Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 8

06 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 8


Karena itulah, maka Agung Sedayu dalam benturan itu masih harus berdesis menahan sakit, meskipun tidak nampak oleh lawannya, sementara Jandon justru terdesak selangkah surut.
"Gila," geram Jandon, "kau tidak lumat oleh seranganku. Bahkan kau justru berusaha untuk menyombongkan diri, membentur seranganku. He, Agung Sedayu. Kau ingin memperlihatkan, bahwa kau memiliki daya tahan tubuh setingkat dengan ilmu kebal?"
"Aku sedang bertempur," jawab Agung Sedayu, "aku sama sekali tidak menyombongkan diri atau berusaha memperlihatkan kelebihan apapun juga. Yang aku lakukan, adalah melindungi diriku, agar aku tidak mati karena tergilas oleh kekuatan ilmumu."
"Persetan," geram Jandon. Namun ia harus melihat suatu kenyataan, bahwa dipadepokan itu terdapat seseorang yang mampu mengimbangi ilmunya, yang dikiranya tidak ada duanya. Jangankan dipadepokan-padepokan kecil seperti di padepokan Agung Sedayu itu. bahkan di Pajangpun ia mengira, bahwa jarang ditemui orang yang mampu mengimbanginya.
Tetapi kini ia bertempur melawan Agung Sedayu yang selain ilmu yang diterimanya dari gurunya, dan ilmu yang tumurun dari ayahnya lewat cara yang aneh, juga ilmu yang disadapnya dari sebuah kitab yang dipinjamnya dari Ki Waskita.
Kemarahan Jandon yang dilandasi oleh dendam yang membakar jantungnya, telah mendorongnya untuk mengerahkan segenap kemampuan, ilmu dan kekuatannya. Kemampuan tenaga dan tenaga cadangannya, dilambari dengan kekuatan daya tahan dan ungkapan ilmunya yang nggegirisi.
Dengan demikian, maka pertempuran antara Jandon dan Agung Sedayu itupun kemudian menjadi semakin seru dan garang. Ternyata keduanya memiliki ilmu yang sulit dicari bandingnya, sementara mereka seolah-olah telah dibakar oleh kejaran waktu dan isyarat-isyarat yang terdengar dari Imgkaran pertempuran yang lain di halaman padepokan itu pula.
Dalam pada itu. Kiai Gringsing dan Gembong Sangiranpun telah terhbat dalam pertempuran yang sulit dimengerti. Ledakan cambuk Kiai Gringsing benar-benar menggetarkan jantung. Ujung cambuknya yang menggelepar, seolah-olah telah mengguncang udara malam, sehingga dedaunan dan pepohonanpun telah berguncang pula.
Namun dalam benturan kekuatan dan ilmu yang dahsyat itu, Gembong Sangiran yang cerdik itu telah sempat mengurai keadaan. Ia mendengar isyarat yang diberikan oleh Putut Tanggon yang semakin mendesak. Iapun melihat kesulitan yang kemudian dialami oleh Banjar Aking, orang yang dibanggakannya, yang dipanggilnya dari Pesisir Lor Sementara Jandon, orang yang dianggapnya tidak ada duanya itu, masih belum dapat mendesak Agung Sedayu. Bahkan kemudian Gembong Sangiran melihat, bahwa Agung Sedayu ternyata memiliki kemampuan untuk mengimbangi ilmu Jandon yang dikagumi oleh seluruh isi padepokan Gunung Kendeng, termasuk Banjar Aking yang sudah membuat kekaguman yang luar biasa di Pesisir Lor sehingga namanya tidak kalah mengerikan dari hantu dan iblis.
Ternyata betapa cerdiknya pemimpin tertinggi dari Gunung Kendeng itu, dan betapa ia berhasil membangunkan kesetiaan yang luar biasa. Setiap orang dari perguruan Gunung Kendeng, adalah orang yang bersedia mengorbankan apa saja bagi kepentingan pemimpinnya. Demikian juga, pada saat-saat yang paling gawat seperti yang dihadapi oleh Kiai Gembong Sangiran pada saat itu.
Dengan lambaran kesetiaan yang tinggi, maka Gembong Sangiran telah mendengar beberapa isyarat. Bukan saja permintaan perlindungan, seperti yang diduga oleh orang-orang padepokan Jati. Anom, tetapi justru pemberitahuan, bahwa keadaan mereka menjadi semakin sulit.
Terdengar Gembong Sangiran menggeram. Sekali lagi ia merasa, bahwa langkahnya telah salah Ia tidak dapat mengharapkan apapun juga dari arena pertempuran itu. Seandainya Jandon segera dapat mengalahkan lawannya, ia masih berharap, bahwa Jandon akan dapat menghancurkan setiap orang dipadepokan itu, sementara Kiai Gringsing akan dapat ditundukkannya pula. Tetapi perhitungannya atas Jandon ternyata keliru. Pada tingkat ilmu yang mengagumkan itu, maka Agung Sedayu masih dapat mengimbanginya.
Karena itu, yang tidak terduga oleh orang-orang Jati Anom itupun telah terjadi. Isyarat yang diperdengarkan oleh Putut Tanggon menjadi agak berubah. Semula ia memang memberi isyarat akan kesulitan yang dialaminya bersama beberapa orangnya. Tetapi kemudian telah berubah menjadi semacam isyarat, bahwa keadaan tidak akan tertolong lagi. Untara, telah menyapu orang-orang Gunung Kendeng tanpa ampun.
Sementara dilain tempat, Putut Panjerpun tidak dapat berbuat banyak. Sehingga iapun telah memperdengarkan isyarat yang sama pada saat-saat terakhirnya.
Pada saat yang sulit itu, maka nampaklah betapa besar nama Gembong Sangiran bagi orang-orang Gunung Kendeng. Mereka dengan setia mengorbankan apa saja bagi pemimpin tertingginya. Itulah sebabnya, maka setiap orang diantara merekapun telah menghentakkan segala kemampuan terakhirnya pada saat-saat yang gawat.
Dengan demikian, maka pertempuran itu telah meningkat menjadi semakin sengit. Namun orang-orang Jati Anom tidak begitu mengerti, apakah yang sebenarnya akan terjadi. Bahkan diantara mereka telah mengira, bahwa isyarat-isyarat itu telah mengundang orang-orang baru yang berada diluar padepokan itu.
Karena itu, maka ketika terdengar derap kaki kuda, maka orang-orang padepokan kecil itu menjadi berdebar-debar. Mereka menyangka bahwa orang-orang Gunung Kendenglah yang akan datang memasuki regol halaman. Mereka tidak sempat memperhitungkan, bahwa suara isyarat yang diperdengarkan oleh Putut Tanggon dan Putut Panjer itu tidak akan terdengar dari jarak yang jauh.
Demikian derap kaki kuda itu berdiri didepan regol, maka orang-orang yang bertempur dihalaman itu melihat sesosok bayangan yang bagaikan terbang kearah regol, menunggu setiap orang yang akan memasuki regol itu dengan niat apapun.
Jantung Agung Sedayu berdebaran melihat orang itu. Demikian pula Sabungsari dan Kiai Gringsing. Mereka melihat, betapa tmggi kemampuan orang itu. Dan terlebih-lebih lagi ketika mereka mehhat siapakah orang yang telah berdiri tegak didepan regol padepokan itu.
"Kakang Untara," desis Agung Sedayu.
Sebenarnyalah Untara yang juga mendengar derap kaki kuda, memperhitungkan beberapa kemungkinan. Mungkin yang datang itu adalah orang-orangnya yang telah terlebih dahulu berkuda menuju kepadepokan kecil itu, tetapi ditengah jalan ternyata telah bertemu dengan beberapa orang prajurit Pajang yang telah berpihak kepada Ki Pringgajaya. Tetapi mungkin juga pihak lain yang mendengar isyarat orang-orang Gunung Kendeng jitu.
Namun dalam pada itu, orang-orang Gunung Kendeng mengetahui lebih pasti, bahwa orang-orang yang datang berkuda itu tentu bukan kawan-kawan mereka. Itulah sebabnya, maka Gembong Sangiran telah mengambil keputusan. Keputusan seorang pemimpin tertinggi yang tidak akan dapat diganggu gugat oleh murid-muridnya yang setia. Bahkan yang dilakukan itulah memang yang diharapkan oleh murid-muridnya yang bertempur mati-matian menghadapi kemungkinan yang paling parah sekalipun.
Ketika dua orang berkuda muncul diregol halaman, maka Gembong Sangiran telah mengambil kesempatan untuk meloncat, meninggalkan arena pertempurannya melawan Kiai Gringsing, Tindakan yang sama sekali tidak diduga oleh lawannya, sehingga karena itu, Kiai Gringsing yang terkejut, menduga, bahwa Gembong Sangiran telah melakukan satu gerak yang akan dapat menjebaknya.
Namun ketika Kiai Gringsing yakin, apa yang dilakukan oleh lawannya, maka dengan serta merta iapun berusaha untuk memburunya. Namun keragu-raguan Kiai Gringsing yang sekejap itu ternyata sangat berarti bagi Gembong Sangiran yang berilmu tinggi. Dalam sekejap, ia telah berhasil meninggalkan lawannya beberapa langkah sehingga Kiai Gringsing tidak dapat memburunya lagi. Dengan tangkasnya Gembong Sangiran telah melenting meloncat keatas dinding. Ketika Kiai Gringsingpun menyusulnya seperti seekor burung garuda yang melayang mendaki lereng pegunungan, maka Gembong Sangiran telah meluncur dan meghilang kedalam gelap.
Sementara Kiai Gringsing yang tidak ingin kehilangan lawannya, berusaha untuk menyusulnya. Iapun meluncur pula dengan derasnya dan menghambur kedalam gelap.
Tetapi Gembong Sangiran yang mendapat kesempatan lebih baik itu, tidak dapat disusulnya. Gembong Sangiran yang memiliki ilmu yang mumpuni itu berhasil melepaskan diri dari pengamatan Kiai Gringsing yang mengejarnya.
Terdengar orang tua itu menggeram. Bahwa Gembong Sangiran telah lepas dari tangannya, akan dapat berakibat kurang baik bagi padepokan kecil itu, karena Gembong Sangiran yang dibakar oleh dendam itu akan dapat berbuat banyak pada kesempatan lain. Ia mempunyai banyak pengikut, banyak kawan dan mungkin saudara-saudara seperguruannya. Kegagalannya itu akan menjadi pengalaman baginya. Sebagai seorang yang ditakuti didaerah yang luas, kegagalannya yang terulang dua kah atas sasaran yang sama, berarti gejolak gemuruhnya api diperut gunung yang setiap saat akan dapat meledak.
Kiai Gringsing seolah-olah terbangun dari mimpi buruknya ketika ia menyadari keadaannya. Iapun belum sempat melihat, siapakah yang datang berkuda kedalam halaman padepokannya.
Karena itu, maka iapun segera berlari bagaikan terbang kembali memasuki halaman. Seperti saat ia keluar, maka iapun tidak masuk lagi melalui regol halaman, tetapi ia telah meloncat keatas dinding, kemudian meluncur kedalam halaman.
Ternyata ia tidak melihat kesulitan yang berkembang dihalaman itu. Bahkan ia melihat Untara berbicara dengan dua orang prajurit berkuda yang telah menyusulnya kepadepokan itu.
Sementara itu, Sabungsari masih bertempur melawan Banjar Aking. Namun keduanya seolah-olah tidak lagi dapat menguasai diri masing-masing. Setiap kali, Banjar Aking terdorong beberapa langkah surut. Meskipun kulitnya masih tidak terluka, namun tulang-tulangnya serasa telah menjadi remuk. Kekuatannya telah jauh susut, dan bahkan ia hampir tidak mampu lagi bergerak ketika Sabungsari datang menghunjamkan pedangnya kedadanya.
Banjar Aking jatuh terlentang. Tetapi dadanya tidak terluka. Sabungsari sendiri terdorong selangkah surut. Sambil menggeretakkan giginya ia menggeram. Selangkah ia maju. Terhuyung-huyung ia mengangkat pedangnya. Ketika Banjar Aking bangkit, sekali lagi ia menghantam lawannya dengan pedangnya. Tidak lagi dengan kekuatannya yang dahsyat, yang seolah-olah telah terperas habis. Namun ia hanya dapat menjatuhkan pedangnya karena berat pedang itu sendiri.
Kekuatan raksasapun tidak dapat menembus lapis-lapis ketahanan ilmu Banjar Aking, pada saat-saat ia masih mampu memusatkan daya tahannya dengan lambaran ilmunya. Namun dalam keadaan yang paling pahit, ia tidak lagi memiliki kekuatan yang cukup selain untuk mempertahankan agar kulitnya tidak sobek karenanya.
Bahkan dendam yang menyala didada Jandon menjadi semakin membakar jantung, karena kegagalan yang mulai membayang.
Namun dalam pada itu, terdengar Agung Sedayu berkata, "Apakah kau masih ingin bertempur terus Ki Sanak?"
"Setan alas," geram Jandon, "aku akan membunuh kalian. Kepergian Ki Gembong Sangiran adalah pertanda perintah, bahwa aku harus segera menyelesaikan pertempuran ini."
Agung Sedayu tidak menyahut. Ia merasa bahwa Jandon telah mengerahkan segenap ilmunya. Bahkan ilmu yang paling kasar sekalipun. Sentuhan kakinya, seolah-olah telah menghembus debu dan gumpalan tanah menghambur kearah Agung Sedayu. Disusul dengan lontaran angin prahara menghantam dadanya.
Tetapi Agung Sedayu yang telah meloncati garis kemampuannya karena landasan ilmmu yang disadapnya dari kitab Ki Waskita, mampu melindunginya dari terkaman ilmu yang dahsyat itu.
Dalam pada itu, ternyata bahwa murid-murid terbaik dari Gunung kendeng yang lain, tidak mampu lagi bertahan lebih lama lagi. Beberapa orang telah terkapar ditanah. Mereka tidak mampu lagi bangkit karena luka-lukanya. Bahkan dua orang diantara mereka, bukan saja telah pingsan, tetapi mereka tidak akan dapat lagi bangkit untuk selamanya.
Diantara mereka yang dilumpuhkan adalah Putut Tanggon dan Putut Panjer. Meskipun mereka sama sekali tidak ingin menyerah, tetapi karena mereka sudah kehilangan segala kemampuannya untuk melawan, menghadapi lawan-lawan tangguhnya, maka merekapun seakan-akan telah jadi lumpuh. Bahkan Putut Tanggon telah menjadi pingsan, sementara Putut Panjer tidak lagi mampu berbuat sesuatu. Bahkan untuk membunuh diripun ia tidak lagi mempunyai kesempatan.
Di halaman, Sabungsari benar-benar sudah kehabisan tenaga. Ketika ia melihat Banjar Aking terhuyung-huyung dan jatuh terkapar, maka ia mencoba untuk mendekatinya. Tetapi pedangnya tidak lagi dapat dipergunakan, bahkan ia terpaksa mempergunakannya sebagai tongkat ketika ia tertatih-tatih. Namun akhirnya Sabungsaripun jatuh pada lututnya. Dan sejenak kemudian, iapun jatuh terbaring ditanah. Nafasnya menjadi terengah-engah. Lampu-lampu minyak menjadi semakin lama semakin buram, sehingga akhirnya, semuanya tidak lagi dapat dilihatnya.
Hampir bersamaan, Sabungsari dan Banjar Aking telah menjadi pingsan pula.
Yang masih saja bertempur dengan dahsyatnya adalah Jandon dan Agung Sedayu. Mereka berloncatan, berputaran dan desak mendesak. Tenaga raksasa yang terlontar dari ungkapan ilmu masing-masing telah menimbulkan angin pusaran yang memutar pepohonan dan dedaunan dihalaman itu.
Kiai Gringsing masih sempat memperhatikan pertempuran itu sejenak. Dengan dada yang berdebar-debar ia mencoba menilai kemampuan ilmu Agung Sedayu. Sambil berdesah ia berkata didalam hatinya, "Pada saat terakhir, Yang Maha Kuasa telah mengkurniainya dengan landasan ilmu yang luar biasa. Agaknya dengan demikian, maka ia memang mendapat kesempatan dan perlindungan dari kedengkian dan ketamakan."
Dalam ketegangan itu Untara telah mendekatinya. Disamping Kiai Gringsing ia memperhatikan, betapa Agung Sedayu sedang bertempur dalam puncak kemampuan yang telah dicapainya.
Sejenak Untara tercengkam oleh keheranan. Ia tahu bahwa Agung Sedayu memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi ia tidak pernah melihat sampai seberapa jauh kemampuan adik kandungnya itu. Adik kandungnya yang masih selalu dianggapnya sebagai seorang adik yang selalu memerlukan bimbingannya, selalu memerlukan petunjuk dan bahkan kadang-kadang masih juga dimarahinya.
Kini ia menyaksikan, betapa tinggi ilmu adiknya itu. Seorang laki-laki yang pada masa kanak-kanaknya adalah seorang penakut yang sangat mencemaskan. Bahkan Untara pernah merasa berputus asa untuk membentuk adiknya itu menjadi seorang laki-laki.
Sekilas terbayang, bagaimana ia memaksa adiknya untuk pergi ke Sangkal Putung, ketika ia sedang terluka di Dukuh Pakuwon. Ia terpaksa mengancam Agung Sedayu untuk membunuhnya jika ia tidak berani pergi sendiri ke Sangkal Putung, menemui pamannya Widura yang saat itu memegang pimpinan prajurit Pajang di Kademangan yang dibayangi oleh pasukan Tohpati itu.
Anak yang ketakutan itu, kini dilihatnya bertempur melawan seorang murid terbaik dari perguruan Gunung Kendeng. Sehingga jika Untara tidak mengenal adiknya itu seperti ia mengenal dirinya sendiri, maka ia tidak akan percaya kepada penglihatannya, bahwa yang sedang bertempur itu adalah Agung Sedayu.
Sejenak kemudian, maka Widurapun telah berada di dekatnya pula. Disusul oleh Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda. Meskipun Ki Lurah Wirayuda ternyata telah terluka, tetapi luka itu tidak membahayakan dirinya.
Disebelah pendapa orang-orang yang tertawan duduk dengan lemahnya, sementara beberapa orang diantara nya masih terbaring ditempatnya. Dua orang prajurit Pajang yang datang kemudian, telah mengawasi mereka dengan saksama dibantu oleh tiga orang pengikut Sabungsari. Seorang dari mereka, ternyata telah terluka parah, dan telah terbaring pula dipendapa.
Dalam pada itu, Glagah Putihpun telah berdiri dengan tegangnya disebelah ayahnya di halaman, memperhatikan pertempuran yang masih terjadi antara Agung Sedayu dan Jandon yang memiliki ilmu yang luar biasa.
"Yang terjadi bukan perang tanding," teriak Jandon, "karena itu, jika ada diantara kalian yang ingin membantu Agung Sedayu, aku tidak berkeberatan. Aku akan segera membunuh kalian. Semakin cepat semakin baik."
"Kau tidak mempunyai kesempatan lagi," sahut Agung Sedayu," berpikirlah dengan bening."
"Kau menjadi ketakutan. Tidak ada ampun lagi bagimu Agung Sedayu. Demikian orang-orang lain yang ada dipadepokan ini," geram Jandon.
Agung Sedayu tidak menjawab. Pertempuran itupun masih berlangsung dengan dahsyatnya. Ternyata kedua-duanya seakan-akan tidak dapat disakiti oleh lawannya.
Dalam pada itu, selagi Agung Sedayu dan Jandon bertempur mempertaruhkan segenap kemampuan masing-masing, maka telah datang dua orang prajurit Pajang yang lain dengan membawa beberapa orang tawanan pula dengan tangan terikat. Mereka adalah prajurit-prajurit yang telah menjadi pengikut Ki Pringgajaya dan berusaha mencegat prajurit-prajurit Pajang yang akan datang kepadepokan kecil itu.
Para tawanan itupun kemudian ditempatkan disisi pendapa itu pula, sementara para pengikut Sabungsari sempat mengangkat prajurit muda yang terluka dan pingsan itu kependapa.
"Awasi lawannya yang mungkin juga hanya pingsan itu," pesan Untara, "dan usahakan memberikan kesegaran kepada Sabungsari. Carilah air. Titikkan kebibirnya. Kiai Gringsing nanti akan menanganinya. Ia sekarang masih dicengkam oleh pertempuran yang dahsyat itu."
Sebenarnyalah bahwa Kiai Gringsing seolah-olah tidak sempat mengejapkan matanya. Ia mengamati pertempuran itu dengan jantung yang rasa-rasanya berdegup semakin keras.
Dalam pada itu, Agung Sedayu dan Jandon yang sudah memeras segenap kemampuannya itu rasa-rasanya masih belum dapat meraba, apakah yang akan terjadi atas mereka. Masing-masing tidak dapat melukai dan menyakiti lawannya. Meskipun mereka menyadari, bahwa kekebalan yang melindungi kulit mereka itu, bukannya kekebalan yang mutlak, karena bagian dalam tubuh mereka akan dapat diremukkan oleh kekuatan yang terlalu besar bagi daya tahan tubuh mereka.
Namun ternyata kemampuan Jandon memang lebih tinggi dari Banjar Aking. Sementara Agung Sedayu yang baru mulai dengan ilmu kekebalan itu, rasa-rasanya memang mulai merasa, bahwa bagian dalam tubuhnya telah tersentuh oleh kekuatan lawannya, sehingga perasaan sakit mulai menjalari daging dan tulang-tulangnya.
Tetapi kemampuan Agung Sedayupun melampaui kemampuan Sabungsari, sehingga karena itu, maka Jandonpun tidak dapat segera mengalahkannya. Apalagi Agung Sedayu masih dapat menahan perasaan sakit yang mulai menyengat bagian dalam tubuhnya. Bahkan seolah-olah ia tidak merasa sama sekali sentuhan-sentuhan kekuatan Jandon yang pilih tanding, betapapun rasa nyeri itu sebenarnya telah menjalari tulang-tulangnya.
"Anak iblis," geram Jandon, "tidak seorangpun yang pernah memberitahukan kepadaku, bahwa iblis inipun memiliki ilmu kebal."
Agung Sedayu tidak mendengar dengan jelas. Namun iapun mulai mempertimbangkan, bahwa jika ia tidak mengambil sikap yang menentukan, maka ia akan segera terdesak dan bahkan mungkin ia akan dapat dilumpuhkan.
Dalam pada itu, Agung Sedayupun mulai memikrkan kemampuan ilmunya yang masih belum dipergunakan. Ia belum menyerang lawannya pada jarak yang melampaui jarak jangkau wadagnya.
Agung Sedayu menyadari, bahwa ilmu yang terpancar pada sorot matanya pada tataran terakhir telah jauh meninggalkan kemampuan yang dapat dilakukan oleh Sabungsari. Dengan demikian, maka meskipun Jandon pun memiliki kelebihan dari Banjar Aking, maka ia masih berharap bahwa ilmunya akan dapat menembus ketahanan ilmu kebal murid Gunung Kendeng yang paling dipercaya itu.
Dalam pada itu, orang-orang yang mengerumuni pertempuran itupun menjadi semakin tegang. Kiai Gringsing, yang mengenal betul kepada muridnya, melihat betapa hentakkan serangan lawannya terasa sakit pada bagian dalam tubuhnya. Dan Kiai Gringsingpun melihat, kerut wajah Agung Sedayu, betapa ia berusaha untuk menahan sakit itu.
Namun harga diri Agung Sedayu tentu akan tersinggung jika seorang dari antara mereka yang berdiri dilingkaran pertempuran itu mencoba membantunya. Bahkan seandainya ia sendiri sebagai gurunya.
Karena itu, maka Kiai Gringsing benar-benar menjadi gelisah. Agaknya Agung Sedayupun tidak mau mempergunakan senjatanya, karena lawannya juga tidak bersenjata.
Tetapi seperti Agung Sedayu, maka Kiai Gringsing masih mempunyai harapan. Harapan yang tidak dilihat oleh orang lain, karena tidak setiap orang mengetahui bahwa Agung Sedayu memiliki ilmu yang dapat dipergunakannya untuk menyentuh lawan tanpa wadagnya.
Dalam pada itu, maka tiba-tiba saja telah terjadi benturan yang dahsyat ketika Jandon meloncat menyerang Agung Sedayu dengan sepenuh kekuatan, sementara Agung Sedayu tidak sempat menghindarinya. Demikian kerasnya benturan itu terjadi, sehingga Jandon telah terlempar tiga langkah surut, sementara Agung Sedayu ternyata telah terlempar lebih jauh lagi. Bahkan nampaknya Agung Sedayu tidak dapat menahan keseimbangannya lagi, sehingga iapun telah jatuh terguling ditanah.
Ketika Jandon siap menyerangnya, ternyata Agung Sedayu belum sempat bangkit. Ia masih duduk ditanah bersandar pada kedua tangannya.
Setiap orang menjadi berdebar-debar. Kiai Gringsingpun menjadi berdebar-debar pula. Namun tiba-tiba orang tua itu mengerutkan keningnya. Ia melihat sesuatu pada muridnya. Agaknya Agung Sedayu bukannya tidak sempat bangkit atau bahkan bukan karena ia tidak mampu lagi untuk bangkit. Tetapi dalam keadaan yang demikian, Agung Sedayu telah mengetrapkan ilmunya yang dahsyat, yang dilontarkan lewat sorot matanya.
Agung Sedayu sendiri tidak mengetahui, apakah kemampuan ilmunya itu akan dapat menembus perisai yang melindungi lawannya. Jika ia gagal, maka ia akan mengalami kesulitan karena justru ia masih tetap duduk ditanah. Tetapi jika ia berhasil, meskipun tidak mutlak, maka ia akan dapat mengaturnya lebih jauh lagi.
*** Buku 133 PANGERAN Benawa menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, "Ki Sanak. Aku memang tidak menyangka, bahwa kuburan ini dijaga. Karena itu, ketika kalian tiba-tiba saja muncul, aku menjadi bingung dan menjawab asal saja tanpa memikirkan akibatnya."
"Sebut, siapa kalian," penjaga yang bertubuh paling tinggi membentak semakin keras.
"Begini Ki Sanak," jawab Pangeran Benawa, "sebenarnya kami hanya ingin menyepi di kuburan ini. Kami mendengar bahwa seorang prajurit linuwih telah gugur dan dimakamkan di kuburan ini oleh kawan-kawannya dibantu oleh para penghuni padukuhan sebelah menyebelah. Dengan demikian, maka kami akan mohon berkahnya, agar kami dapat diterima menjadi seorang prajurit di Pajang."
"Siapa yang akan menjadi seorang prajurit ?" bertanya penjaga itu.
"Sudah tentu bukan aku," jawab Kiai Gringsing, "aku sudah tua."
"Aku," sahut Pangeran Benawa, "ayah hanya mengantar aku mohon berkah kepada prajurit linuwih yang gugur dan dimakamkan disini. Kami berharap bahwa dengan demikian, usaha kami akan dapat tercapai."
Para penjaga kuburan itu tidak pernah memikirkan kemungkinan itu. Mereka mendapat tugas untuk menjaga kuburan itu sampai ampat puluh malam, karena kemungkinan akan dapat terjadi, bahwa mayat itu akan dicuri orang. Mungkin musuh-musuhnya yang mendendam. Tetapi mungkin juga seseorang yang menganggap bahwa prajurit itu mempunyai tuah yang dapat memberikan kelebihan.
Namun yang kemudian dalang, bukan seseorang atau sekelompok orang yang akan mencuri mayat itu, tetapi dua orang yang akan menyepi untuk mendapatkan berkah.
Selagi orang-orang itu masih termangu mangu, maka Pangeran Benawa telah mendesaknya, "Maaf Ki Sanak. Apakah aku boleh masuk ?" Namun tiba-tiba Pangeran Benawa bertanya, "Apakah benar kalian penjaga regol kuburan seperti yang kami duga."
"Ya," sahut salah seorang dari mereka. Lalu katanya kepada kawan-kawannya, "Apapun yang akan mereka lakukan, bukankah sebaiknya kita tidak mengijinkannya ?"
"Ya," jawab yang lain, "selama ampat puluh hari ampat puluh malam, tidak seorangpun yang boleh mendekat. Jika kalian akan minta berkahnya, dapat kau lakukan setelah ampat puluh hari."
"Ah," desis Pangeran Benawa, "itu terlalu lama. Sebelum ampat puluh hari, aku harus sudah memasuki pendadaran. Aku harus dapat menunjukkan bahwa aku pantas menjadi seorang prajurit seperti Senapati yang telah gugur disini."
Sejenak para penjaga kubur itu berpandangan. Namun kemudian yang seorang telah menggeleng sambil berdesis, "Jangan memaksa Ki Sanak. Kami tidak mengijinkan kalian memasuki kuburan ini." Lalu, tiba-tiba katanya, "He, bukankah kalian berdua adalah orang yang kami temui di kedai itu ?"
"Ya," sahut Pangeran Benawa dengan serta merta, "akupun sedang mengingat-ingat, dimana kami pernah bertemu dengan kalian. Apakah dengan demikian, kami diperkenankan memasuki kuburan ini."
"Tidak. Kami tidak mengijinkan," jawab penjaga itu.
Pangeran Benawa menarik nafas didam-dalam. Sambil berpaling kepada Kiai Gringsing, ia berkata, "Jika demikian ayah, apakah kita akan nenepi diluar dinding saja " Bukankah tidak akan banyak bedanya " Kita dapat duduk bersama para penjaga ini."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Lalu sambil mengangguk ia berdesis, "Apaboleh buat. Jika kita tidak diijinkan masuk, baiklah kita mohon agar diijinkan tinggal diregol ini."
Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Jika demikian Ki Sanak. Aku mohon ijin untuk dapat ikut duduk bersama diregol ini. Mudah-mudahan dengan demikian, kami sudah dapat dianggap nenepi di kuburan ini, karena memang demikianlah maksud kami sejak kami berangkat dari rumah, sehingga hendaknya maksud kamilah yang berlaku, bukan apa yang telah kami lakukan karena kami tidak dapat mengatasi keadaan."
Para penjaga kubur itu saling berpandangan sejenak. Kemudian orang yang terbesar diantara mereka menjawab, "Jika itu yang kau maksud, aku tidak berkeberatan. Kau dapat berada di regol ini bersama kami. Tetapi jika kalian melakukan sesuatu yang tidak kami sukai, maka kami akan memperlakukan kalian sebagaimana kami memperlakukan orang-orang yang memusuhi kami."
"Terima kasih," jawab Pangeran Benawa, "kami akan duduk saja disini tanpa berbuat apa-apa."
Ternyata para penjaga kubur itu telah memberikan sehelai tikar kepada Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa, sementara mereka mulai membagi diri. Dua orang diantara mereka segera berbaring diatas sehelai tikar pula, sementara yang dua orang lainnya duduk diregol itu untuk berjaga-jaga. Setiap kah salah seorang dari mereka bangkit dan berjalan memasuki kuburan, melihat, apakah kuburan prajurit linuwih itu tidak diganggu orang.
Sementara Pangeran Benawa dan Kiai Gringsing duduk bersama para penjaga yang tidak tertidur, mereka sempat berbicara panjang lebar tentang prajurit yang dikubur itu.
"Kami, hampir semua orang dipadukuhan kami, ikut membantu mengubur mayat itu," jawab salah seorang penjaga regol kubur itu.
"Aku membayangkan, bahwa orang yang dikuburkan itu tentu tinggi kekar dan berkumis meskipun tidak terlalu lebat," berkata Pangeran Benawa.
"Tidak. Orangnya kecil, pendek. Ia mengenakan pakaian seorang perwira," sahut salah seorang penjaga itu.
"Apakah ia sempat dimandikan " " bertanya Pangeran Benawa.
"Tidak. Tubuhnya luka arang keranjang. Pakaiannya compang camping, sehingga tidak mungkin lagi menyelenggarakan sebagaimana seharusnya. Karena itu, kami hanya membungkusnya dengan kain putih dan kemudian menguburkannya," jawab salah seorang dari penjaga itu.
"Bersama dengan pusakanya " Bukankah ia mengenakan pusaka kerisnya meskipun mungkin ia juga berpedang ?" bertanya Pangeran Benawa.
Orang itu berpikir sejenak. Dengan nada datar ia menjawab, "Tidak banyak orang memperhatikannya. Tetapi aku kira tidak. Aku kira tidak ada pusaka yang ikut dikuburkannya."
Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Orang yang menjaga kuburan itu termasuk orang yang ditakuti dipadukuhannya. Agaknya ia mendapat kesempatan terbanyak untuk menyaksikan peristiwa yang bagi orang kebanyakan termasuk mendebarkan. Bahkan kemudian oleh Ki Demang orang-orang itu telah dimanfaatkan untuk menjaga kuburan itu atas permintaan prajurit-prajurit Pajang yang lain.
Tetapi Pangeran Benawa dan Kiai Gringsing yang telah berada di kuburan itu ternyata tidak ingin membongkarnya. Jika demikian maka hal itu tentu akan sampai ketelinga para prajurit Pajang yang telah minta kepada Ki Demang untuk mengawasi kuburan itu. Bahkan kemudian mareka tentu akan mengambil kesimpulan, bahwa ada beberapa pihak yang menaruh kecurigaan terhadap kebenaran berita bahwa Ki Pringgajaya telah terbunuh.
Karena itu, maka yang dilakukan oleh Pangeran Benawa dan Kiai Gringsing adalah sekedar duduk diregol kuburan itu sebagaimana mereka katakan, seolah-olah mereka sedang nenepi, mohon berkah agar mereka dapat diterima menjadi prajurit di Pajang.
Namun dengan demikian, kecurigaan kedua orang itu atas kebenaran ceritera tentang meninggalnya Ki Pringgajaya menjadi semakin besar. Beberapa ciri dengan orang yang dikuburkan itu memang agak berbeda dengan ciri orang yang bernama Ki Pringgajaya.
Persoalannya kemudian adalah, apakah dengan sengaja Tumenggung Prabadaru membuat berita kematian Ki Pringgajaya dengan maksud tertentu dalam hubungannya dengan gerakan yang besar dan luas didalam lingkungan pimpinan pemerintahan dan keprajuritan Pajang, atau atas pengaduan Ki Pringgajaya dalam lingkungan yang sempit setelah kegagalannya membunuh orang-orang dipadepokan kecil di Jati Anom yang mungkin menurut pengertian Ki Tumenggung Prabadaru sebagai persoalan dendam pribadi, sehingga Tumenggung Prabadaru telah dapat dibujuk untuk membantu melepaskannya dari tuntutan dendam itu.
Tetapi jika demikian, siapakah yang telah dikorbankan dan bahkan benar-benar telah mati dibunuh untuk menyembunyikan nama Ki Pringgajaya itu.
"Peristiwa itu terjadi hampir bersamaan waktunya dengan kegagalan Gembong Sangiran di Jati Anom," berkata Kiai Gringsing didalam hatinya.
Ketika pada suatu kesempatan hal itu disampaikan kepada Pangeran Benawa, maka Pangeran itupun telah merenunginya pula.
"Kita memang harus membuat uraian tentang peristiwa ini secara menyeluruh," desis Pangeran Benawa ketika orang-orang yang menjaga kuburan itu tidak sedang memperhatikan mereka.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, "Apakah kita masih akan berada dikuburan ini besok malam " Rasa-rasanya memang ada sesuatu yang dicemaskan, bahwa kuburan ini akan digali orang."
Pangeran Benawa mengangguk-angguk jawabnya, "Aku kira, besok kita akan kembali."
Menjelang pagi, maka Kiai Gringsnig dan Pangeran Benawa sempat bertanya kepada para penjaga itu, apakah mereka pernah melihat tanda-tanda bahwa ada pihak yang memang ingin membongkar kuburan itu.
"Aku tidak dapat mengatakannya," jawab penjaga yang sedang mendapat giliran berjaga-jaga, "tetapi kami disini pernah melihat bayangan yang mendekati kuburan ini. Dua malam yang lalu, kami mengejar seseorang yang berada di sebelah dinding dari arah belakang. Tetapi kami tidak dapat menangkapnya."
"Kenapa justru disiang hari kuburan ini tidak dijaga ?" bertanya Pangeran Benawa, "apakah tidak mungkin mereka akan melakukannya justru disiang hari ?"
"Meskipun disiang hari kuburan ini tidak kami jaga, tetapi kami sepakat untuk setiap kali datang menengoknya." jawab penjaga itu.
Pangeran Benawa dan Kiai Gringsing menjadi semakin tertarik kepada kuburan itu. Sehingga akhirnya, ketika bayangan fajar mulai nampak, keduanya minta diri.
"Mungkin untuk satu dua malam lagi kami masih akan nenepi disini," berkata Pangeran Benawa.
"Asal kalian tidak mengganggu kami, kami tidak akan berkeberatan," jawab penjaga itu.
Meskipun demikian, ketika Pangeran Benawa dan Kiai Gringsing meninggalkan tempat itu, penjaga itupun berdesis kepada kawannya, "Bagaimanapun juga, kita wajib mencurigainya. Tetapi sepanjang mereka tidak berbuat onar, kita tidak akan berbuat sesuatu agar kita tidak membuang tenaga tanpa arti. Nampaknya mereka adalah orang-orang yang lemah dan dungu, sehingga kuburanpun telah menarik perhatian mereka untuk mendapatkan berkah. Meskipun mereka nenepi dikuburan ini setahun, tetapi dalam pendadaran anak muda itu tidak akan dapat bertahan sehingga iapun tidak akan dapat diterima sebagai prajurit. Jika anak muda itu ternyata dapat diterima, adalah pertanda bahwa saatnya Pajang akan runtuh, karena prajurit-prajuritnya adalah orang-orang yang masih dibayangi oleh berkah dari kuburan ini meskipun kuburan seorang prajurit linuwih."
Dalam pada itu, setelah mengambil kuda mereka yang tersembunyi maka Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa itupun segera pergi menjauh.
"Kita akan pergi kemana ?" bertanya Kiai Gringsing.
Pangeran Benawa tertawa. Katanya, "Kita akan berputar-putar tanpa tujuan. Berhenti di kedai-kedai untuk makan dan minum. Malam hari kita akan pergi kekuburan itu."
Kiai Gringsingpun tertawa. Sambil menepuk leher kudanya ia berkata, "Mudah-mudahan kuda-kuda ini tidak kelupaan."
"Kita harus menemukan tempat untuk menitipkan kuda-kuda ini." gumam Pangeran Benawa, "nampaknya akan menarik, bahwa kitapun dapat bertemu dengan orang yang dikatakan oleh penjaga kuburan itu. Mungkin kita akan dapat mulai dari orang yang akan mengganggu kuburan itu, apapun maksudnya."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ternyata kerja yang mereka lakukan adalah kerja yang menarik juga, meskipun dengan demikian, ia tidak dapat kembali kepadepokannya dalam waktu dua tiga hari saja.
Dalam pada itu, seperti yang dikatakan oleh Pangeran Benawa. maka keduanya telah berusaha mendapatkan tempat untuk menitipkan kuda mereka. Mereka sengaja mencari orang yang agaknya memerlukan tambahan penghasilan, sehingga dengan memberikan sedikit upah. maka Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa tidak mencemaskan lagi bahwa kuda mereka akan kelaparan.
"Kami sedang nenepi di kuburan itu untuk beberapa malam," berkata Pangeran Benawa yang berpakaian seperti orang kebanyakan, "karena itu, kami titipkan kuda kami kepada Ki Sanak. Bahkan mungkin disiang hari, kamipun ingin menumpang beristirahat dirumah ini."
"Tetapi rumah kami kecil buruk dan kotor," berkata orang itu.
"Rumahkupun kecil, buruk dan kotor," jawab Pangeran Benawa.
"Terserahlah kepadamu," berkata pemilik rumah itu, "jika kalian bersedia tidur di amben dengan selembar tikar yang telah sobek."
"Sudah menjadi kebiasaan kami. Apalagi kami justru dimalam hari akan berada dikuburan itu," jawab Pangeran Benawa.
Dengan demikian, maka Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa tidak lagi merasa terganggu oleh kuda-kuda mereka. Disiang hari mereka tidak mempunyai pekerjaan apapun kecuali berjalan-jalan, tidur diamben dengan tikar yang kumal dan makan dikedai-kedai.
Demikianlah, maka pada malam berikutnya. Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa berada dikuburan itu. Seperti malam sebelumnya, mereka duduk saja sambil berbicara panjang lebar, sehingga ketika para penjaga itu menjadi jemu dan lelah mereka telah berkisar menjauh.
Namun lewat tengah malam, telah terjadi satu keributan kecil di kuburan itu. Ketika salah seorang dari penjaga kubur itu memutari dinding kuburan, sekali lagi ia melihat sesosok tubuh yang mengendap-endap. Dengan serta merta, maka orang itupun segera memberikan isyarat kepada kawan-kawannya.
Sejenak kemudian, maka dua orang dari para penjaga telah berloncatan berlari meninggalkan regol, sementara yang seorang lagi tetap berada diregol untuk mengawasi keadaan.
Namun yang seorang itupun kemudian berkata kepada Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa, "Kau disini. Jangan berbuat sesuatu yang dapat mencelakai dirimu sendiri. Aku akan berada dikubur itu."
Pangeran Benawa dan Kiai Gringsing tidak menjawab. Mereka memandangi saja orang itu hilang kedalam gelapnya malam dikuburan.
Baru sejenak kemudian Pangeran Benawa menarik nafas sambil berdesah, "Menarik juga."
"Siapakah kira-kira orang itu Pangeran ?" bertanya Kiai Gringsing.
"Sst, jangan panggil aku demikian, mungkin suaramu dapat didengar," desis Pangeran Benawa.
Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, "Baiklah. Tetapi bagaimana dengan orang itu."
"Kita akan menunggu. Mungkin para penjaga itu mempunyai dugaan terhadap orang yang datang itu, setelah dua kali mereka mengejarnya."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Dan ternyata para penjaga itu tidak terlalu lama melakukan pengejaran. Sejenak kemudian mereka tetah berkumpul kembah diregol dengan nafas terengah-engah. Demikian pula salah seorang dari mereka yang tidak ikut berlari-larian, tetapi sekedar menunggu kuburan itu.
"Aneh," berkata Pangeran Benawa, "ternyata benar-benar ada orang yang ingin membongkar kuburan itu. Apakah mereka tidak takut kena kutukannya" Maksudku, kutukan dari yang dikubur itu ?"
"Mereka sama sekali tidak menghiraukannya," desis salah seorang penjaga kubur itu.
"Tetapi apakah benar-benar kalian tidak dapat menduga, siapakah orang yang akan membongkar kuburan itu, atau setidak-tidaknya menduga maksudnya." bertanya Kiai Gringsing kemudian.
Orang yang bertubuh paling besar diantara mereka berkata, "Orang-orang itu tentu mengira bahwa ikut serta dikubur bersama mayat yang luka arang keranjang itu, segala macam pakaian dan perhiasannya. Mungkin mereka mengira, bahwa pada mayat itu masih terdapat kamus dengan timang bermata intan atau berban, karena saat mayat itu dikuburkan, semua pakaiannya sama sekali tidak dilepaskannya. Kecuali kerisnya. Aku memang tidak melihat kerisnya."
"Dan apakah benar, timang mayat itu bermata berlian atau intan ?" bertanya Pangeran Benawa, "atau mungkin barang-barang berharga itu sudah diambil lebih dahulu untuk diserahkan kepada keluarganya."
"Omong kosong," desis orang yang bertubuh paling kekar, "tidak ada barang-barang berharga pada mayat itu."
"Darimana kau tahu " " tiba-tiba saja Kiai Gringsing bertanya.
Orang itu tergagap. Namun kemudian katanya, "Aku tidak melihatnya sama sekali saat orang itu dikuburkan. Tidak ada timang berlapis emas apalagi bermata berlian."
Kiai Gringsing tidak bertanya lagi. Tetapi ketika ia memandang Pangeran Benawa, samar ia melihat Pangeran itupun memandangnya. Ternyata prajurit yang terbunuh itu telah dikubur dengan pakaiannya, dan seolah-olah mereka mendapat kesan bersama, bahwa barang-barang berharga itu tentu sudah diambil oleh para penjaga itu sendiri apabila memang ada.
Seperti sebelumnya, maka Pangeran Benawa dan Kiai Gringsing berada digerbang kuburan itu sampai menjelang pagi.
Namun pada hari-hari berikutnya, keduanya tidak lagi datang kepintu gerbang. Tetapi keduanya mengawasi kuburan itu dari arah yang lain. Mungkin merekapun pada satu saat dapat melihat orang yang sudah untuk kedua kalinya datang kekuburan itu.
"Malam ini kuburan itu justru menjadi semakin sepi," desis Pangeran Benawa yang duduk sambil memeluk lututnya disebelah gerumbul perdu.
"Para penjaga itu merasa tidak terganggu lagi," sahut Kiai gringsing, "agaknya mereka telah membagi tugas mereka. Dua orang tidur nyenyak, dua orang lainnya terkantuk-kantuk."
Namun kedua orang itupun kemudian melihat, salah seorang dari para penjaga itu berjalan perlahan-lahan memutari dinding kuburan. Tetapi malam itu mereka tidak melihat sesuatu, sampai saatnya langit diwarnai oleh cahaya fajar.
Tetapi Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa masih belum menjadi jemu. Malam berikutnya mereka masih tetap mengamati kuburan itu. Seperti yang selalu terjadi, setelah senja para penjaga itupun mulai menunggui kuburan itu, sambil membawa sebungkus makanan yang dibelinya dari kedai yang sama.
Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa yang duduk digerumbul perdu sambil memeluk lutut, masih tetap berharap, bahwa pada suatu saat mereka akan melihat sesuatu terjadi di kuburan itu.
Sebenarnyalah, lewat tengah malam, kedua orang itu terkejut oleh derap beberapa ekor kuda mendekati gerbang kuburan itu. Hampir bersamaan mereka mengangkat wajah mereka memandangi gerbang yang samar-samar dalam keremangan malam.
"Siapakah mereka ?" bertanya Pangeran Benawa.
"Menarik sekali Pangeran," sahut Kiai Gnngsing,
Kedua orang itupun kemudian dengan hati-hati bergeser mendekati gerbang kuburan itu. Namun merekapun segera berlindung dibalik pohon perdu liar yang berserakan disekitar kuburan itu, ketika mereka melihat beberapa ekor kuda berhenti didepan pintu gerbang, sementara empat orang penjagapun telah siap menyongsong mereka.
Tetapi Kiai Gringsing menggamit Pangeran Benawa ketika mereka mendengar salah seorang penjaga kuburan itu bertanya, "Siapakah kalian Ki Sanak ?"
Orang-orang berkuda itu berloncatan turun. Sambil mengikat kudanya pada pepohonan liar, salah seorang dari orang-orang berkuda itu menjawab, "Kami adalah kawan-kawan orang yang membunuh prajurit gila itu."
"O," penjaga itu mengangguk-angguk, lalu iapun bertanya pula, "Apa maksud kalian datang kemari?"
"Kami ingin mengambil mayat prajurit itu." jawab salah seorang pendatang itu.
"Untuk apa ?" bertanya penjaga itu.
"Kami memerlukan mayat itu. Orang itu telah membunuh beberapa orang kawan kami. Karena itu, maka ia harus bertanggung jawab."
"Prajurit itu telah mati. Apa yang dapat dilakukannya untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya ?" bertanya penjaga itu.
"Bukan urusanku. Aku mendapat tugas untuk mengambilnya. Dan aku bersama kawan kawanku ini harus melakukannya," orang itu berhenti sejenak, lalu. "He, siapakah kalian sebenarnya ?"
"Kami penjaga kuburan ini," jawab salah seorang dari keempat penjaga itu.
"Siapakah yang memerintahkan kepada kalian untuk menjaga kuburan ini ?" bertanya pendatang itu.
"Ki Demang dan atas perintah Senapati Pajang yang memimpin sekelompok prajurit yang lewat daerah ini dan telah dirampok oleh orang-orang yang ternyata adalah kawan-kawanmu itu. He, bukankah kau kawan orang-orang yang terbunuh menurut katamu sendiri, dan yang telah membunuh prajurit-prajurit itu ?"
"Ya. Dan karena itu, jangan halangi kami. Kami memerlukannya. Memerlukan mayat itu. Seandainya mayat itu hilang dari kuburnya, dan kau tidak mengatakan kepada siapapun, maka tidak akan ada orang yang mengetahuinya."
Orang yang bertubuh paling besar diantara keempat penjaga itupun melangkah maju. Dengan suara bergetar ia berkata, "Ki Sanak. Kami sudah menyanggupkan diri menjaga kuburan itu. Karena itu, kami akan melakukannya dengan sepenuh hati."
"Kenapa kau mempertaruhkan segalanya untuk menjaga kuburan itu ?" bertanya salah seorang dari orang orang berkuda itu.
"Terus terang. Kami diupah untuk itu. Upah itu cukup menarik. Selama ampat puluh malam kami berjaga-jaga disini, maka untuk selanjutnya dalam waktu tiga bulan kami tidak perlu bekerja apapun juga, selain mengurusi sawah kami," jawab orang bertubuh paling besar itu.
Tetapi ia menjadi tegang ketika orang-orang berkuda itu tertawa. Seorang diantara mereka berkata, "Aku kira kau bukan seorang yang terlalu bodoh untuk menghitung uang, tenaga dan apalagi nyawa kalian. Bagaimana jika aku mengusulkan agar kau mendapat uang yang lebih banyak tetapi tanpa mempertaruhkan tenaga dan nyawa kalian."
"Gila," geram penjaga itu, "apa maksudmu ?"
"Aku dapat memberi kalian uang. Biarkan kami mengambil mayat itu dan mengembalikan kuburan itu seperti semula. Nah, bukankah tidak akan ada orang yang mengetahuinya bahwa kuburan itu telah dibuka asal kalian sendiri tidak mengigau tentang hal itu ?"
"Hanya kalian berempat sajalah yang melihat dan mengetahui hal itu," berkata orang yang agaknya menjadi pemimpin dari sekelompok orang-orang berkuda itu. Lalu katanya, "Kami tahu, bahwa kalian adalah gegedug dari orang-orang sepadukuhan kalian. Bahkan kalian adalah orang-orang yang ditakuti karena pekerjaan kalian. Kalian mempunyai pengalaman yang luas diarena perkelahian yang kasar dan liar. Tetapi kamipun sudah terlalu sering melakukannya. Bahkan daerah jelajah kami mungkin lebih luas dari daerah jelajahmu. Dan jumlah kamipun lebih banyak dari kalian yang hanya berempat. Coba pikirkan, apakah tidak lebih baik kita berbicara sebagaimana kita berbicara diantara kita yang hidup disela-sela kelamnya malam. Kami mendapatkan apa yang kami cari, dan kalianpun tidak merasa kami rugikan, karena justru kalian akan mendapat tambahan upah. Sementara orang lain tidak ada yang mengetahuinya bahwa mayat itu telah hilang. Setelah ampat puluh malam, maka kalian telah bebas untuk melepaskan tanggung jawab kalian."
Empat orang penjaga kuburan itu termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba salah seorang bertanya, "Kenapa kalian harus melakukannya sekarang. Kenapa tidak setelah ampatpuluh malam, sehingga kalian tidak perlu kehilangan uang untuk menyogok kami."
"Kami memerlukan segera. Kami tidak dapat menunggu sampai ampat puluh malam," jawab orang berkuda itu.
Sejenak keempat orang itu termangu-mangu. Namun orang bertubuh terbesar itupun kemudian berkata, "Apakah kalian benar-benar berniat demikian " Atau kalian sekedar ingin menipu kami ?"
"Kami akan menyerahkan uang itu lebih dahulu. Kami tidak perlu cemas, bahwa kalian akan menipu kami, karena jika terjadi demikian, maka kami akan membunuh kalian berempat."
"Gila, jangan menghina kami," geram penjaga itu.
Pemimpin dari orang-orang berkuda yang datang kekuburan itupun tersenyum. Kemudian jawabnya, "Bukan maksud kami menghina kalian. Tetapi cobalah pikirkan dengan tenang tanpa prasangka. Kami kali ini ingin berbuat sesuatu yang saling menguntungkan."
Keempat orang itu agaknya mulai tertarik pada tawaran itu. Sejenak mereka saling berpandangan. Namun kemudian yang terbesar diantara mereka berkata, "Baiklah. Jika kalian memberi kami uang, maka kami tidak akan berkeberatan. Tetapi kerjakan pekerjaan yang tidak menarik itu. Kami tidak dapat membantu. Kemudian kalian wajib mengembalikan seperti semula."
"Baiklah Dengan demikian kita masing-masing telah mendapatkan sesuatu bagi diri kita," sahut pemimpin sekelompok orang berkuda itu, "dalam pada itu, kami tidak akan membawa mayat itu keluar dari kuburan ini."
Para penjaga itu menjadi heran. Yang bertubuh terbesar diantara mereka bertanya, "Lalu apa maksudmu sebenarnya ?"
"Kami hanya akan memindahkannya," jawab pemimpin orang-orang berkuda itu.
Para penjaga itu termangu-mangu sejenak. Namun salah seorang dari mereka berkata, "Persetan dengan mayat itu. Berikan uang itu kepada kami."
Pemimpin orang-orang berkuda itu tertawa. Katanya, "Baiklah. Tetapi berhati-hatilah. Jangan sampai ada orang lain yang mendengarnya. Karena dengan demikian, nasib kalian sendirilah taruhannya. Jika prajurit Pajang itu mengetahui bahwa mayat itu telah hilang dari kuburnya, maka kalian tidak akan dapat mengelakkan hukuman dari mereka. Betapapun tinggi kemampuan kalian, namun kalian akan digilasnya seperti menggilas buah ranti."
Para penjaga kubur itu berpikir sejenak. Namun seorang diantara mereka telah berkata pula, "berikan uang itu."
Pemimpin dari orang-orang berkuda itupun kemudian mengambil sekampil kecil uang dari kantong ikat pinggangnya dan menyerahkannya kepada orang yang bertubuh paling besar diantara para penjaga kuburan itu sambil berkata, "Inilah. Dan kemudian duduklah ditempatmu. Kami akan melakukan pekerjaan kami. Semakin cepat semakin baik."
Orang itu menerima kampil uang sambil berkata, "Lakukanlah. Kami akan menunggu disini."
Orang-orang berkuda itupun kemudian memasuki kuburan itu dengan tergesa-gesa, sementara keempat orang penjaganya kemudian duduk kembali diregol, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Namun demikian, kuda-kuda yang terikat itu agaknya menjadi pertanda bahwa ada beberapa orang yang telah memasuki kuburan itu.
Sementara itu, Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa yang menyaksikan peristiwa itu ternyata menjadi sangat tertarik kepada sekelompok orang-orang yang akan memindahkan mayat itu dari tempatnya. Yang mereka lakukan itu tentu bukannya tanpa maksud. Karena itulah merekapun kemudian beringsut menjauhi regol dan dengan hati-hati merayap diluar dinding kuburan itu. Mereka ingin melihat dan mengetahui apakah sebenarnya maksud beberapa orang berkuda itu.
Ternyata bahwa Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa berhasil mendekati mereka tanpa mereka ketahui. Mereka meloncat dinding itu justru agak jauh dari kuburan yang sedang dibongkar itu. Dengan sangat hati-hati mereka merayap mendekat, sehingga mereka melihat dan mendengar semua yang telah terjadi dan yang mereka percakapkan.
"Pekerjaan yang memuakkan," salah seorang dari mereka bergeremeng,
"Apaboleh buat," sahut yang lain, "kita tidak dapat berbuat lain dari memindahkan kubur ini."
"Kenapa harus dipindahkan," yang seorang bertanya.
"Kau memang dungu. Ternyata Untara telah mencurigai, apakah mayat ini benar mayat Ki Pringgajaya. Ia tentu akan mengirimkan orang atau petugas sandinya untuk melihat. Karena itu, maka kuburan ini telah dijaga. Tetapi jika yang datang itu tidak tertahankan dan tidak dapat dicegah, maka itu akan sangat berbahaya. Mungkin Untara datang langsung dengan sepasukan prajurit dan memaksa para penjaga untuk mengijinkan mereka membongkar kubur ini," jawab kawannya yang agaknya lebih mengetahui persoalannya.
"Tetapi Untara tidak berbuat apa-apa," jawab kawannya.
"Sampai sekarang tidak. Tetapi siapa tahu, bahwa besok atau lusa ia akan melakukannya. Bukankah dengan demikian, rahasia ini akan dapat dibongkar. Meskipun mayat ini tidak lagi dapat dikenal, tetapi ciri-ciri utamanya, tinggi badannya, pakaiannya dan beberapa hal yang lain akan dapat memberikan keterangan yang agak terperinci tentang orang yang disebut Ki Pringgajaya ini," jawab yang agak mengetahui persoalannya itu sambil bekerja.
Kawannya tidak bertanya lagi. Mereka mulai menutup hidung mereka dengan ikat kepala mereka yang mereka urai. Agaknya yang mereka lakukan itu memang sudah agak terlambat.
Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa memperhatikan kerja orang-orang berkuda itu dengan saksama. Namun Pangeran Benawapun kemudian menggamit Kiai Gringsing dan memberikan isyarat untuk meninggalkan tempat itu.
Sejenak kemudian mereka sudah berada diluar kuburan. Sambil menarik nafas dalam-dalam. Pangeran Benawa berkata, "Bagi kita semuanya sudah cukup jelas."
"Ya," sahut Kiai Gringsing, "kita sudah mendapat kepastian."
"Ternyata Pringgajaya memang licik. Dengan cerdik ia berusaha melepaskan jejaknya. Mungkin dengan demikian ia tidak lagi akan berurusan dengan Untara dan pimpinan keprajuritan Pajang, tetapi mungkin juga ia telah menghindari orang-orang yang diupahnya untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap Sabungsari dan Agung Sedayu. Tetapi agaknya yang pertamalah yang terpenting. Sementara yang kedua itu dapat juga dilakukan untuk mengingkari pembayaran upah. Namun agaknya karena tugas orang Gunung Kendeng itu gagal, maka ia tidak lagi bertanggung jawab untuk membayarnya," desis Pangeran Benawa.
"Apakah kita akan berusaha menemukan tempatnya bersembunyi " " bertanya Kiai Gringsing.
"Tentu sangat sulit. Tetapi kita akan dapat mencobanya," jawab Pangeran Benawa.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Diluar sadarnya ia berpaling kearah orang-orang yang sedang memindahkan kuburan itu. Dan seolah-olah demikian saja terlontar dari mulutnya ia berkata, "Orang-orang itu adalah orang orang yang berada dibawah jalur yang sama dengan Ki Pringgajaya."
Pangeran Benawa mengangguk. Jawabnya, "Ya. Mereka adalah orang-orang yang mempunyai sangkut paut. Tetapi apakah mereka banyak tahu, masih belum dapat kita yakini. Jika kita mengambil salah seorang dari mereka, maka mereka tentu mengetahui bahwa kerja mereka telah kita ketahui sementara kita belum pasti akan mendapat petunjuk dimana Ki Pringgajaya berada.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Namun sementara itu Pangeran Benawa berkata, "Kita dapat menelusuri perjalanan Tumenggung Prabadaru ke daerah Timur. Tetapi itu akan memakan waktu yang panjang sekali."
"Ya Pangeran. Sementara itu, aku tidak akan dapat meninggalkan Sabungsari dan Agung Sedayu terlalu lama. Meskipun aku meninggalkan obat cukup untuk beberapa hari, namun rasa-rasanya gelisah juga untuk meninggalkan mereka terlalu lama," berkata Kiai Gringsing.
Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Perjalanan kita kali ini sudah akan berakhir. Tetapi pada suatu saat kita akan menempuh perjalanan berikutnya. Mungkin perjalanan yang lebih panjang dari perjalanan kita kali ini."
Kiai Gringsing akan menjawab, tetapi suaranya tertahan. Keduanya mendengar gemeremang orang-orang dalam kuburan itu. Agaknya mereka telah selesai, dan akan segera meninggalkan kuburan itu.
"Kita melihat, apakah masih ada yang mereka lakukan atas para penjaga di regol itu," berkata Pangeran Benawa.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Sementara keduanyapun kemudian merayap mendekati regol kuburan.
Sejenak kemudian, maka beberapa orang yang telah selesai dengan kerja mereka itupun melangkah keluar. Para penjaga di regol kuburan itu sama sekah tidak beranjak dari tempat mereka duduk, ketika orang-orang itu melangkah keluar.
"Kami sudah selesai Ki Sanak," berkata pemimpin dari orang-orang berkuda yang datang itu.
"Baiklah," jawab orang yang bertubuh paling kekar diantara para penjaga itu, "kami tidak akan berbicara tentang apa yang telah kalian kerjakan itu."
"Terima kasih," sahut pemimpin kelompok orang-orang berkuda itu, "mudah-mudahan kalian tetap memegang janji itu, karena jika rahasia ini diketahui orang lain, maka kalianlah yang pertama-tama akan mengalami kesulitan."
"Ya. Kami menyadari. Sementara kami tidak akan dapat menyebut siapakah kalian sebenarnya," jawab penjaga regol itu, "selain sejumlah uang yang kalian tinggalkan ini."
Pemimpin dari orang-orang yang telah memindahkan kuburan itu tertawa. Katanya, "Pergunakan sebaik-baiknya. Agaknya kita dapat saling memanfaatkan keadaan."
Para penjaga kuburan itu tidak menyahut lagi. Mereka memandang saja beberapa orang yang kemudian mendekati kudanya dan sejenak kemudian melepas ikatan kuda-kuda mereka pada gerumbul-gerumbul liar didekat kuburan itu.
Namun tiba-tiba salah seorang dari mereka berdesis, "Apakah mereka benar-benar dapat dipercaya ?"
"Dapat atau tidak dapat, tetapi kerja kita telah selesai. Jika rahasia ini terbuka, maka merekalah yang benar-benar akan mengalami kesulitan. Bukan kita," sahut yang lain.
"Tetapi dengan demikian, maka ada pihak tertentu yang mengetahui bahwa kuburan itu telah dipindahkan. Bukankah hal ini akan menimbulkan kecurigaan yang besar pada Untara di Jati Anom atau orang-orang yang berhubungan dengan Senapati muda itu " Sejak berita kematian ini sampai ketelinga Untara, sudah nampak bahwa ia menjadi curiga karenanya."
"Lalu apa yang sebaiknya kita lakukan ?" desis salah seorang dari mereka.
Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa yang mendekati merekapun menjadi tegang pula. Agaknya telah timbul keragu-raguan diantara mereka yang datang berkuda itu.
"Jika kita menghilangkan jejak sama sekali dengan membungkam mereka, dan menguburkan pula dikuburan itu, apakah hal itu akan menguntungkan ?" tiba-tiba yang lain berdesis.
"Bahwa mereka tiba-tiba hilang itupun tentu akan timbul kecurigaan. Sementara itu, apabila petugas-petugas sandi yang mengemban perintah Untara sempat menggali kubur yang kosong itu, kecurigaan merekapun akan meningkat, sama seperti jika mereka mendengar rahasia kubur yang kita pindahkan itu," sahut yang lain.
"Baiklah. Kita biarkan saja mereka menikmati uang itu. Tetapi setelah ampat puluh hari berlalu, apakah sebaiknya kita membungkam mereka. Sudah pasti, tidak seorangpun yang akan berusaha membongkar kuburan itu sesudah ampat puluh hari, karena mereka tidak akan mendapatkan pertanda apa-apa lagi, selain kerangka. Sementara sebelum saatnya tiba, mereka masih akan menjaga kubur itu seperti biasanya."
Namun dalam pada itu, selagi mereka sedang berbincang, orang yang agaknya pemimpin dari sekelompok orang berkuda itu berdesis, "Aku mendengar sesuatu."
Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa terkejut. Sejenak mereka menegang. Jika pemimpin kelompok itu telah mendengar langkah mereka, maka orang itu tentu bukan orang kebanyakan.
Namun ternyata arah perhatian pemimpin kelompok itu tidak kepada Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa. Namun mereka memperhatikan gerumbul diseberang lain. sehingga karena itu maka Pangeran Benawa telah bergeser setapak. Kiai Gringsingpun kemudian menjadi berdebar-debar. Mungkin ada orang lain yang telah mendengarkan pembicaraan itu pula. Tetapi karena justru diseberang lain, sehingga Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa tidak mengetahui kehadiran mereka.
Ternyata bahwa dugaan mereka benar. Orang-orang berkuda itu kembali menambatkan kuda-kuda mereka. Kemudian terdengar pemimpin mereka berdesis, "Kepung gerumbul itu. Aku melihat gerak yang mencurigakan."
Sekejap kemudian, maka tiba-tiba orang-orang itu telah berpencar dan mengepung gerumbul diseberang lain. Sementara itu Pangeran Benawa berbisik, "Perhatian kita sepenuhnya tertuju kepada orang-orang berkuda itu, sehingga kita tidak menghiraukan apapun juga.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Demikian asyiknya mereka memperhatikan orang-orang berkuda itu, sehingga mereka sama sekah tidak mehhat atau mendengar orang lain telah berada disekitar kuburan itu pula. Namun karena jarak mereka memang masih agak jauh, maka desir gerumbul di seberang memang masih belum dapat mereka dengar dari tempat mereka.
Adalah kebetulan bahwa pemimpin sekelompok orang-orang berkuda itu melihat dedaunan pada sebuah gerumbul berguncang. Dalam keremangan malam ia melihat guncangan itu tentu tidak disebabkan oleh angin, karena guncangan itu hanya terdapat disekelompok gerumbul saja.


06 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah orang-orangnya mengepung gerumbul itu maka pemimpin sekelompok orang-orang berkuda itu berkata lantang, "Jangan bersembunyi lagi. Kami sudah mengetahui kedatanganmu. Jika kau tidak mau keluar dari gerumbul itu, maka kami akan melemparkan senjata-senjata kami kedalam gerumbul tempat kau bersembunyi, sehingga kau akan terbunuh dengan luka arang keranjang sebelum kami mengetahui namamu."
Sejenak tidak terdengar jawaban. Sehingga orang itu mengulangi, "Peringatan untuk yang terakhir kalinya. Aku tidak akan mengulanginya lagi. Jika aku menghitung sampai sepuluh, maka kami akan melontarkan beberapa jenis senjata kedalam gerumbul itu."
Masih belum terdengar jawaban. Namun ketika orang itu benar-benar menghitung, maka sampai pada bilangan kelima, terdengar gerumbul itu berdesir. Sebuah guncangan kecil telah menyeruak dedaunan yang rimbun pada gerumbul itu. Sejenak kemudian dua orang meloncat keluar sambil menggeram, "Kalian memang licik. Tetapi baiklah, aku tidak dapat bersembunyi lagi. Karena itu, kami akan menghadapi kalian dengan terbuka."
Pemimpin sekelompok orang-orang berkuda itu tertawa. Katanya, "Nasibmu memang buruk Ki Sanak. Sebut, siapakah kalian."
"Tidak perlu. Kalian tidak perlu mengetahui nama kami. Kami datang tanpa ada hubungannya antara kami dengan nama siapapun juga yang dapat kami sebutkan," jawab orang itu.
"Ternyata kalian adalah orang-orang yang keras hati dan keras kepala. Baiklah. Apakah kehendak kalian bersembunyi dan mengintip kami dari dalam gerumbul itu ?" bertanya pemimpin kelompok orang-orang berkuda itu.
"Kelakuan kalian memang sangat menarik. Sebenarnya kami tidak ingin mengintip kalian, tetapi ketika kami lewat dan melihat beberapa orang serta kudanya didekat kuburan ini, kami telah tertarik kerananya, sehingga kamipun ingin bertanya, apa yang kalian lakukan disini ?" jawab salah seorang dari kedua orang itu.
Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa yang tertarik kepada peristiwa itupun telah beringsut mendekat pula. Sekilas mereka saling berpandangan, seolah-olah mereka ingin mengatakan perasaan mereka, bahwa agaknya kedua orang yang berada didalam gerumbul itu belum mengetahui apa yang dilakukan oleh orang-orang berkuda itu.
Pemimpin dari orang-orang berkuda itupun nampak berpikir sejenak. Lalu iapun bertanya, "Ki Sanak. Menurut dugaan kalian, bahwa kami berada di kuburan ini bersama dengan beberapa orang kawan kami."
"Kamilah yang bertanya, "desis salah seorang dari kedua orang itu.
Pemimpin sekelompok orang berkuda itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian iapun menjawab, "Sebenarnya kamipun tidak ingin pergi kekuburan ini. Tetapi ketika kami sampai didepan regol. ternyata kami tidak dapat mencegah keinginan kami untuk melihat, sekedar melihat kubur seorang prajurit linuwih."
Kedua orang yang telah meloncat dari balik gerumbul itu mengangguk-angguk. Tetapi salah seorang dari merekapun berkata, "Yang kalian lakukan memang aneh. Sekedar singgah dimalam hari. Itu tidak masuk diakal kami. Sebaiknya kalian menjelaskan, apakah maksud kalian sebenarnya."
"Kau sangka apa yang kalian lakukan itupun tidak mencurigakan " Apakah kami harus percaya bahwa kalian sekedar lewat dan melihat kami berada di dekat kuburan ini ?" sahut pemimpin kelompok itu, "yang kita lakukan memang tidak sewajarnya. Nah, jika demikian, maka kita memang dapat saling mencurigai dan saling berprasangka. Aku kira, sebaiknya memang demikian. Kalian sudah melihat kehadiran kami disini, dan kamipun telah melihat kehadiran kalian. Memang ada sekilas pikiran di kepala kami, bahwa kita akan saling menghilangkan jejak. Kami tidak mau kalian menjadi saksi kehadiran kami, dan barangkali kalianpun tidak ingin mendengar kesaksian kami atas kehadiran kalian. Karena itu, kalian berdua kami minta untuk ikut saja bersama kami sebagai tangkapan kami. Kami tidak tahu, apa yang akan kalian alami setelah kalian menghadap pemimpin kami."
Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Namun tiba-tiba salah seorang dari mereka tertawa sambil berkata, "Nampaknya persoalan diantara kita akan dapat diselesaikan dengan mudah sekali. Tetapi kalian keliru. Kamilah yang akan menangkap kalian. Kami ingin mendengar tentang kalian. Siapa sebenarnya kalian dan untuk apa kalian berada ditempat ini. Kalian tidak akan mengatakannya selama kalian masih merasa bebas seperti sekarang ini. Tetapi jika tangan dan kaki kalian telah terikat, maka kalian akan mengatakannya apa yang sebenarnya telah atau akan kalian lakukan."
"Gila," geram pemimpin kelompok orang-orang berkuda itu, "kau berdua akan menangkap kami " Betapapun tinggi ilmumu, maka kalian berdualah yang akan kami ikat dan kami seret dibelakang kuda kami sampai ke tempat tinggal kami."
"Kalian terlalu sombong dan kurang berhati-hati menghadapi keadaan. Tetapi kami masih ingin memperingatkan, sebaiknya kalian menyerah dan mengikut kami. Bukan kami yang harus mengikut kalian," berkata salah seorang dari kedua orang itu.
"Persetan," geram pemimpin kelompok orang-orang berkuda itu, "kita tidak ingin dipermainkan orang-orang gila ini. Tangkap mereka, jika mungkin hidup-hidup agar kita dapat bertanya tentang mereka, meskipun kita harus memerasnya sampai darahnya kering. Tetapi jika terpaksa bunuh saja mereka tidak akan berbicara tentang kita."
Demikianlah sekelompok orang-orang berkuda yang mengepung kedua orang itupun segera bersiap, sementara yang dua orang itupun segera bersiap, sementara yang dua orang itupun telah bersiap pula menghadapi segala kemungkinan.
Orang-orang berkuda yang mengepung kedua orang itu mulai bergerak. Kepungan itu semakin lama menjadi semakin rapat, sehingga kedua orang itu seakan-akan tidak mempunyai lagi ruang untuk bergerak.
Namun nampaknya kedua orang itu sama sekali tidak gentar menghadapi lawan yang jumlahnya jauh lebih banyak. Hampir ampat kali lipat, karena yang mengepung kedua orang itu berjumlah tujuh orang.
Dalam pada itu pemimpin dari orang-orang yang mengepung itu masih berkata, "Kalian masih mempunyai kesempatan beberapa saat. Jika kalian menyerah, maka kami akan memperlakukan kalian dengan baik, sehingga kalian akan dapat berhadapan dengan pemimpin kami."
"Terima kasih atas kebaikan hati kalian," salah seorang dari kedua orang yang terkepung itu menjawab, "tetapi aku kira itu tidak perlu, karena kamipun tidak mempertimbangkan untuk berlaku baik terhadap kalian."
"Gila," geram pemimpin kelompok itu, "ternyata kalian adalah orang-orang yang paling sombong yang pernah aku jumpai."
"Mungkin, tetapi sebaiknya kita tidak terlalu banyak bicara. Jika kalian ingin menangkap kami, lakukanlah. Juga sebaliknya," geram salah seorang dari kedua orang yang terkepung itu.
Beberapa orang yang sedang mengepung kedua orang itu tidak sabar lagi. Mereka tidak menunggu perintah pemimpinnya. Dua orang diantara mereka telah menggerakkan senjata mereka yang telanjang.
Tetapi kedua orang yang terkepung itu ternyata cukup tangkas. Mereka bergeser selangkah. Meskipun mereka tidak mempunyai banyak kesempatan untuk berloncatan, namun mereka berhasil menangkis serangan kedua orang yang mengepung.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saiah seorang dari kedua orang yang terkepung itu telah bersuit nyaring. Setiap orang yang mendengarnya segera mengetahui, bahwa suara itu adalah suatu isyarat bagi kawan-kawannya yang tentu menunggu mereka agak jauh dari tempat itu.
Pangeran Benawa menggamit Kiai Gringsing yang menarik nafas dalam-dalam. Bahkan dengan berbisik Pangeran Benawa berkata, "Aku sudah memperhitungkan, bahwa tentu ada orang lain kecuah dua orang yang nampaknya acuh tidak acuh itu."
"Ya Pangeran. Memang agak aneh jika hanya dua orang itu sajalah yang akan menghadapinya, kecuali jika yang dua orang itu adalah Pangeran Benawa dan Senapati Ing Ngalaga. Bahkan bukan hanya melawan tujuh atau delapan orang. Meskipun dua puluh orang sekaligus, mereka tidak akan berdaya," jawab Kiai Gringsing.
"Kiai memang senang bergurau," desis Pangeran Benawa. Namun kemudian, "Itulah, mereka datang."
Sebenarnyalah, ternyata telah datang kearena perkelahian itu tiga orang yang sudah menggenggam senjata ditangannya. Dengan garangnya mereka langsung menyerang orang-orang yang mengepung kedua orang kawannya dari luar lingkaran, sehingga dengan demikian maka kepungan itupun telah pecah.
Sejenak kemudian, maka pertempuranpun telah terjadi dengan sengitnya. Ternyata bahwa orang-orang yang datang kemudian itu jumlahnya tidak sebanyak orang-orang berkuda yang datang lebih dahulu. Meskipun demikian nampaknya mereka sama sekali tidak menjadi gentar. Bahkan sejenak kemudian ternyata bahwa mereka yang datang kemudian itu dalam jumlah yang lebih sedikit mampu mengimbangi lawannya yang jumlahnya lebih banyak.
Dalam pada itu, Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa yang menyaksikan perkelahian itu menjadi tegang. Keduanya sama sekali tidak dapat menebak, dari pihak mana sajakah kelompok-kelompok yang sedang bertempur itu.
Meskipun demikian, keduanya dapat memperhitungkan, bahwa kelompok yang pertama tentu mempunyai hubungan langsung dengan Ki Pringgajaya, sehingga mereka telah berusaha untuk menghilangkan jejaknya.
Dalam pada itu, pertempuran itu telah mengundang orang-orang yang bertugas menjaga kuburan itu. Semula mereka berusaha untuk tidak memperhatikan mereka dan tidak melibatkan diri sama sekali. Tetapi ketika pertempuran itu berlangsung semakin sengit, maka mereka mulai ragu-ragu.
"Apakah yang akan terjadi kemudian," bertanya salah seorang dari mereka.
"Entahlah, kita akan menunggu," desis yang lain. Untuk beberapa saat keempat orang itu berusaha untuk dapat menyaksikan pertempuran itu, meskipun sambil berlindung dibalik gerumbul. Namun Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa yang telah lebih dahulu mendekati arena dapat melihat keempat orang itu dengan jelas. Tetapi orang-orang itu tidak akan dapat melihat kedua orang yang telah bersembunyi lebih dahulu itu.
Sementara itu pertempuran itupun semakin lama menjadi semakin sengit. Ternyata orang-orang yang datang kemudian, yang jumlahnya lebih sedikit, telah memilih cara yang menguntungkan mereka. Mereka tidak bertempur terpisah. Mereka bertempur dalam satu kelompok, sehingga seakan-akan mereka tetap berada dalam satu kesatuan.
"Gila," geram lawannya yang jumlahnya lebih banyak.
Tetapi ternyata bahwa kelompok yang pertama tidak pernah berhasil untuk mengurangi lawannya agar mereka bertempur terpisah.
Dentang senjata beradu telah menghamburkan bunga api diudara. Dalam keremangan malam, maka pertempuran itu menjadi semakin seru. Ternyata bahwa mereka yang bertempur itu memiliki kemampuan yang cukup tinggi dan tenaga yang cukup besar, ternyata dari benturan-benturan yang terjadi. Sekali sekali nampak seseorang terdesak dari luar arena. Tetapi lawannya tidak segera dapat memburunya, karena yang lainpun segera terlibat.
Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa memperhatikan pertempuran itu dengan saksama. Sekali-sekali terdengar keduanya berdesis, bahkan terasa ketegangan yang semakin mencengkam. Ketika orang-orang yang bertempur itu menjadi semakin garang, maka debar jantung kedua orang itupun rasa-rasanya menjadi semakin cepat.
Namun dalam pada itu, ternyata bahwa kelompok yang datang kemudian, yang jumlahnya lebih sedikit, memiliki kemampuan yang lebih baik dari lawannya. Sekali-sekali nampak mereka berhasil mendesak lawannya yang meskipun jumlahnya lebih banyak.
Namun jumlah yang lebih banyak itu memang ikut juga menentukan. Mereka dapat berpencar lebih luas sehingga mereka dapat menyerang dari arah yang berbeda. Tetapi lawan mereka setiap kali selalu dapat menyesuaikan diri sehingga dari arah manapun juga mereka menyerang, serangan mereka dapat dilawannya.
Dengan demikian maka pertempuran itu semakin lama menjadi semakin dahsyat. Ternyata mereka telah mengerahkan segenap kemampuan yang ada pada mereka.
Semakin lama menjadi semakin nyata, bahwa justru orang yang jumlahnya lebih sedikit itu berhasil mendesak lawannya. Meskipun perlahan-lahan tetapi nampaknya mereka yakin akan dapat memenangkan pertempuran itu.
Ketika salah seorang dari orang-orang yang datang lebih dahulu itu mulai tergores senjata, maka pemimpin dari orang-orang yang datang kemudian itu berkata, "Menyerahlah. Kalian harus mengatakan, apa yang telah kalian lakukan disini."
"Persetan," desis pemimpin kelompok yang datang lebih dahulu, "yang kau lakukan bukan apa-apa bagi kami. Kalianlah yang harus menyerah."
Tidak ada jawaban lagi. Tetapi pertempuran itu menjadi semakin seru. Orang yang terluka itu justru mengamuk dengan penuh kemarahan.
Sejenak kemudian, ternyata darah telah menitik dari salah seorang kelompok yang datang kemudian. Tetapi luka itupun telah membuat mereka justru semakin garang dan bertempur semakin keras.
Orang yang kedua telah terluka pula dari kedua belah pihak, meskipun tidak mengurangi kegarangan mereka, justru sebaliknya. Namun dengan demikian pertempuran itu benar-benar telah menuntut taruhan yang lebih besar lagi.
Namun dalam pada itu, ketika kelompok yang datang lebih dahulu itu terdesak semakin gawat, maka pemimpin kelompoknya telah berteriak, "He, para penjaga kuburan. Apakah kalian tidak mehhat apa yang terjadi ?"
Tidak ada jawaban. Sementara pemimpin kelompok yang datang kemudian itu bertanya lantang, "Siapa yang kau panggil ?"
"Orang-orang ini berusaha untuk mengetahui apa yang telah kita lakukan. Karena itu, untuk kepentingan kita semuanya, orang-orang ini harus dimusnakan." sambung pemimpin kelompok yang datang lebih dahulu.
Untuk beberapa saat tidak ada jawaban. Tidak seorangpun nampak mendekati arena. Namun dalam pada itu agaknya keempat orang itu sedang berbicara diantara mereka.
"Apa artinya kata-kata orang itu ?" bertanya salah seorang dari mereka.
"Orang-orang itu akan berbahaya juga bagi kita," sahut pemimpinnya, "jika mereka menang, mungkin mereka benar-benar akan membongkar kuburan itu pula untuk melihat apakah mayat prajurit itu masih ada di dalam kuburnya. Bukankah dengan demikian, kita akan dapat dianggap bersalah."
"Apakah mereka berhak ?" bertanya yang lain.
"Berhak atau tidak berhak, pedang merekalah yang menentukan. Jika kita harus mempertahankannya, maka kita tentu tidak akan mampu."
"Lalu apakah sebaiknya yang dapat kita lakukan ?" bertanya yang lain pula.
"Kita akan memanfaatkan mereka yang ada dan yang memiliki kepentingan yang sama," berkata pemimpin penjaga kuburan itu.
"Bagaimana ?" bertanya seseorang.
"Kita melibatkan diri seperti yang mereka maksud," berkata pemimpin sekelompok penjaga kubur itu, "seperti yang dikatakan oleh orang-orang yang telah mengupah kita itu dengan hanya sekedar berdiam diri."
"Kita ikut bertempur ?" bertanya seorang penjaga yang bertubuh agak pendek.
"Ya. Orang-orang yang datang terdahulu itu sudah jelas bagi kita. Mereka tidak ingin berbuat buruk. Ternyata bahwa mereka menepati janji. Mereka benar-benar memberikan uang dan hanya memindahkan kubur itu. Sementara kita tidak tahu, apa yang akan dilakukan oleh mereka yang datang kemudian," sahut pemimpinnya.
"Baiklah," berkata seorang yang lain, "aku sependapat. Itu tentu akan lebih baik daripada kita berempat melawan para pendatang yang kemudian, yang nampaknya memiliki banyak kelebihan."
Kawan-kawannyapun mengangguk-angguk. Agaknya merekapun sependapat. Lebih baik mereka berpihak daripada mereka berempat saja harus menghadapi salah satu kelompok yang mereka anggap terlalu kuat itu.
Dalam pada itu, kelompok yang datang kemudian telah mendesak lawannya semakin berat. Dalam kelompok yang ketat dan tidak terpisahkan, mereka bertempur bagaikan segulung angin pusaran yang berputaran menghalau awan yang bertebaran.
Namun dalam pada itu, maka sejenak kemudian keempat orang yang bersembunyi itupun segera berloncatan dari tempat persembunyian mereka. Dengan garangnya mereka mengacu-acukan senjata mereka dan langsung melibatkan diri kedalam pertempuran.
"Bagus," teriak pemimpin sekelompok orang yang datang terdahulu, "kalian telah mengambil sikap yang tepat. Marilah, kita akan membantai orang-orang gila ini."
"Mereka akan mengganggu ketenangan kita dikemudian hari," desis pemimpin penjaga kuburan itu.
"Benar. Tetapi berhati-hatilah. Mereka memiliki ilmu yang aneh. Mereka dalam kelompok yang tidak terpisahkan. Karena itu, kita akan mengepung mereka dan menghancurkan mereka dalam putaran mereka."
Keempat orang itu tidak menjawab. Mereka langsung mengambil arah dan menyerang sekelompok orang yang bagaikan telah menyatu itu.
Ternyata keempat orang yang disebut gegedug itupun memiliki kemampuan bertempur yang tinggi. Meskipun mereka bergerak dengan kasar dan keras, namun kehadiran mereka segera terasa pengaruhnya. Mereka berempat menyerang lawannya dari arah yang berbeda dari arah yang diambil oleh orang-orang yang datang terdahulu dan yang telah memindahkan kubur orang yang disebut Pringgajaya itu.
Dengan demikian pertempuran itupun semakin lama menjadi semakin sengit, semakin kasar dan semakin keras. Senjata mereka berputaran dan berdentangan. Bunga api memercik diudara, sementara desah nafas menjadi semakin memburu.
Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa yang menyaksikan pertempuran itu menjadi berdebar-debar pula. Namun ketajaman penglihatan mereka, segera menangkap kemungkinan yang bakal terjadi pada pertempuran itu. Karena orang-orang berkuda yang datang terdahulu itu kemudian dibantu oleh para penjaga kubur, maka merekapun mulai merubah keseimbangan. Orang-orang yang jumlahnya jauh lebih banyak itu perlahan-lahan mulai mendesak lawannya.
Dalam pada itu, orang-orang yang datang kemudian itu benar-benar merasa heran bahwa masih ada empat orang lagi yang datang menyerang mereka. Betapa kemarahan membakar dada mereka, namun tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa mereka menjadi semakin terdesak.
"Siapakah kalian he " Kalian tentu bukan sekelompok dengan orang-orang ini," teriak pemimpin dari mereka yang datang kemudian.
"Apa pedulimu," jawab orang yang tubuhnya paling kekar diantara keempat orang itu, "siapapun kami, tetapi kami berkepentingan untuk menyingkirkan kalian."
Orang-orang yang datang kemudian itupun bertempur semakin sengit. Mereka mengerahkan tenaga dan kemampuan mereka. Tetapi jumlah lawan mereka yang berlipat itu benar benar tidak terlawan lagi.
Pemimpin dari orang-orang yang terdesak itu ternyata masih mampu berpikir. Ia tidak ingin membunuh diri bersama dengan orang-orangnya. Karena itu, maka selagi mereka masih memiliki kemampuan dan tenaga, meskipun sebagian dari mereka telah tergores oleh luka, maka adalah lebih baik jika mereka menghindari akibat yang lebih buruk lagi.
Karena itu, maka dalam kekalutan pertempuran didalam gelapnya malam, terdengar isyarat nyaring.
Semua orang yang terlibat dalam pertempuran itu, bahkan Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa mengetahui, bahwa orang-orang yang datang kemudian itu merasa tidak lagi mampu mengatasi tekanan lawannya, sehingga, mereka akan menyingkir dari arena pertempuran.
Namun yang terjadi kemudian ternyata demikian cepatnya. Orang-orang itupun segera berlarian kearah yang tidak menentu, sehingga untuk sesaat telah terjadi kekaburan arah. Baru sejenak kemudian maka orang-orang itupun seolah-olah telah terhisap kedalam gerumbul-gerumbul dan kegelapan.
Lawan mereka berusaha memburu. Untuk beberapa saat lamanya, kekalutan telah terjadi. Namun kemudian orang orang yang datang kemudian itu bagaikan lenyap terhisap kelamnya malam.
"Gila," geram pemimpin dari orang-orang yang datang terdahulu, "cari mereka."
Tetapi dalam pada itu, Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa menyaksikan cara orang-orang itu melarikan diri dengan heran. Terdengar Pangeran benawa berbisik, "Luar biasa. Demikian terlatihnya orang-orang itu, sehingga mereka mempunyai cara melarikan diri yang cermat. Tentu bukan sekedar karena terdorong oleh perasaan cemas dan ketakutan. Mereka tentu mendapat latihan dan petunjuk, bagaimana mereka meninggalkan arena pertempuran yang gawat."
"Ya Pangeran. Demikian cermat dan cepat, meskipun mereka harus menghambur lebih dahulu dalam kekalutan," sahut Kiai Gringsing.
Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Katanya, "Meskipun demikian masih sulit bagiku untuk mengerti, pihak mana sajakah yang telah terlibat didalam pertempuran itu. Apakah mereka yang memindahkan kuburan itu prajurit prajurit Pajang yang berada dibawah pengaruh seseorang pada pihak Ki Pringgajaya atau sekelompok orang-orang upahan atau sepasukan lasykar yang dibentak khusus diluar kesatuan keprajuritan, atau siapa. Apalagi mereka yang datang kemudian, yang memiliki kemampuan tempur dalam kelompok yang sangat rapi dan cermat. Lawan mereka sama sekali tidak berhasil memecah mereka untuk bertempur terpisah. Bahkan pada saat mereka mengundurkan diri, nampak betapa rapi dan cermat, sehingga lawan mereka yang seolah-olah telah mengepung mereka itu tidak mampu menahan mereka sama sekali dan apalagi mengejar mereka."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Keduanya masih melihat usaha yang sia-sia dari beberapa orang yang mencari lawan mereka digerumbul-gerumbul liar. Namun karena daerah disekitar kuburan itu memang liar, mereka sama sekali tidak berhasil menemukan seorangpun dari sekelompok orang orang yang mereka cari.
"Gila," pemimpin dari sekelompok orang-orang berkuda itu mengumpat-umpat, "kita tidak dapat menangkap seorangpun dari mereka."
"Mereka lari seperti menyusup kedalam bumi. Demikian cepatnya hilang," sahut seseorang.
"Apakah mereka manusia sebenarnya seperti kita," tiba-tiba saja yang lain bergumam.
"Pertanyaan gila," geram pemimpinnya, "kita sudah melukai beberapa orang dari mereka, seperti diantara kita ada juga yang telah terluka. Tentu mereka manusia yang terdiri dari tubuh wadag seperti kita."
"Tetapi mereka tiba-tiba saja seolah-olah menghilang," sahut orang yang meragukan lawannya itu.
"Itu adalah karena kebodohan kita," pemimpinnya yang marah berteriak.
Orangnya tidak ada yang menjawab lagi. Mereka menyadari, betapa kemarahan dan kegelisahan telah mencengkam jantung pemimpin mereka. Agaknya apa yang mereka lakukan telah dapat dilihat oleh pihak lain yang tidak diketahuinya.
"Tetapi agaknya mereka belum tahu, apa yang sudah kami lakukan," berkata pemimpin orang-orang berkuda itu kepada para penjaga kuburan.
"Ya, merekapun masih bertanya-tanya, apa yang kalian lakukan disini jawab penjaga kubur itu. Karena itu, mungkin sekali mereka akan kembali. Kalian akan menghadapi mereka dalam keadaan yang tidak seimbang," berkata pemimpin kelompok orang-orang berkuda itu.
"Ya. Mungkin mereka akan menangkap kami dan memaksa kami untuk berbicara. Seandainya tidak, apakah yang dapat kami lakukan seandainya merekapun mempunyai keinginan membongkar kuburan itu seperti yang sudah kalian lakukan."
"Gila," pemimpin orang-orang berkuda itu mengumpat. Tetapi untuk sesaat iapun tetap merenungi apa yang telah terjadi.
Dalam pada itu, kegelisahan telah mencengkam orang-orang yang kehilangan lawan mereka itu. Baik orang-orang berkuda yang datang membongkar dan memindah kuburan itu, maupun para penjaga kubur. Orang-orang yang tidak mereka kenal itu setiap saat dapat datang kembali dengan maksud yang belum mereka ketahui.
Namun akhirnya pemimpin dari orang-orang berkuda itu berkata, "Siapa yang memerintahkan kalian menjaga kubur itu ?"
"Ki Demang," jawab penjaga kubur itu.
"Atas permintaan kawan-kawan prajurit yang gugur itu ?" bertanya pemimpin orang-orang berkuda itu pula.
"Ya," jawab para penjaga kubur.
"Nah, jika demikian," berkata pemimpin orang-orang berkuda itu, "kalian harus menghadap Ki Demang. Katakan bahwa ada orang-orang yang berniat membongkar kubur itu. Tetapi kalian dapat menghalau mereka. Kalian kemudian dapat memberikan beberapa kemungkinan setelah kalian berhasil mengusir orang-orang itu. Bagaimana jika mereka pada suatu saat kembali dengan kekuatan yang tidak dapat kalian lawan."
Pemimpin dari para penjaga kubur itu termenung sejenak. Namun kemudian iapun berkata, "Bagus. Aku akan berkata seperti itu. Aku akan minta agar para peronda dapat membantu aku jika aku berada dalam kesulitan. Aku akan mohon agar Ki Demang memerintahkan kepada para pengawal untuk bersiap dan mengerti isyarat kami."
"Lakukanlah. Dengan demikian kalian tidak akan menjadi korban dari ketamakan orang-orang itu. Mereka tentu datang dengan maksud tertentu. Bukan seperti yang kami lakukan. Kami justru telah berani membayar untuk maksud itu. Sedangkan orang-orang yang datang ilu tentu mendapat upah untuk pekerjaan yang mereka lakukan," berkata pemimpin kelompok orang-orang berkuda itu. Kemudian, "Sekarang, kami minta diri. Berhati-hatilah. Kalian bukan saja menjaga keselamatan mayat yang kami pindahkan itu. Tetapi kalian juga menjaga keselamatan kalian sendiri. Jika rahasia itu diketahui oleh orang lain, maka kalianpun akan mengalami kesulitan."
Para penjaga kubur itu mengangguk-angguk. Merekapun menyadari kesulitan yang baru mereka alami jika rahasia itu diketahui oleh orang lain.
Sejenak kemudian, maka orang-orang berkuda itupun meninggalkan kuburan itu. Sejenak terdengar derap kaki kuda yang berlari kencang. Namun sejenak kemudian kuburan itu menjadi sepi. Seperti sepinya kebanyakan kuburan dimalam hari.
Namun kemudian terdengar salah seorang penjaga kubur itu berdesah, "Prajurit itu agaknya memang orang aneh. Sampai mayatnyapun telah menimbulkan persoalan. Hampir saja mayatnya telah menelan korban."
"Mungkin ini bukan satu-satunya peristiwa aneh yang terjadi. Kami telah mendapat tambahan uang malam ini. Tetapi besok mungkin kami harus bertempur. Bahkan mungkin akan jatuh korban diantara kita," berkata yang lain.
"Kita akan melaporkannya kepada Ki Demang meskipun tidak seluruh peristiwa. Tetapi kita akan mohon dengan sesungguhnya agar Ki Demang memberitahukan para peronda siap disetiap malam sampai genap ampat puluh hari ampat puluh malam sejak kematian prajurit itu."
"Itu adalah jalan yang paling baik," sahut yang lain.
"Malam ini kita harus berhati-hati. Mungkin orang-orang yang terusir itu akan kembali. Dan kita tentu tidak akan dapat berbuat apa-apa. Karena itu, kita tidak akan menjaga kubur itu diregol kuburan. Tetapi kita akan mengawasinya dari kejauhan. Dengan demikian kita tidak akan terjebak, meskipun ada satu kemungkinan, bahwa mereka benar-benar akan membongkar kubur. Namun kita dapat berusaha untuk menghubungi para peronda meskipun mereka belum mendapat perintah dari Ki Demang, berkata pemimpin mereka.
Para penjaga itu sependapat. Karena itu, mereka tidak lagi kembali ke gerbang kuburan. Tetapi mereka mencari tempat lain untuk mengawasi gerbang, meskipun mereka harus berada di sela-sela gerumbul perdu. Berapa sisa malam itu menjadi semakin dingin dan nyamuk yang rasa-rasanya selalu berdesing ditehnga, namun mereka bertahan ditempat mereka.
Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa menyaksikan semua peristiwa yang terjadi itu. Merekapun menyaksikan bagaimana orang-orang itu mengawasi gerbang kuburan dari sela-sela gerumbul perdu.
"Mereka benar-benar terpengaruh oleh peristiwa yang baru saja terjadi," berkata Pangeran Benawa.
"Mereka memang sangat berhati-hati," desis Kiai Gringsing.
Sejenak mereka berdua mengawasi orang-orang itu dari kejauhan. Namun kemudian Pangeran Benawa berkata, "Kita sudah melihat apa yang terjadi. Tetapi sekelompok orang-orang yang melarikan diri itu benar-benar sangat menarik perhatian. Mereka nampaknya benar-benar sekelompok orang yang terlatih dalam perang berkelompok."
"Ya Pangeran. Tetapi justru karena itu. pertanyaan tentang diri mereka menjadi semakin sulit untuk dijawab," sahut Kiai Gringsing.
Pangeran Benawapun mengangguk-angguk, kemudian sambil bergeser surut ia berkata, "Apakah kita akan bermalam disini ?"
Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, "Kita akan kembali. Tetapi apa yang kita lakukan tidaklah sia-sia. Yang dikubur itu pasti bukan orang yang bernama Ki Pringgajaya. Itu sudah merupakan hasil yang baik bagi perjalanan kita, meskipun barangkali untuk menemukan orang yang bernama Pringgajaya itu sangat sulit."
"Bagaimana dengan Gunung Kendeng " " tiba-tiba saja Pangeran Benawa berdesis.
"Maksud Pangeran, apakah Ki Pringgajaya bersembunyi di Gunung Kendeng ?"
"Hanya salah satu kemungkinan. Tetapi hubungan mereka, antara Ki Pringgajaya dan orang-orang Gunung Kendeng adalah hubungan jual beli, sehingga kemungkinan itupun agaknya sangat kecil, meskipun mungkin pula terjadi."
"Pangeran benar. Tetapi kita belum melihat kemungkinan lain," sahut Kiai Gringsing.
Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Gunung Kendeng hanyalah satu dari banyak tempat yang dapat dipergunakan oleh Ki Pringgajaya. Namun agaknya Gunung Kendeng adalah tempat yang cukup tersembunyi, karena Ki Pringgajayapun tentu menyadari, bahwa petugas sandi Pajang dapat berkeliaran dimanapun juga.
Tetapi tiba-tiba saja Kiai Gringsing berdesis, "Tetapi Pangeran, mungkin justru salah seorang dari mereka yang telah membongkar dan memindahkan kuburan itulah Ki Pringgajaya."
Pangeran Benawa mengerutkan keningnya. Sambil mengangguk-angguk kecil ia berkata, "Ya. Itu memang mungkin sekali. Tetapi kita terlambat menyadari kemungkinan itu, sehingga kita tidak berbuat sesuatu. Dalam keremangan malam dan pada jarak yang tidak terlalu dekat, memang sulit untuk dapat mengenal seseorang dengan pasti." Pangeran Benawa berhenti sejenak, lalu. "tetapi sebenarnya kita mempunyai tempat untuk bertanya tentang Ki Pringgajaya."
"Dimana ?" bertanya Kiai Gringsing.
"Pada Ki Tumenggung Prabadaru," desis Pangeran Benawa.
Kiai Gringsingpun kemudian mengangguk-angguk pula. Katanya, "Tetapi tentu sulit untuk bertanya secara langsung kepada Ki Tumenggung. Ia tentu sudah menyusun seribu macam alasan dan jawaban yang sulit untuk ditembus."
"Tentu ada cara lain," berkata Kiai Gringsing.
"Ya. Dengan cara lain. Setelah Ki Tumenggung kembali dari perjalanannya, maka satukali Ki Pringgajaya tentu akan datang kepadanya, apapun yang akan dibicarakannya," berkata Pangeran Benawa.
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian berdesis, "Satu pengamatan yang memerlukan waktu yang panjang."
"Ya. Dan sudah barang tentu, biarlah orang lain yang melakukannya. Tetapi kita memerlukan laporan setiap saat karena kita berkepentingan." berkata Pangeran Benawa.
Keduanya nampaknya mempunyai persamaan pendapat. Dengan demikian maka diperjalanan kembali ketempat mereka menitipkan kuda, mereka dapat banyak berbicara tentang rencana mereka mengawasi rumah Ki Prabadaru.
"Aku tidak berkeberatan jika Kiai Gringsing memberitahukan hal ini kepada Untara, tetapi sudah barang tentu. Kiai Gringsing tidak perlu menyebut namaku. Ia agaknya akan bersedia menempatkan pengamatan pada rumah Ki Tumenggung Prabadaru dengan petugas-petugas sandi khusus yang telah dibentuknya, yang hanya diketahui oleh sebagian kecil dari bawahannya," berkata Pangeran Benawa kemudian.
Dengan demikian, maka rencana perjalanan mereka terasa sudah cukup berhasil. Meskipun mereka tidak dapat menemukan Ki Pringgajaya, tetapi mereka sudah pasti, bahwa Ki Pringgajaya tidak gugur seperti yang dilaporkan oleh Ki Tumenggung Prabadaru. Sehingga dengan demikian maka merekapun dapat mengambil kesimpulan bahwa Ki Tumenggung Prabadarupun tentu terlibat dalam usaha menghilangkan jejak Ki Pringgajaya.
Kesimpulan lain yang dapat diambil dari peristiwa itu adalah, bahwa jaringan yang luas dan teratur sebaik-baiknya telah menjalar didalam lingkungan keprajuritan Pajang. Bahkan mungkin disegenap lapisan pemerintahan.
Meskipun tidak dikatakan, namun Kiai Gringsing seolah-olah dapat merasa apa yang dirasakan oleh Pangeran Benawa, yang sebenarnya adalah pewaris yang paling berhak atas Pajang. Betapapun juga, nampak pada sorot mata Pangeran yang masih muda itu, keburaman masa depan Pajang yang pada saatnya bangkit sebagai satu pusat pemerintahan yang dapat mempersatukan sebagian besar daerah Demak yang seolah-olah telah disayat oleh perpecahan diantara keluarga, meskipun dengan sangat disesalkan telah jatuh beberapa orang korban.
Namun Mas Karebet yang juga disebut Jaka Tingkir itu, telah berhasil menyusun pusat pemerintahan yang berwibawa.
Tetapi hanya pada satu tataran keturunan. Pajang telah susut kembah secepat saat ia bangkit.
Kadang-kadang Pangeran Benawa itu melihat kesalahan pada dirinya. Tetapi ia tidak berhasil mengusir kekecewaan yang mencengkam jantungnya. Jarak yang membatasi dirinya dengan ayahandanya terasa sangat sulit untuk dipersempit.
Dengan demikian, maka apa yang dilakukan oleh Pangeran Benawa, seolah-olah sama sekali tidak terencana. Ia melakukan apa yang ingin dilakukan. Ia bekerja bersama orang-orang yang disukainya tanpa arah dan tujuan yang tertentu. Sehingga dengan demikian, ia muncul pada kesempatan yang dikehendakinya dalam peristiwa-peristiwa yang menarik perhatiannya saja.
Salah satu peristiwa yang menarik baginya adalah kematian Ki Pringgajaya setelah ia mendengar peristiwa yang terjadi di Jati Anom atas Agung Sedayu dan seorang prajurit bernama Sabungsari.
Dalam pada itu, maka Kiai Gringsing dan Pangeran Benawapun kemudian telah berada dirumah tempat ia menitipkan kudanya. Seperti yang dikatakan oleh pemilik rumah itu, maka tempat yang tersedia bagi mereka adalah sebuah amben yang besar dengan tikar yang sudah kumal. Namun ternyata keduanya adalah orang yang terbiasa hidup disegala tempat dan keadaan. Sudah terbiasa tidur diantara batang-batang ilalang atau diatas hangatnya jerami kering diatas kandang.
Namun demikian, dihari berikutnya Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa ternyata masih belum meninggalkan rumah itu. Mereka ingin menempuh perjalanan setelah senja. Diperjalanan mereka tidak akan banyak menjumpai kemungkinan, bahwa seseorang akan mengenal mereka.
Hampir sehari penuh kedua orang itu tidak beranjak dari rumah tempat mereka menompang. Baru menjelang senja mereka berkemas dan menyiapkan kuda mereka.
"Aku tidak dapat memberi uang lebih banyak dari beberapa keping ini," berkata Pangeran Benawa.
Tetapi yang beberapa keping itu telah membuat pemilik rumah itu sangat gembira.
"Terima kasih Ki Sanak. Terima kasih," berkata orang itu.
Sementara itu, maka Kiai Gnngsing dan Pangeran Benawapun meninggalkan rumah itu tanpa menyadari, bahwa dua orang telah datang kepada pemilik rumah itu dan bertanya dengan garang, "Siapakah mereka ?"
Pemilik rumah itu terkejut. Demikian tiba-tiba orang itu datang sepeninggal dua orang yang menitipkan kudanya dan mengupahnya untuk menyediakan makan bagi kuda-kuda itu.
Tetapi pemilik rumah itupun segera mengenal kedua orang berwajah garang itu. Bahwa mereka adalah orang-orang yang ditakuti di Kademangannya.
"Siapa," desak salah seorang dari kedua orang itu.
"Aku tidak mengenal mereka," jawab pemilik rumah itu, "mereka datang untuk menitipkan kuda mereka dan mengupah aku untuk menyabit rumput. Tetapi keperluan mereka adalah nenepi di kubur prajurit linuwih yang telah gugur itu."
"Ya, justru karena itu, aku bertanya siapa mereka. Aku memang melihat keduanya datang kekubur," berkata salah seorang dari keduanya, "tetapi kami ingin mengenal mereka lebih banyak."
"Aku tidak tahu. Dan akupun tidak bertanya kepada mereka. Aku sudah merasa senang bahwa aku mendapat upah dari mereka," jawab pemilik rumah itu.
Kedua orang itu berpandangan sejenak. Namun yang seorang berkata, "Agaknya ia benar-benar tidak mengetahuinya. Yang paling baik untuk mendapat keterangan tentang mereka adalah menyusul mereka dan memaksa mereka untuk berbicara tentang diri mereka."
"Selagi mereka masih belum terlalu jauh," sahut yang lain.
Keduanyapun kemudian meninggalkan rumah itu. Ternyata diujung padukuhan ada beberapa orang lagi yang menunggu. Sehingga jumlah mereka menjadi enam orang.
"Kita susul mereka," desis orang yang bertubuh kekar. "Mereka menuju ke Barat."
Sejenak kemudian enam ekor kuda telah berderap berlari menyusur bulak panjang. Mereka berharap bahwa mereka masih akan dapat menyusul kedua orang yang meninggalkan padukuhan itu.
"Kitalah yang bodoh," berkata orang bertubuh kekar itu kepada kawannya yang berkuda disampingnya, "kenapa kita tidak mencurigai mereka ketika mereka berdua berjaga-jaga diregol. Ternyata mereka merupakan cucuk sekelompok orang yang datang kemudian. Untunglah bahwa pada saat itu ada sekelompok lain yang baru saja memindahkan kubur itu. Jika tidak, maka kitalah yang akan mengalami kesulitan."
"Apakah kedua orang itu mempunyai hubungan dengan kelompok yang datang kemudian ?" bertanya kawannya.
"Aku tidak tahu pasti. Tetapi menurut perhitunganku, agaknya kedua orang itu tentu orang-orang yang dikirim untuk mengawasi keadaan, memperhitungkan kekuatan kita yang menjaga kubur itu dan kemudian memberi tahukan kepada kawan-kawannya yang datang kemudian. Tetapi agaknya mereka salah memilih waktu, sehingga mereka bertemu dengan sekelompok yang justru memberi kita upah tambahan itu."
Kawannya mengangguk-angguk. Agaknya memang masuk akal. Jika kedua orang itu dapat mereka tangkap, maka mereka akan dapat menyelusuri siapakah yang telah memerintahkan mereka datang.
"Dengan demikian, kita akan dapat mempersiapkan diri sebaik-baiknya untuk sisa-sisa hari menjelang malam ke empat puluh. Setelah itu bebas dari segala tanggung jawab apapun yang terjadi. Kita tidak akan dituntut lagi karena upah yang telah kita terima," berkata orang bertubuh kekar itu.
Kawannya mengangguk-angguk. Sementara itu kuda mereka berpacu semakin cepat. Mereka tidak perlu terlalu banyak memperhitungkan jalan yang mereka lalui, karena jalan tidak banyak bercabang, dan cabang-cabang kecil yang ada adalah jalur-jalur menuju kepadukuhan sebelah menyebelah.
"Kita akan segera menyusulnya," berkata orang bertubuh kekar itu.
Dalam pada itu, Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa memang tidak mengira bahwa sekelompok orang-orang berkuda telah menyusul mereka. Karena itu. maka mereka berkuda tidak terlampau cepat. Mereka masih saja berbincang tentang berbagai hal yang terjadi.
Dengan demikian, maka jarak antara Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa serta sekelompok orang-orang berkuda itupun menjadi semakin pendek.
Dalam pada itu, langitpun telah menjadi gelap. Bintang telah berhamburan dilangit yang biru gelap. Seleret awan kelabu nampak disudut langit.
"Mudah-mudahan awan kelabu itu tidak tumbuh semakin banyak," berkata Pangeran Benawa, "aku tidak ingin menjadi basah kuyup oleh hujan yang mungkin turun."
"Angin bertiup dari Utara Pangeran. Agaknya awan itu justru akan tersapu keatas lautan. Jika hujan turun, biarlah hujan diatas genangan air laut," sahut Kiai Gringsing.
Pangeran Benawa menengadahkan wajahnya kelangit. Angin memang bertiup dari Utara. Terasa sentuhan pada wajahnya yang mulai basah oleh keringat.
"Udara terasa sejuk oleh angin Utara," berkata Pangeran Benawa, "Tetapi aku mulai berkeringat."
"Apakah kita berkuda terlalu cepat ?" bertanya Kiai Gringsing.
"Tidak Kiai," jawab Pangeran Benawa, "ada sesuatu yang mendesak dari dalam."
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia bertanya, "Apakah Pangeran mengetrapkan aji Sapta Pengrungu atau Sapta Pangrasa ?"
Pangeran itu tersenyum. Katanya, "Aku tidak banyak mengetahui tentang ilmu itu. Kiai, meskipun aku mempelajarinya juga."
"Tetapi Pangeran agaknya mengetahui sesuatu akan terjadi."
"Bukan karena aji Sapta Pangrungu. Dengarlah Kiai, bukankah ada derap kaki kuda dibelakang kita ?"
"Ya, aku mendengar Pangeran," jawab Kiai Gringsing, "tetapi aku tidak mengetahui, apakah yang Pangeran ketahui tentang derap kaki kuda itu."
"Aku juga tidak mengetahui apapun juga. Tetapi ada semacam dugaan, mungkin firasat atau seperti itu, yang membuat aku menjadi berdebar-debar," jawab Pangeran Benawa.
Tetapi Kiai Gringsing tertawa kecil. Katanya, "Pangeran mumpuni dalam berbagai macam ilmu."
"Itu bukan berarti bahwa tidak ada batas pengenalan kita terhadap keadaan disekitar kita Kiai," jawab Pangeran Benawa.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ia mengerti, bahwa Pangeran Benawa yang muda itu memiliki ilmu yang sukar dicari bandingnya. Tetapi Pangeran muda itupun menyadari, betapa keterbatasan seseorang meskipun ia memiliki seribu macam ilmu.
Namun seperti yang didengar olel Pangeran Benawa, Kiai Gringsingpun mendengar derap kaki kuda itu dengan hati yang berdebar-debar. Sebenarnyalah bahwa iapun merasa bahwa sesuatu agaknya akan terjadi.
"Kiai," berkata Pangeran Benawa kemudian, "aku kira lebih baik kita menunggu. Jika mereka memerlukan kita, biarlah kita segera mengetahinya. Jika mereka tidak memerlukan kita, biarlah mereka berjalan lebih dahulu."
Kiai Gringsing mengangguk sambil menjawab, "Aku sependapat Pangeran. Kita akan menepi."
Kedua orang itupun kemudian justru menunggu ditepi jalan. Mungkin orang-orang berkuda itu akan berpacu lewat didepan mereka, tetapi mungkin mereka akan berhenti dan bertanya tentang diri mereka berdua.
Semakin lama derap kaki-kaki kuda itu menjadi semakin jelas, sementara kuda-kuda itupun menjadi semakin dekat.
Dalam keremangan malam. Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa melihat sekelompok orang-orang berkuda berpacu beriringan. Namun agaknya merekapun segera melihat kedua orang yang justru menunggu iring-iringan itu.
Orang yang berkuda dipaling depan telah memberikan isyarat, agar iring-iringan itu memperlambat kuda mereka, sehingga akhirnya merekapun berhenti beberapa langkah dihadapan Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa.
"Itulah keduanya," desis salah seorang dari mereka yang berada didalam iring-iringan itu.
Pemimpin kelompok itupun kemudian maju mendekat sambil bertanya, "Ki Sanak, bukankah Ki Sanak berdua telah nenepi dikubur prajurit Pajang yang gugur itu?"
Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Pangeran Benawa itupun mengangguk sambil menjawab, "Benar Ki Sanak. Kami adalah orang-orang yang telah nenepi dikuburan yang agaknya telah kalian awasi untuk selama empat puluh malam itu. Bukankah Ki Sanak ada diregol kuburan itu ketika kami sedang nenepi?"
"Ya, kamilah penjaga kubur itu," jawab pemimpin kelompok itu.
"Apakah kalian mempunyai kepentingan dengan kami atau kalian sekedar akan lewat mendahului kami?" bertanya Pangeran Benawa.
"Kami sengaja menyusul kalian, Ki Sanak," jawab pemimpin kelompok itu.
Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Kemudian iapun bertanya, "Apakah kepentingan Ki Sanak dengan kami?"
"Ki Sanak," berkata pemimpin kelompok itu, "sebaiknya kalian menjawab dengan jujur. Siapakah sebenarnya kalian" Dan apakah hubungan kalian dengan orang-orang yang telah datang kekubur itu, dan mencoba untuk mengganggu kami selama kami menjalankan tugas kami."
"Bukankah kami tidak berbuat sesuatu?" bertanya Pangeran Benawa.
"Jangan memperbodoh kami," jawab pemimpin kelompok itu, "kehadiran kalian telah menumbuhkan keadaan yang gawat. Kalian datang untuk mengamati keadaan, sementara sekelompok orang lain telah datang pula setelah mereka mendengar keterangan dari kalian."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Seperti Pangeran Benawa iapun mengerti, bahwa orang-orang itu telah menuduh mereka mengamati keadaan menjelang kedatangan orang-orang yang telah bertempur melawan sekelompok orang berkuda yang datang lebih dahulu, yang kemudian dibantu oleh para penjaga kuburan itu.
"Jawablah," berkata pemimpin kelompok itu, "jika kalian mengaku, maka kalian tidak akan banyak mengalami kesulitan. Tetapi jika kalian mencoba untuk ingkar, maka terpaksa kami akan memaksa kalian untuk berbicara."
"Ki Sanak," Pangeran Benawa yang menjawab, "sebenarnyalah bahwa kami tidak mengetahui tentang orang-orang itu. Sudah kami katakan bahwa kami datang untuk nenepi. Aku ingin memasuki pendadaran untuk menjadi seorang prajurit."
"Jangan berbelit-belit. Kami memang orang-orang bodoh dan dungu. Tetapi bukan berarti bahwa kami sama sekali tidak dapat memperhitungkan keadaan. Pengalaman telah mengajar kami untuk menarik kesimpulan atas satu perbuatan. Dan yang kalian lakukan agaknya tidak terlalu rumit untuk dicari maknanya."
"Benar Ki Sanak," berkata Pangeran Benawa, "kami benar-benar tidak mengetahui persoalan itu."
"Kenapa kalian tidak nenepi lagi setelah orang-orang itu gagal melakukan maksudnya pada malam itu" " tiba-tiba pemimpin kelompok itu bertanya.
"Aku harus segera berada di Pajang," jawab Pangeran Benawa cepat, "aku besok harus ikut dalam pendadaran di alun-alun. Jika kau tidak percaya, datanglah ke alun-alun Pajang. Diantara mereka yang ikut dalam pendadaran itu adalah aku."
"Sekali lagi aku peringatkan, jangan memperbodoh kami. Betapapun kami masih mempunyai nalar yang utuh." jawab pemimpin sekelompok orang berkuda itu, "meskipun kami hanyalah penjaga kubur tetapi kami mempunyai pengalaman petualangan yang cukup. Karena itu, jangan mempersulit diri. Kami sebenarnya tidak ingin terlibat kedalam persoalan yang dapat mengganggu tugas kami selama empat puluh hari empat puluh malam, karena kami telah berjanji dan menerima upah untuk itu. Tetapi yang kami lakukan sekarang, adalah usaha kami untuk mencegah timbulnya persoalan yang dapat mempersulit keadaan kami. Kali ini kami ingin mendapat uang dengan cara yang baik, wajar dan tidak menimbulkan kerugian pada orang lain. Biasanya kami tidak berbuat demikian. Biasanya kami melakukan sesuatu yang dapat dianggap merugikan dan mengganggu orang lain. Aku harap kalian menyadari, dengan siapa kalian berhadapan. Jika kalian masih ingkar, kami akan bertindak sesuai dengan tabiat kami yang kasar. Apalagi kau belum diterima sebagai seorang prajurit."
Sri Maharaja Ke Delapan 2 Pendekar Slebor 09 Manusia Dari Pusat Bumi Pedang Darah Bunga Iblis 3
^