Pencarian

Tikam Samurai 19

Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik Bagian 19


di Kota Singapura. Saat itu dia akan naik pesawat ke Padang melalui Jakarta. Saat itu suami Salma berkata :
"Saya berharap akan dapat bertemu dengan kalian berdua, Michiko. Maksud saya engkau dan Si Bungsu.
Saya tahu, engkau menaruh dendam padanya. Namun, saya benar-benar menginginkan tak satupun di antara
kalian yang cedera?" Kala itu Michiko hanya tersenyum. Senyumnya kelihatan getir. Sebelumnya Salma juga
sempat bicara empat mata dengannya.
"Sebagai sesama perempuan, Michiko, saya ingin mengatakan padamu. Engkau punya kesempatan
untuk bertemu dengan lelaki yang sama-sama kita cintai. Engkau yang memiliki kesempatan paling besar untuk
mendapatkan dirinya. Jangan engkau sampai dikuasai oleh dendam keparat itu. Itu nonsens sama sekali.
Berfikirlah dengan akal sehat. Dia takkan mau melawanmu, aku tahu itu bukan sifatnya. Bila dia engkau bunuh
Michiko, sama artinya engkau membunuh harapanmu sendiri. Kau akan menyesal seumur hidupmu.
Kalian kini sama-sama sebatangkara. Yang kalian butuhkan adalah kasih sayang. Bukan perkelahian dan
saling bunuh. Sebagai seorang yang lebih tua darimu, Michiko san, saya ingin engkau bahagia. Saya ingin Si
Bungsu bahagia. Dan saya yakin, kebahagiaan itu takkan kalian peroleh kalau kalian tidak bersama. Saya ingin
mendengar kabar bahwa kalian menikah. Saya akan menanti kalian di sini. Datanglah sebagai suami isteri. Saya
selalu berdoa untuk itu, Michiko, Adikku!"
Michiko tak bisa menahan air matanya. Dia memeluk Salma. Salma juga basah matanya. Kini, lelaki yang
dia cintai dan dia cari ke ujung langit itu, bersimbah darah dan sekarat dalam pelukannya karena dimakan mata
samurainya! Apa yang pernah diucapkan sesnseinya di Kuil Shimogamo dan Salma, bahwa anak muda itu
takkan pernah mau melawannya, akan merelakan nyawanya di tangan Michiko, kini semua terbukti. Semua!
Di antara ratap sesalnya Michiko sayup-sayup seperti mendengar suara ledakan dan tembakan sahut
menyahut. Disusul suara gemuruh. Semua suara berdesakan ke dalam kepalanya, susul menyusul dan kacau
balau. Hiruk pikuk tak menentu. Bathinnya yang terpukul amat dahsyat akhirnya membuat pertahanan jiwanya
berada di titik paling nadir. Mula-mula semuanya menjadi samar-samar, lalu akhirnya tubuhnya rebah ke jalan
berkerikil tak sadarkan diri, dengan tetap memeluk tubuh Si Bungsu!
Dalam Kecamuk Perang Saudara -bagian" 425
"Dia sadar.." ujar seseorang, disusul suara langkah beberapa orang pada mendekat. Lalu terdengar suara
memanggil. "Bungsu-san?" Si Bungsu membuka mata. "Bungsu-san. Oh.. sukurlah.. sukurlah.." ujar Michiko
sambil memegang tangan Si Bungsu dan menciumnya di bawah tatapan mata beberapa perawat dan dua orang
dokter. Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 424
"Michiko?" "Bungsu-san.." "Dimana ini?" "Ini Rumah Sakit Tentara, di Padang?" jawab seorang dokter
yang juga tentara. "Di Padang..?" "Ya, di Padang.." "Kapan saya dibawa kemari?" "Sepuluh hari yang lalu.."
"Sepuluh hari..?" "Ya.." "Selama itu saya tidak pernah sadar?" "Tapi sekarang sudah. Keadan Anda semakin amat
membaik.." ujar dokter itu sambil memeriksa mata dan denyut nadi Si Bungsu.
Para dokter dan para perawat akhirnya meninggalkan ruang itu. Kini hanya tinggal dia dan Michiko.
Ditatapnya gadis itu sambil mencoba mengingat kejadian terakhir. Sat itu dia baru keluar dari pemakaman
kaum, setelah membersihkan kuburan ayah, ibu dan kakaknya. Di jalan menanjak dia melihat seseorang
berjalan menuju ke pemakaman. Tapi saat hampir sampai di puncak tanjakan dia baru tahu, orang itu tetap
tegak menunggunya di puncak tanjakan tersebut.
Setelah jarak mereka hanya sekitar tiga depa, dia baru menyadari bahwa orang yang tegak dipuncak
tanjakan itu, yang nampaknya sengaja menunggu dia tiba, tak lain dari Michiko. Dan"dia ditantang untuk
bertarung. Dia melemparkan samurainya ke jalan, tapi saat itu dadanya terasa amat pedih. Kemudian dia jatuh
diatas kedua lututnya. Tangannya menekan dadanya yang pedih, tapi darah mengalir keluar. Makin lama makin
banyak. Teringat hal itu Si Bungsu meraba dadanya. Michiko memahami apa yang ada dalam fikiran Si Bungsu.
"Maafkan aku, Bungsu-san. Maafkan aku?" ujarnya terisak sambil meraih tangan Si Bungsu dan kembali
menciumnya. "Jangan menangis, Michiko san"jangan menangis" Kemarilah, peluk aku.." ujar Si Bungsu sambil
menarik tangan Michiko dengan lembut. Michiko merebahkan kepalanya ke dada Si Bungsu. Si Bungsu
membelai rambut gadis itu dengan lembut. "Ingat malam itu di kereta api dari Gamagori menuju Nagoya"..?"
ujar Si Bungsu perlahan. Michiko mengangkat kepalanya, menatap Si Bungsu, kemudian berbisik.
"Takkan pernah kulupakan saat itu, Bungsu-san. Itulah sat paling bahagia dalam hidupku. Kau peluk
bahuku, dan aku tertidur di bahumu dari senja hingga tengah malam," ujar Michiko sambil kembali
merebahkan kepalanya di dada Si Bungsu. "Engkau mau mendengarkan nyanyianku?"" Michiko mengangguk
di dada Si Bungsu, pertanyan itu sama persis dengan pertanyaan yang diucapkan anak muda itu di kereta api
bertahun yang lalu. "Ya, saya suka. Menyanyilah Bungsu-san?"
Bisiknya, menirukan kata-kata yang juga persis sama dengan yang dia ucapkan saat menjawab
pertanyan anak muda itu, berbilang tahun yang lalu, dalam kereta api yang meluncur dari Gamagori menuju
Nagoya. Dengan masih memeluk bahu gadis itu Si Bungsu mulai batuk-batuk kecil mengatur suara, lalu dengan
suara yang berat dan lembut terdengar nyanyiannya:
"Ame ga fuuttemo watashi wa ikimasu nakanaide kudasai watashi o wasurenaide kudasai sayonara"."
(Meskipun turun hujan, saya akan pergi jangan menangis jangan lupakan saya selamat tinggal")
Di kereta dahulu, Michiko mengangkat kepalanya begitu lagu itu berakhir. Menatap mata anak muda itu
tepat-tepat. Tapi kini, dia tidak mengangkat kepalanya, dia mengulangi lagi kata-katanya kala itu : "Anata wa
Nippon no uta o shitte imasu"Anda mengetahui lagu Jepang" "Hai, sukoshi dekimasu"Ya, saya mengetahui
sedikit.." jawab Si Bungsu, juga mengulang secara amat persis ucapannya di kereta menuju Nagoya dahulu.
Michiko mengangkat wajahnya begitu ucapan Si Bungsu selesai. Dia menatap anak muda itu tepat-tepat. Si
Bungsu melihat air mata mengalir perlahan di pipi gadis itu.
Dalam Kecamuk Perang Saudara -bagian-426
Michiko "Nakanaide kudasi, Michiko-san. Jangan menangis, Michiko.." ujar Si Bungsu sambil menghapus air mata
di pipi Michiko dengan jemarinya dengan lembut. Michiko meraih tangan Si Bungsu menciumnya, lalu berkata
di antara isaknya yang tertahan. "Berjanjilah tidak lagi meninggalkan aku, Bungsu san. Berjanjilah.."
Si Bungsu meraih wajah Michiko, menariknya mendekati wajahnya. Kemudian dengan lembut dia cium
keningnya, matanya dan..bibirnya. Michiko menggigil dalam pelukan anak muda itu. Menggigil karena haru dan
bahagia. "Itu janjiku, Michiko-san"Itu janjiku.." bisik Si Bungsu sambil memeluk gadis itu dengan lembut.
Dalam posisi seperti itu kedua anak manusia yang berasal dari negeri yang amat berjauhan itu tertidur.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 425
Besoknya Si Bungsu kedatangan dua orang tamu. Keduanya berbaret merah. Si Bungsu sudah bisa
duduk, namun belum dibolehkan berjalan. Tunggu sehari dua lagi, sampai luka di dada benar-benar pulih,
begitu kata dokter. Dia merasa surprise saat mengetahui tamu yang datang adalah Letnan Fauzi dan Letnan
Azhar dari RPKAD. Mereka bersalaman dan berpelukan dengan akrab. Si Bungsu mengenalkan kedua perwira
itu dengan Michiko. Keduanya membungkuk dengan hormat sebelum menyalami gadis cantik itu. Si Bungsu
mencegah Michiko yang akan keluar, maksud gadis itu agar dia bisa berbicara bebas dengan kedua temannya
itu. "Tak ada rahasia antara kami, kedua beliau sahabat saya. Karena itu juga sahabatmu Michiko-san.." ujar
Si Bungsu. Dan merekapun ngobrol berempat. Dari obrolan itu menjadi jelas bagi Si Bungsu maupun Michiko,
apa sebab mereka sampai ke Rumah Sakit Tentara di Padang ini. Padahal sebelumnya mereka berada di Situjuh
Ladang Laweh. Ternyata saat mereka berhadap-hadapan di puncak pendakian dekat makam kaum di Situjuh
Ladang Laweh itu dua minggu yang lalu, APRI sedang melakukan operasi pembersihan ke beberapa kantong
PRRI di pinggang Gunung Sago itu. Yang memimpin operasi itu adalah peleton yang dipimpin Letnan Fauzi dan
peleton Letnan Azhar. Pasukan mereka sampai ke pemakaman itu karena akan mengambil jalan pintas memotong jalur
pelarian empat orang anggota PRRI yang melarikan diri dari penyergapan di salah satu rumah di Situjuh
Ladang Laweh. Semula dua anggota pasukannya menyangka lelaki dan perempuan yang mereka temukan di
puncak pendakian itu sudah tewas terkena peluru nyasar. Soalnya keduanya berlumur darah. Tapi begitu
didekati, saat kedua tubuh itu disorot lampu senter, dua orang anak buahnya terkejut.
Dia sangat mengenal wajah orang yang terluka dalam pelukan perempuan Jepang yang juga pingsan itu.
Dia mengenalnya karena dia adalah salah seorang anggota RPKAD yang melihat orang itu bertarung dengan
komandannya. "Bungsu, ini Si Bungsu..!" serunya sambil berseru dan beberapa kali memberi isyarat kepada
Letnan Fauzi lewat cahaya lampu senter. Saat Letnan Fauzi sampai di sana, dengan terkejut dikenalinya orang
yang pernah bertarung dengannya itu. "Berikan bantuan darurat, periksa wanita ini. Panggil tandu ?" perintah
Letnan Fauzi. Tak lama kemudian Letnan Azhar sampai di sana. Mereka tak heran kenapa Si Bungsu dan gadis Jepang
itu ada di sana. Mereka telah membaca laporan intelijen tentang kedua orang ini. Riwayat Si Bungsu hampir
lengkap dimuat di laporan intelijen itu. Mulai saat pembantaian keluarganya sebelum kemerdekaan, sampai
saat dia "gentanyangan" membunuhi Jepang dan Belanda di Payakumbuh, Bukittinggi dan Pekanbaru.
Termasuk di dalam laporan itu bahan yang dikirimkan oleh Overste Nurdin, Atase Militer Indonesia di
Malaya yang berkedudukan di Singapura. Mereka juga mendapat data intelijen dari Konsul RI di Australia.
Tentang Michiko, selain informasi dari Overste Nurdin, juga didapat informasi dari Jakarta. Dalam pergolakan
ini dia dinilai militer sebagai orang yang sangat netral.
Dalam kasus tertentu dia melabrak anggota APRI yang tidak benar. Dalam kasus lain dia menghantam
orang PRRI yang berbuat aniaya kepada rakyat. Kenetralan yang sangat terjaga dan karenanya sangat
dihormati. Tentang apa sebab dan apa tujuan Michiko mencari Si Bungsu, informasinya mereka peroleh juga
dari laporan Overste Nurdin. Laporan itu tidak begitu lengkap, hanya dituliskan bahwa selain membawa-bawa
dendam, Michiko sebenarnya mencintai Si Bungsu. Laporan dari Overste Nurdin dikirim ke Jakarta via
telegram. Diteruskan ke perwira tertentu yang berada di Sumatera Barat.
"Kau boleh tangguh dan menang bertarung dengan selusin lelaki, Bungsu. Termasuk dengan aku. Tapi
kami sudah menduga, kau takkan berdaya menghadapi Michiko?" ujar Letnan Fauzi bergurau. "Dan itu sudah
kami buktikan ketika menemukan engkau sekarat di Situjuh.." sambung Letnan Azhar. Si Bungsu tersenyum
dan memandang pada Michiko. Gadis itu, yang sudah amat fasih berbahasa Indonesia, karena belajar dari Salma
dan Nurdin saat di Singapura, tunduk tersipu-sipu. "Lain kali, kalau kita harus melawan Bungsu lagi, kita minta
tolong saja pada Michiko.." ujar Letnan Azhar, disambut tawa berderai Letnan Fauzi.
Si Bungsu yang ikut tertawa tiba-tiba terpekik, karena lengannya dicubit Michiko. Cubit dan pekik itu
menyebabkan tawa mereka makin berderai di dalam kamar rawat inap itu. Lepas dari pertemuan dan senda
gurau yang membahagiakan itu, menjadi jelas pula bagi Bungsu dan Michiko, pada malam terjadinya peristiwa
terlukanya Si Bungsu itu mereka berdua dilarikan dengan memakai truk pengangkut tentara ke Payakumbuh.
Kemudian atas perintah kedua letnan RPKAD itu dia dilarikan ke Rumah Sakit Tentara di Padang.
Dengan truk yang dilengkapi kasur malam itu juga melarikan mereka ke Padang, dikawal oleh selusin
anggota RPKAD. Hal itu dilakukan kedua perwira RPKAD itu setelah terjadi "uji tanding" antara Si Bungsu
dengan Letnan Fauzi. Jika sebelumnya mereka hanya menerima laporan intelijen tentang apa dan mengapa Si
Bungsu dan Michiko, tiga hari setelah uji tanding itu datang sebuah daftar dari Markas APRI berisi nama dua
tiga orang di Sumatera Barat yang diberi kode HD, "Harus Dilindungi".
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 426
Di antara sedikit nama yang diberi kode HD itu terdapat nama Kari Basa dan Bungsu! Untuk
melaksanakan perintah berlabel HD itu tentu saja mereka tak boleh kehilangan jejak orang-orang tersebut.
Namun letnan itu kelabakan mencari dimana keberadan Si Bungsu. Ketika Michiko muncul di Bukittinggi,
akhirnya diputuskan untuk mengawasi gadis itu dari jauh. Mereka yakin, kedua orang itu pasti akan bertemu.
Karenanya diam-diam Michiko dijadikan sebagai "penunjuk jalan" dalam mencari Si Bungsu.
Dalam Kecamuk Perang Saudara -bagian-427
Namun adanya perintah berkode HD itu, berikut menjadikan Michiko sebagai penunjuk jalan, tak pernah
diungkapkan kedua letnan itu kepada siapapun, tentu saja termasuk kepada Si Bungsu dan Michiko. Dari
pertemuan hari itu pula Si Bungsu mengetahui, bahwa ke Sumatera Barat ini RPKAD yang dikirim hanya dua
peleton yang dipimpin Fauzi dan Azhar. Sementara ke Riau dikirim satu batalyon, berkekuatan lebih kurang
seribu orang. Hal itu disebabkan pemerintah Pusat mengamankan PT Caltex yang berkantor di pinggiran kota
Pekanbaru, serta ladang-ladang minyaknya yang bertebaran di dalam belantara Riau tersebut. Letnan Fauzi
dan Letnan Azhar memerlukan datang menemui Si Bungsu, karena dua peleton RPKAD yang mereka pimpin
akan kembali ke Jakarta. Masa tugas mereka selama tiga bulan di daerah ini sudah berakhir.
"Terimakasih, Letnan. Aku berhutang nyawa pada kalian?" ujar Si Bungsu dengan nada bergetar. "Kalau
kalian nikah nanti jangan lupa mengundang kami, awas kalau lupa.." ujar Fauzi saat akan meninggalkan
ruangan itu. Dan para sahabat itupun berpisah dalam suasana penuh haru.
Beberapa hari setelah keluar dari rumah sakit Si Bungsu sangat terkejut ketika mendengar kabar bahwa
ayah Salma yang bernama Kari Basa mati tertembak di Bukttinggi. Dia ditembak malam hari, saat akan masuk
ke rumahnya. Sampai sekarang tidak diketahui pihak mana yang menembaknya. Overste Nurdin dan Salma
isterinya telah sampai di Bukittinggi dua hari yang lalu. Mereka terbang langsung dari New Delhi dimana
Nurdin bertugas ke Jakarta, kemudian ke Padang dan diantar pakai jip yang dikawal dua truk tentara ke
Bukittinggi. Si Bungsu, termasuk Michiko, memutuskan untuk datang ke Bukittinggi menemui kedua
sahabatnya itu. Sementara Michiko kembali teringat ucapan Salma di Airport Changi, saat akan berangkat ke Jakarta,
untuk seterusnya mencari Si Bungsu ke kampungnya. Saat itu Salma berkata: "Sebagai sesama perempuan,
Michiko, saya ingin mengatakan padamu. Engkau punya kesempatan untuk bertemu dengan lelaki yang samasama kita cintai. Engkau yang memiliki kesempatan paling besar untuk mendapatkan dirinya. Jangan engkau
sampai dikuasai oleh dendam keparat itu. Itu nonsens sama sekali. Berfikirlah dengan akal sehat.
Dia takkan mau melawanmu, aku tahu itu bukan sifatnya. Bila dia engkau bunuh Michiko, sama artinya
engkau membunuh harapanmu sendiri. Kau akan menyesal seumur hidupmu. Kalian kini sama-sama
sebatangkara. Yang kalian butuhkan adalah kasih sayang. Bukan perkelahian dan saling bunuh. Sebagai
seorang yang lebih tua darimu, Michiko san, saya ingin engkau bahagia. Saya ingin Si Bungsu bahagia. Dan saya
yakin, kebahagiaan itu takkan kalian peroleh kalau kalian tidak bersama. Saya ingin mendengar kabar bahwa
kalian menikah. Saya akan menanti kalian di sini. Datanglah sebagai suami isteri. Saya selalu berdoa untuk itu,
Michiko, Adikku!" Michiko termenung mengingat kata-kata: "Datanglah sebagai suami isteri. Saya selalu berdoa untuk itu,
Michiko, Adikku!" Oo, alangkah inginnya dia hal itu terwujud. Alangkah inginnya. Tengah dia menghayalkan hal
tersebut tiba-tiba dia dikejutkan suara Si Bungsu : "Michiko-san?" "Ya?"" "Kita akan ke Bukittinggi, kan" "Ya.."
"Secepatnya, kan?" "Ya.." "Michiko-san.." "Ya..?"
Si Bungsu menatapnya. Sepi, Michiko menunggu apa yang akan disampaikan Si Bungsu lebih lanjut. "Di
negeri kami ini, yang melamar seorang gadis adalah pihak ibu dan keluarga perempuan pihak lelaki. Tapi saya
tidak lagi punya keluarga. Kita sama-sama sebatang kara. Kalau nanti kita sudah di Bukittinggi, saya akan
meminta Salma dan Nurdin melamarmu.
Engkau akan menjadi tempat aku mengabarkan sakit dan senang, aku tempat engkau mengabarkan sakit
dan senang pula. Maukah engkau menjadi isteriku, Michiko-san" " Michiko menatap Si Bungsu, kemudian
berdiri. Lalu menghambur ke dalam memeluk lelaki itu. Dia menangis terisak-isak, tenggelam oleh rasa haru
dan bahagia yang tak bertepi. "Hati dan jiwaku milikmu, kekasihku. Milikmu, selamanya-lamanya".!"
Mereka menompang konvoi tentara pusat yang akan berangkat ke Bukittinggi. Di dalam konvoi yang
berjumlah belasan truk dan bus itu, selain penompang kalangan sipil terdapat puluhan anak-anak SGKP.
Semula ada kekhawatiran diantara penompang akan adanya pencegatan. Tetapi untuk menghilangkan rasa
takut dan ketegangan, tentara yang ada di setiap truk menyuruh anak-anak sekolah itu bernyanyi.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 427
Namun lewat Nagari Sicincin mereka pada lelah. Malah ada yang mengantuk. Konvoi itu melaju terus,
dengan di depan sekali sebuah jip tentara kemudian dua truk berisi pasukan, ketiganya dibekali dengan
senapan mesin, diselang seling bus dan truk berisi anak sekolah dan sipil dan di belakang sekali tiga truk penuh
tentara. Sebahagian besar penompang dan tentara masih saling berbicara perlahan tanpa melupakan
kewaspadaan. Lepas dari Kayu Tanam konvoi memperlambat perjalanan karena mulai memasuki areal hutan berbukit
di Bukit Tambun Tulang. Tak lama kemudian mereka memasuki kawasan Lembah Anai dengan air terjun yang
indah. Sebenarnya saat masih berada di kawasan Bukit Tambun Tulang tiba-tiba saja ada perasaan tak sedap
menyelusup ke hati Si Bungsu. Matanya menatap ke bukit-bukit batu terjal tatakala memasuki Lembah Anai.
Lalu"tiba-tiba terjadilah tragedi berdarah itu! Dari hutan di bukit-bukit batu curam di kiri kanan lembah
itu tiba-tiba saja konvoi disiram tembakan mitraliur. Tidak itu saja, tembakan bazoka melemparkan sebuah
truk dan sebuah bus penuh penompang dan tentara ke dalam sungai berbatu. Si Bungsu dan beberapa
penompang sipil dan belasan tentara berada di truk yang terlempar itu! Sebagian dari konvoi itu berhenti
mendadak. Jip yang berada di depan sekali, yang berada di tempat terbuka mempercepat larinya mencoba
berlindung di tikungan. Dalam Kecamuk Perang Saudara -bagian-428
Namun serentetan tembakan mitraliur membunuh seluruh isi jip itu, sementara jip itu sendiri baru
berhenti tatkala menabrak tebing batu di kirinya. Beberapa bus dan truk tersandar ke tebing batu dalam usaha
mengelak dari tembakan membabi buta. Tak ayal lagi, konvoi APRI itu masuk perangkap PRRI! Para
penumpang berhamburan turun dan menjauhi bus dan truk. Menghindar dari daerah terbuka agar tidak
menjadi sasaran peluru. Untuk itu jalan satu-satunya adalah masuk ke hutan terdekat. Hutan di wilayah itu
hanya tumbuh di dinding tebing batu yang curam.
Apa boleh buat mereka terpaksa, dan harus, mendaki hutan di tebing terjal itu. Selain menghindari
celaka dari sasaran peluru, sekaligus menghindar dari celaka bila truk atau bus meledak. Michiko berada di
dalam bus yang tersandar ke dinding batu dan penompangnya terdiri rombongan anak SGKP yang
bertemperasan turun menyelamatkan diri itu! Namun malang memang tengah mengikuti mereka. Peluru yang
ditembakkan oleh PRRI dari puncak-puncak tebing, yang sebenarnya ditujukan kepada tentara pusat benarbenar "tak bermata".
Tidak bisa membedakan mana yang tentara mana yang sipil. Mana yang lelaki mana perempuan.
Akibatnya belasan anak-anak SGKP dan penompang sipil lainnya tersungkur dihantam peluru begitu mereka
berhamburan turun dari bus astau truk. Belasan lainnya bernasib sama, meski mereka sudah berada di dalam
hutan di tebing terjal dalam upaya menyelamatkan diri. Salah seorang di antara korban yang kena tembak itu
adalah Michiko! Hutan di bukit cadas Lembah Anai itu sudah ditelan malam yang kental ketika seorang anggota PRRI
berpangkat letnan dan lima anggotanya "membersihkan" hutan itu. Dengan dua buah senter mereka
memeriksa lekuk dan tonjolan batu yang mereka lewati. Mereka lewat di sana karena daerah itu memang sudah
dipersiapkan sebagai jebakan yang mematikan bagi konvoi tentara pusat yang akan lewat di sana.
PRRI memerlukan waktu sekitar beberapa minggu untuk mempersiapkan jebakan tersebut. Setiap
bukit, tebing dan pohon dengan seksama mereka pelajari situasinya. Termasuk mempelajari kemana saja jalan
mengundurkan diri atau jalan lari bila terjadi hal-hal yang di luar perhitungan. Termasuk bila terjadi serangan
balik dari pihak APRI. Letnan dan empat anggotanya itu sedang berada di pinggang salah satu tebing terjal di Lembah Anai,
tatkala mereka mendengar suara rintihan. Setelah lelah mencari dengan cahaya senter dalam kegelapan itu,
mereka menemukan di puncak sebuah tonjolan batu sesosok tubuh wanita. Nampaknya dia dengan susah
payah memanjat batu tersebut agar tidak dimangsa binatang buas. "Ini orang asing, Let?" ujar salah seorang
yang berpangkat Sersan. Mereka menatap wajah perempuan yang tersandar separoh sadar itu.
"Jepang! Ini"Astaghfirullah,"ini pasti gadis Jepang yang mencari Si Bungsu.." ujar yang berpangkat
letnan. Ketiga mereka memperhatikan Michiko dengan perasaan tak percaya. Cerita tentang Si Bungsu dan
gadis Jepang yang mencarinya itu, sampai Si Bungsu mengalami luka di Situjuh Ladang Laweh dan dirawat di
Rumah Sakit Tentara di Padang atas pertolongan dua perwira RPKAD, sudah bersebar dari mulut ke mulut.
"Kita tidak mungkin meninggalkannya di sini, dia memerlukan pertolongan.." ujar si Sersan. Kelima
mereka menyepakati ucapan si Sersan. Mereka lalu membuat tandu darurat dan menandu Michiko makin
masuk ke belantara, naik turun bukit arah ke Gunung Singgalang. Jalan itu sudah mereka pelajari dua bulan
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 428
yang lalu, merupakan jalan terdekat untuk tembus ke kampung Balingka. Selain menandu Michiko mereka juga
membawa tiga pucuk senjata yang tertinggal oleh pasukan APRI.
Menjelang subuh mereka sampai di barak darurat yang dibuat di pinggang Gunung Singgalang. Barak itu
sengaja dibuat di sana, agar tak terjangkau oleh APRI, dan memudahkan droping senjata oleh helikopter
Amerika yang terbang menyelusup dari Laut Cina Selatan. Namun celaka menghadang, pada saat bersamaan
dengan kedatangan mereka kebetulan sebuah helikopter Amerika sedang menurunkan senjata. Tapi saat itu
pula tiba-tiba pasukan APRI menyerang.
Pasukan APRI ternyata tidak hanya melakukan serangan balik atas peristiwa Lembah Anai yang terjadi
kemarin pagi, tapi juga melakukan serangan mendadak ke salah satu tempat rahasia PRRI menerima droping
senjata dari Amerika melalui udara. Apri menjadi curiga saat tengah malam ada deru helikopter. Setelah
beberapa kali hal itu terjadi, mata-mata yang disebar akhirnya mengetahui maksud kedatangan heli itu, serta


Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di mana lokasi droping senjata dilakukan.
Keadaan benar-benar kacau balau. Di barak darurat di tengah hutan di pinggang Singgalang itu hanya
ada satu peleton PRRI. Mereka disiagakan di sana untuk menunggu dan membawa senjata yang didrop secara
rahasia itu. Itu sebabnya, ketika APRI belum mengenal bazoka, PRRI sudah menggunakannya. Senjata itu
merupakan senjata anti-tank.
Tempat itu dipilih karena letaknya yang tersembunyi, tapi strategis. Ketika serangan datang dengan
mudah mereka menyelusup dan lenyap berlindung ke jurang-jurang di sekitarnya. Dalam peristiwa serangan
mendadak menjelang subuh itu, si letnan masih sempat meminta pertolongan kepada pilot helikopter untuk
menyelamatkan Michiko yang terluka, dan saat itu tidak sadar diri.
"Tomas, keadaan gadis ini kritis, kalau dibiarkan di sini nyawanya bisa tidak tertolong.." ujar letnan itu.
"Tapi saya harus ke Singapura.." jawab pilot bernama Tomas dalam gebalau yang mencekam itu. "Justru itu,
bawalah dia. Dari sana lebih dekat ke negerinya di Jepang sana.." ujar si letnan. Pembicaraan mereka terputus
oleh ledakan peluru mortir. Saat pilot dan copilot heli itu selesai menurunkan peti-peti berisi senjata, dibantu
beberapa orang anggota PRRI, si letnan menyuruh anggotanya menaikkan Michiko yang masih belum sadar ke
helikopter. Kemudian mengikatkan tubuhnya dengan kuat. Tembakan pasukan APRI terdengar makin dekat.
Dengan berkali-kali mengucapkan "shit"shit..shit" pilot Amerika itu melompat ke helikopternya yang mesinnya
tidak pernah dimatikan. Dalam Kecamuk Perang Saudara -bagian- 429
"Di peti itu ada lima pucuk 12,7 dan 10 buah Bazoka serta dua lusin gren?"teriak si pilot sambil
menaikan helikopternya mengudara dan segera menjauh dari pinggang gunung itu,dan lenyap di kegelapan
malam. Kembali menuju Laut China Selatan. Si Letnan dan anggotanya yang masih bertahan segera
mengamankan peti-peti senjata itu. Mendorongnya ke sebuah goa batu cadas, kemudian mereka ikut masuk
kedalamnya. Goa itu pintunya kecil saja, namun makin ke dalam makin besar dan jalannya menurun.
Sekitar lima puluh meter goa itu berkelok ke kanan jalanya kembali mendaki. Ujungnya muncul di
seberang pintu yang tadi mereka masuki. Pintu masuk dan pintu keluar itu dipisahkan oleh sebuah jurang yang
sangat dalam, goa itu seperti membentuk huruf "U". Artinya dari mulut goa dimana kini mereka berada dapat
mengawasi mulut goa tersembunyi yang tadi mereka masuki, yang jaraknya hanya sekitar 50atau 60 meter,
tapi dipisahkan oleh jurang yang amat dalam.
Mereka tak perlu mengawasi apa-apa, sebab pintu masuk itu amat terlindung dan mustahil ditemukan
pihak APRI. Yang akan mereka temukan paling-paling barak darurat yang berada sekitar seratus meter dari
mulut goa. Mereka lalu tidur kelelahan, bukan pekerjaan yang ringan naik turun tebing terjal dari siang sampai
malam, apalagi harus memikul tandu bermuatan orang yang sedang sekarat.
Si Bungsu membuka mata dan dia mendapati dirinya di bangsal sebuah rumah sakit. Itu terlihat dari
tempat tidur berderet-deret dan belasan pasien sedang dirawat. Dia rasakan kepalanya berdenyut-denyut. Saat
dia raba ternyata kepala nya terbungkus perban. Dia coba menggerakan kedua kakinya, kemudian kedua
tangannya. Alhamdulillah,tak ada yang patah atau putus. Jadi hanya kepalanya yang cedera, itupun dirasanya
tidak terlalu parah. Buktinya dia bisa menolehkan kepalanya perlahan kekiri maupun kekanan, hatinya jadi
agak lega. Dari penjelasan perawat diketahuinya bahwa penumpang konvoi, termasuk para pelajar SGKP,
meninggal dan pencegatan itu. Konvoi itu baru bisa lepas dari jebakan setelah sore, yaitu ketika datang sekompi
tentara dari Padang, di antaranya sepeleton RPKAD yang baru sehari datang dari Jakarta.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 429
Selama terjadinya pergolakan sudah dua kali peristiwa yang merenggut begitu banyak korban. Pertama
penyerangan ke kota Bukittinggi, kedua pencegatan di Lembah Anai. Dua tragedi itu meninggalkan bekas yang
sangat dalam dan tak mudah dilupakan. Apalagi Mayoritas yang tewas dalam serangan ke bukittinggi adalah
penduduk sipil. Sementara Mayoritas korban di Lembah Anai adalah anak-anak sekolah dan juga sipil! Peluru
tidak pernah bisa membedakan mana orang yang terlibat pertempuran mana yang tidak.
Si Bungsu mencari informasi keberadaan Michiko. Namun tak seorang pun perawat itu yang mengetahui
ada seorang gadis Jepang yang dikirim kerumah sakit itu. Dua anak SGKP yang kebetulan menaiki bus yang
sama dengan Michiko juga tidak tahu apa yang terjadi dengan gadis itu.
"Kami mengetahui keberadaannya di dalam bus, soalnya selain orang asing, dia amat cantik, ramah dan
rendah hati pula. Di Bus dia menjadi sahabat semua orang, tapi ketika sopir tertembak dan bus bersandar ke
dinding batu, semua kami pada berhamburan keluar menyelamatkan diri. Beberapa teman termasuk saya
terkena tembakan setelah berada di luar. Saat keluar dari bus itu kami tak mengingat apapun, kecuali mencari
perlindungan kedalam hutan terdekat"." tutur gadis yang perutnya terkena tembakan itu.
Tapi baik gadis anak SGKP itu maupun dua perempuan lainnya yang berada satu bus dengan michiko,
mengatakan bahwa mereka semua mereka mendaki tebing terjal. Mencari pohon atau bebatuan yang bisa
dijadikan perlindungan dari terjangan peluru. Malangnya mereka tidak tahu peluru datangnya dari mana,
sehingga mereka harus kemana. Rasanya tembakan dari depan, belakang, kiri, kanan, bahkan dari atas! Nyaris
tidak ada tempat berlindung sama sekali.
Siang itu Si Bungsu di beritahu kalau ada dua tamu yang ingin menemuinyai. Ketika tamu datang, dua
orang tentara berbaret merah disangkanya Letnan Fauzi dan Letnan Azhar.Ternyata meleset.
"Assalamualaikum ?" ujar anggota RPKAD berpangkat Kapten yang baru datang itu sambil mengulurkan
tangan. "Waalaikumsalam?"Jawab Si Bungsu sambil menerima salam tentara itu. "Saya Syafrizal, sanak yang
bernama Bungsu,kan?"
Dalam Kecamuk Perang Saudara -bagian- 430
"Ya?" "Yang pernah ke Jepang dan berasal dari Situjuh Ladang Laweh?" Si Bungsu heran dan menatap
tentara itu. Darimana orang ini tahu siapa dirinya" "Bapak tahu nama saya dari mana?" "Panggil saya Syafrizal
saja. Saya tahu banyak tentang Sanak. Saya dengar dari Fauzi, ponakan saya.." "Fauzi, anggota RPKAD itu..?"
"Ya, dia keponakan saya. Kami semua di Jakarta. Saat baru pulang dari bertugas di daerah ini, dia bercerita
banyak tentang situasi di sini. Termasuk tentang Sanak. Apalagi kemudian saya ditugaskan menggantikan
peleton yang dia pimpin di daerah ini. Kenalkan, ini Arif, teman saya.." ujar Kapten itu memperkenalkan
temannya yang sama-sama datang dengan dia, yang berpangkat Sersan Mayor.
Mereka lalu duduk di ruang tamu rumah sakit itu. Tiba-tiba Si Bungsu dikejutkan oleh pertanyaan
Kapten Syafrizal. "Sudah dapat kabar tentang Michiko" "Beb"belum" jawabnya gugup dan berdebar. Kapten
Syafrizal menceritakan bahwa setelah penyergapan di Lembah Anai itu Michiko ditemukan malam hari di atas
sebuah batu besar, dalam keadaan terluka dan tak sadar diri. Karena ceita tentang Si Bungsu yang "sahabat"
PRRI maupun "sahabat" APRI sudah tersebar luas, maka kisah dia dicari gadis Jepang cantik bernama Michiko
juga ikut tersebar luas. Itu sebab anggota PRRI yang menemukannya segera mengenali gadis Jepang yang luka
itu adalah kekasih Si Bungsu, dan mereka merasa berkewajiban menolongnya.
Atas perintah seorang perwira pasukan PRRI Michiko lalu dibawa dengan tandu ke barak rahasia PRRI
di pinggang Gunung Singgalang, untuk diselamatkan. Barak rahasia itu dibuat untuk menerima suplay senjata
dari Amerika, yang sering mengirim persenjataan dengan helikopter dari salah satu tempat di Laut Cina
Selatan, atau mungkin dari Singapura. Bersamaan dengan sampainya mereka di barak tersembunyi tersebut,
APRI yang telah mencium keberadaan barak rahasia PRRI itu sebagai salah satu tempat menunggu suplay
senjata dari Amerika, menyerang tempat tersebut. Perwira PRRI itu meminta tolong kepada pilot helikopter
Amerika bernama Tomas untuk membawa Michiko yang terluka ke Singapura.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 430
Pilot itu semula menolak, tapi karena Michiko sudah dinaikkan ke heli, dan serangan APRI makin
menjepit, heli itu berangkat dengan membawa Michiko. Si Bungsu termenung mendengar penuturan Komisaris
Polisi Syafrizal tersebut. "Dari siapa cerita ini Sanak peroleh?" tanya Si Bungsu perlahan. "Kendati PRRI dan
tentara Pusat berperang, namun sejak awal APRI memiliki kontak-kontak khusus dengan beberapa perwira
PRRI. Perang saudara ini sama-sama tidak dikehendaki. Baik oleh PRRI maupun tentara Pusat. Cuma sudah
kadung terlanjur, kami dengar kabarnya sudah ada usulan kepada Presiden Soekarno untuk secepatnya
mengeluarkan amnesti bagi anggota PRRI yang meletakkan senjata. Nah, informasi ini saya peroleh dari
sumber-sumber itu. Dari orang-orang yang merasa Sanak adalah sahabat mereka, disampaikan kepada tentara
APRI yang juga merasa Sanak adalah sahabat mereka pula.." "Terimakasih atas informasi yang sanak
sampaikan.." ujar Si Bungsu perlahan. "Sanak sahabat kami dan semua pihak, karenanya kami senang bisa
membantu.." "Terimakasih.." ujar Si Bungsu, masih dalam nada perlahan dengan tatapan mata menerawang ke
hamparan sawah di depan rumah sakit tersebut. "Saya juga mendapat informasi bahwa Sanak akan ke
Bukittinggi, menemui Overste Nurdin yang mertuanya mati tertembak di Bukittinggi.."
Si Bungsu menatap Kapten itu. Tak cukup banyak orang yang tahu maksud kepergiannya bersama
Michiko ke Bukittinggi, kini Kapten ini ternyata telah mengetahuinya. "Selain sahabat semua orang, Sanak juga
orang penting bagi kami maupun PRRI. Karena itu jangan kaget kalau kemanapun Sanak akan ada yang secara
diam-diam mengikuti. Mungkin diikuti secara beranting. Samasekali tidak bermaksud mencampuri urusan
Sanak, tapi semata-mata menjaga keselamatan Sanak. Baik tentara Pusat maupun orang-orang PRRI amat rugi
kalau terjadi malapetaka terhadap Sanak. Kembali ke pokok persoalan, jika akan ke Bukittinggi saya juga akan
ke sana. Kami membawa jip. Kabarnya Overste Nurdin dan isterinya sudah akan berangkat kemaren ke Padang
untuk kembali ke India melalui Jakarta. Tapi karena pencegatan di Lembah Anai itu mereka mengundurkan
keberangkatannya, mungkin dalam sehari dua ini. Saya mendapat tugas mengamankan perjalanan suami isteri
Atase Militer Indonesia di India itu sampai ke Jakarta.."
Tidak ada pilihan terbaik bagi Si Bungsu, selain menuruti ajakan Kapten RPKAD itu ke Bukittinggi
bersamanya. Namun tengah dia bersiap-siap, orang yang akan dikunjunginya tersebut justru tiba di rumah
sakit itu. Overste Nurdin lalu membawa Si Bungsu pindah ke rumah dimana dia menginap, yaitu di Mes Perwira
di kota itu. Nurdin juga mengajak Kapten Syafrizal dan Sersan Arif ke mes tersebut. Mereka lalu terlibat
pembicaraan penuh keakraban. "Baru kemarin sore saya mendapat kabar bahwa engkau berada dalam konvoi
yang dicegat di Lembah Anai itu. Saya juga mendapat informasi tentang Michiko seperti yang dituturkan Kapten
Syafrizal.." ujar Overste Nurdin.
"Kami doakan Uda segera bertemu dengan Michiko.." ujar Salma yang sejak tadi hanya berdiam diri,
menyela pembicaraan perlahan. "Melalui telegram saya sudah kontak teman di Konsulat Singapura, termasuk
teman-temanmu bekas pasukan Green Baret di sana untuk mencari informasi. Mereka mengatakan bahwa
helikopter pembawa senjata gelap itu memang dari salah satu tempat di Singapura. Tapi, maaf, pilot yang
bernama Thomas veteran Angkatan Udara Amerika itu kembali ke kota tempat tinggalnya, di Dallas Amerika.
Dan, sekali lagi maaf, dia membawa Michiko yang sakit untuk diobat di sana.." Salma memperhatikan lelaki
yang pernah amat dia cintai itu. Si Bungsu terdiam. Dia teringat pembicaraannya dengan Michiko di Padang,
beberapa hari sebelum berangkat ke Bukittinggi.
Dalam Kecamuk Perang Saudara -bagian- 431
Di negeri kami ini, yang melamar seorang gadis adalah pihak ibu dan keluarga perempuan pihak lelaki.
Tapi saya tak lagi punya keluarga. Kita sama-sama sebatang kara. Kalau nanti kita di Bukittinggi, saya akan
meminta Salma dan Nurdin melamarmu. Engkau tempat aku mengabarkan sakit dan senang, aku tempat
engkau mengabarkan sakit dan senang pula. Maukah engkau menjadi isteriku, Michiko-san" " Michiko
menatapnya, kemudian berdiri. Lalu menghambur ke dalam pelukkannya. Gadis itu menangis terisak-isak,
tenggelam oleh rasa haru dan bahagia yang tak bertepi. Lalu berkata di antara tangisnya. "Hati dan jiwaku
milikmu, kekasihku. Milikmu, selamanya-lamanya".!"
Kini, bagaimana dia akan meminta Nurdin dan Salma melamar gadis itu untuknya" Dia seperti menelan
sesuatu yang teramat pahit di hatinya. Namun dia berharap gadis itu sembuh dari luka yang dia derita,
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 431
diselamatkan Tuhan nyawanya. Paling tidak itulah harapannya yang tersisa. Untuk bertemu, masih adakah
harapannya" Dallas, Amerika, entah di ujung dunia mana letak negeri itu. Namun, diam-diam jauh di lubuk
hatinya dia menanam niat untuk datang ke negeri di ujung dunia itu. Diam-diam niat itu dia tanam jauh di lubuk
hatinya. Dallas, aku akan datang, bisiknya!
Pesawat yang ditompangi Si Bungsu baru saja mendarat di lapangan Paya Lebar, Singapura. Dia berjalan
kaki ke bagian Douane. Tak banyak yang dia bawa. Hanya sebuah tas berisi empat atau lima stel pakaian,
kemudian sebuah tongkat kayu. Tas tangan itu dia jinjing, jadi dia tak usah menunggu lama untuk bisa keluar.
Dalam perjalanan menuju tempat keluar, sebuah pesawat LKM milik Belanda dia lihat mendarat pula di ujung
landasan. Melihat pesawat dari Belanda itu dia segera teringat pada situasi Indonesia yang baru saja dia
tinggalkan. Presiden Soekarno sedang gencar-gencarnya atas nama rakyat Indonesia menuntut
dikembalikannya Irian Barat ke tangan Indonesia. Beberapa benturan kecil telah terjadi di sekitar Irian antara
pasukan Indonesia dengan pasukan Belanda. Belanda tetap bersikeras mempertahankan Irian di bawah
kekuasaannya. Tak lama setelah pesawat itu berhenti, kelihatan turis-turis Belanda turun. Pakaian mereka beraneka
warna. Lelaki perempuan. Ada firasat aneh yang tiba-tiba saja menyelusup di hati Si Bungsu, melihat turis-turis
tersebut turun dari pesawat KLM. Dia tak segera keluar dari tempat pemeriksaan. Ada beberapa saat dia
menanti. Sampai akhirnya turis-turis itu juga masuk ke ruangan nya. Ketika itulah seorang lelaki menepuk
bahunya. Dia menoleh, dan?".
"Fabian"!" serunya sambil bangkit dan segera saja kedua lelaki itu berangkulan. "Hai, kau kelihatan
kurus, Letnan.." ujar mantan Kapten Baret Hijau itu sambil mengucek-ngucek rambut di kepala Si Bungsu.
"Masih kau ingat dia?"" berkata begitu si Kapten menunjuk seorang Negro bertubuh atletis. "Tongky"!!" seru
Si Bungsu begitu mengenali lelaki itu. "Letnan Bungsu..!" seru tongky si negro. Mereka segera saling peluk. Si
Bungsu terharu, mendengar kedua bekas pasukan Baret Hijau dari Inggris ini masih memanggilnya dengan
sebutan letnan. Pangkat itu memang pernah "diberikan" padanya, ketika mereka akan berperang melawan
sindikat penjualan wanita di Singapura ini beberapa tahun yang lalu. Semacam pangkat tituler, sebab
kemahirannya ternyata melebihi kemahiran rata-rata anggota baret hijau itu dalam hal bela diri. " Mana temanteman yang lain?" " Mereka mempersiapkan perjalan kita. "Nanti kita akan berkumpul di rumahku. Hei" Sejak
tadi engkau memperhatikan turis-turis itu.." bisik Kapten Fabian ketika menyebut kalimat terakhir ini.
Si Bungsu kagum juga, ternyata kawannya ini mengetahui apa yang dia perhatikan. "Saya ingin tahu
dimana mereka menginap, Kapten?" Katanya pelan "Itu mudah diatur?" "Juga hal-hal lain yang dirasa perlu
tentang identitas mereka.." "Mudah diatur, Tongki akan menyelesaikannya?"
Si Bungsu segera ingat pada teman negronya yang bernama Tongki itu. Seorang ahli menyamar dan
menyusup yang nyaris tak ada duanya. Tongki mengerdipkan mata. Kemudian Si Bungsu meninggalkan
lapangan udara Paya Lebar itu bersama Fabian. Meninggalkan Tongki disana. Mencari informasi tentang turisturis tersebut. Mereka nenuju sebuah mobil Cadilac besar berwarna hitam metalik. "Mobilmu Kapten?" "Yap."
"Kau kaya sekarang" "Bukan aku, tapi ayahku. Dua tahun yang lalu ayahku meninggal di Inggris. Dia tak punya
ahliwaris selain aku dan ibuku. Kini ibuku ada disini. Kau bisa bertemu nanti. Ayahku meninggalkan harta tak
tanggung-tanggung. Barang kali dia dulu korupsi?" Si Bungsu menatap heran.
"Ah tidak, ayahku seorang bangsawan". Kapten itu tersenyum, menjalankan mobilnya keluar areal
pelabuhan. Mereka meluncur di jalan raya. "Turis yang kau curigai tadi, apakah mereka dari Belanda?" Fabian
bertanya sambil menyetir mobil. "Ya. Nampaknya mereka dari Belanda. Saya mendengar bahasa yang mereka
gunakan.." "Kau hawatir bahwa mereka sebenarnya akan menuju Irian Barat?"
Si Bungsu menoleh pada kawannya itu. Dia hanya menduga semulanya. Apakah Kapten ini mengetahui
lebih jauh" "Saya mengikuti berita-berita yang terjadi di negerimu, Bungsu. Saya punya bisnis di Singapura ini.
Dan salah satu negeri terdekat, salah satu negeri dimana ekonomi Singapura terkait, adalah negerimu. Saya
mengikuti setiap yang terjadi di sana. Dan kami bukannya tak tahu, saat ini banyak sukarelawan Indonesia yang
telah diterjunkan di daratan Irian. Sukarelawan yang tak lain daripada pasukan-pasukan komando. Saya tak
bersimpati dengan pemimpin negaramu, Bungsu. Terlalu dekat dengan komunis. Saya hanya simpati
denganmu. Saya juga pernah mendengar bahwa ada pasukan-pasukan organik Belanda yang telah
diselusupkan ke Irian. Dan.. mana tahu, karena tak dapat mengirim pasukan secara terang-terangan, mereka
justru memakai jalur turis, bukan"
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 432
Episode V (Kelima) Dalam Kecamuk Perang Saudara-bagian- 432
Si Bungsu tak menjawab. Selama di Indonesia dia memang tak tertarik sedikitpun soal Irian Barat itu.
Masalah yang dia hadapi adalah masalah dimana dia berada secara langsung. Yaitu di tengah kecamuk
pergolakan PRRI. Dia hanya mendengar soal Irian Barat itu dari siaran-siaran radio. Tapi begitu sampai di
negeri orang, entah mengapa, ada saja suatu rasa yang tak dapat digambarkan dengan kata-kata, betapa rasa
solidaritas, rasa bangga terhadap tanah air, dan rasa amarah terhadap orang yang ingin meneruskan
penjajahan, tiba-tiba saja meresap demikian dalamnya.
?"Cukup banyak yang Anda ketahui, Fabian. Saya harap, saya dapat cerita yang cukup banyak pula..?"
?"Tentang negerimu, di sini tak ada yang dirahasiakan Bungsu. Semua terbeber tanpa ada yang disembunyikan
sedikitpun. Dibeberkan oleh puluhan wartawan Barat dan Timur dalam berbagai bahasa. Namun saya kurang
tahu apakah ada pasukan Belanda yang dikirim lewat Singapura atau tidak, itu memang dirahasiakan Belanda.
Kini ada satu soal yang ingin saya katakan padamu".?" Bekas Kapten Baret Hijau itu tak melanjutkan ucapannya.
Dia menghentikan mobilnya di depan sebuah bangunan. Si Bungsu segera ingat bangunan itu. Hatinya
berdegub kencang. Gedung itu adalah gedung Konsulat Indonesia. Dia pernah di sini beberapa tahun yang lalu.
Atase Militer di Konsulat adalah sahabatnya, Overste Nurdin. Teman seperjuangannya ketika melawan
Belanda di Pekanbaru. Lebih daripada itu, isteri atas militer itu adalah Salma. Gadis yang meninggalkan bekas
amat dalam di hatinya. ?"Ingat gedung ini?"" tanya Fabian. ?"Apakah mereka masih di sini?"" Si Bungsu balik
bertanya. Perlahan Fabian menjalankan mobilnya kembali. ?"Tidak. Mereka telah pindah. Mereka kini di India.
Overste Nurdin menjabat sebagai Atase Militer di New Delhi. ?"Sudah lama mereka pindah?"" ?"Setahun yang lalu?" ?"Anda hadir di sini ketika dia pindah?"" ?"Sahabatmu adalah
juga sahabat saya, Bungsu. Demikian juga mereka memperlakukan kami. Kami mereka anggap penggantimu.
Kami mereka undang dalam tiap acara resepsi yang diadakan Konsulat. Demikian pula ketika overste itu
dipindahkan. Pada acara perpisahan dengannya, kami juga diundang..?"
Si Bungsu menarik nafas, membayangkan masa lalunya ketika di Bukitinggi. Mobil yang mereka kendarai
meluncur terus di jalan-jalan kota Singapura yang kelihatan bersih dan teratur. Di suatu tempat, di daerah
Petaling Jaya, mobil itu membelok ke sebuah pekarangan yang amat luas dan berpagar tinggi. Jauh di tengah
pekarangan itu tegak sebuah rumah model Tahun 1800 yang antik.
Padang rumput pekarangan luas itu berwarna hijau bersih. Dan di tengah lapangan hijau itu, rumah antik
tahun 1800 itu seperti muncul tiba-tiba. Berwarna putih kemerlap dengan lampu-lampu kristal. Putih bersih
di tengah permadani hijau. Benar-benar pemandangan yang mempesona. Di depannya ada taman dengan
pohon-pohon bonsai dan bambu cina.
?"Ini rumahku. Di sini aku dan ibuku tinggal, Bungsu..?" Fabian berkata sambil menghentikan mobilnya.
Seekor anjing jenis pudel yang lucu berlari menyongsong. ?"Ini bukan rumah, Fabian. Ini istana..?" kata Si Bungsu
tak habis-habisnya mengagumi rumah bertaman yang ditata dengan selera aristokrat itu. ?"Mari kita menemui
Ibu..?" Si Bungsu melangkah menaiki tangga bersusun empat panjang-panjang. Nyaris sepanjang bahagian
depan rumah tersebut. Dan di pintu, berdiri ibu Fabian. Perempuan tua itu kelihatan anggun dan berwajah
ramah. Fabian mengenalkan Si Bungsu pada ibunya. Tak berapa lama mereka berada di rumah, sebuah mobil
sedan lain muncul dan berhenti di halaman. Dari dalamnya keluar Tongky, Negro yang ahli menyamar itu.
Mereka berkumpul di ruang samping. ?"Siapa turis-turis itu sebenarnya?""
Kapten Fabian memulai pembicaraan. Tongky tak segera menjawab. Dia menghirup jus dingin yang dia
ambil dari lemari es. ?"Ada enam puluh turis dari Belanda, Jerman dan Scotlandia. Sepuluh di antaranya
perempuan. Tapi dari limapuluh lelaki yang mengaku turis itu, saya rasa empat puluh diantaranya adalah
tentara reguler. Saya tak yakin mereka orang Scot, Jerman atau bangsa manapun, mereka itu orang Belanda.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 433
Saya berani bertaruh. Dan saya berhasil mendapatkan ini dari salah satu kantong mereka?" Tongky memberikan
sehelai kertas kepada Kapten Fabian. Kertas itu dikembangkan di atas meja. Si Bungsu melihat kertas itu tak
lain daripada sebuah peta. Peta Singapura.
?"Saya juga memiliki peta itu..?" ujar Si Bungsu. Dia mengambil dari kantongnya sebuah peta yang nyaris
sama. Peta itu adalah brosur pariwisata yang dapat diambil gratis di Airport Payalebar. ?"Ini hanya peta
pariwisata yang dibagikan gratis..?" katanya. Peta itu memang mirip sekali. Di sana ditunjukan beberapa tempat
wisata. Beberapa pulau dan teluk. Pelabuhan dan terminal taksi. Bank dan lapangan udara.


Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

?"Tidak, Bungsu. Ini memang mirip dengan milikmu. Tapi ini ada bedanya. Ini..?" Fabian lalu menunjuk ke
sebuah teluk di selatan Singapura. Tak begitu kentara, namun jelas ditandai dengan pinsil. Tanda yang tak
begitu menyolok. Kemudian Fabian juga menunjuk beberapa titik di pelabuhan Singapura. Tanda beberapa
kapal yang berlabuh. ?"Ini adalah kapal-kapal dagang. Tapi ada bedanya. Di teluk ini, dengan tanda pensil
bergambar garis bengkok ini, adalah semacam kode dalam kemiliteran, bahwa di sini ada kapal selam. Dan ini"
kapal-kapal dagang yang ditandai ini, diantara puluhan kapal dagang di pelabuhan, ada lima kapal perang yang
disulap seperti kapal dagang. Meriam-meriam dikamuflase sedemikian rupa, sehingga sepintas nampaknya
seperti tumpukan peti barang..?" papar Fabian.
Si Bungsu tak bisa bicara saking kagetnya. ?"Mereka akan menyerang Indonesia..?" akhirnya dia berkata.
?"Barangkali tidak. Tetapi mereka akan membalas jika presidenmu yang condong ke komunis itu
memerintahkan menyerang Irian Barat..?" Si Bungsu menatap Fabian dan Tongky bergantian. ?"Kalian
mengetahui rahasia ini sejak lama?"" ?"Tidak. Saya juga baru mengetahuinya.
Dalam Kecamuk Perang Saudara -bagian- 433
"Tidak, saya mengetahuinya sejak melihat peta ini. Harus saya akui Bungsu, bahwa saya mencium
gerakan tentara Belanda secara diam-diam ingin menyelusup ke berbagai wilayah yang berbatasan dengan
negri mu. Betapun juga di Irian barat masih terdapat ribuan orang belanda. Yang sewaktu-waktu harus mereka
selamatkan nyawanya. Dan maaf diantara kita tak ada rahasia Bungsu. Saya orang inggris dan saya cenderung
sependapat dengan politik pemerintah negeri saya, bahwa negerimu cenderung ke Komunis. Banyak peralatan
perang yang didatangkan Soviet ke negerimu. Mulai dari karaben, pesawat jet, sampai ke kapal-kapal perang
dan kapal selam. Di Asia Tenggara, negerimu lah yang terkuat dewasa ini?"sepi sesaat.
Si Bungsu menatap peta yang ditandai itu. Di mana terhadap kapal selam dan kapal-kapal perang yang
di kamuflase sebagai kapal dagang. Apakah pihak konsulat RI di Singapura mencium juga hal ini" Artinya,
apakah pihak Indonesia telah mengetahui bahwa Singapura secara sah atau tidak sah, kini telah dijadi kan
semacam pangkalan perang asing untuk menyerang Indonesia." Pertanyaan itu tetap di simpan dalam hati
sampai esoknya. Mereka bertiga mengunjungi berbagai tempat di Singapura. Fabian membawanya
kepelabuhan. Disana kelihatan puluhan kapal ditengah laut sedang buang jangkar.
"Beberapa buah di antaranya adalah kapal perang,Bungsu?"bisik Fabian. Si Bungsu mencoba meneliti.
Tapi kapal-kapal itu berlabuh jauh di tengah teluk. Kalaupun ada yang berlabuh dekat, dia pasti takkan
mengenal kapal yang di kamuflase tersebut. Dia tak paham tentang kapal-kapal perang. Ketika mereka berada
dalam sebuah kedai kopi, Fabian yang tengah membawa sebuah majalah berseru pelan.
"Hei, perang telah mulai di negerimu, Bungsu. Perang di laut Aru. Seorang komodor Indonesia
meninggal, baca ini".!" Fabian memberikan majalah terbitan inggris,The economist., yang tengah dia baca
kepada Si Bungsu. Si Bungsu mengambilnya dan membaca dihalaman pertama tentang peperangan itu. Majalah
terkemuka Inggris itu tidak menunjukan sikap berpihaknya dalam pemberitaan yang disiarkannya. Koran itu
hanya mengutip beberapa keterangan tentang Perang Laut Aru itu.
Selain mengutip keterangan ALRI. Koran itu juga mengutip keterangan Mayjen Ahmad Yani selaku
Panglima Operasi pembebasan Irian Barat. Juga mengutip keterangan pihak Belanda dan keterangan yang
disiarkan radio Australia. The Economist memberitakan bahwa pertempuran antara kapal perang Indonesia
dan kapal perang Belanda itu terjadi pada 15 Januari 1962 jam 21.00 waktu setempat. Artinya baru dua hari
hal itu terjadi tatkala Si Bungsu membaca peristiwanya di Singapura.
Keterangan pihak ALRI adalah sebagai berikut, "Kesatuan ALRI sedang mengadakan patroli di perairan
Indonesia, di sekitar kepulauan pulau Aru ketika tiba-tiba di serang oleh kesatuan Angkatan laut Belanda dan
juga dengan pesawat udara, Kesatuan ALRI yang di pimpin oleh Komodor Yos Sudarso terdiri dari beberapa
kapal cepat Torpedo MTB-2 dalam serangan tersebut, satuan ALRI memberikan perlawanan yang gigih untuk
mempertahankan diri. Pertempuran berlangsung selama satu jam.."
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 434
Pengumuman ALRI itu tidak menyebutkan kerugian, baik di pihak lawan atau pun di pihak ALRI. Namun
the economoist lebih lanjut menyiarkan pula keterangan Jendral A.Yani, selaku Panglima Operasi pembebasan
Irian barat sebagai berikut : "Tidak benar Indonesia mencoba melakukan Invasi sebagaimana di tuduhkan
Belanda. Tidak benar Indonesia bermaksud melakukan pendaratan di Irian, sebab tipe kapal yang dipakai adalah
MTB-2 bukan imbangan kapal-kapal Belanda yang dikerahkan itu. Andaikata ALRI ingin menyerang, tentu
kekuatan yang dikerahkan paling tidak mesti seimbang dengan kekuatan Belanda. Sebuah kapal cepat torpedo
MTB-2 tenggelam dalam serangan itu?"
Pihak Belanda yang di kutip oleh the economist menyiarkan sebagai berikut : "Komando Angkatan laut
Belanda di Irian barat mengeluarkan sebuah pengumuman resmi tentang pertempuaran di laut Aru yang di
siarkan di Den Haag hari senin malam, bahwa kapal-kapal perang Indonesia yang dengan kecepatan tinggi
sedang menuju ke Irian Barat telah melepaskan tembakan ke kapal-kapal Belanda. Dalam pertempuran yang
kemudian terjadi, sebuah kapal torpedo cepat Indonesia terbakar dan kapal-kapal Belanda berhasil menangkap
awak kapalnya yang mencoba menyelamatkan diri dalam sebuah sekoci karet. Jumlah prajurit Indonesia yang
tertawan tersebut lebih besar jumlahnya dari awak yang di perlukan oleh sebuah kapal torpedo seperti yang
tenggelam itu. Jumlah awak kapal MTB-2 yang normal adalah 20 sampai 30 orang. Tapi MTB-2 Indonesia itu
mengangkut 70 sampai 90 orang. Hal ini menunjukan pihak Indonesia sedang berusaha melakukan pendaratan
di pantai Irian barat?"
Di kutip pula oleh The Economist, siaran radio Australia, bahwa Belanda menawan 50 prajurit Indonesia
dalam pertempuran di Laut Aru. Siapakah yang melepaskan tembakan" Belanda atau Indonesia" Kantor berita
"AFP" mewartakan pula dari Holandia. "Kapal-kapal Belanda mulai menembak ke suatu formasi kapal-kapal
perusak Indonesia di perairan teritorial Belanda yang sedang bergerak ke arah pantai selatan Irian Barat?"
Kemudian kantor Berita "DPA" lebih lanjut menyiarkan bahwa di antara tawanan perang yang berada di
tangan Belanda dalam peristiwa di Laut Aru itu, terdapat beberapa jenazah. Satu diantara jenazah itu adalah
jenazah Deputy KSAL Yos Sudarso dan nakhoda RI Macan Tutul Wiratno. Mereka di makam kan di Kaimana, di
bumi Irian Barat. Berita DPA itu mengutip siaran resmi departemen pertahanan Belanda. Si Bungsu meletakan
majalah itu. Fabian dan tongky berdiam diri. Mereka bertukar pandang.
"Perang telah di mulai?"ujar Si Bungsu sambil menatap jauh kelaut. Ke kapal-kapal dagang dari puluhan
negara di dunia yang kini buang jangkar di Teluk singapura. Yang mana diantara itu yang merupakan kapal
perang Belanda" Tiba-tiba Si Bungsu berdiri. Berjalan kedepan rumah minum itu. Pada sebuah rak,dia meraih
sebuah brosur parawisata Singapura. Membawa brosur itu kemeja dimana mereka duduk bersama. Membuka
dan mengamatinya. "Dimana kapal selam menurut peta rahasia kemarin?"tanyanya pelan.
Dalam Kecamuk Perang Saudara-bagian-434
Fabian menunjuk sebuah teluk di bahagian selatan pulau itu. Di depan teluk itu ada sebuah pulau kecil.
Nampaknya kalau benar kapal selam Belanda itu ada di sana, maka dia tersembunyi dari pandangan orang.
Daerah daratan teluk itu memang tak berpenghuni. Teluk di situ, seperti umumnya teluk di sekitar pulau
Singapura, adalah teluk yang lautnya tak terbilang dalam. Namun dengan lindungan pepohonan,
terutama pohon-pohon beringin dan bakau yang memang menjadi ciri khas pantai pulau tersebut, dua atau
tiga buah kapal selam dengan aman dapat merapat ke pantai. Bersembunyi di bawah naungan dedaunan.
Bagi Singapura nampaknya tak pula ada alasan untuk menolak kehadiran kapal selam itu, Sebab
Singapura adalah bahagian dari Malaysia, Negara Persemakmuran Inggeris. Dan mereka punya hubungan baik
dengan Belanda. Si Bungsu menatap peta itu. Kemudian menatap ke laut.
?"Di mana kapal-kapal perang yang disulap seperti kapal dagang itu?"" tanyanya pelan. Fabian dan Tongky
menatap ke laut. Ke kapal besar kecil yang buang jangkar. ?"Mereka berada diantara kapal-kapal yang banyak
itu, Bungsu..?" jawab Fabian. Si Bungsu berdiri. Melipat peta tersebut dan memasukannya ke kantongnya.
?"Hei, akan kemana?"" tanya Fabian begitu melihat Si Bungsu bergerak. ?"Ini urusanku, kawan. Ada sedikit
pekerjaan yang harus kulakukan?" ?"Hei sobat, kau tak dapat meninggalkan kami begitu saja. Apapun yang akan
kau lakukan, terutama bila bersangkut paut dengan kapal selam dan kapal perang itu, kau tak dapat bekerja
sendirian. Tenaga kami kau butuhkan?" ujar Fabian sambil membayar minuman.
Si Bungsu tak berkata. Dia naik ke mobil, di susul Tongky dan Fabian. ?"Kau akan menenggelamkan kapal
selam itu bukan, kawan?"" Fabian bertanya sambil menjalankan mobilnya. Si Bungsu menatap Kapten itu. Si
Kapten bekas Baret Hijau tentara Inggeris itu ternyata cepat sekali menebak.
?"Benar, bukan?"" ?"Saya tak tahu caranya?" ?"Makanya ku katakan, kau butuh kami?" ?"Tapi kalian tak
menyenangi politik negaraku yang pro komunis?" ?"Benar. Soekarno akan membawa negerimu ke kemelaratan
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 435
yang tak bertepi bila memilih komunis sebagai sahabatnya. Tapi dalam hal meledakan kapal selam Belanda itu,
kami tak berniat membantu negaramu. Kami hanya ingin membantumu. Kita telah terikat dengan sumpah
persahabatan. Ingat" Kami akan membantumu!?" Sepi.
Si Bungsu tak tahu harus menjawab bagaimana. Mobil menuju ke suatu daerah di luar kota. Di sebuah
perempatan mereka berhenti. Tongky melompat turun, menuju ke sebuah telepon umum. Menelepon beberapa
saat. Lau naik kembali ke mobil. ?"Siapa saja yang dapat kau hubungi?"" tanya Fabian begitu Tongky duduk di
bangku belakang. ?"Sony, ahli peledak itu..?" jawab Tongky.
Setengah jam kemudian, mereka sampai ke sebuah rumah yang terletak di tengah rerimbunan pohon. Si
Bungsu segera ingat, di rumah ini dahulu mereka merencanakan penyerbuan terhadap kelompok penjual
perempuan di kota ini. Tak lama setelah mereka berada di rumah itu datang Sony, bekas Sersan Green Barret
yang ahli peledak itu. Dengan senyum lebar dia menyalami dan memeluk di Si Bungsu.
?"Hei, akan ada pesta nampaknya..?" katanya. ?"Kau punya pengetahuan tentang kapal selam?"" Fabian
memburunya dengan pertanyaan. ?"Tenang".tenang! Kenapa terburu amat. Saya masih ingin bercerita dengan
orang Indonesia kita ini. Apa ada perang yang harus kita selesaikan segera?"" Fabian segera meninggalkan
mereka. Masuk ke kamar yang di kanan. Tak lama kemudian muncul lagi dengan beberapa batang dinamit serta
beberapa kotak karton dan beberapa gulung kabel.
Dalam Kecamuk Perang Saudara -bagian-435
"Oke..oke, Kapten. Tapi jelaskan dulu, apa yang akan kita kerjakan..?" ujar Sony. ?"Si Bungsu akan
menceritakannya padamu?"" Sony menatap Si Bungsu. Si Bungsu membawa temannya itu ke luar. Mereka
berjalan di pekarangan yang dipenuhi pepohonan. Si Bungsu menceritakan tentang kemelut Irian Barat.
Termasuk terbunuhnya Komodor Yos Sudarso di Laut Arafuru. Kemudian tentang kapal selam yang ada di teluk
itu. Sony mengangguk mengerti.
?"Kau ingin kita berbuat sesuatu dengan kapal selam itu, bukan?"" Si Bungsu mengangguk. Sony
tersenyum, lalu masuk ke rumah. Di dalam, Fabian dan Tongky sudah mulai "meramu" beberapa buah dinamit.
?"Kapan kita ke teluk itu?"" tanya Sony. ?"Secepatnya. Kini Tongky harus ke sana. Teliti beberapa buah kapal selam
di sana, berapa orang awaknya, berapa jauh dari tepi pantai, berada di atas air atau di dalam airkah, berapa
orang yang menjaga di pantai dan tempat-tempat penjagaanya?" ujar Fabian kepada Tongky.
Negro yang setia itu segera bangkit dan tanpa banyak bicara berjalan ke luar. Tak lama kemudian
terdengar suara mobil meninggalkan pekarangan rumah itu. Fabian dan Sony meneruskan membuat
persiapan. Si Bungsu yang tak mengerti sama sekali pada bahan-bahan peledak hanya menatap saja dengan
diam kedua sahabatnya itu bekerja.
Hampir sejam pekerjaan itu. Selesai merakit dinamit, Sony mengeluarkan makanan dari lemari es. Ada
daging dan telur serta beberapa jenis makanan kaleng. Sony memanggang daging itu di pemanggang di atas
bara kayu. Kemudian membuat telur mata sapi. Lalu memotong roti. Dan mereka makan dengan lezat.
Selesai makan siang, mereka bertiga mempersiapkan peralatan untuk menyelam. Mulai dari skuba, yaitu
tabung zat asam yang terbuat dari besi, masker kepala yang juga dari besi sampai pada pistol. Tak seorangpun
yang bicara selama mempersiapkan peralatan itu. Kemudian ketika alat-alat itu selesai mereka siapkan,
mereka duduk di ruangan depan. Fabian mengambil sebuah buku dari lemari kemudian membawanya ke ruang
depan dimana Si Bungsu dan Sony tengah membaca koran-koran lama. ?"Pernah membaca buku ini?""
Si Bungsu menoleh. Melihat kulitnya saja dia tahu tak pernah mengenal buku itu sebelumnya. Dia
menggeleng. Fabian mengambil tempat duduk di sisi Si Bungsu. ?"Buku ini pantas kau baca. Bahkan bukan hanya
Anda saja, tetapi barangkali juga pantas dibaca oleh semua pimpinan negaramu..?" dia meletakan buku itu di
meja. Sebuah buku cukup tebal. Si Bungsu masih belum meraihnya. Namun dapat membaca judul dan
pengarang buku tersebut. Buku itu karangan James Mossman, penulis asal Inggeris. Judul bukunya REBELS IN
PARADISE (Indonesia"s Civil War). ?"Buku itu bercerita banyak sekali tentang negerimu, Bungsu. Tentang
Indonesia, dan lebih khusus lagi tentang Minangkabau. Yaitu cerita tentang PRRI. Cerita tentang kenapa mereka
memberontak dan kenapa mereka kalah..?"
Fabian menceritakan isi buku itu sambil meneguk minuman kaleng yang diambil dari lemari es. Tak
dapat tidak, Si Bungsu jadi tertarik jadinya. Dia memang tak mengerti sama sekali tentang politik. Dan dia tak
mau ikut campur masalah itu. Dia seorang awam. Sekolahnya hanya sampai SMP. Kemudian terbengkalai.
Nasib telah menyeretnya ke dalam badai dan gelombang kehidupan yang tak kunjung menghempas ke
pantai yang tentram. Nasib dan penderitaan jua yang telah menyeretnya sampai ke Jepang, ke Singapura dan
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 436
Australia. Dan nasib serta kebetulan otaknya sedikit encer saja, makanya dia dapat belajar bahasa Jepang dan
Inggeris. Barangkali kedua bahasa itu tak dia kuasai sebagaimana tamatan perguruan tinggi, namun sekedar
untuk hidup, dia memahami kedua bahasa tersebut.
?"Buku ini tak boleh masuk ke negerimu, Bungsu. Saya tahu beberapa orang pimpinan politik dan
wartawan yang menyelusup kemari. Mereka kasak kusuk mencari buku-buku atau majalah yang menulis
tentang negerimu, tentang pimpinan-pimpinan negaramu. Aneh juga bukan, orang terpaksa pergi jauh-jauh
dari rumahnya, bertanya kepada orang lain tentang segala sesuatu yang terjadi di dalam rumahnya sendiri.
Itu pertanda, di dalam rumahnya dilarang berbicara tentang kebenaran. Begitulah negerimu kini, sobat.
Kau bisa baca buku ini. Barangkali tak semuanya benar, namun kau dapat menjadikannya sebagai pembanding.
Kau tahu tentang rumahmu, kemudian kau dengar orang bercerita tentang rumahmu itu, maka kau akan
ketahui mana yang benar mana yang tak benar?"
Si Bungsu meraih buku itu. Buku itu dicetak buat pertama kali di tahun 1961. kulitnya berwarna merah
putih dan hitam. Sudah cetakkan kedua. Di kulit luar itu ada gambar sepotong tangan yang seperti menggapai,
ada bercak-bercak darah dan lingkaran yang tak mengerti dia apa maksudnya. Nampaknya kulit buku itu
dirancang dengan selera setengah pop. Warna hitam dan merah, selain ingin menggambarkan keseraman, juga
ingin menimbulkan suasana misteri. Namun kesan tak menarik tak bisa disembunyikan dari ilustrasi itu. Kalau
ada yang menarik barangkali adalah judulnya itu. Tentang pemberontakan-pemberontakan yang terjadi di
Indonesia. Dalam Kecamuk perang Saudara -bagian- 436
Lebih eksplisit, buku itu memang bercerita tentang PRRI. James Mossman melukiskan dalam bukunya
itu saat-saat sebelum dan sesudah diproklamasikannya PRRI bulan februari 1958. Lalu diceritakannya juga
tentang tentara APRI yang di pimpin oleh Kolonel Ahmad Yani ketika mendarat di Padang. Kemudian
perkembangan berikutnya. Baik di Sumatera Barat maupun Indonesia pada umumnya. Si Bungsu membalikbalikan buku itu dan membacanya beberapa halaman. Dalam buku itu diterangkan bahwa James Mossman
wawancara langsung dengan beberapa tokoh PRRI, dan dari sana dia menuliskan pandangan nya, antara lain :
1.Tokoh-tokoh PRRI ternyata menganggap rendah lawan-lawannya. Dalam hal ini adalah tentara pusat
dan Soekarno. Sikap inilah yang kelak menyebabkan PRRI lebih cepat di kalahkan. Dalam salah satu halaman,
ada wawancara James Mossman sebagai berikut : Suatu hari Dia bertanya kepada Kolonel Simbolon :
"Bagaimana Kolonel bisa menafsirkan kalau Soekarno tidak akan mengirimkan tentaranya untuk mendarat di
Sumatera untuk menyerang anda disini?"
Simbolon yang posisinya adalah menteri Luar Negeri PRRI, cepat menjawab : "Soekarno tak punya
keberanian untuk itu". Dan Kolonel Dahlan Djambek di bukittinggi amat senada jawabannya dengan Simbolon
ketika di tanya Mossman, katanya : "Soekarno will never dare invade us here. (Soekarno tidak akan punya
keberanian menyerang kami disini.)". Padahal waktu itu semua orang tahu kalau APRI sudah menduduki
Pekanbaru dan Rengat. Artinya untuk melangkah ke Sumatera Barat tinggal melangkahkan sebelah kaki saja
dari dua tempat itu. Lebih lanjut Mossman menuliskan, "Kemudian ternyata tokoh-tokoh PRRI di buat amat kaget ketika
mendengar soekarno memerintahkan APRI menyerbu ke Padang. Ketika serangan itu dilakukan, Pasukan
Kolonel Ahmad yani mendarat di Tabing lewat Udara dan di pantai padang lewat kapal-kapal perang, ternyata
tak sebutir peluru pun di tembakan PRRI sebagai perlawanan. Padahal yang mendarat dengan parasut di
lapangan udara tabing amat mudah ditembaki dari bawah. Selain itu yang mendarat di pantai padang dengan
mudah pula disapu. Karena pantai Padang memiliki benteng yang amat tangguh yang tegak dengan kukuh
menghadap lautan. Benteng itu dibuat oleh ahli-ahli perang Jepang untuk menghadapi Ekspansi sekutu di tahun 1943. Tapi
benteng-benteng yang menghadap kelaut itu, yang bakal tak mampu di tembus oleh peluru meriam kapal-kapal
perang APRI, betapun besarnya meriam kapal tersebut tak pernah di pergunakan PRRI karena tidak adanya
koordinasi. James Mossman menuliskan itu karena dia berada di Padang tatkala tentara Ahmad Yani
melakukan pendaratan. 2.Tokoh-tokoh PRRI bersikeras bahwa akhirnya merekalah yang akan menang. Mereka bersikeras
karena berkeyakinan kalau Soekarno adalah pihak yang salah, mereka di pihak yang benar. Padahal
peperangan bukan hanya masalah siapa yang salah atau pun benar. Tetapi juga meliputi juga masalah
persenjataan, taktik dan strategi ! Banyak contoh bahwa yang benar diluluh lantakkan oleh yang salah, hanya
karena yang benar itu tak menjalankan otaknya, sementara yang salah itu pintar orang nya.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 437
MR. Syafrudin Prawiranegara, Perdana Menteri PRRI yang di tanya Mossman di Padang Panjang tentang
bagaimana perasaannya mengenai pasukan lawan yang saat itu mengepung Sumatera Tengah, menjawab :
"Mereka(APRI) tak dapat berbuat untuk menyakiti kami. Tuhan berada di pihak kami. God is our side.." dan tak
lama setelah jawabannya ini (selang beberapa bulan) Syafrudin ternyata menyerah, yaitu pada 28 agustus 1961
di Padang Sidempuan. Kemudian Mossman mewancarai Kolonel Ahmad Yani. Selaku komandan Operasi 17 Agustus di Padang.
"Apakah anda heran tidak ada perlawanan sama sekali dari PPRI?" Yani menjawab "Tidak begitu heran, Orangorang minang ini anda tahu, mereka dihatinya adalah tukang-tukang kumango. Mereka adalah pedagang kaki
lima(shop-keepers). Mereka bercakap terlalu banyak untuk menjadi prajurit yang baik?"
Dalam Kecamuk Perang Saudara -bagian-437
Di halaman lain, Si Bungsu membaca tulisan Mossman sebagai berikut: "Sejak hari-hari pertama perang
saudara itu, Mossman mempunyai kesan yang pelik. Adapun Simbolon dan pemimpin militer yang lain, pendiripendiri sesungguhnya dari gerakan otonomi Sumatera Tengah, tidak pernah mengharapkan akan harus
berkelahi sama sekali untuk kepercayaan-kepercayaan mereka. Mereka mengira akhirnya akan berunding di
meja konferensi dengan Soekarno. Menurut Mossman pula, pasti Syafruddin tak pernah mengira akan terjadi
segalanya itu. Yakni PRRI akan diserang dengan kekuatan tentara oleh Jakarta.
Sampai saat-saat akhir, dia percaya pada bantuan pasukan dan sekutu-sekutunya, prajurit-prajurit,
politisi dan dunia barat. Kekalahan tak masuk akal baginya, karena dia percaya perjuangannya adalah benar.
Ketika dilihatnya prajurit-prajurit PRRI tak mampu menghadapi serangan udara dan tak punya keinginan
untuk menewaskan sesama orang Indonesia, atau dibunuh oleh mereka dalam suatu pertarungan untuk mana
mereka tidak begitu aktif perasaan simpati mereka, maka dia jauh lebih terkejut daripada perwira-perwira
yang mengangkatnya ke atas jabatan pemberontaknya. Itulah tulisan Mossman tentang Syafruddin
Prawiranegara. Selanjutnya, wartawan Inggeris itu mencerca Syafruddin dengan pedas. Dalam bukunya itu dia menulis
: ?"Syafruddin seorang kerani, bernafsu, picik. Ia adalah kerani bank yang akhirnya lepas lalang dan merampok
bank.?" Tapi Mossman tak pernah menjelaskan kebenaran tuduhan pedasnya, Bank mana saja yang dirampok
oleh Syafruddin. Di halaman lain, Si Bungsu membaca tentang PRRI itu sebagai berikut : ?"Tokoh-tokoh PRRI
tampaknya sangat mengandalkan bantuan Barat. Sebab PRRI berjuang antara lain untuk menghancurkan
komunis di Indonesia. Namun ketika bantuan itu tak kunjung datang, atau kalaupun datang tapi tak menentu
dan dalam jumlah yang nyaris tak ada arti untuk mempersenjatai beberapa resimen, sementara tentara APRI
telah mendesak terus, mereka tak dapat berbuat lain, kecuali menyumpah dan amat kecewa."
Dalam suatu wawancara antara Mossman dengan Simbolon di Mess Perwira Padang Panjang pada 15
April 1958 (Saat itu APRI telah maju cukup banyak) dia berkata : ?"Kami memerlukan pesawat-pesawat
pemburu. Hanya dua atau tiga pemburu jet. Satu malah dengan penerbang yang baik. Yang akan menghasilkan
tipu muslihat. Kami akan mampu menahan majunya pasukan Nasution. Mengapa Barat tak melihat hal ini"
Mengapa mereka tak mempunyai cukup kepercayaan buat mengirimkan beberapa pesawat pemburu, yang
buruk sekalipun" Tak lama lagi, jika bantuan itu datang juga, keadaan sudah akan terlalu terlambat?". Itu ucapan
Simbolon. Dalam buku itu juga Mossman memperjelas siapa yang dimaksud oleh tokoh-tokoh PRRI itu dengan
"teman barat" itu. Mossman menunjukan peranan Central Intelligence (CIA) dari Amerika dalam kemelut
perang saudara itu. Sebelum pecah perang saudara, beberapa tokoh PRRI bertemu dengan agen-agen CIA di
Sumatera, dan di lain-lain tempat.
Hanya dia tak merinci tempat-tempat pertemuan itu. Tak menyebutkan kota dan tempat serta waktunya.
Kemudian menurut Mossman, salah satu sebab kenapa PRRI berantakan dari dalam ialah karena
diproklamirkannya Republik Persatuan Indonesia (RPI) di Bonjol tanggal 7 Februari 1960. Republik ini


Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merupakan gabungan antara PRRI dengan pasukan Darul Islam (DI) di Aceh dan Sulawesi Selatan.
Adapun DI yang fanatik Islam amat tak berkenan di hati orang Permesta yang beragama Kristen seperi
Vence Sumual, Alex Kawilarang, Simbolon dan Dr. Sumitro Djojohadikusumo. Proklamasi PRRI itu adalah awal
dari perpecahan di kubu PRRI dan Permesta. Pemberontakan itu dianggap selesai sejak Presiden Soekarno
memberikan amnesti dan abolisi secara umum terhitung 5 Oktober 1961.
Si Bungsu meletakkan buku tebal itu di meja. Menatap pada kedua temannya bekas tentara Baret Hijau
itu.?"Buku itu tak ada di Indonesia bukan?"" tanya Fabian. Si Bungsu menatap buku tersebut. Dia menggeleng.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 438
?"Saya tak tahu. Saya tak berminat pada masalah-masalah begini di sana. Saya bukan politisi, bukan militer,
bukan cerdik pandai. Dalam Kecamuk Perang Saudara -bagian-438
The Rebels Saya tak tahu buku mana yang boleh beredar dan mana yang tidak di negeri saya itu. Lagipula, saya
bukan orang terdidik yang menyukai buku,?" ujarnya jujur tentang dirinya. ?"Buku itu memang dilarang di
negerimu, Bungsu. Sebab, meskipun sebahagian besar bicara tentang kelemahan PRRI, dia juga bicara tentang
kelemahan dan kesalahan yang dibuat oleh Presidenmu, oleh para menteri dan pemimpin negeri kalian yang
goblok, serakah dan pengecut!?"
Si Bungsu menatap wajah temannya itu. Mukanya jadi merah. Betapapun juga, rasa nasionalismenya jadi
tersinggung. Dia tahu, tak semua pimpinan di negerinya sejelek yang diucapkan Fabian. Tapi bekas Kapten
tentara Baret Hijau ini memaki mereka sama rata. Fabian segera menyadari jalan pikiran temannya itu. ?"Sorry,
kawan. Saya memang agak emosi. Soalnya negerimu itu amat condong ke komunis. Sebahagian besar rakyat
kalian kini menjerit kelaparan. Sementara segelintir orang-orang berkuasa, atau yang dekat dengan penguasa,
hidup mewah?" Si Bungsu masih tetap diam dan masih menatap Fabian. Fabian bicara lagi. ?"Negerimu itu sesungguhnya
negeri yang amat kaya, kawan. Di sana, matahari bersinar sepanjang zaman. Negerimu negeri yang amat sangat
dilimpahi Rahmat Tuhan. Apapun yang kalian tanam di sana hidup dan tumbuh dengan subur. Untuk kemudian
menghasilkan panen yang melimpah. Di sana tak ada musim gugur, tak ada musim salju yang memunahkan
seluruh jenis tetumbuhan. Tidak, negerimu panen bisa berlangsung sepanjang zaman. Tapi kenapa rakyatmu
melarat" Kenapa kelaparan" Apa yang tak ada di sana" Sebutlah : emas, perak, minyak, batubara, timah,
tembaga, lada, pala, beras, pisang dan seribu macam sayur mayur. Apalagi yang kalian butuhkan" Tapi rakyat
kalian tak bisa turun ke sawah, ke ladang dengan aman, sebab banyak teror dan intimidasi politik.
Mereka tak dapat turun ke laut menangkap ikan yang melimpah, karena bajak laut sepertinya ada di
mana-mana. Tidak hanya bajak laut dalam arti harafiah, tetapi pembajak dalam segala hal! Segelintir pemimpin
kalian terlalu sewenang-wenang. Cobalah renungkan, di negeri yang kaya raya dan subur seperti itu, orang
harus membeli beras dengan kupon, membeli minyak dan garam dengan kupon. Bukankah di kampungmu, di
Minangkabau ada istilah ayam di lumbung mati kelaparan" Nah, itulah yang terjadi dengan rakyat Indonesia,
kawan?". Tidak dapat tidak Si Bungsu kagum atas ucapan Fabian. Begitu banyak yang dia ketahui tentang
Indonesia. Sesuatu yang dia sendiri tak begitu memahaminya. ?"Banyak yang kau ketahui tentang negeriku,
kawan..?" katanya pelan sambil melempar pandangan keluar. ?"Saya mengetahuinya lewat koran.?" ?"Apakah
menurut dugaanmu semua yang ditulis koran itu benar?""
?"Koran di negeri ini berbeda dengan koran di negerimu, sobat. Wartawan di negeri ini, dan di negeri
kami, berbeda dengan wartawan di negerimu. Wartawan di negeri kami menulis fakta. Dan mereka tak takut
sedikitpun pada resiko yang ditimbulkan oleh fakta yang mereka ungkapkan. Itulah sebabnya kenapa kami
menaruh kepercayaan kepada wartawan-wartawan kami. Percaya pada apa yang mereka tulis. Tidak seperti
wartawan di negerimu. Yang menulis hanya demi periuk nasi. Memang ada wartawan jempolan di negerimu,
yang tak mau kompromi dengan penguasa yang tak benar. Saya mengenal nama beberapa orang di antaranya,
Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar. Tapi mereka telah disikat penguasamu, masuk bui dan korannya dibredel.
Selebihnya, wartawan-wartawan di sana kebanyakan adalah pelacur, atau tukang peras. Barangkali tak semua,
masih cukup banyak yang baik. Namun lebih banyak yang tak baik. Mereka menulis apa yang menyenangkan
hati para pimpinan saja. Bukankah di negerimu ada istilah ABS-isme" Asal Bapak Senang" Nah, kami memang
mempercayai wartawan kami. Karena umumnya mereka bukan pelacur jurnalistik?".
Si Bungsu terdiam. Tentang jurnalistik, dunia kewartawanan, dia benar-benar tak mahfum seujung
kukupun. Fabian lalu bangkit, menuju ruang dalam. Dari lemari buku dia memilih beberapa saat. Kemudian
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 439
membawa keluar sebuah buku. Duduk dan meletakan buku itu di depan Si Bungsu. Dia melihat dan membaca
judul buku tersebut, "THE REBELS". Di tulis oleh Brian Crozier. Nampaknya penulis ini juga orang Inggeris.
?"Buku ini, kawan, adalah sebuah buku study tentang pemberontakan-pemberontakan yang terjadi
setelah Perang Dunia II. Tidak hanya memuat tentang pemberontakan PRRI/Permesta di Indonesia, tetapi juga
memuat dan menelaah pemberontakan Fidel Castro terhadap Batista di Cuba, Ho Chi Minh di Vietnam dan Ben
Bella di Afrika, dua yang terakhir memberontak melawan Perancis. Lalu Uskup Besar Makarios di Pulau Kreta
yang memberontak terhadap Inggeris. Agar engkau tak lelah, saya akan uraikan secara singkat isi buku ini,
yaitu jika engkau berminat. Jadi engkau tak perlu membaca keseluruhan isinya?""
Fabian menatap di Bungsu. Menanti jawabannya. Si Bungsu memang berminat, dia mengangguk.
Memang lebih baik mendengar saja resume buku itu secara garis besar, daripada harus membacanya, yang
menilik tebalnya mungkin harus dibaca selama sepekan. Barangkali banyak istilah dan bahasa yang tak dia
ketahui. Dia hanya faham bahasa Inggeris untuk sehari-hari. Meski lancar tapi tak mendalam, sekadar "cukup
untuk makan". Fabian kemudian membalik-balik buku The Rebels itu, seperti mencoba mengingat garis besar isinya.
Sementara di Bungsu dan Sony menanti dengan diam. Kemudian Fabian memulai : ?"Menurut Brian Crozier,
pola pemberontakkan bersifat konsisten, melalui tiga tahap. Pertama, teror, kedua perang gerilya, ketiga
perang besar-besaran. Tentu tidak semua pemberontakan diakhiri, tidak semuanya mencapai tahap kedua dan
malah sedikit sekali yang sampai pada tahap ketiga. Hanya pemberontakan PRRI/Permesta yang sungguh luar
biasa, karena dia tak memenuhi ketiga pola tadi. PRRI dimulai dimana pemberontakan harus diakhiri dan
itupun kalau dia sudah berhasil yakin dengan proklamasi suatu pemerintah, dalam hal ini pemerintah yang
diproklamasikan di Padang dalam bulan Februari 1958 oleh Syafruddin Prawiranegara. Ini dengan cepat
disusul dengan taraf ketiga, yaitu perang besar-besaran, yaitu tatkala pemerintah pusat melancarkan
offensifnya di Sumatera dan Sulawesi pada April dan Mei 1958. Kekalahan kaum PRRI/Permesta di taraf ketiga,
mendesak mereka ke taraf kedua, yakni perang gerilya di hutan dan di gunung, melawan pasukan pemerintah
Pusat. Tak lama kemudian tindakan mereka memasuki taraf pertama dalam bentuk yang lebih lunak berupa
pembakaran kebun-kebun dan gudang-gudang karet. Barangkali karena urutannya yang terbalik itulah, maka
pemberontakan anti-Sukarno dan anti-Komunis yang dilancarkan PRRI/Permesta menjadi gagal. Kemudian
menurut Brian, sebab lain kegagalan PRRI itu adalah :
1. Tidak adanya persiapan yang cukup dalam bidang militer. 2. Tidak dilakukannya persiapan untuk
kemungkinan kudeta di Jawa sebagai pusat kekuasaan. 3. Tidak adanya leadership, dalam arti tak adanya
seorang tokoh yang merupakan tokoh nomor satu. 4. Tak adanya perahasiaan mutlak di pihak pemberontak
tentang apa yang hendak mereka lakukan, dan mereka malah mencari publisitas seluas-luasya tentang apa
yang bakal mereka kerjakan. Demikian sebab-sebab kegagalan pemberontakan kaum Kolonel dan kaum
ekonom ini menurut Brian Crozier yang ditambahkannya pula, mereka kekurangan kekuatan dan dukungan
rakyat, istimewa di Jawa, yang akan menjamin keberhasilan. Dan adalah perbuatan edan saat mereka
memproklamirkan sebuah pemerintahan di bulan Februari 1958 di Padang. Dalam pada itu, menurut buku The
Rebels ini, Presiden Soekarno tak bisa bebas dari tanggungjawabnya terhadap bangsa dan negara.
Sesungguhnya pemberontakan PRRI/Permesta tak bakal terjadi jika ia berlaku sebagai negarawan yang
mempunyai pandangan yang luas. Tapi ternyata dia tak mempunyainya dan tak mempunyai kemauan dan
kemampuan untuk menghindarkan pemberontakan itu. Soekarno bertanggungjawab pula atas memberi
kesempatan amat luas bagi berkembangnya dengan pesat partai PKI.?"
Fabian berhenti bicara. Menatap pada Si Bungsu. Kemudian melanjutkan perlahan : ?"Soekarno,
Presidenmu itu, terlalu memberi hati pada Komunis. Itu kesalahan utamanya. Sebaliknya dia justru amat curiga
pada Angkatan Perangnya, terutama Angkatan Darat. Itu kesalahannya kedua. Padahal, Angkatan Darat yang
setia padanya, dapat dia gunakan menjadi alat stabilisator. Tapi sebaliknya, Angkatan Darat di negerimu, di
bawah pimpinan Jenderal Nasution, terlalu lemah dalam menghadapi komunis.
Dalam Kecamuk Perang Saudara -bagian-439
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 440
Lemah dalam pengertian terlalu ikut memberi hati. Padahal mereka, Komunis itu, telah menikam
Angkatan Darat di Madiun pada Tahun 50. Banyak perwira TNI AD yang mereka bunuh. Seyogyanya, Angkatan
Darat harus memerangi mereka habis-habisan. Namun negerimu adalah negeri yang aneh. Partai yang
demikian jelas-jelas memerangi dan membunuhi sebuah angkatan, bisa hidup dan jadi besar bersama angkatan
itu. Nah, kawan, itulah isi buku Brian Crozier ini. Apakah benar atau tidak, terserah engkau untuk menilainya.
Kalau saja buku ini boleh beredar di Indonesia, barangkali akan besar manfaatnya sebagai kaca pembanding
bagi pemimpin negerimu. Mungkin tak semua yang ditulis ini benar tapi bukankah orang luar bisa menilai lebih
objektif, karena penulis buku ini tak terlibat langsung dalam sengketa dikedua pihak?""
Si Bungsu tak memberikan komentar. Dia samasekali memang tak mengerti masalah politik. Segala yang
dia dengar dan dia ketahui tentang negerinya lewat buku atau lewat ucapan Fabian di Singapura ini, hanya
akan jadi sekedar pengetahuan saja. Lagipula dia tak tahu kapan dia akan kembali ke Indonesia. Entah akan
kembali entah tidak. Negeri yang akan dia turut amatlah jauhnya. Dallas, ibukota negara bahagian Texas di
Amerika Serikat sana. Dia tak tahu dimana negeri itu. Asing dan jauh. Dia harus kesana. Dia harus menemukan
Michiko. Mereka menyelusup di antara pepohonan. Samar-samar, di seberang sana kelihatan kapal selam itu
berada di bawah naungan pohon beringin. Kapal itu muncul di permukaan laut, geladaknya sama rata dengan
air. Dua orang marinir kelihatan mondar mandir di atas geladak itu.
Menara komando kapal itu kelihatan mencuat ke atas. Fabian berjongkok. Sekurang-kurangnya ada
sebuah keuntungan bagi mereka kini. Tongky yang ahli menyamar dan menyelusup itu berhasil mendapat
informasi, bahwa seluruh awak kapal saat ini berada di Konsulat Belanda. Yang tinggal di kapal hanya lima
orang. Yaitu seorang melayani radio, seorang di kamar mesin, seorang perwira jaga dan dua orang marinir yang
kelihatan mondar mandir di geladak dengan senapan mesin di tangan.
Si Bungsu menyelusup cepat dari balik-balik pohon, dan ikut berjongkok dekat Fabian. Demikian pula
Tongky. Mereka hanya bertiga di pantai ini. Hal itu disengaja, sebab jumlah yang banyak bisa menimbulkan
risiko yang lebih besar. Dengan personil yang sedikit, kebebasan bergerak lebih terjamin. Dalam keseluruhan
operasi ini, mereka hanya berempat orang. Seorang lagi, yaitu Miquel Sancos, keturunan Spanyol-Amerika
Latin, bertugas mengawasi rumah diplomat Belanda dimana tengah dilangsungkan resepsi dengan awak kapal
selam itu. Miquel bertugas mengawasi dan melaporkan kalau-kalau ada diantara mereka yang tiba-tiba saja
meninggalkan ruangan resepsi menuju ke daerah kapal. Hal mendadak begitu bisa saja terjadi. Sebab antara
kapal selam dengan rumah diplomat itu dihubungkan dengan radio. Kalau orang di kapal merasa ada yang tak
beres, ada bahaya mengancam, maka mereka bisa mengirim isyarat ke rumah sang diplomat. Dan orang-orang
kapal itu akan segera meninggalkan rumah itu menuju kapal.
Bila itu terjadi, Miquel bertugas sendirian dengan cara apapun jua, mencegah orang-orang tersebut
sampai ke kapal. Kalau tak bisa mencegah secara total, maka harus diusahakan sebuah "kecelakaan" atau
insiden untuk memperlambat mereka. Dan untuk keseluruhan operasi itu, baik yang di rumah si diplomat,
maupun yang di kapal, telah disepakati untuk tak akan mengambil korban jiwa.
Persyaratan itu ditetapkan oleh Fabian pada Si Bungsu. Sebab betapapun jua, Fabian tak punya
permusuhan dengan Belanda atau Indonesia. Secara etis, Fabian sebenarnya tak suka ikut campur. Namun rasa
persahabatan, rasa saling setia kawan melebihi segalanya. Itulah yang menyebabkan Fabian dan kawankawannya membantu Si Bungsu.
Si Bungsu menyetujui persaratan tersebut. Sebab kehadiran kapal selam di perairan Indonesia bisa
membahayakan angkatan laut Indonesia. Maka dia ingin memperkecil bahaya itu. ?"Salah seorang diantara kita
harus tetap menjaga di darat. Dua orang menyelam melekatkan dinamit ke dinding kapal. Yang di darat
menunggu isyarat dari Miquel. Kau berada di darat, Bungsu..?" ?"Tidak, Kapten. Ini adalah perangku, aku yang
harus menyelam. Kau di darat..?" Fabian menatapnya.
?"Baik. Saya di darat. Kau dan Tongky menyelam. Beri mereka kesempatan untuk bisa meninggalkan
kapal itu. Nah, selamat..?" Si Bungsu dan Tongky segera mengangkat skuba, peralatan mereka untuk menyelam.
Menyelusup ke pantai. Lalu memakai alat tersebut. Pihak Angkatan Laut Belanda memang tak memasang
pengawalan di pantai. Mereka demikian yakinnya, bahwa tempat ini amatlah amannya. Singapura memang
negeri yang netral, dan malangnya mereka tak memiliki intelijen yang baik, sehingga tak mengetahui, kalau
kenetralannya disalah-gunakan Belanda.
Tongky mengacungkan jempolnya pada Si Bungsu setelah mereka memakai skuba tersebut. Si Bungsu
mengacungkan pula jempolnya. Dan perlahan mereka menyelam, lenyap ke dalam air. Namun ada satu hal yang
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 441
di luar dugaan Fabian dan teman-temannya. Yaitu masalah radar. Sebagai seorang perwira baret hijau dari
perang dunia kedua. Fabian tahu, bahwa tiap kapal selam dilengkapi dengan radar.
Tapi radar itu hanya berfungsi untuk kapal laut atau kapal selam dan benda-benda mekanis lainnya.
Yang tak diketahui Fabian adalah, kapal selam jenis buru sergap yang kini dimiliki Belanda, dilengkapi dengan
radar anti dinamit yang amat peka. Fabian tak mengetahui karena radar model itu memang baru diketemukan
lima tahun terakhir. Belum disiarkan dalam buletin Angkatan Laut manapun. Belanda yang menemukannya memang
merahasiakan penemuan itu. Mereka takut kalau-kalau tercium oleh Uni Sovyet. Dan begitu Tongky dan Si
Bungsu menyelam membawa masing-masing satu tas kecil dinamit, penjaga radio yang merangkap penjaga
radar dalam kapal selam itu segera mengetahui ada bahaya yang mengancam. Dia melihat di layar radar dua
buah titik yang mendekati amat perlahan dari garis pantai ke kapal. Petugas radar dan radio ini segera menekan
tombol isyarat. Begitu tombol ditekan, kedua marinir yang ada di geladak kapal jadi tahu lewat transmiter kecil
dalam kantong mereka yang mengeluarkan bunyi ?"tuut"tuuut"tuut?".
Mereka segera mengokang bedil dan waspada. Radio gelombang tinggi di rumah diplomat Belanda di
kawasan Petaling Jaya juga menerima isyarat itu. Penjaga radio tersebut segera mengadakan hubungan, dan
melakukan pembicaraan singkat. Kemudian dia bergegas menemui konsulnya di ruang resepsi. Membisikkan
berita yang dia terima lewat radio. Konsul itu tersenyum, kemudian mendekati seseorang. Membisikan pula
sesuatu pada seseorang, yang tak lain dari komandan kapal selam itu. Si komandan memberi isyarat. Dalam
waktu singkat, sepuluh orang telah berkumpul di ruang belakang. Sementara yang lain tetap di ruang resepsi.
Kesepuluh orang itu segera menuju garasi di belakang. Membuka jas resepsi mereka, dan di balik jas dan
dasi itu, segera kelihatan pakaian marinir. Dan dari dalam garasi itu mereka keluar dengan dua sedan limusin
berwana hitam. Di dalam mobil itu telah tersedia senjata otomatis. Di ruang resepsi, awak kapal yang lain masih
tetap melantai dengan tamu-tamu, dengan gadis-gadis pangggilan yang cantik dan menggiurkan yang sengaja
didatangkan oleh sang diplomat untuk mereka.
Dalam Kecamuk Perang Saudara -bagian- 440
Di kapal selam terjadi kesibukan yang luar biasa. Kedua marinir yang menjaga di atas meneliti ke laut.
Mencoba menembus air lewat pandangan mereka untuk melihat benda yang mendekati kapal. Namun Tongky
dan Si Bungsu sudah dipersiapkan untuk kemungkinan ini. Fabian memerintahkan mereka menyelam sedalam
mungkin. Mereka tak terlihat sama sekali oleh kedua marinir itu. ?"Hidupkan mesin, tarik tali..?" opsir piket
memberi perintah. Mesin segera dihidupkan, dan kapal mulai bergerak. Namun tak bisa kemana-mana, sebab dua buah tali
masih mengikat kapal itu pada dua pohon beringin besar di pulau tersebut. Fabian melihat kesibukan itu, dan
segera mengetahui bahwa kedatangan mereka telah diketahui pihak Belanda. Kini dia hanya bisa menanti. Dia
tak punya hubungan apa-apa dengan Si Bungsu atau Tongky yang tengah menyelam. Dia juga tak punya
hubungan dengan Miquel yang bertugas mengawasi rumah diplomat Belanda dimana para awak kapal selam
itu mengadakan resepsi. Mereka bertugas dengan perhitungan dan saling meyakini.
Fabian menanti dengan tenang. Tiba-tiba dia mendengar serentet tembakan dari kedua marinir di atas
geladak itu. Kemudian keduanya kelihatan menaiki menara komando, lalu masuk ke dalam. Kapal itu mulai
bergerak ke tengah sambil mulai menyelam. Fabian jadi tegang. Tembakan kepada siapa itu tadi" Apakah
Tongky dan Si Bungsu tak mematuhi petunjuknya untuk menyelam sedalam mungkin, baru kemudian setelah
tiba di bawah perut kapal naik melengketkan dinamit ke perut kapal, lalu menyelam lagi sedalam mungkin
untuk menghindar dengan kedalaman yang sama waktu datang"
Kalaupun tembakan itu tak mengenai kedua mereka, maka baling-baling kapal bisa mencelakakan.
Kedua orang itu akan tersedot ke dalam putaran turbin yang bisa memecahkan skuba, alat penyelam mereka,
dan " maut! Tongky melihat kapal itu mulai bergerak tatkala beberapa meter lagi mereka akan mencapai kapal
tersebut. Dia segera tahu, kehadiran mereka telah diketahui. Dia memberi isyarat pada Si Bungsu yang
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 442
berenang sedikit di belakangnya. Si Bungsu mengangguk, karena dalam air laut yang jernih itu dia telah melihat
kapal selam itu bergerak.
Tongky memberi isyarat untuk berenang dengan segenap tenaga. Mereka berdua mengerahkan tenaga.
Sambil berenang Tongky mempersiapkan dinamit yang telah dipasang ke sebuah besi berani. Asal saja mereka
bisa mendekati kapal itu, besi berani berdinamit itu hanya tinggal melekatkan saja. Dia akan lengket. Tongky
menyetel jam di dinamit untuk waktu lima menit. Dia memberi isyarat pada Si Bungsu yang tengah
mempersiapkan dinamitnya pula.
Si Bungsu melihat kelima jari kanan Tongky dikembangkan, sambil mendayungkan kakinya yang
memakai telapak itik dari karet itu kuat-kuat, dia menyetel jam dinamit itu ke angka lima. Mereka berpacu
mendekati. Dan saat itulah kedua marinir di atas menembakan bedil otomatisnya. Tembakan itu tak ditujukan
kepada mereka sebab mereka tak kelihatan. Tembakan itu ditujukan pada tali yang menyangga kapal itu ke
pohon beringin. Tak ada waktu lagi untuk membukanya baik-baik. Keduanya menembak saja tali yang terjuntai
ke laut, putus! Kapal itu bergerak ke tengah, sambil mulai menyelam. Tongky sampai duluan, sekali jangkau dinamit itu
lekat. Namun bahaya lain mengancam kedua orang ini. Yaitu putaran baling-baling kapal! Di tempat lain, Miquel
yang menjaga tak jauh dari rumah diplomat Belanda itu tiba-tiba melihat dua kendaraan keluar lewat pintu
belakang. ?"Ini dia..?" bisik blasteran Spanyol-Amerika itu.
Dia membuang rokoknya. Memperhatikan arah mobil tersebut. Kemudian dia naik ke truk tua yang sejak
tadi dia parkir di tempat tersembunyi. Dia segera tahu jalan mana yang akan ditempuh oleh kedua sedan yang
baru keluar itu. Dengan tenang dia menjalankan truknya. Satu kilometer di pinggir kota, jalan jadi sempit.
Kedua sedan yang masing-masing membawa lima marinir itu melaju dengan kecepatan penuh.
Namun ketika menikung ke kanan, tiba-tiba di depan ada truk merah yang berjalan lambat. Kedua sedan
itu membunyikan tuter. Namun truk itu tetap saja tak beringsut. Jalannya lambat sekali. "Hei"!
minggir".minggir!?" seru salah seorang marinir sambil mengeluarkan kepala dari jendela. Tapi sopir truk itu
seperti tak mendengar. Jalan truknya tetap seperti beringsut. Tak ada jalan untuk ke kiri atau ke kanan. Di kiri
kanan jalan ada parit besar seperti riol pengaman air. Mau tak mau, mereka harus mengikut terus di belakang
truk itu. Dan memaki-maki untuk mempercepat.
Karena truk itu tetap lambat, akhirnya si komandan kapal selam itu menembak ban truk itu. Dan itu
memang yang ditunggu Miquel yang menyopir truk itu. Begitu dia mendengar tembakan dan merasa ban
belakangnya pecah, dia seperti kaget. Stir dia banting ke kiri sedikit, lalu sekuat tenaga memasukan gigi satu,
menekan gas sekuatnya. Mesin truk itu sudah distel demikian rupa. Begitu gas ditekan dalam persneling satu,
truk tersebut seperti terlompat, dan Miquel membanting stir kuat-kuat ke kanan. Kendaraan yang dibelokkan
tiba-tiba memang tak punya pilihan lain selain terbalik!
Truk itu terbalik menutup jalan kecil itu secara total! Miquel menggapai palang besi pengaman di depan
stir. Kedua sedan di belakang berhenti mendadak. Ke sepuluh awaknya menyumpah dan memaki. Melompat
turun! Begitu truk terbalik, Miquel memecahkan kantong plastik di balik kemejanya. Kantong plastik itu berisi
cairan merah darah. Kantong itu pecah. Bajunya dibasahi cairan merah, mengalir ke tubuhnya, dan dia
menelentangkan diri, mengerang, merintih. Saat itu bermunculan para marinir Belanda di sana. Memaki-maki.
Menyumpah-nyumpah. Namun mereka tak bisa berbuat apa-apa. Si sopir kelihatan bergelimang darah. Tak sadar diri. Dua orang
segera menyingkirkan tubuh Miquel keluar. Lalu bersama-sama mereka mencoba menyingkirkan truk yang
menghalangi jalan itu. Menggeser sebuah truk yang terbalik bukanlah usaha yang mudah, apalagi hanya dengan
tenaga sepuluh orang. Setelah hampir setengah jam truk itu akhirnya tergeser. Kedua sedan itu bisa lewat. Mereka
meninggalkan truk tersebut bersama Miquel yang masih terbaring diam. Setengah jam merupakan
perpanjangan waktu yang tak sedikit bagi Fabian dan Si Bungsu. Begitu sedan itu menjauh, Miquel bangkit


Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sambil tersenyum. ?"Tugasku selesai, kawan. Terserah kalian acara berikutnya". Dua setengah jam ?"" katanya
sambil melirik jam tangan, lalu memasuki belukar, mengambil jalan pintas menuju kota.
Di dalam air, Si Bungsu dan Tongky sedang berusaha keluar dari kesulitan. Mereka baru saja selesai
melekatkan dinamit ke dinding kapal itu. Mereka harus menghindar secepat dan sejauh mungkin. Kalau tidak,
putaran baling-baling kapal akan menyedot mereka. Memecahkan tabung zat asam dan membunuh mereka.
Tongky yang lebih berpengalaman segera menukik menyelam lebih dalam ke bawah. Dia berharap Si
Bungsu melihatnya dan meniru gerakannya. Si Bungsu memang melihatnya. Namun sudah terlambat baginya
untuk meniru. Kapal itu digerakkan dengan kekuatan penuh untuk menghindarkan mereka memasang dinamit.
Tongky terhindar dari putaran air.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 443
Si Bungsu justru terperangkap. Tubuhnya tiba-tiba tersedot dengan kuat. Dia berusaha untuk
menghindar, namun kekuatan yang amat dahsyat terus menghisapnya. Dia tersedot. Putaran baling-baling
kapal membuat segala benda yang melekat di tubuhnya pada bertanggalan. Mula-mula yang tanggal adalah
kaca mata selam yang dia pakai. Kemudian tabung zat asam di punggungnya. Tali kulit yang mengikat tabung
itu dengan tubuhnya putus. Tabung itu sendiri tertarik, menghantam baling-baling yang berputar kencang dan
hancur berantakan. Kini tubuh Si Bungsu tak berdaya, dia terhisap makin dekat. Maut menyeringai menantinya. Di dalam
kapal, perwira piket tiba-tiba jadi pucat. Dia melihat sinyal merah melekat berdekatan. Tak bergerak secuilpun!
Dan sirene lain yang panjang berbunyi. ?"Dinamit!?" seru opsir itu.
Dalam Kecamuk Perang Saudara -bagian- 441
Semua jadi"bertatapan tegang. Diam. Beberapa detik berlalu. ?"Matikan mesin. Tinggalkan kapal!?"
Perintah opsir itu segera diikuti dengan suasana sibuk. Kenop "off" pada mesin ditekan. Mesin kapal itu
dihentikan mendadak untuk memberi kesempatan bagi awak kapal selam itu meninggalkan kapal. Dan saat itu
tubuh Si Bungsu telah berada sehasta dari baling-baling, tatkala tiba-tiba putaran baling-baling itu menjadi
perlahan karena mesin dimatikan. Dia bisa menjauh, nyawanya selamat. Tubuhnya tak jadi berkeping-keping.
Tuhan menurunkan keajaiban untuk menyelamatkan nyawanya.
Namun dia sudah hampir kehabisan nafas. Dia berusaha mengapung ke atas. Sudah beberapa menitkah
berlalu" Kapal ini hanya punya waktu lima menit, kemudian akan meledak berkeping-keping. Sambil
membiarkan tubuhnya mengapung ke permukaan, dia mengayuhkan tangan dan kaki agar bisa menjauhi kapal
tersebut. Tiba-tiba, dua depa di atasnya, lewat cahaya terang matahari yang menusuk ke tubuh laut, dia lihat
beberapa tubuh beterjunan. Pastilah anak-anak kapal yang menyelamatkan diri, meninggalkan kapal tersebut
sebelum meledak. Namun Si Bungsu sudah kehabisan tenaga. Lemas, dia tak berdaya lagi.
Jauh di bawah sana, Tongky menyadari Si Bungsu menghadapi bahaya serius. Begitu mengetahui mesin
kapal berhenti mendadak, Tongky mengapung lagi. Dia melihat sesosok tubuh yang lemas. Dia segera
mengetahui bahwa tubuh itu adalah di Bungsu. Cepat dia mendekat dan menarik tubuh tersebut. Membawanya
kembali menyelam, menghindarkan diri dari kapal itu. Sambil menyelam, beberapa kali dia menanggalkan alat
pernafasan dari mulutnya, kemudian mendekapkannya ke mulut Si Bungsu.
Begitu merasa ada alat pernafasan di mulutnya, Si Bungsu segera menghirup oksigen tersebut. Beberapa
saat dia bernafas di sana, sambil tubuhnya tetap dipeluk Tongky sambil berenang di laut dalam itu. Mereka
bergantian bernafas pada skuba milik Tongky. Dengan cara demikian, mereka akhirnya mendekati pantai
dimana Fabian menanti. Beberapa saat mencapai pantai, mereka merasa desakan dan getaran air yang kuat. Tongky segera tahu,
kapal selam itu telah meledak. Dan ketika beberapa saat kemudian mereka muncul di permukaan air di dekat
pantai, mereka tak lagi melihat kapal selam tersebut. Di laut mereka hanya melihat beberapa sosok tubuh yang
berusaha berenang ke tepi. Mereka adalah awak kapal selam itu. Di sekitarnya terlihat berbagai barang
mengapung di antara genangan minyak. Tongky menyeret tubuh Si Bungsu ke atas. ?"Terima kasih, kawan. Anda
menyelamatkan nyawa saya..?" ujar Si Bungsu, begitu tubuhnya berada di pasir di bawah pohon-pohon yang
rindang. Saat itulah para awak kapal selam yang sedang terapung-apung di laut menampak mereka. Mereka
saling berteriak. Namun jaraknya terlalu jauh untuk mengenali, apalagi untuk mendekati. Fabian berada di
sana, di dekat Si Bungsu dan Tongky. ?"Ayo cepat, teman-teman mereka barangkali tengah menuju kemari,
demikian juga polisi. Ledakan ini mungkin terdengar sampai ke kota..?" ujar mantan Kapten itu.
Mereka bergegas mengangkat alat-alat selamnya, menyeretnya ke semak-semak di mana mereka tadi
meninggalkan jip Landrover. Lalu meninggalkan tempat itu. Mengambil jalan lain yang mereka ketahui karena
telah mempelajari tempat tersebut dengan seksama.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 444
Pemerintah Malaya jadi heboh. Segera terungkap bahwa perairan Singapura, bahagian dari negara
mereka, telah dipakai oleh pasukan Belanda sebagai pangkalan gelap kapal perang. Meledaknya kapal selam
itu telah membuka kedok Konsulat Belanda di kota itu. Ribut antara Pemerintah Malaya dengan Belanda segera
terjadi. Malaya memanggil Konsul Belanda di Singapura. Lalu mengusir, mempersona non garatakan, Konsul
itu. Dalam konflik Indonesia-Belanda, Malaya memang negara yang netral. Namun hadirnya sebuah kapal
selam di perairannya, jelas tak disukai Indonesia yang tengah berperang dengan Belanda. Malaya tak ingin
Indonesia mencapnya sebagai negara yang pro-Belanda. Berurusan dengan Indonesia jelas tak diingini oleh
Malaya. Soalnya lagi, bukan karena takut dimusuhi Indonesia saja, melainkan kehadiran sebuah kapal perang
tanpa setahu pemerintah setempat, memang bukan urusan yang sepele.
Awak kapal selam yang terbenam itu terpaksa diserahkan oleh pihak Konsulat Belanda kepada
pemerintah Malaya. Mereka sempat dihukum masing-masing lima bulan. Barulah lewat saluran diplomatik
yang ruwet, ke 45 orang awak kapal selam itu di pulangkan ke negeri Belanda.
Hanya saja, pihak Malaya tetap tak tahu, bahwa selain kapal selam yang meledak itu, masih ada kapal
selam lain di perairannya. Bahkan ada empat atau lima kapal perang Belanda yang dikamuflase sebagai kapal
dagang, yang berlabuh dengan tenang di antara ratusan kapal-kapal dagang lainnya di teluk Singapura!
Si Bungsu sebenarnya ingin sekali membongkar kedok Belanda itu. Dia menyelidiki kapal-kapal perang
yang dipalsukan jadi kapal dagang itu, kemudian memberitahu pihak Malaya. Namun dia tak punya waktu lagi.
Teman-temannya telah menyiapkan tiket untuk berangkat ke Dallas.
Apalagi tujuan utamanya adalah mencari Michiko, kekasihnya yang dibawa lari oleh seorang mantan
pilot Amerika semasa Perang Dunia II, bernama Thomas. Pilot keturunan Inggeris-Spanyol. Sehari menjelang
berangkat, mereka berkumpul di rumah Fabian, dimana Si Bungsu menginap selama di Singapura.
?"Besok engkau akan berangkat dengan Japan Airlines, kawan. Dari sini menuju Hongkong. Dengan
pesawat yang sama ke Dallas lewat Hawai. Engkau akan ditemani oleh Tongky. Dia kenal baik kota itu, karena
dia tinggal di sana sebelum Perang Dunia II," ujar Fabian. Fabian sendiri tak bisa ikut karena akan ke Inggeris
mengantarkan ibunya. Namun setiap saat yang dibutuhkan, jika ternyata Si Bungsu dan Tongky menghadapi
kesulitan di Dallas, mereka akan datang. ?"Jangan ragu-ragu memanggil kami. Barangkali kalian di sana akan
terbentur dengan dinding kejahatan hebat bernama Mafia, siapa tahu bukan" Jika itu terjadi, beritahu kami,
kami akan datang..?"
Si Bungsu amat berterima kasih atas setia kawan teman-temannya ini. Sebenarnya Fabian berkeras agar
Si Bungsu disertai teman-teman yang lain. Seperti Sony dan Miquel. Jadi mereka bisa berangkat berempat.
Namun Si Bungsu khawatir keberangkatan berempat itu akan memakan biaya besar dan akan menyulitkan dia
bergerak mencari jejak Michiko. Sebagai jalan tengah, akhirnya dia berangkat duluan dengan Tongky.
Pesawat yang mereka tompangi itu adalah pesawat DC 10. Sejenis pesawat jet yang terhitung baru kala
itu. Bermuatan sekitar lima puluhan orang. Namun dalam trayek menuju Hongkong, hanya separoh tempat
duduk yang terisi. Sebahagian besar adalah orang Hongkong, Singapura, Jepang dan beberapa orang Barat.
Pintu pesawat hampir ditutup, ketika tiba-tiba seorang gadis berlarian. Nampaknya dia datang terlambat ke
bandara. ?"Maaf, pesawat saya baru mendarat dari Italia. Saya harus ke Amerika..?" terdengar dia bicara pada
pramugari dalam Bahasa Inggeris yang amat fasih. Gadis yang baru datang itu nampaknya adalah juga seorang
pramugari. Pakainnya menunjukan hal itu. Nampaknya dia dari perusahaan penerbangan Al-Italia. Ketika dia
masuk, hampir semua mata menatap kagum padanya.
Dalam Kecamuk Perang Saudara -bagian-442
Gadis itu luar biasa cantiknya. Tak pelak lagi, dia pastilah orang Italia. Kulitnya tak dapat dikatakan putih.
Lebih tepat dikatakan coklat terang. Berhidung mancung dengan mata yang biru dan rambut hitam kelam.
Gadis itu tersenyum ke kiri dan ke kanan. Sikapnya yang ramah sebagai pramugari tak bisa dia lepaskan, meski
kini lagi tidak bertugas di pesawatnya.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 445
Gadis itu duduk berseberangan dengan Si Bungsu. Antara mereka berdua dibatasi oleh jalan di tengah
pesawat. Tongky yang duduk di sebelah Si Bungsu menyikut lengan Si Bungsu sebagai isyarat. Si Bungsu
menoleh dan tersenyum melihat kenakalan temannya itu. Harus dia akui, gadis di seberang jalan kecil itu
memang alangkah cantiknya. Namun dia hanya sekilas memandang gadis itu, ketika si gadis akan duduk.
Gadis itu sendiri sempat menoleh padanya, melemparkan sebuah senyum yang meninggalkan lesung
pipit di pipinya yang montok. Kemudian dia kelihatan sibuk dengan tas tangan yang dia bawa. Dari dalamnya
dia mengeluarkan sebuah majalah, lalu tenggelam dalam bacaan begitu pesawat mulai bergerak.
Malaikat Penggali Kubur 2 The Spiderwick Chronicles 4 Pohon Besi Lambang Kematian 1
^