Pencarian

Warisan Berdarah 1

Si Tolol 1 Warisan Berdarah Bagian 1


WARISAN BERDARAH Oleh Djair Warni
? Penerbit Rosita, Jakarta
Setting Oleh : Trias Typesetting
Cetakan Pertama
Dilarang mengutip, memproduksi
dalam bentuk apapun
tanpa ijin tertulis dari penerbit
Http://duniaabukeisel.blogspot.com
1 Sebenarnya postur tubuh anak itu hampir sama
dengan anak-anak yang berusia remaja. Tapi
berhubung wajah, lagak dan gayanya tidak jauh
berbeda dengan anak-anak kecil yang masih ingusan
telah membuat dirinya diremehkan, termasuk
saudara-saudaranya sendiri.
Si Tolol, demikianlah nama anak itu, kerjanya
hanya main ke sana ke mari dan tidur di mana saja
tanpa memilih tempat, bahkan di dekat kandang ayam
pun jadi apabila ia sudah menyandarkan kepalanya.
Sebenarnya si Tolol saat itu sedang dicari oleh
orang tuanya. Pesuruh yang bekerja di rumahnya
sudah pusing tujuh keliling mencarinya. Ternyata si
Tolol masih asyik mengejar capung sampai ke tepi
hutan. Kepalanya yang botak dan hanya pada bagian
depannya saja yang terdapat rambut berbentuk seperti
jambul tampak dipenuhi keringat yang telah
bercampur debu, begitu pula di atas bibirnya, sangat
tampak dengan jelas bekas ingus yang mengering dan
sebelumnya telah digosok ke kiri dan kanan sehingga
berbentuk kumis jawara.
Rupanya memang ia sangat jauh dari cermin,
sehingga tidak pernah memperdulikan keadaan dirinya
atau memang karena ketololannya, sulit untuk
ditebak. Yang pasti dari mulutnya terus bernyanyi
walaupun suara yang keluar itu sumbang sekali ia tak
perduli dan sekali-kali terdengar pula siulan sebagai selingan.
"Bletak... E... Beletak beletung. Si Tolol sekarang
mau menangkap capung... he... he... he!" ucap si Tolol bagaikan dalam acara
gerak dan lagu.
Setelah berlari ke sana-sini, tiba-tiba ia
menghentikan langkah dengan cepat. Rupanya di situ
telah hinggap beberapa ekor capung pada ranting
kering. Dengan serius capung-capung itu
diperhatikannya, setelah menggosok hidungnya
beberapa kali ia pun maju mendekat dan langsung
tangannya beraksi sepertinya hati-hati sekali. Tapi
dasar tolol memang tetap saja tolol. Tangan kanan
ingin menangkap capung, tangan kirinya memegang
ranting di dekat capung hinggap. Karena merasa
tergoyang capung-capung itu pun bubar, beterbangan.
Sekarang Si Tolol lah yang merasa sedih karena
buruannya pergi tanpa permisi.
Kesedihan itu ternyata hanya sebentar. Muka Si
Tolol tiba-tiba berubah total dan menjadi pucat sekali.
Perubahan ini terjadi karena ada suara keras dan
orang merintih yang terdengar jelas di telinganya.
Sumber suara itu berada di sekitar tempat ia berada.
"Kurang ajar! Rasakan ini, hah!!"
"Ampuuuun, Juragan...! Ampuuun!"
Suara itu terdengar kembali. Si Tolol yang baru
saja jatuh terpelanting karena kaget, mulai bangkit
dan mencari sumber suara tadi. Dengan gayanya yang
khas, ia merangkak dan menyelusup ke dalam semak-
semak. Begitu ia temukan matanya pun terbelalak,
sebab di depan matanya tampak ada sebuah adegan
yang cukup memilukan.
"Kalau kamu tidak mau bayar utangmu pada
Ayahku. Ayo... sekarang bayar rentennya dulu!" bentak seorang pemuda dengan
pakaian cukup keren sambil
menginjak petani tua yang tampak terengah-engah
akibat kena pukulan sebelumnya.
"Ampun, Den... ampun! Sekarang dari mana saya
punya uang, Aden kan tahu sekarang lagi paceklik...!"
jawab petani tua itu memohon belas kasih.
"Diam! Rupanya kau mau ini, hah..."!" bentak
pemuda itu kembali sambil mengeluarkan golok yang
terselip di pinggangnya.
"A... ampun. Den...! Jangan...! Kasihanilah
saya... Terus terang, Den, saya tak sanggup membayar
renten yang sebesar Aden sebut tadi. Bukankah
Juragan Besar bilang nggak usah pakai renten," balas
petani itu kembali.
"Huh...! Silaing teh sialan!!" sela pemuda yang
dipanggil Raden sambil mendorong petani tua yang
akan berusaha bangun dengan kakinya.
"Benar..., Den. Abdi nuhunkeun ampun kana
Raden..., abdi nuhunkeun tempoh wae'...!" pinta orang tua itu dengan wajah
memelas. Entah setan mana yang merasuki jiwanya. Sang
Raden tak memperdulikan keadaan petani tua yang
telah dibuatnya. Ia segera menarik tangan dua orang
yang berada di sampingnya. Mereka itu adalah
pembantu-pembantu setianya.
"Bagaimana, Den...?" tanya petani itu sekali lagi.
"Tempoh sia'...! Kau kira urusan utang itu soal
main-main?" bentaknya semakin garang.
"Habis saya harus bagaimana. Den...?"
"Beslag semua hak miliknya. Huma, sawah,
rompok(rumah), dan ternaknya." perintah Raden itu
kepada salah seorang pembantunya.
"Sumuhun... Den!" Jawab Tirta tanpa menoleh
sedikit pun, karena sedang sibuk mencatat semua
yang baru diucapkan oleh sang raden.
Bukan main terkejutnya dan hampir putus
rasanya jantung petani tua itu setelah mendengar
ucapan dari sang Raden. Berkali-kali ia mohon
kebijaksanaan agar harta benda yang sangat besar
artinya bagi kelangsungan hidup seluruh keluarganya
itu dikembalikan, tapi sia-sia belaka. Malah bukan
hartanya yang kembali tetapi siksaan yang kembali
datang kepadanya. Pembantunya yang berbadan
gemuk dan tinggi itulah yang kali ini mengayunkan
tendangan ke arah petani tersebut.
"Aduuuuh, Gusti!" keluh petani tua yang tampak
semakin lemah tak berdaya.
Walaupun Si Tolol tetap memantau dan tetap
pada posisinya, namun wajahnya berubah menjadi
memble. Ia menangis melihat kekejaman terhadap
petani yang tak berdaya itu. Apalagi perbuatan
tersebut dilakukan oleh salah seorang saudaranya.
"Uuu... uu... uh, kejam! Kakak sungguh kejam!
Uu... uuh! Tega sekali kakak berbuat begitu..., uu...
uuuh!" gumamnya sambil terus memandangi petani
miskin yang lemas terseok di atas tanah yang kering
berdebu dan tanpa terasa pula air matanya kini telah
menyatu dengan air yang keluar dari hidung sehingga
pipinya menjadi basah akibat gosokkan tangan ke
sana ke mari. "Silaing teh tong ceurik! Teu aya gunana. Hak
milik Silaing, ayeuna milik urang kabeh! Nyaho..."!"
hardik si Raden sambil melangkah dan mengajak para
pembantunya untuk meninggalkan tempat tersebut.
"Balik hayuuuh!" ucap pembantu yang bertubuh
gemuk itu sambil menepuk bahu teman yang di
sebelahnya. Waktu melangkah dari tempat tersebut, laki-laki
itu masih sempat pula menunjukkan tampang
angkernya kepada petani itu yang disertai pula dengan senyum sinis. Padahal
semua kelakuan dan
tingkahnya sudah tak diperdulikan lagi oleh petani
yang malang itu. Di dalam benak petani yang terpikir
hanyalah, apa yang harus ia perbuat setelah
keadaannya seperti ini. Sawah yang hanya sepetak
serta ternak dan lainnya untuk kebutuhan hidup
bersama anak istri kini sudah tak ada lagi.
Entah berapa lama ia terpekur di situ dan entah
apa yang dipandangi selama itu. Yang jelas sorotan
matanya yang begitu tajam tanpa berkedip, masih
tetap terarah kepada sawah yang terbentang di
hadapannya. "Oh... Gusti Nu Maha Agung...! Bagaimana
dengan anak istriku" Di mana kami bisa meneduh"
Apa yang mesti kukerjakan...?" keluh petani itu sambil mengusap air mata dengan
pakaiannya yang kotor
karena telah bercampur keringat dan debu.
Ia merupakan korban yang kesekian kalinya dari
tindakan Raden-Raden yang tak berperi kemanusiaan
itu. Tindakan mereka kini semakin sewenang-wenang,
karena tak satu pun masyarakat di sekitarnya yang
berani mencegah apalagi melawan kebrutalan mereka.
Sementara sang petani malang masih tetap
duduk memikirkan nasibnya yang begitu pedih. Di lain
tempat, tepatnya di warung minuman, tampak para
penjudi sedang asyiknya menggenggam kartunya
masing-masing. Laki-laki yang beberapa jam lalu
menyita seluruh hak petani miskin, telah berada di
situ. Wajahnya tampak kesal sekali saat itu. Hasil
lelangan barang-barang sitaannya telah banyak yang
berpindah tangan ke penjudi lainnya. Mungkin sisa
uang yang ada di dalam kantongnya pun sebentar lagi
akan berpindah tangan juga.
"Den Tompel berani taruh berapa?" tanya teman
main yang duduk di sebelah kanannya.
"Sepuluh ringgit!" jawabnya ketus tanpa menoleh
sedikit pun kepada si penanya.
"Ayo lemparkan uangnya!" balas orang itu
kembali. "Nih!" sahut Den Tompel sambil melempar uang
kepingan ke tengah permainan.
"Masih berani kalau kuminta tambah sepuluh
ringgit lagi?" sela orang itu dengan senyum dan
langsung menggeser uang yang ada di dekat kakinya
ke tengah. "Hmmmh... gila! Kau mau mengujiku rupanya,
hah! Baik! Nih, uangnya...! Ayo kalau tak ada yang
berani lagi, cepatlah buka kartumu!" sambut Den
Tompel. "Tunggu! Siapa bilang aku tak berani! Kalian
berdua yang tak mungkin berani melawanku. Nih tiga
puluh ringgit. Kutunggu sampai hitungan kelima kalau
kalian tak berikan tambahannya, terpaksa kutarik
uang ini semua! He-he-heh!" sela laki-laki gendut yang duduk di hadapan Den
Tompel. Suasana itu semakin lama semakin panas,
terutama yang sedang bernasib sial seperti Den Tompel itu. Nafsu marah yang
tertahan telah membuat
mukanya merah dan cepat tersinggung, untunglah
teman-teman main itu sudah mengetahui wataknya,
sehingga jarang sekali terjadi keributan di meja judi.
Saat itu si Tolol pun berada di warung tempat para
penjudi bermain, tapi ia berada bukan di dalam
melainkan di depan warung. Ia sama sekali tidak
memperdulikan keadaan sekelilingnya yang penting
ada sandaran dan tempatnya agak teduh, langsung
saja molor alias tidur. Sudah lama juga Si Tolol tidur di situ dan sekaranglah
saat-saat puncaknya. Ia
kelihatan lelap sekali. Biarpun beberapa ekor lalat
menari di sekitar mulut dan hidungnya, bahkan ada di
antaranya yang kurang ajar berjalan di sekitar mulut sambil menjilat-jilat air
liur yang hampir mengering di dagu dan pipi.
Seorang anak laki-laki melihat keadaan itu
segera memanggil temannya.
"Lihat tuh. Den Tolol! Kalau tidur di mana pun
jadi. tidak boleh ada tempat sandaran kepala,
langsung saja molor!" ucap anak itu.
"Ssst...! Biarkan saja. Jangan diganggu," sahut
temannya. "Mungkin dia sedang mimpi dikerumuni bidadari
sorga." "Iya...! Bidadarinya ada sepuluh."
"Hi... hi... hih!"
"Ssst! Ayo cepat lari."
"Kenapa?"
"Lihat tuh ada yang datang mencarinya...!"
"Oh...! Ada Pak Kohar. Ayo kita lari!!"
Kedua anak itu cepat-cepat angkat kaki setelah
mengetahui ada seorang laki-laki tua berlari tergopoh-gopoh menuju ke warung
tersebut. "Den... Den Tolol...! Masya Allah...!" teriak orang
tua yang bernama Kohar itu dengan terkejutnya,
"Kenapa kau tidur di sini. Den..." Ayo bangun. Den...!
Bangun! Ayahanda memanggilmu," teriaknya kembali
setelah berada di dekat Si Tolol.
"Klekerrrrr... kerr... kelekerrr...!" Hanya itu yang
suara yang keluar dari mulutnya tanpa bergerak
sedikit pun walaupun teriakan Pak Kohar cukup keras
di dekat telinganya.
Mungkin karena kesalnya, maka Pak Kohar
segera menggoncang-goncangkan badan tuan
mudanya yang bego ini. Karena kerasnya goyangan,
maka Si Tolol pun terbangun juga.
"Oaaaaahhmmmm...!!" Si Tolol mulai membuka
matanya sambil menguap lebar. Setelah mengucek-
ngucek matanya beberapa kali, ia pun terkejut melihat pesuruh di rumahnya berada
di dekatnya. "Ada apa Pak Kohar?" tanya Si Tolol kepada Pak
Kohar.

Si Tolol 1 Warisan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aden diminta cepat pulang. Juragan besar
memanggilmu," jawab Pak Kohar sambil membantu
membersihkan pakaian Si Tolol yang berdebu.
"Ada apa sih. Kan Tolol lagi main...." balas Si
Tolol kembali dengan nada manja.
"Ini pesan dari Agan, Den. Pesannya wanti-wanti
sekali supaya Aden cepat pulang."
"Memangnya kenapa sih?"
"Juragan Besar sakitnya kumat lagi."
Setelah mendengar penjelasan dari Pak Kohar
maka Si Tolol pun bangkit dari duduknya. Sebelum itu
sempat juga ia menggeliat beberapa kali dan meminta
kepada Pak Kohar untuk membersihkan bagian
belakang celananya dari debu-debu yang menempel.
Namanya disuruh oleh majikan. Pak Kohar pun tak
dapat membantah kecuali menuruti apa yang
diinginkannya, walaupun di dalam hatinya kesal juga.
Pak Kohar mengantar Si Tolol pulang ke rumah
dan tak berani melepaskannya seorang diri. Ia
khawatir akan ngelantur lagi ke mana-mana. Setelah
sampai di muka pintu, barulah Pak Kohar pergi
menjemput saudara Si Tolol yang lainnya.
Pak Kohar tahu betul tempat majikan yang satu
ini berada. Tanpa banyak tanya lagi ia langsung
kembali ke warung di mana Si Tolol tadi tertidur.
Setelah tiba di warung itu ia pun segera masuk ke
dalam, tempat para penjudi berkumpul. Sang majikan
pada saat itu masih bersila di atas bale bersama
teman-teman main lainnya dengan kartu di tangan
masing-masing. "Den...!" ucap Pak Kohar kepada majikannya.
"He... ada apa kamu ke mari?" tanya sang
majikan dengan ketus.
"Aden dipanggil sama Juragan Besar."
"Katakan nanti saja. Magrib aku sudah tiba di
rumah!" "Beliau pesan wanti-wanti supaya Aden pulang
sekarang juga...!"
"Ada apa sih?"
"Juragan Besar sakitnya kumat. Untuk itu
diminta supaya anak-anaknya kumpul."
"Kumpul ngapain?"
"Entahlah, Den. Mungkin ada sesuatu yang ingin
beliau katakan. Saya sendiri pun tak tahu."
Pandai juga orang tua ini membujuk. Den
Tompel yang begitu keras dan kasar akhirnya mau
juga menuruti permintaannya. Padahal hatinya kesal
bukan main. Bagaimana tidak. Uang yang begitu
banyak di kantong sebagian besar ludes dan yang
tersisa di kantong baju hanya tinggal beberapa keping saja. "Huh. Sialan!" umpat
Si Raden Tompel sambil
menyelipkan golok ke pinggangnya. "Kalau saja kau
tak datang dan menyuruhku pulang. Tentu sudah bisa
kutebus semua kekalahanku. Mengerti?" gerutunya
kembali sambil menoleh ke arah Pak Kohar.
"Mengerti, Den...! Tapi keadaan Ayah Aden
sangat gawat. Ayolah cepat kita ke sana, sebentar
saja...!" sambut Pak Kohar menanggapi ucapan
majikannya. "Kenapa kumat-kumat melulu, sih...?"
"Yah maklum, Den, kan umur orang tua Aden
sudah lanjut, lagi pula penyakitnya...."
"Huh. Dasar kakek-kakek! Memang mestinya
sudah masuk ke liang kubur!"
"Husss... jangan berkata begitu, Den. Tidak baik.
Apalagi dengan orang tua Aden sendiri."
"Huh. Sudahlah! Memang kau pandai bicara. Ayo
kita pulang."
*** 2 Lebih kurang dua ratus meter dari tempat
perjudian itu, terdapat pula perjudian dengan versi
yang lain, yaitu mengadu ayam. Ada kira-kira sepuluh
orang di tempat tersebut, mereka tengah asyik
menyaksikan jalannya pertarungan seru. Ada pula di
antara mereka yang tegang menyaksikan jalannya
pertarungan itu.
"Ayo sikat terus, Bereum. Sikat terus jangan beri
ampun!" teriak orang itu dari dekat arena.
"Bagus itu baru namanya ayam jago! Ayo sikat
terus! Hantam..., ya, hantam lagi!" sambut teman yang turut menjagoi ayam itu.
"Diam kau! Jangan berisik!" bentak pemilik ayam
yang kelihatan telah terdesak, "Kalau kalian tak mau
diam, kusobek mulut kalian!" hardiknya lagi.
Dua ayam jago masih terus bertarung. Keduanya
saling baku hantam tanpa mengenal lelah walaupun
pada bagian kepalanya masing-masing telah banyak
keluar darah. Sementara itu para pemiliknya terus
berteriak-teriak memberi semangat kepada ayamnya,
padahal sang ayamnya sendiri tak mengerti apa yang
mereka ucapkan.
Setelah pertarungan berjalan sekian lama.
Terdengarlah keok keras dari salah seekor ayam. Ayam
yang kalah itu langsung berlari cepat meninggalkan
gelanggang, ini pertanda permainan telah berakhir.
Sorak gembira para pemenang pun terdengar. Mereka
berjingkrak-jingkrak kegirangan, sedangkan anak
muda yang ayamnya kalah, tampak kesal sekali.
"Ayo, Den... mana uang taruhannya...!" ucap
salah seorang pemenang menghampiri anak muda itu.
"Apa"! Mau minta uang taruhan?" tanya si
pemenang. "Kalian main curang!" teriaknya kembali.
"Oo... tidak mungkin. Den!" bantah orang itu.
"Kalau kalian tidak pakai akal busuk tak
mungkin ayamku kalah. Taji ayam ini telah kalian olesi dengan tahi kuda! Huh!!"
teriak Sang Raden sambil
menendang ayam yang menang itu dengan keras
sekali, sehingga membuat ayam itu menggelepar
macam habis dipotong, "Ini protesku! Ada yang tidak
senang silakan...!" tantangnya kemudian.
"Hei, apa-apaan kau ini. Kau apakan ayamku
itu"!" teriak orang itu dengan nafas tersengal-sengal.
"Ini sekedar contoh!"
"Contoh?"
"Ya. Kalian pun bisa seperti itu!"
"Heh! Kalau ngomong jangan seenaknya saja.
Kalau nggak mau bayar, bilang terus terang, jangan
banyak polah."
"Kalian mau apa, hah"!"
"Fuiiih! Mentang-mentang orang kaya, mau
bertindak seenaknya. Kau tak akan bisa meninggalkan
tempat ini sebelum meminta maaf kepada kami." Kini
sang Raden telah terkurung. Empat orang laki-laki
menatapnya dengan penuh kebencian dan di
tangannya masing-masing tampak memegang benda-
benda tajam termasuk pisau dan golok.
"Bagus kalau ini memang maumu!" ucap sang
Raden sambil menatap keadaan sekeliling dan
langsung mengkonsentrasikan diri ke arah tubuh
lawan agar dapat mengetahui gerakan yang akan
dilakukannya. "Ya. Inilah cara kami buat orang-orang sombong
macam kau!" sahut laki-laki yang bertubuh gemuk dan
berwajah seram sambil memutar-mutarkan golok di
hadapan sang Raden.
"Apakah kalian sudah pikir-pikir dulu apa yang
akan terjadi?" balas sang Raden separuh mengejek.
"Pikir-pikir apa"! Melawan tikus busuk seperti
kau tak perlu pikir-pikir!" bentak orang itu kembali.
"Jadi kau tak sayang binimu disambar orang,
jika berangkat ke akherat?" sindir Raden sambil
memperkuat posisinya.
"Diam kau bangsat! Ciaaaaat!"
Melesatlah salah seorang dari mereka ke
hadapan sang raden yang nama sebenarnya Raden
Kasep saudara dari Si Tolol juga. Tajam sekali golok
orang itu, begitu serangannya dihindari pohon yang
berada di dekat Den Kasep jadi sasaran dan langsung
putus dalam sekali tebasan. Dalam posisi yang sangat
menguntungkan ini tak dibiarkan lewat begitu saja
Melihat orang itu terhuyung karena serangan kerasnya
tak mengenai sasaran, Den Kasep langsung
menyambar dengan tendangan beruntun. Teriakan
kesakitan dari orang itu pun terdengar keras sekali.
Berbarengan dengan ambruknya orang itu, dua
orang sekaligus datang menyerang ke arah Den Kasep.
Serangan mendadak ini cukup membuat ia kewalahan.
Yang satu dapat ia elakkan namun sontakkan keras
dari yang satunya lagi masuk tepat ke bagian dada.
Sambil menahan rasa sakit. Den Kasep masih sempat
juga mengelakkan serangan yang datang bertubi-tubi,
walaupun ia harus jatuh bangun. Saat ini memang
hanya pengelakan yang dapat ia lakukan. Pukulan
jurus andalan yang ia miliki seakan tak berguna sama
sekali, selama pernafasan belum normal kembali.
Sedikit demi sedikit pengaturan nafas mulai bisa
dikuasai, Den Kasep tampaknya mulai lincah lagi. Dan
sekarang mulai berbalik, Den Kasep sendiri yang
membuka serangan lebih dulu. Laki-laki yang
bertubuh gemuklah merupakan sasaran utamanya.
Dalam penyerangan tersebut Den Kasep benar-benar
macam orang kesetanan. Kaki dan tangan silih
berganti ia lakukan sehingga membuat sang lawan
kewalahan. Memang dalam keadaan seperti itu, tidak
memerlukan lagi segi keindahan gerakan yang penting
berusaha sekuat tenaga untuk dapat menjatuhkan
lawan. Begitu pula yang tersirat di dalam benak sang Raden ini.
Dalam waktu yang cukup singkat, dua orang
lawan telah berhasil ia patahkan. Kini masih ada dua
lagi yang harus ia hadapi. Dengan langkah dan
gerakan yang cukup hati-hati Den Kasep kembali
mengambil posisi.
"Ciyaaat!" Teriakan keras sang lawan terdengar.
Tapi Den Kasep sudah lebih dulu siaga, sehingga
dengan sigap tangan kanannya menjemput
pergelangan lawan yang dilanjutkan dengan masuknya
dengkul kaki ke belakang sikut lawan. Melihat
lawannya meringis kesakitan Den Kasep langsung
menyarangkan pukulannya tepat ke dada lawan
sehingga membuat lawan tersebut terjerembab ke
tanah. Kini tinggal seorang lagi yang musti dihadapi.
Inilah lawan yang telah membuatnya kewalahan tadi,
karena pukulan orang ini dirasakan sangat kuat
sekali. Yang cukup melegakan hati Den Kasep adalah,
orang ini sudah tampak kelelahannya selain itu
senjatanya pun sudah terlepas dari tangan.
Satu dua pukulan yang diarahkan masih dapat
terelakkan, begitu pula dengan balasan yang diberikan kepada sang lawan. Saling
pukul dan saling tendang
pun terjadi dengan seru sekali. Jurus demi jurus telah mereka mainkan namun
belum satu pun di antara
mereka ada yang kelihatan terdesak. Rupanya kali ini
Den Kasep benar-benar mendapat perlawanan yang
berimbang, walau telah banyak upaya yang ia lakukan
namun tetap tak menggoyahkan sang lawan.
Dalam keadaan terdesak akibat terkena pukulan
pada bagian dadanya, Den Kasep menjatuhkan diri ke
tanah. Sambil bergulir ia langsung menyambar
potongan kayu yang ada di situ dan secepat kilat ia
memukul tulang kering lawan dengan kayu tersebut.
Serangan mendadak ini cukup untuk melumpuhkan
lawan. Ini terbukti karena lawannya tampak
mengerang kesakitan. Den Kasep yang kelihatan
semakin kalap dan berangasan, tendangan dan
pukulan silih berganti mendarat telak di tubuh lawan
sehingga orang itu tak berkutik sama sekali dibuatnya.
Rupanya tak sampai di situ saja, rasa amarahnya
sang Raden ini tampak semakin gila. Golok yang ada di dekat lawan yang pingsan
itu segera diambilnya dan
langsung diayunkan tinggi-tinggi ke atas.
"Sekarang giliranmu! Senjata ini sebentar lagi
akan memakan tuannya sendiri!" teriaknya keras-
keras, dan setelah giginya bergerumutuk beberapa kali ia pun berteriak lagi,
"Ciaaaat...!" Tapi ayunan
goloknya tak sempat bergerak sama sekali karena
genggaman tiba-tiba melekat di pergelangan
tangannya. "Tahan, Den! Sabar..., sabar...!" teriak lelaki tua
itu sambil memegang tangan Den Kasep kuat-kuat.
"Hei"! Pak Kohar"!" ucap Den Kasep sambil
menoleh ke arah lelaki tua yang memegang tangannya.
"Iya, Den...! Ayo lepaskanlah golok ini. Jangan
kau lakukan. Kasihanilah mereka...!"
"Huuuuh!" geram Den Kasep sambil membuang
golok itu ke tanah. "Mau apa kau datang ke sini?"
tanya Den Kasep kepada pesuruhnya yang baru saja
berhasil mengurungkan niatnya.
"Den Kasep..., saya disuruh memanggil Aden."
"Siapa yang suruh?"
"Juragan Besar, Den...."
"Memangnya ada apa?"
"Juragan Besar sakit keras. Jadi Aden disuruh
pulang sekarang juga."
"Hmmmmh!"
"Ayolah, Den...!"
Pak Kohar yang merasa khawatir terjadi apa-apa
lagi langsung menarik tangan majikannya agar segera
meninggalkan tempat tersebut.
"Ingat! Jika kalian merasa kurang puas terhadap


Si Tolol 1 Warisan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perlakuanku. Lain kali aku bersedia meladeni lagi. Aku akan bikin kalian benar-
benar kojor semua,
mengerti"!" bentak Den Kasep sambil melangkah
meninggalkan tempat itu.
Setelah beberapa saat Den Kasep dan Pak Kohar
pergi, keempat orang itu pun mulai bangkit kembali.
Mereka sangat berterima kasih kepada Pak Kohar,
sebab dengan kedatangannya ke tempat tersebut,
mereka telah lepas dari bahaya maut. Satu di antara
mereka tampak keadaannya parah sekali. Teman
temannya tampak sibuk memberikan pertolongan agar
orang itu dapat berdiri.
"Cepat ambil air sedikit. Kak Miing...! Nih, pakai
saja kain ini. Jangan lupa peras dulu." perintah salah seorang di antara mereka.
"Baik," ucap laki-laki yang berperawakan kurus
itu sambil berlari membawa kain untuk dibasahi.
"Bagaimana keadaannya?" tanya yang seorang
lagi. "Tenanglah, sudah mulai membaik. Tinggal
membersihkan mukanya saja. Ia sudah mulai sadar...!"
jawab kawannya sambil mengelus-elus dada orang
yang baru saja siuman dari pingsannya. Sambil
terbatuk-batuk orang itu berusaha bangun dan berdiri.
Kedua temannya segera membantu mengangkat.
"Bagaimana, Kang?"
"Uuuh..., nafasku masih agak sesak."
"Nah. Itu Kang Miing sudah kembali. Mari
kubersihkan badanmu dulu, ya... Kang?"
"Ya...! Tapi kalian setelah ini musti bantu aku.
Kakiku masih sulit digerakkan. Jadi tak mungkin aku
dapat pulang sendiri dalam keadaan seperti ini."
"Tenanglah, Kang. Pasti kami bantu."
"Hei..., kau dengarkah omongan mereka tadi?"
"Omongan apa. Kang Miing?"
"Itu tentang Juragan Surya... yang katanya,
sekarang semakin gawat sakitnya...!"
"Fuiiih! Mampus aja sekalian!"
"Husss! Jangan begitu dong."
"Memangnya kenapa?"
"Juragan Surya kan orangnya baik."
"Benar! Yang berhati iblis itu adalah adiknya, Si
Juragan Wangsa. Dari pengaruhnyalah sehingga
membuat anak-anaknya menjadi pongah."
"Betul juga. Seingatku Juragan Surya sangat
murah hati. Ia memberi pinjaman kepada orang atas
dasar kasihan dan tak pernah memeras, apalagi
dengan renten-renten yang begitu berat seperti yang
dilakukan ketiga Raden malang kadak itu."
"Pokoknya aku belum puas kalau aku belum bisa
membalas kepadanya!"
"Sudahlah..., ayo cepat antarkan aku pulang.
Kaki ini semakin sakit rasanya."
"Baik, Kang!"
Tempat yang baru saja menjadi gelanggang
pertarungan ayam yang kemudian dilanjutkan dengan
pertarungan pemiliknya, sekarang sudah mulai sepi
kembali. Yang nampak di situ hanyalah sampah-
sampah yang beterbangan ke sana ke mari di samping
ada bercak-bercak darah yang sudah mengering dari
sisa pertarungan dalam versi kedua tadi.
Sementara itu di lain tempat ada keasyikan lagi.
Ini adalah keasyikan yang memang lain dari biasanya.
Putra Juragan Surya yang terkenal ganteng dan sangat
perlente ini, tampak sedang asyik sekali mengumbar
rayuan gombal kepada salah seorang kembang desa.
"Bagaimana Geulis...?"
"Ah... Akang--!"
"Kenapa..." Tidak percaya sama Akang" Apakah
Akang termasuk orang yang kau sebut tadi...?"
"Tidak... Kang, tapi...."
"Tapi kenapa Denok...! Ayo katakanlah, Geulis.-."
"Betulkah Den Lungguh cinta padaku?"
"Apakah kau masih kurang percaya?"
"Ah... bohong!"
"Percayalah, Geulis..."
"Mana mungkin Raden mau padaku. Masa Raden
mau dengan orang miskin seperti aku ini."
"Tak usah bimbang, Manis... kau harus buang
jauh-jauh prasangka burukmu. Sekarang katakan saja
apa yang kau minta, Giwang, kalung, berlian, atau
permata lainnya...! Tak usah malu-malu katakan saja.
Pasti akan kuberikan untukmu, Geulis...!"
Sambil membelai lembut, sang Raden terus tak
henti-hentinya merayu si gadis yang cantik itu.
Ternyata rayuan mautnya cukup melenakan hati
seorang gadis yang masih polos ini. Ia tampak menjadi begitu jinak dan sangat
manja sekali kelihatannya.
Den Lungguh memang sangat pandai dalam soal rayu-
merayu. Jadi tak heranlah kalau banyak orang bilang
ia punya ilmu pelet atau guna-guna untuk memikat
wanita yang diingininya.
Dulu dan sekarang rupanya sama saja. Ternyata
tokoh Play Boy di jaman itu pun ada. Den Lungguh
adalah termasuk Play Boy yang memiliki kredibilitas
tinggi di seluruh Babakan Sumedang kala itu.
"Udara di sini kurang enak..., ayolah kita ke
dalam saja. bukankah kedua orang tuamu sedang ke
huma?" bisik Den Lungguh kembali yang kelihatan
sudah tak sabar lagi.
Si Kembang desa yang sudah tersirap rayuan
maut itu menerima tawaran yang diberikan
kepadanya. Dengan sikap manja ia langsung menarik
tangan sang Raden. Bukan main gembiranya hati Den
Lungguh melihat apa yang diinginkannya langsung
dituruti tanpa harus memaksa. Dengan sikap lembut
Den Lungguh pun membawa sang gadis masuk ke
dalam kamar. Memang pada saat itu suasana di luar sepi
sekali, rupanya ini sudah diperhitungkan oleh sang
Raden dalam melaksanakan niatnya. Cuma yang tak
bisa masuk dalam perhitungannya adalah lelaki tua
yang tiba-tiba masuk ke dalam rumah tersebut.
"Punteeeeen...." ucap laki-laki tua itu memberi
salam. Den Lungguh sebenarnya mengenali suara yang
tak asing lagi baginya itu, namun berhubung ia tengah asyik dengan sang kembang
desa berdua di kamar,
ucapan salam dari Pak Kohar seakan tak terdengar
sama sekali. Setelah berkali-kali memberi salam tak juga
mendapat jawaban. Pak Kohar pun menjadi tak sabar.
Ia langsung masuk ke dalam. "Punteeen," ucapnya
untuk kesekian kali.
"Punten. Abdi Kohar... aya Den Lungguh di dieu
geuningan?" tanya Pak Kohar semakin dekat dengan
kamar di mana sang majikan berada.
Belum sempat Pak Kohar berucap lagi, tiba-tiba
terdengar suara dari dalam kamar.
"Mau apa kau ke mari, hah?"
"Abdi Kohar, Den...."
"Aku tahu! Mau apa ke sini! Hah"!"
"Ayahanda memanggilmu. Den...."
"Bilang saja tidak ada. Goblok!"
"Penting, Den. Sebab Juragan Besar sedang
sakit." "Aku tahu ayah sedang sakit. Tapi kenapa pakai disusul segala! Memangnya
tak ada yang lain, atau
kau sengaja ingin mengganggu ketenanganku"!"
"Bukan, Den. Ini adalah pesan Juragan Besar
sendiri. Agan ingin ketemu dengan putra-putranya
sekarang juga. Juragan sakitnya gawat. Den...!"
"Huuuuh. Sakit-sakitan melulu! Sebentar-
sebentar sakit. Kalau ingin mati, ya, mati saja. Jangan bikin repot orang yang
sehat," gumam Den Lungguh
yang baru saja selesai mengenakan pakaiannya.
"Mau ke mana, Den...?" tanya sang kembang
desa yang masih terbaring di tempat tidur.
"Aku mau menemui Ayahku dulu...." sahut Den
Lungguh sambil merapikan rambutnya di depan
cermin. "Jangan tinggalkan aku, Den..., aku takut...!"
"Jangan kuatir, Geulis...! Aku hanya sebentar."
"Den...."
Percuma saja si gadis mengejar hingga ke depan
rumah dan memanggilnya. Den Lungguh telah berjalan
jauh dari tempat itu tanpa memperdulikan akibat dari
perbuatannya. Itu sebuah pertanda bahwa
penantiannya sia-sia. Bunga yang sedang mekar dan
harum semerbak kini tampak mulai layu sebentar lagi
mungkin akan jatuh dari tangkainya. Entah sudah
berapa banyak korban semacam ini yang akan terjadi
dari raden 'Bajul-Buntung itu'.
Ratap dan tangis tak dapat mengubah keadaan
seperti semula. Kedua orang tua hanyalah mengelus
dada tak dapat berbuat apa-apa, sebab orang yang
dihadapi bukan tandingannya.
*** 3 Suasana lenggang di malam itu sangat terasa
sekali, terutama di rumah besar milik Raden Ageng
Suryakanta Prawirasapta Dipraja, orang yang terkaya
dan berpengaruh di daerah Babakan Sumedang. Di
salah satu ruangan rumah itu tampak beberapa orang
tengah berdiri memperhatikan sesosok tubuh yang
membujur di atas pembaringan. Seorang laki-laki tua
yang sedang sakit itu tak lain adalah Raden Ageng
Suryakanta sendiri.
Beberapa saat kemudian datang seorang lali-laki
bertubuh gemuk dengan pakaian yang sangat perlente
memasuki ruangan itu. Ia adalah Raden Wangsa
Pratipea Saputra, adik sepupu dari Raden Suryakanta
yang kini mendapat tugas untuk menangani segala
kegiatan dan aktifitas selama Raden Suryakanta tidak
aktif dalam tugasnya sehari-hari.
"Wangsa...! Sudahkah mereka berkumpul
semua?" tanya Raden Surya Setelah mengetahui adik
sepupunya berada di sampingnya.
"Sudah... Kang," sahut Raden Wangsa singkat.
"Suruhlah mereka mendekat ke sini," pinta
Raden Surya. Raden Wangsa pun meminta kepada semua
kemenakannya untuk mendekat. Walaupun hanya
dengan isyarat, keempat putra Raden Surya itu cukup
mengerti apa yang dimaksud oleh pamannya, mereka
langsung mendekati ayahnya yang sedang sakit itu.
"Kang... mereka kini telah berada di dekat Akang
semua. Apakah yang hendak Kakang katakan pada
mereka?" tanya Den Wangsa sambil menggosok
keringat yang ada di dahi Den Surya, "Bicaralah,
Kang," pinta Den Wangsa dengan lembut.
"Dengarlah anak-anakku...!" ucap Den Surya
setelah melihat keempat anaknya satu persatu,
"Tompel..., Kasep..., Lungguh..., dan Palasara....
Keadaanku sudah begini. Mungkin tak lama lagi Allah
akan memanggilku kembali. Hari ini aku telah
memanggil Juru Tulis Tirta untuk membuat surat
wasiat di atas segel dan aku akan membagikan
hartaku sebagai warisan kepada kalian semua dengan
sama rata," ucap Den Surya kembali dengan nafas
yang agak tersendat-sendat.
Semua putra Den Surya tidak ada yang
menyahut. Mereka semua diam sambil menundukkan
kepala untuk mendengarkan ucapan ayahnya dalam
hal pembagian warisan yang akan jatuh ke tangan
mereka masing-masing.
"Tirta.... coba kau dekat ke mari."
"Iya... Den...!"
"Sudah kau siapkan segala sesuatunya untuk
mencatat apa yang akan kuucapkan?"
"Parantos, Juragan..., su... sumuhun!"
Satu demi satu ucapan Den Surya dicatat
dengan seksama. Setelah selesai Juru Tulis itu pun
menyalinnya dengan rapi di atas segel. Den Surya
menandatangani surat yang dibuat oleh Tirta sebagai
wakil pamong praja di zaman itu setelah Tirta
membacakannya kembali semua isinya dengan jelas.
Selesai pembagian waris, Den Wangsa bersama
yang lainnya segera pergi meninggalkan ruangan itu.
Kini yang ada hanyalah Den Surya bersama Palasara
alias Si Tolol yang tampak masih tetap di sisi ayahnya sambil menangis dan
meratap. "Apa yang kau sedihkan, Nak...?" tanya ayahnya
sambil mengelus-elus kepala putranya yang separuh
botak itu," Sudahlah, semua ini pasti akan terjadi.
Semua kekuasaan ada di tangan Tuhan..." sapanya
lagi. "Hu... uuu... u... ugh..., nanti Tolol sama siapa.
Ayah..." Ibu kan sudah lama tidak ada," sela Si Tolol sambil diselingi dengan
tangis. "Bukankah masih ada kakak-kakakmu?"
"Tidak... tidak!"
"Mereka tentu bisa menggantikan kedudukanku,
Nak...." "Semua tidak ada yang sayang sama Tolol! Kang
Tompel tidak sayang, Kang Lungguh juga tidak sayang
sama Tolol. Kang Kasep juga tidak sayang sama Tolol."
"Siapa yang bilang... mereka semua
menyayangimu, kok."
"Tidak...! Kalau Tolol ikut-ikutan main selalu
tidak boleh sama Kakang. Katanya Tolol ileran,
ingusan, dan tolol! Kang Tompel, Kang Lungguh, Kang
Kasep tidak mau punya adik yang bego... malu
katanya!"

Si Tolol 1 Warisan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Benarkah begitu?"
"Ya! Kalau-kalau Tolol memaksa, kuping Tolol
dijewer dan kepala Tolol dijitakin... Uuuuu... uuuu...
uuu! Ayah jangan mati, ya, Yah..." Nggak. Pokoknya
Ayah nggak boleh mati!"
"Cep..., cep! Sudahlah jangan menangis terus.
Diamlah, Nak...!"
"Tolol heran... kenapa mereka bodoh sekali ya,
Yah. Padahal, biar ileran dan ingusan, Tolol kan pakai oto buat tatakan iler.
Jadi nggak kotor kan?"
"Iya..., kau betul. Nak...!" ucap Juragan Surya,
mengiyakan ucapan anak bungsunya. "Hmmmh...
sudah kuduga sejak semula. Suatu saat kakak-
kakakmu akan menyia-nyiakan kau, Nak. Ini
dikarenakan kau dilahirkan dengan kelainan seperti
ini. Tapi percayalah, Ayah dan Ibumu sangat sayang
padamu. Bahkan ibumu sengaja menyimpan harta
miliknya sendiri yang disediakan untuk bekal hidupmu
kelak. Apa yang dilakukan ibumu bukan karena ia
pilih kasih. Sama sekali tidak. Ini karena Ibumu
melihat adanya kelainan pada dirimu. Ia sangat
khawatir kalau kau tidak mampu mencari nafkah
sendiri di kemudian hari, karena ketololanmu itu."
Tanpa setahu ayahnya yang sedang asyik
berbicara. Si Tolol sudah lebih dulu tidur. Dengan
sendirinya apa yang diucapkan Ayahnya tidak
terdengar sama sekali, "Krrrr.. krrrr... klekerrrr..
grukk.. glk.. krrr...." Demikian suara perlahan yang
terdengar dari mulut Si Tolol.
Juragan Surya tetap bercerita kepada putra
bungsunya, dengan perasaan bahwa anaknya itu
memperhatikannya dengan tekun. Padahal yang
memperhatikannya dengan tekun adalah orang yang
berada di balik dinding. Sejak semula ia
memperhatikan ucapan yang keluar dari mulut Sang
Juragan dengan cara yang luar biasa. Ia melekat di
dinding bagaikan seekor cecak tepat di dekat jendela
kamar Den Surya, walaupun dengan kepala di bawah
dan kaki di atas, orang itu dengan tenang tanpa
mengubah posisi sedikit pun terus menyimak segala
ucapan Den Surya.
Rupanya bukan hanya seorang yang menguping
pembicaraan itu. Di dalam rumah itu pun ada pula
orang yang menangkap rahasia keluarga. Dia tak lain
adalah Den Wangsa, adik sepupunya Den Surya.
"Dengarkan baik-baik. Nak...! Harta yang
ditinggalkan oleh Ibumu itu berupa perhiasan yang
harganya sangat tinggi dan dapat membiayaimu
seumur hidup. Walaupun kau tak bisa mencari nafkah
sendiri atau nganggur, kau tetap bisa makan. Untuk
menghindari hal-hal yang tidak diharapkan, maka
harta itu sengaja kami simpan di tepi hutan, dipendam dekat jeram di lereng
Gunung Burangrang yang
terdekat dari sini. Sebagai petunjuk, Ibumu telah
membuatkan sulaman benang pada otomu. Apabila
diperhatikan dengan baik, sulaman itu jelas tergambar sebuah peta yang dapat
menentukan lokasi harta itu
berada. Tapi sayang... sampai detik ini, ayah belum
mendapatkan orang yang dapat dipercayai. Inilah yang
menjadi pemikiran di dalam benak ayah. Ada orang
yang jujur seperti Pak Kohar, tak mungkin dapat
ditugaskan untuk menggali harta itu, apalagi dengan
kondisinya yang semakin tua. Tentu sangat berbahaya
sekali dengan dirinya."
Kalimat-kalimat yang terakhir ini benar-benar
diperhatikan dengan cermat oleh kedua orang itu,
terutama Den Wangsa, telinganya sampai dilekatkan
benar-benar di dinding agar tak ada kata-kata yang
terlewatkan di dalam pendengarannya.
"Satu harapan ayah, sebelum menutup mata,
ayah telah dapat menemukan orang yang dapat
dipercayai dan bisa melindungimu dari manusia-
manusia yang tamak dan haus harta. Tidak sedikit
manusia semacam itu di sekitar sini. Mereka bersedia
melakukan apa saja demi harta."
Den Surya terus mengelus-elus putranya
sehingga Si Tolol terbuai dalam mimpi.
Saat itu Si Tolol sedang mimpi bertemu dengan
seorang pengemis ketika ia sedang duduk sendirian di
bawah pohon besar dan rindang.
"Anak siapa kau. Nak?" tanya pengemis itu.
"Anak Juragan besar Suryakanta!" jawab Si Tolol
singkat. "Otomu bagus sekali...!" ucap pengemis lagi.
"Tentu dong!" sela Si Tolol.
"Siapa yang menyulam otomu?"
"Ibuku...!"
"Bagus sekali. Aku senang melihatnya."
"Tentu dong, siapa dulu yang menyulam...
Ibuku...!"
"Bagaimana kalau otomu itu ada yang meminta?"
"Terang aku tak kasih!"
"Kalau ada yang mau tukar?"
"Aku tak mau!"
"Kalau ditukar dengan oto yang biru dan bagus
sulamannya?"
"Tetap aku tidak kasih, karena oto itu bukan
sulaman Ibuku sendiri. Aku sayang sama Ibu."
"Bagus! Bagus! Ternyata kau seorang anak yang
mempunyai pendirian teguh. Tapi kau harus hati-hati.
Suatu saat otomu itu ada peminatnya. Ia mau
menukarkannya dengan yang baru. Ingat pesanku.
Sekali lagi hati-hatilah, Nak...!" pesan pengemis itu sambil melangkah
terbungkuk-bungkuk meninggalkan
Si Tolol sendirian.
Si Tolol bangkit dari duduknya dan mengamati
langkah pengemis itu sampai jauh dari pandangan
mata. Sementara Si Tolol sedang terbuai dengan
mimpinya. Juragan Surya masih terus berbicara
padanya. "Sulaman benang itu sengaja dibuat Ibu dengan
benang putih agar tak kentara. Kalau dibuat dengan
benang warna lain tentu sangat mencolok sekali
gambarnya," jelas Den Surya tanpa menoleh sedikit
pun ke arah Si Tolol, namun tangannya tak bosan-
bosan mengelus bagian kepala Si Tolol yang licin itu.
Si Manusia cecak tampak merasa puas dengan
informasi yang diperolehnya. Dengan senyum yang
tersungging di bibir ia memperhatikan keadaan di
sekeliling. *** 4 Untuk kesekian kalinya Si Manusia cecak
memasang telinganya dengan tajam dan kali ini
diarahkan ke semak-semak. Rupanya indera orang ini
memang cukup tajam sekali, bagaikan kilat tubuhnya
melesat menghindari serangan mendadak. Apabila ia
kurang cepat bergerak tentu tubuhnya akan menjadi
mangsa senjata lawan. Ini terbukti dengan
menancapnya beberapa uang logam tembaga di
dinding tempat ia mengintai tadi.
"Hiyaaaaaaat...!" Kembali tubuhnya melentik ke
udara untuk menghindari serangan berikutnya. Uang
logam yang dilempar lawan kembali menancap ke
sana-sini. Dengan tubuh yang melentik bagaikan ikan
gurameh disertai dengan gema teriakan keras dari
mulutnya Si Manusia cecak langsung mendekati
sumber serangan tersebut.
Tepat di puncak pohon besar yang tumbuh di
samping rumah Juragan Surya terjadi baku hantam
antara Si Manusia cecak dengan lawannya. Apabila
dihitung dengan waktu dalam pertandingan tinju,
baku hantam itu hampir mencapai tiga ronde tanpa
istirahat. Setelah terjadi pertarungan yang cukup
hebat, salah satu dari mereka melesat ke luar dari
arena. Melihat lawannya pergi begitu saja. Si Manusia cecak pun tak tinggal
diam. Ia langsung mengejar
sambil berteriak, "Jangan lari kau pengecut!"
Laki-laki yang dikejarnya itu tak memperdulikan
adanya umpatan atau makian dari belakang. Tanpa
mengurangi kecepatan ia terus berlari menghindari
perkelahian. Setelah melompat dari pohon ke pohon
yang kemudian berlari di atas atap rumah Juragan
Surya, ia pun langsung melesat keluar meninggalkan
tempat itu melalui pagar tembok bagian belakang.
Si Manusia cecak tak membiarkan lawannya
pergi begitu saja. Ia pun segera menyusulnya
walaupun tertinggal agak jauh di belakang. Kejar
mengejar pun terjadi di alam terbuka dan telah jauh
dari tempat semula. Kini tak ada lagi perkampungan
yang dilewati kecuali tebing, bukit, dan jeram.
Walaupun bukit dan tebing itu cukup licin dan
tinggi, namun tidak mengurangi tekad mereka untuk
berhenti berlari. Laki-laki yang dikejar terus berlari menuju ke arah jeram yang
ada di tempat itu. Tepat di dekat jeram Si Manusia cecak menghentikan
langkahnya, karena orang yang dikejar berhenti berlari dan telah membalikkan
badan sambil memasang
kuda-kuda pertanda siap menghadapi serangan.
"He... he... he...!" tawa laki-laki itu sambil
memainkan beberapa jurus guna memancing
kemarahan lawan, "Aku lari bukan karena takut sama
cacing kurus seperti kau. Aku sengaja membawa kau
ke sini, karena di sinilah tempat yang cocok untuk
mengadu kekuatan. Kuakui, kau memang lebih unggul
bila bertanding di atas," desis laki-laki yang dalam
keremangan itu terlihat wajahnya sangat angker sekali.
"He... he, kau kira aku akan lamban kalau
bergerak di atas air, hah?" balas Si Manusia cecak
yang wajahnya kini telah tampak pula. Laki-laki ini
tampak hanya mata sebelah kanannya saja yang
melihat, sedangkan mata sebelah kiri tampak rapat
sekali. "Fuiiiih! Majulah kalau kau memang jantan!"
teriaknya kembali.
"Hei... Picek! Apakah kau tak khawatir kalau
matamu yang tinggal sebelah itu pecah di ujung
pisauku, hah?" ejek laki-laki itu sambil tak putus-
putus mendemontrasikan gerakan-gerakan jurus
dengan lincah. Rupanya Si Manusia cecak hilang juga
kesabarannya. Tanpa pikir panjang lagi ia segera
melakukan penyerangan ke arah lawan, "Ciaaaaaat...!"
teriaknya dengan keras sambil melompat.
Tendangan keras yang diarahkan ke lawan itu
tak berhasil mengenai sasaran. Rupanya sang lawan
sudah lebih dulu siaga, sehingga keadaan masih tetap
kosong-kosong. Serangan kini berbalik ke arahnya.
Sang lawan kini tampak semakin gencar membalas
serangan dengan tendangan beruntun dan disertai
satu dua pukulan tangan. Si Manusia cecak cukup
kewalahan menghadapi serangan yang begitu gencar
ini, karena walaupun ia dapat menghindar tetapi tetap saja ada pukulan yang
masuk ke badan. Pada menit-menit berikutnya sebuah tendangan keras masuk ke
rusuk kiri Si Manusia cecak ini. Tendangan tersebut
cukup membuatnya menjerit keras sekali. Melihat
keadaan yang sangat menguntungkan. Si Tampang
Angker pun tidak membuang kesempatan. Ia segera
mengejar lawan yang dalam keadaan terhuyung-
huyung menahan sakit sambil menggenggam golok di
tangan, "Sudah kukatakan kau tak akan mampu
menandingiku bertarung di air, heh... he... heh!
Ciaaaaaat...!" teriaknya dengan keras. Belum sempat
golok itu diayunkan tiba-tiba tanpa diduga Si Manusia cecak berbalik sambil
melemparkan pisau tepat
bersarang di leher Si Tampang Angker.
"Aaaaakh...!" suara si Tampang Angker lemah
dan langsung terkulai jatuh ke tanah.
Dengan tenang Si Manusia cecak mendekati
lawan yang telah tak berdaya. Setelah mengambil
pisau yang menancap di leher lawan ia pun langsung
mendorong tubuh lawan itu ke dalam sungai.
"Brussss!" terdengar bagaikan sebuah karung
pasir dilemparkan ke air, ketika tubuh laki-laki itu
jatuh dilemparkan dari ketinggian satu meter lebih.
"Fuiiiih! Baru memiliki ilmu seujung kuku saja,
sudah berani-beranian melawan orang yang memiliki
ilmu segudang. Kau rasakan akibatnya sekarang,"
desisnya setelah merapikan kembali pakaian dan ikat
kepalanya. "Biarpun mataku cuma satu, belum tentu
aku kalah jeli dengan kau yang normal, bangsat!"
dampratnya, seakan-akan ia belum puas juga mencaci
maki lawan, padahal sang lawan sudah tak bernyawa
lagi. Dengan senyum bangga ia pun melangkah
meninggalkan tempat tersebut, namun belum berapa
jauh ia melangkah tiba-tiba serangan datang secara
bertubi-tubi. "Hiaaat...! Ciaaaat...! Hup!" teriak Si Manusia
cecak sambil menghindari serangan yang datang ke
arahnya. "Fuiiiiih...! Gila. Rupanya masih ada orang
yang lain di sini..."!" gumamnya lagi sambil melompat ke sana ke mari
menghindari mata sumpitan yang
semakin banyak sekali jumlahnya.
Mata sumpit beracun itu terus diarahkan
kemana ia pergi. Setelah sungsang-sumbel dan susah
payah menangkis serangan yang semakin bertubi-tubi,
akhirnya tubuhnya pun terjengkang jatuh ke dalam
sungai. "Aaaaah...!" teriak si Manusia cecak dengan
keras. Berbarengan dengan jatuhnya tubuh Si Manusia
cecak ke air, tiba-tiba muncul sesosok tubuh lucu dari atas pohon.
"He... heh... heh! Tak ada yang bisa lolos dari


Si Tolol 1 Warisan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sumpit Iblisku ini!" teriak laki-laki bulat pendek yang baru merosot dari pohon
itu, dan dengan langkah yang
kocak ia mendekati musuhnya yang terapung di air,
"He... heh... heh... heh!" tawa lucunya tak henti-
hentinya terdengar.
Bentuk manusia ini memang aneh sekali.
Kepalanya besar, matanya belo..., tubuhnya pun bulat
pendek, dan perutnya buncit sekali.
"Sudah puluhan jagoan di bumi Nusantara ini
kupetik dengan Sumpit Iblisku..., he... he... heh.
Sekarang giliran Si Kecoa Tanah ini...! Pokoknya tak
ada yang bisa lolos dari sumpitku, setiap yang kena,
satu menit langsung kejang dan mati. He... he... heh!
Eh. Ngomong-ngomong tadi gua dengar Jago-jago tolol
ini merebutkan harta warisan. Coba kugeledah. Siapa
tahu mereka menyimpan petunjuknya!"
Manusia aneh ini segera turun ke tepi sungai.
Tubuh laki-laki yang mengambang itu didekatinya
untuk diperiksa. Tubuh laki-laki bertampang angker
itu telah diperiksa dan ternyata tak ada apa-apanya.
Kemudian ia beralih ke tubuh yang satunya lagi.
"Pasti petunjuk itu ada di dalam pakaian Si Picek
ini. Hmmmmh... Kalau sudah kutemukan. Pasti dalam
sekejap aku bisa menjadi kaya raya...! He... he...
heh...!" ucap Si Manusia Aneh sambil membungkuk
dengan susah payah membalikkan tubuh korban yang
telah disumpitnya.
Sungguh di luar dugaan. Orang yang disangka
telah mati itu ternyata masih hidup dan bagaikan kilat ia bergerak dengan
senjata tajam yang siap di tangan.
Serangan yang begitu mendadak tak sempat lagi
dielakkan. Malah pisau yang digenggamnya itu telah
berhasil menyobek bagian leher Si Manusia Aneh dan
membuatnya mengerang kesakitan.
Si Manusia cecak terus memanfaatkan
kesempatan tersebut. Berkali-kali senjatanya
ditujukan ke arah lawan dan berkali-kali pula senjata itu mencapai sasaran. Si
Manusia Aneh kali ini benar-benar tak berdaya, tak ada lagi gerak lucu dan tawa
lebar yang keluar dari mulutnya kecuali mengerang
keras akibat luka yang dideritanya.
Satu tendangan maut baru saja dilancarkan
sebagai serangan terakhir dari Manusia cecak, yang
langsung membuat manusia aneh itu ambruk tak
berkutik lagi. "He... he... heh...! Seandainya kau telah
mengenalku, tak mungkin kau berani menantangku...!
Aku Si Manusia cecak atau lebih kesohor disebut
orang Si Tangan Kilat mempunyai seribu satu macam
akal untuk melumpuhkan lawan. Ayo..., sekarang
pergilah kau! Temani tuh Si Kecoa Busuk yang sedang
asyik berendam di kali."
Setelah mendorong tubuh manusia aneh dengan
kakinya ke dalam air. Si Manusia cecak alias Tangan
Kilat itu pun bersiap-siap untuk meninggalkan tempat
tersebut. Tapi baru saja ia hendak melangkahkan kaki, tiba-tiba ia dikejutkan
oleh suara yang datang dari
arah air terjun.
"Hei tunggu dulu, sobat...! Mau ke mana kau
terburu-buru" Masih ada aku, kok...?" ucap seorang
laki-laki yang tampak dengan tenang meluncur dari
atas air terjun yang begitu curam. Laki-laki itu benar-benar telah memiliki ilmu
keseimbangan tubuh yang
sempurna. Bayangkan, dari atas air terjun yang begitu curam ia dapat meluncur
dengan kaki bersila. Si
Tangan Kilat terkesima beberapa saat ketika melihat
kejadian yang menakjubkan dan baru pertama kali ia
alami. "Kau boleh membusungkan dada terhadap
jagoan tengik yang lain, tapi jangan coba-coba
membusungkan dada di hadapanku, he... he... heh...!"
ucap orang itu kembali, setelah ia berada di hadapan
Si Tangan Kilat.
"Siapa kau?" tanya Si Tangan Kilat singkat.
"Apa perlu kiranya aku memperkenalkan diri"!"
balas orang itu separuh mengejek. Wajah laki-laki yang baru turun dari atas air
terjun tersebut tampak mulai jelas setelah mendekat. Tubuhnya kurus berkerut
bagai orang lanjut usia, demikian juga wajahnya.
Kepalanya botak dan banyak benjolan bagai bisul
tumbuh di kepala. Dengan senjata tongkat panjang
yang di ujungnya dilengkapi lempengan besi tajam,
mirip sebuah mata cangkul kecil, ia berputar-putar
memainkan suatu gerakan silat yang lincah dengan
menggunakan sebuah pecok atau cangkul kecil.
Si Tangan Kilat mengamati semua gerakan yang
dimainkan orang itu sambil bersiaga penuh menjaga
kemungkinan yang bakal terjadi terhadap dirinya.
"Apa kau sudah memikirkan masak-masak
untuk menantangku. Kakek Peot?" sindir Si Tangan
Kilat dengan senyum sinis.
"He...! Jangan coba-coba membadut di
hadapanku. Gembel Pece...!" bentak laki-laki itu
sambil melotot.
"Sudahlah, Kek...! Lebih baik kau pulang saja.
Tak pantas rasanya aku bertanding dengan tengkorak
hidup macam kau! He... he... heh!" ejek Si Tangan Kilat kembali.
Bukan main marahnya laki-laki tersebut
mendengar ejekan dari Si Tangan Kilat, "Rupanya kau
belum tahu orang yang kini berada di hadapanmu,
hah"! Inilah Si Pecok Sejuta yang belum ada
tandingannya di dunia persilatan. Hiyaaaaaat...!"
Laki-laki yang mengaku dirinya Pecok Sejuta
langsung menyerang ke arah Si Tangan Kilat dengan
senjata andalannya.
"Aku percaya..., kau memang belum ada yang
menandinginya, sebab orang-orang tak ada yang tega
bertanding denganmu. Atau kemungkinan lain
mereka-mereka jijik dengan tubuhmu yang penuh
dengan kurap dan kudis itu. He... he... heh...!" ujar Si Tangan Kilat setelah
berhasil mengelakkan dan
membalas serangan lawan tersebut.
"Fuuiiiiih! Tutup mulutmu, bangsat...!"
"Ho... ho... ho.... hooooo! Lucu sekali melihat
tengkorak hidup marah. Ayolah Kek, seranglah aku
kalau masih berani. Aku siap menerimanya, ho... ho...
hooooo," ejek Si Tangan Kilat yang tak putus-
putusnya. Si Tangan Kilat kini telah berhasil memancing
kemarahan lawan. Ini memang merupakan senjata
andalan di samping kemampuan yang ada di dalam
dirinya. Sehingga serangan-serangan lawan secara
emosi dan membabi buta itu dengan mudah
dihalaunya. Dalam pertarungan ini Si Tangan Kilat benar-
benar memanfaatkan sisa tenaga yang ada. Ia tampak
hanya bertahan agar pihak lawan menguras seluruh
tenaganya sebab ia menyadari tenaga yang dimilikinya
telah terkuras habis setelah bertarung dengan dua
pesilat tadi. Orang yang menamakan dirinya Si Pecok Sejuta
tampak semakin ganas laksana seekor singa lapar.
Berkali-kali ia menerkam dengan senjata
kebanggaannya tapi serangan itu berhasil dielakkan
oleh pihak lawan.
"Sudah kukatakan lebih baik kau kembali saja
ke rumah. Tak perlu susah payah begini. Yang sangat
mengherankan lagi, mengapa orang pikun macam kau
masih juga mau menyerakahi harta warisan... he..
heh!" "Mampus kau, bangsat! Memang mulutmu musti
disumpal dengan ini! Hiyaaaaa!!"
"Heeeiiiiit...! Ciaaaaat!"
Si Tangan Kilat terus berusaha menghindari
serangan yang datang bertubi-tubi tanpa mengadakan
pembalasan sedikit pun. Ini rupanya suatu taktik
perkelahiannya.
*** 5 Sementara pertarungan yang masih berlangsung
dengan serunya, di lain tempat tampak seorang laki-
laki gemuk berjalan sendirian di tengah keheningan
malam. Ia kelihatan begitu tergesa-gesa seakan akan
memburu sesuatu dan langkahnya semakin lama
tampak semakin dipercepat.
Setelah menelusuri jalan yang sedikit becek dan
berlubang, akhirnya ia pun tiba di muka rumah yang
cukup besar. Tanpa mengurangi kecepatan
langkahnya. Laki-laki itu langsung masuk ke dalam
rumah tersebut.
"Tirta...! Tirta...!" teriaknya sambil menggedor
pintu dengan keras," Tirta...! Cepat buka pintunya...!"
teriaknya kembali.
Beberapa saat kemudian pintu itu pun dibuka
oleh sang pemiliknya.
"Oh..., Den Wangsa, ada apa. Den" Agaknya ada
sesuatu yang penting, sehingga malam-malam begini
datang ke mari," ucap Pak Tirta sambil mengucek-
ngucek mata. "Benar! Aku ingin bicara padamu!" ucap Den
Wangsa sambil menoleh ke kiri dan kanan, takut kalau
kedatangannya diketahui oleh pihak lain. "Boleh aku
masuk?" tanya Den Wangsa kepada Pak Tirta.
"Oh... silakan, Den!" jawab Pak Tirta dengan
sopan." Cuma maaf nih. Den. Rumahnya masih
berantakan...!" sahutnya kembali.
"Tak apa-apa. Aku cuma mau bicara sebentar."
"Tentang apa. Den?"
"Tentang Segel yang kau buat itu "
"Oo...!"
"Bagaimana" Sudah selesai"!"
"Tentu saja belum, Den...! Baru saja tadi.
Mungkin kurasa besok sore baru bisa dikerjakan
sekaligus pengesahannya di Kotapraja."
"Bagus. Bagus! Berarti kita masih dapat
mengubahnya."
"Apa yang diubah. Den?"
"Begini. Tulisannya kau ubah semua."
"Saya kurang paham. Den...?"
"Tulis di situ, bahwa semua harta warisan
Kakakku diberikan padaku!"
"Wah... sulit itu, Den...!"
"Ala... berlagak bodoh kau ini. Turuti saja
permintaanku. Kau pun nanti akan mendapat bagian
yang lumayan. Dengan bagian itu kau tak perlu susah
payah lagi jadi pegawai pemerintah Kumpeni Belanda
segala. Tinggal uncang-uncang kaki saja di rumah,
he... he... heh!"
"Tapi ini amanat. Den. Amanat seseorang tak
boleh diubah-ubah. Saya takut. Berdosa besar itu.
Den." "Ha... ha... hah! Kau rupanya tidak mau hidup
senang. Tirta. Tinggal mengubah sedikit kalimat saja
kau akan menjadi orang kaya mendadak, apakah ini
bukan merupakan kesempatan yang baik. Berapa sih
hasil yang kau dapatkan dalam sebulan. Buat makan
beberapa hari saja sudah morat-marit."
"Tidak, Den... Saya tidak bisa melakukannya."
"Kau harus ingat, Tirta. Dosa akan cepat
terlupakan apabila kau telah melihat tumpukan uang
yang kuberikan sebagai upah lelahmu. Jangan kau
sia-siakan kesempatan baik yang kuberikan ini. Belum
tentu lain kali kau temui kesempatan semacam ini."
"Sungguh... Den, tidak bisa...!"
"Sudahlah, Tirta, turutlah apa kataku. Kujamin
semuanya akan beres...!"
"Den Wangsa... janganlah terus menerus
membujuk saya untuk melakukan pemalsuan ini.
Amanat dan pesan Den Surya benar-benar saya
hormati. Jadi saya tak mungkin dapat melakukan apa
yang Aden perintahkan tadi."
Mendengar jawaban itu Den Wangsa bangkit dari
kursinya. Ia mendekati Pak Tirta dengan senyum sinis.
"Apa sih yang kau takutkan, hah"!" tanya Den
Wangsa kembali dengan wajah yang mulai memerah.
"Aku takut dosa. Den," jawab Pak Tirta dengan
wajah yang mulai berkeringat setelah melihat adanya
gelagat yang kurang baik dari tamunya.
"Itu cuma sekedar alasan! Bagaimana kalau
ujung keris ini kusodokkan ke lehermu?" tanya Den
Wangsa kembali sambil melekatkan keris tepat di leher Pak Tirta.
"J... ja... jangan. Den...!"
"Sekarang tinggal pilih, mana yang kau suka.
Kau jalankan perintahku atau kau cepat-cepat menjadi
penghuni kuburan dan menjadi santapan cacing-
cacing tanah" Ayo jawab!"
"A... ampun... Den... jangan...!"
"Hei, Tirta aku minta jawabanmu sekarang. Atau
kau pingin yang lebih cepat mampus dengan yang ini.
Timah panas ini akan lebih cepat menghancurkan
tempurung kepalamu. Aku tak segan-segan akan
menarik pelatuk ini apabila telah mencapai hitungan
ketiga!" Wangsa mengganti keris dengan sebuah pistol
untuk mengancam sang Juru Tulis itu.
Keringat Tirta kini tampak semakin deras keluar
membasahi tubuhnya. Apalagi setelah Den Wangsa
menempelkan sebuah benda yang sangat ditakuti
orang, termasuk juga Tirta.
"Aku ini bukan orang sembarang. Kau harus
ingat itu. Tirta. Tidak sembarangan orang yang bisa
memiliki pistol ini kecuali orang-orang yang
mempunyai hubungan langsung dengan pembesar-
pembesar Kumpeni Belanda. Nah. Kembali ke


Si Tolol 1 Warisan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

persoalan kita tadi. Aku tak mempunyai banyak
waktu. Kalau kau tak ingin kutarik pelatuk ini,
cepatlah kau ambil surat-surat yang kau tulis tadi."
"Ba... ba... baiklah, Den."
"Cepaaaaat!"
"I., i., iya, iya, Den."
Pak Tirta bagai kerbau dicucuk hidungnya. Tak
mampu berbuat apa-apa lagi kecuali menuruti
perintah sang tamu yang tamak dan serakah itu.
Pertarungan Digunung Tengkorak 2 Pendekar Rajawali Sakti 100 Kemelut Hutan Dandaka Pedang Pusaka Dewi Kahyangan 6
^