Tikam Samurai 18
Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik Bagian 18
jadi pusat perhatian. Dimana-mana selalu menerbitkan selera lelaki. Apalagi kini dia sendirian. Dengan
menghela nafas berat dia lalu membaringkan dirinya di tempat tidur. Lelah menyerang sangat cepat. Karena
lelah yang amat sangat, dia tertidur dengan pulas.
Sedan Chevrolet hitam yang ditompangi babah gemuk tadi memasuki pekarangan hotel itu. Di dalamnya
ada si babah gemuk dan seorang lelaki lain yang bertubuh besar. Nampaknya orang Indonesia. Orang tinggi
besar dengan otot-otot yang menyembul dari balik lengan baju pendeknya itu turun. Kemudian dengan sikap
hormat membukakan pintu mobil. Si gendut yang pagi tadi sepesawat dengan Michiko, turun dengan sikap
seperti tuan besar. Didahului oleh tuan besar itu, mereka melangkah memasuki hotel, di sambut seorang
pegawai hotel dengan sikap hormat.
"Ingin menginap, Tuan?"
"Tidak. Saya mencali seolang ponakan. Seolang gadis belbaju melah jambu yang tadi balu datang dari
Singapula?" "Oo, gadis cantik itu?"
"Ya, dia!" "Nona Michiko maksud tuan?"
"Ya, Mociki, eh, Micoki, eh ya, Michiko.." ujar gendut itu kepleset-peleset saking nafsunya.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 402
"Ada, ada!. Dia di kamar empat. Mari saya tunjukkan?"
"Tak usah. Telimakasih atas ketelanganmu"
Cina gemuk itu meletakkan selembar uang. Pelayan itu dengan membungkuk-bungkuk mengambil uang
itu. Banyak untuk ukurannya sebagai pelayan hotel.
"Husein, ambil dia"!"
Perintah si babah sambil kembali ke mobilnya. Husein, si lelaki berotot besar itu mengangguk dan
berjalan di gang hotel. Babah itu kembali ke mobil Chevrolet hitamnya. Duduk di kursi belakang dan
mengeluarkan pipa. Mengisinya dengan tembakau. Kemudian membakarnya dengan geretan merek Ronson
yang bertutup emas. Mengisap asapnya dengan perasaan nikmat. Betapa takkan nikmat, tembakau merek
Warning yang dia isap dicampur dengan heroin. Itu dia perlukan karena akan menghadapi pekerjaan berat
dengan "ponakan" yang dia sebutkan tadi.
Terbayang lagi betapa pengalamannya pagi tadi di pesawat. Dia sempat melihat bukit dada gadis itu
lewat celah bajunya yang digunting seperti huruf V. Dia sempat meremas pinggul yang besar itu tatkala dia
lewat di depannya ketika balik dari WC. Bukan main. Mmmmmhh"..! Lelaki besar bernama Husein itu sampai
di depan pintu kamar nomor empat.
Sepertinya dia adalah lelaki yang sopan. Sebelum masuk dia mengetuk dua kali perlahan. Tak ada
jawaban. Dia memandang kiri dan kanan, lengang. Tak ada orang. Nampaknya semua penghuni kamar hotel ini
pada tidur sore atau keluar ngeluyur. Dia ketuk lagi tiga kali. Agak keras. Namun yang di dalam, Michiko, benarbenar tak mendengar ketukan itu. Karena amat lelah, membuat dia benar-benar tak mendengar "isyarat"
adanya bahaya. Dia tidur terlalu lelap. Lelah menyerangnya dengan sangat.
Karena tak ada jawaban, lelaki bernama Husein itu membuka pintu. Terkunci. Tapi dengan sedikit
dorongan dengan bahu, kunci pintu itu ambrol. Di kamar segera saja dia melihat sebuah pamandangan yang
melumpuhkan seluruh syarafnya. Di tempat tidur, Michiko yang hanya memakai kimono tipis, tidur
menelentang dengan kaki agak terbuka. Tak hanya itu, kimononya hanya bertaut sedikit di pinggang. Itupun
karena ada tali pengikatnya. Bahagian lain sudah terbuka tak menentu. Buat sesaat si Husein itu tertegak.
Lupa melangkah, lupa menutupkan pintu dan bahkan hampir lupa bernafas. Dia juga lupa bahwa bosnya
menantinya di luar sana. Dia diperintah membawa "ponakan" itu ke mobil dalam keadaan sadar atau tidak.
Artinya, kalau tak bisa dibawa baik-baik, pukul saja sampai pingsan. Tapi bagaimana Husein keturunan
Indonesia Arab itu akan melaksanakannya" Dia menutupkan pintu. Menguncinya. Kemudian dengan peluh
menitik di jidat, dengan kaki menggigil, dia mendekati tempat tidur. Malang benar gadis itu.
Tubuhnya yang sebenarnya tak boleh dilihat orang lain, kini terbuka. Husein berjongkok di sisi
pembaringan. Mengelus betis Michiko. Mengelus pahanya. Tangannya menggigil. Hatinya menggigil. Dia cium
kaki gadis itu, kemudian bangkit. Membuka pakaiannya sendiri. Sampai detik itu, Michiko masih tidur dengan
amat nyenyak. Tidur dengan amat lelah. Husein tak membuang waktu sedikitpun. Michiko dalam mimpinya
merasa berlari di tanjakan yang amat terjal. Nafasnya sesak. Mendaki dengan beban yang amat berat. Nafasnya
makin sesak. Beban itu rasanya meluncur menutup mulut dan hidungnya. Nafasnya makin sesak. Panas bukan main.
Berat bukan main. Akhirnya dia baru terbangun tatkala lelaki yang tubuhnya dipenuhi bulu itu hampir saja
melaksanakan niat jahanamnya. Hampir saja!!. Saat tersentak bangun gadis itu mendapatkan dirinya sudah
tertekan di bawah seekor gorilla dengan tubuh berbulu lebat.
"Diamlah manis. Diamlah"kau akan kuberi kesenangan"." lelaki itu berbisik penuh nafsu. Michiko tak
dapat bergerak. Kedua tangannya ditekankan ke kasur oleh lelaki itu. Tubuhnya terhimpit bulat-bulat tanpa
tutup di bawah tubuh lelaki itu. Tiba-tiba Michiko menangis. Dia menangis dengan ketakutan yang amat
dahsyat. Betapa hebatnyapun dia memainkan samurai, betapa hebatnya pun dia berkelahi melawan lelaki,
namun dalam keadaan seperti itu, dimana kehormatannya akan direnggut orang, dia kembali pada fitrahnya
yang asli. Yaitu fitrah sebagai seorang perempuan yang lengkap dengan kelemahan-kelemahannya. Senjatanya
hanya tangis! Dia menangis, tatkala menyadari bahwa tak ada kesempatan sama sekali baginya untuk
menyelamatkan kehormatannya. Tapi di saat yang sangat kritis itu. Pintu ditendang dari luar. Begitu pintu
ternganga, di ambang pintu berdiri si babah gemuk. "Huseinn"! Jahanam lu! We jitak lu punye pale!"
Babah itu memaki dengan amarah yang tak tanggung-tanggung. Dia sudah kelaparan menanti di sedan
di luar hotel. Bermacam bayangan yang menggairahkan seperti sudah bisa dia nikmati atas diri gadis Jepang
cantik bertubuh montok itu. Tapi kok lama banget, pikirnya. Lama benar Husein keparat itu. Dia melihat jam.
Heh, kelewatan. Tapi dia masih menanti beberapa saat lagi. Namun sudah empat sampai tujuh menit saat dia
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 403
menanti, si Husein itu tak juga kelihatan batang hidungnya. Jangan-jangan dia "makan" duluan, pikirnya sambil
membuka pintu mobil. Dia berjalan dengan perut buncitnya ke hotel.
"Kamal belapa ponakan saya itu tadi?" dia bertanya ke resepsionis.
"Kamar nomor empat?"
Tanpa menunggu babah itu segera ke sana. Di depan pintu dia berhenti sejenak. mendengar nafas dan
tangis. Kemudian kakinya yang besar terangkat. Gedubrakk!!! Tendangannya menghantam pintu sampai
terbuka lebar. Si Husein yang sudah "siap tempur" tiba-tiba terlompat ke bawah.
Babah itu sejenak terkesima. Pemandangan di tempat tidur, tubuh Michiko yang tertelentang tanpa apaapa, membuat jantungnya berhenti berdetak. Namun Michiko yang merasa dirinya bebas, segera menyambar
kimononya. Saat itu si babah mengalihkan pandangannya ke Husein.
"Husseiinnn! Lu kulang ajal. Kulang ajal betuuul! Babi, anjing, monyet, beluk lu!" Sumpah serapah incek
gemuk itu berhamburan. Husein tertunduk layu. Layu dari atas sampai ke bawah.
Babah itu maju lalu plak, pluk, plak".plak! tangannya menampar Husein tiga kali. Husein tak bisa cakap.
Kepalanya tertunduk. Atas bawah. Tangannya melindungi miliknya yang berada di bawah. Saat itulah mereka
berdua melihat gadis Jepang itu turun dari tempat tidur. Babah gemuk itu menoleh. Husein juga menoleh.
"Ah, kau diganggunya, Dik?"
Buset..! Babah gemuk itu memanggil Michiko dengan sebutan "dik". Benar-benar selangit!!
Michiko tak mengacuhkannya. Matanya berbinar berang. Menatap tajam pada lelaki besar yang masih
telanjang itu. "Saya, eh, we sudah tempiling dia. We sudah tempiling tiga kali. Mau lihat! Nih"." dan babah gemuk itu
maju lagi ke dekat Husein.
Tangannya bekerja lagi. Puk, pak, puk"..! Tiga kali tempiling mendarat dengan telak.Husein tertunduk
kuyu. "Nah, dia telah ku tempiling, Dik?" kata babah itu sambil nyengir.
Michiko memandang dengan jijik dan marah luar biasa. Perlahan dia mencabut samurai yang kini telah
dia pegang di tangan kiri. Babah yang sudah siap lagi untuk bicara, jadi terdiam. Husein juga menatap. Tapi dia
tak kaget. Dia hanya menatap heran pada perempuan cantik yang tadi hampir saja memuaskan nafsunya itu.
Heran melihat gadis secantik itu memegang senjata yang dulu sering dipergunakan serdadu Jepang.
"Jahanam, kalian?" gadis itu mendesis tajam.
Lalu samurainya bekerja. Amat cepat. Samurai itu melukai dada Husein. Michiko memang tak segera
membunuhnya. Dia hanya ingin memberi pelajaran pada lelaki itu. Husein kaget. Menatap ke dadanya yang
luka. Meski tak dalam, namun darah merembes. Dia usap dadanya. Ternyata dia lelaki yang tak mengenal takut.
"Ha, bisa juga kau memainkan senjata itu nona"." katanya sambil tersenyum tanpa memperdulikan
darah di dadanya. Babah gemuk itu sebenarnya sudah agak takut. Tapi karena tukang pukul nya itu tak takut,
dia juga jadi berani."Sudahlah, Dik. Jangan main-main palang panjang, eh, kapak, eh, jangan main-main samulai.
Nanti adik luka. Mali sini abang simpan?" kata apek gemuk itu sambil maju mengulurkan tangan pada Michiko.
Maksudnya membujuk agar samurai itu diserahkan padanya. Namun sebuah tendangan menantinya.
Tendangan yang telak dari jurus karate yang telah mahir dipelajari Michiko. Tendangan itu mendarat di
kerampang Cina gemuk itu. Babah gemuk itu terhenti. Nafasnya tertahan. Matanya juling. Alat kesenangannya,
yang biasa dia buat untuk bersenang-senang, terasa sangat sakit. Rasa akan pecah dihantam tendangan gadis
itu. Dengan melenguh, dia jatuh berlutut di lantai. Husein jadi kaget juga melihat makan kaki gadis itu.
Dia segera membantu bosnya. Dengan masih bertelanjang, dia menyergap gadis itu dari samping. Namun
Michiko sudah siap. Meski dia tak bisa segera menggunakan samurai, pukulan tangan kirinya mendarat di jidat
lelaki itu. Lelaki itu terhenti. Jidatnya bengkak sebesar telur ayam. Namun dia tak merasa sakit. Yang
dirasakannya hanya sedikit pening dan kaget. Dia memang lelaki yang alot. Tak merasakan pukulan.
Tapi waktu dia berhenti menyerang itu sudah cukup bagi Michiko untuk mempergunakan samurai di
tangan kanannya. Cress! cresss!, dua sabetan cepat. Pada sabetan pertama telinga kanan Husein bercerai dari
kepalanya. Sebelum Husein sempat berteriak karena sakit, sabetan kedua menghantam perutnya. Perutnya
menganga. Husein kali ini menatap dengan wajah pucat pada gadis itu. Gadis itu juga menatapnya. Mukanya
masih tetap merah. Husein memang tangguh.
Dengan tangan kiri memegang perutnya yang belah, dia maju menyerang. Dia sebenarnya tukang pukul
yang ditakuti di Jakarta saat itu. Namun samurai Michiko menantinya lagi. Sebuah sabetan menghantam
kepalanya! Cress! Kulit kepala lelaki itu berikut rambutnya seluas telapak tangan terbang! Demikian tajam dan
demikian cepatnya. Darah meleleh. Husein berhenti lagi. Sedepa di depannya,
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 404
Michiko tegak lagi menanti! Husein maju. Kembali samurai Michiko bekerja. Cress! Dan kali ini arahnya
adalah sebuah benda di bahagian depan bawah. Husein terhenti. Kali ini dia tak bisa untuk tidak meraung.
Tangannya segera mendekap selangkangnya. Di sana, tadi ada sesuatu yang hampir menusuk-nusuk tubuh
Michiko. Dan kini sesuatu itu putus sudah! Tercampak di lantai! Lelaki itu meraung-raung. Membangunkan
orang di hotel. Mereka berlarian ke kamar nomor empat itu. Ketika sampai di sana, pintu terbuka. Seorang
lelaki Cina bertubuh gemuk, merangkak ke luar dengan wajah meringis menahan sakit dan wajah pucat.
"Ada apa, ncek?"
"Ada sakit. Banyak sakit?" jawab incek gemuk itu sambil merangkak terus meninggalkan kamar maut
itu. Dia sebenarnya ingin berlari kencang. Tapi alat kesenangannya amat sakit. Menyebabkan dia tak bisa
berdiri. Tapi dia tak berani bertahan terus di kamar perempuan tukang bantai itu. Dia harus pergi. Kesempatan
itu terbuka tatkala perhatian Michiko tengah terarah sepenuhnya pada Husein. Dia cepat merangkak keluar.
Michiko memang tak melihatnya. Di kamar, Husein masih meraung-raung. Namun Michiko tak
memperdulikannya. Samurainya kembali bekerja. Kedua tangan lelaki itu putus hingga bahu! Lelaki itu bergulingan di lantai.
Bermandi darah dan seperti dijagal. Dia belum mati. Orang yang melihat ke dalam jadi tersurut dengan wajah
pucat pasi. Kemudian menghindar dari sana. Takut dan ngeri. Michiko mengambil buntalan pakaiannya.
Kemudian dengan tenang dia melangkah ke luar. Namun langkahnya terhenti tatkala mendengar suara Husein
menghiba-hiba. "Tolong saya nona jangan biarkan saya menderita, bunuhlah saya?"Michiko menatapnya dengan
pandangan dingin. "Jika tadi kau berhasil menodai saya, maka saya akan menderita seumur hidup. Itu tak pernah
terpikirkan oleh mu bukan" engkau takkan mati. Setidaknya engkau tidak akan mati sehari dua hari ini, engkau
akan sangat menderita itu perlu bagimu sebagai hukuman atas apa yang kau perbuat pada diriku. Atas apa yang
kau perbuat atas perempuan-perempuan lain, saya yakin sudah banyak perempuan yang sudah engkau nodai.
Nah, kini kau rasakan balasannya"."
Sehabis berkata begitu Michiko melangkah keluar kamar itu. Petugas-petugas hotel tidak ada yang
berani berkutik tatkala dia lewat, penghuni hotel yang lain menatap dengan diam. Di kamar Husen merintihrintih, makin lama suaranya makin lemah. Akhirnya dia pingsan, terlalu banyak darah yang keluar dari perut,
bahu dan selangkangannya. Tapi michiko berkata benar kalau lelaki ini cukup tangguh. Dia tak segara mati.
Dia juga tidak mati ketika ambulance datang membawanya kerumah sakit. Dokter dan perawat
menggeleng melihat hasil pembantaian itu,mereka segera menebak bahwa benda yang dipakai untuk
mencencang tubuh lelaki ini adalah sebuah benda yang sangat tajam, tajam sekali! itu jelas terlihat pada bekas
luka lain ditubuhnya. "Bunuh saja saya dokter".bunuh saja saya, jangan biarkan saya hidup.."Mohon husen tatkala malamnya
dia sadarkan diri. Namun mana ada dokter yang mau membunuh pasiennya. Meski atas permintaan pasien
sendiri, justru dokter memberi dia injeksi dengan obat tidur.
(116) Sekeluar dari hotel Michiko menyetop sebuah taksi "Kemana Nona?" tanya sopir taksi yang ternyata
orang cina. Michiko tertegun dia segera ingat babah gemuk itu, dia tak jadi naik taksi itu. Dia justru melambai
taksi lain yang ada yang parkir tak jauh dari pintu. Sopirnya orang Indonesia, sopir taksi cina itu menggerutu
panjang pendek. "Kemana nona?" "Antarkan saya kehotel yang paling dekat dari sini?"
"Silahkan naik non"." Kata sopir itu dengan ramah. Hati Michiko jadi tentram mendengar suara sopir
yang bersahabat itu. Michiko membuka pintu, kemudian naik.
"Baru datang di kota ini nona?" tanya sopir tatkala taksi mulai berjalan
"Ya.." "Nona datang dari Jepang?"
"Mmm.." "Maaf, nona sedikitpun tidak mirip orang Jepang, Nona lebih mirip orang Sunda Gadisnya
cantik-cantik. Meski tak secantik nona, nona bisa ditebak orang Jepang kalau mendengar aksen bicara nya?"
Michiko tidak memberi komentar atas ucapan sopir itu. Dia memandang keluar, rasanya sudah lama dia berada
di atas taksi ini. "Masih jauh?" tanyanya.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 405
"Kita sudah sampai nona?" jawab sopir itu sopan sambil membelokkan mobilnya, Michiko sempat
membaca tulisan "Hotel" di depan, hanya dia tidak sempat membaca nama hotel, karena terhalang daun pohon
Flamboyan yang tumbuh rindang, mobil itu berhenti di samping hotel. Sopir turun dan membuka pintu,
Michiko turun dan mengucapkan terima kasih.
"Lewat samping sini aja nona, lebih dekat kelobi.." ujar sopir itu. Michiko menuruti saran sopir itu. Dia
masuk lewat samping hotel itu, begitu dia masuk, pintu di belakangnya ditutupkan. Dan kini dia berada di
sebuah ruangan yang besar, Michiko menoleh kebelakang. Sopir itu tegak dengan sopan, namun jauh berbeda.
Walau masih terlihat sopan tapi wajahnya tersenyum licik. Dia mendengar sesuatu disampingnya. Ketika dia
menoleh, alangkah kagetnya dia melihat ada babah gemuk itu. Ya, babah gemuk yang sepesawat dengannya,
yang menyuruh husen menyergapnya di hotel Angkasa.
Kini, babah gemuk Cina yang tadi dia tendang kerampangnya itu duduk di sebuah kursi dengan senyum
sumbangnya. Di sisinya tegak dua orang lelaki, yang satu bertubuh besar seperti Husen" yang satunya
bertubuh kurus tinggi, di belakang nya berdiri sopir yang kelihatan sopan itu.
Michiko masuk perangkap! Ya, itulah yang terjadi. Dia menyesal, mengapa tidak naik taksi yang disopiri
Cina tadi. Padahal, kalau dia naik taksi itupun kejadiannya tetap sama. Kedua sopir taksi itu memang sudah
"dipasang"oleh sibabah itu untuk menjebaknya. Apek gendut itu ternyata memimpin sebuah sindikat kejahatan
di Jakarta. Ada beberapa sindikat saat itu di Jakarta, diantara nya yang terkenal adalah kelompok "Ular
sanca","Tongkat Mas" dan "Kramat Sakti"
Bidang "usaha" mereka mulai dari merampok, menodong, menyelundupkan candu ke Singapura, sampai
menjual perempuan atau gadis-gadis dari berbagai kota di Jawa dan Sulawesi. Gadis-gadis itu dijual kerumahrumah bordir di Singapura atau pun Jakarta sendiri. Musuh berbagai sindikat itu adalah "Sindikat178", sebuah
sindikat yang anggotanya terdiri dari eks pejuang 17-08-45. Mereka dengan gigih memerangi sindikat banditbandit Jakarta, yang mengotori perjuangan mereka semasa Revolusi. Si babah adalah salah satu pemimpin dari
tiga pimpinan "Sindikat Kramat Sakti" Komplotan yang ber markas di sebuah gedung mewah, tapi sangat
rahasia yang ada di kramat.
Dia mempunya anak buah di berbagai posisi, mulai dari pegawai, sampai ketukang copet dan sopir taksi.
Kini Michiko berada di salah satu markas dari kelompok Kramat sakti itu. Michiko menatap tajam si babah
gemuk itu, kalau ada kesempatan, maka yang akan di bunuh nya pertama kali adalah sibabah itu
Sementara si babah gemuk itu berkeinginan pertama adalah menikmati tubuh gadis didepannya.! Sudah
sejak dari pesawat pagi tadi hal itu dia khayalkan. Kini hari sudah malam dan malam hari segala sesuatu bisa
diatur. Michiko masih memegang samurai ditangan kiri. Dia berpura-pura bersisir, dan dengan cepat dia
mencabut jepit rambut yang berupa samurai kecil itu.
Dengan penuh kebencian,dengan sekuat tenaga pada kesempatan pertama samurai kecil itu dia ayunkan
kearah leher si gemuk itu.Si gendut benar-benar tidak tahu bahaya yang mengancam jiwanya. Dia masih
cengar-cengir menatap dengan napsu pada michiko. Saat itu samurai itu bergerak kearah lehernya, tiba-tiba
lelaki kurus yang tegak disampingnya bergerak cepat, ternyata dia mempunyai penglihatan yang tajam.
Dia melihat sebuah benda yang seperti terbang kearah tenggorokan bos nya, dan tangan nya bergerak
dia berhasil memukul samurai kecil itu. Samurai itu terpental karena angin kibasan tangannya, tertancap di
pintu! Michiko terkejut si babah juga terkejut, mukanya berubah pucat dan meraba lehernya.
Leher gemuk yang hampir saja disikat samurai kecil itu. Dia menatap ke samurai yang tertancap itu.
Kemudian beralih ke Michiko. Bergantian menatap samurai dan Michiko. Sambil tangannya masih meraba
lehernya. "Perempuan sundal. Kau akan rasakan akibat perbuatanmu ini?" desis Babah itu sambil menyeringai
buruk. Michiko tak memperhatikannya. Dia justru tengah memperhatikan lelaki kurus berwajah pucat itu.
Semakin diperhatikannya, semakin jelas olehnya bahwa lelaki itu sebenarnya adalah seorang Cina. Tak
diketahuinya karena kulitnya hitam. Sama seperti orang melayu.
Tapi melihat matanya yang sipit, tak ayal lagi, sikurus ini adalah Cina tulen. Selain dia Cina tulen,
nampaknya dia juga memiliki ilmu silat yang tangguh. Itu terbukti dari kibasan tangannya yang berhasil
memukul samurai kecilnya tadi. Michiko pernah mendengar dan membaca kehebatan pesilat-pesilat Cina yang
mampu melompati pagar atau tembok setinggi atap.
Yang mampu memukul roboh lawan dari jarak dua atau tiga meter dengan mempergunakan "tenaga
dalam". Dia tak yakin bahwa ada orang Cina yang memiliki ilmu sehebat seperti di dalam cerita-cerita silat itu.
Namun apakah yang telah dilakukan Cina kurus jangkung itu sebentar ini" Bukankah hanya dengan kibasan
tangannya saja dia telah membelokkan arah samurai kecilnya" Michiko tak sempat memikirkan terlalu banyak.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 406
Babah gemuk itu telah memberi isyarat kepada lelaki bertubuh besar yang tegak di sisi kanannya. "Siapa di
antara kalian yang berhasil menelanjangi perempuan itu, dia akan mendapat giliran setelah aku"." babah itu
berkata dengan kurang ajarnya.
Michiko ingin muntah mendengar ucapan jorok itu. Lelaki besar itu maju. Nampaknya dia telah diberi
tahu bahwa gadis ini berbahaya. Begitu maju, tangannya telah memegang sebuah belati. Dengan gaya seorang
yang amat ahli, dia mulai maju dengan mengayun-ayunkan pisau di depan tubuhnya yang agak membungkuk
ke depan. Michiko masih tetap tegak di tempatnya. Tak bergerak sedikitpun. Dia telah bertekad, kalau dia tak bisa
melawan orang-orang ini, maka dia akan menyudahi nyawanya sendiri. Dia akan bunuh diri sebelum dinodai.
Tapi dia bersumpah akan membunuh babah gemuk itu sebelum dia bunuh diri. Dia benar-benar berharap dapat
melaksanakan sumpahnya itu.
Lelaki itu tiba-tiba menyerang. Pisaunya bergoyang cepat sekali di depan dada Michiko. Michiko
bukannya tak tahu itu adalah sebuah tipuan. Dia tetap diam. Dan benar, kaki lelaki itu ternyata degan cepat
menyapu kaki Michiko. Maksudnya ingin agar gadis itu terjatuh. Dengan demikian bisa dia tindih. Namun
Michiko adalah Michiko. Dia telah belajar cukup banyak dari Zato Ichi. Dia telah belajar banyak dari Tokugawa.
Dan dia telah belajar banyak dari Kenji. Teman Si Bungsu dan abang Hanako. Bukankah dia tinggal bersama
Hanako lebih kurang setahun" Selama itu pula dia belajar karate dari Kenji.
Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kini, Michiko adalah seorang pemegang sabuk hitam karate. Sistem pelajaran yang dipakai oleh Kenji
untuk membekali Michiko adalah sistem memintas. Hingga memungkinkan gadis itu memiliki bekal yang lebih
daripada cukup. Ketika kaki lelaki besar itu menyapu kakinya, dia justru memajukan kakinya selangkah ke
depan. Dan serentak dengan itu tangan kanannya terayun dalam bentuk sebuah pukulan yang telak. Prak!
Pukulannya mendarat di hidung lelaki besar itu. Lelaki itu seperti tersentak. Kepalanya seperti ditarik ke
belakang dan hidungnya bocor. Darah segar mengalir dari hidung yang pecah itu. Bukan hanya si gendut, tapi
lelaki Cina kurus kerempeng yang tadi memukul samurai kecil Michiko itupun jadi kaget. Serangan gadis itu
demikian cepat dan demikian telaknya.
Lelaki besar itu menggeram. Tangannya yang tak berpisau menghapus darah yang meleleh di hidungnya.
Sopir taksi tadipun, yang saat itu tetap tegak di pintu, jadi kaget. Namun mereka adalah bandit-bandit ibukota
yang tak mudah gentar oleh bahaya. Apalagi kalau hanya terhadap seorang gadis, cantik pula. Bos mereka telah
menjanjikan bahwa siapa yang berhasil meringkus gadis itu akan mendapat giliran pertama menikmati tubuh
gadis itu, setelah si bos. Pernyataan demikian membuat mereka terangsang dan bersemangat untuk
menundukkan Michiko. Lelaki berpisau itu maju lagi. Kini dengan lebih berhati-hati. Dia telah kecolongan.
Michiko masih belum mau mencabut samurainya. Dia ingin menghemat tenaga dan kecepatannya. Lawannya
yang dia taksir berbahaya adalah lelaki Cina kurus tinggi itu. Maka dia harus menyimpan kepandaian
bersamurainya untuk menghadapi lawannya yang kurus itu.
Kalau kini dia menggunakan samurai, dia khawatir permainan samurainya bisa dibaca oleh si kurus. Itu
sudah tentu membahayakan. Karena itu, ketika si besar itu menyerang, dia masih mengandalkan ilmu
karatenya. Lelaki itu maju dengan sebuah tusukan pisau yang cepat ke rusuk Michiko. Michiko mengelak
dengan mengalihkan tegak kakinya. Lelaki itu tahu. Dia menyabetkan pisaunya ke kanan, hampir saja menebas
perut Michiko. Untung gadis ini juga cepat melompat mundur. Tegaknya justru mendekat ke dekat sopir taksi
tadi. Sopir itu menatap heran dan kagum. Dan saat itulah Michiko mencabut samurai. Sopir taksi itu masih
belum sadar akan bahaya yang mengintainya. Dia menyangka bahwa gadis itu hanya sekedar bermain tongkat.
Michiko menanti si besar berpisau itu menyerang kembali. Ketika lelaki itu kembali menyerang dengan
menyabetkan pisaunya, Michiko seperti akan menangkis dengan samurai. Namun dia sama sekali tidak
menangkis serangan pisau itu. Melainkan mundur selangkah lagi. Dan samurainya justru membabat ke
belakang! Ke arah sopir taksi yang masih tegak di dekat pintu! Cress! Samurai itu memakan bahunya. Sopir
taksi yang sok sopan itu benar-benar tak pernah menduga bahwa dirinya akan dimakan senjata gadis cantik
itu. Dia sebenarnya seorang pesilat aliran Cimande. Begitu bahunya termakan samurai, dia segera memasang
kuda-kuda Cimande. Tangannya bergerak seperti akan bersilat.
Tapi apa hendak dikata, gerakannya itu sudah tinggal sekedar lagak saja. Tak ada gunanya. Bahunya
telah dibabat samurai yang alangkah tajamnya. Mata samurai itu menetak dan memutus tulang bahunya. Terus
ke bawah membelah jantungnya. Demikian tajamnya samurai itu. Tubuh sopir itu belah dan mati sebelum jatuh
ke lantai! Sekali lagi babah gemuk itu jadi pucat dan sekali lagi Cina kurus tinggi itu dibuat kaget bukan main.
Samurai Michiko hanya sekejap berada di luar sarangnya. Tak sampai lima hitungan cepat. Begitu
dicabut, dia melangkah ke belakang, samurainya berkelebat, membabat bahu sopir itu dan snap"masuk
kembali ke sarungnya di tangan kiri Michiko!
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 407
Kini dia tegak dengan diam. Lelaki besar berpisau itu juga tegak. Kaget bercampur ngeri melihat
ketenangan gadis itu membunuh manusia. Mereka bertatapan. Lelaki besar itu, juga seorang bandit yang sering
menghantam mangsanya dengan kepalan atau dengan pisau, kali ini mulai hati-hati benar. Dia menggertak lagi.
Michiko masih diam. Kakinya menendang cepat dalam suatu tendangan Silat Mataram. Tendangan melengkung
dari kanan ke kiri. Michiko bergerak cepat, kakinya melesak maju antara kaki kanan yang menendang itu
dengan kaki kiri yang tegak sebagai kuda-kuda. Tendangan lelaki itu cukup cepat. Namun jauh lebih cepat lagi
tendangan kaki Michiko. Tendangannya menghajar selangkang lelaki itu, menyebabkan lelaki itu tersurut dua
langkah. Dia meringis menahan sakit.
Babah gemuk itu mengerutkan kening. Dia seperti dapat merasakan sakit yang diderita anak buahnya
itu. Bukankah dia juga kena tendang selangkangnya di hotel Angkasa tadi oleh Michiko" Bukankah dia terpaksa
harus merangkak untuk meninggalkan hotel itu" Kini anak buahnya kena tendangan seperti itu pula. Dia dapat
mengerti betapa sengsaranya anak buahnya itu. Tapi lelaki besar itu memang agak tangguh. Hanya sebentar
dia mengerang dan mengerutkan kening. Saat berikutnya dia sudah tegak. Kali ini, dalam jarak empat depa, dia
tak lagi berusaha untuk maju. Tapi dengan ayunan yang amat cepat, dia melemparkan pisau itu ke dada
Michiko. Lelaki itu juga dikenal sebagai pelempar pisau yang bukan main mahirnya. Tadi dia memang tak berniat
melemparkan pisau itu pada Michiko. Sebab lemparan pisaunya berarti maut. Dia tak ingin membunuh gadis
itu. Sebab selain tak dibolehkan bosnya, dia sendiri ingin menikmati tubuh gadis itu terlebih dahulu. Tubuh
yang montok dan menggiurkan. Tapi kini, setelah gadis itu menghantam selangkangnya, dia tak perduli lagi
dengan kemontokan itu. Dia berniat membunuh gadis itu. Pisaunya melayang cepat secepat kilat. Namun
Michiko juga bergerak cepat. Samurainya tercabut. Membabat di udara. Trangg!
Terdengar suara besi beradu. Dan pisau itu berobah arah. Dihantam dengan telak dan tepat oleh samurai
Michiko. Arahnya justru melaju cepat sekali ke arah si gemuk! Kembali bahaya mengamcamnya! Gerakan itu
juga telah diperhitungkan dengan cermat oleh Michiko. Tapi kembali tangan Cina kurus itu bergerak. Kembali
pisau yang meluncur cepat berobah arah. Jatuh ke lantai dengan menimbulkan suara ribut!
"Hm. Bukan main. Cantik, cepat dan kejam!"
Untuk pertama kalinya Cina kurus tinggi itu bersuara. Suaranya seperti keluar dari sebuah goa. Bergema
mengerikan. Matanya yang kuning menatap pada Michiko. Tapi Michiko tak sempat terkejut atas kehebatan
Cina itu, sebab si besar yang pisaunya telah dilemparkannya itu kembali menyerang. Dia menyerang dengan
melompati tubuh Michiko yang saat itu tengah menghadap pada si kurus. Sungguh malang orang ini. Dia
melompati mautnya sendiri. Michiko bukannya kanak-kanak. Bukan pula orang yang mudah merasa takut dan
gentar menghadapi serangan bandit seperti mereka. Selagi perkelahian satu lawan satu, maka Michiko tak usah
khawatir. Lelaki itu masih melompat, tubuhnya tengah melayang ketika Michiko menggeser tegak. Dia melayang
setengah hasta di sisinya. Saat itu samurai Michiko kembali bekerja. Samurainya memancung dari atas ke
bawah, persis di pinggang si lelaki. Tubuh lelaki itu masih melayang sedepa lagi. Baru akhirnya menubruk
seperangkat meja dan kursi. Jatuh dan mati dengan pinggang hampir putus. Tapi saat itu pula tubuh Michiko
terlambung. Tubuhnya menerpa dinding. Kepalanya berdenyut, untung samurai masih di tangannya. Ternyata
ketika dia melangkah menghindarkan tubrukan tadi dia tegak membelakangi si kurus.
Ketika dia menghantam lelaki yang menubruknya itu dengan samurai, si kurus maju pula menghantam
tubuh Michiko. Pukulannya hebat. Tubuh Michiko sampai terpental menubruk dinding. Michiko terduduk di
lantai dengan punggung bersandar ke dinding. Dia menggelengkan kepala. Berusaha menghilangkan pening,
menatap pada Cina kurus itu. Cina itu tegak tiga depa di depannya dengan kaki terpentang. Menatap ke bawah,
ke arah Michiko dengan mata kuningnya yang berkilat buas.
"Tegaklah, Nona. Saya akan tunjukkan padamu bagaimana seorang perempuan harus menanggalkan
pakaiannya satu demi satu secara baik."
Suaranya yang mengerikan itu terdengar bergumam. Michiko menggertakkan gigi. Dia bangkit dan
memegang samurainya yang telanjang dengan kukuh di tangan kanan! Cina itu tersenyum. Senyum yang mirip
seringai. "Ya. Tanggalkan pakaiannya satu demi satu, Hok Giam! Saya tadi telah melihat tubuhnya tak berkain
sehelai pun di hotel. Ketika Husein akan melahapnya. Tubuhnya bukan main. Ayo tanggalkan, Hok!"
Yang bicara ini adalah si gemuk. Suaranya yang mirip lenguh kerbau itu bergema dari tempatnya duduk.
Michiko meludah. Perlahan tangan kirinya memegang bahagian bawah samurainya. Kini hulu samurai dia
pegang dengan dua tangan. Dia harus hati-hati. Lawannya amat tangguh.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 408
"Heh, Jepang busuk!. Ingin mencoba kehebatan nenek moyangmu dari daratan Tiongkok?" lelaki kurus
yang bernama Hok Giam itu bersuara.
Nadanya seperti ada dendam antara Jepang dengan Tiongkok. Kedua tangannya terangkat tinggi di atas
kepala. Kemudian kesepuluh jari-jarinya ditekuk ke bawah. Persis cakar garuda. Aneh. Dalam posisi demikian,
kedua tangan terangkat tinggi, berarti membiarkan bahagian seluruh tubuh terbuka untuk diserang. Apalagi
diserang dengan senjata panjang. Benar-benar posisi yang berbahaya. Namun Michiko tak berani bergerak
sembarangan. Dia tak mengenal lawannya ini kecuali dalam tiga gebrakannya. Gebrakan pertama dan kedua
ketika memukul samurai kecil dan pisau. Gebrakan ketiga ketika menghantamnya dari belakang tadi.
(117) Dia menanti. Yang dikhawatirkannya hanya satu, yaitu kalau-kalau Cina kurus ini memang memiliki
tenaga dalam yang bisa mencelakakan orang dari jarak jauh. Kalau itu benar, maka binasalah dia. Karenanya
dia tetap diam menanti. Dia agak yakin juga, sebab tadi hanya dengan kibasan tangan saja, Cina itu berhasil
merubah arah samurai dan luncuran pisau yang akan menghabisi nyawa si gembrot bajingan itu. Tangan Cina
itu bergerak. Aneh, Michiko melihat tangan Cina itu seperti bergetar. Jumlah tangannya makin banyak. Lalu
Cina itu melangkah maju. Michiko menyilangkan samurai di depan dadanya. Tangan Cina itu tiba-tiba bergerak dan seperti
menyambar ke arah Michiko. Michiko dengan tetap tegak memegang samurai melangkah surut. Dia yakin
dalam jarak demikian, cakaran Cina itu tak bakal mengenai tubuhnya. Namun dia merasa mendengar suara
kain robek. Dia melihat ke dadanya. Wajahnya jadi pucat. Bajunya robek tentang dada! Kutangnya kelihatan
ketat menahan dadanya yang membusung! Si babah gemuk tertegak. Matanya melotot menatap dada Michiko.
Michiko menggertakkan gigi. Seharusnya tangannya menutup dadanya. Tapi itu tak dia lakukan.
Dia tak mau kehilangan konsentrasi atas samurainya dengan melepaskan salah satu tangannya dari
gagang samurai itu. Tangan Cina itu gentanyangan lagi. Seperti memukul bolak balik. Kini rok Michiko robek!
Tergantung-gantung. Menampakkan pahanya yang putih dan celana dalamnya yang berwarna merah jambu!
Michiko masih tegak dengan diam dan bersandar ke dinding. Dia tak perduli berpakaian atau tidak. Pokoknya
dia tak mau melepaskan samurainya. Dia akan mempertahankan kehormatannya dengan itu. Si babah
melangkah ke depan. Ingin melihat lebih jelas tubuh Michiko. Michiko tegak dengan kukuh.
Cina itu menggerakkan tangannya lagi. Waktu itulah Michiko menggulingkan tubuhnya ke lantai.
Bergulingan cepat ke depan sambil menebaskan samurainya seperti kitiran angin ke arah kaki Cina kurus itu.
Namun Cina itu seperti sudah sangat arif.
Tubuhnya melenting ke atas namun samurai michiko lebih dulu membelah tubuh nya menjadi dua, dan
ketika michiko memandang ke babah gemuk itu dia sudah berada di pintu siap melarikan diri. Namun tiba-tiba
dari belakang tubuhnya dia merasakan sesuatu menikam tubuhnya hingga tembus ke dadanya. Babah cina itu
mati di karenakan tidak bisa menahan napsu bejat nya terhadap perempuan..!
Michiko memandang ke arah yang ditunjukkan Sersan itu. Dia melihat rumah hijau yang ditunjukkan
tersebut. Di depannya dia melihat sepeleton tentara tengah bersiap-siap untuk berangkat. Ada yang memakai
topi baja. Ada yang memakai baret kuning tua. Harapannya untuk segera tiba di Minangkabau timbul lagi.
"Terimakasih. Bapak baik sekali. Saya takkan melupakannya?" katanya pada Sersan Mayor itu. "Ah, saya
tak membantu apa-apa Nona. Saya hanya menunjukkan jalan. Barangkali saja Nona bisa ikut. Saya doakan"."
"Terimakasih"." ujar Michiko sambil mengulurkan tangan.
Sersan itu tersenyum dan menyambut salam Michiko. Gadis itu menenteng buntalan pakaiannya menuju
ke rumah hijau itu. Kehadirannya di sana jelas saja menarik perhatian. Tentara yang ada di depan rumah itu
terdiri dari pasukan-pasukan PGT dan tentara Infantri. "Bisa kami membantu Nona?" seorang letnan bertanya.
"Terimakasih. Saya ingin ikut ke Sumatera Barat. Ke Padang. Dapatkah saya bertemu dengan pimpinan
Tuan?" "Akan ke Padang?"
"Ya, kalau bisa?"
"Silahkan masuk. Komandan ada di kamar nomor dua itu?"
Si Letnan menunjukkan kepada Michiko tempat yang di maksud. Gadis itu masuk, diantar oleh si Letnan.
Letnan itu mengetuk pintu. Ketika ada suara menyuruh masuk, Letnan itu masuk duluan. Menutupkan pintu di
belakangnya. Michiko menanti di luar. Tak lama kemudian Letnan itu keluar lagi.
"Silahkan"." Michiko masuk. Di dalam kamar itu ada beberapa orang tentara. Seorang Mayor duduk di
balik sebuah meja. Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 409
"Selamat siang?" kata Michiko.
Mayor itu menanggalkan kacamatanya.
"Oh, ya. Silahkan duduk. Silahkan?" suaranya terdengar ramah.
Michiko mengambil tempat duduk.
"Ada yang bisa kami bantu untuk Nona?"
"Saya ingin ke Padang. Dua hari yang lalu saya telah mendaftarkan diri di penerbangan sipil. Ternyata
penerbangan hari ini dibatalkan.
Dari bahagian penerbangan sipil itu saya mendapat informasi bahwa ada pesawat militer yang akan
berangkat siang ini ke sana. Saya berharap bisa ikut dengan pesawat itu?"
"Ya. Memang ada pesawat militer yang akan ke sana. Maaf, apakah Nona ada membawa surat
keterangan?" "Ada?" Michiko lalu membuka sebuah tas kecil. Mengeluarkan pasport, visa dan beberapa surat
keterangan lainnya. Lalu menyerahkan pada Mayor itu.
"Anda seorang turis?"
"Ya" "Aneh. Maaf, maksud saya, adalah sesuatu yang agak luar biasa kalau memilih Sumatera Barat
sebagai tempat melancong dalam situasi yang begini. Negeri itu sebenarnya memang negeri yang indah, Nona.
Gunung berjejer. Sawah berjenjang. Ada ngarai dan air terjun. Bunga mekar sepanjang tahun. Tapi saat ini
masih bergolak. Kalau saya boleh menyarankan, barangkali bisa memilih Bali atau Danau Toba. Yaitu kalau
ingin sekedar jalan-jalan"." Michiko menunduk.
"Ada seseorang yang saya cari di sana, Mayor"." akhirnya dia membuka kartu.
"Nah. Saya sebenarnya telah menduga hal itu. Kalau demikian lain persoalan. Apakah dia seorang yang
telah lama di Sumatera Barat?"
"Dahulu dia dilahirkan di sana. Tapi saya mengenalnya di Jepang. Dia baru datang dari Australia.
Barangkali baru sepekan dua ini"."
"Dari Jepang dan Australia?"
"Ya" Mayor itu mengerutkan kening. Menatap pada Michiko seperti menyelidik.
"Apakah dia bekas seorang sahabat?" tanyanya.
Michiko ragu, tapi kemudian mengangguk.
"Seorang pemuda?"
Michiko tak menjawab. "Maaf. Saya hanya ingin memudahkan urusan Nona" ujar Mayor itu ramah.
"Ya. Dia seorang pemuda?"
Mayor itu mengangguk maklum. Kemudian menoleh pada seorang staf yang duduk di meja di kanannya.
Mengatakan sesuatu. Stafnya itu, seorang letnan, lalu berdiri. Membuka sebuah lemari yang dipenuhi laci-laci.
Melihat sederatan map yang diberi kode bernomor-nomor. Mengambil sebuah di antaranya. Map berwarna
biru. Menyerahkannya pada Mayor tersebut yang lalu membuka map tersebut. Menatap sebuah halaman
berfoto. Kemudian menatap kembali pada Michiko.
"Pemuda itu bernama Bungsu?"
Ujar Mayor itu perlahan. Michiko kaget. Jantungnya seperti berhenti berdegup.
"Apakah memang benar dia orang yang Nona cari?"
Michiko masih belum bisa bersuara. Namun akhirnya dia mengangguk dan balik bertanya.
"Apakah dia memang berada di Sumatera Barat?"
"Ya, dia memang kembali ke sana. Dulu dia juga menompang pesawat khusus yang mengangkut militer.
Pesawat Hercules yang sebentar lagi akan berangkat. Maaf, ini fotonya, bukan?" Mayor itu memperlihatkan map
tersebut. Michiko melihat foto Si Bungsu di sana.
"Ya?" katanya antara terdengar dan tidak, sementara jantungnya berdegub kencang melihat foto itu.
Mayor itu menarik nafas panjang. Menutup map di tangannya.
"Saya tidak tahu apa maksud Nona mencarinya, mudah-mudahan untuk kebaikan kalian berdua. Kalau
benar dia yang ingin Nona temui di daerah bergolak itu, Nona bisa ikut dengan pesawat militer yang akan
berangkat sebentar lagi?" ujar Mayor itu akhirnya.
Michiko menarik nafas lega. Dan siang itu dia memang berangkat dengan pesawat Hercules menuju
Padang. Ikut bersama prajurit-prajurit PGT dan Infantri yang akan betugas di sana. Bahkan sesampai di Padang
dia mendapat tompangan dengan jip militer yang kebetulan langsung ke Bukittinggi dari lapangan Tabing. Jip
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 410
militer itu mengantarkannya sampai ke Hotel Indonesia, di daerah Stasiun Kota Bukittinggi. Disanalah dia
menginap, sambil mencari informasi di mana Si Bungsu, musuh besarnya!
---0000--Pagi itu, ketika Si Bungsu keluar hotel, setelah subuh tadi didatangi mimpi yang amat menakutkan, di
hotel yang sama Michiko memang telah lebih dahulu keluar. Gadis itu menikmati udara pagi yang amat sejuk.
Hari itu hari Sabtu. Hari dimana pasar besar di kota tersebut. Dari hotel Michiko berjalan perlahan ke arah
pasar. Hari masih pagi benar. Embun masih menebarkan dirinya seperti awan tipis. Menggantung rendah di
permukaan bumi. Tapi orang sudah ramai. Berjalan bergegas. Ada yang menjunjung bakul di kepala. Ada yang
menolak gerobak beroda satu yang sarat oleh sayur-sayuran. Semua bergegas seperti memburu sesuatu.
Beberapa orang di antara mereka menoleh pada Michiko. Barangkali merasa sedikit heran melihat seorang
gadis berjalan sendirian di pagi buta begitu. Sesuatu yang kurang lazim di kota tersebut.
Pagi itu Si Bungsu mengurungkan niatnya untuk pulang ke Situjuh. Kedatangan Michiko merobah
niatnya itu. Apapun maksud kedatangan gadis itu, satu hal adalah pasti. Yaitu mencari dirinya. Dan dia tahu,
bahwa gadis itu akan menuntut balas kematian ayahnya. Dia tak boleh pergi. Betapapun hebatnya kepandaian
gadis itu, seperti halnya dalam mimpi malam tadi, misalnya, namun dia tak boleh meninggalkannya. Itu bisa
dianggap melarikan diri. Melarikan diri" Hm, apakah dia sudah demikian penakutnya, sehingga harus
melarikan diri dari seorang perempuan" Namun satu hal pasti pula, dahulu dialah yang memburu lawannya.
Kini kejadiannya jadi terbalik. Dialah yang diburu. Dia tak boleh melarikan diri. Dia tak mencek lagi pada
petugas hotel tentang kebenaran menginapnya Michiko di hotel itu.
Hal itu tak perlu dicek lagi. Petugas hotel itu telah mengatakan dengan tepat tentang nama dan ciri-ciri
gadis itu. Petugas itu tak mungkin berkhayal atau mengada-ada. Sebab dia tak pernah berjumpa dengan
Michiko. Lagipula, firasat Si Bungsu mengatakan dengan pasti, bahwa gadis itu memang ada di kota ini. Dia
pergi ke rumah makan di seberang Hotel Indonesia itu. Rumah makan yang letaknya persis di depan stasiun
dan di persimpangan Jalan Melati. Memesan secangkir kopi dan sepiring ketan dan goreng pisang. Mengambil
tempat duduk yang menghadap langsung ke jalan raya. Perlahan dia menghirup kopi. Mengunyah pisang dan
ketan gorengnya. Matanya yang setajam mata burung rajawali sesekali menyapu jalan di depan restoran itu.
Memandang ke arah kanan, ke jalan yang melintang menuju Simpang Kangkung. Memandang ke stasiun yang
ramai oleh manusia. Dia tak perlu menanyakan apa warna pakaian yang dipakai Michiko pagi ini. Itu tak diperlukan.
Informasi tentang ciri-ciri itu hanya diperlukan bagi orang yang tak pernah dia kenali. Tentang Michiko, hmm,
meskipun dia berdiri antara sejuta perempuan, dia segera akan mengenalinya. Namun sampai habis kopi, ketan
dan goreng pisang di piringnya, gadis itu tak pernah dia lihat. Dari rumah makan itu dia juga bisa mengawasi
jalan yang ada di depan hotel yang menuju ke selatan. Ke Tangsi Militer di Birugo. Gadis itu tak juga muncul.
Akhirnya dia membayar minumannya. Kemudian perlahan melangkah keluar.
Di luar, dia menghirup udara pagi yang segar. Kemudian dia melangkah ke jalan raya. Semula dia berniat
untuk ke stasiun. Sekedar melihat orang-orang yang akan berangkat. Tapi aneh, mimpinya malam tadi,
perkelahian dengan Michiko di stasiun itu, tiba-tiba saja membuat langkahnya terhenti. Kemudian dia memutar
langkah menuju pasar. Takutkah dia ke stasiun"
Apa yang harus di takutkan. Tapi seperti ada perasaan yang mendorongnya untuk tak datang kestasiun
itu. Semacam was-was,untuk pertama kalinya sejak keluar dari hotel tadi dia menyadari, bahwa dia tak
membawa samurainya! secara reflek pula, tangannya meraba lengannya. Disana selalu terselip enam buah
samurai kecil, tiga di tangan kanan tiga di tangan kiri yang di sisipkan pada sebuah sabuk yang terbuat dari
kulit tipis. Samurai yang bisa diturunkan dengan sedikit gerakan khusus, siap dilemparkan secepat anak panah,
Namun kini ternyata semua tak dia bawa. Dia mencoba mengingat kenapa tak satupun senjata-senjata itu dia
bawa, apakah dia terlalu terburu-buru" tak ada jawaban yang di peroleh. Akhirnya dia kembali berjalan menuju
ke arah Panorama. Sementara pikirannya menerawang, bagai mana kalau keadaan seperti ini artinya ketika
dia tanpa senjata sama sekali lalu bertemu dengan Michiko. Kemudian gadis itu menyerangnya untuk
Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membalas dendam. Dia memang menguasai judo dan karate yang pernah diajarkan Kenji, tapi judo dan karate melawan
samurai! Ah, suatu pekerjaan yang sia-sia betapapun hebatnya seseorang menguasai ilmu judo dan karate
namun menghadapi senjata tajam seperti samurai, apalagi bila samurai itu di pegang orang yang sangat mahir,
sama saja dengan bunuh diri. Ah, pikirannya di penuhi terus dengan pertarungan melawan Michiko. Apakah
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 411
dia memang benar-benar takut menghadapi gadis itu." Apakah gadis itu benar-benar telah demikian hebatnya
kini, sehingga dia merasa begitu takut" bukankah dia tak pernah lagi dengan gadis itu sejak peristiwa
pamakaman Saburo Matsuyama di kuil shimogamo dahulu"
Namun perasaannya mengatakan, bahwa gadis itu kini memang memilki kepandaian yang jauh lebih
tinggi. Sudah bertahun masa berlalu, Michiko terus mempersiapkan diri dengan matang. Kalau tidak, takkan
berani dia datang sejauh ini. Gadis itu sudah paham siapa lawan yang akan dihadapinya.
Di Panorama, ketika dia tegak memandang ke ngarai yang masih berkabut, ketika matanya memandang
jauh ke Gunung Singgalang yang tegak seperti seorang tua menjaga negeri ini dengan perkasanya, sebuah
pikiran menyelinap ke hati Si Bungsu. Dia harus pulang ke Situjuh Ladang Laweh untuk Ziarah ke makam Ayah
dan ibunya. Dia ingin mengatakan, bahwa dendam mereka telah dibalaskan. Dia ingin membakar kemenyan
dipusara mereka. Memanjatkan Doa itu niat utama nya. Kini kenapa dia harus menanti Michiko" Dan kalau saja
Gadis itu tidak mau berdamai dan memang benar-benar ingin menuntut balas, dan kalau benar kepandaianya
sudah demikian tingginya, hingga tak mampu dia melawannya, itu berarti maut akan menjemputnya sebelum
dia sempat Ziarah ke makam ayah, Ibu dan kakaknya, perjalanan jauh selama ini alangkah sia-sia.
Tidak, hal itu tidak boleh terjadi. Dia harus cepat-cepat pulang ke kampungnya. Tak peduli apakah dia
akan dicap penakut karena melarikan diri dari Michiko, setelah ziarah dia tak perduli, soal dilayani atau tidak
tantangan Michiko itu soal lain. Pokoknya dia harus ziarah, dengan pikiran demikian lalu dia melangkah lagi
kearah hotelnya. Dia akan pulang dengan kereta api pagi ini. Namun ketika kakinya menjejak halaman hotel
hatinya berdebar kencang sudah tibakah gadis itu dihotel" Di ruang tamu, pelayan yang tadi mengatakan
padanya tentang kehadiran Michiko kelihatan tengah menulis di buku tamu.
"Hai, ini dia bapak itu..!"pelayan itu berseru, Si Bungsu hampir terlonjak. Darahnya hampir berhenti
berdenyut, jantungnya hampir berhenti berdetak. Ternyata gadis itu telah ada dihotel pikirnya, bibirnya tibatiba kering.
(118) "Ada apa?" tanyanya setelah sejenak berdiam diri
"Tidak, saya gembira Bapak sehat-sehat saja"."jawab pelayan itu.
Srrr! Darah Si Bungsu berdesir kaget, ucapan pelayan itu seperti menyindirnya. "sehat-sehat saja"
bukankah itu suatu sindiran langsung, bahwa pelayan itu mengatakan kalau dia takkan "sehat-sehat saja" kalau
telah berhadapan dengan Michiko" apakah pelayan ini telah tahu maksud kedatangan Michiko untuk membalas
dendam padanya" "Dia belum pulang pak, tunggu saja sebentar lagi"."pelayan itu berkata seperti orang berbisik. Si Bungsu
menyumpah-nyumpah dalam hatinya. Jelas yang dimaksud pelayan itu adalah Michiko. Ternyata gadis itu
belum pulang kehotel, hatinya sedikit lega, dia melangkah kedalam kamarnya.
"Saya berangkat hari ini?"katanya sambil menerima kunci.
"Siang atau sore pak".."
"Pagi ini.." "Pagi ini?" "Ya?" "Ah, jangan terburu-buru pak"."Tapi Si Bungsu mengacuhkannya.
Dia membuka pintu kamar dan melirik ke kamar sebelah, kekamar yang dihuni oleh Michiko. Kamar itu
masih tertutup dan terkunci, dia mengemasi barang-barangnya lalu membayar sewa hotel.
"Bapak akan kemari lagi, bukan?" tanya pelayan itu. Si Bungsu tidak menjawab, dia menjinjing tas kecil
yang berisi pakaian, kemudian berangkat ke stasiun. Di stasiun gebalau orang-orang ramai terdengar seperti
lebah. Dia membali karcis.
"Masuklah Pak, sebentar lagi kereta berangkat" kata penjual karcis.
Si Bungsu belum sempat mengangguk ketika peluit panjang berbunyi. Tanda kereta akan berangkat. Dia
melangkah ke peron. Menyeruak di antara orang-orang ramai. Masuk ke kereta. Ketika dia terduduk di
bangkunya, hatinya terasa agak lega. Kereta itupun mulai bergerak. Suaranya mendesis, gemuruh. Angin dari
sawah dari kampung Tengah Sawah yang berada di seberang stasiun menampar-nampar wajahnya.
Perasaan tenteram menyelusup ke hatinya. Dia menarik nafas panjang. Rasanya lega benar
meninggalkan kota ini. Makin cepat makin baik. Ah, demikian takutnya kah anak muda ini pada Michiko"
Apakah mimpinya malam tadi membuat hatinya jadi goyah" Tak ada yang tahu dengan pasti. Namun memang
benar, bahwa hatinya amat lega dapat cepat-cepat meninggalkan kota itu. Entah mengapa, hatinya amat lega
bisa cepat-cepat naik kereta api menuju Payakumbuh, untuk ziarah ke makam keluarganya.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 412
Kereta berlari terus. Saat itu telah melewati sawah-sawah yang membentang di Tanjung Alam. Saat itu
pula, di bahagian Belakang, di antara para penompang yang duduk bersesak di gerbong tiga, empat orang lelaki
saling berbisik. Kemudian mereka mulai berdiri. Dua orang berjalan ke depan. Dua orang lagi melihat-lihat
situasi. Sepuluh menit kemudian mereka berkumpul lagi di gerbong tiga. Kembali berbisik-bisik.
"Ada dua orang polisi di gerbong dua dan seorang di gerbong satu," bisik yang seorang.
"Mereka membawa bedil?" tanya yang seorang dengan tetap berbisik.
"Seorang pakai pistol, dua lainnya berbedil panjang"." bisik yang seorang lagi.
Keempat lelaki itu berunding lagi dengan saling berbisik. Penompang-penompang melihat dengan diam.
Tak seorangpun tahu apa yang diperbisikkan mereka di antara deru roda kereta api itu. Namun ada salah
seorang di antara polisi menjadi curiga. Dia melihat dua orang lelaki bertampang kasar mondar-mandir dari
gerbong dua ke gerbong satu. Dengan tidak menimbulkan kecurigaan, dia memperhatikan perangai kedua
lelaki itu. Mereka nampaknya seperti memperhatikan penompang satu demi satu. Memang tak begitu kentara.
Tapi sebagai seorang polisi, dia dapat menangkap maksud tak baik dari gerak gerik kedua lelaki itu.
Ketika kedua lelaki itu bergabung dengan temannya di gerbong tiga, diam-diam polisi itu
membuntutinya, lalu melihat dari kejauhan. Tiba-tiba dia seperti teringat pada seseorang. Dia seperti mengenal
lelaki bertubuh besar yang tengah berbisik-bisik dengan tiga orang temannya itu. Dia coba mengingat-ingat.
Ketika dia teringat siapa lelaki itu, polisi tersebut segera menemui temannya yang duduk di sebelahnya tadi,
lalu berbisik. Polisi yang seorang itu tertegun.
"Tak ada teman-teman alat negara lainnya di dalam kereta ini?" bisiknya.
"Di gerbong dua ini hanya kita berdua. Di gerbong tiga tak ada seorangpun. Saya tak tahu apakah ada
alat negara lainnya di gerbong satu."
"Biasanya ada pengawalan tentara. Biar saya lihat, engkau tunggu di sini"." ujar polisi itu seraya tegak.
Dia segera menuju gerbong satu. Benar, di sana tak ada tentara seorangpun. Dia hanya bertemu dengan
seorang polisi lagi berpangkat Komandan Muda. Setelah memberi hormat dia berbisik pada polisi yang
memakai tanda pangkat dari aluminium dengan dua setengah garis di kelepak bajunya itu. Polisi itu tegak, lalu
sama-sama menuju ke gerbong dua. Bergabung dengan polisi yang tadi mengintai ke empat lelaki di gerbong
tiga itu. "Apakah pasti dia Datuk Hitam?" tanya komandan muda itu.
"Benar pak. Saya yakin itu pasti dia. Ada akar bahar melilit di lengan kanannya. Ada codet tanda luka di
pipi kirinya. Nampaknya dia mengatur sesuatu bersama tiga temannya di Gerbong tiga."
"Dia berbahaya. Apakah kita akan bisa menangkapnya?"
"Kita pasti bisa, Pak?"
"Barangkali bisa. Tapi akan banyak jatuh korban di antara penumpang"
Kemungkinan terjadinya hal terburuk itu, yaitu jatuhnya korban di antara penumpang menyebabkan
para polisi itu berunding mencari jalan terbaik. Bagaimana penumpang tidak menjadi korban, tapi datuk kalera
itu bisa diringkus. Kalau melawan dibunuh saja sekalian. Kereta api meluncur terus. Saat itu sudah hampir
sampai di Stasiun Baso. Ketiga polisi itu duduk kembali. Mereka tak ingin rencana mereka diketahui oleh
kawanan Datuk Hitam itu. Ya, lelaki yang sedang berencana dengan ketiga temannya itu memang benar Datuk
Hitam. Lelaki yang dulu akan merampas uang yang diberikan oleh Si Bungsu pada Reno dan suaminya yang
tukang saluang di Los Galuang. Datuk itu adalah seorang penjahat yang baru pulang dari Betawi.
Di ibukota sana dia juga dikenal sebagai pemakan masak matah. Sebenarnya dia tidak bergelar datuk.
Dia bukan pula ninik mamak. Tapi karena tubuhnya hitam dan dia kepala begal, maka orang memanggilnya
sebagai Datuak Hitam. Semacam sindiran, datuk dari dunia hitam. Kini dialah yang berada di kereta api itu.
Kereta memasuki Desa Baso. Polisi itu menyebar ke pintu. Namun mereka terkejut. Penompang-penompang
juga heran. Kereta tak dilambatkan oleh masinis, tapi meluncur terus melewati Baso.
"Celaka, ada yang tak beres pada masinis?"
Bisik polisi yang berpangkat komandan muda, dia bergegas menemui temannya.
"Ayo ke depan, temui masinis?" katanya.
"Masinis di belakang?" kata polisi yang seorang.
"Di belakang..?"
"Ya, lokomotifnya berada di belakang, nampaknya kereta ini datang dari Padang Panjang. Biasanya di
Bukittinggi kepalanya ditukar, diletakkan di depan. Tapi yang satu ini nampaknya tidak"."
"Kalau begitu mereka telah mengancam masinis"." kata komandan muda itu.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 413
Ucapan polisi itu ternyata benar. Kawanan Datuk Hitam itu rupanya mengetahui bahwa rencana mereka
dicium oleh beberapa polisi yang ada dalam kereta api tersebut. Maka salah seorang di antara mereka segera
disuruh Datuk Hitam untuk menyergap masinis.
"Jalankan kereta terus?" seorang lelaki bertubuh besar mengancam si masinis.
Masinis itu menyangka orang ini bagarah. Dia sudah memperlahan kereta ketika akan memasuki Baso.
Tapi sebuah tikaman di lengannya membuat dia terpekik.
"Saya akan tikam jantungmu, kalau kau tak mengikuti perintah saya"." lelaki itu mengancam. Si masinis
yakin bahwa orang ini memang tak main-main. Dia jadi kecut, lalu kembali mempercepat keretanya. Orangorang yang sudah berkumpul di Stasiun Baso merasa heran ketika melihat kereta itu tiba-tiba menambah
kecepatan. Lalu semua pada berseru, ketika kereta itu lewat di depan mereka dengan kecepatan yang
dipertinggi. "Tarik rem bahaya"." komandan muda itu berseru.
Dua orang di antara polisi segera menjangkau ke atas mencari tempat rem bahaya. Namun saat itu pula
terdengar sebuah letusan. Salah seorang di antara polisi itu terpekik. Tangannya disambar peluru. Lalu
terdengar suara mengancam dari arah belakang.
"Jangan main-main. Kalau tak ingin kutembak?"
Mereka menoleh. Di sana berdiri Datuk Hitam dengan pistol di tangan. Orang jadi panik dan mulai
berdiri. Kembali terdengar tembakan. Seseorang memekik, lalu rubuh.
"Semua diam di tempat kalau ingin selamat! Diammm"!" terdengar bentakan si Datuk mengguntur.
Semua penompang terdiam. Polisi yang dua lagi menghunus senjata.
"Lemparkan senjatamu, Datuk! Kalian tak mungkin membalas. Kami memiliki senjata lebih banyak dari
kalian?" komandan muda itu berseru.
Sebagai jawabannya, terdengar tawa cemooh.
"Kau polisi kentut! Jangan banyak bicara. Kau lemparkan senjatamu ke mari. Kalau tidak, kami akan
mulai membantai penumpang!"
Polisi yang bertiga itu saling pandang di tempat perlindungan mereka, di antara kursi. "Jangan main gila,
Datuk. Kalian akan digantung kalau kalian berani mengganggu penumpang. Di Stanplat Padang Tarok ada satu
kompi tentara. Kalian pasti mereka tembak!" Kembali terdengar tawa penuh cemooh.
"Jangan banyak kecek waang, polisi tumbuang. Kalau kau tak percaya, bahwa kami akan membantai
penompang ini, ini buktinya!"
Terdengar sebuah tembakan. Seseorang meraung dan jatuh! Terdengar pekik panik. Lalu bentakan
menyuruh diam. Semuanya kembali terdiam.
"Nah, polisi cirik, dengarlah! Kami telah peringatkan kalian. Kalau ada di antara penumpang ini yang
mati, maka itu salah kalian. Bukan salah kami, kalian dengar!" Kalian yang tak mau menuruti perintah kami.
Apakah perlu saya tambah jumlah yang mati?" "Benar-benar anjing yang tak berperikemanusiaan"!" bisik
komandan muda itu. Mereka memang tak berdaya. Disatu pihak mereka ingin menangkap bajingan-bajingan itu. Ingin
menyelamatkan penumpang. Tapi ternyata bandit-bandit itu mempunyai pertahanan yang ampuh. Menjadikan
penumpang sebagai sandera.
"Saya hitung sampai empat. Kalau kalian tak melemparkan senjata kalian, maka ada empat orang yang
akan mati! Satu"!" Datuk Hitam itu segera saja menghitung.
"Baik, kami akan melemparkan senjata kami. Tapi apa kehendakmu, Datuk?"
"Jangan ikut campur urusan kami. Apapun kehendak kami bukan urusanmu. Dua"!" dia melanjutkan
hitungannya. Namun tiba-tiba saja sebuah suara memecah dari arah gerbong yang berada di belakang Datuk Hitam.
"Kau takkan pernah menghitung sampai tiga, Datuk!"
Datuk Hitam menoleh, ke belakangnya. Di sana sebenarnya ada dua anak buahnya yang tegak
menodongkan bedil kepada penumpang. Demi malaikat!, kedua anak buahnya itu kini tergeletak dengan kening
mengalirkan darah dan mata mendelik. Keduanya tergeletak mati! Diantara bangkai kedua anak buahnya itu
tegak dengan tenang seorang lelaki yang dia kenal betul. Yaitu lelaki yang menghantam kerampangnya di suatu
sore di Los Galuang, tatkala dia akan merampas uang yang diberikan lelaki itu kepada tukang salung. Kini lelaki
yang menghajarnya itu tegak di sana, dan dialah yang barusan bicara!
Belum habis kagetnya, ketika di ujung gerbong yang satu lagi, yang berada di hadapannya, seorang anak
buahnya yang juga tengah menodongkan bedil kena hantam popor senjata polisi yang muncul secara tiba-tiba.
Anak buahnya itu jatuh melosoh dan bedilnya diambil anggota polsi tersebut. Sadar dirinya dalam bahaya,
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 414
Datuk itu menarik pelatuk pistol yang sejak tadi larasnya dia arahkan ke kepala seorang perempuan. Namun
telunjuknya yang sudah menempel di pelatuk pistol itu tak kunjung bisa dia gerakkan. Bersamaan dengan itu
dia merasakan belikatnya linu luar biasa.
Dia tak tahu bahwa sebuah samurai kecil telah tertancap di salah satu bagian belikatnya, yang
menyebabkan tangannya lumpuh! Datuk itu kembali menarik pelatuk pistolnya, tapi jangan menariknya,
menggerakkan telunjuknya saja dia tak mempunyai kemampuan. Sementara sakit di belikatnya terasa semakin
menusuk jantung. Mengetahui bahwa Datuk Hitam itu tak bisa menggerakkan tangannya, suami perempuan
yang sejak tadi menggigil karena ditodong Datuk keparat itu, menyentak parang yang memang dia bawa untuk
menjaga diri, tapi sejak tadi takut dia mempergunakannya karena isterinya berada di bawah ancaman moncong
pistol. Parang tajam itu dia tebaskan, dan..tangan Datuk Hitam yang memegang pistol itu putus. Tercampak ke
lantai gerbong dengan pistol masih dalam genggaman tangannya yang putus itu! Datuk celaka itu sebenarnya
tadi sudah berusaha menjauhkan tangannya dari tebasan itu. Namun entah sihir apa yang mengenai dirinya,
tangannya tak mampu dia gerakkan sedikitpun! Lalu, begitu tangannya putus dia meraung-raung kesakitan!
Namun tetap berdiri tak bisa bergerak sedikitpun! Melihat kesempatan itu lelaki dan perempuan yang
ada di gerbong tersebut, yang tadi berada di bawah ancaman Datuk itu dan anak buahnya, bangkit serentak
merangsek ke arah Datuk yang amat ditakuti dan dibenci itu. Dengan segala apa yang bisa diraih mereka
menghantam Datuk tersebut yang tetap saja tegak tak bisa bergerak sedikitpun!
Dia meraung dipelasah para penompang yang sudah muak melihat kekejamannya. Akhirnya, massa baru
kembali ke tempatnya setelah Datuk itu tergelimpang mereka hakimi sampai kepalanya pecah dan leher
hampir putus, mata mendelik dan lidah terjulur! Itulah akhir riwayat orang Minang yang menjadi penjahat
amat sadis dalam kecamuk perang saudara. Datuk pemakan masak mentah, orang kampungnya sendiri dia
jahanami. Berakhir sudah sebuah kelompok penjahat yang amat kejam, ditakuti sekaligus dibenci masyarakat
di tanah Minang selama pergolakan itu.
(119) Saat itu pula kereta berhenti di stasiun Payakumbuh. Polisi yang bertiga itu mencari anak muda yang
tadi melumpuhkan kedua begal di gerbong tersebut. Mereka ingin mengucapkan terimakasih. Namun Si
Bungsu sudah berbaur di dalam orang ramai yang turun di stasiun. Dia ke pasar dan lenyap dalam palunan
orang ramai. Kemudian segera menuju ke perhentian bendi. Dia ingin segera sampai ke kampungnya, Situjuh
Ladang Laweh. Niatnya pulang ke kampung hanya satu, ziarah ke makam ibu, ayah dan kakaknya!
Hari sudah malam. Di dalam sebuah kedai kecil kelihatan berkumpul walinagari dan lelaki tua pemilik
kedai serta anak gadisnya. Selain itu ada tiga orang lelaki berbedil. Mereka nampaknya dari pasukan PRRI. Hal
itu jelas kelihatan dari pakaian yang dikenakan ketiganya. Yang satu pimpinan di antara mereka, di
pinggangnya tersisip dua pistol. Satu di kiri dan satu di kanan. Yang dua lagi memakai senapan laras panjang.
Mereka tidak memakai pakaian seragam. Ketiganya menatap kepada pemilik kedai itu dengan muka tak
bersahabat. Sementara lelaki tua pemilik kedai dan anak gadisnya duduk dengan wajah kecut. Ketiga anggota
PRRI itu nampaknya sedang mengorek keterangan dari si pemilik kedai.
Soalnya seminggu yang lalu seregu pasukan APRI datang ke kampung ini dan ke dua kampung lagi yang
berdekatan. Beberapa dari mereka singgah di kedai ini, cukup lama. Sehari kemudian dua buah rumah di
kampung ini disergap sepeleton tentara APRI. Mereka menangkap tiga anggota PRRI dari rumah itu, berikut
lima bedil yang ada di sana. Setelah penggerebekan, sebagian pasukan kembali ke Payakumbuh. Sebagian lagi
berjaga-jaga di kampung itu. Empat orang di antaranya kembali masuk ke kedai tersebut. Cukup lama. Mereka
baru keluar setelah berada di dalam kedai itu sekitar dua jam.
Kedua anak beranak itu dikumpulkan di kedai mereka, dijaga oleh seorang anggota PRRI. Sementara
yang dua lagi naik mengobrak-abrik dua kamar di rumah. Mereka menemukan kaleng tempat menyimpan
uang, kemudian gelang, subang dan kalung emas. Semuanya dibungkus dengan saputangan dan dibawa ke
kedai lalu diserahkan kepada si komandan. Kedua anak beranak itu hanya menatap dengan diam dan
ketakutan. Melawan bisa mendatangkan celaka. Dalam negeri bergolak ini hukum ada di ujung bedil.
Mereka tak berani menyanggah apapun, sebab kemaren ketiga orang ini pula yang menembak mati Amir
dan isterinya di dalam rumah mereka tak jauh dari kedai mereka ini. Amir dan isterinya adalah pedagang yang
menggelar dagangannya di kampung-kampung pada hari balai. Jika misalnya hari Kamis balai di Gaduik,
mereka berjualan di Gaduik. Tapi hari Rabu dan Sabtu mereka berjualan di Bukittinggi, karena hari itu adalah
hari pasar di kota tersebut.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 415
Kedua suami isteri itu dituduh sebagai "mata-mata tentara Pusat". Tapi semua orang dikampung itu
tahu, kedua mereka sudah lama dijadikan ketiga orang ini sebagai sapi perahan. Dimintai beras, uang, laukpauk, pakaian dan lain-lain. Bisik-bisik yang beredar mengatakan mereka dibunuh karena menolak dijadikan
sapi perah. Dikabarkan mereka akan melapor kepada komandan pasukan PRRI atas sikap ketiga orang itu.
Sebelum sempat melapor, mereka dibunuh dengan tuduhan mata-mata pusat! Pemilik kedai itu tak mau nasib
yang sama menimpanya, karena itu dia pasrah saja ketika rumahnya digeledah dan uang serta perhiasan
anaknya diambil. "Nah jelaskan apa tujuan tentara kapir itu singgah ke kedai ini..!" ujar si komandan memulai interogasi.
"Mereka singgah di sini meminta ditanakkan nasi.." ujar lelaki tua pemilik kedai.
"Kedai ini kan bukan rumah makan.."
"Saya sudah jelaskan hal itu, Ngku. Tapi mereka tetap menyuruh Siti bertanak, bagaimana kami harus
menolak?" "Apa saja yang mereka tanyakan?"
"Tidak ada?" Jawaban lelaki itu terputus, sebuah tinju mendarat di bibirnya. Lelaki itu terhuyung, darah mengalir dari
bibirnya yang pecah, anak gadisnya terpekik dan memeluk ayahnya. "Jika tidak ada yang berkhianat, takkan
terjadi penangkapan tiga orang anggota kami di kampung ini. Sehari setelah mereka makan di kedai ini terjadi
penangkapan di dua rumah. Jelas tentara-tentara kapir itu telah mendapat informasi. Dan informasi itu datang
dari kalian di kedai ini.."
"Demi Tuhan, sa?"
Ucapan lelaki tua itu terputus lagi oleh sebuah tendangan yang mendarat telak di dadanya.
Menyebabkan dia terjatuh dan muntah darah. Anak gadisya memekik. Namun tubuhnya disentakkan oleh salah
seorang anggota PRRI tersebut.
"PRRI juga sering minta ditanakkan nasi di sini. Dan selalu saya tanakkan, kendati malam telah amat
larut. Kami tak pernah menolak orang minta tolong. Tapi hanya itu, kami tidak memberikan informasi apapun,
karena kami tidak tahu apapun. Pak Wali, tolong ayah saya.." mohon gadis itu dalam tangisnya kepada
walinagari yang duduk terdiam dengan wajah kecut.
Walinagari itu ingin membela, dia tahu lelaki tua pemilik kedai ini takkan berkhianat pada siapapun. Ke
kedai ini tidak hanya anggota APRI yang singgah, tapi juga anggota PRRI. Itu disebabkan di desa kecil ini hanya
Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
inilah satu-satunya kedai yang ada. Kedai kecil menjual pisang dan ubi goreng, kerupuk jangek dan kerupuk
palembang, kemudian kopi dan teh.
Pagi sekali penduduk kampung ini selalu singgah minum kopi dan makan pisang goreng sebelum mereka
berangkat ke sawah atau ke Payakumbuh. Sore, terkadang malam hari, mereka juga sering ngumpul di kedai
ini untuk main domino sebagai satu-satunya hiburan. Biasanya ada hiburan mendengarkan siaran radio, tapi
yang punya radio transistor di kampung ini hanya seorang, Amir. Dan dia sudah mati ditembak. Radio
transistornya dibawa PRRI entah kemana.
Walinagari berpikir, bagaimana dia akan menjelaskan bahwa pemilik kedai ini tidak berkhianat pada
siapa pun" Salah-salah dia pula yang akan dituduh berkomplot sebagai mata-mata pusat. Apalagi mereka masih
punya hubungan saudara. "Ikut kami ke markas di gunung.." ujar si komandan yang di pinggangnya tergantung dua pistol.
Lelaki tua itu jadi pucat, anaknya meratap-ratap. Suara ratapnya terdengar ke rumah-rumah berdekatan.
Namun dalam malam gelap seperti sekarang, tak seorangpun yang berani keluar dari rumahnya untuk melihat
apa yang terjadi. Apalagi mereka tahu, setelah isa tadi tiga anggota PRRI masuk ke kedai itu bersama walinagari.
Mereka sudah maklum akan apa yang telah dan akan terjadi, bila ada anggota PRRI yang datang ke salah satu
rumah di malam hari. Siti masih meratap dan meronta dari pegangan salah seorang anggota PRRI itu saat terdengar pintu
kedai dibuka dari luar, dan suara mengucap salam. Semua menoleh ke pintu yang baru terbuka, semua melihat
seorang lelaki masuk tanpa menunggu salamnya dijawab. Orang yang baru masuk itu menyapu semua yang
hadir dengan tatapan matanya. Hanya sesaat, kemudian perlahan dia menuju ke kursi kayu panjang di dalam
kedai itu. "Sudah larut sekali, untung Bapak belum tidur. Boleh saya memesan kopi panas?" ujar orang itu sambil
meletakkan tongkatnya di meja.
Semua yang ada dalam kedai kecil itu menatap terheran-heran kepada orang yang baru masuk itu, yang
nyelonong saja masuk dan duduk tanpa permisi.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 416
"He Sanak, kedai sudah tutup. Tak tahu sudah larut malam"!" sergah si komandan "Sudah larut dan sudah
tutup, tapi Sanak masih di sini. Itu tanda kedai masih buka kan?"
Si komandan memberi isyarat pada salah seorang anak buahnya, untuk mengusir orang itu keluar. Anak
buahnya mendatangi meja lelaki yang baru masuk itu. Dengan geram yang ditahan-tahan dia lalu berkata dari
seberang meja, "Jangan mencari persoalan, Sanak keluarlah selagi masih sempat.."
Lelaki itu menatap anggota PRRI itu dengan pandangan biasa-biasa saja. Lalu dia menoleh dan bicara
anak si pemilik kedai. "Bisa saya memesan secangkir kopi Siti.." "
Gadis yang ditanya tertegun. Suara dan pertanyaan yang hampir sama rasanya pernah dia dengar. Suara
yang nyaris tak pernah dia lupakan. Tapi alangkah sudah lamanya zaman berlalu. "Baiklah, nampaknya
kehadiran saya di sini memang tidak diingini. Maafkan saya?" ujarnya sambil berdiri dan meraih tongkatnya
yang terletak di meja. "Tunggu, ss"saya buatkan kopi. Masih ada air panas di termos.." ujar Siti tergagap sambil bergegas ke
dekat meja tempat dia biasa membuatkan kopi untuk tamu.
"Keluarlah, sebelum sanak celaka!" desis anggota PRRI yang tadi menyuruhnya keluar.
Tamu itu menatapnya sesaat. Kemudian sambil tersenyum dia kembali duduk.
"Izinkan saya minum kopi dulu, sudah lama sekali saya tidak singgah di kedai ini. Hei, mulut Bapak
berdarah..kenapa" Masih ingat pada saya Pak?"
"Bungsu"." ujar lelaki tua pemilik kedai itu seperti tak mempercayai pandangannya. Mendengar nama
itu Siti terhenti, dia menatap tamu yang duduk itu dengan dada berdebar. "He! Waang mata-mata Pusat ya"!"
hardik si komandan sambil mencabut pistolnya. Tindakannya diikuti oleh kedua anak buahnya dengan
mengokang bedil. Seperti tidak mengacuhkan hardikan itu, Si Bungsu berkata pada Siti yang tegak di seberang
meja di depannya. "Apapun yang akan terjadi, Siti, lihat saja dan tetaplah diam?"
Siti seperti mendengar kembali kata-kata yang sama, yang diucapkan oleh orang yang sama dari masa
lalu yang amat jauh. Kala itu empat serdadu Jepang akan melaknatinya, lelaki ini tiba-tiba saja muncul
menyelamatkannya. Keempat serdadu Jepang itu mati dimakan samurainya! Siti nanap menatap lelaki yang
bertahun lamanya berada dalam hatinya, dalam mimpinya. Seperti dahulu, dia mengangguk perlahan. Si
Bungsu lalu berkata pada komandan yang menghardiknya.
"Sanak, Bapak ini sudah menyebutkan siapa nama saya. Kampung saya sedikit di atas kampung ini. Di
Situjuh Ladang Laweh. Saya tidak..!"
"Diam! Tembak mata-mata jahanam ini..!" hardik si komandan memutus perkataan Si Bungsu.
Kedua anak buahnya serentak mengangkat bedil dan mengacungkannya ke arah Si Bungsu, kemudian
bersamaan menarik pelatuk bedil mereka. Siti tertegak kaku, cangkir kopi masih di tangannya, belum sempat
dia taruh di meja di depan Si Bungsu. Tapi, seperti berhadapan dengan empat tentara Jepang dahulu, terjadilah
apa yang harus terjadi. Si Bungsu mengibaskan tangan kirinya. Dua detik berlalu, lima" enam..sepuluh detik!
Tak sebuah letusanpun yang terdengar. Yang terdengar hanya suara seperti jatuhnya sebuah kerikil kecil ke
lantai. Hanya itu! Ketujuh orang di dalam kedai kecil itu terdiam di tempatnya masing-masing.
Orang pertama, lelaki tua pemilik kedai, terduduk di kursi kayu dua depa dari tempat Si Bungsu. Duduk
diam dengan sisai-sisa darah masih mengalir dari mulutnya. Orang kedua si walinagari, duduk tak jauh dari
tempat duduk pemilik kedai itu. Di sampingnya, antara walinagari dengan pemilik kedai, tegak orang ketiga
yaitu si komandan, dalam posisi masih mengacungkan pistol ke arah Si Bungsu. Di depan agak ke kanan Si
Bungsu, serta di belakangnya tegak orang keempat dan kelima, yaitu anggota PRRI dengan telunjuk di pelatuk
bedil yang bedilnya diarahkan ke kepala Si Bungsu.
Orang ke enam adalah Siti, yang masih tertegak diam di seberang meja di depan Si Bungsu. Di tangannya
masih terpegang secangkir kopi panas yang mengepulkan asap dalam udara dingin di pinggang Gunung Sago
itu. Orang ketujuh adalah Si Bungsu. Setelah mengibaskan tangannnya dia lalu mendekati pemilik kedai yang
mulutnya masih berdarah itu. Dari kantongnya dia mengeluarkan sebuah bungkusan kecil. Dari sana dia
mengambil semacam daun dan kulit kayu yang sudah dikemas sebesar anak korek api.
"Telanlah ini, Pak?" ujarnya.
Lelaki itu, dengan masih berdiam diri menelan obat yang disodorkan Si Bungsu ke tangannya. Beberapa
kali, dengan perasaan amat ketakutan, dia melihat bergantian kepada ketiga anggota PRRI yang ada di dalam
kedainya. Namun ketiga orang itu masih tegak dengan diam, mata melotot, namun tak bergerak seperti kena
sihir. Saat kembali ke kursinya Si Bungsu memungut sesuatu di lantai di dekat ketiga anggota PRRI itu.
Nampaknya benda yang tadi terdengar seperti kerikil jatuh ke lantai.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 417
Benda itu tak lain dari samurai kecil yang selalu tersisip di sebuah sarung kulit di lengannya. Samurai
itu tadi yang dia gunakan saat mengibaskan tangan kanannya kepada ketiga orang itu. Hanya biasanya yang
dia pergunakan untuk membunuh orang adalah ujung samurai kecil itu, yang luar biasa runcing. Kibasan
tangannya dengan tehnik khusus menyebabkan samurai kecil itu, tiga dikiri dan tiga di kanan, meluncur amat
cepat bisa membunuh orang jika diarahkan ke antara dua mata, ke dada tentang jantung, atau ke urat nadi
utama di leher. Tapi kepada ketiga anggota PRRI itu dia tidak mau menurunkan tangan kejam. Hanya hulu samurai kecil
itu yang dia pergunakan menghantam urat nadi di bahu ketiga lelaki itu. Lemparan itu membuat mereka
tertotok lumpuh. Setelah menyisipkan ketiga samurai kecil itu di lengannya, kemudian ditutup dengan lengan
baju panjang yang dia pakai, Si Bungsu kembali ke kursinya semula. Duduk dengan tenang menunggu kopi
panas yang dia pesan. Karena kopinya belum juga diletakkan, dia lalu bertanya.
"Menunggu kopi itu dingin, baru diberikan pada saya, Siti?"
Siti yang sejak tadi hanya memperhatikan apa yang dilakukan Si Bungsu, seperti terbangun dari mimpi.
Dia bergerak, dan meletakkan cangkir kopi di meja di depan Si Bungsu. "Terimakasih, Siti. Apa tak lebih baik
Siti buatkan juga kopi untuk ayah Siti dan Bapak yang satu itu?"
"Ya..ya, akan saya buatkan.." ujar Siti, tapi tiba-tiba dia terhenti. Seperti ingat sesuatu, dengan gugup dan
takut dia menoleh pada komandan PRRI itu, kemudian pada kedua anak buahnya. Ketiga mereka tetap tegak
tak bergerak sedikitpun, kecuali matanya yang plarak-plirik ke kiri dan ke kanan dengan wajah pucat.
"Oh ya, penat juga memegang bedil sambil berdiri terus menerus?" ujar Si Bungsu sambil melangkah
dan mengambili bedil serta pistol dari tangan ketiga orang itu. Lalu mendudukkan mereka di kursi kayu
terdekat. Sama sekali tak ada perlawanan dari mereka. Usahkan melawan, mempertahankan bedil itu saja untuk
tak diambil Si Bungsu mereka tak bisa. Kini mereka tetap duduk dengan tangan seolah-olah masih memegang
bedil dan pistol. Ketika senjata api itu diletakkan Si Bungsu di atas meja di depan si komandan.
"Buatkanlah, bapak-bapak ini takkan mengganggu kita sama sekali. Sebelum totokannya pulih, mereka
tak bisa mendengar apapun yang kita bicarakan. Selain menotok saraf untuk bergerak, totokan itu juga
mengenai saraf pendengaran yang menyebabkan mereka tak bisa mendengar sekaligus tak bisa bicara," ujar Si
Bungsu seperti menjawab ketakutan Siti, walinagari maupun ayahnya.
Setelah menatap kepada tiga anggota PRRI yang terduduk seperti orang linglung itu, Siti lalu
membuatkan kopi panas untuk ayahnya dan walinagari. Kedua orang itu pindah ke meja panjang di depan Si
Bungsu duduk. "Lama kita tak bertemu, Pak.." ujar Si Bungsu tatkala ketiga orang itu, walinagari, pemilik kedai dan Siti,
duduk di depannya. Dia menyalami ketiga orang itu.
"Masih ingat engkau rupanya pada kami, Bungsu?"
"Bukankah ketika akan pergi dulu, saya berjanji jika pulang ke Situjuh saya akan singgah kemari"
Sekarang saya tepati janji saya. Saya pulang ingin ziarah ke makam keluarga. Tak ada bendi yang mau
mengantar saya ke Ladang Laweh karena ada peperangan, saya terpaksa jalan kaki. Hari sudah larut, ketika
lewat tadi saya dengar masih ada suara di kedai ini. Itu sebab saya singgah.." ujar Si Bungsu sambil menghirup
kopi. "Hmm..enak kopimu, Siti. Sekarang sudah pakai gula.."
Siti tak tersenyum, kendati ucapan Si Bungsu mengingatkan dia tatkala dahulu ketika ada empat tentara
Jepang di kedai ini. Saat itu, saking ketakutannya dia memberi Si Bungsu kopi tanpa gula. Dia tidak tersenyum
karena matanya nanap menatap anak muda itu. Dia serasa bermimpi bisa bertemu lagi.
"Kata orang.., maaf..kata orang Uda sudah meninggal?" ujar Siti lirih.
Si Bungsu menatapnya. Ucapan yang sama pernah dia dengar dari mulut Reno Bulan, tunangannya di
masa yang sangat remaja, yang kini bersuamikan tukang saluang di Bukittinggi. Rupanya kabar yang tersebar
itu benar adanya. Kabar yang disebarkan oleh pedagang yang bolak balik dari Payakumbuh ke Pekanbaru dan
ke Tanjungpinang. Dia teringat saat bersama pejuang-pejuang dari Desa Buluhcina menyergap tentara Belanda
di pendakian Pasirputih. Sebuah tempat antara Dusun Marpoyan dan Desa Buluhcina.
Saat itu dia memang ditembak oleh dua orang tentara Belanda. Dalam situasi amat kritis dia di bawa
pejuang-pejuang Buluhcina ke desa mereka. Di sana dia mereka rawat sampai sembuh, lalu baru melanjutkan
perjalanannya ke Jepang melalui Singapura. Kabar dia tertembak itulah yang ditafsirkan dia meninggal, yang
ternyata menyebar di Pekanbaru, kemudian didengar dan menyebar dari mulut ke mulut diantara pedagang
asal Payakumbuh, Bukittinggi dan sekitarnya. Kabar itu ternyata menyebar pula sampai ke kampungnya.
"Ya, banyak orang mendengar kabar seperti itu, Siti. Dan saya memang tertembak dan menduga akan
dijeput maut. Tapi Alhamdulillah Tuhan masih memperpanjang umur saya?" ujarnya perlahan.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 418
Setelah lama sepi, Si Bungsu tiba-tiba bertanya.
"Pak Wali, mengapa kampung-kampung yang saya lalui banyak rumah yang lapuk seperti tak
berpenghuni..?" (120) "Bukan seperti tidak berpenghuni, Bungsu. Memang tidak lagi ada penghuninya" "Kemana
penghuninya?" "Ada yang ikut bergerilya ke hutan. Bagi kaum lelaki yang ikut ke hutan, keluarganya diungsikan ke Jawa
atau Tanjung Pinang dan Pekanbaru. Pokoknya ke tempat yang tidak dilanda perang. Tapi sebagian besar dari
penduduk pergi merantau. Mereka meninggalkan negeri yang diamuk perang ini. Itu terjadi di belasan
kampung dalam Luhak Limapuluh ini. Ada yang membawa semua anggota keluarga, ada yang lelaki saja duluan.
Kemudian setelah mendapat tompangan di rantau mereka menjemput anak bininya. Soal ada atau tidak ada
pekerjaan di rantau itu soal kedua. Yang jelas menghindar dulu dari keadaan yang tak menentu di kampung.
Ada yang ke Pekanbaru, ke Tanjungpinang, banyak yang ke Jawa. Tapi ada pula beberapa orang mencoba
peruntungan di Negeri Sembilan, Malaya, sebagaimana halnya Sutan Sinaro suami Siti.."
Si Bungsu menatap Siti, yang ternyata sudah bersuami.
"Sudah lama Sutan Sinaro ke Malaya, Siti?"
Gadis itu tak segera menjawab. Sesaat dia menatap Si Bungsu, lelaki yang entah mengapa selalu dia
tunggu sebelum akhirnya memutuskan menikah, setelah dia mendengar orang yang dia harapkan ini terbunuh
di Pekanbaru. Kendati telah menikah, namun dia tak pernah bisa melupakan anak muda itu. Masih dia ingat
ketika tangannya digenggam Si Bungsu di larut malam ketika akan meninggalkan kedainya ini, setelah
membantai empat orang serdadu Jepang.
"Sudah tiga bulan, sudah ada kabar akhir bulan ini dia akan kemari menjemput kami. Uda Sutan
mendapat pekerjaan sebagai mandor kecil di perkebunan karet di sana.." ujar Siti perlahan sambil menunduk.
"Syukurlah kalau begitu. Menjadi mandor perkebunan itu suatu pekerjaan terpandang. Di Singapura
saya dengar memang sudah mulai banyak orang awak yang mengadu nasib di Malaya. Lagipula, memang
sebaiknya merantau dulu selagi kampung kita ini dilanda perang. Di sini nyawa manusia kadangkala tak lebih
berhaga dari nyawa seekor ternak?" Lama mereka sama-sama terdiam. Lalu Si Bungsu menoleh kepada tiga
anggota PRRI yang masih duduk tak bergerak-gerak itu. Dia berdiri, menghampiri mereka satu persatu,
menotok urat di lehernya. Terdengar ada yang batuk, ada yang melenguh. Namun tetap tak bisa bergerak.
Mereka hanya sekedar bisa mengerakkan kepala, mendengar dan bicara.
"Nah Sanak bertiga, dengarlah. Sanak pasti sengaja memisahkan diri dari induk pasukan, menyelusup ke
kampung-kampung di kaki Gunung Sago ini untuk merampok, bahkan membunuh orang yang melawan
kejahatan yang Sanak lakukan. Sanak benar-benar menangguk di air keruh. Dari logat bicara, amat jelas Sanak
bukan orang Luhak Limapuluh ini. Saya minta Sanak menyadari bahwa yang kalian lakukan menambah
sengsara penduduk yang memang sudah sengsara. Dulu sengsara di bawah penjajahan Belanda, lalu datang
Jepang menambah kesengsaran itu. Kini penduduk sengsara oleh perangai yang Sanak lakukan tanpa setahu
induk pasukan Sanak. Kalau mau terus berperang melawan tentara pusat, silahkan. Tapi jangan ganggu
penduduk yang tidak berdosa. Sanak ingatlah itu baik-baik?"
Sehabis berkata si Bugsu berdiri, mengambil ketiga bedil di meja. Meletakkannya di pangkuan masingmasing anggota PRRI itu. Kemudian menjentik urat di leher mereka, yang menyebabkan ketiga orang itu
terbebas dari totokan. Namun kendati telah bebas dari totokan, dan mereka sudah memegang bedil masingmasing, ketiga orang itu masih duduk termangu-mangu. Sampai akhirnya si komandan yang di pinggangnya
tergantung dua pistol itu bicara perlahan.
"Terimakasih, Sanak. Terimakasih. Kemurahan hati dan budi Sanak tidak hanya membuat kami sadar
pada kekeliruan kami selama ini, tapi sekaligus juga memperpanjang nyawa kami. Kami yakin, jika Sanak mau
sejak tadi dengan mudah kami Sanak bunuh. Semudah membalik telapak tangan. Terimakasih atas nasehat
Sanak. Sekali lagi terimakasih, Sanak telah memberi kesempatan bagi kami untuk tetap bisa bertemu dengan
anak dan isteri yang menunggu di kampung. Apapun kebaikan yang kami buat kelak, takkan mampu membayar
kebaikan sanak kepada kami. Kepada Bapak dan Siti, juga kepada Pak Wali, kami mohon maaf.," berkata begitu
si komandan lalu mengambil bungkusan saputangan berisi uang dan perhiasan yang tadi diambil anak buahnya
dari rumah, kemudian meletakkannya di atas meja di depan pemilik kedai tersebut.
"Sebelum subuh datang, sebaiknya kami pergi?"
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 419
Sehabis berkata, dengan berlinang air mata karena dibiarkan tetap hidup, si komandan menyalami Si
Bungsu, pemilik kedai dan walinagari, diikuti kedua anak buahnya. Lalu dengan sekali lagi mengucapkan
terimakasih pada Si Bungsu, mereka menyelusup keluar dari kedai itu. Lalu lenyap dalam gelap dan embun
subuh yang sejak tadi sudah menyelimuti kampung-kampung di kaki Gunug Sago itu. Kesunyian di kedai kecil
itu dipecahkan oleh suara lelaki tua pemilik kedai tersebut.
"Dua kali kau menyelamatkan kami, Nak. Engkau seperti malaikat yang dikirimkan Tuhan ke kedai ini,
persis di saat-saat yang sangat genting. Kami dua beranak tidak tahu bagaimana membalas budimu?"
Si Bungsu hanya menatap dengan tenang.
"Saya sangat lapar, apakah mungkin saya minta bantuan Siti menanakkan nasi" Saya rasa kita makan
dengan Pak Wali bersama-sama. Saya rasa besok belum tentu ada orang yang mau menanakkan nasi buat saya
di Situjuh Ladang Laweh. Di sana tak ada lagi sanak famili saya. Mamak saya suami isteri, sudah meninggal.
Anaknya Reno Bulan kini berjualan kain di Bukittinggi bersama suaminya."
Siti hiba hatinya saat Si Bungsu berkata "besok belum tentu ada orang yang mau menanakkan nasi buat
saya". "Saya akan tanakkan nasi untuk Uda. Tapi " bila Uda bertemu dengan kak Reno" Kabarnya hidupnya
susah, dia ikut suaminya yang tukang salung.."
"Saya bertemu dengannya beberapa bulan yang lalu. Sebelum peperangan besar melanda Bukittinggi.
Dulu suaminya memang tukang salung. Tapi berkat yakin, dari uang yang mereka kumpulkan sedikit demi
sedikit, kini mereka sudah berjualan kain di Los Galuang." Siti menatap lelaki yang tak pernah lenyap dari
hatinya itu nanap-nanap. Kemudian mulai menjerang nasi, menyiangi ikan limbat dan gurami yang dibeli sore
tadi dari orang yang memancing di sungai kecil tak jauh dari kampung itu. Kemudian menggorengnya dengan
cabe hijau yang dia giling. Sambil menanti Siti bertanak, ketiga lelaki itu terlibat pembicaraan tentang
pertempuran PRRI dan APRI di Bukittinggi. Tentang ratusan korban yang bergelimpangan yang dikumpulkan
di bawah Jam Gadang, yang tidak jelas apakah penduduk atau tentara PRRI.
Ketika azan subuh terdengar, walinagari minta diri seraya juga mengucapkan terimakasih kepada Si
Bungsu atas perannya menyelamatkan Siti dan ayahnya, sekaligus menyadarkan ketiga orang PRRI yang sering
jadi momok di kampung-kampung di kaki Gunung Sago itu. Si Bungsu menompang sembahyang subuh di
rumah itu. Mereka sembahyang berjamah, dengan ayah Siti sebagai Imam. Usai sembahyang Siti meletakkan
kopi dan ketan serta pisang goreng yang dia siapkan dengan cepat.
Tapi akhirnya tiba juga saat yang sangat dia takuti, sangat tidak dia ingini. Yaitu saat Si Bungsu minta
diri. Entah mengapa, dia ingin anak muda itu berada lebih lama lagi di rumahnya. Namun Si Bungsu sudah
minta diri. "Saya harus pergi, terimakasih masakanmu Siti. Selamat jalan kalau kelak Bapak dan Siti berangkat ke
Negeri Sembilan. Salam saya kepada suamimu, Sutan Sinaro, Siti?" ujar Si Bungsu. Siti menatap Si Bungsu,
kemudian tertunduk. Ada manik-manik air mengalir perlahan di pipinya.
"Akan lama Uda di Situjuh?"
"Saya tidak tahu, Siti. Seperti saya katakan tadi, di sana tidak ada lagi sanak famili saya.." "Kalau sebelum
kami pergi Uda lewat di sini, singgahlah. Saya akan menanakkan nasi untuk Uda.."
Rumah Gadang tempat dia lahir dan menjalani masa remaja, rumah dimana ayah, ibu dan kakaknya mati
ditangan Saburo dan pasukannya, masih terurus dengan baik. Dia dapat cerita dari Reno Bulan sewaktu di
Bukittinggi bahwa rumah itu kini dihuni kemenakan ayahnya. Waktu mereka bertunangan dulu kemenakan
ayahnya itu berada di Jambi, menikah dan berdagang di sana. Si Bungsu tak pernah mengenal kemenakan
ayahnya itu. Karenanya dia sengaja tak singgah di rumah tersebut. Kendati hatinya direjam rindu, namun dia
hanya melihat dari kejauhan saat akan menuju ke pekuburan. Sudah tiga hari dia di kampungnya ini. Pandam
pekuburan kaum dimana keluarganya dimakamkan sudah tak terurus dan ditumbuhi lalang padat.
Dia baru menemukan ketiga kuburan keluarganya itu setelah mencari dengan susah payah. Selama di
kampung dia tidur di masjid dimana dulu terjadi keributan karena tentara Jepang akan menangkap Sawal dan
Malano, dua pejuang yang sebeumnya mencuri senjata di gudang tentara Jepang di Kubu Gadang. Peristiwa itu
terjadi setelah dia ikut sembahyang berjamah di masjid itu. Sawal adalah anak haji yang menjadi imam di
masjid tersebut. Itu adalah hari pertama dia turun dari puncak Gunung Sago. Dan hari itu, untuk membela
Saleha, anak kedua Imam masjid dan sekaligus menolong Sawal dan Malano agar tak tertangkap, dia
membunuh ketiga Jepang yang datang itu. Itulah kali pertama dia membunuh tentara Jepang.
Kini tak ada lagi orang sembahyang berjamaah di masjid itu. Pergolakan merobah kampung itu, dan juga
kampung-kampung lain di pedalaman Minangkabau. Sebagaimana dijelaskan walinagari di kedai Siti, para
lelaki sebagian ada yang ikut masuk hutan bergerilya melawan tentara pusat dengan sukarela. Sebagaian lagi
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 420
ikut dengan terpaksa. Sebagian yang lain lagi pada meninggalkan kampung. Merantau ke Jawa, Tanjung Pinang
atau Pekanbaru. Sebagian besar yang tinggal di kampung adalah orang-orang tua, lelaki maupun perempuan.
Jika di kota seperti di Payakumbuh, Bukittinggi dan Batusangkar saja orang jarang sembahyang
berjamah ke masjid, apa lagi di kampung-kampung kecil di kaki Gunung Sago itu. Tapi keadaan itu membuat Si
Bungsu agak tenteram. Karena hampir tak ada orang yang tahu dia berada di kampung itu. Situjuh Ladang
Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Laweh, karena letaknya di pinggang Gunung Sago, situasinya sangat rawan. Letaknya itu menyebabkan desa
tersebut setiap sat dengan mudah didatangi pasukan PRRI. Sebaliknya, pada waktu tertentu tentara pusat yang
disebut sebagai APRI itu datang "membersihkan" desa-desa dari PRRI yang mereka sebut sebagai
"gerombolan". Penduduk benar-benar seperti memakan buah simalakama. Mereka tak mungkin menolak bila ada dua
atau tiga anggota PRRI yang singgah dan meminta nasi. Namun bagi orang tertentu hal itu digunakan untuk
mencari keuntungan bila tentara APRI datang. Bisa saja untuk balas dendam bila orang yang rumahnya
didatangi PRRI itu adalah orang yang berseteru dengannya. Sebaliknya, bila yang naik ke sebuah rumah adalah
anggota TNI dari APRI, maka itu juga bisa dijadikan sumber fitnah oleh seterunya. Lapor melapor antar-sesama
penduduk seperti itu bukan hal yang jarang terjadi. Itulah yang menyebabkan orang merasa lebih baik angkat
kaki dari kampung halaman mereka. Pergi merantau ke Jawa, ke Riau atau ke daerah lain.
Si Bungsu tengah menuju ke pemakaman untuk kembali membersihkan kuburan keluarganya itu. Saat
lewat di depan rumah milik kedua orang tuanya, dimana dahulu dia hidup di sana, dia lihat seorang lelaki
separoh baya tengah membelah-belah kayu di bawah rumah gadang tersebut. Lelaki itu menoleh ke arahnya.
Dia cepat-cepat mengalihkan pandangan dan terus berjalan. Dia tahu, lelaki itu adalah kemenakan ayahnya
yang menunggu rumah gadang tersebut.
Lewat tengah hari dia selesai membuat ketiga makam keluarganya menjadi amat bersih. Selain ketiga
makam itu, dia juga membersihkan tiga atau empat makam di sekeliling makam keluarganya tersebut.
Pergolakan tidak hanya membuat kampung menjadi lengang, juga menyebabkan kuburan, kebun, sawah dan
ladang menjadi terlantar. Rumah-rumah yang tidak berpenghuni atap ijuknya pada ditumbuhi lumut atau
sakek. Saat akan mengakhiri pekerjaannya membersihkan kuburan itu tiba-tiba jantungnya berdebar. Dia
tegak, menatap keliling. Hanya ada belukar yang semakin lebat. Debar jantungnya makin menguat. Biasanya
debar seperti itu adalah isyarat datangnya bahaya. Jauh di atas sana dua ekor elang terbang berputar seperti
sedang mengintai mangsa. Dia memejamkan mata, memusatkan konsentrasi. Mencoba mengetahui apakah
bahaya yang mengancam nya, yang membuat debar jantungnya berdenyut tidak normal itu, datang dari dalam
belukar yang mengelilingi kuburan tersebut.
Dalam konsentrasinya dia mencoba menangkap suara sehalus apapun yang datang dari dalam belukar
itu. Mungkin desah nafas, mungkin dengus, mungkin suara dedaunan yang tergeser oleh tubuh mahluk apapun.
Harimau, beruang atau ular sekalipun. Dari pengalaman hidup di puncak Gunung Sago dahulu, dia memiliki
kemampuan untuk mendengarkan perbedaan sekecil apapun suara yang ditimbulkan. Antara suara daun yang
ditiup angin dengan daun yang terkuak oleh lewatnya mahluk hidup. Namun meski beberapa kali dia coba
memusatkan kosentrasi tetap saja tak satupun sumber suara yang bisa disimpulkan sebagai ancaman. Dia
hanya mendengar suara beberapa ekor ayam hutan mengais makanan. Kemudian suara desiran seekor ular,
mungkin ular tedung yang besarnya tak melebihi lengannya. Suara bergeraknya ular itu, menurut
perkiraannya, ada sekitar dua puluh depa dari tempatnya berdiri. Lagipula arah bergerak ular itu menjauhi
tempatnya berdiri, bukan ke arahnya. Jadi samasekali bukan ancaman bagi dirinya.
Dengan pikiran demikian bahwa tak ada sesuatu yang mengancam nya dari dalam belukar lebat
disekitar pekuburan kaum itu,dia menatap ke tiga kuburan yang terletak berdampingan itu.
"Ayah,ibu", ampun kan anakmu yang tidak berguna ini, yang tidak mempunyai keberanian sedikitpun
membela kalian, saat kalian diancam maut. Uni..ampunkan adikmu. Doaku semoga berbahagia di akhirat?"
bisik nya dengan airmata yang tak mampu di bendung.
Ada beberapa saat dia berlutut di samping ketiga makam itu. Menunduk dengan mata basah, pipi basah
dan diri yang amat sepi karena hidup sebatang kara. Masa kecilnya seperti datang berlarian, saat ayah, ibu dan
kakaknya masih hidup. Meski bersikap keras, namun ayahnya selalu membawa dia bepergian, naik bendi ke
Payakumbuh, atau naik kereta api ke Bukittinggi. Ayahnya ingin dia bersekolah agar dia nanti menjadi "orang".
Tidak seperti dia yang hanya petani. Ibunya adalah wanita berhati lembut yang selalu melindungi dia dari
amarah ayahnya. Kakaknya adalah yang membela dia di segala situasi. Kini semua tidak akan dia perdapat lagi,
tak ada lagi ayah, ibu dan kakak tempat dia mengadu.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 421
"Tinggalah ayah, ibu, uni.. aku pergi menjalani nasibku?" ujarnya perlahan sambil berdiri dan
melangkah meninggalkan pemakaman itu.
Guruh terdengar menderam resah tatkala dia keluar dari areal pendam kuburan kaum itu. Dia
melangkah penurunan di areal pemakaman. Hanya beberapa selang menurun, dia menempuh jalan mendaki.
Diatas pendakian dia melihat seseorang melangkah kearahnya. Nampaknya orang itu akan ke kuburan. Karena
jalan yang dia tempuh ini hanya menuju pekuburan tersebut.
Tapi ternyata orang itu tidak melangkah kearahnya, orang itu hanya tegak disana, di puncak pendakian
yang akan dia lewati. Dia terus melangkah dengan pikiran ke masa kecilnya. Selintas dia lihat orang tadi masih tegak disana.
Lalu entah kenapa debar aneh itu menyerangnya lagi. Langkah nya pun sampai kedekat orang yang masih tegak
di pendakian. Tegak persis di jalan yang akan dia lalui, karena orang itu tidak menggeser tegak, lima langkah
dari orang itu dia mengalihkan langkahnya agak kekanan.
Orang itu masih tegak disana, tak bergerak sejengkal pun. Tegak dengan kaki terpentang dan rasanya
seperti menatap terus kepadanya! Hatinya menjadi tak sedap. Kenangan masa kecilnya seperti kembali
berlarian di kepalanya. Saat itu dia disentakan oleh sebuah suara.
"Bungsu"!" Dia benar-benar seperti disambar petir mendengar suara itu. Bukan terkejut karena
mengenal atau tau namanya tapi tersentak karena suara orang itu. Suara yang amat dia kenal. Yang tak pernah
di mimpikan akan mendengar suaranya disini, di kampung halamannya Situjuh Ladang Laweh!
Suara itu seperti orang yang mengucapkannya, datang dari tempat jauh. Puluhan ribu kilometer dari
sini. Dia sampai kemari setelah melintasi samudra, lembah dan gunung. Suatu hal yang sangat mustahil, tapi
kembali dia dikejutkan oleh suara orang itu. "Bungsu-san?" "Ya Allah, M..michiko?"?"
"Ya, akulah ini. Michiko anak saburo Matsuyama"!"
(121) Mereka hanya terpisah dalam jarak tiga depa. Guruh mengeram beberapa kali di sertai angin kencang.
Dia ingin mengucapkan selamat datang di kampung ini dan menanyakan apa kabar, namun sebelum dia sempat
bicara suara gadis terdengar lagi.
"Sejak tadi aku tunggu engkau disini Bungsu, aku tak inginmengganggu suasana ziarahmu ke makam
Ayah, ibu, dan kakakmu?"
Gerimis tiba-tiba turun menyiram bumi, makin lama makin rapat. Guruh kembali mengeram di langit
yang berubah menjadi kelam. Dia kembali ingin mengucap kan selamat datang, kendati dia tak keberatan sama
sekali kalau gadis itu datang menemuinya di areal pemakaman. Namun sebelum dia bicara suara gadis itu
kembali memintas mendahului.
"Seperti saat engkau datang mencari ayahku, tujuh samudra dan berpuluh gunung serta lembah
kutempuh untuk bisa bertemu dengan mu disini Bungsu. Kau cari ayahku ke Jepang sana dan kau temui dia di
kampungku. Di kuil Simogamo, dimana dia mengabdikan diri disisa usianya. Disana kau bunuh dia. Apapun
alasanmu, kendati dia melakukan sepupuku, harakiri, namun kematiannya tak lain tak bukan karena engkaulah
penyebabnya!Engkau datang ke Jepang untuk membalas kematian keluargamu di tangan ayahku. Kini aku
datang kemari menuntut kematian ayahku ditangan mu, adil bukan?""
Dia ingin bicara,tapi"
"Cabut samuraimu,Bungsu".!"
Si Bungsu merasa samurai di tangan kirinya seolah-olah menjadi panas. Dia menyesal kenapa membawa
samurai itu. Kendati kemana pun dia pergi samurai ini tak pernah berpisah dengannya, namun kali benar-benar
menyesal telah membawanya. Dia mengangkat tangan kirinya itu jauh-jauh, sambil mengatakan bahwa dia
takkan menumpahkan darah lagi. Bukan karena dia dekat makam keluarganya. Namun gerakan tangan kirinya
yang ingin membuang samurai itu salah ditafsirkan oleh Michiko.
Setiap orang yang memegang samurai apakah ditangan kiri maupun ditangan kanan, bila akan mencabut
samurainya harus mendekatkan hulu samurai ke tangan yang satunya lagi. Gerakan itu, mendekatkan hulu
samurai dengan tangan yang akan mencabut samurai, di lakukan saat bersamaan. Hanya dalam hitungan detik,
entah mana yang duluan, entah samurai yang akan di lemparkan Si Bungsu lebih dahulu lepas dari tangan nya,
atau mata samurai Michiko yang lebih dahulu memakan dirinya, atau samurainya lepas bersamaan dengan tiba
nya sabetan samurai Michiko!
Yang pasti adalah, saat samurainya yang masih berada di dalam sarungnya itu jatuh menimpa jalan
berkerikil, dadanya terasa amat pedih. Baju gunting cina yang dipakainya, persis tentang jantungnya mulai
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 422
basah oleh darah. Dengan menahan rasa sakit dia menatap Michiko, kemudian perlahan tatapannya beralih
kedadanya yang mengalirkan darah, kemudian kembali menatap Michiko.
Michiko sudah akan melancarkan serangan kedua, sejak tadi, namun tangannya terhenti dengan ujung
samurai menghadap keatas dan tangan siap menetak kan samurainya keleher Si Bungsu. Gerakannya terhenti
ketika mendengar suara benda yang jatuh menimpa kerikil jalanan, dan sekilas saat yang kritis, dia melihat
ditangan Si Bungsu tidak ada senjata apa pun, sedangkan baju tentang dadanya dilumuri darah, yang makin
lama makin banyak!. Dia segera sadar kalau Si Bungsu, sama sekali tidak berniat untuk mencabut samurainya, sama sekali
tidak berniat melawannya. Dia masih tertegak dalam posisi menahan serangan terakhir, wajahnya pucat.
"Oh, tidak?" ujarnya seperti keluhan.
Di depannya Si Bungsu jatuh dengan kedua lututnya. Tangan kanannya memegang dadanya yang luka,
seperti ingin menahan darahnya keluar yang mengalir deras. Matanya menatap Michiko, di wajah dan
tatapannya tak ada rasa marah, tak ada rasa dendam, apalagi rasa benci. "Terima kasih, Michiko-san. Engkau
telah menolong aku..bebas dari rasa berdosa karena menyebabkan kematian ayahmu. Alangkah lamanya aku
menanti saat pembebasan dari rasa berdosa ini, alangkah jauhnya jalan yang akan kau tempuh untuk pulang.
Maafkan aku"Michiko-san"."
Si Bungsu tidak sadar sepenuhnya, bahwa sebagian dari kata-kata yang diucapkan terucap setelah
dirinya berada dalam pelukan Michiko. Gadis itu memekik, memeluk tubuh Si Bungsu erat-erat. Memekik
dengan meneriakan kata-kata "Tidak" berkali-kali, memekikkan kata "Tolong" berkali-kali!
"Tidaaaak, jangan tinggalkan aku Bungsu-san. Jangan tinggalkan aku. Oh budha, tolong hambamu ini,
jangan biarkan dia meninggalkan aku.." Ratap Gadis itu.
Dalam gerimis yang semakin rapat, dalam deram gemuruh yang sahut bersahut Si Bungsu membuka
mata, menatap kepada Michiko. Gadis itu terdiam, dia menggigit bibirnya di antara tubuhnya yang terguncangguncang menahan tangis. Perlahan tangan Si Bungsu yang tadi menahan darah mengucur dari dadanya
terangkat. Dengan tangan berlumur darah dipegangnya pipi Michiko. Di antara senyum Ikhlasnya dia berbisik.
"Michiko-san"jaga..dirimu baik-baik"."
"Maafkan aku, Bungsu-san. Maafkan aku?"ratapnya antara terdengar dan tidak.
Sama sekali tak ada niatnya untuk melukai apalagi membunuh Si Bungsu, lelaki yang siang malam
memenuhi relung hatinya. Satu-satunya lelaki yang pernah merebut hatinya, yang siang malam dia rindukan.
Lelaki yang dia cari sampai ke ujung dunia, tanpa mempedulikan apapun rintangannya. Kalau tadi dia
menghunus samurai, itu dengan keyakinan yang amat sangat bahwa serangannya dengan amat mudah dapat
dielakkan atau ditangkis oleh Si Bungsu. Dia sebenarnya sangat berharap dialah yang dilukai dan dilumpuhkan.
Kalau Si Bungsu tidak mencintainya, dia rela mati di tangan lelaki yang dia cari ke segenap penjuru ini.
Dia memang mencari lelaki itu dengan dendam di hati. Tapi jika ditimbang mana yang berat antara dendam
dengan rasa cintanya kepada lelaki itu, perbandingannya bisa satu untuk dendam, sepuluh untuk cinta. Dia
benar-benar tidak menduga sedikitpun, bahwa gerakan Si Bungsu di awal tadi adalah gerakan untuk
membuang samurai nya. Dalam pikiran nya, serangannya yang tak berbahaya dalam bentuk memancung dari
atas kiri ke dada lelaki itu akan mudah digagalkan. Dia tahu, serangannya itu dapat di tangkis siapapun dengan
gerakan sederhana sekali, apalagi oleh Si Bungsu.
Tapi Si Bungsu ternyata sama sekali tidak mencabut samurai nya. Dia merasa hiba melihat gadis itu
memburunya ke mana-mana untuk membalas dendam. Dia amat menyesal telah menyebabkan Michiko
sebagai anak tunggal kehilangan ayah. Kini tak ada lagi tempat gadis itu menggantungkan hidup. Ibunya sudah
lama meninggal. Dia dapat merasakan betapa sepi dan terguncang nya jiwa Michiko setelah kematian ayahnya,
dia dapat merasakan karena hal yang sama juga menimpa dirinya. Itulah sebab dia ingin segera mengakhiri
dendam turunan itu. Itulah pula sebabnya kenapa dia sama sekali tidak mencabut samurai untuk melawan
Michiko. Yang dia lakukan justru melemparkan samurai nya ke tanah. Dan saat itu serangan ke dadanya tak
lagi sempat ditarik Michiko. Lalu"terjadilah tragedi dan malapetaka itu!
Dalam ketakutan ditinggalkan lelaki yang amat dicintainya itu, Michiko teringat ucapan pendeta Kuil
Shimogamo yang menjadi senseinya berlatih samurai, sepeninggal ayahnya. Saat sensei itu tahu Michiko
berlatih untuk mencari dan membalas dendam kepada Si Bungsu, pendeta itu mengingatkannya dengan lembut
: "Saya tahu anak muda bagaimana musuhmu itu Michiko-san. Dia akan membunuh lawan-lawannya. Tapi
percayalah, jika engkau bertemu kelak dengannya, dia takkan melawanmu. Dia adalah anak muda yang berbudi.
Dia tak akan melawanmu, dia akan merelakan nyawanya di tanganmu. Percayalah, Nak . ."
Dia juga teringat penggalan dialognya suatu hari dengan Zato Ichi, pendekar legendaris Jepang yang
ternyata juga sudah sangat mengenal Si Bungsu setelah peristiwa wafatnya Obosan Saburo Matsuyama.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 423
"Michiko, muridku. Saya dapat menerka, bahwa antara kalian ada salah pengertian . ." "Maksud bapak?" "Salah
fahaman itu datangnya bukan dari dia. Tapi dari engkau Michiko-san . ." "Maksud bapak?" "Maksud saya, kalian
sebenarnya saling cinta . .. " "Tidak. Dia tak mencintai saya . . " "Bagaimana dengan engkau. Apakah engkau
mencintainya?" Saat itu Michiko tak bisa menjawab pertanyaan Zato Ichi.
"Jawablah. Apakah engkau mencintainya?" "Saya orang Jepang. Dia telah menyebabkan kematian ayah
saya. Bagaimana mungkin dengan kedua perbedaan yang amat besar ini saya bisa mencintainya?" Zato Ichi
tertawa bergumam, lalu menarik nafas panjang.
"Kalau engkau orang Jepang, apakah itu menjadi halangan untuk mencintai bangsa lain" Ah, sedangkan
diriku yang tua tak berfikir sekolot engkau Nak. Yang penting bukan bangsa apa dia. Bukan pula bangsawan
atau tidaknya dia. Tapi yang penting apakah engkau mencintainya dan dia mencintaimu. Jika hal ini terjadi
timbal balik, maka persetan dengan segala perbedaan yang ada. Apakah tak pernah kau dengar betapa
banyaknya orang yang kawin hanya karena mementingkan derajat, kekayaan, martabat, akhirnya perkawinan
mereka jadi puing. Perkawinan mereka jadi neraka bagi diri mereka. Ah, saya sudah banyak mendengar
perkawinan yang demikian Nak . . . "
Terakhir, dia teringat dialognya dengan Salma, orang yang dicintai Si Bungsu sebelum bertemu
dengannya, yang ternyata menjadi isteri sahabatnya, Overste Nurdin, Atase Militer Malaya yang berkedudukan
Pendekar Elang Salju 8 Pedang Siluman Darah 20 Penguasa Bukit Karang Bolong Darah Menggenang Di Candi 3
jadi pusat perhatian. Dimana-mana selalu menerbitkan selera lelaki. Apalagi kini dia sendirian. Dengan
menghela nafas berat dia lalu membaringkan dirinya di tempat tidur. Lelah menyerang sangat cepat. Karena
lelah yang amat sangat, dia tertidur dengan pulas.
Sedan Chevrolet hitam yang ditompangi babah gemuk tadi memasuki pekarangan hotel itu. Di dalamnya
ada si babah gemuk dan seorang lelaki lain yang bertubuh besar. Nampaknya orang Indonesia. Orang tinggi
besar dengan otot-otot yang menyembul dari balik lengan baju pendeknya itu turun. Kemudian dengan sikap
hormat membukakan pintu mobil. Si gendut yang pagi tadi sepesawat dengan Michiko, turun dengan sikap
seperti tuan besar. Didahului oleh tuan besar itu, mereka melangkah memasuki hotel, di sambut seorang
pegawai hotel dengan sikap hormat.
"Ingin menginap, Tuan?"
"Tidak. Saya mencali seolang ponakan. Seolang gadis belbaju melah jambu yang tadi balu datang dari
Singapula?" "Oo, gadis cantik itu?"
"Ya, dia!" "Nona Michiko maksud tuan?"
"Ya, Mociki, eh, Micoki, eh ya, Michiko.." ujar gendut itu kepleset-peleset saking nafsunya.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 402
"Ada, ada!. Dia di kamar empat. Mari saya tunjukkan?"
"Tak usah. Telimakasih atas ketelanganmu"
Cina gemuk itu meletakkan selembar uang. Pelayan itu dengan membungkuk-bungkuk mengambil uang
itu. Banyak untuk ukurannya sebagai pelayan hotel.
"Husein, ambil dia"!"
Perintah si babah sambil kembali ke mobilnya. Husein, si lelaki berotot besar itu mengangguk dan
berjalan di gang hotel. Babah itu kembali ke mobil Chevrolet hitamnya. Duduk di kursi belakang dan
mengeluarkan pipa. Mengisinya dengan tembakau. Kemudian membakarnya dengan geretan merek Ronson
yang bertutup emas. Mengisap asapnya dengan perasaan nikmat. Betapa takkan nikmat, tembakau merek
Warning yang dia isap dicampur dengan heroin. Itu dia perlukan karena akan menghadapi pekerjaan berat
dengan "ponakan" yang dia sebutkan tadi.
Terbayang lagi betapa pengalamannya pagi tadi di pesawat. Dia sempat melihat bukit dada gadis itu
lewat celah bajunya yang digunting seperti huruf V. Dia sempat meremas pinggul yang besar itu tatkala dia
lewat di depannya ketika balik dari WC. Bukan main. Mmmmmhh"..! Lelaki besar bernama Husein itu sampai
di depan pintu kamar nomor empat.
Sepertinya dia adalah lelaki yang sopan. Sebelum masuk dia mengetuk dua kali perlahan. Tak ada
jawaban. Dia memandang kiri dan kanan, lengang. Tak ada orang. Nampaknya semua penghuni kamar hotel ini
pada tidur sore atau keluar ngeluyur. Dia ketuk lagi tiga kali. Agak keras. Namun yang di dalam, Michiko, benarbenar tak mendengar ketukan itu. Karena amat lelah, membuat dia benar-benar tak mendengar "isyarat"
adanya bahaya. Dia tidur terlalu lelap. Lelah menyerangnya dengan sangat.
Karena tak ada jawaban, lelaki bernama Husein itu membuka pintu. Terkunci. Tapi dengan sedikit
dorongan dengan bahu, kunci pintu itu ambrol. Di kamar segera saja dia melihat sebuah pamandangan yang
melumpuhkan seluruh syarafnya. Di tempat tidur, Michiko yang hanya memakai kimono tipis, tidur
menelentang dengan kaki agak terbuka. Tak hanya itu, kimononya hanya bertaut sedikit di pinggang. Itupun
karena ada tali pengikatnya. Bahagian lain sudah terbuka tak menentu. Buat sesaat si Husein itu tertegak.
Lupa melangkah, lupa menutupkan pintu dan bahkan hampir lupa bernafas. Dia juga lupa bahwa bosnya
menantinya di luar sana. Dia diperintah membawa "ponakan" itu ke mobil dalam keadaan sadar atau tidak.
Artinya, kalau tak bisa dibawa baik-baik, pukul saja sampai pingsan. Tapi bagaimana Husein keturunan
Indonesia Arab itu akan melaksanakannya" Dia menutupkan pintu. Menguncinya. Kemudian dengan peluh
menitik di jidat, dengan kaki menggigil, dia mendekati tempat tidur. Malang benar gadis itu.
Tubuhnya yang sebenarnya tak boleh dilihat orang lain, kini terbuka. Husein berjongkok di sisi
pembaringan. Mengelus betis Michiko. Mengelus pahanya. Tangannya menggigil. Hatinya menggigil. Dia cium
kaki gadis itu, kemudian bangkit. Membuka pakaiannya sendiri. Sampai detik itu, Michiko masih tidur dengan
amat nyenyak. Tidur dengan amat lelah. Husein tak membuang waktu sedikitpun. Michiko dalam mimpinya
merasa berlari di tanjakan yang amat terjal. Nafasnya sesak. Mendaki dengan beban yang amat berat. Nafasnya
makin sesak. Beban itu rasanya meluncur menutup mulut dan hidungnya. Nafasnya makin sesak. Panas bukan main.
Berat bukan main. Akhirnya dia baru terbangun tatkala lelaki yang tubuhnya dipenuhi bulu itu hampir saja
melaksanakan niat jahanamnya. Hampir saja!!. Saat tersentak bangun gadis itu mendapatkan dirinya sudah
tertekan di bawah seekor gorilla dengan tubuh berbulu lebat.
"Diamlah manis. Diamlah"kau akan kuberi kesenangan"." lelaki itu berbisik penuh nafsu. Michiko tak
dapat bergerak. Kedua tangannya ditekankan ke kasur oleh lelaki itu. Tubuhnya terhimpit bulat-bulat tanpa
tutup di bawah tubuh lelaki itu. Tiba-tiba Michiko menangis. Dia menangis dengan ketakutan yang amat
dahsyat. Betapa hebatnyapun dia memainkan samurai, betapa hebatnya pun dia berkelahi melawan lelaki,
namun dalam keadaan seperti itu, dimana kehormatannya akan direnggut orang, dia kembali pada fitrahnya
yang asli. Yaitu fitrah sebagai seorang perempuan yang lengkap dengan kelemahan-kelemahannya. Senjatanya
hanya tangis! Dia menangis, tatkala menyadari bahwa tak ada kesempatan sama sekali baginya untuk
menyelamatkan kehormatannya. Tapi di saat yang sangat kritis itu. Pintu ditendang dari luar. Begitu pintu
ternganga, di ambang pintu berdiri si babah gemuk. "Huseinn"! Jahanam lu! We jitak lu punye pale!"
Babah itu memaki dengan amarah yang tak tanggung-tanggung. Dia sudah kelaparan menanti di sedan
di luar hotel. Bermacam bayangan yang menggairahkan seperti sudah bisa dia nikmati atas diri gadis Jepang
cantik bertubuh montok itu. Tapi kok lama banget, pikirnya. Lama benar Husein keparat itu. Dia melihat jam.
Heh, kelewatan. Tapi dia masih menanti beberapa saat lagi. Namun sudah empat sampai tujuh menit saat dia
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 403
menanti, si Husein itu tak juga kelihatan batang hidungnya. Jangan-jangan dia "makan" duluan, pikirnya sambil
membuka pintu mobil. Dia berjalan dengan perut buncitnya ke hotel.
"Kamal belapa ponakan saya itu tadi?" dia bertanya ke resepsionis.
"Kamar nomor empat?"
Tanpa menunggu babah itu segera ke sana. Di depan pintu dia berhenti sejenak. mendengar nafas dan
tangis. Kemudian kakinya yang besar terangkat. Gedubrakk!!! Tendangannya menghantam pintu sampai
terbuka lebar. Si Husein yang sudah "siap tempur" tiba-tiba terlompat ke bawah.
Babah itu sejenak terkesima. Pemandangan di tempat tidur, tubuh Michiko yang tertelentang tanpa apaapa, membuat jantungnya berhenti berdetak. Namun Michiko yang merasa dirinya bebas, segera menyambar
kimononya. Saat itu si babah mengalihkan pandangannya ke Husein.
"Husseiinnn! Lu kulang ajal. Kulang ajal betuuul! Babi, anjing, monyet, beluk lu!" Sumpah serapah incek
gemuk itu berhamburan. Husein tertunduk layu. Layu dari atas sampai ke bawah.
Babah itu maju lalu plak, pluk, plak".plak! tangannya menampar Husein tiga kali. Husein tak bisa cakap.
Kepalanya tertunduk. Atas bawah. Tangannya melindungi miliknya yang berada di bawah. Saat itulah mereka
berdua melihat gadis Jepang itu turun dari tempat tidur. Babah gemuk itu menoleh. Husein juga menoleh.
"Ah, kau diganggunya, Dik?"
Buset..! Babah gemuk itu memanggil Michiko dengan sebutan "dik". Benar-benar selangit!!
Michiko tak mengacuhkannya. Matanya berbinar berang. Menatap tajam pada lelaki besar yang masih
telanjang itu. "Saya, eh, we sudah tempiling dia. We sudah tempiling tiga kali. Mau lihat! Nih"." dan babah gemuk itu
maju lagi ke dekat Husein.
Tangannya bekerja lagi. Puk, pak, puk"..! Tiga kali tempiling mendarat dengan telak.Husein tertunduk
kuyu. "Nah, dia telah ku tempiling, Dik?" kata babah itu sambil nyengir.
Michiko memandang dengan jijik dan marah luar biasa. Perlahan dia mencabut samurai yang kini telah
dia pegang di tangan kiri. Babah yang sudah siap lagi untuk bicara, jadi terdiam. Husein juga menatap. Tapi dia
tak kaget. Dia hanya menatap heran pada perempuan cantik yang tadi hampir saja memuaskan nafsunya itu.
Heran melihat gadis secantik itu memegang senjata yang dulu sering dipergunakan serdadu Jepang.
"Jahanam, kalian?" gadis itu mendesis tajam.
Lalu samurainya bekerja. Amat cepat. Samurai itu melukai dada Husein. Michiko memang tak segera
membunuhnya. Dia hanya ingin memberi pelajaran pada lelaki itu. Husein kaget. Menatap ke dadanya yang
luka. Meski tak dalam, namun darah merembes. Dia usap dadanya. Ternyata dia lelaki yang tak mengenal takut.
"Ha, bisa juga kau memainkan senjata itu nona"." katanya sambil tersenyum tanpa memperdulikan
darah di dadanya. Babah gemuk itu sebenarnya sudah agak takut. Tapi karena tukang pukul nya itu tak takut,
dia juga jadi berani."Sudahlah, Dik. Jangan main-main palang panjang, eh, kapak, eh, jangan main-main samulai.
Nanti adik luka. Mali sini abang simpan?" kata apek gemuk itu sambil maju mengulurkan tangan pada Michiko.
Maksudnya membujuk agar samurai itu diserahkan padanya. Namun sebuah tendangan menantinya.
Tendangan yang telak dari jurus karate yang telah mahir dipelajari Michiko. Tendangan itu mendarat di
kerampang Cina gemuk itu. Babah gemuk itu terhenti. Nafasnya tertahan. Matanya juling. Alat kesenangannya,
yang biasa dia buat untuk bersenang-senang, terasa sangat sakit. Rasa akan pecah dihantam tendangan gadis
itu. Dengan melenguh, dia jatuh berlutut di lantai. Husein jadi kaget juga melihat makan kaki gadis itu.
Dia segera membantu bosnya. Dengan masih bertelanjang, dia menyergap gadis itu dari samping. Namun
Michiko sudah siap. Meski dia tak bisa segera menggunakan samurai, pukulan tangan kirinya mendarat di jidat
lelaki itu. Lelaki itu terhenti. Jidatnya bengkak sebesar telur ayam. Namun dia tak merasa sakit. Yang
dirasakannya hanya sedikit pening dan kaget. Dia memang lelaki yang alot. Tak merasakan pukulan.
Tapi waktu dia berhenti menyerang itu sudah cukup bagi Michiko untuk mempergunakan samurai di
tangan kanannya. Cress! cresss!, dua sabetan cepat. Pada sabetan pertama telinga kanan Husein bercerai dari
kepalanya. Sebelum Husein sempat berteriak karena sakit, sabetan kedua menghantam perutnya. Perutnya
menganga. Husein kali ini menatap dengan wajah pucat pada gadis itu. Gadis itu juga menatapnya. Mukanya
masih tetap merah. Husein memang tangguh.
Dengan tangan kiri memegang perutnya yang belah, dia maju menyerang. Dia sebenarnya tukang pukul
yang ditakuti di Jakarta saat itu. Namun samurai Michiko menantinya lagi. Sebuah sabetan menghantam
kepalanya! Cress! Kulit kepala lelaki itu berikut rambutnya seluas telapak tangan terbang! Demikian tajam dan
demikian cepatnya. Darah meleleh. Husein berhenti lagi. Sedepa di depannya,
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 404
Michiko tegak lagi menanti! Husein maju. Kembali samurai Michiko bekerja. Cress! Dan kali ini arahnya
adalah sebuah benda di bahagian depan bawah. Husein terhenti. Kali ini dia tak bisa untuk tidak meraung.
Tangannya segera mendekap selangkangnya. Di sana, tadi ada sesuatu yang hampir menusuk-nusuk tubuh
Michiko. Dan kini sesuatu itu putus sudah! Tercampak di lantai! Lelaki itu meraung-raung. Membangunkan
orang di hotel. Mereka berlarian ke kamar nomor empat itu. Ketika sampai di sana, pintu terbuka. Seorang
lelaki Cina bertubuh gemuk, merangkak ke luar dengan wajah meringis menahan sakit dan wajah pucat.
"Ada apa, ncek?"
"Ada sakit. Banyak sakit?" jawab incek gemuk itu sambil merangkak terus meninggalkan kamar maut
itu. Dia sebenarnya ingin berlari kencang. Tapi alat kesenangannya amat sakit. Menyebabkan dia tak bisa
berdiri. Tapi dia tak berani bertahan terus di kamar perempuan tukang bantai itu. Dia harus pergi. Kesempatan
itu terbuka tatkala perhatian Michiko tengah terarah sepenuhnya pada Husein. Dia cepat merangkak keluar.
Michiko memang tak melihatnya. Di kamar, Husein masih meraung-raung. Namun Michiko tak
memperdulikannya. Samurainya kembali bekerja. Kedua tangan lelaki itu putus hingga bahu! Lelaki itu bergulingan di lantai.
Bermandi darah dan seperti dijagal. Dia belum mati. Orang yang melihat ke dalam jadi tersurut dengan wajah
pucat pasi. Kemudian menghindar dari sana. Takut dan ngeri. Michiko mengambil buntalan pakaiannya.
Kemudian dengan tenang dia melangkah ke luar. Namun langkahnya terhenti tatkala mendengar suara Husein
menghiba-hiba. "Tolong saya nona jangan biarkan saya menderita, bunuhlah saya?"Michiko menatapnya dengan
pandangan dingin. "Jika tadi kau berhasil menodai saya, maka saya akan menderita seumur hidup. Itu tak pernah
terpikirkan oleh mu bukan" engkau takkan mati. Setidaknya engkau tidak akan mati sehari dua hari ini, engkau
akan sangat menderita itu perlu bagimu sebagai hukuman atas apa yang kau perbuat pada diriku. Atas apa yang
kau perbuat atas perempuan-perempuan lain, saya yakin sudah banyak perempuan yang sudah engkau nodai.
Nah, kini kau rasakan balasannya"."
Sehabis berkata begitu Michiko melangkah keluar kamar itu. Petugas-petugas hotel tidak ada yang
berani berkutik tatkala dia lewat, penghuni hotel yang lain menatap dengan diam. Di kamar Husen merintihrintih, makin lama suaranya makin lemah. Akhirnya dia pingsan, terlalu banyak darah yang keluar dari perut,
bahu dan selangkangannya. Tapi michiko berkata benar kalau lelaki ini cukup tangguh. Dia tak segara mati.
Dia juga tidak mati ketika ambulance datang membawanya kerumah sakit. Dokter dan perawat
menggeleng melihat hasil pembantaian itu,mereka segera menebak bahwa benda yang dipakai untuk
mencencang tubuh lelaki ini adalah sebuah benda yang sangat tajam, tajam sekali! itu jelas terlihat pada bekas
luka lain ditubuhnya. "Bunuh saja saya dokter".bunuh saja saya, jangan biarkan saya hidup.."Mohon husen tatkala malamnya
dia sadarkan diri. Namun mana ada dokter yang mau membunuh pasiennya. Meski atas permintaan pasien
sendiri, justru dokter memberi dia injeksi dengan obat tidur.
(116) Sekeluar dari hotel Michiko menyetop sebuah taksi "Kemana Nona?" tanya sopir taksi yang ternyata
orang cina. Michiko tertegun dia segera ingat babah gemuk itu, dia tak jadi naik taksi itu. Dia justru melambai
taksi lain yang ada yang parkir tak jauh dari pintu. Sopirnya orang Indonesia, sopir taksi cina itu menggerutu
panjang pendek. "Kemana nona?" "Antarkan saya kehotel yang paling dekat dari sini?"
"Silahkan naik non"." Kata sopir itu dengan ramah. Hati Michiko jadi tentram mendengar suara sopir
yang bersahabat itu. Michiko membuka pintu, kemudian naik.
"Baru datang di kota ini nona?" tanya sopir tatkala taksi mulai berjalan
"Ya.." "Nona datang dari Jepang?"
"Mmm.." "Maaf, nona sedikitpun tidak mirip orang Jepang, Nona lebih mirip orang Sunda Gadisnya
cantik-cantik. Meski tak secantik nona, nona bisa ditebak orang Jepang kalau mendengar aksen bicara nya?"
Michiko tidak memberi komentar atas ucapan sopir itu. Dia memandang keluar, rasanya sudah lama dia berada
di atas taksi ini. "Masih jauh?" tanyanya.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 405
"Kita sudah sampai nona?" jawab sopir itu sopan sambil membelokkan mobilnya, Michiko sempat
membaca tulisan "Hotel" di depan, hanya dia tidak sempat membaca nama hotel, karena terhalang daun pohon
Flamboyan yang tumbuh rindang, mobil itu berhenti di samping hotel. Sopir turun dan membuka pintu,
Michiko turun dan mengucapkan terima kasih.
"Lewat samping sini aja nona, lebih dekat kelobi.." ujar sopir itu. Michiko menuruti saran sopir itu. Dia
masuk lewat samping hotel itu, begitu dia masuk, pintu di belakangnya ditutupkan. Dan kini dia berada di
sebuah ruangan yang besar, Michiko menoleh kebelakang. Sopir itu tegak dengan sopan, namun jauh berbeda.
Walau masih terlihat sopan tapi wajahnya tersenyum licik. Dia mendengar sesuatu disampingnya. Ketika dia
menoleh, alangkah kagetnya dia melihat ada babah gemuk itu. Ya, babah gemuk yang sepesawat dengannya,
yang menyuruh husen menyergapnya di hotel Angkasa.
Kini, babah gemuk Cina yang tadi dia tendang kerampangnya itu duduk di sebuah kursi dengan senyum
sumbangnya. Di sisinya tegak dua orang lelaki, yang satu bertubuh besar seperti Husen" yang satunya
bertubuh kurus tinggi, di belakang nya berdiri sopir yang kelihatan sopan itu.
Michiko masuk perangkap! Ya, itulah yang terjadi. Dia menyesal, mengapa tidak naik taksi yang disopiri
Cina tadi. Padahal, kalau dia naik taksi itupun kejadiannya tetap sama. Kedua sopir taksi itu memang sudah
"dipasang"oleh sibabah itu untuk menjebaknya. Apek gendut itu ternyata memimpin sebuah sindikat kejahatan
di Jakarta. Ada beberapa sindikat saat itu di Jakarta, diantara nya yang terkenal adalah kelompok "Ular
sanca","Tongkat Mas" dan "Kramat Sakti"
Bidang "usaha" mereka mulai dari merampok, menodong, menyelundupkan candu ke Singapura, sampai
menjual perempuan atau gadis-gadis dari berbagai kota di Jawa dan Sulawesi. Gadis-gadis itu dijual kerumahrumah bordir di Singapura atau pun Jakarta sendiri. Musuh berbagai sindikat itu adalah "Sindikat178", sebuah
sindikat yang anggotanya terdiri dari eks pejuang 17-08-45. Mereka dengan gigih memerangi sindikat banditbandit Jakarta, yang mengotori perjuangan mereka semasa Revolusi. Si babah adalah salah satu pemimpin dari
tiga pimpinan "Sindikat Kramat Sakti" Komplotan yang ber markas di sebuah gedung mewah, tapi sangat
rahasia yang ada di kramat.
Dia mempunya anak buah di berbagai posisi, mulai dari pegawai, sampai ketukang copet dan sopir taksi.
Kini Michiko berada di salah satu markas dari kelompok Kramat sakti itu. Michiko menatap tajam si babah
gemuk itu, kalau ada kesempatan, maka yang akan di bunuh nya pertama kali adalah sibabah itu
Sementara si babah gemuk itu berkeinginan pertama adalah menikmati tubuh gadis didepannya.! Sudah
sejak dari pesawat pagi tadi hal itu dia khayalkan. Kini hari sudah malam dan malam hari segala sesuatu bisa
diatur. Michiko masih memegang samurai ditangan kiri. Dia berpura-pura bersisir, dan dengan cepat dia
mencabut jepit rambut yang berupa samurai kecil itu.
Dengan penuh kebencian,dengan sekuat tenaga pada kesempatan pertama samurai kecil itu dia ayunkan
kearah leher si gemuk itu.Si gendut benar-benar tidak tahu bahaya yang mengancam jiwanya. Dia masih
cengar-cengir menatap dengan napsu pada michiko. Saat itu samurai itu bergerak kearah lehernya, tiba-tiba
lelaki kurus yang tegak disampingnya bergerak cepat, ternyata dia mempunyai penglihatan yang tajam.
Dia melihat sebuah benda yang seperti terbang kearah tenggorokan bos nya, dan tangan nya bergerak
dia berhasil memukul samurai kecil itu. Samurai itu terpental karena angin kibasan tangannya, tertancap di
pintu! Michiko terkejut si babah juga terkejut, mukanya berubah pucat dan meraba lehernya.
Leher gemuk yang hampir saja disikat samurai kecil itu. Dia menatap ke samurai yang tertancap itu.
Kemudian beralih ke Michiko. Bergantian menatap samurai dan Michiko. Sambil tangannya masih meraba
lehernya. "Perempuan sundal. Kau akan rasakan akibat perbuatanmu ini?" desis Babah itu sambil menyeringai
buruk. Michiko tak memperhatikannya. Dia justru tengah memperhatikan lelaki kurus berwajah pucat itu.
Semakin diperhatikannya, semakin jelas olehnya bahwa lelaki itu sebenarnya adalah seorang Cina. Tak
diketahuinya karena kulitnya hitam. Sama seperti orang melayu.
Tapi melihat matanya yang sipit, tak ayal lagi, sikurus ini adalah Cina tulen. Selain dia Cina tulen,
nampaknya dia juga memiliki ilmu silat yang tangguh. Itu terbukti dari kibasan tangannya yang berhasil
memukul samurai kecilnya tadi. Michiko pernah mendengar dan membaca kehebatan pesilat-pesilat Cina yang
mampu melompati pagar atau tembok setinggi atap.
Yang mampu memukul roboh lawan dari jarak dua atau tiga meter dengan mempergunakan "tenaga
dalam". Dia tak yakin bahwa ada orang Cina yang memiliki ilmu sehebat seperti di dalam cerita-cerita silat itu.
Namun apakah yang telah dilakukan Cina kurus jangkung itu sebentar ini" Bukankah hanya dengan kibasan
tangannya saja dia telah membelokkan arah samurai kecilnya" Michiko tak sempat memikirkan terlalu banyak.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 406
Babah gemuk itu telah memberi isyarat kepada lelaki bertubuh besar yang tegak di sisi kanannya. "Siapa di
antara kalian yang berhasil menelanjangi perempuan itu, dia akan mendapat giliran setelah aku"." babah itu
berkata dengan kurang ajarnya.
Michiko ingin muntah mendengar ucapan jorok itu. Lelaki besar itu maju. Nampaknya dia telah diberi
tahu bahwa gadis ini berbahaya. Begitu maju, tangannya telah memegang sebuah belati. Dengan gaya seorang
yang amat ahli, dia mulai maju dengan mengayun-ayunkan pisau di depan tubuhnya yang agak membungkuk
ke depan. Michiko masih tetap tegak di tempatnya. Tak bergerak sedikitpun. Dia telah bertekad, kalau dia tak bisa
melawan orang-orang ini, maka dia akan menyudahi nyawanya sendiri. Dia akan bunuh diri sebelum dinodai.
Tapi dia bersumpah akan membunuh babah gemuk itu sebelum dia bunuh diri. Dia benar-benar berharap dapat
melaksanakan sumpahnya itu.
Lelaki itu tiba-tiba menyerang. Pisaunya bergoyang cepat sekali di depan dada Michiko. Michiko
bukannya tak tahu itu adalah sebuah tipuan. Dia tetap diam. Dan benar, kaki lelaki itu ternyata degan cepat
menyapu kaki Michiko. Maksudnya ingin agar gadis itu terjatuh. Dengan demikian bisa dia tindih. Namun
Michiko adalah Michiko. Dia telah belajar cukup banyak dari Zato Ichi. Dia telah belajar banyak dari Tokugawa.
Dan dia telah belajar banyak dari Kenji. Teman Si Bungsu dan abang Hanako. Bukankah dia tinggal bersama
Hanako lebih kurang setahun" Selama itu pula dia belajar karate dari Kenji.
Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kini, Michiko adalah seorang pemegang sabuk hitam karate. Sistem pelajaran yang dipakai oleh Kenji
untuk membekali Michiko adalah sistem memintas. Hingga memungkinkan gadis itu memiliki bekal yang lebih
daripada cukup. Ketika kaki lelaki besar itu menyapu kakinya, dia justru memajukan kakinya selangkah ke
depan. Dan serentak dengan itu tangan kanannya terayun dalam bentuk sebuah pukulan yang telak. Prak!
Pukulannya mendarat di hidung lelaki besar itu. Lelaki itu seperti tersentak. Kepalanya seperti ditarik ke
belakang dan hidungnya bocor. Darah segar mengalir dari hidung yang pecah itu. Bukan hanya si gendut, tapi
lelaki Cina kurus kerempeng yang tadi memukul samurai kecil Michiko itupun jadi kaget. Serangan gadis itu
demikian cepat dan demikian telaknya.
Lelaki besar itu menggeram. Tangannya yang tak berpisau menghapus darah yang meleleh di hidungnya.
Sopir taksi tadipun, yang saat itu tetap tegak di pintu, jadi kaget. Namun mereka adalah bandit-bandit ibukota
yang tak mudah gentar oleh bahaya. Apalagi kalau hanya terhadap seorang gadis, cantik pula. Bos mereka telah
menjanjikan bahwa siapa yang berhasil meringkus gadis itu akan mendapat giliran pertama menikmati tubuh
gadis itu, setelah si bos. Pernyataan demikian membuat mereka terangsang dan bersemangat untuk
menundukkan Michiko. Lelaki berpisau itu maju lagi. Kini dengan lebih berhati-hati. Dia telah kecolongan.
Michiko masih belum mau mencabut samurainya. Dia ingin menghemat tenaga dan kecepatannya. Lawannya
yang dia taksir berbahaya adalah lelaki Cina kurus tinggi itu. Maka dia harus menyimpan kepandaian
bersamurainya untuk menghadapi lawannya yang kurus itu.
Kalau kini dia menggunakan samurai, dia khawatir permainan samurainya bisa dibaca oleh si kurus. Itu
sudah tentu membahayakan. Karena itu, ketika si besar itu menyerang, dia masih mengandalkan ilmu
karatenya. Lelaki itu maju dengan sebuah tusukan pisau yang cepat ke rusuk Michiko. Michiko mengelak
dengan mengalihkan tegak kakinya. Lelaki itu tahu. Dia menyabetkan pisaunya ke kanan, hampir saja menebas
perut Michiko. Untung gadis ini juga cepat melompat mundur. Tegaknya justru mendekat ke dekat sopir taksi
tadi. Sopir itu menatap heran dan kagum. Dan saat itulah Michiko mencabut samurai. Sopir taksi itu masih
belum sadar akan bahaya yang mengintainya. Dia menyangka bahwa gadis itu hanya sekedar bermain tongkat.
Michiko menanti si besar berpisau itu menyerang kembali. Ketika lelaki itu kembali menyerang dengan
menyabetkan pisaunya, Michiko seperti akan menangkis dengan samurai. Namun dia sama sekali tidak
menangkis serangan pisau itu. Melainkan mundur selangkah lagi. Dan samurainya justru membabat ke
belakang! Ke arah sopir taksi yang masih tegak di dekat pintu! Cress! Samurai itu memakan bahunya. Sopir
taksi yang sok sopan itu benar-benar tak pernah menduga bahwa dirinya akan dimakan senjata gadis cantik
itu. Dia sebenarnya seorang pesilat aliran Cimande. Begitu bahunya termakan samurai, dia segera memasang
kuda-kuda Cimande. Tangannya bergerak seperti akan bersilat.
Tapi apa hendak dikata, gerakannya itu sudah tinggal sekedar lagak saja. Tak ada gunanya. Bahunya
telah dibabat samurai yang alangkah tajamnya. Mata samurai itu menetak dan memutus tulang bahunya. Terus
ke bawah membelah jantungnya. Demikian tajamnya samurai itu. Tubuh sopir itu belah dan mati sebelum jatuh
ke lantai! Sekali lagi babah gemuk itu jadi pucat dan sekali lagi Cina kurus tinggi itu dibuat kaget bukan main.
Samurai Michiko hanya sekejap berada di luar sarangnya. Tak sampai lima hitungan cepat. Begitu
dicabut, dia melangkah ke belakang, samurainya berkelebat, membabat bahu sopir itu dan snap"masuk
kembali ke sarungnya di tangan kiri Michiko!
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 407
Kini dia tegak dengan diam. Lelaki besar berpisau itu juga tegak. Kaget bercampur ngeri melihat
ketenangan gadis itu membunuh manusia. Mereka bertatapan. Lelaki besar itu, juga seorang bandit yang sering
menghantam mangsanya dengan kepalan atau dengan pisau, kali ini mulai hati-hati benar. Dia menggertak lagi.
Michiko masih diam. Kakinya menendang cepat dalam suatu tendangan Silat Mataram. Tendangan melengkung
dari kanan ke kiri. Michiko bergerak cepat, kakinya melesak maju antara kaki kanan yang menendang itu
dengan kaki kiri yang tegak sebagai kuda-kuda. Tendangan lelaki itu cukup cepat. Namun jauh lebih cepat lagi
tendangan kaki Michiko. Tendangannya menghajar selangkang lelaki itu, menyebabkan lelaki itu tersurut dua
langkah. Dia meringis menahan sakit.
Babah gemuk itu mengerutkan kening. Dia seperti dapat merasakan sakit yang diderita anak buahnya
itu. Bukankah dia juga kena tendang selangkangnya di hotel Angkasa tadi oleh Michiko" Bukankah dia terpaksa
harus merangkak untuk meninggalkan hotel itu" Kini anak buahnya kena tendangan seperti itu pula. Dia dapat
mengerti betapa sengsaranya anak buahnya itu. Tapi lelaki besar itu memang agak tangguh. Hanya sebentar
dia mengerang dan mengerutkan kening. Saat berikutnya dia sudah tegak. Kali ini, dalam jarak empat depa, dia
tak lagi berusaha untuk maju. Tapi dengan ayunan yang amat cepat, dia melemparkan pisau itu ke dada
Michiko. Lelaki itu juga dikenal sebagai pelempar pisau yang bukan main mahirnya. Tadi dia memang tak berniat
melemparkan pisau itu pada Michiko. Sebab lemparan pisaunya berarti maut. Dia tak ingin membunuh gadis
itu. Sebab selain tak dibolehkan bosnya, dia sendiri ingin menikmati tubuh gadis itu terlebih dahulu. Tubuh
yang montok dan menggiurkan. Tapi kini, setelah gadis itu menghantam selangkangnya, dia tak perduli lagi
dengan kemontokan itu. Dia berniat membunuh gadis itu. Pisaunya melayang cepat secepat kilat. Namun
Michiko juga bergerak cepat. Samurainya tercabut. Membabat di udara. Trangg!
Terdengar suara besi beradu. Dan pisau itu berobah arah. Dihantam dengan telak dan tepat oleh samurai
Michiko. Arahnya justru melaju cepat sekali ke arah si gemuk! Kembali bahaya mengamcamnya! Gerakan itu
juga telah diperhitungkan dengan cermat oleh Michiko. Tapi kembali tangan Cina kurus itu bergerak. Kembali
pisau yang meluncur cepat berobah arah. Jatuh ke lantai dengan menimbulkan suara ribut!
"Hm. Bukan main. Cantik, cepat dan kejam!"
Untuk pertama kalinya Cina kurus tinggi itu bersuara. Suaranya seperti keluar dari sebuah goa. Bergema
mengerikan. Matanya yang kuning menatap pada Michiko. Tapi Michiko tak sempat terkejut atas kehebatan
Cina itu, sebab si besar yang pisaunya telah dilemparkannya itu kembali menyerang. Dia menyerang dengan
melompati tubuh Michiko yang saat itu tengah menghadap pada si kurus. Sungguh malang orang ini. Dia
melompati mautnya sendiri. Michiko bukannya kanak-kanak. Bukan pula orang yang mudah merasa takut dan
gentar menghadapi serangan bandit seperti mereka. Selagi perkelahian satu lawan satu, maka Michiko tak usah
khawatir. Lelaki itu masih melompat, tubuhnya tengah melayang ketika Michiko menggeser tegak. Dia melayang
setengah hasta di sisinya. Saat itu samurai Michiko kembali bekerja. Samurainya memancung dari atas ke
bawah, persis di pinggang si lelaki. Tubuh lelaki itu masih melayang sedepa lagi. Baru akhirnya menubruk
seperangkat meja dan kursi. Jatuh dan mati dengan pinggang hampir putus. Tapi saat itu pula tubuh Michiko
terlambung. Tubuhnya menerpa dinding. Kepalanya berdenyut, untung samurai masih di tangannya. Ternyata
ketika dia melangkah menghindarkan tubrukan tadi dia tegak membelakangi si kurus.
Ketika dia menghantam lelaki yang menubruknya itu dengan samurai, si kurus maju pula menghantam
tubuh Michiko. Pukulannya hebat. Tubuh Michiko sampai terpental menubruk dinding. Michiko terduduk di
lantai dengan punggung bersandar ke dinding. Dia menggelengkan kepala. Berusaha menghilangkan pening,
menatap pada Cina kurus itu. Cina itu tegak tiga depa di depannya dengan kaki terpentang. Menatap ke bawah,
ke arah Michiko dengan mata kuningnya yang berkilat buas.
"Tegaklah, Nona. Saya akan tunjukkan padamu bagaimana seorang perempuan harus menanggalkan
pakaiannya satu demi satu secara baik."
Suaranya yang mengerikan itu terdengar bergumam. Michiko menggertakkan gigi. Dia bangkit dan
memegang samurainya yang telanjang dengan kukuh di tangan kanan! Cina itu tersenyum. Senyum yang mirip
seringai. "Ya. Tanggalkan pakaiannya satu demi satu, Hok Giam! Saya tadi telah melihat tubuhnya tak berkain
sehelai pun di hotel. Ketika Husein akan melahapnya. Tubuhnya bukan main. Ayo tanggalkan, Hok!"
Yang bicara ini adalah si gemuk. Suaranya yang mirip lenguh kerbau itu bergema dari tempatnya duduk.
Michiko meludah. Perlahan tangan kirinya memegang bahagian bawah samurainya. Kini hulu samurai dia
pegang dengan dua tangan. Dia harus hati-hati. Lawannya amat tangguh.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 408
"Heh, Jepang busuk!. Ingin mencoba kehebatan nenek moyangmu dari daratan Tiongkok?" lelaki kurus
yang bernama Hok Giam itu bersuara.
Nadanya seperti ada dendam antara Jepang dengan Tiongkok. Kedua tangannya terangkat tinggi di atas
kepala. Kemudian kesepuluh jari-jarinya ditekuk ke bawah. Persis cakar garuda. Aneh. Dalam posisi demikian,
kedua tangan terangkat tinggi, berarti membiarkan bahagian seluruh tubuh terbuka untuk diserang. Apalagi
diserang dengan senjata panjang. Benar-benar posisi yang berbahaya. Namun Michiko tak berani bergerak
sembarangan. Dia tak mengenal lawannya ini kecuali dalam tiga gebrakannya. Gebrakan pertama dan kedua
ketika memukul samurai kecil dan pisau. Gebrakan ketiga ketika menghantamnya dari belakang tadi.
(117) Dia menanti. Yang dikhawatirkannya hanya satu, yaitu kalau-kalau Cina kurus ini memang memiliki
tenaga dalam yang bisa mencelakakan orang dari jarak jauh. Kalau itu benar, maka binasalah dia. Karenanya
dia tetap diam menanti. Dia agak yakin juga, sebab tadi hanya dengan kibasan tangan saja, Cina itu berhasil
merubah arah samurai dan luncuran pisau yang akan menghabisi nyawa si gembrot bajingan itu. Tangan Cina
itu bergerak. Aneh, Michiko melihat tangan Cina itu seperti bergetar. Jumlah tangannya makin banyak. Lalu
Cina itu melangkah maju. Michiko menyilangkan samurai di depan dadanya. Tangan Cina itu tiba-tiba bergerak dan seperti
menyambar ke arah Michiko. Michiko dengan tetap tegak memegang samurai melangkah surut. Dia yakin
dalam jarak demikian, cakaran Cina itu tak bakal mengenai tubuhnya. Namun dia merasa mendengar suara
kain robek. Dia melihat ke dadanya. Wajahnya jadi pucat. Bajunya robek tentang dada! Kutangnya kelihatan
ketat menahan dadanya yang membusung! Si babah gemuk tertegak. Matanya melotot menatap dada Michiko.
Michiko menggertakkan gigi. Seharusnya tangannya menutup dadanya. Tapi itu tak dia lakukan.
Dia tak mau kehilangan konsentrasi atas samurainya dengan melepaskan salah satu tangannya dari
gagang samurai itu. Tangan Cina itu gentanyangan lagi. Seperti memukul bolak balik. Kini rok Michiko robek!
Tergantung-gantung. Menampakkan pahanya yang putih dan celana dalamnya yang berwarna merah jambu!
Michiko masih tegak dengan diam dan bersandar ke dinding. Dia tak perduli berpakaian atau tidak. Pokoknya
dia tak mau melepaskan samurainya. Dia akan mempertahankan kehormatannya dengan itu. Si babah
melangkah ke depan. Ingin melihat lebih jelas tubuh Michiko. Michiko tegak dengan kukuh.
Cina itu menggerakkan tangannya lagi. Waktu itulah Michiko menggulingkan tubuhnya ke lantai.
Bergulingan cepat ke depan sambil menebaskan samurainya seperti kitiran angin ke arah kaki Cina kurus itu.
Namun Cina itu seperti sudah sangat arif.
Tubuhnya melenting ke atas namun samurai michiko lebih dulu membelah tubuh nya menjadi dua, dan
ketika michiko memandang ke babah gemuk itu dia sudah berada di pintu siap melarikan diri. Namun tiba-tiba
dari belakang tubuhnya dia merasakan sesuatu menikam tubuhnya hingga tembus ke dadanya. Babah cina itu
mati di karenakan tidak bisa menahan napsu bejat nya terhadap perempuan..!
Michiko memandang ke arah yang ditunjukkan Sersan itu. Dia melihat rumah hijau yang ditunjukkan
tersebut. Di depannya dia melihat sepeleton tentara tengah bersiap-siap untuk berangkat. Ada yang memakai
topi baja. Ada yang memakai baret kuning tua. Harapannya untuk segera tiba di Minangkabau timbul lagi.
"Terimakasih. Bapak baik sekali. Saya takkan melupakannya?" katanya pada Sersan Mayor itu. "Ah, saya
tak membantu apa-apa Nona. Saya hanya menunjukkan jalan. Barangkali saja Nona bisa ikut. Saya doakan"."
"Terimakasih"." ujar Michiko sambil mengulurkan tangan.
Sersan itu tersenyum dan menyambut salam Michiko. Gadis itu menenteng buntalan pakaiannya menuju
ke rumah hijau itu. Kehadirannya di sana jelas saja menarik perhatian. Tentara yang ada di depan rumah itu
terdiri dari pasukan-pasukan PGT dan tentara Infantri. "Bisa kami membantu Nona?" seorang letnan bertanya.
"Terimakasih. Saya ingin ikut ke Sumatera Barat. Ke Padang. Dapatkah saya bertemu dengan pimpinan
Tuan?" "Akan ke Padang?"
"Ya, kalau bisa?"
"Silahkan masuk. Komandan ada di kamar nomor dua itu?"
Si Letnan menunjukkan kepada Michiko tempat yang di maksud. Gadis itu masuk, diantar oleh si Letnan.
Letnan itu mengetuk pintu. Ketika ada suara menyuruh masuk, Letnan itu masuk duluan. Menutupkan pintu di
belakangnya. Michiko menanti di luar. Tak lama kemudian Letnan itu keluar lagi.
"Silahkan"." Michiko masuk. Di dalam kamar itu ada beberapa orang tentara. Seorang Mayor duduk di
balik sebuah meja. Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 409
"Selamat siang?" kata Michiko.
Mayor itu menanggalkan kacamatanya.
"Oh, ya. Silahkan duduk. Silahkan?" suaranya terdengar ramah.
Michiko mengambil tempat duduk.
"Ada yang bisa kami bantu untuk Nona?"
"Saya ingin ke Padang. Dua hari yang lalu saya telah mendaftarkan diri di penerbangan sipil. Ternyata
penerbangan hari ini dibatalkan.
Dari bahagian penerbangan sipil itu saya mendapat informasi bahwa ada pesawat militer yang akan
berangkat siang ini ke sana. Saya berharap bisa ikut dengan pesawat itu?"
"Ya. Memang ada pesawat militer yang akan ke sana. Maaf, apakah Nona ada membawa surat
keterangan?" "Ada?" Michiko lalu membuka sebuah tas kecil. Mengeluarkan pasport, visa dan beberapa surat
keterangan lainnya. Lalu menyerahkan pada Mayor itu.
"Anda seorang turis?"
"Ya" "Aneh. Maaf, maksud saya, adalah sesuatu yang agak luar biasa kalau memilih Sumatera Barat
sebagai tempat melancong dalam situasi yang begini. Negeri itu sebenarnya memang negeri yang indah, Nona.
Gunung berjejer. Sawah berjenjang. Ada ngarai dan air terjun. Bunga mekar sepanjang tahun. Tapi saat ini
masih bergolak. Kalau saya boleh menyarankan, barangkali bisa memilih Bali atau Danau Toba. Yaitu kalau
ingin sekedar jalan-jalan"." Michiko menunduk.
"Ada seseorang yang saya cari di sana, Mayor"." akhirnya dia membuka kartu.
"Nah. Saya sebenarnya telah menduga hal itu. Kalau demikian lain persoalan. Apakah dia seorang yang
telah lama di Sumatera Barat?"
"Dahulu dia dilahirkan di sana. Tapi saya mengenalnya di Jepang. Dia baru datang dari Australia.
Barangkali baru sepekan dua ini"."
"Dari Jepang dan Australia?"
"Ya" Mayor itu mengerutkan kening. Menatap pada Michiko seperti menyelidik.
"Apakah dia bekas seorang sahabat?" tanyanya.
Michiko ragu, tapi kemudian mengangguk.
"Seorang pemuda?"
Michiko tak menjawab. "Maaf. Saya hanya ingin memudahkan urusan Nona" ujar Mayor itu ramah.
"Ya. Dia seorang pemuda?"
Mayor itu mengangguk maklum. Kemudian menoleh pada seorang staf yang duduk di meja di kanannya.
Mengatakan sesuatu. Stafnya itu, seorang letnan, lalu berdiri. Membuka sebuah lemari yang dipenuhi laci-laci.
Melihat sederatan map yang diberi kode bernomor-nomor. Mengambil sebuah di antaranya. Map berwarna
biru. Menyerahkannya pada Mayor tersebut yang lalu membuka map tersebut. Menatap sebuah halaman
berfoto. Kemudian menatap kembali pada Michiko.
"Pemuda itu bernama Bungsu?"
Ujar Mayor itu perlahan. Michiko kaget. Jantungnya seperti berhenti berdegup.
"Apakah memang benar dia orang yang Nona cari?"
Michiko masih belum bisa bersuara. Namun akhirnya dia mengangguk dan balik bertanya.
"Apakah dia memang berada di Sumatera Barat?"
"Ya, dia memang kembali ke sana. Dulu dia juga menompang pesawat khusus yang mengangkut militer.
Pesawat Hercules yang sebentar lagi akan berangkat. Maaf, ini fotonya, bukan?" Mayor itu memperlihatkan map
tersebut. Michiko melihat foto Si Bungsu di sana.
"Ya?" katanya antara terdengar dan tidak, sementara jantungnya berdegub kencang melihat foto itu.
Mayor itu menarik nafas panjang. Menutup map di tangannya.
"Saya tidak tahu apa maksud Nona mencarinya, mudah-mudahan untuk kebaikan kalian berdua. Kalau
benar dia yang ingin Nona temui di daerah bergolak itu, Nona bisa ikut dengan pesawat militer yang akan
berangkat sebentar lagi?" ujar Mayor itu akhirnya.
Michiko menarik nafas lega. Dan siang itu dia memang berangkat dengan pesawat Hercules menuju
Padang. Ikut bersama prajurit-prajurit PGT dan Infantri yang akan betugas di sana. Bahkan sesampai di Padang
dia mendapat tompangan dengan jip militer yang kebetulan langsung ke Bukittinggi dari lapangan Tabing. Jip
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 410
militer itu mengantarkannya sampai ke Hotel Indonesia, di daerah Stasiun Kota Bukittinggi. Disanalah dia
menginap, sambil mencari informasi di mana Si Bungsu, musuh besarnya!
---0000--Pagi itu, ketika Si Bungsu keluar hotel, setelah subuh tadi didatangi mimpi yang amat menakutkan, di
hotel yang sama Michiko memang telah lebih dahulu keluar. Gadis itu menikmati udara pagi yang amat sejuk.
Hari itu hari Sabtu. Hari dimana pasar besar di kota tersebut. Dari hotel Michiko berjalan perlahan ke arah
pasar. Hari masih pagi benar. Embun masih menebarkan dirinya seperti awan tipis. Menggantung rendah di
permukaan bumi. Tapi orang sudah ramai. Berjalan bergegas. Ada yang menjunjung bakul di kepala. Ada yang
menolak gerobak beroda satu yang sarat oleh sayur-sayuran. Semua bergegas seperti memburu sesuatu.
Beberapa orang di antara mereka menoleh pada Michiko. Barangkali merasa sedikit heran melihat seorang
gadis berjalan sendirian di pagi buta begitu. Sesuatu yang kurang lazim di kota tersebut.
Pagi itu Si Bungsu mengurungkan niatnya untuk pulang ke Situjuh. Kedatangan Michiko merobah
niatnya itu. Apapun maksud kedatangan gadis itu, satu hal adalah pasti. Yaitu mencari dirinya. Dan dia tahu,
bahwa gadis itu akan menuntut balas kematian ayahnya. Dia tak boleh pergi. Betapapun hebatnya kepandaian
gadis itu, seperti halnya dalam mimpi malam tadi, misalnya, namun dia tak boleh meninggalkannya. Itu bisa
dianggap melarikan diri. Melarikan diri" Hm, apakah dia sudah demikian penakutnya, sehingga harus
melarikan diri dari seorang perempuan" Namun satu hal pasti pula, dahulu dialah yang memburu lawannya.
Kini kejadiannya jadi terbalik. Dialah yang diburu. Dia tak boleh melarikan diri. Dia tak mencek lagi pada
petugas hotel tentang kebenaran menginapnya Michiko di hotel itu.
Hal itu tak perlu dicek lagi. Petugas hotel itu telah mengatakan dengan tepat tentang nama dan ciri-ciri
gadis itu. Petugas itu tak mungkin berkhayal atau mengada-ada. Sebab dia tak pernah berjumpa dengan
Michiko. Lagipula, firasat Si Bungsu mengatakan dengan pasti, bahwa gadis itu memang ada di kota ini. Dia
pergi ke rumah makan di seberang Hotel Indonesia itu. Rumah makan yang letaknya persis di depan stasiun
dan di persimpangan Jalan Melati. Memesan secangkir kopi dan sepiring ketan dan goreng pisang. Mengambil
tempat duduk yang menghadap langsung ke jalan raya. Perlahan dia menghirup kopi. Mengunyah pisang dan
ketan gorengnya. Matanya yang setajam mata burung rajawali sesekali menyapu jalan di depan restoran itu.
Memandang ke arah kanan, ke jalan yang melintang menuju Simpang Kangkung. Memandang ke stasiun yang
ramai oleh manusia. Dia tak perlu menanyakan apa warna pakaian yang dipakai Michiko pagi ini. Itu tak diperlukan.
Informasi tentang ciri-ciri itu hanya diperlukan bagi orang yang tak pernah dia kenali. Tentang Michiko, hmm,
meskipun dia berdiri antara sejuta perempuan, dia segera akan mengenalinya. Namun sampai habis kopi, ketan
dan goreng pisang di piringnya, gadis itu tak pernah dia lihat. Dari rumah makan itu dia juga bisa mengawasi
jalan yang ada di depan hotel yang menuju ke selatan. Ke Tangsi Militer di Birugo. Gadis itu tak juga muncul.
Akhirnya dia membayar minumannya. Kemudian perlahan melangkah keluar.
Di luar, dia menghirup udara pagi yang segar. Kemudian dia melangkah ke jalan raya. Semula dia berniat
untuk ke stasiun. Sekedar melihat orang-orang yang akan berangkat. Tapi aneh, mimpinya malam tadi,
perkelahian dengan Michiko di stasiun itu, tiba-tiba saja membuat langkahnya terhenti. Kemudian dia memutar
langkah menuju pasar. Takutkah dia ke stasiun"
Apa yang harus di takutkan. Tapi seperti ada perasaan yang mendorongnya untuk tak datang kestasiun
itu. Semacam was-was,untuk pertama kalinya sejak keluar dari hotel tadi dia menyadari, bahwa dia tak
membawa samurainya! secara reflek pula, tangannya meraba lengannya. Disana selalu terselip enam buah
samurai kecil, tiga di tangan kanan tiga di tangan kiri yang di sisipkan pada sebuah sabuk yang terbuat dari
kulit tipis. Samurai yang bisa diturunkan dengan sedikit gerakan khusus, siap dilemparkan secepat anak panah,
Namun kini ternyata semua tak dia bawa. Dia mencoba mengingat kenapa tak satupun senjata-senjata itu dia
bawa, apakah dia terlalu terburu-buru" tak ada jawaban yang di peroleh. Akhirnya dia kembali berjalan menuju
ke arah Panorama. Sementara pikirannya menerawang, bagai mana kalau keadaan seperti ini artinya ketika
dia tanpa senjata sama sekali lalu bertemu dengan Michiko. Kemudian gadis itu menyerangnya untuk
Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membalas dendam. Dia memang menguasai judo dan karate yang pernah diajarkan Kenji, tapi judo dan karate melawan
samurai! Ah, suatu pekerjaan yang sia-sia betapapun hebatnya seseorang menguasai ilmu judo dan karate
namun menghadapi senjata tajam seperti samurai, apalagi bila samurai itu di pegang orang yang sangat mahir,
sama saja dengan bunuh diri. Ah, pikirannya di penuhi terus dengan pertarungan melawan Michiko. Apakah
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 411
dia memang benar-benar takut menghadapi gadis itu." Apakah gadis itu benar-benar telah demikian hebatnya
kini, sehingga dia merasa begitu takut" bukankah dia tak pernah lagi dengan gadis itu sejak peristiwa
pamakaman Saburo Matsuyama di kuil shimogamo dahulu"
Namun perasaannya mengatakan, bahwa gadis itu kini memang memilki kepandaian yang jauh lebih
tinggi. Sudah bertahun masa berlalu, Michiko terus mempersiapkan diri dengan matang. Kalau tidak, takkan
berani dia datang sejauh ini. Gadis itu sudah paham siapa lawan yang akan dihadapinya.
Di Panorama, ketika dia tegak memandang ke ngarai yang masih berkabut, ketika matanya memandang
jauh ke Gunung Singgalang yang tegak seperti seorang tua menjaga negeri ini dengan perkasanya, sebuah
pikiran menyelinap ke hati Si Bungsu. Dia harus pulang ke Situjuh Ladang Laweh untuk Ziarah ke makam Ayah
dan ibunya. Dia ingin mengatakan, bahwa dendam mereka telah dibalaskan. Dia ingin membakar kemenyan
dipusara mereka. Memanjatkan Doa itu niat utama nya. Kini kenapa dia harus menanti Michiko" Dan kalau saja
Gadis itu tidak mau berdamai dan memang benar-benar ingin menuntut balas, dan kalau benar kepandaianya
sudah demikian tingginya, hingga tak mampu dia melawannya, itu berarti maut akan menjemputnya sebelum
dia sempat Ziarah ke makam ayah, Ibu dan kakaknya, perjalanan jauh selama ini alangkah sia-sia.
Tidak, hal itu tidak boleh terjadi. Dia harus cepat-cepat pulang ke kampungnya. Tak peduli apakah dia
akan dicap penakut karena melarikan diri dari Michiko, setelah ziarah dia tak perduli, soal dilayani atau tidak
tantangan Michiko itu soal lain. Pokoknya dia harus ziarah, dengan pikiran demikian lalu dia melangkah lagi
kearah hotelnya. Dia akan pulang dengan kereta api pagi ini. Namun ketika kakinya menjejak halaman hotel
hatinya berdebar kencang sudah tibakah gadis itu dihotel" Di ruang tamu, pelayan yang tadi mengatakan
padanya tentang kehadiran Michiko kelihatan tengah menulis di buku tamu.
"Hai, ini dia bapak itu..!"pelayan itu berseru, Si Bungsu hampir terlonjak. Darahnya hampir berhenti
berdenyut, jantungnya hampir berhenti berdetak. Ternyata gadis itu telah ada dihotel pikirnya, bibirnya tibatiba kering.
(118) "Ada apa?" tanyanya setelah sejenak berdiam diri
"Tidak, saya gembira Bapak sehat-sehat saja"."jawab pelayan itu.
Srrr! Darah Si Bungsu berdesir kaget, ucapan pelayan itu seperti menyindirnya. "sehat-sehat saja"
bukankah itu suatu sindiran langsung, bahwa pelayan itu mengatakan kalau dia takkan "sehat-sehat saja" kalau
telah berhadapan dengan Michiko" apakah pelayan ini telah tahu maksud kedatangan Michiko untuk membalas
dendam padanya" "Dia belum pulang pak, tunggu saja sebentar lagi"."pelayan itu berkata seperti orang berbisik. Si Bungsu
menyumpah-nyumpah dalam hatinya. Jelas yang dimaksud pelayan itu adalah Michiko. Ternyata gadis itu
belum pulang kehotel, hatinya sedikit lega, dia melangkah kedalam kamarnya.
"Saya berangkat hari ini?"katanya sambil menerima kunci.
"Siang atau sore pak".."
"Pagi ini.." "Pagi ini?" "Ya?" "Ah, jangan terburu-buru pak"."Tapi Si Bungsu mengacuhkannya.
Dia membuka pintu kamar dan melirik ke kamar sebelah, kekamar yang dihuni oleh Michiko. Kamar itu
masih tertutup dan terkunci, dia mengemasi barang-barangnya lalu membayar sewa hotel.
"Bapak akan kemari lagi, bukan?" tanya pelayan itu. Si Bungsu tidak menjawab, dia menjinjing tas kecil
yang berisi pakaian, kemudian berangkat ke stasiun. Di stasiun gebalau orang-orang ramai terdengar seperti
lebah. Dia membali karcis.
"Masuklah Pak, sebentar lagi kereta berangkat" kata penjual karcis.
Si Bungsu belum sempat mengangguk ketika peluit panjang berbunyi. Tanda kereta akan berangkat. Dia
melangkah ke peron. Menyeruak di antara orang-orang ramai. Masuk ke kereta. Ketika dia terduduk di
bangkunya, hatinya terasa agak lega. Kereta itupun mulai bergerak. Suaranya mendesis, gemuruh. Angin dari
sawah dari kampung Tengah Sawah yang berada di seberang stasiun menampar-nampar wajahnya.
Perasaan tenteram menyelusup ke hatinya. Dia menarik nafas panjang. Rasanya lega benar
meninggalkan kota ini. Makin cepat makin baik. Ah, demikian takutnya kah anak muda ini pada Michiko"
Apakah mimpinya malam tadi membuat hatinya jadi goyah" Tak ada yang tahu dengan pasti. Namun memang
benar, bahwa hatinya amat lega dapat cepat-cepat meninggalkan kota itu. Entah mengapa, hatinya amat lega
bisa cepat-cepat naik kereta api menuju Payakumbuh, untuk ziarah ke makam keluarganya.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 412
Kereta berlari terus. Saat itu telah melewati sawah-sawah yang membentang di Tanjung Alam. Saat itu
pula, di bahagian Belakang, di antara para penompang yang duduk bersesak di gerbong tiga, empat orang lelaki
saling berbisik. Kemudian mereka mulai berdiri. Dua orang berjalan ke depan. Dua orang lagi melihat-lihat
situasi. Sepuluh menit kemudian mereka berkumpul lagi di gerbong tiga. Kembali berbisik-bisik.
"Ada dua orang polisi di gerbong dua dan seorang di gerbong satu," bisik yang seorang.
"Mereka membawa bedil?" tanya yang seorang dengan tetap berbisik.
"Seorang pakai pistol, dua lainnya berbedil panjang"." bisik yang seorang lagi.
Keempat lelaki itu berunding lagi dengan saling berbisik. Penompang-penompang melihat dengan diam.
Tak seorangpun tahu apa yang diperbisikkan mereka di antara deru roda kereta api itu. Namun ada salah
seorang di antara polisi menjadi curiga. Dia melihat dua orang lelaki bertampang kasar mondar-mandir dari
gerbong dua ke gerbong satu. Dengan tidak menimbulkan kecurigaan, dia memperhatikan perangai kedua
lelaki itu. Mereka nampaknya seperti memperhatikan penompang satu demi satu. Memang tak begitu kentara.
Tapi sebagai seorang polisi, dia dapat menangkap maksud tak baik dari gerak gerik kedua lelaki itu.
Ketika kedua lelaki itu bergabung dengan temannya di gerbong tiga, diam-diam polisi itu
membuntutinya, lalu melihat dari kejauhan. Tiba-tiba dia seperti teringat pada seseorang. Dia seperti mengenal
lelaki bertubuh besar yang tengah berbisik-bisik dengan tiga orang temannya itu. Dia coba mengingat-ingat.
Ketika dia teringat siapa lelaki itu, polisi tersebut segera menemui temannya yang duduk di sebelahnya tadi,
lalu berbisik. Polisi yang seorang itu tertegun.
"Tak ada teman-teman alat negara lainnya di dalam kereta ini?" bisiknya.
"Di gerbong dua ini hanya kita berdua. Di gerbong tiga tak ada seorangpun. Saya tak tahu apakah ada
alat negara lainnya di gerbong satu."
"Biasanya ada pengawalan tentara. Biar saya lihat, engkau tunggu di sini"." ujar polisi itu seraya tegak.
Dia segera menuju gerbong satu. Benar, di sana tak ada tentara seorangpun. Dia hanya bertemu dengan
seorang polisi lagi berpangkat Komandan Muda. Setelah memberi hormat dia berbisik pada polisi yang
memakai tanda pangkat dari aluminium dengan dua setengah garis di kelepak bajunya itu. Polisi itu tegak, lalu
sama-sama menuju ke gerbong dua. Bergabung dengan polisi yang tadi mengintai ke empat lelaki di gerbong
tiga itu. "Apakah pasti dia Datuk Hitam?" tanya komandan muda itu.
"Benar pak. Saya yakin itu pasti dia. Ada akar bahar melilit di lengan kanannya. Ada codet tanda luka di
pipi kirinya. Nampaknya dia mengatur sesuatu bersama tiga temannya di Gerbong tiga."
"Dia berbahaya. Apakah kita akan bisa menangkapnya?"
"Kita pasti bisa, Pak?"
"Barangkali bisa. Tapi akan banyak jatuh korban di antara penumpang"
Kemungkinan terjadinya hal terburuk itu, yaitu jatuhnya korban di antara penumpang menyebabkan
para polisi itu berunding mencari jalan terbaik. Bagaimana penumpang tidak menjadi korban, tapi datuk kalera
itu bisa diringkus. Kalau melawan dibunuh saja sekalian. Kereta api meluncur terus. Saat itu sudah hampir
sampai di Stasiun Baso. Ketiga polisi itu duduk kembali. Mereka tak ingin rencana mereka diketahui oleh
kawanan Datuk Hitam itu. Ya, lelaki yang sedang berencana dengan ketiga temannya itu memang benar Datuk
Hitam. Lelaki yang dulu akan merampas uang yang diberikan oleh Si Bungsu pada Reno dan suaminya yang
tukang saluang di Los Galuang. Datuk itu adalah seorang penjahat yang baru pulang dari Betawi.
Di ibukota sana dia juga dikenal sebagai pemakan masak matah. Sebenarnya dia tidak bergelar datuk.
Dia bukan pula ninik mamak. Tapi karena tubuhnya hitam dan dia kepala begal, maka orang memanggilnya
sebagai Datuak Hitam. Semacam sindiran, datuk dari dunia hitam. Kini dialah yang berada di kereta api itu.
Kereta memasuki Desa Baso. Polisi itu menyebar ke pintu. Namun mereka terkejut. Penompang-penompang
juga heran. Kereta tak dilambatkan oleh masinis, tapi meluncur terus melewati Baso.
"Celaka, ada yang tak beres pada masinis?"
Bisik polisi yang berpangkat komandan muda, dia bergegas menemui temannya.
"Ayo ke depan, temui masinis?" katanya.
"Masinis di belakang?" kata polisi yang seorang.
"Di belakang..?"
"Ya, lokomotifnya berada di belakang, nampaknya kereta ini datang dari Padang Panjang. Biasanya di
Bukittinggi kepalanya ditukar, diletakkan di depan. Tapi yang satu ini nampaknya tidak"."
"Kalau begitu mereka telah mengancam masinis"." kata komandan muda itu.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 413
Ucapan polisi itu ternyata benar. Kawanan Datuk Hitam itu rupanya mengetahui bahwa rencana mereka
dicium oleh beberapa polisi yang ada dalam kereta api tersebut. Maka salah seorang di antara mereka segera
disuruh Datuk Hitam untuk menyergap masinis.
"Jalankan kereta terus?" seorang lelaki bertubuh besar mengancam si masinis.
Masinis itu menyangka orang ini bagarah. Dia sudah memperlahan kereta ketika akan memasuki Baso.
Tapi sebuah tikaman di lengannya membuat dia terpekik.
"Saya akan tikam jantungmu, kalau kau tak mengikuti perintah saya"." lelaki itu mengancam. Si masinis
yakin bahwa orang ini memang tak main-main. Dia jadi kecut, lalu kembali mempercepat keretanya. Orangorang yang sudah berkumpul di Stasiun Baso merasa heran ketika melihat kereta itu tiba-tiba menambah
kecepatan. Lalu semua pada berseru, ketika kereta itu lewat di depan mereka dengan kecepatan yang
dipertinggi. "Tarik rem bahaya"." komandan muda itu berseru.
Dua orang di antara polisi segera menjangkau ke atas mencari tempat rem bahaya. Namun saat itu pula
terdengar sebuah letusan. Salah seorang di antara polisi itu terpekik. Tangannya disambar peluru. Lalu
terdengar suara mengancam dari arah belakang.
"Jangan main-main. Kalau tak ingin kutembak?"
Mereka menoleh. Di sana berdiri Datuk Hitam dengan pistol di tangan. Orang jadi panik dan mulai
berdiri. Kembali terdengar tembakan. Seseorang memekik, lalu rubuh.
"Semua diam di tempat kalau ingin selamat! Diammm"!" terdengar bentakan si Datuk mengguntur.
Semua penompang terdiam. Polisi yang dua lagi menghunus senjata.
"Lemparkan senjatamu, Datuk! Kalian tak mungkin membalas. Kami memiliki senjata lebih banyak dari
kalian?" komandan muda itu berseru.
Sebagai jawabannya, terdengar tawa cemooh.
"Kau polisi kentut! Jangan banyak bicara. Kau lemparkan senjatamu ke mari. Kalau tidak, kami akan
mulai membantai penumpang!"
Polisi yang bertiga itu saling pandang di tempat perlindungan mereka, di antara kursi. "Jangan main gila,
Datuk. Kalian akan digantung kalau kalian berani mengganggu penumpang. Di Stanplat Padang Tarok ada satu
kompi tentara. Kalian pasti mereka tembak!" Kembali terdengar tawa penuh cemooh.
"Jangan banyak kecek waang, polisi tumbuang. Kalau kau tak percaya, bahwa kami akan membantai
penompang ini, ini buktinya!"
Terdengar sebuah tembakan. Seseorang meraung dan jatuh! Terdengar pekik panik. Lalu bentakan
menyuruh diam. Semuanya kembali terdiam.
"Nah, polisi cirik, dengarlah! Kami telah peringatkan kalian. Kalau ada di antara penumpang ini yang
mati, maka itu salah kalian. Bukan salah kami, kalian dengar!" Kalian yang tak mau menuruti perintah kami.
Apakah perlu saya tambah jumlah yang mati?" "Benar-benar anjing yang tak berperikemanusiaan"!" bisik
komandan muda itu. Mereka memang tak berdaya. Disatu pihak mereka ingin menangkap bajingan-bajingan itu. Ingin
menyelamatkan penumpang. Tapi ternyata bandit-bandit itu mempunyai pertahanan yang ampuh. Menjadikan
penumpang sebagai sandera.
"Saya hitung sampai empat. Kalau kalian tak melemparkan senjata kalian, maka ada empat orang yang
akan mati! Satu"!" Datuk Hitam itu segera saja menghitung.
"Baik, kami akan melemparkan senjata kami. Tapi apa kehendakmu, Datuk?"
"Jangan ikut campur urusan kami. Apapun kehendak kami bukan urusanmu. Dua"!" dia melanjutkan
hitungannya. Namun tiba-tiba saja sebuah suara memecah dari arah gerbong yang berada di belakang Datuk Hitam.
"Kau takkan pernah menghitung sampai tiga, Datuk!"
Datuk Hitam menoleh, ke belakangnya. Di sana sebenarnya ada dua anak buahnya yang tegak
menodongkan bedil kepada penumpang. Demi malaikat!, kedua anak buahnya itu kini tergeletak dengan kening
mengalirkan darah dan mata mendelik. Keduanya tergeletak mati! Diantara bangkai kedua anak buahnya itu
tegak dengan tenang seorang lelaki yang dia kenal betul. Yaitu lelaki yang menghantam kerampangnya di suatu
sore di Los Galuang, tatkala dia akan merampas uang yang diberikan lelaki itu kepada tukang salung. Kini lelaki
yang menghajarnya itu tegak di sana, dan dialah yang barusan bicara!
Belum habis kagetnya, ketika di ujung gerbong yang satu lagi, yang berada di hadapannya, seorang anak
buahnya yang juga tengah menodongkan bedil kena hantam popor senjata polisi yang muncul secara tiba-tiba.
Anak buahnya itu jatuh melosoh dan bedilnya diambil anggota polsi tersebut. Sadar dirinya dalam bahaya,
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 414
Datuk itu menarik pelatuk pistol yang sejak tadi larasnya dia arahkan ke kepala seorang perempuan. Namun
telunjuknya yang sudah menempel di pelatuk pistol itu tak kunjung bisa dia gerakkan. Bersamaan dengan itu
dia merasakan belikatnya linu luar biasa.
Dia tak tahu bahwa sebuah samurai kecil telah tertancap di salah satu bagian belikatnya, yang
menyebabkan tangannya lumpuh! Datuk itu kembali menarik pelatuk pistolnya, tapi jangan menariknya,
menggerakkan telunjuknya saja dia tak mempunyai kemampuan. Sementara sakit di belikatnya terasa semakin
menusuk jantung. Mengetahui bahwa Datuk Hitam itu tak bisa menggerakkan tangannya, suami perempuan
yang sejak tadi menggigil karena ditodong Datuk keparat itu, menyentak parang yang memang dia bawa untuk
menjaga diri, tapi sejak tadi takut dia mempergunakannya karena isterinya berada di bawah ancaman moncong
pistol. Parang tajam itu dia tebaskan, dan..tangan Datuk Hitam yang memegang pistol itu putus. Tercampak ke
lantai gerbong dengan pistol masih dalam genggaman tangannya yang putus itu! Datuk celaka itu sebenarnya
tadi sudah berusaha menjauhkan tangannya dari tebasan itu. Namun entah sihir apa yang mengenai dirinya,
tangannya tak mampu dia gerakkan sedikitpun! Lalu, begitu tangannya putus dia meraung-raung kesakitan!
Namun tetap berdiri tak bisa bergerak sedikitpun! Melihat kesempatan itu lelaki dan perempuan yang
ada di gerbong tersebut, yang tadi berada di bawah ancaman Datuk itu dan anak buahnya, bangkit serentak
merangsek ke arah Datuk yang amat ditakuti dan dibenci itu. Dengan segala apa yang bisa diraih mereka
menghantam Datuk tersebut yang tetap saja tegak tak bisa bergerak sedikitpun!
Dia meraung dipelasah para penompang yang sudah muak melihat kekejamannya. Akhirnya, massa baru
kembali ke tempatnya setelah Datuk itu tergelimpang mereka hakimi sampai kepalanya pecah dan leher
hampir putus, mata mendelik dan lidah terjulur! Itulah akhir riwayat orang Minang yang menjadi penjahat
amat sadis dalam kecamuk perang saudara. Datuk pemakan masak mentah, orang kampungnya sendiri dia
jahanami. Berakhir sudah sebuah kelompok penjahat yang amat kejam, ditakuti sekaligus dibenci masyarakat
di tanah Minang selama pergolakan itu.
(119) Saat itu pula kereta berhenti di stasiun Payakumbuh. Polisi yang bertiga itu mencari anak muda yang
tadi melumpuhkan kedua begal di gerbong tersebut. Mereka ingin mengucapkan terimakasih. Namun Si
Bungsu sudah berbaur di dalam orang ramai yang turun di stasiun. Dia ke pasar dan lenyap dalam palunan
orang ramai. Kemudian segera menuju ke perhentian bendi. Dia ingin segera sampai ke kampungnya, Situjuh
Ladang Laweh. Niatnya pulang ke kampung hanya satu, ziarah ke makam ibu, ayah dan kakaknya!
Hari sudah malam. Di dalam sebuah kedai kecil kelihatan berkumpul walinagari dan lelaki tua pemilik
kedai serta anak gadisnya. Selain itu ada tiga orang lelaki berbedil. Mereka nampaknya dari pasukan PRRI. Hal
itu jelas kelihatan dari pakaian yang dikenakan ketiganya. Yang satu pimpinan di antara mereka, di
pinggangnya tersisip dua pistol. Satu di kiri dan satu di kanan. Yang dua lagi memakai senapan laras panjang.
Mereka tidak memakai pakaian seragam. Ketiganya menatap kepada pemilik kedai itu dengan muka tak
bersahabat. Sementara lelaki tua pemilik kedai dan anak gadisnya duduk dengan wajah kecut. Ketiga anggota
PRRI itu nampaknya sedang mengorek keterangan dari si pemilik kedai.
Soalnya seminggu yang lalu seregu pasukan APRI datang ke kampung ini dan ke dua kampung lagi yang
berdekatan. Beberapa dari mereka singgah di kedai ini, cukup lama. Sehari kemudian dua buah rumah di
kampung ini disergap sepeleton tentara APRI. Mereka menangkap tiga anggota PRRI dari rumah itu, berikut
lima bedil yang ada di sana. Setelah penggerebekan, sebagian pasukan kembali ke Payakumbuh. Sebagian lagi
berjaga-jaga di kampung itu. Empat orang di antaranya kembali masuk ke kedai tersebut. Cukup lama. Mereka
baru keluar setelah berada di dalam kedai itu sekitar dua jam.
Kedua anak beranak itu dikumpulkan di kedai mereka, dijaga oleh seorang anggota PRRI. Sementara
yang dua lagi naik mengobrak-abrik dua kamar di rumah. Mereka menemukan kaleng tempat menyimpan
uang, kemudian gelang, subang dan kalung emas. Semuanya dibungkus dengan saputangan dan dibawa ke
kedai lalu diserahkan kepada si komandan. Kedua anak beranak itu hanya menatap dengan diam dan
ketakutan. Melawan bisa mendatangkan celaka. Dalam negeri bergolak ini hukum ada di ujung bedil.
Mereka tak berani menyanggah apapun, sebab kemaren ketiga orang ini pula yang menembak mati Amir
dan isterinya di dalam rumah mereka tak jauh dari kedai mereka ini. Amir dan isterinya adalah pedagang yang
menggelar dagangannya di kampung-kampung pada hari balai. Jika misalnya hari Kamis balai di Gaduik,
mereka berjualan di Gaduik. Tapi hari Rabu dan Sabtu mereka berjualan di Bukittinggi, karena hari itu adalah
hari pasar di kota tersebut.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 415
Kedua suami isteri itu dituduh sebagai "mata-mata tentara Pusat". Tapi semua orang dikampung itu
tahu, kedua mereka sudah lama dijadikan ketiga orang ini sebagai sapi perahan. Dimintai beras, uang, laukpauk, pakaian dan lain-lain. Bisik-bisik yang beredar mengatakan mereka dibunuh karena menolak dijadikan
sapi perah. Dikabarkan mereka akan melapor kepada komandan pasukan PRRI atas sikap ketiga orang itu.
Sebelum sempat melapor, mereka dibunuh dengan tuduhan mata-mata pusat! Pemilik kedai itu tak mau nasib
yang sama menimpanya, karena itu dia pasrah saja ketika rumahnya digeledah dan uang serta perhiasan
anaknya diambil. "Nah jelaskan apa tujuan tentara kapir itu singgah ke kedai ini..!" ujar si komandan memulai interogasi.
"Mereka singgah di sini meminta ditanakkan nasi.." ujar lelaki tua pemilik kedai.
"Kedai ini kan bukan rumah makan.."
"Saya sudah jelaskan hal itu, Ngku. Tapi mereka tetap menyuruh Siti bertanak, bagaimana kami harus
menolak?" "Apa saja yang mereka tanyakan?"
"Tidak ada?" Jawaban lelaki itu terputus, sebuah tinju mendarat di bibirnya. Lelaki itu terhuyung, darah mengalir dari
bibirnya yang pecah, anak gadisnya terpekik dan memeluk ayahnya. "Jika tidak ada yang berkhianat, takkan
terjadi penangkapan tiga orang anggota kami di kampung ini. Sehari setelah mereka makan di kedai ini terjadi
penangkapan di dua rumah. Jelas tentara-tentara kapir itu telah mendapat informasi. Dan informasi itu datang
dari kalian di kedai ini.."
"Demi Tuhan, sa?"
Ucapan lelaki tua itu terputus lagi oleh sebuah tendangan yang mendarat telak di dadanya.
Menyebabkan dia terjatuh dan muntah darah. Anak gadisya memekik. Namun tubuhnya disentakkan oleh salah
seorang anggota PRRI tersebut.
"PRRI juga sering minta ditanakkan nasi di sini. Dan selalu saya tanakkan, kendati malam telah amat
larut. Kami tak pernah menolak orang minta tolong. Tapi hanya itu, kami tidak memberikan informasi apapun,
karena kami tidak tahu apapun. Pak Wali, tolong ayah saya.." mohon gadis itu dalam tangisnya kepada
walinagari yang duduk terdiam dengan wajah kecut.
Walinagari itu ingin membela, dia tahu lelaki tua pemilik kedai ini takkan berkhianat pada siapapun. Ke
kedai ini tidak hanya anggota APRI yang singgah, tapi juga anggota PRRI. Itu disebabkan di desa kecil ini hanya
Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
inilah satu-satunya kedai yang ada. Kedai kecil menjual pisang dan ubi goreng, kerupuk jangek dan kerupuk
palembang, kemudian kopi dan teh.
Pagi sekali penduduk kampung ini selalu singgah minum kopi dan makan pisang goreng sebelum mereka
berangkat ke sawah atau ke Payakumbuh. Sore, terkadang malam hari, mereka juga sering ngumpul di kedai
ini untuk main domino sebagai satu-satunya hiburan. Biasanya ada hiburan mendengarkan siaran radio, tapi
yang punya radio transistor di kampung ini hanya seorang, Amir. Dan dia sudah mati ditembak. Radio
transistornya dibawa PRRI entah kemana.
Walinagari berpikir, bagaimana dia akan menjelaskan bahwa pemilik kedai ini tidak berkhianat pada
siapa pun" Salah-salah dia pula yang akan dituduh berkomplot sebagai mata-mata pusat. Apalagi mereka masih
punya hubungan saudara. "Ikut kami ke markas di gunung.." ujar si komandan yang di pinggangnya tergantung dua pistol.
Lelaki tua itu jadi pucat, anaknya meratap-ratap. Suara ratapnya terdengar ke rumah-rumah berdekatan.
Namun dalam malam gelap seperti sekarang, tak seorangpun yang berani keluar dari rumahnya untuk melihat
apa yang terjadi. Apalagi mereka tahu, setelah isa tadi tiga anggota PRRI masuk ke kedai itu bersama walinagari.
Mereka sudah maklum akan apa yang telah dan akan terjadi, bila ada anggota PRRI yang datang ke salah satu
rumah di malam hari. Siti masih meratap dan meronta dari pegangan salah seorang anggota PRRI itu saat terdengar pintu
kedai dibuka dari luar, dan suara mengucap salam. Semua menoleh ke pintu yang baru terbuka, semua melihat
seorang lelaki masuk tanpa menunggu salamnya dijawab. Orang yang baru masuk itu menyapu semua yang
hadir dengan tatapan matanya. Hanya sesaat, kemudian perlahan dia menuju ke kursi kayu panjang di dalam
kedai itu. "Sudah larut sekali, untung Bapak belum tidur. Boleh saya memesan kopi panas?" ujar orang itu sambil
meletakkan tongkatnya di meja.
Semua yang ada dalam kedai kecil itu menatap terheran-heran kepada orang yang baru masuk itu, yang
nyelonong saja masuk dan duduk tanpa permisi.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 416
"He Sanak, kedai sudah tutup. Tak tahu sudah larut malam"!" sergah si komandan "Sudah larut dan sudah
tutup, tapi Sanak masih di sini. Itu tanda kedai masih buka kan?"
Si komandan memberi isyarat pada salah seorang anak buahnya, untuk mengusir orang itu keluar. Anak
buahnya mendatangi meja lelaki yang baru masuk itu. Dengan geram yang ditahan-tahan dia lalu berkata dari
seberang meja, "Jangan mencari persoalan, Sanak keluarlah selagi masih sempat.."
Lelaki itu menatap anggota PRRI itu dengan pandangan biasa-biasa saja. Lalu dia menoleh dan bicara
anak si pemilik kedai. "Bisa saya memesan secangkir kopi Siti.." "
Gadis yang ditanya tertegun. Suara dan pertanyaan yang hampir sama rasanya pernah dia dengar. Suara
yang nyaris tak pernah dia lupakan. Tapi alangkah sudah lamanya zaman berlalu. "Baiklah, nampaknya
kehadiran saya di sini memang tidak diingini. Maafkan saya?" ujarnya sambil berdiri dan meraih tongkatnya
yang terletak di meja. "Tunggu, ss"saya buatkan kopi. Masih ada air panas di termos.." ujar Siti tergagap sambil bergegas ke
dekat meja tempat dia biasa membuatkan kopi untuk tamu.
"Keluarlah, sebelum sanak celaka!" desis anggota PRRI yang tadi menyuruhnya keluar.
Tamu itu menatapnya sesaat. Kemudian sambil tersenyum dia kembali duduk.
"Izinkan saya minum kopi dulu, sudah lama sekali saya tidak singgah di kedai ini. Hei, mulut Bapak
berdarah..kenapa" Masih ingat pada saya Pak?"
"Bungsu"." ujar lelaki tua pemilik kedai itu seperti tak mempercayai pandangannya. Mendengar nama
itu Siti terhenti, dia menatap tamu yang duduk itu dengan dada berdebar. "He! Waang mata-mata Pusat ya"!"
hardik si komandan sambil mencabut pistolnya. Tindakannya diikuti oleh kedua anak buahnya dengan
mengokang bedil. Seperti tidak mengacuhkan hardikan itu, Si Bungsu berkata pada Siti yang tegak di seberang
meja di depannya. "Apapun yang akan terjadi, Siti, lihat saja dan tetaplah diam?"
Siti seperti mendengar kembali kata-kata yang sama, yang diucapkan oleh orang yang sama dari masa
lalu yang amat jauh. Kala itu empat serdadu Jepang akan melaknatinya, lelaki ini tiba-tiba saja muncul
menyelamatkannya. Keempat serdadu Jepang itu mati dimakan samurainya! Siti nanap menatap lelaki yang
bertahun lamanya berada dalam hatinya, dalam mimpinya. Seperti dahulu, dia mengangguk perlahan. Si
Bungsu lalu berkata pada komandan yang menghardiknya.
"Sanak, Bapak ini sudah menyebutkan siapa nama saya. Kampung saya sedikit di atas kampung ini. Di
Situjuh Ladang Laweh. Saya tidak..!"
"Diam! Tembak mata-mata jahanam ini..!" hardik si komandan memutus perkataan Si Bungsu.
Kedua anak buahnya serentak mengangkat bedil dan mengacungkannya ke arah Si Bungsu, kemudian
bersamaan menarik pelatuk bedil mereka. Siti tertegak kaku, cangkir kopi masih di tangannya, belum sempat
dia taruh di meja di depan Si Bungsu. Tapi, seperti berhadapan dengan empat tentara Jepang dahulu, terjadilah
apa yang harus terjadi. Si Bungsu mengibaskan tangan kirinya. Dua detik berlalu, lima" enam..sepuluh detik!
Tak sebuah letusanpun yang terdengar. Yang terdengar hanya suara seperti jatuhnya sebuah kerikil kecil ke
lantai. Hanya itu! Ketujuh orang di dalam kedai kecil itu terdiam di tempatnya masing-masing.
Orang pertama, lelaki tua pemilik kedai, terduduk di kursi kayu dua depa dari tempat Si Bungsu. Duduk
diam dengan sisai-sisa darah masih mengalir dari mulutnya. Orang kedua si walinagari, duduk tak jauh dari
tempat duduk pemilik kedai itu. Di sampingnya, antara walinagari dengan pemilik kedai, tegak orang ketiga
yaitu si komandan, dalam posisi masih mengacungkan pistol ke arah Si Bungsu. Di depan agak ke kanan Si
Bungsu, serta di belakangnya tegak orang keempat dan kelima, yaitu anggota PRRI dengan telunjuk di pelatuk
bedil yang bedilnya diarahkan ke kepala Si Bungsu.
Orang ke enam adalah Siti, yang masih tertegak diam di seberang meja di depan Si Bungsu. Di tangannya
masih terpegang secangkir kopi panas yang mengepulkan asap dalam udara dingin di pinggang Gunung Sago
itu. Orang ketujuh adalah Si Bungsu. Setelah mengibaskan tangannnya dia lalu mendekati pemilik kedai yang
mulutnya masih berdarah itu. Dari kantongnya dia mengeluarkan sebuah bungkusan kecil. Dari sana dia
mengambil semacam daun dan kulit kayu yang sudah dikemas sebesar anak korek api.
"Telanlah ini, Pak?" ujarnya.
Lelaki itu, dengan masih berdiam diri menelan obat yang disodorkan Si Bungsu ke tangannya. Beberapa
kali, dengan perasaan amat ketakutan, dia melihat bergantian kepada ketiga anggota PRRI yang ada di dalam
kedainya. Namun ketiga orang itu masih tegak dengan diam, mata melotot, namun tak bergerak seperti kena
sihir. Saat kembali ke kursinya Si Bungsu memungut sesuatu di lantai di dekat ketiga anggota PRRI itu.
Nampaknya benda yang tadi terdengar seperti kerikil jatuh ke lantai.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 417
Benda itu tak lain dari samurai kecil yang selalu tersisip di sebuah sarung kulit di lengannya. Samurai
itu tadi yang dia gunakan saat mengibaskan tangan kanannya kepada ketiga orang itu. Hanya biasanya yang
dia pergunakan untuk membunuh orang adalah ujung samurai kecil itu, yang luar biasa runcing. Kibasan
tangannya dengan tehnik khusus menyebabkan samurai kecil itu, tiga dikiri dan tiga di kanan, meluncur amat
cepat bisa membunuh orang jika diarahkan ke antara dua mata, ke dada tentang jantung, atau ke urat nadi
utama di leher. Tapi kepada ketiga anggota PRRI itu dia tidak mau menurunkan tangan kejam. Hanya hulu samurai kecil
itu yang dia pergunakan menghantam urat nadi di bahu ketiga lelaki itu. Lemparan itu membuat mereka
tertotok lumpuh. Setelah menyisipkan ketiga samurai kecil itu di lengannya, kemudian ditutup dengan lengan
baju panjang yang dia pakai, Si Bungsu kembali ke kursinya semula. Duduk dengan tenang menunggu kopi
panas yang dia pesan. Karena kopinya belum juga diletakkan, dia lalu bertanya.
"Menunggu kopi itu dingin, baru diberikan pada saya, Siti?"
Siti yang sejak tadi hanya memperhatikan apa yang dilakukan Si Bungsu, seperti terbangun dari mimpi.
Dia bergerak, dan meletakkan cangkir kopi di meja di depan Si Bungsu. "Terimakasih, Siti. Apa tak lebih baik
Siti buatkan juga kopi untuk ayah Siti dan Bapak yang satu itu?"
"Ya..ya, akan saya buatkan.." ujar Siti, tapi tiba-tiba dia terhenti. Seperti ingat sesuatu, dengan gugup dan
takut dia menoleh pada komandan PRRI itu, kemudian pada kedua anak buahnya. Ketiga mereka tetap tegak
tak bergerak sedikitpun, kecuali matanya yang plarak-plirik ke kiri dan ke kanan dengan wajah pucat.
"Oh ya, penat juga memegang bedil sambil berdiri terus menerus?" ujar Si Bungsu sambil melangkah
dan mengambili bedil serta pistol dari tangan ketiga orang itu. Lalu mendudukkan mereka di kursi kayu
terdekat. Sama sekali tak ada perlawanan dari mereka. Usahkan melawan, mempertahankan bedil itu saja untuk
tak diambil Si Bungsu mereka tak bisa. Kini mereka tetap duduk dengan tangan seolah-olah masih memegang
bedil dan pistol. Ketika senjata api itu diletakkan Si Bungsu di atas meja di depan si komandan.
"Buatkanlah, bapak-bapak ini takkan mengganggu kita sama sekali. Sebelum totokannya pulih, mereka
tak bisa mendengar apapun yang kita bicarakan. Selain menotok saraf untuk bergerak, totokan itu juga
mengenai saraf pendengaran yang menyebabkan mereka tak bisa mendengar sekaligus tak bisa bicara," ujar Si
Bungsu seperti menjawab ketakutan Siti, walinagari maupun ayahnya.
Setelah menatap kepada tiga anggota PRRI yang terduduk seperti orang linglung itu, Siti lalu
membuatkan kopi panas untuk ayahnya dan walinagari. Kedua orang itu pindah ke meja panjang di depan Si
Bungsu duduk. "Lama kita tak bertemu, Pak.." ujar Si Bungsu tatkala ketiga orang itu, walinagari, pemilik kedai dan Siti,
duduk di depannya. Dia menyalami ketiga orang itu.
"Masih ingat engkau rupanya pada kami, Bungsu?"
"Bukankah ketika akan pergi dulu, saya berjanji jika pulang ke Situjuh saya akan singgah kemari"
Sekarang saya tepati janji saya. Saya pulang ingin ziarah ke makam keluarga. Tak ada bendi yang mau
mengantar saya ke Ladang Laweh karena ada peperangan, saya terpaksa jalan kaki. Hari sudah larut, ketika
lewat tadi saya dengar masih ada suara di kedai ini. Itu sebab saya singgah.." ujar Si Bungsu sambil menghirup
kopi. "Hmm..enak kopimu, Siti. Sekarang sudah pakai gula.."
Siti tak tersenyum, kendati ucapan Si Bungsu mengingatkan dia tatkala dahulu ketika ada empat tentara
Jepang di kedai ini. Saat itu, saking ketakutannya dia memberi Si Bungsu kopi tanpa gula. Dia tidak tersenyum
karena matanya nanap menatap anak muda itu. Dia serasa bermimpi bisa bertemu lagi.
"Kata orang.., maaf..kata orang Uda sudah meninggal?" ujar Siti lirih.
Si Bungsu menatapnya. Ucapan yang sama pernah dia dengar dari mulut Reno Bulan, tunangannya di
masa yang sangat remaja, yang kini bersuamikan tukang saluang di Bukittinggi. Rupanya kabar yang tersebar
itu benar adanya. Kabar yang disebarkan oleh pedagang yang bolak balik dari Payakumbuh ke Pekanbaru dan
ke Tanjungpinang. Dia teringat saat bersama pejuang-pejuang dari Desa Buluhcina menyergap tentara Belanda
di pendakian Pasirputih. Sebuah tempat antara Dusun Marpoyan dan Desa Buluhcina.
Saat itu dia memang ditembak oleh dua orang tentara Belanda. Dalam situasi amat kritis dia di bawa
pejuang-pejuang Buluhcina ke desa mereka. Di sana dia mereka rawat sampai sembuh, lalu baru melanjutkan
perjalanannya ke Jepang melalui Singapura. Kabar dia tertembak itulah yang ditafsirkan dia meninggal, yang
ternyata menyebar di Pekanbaru, kemudian didengar dan menyebar dari mulut ke mulut diantara pedagang
asal Payakumbuh, Bukittinggi dan sekitarnya. Kabar itu ternyata menyebar pula sampai ke kampungnya.
"Ya, banyak orang mendengar kabar seperti itu, Siti. Dan saya memang tertembak dan menduga akan
dijeput maut. Tapi Alhamdulillah Tuhan masih memperpanjang umur saya?" ujarnya perlahan.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 418
Setelah lama sepi, Si Bungsu tiba-tiba bertanya.
"Pak Wali, mengapa kampung-kampung yang saya lalui banyak rumah yang lapuk seperti tak
berpenghuni..?" (120) "Bukan seperti tidak berpenghuni, Bungsu. Memang tidak lagi ada penghuninya" "Kemana
penghuninya?" "Ada yang ikut bergerilya ke hutan. Bagi kaum lelaki yang ikut ke hutan, keluarganya diungsikan ke Jawa
atau Tanjung Pinang dan Pekanbaru. Pokoknya ke tempat yang tidak dilanda perang. Tapi sebagian besar dari
penduduk pergi merantau. Mereka meninggalkan negeri yang diamuk perang ini. Itu terjadi di belasan
kampung dalam Luhak Limapuluh ini. Ada yang membawa semua anggota keluarga, ada yang lelaki saja duluan.
Kemudian setelah mendapat tompangan di rantau mereka menjemput anak bininya. Soal ada atau tidak ada
pekerjaan di rantau itu soal kedua. Yang jelas menghindar dulu dari keadaan yang tak menentu di kampung.
Ada yang ke Pekanbaru, ke Tanjungpinang, banyak yang ke Jawa. Tapi ada pula beberapa orang mencoba
peruntungan di Negeri Sembilan, Malaya, sebagaimana halnya Sutan Sinaro suami Siti.."
Si Bungsu menatap Siti, yang ternyata sudah bersuami.
"Sudah lama Sutan Sinaro ke Malaya, Siti?"
Gadis itu tak segera menjawab. Sesaat dia menatap Si Bungsu, lelaki yang entah mengapa selalu dia
tunggu sebelum akhirnya memutuskan menikah, setelah dia mendengar orang yang dia harapkan ini terbunuh
di Pekanbaru. Kendati telah menikah, namun dia tak pernah bisa melupakan anak muda itu. Masih dia ingat
ketika tangannya digenggam Si Bungsu di larut malam ketika akan meninggalkan kedainya ini, setelah
membantai empat orang serdadu Jepang.
"Sudah tiga bulan, sudah ada kabar akhir bulan ini dia akan kemari menjemput kami. Uda Sutan
mendapat pekerjaan sebagai mandor kecil di perkebunan karet di sana.." ujar Siti perlahan sambil menunduk.
"Syukurlah kalau begitu. Menjadi mandor perkebunan itu suatu pekerjaan terpandang. Di Singapura
saya dengar memang sudah mulai banyak orang awak yang mengadu nasib di Malaya. Lagipula, memang
sebaiknya merantau dulu selagi kampung kita ini dilanda perang. Di sini nyawa manusia kadangkala tak lebih
berhaga dari nyawa seekor ternak?" Lama mereka sama-sama terdiam. Lalu Si Bungsu menoleh kepada tiga
anggota PRRI yang masih duduk tak bergerak-gerak itu. Dia berdiri, menghampiri mereka satu persatu,
menotok urat di lehernya. Terdengar ada yang batuk, ada yang melenguh. Namun tetap tak bisa bergerak.
Mereka hanya sekedar bisa mengerakkan kepala, mendengar dan bicara.
"Nah Sanak bertiga, dengarlah. Sanak pasti sengaja memisahkan diri dari induk pasukan, menyelusup ke
kampung-kampung di kaki Gunung Sago ini untuk merampok, bahkan membunuh orang yang melawan
kejahatan yang Sanak lakukan. Sanak benar-benar menangguk di air keruh. Dari logat bicara, amat jelas Sanak
bukan orang Luhak Limapuluh ini. Saya minta Sanak menyadari bahwa yang kalian lakukan menambah
sengsara penduduk yang memang sudah sengsara. Dulu sengsara di bawah penjajahan Belanda, lalu datang
Jepang menambah kesengsaran itu. Kini penduduk sengsara oleh perangai yang Sanak lakukan tanpa setahu
induk pasukan Sanak. Kalau mau terus berperang melawan tentara pusat, silahkan. Tapi jangan ganggu
penduduk yang tidak berdosa. Sanak ingatlah itu baik-baik?"
Sehabis berkata si Bugsu berdiri, mengambil ketiga bedil di meja. Meletakkannya di pangkuan masingmasing anggota PRRI itu. Kemudian menjentik urat di leher mereka, yang menyebabkan ketiga orang itu
terbebas dari totokan. Namun kendati telah bebas dari totokan, dan mereka sudah memegang bedil masingmasing, ketiga orang itu masih duduk termangu-mangu. Sampai akhirnya si komandan yang di pinggangnya
tergantung dua pistol itu bicara perlahan.
"Terimakasih, Sanak. Terimakasih. Kemurahan hati dan budi Sanak tidak hanya membuat kami sadar
pada kekeliruan kami selama ini, tapi sekaligus juga memperpanjang nyawa kami. Kami yakin, jika Sanak mau
sejak tadi dengan mudah kami Sanak bunuh. Semudah membalik telapak tangan. Terimakasih atas nasehat
Sanak. Sekali lagi terimakasih, Sanak telah memberi kesempatan bagi kami untuk tetap bisa bertemu dengan
anak dan isteri yang menunggu di kampung. Apapun kebaikan yang kami buat kelak, takkan mampu membayar
kebaikan sanak kepada kami. Kepada Bapak dan Siti, juga kepada Pak Wali, kami mohon maaf.," berkata begitu
si komandan lalu mengambil bungkusan saputangan berisi uang dan perhiasan yang tadi diambil anak buahnya
dari rumah, kemudian meletakkannya di atas meja di depan pemilik kedai tersebut.
"Sebelum subuh datang, sebaiknya kami pergi?"
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 419
Sehabis berkata, dengan berlinang air mata karena dibiarkan tetap hidup, si komandan menyalami Si
Bungsu, pemilik kedai dan walinagari, diikuti kedua anak buahnya. Lalu dengan sekali lagi mengucapkan
terimakasih pada Si Bungsu, mereka menyelusup keluar dari kedai itu. Lalu lenyap dalam gelap dan embun
subuh yang sejak tadi sudah menyelimuti kampung-kampung di kaki Gunug Sago itu. Kesunyian di kedai kecil
itu dipecahkan oleh suara lelaki tua pemilik kedai tersebut.
"Dua kali kau menyelamatkan kami, Nak. Engkau seperti malaikat yang dikirimkan Tuhan ke kedai ini,
persis di saat-saat yang sangat genting. Kami dua beranak tidak tahu bagaimana membalas budimu?"
Si Bungsu hanya menatap dengan tenang.
"Saya sangat lapar, apakah mungkin saya minta bantuan Siti menanakkan nasi" Saya rasa kita makan
dengan Pak Wali bersama-sama. Saya rasa besok belum tentu ada orang yang mau menanakkan nasi buat saya
di Situjuh Ladang Laweh. Di sana tak ada lagi sanak famili saya. Mamak saya suami isteri, sudah meninggal.
Anaknya Reno Bulan kini berjualan kain di Bukittinggi bersama suaminya."
Siti hiba hatinya saat Si Bungsu berkata "besok belum tentu ada orang yang mau menanakkan nasi buat
saya". "Saya akan tanakkan nasi untuk Uda. Tapi " bila Uda bertemu dengan kak Reno" Kabarnya hidupnya
susah, dia ikut suaminya yang tukang salung.."
"Saya bertemu dengannya beberapa bulan yang lalu. Sebelum peperangan besar melanda Bukittinggi.
Dulu suaminya memang tukang salung. Tapi berkat yakin, dari uang yang mereka kumpulkan sedikit demi
sedikit, kini mereka sudah berjualan kain di Los Galuang." Siti menatap lelaki yang tak pernah lenyap dari
hatinya itu nanap-nanap. Kemudian mulai menjerang nasi, menyiangi ikan limbat dan gurami yang dibeli sore
tadi dari orang yang memancing di sungai kecil tak jauh dari kampung itu. Kemudian menggorengnya dengan
cabe hijau yang dia giling. Sambil menanti Siti bertanak, ketiga lelaki itu terlibat pembicaraan tentang
pertempuran PRRI dan APRI di Bukittinggi. Tentang ratusan korban yang bergelimpangan yang dikumpulkan
di bawah Jam Gadang, yang tidak jelas apakah penduduk atau tentara PRRI.
Ketika azan subuh terdengar, walinagari minta diri seraya juga mengucapkan terimakasih kepada Si
Bungsu atas perannya menyelamatkan Siti dan ayahnya, sekaligus menyadarkan ketiga orang PRRI yang sering
jadi momok di kampung-kampung di kaki Gunung Sago itu. Si Bungsu menompang sembahyang subuh di
rumah itu. Mereka sembahyang berjamah, dengan ayah Siti sebagai Imam. Usai sembahyang Siti meletakkan
kopi dan ketan serta pisang goreng yang dia siapkan dengan cepat.
Tapi akhirnya tiba juga saat yang sangat dia takuti, sangat tidak dia ingini. Yaitu saat Si Bungsu minta
diri. Entah mengapa, dia ingin anak muda itu berada lebih lama lagi di rumahnya. Namun Si Bungsu sudah
minta diri. "Saya harus pergi, terimakasih masakanmu Siti. Selamat jalan kalau kelak Bapak dan Siti berangkat ke
Negeri Sembilan. Salam saya kepada suamimu, Sutan Sinaro, Siti?" ujar Si Bungsu. Siti menatap Si Bungsu,
kemudian tertunduk. Ada manik-manik air mengalir perlahan di pipinya.
"Akan lama Uda di Situjuh?"
"Saya tidak tahu, Siti. Seperti saya katakan tadi, di sana tidak ada lagi sanak famili saya.." "Kalau sebelum
kami pergi Uda lewat di sini, singgahlah. Saya akan menanakkan nasi untuk Uda.."
Rumah Gadang tempat dia lahir dan menjalani masa remaja, rumah dimana ayah, ibu dan kakaknya mati
ditangan Saburo dan pasukannya, masih terurus dengan baik. Dia dapat cerita dari Reno Bulan sewaktu di
Bukittinggi bahwa rumah itu kini dihuni kemenakan ayahnya. Waktu mereka bertunangan dulu kemenakan
ayahnya itu berada di Jambi, menikah dan berdagang di sana. Si Bungsu tak pernah mengenal kemenakan
ayahnya itu. Karenanya dia sengaja tak singgah di rumah tersebut. Kendati hatinya direjam rindu, namun dia
hanya melihat dari kejauhan saat akan menuju ke pekuburan. Sudah tiga hari dia di kampungnya ini. Pandam
pekuburan kaum dimana keluarganya dimakamkan sudah tak terurus dan ditumbuhi lalang padat.
Dia baru menemukan ketiga kuburan keluarganya itu setelah mencari dengan susah payah. Selama di
kampung dia tidur di masjid dimana dulu terjadi keributan karena tentara Jepang akan menangkap Sawal dan
Malano, dua pejuang yang sebeumnya mencuri senjata di gudang tentara Jepang di Kubu Gadang. Peristiwa itu
terjadi setelah dia ikut sembahyang berjamah di masjid itu. Sawal adalah anak haji yang menjadi imam di
masjid tersebut. Itu adalah hari pertama dia turun dari puncak Gunung Sago. Dan hari itu, untuk membela
Saleha, anak kedua Imam masjid dan sekaligus menolong Sawal dan Malano agar tak tertangkap, dia
membunuh ketiga Jepang yang datang itu. Itulah kali pertama dia membunuh tentara Jepang.
Kini tak ada lagi orang sembahyang berjamaah di masjid itu. Pergolakan merobah kampung itu, dan juga
kampung-kampung lain di pedalaman Minangkabau. Sebagaimana dijelaskan walinagari di kedai Siti, para
lelaki sebagian ada yang ikut masuk hutan bergerilya melawan tentara pusat dengan sukarela. Sebagaian lagi
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 420
ikut dengan terpaksa. Sebagian yang lain lagi pada meninggalkan kampung. Merantau ke Jawa, Tanjung Pinang
atau Pekanbaru. Sebagian besar yang tinggal di kampung adalah orang-orang tua, lelaki maupun perempuan.
Jika di kota seperti di Payakumbuh, Bukittinggi dan Batusangkar saja orang jarang sembahyang
berjamah ke masjid, apa lagi di kampung-kampung kecil di kaki Gunung Sago itu. Tapi keadaan itu membuat Si
Bungsu agak tenteram. Karena hampir tak ada orang yang tahu dia berada di kampung itu. Situjuh Ladang
Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Laweh, karena letaknya di pinggang Gunung Sago, situasinya sangat rawan. Letaknya itu menyebabkan desa
tersebut setiap sat dengan mudah didatangi pasukan PRRI. Sebaliknya, pada waktu tertentu tentara pusat yang
disebut sebagai APRI itu datang "membersihkan" desa-desa dari PRRI yang mereka sebut sebagai
"gerombolan". Penduduk benar-benar seperti memakan buah simalakama. Mereka tak mungkin menolak bila ada dua
atau tiga anggota PRRI yang singgah dan meminta nasi. Namun bagi orang tertentu hal itu digunakan untuk
mencari keuntungan bila tentara APRI datang. Bisa saja untuk balas dendam bila orang yang rumahnya
didatangi PRRI itu adalah orang yang berseteru dengannya. Sebaliknya, bila yang naik ke sebuah rumah adalah
anggota TNI dari APRI, maka itu juga bisa dijadikan sumber fitnah oleh seterunya. Lapor melapor antar-sesama
penduduk seperti itu bukan hal yang jarang terjadi. Itulah yang menyebabkan orang merasa lebih baik angkat
kaki dari kampung halaman mereka. Pergi merantau ke Jawa, ke Riau atau ke daerah lain.
Si Bungsu tengah menuju ke pemakaman untuk kembali membersihkan kuburan keluarganya itu. Saat
lewat di depan rumah milik kedua orang tuanya, dimana dahulu dia hidup di sana, dia lihat seorang lelaki
separoh baya tengah membelah-belah kayu di bawah rumah gadang tersebut. Lelaki itu menoleh ke arahnya.
Dia cepat-cepat mengalihkan pandangan dan terus berjalan. Dia tahu, lelaki itu adalah kemenakan ayahnya
yang menunggu rumah gadang tersebut.
Lewat tengah hari dia selesai membuat ketiga makam keluarganya menjadi amat bersih. Selain ketiga
makam itu, dia juga membersihkan tiga atau empat makam di sekeliling makam keluarganya tersebut.
Pergolakan tidak hanya membuat kampung menjadi lengang, juga menyebabkan kuburan, kebun, sawah dan
ladang menjadi terlantar. Rumah-rumah yang tidak berpenghuni atap ijuknya pada ditumbuhi lumut atau
sakek. Saat akan mengakhiri pekerjaannya membersihkan kuburan itu tiba-tiba jantungnya berdebar. Dia
tegak, menatap keliling. Hanya ada belukar yang semakin lebat. Debar jantungnya makin menguat. Biasanya
debar seperti itu adalah isyarat datangnya bahaya. Jauh di atas sana dua ekor elang terbang berputar seperti
sedang mengintai mangsa. Dia memejamkan mata, memusatkan konsentrasi. Mencoba mengetahui apakah
bahaya yang mengancam nya, yang membuat debar jantungnya berdenyut tidak normal itu, datang dari dalam
belukar yang mengelilingi kuburan tersebut.
Dalam konsentrasinya dia mencoba menangkap suara sehalus apapun yang datang dari dalam belukar
itu. Mungkin desah nafas, mungkin dengus, mungkin suara dedaunan yang tergeser oleh tubuh mahluk apapun.
Harimau, beruang atau ular sekalipun. Dari pengalaman hidup di puncak Gunung Sago dahulu, dia memiliki
kemampuan untuk mendengarkan perbedaan sekecil apapun suara yang ditimbulkan. Antara suara daun yang
ditiup angin dengan daun yang terkuak oleh lewatnya mahluk hidup. Namun meski beberapa kali dia coba
memusatkan kosentrasi tetap saja tak satupun sumber suara yang bisa disimpulkan sebagai ancaman. Dia
hanya mendengar suara beberapa ekor ayam hutan mengais makanan. Kemudian suara desiran seekor ular,
mungkin ular tedung yang besarnya tak melebihi lengannya. Suara bergeraknya ular itu, menurut
perkiraannya, ada sekitar dua puluh depa dari tempatnya berdiri. Lagipula arah bergerak ular itu menjauhi
tempatnya berdiri, bukan ke arahnya. Jadi samasekali bukan ancaman bagi dirinya.
Dengan pikiran demikian bahwa tak ada sesuatu yang mengancam nya dari dalam belukar lebat
disekitar pekuburan kaum itu,dia menatap ke tiga kuburan yang terletak berdampingan itu.
"Ayah,ibu", ampun kan anakmu yang tidak berguna ini, yang tidak mempunyai keberanian sedikitpun
membela kalian, saat kalian diancam maut. Uni..ampunkan adikmu. Doaku semoga berbahagia di akhirat?"
bisik nya dengan airmata yang tak mampu di bendung.
Ada beberapa saat dia berlutut di samping ketiga makam itu. Menunduk dengan mata basah, pipi basah
dan diri yang amat sepi karena hidup sebatang kara. Masa kecilnya seperti datang berlarian, saat ayah, ibu dan
kakaknya masih hidup. Meski bersikap keras, namun ayahnya selalu membawa dia bepergian, naik bendi ke
Payakumbuh, atau naik kereta api ke Bukittinggi. Ayahnya ingin dia bersekolah agar dia nanti menjadi "orang".
Tidak seperti dia yang hanya petani. Ibunya adalah wanita berhati lembut yang selalu melindungi dia dari
amarah ayahnya. Kakaknya adalah yang membela dia di segala situasi. Kini semua tidak akan dia perdapat lagi,
tak ada lagi ayah, ibu dan kakak tempat dia mengadu.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 421
"Tinggalah ayah, ibu, uni.. aku pergi menjalani nasibku?" ujarnya perlahan sambil berdiri dan
melangkah meninggalkan pemakaman itu.
Guruh terdengar menderam resah tatkala dia keluar dari areal pendam kuburan kaum itu. Dia
melangkah penurunan di areal pemakaman. Hanya beberapa selang menurun, dia menempuh jalan mendaki.
Diatas pendakian dia melihat seseorang melangkah kearahnya. Nampaknya orang itu akan ke kuburan. Karena
jalan yang dia tempuh ini hanya menuju pekuburan tersebut.
Tapi ternyata orang itu tidak melangkah kearahnya, orang itu hanya tegak disana, di puncak pendakian
yang akan dia lewati. Dia terus melangkah dengan pikiran ke masa kecilnya. Selintas dia lihat orang tadi masih tegak disana.
Lalu entah kenapa debar aneh itu menyerangnya lagi. Langkah nya pun sampai kedekat orang yang masih tegak
di pendakian. Tegak persis di jalan yang akan dia lalui, karena orang itu tidak menggeser tegak, lima langkah
dari orang itu dia mengalihkan langkahnya agak kekanan.
Orang itu masih tegak disana, tak bergerak sejengkal pun. Tegak dengan kaki terpentang dan rasanya
seperti menatap terus kepadanya! Hatinya menjadi tak sedap. Kenangan masa kecilnya seperti kembali
berlarian di kepalanya. Saat itu dia disentakan oleh sebuah suara.
"Bungsu"!" Dia benar-benar seperti disambar petir mendengar suara itu. Bukan terkejut karena
mengenal atau tau namanya tapi tersentak karena suara orang itu. Suara yang amat dia kenal. Yang tak pernah
di mimpikan akan mendengar suaranya disini, di kampung halamannya Situjuh Ladang Laweh!
Suara itu seperti orang yang mengucapkannya, datang dari tempat jauh. Puluhan ribu kilometer dari
sini. Dia sampai kemari setelah melintasi samudra, lembah dan gunung. Suatu hal yang sangat mustahil, tapi
kembali dia dikejutkan oleh suara orang itu. "Bungsu-san?" "Ya Allah, M..michiko?"?"
"Ya, akulah ini. Michiko anak saburo Matsuyama"!"
(121) Mereka hanya terpisah dalam jarak tiga depa. Guruh mengeram beberapa kali di sertai angin kencang.
Dia ingin mengucapkan selamat datang di kampung ini dan menanyakan apa kabar, namun sebelum dia sempat
bicara suara gadis terdengar lagi.
"Sejak tadi aku tunggu engkau disini Bungsu, aku tak inginmengganggu suasana ziarahmu ke makam
Ayah, ibu, dan kakakmu?"
Gerimis tiba-tiba turun menyiram bumi, makin lama makin rapat. Guruh kembali mengeram di langit
yang berubah menjadi kelam. Dia kembali ingin mengucap kan selamat datang, kendati dia tak keberatan sama
sekali kalau gadis itu datang menemuinya di areal pemakaman. Namun sebelum dia bicara suara gadis itu
kembali memintas mendahului.
"Seperti saat engkau datang mencari ayahku, tujuh samudra dan berpuluh gunung serta lembah
kutempuh untuk bisa bertemu dengan mu disini Bungsu. Kau cari ayahku ke Jepang sana dan kau temui dia di
kampungku. Di kuil Simogamo, dimana dia mengabdikan diri disisa usianya. Disana kau bunuh dia. Apapun
alasanmu, kendati dia melakukan sepupuku, harakiri, namun kematiannya tak lain tak bukan karena engkaulah
penyebabnya!Engkau datang ke Jepang untuk membalas kematian keluargamu di tangan ayahku. Kini aku
datang kemari menuntut kematian ayahku ditangan mu, adil bukan?""
Dia ingin bicara,tapi"
"Cabut samuraimu,Bungsu".!"
Si Bungsu merasa samurai di tangan kirinya seolah-olah menjadi panas. Dia menyesal kenapa membawa
samurai itu. Kendati kemana pun dia pergi samurai ini tak pernah berpisah dengannya, namun kali benar-benar
menyesal telah membawanya. Dia mengangkat tangan kirinya itu jauh-jauh, sambil mengatakan bahwa dia
takkan menumpahkan darah lagi. Bukan karena dia dekat makam keluarganya. Namun gerakan tangan kirinya
yang ingin membuang samurai itu salah ditafsirkan oleh Michiko.
Setiap orang yang memegang samurai apakah ditangan kiri maupun ditangan kanan, bila akan mencabut
samurainya harus mendekatkan hulu samurai ke tangan yang satunya lagi. Gerakan itu, mendekatkan hulu
samurai dengan tangan yang akan mencabut samurai, di lakukan saat bersamaan. Hanya dalam hitungan detik,
entah mana yang duluan, entah samurai yang akan di lemparkan Si Bungsu lebih dahulu lepas dari tangan nya,
atau mata samurai Michiko yang lebih dahulu memakan dirinya, atau samurainya lepas bersamaan dengan tiba
nya sabetan samurai Michiko!
Yang pasti adalah, saat samurainya yang masih berada di dalam sarungnya itu jatuh menimpa jalan
berkerikil, dadanya terasa amat pedih. Baju gunting cina yang dipakainya, persis tentang jantungnya mulai
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 422
basah oleh darah. Dengan menahan rasa sakit dia menatap Michiko, kemudian perlahan tatapannya beralih
kedadanya yang mengalirkan darah, kemudian kembali menatap Michiko.
Michiko sudah akan melancarkan serangan kedua, sejak tadi, namun tangannya terhenti dengan ujung
samurai menghadap keatas dan tangan siap menetak kan samurainya keleher Si Bungsu. Gerakannya terhenti
ketika mendengar suara benda yang jatuh menimpa kerikil jalanan, dan sekilas saat yang kritis, dia melihat
ditangan Si Bungsu tidak ada senjata apa pun, sedangkan baju tentang dadanya dilumuri darah, yang makin
lama makin banyak!. Dia segera sadar kalau Si Bungsu, sama sekali tidak berniat untuk mencabut samurainya, sama sekali
tidak berniat melawannya. Dia masih tertegak dalam posisi menahan serangan terakhir, wajahnya pucat.
"Oh, tidak?" ujarnya seperti keluhan.
Di depannya Si Bungsu jatuh dengan kedua lututnya. Tangan kanannya memegang dadanya yang luka,
seperti ingin menahan darahnya keluar yang mengalir deras. Matanya menatap Michiko, di wajah dan
tatapannya tak ada rasa marah, tak ada rasa dendam, apalagi rasa benci. "Terima kasih, Michiko-san. Engkau
telah menolong aku..bebas dari rasa berdosa karena menyebabkan kematian ayahmu. Alangkah lamanya aku
menanti saat pembebasan dari rasa berdosa ini, alangkah jauhnya jalan yang akan kau tempuh untuk pulang.
Maafkan aku"Michiko-san"."
Si Bungsu tidak sadar sepenuhnya, bahwa sebagian dari kata-kata yang diucapkan terucap setelah
dirinya berada dalam pelukan Michiko. Gadis itu memekik, memeluk tubuh Si Bungsu erat-erat. Memekik
dengan meneriakan kata-kata "Tidak" berkali-kali, memekikkan kata "Tolong" berkali-kali!
"Tidaaaak, jangan tinggalkan aku Bungsu-san. Jangan tinggalkan aku. Oh budha, tolong hambamu ini,
jangan biarkan dia meninggalkan aku.." Ratap Gadis itu.
Dalam gerimis yang semakin rapat, dalam deram gemuruh yang sahut bersahut Si Bungsu membuka
mata, menatap kepada Michiko. Gadis itu terdiam, dia menggigit bibirnya di antara tubuhnya yang terguncangguncang menahan tangis. Perlahan tangan Si Bungsu yang tadi menahan darah mengucur dari dadanya
terangkat. Dengan tangan berlumur darah dipegangnya pipi Michiko. Di antara senyum Ikhlasnya dia berbisik.
"Michiko-san"jaga..dirimu baik-baik"."
"Maafkan aku, Bungsu-san. Maafkan aku?"ratapnya antara terdengar dan tidak.
Sama sekali tak ada niatnya untuk melukai apalagi membunuh Si Bungsu, lelaki yang siang malam
memenuhi relung hatinya. Satu-satunya lelaki yang pernah merebut hatinya, yang siang malam dia rindukan.
Lelaki yang dia cari sampai ke ujung dunia, tanpa mempedulikan apapun rintangannya. Kalau tadi dia
menghunus samurai, itu dengan keyakinan yang amat sangat bahwa serangannya dengan amat mudah dapat
dielakkan atau ditangkis oleh Si Bungsu. Dia sebenarnya sangat berharap dialah yang dilukai dan dilumpuhkan.
Kalau Si Bungsu tidak mencintainya, dia rela mati di tangan lelaki yang dia cari ke segenap penjuru ini.
Dia memang mencari lelaki itu dengan dendam di hati. Tapi jika ditimbang mana yang berat antara dendam
dengan rasa cintanya kepada lelaki itu, perbandingannya bisa satu untuk dendam, sepuluh untuk cinta. Dia
benar-benar tidak menduga sedikitpun, bahwa gerakan Si Bungsu di awal tadi adalah gerakan untuk
membuang samurai nya. Dalam pikiran nya, serangannya yang tak berbahaya dalam bentuk memancung dari
atas kiri ke dada lelaki itu akan mudah digagalkan. Dia tahu, serangannya itu dapat di tangkis siapapun dengan
gerakan sederhana sekali, apalagi oleh Si Bungsu.
Tapi Si Bungsu ternyata sama sekali tidak mencabut samurai nya. Dia merasa hiba melihat gadis itu
memburunya ke mana-mana untuk membalas dendam. Dia amat menyesal telah menyebabkan Michiko
sebagai anak tunggal kehilangan ayah. Kini tak ada lagi tempat gadis itu menggantungkan hidup. Ibunya sudah
lama meninggal. Dia dapat merasakan betapa sepi dan terguncang nya jiwa Michiko setelah kematian ayahnya,
dia dapat merasakan karena hal yang sama juga menimpa dirinya. Itulah sebab dia ingin segera mengakhiri
dendam turunan itu. Itulah pula sebabnya kenapa dia sama sekali tidak mencabut samurai untuk melawan
Michiko. Yang dia lakukan justru melemparkan samurai nya ke tanah. Dan saat itu serangan ke dadanya tak
lagi sempat ditarik Michiko. Lalu"terjadilah tragedi dan malapetaka itu!
Dalam ketakutan ditinggalkan lelaki yang amat dicintainya itu, Michiko teringat ucapan pendeta Kuil
Shimogamo yang menjadi senseinya berlatih samurai, sepeninggal ayahnya. Saat sensei itu tahu Michiko
berlatih untuk mencari dan membalas dendam kepada Si Bungsu, pendeta itu mengingatkannya dengan lembut
: "Saya tahu anak muda bagaimana musuhmu itu Michiko-san. Dia akan membunuh lawan-lawannya. Tapi
percayalah, jika engkau bertemu kelak dengannya, dia takkan melawanmu. Dia adalah anak muda yang berbudi.
Dia tak akan melawanmu, dia akan merelakan nyawanya di tanganmu. Percayalah, Nak . ."
Dia juga teringat penggalan dialognya suatu hari dengan Zato Ichi, pendekar legendaris Jepang yang
ternyata juga sudah sangat mengenal Si Bungsu setelah peristiwa wafatnya Obosan Saburo Matsuyama.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 423
"Michiko, muridku. Saya dapat menerka, bahwa antara kalian ada salah pengertian . ." "Maksud bapak?" "Salah
fahaman itu datangnya bukan dari dia. Tapi dari engkau Michiko-san . ." "Maksud bapak?" "Maksud saya, kalian
sebenarnya saling cinta . .. " "Tidak. Dia tak mencintai saya . . " "Bagaimana dengan engkau. Apakah engkau
mencintainya?" Saat itu Michiko tak bisa menjawab pertanyaan Zato Ichi.
"Jawablah. Apakah engkau mencintainya?" "Saya orang Jepang. Dia telah menyebabkan kematian ayah
saya. Bagaimana mungkin dengan kedua perbedaan yang amat besar ini saya bisa mencintainya?" Zato Ichi
tertawa bergumam, lalu menarik nafas panjang.
"Kalau engkau orang Jepang, apakah itu menjadi halangan untuk mencintai bangsa lain" Ah, sedangkan
diriku yang tua tak berfikir sekolot engkau Nak. Yang penting bukan bangsa apa dia. Bukan pula bangsawan
atau tidaknya dia. Tapi yang penting apakah engkau mencintainya dan dia mencintaimu. Jika hal ini terjadi
timbal balik, maka persetan dengan segala perbedaan yang ada. Apakah tak pernah kau dengar betapa
banyaknya orang yang kawin hanya karena mementingkan derajat, kekayaan, martabat, akhirnya perkawinan
mereka jadi puing. Perkawinan mereka jadi neraka bagi diri mereka. Ah, saya sudah banyak mendengar
perkawinan yang demikian Nak . . . "
Terakhir, dia teringat dialognya dengan Salma, orang yang dicintai Si Bungsu sebelum bertemu
dengannya, yang ternyata menjadi isteri sahabatnya, Overste Nurdin, Atase Militer Malaya yang berkedudukan
Pendekar Elang Salju 8 Pedang Siluman Darah 20 Penguasa Bukit Karang Bolong Darah Menggenang Di Candi 3