Pencarian

Wasiat Kematian 1

Siluman Ular Putih 24 Wasiat Kematian Bagian 1


Hak cipta dan copy right pada
penerbit di bawah lindungan
undang-undang https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
1 Langit di ufuk sebelah barat sana telah
berwarna merah menembaga. Bulatan besar sang
Raja Siang yang mengambang di kaki langit, men-
gisyaratkan kalau hari telah beranjak senja. Bintang-bintang di angkasa mulai
terlihat satu-dua.
Sesekali, terdengar beberapa kicau burung liar di ranting-ranting pohon.
Dari arah matahari terbenam, dua sosok
bayangan tengah berkelebat menuju sebuah hu-
tan kecil. Gerakan mereka cepat luar biasa, seolah mengambang. Hingga dalam
waktu yang tidak
lama, mulai memasuki kawasan hutan.
Srakkk! Srakkk!
Dua sosok bayangan itu menghentikan
langkah di jalan setapak di hutan kecil ini. Untuk sesaat, dua sosok yang
ternyata sepasang anak
muda itu mengedarkan pandang ke sekeliling.
Tak ada sesuatu yang mencurigakan. Hanya de-
sau angin semilir sore yang terdengar.
Sosok gadis yang berada di sebelah kanan
menghela napasnya. Wajahnya cantik. Usianya
kira-kira tujuh belas tahun. Tubuhnya yang
ramping padat dibalut pakaian indah terbuat dari benang sutera warna merah.
Rambutnya digelung
ke atas dihiasi beberapa mutiara indah yang be-
raneka warna. Di pinggangnya tergantung sebilah pedang.
Sosok di samping si gadis adalah seorang
pemuda tampan. Wajahnya berbentuk lonjong
dengan rahang-rahang keras. Rambutnya yang
hitam panjang sengaja dibiarkan tergerai di bahu.
Bentuk tubuhnya yang tinggi kekar dengan otot-
otot bertonjolan. Sebuah rajahan bergambar ular putih kecil tergambar di dada.
Di pergelangan tangannya tampak gelang dari akar bahar me-
lingkar. Pakaiannya rompi dan celana bersisik
warna putih keperakan. Sebuah senjata anak pa-
nah aneh yang dilengkapi dua buah cakra kembar
tampak pula terselip di balik punggung.
"Oh...! Hyang Widi...! Apa yang harus kulakukan" Belum sempat aku bertemu ayah
kan- dungku, kenapa kau tega pisahkan aku dengan
kakak kandungku...?" desah si gadis cantik berbaju merah, perlahan sekali.
Walau gadis itu telah berusaha menahan
hatinya, namun tetap saja sepasang mata berbulu lentik itu basah. Namun agaknya
hal itu sengaja dibiarkan. Membiarkan perasaannya terombang-ambing dalam
kegelisahan yang tak menentu.
Hanya dengan cara itu ia berharap agar kesedi-
han dalam hatinya sirna.
Hingga untuk beberapa saat, si gadis
hanya mampu terisak. Tak ada kata-kata yang
keluar dari bibirnya yang bergetar.
"Kulihat wajahmu pucat pasi. Ada apa,
Yustika?" tanya si pemuda berbaju rompi dan celana putih keperakan.
Gadis yang memang Yustika alias Ratu Adil
tak langsung menjawab. Kepalanya hanya meno-
leh sekilas ke samping, melihat pemuda yang tak lain murid Eyang Begawan
Kamasetyo yang ten-
gah memperhatikan dirinya seksama. Ratu Adil
menghela napas sesak. Pandang matanya pun
kembali dialihkan ke depan.
"Aku menyayangkan sekali kenapa Kakang
Teguh Sayekti harus menemui ajal secepat itu...?"
sahut Ratu Adil, mendesah.
"Jangan terlalu dirisaukan, Yustika. Yang
sudah terjadi tak ada gunanya lagi diingat," hibur Soma. (Untuk mengetahui siapa
dan bagaimana Teguh Sayekti yang bergelar Pembunuh Iblis bisa terbunuh, silakan baca episode:
"Warisan Agung"). "Kedengarannya memang mudah melaku-
kan apa yang kau ucapkan, Soma. Walau aku su-
dah berusaha tabah, aku tetap tak dapat me-
mungkiri hatiku. Aku merasa kehilangan sekali
dengan meninggalnya Kakang Pembunuh Iblis.
Apalagi aku belum dapat menemukan Gendon
Prakoso, ayahku."
"Aku tahu kesulitanmu, Yustika. Aku mak-
lum. Tapi tidak bisakah kau memandang semua
kejadian ini dengan senyum" Dengan hati lapang
tanpa terbebani sesuatu?"
"Itulah yang sulit kulakukan. Soma."
"Kau harus tabah, Yustika."
Ratu Adil menggeleng perlahan. Meski isak
tangisnya sudah reda, namun tetap saja hatinya
masih dililit kesedihan. Dan perasaannya kian tak menentu.
"Aku sudah mencoba tabah, Soma. Tapi,
tetap saja tak bisa. Bertahun-tahun aku merin-
dukan ayah kandungku. Tapi kenyataannya, aku
malah kian terombang-ambing oleh berbagai ma-
cam urusan yang tak kuinginkan sama sekali.
Aku sedih, Soma. Belum sempat aku bertemu
ayah kandungku, harus sudah kehilangan kakak
kandung yang baru saja kutemukan," tandas Ra-tu Adil dengan suara lembut
menyembunyikan kesedihannya. "Kalau kenyataan sudah begitu, kita mau
apa lagi" Tak mungkin kita menyesal maupun
membantah sesuatu yang sudah menjadi kehen-
dak Yang Maha Kuasa," kata Soma, berusaha bi-jak. "Kau belum pernah merasakan
betapa se-dihnya bila mengalami nasib sepertiku. Jadi, wajar saja kalau kau
bicara begitu," terabas Ratu Adil. Kali ini pandangan matanya kembali beralih ke
arah Siluman Ular Putih.
Siluman Ular Putih tersenyum samar.
"Siapa bilang begitu, Yustika" Walau aku
masih memiliki ibu kandung, tapi apa kau pikir, bisa enak-enakkan seperti orang
lain" Tidak! Satu beban berat masih membebani pundakku. Aku
belum puas kalau belum mampu menolong ibu
yang sampai sekarang masih berwujud ular putih
raksasa. Apa itu tidak menyakitkan hatiku?" tukas Siluman Ular Putih tak dapat
mengendalikan perasaan bila sudah teringat akan penderitaan
ibunya. Ratu Adil yang mendengar penjelasan Si-
luman Ular Putih tercekal. "Benarkah apa yang kau ucapkan tadi. Soma?"
"Apa ada gunanya berdusta, Yustika. Sam-
pai sekarang ibuku masih menjelma menjadi ular
putih raksasa. Sedang, ayah kandungku telah te-
was di tangan Manusia Rambut Merah. Sebenar-
nya, aku ingin sekali menemukan makam ayah
kandungku. Tapi, rasanya mustahil. Sebab, se-
waktu ayahku tewas, Manusia Rambut Merah te-
lah membuang mayatnya ke jurang," jelas Soma lagi. (Untuk mengetahui siapa ayah
kandung Siluman Ular Putih yang tewas di tangan Manusia
Rambut Merah, juga untuk mengetahui kenapa
ibu Siluman Ular Putih sampai menjelma menjadi
ular putih raksasa, baca episode perdana : "Miste-ri Bayi Ular").
"Oh...! Tak kusangka kau pun mengalami
nasib serupa. Soma. Lalu, di manakah ibumu se-
karang berada?" tanya Ratu Adil ingin tahu. Pandang matanya pun tak lagi
melecehkan seperti
tadi. "Demi mewujudkan keinginannya untuk menjelma kembali jadi manusia biasa,
sampai sekarang ibuku masih bertapa di puncak Gunung
Bucu bersama eyang. Eyang Begawan Kama-
setyo." "Oh...! Kalau begitu, nasibmu pun tak jauh berbeda denganku. Soma.
Maafkan sikapku tadi."
"Sudahlah! Tak usah kau cemaskan hal
itu!" ujar Siluman Ular Putih. "Sekarang, bagaimana" Apa kau masih ingin
menemukan ayah kandungmu?"
"Tak mungkin aku membatalkan niatku.
Soma. Walau sampai kapan pun, aku akan terus
mencarinya."
"Tentunya kau tak keberatan kalau aku
membantunya, bukan?" ujar Siluman Ular Putih disertai senyum manis. Padahal
sewaktu tadi ber-cerita mengenai keadaan ibunya, hati Soma sem-
pat dibaluri perasaan sedih. Namun dengan ce-
pat, kali ini perasaannya sudah dapat dikendalikan kembali.
Ratu Adil tak menjawab. Mengangguk pun
tidak. Namun menilik senyumnya yang samar
terkembang di bibir, Siluman Ular Putih jadi kian memperlebar senyumnya.
"Ayo, kita lanjutkan perjalanan!" ajak So-ma. Tangannya segera meraih lengan
Ratu Adil. Yustika tak keberatan. Diam-diam hatinya
senang sekali diperlakukan lembut seperti itu.
Namun baru saja mereka hendak meninggalkan
tempat itu, tiba-tiba saja....
Siang berganti siang
Malam berganti malam
Langkahku tetap tertatih
Tetap tertuju ke satu arah.
Tak ada jemu yang membelenggu
Sebab aku tahu, kesedihan hanya perasaan
semu Kenapa aku harus terharu"
Bukan itu sikap Penghamba Sejati
Sebab Rahmat Ilahi terpentang di depan
mata Mari kita teguh
Mari kita tegakkan dada
Niscaya segalanya kan berlalu....
Ratu Adil dan Siluman Ular Putih sejenak
termangu di tempat masing-masing begitu men-
dengar suara yang tengah mendendangkan bait-
bait syair. Apalagi mereka merasa tersindir oleh kata-kata dalam syair itu.
Namun anehnya, mereka sulit sekali menangkap makna sesungguh-
nya. Tapi yang jelas, suara halus itu jelas milik seorang perempuan karena
terdengar halus.
Sementara suara merdu itu tak henti-
hentinya mendendangkan bait-bait syair. Lama
kelamaan suaranya terdengar jelas. Tak selang
beberapa lama, terlihat sesosok bayangan hijau
tengah melenggang santai di jalan setapak dengan payung yang juga berwarna hijau
terkembang di tangan kanan. "Siapakah dia, Soma" Tampaknya bait-bait
syairnya tadi seperti menyindir kita," bisik Ratu Adil di telinga Soma.
Siluman Ular Putih hanya menggeleng. En-
tah, apa makna gelengan kepalanya. Namun ma-
tanya terus ditujukan ke arah sosok bayangan hijau yang tengah mendekati tempat
itu. 2 Kening Siluman Ular Putih dan Ratu Adil
kian berkerut melihat sosok bayangan hijau yang semakin dekat ternyata seorang
gadis cantik. Usianya pun tak jauh berbeda dengan Ratu Adil.
Lima depa di hadapan Soma, gadis itu menghen-
tikan langkah. Terlihat tubuhnya yang tinggi
ramping terbalut pakaian ketat warna hijau pu-
pus tampak demikian menggiurkan. Padat berisi
dengan sepasang buah dada montok. Apalagi dari
tubuhnya menebarkan aroma harum bunga mela-
ti. Sedang rambut panjangnya yang hitam dige-
lung ke atas dengan hiasan-hiasan permata hijau.
Siluman Ular Putih dan Ratu Adil makin
kagum saja melihat kemunculan gadis itu. Bukan
saja kagum pada kecantikannya, tapi juga pada
kepandaiannya. Jarak di antara mereka tadi cu-
kup jauh. Namun dengan menggunakan langkah-
langkahnya yang aneh, ternyata gadis berpakaian serba hijau itu mampu berada di
tempat ini dalam waktu singkat! Lebih dari itu, rasa-rasanya bait-bait syair
yang tadi didendangkannya pun tak sesuai dengan usianya yang masih muda!
Sambil memutar-mutar gagang payung hi-
jau yang disandarkan di pundak, gadis berpa-
kaian hijau itu terus memperhatikan Siluman
Ular Putih dan Ratu Adil. Sementara senyumnya
yang manis tak pernah hilang dari bibirnya.
"Wahai, sahabat-sahabat mudaku! Aku tak
tahu, apakah kalian benar-benar tak menyukai
kehadiranku, atau justru tak menyukai bait-bait syairku yang kudendangkan tadi.
Yang manakah yang benar?"
Siluman Ular Putih dan Ratu Adil sejenak
saling berpandangan. Makin kagum saja mereka"
Bagaimana mungkin suara pembicaraan mereka
dapat didengar oleh gadis cantik itu. Padahal jarak mereka tadi cukup jauh
sebelum gadis itu
mendendangkan bait-bait syair!
"Maafkan kami, Sobat! Sebenarnya bukan
maksud kami tak menyukai kehadiranmu di sini.
Terus terang, kami hanya merasa tersindir oleh
syair-syairmu tadi," ucap Soma, jujur.
"Oh..., begitu...?" Si gadis mengangguk-anggukkan kepala. "Kalau begitu, aku
yang harus minta maaf. Syair-syairku tadi tak bermaksud
menyindir kalian. Ada apakah sebenarnya" Kena-
pa sobatku yang cantik ini tampak murung?"
"Begini...," Siluman Ular Putih mulai menjelaskan. "Tapi sebelumnya, perkenalkan
dulu sobatku yang cantik ini. Namanya Yustika. Ia lebih dikenal sebagai Ratu
Adil. Sedang aku adalah
Soma. Kau sendiri siapa, Kawan?"
"Hm...! Kau tak menyebutkan gelarmu.
Pasti kau menyembunyikan sesuatu. Tapi, tak
mengapa. Cuma kalau boleh kunasihati, jangan-
lah kalian terlalu tenggelam dalam kesedihan. Te-rutama sekali kau, wahai sobat


Siluman Ular Putih 24 Wasiat Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

baruku Ratu Adil!" Gadis berbaju hijau itu menudingkan telunjuk jari ke arah murid Ratu
Alit. "Tunggu! Boleh saja kau menasihati. Tapi,
katakan dulu siapa kau! Masa' kami sudah mem-
perkenalkan diri, kau tak mau menyambut rasa
persahabatan kami?" potong Siluman Ular Putih.
Si gadis tersenyum.
"Tampaknya kau bernafsu sekali mengenal
siapa aku, wahai sobatku Siluman Ular Putih."
"Hey..." Kau sudah tahu julukanku" Dari
mana kau tahu" Rasa-rasanya baru kali ini aku
mengenalmu?" Siluman Ular Putih terperangah.
Lagi-lagi si gadis berbaju hanya menyung-
gingkan senyum.
"Tak usah kau ributkan persoalan itu, wa-
hai sobatku Siluman Ular Putih! Rajahan kecil di dadamu itu semakin membuatku
yakin kalau kaulah Siluman Ular Putih yang akhir-akhir ini
membuat gempar dunia persilatan."
"Ya ya ya...! Tapi, siapa kau sebenarnya?"
putus Siluman Ular Putih tak sabar.
"Diterangkan pun kau tak kan mengerti.
Karena, aku sendiri juga tak tahu siapa namaku.
Hanya kalau tak salah ingatanku, dulu banyak
orang yang menyebutku dengan panggilan Putri
Hijau." "Putri Hijau"!"
Siluman Ular Putih kaget bukan main.
Meski belum pernah bertemu, namun menurut
cerita eyangnya di Gunung Bucu, Putri Hijau adalah seorang tokoh papan atas
dunia persilatan
yang jarang sekali menemui lawan tanding.
Usianya sebenarnya amat tua. Mungkin sudah se-
ratus tahun lebih. Namun berkat kepandaiannya
yang amat tinggi, Putri Hijau mampu merubah
keadaan dirinya sesuai dengan perhitungan tang-
galan bulan. Konon, banyak tokoh sakti dunia
persilatan yang menyebarkan desas-desus kalau
kemunculan Putri Hijau sering membawa kebe-
runtungan bagi orang yang ditemui.
Kebetulan sekali sore itu bulan sabit terli-
hat menggantung di ufuk langit sebelah timur.
Hal ini menandakan kalau perhitungan tanggal
bulan masih muda. Maka sosok di hadapan Silu-
man Ular Putih dan Ratu Adil yang bergelar Putri
Hijau itu berupa sosok seorang gadis cantik!
Menyadari siapa tokoh di hadapannya, bu-
ru-buru Siluman Ular Putih menarik lengan Ratu
Adil. Dan bersamaan, mereka berlutut di hadapan Putri Hijau.
"Maafkan kelancangan kami, Orang Tua.
Sungguh mata kami buta tak tahu tengah berha-
dapan dengan Putri Hijau yang sangat dihormati
tokoh-tokoh dunia persilatan."
Putri Hijau tersenyum-senyum, merasa lu-
cu mendengar ucapan Siluman Ular Putih. Se-
dang Ratu Adil yang belum tahu siapa Putri Hijau hanya mengerutkan kcningnya.
Heran. "Hik hik hik...! Kulihat matamu masih me-
lek. Masa' aku yang masih muda belia begini di-
panggil orang tua" Pakai berlutut lagi. Ayo, bangun! Masa' berlutut di hadapan
seorang gadis"
Memalukan saja!" ujar Putri Hijau.
"Benar, Soma. Kenapa kita mesti berlutut"
Toh, usianya tak jauh berbeda dengan kita?"
tambah Ratu Adil.
"Kau benar, wahai sobatku Ratu Adil. Ayo,
bangun!" ujar Putri Hijau lagi, tetap tak dapat menyembunyikan geli dalam hati.
Siluman Ular Putih sebenarnya ingin mem-
bantah. Namun karena lengan dan pundaknya
keburu ditarik Ratu Adil dan Putri Hijau, akhirnya pemuda itu menurut saja.
"Nah...! Kalau begini kan enak. Masa' pakai berlutut segala," kata Putri Hijau.
Siluman Ular Putih kesal bukan main. Sak-
ing kesalnya ia hanya garuk-garuk kepala.
"Sobatku Putri Hijau! Bolehkah aku ber-
tanya padamu?" kata Ratu Adil.
"Boleh. Katakan saja! Jangan sungkan-
sungkan seperti pemuda gondrong itu!" tuding Putri Hijau ke arah murid Eyang
Begawan Kamasetyo. Siluman Ular Putih meringis.
"Begini...," Ratu Adil menghela napasnya sebentar. "Terus terang, aku sedang
mencari seseorang yang bernama Gendon Prakoso. Apa kau
mengenal nama itu?"
"Wahai, sobatku Ratu Adil! Sungguh satu
pekerjaan sulit mencari tokoh dunia persilatan
hanya dengan mengetahui namanya saja. Sebab,
kau pun tahu, banyak tokoh dunia persilatan
yang lebih senang disebut julukannya. Apa kau
tidak tahu julukan orang yang kau maksud?"
Ratu Adil menggeleng pelan. "Sayang sekali aku tak tahu, Putri Hijau."
"Hm...! Kalau begitu, kau akan menemui
banyak kesulitan."
"Aku sudah menemui banyak kesulitan,
Putri Hijau. Tapi sesulit apa pun, aku harus dapat menemukan ayah kandungku,"
tegas Ratu Adil. "Ya ya ya...! Tadi aku memang mendengar pembicaraan kalian. Dan kau
menyebut-nyebut
nama ayah kandungmu. Tapi, kalau tak salah
dengar, tadi kau pun menyebut-nyebut nama
Pembunuh Iblis" Siapakah dia?"
"Dia kakak kandungku yang baru saja ku-
temukan. Tapi sayang, dia telah tewas di tangan
Hantu Tangan Api," jelas Ratu Adil. Mendadak, wajahnya jadi murung.
"Wahai, sobatku Ratu Adil! Tadi bukankah
aku sudah menasihatimu" Jangan terlalu tengge-
lam dalam kesedihan. Ambillah sesuatu yang
menguntungkan di balik semua kejadian itu!"
"Mustahil! Mana mungkin aku mengambil
keuntungan dari kejadian-kejadian yang menya-
kitkan hatiku itu"! Belum juga aku bertemu ayah kandungku, eh, malah Kakang
Pembunuh Iblis tewas. Keuntungan apa yang bisa kuambil dari
kejadian ini, Putri Hijau?" tukas Ratu Adil.
"Wahai, sobatku Ratu Adil! Tenangkanlah
hati dan pikiranmu, niscaya kabut yang menyeli-
muti hatimu akan sirna. Cobalah menarik hik-
mah yang tersembunyi di balik kejadian itu. Ten-tu kau akan berpikir lain.
Seandainya saja kakak kandungmu yang bergelar Pembunuh Iblis itu tak
tewas di tangan Hantu Tangan Api, mungkin ka-
kak kandungmu akan tertimpa satu musibah
yang melebihi dari kematian," papar Putri Hijau.
"Maksudmu...?"
"Yah...! Semua itu tergantung dari Hyang
Widi. Sebab, aku yakin, sesungguhnya Hyang Wi-
di itu sedang menginginkan sesuatu yang baik
darimu. Untung saja, hanya kakak kandungmu
saja yang tewas di tangan Hantu Tangan Api. Tapi kalau kau dan juga pemuda
gondrong itu tewas,
apa itu bukan celaka namanya?"
"Hm...! Ya ya ya...! Samar-samar aku mulai paham, Putri Hijau. Lalu, mengapa
sampai sekarang aku belum menemukan siapa ayah kan-
dungku?" "Itu pun merupakan sebagian dari kehen-
dak-Nya. Kalau misalnya kau bertemu dengan
ayah kandungmu sejak dulu, mustahil kau akan
jadi gadis lembut seperti ini. Mungkin, malah sebaliknya. Jadi, pintar-pintarlah
mengambil hik- mah dari kejadian-kejadian yang menimpa. Jan-
gan malah sebaliknya!" urai Putri Hijau.
"Kalau mendengar bicaramu, rasanya aku
jadi lega. Tapi, apakah aku bakal dapat menemu-
kan ayah kandungku, Putri Hijau?" cetus Ratu Adil, seperti kurang yakin.
"Tentu. Semua itu tergantung usaha. Bu-
kankah begitu, wahai sobatku Siluman Ular Pu-
tih" Kenapa melongo saja?" tukas Putri Hijau, ti-ba-tiba melemparkan pendapatnya
pada Siluman Ular Putih. Soma yang memang sedang melongo men-
dengarkan pembicaraan Putri Hijau dan Ratu Adil jadi tersentak kaget.
"Aku.... Aku...! Habis aku senang sekali
mendengar caramu bicara tadi, Orang Tua."
"Hush...! Jangan panggil aku orang tua!"
semprot Putri Hijau.
"Lalu, aku harus memanggil apa?"
"Terserah! Asal jangan orang tua."
"Baik. Aku akan memanggilmu seperti ka-
wanku memanggilmu, sobatku Putri Hijau," cetus Soma akhirnya.
"Bagus! Memang itulah yang kuinginkan.
Sekarang, silakan kalau kalian ingin melanjutkan perjalanan! Aku sendiri rasa-
rasanya juga sudah
terlalu lama berada di tempat ini. Selamat tinggal!" Saat itu juga Putri Hijau
segera melangkah seperti waktu datangnya. Namun hebatnya,
meskipun seperti melangkah biasa, tiba-tiba sosoknya telah melesat jauh di depan
sana. Lalu sebentar saja tubuhnya telah menghilang ke arah
barat. 3 Siang itu panas matahari terasa terik me-
manggang bumi. Hamparan tanah di sekitar Hu-
tan Curug Muncar terlihat kering kerontang di
sana sini. Sementara angin berhembus semilir,
menggoyang-goyangkan pepohonan dan semak
belukar di sekitarnya.
Searah hembusan angin siang, seorang le-
laki bertubuh tinggi besar tengah tertatih-tatih menyeret langkahnya. Parasnya
yang kasar tampak pucat pasi. Sedang sepasang matanya yang
jalang bergerak-gerak liar ke sana kemari, seperti ingin meminta bantuan
seseorang. Namun di hutan sesunyi itu rasanya sulit menemukan orang
yang dimaksudkan.
Lelaki berjubah kuning ini mengeluh beru-
lang-ulang. Tampak sekali kalau keadaannya su-
dah sangat payah. Rambutnya yang gondrong te-
lah kusut masai tak terurus. Bercak-bercak darah pun tampak masih membekas di
jubah kuning-nya, pertanda tengah menderita luka dalam yang
cukup parah. "Sial! Gara-gara Dewa Kegelapan dan Em-
pat Iblis Merah dari Hutan Seruni, nasibku jadi begini. Sudah kehilangan
kekuasaan di Hutan
Kenjeran, masih pula menderita luka dalam oleh
salah satu dari Empat Iblis Merah dari Hutan Seruni itu. Oh.... Ke mana lagi aku
harus mencari pertolongan?" sambil merutuki nasibnya, sepasang mata lelaki itu
beredar ke sekeliling. Berharap kalau ada orang yang sudi mengobati luka
dalamnya. Memang, lelaki ini tak lain dari Gembong
Kenjeran dari Hutan Kenjeran. Semula, ia adalah pimpinan rampok yang berkuasa di
sekitar Hutan Kenjeran. Namun ketika tiba-tiba didatangi oleh Dewa Kegelapan yang hendak
merebut daerah kekuasaannya, sekaligus ingin menjadikan anak
buahnya, nasib telah merubah jadi pecundang.
Pada awalnya, Gembong Kenjeran memang tidak
sudi diperlakukan seperti itu. Sebagai seorang
pimpinan rampok jelas hatinya sangat tersing-
gung. Maka, terjadilah pertarungan dahsyat.
Akan tetapi Gembong Kenjeran yang dibantu pu-
luhan anak buahnya ternyata tak mampu mela-
deni sepak terjang Dewa Kegelapan. Banyak anak
buahnya yang tewas di tangan murid Empat Iblis
Merah dari Hutan Seruni itu. Bahkan Gembong
Kenjeran sendiri pun tak luput dari pukulan maut
'Darah Iblis' milik Dewa Kegelapan yang teramat keji. (Baca serial Siluman Ular
Putih dalam episode: "Titisan Alam Kegelapan").
Akhirnya Gembong Kenjeran dan anak
buahnya pun dapat ditaklukkan oleh Dewa Kege-
lapan. Namun kekuasaan Dewa Kegelapan yang
ingin menguasai dunia persilatan tak berlangsung lama, tatkala Siluman Ular
Putih datang mengo-brak-abrik. Dan sewaktu terjadi pertarungan sengit antara
Dewa Kegelapan dan Siluman Ular Pu-
tih, Gembong Kenjeran yang berakal cerdik segera melarikan diri. Kemudian lelaki
telengas ini melaporkan kejadian yang menimpa Dewa Kegelapan
pada Empat Iblis Merah dari Hutan Seruni. Na-
mun, apa yang diharapkan dari jerih payahnya
hanya menemui kesia-siaan. Malah dengan cara
kasar Gembong Kenjeran diusir oleh Empat Iblis
Merah dari Hutan Seruni. Bahkan salah seorang
dari Empat Iblis Merah menghadiahi satu puku-
lan maut. Untung saja Gembong Kenjeran masih
sanggup bertahan. Walau dengan menderita luka
dalam cukup parah, akhirnya ditinggalkannya
Hutan Seruni. (Untuk lebih jelasnya mengenai hal ini, harap baca pula episode:
"Tapak Merah Darah"). "Setan alas! Seumur hidupku belum pernah aku diperlakukan
sehina ini. Tak mungkin
aku membiarkan penghinaan ini begitu saja.
Tunggulah pembalasanku, Empat Iblis Merah ke-
parat!" dengus Gembong Kenjeran seraya menahan amarahnya yang menggelegak.
Sambil terus melangkah terseret, beberapa
saat mata Gembong Kenjeran masih jelalatan ke
sana kemari. Ternyata harapannya terpangkas. Di hutan itu ia tak menemukan
seorang pun. Namun semakin melangkah masuk ke da-
lam hutan, tiba-tiba Gembong Kenjeran menden-
gar gemericik suara air. Dengan tertatih-tatih lelaki ini melangkah ke arah
sebatang pohon. Dan
dengan napas memburu disandarkannya tubuh-
nya di situ. Karena terdorong rasa haus yang seolah ingin membakar tenggorokan,
diputuskan-nya untuk mendekati sumber air.
Namun, Gembong Kenjeran tidak segera
meneruskan niatnya. Sebentar ia menenangkan
diri dengan sedikit mengerahkan tenaga dalam.
Sejurus kemudian kembali kakinya melangkah
tertatih-tatih ke arah sumber air.
Tiba di sumber air, mata Gembong Kenje-


Siluman Ular Putih 24 Wasiat Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ran kontan membelalak lebar. Di hadapannya kini terlihat sebuah sendang dengan
air terjunnya ke-biruan diapit oleh tebing-tebing terjal berlumut hijau. Sendang
kecil itu terus bergolak, dan men-galirkan airnya ke sungai di samping.
Melihat air jernih kebiru-biruan yang me-
limpah di hadapannya, Gembong Kenjeran buru-
buru mendekati bibir sendang. Di musim kema-
rau yang berkepanjangan ini, memang tak mudah
bagi orang untuk menemukan sumber air sejernih
itu. Maka begitu berada di dekat bibir sendang, Gembong Kenjeran segera meraup
airnya dengan kedua telapak tangan. Langsung dihirupnya air
jernih itu puas-puas. Tak puas dengan itu, segera dibasuhnya muka, tangan, dan
kakinya. Terasa segar kini tubuh Gembong Kenje-
ran. Sebagian jubahnya yang besar dan rambut-
nya yang awut-awutan basah oleh air sendang.
Sejenak lelaki ini mendongakkan kepala ke atas.
Tebing-tebing terjal di hadapannya begitu kokoh menjulang ke angkasa, laksana
raksasa-raksasa
hijau yang tegak kaku menantang langit.
Ketika Gembong Kenjeran tengah asyik
menikmati pemandangan indah di hadapannya,
tiba-tiba telinganya mendengar suara seruling
yang ditiup sayup-sayup. Wajah Gembong Kenje-
ran pun kontan berseri. Harapannya yang tadi
sirna kembali tumbuh.
"Ah...! Siapakah orang yang meniup suling
itu?" tanya Gembong Kenjeran dalam hati.
Sejenak pandangan lelaki itu beredar ke
sana kemari, mencari-cari sumber suara. Namun
entah kenapa, sumber suara itu sulit sekali dica-ri, karena seperti menggema di
segenap penjuru.
Nada tiupan seruling itu pun terasa semakin me-
nusuk ke dalam relung hatinya yang paling da-
lam. "Setan! Kenapa hatiku jadi gelisah begini"
Sepertinya suara tiupan suling itu membuat hati-ku gundah. Seolah ingin mengajak
untuk mengu- bur dendam yang berkarat, sekaligus meninggal-
kan jalan sesat yang selama ini kutempuh. Edan!
Siapakah peniup suling keparat itu!" dengus Gembong Kenjeran merasa kesal
mendengar tiupan suling itu. Hatinya yang tengah diamuk api dendam, jelas merasa
panas sekali mendengar tiupan-tiupan suling itu.
Tanpa pikir panjang, Gembong Kenjeran
segera keluar dari sendang. Bagian bawah tubuh-
nya sampai lutut tampak basah oleh air sendang.
Namun semua itu tak dipedulikannya. Kakinya
terus melangkah menuju sumber suara tiupan se-
ruling tadi. Dari balik semak belukar yang meranggas,
Gembong Kenjeran dapat menemukan sumber
suara yang dicari. Ternyata si peniup seruling
adalah seorang lelaki tua yang umurnya sulit sekali ditafsir. Tubuhnya kurus
kering seolah tak bertenaga dibalut kain putih yang diselempang-kan begitu saja.
Seperti warna pakaiannya, ram-
but orang tua itu pun berwarna putih digelung ke atas. Wajah si kakek tampak
demikian teduh menyisakan sisa-sisa ketampanannya di waktu
muda. Sepasang matanya pun mencorong laksa-
na sepasang mata rajawali. Sambil duduk di atas batu putih besar, kakek renta
itu asyik sekali
meniup serulingnya, seolah-olah tak ingin peduli terhadap keadaan sekitar.
"Edan! Tak kusangka tua bangka jelek itu
yang meniup suling. Hm...! Tapi, tak mengapa.
Asal tua bangka itu sudi mengobati luka dalam-
ku...," kata Gembong Kenjeran, menindih rasa tak puasnya begitu melihat orang
yang meniup seruling. Saat itu pula Gembong Kenjeran kembali
melangkah mendekat. Namun anehnya, si kakek
sedikit pun tak pedulikan oleh kedatangan Gem-
bong Kenjeran. Malah perasaannya semakin teng-
gelam oleh permainan serulingnya.
"Tua bangka jelek! Apa kau tak mendengar
kedatanganku, hah"!" bentak Gembong Kenjeran tiba-tiba. Kalau saja tak
memerlukan pertolongan
ingin rasanya lelaki telengas ini mengepruk hancur batok kepala kakek renta itu.
Untung saja amarahnya masih dapat ditahan.
Si kakek tak buru-buru menyahut. Perla-
han-lahan serulingnya diturunkan ke pangkuan.
Namun perhatiannya masih belum juga dialihkan
ke arah Gembong Kenjeran.
"Setan! Kau jangan menjual lagak di hada-
pan Gembong Kenjeran, Tua Bangka Jelek!" maki Gembong Kenjeran lagi.
"Bagi orang yang mengerti, perbuatan bu-
kanlah suatu jawaban pasti. Semua tak lepas dari hati dan niat suci yang
terkandung dalam hati
sanubari. Buat apa orang mengagungkan perbua-
tan kalau hanya ingin menipu diri sendiri" Sekali lagi, hanyalah niat suci dalam
hati. Bukankah niat suci itu lebih mulia dibanding sabda raja
yang lalim. Walau dipuji, namun sebenarnya di-
caci. Apa enaknya hidup menanggung caci maki,
kalau sudah terbebani suatu tanggungan?"
"Tua bangka jelek! Aku tak butuh khot-
bahmu! Aku tak butuh ocehanmu! Buat apa kau
ngoceh ngalor-ngidul kalau tak jelas juntrung-
nya!" dengus Gembong Kenjeran kesal bukan
main. "Begitulah kalau hati sanubari sudah tertu-tup nafsu. Apa pun yang ada di
depan selalu membuat hati jadi terpisah jauh dari keinginan
yang sebenarnya. Semua serba gelap. Mengam-
bang!" "Tua bangka budek! Aku tak butuh ocehanmu!" terabas Gembong Kenjeran
kasar bukan main. Di akhir kalimatnya, kaki kanan Gembong
Kenjeran menghentakkan kuat-kuat ke bawah.
Seketika lobang besar kontan tercipta dari bekas pijakan kakinya. Sedang Gembong
Kenjeran sendiri telah berpindah dua tombak di hadapan si
kakek. Sementara, tanah dan bebatuan berpenta-
lan ke sana kemari, membuat tempat itu jadi ge-
lap. Namun anehnya kakek renta di hadapan
Gembong Kenjeran malah menyunggingkan se-
nyum. Sedikit pun hatinya tidak tersinggung atas kekasaran sikap maupun omongan
Gembong Kenjeran. "Anak manusia! Kulihat luka di tubuhmu
masih belum seberapa bila dibanding luka hati-
mu. Buanglah semua yang membebani hatimu.
Niscaya kau akan hidup tenang selama-lamanya,"
ujar kakek renta itu arif. Nada suaranya pun enak didengar telinga.
Gembong Kenjeran yang tak dapat lagi
mengendalikan amarah malah maju selangkah ke
depan. Kedua telapak tangannya yang terkepal
erat, siap meremukkan batok kepala orang tua
itu. Namun belum sempat meneruskan niatnya....
"Anak manusia! Kulihat dalam tubuhmu
mengeram satu hawa racun keji. Apakah kau ba-
ru saja terkena pukulan 'Darah Iblis' milik Penghuni Kubur?" tanya kakek itu
kalem. Gembong Kenjeran tercekat tak melan-
jutkan niatnya. Untuk sesaat matanya hanya
memandangi kakek renta di hadapannya terhe-
ran-heran. Lalu, perlahan-lahan kedua telapak
tangannya yang terkepal erat pun diturunkan.
"Edan! Kalau tua bangka ini sampai tahu
bahwa aku terkena pukulan 'Darah Iblis', bukan
mustahil kesaktiannya hebat. Kukira...."
"Anak manusia! Kenapa diam" Kenapa tak
menjawab pertanyaanku" Apa benar Penghuni
Kubur yang telah mencelakakanmu?" tanya si kakek membuyarkan kegusaran hati
Gembong Ken- jeran. "Bukan Penghuni Kubur. Tapi Dewa Kegelapan dan Empat Iblis Merah dari
Hutan Seruni- lah yang telah mencelakakanku," sahut Gembong Kenjeran ketus.
"Oh...! Pantas. Empat Iblis Merah adalah
adik-adik seperguruan dari Penghuni Kubur. La-
lu, siapakah Dewa Kegelapan itu" Rasa-rasanya
aku belum pernah mendengar namanya?"
"Dia murid Empat Iblis Merah!"
"Hm...! Jadi tetap saja ada hubungannya
dengan Penghuni Kubur," gumam kakek renta itu seraya menganguk-angguk. (Untuk
mengenal siapa Penghuni Kubur lebih lanjut silakan ikuti:
"Murka Penghuni Kubur").
Gembong Kenjeran diam tak menyahut.
Kali ini sikapnya mulai lunak, enggan untuk berlaku kasar terhadap kakek renta
di hadapannya. Sebab ia tahu, kakek renta di hadapannya pasti
memiliki ilmu yang tinggi. "Tapi, siapakah sebenarnya tua bangka ini" Kalau ia
mengenal Peng- huni Kubur, bisa jadi tua bangka ini adalah salah seorang tokoh papan atas dunia
persilatan. Tapi,
siapa" Kalau melihat ciri-cirinya, jangan-jangan dia adalah...."
Ketika otak Gembong Kenjeran mem-
bayangkan suatu nama, matanya langsung berbi-
nar. "Orang tua! Apakah kau yang bergelar Eyang Bromo?" tanya Gembong Kenjeran
tiba-tiba. Kali ini nada bicaranya berubah sangat lunak, tak seperti tadi.
"Nama hanyalah satu hiasan yang banyak
bertebaran di muka bumi ini. Bernama maupun
tak bernama, sebenarnya manusia itu sama saja.
Semua tergantung dari hati nurani, akal pikiran, dan perilaku," kata lelaki tua
yang sebenarnya memang Eyang Bromo.
"Terserah kau mau ngomong apa, Orang
Tua! Yang jelas, aku yakin kaulah yang bergelar Eyang Bromo yang merupakan
seorang tokoh papan atas dunia persilatan nyaris tanpa tanding.
Jika kau tadi tahu kalau dalam tubuhku menge-
ram satu hawa racun, harap sudilah menolongku,
Orang Tua!" pinta Gembong Kenjeran.
"Tolong menolong adalah ungkapan rasa
manusiawi sebagai penghuni alam mayapada ini.
Bila hati nurani bicara, semua akan terasa indah.
Semua akan terasa sama. Tak peduli itu rakyat
jelata, pengemis, saudagar, maupun raja sekali-
pun. Hati yang buta hanya akan menyebabkan
rasa kasih yang terpangkas. Membeda-bedakan
satu dengan lainnya. Padahal, di muka bumi ini
semua manusia sama. Kenapa...."
"Orang tua! Terus terang aku tak mengerti
apa maksud ucapanmu! Aku hanya ingin kau
mengobati lukaku. Tak lebih," potong Gembong Kenjeran tak sabar.
Namun sebenarnya lelaki ini merasa heran.
Sewaktu Eyang Bromo bicara tadi hatinya seperti merasakan satu hawa dingin.
Ucapan-ucapan si
kakek seolah menembus ke dalam relung hatinya
yang paling dalam, sekaligus juga membuat hawa
panas yang mengeram dalam tubuhnya sirna!
"Seperti kukatakan tadi, sebenarnya hawa
racun keji yang mengeram dalam tubuhmu masih
kalah keji dibanding apa yang tersirat dalam hati nuranimu. Itulah sebenarnya
yang harus kau obati, Anak Manusia! Jangan tanyakan aku bagai-
mana caranya" Melainkan, kaulah sendiri yang
dapat mengobati luka hatimu," ungkap Eyang Bromo. Gembong Kenjeran bergetar.
Hawa dingin yang keluar dari ucapan Eyang Brono kini dirasakannya kian menindih hawa panas
yang menga- duk-aduk dalam hatinya. Hingga tanpa disadari,
luka dalam yang diderita Gembong Kenjeran pun
sembuh seperti sedia kala!
"Orang tua! Jangan memancingku untuk
bertindak kasar padamu! Aku hanya ingin kau
menyembuhkan luka dalamku. Tapi, kenapa kau
malah bicara ngalor-ngidul tak ketahuan jun-
trungnya"!" hardik Gembong Kenjeran.
Kali ini, kembali amarah Gembong Kenje-
ran tersulut. Padahal, tadi sempat padam begitu menyadari orang tua di
hadapannya adalah
Eyang Bromo. "Ucapan bukan berarti tinggal ucapan. Hati nurani yang bersih dapat memilah,
mana kata-kata yang benar dan mana yang salah."
"Eyang Bromo! Tak ada gunanya kau me-
nasihatiku! Aku muak dengan kata-katamu! Se-
karang, tinggal pilih mau menyembuhkan luka
dalamku atau tidak"!" ancam Gembong Kenjeran sengit. Kalau seandainya di
hadapannya bukan
Eyang Bromo, sudah pasti kepalan tangan Gem-
bong Kenjeran sudah menebas sasaran. Namun
bagaimanapun juga, lelaki telengas ini tak berani bertindak gegabah. Ia cukup
tahu, siapa Eyang
Bromo yang sangat disegani. Baik di kalangan
orang-orang golongan putih, maupun orang-orang
golongan hitam.
Melihat kemarahan Gembong Kenjeran,
Eyang Bromo hanya tersenyum. Sepasang ma-
tanya yang tajam sempat melirik ke telapak tan-
gan Gembong Kenjeran yang sudah terkepal erat.
"Aku yakin. Sepeninggal ku nanti, kau pas-
ti akan menyadari apa kekeliruanmu. Juga, me-
nyadari apa yang telah kulakukan padamu. Sela-
mat tinggal, Anak Manusia!"
"Tunggu! Kau belum melakukan apa pun
terhadapku!" cegah Gembong Kenjeran kesal bukan main.
Namun Eyang Bromo tak mau peduli. Ka-
rena hanya sekali menutulkan tangannya ke ba-
wah, tiba-tiba sosoknya telah melenting tinggi ke udara. Begitu kakinya menjejak
tanah, tubuhnya
pun telah berkelebat cepat luar biasa, mendaki
tebing curam di hadapan Gembong Kenjeran. Se-
dikit pun ia tak merasa terganggu oleh licinnya tebing curam yang berlumut itu.
Sebentar saja, sosoknya menghilang di balik mulut tebing hijau jauh di atasnya.
Melihat kehebatan ilmu meringankan tu-
buh Eyang Bromo, mau tidak mau Gembong Ken-
jeran jadi berdecak kagum. Rasanya sulit masuk


Siluman Ular Putih 24 Wasiat Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akal kalau orang tua renta yang tampaknya tak
bertenaga itu mampu mendaki tebing terjal di hadapannya dengan kecepatan luar
biasa! "Edan! Benar-benar lihai, Tua Bangka Ke-
parat itu! Hm...! Tak heran kalau ia menduduki
papan atas dunia persilatan. Tapi, sial! Ia tak mau menyembuhkan luka dalamku.
Eh..., tunggu! Kenapa hawa panas yang mengaduk-aduk da-
lam tubuhku sirna" Kenapa tiba-tiba saja tubuh-
ku jadi segar begini" Apa yang telah dilakukannya padaku" Bukankah tadi ia tak
melakukan apa-apa selain bicara" Tapi, kenapa luka dalamku
sembuh seperti sediakala" Ah...! Menyesal sekali aku telah memperlakukannya
kasar. Hm.... Jelas!
Secara diam-diam, Eyang Bromo pasti telah me-
nyembuhkan luka dalamku. Entah dengan cara
apa luka dalamku bisa disembuhkan olehnya...."
Gembong Kenjeran tak henti-hentinya ber-
decak kagum. Sebenarnya kalau lelaki ini mau
berpikir, justru dari ucapan-ucapan Eyang Bromo yang bermakna tinggi itulah luka
dalamnya bisa disembuhkan. Tapi sayang, memang otaknya ter-
lalu bebal. Ditambah, hatinya telah tersaput dendam. Sehingga ia tak mampu
berpikir sejauh itu.
4 Sejak meninggalkan Curug Muncar, Gem-
bong Kenjeran bertekad akan mencari seorang
guru yang memiliki kesaktian tinggi. Rasa den-
damnya pada Siluman Ular Putih dan pada Em-
pat Iblis Merah dari Hutan Seruni yang sampai
sekarang dikira masih hidup, tak mungkin dapat
ditepiskan begitu saja. Bagaimanapun juga, sela-ma nyawa masih di kandung badan,
lelaki ini bertekad akan menuntut balas. Malah kalau perlu
ingin sekali menguasai dunia persilatan agar wi-bawanya terangkat.
Untuk itu, Gembong Kenjeran berjalan
berhari-hari mencari tokoh-tokoh sakti untuk di-jadikan guru. Sayang sudah
sekian lama men-
gembara belum mampu juga mewujudkan keingi-
nannya. Namun Gembong Kenjeran tidak putus
asa. Diiringi tekadnya yang amat membara, sam-
pailah lelaki ini di sebuah sendang kecil yang diapit pohon-pohon besar
menjulang tinggi.
Gembong Kenjeran menghentikan lang-
kahnya di dekat batang pohon beringin besar
yang tumbuh rindang di tepian sendang. Matanya
sejenak beredar ke sekeliling dan berakhir di
permukaan air sendang yang tenang tak berge-
lombang. Hanya sesekali permukaan air sendang
itu bergoyang manakala angin semilir siang itu
berhembus, seolah-olah menyisir permukaan
sendang. Gembong Kenjeran terpaku di tempatnya.
Hawa sejuk di sekitar sendang terus mengelus-
elus kulit tubuh, namun lelaki ini tak peduli. Kini, pandang matanya terarah
pada akar-akar gantung pohon beringin yang luruh berjuntai me-
nembus permukaan sendang.
Lama memperhatikan permukaan sendang,
tiba-tiba Gembong Kenjeran merasa diserang kan-
tuk hebat luar biasa. Berkali-kali ia menguap lebar dengan mata memerah.
"Ada apa ini" Kenapa aku jadi ngantuk be-
gini?" tanya Gembong Kenjeran, heran.
Semakin lelaki itu menahan rasa kantuk,
anehnya semakin hebat saja matanya terasa be-
rat. Gembong Kenjeran mengeluh. Meski hatinya
diliputi keheranan, namun akhirnya tubuhnya
disandarkan juga ke batang pohon. Lalu perla-
han-lahan tubuhnya pun luruh ke tanah dan ter-
tidur pulas! Namun belum sepuluh hitungan tertidur,
Gembong Kenjeran pun terjaga ketika sekujur tu-
buhnya terasa bergetar hebat. Dan tatkala kedua kelopak matanya membuka kontan
membeliak lebar. Air sendang di hadapannya tiba-tiba bergo-
lak, seperti ada seekor naga besar tengah murka di dasarnya.
"Kejadian aneh apa lagi ini" Tak mungkin
air sendang bergolak sendiri," kata batin Gembong Kenjeran.
Tubuh lelaki ini pun kian bergetar hebat.
Dicobanya untuk mengerahkan tenaga dalam.
Namun, usaha tokoh sesat dari hutan Kenjeran
itu hanya menemui kesia-siaan. Tubuhnya malah
makin bergetar hebat. Sedang permukaan sen-
dang di hadapannya pun makin bergolak dahsyat
sampai membuncah tinggi ke udara!
Gembong Kenjeran cepat melompat bang-
kit. Sepasang matanya kian membelalak lebar.
Terdorong rasa penasaran, membuatnya ingin
melihat apa yang tengah terjadi di dasar sendang.
Sejurus kemudian, apa yang membuatnya heran
pun terjadi. Perlahan-lahan dari dasar sendang
menyembul sesosok tubuh ke permukaan.
Sosok tubuh itu adalah seorang kakek ren-
ta berpakaian serba hitam. Wajahnya tirus den-
gan rambut memutih digelung ke atas. Dan kini
kakek renta yang memiliki tubuh kurus itu telah muncul ke permukaan sendang
dalam keadaan masih bersemadi!
"Edan! Siapakah orang tua yang bersemadi
di dasar sendang ini" Hm...! Siapa pun dia
adanya, pasti memiliki kesaktian tinggi. Dan aku harus dapat membujuknya agar
sudi menerimaku
sebagai murid...," gumam Gembong Kenjeran dalam hati.
Saat itu juga, Gembong Kenjeran segera
berlutut di pinggir sendang. Kedua telapak tan-
gannya menelangkup di depan hidung.
"Orang tua! Sungguh aku yang bodoh ini
patut mengagumimu. Terimalah rasa hormatku!"
Sosok kakek renta yang tubuhnya masih
mengambang di permukaan air mulai membuka
kelopak matanya. Sekilas matanya sempat melirik tajam ke arah Gembong Kenjeran
yang masih duduk berlutut di pinggir sendang. Lalu entah den-
gan menggunakan ilmu apa, tiba-tiba tubuhnya
pun mulai bergerak menuju tepian sendang. Keti-
ka berjarak satu tombak ia segera melompat ke-
luar dari sendang.
"Hup!"
Kaki-kaki kurus kakek renta itu mendarat
mantap di samping Gembong Kenjeran tanpa me-
nimbulkan suara sedikit pun. Perlahan-lahan
Gembong Kenjeran mendongakkan kepala ke
atas. Aneh! Ternyata pakaian kakek renta itu tidak basah!
Gembong Kenjeran terpekik kagum dalam
hati. Tekadnya untuk berguru dengan orang tua
di hadapannya makin bulat saja.
"Sungguh merupakan satu kehormatan be-
sar aku dapat bertemu seorang tokoh sakti ma-
cam kau, Orang Tua. Kalau boleh tahu, siapakah
sebenarnya kau ini?"
"Lancang! Kau tak pantas mendahului ber-
tanya! Aku tanya, siapa namamu, Anak Manu-
sia?" hardik lelaki renta berpakaian serba hitam itu ketus. Sepasang matanya
yang mencorong tampak demikian dingin menyembunyikan watak
keji. "Ak.... Aku Gembong Kenjeran, Orang Tua,"
jawab Gembong Kenjeran.
"Bodoh! Aku tidak tanya siapa gelarmu!
Aku tanya nama aslimu, tahu"' sergahnya galak.
"Oh..., itu!" sahut Gembong Kenjeran gu-gup. "Nama asliku..., Gendon Prakoso,
Orang Tua." "Huhh...!" Kakek renta itu mendengus ang-
kuh. "Ketahuilah, Gendon! Akulah yang bernama Eyang Pamekasan...."
"Eyang Pamekasan..."!"
Gembong Kenjeran yang ternyata bernama
Gendon Prakoso terperangah seolah tak percaya.
Lalu buru-buru kedua telapak tangannya kembali
menelangkup di depan hidung penuh hormat.
"Maafkan aku, Orang Tua! Sungguh aku
tak tahu kalau hari ini tengah berhadapan den-
gan orang tua sakti yang bergelar Eyang Pameka-
san," lanjut Gembong Kenjeran.
Sebagai seorang tokoh dunia persilatan,
Gembong Kenjeran alias Gendon Prakoso tahu
siapa Eyang Pamekasan. Dia tak lain adalah seo-
rang tokoh papan atas dunia persilatan yang me-
nempuh jalan sesat. Bahkan sepak terjangnya
sering membuat tokoh-tokoh golongan putih jadi
kecut. Hal ini tentu saja disambut gembira oleh tokoh-tokoh golongan hitam.
Namun sayangnya,
Eyang Pamekasan lebih banyak menghabiskan
waktunya dengan bertapa.
Pernah sekali waktu Eyang Pamekasan ke-
luar dari tempatnya bertapa. Itu pun karena di-
panggil oleh cucunya yang bergelar Pangeran Pe-
mimpin. Demi membantu Pangeran Pemimpin
yang bermaksud ingin merebut takhta Kadipaten
Pleret, akhirnya tokoh itu keluar dari tempatnya bertapa. Namun sayang, sepak
terjangnya dapat
dihentikan Siluman Ular Putih yang dibantu pen-
dekar-pendekar sakti seperti Penyair Sinting
maupun Ki Rombeng. Bahkan dalam pertarungan
besar-besaran, Pangeran Pemimpin tewas di tan-
gan Putri Sekartaji. Untung saja, Eyang Pameka-
san dapat meloloskan diri dari tangan Penyair
Sinting. (Untuk mengetahui siapa Eyang Pameka-
san dan Pangeran Pemimpin, silakan baca epi-
sode : "Sengketa Takhta Leluhur").
"Ketahuilah, Gendon! Sesungguhnya kau
sangat beruntung bertemu denganku. Jarang se-
kali aku keluar dari tempatku bertapa kalau tak ada satu keperluan yang
mendesak," kata Eyang Pamekasan, dibaluri sifat jumawa.
"Seandainya saja aku mampu, ingin ra-
sanya aku membantumu, Orang Tua. Bolehkah
kiranya aku mencoba membantu apa yang men-
jadi urusanmu?" Gendon Prakoso menawarkan
diri. Eyang Pamekasan tidak menyahut. Hanya
matanya saja yang tajam memperhatikan Gem-
bong Kenjeran. "Aku yakin kau tidak akan mampu. Mereka
bukanlah tandinganmu."
"Siapakah orang-orang yang kau maksud-
kan itu, Orang Tua?" kejar Gendon Prakoso penasaran. "Huh...!" Eyang Pamekasan
mendengus. "Mereka tak lain Siluman Ular Putih dan Penyair Sinting."
"Siluman Ular putih dan Penyair Sinting"!"
sentak Gembong Kenjeran, lagi-lagi terperangah
kaget. "Kebetulan sekali. Aku pun sedikit punya silang sengketa dengan Siluman
Ular Putih. Secara langsung maupun tidak, pemuda gondrong itu-
lah yang membuat hidupku jadi begini. Tanpa
kau minta pun, aku pasti akan membunuh Silu-
man Ular Putih dan sahabat-sahabatnya. Terma-
suk, juga Penyair Sinting," tegas Gembong Kenjeran. "Bagus! Aku senang sekali
mendengar ucapanmu. Bila kau sanggup menjalankan Wasiat
Kematian yang kututurkan tadi, aku sudah san-
gat senang sekali bertemu denganmu. Makanya
tadi aku bilang, kau adalah manusia yang berun-
tung." "Maksudmu...?"
"Kau tahu, lawan-lawan yang kau hadapi
tidak bisa dianggap remeh. Mereka semua adalah
pendekar-pendekar sakti. Maka untuk membekali
dirimu mencari musuh-musuhku, aku akan men-
gangkatmu menjadi murid."
"Hah"!"
Benar-benar pucuk dicinta ulam tiba.
Gembong Kenjeran sungguh tak menyangka ka-
lau Eyang Pamekasan tengah mencari murid un-
tuk membalaskan dendamnya.
"Bagaimana" Kau keberatan?" tanya Eyang Pamekasan.
"Sungguh merupakan karunia besar bagi-
ku. Tak mungkin aku menolak permintaanmu,
Orang Tua," sahut Gendon Prakoso alias Gembong Kenjeran.
"Bagus! Tapi ingat! Sebelum kau kuangkat
jadi murid, kau harus bersumpah setia padaku!"
"Aku tidak keberatan melakukan sumpah,
Orang Tua."
"Jangan banyak omong! Bangun dan ber-
sumpahlah di hadapanku!" ujar Eyang Pamekasan, kasar.
"Baik."
Gembong Kenjeran cepat melompat ban-
gun, dan berdiri sejenak menghadap Eyang Pa-
mekasan. Lalu segera digigitnya pergelangan tangan hingga mengeluarkan darah.
"Demi darah yang mengalir dari urat nadi-
ku! Juga, demi mewujudkan permintaan guruku
Eyang Pamekasan, aku bersumpah akan selalu
setia dan patuh pada semua perintah. Apa pun
yang akan terjadi, walau nyawa taruhannya!"
Setelah bersumpah dengan suara lantang,
Gembong Kenjeran segera berlutut di hadapan
Eyang Pamekasan.
"Terimalah salam hormatku. Guru!" ucap Gembong Kenjeran sambil menelangkupkan
kedua telapak tangan di depan hidung.
Eyang Pamekasan mengangguk-angguk
angkuh. Dan tiba-tiba tawanya yang bergelak pun meledak.
"Bagus-bagus! Aku senang sekali menden-
gar sumpahmu, Muridku. Tapi bila kau melang-
gar sumpah, jangan dikira aku tak tahu. Aku pas-ti akan mencari dan membunuhmu!"
"Tak mungkin aku berani melanggar sum-
pahku. Guru."
"Bagus!" sambut Eyang Pamekasan cepat.
Lalu kedua bibirnya pun kembali bergerak-gerak.
"Kalau saja aku belum setua ini, ingin rasanya aku membunuh musuh-musuhku dengan
tanganku sendiri. Hm...! Tapi, sudahlah! Ayo, seka-
rang ikut aku!"
Gembong Kenjeran tak berani membantah.
Begitu melihat Eyang Pamekasan melangkah me-
nuju batu besar tak jauh dari tempat itu, lelaki ini segera menyusul. Maka sejak


Siluman Ular Putih 24 Wasiat Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hari itulah Gembong Kenjeran mulai mempelajari ilmu-ilmu an-
dalan Eyang Pamekasan.
5 Waktu terus bergulir. Tak terasa tiga bulan
terlewat sudah sejak Gendon Prakoso yang berju-
luk Gembong Kenjeran diangkat sebagai murid
oleh Eyang Pamekasan. Di pinggir sendang tem-
pat Eyang Pamekasan bertapa, kini Gembong
Kenjeran sibuk melatih jurus-jurus silat andalan.
Banyak sudah ilmu tingkat tinggi andalan Eyang
Pamekasan yang telah diserap Gembong Kenje-
ran. Di antaranya adalah pukulan 'Pelebur Bumi', aji 'Panglarut Banyu Putih',
bahkan aji 'Setan Kober' yang dahsyat luar biasa.
Kini Gembong Kenjeran bukanlah Gem-
bong Kenjeran tiga bulan lalu yang dengan mu-
dahnya dapat dipermainkan orang. Setelah men-
dapat gemblengan keras dari Eyang Pamekasan,
kesaktiannya bertambah berlipat ganda.
"Hea! Hea!"
Dengan bentakan-bentakan keras, tubuh
Gembong Kenjeran berkelebat cepat ke sana ke-
mari. Angin berkesiur keras manakala tendangan
dan pukulan-pukulannya terlontar. Bahkan sebe-
lum batang-batang pohon di depannya sempat
terkena tendangan dan pukulan, terlebih dulu telah berderak-derak.
Brakkk! Sebatang pohon sebesar dua lingkaran
tangan manusia dewasa kontan tumbang begitu
terkena pukulan 'Pelebur Bumi' milik Gembong
Kenjeran. Bagian batang pohon yang terkena pu-
kulan langsung berubah hitam kusam dan men-
gepulkan asap kehitam-hitaman!
Eyang Pamekasan yang duduk tak jauh da-
ri tempat berlatih hanya mengangguk-angguk se-
raya bertepuk tangan.
"Bagus! Aku senang sekali melihat kema-
juanmu, Gendon," puji lelaki tua itu.
Gembong Kenjeran berbalik. Kedua telapak
tangannya ditelangkupkan sebentar di depan hi-
dung. "Ini semua tidak lepas dari bimbinganmu, Guru," ucap Gembong Kenjeran.
Eyang Pamekasan tertawa bergelak.
"Kau sungguh pintar menyenangkan hati-
ku, Gendon. Hayo, lekas keluarkan aji 'Panglarut Banyu Putih'! Aku ingin
melihat, apa kau sudah
mengalami kemajuan atau belum."
"Baik, Guru."
Gembong Kenjeran menghormat sebentar,
lalu segera berbalik. Dicarinya sasaran serangan sejenak, baru kemudian mulai
mengerahkan aji
'Panglarut Banyu Putih'. Seketika kedua telapak tangannya telah berubah menjadi
putih berkilauan hingga pangkal lengan, saat tenaga dalam-
nya dikerahkan.
"Hea!"
Bersamaan teriakannya yang mengguntur,
tiba-tiba Gembong Kenjeran menyentakkan kedua
telapak tangannya ke depan. Seketika dua gulun-
gan asap tebal berwarna putih berkilauan yang
menebarkan hawa dingin bukan kepalang melu-
ruk ke depan! Pesss! Dua batang pohon besar di hadapan Gem-
bong Kenjeran langsung terbungkus dua gulun-
gan asap tebal dari kedua telapak tangan Gem-
bong Kenjeran. Seketika bumi terasa bergetar hebat diiringi suara gemeretak dari
ranting-ranting pohon yang berjatuhan! Dan saat kedua telapak
tangannya diturunkan kembali, dua batang po-
hon besar itu pun luruh ke tanah berubah men-
jadi kepingan-kepingan kecil berwarna putih ke-
pucatan! "Aji 'Setan Kober'!" terdengar Eyang Pamekasan memerintah.
Gembong Kenjeran tidak menyahut, kecua-
li segera memusatkan pikirannya untuk menge-
rahkan apa yang diperintahkan Eyang Pemeka-
san. Begitu tenaga dalamnya dikerahkan, seketi-
ka dua telapak tangannya telah berubah menjadi
hitam legam. Lebih hebatnya lagi, tiba-tiba dari kedua telapak tangannya
menyembul dua sosok
bayi hitam yang mengerikan. Lalu tangan-tangan
bayi hitam itu pun menjulur-julur ke depan,
menggapai-gapai dua batang pohon besar di ha-
dapannya. Krekkk! Krekkk!
Batang-batang pohon dalam cengkeraman
tangan-tangan bayi hitam itu bergetar hebat. Perlahan-lahan batang-batang pohon
itu telah beru-
bah hitam legam. Tak lama kemudian batang-
batang pohon itu pun tumbang. Bagian-bagian
batang yang terkena cengkeraman tangan-tangan
bayi hitam itu tampak hangus terbakar!
Plok! Plok! Plokkk!
"Bukan main! Tak kusangka kau telah
menguasai hampir semua ilmu simpananku da-
lam waktu singkat. Muridku," puji Eyang Pamekasan gembira bukan main.
"Guru terlalu memuji. Padahal bila diband-
ing kehebatan Guru, aku masih belum seberapa."
"Jangan membandingkanku denganmu,
Gendon. Kau memang masih belum apa-apanya
dibanding aku. Tapi setidaknya, kaulah wakilku
untuk membasmi musuh-musuhku."
"Aku mengerti. Dan aku pun tak mungkin
akan mengecewakan apa yang diperintahkanmu.
Guru," tandas Gendon Prakoso.
"Ya ya ya...!" Eyang Pamekasan mengangguk-anggukkan kepala.
Gembong Kenjeran melangkah mendekat.
Kedua telapak tangannya ditelangkupkan seben-
tar di depan hidung, lalu duduk bersimpuh di hadapan Eyang Pamekasan.
"Muridku! Kau masih ingat apa yang telah
kuwasiatkan padamu sebelum kau kuangkat
menjadi murid?" tanya Eyang Pamekasan tajam.
"Tak mungkin aku lupa dengan Wasiat
Kematian yang kau perintahkan padaku, Guru.
Apakah kau menghendaki aku bertindak seka-
rang?" jawab Gembong Kenjeran bersemangat.
"Bekal ilmu yang kuberikan padamu sudah
cukup untuk membasmi musuh-musuhku, Mu-
ridku. Aku ingin segera kau melaksanakan wasiat ku secepatnya. Hanya saja, hati-
hatilah! Musuh-musuhku bukanlah lawan sembarangan. Pergu-
nakanlah aji 'Panglarut Banyu Putih' untuk me-
lumpuhkan Siluman Ular Putih, dan aji 'Setan
Kober' untuk melumpuhkan Penyair Sinting! Se-
lebihnya, terserah kau sendiri!"
"Terima kasih atas nasihatmu, Guru. Nah,
apakah aku sudah diizinkan berangkat seka-
rang?" "Pergilah! Tapi, awas! Jangan sekali-kali melanggar perintahku! Aku pasti
akan membunuhmu!"
"Tak mungkin aku mengecewakanmu,
Guru." "Aku tak butuh ucapanmu sekarang. Pergilah!" ujar Eyang Pamekasan seraya
mengibaskan tangan.
Gembong Kenjeran menangkupkan kedua
telapak tangannya di depan hidung sebentar.
"Aku berangkat, Guru."
Gembong Kenjeran segera melompat ban-
gun. Lalu tanpa menoleh ke arah Eyang Pameka-
san, kakinya segera menutul ke tanah. Maka se-
ketika tubuhnya pun melesat ringan meninggal-
kan tempat itu.
Eyang Pamekasan memperhatikan sampai
sosok muridnya menghilang di balik kerimbunan
hutan depan sana. Kejap lain, tiba-tiba sosoknya yang masih duduk bersila telah
bergerak memutar. Perlahan-lahan tubuh Eyang Pamekasan mu-
lai bergerak ke tepian sendang. Gerakannya baru berhenti ketika sampai di
tengah-tengah permukaan sendang. Sampai di sini, sosok serba hitam Eyang
Pamekasan pun mulai amblas ke dasar
sendang. Air sendang bergolak perlahan. Membentuk
gelombang-gelombang kecil yang lama kelamaan
membesar, lalu sirna di tepian.
* * * Gembong Kenjeran terus berkelebat cepat.
Tujuannya yang pertama ingin sekali mencari Si-
luman Ular Putih. Walau tanpa diperintah gu-
runya, lelaki ini memang ingin membunuh pemu-
da yang akhir-akhir ini menjadi penghalang sepak terjang kaum sesat. Apalagi,
pemuda murid Eyang Begawan Kamasetyo itulah yang membuat
hidupnya menderita seperti itu. Walaupun tidak
terlibat permusuhan langsung dengan Siluman
Ular Putih, namun entah kenapa kali ini ia ingin sekali menyatroninya. Mungkin
juga Gembong Kenjeran iri mendengar nama besar Siluman Ular
Putih yang akhir-akhir ini banyak dibicarakan
orang. Namun manakala berpikir panjang, Gen-
don Prakoso pun tersentak. Tiba-tiba pikirannya teringat akan Empat Iblis Merah
dari Hutan Se- runi. "Hm...! Sebenarnya aku ingin sekali menyatroni Siluman Ular Putih. Namun
bagaimanapun juga, tak mungkin aku melupakan penghinaan
Empat Iblis Merah dari Hutan Seruni. Seandainya saja Dewa Kegelapan tidak
menemui ajal di tangan Siluman Ular Putih, ia pun tak akan luput
dari ancamanku!"
Gembong Kenjeran menghentikan lang-
kahnya. Tampak hatinya masih bingung dengan
keputusannya. "Tak ada pilihan lain. Aku memang harus
secepatnya menuju Hutan Seruni. Yah...! Terpak-
sa aku harus menangguhkan perintah Guru un-
tuk sementara waktu. Tunggulah pembalasanku,
Empat Iblis Merah keparat!" desis Gembong Kenjeran akhirnya.
Gendon Prakoso pun segera menjejakkan
kakinya ke tanah, lalu berkelebat cepat menuju
utara. Tanpa mengenai lelah, Gembong Kenjeran
terus berkelebat menuju Hutan Seruni. Memang
cukup jauh perjalanan itu, namun itu tak mem-
buat niatnya kandas. Belum puas hatinya kalau
belum membalas penghinaan Empat Iblis Merah
dari Hutan Seruni.
Di saat matahari mulai rebah di kaki langit
sebelah barat, sosok Gembong Kenjeran mulai
memasuki Hutan Seruni. Langkahnya dihentikan
sebentar. Matanya beredar ke sekeliling, mencari-cari tempat persembunyian Empat
Iblis Merah. "Kalau tidak salah, gua tempat persembu-
nyian Empat Iblis Merah ada di sebelah sana...,"
kata batin Gembong Kenjeran. Tangannya pun
ikut-ikutan menuding bagian hutan sebelah barat yang banyak ditumbuhi pohon
besar menjulang
tinggi. Mantap dengan keputusannya, Gembong
Kenjeran segera melompat ke atas pohon. Dan
dengan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah
mencapai tingkat tinggi, tubuhnya segera berke-
lebat dari ranting pohon satu ke ranting pohon
lain. Sebab, hanya dengan cara itulah ia dapat
menghindar dari kubangan-kubangan lumpur hi-
dup yang banyak bertebaran di sekitar tempat
persembunyian Empat Iblis Merah.
Hupp! Gembong Kenjeran menghentikan keleba-
tannya di ranting pohon terakhir. Di hadapannya kini terbentang hamparan tanah
rerumputan yang dikelilingi semak belukar. Lelaki itu menya-pu keadaan sekitar dengan
matanya. Dan men-
dadak bola matanya tertumpuk pada empat gun-
dukan tanah merah di bawahnya.
"Kuburan?" gumam Gembong Kenjeran.
"Kuburan siapakah itu" Mungkinkah kuburan
Empat Iblis Merah. Atau...."
Gembong Kenjeran tak meneruskan perta-
nyaan dalam hatinya. Ia segera melompat turun.
Ditelitinya empat gundukan tanah merah di ha-
dapannya seksama. Ternyata di papan nisan itu
tertulis.... Makam Bajingan-bajingan Merah dari Hutan
Seruni Gembong Kenjeran melongo. Dibacanya se-
kali lagi tulisan di papan nisan itu.
"Hm...! Jadi bajingan-bajingan merah itu
sudah modar! Menilik gundukan tanah yang mu-
lai mengeras, aku yakin kuburan ini sudah cukup lama. Mungkin dua atau tiga
bulan lalu. Tapi,
siapakah yang melakukan ini semuanya?" tanya Gembong Kenjeran pada diri sendiri.
Keningnya makin berkerut dalam. "Ah...! Siapa pun orang yang melakukan, aku tak mau
peduli! Yang jelas
Empat Iblis Merah dari Hutan Seruni telah me-
nemui ajal. Sekaranglah, saatnya aku memenuhi
perintah Eyang Pamekasan...."
Gembong Kenjeran mengangguk-angguk.
Puas hatinya memperhatikan gundukan tanah di
hadapannya. Sejurus kemudian tubuhnya segera
berkelebat cepat meninggalkan tempat ini.
6 "Apa yang harus kita lakukan, Soma" Ba-
nyak sudah tempat yang kita jelajahi. Banyak ju-ga tokoh persilatan yang kita
tanyai. Namun, Gendon Prakoso belum juga ditemukan," kata Ra-tu Adil memecah kesunyian hutan
itu. Suara ucapannya pun diiringi isak tangis tertahan.
Siluman Ular Putih yang duduk di hadapan
si gadis itu hanya menghela napas panjang. Ma-
tanya sempat menelusuri seraut wajah cantik di


Siluman Ular Putih 24 Wasiat Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hadapannya. Tampak sepasang mata indah di
hadapannya itu basah. Kedua bibirnya pun berge-
tar-getar. "Jangan putus asa, Yustika! Apa kau lupa
nasihat Putri Hijau" Sesungguhnya Hyang Widi
itu tengah menginginkan sesuatu yang baik ter-
hadapmu," hibur Siluman Ular Putih.
"Sesungguhnya aku masih bingung. Soma.
Kebaikan macam apakah yang sesungguhnya se-
dang dikehendaki Hyang Widi" Buktinya, aku be-
lum dapat menemukan ayah kandungku," kata
Ratu Adil terisak memelaskan. Anak-anak ram-
butnya yang berjuntaian menutupi keningnya
bergoyang-goyang tertiup angin.
"Sabar, Yustika! Hanya dengan bersabarlah
semua yang membebani hati kita jadi terasa la-
pang." "Kukira aku sudah cukup sabar. Tapi, apa hasilnya" Aku tetap saja belum
menemukan ayah kandungku. Malah aku harus kehilangan Kakang
Pembunuh Iblis yang tewas di tangan Hantu Tan-
gan Api. Inikah kebaikan yang diinginkan Hyang Widi?" cerocos Yustika, seolah
hendak menggugat keadilan Tuhan.
"Wah, gawat! Tampaknya kau mulai me-
nyalahkan Sang Hyang Widi. Jangan begitu, ah!
Tak baik."
Ratu Adil diam membisu. Berbagai rasa
berkecamuk dalam dadanya.
"Sabarlah, Yustika! Tuhan pasti akan
membukakan jalan untuk kita. Tak mungkin Tu-
han memberikan cobaan di luar batas kemam-
puan kita. Kau paham, Yustika?" hibur Siluman Ular Putih lembut terdengar di
telinga Ratu Adil.
Ratu Adil mengangguk perlahan. Entah
sudah paham, entah hanya sekadar ingin menye-
nangkan hati pemuda tampan di hadapannya.
"Kukira kita sudah cukup lama beristirahat di sini. Ayo, kita lanjutkan
perjalanan, Yustika!"
Ratu Adil tampak masih bermalas-malasan
di tempatnya. Wajahnya pun kian disembunyikan
dalam-da1am. Soma mendekat. Direngkuhnya kedua ba-
hu gadis cantik di hadapannya lembut. Tampak
kedua bahu itu bergetar-getar, diiringi isak tangis, membuat Siluman Ular Putih
trenyuh sekali mendengarnya. Dengan lembut sekali lalu murid
Eyang Begawan Kamasetyo meraih wajah cantik
Ratu Adil untuk dihadapkan ke arahnya. Dan ke-
haruan Siluman Ular Putih pun makin bertam-
bah, melihat seraut wajah cantik di hadapannya
mulai basah oleh airmata.
"Soma...!" sebut Ratu Adil dengan bibir bergetar. Lalu, entah mendapat dorongan
dari mana, tiba-tiba Ratu Adil telah menubruk ke da-
lam pelukan Siluman Ular Putih dan melam-
piaskan tangisnya di sana.
Siluman Ular Putih membiarkan saja Yus-
tika yang bergelar Ratu Adil itu menumpahkan
tangisnya dalam pelukannya. Sembari memeluk
erat-erat, dibelainya rambut Ratu Adil lembut.
"Soma...! Aku sedih sekali. Soma...," keluh Ratu Adil dengan suara bergetar.
"Tenang, Ratu! Tenang! Aku pasti akan
membantu...," hibur Siluman Ular Putih sembari terus membelai rambut si gadis.
Entah kenapa Yustika sendiri merasa
aman berada dalam pelukan Siluman Ular Putih.
Malah dari kehangatan tubuh pemuda itu, mulai
dirasakannya getaran-getaran aneh dalam da-
danya. Si gadis tak tahu getaran-getaran apa itu.
Yang jelas, hatinya merasa aman dan tenteram
berada dalam pelukan Soma. Bahkan kini mulai
dibalasnya pelukan Siluman Ular Putih erat-erat.
"Enak benar memadu kasih di hutan se-
sunyi ini. Aku jadi iri...."
Tiba-tiba terdengar teguran seseorang yang
sangat melecehkan. Buru-buru Siluman Ular Pu-
tih dan Ratu Adil melepaskan pelukan masing-
masing. Lalu dengan perasaan jengah, mereka se-
gera memalingkan kepala ke arah datangnya sua-
ra. Ternyata tak jauh di hadapannya telah berdiri seorang lelaki tua bertubuh
kurus kering. Jubah besar warna biru yang dikenakannya kedodoran
sampai lutut. Wajahnya agak tirus penuh gura-
tan-guratan. Sedang rambutnya yang putih di-
biarkan meriap tak terawat.
"Haya...! Kenapa tidak diteruskan" Kenapa
malah melongo" Ayo, teruskan! Biar orang tua
bangka seperti ini jadi merinding," celoteh si kakek, membuat Siluman Ular Putih
dan Ratu Adil makin jengah. Sejenak kedua anak muda itu saling ber-
pandangan. Kalau Siluman Ular Putih segera da-
pat mengatasi rasa jengahnya dengan senyum,
namun lain halnya Ratu Adil. Tampaknya wajah
cantik si gadis makin dironai warna merah.
Si kakek renta malah terkekeh senang. Ma-
lah kakinya dihentak-hentakkan ke tanah mirip
anak kecil. "Orang tua! Harap jangan mengganggu!
Kau tahu kan, kalau temanku ini sedang sedih?"
tegur Siluman Ular Putih.
"Masa' sedih" Berpeluk-pelukan begitu bisa membuat orang sedih" Aku tak
percaya!" sergah si kakek renta sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Oh, ya"
Tadi aku menyuruh apa?" lanjut-nya kebingungan sendiri. Tangannya lalu mengu-
rut-urut pelipis.
Sudah pasti Siluman Ular Putih tak sudi
membantu mengingatkan. Hanya dipandanginya
kakek renta di hadapannya terheran-heran.
"Masa' baru saja diomongkan sudah lupa.
Dasar pikun!" rutuk Soma dalam hati. Sedang Ra-tu Adil makin menyembunyikan
wajahnya dalam-
dalam. "Oh, ya" Aku ingat. Aku sedang mencari muridku. Apa kalian pernah melihat
muridku?" Soma yang semula mengira kalau kakek
renta itu akan menyuruh meneruskan adegan
mesranya hanya melongo.
"Kasihan sekali. Kenapa orang tua ini de-
mikian pikunnya" Baru saja ngomong soal pelu-
kan, sekarang sudah melantur bicara soal murid-
nya. Bagaimana, sih?" gumam Siluman Ular Putih dalam hati.
"Ayo, jawab! Kenapa kalian malah melon-
go?" hardik si kakek renta. Matanya mendadak jadi berkilat-kilat galak. "Hey...!
Kau, Bocah Gondrong! Apa kau pernah melihat muridku" Jauh-
jauh aku dari Gunung Slamet untuk mencari mu-
ridku, masa' kau tidak bisa membantu" Ayo, tun-
jukkan di mana muridku, Bocah Gondrong?"
"Ya, ampun! Orang tua ini malah jadi me-
lantur tidak karuan. Pakai membentak-bentak la-
gi...." Soma mendesis dalam hati sebelum akhirnya berkata, "Kau ini bagaimana
sih, Orang Tua"
Mana aku tahu kalau kau tak mengatakan siapa
nama muridmu?"
"Oh, ya" Aku lupa. Maaf, ya! Seharusnya
aku memang memberi tahu siapa nama murid-
ku," kata kakek renta itu sambil menepuk jidatnya. "Kau tahu. Muridku itu
begini...."
Kakek itu mengacungkan ibu jarinya ke
atas. "Namanya..." Ah...! Siapa ya nama muridku" Aduh! Kenapa aku jadi lupa?" si
kakek kembali menepuk jidatnya.
"Waduh...! Gawat, nih! Masa' nama murid-
nya saja lupa. Wah...! Benar-benar pikun orang
tua satu ini," batin Siluman Ular Putih tak habis pikir. Sejenak Soma
menggeleng-geleng sambil
tersenyum geli. Rasanya, baru kali ini Siluman
Ular Putih menemukan orang aneh seperti itu.
"Kau ini bagaimana sih, Orang Tua" Masa'
sama murid sendiri lupa. Jangan-jangan, nama-
mu sendiri pun kau tak ingat!"
"Wah...! Kau benar, Bocah Gondrong. Aku
memang lupa siapa namaku. Kalau tak salah, du-
lu aku sering dipanggil Kakek Pikun. Yah...! Kakek Pikun dari Gunung Slamet."
"Oh...! Pantas! Kau mendapat gelar Kakek
Pikun, kenyataannya kau memang pikun. Kelewat
pikup malah...."
"Hey...! Kau malah bilang aku pikun, Bocah Gondrong" Apa kau minta digebuk,
hah"!" hardik si kakek yang ternyata bergelar Kakek Pikun dari Gunung Slamet.
Tangannya yang terkepal erat
siap melabrak tubuh Siluman Ular Putih.
"Sabar! Sabar, Orang Tua! Aku tidak men-
gataimu pikun. Aku hanya mau ngomong...."
"Nah...! Kau mengatai aku pikun lagi! Aku
bukan saja ingin menggebukmu, tapi aku juga in-
gin merobek mulutmu!"
Kakek Pikun dari Gunung Slamet tak se-
gan-segan lagi melabrak Siluman Ular Putih. Se-
belum bogem mentahnya mendarat di tubuh Si-
luman Ular Putih, terlebih dulu telah berkesiur angin kencang menampar-nampar
tubuh! "Wallah...! Kenapa urusannya jadi begini....
Uts!" Buru-buru Siluman Ular Putih membuang tubuhnya ke samping. Gerakannya
lincah sekali, membuat serangan si kakek hanya menyambar
angin kosong. "Bagus! Rupanya kau punya kepandaian
juga, Bocah Gondrong," geram Kakek Pikun bersiap-siap melancarkan serangan
berikut. "Sabar, Kek! Sabar!" kata Siluman Ular Putih mencoba menenangkan Kakek Pikun
yang ka- lap. Kedua telapak tangannya digerak-gerakkan
ke bawah, mengisyaratkan agar lelaki tua itu untuk tetap tenang.
"Enak saja bilang sabar! Aku sedang pus-
ing mencari muridku, kau malah menggoda,"
sungut Kakek Pikun.
"Habis kenapa kau sampai lupa pada nama
muridmu?" tukas Soma.
"Siapa yang lupa" Aku tidak lupa?"
"Kalau tidak, siapa nama muridmu itu,
hayo?" "Itulah yang sedang kuingat-ingat!"
Kakek Pikun mengurut-ngurut pelipisnya
lagi, seolah sedang mengingat nama muridnya.
Siluman Ular Putih makin bengong tak
mengerti. Lalu kepalanya pun digeleng-gelengkan heran. Namun hatinya merasa lega
juga, melihat Kakek Pikun tak lagi uring-uringan seperti tadi.
"Hm...! Benar-benar pikun orang tua satu
ini...," gumam Siluman Ular Putih.
"Ya ya ya...! Sekarang aku ingat! Aku ingat nama muridku," sorak Kakek Pikun
tiba-tiba. "Muridku bernama Teguh Sayekti. Gelar julukannya..." Aduh...! Siapa, ya?"
Kembali Kakek Pikun jadi kewalahan sen-
diri. Tangannya pun kembali mengurut-ngurut
pelipis. "Teguh Sayekti" Apakah muridmu yang bergelar Pembunuh Iblis, Kek?" sela
Ratu Adil ti-ba-tiba. Gadis yang dari tadi hanya membisu kontan terperangah
kaget begitu mendengar Kakek
Pikun menyebut-nyebut mendiang kakak kan-
dungnya. "Ya ya ya...! Kau benar, Gadis! Kau pintar, tak seperti bocah gondrong itu!"
tuding Kakek Pi-
kun ke arah Siluman Ular Putih.
Siluman Ular Putih hanya menggaruk-
garuk kepala dengan senyum tersungging di bibir.
"Jadi" Kakang Pembunuh Iblis itu murid-
mu, Kek?" "Iya. Kau sendiri siapa?"
Ratu Adil tak menyahut, tapi segera berlu-
tut di hadapan Kakek Pikun dari Gunung Slamet.
"Lho" Orang ditanya kok malah berlutut"
Siapa namamu, Gadis" Kenapa kau menyebut
muridku kakang" Apa dia saudaramu?"
"Benar, Kek. Kakang Pembunuh Iblis me-
mang saudara kandungku. Tapi sayang, Kakang
Pembunuh Iblis telah tewas...."
"Apa"! Tewas"! Siapa yang membunuhnya,
Gadis"! Siapa?" berondong Kakek Pikun kalap.
"Hantu Tangan Api, Kek."
"Keparat! Aku harus menuntut balas. Aku
tak akan mungkin membiarkan muridku dibunuh
orang begitu saja."
"Percuma, Kek," kali ini Siluman Ular Putih yang membuka suara.
"Apa" Kau bilang percuma" Apa kau mera-
gukan kepandaianku, Bocah Gondrong"!" semprot Kakek Pikun kasar.
"Bukan begitu. Tapi manusia yang telah
membunuh muridmu telah mati."
"Mati" Siapa yang membunuh" Kenapa ti-
dak memberitahukanku?" tanya Kakek Pikun,
mulai kambuh penyakitnya.
"Ini mau diberi tahu!"
"Ya ya ya...! Sekarang katakan, siapa yang
telah membunuh Hantu Tangan Api, Bocah!"
Siluman Ular Putih tak menjawab. Namun
telunjuk jarinya ditudingkan ke dada.
"Kau...?" perangah Kakek Pikun tak percaya. "Iya, Kek. Sahabatku Siluman Ular
Putih itulah yang membunuh Hantu Tangan Api," kata Ratu Adil.
Mata Kakek Pikun terbelalak tak percaya.
Sebentar dipandanginya Ratu Adil, sebentar beralih ke arah Siluman Ular Putih.
Lalu kepalanya menggeleng-geleng seraya memperhatikan Silu-
man Ular Putih tajam.
"Aku tak percaya. Aku tak percaya...."
"Yah...! Dikasih tahu malah ngotot," desah Siluman Ular Putih menggoda.
Namun rupanya Kakek Pikun tidak terusik
oleh gurauan Siluman Ular Putih. Ia malah asyik mengurut-ngurut pelipisnya,
seolah-olah dengan


Siluman Ular Putih 24 Wasiat Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cara itu ingin meyakinkan diri sendiri.
"Aku tak percaya! Aku tak percaya bocah
gondrong ini dapat membunuh Hantu Tangan Api
yang menjadi momok dunia persilatan...," desis Kakek Pikun berulang-ulang. "Aku
harus menye-lidikinya sendiri. Mana sudi aku mempercayai
omongan bocah gondrong itu?"
Di akhir desisannya, Kakek Pikun, buru-
buru berkelebat cepat meninggalkan tempat itu
tanpa menoleh sedikit pun ke arah Siluman Ular
Putih dan Ratu Adil.
"Tunggu, Kek! Kau mau ke mana?" tanya Siluman Ular Putih, heran juga melihat
sikap Ka- kek Pikun. Namun Kakek Pikun tak sudi mendengar-
kan panggilan Siluman Ular Putih. Sembari terus mengeluarkan gumaman tak jelas,
langkahnya malah makin dipercepat. Hingga dalam waktu
yang tidak lama, sosoknya pun telah berubah
menjadi titik biru kecil di kejauhan sana. Terpaksa Siluman Ular Putih dan Ratu
Adil menghenti-
kan langkahnya.
"Kakek Sinting! Dikasih tahu malah kabur.
Huh...! Ayo, Yustika! Kita pun tak perlu berlama-lama di tempat ini. Kita harus
secepatnya mene-
mukan ayah kandungmu," ajak Siluman Ular Putih, bersungut-sungut.
Ratu Adil sendiri tak mau banyak memban-
tah. Begitu Siluman Ular Putih berkelebat, tu-
buhnya segera berkelebat menyusul.
7 Matahari kembali rebah dalam rengkuhan
cakrawala. Langit di ufuk sebelah barat telah
berwarna merah tembaga dari sinar matahari
yang menerpa dedaunan di ujung sebuah hutan
kecil. Sementara angin pun bertiup semilir diiringi beberapa kicauan burung liar
yang riuh pulang ke sarang.
Dari arah barat, berlawanan dengan bula-
tan matahari yang sebentar lagi menghilang di
kaki langit, tampak sesosok bayangan biru tengah berkelebat cepat menuju tepian
hutan. Gerakan-
nya tampak ringan sekali laksana seekor capung!
Srakk! Srakkk! Tiba di tepian hutan, mendadak sosok
bayangan berpakaian biru itu menghentikan
langkahnya. Sayup-sayup telinganya seperti men-
dengar suara orang tengah bernyanyi.
Malam sebentar lagi tiba
Pertanda kegelapan akan berkuasa
Sebentar lagi, Di sana sini Barangkali memang sudah menjadi kodrat
Nasib memang akan begini
Apa gunanya keluh kesah"
Kalau mentaripun tak berdaya
Sosok berjubah biru kedodoran sampai lutut yang memang Kakek Pikun dari Gunung
Sla- met berkali-kali mengerutkan kening dengan hati kesal. Suara nyanyian itu
seperti menyindirnya
yang tengah kebingungan mencari pembunuh
muridnya. "Sontoloyo! Bikin panas hatiku saja. Sudah tahu aku lagi kebingungan begini,
pakai menyindir lagi!" maki Kakek Pikun kesal.
Di akhir makiannya, tokoh sakti dari pun-
cak Gunung Slamet itu segera berkelebat ke arah datangnya suara. Dengan
mengandalkan pendengaran dan penglihatannya yang tajam, sebentar
kemudian samar-samar Kakek Pikun telah meli-
hat seorang perempuan cantik tengah duduk me-
nyandar di bawah rindangnya sebatang pohon
sambil mengetuk-ngetukkan gagang payung yang
berwarna hijau ke tanah.
Begitu berhenti berkelebat, sekali lihat Ka-
kek Pikun tahu kalau perempuan itu sangat can-
tik. Wajahnya berbentuk bulat telur dengan kulit putih bersih. Tubuhnya yang
ramping dibalut pakaian ketat warna hijau pupus. Rambutnya yang
hitam panjang digelung ke atas, dihiasi permata-permata indah yang juga berwarna
Dewi Karang Samudera 1 Pendekar Romantis 09 Ratu Cadar Jenazah Tengkorak Maut 5
^