Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 24

06 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 24


"Tetapi ia memiliki bekal ilmu yang mapan untuk menghadapi keadaan yang paling gawat sekalipun melawan orang-orang yang telah memiliki nama," desis Prastawa. Lalu. "Sebenarnya aku sendiri dapat menyelesaikannya, karena aku adalah murid Ki Argapati. Tetapi dalam keadaan ini. paman tentu segera mencurigai aku dan mungkin paman akan sangat marah dan sampai hati menghukum aku."
"Apakah anak itu memiliki kemampuan seperti Ki Gede ?" bertanya orang itu.
"Tentu tidak. Sudah aku katakan, akupun akan mampu mengatasinya." Prastawa berhenti sejenak, lalu. "apakah kau merasa memiliki ilmu seperti paman Argapati ?"
"Ah, tenu tidak," jawab orang itu, "tetapi jarang sekali ada orang yang mampu mengimbangi kemampuan Ki Gede. Ki Tambak Wedipun tidak mampu melawannya. Apalagi aku. Tetapi jika anak itu tidak setinggi Ki Gede kemampuannya, aku akan merasa dapat mengalahkannya. Aku yakin."
Prastawa mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, "Tetapi jangan seorang diri."
"Kau tidak percaya bahwa aku akan dapat mengalahkannya dan seandainya kau kehendaki membunuhnya ?" bertanya orang itu.
"Bukan tidak percaya," jawab Prastawa, "tetapi ia adalah orang yang sagat licik. Ia akan dapat melarikan diri dan menyampaikan persoalannya kepada paman Argapati."
"Jadi aku harus membunuhnya ?" bertanya orang itu.
Prastawa menjadi ragu-ragu. Namun kemudian ia menggeleng lemah, "Tidak perlu. Tetapi kau harus membuatnya jera, mengancamnya sehingga ia tidak akan berani lagi menginjakkan kakinya diatas Tanah Perdikan Menoreh."
"Tetapi jika diluar kemauanku, tanganku telah mengoyak kulit dagingnya atau mematahkan tulangnya ?" bertanya orang itu.
"Terserah kepadamu jika keadaan memang menuntut demikian. Maksudku jika karena perlawanannya kau terpaksa mengambil sikap yang tegas," jawab Prastawa. "jika demikian, maka bawa saja ia ketlatah Mataram dan lemparkan ia di jalan-jalan agar diketemukan orang yang dapat membawanya ke Mataram dan selanjutnya mengembalikannya ke Jati Anom. Tetapi jika diluar niatmu, ia terbunuh, itu adalah karena nasibnya yang sangat buruk."
Orang berkumis, berjanggut dan berjambang lebat itu tertawa. Katanya, "Serahkan semuanya kepadaku."
"Sekali lagi aku peringatkan, bawalah dua atau tiga orang kawan agar anak itu tidak akan sempat melarikan diri," berkata Prastawa kemudian, "tetapi ingat, lakukan semua rencana jika ia seorang diri. Nampaknya karena ketakutannya kepadaku, ia selalu berdua dengan paman Waskita. Nah, ketahuilah, paman Waskita memiliki kemampuan setingkat dengan paman Argapati."
Benggol kecu itu mengangguk-angguk. Katanya, "Percayakan kepadaku. Tetapi jika kau kehendaki aku harus membawa satu dua orang kawan, maka aku akan membawanya. Mungkin benar, bahwa aku harus berjaga-jaga agar anak itu tidak sempat melarikan diri."
"Kau harus menentukan waktu, kapan kau akan melakukannya," berkata Prastawa selanjutnya.
"Kaulah yang menentukan," jawab orang itu.
"Baiklah. Lakukanlah pekan depan. Carilah saat yang paling baik. Ingat, jangan kau lakukan jika ada paman Waskita bersamanya. Kau akan dapat menjadi endapan endog pangamun-amun," pesan Prastawa.
"Bagaimana aku tahu kapan ia pergi seorang diri," bertanya orang itu.
"Kita akan mehhat. Jika ia tidak pernah mengalami gangguan apapun lagi, agaknya ia akan berani pergi seorang diri. Atau kupancingnya, "kata Prastawa kemudian.
Perjanjianpun telah disetujui bersama. Orang yang dikenal sebagai seorang benggol kecu yang ditakuti itu, akan membawa tiga orang kawannya untuk membuat Agung Sedayu jera dan mengusirnya dari Tanah Perdikan.
Namun dalam pada itu. benggol kecu itu bergumam kepada diri sendiri, "Tetapi jika karena sesuatu hal anak itu terbunuh, bukan salahku. Aku sudah mengatakan kemungkinan itu. Agaknya lebih mudah untuk membunuh seseorang daripada menyakitinya dan kemudian mengancam, mengusir dan untuk selanjutnya mengawasi agar ia tidak kembali."
Karena itu, maka benggol kecu yang berkumis, berjanggut dan berjambang lebat itu sama sekali tidak berpikir untuk berbuat lain kecuali membunuhnya dan melemparkannya ke Kali Praga.
Sementara itu.Prastawapun telah berusaha untuk tidak berbuat sesuatu yang dapat menakut-nakuti Agung Sedayu. Dalam saat-siat terakhir ia nampak tidak mengacuhkannya lagi. Seolah-olah ia sudah tidak mempunyai persoalan lagi dengan Agung Sedayu.
Justru karena itu, seperti yang diharapkannya, ternyata Agung Sedayu berpendapat lain. Disangkanya bahwa Piastawa sudah jemu memusuhinya sehingga ia tidak menghiraukannya lagi.
"Anak itu cerdik dan licik," berkata Ki Waskita, "hati-hatilah. Mungkin ia mempunyai rencana tersendiri. Menurut pengamatanku, ia tidak akan menjadi jemu. Bahkan mungkin ia akan bertindak lebih jauh lagi untuk mengusirmu, justru setelah kau berhasil dengan bendungan itu."
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia tidak mempunyai prasangka seburuk itu terhadap Prastawa.
Seperti yang diharapkan oleh Prastawa, maka pada saat-saat berikutnya Agung Sedayu telah keluar dari padukuhan induk seorang diri. Ketika ia berpapasan dengan Prastawa dan Prastawa tidak berbuat sesuatu, meskipun ia menyapa dengan tidak ramah sama sekali. Agung Sedayu berpendapat, bahwa Prastawa telah berubah.
"Mungkin Ki Gede telah menasehatinya," berkata Agung Sedayu didalam hatinya.
Namun Agung Sedayu sama sekali tidak menduga, bahwa ampat orang telah bersiap untuk berbuat jahat terhadapnya pekan mendatang. Dan pekan mendatang itupun akhirnya menjadi semakin dekat pula.
Namun dalam pada itu, setiap kali Ki Waskita masih selalu berpesan agar ia berhati-hati. Bahkan ia masih juga mengikutinya sekali dua kali dalam perjalanan keliling yang dilakukan Agung sedayu dalam rangka usahanya untuk menyusun rencana menyeluruh.
Tetapi dalam pada itu, secara khusus Agung Sedayu menjadi semakin sering berkunjung ke padukuhan-padukuhan tertentu. Tidak hanya siang hari, kadang-kadang malampun ia pergi. Bahkan karena Prastawa seolah-olah tidak menghiraukannya lagi, maka ia tidak lagi meninggalkan rumah Ki Gede dengan diam-diam di malam hari.
"Agaknya anak itu menjadi jemu," desis Agung Sedayu ketika Ki Waskita memperingatkan sekali lagi.
"Kau akan lengah menghadapi keadaan yang demikian," Ki Waskita masih tetap memperingatkan. Kemudian, "Bagaimanapun juga, kau harus tetap berhati-hati."
"Aku selalu berhati-hati Ki Waskita," jawab Agung Sedayu.
"Mungkin penggraitaku salah. Justru bukan Prastawa yang akan datang menjumpaimu, tetapi orang lain. Bahkan mungkin Ajar Tal Pitu."
Sebenaranyalah benggol kecu yang disebut Sura Bureng itu mempersiapkan tiga orang kawan untuk bersama-sama melakukan tugas yang diberikan oleh Prastawa untuk mendapat upah yang cukup banyak. Tetapi ternyata bahwa Sura Bureng tidak mau mempersulit diri dengan ancaman-ancaman atau bahkan membawa Agung Sedayu ke sebelah Timur Kali Praga. Baginya lebih mudah untuk membunuhnya saja, kemudian melempar mayatnya ke Kali Praga.
Ternyata ketiga orang kawannya sependapat. Apalagi ketika Sura Bureng itu berkata, "Prastawapun telah memberikan isyarat, jika anak itu melawan, dan tidak mungkin di tangkap hidup-hidup, maka kita dapat mengambil jalan lain. Jika anak itu terbunuh diluar niat kami, apaboleh buat."
"Jika demikian, kita jangan mempersulit diri," berkata seorang kawannya.
"Apa yang sulit ?" bertanya Sura Bureng, "anak itu bukan anak iblis. Aku sendiri dapat membunuhnya, jika anak itu tanggon. Maksudku jika anak itu berani menghadapi aku sampai mati, seperti dua orang yang berperang tanding. Tetapi menurut Prastawa anak itu sangat licik. Karena itu aku perlukan kalian untuk menjaga agar anak itu jangan sampai terlepas dan melarikan diri. Mungkin ia memang memiliki kemampuan untuk berlari cepat."
Ketiga orang kawannya tertawa. Salah seorang dari mereka berkata, "Lucu sekali. Kenapa Prastawa memerlukan empat ekor serigala untuk membunuh seekor kelinci sakit-sakitan. Tetapi baiklah, jika memang hal itu yang dihendaki."
Sura Burengpun kemudian merencanakan waktu yang sebaik-baiknya untuk melakukan rencananya. Ia akan berbicara kepada Prastawa, agar pada waktu yang ditentukan, Agung Sedayu dapat dipancing keluar dari padukuhan induk. Misalnya, sekelompok anak-anak muda dari satu pedukuhan mengharapnya datang, atau barangkali dapat disebut, salah seorang dari anak-anak muda itu akan kawin atau alasan apapun juga.
Akhirnya merekapun bersepakat untuk menentukan hari ketiga pekan mendatang. Malam akan sangat gelap, karena bulan lua akan hadir dilangit lewat tengah malam.
Dihari berikutnya Sura Bureng telah menemui Prastawa dan membicarakan rencana itu serta pelaksanaannya sebaik-baiknya.
"Baiklah," berkata Prastawa, "seorang kawanku akan memancingnya keluar dihari yang sudah ditentukan. Tetapi jangan salah hitung. Segalanya harus selesai pada saat itu juga."
"Percayakan segalanya kepadaku," jawab benggol kecu itu.
Dalam pada itu. Agung Sedayu sama sekali tidak menduga bahwa hal semacam itu akan terjadi. Ketika Ki Waskita memperingatkannya, maka angan-angannya memang tertuju kepada Ajar Tal Pitu. Karena itu, maka iapun berusaha untuk memantapkan diri, jika benar pada suatu saat ia harus berhadapan dengan Ajar Tal Pitu yang menurut perhitungannya, seperti juga perhitungan Ki Waskita, tentu sudah berusaha menyempurnakan ilmunya.
Itulah sebabnya. Agung Sedayu masih harus mempertimbangkan waktu sebaik-baiknya jika ia akan mulai dengan menggerakkan kembali para pengawal di Tanah Perdikan Menoreh dan memberikan latihan-latihan olah kanuragan, karena ia sendiri masih memerlukan waktu khusus, meskipun hanya dilakukan dalam biliknya.
Namun yang dilakukan Agung Sedayu telah mulai nampak hasilnya di Tanah Perdikan Menoreh. Selain sebuah bendungan, maka sebagian terbesar dari padukuhan-padukuhan di Tanah Perdikan Menoreh telah memperbaiki dan menghidupkan kembali segala peralatan padukuhan-padukuhan itu. Gardu, jalan-jalan padukuhan, pagar-pagar dan parit-parit yang rusak. Bahkan diantara mereka sudah mulai mempersiapkan peralatan untuk menelusur kesalahan, apakah yang menyebabkan air di parit-parit menjadi jauh berkurang.
Sementara itu, Agung Sedayupun telah mulai menyusun rencana untuk membangun Tanah Perdikan itu secara keseluruhan, dibantu oleh para pemimpin Tanah Perdikan dan para pemimpin padukuhan yang memberikan bahan-bahan yang sangat diperlukan.
"Kami sudah terbangun dari tidur yang terlalu nyenyak," berkata salah seorang pemimpin padukuhan, "namun tidur yang terlalu nyenyak itupun ternyata sangat melelahkan."
Tetapi justru karena itulah, maka Prastawa menjadi semakin tidak sabar. Hari ketiga pekan mendatang rasa-rasanya menjadi sangat lama. Ia sudah terlalu muak melihat Agung Sedayu yang menurut pengamatannya menjadi terlalu sombong atas pujian yang diberikan oleh para pemimpin Tanah Perdikan Menoreh.
Tetapi Prastawa harus menahan diri. Ia harus sabar menunggu hari ketiga pekan mendatang.
Dalam pada itu, di sela-sela kunjungannya ke padukuhan-padukuhan untuk sekedar berbincang-bincang dan bergurau dengan anak-anak muda di gardu-gardu yang sudah diperbaiki, kadang-kadang Agung Sedayu masih melihat kedalam dirinya sendiri. Ia sadar sepenuhnya bahwa Ki Waskita tahu benar akan keadaannya. Karena itulah, maka kadang-kadang, lewat tengah malam. Agung Sedayu duduk di pembaringannya sambil menyilangkan tangannya.
Pada saat-saat yang demikian Ki Waskita sama sekali tidak mengganggunya. Ia tahu apa yang sedang diperbuat oleh Agung Sedayu.
Sementara itu, haripun berlalu dengan pasti. Saat yang ditunggu-tunggu oleh Prastawa itupun menjadi semakin dekat. Betapa ia tidak sabar lagi, ketika ia masih harus menunggu sehari lagi.
Segalanya sudah diatur sebaik-baiknya. Ia sudah menetapkan seseorang untuk menemui dan memanggil Agung Sedayu di malam yang sudah disepakati.
Namun dalam pada itu, ia sendiri menjadi bimbang. Ia ingin membuang kecurigaan pamannya dengan tetap berada dirumah. Tetapi la ingin melihat apa yang bakal terjadi. Sehingga dengan demikian ia harus membuat rencana sebaik-baiknya bagi dirinya sendiri.
"Aku harus menyiapkan saksi palsu. Meskipun aku tidak berada dirumah, kawan-kawanku harus menyebutkan bahwa aku benar-benar tidak mengetahui apa yang telah terjadi atas Agung Sedayu.
Demikianlah Prastawa telah berunding dengan kawan-kawan terdekatnya. Meskipun Ki Gede tidak bertanya, tetapi mereka harus memberikan kesan lewat cara apapun, bahwa Prastawa berada bersama mereka disatu tempat yang telah ditetapkan.
Demikianlah, maka hari-hari yang ditunggu oleh Prastawa itupun akhirnya datang juga. Ketika matahari terbit di hari yang ditentukan, rasa-rasanya waktu beredar sangat lamban. Namun betapapun lambatnya, akhirnya malampun turun juga di Tanah Perdikan Menoreh.
Segalanya sudah direncanakan oleh Prastawa. Kawannya yang akan minta Agung Sedayu pergi kesebuah padukuhan telah siap pula. Benggol Kecu yang bernama Sura Burengpun telah siap dengan tiga orang kawannya.
Tidak akan ada kesalahan lagi dalam rencana yang sudah disusun matang itu. Segalanya akan berjalan lancar. Dan sejak malam itu, Agung Sedayu akan hilang dari Tanah Perdikan. Mungkin dalam waktu tiga atau ampat hari, akan datang berita dan Jati Anom, bahwa Agung Sedayu telah kembali ke Jati Anom dan keberatan untuk datang lagi ke Tanah Perdikan Menoreh.
Namun Prastawa tidak menyadari, bahwa Sura Bureng tidak akan memperlakukan Agung Sedayu itu demikian. Menghajarnya sampai lumpuh, dan melemparkannya kesebelah Timur Kali Praga. Atau setelah meremukkan tulang-tulangnya, kemudian dengan sisa tenaga yang ada. Agung Sedayu harus meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh dan tidak boleh kembali lagi, agar ia tidak akan mati tanpa arti apapun juga di Tanah Perdikan Menoreh.
Sura Bureng ternyata menganggap bahwa membunuh anak muda itu akan jauh lebih mudah daripada sekedar menyakiti dan mengusirnya. Apalagi jika anak muda itu melawan.
Demikianlah, pada saatnya, maka rencana itupun mulai berjalan. Ketika malam menjadi semakin dalam, dua orang telah mencari Agung Sedayu di gandok rumah Ki Gede.
"Apakah ada sesuatu yang penting ?" bertanya Agung Sedayu.
Anak muda itu tersenyum. Jawabnya, "Tidak ada apa-apa. Tetapi apakah kau dapat datang ke padukuhan kami ?"
"Ada apa ?" bertanya Agung Sodayu pula.
"Sekedar mengisi kekosongan malam ini. Anak-anak muda akan berjaga-jaga semalam suntuk. Bukan karena apa-apa. tetapi seorang penghuni padukuhan kami akan mengawinkan anak gadisnya besok," jawab anak muda itu sambil tertawa. Lalu. "Jika kau sempat datanglah. Atau lebih baik bersama kami karena mungkin sekali kau belum mengetahui rumah orang itu."
"Lalu, apakah ada hal yang dapat dibicarakan di pertemuan itu ?" bertanya Agung Sedayu selanjutnya.
"Tidak. Sekedar berjaga-jaga saja sambil berbuat apa saja yang dapat dipakai untuk mengisi waktu. Agaknya anak-anak muda padukuhan kami sangat mengharap kau datang meskipun barangkali orang yang akan mengawinkan anak gadisnya itu tidak bermaksud demikian," jawab orang yang datang itu.
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun rasa-rasanya ia tidak dapat menolak ajakan itu. Karena itu, maka katanya kemudian, "Baiklah aku berganti pakaian dahulu. Tunggulah sebentar di serambi."
Kedua orang anak muda itupun kemudian duduk di serambi menunggu Agung Sedayu membenahi pakaiannya.
Ketika Ki Waskita mendengar dari Agung Sedayu tentang ajakan kedua anak muda itu, maka Ki Waskita tiba-tiba saja menjadi berdebar-debar. Karena itu, maka sekali lagi ia memperingatkan," berhati-hatilah Agung Sedayu."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun kemudian sambil mengangguk ia menjawab, "Aku akan berhati-hati paman. Aku mempunyai dua orang kawan yang akan dapat membantuku diperjalanan jika terjadi sesuatu."
Ki Waskita memandang Agung Sedayu dengan tajamnya. Lalu katanya," berhati-hatilah terhadap satu kemungkinan bahwa Ki Ajar Tal Pitu akan mencarimu sampai ke tempat ini. Tetapi berhati-hatilah juga, justru terhadap kedua anak muda itu."
"Keduanya anak Tanah Perdikan ini," jawab Agung Sedayu.
"Memang. Tetapi kemungkinan-kemungkinan buruk itu sering datang tanpa dapat diduga-duga sebelumnya," desis Ki Waskita.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sambil mendekati Ki Waskita ia berdesis, "Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu paman. Namun seandainya bahaya itu datang pula, aku sudah cukup berhati-hati untuk menyelamatkan diri."
Ki Waskita hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Hampir saja ia bermaksud untuk mengikuti Agung Sedayu, namun menurut keterangan Agung Sedayu, anak-anak muda itu mengundangnya dalam pertemuan sekelompok anak-anak muda saja.
Sejenak kemudian. Agung Sedayupun telah siap. Ketika ia sampai di pintu, ternyata Ki Waskita memanggilnya. Ketika Agung Sedayu berpaling, ia melihat Ki Waskita menyibakkan tikar dipembaringannya.
"Apakah kau tidak akan membawanya ?" bertanya Ki Waskita sambil menunjuk cambuk Agung Sedayu yang diletakkan di bawah tikar.
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, "Aku kira, dalam keadaan seperti ini aku tidak memerlukannya Ki Waskita."
Ki Waskita menggeleng lemah. Katanya lirih, "Kau lebih berbahaya tanpa cambukmu, karena jika terpaksa kau akan mempergunakan senjatamu yang tidak akan dapat terlawan. Setiap sentuhan akan berarti maut. Tetapi agaknya tidak demikian dengan senjatamu ini."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun melangkah kembali dan kemudian membelitkan senjatanya di bawah bajunya seperti biasanya. Baru kemudian iapun telah minta diri.
Demikian ia melangkahi pintu, kedua orang yang menjemputnya itupun berdiri. Kemudian mereka bersama-sama menuruni tangga gandok dan langsung menyeberangi halaman menuju regol.
Ternyata Prastawa berdiri disebelah regol yang terbuka. Adalah diluar kebiasaannya, bahwa ia bertanya sambil tersenyum. "Kemana Agung Sedayu ?"
Agung Sedayu merasa aneh atas sikap Prastawa itu. Meskipun pada saat-saat terakhir Prastawa tidak pernah bersikap kasar terhadapnya, namun sikap yang sangat ramah itu justru membuatnya berdebar-debar. Apalagi Agung Sedayu mempunyai panggraita yang tajam sehingga sikap itu telah dihubungkannya dengan pesan Ki Waskita, sehingga dengan demikian maka Agung Sedayupun benar-benar merasa harus berhati-hati.
Namun demikian Agug Sedayu menjawab pula, "Aku akan mengikuti kedua anak muda ini. Agaknya senang juga berjaga-jaga dirumah seseorang yang sedang mempunyai keperluan untuk mengawinkan anaknya."
"Menyenangkan sekali," jawab Prastawa, "hidangan akan mengalir untuk semalam suntuk."
"Apakah kau tidak pergi juga kesana ?" bertanya Agung Sedayu.
Prastawa menggeleng sambil menjawab, "Kau sajalah pergi. Anak-anak itu ingin berbicara denganmu sepanjang malam."
Agung Sedayu tersenyum. Kemudian iapun minta diri meninggalkan regol halaman rumah Ki Gede.
Prastawa memandang langkah Agung Sedayu yang semakin jauh dan kemudian hilang didalam gelapnya malam. Sambil menarik nafas dalam-dalam iapun kemudian beringsut meninggalkan regol yang masih tetap terbuka. Sambil menyembunyikan senyumnya iapun naik kependapa dan hilang dipintu pringgitan.
Para peronda di gardu kemudian menutup pintu regol yang terbuka meskipun tidak menyelaraknya. Namun demikian mereka kembali duduk di gardu, Prastawapun telah turun pula dari pendapa. Dua orang kawannya yang berada di gardu bersama para perondapun turun pula dan bersamanya keluar dari halaman.
Sekali lagi pintu regol itu ditinggalkannya terbuka. Sekali lagi para peronda harus menutup pintu itu.
"Jangan terlalu rapat desis pemimpin peronda itu, "biarlah mereka yang akan keluar masuk tidak usah membukanya lagi, sehingga justru terlampau lebar."
"Kemana anak itu ?" bertanya seseorang diantara para peronda.
"Entahlah," sahut yang lain, "sudah menjadi kebiasaan Prastawa setiap malam berkeliaran. Bahkan kadang-kadang ketempat yang tidak dapat disebutkan."
"Apakah Ki Gede tidak mengetahuinya ?" bertanya yang lain pula.
"Tentu sudah mengetahuinya," desis pemimpin peronda itu, "tetapi entahlah. Kadang-kadang Ki Gede juga sudah memberikan beberapa nasehat kepada anak itu. Tetapi agaknya ia memang keras kepala. Sekarang perhatian Ki Gede lebih banyak tertuju kepada Agung Sedayu. Meskipun ia orang lain. tetapi ia berbuat lebih banyak dari Prastawa."
"Sikap Prastawa sudah berubah," berkata seorang kawannya, "biasanya ia bersikap kasar terhadap Agung Sedayu."
"Kita akan melihat, siapa yang akan lebih banyak memberikan arti kepada Tanah Perdikan ini meskipun Prastawa adalah anak Tanah Perdikan, sementara Agung Sedayu dapat dikatakan orang lain," desis pemimpin peronda itu.
Kawan-kawannya hanya mengangguk-angguk saja. Tetapi mereka seolah-olah melihat pada Prastawa, sikap yang tidak ramah terhadap Agung Sedayu pada hari-hari yang lewat. Namun agaknya sikap itu sudah berubah. Prastawa nampaknya tidak bersikap kasar lagi terhadap Agung Sedayu.
Dalam pada itu, Agung Sedayu yang berjalan didalam gelapnya malam bersama dua orang anak muda yang mengajaknya, telah memasuki sebuah bulak pendek. Kemudian mereka mengikuti jalan simpang sebelum mereka memasuki padukuhan dihadapan mereka. Justru karena itu maka beberapa puluh langkah kemudian, mereka memasuki sebuah jalan kecil diantara tanah persawahan yang luas. Mereka ternyata tidak melalui padukuhan dihadapan mereka, tetapi mereka menempuh jalan kecil disebelah padukuhan itu.
"Kita mengambil jalan memintas," berkata salah seorang dari kedua anak muda itu.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Perasaannya semakin digelitik oleh sikap yang kurang wajar dari kedua orang anak muda itu. Apalagi ketika ia membayangkan sikap Prastawa yang tidak seperti biasanya.
Karena itu, Agung Sedayu cukup berhati-hati. Bagaimanapun juga, hal-hal yang tidak diinginkan itu akan dapat saja terjadi di luar perhitungannya.
Ketika sekali lagi mereka berbelok, maka mereka semakin menjauhi padukuhan itu. Mereka langsung turun disebuah jalan lain yang lebih besar di tengah-tengah bulak panjang.
"Kita pergi ke padukuhan itu," berkata salah seorang anak muda itu sambil menunjuk sebuah padukuhan yang tidak nampak digelapnya malam.
Agung Sedayu yang sudah mengenal Tanah Perdikan Menoreh dengan baik itupun bertanya, "Apakah kau tinggal dipadukuhan itu " Menurut pengetahuanku, kau tidak tinggal di padukuhan itu."
"Aku memang tidak tinggal di padukuhan itu. Bibikulah yang tinggal disana. Tetapi karena aku juga sering berada di rumah bibi, maka seolah-olah aku adalah anak padukuhan itu pula."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun ia tetap bersikap hati-hati. Bulak yang panjang, gelap dan sepi itu rasa-rasanya mengandung seribu macam kemungkinan. Yang baik dan yang buruk.
Sebenarnyalah, di bulak yang panjang, sepi dan gelap itu, Sura Bureng dan tiga orang kawannya telah menunggu. Seperti yang sudah direncanakan, Agung Sedayu akan dipancing lewat jalan itu. Jika ia tidak berhasil diundang dengan alasan peralatan, maka ia akan dipancing dengan cara lain, seolah-olah sekelompok anak muda minta ia memisah perselisilian diantara kawan-kawan mereka. Atau alasan lain yang akan dapat diterima oleh Agung Sedayu.
Namun ternyata bahwa Agung Sedayu sudah berada di bulak yang panjang dan gelap itu.
Ketika perjalanan anak-anak muda dari padukuhan induk itu sudah sampai ditengah-tengah bulak, maka yang dicemaskan Agung Sedayu itupun telah terjadi. Beberapa orang telah menghentikan langkah mereka dengan sikap yang kasar.
Agung Sedayu tidak terlalu terkejut. Seolah-olah ia memang sudah menunggu akan terjadi sesuatu seperti yang dikatakan oleh Ki Waskita dan sebagaimana terbersit didalam panggraitanya sendiri. Justru karena itulah maka ia selalu berhati-hati.
Sura Bureng yang berdiri ditengah jalan itupur kemudian bertanya dengan kasar. "Siapa kalian he ?"
Kedua anak muda itu menjadi gemetar. Yang seorang bersembunyi dibelakang Agung Sedayu, sementara yang lain justru tergagap tanpa dapat menjawab.
"Siapa kalian he ?" bentak Sura Bureng, sehingga kedua anak muda itupun menjadi semakin ketakutan.
Namun dalam pada itu, dengan tenang Agung Sedayi menjawab, "Hal semacam inilah yang sebenarnya aku tunggu. Aku sama sekali tidak tertarik kepada peralatan dan ceritera tentang kawan-kawan yang menunggu aku. Tetapi kemungkinan-kemungkinan yang terselubung seperti inilah yang sebenarnya sangat menarik perhatianku."
"Gila, kau sudah menjadi gila. Apa maksudmu ?" bertanya Sura Bureng.
"Sudahlah." berkata Agung Sedayu, "jangan bertanya tentang hal-hal yang sudah kau ketahui. Segala rangkaian peristiwa sebelumnya akhirnya dapat aku baca pada saat ini dengan jelas. Aku sudah tahu maksudmu, siapa yang berdiri di belakangmu, dan untuk apa hal ini kaulakukan."
Ketenangan Agung Sedayu membuat Sura Bureng hampir tidak dapat menahan diri lagi. Tetapi ia masih berkata, "Kenapa tiba-tiba kau mengigau tanpa arti."
Agung Sedayu menjawab sareh, "Jangan mencoba membohongi aku. Aku melihat dengan jelas, peranan apa yang sedang kau lakukan sekarang."
"Bohong," bentak Sura Bureng.
"Jika kau tidak percaya, bertanyalah kepada kedua anak muda ini. Merekapun sebenarnya tidak perlu takut kepada kalian," berkata Agung Sedayu.
Kedua anak muda itupun termangu mangu. Namun nampaknya Agung Sedayu begitu yakin tentang apa yang dikatakannya.
Akhirnya Sura Burenglah yang tidak sabar lagi. Dengan kasar ia berkata, "Kau akan mati sekarang. Baiklah, kau boleh mengetahui apa yang sedang aku lakukan."
Kedua anak muda itu terkejut. Tetapi mereka tidak sempat berkata sesuatu ketika Sura Bureng berkata lebih lanjut, "Kau tidak usah menyesali nasib. Memang tugasku yang sebenarnya tidak untuk membunuhmu. Tetapi aku kira aku akan lebih puas jika aku melemparkan mayatmu ke Kali Praga."
Kedua anak muda itu termangu-mangu. Tetapi mereka tidak berani berbuat sesuatu, ketika Sura Bureng itupun berkata lebih lanjut, "Aku memang sudah bertekad demikian. Jika ada orang yang berusaha menghalangiku, akan aku bunuh sama sekali. Mayatnyapun akan aku lemparkan ke Kali Praga bersama mayatmu."
"Semuanya sudah jelas," berkata Agung Sedayu. "Sekali lagi aku katakan. Seolah-olah aku membaca sebuah kitab, Ketika aku sampai pada halaman terakhir, maka aku menjadi jelas seluruh isi kitab itu."
"Persetan," geram Sura Bureng, "aku tidak peduli. Bersiaplah untuk mati."
Tetapi salah seorang dari kedua anak muda itu berusaha untuk memotong.
"Tutup mulutmu," bentak Sura Bureng, "aku sudah bertekad untuk membunuh siapa saja yang menghalangi aku. Bahkan Prastawa sendiri."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnyalah ia berusaha untuk memancing pengakuan itu. Meskipun ia memang sudah menduga, namun ia menjadi bertambah jelas, apa yang sedang dihadapinya.
Dalam pada itu, sambil mengendap-endap Prastawa telah mendekati tempat itu. Ia mendengar namanya disebut, sehingga karena itu iapun mengumpat didalam hati. Namun kemudian ia mendengar Sura Bureng berkata, "Aku tidak mempunyai waktu banyak. Terserah kepadamu, apa kau akan melawan, atau tidak. Seandainya kau mengetahui persoalan yang kau hadapi, aku sama sekali tidak berkeberatan, karena kau akan mati. Sebenarnya bagi Prastawa sendiri, memang lebih baik jika kau mati daripada sekedar diancam dan memaksamu berjanji untuk tidak akan membuka rahasia ini. Karena pada suatu saat, dibawah perlindungan seseorang, kau akan dapat ingkar pada janji itu, sehingga rahasia ini akan terbuka juga. Tetapi jika kau mati, untuk selamanya rahasia ini tidak akan tersingkap dari balik tirai kematianmu."
"Gila orang ini," geram Prastawa. Namun kawannya berbisik perlahan sekali ditelinganya, "nampaknya masuk akal juga jalan pikiran Sura Bureng itu."
Prastawa merenung sejenak. Namun akhirnya iapun mengangguk-angguk sambil menjawab, "Kau benar. Aku mengerti."
Tetapi adalah diluar dugaannya, bahwa pada saat itu, Agung Sedayu yang mempunyai perhitungan dan pertimbangan yang cermat, memang sudah menduga bahwa ada satu dua orang yang mengawasi peristiwa itu dari kegelapan. Kartena ia sempat mempertajam pendengarannya sebagaimana ia dapat mempertajam penglihatannya pada satu sasaran. Karena itulah, betapapun lemahnya, ia dapat menangkap pembicaraan antara Prastawa dan kawannya. Sehingga dengan demikian maka semuanya sudah menjadi jelas sekali baginya.
Namun Agung Sedayu bukannya seseorang yang bertindak dengan tergesa-gesa dalam menanggapi satu persoalan. Karena itu maka seperti biasanya, menghadapi masalah yang gawat iapun, ia masih tetap tenang dan berhati-hati.
Dalam pada itu, maka Sura Bureng itupun berkata, "Jika kau sudah mengerti, nah apa yang akan kau lakukan sekarang?"
"Ki Sanak," berkata Agung Sedayu, "yang mula-mula akan aku lakukan adalah berbicara. Mungkin kau dapat mengerti, sehingga kau akan dapat bersikap lebih baik."
"Memuakkan," bentak Sura Bureng, "he, bukankah menurut pendengaranku, kau adalah murid orang bercambuk yang terkenal itu. Sekarang adalah waktunya untuk membuktikan, apakah benar orang bercambuk itu mempunyai kelebihan dari orang lain."
"Tidak ada kelebihan apapun," jawab Agung Sedayu.
Jawaban itu memang mengejutkan Sura Bureng. Tetapi akhirnya ia menjadi semakin marah. Seolah-olah Agung Sedayu dengan sengaja telah menghinanya.
Namun Agung Sedayu berkata selanjutnya, "Banyak orang yang salah mengerti tentang orang bercambuk yang tidak lebih dari salah seorang diantara kumpulan gembala. Demikian pula murid-muridnya."
"Persetan," geram Sura Bureng, "siapapun kau dan siapapun orang bercambuk itu, aku tidak peduli. Bersiaplah untuk mati."
"Jangan tergesa-gesa Ki Sanak," berkata Agung Sedayu, "apakah tidak ada jalan lain daripada membunuh."
"Tidak ada jalan lain. Jangan berbicara lagi. Setiap kata yang terloncat dari mulutmu, hanya membuat aku menjadi semakin marah, dan semakin membakar nafsuku untuk membunuhmu dengan cara yang tidak sewajarnya."
"Kau cepat dibakar oleh perasaanmu," desis Agung Sedayu.
"Cukup. Kau membuat aku ingin mengikatmu dan menceburkan kau kedalam sungai itu hidup-hidup," desis Sura Bureng.
Agung Sedayu tidak sempat menjawab, karena tiba-tiba Sura Bureng berkata lantang kepada kawan-kawannya, "Jaga anak ini agar tidak sempat lari."
Ketiga orang kawan Sura Bureng itupun segera memencar. Sementara itu Sura Burengpun berkata, "Bukan berarti bahwa aku memerlukan tiga orang kawan untuk membunuhmu. Aku akan membunuhmu seorang diri. Aku ingin menjajagi orang bercambuk itu sendiri lewat muridnya. Berapa lama kau mampu bertahan, sehingga dengan demikian aku akan mengerti, berapa lama gurumu mampu bertahan melawan aku."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Orang ini memang tidak dapat diajak berbicara lagi. Karena itu. maka tidak ada jalan lain yang dapat dilakukannya kecuali mempertahankan diri. Betapapun juga ia tidak mau mengalami perlakuan yang kasar, apalagi benar-benar membahayakan jiwanya.
Buku 146 DALAM pada itu, Agung Sedayupun menyadari kebenaran pendapat Ki Waskita. Memang lebih baik baginya untuk membawa cambuknya, karena tanpa cambuk, ia akan dapat menjadi justru lebih berbahaya.
Dalam pada itu, orang yang bernama Sura Bureng itu benar-benar telah mulai. Dengan langkah pendek ia maju. Tangannya terjulur kedepan, meskipun ia belum benar-benar mulai menyerang.
Agung Sedayu masih belum bergerak. Ia masih berdiri tegak. Namun ia masih sempat berkata kepada kedua orang anak muda yang menjemputnya dengan lantang, "Minggirlah. Kau dapat menonton tontonan yang barangkali menyenangkan buat kalian berdua, dan barangkali juga buat Prastawa dan kawan-kawannya."
Dengan sengaja Agung Sedayu berusaha agar Prastawa dapat mendengarnya. Sehingga dengan demikian Prastawapun mengerti, bahwa apa yang telah terjadi itu dapat dimengerti pula sepenuhnya oleh Agung Sedayu.
Sebenarnyalah Prastawa memang mendengar apa yang dikatakan oleh Agung Sedayu itu, sehingga jantungnya rasa-rasanya berdentang semakin keras.
Namun demikian ia dapat menghibur dirinya sendiri, bahwa Agung Sedayu tidak akan dapat mengatakan rahasia itu kepada siapapun juga.
"Tetapi bukan aku yang bermaksud membunuhnya. Aku hanya menyuruh Sureng Bureng untuk mengusirnya," desis Prastawa kepada diri sendiri.
Sikap Agung Sedayu benar-benar menyakitkan hati Sura Bureng. Karena itu, maka tiba-tiba saja kakinya telah terayun dengan kerasnya mengarah ke lambung Agung Sedayu.
Baru Agung Sedayu bergeser. Selangkah ia surut sehingga kaki lawannya tidak mengenainya. Tetapi Sura Bureng telah memburunya. Demikian kakinya berpijak diatas tanah, maka kakinya yang lain telah terayun pula.
Agung Sedayu tidak meloncat surut, tetapi ia bergeser kesamping. Demikian kaki lawannya terjulur dihadapannya, maka kaki itu telah didorongnya kesamping sehingga tubuh Sura Bureng telah terputar. Tetapi Sura Bureng cukup cepat. Ia bahkan meloncat selangkah surut, dan bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Namun ternyata Agung Sedayu tidak berbuat apa-apa. Ia masih saja berdiri tegak memandang lawannya yang tegang.
"Gila," geram Sura Bureng, "ternyata kau tidak mampu berbuat apa-apa. Kau hanya mampu berloncatan tanpa arti sama sekali."
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia sudah bersiap menghadapi kemungkinan-kemungkinan berikutnya. Sura Bureng yang telah mulai dengan serangan-serangan yang meskipun belum bersungguh-sungguh itu, tentu akan segera meningkatkan serangannya. Sementara kawannya yang tiga orang, masih saja berdiri diam. Mereka hanya mendapat tugas untuk menjaga agar Agung Sedayu tidak melarikan diri.
Seperti yang diperhitungkan oleh Agung Sedayu, maka Sura Burengpun telah bersiap untuk bertempur dengan sungguh-sungguh. Sejenak kemudian ia bergeser maju. Sebelah tangannya terjulur, yang lain menyilang didada.
Sejenak kemudian terdengar ia berteriak sambil meloncat menyerang Agung Sedayu dengan tangannya langsung mengarah ke dahi.
Tetapi Agung Sedayu sudah bersiap menghadapinya. Ia sempat bergeser sambil menarik tubuhnya condong kebelakang, sehingga tangan lawannya tidak menyentuhnya. Namun pada saat tangan Sura Bureng tidak mengenai sasaran, tiba-tiba saja tangan itu bergerak mendatar. Dengan sisi telapak tangannya Sura Bureng menghantam kening.
Sekali lagi Agung Sedayu harus menghindar. Tetapi ia tidak membiarkan dirinya menjadi sasaran dan harus menghindar dan menghindar. Ketika tangan Sura Bureng menyambar diatas kepalanya yang menunduk, maka Agung Sedayu dengan cepat menyerang lambung lawan yang terbuka.
Namun ternyata Sura Bureng cukup cekatan. Serangan Agung Sedayu dapat dihindarinya dengan loncatan panjang kesamping.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Sura Bureng itu cukup cepat pula bergerak. Meskipun Agung Sedayu masih belum bersungguh-sungguh, namun dengan demikian ia mengerti, bahwa lawannya termasuk orang berilmu.
Karena itu, maka Agung Sedayu yang sudah berhati-hati itu menjadi semakin berhati-hati. Lawannya tidak hanya seorang. Meskipun tiga orang yang lain masih belum berbuat apa-apa, dan mereka hanya bertugas untuk menjaga agar Agung Sedayu tidak melarikan diri, namun pada saatnya mereka tentu akan melibatkan diri.
Sekali lagi Agung Sedayu merasa berterima kasih kepada Ki Waskita yang sudah memperingatkannya agar ia membawa cambuknya.
Sejenak kemudian, maka perkelahian itupun menjadi semakin cepat. Sura Bureng yang memang tidak mempunyai pertimbangan lain daripada membunuh Agung Sedayu itupun berusaha untuk menyelesaikan pekerjaannya secepatnya. Dengan demikian, iapun segera mengerahkan segala kemampuannya, agar Agung Sedayu cepat dapat dikuasainya.
Tetapi ternyata dugaannya tentang Agung Sedayu keliru. Murid orang bercambuk yang menurut Prastawa dapat dikalahkan jika Prastawa tidak segan menanganinya sendiri itu, masih mampu bertahan untuk beberapa saat.
"Anak iblis," geram Sura Bureng, "kau membuat aku semakin marah. Kau akan membuat dirimu sendiri semakin tersiksa karenanya."
"Apa maksudmu ?" bertanya Agung Sedayu.
"Jika kau masih saja melawan, maka kau akan membuat dirimu sendiri semakin parah disaat terakhir," geram Sura Bureng.
"Jadi kau bermaksud agar aku menyerahkan leherku ?" bertanya Agung Sedayu.
"Ya. Dengan baik-baik." bentak orang itu.
"Jangan bergurau," berkata Agung Sedayu, "aku tidak menyangka bahwa dalam keadaan seperti ini kau masih sempat juga bergurau."
Kemarahan Sura Bureng menjadi semakin memuncak. Sikap Agung Sedayu itu dinilainya seakan-akan anak itu menjadi semakin sombong. Karena itu, maka iapun menjadi semakin garang. Langkahnya menjadi semakin cepat, dan ayunan tangannya menjadi semakin berat.
Namun seolah-olah usahanya itu sama sekali tidak berpengaruh. Agung Sedayu justru masih sempat membalas serangan-serangannya dengan serangan pula. Dan yang paling menyakitkan hati Sura Bureng, justru serangan-serangan Agung Sedayulah yang telah mengenainya.
Karena itu, maka Sura Bureng tidak mau mengalami kesulitan lebih lama lagi. Dengan serta merta iapun telah mencabut goloknya yang besar.
Agung Sedayu melangkah surut. Golok itu memang terlalu besar. Karena itu, maka iapun mengerti, bahwa kekuatan orang itupun tentu cukup besar untuk menggerakkan goloknya
Ketika orang itu memutar goloknya, maka Agung Sedayupun menjadi semakin yakin, orang itu menguasai ilmu pedang dengan baik. Golok itu berpular dengan cepat, kemudian tiba-tiba saja sambil melangkah maju, golok itu langsung terjulur kearah dadanya. Agaknya orang itu akan segera mengakhiri pertempuran dengan cepat.
Agung Sedayu yang meloncat mundur, terkejut melihat gerak orang itu. Cukup cepat. Selangkah ia memburu, dan goloknya telah terayun mendatar.
Namun Agung Sedayu sempat merendah. Golok itu menyambar diatas kepalanya, tanpa menyentuhnya.
Sura Bureng ternyata tidak mau melepaskan kesempatan berikutnya. Ketika goloknya tidak mengenai lawannya, ia telah menarik serangannya. Sekali lagi ia menusuk lurus selagi Agung Sedayu masih merendah.
Geraknya Sura Bureng cukup cepat. Namun benar-benar diluar dugaan Sura Bureng, bahwa Agung Sedayu masih sempat mengelak.
Namun dengan demikian, oleh kemarahan yang memuncak, maka serangan Sura Burengpun datang beruntun mengejar Agung Sedayu. Semakin lama semakin cepat. Meskipun demikian, serangan itu sama sekali tidak menyentuh sasaran. Agung Sedayu seolah-olah telah berubah menjadi bayangan yang tidak tersentuh.
Sura Burengpun kemudian menyadari, sebenarnyalah Agung Sedayu memiliki ilmu yang cukup untuk menghadapinya. Ia sudah menghentakkan segala kemampuannya, dan bahkan ilmu pedangnya. Namun Agung Sedayu masih sempat mengelakkannya, dan bahkan ia sama sekali tidak melawannya dengan senjata.
Kemarahan Sura Bureng mulai disentuh oleh perasaan gelisah. Ia sadar, bahwa seorang diri ia tidak akan dapat mengalahkan Agung Sedayu, yang disebutnya murid orang bercambuk.
"Kenapa Prastawa mengaku dapat mengalahkannya seandainya ia tidak segan terhadap pamannya ?" bertanya Sura Bureng didalam hatinya.
Dan dalam pada itu, pertanyaan serupa telah bergejolak dihati Prastawa yang melihat perkelahian itu, meskipun malam cukup gelap. Tetapi karena mereka bertempur di bulak panjang, maka Prastawa masih dapat melihat pertempuran itu. Dan iapun melihat, bahwa dengan pedang Sura Bureng tidak dapat menguasai Agung Sedayu yang tidak bersenjata.
"Apakah ia mempunyai ilmu iblis," geram Prastawa yang menilai ilmu pedang Sura Bureng cukup menggetarkan.
Prastawapun menjadi semakin gelisah. Bahkan ia menjadi jengkel, kenapa tiga orang kawan Sura Bureng itu masih saja menjadi penonton pada saat Sura Bureng mengalami kesulitan.
Namun akhirnya Prastawa menarik nafas panjang ketika ia mendengar Sura Bureng berkata lantang kepada kawan-kawannya, "He, jangan menonton saja seperti menonton sabung ayam. Kau lihat betapa liciknya anak itu. Ia hanya dapat meloncat-loncat menghindar tanpa berani bertempur dengan mapan. Karena itu, apa artinya aku menantangnya berperang tanding. Kita harus beramai-ramai menangkapnya dan membunuhnya."
Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Jika ia harus menghadapi ampat orang bersenjata, maka ia tidak akan dapat melawan mereka tanpa senjata. Mungkin ia dapat berlari-lari menghindar dalam arena yang luas. Tetapi dengan demikian maka pertempuran itu tidak akan terselesaikan.
Karena itu, maka Agung Sedayupun menunggu sejenak. Ketika ketiga orang lainnya telah menggenggam senjata ditangan masing-masing, maka justru mereka menjadi berdebar-debar melihat Agung Sedayu mengurai cambuknya.
Sura Bureng yang memimpin kawan-kawannya itupun memperhatikan cambuk itu dengan jantung yang berdegupan. Sebelum menggenggam senjata, ia tidak dapat menyentuhnya sama sekali meskipun ia telah menggenggam goloknya. Dan kini Agung Sedayu itu telah memegang tangkai cambuknya. Senjata yang tidak terlalu banyak dipergunakan orang.
"Tetapi aku sekarang berempat," berkata Sura Bureng didalam hatinya.
Dalam pada itu, ketiga kawan-kawannya yang sudah bersenjata pula bergeser selangkah. Merekapun memperhatikan cambuk Agung Sedayu yang berjuntai cukup panjang.
Agung Sedayu masih tetap berdiri ditempatnya. Sekali-sekali ia berpaling kepada lawan-lawannya yang sengaja mengepungnya dari segala arah. Agung Sedayu sadar, bahwa keempat orang itu adalah orang-orang kasar yang sudah terbiasa mempergunakan kekerasan. Namun Agung Sedayu sama sekali tidak ingin menunjukkan kelebihan-kelebihannya. Ia ingin bertempur dengan wajar. Ia ingin mengalahkan lawan-lawannya dengan ilmu cambuknya.
Meskipun demikian, Agung Sedayu tidak menganggap lawan-lawannya terlalu ringan. Karena itu, ia telah melindungi kulitnya dengan ilmu kebalnya. Meskipun demikian ia tidak menampakkannya dengan semata-mata. Meskipun seandainya ia berdiri tegak tanpa bergerak sekalipun, keempat lawannya itu tidak akan dapat melukai kulitnya, namun ia sama sekali tidak akan memberikan kesan bahwa ia memiliki ilmu kebal.
Karena itu, maka Agung Sedayupun kemudian telah bersiap untuk berkelahi dengan senjatanya.
Ketika keempat orang itu mulai bergeser semakin dekat, maka Agung Sedayupun telah bersiap sepenuhnya. Iapun sadar, bahwa Prastawa sedang memperhatikannya didalam gelapnya malam, beberapa langkah dari arena perkelahian itu.
Namun dalam pada itu, keempat orang itu telah terkejut sehingga mereka berloncatan surut. Tiba-tiba saja cambuk Agung Sedayu itu telah meledak. Dengan sengaja Agung Sedayu sekedar mengerahkan kekuatan wadagnya, sehingga dengan demikian cambuknya itupun telah menggetarkan telinga wadag keempat orang lawannya.
Untuk sesaat keempat kawannya itu masih tetap berada ditempatnya. Mereka sedang mengatur degup jantungnya yang tidak menentu karena terkejut. Sekali-sekali mereka menarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan hatinya.
Agung Sedayulah yang kemudian bergeser maju mendekati Sura Bureng. Sekali-sekali Agung Sedayu menggerakkan ujung cambuknya, sehingga. Sura Bureng itu terpaksa bergeser surut sambil mengumpat karena kawan-kawannya masih belum berbuat apa-apa.
Namun akhirnya kawan-kawan Sura Bureng itupun sadar, bahwa mereka harus berbuat sesuatu. Karena itu, maka hampir bersamaan mereka telah berloncatan maju. Bahkan sejenak kemudian merekapun telah mulai menyerang Agung Sedayu dari segala arah.
Namun serangan mereka terhalang oleh ujung cambuk Agung Sedayu yang diputarnya.
Dalam pada itu Sura Bureng yang merasa bertanggung jawab atas tugas itupun telah mengambil sikap lebih berani dari kawan-kawannya yang semula hanya bertugas untuk menjaga agar Agung Sedayu tidak sekedar melarikan diri. Sambil merendahkan diri ia menyusup diantara putaran cambuk Agung Sedayu. Tangannya terjulur lurus langsung menyerang dada Agung Sedayu dengan goloknya yang besar.
Tetapi Agung Sedayu tidak membiarkan dadanya disentuh oleh senjata lawannya atau sengaja memamerkan ilmu kebalnya. Tetapi Agung Sedayu telah menghindari serangan itu. Namun dalam pada itu, iapun telah menggerakkan cambuknya menyerang Sura Bureng yang gagal mengenainya.
Serangan Agung Sedayu tidak begitu cepat, sehingga Sura Bureng berhasil meloncat dengan loncatan panjang menghindari ujung cambuk yang memburunya.
Namun dalam pada itu, ketiga orang kawan Sura Bureng itu telah mengambil kesempatan. Mereka bersama-sama telah menyerang dari segala arah dengan senjata yang terjulur.
Agung Sedayu yang sudah memperhitungkannya, sempat melihat serangan-serangan itu, sehingga iapun sempat meloncat mengelak. Namun dengan demikian ia menjadi semakin dekat dengan Sura Bureng.
Dengan seria merta, Sura Burengpun telah berteriak nyaring sambil meloncat maju. Senjatanya menebas datar mengarah keleher Agung Sedayu.
Dalam keadaan wajar, jika seseorang dikenai serangan itu tepat pada lehernya, maka lehernya tentu akan terputus karenanya. Namun Agung Sedayu yang sempat melihat golok itu menyambar lehernya, sempat merendahkan dirinya sehingga golok itu terayun diatas kepalanya. Demikian kerasnya ayunan itu, sehingga terdengar angin bagaikan berdesing nyaring.
Namun dalam pada itu, Agung Sedayu sempat pula mengayunkan cambuknya. Tidak terlalu keras. Namun ketika ujung cambuknya menyambar Sura Bureng, iapun telah meloncat dengan serta merta.
Tetapi ternyata ujung cambuk Agung Sedayu bergerak lebih cepat. Meskipun Sura Bureng telah meloncat, namun ujung cambuk itu masih juga menyambar betisnya.
Terdengar Sura Bureng mengaduh tertahan. Perasaan sakit yang sangat telah menyengatnya. Namun demikian, ia masih sempat meloncat beberapa langkah surut. Kawan-kawan Sura Burengpun telah berusaha untuk membebaskannya dengan serangan-serangan yang datang beruntun sehingga Agung Sedayu harus berloncatan menghindar.
Mula-mula Sura Bureng hanya merasa kakinya menjadi sakit. Tetapi ia terkejut bukan kepalang, ketika ia meraba kakinya yang sakit itu, terasa tangannya telah menyentuh cairan yang hangat. Apalagi ketika tangannya tepat meraba betisnya yang dikenai cambuk Agung Sedayu, hatinya bagaikan terbakar karenanya, karena kakinya itu ternyata telah terkoyak kulit dagingnya.
"Gila," ia mengumpat. Namun perasaan sakit itu menjadi semakin mencengkamnya ketika ia sadar, bahwa luka dibetisnya itu telah menganga.
Kemarahan Sura Bureng bagaikan membakar jantung. Giginya gemeretak dan matanya bagaikan membara. Meskipun demikian Sura Bureng tidak dapat menyembunyikan rasa sakit yang menggigit betisnya.
Sementara itu, oleh kemarahan yang memuncak, Sura Bureng masih dapat bergerak dengan cepat menyerang Agung Sedayu yang sedang melindungi dirinya dari serangan ketiga orang lawannya yang lain. Dengan ayunan yang keras dan cepat. Sura Bureng menyerang lambung.
Namun Agung Sedayu sempat menggeliat, sehingga serangan Sura Bureng tidak mengenai sasarannya. Bahkan Agung Sedayu masih juga sempat menghindari serangan ketiga orang lawannya yang lain tanpa menggerakkan cambuknya sama sekali. Seolah-olah Agung Sedayu sengaja menunjukkan kepada lawan-lawannya bahwa ia memiliki kemampuan bergerak yang luar biasa. Tanpa melawan dengan senjata, mereka sama sekali tidak mampu mengenainya.
Yang kemudian merasa terhina, bukan saja Sura Bureng. Tetapi juga ketiga orang yang lain Karena itu, maka merekapun segera mengerahkan segenap kemampuan mereka. Sebagaimana sifat keempat orang itu, maka sejenak kemudian mereka bertempur dengan kasarnya. Apalagi Sura Bureng yang telah terluka betisnya.
Untuk melawan keempat orang yang marah itu, maka Agung Sedayu ternyata tidak mengalami kesulitan. Apalagi ketika ia mempergunakan cambuknya sebaik-baiknya. Dalam perkelahian selanjutnya, maka ledakan cambuknya telah menyengat lawan-lawannya, seorang demi seorang, sehingga keempat orang itu telah dikenainya. Seorang terluka di pundaknya, seorang di punggungnya dan seorang lagi di lengannya.
Bagaimanapun juga perasaan sakit itu akhirnya mempengaruhi perlawanan mereka. Pada saat-saat tubuh mereka menjadi semakin lemah dan tenaga yang semakin susut, oleh pertempuran itu sendiri, atau karena darah yang meleleh dari luka, maka keempat orang itu, akhirnya mengakui bahwa mereka tidak akan dapat mengalahkan Agung Sedayu. Namun agaknya mereka terlambat mengambil keputusan. Agung Sedayu agaknya melihat kemungkinan yang bakal dilakukan oleh lawan-lawannya itu, sehingga justru karena itu, maka disaat terakhir itu, Agung Sedayulah yang telah menyerang lawannya dalam libatan kecepatan yang tidak teratasi.
Ketika cambuk Agung Sedayu kemudian meledak-ledak, maka terdengar keluhan tertahan-tahan. Ujung cambuk Agung Sedayu telah mengenai mereka beberapa kali lagi, sehingga luka ditabuh keempat lawannya itu bagaikan silang melintang di tubuh mereka.
Meskipun ayunan cambuk Agung Sedayu yang cepat itu tidak mempergunakan seluruh kekuatannya, tetapi luka-luka itu bagaikan telah membakar seluruh tubuh mereka.
Sura Bureng ternyata tidak mampu lagi berbuat sesuatu. Dadanya terasa pedih, sementara lengannya telah terkoyak pula, selain betisnya yang masih saja berdarah. Sentuhan kecil di lehernya rasanya bagaikan sentuhan bara api.
Sementara itu, kawan-kawan Sura Bureng itupun tidak luput dari gigitan cambuk Agung Sedayu. Merekapun telah terluka dibeberapa bagian dari tubuh mereka, sehingga hampir diseluruh tubuh itu pula telah ternoda darah.
Tidak ada kesempatan apapun lagi yang dapat dilakukan oleh keempat orang itu, sementara tubuh mereka menjadi semakin lemah. Bahkan merekapun kemudian menyadari, bahwa mereka tidak akan mampu lagi melarikan diri. Ujung cambuk itu akan mengejar mereka, meskipun seandainya mereka berlarian ke jurusan yang berbeda. Tenaga mereka tidak akan mampu membawa mereka melampaui kecepatan lari seorang anak yang baru belajar berjalan.
Dengan demikian, maka satu demi satu lawan Agung Sedayu itupun telah kehilangan kemampuan untuk melawan. Mereka akhirnya pasrah pada keadaan dan membiarkan Agung Sedayu menentukan nasib mereka.
Sura Bureng yang masih mencoba untuk melarikan diri. Tetapi tanpa dikejar oleh Agung Sedayu, ia telah tergelincir dan terjatuh dipematang pada loncatan yang salah oleh karena kakinya yang terlalu lemah.
Akhirnya perkelahian itupun berakhir dengan sendirinya ketika keempat orang itu sudah tidak mampu lagi melawan
Agung Sedayu itupun kemudian melangkah mendekati Sura Bureng. Kemudian menariknya kembali ketempat ketiga orang kawannya terduduk lemah di pinggir jalan bulak yang panjang itu.
Sura Bureng tidak dapat menolak. Tertatih-tatih ia ditarik oleh Agung Sedayu, sementara goloknya telah terlepas dari tangannya disaat ia terpelanting jatuh. Kemudian ketika Agung Sedayu mendorongnya maka iapun telah terduduk pula didekat kawan-kawannya.
Sambil berdiri tegak dihadapan keempat orang itu. Agung Sedayu mempermainkan ujung cambuknya. Jika ujung cambuk itu menyentuh kulit mereka yang terduduk lesu itu, terasa jantungnya bagaikan berhenti mengalir. Mereka baru mengerti sepenuhnya apa yang sebenarnya mereka hadapi. Anak muda murid orang yang disebut orang bercambuk itu ternyata tidak dapat dikalahkan oleh ampat orang yang merasa dirinya memiliki kemampuan tidak terlawan di Tanah Perdikan Menoreh, kecuali oleh Ki Gede sendiri.
Dalam pada itu, meskipun tidak tersentuh cambuk Agung Sedayu, namun yang menggigil karena ketakutan adalah Prastawa. Ia sadar, bahwa keempat orang itu akan dapat berkata sebenarnya, apa yang sedang mereka lakukan.
Namun kawannya telah membisikkan ditelinganya, "Kau dapat ingkar. Kau dapat menuduh hal itu sebagai satu fitnahan. Kau dapat mengatakan bahwa ada orang yang ingin mengadu domba antara kau dan Agung Sedayu."
Prastawa mengangguk-angguk. Sementara itu, maka iapun telah beringsut meninggalkan tempatnya.
Agung Sedayu yang memiliki ketajaman pendengaran dan penglihatan pada saat yang dikehendaki itu dapat mengetahui bahwa Prastawa telah meninggalkan tempat itu. Namun ia memang melepaskannya pergi. Ia sama sekali tidak berniat untuk menangkapnya. Sementara itu Agung Sedayu masih berdiri tegak menghadapi keempat orang yang terluka itu. Dengan hada berat ia bertanya, "Apakah kalian masih ingin membunuh aku " "


06 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bagaimanapun juga Sura Bureng dan kawan-kawannya tidak dapat meiiurlakkan diri dari satu kenyataan, bahwa mereka tidak akan dapat melawan lagi. Karena itu, maka tidak seoran^pnn yang menjawab pertanyaan Agung Sedayu itu.
Karena tidak ada yang menjawal) maka Agung Sedayu berkata seterusnya Baiklah Jika kalian sempat melihat kenyataan tentang diri kalian, maka aku pcrsilah-kan kalian mengambil satu sikap."
Keempat orang itu menjadi biuRunj^ Mereka tidak tahu maksud Agung Sedayu. Namun yan^ terbersit didalam hati mereka adalah bayangan-bayangan yang mengerikan. Seolah-olah Agung Sedayu telah menyuruh mereka memilih jalan kematian masing-masing.
Dengan demikian maka tidak seorangpun yang dapat menjawabnya. Dengan jantung yang berdegup keras mereka hanya dapat menunggu, apa yang akan dilakukan oleh Agung Sedayu.
Karena mereka masih tetap berdiam diri, maka Agung Sedayupun mendesak " Ki Sanak. Apa yang akan kalian lakukan kemudian setelah kalian mengalami kenyataan ini. Apakah kalian masih akan meneruskan niat kalian, atau tidak, atau mungkin sikap lain yang kalian anggap menguntungkan. Cepat, aku sudah membuang waktu banyak untuk bermain-main dengan kalian."
Dalam pada itu, Sura Burenglah yan'fe memberanikan diri untuk bertanya, "Kami tidak mengetahui maksudmu Agung Sedayu."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Maksudku, apakah kalian ingin bertempur terus, menyerah, atau apa ?"
Sura Bureng menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kau melihat kenyataan ini. Segalanya terserah kepadamu. Kami tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi."
"Jadi kalian menyerah " " desak Agung Sedayu.
Terasa mulut Sura Bureng menjadi sangat berat.
Namun akhirnya iapun mengangguk sambil menjawab, "Ya. Kami menyerah."
"Bukankah dengan demikian nasib kalian ada ditanganku ?" bertanya Agung Sedayu.
"Ya," jawab Sura Bureng.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Kemudian katanya, "Aku ingin mendengar pengakuanmu. Apa yang dijanjikan Prastawa jika kau berhasil melakukan tugasmu sekarang ini ?"
Orang itu ragu-ragu. Tetapi akhirnya ia tidak dapat mengelak lagi. Jawabnya, "Uang dan jaminan bagi satu masa yang panjang dalam ujud tanah persawahan atau pategalan."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, "Kita belum pernah berhubungan. Aku dan kalian tidak mempunyai persoalan yang menuntut sikap yang keras dan kasar, meskipun kalian telah melakukannya. Tetapi bagiku, kalian masih perlu mendapat kesempatan untuk melihat kepada diri sendiri. Mangakui kesalahan dan bertaubat. Bukan saja terhadap aku dan barangkali orang-orang yang berhubungan dengan aku. Tetapi juga dalam segala segi kehidupanmu."
Yang dikatakan oleh Agung Sedayu itu justru mengejutkan orang-orang yang sudah terluka itu. Mereka sama sekali sudah tidak berpengharapan karena mereka mengerti, bahwa sikap mereka telah pasti. Membunuh Agung Sedayu. Sehingga dengan demikian maka merekapun menyangka bahwa Agung Sedayu akan mengambil sikap serupa pula.
Tetapi ternyata bahwa Agung Sedayu masih memberi mereka kesempatan.
Namun dengan demikian justru mereka menjadi ragu-ragu. Mungkin Agung Sedayu sengaja telah menyiksa perasaan mereka. Ia dengan sengaja telah memberikan pengharapan-pengharapan. Namun yang kemudian dengan tiba-tiba ia telah merenggut pengharapan itu dengan kejamnya. Dengan demikian, maka kematian akan terasa sangat mengerikan.
Tetapi ternyata Agung Sedayu bersikap sungguh-sungguh. Bahkan katanya kemudian sambil menunjuk kedua orang yang kemudian benar-benar menjadi ketakutan, bukan sekedar berpura-pura seperti saat mereka bertemu dengan keempat orang yang berusaha membunuh Agung Sedayu itu, "Nah, ternyata bahwa kalian berdua masih mempunyai tugas malam ini. Kalian tidak perlu mengantar aku kemanapun juga. Tetapi kalian harus membawa keempat orang ini. Terserah apa yang akan kalian lakukan terhadap mereka. Apakah kalian akan menunggui mereka semalam suntuk disini, atau kalian akan melaporkannya kepada Ki Gede, atau cara lain."
"Jangan laporkan kami kepada Ki Gede," minta Sura Bureng.
"Terserah kepada kedua orang itu. Aku tidak mempunyai waktu lagi untuk berurusan dengan kalian," berkata Agung Sedayu kemudian. Namun ia masih berpesan, "Tetapi ingat. Jangan mengganggu Tanah Perdikan Menoreh untuk seterusnya dengan tujuan apapun. Aku dapat membunuh kalian jika aku menghendaki. Atau membawa kalian menghadap Ki Gede dan membuka rahasia kalian sekaligus hubungan kalian dengan Prastawa. Tetapi untuk kali ini aku masih belum akan melakukannya. Aku yang mengemban tugas untuk membina masa depan Tanah Perdikan ini, aku melihat, apakah kalian mematuhi perintahku atau tidak."
Sura Bureng menjadi berdebar-debar. Bukan saja karena perasaan sakit yang menggigit seluruh tubuhnya. Namun ternyata bahwa yang terjadi adalah sebaliknya dari yang direncanakannya. Bukan ia dan kawan-kawannya yang mengancam dan menakut-nakuti Agung Sedayu, tetapi justru Agung Sedayulah yang mengancamnya.
Tetapi ia tidak dapat memilih. Karena itu, satu-satunya yang dapat dilakukannya adalah mengangguk sambil menyahut, "Baiklah Agung Sedayu. Aku akan mematuhi segala perintahmu, sambil mengucapkan terima kasih bahwa aku masih berkesempatan untuk hidup."
"Namun kau akan menjadi saksi jika diperlukan untuk mengungkap segala tingkah laku Prastawa pada saatnya," berkata Agung Sedayu, "namun itu hanya satu kemungkinan. Kemungkinan yang lain, tidak sama sekali."
Agung Sedayupun kemudian meninggalkan keempat orang yang terluka itu di bulak panjang bersama kedua orang anak muda yang menjemputnya. Kedua anak muda itu menjadi kebingungan. Namun akhirnya mereka berusaha menolong keempat orang itu untuk menyingkir perlahan-lahan. Untunglah bahwa malam menjadi sangat sepi, sehingga tidak seorangpun yang melihat apa yang telah terjadi.
Namun dalam pada itu, langkah Agung Sedayupun telah terganggu pula.
K etika ia meloncati tikungan, ia telah melihat bayangan yang melintas dengan cepat. Ketajaman penglihatan Agung Sedayu menangkap bayangan itu. Bahkan tiba-tiba saja Agung Sedayu telah tertarik untuk mengikutinya.
Ternyata Agung Sedayu tidak mengalami kesulitan. Ketika bayangan itu melintasi pematang. Agung Sedayupun mengikutinya pula. Semakin lama semakin jauh.
Ada juga kecemasan dihati Agung Sedayu bahwa ia akan dijebak oleh seseorang. Dan iapun sadar, bahwa orang itu tentu tidak ada hubungannya dengan Prastawa.
"Ajar Tal Pitu," ia berdesis didalam hatinya.
Namun Agung Sedayu tidak menghentikan langkahnya. Ia masih saja mengikuti bayangan itu yang nampaknya berjalan dengan wajar di pematang. Namun arahnyalah yang tidak wajar, apalagi dimalam buta.
Agung Sedayu masih saja mengikutinya. Langkahnya tidak terlalu cepat, dan nampaknya ia sama sekali tidak berusaha untuk bersembunyi, atau melepaskan diri dari pengamatan Agung Sedayu.
Justru dengan demikian Agung Sedayu menjadi semakin berhati-hati. Ia menganggap bahwa lawannya merasa terlalu yakin akan dirinya sehingga bayangan itu tidak merasa perlu untuk menghindar.
Ketika bayangan itu berbelok di tikungan yang dihalangi oleh rumpun-rumpun pepohonan pategalan. Agung Sedayu menjadi ragu-ragu. Ia sadar, bahwa jika orang itu berniat buruk, tikungan itu akan dapat dijadikan landasan yang baik untuk menyerangnya, apabila orang itu tidak ingin bertempur beradu dada.
Karena itu. Agung Sedayu tidak bertindak tergesa-gesa. Ia tidak langsung berjalan lewat tikungan. Jika yang berada dibalik tikungan itu Sura Bureng atau kawan-kawannya, Agung Sedayu sama sekali tidak akan mengalami kesulitan. Tetapi jika yang berada dibalik tikungan itu Ajar Tal Pitu, maka ia tidak akan mendapat banyak kesempatan untuk mengelak.
Agung Sedayu telah menepi dan meloncati parit dipinggir jalan itu. Baru kemudian ia berjalan dengan hati-hati melalui tikungan. Jika seseorang bersembunyi dibalik gerumbul di tikungan itu, ia masih mempunyai kesempatan untuk mengelak. Namun jika yang berada di balik tikungan itu adalah Ajar Tal Pitu atau orang yang setingkat, maka Agung Sedayu telah mengetrapkan ilmu kebalnya untuk melindungi dirinya dari serangan yang tiba-tiba dari seseorang yang memiliki ilmu yang tinggi.
Namun, ternyata di tikungan itu tidak terdapat seseorang. Sementara bayangan yang diikutinya itu seolah-olah telah lenyap ditelan gelapnya malam.
Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Berlari-lari kecil ia menelusuri jalan yang membujur panjang. Tetapi ia tidak melihat seseorang di sepanjang jalan itu. Bahkan ketika ia mempertajam penglihatannya menyusuri jalan itu, iapun tidak melihat apapun juga. Sepi.
Sejenak Agung Sedayu termangu-mangu. Ia menduga keras, bahwa orang yang diikutinya itu berada di pategalan yang rimbun di sebelah tikungan. Karena itu, maka Agung Sedayupun kemudian justru menunggu ditempat yang terbuka, sehingga ia akan segera mengetahui jika ada orang yang mendekat.
Untuk beberapa saat lamanya Agung Sedayu menunggu. Tetapi tidak seorangpun yang datang mendekatinya. Sementara itu malam menjadi semakin dalam.
Namun untuk mencari orang itu didalam gerumbul Agung Sedayu merasa segan. Selain karena ia menduga bahwa orang itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu dan sengaja ingin mencarinya, termasuk Ajar Tal Pitu, maka Agung Sedayupun tidak mau memburu lawan, seandainya orang yang diikutinya itu memang lawannya.
"Jika ia ingin membuat perhitungan biar ia datang kepadaku," berkata Agung Sedayu. Namun Agung Sedayupun sama sekali tidak akan menjadi sakit hati, jika orang itu menganggapnya seorang pengecut.
Namun ternyata orang itu tidak keluar dari gerumbul pategalan. Atau bahkan orang itu telah pergi jauh. Betapapun Agung Sedayu mempertajam pendengarannya dan penglihatannya, ia tidak melihat seseorang dan iapun tidak mendengar desah nafas.
Tetapi Agung Sedayupun sadar, bahwa kemampuannya mendengar dan melihat itu bukan tidak ada batasnya. Ia tidak akan dapat melihat orang yang berdiri dibalik pepohonan atau gerumbul-gerumbul perdu yang lebat. Sementara telinganyapun tetap tidak akan dapat mendengar pada jarak tertentu.
Karena itu, maka Agung Sedayupun hanya dapat menunggu.
Sementara itu, malam menjadi semakin gelap. Prastawa yang tergesa-gesa kembali kerumah Ki Gede, rasanya masih saja gemetar. Ia tidak menyangka sama sekali, bahwa Agung Sedayu memiliki ilmu yang demikian dahsyatnya. Ia dapat melawan empat orang yang memiliki ilmu yang tinggi dengan cambuknya. Bahkan keempat orang itu benar-benar telah dilumpuhkan.
Dengan demikian ia mulai menilai perlakuannya terhadap anak muda dari Jati Anom itu. Apa yang sebenarnya telah terjadi dengan Agung Sedayu pada waktu itu. Ketika ia bersama beberapa orang kawannya mengancam, bahkan memukulinya, nampaknya Agung Sedayu seolah-olah tidak mampu berbuat apa-apa. Bahkan ia telah jatuh terkapar di tanah, sehingga beberapa kawannya menjadi cemas, bahwa ia akan mati karenanya.
"Apakah pada waktu itu Agung Sedayu dengan sengaja membiarkan dirinya dipukuli," bertanya Prastawa didalam hatinya, "atau justru karena kesombongannya yang tiada taranya."
Namun bagaimanapun juga, Prastawa merasa bahwa dirinya ternyata terlalu kecil dihadapan Agung Sedayu. Meskipun Agung Sedayu tidak pernah menunjukannya langsung kepadanya, tetapi ia telah sempat menyaksikan betapa dahsyatnya cambuk anak Jati Anom itu.
"Kecuali murid orang bercambuk, ia adalah adik Untara, Senapati muda yang besar didaerah Selatan," gumam Prastawa diluar sadarnya, sehingga kawannya yang berjalan di sampingnya bertanya.
"Tidak apa-apa," desis Prastawa. Namun ia tidak dapat menyembunyikan kegelisahannya.
Agaknya kawannya dapat mengerti, bahwa yang baru saja mereka lihat itulah yang telah menggelisahkan Prastawa. Bukan saja Prastawa, tetapi anak-anak muda yang pernah menyakiti Agung Sedayu, baik tubuhnya maupun hatinya akan merasa sangat gelisah jika mereka mendengar apa yang telah terjadi itu.
Dengan hati yang kecut, Prastawa memasuki halaman rumah pamannya. Di regol masih ada dua orang pengawal yang duduk terkantuk-kantuk. Sementara seorang yang lain berjalan hilir mudik di halaman.
Prastawa sama sekali tidak menyapa mereka meskipun ia mengangguk kecil. Dengan lesu Prastawa langsung naik kependapa dan duduk di sudut pringgitan bersama kawannya yang mengikutinya. Namun agaknya Prastawa tidak berminat untuk berbicara terlalu banyak. Tetapi iapun sama sekali tidak merasa mengantuk meskipun malam menjadi semakin larut. Ia lebih senang duduk merenungi kekecutan hatinya karena tingkah lakunya terhadap Agung Sedayu.
Dalam pada itu. Agung Sedayu masih duduk di sebelah pategalan. Rasa-rasanya ada yang menahannya untuk pergi. Seolah-olah ada yang memberitahukan kepadanya, bahwa bayangan yang diikutinya itu masih berada di dalam pategalan.
Tetapi akhirnya Agung Sedayupun menjadi jemu. Bahkan ia merasa telah membuang waktu tanpa arti.
"Orang itu tentu sudah pergi," desisnya.
Namun ketika Agung Sedayu bangkit dan menggeliat, tiba-tiba saja ia mendengar sesuatu didalam pategalan itu. Gemerisik lembut, kemudian suara seruling yang mengalun perlahan-lahan sekali. Seolah-olah suara itu sengaja ditujukan hanya kepadanya.
Sejenak Agung Sedayu termangu-mangu. Didengarkannya dengan teliti suara di pategalan itu. Suara seruling itupun mengalun dengan lembut dan lambat, seakan-akan takut menggetarkan udara malam yang hening.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan ia mulai mengenali suara itu. Suara seruling yang melontarkan nada-nada lembut penuh kedamaian.
Tiba-tiba saja Agung Sedayu seolah-olah telah terlempar kedalam satu dunia yang asing. Ketegangan yang membawanya ketempat itu, segala macam ilmu yang tersimpan didalam dirinya, rasa-rasanya tidak berarti sama sekali bagi kelembutan kidung kedamaian yang terlontar pada suara seruling itu.
"Rudita," Agung Sedayu berdesis.
Hampir diluar sadarnya. Agung Sedayu melangkah mendekati suara seruling itu. Sambil membungkuk-bungkuk diantara pepohonan, ia masuk pategalan yang gelap. Gelap sekali. Rasa-rasanya ilmunya tidak mampu lagi menolongnya untuk mempertajam penglihatannya.
Suara seruling itu telah menuntun Agung Sedayu mendekatinya. Semakin lama semakin dekat. Sehingga akhirnya Agung Sedayu berdiri tegak memandang kearah sebuah bayangan yang duduk disebongkah batu padas diantara pohon buah-buahan yang rimbun di pategalan itu.
Agung Sedayu yang bagaikan tercengkam oleh pesona yang tidak terlawan itu terkejut ketika tiba-tiba saja suara seruling itu berhenti.
"Kau Agung Sedayu," terdengar suara perlahan.
Agung Sedayu yang terbangun dari cengkaman suara seruling itupun menarik nafas dalam-dalam. Beberapa langkah ia maju mendekat sambil berkata, "Aku sudah mengira, sejak aku mendengar suara serulingmu itu. Bahwa kaulah yang berada disini."
"Marilah, duduklah," berkata Rudita, "sudah lama kita tidak bertemu."
"Ya. Sudah lama kita tidak bertemu," jawab Agung Sedayu.
"Ternyata dalam waktu sepanjang itu, kau sudah berhasil menjangkau ilmu yang sangat dahsyat. Aku yakin, bahwa yang kau pertunjukkan terhadap keempat orang itu baru sebagian kecil saja dari keseluruh ilmumu."
Agung Sedayu tidak menjawab. Anak yang duduk dihadapannya itu bagi Agung Sedayu adalah anak muda yang tidak dapat dimengertinya.
"Duduklah," sekali lagi Rudita mempersilahkan.
Agung Sedayupun kemudian duduk pula di samping Rudita. Namun rasa-rasanya jantungnya telah dibebani oleh kegelisahan yang sangat. Jantungnya itu tidak akan berdentang begitu cepatnya seandainya malam itu ia bertemu dengan Ajar Tal Pitu seorang dengan seorang.
"Kau tentu lelah," desis Rudita kemudian.
Untuk menghilangkan kebekuan pada dirinya, Agung Sedayu menjawab, "Tidak. Aku tidak lelah."
"O, tentu. Aku salah menilai. Tentu kau tidak lelah. Apa artinya ampat orang itu bagimu," sahut Rudita diluar dugaan.
Agung Sedayu hanya dapat menarik nafas dalam panjang. Tetapi ia tidak menjawab.
"Agung Sedayu," desis Rudita kemudian, "sebenarnya sudah lama aku berniat untuk menemuimu demikian aku mendengar bahwa kau berada disini bersama ayah. Tetapi baru saat ini aku mendapat kesempatan itu."
"Kenapa baru sekarang," bertanya Agung Sedayu, "dan dengan cara yang sangat aneh. Kenapa kau tidak dapat kerumah Ki Gede untuk bertemu dengan aku dan Ki Waskita ?"
Rudita tertawa. Katanya, "Kalian baru sibuk. Aku bangga melihat usahamu meningkatkan kesejahteraan hidup rakyat Tanah Perdikan ini. Kau sudah berusaha membantu mendorong rakyat Tanah Perdikan ini memperbaiki bendungan, parit-parit, jalan-jalan padukuhan dan banyak lagi yang sudah kau kerjakan. Tetapi disamping kebanggaan itu akupun menjadi ngeri, karena kau tentu akan membangun kemampuan anak-anak muda ini untuk saling berbenturan antara sesama. Kau akan membangun perasaan curiga dan saling membenci. Bukankah kau akan memberi tuntunan olah kanuragan yang selama ini menjadi kebanggaan kebanyakan anak-anak muda."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Ia mengerti, perasaan apa yang tersisip didalam hati anak muda itu. Rudita menganggap olah kanuragan adalah salah satu sebab meningkatkan kecurigaan dan kebencian antara sesama.
Justru karena itu Agung Sedayu harus berhati-hati untuk menjawabnya. Ia berusaha untuk dapat memberikan penjelasan yang dapat ditelusur menurut jalan pikiran Rudita.
"Rudita," berkata Agung Sedayu kemudian, "apakah kau dapat membayangkan, seseorang yang membuat rumahnya ditempat yang ramai, yang aman dan tidak pernah mendapat gangguan dari apapun juga, cukup dengan dinding bambu selembar. Tetapi......"
Sebelum Agung Sedayu melanjutkan kata-katanya, terdengar Rudita tertawa pendek sambil menyahut, "Tetapi jika kita membuatnya dipinggir hutan, didekat binatang buas berkeliaran mencari mangsa, maka kita harus membuat dinding rumah kita rangkap atau bahkan dari bahan yang lebih kuat dan tahan."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, "Ya. Demikianlah yang akan aku katakan."
"Aku sudah mendengar penjelasan seperti ini beberapa kali, meskipun dengan kata-kata yang lain. Untuk melawan kejahatan yang mempergunakan kekuatan dan ilmu kanuragan, maka harus dipersiapkan pula kekuatan dan ilmu kanuragan," sahut Rudita.
"Ya," desis Agung Sedayu.
"Jalan kita akan menjadi semakin jauh," berkata Rudita kemudian, "tetapi mudah-mudahan pada suatu saat, kita mengerti bahwa ada jalan yang lebih dekat untuk menemukan kedamaian."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.
"Jika kita dapat mendasari hidup kita dengan cinta kasih diantara sesama, maka semuanya akan selesai. Tanpa kekerasan dan tanpa dinding rangkap," desis Rudita. Namun kemudian dilontarkannya pandangan matanya kearah yang sangat jauh. Dengan nada yang dalam ia berkata, "tetapi jalan yang paling dekat itu kini justru telah dijauhi, sedangkan jalan yang panjang itu agaknya semakin banyak dianut orang. Kekerasan semakin tegas mewarnai kehidupan, sedangkan cinta dan kasih telah menjadi semakin kabur. Kedamaian nampaknya menjadi semakin jauh. Dan bumi kita memang menjadi semakin tua."
Agung Sedayu menarik nafas panjang. Ia tidak dapat membantah. Sebenarnyalah bahwa nafas dari kehidupan menjadi semakin tajam di warnai oleh kekerasan. Benturan kepentingan sesama dan sentuhan-sentuhan dijalan silang.
Dalam pada itu Rudita berkata, "Agung Sedayu. Bagiku kau adalah orang sana yang paling mengerti, karena betapapun suramnya, cahaya cinta kasih ada didalam hatimu. Dengan demikian, kepada orang sana hanya kepadamulah aku dapat mengatakannya."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Aku mengerti Rudita. Akupun mengerti bahwa kau berpijak pada satu keyakinan terhadap kebenaran hubungan antara sesama."
"Akupun mengerti, bahwa duniamu masih memerlukan kekerasan, kekuatan, ilmu kanuragan dan cara-cara yang paling baik untuk berkelahi diantara sesama," desis Rudita, "tetapi demikianlah dunia yang kau hadapi."
"Kau benar Rudita," jawab Agung Sedayu, "aku sudah terlanjur terlibat dalam pusaran warna kehidupan dunia sekarang."
Rudita menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, "Baiklah. Aku selalu tertarik untuk berbicara dengan kau. Meskipun ada hal-hal yang tidak sesuai menurut keyakinanku, tetapi justru karena kau mengatakan sebagaimana adanya, maka aku akan selalu mencari waktu untuk berbicara meskipun tidak terlalu panjang."
"Datanglah ke rumah paman Argapati," ajak Agung Sedayu.
"Jangan sekarang. Kaupun tidak perlu mengatakan kehadiranku disini kepada ayah, karena seharusnya aku berada dirumah untuk menunggui ibuku. Tetapi rasa-rasanya senang juga berkeliaran melihat-lihat kenyataan betapapun pahitnya," jawab Rudita, "tetapi lain kali, aku akan datang kerumah paman."
Agung Sedayu mengangguk-angguk pula. Katanya, "Aku menunggu Rudita. Meskipun kita berdiri di alas yang berbeda, tetapi setiap kali aku bertemu denganmu, aku merasa bahwa aku telah mendapatkan sesuatu. Sesuatu yang tidak dapat aku sebut, tetapi dapat aku rasakan."
Rudita tertawa. Katanya, "Sebaiknya kau kembali kerumah paman Argapati. Jangan terlalu lama, agar ayah tidak menjadi gelisah."
Agung Sedayu mengangguk. Tetapi ia bertanya, "Kau akan pergi kemana ?"
"Sudah aku katakan, senang juga melihat kenyataan betapapun pahitnya," berkata Rudita, "perkelahian yang mendebarkan, dan barangkali melihat segi lain dari kehidupan yang lebih baik, segarnya tanaman yang telah mendapat air dari parit yang sudah diperbaiki itu. Dua sisi dari kehidupan yang berbeda warnanya."
"Baiklah," Agung Sedayupun kemudian bangkit, "biarlah aku kembali ke rumah Ki Gede. Aku benar-benar menunggumu dalam waktu dekat. Mungkin kita dapat berbicara tentang banyak hal. Mungkin kita akan dapat lebih banyak lagi tentang diri kita sendiri."
"Selamat malam," desis Rudita.
Agung Sedayupun kemudian meninggalkan anak muda itu. Meskipun mereka berbeda jalan, tetapi setiap kali Agung Sedayu bertemu dengan anak itu, rasa-rasanya ia mendapatkan kekuatan baru. Kekuatan baru untuk tetap berdiri pada jalan hidup yang telah ditempuhnya selama ini. Meskipun menurut Rudita ia termasuk orang yang berdiri pada tempat yang lain, namun yang didengarnya dari anak muda itu telah mempertebal keyakinannya, bahwa ia mengemban satu kewajiban untuk menegakkan satu sikap dan pandangan hidup yang dianutnya, sebagaimana diajarkan oleh gurunya. Bahwa apa yang dimilikinya itu adalah kurnia yang harus dipergunakannya untuk keluhuran nama Sumber dari segala Sumber Yang Ada.
Namun, langkah Agung Sedayu itupun tertegun ketika ia mendengar suara seruling yang bergetar menembus sepinya malam. Tidak terlalu keras, beralun menelusuri dedaunan, menyentuh dasar jantung yang paling dalam.
Suara lembut itu seolah-olah mengalunkan damba perdamaian yang dirindukan. Hampir setiap orang merindukan perdamaian, tetapi banyak orang yang telah merusaknya pula.
Suara seruling Rudita seperti biasa yang pernah didengar oleh Agung Sedayu adalah melampaui keterikatan gending yang ada. Lepas bebas tanpa batas-batas sebagaimana lepasnya suara hatinya yang merindukan kedamaian yang sejati.
Bahkan perlahan-lahan sekali terdengar Rudita bergumam menyelingi suara serulingnya, "Untukku, hidup ini bagaikan kidung bagi Yang Maha Agung."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Bahkan didalam hatinya seolah-olah ia telah mengisi cakepan lagu yang selanjutnya dilontarkan kembali lewat seruling, "betapa pahit dan pedihnya kehidupan, namun baginya, diantara tangis yang sendu, masih selalu terdengar lagu sorgawi yang Agung. Alangkah manisnya kedamaian yang sejati."
Namun tiba-tiba saja Agung Sedayu meloncat dengan langkah yang panjang meninggalkan tempat itu. Semakin dalam ia menyerap sentuhan suara seruling Rudita, semakin terasa hatinya menjadi gersang. Apalagi karena Agung Sedayu sendiri merasa,bahwa ia tidak akan berani menentang pahit getirnya kehidupan dengan menanggungkannya dengan ikhlas.
Demikianlah, maka akhirnya suara seruling itu tidak didengarnya lagi. Suara yang mengikutinya kemudian adalah suara desir angin malam yang dingin.
Ketika Agung Sedayu menengadahkan wajahnya, dilihatnya lintang Waluku sudah turun kesisi Barat pada lingkaran langit yang hitam.
Dengan tergesa gesa Agung Sedayupun kemudian kembali kerumah Ki Gede Menoreh. Ketika ia sampai diregol, seorang penjaga menyapanya, "Kau tidak tinggal diperalatan itu sampai pagi ?"
Agung Sedayu tersenyum. Katanya, "Aku sudah tidak dapat menahan kantuk lagi."
"Kau kembali sendiri," bertanya penjaga yang lain.
"Ya," jawab Agung Sedayu.
"Dimana kedua anak muda yang menjemputmu ?" bertanya penjaga itu pula.
"Ia masih disana," jawab Agung Sedayu pula dengan singkat.
Penjaga-penjaga itu mengangguk-angguk.
Ketika Agung Sedayu melintas di halaman, ternyata Prastawa sudah tidak ada di pendapa. Namun ia masih mendengar dari biliknya percakapan pendek itu. Karena itu, jantungnya terasa menjadi semakin cepat berdentang. Agung Sedayu itu telah kembali. Apakah ia akan langsung melaporkannya kepada Ki Gede, atau menunggu sampai kesempatan lain.
Namun Prastawa sudah bertekad untuk mengelakkan setiap tuduhan bahwa ia terlibat dalam peristiwa yang terjadi di bulak itu. Ia akan menuduh hal itu sebagai satu fitnah yang dilontarkan oleh Sura Bureng untuk mengadu domba antara dirinya dengan Agung Sedayu, sebagaimana dikatakan oleh kawannya. Bahkan ia akan menuduh bahwa Sura Bureng tentu sudah di pergunakan oleh orang lain untuk tujuan tersebut.
Meskipun demikian, namun Prastawa masih juga selalu berdebar-debar. Apakah ia akan dapat benar-benar menghindar. Apakah pamannya masih akan mempercayainya.
Ketika terdengar ayam jantan berkokok di dini hari, Prastawa sudah bangun. Ketika ia pergi kepakiwan, jantungnya hampir berhenti berdegup. Ia melihat Agung Sedayu sedang membersihkan diri.
Tetapi Prastawa tidak mungkin lagi untuk melangkah surut. Karena itu, maka betapapun jantungnya serasa terhimpit, ia memaksa diri untuk berjalan terus.
Dadanya bagaikan retak ketika ia melihat Agung Sedayu yang sudah selesai itu memandanginya. Ketika anak muda itu tersenyum, rasa-rasanya anak itu telah menghinakannya.
Tetapi ternyata Agung Sedayu menyapa seperti biasanya, "Masih sepagi ini kau sudah bangun Prastawa ?"
Prastawa tergagap. Tetapi ia akhirnya menjawab pendek, "Ya. Bukankah kau sudah bangun pula."
Agung Sedayu tersenyum. Dan Prastawapun memaksa diri untuk tersenyum pula.
Ketika Agung Sedayu kemudian kembali ke biliknya, ia menarik nafas dalam-dalam. Seolah-olah ia sudah terhindar dari pertanyaan-pertanyaan yang sulit untuk dijawab.
Namun dadanya terasa berdentang kembali ketika ia mendengar langkah mendekatinya pula. Dengan sigap ia memutar diri, seolah olah ia berada ditempat yang gawat, yang setiap saat lawan akan dapat menerkamnya dari belakang.
"O," Prastawa menarik nafas panjang.
Ternyata Ki Waskita berdiri termangu-mangu memandanginya. Bahkan Ki Waskita itupun kemudian berkata, "Apakah aku mengejutkanmu ?"
"O, tidak. Tidak paman," jawab Prastawa. Lalu iapun bertanya asal saja bertanya, "apakah paman juga akan membersihkan diri ?"
"Ya. Bukankah sudah waktunya ?" bertanya Ki Waskita.
"Ya. Ya. Silahkan." Prastawa mempersilahkan.
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah mendengar apa yang telah terjadi semalam dari Agung Sedayu. Namun seperti Agung Sedayu Ki Waskita bersikap wajar seolah-olah ia tidak mengetahui apapun juga dari peristiwa semalam di bulak panjang.
Sehari itu Prastawa selalu gelisah. Apapun yang dilakukannya, seolah-olah selalu dibayangi oleh tuduhan-tuduhan yang akan dapat menjeratnya jika ia tidak berhasil mencuci tangannya dari peristiwa yang mengguncang hatinya itu.
Namun sehari itu, Agung Sedayu telah melakukan kebiasaannya. Ia pergi ke padukuhan-padukuhan diujung Tanah Perdikan sebagaimana telah direncanakan, untuk meyakinkan rencana-rencana yang telah disusunnya bersama beberapa orang pemimpin Tanah Perdikan.
"Gila," geram Prastawa yang gelisah, "kenapa anak itu masih belum memberitahukan apa yang telah terjadi di bulak itu kepada paman Argapati."
Namun sebenarnyalah hari itu Agung Sedayu sama sekali tidak melaporkannya. Segala tingkah lakunya sama sekali tidak berkesan apapun tentang rencana Sura Bureng untuk membunuhnya.
Justru dengan demikian Prastawa menjadi semakin gelisah. Seolah-olah Agung Sedayu sengaja menunda untuk mengumpulkan bahan-bahan secukupnya, sehingga ia tidak akan dapat mengelak lagi.
"Kenapa ia tidak membawa salah seorang dari keempat orang yang siap untuk membunuhnya itu," Prastawa bertanya kepada diri sendiri, "atau bahkan keempat-empatnya untuk memperkuat kesaksiannya bahwa akulah yang memerintahkan kepada mereka."
Ternyata teka-teki itu membuat Prastawa hampir tidak tahan lagi.
Tetapi ternyata pada hari-hari berikutnya Agung Sedayu tetap tidak melaporkannya kepada Ki Gede. Sehingga pada suatu saat, Prastawa menganggap bahwa agaknya Agung Sedayu benar-benar mengabaikan apa yang telah terjadi itu
"Jika ia ingin melaporkan, tentu sudah dilakukannya. Semakin lama masalahnya tidak akan dapat dipercayai lagi, sebagaimana persoalannya baru saja selesai," berkata Prastawa kepada seorang kawannya.
"Ya. Agaknya anak itu memang tidak akan melaporkannya," sahut kawannya.
"Anak itu benar-benar sombong dan keras kepala. Ia menganggap Sura bureng dan ketiga kawannya itu tidak berarti apa-apa, sehingga ia tidak merasa perlu untuk memberitahukannya kepada paman Argapati," berkata Prastawa.
Namun ia tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Orang-orang dianggapnya memiliki kelebihan sama sekali tidak mampu berbuat apa-apa. Bahkan tidak hanya seorang, tetapi empat orang."
Sementara itu. Agung Sedayu sudah mulai mewujudkan rencananya yang sudah disusunnya bersama para pemimpin Tanah Perdikan Menoreh. Menurut pengamatan Agung Sedayu dan para pemimpin Tanah Perdikan Menoreh, ada beberapa bendungan yang perlu diperbaiki karena kerusakan. Parit-parit masih harus dibenahi, jalan-jalan yang rusak di ratakan dan dikeraskan dengan batu-batu padas.
Dari hari ke hari, ternyata rencana itu mulai dapat diwujudkan. Tidak tergesa-gesa. tetapi juga tidak terlalu lamban. Satu demi satu bendungan itupun diperbaiki. Sementara orang-,orang yang tidak cukup kuat untuk bekerja di bendungan, telah membenahi parit-parit. Sementara dipadukuhan lain, anak-anak muda telah bekerja keras untuk memperbaiki jalan induk padukuhan mereka.
Rasa-rasanya Tanah Perdikan yang tertidur itu benar-benar telah terbangun.
Ki Gede sendiri tidak jemu-jemunya mengelilingi padukuhan-padukuhan yang sedang sibuk. Sementara Agung Sedayu dan Ki Waskita telah terlibat langsung dalam kerja bersama anak-anak muda dan orang-orang tua di Tanah Perdikan itu.
Dari hari kehari, terasa penghidupan di Tanah Perdikan itu semakin hidup. Pasar-pasar menjadi semakin ramai. Pedati tidak lagi mengalami kesulitan di lorong-lorong padukuhan dan pandai besi di sudut-sudut desapun mulai bekerja keras melayani permintaan para petani yang sibuk dengan kerja masing-masing.
Bagi Prastawa tidak ada pilihan lain dari menghanyutkan diri dalam kerja yang riuh itu jika ia tidak ingin terlepas sama sekali dari tempatnya berpijak. Apalagi sikap pamannya selama itupun tidak berubah sama sekali. Dalam setiap pembicaraan Ki Gede masih selalu mencarinya dan minta pertimbangannya.
Namun setiap kali ia duduk bersama Agung Sedayu dalam satu pertemuan dan pembicaraan, terasa jantungnya selalu berdebaran.
Dalam pada itu, ternyata rencana Agung Sedayu tidak hanya terbatas pada bendungan, parit, jalan dan gardu-gardu. Namun ia mulai menyentuh kepada kegiatan anak-anak muda dimalam hari dan di saat-saat tertentu apabila diperlukan.
"Susunan kelompok para pengawal di tertibkan lagi," berkata Agung Sedayu pada suatu saat kepada Ki Gede Menoreh.
"Aku sependapat Agung Sedayu," jawab Ki Gede, "sampai saat terakhir, para pengawal yang khusus sajalah yang masih tetap dalam tugasnya. Mereka adalah anak-anak muda dari padukuhan induk yang seakan-akan langsung aku tunjuk atas nama mereka masing-masing. Sementara yang lain tidak mau tahu lagi, apa yang telah terjadi."
"Tetapi Ki Gede," berkata Agung Sedayu.
"Bagus. Semoga usaha ini barhasil dengan baik," jawab Ki Gede.
"Tetapi perlahan-lahan," berkata Ki Waskita kepada Agung Sedayu, "kau tidak akan dapat memaksakannya dalam waktu dekat. Biarlah mereka berada di gardu-gardu. Kemudian dari sedikit kau ajak mereka mengingat kembali masa-masa lampau yang dapat memberikan kebanggaan kepada mereka."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia mengerti, bahwa ia tidak akan dapat melakukannya dengan serta-merta. Untuk rencananya itu, ia memerlukan waktu.
"Tetapi lebih baik kita mulai secepatnya," berkata Ki Gede, "meskipun perlahan-lahan kita sudah mulai dengan langkah kita yang pertama."
Dengan demikian, maka Agung Sedayupun mulai melakukan rencana khususnya itu dari para pengawal yang masih ada. Yang merasa diri mereka ditunjuk langsung oleh Ki Gede, sehingga mereka tidak dapat berbuat lain. Bahkan diantara merekapun masih terdapat orang-orang yang memiliki ketrampilan yang cukup untuk berolah senjata.
"Apakah kalian masih ada kesempatan untuk bermain-main ?" bertanya Agung Sedayu kepada para pengawal itu.
"Maksudmu ?" bertanya salah seorang dari mereka yang kebetulan bertugas di rumah Ki Gede.
"Sudah lama kita tidak berlatih untuk meningkatkan ilmu kanuragan," jawab Agung Sedayu, "rasa-rasanya aku ingin mendapat kawan untuk melakukannya."
Ternyata bahwa diantara para pengawal yang tidak terlalu muda, ada juga yang telah mengenal kemampuan Agung Sedayu, murid orang bercambuk dari Jati Anom.
Karena itu, salah seorang dari mereka dengan serta merta menyahut, "Mari. Agaknya menjemukan untuk selalu duduk merenungi regol itu. Dimana kita akan berlatih ?"
"Terserahlah," jawab Agung Sedayu, "mungkin di halaman samping ?"
Demikianlah, Agung Sedayu mulai berlatih bersama para pengawal yang bertugas, yang jumlahnya sangat terbatas. Di halaman samping Agung Sedayu bersama empat orang pengawal telah melakukan latihan untuk mengisi kekosongan waktu bagi para pengawal. Sementara dua orang yang lain masih tetap berada diregol
Tidak banyak yang dilakukan oleh Agung Sedayu. Ia sekedar melihat dan menilai tingkat kemampuan para pengawal. Dengan demikian ia akan dapat mencari alas, dari mana ia harus mulai.
Malam itu, Agung Sedayu hanya memancing minat para pengawal. Ia memberikan beberapa petunjuk khusus tentang beberapa unsur yang ternyata belum diketahui oleh para pengawal. Sambil mempertunjukkan kemampuan unsur gerak itu, maka Agung Sedayu telah berhasil menarik perhatian mereka.
"Ulangi," desis salah seorang dari keempat orang itu.
"Tusuk aku dari arah samping," berkata Agung Sedayu untuk memperagakan unsur gerak itu. Lalu, "kemudian kau dapat menyerang dengan ayunan mendatar."
Pengawal itu ragu-ragu. Jika pedangnya menyentuh Agung Sedayu, maka ia akan melukainya.
Karena itu, Agung Sedayupun kemudian mencari sepotong bambu. Katanya, "Pakailah bambu ini, agar kau tidak ragu-ragu."
Pengawal itupun kemudian mempergunakan sepotong bambu. Ia mempergunakannya sebagaimana ia mempergunakan pedang. Dengan tangkasnya ia menusuk lambung Agung Sedayu. Dengan jelas. Agung Sedayu memperegakan bagaimana ia menghindar. Karena tusukan itu tidak mengenainya, maka pengawal itu telah mengayunkan bambunya mendatar tepat setinggi dada. Sekali lagi Agung Sedayu memperlihatkan, bagaimana ia menghindarinya dengan tidak menghamburkan tenaga.
Yang diperagakan Agung Sedayu itu hanya sekedar untuk memikat hati para pengawal. Karena itu. maka Agung Sedayupun berkata, "Kita akan mulai dengan latihan-latihan yang mapan jika kalian berminat. Aku akan berlatih bersama kalian."
"Ya. Aku ikut," sahut para pengawal itu dengan serta merta.
"Tetapi sebaiknya tidak hanya berempat. Cari sepuluh orang kawan. Termasuk para pemimpin pengawal jika mereka bersedia," sahut Agung Sedayu.
"Aku akan mengatakannya," jawab pengawal itu.
"Kita akan menyusun rencana waktu bersama-sama," berkata Agung Sedayu.
"Besok aku akan datang setelah aku bertemu dengan pemimpin pengawal," berkata para pengawal itu.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Jika ia berhasil, maka ia akan mendapat kesempatan untuk memperluas latihan-latihan itu di padukuhan-padukuhan. Dengan demikian maka gairah anak-anak muda itu akan menjadi semakin meningkat. Pengawalan di Tanah Perdikan Menoreh akan berkembang kembali. Tidak hanya para pengawal khusus yang ditunjuk, tetapi anak-anak muda akan melakukannya dengan senang hati seperti pada masa-masa lampau di Tanah Perdikan itu.
Dihari berikutnya, ternyata ampat orang pengawal itu benar-benar datang menemui Agung Sedayu. Mereka mengatakan, bahwa mereka telah melaporkannya kepada pemimpin pengawal yang juga sudah mengenal Agung Sedayu.
"Apa katanya," bertanya Agung Sedayu.
"Ia juga berminat sekali. Ia akan datang nanti malam," jawab para pengawal itu.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Nampaknya ia akan berhasil. Ia akan dapat membangunkan anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh untuk mengawal Tanah itu.
Namun dalam pada itu, diluar perhitungan Agung Sedayu, Ajar Tal Pitu yang mesu diri, telah menyelesaikan laku terakhirnya. Ia sudah menyelesaikan segala-galanya. Pati Geni yang tiga hari tiga malam itupun telah dilakukannya.
Dengan demikian, maka Ajar Tal Pitu itu merasa, bahwa ia adalah seorang yang memiliki ilmu yang sempurna. Ia merasa seolah-olah tidak ada orang lain yang dapat menyamainya dalam olah kanuragan.
"Yang bernama Senapati Ing Ngalagapun akan bersimpuh dihadapanku jika harus melakukan perang tanding," berkata Ajar Tal Pitu itu kepada para muridnya.
Beberapa orang yang masih berguru kepadanya menjadi semakin mantap. Dengan cara yang khusus, ia setiap kali memperlihatkan kepada muridnya, betapa ia merupakan orang yang tidak terkalahkan.
Dengan bekal ilmunya yang menjadi semakin mapan, dan dendam yang selalu membara di jantungnya, ia berusaha untuk menemui Agung Sedayu. Ia ingin memperlihatkan kepada anak muda itu, bahwa ia memiliki kemampuan yang akan dapat mengimbangi kemampuan Agung Sedayu dan bahkan Ajar Tal Pitu itu akan sanggup membunuhnya.
Namun betapa kecewa membakar jantungnya ketika ia mengetahui bahwa Agung Sedayu sudah tidak berada di padepokannya. Yang ada dipadepokan itu tinggallah orang-orang yang tidak berarti baginya.
"Gila," geram Ajar Tal Pitu, "aku harus menemukannya, dimanapun ia bersembunyi."
Dengan segala cara, membujuk, berpura-pura dan cara-cara yang lain terhadap cantrik-cantrik yang ditemuinya di sawah, akhirnya Ajar Tal Pitu mengetahui, bahwa Agung Sedayu berada di Tanah Perdikan Menoreh.
"Bagus," berkata Ajar Tal Pitu itu didalam hatinya, "aku akan mencarinya ke Tanah Perdikan itu. Aku akan mendapat kesempatan untuk bertemu seorang dengan seorang."
Karena itulah, maka dengan bekal ilmu dan dendam, Ajar Tal Pitu telah menuju ke Tanah Perdikan Menoreh untuk mencari Agung Sedayu.
Sementara itu, padepokan di Jati Anom itu menjadi semakin sepi. Kiai Gringsing selalu hilir mudik ke Sangkal Putung. Dengan tekun ia mengamati perkembangan ilmu muridnya yang muda itu. Namun Kiai Gringsing ternyata juga sempat mengamati perkembangan ilmu Sekar Mirah dan Pandan Wangi, yang kedua-duanya tidak lagi ditunggui oleh guru masing-masing.
Dalam pada itu, semakin dalam Kiai Gringsing mengamati ilmu Swandaru, isteri dan adiknya, maka iapun melihat semakin jelas seperti yang dilihat sebelumnya, bahwa Pandan Wangi mempunyai cara tersendiri untuk memperdalam ilmunya. Ia bukan saja melakukan latihan-latihan yang berat, tetapi Pandan Wangi telah melihat kedalaman ilmunya. Ia sering merenungi setiap unsur gerak untuk mencari arti dan wataknya. Bahkan iapun telah menekuni betapa tenaga cadangan didalam dirinya mulai bangkit dan bekerja, sehingga tenaga wajarnya seolah-olah menjadi berlipat.
"Diluar sadar dan mungkin juga secara kebetulan. Pandan Wangi menelusuri ilmunya sebagaimana pernah ditempuh oleh beberapa orang yang kemudian ternyata mempunyai kemampuan melontarkan kekuatan-kekuatan khusus diluar sentuhan wadag," berkata Kiai Gringsing.
Sebenarnyalah mulai nampak kemampuan yang asing pada Pandan Wangi, yang semula tidak dikenalnya sendiri. Dalam ketekunannya berlatih, Pandan Wangi berusaha mengenal lontaran kekuatan cadangan yang ada didalam dirinya tanpa menyentuh sasaran dengan wadagnya. Dalam pemusatan ilmunya, dalam latihan yang tekun, ayunan tangan Pandan Wangi yang melontarkan kekuatan sepenuhnya, tiba-tiba telah menggetarkan beberapa benda disekitarnya. Gejala yang semula tidak dikenal dan justru mengejutkan Pandan Wangi itu, lambat laun justru dipelajarinya. Perlahan-lahan Pandan Wangi dapat mengenalinya semakin baik, bahwa ia memiliki kemampuan melontarkan tenaga untuk mengenai sasaran tanpa menyentuhnya. Seolah-olah ia mampu memukul sesuatu pada jarak yang tertentu.
Pengenalannya atas perkembangan ilmunya itu semula masih dirahasiakannya. Jika ia berlatih bersama Swandaru dan Sekar Mirah, maka ia tidak pernah menunjukkan kemampuan yang terjadi dalam perkembangan ilmunya itu. Namun dengan demikian, maka latihan-latihan yang dilakukan bersama Swandaru dan Sekar Mirah, nampak seolah-olah Pandan Wangi semakin lama semakin lambat dan mulai ketinggalan. Namun sejalan dengan itu, Pandan Wangi lebih sering berada di sanggar seorang diri. apalagi Pandan Wangi memang mempunyai waktu yang lebih banyak dari Swandaru. Kadang-kadang jika Swandaru meninggalkan Kademangan, nganglang di padukuhan-padukuhan, Pandan Wangi mempergunakan waktu untuk tenggelam didalam sanggar seorang diri.
Sekar Mirah menyangka, bahwa yang dilakukan oleh Pandan Wangi itu adalah usaha untuk memacu kemampuannya, mengejar ketinggalan-ketinggalan yang semakin nampak dalam latihan-latihan bersama.
"Jika pengenalanku atas perkembangan ilmu ini telah mapan, aku tentu akan segera dapat mengejar ketinggalan itu," berkata Pandan Wangi kepada dirinya sendiri.
Baru ketika Kiai Gringsing sering berada di Sangkal Putung, maka Pandan Wangipun mulai mencari sandaran yang lebih mapan lagi kepada orang tua itu. Kepada guru Swandaru.
"Luar biasa," desis Kiai Gringsing ketika ia sempat menyaksikan betapa Pandan Wangi dapat memecahkan sebuah jambangan pada jarak beberapa langkah dengan pukulan tangannya dari tempatnya berdiri.
Pandan Wangi berdiri termangu-mangu. Sementara Kiai Gringsing berkata seterusnya, "Kau dapat meningkatkan kemampuan ini Pandan Wangi. Apakah suamimu sudah mengetahuinya?"
Pandan Wangi menggeleng. Kemudian iapun berkata dengan nada dalam, "Aku telah melakukan satu kesalahan yang besar Kiai."
"Kenapa ?" bertanya Kiai Gringsing.
"Dalam hal ini aku telah menyimpan satu rahasia yang tidak diketahui oleh suamiku," jawab Pandan Wangi, "padahal aku tahu, bahwa aku tidak boleh berbuat demikian. Tetapi bagaimana mungkin aku harus mengatakannya. Kakang Swandaru akan bertanya-tanya didalam hatinya seandainya tidak dikatakannya, darimana aku mampu memiliki ilmu seperti ini."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, "Aku akan mengatakannya. Kau telah menemukannya sebagaimana yang telah terjadi. Ia akan percaya kepadaku. Gejala yang telah kau kenal beberapa lamanya, telah kau kembangkan sehingga akhirnya kau mampu melakukan seperti yang kau lakukan. Sekarang kau dapat memecahkan belanga tanah liat itu. Tetapi jika kau tekun. pada suatu saat kau akan dapat memecahkan batu padas pada jarak tertentu tanpa menyentuhnya, sebagaimana dapat dilakukan meskipun pada ukuran yang berbda oleh Raden Sutawijaya. Dan barangkali beberapa orang lain dengan ujud yang berbeda pula."
"Segalanya aku serahkan kepada Kiai," desis Pandan Wangi.
Sebenarnyalah, Kiai Gnnysing telah berusaha menemukan kesempatan yang paling baik, untuk menunjukkan kepada Swandaru suatu kemajuan ilmu yang dicapai oleh Pandan Wangi
"Sebenarnya Swandaru dapat juga melakukannya," berkata Kiai Gringsing didalam hatinya. "Namun agaknya Swandaru tidak telaten melakukan pengamatan yang mendalam. Ia lebih percaya kepada kemampuan dan kekuatan jasmaniahnya."
Tptapi sejalan dengan cara yang ditempuh oleh Swandaru. maka kekuatan Swandarupun bagaikan berlipat dari kemampuan orang kebanyakan. Ketahanan tubuhnyapun sangat mengagumkan. Jika ia melecutkan cambuknya dengan sepenuh tenaganya, maka sentuhan ujung cambuk itu akan berarti maut bagi lawan-lawannya. Apalagi juntai cambuk Swandaru telah di tambah dengan beberapa karah baja disamping yang telah ada.
Sementara itu. Sekar Mirahpun telah menempuh cara seperti yang dilakukan oleh Swandaru. Tetapi sesuai dengan keadaan jasmaniahnya sebagai seorang perempuan, maka peningkatan kemampuan Sekar Mirah lebih condong kepada kecepatan geraknya. Gadis itu memiliki kecepatan gerak yang sangat mengagumkan. Jika ia bermain dengan tongkat baja putihnya, maka yang nampak bagaikan gumpalan awan yang bergulung-gulung mengerikan. Tetapi setiap sentuhan gumpalan awan itu, akan berakibat maut.
Dalam pada itu, di Jati Anom, Glagah Putih telah mempunyai cara tersendiri pula. Bersama ayahnya, ia menekuni lukisan tanda-tanda dan lambang-lambang gerak yang terdapat pada dinding goa. Yang dilakukan oleh Glagah Putih hampir seperti yang dilakukan oleh Agung Sedayu. Namun Glagah Putih yang masih terlalu muda itu masih didampingi oleh ayahnya.
Dengan demikian maka ilmu Glagah Putihpun telah berkembang dengan pesat. Kemampuannya yang keras dan dorongan ayahnya yang kuat, membuat anak muda itu semakin tekun menempa diri. Sehari-hari kerjanya adalah melatih diri di dalam goa yang terasing itu.
Dalam pada itu, Widura yang mendampingi anaknya dan memberikan dorongan kepadanya, di luar kehendaknya sendiri, karena ia selalu berada didalam lingkungan pendalaman ilmu yang sejajar dengan ilmunya sendiri, maka dengan sendirinya, iapun telah meningkatkan ilmunya pula. Hal-hal yang tidak pernah diketahui di masa mudanya, seolah-olah telah terungkap pada pahatan lambang-lambang ilmunya di dinding goa itu.
Sementara itu, Sabungsaripun merasa sepi sepeninggal Agung Sedayu. Menurut pengertiannya, sepeninggal Agung Sedayu, Glagah Putih yang jarang ditemuinya di padepokan, lebih sering berada di Banyu Asri. Sementara Kiai Gringsing sering pula berada di Sangkal Putung.
Namun justru karena itu, maka ia sering berada di padepokan itu hanya bersama para cantrik, yang menurut pengamatannya merasa sepi pula seperti dirinya. Para cantrik yang karena kepergian Agung Sedayu itu mendapat kesempatan yang lebih kecil untuk berlatih dan menempa diri, karena hanya Kiai Gringsing sajalah yang kemudian menuntun mereka dalam olah kanuragan, justru Kiai Gringsing sering berada di Sangkal Putung.
Tetapi dalam pada itu, Sabungsarilah yang lebih sering mempergunakan sanggar di padepokan kecil itu. Dalam kesepiannya, maka ia lebih banyak memandang kepada diri sendiri.
"Aku tidak boleh berhenti," berkata Sabungsari didalam dirinya, "aku masih cukup muda untuk berkembang terus."
Dalam pada itu, Sabungsaripun sempat memikirkan keadaan Agung Sedayu. Ia menganggap bahwa tugas Agung Sedayu di Tanah Perdikan Menoreh itu telah menutup kemungkinan bagi Agung Sedayu untuk mengembangkan dirinya lebih jauh, karena ia akan tenggelam dalam kerja yang berat.
"Mudah-mudahan ia mendapat kesempatan," berkata Sabungsari didalam hatinya, "iapun masih muda. Kemungkinan untuk berkembang masih cukup banyak."
Sebenarnyalah bahwa Agung Sedayu sama sekali tidak berhenti seperti yang dicemaskan oleh Sabungsari. Dalam kesibukannya, ternyata ia masih sempat mematangkan ilmunya dengan caranya yang khusus bersama Ki Waskita didalam biliknya. Namun sekali-sekali Agung Sedayupun telah pergi ketempat yang sunyi dan jauh dari kemungkinan pengamatan orang lain untuk melihat kedalam dirinya sendiri dan untuk meningkatkan ilmunya.
Pada kesempatan lain. Agung Sedayu ternyata telah berhasil memikat hati sepuluh orang yang dimaksud. Setiap malam mereka telah berada di samping rumah Ki Gede, di tempat terbuka. Agung Sedayu telah bekerja dengan sebaik-baiknya untuk meningkatkan ilmu mereka. Sepuluh orang pengawal itu telah diberinya beberapa petunjuk dan pengetahuan yang menyempurnakan ilmu mereka.
Bahkan Agung Sedayupun telah dengan langsung berlatih dengan mereka untuk memperagakan petunjuk-petunjuknya. Bahkan kadang-kadang ia telah melakukan satu latihan yang berbahaya dengan memberi kesempatan kepada para pengawal untuk menyerangnya dengan senjata. Sehingga dengan demikian ia dapat memperlihatkan kepada mereka, bagaimana seseorang dapat menghindari serangan dengan mempergunakan tenaga yang sedikit saja.
Sebaliknya Agung Sedayupun telah melatih mereka, bagaimana caranya menyerang. Unsur-unsur gerak yang telah dikuasai oleh para pengawal itu telah dikembangkannya, sehingga dengan demikian, maka para pengawal itu memiliki kemampuan yang meningkat.
Namun sejalan dengan latihan-latihan yang tekun. Agung Sedayupun tidak lupa untuk membenahi segi kejiwaan mereka. Dengan hati-hati Agung Sedayu selalu meniupkan ketelinga mereka, bahwa yang mereka pelajari itu akan mereka pergunakan untuk kebaikan semata-mata.
Seperti yang diharapkan oleh Agung Sedayu, ternyata yang sepuluh orang itu telah bercerita kepada lingkungan yang lebih luas, sehingga dengan demikian, maka yang telah dilakukan oleh kesepuluh orang itu telah menarik hati anak-anak muda yang lain, terutama para pengawal.
Karena itu, maka Agung Sedayupun kemudian telah mengatur waktu sebaik-baiknya. Tetapi ia tidak dapat dengan begitu saja menyatakan kesediaannya untuk memberikan latihan-latihan kepada setiap anak muda yang menginginkan, karena tenaga dan waktu yang terbatas. Tetapi pertama-tama ia menyatakan kesediaannya untuk memberikan latihan-latihan kepada para pengawal yang telah ada.
Dengan demikian, maka gairah anak-anak muda di Tanah Perdikan rasa-rasanya semakin hidup. Disiang hari mereka bekerja keras untuk membangun padukuhan-padukuhan masing-masing. Di malam hari, mereka berada di gardu-gardu, sementara para pengawal telah mengadakan latihan-latihan khusus dibawah tuntunan Agung Sedayu.
Dengan besarnya minat para pengawal, maka Agung Sedayu terpaksa mengadakan pembagian waktu sebaik-baiknya. Setiap kelompok tertentu telah mendapat waktu sepekan dua kali. Ada sekelompok pengawal yang mendapat waktu di dini hari, tetapi ada kelompok lain yang mendapat waktu setelah senja.
Matahari Esok Pagi 7 Pedang Siluman Darah 1 Rahasia Pedang Siluman Darah Pedang Pelangi 23
^