Pencarian

Setan Haus Darah 2

Siluman Ular Putih 21 Setan Haus Darah Bagian 2


memang sudah tak
menyukai. Sekarang ketidaksenangan mereka makin
tersulut manakala mendengar gumaman pemuda itu
tadi. Ditambah lagi dengan sikap si pemuda yang
angin-anginan. "Bajingan kecil! Apa kau tidak tahu tengah
berhadapan dengan siapa, he"!" bentak lelaki berperangai kasar itu garang seraya
bangkit berdiri.
Selangkah demi selangkah, lelaki itu mende-
kati Pembunuh Iblis. Sedangkan ketiga orang te-
mannya yang tertawa-tawa senang melihat keonaran itu. Seolah merasa dikompori
ketiga orang kawannya, laki-laki berperangai kasar itu tiba-tiba mengangkat kaki
di meja tempat makan Teguh Sayekti.
Brakkk! "Ulangi lagi! Apa yang kau katakan tadi, he"!"
hardik lelaki berperangai kasar itu garang. Meja makan yang terkena injakkan
kakinya kontan hancur
berantakan. Sedangkan semua yang berada di atas
meja berhamburan ke mana-mana.
Pembunuh Iblis memandang laki-laki kasar di
hadapannya sekilas. Senyum dingin tersungging di bibirnya.
"Telingamu tidak budek, bukan" Tentunya
kau pun mendengar apa yang kukatakan tadi?" balas Teguh Sayekti, kalem.
"Bajingan" Apa kau belum pernah mendengar
Pasukan Laskar Hijau, he"!"
Teguh Sayekti terperangah. Kini baru disadari
kalau keempat laki-laki kasar itu semuanya mengenakan pakaian hijau-hijau. Dan
berarti mereka adalah anggota Pasukan Laskar Hijau! Sungguh Pem-
bunuh Iblis tadi tidak begitu memperhatikan sejak datang ke kedai, pikirannya
telah digayuti oleh
bayangan Arum Sari. Kemudian ketika berada di dalam kedai, hatinya tersulut oleh
tingkah laku keempat lelaki kasar itu.
"Hm..." Kebetulan sekali. Rupanya kalian
yang sering mengganggu ketenteram penduduk-
penduduk kampung?" gumam Pembunuh Iblis se-
raya bangkit berdiri sambil mengangguk-angguk.
"Bagus" Kalau kau sudah tahu kami, Bocah"
Jadi kau tak perlu menyesal kalau harus tewas di tanganku!" bentak lelaki kasar
yang ternyata anak buah Pasukan Laskar Hijau seraya melayangkan bogem mentah ke
wajah Pembunuh Iblis.
"Hap!"
Enak sekali Pembunuh Iblis menggerakkan
tangannya menangkis datangnya serangan. Tam-
paknya gerakan tangan itu tak bertenaga. Namun
akibatnya.... Plakkk! "Aughhh...!"
Laki-laki kasar itu mendadak meraung keras.
Lengan tangannya yang membentur tangan Pembu-
nuh Iblis seolah membentur tembok baja. Sambil
meringis kesakitan buru-buru tangannya yang tera-sa ngilu segera ditarik mundur.
Menyadari kalau orang yang tengah dihadapi
memiliki kepandaian tinggi, ketiga orang teman laki-laki berperangai kasar itu
segera berlompatan mendekati meja Pembunuh Iblis. Tanpa banyak cakap,
mereka segera menyerang garang.
Pembunuh Iblis hanya tersenyum sekilas. Me-
lihat datangnya serangan tubuhnya sedikit diputar, lalu tahu-tahu kaki kanannya
telah berkelebat cepat mendahului datangnya serangan. Dan....
Bukkk! Bukkk! "Ughh...!"
Tiga kali kaki Pembunuh Iblis bergerak, maka
saat itu juga tiga kali terdengar pekikan kesakitan dari mulut lawan-lawannya.
Tubuh-tubuh anggota
Pasukan Laskar Hijau yang terkena tendangan kon-
tan terlempar ke belakang, menabrak meja-meja
makan di belakangnya. Beberapa orang pengunjung
kedai makan yang melihat keributan buru-buru
berhamburan keluar. Dan diam-diam, mereka me-
nonton jalannya pertarungan dari kejauhan.
"Perampok-perampok hina! Kenapa tidak kau
suruh sekalian pimpinan kalian! Enyahlah kalian
dari hadapanku! Suruh pimpinan kalian Setan Haus
Darah menghadapiku!" hardik Pembunuh Iblis.
"Bedebah! Tak perlu ketua kami yang keluar.
Kami berempat pun sanggup mematahkan batang
lehermu!" dengus lelaki kasar yang pertama kali menyerang Pembunuh Iblis.
Suaranya bergetar penuh
kemarahan. Dan tiba-tiba tangan kanannya berge-
rak ke belakang.
Srat! Golok besar yang berkilauan kini tergenggam
di tangan lelaki itu. Sementara ketiga orang kawannya yang sudah bisa bangkit
segera mencabut golok pula. Pembunuh Iblis hanya tersenyum. Sedikit
pun tidak takut menghadapi keroyokan.
"Majulah kalau kalian ingin merasakan bogem mentahku!" tantang Pembunuh Iblis.
"Pemuda sombong! Makanlah golokku! Hea!"
Dikawal bentakan nyaring, laki-laki kasar
yang pertama menyerang segera menerjang Pembu-
nuh Iblis garang. Bersamaan dengan itu tiga golok lain segera berdatangan siap
menghujam ke arah
pemuda berjubah biru itu.
"Ups!"
Teguh Sayekti cepat melompat ke belakang,
membuat serangan-serangan golok para anggota
Laskar Hijau hanya mengenai angin kosong. Tentu
saja hal ini membuat keempat orang kasar itu geram bukan main. Dengan kemarahan
meluap mereka kembali meluruk ke arah Teguh Sayekti.
"Hea! Hea!"
Empat golok di tangan para anggota Pasukan
Laskar Hijau kembali berkelebat mengancam tubuh
Teguh Sayekti dengan gerakan cepat luar biasa. Na-
mun bagi Teguh Sayekti, gerakan tangan mereka tak ubahnya seperti gerakan orang
menari. Begitu lambat, nyaris tak bertenaga.
"Jaga golok kalian!" teriak Teguh Sayekti masih sempat memberi peringatan.
Dan tiba-tiba tubuh Pembunuh Iblis segera
berkelebat cepat di antara gulungan-gulungan golok besar di tangan keempat orang
pengeroyoknya. Sedang jari-jari tangannya yang terkembang bergerak cepat,
menotok orang pengeroyoknya.
Tukkk! Tukkk! Trang! Trang! Empat golok kontan beterbangan manakala
pergelangan tangan para pengeroyok terkena toto-
kan tangan Teguh Sayekti. Di saat mereka terperangah kaget, pemuda berjubah biru
itu segera bertindak. Jari-jari tangannya yang terkembang kembali bergerak cepat
menotok. Tukkk! Tukkk! Keempat orang anggota Pasukan Laskar Hijau
itu kontan membelalak lebar dengan tubuh kaku tak dapat digerakkan.
"Katakan! Di mana pimpinan kalian yang ber-
gelar Setan Haus Darah bersembunyi! Cepat!" bentak Teguh Sayekti, seraya
mencengkeram leher laki-laki kasar yang pertama menyerangnya tadi.
Mata anggota Pasukan Laskar Hijau itu mem-
belalak ketakutan. Kedua bola matanya mengerling ke arah ketiga orang kawannya
di samping. Namun
anehnya, mereka diam tak mempedulikannya. Sikap
mereka pun sama seperti orang yang tengah dito-
dong Teguh Sayekti. Takut. Entah takut pada siapa.
"Kau tak mau mengatakannya, he"!" dengus
Teguh Sayekti makin memperkeras cengkeraman di
leher lelaki itu.
Tetap saja lelaki itu tak mau membuka suara.
Teguh Sayekti gusar bukan main. Disentakkannya
tubuh laki-laki itu kasar, lalu kembali mendekati ketiga orang anggota Laskar
Hijau yang lain.
"Apa kalian juga tak mau buka suara di mana Setan Haus Darah bersembunyi"!"
hardik Teguh Sayekti, kian membuat wajah ketiga anggota Pasukan Laskar Hijau itu
pias. "Aku.... Aku tak berani. Kami pasti akan dibunuh bila sampai membocorkan rahasia
tempat pimpinan kami bersembunyi," jelas salah seorang dari ketiga anggota Pasukan
Laskar Hijau itu ketakutan. "Jadi kau lebih takut dengan pimpinanmu daripada
aku, he"! Apa kau tak takut kalau batang lehermu kupatahkan"!" ancam Teguh
Sayekti tak main-main.
"Lebih baik kau bunuh kami daripada dis-
uruh mengatakan pimpinan kami bersembunyi,
Tuan!" tantang anggota Pasukan Laskar Hijau.
Teguh Sayekti menggeram penuh kemarahan.
Dikiranya orang itu hanya menggertak. Maka untuk memaksa tak ada pilihan lain
kecuali makin memperkeras cengkeraman tangannya di leher orang itu.
Krak! Krakkk! "Augh...!" jerit orang itu kesakitan, namun belum juga mau membuka suara.
"Apa kau lebih senang nyawamu tanggal dari-
pada membuka suara?" ancam Pembunuh Iblis.
"Bunuh saja aku, Tuan. Aku tak mungkin
memberitahukan di mana pimpinan kami bersem-
bunyi!" teriak orang itu di antara erang kesakitan dan napasnya yang tersengal
karena lehernya terce-kik. "Baik. Kalau begitu, terimalah kematianmu!"
bentak Teguh Sayekti hanya untuk menakut-nakuti.
Cengkeraman tangannya di leher orang itu pun ma-
kin diperkeras.
"Kekh.... Keekh...!"
Anggota Pasukan Laskar Hijau itu tetap tak
mau buka suara kecuali suara lenguhan. Matanya
malah mendelik-delik menahan sakit di tenggoro-
kan. Teguh Sayekti geram bukan main, ia tetap
mengira kalau anggota Pasukan Laskar Hijau itu
hanya menantang ancamannya belaka. Toh kalau
sudah merasa sakit, akhirnya mau memberi tahu
juga. Berpikir sampai di situ, Pembunuh Iblis malah jadi merasa tertantang. Maka
tanpa ampun te-
naga dalamnya pun makin ditambah dalam cengke-
raman tangannya di leher anggota Pasukan Laskar
Hijau. Krak! Krakkk!
"Aakh...!"
Tiba-tiba anggota Pasukan Laskar Hijau itu
men-jerit tertahan. Sepasang matanya membelalak
lebar. Lalu dari mulut dan hidungnya keluar cairan berwarna merah darah.
Sementara tubuhnya tidak
bergerak-gerak sama sekali. Mati!
Pembunuh Iblis terperangah kaget. Tak dis-
angkanya golongan perampok ini lebih senang mati di tangan musuh daripada harus
memberi tahu tempat persembunyian pimpinan mereka.
Melihat orang yang tengah diancam telah me-
nemui ajal, Teguh Sayekti jadi bingung. Sekali
menghentakkan tangannya, tubuh anggota Pasukan
Laskar Hijau yang telah menjadi mayat itu segera terbanting ke samping. Dalam
kebingungannya, pemuda berjubah biru itu kembali mondar-mandir ke
sana kemari. "Walaupun kau menurunkan tangan maut,
tak mungkin kami memberitahukan tempat persem-
bunyian pimpinan kami, Pendekar!" ejek salah seorang anggota Pasukan Laskar
Hijau. "Hm...!" Teguh Sayekti menggumam tak jelas.
Tak mungkin ia menurunkan tangan mautnya, wa-
lau mereka adalah penjahat-penjahat keji. Sedang saat ini Pembunuh Iblis sangat
menginginkan untuk segera bertemu Setan Haus Darah. Karena, pimpinan itulah yang
lebih utama baginya. Kalau hendak menumpas gerombolan perampok, tumpas mulai da-
ri pimpinan mereka. Begitu kata hati Teguh Sayekti.
Tiba-tiba Pembunuh Iblis melangkah mende-
kati seorang anggota Pasukan Laskar Hijau lainnya.
Lalu tangannya mengibas.
Tuk! Sekali Teguh Sayekti menotok, maka bebaslah
lelaki itu dari pengaruh totokan.
"Pergilah! Suruh pimpinan kalian menemuiku
di sini! Cepat!" bentak Pembunuh Iblis.
Laki-laki anggota Pasukan Laskar Hijau itu
ragu-ragu. Sejenak diperhatikannya kedua orang
kawannya yang masih tegak tak dapat bergerak.
"Jangan khawatir! Aku tak akan mencelaka-
kan mereka. Tapi kalau kau tak mau menyampaikan
pesanku tadi, maka kedua orang kawanmu akan se-
gera mati. Cepat beri tahu pimpinan kalian! Aku,
Pembunuh Iblis, menanti kedatangan ketua kalian
di sini!" "Ba... baik!"
Anggota Pasukan Laskar Hijau itu buru-buru
meninggalkan kedai makan. Sambil berlari, sesekali kepalanya menoleh ke
belakang. Dan akhirnya, sosoknya yang tinggi besar menghilang di simpang jalan
desa. "Kenapa harus begini, Tuan Pendekar" Setan
Haus Darah dan anak buahnya pasti akan kemari
dan menghancurkan desa ini," jelas gadis pelayan.
Tubuhnya menggigil ketakutan di pojok ruangan.
"Jangan khawatir! Aku memang sedang men-
carinya. Doakan saja aku dapat mengatasi sepak
terjangnya!" ujar Pembunuh Iblis dengan senyum terkembang di bibir.
"Tapi...."
"Sudahlah! Sekarang sediakan lagi makanan
yang enak untukku! Ini untuk sekadar mengganti
kerusakan kedaimu berikut harga makanan yang
kupesan!" Pembunuh Iblis merogoh kantong kecil yang
menggelantung di pinggang. Lalu diberikannya beberapa keping uang perak pada
gadis pelayan itu.
"Terimalah!" Pembunuh Iblis menyerahkan beberapa uang perak ke dalam genggaman
tangan gadis pelayan. "Sekarang masuklah! Buatkan pesanan makanku, ya!"
Gadis pelayan itu segera beringsut ke dalam.
Parasnya yang pucat pasi sesekali menoleh ke belakang. Terus terang hatinya
merasa heran sekali karena berani benar pemuda itu menantang Setan
Haus Darah berikut anak buahnya. Sungguh ia tak
habis pikir. Bahkan kini, Pembunuh Iblis sendiri tampak tenang-tenang duduk di
meja makan. 7 "Pembunuh Iblis! Keluar! Aku Setan Haus Da-
rah datang memenuhi tantanganmu!"


Siluman Ular Putih 21 Setan Haus Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seorang lelaki berperawakan tinggi kekar
dengan pakaian ringkas warna hijau serta ikat kepala juga berwarna hijau terbuat
dari kain sutera berdiri gagah di atas punggung kuda. Beberapa orang penduduk
Desa Sumber Dalem yang melihat kemunculan lelaki yang tak lain Pimpinan Pasukan
Laskar Hijau ini buru-buru menyingkir.
Dari dalam kedai orang yang dipanggil Pem-
bunuh Iblis hanya mengangguk-anggukkan kepala.
"Bagus! Rupanya mereka sudah datang," gumam Teguh Sayekti alias Pembunuh Iblis.
Sekilas mata pemuda berjubah biru melirik ke
arah dua orang anggota Pasukan Laskar Hijau yang tubuhnya masih kaku tak dapat
bergerak. Lalu dengan mantap kakinya melangkah ke luar.
Di halaman depan kedai makan Pembunuh
Iblis melihat Setan Haus Darah duduk di atas punggung kuda dikawal beberapa
orang anak buahnya.
Jumlah mereka cukup banyak, tak kurang dari dua
puluh lima orang.
"Kaukah yang bergelar Pembunuh Iblis, Bo-
cah"!" bentak Setan Haus Darah, manakala melihat Teguh Sayekti melangkah keluar.
"Benar! Dan kau tentu ketua perampok yang
bergelar Setan Haus Darah"!" balas Pembunuh Iblis.
Setan Haus Darah tertawa bergelak.
"Bocah bau kencur macam kau beraninya
menantangku! Lekaslah bersujud di hadapanku ka-
lau tak ingin nyawamu lenyap dari raga!" ejek Setan Haus Darah pongah.
"Jangan banyak bicara, Setan Haus Darah!
Manusia pengacau macam kau memang patut di-
musnahkan dari muka bumi. Bersiap-siaplah me-
nemui malaikat maut, Manusia Pongah!"
"Kau...!"
Setan Haus Darah menudingkan telunjuknya
ke arah Pembunuh Iblis. Lalu tawanya yang bergelak pun kembali meledak. Lagaknya
jelas sangat memandang remeh lawan.
"Manusia perampok! Meski aku baru kemarin
sore menginjakkan kaki di dunia persilatan, tapi jangan dikira akan gentar
menghadapi manusia-manusia bejat macam kau! Majulah! Aku menan-
tangmu bertarung!" ejek Pembunuh Iblis.
"Biarkan kami yang menghajar bocah tak ta-
hu adat ini, Ketua!" teriak lima lelaki berpakaian serba hijau seraya maju
beberapa tindak ke depan.
"Boleh! Hajarlah pemuda pongah itu, Surono!"
Begitu mendapat persetujuan dari pimpinan
mereka, kelima orang anggota Pasukan Laskar Hijau segera melompat dari punggung
kuda, dan langsung mengurung Pembunuh Iblis dari lima arah.
Pembunuh Iblis mengedarkan pandangan ke
kanan kiri dengan senyum tersungging di bibir. Sedikit pun hatinya tidak gentar
menghadapi keroyokan lima orang anggota Pasukan Laskar Hijau.
Meskipun, dari cara melompat Teguh Sayekti tahu kalau kelima orang anggota
Pasukan Laskar Hijau
itu rata-rata memiliki kepandaian lumayan.
"Majulah, Tikus-tikus Comberan!" tantang Pembunuh Iblis.
Kelima orang anggota Pasukan Laskar Hijau
menggeram penuh kemarahan. Sekali mereka meng-
gerakkan tangan, golok-golok telah tercabut dari pinggang.
Srat! Srattt! Lima buah golok besar yang berkilauan ter-
timpa sinar matahari kini sudah tergenggam di tangan kelima orang pengeroyok.
Paras-paras mereka
kini mulai memancarkan hawa membunuh.
"Jangan banyak jual lagak, Tikus-tikus Com-
beran! Majulah!"
"Setan alas! Justru kau yang banyak jual lagak! Terimalah kematianmu hari ini,
Bocah!" dengus anggota Pasukan Laskar Hijau yang tadi dipanggil Surono seraya
mengibaskan golok ke depan.
Bersamaan dengan kibasan itu, kelima orang
anggota Pasukan Laskar Hijau itu serempak mener-
jang. Golok di tangan mereka tampak berputaran
mengurung pertahanan Pembunuh Iblis.
Sementara Pembunuh Iblis tampak masih te-
nang-tenang di tempatnya dengan senyum tersungg-
ing. Begitu jarak serangan para pengeroyoknya
hanya tinggal setengah tombak, Pembunuh Iblis
menjejakkan kakinya ke tanah. Dan tahu-tahu tu-
buhnya yang tinggi kekar telah melenting tinggi ke udara. Setelah berjungkir
balik beberapa kali di udara, tiba-tiba tubuhnya meluncur dengan totokan-
totokan jari tangan yang mengancam ubun-ubun
kepala para pengeroyok.
Begitu melihat bahaya mengancam, kelima
orang pengeroyok Pembunuh Iblis itu segera memu-
tar golok sedemikian rupa. Mereka bermaksud me-
mangkas buntung sepasang tangan Pembunuh Iblis.
Srat! Sratt! "Enak benar kalian ingin memotongku! Awas
jaga nyawa kalian, Tikus-tikus Comberan!" ejek Pembunuh Iblis, langsung membuat
gerakan yang sulit sekali ditebak.
Tubuh pemuda itu yang tinggi kekar dengan
lentur meliuk-liuk di udara. Dan begitu kakinya
menjejak ke tanah, tahu-tahu telah dilontarkannya tendangan memutar dua kali.
Bukkk! Bukkk! "Aaakh...!"
Telak sekali tendangan kaki kanan Pembunuh
Iblis mendarat di dada dua orang pengeroyoknya
hingga kontan terbanting keras dengan dada seakan mau pecah. Buktinya saja, dari
mulut mereka me-nyemburkan darah segar, pertanda telah menderita luka dalam
cukup lumayan, Melihat dua orang dapat dijatuhkan dengan
mudah, para anak buah Setan Haus Darah kembali
meluruk menyerang. Maka pertarungan pun tak da-
pat dihindari lagi.
* * * "Kau tak seharusnya berlaku kasar terhadap
pemuda itu, Arum!" tegur Siluman Ular Putih.
Saat itu Soma dan Arum Sari tengah berjalan
menyusuri jalan setapak di sebuah hutan kecil dengan pohon-pohonnya yang besar
berjajar di kanan
kiri. Saking rapatnya pohon itu, membuat udara jadi
lembab tak tersentuh sinar matahari yang tak mam-pu menembus kelebatan hutan.
Hanya kilauan- kilauan sinar berwarna kuning keemasan saja yang sesekali terlihat di sana sini
di antara gerak dedau-nan yang tertiup angin.
Arum Sari sedikit pun tak mau menggubris
kata-kata pemuda itu. Hatinya memang sedang kes-
al sekali. Baru kali ini hatinya merasa kurang nyaman melakukan perjalanan
bersama Soma. Semua
itu dikarenakan sikap Siluman Ular Putih yang angin-anginan. Memang, pemuda itu
lembut dan pe- nuh perhatian terhadapnya. Namun, si gadis seperti merasa tak puas hanya
mendapat kelembutan dan
perhatian Soma seperti itu.
"Aku tahu kau tentu kecewa atas sikapku ha-
ri-hari belakangan ini, Arum. Tapi, mengertilah. Sebenarnya aku sama sekali tak
ingin mengecewakan
hatimu. Aku sendiri belum tahu, apa yang sebenarnya terbersit dalam hatiku. Tapi
bukankah kita tetap masih bersahabat?" lanjut Soma tak berputus asa. Lagi-lagi
Arum Sari hanya bungkam. Menu-rutnya, tak ada gunanya bicara panjang lebar
dengan pemuda di sampingnya kalau hanya akan me-
nemui kekecewaan semata. Si gadis justru lebih senang membiarkan perasaannya
yang seolah terbang
oleh tiupan angin yang menerbangkan debu entah
ke mana. "Arum. Aku sedih sekali kalau melihat kau murung terus. Ayo dong senyum! Masa'
aku dibiarkan seperti patung hidup begini?" kata Siluman Ular Putih bermaksud
menggoda. Hati Arum Sari makin gelisah. Selama dua
hari belakangan ini, ia memang lebih banyak bungkam. Malas meladeni ucapan
Siluman Ular Putih.
"Sudahlah, Soma! Aku tahu kau memang baik
padaku. Tapi terus terang, hatiku saat ini sedang gelisah. Harap kau mau
mengerti, Soma. Terus terang aku memang sedang berusaha membunuh perasaan
dalam hatiku," ujar Arum Sari dengan suara serak.
Siluman Ular Putih tersenyum getir. Entah
kenapa Soma merasa bersalah melihat kemurungan
wajah Arum Sari.
"Kasihan sekali kau, Arum. Demi Tuhan aku
tak bermaksud mempermainkan hatimu. All...! Ini
semua gara-gara ucapan ibu...," desah Siluman Ular Putih dalam hati.
Arum Sari melirik ke arah Siluman Ular Putih
sejenak. Dilihatnya murid Eyang Begawan Kama-
setyo tengah menatap kosong ke depan. Tapi si gadis membiarkannya.
Saat tiba di simpang jalan di pinggiran hutan
kecil. Arum Sari mendadak menghentikan langkah-
nya. Sepasang matanya yang tajam menekuri rum-
put-rumput kering di bawah dengan seksama.
"Soma, lihat! Tampaknya ada bekas beberapa
telapak kaki kuda yang baru saja melewati tempat ini," tunjuk Arum Sari tanpa
menoleh ke arah Siluman Ular Putih sedikit pun.
Soma sendiri saat itu tengah berjongkok men-
gamati bekas-bekas tapak kaki kuda di atas rumput kering sambil sesekali
menggumam. Lalu pandang
matanya segera dialihkan ke jalan setapak yang menuju ke timur.
"Kau benar, Arum. Jejak-jejak kaki kuda yang banyak sekali menandakan kalau yang
baru lewat adalah sepasukan orang berkuda. Dan kalau tak salah pengamatanku, mereka menuju
ke timur," sahut Soma dengan tatapan ke arah timur.
"Jangan-jangan mereka itu Pasukan Laskar
Hijau, Soma?"
"Hm...! Bisa jadi...."
Di saat Siluman Ular Putih dan Arum Sari
tengah sibuk mengamati jejak-jejak kaki kuda....
"Heaaaa...!"
"Aaa...!"
Samar-samar Siluman Ular Putih mendengar
suara hiruk pikuk yang ditingkahi jerit-jerit kesakitan di kejauhan sana.
"Arum! Tampaknya di sebelah timur hutan ini tengah terjadi pertarungan. Ayo kita
ke sana. Arum!"
ajak Siluman Ular Putih seraya melirik ke arah
Arum Sari sekilas
Arum Sari mengangguk dan segera berkelebat
mendahului. Siluman Ular Putih sendiri pun tak ingin ber-
lama-lama di tempat itu. Sekali menghentakkan kakinya ke tanah, tubuhnya telah
menjajari langkah Arum Sari.
* * * "Percuma saja kau menyuruh tikus comberan
itu mengeroyokku, Setan Haus Darah. Kenapa kau
tak maju sekalian, biar aku tak terlalu banyak
buang tenaga?" kata Pembunuh Iblis dengan tangan bersedekap, ketika kembali
menjatuhkan beberapa
anak buah Setan Haus Darah.
Setan Haus Darah menggeram penuh kema-
rahan. Rahangnya yang mengembung tampak demi-
kian mengerikan dengan sepasang mata berkilat-
kilat. Namun, ia sengaja masih memberi kesempatan kepada para anak buahnya untuk
memberi pelajaran terhadap Pembunuh Iblis.
"Bocah pongah! Mana pantas kau berhadapan
dengan ketua kami! Menghadapi kami saja belum
tentu kau becus!" geram Surono.
Saat itu pula Surono segera memberi aba-aba
pada teman-temannya yang masih segar bugar. Se-
dang empat orang temannya yang terkena tendan-
gan Pembunuh Iblis tadi masih ngejoprak tak mam-
pu bangun lagi.
"Majulah kalau kalian tak sabar untuk berte-mu malaikat maut, Tikus-tikus
Comberan!" ejek Pembunuh Iblis.
"Bajingan! Belum puas aku kalau belum me-
reguk darah busukmu, Bocah. Makanlah golokku!
Hea!" Berbareng teriakannya yang nyaring, Surono yang dibantu dua orang temannya
kembali menerjang Pembunuh Iblis. Mereka bertiga kini tidak segan-segan lagi
mengeluarkan jurus andalan Pasu-
kan Laskar Hijau. Begitu tubuh mereka berkelebat, yang terlihat hanyalah
bayangan kehijauan dari gerakan mereka yang cepat luar biasa. Sedang golok di
tangan mereka sesekali menyelinap di antara kelebatan tubuh.
Werrr! Werrr! Pembunuh Iblis tak mau kalah gertak. Meli-
hat datangnya serangan, tubuhnya pun berkelebat
menyongsong. Meski hanya menggunakan tangan
kosong, sedikit pun ia tak kewalahan menghadapi
gempuran-gempuran ketiga orang pengeroyoknya.
Malah mudah sekali tubuhnya berjumpalitan ke sa-
na kemari menghindari tebasan-tebasan golok. Bahkan sesekali balik membalas
serangan. Kedua telapak tangannya yang terkepal erat tiba-tiba menyelinap di
antara gulungan golok di tangan Surono.
Dan.... Bukkk! Bukkk!
"Augh...!"
Pekik kesakitan kontan keluar dari mulut So-
rono yang juga tangan kanan Setan Haus Darah.
Begitu terkena hantaman tubuhnya terjajar bebera-pa langkah ke belakang. Menilik
darah segar yang membasahi sudut-sudut bibir, jelas sekali kalau
tangan kanan Setan Haus Darah itu telah menderita luka dalam.
"Heaaa...!"
Melihat Surono telah terluka, kedua orang
pengeroyok Pembunuh Iblis makin meningkatkan
serangan. Dikawal bentakan nyaring mereka mener-
jang ganas. Pembunuh Iblis menghadapi serangan, segera
mengerahkan tenaga dalamnya ke kedua telapak
tangan. Dan dengan satu gerak tipu yang sulit diter-ka, tiba-tiba kedua telapak
tangannya telah men-
gancam dada kedua orang pengeroyoknya. Namun
sebelum serangan-serangannya mengenai sasaran,
tiba-tiba terasa ada hawa dingin yang bukan kepalang telah mengancam
punggungnya. Wesss! "Hup!"
Pembunuh Iblis cepat membuang tubuhnya
jauh ke samping, sehingga serangan itu hanya men-
genai angin kosong. Dan begitu kakinya menjejak
tanah, dilihatnya Setan Haus Darah telah turun dari punggung kuda. Rupanya
dialah yang melepas serangan gelap tadi.
"Kenapa tidak dari tadi kau turun tangan, Setan Haus Darah" Sekarang setelah


Siluman Ular Putih 21 Setan Haus Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melihat anak buahmu kewalahan, kau baru turun tangan. Huh!"
ejek Pembunuh Iblis.
"Mundur!" bentak Setan Haus Darah pada pa-ra anak buahnya yang bermaksud
membantu. Tanpa diperintah sekali lagi, para anggota Pa-
sukan Laskar Hijau segera melompat ke belakang
berkumpul bersama teman-teman lainnya. Namun
mereka masih tetap siaga dengan golok di tangan.
"Tak kusangka kau memiliki sedikit kepan-
daian, Bocah. Pantas kau berani menantangku. Tapi jangan harap dapat
mengalahkanku. Percuma saja
aku bergelar Setan Haus Darah kalau tak dapat me-robohkanmu!" desis Pemimpin
Laskar Hijau itu.
"Buktikan saja, Setan Haus Darah. Kau atau
aku yang terlebih dulu berkalang tanah!" tantang Pembunuh Iblis.
"Bajingan! Bocah tak tahu diuntung. Sudah
dikasih hati malah menginjak kepala. Kau memang
layak modar di tanganku!" geram Setan Haus Darah tak dapat lagi menahan amarah.
Setan Haus Darah segera menarik kedua te-
lapak tangannya ke belakang. Dan sekonyong-
konyong, dipukulkan ke arah Pembunuh Iblis.
Bed! Wuss! Saat itu juga, tempat itu laksana disapu ge-
lombang angin panas menuju ke arah Pembunuh Ib-
lis yang melesat dari kedua telapak tangan Setan Haus Darah. Apa saja yang ada
di sekitar tempat
pertarungan seolah bagai terpanggang. Suasana pun berubah redup mengandung hawa
kematian! Menyadari hawa kematian mengincar nya-
wanya, Pembunuh Iblis segera menggerakkan ba-
hunya setengah lingkaran. Sepasang mata pemuda
berjubah biru itu kontan terpentang lebar! Lalu disertai gerengan kemarahan,
tiba-tiba ujung jubahnya dikebutkan dengan kedua telapak tangan disentakkan ke
depan! Wesss! Wesss! Yang melesat pertama kali dari serangan ba-
lasan Pembunuh Iblis adalah gelombang angin dah-
syat yang mampu mengeluarkan suara menggidik-
kan. Di saat berikutnya, menyusul asap putih yang langsung melesat turun naik
diiringi hawa panas
bukan kepalang!
Blarr...! Gelombang angin pukulan Pembunuh Iblis
kontan menyambut pukulan Setan Haus Darah,
menimbulkan satu ledakan hebat!
Tempat pertarungan kontan terguncang hebat
laksana terjadi gempa! Tanah langsung-
berhamburan tinggi ke udara, meninggalkan lubang-lubang yang menganga lebar!
Pagar-pagar rumah
penduduk bermentalan sebelum akhirnya hancur
berkeping-keping di udara! Sementara beberapa
orang anak buah Pasukan Laskar Hijau terlebih du-lu membuang tubuh ke samping
hingga luput dari
sambaran angin akibat bentrokan pukulan tadi!
Tubuh Pembunuh Iblis sendiri kontan terlem-
par jauh ke belakang. Parasnya pucat pasi dengan
darah segar membasahi sudut-sudut bibir. Agaknya, pemuda berjubah biru itu telah
menderita luka dalam. Agak jauh di depannya, Setan Haus Darah
tampak terhuyung-huyung dengan tubuh bagian
atas hampir tersiram pasir. Namun sebelum kepa-
lanya menghantam tanah, kedua telapak tangannya
segera bergerak ke depan, sehingga keseimbangan
tubuhnya dapat terkuasai. Keadaan ini sebenarnya masih jauh lebih menguntungkan
dibanding keadaan Pembunuh Iblis. Setan Haus Darah tahu, mu-
suhnya telah menderita luka dalam. Maka cepat ia melompat bangun.
"Bagus! Rupanya kau memiliki satu pukulan
hebat juga, Bocah. Tapi tetap saja percuma mela-
wanku. Kau akan modar di tanganku! Sekarang,
makanlah pukulan 'Gemuruh Badai'! Hea!"
Dikawal bentakan keras, Setan Haus Darah
kembali menghentakkan kedua telapak tangannya
ke depan. Seketika meluncur angin kencang laksana amukan topan badai dari kedua
telapak tangan Setan Haus Darah siap melabrak tubuh Pembunuh Ib-
lis. Werrr! Werr!
Pembunuh Iblis menggeram penuh kemara-
han. Ia merasakan, sebelum hawa pukulan Setan
Haus Darah sempat mengenai tubuhnya, terlebih
dahulu berkesiur hawa panas luar biasa yang me-
nyengat kulit tubuh!
"Hiaaa...!"
Tanpa buang-buang waktu, Pembunuh Iblis
segera menghantamkan kedua telapak tangannya ke
depan. Seketika meluruk dua larik sinar biru dari
kedua telapak tangannya. Dan....
Blammm! Blammm!
Tepat pada titik tengah, sinar-sinar biru dari
tangan Pembunuh Iblis menghantam pukulan Setan
Haus Darah. Seketika kembali terdengar dua leda-
kan dahsyat. Hebat bukan main bentrokan dua te-
naga dalam kali ini, sehingga menimbulkan kesiur angin yang memporak-porandakan
apa saja yang ada di sekitar tempat pertarungan. Ranting-ranting pohon berderak dengan daun-
daun hangus terbakar! Sedang beberapa orang anak buah Setan Haus
Darah yang terlambat menghindar kontan menjerit
dengan sekujur tubuh melepuh!
Sewaktu terjadinya bentrokan tadi, tubuh
Pembunuh Iblis melayang jauh ke belakang. Tubuh
tinggi kekarnya berputar-putar, sebentar sebelum akhirnya terbanting keras.
Bukkk! Pembunuh Iblis meringis kesakitan. Tulang
punggungnya yang beradu dengan tanah terasa mau
remuk. Sementara kedua telapak tangannya mele-
puh akibat bentrokan tadi. Luka dalamnya yang di-derita kali ini benar-benar
menyiksa. Kendati begitu, pemuda itu mencoba melompat bangun. Tapi, tubuhnya
terasa lemah tak bertenaga, sehingga kem-
bali luruh ke tanah.
"Ha ha ha...! Saat inilah kematianmu, Bocah Pongah! Jangan salahkan kalau aku
terpaksa harus merenggut nyawa busukmu, Bocah! Sekarang terimalah hari
kematianmu! Hea!"
Setan Haus Darah cepat menarik kedua tela-
pak tangannya ke belakang. Dan dengan kekuatan
tenaga dalam penuh, kedua telapak tangannya telah
dihantamkan ke depan. Seketika itu juga meluruk
dua gulungan bola api dari kedua telapak tangannya siap melabrak tubuh Pembunuh
Iblis. Werrr! Werrr! Pembunuh Iblis mengeluh pasrah. Mengha-
dapi bahaya maut yang siap merenggut nyawanya, ia berniat memapak dengan
kekuatan tenaga dalam
penuh. Namun baru saja hendak melontarkan puku-
lan, mendadak melesat dua larik sinar putih terang yang datangnya dari samping.
Dan tahu-tahu, dua
sinar putih terang itu telah memapak pukulan Setan Haus Darah!
Blammm! "Setan alas! Siapa yang berani gila dengan Setan Haus Darah, he"!"
8 Sepasang mata merah menyala Setan Haus
Darah berkilat-kilat penuh kemarahan menatap se-
pasang anak muda-mudi yang berdiri tak jauh di
depannya. Yang sebelah kanan adalah seorang pe-
muda tampan berambut gondrong sebahu. Pakaian-
nya rompi dan celana bersisik warna putih keperakan. Sedang di sebelahnya
seorang gadis cantik berambut digelung ke atas, dihiasi untaian bunga melati.
Gadis ini mengenakan pakaian yang juga berwarna hijau. Menilik ciri-cirinya,
mereka tak lain da-ri Siluman Ular Putih dan Arum Sari.
"Terima kasih, Sobat. Kali ini aku berhutang nyawa denganmu," ucap Pembunuh
Iblis pada Siluman Ular Putih.
Soma hanya menoleh sebentar ke arah Pem-
bunuh Iblis yang masih mengejoprak di tanah. Lalu dengan senyum tersungging di
bibir kembali diha-dapinya Pimpinan Pasukan Laskar Hijau.
"Jadi, kaukah yang bergelar Setan Haus Da-
rah" Hm...! Kebetulan sekali. Aku memang sedang
mencari-carimu berikut konco-koncomu," ancam Siluman Ular Putih, senang.
"Jahanam! Bocah edan mana lagi yang berani
pentang bacot demikian rupa di hadapan Setan
Haus Darah"! Apa kau sudah bosan hidup, he"!"
bentak Setan Haus Darah tak kalah gertak.
"Sudahlah! Jangan banyak bacot, Biang Pe-
rampok! Aku sudah kebal segala macam gertak
sambal. Sekarang kalau kau ingin mencabut nyawa-
ku, lakukanlah! Tapi, hati-hati! Jangan-jangan malah kau sendiri yang kena
gebuk!" balas Siluman Ular Putih.
Setan Haus Darah menggeram murka. Ia ya-
kin sekali dapat mengatasi, walau tadi sebenarnya sudah merasakan kehebatan
pukulan pemuda edan
di depannya. "Tunggu!" ujar Setan Haus Darah.
"Apa lagi yang hendak kau bicarakan, Biang Perampok" Katanya kau ingin mencabut
nyawaku?" tanya Soma. "Aku tak akan mencabut nyawa seseorang ka-
lau belum tahu siapa nama orang itu. Sekarang katakan siapa nama dan gelarmu
hingga membuatmu
pongah, Bocah Gondrong!"
"Ooo...! Rupanya kau penasaran dengan na-
maku, ya" Aha...! Sayang sekali, namaku tak cukup baik. Soma! Tapi yang jelas,
nama bukanlah jadi ja-
minan. Buktinya kau yang mengaku bergelar Setan
Haus Darah malah jadi biang kerok. Suka meng-
ganggu rakyat tak mampu," sahut Soma asal jadi.
"Bajingan! Katakan sekalian siapa gelarmu,
Bocah!" "Itu tak penting. Pokoknya, asal bisa memberi pelajaran pada manusia pongah
macam kau, itu sudah cukup penting bagiku."
"Baik! Kalau kau keberatan menyebutkan ge-
larmu tak jadi soal. Asal jangan menyesal kalau
nyawamu minggat dari raga!"
"Aku tak mungkin menyesal. Malah aku se-
nang dapat berjumpa golongan perampok macam
kalian. Tapi sayang, aku tak punya barang yang cukup berharga untuk dirampok.
Padahal, aku ingin
sekali merasakan seperti apa sih enaknya diram-
pok?" "Setan alas! Makin diumbar malah makin ke-lewatan! Kau akan menyesal telah
bertemu dengan-
ku, Bocah! Sekarang rasakanlah akibatnya!" geram Setan Haus Darah.
Saat itu juga, Setan Haus Darah segera me-
narik mundur kedua telapak tangannya ke bela-
kang. Lalu dengan kekuatan tenaga dalam penuh ti-ba-tiba kedua telapak tangannya
segera disentakkan ke depan.
Wesss! Wesss! Seketika meluruk dua gulungan bola api dari
kedua telunjuk tangan Setan Haus Darah, siap me-
labrak tubuh Siluman Ular Putih. Bahkan sebelum
serangan-serangan itu sempat mengenai sasaran,
terlebih dahulu telah berkesiur hawa panas bukan kepalang.
Sementara di saat Setan Haus Darah melon-
tarkan pukulan maut, beberapa orang anak buah-
nya yang tak sabar untuk turun ke tempat perta-
rungan segera menerjang Siluman Ular Putih. Na-
mun baru saja mereka bertindak. Arum Sari telah
menghadang dengan pedang di tangan.
"Bagus, Arum! Hajar perampok-perampok ke-
cil itu biar tahu rasa!" celoteh Siluman Ular Putih.
Padahal saat itu, dua gulungan bola api dari kedua telapak tangan Setan Haus
Darah siap mengganyang tubuhnya.
Begitu gulungan dua bola api itu hanya ting-
gal beberapa jengkal di hadapannya, Siluman Ular Putih pun segera bertindak.
Segera kedua telapak tangannya menghantam ke depan, membuat dua larik sinar
putih terang melesat memapak pukulan Setan Haus Darah. Itulah pukulan 'Tenaga
Inti Bumi' yang cukup menggetarkan dunia persilatan. Dan....
Blammm! Terdengar satu ledakan hebat di udara begitu
terjadinya bentrokan dua tenaga dalam tingkat tinggi di udara. Seketika bumi
laksana diguncang pra-hara. Angin panas yang ditingkahi angin dingin
langsung menebar ke segenap penjuru, memporak-
porandakan apa saja yang ada di sekitarnya. Pagar-pagar rumah penduduk hancur
berantakan. Seba-
gian beterbangan ke udara, menghantam tanah di
sekitarnya! Tubuh Setan Haus Darah sendiri kontan me-
layang jauh ke belakang begitu terjadi bentrokan.
Untung saja tubuhnya cepat membuat putaran dan
hinggap di tanah tanpa terbanting keras. Meski demikian tetap saja rasa nyeri
dalam dadanya tak da-
pat disembunyikan dari parasnya yang pias dan mulutnya yang meringis.
Jauh di depan sana, sosok Siluman Ular Pu-
tih hanya bergoyang-goyang sebentar. Kedua ka-
kinya tersurut beberapa langkah ke belakang. Na-
mun sedikit pun tidak membahayakan keselama-
tannya. Malah murid Eyang Begawan Kamasetyo ini
tersenyum nakal.
"Ayo, bangun! Masa' baru begitu saja sudah
loyo" Huh! Katanya biang perampok nomor wahid?"
ejeknya. "Bajingan! Kuakui kau memang hebat, Bocah
Edan! Tapi, jangan bangga dulu! Aku sama sekali
belum kalah," dengus Pimpinan Laskar Hijau itu.
"Sekarang rasakanlah pukulan 'Gemuruh Badai Api'-ku!"
Begitu melompat bangun, tak tanggung-
tanggung lagi Setan Haus Darah segera mengelua-
rkan pukulan andalan 'Gemuruh Badai Api'. Saat itu juga kedua tangannya yang
telah berubah jadi merah menyala hingga ke pangkal menghentak disertai bentakan
nyaring. "Heaaa...!"
Wusss...! Seketika meluruk dua gulungan api yang ber-
kobar-kobar dari kedua telapak tangan lelaki tinggi besar itu ditingkahi angin


Siluman Ular Putih 21 Setan Haus Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kencang berkesiur ke arah Siluman Ular Putih.
"Hmmm...!"
Siluman Ular Putih menggumam dalam hati.
Dari berkesiurnya hawa panas yang menyentuh ku-
lit, disadarinya akan kehebatan pukulan 'Gemuruh Badai Api'. Untuk itu, pemuda
ini tak berani main-
main lagi. Maka segera digabungkannya pukulan
'Tenaga Inti Bumi' dan 'Tenaga Inti Api'. Lalu secepat itu kedua telapak
tangannya mendorong ke depan.
"Hea!"
Bukan main! Dua larik sinar merah dan putih
yang disertai berkesiurnya hawa panas dan dingin bukan kepalang saat itu pula
meluncur dari kedua telapak tangan Siluman Ular Putih, memapak pukulan Setan
Haus Darah. Dan....
Blammm! Blammm!
"Aaakh...!"
Setan Haus Darah kontan menjerit tertahan.
Tubuhnya yang tinggi besar tanpa ampun kembali
melayang jauh ke belakang dan terbanting keras di tanah. Sedang Siluman Ular
Putih sendiri pun mengalami nasib tak jauh berbeda. Begitu bentrokan terjadi,
tubuhnya terpental ke belakang. Cuma be-
danya, ia cepat mematahkan daya luncur tubuhnya
dengan beberapa kali putaran di udara. Maka begitu mendarat, keseimbangan
tubuhnya jadi terkendali.
Sementara itu, Arum Sari yang tengah sibuk
menghadapi keroyokan beberapa orang anak buah
Setan Haus Darah tampak kewalahan bukan main.
Meski memiliki kepandaian yang cukup lumayan,
namun menghadapi keroyokan dari orang-orang
yang juga memiliki kepandaian lumayan, tak urung membuatnya kewalahan. Apalagi
jumlah pengeroyok
cukup banyak. Meski demikian, Arum Sari tetap berusaha membalas dengan
menggunakan jurus anda-
lan 'Tongkat Penggebuk Iblis'.
Namun keadaan ini tak urung membuat hati
Siluman Ular Putih resah. Hatinya khawatir kalau-kalau Arum Sari akan celaka di
tangan para penge-
royoknya. Sedang pemuda berjubah biru yang kini
bergelar Pembunuh Iblis pun hanya ngejoprak di tanah, sehingga tak mungkin
diharapkan bantuannya.
Mau tak mau Siluman Ular Putih terpaksa harus
membagi perhatiannya.
"Biang rampok! Kukira kau harus segera me-
ninggalkan jalan yang kau tempuh selama ini! Kalau tidak, aku benar-benar ingin
membuat perhitungan denganmu. Juga dengan anak buahmu. Terus terang, aku paling
benci dengan kejahatan di muka bumi!" "Bocah bau kencur macam kau! Bisanya
berkhotbah di depanku. Puahhh! Makan saja kata-kata manismu tadi. Siapa mau
peduli"!" dengus Setan Haus Darah merasa muak sekali melihat tingkah Siluman
Ular Putih. "Kalau begitu, kau memang patut dilenyapkan dari muka bumi ini, Biang Rampok!"
"Lakukanlah kalau kau memang sanggup!"
Siluman Ular Putih kembali bersiap melon-
tarkan pukulan andalan. Telapak tangan kanannya
telah berubah jadi merah menyala hingga ke pangkal lengan. Sedang telapak tangan
kirinya telah berubah jadi putih terang, juga sampai pangkal lengan. Itulah
pukulan gabungan antara pukulan 'Tenaga Inti Bu-mi' dan pukulan 'Tenaga Inti
Api' yang dahsyat luar biasa. Seperti yang dilakukan Siluman Ular Putih, Setan
Haus Darah pun tak mau kalah. Maka segera
dikeluarkannya pukulan 'Gemuruh Badai Api' den-
gan kekuatan tenaga dalam penuh.
Menilik kekuatan tenaga dalam yang dikelua-
rkan, rupanya mereka benar-benar ingin mengadu
jiwa. Siapa yang tenaga dalamnya kendur, berarti kematianlah yang akan ditemui.
Tapi di saat Siluman Ular Putih dan Setan Haus Darah sama-sama
hendak melontarkan pukulan maut....
"Aahh...!"
Mendadak terdengar teriakan kesakitan dari
samping. Selang beberapa saat, tampak tubuh Arum Sari terhuyung-huyung mendekati
Setan Haus Darah, akibat pukulan salah seorang pengeroyoknya.
Pimpinan Laskar Hijau yang memang berwatak licik, diam-diam tersenyum gembira.
Saat itu pula kedua telapak tangannya yang telah berubah jadi merah
menyala hingga pangkal siku dihantamkan ke arah
Arum Sari! "Tahan!" teriak Siluman Ular Putih kalap bukan main.
Namun sayang, teriakan Siluman Ular Putih
terlambat. Karena....
Desss...! "Aaakh...!"
Begitu terkena pukulan Setan Haus Darah,
seketika tubuh gadis cantik itu terlempar jauh ke samping disertai teriakan
kesakitan. Tampak tubuh rampingnya berputar-putar sebentar di udara, sebelum
akhirnya terbanting keras.
Bukkk! Tampak punggung Arum Sari menghantam
keras ke tanah. Tubuhnya menggeliat-geliat sebentar, dan kembali luruh ke tanah.
"Bajingan! Licik! Kubunuh kau...!" pekik Siluman Ular Putih tak dapat
mengendalikan hawa
amarah yang menggelegak dalam dada.
Karena tidak kuat menahan amarahnya yang
menggelegak, mendadak sekujur tubuh murid Eyang
Begawan Kamasetyo dipenuhi asap putih tipis se-
hingga, akhirnya sosoknya tertutup asap putih! Dan saat asap putih yang
menyelimuti sekujur tubuhnya itu hilang tertiup angin, maka saat itu juga...
"Ggggeeerrr...!!!"
9 "Si.... Siluman Ular Putih...!" pekik Setan Haus Darah dan semua yang berada di
tempat pertarungan penuh takjub. Termasuk juga, Pembunuh
Iblis yang saat itu tengah sibuk menyembuhkan lu-ka dalamnya.
Di hadapan Setan Haus Darah kini tampak
seekor ular putih raksasa dengan ukuran tubuh luar biasa, hampir sebesar pohon
kelapa! Taring-taringnya yang runcing demikian mengerikan den-
gan sepasang mata yang mencorong beringas ber-
warna merah menyala!
"Ggggeeerrr...!!!"
Sosok Soma yang telah berwujud ular putih
raksasa itu sejenak mengibas-ngibaskan ekornya ke sana kemari, membuat tempat
pertarungan kontan
bergetar hebat. Debu-debu membubung tinggi ke
udara, menghalangi pandangan.
"Hm...! Jadi kaukah yang bergelar Siluman
Ular Putih, Bocah Keparat"! Bagus! Kebetulan sekali aku memang sudah lama ingin
menjajal kehebatan
Siluman Ular Putih yang akhir-akhir ini menggem-
parkan dunia persilatan. Majulah! Akan kulihat
sampai di mana kehebatanmu, Ular Keparat!" ejek
Setan Haus Darah.
Diam-diam, Pimpinan Pasukan Laskar Hijau
ini kembali mengerahkan pukulan andalannya,
'Gemuruh Badai Api'. Seketika dua telapak tangan pentolan Pasukan Laskar Hijau
ini kembali berubah merah menyala hingga ke pangkal.
"Ggggeeerrr...!"
Siluman Ular Putih menggereng hebat. Suara
gerengannya yang kasar dan berat seolah ingin
menggetarkan nyali lawannya. Habis menggereng,
mendadak ular putih raksasa ini sedikit menekuk
ekornya ke samping. Dan....
Wesss! Sosok ular putih raksasa itu kini telah mele-
sat cepat, siap melabrak tubuh Setan Haus Darah.
Kedua taringnya yang runcing berkilauan tertimpa sinar matahari. Belum lagi
sepasang matanya yang berwarna merah menyala seolah-olah ingin melumat sosok
lawannya. "Jangan gegabah, Ular Putih Keparat! Makan-
lah pukulan 'Gemuruh Badai Api'-ku! Hea!"
Dikawal bentakan nyaring, tiba-tiba Setan
Haus Darah menghentakkan kedua telapak tangan-
nya ke depan disertai tenaga dalam penuh. Saat itu juga meluruk dua gulungan api
yang berkobar-kobar dari kedua telapak tangannya siap meluluhlantak-kan tubuh
ular putih raksasa.
Besss! Serangan Siluman Ular Putih kontan terhenti
di tengah jalan. Sementara, tak ada suara ledakan yang terdengar, kecuali
gerengan ular putih raksasa itu saat sekujur tubuhnya terpanggang api. Tak
henti-hentinya sosok ular putih raksasa itu menggeliat-
geliat hebat ke sana kemari.
Setan Haus Darah tertawa bergelak seolah
puas dengan hasil serangannya. Dengan paras me-
negang kekuatan tenaga dalamnya makin ditambah,
hingga kobaran api yang membakar tubuh Siluman
Ular Putih makin hebat. Namun anehnya, sosok ular putih raksasa itu sedikit pun
tidak cedera! Jangankan cedera, mengelupas kulit tubuhnya pun tidak!
Malah begitu kobaran api yang membakar tubuhnya
sirna, Siluman Ular Putih mengibas-ngibaskan
ekornya liar ke sana kemari.
"Gggeeerrr...!!!"
Setan Haus Darah terkesiap. Keningnya ber-
kerut-kerut saking herannya.
"Mustahil! Pukulan 'Gemuruh Badai Api'-ku
tak mampu melukai tubuh ular putih raksasa ini!"
geram Setan Haus Darah, hanya dalam hati.
"Ggggeeeerrr...!"
Sosok ular putih raksasa itu kembali mene-
kuk ekornya ke samping. Sesaat kemudian sosoknya yang besar dan panjang kembali
melesat cepat ke
arah Setan Haus Darah. Taring-taringnya yang runcing siap melumat lawan. Pada
saat yang sama, Setan Haus Darah masih ter-paku oleh keterkejutan melihat
kehebatan Siluman Ular Putih. Akibatnya saat menghindar gerakannya jadi lambat.
Dan.... Bukkk! "Aaaakh...!"
Setan Haus Darah kontan meraung setinggi
langit. Tubuhnya yang tinggi besar tanpa ampun
langsung terbanting keras dengan wajah pias. Pada bagian punggungnya yang
terkena kibasan terasa
mau remuk! Untung saja tubuhnya tadi telah terlin-
dungi tenaga dalam. Kalau tidak, bukan mustahil
tubuhnya akan remuk!
Begitu bangkit, Pimpinan Laskar Hijau itu
menggeram murka. Kedua telapak tangannya kem-
bali berubah jadi merah menyala hingga ke pangkal lengan. Sementara, sosok ular
putih raksasa di hadapannya telah siap menerkam dirinya. Setan Haus Darah tentu
saja tak ingin tubuhnya jadi sasaran empuk. Maka saat ular putih raksasa itu
berada beberapa tombak lagi, langsung dikerahkannya tenaga dalam tinggi seraya
melepas pukulan 'Gemuruh Badai Api'.
"Hea...!"'
Saat itu juga. Kembali dua gulungan api yang
berkobar-kobar menghantam tubuh Siluman Ular
Putih. Kali ini jauh lebih hebat dari pukulannya yang pertama. Sehingga, kobaran
api yang menyelimuti sekujur tubuh Siluman Ular Putih makin
menggila! "Ggggeeeerrr...!!!"
Siluman Ular Putih serangannya berhasil di-
gagalkan menggereng liar. Ekornya dikibaskan ke
sana kemari membuat debu dan pasir beterbangan
memenuhi tempat pertarungan. Selang beberapa
saat, kobaran api pun reda dengan sendirinya.
"Edan! Tak mungkin ular putih raksasa itu
kebal terhadap pukulan andalanku! Hm..." Benar-
benar tak dapat kupercaya. Kalau tak melihat dengan mata kepala sendiri,
mustahil aku dapat mem-
percayainya. Hm...!" gumam Setan Haus Darah sambil mengangguk-angguk.
"Hajar ular keparat itu!" perintah Setan Haus Darah kepada puluhan anak buahnya
yang siap membantu. Habis memerintah, Pimpinan Laskar Hijau itu
segera memungut golok salah seorang anak buahnya yang tergeletak di tanah.
Kemudian dengan golok di tangan, kembali diserang ular putih raksasa itu,
dibantu puluhan anak buahnya.
Wesss! Wesss! Crakkk! Crakkk!
"Gggeeerrr...!!!"
Sosok ular putih raksasa itu hanya mengge-
liat-geliat sebentar ketika tubuhnya dicincang golok para pengeroyoknya. Namun
hebatnya, sedikit pun
tak mengalami cedera! Malah kibasan-kibasan ekornya membuat beberapa orang anak
buah Setan Haus Darah berpelantingan ke sana kemari dengan
bagian tubuh remuk!
Bukan main geramnya hati Setan Haus Darah
melihat kehebatan ular putih raksasa di depannya.
Ia sendiri sudah berkali-kali membacokkan golok ke tubuh Siluman Ular Putih
dengan tenaga dalam penuh. Namun apa yang dialami tak jauh berbeda
dengan puluhan anak buahnya. Sosok ular putih
raksasa itu tetap utuh tanpa terluka sedikit pun.
"Setan alas! Kalau begini terus, tak mungkin aku menghadapinya. Hm...!"
Setan Haus Darah menggeram penuh kema-
rahan. Otaknya yang licik kini kembali memenuhi
benaknya. Dan saat melihat tubuh Arum Sari masih terletak tak berdaya di luar
pertarungan, bibirnya melepas senyum gembira. Apalagi saat itu Pembunuh Iblis
tampak sedang lengah.
"Suuuitt...!"
Berpikir demikian, Setan Haus Darah segera
bersuit memberi aba-aba kepada anak buahnya un-
tuk segera meninggalkan tempat pertarungan. Se-
dang dirinya sendiri segera berkelebat cepat, langsung menyambar tubuh Arum Sari
setelah melepas
totokan beberapa kali.
"Berhenti!" teriak Pembunuh Iblis geram bukan main.
Saat itu, meski tengah menderita luka dalam
yang cukup parah, pemuda berjubah biru ini me-
maksakan diri untuk melontarkan satu pukulan
maut. Tapi sayang, dadanya terasa nyeri bukan
main. Terpaksa niatnya diurungkan. Sedangkan Se-
tan Haus Darah telah berkelebat cepat ke atas
punggung kudanya dengan tawa bergelak.
"Hup!"
Begitu mencapai punggung kudanya yang
sempat menjadi liar manakala melihat sosok Silu-
man Ular Putih, Setan Haus Darah segera mengge-
bahnya keras-keras. Sejenak sepasang kaki depan


Siluman Ular Putih 21 Setan Haus Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kuda itu terangkat tinggi lalu melesat cepat meninggalkan tempat pertarungan.
Tindakannya pun diiku-ti puluhan anak buahnya yang segera menyusul.
Namun, masih ada juga beberapa orang anggota
Laskar Hijau yang masih tergeletak tak berdaya.
Melihat para pengeroyoknya melarikan diri,
ular putih raksasa jelmaan murid Eyang Begawan
Kamasetyo itu tak henti-hentinya menggereng hebat.
Dalam keadaan masih berwujud ular, jelas tak
mungkin Setan Haus Darah dan anak buahnya bisa
dikejar. Maka untuk meneruskan niatnya, mau ti-
dak mau Siluman Ular Putih harus mengubah di-
rinya menjadi manusia biasa kembali. Dan ini pun memerlukan waktu!
"Gggeeerr...!"
Tak berapa lama, tampak sosok tubuh ular
putih raksasa telah dipenuhi asap putih tipis. Sehingga sosoknya yang panjang
memutih tak keliha-
tan sama sekali tertutup asap putih.
Besss! Pembunuh Iblis dan beberapa orang pendu-
duk kampung yang menyaksikan kehebatan Silu-
man Ular Putih tak henti-hentinya berdecak penuh kagum. Selang beberapa saat
setelah asap putih tipis itu lenyap tertiup angin, maka yang tampak di tempat
pertarungan adalah seorang pemuda tampan
berambut gondrong sebahu. Pakaian rompi dan ce-
lananya bersisik warna putih keperakan! Itulah sosok murid Eyang Begawan
Kamasetyo yang bergelar
Siluman Ular Putih!
* * * "Maaf, Soma! Sebagai seorang sahabat, aku
benar-benar merasa tak berguna. Arum Sari lenyap dibawa kabur Setan Haus Darah
tanpa dapat kuce-gah," keluh Pembunuh Iblis penuh sesal. Akibat tadi memaksakan
diri mengerahkan tenaga dalam, maka
luka dalam tubuh pemuda itu pun makin menghe-
bat. "Sudahlah! Lupakan! Aku maklum dengan keadaanmu," ujar Siluman Ular Putih,
lalu buru-buru mengambil sebutir obat yang tersimpan di kantong kecil yang
menggelantung di pinggang. "Minum-lah obat ini! Luka dalammu pasti akan cepat
sem- buh." 'Terima kasih. Soma," ucap Pembunuh Iblis,
segera mengambil sebutir obat berwarna kuning dari telapak tangan Siluman Ular
Putih dan menelannya.
"Sekarang tolong urusi beberapa orang anak
buah Setan Haus Darah yang tertinggal! Aku sendiri harus secepatnya
menyelamatkan Arum Sari. Selamat tinggal, Kawan!"
Saat itu juga Siluman Ular Putih segera men-
jejakkan kakinya ke tanah, langsung berkelebat cepat meninggalkan tempat itu.
Tak tanggung- tanggung, segera dikerahkannya ajian 'Menjangan
Kencono' untuk mengejar Setan Haus Darah dan
anak buahnya. Sehingga dalam beberapa kelebatan
saja, sosoknya telah melesat jauh.
10 Dalam terpaan angin siang, seorang kakek
renta berpakaian serba biru tengah terkantuk-
kantuk di bawah rindangnya sebuah pohon. Usianya kira-kira tujuh puluh tahun.
Rambutnya awut-awutan tak terawat. Saking kurusnya, membuat se-
pasang matanya mencekung ke dalam.
Kakek renta ini terus bertelekan pada tong-
katnya. Kepalanya tertunduk, sehingga wajahnya
yang kasar tertutup rambut putih. Dengkurnya pun mulai terdengar, pertanda mulai
terlelap. Di saat kakek renta yang tengah menikmati
semilirnya angin siang, mendadak....
Krakkk! Terdengar suara ranting kering terinjak,
membuat si kakek terkejut. Saat itu pula hidungnya yang tajam menangkap bau
harum. Seketika rasa
kantuknya terbunuh oleh perasaan ingin tahunya.
"Eh...! Bau apa ini?"
Kakek berpakaian biru itu mengenduskan hi-
dungnya ke sana kemari. Bersamaan dengan gera-
kan hidung, kepalanya pun bergerak perlahan ke
samping. Dan seketika matanya terbentur pada seorang gadis cantik yang tengah
berkelebat cepat ke arahnya di jalan setapak. Tubuhnya yang tinggi
ramping dibalut pakaian indah warna merah. Se-
dang rambutnya yang hitam lebat digelung ke atas.
Bentuk matanya bulat dihiasi bulu mata lentik. Belum lagi bentuk hidung dan
dagunya yang merunc-
ing. Benar-benar anggun dan menawan penampilan
gadis cantik satu ini. Apalagi gelungan rambutnya dihiasi pula dengan mutiara
beraneka warna sehingga, penampilannya tak ubah seperti seorang ratu.
"Maaf, Kek! Boleh aku menanyakan sesuatu?"
kata si gadis begitu menghentikan langkahnya di
depan kakek berpakaian biru. Suaranya begitu santun. "Hm...!"
Kakek renta itu tak langsung menjawab, ke-
cuali menggumam tak jelas. Matanya tajam menghu-
jam ke sekujur tubuh si gadis cantik. Namun pan-
dangannya bukanlah menunjukkan ketertarikan
melihat penampilan gadis di hadapannya, melainkan sedang menaksir-naksir apa
yang tersembunyi dalam diri gadis itu.
"Maaf, Kek! Apakah Kakek mengenal seseo-
rang yang bernama Gendon Prakoso?" tanya gadis itu langsung saja.
Si kakek menggeleng pelan. Namun sepasang
matanya terus menghujam tajam ke arah gadis can-
tik di hadapannya.
Melihat dirinya dipandangi demikian rupa, si
gadis cantik jadi curiga. Bagaimana tidak curiga kalau dirinya terus
diperhatikan seperti itu" Walau yang memperhatikannya seorang kakek renta, namun
bagaimanapun juga adalah seorang lelaki. Dan naluri kewanitaannya mau tak mau
harus mengi-syaratkan lain. Karena bukan mustahil dunia persilatan yang banyak
ditebari tokoh dunia hitam dan manusia berhati keji membuat dirinya celaka.
"Kau tidak mengenalnya, Kek?" tanya si gadis lagi, tetap dengan suara santun.
"Hm.... Siapa namamu?" Si kakek kali ini bu-ka suara.
"Yustika, Kek," sahut gadis yang ternyata Yustika alias Ratu Adil.
"Hmmm.... Aku Peramal Maut. Mendekatlah
Yustika. Ada sesuatu yang ingin kubicarakan," ujar kakek renta yang ternyata
bergelar Peramal Maut seraya melambaikan tangan.
"Baik."
Tanpa banyak cakap Yustika menurut. Si ga-
dis maju selangkah, hingga berada dua tombak di
hadapan si kakek. Dalam hatinya berharap kalau
kakek renta ini mau membantu dirinya untuk me-
nemukan ayah kandungnya yang bernama Gendon
Prakoso. Memang, sejak diberi gelar Ratu Adil oleh gu-
runya, Yustika sengaja merubah penampilannya.
Rambutnya yang biasanya dikuncir ke belakang kini digelung ke atas serta dihiasi
mutiara-mutiara indah. Demikian juga tutur sapanya. Yustika yang
memang berwatak lembut merasa tidak kesulitan
untuk menyesuaikan diri dengan gelar yang diberikan gurunya.
"Apa yang ingin kau katakan, Kek?"
"Hhh...," Peramal Maut menghela napasnya sejenak. Pandang matanya pun tampak
sayu kala menatap Yustika.
"Katakanlah, Kek! Apa yang ingin Kakek bicarakan?" desak Yustika, tak sabar.
"Begini, Yustika. Sewaktu kau lewat tadi, aku mencium bau harum yang luar biasa.
Namun selang beberapa saat kemudian, aku pun mencium bau bu-
suk. Kau tahu pertanda apakah itu?" Yustika menggeleng. "Nah...! Seperti getaran
dalam hatiku, aku yakin kalau kau adalah seorang gadis berhati mulia.
Dan bau busuk yang kucium, itu menandakan ka-
lau kau akan banyak mengalami rintangan untuk
mencari orang yang bernama Gendon Prakoso. Di
samping itu, kau pun akan resah bila sudah berte-mu seorang pemuda. Dan pemuda
itulah yang nan-
tinya akan membantumu menemukan orang yang
kau cari," papar Peramal Maut, sok pasti.
Yustika diam terpekur. Entah percaya atau
tidak pada ramalan itu. Tapi yang jelas, ia jadi percaya walau kakek di
hadapannya memang Peramal
Maut. Buktinya saja, belum-belum sudah meramal.
"Bagaimana, Gadis" Apa kau mempercayai
ramalanku tadi?" tanya si kakek dengan sepasang mata mencorong tajam memancarkan
hawa membunuh. "Hhh...," Yustika menghela napas panjang.
"Terus terang aku tidak tahu, Kek. Mungkin mempercayai ramalanmu, mungkin juga
sebaliknya."
"Maksudmu kau tak mempercayai ramalan-
ku?" terabas Peramal Maut dengan suara melengk-ing tinggi.
"Bisa dibilang begitu...."
"Bagus! Siapa saja yang tidak mempercayai
ramalan Peramal Maut, berarti harus mati di tan-
ganku!" tandas Peramal Maut.
"Maksudmu..." Kau ingin membunuhku,
Kek?" Ratu Adil terperangah dengan mata terbelalak.
"Kau sudah mendengar keinginanku. Dan kau
pun harus siap modar di tanganku! Heaaah...!"
Yustika alias Ratu Adil kini benar-benar ter-
perangah. Apalagi ketika melihat Peramal Maut benar-benar telah melaksanakan
ancamannya. Kedua
telapak tangannya yang mendadak jadi menghitam
hingga sampai ke pangkal siku tahu-tahu telah di-hentakkan ke depan.
Wusss...! Sejenak Ratu Adil terkesiap. Namun begitu
melihat dua larik sinar hitam melesat dari kedua telapak tangan Peramal Maut,
buru-buru tubuhnya
dibuang ke samping. Sehingga, dua larik sinar hitam legam itu terus melesat ke
belakang, langsung
menghantam batang pohon.
Brakkk! Batang pohon sebesar dua lingkaran tangan
manusia dewasa tampak bergoyang-goyang. Selang
beberapa saat terdengar suara menggemuruh dari
pohon yang tumbang menghantam tanah. Seketika
debu dan pasir di jalan setapak itu berhamburan
tinggi ke udara.
Peramal Maut yang merasa geram melihat se-
rangannya dapat dihindari dengan mudah segera
melompat bangun. Kedua telapak tangannya yang
berubah jadi hitam legam kembali dihantamkan ke
depan. Bed! Wess! Wesss! Lagi-lagi dua larik sinar hitam legam meluruk
dari kedua telapak tangan Peramal Maut yang disertai hawa panas luar biasa.
Ratu Adil menggerutu kesal. Baru pertama
kali kakinya menginjak di dunia persilatan sudah harus berhadapan dengan orang
tua aneh yang hanya karena sebab sepele lantas hendak membu-
nuh. Gadis ini benar-benar tak mengerti. Namun
saat itu juga tenaga dalamnya dikerahkan setelah membuat kuda-kuda kokoh.
Setombak lagi serangan
itu mengancam kedua tangannya menghentak.
Wesss! Wesss! Blammm! Blammm!
Hebat sekali bentrokan dua tenaga dalam
tingkat tinggi yang barusan terjadi. Seketika terdengar ledakan dahsyat yang
bagai menggetarkan alam sekitarnya. Bahkan ranting-ranting pohon pun kontan
hangus terbakar terkena sambaran angin ben-
trokan itu! Sementara, Peramal Maut tampak terhuyung-
huyung beberapa langkah ke belakang. Kedua tela-
pak tangannya saat ini terasa panas bukan main.
Sedang Ratu Adil sendiri terpental jauh ke belakang.
Tadi, tenaga dalam yang dikerahkan hanya sebagian saja. Maka tak heran kalau
gadis ini menerima akibat yang cukup lumayan. Darah segar kontan mem-
basahi sudut-sudut bibir, pertanda gadis murid Ra-tu Alit dari Nusa Kambangan
ini telah menderita lu-
ka dalam cukup lumayan.
"Sungguh aku tak mengerti. Hanya karena
aku tak mempercayai ramalanmu kau tega hendak
membunuhku, Peramal Maut?" desis Ratu Adil seraya menggeleng-geleng.
"Siapa pun juga yang tak mengakui kebena-
ran ramalanku berarti mati!" dengus Peramal Maut.
"Sayang sekali, sebenarnya aku tak bernafsu bertarung. Tapi untuk menjajal ilmu
yang kuperoleh dari Guru, tak ada salahnya kalau ku coba," gumam Ratu Adil dalam
hati. Saat ini Peramal Maut mulai menggeser ka-
kinya dengan tongkat di tangan. Tubuhnya yang kurus kering terseret-seret,
mendekati Ratu Adil. Bukannya karena terluka akibat bentrokan tenaga dalam tadi,
melainkan karena tengah mempersiapkan
pukulan andalan 'Gada Akhirat'.
Ratu Adil yang masih hijau dengan segala
macam kelicikan yang selalu berlaku di dunia persilatan tak tahu dengan maksud
tindakan Peramal
Maut. Ia hanya mengira kalau Peramal Maut terluka akibat bentrokan tenaga dalam
tadi. "Ah...! Kau terluka, Kek?" pekik Ratu Adil merasa hiba sekali dengan keadaan
Peramal Maut. Peramal Maut yang memang berwatak licik
malah sengaja berpura-pura kalau dirinya tengah
menderita luka dalam yang hebat. Sambil melang-
kah tangannya terus memegangi dada yang terasa
sesak dengan mulut meringis. Licik sekali!
"Ah...! Baiknya kuobati dulu luka dalammu,
Kek!" Buru-buru Ratu Adil melangkah mendekati Peramal Maut. Namun manakala
hendak mengambil
kantong obat yang menggelantung di pinggang,
mendadak terasa ada angin dingin bukan kepalang yang siap melabrak tubuhnya. Dan
sepertinya tak percuma gadis itu mendapat gemblengan bertahun-
tahun dari Ratu Alit.
Jelas, Ratu Adil dapat merasakan adanya ba-
haya maut mengancam dirinya.
"Hup!"
Seketika itu juga, Ratu Adil cepat membuang
tubuhnya ke samping. Namun sayang, gerakannya
kalah cepat. Maka tanpa ampun lagi....
Bukkk! Bukkk! "Aaakh...!"
Ratu Adil memekik tertahan begitu serangan
Peramal Maut mendarat di sasaran. Tubuhnya seke-


Siluman Ular Putih 21 Setan Haus Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tika melayang di udara. Berputaran sebentar, lalu terbanting keras. Ratu Adil
menggeliat-geliat menahan sakit. Dadanya yang terkena hantaman tangan
Peramal Maut terasa mau pecah!
"Licik!" desis Ratu Adil penuh kemarahan.
Peramal Maut hanya tertawa bergelak.
"Untuk memenangkan pertarungan, apa pun
yang akan kulakukan tidak penting. Yang penting, lawan cepat modar di tanganku!"
kata Peramal Maut pongah.
"Tak kusangka kau tega berlaku licik terha-
dapku, Orang Tua. Sungguh menyesal sekali aku telah berlaku baik terhadapmu.
Rupanya, kau tak
ubahnya anjing beludak! Dikasih hati malah balas menggigit!" dengus Ratu Adil,
lalu buru-buru melompat bangun. Meski agak susah payah, namun
akhirnya toh tubuhnya dapat berdiri tegak juga.
"Terserah kau mau ngomong apa! Bagiku, li-
cik atau tidak itu hanya tergantung dari penilaian,"
kilah Peramal Maut.
"Tapi tindakanmu jelas-jelas licik, Orang Tua!"
tukas Ratu Adil sengit.
"Itulah watakku! Yang penting, setiap lawan-ku harus cepat modar. Entah itu
dengan cara licik maupun tidak. Ha ha ha...," kata Peramal Maut, lalu disusul
tawa bergelak. Ratu Adil muak sekali. Sekarang baru disada-
ri, manusia macam apa kakek renta di hadapannya.
"Jangan gegabah, Peramal Maut! Nyawa ma-
nusia bukanlah terletak pada tangan manusia. Tapi Yang Kuasa-lah yang menuntun
setiap langkah manusia. Meski kau berkepandaian tinggi, kalau aku belum
ditakdirkan tewas di tanganmu, tetap saja
kau tak mampu melaksanakan niat angkaramu!" ka-ta Ratu Adil seraya menahan
gejolak amarah.
"Bocah bau kencur macam kau, tahu apa
dengan segala macam filsafat! Pakai mengguruiku
lagi!" "Umur seseorang bukanlah jaminan untuk mengenal arti kehidupan yang
sebenarnya. Melainkan, hati yang bersih sajalah yang mampu mema-
hami apa sebenarnya arti hidup ini. Untuk itu sebagai manusia, kenapa kau selalu
membuat kerugian
terhadap orang lain" Bukankah itu menyimpang da-
ri hakekat kebenaran?"
"Puahhh! Pintar juga kau bersilat lidah! Aku jadi tak sabar apa kau juga pintar
bermain silat?"
"Sudahlah, Orang Tua! Kalau kau bersikeras
ingin membunuhku, lakukanlah! Semoga Tuhan
masih melindungiku. Juga, melindungi kebenaran
yang sudah tercoreng moreng oleh ulah segelintir manusia."
"Setan alas! Kau pikir aku senang mendengar khotbahmu, Bocah!" geram Peramal
Maut penuh hawa membunuh.
Saat itu juga, Peramal Maut segera menge-
rahkan pukulan andalan 'Gada Akhirat'. Maka seketika kedua telapak tangan tokoh
sesat dari Gunung Kembang kembali berubah jadi kuning berkilauan.
Sebelum Peramal Maut melontarkan pukulan
andalannya, terlebih dahulu Ratu Adil telah men-
cium bau amis yang bukan kepalang. Gadis itu ta-
hu, pukulan andalan Peramal Maut jelas mengan-
dung hawa racun yang keji luar biasa. Untuk menghadapi datangnya bahaya maut,
diam-diam segera
dikerahkannya pukulan andalan 'Cakar Naga Sa-
mudera'. "Sekaranglah saatnya kau menemui ajal, Ga-
dis Sok Pintar! Hea!"
Dikawal bentakan nyaring, Peramal Maut
menghentakkan kedua telapak tangannya ke depan.
Seketika melesat dua larik sinar kuning berkilauan ke arah Ratu Adil.
Yustika alias Ratu Adil sendiri telah memper-
siapkan diri dengan pukulan andalan 'Cakar Naga Samudera'. Maka begitu larik
sinar kuning dari kedua telapak tangan Peramal Maut melesat, kuku-
kuku jarinya yang telah berubah jadi biru pun segera digurat-guratkan ke udara.
Werrr! Werrr! Saat itu pula meluruk lima larik sinar biru
dari kedua telapak tangan Ratu Adil, memapak pu-
kulan Peramal Maut.
Cesss! Cesss! Tak ada bunyi ledakan yang berarti akibat
pertemuan dua ajian barusan. Namun terlihat jelas kalau tubuh Ratu Adil dan
Peramal Maut sama-sama berguncang hebat. Selang beberapa saat,
langkah mereka tersurut beberapa tindak ke bela-
kang. Namun kedua orang itu tak ada yang mau
mengalah. Malah mereka makin melipatgandakan
tenaga dalam "Hea!"
Tiba-tiba Peramal Maut menghentakkan ke-
dua telapak tangannya ke depan, membuat tubuh
Ratu Adil jadi berguncang hebat. Darah segar mulai mengalir dari sudut-sudut
bibirnya. Andai saja gadis ini tak menderita luka dalam akibat kelicikan Peramal
Maut tadi, belum tentu ini mengalami gun-
cangan yang demikian hebat.
Meski keadaannya amat mengkhawatirkan,
namun bukan berarti Ratu Adil harus menyerah be-
gitu saja. Apa pun yang akan terjadi, tekadnya siap menghadapi pertarungan,
walau selembar nyawa ta-ruhannya.
Melihat tubuh Ratu Adil makin berguncang
hebat, diam-diam Peramal Maut tersenyum penuh
kemenangan. Lelaki tua ini pun bertambah seman-
gat untuk merobohkan lawannya. Maka dengan se-
kali menghentakkan kembali kedua telapak tangan-
nya ke depan....
"Aughhh...!"
Terdengar satu jeritan amat menyayat yang
diiringi terpentalnya tubuh Ratu Adil jauh ke belakang. Tampak tubuh murid Ratu
Alit itu berputar-
putar sebentar di udara, lalu terbanting keras di tanah. Brakkk!
Sejenak Ratu Adil menggeliat, namun tetap
berusaha untuk melompat bangun. Sayang, ia tak
sanggup. Tangan kanannya yang menggapai-gapai
ke udara luruh ke tanah.
"Kepandaian hanya sebatas dengkul, kenapa
harus nekat mencari penyakit dengan Peramal Maut.
Hm.... Daripada kau menderita seperti ini, kenapa tidak menyerahkan nyawa
sekalian" Tapi tak apa.
Aku malah lebih senang mencabut nyawa seseorang, setelah terjadinya pertarungan.
Sekarang apa kau sudah siap men-jemput datangnya maut, Cah
Ayu...?" Gerakan Ratu Adil bergemeretak penuh ke-
marahan. Ingin sekali ia memaki kakek licik di hadapannya. Namun sayang,
pandangannya menjadi
kabur. Ratu Adil menggigit bibirnya kuat. Samar-
samar matanya melihat Peramal Maut kembali
menghentakkan kedua telapak tangannya ke depan.
"Oh...! Mungkin memang sudah nasibku ha-
rus tewas di tangan bangkotan tua ini. Sayang sekali. Aku sendiri belum sempat
melihat wajah ayah
kandungku...," desah Ratu Adil dalam hati dengan mata terpejam.
Wuutt! Tap! Dan di saat yang gawat baginya, Ratu Adil
merasakan tubuhnya tersambar tangan halus. Gadis ini tak tahu, siapa
penolongnya. Karena begitu tubuhnya melayang, saat itu juga kesadarannya telah
lenyap. "Kau...! Lagi-lagi kau yang selalu menggagal-kan rencanaku. Kunyuk
Gondrong!" bentak Peramal Maut geram bukan main.
Di hadapan lelaki tua itu kini telah berdiri
seorang pemuda tampan dengan mengenakan pa-
kaian rompi dan celana bersisik warna putih keperakan. Siapa lagi sang penolong
Ratu Adil kalau bukan Siluman Ular Putih"
"Bangsat! Meski kau dulu pernah mengalah-
kanku, tapi jangan dikira kali ini dapat mengalahkanku, Siluman Ular Putih. Saat
inilah waktunya
aku menuntut balas!" hardik Peramal Maut penuh kebencian. (Untuk mengetahui
betapa bencinya Peramal Maut terhadap Siluman Ular Putih, silakan
baca episode : "Misteri Dewa Langit").
Siluman Ular Putih hanya menggeleng-geleng
saja. Bukannya tak bernafsu untuk menghadapi to-
koh sesat di hadapannya, melainkan lebih
mengkhawatirkan keadaan gadis cantik dalam pelu-
kannya. Itu sebabnya, Siluman Ular Putih jadi berpikir lain.
"Aku harus secepatnya menyelamatkan nya-
wa gadis ini. Tampaknya, lukanya cukup parah. Terlambat sedikit saja bisa celaka
gadis ini...," gumam Siluman Ular Putih.
"Hm...! Sayang sekali aku tak ada waktu un-
tuk meladenimu, Peramal Maut! Selamat tinggal!"
Selesai berkata begitu, Siluman Ular Putih
cepat menjejakkan kakinya ke tanah. Tubuhnya saat itu juga berkelebat cepat
meninggalkan tempat ini.
Peramal Maut yang merasa gusar hanya
menghentakkan kakinya keras ke tanah.
Brolll! Seketika, tanah kontan berhamburan tinggi
ke udara. Debu-debu membubung tinggi memenuhi
sekitarnya itu. Dan ketika suasana tempat itu kem-
bali terang, ternyata sosok Peramal Maut pun sudah tak berada di tempat itu.
SELESAI Segera menyusul:
HANTU TANGAN API
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.
com/DuniaAbuKeisel
Pedang Golok Yang Menggetarkan 13 Dewi Ular 71 Kupu Kupu Iblis Kembalinya Sang Pendekar Rajawali 1
^