Titisan Alam Kegelapan 1
Siluman Ular Putih 18 Titisan Alam Kegelapan Bagian 1
Hak cipta dan copy right pada
penerbit di bawah lindungan
undang-undang https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
1 Malam Jumat Kliwon.
Malam yang dianggap amat keramat. Apa
pun yang terjadi di malam itu selalu dihubungkan
dengan sesuatu yang berbau takhayul. Namun
saat ini, malam Jumat Kliwon bagai ditaburi ca-
haya putih keperakan. Bulan bulat penuh bersi-
nar purnama di angkasa. Langit cerah. Berjuta
bintang saling membanggakan sinarnya yang pu-
tih keperakan di angkasa. Begitu tenteram, mem-
perlihatkan keindahan alam yang amat hakiki.
Sementara di sebuah lembah berumput
bagai permadani hijau menghampar di luar Hutan
Seruni, empat lelaki tengah duduk bersila menge-
lilingi sebuah api unggun kecil. Mereka sama-
sama membisu, seolah terperangkap oleh kebun-
tuan pikiran masing-masing. Pandangan mata
mereka kosong dengan wajah tegang. Sesekali
terdengar pula keluhan mereka.
Menilik raut wajah yang sudah sama-sama
memiliki keriput, jelas keempat lelaki itu sudah
berusia amat lanjut. Kenyataan itu makin diper-
kuat bila melihat rambut mereka yang panjang
tergerai di bahu yang sudah berwarna putih kela-
bu. Demikian juga alis mata, bulu mata, dan
jenggotnya. Tubuh mereka rata-rata kurus kering
bak orang kelaparan, terbungkus pakaian ber-
warna merah darah.
Wajah-wajah mereka yang keriput, ternyata
cukup menggidikkan juga, karena terlihat pucat
pasi bagai wajah mayat hidup. Sedikit pun tak
terbersit sinar keceriaan. Tegang. Seram. Bengis.
"Menyebalkan! Hanya penantian sia-sia...!"
keluh lelaki tua yang kedua kakinya buntung
hingga pangkal paha.
Mendengar keluhan salah seorang dari me-
reka, ketiga orang kakek itu hanya terdiam tanpa
memalingkan kepala. Namun bukan berarti mere-
ka tak ikut terbawa perasaan. Malah paras mere-
ka makin tegang.
Siapakah sebenarnya keempat kakek tua
berpakaian merah darah ini" Apa pula yang me-
reka tunggu" Kenapa mereka terlihat gelisah"
Cukup sulit untuk mengetahui, apa yang
mereka tunggu. Namun yang jelas wajah mereka
kian menegang. Wajah-wajah yang sebenarnya
sudah tak asing lagi bagi dunia persilatan. Tokoh mana yang tak mengenal empat
orang tua penghuni Hutan Seruni yang dikenal sebagai Empat
Iblis Merah. Yang tadi membuka suara dikenal sebagai
Iblis Buntung. Dijuluki demikian, karena kedua
kakinya buntung. Di sampingnya adalah seorang
kakek yang memiliki dua bola mata berwarna pu-
tih. Julukannya, Iblis Buta. Sedang di hadapan
mereka dua kakek berjuluk Iblis Tuli dan Iblis
Gagu. "Keparat! Kenapa aku tak dapat merasakan sesuatu" Sudah berkali-kali kita
berkumpul di tempat ini, tapi mana hasilnya?" dengus Iblis Bu-
ta, kali ini tak tahan dengan gejolak hatinya.
"Uh... Aah... huuh...!"
Iblis Gagu menggerak-gerakkan tangannya
ke sana kemari sebagai isyarat untuk berbicara.
Wajahnya yang bengis tampak mengerikan. Sepa-
sang matanya yang mencorong tajam berkilat
mengiriskan. Ketiga orang kakek di hadapan Iblis Gagu
memahami apa yang dimaksud kawannya. Kelu-
han-keluhan dari bibir mereka pun tak dapat ter-
bendung, menemukan kesia-siaan di tempat ini.
"Setan! Rasanya tak ada gunanya mene-
ruskan niat kita!" geram Iblis Tuli, tak dapat mengendalikan amarahnya lagi.
"Yah..! Padahal kita sudah empat puluh
malam Jumat Kliwon ini menunggu di sini. Ta-
pi...." Jeglaaarrr!
Suara geraman Iblis Buntung kontan ter-
berangus oleh ledakan guntur yang mendadak
disertai kilat menyambar-nyambar ganas. Aneh
memang. Bagaimana mungkin ada kilat menyam-
bar pada saat malam terang bulan seperti ini"
Apalagi, tak segumpal awan pun menggantung di
angkasa. Inikah isyarat alam yang mereka nanti-
kan" Bisa jadi!
Buktinya paras keempat lelaki tua itu yang
semula tegang bukan main, menjadi sedikit cerah.
Sebentar mereka memperhatikan angkasa raya,
sebentar kemudian sudah saling berpandangan.
"Hm...! Rupanya Dewa Kegelapan masih
merestui keinginan kita," gumam Iblis Buntung, ceria. "Yah...! Mungkin kau
benar, Buntung. De-wa Kegelapan masih merestui keinginan kita. Ta-
pi, sekarang di mana kita harus mencari bayi
itu...?" tukas Iblis Buta.
"Aaah, uuh...!"
Iblis Bisu menjawab dengan bahasa isyarat
tangan. Dari raut wajahnya jelas menyiratkan
keingintahuan yang luar biasa. Tak henti-
hentinya tangannya bergerak-gerak ke sana ke-
mari. "Yah...! Kita memang harus secepatnya mencari bayi itu. Kukira bayi yang
kita maksudkan tak jauh dari sini. Baiknya, mari kita cari secepat mungkin!"
timpal Iblis Tuli.
"Baik."
Keempat lelaki tua itu segera meloncat
bangun seraya saling berpandangan sebentar. Ib-
lis Tuli menunjuk-nunjukkan tangannya ke sana
kemari. Ke timur, barat, dan utara.
Ketiga orang lelaki tua itu tahu maksud Ib-
lis Tuli. Maka mereka segera berkelebat ke arah
yang ditunjuk Iblis Tuli. Sedang Iblis Tuli sendiri segera berkelebat ke
selatan. Dalam beberapa kelebatan saja empat to-
koh berjuluk Empat Iblis Merah itu telah melesat
meninggalkan tempat masing-masing. Kini alam
kembali dikungkung sepi. Bulan purnama di atas
sana seolah diam terpaku, menyaksikan tingkah
polah sosok-sosok manusia di bawah sana.
* * * Pada saat petir menyambar tadi, di sebuah
dusun terpencil bernama Mlandi yang tak jauh
dari Hutan Seruni, seorang perempuan muda me-
rasakan perutnya mulas sekali di atas dipan gu-
buknya. Padahal kandungannya baru berusia tu-
juh bulan. Namun hentakan-hentakan jabang
bayi di dalam perutnya seolah meronta minta ke
luar. Sang suami yang duduk di samping is-
trinya jadi heran setengah mati. Menurut perhi-
tungannya jelas anak yang dikandung istrinya be-
lum saatnya lahir. Tentu saja hal ini membuatnya
bingung. Dipandanginya wajah istrinya yang ber-
simbah keringat, tak mengerti.
"Kenapa kau hanya pandangi aku saja,
Kang?" tanya sang istri, mengerang menahan sakit.
"Kau.... Kau kenapa?" sang suami balik
bertanya dengan suara tergagap.
"Aku.... Aku.... Ah...! Cepat panggil dukun
bayi, Kang! Sepertinya aku mau melahirkan," jelas sang istri dengan napas
terengah-engah.
"Astaga! Benarkah kau ingin melahirkan"!
Bukankah kandunganmu baru berumur tujuh
bulan" Mustahil kau mau melahirkan, Istriku!
Malam Jumat Kliwon lagi...."
"Kang...! Cepat panggil dukun bayi kemari!"
seru sang istri tak mempedulikan gerutuan sang
suami. Tanpa membantah lagi, lelaki berusia tiga
puluh tahun itu keluar rumah, menuju rumah
dukun bayi yang hanya beberapa puluh tombak
dari rumahnya. Sementara istrinya terus saja di-
banjiri keringat seraya mengelus-elus perutnya di atas dipan.
Malam terus berlanjut. Sementara dukun
bayi yang sangat diharapkan kehadirannya belum
juga menampakkan batang hidungnya. Tak henti-
hentinya wanita berusia sekitar dua puluh lima
tahun itu mengerang. Desakan-desakan dalam
perut membuatnya merasa kewalahan sekali. Pa-
rasnya pias dibanjiri keringat. Tangannya tak
henti-hentinya mengelus-elus perut. Dengan cara
itu sepertinya ia ingin sekali mengenyahkan rasa
sakit yang menusuk-nusuk....
Pada puncaknya ketika dorongan dalam
perut kian kuat, perempuan muda itu menjerit
sejadinya. Bingung dan takut bercampur menjadi
satu. Untung saja pada saat yang menegangkan
ini, suaminya yang diharapkan pulang bersama
dukun bayi. "Heran..." Belum saatnya kok sudah bera-
sa! Malam Jumat Kliwon lagi...," gumam si dukun bayi, seorang perempuan tua
berambut putih seraya menggeleng-gelengkan kepala.
"Cepat tolong istriku, Nek!" pinta lelaki si calon ayah itu,
"Iya iya...," sahut si dukun bayi pendek.
Meski wajahnya sarat keheranan, tak
mungkin si dukun bayi membiarkan perempuan
muda itu berjuang melahirkan seorang diri.
* * * "Berikan bayi itu padaku, Nek!" pita si perempuan muda yang baru saja melahirkan
den- gan mata berbinar.
Si dukun bayi menyerahkan bayi merah
yang telah dibersihkan. Namun bersamaan den-
gan itu.... Brakkk! Mata si dukun bayi dan suam-istri itu kon-
tan membeliak lebar ketika pintu terbongkar, ka-
rena didorong dari luar. Di hadapan mereka kini
telah berdiri seorang kakek renta berpakaian ser-
ba merah darah. Wajahnya amat mengerikan. Pu-
cat pasi mirip wajah mayat hidup. Lebih mengeri-
kan lagi, ternyata kedua bola matanya berwarna
putih. Benar-benar mengerikan! Membuat ketiga
pasang mata dalam rumah itu makin membelalak
liar! "Si.... Siapa kau"! Mengapa mengganggu kami"!" bentak si dukun bayi
tergagap cemas. Dalam benaknya saat itu sosok mengerikan di hada-
pannya adalah makhluk halus yang sering meng-
ganggu penduduk kampung. Mengingat itu, rasa
takutnya makin kuat mencengkeram hati. Demi-
kian juga suami-istri muda itu. Malah saking ta-
kutnya, paras mereka makin pucat pasi.
"Ja.... Jangan ganggu kami! Lekas... Lekas
tinggalkan rumahku ini!" usir ibu muda itu keta-kutan. Sosok menakutkan yang
baru muncul te-
tap diam membisu. Kepalanya bergerak-gerak ke
sana kemari, sementara hidung besarnya men-
gendus-endus. Bau bayi itulah yang membuat le-
laki tua berpakaian merah darah yang tak lain Ib-
lis Buta bisa sampai ke rumah ini.
"Aku butuh bayi itu...! Aku butuh bayi itu!
Lekas serahkan bayi itu padaku!" ujar Iblis Buta, membentak!
"Tidaaak...!!!" pekik perempuan muda itu makin menyayat hati.
Melihat istrinya terpekik memelaskan, sang
suami langsung meloncat ke depan. Seolah den-
gan berbuat begitu ingin melindungi istrinya, wa-
laupun nyawa taruhannya.
"Kuminta dengan baik-baik. Lekas tinggal-
kan tempat ini!" bentak lelaki muda itu, garang.
Iblis Buta mendengus.
"Percuma saja kalian menyuruhku pergi.
Aku tetap menginginkan bayi itu! Cepat berikan
bayi itu!" bentak Iblis Buta tak sabar.
Lelaki ayah si jabang bayi jadi nekat. Ia
maju selangkah seraya merentangkan kedua tan-
gannya menghadang langkah Iblis Buta
Iblis Buta mengeretakkan gerahamnya.
Wajahnya yang pucat pasi kini tampak kian men-
gerikan. Tubuhnya sempat gemetar saking nge-
rinya melihat raut wajah di hadapannya.
Dan Iblis Buta tak ingin membuang waktu
lebih lama. Sekali tangannya bergerak, tiba-tiba
telah menampar pelipis lelaki itu.
Prakkk! Kontan saja tubuh ayah si jabang bayi ter-
banting ke samping, langsung menghantam dind-
ing kamar dengan kepala pecah. Darah segar ber-
hamburan di sana-sini. Tak ada gerakan lagi di
tubuhnya. Melihat suaminya tewas, ibu si jabang bayi
menjerit sejadinya. Bayi dalam pelukannya dipe-
gangnya erat-erat.
"Ya, Tuhan...! Kau telah membunuh sua-
miku...!" "Bukan hanya suamimu! Tapi juga kau dan
bangkotan tua itu!" tuding Iblis Buta ke arah si dukun bayi.
Begitu kata-katanya habis, tangan-tangan
maut Iblis Buta pun kembali bergerak amat cepat.
Maka seketika....
Siluman Ular Putih 18 Titisan Alam Kegelapan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Prak! Prak! "Aaaa...!"
"Aaa...!"
Terdengar dua kali teriakan kematian si
dukun bayi dan perempuan muda itu. Mereka te-
was dengan cara amat mengenaskan. Kepala pe-
cah dengan darah segar kontan membanjiri lan-
tai. Sebelum bayi itu jatuh ke lantai, Iblis Buta
cepat menyambarnya. Dan kini tubuh merah bayi
itu pun telah berada dalam pelukannya.
2 Bumi berputar sebagaimana lazimnya.
Mengarungi angkasa raya atas kehendak Yang
Maha Kuasa. Tak terasa, telah dua puluh tahun
waktu berjalan. Sejak Empat Iblis Merah menda-
patkan seorang bayi atas jerih payah Iblis Buta.
Sementara itu di sebuah lembah kaki Gu-
nung Tidar, dua orang menyambut pagi ini den-
gan cara tersendiri. Tak ada kata-kata indah terucap dari bibir mereka. Apalagi
senyum. Padahal
suasana pagi itu cukup nyaman untuk dinikmati.
Angin bertiup semilir. Langit cerah tak terpoles
awan hitam. Sungguh menyuguhkan satu pe-
mandangan indah yang patut dinikmati.
Tapi dua lelaki yang berbeda usia amat
jauh itu malah bertarung sengit. Entah bertarung
untuk memperebutkan apa. Yang jelas mereka
saling serang dengan hebatnya. Inikah cara mere-
ka menyambut datang pagi"
Kalau saja alam dapat bicara, sudah pasti
akan mencaci maki kedua orang itu. Tapi, tam-
paknya percuma saja. Sebab, kedua orang itu
pasti tak mempedulikannya. Malah pertarungan
mereka makin sengit. Tapi beberapa jurus kemu-
dian, salah seorang dari petarung malah melem-
par tubuhnya ke belakang untuk mengambil ja-
rak. Sedangkan orang yang satu lagi tak berusaha
meneruskan pertarungan.
"Bagus-bagus! Kau memang muridku yang
sangat berbakat!" kekeh orang yang baru saja me-lemparkan tubuhnya jauh ke
belakang. Ia adalah
seorang lelaki yang berusia sudah amat lanjut.
Tubuhnya tinggi kurus dibalut pakaian tambal-
tambalan mirip pengemis. Rambutnya yang awut-
awutan dibiarkan tergerai tertiup angin. Sepasang matanya yang bersinar jenaka
tak henti-hentinya
memandangi lawannya, seorang pemuda tampan
di hadapannya penuh kagum seraya mengetuk-
ngetukkan tongkat di tangan kanan.
Dipandangi seperti itu, si pemuda tampan
malah bersungut-sungut kesal. Sungguh hatinya
amat sebal melihat tingkah kakek renta itu. Bah-
kan bibir si pemuda tampan jadi manyum berat.
"Enak saja kau panggil aku murid! Kau
kan sudah berjanji"!" sungut pemuda itu habis-habisan.
Kalau saja tak sedang uring-uringan, sebe-
narnya cukup meyakinkan juga tampang pemuda
satu ini. Wajahnya berbentuk lonjong. Potongan
tubuhnya yang berkulit putih terlihat tinggi ke-
kar. Rambutnya yang gondrong dibiarkan tergerai
di bahu. Sementara pakaian yang dikenakan be-
rupa rompi dan celana bersisik warna putih kepe-
rakan, membuat penampilannya begitu meyakin-
kan. Siapa lagi pemuda tampan yang memiliki
ciri-ciri seperti itu kalau bukan Siluman Ular Putih" Sedang kakek renta
berpakaian tambal-
tambalan mirip pengemis sudah pasti Raja Penyi-
hir! Meski mendapat jawaban ketus dari Silu-
man Ular Putih, Raja Penyihir tetap mencoba ber-
sikap tenang. Hanya gigi-gigi gerahamnya saja
yang bergerut-gerut pertanda merasa kesal juga
terhadap pemuda tampan di hadapannya. Namun
manakala teringat bahwa ia sendiri yang membu-
juk Siluman Ular Putih untuk mempelajari il-
munya, Raja Penyihir mau tak mau harus sadar.
Dulu, memang dialah yang mengejar-ngejar pe-
muda itu untuk mempelajari ilmunya. Sekarang
juga demikian. Jadi Raja Penyihir memang sudah
kebal menghadapi ulah Siluman Ular Putih. (Un-
tuk lebih jelasnya silakan ikuti episode: "Manusia Rambut Merah" dan "Maling
Tanpa Bayangan").
"Itu lagi yang kau ucapkan! Itu lagi! Apa tidak ada kata-kata enak selain kata-
kata tadi, he"!" bentak Raja Penyihir galak. Gusar juga hatinya. "Habis kau sendiri yang
mulai, sih!" tukas Siluman Ular Putih.
"Mulai-mulai...! Kau selalu membuatku gu-
sar, Bocah! Sudah kuajari banyak ilmu, bukan-
nya berterima kasih malah ngomel."
"Yah...! Begitu saja sewot. Payah...!" cibir Soma mendadak jadi tak tega melihat
perubahan wajah Raja Penyihir.
"Siapa yang tak sewot kalau kau meleceh-
kanku terus!" Raja Penyihir melotot.
"Ya ya ya...! Aku tahu perasaanmu, Kek."
"Sudah jangan banyak omong! Sekarang
cepat peragakan pukulan 'Tangan Gaib Penindih
Setan' yang kuajarkan!" sambar Raja Penyihir, memerintah.
"Baik!"
Soma mengangguk mantap, lalu menge-
darkan pandangan mencari sasaran yang tepat.
Pohon besar di belakangnyalah yang akan dijadi-
kan sasarannya.
"Uffh...!"
Soma menghela napas panjang setelah
memutar tubuhnya. Perlahan-lahan tenaga da-
lamnya dialirkan ke kedua telapak tangan, se-
hingga kontan berubah jadi putih berkilauan
hingga pangkal lengan.
"Hea...!"
Berbareng teriakannya. Soma segera
menghantamkan kedua telapak tangannya ke de-
pan. Saat itu pula, melesat dua gulungan asap
putih tebal dari kedua telapak tangannya. Berge-
rak perlahan, membungkus pohon besar di hada-
pannya. Lalu....
Kretakkk! Kretakkk!
Terdengar ranting-ranting pohon bergeme-
letakkan. Asap putih tebal itu masih terus mem-
bungkus batang pohon, namun lama kelamaan
gulungannya memendek dan hilang sama sekali.
Pada saat asap putih dari kedua telapak tangan
Siluman Ular Putih menghilang, batang pohon itu
telah luruh ke tanah jadi setumpuk kotoran me-
ranggas! Plok! Plokkk! Raja Penyihir bertepuk tangan. Hatinya
puas sekali melihat hasil ilmu yang diturunkan
pada Siluman Ular Putih. Sungguh tak disangka
kalau bocah sinting di hadapannya mampu men-
guasai pukulan 'Tangan Gaib Penindih Setan' se-
cepat itu. "Hebat! Kau memang amat berbakat, Bo-
cah!" puji Raja Penyihir habis-habisan. Mau tak mau, rasa kagumnya jadi
berlebihan. "Tak percuma rupanya aku menurunkan ilmu-ilmu ting-
kat tinggi padamu, Bocah."
"Tentu. Asal kau tidak macam-macam,
Kek," sahut Soma, seenak jidatnya.
"Apa" Justru kaulah yang macam-macam!
Mana ada sih, orang sudah diajarkan ilmu tak
mau memanggil guru!" sembur Raja Penyihir, bak api tersiram minyak.
"Sebenarnya bukan begitu maksudku,
Kek," kilah Soma.
"Buktinya" Kau tetap tak mau memanggil-
ku guru?" perangah Raja Penyihir, gusar.
"Tentu saja aku mau. Dan tentu pula, ada
syaratnya," sahut Siluman Ular Putih sekenanya.
"Kau mau mempermainkan aku, Bocah?"
"Ah...! Kau ini cepat marah benar, sih?" tukas Siluman Ular Putih. "Dengar, Kek!
Jangankan kau, Eyang Begawan Kamasetyo sendiri, tidak
berpesan agar aku jangan mengumbar nama
Eyang di sembarang tempat! Lagi pula, meski aku
muridnya, aku tetap memanggilnya Eyang. Jadi,
kau pun akan kupanggil Kakek!"
"Kau...!" Raja Penyihir tak dapat melan-
jutkan ucapannya saking gusarnya.
"Yah...! Kalau Kakek masih penasaran, ke-
napa tidak minta izin saja pada eyangku di Gu-
nung Bucu?"
"Tua bangka Kamasetyo itu pasti mengizin-
kan kau memanggilku guru," sambar Raja Penyihir, sok tahu.
"Itu kan kalau Kakek yang ngomong. Tapi
kalau eyangku, belum tentu," jawab Soma memanas-manasi
"Kau dan tua bangka itu memang sama sa-
ja. Baik! Sebelum aku pergi ke Gunung Bucu, aku
harus membuatmu babak belur dulu!" geram Raja Penyihir, jengkel.
Saat itu pula Raja Penyihir memutar tong-
kat hitam di tangan kanannya sehingga mener-
bitkan angin menderu-deru di udara, mengancam
tubuh Siluman Ular Putih.
Sudah pasti Soma tidak sudi tubuhnya di-
jadikan sasaran empuk kemarahan Raja Penyihir.
Tanpa banyak pikir panjang tubuhnya segera di-
buang ke samping. Tapi gulungan tongkat hitam
di tangan Raja Penyihir terus mengejarnya tanpa
ampun. "Sabar, Kek! Sabar! Tak baik orang tua se-
perti kau marah-marah terus!" teriak Siluman Ular Putih, sambil terus menghindar
dari kejaran tongkat hitam Di tangan Raja Penyihir.
Namun Raja Penyihir mana mau menurut
begitu saja. Malah serangan-serangan tongkat hi-
tamnya makin gencar saja mendesak Siluman
Ular Putih. Mau tidak mau Siluman Ular Putih jadi
kewalahan juga. Meski telah berusaha menghin-
dar, namun tak urung tubuhnya babak belur juga
terkena hajaran tongkat di tangan Raja Penyihir.
Sudah pasti Siluman Ular Putih jadi sewot
berat. Mau membalas, jelas tidak mungkin. Dari-
pada merana diserang habis-habisan oleh Raja
Penyihir, mending kabur saja. Begitu, pikir Silu-
man Ular Putih.
Tapi jalan keluar untuk kabur tak ada. Ke
mana saja Siluman Ular Putih bergerak, selalu sa-
ja tongkat hitam di tangan Raja Penyihir datang
menghadang. Soma jadi kewalahan. Terpaksa ia
harus menggunakan akalnya yang cerdik.
"Tunggu, Kek! Itu eyangku datang!" ujar Siluman Ular Putih sambil menudingkan
telunjuk jarinya ke batang pohon di belakang Raja Penyi-
hir. Diam-diam, Siluman Ular Putih mengerahkan
kekuatan sihirnya.
Tanpa banyak punya prasangka apa-apa.
Raja Penyihir segera memalingkan kepala ke be-
lakang. Benar. Ternyata di hadapan Raja Penyihir
telah berdiri seorang kakek yang sebaya dengan-
nya, berpakaian putih bersih. Itulah sosok Eyang
Begawan Kamasetyo dari Gunung Bucu!
"Kau... kkk...!"
Raja Penyihir sejenak terperangah. Namun
cepat menyadari kebodohannya. Sekali lihat saja
ia tahu kalau telah dikerjai Siluman Ular Putih
dengan ilmu sihir yang pernah diajarkannya. Ter-
nyata sosok Eyang Begawan Kamasetyo hanyalah
sebatang pohon!
Bukan main geramnya hati Raja Penyihir
saat itu. Dan ini benar-benar senjata makan tuan.
Jelas ia tak sudi dikerjai pemuda kemarin sore itu sedemikian rupa. Namun mana
kala kepalanya berpaling ke belakang, ternyata bocah edan itu
sudah tak ada di tempatnya.
"Bocah edan! Beraninya kau mengerjaiku.
Raja Penyihir, he"! Awas kalau kutemukan nanti.
Akan kukurung selama berbulan-bulan!" umpat
Raja Penyihir geram bukan main.
Sekali menjejakkan kakinya ke tanah, ta-
hu-tahu tubuh tinggi kurus Raja Penyihir telah
berkelebat di kejauhan sana. Sambil berkelebat,
tak henti-henti mulutnya mencaci maki Siluman
Ular Putih. * * * Empat orang lelaki tua yang sama-sama
berpakaian merah darah memperhatikan ke satu
arah. Lalu mereka berdecak kagum, menyiratkan
kepuasan. Di hadapan lelaki tua yang tak lain Empat
Iblis Merah dari Hutan Seruni, tampak seorang
pemuda gagah tengah giat berlatih silat. Potongan tubuhnya yang tinggi besar
jelas menandakan kalau pemuda berambut gondrong awut-awutan itu
sering berlatih keras. Dari matanya yang menco-
rong tajam menandakan kalau tenaga dalamnya
amat dahsyat. Buktinya saja dari setiap gerakan
tangan dan kakinya selalu berkesiur angin ken-
cang berhawa dingin yang bukan kepalang. Di
samping itu gerakan tangan dan kakinya cepat
luar biasa, mengandung serangan-serangan me-
matikan! Sambil duduk bersila, Empat Iblis Merah
Siluman Ular Putih 18 Titisan Alam Kegelapan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sesekali memberi perintah, lalu disusul dengan
mata berbinar-binar. Ini semua jelas menandakan
kalau mereka merasa puas dengan hasil yang di-
capai si pemuda.
"Coba mainkan jurus 'Tangan Merah', Bo-
cah!" perintah Iblis Buntung.
"Baik, Guru."
Si pemuda segera merubah jurusnya. Begi-
tu tenaga dalamnya dikerahkan, maka kedua te-
lapak tangannya telah berwarna merah darah.
Hawa anyir dari setiap sambaran tangannya jelas
menandakan kalau serangan-serangan pemuda
itu mengandung hawa racun keji.
"Hup...!"
Untuk membuktikan kehebatan jurus
'Tangan Merah', mendadak tubuh tinggi kekar si
pemuda melenting tinggi ke udara. Gerakan-
gerakan tangan dan kakinya yang cepat luar bi-
asa, terarah pada sebatang pohon di hadapannya
yang menjadi sasaran.
Crak! Crakkk! Dalam waktu yang amat singkat, ranting-
ranting pohon itu telah gundul terkena tamparan
dan tendangan-tendangan kaki si pemuda. Lebih
hebatnya lagi, dari potongan-potongan ranting
kontan berwarna merah darah! Termasuk, batan-
gan pohon yang tersisa. Bahkan begitu si pemuda
mendarat di tanah, batang pohon itu luruh ke ta-
nah menjadi tumpukan abu berwarna merah da-
rah! Bukan main!
Memang jurus yang diperagakan si pemuda
amat membahayakan. Sebuah perpaduan jurus
antara gerak tangan dan kaki yang digabungkan
tenaga dalam tingkat tinggi. Kiranya dunia persi-
latan bakal guncang bila si pemuda didikan Em-
pat Iblis Merah dari Hutan Seruni ini akan mem-
buat onar di dunia persilatan. Bisa jadi! Lantas, siapakah yang dapat menandingi
kehebatannya"!
"Tak percuma rupanya kami mendidikmu
bertahun-tahun, Bocah. Kau bakal merajai dunia
persilatan!" puji Iblis Buta. Meski kedua bola matanya yang berwarna putih tak
mampu melihat apa yang dilakukan muridnya tadi, namun dari
angin berkesiuran tadi dapat dirasakan akan ke-
hebatan jurus 'Tangan Merah' yang diperagakan
si murid. "Tunggu! Kau jangan bangga dulu menden-
gar pujian kami, Bocah. Coba sekarang tunjuk-
kan pada kami pukulan 'Darah Iblis' yang kami
ajarkan! Kalau kau tak becus atau mengecewakan
kami, hukuman berat akan kami berikan kepa-
damu!" perintah Iblis Tuli, garang!
Begitu mendengar perintah Iblis Tuli yang
sarat ancaman, mendadak paras si pemuda jadi
tegang. Kedua pelipisnya bergerak-gerak. Ra-
hangnya mengeras. Jelas sekali kalau harga di-
rinya merasa tertantang. Maka meski hatinya pa-
nas, namun kehebatannya harus dibuktikan.
Tanpa menyahuti ucapan gurunya, pemu-
da itu segera berbalik ke belakang. Sepasang ma-
tanya berkilat-kilat mengerikan terus mencorong
tajam mencari sasaran. Dilihatnya ada sebongkah
batu sebesar kerbau.
Pemuda itu mendengus. Kedua telapak
tangannya yang terkepal erat berkerotokan, sea-
kan tak sabar melaksanakan perintah gurunya.
Namun, si pemuda tidak langsung melaksanakan
perintah Iblis Tuli. Dadanya yang membusung di-
angkatnya dalam-dalam. Perlahan-lahan tenaga
dalamnya dikerahkan, membuat kedua telapak
tangannya berubah jadi hitam legam sampai ke
pangkal. Selangkah demi selangkah, pemuda itu
mendekati bongkahan batu. Sejenak diperhati-
kannya bongkahan batu itu seksama. Tanpa kata.
Hanya telapak tangan kanannya saja yang diang-
kat tinggi-tinggi. Dan....
Pluk! Sekali tepuk, bongkahan batu sebesar ker-
bau itu kontan hancur berkeping-keping. Dari se-
tiap kepingannya mengeluarkan uap hitam legam!
Bukan main! Padahal, tadi si pemuda itu hanya
menggerakkan tangannya biasa saja. Namun ha-
silnya, sungguh luar biasa!
Mau tidak mau Empat Iblis Merah dari Hu-
tan Seruni itu jadi terperangah. Sepasang mata
mereka membelalak lebar, seolah tak percaya. La-
lu, entah siapa yang terlebih dulu mulai, mereka
telah mengumbar tawa.
"Bagus! Bagus! Aku yakin dengan keheba-
tanmu sekarang, kau bakal jadi rajanya dunia
persilatan. Kaulah momoknya dunia persilatan,
Bocah!" puji Iblis Buntung di antara suara tawanya yang bergelak.
Si pemuda memalingkan kepala perlahan.
Sejenak dipandanginya keempat orang gurunya.
Angkuh. Selangkah demi selangkah ia berjalan
mendekati. Tanpa senyum ataupun kata-kata
bernada terima kasih, mendengar pujian keempat
orang gurunya. Malah kini ia berdiri tegak di ha-
dapan keempat gurunya! Pongah sekali lagaknya!
"Dengar, Bocah! Buka telingamu lebar-
lebar! Bertahun-tahun kami telah mendidikmu
susah payah. Sekarang, tibalah saatnya aku me-
nagih budi," kata Iblis Buntung. Nada suaranya garang, sarat ancaman.
"Katakan saja! Perintah apa yang harus ku-
lakukan. Guru!" sahut si pemuda, pongah.
"Sebelum kau menjadi rajanya dunia persi-
latan. Apakah kau pernah dengar julukan Silu-
man Ular Putih?" lanjut Iblis Buntung.
"Tidak. Apakah aku harus melenyapkannya
juga?" sahut si pemuda tetap bernada pongah.
"Benar! Kau harus melenyapkan Siluman
Ular Putih. Pendekar muda itu harus kau le-
nyapkan!" timpal Iblis Buta.
"Apa pun perintah Guru berempat, pasti
akan kulaksanakan. Dan aku tidak akan pernah
mengecewakan Guru!" tandas si pemuda.
"Bagus! Memang itulah yang ingin kami
dengar!" "Hukbukhuk...!"
Sementara Iblis Bisu menggerak-gerakkan
kedua tangannya ke sana kemari. Mulutnya tak
henti-hentinya berucap demikian. Entah apa ar-
tinya. Namun ketiga orang saudara seperguruan-
nya sudah pasti tahu apa maksudnya.
"Ya ya ya...! Kukira berdasarkan kesepaka-
tan kita, mulai hari ini kau harus memakai gelar, yakni Dewa Kegelapan! Karena
kau memang terlahir berkat izin Dewa Kegelapan!" kata Iblis Tuli.
"Camkan itu, Bocah! Mulai hari ini kau ha-
rus memakai gelar Dewa Kegelapan!" tandas Iblis Buta. "Baik. Tentu aku akan
memakai gelar itu."
"Nah...! Sekarang sebelum meninggalkan
tempat ini, kau harus minta izin terlebih dulu pa-da kakek seperguruan kami yang
tertua!" ujar Iblis Buntung lagi.
"Siapakah Uwak Guru yang Guru mak-
sud?" tanya si pemuda yang kini bergelar Dewa Kegelapan, tak mengerti.
"Jangan banyak tanya! Ikuti saja kami!"
bentak Iblis Buntung.
Habis membentak, Iblis Buntung tiba-tiba
menghentakkan kedua telapak tangannya ke ta-
nah. Seketika, tubuhnya yang tanpa kaki cepat
melenting tinggi ke udara, lalu berkelebat cepat
ke suatu tempat. Gerakannya segera diikuti keti-
ga orang adik seperguruannya.
Mau tak mau Dewa Kegelapan pun menyu-
sul keempat orang gurunya. Hanya dengan sekali
menjejak tanah, sosoknya telah dapat menyusul
keempat gurunya.
* * * Ternyata tempat yang dimaksudkan Empat
Iblis Merah dari Hutan Seruni itu jauh dari perki-raan Dewa Kegelapan. Semula
dikira, ia akan di-
ajak ke sebuah goa, lembah, atau tempat lain.
Namun ternyata, justru diajak ke sebuah kubu-
ran! "Aku sungguh tak tahu, apa maksud Guru membawaku kemari," gumam Dewa
Kegelapan dalam hati. Melihat keempat orang gurunya segera ber-
simpuh di atas makam yang dimaksudkan, Dewa
Kegelapan masih tetap berdiri di tempatnya. Rasa
herannya membuat keningnya berkerut berulang
kali. "Bocah! Kenapa kau tidak segera berlutut"
Cepat beri hormat pada Uwak Guru!" bentak Iblis Buntung.
"Baik."
Meski hatinya diliputi sejuta tanda tanya,
perlahan-lahan Dewa Kegelapan pun segera du-
duk bersimpuh di samping Iblis Buntung. Ma-
tanya nyalang memperhatikan gundukan tanah di
hadapannya. Bibirnya berkemik-kemik, namun
tak sepatah kata pun terucap.
"Bocah! Apa yang kau perbuat di sini, he"!
Aku bukan menyuruhmu berdoa. Kakak sepergu-
ruanku itu masih hidup. Ia sedang bertapa dalam
kuburan ini. Dengan menaburkan kembang dan
menyiramkan air kendi ini ke atas makamnya,
maka kesaktian Kakang Penghuni Kubur akan
bertambah hebat. Lekas beri hormat!" bentak Iblis Buntung, garang.
Sepasang mata Dewa Kegelapan sempat
berkilat-kilat penuh kemarahan. Namun tak di-
pungkiri hatinya terkejut mendengar kalau uwak
gurunya bertapa di dalam makam. Sejenak di-
pandanginya Iblis Buntung seksama.
Iblis Buntung menggedikkan kepalanya,
memberi isyarat pada Dewa Kegelapan.
"Uwak Guru...! Aku, Dewa Kegelapan da-
tang memberi hormat padaku. Mohon sudilah kau
mengizinkan kepergianku!" ucap Dewa Kegelapan, kaku. Mendadak tanpa diduga sama
sekali, gundukan tanah di hadapan Dewa Kegelapan berge-
tar. Dan tidak lama, gundukan tanah itu tenang
seperti semula.
"Kau tahu, Uwak Gurumu merestui keper-
gianmu. Jadi setelah ini, kau harus segera melak-
sanakan perintah kami. Kau harus dapat mengu-
asai dunia persilatan, sekaligus dapat mele-
nyapkan Siluman Ular Putih! Paham"!" tegas Iblis
Buntung lagi. "Tentu. Kalau Guru mengizinkan, sekarang
juga aku akan berangkat dan mencari orang ber-
gelar Siluman Ular Putih!" geram Dewa Kegelapan, saking jengkelnya.
"Tunggu! Kau tak boleh pergi sebelum aca-
ra ini selesai!" bentak Iblis Buta.
"Baik. Kalau Guru berempat menginginkan
aku menemani!" sahut Dewa Kegelapan, ketus.
Iblis Buta mengangguk.
Iblis Buntung yang memimpin upacara se-
gera mengambil kembang yang telah dipersiapkan
dari balik pakaian. Sedang Iblis Buta segera me-
nyerahkan kendi berisi air pada Iblis Buntung.
Untuk beberapa saat, Empat Iblis Merah dari Hu-
tan Seruni tetap diam di tempat masing-masing.
Mata mereka tajam memandangi gundukan tanah
di hadapannya. "Terimalah kembang dan air kehidupan ini,
Kakang Penghuni Kubur. Meski tidak melihat
kami, tapi kami yakin kau pasti senang menerima
sesaji ini. Terimalah, Kang!" ucap Iblis Buntung lirih. Habis berucap, Iblis
Buntung segera me-
nuang kendi berisi air ke gundukan tanah di ha-
dapannya. Lalu ditebarkannya kembang di per-
mukaan gundukan tanah. Setelah selesai, kendi
dan sisa kembang diserahkan pada adik-adik se-
perguruannya. Dan mereka melakukan seperti
yang telah diperbuat Iblis Buntung.
Terakhir, dengan tangan gemetar, Dewa
Kegelapan pun melakukan seperti apa yang dila-
kukan keempat orang gurunya. Sikapnya tidak
begitu khusuk seperti Empat Iblis Merah. Namun
itu sudah cukup. Kini saatnyalah bagi Dewa Ke-
gelapan menunaikan tugas dari keempat orang
gurunya. Namun Dewa Kegelapan tidak bergegas
meninggalkan tempat itu. Ada satu pertanyaan
yang selama ini mengusik hatinya.
"Guru...! Ada satu hal yang ingin kutanya-
kan pada kalian berempat. Aku tak ingin pergi
sebelum kalian menjawab," kata Dewa Kegelapan.
"Boleh. Apa?" sahut Iblis Buntung tak senang. "Aku ingin mengetahui kedua
orangtua ku. Di manakah mereka. Guru?"
"Apa"! Kau... menanyakan itu"!" sentak Iblis Buntung.
"Iya. Kenapa Guru tampak terkejut?" tukas Dewa Kegelapan.
"Huh...!" Iblis Buntung mendengus jengkel.
"Yang jelas, kedua orangtua mu sudah lama ma-ti."
"Si.... Siapa yang membunuhnya, Guru?"
Dewa Kegelapan terperangah kaget. Wajahnya
pun kontan murung.
"Aku tidak tahu, Muridku."
"Mustahil! Pasti kalian berempat tahu, sia-
pa pembunuh kedua orangtua ku!"
"Kau keras kepala, Bocah. Kalau tak per-
caya, selidiki saja sendiri!" tukas Iblis Buntung kesal.
Siluman Ular Putih 18 Titisan Alam Kegelapan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dewa Kegelapan menggeram penuh kema-
rahan. Tanpa banyak cakap, segera ditinggalkan-
nya tempat ini. Namun diam-diam ia tetap akan
menyelidiki siapa pembunuh kedua orang tuanya.
3 "Tuolooong...! Ada orang gila ngamuk. Tuo-
looooong...!!!"
Siluman Ular Putih terus berlari lintang
pungkang. Kepalanya sesekali dipalingkan ke be-
lakang, kalau-kalau Raja Penyihir masih mengejar
di belakangnya. Melihat tak ada yang mengejar,
larinya pun dihentikan. Namun mendadak....
Srattt! "Aaahh!"
Siluman Ular Putih memekik keras ketika
kakinya seperti tersambar sesuatu. Tanpa ampun
tubuhnya tersentak ke atas. Ketika disadari, ter-
nyata kakinya terjerat tali hingga tubuhnya
menggantung di sebuah dahan pohon.
"Duuuh...! Percuma saja aku punya mata
kaki kalau tak dapat melihat ada jebakan.
Huh...!" gerutu Soma, kesal. Di saat tangannya hendak memutuskan tali yang
mengikat pergelangan kakinya, samar-samar matanya melihat
sesosok tubuh ramping menghampiri.
"Bodoh! Kenapa kau yang masuk ke dalam
jeratanku" Dasar pemuda tak tahu aturan!" gerutu sosok ramping itu ketus.
Soma kontan menghentikan gerutuannya
melihat sosok di bawahnya cukup menawan. So-
sok seorang gadis cantik berpakaian ringkas war-
na hijau. Tubuhnya tinggi semampai dengan kulit
putih bersih. Wajahnya berbentuk bulat telur. Pas sekali dengan rambutnya yang
digelung ke atas
dihiasi untaian bunga melati.
Cukup mengagumkan kecantikan gadis sa-
tu ini memang. Namun berhubung Siluman Ular
Putih melihatnya dalam keadaan terbalik, jadi wa-
jar saja kalau sosok gadis cantik di bawahnya be-
rubah jadi sosok hijau mengerikan. Bukannya se-
bagai gadis cantik, melainkan dalam pandang ma-
tanya tidak ubahnya seperti kuntilanak!
"Ayo, turun! Kenapa malah enak-enakan di
situ"!" hardik si gadis cantik, kesal.
"Siapa yang enak-enakan tergantung begi-
ni" Aku sendiri mau memutuskan tali ini, tapi
kau malah datang!" sungut Siluman Ular Putih.
"Eh...! Jangan kau putuskan tali jebakan-
ku itu! Kau.... Kau.... Ah...! Mengganggu kesenanganku saja. Bagaimana aku dapat
menangkap kambing liar kalau kau putuskan tali jebakanku!"
omel si gadis cantik.
"Apa" Kau bilang aku kambing?" perangah Siluman Ular Putih merasa tersindir.
"Akil tidak mengatakan kau kambing. Tapi
kau sendiri yang mengatakannya," sahut si gadis cepat. "Yah...! Kalau begitu
sama saja. Kalau tidak, mana mungkin ada orang menangkap kamb-
ing dengan cara seperti ini?"
"Kau malah mengguruiku! Sudah terang
salah, pakai menggurui lagi! Pemuda macam apa
kau ini, he"! Cepat turun dari tali jebakanku.
Dan, pasang lagi seperti semula!"
"Eh...! Bukannya nolong, malah ngomel!"
sahut Siluman Ular Putih tak kalah sengit.
"Arum! Arum Sari! Ada apa" Kenapa kau
marah-marah di situ" Apa kau sudah menda-
patkan babi?"
Mendadak terdengar suara teguran seseo-
rang. Belum hilang gaung suara teguran barusan
di samping gadis berpakaian hijau yang ternyata
bernama Arum Sari itu telah berdiri seorang ne-
nek berkulit keriput. Tubuhnya kurus kering, mi-
rip cacing. Saking kurusnya, nenek renta beram-
but putih panjang itu seolah tak berdaya berdiri
di atas kaki. Tubuh kurus keringnya malah seper-
ti meliuk-liuk tertiup angin. Pakaiannya yang juga berwarna hijau-hijau
berkibar-kibar. Untung saja
tongkat panjang di tangannya mampu menahan
tubuhnya. "Guru...! Seperti yang Guru lihat, murid be-
lum mendapat kambing. Pemuda inilah yang
membuat kambing-kambing itu kabur. Eh...! Se-
karang ia malah enak-enakan di dalam tali jeba-
kan," lapor Arum Sari berlebihan.
Siluman Ular Putih yang saat itu tengah
terpana melihat perempuan tua renta di bawah-
nya tak mendengar apa yang dilaporkan Arum
Sari barusan. Dalam pandang matanya yang ter-
balik, sosok renta di bawahnya tampak demikian
mengerikan. Betapa perempuan tua itu tak ubah-
nya biangnya kuntilanak.
"Hii...! Bi.... Biang kuntilanak...!" desis Siluman Ular Putih seraya memejamkan
mata. "Bocah tengil! Apa kau bilang tadi?" bentak perempuan tua itu galak.
Terpaksa Siluman Ular Putih harus mem-
buka matanya kembali dan langsung dikerjap-
kerjapkannya berulang-ulang. Makin parah saja
sosok nenek renta itu dalam pandang matanya.
"He he he.... Bisa jadi kau kuntilanak yang
muncul di siang bolong?" gumam Siluman Ular
Putih. "Bocah tak tahu adat! Mulutmu patut dihajar!" Terdengar lengkingan
cempreng si nenek saat mendamprat. Bahkan tiba-tiba tongkat hitam di
tangannya bergerak cepat ke arah mulut Siluman
Ular Putih. Tapi mana mungkin bocah sinting itu
sudi mendapat sarapan tongkat. Dengan sekuat
tenaga cepat dihindarinya datangnya serangan.
Namun karena masih menggelantung di tali, tu-
buhnya hanya bergeser sedikit. Akibatnya....
Bukkk! Bukkk! Dua kali tubuh Siluman Ular Putih jadi sa-
saran empuk serangan tongkat si nenek. Seketika
tubuhnya berputar-putar kencang di atas tali.
Sementara si nenek malah terkekeh senang
memandangi tubuh Siluman Ular Putih yang ber-
putar. Tongkat hitam di tangan kanannya lantas
menggerak-gerakkan tubuh Siluman Ular Putih
ke sana kemari hingga makin cepat berputar
sambil berbuat demikian, tak henti-hentinya si
nenek terkekeh senang.
Maka wajar saja kalau Siluman Ular Putih
ganti yang mengomel panjang lebar. Sementara, si
nenek mana peduli dengan omelan" Bahkan ke-
kehannya terdengar makin menyakitkan telinga si
pemuda. "Celaka! Enak benar tubuhku dijadikan ba-
rang mainan. Peduli setan! Aku harus memu-
tuskan tali jebakan itu!" umpat Siluman Ular Putih dalam hati.
Saat itu juga tangan Siluman Ular Putih
segera membabat tali jebakan. Namun baru saja
menggerakkan tangan, tiba-tiba tongkat di tangan
si nenek datang menghadang.
Takk! "Adaouwww!!!" pekik Soma sejadinya.
Tangan Soma yang terkena hantaman
tongkat terasa berdenyut. Sementara putaran tu-
buhnya di atas tali jebakan makin kencang. Kare-
na, tak henti-hentinya tongkat di tangan si nenek memutar tubuhnya.
"Ampun, Nenek Jelek! Ampuuun! Hentikan,
Nek!" ratap Siluman Ular Putih akhirnya, memelas. "Apa kau bilang, Bocah?"
"Hentikan dong. Nek. Pusing kepalaku!"
"Bukan itu. Kau tadi tidak bilang itu."
"Ya, ampun! Aku.... Aku...."
Saat itu juga otak Siluman Ular Putih be-
kerja cepat. Ia tahu maksud nenek jelek di ba-
wahnya. "Anu, Nek. Tadi kubilang kau nenek cantik.
Cuaaantik sekali. Asli! Seperti bidadari turun dari langit," puji Siluman Ular
Putih habis-habisan.
Si nenek jelek itu terkekeh senang. Lebih
senang ketimbang bermain ayunan dengan tubuh
Siluman Ular Putih.
"Ya ya ya...! Kau benar, Bocah. Aku me-
mang masih cantik. Cuaaantik sekali. Iya kan,
Muridku?" teriak si nenek, berbunga-bunga.
Ditodong pertanyaan gurunya, mau tak
mau si gadis berpakaian hijau pun menjawab.
"I.... Iya, Guru."
"Nah...! Kau dengar, Bocah. Muridku saja
bilang kalau Nenek Rambut Putih masih cantik,
kan?" lanjut si nenek jelek pada Siluman Ular Putih. Untuk memperlancar
siasatnya, tak ada je-
leknya Siluman Ular Putih harus memuji nenek
jelek berjuluk Nenek Rambut Putih itu.
"Tentu, Nek. Malah aku yakin, sewaktu
muda dulu kau pasti lebih cantik ketimbang mu-
ridmu! Tapi lepaskan tali yang menjerat kakiku
dong!" rajuk Soma akhirnya.
"Yayaya...! Tapi benarkah apa yang kau
ucapkan barusan" Aku lebih cantik dibanding
muridku?" tanya Nenek Rambut Putih seraya
membelalakkan matanya lebar.
"Sudah pasti. Kenapa kau ragu-ragu" Tapi
talinya dong. Nek. Lekas diputus! Aku pusing,
nih!" rajuk Soma lagi,
Kali ini rupanya siasat Siluman Ular Putih
berjalan lancar. Maka sambil melonjak-lonjak ke-
girangan, tongkat hitam di tangan nenek jelek itu pun menyambar putus tali
jebakan yang mengikat pergelangan kaki Siluman Ular Putih.
Tasss! Begitu tali jebakan itu putus oleh samba-
ran tongkat Nenek Rambut Putih, Siluman Ular
Putih cepat berjungkir balik. Dengan sigap kedua
kakinya siap menjejak tanah. Namun baru saja
menjejak, keseimbangan tubuhnya hilang. Tu-
buhnya limbung ke samping, menabrak tubuh
Arum Sari! "Kau.... Kau sengaja mencari kesempatan,
ya! Main tubruk saja!" hardik Arum Sari.
Soma tidak peduli. Ia justru lebih peduli
melihat beribu kunang-kunang bermain di pelu-
puk matanya. Sambil cengar-cengir, ia mencoba
mengusir kunang-kunang di depan mata dengan
menggerak-gerakkan kepalanya ke sana kemari.
Sehingga, akhirnya rasa berkunang-kunang di
matanya hilang dengan sendirinya.
"Kau tega sekali mempermainkan tubuhku
di tali jebakan. Nek" Memangnya tubuhku ini ba-
rang mainan?" sungut Siluman Ular Putih begitu dapat mengendalikan keadaan.
"Yah...! Salah sendiri, kenapa kau masuk
ke dalam jebakan" Sudah tahu itu jebakan, ke-
napa kau mau masuk?" sahut Nenek Rambut Pu-
tih enteng. Mau tak mau Siluman Ular Putih manyun
berat. Mana ada sih orang sengaja masuk jeba-
kan. Dasar nenek gila! Seenak perutnya saja
ngomong! Soma menggerutu dalam hati.
"Sekarang duduklah! Aku ingin bicara!" ka-ta Nenek Rambut Putih lagaknya dibuat-
buat sungguh-sungguh. "Kau juga. Arum!"
"Kau sudah mulai main perintah, Nek?" balik Siluman Ular Putih.
"Kalau ya, kau mau apa?" tukas si nenek jelek, galak.
"Ya...! Tidak apa-apa...," sahut Soma sekenanya. Nenek Rambut Putih mengetukkan
tong- katnya, menyuruh Siluman Ular Putih diam.
"Dengar, Arum! Ketahuilah! Bukankah kau
ingin mengetahui siapa yang telah membunuh
kedua orangtua mu, bukan?" cerocos Nenek
Rambut Putih. "Iya, Nek. Bahkan aku tidak hanya ingin
sekadar tahu, tapi ingin menuntut balas!" sahut Arum Sari bersemangat.
"Bagus! Itu baru muridku namanya. Seka-
rang, ketahuilah! Sebenarnya yang telah membu-
nuh kedua orangtua mu adalah bangkotan tua
yang bergelar Penghuni Kubur!" jelas si nenek, tandas.
"Penghuni Kubur" Jadi, kedua orangtua ku
tewas di tangan Penghuni Kubur?" tanya Arum
Sari dengan kening berkerut.
"Yah...!" sahut Nenek Rambut Putih sing-
kat. Nenek Rambut Putih lantas menceritakan ke-
jadian tujuh belas tahun lalu. Betapa Sepasang
Pendekar Garuda Emas, sahabat Nenek Rambut
Putih menemui ajal di tangan Penghuni Kubur se-
cara mengenaskan. Tubuhnya cerai berai, jadi
santapan anjing-anjing liar hingga tandas!
Arum Sari dan Siluman Ular Putih sama-
sama terpekur mendengar cerita Nenek Rambut
Putih. Sedikit pun mereka tak berani memotong
cerita. "Sebenarnya, Sepasang Pendekar Garuda Emas dari puncak Gunung Merbabu
bisa saja mengalahkan Penghuni Kubur, musuh bebuyu-
tannya itu. Namun dengan kelicikannya, ibumu
dapat diperdayai oleh racun yang disebarkan
Penghuni Kubur. Begitu ibumu berada di bawah
ancamannya, Penghuni Kubur memaksa ayahmu
menyerah. Singkat cerita demi melindungi nyawa
ibumu, ayahmu menyerah. Tapi betapa culasnya
bangkotan tua satu itu. Karena setelah ayahmu
menyerah, tetap saja kedua orangtua mu dibu-
nuhnya. Benar-benar keparat manusia satu itu!
Berkali-kali aku mencarinya, tapi sampai seka-
rang belum pernah kutemukan. Sial. Benar-benar
sial. Dan apakah kau tahu, kenapa kau bisa jadi
muridku. Arum?" tanya Nenek Rambut Putih.
Siluman Ular Putih 18 Titisan Alam Kegelapan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tentu saja aku tidak tahu. Nek."
"Hm...!"
Nenek Rambut Putih mengeretakkan gera-
hamnya penuh kemarahan. Sepasang matanya
yang kelabu berkilat-kilat penuh kemarahan bila
teringat kejadian tujuh belas tahun lalu.
"Tahukah kau, ternyata setelah kedua
orangtua mu dibunuh, bangkotan tua itu pun in-
gin membunuhmu! Kebetulan sekali aku keburu
datang. Namun sayang aku pun terdesak oleh se-
rangannya. Maka tak ada pilihan lain, demi me-
nyelamatkan nyawamu yang kuharapkan bisa
menuntut balas, aku pun kabur. Sampai di sini
apa kau sudah paham. Arum?"
Nenek Rambut Putih memandang tajam
murid semata wayangnya.
"Tahu, Nek. Kau tentu membawaku ke Hu-
tan Wringin Anom ini dan membesarkanku."
"Bagus. Rupanya kau punya otak cerdik
juga. Sekarang semua kejadian tujuh belas tahun
lalu telah kuceritakan. Dan kau pun sudah tahu,
siapa pembunuh kedua orangtua mu. Sekarang,
terserah. Mau kau apakan bangkotan tua Peng-
huni Kubur itu. Tapi, hati-hati. Dia lihai sekali."
"Tentu, Guru. Aku pasti akan berhati-hati.
Sekarang izinkanlah aku menuntut balas!"
Nenek Rambut Putih tak mempedulikan
permintaan muridnya. Dan kini tatapannya di-
alihkan pada Siluman Ular Putih.
"Hey, Bocah Edan! Kau dengarkan apa
yang kuceritakan barusan?"
"Eh eh eh...! I.... Iya, Nek. Aku dengar," sahut Siluman Ular Putih tergagap.
"Nah...! Kalau sudah tahu, sekarang jawab
pertanyaanku dengan jujur. Bukankah kau yang
bergelar Siluman Ular Putih?"
"Da... dari mana kau tahu gelarku. Nek?"
tanya Siluman Ular Putih tak habis pikir.
"Sudahlah! Itu tak penting. Yang pasti kau
Siluman Ular Putih yang akhir-akhir ini meng-
gemparkan dunia persilatan, kan?"
"Ah...! Kau terlalu memuji. Nek."
"Diam! Aku belum selesai bicara!" bentak Nenek Rambut Putih.
"Iyalah. Aku akan diam."
Nenek Rambut Putih mengetuk-ngetukkan
tongkatnya. Matanya yang kelabu kini tak lagi
memandang Siluman Ular Putih, melainkan me-
mandangi muridnya seksama.
"Arum! Benar kau ingin menuntut balas?"
tanya Nenek Rambut Putih ingin meyakinkan.
"Tentu, Guru. Kenapa Guru tanyakan ini?"
Nenek Rambut Putih mengangguk-anggukkan ke-
pala. "Dengarlah, Muridku! Kau boleh menuntut balas pada Penghuni Kubur, tapi
dengan satu syarat. Ingat! Kau tak boleh melanggar syaratku!"
ujar Nenek Rambut Putih seraya menggerak-
gerakkan telunjuk jarinya.
"Baik, Guru. Sekarang katakan apa syarat
itu, Guru!" tanya Arum Sari, tak sabar.
"Karena kau belum mampu menghadapi si
Penghuni Kubur, maka kau harus patuh dan
mengikuti ke mana saja bocah edan itu pergi!" ka-ta Nenek Rambut Putih seraya
menuding ke arah
Siluman Ular Putih.
"Apa?"
Siluman Ular Putih dan Arum Sari sama-
sama terpekik kaget. Siluman Ular Putih tidak
menyangka kalau dirinya akan dijadikan pengaw-
al pribadi Arum Sari. Demikian juga Arum Sari
sendiri. Ia benar-benar tak mengerti maksud gu-
runya. Kenapa justru bocah edan itu yang dis-
uruh menemaninya"
"Tapi, Guru. Kenapa mesti pemuda tak ta-
hu aturan itu yang kau pilih. Guru!" tuding Arum Sari, sengit.
Siluman Ular Putih hanya tersenyum-
senyum saja. Tapi hatinya memang sempat terke-
jut mendapat tugas berat dari Nenek Rambut Pu-
tih yang baru dikenalnya. Namun manakala te-
ringat siapa yang akan dikawal, mau tidak mau
hatinya jadi senang juga. Lelaki mana yang tidak
senang menjadi pengawal pribadi seorang gadis
cantik seperti Arum Sari" Senyumnya pun makin
meriah tersungging di bibir.
Sudah pasti Arum Sari jadi rajin manyun.
"Brengsek kau! Kau yang enak, aku yang
sengsara tahu!" hardik Arum Sari, kesal.
"Sudahlah, Muridku! Aku tak mungkin sa-
lah. Kujamin pemuda itu tak akan macam-
macam. Di samping itu, kepandaiannya pun ku-
kira cukup kalau hanya untuk menjadi penga-
walmu," kata Nenek Rambut Putih mendinginkan hati Arum Sari.
"Tapi, Guru...!"
"Sudahlah! Aku yakin, bocah edan itu tak
berani macam-macam. Kalau misalnya berani
pun, tak mungkin gurumu tinggal diam. Seka-
rang, pergilah! Tak usah kau hiraukan bocah
edan itu!"
Arum Sari menggigit bibirnya. Kesal. Ba-
gaimana mungkin ia dapat melakukan perjalanan
bersama pemuda sinting yang baru saja dikenal.
"Ingat, Bocah Edan! Kutitipkan muridku
padamu! Sekali kau berani macam-macam, maka
nyawamulah taruhannya!" pesan Nenek Rambut
Putih sarat ancaman.
"Oooo...! Pasti-pasti. Aku adalah pemegang
amanat yang baik. Tak mungkin aku mengecewa-
kanmu. Nek."
"Sudahlah! Jangan banyak omong. Cepat
sana pergi!"
"Nah...! Gurumu sudah mengizinkan.
Arum. Ayo, kita berangkat!" ajak Soma sok akrab.
Arum Sari melotot gusar. Ingin rasanya ia
menampar pemuda sinting itu. Namun manakala
pandang matanya berbentrokan dengan Nenek
Rambut Putih, mendadak keinginannya sirna.
Tunduk di bawah pandang mata gurunya. Lalu
diiringi pandang mata gurunya, dengan sangat
terpaksa sekali Arum San mau juga mengikuti pe-
rintah. 4 "Ke mana bocah edan itu minggat, he"
Awas kalau kena nanti! Akan kukemplang kepa-
lanya sampai peang!"
Mata Raja Penyihir jelalatan ke sana kema-
ri. Kedua bibirnya yang hitam tak henti-hentinya
mengomel. Namun tetap saja sosok yang dicari
tak ditemukan. Sosok Siluman Ular Putih.
Namun lelaki tua bangkotan itu tak putus
asa. Sejenak langkahnya berhenti di pinggiran se-
buah tebing. Dari ketinggian tebing matanya
kembali jelalatan ke sana kemari. Tapi tetap saja sosok Siluman Ular Putih tak
ditemukan. Tak puas dengan hasil pencariannya, mendadak Raja
Penyihir menghentakkan kakinya kasar.
"Hea...!"
Berbareng teriakannya, seketika tubuh
tinggi kurus Raja Penyihir melenting tinggi ke
udara, lalu melesat ke sebuah pohon. Ringan se-
kali gerakan kedua kakinya. Buktinya saja saat
kedua kakinya hinggap, tidak menimbulkan suara
sedikit pun. Ini jelas menandakan kalau ilmu me-
ringankan tubuhnya benar-benar sudah menca-
pai tingkat tinggi. Apalagi kedua kakinya ternyata hinggap di ranting pohon
kecil yang besarnya tak
lebih dari jari kelingking manusia dewasa!
"Sontoloyo! Benar-benar sontoloyo! Tak ku-
sangka bocah edan itu lenyap begitu saja! Hm...!
Masa' aku harus dipaksa menemui bangkotan tua
Kamasetyo di Gunung Bucu hanya untuk minta
izin agar bocah edan itu memanggilku guru.
Edan! Benar-benar edan bocah tengil satu itu!
Awas kalau kutemukan nanti, ya!" geram Raja
Penyihir sarat ancaman.
Meski amarahnya sudah mencapai ubun-
ubun kepala. Raja Penyihir masih tetap nangkring
di atas ranting. Matanya terus jelalatan memper-
hatikan lembah hijau di hadapannya seksama.
Lagi-lagi tak ditemukannya setitik bayangan pun
di kejauhan sana.
Raja Penyihir mendengus gusar. Habis su-
dah kesabarannya. Sebagai sasaran kemarahan-
nya, tongkat hitam di tangan kanannya diayun-
kan keras ke belakang.
Prakkk! Raja Penyihir tersentak kaget. Ranting po-
hon tempatnya hingga kontan patah. Maka tanpa
ampun tubuhnya meluncur deras ke bawah. Na-
mun lelaki tua bangkotan itu tak kehilangan akal.
Di saat tubuhnya melayang ke mulut jurang, ce-
pat dibuatnya gerakan indah di udara. Kini kedua
kakinya mendarat mulus di tepi jurang.
Begitu menyadari betapa dalamnya jurang-
di bawah, paras Raja Penyihir kontan pucat.
Hampir saja ia celaka karena keteledorannya.
Namun mana mau ia menertawakan kebodohan-
nya sendiri"
"Edan! Benar-benar edan! Ini semua gara-
gara bocah tengil itu!" geram Raja Penyihir, me-lampiaskannya pada Siluman Ular
Putih. Namun sejurus kemudian Raja Penyihir
manggut-manggut.
"Baiklah. Mungkin belum saatnya aku ber-
temu kembali dengan bocah tengil itu. Dan
mungkin juga, ucapan bocah tengil itu benar. Aku
harus mengunjungi tua bangka Kamasetyo di
Gunung Bucu terlebih dulu biar tidak sial terus!"
lanjut Raja Penyihir menenangkan hatinya.
Setelah mantap dengan keputusannya. Ra-
ja Penyihir segera menutulkan kakinya ke tanah.
Sekali berbuat demikian, tahu-tahu sosoknya te-
lah melesat jauh di depan sana. Tujuannya jelas,
menemui Eyang Begawan Kamasetyo di puncak
Gunung Bucu. * * * Sepeninggal Siluman Ular Putih dan Arum
Sari, hati Nenek Rambut Putih jadi tak karuan.
Sepasang matanya yang kelabu mau tak mau ha-
rus menitikkan air mata. Sedih. Jangan tanya la-
gi. Ia yang selalu bersama muridnya kini terpaksa harus berpisah. Dan hatinya
tak mampu menghadapi perpisahan. Makanya walau bayangan se-
pasang muda-mudi itu telah menghilang di tikun-
gan depan sana, hatinya masih saja terharu.
"Oh...! Belum pernah aku merasakan sese-
dih ini, Arum. Mungkin benar orang bilang kalau
perpisahan itu menyedihkan. Padahal ini hanya
perpisahan kecil. Tapi kenapa aku jadi nelangsa
seperti ini...."
Tak henti-hentinya dua bibir keriput itu
berkemik-kemik melukiskan kesedihan hati. Se-
pasang matanya yang kelabu pun mulai bersim-
bah air mata. Nenek Rambut Putih memang sen-
gaja membiarkan perasaannya terombang-
ambing. Membiarkan apa saja yang membuat ha-
tinya nelangsa. Karena memang hanya dengan
cara itulah ia dapat menghadapi perpisahan, wa-
lau dengan hati berat. Tapi karena Nenek Rambut
Putih ingin muridnya mereguk pengalaman seba-
gai seorang pendekar di dunia persilatan tanpa
campur tangannya, terpaksa ia harus mengua-
tkan hatinya. Nenek Rambut Putih menghela napas. Se-
sak. Terasa amat menyesakkan dada. Kedua bi-
birnya yang keriput pun kembali berkemik.
"Untung ada Siluman Ular Putih. Aku ya-
kin, pendekar muda satu itu dapat melindungi
muridku. Yah...! Mudah-mudahan saja demi-
kian...," gumam Nenek Rambut Putih menenang-
kan batinnya. "Apa" Kau.... Kau bilang apa" Kau.... Kau
menyebut-nyebut Siluman Ular Putih" Di mana
sekarang bocah edan itu, Nenek Keriput?"
Mendadak terdengar sahutan seseorang
dari belakang. Nenek Rambut Putih tersentak kaget. Bu-
ru-buru kepalanya berpaling ke belakang. Kilatan
sepasang matanya yang tajam pun kian liar ma-
nakala melihat sesosok lelaki tua dengan pakaian
tambal-tambalan telah berdiri di belakangnya.
"Kau...?" pekik Nenek Rambut Putih kaget.
Bukan saja si nenek kaget mendengar sa-
hutan tadi, melainkan juga kaget karena tahu-
tahu di situ telah berdiri seorang lelaki tua yang kehadirannya tanpa
diketahuinya sama sekali.
Mengingat ini, Nenek Rambut Putih sadar kalau
lelaki tua bangka itu memiliki kepandaian tinggi.
Namun dorongan perasaannya yang sedang
'gonjang-ganjing' membuatnya lupa diri.
"Bangkotan tua" Mau apa kau mengganggu
ketenanganku, he"!" hardik Nenek Rambut Putih tak suka, seraya berbalik
menghadap lelaki tua
itu. "Haram jadah! Justru akulah yang patut bertanya. Bukan kau! Di mana muridku
Siluman Ular Putih 18 Titisan Alam Kegelapan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Siluman Ular Putih, he"! Tadi kudengar kau menyebut-
nyebut bocah edan itu," hardik Raja Penyihir tak kalah sengit.
"Hm...!" Nenek Rambut Putih melengos sekenanya. Bibirnya dipencongkan ke
samping. Membuat wajahnya makin jelek saja.
Raja Penyihir menahan geram dalam hati.
"Nenek Rambut Putih! Di mana sekarang
Siluman Ular Putih berada?" tanya Raja Penyihir yang rupanya telah mengenal
perempuan tua itu.
Meski diucapkan dengan nada lembut, namun
karena ada rasa dongkol, membuat suara Raja
Penyihir mirip lenguhan. Lenguhan kerbau bunt-
ing yang mau dipotong.
"Aku tidak tahu, tahu"!" bentak Nenek
Rambut Putih galak.
"Apa" Kau tidak tahu?" Mata Raja Penyihir membelalak lebar. "Mustahil! Tadi kau
menyebut-nyebutnya. Sekarang, kau bilang tidak tahu. Apa
tubuhmu yang kerempeng minta digebuk, he"!"
ancam Raja Penyihir seraya mengangkat tongkat
hitam di tangan kanannya tinggi-tinggi.
"Siapa takut pada Raja Penyihir" Gebuklah
aku kalau nyawamu tak ingin melayang!" bentak Nenek Rambut Putih tak kalah
galak. Tongkat di
tangan kanannya pun siap melancarkan serangan
maut. Raja Penyihir mengeretakkan gerahamnya.
Dongkol. Perlahan-lahan tongkatnya yang sudah
diangkat tinggi-tinggi diturunkan.
"Jadi" Kau tidak tahu di mana perginya Si-
luman Ular Putih, Nenek Keriput?" tanya Raja Penyihir lirih.
"Tidak."
"Tapi...."
"Bocah sinting itu pergi dengan muridku,"
potong si nenek.
"Kenapa?" cecar Raja Penyihir.
"Aku yang menyuruh. Sudah cukup?"
"Kau mengusirnya?"
"Jangan banyak tanya! Aku tak punya wak-
tu meladeni tua bangka macammu!" hardik Nenek Rambut Putih menukas.
"Keterlaluan!" geram Raja Penyihir. Entah pada siapa. Entah ditujukan pada nenek
keriput di hadapannya, entah pada Siluman Ular Putih.
"Hey, Tua Bangka Jelek! Kenapa tidak ce-
pat enyah dari hadapanku"! Apa yang kau mau,
he"!" bentak Nenek Rambut Putih seraya bertolak pinggang. Lucu sekali gayanya.
Bukannya kelihatan garang. Malah sebaliknya. Mirip orang-
orangan sawah tertiup angin.
"Hm...! Siapa yang mau denganmu, Nenek
Jelek" Kucing buduk pun malas mendekati bang-
kai hidup macam kau!" ejek Raja Penyihir.
"Apa" Berani kau menghinaku demikian
rupa?" sentak si nenek.
Makin menggelikan saja Nenek Rambut Pu-
tih ini saat berkacak pinggang. Tongkat hitam di
tangan kanannya diacung-acungkan ke depan.
Sepasang matanya yang kelabu seolah mau loncat
keluar. "Hm...! Kalau saja aku tak ada keperluan lain, sudah pasti kukemplang
jidatmu, Nenek Jelek!" Nenek Rambut Putih gusar bukan main,
karena berkali-kali dikatakan nenek jelek. Jelas
penghinaan besar ini tidak diterimanya. Baginya,
penghinaan itu tak ubahnya seperti mengorek aib
yang selama ini ditutupinya. Namun manakala
ingin menggerakkan tongkatnya, tahu-tahu Raja
Penyihir telah berkelebat cepat hanya dalam seka-
li menghentakkan kaki ke tanah.
Pantas sudah bagi Nenek Rambut Putih
untuk uring-uringan. Ia pun tak mau kalah unjuk
gigi. Sekali menjejakkan kaki ke tanah, sosoknya
yang kurus kering pun telah berkelebat cepat
mengejar Raja Penyihir.
Namun, rupanya usaha Nenek Rambut Pu-
tih hanya menemui kesia-siaan belaka. Ternyata
ilmu meringankan tubuhnya kalah jauh diband-
ing Raja Penyihir. Dalam waktu yang tidak lama,
sosok Raja Penyihir telah menghilang di kejauhan
sana. Mau tidak mau Nenek Rambut Putih harus
menghentikan langkah. Matanya terus meman-
dang ke arah Raja Penyihir menghilang tadi pe-
nuh kagum. "Edan! Makin hebat saja tua bangka satu
itu!" kata Nenek Rambut Putih.
"Siapa dia?"
Mendadak terdengar sahutan seseorang
dari belakang. Buru-buru Nenek Rambut Putih
berbalik. Tahu-tahu di hadapannya telah berdiri
seorang pemuda gagah dengan jubah besar warna
hitam menutupi tubuhnya yang tinggi kekar. Na-
mun karena sepasang matanya yang mencorong
beringas, wajah gagah di hadapan Nenek Rambut
Putih jadi menggidikkan. Rambutnya awut-
awutan tak karuan. Tarikan-tarikan dagunya je-
las menyiratkan watak keji. Sedikit pun tak ada
senyum persahabatan dari kedua bibirnya yang
tegang. Menilik ciri-cirinya di atas, sudah pasti pemuda beringas berjubah tak
lain dari Dewa Kegelapan, murid Empat Iblis Merah dari Hutan Se-
runi. Rupanya dalam pencariannya untuk mene-
mukan Siluman Ular Putih, tanpa sengaja ia telah
sampai di tempat ini.
"Siapa kau, Bocah" Beraninya kau mengu-
sik ketenanganku"!" bentak Nenek Rambut Putih tak senang.
"Justru aku yang patut bertanya, Tua
Bangka Keparat! Siapa orang yang kau cari?" ba-
las Dewa Kegelapan.
"Bocah ingusan macam kau, tak patut
mengetahui urusanku! Enyahlah sekarang dari
hadapanku!"
"Hm...!" Dewa Kegelapan menarik hidung-
nya. Meremehkan. Lagaknya pongah sekali,
membuat Nenek Rambut Putih kian menggelegak.
"Sekali lagi kuperingatkan, cepat enyah da-
ri hadapanku kalau tak ingin nyawamu me-
layang!" ancam Nenek Rambut Putih.
"Tua bangka tak tahu diri! Beraninya kau
berkata lancang di hadapan Dewa Kegelapan" Apa
kau tak tahu hukuman apa sebagai tebusannya"
Nyawamulah tebusannya!" desis si pemuda, dingin. "Hm...! Hanya bocah pongah.
Gelarnya pun pongah. Dewa Kegelapan. Cih...! Tak ada gunanya
bicara dengan bocah pongah macam kau. Melain-
kan tongkatkulah yang ingin mengajakmu bicara!
Hea...!" Dikawal bentakan nyaring, tiba-tiba tubuh tinggi kurus Nenek Rambut
Putih telah berkelebat
cepat menerjang. Untuk sekadar memberi perin-
gatan, sengaja jurus andalannya tak dikeluarkan.
Namun bukan berarti serangannya tak berba-
haya. Tongkatnya yang mengarah ke ulu hati De-
wa Kegelapan pun mengandung serangan hebat.
Belum lagi pukulan tangan kirinya.
Melihat Nenek Rambut Putih telah menda-
hului, tanpa banyak membuang waktu Dewa Ke-
gelapan segera mengeluarkan jurus andalan,
'Tangan Merah'. Seketika kedua telapak tangan-
nya yang telah berubah jadi merah darah hingga
pangkal lengan cepat mengibas setelah menarik
tubuhnya ke samping.
Srat! Srattt! "Uts!"
Nenek Rambut Putih terkesiap kaget. Bu-
kan saja kaget serangannya dapat dielakkan den-
gan mudah, melainkan adanya serangan balik
yang begitu hebatnya. Dan satu hal lagi yang
membuat hatinya mengkeret, rasa-rasanya ia
mengenal jurus yang tengah dikeluarkan Dewa
Kegelapan. "Tunggu!"
Nenek Rambut Putih cepat membuang tu-
buhnya jauh ke belakang untuk membuat jarak.
Tongkat di tangan kanannya disilangkan di depan
dada. "Kalau tak salah lihat, kau tentu murid salah seorang dari Empat Iblis
Merah dari Hutan
Seruni!" tebak si nenek.
"Bukan hanya seorang. Tapi mereka semu-
alah guruku!" dengus Dewa Kegelapan. Tiba-tiba pemuda ini jadi ingin mengorek
keterangan tentang siapa pembunuh kedua orangtuanya. "Aku
punya beberapa pertanyaan yang harus kau ja-
wab, Nenek Jelek. Berhubung kau mengenal sia-
pa guruku, tentu kau pun tahu siapa kedua
orangtua ku, dan siapa yang telah membunuh
mereka"!"
"Hm...! Rupanya ia murid Empat Iblis Me-
rah," gumam Nenek Rambut Putih mengangguk-
anggukkan kepala. "Sayang sekali, kau tentu
mendapat didikan tak baik oleh keempat orang
gurumu...."
"Jangan banyak omong, Nenek Jelek! Ja-
wab pertanyaanku!"
"Sebenarnya aku kasihan padamu. Secara
langsung maupun tidak, sebenarnya kau telah
menjadi korban nafsu keempat orang gurumu.
Aku yakin itu. Konon, Empat Iblis Merah selalu
mencari seorang murid yang dilahirkan pada ma-
lam Jumat Kliwon, seperti kau tentunya."
"Hm.... Jadi keempat orang guruku tahu
tentang kedua orangtua ku?"
"Yah, bahkan mereka pun tahu siapa pem-
bunuh kedua orangtua mu."
"Siapa?" cecar Dewa Kegelapan.
"Siapa lagi kalau bukan keempat orang gu-
rumu sendiri!" sahut si nenek kalem.
"Bedebah! Jangan sembarangan membacot,
Nenek Jelek!"
Nenek Rambut Putih menjebikkan bibir.
Dewa Kegelapan kesal bukan main. Ia me-
rasa dipermainkan Nenek Rambut Putih. Tanpa
banyak cakap, segera diterjangnya si nenek.
Mengingat siapa yang menjadi lawannya,
Nenek Rambut Putih jadi tak segan-segan lagi
mengeluarkan jurus andalan. Tongkatnya yang
diberi nama Selaksa Badai diputar-putar cepat
laksana gasing. Dari setiap putarannya berkesiur
angin kencang laksana badai prahara!
Dewa Kegelapan tertawa bergelak. Tampak
sekali kalau pemuda ini sangat memandang re-
meh lawannya. 5 "Jalannya jangan cepat-cepat dong! Seperti
orang mau kondangan saja!" oceh Siluman Ular Putih kesal juga diperlakukan mirip
patung. Arum Sari diam memberengut. Hatinya
pun terbakar mendengar ocehan pemuda gon-
drong di sampingnya.
"Kenapa kau mengikutiku?" tanya Arum
Sari. "Ah...! Masa' kau lupa, sih" Kan gurumu sendiri yang menyuruh?" tukas Soma
tak mau kalah. "Aku tak senang dengan tugas yang diberikan Guru padamu. Baiknya,
tinggalkan saja aku!
Toh, di antara kau dan guruku tak ada hubungan
apa-apa?" "Aku memang bukannya apa-apanya gu-
rumu. Kenal pun baru tadi. Mungkin hanya kare-
na rejeki nemplok eh... rejeki nomplok saja."
"Rejeki nomplok apa?"
"Yah...!" Siluman Ular Putih tersenyum
nakal. Untuk lebih meyakinkan tangannya pun
garuk-garuk kepala.
"Jangan mempermainkanku! Jawab perta-
nyaanku! Rejeki nomplok apa?" desak Arum Sari.
"Yah...! Rejekilah pokoknya. Masa' melaku-
kan perjalanan bersama seorang gadis cantik bu-
kan rejeki nomplok namanya" Lalu, apa kalau
bukan rejeki?" Soma malah balik bertanya.
Arum Sari memberengut. Bibirnya membe-
rengut. Sedang Siluman Ular Putih malah terse-
nyum-senyum senang.
"Sudah dong! Jangan cemberut saja! Apa
enaknya sih jalan-jalan kok sambil memberen-
gut?" celoteh Soma menggoda.
"Aku lebih senang kalau kau mau diam...,"
ujar Arum Sari.
"Baiklah aku akan diam. Tapi kita tetap
akan sama-sama, kan?" kata Soma cerewet.
Arum Sari membalikkan badannya kesal.
Sempat dilihatnya Siluman Ular Putih tengah ter-
senyum ke arahnya. Si gadis kini menggeleng-
gelengkan kepala. Tanpa banyak cakap ia pun se-
gera berlari sekencang mungkin, meninggalkan
Soma seorang diri.
Siluman Ular Putih malah tertawa senang.
Sambil berkelebat cepat mengejar Arum Sari, mu-
lutnya malah menyanyi seenak dengkulnya
Breng gombreng-gombreng
Kejar daku-kejar daku
Engkau kutangkap
Breng gombreng-gombreng....
* * * Pertarungan besar antara Nenek Rambut
Putih dengan Dewa Kegelapan tampaknya akan
tergelar. Mereka telah sama-sama siap mengelua-
rkan jurus andalan masing-masing. Satu sama
lain tidak ada yang ingin mendapat malu.
Nenek Rambut Putih yang bermaksud
menghajar pemuda pongah di hadapannya, seolah
Siluman Ular Putih 18 Titisan Alam Kegelapan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tak sabar untuk segera membuka serangan. De-
mikian juga halnya Dewa Kegelapan. Amarahnya
kontan menggelegak begitu melihat tongkat di
tangan Nenek Rambut Putih mampu mengelua-
rkan badai prahara menyambar-nyambar kulit.
"Chiaaat...!"
Diiringi teriakan keras, serangan Nenek
Rambut Putih datang. Tongkat hitam di tangan
kanannya menderu-deru hebat, membentuk gu-
lungan hitam siap mengancam tubuh Dewa Kege-
lapan dari delapan penjuru. Sedang telapak tan-
gan kirinya yang berwarna putih siap pula melon-
tarkan pukulan maut.
Bettt...! Tongkat Nenek Rambut Putih berkelebat
cepat menyodok ulu hati Dewa Kegelapan. Gera-
kannya cepat luar biasa. Bahkan sebelum ujung
tongkat mengenal sasaran, terlebih dahulu berke-
siur angin dingin mendahului!
Dewa Kegelapan mengeretakkan geraham-
nya kuat-kuat. Kedua telapak tangannya yang
berwarna merah darah bersiap-siap mengancam
balik tubuh Nenek Rambut Putih.
"Uts...!"
Dan sedikit lagi serangan mengenai sasa-
ran, Dewa Kegelapan yang hanya bersenjata tan-
gan kosong segera menggeser tubuhnya sedikit ke
samping. Pada saat serangan tongkat mengenai
angin kosong, tiba-tiba telapak tangan kanannya
menyelinap ke dalam gulungan hitam tongkat Ne-
nek Rambut Putih. Namun pada saat yang sama,
tangan kiri si nenek juga tengah mencari sasaran.
Dan.... Bukkk! Bret! Bret! Nenek Rambut Putih dan Dewa Kegelapan
sama-sama terpekik ketika serangan satu sama
lain mendarat pada sasaran. Nenek Rambut Putih
yang dadanya terkena hantaman telapak tangan
kanan Dewa Kegelapan kontan terjajar dan ter-
huyung. Namun sebagai tokoh sakti yang sudah
cukup mengenal pahit getirnya dunia persilatan,
semuanya bisa cepat diatasi.
Sementara amarah Dewa Kegelapan kian
tersulut. Sungguh tak disangka nenek renta di
hadapannya mampu menyarangkan pukulan ber-
tenaga dalam tinggi, begitu serangan pertamanya
gagal. Kendati begitu rasa kesal Dewa Kegelapan
sedikit terobati. Di hadapannya, Nenek Rambut
Putih tengah mengurut dadanya yang tadi terkena
hantaman tangannya. Dan Dewa Kegelapan tahu
si nenek itu tengah menderita luka dalam. Itu bi-
sa dilihat dari wajahnya yang pucat.
Dewa Kegelapan tak ingin menyia-nyiakan
kesempatan. Dengan garangnya diterjangnya Ne-
nek Rambut Putih yang masih mengurut-urut da-
da. Telapak tangan kanannya diarahkan ke dada.
Sedang telapak tangan kirinya siap meremukkan
kepala. "Tua bangka keparat! Terimalah kema-
tianmu hari ini! Heaa...!"
Hebat bukan main serangan Dewa Kegela-
pan kali ini. Sebelum serangan-serangan itu men-
genai sasaran, hawa dingin bukan main telah
menyambar-nyambar kulit.
Nenek Rambut Putih mengeluh tertahan.
"Setan! Tak kusangka pemuda pongah ini
memiliki tenaga dalam hebat!" geram Nenek Rambut Putih dalam hati.
Sebelum serangan itu berubah jadi mala
petaka, Nenek Rambut Putih segera merunduk
seraya memutar tubuhnya ke samping. Bersa-
maan dengan itu, tongkat di tangan kanannya
ikut berputar, langsung menghadang serangan
Dewa Kegelapan.
Bett...! "Ah...!"
Dewa Kegelapan terperangah kaget. Kalau
serangannya diteruskan, sudah pasti kepalanya
akan terkena hantaman tongkat. Padahal, si ne-
nek telah menderita luka dalam. Tapi dari samba-
ran tongkatnya masih terasa angin panas yang
sudah pasti berisi tenaga dalam. Tidak ada pili-
han lain terpaksa serangannya harus ditarik
mundur. "Setan! Rupanya kau punya otak juga, Ne-
nek Keriput! Tapi, jangan bangga dulu. Kau kira
aku tak dapat mengirim nyawa busukmu ke da-
sar neraka, he"! Makanlah bogem mentahku!
Hea...!" Saat itu pula Dewa Kegelapan melontarkan serangan bertubi-tubi dan tak
terduga-duga sama
sekali. Akibatnya, Nenek Rambut Putih jadi kewa-
lahan bukan main. Ia segera berusaha menghin-
dari serangan yang terus berdatangan.
Demi menyelamatkan selembar nyawanya,
terpaksa Nenek Rambut Putih harus berjumpali-
tan ke sana kemari. Entah sudah berapa kali ia
harus bertindak demikian.
"Uts! Uts!"
Tanpa ampun serangan-serangan Dewa
Kegelapan terus mendesak Nenek Rambut Putih.
Bila ada peluang sedikit saja, Dewa Kegelapan tak akan pernah menyia-nyiakannya.
Dan mendadak saja, tangan Dewa Kegelapan menelusup ke per-
tahanan Nenek Rambut Putih. Begitu cepat gera-
kannya, membuat si nenek terperangah.
"Ah...!"
Tak diduga-duga sama sekali, bogem men-
tah Dewa Kegelapan tahu-tahu siap menghancur-
kan kepala. Demi menyelamatkan selembar nya-
wa, mau tak mau Nenek Rambut Putih harus
memutar tongkat di tangan kanan.
Bett! Prakkk! Tongkat di tangan Nenek Rambut Putih
kontan hancur begitu terkena hantaman tangan
Dewa Kegelapan. Hal itu makin membuat paras
Nenek Rambut Putih pucat. Padahal tadi tenaga
dalamnya telah dikerahkan dengan kekuatan pe-
nuh. Tapi, tongkat hitamnya tetap saja tidak
mampu menahan serangan Dewa Kegelapan. Ma-
lah serangan susulan Dewa Kegelapan yang beru-
pa tamparan kali ini jauh lebih berbahaya daripa-
da serangannya.
Tak pelak, Nenek Rambut Putih jadi kecut
nyalinya. Sulit rasanya menghindari tamparan
tangan Dewa Kegelapan. Apalagi dalam jarak yang
demikian dekat. Yang terlihat hanya kelebatan
tangan Dewa Kegelapan, sebelum akhirnya....
Plak! Plakkk! Dua kali tangan Dewa Kegelapan bergerak,
maka dua kali pula kepala Nenek Rambut Putih
terlempar ke samping kanan kiri. Seketika, pe-
rempuan tua itu kehilangan keseimbangan, se-
hingga tubuhnya limbung. Kepalanya yang terke-
na tamparan Dewa Kegelapan terasa mau pecah.
Bahkan darah segar pun kontan menyembur ke-
luar dari mulut.
"Hooekhhhh!"
Dewa Kegelapan tertawa bergelak.
"Kinilah saatnya kau modar di tanganku,
Nenek Keriput!" ejek Dewa Kegelapan, bengis. Kedua telapak tangannya kini telah
berubah jadi hi-
tam legam. "Pukulan 'Darah Iblis'...!" desis Nenek Rambut Putih penuh keterkejutan.
Hati si nenek makin mengkeret. Namun
bukan berarti harus pasrah saja menerima maut.
Kedua telapak tangannya yang telah berubah pu-
tih pun siap pula memapak dengan aji 'Gada Bu-
mi'. "Bagus! Rupanya kau mengenal juga puku-lanku ini. Berarti kau tak akan mati
penasaran!"
Dewa Kegelapan menarik kedua telapak
tangannya ke belakang. Menilik kedua pelipisnya
yang bergerak dan otot-otot lehernya yang mem-
besar, jelas kalau murid Empat Iblis Merah dari
Hutan Seruni itu telah mengerahkan tenaga da-
lam dengan kekuatan penuh.
"Hea...!"
Dikawal bentakan nyaring, tiba-tiba Dewa
Kegelapan mendorongkan kedua telapak tangan-
nya ke depan. Seketika melesat dua larik sinar hitam legam dari kedua telapak
tangannya. Pada
saat yang sama Nenek Rambut Putih menghen-
takkan kedua tangannya, memapak serangan.
Wesss! Wesss! Blaaammm!!! Terdengar satu ledakan hebat ketika dua
kekuatan beradu di satu titik. Bumi berguncang
hebat laksana diamuk badai prahara. Angin aki-
bat bentrokan dua tenaga dalam barusan mem-
buat ranting-ranting pohon hangus terbakar!
Diiringi pekik menyayat hati, Nenek Ram-
but Putih kontan terlempar jauh ke belakang. Tu-
buhnya berputar-putar sebentar, lalu jatuh ber-
debam menghantam tanah.
"Ohh...!"
Nenek Rambut Putih mengeluh hebat. Ke-
dua telapak tangannya terasa terbakar. Sedang
seisi dadanya terasa mau jebol. Perlahan darah
merah menetes dari mulut, lobang hidung, dan
lobang telinga!
"Tua bangka macam kau memang sudah
selayaknya modar! Kau tak pantas lagi malang
melintang di dunia persilatan! Mulai hari ini, akulah yang akan menguasai dunia
Pertarungan Raja Raja Arak 1 Pendekar Pulau Neraka 55 Nyi Roro Sekar Mayang Pendekar Naga Mas 2
Hak cipta dan copy right pada
penerbit di bawah lindungan
undang-undang https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
1 Malam Jumat Kliwon.
Malam yang dianggap amat keramat. Apa
pun yang terjadi di malam itu selalu dihubungkan
dengan sesuatu yang berbau takhayul. Namun
saat ini, malam Jumat Kliwon bagai ditaburi ca-
haya putih keperakan. Bulan bulat penuh bersi-
nar purnama di angkasa. Langit cerah. Berjuta
bintang saling membanggakan sinarnya yang pu-
tih keperakan di angkasa. Begitu tenteram, mem-
perlihatkan keindahan alam yang amat hakiki.
Sementara di sebuah lembah berumput
bagai permadani hijau menghampar di luar Hutan
Seruni, empat lelaki tengah duduk bersila menge-
lilingi sebuah api unggun kecil. Mereka sama-
sama membisu, seolah terperangkap oleh kebun-
tuan pikiran masing-masing. Pandangan mata
mereka kosong dengan wajah tegang. Sesekali
terdengar pula keluhan mereka.
Menilik raut wajah yang sudah sama-sama
memiliki keriput, jelas keempat lelaki itu sudah
berusia amat lanjut. Kenyataan itu makin diper-
kuat bila melihat rambut mereka yang panjang
tergerai di bahu yang sudah berwarna putih kela-
bu. Demikian juga alis mata, bulu mata, dan
jenggotnya. Tubuh mereka rata-rata kurus kering
bak orang kelaparan, terbungkus pakaian ber-
warna merah darah.
Wajah-wajah mereka yang keriput, ternyata
cukup menggidikkan juga, karena terlihat pucat
pasi bagai wajah mayat hidup. Sedikit pun tak
terbersit sinar keceriaan. Tegang. Seram. Bengis.
"Menyebalkan! Hanya penantian sia-sia...!"
keluh lelaki tua yang kedua kakinya buntung
hingga pangkal paha.
Mendengar keluhan salah seorang dari me-
reka, ketiga orang kakek itu hanya terdiam tanpa
memalingkan kepala. Namun bukan berarti mere-
ka tak ikut terbawa perasaan. Malah paras mere-
ka makin tegang.
Siapakah sebenarnya keempat kakek tua
berpakaian merah darah ini" Apa pula yang me-
reka tunggu" Kenapa mereka terlihat gelisah"
Cukup sulit untuk mengetahui, apa yang
mereka tunggu. Namun yang jelas wajah mereka
kian menegang. Wajah-wajah yang sebenarnya
sudah tak asing lagi bagi dunia persilatan. Tokoh mana yang tak mengenal empat
orang tua penghuni Hutan Seruni yang dikenal sebagai Empat
Iblis Merah. Yang tadi membuka suara dikenal sebagai
Iblis Buntung. Dijuluki demikian, karena kedua
kakinya buntung. Di sampingnya adalah seorang
kakek yang memiliki dua bola mata berwarna pu-
tih. Julukannya, Iblis Buta. Sedang di hadapan
mereka dua kakek berjuluk Iblis Tuli dan Iblis
Gagu. "Keparat! Kenapa aku tak dapat merasakan sesuatu" Sudah berkali-kali kita
berkumpul di tempat ini, tapi mana hasilnya?" dengus Iblis Bu-
ta, kali ini tak tahan dengan gejolak hatinya.
"Uh... Aah... huuh...!"
Iblis Gagu menggerak-gerakkan tangannya
ke sana kemari sebagai isyarat untuk berbicara.
Wajahnya yang bengis tampak mengerikan. Sepa-
sang matanya yang mencorong tajam berkilat
mengiriskan. Ketiga orang kakek di hadapan Iblis Gagu
memahami apa yang dimaksud kawannya. Kelu-
han-keluhan dari bibir mereka pun tak dapat ter-
bendung, menemukan kesia-siaan di tempat ini.
"Setan! Rasanya tak ada gunanya mene-
ruskan niat kita!" geram Iblis Tuli, tak dapat mengendalikan amarahnya lagi.
"Yah..! Padahal kita sudah empat puluh
malam Jumat Kliwon ini menunggu di sini. Ta-
pi...." Jeglaaarrr!
Suara geraman Iblis Buntung kontan ter-
berangus oleh ledakan guntur yang mendadak
disertai kilat menyambar-nyambar ganas. Aneh
memang. Bagaimana mungkin ada kilat menyam-
bar pada saat malam terang bulan seperti ini"
Apalagi, tak segumpal awan pun menggantung di
angkasa. Inikah isyarat alam yang mereka nanti-
kan" Bisa jadi!
Buktinya paras keempat lelaki tua itu yang
semula tegang bukan main, menjadi sedikit cerah.
Sebentar mereka memperhatikan angkasa raya,
sebentar kemudian sudah saling berpandangan.
"Hm...! Rupanya Dewa Kegelapan masih
merestui keinginan kita," gumam Iblis Buntung, ceria. "Yah...! Mungkin kau
benar, Buntung. De-wa Kegelapan masih merestui keinginan kita. Ta-
pi, sekarang di mana kita harus mencari bayi
itu...?" tukas Iblis Buta.
"Aaah, uuh...!"
Iblis Bisu menjawab dengan bahasa isyarat
tangan. Dari raut wajahnya jelas menyiratkan
keingintahuan yang luar biasa. Tak henti-
hentinya tangannya bergerak-gerak ke sana ke-
mari. "Yah...! Kita memang harus secepatnya mencari bayi itu. Kukira bayi yang
kita maksudkan tak jauh dari sini. Baiknya, mari kita cari secepat mungkin!"
timpal Iblis Tuli.
"Baik."
Keempat lelaki tua itu segera meloncat
bangun seraya saling berpandangan sebentar. Ib-
lis Tuli menunjuk-nunjukkan tangannya ke sana
kemari. Ke timur, barat, dan utara.
Ketiga orang lelaki tua itu tahu maksud Ib-
lis Tuli. Maka mereka segera berkelebat ke arah
yang ditunjuk Iblis Tuli. Sedang Iblis Tuli sendiri segera berkelebat ke
selatan. Dalam beberapa kelebatan saja empat to-
koh berjuluk Empat Iblis Merah itu telah melesat
meninggalkan tempat masing-masing. Kini alam
kembali dikungkung sepi. Bulan purnama di atas
sana seolah diam terpaku, menyaksikan tingkah
polah sosok-sosok manusia di bawah sana.
* * * Pada saat petir menyambar tadi, di sebuah
dusun terpencil bernama Mlandi yang tak jauh
dari Hutan Seruni, seorang perempuan muda me-
rasakan perutnya mulas sekali di atas dipan gu-
buknya. Padahal kandungannya baru berusia tu-
juh bulan. Namun hentakan-hentakan jabang
bayi di dalam perutnya seolah meronta minta ke
luar. Sang suami yang duduk di samping is-
trinya jadi heran setengah mati. Menurut perhi-
tungannya jelas anak yang dikandung istrinya be-
lum saatnya lahir. Tentu saja hal ini membuatnya
bingung. Dipandanginya wajah istrinya yang ber-
simbah keringat, tak mengerti.
"Kenapa kau hanya pandangi aku saja,
Kang?" tanya sang istri, mengerang menahan sakit.
"Kau.... Kau kenapa?" sang suami balik
bertanya dengan suara tergagap.
"Aku.... Aku.... Ah...! Cepat panggil dukun
bayi, Kang! Sepertinya aku mau melahirkan," jelas sang istri dengan napas
terengah-engah.
"Astaga! Benarkah kau ingin melahirkan"!
Bukankah kandunganmu baru berumur tujuh
bulan" Mustahil kau mau melahirkan, Istriku!
Malam Jumat Kliwon lagi...."
"Kang...! Cepat panggil dukun bayi kemari!"
seru sang istri tak mempedulikan gerutuan sang
suami. Tanpa membantah lagi, lelaki berusia tiga
puluh tahun itu keluar rumah, menuju rumah
dukun bayi yang hanya beberapa puluh tombak
dari rumahnya. Sementara istrinya terus saja di-
banjiri keringat seraya mengelus-elus perutnya di atas dipan.
Malam terus berlanjut. Sementara dukun
bayi yang sangat diharapkan kehadirannya belum
juga menampakkan batang hidungnya. Tak henti-
hentinya wanita berusia sekitar dua puluh lima
tahun itu mengerang. Desakan-desakan dalam
perut membuatnya merasa kewalahan sekali. Pa-
rasnya pias dibanjiri keringat. Tangannya tak
henti-hentinya mengelus-elus perut. Dengan cara
itu sepertinya ia ingin sekali mengenyahkan rasa
sakit yang menusuk-nusuk....
Pada puncaknya ketika dorongan dalam
perut kian kuat, perempuan muda itu menjerit
sejadinya. Bingung dan takut bercampur menjadi
satu. Untung saja pada saat yang menegangkan
ini, suaminya yang diharapkan pulang bersama
dukun bayi. "Heran..." Belum saatnya kok sudah bera-
sa! Malam Jumat Kliwon lagi...," gumam si dukun bayi, seorang perempuan tua
berambut putih seraya menggeleng-gelengkan kepala.
"Cepat tolong istriku, Nek!" pinta lelaki si calon ayah itu,
"Iya iya...," sahut si dukun bayi pendek.
Meski wajahnya sarat keheranan, tak
mungkin si dukun bayi membiarkan perempuan
muda itu berjuang melahirkan seorang diri.
* * * "Berikan bayi itu padaku, Nek!" pita si perempuan muda yang baru saja melahirkan
den- gan mata berbinar.
Si dukun bayi menyerahkan bayi merah
yang telah dibersihkan. Namun bersamaan den-
gan itu.... Brakkk! Mata si dukun bayi dan suam-istri itu kon-
tan membeliak lebar ketika pintu terbongkar, ka-
rena didorong dari luar. Di hadapan mereka kini
telah berdiri seorang kakek renta berpakaian ser-
ba merah darah. Wajahnya amat mengerikan. Pu-
cat pasi mirip wajah mayat hidup. Lebih mengeri-
kan lagi, ternyata kedua bola matanya berwarna
putih. Benar-benar mengerikan! Membuat ketiga
pasang mata dalam rumah itu makin membelalak
liar! "Si.... Siapa kau"! Mengapa mengganggu kami"!" bentak si dukun bayi
tergagap cemas. Dalam benaknya saat itu sosok mengerikan di hada-
pannya adalah makhluk halus yang sering meng-
ganggu penduduk kampung. Mengingat itu, rasa
takutnya makin kuat mencengkeram hati. Demi-
kian juga suami-istri muda itu. Malah saking ta-
kutnya, paras mereka makin pucat pasi.
"Ja.... Jangan ganggu kami! Lekas... Lekas
tinggalkan rumahku ini!" usir ibu muda itu keta-kutan. Sosok menakutkan yang
baru muncul te-
tap diam membisu. Kepalanya bergerak-gerak ke
sana kemari, sementara hidung besarnya men-
gendus-endus. Bau bayi itulah yang membuat le-
laki tua berpakaian merah darah yang tak lain Ib-
lis Buta bisa sampai ke rumah ini.
"Aku butuh bayi itu...! Aku butuh bayi itu!
Lekas serahkan bayi itu padaku!" ujar Iblis Buta, membentak!
"Tidaaak...!!!" pekik perempuan muda itu makin menyayat hati.
Melihat istrinya terpekik memelaskan, sang
suami langsung meloncat ke depan. Seolah den-
gan berbuat begitu ingin melindungi istrinya, wa-
laupun nyawa taruhannya.
"Kuminta dengan baik-baik. Lekas tinggal-
kan tempat ini!" bentak lelaki muda itu, garang.
Iblis Buta mendengus.
"Percuma saja kalian menyuruhku pergi.
Aku tetap menginginkan bayi itu! Cepat berikan
bayi itu!" bentak Iblis Buta tak sabar.
Lelaki ayah si jabang bayi jadi nekat. Ia
maju selangkah seraya merentangkan kedua tan-
gannya menghadang langkah Iblis Buta
Iblis Buta mengeretakkan gerahamnya.
Wajahnya yang pucat pasi kini tampak kian men-
gerikan. Tubuhnya sempat gemetar saking nge-
rinya melihat raut wajah di hadapannya.
Dan Iblis Buta tak ingin membuang waktu
lebih lama. Sekali tangannya bergerak, tiba-tiba
telah menampar pelipis lelaki itu.
Prakkk! Kontan saja tubuh ayah si jabang bayi ter-
banting ke samping, langsung menghantam dind-
ing kamar dengan kepala pecah. Darah segar ber-
hamburan di sana-sini. Tak ada gerakan lagi di
tubuhnya. Melihat suaminya tewas, ibu si jabang bayi
menjerit sejadinya. Bayi dalam pelukannya dipe-
gangnya erat-erat.
"Ya, Tuhan...! Kau telah membunuh sua-
miku...!" "Bukan hanya suamimu! Tapi juga kau dan
bangkotan tua itu!" tuding Iblis Buta ke arah si dukun bayi.
Begitu kata-katanya habis, tangan-tangan
maut Iblis Buta pun kembali bergerak amat cepat.
Maka seketika....
Siluman Ular Putih 18 Titisan Alam Kegelapan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Prak! Prak! "Aaaa...!"
"Aaa...!"
Terdengar dua kali teriakan kematian si
dukun bayi dan perempuan muda itu. Mereka te-
was dengan cara amat mengenaskan. Kepala pe-
cah dengan darah segar kontan membanjiri lan-
tai. Sebelum bayi itu jatuh ke lantai, Iblis Buta
cepat menyambarnya. Dan kini tubuh merah bayi
itu pun telah berada dalam pelukannya.
2 Bumi berputar sebagaimana lazimnya.
Mengarungi angkasa raya atas kehendak Yang
Maha Kuasa. Tak terasa, telah dua puluh tahun
waktu berjalan. Sejak Empat Iblis Merah menda-
patkan seorang bayi atas jerih payah Iblis Buta.
Sementara itu di sebuah lembah kaki Gu-
nung Tidar, dua orang menyambut pagi ini den-
gan cara tersendiri. Tak ada kata-kata indah terucap dari bibir mereka. Apalagi
senyum. Padahal
suasana pagi itu cukup nyaman untuk dinikmati.
Angin bertiup semilir. Langit cerah tak terpoles
awan hitam. Sungguh menyuguhkan satu pe-
mandangan indah yang patut dinikmati.
Tapi dua lelaki yang berbeda usia amat
jauh itu malah bertarung sengit. Entah bertarung
untuk memperebutkan apa. Yang jelas mereka
saling serang dengan hebatnya. Inikah cara mere-
ka menyambut datang pagi"
Kalau saja alam dapat bicara, sudah pasti
akan mencaci maki kedua orang itu. Tapi, tam-
paknya percuma saja. Sebab, kedua orang itu
pasti tak mempedulikannya. Malah pertarungan
mereka makin sengit. Tapi beberapa jurus kemu-
dian, salah seorang dari petarung malah melem-
par tubuhnya ke belakang untuk mengambil ja-
rak. Sedangkan orang yang satu lagi tak berusaha
meneruskan pertarungan.
"Bagus-bagus! Kau memang muridku yang
sangat berbakat!" kekeh orang yang baru saja me-lemparkan tubuhnya jauh ke
belakang. Ia adalah
seorang lelaki yang berusia sudah amat lanjut.
Tubuhnya tinggi kurus dibalut pakaian tambal-
tambalan mirip pengemis. Rambutnya yang awut-
awutan dibiarkan tergerai tertiup angin. Sepasang matanya yang bersinar jenaka
tak henti-hentinya
memandangi lawannya, seorang pemuda tampan
di hadapannya penuh kagum seraya mengetuk-
ngetukkan tongkat di tangan kanan.
Dipandangi seperti itu, si pemuda tampan
malah bersungut-sungut kesal. Sungguh hatinya
amat sebal melihat tingkah kakek renta itu. Bah-
kan bibir si pemuda tampan jadi manyum berat.
"Enak saja kau panggil aku murid! Kau
kan sudah berjanji"!" sungut pemuda itu habis-habisan.
Kalau saja tak sedang uring-uringan, sebe-
narnya cukup meyakinkan juga tampang pemuda
satu ini. Wajahnya berbentuk lonjong. Potongan
tubuhnya yang berkulit putih terlihat tinggi ke-
kar. Rambutnya yang gondrong dibiarkan tergerai
di bahu. Sementara pakaian yang dikenakan be-
rupa rompi dan celana bersisik warna putih kepe-
rakan, membuat penampilannya begitu meyakin-
kan. Siapa lagi pemuda tampan yang memiliki
ciri-ciri seperti itu kalau bukan Siluman Ular Putih" Sedang kakek renta
berpakaian tambal-
tambalan mirip pengemis sudah pasti Raja Penyi-
hir! Meski mendapat jawaban ketus dari Silu-
man Ular Putih, Raja Penyihir tetap mencoba ber-
sikap tenang. Hanya gigi-gigi gerahamnya saja
yang bergerut-gerut pertanda merasa kesal juga
terhadap pemuda tampan di hadapannya. Namun
manakala teringat bahwa ia sendiri yang membu-
juk Siluman Ular Putih untuk mempelajari il-
munya, Raja Penyihir mau tak mau harus sadar.
Dulu, memang dialah yang mengejar-ngejar pe-
muda itu untuk mempelajari ilmunya. Sekarang
juga demikian. Jadi Raja Penyihir memang sudah
kebal menghadapi ulah Siluman Ular Putih. (Un-
tuk lebih jelasnya silakan ikuti episode: "Manusia Rambut Merah" dan "Maling
Tanpa Bayangan").
"Itu lagi yang kau ucapkan! Itu lagi! Apa tidak ada kata-kata enak selain kata-
kata tadi, he"!" bentak Raja Penyihir galak. Gusar juga hatinya. "Habis kau sendiri yang
mulai, sih!" tukas Siluman Ular Putih.
"Mulai-mulai...! Kau selalu membuatku gu-
sar, Bocah! Sudah kuajari banyak ilmu, bukan-
nya berterima kasih malah ngomel."
"Yah...! Begitu saja sewot. Payah...!" cibir Soma mendadak jadi tak tega melihat
perubahan wajah Raja Penyihir.
"Siapa yang tak sewot kalau kau meleceh-
kanku terus!" Raja Penyihir melotot.
"Ya ya ya...! Aku tahu perasaanmu, Kek."
"Sudah jangan banyak omong! Sekarang
cepat peragakan pukulan 'Tangan Gaib Penindih
Setan' yang kuajarkan!" sambar Raja Penyihir, memerintah.
"Baik!"
Soma mengangguk mantap, lalu menge-
darkan pandangan mencari sasaran yang tepat.
Pohon besar di belakangnyalah yang akan dijadi-
kan sasarannya.
"Uffh...!"
Soma menghela napas panjang setelah
memutar tubuhnya. Perlahan-lahan tenaga da-
lamnya dialirkan ke kedua telapak tangan, se-
hingga kontan berubah jadi putih berkilauan
hingga pangkal lengan.
"Hea...!"
Berbareng teriakannya. Soma segera
menghantamkan kedua telapak tangannya ke de-
pan. Saat itu pula, melesat dua gulungan asap
putih tebal dari kedua telapak tangannya. Berge-
rak perlahan, membungkus pohon besar di hada-
pannya. Lalu....
Kretakkk! Kretakkk!
Terdengar ranting-ranting pohon bergeme-
letakkan. Asap putih tebal itu masih terus mem-
bungkus batang pohon, namun lama kelamaan
gulungannya memendek dan hilang sama sekali.
Pada saat asap putih dari kedua telapak tangan
Siluman Ular Putih menghilang, batang pohon itu
telah luruh ke tanah jadi setumpuk kotoran me-
ranggas! Plok! Plokkk! Raja Penyihir bertepuk tangan. Hatinya
puas sekali melihat hasil ilmu yang diturunkan
pada Siluman Ular Putih. Sungguh tak disangka
kalau bocah sinting di hadapannya mampu men-
guasai pukulan 'Tangan Gaib Penindih Setan' se-
cepat itu. "Hebat! Kau memang amat berbakat, Bo-
cah!" puji Raja Penyihir habis-habisan. Mau tak mau, rasa kagumnya jadi
berlebihan. "Tak percuma rupanya aku menurunkan ilmu-ilmu ting-
kat tinggi padamu, Bocah."
"Tentu. Asal kau tidak macam-macam,
Kek," sahut Soma, seenak jidatnya.
"Apa" Justru kaulah yang macam-macam!
Mana ada sih, orang sudah diajarkan ilmu tak
mau memanggil guru!" sembur Raja Penyihir, bak api tersiram minyak.
"Sebenarnya bukan begitu maksudku,
Kek," kilah Soma.
"Buktinya" Kau tetap tak mau memanggil-
ku guru?" perangah Raja Penyihir, gusar.
"Tentu saja aku mau. Dan tentu pula, ada
syaratnya," sahut Siluman Ular Putih sekenanya.
"Kau mau mempermainkan aku, Bocah?"
"Ah...! Kau ini cepat marah benar, sih?" tukas Siluman Ular Putih. "Dengar, Kek!
Jangankan kau, Eyang Begawan Kamasetyo sendiri, tidak
berpesan agar aku jangan mengumbar nama
Eyang di sembarang tempat! Lagi pula, meski aku
muridnya, aku tetap memanggilnya Eyang. Jadi,
kau pun akan kupanggil Kakek!"
"Kau...!" Raja Penyihir tak dapat melan-
jutkan ucapannya saking gusarnya.
"Yah...! Kalau Kakek masih penasaran, ke-
napa tidak minta izin saja pada eyangku di Gu-
nung Bucu?"
"Tua bangka Kamasetyo itu pasti mengizin-
kan kau memanggilku guru," sambar Raja Penyihir, sok tahu.
"Itu kan kalau Kakek yang ngomong. Tapi
kalau eyangku, belum tentu," jawab Soma memanas-manasi
"Kau dan tua bangka itu memang sama sa-
ja. Baik! Sebelum aku pergi ke Gunung Bucu, aku
harus membuatmu babak belur dulu!" geram Raja Penyihir, jengkel.
Saat itu pula Raja Penyihir memutar tong-
kat hitam di tangan kanannya sehingga mener-
bitkan angin menderu-deru di udara, mengancam
tubuh Siluman Ular Putih.
Sudah pasti Soma tidak sudi tubuhnya di-
jadikan sasaran empuk kemarahan Raja Penyihir.
Tanpa banyak pikir panjang tubuhnya segera di-
buang ke samping. Tapi gulungan tongkat hitam
di tangan Raja Penyihir terus mengejarnya tanpa
ampun. "Sabar, Kek! Sabar! Tak baik orang tua se-
perti kau marah-marah terus!" teriak Siluman Ular Putih, sambil terus menghindar
dari kejaran tongkat hitam Di tangan Raja Penyihir.
Namun Raja Penyihir mana mau menurut
begitu saja. Malah serangan-serangan tongkat hi-
tamnya makin gencar saja mendesak Siluman
Ular Putih. Mau tidak mau Siluman Ular Putih jadi
kewalahan juga. Meski telah berusaha menghin-
dar, namun tak urung tubuhnya babak belur juga
terkena hajaran tongkat di tangan Raja Penyihir.
Sudah pasti Siluman Ular Putih jadi sewot
berat. Mau membalas, jelas tidak mungkin. Dari-
pada merana diserang habis-habisan oleh Raja
Penyihir, mending kabur saja. Begitu, pikir Silu-
man Ular Putih.
Tapi jalan keluar untuk kabur tak ada. Ke
mana saja Siluman Ular Putih bergerak, selalu sa-
ja tongkat hitam di tangan Raja Penyihir datang
menghadang. Soma jadi kewalahan. Terpaksa ia
harus menggunakan akalnya yang cerdik.
"Tunggu, Kek! Itu eyangku datang!" ujar Siluman Ular Putih sambil menudingkan
telunjuk jarinya ke batang pohon di belakang Raja Penyi-
hir. Diam-diam, Siluman Ular Putih mengerahkan
kekuatan sihirnya.
Tanpa banyak punya prasangka apa-apa.
Raja Penyihir segera memalingkan kepala ke be-
lakang. Benar. Ternyata di hadapan Raja Penyihir
telah berdiri seorang kakek yang sebaya dengan-
nya, berpakaian putih bersih. Itulah sosok Eyang
Begawan Kamasetyo dari Gunung Bucu!
"Kau... kkk...!"
Raja Penyihir sejenak terperangah. Namun
cepat menyadari kebodohannya. Sekali lihat saja
ia tahu kalau telah dikerjai Siluman Ular Putih
dengan ilmu sihir yang pernah diajarkannya. Ter-
nyata sosok Eyang Begawan Kamasetyo hanyalah
sebatang pohon!
Bukan main geramnya hati Raja Penyihir
saat itu. Dan ini benar-benar senjata makan tuan.
Jelas ia tak sudi dikerjai pemuda kemarin sore itu sedemikian rupa. Namun mana
kala kepalanya berpaling ke belakang, ternyata bocah edan itu
sudah tak ada di tempatnya.
"Bocah edan! Beraninya kau mengerjaiku.
Raja Penyihir, he"! Awas kalau kutemukan nanti.
Akan kukurung selama berbulan-bulan!" umpat
Raja Penyihir geram bukan main.
Sekali menjejakkan kakinya ke tanah, ta-
hu-tahu tubuh tinggi kurus Raja Penyihir telah
berkelebat di kejauhan sana. Sambil berkelebat,
tak henti-henti mulutnya mencaci maki Siluman
Ular Putih. * * * Empat orang lelaki tua yang sama-sama
berpakaian merah darah memperhatikan ke satu
arah. Lalu mereka berdecak kagum, menyiratkan
kepuasan. Di hadapan lelaki tua yang tak lain Empat
Iblis Merah dari Hutan Seruni, tampak seorang
pemuda gagah tengah giat berlatih silat. Potongan tubuhnya yang tinggi besar
jelas menandakan kalau pemuda berambut gondrong awut-awutan itu
sering berlatih keras. Dari matanya yang menco-
rong tajam menandakan kalau tenaga dalamnya
amat dahsyat. Buktinya saja dari setiap gerakan
tangan dan kakinya selalu berkesiur angin ken-
cang berhawa dingin yang bukan kepalang. Di
samping itu gerakan tangan dan kakinya cepat
luar biasa, mengandung serangan-serangan me-
matikan! Sambil duduk bersila, Empat Iblis Merah
Siluman Ular Putih 18 Titisan Alam Kegelapan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sesekali memberi perintah, lalu disusul dengan
mata berbinar-binar. Ini semua jelas menandakan
kalau mereka merasa puas dengan hasil yang di-
capai si pemuda.
"Coba mainkan jurus 'Tangan Merah', Bo-
cah!" perintah Iblis Buntung.
"Baik, Guru."
Si pemuda segera merubah jurusnya. Begi-
tu tenaga dalamnya dikerahkan, maka kedua te-
lapak tangannya telah berwarna merah darah.
Hawa anyir dari setiap sambaran tangannya jelas
menandakan kalau serangan-serangan pemuda
itu mengandung hawa racun keji.
"Hup...!"
Untuk membuktikan kehebatan jurus
'Tangan Merah', mendadak tubuh tinggi kekar si
pemuda melenting tinggi ke udara. Gerakan-
gerakan tangan dan kakinya yang cepat luar bi-
asa, terarah pada sebatang pohon di hadapannya
yang menjadi sasaran.
Crak! Crakkk! Dalam waktu yang amat singkat, ranting-
ranting pohon itu telah gundul terkena tamparan
dan tendangan-tendangan kaki si pemuda. Lebih
hebatnya lagi, dari potongan-potongan ranting
kontan berwarna merah darah! Termasuk, batan-
gan pohon yang tersisa. Bahkan begitu si pemuda
mendarat di tanah, batang pohon itu luruh ke ta-
nah menjadi tumpukan abu berwarna merah da-
rah! Bukan main!
Memang jurus yang diperagakan si pemuda
amat membahayakan. Sebuah perpaduan jurus
antara gerak tangan dan kaki yang digabungkan
tenaga dalam tingkat tinggi. Kiranya dunia persi-
latan bakal guncang bila si pemuda didikan Em-
pat Iblis Merah dari Hutan Seruni ini akan mem-
buat onar di dunia persilatan. Bisa jadi! Lantas, siapakah yang dapat menandingi
kehebatannya"!
"Tak percuma rupanya kami mendidikmu
bertahun-tahun, Bocah. Kau bakal merajai dunia
persilatan!" puji Iblis Buta. Meski kedua bola matanya yang berwarna putih tak
mampu melihat apa yang dilakukan muridnya tadi, namun dari
angin berkesiuran tadi dapat dirasakan akan ke-
hebatan jurus 'Tangan Merah' yang diperagakan
si murid. "Tunggu! Kau jangan bangga dulu menden-
gar pujian kami, Bocah. Coba sekarang tunjuk-
kan pada kami pukulan 'Darah Iblis' yang kami
ajarkan! Kalau kau tak becus atau mengecewakan
kami, hukuman berat akan kami berikan kepa-
damu!" perintah Iblis Tuli, garang!
Begitu mendengar perintah Iblis Tuli yang
sarat ancaman, mendadak paras si pemuda jadi
tegang. Kedua pelipisnya bergerak-gerak. Ra-
hangnya mengeras. Jelas sekali kalau harga di-
rinya merasa tertantang. Maka meski hatinya pa-
nas, namun kehebatannya harus dibuktikan.
Tanpa menyahuti ucapan gurunya, pemu-
da itu segera berbalik ke belakang. Sepasang ma-
tanya berkilat-kilat mengerikan terus mencorong
tajam mencari sasaran. Dilihatnya ada sebongkah
batu sebesar kerbau.
Pemuda itu mendengus. Kedua telapak
tangannya yang terkepal erat berkerotokan, sea-
kan tak sabar melaksanakan perintah gurunya.
Namun, si pemuda tidak langsung melaksanakan
perintah Iblis Tuli. Dadanya yang membusung di-
angkatnya dalam-dalam. Perlahan-lahan tenaga
dalamnya dikerahkan, membuat kedua telapak
tangannya berubah jadi hitam legam sampai ke
pangkal. Selangkah demi selangkah, pemuda itu
mendekati bongkahan batu. Sejenak diperhati-
kannya bongkahan batu itu seksama. Tanpa kata.
Hanya telapak tangan kanannya saja yang diang-
kat tinggi-tinggi. Dan....
Pluk! Sekali tepuk, bongkahan batu sebesar ker-
bau itu kontan hancur berkeping-keping. Dari se-
tiap kepingannya mengeluarkan uap hitam legam!
Bukan main! Padahal, tadi si pemuda itu hanya
menggerakkan tangannya biasa saja. Namun ha-
silnya, sungguh luar biasa!
Mau tidak mau Empat Iblis Merah dari Hu-
tan Seruni itu jadi terperangah. Sepasang mata
mereka membelalak lebar, seolah tak percaya. La-
lu, entah siapa yang terlebih dulu mulai, mereka
telah mengumbar tawa.
"Bagus! Bagus! Aku yakin dengan keheba-
tanmu sekarang, kau bakal jadi rajanya dunia
persilatan. Kaulah momoknya dunia persilatan,
Bocah!" puji Iblis Buntung di antara suara tawanya yang bergelak.
Si pemuda memalingkan kepala perlahan.
Sejenak dipandanginya keempat orang gurunya.
Angkuh. Selangkah demi selangkah ia berjalan
mendekati. Tanpa senyum ataupun kata-kata
bernada terima kasih, mendengar pujian keempat
orang gurunya. Malah kini ia berdiri tegak di ha-
dapan keempat gurunya! Pongah sekali lagaknya!
"Dengar, Bocah! Buka telingamu lebar-
lebar! Bertahun-tahun kami telah mendidikmu
susah payah. Sekarang, tibalah saatnya aku me-
nagih budi," kata Iblis Buntung. Nada suaranya garang, sarat ancaman.
"Katakan saja! Perintah apa yang harus ku-
lakukan. Guru!" sahut si pemuda, pongah.
"Sebelum kau menjadi rajanya dunia persi-
latan. Apakah kau pernah dengar julukan Silu-
man Ular Putih?" lanjut Iblis Buntung.
"Tidak. Apakah aku harus melenyapkannya
juga?" sahut si pemuda tetap bernada pongah.
"Benar! Kau harus melenyapkan Siluman
Ular Putih. Pendekar muda itu harus kau le-
nyapkan!" timpal Iblis Buta.
"Apa pun perintah Guru berempat, pasti
akan kulaksanakan. Dan aku tidak akan pernah
mengecewakan Guru!" tandas si pemuda.
"Bagus! Memang itulah yang ingin kami
dengar!" "Hukbukhuk...!"
Sementara Iblis Bisu menggerak-gerakkan
kedua tangannya ke sana kemari. Mulutnya tak
henti-hentinya berucap demikian. Entah apa ar-
tinya. Namun ketiga orang saudara seperguruan-
nya sudah pasti tahu apa maksudnya.
"Ya ya ya...! Kukira berdasarkan kesepaka-
tan kita, mulai hari ini kau harus memakai gelar, yakni Dewa Kegelapan! Karena
kau memang terlahir berkat izin Dewa Kegelapan!" kata Iblis Tuli.
"Camkan itu, Bocah! Mulai hari ini kau ha-
rus memakai gelar Dewa Kegelapan!" tandas Iblis Buta. "Baik. Tentu aku akan
memakai gelar itu."
"Nah...! Sekarang sebelum meninggalkan
tempat ini, kau harus minta izin terlebih dulu pa-da kakek seperguruan kami yang
tertua!" ujar Iblis Buntung lagi.
"Siapakah Uwak Guru yang Guru mak-
sud?" tanya si pemuda yang kini bergelar Dewa Kegelapan, tak mengerti.
"Jangan banyak tanya! Ikuti saja kami!"
bentak Iblis Buntung.
Habis membentak, Iblis Buntung tiba-tiba
menghentakkan kedua telapak tangannya ke ta-
nah. Seketika, tubuhnya yang tanpa kaki cepat
melenting tinggi ke udara, lalu berkelebat cepat
ke suatu tempat. Gerakannya segera diikuti keti-
ga orang adik seperguruannya.
Mau tak mau Dewa Kegelapan pun menyu-
sul keempat orang gurunya. Hanya dengan sekali
menjejak tanah, sosoknya telah dapat menyusul
keempat gurunya.
* * * Ternyata tempat yang dimaksudkan Empat
Iblis Merah dari Hutan Seruni itu jauh dari perki-raan Dewa Kegelapan. Semula
dikira, ia akan di-
ajak ke sebuah goa, lembah, atau tempat lain.
Namun ternyata, justru diajak ke sebuah kubu-
ran! "Aku sungguh tak tahu, apa maksud Guru membawaku kemari," gumam Dewa
Kegelapan dalam hati. Melihat keempat orang gurunya segera ber-
simpuh di atas makam yang dimaksudkan, Dewa
Kegelapan masih tetap berdiri di tempatnya. Rasa
herannya membuat keningnya berkerut berulang
kali. "Bocah! Kenapa kau tidak segera berlutut"
Cepat beri hormat pada Uwak Guru!" bentak Iblis Buntung.
"Baik."
Meski hatinya diliputi sejuta tanda tanya,
perlahan-lahan Dewa Kegelapan pun segera du-
duk bersimpuh di samping Iblis Buntung. Ma-
tanya nyalang memperhatikan gundukan tanah di
hadapannya. Bibirnya berkemik-kemik, namun
tak sepatah kata pun terucap.
"Bocah! Apa yang kau perbuat di sini, he"!
Aku bukan menyuruhmu berdoa. Kakak sepergu-
ruanku itu masih hidup. Ia sedang bertapa dalam
kuburan ini. Dengan menaburkan kembang dan
menyiramkan air kendi ini ke atas makamnya,
maka kesaktian Kakang Penghuni Kubur akan
bertambah hebat. Lekas beri hormat!" bentak Iblis Buntung, garang.
Sepasang mata Dewa Kegelapan sempat
berkilat-kilat penuh kemarahan. Namun tak di-
pungkiri hatinya terkejut mendengar kalau uwak
gurunya bertapa di dalam makam. Sejenak di-
pandanginya Iblis Buntung seksama.
Iblis Buntung menggedikkan kepalanya,
memberi isyarat pada Dewa Kegelapan.
"Uwak Guru...! Aku, Dewa Kegelapan da-
tang memberi hormat padaku. Mohon sudilah kau
mengizinkan kepergianku!" ucap Dewa Kegelapan, kaku. Mendadak tanpa diduga sama
sekali, gundukan tanah di hadapan Dewa Kegelapan berge-
tar. Dan tidak lama, gundukan tanah itu tenang
seperti semula.
"Kau tahu, Uwak Gurumu merestui keper-
gianmu. Jadi setelah ini, kau harus segera melak-
sanakan perintah kami. Kau harus dapat mengu-
asai dunia persilatan, sekaligus dapat mele-
nyapkan Siluman Ular Putih! Paham"!" tegas Iblis
Buntung lagi. "Tentu. Kalau Guru mengizinkan, sekarang
juga aku akan berangkat dan mencari orang ber-
gelar Siluman Ular Putih!" geram Dewa Kegelapan, saking jengkelnya.
"Tunggu! Kau tak boleh pergi sebelum aca-
ra ini selesai!" bentak Iblis Buta.
"Baik. Kalau Guru berempat menginginkan
aku menemani!" sahut Dewa Kegelapan, ketus.
Iblis Buta mengangguk.
Iblis Buntung yang memimpin upacara se-
gera mengambil kembang yang telah dipersiapkan
dari balik pakaian. Sedang Iblis Buta segera me-
nyerahkan kendi berisi air pada Iblis Buntung.
Untuk beberapa saat, Empat Iblis Merah dari Hu-
tan Seruni tetap diam di tempat masing-masing.
Mata mereka tajam memandangi gundukan tanah
di hadapannya. "Terimalah kembang dan air kehidupan ini,
Kakang Penghuni Kubur. Meski tidak melihat
kami, tapi kami yakin kau pasti senang menerima
sesaji ini. Terimalah, Kang!" ucap Iblis Buntung lirih. Habis berucap, Iblis
Buntung segera me-
nuang kendi berisi air ke gundukan tanah di ha-
dapannya. Lalu ditebarkannya kembang di per-
mukaan gundukan tanah. Setelah selesai, kendi
dan sisa kembang diserahkan pada adik-adik se-
perguruannya. Dan mereka melakukan seperti
yang telah diperbuat Iblis Buntung.
Terakhir, dengan tangan gemetar, Dewa
Kegelapan pun melakukan seperti apa yang dila-
kukan keempat orang gurunya. Sikapnya tidak
begitu khusuk seperti Empat Iblis Merah. Namun
itu sudah cukup. Kini saatnyalah bagi Dewa Ke-
gelapan menunaikan tugas dari keempat orang
gurunya. Namun Dewa Kegelapan tidak bergegas
meninggalkan tempat itu. Ada satu pertanyaan
yang selama ini mengusik hatinya.
"Guru...! Ada satu hal yang ingin kutanya-
kan pada kalian berempat. Aku tak ingin pergi
sebelum kalian menjawab," kata Dewa Kegelapan.
"Boleh. Apa?" sahut Iblis Buntung tak senang. "Aku ingin mengetahui kedua
orangtua ku. Di manakah mereka. Guru?"
"Apa"! Kau... menanyakan itu"!" sentak Iblis Buntung.
"Iya. Kenapa Guru tampak terkejut?" tukas Dewa Kegelapan.
"Huh...!" Iblis Buntung mendengus jengkel.
"Yang jelas, kedua orangtua mu sudah lama ma-ti."
"Si.... Siapa yang membunuhnya, Guru?"
Dewa Kegelapan terperangah kaget. Wajahnya
pun kontan murung.
"Aku tidak tahu, Muridku."
"Mustahil! Pasti kalian berempat tahu, sia-
pa pembunuh kedua orangtua ku!"
"Kau keras kepala, Bocah. Kalau tak per-
caya, selidiki saja sendiri!" tukas Iblis Buntung kesal.
Siluman Ular Putih 18 Titisan Alam Kegelapan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dewa Kegelapan menggeram penuh kema-
rahan. Tanpa banyak cakap, segera ditinggalkan-
nya tempat ini. Namun diam-diam ia tetap akan
menyelidiki siapa pembunuh kedua orang tuanya.
3 "Tuolooong...! Ada orang gila ngamuk. Tuo-
looooong...!!!"
Siluman Ular Putih terus berlari lintang
pungkang. Kepalanya sesekali dipalingkan ke be-
lakang, kalau-kalau Raja Penyihir masih mengejar
di belakangnya. Melihat tak ada yang mengejar,
larinya pun dihentikan. Namun mendadak....
Srattt! "Aaahh!"
Siluman Ular Putih memekik keras ketika
kakinya seperti tersambar sesuatu. Tanpa ampun
tubuhnya tersentak ke atas. Ketika disadari, ter-
nyata kakinya terjerat tali hingga tubuhnya
menggantung di sebuah dahan pohon.
"Duuuh...! Percuma saja aku punya mata
kaki kalau tak dapat melihat ada jebakan.
Huh...!" gerutu Soma, kesal. Di saat tangannya hendak memutuskan tali yang
mengikat pergelangan kakinya, samar-samar matanya melihat
sesosok tubuh ramping menghampiri.
"Bodoh! Kenapa kau yang masuk ke dalam
jeratanku" Dasar pemuda tak tahu aturan!" gerutu sosok ramping itu ketus.
Soma kontan menghentikan gerutuannya
melihat sosok di bawahnya cukup menawan. So-
sok seorang gadis cantik berpakaian ringkas war-
na hijau. Tubuhnya tinggi semampai dengan kulit
putih bersih. Wajahnya berbentuk bulat telur. Pas sekali dengan rambutnya yang
digelung ke atas
dihiasi untaian bunga melati.
Cukup mengagumkan kecantikan gadis sa-
tu ini memang. Namun berhubung Siluman Ular
Putih melihatnya dalam keadaan terbalik, jadi wa-
jar saja kalau sosok gadis cantik di bawahnya be-
rubah jadi sosok hijau mengerikan. Bukannya se-
bagai gadis cantik, melainkan dalam pandang ma-
tanya tidak ubahnya seperti kuntilanak!
"Ayo, turun! Kenapa malah enak-enakan di
situ"!" hardik si gadis cantik, kesal.
"Siapa yang enak-enakan tergantung begi-
ni" Aku sendiri mau memutuskan tali ini, tapi
kau malah datang!" sungut Siluman Ular Putih.
"Eh...! Jangan kau putuskan tali jebakan-
ku itu! Kau.... Kau.... Ah...! Mengganggu kesenanganku saja. Bagaimana aku dapat
menangkap kambing liar kalau kau putuskan tali jebakanku!"
omel si gadis cantik.
"Apa" Kau bilang aku kambing?" perangah Siluman Ular Putih merasa tersindir.
"Akil tidak mengatakan kau kambing. Tapi
kau sendiri yang mengatakannya," sahut si gadis cepat. "Yah...! Kalau begitu
sama saja. Kalau tidak, mana mungkin ada orang menangkap kamb-
ing dengan cara seperti ini?"
"Kau malah mengguruiku! Sudah terang
salah, pakai menggurui lagi! Pemuda macam apa
kau ini, he"! Cepat turun dari tali jebakanku.
Dan, pasang lagi seperti semula!"
"Eh...! Bukannya nolong, malah ngomel!"
sahut Siluman Ular Putih tak kalah sengit.
"Arum! Arum Sari! Ada apa" Kenapa kau
marah-marah di situ" Apa kau sudah menda-
patkan babi?"
Mendadak terdengar suara teguran seseo-
rang. Belum hilang gaung suara teguran barusan
di samping gadis berpakaian hijau yang ternyata
bernama Arum Sari itu telah berdiri seorang ne-
nek berkulit keriput. Tubuhnya kurus kering, mi-
rip cacing. Saking kurusnya, nenek renta beram-
but putih panjang itu seolah tak berdaya berdiri
di atas kaki. Tubuh kurus keringnya malah seper-
ti meliuk-liuk tertiup angin. Pakaiannya yang juga berwarna hijau-hijau
berkibar-kibar. Untung saja
tongkat panjang di tangannya mampu menahan
tubuhnya. "Guru...! Seperti yang Guru lihat, murid be-
lum mendapat kambing. Pemuda inilah yang
membuat kambing-kambing itu kabur. Eh...! Se-
karang ia malah enak-enakan di dalam tali jeba-
kan," lapor Arum Sari berlebihan.
Siluman Ular Putih yang saat itu tengah
terpana melihat perempuan tua renta di bawah-
nya tak mendengar apa yang dilaporkan Arum
Sari barusan. Dalam pandang matanya yang ter-
balik, sosok renta di bawahnya tampak demikian
mengerikan. Betapa perempuan tua itu tak ubah-
nya biangnya kuntilanak.
"Hii...! Bi.... Biang kuntilanak...!" desis Siluman Ular Putih seraya memejamkan
mata. "Bocah tengil! Apa kau bilang tadi?" bentak perempuan tua itu galak.
Terpaksa Siluman Ular Putih harus mem-
buka matanya kembali dan langsung dikerjap-
kerjapkannya berulang-ulang. Makin parah saja
sosok nenek renta itu dalam pandang matanya.
"He he he.... Bisa jadi kau kuntilanak yang
muncul di siang bolong?" gumam Siluman Ular
Putih. "Bocah tak tahu adat! Mulutmu patut dihajar!" Terdengar lengkingan
cempreng si nenek saat mendamprat. Bahkan tiba-tiba tongkat hitam di
tangannya bergerak cepat ke arah mulut Siluman
Ular Putih. Tapi mana mungkin bocah sinting itu
sudi mendapat sarapan tongkat. Dengan sekuat
tenaga cepat dihindarinya datangnya serangan.
Namun karena masih menggelantung di tali, tu-
buhnya hanya bergeser sedikit. Akibatnya....
Bukkk! Bukkk! Dua kali tubuh Siluman Ular Putih jadi sa-
saran empuk serangan tongkat si nenek. Seketika
tubuhnya berputar-putar kencang di atas tali.
Sementara si nenek malah terkekeh senang
memandangi tubuh Siluman Ular Putih yang ber-
putar. Tongkat hitam di tangan kanannya lantas
menggerak-gerakkan tubuh Siluman Ular Putih
ke sana kemari hingga makin cepat berputar
sambil berbuat demikian, tak henti-hentinya si
nenek terkekeh senang.
Maka wajar saja kalau Siluman Ular Putih
ganti yang mengomel panjang lebar. Sementara, si
nenek mana peduli dengan omelan" Bahkan ke-
kehannya terdengar makin menyakitkan telinga si
pemuda. "Celaka! Enak benar tubuhku dijadikan ba-
rang mainan. Peduli setan! Aku harus memu-
tuskan tali jebakan itu!" umpat Siluman Ular Putih dalam hati.
Saat itu juga tangan Siluman Ular Putih
segera membabat tali jebakan. Namun baru saja
menggerakkan tangan, tiba-tiba tongkat di tangan
si nenek datang menghadang.
Takk! "Adaouwww!!!" pekik Soma sejadinya.
Tangan Soma yang terkena hantaman
tongkat terasa berdenyut. Sementara putaran tu-
buhnya di atas tali jebakan makin kencang. Kare-
na, tak henti-hentinya tongkat di tangan si nenek memutar tubuhnya.
"Ampun, Nenek Jelek! Ampuuun! Hentikan,
Nek!" ratap Siluman Ular Putih akhirnya, memelas. "Apa kau bilang, Bocah?"
"Hentikan dong. Nek. Pusing kepalaku!"
"Bukan itu. Kau tadi tidak bilang itu."
"Ya, ampun! Aku.... Aku...."
Saat itu juga otak Siluman Ular Putih be-
kerja cepat. Ia tahu maksud nenek jelek di ba-
wahnya. "Anu, Nek. Tadi kubilang kau nenek cantik.
Cuaaantik sekali. Asli! Seperti bidadari turun dari langit," puji Siluman Ular
Putih habis-habisan.
Si nenek jelek itu terkekeh senang. Lebih
senang ketimbang bermain ayunan dengan tubuh
Siluman Ular Putih.
"Ya ya ya...! Kau benar, Bocah. Aku me-
mang masih cantik. Cuaaantik sekali. Iya kan,
Muridku?" teriak si nenek, berbunga-bunga.
Ditodong pertanyaan gurunya, mau tak
mau si gadis berpakaian hijau pun menjawab.
"I.... Iya, Guru."
"Nah...! Kau dengar, Bocah. Muridku saja
bilang kalau Nenek Rambut Putih masih cantik,
kan?" lanjut si nenek jelek pada Siluman Ular Putih. Untuk memperlancar
siasatnya, tak ada je-
leknya Siluman Ular Putih harus memuji nenek
jelek berjuluk Nenek Rambut Putih itu.
"Tentu, Nek. Malah aku yakin, sewaktu
muda dulu kau pasti lebih cantik ketimbang mu-
ridmu! Tapi lepaskan tali yang menjerat kakiku
dong!" rajuk Soma akhirnya.
"Yayaya...! Tapi benarkah apa yang kau
ucapkan barusan" Aku lebih cantik dibanding
muridku?" tanya Nenek Rambut Putih seraya
membelalakkan matanya lebar.
"Sudah pasti. Kenapa kau ragu-ragu" Tapi
talinya dong. Nek. Lekas diputus! Aku pusing,
nih!" rajuk Soma lagi,
Kali ini rupanya siasat Siluman Ular Putih
berjalan lancar. Maka sambil melonjak-lonjak ke-
girangan, tongkat hitam di tangan nenek jelek itu pun menyambar putus tali
jebakan yang mengikat pergelangan kaki Siluman Ular Putih.
Tasss! Begitu tali jebakan itu putus oleh samba-
ran tongkat Nenek Rambut Putih, Siluman Ular
Putih cepat berjungkir balik. Dengan sigap kedua
kakinya siap menjejak tanah. Namun baru saja
menjejak, keseimbangan tubuhnya hilang. Tu-
buhnya limbung ke samping, menabrak tubuh
Arum Sari! "Kau.... Kau sengaja mencari kesempatan,
ya! Main tubruk saja!" hardik Arum Sari.
Soma tidak peduli. Ia justru lebih peduli
melihat beribu kunang-kunang bermain di pelu-
puk matanya. Sambil cengar-cengir, ia mencoba
mengusir kunang-kunang di depan mata dengan
menggerak-gerakkan kepalanya ke sana kemari.
Sehingga, akhirnya rasa berkunang-kunang di
matanya hilang dengan sendirinya.
"Kau tega sekali mempermainkan tubuhku
di tali jebakan. Nek" Memangnya tubuhku ini ba-
rang mainan?" sungut Siluman Ular Putih begitu dapat mengendalikan keadaan.
"Yah...! Salah sendiri, kenapa kau masuk
ke dalam jebakan" Sudah tahu itu jebakan, ke-
napa kau mau masuk?" sahut Nenek Rambut Pu-
tih enteng. Mau tak mau Siluman Ular Putih manyun
berat. Mana ada sih orang sengaja masuk jeba-
kan. Dasar nenek gila! Seenak perutnya saja
ngomong! Soma menggerutu dalam hati.
"Sekarang duduklah! Aku ingin bicara!" ka-ta Nenek Rambut Putih lagaknya dibuat-
buat sungguh-sungguh. "Kau juga. Arum!"
"Kau sudah mulai main perintah, Nek?" balik Siluman Ular Putih.
"Kalau ya, kau mau apa?" tukas si nenek jelek, galak.
"Ya...! Tidak apa-apa...," sahut Soma sekenanya. Nenek Rambut Putih mengetukkan
tong- katnya, menyuruh Siluman Ular Putih diam.
"Dengar, Arum! Ketahuilah! Bukankah kau
ingin mengetahui siapa yang telah membunuh
kedua orangtua mu, bukan?" cerocos Nenek
Rambut Putih. "Iya, Nek. Bahkan aku tidak hanya ingin
sekadar tahu, tapi ingin menuntut balas!" sahut Arum Sari bersemangat.
"Bagus! Itu baru muridku namanya. Seka-
rang, ketahuilah! Sebenarnya yang telah membu-
nuh kedua orangtua mu adalah bangkotan tua
yang bergelar Penghuni Kubur!" jelas si nenek, tandas.
"Penghuni Kubur" Jadi, kedua orangtua ku
tewas di tangan Penghuni Kubur?" tanya Arum
Sari dengan kening berkerut.
"Yah...!" sahut Nenek Rambut Putih sing-
kat. Nenek Rambut Putih lantas menceritakan ke-
jadian tujuh belas tahun lalu. Betapa Sepasang
Pendekar Garuda Emas, sahabat Nenek Rambut
Putih menemui ajal di tangan Penghuni Kubur se-
cara mengenaskan. Tubuhnya cerai berai, jadi
santapan anjing-anjing liar hingga tandas!
Arum Sari dan Siluman Ular Putih sama-
sama terpekur mendengar cerita Nenek Rambut
Putih. Sedikit pun mereka tak berani memotong
cerita. "Sebenarnya, Sepasang Pendekar Garuda Emas dari puncak Gunung Merbabu
bisa saja mengalahkan Penghuni Kubur, musuh bebuyu-
tannya itu. Namun dengan kelicikannya, ibumu
dapat diperdayai oleh racun yang disebarkan
Penghuni Kubur. Begitu ibumu berada di bawah
ancamannya, Penghuni Kubur memaksa ayahmu
menyerah. Singkat cerita demi melindungi nyawa
ibumu, ayahmu menyerah. Tapi betapa culasnya
bangkotan tua satu itu. Karena setelah ayahmu
menyerah, tetap saja kedua orangtua mu dibu-
nuhnya. Benar-benar keparat manusia satu itu!
Berkali-kali aku mencarinya, tapi sampai seka-
rang belum pernah kutemukan. Sial. Benar-benar
sial. Dan apakah kau tahu, kenapa kau bisa jadi
muridku. Arum?" tanya Nenek Rambut Putih.
Siluman Ular Putih 18 Titisan Alam Kegelapan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tentu saja aku tidak tahu. Nek."
"Hm...!"
Nenek Rambut Putih mengeretakkan gera-
hamnya penuh kemarahan. Sepasang matanya
yang kelabu berkilat-kilat penuh kemarahan bila
teringat kejadian tujuh belas tahun lalu.
"Tahukah kau, ternyata setelah kedua
orangtua mu dibunuh, bangkotan tua itu pun in-
gin membunuhmu! Kebetulan sekali aku keburu
datang. Namun sayang aku pun terdesak oleh se-
rangannya. Maka tak ada pilihan lain, demi me-
nyelamatkan nyawamu yang kuharapkan bisa
menuntut balas, aku pun kabur. Sampai di sini
apa kau sudah paham. Arum?"
Nenek Rambut Putih memandang tajam
murid semata wayangnya.
"Tahu, Nek. Kau tentu membawaku ke Hu-
tan Wringin Anom ini dan membesarkanku."
"Bagus. Rupanya kau punya otak cerdik
juga. Sekarang semua kejadian tujuh belas tahun
lalu telah kuceritakan. Dan kau pun sudah tahu,
siapa pembunuh kedua orangtua mu. Sekarang,
terserah. Mau kau apakan bangkotan tua Peng-
huni Kubur itu. Tapi, hati-hati. Dia lihai sekali."
"Tentu, Guru. Aku pasti akan berhati-hati.
Sekarang izinkanlah aku menuntut balas!"
Nenek Rambut Putih tak mempedulikan
permintaan muridnya. Dan kini tatapannya di-
alihkan pada Siluman Ular Putih.
"Hey, Bocah Edan! Kau dengarkan apa
yang kuceritakan barusan?"
"Eh eh eh...! I.... Iya, Nek. Aku dengar," sahut Siluman Ular Putih tergagap.
"Nah...! Kalau sudah tahu, sekarang jawab
pertanyaanku dengan jujur. Bukankah kau yang
bergelar Siluman Ular Putih?"
"Da... dari mana kau tahu gelarku. Nek?"
tanya Siluman Ular Putih tak habis pikir.
"Sudahlah! Itu tak penting. Yang pasti kau
Siluman Ular Putih yang akhir-akhir ini meng-
gemparkan dunia persilatan, kan?"
"Ah...! Kau terlalu memuji. Nek."
"Diam! Aku belum selesai bicara!" bentak Nenek Rambut Putih.
"Iyalah. Aku akan diam."
Nenek Rambut Putih mengetuk-ngetukkan
tongkatnya. Matanya yang kelabu kini tak lagi
memandang Siluman Ular Putih, melainkan me-
mandangi muridnya seksama.
"Arum! Benar kau ingin menuntut balas?"
tanya Nenek Rambut Putih ingin meyakinkan.
"Tentu, Guru. Kenapa Guru tanyakan ini?"
Nenek Rambut Putih mengangguk-anggukkan ke-
pala. "Dengarlah, Muridku! Kau boleh menuntut balas pada Penghuni Kubur, tapi
dengan satu syarat. Ingat! Kau tak boleh melanggar syaratku!"
ujar Nenek Rambut Putih seraya menggerak-
gerakkan telunjuk jarinya.
"Baik, Guru. Sekarang katakan apa syarat
itu, Guru!" tanya Arum Sari, tak sabar.
"Karena kau belum mampu menghadapi si
Penghuni Kubur, maka kau harus patuh dan
mengikuti ke mana saja bocah edan itu pergi!" ka-ta Nenek Rambut Putih seraya
menuding ke arah
Siluman Ular Putih.
"Apa?"
Siluman Ular Putih dan Arum Sari sama-
sama terpekik kaget. Siluman Ular Putih tidak
menyangka kalau dirinya akan dijadikan pengaw-
al pribadi Arum Sari. Demikian juga Arum Sari
sendiri. Ia benar-benar tak mengerti maksud gu-
runya. Kenapa justru bocah edan itu yang dis-
uruh menemaninya"
"Tapi, Guru. Kenapa mesti pemuda tak ta-
hu aturan itu yang kau pilih. Guru!" tuding Arum Sari, sengit.
Siluman Ular Putih hanya tersenyum-
senyum saja. Tapi hatinya memang sempat terke-
jut mendapat tugas berat dari Nenek Rambut Pu-
tih yang baru dikenalnya. Namun manakala te-
ringat siapa yang akan dikawal, mau tidak mau
hatinya jadi senang juga. Lelaki mana yang tidak
senang menjadi pengawal pribadi seorang gadis
cantik seperti Arum Sari" Senyumnya pun makin
meriah tersungging di bibir.
Sudah pasti Arum Sari jadi rajin manyun.
"Brengsek kau! Kau yang enak, aku yang
sengsara tahu!" hardik Arum Sari, kesal.
"Sudahlah, Muridku! Aku tak mungkin sa-
lah. Kujamin pemuda itu tak akan macam-
macam. Di samping itu, kepandaiannya pun ku-
kira cukup kalau hanya untuk menjadi penga-
walmu," kata Nenek Rambut Putih mendinginkan hati Arum Sari.
"Tapi, Guru...!"
"Sudahlah! Aku yakin, bocah edan itu tak
berani macam-macam. Kalau misalnya berani
pun, tak mungkin gurumu tinggal diam. Seka-
rang, pergilah! Tak usah kau hiraukan bocah
edan itu!"
Arum Sari menggigit bibirnya. Kesal. Ba-
gaimana mungkin ia dapat melakukan perjalanan
bersama pemuda sinting yang baru saja dikenal.
"Ingat, Bocah Edan! Kutitipkan muridku
padamu! Sekali kau berani macam-macam, maka
nyawamulah taruhannya!" pesan Nenek Rambut
Putih sarat ancaman.
"Oooo...! Pasti-pasti. Aku adalah pemegang
amanat yang baik. Tak mungkin aku mengecewa-
kanmu. Nek."
"Sudahlah! Jangan banyak omong. Cepat
sana pergi!"
"Nah...! Gurumu sudah mengizinkan.
Arum. Ayo, kita berangkat!" ajak Soma sok akrab.
Arum Sari melotot gusar. Ingin rasanya ia
menampar pemuda sinting itu. Namun manakala
pandang matanya berbentrokan dengan Nenek
Rambut Putih, mendadak keinginannya sirna.
Tunduk di bawah pandang mata gurunya. Lalu
diiringi pandang mata gurunya, dengan sangat
terpaksa sekali Arum San mau juga mengikuti pe-
rintah. 4 "Ke mana bocah edan itu minggat, he"
Awas kalau kena nanti! Akan kukemplang kepa-
lanya sampai peang!"
Mata Raja Penyihir jelalatan ke sana kema-
ri. Kedua bibirnya yang hitam tak henti-hentinya
mengomel. Namun tetap saja sosok yang dicari
tak ditemukan. Sosok Siluman Ular Putih.
Namun lelaki tua bangkotan itu tak putus
asa. Sejenak langkahnya berhenti di pinggiran se-
buah tebing. Dari ketinggian tebing matanya
kembali jelalatan ke sana kemari. Tapi tetap saja sosok Siluman Ular Putih tak
ditemukan. Tak puas dengan hasil pencariannya, mendadak Raja
Penyihir menghentakkan kakinya kasar.
"Hea...!"
Berbareng teriakannya, seketika tubuh
tinggi kurus Raja Penyihir melenting tinggi ke
udara, lalu melesat ke sebuah pohon. Ringan se-
kali gerakan kedua kakinya. Buktinya saja saat
kedua kakinya hinggap, tidak menimbulkan suara
sedikit pun. Ini jelas menandakan kalau ilmu me-
ringankan tubuhnya benar-benar sudah menca-
pai tingkat tinggi. Apalagi kedua kakinya ternyata hinggap di ranting pohon
kecil yang besarnya tak
lebih dari jari kelingking manusia dewasa!
"Sontoloyo! Benar-benar sontoloyo! Tak ku-
sangka bocah edan itu lenyap begitu saja! Hm...!
Masa' aku harus dipaksa menemui bangkotan tua
Kamasetyo di Gunung Bucu hanya untuk minta
izin agar bocah edan itu memanggilku guru.
Edan! Benar-benar edan bocah tengil satu itu!
Awas kalau kutemukan nanti, ya!" geram Raja
Penyihir sarat ancaman.
Meski amarahnya sudah mencapai ubun-
ubun kepala. Raja Penyihir masih tetap nangkring
di atas ranting. Matanya terus jelalatan memper-
hatikan lembah hijau di hadapannya seksama.
Lagi-lagi tak ditemukannya setitik bayangan pun
di kejauhan sana.
Raja Penyihir mendengus gusar. Habis su-
dah kesabarannya. Sebagai sasaran kemarahan-
nya, tongkat hitam di tangan kanannya diayun-
kan keras ke belakang.
Prakkk! Raja Penyihir tersentak kaget. Ranting po-
hon tempatnya hingga kontan patah. Maka tanpa
ampun tubuhnya meluncur deras ke bawah. Na-
mun lelaki tua bangkotan itu tak kehilangan akal.
Di saat tubuhnya melayang ke mulut jurang, ce-
pat dibuatnya gerakan indah di udara. Kini kedua
kakinya mendarat mulus di tepi jurang.
Begitu menyadari betapa dalamnya jurang-
di bawah, paras Raja Penyihir kontan pucat.
Hampir saja ia celaka karena keteledorannya.
Namun mana mau ia menertawakan kebodohan-
nya sendiri"
"Edan! Benar-benar edan! Ini semua gara-
gara bocah tengil itu!" geram Raja Penyihir, me-lampiaskannya pada Siluman Ular
Putih. Namun sejurus kemudian Raja Penyihir
manggut-manggut.
"Baiklah. Mungkin belum saatnya aku ber-
temu kembali dengan bocah tengil itu. Dan
mungkin juga, ucapan bocah tengil itu benar. Aku
harus mengunjungi tua bangka Kamasetyo di
Gunung Bucu terlebih dulu biar tidak sial terus!"
lanjut Raja Penyihir menenangkan hatinya.
Setelah mantap dengan keputusannya. Ra-
ja Penyihir segera menutulkan kakinya ke tanah.
Sekali berbuat demikian, tahu-tahu sosoknya te-
lah melesat jauh di depan sana. Tujuannya jelas,
menemui Eyang Begawan Kamasetyo di puncak
Gunung Bucu. * * * Sepeninggal Siluman Ular Putih dan Arum
Sari, hati Nenek Rambut Putih jadi tak karuan.
Sepasang matanya yang kelabu mau tak mau ha-
rus menitikkan air mata. Sedih. Jangan tanya la-
gi. Ia yang selalu bersama muridnya kini terpaksa harus berpisah. Dan hatinya
tak mampu menghadapi perpisahan. Makanya walau bayangan se-
pasang muda-mudi itu telah menghilang di tikun-
gan depan sana, hatinya masih saja terharu.
"Oh...! Belum pernah aku merasakan sese-
dih ini, Arum. Mungkin benar orang bilang kalau
perpisahan itu menyedihkan. Padahal ini hanya
perpisahan kecil. Tapi kenapa aku jadi nelangsa
seperti ini...."
Tak henti-hentinya dua bibir keriput itu
berkemik-kemik melukiskan kesedihan hati. Se-
pasang matanya yang kelabu pun mulai bersim-
bah air mata. Nenek Rambut Putih memang sen-
gaja membiarkan perasaannya terombang-
ambing. Membiarkan apa saja yang membuat ha-
tinya nelangsa. Karena memang hanya dengan
cara itulah ia dapat menghadapi perpisahan, wa-
lau dengan hati berat. Tapi karena Nenek Rambut
Putih ingin muridnya mereguk pengalaman seba-
gai seorang pendekar di dunia persilatan tanpa
campur tangannya, terpaksa ia harus mengua-
tkan hatinya. Nenek Rambut Putih menghela napas. Se-
sak. Terasa amat menyesakkan dada. Kedua bi-
birnya yang keriput pun kembali berkemik.
"Untung ada Siluman Ular Putih. Aku ya-
kin, pendekar muda satu itu dapat melindungi
muridku. Yah...! Mudah-mudahan saja demi-
kian...," gumam Nenek Rambut Putih menenang-
kan batinnya. "Apa" Kau.... Kau bilang apa" Kau.... Kau
menyebut-nyebut Siluman Ular Putih" Di mana
sekarang bocah edan itu, Nenek Keriput?"
Mendadak terdengar sahutan seseorang
dari belakang. Nenek Rambut Putih tersentak kaget. Bu-
ru-buru kepalanya berpaling ke belakang. Kilatan
sepasang matanya yang tajam pun kian liar ma-
nakala melihat sesosok lelaki tua dengan pakaian
tambal-tambalan telah berdiri di belakangnya.
"Kau...?" pekik Nenek Rambut Putih kaget.
Bukan saja si nenek kaget mendengar sa-
hutan tadi, melainkan juga kaget karena tahu-
tahu di situ telah berdiri seorang lelaki tua yang kehadirannya tanpa
diketahuinya sama sekali.
Mengingat ini, Nenek Rambut Putih sadar kalau
lelaki tua bangka itu memiliki kepandaian tinggi.
Namun dorongan perasaannya yang sedang
'gonjang-ganjing' membuatnya lupa diri.
"Bangkotan tua" Mau apa kau mengganggu
ketenanganku, he"!" hardik Nenek Rambut Putih tak suka, seraya berbalik
menghadap lelaki tua
itu. "Haram jadah! Justru akulah yang patut bertanya. Bukan kau! Di mana muridku
Siluman Ular Putih 18 Titisan Alam Kegelapan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Siluman Ular Putih, he"! Tadi kudengar kau menyebut-
nyebut bocah edan itu," hardik Raja Penyihir tak kalah sengit.
"Hm...!" Nenek Rambut Putih melengos sekenanya. Bibirnya dipencongkan ke
samping. Membuat wajahnya makin jelek saja.
Raja Penyihir menahan geram dalam hati.
"Nenek Rambut Putih! Di mana sekarang
Siluman Ular Putih berada?" tanya Raja Penyihir yang rupanya telah mengenal
perempuan tua itu.
Meski diucapkan dengan nada lembut, namun
karena ada rasa dongkol, membuat suara Raja
Penyihir mirip lenguhan. Lenguhan kerbau bunt-
ing yang mau dipotong.
"Aku tidak tahu, tahu"!" bentak Nenek
Rambut Putih galak.
"Apa" Kau tidak tahu?" Mata Raja Penyihir membelalak lebar. "Mustahil! Tadi kau
menyebut-nyebutnya. Sekarang, kau bilang tidak tahu. Apa
tubuhmu yang kerempeng minta digebuk, he"!"
ancam Raja Penyihir seraya mengangkat tongkat
hitam di tangan kanannya tinggi-tinggi.
"Siapa takut pada Raja Penyihir" Gebuklah
aku kalau nyawamu tak ingin melayang!" bentak Nenek Rambut Putih tak kalah
galak. Tongkat di
tangan kanannya pun siap melancarkan serangan
maut. Raja Penyihir mengeretakkan gerahamnya.
Dongkol. Perlahan-lahan tongkatnya yang sudah
diangkat tinggi-tinggi diturunkan.
"Jadi" Kau tidak tahu di mana perginya Si-
luman Ular Putih, Nenek Keriput?" tanya Raja Penyihir lirih.
"Tidak."
"Tapi...."
"Bocah sinting itu pergi dengan muridku,"
potong si nenek.
"Kenapa?" cecar Raja Penyihir.
"Aku yang menyuruh. Sudah cukup?"
"Kau mengusirnya?"
"Jangan banyak tanya! Aku tak punya wak-
tu meladeni tua bangka macammu!" hardik Nenek Rambut Putih menukas.
"Keterlaluan!" geram Raja Penyihir. Entah pada siapa. Entah ditujukan pada nenek
keriput di hadapannya, entah pada Siluman Ular Putih.
"Hey, Tua Bangka Jelek! Kenapa tidak ce-
pat enyah dari hadapanku"! Apa yang kau mau,
he"!" bentak Nenek Rambut Putih seraya bertolak pinggang. Lucu sekali gayanya.
Bukannya kelihatan garang. Malah sebaliknya. Mirip orang-
orangan sawah tertiup angin.
"Hm...! Siapa yang mau denganmu, Nenek
Jelek" Kucing buduk pun malas mendekati bang-
kai hidup macam kau!" ejek Raja Penyihir.
"Apa" Berani kau menghinaku demikian
rupa?" sentak si nenek.
Makin menggelikan saja Nenek Rambut Pu-
tih ini saat berkacak pinggang. Tongkat hitam di
tangan kanannya diacung-acungkan ke depan.
Sepasang matanya yang kelabu seolah mau loncat
keluar. "Hm...! Kalau saja aku tak ada keperluan lain, sudah pasti kukemplang
jidatmu, Nenek Jelek!" Nenek Rambut Putih gusar bukan main,
karena berkali-kali dikatakan nenek jelek. Jelas
penghinaan besar ini tidak diterimanya. Baginya,
penghinaan itu tak ubahnya seperti mengorek aib
yang selama ini ditutupinya. Namun manakala
ingin menggerakkan tongkatnya, tahu-tahu Raja
Penyihir telah berkelebat cepat hanya dalam seka-
li menghentakkan kaki ke tanah.
Pantas sudah bagi Nenek Rambut Putih
untuk uring-uringan. Ia pun tak mau kalah unjuk
gigi. Sekali menjejakkan kaki ke tanah, sosoknya
yang kurus kering pun telah berkelebat cepat
mengejar Raja Penyihir.
Namun, rupanya usaha Nenek Rambut Pu-
tih hanya menemui kesia-siaan belaka. Ternyata
ilmu meringankan tubuhnya kalah jauh diband-
ing Raja Penyihir. Dalam waktu yang tidak lama,
sosok Raja Penyihir telah menghilang di kejauhan
sana. Mau tidak mau Nenek Rambut Putih harus
menghentikan langkah. Matanya terus meman-
dang ke arah Raja Penyihir menghilang tadi pe-
nuh kagum. "Edan! Makin hebat saja tua bangka satu
itu!" kata Nenek Rambut Putih.
"Siapa dia?"
Mendadak terdengar sahutan seseorang
dari belakang. Buru-buru Nenek Rambut Putih
berbalik. Tahu-tahu di hadapannya telah berdiri
seorang pemuda gagah dengan jubah besar warna
hitam menutupi tubuhnya yang tinggi kekar. Na-
mun karena sepasang matanya yang mencorong
beringas, wajah gagah di hadapan Nenek Rambut
Putih jadi menggidikkan. Rambutnya awut-
awutan tak karuan. Tarikan-tarikan dagunya je-
las menyiratkan watak keji. Sedikit pun tak ada
senyum persahabatan dari kedua bibirnya yang
tegang. Menilik ciri-cirinya di atas, sudah pasti pemuda beringas berjubah tak
lain dari Dewa Kegelapan, murid Empat Iblis Merah dari Hutan Se-
runi. Rupanya dalam pencariannya untuk mene-
mukan Siluman Ular Putih, tanpa sengaja ia telah
sampai di tempat ini.
"Siapa kau, Bocah" Beraninya kau mengu-
sik ketenanganku"!" bentak Nenek Rambut Putih tak senang.
"Justru aku yang patut bertanya, Tua
Bangka Keparat! Siapa orang yang kau cari?" ba-
las Dewa Kegelapan.
"Bocah ingusan macam kau, tak patut
mengetahui urusanku! Enyahlah sekarang dari
hadapanku!"
"Hm...!" Dewa Kegelapan menarik hidung-
nya. Meremehkan. Lagaknya pongah sekali,
membuat Nenek Rambut Putih kian menggelegak.
"Sekali lagi kuperingatkan, cepat enyah da-
ri hadapanku kalau tak ingin nyawamu me-
layang!" ancam Nenek Rambut Putih.
"Tua bangka tak tahu diri! Beraninya kau
berkata lancang di hadapan Dewa Kegelapan" Apa
kau tak tahu hukuman apa sebagai tebusannya"
Nyawamulah tebusannya!" desis si pemuda, dingin. "Hm...! Hanya bocah pongah.
Gelarnya pun pongah. Dewa Kegelapan. Cih...! Tak ada gunanya
bicara dengan bocah pongah macam kau. Melain-
kan tongkatkulah yang ingin mengajakmu bicara!
Hea...!" Dikawal bentakan nyaring, tiba-tiba tubuh tinggi kurus Nenek Rambut
Putih telah berkelebat
cepat menerjang. Untuk sekadar memberi perin-
gatan, sengaja jurus andalannya tak dikeluarkan.
Namun bukan berarti serangannya tak berba-
haya. Tongkatnya yang mengarah ke ulu hati De-
wa Kegelapan pun mengandung serangan hebat.
Belum lagi pukulan tangan kirinya.
Melihat Nenek Rambut Putih telah menda-
hului, tanpa banyak membuang waktu Dewa Ke-
gelapan segera mengeluarkan jurus andalan,
'Tangan Merah'. Seketika kedua telapak tangan-
nya yang telah berubah jadi merah darah hingga
pangkal lengan cepat mengibas setelah menarik
tubuhnya ke samping.
Srat! Srattt! "Uts!"
Nenek Rambut Putih terkesiap kaget. Bu-
kan saja kaget serangannya dapat dielakkan den-
gan mudah, melainkan adanya serangan balik
yang begitu hebatnya. Dan satu hal lagi yang
membuat hatinya mengkeret, rasa-rasanya ia
mengenal jurus yang tengah dikeluarkan Dewa
Kegelapan. "Tunggu!"
Nenek Rambut Putih cepat membuang tu-
buhnya jauh ke belakang untuk membuat jarak.
Tongkat di tangan kanannya disilangkan di depan
dada. "Kalau tak salah lihat, kau tentu murid salah seorang dari Empat Iblis
Merah dari Hutan
Seruni!" tebak si nenek.
"Bukan hanya seorang. Tapi mereka semu-
alah guruku!" dengus Dewa Kegelapan. Tiba-tiba pemuda ini jadi ingin mengorek
keterangan tentang siapa pembunuh kedua orangtuanya. "Aku
punya beberapa pertanyaan yang harus kau ja-
wab, Nenek Jelek. Berhubung kau mengenal sia-
pa guruku, tentu kau pun tahu siapa kedua
orangtua ku, dan siapa yang telah membunuh
mereka"!"
"Hm...! Rupanya ia murid Empat Iblis Me-
rah," gumam Nenek Rambut Putih mengangguk-
anggukkan kepala. "Sayang sekali, kau tentu
mendapat didikan tak baik oleh keempat orang
gurumu...."
"Jangan banyak omong, Nenek Jelek! Ja-
wab pertanyaanku!"
"Sebenarnya aku kasihan padamu. Secara
langsung maupun tidak, sebenarnya kau telah
menjadi korban nafsu keempat orang gurumu.
Aku yakin itu. Konon, Empat Iblis Merah selalu
mencari seorang murid yang dilahirkan pada ma-
lam Jumat Kliwon, seperti kau tentunya."
"Hm.... Jadi keempat orang guruku tahu
tentang kedua orangtua ku?"
"Yah, bahkan mereka pun tahu siapa pem-
bunuh kedua orangtua mu."
"Siapa?" cecar Dewa Kegelapan.
"Siapa lagi kalau bukan keempat orang gu-
rumu sendiri!" sahut si nenek kalem.
"Bedebah! Jangan sembarangan membacot,
Nenek Jelek!"
Nenek Rambut Putih menjebikkan bibir.
Dewa Kegelapan kesal bukan main. Ia me-
rasa dipermainkan Nenek Rambut Putih. Tanpa
banyak cakap, segera diterjangnya si nenek.
Mengingat siapa yang menjadi lawannya,
Nenek Rambut Putih jadi tak segan-segan lagi
mengeluarkan jurus andalan. Tongkatnya yang
diberi nama Selaksa Badai diputar-putar cepat
laksana gasing. Dari setiap putarannya berkesiur
angin kencang laksana badai prahara!
Dewa Kegelapan tertawa bergelak. Tampak
sekali kalau pemuda ini sangat memandang re-
meh lawannya. 5 "Jalannya jangan cepat-cepat dong! Seperti
orang mau kondangan saja!" oceh Siluman Ular Putih kesal juga diperlakukan mirip
patung. Arum Sari diam memberengut. Hatinya
pun terbakar mendengar ocehan pemuda gon-
drong di sampingnya.
"Kenapa kau mengikutiku?" tanya Arum
Sari. "Ah...! Masa' kau lupa, sih" Kan gurumu sendiri yang menyuruh?" tukas Soma
tak mau kalah. "Aku tak senang dengan tugas yang diberikan Guru padamu. Baiknya,
tinggalkan saja aku!
Toh, di antara kau dan guruku tak ada hubungan
apa-apa?" "Aku memang bukannya apa-apanya gu-
rumu. Kenal pun baru tadi. Mungkin hanya kare-
na rejeki nemplok eh... rejeki nomplok saja."
"Rejeki nomplok apa?"
"Yah...!" Siluman Ular Putih tersenyum
nakal. Untuk lebih meyakinkan tangannya pun
garuk-garuk kepala.
"Jangan mempermainkanku! Jawab perta-
nyaanku! Rejeki nomplok apa?" desak Arum Sari.
"Yah...! Rejekilah pokoknya. Masa' melaku-
kan perjalanan bersama seorang gadis cantik bu-
kan rejeki nomplok namanya" Lalu, apa kalau
bukan rejeki?" Soma malah balik bertanya.
Arum Sari memberengut. Bibirnya membe-
rengut. Sedang Siluman Ular Putih malah terse-
nyum-senyum senang.
"Sudah dong! Jangan cemberut saja! Apa
enaknya sih jalan-jalan kok sambil memberen-
gut?" celoteh Soma menggoda.
"Aku lebih senang kalau kau mau diam...,"
ujar Arum Sari.
"Baiklah aku akan diam. Tapi kita tetap
akan sama-sama, kan?" kata Soma cerewet.
Arum Sari membalikkan badannya kesal.
Sempat dilihatnya Siluman Ular Putih tengah ter-
senyum ke arahnya. Si gadis kini menggeleng-
gelengkan kepala. Tanpa banyak cakap ia pun se-
gera berlari sekencang mungkin, meninggalkan
Soma seorang diri.
Siluman Ular Putih malah tertawa senang.
Sambil berkelebat cepat mengejar Arum Sari, mu-
lutnya malah menyanyi seenak dengkulnya
Breng gombreng-gombreng
Kejar daku-kejar daku
Engkau kutangkap
Breng gombreng-gombreng....
* * * Pertarungan besar antara Nenek Rambut
Putih dengan Dewa Kegelapan tampaknya akan
tergelar. Mereka telah sama-sama siap mengelua-
rkan jurus andalan masing-masing. Satu sama
lain tidak ada yang ingin mendapat malu.
Nenek Rambut Putih yang bermaksud
menghajar pemuda pongah di hadapannya, seolah
Siluman Ular Putih 18 Titisan Alam Kegelapan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tak sabar untuk segera membuka serangan. De-
mikian juga halnya Dewa Kegelapan. Amarahnya
kontan menggelegak begitu melihat tongkat di
tangan Nenek Rambut Putih mampu mengelua-
rkan badai prahara menyambar-nyambar kulit.
"Chiaaat...!"
Diiringi teriakan keras, serangan Nenek
Rambut Putih datang. Tongkat hitam di tangan
kanannya menderu-deru hebat, membentuk gu-
lungan hitam siap mengancam tubuh Dewa Kege-
lapan dari delapan penjuru. Sedang telapak tan-
gan kirinya yang berwarna putih siap pula melon-
tarkan pukulan maut.
Bettt...! Tongkat Nenek Rambut Putih berkelebat
cepat menyodok ulu hati Dewa Kegelapan. Gera-
kannya cepat luar biasa. Bahkan sebelum ujung
tongkat mengenal sasaran, terlebih dahulu berke-
siur angin dingin mendahului!
Dewa Kegelapan mengeretakkan geraham-
nya kuat-kuat. Kedua telapak tangannya yang
berwarna merah darah bersiap-siap mengancam
balik tubuh Nenek Rambut Putih.
"Uts...!"
Dan sedikit lagi serangan mengenai sasa-
ran, Dewa Kegelapan yang hanya bersenjata tan-
gan kosong segera menggeser tubuhnya sedikit ke
samping. Pada saat serangan tongkat mengenai
angin kosong, tiba-tiba telapak tangan kanannya
menyelinap ke dalam gulungan hitam tongkat Ne-
nek Rambut Putih. Namun pada saat yang sama,
tangan kiri si nenek juga tengah mencari sasaran.
Dan.... Bukkk! Bret! Bret! Nenek Rambut Putih dan Dewa Kegelapan
sama-sama terpekik ketika serangan satu sama
lain mendarat pada sasaran. Nenek Rambut Putih
yang dadanya terkena hantaman telapak tangan
kanan Dewa Kegelapan kontan terjajar dan ter-
huyung. Namun sebagai tokoh sakti yang sudah
cukup mengenal pahit getirnya dunia persilatan,
semuanya bisa cepat diatasi.
Sementara amarah Dewa Kegelapan kian
tersulut. Sungguh tak disangka nenek renta di
hadapannya mampu menyarangkan pukulan ber-
tenaga dalam tinggi, begitu serangan pertamanya
gagal. Kendati begitu rasa kesal Dewa Kegelapan
sedikit terobati. Di hadapannya, Nenek Rambut
Putih tengah mengurut dadanya yang tadi terkena
hantaman tangannya. Dan Dewa Kegelapan tahu
si nenek itu tengah menderita luka dalam. Itu bi-
sa dilihat dari wajahnya yang pucat.
Dewa Kegelapan tak ingin menyia-nyiakan
kesempatan. Dengan garangnya diterjangnya Ne-
nek Rambut Putih yang masih mengurut-urut da-
da. Telapak tangan kanannya diarahkan ke dada.
Sedang telapak tangan kirinya siap meremukkan
kepala. "Tua bangka keparat! Terimalah kema-
tianmu hari ini! Heaa...!"
Hebat bukan main serangan Dewa Kegela-
pan kali ini. Sebelum serangan-serangan itu men-
genai sasaran, hawa dingin bukan main telah
menyambar-nyambar kulit.
Nenek Rambut Putih mengeluh tertahan.
"Setan! Tak kusangka pemuda pongah ini
memiliki tenaga dalam hebat!" geram Nenek Rambut Putih dalam hati.
Sebelum serangan itu berubah jadi mala
petaka, Nenek Rambut Putih segera merunduk
seraya memutar tubuhnya ke samping. Bersa-
maan dengan itu, tongkat di tangan kanannya
ikut berputar, langsung menghadang serangan
Dewa Kegelapan.
Bett...! "Ah...!"
Dewa Kegelapan terperangah kaget. Kalau
serangannya diteruskan, sudah pasti kepalanya
akan terkena hantaman tongkat. Padahal, si ne-
nek telah menderita luka dalam. Tapi dari samba-
ran tongkatnya masih terasa angin panas yang
sudah pasti berisi tenaga dalam. Tidak ada pili-
han lain terpaksa serangannya harus ditarik
mundur. "Setan! Rupanya kau punya otak juga, Ne-
nek Keriput! Tapi, jangan bangga dulu. Kau kira
aku tak dapat mengirim nyawa busukmu ke da-
sar neraka, he"! Makanlah bogem mentahku!
Hea...!" Saat itu pula Dewa Kegelapan melontarkan serangan bertubi-tubi dan tak
terduga-duga sama
sekali. Akibatnya, Nenek Rambut Putih jadi kewa-
lahan bukan main. Ia segera berusaha menghin-
dari serangan yang terus berdatangan.
Demi menyelamatkan selembar nyawanya,
terpaksa Nenek Rambut Putih harus berjumpali-
tan ke sana kemari. Entah sudah berapa kali ia
harus bertindak demikian.
"Uts! Uts!"
Tanpa ampun serangan-serangan Dewa
Kegelapan terus mendesak Nenek Rambut Putih.
Bila ada peluang sedikit saja, Dewa Kegelapan tak akan pernah menyia-nyiakannya.
Dan mendadak saja, tangan Dewa Kegelapan menelusup ke per-
tahanan Nenek Rambut Putih. Begitu cepat gera-
kannya, membuat si nenek terperangah.
"Ah...!"
Tak diduga-duga sama sekali, bogem men-
tah Dewa Kegelapan tahu-tahu siap menghancur-
kan kepala. Demi menyelamatkan selembar nya-
wa, mau tak mau Nenek Rambut Putih harus
memutar tongkat di tangan kanan.
Bett! Prakkk! Tongkat di tangan Nenek Rambut Putih
kontan hancur begitu terkena hantaman tangan
Dewa Kegelapan. Hal itu makin membuat paras
Nenek Rambut Putih pucat. Padahal tadi tenaga
dalamnya telah dikerahkan dengan kekuatan pe-
nuh. Tapi, tongkat hitamnya tetap saja tidak
mampu menahan serangan Dewa Kegelapan. Ma-
lah serangan susulan Dewa Kegelapan yang beru-
pa tamparan kali ini jauh lebih berbahaya daripa-
da serangannya.
Tak pelak, Nenek Rambut Putih jadi kecut
nyalinya. Sulit rasanya menghindari tamparan
tangan Dewa Kegelapan. Apalagi dalam jarak yang
demikian dekat. Yang terlihat hanya kelebatan
tangan Dewa Kegelapan, sebelum akhirnya....
Plak! Plakkk! Dua kali tangan Dewa Kegelapan bergerak,
maka dua kali pula kepala Nenek Rambut Putih
terlempar ke samping kanan kiri. Seketika, pe-
rempuan tua itu kehilangan keseimbangan, se-
hingga tubuhnya limbung. Kepalanya yang terke-
na tamparan Dewa Kegelapan terasa mau pecah.
Bahkan darah segar pun kontan menyembur ke-
luar dari mulut.
"Hooekhhhh!"
Dewa Kegelapan tertawa bergelak.
"Kinilah saatnya kau modar di tanganku,
Nenek Keriput!" ejek Dewa Kegelapan, bengis. Kedua telapak tangannya kini telah
berubah jadi hi-
tam legam. "Pukulan 'Darah Iblis'...!" desis Nenek Rambut Putih penuh keterkejutan.
Hati si nenek makin mengkeret. Namun
bukan berarti harus pasrah saja menerima maut.
Kedua telapak tangannya yang telah berubah pu-
tih pun siap pula memapak dengan aji 'Gada Bu-
mi'. "Bagus! Rupanya kau mengenal juga puku-lanku ini. Berarti kau tak akan mati
penasaran!"
Dewa Kegelapan menarik kedua telapak
tangannya ke belakang. Menilik kedua pelipisnya
yang bergerak dan otot-otot lehernya yang mem-
besar, jelas kalau murid Empat Iblis Merah dari
Hutan Seruni itu telah mengerahkan tenaga da-
lam dengan kekuatan penuh.
"Hea...!"
Dikawal bentakan nyaring, tiba-tiba Dewa
Kegelapan mendorongkan kedua telapak tangan-
nya ke depan. Seketika melesat dua larik sinar hitam legam dari kedua telapak
tangannya. Pada
saat yang sama Nenek Rambut Putih menghen-
takkan kedua tangannya, memapak serangan.
Wesss! Wesss! Blaaammm!!! Terdengar satu ledakan hebat ketika dua
kekuatan beradu di satu titik. Bumi berguncang
hebat laksana diamuk badai prahara. Angin aki-
bat bentrokan dua tenaga dalam barusan mem-
buat ranting-ranting pohon hangus terbakar!
Diiringi pekik menyayat hati, Nenek Ram-
but Putih kontan terlempar jauh ke belakang. Tu-
buhnya berputar-putar sebentar, lalu jatuh ber-
debam menghantam tanah.
"Ohh...!"
Nenek Rambut Putih mengeluh hebat. Ke-
dua telapak tangannya terasa terbakar. Sedang
seisi dadanya terasa mau jebol. Perlahan darah
merah menetes dari mulut, lobang hidung, dan
lobang telinga!
"Tua bangka macam kau memang sudah
selayaknya modar! Kau tak pantas lagi malang
melintang di dunia persilatan! Mulai hari ini, akulah yang akan menguasai dunia
Pertarungan Raja Raja Arak 1 Pendekar Pulau Neraka 55 Nyi Roro Sekar Mayang Pendekar Naga Mas 2