Tikam Samurai 3
Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik Bagian 3
jadi sepi. Hening mencekam!. Si Bungsu tegak di depan kelima serdadu Jepang itu dengan wajah yang sedingin
batu es. "Saya Si Bungsu. Saya mencari Kapten Saburo. Dimana dia " " Suaranya terdengar tanpa emosi. Namun
Jepang-Jepang itu terkenal sebagai orang yang tak mengenal takut sedikitpun. Dua orang segera maju dengan
mempergunakan jurus-jurus karate. Namun Samurai Si Bungsu segera bekerja. Kedua mereka roboh dengan
leher hampir putus. Empat yang mati dalam waktu tak sampai lima menit. " Kempetai datang !! " Mariam
berteriak. Dan saat itulah ketiga serdadu Jepang yang masih hidup maju serentak sambil menghunus samurai
mereka. Tapi yang mereka hadapi adalah Si Bungsu!. Seorang lelaki yang telah bersumpah untuk takkan mati
sebelum dendam keluarganya terbalas. Begitu serangan datang, dengan kecepatan yang tak terikutkan oleh
mata samurainya berkelebat. Dua kali sabetan mendatar, menyebabkan dua Jepang yang ada di depan dan di
kirinya rubuh dengan perut menganga. Kemudian sambil berputar setengah lingkaran dia menikamkan
samurainya ke belakang. Jepang yang terakhir, mati tersate tentang dada kirinya. Sebuah Tikam Samurai!
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 44
Persis seperti yang dipergunakan oleh Datuk Berbangsa di halaman rumah gadangnya dahulu. Saat dia
menyentak samurainya, Jepang itupun rubuh.
"Lewat pintu belakang !" dia dengar suara perempuan berseru. Dia segera mengenali suara itu sebagai
suara Mariam. Suara sepatu Kempetai terdengar menjejak tangga di depan. Si Bingsu tegak. Kemudian menatap
pada perempuan-perempuan itu. Dia segera menampak Mariam.
"Terima kasih Mariam. Saya akan balaskan dendammu." dan Kempetai pertama muncul di pintu tengah.
Si Bungsu menyelinap kebelakang. Punggungnya kelihatan oleh Kempetai itu.
"Bagero ! Berhenti !" teriaknya sambil menembakkan pistol. Namun Si Bungsu telah lenyap. Tiga
Kempetai segera memburu ke belakang. Di belakang mereka disambut oleh gelapnya malam. Jauh di bawah
sana, deru arus Batang Agam terdengar menderu menegakkan bulu roma. Jepang-Jepang itu pada plengakplenguk mencari kalau-kalau lelaki yang baru saja melarikan diri itu bersembunyi di sekitar tempat tersebut.
Tapi Si Bungsu telah terjun dan lenyap dalam arus Batang Agam di bawah sana. Baginya berenang dan
menyelam bukan lagi hal baru. Berenang di Batang Agam ini memang kegemarannya sewaktu masih muda
dulu. Keenam Kempetai yang baru datang itu tertegun tatkala menyaksikan tubuh teman mereka terhantar
malang melintang di dalam rumah itu. Dari bekas luka di tubuh mereka jelas kematiannya diakibatkan senjata
tajam. Seperti samurai atau pedang. Namun Kamura dan beberapa temannya ini adalah seorang pesilat
Samurai yang tangguh. Siapa yang telah melumpuhkan mereka ".
"Siapa itu orang tadi ?" tanya salah seorang kearah kerumunan perempuan-perempuan di ruangan
tersebut. "Seorang Jepang." Terdengar suara dari kerumunan perempuan-perempuan itu. Dan yang bicara itu
adalah Mariam. Dia mencubit teman di sampingnya sebagai isyarat. Cubitan yang tak kelihatan itu segera saja
dimengerti oleh temannya. Lalu perempuan muda yang dicubit itu angkat bicara.
"Ya. Nampaknya seorang tentara yang berpakaian seperti penduduk sini. Tadi sebelum terjadi
perkelahian, dia kelihatan bicara akrab dengan Kamura. Tapi tak lama setelah dia menyusul masuk, terjadilah
perkelahian " ".
Kempetai yang bertanya itu mengerutkan kening. Tadi dia memang melihat sesosok tubuh menyelinap
kebelakang. Tapi tak jelas siapa orangnya. Mereka lalu menanyai perempuan-perempuan itu dengan gencar.
Para perempuan itu, meskipun mereka hidup melacurkan diri namun memiliki rasa cinta Tanah Air yang luar
biasa, yang barangkali tak seberapa dimiliki oleh perempuan-perempuan yang bukan pelacur. Mereka seperti
sepakat, seiya sekata untuk membenarkan dan menuruti cerita bohong yang mula pertama diucapkan oleh
Mariam. Dan para Kempetai serta pimpinan Jepang di Payakumbuh, tak bisa berbuat selain mempercayai hal
itu. Sekurang-kurangnya buat sementara.
Sebab siapa diantara penduduk pribumi yang bisa memainkan Samurai hingga sanggup mengalahkan
Kamura dan seorang perwira lainnya serta empat teman mereka" Tak mungkin ada pribumi yang bisa. Dan
kalaupun bisa, takkan mungkin mempunyai keberanian untuk menyerang serdadu Jepang. Tak mungkin!.
Sebab pada saat ini, gerakan-gerakan tentara Indonesia belum begitu gencar mengadakan perlawanan pada
Jepang. Baru berupa tindakan-tindakan sporadis.
Jepang sendiri seperti tak punya kesempatan untuk mengusut peristiwa ini secara jelimet. Sebab
dimana-mana, tidak hanya di Minangkabau, juga di seluruh Indonesia, mereka sedang sibuk membangun
benteng pertahanan. Benteng-benteng pertahanan itu mereka bangun berupa lobang-lobang dari coran beton.
Tersebar di seluruh kota, di tempat-tempat yang strategis, termasuk di sepanjang pantai. Musuh yang paling
mereka khawatirkan untuk datang menyerang adalah Tentara Sekutu di bawah pimpinan Jenderal Mac Athur
yang berkedudukan di Manila, Filipina.
Selain membuat benteng-benteng dalam bentuk lobang-lobang yang diperkukuh dengan beton cor yang
tak mampu diruntuhkan dengan bom sekalipun, maka pusat suply senjata, dan benteng pertahanan secara
besar-besaran mereka buat di Bukit Tinggi. Di kota ini, selain lobang-lobang pertahanan dari beton cor, mereka
juga membuat terowongan yang silang siur di bawah kota. Terowongan yang sangat besar. Bisa dilalui Jeep
masuk sampai jauh ke dalam. Untuk membuatnya mereka tinggal mengerahkan tentara Belanda yang tertawan
yang disebut internir, dan para lelaki bangsa Indonesia. Ribuan orang dikerahkan membuat terowongan yang
kelak dikenal sebagai terowongan maut.
Dia dinamai terowongan maut oleh karena seluruh pekerja yang ikut menggali terowongan itu tak
satupun yang keluar hidup-hidup. Tak satupun!. Semua mati di dalam terowongan itu. Kematian mereka
memang disengaja oleh Jepang demi menjaga kerahasiaan terowongan itu. Terowongan itu kabarnya melintas
di atas bangunan-bangunan fital. Di samping itu juga mempunyai pintu tembus ke tempat-tempat strategis di
dalam maupun jauh di luar kota.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 45
Menurut sementara cerita yang berasal dari tawanan yang tak sempat dibunuh, terowongan itu konon
juga dibangun dari perut di bawah kota Bukittinggi tembus ke lapangan udara Gadut. Kemudian ke Balingka
dan ke Anak Air. Terowongan sepanjang itu itu diperlukan Jepang untuk dua tujuan. Pertama, tempat
menimbun berbagai macam logistik dan pertahanan Jepang di Sumatera untuk melawan tentara Sekutu.
Setelah terowongan itu siap, pemusatan dan kedatangan persenjataan dari Sumatera Utara tak lagi melewati
jalan biasa. Sampai di Gadut, perlengkapan itu lenyap begitu saja.
Menurut cerita dari sana langsung masuk terowongan dan dipusatkan disuatu tempat di perut bumi di
bawah kota Bukittinggi. Dalam rencana strategisnya, jika Sekutu datang menyerang mereka akan bersembunyi
di terowongan itu. Pada waktu tertentu mengadakan serangan mendadak ke kota. Di terowongan itu mereka
mempunyai perbekalan baik makanan maupun persenjataan yang bisa menghidupi satu batalyon pasukan
dengan kekuatan 1.000 orang selama setahun!
Suatu penimbunan dan pemusatan suplay yang tak tanggung-tanggung dalam sejarah Kemiliteran.
Kedua, dalam keadaan sangat genting mereka bisa mempergunakan lapangan terbang gadut untuk melarikan
diri dengan pesawat udara. Saat terowongan itu dibangun, pimpinan tertinggi balatentara Jepang di pulau
Sumatera dipegang oleh Tei Sha (Kolonel) Fujiyama. Dia memilih menempatkan pusat komandonya di bekas
kantor tentara Belanda beberapa puluh meter dari mulut terowongan yang sedang di bangun di Panorama.
Pusat komando Fujiyama ini kelak dijadikan Museum ABRI di depan Tugu 17 Agustus di Panorama. Pintu
terowongan juga dibangun di belakang kantornya. Dari sana, lewat terowongan yang berbelit dia bisa mencapai
beberapa tempat di kota Bukittinggi. Seperti ke Jam Gadang, Benteng atau Kebun Binatang.
-000Malam itu terang bulan. Benar-benar bulan purnama. Kota Payakumbuh kelihatan ramai oleh orangorang yang keluar. Tapi di salah satu sudut kota, di rumah seorang Cina di kamar belakang, kelihatan
berkumpul tiga orang lelaki. Mereka duduk bersila di atas tikar rotan. Udara dalam ruangan dipenuhi oleh bau
sake dan candu. Diantara keenam lelaki itu ada tiga perempuan. Satu keturunan Cina, yang dua lagi peranakan
India. Mereka duduk sambil bersandar atau dipeluk oleh Jepang yang duduk di tikar rotan itu.
Seorang Cina bertubuh gemuk berkepala botak mendatangi kelompok jantan dan betina itu. Dia datang
dengan sebuah tabung bambu yang panjangnya sejengkal. Saat dia duduk segera saja Jepang-Jepang itu duduk
mengitarinya. Uang dikeluarkan, dan mereka mulai main dadu. Cina gemuk itu adalah pemilik rumah di mana
kini mereka berada. Kini dia bertindak sebagai bandar dalam judi dadu yang diadakan tersebut. Rumah Cina ini dikenal
penduduk sebagai rumah kuning. Yaitu rumah pelacuran terselubung. Yang datang kemari khusus para
perwira saja. Sebab di sini juga disediakan perempuan-perempuan pilihan. Salah satu dari perempuan itu
adalah anak gadis Cina botak itu sendiri.
Anak gadisnya memang terkenal cantik dan bertubuh padat. Setiap perwira bisa memakainya dengan
bayaran yang tak tanggung-tanggung tingginya. Selain tempat lacur dan tempat judi, pejuang-pejuang
Indonesia juga sudah lama mencurigai rumah itu sebagai sebuah pusat mata-mata untuk pihak Jepang. Soalnya
Cina itu sudah berdiam sejak lama di rumah tersebut. Ketika zaman penjajahan Belanda, dia sudah menjadi
semacam kepercayaan orang Belanda pula. Kini ketika Jepang berkuasa, dia juga menjadi kepercayaan Jepang.
Pejuang-pejuang Indonesia sudah lama mengintai rumah tersebut. Namun kendati memiliki beberapa
bukti, mereka tak dapat melakukan apapun. Apalagi kini dia mendapat perlindungan Jepang. Maka usaha
pejuang-pejuang Indonesia untuk menangkap Cina ini tak pernah berhasil. Padahal beberapa orang pejuang
yang tertangkap, diantaranya anak buah Mayor M yang berkedudukan di Piobang, disebabkan oleh Cina gemuk
ini. Dia menyebar intelnya diantara penduduk pribumi dan perempuan-perempuan lacur. Bahkan
tertangkapnya beberapa pejuang yang mencuri senjata di Kubu Gadang empat bulan yang lalu juga atas
petunjuk Cina ini. "Sudah datang dia ?" seorang perwira Jepang yang berpangkat Lettu (Chu-I), bertanya sambil menambah
uang taruhannya. "Belum, mungkin sebentar lagi", jawab Babah gemuk tersebut.
Mereka meneruskan main dadu. Tiba-tiba Chu-I itu tegak. Menatap pada ketiga perempuan yang ada
dalam ruangan itu. "Hei, mana Amoy ..?" tanyanya.
Ketiga perempuan itu menatap pada si babah gepuk yang sedang duduk main dadu. Si gepuk main terus,
meraih uang di tikar yang dimenanginya.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 46
"Mana Amoy, gepuk?" tanya si Chu-I.
Si gepuk memberi isyarat dengan menggerakkan kepalanya ke arah kamar. Namun ketika Jepang itu
akan tegak, si gepuk memberi isyarat meminta uang terlebih dahulu dengan menampungkan tangannya. ChuI tersebut merogoh kantong dan menyerahkan beberapa lembar uang, kemudian melangkah kekamar yang
dimaksud si babah gepuk. Ketika dia baru sampai di depan pintu, pintu kamar itu terbuka, seorang Jepang yang juga berpangkat
letnan keluar dengan menyeka peluh di lehernya. Mereka bertegur sapa sepatah dua. Sampai di dalam Jepang
itu melihat Amoy anak babah gemuk itu sedang merapikan tempat tidur. Posisinya yang sedang membungkuk
membelakangi pintu dengan handuk melilit tubuh, menampakkan pangkal pahanya dari belakang. Jantung
Jepang itu berdebar kencang. Seperti orang kesurupan dia menyeruduk ke gadis bertubuh montok itu.
Di luar rumah Cina itu sejak tadi seorang lelaki kelihatan tegak. Dia seperti menanti sesuatu. Dan setelah
lebih dari dua jam dia tegak di sana, barulah dia lihat dua orang lelaki mendekati rumah itu. Dia cepat-cepat
melangkah mendekati kedua lelaki itu.
" Hei. Jumpa lagi kita ..! " dia berkata pada kedua lelaki itu. Dan kedua lelaki itu berhenti. Menatap
padanya. Dalam cahaya bulan, mereka segera mengenali orang yang menegur mereka itu.
" Hmm. Kau Bungsu ..!"
" Ya. Aku Si Bungsu. Sudah lebih dua tahun kita tak bertemu ya Baribeh ?"
Baribeh yang dulu pernah melanyau tubuhnya ketika mereka kalah berjudi di Surau bekas di
kampungnya, tertawa menggerendeng.
"Tapi kudengar kau sudah mampus dihantam samurai Saburo."
Baribeh yang pesilat itu berkata. Tubuh Si Bungsu seperti jadi kaku mendengar nama Saburo disebut.
Untung saja malam hari, hingga perobahan air mukanya tak kelihatan oleh Baribeh.
" Ah, itu cerita burung. Buktinya saya masih hidup.
Apa perlunya Jepang membunuh saya. Hmm, ini si Jul ya?" Si Bungsu tersenyum pada lelaki juling yang
dia sebut sebagai si Jul itu.
" Kalera!!. Jangan ikut-ikutan waang memanggil saya dengan sebutan itu buyung. Kuremas mulut waang
dengan cirik nanti ..!" ujar si Jul tersinggung. Sebab orang yang berani dan yang boleh memanggilnya dengan
sebutan si Jul itu hanya pimpinannya, si Baribeh.
" Tenanglah Jul. Mungkin dia punya duit banyak seperti dulu. Hei Bungsu, apakah waang masih suka
berjudi ?" " Akhir-akhir ini tidak lagi. Tak ada yang mau bertaruh besar. Percuma saja main. Menghabiskan waktu
saja ". Baribeh menyikut si Jul perlahan. Si Jul tahu maksudnya, yaitu anak muda ini akan mereka jadikan
korban lagi. " Ah, saya jera main dengan kalian. Menang kalian ingin menerima, kalah tak membayar. Kalau sekedar
tak membayar saja tak apa. Ini diri saya kalian lanyau. Itu membuat saya ngeri .." ujar Bungsu.
Baribeh tertawa, memperlihatkan giginya yang merah karena sirih dan runcing-runcing seperti gigi
tikus. " Ahaaa .. jangan takut. Jangan takut. Di tempat ini aman. Ada orang Jepang dan Cina sebagai juri. Waang
aman percayalah. Ayo. Ayooo ..!"
Si Bungsu semula seperti ragu dan takut. Tapi karena tangannya ditarik oleh Baribeh, akhirnya dia
menuruti juga. Padahal dia telah menunggu kesempatan ini sejak lama.
Bukankah dulu, saat dia sadar dari pingsannya setelah dilanyau Baribeh dan dua temannya, setelah
semua uangnya mereka sikat di surau bekas itu dia, bersumpah akan menuntut balas" Kini kesempatan itu
datang. Dia melangkah perlahan mengikuti Baribeh. Di belakangnya berjalan si Juling. Mereka memasuki
rumah Babah gemuk itu. Babah yang kini tengah asyik bermain dadu dengan dua orang tentara Jepang yang
anak gadisnya tengah dilanyau oleh tentara Jepang berpangkat Chu-i itu. Mereka melangkah terus ke dalam.
Baribeh dan si Jul nampaknya sudah terlalu biasa di rumah ini. Mereka mengenal setiap penghuni dan sudut
rumah itu. Ketika mereka muncul ditempat orang yang tengah berjudi dadu itu, si Babah berbisik pada salah
seorang perwira Jepang didepannya :
" Ini mereka datang," kemudian dia berseru pada Baribeh
" Hai Baribeh. Lama tak datang lagi. Mana saja ente pigi ?"
"We pigi jauh. We ada bawa kabar baik, dan ada bawa kawan baik. Ini kawan mau main dadu sama babah
". Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 47
Baribeh menjawab sambil menirukan gaya bicara babah gemuk itu. Babah gemuk itu menatap pada Si
Bungsu. Demikian pula kedua serdadu Jepang itu. Kedua Jepang itu menatapnya dengan seksama.
Sementara Babah gemuk itu hanya menatap sebentar. Namun Si Bungsu, yang nyaris tiga tahun hidup
di pinggang gunung Sago, bergaul dan mempelajari kehidupan mahluk yang ada di sana, terutama hewan buas
agar tak mati dilapahnya, dapat menangkap pandangan yang ganjil maknanya dari tatapan mata si Babah yang
sekejab itu. Dia tak dapat mengetahui dengan pasti, apa yang harus dia curigai dari tatapan si gemuk itu. Namun
firasatnya yang tajam, yang dia bawa dari pengalaman hidup sekitar dua tahun di gunung Sago,
memperingatkan bahwa kalau terjadi apa-apa, maka yang berbahaya dan harus diawasi adalah Babah gemuk
yang kelihatan loyo itu. Dengan pesan naluri demikian, dia lalu mengangguk kepada mereka. Kemudian duduk agak berjarak
dari kedua Jepang tadi. Baribeh dan temannya si Juling itu juga mengambil tempat duduk menghadapi si Babah.
Ketiga mereka yang baru datang itu belum segera bertaruh. Mereka hanya duduk memperhatikan permainan
yang sedang berlangsung. Si Baribeh merogoh kantong. Mengeluarkan sebuah bungkusan. Kemudian mengeluarkan semacam
tembakau, tapi agak kasar. Menggulungnya besar-besar, kemudian menghirupnya seperti mengisap cerutu.
Kedua perwira Jepang yang tengah berjudi itu mengangkat kepala mencium bau asap yang dihembuskan oleh
si Baribeh. " Hmm. Candu. Candu nomor satu " ujar yang seorang Salah seorang diantara mereka lalu meraih
bungkusan si Baribeh. Menggulungnya besar-besar. Dan menghisapnya. Temannya juga ikut meniru. Kemudian
si Juling. Mereka menghisap candu itu dengan ni"matnya.
"Siap ..?" Babah gemuk itu bertanya pada kedua Jepang yang tengah kesedapan itu sambil mengangkat bambu di
tangannya. "Ayo kita main" ujar seorang Jepang pada Baribeh yang kemudian menggamit si Jul dan Bungsu untuk
ikut memasang taruhan "Mulailah .." Jepang yang berkepala botak dan bertubuh kurus berkata sambil tetap menghisap candunya. Si Bungsu
melihat Babah gemuk itu mengambil tiga buah dadu dari piring yang tertelentang di tikar. Kemudian
memasukkan kedalam bambu yang panjangnya lebih dari sejengkal itu.
Si Bungsu memperhatikan jari-jari tangan Babah. Aneh, Cina itu bertubuh gemuk dengan perut buncit.
Namun jari-jari tangannya tidak selaras dengan tubuhnya yang subur itu.
Biasanya orang-orang gemuk jari jemarinya pastilah bulat-bulat gemuk pula. Tapi jari-jari Babah ini
kelihatan langsing dan panjang-panjang. Berbeda dengan Cina-Cina tua lainnya, yang biasanya membiarkan
kukunya tak terawat, kuku Babah ini kelihatan dipepat bersih.
Kini dia tengah mengguncang bambu yang berisi dadu itu. Terdengar bunyi dadu saling berputar dan
beradu dalam bambu tersebut. Empat kali putaran cepat, tiba-tiba bambu itu ditelungkupkannya di atas piring.
Dalam waktu yang sangat singkat, terdengar ketiga buah dadu itu jatuh ke piring. Babah itu melepaskan
tangannya dari bambu. Dan bambu itu tertegak di atas piring menutupi ketiga butir dadu di dalamnya.
Baribeh memasang taruhannya pada angka-angka dua, tiga dan empat. Dia memang bertaruh begitu.
Main tebak dibanyak nomor. Biasanya salah satu pasti kena. Sementara Si Bungsu hanya memasang disatu
nomor. Dan dalam empat kali meletakkan taruhan tadi, dia tetap bertahan memasang disatu nomor saja.
Kinipun dia bermaksud begitu, mengambil uang dari kantongnya.
Kemudian meletakkan di angka satu. Si Juling memasang dinomor empat, yaitu diangka pasangan
Baribeh. Babah gemuk itu mengangkat bambu yang menutupi dadu.
Satu ! Ya, ketiga dadu itu menunjukkan angka satu di atasnya. Baribeh tercengang. Juling tercengang. Perwira
Jepang yang satu itu, yang kali ini tak ikut memasang taruhan juga tercengang. Si Bungsu ternyata menebak
dengan tepat dan memenangkan taruhan. Babah gemuk itu tersenyum.
Kemudian membayar pada Si Bungsu sebanyak enam kali lipat dari taruhannya yang dipasang. Lambatlambat dia memasukkan lagi buah dadunya. Kemudian memutar dadu dalam bambu itu. Setelah lima kali
putaran cepat, bambu berisi dadu itu dengan cepat dia telungkupkan.
Kembali terdengar suara mengerincing ketika buah dadu jatuh di atas piring di bawah telungkupnya
potongan bambu. Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 48
Si Bungsu memasang teliganya. Kalau dulu sebelum "mengungsi" selama dua tahun ke gunung dia selalu
menang main dadu adalah berkat pandainya dia main curang, maka kini lain halnya. Dulu dialah yang
memegang dadu. Dan selalu dadunya hanya sebuah.
Dia bisa memainkan dadu itu. Kini dengan tiga buah dadu, dia mengandalkan pendengarannya. Kalau
saja dia tak pernah berlatih di gunung Sago, mungkin kini dia akan kalah terus. Sebab babah gemuk itu lihainya
bukan main pula. Tapi kini dia dibekali dengan pendengaran setajam pendengaran macan tutul. Dengan jelas
dia mendengar jatuhnya buah dadu itu kepiring. Dia juga bisa membedakan bunyi angin yang tertekan,
tergantung dari banyak atau sedikitnya lobang pada dadu itu yang menghadap ke bawah.
Dadu yang keras bunyi jatuhnya, pastilah yang sedikit lobang yang menghadap ke bawah. Sebab pada
lobang-lobang itu sedikit angin yang tertahan. Kalau lobang enam yang menghadap ke bawah, maka bunyinya
akan lebih lunak dibandingkan dengan angka satu. Sebab dalam lobang-lobang dadu yang enam buah itu angin
banyak tertahan dan membuat jatuhnya lebih pelan.
Hanya kini dibutuhkan kepandaian menerka tepat antara lobang enam dengan lobang lima. Untuk
membedakannya dibutuhkan keahlian bertahun-tahun. Namun bagi Si Bungsu hal itu sudah merupakan kaji
menurun. Dia memang seorang penjudi ulung sebelumnya.
Kini dengan pendengarannya yang tajam, dia segera dapat menebak. Kalau empat taruhan terdahulu dia
hanya ingin coba-coba, maka kini dia bertaruh dengan penuh keyakinan.Semua uang kemenangannya tadi dia
taruh di angka satu, empat dan enam. Baribeh menaruh uangnya di angka tiga dan lima. Perwira Jepang yang
satu itu menaruh taruhannya di angka enam, Juling menaruh di angka satu.
"Sudah ..?" si Babah bertanya.
Tak ada yang menyahut. Mereka semua menatap diam pada piring itu. Babah gemuk itu mengangkat
Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bambu. Dan kembali mereka terkejut. Ketiga buah dadu itu menunjukkan angka persis seperti taruhan Si
Bungsu. Yang muncul di atas adalah mata satu, empat dan enam. Dengan demikian dia kembali memenangkan
taruhan. Perwira Jepang yang memasang di angka enam ikut bersorak gembira. Demikian pula si Juling yang
menaruh uangnya di angka satu. Mereka menerima bayaran taruhannya.
Si Babah membayar dengan tenang. Matanya sesekali menatap pada Si Bungsu. Dan bulu tengkuk Si
Bungsu merinding melihat kilatan mata Babah gendut itu. Namun dia tetap duduk diam di tempatnya. Tongkat
samurainya dia letakkan di paha. Siap menanti segala kemungkinan.
Lagi pula apa yang harus dia takutkan " Bukankah pertaruhan ini jujur " Bukan dia yang jadi bandar. Dia
hanya pemasang taruhan. Dalam perjudian, biasanya yang selalu curang adalah bandar. Dan kinipun kalau akan
ada huru hara, maka itu hanyalah karena dua soal.
Pertama karena bandar curang, dan ini tak kelihatan tanda-tandanya. Dan kedua karena bandar atau
salah satu pihak tak rela kalah. Dan inipun tak ada atau belum ada tanda-tandanya. Meski telah membayar
cukup banyak dalam dua kali taruhan ini, tapi Babah gemuk itu membayar masih dengan tersenyum. Dia
tampaknya memang cukong yang siap berjudi dengan siapapun dan dalam taruhan berapapun. Kini jari-jarinya
yang panjang dan kurus itu mulai mengambil buah dadu. Memasukkan kedalam potongan bambu dan
mengangkatnya tinggi. Si Bungsu kebetulan sedang menatapnya pula. Mereka saling pandang. Babah itu
tersenyum. Dan kembali urat-urat darah di tubuh Si Bungsu mengencang melihat tatapan mata dan senyum
Babah gemuk ini. Lambat-lambat tangan si Babah mulai memutar bambu berisi dadu. Suara dadu terdengar bersentuhan
dan berputar di dinding tabung bambu pendek itu. Mata Babah gemuk itu bergantian menatap Si Bungsu,
Baribeh, perwira Jepang dan si Juling.
Menatap sambil tangannya tetap memutar tabung bambu berisi dadu tersebut. Si Bungsu tidak lagi
menatap pada si Babah. Meskipun dia tahu Babah itu memandang padanya beberapa kali selama mengguncang
dadu. Tapi kini dia menunduk. Telinganya dia pasang baik-baik. Pendengarannya dia pusatkan pada bijih dadu
yang berputar itu. Dan tiba-tiba Babah itu menghentikan putarannya. Berbeda dengan cara sebelumnya, kali ini dia tak
langsung menelungkupkan tabung itu di atas piring. Melainkan memegangnya dulu. Buah dadu itu berkumpul
di dasar tabung. Beberapa detik berlalu. Lalu tiba-tiba, dengan amat cepat tabung bambu itu di telungkupkan
di piring di depannya. Tak ada suara buah dadu yang menyentuh piring. Sepi. Perwira Jepang itu, Baribeh dan
si Juling jadi heran, sebab tak satupun terdengar buah dadu yang jatuh kepiring. Tak satupun.
Kepandaian Babah ini bukan main. Baribeh jadi kagum sebab selama ini Babah itu belum pernah
melakukan hal itu. Kini buah dadu itu menyentuh piring tanpa terdengar sedikitpun suaranya.
" Pasanglah," kata si Babah perlahan.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 49
Tangannya masih tetap memegang tabung yang tertelungkup itu. Perwira Jepang itu sejenak
memandang pada Si Bungsu. Tapi karena Si Bungsu masih diam, dia segera memasang taruhannya di angka
empat. Baribeh dengan ragu memasang taruhannya di angka lima dan satu. Si Juling memasang di angka dua.
Si Bungsu masih diam. Babah gemuk itu menatap padanya.
"Tidak ikut memasang ?" tanya si babah.
Si Bungsu menatap Cina itu. Mereka saling pandang.
"Tidak ikut bertaruh ..?" babah itu kembali bertanya.
Sementara yang lain, termasuk tiga orang perempuan cantik yang kini duduk dekat Baribeh, Juling dan
perwira Jepang itu, menatap padanya dengan diam.
" Pasang saja taruhannya ". Babah itu berkata lagi.
" Taruhan baru saya pasang kalau dadunya sudah jatuh di piring " Si Bungsu berkata perlahan.
Perwira Jepang serta Baribeh saling pandang. Mereka jadi ragu atas ucapan anak muda ini. Apakah buah
dadu itu memang belum jatuh ke piring " Masakan belum. Mana bisa dadu itu tergantung atau tertahan di atas
dalam tabung bambu itu. Mustahil.
"Jatuhkanlah buah dadu itu ke piring, baru saya memasang taruhan ". Ujar Bungsu.
Babah itu tersenyum. Mau tak mau dia terpaksa harus memuji keunggulan pendengaran anak muda ini.
Anak muda yang luar biasa, pikirnya. Luar biasa lihainya berjudi.
Sebuah dencingan halus terdengar di dalam tabung itu. Sebuah dadu jatuh. Sepi setelah itu. Si Bungsu
masih tetap menunduk. Memasang telinga. Sebuah dentingan lagi. Dan sepi. Babah itu mengangkat tangannya
dari bambu tersebut. Perwira Jepang itu dan Baribeh kembali saling pandang.
" Baru dua buah yang jatuh ". perwira itu berkata.
Babah itu tersenyum sambil menatap pada Si Bungsu. Si Bungsu mengambil semua uang yang dia
menangkan dalam taruhan tadi. Kemudian meletakkan semuanya pada nomor tiga dan lima. Kemudian sepi.
" Tak ada yang akan merobah letak taruhan ?"
Babah itu bertanya. Tak seorangpun yang menyahut. Babah itu kemudian mengangkat tabung bambu
itu. Dan tiba-tiba semua orang, kecuali Si Bungsu, jadi tertegun.
Dua diantara tiga dadu itu memang menunjukkan angka-angka seperti yang ditebak Si Bungsu. Mata
dadu yang muncul di atas adalah mata satu, lima dan tiga. Berarti dua taruhannya menebak tepat dan benar.
Dia tak memasang taruhan pada angka satu, namun itu tak mempengaruhi kemenangannya.
Si Babah mulai berpeluh. Dia terpaksa tegak dan berjalan menuju biliknya. Tak lama dia muncul
membawa sebuah kantong besar. Lalu duduk lagi di tempatnya tadi dan membuka kantong yang tadi dia bawa.
Menatap ke uang taruhan Si Bungsu beberapa saat.
Kemudian mulai menghitung uang yang dia ambil dari dalam kantong. Dan meletakkannya pada uang
taruhan Si Bungsu. Si Bungsu hanya menatap dengan diam. Dia tahu, meski Babah itu tak menghitung
taruhannya, namun Babah itu tahu dengan pasti berapa harus membayar. Suatu keahlian yang jarang tersua.
Menghitung uang dari jarak tertentu tanpa menyentuhnya.
Dari seratus penjudi lihai, barangkali ilmu ini hanya terdapat pada satu atau paling banyak dua pejudi.
Dengan demikian, si Babah telah menunjukkan dua ilmu simpanannya. Pertama demontrasi tenaga dalam.
Yaitu tatkala tadi dia menahan ketiga dadu itu di bahagian atas tabung bambu.
Perwira Jepang dan Baribeh menyangka bahwa dadu itu berada di piring. Tapi ternyata masih dia tahan
melalui penyaluran tenaga dalamnya pada dinding tabung bambu itu. Dan ilmunya ini ternyata diketahui oleh
Si Bungsu. Kedua adalah ilmu menghitung tanpa menyentuh duit sebentar ini. Dan Si Bungsu juga
mengetahuinya. Oleh karena itu dia tak mau menghitung uang bayaran yang diberikan oleh Babah.
Uang itu dia kaut dan dia letakkan didepannya. Yang ikut beruntung adalah Baribeh. Taruhannya di
angka lima juga mengena. Sementara taruhan perwira itu dan taruhan si Jul ditarik oleh si Babah. Si Babah
masih tersenyum. Kemudian memungut bijih dadu di atas piring, kemudian memasukkannya ke dalam tabung
bambu itu. Dia memutarnya. Kemudian terbatuk.
Saat itulah tiba-tiba saja ke ruangan itu berlompatan enam orang Kempetai dengan senjata terhunus.
Mereka dikurung di tengah. Si Bungsu secara reflek segera meraih samurainya yang terletak di paha. Namun
entah bagaimana caranya, tahu-tahu samurai itu terpental jauh kebelakang terkena tendangan si Babah.
Sebelum Si Bungsu sadar apa yang terjadi, tendangan si Babah mendarat di dadanya. Dia terguling dan segera
saja muntah darah. Kepalanya berkunang-kunang. Ketika dia coba untuk bangkit, rambutnya ditarik dengan
keras. Dia terduduk. Dan segera saja empat buah sangkur terhunus ditekankan ke dada dan lehernya.
"Kalau kau melawan, kau kami bunuh disini ".
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 50
Kempetai yang memimpin penyergapan ini mendesis dengan tajam. Si Bungsu tak dapat bergerak
sedikitpun. Dia melihat Babah tadi duduk dengan tenang. Begitu pula Baribeh dan si Juling. Semula dia
menyangka bahwa penggerebekan ini adalah penggerebekan Kempetai terhadap tempat-tempat judi. Karena
dia pernah mendengar bahwa tentara Jepang dilarang berjudi. Tapi kali ini rupanya penggerebekan itu
memang sudah direncanakan. Si Bungsu tak menyadari sedikitpun, bahwa dia masuk perangkap. Sudah tiga
hari ini dia memperhatikan rumah Babah ini. Dia mendapat informasi bahwa rumah Babah ini termasuk suatu
tempat berkumpulnya para perwira untuk berjudi dan bersenang-senang dengan pelacur kelas tinggi.
Dia mengawasi rumah ini untuk mengetahui jejak Saburo. Dia berharap untuk bertemu dengan Kapten
yang telah membantai keluarganya itu. Tanpa disadari selama dia mengawasi rumah ini dari kejauhan ada pula
orang lain yang juga mengawasinya. Orang itu tak lain dari si Babah sendiri. Si Babah ini memang harus hatihati. Dia tidak mau mati konyol. Oleh karena itu dia mengawasi setiap orang yang lewat di depan rumahnya.
Makanya tak heran kalau kehadiran Si Bungsu tiga hari berturut-turut tak jauh dari rumahnya menarik
perhatiannya. Si Bungsu yang memata-matai rumah itu kini balik dimata-matai.
Suatu hari si Babah bertemu dengan Baribeh di pasar. Dia bawa Baribeh kesuatu tempat di mana dapat
melihat Si Bungsu dengan aman. Tentu saja si Baribeh dan si Juling mengenal anak muda itu dengan baik. Tapi
mereka tak mengetahui untuk apa Si Bungsu tegak di sana. Mereka hanya mengetahui bahwa Si Bungsu sudah
mati ditebas Saburo dan anak buahnya sekitar dua tahun yang lalu. Apakah Si Bungsu menyangka bahwa
kebocoran rahasia persembunyiaan Datuk Berbangsa dulu adalah andil Babah gemuk ini" Babah gemuk itu jadi
was-was. Sebab rahasia bahwa di Situjuh Ladang Laweh ada orang yang menyusun kekuatan untuk melawan
Jepang, memang Babah inilah yang memberitahukannya pada Kempetai. Si Babah pulalah yang membayar
beberapa orang Minang dengan bayaran yang tinggi, untuk mengorek rahasia bahwa yang memimpin gerakan
itu adalah Datuk Berbangsa dan Datuk Sati.
Babah ini memang menjadi semacam pusat informasi bagi balatentara Jepang. Dia sudah berada di
Payakumbuh ini sejak puluhan tahun. Ketika Belanda berkuasa dia menjadi kaki tangan Belanda. Dan ketika
Jepang datang dia menjadi cecunguk Jepang pula. Untuk mengetahui apa maksud pemuda ini, makanya Babah
itu lalu memasang perangkap. Si Baribeh dan si Juling dibuat pura-pura terkejut kalau bertemu dengannya.
Kemudian membujuknya untuk masuk berjudi ke dalam. Di dalam mereka akan menangkapnya.
Begitu ia masuk, seorang kurir yang dipasang tak jauh dari rumah itu segera melaporkan pada Kempetai
akan adanya seorang mata-mata di rumah si Babah. Dan Si Bungsu masuk ke dalam perangkap yang dipasang
itu. Dia masuk sebenarnya dengan maksud ingin mencari informasi tentang Saburo. Kini ternyata dia diringkus.
Babah itu tersenyum menatapnya. Senyumnya persis seperti senyum ketika membayar taruhan tadi.
Kembali Si Bungsu merasa bergidik melihat senyum itu.
"Anak muda, coba terangkan apa maksudmu memata-matai rumahku ini," Babah itu bertanya.
(11) Si Bungsu tak menjawab. "Jawab "! Jawablah apa maksud memata-matai rumahku ini! Kau ditugaskan oleh siapa untuk mematamataiku" Ditugaskan oleh pejuang-pejuang yang akan melawan Jepang ya?"
Si Bungsu terdiam. Dia tidak mengerti ujud petanyaan itu.
"Jawablah Bungsu. Kalau tidak kau bisa susah ". Kata Baribeh. Si Bungsu masih diam.
"Apakah Mahmud mengirim dia kemari" " si Babah bertanya pada Baribeh.
"Tidak. Dia justru mengirimkan kurirnya ke Kubu Gadang. Mereka akan menyerang Kubu itu untuk
merampas persenjataan ".
"Kapan mereka merencanakan?"
"Dua malam lagi ".
"Apakah tindakan lainnya ".
"Kalau tak berhasil mereka akan membakar Kamp kita ".
Si Bungsu menatap Babah dan Baribeh berganti-ganti. Menyimak pembicaraan kedua orang itu kini
persoalan menjadi jelas baginya, bahwa Baribeh bekerja untuk Babah Cina itu. Babah itu bekerja untuk Jepang.
Mereka memata-matai kegiatan pejuang-pejuang Indonesia. Si Bungsu tiba-tiba menjadi ingin muntah saking
jijik dan mualnya melihat Baribeh, si Juling dan si Babah. Tapi sekaligus dia juga menjadi lega. Sebab dengan
pertanyaan si Babah itu dia menjadi tahu, bahwa baik si Baribeh maupun pihak Jepang tak mengetahui
sedikitpun bahwa dialah yang telah membunuh Jepang-Jepang itu dalam bulan-bulan terakhir ini.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 51
Ini berarti pembunuhan tiga orang Kempetai di kampungnya ketika akan menangkap Salim anak Imam
dari Mesjid belum diketahui Jepang. Barangkali ketiga Jepang itu disangka melarikan diri atau lenyap begitu
saja. Belum ada yang menyangka bahwa dia mati terbunuh. Itu juga berarti bahwa kematian Jepang-Jepang di
kedai kopi Siti di kampung Tabing dulu juga masih disangka karena mereka saling berkelahi. Persis seperti
yang direncanakan dulu. Dan itu juga berarti bahwa Kempetai ini belum mengetahui bahwa yang membunuh
Jepang-Jepang di tempat pelacuran Lundang dulu itu adalah seorang pribumi. Si Bungsu menjadi agak tentram.
Buat sementara dia masih aman. Kini tinggal hanya bagaimana melarikan diri dari rumah Babah celaka ini.
"Hei monyet, jawablah. Apakah maksudmu memata-matai rumahku?"
Babah itu memaki. Muka Si Bungsu jadi merah padam. Di negerinya sendiri ada Cina yang memakinya
dengan sebutan monyet. Ada Cina yang selama puluhan tahun diterima dengan baik oleh bangsanya, diterima
di tengah pergaulan dan mencari makan di bumi negerinya dan hidup dengan aman selama puluhan tahun itu,
berani memaki dirinya. Memaki anak negeri dimana dia hidup menompang dengan sebutan monyet!
Alangkah jahanamnya. Dia tatap mata si Babah. Dan saat itu perwira yang tadi masuk ke bilik si Amoy
anak si Babah, muncul di pintu. Dia mendengar bentakan, dan cepat-cepat menyudahi permainannya. Lalu
memasang celana dan baju. Si Amoy dia tinggalkan terguling lelah di lantai.
"Ada apa ..?" tanya perwira yang bernama Ichi kepada Babah.
Si babah menceritakan tentang Si Bungsu yang mengintai rumahnya. Perwira itu menatap pada Si
Bungsu. "Paksa dia untuk bicara. Barangkali dia ikut ketika mencuri senjata di Kubu Gadang dulu .." Kata Ichi
sambil berjalan ke sudut ruangan mengambil minuman.
"Bicaralah ..!"
Kata si Babah pada Si Bungsu. Kali ini tangannya bergerak. Mengambil bijih dadu sebuah. Meletakkannya
di antara ibu jari dan telunjuk kanannya. Kemudian "menembakkan" buah dadu itu kearah Si Bungsu.
Tanpa dapat ditahan, Si Bungsu terpekik. Bijih dadu itu menghantam daun telinganya sampai robek.
Darah mengucur dari sana. Namun Si Bungsu tak dapat bergerak. Sebab empat bayonet masih menekan dada
dan lehernya. Dapat dibayangkan betapa tingginya ilmu Babah itu. Hanya dengan jentikan halus saja, dadu itu
sanggup memecah telinga Si Bungsu. Tidak hanya berilmu tinggi, tapi sekaligus berhati sadis!
"Jawablah!! Kalau tidak engkau akan kubunuh seperti membunuh tikus .." Kata si Babah dengan nada
dingin. "Saya mencari Saburo ".
Akhirnya Si Bungsu berkata jujur.
"Saburo ..?" "Ya .." "Tai-i Saburo Matsuyama?"
"Ya". "Untuk apa kau mencarinya" "
"Ada persoalan yang harus kuselesaikan "
"Persoalan apa?" "Itu urusanku .."
Mendengar jawaban ini, babah gemuk itu kembali mengambil sebutir dadu. Lalu kembali dia letakkan di
antara ibu jari dan telunjuknya. Kemudian dia sentilkan kearah Si Bungsu. Kembali Si Bungsu terpekik.
Sebenarnya dia telah berusaha untuk menahan sakit. Dia menggertakkan gigi. Namun dadu itu
menghantam keningnya. Namun Babah gemuk itu bukan main lihainya. Dadu itu menyerempet kening Si
Bungsu sedemikian rupa. Mula pertama dadu itu menjitak dahi Si Bungsu. Sakitnya bukan main, kemudian
melesat merobek kulit keningnya arah ke belakang. Kulitnya kepalanya robek empat jari. Darah mengucur.
Babah gemuk itu tertawa menyeringai. Demikian pula Baribeh dan si Juling. Air mata Si Bungsu
merembes di pipinya. Dia tak menangis. Tapi air mata itu adalah air mata menahan sakit. Dia menyumpahi
dirinya yang dengan mudah masuk ke dalam perangkap orang-orang sadis ini. Si Bungsu bersumpah, kalau dia
kelak dapat membalas, maka Babah gemuk ini adalah orang pertama yang paling nista dia perbuat. Dia akan
cincang perut gendutnya itu. Dia benar-benar bersumpah untuk itu. Tekadnya untuk hidup makin menyala.
"Nah, buyung. Katakanlah untuk apa lu mencari Tai-i Saburo ..!" Kata Cina gendut itu. Si Bungsu
menghapus darah dikeningnya. Menghapus darah dari daun telinganya yang koyak. Pedih dan sakit dari kedua
lukanya itu menyentak-nyentak.
"Bagaimana saya akan bicara kalau leher dan dada saya ditekan begini?" Katanya coba mencari
kesempatan. Dia berharap dengan ucapannya itu bayonet yang ditekankan ke leher dan dadanya akan ditarik.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 52
Kalau saja dia punya kesempatan agak sedikit, dia bisa berguling dengan loncat tupai ke belakang menyambar
samurainya. Demi Tuhan, akan dia cincang semua lelaki yang ada dalam ruangan ini. Terutama Cina gemuk seperti
babi ini. Namun Babah itu memang orang sadis. Di tangannya tiba-tiba telah berada pula sebuah bijih dadu.
Meletakkan dadu itu kembali di antara ibu jari dan telunjuknya. Dadu itu siap lagi untuk dia sentilkan pada Si
Bungsu. "Dadu ini bisa menembus jantungmu. Engkau mati. Atau bisa menembus matamu. Engkau buta. Maka
sebelum salah satu di antara kemungkinan itu terjadi, bicaralah yang benar. Tak peduli ada bayonet atau tidak
di lehermu!" Benar-benar sadis. Mau tak mau Si Bungsu memang harus buka mulut.
"Saya ingin menuntut balas kematian keluarga saya .." katanya perlahan.
"Dengan apa akan kau tuntut" Dengan menembaknya" Atau dengan menyerang rumahnya bersama
gerombolan Indonesia" Hmm .." Katakan bagaimana caranya!!"
"Dengan cara saya sendiri .."
"Bagaimana caramu!"
Si Bungsu terdiam. Babah gemuk itu bangkit. Kemudian mendekatinya.
"Katakan bagaimana caramu ..!" desis Babah itu.
Perwira-perwira Jepang yang lain menatap dengan diam. Si Bungsu jadi sadar, Cina ini nampaknya
adalah salah seorang Perwira Intelijen Jepang, karena kelihatan sekali dia disegani perwira-perwira itu. Hanya
saja jabatannya itu dia rangkap sebagai penjudi dan pengusaha rumah lacur. Demikian tak bermoralnya dia,
sehingga demi pangkat dan karirnya di mata Jepang, dia rela mengorbankan anak gadisnya untuk memuaskan
nafsu perwira-perwira Jepang tersebut. Karena Si Bungsu masih tetap diam, Babah itu menjitak kepalanya.
Terdengar suara berdetak ketika lipatan jari babah itu menghantam keningnya. Keningnya segenap bengkak
sebesar telur. "Katakanlah dengan siapa kau akan pergi menyerang Tai-i Saburo, dan dimana kalian akan berkumpul,
monyet!" Kepalanya yang kena jitak amat sakit, tapi yang lebih sakit adalah hatinya. Benar-benar sakit hati Si
Bungsu menerima perlakuan Babah gemuk ini. Pertama cara dia menekek atau menjitak kepalanya tadi. Benarbenar menyinggung hatinya. Kemudian ucapannya menyebut "monyet" benar-benar menyakitkan. Saking sakit
hatinya, anak muda itu lupa mengontrol diri. Tanpa dapat dia tahan, dia meludahi muka Babah gemuk itu.
Ludahnya menghantam wajah si Babah. Anak muda ini benar-benar lupa diri saking marahnya. Dia tak sadar
sama sekali, bahwa dengan perbuatannya ini dia bisa dibunuh si Babah seketika. Kalau itu terjadi, maka
dendamnya pada Saburo takkan pernah terbalaskan.
Namun si Babah yang mukanya sudah seperti udang direbus itu benar-benar tak memberi ampun.
Kakinya melayang. Si Bungsu yang memang tak pernah belajar silat itu kena hantam dadanya. Tubuhnya
tercampak. Dan masih belum mencecah lantai, dia sudah muntah darah. Kemudian tubuhnya jatuh. Masih
belum dia sadari apa yang terjadi, ketika sebuah tendangan kembali mendarat di rusuknya. Sakitnya bukan
main. Dia mendengar tawa si Babah. Yang menendangnya barusan ini ternyata si Baribeh. Untung si Baribeh.
Sebab kalau Cina itu yang menendang, dia yakin empat rusuknya akan patah. Tendangan Baribeh itu membuat
dia terguling lagi. Dia tertelungkup diam. Kening, telinga, mulut dan hidungnya melelehkan darah.
"Anjing! Melayu anjing, berani kau meludahiku, kupotong lidahmu " Sumpah si Babah dan mendekati
tubuhnya. Si Bungsu benar-benar berada dalam keadaan kritis. Babah itu mengambil sebuah pisau dari atas
meja. Dia nampaknya memang berniat melaksanakan sumpahnya untuk memotong lidah Si Bungsu. Namun
saat itu Si Bungsu merasa ujung jarinya menyentuh sesuatu. Tanpa terlihat, masih dalam posisi tertelungkup,
dia membuka mata. Tiba-tiba semangatnya timbul lagi. Yang berada di ujung jarinya itu adalah samurainya!
Langkah si Babah makin mendekat. Makin dekat. Kaku berjongkok dan berniat memegang wajah anak muda
itu untuk mengeluarkan lidahnya. Namun dengan gerakan yang hampir-hampir tak dapat dipercaya oleh
semua orang yang ada dalam ruangan itu, Si Bungsu berguling dua kali kekanan. Dua kali kekiri. Dalam gulingan
yang amat cepat dan ringan dia melompat berdiri. Secarik cahaya putih berkelebat amat cepat. Tiga orang
serdadu Jepang yang tadi menekan leher dan dadanya dengan sangkur masih melongo tatkala kilatan cahaya
itu menerpa wajah mereka. Mereka terpekik dan roboh.
Darah muncrat dari tubuh mereka. Kini Si Bungsu tegak di atas unggukan uangnya dengan sikap seperti
seekor Rajawali yang siap menyambar mangsanya. Samurainya terhunus melintang di depan dada. Samurai itu
berlumuran darah. Matanya menatap tajam pada Babah gemuk itu.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 53
Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Siapa saja yang bergerak mencabut senjata atau berniat lari atau memekik, akan kucabut nyawanya.
Tegak saja di tempat kalian baik-baik!" Ujar anak muda itu perlahan. Suaranya dingin dan penuh ancaman.
Perwira Ichi yang semula berniat mencabut pistol, jadi tertegun. Tangannya terhenti di gagang pistolnya.
Ancaman anak muda ini menggetarkan jantungnya. Namun jarak antara dia dengan anak muda itu cukup jauh.
Lagipula tubuhnya terlindung oleh tubuh seorang wanita. Dia pasti aman kalau mencabut pistol itu diam-diam
kemudian menembaknya pada tengkuk anak muda pongah ini. Dia sudah berniat untuk melaksanakan
maksudnya. Tapi entah kenapa tiba-tiba dia jadi ragu. Karenanya dia memberi isyarat dengan mata pada si Baribeh.
Baribeh mengerti isyarat itu. Lelaki itu lalu bicara untuk mengalihkan perhatian Si Bungsu.
"Bungsu, jangan berbuat kekacauan di sini. Engkau tak akan bisa lolos lihatlah, rumah ini telah dikepung
.." Dan waktu itulah pistol Ichi keluar dari sarungnya. Pistol itu sudah akan dia angkat. Malang dia tak
mengetahui bahwa anak muda ini tidak sama dengan kebanyakan anak muda Melayu lainnya. Anak muda yang
satu ini telah melatih indranya di gunung selama dua tahun lebih. Dia telah lolos dari kehidupan liar yang
membutuhkan perjuangan keras untuk bisa tetap bertahan. Dia mampu bertahan hidup di tengah ganasnya
belantara yang amat liar. Hidup di tengah hukum rimba. Dimana hanya yang kuat yang berhak untuk hidup.
Yang lemah harus mau menjadi tumbal untuk kelangsungan hidupnya yang kuat.
Dalam kehidupan di rimba belantara itu, kekuatan saja tidak menjadi jaminan untuk bisa
memperpanjang nyawa. Kuat tanpa kecerdikan bisa konyol. Kuat dan cerdik saja juga belum tentu bisa selamat.
Kewaspadaan dan ketajaman firasat serta pendengaran sangat dibutuhkan. Bagaimana caranya mengetahui
seekor ular yang bergerak tanpa suara itu akan menyerang kita"
Bagaimana caranya mengetahui seekor harimau yang akan menerkam mangsanya, yang bergerak
seringan kapas tanpa dilihat dan tanpa terdengar oleh mangsa yang akan diterkam. Makhluk di rimba raya
memerlukan ketajaman firasat dan pendengarannya untuk bisa bertahan hidup. Inilah yang terpenting, bukan
hanya kekuatan semata. Burung, tupai atau kancil, adalah makhluk yang lemah tanpa daya. Namun mereka bisa hidup
berkembang dan tak punah dalam belantara yang dipenuhi kebuasan itu berkat pendengaran dan firasat
mereka yang tajam. Itu pulalah yang dipelajari Si Bungsu selama mengasingkan diri selama dua tahun di
gunung Sago. Dia bertekad untuk tetap hidup sekurang-kurangnya sampai dendam keluarganya terbalaskan.
Kalau burung atau kancil saja bisa hidup, kenapa dia sebagai manusia yang berakal tidak" Kalau mereka
mempunyai ketajaman pendengaran, kenapa dia tak bisa menirunya" Maka hiduplah dia di rimba itu sambil
menimba banyak sekali kearifan hidup dari hewan yang purbani.
Ternyata dia keluar sebagai pemenang. Tetap hidup sampai saat ini. Itu pula yang terjadi di rumah babah
gendut itu. Disaat Ichi menarik pistolnya, telinga Si Bungsu yang mampu mendengar daun jatuh sekalipun saat
di gunung sana, juga mendengar benda keras yang dicabut dari sarangnya. Firasatnya segera bekerja. Benda
itu kalau tidak pisau pastilah pistol. Dalam waktu yang singkat sekali, dia menjatuhkan diri kebelakang.
Punggungnya mencecah lantai. Kemudian kakinya bergulung keatas. Saat itu pistol meledak. Namun pelurunya
menerpa tempat kosong. Dengan dua kali bergulingan amat cepat, Si Bungsu melewati perempuan yang tegak
di depan Ichi. Perwira itu terkejut melihat anak muda itu tiba-tiba saja sudah berada di depannya. Pistol dia arahkan
padanya. Namun samurai Si Bungsu berkelebat. Tak ada pekikan. Perwira Jepang itu rubuh dengan bahu di
dekat pangkal lehernya belah dua sampai ke dada. Bukan main. Benar-benar satu gerakan yang terlalu cepat
untuk diikuti mata. Seorang serdadu yang tegak di sisi Ichi justru ternganga menatap tubuh perwiranya yang jatuh tergolek
dengan tubuh hampir terbelah dua. Tapi nasibnya juga sial. Tengkuknya disambar samurai Si Bungsu.
Kepalanya mengelinding ke bawah sebelum tubuhnya mencapai lantai. Mati.
Perempuan-perempuan pada terpekik. Si Bungsu tegak menghadap pada Babah gemuk itu. Si Babah
terkejut melihat kecepatannya. Sementara si Baribeh dan si Juling tegak merapat kedinding belakang si
Babah.Muka mereka pucat ketakutan. Tak pernah mereka bayangkan sedikitpun, bahwa anak muda yang
pernah mereka lanyau di Surau ketika mereka kalah judi dahulu akan menjadi begini hebatnya.
"Hmm, lu jangan banyak lagag di depan we. Lu we bikin ayam potong". Ujar Si Babah sambil menyeringai
buruk. Si Bungsu memandangnya tak berkedip. Matanya yang biasa bersinar lembut kini membersitkan api
amarah yang dahsyat. Samurainya membelintang di depan dada. Dia tegak dengan sikap gagah. Kemudian
terdengar suarasuaranya bergema, dingin dan datar.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 54
"Gendut, engkau telah hidup di negeriku ini sebelum aku dilahirkan. Bahkan mungkin kalian hidup sejak
dari moyang kalian di sini. Di sini kalian hidup dan mencari nafkah. Pernah kalian diganggu anak negeri ini"
Pernah kalian dihalangi untuk mencari nafkah" Tak pernah, kan" Bahkan kami menganggap kalian sebagian
dari masyarakat kami. Kita sama-sama berhak hidup dan mencari kehidupan di negeri ini. Tapi apa kini yang
kau perbuat untuk membalas kebaikan anak negeri ini" Yang telah berbaik hati menerima kalian hidup
beberapa keturunan dengan damai di negeri ini?"
Dia berhenti sebentar, lalu :
"Ternyata kau khianati negeri ini pada Jepang. Engkau menjadi musuh dalam selimut bagi anak negeri
yang telah puluhan tahun hidup bersamamu. Benar-benar sikap jahanam yang laknat. Demi uang engkau sudi
berbuat apa saja. Tapi demi Tuhan, engkau harus mati malam ini. Harus, Gendut!"
Sumpah anak muda ini mau tak mau membuat bulu tengkuk Babah itu merinding. Si Baribeh dan si Juling
tak berani berkutik. Tegak mematung dengan tubuh menggigil di tepi dinding. Kedua lelaki Minang ini sampai
terkencing-kencing di celananya. Si Babah gendut itu nampaknya juga mengetahui bahwa anak muda di
depannya ini tidak hanya menggertak sambal. Anak muda itu sanggup melaksanakannya. Karena itu dia mulai
menyerang, tubuhnya seperti lenyap di bungkus sinar. Bukan main cepatnya dia bergerak. Si Bungsu buat
sesaat jadi tertegun. Dia bukan pesilat, apa yang harus dia perbuat"
Suatu saat dia rasakan angin mengarah keperutnya. Dia tak melihat serangan. Tapi dia yakin angin itu
berasal dari pukulan Gendut itu. Satu-satunya jalan yang bisa diambilnya adalah menghantamkan samurainya.
Bersamaan dengan itu tubuhnya berguling kesamping. Namun terlambat! Sebuah tikaman menghantam
pahanya. Bukan main sakitnya, dia terpekik. Darah mengucur lagi! Si Babah memburu terus.
Untuk beberapa saat Si Bungsu terpaksa berguling dengan meniru loncat tupai itu. Untuk beberapa saat
nampaknya dia teringat lagi pada perkelahiannya yang terakhir di gunung Sago melawan dua cindaku. Ya,
kenapa dia tidak bertahan tegak saja sambil memejamkan mata" Bukankah dia bisa mengandalkan
pendengarannya yang tajam itu.
Kalau dia mengelak terus begini, tenaganya akan habis. Gerakkannya akan lamban. Dan bila sudah begitu
maka kesempatan untuk menangkis serangan juga tak ada lagi. Maka kini dia harus merobah taktik. Si Babah
ini nampaknya memang seorang pesilat Cina yang tangguh.
Firasatnya yang mencurigai si Babah ketika mula-mula masuk tadi ternyata benar. Si Babah tidak hanya
berilmu silat yang tinggi, tetapi juga seorang mata-mata yang amat berbahaya. Si Bungsu bergulingan menjauh.
Saat berhasil menjauhi si Babah dia tegak kemudian memejamkan mata. Dia mendengar nafas memburu dan
suara gigilan di belakangnya. Kemudian langkah menggeser.
Masih dalam keadaan memejamkan mata, dan masih dalam keadaan merasakan sakitnya telinganya
yang koyak, keningnya yang luka dihantam dadu si Babah, dan paha yang luka kena tikam pisau, dia
menghayunkan samurainya kebelakang. Si Baribeh dan si Juling yang berada di belakangnya, yang ingin
menggeser tegak dari belakang anak muda itu, tiba-tiba terpekik. Bajunya robek dihantam samurai Si Bungsu.
Dia tertegak diam dan merapat kembali kedinding.
"Engkau tak layak untuk hidup Baribeh. Selain penjudi, engkau ternyata menghianati negerimu. Orang
semacam engkau tak layak mengaku sebagai anak Minangkabau.
Karenanya engkau juga tak layak hidup di negeri ini!".
Suara Si Bungsu bergema perlahan. Tapi nadanya mengirimkan gigilan yang amat menakutkan ke
jantung si Baribeh dan si Juling. Anak muda itu bicara dengan mata yang masih terkatub. Dia harus membagi
inderanya antara mengawasi si Baribeh dan si Juling dengan gerakan si Babah gemuk.
"Yiy " ya! Ya benar. Saya memang tak layak untuk hidup di negeri ini. Karena itu mohonlah lepaskan
saya. Saya akan berangkat meninggalkan negeri ini .." si Baribeh berkata memohon terbata-bata. Terdengar
gelak renyai dari mulut Si Bungsu.
"Hee .. he. Engkau akan pergi dari sini Baribeh?"
"Ya. Ya. Tapi kata waang saya layak hidup di negeri ini. Saya akan pergi jauh-jauh. Jauuuh sekali.." "Hidup
adalah sesuatu yang amat mulia untuk kau lumuri dengan dosa Baribeh. Kau tak berhak untuk hidup".."
Baribeh terkejut dan hampir saja dia jatuh mendengar ucapan anak muda ini. Tapi dia berusaha untuk
tetap tenang. Meskipun tubuhnya menggigil dan celananya basah, dia angkat bicara lagi :
"Tet .. eh, tapi siapa yang menentukan bahwa saya tak berhak untuk hidup?"
"Saya!" "Te .. eh. Tapi engkau bukan Tuhan!"
"Jangan bawa-bawa nama Tuhan dalam kehidupanmu yang kotor!"
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 55
Sehabis bicara dia berputar. Dia harus bertindak cepat, sebab si Babah merupakan bahaya besar yang
harus dia hadapi. Begitu dia berputar, tubuh Baribeh dan si Juling menggeliat dimakan samurainya. Dada
mereka belah dan menyemburkan darah. Dua orang penghianat yang bekerja untuk seorang Cina yang
memata-matai negerinya telah mati.
Mati di tangan anak muda yang pernah mereka lanyau. Kini Si Bungsu tinggal memusatkan perhatiannya
pada si Babah gemuk itu. Namun saat itu di luar terdengar seruan dalam bahasa Jepang.. Kempetai! Ya,
Kempetai telah mengepung rumah itu. Kempetai rupanya telah diberitahu oleh seorang mata-mata yang
bertugas di luar. Begitu mendengar pekikan, dia segera ke pos Kempetai. Kini Polisi Militer Jepang itu datang dengan
kekuatan empat puluh orang. Si Bungsu berfikir cepat. Dia sudah bersumpah untuk membunuh Babah matamata jahanam ini. Kalau tidak maka lebih banyak lagi bencana yang akan ditimbulkan orang ini terhadap
negerinya. Dia kini tegak membelakangi dinding dan mayat Baribeh. Sedepa di kanannya, terdapat pintu
keruang depan. Dia melirik pintu itu besar dengan palang pengunci dari balok. Rumah ini model rumah-rumah
Cina kuno yang kukuh. Dengan bergerak cepat dia menghantam pintu itu sampai tertutup. Kemudian menyepak palangnya
hingga jatuh dan mengunci pintu dari papan yang amat tebal itu. Namun saat itu pula si Babah menyerangnya
dari belakang. Pisau Babah itu menancap di bahunya. Hampir saja mengenai jantung. Namun dengan
menggertakkan gigi, anak muda ini melompat dan menghujamkan samurainya kebelakang. Dia merasa
samurainya mengenai sesuatu. Kemudian dia menyentak samurai itu kembali. Lalu berputar. Di luar terdengar
Kempetai berteriak dan memukul-mukul pintu. Si Bungsu membabatkan samurainya. Si Babah gendut yang
telah tertusuk dadanya itu, coba menangkis dengan pisau pendek itu. Namun tangannya putus hingga
pergelangan. Dia terpekik.
"Kubunuh kau mata-mata laknat!!"
Desis Si Bungsu sambil sekali lagi membabatkan samurainya. Babah itu mencoba mundur, tangannya
yang pontong itu terangkat seperti akan menangkis. Namun tangannya itu dimakan samurai. Putus hingga siku,
Babah itu untuk kedua kalinya terpekik.
Perempuan-perempuan sudah sejak tadi lenyap lewat pintu belakang. Babah itu hoyong. Samurai Si
Bungsu bekerja lagi. Kaki si Babah putus di batas lutut. Kini si Babah tergolek. Si Bungsu memenuhi sumpahnya
belum lama berselang. Bahwa dia akan mencencang perut buncit Cina ini atas penghianatannya. Enam kali
samurainya bekerja. Membuat perut Babah Cina itu robek-robek seperti perut kerbau usai dipesiangi di rumah
bantai. Darah bersemburan. Tubuh Si Bungsu sendiri dipenuhi darah.
Darah dirinya dan darah si Babah! Kempetai di luar mulai menembaki pintu. Namun dengan bedil
panjang mereka, pintu kukuh itu tetap tak dapat dijebol. Peluru bedil mereka hanya mampu menembus sedikit
saja papan pintu itu, namun tidak tembus. Babah gepuk itu memang membuat rumahnya sebagai benteng. Dia
amat khawatir kalau suatu saat rahasianya sebagai mata-mata Belanda dan mata-mata Jepang diketahui orang.
Karena itu, dia membangun rumahnya sebagai pos yang sulit untuk ditembus.
Siapa sangka, hari ini dia sendiri yang membawa pembunuhnya masuk. Dan dia terbunuh di dalam
benteng yang dia buat. Sementara orang yang ingin membantunya terkurung di luar. Dihambat oleh pintu besar
yang amat kukuh. Di dalam ruangan itu masih ada dua orang perwira Jepang teman Ichi yang mula pertama
main judi tadi. Mereka memang datang kesana atas permintaan si Babah. Si Babah melaporkan bahwa ada
mata-mata yang ditangkap. Tapi kini, melihat makan tangan orang yang disebut mata-mata itu, tubuh mereka
jadi lumpuh. Mereka seperti tak berdaya untuk bergerak.
Ternyata tak semua perwira Jepang berhati baja. Ternyata mereka juga manusia biasa. Ada yang berhati
baja, ada yang berhati seperti kerupuk jangek, amat rapuh. Mereka sebenarnya punya kesempatan yang banyak
untuk balas menyerang. Mereka bisa mencabut pistol atau memungut bedil yang terletak di lantai. Dan
menembakkannya ketika anak muda itu bertarung melawan si Babah. Namun mereka seperti disihir. Terdiam
tak berkutik. Ada dua hal yang menyebabkan mereka begitu. Pertama rasa takut melihat sepak terjang anak
muda itu. Amat cepat dan amat mengerikan. Dan yang kedua adalah perasaan takjub mereka. Betapa mereka
takkan takjub, sebagai perwira-perwira, mereka termasuk mahir mempergunakan samurai.
Namun melihat cara anak muda ini mempergunakan samurai, mereka benar-benar terpukau. Caranya
nampak sangat sembarangan. Tidak menurut aturan sebagaimana pesilat-pesilat samurai seperti mereka.
Meski demikian, meski dengan metode yang tak benar, gerakan anak muda ini amat terlalu cepat. Ayunan dan
tebasan samurainya amat kukuh, mantap dan secepat kilat. Mereka yakin, kalaupun mereka disuruh
bertanding melawan anak muda ini, maka bagi mereka takkan ada harapan untuk menang sedikitpun! Kini,
ketika Si Bungsu mencencang tubuh si Babah, tanpa dapat mereka tahan kedua perwira ini terpancar
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 56
kencingnya. Mereka bukannya ngeri melihat tubuh si Babah yang cabik-cabik, tapi mereka membayangkan
bahwa setelah ini tubuh merekalah yang akan menerima nasib seperti itu.
Si Bungsu melangkah mendekati mereka. Salah seorang mencabut pistol dengan tangan menggigil.
Samurai Si Bungsu bekerja. Keduanya rubuh tanpa dapat melawan sedikitpun. Rumah itu berkuah darah.
Potongan tubuh kelihatan tergeletak di sana sini. Ini benar-benar sebuah pembataian!
Si Bungsu memang tak bisa berbuat lain dari pada seperti itu. Dia dihadapkan pada dua pilihan. Dibunuh
atau membunuh. Maka dia memilih yang kedua. Betapapun jahatnya suatu pembunuhan, namun jauh lebih baik
hidup sebagai pembunuh dari pada mati sebagai orang yang dibunuh. Apa lagi kalau yang dibunuh itu adalah
musuh bangsa! Cukup lama waktu berlalu ketika pintu besar itu berhasil didobrak oleh Kempetai. Yaitu setelah
mendatangkan sebuah truk reok untuk menghantam pintu itu sampai jebol. Begitu jebol, Kempetai
berlompatan masuk. Begitu berada di dalam, mereka pada berseru kaget. Bulu tengkuk mereka merinding
tatkala melihat sisa penjagalan yang terjadi dalam rumah itu.
Mereka segera memeriksa setiap sudut rumah. Mencari anak muda yang dilaporkan sebagai mata-mata
yang masuk perangkap di rumah ini. Namun Si Bungsu lenyap entah kemana. Mereka memeriksa semua bilik.
Termasuk bilik enam perempuan yang tinggal di rumah itu. Termasuk juga bilik si Amoy semok anak si Babah
yang baru berumur tujuh belas tahun itu. Tapi Si Bungsu tak ada. Dan semua perempuan itupun benar-benar
tak mengetahui kemana anak muda itu pergi. Dia lenyap seperti hantu dalam cahaya bulan.
Pimpinan tentara Jepang di Payakumbuh Mayor Sin Ici Eraito mengumpulkan semua perempuan yang
ada di rumah itu, termasuk semua serdadu yang menggerebek rumah tersebut. Kepada mereka diperintahkan
untuk tetap tutup mulut. Tak seorangpun boleh membicarakan hal ini. Juga diperintahkan, agar setiap kematian
tentara Jepang dalam serangan atau perkelahian dengan penduduk pribumi, harus dipeti-eskan. Jangan sampai
menjalar ke luar. Sebab kalau berita itu bocor ke luar maka ada dua hal yang membahayakan kedudukan
tentara Jepang. Pertama, penduduk pribumi yaitu bangsa Indonesia yang sudah berniat melawan Jepang, akan
bertambah semangatnya. Sebab ternyata ada orang yang mampu membunuh tentara Jepang yang ditakuti itu.
Dan hal ini bisa mempercepat timbulnya pemberontakan anti Jepang di Minangkabau. Kedua adalah soal
prestise. Tentara Jepang sudah tentu akan malu jika tersiar kabar bahwa tentara kaisar Tenno Heika dari negeri
Matahari Terbit yang kesohor itu mati di tangan penduduk pribumi. Apalagi jika pecah kabar, bahwa tentara
Jepang itu justru mati oleh sebuah Samurai. Tak terbayangkan geger yang akan timbul.
Sebagai komandan tertinggi yang membawahi Payakumbuh dan sekitarnya, Mayor Eraito tidak mau
mengambil resiko d ihukum oleh Kolonel Fujiyama karena kematian perwira-perwiranya secara beruntun ini.
Dia berusaha menutupi kejadian ini untuk tak bocor keatas. Sebab saat itu hukuman yang terkenal diantara
perwira Jepang itu adalah hukuman Harakiri. Setiap perwira atau serdadu yang dinilai gagal total, kepadanya
diberi "kehormatan" untuk bunuh diri. Dia tak menginginkan hal itu terjadi. Itulah sebabnya dia
memerintahkan untuk menutup berita pembantaian itu serapat mungkin.
Para tentara serta perempuan yang diperintahkan untuk tutup mulut itu memang melaksanakan tugas
mereka dengan baik. Sebab bila membocorkan rahasia, mereka akan berhadapan dengan regu tembak. Mereka
tahu, setiap orang yang ada di sekeliling mereka bisa saja menjelma jadi mata-mata Kempetai. Mereka tak dapat
mempercayai seorangpun. Baik orang Cina maupun orang Melayu. Mereka bisa saja jadi mata-mata Jepang.
Babah gemuk itu dan Baribeh serta si Juling menjadi contoh jelas tentang itu. Betapa Cina dan anak Minang
sendiri rela menjadi mata-mata bagi penjajah negerinya.
Buat sementara, Si Bungsu aman. Sekurang-kurangnya tak begitu banyak tentara Jepang yang
mengetahui, bahwa saat ini ada seorang anak Minang yang berkeliaran dengan samurai maut di tangannya.
Yang telah membantai puluhan orang tentara Jepang dalam tahun ini. Namun perbuatan Mayor Sin Ichi Eraito,
komandan tentara Jepang di Payakumbuh itu, yang menyembunyikan kematian anak buahnya pada Kolonel
Fujiyama di Bukittinggi, yaitu Komandan Tertinggi Balatentara Jepang di Sumatera hanya bertahan beberapa
bulan. Terbongkarnya kematian itu bermula dari surat-surat tugas dari Markas Besar Tentara Jepang di
Bukittinggi. Ada beberapa perwira yang ditarik ke Bukittinggi dari Payakumbuh. Nah diantara yang ditarik itu
ada yang mati di tangan Si Bungsu. Semula masih akan ditutupi dengan menyebutkan bahwa perwira itu sakit
keras, dan tengah dirawat. Beberapa hari kemudian dilaporkan perwira itu mati karena penyakitnya.
Ya. Untuk sementara peristiwa itu tak tercium. Tapi kemudian ada lagi perintah untuk kenaikan pangkat
bagi dua orang perwira. Dan kedua perwira itu diharuskan melapor ke Markas Besar di Bukittinggi. Kembali
Eraito memberi jawaban bahwa kedua perwira itu sakit. Kecurigaan mulai timbul di Markas Besar. Eraito
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 57
meminta waktu agak sepekan untuk merawat perwira itu, kemudian mengirimkannya untuk upacara kenaikan
pangkat di Bukittinggi. Eraito berharap, waktu seminggu itu cukup baginya untuk alasan bahwa kedua perwira itu mati dalam
perawatan. Dan kematiannya karena minum racun sebelum masuk rumah sakit. Penguburan seperti biasa bisa
dilakukan sendiri tanpa dihadiri Kolonel Fujiyama. Sebab sudah biasa kematian amat banyak dalam
pertempuran seperti tahun-tahun dalam amukan perang dunia ke II ini. Begitulah harapan Eraito. Kolonel
Fujiyama belum mencium siasat ini. Namun Perwira Intelijen bawahan Fujiyama mencium sesuatu yang tak
beres dalam laporan Eraito. Perwira Intelijen itu adalah Chu Sha (Letnan Kolonel) Fugirawa. Diam-diam Chu
Sha ini mengirim dua orang Intelijennya ke Payakumbuh dihari d iterimanya laporan Eraito.
Kedua mata-mata itu langsung menuju rumah sakit. Memeriksa daftar pasien. Mereka tak menemui
nama kedua perwira itu di sana. Mereka kemudian memeriksa markas dan daftar nama pada pos-pos komando
di seluruh Luhak 50 Kota. Ternyata nama kedua perwira itu, dan beberapa nama lainnya, termasuk prajuritprajurit Kempetai beberapa orang, telah lenyap. Kedua Intelijen ini menghentikan penyelidikannya. Langsung
ke Bukittinggi dan melapor pada Chu Sha Fugirawa.
Letnan Kolonel Kepala Intelijen ini memberi laporan dan analisa staf pada Fujiyama. Fujiyama segera
pula mencium sesuatu yang tak beres dalam laporan Eraito. Dia menulis surat pada Eraito, agar segera datang
melapor ke Markas Besar. Dia harus datang bersama kedua perwira yang dia laporkan sakit. Bila keduanya
sudah mati, maka dia harus datang bersama mayatnya.
Eraito menerima surat itu. Apa yang harus dia perbuat" Kedua perwira itu telah mati beberapa bulan
yang lalu di tempat pelacuran di Lundang. Mati dibabat samurai orang tak dikenal. Akan datangkah dia ke
Bukittinggi dengan terlebih dahulu menggali kuburan kedua perwira itu dan membawa mayatnya yang sudah
busuk" Akhirnya dia membuka bungkusan kedua yang dikirim oleh Kolonel Fujiyama. Bungkusan itu berwarna
kuning. Di dalamnya ada benda panjang dua jengkal berbungkus bendera Jepang bergambar matahari. Dia buka
bungkusan bendera itu. Benda sepanjang dua jengkal itu persis seperti yang dia duga, samurai pendek! Dia
mengangguk pada tiga orang Kapten yang membawa surat perintah itu. Ketiga Kapten itu memberi hormat
padanya. Eraito melilitkan bendera itu kekepalanya. Kemudian memberi hormat kearah matahari terbit. Ke arah
kerajaan Kaisar Tenno Haika. Lalu dia duduk berlutut di lantai. Ketiga Kapten yang dikirim dari Bukit Tinggi
itu juga berlutut. "Tai-I Sambu .. " Eraito memanggil. Yang dipanggil, seorang Tai-I (Kapten) masuk memberi hormat. Dia
terkejut melihat keempat orang yang berlutut. Ketika matanya terpandang pada bendera yang melilit kepala
Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
komandannya, kemudian pada samurai di depan Eraito, Kapten itu segera sadar apa yang akan terjadi. Dia
mengangguk memberi hormat. Kemudian duduk di hadapan komandannya.
"Setelah tugas saya selesai, serahkan seluruh berkas perkara kematian itu pada mereka .." Eraito berkata.
"Hai ..!!" perwira itu mengangguk dalam-dalam.
Kemudian Eraito mengambil samurai itu. Membukanya. Mulutnya komat kamit. Kemudian
menghujamkan samurai itu keperutnya. Dengan tekanan yang kukuh, samurai yang alangkah tajamnya itu, dia
iriskan kekiri. Darah membersit. Dia masih berlutut dengan nafas terengah. Kemudian jatuh. Kepalanya
mencecah lantai. Dia seperti orang Islam yang sujud kelantai. Dan perwira ini mati dalam keadaan begitu. Dia
telah melakukan Seppuku, yang juga disebut Harakiri.
Segera setelah dia mati, Kapten wakilnya itu menyerahkan laporan berkas kematian perwira-perwira
itu pada ketiga Kapten utusan Fujiyama. Berkas perkara itu disampulnya. Tak seorangpun yang berhak
membacanya, kecuali Kolonel Fujiyama. Bahkan Letkol Fugirawa sendiripun, kendati jabatannya Kepala
Intelijen, tetap tak berhak membaca laporan itu. Berkas itu dibawa ke Bukittinggi. Fujiyama membacanya
dengan teliti. Laporan itu antara lain berisi:
"Ada seorang anak Minang yang berkeliaran dengan samurai maut di tangannya. Anak muda ini entah
dari siapa belajar samurai, ilmu samurainya meskipun ngawur, namun amat tinggi. Diduga dia mencari
seseorang untuk membalas dendam atas keluarganya. Mungkin yang dia cari adalah Tai-I Saburo, yang dulu
menjabat sebagai Cho (Komandan Peleton) Kempetai di Payakumbuh. Saburo memang terkenal terlalu ganas
di Payakumbuh. Itulah sebabnya dahulu dia diusulkan untuk pindah dari kota kecil ini. Kini ada yang menuntut
balas kekejamannya. Diduga lebih dari dua puluh orang tentara Jepang, perwira dan prajurit, telah mati
dimakan samurai anak Minang itu. Tapi rahasia ini dipegang teguh, penyelidikan tetap dijalankan. Usaha
mencari dan membekuk anak muda yang kabarnya bernama Si Bungsu (anak paling kecil) dari Dusun Situjuh
Ladang laweh itu tetap diusahakan dengan ketat. Namun sampai saat ini anak muda itu tak pernah bersua. Dia
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 58
lenyap seperti burung elang yang terbang ke kaki langit. Semoga dengan restu Tenno Haika, demi kejayaannya,
anak muda itu segera dapat ditangkap."
Demikian bunyi dan akhir dari laporan Mayor Eraito yang berkedudukan sebagai Bu Tei Cho (Komandan
Batalyon) balatentara Jepang di Payakumbuh. Dalam laporan itu dilampirkan nama-nama yang diduga mati di
tangan Si Bungsu. Kolonel Fujuyama menarik nafas dan menutup laporan itu. Eraito telah menjalankan
tugasnya dengan baik. Menutup rahasia itu rapat-rapat. Tapi dia memang harus mati, karena di puncak
hidungnya sendiri anak buahnya banyak yang mati. Mati bukan dalam pertempuran. Hukuman bagi
komandannya adalah tembak mati atau Harakiri. Eraito memilih yang kedua.
(12) Laporan itu dimasukkan ke dalam penyimpanan dokumen paling rahasia oleh Kolonel Fujiyama. Kolonel
Fujiyama terkenal sebagai seorang Perwira Senior yang kukuh pada tradisi Militer Jepang yang amat
konvensional. Baginya, seorang tentara adalah seorang tentara. Seorang tentara berperang untuk negaranya.
Bukan untuk diri pribadi. Seorang tentara hanya bermusuhan dengan tentara dari negara yang melawan negara
Jepang. Lawan tentara Jepang hanyalah tentara negara tersebut, atau mata-mata dari tentara yang berasal dari
orang sipil. Seorang tentara Kerajaan Tenno Haika tak layak melakukan kekejaman pada rakyat sipil. Kolonel
ini terkenal sekali dengan sikap yang demikian. Dia adalah pemeluk agama Budha yang taat.
Sebagai Dai Tai Cho, Komandan Divisi dan Komandan balatentara Jepang di Pulau Sumatera, dia berhak
mengambil putusan-putusan yang amat prinsipil. Dan itulah yang dia lakukan. Yaitu dengan menyuruh Eraito,
seorang Mayor yang gagal untuk Harakiri. Kini dia mengambil langkah kedua dalam urusan peristiwa Si Bungsu
ini. Dia memerintahkan pada Saburo yang saat itu sudah berpangkat Syo Sha (Mayor) dan menjabat sebagai Bu
Tei Cho (Komandan Batalyon) di Batu Sangkar, untuk datang menghadapnya di Markas Besar. Saat Saburo
Matsuyama datang dia dipaksa oleh Fujiyama untuk minta pensiun. Kemudian dipaksa untuk pulang ke Jepang.
Putusan ini mengejutkan perwira-perwira Jepang. Sebab Saburo dikenal sebagai perwira yang cekatan. Namun
itulah putusan Fujiyama. "Saya punya keyakinan, kalau engkau masih di negeri ini, engkau akan bertemu dengan anak muda
bersamurai yang bernama Si Bungsu itu. Dan kalau kalian bertemu, perkelahian tak terhindarkan. Saya tak
dapat menerka bagaimana cara anak itu berkelahi, tapi saya punya firasat, engkau akan mati di tangannya.
Karena itu pulanglah kekampungmu Syo Sha. Di sana engkau akan aman. Aman dari perbuatan memperkosa
anak bini orang. Namun saya merasa pasti anak muda ini akan tetap mengejarmu kemanapun engkau pergi .."
Begitu Kolonel Fujiyama berkata pada Saburo, Saburo termenung.
"Apakah engkau punya anak?"
"Ada Kolonel .."
"Berapa orang?"
"Seorang, dan perempuan .."
"Dimana dia kini?"
"Di Nagoya. Baru berumur enam belas .."
"Dalam agama ada ajaran, bahwa setiap orang akan menerima balasan dari perbuatannya. Saya
khawatir, suatu saat anakmu ketemu dengan anak muda ini. Dan kalau dia membalas dendam padanya, dapat
kau bayangkan apa yang akan terjadi Saburo" Saya tak menakut-nakutimu. Tapi berdoalah, agar anak muda itu
melupakan. Nah selamat jalan..!"
Kata-kata ini masih terngiang di telinga Saburo dalam perjalanannya ke Singapura untuk terus pulang
ke Jepang. Anaknya seorang gadis yang amat cantik. Yang telah kematian ibu ketika anak itu masih berumur
sepuluh tahun. Dia terbayang pada pembunuhan yang dia lakukan di Situjuh Ladang Laweh. Pada gadis yang
dia perkosa di rumah adat itu. Pada ayah dan ibunya yang dia bunuh. Pada pembunuhan gadis itu sendiri
setelah dia perkosa. Dan pada anak lelakinya yang pengecut. Kini ternyata anak lelakinya itu memburunya
dengan samurai di tangan. Dengan Samurai. Ya Tuhan, tiba-tiba Saburo Matsuyama tertegak. Seluruh bulu
tubuhnya pada merinding. Anak muda itu mencarinya dengan samurai. Dan menurut cerita Fujiyama, anak
muda itu amatlihai dan tangguh mempergunakan samurainya. Dia segera teringat pada sumpah Datuk
Berbangsa sesaat sebelum mati dulu. Saat itu sebuah samurai menancap di dada Datuk itu.
"Saya akan menuntut balas atas perbuatanmu ini Saburo. Engkau takkan selamat. Saya bersumpah untuk
membunuhmu dengan samurai dari negerimu sendiri. Kau ingat itu baik"baik.." Suara itu seperti bergema.
Lelaki Minangkabau itu ternyata memang memburunya melalui anak kandungnya. Dulu dia menganggap halhal mistis ini sebagai nonsens. Tapi kini anak muda itu mencarinya dengan samurai. Bukankah itu merupakan
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 59
suatu perwujudan dari sumpah Datuk itu" Saburo mulai seperti dikejar bayang-bayang. Dia banyak mendengar
tentang kesaktian orang-orang Minangkabau. Namun selama dia di negeri itu, tak satupun di antara kesaktian
itu yang terbukti. Kabarnya orang Minang bisa membuat orang lain jadi gila, senewen memanjat-manjat
dinding, namanya sijundai. Tapi dia dan pasukannya yang telah terlalu banyak berbuat maksiat di negeri itu,
kenapa tak satupun di antara kesaktian itu yang mempan pada mereka"
Kabarnya ada pula semacam senjata rahasia yang berbahaya. Yang bisa membunuh orang dari jarak
jauh. Konon bernama Gayung, Tinggam atau Permayo. Tapi kenapa tak satupun di antara pasukan Jepang yang
terkena senjata rahasia itu" Ataukah hanya mempan untuk sesama orang Minang saja" Saburo termasuk orang
praktis yang tak mempercayai segala macam bentuk mistik. Tapi kali ini, terhadap sumpah Datuk Berbangsa
yang telah mati lebih dari dua tahun yang lalu, kenapa dia harus takut" Dia ingin segera pulang ke kampungnya
di Jepang sana. Dia ingin bersenang-senang barang sebulan dua di Singapura. Demikian putusan yang dia ambil
dalam kapal ketika berlayar dari Dumai ke Singapura. Demikian putusan yang dia ambil dalam kapal ketika
berlayar dari Dumai ke Singapura. Kemana Si Bungsu" Kenapa dia bisa lenyap dari ruangan di mana dia
membantai tentara Jepang dan Babah gemuk mata mata itu" Padahal rumah itu telah dikepung dengan ketat
oleh Kempetai. Tambahan lagi dia mengalami luka di berbagai bahagian tubuhnya dalam perkelahian melawan
si Babah itu. Kemana saja dia melarikan diri hingga tak bersua" Malam itu, sebenarnya Si Bungsu tak pernah
meninggalkan rumah si Babah. Bahkan hari hari berikutnya dia masih tetap di rumah itu. Tapi kenapa sampai
tak diketahui Kempetai" Kenapa sampai tak diketahui perempuan perempuan lacur yang tinggal di rumah itu"
Malam itu, tatkala dia selesai membunuh dua perwira Jepang yang merupakan orang terakhir di dalam ruangan
itu, pintu besar yang dia kunci dengan palang besar itu sudah hampir dijebol oleh Kempetai dengan truk reo.
Suara reo telah terdengar olehnya memasuki rumah. Bahkan reo itu sudah berada di ruang depan. Dia harus
menyelamatkan diri. Namun dia tahu, ruangan ini telah dikepung dengan ketat. Tapi bagaimana juga dia harus
selamat. Harus tetap hidup sampai dendamnya pada Saburo terbalaskan. Dengan kaki pincang dia segera
mencari jalan untuk menyelamatkan diri. Dia tidak menuju ke belakang. Melainkan ke samping.
Baru tiga langkah dia berjalan, dia tertegak. Di depannya berdiri seorang perempuan. Tepatnya adalah
seorang gadis cina. Sekali pandang dia dapat menebak, gadis ini paling paling baru berusia enam belas atau
tujuh belas tahun. Gadis cantik bertubuh menggiurkan. Gadis berkulit kuning berambut lebat itu hanya
mengenakan handuk di tubuhnya. Nampaknya dia sudah sejak tadi berdiri di sana. Dan Si Bungsu dapat
memastikan bahwa gadis ini melihat semua perkelahian yang berlangsung di ruangan itu. Dia pasti melihat
pembantaian itu. Mereka bertatapan. Pintu mulai didobrak.
"Masuk kemari .."
Tiba tiba saja gadis itu menarik tangan Si Bungsu kedalam kamarnya. Si Bungsu seperti kerbau yang
dicocok hidungnya. Dia menurut, sebab tak ada jalan lain. Dengan berada dalam kamar gadis ini, dia berharap
bisa selamat. Atau dia bisa menjadikan gadis ini sebagai sandera. Kamar gadis itu bersih dan berbau harum.
"Masuk kemari .." gadis itu berkata lagi sambil membuka sebuah katup di lantai.
Tanpa banyak cincong, Si Bungsu mendekat. Di bawah lantai yang menganga itu, dia melihat sebuah
ruangan kecil. "Masuklah cepat .." gadis itu berkata lagi. Si Bungsu tak lagi sempat berfikir. Dia menurut dan mulai
menuruni tangga ke bawah. Dia sampai ke dalam sebuah ruangan kecil dan gelap. Gadis itu lalu menutupkan
lantai yang dia angkat tadi. Kemudian membetulkan tikar di atasnya. Lalu mengambil kain dan mulai melap
bekas darah yang berceceran di lantai dari bekas luka di tubuh Si Bungsu. Kerjanya baru saja selesai ketika
pintu berhasil di dobrak oleh truk reo tentara Jepang. Kamarnya ikut digeledah. Lemari pakaian, bawah kolong
tempat tidur, loteng. Si Bungsu mendengar derap sepatu. Kempetai itu lalu lalang di atas kepalanya. Dia
menanti dengan diam dalam kegelapan di ruang yang tak dikenalnya ini. Barangkali tentara Jepang masih
berada di rumah itu. Sebab telah berlalu waktu beberapa jam, namun gadis itu belum kunjung muncul. Si
Bungsu tak berani naik keatas. Dia tetap menanti. Dengan meraba raba dia berbaring di lantai yang rasanya di
alas dengan tikar yang bersih.Dia terbangun dengan terkejut tatkala dirasakannya sebuah benda jatuh
menimpa perutnya. Kemudian pintu di lantai ditutup lagi. Dia meraba dalam gelap itu. Yang dijatuhkan ternyata
sebuah bungkusan. Dalam gelap dia membuka bungkusan itu. Meraba isinya. Pisang, ah, perutnya memang
amat lapar. Segera saja empat buah pisang lenyap ke dalam perutnya.
Kemudian dia memeriksa isi bungkusan yang lain. Sebuah senter kecil. Dengan senter itu dia dapat
memeriksa isi bungkusan itu. Ada perban dan plaster. Ada obat merah. Dia sangat berterima kasih pada gadis
cina yang belum dia kenal itu. Apakah dia salah seorang dari pelacur yang disimpan dalam rumah ini" obat itu
sebenarnya tak dia perlukan. Sebab untuk mengobati lukanya, dia masih mempunyai bubuk ramuan yang dia
bawa dari gunung Sago. Obat itu amat manjur. Obat itulah dulu yang menyembuhkan dari luka akibat samurai
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 60
Kapten Saburo. Dan obat tradisional itu pula yang menyembuhkan luka bekas dicakar harimau jadi-jadian
ketika bulan terakhir dia akan turun gunung.
Dia ambil ramuan yang terdiri dari kulit dan daun kayu, lumut batu, lumut pohon dan daun tanaman
melata yang sudah dikeringkan yang selalu dia simpan dalam kantongnya, dalam sumpik rokok daun enau,
yang dulu memang berisi rokok daun enau. Ramuan itu dia tabur pada luka disekujur tubuhnya. Dengan
menimbulkan rasa dingin lukanya dengan cepat mengering, merapat dengan cepat mengering. Dengan senter
kecil yang dijatuhkan gadis itu, Si Bungsu mulai memeriksa ruangan di mana dia berada. Ruangan ini ternyata
ruangan di bawah tanah. Memang dibuat untuk menghadapi keadaan darurat, seperti umumnya rumah-rumah
turunan cina. Bedanya kalau ruangan bawah tanah di rumah-rumah cina yang lain digunakan untuk
menyimpan bahan makanan atau tempat air, maka ruangan bawah tanah ini dipergunakan sebagai ruangan
tempat tinggal. Tak jauh dari tempat dia tidur di lantai ada sebuah pembaringan. Kalau saja dia bergerak dalam gelap
itu agak empat langkah ke kanan, maka dia akan menemui tempat tidur empuk itu. Tapi mana pula dia akan
menyangka hal itu. Di dekat tempat tidur itu, di bahagian kepalanya ada sebuah lemari kaca. Di dalamnya Si
Bungsu mendapatkan tiga buah pistol dan dua buah bedil panjang. Lengkap dengan mesiunya. Ruangan bawah
tanah ini nampak dijadikan semacam benteng oleh Babah gemuk itu. Dia tak menyentuh senjata tersebut. Di
samping tak mengerti cara memakainya, juga menganggap tak ada gunanya untuk dibawa.
Pistol atau bedil menimbulkan suara bila membunuh orang. Dia lebih suka memakai samurai. Dengan
samurai dia bisa bertindak diam diam. Karena lelah dia berbaring di tempat tidur. Dia tak tahu sudah berapa
lama dia tertidur ketika tiba tiba terbangun lagi. Ada seseorang dirasakan hadir di kamar berdinding beton di
bawah tanah itu. Dia membuka mata dan berusaha untuk bangkit.
Namun sebuah tangan halus menahannya. Dalam cahaya lampu dinding yang telah dipasang, dia lihat
gadis cina yang telah menyelamatkannya itu. Gadis itu duduk di tepi pembaringan. Menatap padanya dengan
pandangan lembut. "Berbaringlah .. lukamu belum sembuh .." suaranya terdengar lembut.
Bahasa Melayunya terdengar bersih. Si Bungsu tetap duduk. Gadis itu menatap pada matanya.
"Terima kasih nona, nona telah menyelamatkan nyawaku. Apakah Jepang itu sudah pergi ?"
"Sudah. Tapi rumah ini tetap mereka awasi. Rumah ini sudah ditutup untuk tempat pelacuran. He,..
engkau tentu lapar. Sudah dua hari kau berada dalam lubang ini"
".. Dua hari ?""
"Ya. Engkau masuk kemari tengah malam yang lalu. Kini hari kedua hampir sore, saya membawa
makanan dengan gulai ikan, sambal lado dan petai. Suka sambal lado dan petai?"
Si Bungsu tak banyak bicara. Dia makan dengan lahap. Gadis itu ternyata juga belum makan. Mereka
makan bersama. "Engkau yang memasak makanan ini?" dia bertanya setelah selesai makan dengan bertambah sampai
tiga kali. "Bagaimana, enak ?"
"Hampir menyamai masakan ibuku ?"
"Yang memasak etek Munah, pembantu kami ?"
Si Bungsu kemudian teringat, bahwa dia harus segera pergi dari rumah ini. Tubuhnya meski belum segar,
tapi dia rasa sudah kuat untuk melanjutkan perjalanan.
"Siapa namamu ..?"
"Mei-mei?" "Mei mei ?" "Ya, dan namamu ?"
"Bungsu ?" "Bungsu " Engkau anak terkecil dalam keluargamu ?"
"Ya. Mei-mei.. Terima kasih atas bantuanmu. Saya tak bisa membalasnya. Saya harus pergi sekarang."
"Kemana engkau akan pergi?" Si Bungsu termenung.
Ya, kemana dia akan pergi " Tak pernah ada tempat yang pasti dia tuju dalam setiap perjalananya. Tapi,
bukankah dia mencari Saburo " Ingatan ini membuatnya ingin menanyakan pada Mei-mei. Bukankah tempat
ini tempat perjudian dan tempat bersenang senang para perwira "
"Saya mencari seorang perwira Jepang bernama Saburo. Apakah engkau mengenalinya Mei-mei ?"
"Saburo".., Saburo Matsuyama ?"
"Ya. Saburo Matsuyama Apakah engkau mengenalnya?"
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 61
"Saya mengenal hampir semua perwira yang bertugas di Payakumbuh ini"
"Di mana dia sekarang ?"
"Seingat saya sudah cukup lama dia tak kemari. Kabarnya dia pindah ke Batusangkar?"
"Batusangkar?""
"Ya "engkau akan ke sana, membalas dendammu padanya ?"
"Ya. Darimana kau tahu Mei-mei ?"
"Saya melihat seluruh perkelahianmu dengan Jepang dan dengan Bapak dua hari yang lalu juga
mendengar semua pembicaraan saat itu?"
"Bapak ?" Si Bungsu heran mendengar kata Bapak yang diucapkan Mei-mei.
"Ya. Babah gemuk itu adalah ayah tiriku ?"
Si Bungsu sampai tertegak mendengar pengakuan Mei-mei. Hampir hampir tak dapat dia percayai,
bahwa si Babah yang telah dia cencang itu adalah ayah tiri gadis ini. Bukankah dia melihat bahwa dia telah
mencencang si Babah itu " Lantas kenapa gadis ini menolongnya dari cengkeraman Jepang" Mei-mei
menatapnya. "Ayahmu ..?" Si Bungsu bertanya perlahan "Duduklah Bungsu. Dia ayah tiriku. Aku melihat engkau mencencang
tubuhnya seperti di rumah bantai. Tapi engkau tak perlu menyesal. Dia memang harus mendapat perlakuan
yang demikian. Atas apa yang dia perbuat pada bangsamu dan pada diriku .."
Si Bungsu tak mengerti apa maksud ucapan Mei-mei.
"Dia menjadi mata mata Belanda. Menjadi mata mata Jepang. Dan lebih daripada itu dia adalah seorang
Komunis .." "Komunis ..?" Si Bungsu tak mengerti.
Sebagai anak desa yang memang lugu dia tak pernah mendengar nama komunis. Nama itu teramat asing
bagi telinga anak desa Situjuh Ladang Laweh di pinggang Gunung Sago ini.
"Ya, komunis. Engkau tak tahu ..?" Gadis itu lalu bangkit. "Ikutlah saya .."
Si Bungsu mengikuti gadis itu, yang membawa lampu dinding dan berjalan ke sebuah gang. Lobang di
bawah tanah ini nampaknya cukup besar. Mereka sampai ke sebuah kamar lain yang lebih besar dari kamar
pertama. Di dalam kamar itu dindingnya dilapis kain merah. Di tengah, di depan sebuah meja, ada sebuah
gambar cina dalam ukuran besar. Di bawahnya ada bendera merah dengan sebuah gambar kuning di
tengahnya. "Itu gambar pimpinan komunis cina. Mao TseTung. Dan bendera dengan gambar palu arit itu adalah
lambang komunis ?" Mei-mei menjelaskan.
Si Bungsu hanya menatap dengan melongo. Menatap bendera besar dengan gambar palu arit itu. Dia
benar benar tak mengerti. Mei-mei tersenyum melihat kebingungannya. Dia duduk disebuah kursi, Si Bungsu
duduk di depannya. Si Bungsu masih dikuasai perasaan herannya. Kenapa gadis ini menolongnya, padahal
bapaknya dia yang membunuh. Didepan matanya pula.
"Tentang Babah yang engkau bunuh, dia memang pantas mendapat hukuman seperti itu. Dia telah
meracuni ayahku. Kemudian mengawini ibu. Ibuku waktu itu hamil. Enam bulan setelah mereka kawin, akupun
lahir. Dia memerlukan uang untuk membiayai Partai Komunis di negeri ini. Dan dia juga memerlukan pengaruh
serta pangkat untuk berkuasa. Untuk kedua maksud itu dia mempergunakan tubuhku. Aku tak berdaya
melawan. Dia seorang ayah tiri yang berhati bengis. Yang suka memukul dan menyiksa orang. Ibuku meninggal
dunia karena dia dikurung selama enam hari tanpa diberi makan. Peristiwa itu terjadi ketika aku berumur
delapan tahun. ibu dikurung dan mati dalam kamar ini ?"
Gadis cina itu kemudian menanggis isak mengingat jalan hidupnya yang teramat pahit. Si Bungsu hanya
bisa mengucap perlahan. Lama gadis itu menangis, sampai akhirnya Si Bungsu memegang bahunya.
"Tenanglah Mei-mei. Kurasa arwah ibumu sudah tenang di akhirat. Dendamnya telah kubalaskan"
"Ya, dendam ibu dan dendamku telah Koko balaskan. Terima kasih. Itulah sebabnya kenapa saya harus
menyelamatkan Koko dari tangan Kempetai dua hari yang lalu?"
Si Bungsu terharu. Gadis itu memanggilnya dengan sebutan Koko. sebutan itu berarti abang dalam
bahasa Indonesia. Sebagai sebutan terhadap adik perempuan adalah Moy-moy. Dia mengetahui itu dari
beberapa temannya orang Tionghoa yang jadi temannya dalam beberapa bulan terakhir. Meskipun gadis ini
telah ternoda hidupnya, namun itu bukan atas kehendaknya sendiri. Dia pegang bahu Mei-mei, dan berkata
lembut : "Tenanglah Moy-moy. Aku akan melindungimu dari orang orang yang berniat mengganggumu"
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 62
Mei-mei memang terdiam. Gadis cina yang cantik ini, berwajah bundar berhidung mancung dengan mata
yang hitam berkilat, hampir hampir tak percaya bahwa anak muda yang dipanggilnya dengan Koko itu balas
memanggilnya dengan sebutan Moy-moy. Dan ketika dia yakin bahwa memang anak muda itu berkata
demikian, dia lalu tegak dan tiba tiba mereka telah berpelukan.
"Terima kasih Koko, terima kasih ?" isaknya.
Si Bungsu memang seperti mendapatkan seorang adik. Dia pernah merasakan kasih sayang seorang
Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kakak yang kemudian mati diperkosa Saburo. Kini dia seperti mendapatkan kembali tempat menumpahkan
sayang yang telah hilang itu. Akan halnya Mei-mei, gadis Tionghoa malang yang berusia tujuh belas tahun itu
adalah anak tunggal yang hidupnya selalu teraniaya. Lelaki yang diharapkannya menjadi pelindungnya adalah
ayah tirinya. Tetapi lelaki itu, si Babah gemuk komunis itu, ternyata telah menjualnya dari satu lelaki ke lelaki
yang lain. Gadis yang tak pernah mendapatkan perlindungan dan kasih sayang itu kini ada dalam pelukan
seorang pemuda Melayu yang telah membalaskan dendamnya, dan pemuda itu memanggilnya dengan sebutan
adik, alangkah terlindungnya dia terasa.
"Apakah Koko akan pergi ke Batusangkar mencari Saburo ?" Mei-mei bertanya ketika mereka kembali
ke ruangan pertama. Si Bungsu menatapnya. "Kalau aku pergi, dengan siapa engkau tinggal di sini, Moy-moy?"
Gadis itu menunduk. Lama dia menatap jari-jari tangannya. Kemudian ketika dia mengangkat kepala, Si
Bungsu melihat matanya basah. Gadis itu berkata perlahan :
"Di sini tak ada lagi orang tempatku berlindung. Kalau aku tidak akan mendatangkan kesusahan bagi
koko, aku ikut dengan koko. Kemanapun koko pergi ?" Air mata lambat lambat membasahi pipinya. Nyata
sekali suaranya adalah suara gadis yang dirundung sepi. Suara gadis yang amat butuh perlindungan dan kasih
sayang. Suara seorang gadis yang mulai menginjak usia remaja, yang selalu ingin dekat dengan orang yang
disayangi. Si Bungsu menarik nafas panjang. Dia benar benar menyayangi Mei-mei. Bukan karena gadis itu amat
cantik bukan pula karena gadis itu telah menolong nyawanya. Tapi gadis itu dia sayangi karena si gadis
memang harus disayangi. Harus dilindungi. Dalam kasih sayang, perbedaan kulit dan asal usul tak pernah
menjadi hambatan. Sebab rasa sayang muncul dari dalam tidak dipermukaan.
"Apakah ada familimu di Batusangkar ?" Mei-mei menggeleng.
"Di Bukittinggi?"
"Kalau di Bukittinggi ada. Adik jauh ibu. Tinggal di Kampung cina ?"
Si Bungsu berfikir. Di akan mengantarkan gadis ini terlebih dahulu ke Bukittinggi. Di sana dia bisa tinggal
di rumah saudara ibunya itu. Untuk dibawa kemana pergi memang akan menyusahkan. Bukan karena dia tak
mau. Tapi yang akan dia hadapi adalah bahaya melulu. Dan dia tak mau membawa-bawa Mei Mei kedalam
bahaya. Nanti kalau urusannya dengan Saburo di Batusangkar selesai, dia akan menjeputnya ke Bukittinggi.
"Baiklah. Kita akan pergi ke Bukittinggi bersama, kalau keadaan telah memungkinkan ?"
"Terima kasih koko, terima kasih"
Mei-mei melompat memeluk Si Bungsu. Dia sangat bahagia bisa pergi bersama anak muda itu. Belasan
tahun dia hidup di rumah ini. Disekap tak boleh keluar. Dia hanya bisa keluar dikala Hari Raya Imlek. Itupun
tidak bisa jauh jauh. Tugas berat selalu menantinya di rumah. Memuaskan nafsu perwira perwira Jepang. Kini
dia bersumpah untuk meninggalkan semua pekerjaan laknat yang dipaksakan padanya itu. Dia akan tobat dan
minta ampun pada Tuhan. Tapi mereka baru bisa meninggalkan rumah itu setelah masa dua minggu.
Sebab selama jangka waktu itu, Kempetai tetap mengawasi rumah tersebut dengan ketat. Mei-mei
terpaksa minta bantuan pembantunya, seorang wanita Minang, untuk membelikan keperluan mereka kepasar.
Dan suatu malam, yaitu di saat mereka sudah merasa pasti untuk bisa melarikan diri, mereka lalu keluar dalam
hujan lebat. Dengan membayar cukup tinggi, mereka bisa menompang sebuah bus yang akan berangkat ke
Padang. Bagi mereka soal uang tak jadi halangan. Uang judi yang dimenangkan oleh Si Bungsu ternyata
diselamatkan Mei-mei ketika dia membersihkan jejak Si Bungsu sesat sebelum Kempetai mendobrak pintu.
Selain itu, mereka juga berhasil menemukan simpanan uang dan perhiasan emas milik ayah tiri Mei-mei.
Jumlahnya bisa membuat mereka jadi orang kaya. Uang itu didapat si Babah dari hasil judi, hasil menjadi mata
mata untuk Belanda dan Jepang, dan hasil menjadi germo bagi beberapa perempuan di rumahnya itu.
Termasuk diri Mei-mei. Di dalam bus itu hanya ada beberapa lelaki dan tiga orang perempuan. Perempuan yang dua separo baya,
yang satu lagi adalah Mei-mei. Selain ketiga perempuan itu, penompang yang lainnya adalah enam orang lelaki.
Dalam hujan lebat, bus itu melaju membelah jalan raya yang nampaknya seperti ular raksasa berwarna hitam.
Memanjang dan meliuk liuk di tiap tikungan. Lima lelaki penompang bus itu tak pernah menoleh ke belakang
ketempat Si Bungsu dan Mei-mei. Mereka hanya memandang sekali, yaitu ketika naik tadi. Setelah itu, kelima
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 63
lelaki itu tetap memandang kedepan dalam kebisuan. Namun Si Bungsu yang telah hidup di rimba raya, yang
kini memiliki indera yang amat tajam, dapat merasakan bahaya yang datang dari kelima lelaki itu. Meski lelaki
lelaki itu berdiam diri saja, bahkan saling berbisikpun tidak, namun firasatnya yang tajam membisikkan akan
adanya bahaya. Dia tetap diam. Sementara bus itu berlari sambil terguncang-guncang karena jalan yang
berlobang lobang. Dalam diamnya dia mulai membuat perhitungan. Kenapa kelima lelaki ini sampai berniat tak
baik pada mereka. Apakah itu hanya hayalannya saja" Tidak. dia tak pernah dibohongi oleh firasatnya.
Nah, mungkin ada tiga sebab kenapa mereka ingin berbuat tak baik. Pertama mungkin melihat Mei-mei
yang cantik. Dizaman Jepang berkuasa, hampir tak pernah orang melihat perempuan cantik berada di luar
rumah. Nah, mungkinkah lelaki lelaki ini menginginkan tubuh Mei-mei" Atau barangkali mereka telah mencium
bahwa di dalam bungkusan yang dia bawa tersimpan uang dan perhiasan emas yang nilainya amat tinggi" Atau
barangkali juga mereka mengetahui, bahwa Mei-mei berasal dari rumah bordil dimana si Babah menjadi matamata. Karena itu mereka menduga bahwa Mei-mei adalah mata mata Jepang pula. Kalau dugaan terakhir ini
benar, maka Si Bungsu tak begitu khawatir. Sebab tentulah kelima lelaki itu dari pihak pejuang pejuang
Indonesia. Atau para lelaki itu merasa curiga atas kehadiran mereka berdua, sepasang anak muda, yang satu
cina dan yang satu Melayu"
Pikirannya masih belum rampung, ketika bus tiba tiba berhenti. Dari cahaya lampu bus, Si Bungsu segera
mengetahui, bahwa mereka tidak lagi berada pada jalan utama menuju Bukittinggi. Nampaknya sebentar ini
ketika dia melamun, bus telah dibelokkan kesuatu jalan kecil dimana dia kini berhenti. Si Bungsu mulai merasa
bahwa firasatnya tadi akan terbukti. Kelima lelaki itu turun satu demi satu. Akhirnya tinggal kedua perempuan
separoh baya tadi, Si Bungsu, sopir dan seorang lelaki yang bertubuh kurus dan Mei-mei.
"Turunlah sanak berdua sebentar" Seorang lelaki yang bertubuh kurus, saat akan turun berkata pada Si
Bungsu. Si Bungsu menatap saat dia turun.
"Dimana kita sekarang ..?" Si Bungsu bertanya pada sopir.
"Disinilah", sopir itu menjawab seadanya.
Dari jawaban itu Si Bungsu tahu, bahwa sopir bus berada dipihak kelima lelaki itu.
"Mengapa kami harus turun ?" Si Bungsu bertanya pada si Kurus yang sudah menjejakkan kakinya di
tanah. "Turun sajalah kalau sanak mau selamat ?"
Si Kurus itu berkata dengan suara kering serak. Mei-mei merapatkan duduknya pada Si Bungsu.
Tangannya memeluk tangan Si Bungsu erat erat.
"Jangan turun koko ..jangan turun .." gadis itu berbisik ketakutan.
"Diamlah Moy-moy ?"
"Hei, waang yang ada di atas, turunlah bersama anak cina itu"
Tiba tiba terdengar bentakan dari bawah. Mei-mei makin mengeratkan pegangan tangannya pada Si
Bungsu. "Kenapa kita tak terus saja ?" Si Bungsu masih mencoba bertanya pada sopir.
"Lebih baik kau turun saja daripada tubuhmu dilanyau mereka .." Sopir itu menjawab dingin.
Namun Si Bungsu tak beranjak dari tempat duduknya. Tempat dimana mereka duduk, kebetulan tak ada
jendela di kiri kanannya Jadi mereka aman. Sebab dinding bus itu terbuat dari kayu tebal. Yang ditakutkan Si
Bungsu adalah kalau kelima lelaki itu memiliki senjata api. Kalau ada, maka dia dan Mei-mei bisa celaka. Tapi
kalau tidak dia merasa aman di atas bus ini.
"Kami beri waang kesempatan satu menit untuk turun. Kalau tidak. waang akan kami seret ke bawah .."
terdengar lagi bentakan "Kenapa tak sanak katakan saja apa maksud sanak sebenarnya ?" Si Bungsu menjawab.
"Turunlah. Jangan banyak cakap waang di sana ?"
"Kalau sanak yang punya keperluan, silahkan naik lagi dan kita berunding di sini. Saya tak punya
keperluan untuk turun" jawab Si Bungsu.
Terdengar sumpah serapah dan carut marut dari kelima lelaki di bawah itu. Namun Si Bungsu tetap
duduk diam di tempatnya. Ketika mereka menyuruh turun lagi, Si Bungsu membisikkan sesuatu pada Mei-mei.
Kemudian kedua anak muda ini bangkit dari tempat duduknya. Mereka seperti akan turun, tapi ternyata tidak.
Si Bungsu hanya pindah tempat. Kini mereka duduk persis di belakang sopir. Melihat keras kepala anak muda
ini, dua orang segera naik dengan maksud menyeretnya kebawah. Si Bungsu sampai saat itu masih belum
mengetahui siapa mereka sebenarnya. Apakah orang yang berniat merampok saja atau dari pihak pejuang.
Dia tak mau salah turun tangan. Sebab dia sudah bersumpah takkan menurunkan tangan jahat pada
pejuang pejuang Indonesia. Sama halnya seperti dia dilanyau oleh anak buah ayahnya di dekat Mesjid ketika
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 64
mula pertama turun gunung dulu. Dia tak sedikitpun mau membalas pukulan pukulan mereka. Meskipun
dengan mudah dia bisa membunuh orang orang itu. Kinipun, ketika kedua orang itu naik lagi keatas bus dengan
wajah berang, dia berkata dengan tenang :
"Saya harap sanak mengatakan apa maksud sanak sebenarnya. Apa yang sanak inginkan dari kami .."
"Jangan banyak bicara waang. Anjing"
Lalu tangan orang itu dengan kasar merengutkan bahu Mei-mei. Gadis ini terpekik. Dan sampai di sini Si
Bungsu mengambil kesimpulan, bahwa orang ini bukan dari pihak pejuang Indonesia. Dia kenal sikap pejuang
pejuang bangsanya. Tak mau berlaku kasar dan kurang ajar. Tangannya bergerak. Dan lelaki yang tengah
mencekal tangan Mei Mei itu terpekik. Dia merasa dada dan lengannya pedih. Cekalan pada tangan Mei-mei dia
lepaskan. Dan dia lihat dada serta lengan yang tadi terasa pedih itu berdarah. Temannya yang satu lagi
melompati bangku menerjang Si Bungsu. Namun dalam bus sempit itu, gerakan jadi terhalang. Dan kembali dia
terpekik ketika samurai di tangan Si Bungsu bekerja.
Pahanya robek dan mengucurkan darah. Mendengar temannya terpekik, ketiga temannya yang di bawah
melompat naik. Melihat kedua temannya itu luka, ketiga mereka lalu menghunus golok yang tersisip di
pinggang. Tapi apalah artinya gerakan mereka dibandingkan dengan gerakan anak muda ini. Dua kali gerakan
dengan masih tetap duduk dan sebelah tangan memeluk bahu Mei-mei, ketiga orang itu pada melolong panjang.
Golok di tangan mereka terpental. Dan tangan serta wajah mereka robek. Masih untung bagi kelima orang ini,
karena Si Bungsu tak menurunkan tangan kejam pada mereka.
Anak muda itu hanya sekedar melukainya saja. Tak berniat membunuh. Ketika kelima lelaki itu
terperangah di tempat duduk mereka, Si Bungsu menekankan ujung samurainya pada sopir. inilah maksudnya
pindah kebelakang sopir itu. Yaitu agar mudah mengancamnya untuk menjalankan bus. Dengan suara datar,
dia berkata: "Kalau kudukmu ini tak ingin kupotong, jalankan kembali bus ini?"
Sopir itu sudah sejak tadi pucat. Begitu terasa benda runcing dan dingin mencecah tengkuknya,
tubuhnya segera menggigil. Seperti robot dia kembali menghidupkan mesin bus. Beberapa kali bus itu hidup
mati mesinnya. Sebab sopir itu salah memasukkan gigi.
"Tenanglah, kalau tidak nyawamu kucabut dengan samurai ini" Si Bungsu berkata.
"Ya .. ya pak Saya tenang .. saya tenang .."
Sopir itu menjawab sambil menghapus peluh. Bus itu berjalan. Kembali memasuki jalan utama menuju
Bukittinggi. Kembali merangkak terlonjak lonjak dijalan yang berlobang lobang. Deru mesinnya seperti batuk
orang tua yang sudah sakit menahun. cukup lama bus itu berkuntal kuntil ketika tiba tiba sopir menginjak rem.
"Ada pemeriksaan oleh Kempetai ?".." sopir berkata.
Mei-mei, menatap pada Si Bungsu. Si Bungsu menyimpan samurainya. Kelima lelaki yang luka itu saling
memandang. "Mau kemana ..?" suatu suara serak bertanya dari bawah kepada sopir. Buat sesaat sopir itu tergagap tak
tahu apa yang harus dijawab. Sebuah kepala menjulur kedalam. Memperhatikan isi bus tua itu. Memperhatikan
wajah yang luka luka. "Hmm, ada yang luka. Kenapa ?"
"Kami baru saja dirampok di bawah sana .." Si Bungsu berkata.
"Di mana ada rampok ?" Jepang itu balik bertanya.
"Di Padang Tarab .." sopir menjawab cepat.
"Siapa yang merampok ?"
"Orang Melayu .."
"Berapa orang ..?"
"Ada delapan orang. Mereka semua memakai pedang.." salah seorang yang luka itu menjawab.
"Mereka tidak merampok perempuan ?"
Jepang itu bertanya lagi. Sementara matanya nanar menatap Mei-mei yang duduk memeluk Si Bungsu.
"Semula mereka memang ingin. Tapi begitu dia ketahui bahwa gadis ini sakit lepra, mereka cepat cepat
menyingkir. Dan hanya uang kami yang mereka sikat ?" jawab Si Bungsu.
"Lepra ..?" Jepang itu bertanya kaget.
"Ya. Isteri saya ini sakit lepra .. akan dibawa kerumah sakit Bukit Tinggi .." Si Bungsu menjawab lagi.
Kepala Jepang itu dengan cepat menghilang keluar. Kemudian terdengar perintah untuk cepat cepat
jalan. Bus itu kemudian merayap lagi. Mereka semua menarik nafas lega. Kelima lelaki itu menjadi lega, karena
mereka lepas dari tangan Kempetai. Sebab merekalah yang melakukan beberapa kali perampokan di sepanjang
jalan Bukittinggi Payakumbuh. Dan bus ini salah satu alat mereka untuk itu. Si Bungsu tak mengetahui, bahwa
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 65
yang dia lukai adalah perampok perampok. orang Minang yang mempergunakan kesempatan dalam
kesempitan orang yang mengail di air keruh. Ketika penduduk sedang ketakutan dan menderita di bawah kuku
penjajahan Jepang, mereka menambah penderitaan itu dengan merampok.
Padahal yang mereka rampok hanya orang-orang sebangsanya, mana berani mereka merampok tentara
Jepang. Tapi malam ini mereka mendapat pelajaran pahit dari anak muda ini. Untung saja anak muda ini tak
mengetahui sepak terjang mereka selama ini. Kalau saja Si Bungsu tahu, mungkin kelima lelaki ini sudah
mampus semua. Bungsu merasa lega karena dia lepas dari pengawasan Kempetai. Kalau saja mereka tahu,
bahwa dialah yang membunuhi Jepang di bulan-bulan terakhir ini, mungkin dia akan mati mereka tembak di
dalam bus ini. Untung saja mereka tak tahu. Sementara itu Mei-mei menatap Si Bungsu dengan perasaan takjub.
Dia merasa takjub, dan amat berdebar mendengar ucapan Si Bungsu yang terakhir pada Jepang itu :
"Isteri saya ini sakit lepra .. akan dibawa kerumah sakit"
Kata kata Isteri saya ini yang diucapkan Si Bungsu mengirimkan denyut amat kencang kejantungnya. oh,
kalau saja benar bahwa anak muda ini menjadi suaminya, alangkah bahagiannya dia. Dia merasa aman dalam
pelukannya. Merasa tentram dan terlindungi di sisinya. Si Bungsu merasa gadis itu tengah menatapnya. Dia
balas menatap. "Moy- moy .." katanya sambil tersenyum.
"Koko.." "Sebentar lagi kita akan sampai di Bukittinggi .." bisiknya.
Mei-mei hanya mengangguk. Kemudian menyandarkan kepalanya ke bahu Si Bungsu. Bus itu tadi
dicegat lagi oleh Kempetai di pos penjagaan di Baso. Mereka memang tengah mendekati Bukittinggi. Kota itu
mereka masuki hampir tengah malam.
"Antarkan saya kepenginapan .." Si Bungsu berkata pada sopir.
"Ya .. ya.." sopir yang masih merasa ngeri pada samurai di tangan anak muda yang berada di belakangnya
ini menjawab cepat. Bus berhenti di sebuah penginapan di Aur Tajungkang. Sebelum turun, Si Bungsu menoleh kepada ke
lima lelaki yang masih tersandar dan luka luka itu. "Saya tak pernah menyusahkan sanak sebelum ini. Saya tak
mau kita berurusan lagi. Ingatlah itu.." katanya berlahan Kemudian dia membimbing tangan Mei-mei turun dari
bus. Meninggalkan para rampok itu terperangah. Diam dan mati kutu. Dua orang perempuan separoh baya
yang sejak tadi duduk ketakutan di belakang, ikut bergegas turun di penginapan itu. Mereka adalah dua orang
perempuan yang berjualan kacang dan jagung dari Bukittnggi ke Payakumbuh dan Padang Panjang. Ketika
mereka sama sama mendaftar di penginapan kecil itu, kedua perempuan itu menceritakan tentang
perampokan yang beberapa kali pernah terjadi terhadap pedagang pedagang.
"Apakah kelima orang tadi adalah perampok itu ?" tanya Si Bungsu.
"Tak tahu kami. Kebetulan kami tak pernah mengalami nasib kena rampok. Tapi beberapa teman yang
telah pernah mengalami mengatakan, bahwa perampok perampok itu memang orang awak jua. Dan caranya
memang seperti tadi. Sama sama menompang bus. Kemudian berhenti di tempat sepi. Untung ada anak muda.
Kalau tidak. pastilah kami yang kena rampok ?"
Si Bungsu terdiam. Kemudian mereka masuk kekamar karena hari sudah larut malam. Karena semua
kamar penuh, maka dia terpaksa satu kamar dengan Mei-mei. Untung dalam kamar itu ada dua tempat tidur.
"Tidurlah Moy- moy. Besok kita cari famili ibumu yang di Kampung cina.." katanya perlahan
Bergelut Dalam Kemelut Takhta Dan Angkara 3 Detektif Stop - Paket Bergambar Tengkorak Sang Penebus 11
jadi sepi. Hening mencekam!. Si Bungsu tegak di depan kelima serdadu Jepang itu dengan wajah yang sedingin
batu es. "Saya Si Bungsu. Saya mencari Kapten Saburo. Dimana dia " " Suaranya terdengar tanpa emosi. Namun
Jepang-Jepang itu terkenal sebagai orang yang tak mengenal takut sedikitpun. Dua orang segera maju dengan
mempergunakan jurus-jurus karate. Namun Samurai Si Bungsu segera bekerja. Kedua mereka roboh dengan
leher hampir putus. Empat yang mati dalam waktu tak sampai lima menit. " Kempetai datang !! " Mariam
berteriak. Dan saat itulah ketiga serdadu Jepang yang masih hidup maju serentak sambil menghunus samurai
mereka. Tapi yang mereka hadapi adalah Si Bungsu!. Seorang lelaki yang telah bersumpah untuk takkan mati
sebelum dendam keluarganya terbalas. Begitu serangan datang, dengan kecepatan yang tak terikutkan oleh
mata samurainya berkelebat. Dua kali sabetan mendatar, menyebabkan dua Jepang yang ada di depan dan di
kirinya rubuh dengan perut menganga. Kemudian sambil berputar setengah lingkaran dia menikamkan
samurainya ke belakang. Jepang yang terakhir, mati tersate tentang dada kirinya. Sebuah Tikam Samurai!
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 44
Persis seperti yang dipergunakan oleh Datuk Berbangsa di halaman rumah gadangnya dahulu. Saat dia
menyentak samurainya, Jepang itupun rubuh.
"Lewat pintu belakang !" dia dengar suara perempuan berseru. Dia segera mengenali suara itu sebagai
suara Mariam. Suara sepatu Kempetai terdengar menjejak tangga di depan. Si Bingsu tegak. Kemudian menatap
pada perempuan-perempuan itu. Dia segera menampak Mariam.
"Terima kasih Mariam. Saya akan balaskan dendammu." dan Kempetai pertama muncul di pintu tengah.
Si Bungsu menyelinap kebelakang. Punggungnya kelihatan oleh Kempetai itu.
"Bagero ! Berhenti !" teriaknya sambil menembakkan pistol. Namun Si Bungsu telah lenyap. Tiga
Kempetai segera memburu ke belakang. Di belakang mereka disambut oleh gelapnya malam. Jauh di bawah
sana, deru arus Batang Agam terdengar menderu menegakkan bulu roma. Jepang-Jepang itu pada plengakplenguk mencari kalau-kalau lelaki yang baru saja melarikan diri itu bersembunyi di sekitar tempat tersebut.
Tapi Si Bungsu telah terjun dan lenyap dalam arus Batang Agam di bawah sana. Baginya berenang dan
menyelam bukan lagi hal baru. Berenang di Batang Agam ini memang kegemarannya sewaktu masih muda
dulu. Keenam Kempetai yang baru datang itu tertegun tatkala menyaksikan tubuh teman mereka terhantar
malang melintang di dalam rumah itu. Dari bekas luka di tubuh mereka jelas kematiannya diakibatkan senjata
tajam. Seperti samurai atau pedang. Namun Kamura dan beberapa temannya ini adalah seorang pesilat
Samurai yang tangguh. Siapa yang telah melumpuhkan mereka ".
"Siapa itu orang tadi ?" tanya salah seorang kearah kerumunan perempuan-perempuan di ruangan
tersebut. "Seorang Jepang." Terdengar suara dari kerumunan perempuan-perempuan itu. Dan yang bicara itu
adalah Mariam. Dia mencubit teman di sampingnya sebagai isyarat. Cubitan yang tak kelihatan itu segera saja
dimengerti oleh temannya. Lalu perempuan muda yang dicubit itu angkat bicara.
"Ya. Nampaknya seorang tentara yang berpakaian seperti penduduk sini. Tadi sebelum terjadi
perkelahian, dia kelihatan bicara akrab dengan Kamura. Tapi tak lama setelah dia menyusul masuk, terjadilah
perkelahian " ".
Kempetai yang bertanya itu mengerutkan kening. Tadi dia memang melihat sesosok tubuh menyelinap
kebelakang. Tapi tak jelas siapa orangnya. Mereka lalu menanyai perempuan-perempuan itu dengan gencar.
Para perempuan itu, meskipun mereka hidup melacurkan diri namun memiliki rasa cinta Tanah Air yang luar
biasa, yang barangkali tak seberapa dimiliki oleh perempuan-perempuan yang bukan pelacur. Mereka seperti
sepakat, seiya sekata untuk membenarkan dan menuruti cerita bohong yang mula pertama diucapkan oleh
Mariam. Dan para Kempetai serta pimpinan Jepang di Payakumbuh, tak bisa berbuat selain mempercayai hal
itu. Sekurang-kurangnya buat sementara.
Sebab siapa diantara penduduk pribumi yang bisa memainkan Samurai hingga sanggup mengalahkan
Kamura dan seorang perwira lainnya serta empat teman mereka" Tak mungkin ada pribumi yang bisa. Dan
kalaupun bisa, takkan mungkin mempunyai keberanian untuk menyerang serdadu Jepang. Tak mungkin!.
Sebab pada saat ini, gerakan-gerakan tentara Indonesia belum begitu gencar mengadakan perlawanan pada
Jepang. Baru berupa tindakan-tindakan sporadis.
Jepang sendiri seperti tak punya kesempatan untuk mengusut peristiwa ini secara jelimet. Sebab
dimana-mana, tidak hanya di Minangkabau, juga di seluruh Indonesia, mereka sedang sibuk membangun
benteng pertahanan. Benteng-benteng pertahanan itu mereka bangun berupa lobang-lobang dari coran beton.
Tersebar di seluruh kota, di tempat-tempat yang strategis, termasuk di sepanjang pantai. Musuh yang paling
mereka khawatirkan untuk datang menyerang adalah Tentara Sekutu di bawah pimpinan Jenderal Mac Athur
yang berkedudukan di Manila, Filipina.
Selain membuat benteng-benteng dalam bentuk lobang-lobang yang diperkukuh dengan beton cor yang
tak mampu diruntuhkan dengan bom sekalipun, maka pusat suply senjata, dan benteng pertahanan secara
besar-besaran mereka buat di Bukit Tinggi. Di kota ini, selain lobang-lobang pertahanan dari beton cor, mereka
juga membuat terowongan yang silang siur di bawah kota. Terowongan yang sangat besar. Bisa dilalui Jeep
masuk sampai jauh ke dalam. Untuk membuatnya mereka tinggal mengerahkan tentara Belanda yang tertawan
yang disebut internir, dan para lelaki bangsa Indonesia. Ribuan orang dikerahkan membuat terowongan yang
kelak dikenal sebagai terowongan maut.
Dia dinamai terowongan maut oleh karena seluruh pekerja yang ikut menggali terowongan itu tak
satupun yang keluar hidup-hidup. Tak satupun!. Semua mati di dalam terowongan itu. Kematian mereka
memang disengaja oleh Jepang demi menjaga kerahasiaan terowongan itu. Terowongan itu kabarnya melintas
di atas bangunan-bangunan fital. Di samping itu juga mempunyai pintu tembus ke tempat-tempat strategis di
dalam maupun jauh di luar kota.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 45
Menurut sementara cerita yang berasal dari tawanan yang tak sempat dibunuh, terowongan itu konon
juga dibangun dari perut di bawah kota Bukittinggi tembus ke lapangan udara Gadut. Kemudian ke Balingka
dan ke Anak Air. Terowongan sepanjang itu itu diperlukan Jepang untuk dua tujuan. Pertama, tempat
menimbun berbagai macam logistik dan pertahanan Jepang di Sumatera untuk melawan tentara Sekutu.
Setelah terowongan itu siap, pemusatan dan kedatangan persenjataan dari Sumatera Utara tak lagi melewati
jalan biasa. Sampai di Gadut, perlengkapan itu lenyap begitu saja.
Menurut cerita dari sana langsung masuk terowongan dan dipusatkan disuatu tempat di perut bumi di
bawah kota Bukittinggi. Dalam rencana strategisnya, jika Sekutu datang menyerang mereka akan bersembunyi
di terowongan itu. Pada waktu tertentu mengadakan serangan mendadak ke kota. Di terowongan itu mereka
mempunyai perbekalan baik makanan maupun persenjataan yang bisa menghidupi satu batalyon pasukan
dengan kekuatan 1.000 orang selama setahun!
Suatu penimbunan dan pemusatan suplay yang tak tanggung-tanggung dalam sejarah Kemiliteran.
Kedua, dalam keadaan sangat genting mereka bisa mempergunakan lapangan terbang gadut untuk melarikan
diri dengan pesawat udara. Saat terowongan itu dibangun, pimpinan tertinggi balatentara Jepang di pulau
Sumatera dipegang oleh Tei Sha (Kolonel) Fujiyama. Dia memilih menempatkan pusat komandonya di bekas
kantor tentara Belanda beberapa puluh meter dari mulut terowongan yang sedang di bangun di Panorama.
Pusat komando Fujiyama ini kelak dijadikan Museum ABRI di depan Tugu 17 Agustus di Panorama. Pintu
terowongan juga dibangun di belakang kantornya. Dari sana, lewat terowongan yang berbelit dia bisa mencapai
beberapa tempat di kota Bukittinggi. Seperti ke Jam Gadang, Benteng atau Kebun Binatang.
-000Malam itu terang bulan. Benar-benar bulan purnama. Kota Payakumbuh kelihatan ramai oleh orangorang yang keluar. Tapi di salah satu sudut kota, di rumah seorang Cina di kamar belakang, kelihatan
berkumpul tiga orang lelaki. Mereka duduk bersila di atas tikar rotan. Udara dalam ruangan dipenuhi oleh bau
sake dan candu. Diantara keenam lelaki itu ada tiga perempuan. Satu keturunan Cina, yang dua lagi peranakan
India. Mereka duduk sambil bersandar atau dipeluk oleh Jepang yang duduk di tikar rotan itu.
Seorang Cina bertubuh gemuk berkepala botak mendatangi kelompok jantan dan betina itu. Dia datang
dengan sebuah tabung bambu yang panjangnya sejengkal. Saat dia duduk segera saja Jepang-Jepang itu duduk
mengitarinya. Uang dikeluarkan, dan mereka mulai main dadu. Cina gemuk itu adalah pemilik rumah di mana
kini mereka berada. Kini dia bertindak sebagai bandar dalam judi dadu yang diadakan tersebut. Rumah Cina ini dikenal
penduduk sebagai rumah kuning. Yaitu rumah pelacuran terselubung. Yang datang kemari khusus para
perwira saja. Sebab di sini juga disediakan perempuan-perempuan pilihan. Salah satu dari perempuan itu
adalah anak gadis Cina botak itu sendiri.
Anak gadisnya memang terkenal cantik dan bertubuh padat. Setiap perwira bisa memakainya dengan
bayaran yang tak tanggung-tanggung tingginya. Selain tempat lacur dan tempat judi, pejuang-pejuang
Indonesia juga sudah lama mencurigai rumah itu sebagai sebuah pusat mata-mata untuk pihak Jepang. Soalnya
Cina itu sudah berdiam sejak lama di rumah tersebut. Ketika zaman penjajahan Belanda, dia sudah menjadi
semacam kepercayaan orang Belanda pula. Kini ketika Jepang berkuasa, dia juga menjadi kepercayaan Jepang.
Pejuang-pejuang Indonesia sudah lama mengintai rumah tersebut. Namun kendati memiliki beberapa
bukti, mereka tak dapat melakukan apapun. Apalagi kini dia mendapat perlindungan Jepang. Maka usaha
pejuang-pejuang Indonesia untuk menangkap Cina ini tak pernah berhasil. Padahal beberapa orang pejuang
yang tertangkap, diantaranya anak buah Mayor M yang berkedudukan di Piobang, disebabkan oleh Cina gemuk
ini. Dia menyebar intelnya diantara penduduk pribumi dan perempuan-perempuan lacur. Bahkan
tertangkapnya beberapa pejuang yang mencuri senjata di Kubu Gadang empat bulan yang lalu juga atas
petunjuk Cina ini. "Sudah datang dia ?" seorang perwira Jepang yang berpangkat Lettu (Chu-I), bertanya sambil menambah
uang taruhannya. "Belum, mungkin sebentar lagi", jawab Babah gemuk tersebut.
Mereka meneruskan main dadu. Tiba-tiba Chu-I itu tegak. Menatap pada ketiga perempuan yang ada
dalam ruangan itu. "Hei, mana Amoy ..?" tanyanya.
Ketiga perempuan itu menatap pada si babah gepuk yang sedang duduk main dadu. Si gepuk main terus,
meraih uang di tikar yang dimenanginya.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 46
"Mana Amoy, gepuk?" tanya si Chu-I.
Si gepuk memberi isyarat dengan menggerakkan kepalanya ke arah kamar. Namun ketika Jepang itu
akan tegak, si gepuk memberi isyarat meminta uang terlebih dahulu dengan menampungkan tangannya. ChuI tersebut merogoh kantong dan menyerahkan beberapa lembar uang, kemudian melangkah kekamar yang
dimaksud si babah gepuk. Ketika dia baru sampai di depan pintu, pintu kamar itu terbuka, seorang Jepang yang juga berpangkat
letnan keluar dengan menyeka peluh di lehernya. Mereka bertegur sapa sepatah dua. Sampai di dalam Jepang
itu melihat Amoy anak babah gemuk itu sedang merapikan tempat tidur. Posisinya yang sedang membungkuk
membelakangi pintu dengan handuk melilit tubuh, menampakkan pangkal pahanya dari belakang. Jantung
Jepang itu berdebar kencang. Seperti orang kesurupan dia menyeruduk ke gadis bertubuh montok itu.
Di luar rumah Cina itu sejak tadi seorang lelaki kelihatan tegak. Dia seperti menanti sesuatu. Dan setelah
lebih dari dua jam dia tegak di sana, barulah dia lihat dua orang lelaki mendekati rumah itu. Dia cepat-cepat
melangkah mendekati kedua lelaki itu.
" Hei. Jumpa lagi kita ..! " dia berkata pada kedua lelaki itu. Dan kedua lelaki itu berhenti. Menatap
padanya. Dalam cahaya bulan, mereka segera mengenali orang yang menegur mereka itu.
" Hmm. Kau Bungsu ..!"
" Ya. Aku Si Bungsu. Sudah lebih dua tahun kita tak bertemu ya Baribeh ?"
Baribeh yang dulu pernah melanyau tubuhnya ketika mereka kalah berjudi di Surau bekas di
kampungnya, tertawa menggerendeng.
"Tapi kudengar kau sudah mampus dihantam samurai Saburo."
Baribeh yang pesilat itu berkata. Tubuh Si Bungsu seperti jadi kaku mendengar nama Saburo disebut.
Untung saja malam hari, hingga perobahan air mukanya tak kelihatan oleh Baribeh.
" Ah, itu cerita burung. Buktinya saya masih hidup.
Apa perlunya Jepang membunuh saya. Hmm, ini si Jul ya?" Si Bungsu tersenyum pada lelaki juling yang
dia sebut sebagai si Jul itu.
" Kalera!!. Jangan ikut-ikutan waang memanggil saya dengan sebutan itu buyung. Kuremas mulut waang
dengan cirik nanti ..!" ujar si Jul tersinggung. Sebab orang yang berani dan yang boleh memanggilnya dengan
sebutan si Jul itu hanya pimpinannya, si Baribeh.
" Tenanglah Jul. Mungkin dia punya duit banyak seperti dulu. Hei Bungsu, apakah waang masih suka
berjudi ?" " Akhir-akhir ini tidak lagi. Tak ada yang mau bertaruh besar. Percuma saja main. Menghabiskan waktu
saja ". Baribeh menyikut si Jul perlahan. Si Jul tahu maksudnya, yaitu anak muda ini akan mereka jadikan
korban lagi. " Ah, saya jera main dengan kalian. Menang kalian ingin menerima, kalah tak membayar. Kalau sekedar
tak membayar saja tak apa. Ini diri saya kalian lanyau. Itu membuat saya ngeri .." ujar Bungsu.
Baribeh tertawa, memperlihatkan giginya yang merah karena sirih dan runcing-runcing seperti gigi
tikus. " Ahaaa .. jangan takut. Jangan takut. Di tempat ini aman. Ada orang Jepang dan Cina sebagai juri. Waang
aman percayalah. Ayo. Ayooo ..!"
Si Bungsu semula seperti ragu dan takut. Tapi karena tangannya ditarik oleh Baribeh, akhirnya dia
menuruti juga. Padahal dia telah menunggu kesempatan ini sejak lama.
Bukankah dulu, saat dia sadar dari pingsannya setelah dilanyau Baribeh dan dua temannya, setelah
semua uangnya mereka sikat di surau bekas itu dia, bersumpah akan menuntut balas" Kini kesempatan itu
datang. Dia melangkah perlahan mengikuti Baribeh. Di belakangnya berjalan si Juling. Mereka memasuki
rumah Babah gemuk itu. Babah yang kini tengah asyik bermain dadu dengan dua orang tentara Jepang yang
anak gadisnya tengah dilanyau oleh tentara Jepang berpangkat Chu-i itu. Mereka melangkah terus ke dalam.
Baribeh dan si Jul nampaknya sudah terlalu biasa di rumah ini. Mereka mengenal setiap penghuni dan sudut
rumah itu. Ketika mereka muncul ditempat orang yang tengah berjudi dadu itu, si Babah berbisik pada salah
seorang perwira Jepang didepannya :
" Ini mereka datang," kemudian dia berseru pada Baribeh
" Hai Baribeh. Lama tak datang lagi. Mana saja ente pigi ?"
"We pigi jauh. We ada bawa kabar baik, dan ada bawa kawan baik. Ini kawan mau main dadu sama babah
". Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 47
Baribeh menjawab sambil menirukan gaya bicara babah gemuk itu. Babah gemuk itu menatap pada Si
Bungsu. Demikian pula kedua serdadu Jepang itu. Kedua Jepang itu menatapnya dengan seksama.
Sementara Babah gemuk itu hanya menatap sebentar. Namun Si Bungsu, yang nyaris tiga tahun hidup
di pinggang gunung Sago, bergaul dan mempelajari kehidupan mahluk yang ada di sana, terutama hewan buas
agar tak mati dilapahnya, dapat menangkap pandangan yang ganjil maknanya dari tatapan mata si Babah yang
sekejab itu. Dia tak dapat mengetahui dengan pasti, apa yang harus dia curigai dari tatapan si gemuk itu. Namun
firasatnya yang tajam, yang dia bawa dari pengalaman hidup sekitar dua tahun di gunung Sago,
memperingatkan bahwa kalau terjadi apa-apa, maka yang berbahaya dan harus diawasi adalah Babah gemuk
yang kelihatan loyo itu. Dengan pesan naluri demikian, dia lalu mengangguk kepada mereka. Kemudian duduk agak berjarak
dari kedua Jepang tadi. Baribeh dan temannya si Juling itu juga mengambil tempat duduk menghadapi si Babah.
Ketiga mereka yang baru datang itu belum segera bertaruh. Mereka hanya duduk memperhatikan permainan
yang sedang berlangsung. Si Baribeh merogoh kantong. Mengeluarkan sebuah bungkusan. Kemudian mengeluarkan semacam
tembakau, tapi agak kasar. Menggulungnya besar-besar, kemudian menghirupnya seperti mengisap cerutu.
Kedua perwira Jepang yang tengah berjudi itu mengangkat kepala mencium bau asap yang dihembuskan oleh
si Baribeh. " Hmm. Candu. Candu nomor satu " ujar yang seorang Salah seorang diantara mereka lalu meraih
bungkusan si Baribeh. Menggulungnya besar-besar. Dan menghisapnya. Temannya juga ikut meniru. Kemudian
si Juling. Mereka menghisap candu itu dengan ni"matnya.
"Siap ..?" Babah gemuk itu bertanya pada kedua Jepang yang tengah kesedapan itu sambil mengangkat bambu di
tangannya. "Ayo kita main" ujar seorang Jepang pada Baribeh yang kemudian menggamit si Jul dan Bungsu untuk
ikut memasang taruhan "Mulailah .." Jepang yang berkepala botak dan bertubuh kurus berkata sambil tetap menghisap candunya. Si Bungsu
melihat Babah gemuk itu mengambil tiga buah dadu dari piring yang tertelentang di tikar. Kemudian
memasukkan kedalam bambu yang panjangnya lebih dari sejengkal itu.
Si Bungsu memperhatikan jari-jari tangan Babah. Aneh, Cina itu bertubuh gemuk dengan perut buncit.
Namun jari-jari tangannya tidak selaras dengan tubuhnya yang subur itu.
Biasanya orang-orang gemuk jari jemarinya pastilah bulat-bulat gemuk pula. Tapi jari-jari Babah ini
kelihatan langsing dan panjang-panjang. Berbeda dengan Cina-Cina tua lainnya, yang biasanya membiarkan
kukunya tak terawat, kuku Babah ini kelihatan dipepat bersih.
Kini dia tengah mengguncang bambu yang berisi dadu itu. Terdengar bunyi dadu saling berputar dan
beradu dalam bambu tersebut. Empat kali putaran cepat, tiba-tiba bambu itu ditelungkupkannya di atas piring.
Dalam waktu yang sangat singkat, terdengar ketiga buah dadu itu jatuh ke piring. Babah itu melepaskan
tangannya dari bambu. Dan bambu itu tertegak di atas piring menutupi ketiga butir dadu di dalamnya.
Baribeh memasang taruhannya pada angka-angka dua, tiga dan empat. Dia memang bertaruh begitu.
Main tebak dibanyak nomor. Biasanya salah satu pasti kena. Sementara Si Bungsu hanya memasang disatu
nomor. Dan dalam empat kali meletakkan taruhan tadi, dia tetap bertahan memasang disatu nomor saja.
Kinipun dia bermaksud begitu, mengambil uang dari kantongnya.
Kemudian meletakkan di angka satu. Si Juling memasang dinomor empat, yaitu diangka pasangan
Baribeh. Babah gemuk itu mengangkat bambu yang menutupi dadu.
Satu ! Ya, ketiga dadu itu menunjukkan angka satu di atasnya. Baribeh tercengang. Juling tercengang. Perwira
Jepang yang satu itu, yang kali ini tak ikut memasang taruhan juga tercengang. Si Bungsu ternyata menebak
dengan tepat dan memenangkan taruhan. Babah gemuk itu tersenyum.
Kemudian membayar pada Si Bungsu sebanyak enam kali lipat dari taruhannya yang dipasang. Lambatlambat dia memasukkan lagi buah dadunya. Kemudian memutar dadu dalam bambu itu. Setelah lima kali
putaran cepat, bambu berisi dadu itu dengan cepat dia telungkupkan.
Kembali terdengar suara mengerincing ketika buah dadu jatuh di atas piring di bawah telungkupnya
potongan bambu. Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 48
Si Bungsu memasang teliganya. Kalau dulu sebelum "mengungsi" selama dua tahun ke gunung dia selalu
menang main dadu adalah berkat pandainya dia main curang, maka kini lain halnya. Dulu dialah yang
memegang dadu. Dan selalu dadunya hanya sebuah.
Dia bisa memainkan dadu itu. Kini dengan tiga buah dadu, dia mengandalkan pendengarannya. Kalau
saja dia tak pernah berlatih di gunung Sago, mungkin kini dia akan kalah terus. Sebab babah gemuk itu lihainya
bukan main pula. Tapi kini dia dibekali dengan pendengaran setajam pendengaran macan tutul. Dengan jelas
dia mendengar jatuhnya buah dadu itu kepiring. Dia juga bisa membedakan bunyi angin yang tertekan,
tergantung dari banyak atau sedikitnya lobang pada dadu itu yang menghadap ke bawah.
Dadu yang keras bunyi jatuhnya, pastilah yang sedikit lobang yang menghadap ke bawah. Sebab pada
lobang-lobang itu sedikit angin yang tertahan. Kalau lobang enam yang menghadap ke bawah, maka bunyinya
akan lebih lunak dibandingkan dengan angka satu. Sebab dalam lobang-lobang dadu yang enam buah itu angin
banyak tertahan dan membuat jatuhnya lebih pelan.
Hanya kini dibutuhkan kepandaian menerka tepat antara lobang enam dengan lobang lima. Untuk
membedakannya dibutuhkan keahlian bertahun-tahun. Namun bagi Si Bungsu hal itu sudah merupakan kaji
menurun. Dia memang seorang penjudi ulung sebelumnya.
Kini dengan pendengarannya yang tajam, dia segera dapat menebak. Kalau empat taruhan terdahulu dia
hanya ingin coba-coba, maka kini dia bertaruh dengan penuh keyakinan.Semua uang kemenangannya tadi dia
taruh di angka satu, empat dan enam. Baribeh menaruh uangnya di angka tiga dan lima. Perwira Jepang yang
satu itu menaruh taruhannya di angka enam, Juling menaruh di angka satu.
"Sudah ..?" si Babah bertanya.
Tak ada yang menyahut. Mereka semua menatap diam pada piring itu. Babah gemuk itu mengangkat
Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bambu. Dan kembali mereka terkejut. Ketiga buah dadu itu menunjukkan angka persis seperti taruhan Si
Bungsu. Yang muncul di atas adalah mata satu, empat dan enam. Dengan demikian dia kembali memenangkan
taruhan. Perwira Jepang yang memasang di angka enam ikut bersorak gembira. Demikian pula si Juling yang
menaruh uangnya di angka satu. Mereka menerima bayaran taruhannya.
Si Babah membayar dengan tenang. Matanya sesekali menatap pada Si Bungsu. Dan bulu tengkuk Si
Bungsu merinding melihat kilatan mata Babah gendut itu. Namun dia tetap duduk diam di tempatnya. Tongkat
samurainya dia letakkan di paha. Siap menanti segala kemungkinan.
Lagi pula apa yang harus dia takutkan " Bukankah pertaruhan ini jujur " Bukan dia yang jadi bandar. Dia
hanya pemasang taruhan. Dalam perjudian, biasanya yang selalu curang adalah bandar. Dan kinipun kalau akan
ada huru hara, maka itu hanyalah karena dua soal.
Pertama karena bandar curang, dan ini tak kelihatan tanda-tandanya. Dan kedua karena bandar atau
salah satu pihak tak rela kalah. Dan inipun tak ada atau belum ada tanda-tandanya. Meski telah membayar
cukup banyak dalam dua kali taruhan ini, tapi Babah gemuk itu membayar masih dengan tersenyum. Dia
tampaknya memang cukong yang siap berjudi dengan siapapun dan dalam taruhan berapapun. Kini jari-jarinya
yang panjang dan kurus itu mulai mengambil buah dadu. Memasukkan kedalam potongan bambu dan
mengangkatnya tinggi. Si Bungsu kebetulan sedang menatapnya pula. Mereka saling pandang. Babah itu
tersenyum. Dan kembali urat-urat darah di tubuh Si Bungsu mengencang melihat tatapan mata dan senyum
Babah gemuk ini. Lambat-lambat tangan si Babah mulai memutar bambu berisi dadu. Suara dadu terdengar bersentuhan
dan berputar di dinding tabung bambu pendek itu. Mata Babah gemuk itu bergantian menatap Si Bungsu,
Baribeh, perwira Jepang dan si Juling.
Menatap sambil tangannya tetap memutar tabung bambu berisi dadu tersebut. Si Bungsu tidak lagi
menatap pada si Babah. Meskipun dia tahu Babah itu memandang padanya beberapa kali selama mengguncang
dadu. Tapi kini dia menunduk. Telinganya dia pasang baik-baik. Pendengarannya dia pusatkan pada bijih dadu
yang berputar itu. Dan tiba-tiba Babah itu menghentikan putarannya. Berbeda dengan cara sebelumnya, kali ini dia tak
langsung menelungkupkan tabung itu di atas piring. Melainkan memegangnya dulu. Buah dadu itu berkumpul
di dasar tabung. Beberapa detik berlalu. Lalu tiba-tiba, dengan amat cepat tabung bambu itu di telungkupkan
di piring di depannya. Tak ada suara buah dadu yang menyentuh piring. Sepi. Perwira Jepang itu, Baribeh dan
si Juling jadi heran, sebab tak satupun terdengar buah dadu yang jatuh kepiring. Tak satupun.
Kepandaian Babah ini bukan main. Baribeh jadi kagum sebab selama ini Babah itu belum pernah
melakukan hal itu. Kini buah dadu itu menyentuh piring tanpa terdengar sedikitpun suaranya.
" Pasanglah," kata si Babah perlahan.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 49
Tangannya masih tetap memegang tabung yang tertelungkup itu. Perwira Jepang itu sejenak
memandang pada Si Bungsu. Tapi karena Si Bungsu masih diam, dia segera memasang taruhannya di angka
empat. Baribeh dengan ragu memasang taruhannya di angka lima dan satu. Si Juling memasang di angka dua.
Si Bungsu masih diam. Babah gemuk itu menatap padanya.
"Tidak ikut memasang ?" tanya si babah.
Si Bungsu menatap Cina itu. Mereka saling pandang.
"Tidak ikut bertaruh ..?" babah itu kembali bertanya.
Sementara yang lain, termasuk tiga orang perempuan cantik yang kini duduk dekat Baribeh, Juling dan
perwira Jepang itu, menatap padanya dengan diam.
" Pasang saja taruhannya ". Babah itu berkata lagi.
" Taruhan baru saya pasang kalau dadunya sudah jatuh di piring " Si Bungsu berkata perlahan.
Perwira Jepang serta Baribeh saling pandang. Mereka jadi ragu atas ucapan anak muda ini. Apakah buah
dadu itu memang belum jatuh ke piring " Masakan belum. Mana bisa dadu itu tergantung atau tertahan di atas
dalam tabung bambu itu. Mustahil.
"Jatuhkanlah buah dadu itu ke piring, baru saya memasang taruhan ". Ujar Bungsu.
Babah itu tersenyum. Mau tak mau dia terpaksa harus memuji keunggulan pendengaran anak muda ini.
Anak muda yang luar biasa, pikirnya. Luar biasa lihainya berjudi.
Sebuah dencingan halus terdengar di dalam tabung itu. Sebuah dadu jatuh. Sepi setelah itu. Si Bungsu
masih tetap menunduk. Memasang telinga. Sebuah dentingan lagi. Dan sepi. Babah itu mengangkat tangannya
dari bambu tersebut. Perwira Jepang itu dan Baribeh kembali saling pandang.
" Baru dua buah yang jatuh ". perwira itu berkata.
Babah itu tersenyum sambil menatap pada Si Bungsu. Si Bungsu mengambil semua uang yang dia
menangkan dalam taruhan tadi. Kemudian meletakkan semuanya pada nomor tiga dan lima. Kemudian sepi.
" Tak ada yang akan merobah letak taruhan ?"
Babah itu bertanya. Tak seorangpun yang menyahut. Babah itu kemudian mengangkat tabung bambu
itu. Dan tiba-tiba semua orang, kecuali Si Bungsu, jadi tertegun.
Dua diantara tiga dadu itu memang menunjukkan angka-angka seperti yang ditebak Si Bungsu. Mata
dadu yang muncul di atas adalah mata satu, lima dan tiga. Berarti dua taruhannya menebak tepat dan benar.
Dia tak memasang taruhan pada angka satu, namun itu tak mempengaruhi kemenangannya.
Si Babah mulai berpeluh. Dia terpaksa tegak dan berjalan menuju biliknya. Tak lama dia muncul
membawa sebuah kantong besar. Lalu duduk lagi di tempatnya tadi dan membuka kantong yang tadi dia bawa.
Menatap ke uang taruhan Si Bungsu beberapa saat.
Kemudian mulai menghitung uang yang dia ambil dari dalam kantong. Dan meletakkannya pada uang
taruhan Si Bungsu. Si Bungsu hanya menatap dengan diam. Dia tahu, meski Babah itu tak menghitung
taruhannya, namun Babah itu tahu dengan pasti berapa harus membayar. Suatu keahlian yang jarang tersua.
Menghitung uang dari jarak tertentu tanpa menyentuhnya.
Dari seratus penjudi lihai, barangkali ilmu ini hanya terdapat pada satu atau paling banyak dua pejudi.
Dengan demikian, si Babah telah menunjukkan dua ilmu simpanannya. Pertama demontrasi tenaga dalam.
Yaitu tatkala tadi dia menahan ketiga dadu itu di bahagian atas tabung bambu.
Perwira Jepang dan Baribeh menyangka bahwa dadu itu berada di piring. Tapi ternyata masih dia tahan
melalui penyaluran tenaga dalamnya pada dinding tabung bambu itu. Dan ilmunya ini ternyata diketahui oleh
Si Bungsu. Kedua adalah ilmu menghitung tanpa menyentuh duit sebentar ini. Dan Si Bungsu juga
mengetahuinya. Oleh karena itu dia tak mau menghitung uang bayaran yang diberikan oleh Babah.
Uang itu dia kaut dan dia letakkan didepannya. Yang ikut beruntung adalah Baribeh. Taruhannya di
angka lima juga mengena. Sementara taruhan perwira itu dan taruhan si Jul ditarik oleh si Babah. Si Babah
masih tersenyum. Kemudian memungut bijih dadu di atas piring, kemudian memasukkannya ke dalam tabung
bambu itu. Dia memutarnya. Kemudian terbatuk.
Saat itulah tiba-tiba saja ke ruangan itu berlompatan enam orang Kempetai dengan senjata terhunus.
Mereka dikurung di tengah. Si Bungsu secara reflek segera meraih samurainya yang terletak di paha. Namun
entah bagaimana caranya, tahu-tahu samurai itu terpental jauh kebelakang terkena tendangan si Babah.
Sebelum Si Bungsu sadar apa yang terjadi, tendangan si Babah mendarat di dadanya. Dia terguling dan segera
saja muntah darah. Kepalanya berkunang-kunang. Ketika dia coba untuk bangkit, rambutnya ditarik dengan
keras. Dia terduduk. Dan segera saja empat buah sangkur terhunus ditekankan ke dada dan lehernya.
"Kalau kau melawan, kau kami bunuh disini ".
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 50
Kempetai yang memimpin penyergapan ini mendesis dengan tajam. Si Bungsu tak dapat bergerak
sedikitpun. Dia melihat Babah tadi duduk dengan tenang. Begitu pula Baribeh dan si Juling. Semula dia
menyangka bahwa penggerebekan ini adalah penggerebekan Kempetai terhadap tempat-tempat judi. Karena
dia pernah mendengar bahwa tentara Jepang dilarang berjudi. Tapi kali ini rupanya penggerebekan itu
memang sudah direncanakan. Si Bungsu tak menyadari sedikitpun, bahwa dia masuk perangkap. Sudah tiga
hari ini dia memperhatikan rumah Babah ini. Dia mendapat informasi bahwa rumah Babah ini termasuk suatu
tempat berkumpulnya para perwira untuk berjudi dan bersenang-senang dengan pelacur kelas tinggi.
Dia mengawasi rumah ini untuk mengetahui jejak Saburo. Dia berharap untuk bertemu dengan Kapten
yang telah membantai keluarganya itu. Tanpa disadari selama dia mengawasi rumah ini dari kejauhan ada pula
orang lain yang juga mengawasinya. Orang itu tak lain dari si Babah sendiri. Si Babah ini memang harus hatihati. Dia tidak mau mati konyol. Oleh karena itu dia mengawasi setiap orang yang lewat di depan rumahnya.
Makanya tak heran kalau kehadiran Si Bungsu tiga hari berturut-turut tak jauh dari rumahnya menarik
perhatiannya. Si Bungsu yang memata-matai rumah itu kini balik dimata-matai.
Suatu hari si Babah bertemu dengan Baribeh di pasar. Dia bawa Baribeh kesuatu tempat di mana dapat
melihat Si Bungsu dengan aman. Tentu saja si Baribeh dan si Juling mengenal anak muda itu dengan baik. Tapi
mereka tak mengetahui untuk apa Si Bungsu tegak di sana. Mereka hanya mengetahui bahwa Si Bungsu sudah
mati ditebas Saburo dan anak buahnya sekitar dua tahun yang lalu. Apakah Si Bungsu menyangka bahwa
kebocoran rahasia persembunyiaan Datuk Berbangsa dulu adalah andil Babah gemuk ini" Babah gemuk itu jadi
was-was. Sebab rahasia bahwa di Situjuh Ladang Laweh ada orang yang menyusun kekuatan untuk melawan
Jepang, memang Babah inilah yang memberitahukannya pada Kempetai. Si Babah pulalah yang membayar
beberapa orang Minang dengan bayaran yang tinggi, untuk mengorek rahasia bahwa yang memimpin gerakan
itu adalah Datuk Berbangsa dan Datuk Sati.
Babah ini memang menjadi semacam pusat informasi bagi balatentara Jepang. Dia sudah berada di
Payakumbuh ini sejak puluhan tahun. Ketika Belanda berkuasa dia menjadi kaki tangan Belanda. Dan ketika
Jepang datang dia menjadi cecunguk Jepang pula. Untuk mengetahui apa maksud pemuda ini, makanya Babah
itu lalu memasang perangkap. Si Baribeh dan si Juling dibuat pura-pura terkejut kalau bertemu dengannya.
Kemudian membujuknya untuk masuk berjudi ke dalam. Di dalam mereka akan menangkapnya.
Begitu ia masuk, seorang kurir yang dipasang tak jauh dari rumah itu segera melaporkan pada Kempetai
akan adanya seorang mata-mata di rumah si Babah. Dan Si Bungsu masuk ke dalam perangkap yang dipasang
itu. Dia masuk sebenarnya dengan maksud ingin mencari informasi tentang Saburo. Kini ternyata dia diringkus.
Babah itu tersenyum menatapnya. Senyumnya persis seperti senyum ketika membayar taruhan tadi.
Kembali Si Bungsu merasa bergidik melihat senyum itu.
"Anak muda, coba terangkan apa maksudmu memata-matai rumahku ini," Babah itu bertanya.
(11) Si Bungsu tak menjawab. "Jawab "! Jawablah apa maksud memata-matai rumahku ini! Kau ditugaskan oleh siapa untuk mematamataiku" Ditugaskan oleh pejuang-pejuang yang akan melawan Jepang ya?"
Si Bungsu terdiam. Dia tidak mengerti ujud petanyaan itu.
"Jawablah Bungsu. Kalau tidak kau bisa susah ". Kata Baribeh. Si Bungsu masih diam.
"Apakah Mahmud mengirim dia kemari" " si Babah bertanya pada Baribeh.
"Tidak. Dia justru mengirimkan kurirnya ke Kubu Gadang. Mereka akan menyerang Kubu itu untuk
merampas persenjataan ".
"Kapan mereka merencanakan?"
"Dua malam lagi ".
"Apakah tindakan lainnya ".
"Kalau tak berhasil mereka akan membakar Kamp kita ".
Si Bungsu menatap Babah dan Baribeh berganti-ganti. Menyimak pembicaraan kedua orang itu kini
persoalan menjadi jelas baginya, bahwa Baribeh bekerja untuk Babah Cina itu. Babah itu bekerja untuk Jepang.
Mereka memata-matai kegiatan pejuang-pejuang Indonesia. Si Bungsu tiba-tiba menjadi ingin muntah saking
jijik dan mualnya melihat Baribeh, si Juling dan si Babah. Tapi sekaligus dia juga menjadi lega. Sebab dengan
pertanyaan si Babah itu dia menjadi tahu, bahwa baik si Baribeh maupun pihak Jepang tak mengetahui
sedikitpun bahwa dialah yang telah membunuh Jepang-Jepang itu dalam bulan-bulan terakhir ini.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 51
Ini berarti pembunuhan tiga orang Kempetai di kampungnya ketika akan menangkap Salim anak Imam
dari Mesjid belum diketahui Jepang. Barangkali ketiga Jepang itu disangka melarikan diri atau lenyap begitu
saja. Belum ada yang menyangka bahwa dia mati terbunuh. Itu juga berarti bahwa kematian Jepang-Jepang di
kedai kopi Siti di kampung Tabing dulu juga masih disangka karena mereka saling berkelahi. Persis seperti
yang direncanakan dulu. Dan itu juga berarti bahwa Kempetai ini belum mengetahui bahwa yang membunuh
Jepang-Jepang di tempat pelacuran Lundang dulu itu adalah seorang pribumi. Si Bungsu menjadi agak tentram.
Buat sementara dia masih aman. Kini tinggal hanya bagaimana melarikan diri dari rumah Babah celaka ini.
"Hei monyet, jawablah. Apakah maksudmu memata-matai rumahku?"
Babah itu memaki. Muka Si Bungsu jadi merah padam. Di negerinya sendiri ada Cina yang memakinya
dengan sebutan monyet. Ada Cina yang selama puluhan tahun diterima dengan baik oleh bangsanya, diterima
di tengah pergaulan dan mencari makan di bumi negerinya dan hidup dengan aman selama puluhan tahun itu,
berani memaki dirinya. Memaki anak negeri dimana dia hidup menompang dengan sebutan monyet!
Alangkah jahanamnya. Dia tatap mata si Babah. Dan saat itu perwira yang tadi masuk ke bilik si Amoy
anak si Babah, muncul di pintu. Dia mendengar bentakan, dan cepat-cepat menyudahi permainannya. Lalu
memasang celana dan baju. Si Amoy dia tinggalkan terguling lelah di lantai.
"Ada apa ..?" tanya perwira yang bernama Ichi kepada Babah.
Si babah menceritakan tentang Si Bungsu yang mengintai rumahnya. Perwira itu menatap pada Si
Bungsu. "Paksa dia untuk bicara. Barangkali dia ikut ketika mencuri senjata di Kubu Gadang dulu .." Kata Ichi
sambil berjalan ke sudut ruangan mengambil minuman.
"Bicaralah ..!"
Kata si Babah pada Si Bungsu. Kali ini tangannya bergerak. Mengambil bijih dadu sebuah. Meletakkannya
di antara ibu jari dan telunjuk kanannya. Kemudian "menembakkan" buah dadu itu kearah Si Bungsu.
Tanpa dapat ditahan, Si Bungsu terpekik. Bijih dadu itu menghantam daun telinganya sampai robek.
Darah mengucur dari sana. Namun Si Bungsu tak dapat bergerak. Sebab empat bayonet masih menekan dada
dan lehernya. Dapat dibayangkan betapa tingginya ilmu Babah itu. Hanya dengan jentikan halus saja, dadu itu
sanggup memecah telinga Si Bungsu. Tidak hanya berilmu tinggi, tapi sekaligus berhati sadis!
"Jawablah!! Kalau tidak engkau akan kubunuh seperti membunuh tikus .." Kata si Babah dengan nada
dingin. "Saya mencari Saburo ".
Akhirnya Si Bungsu berkata jujur.
"Saburo ..?" "Ya .." "Tai-i Saburo Matsuyama?"
"Ya". "Untuk apa kau mencarinya" "
"Ada persoalan yang harus kuselesaikan "
"Persoalan apa?" "Itu urusanku .."
Mendengar jawaban ini, babah gemuk itu kembali mengambil sebutir dadu. Lalu kembali dia letakkan di
antara ibu jari dan telunjuknya. Kemudian dia sentilkan kearah Si Bungsu. Kembali Si Bungsu terpekik.
Sebenarnya dia telah berusaha untuk menahan sakit. Dia menggertakkan gigi. Namun dadu itu
menghantam keningnya. Namun Babah gemuk itu bukan main lihainya. Dadu itu menyerempet kening Si
Bungsu sedemikian rupa. Mula pertama dadu itu menjitak dahi Si Bungsu. Sakitnya bukan main, kemudian
melesat merobek kulit keningnya arah ke belakang. Kulitnya kepalanya robek empat jari. Darah mengucur.
Babah gemuk itu tertawa menyeringai. Demikian pula Baribeh dan si Juling. Air mata Si Bungsu
merembes di pipinya. Dia tak menangis. Tapi air mata itu adalah air mata menahan sakit. Dia menyumpahi
dirinya yang dengan mudah masuk ke dalam perangkap orang-orang sadis ini. Si Bungsu bersumpah, kalau dia
kelak dapat membalas, maka Babah gemuk ini adalah orang pertama yang paling nista dia perbuat. Dia akan
cincang perut gendutnya itu. Dia benar-benar bersumpah untuk itu. Tekadnya untuk hidup makin menyala.
"Nah, buyung. Katakanlah untuk apa lu mencari Tai-i Saburo ..!" Kata Cina gendut itu. Si Bungsu
menghapus darah dikeningnya. Menghapus darah dari daun telinganya yang koyak. Pedih dan sakit dari kedua
lukanya itu menyentak-nyentak.
"Bagaimana saya akan bicara kalau leher dan dada saya ditekan begini?" Katanya coba mencari
kesempatan. Dia berharap dengan ucapannya itu bayonet yang ditekankan ke leher dan dadanya akan ditarik.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 52
Kalau saja dia punya kesempatan agak sedikit, dia bisa berguling dengan loncat tupai ke belakang menyambar
samurainya. Demi Tuhan, akan dia cincang semua lelaki yang ada dalam ruangan ini. Terutama Cina gemuk seperti
babi ini. Namun Babah itu memang orang sadis. Di tangannya tiba-tiba telah berada pula sebuah bijih dadu.
Meletakkan dadu itu kembali di antara ibu jari dan telunjuknya. Dadu itu siap lagi untuk dia sentilkan pada Si
Bungsu. "Dadu ini bisa menembus jantungmu. Engkau mati. Atau bisa menembus matamu. Engkau buta. Maka
sebelum salah satu di antara kemungkinan itu terjadi, bicaralah yang benar. Tak peduli ada bayonet atau tidak
di lehermu!" Benar-benar sadis. Mau tak mau Si Bungsu memang harus buka mulut.
"Saya ingin menuntut balas kematian keluarga saya .." katanya perlahan.
"Dengan apa akan kau tuntut" Dengan menembaknya" Atau dengan menyerang rumahnya bersama
gerombolan Indonesia" Hmm .." Katakan bagaimana caranya!!"
"Dengan cara saya sendiri .."
"Bagaimana caramu!"
Si Bungsu terdiam. Babah gemuk itu bangkit. Kemudian mendekatinya.
"Katakan bagaimana caramu ..!" desis Babah itu.
Perwira-perwira Jepang yang lain menatap dengan diam. Si Bungsu jadi sadar, Cina ini nampaknya
adalah salah seorang Perwira Intelijen Jepang, karena kelihatan sekali dia disegani perwira-perwira itu. Hanya
saja jabatannya itu dia rangkap sebagai penjudi dan pengusaha rumah lacur. Demikian tak bermoralnya dia,
sehingga demi pangkat dan karirnya di mata Jepang, dia rela mengorbankan anak gadisnya untuk memuaskan
nafsu perwira-perwira Jepang tersebut. Karena Si Bungsu masih tetap diam, Babah itu menjitak kepalanya.
Terdengar suara berdetak ketika lipatan jari babah itu menghantam keningnya. Keningnya segenap bengkak
sebesar telur. "Katakanlah dengan siapa kau akan pergi menyerang Tai-i Saburo, dan dimana kalian akan berkumpul,
monyet!" Kepalanya yang kena jitak amat sakit, tapi yang lebih sakit adalah hatinya. Benar-benar sakit hati Si
Bungsu menerima perlakuan Babah gemuk ini. Pertama cara dia menekek atau menjitak kepalanya tadi. Benarbenar menyinggung hatinya. Kemudian ucapannya menyebut "monyet" benar-benar menyakitkan. Saking sakit
hatinya, anak muda itu lupa mengontrol diri. Tanpa dapat dia tahan, dia meludahi muka Babah gemuk itu.
Ludahnya menghantam wajah si Babah. Anak muda ini benar-benar lupa diri saking marahnya. Dia tak sadar
sama sekali, bahwa dengan perbuatannya ini dia bisa dibunuh si Babah seketika. Kalau itu terjadi, maka
dendamnya pada Saburo takkan pernah terbalaskan.
Namun si Babah yang mukanya sudah seperti udang direbus itu benar-benar tak memberi ampun.
Kakinya melayang. Si Bungsu yang memang tak pernah belajar silat itu kena hantam dadanya. Tubuhnya
tercampak. Dan masih belum mencecah lantai, dia sudah muntah darah. Kemudian tubuhnya jatuh. Masih
belum dia sadari apa yang terjadi, ketika sebuah tendangan kembali mendarat di rusuknya. Sakitnya bukan
main. Dia mendengar tawa si Babah. Yang menendangnya barusan ini ternyata si Baribeh. Untung si Baribeh.
Sebab kalau Cina itu yang menendang, dia yakin empat rusuknya akan patah. Tendangan Baribeh itu membuat
dia terguling lagi. Dia tertelungkup diam. Kening, telinga, mulut dan hidungnya melelehkan darah.
"Anjing! Melayu anjing, berani kau meludahiku, kupotong lidahmu " Sumpah si Babah dan mendekati
tubuhnya. Si Bungsu benar-benar berada dalam keadaan kritis. Babah itu mengambil sebuah pisau dari atas
meja. Dia nampaknya memang berniat melaksanakan sumpahnya untuk memotong lidah Si Bungsu. Namun
saat itu Si Bungsu merasa ujung jarinya menyentuh sesuatu. Tanpa terlihat, masih dalam posisi tertelungkup,
dia membuka mata. Tiba-tiba semangatnya timbul lagi. Yang berada di ujung jarinya itu adalah samurainya!
Langkah si Babah makin mendekat. Makin dekat. Kaku berjongkok dan berniat memegang wajah anak muda
itu untuk mengeluarkan lidahnya. Namun dengan gerakan yang hampir-hampir tak dapat dipercaya oleh
semua orang yang ada dalam ruangan itu, Si Bungsu berguling dua kali kekanan. Dua kali kekiri. Dalam gulingan
yang amat cepat dan ringan dia melompat berdiri. Secarik cahaya putih berkelebat amat cepat. Tiga orang
serdadu Jepang yang tadi menekan leher dan dadanya dengan sangkur masih melongo tatkala kilatan cahaya
itu menerpa wajah mereka. Mereka terpekik dan roboh.
Darah muncrat dari tubuh mereka. Kini Si Bungsu tegak di atas unggukan uangnya dengan sikap seperti
seekor Rajawali yang siap menyambar mangsanya. Samurainya terhunus melintang di depan dada. Samurai itu
berlumuran darah. Matanya menatap tajam pada Babah gemuk itu.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 53
Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Siapa saja yang bergerak mencabut senjata atau berniat lari atau memekik, akan kucabut nyawanya.
Tegak saja di tempat kalian baik-baik!" Ujar anak muda itu perlahan. Suaranya dingin dan penuh ancaman.
Perwira Ichi yang semula berniat mencabut pistol, jadi tertegun. Tangannya terhenti di gagang pistolnya.
Ancaman anak muda ini menggetarkan jantungnya. Namun jarak antara dia dengan anak muda itu cukup jauh.
Lagipula tubuhnya terlindung oleh tubuh seorang wanita. Dia pasti aman kalau mencabut pistol itu diam-diam
kemudian menembaknya pada tengkuk anak muda pongah ini. Dia sudah berniat untuk melaksanakan
maksudnya. Tapi entah kenapa tiba-tiba dia jadi ragu. Karenanya dia memberi isyarat dengan mata pada si Baribeh.
Baribeh mengerti isyarat itu. Lelaki itu lalu bicara untuk mengalihkan perhatian Si Bungsu.
"Bungsu, jangan berbuat kekacauan di sini. Engkau tak akan bisa lolos lihatlah, rumah ini telah dikepung
.." Dan waktu itulah pistol Ichi keluar dari sarungnya. Pistol itu sudah akan dia angkat. Malang dia tak
mengetahui bahwa anak muda ini tidak sama dengan kebanyakan anak muda Melayu lainnya. Anak muda yang
satu ini telah melatih indranya di gunung selama dua tahun lebih. Dia telah lolos dari kehidupan liar yang
membutuhkan perjuangan keras untuk bisa tetap bertahan. Dia mampu bertahan hidup di tengah ganasnya
belantara yang amat liar. Hidup di tengah hukum rimba. Dimana hanya yang kuat yang berhak untuk hidup.
Yang lemah harus mau menjadi tumbal untuk kelangsungan hidupnya yang kuat.
Dalam kehidupan di rimba belantara itu, kekuatan saja tidak menjadi jaminan untuk bisa
memperpanjang nyawa. Kuat tanpa kecerdikan bisa konyol. Kuat dan cerdik saja juga belum tentu bisa selamat.
Kewaspadaan dan ketajaman firasat serta pendengaran sangat dibutuhkan. Bagaimana caranya mengetahui
seekor ular yang bergerak tanpa suara itu akan menyerang kita"
Bagaimana caranya mengetahui seekor harimau yang akan menerkam mangsanya, yang bergerak
seringan kapas tanpa dilihat dan tanpa terdengar oleh mangsa yang akan diterkam. Makhluk di rimba raya
memerlukan ketajaman firasat dan pendengarannya untuk bisa bertahan hidup. Inilah yang terpenting, bukan
hanya kekuatan semata. Burung, tupai atau kancil, adalah makhluk yang lemah tanpa daya. Namun mereka bisa hidup
berkembang dan tak punah dalam belantara yang dipenuhi kebuasan itu berkat pendengaran dan firasat
mereka yang tajam. Itu pulalah yang dipelajari Si Bungsu selama mengasingkan diri selama dua tahun di
gunung Sago. Dia bertekad untuk tetap hidup sekurang-kurangnya sampai dendam keluarganya terbalaskan.
Kalau burung atau kancil saja bisa hidup, kenapa dia sebagai manusia yang berakal tidak" Kalau mereka
mempunyai ketajaman pendengaran, kenapa dia tak bisa menirunya" Maka hiduplah dia di rimba itu sambil
menimba banyak sekali kearifan hidup dari hewan yang purbani.
Ternyata dia keluar sebagai pemenang. Tetap hidup sampai saat ini. Itu pula yang terjadi di rumah babah
gendut itu. Disaat Ichi menarik pistolnya, telinga Si Bungsu yang mampu mendengar daun jatuh sekalipun saat
di gunung sana, juga mendengar benda keras yang dicabut dari sarangnya. Firasatnya segera bekerja. Benda
itu kalau tidak pisau pastilah pistol. Dalam waktu yang singkat sekali, dia menjatuhkan diri kebelakang.
Punggungnya mencecah lantai. Kemudian kakinya bergulung keatas. Saat itu pistol meledak. Namun pelurunya
menerpa tempat kosong. Dengan dua kali bergulingan amat cepat, Si Bungsu melewati perempuan yang tegak
di depan Ichi. Perwira itu terkejut melihat anak muda itu tiba-tiba saja sudah berada di depannya. Pistol dia arahkan
padanya. Namun samurai Si Bungsu berkelebat. Tak ada pekikan. Perwira Jepang itu rubuh dengan bahu di
dekat pangkal lehernya belah dua sampai ke dada. Bukan main. Benar-benar satu gerakan yang terlalu cepat
untuk diikuti mata. Seorang serdadu yang tegak di sisi Ichi justru ternganga menatap tubuh perwiranya yang jatuh tergolek
dengan tubuh hampir terbelah dua. Tapi nasibnya juga sial. Tengkuknya disambar samurai Si Bungsu.
Kepalanya mengelinding ke bawah sebelum tubuhnya mencapai lantai. Mati.
Perempuan-perempuan pada terpekik. Si Bungsu tegak menghadap pada Babah gemuk itu. Si Babah
terkejut melihat kecepatannya. Sementara si Baribeh dan si Juling tegak merapat kedinding belakang si
Babah.Muka mereka pucat ketakutan. Tak pernah mereka bayangkan sedikitpun, bahwa anak muda yang
pernah mereka lanyau di Surau ketika mereka kalah judi dahulu akan menjadi begini hebatnya.
"Hmm, lu jangan banyak lagag di depan we. Lu we bikin ayam potong". Ujar Si Babah sambil menyeringai
buruk. Si Bungsu memandangnya tak berkedip. Matanya yang biasa bersinar lembut kini membersitkan api
amarah yang dahsyat. Samurainya membelintang di depan dada. Dia tegak dengan sikap gagah. Kemudian
terdengar suarasuaranya bergema, dingin dan datar.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 54
"Gendut, engkau telah hidup di negeriku ini sebelum aku dilahirkan. Bahkan mungkin kalian hidup sejak
dari moyang kalian di sini. Di sini kalian hidup dan mencari nafkah. Pernah kalian diganggu anak negeri ini"
Pernah kalian dihalangi untuk mencari nafkah" Tak pernah, kan" Bahkan kami menganggap kalian sebagian
dari masyarakat kami. Kita sama-sama berhak hidup dan mencari kehidupan di negeri ini. Tapi apa kini yang
kau perbuat untuk membalas kebaikan anak negeri ini" Yang telah berbaik hati menerima kalian hidup
beberapa keturunan dengan damai di negeri ini?"
Dia berhenti sebentar, lalu :
"Ternyata kau khianati negeri ini pada Jepang. Engkau menjadi musuh dalam selimut bagi anak negeri
yang telah puluhan tahun hidup bersamamu. Benar-benar sikap jahanam yang laknat. Demi uang engkau sudi
berbuat apa saja. Tapi demi Tuhan, engkau harus mati malam ini. Harus, Gendut!"
Sumpah anak muda ini mau tak mau membuat bulu tengkuk Babah itu merinding. Si Baribeh dan si Juling
tak berani berkutik. Tegak mematung dengan tubuh menggigil di tepi dinding. Kedua lelaki Minang ini sampai
terkencing-kencing di celananya. Si Babah gendut itu nampaknya juga mengetahui bahwa anak muda di
depannya ini tidak hanya menggertak sambal. Anak muda itu sanggup melaksanakannya. Karena itu dia mulai
menyerang, tubuhnya seperti lenyap di bungkus sinar. Bukan main cepatnya dia bergerak. Si Bungsu buat
sesaat jadi tertegun. Dia bukan pesilat, apa yang harus dia perbuat"
Suatu saat dia rasakan angin mengarah keperutnya. Dia tak melihat serangan. Tapi dia yakin angin itu
berasal dari pukulan Gendut itu. Satu-satunya jalan yang bisa diambilnya adalah menghantamkan samurainya.
Bersamaan dengan itu tubuhnya berguling kesamping. Namun terlambat! Sebuah tikaman menghantam
pahanya. Bukan main sakitnya, dia terpekik. Darah mengucur lagi! Si Babah memburu terus.
Untuk beberapa saat Si Bungsu terpaksa berguling dengan meniru loncat tupai itu. Untuk beberapa saat
nampaknya dia teringat lagi pada perkelahiannya yang terakhir di gunung Sago melawan dua cindaku. Ya,
kenapa dia tidak bertahan tegak saja sambil memejamkan mata" Bukankah dia bisa mengandalkan
pendengarannya yang tajam itu.
Kalau dia mengelak terus begini, tenaganya akan habis. Gerakkannya akan lamban. Dan bila sudah begitu
maka kesempatan untuk menangkis serangan juga tak ada lagi. Maka kini dia harus merobah taktik. Si Babah
ini nampaknya memang seorang pesilat Cina yang tangguh.
Firasatnya yang mencurigai si Babah ketika mula-mula masuk tadi ternyata benar. Si Babah tidak hanya
berilmu silat yang tinggi, tetapi juga seorang mata-mata yang amat berbahaya. Si Bungsu bergulingan menjauh.
Saat berhasil menjauhi si Babah dia tegak kemudian memejamkan mata. Dia mendengar nafas memburu dan
suara gigilan di belakangnya. Kemudian langkah menggeser.
Masih dalam keadaan memejamkan mata, dan masih dalam keadaan merasakan sakitnya telinganya
yang koyak, keningnya yang luka dihantam dadu si Babah, dan paha yang luka kena tikam pisau, dia
menghayunkan samurainya kebelakang. Si Baribeh dan si Juling yang berada di belakangnya, yang ingin
menggeser tegak dari belakang anak muda itu, tiba-tiba terpekik. Bajunya robek dihantam samurai Si Bungsu.
Dia tertegak diam dan merapat kembali kedinding.
"Engkau tak layak untuk hidup Baribeh. Selain penjudi, engkau ternyata menghianati negerimu. Orang
semacam engkau tak layak mengaku sebagai anak Minangkabau.
Karenanya engkau juga tak layak hidup di negeri ini!".
Suara Si Bungsu bergema perlahan. Tapi nadanya mengirimkan gigilan yang amat menakutkan ke
jantung si Baribeh dan si Juling. Anak muda itu bicara dengan mata yang masih terkatub. Dia harus membagi
inderanya antara mengawasi si Baribeh dan si Juling dengan gerakan si Babah gemuk.
"Yiy " ya! Ya benar. Saya memang tak layak untuk hidup di negeri ini. Karena itu mohonlah lepaskan
saya. Saya akan berangkat meninggalkan negeri ini .." si Baribeh berkata memohon terbata-bata. Terdengar
gelak renyai dari mulut Si Bungsu.
"Hee .. he. Engkau akan pergi dari sini Baribeh?"
"Ya. Ya. Tapi kata waang saya layak hidup di negeri ini. Saya akan pergi jauh-jauh. Jauuuh sekali.." "Hidup
adalah sesuatu yang amat mulia untuk kau lumuri dengan dosa Baribeh. Kau tak berhak untuk hidup".."
Baribeh terkejut dan hampir saja dia jatuh mendengar ucapan anak muda ini. Tapi dia berusaha untuk
tetap tenang. Meskipun tubuhnya menggigil dan celananya basah, dia angkat bicara lagi :
"Tet .. eh, tapi siapa yang menentukan bahwa saya tak berhak untuk hidup?"
"Saya!" "Te .. eh. Tapi engkau bukan Tuhan!"
"Jangan bawa-bawa nama Tuhan dalam kehidupanmu yang kotor!"
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 55
Sehabis bicara dia berputar. Dia harus bertindak cepat, sebab si Babah merupakan bahaya besar yang
harus dia hadapi. Begitu dia berputar, tubuh Baribeh dan si Juling menggeliat dimakan samurainya. Dada
mereka belah dan menyemburkan darah. Dua orang penghianat yang bekerja untuk seorang Cina yang
memata-matai negerinya telah mati.
Mati di tangan anak muda yang pernah mereka lanyau. Kini Si Bungsu tinggal memusatkan perhatiannya
pada si Babah gemuk itu. Namun saat itu di luar terdengar seruan dalam bahasa Jepang.. Kempetai! Ya,
Kempetai telah mengepung rumah itu. Kempetai rupanya telah diberitahu oleh seorang mata-mata yang
bertugas di luar. Begitu mendengar pekikan, dia segera ke pos Kempetai. Kini Polisi Militer Jepang itu datang dengan
kekuatan empat puluh orang. Si Bungsu berfikir cepat. Dia sudah bersumpah untuk membunuh Babah matamata jahanam ini. Kalau tidak maka lebih banyak lagi bencana yang akan ditimbulkan orang ini terhadap
negerinya. Dia kini tegak membelakangi dinding dan mayat Baribeh. Sedepa di kanannya, terdapat pintu
keruang depan. Dia melirik pintu itu besar dengan palang pengunci dari balok. Rumah ini model rumah-rumah
Cina kuno yang kukuh. Dengan bergerak cepat dia menghantam pintu itu sampai tertutup. Kemudian menyepak palangnya
hingga jatuh dan mengunci pintu dari papan yang amat tebal itu. Namun saat itu pula si Babah menyerangnya
dari belakang. Pisau Babah itu menancap di bahunya. Hampir saja mengenai jantung. Namun dengan
menggertakkan gigi, anak muda ini melompat dan menghujamkan samurainya kebelakang. Dia merasa
samurainya mengenai sesuatu. Kemudian dia menyentak samurai itu kembali. Lalu berputar. Di luar terdengar
Kempetai berteriak dan memukul-mukul pintu. Si Bungsu membabatkan samurainya. Si Babah gendut yang
telah tertusuk dadanya itu, coba menangkis dengan pisau pendek itu. Namun tangannya putus hingga
pergelangan. Dia terpekik.
"Kubunuh kau mata-mata laknat!!"
Desis Si Bungsu sambil sekali lagi membabatkan samurainya. Babah itu mencoba mundur, tangannya
yang pontong itu terangkat seperti akan menangkis. Namun tangannya itu dimakan samurai. Putus hingga siku,
Babah itu untuk kedua kalinya terpekik.
Perempuan-perempuan sudah sejak tadi lenyap lewat pintu belakang. Babah itu hoyong. Samurai Si
Bungsu bekerja lagi. Kaki si Babah putus di batas lutut. Kini si Babah tergolek. Si Bungsu memenuhi sumpahnya
belum lama berselang. Bahwa dia akan mencencang perut buncit Cina ini atas penghianatannya. Enam kali
samurainya bekerja. Membuat perut Babah Cina itu robek-robek seperti perut kerbau usai dipesiangi di rumah
bantai. Darah bersemburan. Tubuh Si Bungsu sendiri dipenuhi darah.
Darah dirinya dan darah si Babah! Kempetai di luar mulai menembaki pintu. Namun dengan bedil
panjang mereka, pintu kukuh itu tetap tak dapat dijebol. Peluru bedil mereka hanya mampu menembus sedikit
saja papan pintu itu, namun tidak tembus. Babah gepuk itu memang membuat rumahnya sebagai benteng. Dia
amat khawatir kalau suatu saat rahasianya sebagai mata-mata Belanda dan mata-mata Jepang diketahui orang.
Karena itu, dia membangun rumahnya sebagai pos yang sulit untuk ditembus.
Siapa sangka, hari ini dia sendiri yang membawa pembunuhnya masuk. Dan dia terbunuh di dalam
benteng yang dia buat. Sementara orang yang ingin membantunya terkurung di luar. Dihambat oleh pintu besar
yang amat kukuh. Di dalam ruangan itu masih ada dua orang perwira Jepang teman Ichi yang mula pertama
main judi tadi. Mereka memang datang kesana atas permintaan si Babah. Si Babah melaporkan bahwa ada
mata-mata yang ditangkap. Tapi kini, melihat makan tangan orang yang disebut mata-mata itu, tubuh mereka
jadi lumpuh. Mereka seperti tak berdaya untuk bergerak.
Ternyata tak semua perwira Jepang berhati baja. Ternyata mereka juga manusia biasa. Ada yang berhati
baja, ada yang berhati seperti kerupuk jangek, amat rapuh. Mereka sebenarnya punya kesempatan yang banyak
untuk balas menyerang. Mereka bisa mencabut pistol atau memungut bedil yang terletak di lantai. Dan
menembakkannya ketika anak muda itu bertarung melawan si Babah. Namun mereka seperti disihir. Terdiam
tak berkutik. Ada dua hal yang menyebabkan mereka begitu. Pertama rasa takut melihat sepak terjang anak
muda itu. Amat cepat dan amat mengerikan. Dan yang kedua adalah perasaan takjub mereka. Betapa mereka
takkan takjub, sebagai perwira-perwira, mereka termasuk mahir mempergunakan samurai.
Namun melihat cara anak muda ini mempergunakan samurai, mereka benar-benar terpukau. Caranya
nampak sangat sembarangan. Tidak menurut aturan sebagaimana pesilat-pesilat samurai seperti mereka.
Meski demikian, meski dengan metode yang tak benar, gerakan anak muda ini amat terlalu cepat. Ayunan dan
tebasan samurainya amat kukuh, mantap dan secepat kilat. Mereka yakin, kalaupun mereka disuruh
bertanding melawan anak muda ini, maka bagi mereka takkan ada harapan untuk menang sedikitpun! Kini,
ketika Si Bungsu mencencang tubuh si Babah, tanpa dapat mereka tahan kedua perwira ini terpancar
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 56
kencingnya. Mereka bukannya ngeri melihat tubuh si Babah yang cabik-cabik, tapi mereka membayangkan
bahwa setelah ini tubuh merekalah yang akan menerima nasib seperti itu.
Si Bungsu melangkah mendekati mereka. Salah seorang mencabut pistol dengan tangan menggigil.
Samurai Si Bungsu bekerja. Keduanya rubuh tanpa dapat melawan sedikitpun. Rumah itu berkuah darah.
Potongan tubuh kelihatan tergeletak di sana sini. Ini benar-benar sebuah pembataian!
Si Bungsu memang tak bisa berbuat lain dari pada seperti itu. Dia dihadapkan pada dua pilihan. Dibunuh
atau membunuh. Maka dia memilih yang kedua. Betapapun jahatnya suatu pembunuhan, namun jauh lebih baik
hidup sebagai pembunuh dari pada mati sebagai orang yang dibunuh. Apa lagi kalau yang dibunuh itu adalah
musuh bangsa! Cukup lama waktu berlalu ketika pintu besar itu berhasil didobrak oleh Kempetai. Yaitu setelah
mendatangkan sebuah truk reok untuk menghantam pintu itu sampai jebol. Begitu jebol, Kempetai
berlompatan masuk. Begitu berada di dalam, mereka pada berseru kaget. Bulu tengkuk mereka merinding
tatkala melihat sisa penjagalan yang terjadi dalam rumah itu.
Mereka segera memeriksa setiap sudut rumah. Mencari anak muda yang dilaporkan sebagai mata-mata
yang masuk perangkap di rumah ini. Namun Si Bungsu lenyap entah kemana. Mereka memeriksa semua bilik.
Termasuk bilik enam perempuan yang tinggal di rumah itu. Termasuk juga bilik si Amoy semok anak si Babah
yang baru berumur tujuh belas tahun itu. Tapi Si Bungsu tak ada. Dan semua perempuan itupun benar-benar
tak mengetahui kemana anak muda itu pergi. Dia lenyap seperti hantu dalam cahaya bulan.
Pimpinan tentara Jepang di Payakumbuh Mayor Sin Ici Eraito mengumpulkan semua perempuan yang
ada di rumah itu, termasuk semua serdadu yang menggerebek rumah tersebut. Kepada mereka diperintahkan
untuk tetap tutup mulut. Tak seorangpun boleh membicarakan hal ini. Juga diperintahkan, agar setiap kematian
tentara Jepang dalam serangan atau perkelahian dengan penduduk pribumi, harus dipeti-eskan. Jangan sampai
menjalar ke luar. Sebab kalau berita itu bocor ke luar maka ada dua hal yang membahayakan kedudukan
tentara Jepang. Pertama, penduduk pribumi yaitu bangsa Indonesia yang sudah berniat melawan Jepang, akan
bertambah semangatnya. Sebab ternyata ada orang yang mampu membunuh tentara Jepang yang ditakuti itu.
Dan hal ini bisa mempercepat timbulnya pemberontakan anti Jepang di Minangkabau. Kedua adalah soal
prestise. Tentara Jepang sudah tentu akan malu jika tersiar kabar bahwa tentara kaisar Tenno Heika dari negeri
Matahari Terbit yang kesohor itu mati di tangan penduduk pribumi. Apalagi jika pecah kabar, bahwa tentara
Jepang itu justru mati oleh sebuah Samurai. Tak terbayangkan geger yang akan timbul.
Sebagai komandan tertinggi yang membawahi Payakumbuh dan sekitarnya, Mayor Eraito tidak mau
mengambil resiko d ihukum oleh Kolonel Fujiyama karena kematian perwira-perwiranya secara beruntun ini.
Dia berusaha menutupi kejadian ini untuk tak bocor keatas. Sebab saat itu hukuman yang terkenal diantara
perwira Jepang itu adalah hukuman Harakiri. Setiap perwira atau serdadu yang dinilai gagal total, kepadanya
diberi "kehormatan" untuk bunuh diri. Dia tak menginginkan hal itu terjadi. Itulah sebabnya dia
memerintahkan untuk menutup berita pembantaian itu serapat mungkin.
Para tentara serta perempuan yang diperintahkan untuk tutup mulut itu memang melaksanakan tugas
mereka dengan baik. Sebab bila membocorkan rahasia, mereka akan berhadapan dengan regu tembak. Mereka
tahu, setiap orang yang ada di sekeliling mereka bisa saja menjelma jadi mata-mata Kempetai. Mereka tak dapat
mempercayai seorangpun. Baik orang Cina maupun orang Melayu. Mereka bisa saja jadi mata-mata Jepang.
Babah gemuk itu dan Baribeh serta si Juling menjadi contoh jelas tentang itu. Betapa Cina dan anak Minang
sendiri rela menjadi mata-mata bagi penjajah negerinya.
Buat sementara, Si Bungsu aman. Sekurang-kurangnya tak begitu banyak tentara Jepang yang
mengetahui, bahwa saat ini ada seorang anak Minang yang berkeliaran dengan samurai maut di tangannya.
Yang telah membantai puluhan orang tentara Jepang dalam tahun ini. Namun perbuatan Mayor Sin Ichi Eraito,
komandan tentara Jepang di Payakumbuh itu, yang menyembunyikan kematian anak buahnya pada Kolonel
Fujiyama di Bukittinggi, yaitu Komandan Tertinggi Balatentara Jepang di Sumatera hanya bertahan beberapa
bulan. Terbongkarnya kematian itu bermula dari surat-surat tugas dari Markas Besar Tentara Jepang di
Bukittinggi. Ada beberapa perwira yang ditarik ke Bukittinggi dari Payakumbuh. Nah diantara yang ditarik itu
ada yang mati di tangan Si Bungsu. Semula masih akan ditutupi dengan menyebutkan bahwa perwira itu sakit
keras, dan tengah dirawat. Beberapa hari kemudian dilaporkan perwira itu mati karena penyakitnya.
Ya. Untuk sementara peristiwa itu tak tercium. Tapi kemudian ada lagi perintah untuk kenaikan pangkat
bagi dua orang perwira. Dan kedua perwira itu diharuskan melapor ke Markas Besar di Bukittinggi. Kembali
Eraito memberi jawaban bahwa kedua perwira itu sakit. Kecurigaan mulai timbul di Markas Besar. Eraito
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 57
meminta waktu agak sepekan untuk merawat perwira itu, kemudian mengirimkannya untuk upacara kenaikan
pangkat di Bukittinggi. Eraito berharap, waktu seminggu itu cukup baginya untuk alasan bahwa kedua perwira itu mati dalam
perawatan. Dan kematiannya karena minum racun sebelum masuk rumah sakit. Penguburan seperti biasa bisa
dilakukan sendiri tanpa dihadiri Kolonel Fujiyama. Sebab sudah biasa kematian amat banyak dalam
pertempuran seperti tahun-tahun dalam amukan perang dunia ke II ini. Begitulah harapan Eraito. Kolonel
Fujiyama belum mencium siasat ini. Namun Perwira Intelijen bawahan Fujiyama mencium sesuatu yang tak
beres dalam laporan Eraito. Perwira Intelijen itu adalah Chu Sha (Letnan Kolonel) Fugirawa. Diam-diam Chu
Sha ini mengirim dua orang Intelijennya ke Payakumbuh dihari d iterimanya laporan Eraito.
Kedua mata-mata itu langsung menuju rumah sakit. Memeriksa daftar pasien. Mereka tak menemui
nama kedua perwira itu di sana. Mereka kemudian memeriksa markas dan daftar nama pada pos-pos komando
di seluruh Luhak 50 Kota. Ternyata nama kedua perwira itu, dan beberapa nama lainnya, termasuk prajuritprajurit Kempetai beberapa orang, telah lenyap. Kedua Intelijen ini menghentikan penyelidikannya. Langsung
ke Bukittinggi dan melapor pada Chu Sha Fugirawa.
Letnan Kolonel Kepala Intelijen ini memberi laporan dan analisa staf pada Fujiyama. Fujiyama segera
pula mencium sesuatu yang tak beres dalam laporan Eraito. Dia menulis surat pada Eraito, agar segera datang
melapor ke Markas Besar. Dia harus datang bersama kedua perwira yang dia laporkan sakit. Bila keduanya
sudah mati, maka dia harus datang bersama mayatnya.
Eraito menerima surat itu. Apa yang harus dia perbuat" Kedua perwira itu telah mati beberapa bulan
yang lalu di tempat pelacuran di Lundang. Mati dibabat samurai orang tak dikenal. Akan datangkah dia ke
Bukittinggi dengan terlebih dahulu menggali kuburan kedua perwira itu dan membawa mayatnya yang sudah
busuk" Akhirnya dia membuka bungkusan kedua yang dikirim oleh Kolonel Fujiyama. Bungkusan itu berwarna
kuning. Di dalamnya ada benda panjang dua jengkal berbungkus bendera Jepang bergambar matahari. Dia buka
bungkusan bendera itu. Benda sepanjang dua jengkal itu persis seperti yang dia duga, samurai pendek! Dia
mengangguk pada tiga orang Kapten yang membawa surat perintah itu. Ketiga Kapten itu memberi hormat
padanya. Eraito melilitkan bendera itu kekepalanya. Kemudian memberi hormat kearah matahari terbit. Ke arah
kerajaan Kaisar Tenno Haika. Lalu dia duduk berlutut di lantai. Ketiga Kapten yang dikirim dari Bukit Tinggi
itu juga berlutut. "Tai-I Sambu .. " Eraito memanggil. Yang dipanggil, seorang Tai-I (Kapten) masuk memberi hormat. Dia
terkejut melihat keempat orang yang berlutut. Ketika matanya terpandang pada bendera yang melilit kepala
Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
komandannya, kemudian pada samurai di depan Eraito, Kapten itu segera sadar apa yang akan terjadi. Dia
mengangguk memberi hormat. Kemudian duduk di hadapan komandannya.
"Setelah tugas saya selesai, serahkan seluruh berkas perkara kematian itu pada mereka .." Eraito berkata.
"Hai ..!!" perwira itu mengangguk dalam-dalam.
Kemudian Eraito mengambil samurai itu. Membukanya. Mulutnya komat kamit. Kemudian
menghujamkan samurai itu keperutnya. Dengan tekanan yang kukuh, samurai yang alangkah tajamnya itu, dia
iriskan kekiri. Darah membersit. Dia masih berlutut dengan nafas terengah. Kemudian jatuh. Kepalanya
mencecah lantai. Dia seperti orang Islam yang sujud kelantai. Dan perwira ini mati dalam keadaan begitu. Dia
telah melakukan Seppuku, yang juga disebut Harakiri.
Segera setelah dia mati, Kapten wakilnya itu menyerahkan laporan berkas kematian perwira-perwira
itu pada ketiga Kapten utusan Fujiyama. Berkas perkara itu disampulnya. Tak seorangpun yang berhak
membacanya, kecuali Kolonel Fujiyama. Bahkan Letkol Fugirawa sendiripun, kendati jabatannya Kepala
Intelijen, tetap tak berhak membaca laporan itu. Berkas itu dibawa ke Bukittinggi. Fujiyama membacanya
dengan teliti. Laporan itu antara lain berisi:
"Ada seorang anak Minang yang berkeliaran dengan samurai maut di tangannya. Anak muda ini entah
dari siapa belajar samurai, ilmu samurainya meskipun ngawur, namun amat tinggi. Diduga dia mencari
seseorang untuk membalas dendam atas keluarganya. Mungkin yang dia cari adalah Tai-I Saburo, yang dulu
menjabat sebagai Cho (Komandan Peleton) Kempetai di Payakumbuh. Saburo memang terkenal terlalu ganas
di Payakumbuh. Itulah sebabnya dahulu dia diusulkan untuk pindah dari kota kecil ini. Kini ada yang menuntut
balas kekejamannya. Diduga lebih dari dua puluh orang tentara Jepang, perwira dan prajurit, telah mati
dimakan samurai anak Minang itu. Tapi rahasia ini dipegang teguh, penyelidikan tetap dijalankan. Usaha
mencari dan membekuk anak muda yang kabarnya bernama Si Bungsu (anak paling kecil) dari Dusun Situjuh
Ladang laweh itu tetap diusahakan dengan ketat. Namun sampai saat ini anak muda itu tak pernah bersua. Dia
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 58
lenyap seperti burung elang yang terbang ke kaki langit. Semoga dengan restu Tenno Haika, demi kejayaannya,
anak muda itu segera dapat ditangkap."
Demikian bunyi dan akhir dari laporan Mayor Eraito yang berkedudukan sebagai Bu Tei Cho (Komandan
Batalyon) balatentara Jepang di Payakumbuh. Dalam laporan itu dilampirkan nama-nama yang diduga mati di
tangan Si Bungsu. Kolonel Fujuyama menarik nafas dan menutup laporan itu. Eraito telah menjalankan
tugasnya dengan baik. Menutup rahasia itu rapat-rapat. Tapi dia memang harus mati, karena di puncak
hidungnya sendiri anak buahnya banyak yang mati. Mati bukan dalam pertempuran. Hukuman bagi
komandannya adalah tembak mati atau Harakiri. Eraito memilih yang kedua.
(12) Laporan itu dimasukkan ke dalam penyimpanan dokumen paling rahasia oleh Kolonel Fujiyama. Kolonel
Fujiyama terkenal sebagai seorang Perwira Senior yang kukuh pada tradisi Militer Jepang yang amat
konvensional. Baginya, seorang tentara adalah seorang tentara. Seorang tentara berperang untuk negaranya.
Bukan untuk diri pribadi. Seorang tentara hanya bermusuhan dengan tentara dari negara yang melawan negara
Jepang. Lawan tentara Jepang hanyalah tentara negara tersebut, atau mata-mata dari tentara yang berasal dari
orang sipil. Seorang tentara Kerajaan Tenno Haika tak layak melakukan kekejaman pada rakyat sipil. Kolonel
ini terkenal sekali dengan sikap yang demikian. Dia adalah pemeluk agama Budha yang taat.
Sebagai Dai Tai Cho, Komandan Divisi dan Komandan balatentara Jepang di Pulau Sumatera, dia berhak
mengambil putusan-putusan yang amat prinsipil. Dan itulah yang dia lakukan. Yaitu dengan menyuruh Eraito,
seorang Mayor yang gagal untuk Harakiri. Kini dia mengambil langkah kedua dalam urusan peristiwa Si Bungsu
ini. Dia memerintahkan pada Saburo yang saat itu sudah berpangkat Syo Sha (Mayor) dan menjabat sebagai Bu
Tei Cho (Komandan Batalyon) di Batu Sangkar, untuk datang menghadapnya di Markas Besar. Saat Saburo
Matsuyama datang dia dipaksa oleh Fujiyama untuk minta pensiun. Kemudian dipaksa untuk pulang ke Jepang.
Putusan ini mengejutkan perwira-perwira Jepang. Sebab Saburo dikenal sebagai perwira yang cekatan. Namun
itulah putusan Fujiyama. "Saya punya keyakinan, kalau engkau masih di negeri ini, engkau akan bertemu dengan anak muda
bersamurai yang bernama Si Bungsu itu. Dan kalau kalian bertemu, perkelahian tak terhindarkan. Saya tak
dapat menerka bagaimana cara anak itu berkelahi, tapi saya punya firasat, engkau akan mati di tangannya.
Karena itu pulanglah kekampungmu Syo Sha. Di sana engkau akan aman. Aman dari perbuatan memperkosa
anak bini orang. Namun saya merasa pasti anak muda ini akan tetap mengejarmu kemanapun engkau pergi .."
Begitu Kolonel Fujiyama berkata pada Saburo, Saburo termenung.
"Apakah engkau punya anak?"
"Ada Kolonel .."
"Berapa orang?"
"Seorang, dan perempuan .."
"Dimana dia kini?"
"Di Nagoya. Baru berumur enam belas .."
"Dalam agama ada ajaran, bahwa setiap orang akan menerima balasan dari perbuatannya. Saya
khawatir, suatu saat anakmu ketemu dengan anak muda ini. Dan kalau dia membalas dendam padanya, dapat
kau bayangkan apa yang akan terjadi Saburo" Saya tak menakut-nakutimu. Tapi berdoalah, agar anak muda itu
melupakan. Nah selamat jalan..!"
Kata-kata ini masih terngiang di telinga Saburo dalam perjalanannya ke Singapura untuk terus pulang
ke Jepang. Anaknya seorang gadis yang amat cantik. Yang telah kematian ibu ketika anak itu masih berumur
sepuluh tahun. Dia terbayang pada pembunuhan yang dia lakukan di Situjuh Ladang Laweh. Pada gadis yang
dia perkosa di rumah adat itu. Pada ayah dan ibunya yang dia bunuh. Pada pembunuhan gadis itu sendiri
setelah dia perkosa. Dan pada anak lelakinya yang pengecut. Kini ternyata anak lelakinya itu memburunya
dengan samurai di tangan. Dengan Samurai. Ya Tuhan, tiba-tiba Saburo Matsuyama tertegak. Seluruh bulu
tubuhnya pada merinding. Anak muda itu mencarinya dengan samurai. Dan menurut cerita Fujiyama, anak
muda itu amatlihai dan tangguh mempergunakan samurainya. Dia segera teringat pada sumpah Datuk
Berbangsa sesaat sebelum mati dulu. Saat itu sebuah samurai menancap di dada Datuk itu.
"Saya akan menuntut balas atas perbuatanmu ini Saburo. Engkau takkan selamat. Saya bersumpah untuk
membunuhmu dengan samurai dari negerimu sendiri. Kau ingat itu baik"baik.." Suara itu seperti bergema.
Lelaki Minangkabau itu ternyata memang memburunya melalui anak kandungnya. Dulu dia menganggap halhal mistis ini sebagai nonsens. Tapi kini anak muda itu mencarinya dengan samurai. Bukankah itu merupakan
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 59
suatu perwujudan dari sumpah Datuk itu" Saburo mulai seperti dikejar bayang-bayang. Dia banyak mendengar
tentang kesaktian orang-orang Minangkabau. Namun selama dia di negeri itu, tak satupun di antara kesaktian
itu yang terbukti. Kabarnya orang Minang bisa membuat orang lain jadi gila, senewen memanjat-manjat
dinding, namanya sijundai. Tapi dia dan pasukannya yang telah terlalu banyak berbuat maksiat di negeri itu,
kenapa tak satupun di antara kesaktian itu yang mempan pada mereka"
Kabarnya ada pula semacam senjata rahasia yang berbahaya. Yang bisa membunuh orang dari jarak
jauh. Konon bernama Gayung, Tinggam atau Permayo. Tapi kenapa tak satupun di antara pasukan Jepang yang
terkena senjata rahasia itu" Ataukah hanya mempan untuk sesama orang Minang saja" Saburo termasuk orang
praktis yang tak mempercayai segala macam bentuk mistik. Tapi kali ini, terhadap sumpah Datuk Berbangsa
yang telah mati lebih dari dua tahun yang lalu, kenapa dia harus takut" Dia ingin segera pulang ke kampungnya
di Jepang sana. Dia ingin bersenang-senang barang sebulan dua di Singapura. Demikian putusan yang dia ambil
dalam kapal ketika berlayar dari Dumai ke Singapura. Demikian putusan yang dia ambil dalam kapal ketika
berlayar dari Dumai ke Singapura. Kemana Si Bungsu" Kenapa dia bisa lenyap dari ruangan di mana dia
membantai tentara Jepang dan Babah gemuk mata mata itu" Padahal rumah itu telah dikepung dengan ketat
oleh Kempetai. Tambahan lagi dia mengalami luka di berbagai bahagian tubuhnya dalam perkelahian melawan
si Babah itu. Kemana saja dia melarikan diri hingga tak bersua" Malam itu, sebenarnya Si Bungsu tak pernah
meninggalkan rumah si Babah. Bahkan hari hari berikutnya dia masih tetap di rumah itu. Tapi kenapa sampai
tak diketahui Kempetai" Kenapa sampai tak diketahui perempuan perempuan lacur yang tinggal di rumah itu"
Malam itu, tatkala dia selesai membunuh dua perwira Jepang yang merupakan orang terakhir di dalam ruangan
itu, pintu besar yang dia kunci dengan palang besar itu sudah hampir dijebol oleh Kempetai dengan truk reo.
Suara reo telah terdengar olehnya memasuki rumah. Bahkan reo itu sudah berada di ruang depan. Dia harus
menyelamatkan diri. Namun dia tahu, ruangan ini telah dikepung dengan ketat. Tapi bagaimana juga dia harus
selamat. Harus tetap hidup sampai dendamnya pada Saburo terbalaskan. Dengan kaki pincang dia segera
mencari jalan untuk menyelamatkan diri. Dia tidak menuju ke belakang. Melainkan ke samping.
Baru tiga langkah dia berjalan, dia tertegak. Di depannya berdiri seorang perempuan. Tepatnya adalah
seorang gadis cina. Sekali pandang dia dapat menebak, gadis ini paling paling baru berusia enam belas atau
tujuh belas tahun. Gadis cantik bertubuh menggiurkan. Gadis berkulit kuning berambut lebat itu hanya
mengenakan handuk di tubuhnya. Nampaknya dia sudah sejak tadi berdiri di sana. Dan Si Bungsu dapat
memastikan bahwa gadis ini melihat semua perkelahian yang berlangsung di ruangan itu. Dia pasti melihat
pembantaian itu. Mereka bertatapan. Pintu mulai didobrak.
"Masuk kemari .."
Tiba tiba saja gadis itu menarik tangan Si Bungsu kedalam kamarnya. Si Bungsu seperti kerbau yang
dicocok hidungnya. Dia menurut, sebab tak ada jalan lain. Dengan berada dalam kamar gadis ini, dia berharap
bisa selamat. Atau dia bisa menjadikan gadis ini sebagai sandera. Kamar gadis itu bersih dan berbau harum.
"Masuk kemari .." gadis itu berkata lagi sambil membuka sebuah katup di lantai.
Tanpa banyak cincong, Si Bungsu mendekat. Di bawah lantai yang menganga itu, dia melihat sebuah
ruangan kecil. "Masuklah cepat .." gadis itu berkata lagi. Si Bungsu tak lagi sempat berfikir. Dia menurut dan mulai
menuruni tangga ke bawah. Dia sampai ke dalam sebuah ruangan kecil dan gelap. Gadis itu lalu menutupkan
lantai yang dia angkat tadi. Kemudian membetulkan tikar di atasnya. Lalu mengambil kain dan mulai melap
bekas darah yang berceceran di lantai dari bekas luka di tubuh Si Bungsu. Kerjanya baru saja selesai ketika
pintu berhasil di dobrak oleh truk reo tentara Jepang. Kamarnya ikut digeledah. Lemari pakaian, bawah kolong
tempat tidur, loteng. Si Bungsu mendengar derap sepatu. Kempetai itu lalu lalang di atas kepalanya. Dia
menanti dengan diam dalam kegelapan di ruang yang tak dikenalnya ini. Barangkali tentara Jepang masih
berada di rumah itu. Sebab telah berlalu waktu beberapa jam, namun gadis itu belum kunjung muncul. Si
Bungsu tak berani naik keatas. Dia tetap menanti. Dengan meraba raba dia berbaring di lantai yang rasanya di
alas dengan tikar yang bersih.Dia terbangun dengan terkejut tatkala dirasakannya sebuah benda jatuh
menimpa perutnya. Kemudian pintu di lantai ditutup lagi. Dia meraba dalam gelap itu. Yang dijatuhkan ternyata
sebuah bungkusan. Dalam gelap dia membuka bungkusan itu. Meraba isinya. Pisang, ah, perutnya memang
amat lapar. Segera saja empat buah pisang lenyap ke dalam perutnya.
Kemudian dia memeriksa isi bungkusan yang lain. Sebuah senter kecil. Dengan senter itu dia dapat
memeriksa isi bungkusan itu. Ada perban dan plaster. Ada obat merah. Dia sangat berterima kasih pada gadis
cina yang belum dia kenal itu. Apakah dia salah seorang dari pelacur yang disimpan dalam rumah ini" obat itu
sebenarnya tak dia perlukan. Sebab untuk mengobati lukanya, dia masih mempunyai bubuk ramuan yang dia
bawa dari gunung Sago. Obat itu amat manjur. Obat itulah dulu yang menyembuhkan dari luka akibat samurai
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 60
Kapten Saburo. Dan obat tradisional itu pula yang menyembuhkan luka bekas dicakar harimau jadi-jadian
ketika bulan terakhir dia akan turun gunung.
Dia ambil ramuan yang terdiri dari kulit dan daun kayu, lumut batu, lumut pohon dan daun tanaman
melata yang sudah dikeringkan yang selalu dia simpan dalam kantongnya, dalam sumpik rokok daun enau,
yang dulu memang berisi rokok daun enau. Ramuan itu dia tabur pada luka disekujur tubuhnya. Dengan
menimbulkan rasa dingin lukanya dengan cepat mengering, merapat dengan cepat mengering. Dengan senter
kecil yang dijatuhkan gadis itu, Si Bungsu mulai memeriksa ruangan di mana dia berada. Ruangan ini ternyata
ruangan di bawah tanah. Memang dibuat untuk menghadapi keadaan darurat, seperti umumnya rumah-rumah
turunan cina. Bedanya kalau ruangan bawah tanah di rumah-rumah cina yang lain digunakan untuk
menyimpan bahan makanan atau tempat air, maka ruangan bawah tanah ini dipergunakan sebagai ruangan
tempat tinggal. Tak jauh dari tempat dia tidur di lantai ada sebuah pembaringan. Kalau saja dia bergerak dalam gelap
itu agak empat langkah ke kanan, maka dia akan menemui tempat tidur empuk itu. Tapi mana pula dia akan
menyangka hal itu. Di dekat tempat tidur itu, di bahagian kepalanya ada sebuah lemari kaca. Di dalamnya Si
Bungsu mendapatkan tiga buah pistol dan dua buah bedil panjang. Lengkap dengan mesiunya. Ruangan bawah
tanah ini nampak dijadikan semacam benteng oleh Babah gemuk itu. Dia tak menyentuh senjata tersebut. Di
samping tak mengerti cara memakainya, juga menganggap tak ada gunanya untuk dibawa.
Pistol atau bedil menimbulkan suara bila membunuh orang. Dia lebih suka memakai samurai. Dengan
samurai dia bisa bertindak diam diam. Karena lelah dia berbaring di tempat tidur. Dia tak tahu sudah berapa
lama dia tertidur ketika tiba tiba terbangun lagi. Ada seseorang dirasakan hadir di kamar berdinding beton di
bawah tanah itu. Dia membuka mata dan berusaha untuk bangkit.
Namun sebuah tangan halus menahannya. Dalam cahaya lampu dinding yang telah dipasang, dia lihat
gadis cina yang telah menyelamatkannya itu. Gadis itu duduk di tepi pembaringan. Menatap padanya dengan
pandangan lembut. "Berbaringlah .. lukamu belum sembuh .." suaranya terdengar lembut.
Bahasa Melayunya terdengar bersih. Si Bungsu tetap duduk. Gadis itu menatap pada matanya.
"Terima kasih nona, nona telah menyelamatkan nyawaku. Apakah Jepang itu sudah pergi ?"
"Sudah. Tapi rumah ini tetap mereka awasi. Rumah ini sudah ditutup untuk tempat pelacuran. He,..
engkau tentu lapar. Sudah dua hari kau berada dalam lubang ini"
".. Dua hari ?""
"Ya. Engkau masuk kemari tengah malam yang lalu. Kini hari kedua hampir sore, saya membawa
makanan dengan gulai ikan, sambal lado dan petai. Suka sambal lado dan petai?"
Si Bungsu tak banyak bicara. Dia makan dengan lahap. Gadis itu ternyata juga belum makan. Mereka
makan bersama. "Engkau yang memasak makanan ini?" dia bertanya setelah selesai makan dengan bertambah sampai
tiga kali. "Bagaimana, enak ?"
"Hampir menyamai masakan ibuku ?"
"Yang memasak etek Munah, pembantu kami ?"
Si Bungsu kemudian teringat, bahwa dia harus segera pergi dari rumah ini. Tubuhnya meski belum segar,
tapi dia rasa sudah kuat untuk melanjutkan perjalanan.
"Siapa namamu ..?"
"Mei-mei?" "Mei mei ?" "Ya, dan namamu ?"
"Bungsu ?" "Bungsu " Engkau anak terkecil dalam keluargamu ?"
"Ya. Mei-mei.. Terima kasih atas bantuanmu. Saya tak bisa membalasnya. Saya harus pergi sekarang."
"Kemana engkau akan pergi?" Si Bungsu termenung.
Ya, kemana dia akan pergi " Tak pernah ada tempat yang pasti dia tuju dalam setiap perjalananya. Tapi,
bukankah dia mencari Saburo " Ingatan ini membuatnya ingin menanyakan pada Mei-mei. Bukankah tempat
ini tempat perjudian dan tempat bersenang senang para perwira "
"Saya mencari seorang perwira Jepang bernama Saburo. Apakah engkau mengenalinya Mei-mei ?"
"Saburo".., Saburo Matsuyama ?"
"Ya. Saburo Matsuyama Apakah engkau mengenalnya?"
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 61
"Saya mengenal hampir semua perwira yang bertugas di Payakumbuh ini"
"Di mana dia sekarang ?"
"Seingat saya sudah cukup lama dia tak kemari. Kabarnya dia pindah ke Batusangkar?"
"Batusangkar?""
"Ya "engkau akan ke sana, membalas dendammu padanya ?"
"Ya. Darimana kau tahu Mei-mei ?"
"Saya melihat seluruh perkelahianmu dengan Jepang dan dengan Bapak dua hari yang lalu juga
mendengar semua pembicaraan saat itu?"
"Bapak ?" Si Bungsu heran mendengar kata Bapak yang diucapkan Mei-mei.
"Ya. Babah gemuk itu adalah ayah tiriku ?"
Si Bungsu sampai tertegak mendengar pengakuan Mei-mei. Hampir hampir tak dapat dia percayai,
bahwa si Babah yang telah dia cencang itu adalah ayah tiri gadis ini. Bukankah dia melihat bahwa dia telah
mencencang si Babah itu " Lantas kenapa gadis ini menolongnya dari cengkeraman Jepang" Mei-mei
menatapnya. "Ayahmu ..?" Si Bungsu bertanya perlahan "Duduklah Bungsu. Dia ayah tiriku. Aku melihat engkau mencencang
tubuhnya seperti di rumah bantai. Tapi engkau tak perlu menyesal. Dia memang harus mendapat perlakuan
yang demikian. Atas apa yang dia perbuat pada bangsamu dan pada diriku .."
Si Bungsu tak mengerti apa maksud ucapan Mei-mei.
"Dia menjadi mata mata Belanda. Menjadi mata mata Jepang. Dan lebih daripada itu dia adalah seorang
Komunis .." "Komunis ..?" Si Bungsu tak mengerti.
Sebagai anak desa yang memang lugu dia tak pernah mendengar nama komunis. Nama itu teramat asing
bagi telinga anak desa Situjuh Ladang Laweh di pinggang Gunung Sago ini.
"Ya, komunis. Engkau tak tahu ..?" Gadis itu lalu bangkit. "Ikutlah saya .."
Si Bungsu mengikuti gadis itu, yang membawa lampu dinding dan berjalan ke sebuah gang. Lobang di
bawah tanah ini nampaknya cukup besar. Mereka sampai ke sebuah kamar lain yang lebih besar dari kamar
pertama. Di dalam kamar itu dindingnya dilapis kain merah. Di tengah, di depan sebuah meja, ada sebuah
gambar cina dalam ukuran besar. Di bawahnya ada bendera merah dengan sebuah gambar kuning di
tengahnya. "Itu gambar pimpinan komunis cina. Mao TseTung. Dan bendera dengan gambar palu arit itu adalah
lambang komunis ?" Mei-mei menjelaskan.
Si Bungsu hanya menatap dengan melongo. Menatap bendera besar dengan gambar palu arit itu. Dia
benar benar tak mengerti. Mei-mei tersenyum melihat kebingungannya. Dia duduk disebuah kursi, Si Bungsu
duduk di depannya. Si Bungsu masih dikuasai perasaan herannya. Kenapa gadis ini menolongnya, padahal
bapaknya dia yang membunuh. Didepan matanya pula.
"Tentang Babah yang engkau bunuh, dia memang pantas mendapat hukuman seperti itu. Dia telah
meracuni ayahku. Kemudian mengawini ibu. Ibuku waktu itu hamil. Enam bulan setelah mereka kawin, akupun
lahir. Dia memerlukan uang untuk membiayai Partai Komunis di negeri ini. Dan dia juga memerlukan pengaruh
serta pangkat untuk berkuasa. Untuk kedua maksud itu dia mempergunakan tubuhku. Aku tak berdaya
melawan. Dia seorang ayah tiri yang berhati bengis. Yang suka memukul dan menyiksa orang. Ibuku meninggal
dunia karena dia dikurung selama enam hari tanpa diberi makan. Peristiwa itu terjadi ketika aku berumur
delapan tahun. ibu dikurung dan mati dalam kamar ini ?"
Gadis cina itu kemudian menanggis isak mengingat jalan hidupnya yang teramat pahit. Si Bungsu hanya
bisa mengucap perlahan. Lama gadis itu menangis, sampai akhirnya Si Bungsu memegang bahunya.
"Tenanglah Mei-mei. Kurasa arwah ibumu sudah tenang di akhirat. Dendamnya telah kubalaskan"
"Ya, dendam ibu dan dendamku telah Koko balaskan. Terima kasih. Itulah sebabnya kenapa saya harus
menyelamatkan Koko dari tangan Kempetai dua hari yang lalu?"
Si Bungsu terharu. Gadis itu memanggilnya dengan sebutan Koko. sebutan itu berarti abang dalam
bahasa Indonesia. Sebagai sebutan terhadap adik perempuan adalah Moy-moy. Dia mengetahui itu dari
beberapa temannya orang Tionghoa yang jadi temannya dalam beberapa bulan terakhir. Meskipun gadis ini
telah ternoda hidupnya, namun itu bukan atas kehendaknya sendiri. Dia pegang bahu Mei-mei, dan berkata
lembut : "Tenanglah Moy-moy. Aku akan melindungimu dari orang orang yang berniat mengganggumu"
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 62
Mei-mei memang terdiam. Gadis cina yang cantik ini, berwajah bundar berhidung mancung dengan mata
yang hitam berkilat, hampir hampir tak percaya bahwa anak muda yang dipanggilnya dengan Koko itu balas
memanggilnya dengan sebutan Moy-moy. Dan ketika dia yakin bahwa memang anak muda itu berkata
demikian, dia lalu tegak dan tiba tiba mereka telah berpelukan.
"Terima kasih Koko, terima kasih ?" isaknya.
Si Bungsu memang seperti mendapatkan seorang adik. Dia pernah merasakan kasih sayang seorang
Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kakak yang kemudian mati diperkosa Saburo. Kini dia seperti mendapatkan kembali tempat menumpahkan
sayang yang telah hilang itu. Akan halnya Mei-mei, gadis Tionghoa malang yang berusia tujuh belas tahun itu
adalah anak tunggal yang hidupnya selalu teraniaya. Lelaki yang diharapkannya menjadi pelindungnya adalah
ayah tirinya. Tetapi lelaki itu, si Babah gemuk komunis itu, ternyata telah menjualnya dari satu lelaki ke lelaki
yang lain. Gadis yang tak pernah mendapatkan perlindungan dan kasih sayang itu kini ada dalam pelukan
seorang pemuda Melayu yang telah membalaskan dendamnya, dan pemuda itu memanggilnya dengan sebutan
adik, alangkah terlindungnya dia terasa.
"Apakah Koko akan pergi ke Batusangkar mencari Saburo ?" Mei-mei bertanya ketika mereka kembali
ke ruangan pertama. Si Bungsu menatapnya. "Kalau aku pergi, dengan siapa engkau tinggal di sini, Moy-moy?"
Gadis itu menunduk. Lama dia menatap jari-jari tangannya. Kemudian ketika dia mengangkat kepala, Si
Bungsu melihat matanya basah. Gadis itu berkata perlahan :
"Di sini tak ada lagi orang tempatku berlindung. Kalau aku tidak akan mendatangkan kesusahan bagi
koko, aku ikut dengan koko. Kemanapun koko pergi ?" Air mata lambat lambat membasahi pipinya. Nyata
sekali suaranya adalah suara gadis yang dirundung sepi. Suara gadis yang amat butuh perlindungan dan kasih
sayang. Suara seorang gadis yang mulai menginjak usia remaja, yang selalu ingin dekat dengan orang yang
disayangi. Si Bungsu menarik nafas panjang. Dia benar benar menyayangi Mei-mei. Bukan karena gadis itu amat
cantik bukan pula karena gadis itu telah menolong nyawanya. Tapi gadis itu dia sayangi karena si gadis
memang harus disayangi. Harus dilindungi. Dalam kasih sayang, perbedaan kulit dan asal usul tak pernah
menjadi hambatan. Sebab rasa sayang muncul dari dalam tidak dipermukaan.
"Apakah ada familimu di Batusangkar ?" Mei-mei menggeleng.
"Di Bukittinggi?"
"Kalau di Bukittinggi ada. Adik jauh ibu. Tinggal di Kampung cina ?"
Si Bungsu berfikir. Di akan mengantarkan gadis ini terlebih dahulu ke Bukittinggi. Di sana dia bisa tinggal
di rumah saudara ibunya itu. Untuk dibawa kemana pergi memang akan menyusahkan. Bukan karena dia tak
mau. Tapi yang akan dia hadapi adalah bahaya melulu. Dan dia tak mau membawa-bawa Mei Mei kedalam
bahaya. Nanti kalau urusannya dengan Saburo di Batusangkar selesai, dia akan menjeputnya ke Bukittinggi.
"Baiklah. Kita akan pergi ke Bukittinggi bersama, kalau keadaan telah memungkinkan ?"
"Terima kasih koko, terima kasih"
Mei-mei melompat memeluk Si Bungsu. Dia sangat bahagia bisa pergi bersama anak muda itu. Belasan
tahun dia hidup di rumah ini. Disekap tak boleh keluar. Dia hanya bisa keluar dikala Hari Raya Imlek. Itupun
tidak bisa jauh jauh. Tugas berat selalu menantinya di rumah. Memuaskan nafsu perwira perwira Jepang. Kini
dia bersumpah untuk meninggalkan semua pekerjaan laknat yang dipaksakan padanya itu. Dia akan tobat dan
minta ampun pada Tuhan. Tapi mereka baru bisa meninggalkan rumah itu setelah masa dua minggu.
Sebab selama jangka waktu itu, Kempetai tetap mengawasi rumah tersebut dengan ketat. Mei-mei
terpaksa minta bantuan pembantunya, seorang wanita Minang, untuk membelikan keperluan mereka kepasar.
Dan suatu malam, yaitu di saat mereka sudah merasa pasti untuk bisa melarikan diri, mereka lalu keluar dalam
hujan lebat. Dengan membayar cukup tinggi, mereka bisa menompang sebuah bus yang akan berangkat ke
Padang. Bagi mereka soal uang tak jadi halangan. Uang judi yang dimenangkan oleh Si Bungsu ternyata
diselamatkan Mei-mei ketika dia membersihkan jejak Si Bungsu sesat sebelum Kempetai mendobrak pintu.
Selain itu, mereka juga berhasil menemukan simpanan uang dan perhiasan emas milik ayah tiri Mei-mei.
Jumlahnya bisa membuat mereka jadi orang kaya. Uang itu didapat si Babah dari hasil judi, hasil menjadi mata
mata untuk Belanda dan Jepang, dan hasil menjadi germo bagi beberapa perempuan di rumahnya itu.
Termasuk diri Mei-mei. Di dalam bus itu hanya ada beberapa lelaki dan tiga orang perempuan. Perempuan yang dua separo baya,
yang satu lagi adalah Mei-mei. Selain ketiga perempuan itu, penompang yang lainnya adalah enam orang lelaki.
Dalam hujan lebat, bus itu melaju membelah jalan raya yang nampaknya seperti ular raksasa berwarna hitam.
Memanjang dan meliuk liuk di tiap tikungan. Lima lelaki penompang bus itu tak pernah menoleh ke belakang
ketempat Si Bungsu dan Mei-mei. Mereka hanya memandang sekali, yaitu ketika naik tadi. Setelah itu, kelima
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 63
lelaki itu tetap memandang kedepan dalam kebisuan. Namun Si Bungsu yang telah hidup di rimba raya, yang
kini memiliki indera yang amat tajam, dapat merasakan bahaya yang datang dari kelima lelaki itu. Meski lelaki
lelaki itu berdiam diri saja, bahkan saling berbisikpun tidak, namun firasatnya yang tajam membisikkan akan
adanya bahaya. Dia tetap diam. Sementara bus itu berlari sambil terguncang-guncang karena jalan yang
berlobang lobang. Dalam diamnya dia mulai membuat perhitungan. Kenapa kelima lelaki ini sampai berniat tak
baik pada mereka. Apakah itu hanya hayalannya saja" Tidak. dia tak pernah dibohongi oleh firasatnya.
Nah, mungkin ada tiga sebab kenapa mereka ingin berbuat tak baik. Pertama mungkin melihat Mei-mei
yang cantik. Dizaman Jepang berkuasa, hampir tak pernah orang melihat perempuan cantik berada di luar
rumah. Nah, mungkinkah lelaki lelaki ini menginginkan tubuh Mei-mei" Atau barangkali mereka telah mencium
bahwa di dalam bungkusan yang dia bawa tersimpan uang dan perhiasan emas yang nilainya amat tinggi" Atau
barangkali juga mereka mengetahui, bahwa Mei-mei berasal dari rumah bordil dimana si Babah menjadi matamata. Karena itu mereka menduga bahwa Mei-mei adalah mata mata Jepang pula. Kalau dugaan terakhir ini
benar, maka Si Bungsu tak begitu khawatir. Sebab tentulah kelima lelaki itu dari pihak pejuang pejuang
Indonesia. Atau para lelaki itu merasa curiga atas kehadiran mereka berdua, sepasang anak muda, yang satu
cina dan yang satu Melayu"
Pikirannya masih belum rampung, ketika bus tiba tiba berhenti. Dari cahaya lampu bus, Si Bungsu segera
mengetahui, bahwa mereka tidak lagi berada pada jalan utama menuju Bukittinggi. Nampaknya sebentar ini
ketika dia melamun, bus telah dibelokkan kesuatu jalan kecil dimana dia kini berhenti. Si Bungsu mulai merasa
bahwa firasatnya tadi akan terbukti. Kelima lelaki itu turun satu demi satu. Akhirnya tinggal kedua perempuan
separoh baya tadi, Si Bungsu, sopir dan seorang lelaki yang bertubuh kurus dan Mei-mei.
"Turunlah sanak berdua sebentar" Seorang lelaki yang bertubuh kurus, saat akan turun berkata pada Si
Bungsu. Si Bungsu menatap saat dia turun.
"Dimana kita sekarang ..?" Si Bungsu bertanya pada sopir.
"Disinilah", sopir itu menjawab seadanya.
Dari jawaban itu Si Bungsu tahu, bahwa sopir bus berada dipihak kelima lelaki itu.
"Mengapa kami harus turun ?" Si Bungsu bertanya pada si Kurus yang sudah menjejakkan kakinya di
tanah. "Turun sajalah kalau sanak mau selamat ?"
Si Kurus itu berkata dengan suara kering serak. Mei-mei merapatkan duduknya pada Si Bungsu.
Tangannya memeluk tangan Si Bungsu erat erat.
"Jangan turun koko ..jangan turun .." gadis itu berbisik ketakutan.
"Diamlah Moy-moy ?"
"Hei, waang yang ada di atas, turunlah bersama anak cina itu"
Tiba tiba terdengar bentakan dari bawah. Mei-mei makin mengeratkan pegangan tangannya pada Si
Bungsu. "Kenapa kita tak terus saja ?" Si Bungsu masih mencoba bertanya pada sopir.
"Lebih baik kau turun saja daripada tubuhmu dilanyau mereka .." Sopir itu menjawab dingin.
Namun Si Bungsu tak beranjak dari tempat duduknya. Tempat dimana mereka duduk, kebetulan tak ada
jendela di kiri kanannya Jadi mereka aman. Sebab dinding bus itu terbuat dari kayu tebal. Yang ditakutkan Si
Bungsu adalah kalau kelima lelaki itu memiliki senjata api. Kalau ada, maka dia dan Mei-mei bisa celaka. Tapi
kalau tidak dia merasa aman di atas bus ini.
"Kami beri waang kesempatan satu menit untuk turun. Kalau tidak. waang akan kami seret ke bawah .."
terdengar lagi bentakan "Kenapa tak sanak katakan saja apa maksud sanak sebenarnya ?" Si Bungsu menjawab.
"Turunlah. Jangan banyak cakap waang di sana ?"
"Kalau sanak yang punya keperluan, silahkan naik lagi dan kita berunding di sini. Saya tak punya
keperluan untuk turun" jawab Si Bungsu.
Terdengar sumpah serapah dan carut marut dari kelima lelaki di bawah itu. Namun Si Bungsu tetap
duduk diam di tempatnya. Ketika mereka menyuruh turun lagi, Si Bungsu membisikkan sesuatu pada Mei-mei.
Kemudian kedua anak muda ini bangkit dari tempat duduknya. Mereka seperti akan turun, tapi ternyata tidak.
Si Bungsu hanya pindah tempat. Kini mereka duduk persis di belakang sopir. Melihat keras kepala anak muda
ini, dua orang segera naik dengan maksud menyeretnya kebawah. Si Bungsu sampai saat itu masih belum
mengetahui siapa mereka sebenarnya. Apakah orang yang berniat merampok saja atau dari pihak pejuang.
Dia tak mau salah turun tangan. Sebab dia sudah bersumpah takkan menurunkan tangan jahat pada
pejuang pejuang Indonesia. Sama halnya seperti dia dilanyau oleh anak buah ayahnya di dekat Mesjid ketika
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 64
mula pertama turun gunung dulu. Dia tak sedikitpun mau membalas pukulan pukulan mereka. Meskipun
dengan mudah dia bisa membunuh orang orang itu. Kinipun, ketika kedua orang itu naik lagi keatas bus dengan
wajah berang, dia berkata dengan tenang :
"Saya harap sanak mengatakan apa maksud sanak sebenarnya. Apa yang sanak inginkan dari kami .."
"Jangan banyak bicara waang. Anjing"
Lalu tangan orang itu dengan kasar merengutkan bahu Mei-mei. Gadis ini terpekik. Dan sampai di sini Si
Bungsu mengambil kesimpulan, bahwa orang ini bukan dari pihak pejuang Indonesia. Dia kenal sikap pejuang
pejuang bangsanya. Tak mau berlaku kasar dan kurang ajar. Tangannya bergerak. Dan lelaki yang tengah
mencekal tangan Mei Mei itu terpekik. Dia merasa dada dan lengannya pedih. Cekalan pada tangan Mei-mei dia
lepaskan. Dan dia lihat dada serta lengan yang tadi terasa pedih itu berdarah. Temannya yang satu lagi
melompati bangku menerjang Si Bungsu. Namun dalam bus sempit itu, gerakan jadi terhalang. Dan kembali dia
terpekik ketika samurai di tangan Si Bungsu bekerja.
Pahanya robek dan mengucurkan darah. Mendengar temannya terpekik, ketiga temannya yang di bawah
melompat naik. Melihat kedua temannya itu luka, ketiga mereka lalu menghunus golok yang tersisip di
pinggang. Tapi apalah artinya gerakan mereka dibandingkan dengan gerakan anak muda ini. Dua kali gerakan
dengan masih tetap duduk dan sebelah tangan memeluk bahu Mei-mei, ketiga orang itu pada melolong panjang.
Golok di tangan mereka terpental. Dan tangan serta wajah mereka robek. Masih untung bagi kelima orang ini,
karena Si Bungsu tak menurunkan tangan kejam pada mereka.
Anak muda itu hanya sekedar melukainya saja. Tak berniat membunuh. Ketika kelima lelaki itu
terperangah di tempat duduk mereka, Si Bungsu menekankan ujung samurainya pada sopir. inilah maksudnya
pindah kebelakang sopir itu. Yaitu agar mudah mengancamnya untuk menjalankan bus. Dengan suara datar,
dia berkata: "Kalau kudukmu ini tak ingin kupotong, jalankan kembali bus ini?"
Sopir itu sudah sejak tadi pucat. Begitu terasa benda runcing dan dingin mencecah tengkuknya,
tubuhnya segera menggigil. Seperti robot dia kembali menghidupkan mesin bus. Beberapa kali bus itu hidup
mati mesinnya. Sebab sopir itu salah memasukkan gigi.
"Tenanglah, kalau tidak nyawamu kucabut dengan samurai ini" Si Bungsu berkata.
"Ya .. ya pak Saya tenang .. saya tenang .."
Sopir itu menjawab sambil menghapus peluh. Bus itu berjalan. Kembali memasuki jalan utama menuju
Bukittinggi. Kembali merangkak terlonjak lonjak dijalan yang berlobang lobang. Deru mesinnya seperti batuk
orang tua yang sudah sakit menahun. cukup lama bus itu berkuntal kuntil ketika tiba tiba sopir menginjak rem.
"Ada pemeriksaan oleh Kempetai ?".." sopir berkata.
Mei-mei, menatap pada Si Bungsu. Si Bungsu menyimpan samurainya. Kelima lelaki yang luka itu saling
memandang. "Mau kemana ..?" suatu suara serak bertanya dari bawah kepada sopir. Buat sesaat sopir itu tergagap tak
tahu apa yang harus dijawab. Sebuah kepala menjulur kedalam. Memperhatikan isi bus tua itu. Memperhatikan
wajah yang luka luka. "Hmm, ada yang luka. Kenapa ?"
"Kami baru saja dirampok di bawah sana .." Si Bungsu berkata.
"Di mana ada rampok ?" Jepang itu balik bertanya.
"Di Padang Tarab .." sopir menjawab cepat.
"Siapa yang merampok ?"
"Orang Melayu .."
"Berapa orang ..?"
"Ada delapan orang. Mereka semua memakai pedang.." salah seorang yang luka itu menjawab.
"Mereka tidak merampok perempuan ?"
Jepang itu bertanya lagi. Sementara matanya nanar menatap Mei-mei yang duduk memeluk Si Bungsu.
"Semula mereka memang ingin. Tapi begitu dia ketahui bahwa gadis ini sakit lepra, mereka cepat cepat
menyingkir. Dan hanya uang kami yang mereka sikat ?" jawab Si Bungsu.
"Lepra ..?" Jepang itu bertanya kaget.
"Ya. Isteri saya ini sakit lepra .. akan dibawa kerumah sakit Bukit Tinggi .." Si Bungsu menjawab lagi.
Kepala Jepang itu dengan cepat menghilang keluar. Kemudian terdengar perintah untuk cepat cepat
jalan. Bus itu kemudian merayap lagi. Mereka semua menarik nafas lega. Kelima lelaki itu menjadi lega, karena
mereka lepas dari tangan Kempetai. Sebab merekalah yang melakukan beberapa kali perampokan di sepanjang
jalan Bukittinggi Payakumbuh. Dan bus ini salah satu alat mereka untuk itu. Si Bungsu tak mengetahui, bahwa
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 65
yang dia lukai adalah perampok perampok. orang Minang yang mempergunakan kesempatan dalam
kesempitan orang yang mengail di air keruh. Ketika penduduk sedang ketakutan dan menderita di bawah kuku
penjajahan Jepang, mereka menambah penderitaan itu dengan merampok.
Padahal yang mereka rampok hanya orang-orang sebangsanya, mana berani mereka merampok tentara
Jepang. Tapi malam ini mereka mendapat pelajaran pahit dari anak muda ini. Untung saja anak muda ini tak
mengetahui sepak terjang mereka selama ini. Kalau saja Si Bungsu tahu, mungkin kelima lelaki ini sudah
mampus semua. Bungsu merasa lega karena dia lepas dari pengawasan Kempetai. Kalau saja mereka tahu,
bahwa dialah yang membunuhi Jepang di bulan-bulan terakhir ini, mungkin dia akan mati mereka tembak di
dalam bus ini. Untung saja mereka tak tahu. Sementara itu Mei-mei menatap Si Bungsu dengan perasaan takjub.
Dia merasa takjub, dan amat berdebar mendengar ucapan Si Bungsu yang terakhir pada Jepang itu :
"Isteri saya ini sakit lepra .. akan dibawa kerumah sakit"
Kata kata Isteri saya ini yang diucapkan Si Bungsu mengirimkan denyut amat kencang kejantungnya. oh,
kalau saja benar bahwa anak muda ini menjadi suaminya, alangkah bahagiannya dia. Dia merasa aman dalam
pelukannya. Merasa tentram dan terlindungi di sisinya. Si Bungsu merasa gadis itu tengah menatapnya. Dia
balas menatap. "Moy- moy .." katanya sambil tersenyum.
"Koko.." "Sebentar lagi kita akan sampai di Bukittinggi .." bisiknya.
Mei-mei hanya mengangguk. Kemudian menyandarkan kepalanya ke bahu Si Bungsu. Bus itu tadi
dicegat lagi oleh Kempetai di pos penjagaan di Baso. Mereka memang tengah mendekati Bukittinggi. Kota itu
mereka masuki hampir tengah malam.
"Antarkan saya kepenginapan .." Si Bungsu berkata pada sopir.
"Ya .. ya.." sopir yang masih merasa ngeri pada samurai di tangan anak muda yang berada di belakangnya
ini menjawab cepat. Bus berhenti di sebuah penginapan di Aur Tajungkang. Sebelum turun, Si Bungsu menoleh kepada ke
lima lelaki yang masih tersandar dan luka luka itu. "Saya tak pernah menyusahkan sanak sebelum ini. Saya tak
mau kita berurusan lagi. Ingatlah itu.." katanya berlahan Kemudian dia membimbing tangan Mei-mei turun dari
bus. Meninggalkan para rampok itu terperangah. Diam dan mati kutu. Dua orang perempuan separoh baya
yang sejak tadi duduk ketakutan di belakang, ikut bergegas turun di penginapan itu. Mereka adalah dua orang
perempuan yang berjualan kacang dan jagung dari Bukittnggi ke Payakumbuh dan Padang Panjang. Ketika
mereka sama sama mendaftar di penginapan kecil itu, kedua perempuan itu menceritakan tentang
perampokan yang beberapa kali pernah terjadi terhadap pedagang pedagang.
"Apakah kelima orang tadi adalah perampok itu ?" tanya Si Bungsu.
"Tak tahu kami. Kebetulan kami tak pernah mengalami nasib kena rampok. Tapi beberapa teman yang
telah pernah mengalami mengatakan, bahwa perampok perampok itu memang orang awak jua. Dan caranya
memang seperti tadi. Sama sama menompang bus. Kemudian berhenti di tempat sepi. Untung ada anak muda.
Kalau tidak. pastilah kami yang kena rampok ?"
Si Bungsu terdiam. Kemudian mereka masuk kekamar karena hari sudah larut malam. Karena semua
kamar penuh, maka dia terpaksa satu kamar dengan Mei-mei. Untung dalam kamar itu ada dua tempat tidur.
"Tidurlah Moy- moy. Besok kita cari famili ibumu yang di Kampung cina.." katanya perlahan
Bergelut Dalam Kemelut Takhta Dan Angkara 3 Detektif Stop - Paket Bergambar Tengkorak Sang Penebus 11