Pencarian

Duka Lara Dewi Tatoo 2

Si Tolol 5 Duka Lara Dewi Tatoo Bagian 2


Setyatun, perbuatan kejam seperti itu akan ter-cipta pula dari para pendekar
lainya saat memperebutkan patung Ratu Shima. Itulah yang membuatnya memu-tuskan
akan memusnahkan patung itu.
Dewi Tatto memutar bagian kaki
patung Ratu Shima. Tetapi tiba-tiba sebuah bayang berkelebat bagaikan
kilat dan langsung merampas patung
Ratu Shima dari tangan Dewi Tatto.
Sambil berjumpalitan di udara, ba-
yangan itu kemudian meloncat jauh dan mendarat di atas batu sekitar enam
meter dari hadapan Setyatun.
"Kurang ajar!" bentak Setyatun sambil memutar badan menatap ke arah orang yang
baru saja merampas patung
dari tangannya. Tanpa memperhatikan siapa lelaki itu, ia langsung saja
melancarkan serangan maut.
"Hiyaaaat...!" Dewi Tatto berteriak nyaring sehingga terasa
getarannya merontokkan batu-batuan di dalam gua. Tubuhnya meloncat bagaikan
terbang, dengan tangan kanan diayunkan memukul ke arah pinggang lelaki itu.
Orang yang merampas patung itu
sebenarnya adalah Si Tolol. Bocah itu tadi telah masuk ke dalam gua dan
sampai sekarang masih tetap memejamkan mata. Ketika sambaran tangan Dewi
Tatto hampir menyentuh tubuhnya, ia meloncat tinggi. Tetapi Setyatun
rupanya sudah mempersiapkan serangan berikutnya. Begitu serangan pertamanya
gagal, gadis itu menegakkan badan
sambil melancarkan serangan berupa
cengkeraman maut ke arah selangkangan lawan.
Melihat cepatnya gerakan Dewi
Tatto, tampaknya akan sulitlah bagi lawan untuk menghindar, karena sedang
melayang di udara. Namun dengan
gerakan yang sukar diikuti pandangan mata, tubuh Si Tolol bersalto dan
berputar-putar, kemudian bagaikan
punya sayap saja melayang jauh da
hadapan Setyatun.
Agaknya Setyatun segera menyadari
bahwa lelaki yang dihadapinya sekarang bukanlah orang sembarangan. Selama
petualangannya di dunia persilatan, belum pernah ada pendekar yang bisa
menghindari serangannya dengan demikian mudahnya. Untuk itu, Dewi Tatto hendak
mempengaruhi lawan dengan
tubuhnya yang telanjang. Ia sengaja berdiri sambil menyandarkan tangan
kirinya ke dinding gua, sedangnkan
kedua belah pahanya dibukan lebar-
lebar. Begitu juga dadanya sengaja dibusungkan, sehingga sepasang buah dadanya
tampak lebih menonjol. Sikap gadis cantik jelita itu benar-benar menantang,
sehingga sulit dipercaya ada lelaki normal yang tidak
terpengaruh melihatnya.
"Hei, siapa kau monyet" Kemba-
likan patung itu, cepat! Sebelum
kepalamu pecah!"
Gadis itu sudah sangat yakin,
lawannya akan ternganga melihat tubuh bugilnya. Tetapi ia menjadi penasaran,
karena Si Tolol bukannya tertarik,
malah memiringkan kepala sambil
mengeluarkan suara mendengkur.
"Bangsat! Kau tak menyahut! Kau menghinaku, hiyaaa....!" Ia kembali menerjang
sambil mengeluarkan jurus mautnya. Tangannya menyambar dahsyat ke arah leher Si
Tolol. Si Tolol masih tetap pada posisi semula, Setengah
menunduk sambil mendengkur, sementara tangan kirinya menggenggam patung Ratu
Shima. "Kunyuk! Pecah batok kepalamu!"
bentak Dewi Tatto, sudah yakin
lawannya tidak akan sempat mengelak lagi. Namun ketika lambaran tangannya
tinggal beberapa centimeter saja dari sasaran, Si Tolol menunduk. Terdengar
suara gemeretak bebatuan di dinding gua hancur terkena pukulan gadis itu.
"Bangsat!" teriak Setyatun makin geram. Ia meloncat ke hadapan Si
Tolol. Kedua lututnya setengah ditekuk dan pahanya dibuka lebar-lebar.
Melihat posisi tubuhnya yang sedang melayang turun, jika Si Tolol masih diam,
maka selangkangan Dewi Tatto
akan lepat merapat di wajahnya.
Setyatun memang sengaja berbuat
demikian, sebab ia masih penasaran
melihat lawannya tadi sama sekali
tidak terpengaruh melihat organ-organ seksualnya.
"Lihat, nih!" teriak Dewi Tatto ketika tubuhnya sudah sangat dekat ke hadapan Si
Tolol. Tiba-tiba Si Tolol membalikkan
badan, sehingga kepalanya ke bawah dan pada saat yang hampir bersamaan, kaki
kanannya menendang selangkangan Dewi Tatto.
"Duk!" Kaki Si Tolol mendarat telak, sehingga Setyatun menjerit
kesakitan. Gadis itu berjumpalitan di udara untuk menjauhi dari serangan lawan
berikutnya. Ketika ia mendarat
kembali di tanah, ia segera memegangi kemaluannya yang terasa sangat nyeri.
Diam-diam Dewi Tatto merasa kagum
juga terhadap Si Tolol. Gerakan bocah itu cepat luar biasa dan selalu di
luar perhitungan. Belum pernah Dewi Tatto bertemu dengan lawan sehebat
itu. Dan yang lebih membuatnya
penasaran adalah kenyataan bahwa lawan sama sekali tidak tergiur melihat
tubuhnya yang bugil.
Pastilah bocah berkepala botak
itu merupakan pendekar silat yang
sangat sakti, yang di samping telah menguasai berbagai ilmu tinggi, juga telah
mampu menguasai nafsu sehingga tidak mau lengah melihat wanita dalam keadaan
telanjang bulat.
Ketika Dewi Tatto berpikir seraya
berusaha mengurangi rasa sakit di
selangkangannya, Si Tolol diam saja.
Kedua kakinya setengah terbuka dengan posisi kaki kanan di depan sedang kaki
kiri ditekuk. Tangan kirinya memegang patung Ratu Shima, sedang tangan
kanannya disilangkan di dada. Akan
tetapi kepalanya tertunduk dan suara dengkurnya masih terdengar jelas
memenuhi gua batu itu.
Setyatun semakin heran melihat
sikap Si Tolol. Perlahan-lahan tanpa menimbulkan suara mencurigakan, ia
mendekat dan memperhatikan mata Si
Tolol. Astaga! Kedua mata lelaki
berkepala botak itu terpejam, dan
agaknya sewaktu bertempur pun
keadaannya pun tetap demikian. Pantas bocah itu tidak terpengaruh karena
sama sekali tidak melihat keadaan di sekelilingnya, termasuk tubuh bugil
Setyatun. Tetapi bagi Setyatun, hal itu
merupakan sesuatu yang luar biasa!
Orang bertempur sambil tidur. Selama hidup ia belum pernah bertemu dengan
pendekar seperti itu, bahkan
mendengarnya pun belum. Agaknya
didunia persilatan saat ini telah
muncul tokuh yang lain dari yang lain.
Bagaimanapun ju ga, Setyatun bukanlah orang tolol yang tidak tahu membaca
situasi. Ia sudah menyadari bahwa ia tidak mungkin mampu mengalahkan Si
Tolol. "Baiklah. Aku mengaku kalah
padamu, Tapi sebelum kita berpisah, aku ingin tahu untuk apakah kau
merebut patung Ratu Shima dariku" Aku rela menyerahkannya padamu, asalkan tidak
untuk maksud-maksud yang
merugikan orang lain atau kepuasan
nafsu serakah."
Si Tolol masih tetap dengan
posisinya semula. Tidak menyahut, atau menoleh.
"Hei, kau jangan diam saja!
Jawablah aku!" Dewi Tatto berteriak sekuat-kuatnya, tetapi Si Tolol tidak
bergeming sedikit pun juga. Setyatun menahan nafas. Ia masih sangsi
memikirkan maksud Si Tolol merebut
patung Ratu Kalingga. Siapa tahu,
orang itu adalah tokoh dari golongan hitam. Karena pikiran seperti itu,
maka berubahlah pendiriannya. Aku
harus merebutnya kembali, kata hati Dewi Tatto.
Setelah yakin bahwa Si Tolol
benar-benar tertidur
pulas sambil berdiri, Setyatun melangkah mendekat.
Ia berjingkat-jingkat sehingga tidak menimbulkan suara.
Lalu sambil menahan nafas, gadis itu mengulurkan tangan hendak mengambil patung Ratu Shima
dari tangan Si Tolol.
Akan tetapi, ketika tangannya
hendak menyentuh patung itu, tiba-tiba Si Tolol berteriak nyaring. Tangannya
yang tadi dilipatkan di dada menyambar dengan sangat cepat dan mengandung
tenaga dalam yang sangat kuat.
Setyatun terkejut bukan main. Ia
hendak meloncat mundur, namun tidak sempat.
"Plak!"
"Augh!"
Demikian kuatnya pukulan Si
Tolol, sehingga tanpa ampun lagi,
tubuh Setyatun terlempar
beberapa meter ke belakang, kemudian jatuh
bergedebuk. Saat itulah Si Tolol terbangun
dari tidurnya. Tadi ia memang benar-benar tidur, sehingga semua gerakannya
adalah di bawah alam sadar. Sayang
kesaktiannya yang luar biasa hanya
datang di saat-saat tertentu saja,
seperti tadi. Jika dalam keadaan
normal justru ia akan berubah menjadi manusia biasa yang bahkan selalu
bersikap tolol.
Setelah tersadar, Si Tolol
menjadi terkejut melihat seorang
wanita dalam keadaan telanjang di
hadapannya. "Heh, siapa kau" Ah, Mbakyu...
Mbakyu cakep. Tapi tidak pakai kain dan kebaya. Apa tidak dingin?" tanya Si
Tolol sembari menatap sekujur tubuh Setyatun. Dengan jelas terlihat bahwa pemuda
itu merasa tertarik, tetapi
bukan secara seksual melainkan karena merasa menemukan orang aneh dengan
kebiasaan yang tidak lazim.
"Kau...?" Setyatun sungguh sangat keb-ngungan melihat sikap Si Tolol
hingga tidak tahu harus mengatakan
apa. Si Tolol sebenarnya masih ingin
menanyakan gambar-gambar apa yang
menghiasi sekujur tubuh Setyatun.
Tetapi tiba-tiba ia melihat patung
Ratu Shima di tangannya Maka ia pun segera melonjak kegirangan.
"Horeeee...! Ini dia boneka yang kucari-cari. Kok tahu-tahu ada di
tanganku" Perasaan hari itu diambil orang jahat, kepalanya bersorban dan
telinganya pakai anting-anting."
Si Tolol tampak berpikir
sebentar. Tetapi kemudian ia tertawa lagi penuh kegembiraan. Saking girang-nya
ia berjingkrak-jing-krak di
hadapan Setyatun, hingga sampai wa-
jahnya dibasahi keringat.
"Sudah, ah! Aku mau pergi dulu.
Permisi Mbakyu cakep. Kalau mau mandi, silahkan mandi dulu."
Setyatun bangkit berdiri sambil
menatap Si Tolol dengan mata hampir tak berkedip. Dia ini sebenarnya anak kecil
apa orang dewasa, atau
barangkali orang sinting?" tanya hati Dewi Tatto bingung.
"O, iya! Aku juga pernah tinggal di gua seperti ini bersama paman
Maulana. Tapi di dalam gua itu tidak ada air untuk mandi. Paman Maulana
sangat baik padaku. Dia suka
menggendongku, bercerita, dan memberkan makanan. Sewaktu tidur di gua,
kalau ada nyamuk mau menggigitku dia menepuk nyamuk jahat itu sampai
gepeng." "Siapakah kau sebenarnya?" tanya Setyatun hati-hati.
Si Tolol tidak menjawab per-
tanyaan Dewi Tatto. Ia meneruskan
ceritanya tentang paman Maulana.
"Sayang sekarang paman Maulana
sudah tidak ada. Kalau dia masih ada, aku akan tinggal di Sumedang saja.
Tidak pergi ke mana-mana seperti
sekarang ini. Hu.... hu.... paman
Maulana sudah meninggal. Aku jadi
sendirian...."
Tiba-tiba wajah Si Tolol yang
tadinya berseri-seri berubah muram.
Air matanya mulai menetes membasahi pipi. Agaknya ia sangat sedih
mengingat kematian pamannya Maulana.
Karena tak lama kemudian, ia menangis sejadi-jadinya sambil bergulingan di atas
tanah. Patung Ratu Shima
dilemparkan nya begitu saja.
"Waw.... paman Maulana...." Si Tolol berteriak kuat sekali hingga urat lehernya
terasa bagaikan hendak pecah. "Tega benar paman ninggalin Tolol, paman...."
Setyatun menjadi kasihan juga. Ia
menduga Si Tolol mengalami pukulan
bathin yang sangat berat karena
kehilangan orang yang sangat dicintai.
Sampai ia lupa kepada boneka
kesayangannya yang telah ia perebutkan secara mati-matian. Kalau begitu aku
yakin tidak membahayakan kalau patung itu berada di tangannya, karena ia
hanya menganggap patung itu mainan
belaka. Sejenak wanita bertatto itu
manggut-manggut sambil memutar otak.
Tapi ada satu hal yang kukhawatirkan,
pikirnya kemudian. Bagaimana kalau
nanti patung itu dicuri orang dari
tangan Si Tolol" Keadaannya tentu akan rumit lagi, apalagi kalau sampai jatuh ke
tangan tokoh dari golongan hitam.
Setyatun memang sudah menyaksikan
sendiri kehebatan Si Tolol, sehingga hanya dalam beberapa gebrakan saja
sudah bisa merobohkannya. Tetapi
tampaknya, bocah gundul itu hanya bisa hebat jikalau sedang dalam keadaan tak
sadar. Buktinya sekarang, bocah itu malah menangis berguling-gulingan di tanah,
tak lebih dari sekedar anak
kecil yang baru belajar melangkah.
Nanti orang lain tentu akan mudah saja menipunya.
Kalau begitu jalan yang paling
baik adalah membawa kabur patung itu di saat bocah ini masih tak
memperdulikannya, kata hati Dewi


Si Tolol 5 Duka Lara Dewi Tatoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tatto. Dengan hati-hati, ia memungut patung itu, sementara Si Tolol masih terus
meraung-raung. Apa boleh buat, Dewi Tatto sebenarnya bukannya tak
kasihan kepada bocah itu. Tetapi ia terpaksa harus mengesampingkan perasaannya,
demi keselamatan patung itu sendiri. Biarlah ia pergi membawa
patung itu dan di suatu tempat nanti ia akan memusnahkannya tanpa setahu
siapapun. Akan tetapi ketika Setyatun
hendak langkah keluar gua, tiba-tiba
terdengar suara seorang lelaki
berseru-seru sambil melangkah ke depan gua.
"Tong! Dimana kau" Ini aku Jaka!"
teriak pemuda itu. Dia memang Jaka
yang sejak tadi berusaha berlari
mengejar Si Tolol. Tetapi karena ia kalah cepat, ia baru sekarang tiba di lereng
gunung Muria. Karena tidak ada sahutan, pemuda
itu kembali berteriak-teriak sambil melirik ke sekelilingnya. Si Tolol
tidak kelihatan, suaranya pun tak
kedengaran. Jaka semakin cemas.
Dugaannya bahwa bocah itu telah ke-
surupan semakin kuat.
"Aduh, ong. Kenapa nasibmu harus begini" Ke mana aku harus mencarimu"
Bisa-bisa aku harus menginap di hutan ini. Tong! Dengarlah aku."
Dengan perasaan was-was, Jaka
melangkah hendak masuk ke dalam gua.
Namun tiba-tiba seseorang meloncat ke hadapannya. Sejak tadi Dewi Tatto
telah mengintip dari balik dinding gua. Gadis itu terheran-heran melihat seorang
lelaki muda membawa patung
yang tampaknya sangat mirip dengan
patung Ratu Shima.
"Maaf, siapakah engkau" Dan
apakah yang kau bawa itu" Persis
sekali dengan patung ini," ujar Setyatun sambil menatap wajah Jaka dalam-dalam.
Akan tetapi Jaka bukannya
menyahut, malah terbelalak dan hendak melarikan diri karena mengira Dewi
Tatto adalah makhluk halus penghuni gunung Muria yang telah menawan Si
Tolol. Untunglah Dewi Tatto segera
berkata ramah. "Jangan salah paham. Aku tidak bermaksud jahat."
Jaka melirik wanita di hada-
pannya. Ia tidak berani menatap lurus-lurus karena sekujur tubuh Setyatun tidak
ditutupi sehelai benang pun
"Kenapa kau diam saja?" tanya Dewi Tatto dengan surat yang terdengar sangat medu
di telinga Jaka.
"Aku... aku tidak apa-apa.
Siapakah kau sebenarnya" Dan... dan pakaianmu itu aneh sekali," ujar Jaka agak
gugup, karena ia sebenarnya ingin mengatakan kenapa Setyatun telanjang bulat dan
sekujur tubuhnya dihiasi tatto.
"Aku orang di sini, maksudku
pengembara yang tak tentu tempat
tinggalnya."
"Aku sedang mencari seseorang.
Apakah kau melihat seorang pemuda
tanggung, bertubuh gemuk, kepalanya besar dan botak dan pakai oto?"
"Oh, jadi kau mengenalnya" Syu-kurlah
kalau begitu, Ia sedang
menangis di dala gua."
"Astaga! Dia sedang menangis" Kau
apkan dia?"
"Tidak kuapa-apakan. Ia tiba-tiba saja menangis."
"Kasihan anak itu. Dan heh,
patung yang kau bawa itu mirip sekali dengan ukiranku ini."
Dewi Tatto agak terkejut juga
mendengar pertanyaan Jaka, yang
berarti pemuda itu belum kenal sama sekali akan patung Ratu Shima. Kalau begitu,
besar kemungkinan pemuda di hadapannya bukanlah seorang pendekar, melainkan
orang biasa-biasa.
* * * 6 Sebenarnya kedua orang itu sama-
sama terkejut ketika pertama kali saling berhadapan tadi. Jaka kaget
karena Setyatun telanjang bulat,
sedangkan Setyatun sendi sempat
bergetar hatinya melihat wajah Jaka yang sangat mirip dengan lelaki yang pernah
dekat di hatinya. Akan tetapi karena keadaan, keduanya tidak sempat
memikirkannya lebih jauh.
Jaka merasa sangat risih ber-
hadap-hadapan dengan Setyatun. Bagaimanapun juga, ia adalah lelaki biasa.
Tubuh wanita yang sangat cantik dalam keadaan telanjang, biar pun dihiasi tatto,
tentu akan mempengaruhi
dirinya. Sewaktu bicara dengan
Setyatun, ia lebih banyak menunduk
atau memalingkan wajah ke arah lain.
"Kenapa anak itu menangis?"
"Entahlah. Tapi tadi ia menyebut-nyebut nama pamannya Maulana yang
katanya sangat sayang padanya. Apakah engkau sendiri pamannya itu?"
"Bukan," sahut Jaka cepat, "Aku ingin melihatnya dulu." Lalu tahpa menunggu
jawaban Setyatun, Jaka segera melangkah masuk ke dalam gua. Ternyata tangisan Si
Tolol sudah mulai reda. Ia duduk sambil bersandar ke dinding gua.
Jaka segera mengham-piri dan sambil menepuk bahu Si Tolol, ia berkata:
"Tong, mau apa tadi kau ke sini"
Lihat, kakiku sampai terluka gara-gara mengejarmu, Nih, lihat bonekanya sudah
jadi. Bagus, kau pasti senang. Ayo, ambillah! Setelah itu, kita akan
segera pulang. Hari sudah mulai
malam." "Nggak mau! Aku mau tidur!"
teriak Si Tolol sambil menepiskan
tangan Jaka, sehingga ukiran kayu di tangannya hampir terjatuh. Setelah
itu, Si Tolol menyandarkan kepala dan memejamkan kedua mata. Agaknya anak itu
sangat kelelahan, sehingga dalam waktu singkat saja ia sudah tertidur pulas.
Jaka menghela nafas panjang beberapa kali. Rasa iba di hatinya
melihat Si Tolol makin bertambah-
tambah. Di kedua sudut mata bocah itu tampak sisa-sisa air mata yang belum
kering. Dengan penuh kasih sayang, ia menyeka air mata itu. Cukup lama juga
pemuda itu berpikir apa yang harus ia lakukan sekarang. Hari sudah mulai
malam. Jika menunggu Si Tolol sampai bangun baru pulang, keadaan pasti akan
membahayakan. Selain makhluk halus, di sekitar gunung Muria ada juga binatang
berbahaya yang setiap saat dapat
mengancam jiwa. Tetapi kalau ia
membangunkan Si Tolol alangkah
kasihannya dia.
"Hei, dia sudah tidur. Kenapa kau diam saja?" tanya Setyatun yang rupanya ikut
melangkah masuk
menghampiri Si Tolol.
Jaka berpaling tanpa sadar. Namun
demi melihat tubuh Setyatun dan
kebetulan pula tepat pada
selangkangannya, ia buru-buru memutar kepala, menatap wajah Si Tolol
kembali. "Kau tidak menjawab aku. Kenapa kau diam saja?" tanya Dewi Tatto lagi.
"Aku tidak apa-apa. Tapi... maaf, terlalu sulit rasanya bicara terhadap wanita
seperti dirimu. Bukan maksud saya memuji atau menghina, tapi memang demikianlah
kenyataannya. Harap engkau meninggalkan tempat ini. Atau kalau selama ini engkau
sudah biasa di gua ini, kami yang akan pergi. Kasihan
anak ini. Dia nyasar sampai ke sini, hidup luntang lantung tanpa sanak
famili." "Tunggu dulu! Di antara kita
sebenarnya tidak ada persoalan apa-
apa. Apakah tidak sebaiknya kita
kenalan dulu" Siapakah engkau
sebenarnya?"
"Namaku Jaka, ahli ukir kayu jati dari Jepara ini juga."
"Dan anak itu?"
"Saya sendiri belum tahu banyak tentang dirinya. Dia kutemukan di
pinggir jalan sedang menangis tadi
siang. Lalu kubawa ke tempat kerjaku.
Dia minta aku membuatkan boneka,
pengganti bonekanya yang katanya
hilang diambil orang. Kasihan, tampaknya dia sangat menyayangi patung itu.
Mungkin pemberian orang tuanya atau orang yang dikasihinya."
Setyatun mengamati patung kayu di
tangan Jaka, lalu memperhatikan patung Ratu Shima di tangannya. Sangat mirip,
Cuma bentuknya patung kayu itu sedikit lebih kecil. Dan tentu saja patung
Ratu Kalingga jauh lebih bagus, karena terbuat dari emas murni dan dihiasi intan
permata pula. Melihat patung di tangan Jaka,
seketika timbul ide-ide dalam pikiran Setyatun, yang menurutnya nanti akan dapat
menyelamatkan patung Ratu Shima dari incaran para pendekar dan Si
Tolol pun tidak akan merasa dirugikan.
Tetapi Dewi Tatto tidak segera
mengatakannya, karena bisa jadi Jaka belum percaya sepenuhnya, atau masih
sungkan-sungkan karena keadaannya
yangj telanjang. Padahal sebenarnya Setyatun sendiri tidak merasa apa-apa jika
dirinya dipandangi, karena ia
sudah terbiasa sekali dan menganggap gambar-gambar tatto adalah pengganti
pakaiannya sendiri. Sekarang timbul niat dalam benaknya agar Jaka merasa cukup
akrab dengannya. Barulah setelah itu ia membeberkan rencananya.
"Jaka," Setyatun menyebut nama pemuda itu dengan sikap ramah seolah-olah mereka
sudah cukup lama saling kenal, "Apakah engkau tidak tahu patung apakah
sebenarnya yang saya
pegang ini?"
Jaka melirik patung Ratu Shima
sebentar, lalu menggelengkan kepalanya dan
dikatakannya yang ia tahu
hanyalah terbuat dari emas, dihiasi permata intan, patung seorang ratu
yang sangat indah dan cantik. Cuma
itu, jika misalnya ada hal-hal lain yang lebih menarik lagi, ia sama
sekali tidak tahu.
Mendengar jawaban Jaka itu,
yakinlah Setyatun bahwa lelaki itu
benar-benar tidak mengenal patung Ratu Shima, apalagi mengetahui rahasia
wasiat yang tersimpan didalamnya.
Entah bagaimana pula sikap Jaka kalau ia tahu. Mungkin dia akan bersikap
biasa-biasa saja tetapi tidak mustahil pula akan berusaha merebutnya. Kalau itu
benar-benar terjadi, mungkin bukan hanya rasa benci yang akan bergejolak dalam
hati Setyatun, tetapi juga
amarah. "Jaka, apakah engkau tidak ingin memiliki patung ini?" tanya Setaytun dengan
maksud memancing sikap pemuda itu.
Jaka tidak segera menyahut,
karena ia menyadai bahwa di balik
pertanyaan itu ada maksud-maksdu
tersembunyi. Mungkin Dewi Tatto hendak memancingnya atau dengan alasan lain.
Sebab bukankah patung itu terbuat dari emas dan dihiasi intan permata pula"
Siapa gerangan orang yang tidak
menginginkannya"
"Kenapa kau tidak menjawab
pertanyaanku?" tanya Setyatun.
Jaka mengusap kening Si Tolol
dengan pelan, lalu kemudian berkata:
"Kukira adalah kurang bijaksana engkau bertanya seperti itu padaku.
Katakanlah apa sebenarnya maksudmu!"
Setayatun agak terkejut juga
mendengar jawaban Jaka. Entah mengapa seketika timbullah rasa kagum di
hatinya. Jawaban seperti itu menurut penilaian Setyatun sangat tepat,
seolah-olah memaksa si penanya untuk
segera menjelaskan maksud hatinya.
"Jaka, tidak tahukan engkau bahwa saat ini banyak pendekar berkeliaran di
sekitar gunung Muria ini" Mereka telah siap mengadu nyawa, membunuh
atau dibunuh untuk memperebutkan
patung ini," kata Setyatun.
"Kalau begitu bertanyalah engkau kepada mereka, sebab aku tak pernah merasa
terlibat di dalamnya"
"Ah, Jaka! Cobalah bersikap lebih terbuka padaku. Saat ini telah terjadi sesuatu
yang luar biasa, yang harus kau ketahui. Hal itu kukatakan karena patung kayu
ukiranmu sangat mirip
dengan patung ratu Shima ini."
"Patung Ratu Shima?"
"Oh, jadi kau benar-benar tidak mengerti" Dengar Jaka! Patung ini
adalah patung Ratu Shima dari kerajaan Kalingga di pertengahan abad ketujuh.
Di dalam patung ini lersimpan surat wasiat berisi rahasia kelanggengan
tahta dan rahasia kecantikan. Itulah sebabnya saat ini banyak sekali
pendekar yang ingin merebutnya. Bukan hanya dari Jepara ini saja, tetapi
juga dari negeri seberang."
"Saya sudah pernah mendengar
tentang patung Ratu Shima. Tetapi aku tak tertarik. Mungkin kau tertarik akan
surat wasiat itu, kenapa tidak kau ambil saja?"
"Aku justru ingin memusnahkannya,
Jaka! Tolonglah aku! Sampai mati aku akan mengingat jasa baikmu!"
Jaka tertawa kecil mendengar
ucapan Setyatun. Bagaimana ia bisa
memberikan pertolongan" Bukankah ia hanya seorang pemuda biasa, yang tidak bisa
berbuat apa-apa menghadapi para tokoh silat" Dalam pikiran Jaka, ia memang
hendak diminta turut menghadapi para pendekar yang memperebutkan
patung Ratu Shima.
"Kenapa kau tertawa" Apakah
engkau tidak mau membantuku?"
"Apakah yang bisa kulakukan
untukmu?" "Berjanjilah kau bersedia
menolongku! Saat ini aku betul-betul sangat membutuhkan bantuanmu. Tanpa engkau
semua rencanaku tidak akan bisa berjalan lancar." Setyatun diam sejenak sambil
menatap punggung Jaka, karena pemuda itu memang masih
membelakanginya. Lalu dengan agak
terburu-buru, ia kemudian melanjutkan:
"Maaf, Jaka! Bukan maksudku untuk memperalat dirimu. Tapi ini demi
keselamatan patung Ratu Shima, demi kebaikan penduduk terutama para
pendekar, termasuk anak itu sendiri."
"Anak ini" Kenapa kau membawa-
bawa dirinya?"
"Ada sesuatu hal yang luar biasa dalam diri anak itu. Dia memang tampak hanya
seorang bocah biasa saja, bahkan
kelihatan sangat tolol. Tetapi
ternyata, di balik semua itu tersimpan sesuatu kekuatan luar biasa, sehingga
hanya dalam dua tiga jurus saja, ia sudah mampu menjatuhkan aku. Aku menilai
bahwa anak ini hebat, tapi hanya pada saat-saat tertentu saja."
Jaka tertarik juga mendengar
ucapan Setyatun. Mungkin ucapan wanita itu ada juga benarnya. Karena tadi ia
sudah melihat sendiri Si Tolol bisa meloncat bagaikan terbang. Demikian hebatnya


Si Tolol 5 Duka Lara Dewi Tatoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gerakan bocah berkepala
gundul itu, sehingga Jaka mengiranya sedang kesurupan setan gunung Muria.
Tetapi sebagai pemuda yang tidak
begitu paham masalah-masalah ilmu
silat, Jaka tidak bisa berpikir
terlalu jauh. Ia kemudian bahkan
menjadi bingung sendiri mendengar ada orang hebat, tetapi hanya pada saat
tertentu saja. Entah kapan maksudnya dan bagaimana pula bisa terjadi.
"Sekarang, tolonglah ceritakan bagaimana engkau bisa membikin patung yang persis
mirip dengan patung Ratu Shima. Padahal seperti yang kau bilang tadi, selama ini
belum pernah tahu
tentang patung emas ini."
"Aku sendiri bingung dan belum mengerti. Aku membuatnya atas per-mintaan bocah
ini. Kuambil sepotong kayu jati, tetapi aku tak tahu
bagaimana bentuk patungnya yang hilang
itu. Saat itu, aku ingin memba-
ngunkannya. Namun karena ia sudah
tidur pulas, aku tidak sampai hati.
Tiba-tiba, tanpa kusadari aku melihat bayangan sebuah patung, persis seperti
yang kau pegang itu...." Lalu Jaka menceritakan secara mendetail tentang
kejadian ganjil yang dialaminya
sewaktu mengukir patung itu.
Mendengar penjelasan Jaka,
Setyatun manggut-manggut beberapa
saat. Tetapi kemudian, ia mengerutkan alisnya, sehingga
dahinya dihiasi
kerut merut halus.
"Mungkin peristiwa itu ada
sangkut pautnya dengan anak ini.
Tetapi kita tidakj perlu terlalu
memikirkannya. Sekarang aku menemukan sebuah ide. Mari ikut aku sebentar!"
ujar Dewi Tatto sambil menarik tangan Jaka.
"Mau ke mana?"
"Di sini ada sumber api abadi.
Kita harus ke situ sekarang juga.
Nanti aku akan menjelaskan semuanya.
Biarlah bocah itu sendirian. Ia sedang tidur pulas."
Jaka akhirnya menurut. Tangannya
ditarik Setyatun sambil mengerahkan tenaga dalam, sehingga Jaka benar-benar
tidak bisa memberontak. Ia
bagaikan kambing dungu saja dibawa ke suatu tempat di dalam gua.
Setyatun berada di depan,
sehingga lenggak-lenggok pinggulnya yang montok nampak jelas di mata Jaka.
Tidak lama kemudian, keduanya
sampai pada suatu tempat yang ada
sumber api abadi. Api itu berkobar-
kobar dari dalam lubang batu, dari dalam lapisan bumi, yang pada zaman Si Tolol
banyak terdapat di daerah gunung Muria sampai ke Cepu. Dan pada abad ke XX
sampai sekarang menjadi sumber
minyak bumi di Pulau Jawa.
Api itu terus-terusan menyala,
karena di dalam bumi di bawahnya
memang terdapat sumber minyak. Akan tetapi karena saat itu penduduk belum
berpikir sampai ke sana, timbullah
dugaan bahwa api itu sengaja
dipelihara penghuni gunung Muria dan terus menyala, sehingga oleh penduduk
setempat dinamakan api abadi, atau
menurut warga lainnya disebut api nan tak kunjung padam.
"Kenapa engkau membawaku ke
sini?" tanya Jaka sambil menatap api itu.
"Jaka, dengarkanlah baik-baik.
Aku mempunyai rencana yang hanya bisa terlaksana kalau kau mau menolongku
seperti yang kukatakan tadi. Tapi aku bersumpah tidak bermaksud menyulitkan
dirimu. Aku tidak ingin seperti
pendekar yang lain, ingin mempere-
butkan patung Ratu Shima demi
kepentingan pribadi, apalagi sampai
membuat orang lain menderita. Karena itu aku bermaksud memusnahkan patung Ratu
Shima." "Jadi maksudmu?"
"Dengarkanlah dulu! Jika orang lain menganggap patung ini menyimpan surat wasiat
atau katakanlah ilmu yang sangat tinggi, tapi justru sebaliknya aku menilai
patung emas ini membawa malapetaka di gnung Muria."
"Lalu?"
"Setelah melihatmu, niat hatiku jadi berubah. Tadinya aku ingin
memusnahkan patung Ratu Shima, tapi sekarang aku akan menyembunyikannya agar
tidak menjadi rebutan para
pendekar. Untuk itu, aku akan membuat patung Ratu Shima palsu yang tidak
bisa diketahui orang lain, yakni
dengan bantuan patung kayu ukiranmu."
"Aku belum mengerti."
"Baiklah, akan kujelaskan. Sejak tinggal
di gunung Muria ini aku
menyimpan cukup banyak logam emas, di bawah tumpukan batu. Emas itu kita
lebur, lalu dengan bantuan patung kayu ukiranmu sebagai cetakan, kita akan
membuat patung Ratu Shima palsu. Ki-ra-kira demikikanlah maksudku. Untuk
selanjutnya, patung palsu itu kita
berikan kepada bocah itu, sedangkan yang asli kusembunyikan. Tapi jangan kira
aku hendak menipumu. Sama sekali tidak. Maaf, bukannya menyombongkan
diri, jika aku bermaksud jahat, aku tak perlu bersusah payah. Sekali pukul saja
mungkin engkau akan kehilangan nyawa. Karena itu aku sangat meng-harapkan
kerelaan hatimu."
"Terserahlah kalau begitu. Aku tidak keberatan, karena aku pun sudah yakin bahwa
tujuanmu baik."
"Kau sungguh-sungguh, bukan?"
"Sungguh-sungguh, seperti
kau bersungguh-sungguh hendak melaksanakan rencanamu!"
"Terima kasih! Terima
kasih!" Setyatun ke suatu tempat tak jauh dari sumber api abadi. Setelah itu, ia
jongkok, lalu menggali timbunan
bebatuan dengan kedua tangannya.
Berselang beberapa saat kemudian, Dewi Tatto kembali ke hadapan Jaka sambil
membawa cukup banyak gumpalan emas.
Jaka tidak sempat bertanya dari mana emas itu dari mana. Sebab sejak tadi sampai
sekarang Jaka masih belum mampu menguasai perasaannya melihat tubuh telanjang
Setyatun. * * * 7 Dewi Tatto meletakkan gumpalan-
gumpalan emas itu di atas tanah.
Dengan setengah berlari, ia mengambil beberapa genggam tanah liat, yang
selanjutnya dengan sangat cekatan
dibentuk menjadi sebuah mangkok
sederhana. Tanah liat itu, kalau diselidiki
mengandung zat-zat persenyawaan yang tahan api sampai beratus-ratus derajat
celcius. Semacam semen untuk peleburan logam di dapur pabrik baja. Kalau
terus-terusan dibakar, tidak akan
lebur, sehingga logam yang ada di
dalamnya jika sudah mencapai titik
lebur akan mencair.
Dewi Tatto meletakkan beberapa
bongkah batu, membentuk semacam tungku di atas api. Hanya dengan menggunakan
tangannya, wanita itu meletakkan
mangkok tanah liat di atas api. Diam-diam Jaka terkejut juga, karena dengan
jelas ia melihat kobaran api membakar tangan Setyatun, namun wanita itu
tenang-tenang saja. Jangankan men-
derita luka bakar, kepanasan pun
tidak. Bagi para pendekar yang
memiliki ilmu tinggi, hal seperti itu sebenarnya tidak terlalu aneh, karena
dengan menggunakan hawa dingin dan
tenaga dalam, ia dapat mengatasi
panasnya kobaran api. Kedalam mangkok itu, Setyatun memasukkan gumpalan-gumpalan
logam emas. "Kita harus bersabar menunggu, karena emas itu cukup lama baru bisa lebur.
Sambil menunggu, aku akan
membuatkan cetakan," kata Dewi Tatto
tanpa melirik Jaka. Ia lalu membungkus patung Ratu
Shima dengan tanah
lempung, seperti halnya membungkus
ikan peda. Setelah seluruhnya ter-
tutup, Setyatun menyalurkan hawa panas dari dalam tubuhnya, sehingga tanah
lempung itu cepat mengering.
Jaka duduk sambil meletakkan
kedua tangan pada lutut kakinya. Dari sudut matanya, ia memperhatikan pekerjaan
Setyatun dan diam-diam merasa kagum melihat kecekatan dan kelincahan wanita itu.
Sebagai ahli ukir, Jaka lebih cepat tertarik terhadap segala hal yang ada
sangkut pautnya dengan bentuk seni rupa. Kalau saja Setaytun mengenakan pakaian,
ia pasti akan menghampiri dan kalau perlu membantu, karena ia sudah mulai mengerti apa
yang hendak dilakukan Dewi Tatto.
Setelah tanah pembungkus patung
Ratu Shima kering, Setyatun membe-
lahnya dengan menggunakan kuku jemari tangannya. Wanita itu mengerahkan
tenaga dalam, sehingga kukunya
bagaikan pisau saja membelah pepaya.
Dan hasilnya memang luar biasa! Tanah lempung itu terbelah dengan rapi,
sehingga mirip buah pepaya yang
dibelah dengan bagian dalam berbentuk patung Ratu Shima. Sebuah cetakan
untuk patung emas nanti. Sungguh
merupakan pemikiran yang cemerlang
pada zaman itu bagi seorang penduduk
pribumi. "Patung kayu jati yang kau bikin itu kebetulan ukurannya lebih kecil dari patung
asli. Dengan demikian,
kalau dimasukkan ke dalam cetakan ini, akan memberikan sela-sela yang cukup
tebal untuk diisi tuangan emas." kata Setyatun.
"Aku sudah mengerti."
"Terimakasih. Aku tahu kau
seorang pemuda yang baik hati. Karena itu kuharap engkau tidak keberatan untuk
mengorbankan patung kayumu. Yang nantinya akan hangus terbakar oleh cairan
emas." "Aku rela, tapi jelaskan dulu
maksudmu!"
"Seperti yang telah kukatakan
tadi, patung Ratu Shima selalu jadi rebutan tokoh-tokoh persilatan. Karena
perebutan itu telah menimbulkan
berbagai perbuatan kejam, aku akan
menyembunyikan patung ini sampai suatu saat nanti barangkali akan ada
petunjuk hendak kita apakan, apakah akan tetap disembunyikan atau seperti
tekadku tadi akan kita musnahkan.
Biarlah patung palsu kita berikan
untuk menghibur bocah itu."
Jaka manggut-manggut tanpa mengu-
capkan apa-apa. Ketika Setyatun
kembali melanjutkan pekerjaannya, pemuda itu menunduk, menumpukan wajahnya ke
atas lututnya. Mungkin karena Dewi
Tatto terlalu bersemangat dengan
pekerjaannya, wanita itu sama sekali tidak memikirkan perasaan Jaka. Ia
memang sudah tidak merasa aneh karena telanjang. Tetapi mestinya ia memikirkan
bahwa Jaka tidaklah merasa
demikian. Kadang-kadang Setyatun duduk di atas lutut dengan posisi kedua
belah paha te-buka, atau kadang-kadang menjulurkan kedua kaki di atas tanah
lebar-lebar, tepat pula menghadap
Jaka. Gadis itu mulai menuangkan
gumpalan emas yang telah mencair ke dalam cetakan, setelah patung kayu
ukiran Jaka terlebih dulu di masukkan.
Mangkok itu diangkat dengan tangannya sendiri tanpa merasa kepanasan sedikit pun
juga. Sekilas Jaka melihatnya,
lalu buru-buru menunduk lagi. Keringat dingin mulai membasahi wajahnya,
karena sejak tadi ia berjuang mati-
matian menekan gejolak hasrat
kelelakiannya. Ya, Tuhan! Kenapa aku harus
melihat pemandangan seperti ini" Aku jadi serba salah. Begitu cantik dan
menggelorakan. Oh, Ronahyatun, kekasihku. Berdoalah untukku agar aku
tidak pingsan melihat tubuh wanita
telanjang itu, kata hati Jaka.
Memang wajar kiranya kalau Jaka
seperti itu. Sama seperti orang lain, pemuda itu pun mempunyai gejolak
hasrat yang setiap saat bisa meledak-ledak. Gejolak itu secara spontan
datang kalau melihat pemandangan-
pemandangan sensitif. Kekuatan itu
tersembunyi dan jika tidak terken-
dalikan akan meledak, menyeret
seseorang kepada perbuatan-perbuatan yang tidak baik.
Nafsu, memang merupakan suatu
kekuatan dalam diri seseorang yang
bisa menutup mata bathin serta
membuatnya lupa segala-galanya, lupa mana yang baik dan mana yangburuk.
Sering timbul perbuatan perbuatan yang melanggar norma-norma kesusilaan,
perzinahan, perkosaan dan sebagainya.
Skandal-skandal seks seperti ini, telah tercatat sejak dari zaman
purbakala sampai sekarang ini. Sebagai pertanda bahwa bagaimana pun pesatnya
perkembangan zaman dan kemajuan tek-nologi serta pengetahuan, nafsu tetap bisa
menguasai diri seseorang.
Untuk menghindarinya, manusia
perlu mawas diri, waspada terhadap
bujukan setan laknat. Karena rasa
nikmat dari perbuatan yang tidak baik itu hanya sekejap adanya. Setelah itu,
kelak akan timbul penyesalan, atau bahkan akan menyeret orang bersang-kutan
kepada dunia yang penuh
kegelapan dan kesesatan.
Jaka pun menyadarinya! Bahwa
dalam keadaan seperti itu, ia bisa
lupa diri. Dan itu benar-benar tidak diinginkannya. Sejenak ia pura-pura pergi
ke tempat Si Tolol tidur, lalu balik lagi ke tempatnya semula.
"Jaka, kau kelihatannya sedang mengantuk. Kalau kau ingin istirahat, tidurlah.
Pekerjaan ini masih agak lama dan memerlukan ketelitian serta kesabaran."
Jaka tidak menyahut, sebab ia
memang tidak mengantuk melainkan
hendak semaput karena melihat tubuh Setyatun.
Tak lama kemudian, Dewi Tatto


Si Tolol 5 Duka Lara Dewi Tatoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melangkah ke hadapan Jaka. Gadis itu sudah selesai menuangkan cairan emas ke
dalam cetakan, lalu menutupnya
kembali dan mengikatnya rapat-rapat.
Beberapa saat tadi, Setyatun menya-
lurkan hawa dingin dari dalam
tubuhnya, supaya cairan emas dalam
tuangan cepat membeku kembali. Gadis itu jadi kelelahan. Wajahnya yang
halus dan bersih dibasahi keringat.
Sambil menatap Jaka, wanita itu
mengatakan bahwa pekerjaan mereka
sudah hampir selesai. Jaka mengangkat wajah sejenak, lalu buru-buru menunduk,
karena Setyatun menghadap persis kepadanya. Tapi Dewi Tatto tampaknya masih saja
tidak mau peduli. Sementara malam sudah mulai turun, seisi gunung Muria tampak
gelap. Hanya bayang-bayang pepohonan terlihat samar samar,
melambai-lambai ditiup angin semilir.
Dari kejauhan terdengar suara
jangkrik diselang selingi suara lolong anjing, menciptakan suasana sunyi
sekaligus menyeramkan. Jika sedang
malam, hampir tak ada penduduk Jepara yang mau lewat di lereng gunung itu.
Akan tetapi saat ini,cukup banyak
orang dari golongan persilatan berada di gunung Muria. Kehadiran para tokoh-
tokoh tersebul tak lain tak bukan
adalah untuk mencari patung Ratu
Shima. Sebagai orang yang sudah
terbiasa melanglang buana dan sering menghadapi beraneka rintangan dan
cobaan, para pendekar itu sama sekali tidak terpengaruh oleh adanya
kepercayaan masyarkat bahwa gunung itu ditunggui makhluk halus atau seje-nisnya.
Bukan sekali dua kali mereka mendengar cerita seperti itu.
Di antara tokoh-tokoh persilatan
itu adalah sepasang pendekar remaja dari dataran Tiongkok, yakni Hong Lie dan
Giok Nio. Kedua pendekar itu baru datang dari negerinya. Dan sejak tiba di
Jepara, mereka lebih sering tinggal di gunung Muria, karena keduanya ingin
secepatnya memperoleh keterangan tentang patung Ratu Shima.
Selain itu masih ada pendekar
dari matahari terbit, Gahito yang juga memiliki kesaktian tinggi. Pendekar
samurai itu sudah pernah bertarung
dengan Hong Lie dan Giok Nio (baca : Perebutan Patung Ratu Kalingga). Dalam adu
kekuatan itu, Gahito sempat
terdesak, bahkan nyaris tewas di ujung pedang Giok Nio. Untunglah mereka
kemudian menyadari bahwa di antara mereka tidak ada persoalan apa-apa
setelah Husein muncul, sehingga pertarungan itu tidak dilanjutkan lagi.
Akan tetapi, tak seorang pun di
antara para pendekar itu yang
mengetahui bahwa di puncakgunung
Muria, di dalam sebuah gua, kini
seorang tokoh silat aneh yang dijuluki Dewi Tatto sedang membuat patung Ratu
Shima palsu. Karena sudah malam,
tokoh-tokoh persilatan itu mulai
istirahat dan sebelum tidur membahas rencananya untuk esok hari.
Sedangkan Dewi Tatto sendiri
telah mengambil cetakan patung itu.
Tanpa menemui kesulitan berarti,
cetakan itu dibuka Maka terlihatlah sebuah patung emas yang baru, yang ukurannya
sama persis dengan patung Ratu Shima.
"Jaka!" kata Setyatun setengah berteriak, "Lihat! Patung itu sudah jadi. Kau
tentu tidak akan
bisa membedakan kalau tidak melihat permata intan pada patung asli."
Jaka memperhatikan kedua patung
di tangan Setyatun. Ia pun terkejut, karena benar-benar mirip. Sungguh luar
biasa pekerjaan Setyatun, pikirnya.
"Bagus, bukan?" tanya Setyatun.
"Sungguh mengagumkan Tak kusangka kau bisa secepat itu membuat patung tiruan!"
"Tapi tunggu dulu. Aku harus
memotong bagian kaki patung ini untuk mengeluarkan arang kayu jati bekas
patung ukiranmu yang ada di dalamnya.
Ya, tentu saja patung ukiranmu sudah rusak karena terbakar cairan emas."
"Tidak apa-apa."
Dengan hanya menggunakan jari
telunjuknya, Dewi Tatto mengorek
patung kayu jati yang berada di
dalamnya, yang kini sudah menjadi
arang. Dengan demikian, jadilah sudah sebuah patung emas yang di dalamnya
terdapat rongga sebesar patung kayu jati ukiran Jaka.
Sekarang, sebagai pekerjaan
terakhir adalah menyambung bagian kaki patung itu. Akan tetapi sebelumnya
harus diisi dulu dengan benda-benda halus berupa daun kering. Dengan
demikian. Jika patung itu misalnya
nanti jatuh ke tangan para pendekar, akan mengiranya sebagai patung asli.
Yang berisi surat-surat wasiat daun lontar.
Biarlah nanti tokoh-tokoh silat
yang serakah itu mati-matian memperebutkan patung palsu. Sementara patung asli
akan disembunyikan, aman tanpa
harus jadi kejar-kejaran orang jahat.
Demikianlah niat Setyatun.
Beberapa helai daun kering di-
masukkan ke dalam rongga patung
tiruan, lalu bagian kakinya pun
ditutup. Beberapa saat, Dewi Tatto
menimang-nimang kedua patung emas itu, sedangkan Jaka tak henti-hentinya
mengamati dan akhirnya benar-benar
yakin bahwa bentuk patung itu benar-benar mirip.
Dewi Tatto menghela nafas lega.
Wajahnya berseri-seri. Tetapi entah karena apa, tak lama kemudian,
keceriaan itu sirna dari dalam
hatinya, berganti kemurungan. Sinar matanya juga tampak redup, tidak lagi
berbinar-binar. Jaka heran melihat
perubahan gadis itu, tetapi ia tidak mau bertanya, karena ia masih menunggu apa
yang akan dikatakan Setyatun.
Namun melihat perubahan sikap
wanita itu, Jaka sepertinya memban-
dingkannya dengan langit yang tadinya cerah, namun tiba-tiba ditutupi
mendung. Dari balik mega-mega hitam itu, muncul titik-titik air hujan membasahi
bumi. Sebetulnya, demikianlah keadaan Dewi Tatto sekarang, sebab
kedua matanya tampak berkaca-kaca.
"Jaka, patung ini sudah jadi
seperti yang kita harapkan. Berikanlah patung tiruan ini kepada bocah itu
untuk menghibur hatinya. Aku akan
pergi, malam ini juga. Entah ke mana, kau tak perlu tahu, bahkan siapa pun tak
perlu mengetahuinya." Setyatun mengulurkan patung tiruan ke tangan Jaka. Namun
ketika melihat kedua mata gadis itu berkaca-kaca, Jaka segera menerimanya.
Dengan agak hati-hati, ia bertanya:
"Tampaknya engkau sedih sekarang.
Apakah sebenarnya yang terjadi padamu"
Bukankah niat hatimu sudah
terlaksana" Dengan senang hati aku
menerima patung tiruan itu. Dan
percayalah, aku tidak akan membeberkan rahasia ini biar kepada siapa pun!"
"Terirnakasih, Jaka! Aku sangat menghargai kebaikan hatimu dan
ketahuilah, bantuanmu ini tak ternilai harganya bagiku. Aku tidak akan pernah
melupakannya. Semua ini bukan hanya untuk kebaikan diriku, tetapi juga...
ah, maaf. Aku tak bisa menerus-kan kata-kataku...." Tiba-tiba Dewi Tatto
menangis terisak-isak. Air matanya
jatuh satu persatu membasahi pipinya yang pucat. Bahunya terguncang-guncang,
sehingga sangatlah ibanya
perasaan Jaka melihatnya.
Seperti tidak sadar, pemuda ahli
ukir kayu jati itu menghampiri
Setyatun. Ditepuknya bahu gadis itu dengan lembut dan dengan suara yang sangat
pelan, ia berkata:
"Maafkan aku, jika ada sesuatu
yang menyinggung perasaanmu. Kalau
boleh aku tahu, apakah sebenarnya yang membuatmu jadi sedih?"
Dewi Tatto tidak segera menyahut.
Ia menyeka air matanya, lalu menghela nafas dalam-dalam sekadar menenangkan
perasaannya yang galau. Setelah itu, dengan suara serak dan tersendat-sendat,
gadis itu berkata:
"Terlalu banyak sebenarnya yang ingin kukatakan padamu. Tapi adakah artinya itu
padamu" Kita baru saling kenal, bahkan kau pun belum tahu siapa aku sebenarnya.
Namun sejak pertama,kali melihatmu, sepertinya aku tak bisa menahan diri untuk
menyembunyikan semua yang ada di hatiku. Padahal
selama ini, aku sudah bertekad untuk tidak pernah bercerita biar kepada
siapa pun. Biarlah hanya aku yang
tahu." Jaka semakin heran, karena tam-
paknya Setyatun yang memiliki
kesaktian tinggi dan memiliki keanehan mempunyai problema hidup yang sangat
rumit bahkan mungkin sangat
menyakitkan, sehingga sampai menitikkan air mata. Ternyata orang sakti, atau
orang biasa, orang kaya atau
orang miskin, orang cantik atau jelek sama saja, tak bisa melepaskan diri dari
kesedihan serta duka cita, pikir Jaka.
"Kalau begitu, bolehkah aku tahu
siapakah kau sebenarnya dan persoalan apakah gerangan yang kau hadapi hingga
sangat sedih" Apakah engkau kehilangan orang yang sangat kau kasihi?"
"Ah, Jaka! Biarlah aku menceritakannya padamu, biarpun ini barangkali kurang
pantas kau dengar. Tapi sejak pertama kali melihatmu tadi,
perasaanku tak menentu, karena engkau sangat mirip dengan kekasihku Prawiro.
Aku dan dia telah lama menjalin
hubungan cinta. Dan selama ini aku tak pernah membayangkan akan berpisah
dengannya sebab demikian besar harapanku, demikian indah mimpi-mimpiku.
Tapi takdir memang berkata lain.
Semuanya hancur berantakan...."
"Apakah kekasihmu itu meng-
khianatimu?"
"Entahlah, aku tak bisa berkata begitu. Tapi sikapnya merupakan
pendorong bagiku untuk memusnahkan
patung Ratu Shima. Dia pun berusaha merebut patung ini. Dan perlu kau
tahu, dia sendirilah orang pertama
yang merebutnya dari si penemu patung Ratu Shima. Aku melihat dengan mata
kepalaku sendiri, saat itu ada
seseorang menggali tanah di lereng
gunung ini. Rupanya orang itu berhasil menemukan patung ini, namun sebelum
keluar, Prawiro merebutnya dengan
menggunakan tali. Selanjutnya, tanpa peri kemanusiaan, kekasihku itu
mengubur hidup-hidup orang itu...."
"Aduh, kasihan. Orang itu tentu sudah mati."
"Aku sangat kecewa, Jaka. Tadinya aku
bermaksud mendiamkannya sambil
menahan perasaan yang jadi hancur.
Tapi aku tak sanggup, sungguh tak
sanggup. Aku keluar dari tempat
persembunyian dan menghadangnya."
"Lalu... kau membunuhnya?"
"Jangan terlalu beranggapan buruk padaku, Jaka. Semua itu kulakukan
bukan atas kehendakku sendiri, tetapi juga demi kebaikannya. Karena Sebelumnya,
ia telah menghancurkan diriku, hidupku. Ia malah main api dengan ibu angkatku
sendiri...."
"Hah"!"
Jaka berseru kaget
bagaikan disambar petir.
"Saat itu, dia tidak mengenal aku lagi. Dan sampai ia masuk liang kubur, sama
sekali tidak tahu bahwa yang
membunuhnya adalah wanita yang sangat mencintainya, yang telah ia hancurkan
hidup dan segala harapannya."
"Ya, Allah! Sungguh berat cobaan hidupmu. Mudah-mudahan untuk hari
mendalang engkau akan melupakan semua itu."
"Jangan terlalu kasihan padaku, Jaka. Itu tidak baik. Mungkin setelah melihatmu,
hatiku sedikit terhibur, karena di dunia ini masih ada lelaki yang mirip dengan
Prawiro tetapi hatinya mulia. Ah, sudahlah! Aku sudah terlalu banyak bercerita padamu.
Padahal apalah arti semua ini bagimu"
Cinta katanya indah! Tetapi aku merasa diriku terlalu naif dilahirkan ke
dunia ini dan barangkali sudah
ditakdirkan pula melihat hidup ini
dari segi yang paling buruk. Aku
merasa lega, karena telah mengung-
kapkan ganjalan hatiku padamu."
"Aku belum mengerti semua
penjelasanmu. Aku...."
"Sudahlah!" sela Setyatun cepat,
"Tak ada lagi yang perlu kuceritakan padamu. Kaulah yang pertama mendengar kisah
hidupku dan mungkin yang
terakhir kalinya. Dan pertemuan kita yang pertama ini juga mungkin akan
merupakan perpisahan untuk selama-
lamanya bagi kita."
"Kenapa kau berkata begitu" Aku pun ingin bersahabat denganmu."
"Jaka, ada pertemuan berarti ada pula perpisahan. Ini kenyataan.
Seperti matahari terbit di ufuk Timur, demikianlah cinta itu datang ke dalam
kehidupanku. Namun seperti matahari yang tenggelam di ufuk Barat, seperti itu
pula cintaku hilang, aku akan
pergi, sahabatku. Tolong titip salam buat bocah itu."
"Jadi kau akan benar-benar
pergi?" "Selamat berpisah, Jaka. Aku tak
bisa lama-lama lagi." Setyatun menyeka air matayang kembali mengucur deras
membasahi pipinya. Setelah itu, ia
melangkah ke mulut gua. Sejenak ia berdiri, lalu berpaling menatap Jaka.
Dengan gerakan yang sangat lunglai, Dewi Tatto melambaikan tangan, Lalu tubuhnya
melesat bagaikan anak panah.
Hanya sekejap saja, wanita itu telah lenyap di kegelapan malam.
* * * 8 Jaka tertegun! Ia tidak bisa
melukiskan entah bagaimana perasaannya sekarang. Ada rasa sedih, kecewa,
heran dan entah apa lagi. Tapi yang jelas pertemuannya dengan Dewi Tatto telah
menimbulkan kesan yang sangat dalam di hati sanubarinya. Dan
kepergian wanita itu, yang demikian tiba-tiba membuatnya merasa kehilangan
seorang sahabat. Padahal sebenarnya, ia baru saja mengenal Setyatun.
Perjalanan hidup yang diceritakan
Dewi Tatto, telah membuat pikiran Jaka semakin terbuka. Bahwa dalam hidup ini
tidak semua rencana itu berhasil
seperti diharapkan. Jalinan cinta yang indah yang disertai janji setia, belum
tentu akan berakhir secara manis.
Banyak faktor tak terduga bisa
menggagalkannya.
Seperti halnya Setyatun, menga-
lami pukulan bathin yang sangat berat karena kegagalan cintanya. Apalagi


Si Tolol 5 Duka Lara Dewi Tatoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seperti yang diceritakannya,
kekasihnya malah menjalin hubungan
gelap dengan ibu angkat yang sangat ia hormati. Hati siapa pun, terutama kaum
wanita tentu tidak akan kuat menerima kenyataan seperti itu.
Jaka pun mulai berfikir-fikir,
kenapa sebenarnya Setyatun jadi
telanjang dan menghiasi sekujur
tubuhnya dengan tatto" Katanya tadi, sewaktu dia ketemu dengan Prawiro,
lelaki itu tidak mengenalnya lagi.
Jadi besar kemungkinan, selama
menjalin hubungan cinta, keadaan
Setyatun belum seperti itu. Barulah setelah Setyatun menghi-lang karena patah
hati, ia merubah dirinya. Bisa jadi, perubahannya ada sangkut pautnya dengan
kenyataan pahit yang menimpa dirinya.
Entah bagaimana perasaan gadis
itu sewaktu membunuh kekasihnya
sendiri. Jaka tidak bisa membayang-
kannya. Tetapi ingat semua kisah Dewi Tatto, ia pun terkenang kepada
Ronahyatun, putri Pak Cokro. Keduanya pun sudah cukup lama menjalin hubungan
cinta. Tetapi akhir-akhir ini, Raden Bei Kiduling Pasar tergila-gila pula
terhadap kekasihnya itu. Orang
kaya itu malahan menggunakan harta
bendanya yang melimpah untuk menggaet Ronah.
Apakah aku kelak akan mengalami
nasib tragis seperti wanita bertatto itu" Tanya hati Jaka dengan perasaan tak
enak. Ah, tidak mungkin! Jaka
menghibur hatinya sendiri. Lagi pula kenapa ia terlalu memikirkan sesuatu yang
belum terjadi" Ronah sangat
mencintainya, demikian pula halnya
dengan Jaka sendiri. Dengan demikian, tak ada yang perlu dicemaskan.
Bukankah cinta itu memiliki nilai yang tidak bisa diukur dengan harta benda"
Ah, tiba-tiba Jaka teringat bahwa
ia belum mengetahui nama wanita
bertatto itu. Mudah-mudahan suatu saat nanti aku masih bisa bertemu dengannya,
kata Jaka dalam hati.
Perlahan-lahan, ia melangkah ke
tempat Si Tolol tidur. Bocah itu masih pulas. Astaga! Hari rupanya sudah
larut malam, bahkan sudah mulai pagi.
Sunggut tidak terasa oleh Jaka! Ia pun merasa sangat letih, tetapi untuk
tidur sudah tanggung. Akhirnya, karena kebingungan, ia membangunkan Si Tolol.
"Hei, Tong! Bangun! Hari sudah pagi!" katanya sambil mengguncang-guncang tubuh
Si Tolol. Si Tolol terbangun sambil meng-
usap-usap matanya. Ia menatap Jaka
sejenak. Dan begitu melihat patung
emas itu, ia segera meloncat bangun kegiranan.
"Hei, ini dia bonekaku, bagus
sekali!" "Ya, bagus! Tapi boneka kayu yang kuukir itu telah kubuang."
"Aku sangat senang sekarang. Dari manakah Akang mendapatkan boneka ini"
Oh, iya! Kayaknya di sini ada Mbakyu cakep tadi. Dia memegang boneka ini.
Ke mana dia, ya" Apakah Akang tidak melihatnya" Dia tidak mengenakan
pakaian mungkin mau mandi."
Jaka tersenyum mendengar kata-
kata Si Tolol. Makin terasa olehnya bahwa bocah di hadapannya ini memang betul-
betul tolol. Melihat wanita
bertatto itu tidak mengenakan pakaian, malah dikira hendak mandi. Padahal di gua
tidak ada air. Akan tetapi setelah mengingat kehebatan Si Tolol yang bisa
meloncat jauh dan tinggi agak ragu-ra-gu juga Jaka. Karena ternyata Si Tolol
bisa berbuat begitu bukan karena
kesurupan setan. Entah orang apa
sebenarnya ini, pikir Jaka.
"Akang kok diam saja" Mbakyu
cakep itu ke mana perginya?"
"Dia sudah pulang ke rumahnya.
Dia titip boneka ini tadi untukmu."
"Wah, baik benar dia, ya" Padahal di sini banyak sekali orang jahat yang selalu
ingin merebutnya. Dimanakah
rumahnya, Kang?"
"Jauh, jauh sekali. Ah, sudahlah.
Kita tak perlu memikirkannya. Sebaiknya kita pulang saja. Kau tentunya
sudah lapar, bukan?"
"Ya, nasinya yang banyak ya,
Kang!" "Tentu, tentu! Ayolah, kita
pulang!" Beberapa saat kemudian, kedua
orang itu keluar dari dalam gua. Si Tolol berjalan di belakang sambil
berpegangan pada tangan Jaka. Ia tak henti-hentinya mengatakan
kegembiraannya terhadap boneka emas itu. Dikatakannya pula bahwa ia tidak ingin
memberikan patung itu biar
kepada siapa pun. Kalau nanti misalnya ada orang jahat yang hendak
merampasnya, ia meminta Jaka memukul orang itu sampai menangis minta ampun.
Si Tolol sama sekali tidak
menyadari bahwa Jaka bukanlah
pendekar, sebab yang ia lihat adalah Jaka itu seorang pemuda dewasa, tegap dan
baik. Berarti ilmunya pun hebat, bisa mengalahkan orang jahat seperti lelaki
bersorban dan telinganya
dihiasi anting-anting.
Jaka cuma tersenyum-senyum mende-
ngar kata-kata Si Tolol. Ketika ia
dengan terus terang mengatakan tidak bisa berkelahi, Si Tolol tidak
percaya. Dikatakannya selama berada di dekat Jaka, ia tidak takut lagi
terhadap penjahat atau siapa saja pun
yang ingin merampas patung emasnya.
"Siapakah namamu sebenarnya?"
tanya Jaka. "Si Tolon".
"Tolon" Apa bukan Si Tolol?"
tanya Jaka sambil tertawa-tawa dengan maksud bercanda.
"Ya, Kang. Orang-orang selalu
memanggilku Si Tolol."
"Tapi namamu yang sebenarnya
siapa?" "Ya, Si Tolol!"
Jaka menatap wajah Si Tolol
dalam-dalam. Wajah bocah itu tampak sangat serius, tidak sedang bercanda.
Apa memang benar namanya Si Tolol"
Tanya hati Jaka. Tetapi mana ada orang tua yang mau menamai anaknya Si Tolol"
Mungkin itu hanyalah julukan dari
masyarakat setempat karena bocah itu memang tolol. Lalu bocah berkepala
botak itu pun terbiasa pula, sehingga bisa jadi ia telah melupakan namanya yang
sebenarnya. Setibanya di dekat jurang batu
lereng Muria, Si Tolol menjadi ketakutan. Wajahnya pucat pasi, sekujur tubuhnya
gemetar. Padahal sewaktu
hendak ke gua dalam keadaan masih
tertidur, ia dengan tenang saja bisa meloncati jurang itu. Ia mendekap
pinggang Jaka sambil menyembunyikan wajahnya, tidak berani melihat jurang itu.
"Hiiii! Jurang, Kang. Aku ngeri lihat jurang! Jangan lewat sini, Kang.
Takut, Kang!"
"Bukankah sewaktu ke sini kau
seenaknya saja meloncatinya" Bukit-
bukit saja kau loncati. Kenapa
sekarang jadi takut?"
"Jangan, Kang. Jangan...!" Jaka menggeleng-gelengkan kepala. Ia pun segera
teringat perkataan Dewi Tatto bahwa bocah itu memang sakti luar
biasa, tetapi kesaktiannya hanya
sewaktu-waktu saja datang dan pergi dengan tiba-tiba. Jaka sungguh tidak bisa
memahami hal itu. Sebab seperti dirinya misalnya, karena sudah pada dasarhya
ahli mengukir. Sebagai orang biasa, Jaka belum bisa memikirkan
keanehan Si Tolol, apalagi memahami kehebatan naluri Si Tolol yang luar biasa,
sehingga melalui mimpi ia bisa melihat bahwa bumi ini bentuknya
bulat. Padahal pada zamannya Si Tolol, penduduk di Jepara maupun di Sumedang
belum ada yang mengetahuinya.
"Baiklah, Tong! Aku akan
menuntunmu turun dengan perlahan-
lahan. Kita harus pulang secepatnya."
"Hu... uu...nggak mau! Nggak mau!
Aku takut terpeleset dan menggelinding ke bawah sana."
"Tidak apa-apa. Aku akan memegang tanganmu, pasti tidak akan
terpeleset."
"Aku mau digendong saja, Kang.
Kakiku jadi gemetaran kalau melihat ke bawah. Ngeri, Kang! Pokoknya kalau
tidak digendong aku tidak mau turun!"
Jaka akhirnya mengalah. Digen-
dongnya bocah itu sambil menggerutu.
"Huh, yang menggendong sama yang digendong gedean yang digendong. Bisa mati aku
kegencet. Pantas saja namamu Si Tolol. Heh, jangan
mencekik leherku. Peganganmu harus agak ke
bawah dan longgar sedikit. Nah,
begitu. Tapi awas, nanti kau tidak
boleh minta digendong terus menerus.
Kalau masih keras kepala akan
kutinggal!"
"Paman Maulana juga suka menggendongku, tapi tidak cerewet seperti
Kang Jaka."
"Ah, paman Maulanamu lagi yang kau ceritakan."
Jaka kembali mengomel. Tetapi
dengan segala kesabaran dan penuh
pengertian, ia menuruni tebing-tebing itu dengan hati-hati. Ia tidak terlalu
kesal, karena ia menyadari Si Tolol bersikap demikian bukan lantaran
karena ingin memperbudaknya, tetapi melainkan semata-mata karena ketololannya
juga. Diam-diam Jaka merasa
kasihan juga memikirkan nasib Si
Tolol. Mungkin sewaktu dilahirkan,
kondisi anak itu tidak normal atau
bisa jadi sewaktu kecilnya mengalami
penderitaan yang sangat berat,
sehingga perkembangan mental dan
otaknya jadi terhambat.
Selain itu, Jaka juga merasa
semakin tertarik kepada Si Tolol yang kadang-kadang
bersifat luar biasa.
Setelah kedatangan bocah
itu, ia melihat sebuah bayangan patung, yang sangat bagus dan seolah-olah ada ke kuatan
gaib yang menggerakkan tangannya mengukir patung seperti itu.
Dan ternyala kemudian, patung
ukirannya mirip sekali dengan patung Ratu Shima yang ada di tangan Dewi
Tatto. Jaka tidak percaya bahwa hal itu hanyalah kebetulan belaka. Pasti ada
sangkut pautnya dengan kemampuan Si Tolol.
Ketika matahari berada di atas
kepala, Jaka dan Si Tolol sampai di dataran di mana terdapat perumahan
penduduk. Di pekarangan yang cukup luas, tampak sekelompok anak kecil
sedang bermain-main dengan sangat
riangnya. Sebagian dari anak-anak itu bermain kejar-kejaran, main tali
goyang dan bernyanyi-nyanyi. Suara
hiruk pikuk anak-anak membuat suasana di kampung itu lebih meriah dan
semarak. "Hei, Tong! Kita sudah sampai, turunlah. Malu tuh di depan banyak
anak-anak," kata Jaka.
Akan tetapi Si Tolol tidak
menjawab. Yang terdengar malah suara dengkurnya. Astaga! Dia tidur lagi, kata
Jaka dalam hati dengan kesal.
Tetapi untuk menurunkan Si lolol, ia tidak tega. Maka ia terpaksa meneruskan
perjalanan walaupun punggungnya sudah terasa sangat pegal.
Kedatangan Jaka dan Si Tolol
rupanya menarik perhatian anak-anak yang sedang bermain-main itu. Empat di
antara anak-anak itu adalah yang dulu ikut ke lereng gunung Muria, ketika Si
Tolol mengatakan hendak melubangi bumi hingga tembus dari ujung yang satu ke
ujung di seberang. Tetapi karena hari itu sudah hampir malam, keempat anak itu
meninggalkan Si Tolol sendirian di dalam lubang galiannya.
Anak-anak itu tidak tahu bahwa
saat itu Si Tolol menemukan patung
Ratu Shima, tetapi kemudian dikubur hidup-hidup oleh Prawiro. Sejak itu pula,
anak-anak tadi tidak pernah lagi melihat Si Tolol. Maka mereka mengira bocah
berkepala botak itu sudah
dimakan setan atau telah pergi ke desa lain.
"Hei, Min! Gimin! Coba lihat, itu si lucu yang tempo hari mau melubangi bumi
yang katanya berbentuk bulat.
Sekarang dia sudah pulang."
"Horeee....! Kita sambut pahlawan kita!" Anak-anak itu berteriak-teriak sambil
mengerumuni Jaka yang sedang
menggendong Si Tolol. Jaka menjadi
bingung melihat anak-anak kampung itu.
Ada yang meloncat-loncat untuk
memegangi kepala Si Tolol. Ada yang berteriak supaya dijatuhkan saja. Ada yang
mencubit kaki dan pinggang Si
Tolol. "Husss! Anak-anak jangan ganggu dia! Nanti kalau dia bangun, kalian akan
dimakannya!"
"Wee! Pulang-pulang kok jadi
Bhatara Kala. Jadi Buto tukang makan orang!" ejek anak-anak itu.
Dengan susah payah, Jaka berhasil
mengusir anak-anak itu. Ia mempercepat langkahnya agar secepatnya sampai di
rumah. Dari kejauhan masih terdengar suara anak-anak mengejek Si Tolol.
Tapi si bocah iti| masih tetap tidur di gendongan Jaka. Kedua tangannya
dilingkarkan ke leher Jaka, sambil
menggenggam erat patung emas hasil
karya Dewi Tatto.
TAMAT Ikuti episode berikutnya:
"Perhitungan Terakhir Bagi Nyi Peri"
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Juru Edit: mybenomybeyes
Perawan Lembah Wilis 6 Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo Rahasia Kampung Garuda 6
^