Api Di Bukit Menoreh 23
06 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 23
Hari itu Agung Sedayu dan Ki Waskita sempat berbicara panjang lebar dengan para pemimpin Tanah Perdikan Menoreh yang sedang berprihatin. Dari mereka Agung Sedayu mendapat banyak bahan untuk mengenal Tanah Perdikan yang besar itu, yang pada suatu saat pernah mencapai masa kebesarannya.
"Kecemasan orang-orang tua itu tidak wajar," berkata Prastawa tiba-tiba, "sudah beberapa kali aku katakan, bahwa kecemasan itu terlalu berlebih-lebihan."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya, sementara Ki Gede bertanya, "Apa yang kau maksudkan Prastawa?"
"Memang ada kemunduran di beberapa segi paman," jawab Prastawa, "tetapi tidak dalam keseluruhan. Bahkan jika diambil dasar rata-rata Tanah ini maju meskipun tidak sepesat Kademangan Sangkal Pulung. Justru karena Kademangan Sangkal Putung daerahnya lebih sempit, sehingga lebih mudah untuk menanganinya."
Ki Gede termangu-mangu sejenak. Ia memang melihat beberapa orang anak muda yang datang bersama Prastawa. Dalam pada itu Prastawapun berkata, "Coba, silahkan paman bertanya kepada anak-anak muda yang terdiri dari bermacam-macam golongan ini. Mereka akan dapat berbicara tentang keadaan anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh. Mereka akan banyak memberikan bahan dari keadaan yang sebenarnya."
"Terima kasih," jawab Ki Gede, "Agung Sedayu tentu akan mendengar dan melihat. Tetapi yang tidak dapat kita pungkiri, bahwa parit-parit di banyak tempat menjadi kering. Gardu-gardu menjadi kosong, bahkan ada beberapa gardu yang rusak tanpa diperbaiki lagi. Tanda isyarat tidak lagi terdapat di gardu-gardu itu. Kenthongan itu seolah-olah telah tidak lagi ada gunanya sehingga pantas untuk merebus air saja didapur. Nah, hal-hal semacam inilah yang perlu kita perhatikan. Tentu saja tanpa mengurangi hasil-hasil yang telah kita capai bersama seperti yang kau katakan itu Prastawa. Karena itu, maka apa yang dapat kau capai, kemudian dibantu oleh Agung Sedayu. Tanah Perdikan ini akan dapat mencapai kebesarannya kembali."
Prastawa menarik nafas dalam-dalam. Meskipun rasa-rasanya ia masih belum puas, tetapi ia tidak dapat berbicara lebih banyak lagi, justru karena pamannya tidak membantahnya.
Namun dalam pada itu, meskipun sekilas, Agung Sedayu dapat melihat kesan pada wajah para pemimpin Tanah Perdikan Menoreh yang lain. Para pembantu Ki Gede itu nampaknya tidak puas dengan keterangan yang diberikan Prastawa, seolah-olah Tanah Perdikan Menoreh telah berkembang maju meskipun tidak sepesat Sangkal Putung. Menurut penilaian Agung Sedayu, orang-orang tua itu justru dengan jujur mengakui, bahwa Tanah Perdikan Menoreh sedang mundur.
Tetapi Agung Sedayu tidak ingin berbantah justru pada hari-hari pertama ia berada di Tanah Perdikan Menoreh. Sementara itu maka Ki Gedelah yang memberikan penjelasan lebih banyak lagi tentang rencana Ki Gede dengan Agung Sedayu.
"Apa artinya satu orang bagi Tanah Perdikan ini," berkata Ki Gede, "katakanlah dua orang dengan Ki Waskita yang sudah terlalu sering berada disini. Namun yang aku lakukan ini semata-mata merupakan satu pertanda bahwa kita semuanya, seisi Tanah Perdikan Menoreh akan bergerak bersama. Apapun yang dilakukan oleh Agung Sedayu tidak akan berarti apa-apa tanpa bantuan kita semuanya."
Anak-anak muda yang ada di pendapa itu saling menggamit. Mereka menunjukkan sikap yang sama sekali kurang wajar terhadap kehadiran Agung Sedayu.
Tetapi nampaknya Ki Gede juga mengerti, karena itu, maka iapun kemudian berkata, "Sekali lagi kami, orang tua-tua mohon keikhlasan kalian untuk menerima Agung Sedayu diantara kalian, agar ia dapat menjadi salah satu diantara roda-roda penggerak yang memang sudah ada di Tanah Perdikan ini."
Tidak seorangpun yang menjawab. Prastawapun tidak.
Demikianlah setelah mereka berbicara beberapa saat, dan ketika kepada mereka telah dihidangkan berbagai macam hidangan, maka pertemuan itupun diakhiri. Para pembantu Ki Gede di Tanah Perdikan itupun kembali kerumah masing-masing, sementara anak-anak mudapun kemudian masih bergerombol di halaman dengan Prastawa.
Untuk beberapa saat lamanya. Agung Sedayu masih berbincang dengan Ki Gede Menoreh dan Ki Waskita. Mereka melihat gelagat yang kurang baik dari Prastawa dan beberapa orang anak-anak muda di Tanah Perdikan Menoreh, yang merasa diri mereka dikecilkan.
"Aku dapat mengerti," berkata Agung Sedayu, "aku akan mencoba mendekati mereka. Mungkin mereka belum yakin, bahwa aku benar-benar hanya seorang pembantu mereka yang mungkin akan dapat mengusulkan beberapa kegiatan. Tetapi yang paling tepat adalah keterangan Ki Gede, bahwa kedatanganku adalah sekedar pertanda waktu. Tanah ini bersama-sama akan bangkit. Bukan karena ada waktu disini. Karena itu, kebetulan adalah aku yang datang. Mungkin Swandaru, mungkin Pandan Wangi sendiri, atau siapapun. Namun kedatangan itu adalah satu isyarat agar kita semuanya bangkit dan bekerja keras."
"Bagus Agung Sedayu," sahut Ki Gede, "kau memang harus sabar menghadapi anak-anak itu. Mereka termasuk sasaran yang aku cemaskan. Aku merasa sangat sulit untuk mengawasinya. Agak berbeda dengan kau. Kau adalah anak muda seumur mereka, meskipun kau lebih tua sedikit. Tetapi kau mungkin sekali akan cepat menyesuaikan diri. Yang penting, mengerti apakah yang mereka kehendaki sebenarnya."
"Aku akan mencoba Ki Gede," jawab Agung Sedayu, "besok aku akan melihat-lihat keadaan di seluruh Tanah Perdikan ini. Aku yakin bahwa ada segi-segi lain dari wajah anak-anak muda di seluruh Tanah Perdikan Menoreh ini."
"Ya, ya. Kau akan dapat melihatnya sendiri," berkata Ki Gede, "biarlah besok kau diantar oleh para pengawal mengelilingi Tanah Perdikan ini dari ujung sampai keujung."
"Kenapa dengan para pengawal ?" bertanya Agung Sedayu, "apakah menurut pertimbangan Ki Gede orang-orang Gunung Kendeng, atau orang Tal Pitu, termasuk Ki Pringgajaya demikian cepatnya menyusul aku?"
"Aku tidak berpikir tentang mereka ngger," jawab Ki Gede. "tetapi aku berpikir tentang tingkah laku beberapa orang anak-anak muda di Tanah Perdikan ini."
Agung Sedayu tersenyum. Katanya, "Besok biarlah aku seorang diri untuk menunjukkan bahwa aku adalah bagian dari mereka dimasa-masa mendatang. Sementara jika ada tanda-tanda orang Tal Pitu. atau Gunung Kendeng atau Ki Pringgajaya sendiri akan datang, aku akan mohon Ki Waskita dan Ki Gede sendiri untuk melindungi aku. Karena bagi mereka, tentu tidak akan ada orang lain yang disegani kecuali orang-orang tua itu."
"Aku sudah tidak banyak berarti lagi Agung Sedayu," sahut Ki Gede dengan nada rendah.
"Tidak," jawab Agung Sedayu, "Ki Gede adalah orang yang setingkat dengan guru, dengan Ki Waskita, dengan orang-orang yang sebaya dengan Ki Gede. Jika Ki Gede merasa terganggu karena cacat kaki, maka pada saat-saat tertentu Ki Gede tentu akan menemukan jalan untuk mengatasinya. Sebagaimana pernah kita dengar, orang yang cacat mutlakpun mempunyai kelebihannya tersendiri."
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Sambil tersenyum ia berkata, "Itulah yang menarik berbicara dengan angger Agung Sedayu. Jarang anak muda sebayanya dapat berbicara tentang orang-orang tua dan justru dapat menyentuh perasaan. Rasa-rasanya aku memang ingin berusaha untuk mengatasi cacat kakiku."
"Ki Gede sadar atau tidak sadar, tentu sudah berusaha," sahut Agung Sedayu, "tinggal mematangkannya."
Ki Gede tertawa. Katanya, "Terima kasih ngger. Mudah-mudahan aku dapat melakukannya."
Dalam pada itu, Ki Waskitapun memberikan beberapa pesan kepada Agung Sedayu jika ia benar-benar ingin mengelilingi Tanah Perdikan ini seorang diri.
"Yang penting, kau harus menyadari, bahwa ada pihak yang tidak menerimamu dengan baik," berkata Ki Waskita, "tetapi jangan kau musuhi mereka itu."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Dengan nada dalam ia menjawab, "Aku akan berusaha sejauh mungkin menimbuni jarak antara mereka dengan aku Ki Waskita."
"Kau memang harus bersabar menghadapi kenyataan ini," sambung Ki Gede pula.
Demikianlah, maka Agung Sedayu sudah mendapat gambaran apa yang harus dilakukannya. Yang pertama adalah melepaskan pemisah yang ada antara dirinya dengan anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh yang justru pernah dikenalnya dengan baik. Namun dengan mereka yang baru tumbuh sebaya dengan Prastawa, dan yang mereka sebelumnya tidak pernah berbuat mengenali mereka. Mungkin anak-anak muda itu mengenal Agung Sedayu pada waktu itu. tetapi mungkin pula tidak.
Namun yang penting bahwa Prastawa yang sudah dewasa dan merasa memiliki kesempatan untuk berbuat sesuatu bagi Tanah Perdikan Menoreh, merasa kehadiran Agung Sedayu itu akan memperkecil arti dirinya. Dengan demikian, maka bersama kawan-kawan dekatnya ia telah berusaha untuk berbuat sesuatu yang menurut mereka, akan membuat Agung Sedayu menjadi jera, atau setidak-tidaknya akan tunduk terhadap kelompok mereka.
Sebenarnyalah bahwa di Tanah Perdikan Menoreh, kelompok yang di pimpin oleh Prastawa itu kurang mendapat tempat dihati rakyat Tanah Perdikan Menoreh. Juga dilingkungan anak-anak mudanya. Tetapi karena kedudukan Prastawa yang dikenal sebagai kemanakan Ki Gede Menoreh, telah membuat sekelompok anak-anak muda itu disegani.
Karena itulah, ketika berita kedatangan Agung Sedayu itu didengar oleh anak muda diseluruh Tanah Perdikan Menoreh, ternyata banyak juga diantara mereka yang merasa bersukur, bahwa akhirnya Agung Sedayu itupun datang. Mereka berharap bahwa Agung Sedayu akan membawa nafas baru dalam kehidupan anak-anak tnuda di Tanah Perdikan Menoreh. Sementara itu, para pemimpin Tanah Perdikan Menoreh telah sepakat untuk memberi arti atas kehadiran Agung Sedayu itu sebagai satu pertanda waktu saja, agar Tanah Perdikan Menoreh terbangun dan bekerja bersama-sama untuk kepentingan Tanah Perdikan mereka. Jika kemudian ternyata Agung Sedayu dapat memberikan arti lebih jauh dari itu, rakyat Tanah Perdikan Menoreh akan berterima kasih kepadanya.
Dalam pada itu, ketika malam turun, maka Agung Sedayu telah menahan dirinya untuk tetap tinggal di rumah Ki Gede. Ia melihat Prastawa dengan beberapa orang anak muda berada di gardu di depan regol. Nampaknya mereka sedang berjaga-jaga sebagaimana seharusnya dilakukan.
"Nampaknya mereka masih tetap giat berjaga-jaga," berkata Agung Sedayu kepada Ki Gede di pagi hari berikutnya.
"Biasanya tidak demikian ngger," jawab Ki Gede, "malam tadi agaknya ada beberapa gardu lain yang juga terisi, ternyata aku mendengar isyarat kentongan di tengah malam dari dua gardu lain."
"Ya," jawab Agung Sedayu, "karena itu aku menyangka, bahwa di malam hari. Tanah Perdikan ini mendapat pengamatan yang baik."
"Hanya semalam saja ngger," jawab Ki Gede, "mudah-mudahan apa yang mereka lakukan semalam akan berkelanjutan di malam-malam mendatang."
Buku 145 AGUNG SEDAYU mengangguk-angguk. Tetapi ia mengerti, bahwa Prastawa ingin menunjukkan kepada Agung Sedayu, bahwa sejak sebelum ia datang, Tanah Perdikan Menoreh telah cukup tenang dan aman karena kegiatan anak-anak mudanya.
Seperti yang dikatakannya, maka setelah makan pagi Agung Sedayu minta diri untuk melihat-lihat Tanah Perdikan Menoreh seorang diri. Ia ingin bertemu dengan anak-anak muda yang pernah dikenalnya sebelumnya.
"Hati-hatilah," berkata Ki Waskita, "dan kau harus menahan diri menghadapi segalanya."
Agung Sedayu tersenyum. Jawabnya, "Aku akan selalu berusaha."
Ki Gedepun kemudian mempersilahkannya, meskipun ia menjadi agak berdebar-debar, justru karena keinginan Agung Sedayu untuk pergi seorang diri.
"Dengan demikian, mungkin ia berusaha untuk memberikan kesan bahwa ia sama sekali tidak ingin bermusuhan atau ingin dibayangi oleh kekuasaan di Tanah Perdikan ini Ki Gede," berkata Ki Waskita.
Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, "Mungkin memang demikian. Jika ia seorang diri, maka agaknya memang tidak akan memancing banyak perhatian atau sikap permusuhan."
Namun ternyata Prastawa bersikap lain. Ketika ia mengetahui bahwa Agung Sedayu berkeliling Tanah Perdikan Menoreh atau sebagian daripadanya seorang diri, maka iapun segera menemui kawan-kawannya.
"Sombong sekali," geram Prastawa.
"Apa yang harus kita lakukan?" bertanya seorang kawannya.
"Satu kesempatan yang baik untuk membuatnya jera," geram Prastawa, "betapapun tinggi ilmunya, justru karena ia murid Kiai Gringsing dan kakak seperguruan Swandaru, namun aku rasa ilmuku masih akan dapat mengimbanginya. Panggil tujuh atau delapan orang terbaik diantara kita. Kita akan memberinya sedikit pelajaran."
Kawan-kawannyapun segera menjalankan segala perintah Prastawa. Bersama tujuh orang Prastawa kemudian berusaha untuk mencegat perjalanan Agung Sedayu itu di tengah-tengah bulak panjang yang sepi.
Sementara itu, sepeninggal Agung Sedayu, Ki Waskita yang memasuki biliknya yang ditempatinya bersama Agung Sedayu, diluar sadarnya telah melihat juntai cambuk Agung Sedayu dibawah pembaringannya. Ketika ia mengambilnya, sebenarnyalah Agung Sedayu memang tidak membawa senjatanya.
"Apa maksudnya," berkata Ki Waskita kepada diri sendiri sambil mengembalikan cambuk itu. Yang kemudian dijawabnya sendiri, "Mungkin ia benar-benar ingin tidak memberikan kesan permusuhan." Namun kemudian, "tetapi bagaimana jika ia bertemu dengan musuh yang sebenarnya, yang mungkin saja memburunya sampai ke Tanah Perdikan ini."
Namun Ki Waskita menjadi agak tenang ketika iapun teringat usaha Agung Sedayu menyempurnakan ilmunya di saat terakhir. Cambuk itu memang sangat berbahaya ditangannya. Namun tanpa cambuk itupun, Agung Sedayu sudah termasuk tataran orang kuat didalam dunia olah kanuragan.
Bahkan Ki Waskitapun kemudian menarik nafas dalam-dalam. Nampaknya Agung Sedayu memang ingin berbuat bijaksana. Bagaimanapun juga ia adalah seorang anak muda yang memiliki indera lengkap, termasuk sentuhan perasaan yang dapat membuatnya marah. Agaknya ia tidak ingin mengotori cambuknya apabila tingkah laku anak-anak muda di Tanah Perdikan Menoreh ini sudah melampaui batas.
Tetapi Ki Waskitapun percaya akan kesabaran Agung Sedayu menghadapi tingkah laku Prastawa dan kawan-kawannya.
Sementara itu, Agung Sedayu mulai menelusuri jalan-jalan padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Ketika di regol padukuhan induk ia bertemu dengan seorang anak muda, maka Agung Sedayupun berhenti.
"He," anak muda itu menyapa, "kau Agung Sedayu."
Agung Sedayu mengangguk. Katanya, "Kau tidak lupa padaku."
"Tentu tidak. Kau sudah beberapa kali berada di Tanah Perdikan ini. Apalagi menurut pendengaranku, kau sekarang akan tinggal disini untuk waktu yang agak lama karena Ki Gede minta kepadamu untuk membantunya," bertanya anak muda itu.
"Ya. Ki Gede minta membantu Prastawa," jawab Agung Sedayu.
Anak muda itu mengerutkan keningnya. Desisnya, "Apakah kau tahu tentang Prastawa ?"
Agung Sedayu menggeleng lemah. Namun jawabnya, "Ia adalah kemanakan Ki Gede."
"Tetapi ia telah salah langkah," jawab anak muda itu, "He, Agung Sedayu, apakah kau masih melihat para pengawal Tanah Perdikan ini sesigap dahulu " Hanya tinggal beberapa orang saja yang masih tetap melakukan tugasnya sebagai pengawal yang langsung ditunjuk oleh Ki Gede. Namun dalam keadaan yang gawat, jumlah itu sama sekali tidak memadai, sementara anak mudanya bersikap acuh tidak acuh saja."
"Dan kau sendiri ?" bertanya Agung Sedayu.
"Aku tidak termasuk sejumlah pengawal yang ditunjuk. Karena itu, aku lebih senang turun kesawah untuk kepentingan keluargaku sendiri," jawab anak muda itu.
"Tetapi sawahpun nampaknya menjadi kering di musim kemarau," gumam Agung Sedayu
"Ya. Tidak ada orang yang bersedia bangkit untuk mengajak kita memperbaiki bendungan yang rusak itu," geram anak muda itu.
"Dan kau ?" bertanya Agung Sedayu.
"Aku tidak berarti apa-apa disini. Suaraku seperti gema yang memantul dilereng bukit. Mengaung sebentar, kemudian hilang ditelan angin." anak muda itu berhenti sejenak, lalu. "he, kau mau kemana Agung Sedayu ?"
"Berkeliling Tanah Perdikan ini, atau jarak yang sempat aku tempuh untuk pagi ini. Aku ingin bertemu dengan kawan-kawan yang pernah aku kenal dan mengenal aku. Tetapi anak-anak muda yang baru tumbuh itu banyak yang tidak aku kenal," jawab Agung Sedayu.
"Tetapi mereka mengenalmu. Anak-anak muda itu mengenal kau seperti mereka mengenal kawannya sendiri," jawab anak muda itu, "kecuali mereka yang terpengaruh oleh Prastawa. Ia tidak suka melihat kedatanganmu. Aku mendengar tentang hal itu."
"Akupun tahu," jawab Agung Sedayu, "tetapi aku ingin membuktikan kepadanya bahwa aku tidak ingin memusuhi siapa saja di Tanah Perdikan Menoreh ini."
Anak muda itu mengangguk-angguk. Katanya, "Mudah-mudahan kau berhasil."
"Kita akan bersama-sama membangunkan Tanah Perdikan yang mulai tertidur ini. Kau setuju ?" bertanya Agung Sedayu tiba-tiba.
"Tentu. Aku setuju. Jika kau minta, aku akan bersedia untuk berbuat apa saja," jawab anak muda itu.
Agung Sedayu tersenyum. Katanya, "Terima kasih. Marilah. Aku akan melanjutkan perjalanan keliling ini. Kau akan pergi ke sawah ?"
"ya," jawab anak muda itu.
Keduanyapun berpisah. Agung Sedayu mulai berjalan lewat bulak pendek diluar padukuhan induk. Ketika ia memasuki padukuhan kecil disebelah padukuhan induk, maka iapun bertemu dengan beberapa orang anak muda yang telah mengenalnya. Dan kesan yang didengarnya-pun serupa dengan anak muda yang ditemuinya di padukuhan induk.
Namun sering kali Agung Sedayu bertemu dengan sekelompok anak muda kawan-kawan Prastawa. Betapa telinga Agung Sedayu menjadi panas, tetapi ia harus menahan hati. Ia sama sekali tidak menanggapi sikap bermusuhan dari anak anak muda itu.
Tetapi sikap anak-anak muda itu, ternyata baru sebagian dari tantangan yang dihadapinya di Tanah Perdikan Menoreh itu. Seperti yang diperhitungkan oleh Prastawa, maka Agung Sedayu telah melampaui padukuhan kecil disebelah padukuhan induk itu, lalu memasuki sebuah bulak panjang yang sepi di pagi hari. Ada satu dua orang yang bekerja di sawah mereka. Namun nampaknya gairah bekerjapun telah menurun karena parit sudah tidak mengantar air melimpah seperti beberapa saat yang lampau, sehingga mereka terpaksa mengatur, giliran untuk mempergunakan air, namun kadang-kadang timbul juga pertengkaran tentang air itu pula.
Demikian Agung Sedayu berjalan di bulak panjang itu, maka Prastawa yang telah menunggunya ditengah-tengah bulak, di sebuah pategalan beberapa langkah dari jalan bulak itu segera bersiap-siap.
"Anak itu lewat," desis seorang kawannya.
"Kita pancing ia berbelok ke pategalan ini," desis Prastawa, "Kita akan mengajarinya sedikit sopan santun disini, agar tidak dilihat orang."
Kawan-kawannya tertawa. "Pergilah salah seorang ketepi jalan bulak itu," perintah Prastawa, "ajaklah ia singgah. Ia tidak akan menolak, justru karena kesombongannya. Ia merasa dirinya demikian penting disini, sehingga setiap orang akan membutuhkannya dan menghormati kedatangannya."
Sebenarnyalah salah seorang anak muda itupun segera menuju ke pinggir jalan bulak yang dilalui oleh Agung Sedayu. Ia tidak perlu bersembunyi atau berpura pura. Ia berdiri saja dipinggir jalan dengan tangan dipinggang.
Agung Sedayu yang berjalan menelusuri bulak itu, untuk pergi kepadukuhan sebelah, melihat juga anak muda itu. Memang terbersit kecurigaannya. Tetapi ia melangkah terus.
Demikian ia sampai didepan anak muda itu. maka iapun berhenti karena anak muda yang bertolak pinggang itu menghentikannya.
"Agung Sedayu," berkata anak muda itu, "aku ingin mengucapkan selamat datang kepadamu."
"Terima kasih," jawab Agung Sedayu sambil mengangguk kecil, "selamat bertemu."
"Ada beberapa orang kawan ingin bertemu denganmu Agung Sedayu," berkata anak muda itu berterus terang, "mereka ingin mengerti, apa maksud kedatanganmu sebenarnya."
"O," Agung Sedayu mengangguk-angguk, "dimana mereka sekarang ?"
"Mereka berada di pategalan itu," jawab anak muda itu.
"Kenapa di pategalan " Sebaiknya aku persilahkan saja kalian pergi ke rumah Ki Gede. Kita akan dapat berbicara panjang lebar," jawab Agung Sedayu.
"Kenapa harus pergi ke rumah Ki Gede?" anak muda itupun justru bertanya, "kau sudah ada disini sekarang. Dan kawan-kawan sudah cukup lama menunggu. Jangan kecewakan mereka. Bukankah kau datang untuk kepentingan mereka ?"
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun akhirnya iapun mengangguk kecil sambil menjawab, "Baiklah. Mungkin aku dapat menjawab beberapa pertanyaan."
"Marilah, ikut aku," ajak anak muda itu.
Agung Sedayupun kemudian mengikutinya. Anak muda itu memang mengumpat didalam hatinya, "Anak ini benar-benar sombong. Kenapa ia bersedia begitu saja ikut aku, meskipun seharusnya ia mencurigai kenapa aku membawanya ke pategalan."
Tetapi anak muda itu mencoba menahan diri, betapa ia merasa muak melihat sikap Agung Sedayu itu.
Ketika mereka memasuki pagar petegalan, maka Agung Sedayupun terkejut ketika ia melihat Prastawa beserta beberapa orang anak muda duduk diantara pepohonan menunggunya. Demikian ia muncul, maka anak anak muda itu tersenyum sambil mengangguk kecil.
"Selamat datang Agung Sedayu," berkata Prastawa sambil tertawa, "aku sudah mengira bahwa kau tidak akan menolak singgah sebentar, karena kau cukup sombong untuk melakukannya."
"Aku tidak mengerti," jawab Agung Sedayu.
"Jangan bohong," jawab Prastawa, "he, kenapa kau menjadi pucat. Bukankah kau sengaja datang dengan dada tengadah dan menunjukkan kepada anak-anak Tanah Perdikan Menoreh, bahwa kau adalah jenis anak muda yang paling baik yang akan dapat merubah Tanah Perdikan ini menjadi sebuah taman impian yang tenang, damai, kaya raya, penuh dengan seribu macam kenikmatan hidup. Sejahtera dan sentausa. Namun juga kuat lahir dan batinnya menghadapi segala macam mara bahaya."
"Ah," desah Agung Sedayu, "jangan berkata begitu. Kau tentu ingat apa yang dikatakan oleh Ki Gede. Kehadiranku sekedar pertanda waktu. Kita akan bangkit bersama-sama untuk membangun Tanah Perdikan ini."
"Kalau demikian kenapa harus kau ?" bertanya Prastawa.
"Adalah kebetulan aku bersedia membantu sementara aku mempunyai kesempatan. Hanya kesempatan, bukan kelebihan apapun yang ada padaku," jawab Agung Sedayu, "jangan salah mengartikan niat Ki Gede memanggil aku. Meskipun Tanah Perdikan ini memiliki anak-anak muda yang baik, lebih baik dari aku, tetapi apa salahnya jika aku mendapat kesempatan untuk sekedar membantu. Mungkin aku dapat berbuat sesuatu yang berarti atau mengusulkan sesuatu yang dapat dipertimbangkan."
"Kau benar benar anak yang sombong," geram Prastawa, "kemari. Mendekatlah."
Agung Sedayu ragu-ragu. Tetapi Prastawa yang duduk diatas sebuah batu itu membentak, "Kemari, mendekat kau dengar ?"
Agung Sedayu menjadi semakin bimbang. Tetapi ia melangkah beberapa langkah mendekati Prastawa.
Tiba-tiba saja Prastawa tertawa. Diantara derai tertawanya ia berkata, "Kenapa kau gemetar he, anak kekasih para malaikat. Dahulu aku pernah kau katakan, kau ingat " Tetapi waktu itu aku adalah anak ingusan yang tidak tahu arti unsur gerak apapun juga. Sekarang kau jangan bermimpi dapat mengalahkan murid Ki Gede Menoreh yang terpercaya. Karena itu, cepat, duduk dihadapanku. Duduk kau dengar " Cepat."
Agung Sedayu masih tetap dicengkam oleh kebimbangan. Namun sekali lagi ia mendengar Prastawa berteriak, "Duduk, cepat."
Agung Sedayu tidak membantah. Iapun kemudian duduk didepan Prastawa yang sudah duduk diatas sebuah batu. Sementara itu, kawan-kawan Prastawapun telah duduk memutarinya.
"Bagus," berkata Prastawa, "disini agak lain dengan di rumah paman Argapati. Disana kau terlalu dimanjakan, tetapi disini kau harus melihat kenyataan, dengan siapa kau berhadapan."
"Aku tidak tahu maksudmu Prastawa," desis Agung Sedayu.
Prastawa tertawa berkepanjangan. Katanya, "Kau pucat, gemetar, tetapi lebih dari segala itu, kesombonganmu telah larut hanyut oleh sifat pengecutmu yang sebenarnya. Jangan menangis anak manis. He, kenapa kau menangis ?"
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sikap itu agak keterlaluan. Tetapi ia masih berusaha untuk menahan diri.
"Agung Sedayu," berkata Prastawa kemudian, "kini kau baru berhadapan dengan kurang dari sepuluh orang anak muda di Tanah Perdikan Menoreh. Kau sudah menjadi pucat, gemetar dan bahkan menangis. Bagaimana kau dapat menghadapi seluruh anak muda di Tanah Perdikan ini."
"Kau memakai istilah yang keliru Prastawa," jawab Agung Sedayu, "apakah yang kau maksud dengan menghadapi ?"
Prastawa memandang Agung Sedayu dengan tajamnya. Namun kemudian dengan lantang ia berkata, "Kau sudah menantang kami, anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh dengan kesombonganmu. Seolah-olah kami tidak akan mampu berbuat bagi kepentingan kami di Tanah Perdikan ini, sehingga kau perlu datang kemari untuk menyelamatkan kami."
"Aku sama sekali tidak bermaksud demikian," jawab Agung Sedayu, "sudah berkali-kali aku katakan. Aku sekedar pertanda waktu kebangkitan dari Tanah Perdikan ini seperti yang dikehendaki oleh Ki Gede. Aku sendiri tidak banyak berarti. Tetapi bahwa rakyat Tanah Perdikan ini bersama-sama bangkit untuk membangun kembali Tanah Perdikan ini, itulah yang akan berarti bagi Tanah Perdikan ini."
"Kau memang pandai memutar balikkan kata-kata untuk sekali-kali. menutupi kesombonganmu. Tetapi di saat lain, dengan mengolah kata-kata yang sama, kau menunjukkan bahwa seolah-olah hanya kaulah manusia yang memiliki kemampuan untuk membangun Tanah ini," geram Prastawa.
"Jangan salah mengerti Prastawa," jawab Agung Sedayu, "aku sama sekali tidak bermaksud demikian."
Tetapi Prastawa tidak menghiraukannya. Tiba-tiba saja ia berdiri sambil bertolak pinggang. Katanya, "Agung Sedayu, kau harus berani menunjukkan kepada kami, bahwa kau benar-benar mempunyai arti bagi Tanah Perdikan ini. Nah, apa yang dapat kau lakukan terhadap kami. Bukan kami bersama-sama, tetapi kami seorang demi seorang. Aku tahu, kau adalah murid Kiai Gringsing. Tetapi aku adalah murid Ki Gede Menoreh."
"Jangan terlalu jauh menanggapi kehadiranku disini Prastawa," berkata Agung Sedayu, "anggap saja aku datang untuk membantu apa yang kalian lakukan. Aku hanya seorang. Jika aku memang tidak berarti apa-apa, biarlah aku tidak berarti menurut pendapatmu. Tetapi jangan dihadapkan kepada cara seperti ini."
"Persetan," geram Prastawa, "ayo berdiri. Berdirilah."
Agung Sedayu masih tetap duduk, meskipun anak-anak muda kawan Prastawa itu sudah berdiri.
"Berdirilah," bentak Prastawa.
Namun demikian Agung Sedayu berdiri, tiba-tiba saja Prastawa telah memukul perut Agung Sedayu dengan sekuat-kuatnya.
Yang terdengar adalah keluhan tertahan. Agung Sedayu terbungkuk oleh pukulan itu. Dalam pada itu, satu pukulan yang keras telah mengenai tengkuknya. Sisi telapak tangan Prastawa telah mendorong Agung Sedayu tertelungkup, meskipun ia mencoba bertahan pada kedua tangannya.
"Bangunlah, bangunlah anak perkasa," geram Prastawa, "ayo bangkitlah agar kau tidak mati terinjak-injak disini."
Perlahan-lahan Agung Sedayu mencoba untuk bangkit. Namun dengan kerasnya Prastawa telah menendangnya tepat pada perutnya pula, sehingga Agung Sedayu terjatuh pula.
Demikian Agung Sedayu menyeringai menahan sakit, maka terdengar Prastawapun tertawa. Kawan-kawannya yang menegang, tiba-tiba telah ikut tertawa pula berkepanjangan.
Adalah diluar dugaan, bahwa tiba-tiba saja Prastawa itupun berkata, "marilah anak-anak, berbuatlah sesuatu. Ternyata kulitnya tidak sekeras kulit buaya seperti yang aku duga, tetapi kulitnya hanyalah selunak kulit kelinci."
Anak-anak muda itu menjadi ragu-ragu. Tetapi ketika sekali lagi Prastawa memukul Agung Sydayu, maka anak-anak muda itupun ikut pula memukulnya beramai-ramai. Bahkan kemudian merekapun saling berebutan memukul Agung Sedayu yang berdiri tertatih-tatih.
Dalam pada itu, jantung Agung Sedayu rasa-rasanya telah terbakar oleh kemarahan atas sikap itu. Tetapi ia sudah berjanji untuk menahan diri dan tidak memusuhi anak-anak Tanah Perdikan Menoreh. Karena itu, maka iapun berusaha untuk mengekang diri tanpa membalas sama sekali.
Sementara itu, anak-anak Tanah Perdikan Menoreh yang berada di pategalan bersama Prastawa itupun telah berbuat sesuka hati mereka. Mereka memukul, menendang, menghantam dengan siku, dengan lutut dan dengan apa saja.
Prastawa yang justru tidak berbuat sesuatu lagi. dan berdiri selangkah dari anak-anak muda yang mengerumuni Agung Sedayu itu justru menjadi jengkel. Ia masih melihat Agung Sedayu tetap berdiri meskipun kawan-kawannya telah memukulinya.
"Minggir," teriak Prastawa kemudian, "aku akan membuatnya jatuh mencium tanah. Tanah yang sama-sama kita hormati dari Tanah Perdikan ini."
Suaranya yang menggelegar itu telah menyibakkan kawan-kawannya, sehingga kemudian Prastawa berdiri berhadapan dengan Agung Sedayu yang masih tetap berdiri tegak.
"Gila," geram Prastawa, "kau mulai mencoba menakut-nakuti anak-anak ini dengan daya tahanmu yang luar biasa ?"
Agung Sedayu sudah menggerakkan mulutnya untuk menjawab. Tetapi Prastawa telah mendahuluinya. Sekali lagi ia menghantam perut Agung Sedayu. Tidak hanya dengan tangannya, tetapi dengan tumit kakinya.
Agung Sedayu bergeser setapak surut. Tetapi ia masih tetap berdiri saja meskipun ia memegangi perutnya yang dihantam oleh kaki Prastawa.
Melihat sikap Agung Sedayu, Prastawa menjadi semakin marah. Sekali lagi ia menghantam dengan kakinya, justru pada dada. Namun seperti semula, Agung Sedayu hanya bergeser saja setapak surut.
"Gila," geram Prastawa, "Kita harus menjatuhkannya. Kita harus membuatnya jatuh terbujur ditanah. Kita bersama-sama."
Sekali lagi anak-anak muda itu berebutan menghantam Agung Sedayu dengan sekuat tenaganya, termasuk Prastawa sendiri. Tetapi Agung Sedayu masih tetap berdiri tegak. Bahkan kadang-kadang terdengar giginya gemeretak menahan kemarahan yang hampir tidak terkendali lagi. Namun demikian, ia masih tetap berusaha untuk tidak melawan dengan terang-terangan, meskipun sikapnya itupun sudah cukup memberikan perlawanan. Justru kediamannya itu, tetapi ia tetap berdiri tegak dan tidak tergoyahkan.
Karena sebenarnyalah, pukulan-pukulan itu tidak berarti apa-apa bagi kekebalan tubuh Agung Sedayu.
Namun dengan demikian, Prastawa dan kawan-kawannya itu bagaikan menjadi gila. Mereka benar-benar kehilangan pengekangan diri. Mereka menghantam Agung Sedayu dengan segenap kekuatan mereka pada tubuh Agung Sedayu tanpa memilih.
Dalam pada itu, barulah Agung Sedayu sadar, bahwa iapun telah hanyut kedalam arus perasaan mudanya. Seharusnya ia tidak bersikap demikian, sehingga membuat anak-anak itu bagaikan menjadi gila.
"Aku harus jatuh," berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri, "jika tidak, maka anak-anak ini akan benar-benar menjadi gila dan kehilangan pengamatan diri."
Karena itu, untuk memberikan kepuasan kepada anak-anak itu, tiba-tiba saja kaki Agung Sedayu menjadi goyah. Perlahan-lahan ia menjadi gontai. Akhirnya Agung Sedayu itupun jatuh pada lututnya.
"Rasakan," geram Prastawa sambil menghantam dagu Agung Sedayu sehingga wajahnya terangkat. Tetapi pada saat itu dihantamnya kening Agung Sedayu dengan sekuat tenaganya, sehingga wajah yang terangkat itupun bagaikan diputar kesamping. Sehingga Agung Sedayupun bagaikan terputar pula dan jatuh ditanah.
Demikian Agung Sedayu terbujur ditanah, Prastawa menarik nafas dalam-dalam sambil berdiri bertolak pinggang, "Nah, kau harus merasai, apa yang dapat kami lakukan atasmu."
Agung Sedayu sama sekali tidak menjawab. Wajahnya tertelungkup dibayangi oleh kedua tangannya yang bersilang didahinya.
"Agung Sedayu," Prastawa mengguncang tubuh itu dengan kakinya, "kali ini kami hanya ingin memberikan sedikit peringatan. Ada dua kemungkinan yang dapat kau tempuh. Pergi dari Tanah Perdikan ini, atau tunduk kepada segala perintahku. Jika tidak, maka pada saat lain jika dapat berbuat lebih banyak lagi."
Agung Sedayu tidak menjawab. Bahkan salah seorang dari anak muda itu berdesis, "Apakah ia mati ?"
"Jika ia mati, akan kami kuburkan di pategalan ini," geram yang lain.
Tetapi anak-anak itu menjadi gelisah. Namun Prastawa dengan kasar telah membalikkan tubuh Agung Sedayu dengan kakinya.
"Ia masih bernafas," geram Prastawa, "marilah kita pergi. Jika sehari ini ia tidak datang ke rumah paman, maka ia mati disini. Dan kita harus mengambil langkah-langkah." lalu katanya kepada Agung Sedayu, "kau jangan mengadukan hal ini kepada paman, jika kau tidak ingin hal serupa ini terulang, jauh lebih parah bagimu sendiri."
Prastawa tidak menghiraukannya lagi. Iapun segera melangkah pergi. Diikuti oleh beberapa orang kawan-kawannya itu.
Namun ternyata seorang diantara mereka telah datang kembali dengan tergesa-gesa sambil membawa air di tudung kepalanya. Untunglah bahwa Agung Sedayu masih terbaring ditanah. Ia merasa anak muda itu mengusap wajahnya dengan air yang segar.
"Bangunlah. Jangan mati," desis anak muda itu.
Agung Sedayu membuka matanya. Ia melihat wajah anak muda itu. Nampaknya iapun menjadi gembira melihat Agung Sedayu membuka matanya. Namun ia tidak menunggu terlalu lama. Iapun segera bangkit dan pergi menyusul kawan-kawannya.
Sepeninggal anak muda itu. Agung Sedayu masih berbaring beberapa saat. Bukan karena badannya menjadi sakit. Ia tidak merasakan apapun juga, karena ia telah melindungi dirinya dengan ilmunya, bahkan pukulan-pukulan itu menggetarkan kulitnyapun tidak. Tetapi rasa-rasanya ia masih ingin merenungi tingkah laku anak-anak muda itu beberapa saat ditempatnya.
Namun akhirnya iapun bangkit. Dikibaskannya pakaiannya yang menjadi kotor. Ia tidak mau mengejutkan pemilik pategalan itu, jika tiba-tiba saja orang itu datang.
Setelah membenahi dirinya, maka Agung Sedayupun segera keluar dari pategalan itu, meneruskan langkahnya. Tetapi karena pakaiannya yang menjadi kotor, iapun kemudian berbelok memintas jalan sempit ditengah bulak menuju kembali keinduk padukuhan di Tanah Perdikan Menoreh.
Ia masih bertemu beberapa orang anak-anak muda sebayanya yang masih mengenalnya. Seperti sebelumnya sebagian besar dari mereka menyambut kedatangan Agung Sedayu dengan senang hati.
"Kenapa pakaianmu ?" bertanya seorang anak muda.
"Aku tergelincir di tepi parit diujung galengan," jawab Agung Sedayu.
Nampaknya kau jarang berjalan di jalan-jalan sempit diantara air dan lumpur," berkata anak muda itu sambil tertawa.
"Tidak. Di Sangkal Putung, akupun setiap hari bergulat dengan lumpur. Tetapi sekali-sekali akupun tergelincir juga seperti sekarang ini," jawab Agung Sedayu.
Anak muda itu tertawa. Lalu iapun bertanya, "Sekarang kau akan kemana ?"
"Kembali ke induk padukuhan," jawab Agung Sedayu.
"O, kau memang memilih jalan memintas ini " Baik. Biasakan berjalan di jalan-jalan sempit seperti ini. Sayang, parit-parit sebagian menjadi kering, sehingga kesempatanmu tergelincir menjadi lebih kecil." anak muda itu bergurau.
Agung Sedayupun tertawa. Katanya, "Terima kasih. Asal bukan dengan sengaja kau siram aku dengan lumpur."
Anak muda itupun tertawa. Lalu katanya, "Kapan kita bertemu dan berbicara tentang diri kita. Maksudku, diri kami, anak-anak muda di Tanah Perdikan Menoreh. Juga tentang pengawal Tanah Perdikan dan tentang parit-parit."
"Aku akan datang. He, bukankah gardu-gardu masih dapat dipergunakan ?" bertanya Agung Sedayu.
"Gardu disudut padukuhanku itu sudah rusak," jawab anak muda itu.
"Kenapa tidak kau perbaiki ?" bertanya Agung Sedayu.
"Lain kali, aku akan memperbaikinya," jawab anak muda itu.
Agung Sedayupun meninggalkannya. Setiap kali ia sempat bertanya tentang gardu. Tentang bambu yang dapat diambil disetiap sudut pekarangan. Tali ijuk yang dapat dibeli disembarang tempat.
"Apa sulitnya memperbaiki gardu " " Agung Sedayu selalu bertanya kepada anak-anak muda itu tentang gardu.
Ketika Agung Sedayu kemudian sampai di padukuhan induk, ia melihat sekelompok anak-anak muda kawan-kawan Prastawa itu menunggunya di depan regol rumah Ki Gede Menoreh. Ketika mereka mehhat Agung Sedayu mendekat, maka merekapun saling berbicara. Seorang diatara mereka masuk ke halaman untuk memberitahukan kehadiran Agung Sedayu itu kepada Prastawa.
"Anak itu tidak mati," geram Prastawa, "akupun sudah menjadi berdebar-debar. Jika ia mati, paman tentu akan marah sekali. Untunglah kita masih dapat bersabar dan menahan hati, sehingga kita masih sempat membiarkannya tetap hidup."
Prastawapun kemudian pergi ke regol juga. Dipandanginya Agung Sedayu yang berjalan menuju keregol. Sambil mengerutkan keningnya ia berdesis, "Tidak nampak bekas-bekasnya sama sekali, bahwa ia baru saja mengalami perlakuan yang dapat membuatnya jera. Ia berjalan seperti biasa. Masih juga dengan mengangkat dada penuh kesombongan."
Agung Sedayu yang juga melihat anak-anak itu menjadi berdebar-debar pula. Apalagi yang akan diperbuat oleh anak-anak itu.
"Tetapi mereka tidak akan berbuat apa-apa di hadapan Ki Gede Menoreh," berkata Agung Sedayu didalam hatinya.
Dalam pada itu, semakin lama Agung Sedayupun menjadi semakin dekat. Prastawa dan kawan-kawannya menjadi semakin heran. Sama sekali tidak nampak bekas-bekas peristiwa yang terjadi di pategalan. Kening Agung Sedayu tidak menjadi biru kemerah-merahan, langkahnya, sikapnya, tidak menunjukkan sama sekali, bahwa ia baru saja mengalami perlakuan yang kasar.
"Anak iblis," geram Prastawa. Namun katanya kemudian, "Ia berhasil menahan kesakitannya. Dengan sombong ia berusaha untuk nampak tetap segar. Tetapi sebentar lagi ia akan menangis di biliknya."
Kawan-kawannya hanya mengangguk-angguk saja.
Sementara itu. Agung Sedayu telah sampai ke regol halaman. Prastawa yang berdiri di pintu regol menghentikan langkahnya.
Sambil memandang Agung Sedayu dengan tajam Prastawa itupun berkata, "He, anak iblis. Ingat. Jangan kau katakan apapun yang terjadi atasmu, agar kau tidak mati di pategalan di kesempatan lain."
Agung Sedayu mengangguk perlahan. Namun sementara itu, Prastawa masih terheran-heran bahwa tidak ada bekasnya sama sekali pada tubuh Agung Sedayu tetap bersih. Hanya pakaiannya sajalah yang kotor.
"Apa yang akan kau katakan tentang pakaianmu yang kotor?" bertanya Prastawa kemudian.
"Apa saja. Tergelincir di pinggir parit barangkali," jawab Agung Sedayu.
"Paman tidak akan percaya. Cari alasan yang lebih baik," bentak Prastawa.
"Tolong, apa yang sebaiknya aku katakan kepada Ki Gede," bertanya Agung Sedayu.
"Gila," Prastawa menggeram, "jika kau tidak berada didepan regol rumah paman, aku sobek mulutmu. Sudah tentu kaulah yang harus mancari alasan, bukan aku."
Agung Sedayu menarik nafas dalam. Lalu katanya, "Katau begitu, aku akan langsung menuju kebilikku, agar aku sempat membenahi pakaianku. Dengan demikian aku tidak akan mendapat pertanyaan yang sulit aku jawab."
"Pergilah anak iblis," gigi Prastawa gemeretak. Sementara Agung Sedayupun melangkah memasuki regol dan seperti yang dikatakannya, iapun langsung menuju kegandok.
Sepeninggal Agung Sedayu, Prastawa bergumam diantara kawan-kawannya, "Ia sudah menjadi semakin jinak. Aku kira ia akan benar-benar menjadi jera. Jika ia tidak meninggalkan Tanah Perdikan ini, tentu ia tidak akan berani berbuat apa-apa lagi disini, sehingga usaha paman memanggilnya kemari, tidak akan berarti apa-apa. Kita, anak-anak Tanah Perdikan inipun tidak akan tercoreng orang karena kehadiran orang lain. Seolah-olah kita sendiri tidak mampu berbuat apa-apa."
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Namun satu dua orang diantara mereka mulai dijalari oleh berbagai pertanyaan. Mereka melihat, bagaimana Prastawa dan diri mereka sendiri telah menyakiti Agung Sedayu, namun nampaknya Agung Sedayu itu sama sekali tidak mengalami kesakitan apapun juga. Atau seandainya ia mengalami kesakitan, maka dalam sekejap, ia telah dapat melupakannya.
Namun Prastawa yang agaknya melihat keheranan di wajah kawan-kawannya itu berkata, "Untung aku tidak lupa diri, sehingga aku benar-benar menyakitinya. Jika aku menjadi kemuriten, dan tidak lagi dapat menahan diri, maka aku kira, wajahnya akan menjadi biru pengab. Tetapi jika demikian, apa yang dapat dikatakannya kepada paman Argapati?"
Kawan-kawannya mengangguk angguk. Ada juga yang terpengaruh oleh kata-kata itu. Tetapi masih ada satu dua yang ragu-ragu. Mereka melihat, betapa Prastawa sudah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Jika yang mengalami perlakuan itu adalah orang-orang kebanyakan, maka ia tidak akan dapat bangkit untuk sepekan.
Dalam pada itu. Agung Sedayu yang langsung masuk kedalam biliknya itupun.telah membenahi pakaiannya. Yang kotor dilepasnya, dan iapun telah mengenakan pakaian yang dipakainya dan berada diserambi, maka sama sekali tidak ada bekas apapun juga yang dapat memancing pertanyaan kepadanya.
Namun agaknya Ki Gede sedang sibuk didalam rumahnya dengan Ki Waskita. Karena itu, maka mereka tidak melihat kedatangan Agung Sedayu yang langsung menuju ke biliknya. Baru kemudian, ketika keduanya mendengar bahwa Agung Sedayu telah datang, maka anak muda itu telah mereka panggil masuk keruang dalam. Namun demikian Agung Sedayu melihat, tatapan wajah Prastawa masih saja mengancamnya.
Ketika kemudian Agung Sedayu duduk bersama Ki Gede Menoreh dan Ki Waskita, maka iapun mulai berceritera tentang apa yang dilihatnya di Tanah Perdikan Menoreh.
"Meskipun aku belum melihat seluruhnya, tetapi aku sudah melihat cukup banyak," berkata Agung Sedayu.
"Itulah keadaan Tanah Perdikan ini Agung Sedayu," berkata Ki Gede, "Tidak ada lagi yang dapat diharapkan. Mudah-mudahan kau dapat membantu kami. Kedatanganmu akan dapat membangunkan mereka yang sedang tertidur nyenyak."
Agung Sedayu, mengangguk-angguk. Sebenarnyalah Tanah Perdikan itu perlu diguncang dengan kejutan-kejutan agar anak-anak mudanya bangkit bagi Tanah Perdikannya.
Namun dalam pada itu, Agung Sedayu sama sekali tidak menyinggung tentang tingkah laku Prastawa yang berusaha menyakitinya. Ia berniat hal-hal seperti itu akan dapat diatasinya sendiri.
Bahkan Agung Sedayupun kemudian berkata kepada Ki Gede, "Aku ingin melihat kehidupan Tanah Perdikan ini di malam hari."
"Silahkan," berkata Ki Gede, "apa yang kau anggap penting untuk dilihat, lihatlah jika itu akan dapat menjadi bahan langkah-langkah yang kau ambil."
Hari itu Agung Sedayu belum dapat mengatakan apa-apa kepada Ki Gede. Dan Ki Gedepun tahu, bahwa Agung Sedayu memerlukan waktu untuk melihat-lihat keadaan Tanah Perdikan Menoreh. Baru beberapa hari kemudian Agung Sedayu akan dapat mengajukan pendapat-pendapatnya yang mungkin bermanfaat bagi Tanah Perdikan itu.
Namun dalam pada itu, ketika Agung Sedayu dan Ki Waskita berada didalam bilik mereka, barulah anak muda itu menceriterakan apa yang telah dialaminya.
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku sudah menduga."
"Tetapi biarlah paman. Aku akan mencari cara untuk mengatasinya. Memang mungkin pada. suatu hari aku terpaksa menyombongkan diri. Bukan sekedar menyombongkan diri, namun aku berharap bahwa dengan demikian kehadiranku disini ada gunanya," berkata Agung Sedayu.
"Memang mungkin sekali," desis Ki Waskita, "tetapi kau harus memperhitungkan waktu dan keadaan. Jika dengan langkah itu kau justru dimusuhi oleh anak-anak muda Tanah ini, maka kau harus menghindarinya."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Benar Ki Waskita. Mudah-mudahan aku dapat memperhitungkan waktu keadaan itu."
Demikianlah, seperti yang sudah direncanakan. Agung Sedayu benar-benar ingin melihat keadaan Tanah Perdikan Menoreh di malam hari. Kepada Ki Gede ia berkata, "Aku akan pergi pada saat yang aku anggap tepat Ki Gede. Mungkin menjelang malam, mungkin tengah malam atau justru dini hari."
"Terserah kepadamu. Tetapi jika kau perlu, kau dapat mengajak Prastawa dan dua atau tiga orang pengawal," berkata Ki Gede.
"Terima kasih Ki Gede," jawab Agung Sedayu. "Aku masih tetap ingin pergi seorang diri. Aku akan dapat bebas menentukan apa yang akan aku lihat dan apa yang akan aku perbuat."
Ki Gede yang sudah mempercayai Agung Sedayu itupun sama sekali tidak berkeberatan apapun yang akan dilakukan. Karena itu, maka iapun menyerahkan segala kebijaksanaan kepada anak muda itu.
Karena itu, maka ketika malam turun, Agung Sedayu dan Ki Waskita telah berada didalam biliknya. Agaknya Agung Sedayu mencoba menjelaskan rencananya kepada Ki Waskita untuk mulai menggelitik hati anak-anak muda di padukuhan-padukuhan.
"Aku akan memukul kentongan yang masih tersisa di gardu-gardu," berkata Agung Sedayu, "mudah-mudahan suaranya akan menimbulkan pertanyaan, siapakah yang membunyikannya, akan memancing keinginan mereka untuk melihat, dan barangkali mengenang serba sedikit tentang gardu dan kentongan."
"Tetapi gardu-gardu itu sudah rusak. Tidak lagi ada kentongan di gardu-gardu yang rusak itu," berkata Ki Waskita.
"Jika demikian, aku akan membawa kentongan yang tergantung di serambi gandok itu. Meskipun kentongan itu kecil, tetapi suaranya cukup keras untuk membangunkan beberapa rumah diseputar gardu-gardu itu."
"Kau dapat mencobanya," berkata Ki Waskita, "mungkin besok atau lusa kau menemukan cara lain yang lebih langsung."
"Ya. Mudah-mudahan. Tetapi aku masih harus selalu memperhitungkan sikap Prastawa. Karena itu, nanti aku akan keluar dari halaman ini. tidak melalui regol depan," berkata Agung Sedayu.
"Melalui butulan?" bertanya Ki Waskita.
"Juga tidak. Mungkin Prastawa meletakkan orang-orangnya disemua jalan keluar," jawab Agung Sedayu, "karena itu, aku akan meloncati dinding saja. Demikian pula jika aku nanti kembali."
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Tetapi agaknya cara itu lebih baik dilakukan oleh Agung Sedayu untuk menghindarkan diri dari kemungkinan-kemungkinan buruk menghadapi Prastawa, justru karena Agung Sedayu sendiri masih muda pula, sehingga apabila darahnya tidak lagi dapat terkekang, maka anak itu akan dapat meledak. Jika Agung Sedayu marah, maka siapapun juga tidak akan berarti apa-apa baginya.
Demikianlah, maka seperti yang direncanakan ketika malam menjadi semakin sepi. Agung Sedayu telah bersiap-siap untuk pergi meninggalkan Ki Waskita dalam biliknya. Namun Ki Waskita masih juga berpesan, agar ia berbuat dengan sangat berhati-hati.
"Nampaknya Prastawa ada di regol bersama kawan-kawannya," berkata Ki Waskita.
"Ya. Aku kira Prastawa masih tetap mencurigai aku meskipun ia sudah mengancam beberapa kali," berkata Agung Sedayu.
Karena itu, maka yang dilakukannya kemudian sama sekali tidak diketahui oleh Prastawa. Dengan hati-hati Agung Sedayu mengambil kentongan kecil diserambi. Kemudian membawa kentongan itu keluar dari halaman dengan meloncat dinding.
Ketika Agung Sedayu sudah berada diluar dinding halaman rumah Ki Gede, maka iapun menarik nafas dalam-dalam. Jalan sempit disebelah rumah Ki Gede itu rasa-rasanya sepi sekali. Bahkan jalan yang lebih besar di depan rumah itupun juga nampak sangat sepi.
Agung Sedayu kemudian melangkah menyelusuri jalan kecil itu. Ia tidak akan berbuat apa-apa di padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh itu agar tidak menarik perhatian Prastawa. Agaknya seperti malam sebelumnya, Prastawa dan kawan-kawannya yang berada diregol, akan membunyikan kentongan pula pada saat-saat tertentu menjelang tengah malam. Kemudian tepat ditengah malam, Prastawa akan membunyikan kentongan dengan irama dara muluk.
Setelah lewat jalan sempit beberapa lama, maka Agung Sedayupun sampai ke jalan induk. Ia mengerti, bahwa di regol padukuhan induk itupun tidak ada orang yang berjaga-jaga. Karena itu, maka dengan tenang Agung Sedayu berjalan terus.
Meskipun demikian, mendekati regol ia merasa perlu untuk berhati-hati. Seandainya secara kebetulan ada orang digardu. Namun ternyata gardu diregol yang sudah hampir rusak itupun sepi.
Diluar regol padukuhan induk, Agung Sedayu berjalan semakin tenang. Seandainya ia bertemu dengan satu dua orang petani yang terpaksa pergi kesawah untuk menyadap air yang menjadi semakin sulit, maka ia tentu akan dapat melihatnya lebih dahulu, sehingga ia akan sempat menghindar agar tidak seorangpun yang mengetahui bahwa ia berkeliaran di malam hari di Tanah Perdikan Menoreh.
Seperti yang direncanakan. Agung Sedayu pergi dari padukuhan yang satu ke padukuhan yang lain. Ternyata padukuhan-padukuhan itu benar-benar sepi. Anak-anak mudanya lebih senang tidur dirumah masing-masing. Tidak ada pengawal yang bertugas di gardu gardu secara bergiliran. Apalagi yang meronda nganglang dari padukuhan yang satu kepadukuhan yang lain.
"Benar-benar satu kemunduran," desis Agung Sedayu. Namun agaknya Prastawa tidak mau mengerti. Pada dasarnya tanah yang subur, kebutuhan yang tercukupi, membuat Tanah Perdikan itu kurang berprihatin.
Ketika Agung Sedayu sampai disebuah padukuhan kecil dan menemukan gardunya yang sudah rusak, maka timbul niatnya untuk menarik perhatian beberapa orang penghuni padukuhan itu, terutama anak-anak mudanya.
"Mudah-mudahan suara kentongan akan dapat memberikan sedikitnya satu kenangan pada masa-masa lampau dari Tanah Perdikan ini," berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri.
Sejenak Agung Sedayu termangu-mangu. Namun akhirnya. Agung Sedayu telah memukul kentongan kecilnya. Meskipun kentongan itu memang sebuah kentongan kecil, namun suaranya cukup keras melengking dimalam yang sepi.
Sebenarnyalah seperti yang dimaksud oleh Agung Sedayu, suara kentongannya memang menarik perhatian.
06 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Meskipun tidak banyak, tetapi ada beberapa orang laki-laki dan anak-anak muda yang mendengar kentongan melengking di malam hari. Sudah lama mereka tidak mendengar suara kentongan. Karena itu suara kentongan itu rasa-rasanya bagaikan lagu lama yang sudah tidak pernah lagi didendangkan, tiba-tiba saja mereka telah mendengarnya dalam irama yang sudah mereka kenal dengan baik.
Karena itu, maka suara kentongan itu mendapat perhatian yang khusus dari anak-anak muda di padukuhan itu. Meskipun mereka tidak langsung keluar dari rumah mereka, namun suara itu telah menggelitik hatinya untuk bertanya diantara mereka, siapakah yang telah memukul kentongan itu.
Ternyata Agung Sedayu tidak hanya melakukan di satu tempat. Ia memukul kentongan dibeberapa sudut padukuhan dan regol yang sepi. Di gardu-gardu yang rusak dan tidak lagi dipergunakan. Bahkan di simpang empat didalam padukuhan-padukuhan kecil.
Tetapi karena kentongan Agung Sedayu memang hanya sebuah kentongan kecil, maka suaranya tak terdengar sampai ke padukuhan induk. Sehingga karena itu, maka Prastawa dan kawan-kawannya sama sekali tidak mendengarnya.
Malam itu. Agung Sedayu telah berhasil menggelitik hati anak-anak muda dibeberapa padukuhan kecil. Ketika ia sudah merasa cukup, maka iapun segera kembali ke padukuhan induk. Dengan cara yang sama seperti saat ia memnggalkan rumah Ki Gede, maka iapun telah masuk kembali. Dengan hati-hati ia menggantungkan kentongan ditempatnya semula. Tanpa diketahui oleh Prastawa dan kawan-kawannya, Agung Sedayu telah masuk kembali kedalam biliknya di gandok.
Ternyata Ki Waskita masih belum tidur. Justru dengan pendengarannya yang tajam, ia mendengar kedatangan Agung Sedayu mendekati pintu. Karena itulah, sebelum Agung Sedayu mengetuknya, Ki Waskita sudah membukanya.
Dengan singkat Agung Sedayu menceriterakan apa yang sudah dilakukannya. Meskipun Agung Sedayu sendiri tidak yakin, apakah ada gunanya.
Namun sebenarnyalah, ketika fajar menyingsing, dan padukuhan-padukuhan itu mulai bangun. Beberapa orang anak muda yang bertemu di pinggir jalan ketika mereka pergi ke sungai, saling bertanya yang satu dengan yang lain.
"Aneh," berkata seorang anak muda, "gardu itu tidak lagi mempunyai kentongan."
Tetapi ternyata ada dugaan yang justru bertentangan dengan maksud Agung Sedayu. Seorang anak muda bertubuh kurus berdesis, "Mungkin di padukuhan ini ada hantunya sekarang."
"Ah," sahut kawannya, "ada hantu memukul kentongan ?"
"Kentongannyapun tidak ada. He, jika bukan hantu kentongan manakah yang berbunyi semalam " Kentongan diserambi rumahku suaranya tidak seperti itu. Yang aku dengar semalam adalah suara kentongan bambu yang tidak cukup besar."
"Ya, memang hanya kentongan kecil. Tetapi aku kira bukan hantu. Tetapi aku tidak dapat menyebutnya, siapa," jawab yang lain.
Namun bagaimanapun juga, suara kentongan itu telah menjadi bahan pembicaraan beberapa orang anak muda di beberapa padukuhan yang sempat di kunjungi oleh Agung Sedayu semalam. Agaknya dengan demikian maka sebagian dari maksud Agung Sedayu sudah dapat terpenuhi. Dengan membicarakan suara kentongan, maka anak-anak muda itupun mulai berbicara pula tentang gardu-gardu yang rusak.
"Dengar," tiba-tiba seorang anak muda berkata, "kemarin aku bertemu dengan Agung Sedayu."
"Agung Sedayu," desis kawannya, "maksudmu Agung Sedayu dari Jati Anom yang datang bersama Ki Gede ?"
"Ya. Kemarin aku bertemu dengan anak muda itu di bulak sebelah. Pakaiannya kotor, karena menurut keterangannya ia tergelincir jatuh diujung jalan sempit itu," jawab anak muda yang pertama.
"Bagaimana dengan Agung Sedayu ?" bertanya kawannya.
"Entahlah, tetapi kenapa aku tiba-tba saja menghubungkan suara kentongan dengan Agung Sedayu."
"Ia kemarin bertanya kepadaku tentang gardu yang rusak."
"Bahkan ia menyebut-nyebut tentang rumpun-rumpun bambu yang banyak terdapat dipadukuhan kita. Dan iapun berbicara tentang tali ijuk yang sangat murah harganya."
"Apakah maksudnya agar kita memperbaiki gardu-gardu yang rusak itu ?" bertanya kawannya.
" Mungkin," jawab yang pertama.
"Buat apa " Kita tidak memerlukannya lagi." sahut yang lain.
"Tetapi kawan-kawannya ternyata terpaksa merenungi kata-kata itu. Apakah benar bahwa mereka tidak memerlukan lagi."
Meskipun anak-anak muda itu tidak mengambil kesimpulan, namun mereka mulai merenunginya. Mereka mulai mengingat-ingat, apa saja yang pernah terjadi pada saat-saat terakhir, setelah mereka menganggap bahwa gardu-gardu itu sama sekali tidak berarti lagi.
Seperti daerah-daerah yang lain, maka Tanah Perdikan Menoreh tidak bersih sama sekali dari kejahatan. Pencurian dan perampokan-perampokan kecil memang pernah terjadi. Sementara itu tidak ada lagi orang yang menghiraukannya. Hanya pada saat-saat tertentu, jika ada seseorang berteriak tentang pencuri dirumahnya, maka tetangga-tetangganya dengan malas keluar rumah dan berusaha untuk membantu menangkap pencuri itu. Tetapi biasanya pencuri itu bergerak lebih cepat, sehingga hampir tidak pernah ada seorang pencuripun yang tertangkap.
Namun anak-anak muda yang mulai merenung itu. ternyata tidak hanya berbicara tentang gardu. Seorang anak muda yang bertemu dengan Agung Sedayu, meskipun hanya sekilas, telah mendengar beberapa pertanyaan Agung Sedayu tentang parit yang kering. Jalan yang rusak dan segala kegiatan yang menurun.
Meskipun demikian, anak-anak muda itu masih terbatas pada merenunginya. Bahkan ada satu dua yang tidak menghiraukannya lagi. Mereka merasa bahwa gardu hanya akan membuat mereka kedinginan di saat-saat mereka meronda, dan parit-parit yang kering akan merupakan panggilan bagi mereka untuk turun memperbaiki bendungan.
Dalam pada itu, selagi beberapa orang anak-anak muda di beberapa padukuhan merenungi pendengaran mereka atas suara kentongan yang tidak mereka ketahui dengan pasti dari mana sumbernya itu, di rumah Ki Gede, para pemimpin Tanah Perdikan Menoreh dan para pemimpin padukuhan telah berkumpul sebagaimana mereka lakukan setiap sepekan sekali.
Nampaknya kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Ki Gede untuk mulai dengan rencana besarnya, membangunkan Tanah Perdikan Menoreh. Dengan memperkenalkan Agung Sedayu kepada mereka, maka Ki Gede berkata, "Aku mengajak angger Agung Sedayu untuk membantu kita."
Sebagian besar dari para pemimpin Tanah Perdikan itu sudah mengenal Agung Sedayu. Karena itu, maka merekapun telah menyambut baik kedatangan anak muda itu di Tanah Perdikan Menoreh.
Namun dalam pada itu, wajah Prastawa masih saja garang bagi Agung Sedayu. Setiap kali Agung Sedayu sempat memandangi wajah itu, selagi ia berhadapan dengan para pemimpin Tanah Perdikan itu dan para pemimpin padukuhan, maka nampak betapa anak muda itu mengumpatinya didalam hati.
Prastawa menjadi semakin marah didalam hati ketika ia mendengar pamannya berkata, "Pada hari-hari mendatang yang pendek, kami akan datang ke padukuhan-padukuhan untuk melihat langsung, apa yang perlu dibenahi."
"Kami menunggu dengan senang hati Ki Gede," jawab para pemimpin padukuhan itu.
Sebenarnyalah, ketika pertemuan itu selesai dan para pemimpin padukuhan meninggalkan rumah Ki Gede Menoreh, maka mulailah Ki Gede berbicara tentang rencana itu.
"Kau sudah melihat-lihat seorang diri Agung Sedayu," berkata Ki Gede, "namun yang kau lakukan baru sekedar melihat. Tetapi kita bersama akan mengunjungi setiap padukuhan. Kita akan berbicara dan kemudian membuat rencana-rencana tertentu bagi padukuhan-padukuhan itu."
"Bagus sekali Ki Gede," jawab Agung Sedayu, "aku akan memanfaatkan segala kesempatan. Namun sekali lagi, bahwa kebangkitan Tanah Perdikan ini memang ternyata sekali atas usaha Tanah Perdikan ini sendiri. Kehadiranku hanya sekedar pertanda seperti yang Ki Gede maksudkan."
Ki Gede tersenyum. Katanya, "Itu adalah kewajiban kami. Disaat kami menyadarinya, maka kami harus mengerjakannya. Aku berharap bahwa para pemimpin Tanah Perdikan ini akan melakukannya bersamaku."
Dihari berikutnya Ki Gede sudah akan mulai dengan rencananya. Ia sudah menunjuk beberapa orang yang akan menyertainya bersama beberapa orang pengawal.
Ketika para pemimpin Tanah Perdikan itu pulang kerumah masing-masing, satu dua diantara mereka sempat berbicara diantara mereka, "Nampaknya gairah kerja Ki Gede telah timbul lagi. Anak muda itu dapat mengisi kekosongan hatinya, yang hampir saja memadamkan api didadanya, sepeninggal anak gadisnya."
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Namun sebuah pertanyaan telah terlontar dari seorang pemimpin Tanah Perdikan yang masih tergolong muda usia, "Tetapi pada saat-saat yang demikian, apakah kita sudah berusaha untuk berbuat sesuatu ?"
Seorang pemimpin lainnya menarik nafas dalam. Katanya, "Ya, kita sendiri juga tertidur selama ini. Untunglah bahwa kita belum terlambat. Masih mungkin bagi kita untuk mengejar ketinggalan kita selama ini."
"Bukan ketinggalan," jawab pemimpin yang masih muda itu, "Kita harus mengakui, bahwa kita justru telah bergerak mundur."
"Kemanakan Ki Gede itu kurang dapat menempatkan diri," desis seorang pemimpin yang lain.
Namun pemimpin yang masih muda itu menyahut, "Sebaiknya kita tidak mencari kesalahan pada orang lain. Kita semuanya sudah bersalah. Sekarang waktunya untuk memperbaiki kesalahan. Anak muda dari Jati Anom itu akan bekerja bersama kita. Kita harus merasa malu bahwa orang lain akan bekerja bagi kita, sementara kita sendiri tidak berbuat apa-apa."
Dalam pada itu di hari yang sudah direncanakan, maka Ki. Gede telah bersiap untuk pergi ke padukuhan-padukuhan bersama beberapa orang pemimpin Tanah Perdikan Menoreh. Bersama dengan mereka telah diajak pula Agung Sedayu dan Ki Waskita yang akan di temani oleh Prastawa dan beberapa orang anak muda yang lain.
Namun dalam pada itu, selagi iring-iringan itu sudah siap dihalaman, Prastawa sempat mendekati Agung Sedayu sambil berdesis, "Kau yang mengajukan rencana ini ?"
"Tidak. Bukan aku," jawab Agung Sedayu.
"Siapa " Ki Waskita " " desak Prastawa.
"Juga bukan. Ki Gede sendiri," jawab Agung Sedayu pula.
Prastawa menggeretakkan giginya. Katanya, "Agaknya kau tidak lagi berani dengan sombong berkeliling Tanah Perdikan ini lagi seorang diri lalu kau membuat rencana terselubung, sehingga akhirnya paman Argapati telah mengambil satu kesimpulan untuk melakukan perjalanan ini."
"Sama sekali tidak," desis Agung Sedayu.
Prastawa memandang Agung Sedayu dengan tajamnya. Sorot matanya mengandung ancaman. Namun Agung Sedayu menghindari tatapan mata itu dan memandang kearah yang lain.
"Aku memang harus bersabar," berkata Agung Sedayu didalam hatinya. Tetapi ia tidak mau beradu pandang dengan Prastawa yang semakin lama memang terasa sangat menjengkelkan. Jika ia kehilangan kesabaran, maka sorot matanya akan dapat berbahaya bagi Prastawa.
Dalam pada itu Prastawa tidak dapat bertanya lebih banyak lagi ketika Ki Gede Menoreh telah hadir dan kemudian bersiap untuk berangkat. Ia masih memberikan beberapa penjelasan kepada para pemimpin Tanah Perdikan yang mengikutinya beberapa saat. Baru kemudian iring-iringan itu mulai bergerak.
Ternyata bahwa iring-iringan itu benar-benar telah menarik perhatian rakyat Tanah Perdikan Menoreh. Sudah lama mereka tidak melihat kesibukan yang demikian, sehingga karena itu maka hal itu telah menumbuhkan beberapa pertanyaan dihati rakyat Tanah Perdikan Menoreh.
Namun dalam pada itu, dihati para pemimpin Tanah Perdikan yang mengikuti Ki Gede itu, telah timbul berbagai macam tanggapan terhadap keadaan di Tanah Perdikan mereka sendiri itu. Rasa-rasanya mereka baru melihat untuk pertama kalinya, keadaan yang sebenarnya terjadi di kampung halaman mereka sendiri, meskipun setiap hari ia berada di tempat itu.
"Setiap hari aku lewat jalan ini," berkata salah seorang pemimpin itu didalam hatinya, "tetapi baru kali ini aku tahu pasti, bahwa parit itu bukan saja kering, tetapi sudah rusak sama sekali. Seandainya bendungan diperbaiki, maka air tidak akan dapat mengalir lagi lewat parit ini."
Ki Gede sendiri sebenarnya sudah cukup lama merasa prihatin. Tetapi setiap kali hatinya yang kosong telah menjebaknya sehingga ia menjadi tidak lagi bergairah untuk berbuat sesuatu. Namun kehadiran Agung Sedayu itu rasa-rasanya merupakan dorongan yang telah membuka hatinya pula.
Perjalanan itu ternyata telah menimbulkan hentakan pada Tanah Perdikan yang lesu itu. Ki Gede membawa para pemimpin itu menjelajahi satu padukuhan ke padukuhan yang lain. Mereka berhenti beberapa saat di padukuhan-padukuhan itu, untuk berbicara dengan beberapa orang penghuninya. Sementara itu. para pemimpin padukuhan yang memang sudah mengetahui bahwa Ki Gecde akan berkeliling menjelajahi padukuhan demi padukuhan telah menyambut pula kedatangan iring-iringan itu.
Tetapi ternyata iring-iringan itu tidak berhenti terlalu lama di setiap padukuhan yang mereka lewati dihari pertama itu. Ki Gede dan para pemimpin Tanah Perdikan itu telah beibicara langsung dengan beberapa orang penghuni yang sempat menemui mereka. Ki Gede telah menanyakan keluhan-keluhan yang akan mereka sampaikan.
"Katakan apa adanya," berkata Ki Gede.
Namun sebagian besar dari mereka tidak dapat mengatakannya dengan jelas. Tetapi terbayang pada kata kata mereka yang kadang-kadang tumpang suh itu. bahwa mereka merasakan kelesuan dalam tatanan kehidupan mereka sehari-hari. Baik dalam lingkungan keluarga mereka, maupun dalam tatanan hidup bebrayan didalam padukuhan mereka.
"Baiklah," berkata K i Gede, "sejak hari ini, kita akan bangkit dan bekerja lebih keras untuk menutup lubang yang selama ini telah kita gali sendiri. Para pemimpm padukuhan inilah yang pertama-tama harus bangkit. Kita bersama-sama akan bekerja keras bagi Tanah Perdikan ini."
Ternyata usaha Ki Gede untuk hadir di padukuhan-padukuhan itu memberikan pengaruh yang sangat besar. Orang-orang Tanah Perdikan Menoreh yang malas menilai keadaan diri sendiri, seolah-olah telah dihadapkan pada sebuah cermin yang besar.
Sementara itu. Agung Sedayupun sempat mehhat, bagaimana keadaan Tanah Perdikan itu sebenarnya. Bukan saja anak-anak mudanya menjadi lesu, tetapi orang-orang tuapun nampaknya tidak lagi bergairah untuk berbuat lebih banyak dari mencari makan bagi hidup mereka sehari-hari.
Namun dalam pada itu, dalam perjalanan semacam itu pula Ki Gede melihat, ada beberapa orang yang justru mengambil keuntungan. Orang yang dengan mata tertutup menghisap tetangga-tetangganya yang semakin lama menjadi semakin sulit untuk hidup. Mereka telah menaburkan uang mereka untuk memancing bunga yang kadang-kadang dapat mencekik leher.
Dalam perjalanan kembali ke padukuhan induk, Ki Gede itupun berkata kepada para pengikutnya, "Aku hampir terlambat. Tetapi kita masih mendapat kesempatan. Angger Agung Sedayu, kau sudah melihat keadaan ini. Terserah kepadamu, kepada Prastawa dan kepada anak-anak muda yang masih mempunyai gairah yang besar untuk membantu aku membangun Tanah Perdikan ini, bagaimana sebaiknya membangunkan anak-anak muda Tanah Perdikan ini yang sedang tertidur itu."
"Selama ini aku sudah berusaha, paman," sahut Prastawa, "tetapi mereka memang malas sekali. Lebih dari itu, anak-anak muda di Tanah Perdikan ini, sudah dipengaruhi oleh kemalasan orang tua mereka, sehingga mereka sulit sekali untuk digerakkan. Meskipun demikian diantara anak-anak muda yang tidak lagi mau berbuat sesuatu, aku masih mempunyai kelompok anak-anak muda yang dengan gigih bekerja bagi Tanah Perdikan ini. Tanpa mereka, Tanah Perdikan ini benar-benar telah menjadi padang kehidupan yang sangat gersang."
"Bagus," jawab Ki Gede, "kau dapat meneruskannya. Sekarang ada Agung Sedayu pula yang mungkin dapat mengemukakan pikiran-pikiran baru disamping yang kau lakukan itu."
Wajah Prastawa menegang. Tetapi ia tidak berani menjawab kata-kata Ki Gede, sementara Ki Gede sama sekali tidak sempat berpaling untuk memperhatikan wajah kemenakannya yang berkuda di belakangnya. Bahkan Ki Gede itupun berkata kepada para pemimpin yang bersamanya, "Sekarang jelas bagi kita. Aku minta kalian membantu apa yang akan dilakukan oleh Agung Sedayu dan kelanjutan kegiatan yang sudah dilakukan oleh Prastawa. Mudah-mudahan dalam waktu dekat, gairah untuk hidup itu mulai menjalar di Tanah Perdikan ini, meskipun aku tahu, bahwa kita semuanya tidak dapat mengharap untuk memetik hasilnya dalam waktu yang terlalu dekat.
Seorang pemimpin Tanah Perdikan yang masih muda itupun menjawab, "Kami akan melakukannya Ki Gede. Kami seharusnya merasa malu. bahwa semuanya itu telah terjadi di Tanah Perdikan ini."
"Kau bangun kesiangan Ki Sanak," sahut Prastawa, "aku sudah melakukan segalanya tanpa putus barang seharipun. tetapi aku bekerja sendiri. Dan sekarang kau seolah-olah memikul tanggung jawab atas masa lampau yang suram itu dan tampil sebagai seorang pahlawan."
Pemimpin yang masih muda itu mengerutkan keningnya. Tetapi karena ia sadar, bahwa yang menyahut itu adalah Prastawa, kemanakan Ki Gede, maka iapun tidak menjawab.
Tetapi yang menjawab Ki Gede Menoreh sendiri, "Apa salahnya melihat kesalahan masa lampau Prastawa. Bukankah dengan demikian akan timbul niat yang kuat untuk tidak melakukan kesalahan serupa. Yang sudah bekerja keras, sebaiknya itu dilanjutkan. Tetapi yang merasa dirinya belum berbuat apa-apa, biarlah ia bangun meskipun kesiangan. Itu lebih baik daripada tidur sepanjang hari."
Prastawa menjadi tegang. Tetapi ia masih menjelaskan, "Maksudku, tidak semuanya kita tertidur nyenyak. Tidak semuanya harus merasa malu. Apalagi yang merasa telah bekerja keras selama ini meskipun tidak mendapat tanggapan apapun dari para pemimpin di padukuhan-padukuhan."
"Bagus. Bagus," sahut Ki Gede, "kau dapat melanjutkannya. Sementara kami yang bangun kesiangan akan membantumu mulai sekarang."
Prastawa tidak menjawab lagi. Tetapi ia bergeser mendekat Agung Sedayu sambil bergumam "Nah, kau dapat tampil sekarang, seolah-olah kaulah yang telah berbuat paling baik di Tanah Perdikan ini."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.
"Ingat. Kau pergi dari Tanah Perdikan ini, atau menurut segala petunjukku," desis Prastawa.
"Kita bekerja bersama-sama," sahut Agung Sedayu lirih.
"Aku sobek mulutmu. Kau hanya menjawab salah satu dari dua kemungkinan. Pergi dari Tanah Perdikan ini, atau menurut petunjukku," geram Prastawa.
"Aku akan menurut petunjukmu, karena kau yang selalu berada di Tanah Perdikan ini," jawab Agung Sedayu.
"Bagus. Tetapi jika kau ingkar, kau akan menyesal, atau bahkan kau tidak akan mendapat kesempatan untuk menyesali perbuatanmu itu," desis Prastawa. Lalu. "Dahulu aku memang katah berkelahi melawanmu, tetapi sekarang aku adalah murid Ki Gede Menoreh. Satu-satunya setelah Pandan Wangi pergi."
"Ya, ya. Aku mengerti," jawab Agung Sedayu pula.
Prastawa terdiam. Iring-iringan itu semakin lama menjadi semakin dekat dengan padukuhan induk. Namun dalam perjalanan kembali itupun, beberapa orang di padukuhan-padukuhan yang mereka lalui merasa tergugah pula hatinya. Nampaknya akan ada pembaharuan yang timbul di Tanah Perdikan yang sudah beberapa lama lesu itu.
Namun dalam pada itu. Agung Sedayu menjadi gelisah. Prastawa benar-benar sangat menjengkelkan. Meskipun ia akan dapat saja tidak menghiraukannya, tetapi jika karena kehadirannya timbul kerusuhan dan perkelahian diantara anak-anak muda yang melihat dirinya, maka tentu bukan itulah yang dimaksud oleh Ki Gede.
Tetapi Agung Sedayu kemudian menemukan cara yang barangkali dapat ditempuhnya. Ia akan menempatkan diri dalam lingkungan anak-anak muda yang dipengaruhi oleh Prastawa. Ia akan menurut apa yang hendak dilakukan oleh Prastawa, karena dalam keadaan itu. iapun tentu ingin menunjukkan kerja bagi Tanah Perdikan Menoreh.
Dalam pada itu, meskipun Ki Gede Menoreh belum menyusun rencana terperinci untuk kerja yang besar bagi Tanah Perdikan Menoreh, namun ia sudah memerintahkan setiap pemimpin padukuhan untuk berbuat sesuatu.
Terutama, sebelum langkah-langkah yang nyata, para pemimpin padukuhan diwajibkan untuk menggugah hati rakyat Tanah Perdikan Menoreh agar mereka bersiap-siap menghadapi kerja yang berat.
"Kita sudah cukup lama beristirahat," berkata Ki Gede, "marilah kita sekarang bangun dan bekerja kembali."
Dalam gejolak yang mulai terasa diseluruh Tanah Perdikan Menoreh itu, Prastawapun ternyata tidak mau ketinggalan. Meskipun ia mempunyai caranya tersendiri, tetapi iapun ingin tetap menjadi anak muda terpenting di Tanah Perdikan Menoreh.
Seperti yang direncanakan. Agung Sedayu dengan sengaja telah berada didalam kelompoknya. Kepada Ki Gede ia mengatakan, bahwa ia akan melihat Tanah Perdikan itu lebih jelas lagi bersama anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh yang dipimpin oleh Prastawa.
Ki Gede rnenarik nafas dalam. Katanya, "Aku percaya bahwa kau tentu akan menentukan sikap tersendiri. Sebenarnyalah, aku kurang setuju dengan sikap Prastawa. Baik dalam hubungannya dengan para pemimpin padukuhan dan para pemimpin Tanah Perdikan ini, maupun sikapnya sebagai seorang anak muda."
"Aku akan berusaha untuk ikut serta menentukan sikap anak-anak muda itu, Ki Gede," jawab Agung Sedayu, "aku memang memilih jalan yang tidak akan saling berbenturan."
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti maksud Agung Sedayu. Meskipun Agung Sedayu tidak menceriterakannya, tetapi Ki Gedepun sudah dapat meraba, apa yang telah terjadi. Agaknya Agung Sedayu benar-benar seorang anak muda yang bijaksana. Ia ingin menempuh jalan yang paling baik bagi segala pihak, meskipun ia dapat berbuat lain dengan bekal yang ada padanya dan kuasa yang tentu akan diperolehnya bila ia minta langsung kepada Ki Gede.
Tetapi nampaknya Agung Sedayu mengambil jalan lain, meskipun jalan itu agaknya akan lebih panjang.
"Mudah-mudahan sikap itu bukan pertanda sikapnya yang lamban," berkata Ki Gede didalam hatinya, "segalanya sudah mulai. Jika Agung Sedayu masih saja ragu-ragu untuk bertindak, seperti watak dan sifatnya yang pernah aku dengar, maka kehadirannya disini akan kurang berarti."
Tetapi Ki Gede masih ingin melihat, apa yang dilakukan oleh anak muda dari Jati Anom itu.
Sementara itu, kepada Ki Waskita Agung Sedayu mengatakan rencenanya lebih terperinci lagi. Ia dengan terus terang berkata, "Aku tidak yakin, bahwa aku akan dapat bertahan untuk waktu yang terlalu lama Ki Waskita. Pada suatu saat, aku harus menunjukkan kepada anak itu, bahwa kelakuannya sudah sangat memuakkan. Tetapi apa kata Ki Gede jika karena kehadiranku telah terjadi pertengkaran. Justru dengan kemanakan Ki Gede itu sendiri, meskipun Ki Gede telah mengatakan kepadaku, bahwa ia tidak dapat membiarkan tingkah laku kemanakannya itu berkepanjangan."
"Kau harus mempertimbangkan kata-kata Ki Gede itu ngger. Mungkin Ki Gede justru ingin kau mengimbangi tingkah lakunya dengan caramu. Bukan justru ikut dalam arus tingkah lakunya," berkata Ki Waskita.
"Aku memang akan berbuat demikian Ki Waskita, tetapi aku akan melakukannya dari dalam. Tidak dari luar dan langsung berhadapan beradu dada," berkata Agung Sedayu.
Ki Waskita mengangguk-angguk. Ia mengenal Agung Sedayu dengan baik sehingga iapun sebenarnya harus sudah mengetahui, bahwa sikap itulah yang akan diambil oleh Agung Sedayu.
Sementara itu, Agung Sedayu harus mulai dengan rencananya ketika Prastawa datang kepadanya dan berkata, "Ikut aku sekarang."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Tetapi iapun bertanya, "Kemana ?"
"Jangan banyak bertanya," berkata Prastawa, "Tanah ini sedang bekerja keras. Apakah kau datang kemari sekedar untuk tidur digandok ?"
"Tentu tidak," jawab Agung Sedayu.
"Nah ikut aku sekarang," berkata Prastawa pula.
"Baik. Aku akan berkemas," sahut Agung Sedayu.
Sambil berbenah diri, Agung Sedayupun minta diri kepada Ki Waskita untuk mengikuti Prastawa. Ia belum tahu, kemana dan untuk apa.
Sejenak kemudian, Prastawa dan tujuh orang kawannya telah meninggalkan padukuhan induk bersama Agung Sedayu. Mereka pergi ke padukuhan kecil diseberang bulak panjang.
Ternyata di pintu gerbang padukuhan kecil itu telah terdapat beberapa anak muda yang telah bersiap-siap untuk melakukan sesuatu. Mereka membawa beberapa jenis alat untuk satu kerja.
"Kita akan memperbaiki bendungan," berkata Prastawa, "disebelah padukuhan itu ada sebuah sungai kecil yang semula memberikan air bagi beberapa petak sawah. Tetapi bendungan itu sudah rusak. Kita akan memperbaikinya sekarang."
"Ya," jawab Prastawa.
"Kenapa tidak dimulai sejak matahari terbit di pagi hari " Udaranya tentu masih segar dan kerja yang dihasilkan untuk satu hari akan nampak. Jika kita mulai dengan kerja yang besar lewat tengah hari begini, maka demikian kita mulai berkeringat, matahari sudah condong dan sebentar lagi tenggelam," jawab Agung Sedayu.
"Pemalas," geram Prastawa," Kita akan bekerja kapan saja tanpa mengingat waktu. Kita harus bekerja keras bagi Tanah Perdikan ini. Aku tahu, kau bukan anak muda Tanah Perdikan ini, sehingga kau, merasa segan untuk bekerja keras. Tetapi jika tidak untuk bekerja keras, lalu apa gunanya kehadiranmu disini."
"Bekerja keras bukan berarti bekerja seingatnya," jawab Agung Sedayu, "tetapi perencanaan itu perlu, agar kerja kita menghasilkan sebagaimana kita kehendaki."
"Tutup mulutmu," bentak Prastawa, "kau harus melakukan apa yang aku katakan. Kau harus menunjukkan kerja melampaui anak-anak muda Tanah Perdikan ini."
Agung Sedayu menarik nafas panjang. Ia tidak ingin menjawab lagi agar tidak terjadi perselisihan. Ia akan melakukan apa saja yang dikehendaki oleh Prastawa.
Ketika mereka sampai di pintu gerbang, maka Prastawa yang berada dipaling depan itupun berhenti dihadapan anak-anak muda yang sudah siap.
"Apakah kita dapat mulai ?" bertanya Prastawa kepada anak-anak muda itu.
Anak-anak muda itu saling berpandangan. Tetapi tidak seorangpun yang menjawab.
"He, bukankah aku sudah menyuruh seseorang untuk memberitahukan bahwa kita akan memperbaiki bendungan itu ?" bertanya Prastawa pula.
Anak-anak muda itu masih saja berdiam diri.
Namun dalam pada itu, pemimpin padukuhan yang sudah separo baya, menyibakkan anak-anak muda itu dan kemudian berdiri dihadapan Prastawa. Katanya, "Anak-mas, aku sudah menerima utusan anakmas, dan akupun telah menyiapkan anak-anak muda untuk bekerja sebagaimana kau kehendaki. Tetapi, apakah tidak sebaiknya kita mulai dengan memperbaiki parit yang akan menampung air dari bendungan itu, jika air itu naik Jika kita memperbaiki bendungan, sementara parit yang akan menampung air itu rusak, maka kerja kita akan sia-sia."
"Tidak," jawab Prastawa, "jika bendungan itu selesai, maka air itu untuk sementara dapat di biarkan tergenang. Sementara itu kita memperbaiki parit yang akan menampung airnya. Tetapi jelas, bahwa air itu sudah ada."
Pemimpin padukuhan itu tidak berani membantah lagi. Prastawa adalah kemanakan Ki Gede Menoreh yang berkuasa di Tanah Perdikan itu.
Karena itu, maka katanya kemudian, "Jika demikian, terserahlah kepada anakmas. Kita sudah siap untuk melakukannya, yang manapun yang akan didahulukan."
"Kita akan pergi ke bendungan," berkata Prastawa.
Prastawa bersama ketujuh orang kawannya, segera mendahului anak-anak muda padukuhan itu memasuki pintu gerbang dan melintasi jalan di tengah-tengah padukuhan itu menuju kesebuah sungai yang tidak terlalu besar. Meskipun demikian airnya yang mengalir di segala musim itu memang memungkinkan untuk dibendung dan dinaikkan ke parit yang akan dapat mengaliri sawah beberapa bagian dari tanah persawahan di padukuhan itu, seperti beberapa waktu yang lampau. Tetapi kerusakan pada bendungan dan parit yang menyalurkan air itu, tidak mendapat perhatian secukupnya sehingga semakin lama menjadi semakin parah.
Sementara itu Agung Sedayu mengikuti pula bersama dengan anak-anak muda padukuhan itu. Namun sepanjang jalan, seolah-olah mereka tidak sempat berbincang, karena Prastawa yang berjalan dipaling depan semakin lama menjadi semakin cepat.
Ketika mereka sampai di pinggir sungai, ternyata matahari sudah melampaui puncaknya dan mulai turun ke arah Barat. Namun Prastawa sama sekali tidak menghiraukannya. Dengan suara lantang ia berkata, "Kita akan mulai sekarang dengan memperbaiki bendungan ini."
Anak-anak muda itu termangu-mangu. Mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan untuk memperbaiki bendungan yang sudah rusak cukup parah itu.
Dalam pada itu, maka Agung Sedayupun berkata, "Prastawa. Apakah tidak sebaiknya kita membuat persiapan-persiapan lebih dahulu. Mungkin kita memerlukan brunjung-brunjung bambu yang harus kita isi dengan batu. Mungkin juga slangkrah untuk menempatkan sela-sela brunjung itu. Baru kemudian kita akan menimbuninya dengan tanah dan pasir."
"Bodoh sekali," geram Prastawa, "kau memang bodoh sekali. Jika kehadiranmu hanya untuk memamerkan kebodohanmu saja, maka sebaiknya kau pergi. Kau hanya memperbanyak jumlah penduduk tanpa dapat berbuat apa-apa. Kau lihat, hanya kau yang tidak tahu apa yang harus dilakukan, sementara anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh sudah siap untuk bekerja."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dilihatnya anak-anak muda yang lainpun masih kebingungan. Mereka memegang cangkul, parang dan linggis ditangan. Tetapi apa yang pertama-tama akan mereka lakukan tidak diketahuinya.
"Cepat," teriak Prastawa," Kita memperbaiki bendungan itu."
Pemimpin padukuhan itulah yang kemudian bertanya, "Yang mana yang harus kita lakukan dahulu ?"
Prastawa menjadi bingung. Namun kemudian katanya, "Paman telah memanggil anak dungu itu kemari. He, katakan, apa yang harus kita lakukan sekarang " Supaya ada gunanya kau di Tanah Perdikan ini, maka katakan, apa yang harus kita lakukan untuk memperbaiki bendungan ini."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya kemudian, "Jika kau menyerahkannya kepadaku, biarlah aku mulai dengan mempersiapkan kelengkapan dari sebuah bendungan. Kita akan mencari bambu dan membuat brunjung. Kemudian brunjung itu akan kita isi dengan batu. Dengan brunjung dan slangkrah yang dapat kita cari dengan mudah, termasuk daun bambu yang kita tebang, maka kita akan membangun bendungan ini."
"Kau hanya akan menghindari kerja keras di bendungan ini," geram Prastawa.
"Kita tidak akan dapat berbuat apa-apa sekarang," jawab Agung Sedayu.
Dalam pada itu, pemimpin padukuhan itupun berkata, "Aku sependapat dengan angger Agung Sedayu. Kita sekarang mencari bambu. Besok kita membuat brunjung dan baru kemudian kita memperbaiki bendungan dengan brunjung-brunjung setelah kita isi dengan batu yang dapat kita cari disungai ini pula."
Wajah Prastawa menjadi merah. Namun kemudian katanya, "Terserah kepada kalian. Tetapi aku perintahkan Agung Sedayu untuk membantu pimpinan padukuhan ini untuk memperbaiki bendungan itu. Kau tidak boleh merasa dirimu pemimpin disini."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia mengangguk sambil menjawab, "Aku akan melakukannya."
Prastawa memandangi anak-anak muda yang kebingungan di bendungan. Sejenak iapun menjadi kebingungan. Namun kemudian ia membentak, "Cepat. Lakukan sesuatu. Kita tidak dapat lagi bermalas-malas sekarang ini. Paman Argapati telah memutuskan, kita akan bekerja keras untuk kepentingan Tanah Perdikan ini."
"Baiklah," jawab Agung Sedayu. Lalu katanya kepada pemimpin padukuhan itu, "Apakah kita dapat mencari bambu di padukuhan ini."
"Mari," jawab pemimpin padukuhan ini, "disini ada berpuluh-puluh rumpun bambu yang siap ditebang. Kita tidak akan berkeberatan memberikan bambu yang paling tua dan yang paling baik untuk bendungan."
"Bukan bambu yang besar-besar. Justru bambu apus," desis Agung Sedayu.
"Seberapapun yang diperlukan, dapat diambil di kebun-kebun dipadukuhan ini," jawab pemimpin padukuhan.
Karena itu, maka Agung Sedayupun berkata, "Marilah, kita akan mengumpulkan beberapa puluh bambu untuk brunjung-brunjung."
"Kau tidak hanya berbicara," bentak Prastawa, "kaupun harus pergi menebang bambu itu."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun sekali lagi ia mengangguk dan menjawab, "Aku juga akan ikut menebang bambu."
Demikianlah maka anak-anak muda itu telah meninggalkan bendungan kembali ke padukuhan. Sementara itu, Prastawa dan ketujuh orang kawannya mengikutinya di belakang. Tetapi mereka tidak ikut bekerja seperti Agung Sedayu yang bersama-sama dengan anak-anak muda padukuhan itu menebang bambu.
Ternyata dalam waktu singkat, anak-anak muda itu telah mendapatkan bambu cukup banyak. Merekapun kemudian membawa bambu-bambu itu kebendungan.
"Besok kita akan membuat menjadi brunjung-brunjung," berkata Agung Sedayu kepada anak muda itu.
"Ya. Besok kita mulai pagi-pagi sekali," sahut pemimpin padepokan, "hari ini kita mulai terlampau siang. Angger Prastawa memberikan perintah menjelang tengah hari, sehingga baru setelah matahari turun, kita dapat mulai dengan kerja ini."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ketika ia memandang ke tanggul dipinggir sungai itu, ia melihat Prastawa dan kawan-kawannya berdiri memandangi mereka yang berada dibawah.
"Besok kita mulai rnembuat brunjung," berkata Agung Sedayu kepada Prastawa.
"Kita siapa ?" bertanya Prastawa.
Agung Sedayu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, "Kita, ya kita. Anak-anak muda padukuhan ini, aku dan kalian."
"Persetan," geram Prastawa, "kau tahu tugasku hanya menunggui padukuhan ini saja he " Anak dungu. Aku adalah kemanakan Ki Gede Menoreh yang mempunyai kewajiban tersebar di seluruh Tanah Perdikan. Aku hanya memberikan dorongan agar kerja ini dapat dimulai pada saat Tanah ini sudah berjanji untuk bekerja keras. Sudah tentu aku akan berada ditempat lain dalam tugas yang sama sejak besok. Aku akan datang setiap kali ke bendungan dan melihat, apakah kalian benar-benar telah memenuhi perintah paman Argapati. Bekerja keras bagi Tanah Perdikan ini. Dan apakah kehadiran Agung Sedayu disini ada gunanya."
Agung Sedayu tidak menjawab. Gejolak didadanya hampir saja meledak. "Tetapi ia masih selalu menahan diri, karena ia tidak mau menyakiti hati Ki Gede Menoreh dengan pertengkaran dan apalagi perkelahian, meskipun ia dapat berbuat apa saja atas anak muda yang bernama Prastawa itu.
Sejenak kemudian, ternyata seperti yang dikatakannya, Prastawa telah meninggalkan tempat itu bersama dengan ketujuh orang kawannya. Namun dengan demikian. Agung Sedayu merasa, bahwa ia akan dapat bekerja leluasa tanpa diganggu lagi.
Sepeninggal Prastawa, maka Agung Sedayupun kemudian berkata kepada pemimpin padukuhan itu, "Kita dapat bekerja sekarang. Kita membuat brunjung bambu. Kemudian kita isi brunjung-brunjung itu dengan batu, sementara jika para penghuni padukuhan ini tidak berkeberatan, setiap laki-laki yang masih mampu bekerja, meskipun sudah berusia agak lanjut, dimohon untuk membantu memperbaiki parit. Tidak usah memaksa diri dengan memeras tenaga. Sejauh dapat dilakukan saja."
"Kita memerlukan waktu satu atau dua hari untuk menganyam brunjung," berkata pemimpin padukuhan itu.
"Kita tidak tergesa-gesa. Jika ada satu dua brunjung yang siap, maka sebagian dari kita dapat langsung mengisinya. Kita tidak perlu menunggu semua brunjung siap," jawab Agung Sedayu.
"Aku sependapat," berkata pemimpin padukuhan itu, "juga tentang setiap laki-laki yang masih mampu bekerja. Akupun sependapat, kita tidak akan memeras tenaga sebagai budak-budak yang diperlakukan tanpa pertimbangan kemanusiaan. Meskipun demikian, kita akan bekerja keras atas dasar kesadaran kita bagi Tanah Perdikan ini."
Dengan demikian, maka anak-anak muda itupun mulai membelah bambu untuk menganyam brunjung. Tetapi karena langit mulai suram, maka kerja itupun ditangguhkannya sampai besok. Sementara pemimpin padukuhan itu berkata, "Nanti, aku akan berkeliling dari rumah kerumah. Besok setiap laki-laki akan keluar dengan kerja masing-masing, sesuai dengan kemampuan tenaga yang ada. Perempuanpun akan mempunyai kewajiban. Menyiapkan minum dan merebus jagung dan ketela pohon."
Malam itu. Agung Sedayu hanya berada di rumah Ki Gede sebentar saja untuk memberitahukan kerjanya kepada Ki Waskita. Setelah makan dan beristirahat sebentar, maka iapun telah meninggalkan halaman itu diluar pengetahuan Prastawa, kembali kepadukuhan kecil yang sedang membangun bendungan itu.
Ternyata kehadiran Agung Sedayu telah memancing beberapa orang anak muda untuk berkumpul. Karena gardu sudah rusak, maka mereka berkumpul dirumah pemimpin padukuhan itu.
Meskipun malam itu Agung Sedayu hanya berceritera saja tentang bermacam-macam pengalamannya, namun ternyata ia sudah berhasil mengikat hati beberapa orang anak muda yang berada dirumah pemimpin padukuhan itu.
Ternyata Agung Sedayu berhasil memanfaatkan keadaan itu sebaik-baiknya. Ia berhasil menggelitik hati anak-anak muda untuk bekerja keras dihari-hari berikutnya sesuai dengan keinginan Ki Gede untuk memulihkan keadaan Tanah Perdikan yang mundur itu. Bahkan apabila mungkin untuk memacunya lebih cepat untuk maju.
"Besok kita akan mulai dengan mengisi brunjung-brunjung," berkata Agung Sedayu, "sementara orang-orang yang sudah tidak dapat bekerja berat, akan memperbaiki parit-parit yang sudah rusak, longsor dan bahkan hampir tidak berbekas lagi."
"Kita sudah siap," jawab anak-anak muda itu.
"Bagus," berkata Agung Sedayu, "sementara bendungan itu dibangun maka kita dapat membangun segi lain dari kegiatan padukuhan ini."
"Apa," jawab anak-anak muda itu hampir bersamaan.
"Gardu-gardu. Bukan hanya sekedar gardunya, tetapi juga kegiatan untuk menjaga padukuhan ini dari gangguan kejahatan," jawab Agung Sedayu.
"Kami sependapat," desis beberapa orang anak muda. Bahkan pemimpin padukuhan itupun berkata, "Jika kalian benar-benar ingin melakukannya, tentu bagus sekali. Besok disamping kita yang membangun bendungan, ampat orang akan melakukan pekerjaan yang lain. Memperbaiki gardu dengan bambu-bambu yang dapat kita ambil seperti kita mengambilnya untuk memperbaiki bendungan. Aku masih mempunyai beberapa gulung tali ijuk sisa ketika aku memperbaiki dapur. Kalian dapat mempergunakannya. Kita akan memesan kentongan dari pangkal pohon kelapa dari Ki Senu disudut padukuhan ini, yang kelak akan kita pasang di gardu."
Anak-anak muda itupun sependapat. Agaknya mereka telah menemukan gairah untuk berbuat sesuatu bagi padukuhannya.
"Gairah dan kemauan yang sudah mulai tumbuh dihati kita masing-masing harus kita pelihara sebaik baiknya agar tidak mati lagi. Besok atau pada saat lain jika Prastawa datang melihat hasil kerja kita, ia tidak akan kecewa," berkata Agung Sedayu.
"Anak itu sebenarnya tidak berarti apa-apa bagi kami," desis seorang anak muda berambut keriting, "kami menghormatinya karena ia kemanakan Ki Gede."
Kawan-kawannya memandanginya dengan tatapan mata yang gelisah. Agaknya mereka menjadi berdebar-debar mendengar kata-kata itu. Sementara pemimpin padukuhan itu hanya menundukkan kepalanya saja.
Tetapi anak muda berambut keriting itu justru melanjutkan, "Coba lihat, betapa sombongnya ia bersikap terhadap Agung Sedayu. Seolah-olah ia adalah Ki Gede sendiri. Bukankah kedatangan Agung Sedayu ini atas undangan Ki Gede seperti yang dikatakannya dalam pertemuan para pemimpin Tanah Perdikan ini dan para pemimpin padukuhan ?"
Diluar sadarnya pemimpin padukuhan itu mengangguk. Namun Agung Sedayulah yang menyahut, "Aku tidak berkeberatan atas sikapnya. Mungkin diluar sadarnya ia bersikap demikian, sehingga kesannya seolah-olah ia adalah anak muda yang sombong. Tetapi kewajiban kita adalah menunjukkan, bukan saja kepada Prastawa, tetapi juga kepada Ki Gede, bahwa kita mampu melakukan sesuatu bagi padukuhan ini."
Demikianlah, Agung Sedayu berada di padukuhan itu sampai larut malam. Baru kemudian, setelah tengah malam lama berlalu, Agung Sedayupun minta diri.
"Kita masih perlu beristirahat barang sebentar. Besok kita masih akan bekerja keras," berkata Agung Sedayu sambil minta diri.
Sebenarnyalah ketika Agung Sedayu keluar dari rumah pemimpin padukuhan itu, ternyata diserambi beberapa orang anak muda sudah tidur mendekur.
"Biar sajalah," berkata Agung Sedayu ketika kawan-kawannya akan membangunkan mereka, "tenaga mereka besok masih sangat diperlukan."
Demikianlah, diam-diam Agung Sedayu telah memasuki halaman rumah Ki Gede seperti saat ia pergi. Ki Waskita yang terbangun mendengar desir didinding, telah membuka pintu perlahan-lahan dan kemudian iapun masih sempat mendengarkan ceritera tentang anak-anak muda padukuhan kecil itu.
"Bagus Agung Sedayu," berkata Ki Waskita, "teruskan. Tetapi kaupun harus bersiap-siap jika Ki Gede bertanya tentang rencana. Bukankah Ki Gede memerlukan satu rencana yang menyeluruh."
"Aku belum dapat menyusunnya sebelum aku mengenal dengan pasti keadaan Tanah Perdikan ini Ki Waskita. Namun yang terjadi di padukuhan kecil itu akan aku laporkan juga sebagai satu penjajagan khusus. Jika usaha dipadukuhan kecil itu berhasil, maka yang dilakukan di padukuhan itu dapat dijadikan pola, meskipun masih harus disesuaikan dengan keadaan masing-masing padukuhan. Tidak setiap padukuhan dekat dengan sungai yang betapapun kecilnya. Dan tidak setiap padukuhan memerlukan perbaikan tata aliran air. Mungkin masih ada padukuhan yang tata aliran airnya masih baik. tetapi mempunyai kelemahan dihidang yang lain," jawab Agung Sedayu.
"Tetapi nampaknya Prastawa itu akan dapat menghalangi kerjamu secara menyeluruh," berkata Ki Waskita.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Mungkin pada suatu saat, aku harus menyampaikannya kepada Ki Gede meskipun dengan sangat berhati-hati. Aku harus mendapat isyarat dari Ki Gede jika aku ingin berbuat sesuatu atas Prastawa."
Ki Waskita mengangguk-angguk. Ia mengenal sifat Agung Sedayu. Hati-hati dan sebenarnyalah agak lamban. Berbeda dengan Swandaru yang dapat berbuat lebih cepat, dengan pertimbangan yang tidak begitu rumit. Namun kadang-kadang agak terlalu mengambil kesimpulan atas sesuatu peristiwa sehingga kurang cermat.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba Ki Waskita berkata, "Untuk mengurangi persoalan yang dapat timbul antara kau dan Prastawa, maka biarlah aku ikut bersamamu. Agung Sedayu. Agaknya Prastawa akan menjadi segan untuk berbuat dengan berlebih-lebihan atasmu. Sehingga dengan demikian kau akan mendapat kesempatan lebih banyak untuk melihat dan mendengar keadaan Tanah Perdikan ini sebaik-baiknya."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia mengangguk-angguk sambil menjawab, "Baiklah Ki Waskita. Jika Ki Waskita tidak berkeberatan, aku berharap, tingkah lakunya akan dapat dibatasi."
Namun dalam pada itu, Agung Sedayu masih berniat ingin menyelesaikan bendungan itu tanpa Ki Waskita, sementara Ki Waskitapun menyetujuinya.
Ternyata bahwa apa yang terjadi berbeda sekali dari yang dimaksud oleh Prastawa. Justru karena di hari-hari berikutnya ia tidak hadir di bendungan, maka ia tidak melihat apa yang telah dilakukan oleh Agung Sedayu. Dan ternyata yang dilakukan oleh Agung Sedayu kemudian telah menunjukkan pelaksanaan pembuatan bendungan, namun ia juga dapat melakukannya sendiri.
Karena itu, maka anak-anak muda padukuhan itu justru semakin dekat dengan Agung Sedayu. Mereka tertarik kepada kepribadiannya yang rendah hati, tetapi menunjukkan kemampuan yang tinggi.
Seperti yang direncanakan, maka akhirnya Agung Sedayupun menyampaikannya pula kepada Ki Gede meskipun dengan alasan yang berbeda. Agung Sedayu sama sekali tidak mengatakan, bahwa Prastawa telah memaksanya untuk ikut serta memperbaiki bendungan. Tetapi dikatakannya bahwa atas pertimbangan Prastawa maka bendungan itu telah diperbaiki. Dengan demikian ia akan mendapat satu pertimbangan untuk langkah-langkah selanjutnya. Pekerjaan itu adalah satu penjajagan terhadap kerja yang lebih besar. Kerja secara menyeluruh di atas Tanah Perdikan Menoreh.
Prastawa terkejut ketika tiba-tiba pada suatu hari Ki Gede telah mengajaknya untuk meninjau bendungan itu bersama Agung Sedayu dan Ki Waskita. Diluar dugaan Ki Gede berkata, "Menurut Agung Sedayu, kaulah yang memberikan pertimbangan kepadanya."
Prastawa tidak dapat menjawab selain menganggukkan kepalanya. Namun ia masih ragu-ragu, kenapa Agung Sedayu mengatakan bahwa ialah yang memberikan pertimbangan.
"Agaknya ia sudah benar-benar menjadi ketakutan." berkata Prastawa didalam hatinya. Namun kemudian, "Tetapi apakah kerja itu gagal dan tidak berarti sama sekali, sehingga ia minta agar paman melihatnya dan kemudian melihat kebodohanku ?"
Namun Prastawa tidak sempat untuk merubah rencana Ki Gede. Dengan beberapa orang pemimpin padukuhan, Agung Sedayu dan Ki Waskita, Prastawa dan beberapa orang kawannya telah mengikut pula.
Sekali lagi Prastawa terkejut melihat kenyataan, bahwa bendungan itu benar-benar telah berhasil mengangkat air. Meskipun tidak terlalu banyak, karena sungainyapun bukan sungai yang besar, namun air benar-benar telah mengalir melalui parit-parit yang menjelujur di tengah-tengah petak-petak sawah.
"Parit itupun telah diperbaiki," desis Prastawa kepada kawan-kawannya.
Kedatangan Ki Gede memberikan kegembiraan tersendiri kepada penghuni padukuhan itu. Seolah-olah mereka merasa pekerjaan mereka mendapat nilai langsung dari pemimpin tertinggi Tanah Perdikan Menoreh.
Namun hati Prastawa menjadi sakit ketika ternyata pemimpin padukuhan itu dalam laporannya lebih banyak menyebut nama Agung Sedayu daripada dirinya. Pemimpin padukuhan itu memuji ketangkasan sikap dan sifat yang rendah hati dari Agung Sedayu, sehingga karena kepemimpinannya itu maka bendungan itu dapat diselesaikan.
"Gila," geram Prastawa.
Yang terjadi itu jauh dari yang diharapkan. Ia ingin menyudutkan Agung Sedayu pada satu kerja yang tidak berarti dan mengikatnya sehingga ia tidak akan dapat berbuat yang lain di Tanah Perdikan itu, namun ternyata ia justru berhasil mendapat pujian, bukan saja dari pemimpin padukuhan itu, tetapi langsung dihadapan pamannya dan para pemimpin Tanah Perdikan yang lain.
Dalam pada itu, yang dilakukan itu adalah satu contoh keberhasilan Agung Sedayu. Karena itu, maka agak terpisah dari iring-iringan yang lain, yang sedang melihat-lihat bendungan itu, Prastawa berbisik kepada kawan-kawannya, "Gila. Anak itu memang harus disingkirkan."
"Apakah kita akan menghajarnya sekali lagi, tetapi jauh lebih parah ?" bertanya kawannya.
"Aku justru takut jika paman mengetahuinya, "jawab Prastawa.
"Jadi, bagaimana menurut kau ?" bertanya kawannya pula.
"Kita dapat meminjam tangan orang lain. Kita dapat menghubungi siapapun untuk mengusir anak itu dari Tanah Perdikan ini. Aku menjadi semakin muak." Desis Prastawa.
"Bagus," sahut kawannya, "kita meminjam tangan orang-orang yang akan mampu mengusirnya, sementara kita tidak akan dapat dituduh berbuat sesuatu atasnya."
"Justru pada saat-saat yang ditentukan, aku akan berada didekat paman Argapati," desis Prastawa.
Kawannya tertawa. Katanya, "Bagus. Orang-orang yang mengusirnya itu dapat memberikan kesan apa saja tentang perselisihannya dengan Agung Sedayu."
"Kita serahkan saja kepada orang-orang itu," jawab Prastawa.
"Bagus. Semakin cepat semakin baik. Nampaknya Ki Gede semakin tertarik kepadanya," desis kawannya.
"Kita memanggil orang yang paling terpercaya. Jangan tanggung-tanggung, karena anak itu adalah murid Kiai Gringsing. Mungkin aku sendiri dapat mengatasinya. Tetapi orang lain akan mengalami kesulitan. Karena itu, maka jika kita minta bantuan orang lain, maka orang-orang itu harus diyakinkan, bahwa yang dihadapi adalah murid Kiai Gringsing yang dikenal sebagai orang bercambuk, yang justru pernah berada di Tanah Perdikan ini pula, sehingga mungkin orang-orang itu pernah juga mengenal, setidak-tidaknya mendengar tentang mereka. Dengan demikian, maka mereka akan dapat menyiapkan kekuatan yang memadai."
"Betapapun juga tinggi ilmunya, namun ia hanya seorang diri," berkata kawannya.
Prastawa mengangguk-angguk.
Namun ia tidak sempat berbicara lebih panjang, karena pamannya kemudian berkisar dari bendungan itu untuk melihat-lihat parit yang sudah diperbaiki, menjelujur di antara petak-petak sawah yang basah.
Ternyata Ki Gede Menorehpun menjadi gembira. Satu pedukuhan telah berhasil bangun dari tidurnya yang nyenyak. Bukan hanya bendungan dan parit. Namun ternyata regol padukuhan, gardu dan jalan-jalanpun telah diperbaiki pula, meskipun hanya sekedar menutup kerusakan disana-sini.
"Padukuhan ini akan menjadi contoh," berkata Ki Gede. Lalu katanya kepada Agung Sedayu, "kau sudah berhasil menjajagi kemungkinan untuk melakukan kerja yang lebih besar di atas Tanah Perdikan ini ngger. Silahkan. Aku menunggu rencanamu yang menyeluruh. Semakin cepat kita besama-sama bangun diseluruh Tanah ini, akan Semakin baik. Jika sarana kehidupan menjadi semakin baik, maka kita akan segera dapat hadapi segi yang lain. Para pengawal sudah lupa, bagaimana cara membawa tombak. Merekapun perlu dibangunkan pula."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ketika sekilas ia memandang wajah Prastawa, ia melihat, betapa kebencian menyala di hati anak muda itu.
Namun Agung Sedayu menjawab juga, "Aku akan berusaha Ki Gede. Tentu saja dengan bantuan dan petunjuk anak-anak muda Tanah Perdikan ini sendiri."
"Aku menunggu," desis Ki Gede sambil berjalan disepanjang jalan padukuhan. "Gardu yang sudah diperbaiki itu mempunyai sebuah kentongan baru, yang dibuat dari pangkal pohon kelapa."
Ketika Ki Gede mencoba memukul kentongan itu, terdengar suaranya nyaring dengan nada dara muluk.
Dalam pada itu, orang-orang yang tidak melihat apa yang dilakukan Ki Gede, terkejut juga mendengar kentongan yang berbunyi tidak pada waktunya. Tetapi karena nada yang dilontarkan adalah nada yang tidak memberikan kesan khusus dan apalagi bahaya, maka orang-orang itupun menduga, bahwa seseorang sedang mencoba sebuah kentongan baru.
"Siapa yang membuat kentongan itu ?" bertanya seseorang yang sedang berada disawah bersama seorang kawannya. Karena keduanya bukan orang padukuhan yang sedang membangun bendungan, maka mereka tidak tahu, bahwa padukuhan itu sudah memesan sebuah kentongan baru kepada Ki Senu di sudut padukuhan.
Dengan kebanggaan yang bergejolak di dalam hati, Ki Gedepun kemudian kembali ke padukuhan induk. Kepada para pemimpin Tanah Perdikan ia menekankan lagi agar merekapun berbuat sesuatu untuk ikut mempercepat kerja yang sudah dimulai.
Dihari berikutnya. Agung Sedayu sudah tidak lagi berada di bendungan yang sudah diselesaikannya. Tetapi ia ingin melihat-lihat daerah yang lain dari Tanah Perdikan Menoreh.
Untuk menghindari peristiwa-peristiwa yang tidak dikehendaki, maka Agung Sedayu telah memutari beberapa padukuhan bersama Ki Waskita. Sehingga dengan demikian, Prastawa menjadi segan untuk berbuat sesuatu atasnya.
"Gila," geram Prastawa, "anak itu sekarang selalu ditemani oleh paman Waskita."
"Tetapi pada suatu saat, ia akan sendiri, dalam keadaan apapun," jawab kawannya, "karena itu, kita harus secepatnya menghubungi orang-orang yang akan dapat mengusirnya."
"Atau menghapusnya sama sekali," geram Prastawa.
Kawannya tidak menyahut. Bagaimanapun juga, sikap Prastawa yang terakhir itu membuatnya menjadi berdebar-debar. Ia tidak berniat melangkah begitu jauh.
Ternyata kawan-kawannya yang lainpun menjadi termangu-mangu. Namun agaknya Prastawa tidak menghiraukannya.
Dalam pada itu, selagi Prastawa berusaha untuk menemukan orang yang akan dapat mengusir Agung Sedayu, jauh dari Tanah Perdikan Menoreh, seseorang sedang berusaha untuk menyempurnakan ilmunya dengan laku terakhir menjelang laku puncaknya, pati geni. Ajar Tal Pitu yang merasa terhina karena kekalahannya, telah bertekad untuk menyempurnakan ilmunya dan sekali lagi menghadapi Agung Sedayu. Jika pada saatnya ia selesai dengan laku puncaknya, dan ternyata Agung Sedayu tidak diketemukannya lagi di padepokannya, maka Ajar Tal Pitu itu tentu akan mencarinya sampai ke ujung bumi sekalipun.
Namun Prastawa sama sekali tidak mengerti persoalan antara Agung Sedayu dan Ajar Tal Pitu. Sehingga dengan demikian, maka ia telah berusaha untuk menemui orang yang diketahuinya, memiliki kemampuan yang luar biasa, meskipun orang itu dari lingkungan orang-orang yang hidup diluar tatanan hubungan manusia kebanyakan, lewat seorang anak muda Tanah Perdikan Menoreh yang memang agak lain dari kebanyakan anak-anak muda.
"Siapa anak itu ?" bertanya seorang yang bertubuh tinggi, kekar dengan kumis, jambang dan janggut yang lebat.
"Namanya Agung Sedayu," sahut Prastawa, "ia adalah murid orang bercambuk yang terkenal, dan pernah berada di Tanah Perdikan ini pula pada masa kakang Sidanti menyalakan api perlawanan di Tanah ini. Setelah itupun ia beberapa kali telah datang ke Tanah Perdikan ini untuk keperluan yang bermacam-macam."
"Apa peduliku dengan orang bercambuk itu ?" geram orang bertubuh kekar dan berjambang lebat itu, "setiap orang tahu, bahwa aku adalah benggol kecu yang paling ditakuti."
Rahasia Peti Wasiat 12 Pendekar Rajawali Sakti 136 Singa Gurun Pendekar Lengan Buntung 1
Hari itu Agung Sedayu dan Ki Waskita sempat berbicara panjang lebar dengan para pemimpin Tanah Perdikan Menoreh yang sedang berprihatin. Dari mereka Agung Sedayu mendapat banyak bahan untuk mengenal Tanah Perdikan yang besar itu, yang pada suatu saat pernah mencapai masa kebesarannya.
"Kecemasan orang-orang tua itu tidak wajar," berkata Prastawa tiba-tiba, "sudah beberapa kali aku katakan, bahwa kecemasan itu terlalu berlebih-lebihan."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya, sementara Ki Gede bertanya, "Apa yang kau maksudkan Prastawa?"
"Memang ada kemunduran di beberapa segi paman," jawab Prastawa, "tetapi tidak dalam keseluruhan. Bahkan jika diambil dasar rata-rata Tanah ini maju meskipun tidak sepesat Kademangan Sangkal Pulung. Justru karena Kademangan Sangkal Putung daerahnya lebih sempit, sehingga lebih mudah untuk menanganinya."
Ki Gede termangu-mangu sejenak. Ia memang melihat beberapa orang anak muda yang datang bersama Prastawa. Dalam pada itu Prastawapun berkata, "Coba, silahkan paman bertanya kepada anak-anak muda yang terdiri dari bermacam-macam golongan ini. Mereka akan dapat berbicara tentang keadaan anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh. Mereka akan banyak memberikan bahan dari keadaan yang sebenarnya."
"Terima kasih," jawab Ki Gede, "Agung Sedayu tentu akan mendengar dan melihat. Tetapi yang tidak dapat kita pungkiri, bahwa parit-parit di banyak tempat menjadi kering. Gardu-gardu menjadi kosong, bahkan ada beberapa gardu yang rusak tanpa diperbaiki lagi. Tanda isyarat tidak lagi terdapat di gardu-gardu itu. Kenthongan itu seolah-olah telah tidak lagi ada gunanya sehingga pantas untuk merebus air saja didapur. Nah, hal-hal semacam inilah yang perlu kita perhatikan. Tentu saja tanpa mengurangi hasil-hasil yang telah kita capai bersama seperti yang kau katakan itu Prastawa. Karena itu, maka apa yang dapat kau capai, kemudian dibantu oleh Agung Sedayu. Tanah Perdikan ini akan dapat mencapai kebesarannya kembali."
Prastawa menarik nafas dalam-dalam. Meskipun rasa-rasanya ia masih belum puas, tetapi ia tidak dapat berbicara lebih banyak lagi, justru karena pamannya tidak membantahnya.
Namun dalam pada itu, meskipun sekilas, Agung Sedayu dapat melihat kesan pada wajah para pemimpin Tanah Perdikan Menoreh yang lain. Para pembantu Ki Gede itu nampaknya tidak puas dengan keterangan yang diberikan Prastawa, seolah-olah Tanah Perdikan Menoreh telah berkembang maju meskipun tidak sepesat Sangkal Putung. Menurut penilaian Agung Sedayu, orang-orang tua itu justru dengan jujur mengakui, bahwa Tanah Perdikan Menoreh sedang mundur.
Tetapi Agung Sedayu tidak ingin berbantah justru pada hari-hari pertama ia berada di Tanah Perdikan Menoreh. Sementara itu maka Ki Gedelah yang memberikan penjelasan lebih banyak lagi tentang rencana Ki Gede dengan Agung Sedayu.
"Apa artinya satu orang bagi Tanah Perdikan ini," berkata Ki Gede, "katakanlah dua orang dengan Ki Waskita yang sudah terlalu sering berada disini. Namun yang aku lakukan ini semata-mata merupakan satu pertanda bahwa kita semuanya, seisi Tanah Perdikan Menoreh akan bergerak bersama. Apapun yang dilakukan oleh Agung Sedayu tidak akan berarti apa-apa tanpa bantuan kita semuanya."
Anak-anak muda yang ada di pendapa itu saling menggamit. Mereka menunjukkan sikap yang sama sekali kurang wajar terhadap kehadiran Agung Sedayu.
Tetapi nampaknya Ki Gede juga mengerti, karena itu, maka iapun kemudian berkata, "Sekali lagi kami, orang tua-tua mohon keikhlasan kalian untuk menerima Agung Sedayu diantara kalian, agar ia dapat menjadi salah satu diantara roda-roda penggerak yang memang sudah ada di Tanah Perdikan ini."
Tidak seorangpun yang menjawab. Prastawapun tidak.
Demikianlah setelah mereka berbicara beberapa saat, dan ketika kepada mereka telah dihidangkan berbagai macam hidangan, maka pertemuan itupun diakhiri. Para pembantu Ki Gede di Tanah Perdikan itupun kembali kerumah masing-masing, sementara anak-anak mudapun kemudian masih bergerombol di halaman dengan Prastawa.
Untuk beberapa saat lamanya. Agung Sedayu masih berbincang dengan Ki Gede Menoreh dan Ki Waskita. Mereka melihat gelagat yang kurang baik dari Prastawa dan beberapa orang anak-anak muda di Tanah Perdikan Menoreh, yang merasa diri mereka dikecilkan.
"Aku dapat mengerti," berkata Agung Sedayu, "aku akan mencoba mendekati mereka. Mungkin mereka belum yakin, bahwa aku benar-benar hanya seorang pembantu mereka yang mungkin akan dapat mengusulkan beberapa kegiatan. Tetapi yang paling tepat adalah keterangan Ki Gede, bahwa kedatanganku adalah sekedar pertanda waktu. Tanah ini bersama-sama akan bangkit. Bukan karena ada waktu disini. Karena itu, kebetulan adalah aku yang datang. Mungkin Swandaru, mungkin Pandan Wangi sendiri, atau siapapun. Namun kedatangan itu adalah satu isyarat agar kita semuanya bangkit dan bekerja keras."
"Bagus Agung Sedayu," sahut Ki Gede, "kau memang harus sabar menghadapi anak-anak itu. Mereka termasuk sasaran yang aku cemaskan. Aku merasa sangat sulit untuk mengawasinya. Agak berbeda dengan kau. Kau adalah anak muda seumur mereka, meskipun kau lebih tua sedikit. Tetapi kau mungkin sekali akan cepat menyesuaikan diri. Yang penting, mengerti apakah yang mereka kehendaki sebenarnya."
"Aku akan mencoba Ki Gede," jawab Agung Sedayu, "besok aku akan melihat-lihat keadaan di seluruh Tanah Perdikan ini. Aku yakin bahwa ada segi-segi lain dari wajah anak-anak muda di seluruh Tanah Perdikan Menoreh ini."
"Ya, ya. Kau akan dapat melihatnya sendiri," berkata Ki Gede, "biarlah besok kau diantar oleh para pengawal mengelilingi Tanah Perdikan ini dari ujung sampai keujung."
"Kenapa dengan para pengawal ?" bertanya Agung Sedayu, "apakah menurut pertimbangan Ki Gede orang-orang Gunung Kendeng, atau orang Tal Pitu, termasuk Ki Pringgajaya demikian cepatnya menyusul aku?"
"Aku tidak berpikir tentang mereka ngger," jawab Ki Gede. "tetapi aku berpikir tentang tingkah laku beberapa orang anak-anak muda di Tanah Perdikan ini."
Agung Sedayu tersenyum. Katanya, "Besok biarlah aku seorang diri untuk menunjukkan bahwa aku adalah bagian dari mereka dimasa-masa mendatang. Sementara jika ada tanda-tanda orang Tal Pitu. atau Gunung Kendeng atau Ki Pringgajaya sendiri akan datang, aku akan mohon Ki Waskita dan Ki Gede sendiri untuk melindungi aku. Karena bagi mereka, tentu tidak akan ada orang lain yang disegani kecuali orang-orang tua itu."
"Aku sudah tidak banyak berarti lagi Agung Sedayu," sahut Ki Gede dengan nada rendah.
"Tidak," jawab Agung Sedayu, "Ki Gede adalah orang yang setingkat dengan guru, dengan Ki Waskita, dengan orang-orang yang sebaya dengan Ki Gede. Jika Ki Gede merasa terganggu karena cacat kaki, maka pada saat-saat tertentu Ki Gede tentu akan menemukan jalan untuk mengatasinya. Sebagaimana pernah kita dengar, orang yang cacat mutlakpun mempunyai kelebihannya tersendiri."
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Sambil tersenyum ia berkata, "Itulah yang menarik berbicara dengan angger Agung Sedayu. Jarang anak muda sebayanya dapat berbicara tentang orang-orang tua dan justru dapat menyentuh perasaan. Rasa-rasanya aku memang ingin berusaha untuk mengatasi cacat kakiku."
"Ki Gede sadar atau tidak sadar, tentu sudah berusaha," sahut Agung Sedayu, "tinggal mematangkannya."
Ki Gede tertawa. Katanya, "Terima kasih ngger. Mudah-mudahan aku dapat melakukannya."
Dalam pada itu, Ki Waskitapun memberikan beberapa pesan kepada Agung Sedayu jika ia benar-benar ingin mengelilingi Tanah Perdikan ini seorang diri.
"Yang penting, kau harus menyadari, bahwa ada pihak yang tidak menerimamu dengan baik," berkata Ki Waskita, "tetapi jangan kau musuhi mereka itu."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Dengan nada dalam ia menjawab, "Aku akan berusaha sejauh mungkin menimbuni jarak antara mereka dengan aku Ki Waskita."
"Kau memang harus bersabar menghadapi kenyataan ini," sambung Ki Gede pula.
Demikianlah, maka Agung Sedayu sudah mendapat gambaran apa yang harus dilakukannya. Yang pertama adalah melepaskan pemisah yang ada antara dirinya dengan anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh yang justru pernah dikenalnya dengan baik. Namun dengan mereka yang baru tumbuh sebaya dengan Prastawa, dan yang mereka sebelumnya tidak pernah berbuat mengenali mereka. Mungkin anak-anak muda itu mengenal Agung Sedayu pada waktu itu. tetapi mungkin pula tidak.
Namun yang penting bahwa Prastawa yang sudah dewasa dan merasa memiliki kesempatan untuk berbuat sesuatu bagi Tanah Perdikan Menoreh, merasa kehadiran Agung Sedayu itu akan memperkecil arti dirinya. Dengan demikian, maka bersama kawan-kawan dekatnya ia telah berusaha untuk berbuat sesuatu yang menurut mereka, akan membuat Agung Sedayu menjadi jera, atau setidak-tidaknya akan tunduk terhadap kelompok mereka.
Sebenarnyalah bahwa di Tanah Perdikan Menoreh, kelompok yang di pimpin oleh Prastawa itu kurang mendapat tempat dihati rakyat Tanah Perdikan Menoreh. Juga dilingkungan anak-anak mudanya. Tetapi karena kedudukan Prastawa yang dikenal sebagai kemanakan Ki Gede Menoreh, telah membuat sekelompok anak-anak muda itu disegani.
Karena itulah, ketika berita kedatangan Agung Sedayu itu didengar oleh anak muda diseluruh Tanah Perdikan Menoreh, ternyata banyak juga diantara mereka yang merasa bersukur, bahwa akhirnya Agung Sedayu itupun datang. Mereka berharap bahwa Agung Sedayu akan membawa nafas baru dalam kehidupan anak-anak tnuda di Tanah Perdikan Menoreh. Sementara itu, para pemimpin Tanah Perdikan Menoreh telah sepakat untuk memberi arti atas kehadiran Agung Sedayu itu sebagai satu pertanda waktu saja, agar Tanah Perdikan Menoreh terbangun dan bekerja bersama-sama untuk kepentingan Tanah Perdikan mereka. Jika kemudian ternyata Agung Sedayu dapat memberikan arti lebih jauh dari itu, rakyat Tanah Perdikan Menoreh akan berterima kasih kepadanya.
Dalam pada itu, ketika malam turun, maka Agung Sedayu telah menahan dirinya untuk tetap tinggal di rumah Ki Gede. Ia melihat Prastawa dengan beberapa orang anak muda berada di gardu di depan regol. Nampaknya mereka sedang berjaga-jaga sebagaimana seharusnya dilakukan.
"Nampaknya mereka masih tetap giat berjaga-jaga," berkata Agung Sedayu kepada Ki Gede di pagi hari berikutnya.
"Biasanya tidak demikian ngger," jawab Ki Gede, "malam tadi agaknya ada beberapa gardu lain yang juga terisi, ternyata aku mendengar isyarat kentongan di tengah malam dari dua gardu lain."
"Ya," jawab Agung Sedayu, "karena itu aku menyangka, bahwa di malam hari. Tanah Perdikan ini mendapat pengamatan yang baik."
"Hanya semalam saja ngger," jawab Ki Gede, "mudah-mudahan apa yang mereka lakukan semalam akan berkelanjutan di malam-malam mendatang."
Buku 145 AGUNG SEDAYU mengangguk-angguk. Tetapi ia mengerti, bahwa Prastawa ingin menunjukkan kepada Agung Sedayu, bahwa sejak sebelum ia datang, Tanah Perdikan Menoreh telah cukup tenang dan aman karena kegiatan anak-anak mudanya.
Seperti yang dikatakannya, maka setelah makan pagi Agung Sedayu minta diri untuk melihat-lihat Tanah Perdikan Menoreh seorang diri. Ia ingin bertemu dengan anak-anak muda yang pernah dikenalnya sebelumnya.
"Hati-hatilah," berkata Ki Waskita, "dan kau harus menahan diri menghadapi segalanya."
Agung Sedayu tersenyum. Jawabnya, "Aku akan selalu berusaha."
Ki Gedepun kemudian mempersilahkannya, meskipun ia menjadi agak berdebar-debar, justru karena keinginan Agung Sedayu untuk pergi seorang diri.
"Dengan demikian, mungkin ia berusaha untuk memberikan kesan bahwa ia sama sekali tidak ingin bermusuhan atau ingin dibayangi oleh kekuasaan di Tanah Perdikan ini Ki Gede," berkata Ki Waskita.
Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, "Mungkin memang demikian. Jika ia seorang diri, maka agaknya memang tidak akan memancing banyak perhatian atau sikap permusuhan."
Namun ternyata Prastawa bersikap lain. Ketika ia mengetahui bahwa Agung Sedayu berkeliling Tanah Perdikan Menoreh atau sebagian daripadanya seorang diri, maka iapun segera menemui kawan-kawannya.
"Sombong sekali," geram Prastawa.
"Apa yang harus kita lakukan?" bertanya seorang kawannya.
"Satu kesempatan yang baik untuk membuatnya jera," geram Prastawa, "betapapun tinggi ilmunya, justru karena ia murid Kiai Gringsing dan kakak seperguruan Swandaru, namun aku rasa ilmuku masih akan dapat mengimbanginya. Panggil tujuh atau delapan orang terbaik diantara kita. Kita akan memberinya sedikit pelajaran."
Kawan-kawannyapun segera menjalankan segala perintah Prastawa. Bersama tujuh orang Prastawa kemudian berusaha untuk mencegat perjalanan Agung Sedayu itu di tengah-tengah bulak panjang yang sepi.
Sementara itu, sepeninggal Agung Sedayu, Ki Waskita yang memasuki biliknya yang ditempatinya bersama Agung Sedayu, diluar sadarnya telah melihat juntai cambuk Agung Sedayu dibawah pembaringannya. Ketika ia mengambilnya, sebenarnyalah Agung Sedayu memang tidak membawa senjatanya.
"Apa maksudnya," berkata Ki Waskita kepada diri sendiri sambil mengembalikan cambuk itu. Yang kemudian dijawabnya sendiri, "Mungkin ia benar-benar ingin tidak memberikan kesan permusuhan." Namun kemudian, "tetapi bagaimana jika ia bertemu dengan musuh yang sebenarnya, yang mungkin saja memburunya sampai ke Tanah Perdikan ini."
Namun Ki Waskita menjadi agak tenang ketika iapun teringat usaha Agung Sedayu menyempurnakan ilmunya di saat terakhir. Cambuk itu memang sangat berbahaya ditangannya. Namun tanpa cambuk itupun, Agung Sedayu sudah termasuk tataran orang kuat didalam dunia olah kanuragan.
Bahkan Ki Waskitapun kemudian menarik nafas dalam-dalam. Nampaknya Agung Sedayu memang ingin berbuat bijaksana. Bagaimanapun juga ia adalah seorang anak muda yang memiliki indera lengkap, termasuk sentuhan perasaan yang dapat membuatnya marah. Agaknya ia tidak ingin mengotori cambuknya apabila tingkah laku anak-anak muda di Tanah Perdikan Menoreh ini sudah melampaui batas.
Tetapi Ki Waskitapun percaya akan kesabaran Agung Sedayu menghadapi tingkah laku Prastawa dan kawan-kawannya.
Sementara itu, Agung Sedayu mulai menelusuri jalan-jalan padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Ketika di regol padukuhan induk ia bertemu dengan seorang anak muda, maka Agung Sedayupun berhenti.
"He," anak muda itu menyapa, "kau Agung Sedayu."
Agung Sedayu mengangguk. Katanya, "Kau tidak lupa padaku."
"Tentu tidak. Kau sudah beberapa kali berada di Tanah Perdikan ini. Apalagi menurut pendengaranku, kau sekarang akan tinggal disini untuk waktu yang agak lama karena Ki Gede minta kepadamu untuk membantunya," bertanya anak muda itu.
"Ya. Ki Gede minta membantu Prastawa," jawab Agung Sedayu.
Anak muda itu mengerutkan keningnya. Desisnya, "Apakah kau tahu tentang Prastawa ?"
Agung Sedayu menggeleng lemah. Namun jawabnya, "Ia adalah kemanakan Ki Gede."
"Tetapi ia telah salah langkah," jawab anak muda itu, "He, Agung Sedayu, apakah kau masih melihat para pengawal Tanah Perdikan ini sesigap dahulu " Hanya tinggal beberapa orang saja yang masih tetap melakukan tugasnya sebagai pengawal yang langsung ditunjuk oleh Ki Gede. Namun dalam keadaan yang gawat, jumlah itu sama sekali tidak memadai, sementara anak mudanya bersikap acuh tidak acuh saja."
"Dan kau sendiri ?" bertanya Agung Sedayu.
"Aku tidak termasuk sejumlah pengawal yang ditunjuk. Karena itu, aku lebih senang turun kesawah untuk kepentingan keluargaku sendiri," jawab anak muda itu.
"Tetapi sawahpun nampaknya menjadi kering di musim kemarau," gumam Agung Sedayu
"Ya. Tidak ada orang yang bersedia bangkit untuk mengajak kita memperbaiki bendungan yang rusak itu," geram anak muda itu.
"Dan kau ?" bertanya Agung Sedayu.
"Aku tidak berarti apa-apa disini. Suaraku seperti gema yang memantul dilereng bukit. Mengaung sebentar, kemudian hilang ditelan angin." anak muda itu berhenti sejenak, lalu. "he, kau mau kemana Agung Sedayu ?"
"Berkeliling Tanah Perdikan ini, atau jarak yang sempat aku tempuh untuk pagi ini. Aku ingin bertemu dengan kawan-kawan yang pernah aku kenal dan mengenal aku. Tetapi anak-anak muda yang baru tumbuh itu banyak yang tidak aku kenal," jawab Agung Sedayu.
"Tetapi mereka mengenalmu. Anak-anak muda itu mengenal kau seperti mereka mengenal kawannya sendiri," jawab anak muda itu, "kecuali mereka yang terpengaruh oleh Prastawa. Ia tidak suka melihat kedatanganmu. Aku mendengar tentang hal itu."
"Akupun tahu," jawab Agung Sedayu, "tetapi aku ingin membuktikan kepadanya bahwa aku tidak ingin memusuhi siapa saja di Tanah Perdikan Menoreh ini."
Anak muda itu mengangguk-angguk. Katanya, "Mudah-mudahan kau berhasil."
"Kita akan bersama-sama membangunkan Tanah Perdikan yang mulai tertidur ini. Kau setuju ?" bertanya Agung Sedayu tiba-tiba.
"Tentu. Aku setuju. Jika kau minta, aku akan bersedia untuk berbuat apa saja," jawab anak muda itu.
Agung Sedayu tersenyum. Katanya, "Terima kasih. Marilah. Aku akan melanjutkan perjalanan keliling ini. Kau akan pergi ke sawah ?"
"ya," jawab anak muda itu.
Keduanyapun berpisah. Agung Sedayu mulai berjalan lewat bulak pendek diluar padukuhan induk. Ketika ia memasuki padukuhan kecil disebelah padukuhan induk, maka iapun bertemu dengan beberapa orang anak muda yang telah mengenalnya. Dan kesan yang didengarnya-pun serupa dengan anak muda yang ditemuinya di padukuhan induk.
Namun sering kali Agung Sedayu bertemu dengan sekelompok anak muda kawan-kawan Prastawa. Betapa telinga Agung Sedayu menjadi panas, tetapi ia harus menahan hati. Ia sama sekali tidak menanggapi sikap bermusuhan dari anak anak muda itu.
Tetapi sikap anak-anak muda itu, ternyata baru sebagian dari tantangan yang dihadapinya di Tanah Perdikan Menoreh itu. Seperti yang diperhitungkan oleh Prastawa, maka Agung Sedayu telah melampaui padukuhan kecil disebelah padukuhan induk itu, lalu memasuki sebuah bulak panjang yang sepi di pagi hari. Ada satu dua orang yang bekerja di sawah mereka. Namun nampaknya gairah bekerjapun telah menurun karena parit sudah tidak mengantar air melimpah seperti beberapa saat yang lampau, sehingga mereka terpaksa mengatur, giliran untuk mempergunakan air, namun kadang-kadang timbul juga pertengkaran tentang air itu pula.
Demikian Agung Sedayu berjalan di bulak panjang itu, maka Prastawa yang telah menunggunya ditengah-tengah bulak, di sebuah pategalan beberapa langkah dari jalan bulak itu segera bersiap-siap.
"Anak itu lewat," desis seorang kawannya.
"Kita pancing ia berbelok ke pategalan ini," desis Prastawa, "Kita akan mengajarinya sedikit sopan santun disini, agar tidak dilihat orang."
Kawan-kawannya tertawa. "Pergilah salah seorang ketepi jalan bulak itu," perintah Prastawa, "ajaklah ia singgah. Ia tidak akan menolak, justru karena kesombongannya. Ia merasa dirinya demikian penting disini, sehingga setiap orang akan membutuhkannya dan menghormati kedatangannya."
Sebenarnyalah salah seorang anak muda itupun segera menuju ke pinggir jalan bulak yang dilalui oleh Agung Sedayu. Ia tidak perlu bersembunyi atau berpura pura. Ia berdiri saja dipinggir jalan dengan tangan dipinggang.
Agung Sedayu yang berjalan menelusuri bulak itu, untuk pergi kepadukuhan sebelah, melihat juga anak muda itu. Memang terbersit kecurigaannya. Tetapi ia melangkah terus.
Demikian ia sampai didepan anak muda itu. maka iapun berhenti karena anak muda yang bertolak pinggang itu menghentikannya.
"Agung Sedayu," berkata anak muda itu, "aku ingin mengucapkan selamat datang kepadamu."
"Terima kasih," jawab Agung Sedayu sambil mengangguk kecil, "selamat bertemu."
"Ada beberapa orang kawan ingin bertemu denganmu Agung Sedayu," berkata anak muda itu berterus terang, "mereka ingin mengerti, apa maksud kedatanganmu sebenarnya."
"O," Agung Sedayu mengangguk-angguk, "dimana mereka sekarang ?"
"Mereka berada di pategalan itu," jawab anak muda itu.
"Kenapa di pategalan " Sebaiknya aku persilahkan saja kalian pergi ke rumah Ki Gede. Kita akan dapat berbicara panjang lebar," jawab Agung Sedayu.
"Kenapa harus pergi ke rumah Ki Gede?" anak muda itupun justru bertanya, "kau sudah ada disini sekarang. Dan kawan-kawan sudah cukup lama menunggu. Jangan kecewakan mereka. Bukankah kau datang untuk kepentingan mereka ?"
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun akhirnya iapun mengangguk kecil sambil menjawab, "Baiklah. Mungkin aku dapat menjawab beberapa pertanyaan."
"Marilah, ikut aku," ajak anak muda itu.
Agung Sedayupun kemudian mengikutinya. Anak muda itu memang mengumpat didalam hatinya, "Anak ini benar-benar sombong. Kenapa ia bersedia begitu saja ikut aku, meskipun seharusnya ia mencurigai kenapa aku membawanya ke pategalan."
Tetapi anak muda itu mencoba menahan diri, betapa ia merasa muak melihat sikap Agung Sedayu itu.
Ketika mereka memasuki pagar petegalan, maka Agung Sedayupun terkejut ketika ia melihat Prastawa beserta beberapa orang anak muda duduk diantara pepohonan menunggunya. Demikian ia muncul, maka anak anak muda itu tersenyum sambil mengangguk kecil.
"Selamat datang Agung Sedayu," berkata Prastawa sambil tertawa, "aku sudah mengira bahwa kau tidak akan menolak singgah sebentar, karena kau cukup sombong untuk melakukannya."
"Aku tidak mengerti," jawab Agung Sedayu.
"Jangan bohong," jawab Prastawa, "he, kenapa kau menjadi pucat. Bukankah kau sengaja datang dengan dada tengadah dan menunjukkan kepada anak-anak Tanah Perdikan Menoreh, bahwa kau adalah jenis anak muda yang paling baik yang akan dapat merubah Tanah Perdikan ini menjadi sebuah taman impian yang tenang, damai, kaya raya, penuh dengan seribu macam kenikmatan hidup. Sejahtera dan sentausa. Namun juga kuat lahir dan batinnya menghadapi segala macam mara bahaya."
"Ah," desah Agung Sedayu, "jangan berkata begitu. Kau tentu ingat apa yang dikatakan oleh Ki Gede. Kehadiranku sekedar pertanda waktu. Kita akan bangkit bersama-sama untuk membangun Tanah Perdikan ini."
"Kalau demikian kenapa harus kau ?" bertanya Prastawa.
"Adalah kebetulan aku bersedia membantu sementara aku mempunyai kesempatan. Hanya kesempatan, bukan kelebihan apapun yang ada padaku," jawab Agung Sedayu, "jangan salah mengartikan niat Ki Gede memanggil aku. Meskipun Tanah Perdikan ini memiliki anak-anak muda yang baik, lebih baik dari aku, tetapi apa salahnya jika aku mendapat kesempatan untuk sekedar membantu. Mungkin aku dapat berbuat sesuatu yang berarti atau mengusulkan sesuatu yang dapat dipertimbangkan."
"Kau benar benar anak yang sombong," geram Prastawa, "kemari. Mendekatlah."
Agung Sedayu ragu-ragu. Tetapi Prastawa yang duduk diatas sebuah batu itu membentak, "Kemari, mendekat kau dengar ?"
Agung Sedayu menjadi semakin bimbang. Tetapi ia melangkah beberapa langkah mendekati Prastawa.
Tiba-tiba saja Prastawa tertawa. Diantara derai tertawanya ia berkata, "Kenapa kau gemetar he, anak kekasih para malaikat. Dahulu aku pernah kau katakan, kau ingat " Tetapi waktu itu aku adalah anak ingusan yang tidak tahu arti unsur gerak apapun juga. Sekarang kau jangan bermimpi dapat mengalahkan murid Ki Gede Menoreh yang terpercaya. Karena itu, cepat, duduk dihadapanku. Duduk kau dengar " Cepat."
Agung Sedayu masih tetap dicengkam oleh kebimbangan. Namun sekali lagi ia mendengar Prastawa berteriak, "Duduk, cepat."
Agung Sedayu tidak membantah. Iapun kemudian duduk didepan Prastawa yang sudah duduk diatas sebuah batu. Sementara itu, kawan-kawan Prastawapun telah duduk memutarinya.
"Bagus," berkata Prastawa, "disini agak lain dengan di rumah paman Argapati. Disana kau terlalu dimanjakan, tetapi disini kau harus melihat kenyataan, dengan siapa kau berhadapan."
"Aku tidak tahu maksudmu Prastawa," desis Agung Sedayu.
Prastawa tertawa berkepanjangan. Katanya, "Kau pucat, gemetar, tetapi lebih dari segala itu, kesombonganmu telah larut hanyut oleh sifat pengecutmu yang sebenarnya. Jangan menangis anak manis. He, kenapa kau menangis ?"
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sikap itu agak keterlaluan. Tetapi ia masih berusaha untuk menahan diri.
"Agung Sedayu," berkata Prastawa kemudian, "kini kau baru berhadapan dengan kurang dari sepuluh orang anak muda di Tanah Perdikan Menoreh. Kau sudah menjadi pucat, gemetar dan bahkan menangis. Bagaimana kau dapat menghadapi seluruh anak muda di Tanah Perdikan ini."
"Kau memakai istilah yang keliru Prastawa," jawab Agung Sedayu, "apakah yang kau maksud dengan menghadapi ?"
Prastawa memandang Agung Sedayu dengan tajamnya. Namun kemudian dengan lantang ia berkata, "Kau sudah menantang kami, anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh dengan kesombonganmu. Seolah-olah kami tidak akan mampu berbuat bagi kepentingan kami di Tanah Perdikan ini, sehingga kau perlu datang kemari untuk menyelamatkan kami."
"Aku sama sekali tidak bermaksud demikian," jawab Agung Sedayu, "sudah berkali-kali aku katakan. Aku sekedar pertanda waktu kebangkitan dari Tanah Perdikan ini seperti yang dikehendaki oleh Ki Gede. Aku sendiri tidak banyak berarti. Tetapi bahwa rakyat Tanah Perdikan ini bersama-sama bangkit untuk membangun kembali Tanah Perdikan ini, itulah yang akan berarti bagi Tanah Perdikan ini."
"Kau memang pandai memutar balikkan kata-kata untuk sekali-kali. menutupi kesombonganmu. Tetapi di saat lain, dengan mengolah kata-kata yang sama, kau menunjukkan bahwa seolah-olah hanya kaulah manusia yang memiliki kemampuan untuk membangun Tanah ini," geram Prastawa.
"Jangan salah mengerti Prastawa," jawab Agung Sedayu, "aku sama sekali tidak bermaksud demikian."
Tetapi Prastawa tidak menghiraukannya. Tiba-tiba saja ia berdiri sambil bertolak pinggang. Katanya, "Agung Sedayu, kau harus berani menunjukkan kepada kami, bahwa kau benar-benar mempunyai arti bagi Tanah Perdikan ini. Nah, apa yang dapat kau lakukan terhadap kami. Bukan kami bersama-sama, tetapi kami seorang demi seorang. Aku tahu, kau adalah murid Kiai Gringsing. Tetapi aku adalah murid Ki Gede Menoreh."
"Jangan terlalu jauh menanggapi kehadiranku disini Prastawa," berkata Agung Sedayu, "anggap saja aku datang untuk membantu apa yang kalian lakukan. Aku hanya seorang. Jika aku memang tidak berarti apa-apa, biarlah aku tidak berarti menurut pendapatmu. Tetapi jangan dihadapkan kepada cara seperti ini."
"Persetan," geram Prastawa, "ayo berdiri. Berdirilah."
Agung Sedayu masih tetap duduk, meskipun anak-anak muda kawan Prastawa itu sudah berdiri.
"Berdirilah," bentak Prastawa.
Namun demikian Agung Sedayu berdiri, tiba-tiba saja Prastawa telah memukul perut Agung Sedayu dengan sekuat-kuatnya.
Yang terdengar adalah keluhan tertahan. Agung Sedayu terbungkuk oleh pukulan itu. Dalam pada itu, satu pukulan yang keras telah mengenai tengkuknya. Sisi telapak tangan Prastawa telah mendorong Agung Sedayu tertelungkup, meskipun ia mencoba bertahan pada kedua tangannya.
"Bangunlah, bangunlah anak perkasa," geram Prastawa, "ayo bangkitlah agar kau tidak mati terinjak-injak disini."
Perlahan-lahan Agung Sedayu mencoba untuk bangkit. Namun dengan kerasnya Prastawa telah menendangnya tepat pada perutnya pula, sehingga Agung Sedayu terjatuh pula.
Demikian Agung Sedayu menyeringai menahan sakit, maka terdengar Prastawapun tertawa. Kawan-kawannya yang menegang, tiba-tiba telah ikut tertawa pula berkepanjangan.
Adalah diluar dugaan, bahwa tiba-tiba saja Prastawa itupun berkata, "marilah anak-anak, berbuatlah sesuatu. Ternyata kulitnya tidak sekeras kulit buaya seperti yang aku duga, tetapi kulitnya hanyalah selunak kulit kelinci."
Anak-anak muda itu menjadi ragu-ragu. Tetapi ketika sekali lagi Prastawa memukul Agung Sydayu, maka anak-anak muda itupun ikut pula memukulnya beramai-ramai. Bahkan kemudian merekapun saling berebutan memukul Agung Sedayu yang berdiri tertatih-tatih.
Dalam pada itu, jantung Agung Sedayu rasa-rasanya telah terbakar oleh kemarahan atas sikap itu. Tetapi ia sudah berjanji untuk menahan diri dan tidak memusuhi anak-anak Tanah Perdikan Menoreh. Karena itu, maka iapun berusaha untuk mengekang diri tanpa membalas sama sekali.
Sementara itu, anak-anak Tanah Perdikan Menoreh yang berada di pategalan bersama Prastawa itupun telah berbuat sesuka hati mereka. Mereka memukul, menendang, menghantam dengan siku, dengan lutut dan dengan apa saja.
Prastawa yang justru tidak berbuat sesuatu lagi. dan berdiri selangkah dari anak-anak muda yang mengerumuni Agung Sedayu itu justru menjadi jengkel. Ia masih melihat Agung Sedayu tetap berdiri meskipun kawan-kawannya telah memukulinya.
"Minggir," teriak Prastawa kemudian, "aku akan membuatnya jatuh mencium tanah. Tanah yang sama-sama kita hormati dari Tanah Perdikan ini."
Suaranya yang menggelegar itu telah menyibakkan kawan-kawannya, sehingga kemudian Prastawa berdiri berhadapan dengan Agung Sedayu yang masih tetap berdiri tegak.
"Gila," geram Prastawa, "kau mulai mencoba menakut-nakuti anak-anak ini dengan daya tahanmu yang luar biasa ?"
Agung Sedayu sudah menggerakkan mulutnya untuk menjawab. Tetapi Prastawa telah mendahuluinya. Sekali lagi ia menghantam perut Agung Sedayu. Tidak hanya dengan tangannya, tetapi dengan tumit kakinya.
Agung Sedayu bergeser setapak surut. Tetapi ia masih tetap berdiri saja meskipun ia memegangi perutnya yang dihantam oleh kaki Prastawa.
Melihat sikap Agung Sedayu, Prastawa menjadi semakin marah. Sekali lagi ia menghantam dengan kakinya, justru pada dada. Namun seperti semula, Agung Sedayu hanya bergeser saja setapak surut.
"Gila," geram Prastawa, "Kita harus menjatuhkannya. Kita harus membuatnya jatuh terbujur ditanah. Kita bersama-sama."
Sekali lagi anak-anak muda itu berebutan menghantam Agung Sedayu dengan sekuat tenaganya, termasuk Prastawa sendiri. Tetapi Agung Sedayu masih tetap berdiri tegak. Bahkan kadang-kadang terdengar giginya gemeretak menahan kemarahan yang hampir tidak terkendali lagi. Namun demikian, ia masih tetap berusaha untuk tidak melawan dengan terang-terangan, meskipun sikapnya itupun sudah cukup memberikan perlawanan. Justru kediamannya itu, tetapi ia tetap berdiri tegak dan tidak tergoyahkan.
Karena sebenarnyalah, pukulan-pukulan itu tidak berarti apa-apa bagi kekebalan tubuh Agung Sedayu.
Namun dengan demikian, Prastawa dan kawan-kawannya itu bagaikan menjadi gila. Mereka benar-benar kehilangan pengekangan diri. Mereka menghantam Agung Sedayu dengan segenap kekuatan mereka pada tubuh Agung Sedayu tanpa memilih.
Dalam pada itu, barulah Agung Sedayu sadar, bahwa iapun telah hanyut kedalam arus perasaan mudanya. Seharusnya ia tidak bersikap demikian, sehingga membuat anak-anak itu bagaikan menjadi gila.
"Aku harus jatuh," berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri, "jika tidak, maka anak-anak ini akan benar-benar menjadi gila dan kehilangan pengamatan diri."
Karena itu, untuk memberikan kepuasan kepada anak-anak itu, tiba-tiba saja kaki Agung Sedayu menjadi goyah. Perlahan-lahan ia menjadi gontai. Akhirnya Agung Sedayu itupun jatuh pada lututnya.
"Rasakan," geram Prastawa sambil menghantam dagu Agung Sedayu sehingga wajahnya terangkat. Tetapi pada saat itu dihantamnya kening Agung Sedayu dengan sekuat tenaganya, sehingga wajah yang terangkat itupun bagaikan diputar kesamping. Sehingga Agung Sedayupun bagaikan terputar pula dan jatuh ditanah.
Demikian Agung Sedayu terbujur ditanah, Prastawa menarik nafas dalam-dalam sambil berdiri bertolak pinggang, "Nah, kau harus merasai, apa yang dapat kami lakukan atasmu."
Agung Sedayu sama sekali tidak menjawab. Wajahnya tertelungkup dibayangi oleh kedua tangannya yang bersilang didahinya.
"Agung Sedayu," Prastawa mengguncang tubuh itu dengan kakinya, "kali ini kami hanya ingin memberikan sedikit peringatan. Ada dua kemungkinan yang dapat kau tempuh. Pergi dari Tanah Perdikan ini, atau tunduk kepada segala perintahku. Jika tidak, maka pada saat lain jika dapat berbuat lebih banyak lagi."
Agung Sedayu tidak menjawab. Bahkan salah seorang dari anak muda itu berdesis, "Apakah ia mati ?"
"Jika ia mati, akan kami kuburkan di pategalan ini," geram yang lain.
Tetapi anak-anak itu menjadi gelisah. Namun Prastawa dengan kasar telah membalikkan tubuh Agung Sedayu dengan kakinya.
"Ia masih bernafas," geram Prastawa, "marilah kita pergi. Jika sehari ini ia tidak datang ke rumah paman, maka ia mati disini. Dan kita harus mengambil langkah-langkah." lalu katanya kepada Agung Sedayu, "kau jangan mengadukan hal ini kepada paman, jika kau tidak ingin hal serupa ini terulang, jauh lebih parah bagimu sendiri."
Prastawa tidak menghiraukannya lagi. Iapun segera melangkah pergi. Diikuti oleh beberapa orang kawan-kawannya itu.
Namun ternyata seorang diantara mereka telah datang kembali dengan tergesa-gesa sambil membawa air di tudung kepalanya. Untunglah bahwa Agung Sedayu masih terbaring ditanah. Ia merasa anak muda itu mengusap wajahnya dengan air yang segar.
"Bangunlah. Jangan mati," desis anak muda itu.
Agung Sedayu membuka matanya. Ia melihat wajah anak muda itu. Nampaknya iapun menjadi gembira melihat Agung Sedayu membuka matanya. Namun ia tidak menunggu terlalu lama. Iapun segera bangkit dan pergi menyusul kawan-kawannya.
Sepeninggal anak muda itu. Agung Sedayu masih berbaring beberapa saat. Bukan karena badannya menjadi sakit. Ia tidak merasakan apapun juga, karena ia telah melindungi dirinya dengan ilmunya, bahkan pukulan-pukulan itu menggetarkan kulitnyapun tidak. Tetapi rasa-rasanya ia masih ingin merenungi tingkah laku anak-anak muda itu beberapa saat ditempatnya.
Namun akhirnya iapun bangkit. Dikibaskannya pakaiannya yang menjadi kotor. Ia tidak mau mengejutkan pemilik pategalan itu, jika tiba-tiba saja orang itu datang.
Setelah membenahi dirinya, maka Agung Sedayupun segera keluar dari pategalan itu, meneruskan langkahnya. Tetapi karena pakaiannya yang menjadi kotor, iapun kemudian berbelok memintas jalan sempit ditengah bulak menuju kembali keinduk padukuhan di Tanah Perdikan Menoreh.
Ia masih bertemu beberapa orang anak-anak muda sebayanya yang masih mengenalnya. Seperti sebelumnya sebagian besar dari mereka menyambut kedatangan Agung Sedayu dengan senang hati.
"Kenapa pakaianmu ?" bertanya seorang anak muda.
"Aku tergelincir di tepi parit diujung galengan," jawab Agung Sedayu.
Nampaknya kau jarang berjalan di jalan-jalan sempit diantara air dan lumpur," berkata anak muda itu sambil tertawa.
"Tidak. Di Sangkal Putung, akupun setiap hari bergulat dengan lumpur. Tetapi sekali-sekali akupun tergelincir juga seperti sekarang ini," jawab Agung Sedayu.
Anak muda itu tertawa. Lalu iapun bertanya, "Sekarang kau akan kemana ?"
"Kembali ke induk padukuhan," jawab Agung Sedayu.
"O, kau memang memilih jalan memintas ini " Baik. Biasakan berjalan di jalan-jalan sempit seperti ini. Sayang, parit-parit sebagian menjadi kering, sehingga kesempatanmu tergelincir menjadi lebih kecil." anak muda itu bergurau.
Agung Sedayupun tertawa. Katanya, "Terima kasih. Asal bukan dengan sengaja kau siram aku dengan lumpur."
Anak muda itupun tertawa. Lalu katanya, "Kapan kita bertemu dan berbicara tentang diri kita. Maksudku, diri kami, anak-anak muda di Tanah Perdikan Menoreh. Juga tentang pengawal Tanah Perdikan dan tentang parit-parit."
"Aku akan datang. He, bukankah gardu-gardu masih dapat dipergunakan ?" bertanya Agung Sedayu.
"Gardu disudut padukuhanku itu sudah rusak," jawab anak muda itu.
"Kenapa tidak kau perbaiki ?" bertanya Agung Sedayu.
"Lain kali, aku akan memperbaikinya," jawab anak muda itu.
Agung Sedayupun meninggalkannya. Setiap kali ia sempat bertanya tentang gardu. Tentang bambu yang dapat diambil disetiap sudut pekarangan. Tali ijuk yang dapat dibeli disembarang tempat.
"Apa sulitnya memperbaiki gardu " " Agung Sedayu selalu bertanya kepada anak-anak muda itu tentang gardu.
Ketika Agung Sedayu kemudian sampai di padukuhan induk, ia melihat sekelompok anak-anak muda kawan-kawan Prastawa itu menunggunya di depan regol rumah Ki Gede Menoreh. Ketika mereka mehhat Agung Sedayu mendekat, maka merekapun saling berbicara. Seorang diatara mereka masuk ke halaman untuk memberitahukan kehadiran Agung Sedayu itu kepada Prastawa.
"Anak itu tidak mati," geram Prastawa, "akupun sudah menjadi berdebar-debar. Jika ia mati, paman tentu akan marah sekali. Untunglah kita masih dapat bersabar dan menahan hati, sehingga kita masih sempat membiarkannya tetap hidup."
Prastawapun kemudian pergi ke regol juga. Dipandanginya Agung Sedayu yang berjalan menuju keregol. Sambil mengerutkan keningnya ia berdesis, "Tidak nampak bekas-bekasnya sama sekali, bahwa ia baru saja mengalami perlakuan yang dapat membuatnya jera. Ia berjalan seperti biasa. Masih juga dengan mengangkat dada penuh kesombongan."
Agung Sedayu yang juga melihat anak-anak itu menjadi berdebar-debar pula. Apalagi yang akan diperbuat oleh anak-anak itu.
"Tetapi mereka tidak akan berbuat apa-apa di hadapan Ki Gede Menoreh," berkata Agung Sedayu didalam hatinya.
Dalam pada itu, semakin lama Agung Sedayupun menjadi semakin dekat. Prastawa dan kawan-kawannya menjadi semakin heran. Sama sekali tidak nampak bekas-bekas peristiwa yang terjadi di pategalan. Kening Agung Sedayu tidak menjadi biru kemerah-merahan, langkahnya, sikapnya, tidak menunjukkan sama sekali, bahwa ia baru saja mengalami perlakuan yang kasar.
"Anak iblis," geram Prastawa. Namun katanya kemudian, "Ia berhasil menahan kesakitannya. Dengan sombong ia berusaha untuk nampak tetap segar. Tetapi sebentar lagi ia akan menangis di biliknya."
Kawan-kawannya hanya mengangguk-angguk saja.
Sementara itu. Agung Sedayu telah sampai ke regol halaman. Prastawa yang berdiri di pintu regol menghentikan langkahnya.
Sambil memandang Agung Sedayu dengan tajam Prastawa itupun berkata, "He, anak iblis. Ingat. Jangan kau katakan apapun yang terjadi atasmu, agar kau tidak mati di pategalan di kesempatan lain."
Agung Sedayu mengangguk perlahan. Namun sementara itu, Prastawa masih terheran-heran bahwa tidak ada bekasnya sama sekali pada tubuh Agung Sedayu tetap bersih. Hanya pakaiannya sajalah yang kotor.
"Apa yang akan kau katakan tentang pakaianmu yang kotor?" bertanya Prastawa kemudian.
"Apa saja. Tergelincir di pinggir parit barangkali," jawab Agung Sedayu.
"Paman tidak akan percaya. Cari alasan yang lebih baik," bentak Prastawa.
"Tolong, apa yang sebaiknya aku katakan kepada Ki Gede," bertanya Agung Sedayu.
"Gila," Prastawa menggeram, "jika kau tidak berada didepan regol rumah paman, aku sobek mulutmu. Sudah tentu kaulah yang harus mancari alasan, bukan aku."
Agung Sedayu menarik nafas dalam. Lalu katanya, "Katau begitu, aku akan langsung menuju kebilikku, agar aku sempat membenahi pakaianku. Dengan demikian aku tidak akan mendapat pertanyaan yang sulit aku jawab."
"Pergilah anak iblis," gigi Prastawa gemeretak. Sementara Agung Sedayupun melangkah memasuki regol dan seperti yang dikatakannya, iapun langsung menuju kegandok.
Sepeninggal Agung Sedayu, Prastawa bergumam diantara kawan-kawannya, "Ia sudah menjadi semakin jinak. Aku kira ia akan benar-benar menjadi jera. Jika ia tidak meninggalkan Tanah Perdikan ini, tentu ia tidak akan berani berbuat apa-apa lagi disini, sehingga usaha paman memanggilnya kemari, tidak akan berarti apa-apa. Kita, anak-anak Tanah Perdikan inipun tidak akan tercoreng orang karena kehadiran orang lain. Seolah-olah kita sendiri tidak mampu berbuat apa-apa."
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Namun satu dua orang diantara mereka mulai dijalari oleh berbagai pertanyaan. Mereka melihat, bagaimana Prastawa dan diri mereka sendiri telah menyakiti Agung Sedayu, namun nampaknya Agung Sedayu itu sama sekali tidak mengalami kesakitan apapun juga. Atau seandainya ia mengalami kesakitan, maka dalam sekejap, ia telah dapat melupakannya.
Namun Prastawa yang agaknya melihat keheranan di wajah kawan-kawannya itu berkata, "Untung aku tidak lupa diri, sehingga aku benar-benar menyakitinya. Jika aku menjadi kemuriten, dan tidak lagi dapat menahan diri, maka aku kira, wajahnya akan menjadi biru pengab. Tetapi jika demikian, apa yang dapat dikatakannya kepada paman Argapati?"
Kawan-kawannya mengangguk angguk. Ada juga yang terpengaruh oleh kata-kata itu. Tetapi masih ada satu dua yang ragu-ragu. Mereka melihat, betapa Prastawa sudah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Jika yang mengalami perlakuan itu adalah orang-orang kebanyakan, maka ia tidak akan dapat bangkit untuk sepekan.
Dalam pada itu. Agung Sedayu yang langsung masuk kedalam biliknya itupun.telah membenahi pakaiannya. Yang kotor dilepasnya, dan iapun telah mengenakan pakaian yang dipakainya dan berada diserambi, maka sama sekali tidak ada bekas apapun juga yang dapat memancing pertanyaan kepadanya.
Namun agaknya Ki Gede sedang sibuk didalam rumahnya dengan Ki Waskita. Karena itu, maka mereka tidak melihat kedatangan Agung Sedayu yang langsung menuju ke biliknya. Baru kemudian, ketika keduanya mendengar bahwa Agung Sedayu telah datang, maka anak muda itu telah mereka panggil masuk keruang dalam. Namun demikian Agung Sedayu melihat, tatapan wajah Prastawa masih saja mengancamnya.
Ketika kemudian Agung Sedayu duduk bersama Ki Gede Menoreh dan Ki Waskita, maka iapun mulai berceritera tentang apa yang dilihatnya di Tanah Perdikan Menoreh.
"Meskipun aku belum melihat seluruhnya, tetapi aku sudah melihat cukup banyak," berkata Agung Sedayu.
"Itulah keadaan Tanah Perdikan ini Agung Sedayu," berkata Ki Gede, "Tidak ada lagi yang dapat diharapkan. Mudah-mudahan kau dapat membantu kami. Kedatanganmu akan dapat membangunkan mereka yang sedang tertidur nyenyak."
Agung Sedayu, mengangguk-angguk. Sebenarnyalah Tanah Perdikan itu perlu diguncang dengan kejutan-kejutan agar anak-anak mudanya bangkit bagi Tanah Perdikannya.
Namun dalam pada itu, Agung Sedayu sama sekali tidak menyinggung tentang tingkah laku Prastawa yang berusaha menyakitinya. Ia berniat hal-hal seperti itu akan dapat diatasinya sendiri.
Bahkan Agung Sedayupun kemudian berkata kepada Ki Gede, "Aku ingin melihat kehidupan Tanah Perdikan ini di malam hari."
"Silahkan," berkata Ki Gede, "apa yang kau anggap penting untuk dilihat, lihatlah jika itu akan dapat menjadi bahan langkah-langkah yang kau ambil."
Hari itu Agung Sedayu belum dapat mengatakan apa-apa kepada Ki Gede. Dan Ki Gedepun tahu, bahwa Agung Sedayu memerlukan waktu untuk melihat-lihat keadaan Tanah Perdikan Menoreh. Baru beberapa hari kemudian Agung Sedayu akan dapat mengajukan pendapat-pendapatnya yang mungkin bermanfaat bagi Tanah Perdikan itu.
Namun dalam pada itu, ketika Agung Sedayu dan Ki Waskita berada didalam bilik mereka, barulah anak muda itu menceriterakan apa yang telah dialaminya.
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku sudah menduga."
"Tetapi biarlah paman. Aku akan mencari cara untuk mengatasinya. Memang mungkin pada. suatu hari aku terpaksa menyombongkan diri. Bukan sekedar menyombongkan diri, namun aku berharap bahwa dengan demikian kehadiranku disini ada gunanya," berkata Agung Sedayu.
"Memang mungkin sekali," desis Ki Waskita, "tetapi kau harus memperhitungkan waktu dan keadaan. Jika dengan langkah itu kau justru dimusuhi oleh anak-anak muda Tanah ini, maka kau harus menghindarinya."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Benar Ki Waskita. Mudah-mudahan aku dapat memperhitungkan waktu keadaan itu."
Demikianlah, seperti yang sudah direncanakan. Agung Sedayu benar-benar ingin melihat keadaan Tanah Perdikan Menoreh di malam hari. Kepada Ki Gede ia berkata, "Aku akan pergi pada saat yang aku anggap tepat Ki Gede. Mungkin menjelang malam, mungkin tengah malam atau justru dini hari."
"Terserah kepadamu. Tetapi jika kau perlu, kau dapat mengajak Prastawa dan dua atau tiga orang pengawal," berkata Ki Gede.
"Terima kasih Ki Gede," jawab Agung Sedayu. "Aku masih tetap ingin pergi seorang diri. Aku akan dapat bebas menentukan apa yang akan aku lihat dan apa yang akan aku perbuat."
Ki Gede yang sudah mempercayai Agung Sedayu itupun sama sekali tidak berkeberatan apapun yang akan dilakukan. Karena itu, maka iapun menyerahkan segala kebijaksanaan kepada anak muda itu.
Karena itu, maka ketika malam turun, Agung Sedayu dan Ki Waskita telah berada didalam biliknya. Agaknya Agung Sedayu mencoba menjelaskan rencananya kepada Ki Waskita untuk mulai menggelitik hati anak-anak muda di padukuhan-padukuhan.
"Aku akan memukul kentongan yang masih tersisa di gardu-gardu," berkata Agung Sedayu, "mudah-mudahan suaranya akan menimbulkan pertanyaan, siapakah yang membunyikannya, akan memancing keinginan mereka untuk melihat, dan barangkali mengenang serba sedikit tentang gardu dan kentongan."
"Tetapi gardu-gardu itu sudah rusak. Tidak lagi ada kentongan di gardu-gardu yang rusak itu," berkata Ki Waskita.
"Jika demikian, aku akan membawa kentongan yang tergantung di serambi gandok itu. Meskipun kentongan itu kecil, tetapi suaranya cukup keras untuk membangunkan beberapa rumah diseputar gardu-gardu itu."
"Kau dapat mencobanya," berkata Ki Waskita, "mungkin besok atau lusa kau menemukan cara lain yang lebih langsung."
"Ya. Mudah-mudahan. Tetapi aku masih harus selalu memperhitungkan sikap Prastawa. Karena itu, nanti aku akan keluar dari halaman ini. tidak melalui regol depan," berkata Agung Sedayu.
"Melalui butulan?" bertanya Ki Waskita.
"Juga tidak. Mungkin Prastawa meletakkan orang-orangnya disemua jalan keluar," jawab Agung Sedayu, "karena itu, aku akan meloncati dinding saja. Demikian pula jika aku nanti kembali."
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Tetapi agaknya cara itu lebih baik dilakukan oleh Agung Sedayu untuk menghindarkan diri dari kemungkinan-kemungkinan buruk menghadapi Prastawa, justru karena Agung Sedayu sendiri masih muda pula, sehingga apabila darahnya tidak lagi dapat terkekang, maka anak itu akan dapat meledak. Jika Agung Sedayu marah, maka siapapun juga tidak akan berarti apa-apa baginya.
Demikianlah, maka seperti yang direncanakan ketika malam menjadi semakin sepi. Agung Sedayu telah bersiap-siap untuk pergi meninggalkan Ki Waskita dalam biliknya. Namun Ki Waskita masih juga berpesan, agar ia berbuat dengan sangat berhati-hati.
"Nampaknya Prastawa ada di regol bersama kawan-kawannya," berkata Ki Waskita.
"Ya. Aku kira Prastawa masih tetap mencurigai aku meskipun ia sudah mengancam beberapa kali," berkata Agung Sedayu.
Karena itu, maka yang dilakukannya kemudian sama sekali tidak diketahui oleh Prastawa. Dengan hati-hati Agung Sedayu mengambil kentongan kecil diserambi. Kemudian membawa kentongan itu keluar dari halaman dengan meloncat dinding.
Ketika Agung Sedayu sudah berada diluar dinding halaman rumah Ki Gede, maka iapun menarik nafas dalam-dalam. Jalan sempit disebelah rumah Ki Gede itu rasa-rasanya sepi sekali. Bahkan jalan yang lebih besar di depan rumah itupun juga nampak sangat sepi.
Agung Sedayu kemudian melangkah menyelusuri jalan kecil itu. Ia tidak akan berbuat apa-apa di padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh itu agar tidak menarik perhatian Prastawa. Agaknya seperti malam sebelumnya, Prastawa dan kawan-kawannya yang berada diregol, akan membunyikan kentongan pula pada saat-saat tertentu menjelang tengah malam. Kemudian tepat ditengah malam, Prastawa akan membunyikan kentongan dengan irama dara muluk.
Setelah lewat jalan sempit beberapa lama, maka Agung Sedayupun sampai ke jalan induk. Ia mengerti, bahwa di regol padukuhan induk itupun tidak ada orang yang berjaga-jaga. Karena itu, maka dengan tenang Agung Sedayu berjalan terus.
Meskipun demikian, mendekati regol ia merasa perlu untuk berhati-hati. Seandainya secara kebetulan ada orang digardu. Namun ternyata gardu diregol yang sudah hampir rusak itupun sepi.
Diluar regol padukuhan induk, Agung Sedayu berjalan semakin tenang. Seandainya ia bertemu dengan satu dua orang petani yang terpaksa pergi kesawah untuk menyadap air yang menjadi semakin sulit, maka ia tentu akan dapat melihatnya lebih dahulu, sehingga ia akan sempat menghindar agar tidak seorangpun yang mengetahui bahwa ia berkeliaran di malam hari di Tanah Perdikan Menoreh.
Seperti yang direncanakan. Agung Sedayu pergi dari padukuhan yang satu ke padukuhan yang lain. Ternyata padukuhan-padukuhan itu benar-benar sepi. Anak-anak mudanya lebih senang tidur dirumah masing-masing. Tidak ada pengawal yang bertugas di gardu gardu secara bergiliran. Apalagi yang meronda nganglang dari padukuhan yang satu kepadukuhan yang lain.
"Benar-benar satu kemunduran," desis Agung Sedayu. Namun agaknya Prastawa tidak mau mengerti. Pada dasarnya tanah yang subur, kebutuhan yang tercukupi, membuat Tanah Perdikan itu kurang berprihatin.
Ketika Agung Sedayu sampai disebuah padukuhan kecil dan menemukan gardunya yang sudah rusak, maka timbul niatnya untuk menarik perhatian beberapa orang penghuni padukuhan itu, terutama anak-anak mudanya.
"Mudah-mudahan suara kentongan akan dapat memberikan sedikitnya satu kenangan pada masa-masa lampau dari Tanah Perdikan ini," berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri.
Sejenak Agung Sedayu termangu-mangu. Namun akhirnya. Agung Sedayu telah memukul kentongan kecilnya. Meskipun kentongan itu memang sebuah kentongan kecil, namun suaranya cukup keras melengking dimalam yang sepi.
Sebenarnyalah seperti yang dimaksud oleh Agung Sedayu, suara kentongannya memang menarik perhatian.
06 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Meskipun tidak banyak, tetapi ada beberapa orang laki-laki dan anak-anak muda yang mendengar kentongan melengking di malam hari. Sudah lama mereka tidak mendengar suara kentongan. Karena itu suara kentongan itu rasa-rasanya bagaikan lagu lama yang sudah tidak pernah lagi didendangkan, tiba-tiba saja mereka telah mendengarnya dalam irama yang sudah mereka kenal dengan baik.
Karena itu, maka suara kentongan itu mendapat perhatian yang khusus dari anak-anak muda di padukuhan itu. Meskipun mereka tidak langsung keluar dari rumah mereka, namun suara itu telah menggelitik hatinya untuk bertanya diantara mereka, siapakah yang telah memukul kentongan itu.
Ternyata Agung Sedayu tidak hanya melakukan di satu tempat. Ia memukul kentongan dibeberapa sudut padukuhan dan regol yang sepi. Di gardu-gardu yang rusak dan tidak lagi dipergunakan. Bahkan di simpang empat didalam padukuhan-padukuhan kecil.
Tetapi karena kentongan Agung Sedayu memang hanya sebuah kentongan kecil, maka suaranya tak terdengar sampai ke padukuhan induk. Sehingga karena itu, maka Prastawa dan kawan-kawannya sama sekali tidak mendengarnya.
Malam itu. Agung Sedayu telah berhasil menggelitik hati anak-anak muda dibeberapa padukuhan kecil. Ketika ia sudah merasa cukup, maka iapun segera kembali ke padukuhan induk. Dengan cara yang sama seperti saat ia memnggalkan rumah Ki Gede, maka iapun telah masuk kembali. Dengan hati-hati ia menggantungkan kentongan ditempatnya semula. Tanpa diketahui oleh Prastawa dan kawan-kawannya, Agung Sedayu telah masuk kembali kedalam biliknya di gandok.
Ternyata Ki Waskita masih belum tidur. Justru dengan pendengarannya yang tajam, ia mendengar kedatangan Agung Sedayu mendekati pintu. Karena itulah, sebelum Agung Sedayu mengetuknya, Ki Waskita sudah membukanya.
Dengan singkat Agung Sedayu menceriterakan apa yang sudah dilakukannya. Meskipun Agung Sedayu sendiri tidak yakin, apakah ada gunanya.
Namun sebenarnyalah, ketika fajar menyingsing, dan padukuhan-padukuhan itu mulai bangun. Beberapa orang anak muda yang bertemu di pinggir jalan ketika mereka pergi ke sungai, saling bertanya yang satu dengan yang lain.
"Aneh," berkata seorang anak muda, "gardu itu tidak lagi mempunyai kentongan."
Tetapi ternyata ada dugaan yang justru bertentangan dengan maksud Agung Sedayu. Seorang anak muda bertubuh kurus berdesis, "Mungkin di padukuhan ini ada hantunya sekarang."
"Ah," sahut kawannya, "ada hantu memukul kentongan ?"
"Kentongannyapun tidak ada. He, jika bukan hantu kentongan manakah yang berbunyi semalam " Kentongan diserambi rumahku suaranya tidak seperti itu. Yang aku dengar semalam adalah suara kentongan bambu yang tidak cukup besar."
"Ya, memang hanya kentongan kecil. Tetapi aku kira bukan hantu. Tetapi aku tidak dapat menyebutnya, siapa," jawab yang lain.
Namun bagaimanapun juga, suara kentongan itu telah menjadi bahan pembicaraan beberapa orang anak muda di beberapa padukuhan yang sempat di kunjungi oleh Agung Sedayu semalam. Agaknya dengan demikian maka sebagian dari maksud Agung Sedayu sudah dapat terpenuhi. Dengan membicarakan suara kentongan, maka anak-anak muda itupun mulai berbicara pula tentang gardu-gardu yang rusak.
"Dengar," tiba-tiba seorang anak muda berkata, "kemarin aku bertemu dengan Agung Sedayu."
"Agung Sedayu," desis kawannya, "maksudmu Agung Sedayu dari Jati Anom yang datang bersama Ki Gede ?"
"Ya. Kemarin aku bertemu dengan anak muda itu di bulak sebelah. Pakaiannya kotor, karena menurut keterangannya ia tergelincir jatuh diujung jalan sempit itu," jawab anak muda yang pertama.
"Bagaimana dengan Agung Sedayu ?" bertanya kawannya.
"Entahlah, tetapi kenapa aku tiba-tba saja menghubungkan suara kentongan dengan Agung Sedayu."
"Ia kemarin bertanya kepadaku tentang gardu yang rusak."
"Bahkan ia menyebut-nyebut tentang rumpun-rumpun bambu yang banyak terdapat dipadukuhan kita. Dan iapun berbicara tentang tali ijuk yang sangat murah harganya."
"Apakah maksudnya agar kita memperbaiki gardu-gardu yang rusak itu ?" bertanya kawannya.
" Mungkin," jawab yang pertama.
"Buat apa " Kita tidak memerlukannya lagi." sahut yang lain.
"Tetapi kawan-kawannya ternyata terpaksa merenungi kata-kata itu. Apakah benar bahwa mereka tidak memerlukan lagi."
Meskipun anak-anak muda itu tidak mengambil kesimpulan, namun mereka mulai merenunginya. Mereka mulai mengingat-ingat, apa saja yang pernah terjadi pada saat-saat terakhir, setelah mereka menganggap bahwa gardu-gardu itu sama sekali tidak berarti lagi.
Seperti daerah-daerah yang lain, maka Tanah Perdikan Menoreh tidak bersih sama sekali dari kejahatan. Pencurian dan perampokan-perampokan kecil memang pernah terjadi. Sementara itu tidak ada lagi orang yang menghiraukannya. Hanya pada saat-saat tertentu, jika ada seseorang berteriak tentang pencuri dirumahnya, maka tetangga-tetangganya dengan malas keluar rumah dan berusaha untuk membantu menangkap pencuri itu. Tetapi biasanya pencuri itu bergerak lebih cepat, sehingga hampir tidak pernah ada seorang pencuripun yang tertangkap.
Namun anak-anak muda yang mulai merenung itu. ternyata tidak hanya berbicara tentang gardu. Seorang anak muda yang bertemu dengan Agung Sedayu, meskipun hanya sekilas, telah mendengar beberapa pertanyaan Agung Sedayu tentang parit yang kering. Jalan yang rusak dan segala kegiatan yang menurun.
Meskipun demikian, anak-anak muda itu masih terbatas pada merenunginya. Bahkan ada satu dua yang tidak menghiraukannya lagi. Mereka merasa bahwa gardu hanya akan membuat mereka kedinginan di saat-saat mereka meronda, dan parit-parit yang kering akan merupakan panggilan bagi mereka untuk turun memperbaiki bendungan.
Dalam pada itu, selagi beberapa orang anak-anak muda di beberapa padukuhan merenungi pendengaran mereka atas suara kentongan yang tidak mereka ketahui dengan pasti dari mana sumbernya itu, di rumah Ki Gede, para pemimpin Tanah Perdikan Menoreh dan para pemimpin padukuhan telah berkumpul sebagaimana mereka lakukan setiap sepekan sekali.
Nampaknya kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Ki Gede untuk mulai dengan rencana besarnya, membangunkan Tanah Perdikan Menoreh. Dengan memperkenalkan Agung Sedayu kepada mereka, maka Ki Gede berkata, "Aku mengajak angger Agung Sedayu untuk membantu kita."
Sebagian besar dari para pemimpin Tanah Perdikan itu sudah mengenal Agung Sedayu. Karena itu, maka merekapun telah menyambut baik kedatangan anak muda itu di Tanah Perdikan Menoreh.
Namun dalam pada itu, wajah Prastawa masih saja garang bagi Agung Sedayu. Setiap kali Agung Sedayu sempat memandangi wajah itu, selagi ia berhadapan dengan para pemimpin Tanah Perdikan itu dan para pemimpin padukuhan, maka nampak betapa anak muda itu mengumpatinya didalam hati.
Prastawa menjadi semakin marah didalam hati ketika ia mendengar pamannya berkata, "Pada hari-hari mendatang yang pendek, kami akan datang ke padukuhan-padukuhan untuk melihat langsung, apa yang perlu dibenahi."
"Kami menunggu dengan senang hati Ki Gede," jawab para pemimpin padukuhan itu.
Sebenarnyalah, ketika pertemuan itu selesai dan para pemimpin padukuhan meninggalkan rumah Ki Gede Menoreh, maka mulailah Ki Gede berbicara tentang rencana itu.
"Kau sudah melihat-lihat seorang diri Agung Sedayu," berkata Ki Gede, "namun yang kau lakukan baru sekedar melihat. Tetapi kita bersama akan mengunjungi setiap padukuhan. Kita akan berbicara dan kemudian membuat rencana-rencana tertentu bagi padukuhan-padukuhan itu."
"Bagus sekali Ki Gede," jawab Agung Sedayu, "aku akan memanfaatkan segala kesempatan. Namun sekali lagi, bahwa kebangkitan Tanah Perdikan ini memang ternyata sekali atas usaha Tanah Perdikan ini sendiri. Kehadiranku hanya sekedar pertanda seperti yang Ki Gede maksudkan."
Ki Gede tersenyum. Katanya, "Itu adalah kewajiban kami. Disaat kami menyadarinya, maka kami harus mengerjakannya. Aku berharap bahwa para pemimpin Tanah Perdikan ini akan melakukannya bersamaku."
Dihari berikutnya Ki Gede sudah akan mulai dengan rencananya. Ia sudah menunjuk beberapa orang yang akan menyertainya bersama beberapa orang pengawal.
Ketika para pemimpin Tanah Perdikan itu pulang kerumah masing-masing, satu dua diantara mereka sempat berbicara diantara mereka, "Nampaknya gairah kerja Ki Gede telah timbul lagi. Anak muda itu dapat mengisi kekosongan hatinya, yang hampir saja memadamkan api didadanya, sepeninggal anak gadisnya."
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Namun sebuah pertanyaan telah terlontar dari seorang pemimpin Tanah Perdikan yang masih tergolong muda usia, "Tetapi pada saat-saat yang demikian, apakah kita sudah berusaha untuk berbuat sesuatu ?"
Seorang pemimpin lainnya menarik nafas dalam. Katanya, "Ya, kita sendiri juga tertidur selama ini. Untunglah bahwa kita belum terlambat. Masih mungkin bagi kita untuk mengejar ketinggalan kita selama ini."
"Bukan ketinggalan," jawab pemimpin yang masih muda itu, "Kita harus mengakui, bahwa kita justru telah bergerak mundur."
"Kemanakan Ki Gede itu kurang dapat menempatkan diri," desis seorang pemimpin yang lain.
Namun pemimpin yang masih muda itu menyahut, "Sebaiknya kita tidak mencari kesalahan pada orang lain. Kita semuanya sudah bersalah. Sekarang waktunya untuk memperbaiki kesalahan. Anak muda dari Jati Anom itu akan bekerja bersama kita. Kita harus merasa malu bahwa orang lain akan bekerja bagi kita, sementara kita sendiri tidak berbuat apa-apa."
Dalam pada itu di hari yang sudah direncanakan, maka Ki. Gede telah bersiap untuk pergi ke padukuhan-padukuhan bersama beberapa orang pemimpin Tanah Perdikan Menoreh. Bersama dengan mereka telah diajak pula Agung Sedayu dan Ki Waskita yang akan di temani oleh Prastawa dan beberapa orang anak muda yang lain.
Namun dalam pada itu, selagi iring-iringan itu sudah siap dihalaman, Prastawa sempat mendekati Agung Sedayu sambil berdesis, "Kau yang mengajukan rencana ini ?"
"Tidak. Bukan aku," jawab Agung Sedayu.
"Siapa " Ki Waskita " " desak Prastawa.
"Juga bukan. Ki Gede sendiri," jawab Agung Sedayu pula.
Prastawa menggeretakkan giginya. Katanya, "Agaknya kau tidak lagi berani dengan sombong berkeliling Tanah Perdikan ini lagi seorang diri lalu kau membuat rencana terselubung, sehingga akhirnya paman Argapati telah mengambil satu kesimpulan untuk melakukan perjalanan ini."
"Sama sekali tidak," desis Agung Sedayu.
Prastawa memandang Agung Sedayu dengan tajamnya. Sorot matanya mengandung ancaman. Namun Agung Sedayu menghindari tatapan mata itu dan memandang kearah yang lain.
"Aku memang harus bersabar," berkata Agung Sedayu didalam hatinya. Tetapi ia tidak mau beradu pandang dengan Prastawa yang semakin lama memang terasa sangat menjengkelkan. Jika ia kehilangan kesabaran, maka sorot matanya akan dapat berbahaya bagi Prastawa.
Dalam pada itu Prastawa tidak dapat bertanya lebih banyak lagi ketika Ki Gede Menoreh telah hadir dan kemudian bersiap untuk berangkat. Ia masih memberikan beberapa penjelasan kepada para pemimpin Tanah Perdikan yang mengikutinya beberapa saat. Baru kemudian iring-iringan itu mulai bergerak.
Ternyata bahwa iring-iringan itu benar-benar telah menarik perhatian rakyat Tanah Perdikan Menoreh. Sudah lama mereka tidak melihat kesibukan yang demikian, sehingga karena itu maka hal itu telah menumbuhkan beberapa pertanyaan dihati rakyat Tanah Perdikan Menoreh.
Namun dalam pada itu, dihati para pemimpin Tanah Perdikan yang mengikuti Ki Gede itu, telah timbul berbagai macam tanggapan terhadap keadaan di Tanah Perdikan mereka sendiri itu. Rasa-rasanya mereka baru melihat untuk pertama kalinya, keadaan yang sebenarnya terjadi di kampung halaman mereka sendiri, meskipun setiap hari ia berada di tempat itu.
"Setiap hari aku lewat jalan ini," berkata salah seorang pemimpin itu didalam hatinya, "tetapi baru kali ini aku tahu pasti, bahwa parit itu bukan saja kering, tetapi sudah rusak sama sekali. Seandainya bendungan diperbaiki, maka air tidak akan dapat mengalir lagi lewat parit ini."
Ki Gede sendiri sebenarnya sudah cukup lama merasa prihatin. Tetapi setiap kali hatinya yang kosong telah menjebaknya sehingga ia menjadi tidak lagi bergairah untuk berbuat sesuatu. Namun kehadiran Agung Sedayu itu rasa-rasanya merupakan dorongan yang telah membuka hatinya pula.
Perjalanan itu ternyata telah menimbulkan hentakan pada Tanah Perdikan yang lesu itu. Ki Gede membawa para pemimpin itu menjelajahi satu padukuhan ke padukuhan yang lain. Mereka berhenti beberapa saat di padukuhan-padukuhan itu, untuk berbicara dengan beberapa orang penghuninya. Sementara itu. para pemimpin padukuhan yang memang sudah mengetahui bahwa Ki Gecde akan berkeliling menjelajahi padukuhan demi padukuhan telah menyambut pula kedatangan iring-iringan itu.
Tetapi ternyata iring-iringan itu tidak berhenti terlalu lama di setiap padukuhan yang mereka lewati dihari pertama itu. Ki Gede dan para pemimpin Tanah Perdikan itu telah beibicara langsung dengan beberapa orang penghuni yang sempat menemui mereka. Ki Gede telah menanyakan keluhan-keluhan yang akan mereka sampaikan.
"Katakan apa adanya," berkata Ki Gede.
Namun sebagian besar dari mereka tidak dapat mengatakannya dengan jelas. Tetapi terbayang pada kata kata mereka yang kadang-kadang tumpang suh itu. bahwa mereka merasakan kelesuan dalam tatanan kehidupan mereka sehari-hari. Baik dalam lingkungan keluarga mereka, maupun dalam tatanan hidup bebrayan didalam padukuhan mereka.
"Baiklah," berkata K i Gede, "sejak hari ini, kita akan bangkit dan bekerja lebih keras untuk menutup lubang yang selama ini telah kita gali sendiri. Para pemimpm padukuhan inilah yang pertama-tama harus bangkit. Kita bersama-sama akan bekerja keras bagi Tanah Perdikan ini."
Ternyata usaha Ki Gede untuk hadir di padukuhan-padukuhan itu memberikan pengaruh yang sangat besar. Orang-orang Tanah Perdikan Menoreh yang malas menilai keadaan diri sendiri, seolah-olah telah dihadapkan pada sebuah cermin yang besar.
Sementara itu. Agung Sedayupun sempat mehhat, bagaimana keadaan Tanah Perdikan itu sebenarnya. Bukan saja anak-anak mudanya menjadi lesu, tetapi orang-orang tuapun nampaknya tidak lagi bergairah untuk berbuat lebih banyak dari mencari makan bagi hidup mereka sehari-hari.
Namun dalam pada itu, dalam perjalanan semacam itu pula Ki Gede melihat, ada beberapa orang yang justru mengambil keuntungan. Orang yang dengan mata tertutup menghisap tetangga-tetangganya yang semakin lama menjadi semakin sulit untuk hidup. Mereka telah menaburkan uang mereka untuk memancing bunga yang kadang-kadang dapat mencekik leher.
Dalam perjalanan kembali ke padukuhan induk, Ki Gede itupun berkata kepada para pengikutnya, "Aku hampir terlambat. Tetapi kita masih mendapat kesempatan. Angger Agung Sedayu, kau sudah melihat keadaan ini. Terserah kepadamu, kepada Prastawa dan kepada anak-anak muda yang masih mempunyai gairah yang besar untuk membantu aku membangun Tanah Perdikan ini, bagaimana sebaiknya membangunkan anak-anak muda Tanah Perdikan ini yang sedang tertidur itu."
"Selama ini aku sudah berusaha, paman," sahut Prastawa, "tetapi mereka memang malas sekali. Lebih dari itu, anak-anak muda di Tanah Perdikan ini, sudah dipengaruhi oleh kemalasan orang tua mereka, sehingga mereka sulit sekali untuk digerakkan. Meskipun demikian diantara anak-anak muda yang tidak lagi mau berbuat sesuatu, aku masih mempunyai kelompok anak-anak muda yang dengan gigih bekerja bagi Tanah Perdikan ini. Tanpa mereka, Tanah Perdikan ini benar-benar telah menjadi padang kehidupan yang sangat gersang."
"Bagus," jawab Ki Gede, "kau dapat meneruskannya. Sekarang ada Agung Sedayu pula yang mungkin dapat mengemukakan pikiran-pikiran baru disamping yang kau lakukan itu."
Wajah Prastawa menegang. Tetapi ia tidak berani menjawab kata-kata Ki Gede, sementara Ki Gede sama sekali tidak sempat berpaling untuk memperhatikan wajah kemenakannya yang berkuda di belakangnya. Bahkan Ki Gede itupun berkata kepada para pemimpin yang bersamanya, "Sekarang jelas bagi kita. Aku minta kalian membantu apa yang akan dilakukan oleh Agung Sedayu dan kelanjutan kegiatan yang sudah dilakukan oleh Prastawa. Mudah-mudahan dalam waktu dekat, gairah untuk hidup itu mulai menjalar di Tanah Perdikan ini, meskipun aku tahu, bahwa kita semuanya tidak dapat mengharap untuk memetik hasilnya dalam waktu yang terlalu dekat.
Seorang pemimpin Tanah Perdikan yang masih muda itupun menjawab, "Kami akan melakukannya Ki Gede. Kami seharusnya merasa malu. bahwa semuanya itu telah terjadi di Tanah Perdikan ini."
"Kau bangun kesiangan Ki Sanak," sahut Prastawa, "aku sudah melakukan segalanya tanpa putus barang seharipun. tetapi aku bekerja sendiri. Dan sekarang kau seolah-olah memikul tanggung jawab atas masa lampau yang suram itu dan tampil sebagai seorang pahlawan."
Pemimpin yang masih muda itu mengerutkan keningnya. Tetapi karena ia sadar, bahwa yang menyahut itu adalah Prastawa, kemanakan Ki Gede, maka iapun tidak menjawab.
Tetapi yang menjawab Ki Gede Menoreh sendiri, "Apa salahnya melihat kesalahan masa lampau Prastawa. Bukankah dengan demikian akan timbul niat yang kuat untuk tidak melakukan kesalahan serupa. Yang sudah bekerja keras, sebaiknya itu dilanjutkan. Tetapi yang merasa dirinya belum berbuat apa-apa, biarlah ia bangun meskipun kesiangan. Itu lebih baik daripada tidur sepanjang hari."
Prastawa menjadi tegang. Tetapi ia masih menjelaskan, "Maksudku, tidak semuanya kita tertidur nyenyak. Tidak semuanya harus merasa malu. Apalagi yang merasa telah bekerja keras selama ini meskipun tidak mendapat tanggapan apapun dari para pemimpin di padukuhan-padukuhan."
"Bagus. Bagus," sahut Ki Gede, "kau dapat melanjutkannya. Sementara kami yang bangun kesiangan akan membantumu mulai sekarang."
Prastawa tidak menjawab lagi. Tetapi ia bergeser mendekat Agung Sedayu sambil bergumam "Nah, kau dapat tampil sekarang, seolah-olah kaulah yang telah berbuat paling baik di Tanah Perdikan ini."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.
"Ingat. Kau pergi dari Tanah Perdikan ini, atau menurut segala petunjukku," desis Prastawa.
"Kita bekerja bersama-sama," sahut Agung Sedayu lirih.
"Aku sobek mulutmu. Kau hanya menjawab salah satu dari dua kemungkinan. Pergi dari Tanah Perdikan ini, atau menurut petunjukku," geram Prastawa.
"Aku akan menurut petunjukmu, karena kau yang selalu berada di Tanah Perdikan ini," jawab Agung Sedayu.
"Bagus. Tetapi jika kau ingkar, kau akan menyesal, atau bahkan kau tidak akan mendapat kesempatan untuk menyesali perbuatanmu itu," desis Prastawa. Lalu. "Dahulu aku memang katah berkelahi melawanmu, tetapi sekarang aku adalah murid Ki Gede Menoreh. Satu-satunya setelah Pandan Wangi pergi."
"Ya, ya. Aku mengerti," jawab Agung Sedayu pula.
Prastawa terdiam. Iring-iringan itu semakin lama menjadi semakin dekat dengan padukuhan induk. Namun dalam perjalanan kembali itupun, beberapa orang di padukuhan-padukuhan yang mereka lalui merasa tergugah pula hatinya. Nampaknya akan ada pembaharuan yang timbul di Tanah Perdikan yang sudah beberapa lama lesu itu.
Namun dalam pada itu. Agung Sedayu menjadi gelisah. Prastawa benar-benar sangat menjengkelkan. Meskipun ia akan dapat saja tidak menghiraukannya, tetapi jika karena kehadirannya timbul kerusuhan dan perkelahian diantara anak-anak muda yang melihat dirinya, maka tentu bukan itulah yang dimaksud oleh Ki Gede.
Tetapi Agung Sedayu kemudian menemukan cara yang barangkali dapat ditempuhnya. Ia akan menempatkan diri dalam lingkungan anak-anak muda yang dipengaruhi oleh Prastawa. Ia akan menurut apa yang hendak dilakukan oleh Prastawa, karena dalam keadaan itu. iapun tentu ingin menunjukkan kerja bagi Tanah Perdikan Menoreh.
Dalam pada itu, meskipun Ki Gede Menoreh belum menyusun rencana terperinci untuk kerja yang besar bagi Tanah Perdikan Menoreh, namun ia sudah memerintahkan setiap pemimpin padukuhan untuk berbuat sesuatu.
Terutama, sebelum langkah-langkah yang nyata, para pemimpin padukuhan diwajibkan untuk menggugah hati rakyat Tanah Perdikan Menoreh agar mereka bersiap-siap menghadapi kerja yang berat.
"Kita sudah cukup lama beristirahat," berkata Ki Gede, "marilah kita sekarang bangun dan bekerja kembali."
Dalam gejolak yang mulai terasa diseluruh Tanah Perdikan Menoreh itu, Prastawapun ternyata tidak mau ketinggalan. Meskipun ia mempunyai caranya tersendiri, tetapi iapun ingin tetap menjadi anak muda terpenting di Tanah Perdikan Menoreh.
Seperti yang direncanakan. Agung Sedayu dengan sengaja telah berada didalam kelompoknya. Kepada Ki Gede ia mengatakan, bahwa ia akan melihat Tanah Perdikan itu lebih jelas lagi bersama anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh yang dipimpin oleh Prastawa.
Ki Gede rnenarik nafas dalam. Katanya, "Aku percaya bahwa kau tentu akan menentukan sikap tersendiri. Sebenarnyalah, aku kurang setuju dengan sikap Prastawa. Baik dalam hubungannya dengan para pemimpin padukuhan dan para pemimpin Tanah Perdikan ini, maupun sikapnya sebagai seorang anak muda."
"Aku akan berusaha untuk ikut serta menentukan sikap anak-anak muda itu, Ki Gede," jawab Agung Sedayu, "aku memang memilih jalan yang tidak akan saling berbenturan."
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti maksud Agung Sedayu. Meskipun Agung Sedayu tidak menceriterakannya, tetapi Ki Gedepun sudah dapat meraba, apa yang telah terjadi. Agaknya Agung Sedayu benar-benar seorang anak muda yang bijaksana. Ia ingin menempuh jalan yang paling baik bagi segala pihak, meskipun ia dapat berbuat lain dengan bekal yang ada padanya dan kuasa yang tentu akan diperolehnya bila ia minta langsung kepada Ki Gede.
Tetapi nampaknya Agung Sedayu mengambil jalan lain, meskipun jalan itu agaknya akan lebih panjang.
"Mudah-mudahan sikap itu bukan pertanda sikapnya yang lamban," berkata Ki Gede didalam hatinya, "segalanya sudah mulai. Jika Agung Sedayu masih saja ragu-ragu untuk bertindak, seperti watak dan sifatnya yang pernah aku dengar, maka kehadirannya disini akan kurang berarti."
Tetapi Ki Gede masih ingin melihat, apa yang dilakukan oleh anak muda dari Jati Anom itu.
Sementara itu, kepada Ki Waskita Agung Sedayu mengatakan rencenanya lebih terperinci lagi. Ia dengan terus terang berkata, "Aku tidak yakin, bahwa aku akan dapat bertahan untuk waktu yang terlalu lama Ki Waskita. Pada suatu saat, aku harus menunjukkan kepada anak itu, bahwa kelakuannya sudah sangat memuakkan. Tetapi apa kata Ki Gede jika karena kehadiranku telah terjadi pertengkaran. Justru dengan kemanakan Ki Gede itu sendiri, meskipun Ki Gede telah mengatakan kepadaku, bahwa ia tidak dapat membiarkan tingkah laku kemanakannya itu berkepanjangan."
"Kau harus mempertimbangkan kata-kata Ki Gede itu ngger. Mungkin Ki Gede justru ingin kau mengimbangi tingkah lakunya dengan caramu. Bukan justru ikut dalam arus tingkah lakunya," berkata Ki Waskita.
"Aku memang akan berbuat demikian Ki Waskita, tetapi aku akan melakukannya dari dalam. Tidak dari luar dan langsung berhadapan beradu dada," berkata Agung Sedayu.
Ki Waskita mengangguk-angguk. Ia mengenal Agung Sedayu dengan baik sehingga iapun sebenarnya harus sudah mengetahui, bahwa sikap itulah yang akan diambil oleh Agung Sedayu.
Sementara itu, Agung Sedayu harus mulai dengan rencananya ketika Prastawa datang kepadanya dan berkata, "Ikut aku sekarang."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Tetapi iapun bertanya, "Kemana ?"
"Jangan banyak bertanya," berkata Prastawa, "Tanah ini sedang bekerja keras. Apakah kau datang kemari sekedar untuk tidur digandok ?"
"Tentu tidak," jawab Agung Sedayu.
"Nah ikut aku sekarang," berkata Prastawa pula.
"Baik. Aku akan berkemas," sahut Agung Sedayu.
Sambil berbenah diri, Agung Sedayupun minta diri kepada Ki Waskita untuk mengikuti Prastawa. Ia belum tahu, kemana dan untuk apa.
Sejenak kemudian, Prastawa dan tujuh orang kawannya telah meninggalkan padukuhan induk bersama Agung Sedayu. Mereka pergi ke padukuhan kecil diseberang bulak panjang.
Ternyata di pintu gerbang padukuhan kecil itu telah terdapat beberapa anak muda yang telah bersiap-siap untuk melakukan sesuatu. Mereka membawa beberapa jenis alat untuk satu kerja.
"Kita akan memperbaiki bendungan," berkata Prastawa, "disebelah padukuhan itu ada sebuah sungai kecil yang semula memberikan air bagi beberapa petak sawah. Tetapi bendungan itu sudah rusak. Kita akan memperbaikinya sekarang."
"Ya," jawab Prastawa.
"Kenapa tidak dimulai sejak matahari terbit di pagi hari " Udaranya tentu masih segar dan kerja yang dihasilkan untuk satu hari akan nampak. Jika kita mulai dengan kerja yang besar lewat tengah hari begini, maka demikian kita mulai berkeringat, matahari sudah condong dan sebentar lagi tenggelam," jawab Agung Sedayu.
"Pemalas," geram Prastawa," Kita akan bekerja kapan saja tanpa mengingat waktu. Kita harus bekerja keras bagi Tanah Perdikan ini. Aku tahu, kau bukan anak muda Tanah Perdikan ini, sehingga kau, merasa segan untuk bekerja keras. Tetapi jika tidak untuk bekerja keras, lalu apa gunanya kehadiranmu disini."
"Bekerja keras bukan berarti bekerja seingatnya," jawab Agung Sedayu, "tetapi perencanaan itu perlu, agar kerja kita menghasilkan sebagaimana kita kehendaki."
"Tutup mulutmu," bentak Prastawa, "kau harus melakukan apa yang aku katakan. Kau harus menunjukkan kerja melampaui anak-anak muda Tanah Perdikan ini."
Agung Sedayu menarik nafas panjang. Ia tidak ingin menjawab lagi agar tidak terjadi perselisihan. Ia akan melakukan apa saja yang dikehendaki oleh Prastawa.
Ketika mereka sampai di pintu gerbang, maka Prastawa yang berada dipaling depan itupun berhenti dihadapan anak-anak muda yang sudah siap.
"Apakah kita dapat mulai ?" bertanya Prastawa kepada anak-anak muda itu.
Anak-anak muda itu saling berpandangan. Tetapi tidak seorangpun yang menjawab.
"He, bukankah aku sudah menyuruh seseorang untuk memberitahukan bahwa kita akan memperbaiki bendungan itu ?" bertanya Prastawa pula.
Anak-anak muda itu masih saja berdiam diri.
Namun dalam pada itu, pemimpin padukuhan yang sudah separo baya, menyibakkan anak-anak muda itu dan kemudian berdiri dihadapan Prastawa. Katanya, "Anak-mas, aku sudah menerima utusan anakmas, dan akupun telah menyiapkan anak-anak muda untuk bekerja sebagaimana kau kehendaki. Tetapi, apakah tidak sebaiknya kita mulai dengan memperbaiki parit yang akan menampung air dari bendungan itu, jika air itu naik Jika kita memperbaiki bendungan, sementara parit yang akan menampung air itu rusak, maka kerja kita akan sia-sia."
"Tidak," jawab Prastawa, "jika bendungan itu selesai, maka air itu untuk sementara dapat di biarkan tergenang. Sementara itu kita memperbaiki parit yang akan menampung airnya. Tetapi jelas, bahwa air itu sudah ada."
Pemimpin padukuhan itu tidak berani membantah lagi. Prastawa adalah kemanakan Ki Gede Menoreh yang berkuasa di Tanah Perdikan itu.
Karena itu, maka katanya kemudian, "Jika demikian, terserahlah kepada anakmas. Kita sudah siap untuk melakukannya, yang manapun yang akan didahulukan."
"Kita akan pergi ke bendungan," berkata Prastawa.
Prastawa bersama ketujuh orang kawannya, segera mendahului anak-anak muda padukuhan itu memasuki pintu gerbang dan melintasi jalan di tengah-tengah padukuhan itu menuju kesebuah sungai yang tidak terlalu besar. Meskipun demikian airnya yang mengalir di segala musim itu memang memungkinkan untuk dibendung dan dinaikkan ke parit yang akan dapat mengaliri sawah beberapa bagian dari tanah persawahan di padukuhan itu, seperti beberapa waktu yang lampau. Tetapi kerusakan pada bendungan dan parit yang menyalurkan air itu, tidak mendapat perhatian secukupnya sehingga semakin lama menjadi semakin parah.
Sementara itu Agung Sedayu mengikuti pula bersama dengan anak-anak muda padukuhan itu. Namun sepanjang jalan, seolah-olah mereka tidak sempat berbincang, karena Prastawa yang berjalan dipaling depan semakin lama menjadi semakin cepat.
Ketika mereka sampai di pinggir sungai, ternyata matahari sudah melampaui puncaknya dan mulai turun ke arah Barat. Namun Prastawa sama sekali tidak menghiraukannya. Dengan suara lantang ia berkata, "Kita akan mulai sekarang dengan memperbaiki bendungan ini."
Anak-anak muda itu termangu-mangu. Mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan untuk memperbaiki bendungan yang sudah rusak cukup parah itu.
Dalam pada itu, maka Agung Sedayupun berkata, "Prastawa. Apakah tidak sebaiknya kita membuat persiapan-persiapan lebih dahulu. Mungkin kita memerlukan brunjung-brunjung bambu yang harus kita isi dengan batu. Mungkin juga slangkrah untuk menempatkan sela-sela brunjung itu. Baru kemudian kita akan menimbuninya dengan tanah dan pasir."
"Bodoh sekali," geram Prastawa, "kau memang bodoh sekali. Jika kehadiranmu hanya untuk memamerkan kebodohanmu saja, maka sebaiknya kau pergi. Kau hanya memperbanyak jumlah penduduk tanpa dapat berbuat apa-apa. Kau lihat, hanya kau yang tidak tahu apa yang harus dilakukan, sementara anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh sudah siap untuk bekerja."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dilihatnya anak-anak muda yang lainpun masih kebingungan. Mereka memegang cangkul, parang dan linggis ditangan. Tetapi apa yang pertama-tama akan mereka lakukan tidak diketahuinya.
"Cepat," teriak Prastawa," Kita memperbaiki bendungan itu."
Pemimpin padukuhan itulah yang kemudian bertanya, "Yang mana yang harus kita lakukan dahulu ?"
Prastawa menjadi bingung. Namun kemudian katanya, "Paman telah memanggil anak dungu itu kemari. He, katakan, apa yang harus kita lakukan sekarang " Supaya ada gunanya kau di Tanah Perdikan ini, maka katakan, apa yang harus kita lakukan untuk memperbaiki bendungan ini."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya kemudian, "Jika kau menyerahkannya kepadaku, biarlah aku mulai dengan mempersiapkan kelengkapan dari sebuah bendungan. Kita akan mencari bambu dan membuat brunjung. Kemudian brunjung itu akan kita isi dengan batu. Dengan brunjung dan slangkrah yang dapat kita cari dengan mudah, termasuk daun bambu yang kita tebang, maka kita akan membangun bendungan ini."
"Kau hanya akan menghindari kerja keras di bendungan ini," geram Prastawa.
"Kita tidak akan dapat berbuat apa-apa sekarang," jawab Agung Sedayu.
Dalam pada itu, pemimpin padukuhan itupun berkata, "Aku sependapat dengan angger Agung Sedayu. Kita sekarang mencari bambu. Besok kita membuat brunjung dan baru kemudian kita memperbaiki bendungan dengan brunjung-brunjung setelah kita isi dengan batu yang dapat kita cari disungai ini pula."
Wajah Prastawa menjadi merah. Namun kemudian katanya, "Terserah kepada kalian. Tetapi aku perintahkan Agung Sedayu untuk membantu pimpinan padukuhan ini untuk memperbaiki bendungan itu. Kau tidak boleh merasa dirimu pemimpin disini."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia mengangguk sambil menjawab, "Aku akan melakukannya."
Prastawa memandangi anak-anak muda yang kebingungan di bendungan. Sejenak iapun menjadi kebingungan. Namun kemudian ia membentak, "Cepat. Lakukan sesuatu. Kita tidak dapat lagi bermalas-malas sekarang ini. Paman Argapati telah memutuskan, kita akan bekerja keras untuk kepentingan Tanah Perdikan ini."
"Baiklah," jawab Agung Sedayu. Lalu katanya kepada pemimpin padukuhan itu, "Apakah kita dapat mencari bambu di padukuhan ini."
"Mari," jawab pemimpin padukuhan ini, "disini ada berpuluh-puluh rumpun bambu yang siap ditebang. Kita tidak akan berkeberatan memberikan bambu yang paling tua dan yang paling baik untuk bendungan."
"Bukan bambu yang besar-besar. Justru bambu apus," desis Agung Sedayu.
"Seberapapun yang diperlukan, dapat diambil di kebun-kebun dipadukuhan ini," jawab pemimpin padukuhan.
Karena itu, maka Agung Sedayupun berkata, "Marilah, kita akan mengumpulkan beberapa puluh bambu untuk brunjung-brunjung."
"Kau tidak hanya berbicara," bentak Prastawa, "kaupun harus pergi menebang bambu itu."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun sekali lagi ia mengangguk dan menjawab, "Aku juga akan ikut menebang bambu."
Demikianlah maka anak-anak muda itu telah meninggalkan bendungan kembali ke padukuhan. Sementara itu, Prastawa dan ketujuh orang kawannya mengikutinya di belakang. Tetapi mereka tidak ikut bekerja seperti Agung Sedayu yang bersama-sama dengan anak-anak muda padukuhan itu menebang bambu.
Ternyata dalam waktu singkat, anak-anak muda itu telah mendapatkan bambu cukup banyak. Merekapun kemudian membawa bambu-bambu itu kebendungan.
"Besok kita akan membuat menjadi brunjung-brunjung," berkata Agung Sedayu kepada anak muda itu.
"Ya. Besok kita mulai pagi-pagi sekali," sahut pemimpin padepokan, "hari ini kita mulai terlampau siang. Angger Prastawa memberikan perintah menjelang tengah hari, sehingga baru setelah matahari turun, kita dapat mulai dengan kerja ini."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ketika ia memandang ke tanggul dipinggir sungai itu, ia melihat Prastawa dan kawan-kawannya berdiri memandangi mereka yang berada dibawah.
"Besok kita mulai rnembuat brunjung," berkata Agung Sedayu kepada Prastawa.
"Kita siapa ?" bertanya Prastawa.
Agung Sedayu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, "Kita, ya kita. Anak-anak muda padukuhan ini, aku dan kalian."
"Persetan," geram Prastawa, "kau tahu tugasku hanya menunggui padukuhan ini saja he " Anak dungu. Aku adalah kemanakan Ki Gede Menoreh yang mempunyai kewajiban tersebar di seluruh Tanah Perdikan. Aku hanya memberikan dorongan agar kerja ini dapat dimulai pada saat Tanah ini sudah berjanji untuk bekerja keras. Sudah tentu aku akan berada ditempat lain dalam tugas yang sama sejak besok. Aku akan datang setiap kali ke bendungan dan melihat, apakah kalian benar-benar telah memenuhi perintah paman Argapati. Bekerja keras bagi Tanah Perdikan ini. Dan apakah kehadiran Agung Sedayu disini ada gunanya."
Agung Sedayu tidak menjawab. Gejolak didadanya hampir saja meledak. "Tetapi ia masih selalu menahan diri, karena ia tidak mau menyakiti hati Ki Gede Menoreh dengan pertengkaran dan apalagi perkelahian, meskipun ia dapat berbuat apa saja atas anak muda yang bernama Prastawa itu.
Sejenak kemudian, ternyata seperti yang dikatakannya, Prastawa telah meninggalkan tempat itu bersama dengan ketujuh orang kawannya. Namun dengan demikian. Agung Sedayu merasa, bahwa ia akan dapat bekerja leluasa tanpa diganggu lagi.
Sepeninggal Prastawa, maka Agung Sedayupun kemudian berkata kepada pemimpin padukuhan itu, "Kita dapat bekerja sekarang. Kita membuat brunjung bambu. Kemudian kita isi brunjung-brunjung itu dengan batu, sementara jika para penghuni padukuhan ini tidak berkeberatan, setiap laki-laki yang masih mampu bekerja, meskipun sudah berusia agak lanjut, dimohon untuk membantu memperbaiki parit. Tidak usah memaksa diri dengan memeras tenaga. Sejauh dapat dilakukan saja."
"Kita memerlukan waktu satu atau dua hari untuk menganyam brunjung," berkata pemimpin padukuhan itu.
"Kita tidak tergesa-gesa. Jika ada satu dua brunjung yang siap, maka sebagian dari kita dapat langsung mengisinya. Kita tidak perlu menunggu semua brunjung siap," jawab Agung Sedayu.
"Aku sependapat," berkata pemimpin padukuhan itu, "juga tentang setiap laki-laki yang masih mampu bekerja. Akupun sependapat, kita tidak akan memeras tenaga sebagai budak-budak yang diperlakukan tanpa pertimbangan kemanusiaan. Meskipun demikian, kita akan bekerja keras atas dasar kesadaran kita bagi Tanah Perdikan ini."
Dengan demikian, maka anak-anak muda itupun mulai membelah bambu untuk menganyam brunjung. Tetapi karena langit mulai suram, maka kerja itupun ditangguhkannya sampai besok. Sementara pemimpin padukuhan itu berkata, "Nanti, aku akan berkeliling dari rumah kerumah. Besok setiap laki-laki akan keluar dengan kerja masing-masing, sesuai dengan kemampuan tenaga yang ada. Perempuanpun akan mempunyai kewajiban. Menyiapkan minum dan merebus jagung dan ketela pohon."
Malam itu. Agung Sedayu hanya berada di rumah Ki Gede sebentar saja untuk memberitahukan kerjanya kepada Ki Waskita. Setelah makan dan beristirahat sebentar, maka iapun telah meninggalkan halaman itu diluar pengetahuan Prastawa, kembali kepadukuhan kecil yang sedang membangun bendungan itu.
Ternyata kehadiran Agung Sedayu telah memancing beberapa orang anak muda untuk berkumpul. Karena gardu sudah rusak, maka mereka berkumpul dirumah pemimpin padukuhan itu.
Meskipun malam itu Agung Sedayu hanya berceritera saja tentang bermacam-macam pengalamannya, namun ternyata ia sudah berhasil mengikat hati beberapa orang anak muda yang berada dirumah pemimpin padukuhan itu.
Ternyata Agung Sedayu berhasil memanfaatkan keadaan itu sebaik-baiknya. Ia berhasil menggelitik hati anak-anak muda untuk bekerja keras dihari-hari berikutnya sesuai dengan keinginan Ki Gede untuk memulihkan keadaan Tanah Perdikan yang mundur itu. Bahkan apabila mungkin untuk memacunya lebih cepat untuk maju.
"Besok kita akan mulai dengan mengisi brunjung-brunjung," berkata Agung Sedayu, "sementara orang-orang yang sudah tidak dapat bekerja berat, akan memperbaiki parit-parit yang sudah rusak, longsor dan bahkan hampir tidak berbekas lagi."
"Kita sudah siap," jawab anak-anak muda itu.
"Bagus," berkata Agung Sedayu, "sementara bendungan itu dibangun maka kita dapat membangun segi lain dari kegiatan padukuhan ini."
"Apa," jawab anak-anak muda itu hampir bersamaan.
"Gardu-gardu. Bukan hanya sekedar gardunya, tetapi juga kegiatan untuk menjaga padukuhan ini dari gangguan kejahatan," jawab Agung Sedayu.
"Kami sependapat," desis beberapa orang anak muda. Bahkan pemimpin padukuhan itupun berkata, "Jika kalian benar-benar ingin melakukannya, tentu bagus sekali. Besok disamping kita yang membangun bendungan, ampat orang akan melakukan pekerjaan yang lain. Memperbaiki gardu dengan bambu-bambu yang dapat kita ambil seperti kita mengambilnya untuk memperbaiki bendungan. Aku masih mempunyai beberapa gulung tali ijuk sisa ketika aku memperbaiki dapur. Kalian dapat mempergunakannya. Kita akan memesan kentongan dari pangkal pohon kelapa dari Ki Senu disudut padukuhan ini, yang kelak akan kita pasang di gardu."
Anak-anak muda itupun sependapat. Agaknya mereka telah menemukan gairah untuk berbuat sesuatu bagi padukuhannya.
"Gairah dan kemauan yang sudah mulai tumbuh dihati kita masing-masing harus kita pelihara sebaik baiknya agar tidak mati lagi. Besok atau pada saat lain jika Prastawa datang melihat hasil kerja kita, ia tidak akan kecewa," berkata Agung Sedayu.
"Anak itu sebenarnya tidak berarti apa-apa bagi kami," desis seorang anak muda berambut keriting, "kami menghormatinya karena ia kemanakan Ki Gede."
Kawan-kawannya memandanginya dengan tatapan mata yang gelisah. Agaknya mereka menjadi berdebar-debar mendengar kata-kata itu. Sementara pemimpin padukuhan itu hanya menundukkan kepalanya saja.
Tetapi anak muda berambut keriting itu justru melanjutkan, "Coba lihat, betapa sombongnya ia bersikap terhadap Agung Sedayu. Seolah-olah ia adalah Ki Gede sendiri. Bukankah kedatangan Agung Sedayu ini atas undangan Ki Gede seperti yang dikatakannya dalam pertemuan para pemimpin Tanah Perdikan ini dan para pemimpin padukuhan ?"
Diluar sadarnya pemimpin padukuhan itu mengangguk. Namun Agung Sedayulah yang menyahut, "Aku tidak berkeberatan atas sikapnya. Mungkin diluar sadarnya ia bersikap demikian, sehingga kesannya seolah-olah ia adalah anak muda yang sombong. Tetapi kewajiban kita adalah menunjukkan, bukan saja kepada Prastawa, tetapi juga kepada Ki Gede, bahwa kita mampu melakukan sesuatu bagi padukuhan ini."
Demikianlah, Agung Sedayu berada di padukuhan itu sampai larut malam. Baru kemudian, setelah tengah malam lama berlalu, Agung Sedayupun minta diri.
"Kita masih perlu beristirahat barang sebentar. Besok kita masih akan bekerja keras," berkata Agung Sedayu sambil minta diri.
Sebenarnyalah ketika Agung Sedayu keluar dari rumah pemimpin padukuhan itu, ternyata diserambi beberapa orang anak muda sudah tidur mendekur.
"Biar sajalah," berkata Agung Sedayu ketika kawan-kawannya akan membangunkan mereka, "tenaga mereka besok masih sangat diperlukan."
Demikianlah, diam-diam Agung Sedayu telah memasuki halaman rumah Ki Gede seperti saat ia pergi. Ki Waskita yang terbangun mendengar desir didinding, telah membuka pintu perlahan-lahan dan kemudian iapun masih sempat mendengarkan ceritera tentang anak-anak muda padukuhan kecil itu.
"Bagus Agung Sedayu," berkata Ki Waskita, "teruskan. Tetapi kaupun harus bersiap-siap jika Ki Gede bertanya tentang rencana. Bukankah Ki Gede memerlukan satu rencana yang menyeluruh."
"Aku belum dapat menyusunnya sebelum aku mengenal dengan pasti keadaan Tanah Perdikan ini Ki Waskita. Namun yang terjadi di padukuhan kecil itu akan aku laporkan juga sebagai satu penjajagan khusus. Jika usaha dipadukuhan kecil itu berhasil, maka yang dilakukan di padukuhan itu dapat dijadikan pola, meskipun masih harus disesuaikan dengan keadaan masing-masing padukuhan. Tidak setiap padukuhan dekat dengan sungai yang betapapun kecilnya. Dan tidak setiap padukuhan memerlukan perbaikan tata aliran air. Mungkin masih ada padukuhan yang tata aliran airnya masih baik. tetapi mempunyai kelemahan dihidang yang lain," jawab Agung Sedayu.
"Tetapi nampaknya Prastawa itu akan dapat menghalangi kerjamu secara menyeluruh," berkata Ki Waskita.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Mungkin pada suatu saat, aku harus menyampaikannya kepada Ki Gede meskipun dengan sangat berhati-hati. Aku harus mendapat isyarat dari Ki Gede jika aku ingin berbuat sesuatu atas Prastawa."
Ki Waskita mengangguk-angguk. Ia mengenal sifat Agung Sedayu. Hati-hati dan sebenarnyalah agak lamban. Berbeda dengan Swandaru yang dapat berbuat lebih cepat, dengan pertimbangan yang tidak begitu rumit. Namun kadang-kadang agak terlalu mengambil kesimpulan atas sesuatu peristiwa sehingga kurang cermat.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba Ki Waskita berkata, "Untuk mengurangi persoalan yang dapat timbul antara kau dan Prastawa, maka biarlah aku ikut bersamamu. Agung Sedayu. Agaknya Prastawa akan menjadi segan untuk berbuat dengan berlebih-lebihan atasmu. Sehingga dengan demikian kau akan mendapat kesempatan lebih banyak untuk melihat dan mendengar keadaan Tanah Perdikan ini sebaik-baiknya."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia mengangguk-angguk sambil menjawab, "Baiklah Ki Waskita. Jika Ki Waskita tidak berkeberatan, aku berharap, tingkah lakunya akan dapat dibatasi."
Namun dalam pada itu, Agung Sedayu masih berniat ingin menyelesaikan bendungan itu tanpa Ki Waskita, sementara Ki Waskitapun menyetujuinya.
Ternyata bahwa apa yang terjadi berbeda sekali dari yang dimaksud oleh Prastawa. Justru karena di hari-hari berikutnya ia tidak hadir di bendungan, maka ia tidak melihat apa yang telah dilakukan oleh Agung Sedayu. Dan ternyata yang dilakukan oleh Agung Sedayu kemudian telah menunjukkan pelaksanaan pembuatan bendungan, namun ia juga dapat melakukannya sendiri.
Karena itu, maka anak-anak muda padukuhan itu justru semakin dekat dengan Agung Sedayu. Mereka tertarik kepada kepribadiannya yang rendah hati, tetapi menunjukkan kemampuan yang tinggi.
Seperti yang direncanakan, maka akhirnya Agung Sedayupun menyampaikannya pula kepada Ki Gede meskipun dengan alasan yang berbeda. Agung Sedayu sama sekali tidak mengatakan, bahwa Prastawa telah memaksanya untuk ikut serta memperbaiki bendungan. Tetapi dikatakannya bahwa atas pertimbangan Prastawa maka bendungan itu telah diperbaiki. Dengan demikian ia akan mendapat satu pertimbangan untuk langkah-langkah selanjutnya. Pekerjaan itu adalah satu penjajagan terhadap kerja yang lebih besar. Kerja secara menyeluruh di atas Tanah Perdikan Menoreh.
Prastawa terkejut ketika tiba-tiba pada suatu hari Ki Gede telah mengajaknya untuk meninjau bendungan itu bersama Agung Sedayu dan Ki Waskita. Diluar dugaan Ki Gede berkata, "Menurut Agung Sedayu, kaulah yang memberikan pertimbangan kepadanya."
Prastawa tidak dapat menjawab selain menganggukkan kepalanya. Namun ia masih ragu-ragu, kenapa Agung Sedayu mengatakan bahwa ialah yang memberikan pertimbangan.
"Agaknya ia sudah benar-benar menjadi ketakutan." berkata Prastawa didalam hatinya. Namun kemudian, "Tetapi apakah kerja itu gagal dan tidak berarti sama sekali, sehingga ia minta agar paman melihatnya dan kemudian melihat kebodohanku ?"
Namun Prastawa tidak sempat untuk merubah rencana Ki Gede. Dengan beberapa orang pemimpin padukuhan, Agung Sedayu dan Ki Waskita, Prastawa dan beberapa orang kawannya telah mengikut pula.
Sekali lagi Prastawa terkejut melihat kenyataan, bahwa bendungan itu benar-benar telah berhasil mengangkat air. Meskipun tidak terlalu banyak, karena sungainyapun bukan sungai yang besar, namun air benar-benar telah mengalir melalui parit-parit yang menjelujur di tengah-tengah petak-petak sawah.
"Parit itupun telah diperbaiki," desis Prastawa kepada kawan-kawannya.
Kedatangan Ki Gede memberikan kegembiraan tersendiri kepada penghuni padukuhan itu. Seolah-olah mereka merasa pekerjaan mereka mendapat nilai langsung dari pemimpin tertinggi Tanah Perdikan Menoreh.
Namun hati Prastawa menjadi sakit ketika ternyata pemimpin padukuhan itu dalam laporannya lebih banyak menyebut nama Agung Sedayu daripada dirinya. Pemimpin padukuhan itu memuji ketangkasan sikap dan sifat yang rendah hati dari Agung Sedayu, sehingga karena kepemimpinannya itu maka bendungan itu dapat diselesaikan.
"Gila," geram Prastawa.
Yang terjadi itu jauh dari yang diharapkan. Ia ingin menyudutkan Agung Sedayu pada satu kerja yang tidak berarti dan mengikatnya sehingga ia tidak akan dapat berbuat yang lain di Tanah Perdikan itu, namun ternyata ia justru berhasil mendapat pujian, bukan saja dari pemimpin padukuhan itu, tetapi langsung dihadapan pamannya dan para pemimpin Tanah Perdikan yang lain.
Dalam pada itu, yang dilakukan itu adalah satu contoh keberhasilan Agung Sedayu. Karena itu, maka agak terpisah dari iring-iringan yang lain, yang sedang melihat-lihat bendungan itu, Prastawa berbisik kepada kawan-kawannya, "Gila. Anak itu memang harus disingkirkan."
"Apakah kita akan menghajarnya sekali lagi, tetapi jauh lebih parah ?" bertanya kawannya.
"Aku justru takut jika paman mengetahuinya, "jawab Prastawa.
"Jadi, bagaimana menurut kau ?" bertanya kawannya pula.
"Kita dapat meminjam tangan orang lain. Kita dapat menghubungi siapapun untuk mengusir anak itu dari Tanah Perdikan ini. Aku menjadi semakin muak." Desis Prastawa.
"Bagus," sahut kawannya, "kita meminjam tangan orang-orang yang akan mampu mengusirnya, sementara kita tidak akan dapat dituduh berbuat sesuatu atasnya."
"Justru pada saat-saat yang ditentukan, aku akan berada didekat paman Argapati," desis Prastawa.
Kawannya tertawa. Katanya, "Bagus. Orang-orang yang mengusirnya itu dapat memberikan kesan apa saja tentang perselisihannya dengan Agung Sedayu."
"Kita serahkan saja kepada orang-orang itu," jawab Prastawa.
"Bagus. Semakin cepat semakin baik. Nampaknya Ki Gede semakin tertarik kepadanya," desis kawannya.
"Kita memanggil orang yang paling terpercaya. Jangan tanggung-tanggung, karena anak itu adalah murid Kiai Gringsing. Mungkin aku sendiri dapat mengatasinya. Tetapi orang lain akan mengalami kesulitan. Karena itu, maka jika kita minta bantuan orang lain, maka orang-orang itu harus diyakinkan, bahwa yang dihadapi adalah murid Kiai Gringsing yang dikenal sebagai orang bercambuk, yang justru pernah berada di Tanah Perdikan ini pula, sehingga mungkin orang-orang itu pernah juga mengenal, setidak-tidaknya mendengar tentang mereka. Dengan demikian, maka mereka akan dapat menyiapkan kekuatan yang memadai."
"Betapapun juga tinggi ilmunya, namun ia hanya seorang diri," berkata kawannya.
Prastawa mengangguk-angguk.
Namun ia tidak sempat berbicara lebih panjang, karena pamannya kemudian berkisar dari bendungan itu untuk melihat-lihat parit yang sudah diperbaiki, menjelujur di antara petak-petak sawah yang basah.
Ternyata Ki Gede Menorehpun menjadi gembira. Satu pedukuhan telah berhasil bangun dari tidurnya yang nyenyak. Bukan hanya bendungan dan parit. Namun ternyata regol padukuhan, gardu dan jalan-jalanpun telah diperbaiki pula, meskipun hanya sekedar menutup kerusakan disana-sini.
"Padukuhan ini akan menjadi contoh," berkata Ki Gede. Lalu katanya kepada Agung Sedayu, "kau sudah berhasil menjajagi kemungkinan untuk melakukan kerja yang lebih besar di atas Tanah Perdikan ini ngger. Silahkan. Aku menunggu rencanamu yang menyeluruh. Semakin cepat kita besama-sama bangun diseluruh Tanah ini, akan Semakin baik. Jika sarana kehidupan menjadi semakin baik, maka kita akan segera dapat hadapi segi yang lain. Para pengawal sudah lupa, bagaimana cara membawa tombak. Merekapun perlu dibangunkan pula."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ketika sekilas ia memandang wajah Prastawa, ia melihat, betapa kebencian menyala di hati anak muda itu.
Namun Agung Sedayu menjawab juga, "Aku akan berusaha Ki Gede. Tentu saja dengan bantuan dan petunjuk anak-anak muda Tanah Perdikan ini sendiri."
"Aku menunggu," desis Ki Gede sambil berjalan disepanjang jalan padukuhan. "Gardu yang sudah diperbaiki itu mempunyai sebuah kentongan baru, yang dibuat dari pangkal pohon kelapa."
Ketika Ki Gede mencoba memukul kentongan itu, terdengar suaranya nyaring dengan nada dara muluk.
Dalam pada itu, orang-orang yang tidak melihat apa yang dilakukan Ki Gede, terkejut juga mendengar kentongan yang berbunyi tidak pada waktunya. Tetapi karena nada yang dilontarkan adalah nada yang tidak memberikan kesan khusus dan apalagi bahaya, maka orang-orang itupun menduga, bahwa seseorang sedang mencoba sebuah kentongan baru.
"Siapa yang membuat kentongan itu ?" bertanya seseorang yang sedang berada disawah bersama seorang kawannya. Karena keduanya bukan orang padukuhan yang sedang membangun bendungan, maka mereka tidak tahu, bahwa padukuhan itu sudah memesan sebuah kentongan baru kepada Ki Senu di sudut padukuhan.
Dengan kebanggaan yang bergejolak di dalam hati, Ki Gedepun kemudian kembali ke padukuhan induk. Kepada para pemimpin Tanah Perdikan ia menekankan lagi agar merekapun berbuat sesuatu untuk ikut mempercepat kerja yang sudah dimulai.
Dihari berikutnya. Agung Sedayu sudah tidak lagi berada di bendungan yang sudah diselesaikannya. Tetapi ia ingin melihat-lihat daerah yang lain dari Tanah Perdikan Menoreh.
Untuk menghindari peristiwa-peristiwa yang tidak dikehendaki, maka Agung Sedayu telah memutari beberapa padukuhan bersama Ki Waskita. Sehingga dengan demikian, Prastawa menjadi segan untuk berbuat sesuatu atasnya.
"Gila," geram Prastawa, "anak itu sekarang selalu ditemani oleh paman Waskita."
"Tetapi pada suatu saat, ia akan sendiri, dalam keadaan apapun," jawab kawannya, "karena itu, kita harus secepatnya menghubungi orang-orang yang akan dapat mengusirnya."
"Atau menghapusnya sama sekali," geram Prastawa.
Kawannya tidak menyahut. Bagaimanapun juga, sikap Prastawa yang terakhir itu membuatnya menjadi berdebar-debar. Ia tidak berniat melangkah begitu jauh.
Ternyata kawan-kawannya yang lainpun menjadi termangu-mangu. Namun agaknya Prastawa tidak menghiraukannya.
Dalam pada itu, selagi Prastawa berusaha untuk menemukan orang yang akan dapat mengusir Agung Sedayu, jauh dari Tanah Perdikan Menoreh, seseorang sedang berusaha untuk menyempurnakan ilmunya dengan laku terakhir menjelang laku puncaknya, pati geni. Ajar Tal Pitu yang merasa terhina karena kekalahannya, telah bertekad untuk menyempurnakan ilmunya dan sekali lagi menghadapi Agung Sedayu. Jika pada saatnya ia selesai dengan laku puncaknya, dan ternyata Agung Sedayu tidak diketemukannya lagi di padepokannya, maka Ajar Tal Pitu itu tentu akan mencarinya sampai ke ujung bumi sekalipun.
Namun Prastawa sama sekali tidak mengerti persoalan antara Agung Sedayu dan Ajar Tal Pitu. Sehingga dengan demikian, maka ia telah berusaha untuk menemui orang yang diketahuinya, memiliki kemampuan yang luar biasa, meskipun orang itu dari lingkungan orang-orang yang hidup diluar tatanan hubungan manusia kebanyakan, lewat seorang anak muda Tanah Perdikan Menoreh yang memang agak lain dari kebanyakan anak-anak muda.
"Siapa anak itu ?" bertanya seorang yang bertubuh tinggi, kekar dengan kumis, jambang dan janggut yang lebat.
"Namanya Agung Sedayu," sahut Prastawa, "ia adalah murid orang bercambuk yang terkenal, dan pernah berada di Tanah Perdikan ini pula pada masa kakang Sidanti menyalakan api perlawanan di Tanah ini. Setelah itupun ia beberapa kali telah datang ke Tanah Perdikan ini untuk keperluan yang bermacam-macam."
"Apa peduliku dengan orang bercambuk itu ?" geram orang bertubuh kekar dan berjambang lebat itu, "setiap orang tahu, bahwa aku adalah benggol kecu yang paling ditakuti."
Rahasia Peti Wasiat 12 Pendekar Rajawali Sakti 136 Singa Gurun Pendekar Lengan Buntung 1