibu dan
eyangnya, melainkan sedang memikirkan hal lain.
"Ayo!" Soma membimbing Arum Sari. Si gadis tersenyum manis. Sama sekali ia tak
keberatan di-perlakukan manis oleh pemuda yang sebenarnya
sangat diidam-idamkan itu. Malah dengan berge-
layut mesra di lengan Soma, segera diikuti langkah Siluman Ular Putih.
* * * Di dalam goa tempat asal-usul Siluman Ular
Putih, tampak pula Raja Penyihir tengah duduk bersemadi di samping Eyang Begawan
Kamasetyo. Ruangan dalam goa itu memang cukup lebar. Beru-
kuran kira-kira enam kali tujuh tombak. Sebuah ob-or kecil tertancap di salah
satu dinding goa, membuat ruangan terlihat jelas.
Dari sebelah dinding barat, tampak sebuah
pancuran kecil dengan airnya yang bening kebiru-
biruan tertampung di sebuah kolam mirip sendang.
Di pinggir sendang itulah seekor ular putih raksasa melingkar. Kelopak matanya
tampak terpejam di
atas batu putih pipih menghadap ke mulut pancu-
ran. Tak jauh di belakangnya, Eyang Begawan Ka-
masetyo dan Raja Penyihir tengah bersemadi sambil menemani Dewi Ratri yang masih
menjelma menjadi
ular putih raksasa, atau lebih terkenal dengan julukan Siluman Naga Puspa.
(Untuk mengetahui kena-
pa Dewi Ratri masih menjadi ular putih, harap baca episode : "Misteri Bayi
Ular"). Manakala Soma dan Arum Sari melangkah
masuk, Eyang Begawan Kamasetyo dan Raja Penyi-
hir segera membuka kelopak matanya. Kedua anak
muda itu sendiri segera duduk bersimpuh di hada-
pan mereka. "Arum Sari! Mendekatlah! Eyang ingin bicara denganmu," ujar Eyang Begawan
Kamasetyo. "Baik, Eyang Begawan."
Arum Sari menggeser duduknya beberapa de-
pa ke depan. Siluman Ular Putih ikut pula duduk
menjejeri. "Cucuku sudah bercerita banyak tentang di-
rimu. Arum Sari. Terus terang, aku turut prihatin.
Tak kusangka sobatku Sepasang Pendekar Garuda
Emas telah mendahuluiku. Tapi, kuharap kau tak
usah terlalu bersedih, Arum. Bukankah orang yang telah membunuh kedua orangtua
mu pun telah tewas?" "Benar, Eyang Begawan. Itu semua tak lepas dari bantuan
Soma dan Raja Penyihir. Cuma terus
terang, aku sangat menyayangkan, kenapa aku tak
mampu membalaskan sakit hati kedua orangtua ku
dengan tanganku sendiri," desah Arum Sari.
"Aku mengerti. Kepandaian Penghuni Kubur
memang luar biasa. Kukira kau tak perlu menyesal, Arum. Bukannya Eyang
merendahkan kepandaianmu. Tapi kepandaianmu saat ini memang masih
jauh di bawah kepandaian manusia sesat itu."
"Benar, Eyang Begawan. Aku pun menyadari
hal itu." "Zzzzt! Zzzzt...!!!"
Tiba-tiba Siluman Naga Puspa mendesis-
desis, ikut bicara.
"Apa kau bilang, Ratri?" tanya Eyang Begawan Kamasetyo.
Siluman Naga Puspa mendesis-desis lagi, seo-
lah mengulangi ucapannya.
"Oh...! Kau menghendaki Arum Sari tinggal di sini untuk menemanimu" Begitu?"
kata Eyang Begawan Kamasetyo.
Siluman Naga Puspa mendesis-desis lagi.
"Baik, Akan kutanyakan pada Arum Sari," sahut Eyang Begawan Kamasetyo, lalu
kembali me- mandang Arum Sari. "Arum...! Kukira kau sudah ta-hu apa yang kubicarakan dengan
putriku barusan.
Apa kau bersedia tinggal di sini bersama kami?"
"Hm...," Arum Sari menelan ludahnya sebentar. Tanpa sadar pandang matanya
beralih ke arah Siluman Ular Putih.
"Kukira itu juga lebih baik, Arum. Kau baiknya tinggal saja di sini menemani ibu
dan eyangku. Mengenai masalah kuburan kedua orangtua mu, bi-
ar aku saja yang mencari," cetus Soma, menimpali.
Arum Sari menggeleng.
"Maaf, Eyang Begawan. Terus terang, bukan-
nya aku keberatan tinggal di sini. Tapi rasa-rasanya, aku tak puas kalau belum
menemukan makam kedua orangtua ku. Untuk itu, izinkanlah aku mencari makam
mereka, Eyang Begawan!"
"Hm...! Sayang sekali sebenarnya. Tapi, kalau memang itu keputusanmu, Eyang tak
dapat lagi menahanmu"
"Zzzzt! Zzzzt...!"
Siluman Naga Puspa mendesis-desis lagi. Kali
ini bukan saja Eyang Begawan Kamasetyo yang ter-
peranjat, melainkan Soma sendiri pun ikut terperan-
jat. Malah kedua pipi si pemuda kontan bersemu
merah. "Ah...! Ibu ini ada-ada saja. Aku belum ingin menikah! Tugas di pundakku
masih teramat berat.
Aku belum membantu Arum Sari menemukan ma-
kam kedua orangtuanya. Juga, belum dapat mere-
but Kujang Emas senjata andalan Ayah yang kini
masih dikangkangi Prameswara," tandas Soma, jen-gah. Meski Arum Sari tidak tahu
apa yang di- ucapkan Siluman Naga Puspa, namun manakala
mendengar ucapan Soma kontan saja rona merah
menjalar di pipinya.
"Bodoh! Mumpung kau masih muda, tunggu
apa lagi, Soma! Turuti saja kemauan ibumu," terabas Raja Penyihir, ikut
menimpali. "Tidak, Kek. Aku belum ingin menikah," tegas Soma. "Tunggu, Bocah! Apa kau lupa"
Kau harus memanggilku Guru, tahu?"" sentak Raja Penyihir.
"Hm...!" Soma memainkan bibirnya sebentar.
Sebenarnya ingin sekali ia membantah ucapan Raja Penyihir. Namun manakala
melihat pandang mata
Eyang Begawan Kamasetyo, niatnya diurungkan.
"Baiklah, Guru."
"Baik apanya" Apa kau sudah setuju dengan
permintaan ibumu" Kau sudah berubah pikiran un-
tuk cepat-cepat menikah" Hm...! Bagus. Kukira gadis itu tidak mengecewakan.
Wajahnya cantik. Si-
kapnya cukup santun. Kukira tak ada yang kurang
dari Arum Sari. Memang tepat sekali bila...."
"Aku belum ingin menikah, Guru. Tadi, aku
hanya mengiyakan ucapanmu yang menyuruhku
memanggilmu guru. Bukan menyetujui keinginan
Ibu," tukas Siluman Ular Putih dengan nada tinggi.
"Oh oh oh...! Kukira kau ingin menikah. He he he...!" Raja Penyihir terkekeh
senang. "Sebenarnya, aku juga ingin menikah. Tapi sayang, badanku sudah bau
tanah. Jangan-jangan aku malah.... Hik hik hik...!" Raja Penyihir tak meneruskan
ucapannya. Malah tersipu malu dengan apa yang terlintas di benaknya.
Arum Sari sendiri hanya diam membisu di
tempatnya. Bayangan indah untuk menikah dengan
Siluman Ular Putih kontan terpangkas. Bahkan kini berganti rasa gelisah yang
mengungkung hatinya.
"Jangan kecewa. Arum! Mungkin cucuku
memang belum ingin menikah," ujar Eyang Begawan Kamasetyo kemudian.
Sedang Siluman Naga Puspa sendiri tak hen-
ti-hentinya terus mendesis 'mencaci' putranya.
Arum Sari diam tertunduk. Tak ada keinginan
di hatinya untuk membantah ucapan Eyang Bega-
wan Kamasetyo. Ia justru lebih senang bermain dengan perasaannya sendiri. Itu
lebih baik daripada hatinya kian nelangsa.
"Maafkan aku. Arum! Kau tak apa-apa, kan?"
ucap Soma tiba-tiba.
Arum Sari memaksakan diri untuk terse-
nyum. Kedua bibirnya yang bergetar tak kuasa un-
tuk berkata-kata.
"Terima kasih atas pengertianmu, Arum. Kau
memang sahabatku yang paling baik."
Arum Sari menggigit bibirnya sendiri. Tampak
sekali hatinya tak puas mendengar jawaban Soma.
"Hm.... Bagaimana kalau sekarang saja kita
mencari di mana makam kedua orangtua mu,
Arum?" ajak Soma, untuk menghilangkan kekakuan
"Ayo," ucap Arum Sari seraya mengangguk pelan. "Ibu, Eyang. Juga kau, guruku
Raja Penyihir. Kukira sudah waktunya aku dan Arum Sari mene-
ruskan perjalanan. Kalian tidak keberatan, kan?"
kata Soma. Siluman Naga Puspa tidak menyahut. Sepa-
sang matanya yang mencorong mendadak berair,
seolah keberatan melepas putra kesayangannya.
"Jangan bersedih, Ibu! Aku pasti akan sering-sering menengok ke mari. Dan,
jangan lupa. Mintalah pada Yang Kuasa agar Ibu kembali dapat beru-
bah wujud seperti manusia biasa."
Siluman Naga Puspa mendesis-desis hebat.
Ekornya dikibas-kibaskan ke sana kemari. Sepasang matanya yang mencorong kini
makin dibasahi air.
"Tabahkanlah hatimu, Ibu! Niscaya Tuhan
akan mengabulkan permintaan kita semua kalau
Ibu sendiri tak berputus asa untuk terus berdoa."
"Sudahlah, Cucuku! Kalau kau mau berang-
kat, berangkatlah!" tukas Eyang Begawan Kamasetyo tak tega melihat kesedihan
Siluman Naga Pus-pa.
"Baik, Eyang."
Soma memeluk tubuh ibunya sebentar. Dan
Siluman Naga Puspa pun balas memeluk dengan
melilit tubuh putranya. Arum Sari yang melihat ade-gan ibu dan anak itu tak
kuasa lagi untuk membendung air mata. Bahkan ketika Soma meninggalkan
tempat pertapaan, Arum Sari masih dililit perasaan
sedih. 4 Dunia seolah tak pernah sepi dari gejolak. Bi-
la satu gejolak berhasil dipadamkan di tempat yang satu, maka gejolak lain akan
tumbuh di tempat berbeda. Begitu pula yang terjadi di tanah Jawa bagian tengah.
Bulan-bulan belakangan sering terdengar pe-
rampokan besar-besaran di sana-sini yang dilaku-
kan orang-orang berpakaian serba hijau. Tak heran kalau mereka kemudian dijuluki
Laskar Hijau. Ko-non pasukan serba hijau yang dipimpin Setan Haus Darah itu
sedikit pun tak memberi ampun pada daerah-daerah yang dilewati. Semua dirampok,
tak ter-kecuali harta benda yang berharga, binatang-
binatang ternak, perempuan-perempuan baik tua
maupun setengah baya. Semua diboyong ke markas
Pasukan Laskar Hijau. Siapa saja yang berani
menghalangi, pasti akan ditumpas habis. Bahkan
pasukan Kerajaan Mataram dan beberapa orang
pendekar sudah banyak yang tewas di tangan Pasu-
kan Laskar Hijau.
Siang itu cahaya matahari leluasa menghu-
jamkan panasnya ke permukaan bumi, menggarang
sepasukan berkuda yang berjumlah tak kurang dari tiga puluh orang yang beriring-
iringan menyusuri jalan di pinggiran Hutan Karang Ampel sebelah barat.
Kuda-kuda mereka dipacu dengan kecepatan biasa-
biasa saja. Semua penunggang kuda itu adalah para le-
laki bengis berpakaian hijau-hijau. Di kepala mereka pun melingkar ikat kepala
yang juga berwarna hijau, mereka tak lain memang Pasukan Laskar Hijau.
Sesekali penunggang kuda yang berada paling
depan memberi aba-aba pada beberapa orang-orang
di belakangnya, lelaki berusia empat puluh tahun.
Itulah yang menjadi pemimpin pasukan ini. Wajah-
nya bengis dengan sepasang mata garang berwarna
merah menyala. Tubuhnya tinggi kekar berbalut pakaian hijau-hijau terbuat dari
sutera. Rambutnya yang hitam panjang dibiarkan tergerai di bahu. Sebuah ikat
kepala berwarna hijau tampak melingkari kepala. Sekali lihat, lelaki Pimpinan
Pasukan Laskar Hijau yang tak lain Setan Haus Darah itu memang
gagah. Namun bila menilik perangai dan sepak terjangnya, tentu saja akan membuat
orang lari tunggang langgang. Siapa sudi menghadang langkah me-
reka, kendati bila ingin mati.
Ketika memasuki sebuah kampung, Setan
Haus Darah memperlambat lari kudanya. Mereka
memandang heran, karena sama sekali tak mene-
mukan apa-apa. Penduduk kampung yang biasanya
hilir mudik di mulut desa maupun di pematang-
pematang sawah, tak kelihatan sama sekali. Bahkan anak-anak yang biasanya
bermain di halaman rumah tak lagi terdengar suaranya!
Setan Haus Darah jadi curiga bukan main.
Segenap mata memandang hanya kelengangan yang
Siluman Ular Putih 21 Setan Haus Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ditemui. Debu-debu pun seolah-olah malas beter-
bangan di jalan utama desa itu.
Semakin memasuki desa itu, Setan Haus Da-
rah jadi tak dapat menahan amarah lagi.
"Berhenti...!"
Lelaki ini berteriak lantang menyuruh anak
buahnya berhenti. Tali-tali kekang di tangan para anggota pasukan Laskar Hijau
segera ditarik ke belakang. Kuda-kuda mereka meringkik keras, lalu
berhenti. Setan Haus Darah dan ketiga puluh orang
anak buahnya memandang beringas ke sekeliling.
Kuda-kuda mereka bergerak-gerak liar seperti pe-
nunggangnya yang terus menggeram penuh kema-
rahan. "Bajingan! Rupanya penduduk Kampung Karangkates ini telah mengetahui
kedatangan kita,"
dengus Setan Haus Darah.
"Benar, Ketua. Mereka pasti sudah menyem-
bunyikan harta benda dan gadis-gadis cantik yang kita butuhkan. Baiknya, kita
beri pelajaran saja, Ketua!" usul salah seorang anak buah Setan Haus Darah. "Kau
benar, Pergiwo! Hajar penduduk kampung ini! Kuras harta benda mereka!" perintah
Setan Haus Darah, langsung saja.
Saat itu pula, Setan Haus Darah menyentak-
kan tali kudanya keras-keras. Kuda hitam tunggangannya pun meringkik keras.
Kedua kakinya diang-
kat tinggi-tinggi ke udara, sebelum akhirnya berlari kencang memasuki sebuah
halaman rumah yang
cukup terpandang di Desa Karangkates itu. Dan
dengan sekali loncat, tubuhnya telah berkelebat masuk ke dalam rumah.
Melihat sang Ketua sudah bertindak, ketiga
puluh orang anggota Laskar Hijau segera berlompatan turun dari kuda. Mereka
langsung memasuki
rumah-rumah penduduk desa dan mengobrak-
abriknya. Benda berharga apa saja disikat. Tak puas dengan itu, mereka tanpa
ampun menghajar beberapa penduduk kampung yang mencoba melawan.
"Di mana anak-anak gadis kalian, he"! Kena-
pa tak ada di rumah?" bentak Setan Haus Darah gusar bukan main seraya menarik
keluar seorang lela-ki setengah baya pemilik rumah itu dan melempar-
kannya ke halaman. Matanya yang beringas berki-
lat-kilat beredar ke sekitar. Sedang beberapa anak buahnya segera masuk dan
langsung mengobrak-abrik, membawa apa saja yang dirasanya cukup
berharga. "Kami.... Kami tak mempunyai anak gadis,
Tuan," ratap lelaki setengah baya itu. Wajahnya tampak tak karuan, sudah babak
belur menerima hajaran. "Bohong! Tak mungkin dari sekian banyak
penduduk Kampung Karangkates ini tak mempunyai
anak gadis. Dari tadi kami tak melihat seorang gadis pun di desa ini. Pasti
kalian telah menyembunyikan.
Hayo! Sekarang tunjukkan, di mana anak-anak ga-
dis kalian disembunyikan"!" bentak seorang anak buah Setan Haus Darah gusar
bukan main. Benta-kannya sekaligus ditujukan pada beberapa pendu-
duk yang telah dikumpulkan di halaman ini dengan wajah babak belur.
"Be.... Benar, Tuan. Kami tak mempunyai
anak gadis," tegas laki-laki lain yang berusia tua seraya menyembah-nyembah.
"Mustahil! Pasti kalian telah menyembunyi-
kannya. Huh! Kalau kalian tak mau menunjukkan
harta dan anak gadis kalian, jangan salahkan kalau kami terpaksa akan menghajar
sampai mampus!"
ancam Setan Haus Darah.
"Ampun! Ampun, Tuan! Kami tak punya harta
benda apa-apa. Kami juga tak punya anak gadis,"
ratap para penduduk kampung hampir bersamaan
berlutut di hadapan Setan Haus Darah dan anak
buahnya. Namun, mana mau Setan Haus Darah dan
anak buahnya menerima penjelasan mereka. Tanpa
ampun tendangan-tendangan kaki pun kembali
menghajar penduduk kampung yang sudah tak ber-
daya. Desss! Desss!
Tak henti-hentinya beberapa orang anak buah
Setan Haus Darah mengirimkan tendangan keras ke
tubuh penduduk kampung yang tengah berlutut.
Seketika itu juga, terdengar jerit-jerit kesakitan diiringi tubuh-tubuh yang
mencelat ke belakang dan ambruk tak berdaya.
Tubuh-tubuh tua penduduk Kampung Ka-
rangkates menggeliat sebentar, lalu dengan meme-
laskan sekali kembali merangkak ke hadapan Setan Haus Darah dan beberapa orang
anak buahnya. "Ampunkan kami, Tuan! Kami benar-benar
tak mempunyai apa-apa. Jangankan anak gadis.
Harta benda pun kami tak punya. Ampunkan kami,
Tuan!" teriak mereka memelas.
"Kami tak percaya bacot kalian! Kalian akan kami hajar sampai mau menunjukkan di
mana harta benda dan gadis-gadis disembunyikan!"
"Ampun, Tuan! Ampuuun...!" ratap penduduk kampung, serempak seraya menyembah-
nyembah. Dess! Dess! Namun, lagi-lagi tubuh-tubuh tua mereka
hanya jadi santapan empuk kaki-kaki anak buah
Setan Haus Darah. Dan lagi-lagi pula terdengar jerit-jerit kesakitan di sana-
sini bersamaan dengan tubuh-tubuh yang mencelat menghajar dinding-
dinding pagar maupun semak belukar.
Brakkk! Brakkk!
Setan Haus Darah jadi makin gusar. Api ke-
marahan dalam dadanya makin berkobar saja. Me-
reka saat ini hanya sedikit menemukan harta jarahan yang berarti. Maka tak ada
pilihan lain kecuali terus menyiksa penduduk Kampung Karangkates
yang membandel.
* * * Pada akhirnya, beberapa orang anak buah Se-
tan Haus Darah dapat menemukan barang-barang
berharga serta gadis-gadis yang disembunyikan para penduduk di lorong-lorong
bawah tanah. Hal itu terjadi karena ada seorang pemuda yang tak tahan
mendapat siksaan dari anak buah Setan Haus Da-
rah. Pemuda itu buka mulut dengan harapan agar
dibebaskan dari siksaan. Tapi apa yang diharapkan tak menjadi kenyataan. Setelah
menunjukkan tempatnya, pemuda itu pun dibunuh.
Merasa dibohongi para penduduk, bukan
main marahnya Setan Haus Darah. Dengan beringas
kembali para anak buahnya diperintahkan untuk
menghajar penduduk kampung.
Setelah puas menghajar penduduk kampung,
Setan Haus Darah segera memerintahkan anak
buahnya untuk mengangkut barang-barang rampa-
san, termasuk juga gadis-gadis yang tadi disembu-
nyikan. "Jangan, Tuan! Jangan bawa anakku!" jerit seorang perempuan penduduk kampung
memelas saat melihat anak gadisnya diseret paksa oleh Setan Haus Darah.
"Setan! Tua bangka macam kau mana pantas
menghiba padaku! Menghibalah pada Raja Akhirat!"
Desss! Tanpa mengenal belas kasihan sedikit pun,
kaki Setan Haus Darah telah mendarat elak di dada perempuan itu hingga kontan
mencelat jauh ke belakang. Tubuhnya terbanting keras dengan darah
keluar dari mulut dan lobang hidung.
"Ibuuu...!" teriak gadis yang paling cantik dari gadis-gadis rampasan itu kalap.
Namun ketika tangannya ditekuk gadis cantik
itu kembali terkulai dalam pelukan pimpinan rom-
bongan Pasukan Laskar Hijau ini,
"Dengar! Buka telinga kalian lebar-lebar! Siapa pun yang berani menentang Setan
Haus Darah dan pasukannya, berarti kematianlah yang akan di-terima. Jangan sekali-kali
berani mempermainkan
kami kalau tak ingin mati! Kalian dengar!"
Tak ada sahutan dari penduduk Kampung
Karangkates yang tengah mengerang menahan sakit.
Hanya kilatan-kilatan sepasang mata mereka yang
tak rela saja yang terus memperhatikan Setan Haus Darah dan anak buahnya.
Setan Haus Darah mendengus angkuh. Lalu
ia memerintahkan anak buahnya untuk mengemasi
barang-barang berharga ke atas kuda. Sementara
gadis-gadis yang tertawan dipondong di atas bahu.
"Cepat kita tinggalkan tempat ini!" perintah
Setan Haus Darah pada anak buahnya.
Laki-laki bertubuh tinggi kekar itu segera me-
loncat ke punggung kudanya. Meski sambil memon-
dong gadis cantik dalam pelukannya, namun gera-
kan tubuhnya tampak ringan sekali kala melompat
ke punggung kuda. Gerakannya pun diikuti anak
buahnya yang segera menaiki kuda masing-masing.
"Hea! Hea!"
Setan Haus Darah menggebah, membuat ku-
da tunggangannya melaju kencang meninggalkan
tempat itu. Bersamaan dengan itu, beberapa orang anak buah Setan Haus Darah pun
telah menggebah
kuda masing-masing sambil membawa barang-
barang rampasan dan beberapa orang gadis dalam
pondongan. Suara-suara isak tangis dari beberapa orang
gadis yang menjadi barang jarahan Pasukan Laskar Hijau terdengar demikian
memelaskan di antara derap-derap kuda-kuda yang melaju kencang mening-
galkan tempat. itu. Beberapa orang penduduk Kam-
pung Karangkates yang melihat anak gadisnya di-
bawa pergi hanya dapat meratap. Sesekali, terdengar sumpah serapah mereka.
5 Belum begitu lama Pasukan Laskar Hijau
pergi, dua orang anak muda tengah melenggang
santai memasuki Desa Karangkates melewati pintu
gerbang sebelah utara. Yang sebelah kanan adalah seorang pemuda tampan berambut
gondrong tergerai di bahu. Tubuhnya yang tinggi kekar dibalut
rompi dan celana bersisik warna putih keperakan.
Sedang di sebelahnya adalah seorang gadis berpa-
kaian warna hijau-hijau. Wajahnya yang cantik berbentuk bulat telur. Rambutnya
yang hitam panjang digelung ke atas dengan hiasan untaian bunga melati.
Menilik pakaian serta ciri-ciri, mereka tak lain dari Siluman Ular Putih dan
Arum Sari. Sepasang
anak muda itu baru saja turun dari puncak Gunung Bucu, dan sengaja ingin
menyambangi desa itu. Bukannya apa-apa, tapi cuma ingin mengganjal perut yang
sejak tadi pagi belum diisi.
"Kuperhatikan sejak kita meninggalkan Gu-
nung Bucu, kau selalu tampak murung. Arum. Ada
apa" Apa ada kata-kataku yang kurang mengena di
hatimu?" usik Soma sambil terus melangkah di sisi Arum Sari.
Arum Sari diam tak menyahut. Wajahnya
yang cantik saat ini berselimut mendung. Entah apa yang merisaukan hatinya. Yang
jelas, hanya dirinya sajalah yang tahu.
"Kok, diam" Kenapa tak menjawab perta-
nyaanku. Arum" Apa benar kau tersinggung dengan
ucapanku, tadi?" lanjut Soma.
Arum Sari mendongak, lalu menggeleng pe-
lan. "Jadi apa, dong" Kenapa diam saja dari tadi"
Dan, kenapa wajahmu murung" Ah...! Pasti kau se-
dang memikirkan sesuatu" Atau, jangan-jangan kau sedang memikirkan kekasihmu,
ya?" goda Siluman Ular Putih.
Arum Sari menghentikan langkahnya seben-
tar. Dipandanginya Soma seksama. Kepalanya lan-
tas menggeleng pelan. Senyum getirnya tampak tersungging di bibir.
Siluman Ular Putih jadi bingung. Tak menger-
ti apa yang dimaksudkan Arum Sari.
"Ada apa, sih" Kau kan sahabatku yang pal-
ing baik. Juga, paling cantik. Masa' kalau punya masalah dipendam seorang diri"
Apa kau tak ingin membagi-bagi kesulitanmu denganku?"
"Soma...!" Arum Sari malah mendesah. Hatinya mendadak jadi risau bukan main.
Gadis ini ja-di tak tahan dengan perasaan hatinya. Kepalanya
pun kembali menunduk dalam-dalam.
"Hey, kok malah jadi tersipu malu begitu" Ada apa, nih" Wah, gawat! Jangan-
jangan temanku yang cantik ini sedang ketiban penyakit asmara?" ledek Siluman
Ular Putih, semakin menjadi.
"Soma.... Apa kau... kau juga menyukaiku.
Soma?" tanya Arum Sari tiba-tiba. Suaranya lirih, nyaris tak terdengar.
"Apa?" Siluman Ular Putih membelalakkan matanya lebar. "Oh...! Itu maksudmu.
Tentu. Tentu aku menyukaimu. Kenapa kau bertanya begitu,
Arum?" "Hanya itu" Apa tak ada perasaan lain terha-dapku?" tanya Arum Sari lagi, tak
puas dengan jawaban Siluman Ular Putih tadi.
"Maksudmu?"
Lagi-lagi kening Siluman Ular Putih berker-
nyit heran. "Ah...! Kau pasti tahu ucapanku tadi, Soma.
Kau.... Kau...."
Arum Sari buru-buru menyembunyikan wa-
jahnya dalam-dalam. Tak kuat rasanya membalas
pandang mata Soma.
"Maaf, Arum! Kukira kau tadi sudah menden-
gar apa jawabanku. Bukannya aku tak menyukai-
mu. Tapi, kau tahu. Tugas di pundakku ini masih
banyak. Belum lagi dengan keinginanku dalam
membantumu untuk menemukan makam kedua
orangtua mu. Kuharap kau...."
"Cukup, Soma! Aku sekarang tahu apa ja-
wabmu," potong Arum Sari dengan wajah memerah.
"Tunggu, Arum!" Buru-buru Siluman Ular Putih menyambar lengan Arum Sari saat si
gadis hendak berkelebat meninggalkannya.
"Lepaskan aku. Soma! Aku tak ingin melan-
jutkan perjalanan denganmu!"
Arum Sari memberontak dari cengkeraman
tangan Siluman Ular Putih. Tapi mana mau Soma
melepaskannya begitu saja.
"Arum. Kita kan sahabat. Kumohon, jangan
bicarakan hal itu lagi. Terus terang aku masih
bing...." Ucapan Siluman Ular Putih seketika terputus
ketika sekonyong....
"Hm...! Sayang sekali, cantik-cantik jadi anggota gerombolan perampok...."
* * * Arum Sari dan Siluman Ular Putih buru-buru
menoleh ke arah datangnya suara barusan. Tampak
tak jauh di belakang mereka telah berdiri seorang pemuda gagah berpakaian warna
Siluman Ular Putih 21 Setan Haus Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
putih yang ditutup jubah besar warna biru. Rambutnya yang hitam
panjang digelung ke atas. Wajahnya berbentuk lon-
jong dengan sepasang mata tajam bak sepasang ma-
ta rajawali. Kedua alis matanya tebal berwarna hitam agak naik ke atas.
Hidungnya mancung dengan
bentuk dagu yang mengeras, menyiratkan kekerasan sikap pemuda itu.
Tak jauh di belakang si pemuda tampak bebe-
rapa orang penduduk Kampung Karangkates ber-
duyun-duyun mendekati dengan berbagai macam
senjata tajam di tangan kanan. Sambil berteriak-
teriak penuh kemarahan, para penduduk yang ma-
rah akibat sepak terjang Pasukan Laskar Hijau yang tadi mengobrak-abrik tempat
ini kini mulai mendekati Siluman Ular Putih dan Arum Sari.
"Jangan sembarangan pentang suara, Kawan!
Siapa yang perampok" Enak saja menuduh orang
sembarangan!" dengus Arum Sari melampiaskan ke-jengkelan hatinya pada pemuda
gagah di hadapan-
nya. "Harap jangan sembarangan menuduh, Sobat.
Aku dan temanku ini sama sekali bukan perampok.
Kami hanya ingin mampir ke desa ini, barangkali
ada kedai makan yang buka," jelas Siluman Ular Putih kemudian.
"Kalian bukan perampok?" tukas pemuda berjubah biru seraya mengangkat alisnya
yang tebal. Nada suaranya terdengar kurang percaya. Untuk
meyakinkan hatinya, kepalanya menoleh ke arah
beberapa orang penduduk kampung yang kini telah
mengurung Arum Sari dan Siluman Ular Putih.
"Tuan Pendekar! Harap jangan ragu-ragu. Pe-
rempuan berbaju hijau itu pasti anggota perampok yang tadi siang mengobrak-abrik
desa kami. Malah bisa jadi kedua-duanya adalah perampok. Lihat saja
pakaian yang dikenakan gadis itu sama persis dengan yang dikenakan Setan Haus
Darah dan anak buahnya!" teriak salah seorang penduduk kampung yang berdiri paling depan. Raut
wajahnya tegang penuh kemarahan.
"Iya, Tuan Pendekar! Mereka berdua pasti gerombolan perampok. Kapan lagi kalau
tidak seka- rang kita menumpas perampok-perampok bengis
itu, Tuan Pendekar"! Mereka kejam. Sama sekali tak pandang bulu. Harta benda
kami diangkut. Ternak-ternak kami disikat. Malah beberapa orang gadis penduduk
desa ini pun tak luput dari jarahan mereka! Ayo, kita sikat saja kedua manusia
perampok ini, Tuan Pendekar!" teriak seorang penduduk kampung lain menambahi.
Si pemuda berjubah biru tampak makin dililit
keragu-raguan. Menilik sikap sepasang anak muda
di hadapannya tak mungkin termasuk golongan pe-
rampok. Tapi melihat kemarahan penduduk kam-
pung dengan kemunculan mereka, bisa jadi tuduhan itu benar. Kalau tidak,
mustahil penduduk kampung ini menuduh sembarangan, pikir pemuda berjubah
biru. Sebenarnya, pemuda berjubah biru itu adalah seorang pendekar muda yang
baru saja turun gunung yang belum pengalaman. Maka begitu tadi
memasuki desa yang menjadi jarahan Pasukan
Laskar Hijau, ia sudah diminta penduduk kampung
untuk membantu menumpas pasukan Laskan Hijau
yang dipimpin Setan Haus Darah. Sebagai seorang
pendekar, jelas ia tak dapat menerima kejahatan
berlangsung di depan mata.
"Tuan Pendekar! Kenapa Tuan masih ragu-
ragu" Kita sikat saja, Tuan! Tunggu apa lagi?"
"Hh...!"
Si pemuda berjubah biru mendengus. Ekor
matanya yang tajam mengerling ke arah Siluman
Ular Putih dan Arum Sari. Entah kenapa sewaktu
melirik ke arah si gadis, si pemuda berjubah biru tampak mengeraskan dagunya.
Mungkin ia sedang
menindih perasaan tak enak yang tiba-tiba menyita hatinya demi melihat seorang
gadis cantik di hadapannya.
"Harap kalian berdua sudi menjawab perta-
nyaanku dengan jujur! Benarkah kalian anak buah
dari Setan Haus Darah?" tanya si pemuda berjubah biru hati-hati.
Beberapa orang penduduk kampung yang
mendengar pertanyaan si pemuda berjubah biru
tampak tak puas. Mereka berteriak-teriak lantang, menyuruh sang penolong untuk
segera bertindak.
Namun dengan tenangnya si pemuda berjubah biru
mengangkat tangannya, menyuruh penduduk tetap
tenang. "Pemuda tak tahu adat! Buka telingamu le-
bar-lebar! Kami bukan perampok. Sekali lagi, kami berdua bukan perampok seperti
yang kalian tuduhkan! Lagi pula, siapa itu Setan Haus Darah" Men-
dengar namanya saja baru kali ini. Enak saja kalian menuduh kami perampok!"
sungut Arum Sari jengkel. "Tapi, tampaknya penduduk kampung ini cukup
mengenalimu, Nona. Mereka semua menuduh
kalau kau dan temanmu adalah perampok. Maka
kini harap kalian berterus terang! Aku tak ingin ke-salahan tangan menurunkan
maut!" ancam si pe-
muda berjubah biru.
"Pemuda bau kencur! Huh menilik sikap dan
caramu bicara, aku yakin, kau pasti seorang pemu-da pongah yang baru saja turun
gunung untuk mencari pengalaman!" desis Arum Sari ketus.
"Kau benar, Nona. Aku memang baru saja tu-
run gunung. Tapi meski begitu, bukan berarti aku harus membiarkan perampok-
perampok yang telah
mengganggu ketenteraman penduduk kampung,"
sahut si pemuda berjubah biru sedikit meninggi na-da bicaranya. Mungkin agak
kesal melihat sikap
Arum Sari yang melecehkan dirinya.
"Tahan amarahmu, Sobat! Kami bukan pe-
rampok. Kami hanya orang yang ingin singgah di de-sa itu untuk mencari kedai
makan. Kalau kalian tak percaya, boleh mengikuti kami untuk beberapa
saat," timpal Siluman Ular Putih, berusaha menen-gahi. "Puahhh! Siapa sudi
mengikuti kalian" Paling kalian hanya ingin menunggu bala bantuan. Karena sudah
terjepit, jadi kalian takut menghadapi kami!"
teriak salah seorang penduduk tak sabar.
"Ah...! Buat apa kita buang-buang waktu,
Teman-teman! Mana ada sih maling yang mengakui
kalau belum kita gebuk!"
"Kau benar, Kang! Kita hajar saja perampok-
perampok kecil ini biar tahu rasa betapa sedihnya mendapat siksaan seperti
orangtua-orangtua kami
tadi. Ayo, Teman-teman! Hajar perampok-perampok
kecil ini!" teriak seorang pemuda lantang. Golok di tangannya diacung-acungkan
sebentar ke udara.
"Hiaaatt...!"
Lalu entah siapa yang memulai dulu, tahu-
tahu beberapa orang penduduk kampung yang su-
dah kalap segera menyerang Siluman Ular Putih dan Arum Sari.
Si pemuda berjubah biru tampak masih tegak
di tempatnya. Hatinya ragu-ragu sekali untuk bertindak. Terus terang dalam
hatinya sendiri tak percaya kalau dua orang anak muda itu dari golongan
perampok. Namun manakala melihat cara memper-tahankan diri mereka yang jelas-
jelas memiliki kepandaian tinggi, kecurigaan si pemuda berjubah bi-ru jadi makin
bertambah. Memang, betapa mudahnya dua orang anak
muda itu dapat mempermainkan serangan-serangan
penduduk kampung. Malah kalau mau, dengan mu-
dahnya mereka dapat melumpuhkan serangan-
serangan. Namun anehnya, mereka tak melakukan
itu. Si pemuda berjubah biru tak lagi berpikir
sampai di situ. Begitu melihat serangan-serangan penduduk kampung dapat
dihindari dengan mudah,
tubuhnya segera berkelebat ke tempat pertarungan.
"Bagus! Kalau kau pun ingin merasakan bo-
gem mentahku, Kawan!" desis Arum Sari seraya segera menyambut datangnya si
pemuda berjubah bi-
ru dengan serangan-serangan hebat.
Tentu saja si pemuda berjubah biru tak ingin
kalah gertak. Begitu melihat datangnya serangan, segera tubuhnya sedikit
dimiringkan ke samping.
Sehingga serangan-serangan Arum Sari hanya me-
nemui angin kosong.
Bed! Pada saat bogem mentah Arum Sari melayang
ke belakang, mendadak jari-jari tangan si pemuda
berjubah biru itu telah berkelebat ke arah punggung Arum Sari.
"Ah...!"
Arum Sari terperangah kaget, tak menyangka
si pemuda berjubah biru itu dapat menghindari serangannya demikian mudah. Malah
kini punggung- nya terancam totokan-totokan jari-jari tangan pemuda itu.
"Hihh...!"
Arum Sari mendengus penuh kemarahan.
Tentu saja ia tidak ingin dirobohkan hanya dalam sekali gebrakan. Melihat
punggungnya terancam,
segera tubuhnya dibuang ke samping.
Sementara itu Siluman Ular Putih yang ten-
gah menghadapi kemarahan penduduk kampung
tampak tak bergairah menghadapi serangan-
serangan mereka. Namun saat melihat serangan-
serangan kian menjadi liar, pemuda ini jadi berpikir lain. Ia bertekad untuk
segera mengakhiri kesalahpahaman itu.
"Hup...!"
Siluman Ular Putih segera berkelebat cepat.
Saking cepatnya, sampai-sampai beberapa orang
penduduk kampung hanya melongo mencari-cari Si-
luman Ular Putih. Namun belum sempat mereka
membuka suara, tahu-tahu....
Pak! Pak! "Aahh...!"
Seketika tubuh mereka telah kaku tak dapat
bergerak begitu terkena tepukan lembut oleh tangan Siluman Ular Putih pada
bagian punggung.
"Ah...!"
Beberapa orang penduduk kampung yang
menyadari tubuhnya kaku tak dapat digerakkan jadi gelisah bukan main. Mereka
masih belum tahu, apa yang tengah dialami. Mereka hanya melihat Siluman Ular
Putih berdiri di hadapan beberapa orang penduduk lain yang juga mengalami nasib
serupa. Tu- buh mereka kaku tak dapat digerakkan!
Tentu saja, hal ini pun tak luput pula dari
perhatian si pemuda berjubah biru. Ia benar-benar tak mengira kalau pemuda
berpakaian rompi dan
celana bersisik warna putih keperakan itu dapat melumpuhkan beberapa orang
penduduk hanya sekali
gebrakan saja. Diam-diam dalam hatinya mengagu-
mi kelihaian teman si gadis. Kini dia sadar kalau yang dihadapi adalah seorang
pemuda berkepandaian tinggi. Bahkan mungkin, jauh lebih tinggi dibanding
kepandaiannya. Namun tidak demikian Arum Sari. Melihat si
pemuda berjubah biru tak lagi menyerang, amarah
gadis murid Nenek Rambut Putih itu kian tersulut.
Seakan-akan kekesalan dan kekecewaannya terha-
dap Siluman Ular Putih kini sengaja ditumpahkan
pada si pemuda berjubah biru yang telah lancang
menuduh dirinya perampok.
Maka begitu melihat si pemuda berjubah biru
tengah mengagumi sepak terjang Siluman Ular Pu-
tih, tanpa banyak buang-buang waktu Arum Sari
kembali menyerang hebat.
"Hea! Hea!"
Dikawal bentakan nyaring, Arum Sari berke-
lebat cepat. Tidak tanggung-tanggung segera dikeluarkannya jurus andalannya
'Tongkat Penggebuk Ib-
lis'. Maka dalam sekejap saja pedang di tangannya telah bergulung-gulung cepat
mengurung pertaha-
nan si pemuda berjubah biru.
Melihat datangnya serangan, si pemuda ber-
jubah biru tentu saja tak ingin tubuhnya jadi sasaran empuk. Ia pun tak segan-
segan lagi untuk sege-ra mengeluarkan jurus-jurus andalan. Karena bila tidak
secepatnya dapat merobohkan Arum Sari, berarti bahaya besar mengancamnya.
"Tahan senjata!" teriak Siluman Ular Putih ti-ba-tiba.
Sekali menjejak kakinya ke tanah, tahu-tahu
tubuh Siluman Ular Putih telah berdiri di antara Arum Saritian si pemuda
berjubah biru. Beberapa
orang penduduk kampung yang tubuhnya masih
kaku tak dapat digerakkan hanya dapat memandan-
gi penuh ketakutan.
"Minggir, Soma! Aku harus menghajar pemu-
da lancang ini!" teriak Arum Sari, tak dapat mengendalikan amarah.
Namun buru-buru Siluman Ular Putih meraih
pergelangan tangan Arum Sari. Sehingga, gadis itu hanya dapat memandang jengkel.
Sedang si pemuda
berjubah him sendiri tampak mulai segan dengan
pemuda lihai di hadapannya.
Melihat kilatan mata Arum Sari yang tak me-
nyukai tindakannya, Siluman Ular Putih hanya tersenyum. Sama sekali tak
dihiraukannya Arum Sari
yang tengah uring-uringan tidak karuan.
"Sobatku, pemuda berjubah biru! Aku yakin
tentu kau adalah golongan baik-baik. Sebagai seorang pendekar gagah, tentunya
kau tahu kenapa
aku tak menurunkan tangan maut pada penduduk
kampung itu, bukan?" kata Siluman Ular Putih. Sesekali telunjuk tangannya
menuding ke arah pendu-
kung kampung yang tubuhnya masih tegak kaku
tak dapat bergerak-gerak sama sekali.
Mendengar apa yang diucapkan Siluman Ular
Putih, kini sadarlah si pemuda berjubah biru. Tadi ia memang dapat melihat
dengan jelas betapa gerakan Siluman Ular Putih demikian hebatnya. Ia sendiri
belum tentu sanggup menghadapinya.
Terus terang aku memang mulai sadar, Pen-
dekar Muda. Perkenalkan, aku yang bodoh ini ber-
nama Teguh Sayekti alias Pembunuh Iblis."
"Ah...! Jangan menyebutku Pendekar Muda.
Dan kau tak perlu merendah begitu. Tak enak ra-
sanya. Oh ya, Namaku, Soma. Dan temanku yang
cantik ini adalah Arum Sari!" tukas Siluman Ular Putih, Si pemuda yang ternyata
bernama Teguh Sayekti alias Pembunuh Iblis tersenyum. Ia senang sekali melihat sikap Siluman
Ular Putih yang amat bersahabat.
"Kalian baik sekali! Aku yakin penduduk
Siluman Ular Putih 21 Setan Haus Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kampung ini pasti telah salah paham. Kalian pasti bukan golongan perampok yang
mereka tuduhkan.
Melainkan sebaliknya. Kalau tidak, sudah pasti penduduk kampung itu dapat kalian
lumpuhkan. Terus
terang, aku amat mengagumi sepak terjangmu, Ka-
wan!" puji Teguh Sayekti dengan nada penuh persa-habatan.
"Terima kasih. Kau terlalu memujiku, Kawan.
Tak enak aku mendengar pujianmu. Nanti malah bi-
sa jadi besar kepalaku. He he he...," Siluman Ular Putih terkekeh sebentar.
"Tapi ngomong-ngomong, siapa sih sebenarnya Setan Haus Darah itu?"
"Aku sendiri tidak begitu mengenalnya. Aku
hanya mendengar sepak terjang pimpinan perampok
itu dari penduduk kampung yang tadi siang dijarah Pasukan Laskar Hijau pimpinan
Setan Haus Darah."
Siluman Ular Putih mengangguk-angguk. "La-
lu di mana markas Setan Haus Darah dan anak
buahnya?" "Itu sendiri aku belum tahu. Aku memang in-
gin mencarinya. Tapi sewaktu penduduk kampung
melihat kedatangan kalian di desa ini, mereka kontan marah dan menuduh kalian
perampok. Untuk
itu pula, aku harus minta maaf pada kalian. Bagaimanapun juga aku telah picik
menuduh orang sem-
barangan," ucap Teguh Sayekti, sedikit membung-kukkan badan.
"Sudahlah! Jangan terlalu banyak berbasa-
basi! Asal kau dan penduduk kampung tak lagi me-
nuduh kami perampok, aku sudah cukup berterima
kasih," tukas Siluman Ular Putih. Diam-diam Soma mengerahkan tenaga dalamnya
untuk mengirimkan
totokan jarak jauh ke arah beberapa orang penduduk kampung yang tubuhnya masih
kaku tak dapat digerakkan. "Mendengar sepak terjang Setan Haus Darah
dan pasukannya aku pun jadi tak tahan lagi untuk menyelidikinya. Percayalah, aku
akan menggempur
habis mereka bila bertemu nanti. Selamat tinggal, Kawan!"
Habis berkata demikian, tanpa banyak cakap
Siluman Ular Putih segera menyambar lengan Arum
Sari. Mereka langsung berkelebat cepat meninggalkan tempat itu. Teguh Sayekti
yang baru saja mene-gakkan tubuhnya kembali sejenak menggeleng-
gelengkan kepala penuh kagum. Hanya dalam bebe-
rapa kelebatan saja, sosok Siluman Ular Putih dan Arum Sari telah di kejauhan
sana. Lebih heran lagi, manakala melihat penduduk kampung yang tubuhnya tadi
kaku tak dapat digerakkan, kini sudah dapat bergerak leluasa seperti biasa. Hal
ini benar-benar membuat Teguh Sayekti makin terheran-
heran. "Hm,..! Tak kusangka hari ini aku akan bertemu pendekar muda yang
berkepandaian tinggi...."
6 Sebenarnya, hati Teguh Sayekti gelisah sekali.
Ia merasa tak puas karena teramat singkat bertemu dan berkenalan dengan Siluman
Ular Putih dan Arum Sari. Apalagi, perkenalannya yang singkat tadi ternodai akibat
kesalahpahamannya. Maka setelah
memberi nasihat pada penduduk Kampung Karang-
kates dan berjanji akan menumpas Pasukan Laskar
Hijau, Teguh Sayekti segera kembali melanjutkan
perjalanan. Namun apa yang menjadi keinginan Teguh
Sayekti tak terlalu mudah untuk diwujudkan. Sudah berhari-hari pemuda berjubah
biru itu keluar masuk hutan, namun belum juga menemukan Siluman
Ular Putih dan Arum Sari serta markas Pasukan
Laskar Hijau. "Heran" Kenapa sejak aku bertemu Arum Sari
jadi sulit sekali melupakannya. Ada apa ini" Kenapa keinginan bertemu dengannya
demikian menggebu?"
gumam Teguh Sayekti, galau.
Kini Teguh Sayekti menghentikan langkahnya
di bawah rindangnya sebuah pohon. Rasa penat se-
telah hampir seharian berlari ditambah semilirnya angin siang, membuat matanya
terkantuk-kantuk.
Teguh Sayekti membiarkan perasaannya ter-
buai semilirnya angin siang itu. Perlahan-lahan pan-tatnya pun direbahkan di
atas rerumputan. Dengan bertelekan sebelah lengan, dicobanya untuk menen-
teramkan hatinya.
Herannya, wajah cantik Arum Sari makin le-
kat saja dalam hatinya. Semakin berusaha menge-
nyahkan bayangan itu semakin resah saja hatinya
memikirkan Arum Sari. Meski ia tampak diam te-
nang di atas rerumputan, namun sebenarnya piki-
rannya tengah sibuk memikirkan bagaimana ca-
ranya menemukan Arum Sari.
"Edan! Kenapa aku jadi dicekam perasaan
aneh seperti ini" Mungkinkah ini yang dinamakan
cinta?" Teguh Sayekti tercenung sesaat. Apakah ia terlalu cepat menerima
perasaan seperti itu" Berkali-kali Teguh Sayekti berusaha menepiskan perasaan
itu dalam hatinya, namun tetap saja tak sanggup.
Malah hatinya makin dicekam kerinduan.
Semilir angin siang bukannya membuat hati
pemuda itu sejuk, tapi malah sebaliknya. Blingsatan tidak karuan. Teguh Sayekti
tak tahan lagi didera perasaan semacam itu.
"Hup!"
Sekali menggerakkan tubuhnya, Teguh
Sayekti pun telah berdiri tegak kembali seperti se-mula. Untuk sesaat
diperhatikannya keadaan sekitar seksama. Mulutnya menggumam tak menentu.
Entah, apa yang digumamkan. Yang jelas, ketika
pemuda itu menjejakkan kakinya sebentar ke tanah, tahu-tahu tubuhnya yang tinggi
kekar telah berkelebat cepat meninggalkan tempat ini. Hanya dalam
beberapa kelebatan saja, sosoknya yang terbungkus jubah besar berwarna biru
telah menghilang di balik kerimbunan hutan depan sana.
* * * Siang di Desa Sumber Dalem terasa lengang.
Matahari perlahan-lahan bergeser ke ufuk sebelah barat. Angkasa raya yang
membiru tampak cerah,
karena tak ada awan yang berarak. Sementara angin yang bertiup semilir seolah
mati terbawa suasana sepi. Dari mulut desa sebelah timur, seorang pemuda gagah
berjubah besar berwarna biru tengah
melenggang santai memasuki jalan utama. Sesekali, diperhatikannya keadaan
sekitarnya. Beberapa
orang penduduk kampung yang memanggul cangkul
di pundak tampak mulai pulang ke rumah masing-
masing, pertanda hari sebentar lagi akan berganti petang. Namun di halaman-
halaman rumah penduduk tampak masih beberapa orang anak kecil ten-
gah asyik bermain. Tawanya yang ceria sesekali
memecah kesunyian desa.
Ketika pemuda berjubah biru yang bukan lain
adalah Teguh Sayekti tiba di jalan simpang di tengah desa, matanya langsung
tertuju pada sebuah kedai makan. Tanpa banyak pikir panjang Teguh Sayekti
atau yang lebih dikenal dengan julukan Pembunuh
Iblis segera melangkah menuju kedai.
Empat orang lelaki berwatak kasar yang ten-
gah asyik makan-minum di dalam kedai tampak me-
lirik angkuh saat Pembunuh Iblis memasuki kedai, lalu kembali melanjutkan makan
seolah-olah tak ingin diganggu siapa pun. Pemuda berjubah biru itu sendiri tak
ingin mengganggu.
Begitu Pembunuh Iblis menghenyakkan pan-
tatnya di sebuah bangku, seorang gadis pelayan kedai makan buru-buru
menyambutnya dengan se-
nyum terkembang di bibir.
"Ada yang bisa aku bantu, Tuan?" tanya gadis pelayan yang berwajah manis itu
penuh hormat. "Tolong sediakan makanan yang cukup dan
sedikit arak wangi untukku!" ujar Pembunuh Iblis ramah. "Baik. Harap Tuan
bersedia menunggu sebentar," sahut gadis pelayan itu lalu buru-buru masuk ke
dalam. Namun baru beberapa langkah si gadis beran-
jak dari tempatnya, tiba-tiba tangannya yang halus telah ditarik seorang laki-
laki kasar dan menariknya dalam pelukan.
"Ooouuww...!"
Sudah tentu gadis pelayan itu meronta minta
dilepaskan. Dan dengan tertawa-tawa senang, laki-laki kasar itu melepaskan
tangan gadis pelayan.
Namun tidak sepenuhnya ikhlas. Karena tangannya
yang nakal tiba-tiba menowel pantat gadis pelayan itu seraya mengerling ke arah
Teguh Sayekti. "Jangan begitu dong, Tuan! Malu kan dilihat orang," ucap si gadis tersipu malu
kemudian buru-buru menghilang ke dapur.
Pembunuh Iblis muak sekali melihat tingkah
laku laki-laki kasar di hadapannya. Hanya karena
tak ingin membuat keributan saja terpaksa rasa
amarahnya ditahan dalam dada. Ia yakin, gadis pelayan itu adalah gadis baik-
baik. Cuma karena ingin melayani para tamunya dengan baik, sehingga
membuatnya hanya bisa menegur halus.
Tak begitu lama menunggu, gadis pelayan
yang berwajah cantik itu kembali muncul membawa
pesanan Pembunuh Iblis. Dengan ramah segera di-
hidangkannya pesanan itu ke meja si pemuda.
"Silakan, Tuan!" ucap gadis pelayan seraya menggerakkan ibu jarinya.
Teguh Sayekti alias Pembunuh Iblis terse-
nyum sekilas. Gadis pelayan itu pun buru-buru beringsut dari tempatnya.
"Hey, Pelayan! Cepat kemari!" bentak salah seorang laki-laki kasar itu galak.
"Baik, Tuan."
Dengan tergopoh-gopoh, buru-buru gadis pe-
layan itu mendekati laki-laki yang memanggilnya barusan. Pembunuh Iblis yang
hendak menyuapkan
makanan ke mulutnya jadi menahan gerakan ketika
melihat tangan kekar laki-laki kasar itu tahu-tahu merengkuh pinggang gadis
pelayan ke dalam pelukannya.
"Jangan, Tuan! Jangan!" ratap gadis pelayan itu seraya menggelengkan kepala ke
sana kemari menghindari mulut laki-laki berperangai kasar itu yang hendak menciumnya.
"Sungguh sayang! Kenapa dunia ini selalu di-warnai tindak kekerasan" Kenapa
hanya untuk me-
lampiaskan nafsu harus memaksakan diri" Hm...!
Aneh. Kalau semua laki-laki di muka bumi ini berla-
ku sewenang-wenang, bagaimana mungkin dunia ini
akan nyaman" Memuakkan!" gumam Teguh Sayekti.
Suaranya sengaja sedikit dikeraskan agar lelaki kasar itu tak meneruskan maksud
bejadnya. "Bangsat kecil! Apa kau bilang barusan, he"!"
tiba-tiba laki-laki kasar itu melemparkan tubuh gadis pelayan dengan kasar.
Tanpa ampun tubuh si
gadis menabrak meja di sampingnya.
Braaakk! Beberapa tamu langganan yang sedang asyik
makan-minum di meja itu kontan terperangah ka-
get. Namun manakala melihat siapa yang menjadi
biang onar, nyali mereka jadi ciut.
Pembunuh Iblis sendiri berlaku angin-
anginan di tempatnya. Sesuap demi sesuap mulut-
nya terus mengunyah makanan. Tentu saja sikap-
nya makin membuat geram keempat laki-laki berpe-
rangai kasar itu. Sejak melihat Teguh Sayekti masuk ke dalam kedai makan, mereka
Pusaka Lidah Setan 1 Pendekar Mabuk 030 Tandu Terbang Tugas Rahasia 7
Hak cipta dan copy right pada
penerbit dibawah lindungan
undang-undang https://www.facebook.
com/DuniaAbuKeisel
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
1 Laut Selatan mulai dibaluri sinar kuning
keemasan dari ufuk timur sana. Pantulan cahaya
matahari menciptakan pernik-pernik di permukaan
air laut bak ribuan permata menghampar. Angkasa
raya masih berselimut awan putih yang berarak,
hingga membuat udara dingin pagi itu masih terasa.
Sebuah perahu Layar kecil bergerak perlahan
menuju pantai, membelah ombak-ombak yang kali
ini terlihat tenang. Di atasnya, berdiri satu sosok tubuh ramping terbungkus
pakaian ketat warna biru.
Rambutnya yang panjang digelung ke atas, dihiasi manik-manik permata warna biru
pula. Makin mendekati bibir pantai, makin jelas ka-
lau sosok ramping di atas perahu layar itu ternyata wanita cantik dengan tubuh
sintal. Sepasang mata cerah dengan hidung mancung. Bibirnya kemerahan, tampak
merekah bagai delima masak.
Begitu tiba di bibir pantai, si wanita bertubuh
sintal ini menyembunyikan perahunya di balik rindangnya pohon bakau. Kemudian
dengan satu lom-
patan yang ringan sekali, tahu-tahu tubuhnya telah mendarat di tanah berpasir.
Namun baru saja kakinya hendak melangkah, mendadak pendengaran-
nya yang tajam menangkap suara isak tangis bayi
yang datangnya dari semak belukar pantai.
Untuk beberapa saat wanita ini terus men-
dengarkan tangis bayi yang dilingkahi suara erangan dengan seksama. Karena
terdengar begitu memilu-kan hati, membuat ia mulai beringsut mendekati
arah datangnya suara. Pada jarak tertentu, tubuh-
nya melompat ringan ke arah semak. Dari gerakan-
nya bisa dipastikan kalau wanita ini memiliki kepandaian.
Begitu mendarat di balik semak belukar, pa-
ras wanita cantik ini mendadak pias. Dilihatnya seorang wanita muda tengah
terengah-engah menahan
sakit sambil memeluk bayi perempuannya yang te-
rus-terusan menangis.
Keadaan wanita itu amat mengenaskan. Pa-
kaiannya compang-camping tidak karuan. Darah se-
gar bersimbah di tanah sekitarnya dan di sekujur tubuhnya. Wajahnya yang cantik
tampak pucat pasi.
Rambutnya awut-awutan. Bisa jadi wanita itu habis diperkosa segerombolan
perampok yang akhir-akhir ini mengganas di sekitar pantai selatan.
Sedang bayi dalam pelukan wanita itu kira-
kira berusia empat bulan. Wajahnya mungil dan
menawan. Kulitnya putih bersih seperti kulit ibunya.
Dan si bayi terus berusaha meronta dari pelukan
ibunya. Tangisnya yang menyedihkan amat menyen-
tuh perasaan wanita berpakaian ketat warna biru
yang baru datang itu.
"Siapa yang memperlakukan semua ini,
Adik?" tanya si wanita baju biru sambil mencoba meraih bayi agar lebih leluasa
menolong ibunya.
Namun wanita malang itu malah mempererat pelu-
kannya dan memandang curiga. "Jangan cemas, Adik! Aku Ratu Alit ingin
menolongmu. Siapa namamu" Dan siapa yang membuatmu menderita se-
perti ini?"
Wanita malang itu mengeluh tertahan. Dari
bibirnya yang bergetar tampak mengalir darah segar.
Wanita berbaju biru yang menyebut dirinya Ratu Alit
tak membiarkan si wanita malang tersiksa lebih la-ma. Buru-buru ditotoknya
beberapa jalan darah di tubuh wanita malang itu.
"Percuma saja kau menolongku. Aku....
Aku...." Sebelum kalimatnya habis, kepala wanita itu
mendadak terkulai ke samping. Tak sadarkan diri.
Untung saja si bayi tetap berada dalam pelukannya.
Ratu Alit kembali menotok. Sekali lihat saja,
ia tahu kalau wanita itu memang menderita luka
cukup parah yang sulit sekali disembuhkan. Namun wanita berbaju biru itu tak
putus asa. Setelah me-nyingkirkan bayi dalam pelukan itu ke samping,
kembali ditotoknya tubuh wanita malang itu. Dan
perlahan-lahan, wanita itu membuka kelopak ma-
tanya kembali. "Di.... Di mana Yustika anakku?" tanya wanita malang itu menggapai-gapaikan
tangannya kesa-
na kemari. "Jangan cemas, Dik! Anakmu tidak ke mana-
mana. Ia masih di sampingmu. Sekarang katakan,
siapa namamu. Dan siapa yang membuatmu begi-
ni"!" Lega sudah hati si wanita malang melihat bayinya masih tergeletak tak jauh
darinya dalam keadaan tenang-tenang, tak menangis lagi. Kini
pandang matanya tampak demikian memelas seperti
tengah mengharap bantuan sang penolongnya.
"Kau tak mau mengatakannya?" desak Ratu Alit. "Namaku Kartika. Dan bajingan itu
tidak lain adalah suamiku sendiri. Di... dialah yang membua-tku seperti ini....
Ugh ugh...!" desah wanita malang
yang mengaku bernama Kartika itu, terbatuk batuk.
Darah segar pun kembali keluar dari mulutnya.
Ratu Alit cepat merengkuh bahu si wanita, la-
lu disenderkan pada dadanya. Segera ditotoknya da-da Kartika hingga napasnya tak
lagi terengah-engah.
"Suamimu" Kenapa bisa begini?" Ratu Alit membelalak tak percaya.
"Dia.... Dia menuduhku menyeleweng. Maka
ia... ia dan anak buahnya menghukumku seperti
ini." "Hhh...!"
Ratu Alit menghela napas sesak. Hatinya gu-
sar sekali membayangkan kelakuan suami Kartika.
Jelas sekali kalau nuraninya tak dapat menerima.
"Terlepas dari kau melakukan tindak penye-
lewengan ataupun tidak, suami tak berhak menyik-
samu seperti ini. Katakan, siapa suamimu"!" desak Ratu Alit.
"Gen.... Gendon Prakoso...," jawab wanita malang itu dengan hembuskan napas
berat. Nampak- nya keadaannya sudah amat payah dengan luka di
dadanya akibat tusukan-tusukan benda tajam.
"Gendon Prakoso...?" desis Ratu Alit dengan kening berkernyit. "Sayang sekali
aku tak mengenal nama itu. Tapi, aku pasti akan menyelidikinya."
"To.... Tolong anakku...! Aku.... Aku tak sanggup lagi.... Ra... rawatlah a...
anakku...."
Disertai hembusan napas terakhir kepala Kar-
tika terkulai dalam pangkuan Ratu Alit.
Bersamaan dengan itu, bayi mungil di samp-
ing Ratu Alit kontan menangis keras. Seolah-olah si bayi turut merasakan
kesedihan atas meninggalnya sang ibu. Perlahan-lahan Ratu Alit merebahkan tu-
buh Kartika di atas rerumputan. Sejenak perhatiannya tertuju pada sebuah kalung
emas yang berban-
dulkan permata hijau di leher Kartika. Segera diam-bilnya kalung itu dan
disimpan ke dalam sakunya.
* * * Matahari saat itu sudah melambung tinggi di
langit. Tangis bayi mungil di samping Ratu Alit pun mulai mereda beberapa saat
setelah jenazah sang
ibu selesai dikuburkan. Untuk sesaat Ratu Alit masih belum tahu apa yang harus
dilakukan. Bayi
mungil dalam pondongannya terus diperhatikannya
dengan pandang memelas.
"Kukira aku harus menyelidiki suami Kartika terlebih dulu. Kalau tak kutemukan,
baru kupu-tuskan untuk merawatnya. Kasihan sekali bayi ini.
Masih kecil sudah kehilangan ibunya...," gumam Ra-tu Alit dalam hati.
Lalu dengan satu kali hentakan kaki, Ratu
Alit segera berkelebat cepat meninggalkan tempat itu sambil terus memondong si
bayi malang. Ratu Alit berniat mencari Gendon Prakoso.
* * * Matahari merah jingga perlahan merangkak
naik di garis laut sana, mengusir embun sisa-sisa tadi malam. Sinar matahari
menghangati alam
mayapada ini, memberi udara baru bagi setiap mah-kluk. Ombak pantai Nusa
Kambangan berkejaran
bak tangan-tangan maut yang menjulur-julur me-
nampar batu karang, menimbulkan suara bergemu-
ruh. "Heaaa.... Heaaa...!"
Seiring suara angin kencang yang mendesau,
terdengar pula suara garang dari seorang gadis cantik yang tengah berlatih silat
di tepi pantai. Gerakannya lincah sekali. Kedua tangannya sesekali menyentak ke
depan melontarkan jotosan. Seolah, di hadapannya ada seorang musuh yang tengah
kewalahan menghadapi jurusnya. Sementara kedua ka-
kinya sesekali berlompatan ringan dari batu karang yang satu ke batu karang
lainnya. Seolah, tubuhnya tak berbobot. Padahal jarak antara batu-batu karang
itu cukup jauh, hampir mencapai enam sampai tujuh tombak. Sekali saja gadis itu
membuat kesalahan, bukan mustahil tubuhnya akan terbanting ke-
ras di batu-batu karang di pinggiran pantai yang di-kerubungi amukan ombak.
"Hiaaa...! Hap!"
Si cantik bertubuh mungil itu terus berkele-
bat lincah di antara batu-batu karang di tepi pantai.
Pakaian merah dan rambutnya yang dikuncir ke be-
lakang berkibar-kibar dipermainkan angin. Untuk
sesaat, gadis cantik itu menghentikan gerakan di atas batu karang. Tubuhnya yang
ramping tampak indah di balik pakaiannya yang serba merah. Wa-
jahnya bulat telur dengan sepasang mata berbinarbinar indah, dihiasi bulu-bulu
mata lentik. Dagunya runcing. Pas sekali dengan hidung yang mancung.
Di depan, seorang wanita cantik tengah du-
duk bersila di bongkahan batu karang. Wajahnya
yang cantik berbentuk lonjong. Sepasang matanya
berbinar-binar indah. Hidungnya mancung. Kedua
bibirnya tipis berwarna kemerahan. Belum lagi tubuhnya yang padat terbungkus
pakaian ketat warna biru menampakkan lekuk-lekuk menggairahkan.
Sedang rambutnya yang hitam panjang digelung ke
atas dihiasi dengan manik-manik permata berwarna biru. Siapakah sebenarnya
perempuan cantik berpakaian biru-biru ini"
Di dunia persilatan hanya ada seorang tokoh
sakti yang tinggal di Pulau Nusa Kambangan. Melihat ciri-cirinya, siapa lagi
tokoh itu kalau bukan Ra-tu Alit! Tujuh belas tahun yang lalu, Ratu Alit telah
berusaha menyelamatkan seorang wanita yang terluka parah di pantai Nusa
Kambangan. Sayang wa-
nita bernama Kartika yang juga membawa seorang
bayi itu tak lama kemudian tewas.
Si bayi kemudian tumbuh dewasa, menjadi
seorang gadis cantik yang kini sedang berlatih ilmu silat. Sampai saat ini,
gadis itu memang belum diberi tahu tentang asal-usul dirinya. Kendati pernah di-
tanyakan, tetapi Ratu Alit selalu mengelak, karena menganggap belum waktunya
untuk diceritakan. Ia
takut si gadis belum siap untuk mengetahui kea-
daan yang sebenarnya.
Ratu Alit sendiri waktu itu pernah mencari
ayah si bayi, yang telah menganiaya Kartika hingga menemui ajal. Sayang,
pencarian itu sia-sia. Sehingga akhirnya diputuskannya untuk merawat si bayi
saja, yang diketahui bernama Yustika.
Dalam menanyakan asal-usulnya, pertanyaan
Yustika sendiri sempat memojokkan Ratu Alit. Yaitu, saat kalau dirinya bukan ibu
si gadis. Akhirnya, Ra-
tu Alit menjelaskan kalau dirinya adalah salah seorang kerabat Kerajaan Mataram.
Ratu Alit kabur dari keputren karena tak se-
tuju dengan calon suami yang telah ditetapkan kedua orang-tuanya. Namun
orangtuanya pun ru-
panya tak tinggal diam. Dengan mengerahkan ba-
nyak pasukan, mereka terus mencari putrinya. Ma-
ka untuk menghindari kejaran pasukan-pasukan
Kerajaan Mataram, akhirnya Ratu Alit menyingkir
jauh ke selatan. Dan di Pulau Nusa Kambangan itulah Ratu Alit menyembunyikan
diri. Bertahun-tahun Ratu Alit hidup seorang diri
di pulau kecil sebelah selatan Pulau Jawa tanpa sanak saudara. Bertahun-tahun
pula wanita itu memi-sahkan diri dari kehidupan ramai. Hingga pada sua-tu saat,
ia menemukan sebuah kitab kuno yang tersimpan di dalam goa persembunyiannya.
Berkat ke- cerdasan dan ketelatenannya, akhirnya ilmu yang
terkandung dalam kitab kuno itu mampu dipelaja-
rinya. * * * "Yustika! Kenapa berhenti" Teruskan lati-
hanmu! Coba mainkan jurus 'Pedang Menembus Bu-
lan'!" kata Ratu Alit sambil tetap memejamkan mata.
Sejenak Yustika ragu-ragu, namun tak berani
melanggar perintah gurunya.
"Baik," sahutnya seraya mencabut keluar pedang yang menggelantung di pinggang
kiri. Yustika memusatkan pikirannya sebentar, la-
lu mulai memainkan jurus yang disebut gurunya.
Dengan sebilah pedang di tangan kanan, tubuhnya
berkelebat cepat ke sana kemari. Pedangnya dipu-
tar-putar cepat hingga yang terlihat hanya kilatan-kilatan saja.
Sambil terus memutar-mutar pedang, tubuh
Yustika sesekali meloncat dari bongkahan batu karang yang satu ke bongkahan batu
karang lainnya.
Saat melayang di udara, gerakannya indah sekali
laksana burung walet yang tengah menyambar
mangsa dengan pedang menghujam ke bawah. Seo-
lah-olah, di atas batu karang itu berdiri musuh yang menanti serangannya.
"Hea! Hea!"
Begitu kedua kakinya menjejak di bongkahan
batu karang tanpa menimbulkan suara sedikit pun, Yustika kembali memainkan
pedang di tangan kanannya. Terkadang gerakan pedangnya melambat,
namun tiba-tiba bisa berubah cepat luar biasa!
Werrr! Werrr! Lima belas jurus terlewati sudah. Yustika
sendiri tahu-tahu telah berdiri dengan pedang me-nyilang di depan dada. Napasnya
sedikit memburu.
Itu dapat dilihat dari sepasang buah dadanya yang bergerak naik turun. Dari
parasnya yang jelita tampak butiran keringat membasahi kening.
Ratu Arit membuka matanya perlahan. Lalu
Siluman Ular Putih 21 Setan Haus Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kepalanya mengangguk-angguk penuh kagum.
"Hebat, Muridku. Sejak kecil aku memang
sudah menduga kalau kau sangat berbakat. Jurus
'Pedang Menembus Bulan' yang baru saja kau main-
kan memang hebat," puji sang Guru.
"Terima kasih atas pujian. Guru," ucap Yustika seraya menjura penuh hormat.
"Aku senang sekali memiliki murid macam
kau, Yustika. Di samping sangat berbakat, kau pun memiliki sikap halus."
"Ini semua tak lepas dari didikan mu. Tapi...."
Yustika tak meneruskan ucapannya. Hatinya
ragu-ragu untuk meneruskan apa yang mengusik
hatinya selama ini.
"Ada apa, Yustika" Kenapa tak kau te-
ruskan?" kata Ratu Alit seraya memandang muridnya tajam.
"Bolehkah aku mengatakan sesuatu padamu,
Guru?" "Mendekatlah kalau kau ingin bicara, Yustika!" "Baik."
Yustika cepat menutulkan kakinya ke bong-
kahan batu karang. Dan kini tubuhnya telah berada di udara. Dengan satu putaran
indah, akhirnya kedua kakinya mendarat mulus di bongkahan batu ka-
rang tak jauh dari gurunya bersila.
"Duduklah, Yustika. Sedari tadi kuperhatikan kau tampak gelisah sekali. Apa yang
ingin kau katakan?" Perlahan-lahan Yustika meletakkan pantat-nya di hadapan
gurunya. Duduk bersila sambil me-
nenangkan perasaannya yang rusuh.
"Aku memang sedang gelisah. Kalau tak kebe-
ratan, izinkan aku untuk berpetualang. Guru."
"Hm...! Jadi, kau sudah tak betah tinggal ber-samaku di sini, Yustika?" tanya
Ratu Alit, memanc-ing. "Maafkan aku, Guru! Sebenarnya bukan itu maksudku."
"Lalu?"
"Se... semalam aku bermimpi bertemu kedua orang-tuaku. Kalau saja mimpiku benar,
aku ingin sekali bertemu mereka. Maka itulah aku gelisah sekali memikirkannya,
Guru." "Hm...! Kau mimpi bertemu kedua orangtua
mu, Yustika" Coba ceritakan dengan jelas!"
Yustika menghela napasnya sebentar. "Aku
bermimpi buruk, Guru. Kulihat, ibuku terjerumus
ke dalam lobang yang sangat dalam. Tapi, ayahku
malah tertawa-tawa. Te... terus-terang aku jadi ingin sekali bertemu kedua
orangtua ku. Apakah Guru
dapat membantuku menemukan mereka?"
Kini gantian Ratu Alit yang harus menghela
napas panjang. Lalu kepalanya menggeleng-geleng.
"Ada apa. Guru" Kenapa kau tampak geli-
sah?" "Aku khawatir kalau kau akan kecewa, Muridku. Mungkin mimpimu itu benar.
Tapi, terkadang
mimpi itu juga merupakan kebalikannya."
"Maksudmu?"
"Dalam mimpimu, kau seolah-olah melihat
kalau ayahmu bersenang-senang dalam penderitaan
orang lain. Tapi, mimpi tak selamanya benar. Karena bisa jadi ayahmu tak seperti
dalam bayanganmu
saat ini. Kau paham, Yustika?" urai Ratu Alit, tanpa bermaksud menyinggung
perasaan muridnya.
Yustika mengangguk.
"Aku mengerti maksud Guru. Tapi meski de-
mikian, bukan berarti aku harus membiarkan hati-
ku penasaran untuk mengetahui siapa kedua orang-
tua ku," kata Yustika mengeraskan niatnya.
Ratu Alit diam untuk beberapa saat. Bukan-
nya keberatan melepas muridnya berpetualang men-
cari keadaan orangtuanya, melainkan khawatir apa
yang diceritakannya nanti akan membuat Yustika
terpukul. Dan bila muridnya berkeras untuk berpetualang, ia juga khawatir akan
menemukan kesuli-
tan di dunia ramai. Sebab bukan mustahil dunia
persilatan yang penuh kelicikan itu justru akan
membuat muridnya celaka.
"Apakah Guru keberatan melepasku pergi?"
Ratu Alit mengangguk pelan.
Yustika mengeluh tertahan.
"Kenapa, Guru" Kenapa Guru tak mengizin-
kan aku mencari kedua orangtua ku?" tanya Yustika penasaran.
"Sebenarnya bukannya aku keberatan kau
mencari mereka, melainkan aku khawatir kalau kau akan celaka. Kau belum tahu,
macam apa dunia
persilatan itu. Apalagi buat gadis cantik semacam-mu." "Tapi, Guru...," Yustika
tetap bersikeras.
"Ya ya ya...! Aku tahu apa maksudmu, Yusti-
ka. Aku tak mungkin membiarkan kau penasaran
seperti ini."
"Jadi" Guru mengizinkanku untuk berpetua-
lang?" sambut Yustika dengan raut wajah gembira.
Ratu Alit mengangguk.
"Terima kasih. Guru. Terima kasih...." Yustika cepat menghaturkan sembah kepada
Ratu Alit. "Tunggu dulu, Yustika! Aku belum selesai bicara," tukas Ratu Alit. Tangan
kanannya segera merogoh sesuatu di balik pakaian biru-birunya. "Kau perlu
memakai kalung ini."
Ratu Alit segera menunjukkan sebuah kalung
berbandulkan permata hijau ke hadapan Yustika.
"Wow, bagusnya...! Kalung siapakah itu?"
"Dengarlah, Muridku. Agar kau tak penasa-
ran, sebaiknya dengarkan dulu ceritaku tujuh belas tahun lalu!"
"Baik."
Ratu Alit menghela napas sebentar. Sepasang
matanya yang berbinar indah meredup seolah-olah
tengah membayangkan kejadian tujuh belas tahun
lalu. Selang beberapa saat, Ratu Alit pun mulai bercerita....
2 Yustika masih terpekur di tempatnya ketika
Ratu Alit baru saja menyelesaikan ceritanya. Wajahnya berubah mendung kala
mendengar cerita gu-
runya barusan. Untuk sesaat, gadis ini tak dapat berkata-kata. Kedua bibirnya
bergetar-getar menahan tangis. Sungguh tak disangka kalau ibunya telah
meninggal. Dan yang menyebabkannya adalah...
ayahnya sendiri!
"Kau sekarang paham siapa pemilik kalung
ini sebenarnya?" tanya Ratu Alit seraya menimang kalung di tangan.
Yustika mengangguk perlahan.
"Nah...! Sekarang pakailah kalung ini" Karena memang kalung ini milikmu, warisan
mendiang ibumu.'" Ratu Alit mengangsurkan kalung itu ke hadapan Yustika.
Yustika ragu sejenak. Sepasang matanya yang
indah berkaca-kaca.
"Pakailah! Kenapa kau ragu-ragu?"
"Aku.... Aku tidak ragu-ragu, Guru. Aku...
aku hanya tidak tahu harus bagaimana untuk
membalas kebaikan Guru yang sudi merawat dan
mendidikku hingga aku dewasa seperti ini."
"Sudahlah, Yustika. Bagiku, kau sudah kua-
nggap seperti anak kandungku. Tak perlu kau men-
gungkit-ungkit peristiwa itu. Sekarang, ambil dan pakailah kalung ini!"
Yustika mengulurkan tangannya ke depan.
Tampak jari-jarinya gemetar kala menerima kalung milik mendiang ibunya. Namun
Yustika tidak segera mengenakannya. Melainkan, dipandanginya kalung
milik mendiang ibunya itu untuk beberapa saat. Sepasang mata Yustika pun makin
basah oleh air ma-
ta. "Aku sangat maklum kalau kau terpukul atas
peristiwa tujuh belas tahun lalu, Muridku. Tapi aku yakin, kau tentu dapat
melupakan kejadian pahit
itu," kata Ratu Alit perlahan.
Yustika mengangguk.
"Tapi bukan berarti aku harus melupakan
siapa yang telah mencelakakan mendiang Ibu, Guru.
Aku harus menuntut pertanggung jawaban atas te-
wasnya mendiang ibuku!" desis Yustika.
"Berarti kau akan membunuh ayah kan-
dungmu sendiri?" tukas Ratu Alit, tajam.
Yustika mengeluh. Hatinya rusuh bukan
main. Mungkinkah ia membunuh ayah kandungnya
yang telah menewaskan ibunya serta menelantarkan dirinya"
"Aku.... Aku tidak tahu. Guru. Sulit bagiku untuk memahami arti kehidupan yang
demikian rumit melingkar dalam diriku."
"Kalau memang ayah kandungmu yang telah
menewaskan ibumu, aku maklum kalau kau bin-
gung sekali. Sebagai seorang anak, tentu kau tak ingin berbuat durhaka. Apalagi,
sampai ingin membunuh orangtua sendiri. Rasanya kau memang dalam
keadaan sulit, Muridku."
"Bagaimanapun juga aku tetap akan mencari
orang yang bernama Gendon Prakoso. Terlepas ayah kandungku atau bukan, pokoknya
kalau ia masih malang melintang di dunia kejahatan, aku pasti
akan memberantasnya. Kukira aku hanya ingin
menggunakan dalih ini, Guru."
"Bagus, bagus. Itu artinya, kau harus me-
nyingkirkan dendammu lebih dulu....'"
Ratu Alit mengangguk-angguk kecil.
"Sekarang izinkan aku untuk berpetualang.
Guru!" tandas Yustika mendahului gurunya yang hendak angkat bicara.
"Hhh...!" Ratu Alit menghela napas panjang.
"Sebenarnya aku berat sekali melepasmu, Muridku.
Tapi aku pun maklum apa yang tengah bergolak da-
lam hatimu. Kalau aku menahanmu, berarti aku ku-
rang bijaksana. Hanya mementingkan diriku sendiri.
Tapi kalau membiarkan kau pergi aku pun... ah!
Baiknya kau pelajari dulu pukulan 'Cakar Naga Samudera'! Kukira baru aku lega
melepas kepergian-
mu, Yustika. Dan bila jurus ini kau kuasai, kau ku-beri gelar Ratu Adil!"
"Terima kasih. Guru. Kelak gelar itu akan ku-sandang sampai akhir hayatku!"
"Nah, sekarang bersiap-siaplah mempelajari
pukulan 'Cakar Naga Samudera', Muridku" Pu-
satkanlah jalan pikiranmu pada satu titik sasaran.
Serta, kendurkanlah semua urat saraf dalam tu-
buhmu?" "Baik, Guru."
3 Puncak Gunung Bucu berselimut awan putih.
Matahari yang bersinar keemasan berusaha menyi-
bak kabut yang bagaikan tirai putih di lereng sebelah timur. Sementara hawa
dingin yang mengung-
kungi bumi mulai sirna oleh hangatnya sang menta-ri. Embun-embun pagi di
ranting-ranting dahan
maupun di bongkahan-bongkahan batu di puncak
gunung tampak berkilauan bagai permata mutu
manikam tertimpa sinar matahari.
Di atas sebuah bongkahan batu besar, seo-
rang gadis cantik asyik memandang hamparan le-
reng-lereng terjal nun jauh di sana. Rambutnya yang hitam lebat sebatas punggung
bergerak-gerak tertiup angin pagi. Kulitnya putih bersih. Matanya bulat dan
tajam ditingkahi bulu mata panjang serta lentik. Hidungnya mancung. Pas sekali
dengan bibir merah yang tipis dan indah. Dadanya kencang
membusung, membayang jelas dari pakaian ketat-
nya yang berwarna hijau. Dari ujung-ujung rambutnya yang melingkar sebagian
dihiasi untaian bunga melati putih.
Sudah beberapa saat berlalu gadis jelita ini
hanya membisu seorang diri. Sepasang matanya
yang indah terus melekat pada pemandangan indah
nun jauh di sana. Menilik cara memandangnya, se-
benarnya gadis itu tidak sedang menikmati peman-
dangan indah pagi itu. Bahkan sebaliknya! Dari gu-
ratan-guratan keningnya yang sesekali mengernyit, juga tarikan-tarikan napasnya,
jelas kalau gadis itu tengah gelisah.
"Sekarang apa lagi yang harus kulakukan"
Musuh besarku Penghuni Kubur telah tewas di tan-
gan Raja Penyihir," gumamnya perlahan, nyaris tak kentara.
Si gadis membuang pandangannya ke arah
lain. Napasnya terasa sesak bila mengingat sepak terjang musuh besarnya.
"Hm...! Bajingan-bajingan itu telah tewas di tangan Raja Penyihir maupun Siluman
Ular Putih. Sekarang sebagai seorang anak, kukira aku harus
segera menemukan kubur kedua orangtua ku. Sesu-
lit apa pun, aku harus menemukannya!"
Gadis berwajah jelita ini mendesah panjang.
Bilur-bilur kesedihan dalam hatinya sedikit berkurang bila mengingat musuh-musuh
besarnya telah tewas. Meski tewas bukan di tangannya sendiri, namun gadis cantik yang tak lain
Arum Sari ini patut merasa lega. (Untuk mengetahui sepak terjang musuh besar
Arum Sari, silakan baca episode : "Titisan Alam Kegelapan" dan "Murka Penghuni
Kubur"). "Sekarang sudah saatnya aku meninggalkan
puncak Gunung Bucu ini. Sudah tiga hari tiga ma-
lam aku menginap di sini. Rasanya, tak enak kalau harus berlama-lama. Kukira,
aku harus secepatnya menyelidiki di mana kubur kedua orangtua ku...,"
lanjut Arum Sari perlahan.
Namun saat si gadis hendak menggerakkan
tubuh, tiba-tiba terdengar suara batuk-batuk kecil tak jauh di belakangnya.
Buru-buru Arum Sari berpaling ke arah da-
tangnya suara. Di belakangnya ternyata telah berdiri seorang pemuda tampan
dengan senyum manis terkembang di bibir.
Tampang pemuda di hadapan Arum Sari me-
mang cukup meyakinkan. Wajahnya berbentuk lon-
jong dengan rahang-rahang mengeras. Rambutnya
yang gondrong dibiarkan tergerai dipermainkan angin. Pakaiannya rompi dan celana
bersisik warna putih keperakan. Dua gelang akar bahar tampak
melingkar di pergelangan tangan. Sementara sebuah rajahan kecil bergambar ular
putih tergambar di da-da. Siapa lagi pemuda satu ini kalau bukan murid Eyang
Begawan Kamasetyo yang bergelar Siluman
Ular Putih! "Soma! Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Arum Sari untuk sekadar
menghilangkan keterkeju-tannya.
"Kok, malah tanya" Justru aku yang ingin
bertanya, kenapa kau tampak murung di tempat
ini?" tukas Siluman Ular Putih sambil memamerkan giginya yang putih bersih.
Seolah-olah dengan se-nyumnya, ia ingin sekali menarik perhatian Arum
Sari. "Nah...! Sekarang malah kau sendiri yang me-lamun. Apa kau sedang
memikirkan gadismu?" tebak Arum Sari, asal saja. Diam-diam diperhatikannya sikap
pemuda di hadapannya seksama.
"Ah... kau ini! Mana ada gadis yang mau denganku. Lagi pula mengapa memikirkan
Siluman Ular Putih 21 Setan Haus Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gadis lain kalau di hadapanku ada seorang gadis jelita" He he he...," celoteh Soma, asal
saja. Semburat rona merah kontan mewarnai pipi
Arum Sari. Hatinya pun mendadak jadi rusuh bukan main. Senang sekali hatinya
mendengar ucapan So-ma barusan.
"Lho" Kok, jadi senyum-senyum" Ada apa,
nih" Jangan-jangan malah kau sendiri yang lagi
memikirkan kekasihmu" Iya, kan?" lanjut Soma, meledek.
"Kali ini aku tidak sedang memikirkan siapa-siapa. Aku justru sedang memikirkan
mendiang ke- dua orangtua ku. Aku ingin sekali segera menemukan kubur mereka."
"Hm...! Kalau kau tak keberatan, aku ingin
sekali membantumu. Arum," cetus Siluman Ular Putih dengan nada lembut.
Hal ini malah makin membuat hati Arum Sari
blingsatan. Apalagi ketika Soma ikut duduk di sebelahnya seraya merengkuh
bahunya. Ingin rasanya
Arum Sari segera menyandarkan kepala ke dada Si-
luman Ular Putih.
"Tentu saja aku tak keberatan. Soma. Kau....
Kau adalah sahabatku yang paling baik," sambut Arum Sari. Nyaris mendesah.
"Aduuuh senangnya hatiku mendengar pujian
dari seorang gadis. Apalagi gadis secantikmu. Hm...!"
Siluman Ular Putih langsung memandang Arum Sari
lekat-lekat dengan kepala menggeleng-geleng penuh kagum melihat seraut wajah
cantik di hadapannya.
"Jangan memandangiku seperti itu, ah!" ujar Arum Sari tersipu malu. Rona merah
di pipinya pun makin kentara. Maka buru-buru kepalanya menunduk sambil memainkan
jari-jari tangannya.
"Ayo, kita kembali. Ibu dan eyangku ingin bicara denganmu."
Arum Sari mendongak memandang Siluman
Ular Putih tak mengerti. Bukannya keberatan diajak Soma menemui ibu dan
eyangnya, melainkan sedang memikirkan hal lain.
"Ayo!" Soma membimbing Arum Sari. Si gadis tersenyum manis. Sama sekali ia tak
keberatan di-perlakukan manis oleh pemuda yang sebenarnya
sangat diidam-idamkan itu. Malah dengan berge-
layut mesra di lengan Soma, segera diikuti langkah Siluman Ular Putih.
* * * Di dalam goa tempat asal-usul Siluman Ular
Putih, tampak pula Raja Penyihir tengah duduk bersemadi di samping Eyang Begawan
Kamasetyo. Ruangan dalam goa itu memang cukup lebar. Beru-
kuran kira-kira enam kali tujuh tombak. Sebuah ob-or kecil tertancap di salah
satu dinding goa, membuat ruangan terlihat jelas.
Dari sebelah dinding barat, tampak sebuah
pancuran kecil dengan airnya yang bening kebiru-
biruan tertampung di sebuah kolam mirip sendang.
Di pinggir sendang itulah seekor ular putih raksasa melingkar. Kelopak matanya
tampak terpejam di
atas batu putih pipih menghadap ke mulut pancu-
ran. Tak jauh di belakangnya, Eyang Begawan Ka-
masetyo dan Raja Penyihir tengah bersemadi sambil menemani Dewi Ratri yang masih
menjelma menjadi
ular putih raksasa, atau lebih terkenal dengan julukan Siluman Naga Puspa.
(Untuk mengetahui kena-
pa Dewi Ratri masih menjadi ular putih, harap baca episode : "Misteri Bayi
Ular"). Manakala Soma dan Arum Sari melangkah
masuk, Eyang Begawan Kamasetyo dan Raja Penyi-
hir segera membuka kelopak matanya. Kedua anak
muda itu sendiri segera duduk bersimpuh di hada-
pan mereka. "Arum Sari! Mendekatlah! Eyang ingin bicara denganmu," ujar Eyang Begawan
Kamasetyo. "Baik, Eyang Begawan."
Arum Sari menggeser duduknya beberapa de-
pa ke depan. Siluman Ular Putih ikut pula duduk
menjejeri. "Cucuku sudah bercerita banyak tentang di-
rimu. Arum Sari. Terus terang, aku turut prihatin.
Tak kusangka sobatku Sepasang Pendekar Garuda
Emas telah mendahuluiku. Tapi, kuharap kau tak
usah terlalu bersedih, Arum. Bukankah orang yang telah membunuh kedua orangtua
mu pun telah tewas?" "Benar, Eyang Begawan. Itu semua tak lepas dari bantuan
Soma dan Raja Penyihir. Cuma terus
terang, aku sangat menyayangkan, kenapa aku tak
mampu membalaskan sakit hati kedua orangtua ku
dengan tanganku sendiri," desah Arum Sari.
"Aku mengerti. Kepandaian Penghuni Kubur
memang luar biasa. Kukira kau tak perlu menyesal, Arum. Bukannya Eyang
merendahkan kepandaianmu. Tapi kepandaianmu saat ini memang masih
jauh di bawah kepandaian manusia sesat itu."
"Benar, Eyang Begawan. Aku pun menyadari
hal itu." "Zzzzt! Zzzzt...!!!"
Tiba-tiba Siluman Naga Puspa mendesis-
desis, ikut bicara.
"Apa kau bilang, Ratri?" tanya Eyang Begawan Kamasetyo.
Siluman Naga Puspa mendesis-desis lagi, seo-
lah mengulangi ucapannya.
"Oh...! Kau menghendaki Arum Sari tinggal di sini untuk menemanimu" Begitu?"
kata Eyang Begawan Kamasetyo.
Siluman Naga Puspa mendesis-desis lagi.
"Baik, Akan kutanyakan pada Arum Sari," sahut Eyang Begawan Kamasetyo, lalu
kembali me- mandang Arum Sari. "Arum...! Kukira kau sudah ta-hu apa yang kubicarakan dengan
putriku barusan.
Apa kau bersedia tinggal di sini bersama kami?"
"Hm...," Arum Sari menelan ludahnya sebentar. Tanpa sadar pandang matanya
beralih ke arah Siluman Ular Putih.
"Kukira itu juga lebih baik, Arum. Kau baiknya tinggal saja di sini menemani ibu
dan eyangku. Mengenai masalah kuburan kedua orangtua mu, bi-
ar aku saja yang mencari," cetus Soma, menimpali.
Arum Sari menggeleng.
"Maaf, Eyang Begawan. Terus terang, bukan-
nya aku keberatan tinggal di sini. Tapi rasa-rasanya, aku tak puas kalau belum
menemukan makam kedua orangtua ku. Untuk itu, izinkanlah aku mencari makam
mereka, Eyang Begawan!"
"Hm...! Sayang sekali sebenarnya. Tapi, kalau memang itu keputusanmu, Eyang tak
dapat lagi menahanmu"
"Zzzzt! Zzzzt...!"
Siluman Naga Puspa mendesis-desis lagi. Kali
ini bukan saja Eyang Begawan Kamasetyo yang ter-
peranjat, melainkan Soma sendiri pun ikut terperan-
jat. Malah kedua pipi si pemuda kontan bersemu
merah. "Ah...! Ibu ini ada-ada saja. Aku belum ingin menikah! Tugas di pundakku
masih teramat berat.
Aku belum membantu Arum Sari menemukan ma-
kam kedua orangtuanya. Juga, belum dapat mere-
but Kujang Emas senjata andalan Ayah yang kini
masih dikangkangi Prameswara," tandas Soma, jen-gah. Meski Arum Sari tidak tahu
apa yang di- ucapkan Siluman Naga Puspa, namun manakala
mendengar ucapan Soma kontan saja rona merah
menjalar di pipinya.
"Bodoh! Mumpung kau masih muda, tunggu
apa lagi, Soma! Turuti saja kemauan ibumu," terabas Raja Penyihir, ikut
menimpali. "Tidak, Kek. Aku belum ingin menikah," tegas Soma. "Tunggu, Bocah! Apa kau lupa"
Kau harus memanggilku Guru, tahu?"" sentak Raja Penyihir.
"Hm...!" Soma memainkan bibirnya sebentar.
Sebenarnya ingin sekali ia membantah ucapan Raja Penyihir. Namun manakala
melihat pandang mata
Eyang Begawan Kamasetyo, niatnya diurungkan.
"Baiklah, Guru."
"Baik apanya" Apa kau sudah setuju dengan
permintaan ibumu" Kau sudah berubah pikiran un-
tuk cepat-cepat menikah" Hm...! Bagus. Kukira gadis itu tidak mengecewakan.
Wajahnya cantik. Si-
kapnya cukup santun. Kukira tak ada yang kurang
dari Arum Sari. Memang tepat sekali bila...."
"Aku belum ingin menikah, Guru. Tadi, aku
hanya mengiyakan ucapanmu yang menyuruhku
memanggilmu guru. Bukan menyetujui keinginan
Ibu," tukas Siluman Ular Putih dengan nada tinggi.
"Oh oh oh...! Kukira kau ingin menikah. He he he...!" Raja Penyihir terkekeh
senang. "Sebenarnya, aku juga ingin menikah. Tapi sayang, badanku sudah bau
tanah. Jangan-jangan aku malah.... Hik hik hik...!" Raja Penyihir tak meneruskan
ucapannya. Malah tersipu malu dengan apa yang terlintas di benaknya.
Arum Sari sendiri hanya diam membisu di
tempatnya. Bayangan indah untuk menikah dengan
Siluman Ular Putih kontan terpangkas. Bahkan kini berganti rasa gelisah yang
mengungkung hatinya.
"Jangan kecewa. Arum! Mungkin cucuku
memang belum ingin menikah," ujar Eyang Begawan Kamasetyo kemudian.
Sedang Siluman Naga Puspa sendiri tak hen-
ti-hentinya terus mendesis 'mencaci' putranya.
Arum Sari diam tertunduk. Tak ada keinginan
di hatinya untuk membantah ucapan Eyang Bega-
wan Kamasetyo. Ia justru lebih senang bermain dengan perasaannya sendiri. Itu
lebih baik daripada hatinya kian nelangsa.
"Maafkan aku. Arum! Kau tak apa-apa, kan?"
ucap Soma tiba-tiba.
Arum Sari memaksakan diri untuk terse-
nyum. Kedua bibirnya yang bergetar tak kuasa un-
tuk berkata-kata.
"Terima kasih atas pengertianmu, Arum. Kau
memang sahabatku yang paling baik."
Arum Sari menggigit bibirnya sendiri. Tampak
sekali hatinya tak puas mendengar jawaban Soma.
"Hm.... Bagaimana kalau sekarang saja kita
mencari di mana makam kedua orangtua mu,
Arum?" ajak Soma, untuk menghilangkan kekakuan
"Ayo," ucap Arum Sari seraya mengangguk pelan. "Ibu, Eyang. Juga kau, guruku
Raja Penyihir. Kukira sudah waktunya aku dan Arum Sari mene-
ruskan perjalanan. Kalian tidak keberatan, kan?"
kata Soma. Siluman Naga Puspa tidak menyahut. Sepa-
sang matanya yang mencorong mendadak berair,
seolah keberatan melepas putra kesayangannya.
"Jangan bersedih, Ibu! Aku pasti akan sering-sering menengok ke mari. Dan,
jangan lupa. Mintalah pada Yang Kuasa agar Ibu kembali dapat beru-
bah wujud seperti manusia biasa."
Siluman Naga Puspa mendesis-desis hebat.
Ekornya dikibas-kibaskan ke sana kemari. Sepasang matanya yang mencorong kini
makin dibasahi air.
"Tabahkanlah hatimu, Ibu! Niscaya Tuhan
akan mengabulkan permintaan kita semua kalau
Ibu sendiri tak berputus asa untuk terus berdoa."
"Sudahlah, Cucuku! Kalau kau mau berang-
kat, berangkatlah!" tukas Eyang Begawan Kamasetyo tak tega melihat kesedihan
Siluman Naga Pus-pa.
"Baik, Eyang."
Soma memeluk tubuh ibunya sebentar. Dan
Siluman Naga Puspa pun balas memeluk dengan
melilit tubuh putranya. Arum Sari yang melihat ade-gan ibu dan anak itu tak
kuasa lagi untuk membendung air mata. Bahkan ketika Soma meninggalkan
tempat pertapaan, Arum Sari masih dililit perasaan
sedih. 4 Dunia seolah tak pernah sepi dari gejolak. Bi-
la satu gejolak berhasil dipadamkan di tempat yang satu, maka gejolak lain akan
tumbuh di tempat berbeda. Begitu pula yang terjadi di tanah Jawa bagian tengah.
Bulan-bulan belakangan sering terdengar pe-
rampokan besar-besaran di sana-sini yang dilaku-
kan orang-orang berpakaian serba hijau. Tak heran kalau mereka kemudian dijuluki
Laskar Hijau. Ko-non pasukan serba hijau yang dipimpin Setan Haus Darah itu
sedikit pun tak memberi ampun pada daerah-daerah yang dilewati. Semua dirampok,
tak ter-kecuali harta benda yang berharga, binatang-
binatang ternak, perempuan-perempuan baik tua
maupun setengah baya. Semua diboyong ke markas
Pasukan Laskar Hijau. Siapa saja yang berani
menghalangi, pasti akan ditumpas habis. Bahkan
pasukan Kerajaan Mataram dan beberapa orang
pendekar sudah banyak yang tewas di tangan Pasu-
kan Laskar Hijau.
Siang itu cahaya matahari leluasa menghu-
jamkan panasnya ke permukaan bumi, menggarang
sepasukan berkuda yang berjumlah tak kurang dari tiga puluh orang yang beriring-
iringan menyusuri jalan di pinggiran Hutan Karang Ampel sebelah barat.
Kuda-kuda mereka dipacu dengan kecepatan biasa-
biasa saja. Semua penunggang kuda itu adalah para le-
laki bengis berpakaian hijau-hijau. Di kepala mereka pun melingkar ikat kepala
yang juga berwarna hijau, mereka tak lain memang Pasukan Laskar Hijau.
Sesekali penunggang kuda yang berada paling
depan memberi aba-aba pada beberapa orang-orang
di belakangnya, lelaki berusia empat puluh tahun.
Itulah yang menjadi pemimpin pasukan ini. Wajah-
nya bengis dengan sepasang mata garang berwarna
merah menyala. Tubuhnya tinggi kekar berbalut pakaian hijau-hijau terbuat dari
sutera. Rambutnya yang hitam panjang dibiarkan tergerai di bahu. Sebuah ikat
kepala berwarna hijau tampak melingkari kepala. Sekali lihat, lelaki Pimpinan
Pasukan Laskar Hijau yang tak lain Setan Haus Darah itu memang
gagah. Namun bila menilik perangai dan sepak terjangnya, tentu saja akan membuat
orang lari tunggang langgang. Siapa sudi menghadang langkah me-
reka, kendati bila ingin mati.
Ketika memasuki sebuah kampung, Setan
Haus Darah memperlambat lari kudanya. Mereka
memandang heran, karena sama sekali tak mene-
mukan apa-apa. Penduduk kampung yang biasanya
hilir mudik di mulut desa maupun di pematang-
pematang sawah, tak kelihatan sama sekali. Bahkan anak-anak yang biasanya
bermain di halaman rumah tak lagi terdengar suaranya!
Setan Haus Darah jadi curiga bukan main.
Segenap mata memandang hanya kelengangan yang
Siluman Ular Putih 21 Setan Haus Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ditemui. Debu-debu pun seolah-olah malas beter-
bangan di jalan utama desa itu.
Semakin memasuki desa itu, Setan Haus Da-
rah jadi tak dapat menahan amarah lagi.
"Berhenti...!"
Lelaki ini berteriak lantang menyuruh anak
buahnya berhenti. Tali-tali kekang di tangan para anggota pasukan Laskar Hijau
segera ditarik ke belakang. Kuda-kuda mereka meringkik keras, lalu
berhenti. Setan Haus Darah dan ketiga puluh orang
anak buahnya memandang beringas ke sekeliling.
Kuda-kuda mereka bergerak-gerak liar seperti pe-
nunggangnya yang terus menggeram penuh kema-
rahan. "Bajingan! Rupanya penduduk Kampung Karangkates ini telah mengetahui
kedatangan kita,"
dengus Setan Haus Darah.
"Benar, Ketua. Mereka pasti sudah menyem-
bunyikan harta benda dan gadis-gadis cantik yang kita butuhkan. Baiknya, kita
beri pelajaran saja, Ketua!" usul salah seorang anak buah Setan Haus Darah. "Kau
benar, Pergiwo! Hajar penduduk kampung ini! Kuras harta benda mereka!" perintah
Setan Haus Darah, langsung saja.
Saat itu pula, Setan Haus Darah menyentak-
kan tali kudanya keras-keras. Kuda hitam tunggangannya pun meringkik keras.
Kedua kakinya diang-
kat tinggi-tinggi ke udara, sebelum akhirnya berlari kencang memasuki sebuah
halaman rumah yang
cukup terpandang di Desa Karangkates itu. Dan
dengan sekali loncat, tubuhnya telah berkelebat masuk ke dalam rumah.
Melihat sang Ketua sudah bertindak, ketiga
puluh orang anggota Laskar Hijau segera berlompatan turun dari kuda. Mereka
langsung memasuki
rumah-rumah penduduk desa dan mengobrak-
abriknya. Benda berharga apa saja disikat. Tak puas dengan itu, mereka tanpa
ampun menghajar beberapa penduduk kampung yang mencoba melawan.
"Di mana anak-anak gadis kalian, he"! Kena-
pa tak ada di rumah?" bentak Setan Haus Darah gusar bukan main seraya menarik
keluar seorang lela-ki setengah baya pemilik rumah itu dan melempar-
kannya ke halaman. Matanya yang beringas berki-
lat-kilat beredar ke sekitar. Sedang beberapa anak buahnya segera masuk dan
langsung mengobrak-abrik, membawa apa saja yang dirasanya cukup
berharga. "Kami.... Kami tak mempunyai anak gadis,
Tuan," ratap lelaki setengah baya itu. Wajahnya tampak tak karuan, sudah babak
belur menerima hajaran. "Bohong! Tak mungkin dari sekian banyak
penduduk Kampung Karangkates ini tak mempunyai
anak gadis. Dari tadi kami tak melihat seorang gadis pun di desa ini. Pasti
kalian telah menyembunyikan.
Hayo! Sekarang tunjukkan, di mana anak-anak ga-
dis kalian disembunyikan"!" bentak seorang anak buah Setan Haus Darah gusar
bukan main. Benta-kannya sekaligus ditujukan pada beberapa pendu-
duk yang telah dikumpulkan di halaman ini dengan wajah babak belur.
"Be.... Benar, Tuan. Kami tak mempunyai
anak gadis," tegas laki-laki lain yang berusia tua seraya menyembah-nyembah.
"Mustahil! Pasti kalian telah menyembunyi-
kannya. Huh! Kalau kalian tak mau menunjukkan
harta dan anak gadis kalian, jangan salahkan kalau kami terpaksa akan menghajar
sampai mampus!"
ancam Setan Haus Darah.
"Ampun! Ampun, Tuan! Kami tak punya harta
benda apa-apa. Kami juga tak punya anak gadis,"
ratap para penduduk kampung hampir bersamaan
berlutut di hadapan Setan Haus Darah dan anak
buahnya. Namun, mana mau Setan Haus Darah dan
anak buahnya menerima penjelasan mereka. Tanpa
ampun tendangan-tendangan kaki pun kembali
menghajar penduduk kampung yang sudah tak ber-
daya. Desss! Desss!
Tak henti-hentinya beberapa orang anak buah
Setan Haus Darah mengirimkan tendangan keras ke
tubuh penduduk kampung yang tengah berlutut.
Seketika itu juga, terdengar jerit-jerit kesakitan diiringi tubuh-tubuh yang
mencelat ke belakang dan ambruk tak berdaya.
Tubuh-tubuh tua penduduk Kampung Ka-
rangkates menggeliat sebentar, lalu dengan meme-
laskan sekali kembali merangkak ke hadapan Setan Haus Darah dan beberapa orang
anak buahnya. "Ampunkan kami, Tuan! Kami benar-benar
tak mempunyai apa-apa. Jangankan anak gadis.
Harta benda pun kami tak punya. Ampunkan kami,
Tuan!" teriak mereka memelas.
"Kami tak percaya bacot kalian! Kalian akan kami hajar sampai mau menunjukkan di
mana harta benda dan gadis-gadis disembunyikan!"
"Ampun, Tuan! Ampuuun...!" ratap penduduk kampung, serempak seraya menyembah-
nyembah. Dess! Dess! Namun, lagi-lagi tubuh-tubuh tua mereka
hanya jadi santapan empuk kaki-kaki anak buah
Setan Haus Darah. Dan lagi-lagi pula terdengar jerit-jerit kesakitan di sana-
sini bersamaan dengan tubuh-tubuh yang mencelat menghajar dinding-
dinding pagar maupun semak belukar.
Brakkk! Brakkk!
Setan Haus Darah jadi makin gusar. Api ke-
marahan dalam dadanya makin berkobar saja. Me-
reka saat ini hanya sedikit menemukan harta jarahan yang berarti. Maka tak ada
pilihan lain kecuali terus menyiksa penduduk Kampung Karangkates
yang membandel.
* * * Pada akhirnya, beberapa orang anak buah Se-
tan Haus Darah dapat menemukan barang-barang
berharga serta gadis-gadis yang disembunyikan para penduduk di lorong-lorong
bawah tanah. Hal itu terjadi karena ada seorang pemuda yang tak tahan
mendapat siksaan dari anak buah Setan Haus Da-
rah. Pemuda itu buka mulut dengan harapan agar
dibebaskan dari siksaan. Tapi apa yang diharapkan tak menjadi kenyataan. Setelah
menunjukkan tempatnya, pemuda itu pun dibunuh.
Merasa dibohongi para penduduk, bukan
main marahnya Setan Haus Darah. Dengan beringas
kembali para anak buahnya diperintahkan untuk
menghajar penduduk kampung.
Setelah puas menghajar penduduk kampung,
Setan Haus Darah segera memerintahkan anak
buahnya untuk mengangkut barang-barang rampa-
san, termasuk juga gadis-gadis yang tadi disembu-
nyikan. "Jangan, Tuan! Jangan bawa anakku!" jerit seorang perempuan penduduk kampung
memelas saat melihat anak gadisnya diseret paksa oleh Setan Haus Darah.
"Setan! Tua bangka macam kau mana pantas
menghiba padaku! Menghibalah pada Raja Akhirat!"
Desss! Tanpa mengenal belas kasihan sedikit pun,
kaki Setan Haus Darah telah mendarat elak di dada perempuan itu hingga kontan
mencelat jauh ke belakang. Tubuhnya terbanting keras dengan darah
keluar dari mulut dan lobang hidung.
"Ibuuu...!" teriak gadis yang paling cantik dari gadis-gadis rampasan itu kalap.
Namun ketika tangannya ditekuk gadis cantik
itu kembali terkulai dalam pelukan pimpinan rom-
bongan Pasukan Laskar Hijau ini,
"Dengar! Buka telinga kalian lebar-lebar! Siapa pun yang berani menentang Setan
Haus Darah dan pasukannya, berarti kematianlah yang akan di-terima. Jangan sekali-kali
berani mempermainkan
kami kalau tak ingin mati! Kalian dengar!"
Tak ada sahutan dari penduduk Kampung
Karangkates yang tengah mengerang menahan sakit.
Hanya kilatan-kilatan sepasang mata mereka yang
tak rela saja yang terus memperhatikan Setan Haus Darah dan anak buahnya.
Setan Haus Darah mendengus angkuh. Lalu
ia memerintahkan anak buahnya untuk mengemasi
barang-barang berharga ke atas kuda. Sementara
gadis-gadis yang tertawan dipondong di atas bahu.
"Cepat kita tinggalkan tempat ini!" perintah
Setan Haus Darah pada anak buahnya.
Laki-laki bertubuh tinggi kekar itu segera me-
loncat ke punggung kudanya. Meski sambil memon-
dong gadis cantik dalam pelukannya, namun gera-
kan tubuhnya tampak ringan sekali kala melompat
ke punggung kuda. Gerakannya pun diikuti anak
buahnya yang segera menaiki kuda masing-masing.
"Hea! Hea!"
Setan Haus Darah menggebah, membuat ku-
da tunggangannya melaju kencang meninggalkan
tempat itu. Bersamaan dengan itu, beberapa orang anak buah Setan Haus Darah pun
telah menggebah
kuda masing-masing sambil membawa barang-
barang rampasan dan beberapa orang gadis dalam
pondongan. Suara-suara isak tangis dari beberapa orang
gadis yang menjadi barang jarahan Pasukan Laskar Hijau terdengar demikian
memelaskan di antara derap-derap kuda-kuda yang melaju kencang mening-
galkan tempat. itu. Beberapa orang penduduk Kam-
pung Karangkates yang melihat anak gadisnya di-
bawa pergi hanya dapat meratap. Sesekali, terdengar sumpah serapah mereka.
5 Belum begitu lama Pasukan Laskar Hijau
pergi, dua orang anak muda tengah melenggang
santai memasuki Desa Karangkates melewati pintu
gerbang sebelah utara. Yang sebelah kanan adalah seorang pemuda tampan berambut
gondrong tergerai di bahu. Tubuhnya yang tinggi kekar dibalut
rompi dan celana bersisik warna putih keperakan.
Sedang di sebelahnya adalah seorang gadis berpa-
kaian warna hijau-hijau. Wajahnya yang cantik berbentuk bulat telur. Rambutnya
yang hitam panjang digelung ke atas dengan hiasan untaian bunga melati.
Menilik pakaian serta ciri-ciri, mereka tak lain dari Siluman Ular Putih dan
Arum Sari. Sepasang
anak muda itu baru saja turun dari puncak Gunung Bucu, dan sengaja ingin
menyambangi desa itu. Bukannya apa-apa, tapi cuma ingin mengganjal perut yang
sejak tadi pagi belum diisi.
"Kuperhatikan sejak kita meninggalkan Gu-
nung Bucu, kau selalu tampak murung. Arum. Ada
apa" Apa ada kata-kataku yang kurang mengena di
hatimu?" usik Soma sambil terus melangkah di sisi Arum Sari.
Arum Sari diam tak menyahut. Wajahnya
yang cantik saat ini berselimut mendung. Entah apa yang merisaukan hatinya. Yang
jelas, hanya dirinya sajalah yang tahu.
"Kok, diam" Kenapa tak menjawab perta-
nyaanku. Arum" Apa benar kau tersinggung dengan
ucapanku, tadi?" lanjut Soma.
Arum Sari mendongak, lalu menggeleng pe-
lan. "Jadi apa, dong" Kenapa diam saja dari tadi"
Dan, kenapa wajahmu murung" Ah...! Pasti kau se-
dang memikirkan sesuatu" Atau, jangan-jangan kau sedang memikirkan kekasihmu,
ya?" goda Siluman Ular Putih.
Arum Sari menghentikan langkahnya seben-
tar. Dipandanginya Soma seksama. Kepalanya lan-
tas menggeleng pelan. Senyum getirnya tampak tersungging di bibir.
Siluman Ular Putih jadi bingung. Tak menger-
ti apa yang dimaksudkan Arum Sari.
"Ada apa, sih" Kau kan sahabatku yang pal-
ing baik. Juga, paling cantik. Masa' kalau punya masalah dipendam seorang diri"
Apa kau tak ingin membagi-bagi kesulitanmu denganku?"
"Soma...!" Arum Sari malah mendesah. Hatinya mendadak jadi risau bukan main.
Gadis ini ja-di tak tahan dengan perasaan hatinya. Kepalanya
pun kembali menunduk dalam-dalam.
"Hey, kok malah jadi tersipu malu begitu" Ada apa, nih" Wah, gawat! Jangan-
jangan temanku yang cantik ini sedang ketiban penyakit asmara?" ledek Siluman
Ular Putih, semakin menjadi.
"Soma.... Apa kau... kau juga menyukaiku.
Soma?" tanya Arum Sari tiba-tiba. Suaranya lirih, nyaris tak terdengar.
"Apa?" Siluman Ular Putih membelalakkan matanya lebar. "Oh...! Itu maksudmu.
Tentu. Tentu aku menyukaimu. Kenapa kau bertanya begitu,
Arum?" "Hanya itu" Apa tak ada perasaan lain terha-dapku?" tanya Arum Sari lagi, tak
puas dengan jawaban Siluman Ular Putih tadi.
"Maksudmu?"
Lagi-lagi kening Siluman Ular Putih berker-
nyit heran. "Ah...! Kau pasti tahu ucapanku tadi, Soma.
Kau.... Kau...."
Arum Sari buru-buru menyembunyikan wa-
jahnya dalam-dalam. Tak kuat rasanya membalas
pandang mata Soma.
"Maaf, Arum! Kukira kau tadi sudah menden-
gar apa jawabanku. Bukannya aku tak menyukai-
mu. Tapi, kau tahu. Tugas di pundakku ini masih
banyak. Belum lagi dengan keinginanku dalam
membantumu untuk menemukan makam kedua
orangtua mu. Kuharap kau...."
"Cukup, Soma! Aku sekarang tahu apa ja-
wabmu," potong Arum Sari dengan wajah memerah.
"Tunggu, Arum!" Buru-buru Siluman Ular Putih menyambar lengan Arum Sari saat si
gadis hendak berkelebat meninggalkannya.
"Lepaskan aku. Soma! Aku tak ingin melan-
jutkan perjalanan denganmu!"
Arum Sari memberontak dari cengkeraman
tangan Siluman Ular Putih. Tapi mana mau Soma
melepaskannya begitu saja.
"Arum. Kita kan sahabat. Kumohon, jangan
bicarakan hal itu lagi. Terus terang aku masih
bing...." Ucapan Siluman Ular Putih seketika terputus
ketika sekonyong....
"Hm...! Sayang sekali, cantik-cantik jadi anggota gerombolan perampok...."
* * * Arum Sari dan Siluman Ular Putih buru-buru
menoleh ke arah datangnya suara barusan. Tampak
tak jauh di belakang mereka telah berdiri seorang pemuda gagah berpakaian warna
Siluman Ular Putih 21 Setan Haus Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
putih yang ditutup jubah besar warna biru. Rambutnya yang hitam
panjang digelung ke atas. Wajahnya berbentuk lon-
jong dengan sepasang mata tajam bak sepasang ma-
ta rajawali. Kedua alis matanya tebal berwarna hitam agak naik ke atas.
Hidungnya mancung dengan
bentuk dagu yang mengeras, menyiratkan kekerasan sikap pemuda itu.
Tak jauh di belakang si pemuda tampak bebe-
rapa orang penduduk Kampung Karangkates ber-
duyun-duyun mendekati dengan berbagai macam
senjata tajam di tangan kanan. Sambil berteriak-
teriak penuh kemarahan, para penduduk yang ma-
rah akibat sepak terjang Pasukan Laskar Hijau yang tadi mengobrak-abrik tempat
ini kini mulai mendekati Siluman Ular Putih dan Arum Sari.
"Jangan sembarangan pentang suara, Kawan!
Siapa yang perampok" Enak saja menuduh orang
sembarangan!" dengus Arum Sari melampiaskan ke-jengkelan hatinya pada pemuda
gagah di hadapan-
nya. "Harap jangan sembarangan menuduh, Sobat.
Aku dan temanku ini sama sekali bukan perampok.
Kami hanya ingin mampir ke desa ini, barangkali
ada kedai makan yang buka," jelas Siluman Ular Putih kemudian.
"Kalian bukan perampok?" tukas pemuda berjubah biru seraya mengangkat alisnya
yang tebal. Nada suaranya terdengar kurang percaya. Untuk
meyakinkan hatinya, kepalanya menoleh ke arah
beberapa orang penduduk kampung yang kini telah
mengurung Arum Sari dan Siluman Ular Putih.
"Tuan Pendekar! Harap jangan ragu-ragu. Pe-
rempuan berbaju hijau itu pasti anggota perampok yang tadi siang mengobrak-abrik
desa kami. Malah bisa jadi kedua-duanya adalah perampok. Lihat saja
pakaian yang dikenakan gadis itu sama persis dengan yang dikenakan Setan Haus
Darah dan anak buahnya!" teriak salah seorang penduduk kampung yang berdiri paling depan. Raut
wajahnya tegang penuh kemarahan.
"Iya, Tuan Pendekar! Mereka berdua pasti gerombolan perampok. Kapan lagi kalau
tidak seka- rang kita menumpas perampok-perampok bengis
itu, Tuan Pendekar"! Mereka kejam. Sama sekali tak pandang bulu. Harta benda
kami diangkut. Ternak-ternak kami disikat. Malah beberapa orang gadis penduduk
desa ini pun tak luput dari jarahan mereka! Ayo, kita sikat saja kedua manusia
perampok ini, Tuan Pendekar!" teriak seorang penduduk kampung lain menambahi.
Si pemuda berjubah biru tampak makin dililit
keragu-raguan. Menilik sikap sepasang anak muda
di hadapannya tak mungkin termasuk golongan pe-
rampok. Tapi melihat kemarahan penduduk kam-
pung dengan kemunculan mereka, bisa jadi tuduhan itu benar. Kalau tidak,
mustahil penduduk kampung ini menuduh sembarangan, pikir pemuda berjubah
biru. Sebenarnya, pemuda berjubah biru itu adalah seorang pendekar muda yang
baru saja turun gunung yang belum pengalaman. Maka begitu tadi
memasuki desa yang menjadi jarahan Pasukan
Laskar Hijau, ia sudah diminta penduduk kampung
untuk membantu menumpas pasukan Laskan Hijau
yang dipimpin Setan Haus Darah. Sebagai seorang
pendekar, jelas ia tak dapat menerima kejahatan
berlangsung di depan mata.
"Tuan Pendekar! Kenapa Tuan masih ragu-
ragu" Kita sikat saja, Tuan! Tunggu apa lagi?"
"Hh...!"
Si pemuda berjubah biru mendengus. Ekor
matanya yang tajam mengerling ke arah Siluman
Ular Putih dan Arum Sari. Entah kenapa sewaktu
melirik ke arah si gadis, si pemuda berjubah biru tampak mengeraskan dagunya.
Mungkin ia sedang
menindih perasaan tak enak yang tiba-tiba menyita hatinya demi melihat seorang
gadis cantik di hadapannya.
"Harap kalian berdua sudi menjawab perta-
nyaanku dengan jujur! Benarkah kalian anak buah
dari Setan Haus Darah?" tanya si pemuda berjubah biru hati-hati.
Beberapa orang penduduk kampung yang
mendengar pertanyaan si pemuda berjubah biru
tampak tak puas. Mereka berteriak-teriak lantang, menyuruh sang penolong untuk
segera bertindak.
Namun dengan tenangnya si pemuda berjubah biru
mengangkat tangannya, menyuruh penduduk tetap
tenang. "Pemuda tak tahu adat! Buka telingamu le-
bar-lebar! Kami bukan perampok. Sekali lagi, kami berdua bukan perampok seperti
yang kalian tuduhkan! Lagi pula, siapa itu Setan Haus Darah" Men-
dengar namanya saja baru kali ini. Enak saja kalian menuduh kami perampok!"
sungut Arum Sari jengkel. "Tapi, tampaknya penduduk kampung ini cukup
mengenalimu, Nona. Mereka semua menuduh
kalau kau dan temanmu adalah perampok. Maka
kini harap kalian berterus terang! Aku tak ingin ke-salahan tangan menurunkan
maut!" ancam si pe-
muda berjubah biru.
"Pemuda bau kencur! Huh menilik sikap dan
caramu bicara, aku yakin, kau pasti seorang pemu-da pongah yang baru saja turun
gunung untuk mencari pengalaman!" desis Arum Sari ketus.
"Kau benar, Nona. Aku memang baru saja tu-
run gunung. Tapi meski begitu, bukan berarti aku harus membiarkan perampok-
perampok yang telah
mengganggu ketenteraman penduduk kampung,"
sahut si pemuda berjubah biru sedikit meninggi na-da bicaranya. Mungkin agak
kesal melihat sikap
Arum Sari yang melecehkan dirinya.
"Tahan amarahmu, Sobat! Kami bukan pe-
rampok. Kami hanya orang yang ingin singgah di de-sa itu untuk mencari kedai
makan. Kalau kalian tak percaya, boleh mengikuti kami untuk beberapa
saat," timpal Siluman Ular Putih, berusaha menen-gahi. "Puahhh! Siapa sudi
mengikuti kalian" Paling kalian hanya ingin menunggu bala bantuan. Karena sudah
terjepit, jadi kalian takut menghadapi kami!"
teriak salah seorang penduduk tak sabar.
"Ah...! Buat apa kita buang-buang waktu,
Teman-teman! Mana ada sih maling yang mengakui
kalau belum kita gebuk!"
"Kau benar, Kang! Kita hajar saja perampok-
perampok kecil ini biar tahu rasa betapa sedihnya mendapat siksaan seperti
orangtua-orangtua kami
tadi. Ayo, Teman-teman! Hajar perampok-perampok
kecil ini!" teriak seorang pemuda lantang. Golok di tangannya diacung-acungkan
sebentar ke udara.
"Hiaaatt...!"
Lalu entah siapa yang memulai dulu, tahu-
tahu beberapa orang penduduk kampung yang su-
dah kalap segera menyerang Siluman Ular Putih dan Arum Sari.
Si pemuda berjubah biru tampak masih tegak
di tempatnya. Hatinya ragu-ragu sekali untuk bertindak. Terus terang dalam
hatinya sendiri tak percaya kalau dua orang anak muda itu dari golongan
perampok. Namun manakala melihat cara memper-tahankan diri mereka yang jelas-
jelas memiliki kepandaian tinggi, kecurigaan si pemuda berjubah bi-ru jadi makin
bertambah. Memang, betapa mudahnya dua orang anak
muda itu dapat mempermainkan serangan-serangan
penduduk kampung. Malah kalau mau, dengan mu-
dahnya mereka dapat melumpuhkan serangan-
serangan. Namun anehnya, mereka tak melakukan
itu. Si pemuda berjubah biru tak lagi berpikir
sampai di situ. Begitu melihat serangan-serangan penduduk kampung dapat
dihindari dengan mudah,
tubuhnya segera berkelebat ke tempat pertarungan.
"Bagus! Kalau kau pun ingin merasakan bo-
gem mentahku, Kawan!" desis Arum Sari seraya segera menyambut datangnya si
pemuda berjubah bi-
ru dengan serangan-serangan hebat.
Tentu saja si pemuda berjubah biru tak ingin
kalah gertak. Begitu melihat datangnya serangan, segera tubuhnya sedikit
dimiringkan ke samping.
Sehingga serangan-serangan Arum Sari hanya me-
nemui angin kosong.
Bed! Pada saat bogem mentah Arum Sari melayang
ke belakang, mendadak jari-jari tangan si pemuda
berjubah biru itu telah berkelebat ke arah punggung Arum Sari.
"Ah...!"
Arum Sari terperangah kaget, tak menyangka
si pemuda berjubah biru itu dapat menghindari serangannya demikian mudah. Malah
kini punggung- nya terancam totokan-totokan jari-jari tangan pemuda itu.
"Hihh...!"
Arum Sari mendengus penuh kemarahan.
Tentu saja ia tidak ingin dirobohkan hanya dalam sekali gebrakan. Melihat
punggungnya terancam,
segera tubuhnya dibuang ke samping.
Sementara itu Siluman Ular Putih yang ten-
gah menghadapi kemarahan penduduk kampung
tampak tak bergairah menghadapi serangan-
serangan mereka. Namun saat melihat serangan-
serangan kian menjadi liar, pemuda ini jadi berpikir lain. Ia bertekad untuk
segera mengakhiri kesalahpahaman itu.
"Hup...!"
Siluman Ular Putih segera berkelebat cepat.
Saking cepatnya, sampai-sampai beberapa orang
penduduk kampung hanya melongo mencari-cari Si-
luman Ular Putih. Namun belum sempat mereka
membuka suara, tahu-tahu....
Pak! Pak! "Aahh...!"
Seketika tubuh mereka telah kaku tak dapat
bergerak begitu terkena tepukan lembut oleh tangan Siluman Ular Putih pada
bagian punggung.
"Ah...!"
Beberapa orang penduduk kampung yang
menyadari tubuhnya kaku tak dapat digerakkan jadi gelisah bukan main. Mereka
masih belum tahu, apa yang tengah dialami. Mereka hanya melihat Siluman Ular
Putih berdiri di hadapan beberapa orang penduduk lain yang juga mengalami nasib
serupa. Tu- buh mereka kaku tak dapat digerakkan!
Tentu saja, hal ini pun tak luput pula dari
perhatian si pemuda berjubah biru. Ia benar-benar tak mengira kalau pemuda
berpakaian rompi dan
celana bersisik warna putih keperakan itu dapat melumpuhkan beberapa orang
penduduk hanya sekali
gebrakan saja. Diam-diam dalam hatinya mengagu-
mi kelihaian teman si gadis. Kini dia sadar kalau yang dihadapi adalah seorang
pemuda berkepandaian tinggi. Bahkan mungkin, jauh lebih tinggi dibanding
kepandaiannya. Namun tidak demikian Arum Sari. Melihat si
pemuda berjubah biru tak lagi menyerang, amarah
gadis murid Nenek Rambut Putih itu kian tersulut.
Seakan-akan kekesalan dan kekecewaannya terha-
dap Siluman Ular Putih kini sengaja ditumpahkan
pada si pemuda berjubah biru yang telah lancang
menuduh dirinya perampok.
Maka begitu melihat si pemuda berjubah biru
tengah mengagumi sepak terjang Siluman Ular Pu-
tih, tanpa banyak buang-buang waktu Arum Sari
kembali menyerang hebat.
"Hea! Hea!"
Dikawal bentakan nyaring, Arum Sari berke-
lebat cepat. Tidak tanggung-tanggung segera dikeluarkannya jurus andalannya
'Tongkat Penggebuk Ib-
lis'. Maka dalam sekejap saja pedang di tangannya telah bergulung-gulung cepat
mengurung pertaha-
nan si pemuda berjubah biru.
Melihat datangnya serangan, si pemuda ber-
jubah biru tentu saja tak ingin tubuhnya jadi sasaran empuk. Ia pun tak segan-
segan lagi untuk sege-ra mengeluarkan jurus-jurus andalan. Karena bila tidak
secepatnya dapat merobohkan Arum Sari, berarti bahaya besar mengancamnya.
"Tahan senjata!" teriak Siluman Ular Putih ti-ba-tiba.
Sekali menjejak kakinya ke tanah, tahu-tahu
tubuh Siluman Ular Putih telah berdiri di antara Arum Saritian si pemuda
berjubah biru. Beberapa
orang penduduk kampung yang tubuhnya masih
kaku tak dapat digerakkan hanya dapat memandan-
gi penuh ketakutan.
"Minggir, Soma! Aku harus menghajar pemu-
da lancang ini!" teriak Arum Sari, tak dapat mengendalikan amarah.
Namun buru-buru Siluman Ular Putih meraih
pergelangan tangan Arum Sari. Sehingga, gadis itu hanya dapat memandang jengkel.
Sedang si pemuda
berjubah him sendiri tampak mulai segan dengan
pemuda lihai di hadapannya.
Melihat kilatan mata Arum Sari yang tak me-
nyukai tindakannya, Siluman Ular Putih hanya tersenyum. Sama sekali tak
dihiraukannya Arum Sari
yang tengah uring-uringan tidak karuan.
"Sobatku, pemuda berjubah biru! Aku yakin
tentu kau adalah golongan baik-baik. Sebagai seorang pendekar gagah, tentunya
kau tahu kenapa
aku tak menurunkan tangan maut pada penduduk
kampung itu, bukan?" kata Siluman Ular Putih. Sesekali telunjuk tangannya
menuding ke arah pendu-
kung kampung yang tubuhnya masih tegak kaku
tak dapat bergerak-gerak sama sekali.
Mendengar apa yang diucapkan Siluman Ular
Putih, kini sadarlah si pemuda berjubah biru. Tadi ia memang dapat melihat
dengan jelas betapa gerakan Siluman Ular Putih demikian hebatnya. Ia sendiri
belum tentu sanggup menghadapinya.
Terus terang aku memang mulai sadar, Pen-
dekar Muda. Perkenalkan, aku yang bodoh ini ber-
nama Teguh Sayekti alias Pembunuh Iblis."
"Ah...! Jangan menyebutku Pendekar Muda.
Dan kau tak perlu merendah begitu. Tak enak ra-
sanya. Oh ya, Namaku, Soma. Dan temanku yang
cantik ini adalah Arum Sari!" tukas Siluman Ular Putih, Si pemuda yang ternyata
bernama Teguh Sayekti alias Pembunuh Iblis tersenyum. Ia senang sekali melihat sikap Siluman
Ular Putih yang amat bersahabat.
"Kalian baik sekali! Aku yakin penduduk
Siluman Ular Putih 21 Setan Haus Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kampung ini pasti telah salah paham. Kalian pasti bukan golongan perampok yang
mereka tuduhkan.
Melainkan sebaliknya. Kalau tidak, sudah pasti penduduk kampung itu dapat kalian
lumpuhkan. Terus
terang, aku amat mengagumi sepak terjangmu, Ka-
wan!" puji Teguh Sayekti dengan nada penuh persa-habatan.
"Terima kasih. Kau terlalu memujiku, Kawan.
Tak enak aku mendengar pujianmu. Nanti malah bi-
sa jadi besar kepalaku. He he he...," Siluman Ular Putih terkekeh sebentar.
"Tapi ngomong-ngomong, siapa sih sebenarnya Setan Haus Darah itu?"
"Aku sendiri tidak begitu mengenalnya. Aku
hanya mendengar sepak terjang pimpinan perampok
itu dari penduduk kampung yang tadi siang dijarah Pasukan Laskar Hijau pimpinan
Setan Haus Darah."
Siluman Ular Putih mengangguk-angguk. "La-
lu di mana markas Setan Haus Darah dan anak
buahnya?" "Itu sendiri aku belum tahu. Aku memang in-
gin mencarinya. Tapi sewaktu penduduk kampung
melihat kedatangan kalian di desa ini, mereka kontan marah dan menuduh kalian
perampok. Untuk
itu pula, aku harus minta maaf pada kalian. Bagaimanapun juga aku telah picik
menuduh orang sem-
barangan," ucap Teguh Sayekti, sedikit membung-kukkan badan.
"Sudahlah! Jangan terlalu banyak berbasa-
basi! Asal kau dan penduduk kampung tak lagi me-
nuduh kami perampok, aku sudah cukup berterima
kasih," tukas Siluman Ular Putih. Diam-diam Soma mengerahkan tenaga dalamnya
untuk mengirimkan
totokan jarak jauh ke arah beberapa orang penduduk kampung yang tubuhnya masih
kaku tak dapat digerakkan. "Mendengar sepak terjang Setan Haus Darah
dan pasukannya aku pun jadi tak tahan lagi untuk menyelidikinya. Percayalah, aku
akan menggempur
habis mereka bila bertemu nanti. Selamat tinggal, Kawan!"
Habis berkata demikian, tanpa banyak cakap
Siluman Ular Putih segera menyambar lengan Arum
Sari. Mereka langsung berkelebat cepat meninggalkan tempat itu. Teguh Sayekti
yang baru saja mene-gakkan tubuhnya kembali sejenak menggeleng-
gelengkan kepala penuh kagum. Hanya dalam bebe-
rapa kelebatan saja, sosok Siluman Ular Putih dan Arum Sari telah di kejauhan
sana. Lebih heran lagi, manakala melihat penduduk kampung yang tubuhnya tadi
kaku tak dapat digerakkan, kini sudah dapat bergerak leluasa seperti biasa. Hal
ini benar-benar membuat Teguh Sayekti makin terheran-
heran. "Hm,..! Tak kusangka hari ini aku akan bertemu pendekar muda yang
berkepandaian tinggi...."
6 Sebenarnya, hati Teguh Sayekti gelisah sekali.
Ia merasa tak puas karena teramat singkat bertemu dan berkenalan dengan Siluman
Ular Putih dan Arum Sari. Apalagi, perkenalannya yang singkat tadi ternodai akibat
kesalahpahamannya. Maka setelah
memberi nasihat pada penduduk Kampung Karang-
kates dan berjanji akan menumpas Pasukan Laskar
Hijau, Teguh Sayekti segera kembali melanjutkan
perjalanan. Namun apa yang menjadi keinginan Teguh
Sayekti tak terlalu mudah untuk diwujudkan. Sudah berhari-hari pemuda berjubah
biru itu keluar masuk hutan, namun belum juga menemukan Siluman
Ular Putih dan Arum Sari serta markas Pasukan
Laskar Hijau. "Heran" Kenapa sejak aku bertemu Arum Sari
jadi sulit sekali melupakannya. Ada apa ini" Kenapa keinginan bertemu dengannya
demikian menggebu?"
gumam Teguh Sayekti, galau.
Kini Teguh Sayekti menghentikan langkahnya
di bawah rindangnya sebuah pohon. Rasa penat se-
telah hampir seharian berlari ditambah semilirnya angin siang, membuat matanya
terkantuk-kantuk.
Teguh Sayekti membiarkan perasaannya ter-
buai semilirnya angin siang itu. Perlahan-lahan pan-tatnya pun direbahkan di
atas rerumputan. Dengan bertelekan sebelah lengan, dicobanya untuk menen-
teramkan hatinya.
Herannya, wajah cantik Arum Sari makin le-
kat saja dalam hatinya. Semakin berusaha menge-
nyahkan bayangan itu semakin resah saja hatinya
memikirkan Arum Sari. Meski ia tampak diam te-
nang di atas rerumputan, namun sebenarnya piki-
rannya tengah sibuk memikirkan bagaimana ca-
ranya menemukan Arum Sari.
"Edan! Kenapa aku jadi dicekam perasaan
aneh seperti ini" Mungkinkah ini yang dinamakan
cinta?" Teguh Sayekti tercenung sesaat. Apakah ia terlalu cepat menerima
perasaan seperti itu" Berkali-kali Teguh Sayekti berusaha menepiskan perasaan
itu dalam hatinya, namun tetap saja tak sanggup.
Malah hatinya makin dicekam kerinduan.
Semilir angin siang bukannya membuat hati
pemuda itu sejuk, tapi malah sebaliknya. Blingsatan tidak karuan. Teguh Sayekti
tak tahan lagi didera perasaan semacam itu.
"Hup!"
Sekali menggerakkan tubuhnya, Teguh
Sayekti pun telah berdiri tegak kembali seperti se-mula. Untuk sesaat
diperhatikannya keadaan sekitar seksama. Mulutnya menggumam tak menentu.
Entah, apa yang digumamkan. Yang jelas, ketika
pemuda itu menjejakkan kakinya sebentar ke tanah, tahu-tahu tubuhnya yang tinggi
kekar telah berkelebat cepat meninggalkan tempat ini. Hanya dalam
beberapa kelebatan saja, sosoknya yang terbungkus jubah besar berwarna biru
telah menghilang di balik kerimbunan hutan depan sana.
* * * Siang di Desa Sumber Dalem terasa lengang.
Matahari perlahan-lahan bergeser ke ufuk sebelah barat. Angkasa raya yang
membiru tampak cerah,
karena tak ada awan yang berarak. Sementara angin yang bertiup semilir seolah
mati terbawa suasana sepi. Dari mulut desa sebelah timur, seorang pemuda gagah
berjubah besar berwarna biru tengah
melenggang santai memasuki jalan utama. Sesekali, diperhatikannya keadaan
sekitarnya. Beberapa
orang penduduk kampung yang memanggul cangkul
di pundak tampak mulai pulang ke rumah masing-
masing, pertanda hari sebentar lagi akan berganti petang. Namun di halaman-
halaman rumah penduduk tampak masih beberapa orang anak kecil ten-
gah asyik bermain. Tawanya yang ceria sesekali
memecah kesunyian desa.
Ketika pemuda berjubah biru yang bukan lain
adalah Teguh Sayekti tiba di jalan simpang di tengah desa, matanya langsung
tertuju pada sebuah kedai makan. Tanpa banyak pikir panjang Teguh Sayekti
atau yang lebih dikenal dengan julukan Pembunuh
Iblis segera melangkah menuju kedai.
Empat orang lelaki berwatak kasar yang ten-
gah asyik makan-minum di dalam kedai tampak me-
lirik angkuh saat Pembunuh Iblis memasuki kedai, lalu kembali melanjutkan makan
seolah-olah tak ingin diganggu siapa pun. Pemuda berjubah biru itu sendiri tak
ingin mengganggu.
Begitu Pembunuh Iblis menghenyakkan pan-
tatnya di sebuah bangku, seorang gadis pelayan kedai makan buru-buru
menyambutnya dengan se-
nyum terkembang di bibir.
"Ada yang bisa aku bantu, Tuan?" tanya gadis pelayan yang berwajah manis itu
penuh hormat. "Tolong sediakan makanan yang cukup dan
sedikit arak wangi untukku!" ujar Pembunuh Iblis ramah. "Baik. Harap Tuan
bersedia menunggu sebentar," sahut gadis pelayan itu lalu buru-buru masuk ke
dalam. Namun baru beberapa langkah si gadis beran-
jak dari tempatnya, tiba-tiba tangannya yang halus telah ditarik seorang laki-
laki kasar dan menariknya dalam pelukan.
"Ooouuww...!"
Sudah tentu gadis pelayan itu meronta minta
dilepaskan. Dan dengan tertawa-tawa senang, laki-laki kasar itu melepaskan
tangan gadis pelayan.
Namun tidak sepenuhnya ikhlas. Karena tangannya
yang nakal tiba-tiba menowel pantat gadis pelayan itu seraya mengerling ke arah
Teguh Sayekti. "Jangan begitu dong, Tuan! Malu kan dilihat orang," ucap si gadis tersipu malu
kemudian buru-buru menghilang ke dapur.
Pembunuh Iblis muak sekali melihat tingkah
laku laki-laki kasar di hadapannya. Hanya karena
tak ingin membuat keributan saja terpaksa rasa
amarahnya ditahan dalam dada. Ia yakin, gadis pelayan itu adalah gadis baik-
baik. Cuma karena ingin melayani para tamunya dengan baik, sehingga
membuatnya hanya bisa menegur halus.
Tak begitu lama menunggu, gadis pelayan
yang berwajah cantik itu kembali muncul membawa
pesanan Pembunuh Iblis. Dengan ramah segera di-
hidangkannya pesanan itu ke meja si pemuda.
"Silakan, Tuan!" ucap gadis pelayan seraya menggerakkan ibu jarinya.
Teguh Sayekti alias Pembunuh Iblis terse-
nyum sekilas. Gadis pelayan itu pun buru-buru beringsut dari tempatnya.
"Hey, Pelayan! Cepat kemari!" bentak salah seorang laki-laki kasar itu galak.
"Baik, Tuan."
Dengan tergopoh-gopoh, buru-buru gadis pe-
layan itu mendekati laki-laki yang memanggilnya barusan. Pembunuh Iblis yang
hendak menyuapkan
makanan ke mulutnya jadi menahan gerakan ketika
melihat tangan kekar laki-laki kasar itu tahu-tahu merengkuh pinggang gadis
pelayan ke dalam pelukannya.
"Jangan, Tuan! Jangan!" ratap gadis pelayan itu seraya menggelengkan kepala ke
sana kemari menghindari mulut laki-laki berperangai kasar itu yang hendak menciumnya.
"Sungguh sayang! Kenapa dunia ini selalu di-warnai tindak kekerasan" Kenapa
hanya untuk me-
lampiaskan nafsu harus memaksakan diri" Hm...!
Aneh. Kalau semua laki-laki di muka bumi ini berla-
ku sewenang-wenang, bagaimana mungkin dunia ini
akan nyaman" Memuakkan!" gumam Teguh Sayekti.
Suaranya sengaja sedikit dikeraskan agar lelaki kasar itu tak meneruskan maksud
bejadnya. "Bangsat kecil! Apa kau bilang barusan, he"!"
tiba-tiba laki-laki kasar itu melemparkan tubuh gadis pelayan dengan kasar.
Tanpa ampun tubuh si
gadis menabrak meja di sampingnya.
Braaakk! Beberapa tamu langganan yang sedang asyik
makan-minum di meja itu kontan terperangah ka-
get. Namun manakala melihat siapa yang menjadi
biang onar, nyali mereka jadi ciut.
Pembunuh Iblis sendiri berlaku angin-
anginan di tempatnya. Sesuap demi sesuap mulut-
nya terus mengunyah makanan. Tentu saja sikap-
nya makin membuat geram keempat laki-laki berpe-
rangai kasar itu. Sejak melihat Teguh Sayekti masuk ke dalam kedai makan, mereka
Pusaka Lidah Setan 1 Pendekar Mabuk 030 Tandu Terbang Tugas Rahasia 7