Perebutan Patung Kalingga 2
Si Tolol 4 Perebutan Patung Dewi Kalingga Bagian 2
Melihat bentuk perahu kayu itu,
dapatlah diyakini bahwa itu bukan hasil karya ahli-ahli ukir orang Jepara.
Perahu itu datang dari negeri asing dan hen-dak mendarat di Pantai Jepara.
Sepasang remaja yang menumpangi perahu itu juga lain dari penduduk pribumi.
Si pemuda masih muda, baru berusia
sekitar dua puluh lima tahun. Wajahnya
putih bersih dan sangat tampan. Alis
matanya yang tebal melengkung bagaikan
golok panjang sungguh serasi dengan kedua bola matanya yang bersinar tajam dan
berbinar-binar. Rambutnya dikuncir ke atas dan diikat dengan pita putih yang
bagian ujungnya dibiarkan terurai panjang,
sehingga berkibar-kibar jika ditiup angin.
Melihat perawakan tubuhnya yang tegap dan pedang yang terselip di pinggangnya,
pastilah dia seorang pendekar yang
memiliki ilmu silat tinggi.
Gadis yang mendampingi pemuda tampan
itu juga sangat cantik jelita. Rambutnya dikepang dua dengan pita merah.
Wajahnya juga putih bersih dengan bentuk bulat
telur. Wajahnya mirip sekali dengan pemuda di sampingnya. Agaknya mereka adalah
kakak beradik yang baru datang dengan maksud
hendak menunaikan tugas yang sangat
penting. Ya, sepasang remaja itu memang kakak
beradik. Si pemuda yang tampan itu bernama Kwan Hong Lie, sedangkan dara cantik
itu bernama Kwan Giok Nio. Keduanya berasal dari daratan Tiongkok dari she
(marga) Kwan. Dari nada pembicaraan kakak beradik itu dapat diduga bahwa keduanya
sengaja datang ke daratan Jepara untuk menunaikan tugas yang sangat penting dan
penuh bahaya. Mereka pun datang dengan tujuan yang
sama seperti pendekar asing lainnya, yakni mencari patung Ratu Shima. Dengan
surat wasiat yang tersembunyi di dalam rongga patung
emas itu, mereka bermaksud
memulihkan kekuasaan dinasti di bawah
pimpinan Hung Hsin Tjuan dari pergerakan Tai Ping Tien Kuo melawan bangsa
Manchu. Rupanya riwayat patung Ratu Shima yang
hidup di abad ketujuh pada masa berdirinya kerajaan Kalingga sampai juga ke
daratan Tiongkok. Kabar itu sampai melalui para saudagar dan para pengembara
yang pernah singgah di Pantai Jepara,
Sebelumnya, beberapa pendekar Tiong-
kok sudah pernah diutus ke Jepara untuk merebut patung emas tersebut. Namun
entah karena apa utusan itu tidak berhasil,
bahkan kembali pun tidak sehingga akhirnya hilang tak tentu rimbanya. Hal itu
membuat para pendekar di sana merasa bahwa tugas seperti itu sangat berat.
Apalagi menurut kabar, patung itu sudah lama jadi rebutan para pendekar dari
berbagai penjuru yang ilmunya sangat tinggi, di samping jagoan pribumi yang juga
tidak kalah hebatnya.
Jadi kalau ilmunya tanggung-tanggung,
kakak beradik itu tentulah tidak akan
berani datang ke Jepara. Keduanya memang memiliki ilmu silat tinggi, terutama
ilmu pedang yang sangat cepat dan kuat.
Kwan Hong Lie dan adiknya Kwan Giok Nio sebenarnya adalah anak petani desa di
pinggir pantai sungai Huang Ho. Namun pada suatu hari, kedua. orang tua mereka
tewas dalam penyerbuan pasukan bangsa Manchu.
Kakak-beradik itu kemudian diasuh seorang pertapa di dalam sebuah gua di lereng
gunung Cing Lin San. Di situlah selama
hampir lima belas tahun keduanya menuntut ilmu silat yang sangat tinggi.
Setelah turun gunung, sepasang
pendekar remaja itu menjadi kesohor karena sepak terjang mereka yang sangat
hebat dan sikap kesatria yang tak mau berbuat jahat bahkan sebaliknya selalu
membela kaum lemah dari perbuatan-perbuatan kejam.
Sewaktu diminta untuk mengarungi
lautan luas ke Jepara untuk mencari patung Ratu Shima, keduanya segera setuju.
Disamping karena ingin berbakti kepada
bangsanya sendiri, keduanya juga ingin
mencari pengalaman di negeri asing.
"Betulkah ini Pantai Jepara?" tanya Kwan Giok Nio memecah kesunyian.
"Ya,benar! Saya sudah mempelajari peta ini. Lihatlah, itu pasti gunung Muria,"
sahut Kwan Hong Lie dan kembali
memperhatikan peta yang terpampang di
hadapannya. "Kalau begitu kita sudah sampai."
"Ya. Menurut buku maupun penjelasan yang telah kita dengar, di pulau ini dahulu
berdiri sebuah kerajaan Hindu yang
pertama. Sebuah kerajaan yang subur makmur diperintah seorang ratu yang sangat
cantik dan arif bijaksana. Pengikut jejak Fa Hien juga menceritakan bahwa
kotapraja kerajaan Kalingga diperkuat dengan pagar kayu.
Istananya dibangun bertingkat dengan atap daun palma."
"Sungguh indah pemandangan di sini.
Mari, kita turun saja," kata Giok Nio sambil memandang keadaan di sekelilingnya
penuh kagum. Kedua pendekar muda itu kemudian turun
dari perahu. Hong Lie menarik perahu lebih ke pinggir, lalu menambatkannya ke
sebatang pohon.
"Tapi sebaiknya kita istirahat saja dulu. Kita perlu membahas rencana kita
lagi. Ingat, adikku, kita tidak boleh
gagal!" "Ya, aku yakin kita pasti berhasil!"
Keduanya duduk di bawah pohon rindang,
sambil bercakap-cakap. Giok Nio membuka bungkusan
perbekalan mereka karena
keduanya sudah merasa lapar. Sambil makan, Hong Lie kembali bercerita lebih
banyak mengenai pulau yang mereka datangi.
"Selain yang kuceritakan tadi, tahta raja dibuat dari gading. Pada saat itu
kerajaan Kalingga memang berada pada zaman keemasannya."
"Lalu dari mana kita memulai pencarian terhadap patung Ratu Shima itu?"
"Kau tak perlu khawatir. Kita
mempunyai buku petunjuk yangpasti. Menurut tulisan peninggalan pengikut Fa Hien
ini, patung itu dipendam di lereng gunung Mu-ia, kira-kira seribu langkah dari
tepi pantai ini."
"Kalau begitu sebaiknya kita segera bergerak mencarinya. Siapa tahu ada orang
lain yang mendahului kita," kata Giok Nio yang agaknya memiliki sifat kurang
sabaran dibandingkan kakaknya.
"Giok Nio, kita sekarang berada di negeri yang baru pertama kali ini kita
datangi. Selain harus sabar, kita juga
perlu hati- hati. Kita tak boleh bergerak begitu saja. Saat ini kondisi tubuh
kita cukup lemah setelah berhari-hari berlayar.
Kita perlu istirahat untuk memulihkan
tenaga agar bisa siap sedia menghadapi
segala kemungkinan."
Giok Nio menatap wajah kakaknya
sejenak, lalu ia memalingkan muka ke arah lereng gunung di sebelah kiri mereka.
Gunung itu hijau dengan pepohonan yang
tinggi dan besar. Tidak terdapat suara
bising, selain desah riak laut dan dedaunan dihembus angin. Lama gadis itu
menatap ke arah lereng gunung. Matanya yang jernih dan mencorong tajam bagaikan
mata burung hong itu jarang berkedip.
Lereng gunung Muria itu sangat luas dan hutannya pun lebat. Di situlah katanya
Ratu Shima dipendam. Tetapi apakah kabar itu benar atau hanya isapan jempol
belaka belum bisa dipastikan. Jika pun berita itu benar adanya, tidak tertutup
kemungkinan orang lain sudah lebih dulu menemukannya. Akh...
Giok Nio menghela nafas panjang beberapa kali. Wajahnya yang cantik berubah agak
muram, karena khawatir usaha mereka tidak berhasil.
Kalau mereka misalnya tidak berhasil
mendapatkan patung itu, ia dan kakanya
tentu akan menjadi malu pulang ke negerinya tanpa membawa apa-apa. Apa kata
orang nanti" Mereka berdua tentu akan
diremehkan, tanpa mau perduli halangan apa saja yang dihadapi kedua kakak
beradik itu selama berada di Jepara.
Agaknya Hong Lie menyadari perubahan
sikap adiknya itu. Pemuda itu dapat
menyelami perasaan adiknya. Ia sendiri pun sebenarnya merasa cemas juga kalau
tugas mereka tidak berhasil. Tetapi sebagai
pendekar yang sikapnya sudah lebih dewasa, ia dapat mengesampingkan perasaan
cemas. Kenapa mesti khawatir" Bukankah mereka
belum mencoba" Berhasil atau tidaknya, itu urusan nanti. Yang penting mereka
berusaha sekuat mampu mereka. Toh dalam hidup ini tidak semua usaha itu
berhasi". Ada kalanya gagal.
Itu sudah menjadi kenyataan seperti
halnya adanya panas dan dingin. Ada
keberhasilan ada pula kegagalan. Ada suka ada pula duka. Datang silih berganti
dalam kehidupan seseorang. Oleh karena itu kita harus bisa menerima kenyataan
itu secara wajar dan apa adanya. Keberhasilan jangan menjadikan timbulnya
kesombongan. Sebaliknya kegagalan jangan membuat kita putus asa.
"Giok Nio, tampaknya pikiranmu agak kalut sekarang" Apakah yang kau pikirkan"
Agaknya kau khawatir kalau-kalau kita
tidak berhasil mendapatkan patung itu,"
kata Hong Lie setelah terdiam beberapa
saat. "Ah, tidak. Aku tidak apa-apa, kakak Hong Lie," sahut gadis itu sambil berusaha
tersenyum. Tetapi karena hatinya masih belum juga tenang, wajahnya tetap saja
terlihat muram.
"Sudahlah, Giok Nio. Kita tak perlu terlalu memikirkannya. Lihat, matahari
hampir tenggelam di ufuk Barat. Sebentar lagi malam akan tiba. Sebaiknya kita
mencari tempat beristirahat untuk tidur, supaya besok pagi kita dapat memulai
pencaharian kita dengan tubuh segar."
"Ya, kakak Hong Lie. Tapi pulau ini sangat indah, ya" Keindahan alam di sini
seolah-olah membelai-belai jiwaku.
Sepertinya memanggilku untuk tinggal di sini untuk selamanya."
"Ah, agaknya kau terlalu lelah,
adikku. Ayolah! Kita cari tempat
istirahat. Saya lihat di sini banyak sekali pohon besar. Kita bisa tidur di
dahannya. Mudah-mudahan saja malam ini hujan tidak turun."
Kedua pendekar muda itu kemudian
berjalan masuk pinggir hutan. Mereka
mencari pohon yang paling baik untuk tempat istirahat. Setelah menemukannya,
kedua meloncat dari bawah sampai ke dahan pohon itu.
Gerakan pendekar Tiongkok itu sangat
ringan dan cepat, membuktikan bahwa ilmu meringankan tubuh mereka sudah mencapai
kesempurnaan. Di dahan pohon yangcukup besar. Hong
Lie dan Giok Nio kemudian duduk bersila dengan posisi punggung tegak lurus.
Kedua tangan dilipat ke dada. Perlahan-lahan kedua pendekar itu memejamkan mata
dan menarik nafas panjang, kemudian
menghembuskannya secara perlahan-lahan
pula. Itulah permulaan siulin (semedi)
mereka untuk menenangkan perasaan serta memulihkan tenaga setelah berhari-hari
mengarungi samudra yang sangat luas.
Pada waktu yang bersamaan, si Tolol se-
dang berjalan sendirian di lereng gunung Muria sebelah Selatan. Anak itu masih
menyembunyikan patung Ratu Shima di balik bajunya. Sebentar-sebentar anak itu
melirik ke belakang, ke kiri dan kekanan, takut kalau-kalau ada yang mengejar
dan hendak merampas patung itu.
Akan tetapi setelah cukup lama
berhari-hari, kemudian berjalan agak
santai dan tidak ada lagi yang mengejar, anak itu merasa aman dan mulai percaya
bahwa tidak akan ada lagi yang akan
mengganggunya. "Aku sudah sangat jauh dari tempat orang jahat itu tadi. Di sini tentu tidak
akan ada orang jahat lagi. Biarlah
orang-orang jahat itu mampus. Kerjanya
hanya menggangguku saja," kata hati si Tolol kesal juga mengingat orang-orang
jahat yang selalu berusaha merebut patung itu.
Tanpa disadari si Tolol, ada seorang
pendekar asing yang sudah sejak tadi secara diam-diam menguntitnya. Pendekar itu
sebenarnya tidak begitu tertarik kepada si Tolol. Sebab apakah yang bisa
diharapkan dari anak yang tampak bloon itu" Tetapi karena si Tolol tampaknya
sedang menyembunyikan sesuatu dan sangat takut ketahuan orang lain, lelaki itu menjadi
tertarik dan diam-diam menguntit si Tolol.
Ketika si Tolol hendak berlari
kembali, lelaki itu meloncat dan langsung menghadang di hadapan anak itu. Si
Tolol sangat terkejut, dan karena sangat
ketakutan langsung berlutut
menyembah-nyembah dengan wajah pucat pasi.
"Ampun, tuan! Jangan bunuh aku. Aku takut mati, tuan...." kata anak itu.
"Hai, anak bego! Lihat ke sini!" bentak lelaki itu dengan suara mengguntur.
Dengan sangat ketakutan, si Tolol
mengangkat wajah. Maka tampaklah oleh anak itu seorang lelaki setengah baya
berdiri berkacak pinggang sambil menatapnya dengan mata melotot merah.
Laki-Iaki itu berperawakan tinggi dan
tegap. Rambutnya diikat dengan sepotong kain. Dagunya agak lebar, dengan kumis
tebal panjang dan melengkung sampai
ketulang pipinya. Di pinggangnya terselip sebilah golok panjang. Maka makin tak
karuanlah perasaan si Tolol bahkan nyaris terkencing-kencing kembali di celana.
"Hei, lu jadi anak jangan kayak kodok gitu. Lu tahu nggak siapa gue nih" Biar lu
tahu, gua nih Mat Caplang. Jagoan Betawi nomor satu, nih die orangnya! Lu kalau
berani macem-macem, gue embat sampai
mampus. Apaan tuh yang lu sembunyiin?"
"Am... ampun, Oom. Jangan marahi aku, jangan pukul."
"Pokoknya gue pengen lihat dulu, lu lagi sembunyiin ape di balik bero lu!"
Dengan kasar. Mat Caplang menepiskan
tangan si Tolol kemudian menarik baju anak itu. Alangkah terkejutnya pendekar
itu ketika melihat sebuah patung emas
disembunyikan di balik baju anak itu.
"Buangsat, lu! Dasar tikus botak lu!
Rupanya lu orang yang umpetin itu patung.
Susah-susah gue selama ini mencarinya.
Ha-ha- ha! Ape kate gua kemarin. Gue pasti berhasil! Tuh orang di kampung gua
pasti kaget ngeliat gue ntar pulang bawa patung Ratu Shima," kata Mat Caplang
sambil tertawa-tawa kegirangan.
Lelaki itu pun rupanya sudah cukup la-
ma mencari-cari patung Ratu Shima. Kalau pendekar itu tidak memiliki ilmu
kesaktian tinggi, tentulah ia tidak akan berani
menginjakkan kakinya di daerah Jepara.
Sebab para pendekar di Betawi pun sudah tahu bahwa patung Ratu Shima telah
menjadi perebutan para jagoan, termasuk dari
negeri seberang. Mat Caplang, demikian
Si Tolol 4 Perebutan Patung Dewi Kalingga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
nama pendekar Betawi itu hendak merebut patung Ratu Shima atas perintah seorang
tuan tanah yang kaya raya yang ingin
memiliki rahasia kelanggengan tahta, ia dan anak cucunya kelak dengan adanya
surat wasiat itu diharapkan mampu menguasai
tanah-tanah di daerah Betawi.
Mat Caplang sudah cukup lama dikenal
sebagai pendekar yang sangat sakti di
kampung halamannya. Namanya tersohor ke delapan penjuru angin di daerah Betawi.
Banyak penduduk yang meyakini lelaki
berkumis tebal dan melingkar itu merupakan pendekar paling sakti di daerahnya.
Ketika tuan tanah di kampungnya
memintanya merebut patung Ratu Shima
dengan imbalan yang sangat banyak, Mat
Caplang tanpa pikir panjang lagi langsung menerima tawaran itu. Apalagi tuan
tanah itu cukup pintar memancing dengan
mengatakan sebagai pendekar yang kesohor masa hanya beraninya di kampung
halamannya saja. Dan rupanya Mat Caplang gampang juga tersinggung harga dirinya.
Merasa dirinya ditantang untuk menunjukkan kebolehannya, hatinya menjadi panas
dan berjanji akan mempertahuhkan nama baiknya untuk merebut patung itu.
Ketika melihat patung itu berada di ta-
ngan seorang bocah tolol, tak terkatakan betapa girangnya hati Mat Caplang.
Tanpa ber-usah payah bertempur dengan pendekar lain, ia ternyata sudah bisa
memiliki patung itu. "He-he-he... aku akan jadi kaya raya sekarang...." katanya sambil mengulurkan
tangan hendak merampas patung itu.
"Berhenti...!!!"
Mendadak terdengar suara bentakan yang
dikeluarkan sambil mengerahkan tenaga
dalam yang sangat kuat. Mat Caplang
menghentikan gerakannya. Ia berpaling dan tampaklah olehnya seorang lelaki asing
berdiri di tempat itu sambil berkacak
pinggang. Lelaki yang baru datang itu adalah Hu-
sein sendiri. Tadi kebetulan saja ia
berlari tak jauh dari tempat itu untuk
mengejar si tolol. Pendekar dari negeri Irak itu tertarik sekaligus curiga
mendengar seseorang membentak-bentak.
Husein segera meloncat lebih dekat, dan melihat Mat Caplang hendak merampas
patung Ratu Shima. Takut patung yang sangat
diidam-idamkannya itu jatuh ke tangan
pendekar lain, Husein segera meloncat dari balik semak- semak.
"Hei, siape lu?" bentak Mat Caplang sambil menggenggam hulu goloknya. Husein
tidak segera menjawab. Ia tertawa
terpingkal-pingkal seolah-olah sangat
anggap remeh pada Mat Caplang. Jenggot dan kain sorban di kepalanya sampai
bergoyang-goyang. Namun diam-diam
pendekar berhidung mancung itu telah
mempersiapkan permadaninya untuk
menyerang Mat Caplang secara tiba-tiba. Ia sudah bertekad untuk merobohkan
jagoan Betawi itu secepat mungkin agar ia bisa melarikan diri. Bagaimanapun juga,
pendekar lainnya tidak mustahil tiba di tempat itu dalam waktu yang tidak
terlalu lama lagi. Kalau itu terjadi, akan tipislah harapannya merebut patung
emas itu. "Hei, lu orang asing jangan
macem-macem di hadapan gue. Jenggot lu yang kayak jenggot kambing itu ntar gue
cabut. Lu orang asing jangan coba-coba nantangin gue. Nih die orangnya Mat Caplang yang
kesohor ke segela penjuru. Lu sebaiknya angkat kaki dari sini, atau jidat lu gue
tebas pake golok gue."
"Maaf, sobat. Kita sudah sama-sama berada di tempat ini. Kau tentu hendak
merampas patung dari balik anak tolol itu.
Tapi jangan kira aku mau tinggal diam.
Selama aku masih ada di sini, jangan harap ada orang lain yang bisa
memilikinya."
"Busyet! Rupanye ade juga yang berani nantangin gue. Sekarang bilangin siape
nama lu, biar ntar gue kagak nyesel bunuh lu orang sableng!"
"Aku adalah Husein, datang dari negeri Irak. Sekarang aku peringatkan agar kau
segera meninggalkan tempat ini. Kalau masih keras kepala, jangan salahkan jika
aku terpaksa menurunkan tangan kejam."
"Buangsat! Nih, rasain serangan gue!"
sehabis berkata begitu, Mat Caplang segera menerjang Husein. Ia mengangkat
goloknya tinggi-tinggi siap membabat tubuh lawan, sedangkan tangan kirinya
dikepal menyambar ke arah dada Husein.
Melihat serangan itu sangat berbahaya,
Husein segera memutar permadaninya untuk melindunginya dari serangan lawan. Ia
berkelit mengelakkan pukulan lawan,
sementara permadaninya diayunkan
menangkis golok Mat Caplang.
Segeralah terjadi pertarungan
dahsyat. Golok Mat Caplang berkelebat
membentuk gulungan sinar putih dan hitam, mengincar tubuh lawan dari segala
penjuru. Sedangkan permadani Husein rupanya tidak hanya ampuh sebagai pertahanan, tetapi
juga berbahaya untuk lawan. Permadani yang lemas itu kadang-kadang berubah jadi
keras menghantam bagian-bagian vital di tubuh Mat Caplang.
Sifat seseorang memang mempengaruhi
gerakannya sewaktu bertarung. Demikian
halnya dengan Mat Caplang tampak sangat beringas dan bernafsu sekali menjatuhkan
lawan secepat mungkin. Mungkin hal itu karena selama ini ia jarang menghadapi
lawan tangguh. Dan di kampungnya pun, pendekar Betawi itu sudah dianggap orang
sebagai jagoan paling hebat.
Sekarang ia pun ingin menunjukkan
bahwa menghadapi siapa pun ia tetap paling hebat. Masa menghadapi orang asing
yang tampak agak alim dan hanya memegang senjata permadani itu ia tidak kuat.
Bagaimanapun juga, ia harus memenangkan pertarungan
itu, makin cepat makin baik. Dan ilmu
pendekar Betawi ini memang luar biasa.
Gerakannya cepat dan kuat. Jika ia
melakukan pukulan jarak jauh dan dapat
dielakkan lawan, maka tanah di sekitar tempat itu menjadi terkuak terkena
hantaman pukulannya.
Husein sendiri hampir tidak punya
kesempatan lagi melakukan serangan
balasan. Makin lama ia makin terdesak,
bahkan baju di bagian punggung dan
lengannya sudah sobek terkena sabetan
golok lawan. Itu terjadi karena dalam
keadaan terdesak ia mencoba membalas
menyerang dengan gerak yang penuh tipu
daya. Namun rupanya Mat Caplang tidak hanya omohgannya saja yang besar. Selain
dapat mengelak, ia malah mampu menyerang dengan jurus yang lebih licik lagi
hingga nyaris mencelakakan pendekar Irak itu.
Husein pun mulai berpikir bahwa dalam
pertarungan itu ia sewaktu-waktu bisa
menghadapi kemungkinan yang paling buruk.
Permainannya pun lebih terpusat pada
pertahanan diri dan menunggu kesempatan yang baik, siapa tahu musuhnya itu
lengah karena merasa berada di atas angin.
Kesempatan yang ditunggu-tunggu Hu-
sien akhirnya tiba juga. Mat Caplang
menerjangnya dengan dahsyat, tetapi
pertahanannya sedikit agak terbuka. Husein menunduk mengelakkan senjata lawan
yang meluncur cepat sekali ke arah lehernya, dan pada yang hampir bersamaan,
permadani di tangannya menyambar dari samping.
Mat Caplang tidak sempat lagi menarik
goloknya. Untuk mundur pun ia tak mungkin lagi. Karena itu ia segera mengerahkan
tenaga dalamnya untuk melindungi perutnya dari sambarang senjata lawan. Dan
tepat ketika permadani Husein menghantam
perutnya, tangan kiri Mat Caplang pun
berhasil pula memukul secara telak dada musuhnya itu.
"Augh...!" kedua pendekar itu sama-
-sama menjerit kesakitan. Tubuh mereka
sama-sama terdorong mundur beberapa
lang-kah karena kuatnya hantaman lawan.
*** 5 Mat Caplang merasa lambungnya panas
bagaikan diaduk-aduk. Untunglah tadi ia melindungi tubuhnya dengan tenaga dalam
sehingga pukulan lawan tidak sampai
mem-buatnya menderita Juka dalam yang
parah. Husein sendiri juga mengalami luka dalam yang cukup serius. Ia
memuntahkan sedikit darah kehitam-hitaman dengan wajah yang berubah jadi pucat.
Masih untung baginya pukulan tangan kiri Mat Caplang yang menghantam dadanya tidak dengan
pengerahan tenaga dalam sepenuhnya, karena dilakukan dalam posisi yang jotrang
menguntungkan. Kalau tidak demikian
keadaan pastilah semakin parah lagi.
Melihat keadaan lawannya itu, Mat
Caplang tertawa kegirangan, walaupun
lambungnya masih terasa sakit.
"Gue kagak nyangka lu orang asing ilmunya hanya segitu. Ngapain lu nginjekin
kaki di sini kalau ilmu lu cume gitu aje"
Katanya mau ngerebut patung Ratu Shima.
Kalau ilmu lu hanya gitu- gitu saja mana bisa" Mendingan lu pulang belajar ilmu
silat lagi," kata Mat Caplang dengan nada mengejek.
"Kau memang hebat, kawan!" kata Husein geram. Tetapi karena pada dasarnya ia
memang memiliki sikap yang polos, ia
terpaksa merasa mengakui keunggulan lawan.
"Tapi jangan kira aku sudah kalah."
"Heh, jadi lu masih punya nyali
ngelawan gue" Gue mampusin juga lu,
sialan!" "Sahabat, orang-orang di negeri saya punya prinsip, selama bisa bergerak
berarti tidak ada alasan untuk menyerah.
Dan kalah menang adalah hal biasa dalam pertarungan. Ada kalanya yang menang itu
jadi kalah dan yang kalah itu jadi menang.
Seperti golok yang juga bisa jadi ular.
Lihat, sebentar lagi senjata di tanganmu itu akan berubah jadi ular dan akan
mematuk matamu!" dalam ilmu silat, ia tidak akan mampu mengatasi lawan. Karena
itu, diam-diam ia mulai menggunakan ilmu
sihirnya. Bibirnya komat kamit dan matanya memancarkan sinar yang sangat aneh,
yang mengandung kekuatan untuk memaksa bathin lawan untuk takluk.
Mat Caplang terkejut juga menyaksikan
sinar mata Husein. Dan ia makin terkejut lagi manakala merasakan golok di
tangannya bergerak bagaikan meronta-ronta. Pendekar Betawi itu melirik senjata
di tangannya. Benar saja, golok itu telah berubah jadi ular yang mulai meronta-ronta hendak
mematuk kedua biji matanya.
"Busyet lu, monyet. Lu pakai ilmu
siluman," kata Mat Caplang terkejut.
"Itu bukan ilmu siluman, kawan. Itu kenyataan. Lihatlah, ular itu akan segera
mematuk matamu. Ya, matamu akan dipatuknya.
Diamlah, kawan. Biarkan matamu di-patuk ular itu!"
"Jangkrik, lu! jangan lu kirain ilmu siluman kayak gini mempan ama gua. Lihat,
ilmu lu kagak ada gunanya!" Mat Caplang segera mengerahkan tenaga batinnya untuk
membuyarkan ilmu sihir lawan.
Pendekar Betawi itu memejamkan mata
sambil menghela nafas dalam-dalam.
Laki-laki itu sebenarnya tidak bisa
menggunakan ilmu sihir. Namun sebagai
pendekar yang telah berpuluh-puluh tahun berkelana dalam dunia persilatan, ia
tahu mengatasi ilmu jahat seperti itu.
Menghadapi ilmu seperti itu, seseorang
tidak boleh panik, karena pengaruhnya akan semakin kuat dan bisa mencelakakan
korbannya. Karena itu, Mat Caplang segera menenangkan perasaan dan ketika ia
berteriak dengan suara mengguntur,
pengaruh ilmu sihir itu pun buyar. Ular di tangannya kembali seperti sedia kala,
menjadi golok. Melihat ilmu sihirnya telah buyar, Hu-
sein menjadi terkejut. Ia kembali
menghadapi kenyataan bahwa ilmunya itu
tidak bisa mencelalakan lawan, seperti
ketika ia bertarung dengan Gahito. Ada rasa cemas dan kesal terpancar di wajah
lelaki itu. Cemas karena tampaknya ia tidak akan bisa lagi memenangkan
pertarungan itu, dan kesal karena ilmu sihirnya tidak bisa
mempengaruhi lawan.
Mat Caplang sendiri bertambah marah
karena merasa dirinya sempat dipermainkan lawan. Ia menggenggam goloknya lebih
erat dan mempersiapkan serangan berikutnya.
Melihat sorot matanya yang merah, agaknya ia sudah bertekad akan menghabisi
nyawa lawannya. Namun ketika Mat Caplang hendak menyerang, mendadak Husein
berseru: "Hei, tunggu, dulu kawan! Lihat, bocah botak itu telah lenyap. Ia tidak ada lagi
di sini. Dia pasti sudah melarikan patung itu."
"Busyet! Kenapa gue kagak ngeliat tadi?" ujar Mat Caplang celingukan mencari-
cari si Tolol yang ternyata telah menghilang. Ketika kedua pendekar itu
bertarung mengerahkan segala ilmunya, anak itu menjadi girang. Ini kesempatan
baik, pikirnya lalu segera berlari meninggalkan arena pertarungan itu. Tubuhnya
berkelebat bagaikan anak panah, sehingga dalam waktu singkat sudah jauh dari
lereng gunung itu.
"Sobat, tak ada gunanya kita
melanjutkan pertarungan ini. Anak itu
sudah kabur," kata Husein.
"Bilangin aja lu takut ngeliat golok gue. Coba lu kagak nongol disini, gue pasti
sudah bisa bawa pulang itu patung. Dasar setan emang lu orang. Kerjanya
nyampurin urusan orang."
"Saya kira bukan hanya kita saja yang menginginkan patung itu, kawan. Banyak,
banyak sekali. Sebaiknya kita mengejar
anak itu sampai ketemu. Siapa tahu orang lain mendahului kita."
"Jadi lu kagak berani lagi ngelawan gue?"
"Maaf, kawan. Aku harus pergi. Sampai jumpa!" Sehabis berkata begitu, Husein
meloncat pergi dan dalam waktu singkat tubuhnya telah lenyap di balik pepohonan.
"Awas lu! Kalau ketemu ama gue lagi, jangan harap bisa hidup. Kali ini gue masih
maafin lu, tikus busuk!" teriak Mat Caplang geram. Ia pun segera meloncat pergi
meninggalkan tempat itu. Sepanjang jalan
yang dilaluinya, pendekar Betawi itu tak henti-hentinya mgngomel karena gagal
memiliki patung Ratu Shima. Gara- gara orang asing itu, katanya dalam hati.
Akan tetapi, kemudian pendekar Betawi
itu menjadi ragu-ragu. Apa memang betul patung yang ada di tangan bocah botak
itu adalah patung Ratu Shima" Bagaimana bisa patung yang sangat berharga dan
diperebutkan para pendekar itu jatuh ke tangan bocah tolol" Orang yang bisa
merebutnya tentulah bukan
orang sembarangan. Sedangkan anak itu tampaknya hanya bocah yang tak tahu apa-apa.
Melihat Mat Caplang saja sudah gemetaran dengan wajah pucat pasi.
Si Tolol 4 Perebutan Patung Dewi Kalingga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jangan-jangan aku salah lihat, atau patung itu hanya kebetulan saja mirip
dengan patung Ratu Shima." kata hati Mat Caplang sambil terus berlari.
Hari sudah mulai gelap. Matahari sudah
kembali ke peraduannya. Suasana di sekitar gunung Muria semakin sepi. Tak
terdengar lagi suara burung-burung berkicau. Yang terdengar hanya suara jangkrik
bersahut-sahutan, sehingga udara di
sekitar gunung itu terasa dipenuhi
nyanyian jangkrik. Terasa gaduh, tapi
sekaligus menciptakan suasana yang sunyi.
Mat Caplang terus berlari menuju desa
terdekat untuk mencari rumah penginapan.
Wajah lelaki berkumis melengkung itu masih tetap keruh. Matanya merah
memancarkan rasa penasaran yang sangat sulit
dihapuskan dari dalam hati.
"Gue harus berhasil. Jangan dibilang nama gua Mat Caplang kalau gue kagak mampu
ngerebut itu patung," kata Mat Caplang bicara pada dirinya sendiri.
Memang demikianlah adanya kalau hati
sudah diliputi rasa penasaran. Pikiran
tidak tenang dan selalu kesal pada diri sendiri. Dan kalau hati sudah dikuasai
nafsu untuk memiliki, segala cara pun akan ditempuh agar maksud hatinya
tercapai. Tidak perduli jika harus mengorbankan
kepentingan atau bahkan nyawa orang lain.
Tidak peduli apakah perbuatannya itu benar atau salah.
Agaknya itulah yang terjadi pada diri
para pendekar di daerah Jepara saat ini.
Mereka saling memperebutkan patung Ratu Shima yang di dalamnya tersimpan surat
wasiat berisi rahasia keabadian tahta
serta rahasia kecantikan.
Orang-orang percaya, dengan surat
wasiat itu mereka akan mampu
mempertahankan kedudukannya menjadi
langgeng. Juga dapat dijadikan resep
kecantikan yang tiada duanya di muka bumi ini, sehingga yang sudah tua dan
keriputan pun bisa menjadi cantik muda kembali.
Kehebatan yang dijanjikan surat wasiat
itu, seolah-olah telah menutup mata batin para pendekar. Padahal kalau dipikir-
pikir rahasia itu belum tentu sesuai dengan apa yang dibayangkan para pendekar.
Demikian banyaknya pendekar yang
memperebutkannya, dan nantinya yang bisa memilikinya hanyalah satu pihak saja.
Yang lainnya hanya bisa gigit jari. Perjuangan dan pengorbanan mereka selama ini
akan sia-sia, bahkan dalam perebutan itu,
mungkin beberapa orang di antaranya akan menemui ajal. Alangkah sia-sianya jerih
payah mereka nanti. Agaknya inilah yang kurang disadari tokoh-tokoh dari dunia
persilatan itu.
Mereka lebih cenderung berbicara dari
segi harga diri dan ambisi daripada
pemikiran yang realistis. Bukan maksudnya untuk menghalangi orang berusaha dan
berjuang. Tetapi apakah tidak terlalu
berlebihan jika sepasang pendekar muda
dari Tiongkok Kwan Hong Lie dan Kwan Giok Nio misalnya datang sedemikian jauhnya
hanya untuk memperebutkan patung Ratu
Shima" Apalagi maksud mereka adalah untuk mencari rahasia kelanggengan tahta
agar dapat memenangkan pertempuran melawan
bangsa Manchu. Seyogyanya mereka berbenah diri, mengatur strategi dan rencana
yang matang daripada sekedar mengharapkan surat wasiat.
Demikian juga halnya nenek tua Nyi Peri yang sangat berambisi memiliki rahasia
surat wasiat Ratu Shima dengan maksud agar dirinya yang sudah tua dan keriputan
menjadi cantik lagi. Sepertinya ia hendak menentang takdir bahwa ketuaan lumrah
adanya dan harus dihadapi siapa pun tanpa terkecuali.
Akan tetapi seperti yang dikatakan di
atas, kalau hati sudah dikuasai nafsu dan ambisi yang berlebihan, mata bathin
sering menjadi tertutup. Berbagai tokoh dari
dunia persilatan telah terjun ke kancah perebutan patung Ratu Shima, baik yang
berasal dari Pulau Jawa maupun dari negeri seberang lautan. Bagaimana akhir dari
perebutan itu memang masih panjang dan
akhirnya waktu juga yang akan bicara.
Waktu terus berputar, perlahan namun
pasti. Malam telah berlalu. Sinar mentari yang lembut menyapu pepohonan di
gunung Muria. Burung-burung berkicau merdu sambil terbang dari dahan yang satu
ke dahan lainnya. Para petani mulai berangkat ke sawah
dan ladang masing-masing, sedangkan para pengrajin mulai menekuni ukiran-ukiran
kayu jatinya. Anak-anak tampak bermain
dengan sangat riang gembira sambil
berteriak-teriak. Semuanya berjalan
seperti biasa-nya tidak banyak perubahan.
Akan tetapi, di Pantai Jepara sekarang
telah hadir sepasang pendekar muda yang datang dari daratan Tiongkok. Keduanya
sekarang sudah selesai sarapan pagi dan
bersiap-siap memulai perjalan mereka untuk mencari patung Ratu Shima
"Sekarang adalah saat air pasang untuk pesisir Utara Pulau Jawa. Ini sesuai
dengan tulisan peninggalan pengikut Fa Hsien,
seribu langkah dari tepi pantai pada saat air pasang ke arah utara puncak gunung
Muria," kata Hong Lie sambil memperhatikan air laut yang sedang menghempas-
hempas di pantai.
"Ya, kita beruntung. Kedatangan kita tepat dengan air pasang. Mudah-mudahan sa-
ja nanti kita tetap beruntung." sahut Giok Nio penuh harap.
"Saya juga sangat berharap begitu.
Walaupun begitu, kita tentunya sudah siap menghadapi segala kemungkinan.
Sekarang, mari kita berangkat. Kau bantu aku
menghitung langkah menuju arah puncak
gunung itu. Ingat Giok Nio, kau jangan sampai salah menghitung. Hitungan yang
salah berarti menemukan tempat yang salah."
"Baiklah," kata Giok Nio.
Kedua kakak beradik itu kemudian mulai
melangkah dan menghitung dari pantai,
batas antara air laut dengan pasir.
"Satu... dua... tiga... empat...." Sambil mengikuti langkah kakaknya, Giok Nio
terus menghitung. Mereka melangkah lurus ke
puncak gunung Muria hingga akhirnya sampai ke dataran yang cukup luas, di dekat
sebatang pohon besar dan rindang.
Di tempat itulah dulu si Tolol menggali tanah dengan maksud melubangi bumi agar
tembus dari ujung yang satu di seberangnya, karena melalui mimpinya ia melihat
bumi itu bulat bentuknya bagaikan bola. Saat itulah si Tolol menemukan patung
Ratu Shima, namun kemudian dirampas Prawiro, yang kemudian menguburnya hidup-
hidup di dalam lubang galiannya sendiri.
"Seribu... nah, di sini!" kata Giok Nio setelah hitungannya sampai kehilangan
seribu. Kedua pendekar Tiongkok itu
menghentikan langkah, lalu mengamati
keadaan disekelilingnya. Maka tampaklah oleh keduanya bekas lubang galian tempat
si Tolol menemukan patung emas itu.
"Hei, lihat! Seperti bekas lubang
galian," kata Giok Nio setengah berteriak.
Ia bersama kakaknya menghampiri bekas
galian itu dan menelitinya lebih seksama.
Tak salah lagi, tanah itu adalah bekas
galian. "Kalau begitu kita sudah terlambat, Giok Nio. Patung itu pasti sudah diambil
orang yang kemudian menutupi lubang ini,"
kata Hong Lie cemas.
"Tapi..." ujar adiknya ragu-ragu.
"Tapi apa?" tanya Hong Lie sembari menatap wajah adiknya dalam-dalam.
"Coba perhatikan, kakak Hong Lie.
Galian ini masih baru. Mungkin baru
seminggu atau dua minggu. Jadi kemungkinan besar itu masih berada di sekitar
daerah ini."
"Kau benar, Giok Nio. Galian ini memang masih baru. Seharusnya kita datang lebih
cepat." "Lalu apa yang harus kita lakukan
sekarang?".
"Saya sudah yakin patung itu sekarang sudah ada di tangan orang. Kita harus
menyelidiki siapa sebenarnya yang
menemukan patung itu. Setelah itu, kita atur rencana untuk merebutnya kembali."
"Baiklah kalau begitu. Mari kita
berangkat."
Akan tetapi baru beberapa langkah
meninggalkan tempat itu, tiba-tiba
terdengar suara tawa seorang lelaki,
bergema dari segala penjuru. Suara tawa itu mengandung tenaga dalam yang sangat
hebat sehingga dada kedua pendekar Tiongkok itu berdebar. Sadarlah kedua
pendekar itu bahwa orang yang mengeluarkan suara tawa itu bukanlah orang sembarangan.
Keduanya kemudian sama-sama merapatkan punggung
menghadap ke arah berlawanan.
"Hei, siapa kau" Keluarlah!" teriak Hong Lie.
Akan tetapi orang tersebut belum juga
menampakkan batang hidungnya. Ia terus
tertawa sambil menambah kekuatan tenaga dalam suaranya. Hong Lie menjadi kesal.
Ia memusatkan perhatian, berteriak sambil mengerahkan tenaga khikang mengimbangi
suara tawa orang asing itu.
Di kalangan pendekar Tiongkok,
berteriak atau tertawa sambil mengerahkan tenaga dalam juga dianggap hal biasa.
Kebanyakan dari pendekar negeri itu bisa berbuat demikian. Tenaga dalam yang
disalurkan melalui suara itu disebut
khikang, makin kuat makin berat pula bagi lawan untuk mengatasinya.
Mendadak suara tawa itu terhenti. Ham-
pir bersamaan dengan itu dari balik
pepohonan meloncat seorang pendekar asing, yang tak lain dan tak bukan adalah
Gahito sendiri. Pendekar samurai itu menatap Hong Lie dan Giok Nio dengan sinar
mata mengejek. Seperti diceritakan di bagian depan,
pendekar samurai itu sempat bertarung
mati-matian dengan Husein. Dalam perta-
rungan itu, Gahito nyaris mengalami
kecelakaan akibat pengaruh sihir pendekar Irak itu. Akan tetapi kedua pendekar
asing itu sama- sama mengakhiri pertarungan
seperti menyadari bahwa si Tolol yang
diyakini sedang menyembunyikan patung Ratu Shima telah lenyap.
Gahito dan Husein kemudian sama-sama
mengejar si Tolol ke arah pantai. Di tengah jalan, keduanya mengambil jalan
masing-masing di mana Husein menuju Barat, sedangkan Gahito ke sebelah Timur.
Dalam kesendiriannya, Gahito bermaksud balik la-gi ke lereng gunung, karena
menurut perki-raannya, kemungkinan besar si Tolol masih akan kembali ke sana. Bocah
tolol itu tak mungkin sudah berada jauh dari lereng gunung.
Dengan perkiraan seperti itu, pendekar
samurai akhirnya kembali lagi kearah
berlawanan. Sewaktu sedang berjalan
sendirian, ia mendengar suara langkah
orang disertai hitungan. Gahito segera
bersembunyi dan mengintip dari balik
semak-semak. Ternyata dua remaja yang
diyakininya baru datang dari negeri
Tiongkok. Gahito tertawa geli melihat
kedua pendekar muda usia itu kelabakan
melihat bekas galian tanah di sekitar
tempat itu. "Siapa kau orang asing?" tanya Giok Nio geram sehingga wajahnya yang cantik
jelita itu menjadi merah padam.
"Orang asing katamu, nona cantik"
Sayakah orang asing atau kalian?" balas Gahito dengan nada sinis.
"Maafkan adik saya, sahabat yang gagah perkasa," kata Hong Lie dengan sikap yang
lebih tenang, "Kami berdua memang datang dari seberang, dari daratan Tiongkok.
Saya kira engkau pun datang dari jauh, mungkin dari negeri Jepang."
"Ternyata matamu cukup jeli juga, anak muda. Kedatangan kalian ke sini tentunya
bukan sekedar berpelesiran, bukan?"
"Maafkan kami, kawan, Tentang maksud kedatangan kami ke sini adalah urusan kami
sendiri. Sama seperti urusanmu ke sini, tentunya kami tak perlu mencampurinya."
"Jangan layani orang sombong itu,"
kata Giok Nio kesal, lalu sambil menuding Gahito dengan telunjuk tangan kirinya,
gadis manis itu berkata:
"Hei, apa urusanmu sama kami" Kalau kau merasa hebat majulah, hadapi aku. Jangan
kira aku takut melihat samuraimu itu!"
"Ha-ha-ha... gadis cantik yang sangat galak. Tapi kau tambah cantik saja kalau
sedang marah."
Hong Lie menarik lengan adiknya sambil
mengisyaratkan agar adiknya itu bersikap tenang. Lalu Hong Lie kembali berkata
kepada Gahito: "Sahabat, seperti yang saya katakan tadi maksud kedatangan kami ke sini adalah
urusan kami sendiri. Sebaiknya engkau
tidak terlalu usil. Kami akan segera
melanjutkan perjalanan."
"Bagus! Tapi perlu kalian ketahui, kedatangan kalian memang sudah terlambat.
Jangan mimpi bisa mendapatkan patung Ratu Shima."
"Bangsat! Jadi berarti kaulah yang mendahului kami!" bentak Giok Nio sambil
menghunus pedangnya.
"Tampaknya kalian berdua sangat senang bermain-main denganku. Baiklah kalau
begitu, sekarang, majulah berbarengan
menghadapiku, agar permainan kita agak
berimbang!" ejek Gahito.
Ditantang seperti itu, Giok Nio makin
marah. Sambil berteriak nyaring, gadis itu meloncat tinggi ke arah Gahito.
Sewaktu tubuhnya masih melayang di udara, ia
mengayunkan pedangnya ke arah leher lawan.
Dengan gerakan yang tak kalah cepat-
nya, pendekar samurai mencabut senjatanya untuk menangkis serangan lawan.
Terdengar suara berdentang dua senjata beradu dengan keras. Saat berikutnya,
kedua pendekar itu terlibat pertarungan yang dahsyat.
Melihat gerakan Gahito yang sangat ce-
pat dan kuat, Hong Lie merasa khawatir ju-ga akan keselamatan adiknya. Apalagi
karena ia menyadari Giok Nio masih kurang berpengalaman dan mudah marah,
sehingga jika menghadapi lawan seperti Gahito tidak mustahil akan mengalami
kecelakaan. Maka pemuda itu pun segera mencabut pedangnya, lalu ikut menyerang
lawan dengan dahsyat.
Terjadilah pertarungan hebat, dua
lawan satu. Hong Lie dan adiknya bergerak cepat dan lincah sekali. Serangan
mereka datang secara bergelombang dari segala
arah. Dari pertarungan itu terlihatlah
bahwa Hong Lie dan Giok Nio merupakan sepasang pendekar yang sangat kompak dan
serasi. Sambil menyerang, keduanya saling melindungi sehingga sangat sulit bagi
lawan mengalahkan mereka. Jika seorang
menyerang, yang lainnya bertahan. Dan jika keadaan memungkinkan, keduanya sama-
sama menyerang pula.
Dari cara pertarungan mereka, terlihat
Si Tolol 4 Perebutan Patung Dewi Kalingga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pula bahwa Giok Nio memiliki hati yang te-lengas. Setiap kali menyerang, ujung
pedangnya selalu mengarah ke bagian-bagian vital di tubuh lawan. Lain halnya
dengan Hong Lie, lebih cenderung bermaksud
melumpuhkan Gahito tanpa membuatnya
menderita luka berat. Bagaimanapun juga, pemuda itu tetap menyadari bahwa antara
mereka dan Gahito tidak ada persoalan
apa-apa. Rasanya mustahil pendekar samurai itu
yang menggali tanah dan kemudian
menyembunyikan patung Ratu Shima. Kalau misalnya Gahito sudah menguasai patung
itu, buat apa ia menunjukkan diri. Ia tentu akan melarikan diri atau pulang ke
negerinya secepat mungkin. Atau sedikitnya pastilah bersembunyi menunggu waktu
yang baik untuk pulang membawa patung ke tempat asalnya.
Giok Nio sendiri tidak memikirkannya,
karena hatinya sudah keburu panas. Ia hanya memikirkan bagaimana cara terbaik
merobohkan pendekar samurai itu secepat mungkin.
Menghadapi serangan serangan pendekar
muda itu, Gahito menjadi kerepotan juga. Ia sudah mencabut kedua belah
samurainya dan memutarnya untuk menangkis serangan lawan.
Untunglah ia memiliki tenaga yang sedikit lebih kuat, sehingga masih mampu
bertahan. Hong Lie dan Giok Nio bagaikan sepasang burung rajawali mengeroyok seekor
banteng. Kedua pendekar itu menyerang dengan sangat lincahnya, sedangkan Gahito yang kuat
bertahan sambil sesekali melakukan
serangan balasan.
Memasuki jurus yang kelima puluh,
Gahito meloncat tinggi ke udara, kemudian meluncur dengan posisi kepala ke
bawah. Kedua ujung senjatanya menyambar bagaikan kilat ke arah dada kedua
lawannya. Melihat serangan itu sangat cepat dan berbahaya, Hong Lie dan Giok Nio
segera membanting diri kemudian bergulingan di atas tanah.
Kemudian secepat kilat bangkit sambil
berputar tubuh. Kedua pendekar Tiongkok itu lalu membabat tubuh Gahito yang
sedang meluncur ke bawah. Posisi pendekar samurai benar-benar gawat dan sekilas
pandang akan sulitlah baginya menyelamatkan diri.
"Mampus kau, bangsat!" bentak Giok Nio.
Akan tetapi dengan gerakan yang sukar
diikuti pandangan mata, Gahito mengangkat kedua samurainya menangkis sabetan
pedang lawan yang menyambar dari arah berlawanan.
Masih dengan gerakan yang sangat cepat, Gahito menancapkan kedua samurainya di
tanah dan menggunakan sebagai tumpuan
untuk bersalto jauh ke depan.
"Bangsat! Jangan kira kau bisa lolos dari tanganku!" bentak Giok Nio yang diam-
diam merasa terkejut juga melihat
kelihaian lawan menghindari serangan maut mereka.
Secara berbarengan, kedua. pendekar
muda itu kembali menerjang Gahito dengan serangan yang lebih dahsyat lagi. Hong
Lie dan Giok Nio sedikit pun tidak memberikan lawan kesempatan untuk balas
menyerang. Semangat dan kegigihan kedua pendakar
Tiongkok ini memang patut dikagumi.
Walaupun tenaga mereka sudah mulai
terkuras, serangan mereka malah bertambah gencar. Dan suatu saat, ujung pedang
Hong Lie dan Giok Nio berhasil merobek kulit bahu Gahito.
Saat itu Gahito sudah sangat terdesak,
sedangkan pedang kedua lawan menyambar ke dadanya dari arah berlawanan. Pendekar
samurai itu tak sempat lagi menarik
senjatanya karena sudah keburu diayunkan tadi ke depan. Maka jalan satu-satunya
adalah membantingkan diri ke belakang.
Gerakannya memang cepat, namun ujung
senjata lawan masih tepat melukainya.
"Mampus kau, bangsat! Hari ini kau akan mampus di tanganku!" teriak Giok Nio
dengan suara nyaring.
Gadis cantik itu mengangkat pedangnya
dan bermaksud menebas lawannya hingga
mampus. Namun mendadak terdengar suara
tawa berkepanjangan, seorang laki-laki yang belum menampakkan dirinya di arena
pertarungan itu.
Giok Nio menghentikan gerakannya. Ia
berpandangan dengan kakaknya, seolah-olah sedang menunggu isyarat Hong Lie apa
yang harus mereka lakukan sekarang.
"Keluar kau!" teriak Hong Lie.
Seorang lelaki bersorban dan telinga
kanannya dihiasi anting-anting besar telah berdiri tak jauh dari arena
pertarungan. Lelaki itu tidak membawa senjata,
melainkan selembar permadani me rah.
Itulah Husein, si pendekar dari negeri Irak itu.
Rupanya pendekar ini pun berpikiran
sama dengan Gahito. Ketika keduanya
berpisah sewaktu hendak mengejar si Tolol, pendekar Irak itu bermaksud balik
lagi ke lereng gunung. Sebab menurut perkiraannya, bocah botak itu pasti masih
berada di sekitar lereng gunung. Biarlah pendekar samurai itu nanti sendirian ke pantai,
sedangkan ia sendiri bisa bebas sendiri mencari si Tolol. Jika ia ketemu lagi
dengan si Tolol, dengan mudah ia merampas patung emas itu tanpa terganggu oleh
kehadiran Gahito.
Tetapi rupanya, Gahito juga berpikiran
sama, bahkan sudah duluan berada di lereng gunung dan kini sedang bertarung
dengan dua pendekar yang tampaknya berasal dari
daratan Tiongkok. Melihat Gahito terdesak, Husein menjadi girang. Timbullah niat
busuk dalam hatinya untuk memperalat kedua pendekar muda itu menyingkirkan
Gahito. Kalau Gahito mati, saingan Husein pun tentu berkurang. Ia tidak terlalu khawatir
terhadap kedua pendekar Tiongkok itu,
karena mereka pastilah belum tahu bahwa patung Ratu Shima sedang berada di
tangan si Tolol.
"Ha-ha-ha... pendekar samurai!" kata Husein sambil tertawa mengejek, "Setiap
pendekar yang menyembunyikan patung Ratu Shima pasti dikejar orang biar sampai
ke ujung langit sekalipun. Nyawamu sekarang terancam di ujung pedang kedua
pendekar Tiongkok itu. Karena itu sebaiknya kau
berikan patung Ratu Shima kepadaku.
Biarlah nanti aku yang akan menghadapi kedua orang muda itu."
Mendengar kata-kata Husein,
terkejutlah Gahito karena ia menyadari
bahwa pendekar Irak itu sengaja berkata demikian dengan maksud agar Hong Lie dan
Giok Nio percaya patung itu memang berada di tangannya. Padahal ia yakin, Husein
pun tahu di tangan siapa sebenarnya patung Ratu Shima sekarang.
"Licik kau, bangsat! Rupanya kau
sengaja memfitnahku karena takut
menghadapiku!" bentak Gahito.
"Bukan aku takut, sobat! Menghadapi orang seperti kau kenapa harus takut" Malah
kemarin, kalau aku tak murah hati, nyawamu pasti sudah melayang."
"Tutup mulutmu, bangsat! Sekarang mari kita lanjutkan pertarungan kita sampai
salah seorang, kau atau aku mampus!"
"Tidak perlu, sobat Bukankah saat ini kau sedang menghadapi dua pendekar muda
yang sangat tangguh" Apakah kau takut
menghadapi lawanmu itu?" ejek Husein yang rupanya sempat lupa bahwa Mat Caplang
pun sudah tahu bahwa patung Ratu Shima ada di tangan si Tolol.
"Diam kau, bangsat! Jangan banyak bicara kau! Sekarang hadapi aku kalau kau
memang bukan pengecut!"
"Kau jangan memancing aku marah,
sobat. Teruskanlah pertarunganmu dengan kedua pendekar muda itu. Kau sudah
hampir mampus tadi. Jika kau mampus musuhku tentu akan berkurang satu. Nah,
selamat bermain-main, sobat. Aku pergi dulu
mencari benda yang sangat berharga itu."
"Kau jujur tapi tolol!" teriak Gahito.
Husein tidak menyahut lagi. Ia segera
melemparkan permadaninya, lalu meloncat ke atasnya. Beberapa saat kemudian,
tubuhnya sudah melesat bagaikan terbang.
"Selamat berpisah, kawan-kawan!"
teriak pendekar itu bersama lenyapnya
tubuhnya di balik pepohonan.
Mendengar pembicaraan kedua pendekar
itu tadi, sadarlah Hong Lie bahwa patung itu pastilah tidak berada di tangan
Gahito. Kalau misalnya ada di tangannya, pendekar bersorban itu tentulah tidak akan mau
pergi begitu saja.
*** 6 Tapi agaknya kedua laki-laki itu sudah
pernah bertemu dan bertarung sewaktu
mencari patung Ratu Shima. Dan tampaknya, lelaki bersorban itu menganggap
pendekar samurai adalah saingan utamanya, sehingga sengaja memanas-manasi hati
Hong Lie dan Giok Nio agar segera menyingkirkannya.
Cuma agaknya, lelaki dari Irak itu memang jujur tapi tolol, seperti yang
dikatakan Gahito tadi.
"Ssst... Giok Nio, Tampaknya patung itu tidak berada di tangan pendekar samurai
ini. Kita tak perlu mengeroyoknya." bisik Hong Lie.
"Benar. Aku pun merasa demikian."
"Sebaiknya kita perlu dari sini. Mari kita lanjutkan perjalanan. Nanti pria
bersorban tadi mendahului kita lagi."
Hong Lie kemudian melangkah ke hadapan
Gahito yang sejak tadi berdiri saja
menunggu apa yang hendak dilakukan kedua pendekar dari Tiongkok itu.
"Maafkan kami, sobat. Agaknya kita telah salah paham, padahal di antara kita
tidak ada persoalan apa-apa. Kami percaya engkau tidak takut menghadapi kami,
demikian juga kami tidak takut berhadapan denganmu. Barangkali suatu saat nanti
kita masih punya kesempatan untuk melanjutkan pertarungan kita ini."
Setelah berkata begitu, kedua pendekar
Tiongkok itu membalikkan badan hendak
meninggalkan lereng gunung itu. Tetapi ti-ba-tiba Gahito berkata:
"Tunggu dulu!"
"Ada apa, sobat?"
"Aku Gahito pendekar samurai dari
negeri Matahari Terbit merasa kagum
terhadap kalian berdua. Masih begitu muda tapi Sudah memiliki ilmu yang sangat
hebat. Kalau kalian berdua tidak keberatan aku ingin berkenalan dengan kalian."
"Terimakasih, pendekar samurai.
Janganlah memuji kami telalu tinggi
seperti itu. Aku adalah Kwan Hong Lie,
sedangkan ini adikku Kwan Giok Nio."
"Terimakasih, anak muda. Sampai ketemu nanti. Sekarang kita berada di negeri
jauh. Patung Ratu Shima diperebutkan banyak
sekali pendekar."
"Terimakasih! Untuk itulah kami datang ke sini. Kalau tidak diperebutkan banyak
orang, mungkin kami tidak akan singgah di pulau ini," kata Giok Nio yang agaknya
masih kesal terhadap Gahito. Gadis itu
menanggapi kata-kata pendekar samurai
sebagai peringatan agar mereka hati-hati, seolah-olah Gahito itu seorang guru
besar sedang menasehati murid-muridnya yang
hendak turun gunung. Giok Nio dengan nada ketus langsung menjawab justru karena
banyak diperebutkan pendekar makanya
mereka datang ke Jepara. Dengan perkataan seperti itu, Giok Nio sepertinya
hendak menekankan bahwa ia dan kakaknya sudah siap sedia menghadapinya, bahkan
senang berhadapan dengan pendekar yang ilmunya tinggi. Sikap yang cenderung menunjukkan
kesombongan. "Sudahlah, adik Giok Nio! Mari kita melanjutkan perjalanan!" kata Hong Lie
sambil menarik tangan adiknya itu. Sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh,
kedua kakak beradik itu melesat dari tempat itu.
Tubuh mereka berkelebatan dan dalam
sekejap hilang di balik rerumputan dan
pohon-pohon. Gahito menghela nafas
panjang-panjang. Wajah pendekar samurai itu tampak agak muram. Dalam usahanya
mencari patung Ratu Shima, ia kembali
menghadapi pendekar yang tidak kalah
tangguhnya. Menghadapi Husein sendiri ia sudah keteteran, biarpun belum tentu.
kalah jika pertarungan dilanjutkan. Dan tadi, diam-diam ia harus mengaku bahwa
kedua pendekar muda itu lebih hebat lagi.
Kini makin sadarlah pendekar samurai
itu, bahwa untuk memilikipatung Ratu Shima jauh lebih sulit dari apa yang pernah
dibayangkannya dulu. Dalam waktu dekat, ia tidak mustahil pula akan berhadapan
dengan pendekar yang lebih hebat lagi. Lawan berat yang
dihadapinya selama ini
baru pendekar-pendekar dari negeri seberang, orang pendatang seperti dirinya di
wilayah Jepara. Belum lagi pendekar pribumi yang tidak mustahil pula memiliki
ilmu silat yang sangat tinggi.
*** 7 Sementara itu, Hong Lie dan Giok Nio
makin jauh dari lereng gunung Muria tempat mereka bertarung tadi dengan Gahito.
Sambil berlari, dara jelita itu
berkali-kali menyatakan penasaran karena sikap pendekar samurai yang dinilainya
sangat sombong.
"Coba kalau tadi kita menghajarnya sampai minta ampun. Bicaranya seperti
pendekar paling hebat saja di kolong langit ini. Nanti kalau ketemu lagi
dengannya, aku pasti akan menghajar!" kata Giok Nio penasaran.
"Sudahlah, Giok Nio. Tenangkanlah
perasaanmu. Ingat, itu baru musuh pertama bagi kita. Musuh berikutnya akan
menyusul lagi. Ah, sebaiknya kita istirahat dulu.
Aku sudah capek!"
"Baiklah, aku pun sudah kelelahan."
Kedua pendekar muda itu lain duduk
beristirahat di bawah pohon rindang.
Keduanya diam beberapa saat sambil menyeka keringat yang membasahi wajah mereka.
Wajah Giok Nio yang bulat telur dan bersih itu tampak bersemu merah. Anak-anak
rambutnya menempel di keningnya yang basah oleh peluh. Ia tampak lebih cantik
dan menggairahkan dengan penampilan seperti itu.
"Giok Nio, bagaimana pun, kita harus mengakui bahwa pendekar samurai memiliki
ilmu yang sangat tinggi. Kalau kita maju sendirian, kemungkinan kita tidak akan
mampu menandinginya. Lelaki bersorban itu pun tampaknya bukan orang sembarangan,
Ilmu meringankan tubuhnya sangat hebat."
"Ya, tadi saya sempat
memperhatikannya. Dia bagaikan terbang
saja dengan permadaninya. Tapi aku yakin, kita bisa mengatasinya. Bukankah
katanya ia pernah bertarung dengan pendekar
samurai itu" Tampaknya pertarungan mereka berimbang, hingga tadi pendekar
samurai menantangnya adu kekuatan lagi."
"Kau benar, Giok Nio. Aku pun sudah memikirkannya. Tapi satu hal yang menjadi
Si Tolol 4 Perebutan Patung Dewi Kalingga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pemikiranku sekarang adalah mengenai
banyaknya pendekar yang memperebutkan
patung Ratu Shima. Pendekar samurai itu maupun laki-laki bersorban tadi baru
merupakan orang yang pertama kita temukan.
Aku yakin masih banyak pendekar lain, yang mungkin ilmunya lebih tinggi lagi."
"Tidak apa. Di negeri kita pun kita sudah sering menghadapi lawan tangguh.
Guru kita juga sering berkata bahwa di
kalangan dunia persilatan banyak sekali pendekar tangguh. Bukankah kita
mempelajari ilmu silat untuk menghadapi kenyataan seperti itu?"
"Benar katamu, dik. Untuk dapat
memiliki suatu benda berharga kita memang harus bekerja keras dan banyak
berkorban. Tapi agaknya patung Ratu Shima terlalu
sulit direbut. Kita sama sekali belum tahu di tangan siapa patung itu sekarang
berada. Yang kita tahu, patung itu sudah di tangan orang yang entah siapa yang menggali
tanah itu."
"Menurutmu apakah yang harus kita
lakukan selanjutnya?"
Hong Lie tidak segera menjawab. la me-
mungut sebatang ranting kering yang jatuh di dekat kakinya. Diamatinya sejenak
ranting itu lalu dilemparkannya ke
semak-semak di hadapannya. Barulah
kemudian pemuda itu angkat bicara:
"Kita harus menyelidiki di tangan
siapa sebenarnya patung itu sekarang
berada. Siapa yang mendahului kita
menggali tanah itu sebab melihat kerasnya persaingan, tidak mustahil orang yang
pertama kali menemukannya sudah terbunuh sewaktu berusaha mempertahankannya dari
rebutan pendekar lain."
"Itu memang bisa saja terjadi. Sayang kita belum tahu seluk beluk daerah ini.
Besok kita harus ke pasar membeli
perbekalan, karena keperluan kita sudah hampir habis," ujar Giok Nio sambil
menunjukkan buntalannya kepada Hong Lie.
"Baiklah kalau begitu. Tapi ingat, Giok Nio. Untuk selanjutnya kita harus
hati-hati. Jangan lupa pesan guru kita, bahwa kita tak perlu takut menghadapi
musuh, tapi harus selalu waspada.
Mudah-mudahan saja kita akan berhasil
menemukan patung itu."
Giok Nio manggut-manggut mendengar
ucapan kakaknya. Ia merasa Hong Lie sedang memperingatkannya karena sering
bersikap tidak sabar dan mudah marah. Guru mereka pun sering berkata demikian
karena katanya gadis cantik itu kadang-kadang belum bisa menguasai perasaannya,
sehingga dalam bertindak ia cenderung berdasarkan emosi saja, bukannya perhitungan matang dan
pemikiran dewasa.
Lain halnya dengan Hong Lie, cara
berpikirnya sudah lebih dewasa dan ia pun lebih cepat menyesuaikan diri dengan
keadaan. Pemuda itu tidak hanya mendengar tapi juga sudah membuktikan sendiri
bahwa dalam setiap tindakan, jika hati sudah
dikuasi amarah, maksud hati lebih sering gagal daripada berhasil. Bahkan tidak
jarang pula mengundang bahaya fatal.
Dalam pertarungan, amarah seperti ini
juga kerap membuat seseorang menderita
kerugian, sehingga yang seharusnya menang jadi kalah. Hal itu bisa dilihat dari
adanya kenyataan bahwa setiap orang yang
bertarung jika sudah marah, serangannya akan tampak ganas dan beringas, tetapi
pertahanan dirinya jadi lemah. Lawan yang tenang dan sudah berpengalamari
biasanya akan memanfaatkan kesempatan baik itu
untuk melancarkan serangan balasan yang mengandung maut.
Itulah sebabnya sering terlihat,
sebelum bertarung seorang pendekar
terlebih dulu memancing amarah lawan agar dapat menggunakan kesempatan baik itu
untuk menjatuhkan musuh. Di kalangan dunia persilatan, atau di kalangan pendekar
negerinya Kwan Hong Lie dan Giok Nio
disebut dunia Kangouw, lengah beberapa
detik saja sudah cukup bagi seorang
pendekar untuk menjatuhkan lawan.
Hal seperti inilah yang sering
terlihat oleh Hong Lie pada diri adiknya.
Giok Nio masih sering terlihat kurang
perduli akan resiko yang bakal dihadapi dengan sikapnya, seolah-olah ia
berprinsip serang dulu resiko belakangan. Memang
seorang pendekar, tidak boleh bersikap
pengecut, tidak boleh menyerah sebelum
bertarung. Tapi bagaimanapun juga, sebelum melakukan sesuatu adalah perlu untuk
berfikir terlebih dahulu.
"Kenapa kau diam saja, kakak Hong Lie?"
tanya Giok Nio memecah kesunyian,
"Aku, sedang memikirkan rencana kita selanjutnya," sahut pemuda itu sekenanya.
"Jangan terlalu dipikirkan..
Percayalah, kita pasti berhasil membawanya pulang ke negeri kita."
"Mudah-mudahan saja," kata Hong Lie.
Dan kedua kakak beradik itu pun kembali membicarakan rencana mereka selanjutnya
dalam usaha mereka merebut patung Ratu
Shima. Tanpa mereka sadari, pendekar lainnya
pun sedang sibuk melakukan pencaharian
terhadap patung yang menyimpan rahasia
kelanggengan tahta dan rahasia kecantikan itu. Para pendekar yang memiliki ilmu
silat tinggi itu hilir mudik di sekitar lereng gunung Muria, sehingga satu
jengkal tanah pun sepertinya tidak ada yang Input dari perhatian mereka.
Nenek tua Nyi Peri yang dalam beberapa
tahun terakhir ini sudah sangat jarang
terjun ke dunia persilatan, kini telah keluar rumah. Padahal selama ini, sekedar
keluar kehalaman rumah saja,Nyi Peri
sangat jarang. Ini membuktikah bahwa nenek tua yang sangat sakti itu demikian
berambisi merebut patung Ratu Shima.
Pendekar Mat Caplang pun sudah meninggalkan sarangnya terjun ke daerah Jepara hanya untuk berusaha merebut
patung emas itu. Demikian juga pendekar Matahari Terbit Gahito dan pendekar
Irak, Husein. Pendekar pertama yang merebut patung itu dari tangan si Tolol, yakni Prawiro,
telah tewas di tangan pendekar wanita misterius yang sekujur tubuhnya penuh
tatto, Di antara semua pendekar yang saling
memperebutkan patung Ratu Shima, wanita bertatto ini agaknya adalah yang paling
menarik. Ilmunya tinggi dan latar belakang kehidupannya pun masih terselubung.
Para jagoan yang datang dari berbagai
penjuru itu sekarang sedang berkeliaran di sekitar gunung Muria. Mereka sama-
sama memiliki ilmu yang sangat tinggi dan juga ambisi yang sangat besar. Mereka siap
melakukan apa saja, pun termasuk membunuh setiap orang yang dianggap penghalang
untuk memiliki patung Ratu Shima.
Tanpa disadari oleh para jago silat
itu, si Tolol sekarang sedang mandi-mandi pada sebuah mata air di lereng gunung
Muria. Anak itu bemyanyi-nyanyi kegirangan dengan suara yang terputus- putus,
karena kadang-kadang ia membenamkan sekujur
tubuhnya ke dalam air sejuk. Setelah itu, ia muncul lagi di permukaan untuk
menarik nafas. Kesempatan itu digunakan untuk
mendendangkan lagu apa saja yang ia ingat.
Sinar matahari tampak berkilau- kilau
memantul di atas percikan air yang
membasahi tubuh si Tolol. Baju dan celana anak itu diletakkan di atas batu, di
pinggir mata air.
Di bawah tumpukan baju dan celana yang
sudah kumal itu disimpan patung emas Ratu Shima, yang kini sedang diincar para
pendekar. Dapatkah si Tolol mempertahankan
patung emas bertahtakan permata tersebut dari jangkauan para pendekar tangguh
yang berambisi mendapatkannya"
TAMAT Jawabannya segera kita lihat pada
episode berikutnya yang berjudul:
"Duka Lara Sang Dewi Tatoo"
Scan/Conver/E-Book: Abu Keisel
Tukang Edit: mybenomybeyes
http://duniaabukeisel.blogspot.com
Pendekar Guntur 4 Dewi Ular Terjerat Asmara Mistik Penguasa Danau Keramat 2
Melihat bentuk perahu kayu itu,
dapatlah diyakini bahwa itu bukan hasil karya ahli-ahli ukir orang Jepara.
Perahu itu datang dari negeri asing dan hen-dak mendarat di Pantai Jepara.
Sepasang remaja yang menumpangi perahu itu juga lain dari penduduk pribumi.
Si pemuda masih muda, baru berusia
sekitar dua puluh lima tahun. Wajahnya
putih bersih dan sangat tampan. Alis
matanya yang tebal melengkung bagaikan
golok panjang sungguh serasi dengan kedua bola matanya yang bersinar tajam dan
berbinar-binar. Rambutnya dikuncir ke atas dan diikat dengan pita putih yang
bagian ujungnya dibiarkan terurai panjang,
sehingga berkibar-kibar jika ditiup angin.
Melihat perawakan tubuhnya yang tegap dan pedang yang terselip di pinggangnya,
pastilah dia seorang pendekar yang
memiliki ilmu silat tinggi.
Gadis yang mendampingi pemuda tampan
itu juga sangat cantik jelita. Rambutnya dikepang dua dengan pita merah.
Wajahnya juga putih bersih dengan bentuk bulat
telur. Wajahnya mirip sekali dengan pemuda di sampingnya. Agaknya mereka adalah
kakak beradik yang baru datang dengan maksud
hendak menunaikan tugas yang sangat
penting. Ya, sepasang remaja itu memang kakak
beradik. Si pemuda yang tampan itu bernama Kwan Hong Lie, sedangkan dara cantik
itu bernama Kwan Giok Nio. Keduanya berasal dari daratan Tiongkok dari she
(marga) Kwan. Dari nada pembicaraan kakak beradik itu dapat diduga bahwa keduanya
sengaja datang ke daratan Jepara untuk menunaikan tugas yang sangat penting dan
penuh bahaya. Mereka pun datang dengan tujuan yang
sama seperti pendekar asing lainnya, yakni mencari patung Ratu Shima. Dengan
surat wasiat yang tersembunyi di dalam rongga patung
emas itu, mereka bermaksud
memulihkan kekuasaan dinasti di bawah
pimpinan Hung Hsin Tjuan dari pergerakan Tai Ping Tien Kuo melawan bangsa
Manchu. Rupanya riwayat patung Ratu Shima yang
hidup di abad ketujuh pada masa berdirinya kerajaan Kalingga sampai juga ke
daratan Tiongkok. Kabar itu sampai melalui para saudagar dan para pengembara
yang pernah singgah di Pantai Jepara,
Sebelumnya, beberapa pendekar Tiong-
kok sudah pernah diutus ke Jepara untuk merebut patung emas tersebut. Namun
entah karena apa utusan itu tidak berhasil,
bahkan kembali pun tidak sehingga akhirnya hilang tak tentu rimbanya. Hal itu
membuat para pendekar di sana merasa bahwa tugas seperti itu sangat berat.
Apalagi menurut kabar, patung itu sudah lama jadi rebutan para pendekar dari
berbagai penjuru yang ilmunya sangat tinggi, di samping jagoan pribumi yang juga
tidak kalah hebatnya.
Jadi kalau ilmunya tanggung-tanggung,
kakak beradik itu tentulah tidak akan
berani datang ke Jepara. Keduanya memang memiliki ilmu silat tinggi, terutama
ilmu pedang yang sangat cepat dan kuat.
Kwan Hong Lie dan adiknya Kwan Giok Nio sebenarnya adalah anak petani desa di
pinggir pantai sungai Huang Ho. Namun pada suatu hari, kedua. orang tua mereka
tewas dalam penyerbuan pasukan bangsa Manchu.
Kakak-beradik itu kemudian diasuh seorang pertapa di dalam sebuah gua di lereng
gunung Cing Lin San. Di situlah selama
hampir lima belas tahun keduanya menuntut ilmu silat yang sangat tinggi.
Setelah turun gunung, sepasang
pendekar remaja itu menjadi kesohor karena sepak terjang mereka yang sangat
hebat dan sikap kesatria yang tak mau berbuat jahat bahkan sebaliknya selalu
membela kaum lemah dari perbuatan-perbuatan kejam.
Sewaktu diminta untuk mengarungi
lautan luas ke Jepara untuk mencari patung Ratu Shima, keduanya segera setuju.
Disamping karena ingin berbakti kepada
bangsanya sendiri, keduanya juga ingin
mencari pengalaman di negeri asing.
"Betulkah ini Pantai Jepara?" tanya Kwan Giok Nio memecah kesunyian.
"Ya,benar! Saya sudah mempelajari peta ini. Lihatlah, itu pasti gunung Muria,"
sahut Kwan Hong Lie dan kembali
memperhatikan peta yang terpampang di
hadapannya. "Kalau begitu kita sudah sampai."
"Ya. Menurut buku maupun penjelasan yang telah kita dengar, di pulau ini dahulu
berdiri sebuah kerajaan Hindu yang
pertama. Sebuah kerajaan yang subur makmur diperintah seorang ratu yang sangat
cantik dan arif bijaksana. Pengikut jejak Fa Hien juga menceritakan bahwa
kotapraja kerajaan Kalingga diperkuat dengan pagar kayu.
Istananya dibangun bertingkat dengan atap daun palma."
"Sungguh indah pemandangan di sini.
Mari, kita turun saja," kata Giok Nio sambil memandang keadaan di sekelilingnya
penuh kagum. Kedua pendekar muda itu kemudian turun
dari perahu. Hong Lie menarik perahu lebih ke pinggir, lalu menambatkannya ke
sebatang pohon.
"Tapi sebaiknya kita istirahat saja dulu. Kita perlu membahas rencana kita
lagi. Ingat, adikku, kita tidak boleh
gagal!" "Ya, aku yakin kita pasti berhasil!"
Keduanya duduk di bawah pohon rindang,
sambil bercakap-cakap. Giok Nio membuka bungkusan
perbekalan mereka karena
keduanya sudah merasa lapar. Sambil makan, Hong Lie kembali bercerita lebih
banyak mengenai pulau yang mereka datangi.
"Selain yang kuceritakan tadi, tahta raja dibuat dari gading. Pada saat itu
kerajaan Kalingga memang berada pada zaman keemasannya."
"Lalu dari mana kita memulai pencarian terhadap patung Ratu Shima itu?"
"Kau tak perlu khawatir. Kita
mempunyai buku petunjuk yangpasti. Menurut tulisan peninggalan pengikut Fa Hien
ini, patung itu dipendam di lereng gunung Mu-ia, kira-kira seribu langkah dari
tepi pantai ini."
"Kalau begitu sebaiknya kita segera bergerak mencarinya. Siapa tahu ada orang
lain yang mendahului kita," kata Giok Nio yang agaknya memiliki sifat kurang
sabaran dibandingkan kakaknya.
"Giok Nio, kita sekarang berada di negeri yang baru pertama kali ini kita
datangi. Selain harus sabar, kita juga
perlu hati- hati. Kita tak boleh bergerak begitu saja. Saat ini kondisi tubuh
kita cukup lemah setelah berhari-hari berlayar.
Kita perlu istirahat untuk memulihkan
tenaga agar bisa siap sedia menghadapi
segala kemungkinan."
Giok Nio menatap wajah kakaknya
sejenak, lalu ia memalingkan muka ke arah lereng gunung di sebelah kiri mereka.
Gunung itu hijau dengan pepohonan yang
tinggi dan besar. Tidak terdapat suara
bising, selain desah riak laut dan dedaunan dihembus angin. Lama gadis itu
menatap ke arah lereng gunung. Matanya yang jernih dan mencorong tajam bagaikan
mata burung hong itu jarang berkedip.
Lereng gunung Muria itu sangat luas dan hutannya pun lebat. Di situlah katanya
Ratu Shima dipendam. Tetapi apakah kabar itu benar atau hanya isapan jempol
belaka belum bisa dipastikan. Jika pun berita itu benar adanya, tidak tertutup
kemungkinan orang lain sudah lebih dulu menemukannya. Akh...
Giok Nio menghela nafas panjang beberapa kali. Wajahnya yang cantik berubah agak
muram, karena khawatir usaha mereka tidak berhasil.
Kalau mereka misalnya tidak berhasil
mendapatkan patung itu, ia dan kakanya
tentu akan menjadi malu pulang ke negerinya tanpa membawa apa-apa. Apa kata
orang nanti" Mereka berdua tentu akan
diremehkan, tanpa mau perduli halangan apa saja yang dihadapi kedua kakak
beradik itu selama berada di Jepara.
Agaknya Hong Lie menyadari perubahan
sikap adiknya itu. Pemuda itu dapat
menyelami perasaan adiknya. Ia sendiri pun sebenarnya merasa cemas juga kalau
tugas mereka tidak berhasil. Tetapi sebagai
pendekar yang sikapnya sudah lebih dewasa, ia dapat mengesampingkan perasaan
cemas. Kenapa mesti khawatir" Bukankah mereka
belum mencoba" Berhasil atau tidaknya, itu urusan nanti. Yang penting mereka
berusaha sekuat mampu mereka. Toh dalam hidup ini tidak semua usaha itu
berhasi". Ada kalanya gagal.
Itu sudah menjadi kenyataan seperti
halnya adanya panas dan dingin. Ada
keberhasilan ada pula kegagalan. Ada suka ada pula duka. Datang silih berganti
dalam kehidupan seseorang. Oleh karena itu kita harus bisa menerima kenyataan
itu secara wajar dan apa adanya. Keberhasilan jangan menjadikan timbulnya
kesombongan. Sebaliknya kegagalan jangan membuat kita putus asa.
"Giok Nio, tampaknya pikiranmu agak kalut sekarang" Apakah yang kau pikirkan"
Agaknya kau khawatir kalau-kalau kita
tidak berhasil mendapatkan patung itu,"
kata Hong Lie setelah terdiam beberapa
saat. "Ah, tidak. Aku tidak apa-apa, kakak Hong Lie," sahut gadis itu sambil berusaha
tersenyum. Tetapi karena hatinya masih belum juga tenang, wajahnya tetap saja
terlihat muram.
"Sudahlah, Giok Nio. Kita tak perlu terlalu memikirkannya. Lihat, matahari
hampir tenggelam di ufuk Barat. Sebentar lagi malam akan tiba. Sebaiknya kita
mencari tempat beristirahat untuk tidur, supaya besok pagi kita dapat memulai
pencaharian kita dengan tubuh segar."
"Ya, kakak Hong Lie. Tapi pulau ini sangat indah, ya" Keindahan alam di sini
seolah-olah membelai-belai jiwaku.
Sepertinya memanggilku untuk tinggal di sini untuk selamanya."
"Ah, agaknya kau terlalu lelah,
adikku. Ayolah! Kita cari tempat
istirahat. Saya lihat di sini banyak sekali pohon besar. Kita bisa tidur di
dahannya. Mudah-mudahan saja malam ini hujan tidak turun."
Kedua pendekar muda itu kemudian
berjalan masuk pinggir hutan. Mereka
mencari pohon yang paling baik untuk tempat istirahat. Setelah menemukannya,
kedua meloncat dari bawah sampai ke dahan pohon itu.
Gerakan pendekar Tiongkok itu sangat
ringan dan cepat, membuktikan bahwa ilmu meringankan tubuh mereka sudah mencapai
kesempurnaan. Di dahan pohon yangcukup besar. Hong
Lie dan Giok Nio kemudian duduk bersila dengan posisi punggung tegak lurus.
Kedua tangan dilipat ke dada. Perlahan-lahan kedua pendekar itu memejamkan mata
dan menarik nafas panjang, kemudian
menghembuskannya secara perlahan-lahan
pula. Itulah permulaan siulin (semedi)
mereka untuk menenangkan perasaan serta memulihkan tenaga setelah berhari-hari
mengarungi samudra yang sangat luas.
Pada waktu yang bersamaan, si Tolol se-
dang berjalan sendirian di lereng gunung Muria sebelah Selatan. Anak itu masih
menyembunyikan patung Ratu Shima di balik bajunya. Sebentar-sebentar anak itu
melirik ke belakang, ke kiri dan kekanan, takut kalau-kalau ada yang mengejar
dan hendak merampas patung itu.
Akan tetapi setelah cukup lama
berhari-hari, kemudian berjalan agak
santai dan tidak ada lagi yang mengejar, anak itu merasa aman dan mulai percaya
bahwa tidak akan ada lagi yang akan
mengganggunya. "Aku sudah sangat jauh dari tempat orang jahat itu tadi. Di sini tentu tidak
akan ada orang jahat lagi. Biarlah
orang-orang jahat itu mampus. Kerjanya
hanya menggangguku saja," kata hati si Tolol kesal juga mengingat orang-orang
jahat yang selalu berusaha merebut patung itu.
Tanpa disadari si Tolol, ada seorang
pendekar asing yang sudah sejak tadi secara diam-diam menguntitnya. Pendekar itu
sebenarnya tidak begitu tertarik kepada si Tolol. Sebab apakah yang bisa
diharapkan dari anak yang tampak bloon itu" Tetapi karena si Tolol tampaknya
sedang menyembunyikan sesuatu dan sangat takut ketahuan orang lain, lelaki itu menjadi
tertarik dan diam-diam menguntit si Tolol.
Ketika si Tolol hendak berlari
kembali, lelaki itu meloncat dan langsung menghadang di hadapan anak itu. Si
Tolol sangat terkejut, dan karena sangat
ketakutan langsung berlutut
menyembah-nyembah dengan wajah pucat pasi.
"Ampun, tuan! Jangan bunuh aku. Aku takut mati, tuan...." kata anak itu.
"Hai, anak bego! Lihat ke sini!" bentak lelaki itu dengan suara mengguntur.
Dengan sangat ketakutan, si Tolol
mengangkat wajah. Maka tampaklah oleh anak itu seorang lelaki setengah baya
berdiri berkacak pinggang sambil menatapnya dengan mata melotot merah.
Laki-Iaki itu berperawakan tinggi dan
tegap. Rambutnya diikat dengan sepotong kain. Dagunya agak lebar, dengan kumis
tebal panjang dan melengkung sampai
ketulang pipinya. Di pinggangnya terselip sebilah golok panjang. Maka makin tak
karuanlah perasaan si Tolol bahkan nyaris terkencing-kencing kembali di celana.
"Hei, lu jadi anak jangan kayak kodok gitu. Lu tahu nggak siapa gue nih" Biar lu
tahu, gua nih Mat Caplang. Jagoan Betawi nomor satu, nih die orangnya! Lu kalau
berani macem-macem, gue embat sampai
mampus. Apaan tuh yang lu sembunyiin?"
"Am... ampun, Oom. Jangan marahi aku, jangan pukul."
"Pokoknya gue pengen lihat dulu, lu lagi sembunyiin ape di balik bero lu!"
Dengan kasar. Mat Caplang menepiskan
tangan si Tolol kemudian menarik baju anak itu. Alangkah terkejutnya pendekar
itu ketika melihat sebuah patung emas
disembunyikan di balik baju anak itu.
"Buangsat, lu! Dasar tikus botak lu!
Rupanya lu orang yang umpetin itu patung.
Susah-susah gue selama ini mencarinya.
Ha-ha- ha! Ape kate gua kemarin. Gue pasti berhasil! Tuh orang di kampung gua
pasti kaget ngeliat gue ntar pulang bawa patung Ratu Shima," kata Mat Caplang
sambil tertawa-tawa kegirangan.
Lelaki itu pun rupanya sudah cukup la-
ma mencari-cari patung Ratu Shima. Kalau pendekar itu tidak memiliki ilmu
kesaktian tinggi, tentulah ia tidak akan berani
menginjakkan kakinya di daerah Jepara.
Sebab para pendekar di Betawi pun sudah tahu bahwa patung Ratu Shima telah
menjadi perebutan para jagoan, termasuk dari
negeri seberang. Mat Caplang, demikian
Si Tolol 4 Perebutan Patung Dewi Kalingga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
nama pendekar Betawi itu hendak merebut patung Ratu Shima atas perintah seorang
tuan tanah yang kaya raya yang ingin
memiliki rahasia kelanggengan tahta, ia dan anak cucunya kelak dengan adanya
surat wasiat itu diharapkan mampu menguasai
tanah-tanah di daerah Betawi.
Mat Caplang sudah cukup lama dikenal
sebagai pendekar yang sangat sakti di
kampung halamannya. Namanya tersohor ke delapan penjuru angin di daerah Betawi.
Banyak penduduk yang meyakini lelaki
berkumis tebal dan melingkar itu merupakan pendekar paling sakti di daerahnya.
Ketika tuan tanah di kampungnya
memintanya merebut patung Ratu Shima
dengan imbalan yang sangat banyak, Mat
Caplang tanpa pikir panjang lagi langsung menerima tawaran itu. Apalagi tuan
tanah itu cukup pintar memancing dengan
mengatakan sebagai pendekar yang kesohor masa hanya beraninya di kampung
halamannya saja. Dan rupanya Mat Caplang gampang juga tersinggung harga dirinya.
Merasa dirinya ditantang untuk menunjukkan kebolehannya, hatinya menjadi panas
dan berjanji akan mempertahuhkan nama baiknya untuk merebut patung itu.
Ketika melihat patung itu berada di ta-
ngan seorang bocah tolol, tak terkatakan betapa girangnya hati Mat Caplang.
Tanpa ber-usah payah bertempur dengan pendekar lain, ia ternyata sudah bisa
memiliki patung itu. "He-he-he... aku akan jadi kaya raya sekarang...." katanya sambil mengulurkan
tangan hendak merampas patung itu.
"Berhenti...!!!"
Mendadak terdengar suara bentakan yang
dikeluarkan sambil mengerahkan tenaga
dalam yang sangat kuat. Mat Caplang
menghentikan gerakannya. Ia berpaling dan tampaklah olehnya seorang lelaki asing
berdiri di tempat itu sambil berkacak
pinggang. Lelaki yang baru datang itu adalah Hu-
sein sendiri. Tadi kebetulan saja ia
berlari tak jauh dari tempat itu untuk
mengejar si tolol. Pendekar dari negeri Irak itu tertarik sekaligus curiga
mendengar seseorang membentak-bentak.
Husein segera meloncat lebih dekat, dan melihat Mat Caplang hendak merampas
patung Ratu Shima. Takut patung yang sangat
diidam-idamkannya itu jatuh ke tangan
pendekar lain, Husein segera meloncat dari balik semak- semak.
"Hei, siape lu?" bentak Mat Caplang sambil menggenggam hulu goloknya. Husein
tidak segera menjawab. Ia tertawa
terpingkal-pingkal seolah-olah sangat
anggap remeh pada Mat Caplang. Jenggot dan kain sorban di kepalanya sampai
bergoyang-goyang. Namun diam-diam
pendekar berhidung mancung itu telah
mempersiapkan permadaninya untuk
menyerang Mat Caplang secara tiba-tiba. Ia sudah bertekad untuk merobohkan
jagoan Betawi itu secepat mungkin agar ia bisa melarikan diri. Bagaimanapun juga,
pendekar lainnya tidak mustahil tiba di tempat itu dalam waktu yang tidak
terlalu lama lagi. Kalau itu terjadi, akan tipislah harapannya merebut patung
emas itu. "Hei, lu orang asing jangan
macem-macem di hadapan gue. Jenggot lu yang kayak jenggot kambing itu ntar gue
cabut. Lu orang asing jangan coba-coba nantangin gue. Nih die orangnya Mat Caplang yang
kesohor ke segela penjuru. Lu sebaiknya angkat kaki dari sini, atau jidat lu gue
tebas pake golok gue."
"Maaf, sobat. Kita sudah sama-sama berada di tempat ini. Kau tentu hendak
merampas patung dari balik anak tolol itu.
Tapi jangan kira aku mau tinggal diam.
Selama aku masih ada di sini, jangan harap ada orang lain yang bisa
memilikinya."
"Busyet! Rupanye ade juga yang berani nantangin gue. Sekarang bilangin siape
nama lu, biar ntar gue kagak nyesel bunuh lu orang sableng!"
"Aku adalah Husein, datang dari negeri Irak. Sekarang aku peringatkan agar kau
segera meninggalkan tempat ini. Kalau masih keras kepala, jangan salahkan jika
aku terpaksa menurunkan tangan kejam."
"Buangsat! Nih, rasain serangan gue!"
sehabis berkata begitu, Mat Caplang segera menerjang Husein. Ia mengangkat
goloknya tinggi-tinggi siap membabat tubuh lawan, sedangkan tangan kirinya
dikepal menyambar ke arah dada Husein.
Melihat serangan itu sangat berbahaya,
Husein segera memutar permadaninya untuk melindunginya dari serangan lawan. Ia
berkelit mengelakkan pukulan lawan,
sementara permadaninya diayunkan
menangkis golok Mat Caplang.
Segeralah terjadi pertarungan
dahsyat. Golok Mat Caplang berkelebat
membentuk gulungan sinar putih dan hitam, mengincar tubuh lawan dari segala
penjuru. Sedangkan permadani Husein rupanya tidak hanya ampuh sebagai pertahanan, tetapi
juga berbahaya untuk lawan. Permadani yang lemas itu kadang-kadang berubah jadi
keras menghantam bagian-bagian vital di tubuh Mat Caplang.
Sifat seseorang memang mempengaruhi
gerakannya sewaktu bertarung. Demikian
halnya dengan Mat Caplang tampak sangat beringas dan bernafsu sekali menjatuhkan
lawan secepat mungkin. Mungkin hal itu karena selama ini ia jarang menghadapi
lawan tangguh. Dan di kampungnya pun, pendekar Betawi itu sudah dianggap orang
sebagai jagoan paling hebat.
Sekarang ia pun ingin menunjukkan
bahwa menghadapi siapa pun ia tetap paling hebat. Masa menghadapi orang asing
yang tampak agak alim dan hanya memegang senjata permadani itu ia tidak kuat.
Bagaimanapun juga, ia harus memenangkan pertarungan
itu, makin cepat makin baik. Dan ilmu
pendekar Betawi ini memang luar biasa.
Gerakannya cepat dan kuat. Jika ia
melakukan pukulan jarak jauh dan dapat
dielakkan lawan, maka tanah di sekitar tempat itu menjadi terkuak terkena
hantaman pukulannya.
Husein sendiri hampir tidak punya
kesempatan lagi melakukan serangan
balasan. Makin lama ia makin terdesak,
bahkan baju di bagian punggung dan
lengannya sudah sobek terkena sabetan
golok lawan. Itu terjadi karena dalam
keadaan terdesak ia mencoba membalas
menyerang dengan gerak yang penuh tipu
daya. Namun rupanya Mat Caplang tidak hanya omohgannya saja yang besar. Selain
dapat mengelak, ia malah mampu menyerang dengan jurus yang lebih licik lagi
hingga nyaris mencelakakan pendekar Irak itu.
Husein pun mulai berpikir bahwa dalam
pertarungan itu ia sewaktu-waktu bisa
menghadapi kemungkinan yang paling buruk.
Permainannya pun lebih terpusat pada
pertahanan diri dan menunggu kesempatan yang baik, siapa tahu musuhnya itu
lengah karena merasa berada di atas angin.
Kesempatan yang ditunggu-tunggu Hu-
sien akhirnya tiba juga. Mat Caplang
menerjangnya dengan dahsyat, tetapi
pertahanannya sedikit agak terbuka. Husein menunduk mengelakkan senjata lawan
yang meluncur cepat sekali ke arah lehernya, dan pada yang hampir bersamaan,
permadani di tangannya menyambar dari samping.
Mat Caplang tidak sempat lagi menarik
goloknya. Untuk mundur pun ia tak mungkin lagi. Karena itu ia segera mengerahkan
tenaga dalamnya untuk melindungi perutnya dari sambarang senjata lawan. Dan
tepat ketika permadani Husein menghantam
perutnya, tangan kiri Mat Caplang pun
berhasil pula memukul secara telak dada musuhnya itu.
"Augh...!" kedua pendekar itu sama-
-sama menjerit kesakitan. Tubuh mereka
sama-sama terdorong mundur beberapa
lang-kah karena kuatnya hantaman lawan.
*** 5 Mat Caplang merasa lambungnya panas
bagaikan diaduk-aduk. Untunglah tadi ia melindungi tubuhnya dengan tenaga dalam
sehingga pukulan lawan tidak sampai
mem-buatnya menderita Juka dalam yang
parah. Husein sendiri juga mengalami luka dalam yang cukup serius. Ia
memuntahkan sedikit darah kehitam-hitaman dengan wajah yang berubah jadi pucat.
Masih untung baginya pukulan tangan kiri Mat Caplang yang menghantam dadanya tidak dengan
pengerahan tenaga dalam sepenuhnya, karena dilakukan dalam posisi yang jotrang
menguntungkan. Kalau tidak demikian
keadaan pastilah semakin parah lagi.
Melihat keadaan lawannya itu, Mat
Caplang tertawa kegirangan, walaupun
lambungnya masih terasa sakit.
"Gue kagak nyangka lu orang asing ilmunya hanya segitu. Ngapain lu nginjekin
kaki di sini kalau ilmu lu cume gitu aje"
Katanya mau ngerebut patung Ratu Shima.
Kalau ilmu lu hanya gitu- gitu saja mana bisa" Mendingan lu pulang belajar ilmu
silat lagi," kata Mat Caplang dengan nada mengejek.
"Kau memang hebat, kawan!" kata Husein geram. Tetapi karena pada dasarnya ia
memang memiliki sikap yang polos, ia
terpaksa merasa mengakui keunggulan lawan.
"Tapi jangan kira aku sudah kalah."
"Heh, jadi lu masih punya nyali
ngelawan gue" Gue mampusin juga lu,
sialan!" "Sahabat, orang-orang di negeri saya punya prinsip, selama bisa bergerak
berarti tidak ada alasan untuk menyerah.
Dan kalah menang adalah hal biasa dalam pertarungan. Ada kalanya yang menang itu
jadi kalah dan yang kalah itu jadi menang.
Seperti golok yang juga bisa jadi ular.
Lihat, sebentar lagi senjata di tanganmu itu akan berubah jadi ular dan akan
mematuk matamu!" dalam ilmu silat, ia tidak akan mampu mengatasi lawan. Karena
itu, diam-diam ia mulai menggunakan ilmu
sihirnya. Bibirnya komat kamit dan matanya memancarkan sinar yang sangat aneh,
yang mengandung kekuatan untuk memaksa bathin lawan untuk takluk.
Mat Caplang terkejut juga menyaksikan
sinar mata Husein. Dan ia makin terkejut lagi manakala merasakan golok di
tangannya bergerak bagaikan meronta-ronta. Pendekar Betawi itu melirik senjata
di tangannya. Benar saja, golok itu telah berubah jadi ular yang mulai meronta-ronta hendak
mematuk kedua biji matanya.
"Busyet lu, monyet. Lu pakai ilmu
siluman," kata Mat Caplang terkejut.
"Itu bukan ilmu siluman, kawan. Itu kenyataan. Lihatlah, ular itu akan segera
mematuk matamu. Ya, matamu akan dipatuknya.
Diamlah, kawan. Biarkan matamu di-patuk ular itu!"
"Jangkrik, lu! jangan lu kirain ilmu siluman kayak gini mempan ama gua. Lihat,
ilmu lu kagak ada gunanya!" Mat Caplang segera mengerahkan tenaga batinnya untuk
membuyarkan ilmu sihir lawan.
Pendekar Betawi itu memejamkan mata
sambil menghela nafas dalam-dalam.
Laki-laki itu sebenarnya tidak bisa
menggunakan ilmu sihir. Namun sebagai
pendekar yang telah berpuluh-puluh tahun berkelana dalam dunia persilatan, ia
tahu mengatasi ilmu jahat seperti itu.
Menghadapi ilmu seperti itu, seseorang
tidak boleh panik, karena pengaruhnya akan semakin kuat dan bisa mencelakakan
korbannya. Karena itu, Mat Caplang segera menenangkan perasaan dan ketika ia
berteriak dengan suara mengguntur,
pengaruh ilmu sihir itu pun buyar. Ular di tangannya kembali seperti sedia kala,
menjadi golok. Melihat ilmu sihirnya telah buyar, Hu-
sein menjadi terkejut. Ia kembali
menghadapi kenyataan bahwa ilmunya itu
tidak bisa mencelalakan lawan, seperti
ketika ia bertarung dengan Gahito. Ada rasa cemas dan kesal terpancar di wajah
lelaki itu. Cemas karena tampaknya ia tidak akan bisa lagi memenangkan
pertarungan itu, dan kesal karena ilmu sihirnya tidak bisa
mempengaruhi lawan.
Mat Caplang sendiri bertambah marah
karena merasa dirinya sempat dipermainkan lawan. Ia menggenggam goloknya lebih
erat dan mempersiapkan serangan berikutnya.
Melihat sorot matanya yang merah, agaknya ia sudah bertekad akan menghabisi
nyawa lawannya. Namun ketika Mat Caplang hendak menyerang, mendadak Husein
berseru: "Hei, tunggu, dulu kawan! Lihat, bocah botak itu telah lenyap. Ia tidak ada lagi
di sini. Dia pasti sudah melarikan patung itu."
"Busyet! Kenapa gue kagak ngeliat tadi?" ujar Mat Caplang celingukan mencari-
cari si Tolol yang ternyata telah menghilang. Ketika kedua pendekar itu
bertarung mengerahkan segala ilmunya, anak itu menjadi girang. Ini kesempatan
baik, pikirnya lalu segera berlari meninggalkan arena pertarungan itu. Tubuhnya
berkelebat bagaikan anak panah, sehingga dalam waktu singkat sudah jauh dari
lereng gunung itu.
"Sobat, tak ada gunanya kita
melanjutkan pertarungan ini. Anak itu
sudah kabur," kata Husein.
"Bilangin aja lu takut ngeliat golok gue. Coba lu kagak nongol disini, gue pasti
sudah bisa bawa pulang itu patung. Dasar setan emang lu orang. Kerjanya
nyampurin urusan orang."
"Saya kira bukan hanya kita saja yang menginginkan patung itu, kawan. Banyak,
banyak sekali. Sebaiknya kita mengejar
anak itu sampai ketemu. Siapa tahu orang lain mendahului kita."
"Jadi lu kagak berani lagi ngelawan gue?"
"Maaf, kawan. Aku harus pergi. Sampai jumpa!" Sehabis berkata begitu, Husein
meloncat pergi dan dalam waktu singkat tubuhnya telah lenyap di balik pepohonan.
"Awas lu! Kalau ketemu ama gue lagi, jangan harap bisa hidup. Kali ini gue masih
maafin lu, tikus busuk!" teriak Mat Caplang geram. Ia pun segera meloncat pergi
meninggalkan tempat itu. Sepanjang jalan
yang dilaluinya, pendekar Betawi itu tak henti-hentinya mgngomel karena gagal
memiliki patung Ratu Shima. Gara- gara orang asing itu, katanya dalam hati.
Akan tetapi, kemudian pendekar Betawi
itu menjadi ragu-ragu. Apa memang betul patung yang ada di tangan bocah botak
itu adalah patung Ratu Shima" Bagaimana bisa patung yang sangat berharga dan
diperebutkan para pendekar itu jatuh ke tangan bocah tolol" Orang yang bisa
merebutnya tentulah bukan
orang sembarangan. Sedangkan anak itu tampaknya hanya bocah yang tak tahu apa-apa.
Melihat Mat Caplang saja sudah gemetaran dengan wajah pucat pasi.
Si Tolol 4 Perebutan Patung Dewi Kalingga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jangan-jangan aku salah lihat, atau patung itu hanya kebetulan saja mirip
dengan patung Ratu Shima." kata hati Mat Caplang sambil terus berlari.
Hari sudah mulai gelap. Matahari sudah
kembali ke peraduannya. Suasana di sekitar gunung Muria semakin sepi. Tak
terdengar lagi suara burung-burung berkicau. Yang terdengar hanya suara jangkrik
bersahut-sahutan, sehingga udara di
sekitar gunung itu terasa dipenuhi
nyanyian jangkrik. Terasa gaduh, tapi
sekaligus menciptakan suasana yang sunyi.
Mat Caplang terus berlari menuju desa
terdekat untuk mencari rumah penginapan.
Wajah lelaki berkumis melengkung itu masih tetap keruh. Matanya merah
memancarkan rasa penasaran yang sangat sulit
dihapuskan dari dalam hati.
"Gue harus berhasil. Jangan dibilang nama gua Mat Caplang kalau gue kagak mampu
ngerebut itu patung," kata Mat Caplang bicara pada dirinya sendiri.
Memang demikianlah adanya kalau hati
sudah diliputi rasa penasaran. Pikiran
tidak tenang dan selalu kesal pada diri sendiri. Dan kalau hati sudah dikuasai
nafsu untuk memiliki, segala cara pun akan ditempuh agar maksud hatinya
tercapai. Tidak perduli jika harus mengorbankan
kepentingan atau bahkan nyawa orang lain.
Tidak peduli apakah perbuatannya itu benar atau salah.
Agaknya itulah yang terjadi pada diri
para pendekar di daerah Jepara saat ini.
Mereka saling memperebutkan patung Ratu Shima yang di dalamnya tersimpan surat
wasiat berisi rahasia keabadian tahta
serta rahasia kecantikan.
Orang-orang percaya, dengan surat
wasiat itu mereka akan mampu
mempertahankan kedudukannya menjadi
langgeng. Juga dapat dijadikan resep
kecantikan yang tiada duanya di muka bumi ini, sehingga yang sudah tua dan
keriputan pun bisa menjadi cantik muda kembali.
Kehebatan yang dijanjikan surat wasiat
itu, seolah-olah telah menutup mata batin para pendekar. Padahal kalau dipikir-
pikir rahasia itu belum tentu sesuai dengan apa yang dibayangkan para pendekar.
Demikian banyaknya pendekar yang
memperebutkannya, dan nantinya yang bisa memilikinya hanyalah satu pihak saja.
Yang lainnya hanya bisa gigit jari. Perjuangan dan pengorbanan mereka selama ini
akan sia-sia, bahkan dalam perebutan itu,
mungkin beberapa orang di antaranya akan menemui ajal. Alangkah sia-sianya jerih
payah mereka nanti. Agaknya inilah yang kurang disadari tokoh-tokoh dari dunia
persilatan itu.
Mereka lebih cenderung berbicara dari
segi harga diri dan ambisi daripada
pemikiran yang realistis. Bukan maksudnya untuk menghalangi orang berusaha dan
berjuang. Tetapi apakah tidak terlalu
berlebihan jika sepasang pendekar muda
dari Tiongkok Kwan Hong Lie dan Kwan Giok Nio misalnya datang sedemikian jauhnya
hanya untuk memperebutkan patung Ratu
Shima" Apalagi maksud mereka adalah untuk mencari rahasia kelanggengan tahta
agar dapat memenangkan pertempuran melawan
bangsa Manchu. Seyogyanya mereka berbenah diri, mengatur strategi dan rencana
yang matang daripada sekedar mengharapkan surat wasiat.
Demikian juga halnya nenek tua Nyi Peri yang sangat berambisi memiliki rahasia
surat wasiat Ratu Shima dengan maksud agar dirinya yang sudah tua dan keriputan
menjadi cantik lagi. Sepertinya ia hendak menentang takdir bahwa ketuaan lumrah
adanya dan harus dihadapi siapa pun tanpa terkecuali.
Akan tetapi seperti yang dikatakan di
atas, kalau hati sudah dikuasai nafsu dan ambisi yang berlebihan, mata bathin
sering menjadi tertutup. Berbagai tokoh dari
dunia persilatan telah terjun ke kancah perebutan patung Ratu Shima, baik yang
berasal dari Pulau Jawa maupun dari negeri seberang lautan. Bagaimana akhir dari
perebutan itu memang masih panjang dan
akhirnya waktu juga yang akan bicara.
Waktu terus berputar, perlahan namun
pasti. Malam telah berlalu. Sinar mentari yang lembut menyapu pepohonan di
gunung Muria. Burung-burung berkicau merdu sambil terbang dari dahan yang satu
ke dahan lainnya. Para petani mulai berangkat ke sawah
dan ladang masing-masing, sedangkan para pengrajin mulai menekuni ukiran-ukiran
kayu jatinya. Anak-anak tampak bermain
dengan sangat riang gembira sambil
berteriak-teriak. Semuanya berjalan
seperti biasa-nya tidak banyak perubahan.
Akan tetapi, di Pantai Jepara sekarang
telah hadir sepasang pendekar muda yang datang dari daratan Tiongkok. Keduanya
sekarang sudah selesai sarapan pagi dan
bersiap-siap memulai perjalan mereka untuk mencari patung Ratu Shima
"Sekarang adalah saat air pasang untuk pesisir Utara Pulau Jawa. Ini sesuai
dengan tulisan peninggalan pengikut Fa Hsien,
seribu langkah dari tepi pantai pada saat air pasang ke arah utara puncak gunung
Muria," kata Hong Lie sambil memperhatikan air laut yang sedang menghempas-
hempas di pantai.
"Ya, kita beruntung. Kedatangan kita tepat dengan air pasang. Mudah-mudahan sa-
ja nanti kita tetap beruntung." sahut Giok Nio penuh harap.
"Saya juga sangat berharap begitu.
Walaupun begitu, kita tentunya sudah siap menghadapi segala kemungkinan.
Sekarang, mari kita berangkat. Kau bantu aku
menghitung langkah menuju arah puncak
gunung itu. Ingat Giok Nio, kau jangan sampai salah menghitung. Hitungan yang
salah berarti menemukan tempat yang salah."
"Baiklah," kata Giok Nio.
Kedua kakak beradik itu kemudian mulai
melangkah dan menghitung dari pantai,
batas antara air laut dengan pasir.
"Satu... dua... tiga... empat...." Sambil mengikuti langkah kakaknya, Giok Nio
terus menghitung. Mereka melangkah lurus ke
puncak gunung Muria hingga akhirnya sampai ke dataran yang cukup luas, di dekat
sebatang pohon besar dan rindang.
Di tempat itulah dulu si Tolol menggali tanah dengan maksud melubangi bumi agar
tembus dari ujung yang satu di seberangnya, karena melalui mimpinya ia melihat
bumi itu bulat bentuknya bagaikan bola. Saat itulah si Tolol menemukan patung
Ratu Shima, namun kemudian dirampas Prawiro, yang kemudian menguburnya hidup-
hidup di dalam lubang galiannya sendiri.
"Seribu... nah, di sini!" kata Giok Nio setelah hitungannya sampai kehilangan
seribu. Kedua pendekar Tiongkok itu
menghentikan langkah, lalu mengamati
keadaan disekelilingnya. Maka tampaklah oleh keduanya bekas lubang galian tempat
si Tolol menemukan patung emas itu.
"Hei, lihat! Seperti bekas lubang
galian," kata Giok Nio setengah berteriak.
Ia bersama kakaknya menghampiri bekas
galian itu dan menelitinya lebih seksama.
Tak salah lagi, tanah itu adalah bekas
galian. "Kalau begitu kita sudah terlambat, Giok Nio. Patung itu pasti sudah diambil
orang yang kemudian menutupi lubang ini,"
kata Hong Lie cemas.
"Tapi..." ujar adiknya ragu-ragu.
"Tapi apa?" tanya Hong Lie sembari menatap wajah adiknya dalam-dalam.
"Coba perhatikan, kakak Hong Lie.
Galian ini masih baru. Mungkin baru
seminggu atau dua minggu. Jadi kemungkinan besar itu masih berada di sekitar
daerah ini."
"Kau benar, Giok Nio. Galian ini memang masih baru. Seharusnya kita datang lebih
cepat." "Lalu apa yang harus kita lakukan
sekarang?".
"Saya sudah yakin patung itu sekarang sudah ada di tangan orang. Kita harus
menyelidiki siapa sebenarnya yang
menemukan patung itu. Setelah itu, kita atur rencana untuk merebutnya kembali."
"Baiklah kalau begitu. Mari kita
berangkat."
Akan tetapi baru beberapa langkah
meninggalkan tempat itu, tiba-tiba
terdengar suara tawa seorang lelaki,
bergema dari segala penjuru. Suara tawa itu mengandung tenaga dalam yang sangat
hebat sehingga dada kedua pendekar Tiongkok itu berdebar. Sadarlah kedua
pendekar itu bahwa orang yang mengeluarkan suara tawa itu bukanlah orang sembarangan.
Keduanya kemudian sama-sama merapatkan punggung
menghadap ke arah berlawanan.
"Hei, siapa kau" Keluarlah!" teriak Hong Lie.
Akan tetapi orang tersebut belum juga
menampakkan batang hidungnya. Ia terus
tertawa sambil menambah kekuatan tenaga dalam suaranya. Hong Lie menjadi kesal.
Ia memusatkan perhatian, berteriak sambil mengerahkan tenaga khikang mengimbangi
suara tawa orang asing itu.
Di kalangan pendekar Tiongkok,
berteriak atau tertawa sambil mengerahkan tenaga dalam juga dianggap hal biasa.
Kebanyakan dari pendekar negeri itu bisa berbuat demikian. Tenaga dalam yang
disalurkan melalui suara itu disebut
khikang, makin kuat makin berat pula bagi lawan untuk mengatasinya.
Mendadak suara tawa itu terhenti. Ham-
pir bersamaan dengan itu dari balik
pepohonan meloncat seorang pendekar asing, yang tak lain dan tak bukan adalah
Gahito sendiri. Pendekar samurai itu menatap Hong Lie dan Giok Nio dengan sinar
mata mengejek. Seperti diceritakan di bagian depan,
pendekar samurai itu sempat bertarung
mati-matian dengan Husein. Dalam perta-
rungan itu, Gahito nyaris mengalami
kecelakaan akibat pengaruh sihir pendekar Irak itu. Akan tetapi kedua pendekar
asing itu sama- sama mengakhiri pertarungan
seperti menyadari bahwa si Tolol yang
diyakini sedang menyembunyikan patung Ratu Shima telah lenyap.
Gahito dan Husein kemudian sama-sama
mengejar si Tolol ke arah pantai. Di tengah jalan, keduanya mengambil jalan
masing-masing di mana Husein menuju Barat, sedangkan Gahito ke sebelah Timur.
Dalam kesendiriannya, Gahito bermaksud balik la-gi ke lereng gunung, karena
menurut perki-raannya, kemungkinan besar si Tolol masih akan kembali ke sana. Bocah
tolol itu tak mungkin sudah berada jauh dari lereng gunung.
Dengan perkiraan seperti itu, pendekar
samurai akhirnya kembali lagi kearah
berlawanan. Sewaktu sedang berjalan
sendirian, ia mendengar suara langkah
orang disertai hitungan. Gahito segera
bersembunyi dan mengintip dari balik
semak-semak. Ternyata dua remaja yang
diyakininya baru datang dari negeri
Tiongkok. Gahito tertawa geli melihat
kedua pendekar muda usia itu kelabakan
melihat bekas galian tanah di sekitar
tempat itu. "Siapa kau orang asing?" tanya Giok Nio geram sehingga wajahnya yang cantik
jelita itu menjadi merah padam.
"Orang asing katamu, nona cantik"
Sayakah orang asing atau kalian?" balas Gahito dengan nada sinis.
"Maafkan adik saya, sahabat yang gagah perkasa," kata Hong Lie dengan sikap yang
lebih tenang, "Kami berdua memang datang dari seberang, dari daratan Tiongkok.
Saya kira engkau pun datang dari jauh, mungkin dari negeri Jepang."
"Ternyata matamu cukup jeli juga, anak muda. Kedatangan kalian ke sini tentunya
bukan sekedar berpelesiran, bukan?"
"Maafkan kami, kawan, Tentang maksud kedatangan kami ke sini adalah urusan kami
sendiri. Sama seperti urusanmu ke sini, tentunya kami tak perlu mencampurinya."
"Jangan layani orang sombong itu,"
kata Giok Nio kesal, lalu sambil menuding Gahito dengan telunjuk tangan kirinya,
gadis manis itu berkata:
"Hei, apa urusanmu sama kami" Kalau kau merasa hebat majulah, hadapi aku. Jangan
kira aku takut melihat samuraimu itu!"
"Ha-ha-ha... gadis cantik yang sangat galak. Tapi kau tambah cantik saja kalau
sedang marah."
Hong Lie menarik lengan adiknya sambil
mengisyaratkan agar adiknya itu bersikap tenang. Lalu Hong Lie kembali berkata
kepada Gahito: "Sahabat, seperti yang saya katakan tadi maksud kedatangan kami ke sini adalah
urusan kami sendiri. Sebaiknya engkau
tidak terlalu usil. Kami akan segera
melanjutkan perjalanan."
"Bagus! Tapi perlu kalian ketahui, kedatangan kalian memang sudah terlambat.
Jangan mimpi bisa mendapatkan patung Ratu Shima."
"Bangsat! Jadi berarti kaulah yang mendahului kami!" bentak Giok Nio sambil
menghunus pedangnya.
"Tampaknya kalian berdua sangat senang bermain-main denganku. Baiklah kalau
begitu, sekarang, majulah berbarengan
menghadapiku, agar permainan kita agak
berimbang!" ejek Gahito.
Ditantang seperti itu, Giok Nio makin
marah. Sambil berteriak nyaring, gadis itu meloncat tinggi ke arah Gahito.
Sewaktu tubuhnya masih melayang di udara, ia
mengayunkan pedangnya ke arah leher lawan.
Dengan gerakan yang tak kalah cepat-
nya, pendekar samurai mencabut senjatanya untuk menangkis serangan lawan.
Terdengar suara berdentang dua senjata beradu dengan keras. Saat berikutnya,
kedua pendekar itu terlibat pertarungan yang dahsyat.
Melihat gerakan Gahito yang sangat ce-
pat dan kuat, Hong Lie merasa khawatir ju-ga akan keselamatan adiknya. Apalagi
karena ia menyadari Giok Nio masih kurang berpengalaman dan mudah marah,
sehingga jika menghadapi lawan seperti Gahito tidak mustahil akan mengalami
kecelakaan. Maka pemuda itu pun segera mencabut pedangnya, lalu ikut menyerang
lawan dengan dahsyat.
Terjadilah pertarungan hebat, dua
lawan satu. Hong Lie dan adiknya bergerak cepat dan lincah sekali. Serangan
mereka datang secara bergelombang dari segala
arah. Dari pertarungan itu terlihatlah
bahwa Hong Lie dan Giok Nio merupakan sepasang pendekar yang sangat kompak dan
serasi. Sambil menyerang, keduanya saling melindungi sehingga sangat sulit bagi
lawan mengalahkan mereka. Jika seorang
menyerang, yang lainnya bertahan. Dan jika keadaan memungkinkan, keduanya sama-
sama menyerang pula.
Dari cara pertarungan mereka, terlihat
Si Tolol 4 Perebutan Patung Dewi Kalingga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pula bahwa Giok Nio memiliki hati yang te-lengas. Setiap kali menyerang, ujung
pedangnya selalu mengarah ke bagian-bagian vital di tubuh lawan. Lain halnya
dengan Hong Lie, lebih cenderung bermaksud
melumpuhkan Gahito tanpa membuatnya
menderita luka berat. Bagaimanapun juga, pemuda itu tetap menyadari bahwa antara
mereka dan Gahito tidak ada persoalan
apa-apa. Rasanya mustahil pendekar samurai itu
yang menggali tanah dan kemudian
menyembunyikan patung Ratu Shima. Kalau misalnya Gahito sudah menguasai patung
itu, buat apa ia menunjukkan diri. Ia tentu akan melarikan diri atau pulang ke
negerinya secepat mungkin. Atau sedikitnya pastilah bersembunyi menunggu waktu
yang baik untuk pulang membawa patung ke tempat asalnya.
Giok Nio sendiri tidak memikirkannya,
karena hatinya sudah keburu panas. Ia hanya memikirkan bagaimana cara terbaik
merobohkan pendekar samurai itu secepat mungkin.
Menghadapi serangan serangan pendekar
muda itu, Gahito menjadi kerepotan juga. Ia sudah mencabut kedua belah
samurainya dan memutarnya untuk menangkis serangan lawan.
Untunglah ia memiliki tenaga yang sedikit lebih kuat, sehingga masih mampu
bertahan. Hong Lie dan Giok Nio bagaikan sepasang burung rajawali mengeroyok seekor
banteng. Kedua pendekar itu menyerang dengan sangat lincahnya, sedangkan Gahito yang kuat
bertahan sambil sesekali melakukan
serangan balasan.
Memasuki jurus yang kelima puluh,
Gahito meloncat tinggi ke udara, kemudian meluncur dengan posisi kepala ke
bawah. Kedua ujung senjatanya menyambar bagaikan kilat ke arah dada kedua
lawannya. Melihat serangan itu sangat cepat dan berbahaya, Hong Lie dan Giok Nio
segera membanting diri kemudian bergulingan di atas tanah.
Kemudian secepat kilat bangkit sambil
berputar tubuh. Kedua pendekar Tiongkok itu lalu membabat tubuh Gahito yang
sedang meluncur ke bawah. Posisi pendekar samurai benar-benar gawat dan sekilas
pandang akan sulitlah baginya menyelamatkan diri.
"Mampus kau, bangsat!" bentak Giok Nio.
Akan tetapi dengan gerakan yang sukar
diikuti pandangan mata, Gahito mengangkat kedua samurainya menangkis sabetan
pedang lawan yang menyambar dari arah berlawanan.
Masih dengan gerakan yang sangat cepat, Gahito menancapkan kedua samurainya di
tanah dan menggunakan sebagai tumpuan
untuk bersalto jauh ke depan.
"Bangsat! Jangan kira kau bisa lolos dari tanganku!" bentak Giok Nio yang diam-
diam merasa terkejut juga melihat
kelihaian lawan menghindari serangan maut mereka.
Secara berbarengan, kedua. pendekar
muda itu kembali menerjang Gahito dengan serangan yang lebih dahsyat lagi. Hong
Lie dan Giok Nio sedikit pun tidak memberikan lawan kesempatan untuk balas
menyerang. Semangat dan kegigihan kedua pendakar
Tiongkok ini memang patut dikagumi.
Walaupun tenaga mereka sudah mulai
terkuras, serangan mereka malah bertambah gencar. Dan suatu saat, ujung pedang
Hong Lie dan Giok Nio berhasil merobek kulit bahu Gahito.
Saat itu Gahito sudah sangat terdesak,
sedangkan pedang kedua lawan menyambar ke dadanya dari arah berlawanan. Pendekar
samurai itu tak sempat lagi menarik
senjatanya karena sudah keburu diayunkan tadi ke depan. Maka jalan satu-satunya
adalah membantingkan diri ke belakang.
Gerakannya memang cepat, namun ujung
senjata lawan masih tepat melukainya.
"Mampus kau, bangsat! Hari ini kau akan mampus di tanganku!" teriak Giok Nio
dengan suara nyaring.
Gadis cantik itu mengangkat pedangnya
dan bermaksud menebas lawannya hingga
mampus. Namun mendadak terdengar suara
tawa berkepanjangan, seorang laki-laki yang belum menampakkan dirinya di arena
pertarungan itu.
Giok Nio menghentikan gerakannya. Ia
berpandangan dengan kakaknya, seolah-olah sedang menunggu isyarat Hong Lie apa
yang harus mereka lakukan sekarang.
"Keluar kau!" teriak Hong Lie.
Seorang lelaki bersorban dan telinga
kanannya dihiasi anting-anting besar telah berdiri tak jauh dari arena
pertarungan. Lelaki itu tidak membawa senjata,
melainkan selembar permadani me rah.
Itulah Husein, si pendekar dari negeri Irak itu.
Rupanya pendekar ini pun berpikiran
sama dengan Gahito. Ketika keduanya
berpisah sewaktu hendak mengejar si Tolol, pendekar Irak itu bermaksud balik
lagi ke lereng gunung. Sebab menurut perkiraannya, bocah botak itu pasti masih
berada di sekitar lereng gunung. Biarlah pendekar samurai itu nanti sendirian ke pantai,
sedangkan ia sendiri bisa bebas sendiri mencari si Tolol. Jika ia ketemu lagi
dengan si Tolol, dengan mudah ia merampas patung emas itu tanpa terganggu oleh
kehadiran Gahito.
Tetapi rupanya, Gahito juga berpikiran
sama, bahkan sudah duluan berada di lereng gunung dan kini sedang bertarung
dengan dua pendekar yang tampaknya berasal dari
daratan Tiongkok. Melihat Gahito terdesak, Husein menjadi girang. Timbullah niat
busuk dalam hatinya untuk memperalat kedua pendekar muda itu menyingkirkan
Gahito. Kalau Gahito mati, saingan Husein pun tentu berkurang. Ia tidak terlalu khawatir
terhadap kedua pendekar Tiongkok itu,
karena mereka pastilah belum tahu bahwa patung Ratu Shima sedang berada di
tangan si Tolol.
"Ha-ha-ha... pendekar samurai!" kata Husein sambil tertawa mengejek, "Setiap
pendekar yang menyembunyikan patung Ratu Shima pasti dikejar orang biar sampai
ke ujung langit sekalipun. Nyawamu sekarang terancam di ujung pedang kedua
pendekar Tiongkok itu. Karena itu sebaiknya kau
berikan patung Ratu Shima kepadaku.
Biarlah nanti aku yang akan menghadapi kedua orang muda itu."
Mendengar kata-kata Husein,
terkejutlah Gahito karena ia menyadari
bahwa pendekar Irak itu sengaja berkata demikian dengan maksud agar Hong Lie dan
Giok Nio percaya patung itu memang berada di tangannya. Padahal ia yakin, Husein
pun tahu di tangan siapa sebenarnya patung Ratu Shima sekarang.
"Licik kau, bangsat! Rupanya kau
sengaja memfitnahku karena takut
menghadapiku!" bentak Gahito.
"Bukan aku takut, sobat! Menghadapi orang seperti kau kenapa harus takut" Malah
kemarin, kalau aku tak murah hati, nyawamu pasti sudah melayang."
"Tutup mulutmu, bangsat! Sekarang mari kita lanjutkan pertarungan kita sampai
salah seorang, kau atau aku mampus!"
"Tidak perlu, sobat Bukankah saat ini kau sedang menghadapi dua pendekar muda
yang sangat tangguh" Apakah kau takut
menghadapi lawanmu itu?" ejek Husein yang rupanya sempat lupa bahwa Mat Caplang
pun sudah tahu bahwa patung Ratu Shima ada di tangan si Tolol.
"Diam kau, bangsat! Jangan banyak bicara kau! Sekarang hadapi aku kalau kau
memang bukan pengecut!"
"Kau jangan memancing aku marah,
sobat. Teruskanlah pertarunganmu dengan kedua pendekar muda itu. Kau sudah
hampir mampus tadi. Jika kau mampus musuhku tentu akan berkurang satu. Nah,
selamat bermain-main, sobat. Aku pergi dulu
mencari benda yang sangat berharga itu."
"Kau jujur tapi tolol!" teriak Gahito.
Husein tidak menyahut lagi. Ia segera
melemparkan permadaninya, lalu meloncat ke atasnya. Beberapa saat kemudian,
tubuhnya sudah melesat bagaikan terbang.
"Selamat berpisah, kawan-kawan!"
teriak pendekar itu bersama lenyapnya
tubuhnya di balik pepohonan.
Mendengar pembicaraan kedua pendekar
itu tadi, sadarlah Hong Lie bahwa patung itu pastilah tidak berada di tangan
Gahito. Kalau misalnya ada di tangannya, pendekar bersorban itu tentulah tidak akan mau
pergi begitu saja.
*** 6 Tapi agaknya kedua laki-laki itu sudah
pernah bertemu dan bertarung sewaktu
mencari patung Ratu Shima. Dan tampaknya, lelaki bersorban itu menganggap
pendekar samurai adalah saingan utamanya, sehingga sengaja memanas-manasi hati
Hong Lie dan Giok Nio agar segera menyingkirkannya.
Cuma agaknya, lelaki dari Irak itu memang jujur tapi tolol, seperti yang
dikatakan Gahito tadi.
"Ssst... Giok Nio, Tampaknya patung itu tidak berada di tangan pendekar samurai
ini. Kita tak perlu mengeroyoknya." bisik Hong Lie.
"Benar. Aku pun merasa demikian."
"Sebaiknya kita perlu dari sini. Mari kita lanjutkan perjalanan. Nanti pria
bersorban tadi mendahului kita lagi."
Hong Lie kemudian melangkah ke hadapan
Gahito yang sejak tadi berdiri saja
menunggu apa yang hendak dilakukan kedua pendekar dari Tiongkok itu.
"Maafkan kami, sobat. Agaknya kita telah salah paham, padahal di antara kita
tidak ada persoalan apa-apa. Kami percaya engkau tidak takut menghadapi kami,
demikian juga kami tidak takut berhadapan denganmu. Barangkali suatu saat nanti
kita masih punya kesempatan untuk melanjutkan pertarungan kita ini."
Setelah berkata begitu, kedua pendekar
Tiongkok itu membalikkan badan hendak
meninggalkan lereng gunung itu. Tetapi ti-ba-tiba Gahito berkata:
"Tunggu dulu!"
"Ada apa, sobat?"
"Aku Gahito pendekar samurai dari
negeri Matahari Terbit merasa kagum
terhadap kalian berdua. Masih begitu muda tapi Sudah memiliki ilmu yang sangat
hebat. Kalau kalian berdua tidak keberatan aku ingin berkenalan dengan kalian."
"Terimakasih, pendekar samurai.
Janganlah memuji kami telalu tinggi
seperti itu. Aku adalah Kwan Hong Lie,
sedangkan ini adikku Kwan Giok Nio."
"Terimakasih, anak muda. Sampai ketemu nanti. Sekarang kita berada di negeri
jauh. Patung Ratu Shima diperebutkan banyak
sekali pendekar."
"Terimakasih! Untuk itulah kami datang ke sini. Kalau tidak diperebutkan banyak
orang, mungkin kami tidak akan singgah di pulau ini," kata Giok Nio yang agaknya
masih kesal terhadap Gahito. Gadis itu
menanggapi kata-kata pendekar samurai
sebagai peringatan agar mereka hati-hati, seolah-olah Gahito itu seorang guru
besar sedang menasehati murid-muridnya yang
hendak turun gunung. Giok Nio dengan nada ketus langsung menjawab justru karena
banyak diperebutkan pendekar makanya
mereka datang ke Jepara. Dengan perkataan seperti itu, Giok Nio sepertinya
hendak menekankan bahwa ia dan kakaknya sudah siap sedia menghadapinya, bahkan
senang berhadapan dengan pendekar yang ilmunya tinggi. Sikap yang cenderung menunjukkan
kesombongan. "Sudahlah, adik Giok Nio! Mari kita melanjutkan perjalanan!" kata Hong Lie
sambil menarik tangan adiknya itu. Sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh,
kedua kakak beradik itu melesat dari tempat itu.
Tubuh mereka berkelebatan dan dalam
sekejap hilang di balik rerumputan dan
pohon-pohon. Gahito menghela nafas
panjang-panjang. Wajah pendekar samurai itu tampak agak muram. Dalam usahanya
mencari patung Ratu Shima, ia kembali
menghadapi pendekar yang tidak kalah
tangguhnya. Menghadapi Husein sendiri ia sudah keteteran, biarpun belum tentu.
kalah jika pertarungan dilanjutkan. Dan tadi, diam-diam ia harus mengaku bahwa
kedua pendekar muda itu lebih hebat lagi.
Kini makin sadarlah pendekar samurai
itu, bahwa untuk memilikipatung Ratu Shima jauh lebih sulit dari apa yang pernah
dibayangkannya dulu. Dalam waktu dekat, ia tidak mustahil pula akan berhadapan
dengan pendekar yang lebih hebat lagi. Lawan berat yang
dihadapinya selama ini
baru pendekar-pendekar dari negeri seberang, orang pendatang seperti dirinya di
wilayah Jepara. Belum lagi pendekar pribumi yang tidak mustahil pula memiliki
ilmu silat yang sangat tinggi.
*** 7 Sementara itu, Hong Lie dan Giok Nio
makin jauh dari lereng gunung Muria tempat mereka bertarung tadi dengan Gahito.
Sambil berlari, dara jelita itu
berkali-kali menyatakan penasaran karena sikap pendekar samurai yang dinilainya
sangat sombong.
"Coba kalau tadi kita menghajarnya sampai minta ampun. Bicaranya seperti
pendekar paling hebat saja di kolong langit ini. Nanti kalau ketemu lagi
dengannya, aku pasti akan menghajar!" kata Giok Nio penasaran.
"Sudahlah, Giok Nio. Tenangkanlah
perasaanmu. Ingat, itu baru musuh pertama bagi kita. Musuh berikutnya akan
menyusul lagi. Ah, sebaiknya kita istirahat dulu.
Aku sudah capek!"
"Baiklah, aku pun sudah kelelahan."
Kedua pendekar muda itu lain duduk
beristirahat di bawah pohon rindang.
Keduanya diam beberapa saat sambil menyeka keringat yang membasahi wajah mereka.
Wajah Giok Nio yang bulat telur dan bersih itu tampak bersemu merah. Anak-anak
rambutnya menempel di keningnya yang basah oleh peluh. Ia tampak lebih cantik
dan menggairahkan dengan penampilan seperti itu.
"Giok Nio, bagaimana pun, kita harus mengakui bahwa pendekar samurai memiliki
ilmu yang sangat tinggi. Kalau kita maju sendirian, kemungkinan kita tidak akan
mampu menandinginya. Lelaki bersorban itu pun tampaknya bukan orang sembarangan,
Ilmu meringankan tubuhnya sangat hebat."
"Ya, tadi saya sempat
memperhatikannya. Dia bagaikan terbang
saja dengan permadaninya. Tapi aku yakin, kita bisa mengatasinya. Bukankah
katanya ia pernah bertarung dengan pendekar
samurai itu" Tampaknya pertarungan mereka berimbang, hingga tadi pendekar
samurai menantangnya adu kekuatan lagi."
"Kau benar, Giok Nio. Aku pun sudah memikirkannya. Tapi satu hal yang menjadi
Si Tolol 4 Perebutan Patung Dewi Kalingga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pemikiranku sekarang adalah mengenai
banyaknya pendekar yang memperebutkan
patung Ratu Shima. Pendekar samurai itu maupun laki-laki bersorban tadi baru
merupakan orang yang pertama kita temukan.
Aku yakin masih banyak pendekar lain, yang mungkin ilmunya lebih tinggi lagi."
"Tidak apa. Di negeri kita pun kita sudah sering menghadapi lawan tangguh.
Guru kita juga sering berkata bahwa di
kalangan dunia persilatan banyak sekali pendekar tangguh. Bukankah kita
mempelajari ilmu silat untuk menghadapi kenyataan seperti itu?"
"Benar katamu, dik. Untuk dapat
memiliki suatu benda berharga kita memang harus bekerja keras dan banyak
berkorban. Tapi agaknya patung Ratu Shima terlalu
sulit direbut. Kita sama sekali belum tahu di tangan siapa patung itu sekarang
berada. Yang kita tahu, patung itu sudah di tangan orang yang entah siapa yang menggali
tanah itu."
"Menurutmu apakah yang harus kita
lakukan selanjutnya?"
Hong Lie tidak segera menjawab. la me-
mungut sebatang ranting kering yang jatuh di dekat kakinya. Diamatinya sejenak
ranting itu lalu dilemparkannya ke
semak-semak di hadapannya. Barulah
kemudian pemuda itu angkat bicara:
"Kita harus menyelidiki di tangan
siapa sebenarnya patung itu sekarang
berada. Siapa yang mendahului kita
menggali tanah itu sebab melihat kerasnya persaingan, tidak mustahil orang yang
pertama kali menemukannya sudah terbunuh sewaktu berusaha mempertahankannya dari
rebutan pendekar lain."
"Itu memang bisa saja terjadi. Sayang kita belum tahu seluk beluk daerah ini.
Besok kita harus ke pasar membeli
perbekalan, karena keperluan kita sudah hampir habis," ujar Giok Nio sambil
menunjukkan buntalannya kepada Hong Lie.
"Baiklah kalau begitu. Tapi ingat, Giok Nio. Untuk selanjutnya kita harus
hati-hati. Jangan lupa pesan guru kita, bahwa kita tak perlu takut menghadapi
musuh, tapi harus selalu waspada.
Mudah-mudahan saja kita akan berhasil
menemukan patung itu."
Giok Nio manggut-manggut mendengar
ucapan kakaknya. Ia merasa Hong Lie sedang memperingatkannya karena sering
bersikap tidak sabar dan mudah marah. Guru mereka pun sering berkata demikian
karena katanya gadis cantik itu kadang-kadang belum bisa menguasai perasaannya,
sehingga dalam bertindak ia cenderung berdasarkan emosi saja, bukannya perhitungan matang dan
pemikiran dewasa.
Lain halnya dengan Hong Lie, cara
berpikirnya sudah lebih dewasa dan ia pun lebih cepat menyesuaikan diri dengan
keadaan. Pemuda itu tidak hanya mendengar tapi juga sudah membuktikan sendiri
bahwa dalam setiap tindakan, jika hati sudah
dikuasi amarah, maksud hati lebih sering gagal daripada berhasil. Bahkan tidak
jarang pula mengundang bahaya fatal.
Dalam pertarungan, amarah seperti ini
juga kerap membuat seseorang menderita
kerugian, sehingga yang seharusnya menang jadi kalah. Hal itu bisa dilihat dari
adanya kenyataan bahwa setiap orang yang
bertarung jika sudah marah, serangannya akan tampak ganas dan beringas, tetapi
pertahanan dirinya jadi lemah. Lawan yang tenang dan sudah berpengalamari
biasanya akan memanfaatkan kesempatan baik itu
untuk melancarkan serangan balasan yang mengandung maut.
Itulah sebabnya sering terlihat,
sebelum bertarung seorang pendekar
terlebih dulu memancing amarah lawan agar dapat menggunakan kesempatan baik itu
untuk menjatuhkan musuh. Di kalangan dunia persilatan, atau di kalangan pendekar
negerinya Kwan Hong Lie dan Giok Nio
disebut dunia Kangouw, lengah beberapa
detik saja sudah cukup bagi seorang
pendekar untuk menjatuhkan lawan.
Hal seperti inilah yang sering
terlihat oleh Hong Lie pada diri adiknya.
Giok Nio masih sering terlihat kurang
perduli akan resiko yang bakal dihadapi dengan sikapnya, seolah-olah ia
berprinsip serang dulu resiko belakangan. Memang
seorang pendekar, tidak boleh bersikap
pengecut, tidak boleh menyerah sebelum
bertarung. Tapi bagaimanapun juga, sebelum melakukan sesuatu adalah perlu untuk
berfikir terlebih dahulu.
"Kenapa kau diam saja, kakak Hong Lie?"
tanya Giok Nio memecah kesunyian,
"Aku, sedang memikirkan rencana kita selanjutnya," sahut pemuda itu sekenanya.
"Jangan terlalu dipikirkan..
Percayalah, kita pasti berhasil membawanya pulang ke negeri kita."
"Mudah-mudahan saja," kata Hong Lie.
Dan kedua kakak beradik itu pun kembali membicarakan rencana mereka selanjutnya
dalam usaha mereka merebut patung Ratu
Shima. Tanpa mereka sadari, pendekar lainnya
pun sedang sibuk melakukan pencaharian
terhadap patung yang menyimpan rahasia
kelanggengan tahta dan rahasia kecantikan itu. Para pendekar yang memiliki ilmu
silat tinggi itu hilir mudik di sekitar lereng gunung Muria, sehingga satu
jengkal tanah pun sepertinya tidak ada yang Input dari perhatian mereka.
Nenek tua Nyi Peri yang dalam beberapa
tahun terakhir ini sudah sangat jarang
terjun ke dunia persilatan, kini telah keluar rumah. Padahal selama ini, sekedar
keluar kehalaman rumah saja,Nyi Peri
sangat jarang. Ini membuktikah bahwa nenek tua yang sangat sakti itu demikian
berambisi merebut patung Ratu Shima.
Pendekar Mat Caplang pun sudah meninggalkan sarangnya terjun ke daerah Jepara hanya untuk berusaha merebut
patung emas itu. Demikian juga pendekar Matahari Terbit Gahito dan pendekar
Irak, Husein. Pendekar pertama yang merebut patung itu dari tangan si Tolol, yakni Prawiro,
telah tewas di tangan pendekar wanita misterius yang sekujur tubuhnya penuh
tatto, Di antara semua pendekar yang saling
memperebutkan patung Ratu Shima, wanita bertatto ini agaknya adalah yang paling
menarik. Ilmunya tinggi dan latar belakang kehidupannya pun masih terselubung.
Para jagoan yang datang dari berbagai
penjuru itu sekarang sedang berkeliaran di sekitar gunung Muria. Mereka sama-
sama memiliki ilmu yang sangat tinggi dan juga ambisi yang sangat besar. Mereka siap
melakukan apa saja, pun termasuk membunuh setiap orang yang dianggap penghalang
untuk memiliki patung Ratu Shima.
Tanpa disadari oleh para jago silat
itu, si Tolol sekarang sedang mandi-mandi pada sebuah mata air di lereng gunung
Muria. Anak itu bemyanyi-nyanyi kegirangan dengan suara yang terputus- putus,
karena kadang-kadang ia membenamkan sekujur
tubuhnya ke dalam air sejuk. Setelah itu, ia muncul lagi di permukaan untuk
menarik nafas. Kesempatan itu digunakan untuk
mendendangkan lagu apa saja yang ia ingat.
Sinar matahari tampak berkilau- kilau
memantul di atas percikan air yang
membasahi tubuh si Tolol. Baju dan celana anak itu diletakkan di atas batu, di
pinggir mata air.
Di bawah tumpukan baju dan celana yang
sudah kumal itu disimpan patung emas Ratu Shima, yang kini sedang diincar para
pendekar. Dapatkah si Tolol mempertahankan
patung emas bertahtakan permata tersebut dari jangkauan para pendekar tangguh
yang berambisi mendapatkannya"
TAMAT Jawabannya segera kita lihat pada
episode berikutnya yang berjudul:
"Duka Lara Sang Dewi Tatoo"
Scan/Conver/E-Book: Abu Keisel
Tukang Edit: mybenomybeyes
http://duniaabukeisel.blogspot.com
Pendekar Guntur 4 Dewi Ular Terjerat Asmara Mistik Penguasa Danau Keramat 2