Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 9

06 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 9


Pangeran Bejiawa memandang Kiai Gringsing sekilas. Namun orang tua itu sama sekali tidak menunjukkan suatu sikap tertentu.
Karena itu, maka Pangeran Benawa terpaksa menjawab menurut sikapnya sendiri. Katanya, "Ki Sanak. Apapun yang timbul pada keinginan kami untuk mengatakan sesuatu, tetapi sebenarnyalah kami memang tidak tahu menahu tentang orang lain kecuali diri kami berdua. Kami tidak mempunyai sangkut paut dengan siapapun juga. Kami datang atas dorongan niat kami untuk mendapat restu aga. aku dapat diterima menjadi seorang prajurit."
"Kau membuat kami kehilangan kesabaran," berkata pemimpin kelompok orang-orang berkuda yang menyusul Pangeran Benawa itu, lalu. "sudah aku peringatkan, bahwa jika kami tidak mampu mengekang diri lagi, maka sifat dan watak kami yang sebenarnya akan segera kalian lihat. Kami akan berbuat kasar, dan bahkan mungkin kami akan bertindak lebih jauh. Bukankah kalian membawa bekal bagi perjalanan kalian " Setidak-tidaknya kami akan mendapat dua ekor kuda yang tegar."
"Jika kalian ingin berbuat demikian, kami akan melaporkannya kepada Ki Demang yang telah memerintahkan kalian menunggui kuburan itu," jawab Pangeran Benawa. Kemudian, "Atau kepada prajurit di Pajang. Kalian tentu akan ditangkap dan dihukum."
Orang itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tertawa, "Kau juga dungu. Jika aku sudah bertindak demikian terhadap orang yang telah mengenal kami sekelompok ini, maka kami tidak akan tanggung-tanggung melakukannya. Kami akan membuat kalian tidak akan dapat melaporkan kepada siapapun juga."
"Apakah kalian akan membunuh kami ?" bertanya Pangeran Benawa.
Orang itu tertawa. Beberapa orang dalam kelompok itu tertawa pula. Bahkan seseorang berkata, "Kenapa kita tidak berbuat demikian saja ?"
"Aku masih menunggu," jawab pemimpinnya, "jika ia berbaik hati dan mengatakan siapakah yang telah menyuruh mereka mengintai dan mengamati kami, maka mereka tidak akan kami ganggu. Selama ampat puluh hari ampat puluh malam, kami adalah orang baik-baik yang bekerja dengan baik. Tetapi jika mereka tidak mau mengatakan siapakah yang telah menyuruh mereka melakukannya, maka nasib mereka akan segera kita tentukan, dan kitapun justru akan mendapat tambahan penghasilan lagi."
"Jangan begitu Ki Sanak," minta Pangeran Benawa, "kami benar-benar tidak tahu apa-apa."
"Ya, kami tidak tahu apa-apa," ulang Kiai Gringsing, "kami benar-benar bermaksud baik. Seandainya kami bermaksud buruk, kami tentu sudah melarikan diri."
"Itulah kebodohan kalian. Kenapa kalian tidak melarikan diri bersama kawan-kawanmu " Waktu yang aku berikan sudah cukup. Katakanlah, siapa yang menyuruh kalian. Prajurit Pajang, orang-orang yang membenci prajurit yang gugur itu, atau justru orang-orang yang telah membunuhnya," pemimpin kelompok orang-orang berkuda itu mulai membentak.
"Bagaimana kami harus menjawab," Kiai Gringsinglah yang menjawab, "Apa yang kami ketahui tentang pertanyaan kalian " Cobalah mengerti, bahwa kami benar-benar datang untuk nenepi."
"Tutup mulutmu. Ingat, jika kami kehabisan kesabaran, kami akan segera kambuh lagi dengan watak kami yang sebenarnya," geram orang itu.
Kiai Griigsing menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan nada dalam ia bertanya kepada Pangeran Benawa, "Apa yang dapat kita lakukan " Kita harus mengatakan apa yang tidak kita ketahui."
Tentu kita tidak akan dapat melakukan apa yang benar-benar tidak dapat kita lakukan," jawab Pangeran Benawa, lalu katanya kepada pemimpin kelompok yang menyusulnya itu. "Ki Sanak. Bagaimanapun juga, aku minta maaf. Aku benar-benar tidak dapat mengatakan sesuatu tentang orang-orang yang kau maksud."
"Kita sudah lerlalu sabar," geram salah seorang dari orang-orang berkuda itu, "jangan terlalu berbaik hati kepada orang orang yang keras kepala. Mereka mengira bahwa kita hanya dapat berbicara dan menggertaknya."
"Aku sudah cukup memberi waktu kepada mereka," berkata pemimpinnya, "sekarang, aku sudah kehabisan kesabaran. Tangkap mereka, dan paksa mereka berbicara."
"Apakah maksudmu," dengan serta merta Pangeran Benawa memotong.
"Cukup jelas," bentak pemimpin kelompok itu, "kami akan menangkap kalian, mengikat kalian pada batang pohon dipinggir jalan itu, dan kemudian memukul kalian sehingga kalian berbicara. Atau bahkan kami dapat menggoreskan senjata kami pada kulit kalian untuk memaksa kalian berbicara."
"Itu tidak berperikemanusiaan. Dan bagaimana kami harus berbicara karena kami memang tidak mengetahuinya. Kalian hanya akan menyiksa kami tanpa mendapatkan sesuatu, karena kami memang tidak mengetahui."
"Cukup," bentak pemimpin kelompok itu, "kita akan melakukan apa yang kita ingini. Jalan ini adalah jalan yang sepi setelah gelap. Tidak akan ada orang yang akan menolong kalian meskipun kalian akan berteriak sekuat-kuatnya. Seandainya orang-orang dipadukuhan yang jauh itu sempat mendengar, mereka tidak akan berani berbuat sesuatu."
Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Agaknya orang-orang itu telah tidak lagi dapat diajak berbicara. Karena itu, maka mereka memilih jalan kekerasan. Mereka agaknya benar-benar ingin menyiksa Pangeran Benawa dan Kiai Gringsing untuk berbicara.
Karena itu, maka Pangeran Benawa dan Kiai Gringsingpun segera meloncat dari kuda mereka dan menambatkan kuda mereka pada sebatang pohon dipinggir jalan.
"Kalian akan melawan," pemimpin orang-orang berkuda itu hampir berteriak, "jangan membuat diri kalian semakin sengsara."
"Aku tidak melawan Ki Sanak," jawab Pangeran Benawa, "tetapi bukankah sudah wajar, jika kami berdua ingin melindungi diri kami dari segala tindakan kekerasan. Apapun yang terjadi atas diri kami, maka kami wajib untuk berbuat sesuatu. Apalagi aku telah bertekad untuk ikut dalam pendadaran sebagai seorang prajurit."
"Persetan," geram pemimpin orang-orang berkuda itu, "kau membuat dirimu semakin sulit." lalu katanya kepada orang-orangnya, "tangkap kedua orang itu."
Pangeran Benawa dan Kiai Gringsingpun kemudian bersiap menghadapi setiap kemungkinan yang bakal terjadi. Bagaimanapun juga, mereka harus memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang suht menghadapi keenam orang itu. Mereka adalah orang-orang yang sudah terbiasa melakukan petualangan. Menyaman orangdisepanjang jalan sepi dan merampok rumah-rumah yang nampak menyimpan harta kekayaan.
"Ki Sanak," berkata Pangeran Benawa kemudian, "aku terpaksa membela diri. Tetapi sebenarnyalah bahwa kami berdua tidak tahu menahu tentang orang-orang yang datang seperti yang kau maksudkan. Yang aku tahu adalah, bahwa aku ingin menjadi seorang prajurit."
"Tutup mulutmu," geram orang berjambang, "menyerah, atau kau berdua akan mengalami nasib yang paling buruk dari orang-orang yang pernah berhubungan dengan kami."
Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Apaboleh buat. Aku memang harus berbuat sesuatu buat keselamatan diriku."
Enam orang yang kemudian menambatkan kuda masing-masing itupun segera mengepung Pangeran Benawa dan Kiai Gringsing. Setapak demi setapak kepungan itu menjadi semakin rapat.
Pangeran Benawa dan Kiai Gringsing berdiri beradu punggung. Sejenak mereka mengawasi orang-orang yang mengepung mereka. Namun kemudian Pangeran Benawa berdesis, "Agaknya lebih senang berdiri diluar kepungan Kiai."
"Maksud Pangeran ?" bertanya Kiai Gringsing.
"Kita melihat, apa yang mereka lakukan. Kemudian kita berusaha untuk memecahkan kepungan ini. Diluar kepungan kita akan bebas berlari-larian," sahut Pangeran Benawa.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab lagi.
Sejenak kemudian kepungan itupun menjadi semakin rapat. Kemudian orang berjambang itu menggeram, "Jangan menyesal jika kalian akan mengalami nasib buruk."
Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa tidak menjawab. Namun mereka benar benar telah bersiap menghadapi setiap kemungkinan yang bakal terjadi atas mereka.
Sejenak kemudian, maka orang berjambang itu bergeser cepat. Terdengar ia berkata lantang, "Sekarang."
Terdengar pemimpin kelomok itu memberikan isyarat bunyi. Serentak keenam orang itu melangkah maju, menerkam kedua orang yang berada didalam kepungan itu.
Tetapi yang terjadi, benar-benar telah mengejutkan keenam orang itu. Mereka sama sekali tidak menyangka, bahwa kedua orang dalam kepungan itu, serentak telah berbuat sesuatu diluar pengamatan mereka. Yang mereka ketahui, tangan-tangan mereka merasa betapa kedua orang itu telah menangkis dan kemudian demikian cepatnya menyusup diantara mereka.
Mereka kemudian menyadari, bahwa kedua orang yang berada didalam kepungan itu, ternyata telah berdiri diluar, daerah yang berbeda.
"Gila," geram pemimpin sekelompok orang-orang berkuda itu, "kalian jangan mencoba menambah kemarahan kami. Sudah aku peringatkan, jika sifat dan watak kami kambuh, nasib kalian akan menjadi semakin buruk."
"Ki Sanak, kambuh atau tidak kambuh, tetapi kami tidak ingin kalian tangkap," jawab Pangeran Benawa.
"Persetan," geram orang berjambang, "kenapa kita masih terlalu sabar menghadapi orang ini."
"Agaknya terserah kepada kalian. Tetapi tangkap mereka hidup-hidup." perintah pemimpin mereka.
Keenam orang itupun kemudian berpencar. Tiga orang mengepung Pangeran Benawa yang lain dipimpin oleh orang berjambang itu mengepung Kiai Gringsing.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ternyata bahwa iapun terpaksa membela dirinya menghadapi orang-orang yang telah diperintahkan oleh Demangnya untuk menjaga kubur atas permintaan sekelompok prajurit Pajang yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Prabadaru. Tetapi orang-orang upahan ini bukannya pengawal-pengawal Kademangan. Mereka adalah orang-orang yang disegani di Kademangan mereka karena petualangan mereka. Ternyata menghadapi keadaan terakhir, mereka tidak lagi hanya berempat, tetapi mereka menjadi berenam.
Sejenak kemudian, orang-orang itupun telah mulai menyerang. Tiga orang berusaha menangkap Pangeran Benawa, tiga lainnya berusaha menangkap Kiai Gringsing.
Namun ternyata bahwa kedua orang itu benar-benar diluar dugaan. Mereka mengira bahwa mereka akan segera dapat menangkap keduanya dan memaksa keduanya berbicara. Tetapi ternyata perhitungan mereka kehru. Keduanya mampu bergerak cepat, menghindari tangan-tangan mereka yang terjulur.
"Sekarang menjadi semakin jelas," geram pemimpin sekelompok orang-orang berkuda itu, "kalian bukan orang kebanyakan. Kalian mampu menghindari tangkapan kami meskipun kami memang belum bersungguh-sungguh. Tetapi apa yang kalian lakukan menunjukkan kepada kami, bahwa kalian memiliki kemampuan untuk membela diri. Kalian memiliki ilmu yang dapat kalian banggakan, sehingga kalian berani menentang kehendak kami. Tetapi giambaran dibenak kalian itu keliru. Jika kalian mampu meloncat-loncat pada langkah-langkah pertama ini, bukan berarti bahwa kalian akan dapat melepaskan diri dari tangan-tangan kami. Semakin sulit kami menangkap kalian, maka nasib kalian akan menjadi semakin buruk. Namun kalian tidak akan mungkin lepas dari tangan kami."
Pangeran Benawa dan Kiai Gringsing tidak menjawab. Tetapi merekapun segera mempersiapkan diri. Kemarahan orang-orang itu agaknya menjadi semakin memuncak, sehingga yang akan mereka lakukanpun akan menjadi semakin garang.
Ternyata bahwa dugaan mereka benar. Orang-orang itu nampaknya benar-benar ingin melumpuhkan kedua orang yang menurut perasaan mereka, telah menghina dan membuat mereka marah.
"Asal aku tidak membunuhnya, maka mereka masih akan dapat diperas keterangannya. Tetapi mereka harus menyadari, bahwa mereka telah membuat kami marah," geram seorang yang bertubuh pendek didalam hatinya.
Orang-orang yang marah itupun kemudian bergerak semakin cepat. Mereka mulai mengarahkan segenap kemampuan yang ada pada mereka, agar mereka segera dapat menyelesaikan pekerjaan mereka.
Ternyata bahwa orang-orang yang sudah biasa melakukan petualangan itu memiliki kemampuan yang cukup. Bertiga, mereka memang harus diperhitungkan.
Namun yang tidak segera dapat dimengerti oleh orang-orang itu adalah, bahwa lawan mereka ternyata memiliki kemampuan untuk mengimbangi masing-masing tiga orang diantara mereka. Semula mereka mengira, bahwa setiap orang dari kedua orang itu, tidak akan mampu melawan jika mereka harus bertempur seorang melawan seorang. Jika mereka berpapasan tiga orang, maksud mereka agar mereka segera dapat menangkap kedua orang itu hidup-hidup.
Ternyata bahwa kedua orang itu adalah orang yang luar biasa. Dengan cepatnya keduanya selalu berhasil menghindari serangan-serangan ketiga orang lawannya.
Semakin lama, kemarahan orang-orang itu menjadi semakin memuncak. Mereka didalam petualangan, memang tidak terbiasa mengekang diri. Mereka terbiasa membiarkan kemarahan mereka membakar setiap tata gerak mereka, sehingga orang-orang yang menjadi sasaran akan segera mereka lumatkan.
Untuk beberapa saat, mereka masih berusaha untuk mengalahkan lawan mereka tanpa membunuhnya. Tetapi karena yang mereka lakukan nampaknya sia-sia saja, maka merekapun mulai kehilangan pengekangan diri. Seperti yang dikatakan oleh pemimpin mereka, bahwa sikap dan tata gerak merekapun menjadi semakin kasar, dan bahkan semakin liar. Mereka tidak lagi mengekang diri. Lambat laun mereka mulai terlupa, bahwa mereka memerlukan kedua orang itu sebagai bahan yang akan dapat banyak memberikan keterangan kepada mereka.
Dengan demikian, maka pertempuran itupun menjadi semakin lama semakin cepat. Ketiga orang disetiap arena itupun telah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Tetapi sama sekali tidak terbayang, bahwa mereka akan segera dapat mengalahkan lawannya.
Pemimpin kelompok itu semakin lama menjadi semakin kehilangan kesabaran. Dua orang yang disangkanya tidak akan dapat bertahan sepenginang itu, ternyata licin seperti belut.
"Pantas ia mempunyai niat untuk memasuki pendadaran untuk menjadi prajurit," berkata pemimpin kelompok itu didalam hatinya, "agaknya ia memang mempunyai bekal. Bahkan mungkin sekali ia akan berhasil seandainya malam ini nasibnya tidak terlalu buruk."
Namun betapapun juga, maka keenam orang itu sama sekali tidak berhasil menangkap lawannya. Karena itu, maka satu dua orang diantara mereka menjadi tidak sabar lagi, sehingga orang bertubuh pendek itulah yang pertama-tama menarik pedangnya sambil berteriak, "Aku ingin mematahkan lenganmu. Kau akan kami paksa berbicara meskipun kau tidak lagi berlengan."
"Tetapi jangan kau bunuh mereka," geram pemimpinnya.
"Kita memang bermaksud demikian. Tetapi jika mereka tetap berkeras kepala, maka lebih baik membunuh mereka daripada membiarkan mereka lari, karena akibatnya akan sama saja bagi kita. Kita tidak akan mendapat keterangan apa-apa," sahut orang bertubuh pendek itu.
Ternyata kemudian, bukan saja orang bertubuh pendek itu sajalah yang menarik senjata mereka. Agaknya kemarahan telah memuncak dan mereka tidak lagi dapat bersabar menghadapi Pangeran Benawa dan Kiai Gringsing yang selalu berhasil menghindari serangan-serangan lawannya.
"Kami sudah bersenjata," berkata orang berjambang, "karena itu jangan keras kepala. Kami masih mem.punyai sisa kesabaran jika kalian segera menyerah. Tetapi jika tidak, maka mungkin sekali senjata kami akan menggores tubuh kalian, sehingga kalian akan terluka. Bahkan mungkin lebih dari itu. Ujung senjata kami ternyata terlalu dalam menghunjam kedalamdada kalian sehingga kalian akan terbunuh dibulak ini. Dengan demikian maka anak muda itu tidak akan pernah mendapat kesempatan mengikuti pendadaran untuk menjadi seorang prajurit."
Pangeran Benawa melangkah surut. Dengan nada dalam ia menyahut, "Kalian memang orang-orang aneh. Sudah aku katakan, bahwa kami berdua tidak tahu menahu tentang orang-orang yang datang kekuburan itu. Tetapi kalian memaksa kami untuk menyerah dan berbicara. Seandainya kami mengerti, apa yang harus kami katakan, maka aku kira kalian tidak perlu memaksa kami. Kami akan mengatakan apa yang kami ketahui. Sama sekali tidak perlu dengan segala macam cara seperti yang kalian lakukan, karena sebenarnyalah kami bukan anak-anak yang dapat kalian takut-takuti. Aku sudah cukup dewasa sehingga aku sudah siap untuk turun kaerena pendadaran. Karena itu, maka sebaiknya kalian urungkan saja niat kalian. Sarungkan senjata kalian, dan biarkan kami berdua meninggalkan tempat ini."
"Persetan," geram orang berjambang, "kau licik. Kau berusaha mempengaruhi kami. Tetapi usaha yang licik itu sama sekali tidak berarti. Kami tetap pada sikap kami. Menangkap kalian dan memaksa kalian untuk berbicara. Kecuali jika kalian akan melakukannya dengan suka rela, maka kami akan berlaku baik terhadap kalian."
"Kami tidak mengetahui apa-apa. Seandainya kami akan mati sekalipun, kami tidak akan pernah dapat mengucapkan sepatah katapun seperti yang kalian maksud," jawab Pangeran Benawa.
Orang-orang itu menjadi semakin marah. Keenam orang itu sudah bersenjata. Mereka sudah siap untuk menyerang. Melukai tubuh kedua orang yang keras kepala itu. Jika perlu, dengan hukum picis, keduanya harus mengatakan siapakah mereka sebenarnya.
Kiai Gringsing menjadi ragu-ragu. Jiga ketiga orang itu memiliki ilmu pedang yang baik, maka ia akan mengalami kesulitan. Tetapi sudah barang tentu ia tidak akan dapat mengurai cambuknya dan melawan dengan senjatanya, karena dengan demikian, maka orang-orang itu akan dapat mengenalnya, sebagai orang bercambuk. Orang bercambuk pada umur setua dirinya saat itu, tidak ada dua atau tiga yang berkeliaran didaerah Pajang, kecuali seseorang yang menyebut dirinya Kiai Gringsing.
Karena itu, maka Kiai Gringsing itupun tidak segera dapat mengimbangi senjata-senjata mereka dengan senjata. Yang dilakukannya kemudian adalah berusaha untuk menghindarkan diri dari patukan senjata-senjata lawan.
Meskipun tidak berjanji, tetapi baik Pangeran Benawa, maupun Kiai Gringsing berusaha, agar lawan-lawan mereka tidak menjadi curiga, bahwa keduanya adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang jarang ada bandingnya. Jika Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa dengan serta merta mengalahkan lawan mereka dengan ilmu mereka yang untuk menilaipun agaknya terlalu sulit bagi lawannya, maka keenam orang itu tentu akan makin bertanya-tanya, siapakah sebenarnya keduanya.
Karena itu, bagaimanapun juga, maka mereka berusaha untuk menghindarkan diri dari senjata lawannya dengan cara yang wantah dan bahkan seolah-olah keduanya benar-benar terdesak.
Meskipun demikian, bahwa keenam orang itu tidak segera dapat menguasai awannya, benar-benar membuat mereka menjadi sangat marah.
Kiai Gringsing yang mula mula merasa ragu akan kemungkinan bahwa lawannya memiliki ilmu pedang yang baik, ternyata tidak perlu mencemaskannya lagi. Ternyata bahwa kemampuan lawan-lawannya memang sangat terbatas, meskipun mereka adalah petualang-petualang yang memiliki pengalaman yang luas.
Dalam pada itu, ternyata Pangeran Benawa dan Kiai Gringsing berhasil memaksa lawannya memeras tenaga mereka, sehingga keenam orang itupun kemudian semakin lama menjadi semakin kehilangan kemampuan untuk bergerak dengan cepat.
Akhirnya, keenam orang itu benar-benar tidak berdaya lagi menghadapi kedua lawannya. Jika mereka masih melangkah satu-satu, ternyata bahwa mereka tidak lagi dapat berbuat apapun juga.
Karena itulah, maka mereka tidak mampu lagi mencegah ketika Pangeran Benawa dan Kiai Gringsingpun kemudian meninggalkan mereka menuju kekuda mereka yang tertambat.
"Jangan lari," teriak pemimpin kelompok orang berkuda itu.
Tetapi ia tidak mampu melangkah secepat Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa. Ketika dengan tertatih-tatih orang itu maju satu dua tapak, maka Pangeran Benawa dan Kiai Gringsing sudah berada dipunggung kuda mereka.
"Sudahlah Ki Sanak," berkata Pangeran Benawa, "lebih baik aku menyingkir. Besok aku harus mengikuti pendadaran. Karena itu, sebaiknya kami berdua tidak terlalu lama melayani kalian. Lebih baik kalian segera kembali ketugas kalian, menjaga kubur itu. Bukankah kalian sudah menerima upah untuk itu."
"Licik, pengecut. Marilah, kita akan menentukan siapa yang menang diantara kita," geram orang berjambang yang berdiri bertelekan senjatanya.
"Jangan berpura-pura tidak melihat kenyataan," jawab Pangeran Benawa, "sudahlah. Pada suatu saat aku akan kembali setelah aku diterima menjadi prajurit Pajang. Pertempuran kecil ini agaknya justru menjadi latihan terakhir menjelang hari pendadaranku. Terima kasih atas kesediaan kalian menemani aku berlatih."
"Gila," geram orang bertubuh pendek, "pada suatu saat kami akan mencincangmu."
"Terlambat. Besok lusa aku sudah prajurit. Jika kau mencincang seorang prajurit, maka kau akan menjadi buruan," jawab Pangeran Benawa.
"Gila. Cegah mereka," teriak orang bertubuh pendek itu.
Tetapi tidak seorangpun yang dapat lari kekuda mereka dan mengejar kedua orang itu, ketika keduanya meninggalkan mereka. Keduanya sama sekali tidak tergesa-gesa. Tidak mencambuk kudanya agar berlari sekencang angin. Tetapi kuda-kuda itu berlari dengan kecepatan sedang, memasuki gelapnya malam.
Orang-orang yang kelelahan itu saling berpandangan. Betapapun mereka berteriak-teriak, tetapi ada keseganan untuk benar-benar mengejar keduanya, karena mereka memang tidak dapat mengingkari kenyataan.
Meskipun keenam orang itu didalam hati mengagumi lawan mereka yang bukan saja tidak dapat mereka kalahkan, tetapi keduanyasama sekali juga tidak berusaha menyakiti mereka berenam, namun mereka tidak mempunyai tanggapan yang berlebih-lebihan terhadap keduanya.
Bagi mereka, kedua orang itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi karena keduanya tidak dengan sengaja memamerkan puncak ilmu mereka, maka mereka menganggap bahwa anak muda itu benar benar dalam perjalanan untuk memasuki pendadaran. Mereka sama sekali tidak sampai ketingkat dugaan yang lebih tinggi lagi, betapapun mereka menyimpan keheranan didalam hati. Karena itulah, maka mereka tidak akan pernah sampai kepada dugaan, bahwa salah seorang dari keduanya adalah Pangeran Benawa yang memiliki kemampuan tanpa tanding sehingga sulit untuk membayangkannya.
"Orang-orang aneh," desis pemimpin kelompok itu.
"Mereka ternyata amat sombong," desis orang bertubuh pendek.
"Yang muda itu sedang mempersiapkan diri untuk menjadi seorang prajurit. Karena itulah agaknya mereka menghindari perbuatan yang dapat mengganggu usahanya itu."
Tiba-tiba saja salah seorang dari keenam orang itu berdesis, "Mudah-mudahan anak muda itu dapat diterima."
Kawan-kawannya berpaling kepadanya. Yang berjambang bertanya, "Kenapa ?"
"Mereka orang baik. Pada saat kami sudah kehabisan tenaga, mereka meninggalkan kami tanpa menyakiti tubuh kami," jawab orang itu.
"Tetapi sikapnya itu sangat menyakiti hati kami," jawab orang bertubuh pendek.
"Aku sama sekali tidak bersakit hati," jawab orang itu, "aku sudah lama kehilangan harga diri. Sejak kami berenam melawan keduanya, bukanlah kami tidak menghiraukan lagi harga diri kami."
Kawan-kawannya tidak menjawab. Mereka tidak dapat mengingkari kenyataan itu. Apalagi merekapun sadar, jika kedua orang itu mau. maka mereka akan dapat dijadikan batang-batang tubuh yang tidak bernyawa lagi.
Akhirnya pemimpin kelompok itu berkata, "Kita kembali ke kuburan. Kita tidak lagi berempat. Kita tetap berenam. Bagaimanapun juga kita tetap mencurigai kedua orang itu."
"Aku tidak," jawab orang yang menganggap kedua
"Orang itu orang-orang yang baik, jika benar-benar mereka berniat buruk, aku kira mereka tidak perlu sekedar mengamati, menilai dan kemudian memanggil kawan-kawannya. Keduanya sudah cukup mampu untuk melakukan tanpa orang lain."
Pemimpin kelompok itu tidak menyahut. Ia mengakui kebenaran jawaban itu, bahwa berdua mereka akan dapat berbuat sesuatu jika dikehendaki.
"Sudahlah," berkata pemimpin kelompok itu, "kita kembali kepada tugas kita. Jika kita terlalu lama disini, mungkin seseorang telah mempergunakan kesempatan ini."
Sekelompok penjaga kubur yang gagal menangkap kedua orang yang mereka curigai itupun segera berpacu kembali. Mereka langsung menuju kekuburan dan meneliti keadaannya.
"Tidak ada apa-apa," desis pemimpin kelompoknya.
"Keenam orang itupun kemudian duduk diregol kuburan. Mereka bergantian beristirahat. Tubuh mereka yang letih terasa sangat lemah. Sehingga karena itu, maka tiga orang diantara merekapun segera tertidur nyenyak, sementara tiga orang yang lain berjaga-jaga dengan penuh kewaspadaan. Yang terjadi pada saat-saat terakhir membuat mereka merasa perlu untuk lebih berhati-hati, sehingga mereka telah memanggil dua orang kawan lagi, sehingga mereka menjadi berenam.
Dalam pada itu. Kiai Gringsing dan Pangeran Benawapun telah menjadi semakin jauh. Sekali-sekali mereka masih menoleh. Tetapi mereka yakin bahwa tidak akan ada seorangpun yang akan mengejar mereka.
"Mudah-mudahan mereka tidak melihat sesuatu yang dapat menumbuhkan keheranan yang berlebih-lebihan," berkata Pangeran Benawa.
"Tetapi pertanyaan yang timbul pada mereka, timbul pula dihatiku Pangeran," desis Kiai Gringsing.
"Ya. Akupun bertanya-tanya pula," desis Pangeran Benawa, "terutama kelompok yang kedua, yang oleh para penjaga itu disangka bahwa kita termasuk diantara mereka."
"Apakah mungkin mereka prajurit yang mempunyai kecurigaan yang sama seperti kita dan angger Untara," desis Kiai Gringsing.
"Memang mungkin. Tetapi agaknya mereka tidak mendapat keterangan yang meyakinkan. Agaknya mereka tidak tahu, bahwa kelompok yang terdahulu telah memindahkan kubur orang yang disebut Ki Pringgajaya itu."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata, "Tetapi mereka tidak akan kembali. Tentu merekapun tidak ingin diketahui bahwa mereka telah mencurigai kematian Ki Pringgajaya. Jika ada petugas lain yang melakukan, tentu dengan cara yang lain pula."
Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Mereka berduapun berkuda terus didalam kelamnya malam. Untuk sesaat mereka saling berdiam diri. Namun kemudian Pangeran Benawa itu berkata Kiai, bagaimana sebaiknya dengan Untara menilik perkembangan pertimbangan kita yang terakhir. Apakah Untara sebaiknya mengetahui atau tidak ?"
"Pangeran, aku condong untuk melaporkan perjalanan ini kepada angger Untara, tetapi dengan satu permintaan," sahut Kiai Gringsing.
"Permintaan apa ?" bertanya Pangeran Benawa.
"Aku akan mohon agar angger Untara berpura-pura mempercayai bahwa Ki Pringgajaya benar sudah terbunuh," jawab Kiai Gringsing.
Pangeran Benawa tersenyum. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, "Bagus Kiai. Aku sependapat. Untara harus menunjukkan suatu sikap, bahwa ia percaya. Dengan demikian Ki Pringgajaya yang sebenarnya masih hidup itu akan merasa tidak mendapat perhatian lagi dari Untara, sehingga ia tidak akan terlalu rapat bersembunyi." Pangeran Benawa berhenti sejenak, lalu. "tetapi Agung Sedayu dan Sabungsaripun harus mengetahui bahwa Ki Pringggajaya masih hidup. Gembong Sangiranpun masih hidup. Bukankah begitu ?"
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnyalah bahwa orang-orang itu tentu mendendam semakin dalam terhadap Agung Sedayu dan Sabungsari.
Demikianlah keduanya menempuh perjalanan didalam gelapnya malam. Tetapi mereka memang bertekad untuk langsung memasuki Kota Raja.
Seperti saat-saat berangkat, maka disaat kembali kepadepokan kecil di Jati Anom, Kiai Gringsing-pung hanya seorang diri. Setelah Kiai Gringsing mengenakan kebiasaannya kembah tanpa kumis yang keputih-putihan, maka iapun memasuki padepokannya setelah beberapa hari menempuh perjalanan bersama Pangeran Benawa dalam ujud yang lain, sehingga pada saat memasuki istananya. Pangeran Benawapun harus berganti baju pula dengan bajunya yang ditaruhnya didalam kampil yang tergantung pada kudanya.
Tetapi para pengawal istana Pangeran Benawa tidak terkejut lagi melihat Pangeran itu datang dilewat tengah malam, atau didini hari, atau lewat senja, atau pada saat yang bagaimanapun juga.
Yang menjadi gembira adalah seisi padepokan kecil di Jati Anom ketika mereka melihat Kiai Gringsing memasuki regol padepokan. Beberapa orang telah menyongsongnya. Bahkan para prajurit yang ditempatkan dipadepokan itu oleh Untarapun telah menyambutnya pula. Demikian juga Ki Patrajaya dan Ki Wirayuda, dua orang lurah dari petugas sandi yang khusus ditempatkan dipadepokan itu oleh Untara.
Setelah mencuci kaki dan tangannya, dan setelah menjawab beberapa pertanyaan dan ucapan selamat datang, maka Kiai Gringsingpun langsung pergi mendapatkan Agung Sedayu dan kemudian Sabungsari. Ternyata keduanya sudah berangsur baik. Keduanya sudah tidak lagi berbaring dengan wajah yang putih seperti kapas. Agung Sedayu dan Sabungsari telah dapat duduk dibibir pembaringan. Bahkan mereka telah mencoba untuk berjalan-jalan keluar dari dalam bilik mereka dan duduk bersama para cantrik dan para prajurit. Tetapi mereka masih belum dapat berbuat sesuatu yang mempergunakan kekuatan meskipun kecil, karena dengan demikian, maka luka-luka mereka akan tertanggu.
Beberapa orang, terutama para prajurit telah menghujani Kiai Gringsing dengan berbagai pertanyaan. Tetapi sambil tersenyum Kiai Gringsing menjawab, "Aku akan beristirahat. Nanti setelah aku merasa segar kembali, aku akan berceritera tentang perjalanan yang sangat menarik."
Beberapa orang nampak kecewa. Tetapi mereka tidak dapat memaksa agar Kiai Gringsing menceriterakan perjalanannya. Karena itu, betapapun keinginan mereka mendengar, terutama yang bersangkutan dengan perkembangan terakhir di Kota Raja dan peristiwa-peristiwa lain yang menyangkut padepokan kecil itu.
Sebenarnyalah bahwa Kiai Gringsing masih ingin berbicara dengan Widura dan kemudian Untara. Baru kemudian beberapa persoalan akan dapat dikemukakan kepada orang-orang yang ingin mengetahui hasil perjalanannya.
Karena itu, maka orang-orang di padepokan kecil itu merasa kecewa karena mereka masih harus menunggu lagi. Setelah beristirahat sejenak, maka Kiai Gringsing dan Ki Widura telah pergi menghadap Ki Untara.
Demikian terbatasnya persoalan yang mereka bicarakan, maka tidak ada orang lain yang mendengar, kecuali Untara sendiri, apa yang telah diketahui dan dialami oleh Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa diperjalanan.
"Jadi Kiai melakukan perjalanan ini bersama Pangeran Benawa ?" bertanya Untara.
"Ya ngger. Mungkin satu kebetulan telah terjadi, tetapi mungkin pula karena kami berdua sama-sama ingin mengerti, bagaimanakah persoalan yang sebenarnya tentang Ki Pringgajaya itu," jawab Kiai Gringsing.
"Dan Kiai yakin bahwa yang dikubur dan disebut Ki Pringgajaya itu sama sekali bukan Ki Pringgajaya," Untara meyakinkan.
"Aku yakin dan pasti," jawab Kiai Gringsing, "tetapi seperti yang sudah aku katakan, aku mohon hal ini dapat dibatasi, sehingga Pringgajaya tidak terlalu rapat bersembunyi, karena ia mengira bahwa tidak ada orang lain yang mengetahui bahwa rahasianya telah didengar oleh angger Untara."
"Apakah sekelompok orang yang membongkar kuburan itu tidak membuat Ki Pringgajaya menyadari bahwa rahasianya telah terbuka ?" bertanya Untara.
"Kami mempunyai dugaan yang kuat, bahwa orang-orang itu adalah orang-orang Ki Pringgajaya sendiri," jawab Kiai Gringsing.
Untara mengangguk-angguk, sementara Widurapun bertanya, "Apakah Kiai tidak dapat menduga sama sekali, kelompok yang manakah yang datang kemudian, tetapi yang ternyata telah terusir."
Kiai Gringsing menggeleng. Jawabnya, "Aku sama sekali tidak dapat menduga. Bahkan Pangeran Benawapun tidak. Namun demikian Pangeran Benawa menyinggung satu kemungkinan, menilik cara mereka bertempur yang tertib dan dalam ikatan yang hampir sempurna, bahwa mereka adalah petugas-petugas sandi khusus dari Pajang. Meskipun demikian, Pangeran Benawa tidak berani menyebutnya demikian."
Ki Widura dan Untara mengangguk-angguk. Namun merekapun dapat membayangkan, apa yang sudah terjadi dan dapat menarik beberapa kesimpulan yang tidak bertentangan dengan pendapat Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa.
"Agaknya pendapat Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa itu benar. Kita harus berpura-pura bahwa rahasia kematian Ki Pringgajaya masih belum kita ketahui," berkata Untara, "karena itu, aku akan menyebarkan hal itu sebagai satu keyakinan, bahwa Ki Pringgajaya benar-benar sudah mati dan tidak perlu dipersoalkan lagi."
"Ya anakmas. Tetapi seperti pesan Pangeran Benawa, Agung Sedayu dan Sabungsari sendiri harus mengetahuinya, sehingga mereka akan tetap berhati-hati," berkata Kiai Gringsing.
Untara mengangguk-angguk. Hampir semua yang dikatakan oleh Kiai Gringsing tidak ada yang bertentangan dengan pendapat Untara sendiri. Karena itu, maka Untarapun kemudian berkata, "Kiai, aku dapat mengikuti semua jalan pikiran Kiai dan Pangeran Benawa dalam persoalan ini. Karena itu, masalah Agung Sedayu dan Sabungsari aku serahkan kepada Kiai."
"Ya ngger. Dengan demikian, maka kepada orang-orang lain, bahkan kepada para prajurit, aku akan mengatakan bahwa aku telah yakin, Ki Pringgajaya telah mati." Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu. "tetapi bagaimana dengan kedua petugas sandi yang angger letakkan di Padepokan kami."
"Tolong Kiai, perintahkan mereka menjumpai aku. Keduanya bagiku adalah orang-orang yang dapat dipercaya. Namun agaknya mereka tidak melakukan penyelidikan secermat Kiai dan Pangeran Benawa. Aku sendiri akan memberitahukan kepada mereka tentang hal ini."
"Baik ngger. Biarlah mereka menghadap angger, sementara aku akan berceritera tentang perjalananku kepada orang-orang yang ada dipadepokan, termasuk para prajurit."
Kiai Gringsingpun memberikan pokok-pokok persoalan yang akan diceriterakannya kepada orang-orang dipadepokannya, agar jika pada suatu saat seorang prajurit menghadap Untara dan berbicara tentang perjalanan Kiai Gringsing, maka Untara tidak akan terkejut lagi.
Demikianlah setelah segalanya sesuai, maka Kiai Gringsing dan Widurapun minta diri, kembali kepadepokan kecil yang masih selalu mendapat pengawasan dari beberapa orang prajurit Pajang di Jati Anom.
Dalam pada itu, ketika Kiai Gringsing kembali ke Jati Anom, maka ia tidak dapat mengelak lagi. Seribu pertanyaan beruntun datang seperti datangnya banjir, susul menyusul. Yang satu belum dijawab, maka yang lain telah mengajukan pertanyaan lain. Bahkan Glagah Putih telah mendesak orang-orang lain yang duduk melingkari Kiai Gringsing di pendapa, sehingga orang-orang lain itu terpaksa bergeser setapak.
Pada kesempatan itu Agung Sedayu dan Sabungsari juga hadir dipendapa meskipun mereka hanya duduk-duduk saja sambil tersenyum-senyum. Ada sepercik kekecewaan dihati mereka, bahwa ternyata Ki Pringgajaya benar-benar telah mati, justru dalam peristiwa yang tidak ada hubunganya sama sekali dengan kecurangan-kecurangan yang pernah dilakukannya di Jati Anom. Dengan demikian, maka jalur pengusutan terhadap orang-orang lain yang mungkin terlibatpun telah terputus pula karenanya.
Namun ternyata pada suatu saat yang lain, keduanya telah dipanggil menghadap oleh Kiai Gringsing dan Widura. Sekali lagi Glagah Putih merasa kecewa, bahwa ia masih saja dianggap anak anak yang tidak berhak mendengarkan persoalan-persoalan yang dianggap penting oleh orang-orang dewasa.
"Kapan aku dianggap dewasa oleh ayah dan kakang Agung Sedayu," Glagah Putih menggeram. Tetapi ia tidak dapat memaksa untuk memasuki bilik Agung Sedayu, meskipun ia selalu tidur di dalam bilik itu pula.
Oleh perasaan kesal, maka iapun kemudian memasuki bilik Sabungsari yang kosong dan mencoba untuk tidur dipembaringan anak muda itu.
Tetapi Glagah Putih terkejut, bahwa sebelum ia sempat menyingkirkan perasaan kesalnya, Sabungsari telah memasuki biliknya. Ketika ia melihat Glagah Putih berbaring dipembaringannya, katanya, "Silahkan Glagah Putih. Jika kau sempat tidur disitu, tidurlah. Aku masih ingin duduk sejenak dipendapa bersama kawan-kawan."
Glagah Putih yang kemudian bangkit dan duduk dibibir pembaringan bertanya, "Bukankah kau dipanggil Kiai Gringsing dan ayah dibilik Agung Sedayu ?"
"Ya. Kiai Gringsing hanya melihat luka-lukaku sebentar. Kemudian aku diperbolehkannya pergi," jawab Sabungsari.
"Dimana kakang Agung Sedayu sekarang ?" bertanya Glagah Putih.
"Didalam biliknya. Tetapi mungkin pula ia berada dipendapa," jawab Sabungsari.
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Tetapi sebenarnyalah bahwa Sabungsari hanya berada beberapa saat yang pendek saja didalam bilik Agung Sedayu.
Glagah Putih itupun kemudian justru dengan tergesa-gesa meninggalkan bilik Sabungsari untuk melihat bilik Agung Sedayu. Ia melihat bilik itupun terbuka, sementara Agung Sedayu tidak ada didalamnya.
Ketika Glagah Putih pergi kependapa, ia melihat Agung Sedayu duduk bersandar tiang sambil bercakap-cakap dengan Ki Widura. Tetapi Kiai Gringsing tidak dilihatnya bersama mereka.
Glagah Putih yang kemudian duduk bersama mereka tidak bertanya apapun juga kepada Agung Sedayu. Tetapi disorot matanya Agung Sedayu melihat pertanyaan itu bergelut dihatinya.
Namun demikian Agung Sedayu tidak dapat mengatakan sesuatu tentang pertemuannya yang pendek dengan Kiai Gringsing dan Sabungsari. Agaknya Kiai Gringsing telah berusaha menghindari kecurigaan seseorang, bahwa mereka telah melakukan pembicaraan rahasia, setelah Kiai Gringsing mengatakan bahwa Ki Pringgajaya benar-benar telah mati.
Karena itulah maka Kiai Gringsing hanya memerlukan waktu yang sangat singkat untuk menjelaskan kepada Agung Sedayu dan Sabungsari, bahwa sebenarnya Ki Pringgajaya masih hidup. Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa yakin akan hal itu. Karena itulah maka kedua anak-anak muda itu harus berhati-hati menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang masih akan datang. Selain Ki Pringgajaya, maka Gembong Sangiranpun masih hidup juga. Iapun tentu menyimpan dendam dihatinya. Kematian muridnya yang terpercaya dan bahwa ada pula yang telah tertangkap dipadepokan itu tentu tidak akan mudah dapat dilupakannya.
Dalam saat yang pendek itu Kiai Gringsing berpesan, "Selama kalian masih sangat lemah, biarlah aku mohon Ki Untara membiarkan beberapa orang prajuritnya ada disini. Ki Untarapun telah mendengar tentang Ki Pringgajaya seperti yang aku katakan kepada kalian. Tetapi Ki Untarapun akan mengatakan kepada setiap orang, kepada prajurit-prajuritnya, bahwa Ki Pringgajaya telah benar-benar dinyatakan mati, sesuai dengan pernyataan resmi dari lingkungan keprajuritan Pajang.
Namun berita yang kemudian tersebar di Jati Anom adalah berita seperti yang dikehendaki oleh Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa. Meskipun dalam setiap keterangannya, kecuali kepada Untara, Kiai Gringsing tidak menyebut-nyebut nama Pangeran Benawa.
Seperti yang diperhitungkan, maka berita kepastian kematian itu sampai pula ketelinga para pengikut Ki Pringgajaya. Sebagian besar dari merekapun menganggap bahwa Ki Pringgajaya memang sudah mati. Namun satu dua orang terpenting yang mendapat kepercayaan, mengetahui dengan pasti apa yang telah terjadi.
Ketika dua orang diantara mereka yang terpercaya dari lingkungan Ki Pringgajaya itu mendengar ceritera tentang perjalanan Kiai Gringsing tanpa menyebut nama Pangeran Benawa, maka kedua orang itu tertawa. Yang seorang berkata, "Ternyata orang tua bercambuk yang disebut mumpuni itupun tidak mampu mengungkap peristiwa yang terjadi itu."
"Iapun manusia terbatas seperti kita. Apakah kau kira orang tua itu memiliki penglihatan yang dapat menembus tirai baja ?" desis kawannya.
Yang lain mengangguk-angguk. Katanya, "Ki Pringgajaya harus mendapat laporan tentang kepastian pihak prajurit Pajang di Jati Anom, bahwa merekapun mengakui berita itu."
"Nampaknya mula-mula mereka memang curiga. Ternyata Untara telah mengirim orang yang paling mumpuni dilingkungan padepokan kecil itu," desis kawannya.
"Tetapi mungkin atas kehendak Kiai Gringsing itu sendiri. Ialah yang mempunyai kecurigaan yang kuat, sehingga ia memerlukan pergi menelusuri jalan yang disebut oleh Ki Tumenggung Prabadaru, dimana Ki Pringgajaya itu terbunuh."
Keduanyapun tertawa pula berkepanjangan. Yang seorang berkata pula, "Yang kemudian akan tetap terselubung adalah Ki Pringgajaya. Dengan nama lain ia dapat berbuat apa saja tanpa pengawasan, karena tidak ada orang yang menganggapnya masih hidup."
"Tetapi bagaimana jika seseorang tiba-tiba saja menjumpainya, "bertanya yang seorang.
"Ki Pringgajaya tentu akan mengenakan penyamaran yang rapat. Tetapi bahwa setiap orang telah menganggapnya mati, maka orang tidak akan mudah mengenalinya sebagai Ki Pringgajaya. Mungkin satu dua orang merasa bertemu dengan seseorang yang mirip dengan Ki Pringgajaya. Tetapi itu bukan berarti bahwa Ki Pringgajaya harus melepaskan kewaspadaan," jawab yang lain.
Dalam pada itu, setiap orang pengikut Ki Pringgajayapun berpendapat demikian. Tetapi mereka sepakat bahwa Ki Pringgajaya untuk sementara masih harus bersembunyi, sampai saatnya orang lupa kepadanya, dan sama sekali tidak akan dapat mengenalnya lagi. jika ia memakai samaran sekedarnya saja.
Tetapi Ki Tumenggung Prabadaru sendiri bertindak cukup hati-hati. Ia merupakan kecurigaan yang kuat dari Untara. Dan laporanpun telah sampai ketelinganya. beberapa peristiwa yang terjadi di kuburan orang yang disebutnya Ki Pringgajaya itu.
Tetapi keterangan terakhir mengatakan kepadanya, bahwa baik Untara maupun pihak-pihak lain yang menerima berita kematian Ki Pringgajaya dengan curiga, telah menjadi yakin, bahwa kematian Ki Pringgajaya itu adalah satu kenyataan.
Karena itulah, maka ditempat yang terpencil, Ki Tumenggung Prabadaru yang datang dengan diam-diam telah menemui Ki Pringgajaya sendiri.
"Kita berhasil," berkata Ki Tumenggung Prabadaru.
Ki Pringgajaya tersenyum. Kemudian katanya, "Tugas kedaerah Wetan itu ternyata telah memberikan jalan keluar yang sangat baik bagiku. Tanpa perjalanan itu, aku tentu tidak akan dapat menghindarkan diri dari tangan Untara. Ia adalah seorang Senapati yang tidak dapat diajak berbicara dan mengambil langkah-langkah kebijaksanaan."
"Justru itu ia adalah seorang Senapati yang bijaksana," sahut Ki Tumenggung Prabadaru, "tetapi semuanya sudah lewat. Waktu akan menelan kecurigaan itu, sehingga akhirnya akan tidak pernah disinggung lagi."
Ki Pringgajaya mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Tetapi masih ada persoalan yang belum selesai."
Ki Tumenggung mengerutkan keningnya. Katanya, "Kau aneh. Kita baru dalam tingkat permulaan. Dipermulaan kerja besar ini kita sudah mengalami seribu kali kegagalan. Tetapi itu bukan apa apa dibanding dengan nilai yang ingin kita capai. Mungkin kita masih akan mengalami kegagalan-kegagalan lagi. Tetapi disamping kegagalan-kegagalan itu kita melihat kemajuan usaha kita pada lingkungan istana itu sendiri. Keterangan dan desakan yang tidak henti-hentinya, dan barangkali juga karena Sultan yang sakit sakitan itu sudah tidak dapat berpikir bening lagi. maka nampaknya benturan antara Pajang dan Mataram tidak akan dihindarkan lagi."
"Tetapi kapan hal itu akan terjadi ?" bertanya Ki Pringgajaya, "Mataram nampaknya sudah menjadi semakin kuat. Bukankah benturan yang dimaksudkan adalah satu usaha untuk menghancurkan kedua-duanya. Jika Mataram semakin lama menjadi semakin kuat sementara Pajang menjadi semakin ringkih, maka benturan itu tidak akan banyak berarti. Mataram akan dengan mudah mengalahkan Pajang, tanpa banyak memberikan korban dari prajurit-prajuritnya yang terbaik, sehingga setelah perang itu selesai. Mataram masih tetap kokoh dan tidak mudah untuk dikalahkan."
"Kakang Panji akan mengatur semuanya," jawab Ki Tumenggung Prabadaru, "tetapi kita memang wajib membuat perhitungan-perhitungan. Kita wajib menyampaikan pertimbangan-pertimbangan."
"Tidak mudah untuk bertemu dengan kakang Panji. Lewat kepercayaannya, kadang-kadang pendapat kita kurang mendapat perhatian," desis Ki Pringgajaya.
"Kau terlalu mempersulit diri. Lakukanlah tugasmu. Pada saatnya kau akan bangkit dengan nama dan kedudukan yang lain. Kau harus merambah jalan menuju ke Mataram. Kau harus membersihkan rintangan-rintangan yang mungkin akan terdapat di jalur jalan ke Mataram itu. Pertempuran antara prajurit Pajang dan Mataram harus merupakan pertempuran yang paling garang dan ganas dari segala pertempuran yang pernah kita saksikan, sepanjang kita menjadi prajurit. Korban harus jatuh sebanyak-banyaknya," berkata Ki Tumenggung Prabadaru.
Ki Pringgajaya mengangguk-angguk. Sementara Ki Tumenggung Prabadaru itu berkata, "Prajurit Pajang harus berbenturan dengan prajurit Mataram langsung. Itulah sebabnya maka kekuatan kekuatan yang ada di Kademangan-kademangan dan padepokan-padepokan harus disingkirkan lebih dahulu."
Ki Pringgajaya tersenyum kecut. Katanya, "Itulah yang tidak mudah. Melakukannya jauh lebih sulit dari merencanakannya. Gembong Sangiran telah gagal. Ia telah kehilangan banyak pengikutnya. Meskipun dengan demikian kita akan dapat memanfaatkan dendamnya. Namun untuk waktu yang dekat, aku tidak akan dapat menemuinya. Kepada Gembong Sangiran, aku masih belum dapat mempercayainya sepenuhnya ia menjajakan kemampuannya. Dalam jual beli, maka akan berlaku pula kebiasaan menuntut harga setinggi-tingginya. Siapapun yang akan membelinya."
*** Buku 134 TETAPI Ki Tumenggung Prabadaru menggeleng sambil berkata, "Kali ini tidak. Dendam Gembong Sangiran tidak akan dapat dibeli. Tetapi jika kita dapat memanfaatkannya, dengan dorongan janji beberapa keping emas, aku kira ia akan lebih garang lagi terhadap padepokan kecil itu. Tetapi tentu tidak sekarang, meskipun Agung Sedayu dan Sabungsari masih belum sembuh. Tetapi dipadepokan kecil itu terdapat banyak prajurit Untara yang berjaga-jaga, karena mereka mendapat alasan yang tepat dengan hadirnya Gembong Sangiran yang gagal itu."
Ki Pringgajaya hanya mengangguk-angguk. Tetapi nampak diwajahnya bahwa ia masih belum dapat meyakini pendapat Ki Tumenggung Prabadaru itu.
Dalam pada itu, maka baik Ki Pringgajaya sendiri, maupun Ki Tumenggung Prabadaru berpendapat, untuk sementara Ki Pringgajaya masih harus memencilkan diri. Mereka masih menunggu, sehingga tidak lagi ada orang yang meragukan kematiannya.
Dalam pada itu, Ki Tumenggung yang sudah berada kembali di Pajang itu sama sekali tidak menyadari, bahwa Pangeran Benawa sendiri ternyata menaruh banyak perhatian terhadapnya. Meskipun Pangeran Benawa belum pernah berhasil mengikuti kepergian Ki Tumenggung sehingga ia tidak mengetahui, hubungan apa saja yang pernah dilakukan orang-orang lain, namun Pangeran Benawa dalam penyamarannya pernah melihat Ki Tumenggung itu meninggalkan gerbang kota sampai dua kali. Yang menarik perhatian adalah, bahwa Ki Tumenggung Prabadaru itu pergi tanpa seorang pengawalpun, justru menjelang gelap.
Pangeran Benawapun menyadari, bahwa Tumenggung Prabadaru bukan orang kebanyakan, sehingga untuk mengikutinya, diperlukan perhitungan yang lebih cermat. Apalagi dalam perjalanan berkuda, agaknya tidak mudah untuk melakukannya.
Namun demikian. Pangeran Benawa mempunyai perhitungan bahwa kepergian Ki Tumenggung Prabadaru itu ada hubungannya dengan tempat persembunyian Ki Pringgajaya.
Meskipun demikian, Pangeran Benawa tidak dapat bertindak dengan tergesa-gesa. Pada saat-saat tertentu ia masih ingin bertemu dengan Kiai Gringsing yang pernah diajaknya menempuh perjalanan yang khusus untuk menekuni sebuah kuburan.
"Aku harus menemuinya," berkata Pangeran Benawa didalam hatinya.
Tetapi Pangeran Benawa memang sangat berhati-hati. Perkembangan terakhir memang membuatnya berprihatin atas Pajang. Namun jika penyakitnya kambuh, maka ia menjadi acuh tidak acuh lagi terhadap keadaan di Pajang. Agaknya sikap ayahnya sebagai pribadi benar-benar telah mengecewakannya.
Tetapi Pangeran Benawa mempunyai sikap tersendiri untuk menyatakan kekecewaannya, sehingga karena itu, maka kadang-kadang orang menjadi sangat sulit untuk mengerti sikapnya.
Sementara itu, dipadepokan kecil di Kademangan Jati Anom, Kiai Gringsing dengan tekun mengobati Agung Sedayu dan Sabungsari yang masih belum sembuh sama sekali. Meskipun demikian keadaannya setiap hari menjadi berangsur baik. Luka-luka mereka tidak terasa lagi. Namun tenaga mereka masih belum pulih kembali.
Sementara itu padepokan Gunung Kendeng masih saja dibakar oleh dendam yang membara. Kematian orang-orangnya yang terbaik membuat Gembong Sangiran marah. Tetapi ia tidak dapat menolak kenyataan, bahwa padepokannya bagaikan telah menjadi lumpuh.
Dengan cermat ia mempelajari kekalahannya. Kekalahan yang pernah dialami oleh orang-orang lain, termasuk Carang Waja, keluarga dari Pesisir Endut.
"Jika aku berbuat sekali lagi, maka aku tidak boleh terperosok kedalam kegagalan yang sangat memalukan dan memunahkan isi perguruanku," berkata Gembong Sangiran didalam hatinya.
Karena pertimbangan-pertimbangan tertentu, serta kekhawatirannya bahwa prajurit Pajang akan datang kepadepokannya untuk menumpas apa yang tersisa, maka Gembong Sangiran telah menggeser padepokannya. Tidak terlalu jauh, tetapi jarak yang pendek itu, memungkinkannya untuk mengambil sikap tertentu jika benar-benar ada tindakan dari prajurit Pajang karena ia telah melakukan serangan atas padepokan kecil di Jati Anom itu, meskipun ia gagal.
Tetapi Untara tidak mengambil tindakan demikian karena pertimbangan-pertimbangan tersendiri. Juga karena berita kematian Ki Pringgajaya serta atas dasar perhitungan-perhitungan lain. Untara ingin membiarkan padepokan Gunung Kendeng yang telah diketahui letak dan kegiatannya dari orang-orang yang berhasil ditangkap. Namun Untara masih berharap, bahwa padepokan itu akan menyerap beberapa orang yang penting dari dunia hitam dan mungkin akan dapat dipergunakan untuk mengamati kegiatan Ki Pringgajaya.
Untara tidak menyadari, bahwa Ki Pringgajaya sendiri menaruh kecurigaan pula terhadap padepokan Gunung Kendeng, sehingga untuk sementara Ki Pringgajaya yang telah diberitakan mati itu, tidak membuat hubungan dengan padepokan Gunung Kendeng itu.
Karena itu, maka petugas sandi yang dikirim oleh Untara khusus untuk mengamati padepokan Gunung Kendeng itu sama sekali tidak melihat hubungan itu, meskipun para petugas sandi itu berhasil mengetahui bahwa padepokan Gembong Sangiran telah bergeser.
"Mereka telah membuka padepokan baru," berkata petugas sandi itu, "tidak terlalu jauh. Tetapi agaknya Gembong Sangiran cukup berhati-hati menghadapi perkembangan keadaan."
Untara mendengarkan setiap laporan dengan saksama. Tetapi ia masih tetap menugaskan petugas sandinya untuk mengamati padepokan itu.
"Biarlah padepokan itu tetap dalam keadaannya. Jangan diganggu. Justru kau harus mengawasi, apakah Ki Pringgajaya pernah datang ke padepokan itu," pesan Untara, lalu. "tetapi ingat. Jika rahasia ini sampai merembes ketelinga orang lain, maka taruhannya adalah nyawamu."
Petugas sandi itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi mereka sudah menyadari, bahwa tugasnya memang memerlukan kesungguhan sikap dan pertanggungan jawab.
Tetapi yang dilihat oleh para petugas sandi itu adalah kegiatan Gembong Sangiran yang semakin meningkat tanpa hubungan sama sekali dengan petugas-petugas dari Pajang, atau orang-orang lain yang datang dari lingkungan keprajuritan. Pada saat-saat tertentu yang nampak oleh para petugas sandi itu adalah orang-orang yang memiliki nafas kehidupan seperti orang-orang Gunung Kendeng itu sendiri, yang menurut dugaan para petugas sandi itu, bahwa mereka telah mempersiapkan padepokan itu untuk menjadi padepokan yang besar seperti masa yang lewat, sebelum padepokan itu kehilangan beberapa orang terbaiknya.
Tetapi mengawasi padepokan Gunung Kendeng bukanlah tugas yang mudah. Karena itu, maka petugas sandi dari Jati Anom itu tidak dapat melihat keadaan padepokan itu setiap saat. Berganti-ganti para petugas mengamati keadaan padepokan itu dari jarak yang cukup jauh, sementara yang lain berada didalam hutan.
Namun setelah beberapa hari hal itu mereka lakukan, sehingga mereka menjadi letih dan jemu, dengan kesimpulan bahwa Ki Pringgajaya tidak nampak datang kepadepokan itu, maka Untarapun mengambil sikap lain. Ia tidak dapat memaksa petugas sandinya untuk tinggal didalam hutan untuk waktu yang tidak terbatas. Karena itu, maka Untara mengambil cara lain untuk mengamati padepokan itu. Pada saat-saat tertentu sajalah petugas sandinya datang kepadepokan itu dan mengamatinya dari kejauhan.
Dalam pada itu, selagi perhatian Untara sebagian besar ditujukan kepada Ki Pringgajaya, maka suasana Pajang menjadi semakin buram. Beberapa orang berhasil meniupkan kecurigaan yang meningkat terhadap Mataram. Meskipun beberapa kali Pajang mengirimkan beberapa orang ke Mataram, untuk meyakinkan, bahwa tidak ada persiapan perang di Mataram, namun sikap Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga yang keras itu, dapat dipergunakan untuk memperkuat setiap kecurigaan Pajang terhadap Mataram.
Bahwa Senapati Ing Ngalaga tetap tidak mau datang menghadap ke Pajang, meskipun dengan alasan sentuhan atas harga dirinya, namun adalah satu kenyataan bahwa Mataram telah menggali jarak yang oleh pihak tertentu justru telah dengan sengaja memberikan gambaran bahwa jarak itu adalah jarak yang tidak dapat diseberangi.
"Senapati Ing Ngalaga tidak mau datang menghadap," kenyataan itulah yang selalu disebut-sebut oleh beberapa orang dengan sengaja.
Suasana itu membuat Sultan Pajang menjadi semakin berprihatin. Sikap Sutawijaya memang sulit untuk dimengerti oleh ayahanda angkatnya. Sementara itu sikap Pangeran Benawapun membuat Sultan Pajang menjadi semakin cemas.
Dalam suasana yang demikian itulah Agung Sedayu dan Sabungsari berangsur menjadi pulih kembali kesehatannya. Mereka mulai membiasakan diri dengan gerak yang ringan. Setiap pagi mereka mulai jalan-jalan mengelilingi halaman dan kebun padepokan kecil itu. Namun semakin lama, mereka mulai dengan gerak yang semakin berat.
Sementara itu, betapapun juga terasa oleh Sekar Mirah kegelisahan yang semakin meningkat. Ia tidak segera mendengar berita tentang keadaan Agung Sedayu. Apakah keadaannya sudah menjadi berangsur baik atau tidak.
Akhirnya Sekar Mirah tidak dapat menahan hati lagi. Ketika desakan itu menjadi semakin kuat, maka ia mulai mengeluh kepada kakak iparnya.
"Aku ingin menengoknya," berkata Sekar Mirah.
Pandan Wangi dapat mengerti perasaan gadis itu. Karena itu, maka iapun berkata, "Aku akan menyampaikannya kepada kakang Swandaru."
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Hati-hatilah. Kadang-kadang kakang Swandaru bersikap lain. Jika kau dapat menjelaskan perasaanku, agaknya ia tidak akan berkeberatan."
Pandan Wangi tersenyum. Katanya, "Aku akan mencobanya."
Demikianlah pada saat yang dianggap tepat oleh Pandan Wangi, maka iapun menyampaikan maksud Sekar Mirah untuk pergi ke Jati Anom, melihat keadaan Agung Sedayu.
"Kita harus berjaga-jaga di Kademangan ini," berkata Swandaru.
"Tetapi cobalah mengerti perasaan adikmu, kakang," berkata Pandan Wangi, "Agung Sedayu mempunyai tempat tersendiri didalam hatinya."
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku mengerti. Tetapi apakah kepergiannya ke Jati Anom itu akan ada manfaatnya. Maksudku, dalam keadaan yang semakin gawat sekarang ini. Rasa-rasanya dendam terhadap padepokan itu masih tetap membara. Karena itu, maka perjalanan ke Jati Anom masih mungkin akan mengalami kesulitan, atau jika kita bersama-sama pergi Jati Anom, Kademangan inilah yang akan dapat mengalami kesulitan."
"Jarak antara Jati Anom dan Sangkal Putung tidak terlalu jauh. Kita dapat menyisihkan waktu sebentar. Tentu disiang hari. Kita siapkan sejumlah pengawal terbaik untuk mengawasi keadaan Kademangan ini selama kita pergi," berkata Pandan Wangi, "jangan biarkan Sekar Mirah selalu dibayangi oleh mimpi buruk tentang seseorang yang selalu lekat dihatinya."
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Ia mulai mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilakukan. Dan iapun mulai memikirkan betapa gelisah adik perempuannya itu.
"Baiklah," berkata Swandaru, "aku akan mengatur waktu yang paling baik."
"Tetapi jangan terlalu lama," berkata Pandan Wangi. Lalu, "Kau tentu mengerti, bahwa menahan perasaan rindu agaknya terlalu sulit bagi seorang gadis seperti Sekar Mirah."
Swandaru akhirnya tersenyum sambil berkata, "Baiklah. Aku akan berbicara dengan ayah."
Ketika kemudian Swandaru menyampaikan hal itu kepada ayahnya, maka Ki Demangpun tidak dapat menahannya. Tetapi ia minta agar Swandaru dapat mengatur segala sesuatu agar Kademangan yang bakal ditinggalkan tidak akan mengalami kesulitan.
"Bukankah kau dan Pandan Wangi akan mengantarkan Sekar Mirah ke Jati Anom ?" bertanya ayahnya.
"Ya, ayah. Dalam keadaan seperti ini, aku tidak akan sampai hati membiarkannya pergi sendiri," berkata Swandaru.
"Baiklah. Tetapi kapan kalian akan pergi ?" bertanya ayahnya.
"Agaknya Sekar Mirah sudah tidak dapat menahan keinginannya lagi untuk pergi ke Jati Anom," berkata Swandaru, "apalagi ia mengerti bahwa Agung Sedayu baru saja mengalami kesulitan yang gawat dalam pertempuran melawan orang-orang yang selalu membayanginya, meskipun mempergunakan tangan yang berganti-ganti."
"Jadi ?" "Biarlah besok kami akan pergi. Tidak sampai senja kami sudah akan kembali lagi," berkata Swandaru.
Ki Demang Sangkal Putung mengangguk-angguk. Katanya, "berhati-hatilah. Kau yang diperjalanan, dan persiapan yang kau tinggalkan harus kau yakini bahwa tidak akan mengalami sesuatu."
"Kami bertiga bukan anak-anak lagi ayah," berkata Swandaru, "mungkin suatu kebetulan bahwa Sekar Mirah dan Pandan Wangi memiliki kemampuan untuk menjaga dirinya sendiri, sehingga tugasku diperjalanan tidak akan terlalu berat jika ada sesuatu yang mencoba mengganggu."
Ki Demang tidak dapat berbuat lain kecuali melepaskan mereka pergi di hari berikutnya. Namun seperti yang sudah dikatakan, maka Swandaru telah mempersiapkan segala-galanya Para pengawal terpilih berada ditempat yang ditentukan. Meskipun gardu-gardu perondan biasanya kosong disiang hari, Swandaru telah memerintahkan untuk mengisinya, meskipun tidak seperti dimalam hari.
"Tetapi jangan membuat penduduk Kademangan ini gelisah. Jangan berbuat seolah-olah akan timbul perang. Lakukanlah tugas kalian tanpa menimbulkan kegelisahan dan menarik perhatian. Kalian dapat pergi kesawah seperti biasa. Kalian dapat melakukan pekerjaan seperti hari-hari yang lain. Namun kalian harus meningkatkan kewaspadaan dan siap bertindak jika terjadi sesuatu karena kepergian kami. Yang berada digardu-gardupun harus menyesuaikan dirinya, seolah-olah mereka hanya kebetulan saja duduk dan bergurau diantara mereka," pesan Swandaru kepada para pengawal.


06 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sementara itu, Swandaru, Pandan Wangi dan Sekar Mirah telah bersiap untuk menempuh perjalanan yang tidak terlalu panjang. Meskipun demikian, mereka harus berhati-hati, bahwa mereka termasuk orang yang dianggap mempunyai sangkut paut yang rapat dengan Agung Sedayu.
Namun yang kemudian berkuda menyusuri bulak-bulak panjang itu adalah tiga orang yang memiliki kemampuan yang tinggi didalam olah kanuragan.
Karena itulah, maka mereka tidak terlalu cemas seandainya mereka bertemu dengan orang-orang yang bermaksud buruk terhadap mereka.
Namun ternyata bahwa perjalanan mereka sama sekali tidak terganggu. Mereka sampai ke padepokan kecil itu dengan selamat.
Kedatangan Swandaru, Pandan Wangi dan Sekar Mirah itu ternyata telah mengejutkan seisi padepokan kecil di Jati Anom itu. Mereka sama sekali tidak menduga, bahwa mereka akan datang. Namun merekapun kemudian dapat mengerti, bahwa Sekar Mirahlah yang paling mendesak untuk segera datang kepadepokan itu.
Ketika Sekar Mirah melihat keadaan Agung Sedayu, bagaimanapun ia mencoba menahan diri, namun sifat kegadisannya tidak dapat disembunyikannya. Pada keadaan yang sudah berangsur baik. Agung Sedayu masih nampak pucat dan lemah. Karena itulah maka Sekar Mirah membayangkan, betapa parah luka Agung Sedayu pada saat itu.
"Untunglah bahwa Kiai Gringsing masih sempat mengobatinya," berkata Sekar Mirah didalam hatinya.
Setitik air telah mengembang dipelupuk matanya. Barangkali ia tidak akan menangis seandainya ia harus bertempur seperti apa yang dilakukan oleh penghuni padepokan itu pada saat Gembong Sangiran datang bersama kawan-kawannya. Namun melihat keadaan Agung Sedayu, maka rasa-rasanya hatinya tergores duri.
Kedatangan Sekar Mirah memang dapat membuat Agung Sedayu melupakan keadaannya. Rasa-rasanya ia telah menjadi sembuh sama sekali. Meskipun demikian Kiai Gringsing masih memperingatkannya, agar ia menjaga diri karena luka-lukanya yang belum pulih sama sekali, dan bahwa kekuatannya masih terlalu lemah.
Namun kegembiraan nampak dipendapa saat mereka duduk bersama. Sabungsaripun nampak lebih baik dari keadaan sebelumnya. Ia ikut gembira seperti Agung Sedayu menjadi gembira pula.
Saat-saat berikutnya, ketika Swandaru dan Pandan Wangi berjalan-jalan dikebun belakang padepokan kecil itu, maka Sekar Mirah duduk bersama Agung Sedayu diserambi samping padepokannya. Banyak masalah yang telah mereka bicarakan. Masalah yang menyangkut perkembangan keadaan, dan masalah tentang diri mereka sendiri.
"Kakang," berkata Sekar Mirah kemudian," berkali-kali kakang mengalami keadaan seperti ini."
"Ya Sekar Mirah. Keadaan yang sama sekali tidak aku bayangkan akan terjadi. Tetapi seolah-olah aku ditakdirkan untuk menjadi seorang pembunuh. Aku membunuh dan membunuh diluar mauku. Tetapi setiap saat aku dihadapkan pada pilihan membunuh atau dibunuh, ternyata aku memilih lebih baik aku membunuh," berkata Agung Sedayu.
"Tetapi apa yang kakang lakukan itu seolah-olah tidak berarti apa-apa," sahut Sekar Mirah, "kakang sudah mempertaruhkan nyawa. Bahkan kakang telah berbuat jauh lebih baik dari seorang prajurit pada tataran permulaan. Tetapi yang kakang lakukan, hanya sekedar diketahui untuk segera dilupakan."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa gembira bahwa Sekar Mirah datang menengok keadaannya. Tetapi ia mulai berdebar-debar jika Sekar Mirah sudah menyinggung tentang keadaannya.
"Sekar Mirah," berkata Agung Sedayu, "jika aku berjuang untuk menyelamatkan diri dari kematian, apakah hal itu perlu selalu diingat oleh orang lain," desis Agung Sedayu.
"Kakang," berkata Sekar Mirah, "kau tidak perlu selalu merendahkan dirimu. Kau lihat Sabungsari. Ia melakukan tidak lebih dari yang kau lakukan. Tetapi setiap prajurit sudah menyebut-nyebut, bahwa ia akan mendapat kehormatan terdahulu dari kawan-kawannya dalam urutan kenaikan tataran."
"Mungkin hal itu terjadi atas Sabungsari Sekar Mirah," jawab Agung Sedayu, "tetapi ia memang seorang prajurit. Ia melakukan bukan karena ia secara pribadi terlibat kedalam persoalan-persoalan yang mengancam nyawanya. Tetapi ia melakukan kewajiban seorang prajurit. Berbeda dari yang aku lakukan. Orang-orang itu justru mencari Agung Sedayu. Karena itu aku telah berbuat bagi diriku sendiri. Dengan demikian aku tidak dapat menuntut orang lain memberikan pujian atas perbuatanku dalam bentuk apapun juga."
"Kakang," berkata Sekar Mirah, "sebaiknya kau tidak perlu berbuat demikian. Apa salahnya orang memuji apa yang telah kau lakukan dengan bentuk dan ujud yang sesuai dengan keadaanmu. Jika kau seorang prajurit maka pujian ituakan berujud peningkatan tataran dalam jenjang kepangkatan."
"Tetapi itu tidak perlu Sekar Mirah. Biarlah yang aku lakukan itu aku ketahui sendiri tanpa pujian dan imbalan apapun, karena hal itu hanya berarti bagiku pula," desis Agung Sedayu.
Dada Sekar Mirah mulai bergetar. Setiap kali ia berbicara dengan Agung Sedayu, maka rasa-rasanya ia menjadi sangat jengkel. Dengan suara yang bergetar pula ia berkata, "Tetapi kakang. Apakah yang kau lakukan itu bukan untuk mendapatkan pujian pula dalam ujud yang lain. Kau mengharap bahwa setiap orang akan memujimu, bukan saja karena kemampuan dan tingkat ilmumu. Tetapi mereka juga akan memujimu sebagai seorang yang rendah hati. Sebagai seorang yang tidak senang-menunjukkan kemampuan dan apalagi jasanya bagi siapapun juga. Bukankah dengan demikian akan sama saja artinya " Meskipun kau lebih senang dipuji sebagai seorang yang rendah hati daripada sebagai seorang yang berilmu tinggi."
Agung Sedayu terkejut mendengar kata-kata Sekar Mirah. Sejenak ia terdiam. Bahkan iapun kemudian merenungi dirinya sendiri, seolah-olah ia ingin mengetahui apakah yang dikatakan oleh Sekar Mirah itu benar. Jika ia sama sekali tidak menuntut penghargaan dan imbalan atas segala yang pernah dilakukan, apakah itu bukan berarti bahwa ia telah menuntut dalam ujud dan bentuk yang lain. Ia menghendaki pujian dan sebutan sebagai seorang yang rendah hati, sebagai pahlawan yang senang menyembunyikan jasanya.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dengan suara yang dalam ia berkata, "Sekar Mirah. Aku akhirnya menjadisemakin ragu-ragu tentang diriku sendiri. Apakah yang kau katakan itu benar-benar telah bersemi didalam hatiku. Apakah benar-benar aku telah memilih ujud pujian sesuai dengan sifat dan watakku. Tetapi Sekar Mirah, selama ini aku sama sekali tidak memikirkannya. Apalagi memperhitungkan dan memihh bentuk pujian itu. Yang ada didalam hatiku hanyalah, bahwa aku tidak ingin meniup sangkakala karena kemenangan-kemenangan yang tidak berarti."
Sekar Mirah memandang Agung Sedayu dengan tatapan mata yang redup. Sejenak ia merenung. Namun kemudian katanya, "Kakang Agung Sedayu. Menurut pengamatanku, jika kau ragu-ragu tentang dirimu sendiri, bukanlah hanya pada saat-saat terakhir. Kau memang selalu ragu-ragu tentang dirimu sendiri. Mungkin kau memang seorang yang rendah hati, tetapi mungkin pula kau justru orang yang sangat tinggi hati."
Agung Sedayu terdiam sejenak. Dicobanya untuk melihat kedalam dirinya sendiri. Namun ia justru menjadi semakin bimbang tentang dirinya. Meskipun demikian ia tidak dapat ingkar, bahwa dalam beberapa hal ia memang selalu ragu-ragu. Bukan hanya disaat terakhir. Tetapi sifat itu ada sejak ia menyadari kehadirannya.
Meskipun demikian iapun kemudian berkata, "Sekar Mirah. Aku tentu tidak akan dapat menyebut, apakah diriku orang rendah hati atau justru seorang yang tinggi hati. Tetapi sebenarnyalah bahwa bagiku tidak ada gunanya untuk menunjukkan kepada orang lain, betapa aku mampu melakukan sesuatu melampaui orang lain. Bagiku, tidak ada gunanya untuk menempatkan diri pada baris-baris terdepan dalam keadaan tertentu. Hal itu tidak akan merubah kenyataan-kenyataan yang terjadi atas dan tentang diriku."
"Tentu ada gunanya," sahut Sekar Mirah, "seandainya kau melakukan sesuatu yang terpuji, maka mungkin sekali kau akan mendapat kesempatan untuk meningkatkan diri, apakah itu dalam kedudukan atau dalam urutan perhatian orang lain terhadap dirimu. Jika karena itu maka sesuatu kesempatan terbuka, maka kau akan mendapat tempat pertama dari orang lain yang tidak dapat berbuat seperti yang dapat kau lakukan. Tetapi jika kau dengan sengaja atau tidak dengan sengaja menyembunyikan segala perbuatan yang terpuji itu, maka kau tidak akan pernah mendapat kesempatan apapun juga."
"Sekar Mirah," jawab Agung Sedayu, "aku memang berpendirian, bahwa bukan sepantasnya seseorang dengan sengaja dan apalagi dengan memaksa diri menunjukkan hasil kerja dan perbuatannya kepada orang lain, apalagi dengan pamrih."
"Aku tidak sependapat," sahut Sekar Mirah, "sebenarnyalah aku tidak sependapat, pada saat tamu agung singgah di Sangkal Putung, kakang Agung Sedayu lebih senang berada di patehan, atau dikandang kuda atau ditempat-tempat lain yang tersembunyi. Tetapi seharusnyalah kakang Agung Sedayu berada diantara tamu agung itu, seperti juga kakang Swandaru. Jika kakang berpendirian tidak perlu dan bukan sepantasnya seseorang dengan sengaja menunjukkan hasil kerja dan perbuatannya, apalagi dengan pamrih, maka bukan pula sepantasnya kakang bersembunyi, menutup diri dan dengan sengaja dan memaksa diri untuk menghindar. Karena bagiku kakang, kita justru harus mempergunakan setiap kesempatan untuk mencapai tataran hidup dalam segala segi yang lebih tinggi. Mungkin derajat, mungkin pangkat, dan bahkan mungkin semat."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Setiap kali ia bertemu dan berbicara dengan Sekar Mirah tentang sikap dan pandangan hidup, maka tentu terdapat selisih dan batas. Bahkan nampaknya mereka berdua selalu memilih jalan simpang yang berbeda.
Namun setiap kali Agung Sedayulah yang terpaksa berdiam diri. Ialah yang selalu mencoba mengerti perasaan Sekar Mirah. Dan ia pulalah yang harus mendengarkan pendapat-pendapat berikutnya tentang masa depan mereka.
Bahkan sudah dapat ditebak, bahwa Sekar Mirah selalu menyebut-nyebut tentang jenjang derajad dalam lingkungan keprajuritan. Sekali-sekali Sekar Mirah masih menyebut-nyebut juga kesempatan yang terbuka selagi Untara masih seorang Senapati yang terpercaya didaerah Selatan.
Tetapi seperti biasanya pula, sikap itu selalu mengguncang perasaannya. Keragu-raguan dan kebimbangan yang tidak berkeputusan. Karena bagi Agung Sedayu, maka Pajang dan Mataram masih harus menjadi pertimbangan. Selebihnya, apakah ia memang tepat untuk menjadi seorang prajurit dengan segala pangerannya.
"Kakang," suara Sekar Mirah akhirnya merendah, "mungkin aku termasuk seorang gadis yang tidak tahu diri. Tetapi justru karena aku merasa diriku terikat oleh satu janji dengan kakang Agung Sedayu, maka aku berani mengatakannya."
Agung Sedayu hanya dapat menundukkan kepalanya.
"Kakang, mungkin bagi kakang, seorang laki-laki, hal ini tidak akan terlalu terasa. Tetapi bagi seorang gadis, maka waktu akan ikut serta menentukan. Umurku setiap hari bertambah, sehingga akhirnya aku akan menjadi seorang perawan tua. Cobalah kau ikut memikirkan kakang. Sebenarnyalah kedatanganku kemari sama sekali tidak bermaksud membuat hatimu menjadi risau. Akulah yang risau karena aku selalu ingin melihat keadaanmu. Tetapi setiap aku bertemu dengan kau, maka perasaanku tidak lagi dapat aku bendung lagi. Aku hanya ingin kau mengetahui perasaanku kakang." suara Sekar Mirah mulai bergetar.
Agung Sedayu mengangguk kecil sambil menjawab, "Aku mengerti Sekar Mirah. Aku selalu memikirkannya. Tetapi hatiku yang lemah selalu gagal untuk menemukan keputusan."
"Kakang, kau bukan saja seorang yang rendah hati atau bahkan tinggi hati. Tetapi sebenarnyalah bahwa kau adalah seorang yang rendah diri," berkata Sekar Mirah kemudian, "cobalah kau bangkit dari mimpimu yang samar-samar itu. Cobalah mengambil sikap. Hidupku sebagian akan tergantung pula kepadamu."
"Sekar Mirah, "suara Agung Sedayu semakin merendah, "aku akan mencoba untuk mengambil sikap. Aku sadar, bahwa aku tidak akan dapat berdiri tanpa alas seperti sekarang ini. Apalagi dimasa mendatang, jika saat itu tiba. Saat kita tidak dapat mengelak lagi untuk melangkahi batas kemudaan kita."
"Aku harap hal itu tidak sekedar kau pikirkan dan kau sadari. Kau tiak perlu mencoba-coba mengambil sikap. Tetapi kau harus sebenarnya mengambil sikap. Aku jangan kau paksa terayun-ayun dalam angan-angan seperti sekarang ini untuk waktu yang tidak terbatas." tetapi tiba-tiba suara Sekar Mirah menjadi lambat, "maafkan aku kakang. Aku datang untuk membantu agar kakang menjadi semakin cepat sembuh. Bukan sebaliknya. Tetapi kadang-kadang aku memang tidak dapat menyembunyikan kerisauan ini."
"Aku mengerti Sekar Mirah. Aku mengerti." desis Agung Sedayu.
Sekar Mirah tidak berbicara lagi. Keduanyapun diam untuk beberapa saat sambil memandang dunia angan-angan masing-masing.
Persoalan yang demikian selalu dan akan selalu terulang dalam setiap pertemuan, sebelum Agung Sedayu dapat mengambil sikap yang tegas dan pasti. Sekar Mirah yang memiliki sifat yang sejalan dengan sifat kakaknya, Swandaru, mempunyai pandangan yang agak berbeda dengan sikap dan pandangan hidup Agung Sedayu. Namun Agung Sedayupun dapat mengerti, bahwa Sekar Mirah adalah seorang gadis yang semakin dalam disekap oleh umurnya.
Dalam kediaman itu, mereka melihat Swandaru dan Pandan Wangi mendekati mereka. Karena itu, maka Agung Sedayupun kemudian mempersilahkan mereka duduk bersama diserambi itu pula.
Dengan demikian maka pembicaraan merekapun mulai berkisar. Sekali-sekali Pandan Wangi membicarakan buah-buahan yang segar yang tergantung dipadepokan. Kemudian membicarakan ikan emas yang berwarna kuning berenang di kolam yang jernih.
Namun akhirnya Pandan Wangi bertanya, "Apakah prajurit Pajang itu akan selamanya berada disini ?"
"Tentu tidak," jawab Agung Sedayu, "mereka akan segera ditarik jika keadaanku sudah baik."
"Dan prajurit-prajurit itu akan datang kebaraknya sebagai pahlawan," sambung Sekar Mirah, "tetapi kakang Agung Sedayu sendiri akan tetap seorang penghuni padepokan kecil ini. Seorang petani yang selalu kotor oleh lumpur dan gatal oleh jerami tanpa memiliki masa depan yang lain."
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Sementara Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Sudahlah. Tentu kakang Agung Sedayu sudah memikirkannya."
Sekar Mirah tidak menyahut lagi. Tetapi kepalanya menunduk dalam-dalam.
Pandan Wangilah yang kemudian mulai lagi dengan pertanyaan yang menyentuh padepokan kecil itu. Hasil panen sawah yang dimiliki dan hasil tanaman di pategalan.
Tetapi rasa-rasanya pembicaraan sudah tidak secerah saat-saat mereka datang. Betapapun Pandan Wangi berusaha mengangkat suasana, namun wajah-wajah telah menjadi muram.
Setelah makan siang, dan matahari telah mulai condong ke Barat, maka Swandarupun mengajak isteri dan adiknya kembali ke Sangkal Putung.
"Pada saat yang lain kita akan datang lagi," berkata Swandaru kepada Agung Sedayu.
"Kami mengharap kalian sering datang kepadepokan ini," minta Agung Sedayu, "kedatangan kalian memberikan suasana yang berbeda bukan saja bagi diriku sendiri, tetapi juga bagi padepokan ini."
"Tentu," sahut Swandaru, "kali ini kami hanya ingin melihat keadaanmu. Ternyata kau sudah berangsur baik. Mudah-mudahan dalam waktu dekat kau sudah puhh kembali, sehingga kau tidak perlu mendapat perlindungan lagi dari orang lain."
Agung Sedayu tersenyum. Namun ketika terpandang olehnya wajah Sekar Mirah yang muram, maka iapun berkata, "aku akan memikirkannya dengan sungguh-sungguh Sekar Mirah. Dalam waktu yang dekat aku akan dapat mengambil satu kesimpulan."
"Dekat bagimu dan dekat bagiku, mungkin agak berbeda," jawab Sekar Mirah.
"Tetapi itu lebih baik daripada kakang Agung Sedayu tidak berusaha sama sekali," Swandarulah yang menyahut.
Sekar Mirah hanya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab.
Dalam pada itu, Swandaru, Pandan Wangi dan Sekar Mirahpun segera minta diri pula kepada semua penghuni padepokan itu. Kepada Kiai Gringsing, Ki Widura dan beberapa orang prajurit yang berada di padepokan itu.
"Apakah kau tidak ingin pergi ke Sangkal Putung ?" bertanya Pandan Wangi kepada Glagah Putih.
Glagah Putih tersenyum. Jawabnya, "Lain kali. Sebenarnya aku ingin menjelajahi setiap tempat. Tetapi aku belum mendapat kesempatan."
Pandan Wangi tertawa. Swandarupun tertawa pula. Katanya, "Kau sudah dewasa sekarang. Sebentar lagi kau akan segera mendapat kesempatan itu." Glagah Putihpun tertawa pula.
Demikianlah, maka ketiga orang itupun segera kembali ke Sangkal Putung. Kiai Gringsing sempat memberikan beberapa pesan kepada Swandaru mengingat keadaan yang nampaknya masih belum tenang.
Sepeninggal Sekar Mirah, maka Agung Sedayu menjadi banyak merenung. Ada hal-hal yang benar yang dikatakan oleh Sekar Mirah, sehingga karena itu, maka Agung Sedayupun menjadi semakin gelisah.
Agaknya Kiai Gringsing menangkap perubahan pada muridnya yang perasa itu. Ia sudah pernah mendengar beberapa hal tentang hubungan yang agak timpang antara Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Bahkan Kiai Gringsing pernah juga mendengar Ki Waskita mengeluh, bahwa ia melihat bayangan yang buram dalam hubungan antara kedua anak muda itu.
"Mudah-mudahan Ki Waskita keliru," desis Kiai Gringsing didalam hatinya, "ia juga melihat bayangan yang buram dalam hubungan antara Swandaru dan Pandan Wangi. Namun nampaknya keduanya hidup rukun dan tenang, meskipun gejolak jiwa Swandaru kadang-kadang melonjak-lonjak. Tetapi agaknya Pandan Wangi dapat mengimbanginya dan bahkan kadang-kadang agak mengekangnya."
Tetapi hubungan antara Sekar Mirah dan Agung Sedayu nampaknya memang lebih sulit menurut pengamatan Kiai Gringsing. Agung Sedayu dan Sekar Mirah mempunyai watak yang jauh berbeda, bahkan agak berlawanan.
"Mudah-mudahan pada saatnya, keduanya dapat saling menyesuaikan diri," berkata Kiai Gringsing didalam hatinya.
Meskipun tidak langsung. Kiai Gringsing berusaha untuk mengurangi pahitnya perasaan Agung Sedayu, agar dengan demikian perasaan itu tidak mempengaruhi keadaan wadagnya. Ia sedang dalam usaha memulihkan keadaan tubuhnya yang masih lemah. Bahkan luka-lukanya belum sembuh sama sekali.
"Pusatkan perhatianmu pada penyembuhan wadag dan hatimu," berkata Kiai Gringsing kepada Agung Sedayu, "semakin cepat kau sembuh dan pulih kembali, maka semakin cepat kau dapat melakukan tugas-tugasmu yang lain. Kau bukan lahir untuk sekedar berkelahi dan membunuh. Tetapi kau tentu akan sampai pada suatu batas kehidupan manusia sewajarnya."
Agung Sedayu menundukkan kepalanya. Baginya berkelahi dan apalagi membunuh adalah pekerjaan yang paling dibencinya. Tetapi yang dibencinya itu ternyata harus dilakukannya juga. Bahkan beberapa kali.
"Sudahlah Agung Sedayu," berkata Kiai Gringsing kemudian, "jangan terlalu risau. Meskipun bukan berarti bahwa kau tidak perlu memikirkan masa depan, tetapi kau harus memperhatikan keadaanmu sekarang."
"Ya guru," suara Agung Sedayu tiba-tiba saja menjadi parau.
Sabungsari yang melihat keadaan Agung Sedayu yang nampaknya diselubungi oleh kegelisahan, tidak ingin menambah dengan beban-beban yang akan semakin menggelisahkannya. Karena itu, Sabungsari justru tidak bertanya sama sekali, kenapa Agung Sedayu sepeninggal Sekar Mirah menjadi muram. Tetapi ia justru mencoba mengalihkan perhatian Agung Sedayu terhadap keadaan dirinya sendiri.
Dalam pada itu, Swandaru dan isteri serta adiknya tengah berpacu menuju ke Sangkal Putung. Tidak banyak yang mereka percakapkan disepanjang jalan. Hanya kadang-kadang saja mereka berbincang tentang sawah dan ladang yang mereka lalui. Juga tentang hutan yang tidak terlalu lebat, meskipun masih menyimpan binatang buas didalamnya. Namun harimau sama sekali tidak menggetarkan hati anak-anak muda itu.
Pandan Wangipun sangat membatasi pembicaraannya. Ia tidak ingin salah ucap, sehingga membuat hati Sekar Mirah menjadi semakin suram. Bagi Sekar Mirah, Agung Sedayu seolah-olah tidak memperhatikan sama sekali masa depan mereka. Atau bagi Sekar Mirah, Agung Sedayu adalah seorang yang tidak mempunyai gairah hidup sama sekali. Ia menerima apa yang datang kepadanya. Tetapi ia sama sekali tidak berusaha untuk mencapai sesuatu yang lebih baik. Apalagi berjuang dengan gairah dan penuh dengan nyala api kehidupan.
Namun justru karena itu, maka perjalanan mereka rasa-rasanya menjadi semakin cepat. Sebelum matahari hilang dipunggung pegunungan disebelah Barat, mereka telah memasuki Kademangan Sangkal Putung.
Namun demikian mereka memasuki regol halaman, maka mereka telah dikejutkan oleh beberapa ekor kuda yang terikat pada tiang-tiang pendek di pinggir halaman. Ketika kemudian mereka berloncatan turun, maka merekapun melihat seorang anak muda yang bertubuh sedang, dengan pedang panjang dilambung menyongsong mereka. Sebuah senyum yang segar membayang diwajahnya yang cerah.
"Prastawa," hampir berbareng ketiga orang yang haru datang itu menyebut namanya.
Prastawa tertawa. Katanya, "Hampir saja aku menyusul kalian ke Jati Anom. Tetapi Ki Demang menahanku disini, karena kalian akan segera datang."
"Kapan kau datang Prastawa ?" bertanya Swandaru.
"Lewat tengah hari. Aku sudah menunggumu terlalu lama," jawab Prastawa.
"Marilah, duduklah kembali," ajak Swandaru.
Merekapun kemudian naik kembali kependapa. Setelah Swandaru dan isteri serta adiknya membasuh kakinya, maka merekapun kemudian duduk dipendapa bersama Ki Demang dan tiga orang pengiring Prastawa yang datang dari Tanah Perdikan Menoreh.
Setelah mereka saling menanyakan keselamatan masing-masing, maka Swandarupun bertanya, "Kedatanganmu mengejutkan, apakah ada sesuatu yang penting yang akan kau sampaikan kepada kami disini, atau kau sekedar ingin menengok keadaan kami ?"
Prastawa tersenyum. Katanya, "Tidak terlalu penting. Tetapi aku memang menyampaikan pesan dari paman Argapati bagi kalian."
"Tetapi, bukankah ayah dalam keadaan baik, sehat dan tidak mengalami sesuatu ?" bertanya Pandan Wangi tidak sabar.
"Paman dalam keadaan baik," jawab Prastawa, "tetapi paman sudah lama ingin bertemu dengan kalian berdua. Sebenarnyalah paman Argapati telah rindu setelah untuk waktu yang lama tidak bertemu."
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Sambil menundukkan kepalanya ia berdesis, "Aku agaknya telah mengecewakan ayah. Seharusnya aku sering menengoknya."
"Ya. Paman merasa kesepian," desis Prastawa.
"Apakah ayah berpesan agar aku pergi ke Tanah Perdikan Menoreh ?" bertanya Pandan Wangi.
"Demikianlah. Tetapi tidak perlu tergesa-gesa. Paman berpesan, kapan-kapan saja jika waktu kalian longgar dan tidak mengganggu pekerjaan kalian disini," berkata Prastawa.
Terasa sesuatu menyekat leher Pandan Wangi. Namun kemudian ia berkata sendat, "Aku akan segera pergi ke Tanah Perdikan Menoreh." Namun kemudian ia berpaling kepada Swandaru, "apakah kita akan mendapat kesempatan ?"
"Kita akan pergi. Bagaimanapun juga, kita akan menyediakan waktu. Paman Argapati tentu sudah rindu kepadamu. Ia tentu mengalami kesepian karena seolah-olah ia berada seorang diri di Tanah Perdikan yang luas."
"Aku selalu mengawaninya," berkata Prastawa, "aku hanya kadang-kadang saja kembali kerumah."
"Sokurlah," desis Pandan Wangi, "kaulah yang harus menjaga pamanmu sebaik-baiknya. Meskipun ayah belum terlalu tua, tetapi justru karena hidupnya yang sepi sejak lama, maka nampaknya ia menjadi jauh lebih tua dari umurnya yang sebenarnya."
"Tetapi paman masih nampak segar," sahut Prastawa, yang kemudian bertanya, "Kapan kalian akan pergi " Jika waktunya sudah dekat, kita akan pergi bersama. Tetapi jika waktunya masih agak jauh, maka aku besok akan mendahului kalian, kembali ke Tanah Perdikan, agar paman tidak menjadi gelisah, karena menurut pendengaran paman, daerah ini bukanlah daerah yang selalu tenang."
Pandan Wangi memandang Swandaru sejenak, seolah-olah ia menunggu keputusannya.
Swandaru nampak berpikir sambil menghitung-hitung hari. Lalu iapun kemudian bertanya kepada ayahnya, "Apakah Kademangan ini dapat aku tinggalkan barang dua tiga hari ayah ?"
"Tetapi sebelumnya kau harus mengatur keadaan. Kau harus menempatkan para pengawal pada tempat yang paling baik dalam keadaan seperti ini," jawab ayahnya.
"Ya Aku akan mengatur mereka sebaik-baiknya. Tetapi akupun harus minta diri pula kepada guru di Jati Anom," gumam Swandaru.
Ki Demang Sangkal Putung mengangguk-angguk. Meskipun sebenarnya ia t tinggalkan oleh Swandaru, apalagi untuk tiga atau ampat hari. Tetapi iapun mengerti, betapa rindunya orang tua terhadap anak perempuan satu-satunya meskipun sudah bersuami.
Sebagai orang tua Ki Demang mengerti, bahwa tidak seharusnya ia melarang anak dan menantunya pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Karena itu, bagaimanapun juga, ia tidak dapat menahannya.
Karena itu, maka katanya, "Sebaiknya kau memang minta ijin kepada gurumu. Setidak-tidaknya kau memberitahukan bahwa kau akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Selama kau tidak ada, biarlah Sekar Mirah menggantikan kedudukanmu. Aku tahu, meskipun ia seorang gadis, tetapi ia lebih baik dari setiap pengawal yang ada di Sangkal Putung."
"Ya," sahut Swandaru, "biarlah Sekar Mirah mengamati setiap hari apakah pengawal yang sudah aku atur itu dapat melakukannya dengan baik."
Namun tiba-tiba saja Prastawa memotong, "Apakah Sekar Mirah tidak akan ikut serta ke Tanah Perdikan Menoreh ?"
"Biarlah ia di rumah mengawani ayah dan para pengawal," berkata Swandaru.
"Ya," sambung Ki Demang, "aku memerlukannya."
Tetapi ketika mereka berpaling memandang Sekar Mirah, maka nampak wajahnya menjadi suram. Karena itu, maka Prastawa telah bertanya pula, "Agaknya Sekar Mirah ingin ikut serta pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Apa salahnya jika Kademangan ini diserahkan kepada para pengawal dengan jumlah yang lipat ganda. Bukankah disini banyak anak-anak muda yang sudah memiliki kemampuan bermain pedang ?"
"Tetapi tanpa seorang pendega yang memiliki kelebihan dari mereka, maka rasa-rasanya agak kurang mapan juga," sahut Ki Demang.
"Biarlah ia tinggal," desis Swandaru, "ayah akan selalu gelisah jika kita semuanya pergi bersama-sama."
"Itu tidak adil," berkata Prastawa, "seharusnya Sekar Mirahpun diperkenankan untuk pergi."
"Persoalannya lain Prastawa," berkata Pandan Wangi, "sebenarnya ada baiknya jika Sekar Mirah tinggal di rumah. Perjalanan kamipun tentu tidak akan menyenangkan karena kegelisahan perasaan. Mungkin pada kesempatan lain, dalam perjalanan tamasya kita akan pergi bersama-sama. Tetapi tentu saja dengan mengingat keadaan Kademangan ini."
"Kecemasan kalian tentang Kademangan ini agak berlebih-lebihan," berkata Prastawa, "tetapi jika perlu kenapa kalian tidak memanggil Agung Sedayu dan menyuruhnya menjaga Kademangan ini."
"Tentu tidak mungkin," tiba-tiba saja Sekar Mirahlah yang menjawab, "sebenarnyalah bahwa aku memang ingin ikut serta bersama kalian menempuh perjalanan yang tidak terlalu jauh, tetapi juga tidak terlalu dekat. Aku sependapat bahwa Kademangan ini dapat diserahkan kepada para pengawal. Tetapi tentu bukan kakang Agung Sedayu. Ia bukan peronda upahan yang dapat disuruh melakukan sesuatu sekehendak hati kita. Dan apakah hak kita menyuruhnya menjaga Kademangan ini, kecuali atas kehendaknya sendiri, seperti aku tentu tidak akan dapat menyuruhmu tinggal disini selama kami pergi ke Tanah Perdikan Menoreh."
Prastawa menegang sejenak. Namun iapun kemudian menyadari bahwa Sekar Mirah bukan orang lain bagi Agung Sedayu. Ada ikatan diantara mereka meskipun masih belum ditetapkan sebagai ikatan mati.
Namun dengan demikian justru keinginannya untuk mengajak Sekar Mirah pergi ke Tanah Perdikan Menoreh menjadi semakin besar, sehingga katanya kemudian, "Sekar Mirah, aku minta maaf. Mungkin kata-kataku telah terdorong. Tetapi aku sebenarnya tidak bermaksud apa-apa. Aku hanya ingin mengatakan, bahwa Kademangan ini dapat mengambil cara apapun agar kau dapat pergi ke Tanah Perdikan Menoreh bersama kakang Swandaru berdua."
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab.
Yang kemudian berkata adalah Ki Demang, "Tetapi semuanya terserah kepadamu Sekar Mirah. Jika kau memang benar-benar ingin pergi, pergilah. Tetapi penjagaan para pengawal atas Kademangan ini harus benar-benar diperkuat."
Swandaru mengerutkan keningnya. Setiap kali ayahnya memang tidak dapat bertegang hati terhadap adik perempuannya. Apalagi jika mata Sekar Mirah kemudian menjadi kemerah-merahan.
Pandan Wangilah yang kemudian menjadi gelisah. Ia tidak dapat dikelabuhi oleh sikap Prastawa yang bagaimanapun juga. Ia sudah dapat meraba betapa masih lembutnya perasaan Prastawa yang tertuju kepada Sekar Mirah. Sementara Sekar Mirah sudah dengan sepengetahuan beberapa pihak, terikat kepada Agung Sedayu.
Tetapi Pandan Wangi tidak dapat mengatakannya. Justru karena Prastawa adalah adik sepupunya.
Dalam pada itu, maka akhirnya Sekar Mirah berkata, "Jika ayah memang mengijinkan, biarlah aku pergi bersama kakang Swandaru ke Tanah Perdikan Menoreh. Sudah lama aku tidak melihat telatah diluar Kademangan ini. Paling jauh, hari ini kami pergi ke Kademangan Jati Anom."
"Terserahlah kepadamu," jawab Ki Demang, "tetapi seperti yang kau katakan Swandaru, katakanlah rencana kepergianmu kepada gurumu."
"Besok aku akan pergi ke Jati Anom ayah. Aku akan minta diri kepada guru. Meskipun aku tidak akan mempersilahkan guru tinggal disini, tetapi aku memang ingin menitipkan Sangkal Putung kepada guru."
"Aku akan ikut pergi ke Jati Anom," berkata Prastawa, "sudah lama aku tidak bertemu dengan Agung Sedayu dan saudara sepupunya yang agak dungu itu."
"Terserahlah," berkata Swandaru, "besok aku akan pergi. Siang hari kita kembali. Kami masih mempunyai sisa waktu untuk mengemasi bekal kami karena dikeesokan harinya kita semuanya akan berangkat ke Tanah Perdikan Menoreh."
"Jika demikian, kapan kau sempat mengatur para pengawal ?" bertanya ayahnya.
"Sekarang, atau malam nanti ayah. Untuk itu aku hanya memerlukan waktu sebentar. Aku akan mengumpulkan para pemimpin kelompok dari padukuhan-paduku-han dilingkungan Kademangan Sangkal Putung. Lewat mereka, aku akan mengatur para pengawal diseluruh Kademangan."
Ki Demang Sangkal Putung merenung sejenak. Nampaknya iapun sedang merenungi kemungkinan yang bakal dilakukan oleh Swandaru. Namun kemudian iapun mengangguk sambil bergumam, "Terserahlah kepada Swandaru. Kau tentu mempunyai perhitungan yang cukup matang."
"Serahkan kepadaku ayah," jawab Swandaru.
Ki Demang tidak mempersoalkannya lagi. Memang baginya, Swandaru adalah anak muda yang sudah cukup dewasa, yang sudah memiliki wawasan yang matang bagi Kademangannya.
Seperti yang dikatakan, maka Swandarupun segera memanggil para pemimpin kelompok untuk berkumpul dipendapa Kademangan malam itu juga. Dengan singkat Swandaru memberikan penjelasan tentang rencananya untuk pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Kemudian dengan terperinci Swandaru memberikan pesan kepada para pemimpin kelompok untuk menjaga Kademangan Sangkal Putung sebaik-baiknya selama ia tidak berada di Kademangan.
"Aku percaya kepada kalian," berkata Swandaru, "meskipun seandainya datang beberapa orang sakti yang pilih tanding. Dengan kemampuan dan ketrampilan kalian dalam olah kanuragan, seorang demi seorangpun dalam kelompok kalian akan dapat mengatasinya. Betapapun tinggi kesaktiannya, namun jumlah kalian yang banyak, akan ikut serta menentukan. Bahkan seandainya ada diantara orang-orang sakti yang datang dengan ilmu sirep. Kalian, bersama-sama akan dapat melawan kekuatan ilmu itu.
Para pemimpin kelompok itu mendengarkan semua pesan Swandaru dengan saksama. Merekapun sadar, bahwa Sangkal Putung telah beberapa kali dijamah oleh tangan-tangan yang sakti, tetapi berwarna kelam.
Prastawa yang hadir juga dipendapa, merasa kagum atas kemampuan Swandaru mengatur anak-anak muda di Kademangannya. Swandaru memiliki kemampuan berpikir kemampuan dalam olah kanuragan, dan kemampuan menguasai mereka dengan kewibawaannya.
"Jika di Tanah Perdikan Menoreh ada seseorang yang memiliki ketrampilan yang mumpuni seperti Swandaru," berkata Prastawa didalam hatinya, "maka Tanah Perdikan Menoreh itu tentu akan cepat menjadi besar, melampaui masa paman Argapati masih memiliki gairah perjuangan dimasa mudanya."
Tetapi sebenarnyalah bahwa Tanah Perdikan Menoreh yang memiliki daerah yang lebih luas dari Sangkal Putung itu nampaknya semakin lama semakin mundur.
"Aku masih belum dapat berbuat seperti Swandaru," berkata Prastawa didalam hatinya.
Namun ia berjanji kepada diri sendiri, bahwa ia akan berbuat sebaik-baiknya bagi Tanah Perdikan itu.
"Aku akan mengimbangi perkembangan Kademangan Sangkal Putung," berkata Prastawa didalam hatinya, karena iapun merasa, bahwa ia memiliki tanggung jawab atas Tanah Perdikan itu.
Demikianlah, ketika segalanya telah jelas dan pasti, maka para pemimpin kelompok itupun diperkenankan meninggalkan Kademangan. Namun Swandaru masih berpesan, "Besok malam penjagaan serupa itu harus sudah dapat aku lihat. Dengan demikian aku dapat memperhitungkan, apakah yang kalian lakukan itu sudah cukup baik."
Demikianlah, ketika para pemimpin kelompok itu kembali kepadukuhannya masing-masing, maka merekapun segera mempersiapkan para pengawal dipadukuhan-padukuhan itu. Seperti saat Swandaru memberikan keterangan kepada mereka, maka merekapun berusaha untuk memberikan keterangan sejelas-jelasnya mengenai keadaan padukuhan dan juga mengenai seluruh Kademangan.
Malam itu juga, mereka mulai mengatur diri. Mereka membagi para pengawal padukuhan kedalam kelompok-kelompok yang lebih kecil. Setiap gardu harus terisi. Dan setiap tempat yang ditentukan, harus dilengkapi dengan kentongan. Bukan hanya didalam gardu-gardu. Tetapi disetiap rumah para pengawal itupun harus siap dengan kentongan agar setiap isyarat dapat menjalar dengan cepat. Bahkan diantara mereka telah ditunjuk beberapa orang yang akan menjadi penghubung dari padukuhan yang satu kepadukuhan yang lain. Mereka harus menyiapkan beberapa ekor kuda yang terbaik yang ada dipadukuhan itu.
Ternyata perintah dan petunjuk Swandaru, malam itu sudah tersebar kesetiap telinga para pengawal. Namun merekapun telah mendapat pesan pula dari Swandaru, jangan membuat rakyat Sangkal Putung menjadi gelisah, seolah-olah Sangkal Putung akan dibakar oleh peperangan yang dahsyat. Bagaimanapun juga, mereka masih belum dapat melupakan, saat-saat Sangkal Putung berhadapan dengan kekuatan Tohpati yang bergelar Macan Kepatihan dari Jipang. Setelah itu, maka meskipun tidak terlalu sering tetapi Sangkal Putung kadang-kadang didatangi oleh orang-orang yang memiliki kemampuan melampaui manusia biasa.
Pesan itupun telah disampaikan pula oleh setiap pemimpin kelompok kepada kawan-kawannya.
Demikianlah, maka sejak malam itu, para pengawal sudah mencoba mengetrapkan penempatan kelompok-kelompok kecil yang sudah mereka atur dengan sebaik-baiknya, sehingga dengan demikian mereka akan dapat melihat, apakah pembagian yang mereka atur itu sudah cukup baik sesuai dengan petunjuk Swandaru.
Ketika datang hari berikutnya, maka Swandaru dan Prastawa telah bersiap-siap untuk pergi ke Jati Anom, diikuti oleh para pengiring Prastawa yang dibawanya dari Tanah Perdikan Menoreh. Apalagi Prastawa mendengar bahwa kadang-kadang didaerah itu masih timbul bermacam-macam peristiwa yang dapat menimbulkan keadaan yang gawat.
Kedatangan Swandaru ke Jati Anom memang telah mengejutkan seisi padepokan. Namun ketika Swandaru telah menjelaskan kedatangannya bersama Prastawa, maka ketegangan itupun telah mengendor.
"Baru kemarin kau datang," berkata Kiai Gringsing, "karena itu kami terkejut karenanya. Tetapi agaknya tidak terjadi sesuatu di Sangkal Putung."
"Aku hanya akan minta diri," sahut Swandaru.
Kiai Gringsingpun kemudian memberikan beberapa pesan kepada Swandaru agar ia tidak terlalu lama meninggalkan Sangkal Putung. Namun iapun memberikan pesan, agar mereka berhati-hati diperjalanan,
Swandaru tidak tinggal terlalu lama di Jati Anom. Setelah semua maksudnya diberitahukan kepada Kiai Gringsing, dan setelah segala persiapan dilaporkannya, maka iapun segera minta diri.
Agung Sedayu dan Sabungsari yang sudah berangsur baik, sempat mengantarkan Swandaru dan Prastawa sampai kegerbang. Ketika keduanya sudah meloncat kepunggung kuda, Prastawa sempat berkata kepada Agung Sedayu, "Mudah-mudahan kau cepat sembuh. Agaknya kau masih harus berlatih lebih tekun lagi, agar kau tidak dapat lagi dilukai oleh perampok-perampok yang berkeliaran di daerah ini."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Ia sudah mengenal Prastawa, sehingga karena itu, ia menjawab, "Terima kasih Prastawa. Mudah-mudahan aku akan segera sembuh."
Glagah Putih yang mempunyai kesan yang aneh sejak ia bertemu untuk pertama kali dengan Prastawa, sama sekali tidak senang melihat sikap dan mendengar pesannya. Tetapi ketika ia bergeser, Ki Widura telah menggamitnya sambil berdesis, "Kau mau apa ?"
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia mengurungkan niatnya.
Namun dalam pada itu, Swandaru berkata, "Jika bukan kakang Agung Sedayu, dan bukan prajurit muda yang bernama Sabungsari itu, maka keduanya tentu sudah menjadi mayat."
Prastawa mengerutkan keningnya. Ia merasa tidak senang mendengar jawaban Swandaru. Tetapi Swandaru justru berkata, "Keduanya adalah orang aneh dari padepokan kecil ini. Orang-orang Gunung Kendeng itu tentu sudah jera untuk kembali lagi, bahkan seandainya para prajurit telah ditarik kembali."
Prastawa termangu-mangu sejenak. Namun ia sadar, bahwa Agung Sedayu adalah saudara seperguruan Swandaru. Jika ia merendahkan ilmu Agung Sedayu, itu berarti, bahwa iapun telah menganggap Swandaru demikian pula.
Karena itu, maka Prastawa itupun tidak menyahut lagi. Ketika sekali lagi Swandaru minta diri, maka iapun mengangguk pula sambil menggerakkan kendali kudanya.
Demikian kuda itu berderap menjauh, diiringi para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh, Sabungsari berdesis, "Anak muda itu agaknya kurang berhati-hati."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak memberikan tanggapan apapun juga.
Demikianlah maka kuda Swandaru dan Prastawa kemudian berderap membelah tanah persawahan. Debu yang kelabu mengepul kebelakang kaki kuda yang brelari tidak terlalu kencang itu.
Betapapun Prastawa berusaha menahan diri, namun terlontar pula pertanyaannya, "Apakah orang-orang Gunung Kendeng itu benar-benar orang yang pilih tanding, sehingga Agung Sedayu dan prajurit muda yang bernama Sabungsari itu harus terluka ?"
Swandaru memandang Prastawa sejenak. Lalu katanya, "Kau tentu tidak dapat membayangkan, betapa tinggi ilmunya. Jika ia bukan orang yang berilmu tinggi, maka orang yang melawan kakang Agung Sedayu dan Sabungsari tentu tidak akan berhasil melarikan diri."
Prastawa mengangguk-angguk. Namun ia masih bertanya, "Apakah menurut penilaianmu. Agung Sedayu itu dapat menyamai kemampuanmu ?"
"Ia adalah murid yang dianggap lebih tua dari aku," jawab Swandaru, "setidak-tidaknya kita berdua mempunyai alas kemampuan yang sama. Selanjutnya tergantung kepada kita masing-masing, apakah kita dapat mengembangkan ilmu itu dengan baik."
Prastawa mengangguk-angguk. Lalu, meskipun agak ragu-ragu ia masih juga bertanya, "Dan Agung Sedayu juga mampu mengembangkan ilmunya seperti kau ?"
Swandaru mengerutkan keningnya. Namun ia menjawab, "Aku tidak tahu Prastawa. Aku tidak dapat menilai dengan tepat. Seandainya aku dapat menilai kemampuan kakang Agung Sedayu, namun aku tidak akan dapat menilai kemampuanku sendiri sebagai bahan perbandingan."
Prastawa menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnyalah, bahwa ia sendiri kurang menyadari, kenapa ia ingin mendengar kekurangan-kekurangan yang ada pada Agung Sedayu. Namun agaknya Swandaru sama sekali tidak menyebutkannya seperti yang diharapkan.
Namun Prastawa masih bertanya, "Tetapi apakah Agung Sedayu berhasil menyusul kemampuan orang-orang yang terdahulu daripadanya, Untara misalnya, atau orang-orang lain yang dapat kau sebutkan ?"
"Sulit untuk mengatakannya Prastawa," jawab Swandaru. Namun kelanjutannya ternyata membuat Prastawa semakin kecewa. "Tetapi kakang Agung Sedayu memang orang luar biasa seperti prajurit muda yang terluka itu. Mereka ternyata mampu mengalahkan Carang Waja. Bahkan prajurit muda itu telah berhasil membunuhnya."
Prastawa menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak bertanya lebih jauh. Ternyata Swandaru tidak mengerti maksudnya. Ia justru ingin mendengar Swandaru menunjukkan cela yang ada pada Agung Sedayu. Tetapi ia justru selalu kecewa.
Demikianlah kuda-kuda itu berderap semakin jauh dari Jati Anom.Disepanjang jalan, tidak banyak lagi yang mereka bicarakan. Prastawa seolah-olah sibuk berangan-angan sendiri. Ia tidak lagi berusaha melihat kelemahan Agung Sedayu dari ceritera Swandaru. Tetapi Prastawa mulai membayangkan sendiri, kekurangan-kekurangan anak muda yang sedang terluka itu.
"Orang-orang Gunung Kendeng bukan orang-orang yang pantas dikagumi. Namun Agung Sedayu tidak dapat melepaskan diri dari luka-luka yang sangat parah. Seandainya ia tidak berada dalam perawatan gurunya, mungkin ia tidak akan sempat melihat matahari terbit di keesokan harinya," berkata Prastawa didalam hatinya, lalu. "agaknya Swandaru tidak ingin mengatakan kelemahan saudara seperguruannya itu."
Sementara itu, didalam perjalanan, mereka tidak mengalami sesuatu. Mereka sampai di Sangkal Putung dengan selamat. Sementara mereka masih sempat berbenah diri, karena di keesokan harinya mereka akan berangkat ke Tanah Perdikan Menoreh.
Namun dimalam hari, Swandaru masih memerlukan untuk melihat, apakah semua pesannya kepada para pengawal sudah dilaksanakan. Ia melihat sendiri, kesiagaan para pengawal dari padukuhan yang satu kepadukuhan yang lain. Bahkan kepada setiap pemimpin kelompok ia masih berpesan agar kesiagaan disiang haripun tetap diperhatikan seperti yang ia pesankan pula.
Ternyata menurut pengamatan Swandaru, kesiagaan para pengawal Kademangan Sangkal Putung tidak lagi mengecewakan, seandainya benar-benar terjadi peristiwa yang gawat selama ia pergi ke Tanah Perdikan Menoreh.
Karena itu, maka hatinya tidak lagi diberati oleh Kademangan. Hanya dalam peristiwa yang luar biasa sajalah, maka para pengawal Kademangannya tidak dapat melakukan tugasnya sebaik-baiknya.
Setelah melaporkan hasil pengamatannya kepada ayahnya, maka Swandaru itupun kemudian berkata kepada ayahnya, "Ayah, besok aku jadi berangkat ke Tanah Perdikan Menoreh. Tidak ada yang perlu dikawatirkan lagi. Para pengawal akan dapat melakukan kewajibannya sebaik-baiknya. Namun mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu selama aku pergi."
"Baiklah," jawab Ki Demang Sangkal Putung, "tetapi jangan terlalu lama. Jika kalian merasa sudah cukup, maka sebaiknya kalian segera kembali. Daerah ini masih dibayangi oleh kemelut yang tidak habis-habisnya."
Misteri Di Bukit Ular Emas 2 Pedang Tanduk Naga Karya S D Liong Lembah Merpati 3
^