Tikam Samurai 4
Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik Bagian 4
"Koko tidak tidur ?"
"Ya. Saya juga akan tidur. Tapi saya akan sembahyang dulu"
(13) Dia lalu berganti pakain dengan kain sarung. Kemudian ke kamar mandi berudhuk. Mei-mei belum
tertidur. Dia melihat anak muda itu sembahyang. Dia melihat tubuh anak muda yang semampai itu. Bermuka
lembut atau lebih tepat dikatakan murung. Sinar matanya sayu. Ketika Si Bungsu selesai sembahyang Isa, ketika
dia menoleh mengucapkan salam dia melihat Mei-mei belum juga tidur. Masih menatap padanya. Dia
tersenyum pada gadis itu. "Belum tidur Moy-moy ?"
Mei-mei menggeleng. Kemudian duduk di sisi tempat tidur. Si Bungsu masih duduk di lantai yang beralas
tikar. Mei-mei pindah duduk ke bawah, duduk tak jauh dari Si Bungsu. "Koko sembahyang apa ?"
"Isa .." "Kenapa orang Islam harus sembahyang lima kali sehari semalam ?"
"Karena begitu suruhan Tuhan .."
"Tidak melelahkan ?"
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 66
Bungsu menatap Mei-mei. Dia tersenyum. Pertanyaan begitu pernah memenuhi tengkoraknya dulu.
Ketika ayahnya selalu menyuruhnya sembahyang. Waktu itu dia bukan hanya sekedar bertanya, tapi malah
membangkangi suruhan ayahnya. Tak mau sembahyang. Buat apa sembahyang, pikirnya. Kesempatan untuk
bersuka ria adalah waktu muda. Kelak kalau sudah tua, barulah sembahyang.
Lagi pula, sembahyang lima kali sehari semalam, alangkah seringnya. Kenapa sembahyang itu tidak
hanya sekali seminggu, atau paling tidak sekali dua hari misalnya. Itu mungkin lebih ringan
Namun ketika sendirian di Gunung Sago, ketika dia bersujud menyembah Allah di tengah belantara, dia
merasakan betapa tentram hatinya saat dan setelah sembahyang. Dia merasakan betapa Tuhan melindunginya.
Dia merasakan suatu kedamaian setiap selesai sembahyang. Dia merasakan seperti mendapat tenaga dan
semangat baru selesai sholat. Ya, itulah intinya. Menemukan kedamaian dan ketentraman, menemukan
semangat dan tenaga baru, setelah mengerjakan suruhan Tuhan. Perlahan dia menjawab pertanyaan Mei-mei,
"Tidak ada pekerjaan yang melelahkan, bila pekerjaan itu dikerjakan dengan ikhlas. Apalagi kalau kita
mencintai pekerjaan itu Moy-moy"
Mei-mei menatapnya. "Engkau pernah sembahyang Moy-moy ?"
Mei-mei menggeleng. "Waktu kecil bersama ibu saya pernah sembahyang. Tapi semenjak ibu meninggal, saya tak lagi pernah
melakukannya .." ujar Gadis itu sembari menunduk.
"Nah, tidurlah Moy-moy. Koko juga mengantuk .."
Namun mereka belum sempat membaringkan dirinya di tempat tidur, ketika terdengar suara heboh.
Suara heboh itu diikuti oleh suara menggedor pintu kamar mereka.
"Hei beruk yang ada di dalam. Buka pintu ini cepat"
Suara berat terdengar memerintah. Dari suara yang berbahasa Minang itu, Si Bungsu segera tahu bahwa
orang di luar adalah lelaki asal daerah ini. Dia menatap pada Mei-mei yang tertunduk di tepi pembaringan.
Kemudian mengambil samurainya. Kemudian melangkah kepintu.
"Tenang saja di dalam Moy- moy. Jangan buka pintu kalau bukan saya yang menyuruhnya.."
"Koko .." gadis itu berlari memeluknya.
"Tenanglah .." "Jangan tinggalkan saya koko .."
"Tidak. Saya akan kembali .."
"Saya akan bunuh diri kalau koko meninggalkan saya.."
"Tenanglah. Nah kunci pintu .."
Dia muncul di gang di luar kamarnya. Di depan pintu, orang lelaki berjambang kasar tegak berkacak
pinggang. Begitu dia muncul, lelaki itu mencekal lengannya. Kemudian menariknya keruang tengah.
Mendorongnya hingga Si Bungsu terjajar.
"Ini beruk yang waang katakan itu Pudin ?" orang bertubuh kasar itu berkata.
Si Bungsu menatap pada orang itu. Dan dia segera kembali mengenali kelima lelaki yang mencoba
merampoknya tadi. Di sana juga ada sopir bus.
"Benar. Dialah orangnya Datuk .." jawab si Kurus.
Orang bertubuh besar itu menggerendeng. Sementara penghuni penginapan yang lain tak berani
menampakkan muka. Mereka lebih merasa aman berada rapat rapat di bawah selimut daripada mencampuri
urusan orang yang satu ini.
"Waang telah melukai anak buah saya buyung. Itu hanya bisa dibayar dengan dua hal. Pertama dengan
seluruh isi bungkusan yang waang bawa. Atau kalau waang keberatan, maka harus waang bayar dengan nyawa
waang dan tubuh bini waang ?" dan si Tinggi besar itu meludah.
Hampir saja dahaknya mengenai kepala Si Bungsu. Si Bungsu tegak dengan diam. Muaknya muncul
melihat lelaki ini. Dia teringat lagi akan cerita kedua perempuan yang sama sama satu bus dengannya tadi.
Cerita tentang perampokan yang dilakukan oleh orang Minang terhadap orang orang yang bepergian dengan
bus. Dia lihat, selain si Besar tinggi ini, masih ada temannya yang lain. Jumlah mereka kini sembilan orang.
Hanya yang menjadi heran di hatinya adalah keberanian penyamun penyamun ini muncul di tengah kota.
Nampaknya mereka tak merasa gentar sedikitpun pada Kempetai Jepang.
Selama hidup beberapa bulan di Payakumbuh, Si Bungsu mengetahui, bahwa tentara pendudukan
Jepang menjalankan roda pemerintahan dengan ketat. Mereka menangkapi para penjudi dan perampok. Kini
sembilan lelaki ini berani muncul di tengah kota. Apakah mereka memang orang bagak. Yang pada Kempetai
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 67
sekalipun mereka tak merasa takut" Atau barangkali karena hari sudah lewat tengah malam, mereka tahu
bahwa bakal takkan ada patroli Kempetai. Atau barangkali mereka memang dilindungi oleh Jepang "
Tapi dia tak sempat berfikir dan menyimpulkan pikirannya. Datuk bersisungut (berkumis) dan bertubuh
besar itu telah memberi isyarat pada kedua anak buahnya. Dan kedua lelaki itu segera bertindak. Yang satu
menangkap tengkuk Si Bungsu, yang satu lagi memegang tangannya. Si Bungsu menghantamkan samurainya
yang masih bersarung itu. Kayu samurai tersebut menghantam leher dan kepala lelaki itu dengan keras. Kedua
lelaki itu terpekik. Namun mereka maju lagi dengan berang. Namun itu sudah cukup. Di mana Mei-mei berada.
Kedua lelaki itu berhenti sedepa di depan Si Bungsu. Sebuah kilatan cahaya putih yang amat cepat menahan
gerakkan mereka. Mereka tertahan karena tiba tiba saja setelah kilat cahaya yang amat cepat itu, dada mereka
merasakan terasa amat pedih. Dan ketika mereka lihat, pakaian mereka telah robek lebar dari pundak ke perut.
Dari balik pakaian yang robek seperti disayat pisau silet itu, merembes darah segar. Mereka memang tidak
rubuh. Karena Si Bungsu hanya sekedar melukai mereka saja.
"Hari telah larut malam. Saya tak bermusuhan dengan kalian. Saya harap jangan menganggu kami .." ujar
Si Bungsu datar. Sementara samurainya telah masuk kesarungnya kembali. Di sudut lain, dua lelaki yang tadi berjalan ke
kamar dimana Mei-mei berada, sekali mendobrak berhasil menghantam pintu kamar sehingga terbuka.
Terdengar pekikan Mei-mei. Si Bungsu bergerak ke kamarnya. Namun Datuk yang tak diketahui namanya itu
menghadangnya bersama empat temannya yang lain. Dan saat itu kedua lelaki yang masuk kamar tadi muncul
dengan bungkusan mereka dan Mei-mei dalam ringkusan tangannya. Nyata sekali gadis itu menderita akibat
cengkeraman tangan orang yang meringkus bahunya.
Koko .. rintihannya dengan air mata yang mengalir. Melihat hal itu Si Bungsu menatap Datuk bersungut
itu dengan kemarahan besar. Datuk itu dapat membaca kemarahan itu. Dia menyeringai dan berkata :
"Hee .. waang beruntung buyung, bisa berbini cina. Tentu lamak(enak) ya .." He .. he ..saya juga ingin
mengicok (mencoba) sedikit. Kau boleh menonton .."
Habis berkata Datuk buruk bersungut ini berbalik. Menarik tangan Mei-mei. Wajah Si Bungsu menegang.
Dia sebenarnya tak ingin menurunkan tangan kejam lagi pada bangsanya sendiri. Dia tak bisa menghitung
sudah berapa banyak nyawa yang telah dia rengut lewat samurainya. Namun dari sebanyak itu yang terbunuh,
baru dua orang Minang yang jadi korban. Baribeh dan si Juling yang dia bunuh bersama si Babah mata mata
itu. Kedua orang itu memang berhak mendapatkan kematian. Sebab mereka memata matai perjuangan
bangsanya sendiri. Bekerja untuk cina yang jadi mata mata Jepang. cina yang menjadi penggerak Komunis. Tapi
kini nampaknya dia terpaksa berlaku kejam lagi. Sejak tadi dia bersabar. Membiarkan dirinya dibekuk dan
diseret dari depan kamar. Membiarkan dirinya dihina.
Tapi ketika si Datuk kalera itu merobek baju Mei-mei dan gadis itu terpekik, saat itu pula samurainya di
tangannya bekerja. Tiga lelaki yang tegak tak jauh darinya, yang tadi ikut bersamanya dalam bus dan berusaha
merampok mereka, terpekik dan rubuh dengan dada belah. Mati. Datuk itu tertegun. Teman temannya yang
lain kaget. "Ohooo ..jual lagak waang pada saya ya " Waang sangka saya takut dengan permainan samurai waang
itu he" Sehabis ucapkannya tangannya bergerak menyentak kain Mei-mei. Pakaian gadis itu robek lebar. Dan
dengan jahanam sekali, tangan Datuk itu meremas dada gadis itu. Mei-mei terpekik. Dengan cepat setelah
mencabik baju Mei-mei Datuk itu berbalik menerjang kearah Si Bungsu. Bukan main cepatnya kejadian itu
berlangsung. Mulai dari menyobek baju hingga menyerang, hanya berlalu beberapa detik. Si Bungsu masih
tertegun ketika serangan datuk itu datang. Dia berusaha mengelak. Namun Datuk ini seorang pesilat yang
tangguh. Terjangannya mendarat di pusat Si Bungsu. Anak muda itu terjajar menghantam dinding di belakangnya.
Kemudian tubuhnya melosoh turun. Matanya berkunang-kunang. Dia ingin bangkit. Tapi Datuk itu datang lagi
menerjang. Dan kali ini rusuknya kena. Rusuk kiri. Terdengar suara berderak. Tanpa dapat ditahan Si Bungsu
terpekik. Dua tulang rusuknya kupak. Datuk itu menerjang lagi dengan seringai buruk di bibirnya. Tubuh Si
Bungsu tercampak dari kaki penyamun yang satu ke kaki penyamun yang lain. Itulah malangnya karena tadi
dia masih tenggang menenggang. Tak segera bersikap tegas kepada lelaki lelaki ini.
Padahal dia sudah diberitahu oleh kedua perempuan yang satu bus dengannya dari Payakumbuh itu.
Bahwa lelaki lelaki itu adalah penyamun-penyamun yang sering merampok pedagang yang dalam perjalanan
ke Bukittinggi dari Payakumbuh atau dari Padang Panjang. Dia terlalu menenggang. Dia hanya ingin membunuh
Jepang yang membunuh keluarganya. Yang menjajah negerinya. Dia tak ingin membunuh bangsanya sendiri.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 68
Ternyata belas kasihannya memakan dirinya sendiri. Mei-mei memekik mekik melihat tubuh Si Bungsu
tercampak dari satu kaki ke kaki yang lain.
"Jangan siksa dia Jangan siksa diaaa. Kuserahkan apa yang kalian minta. Jangan siksa dia " Koko "Koko"
Mei Mei menatap memohon. Lambat lambat di antara rasa sakit dan terguling guling di lanyau cuek itu, Si
Bungsu mendengar suara Mei-mei. Hatinya luluh ketika mendengar betapa gadis itu bersedia memberikan apa
saja, termasuk dirinya, asal lelaki lelaki itu berhenti menganiaya dirinya. Dia coba menyusun ingatannya
kembali. Coba mengingat dimana samurai nya terjatuh. Lalu, tiba tiba sekali, dengan sisa sisa tenaga tubuhnya
bergulingan amat cepat. Dengan mengandalkan pendengarannya yang amat tajam, telinganya menangkap
suara samurainya yang tersentuh kaki salah seorang lelaki itu.
Seperti magnit, ke sanalah tubuhnya bergulingan amat cepat. Para lelaki itu masih berusaha
mengejarnya. Masih belum mengetahui dengan sepenuhnya bahwa tubuh anak muda itu bergulingan bukan
lagi karena tendangan mereka. Ketika mereka memburu lagi, saat itulah tangan Si Bungsu berhasil meraih
samurainya. Dia tak bisa tegak sempurna. Rusuknya yang patah di sebelah kiri menghalangi gerakannya.
Namun dengan berlutut tiba tiba samurainya bekerja. Dalam tiga kali gerakan pertama, tiga lelaki dimakan
samurainya. Perut mereka robek. Ada yang dadanya belah. Menggelepar dan mati. Datuk itu kaget. Tapi dia memang
seorang pesilat tangguh. Dia menendang cepat sekali. Wajah Si Bungsu berubah keras seperti baja. Ketika kaki
Datuk itu menendang ke wajahnya, samurainya bekerja. Dan amat cepat sekali, kaki datuk itu buntung sebatas
lutut. Yang seorang lagi, yang menyerang dengan keris dia pancung tentang pinggangnya. Pinggang lelaki itu
hampir putus. Datuk itu terpekik, namun Si Bungsu menggeser tubuh. Dan samurainya kembali bekerja. Kaki kiri Datuk
itu putus sebatas betis. Datuk itu terguling. Samurai Si Bungsu bekerja lagi. Kedua tangan Datuk jahanam itu
putus hingga siku. Anak buahnya yang satu lagi, yang masih selamat, menggigil. celananya segera basah. Dan
tiba tiba dia balik kanan. Lari kedalam kegelapan. Dialah satu satunya yang selamat. Datuk itu menggelepar
gelepar. Memekik mekik. Minta ampun. Kaki dan tangannya putus semua
"Bunuhlah saya. Tolonglah. Jangan biarkan saya menderita " oh tolonglah .." dia meratap. Bungsu
menatapnya dengan wajah datar. Kemudian dia berkata dengan suara tanpa emosi.
"Engkau takkan mati Datuk. Darahmu akan kuhentikan alirannya agar kau tak mati kehabisan darah.
Kematian terlalu mulia bagimu. Engkau akan tetap hidup dengan tubuh seperti sekarang. cukup banyak orang
sengsara olehmu. Mulai hari ini, kau akan merasakan kesengsaraan yang lebih hebat dari itu. Ini adalah balasan
dari kejahatan selama ini. Engkau seorang datuk seorang penghulu, seorang kepala suku. Yang seharusnya
membimbing anak kemenakanmu. Yang seharusnya meluruskan yang bengkok, menyambung yang singkat
menyayangi yang muda, melindungi yang lemah. Tapi ternyata gelar yang engkau sandang engkau laknati
sendiri ?" "Ampun saya anak muda " tolonglah saya. Jangan biarkan diri saya hina begini. Bunuhlah saya ..
bunuhlah saya .." ratap datuk yang sudah lenyap seluruh kepongahannya Si Bungsu hanya menatapnya dengan
dingin sambil menekan beberapa bahagian di tempat tubuhnya yang putus, darah tiba-tiba berhenti mengalir.
Kemudian menatap ketujuh mayat yang bergelimpangan dalam kamar tunggu penginapan itu. Lalu lambat
lambat dia berbalik. Menghadap pada Mei-mei. Gadis itu berlari memeluknya.
"Koko .." "Mari kita pergi Moy-moy .."
Dan malam itu, mereka meninggalkan penginapan tersebut. Si Bungsu tahu dalam waktu singkat,
Kempetai akan memenuhi penginapan itu. Dan dia tak mau ditangkap. Dengan sebuah bendi yang berada di
depan penginapan itu, mereka pergi membelah malam yang dingin. Malam yang hampir bersahut dengan
subuh. "Ke mana kita koko ..?" "Saya tak tahu Moy-moy. Saya tak punya kenalan di sini. Jangan ke rumah famili
ibumu di Kampung cina, berbahaya bagi keluarganya.
" "Kita kepenginapan lain koko ?" "Tidak. Semua penginapan akan digeledah Kempetai?"
Kusir bendi, seorang lelaki tua, yang tadi mengintip perkelahian dalam penginapan itu mendengarkan
saja percakapan kedua anak muda tersebut. Dari pembicaraan mereka, dia mengetahui, bahwa kedua anak
muda ini bukan suami istri. Dia mengetahui sedikit banyaknya bahasa cina. Sebab dia bersahabat dengan
sebuah keluarga Tionghoa yang tinggal di daerah Tembok. yang berdekatan dengan Kampung cina. Kedua anak
muda ini, kalau tidak sepasang kekasih, pastilah dua orang bersahabat. Kusir tua itu juga mengetahui, bahwa
Datuk basunguik buruk dan teman temannya yang dibantai anak muda ini adalah penyamun yang ditakuti.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 69
Markas Datuk itu dan anak buahnya terletak di dalam rimba buluh di Tambuo. Suatu tempat angker di
dekat kampung Tigobaleh di tepi Kota Bukittinggi. Banyak orang yang mengetahui bahwa rimba buluh Tambuo
itu adalah markas dan sekaligus tempat persembunyian para perampok. Namun tak ada yang berani
mengadukan pada Jepang. Apalagi bertindak sendiri menangkap mereka. Datuk ini terkenal bengis. Hal itu
hampir saja terbukti kalau anak muda ini tak cepat dengan samurai nya tadi.
Kini kusir bendi itu dapat menangkap dari pembicaraan kedua penompangnya ini, bahwa mereka
kesulitan tempat menginap. Hatinya jadi hiba.
"Seluruh kota akan segera diperiksa oleh Kempetai .." kusir itu berkata perlahan. Si Bungsu menoleh
padanya. "Apakah orang orang itu dilindungi oleh Jepang " " tanyanya ingin tahu.
"Tidak. Tapi Jepang akan mencari setiap pembunuh. Apalagi yang kau bunuh malam ini tujuh orang.
Suatu jumlah yang tak sedikit Jepang membiarkan gerombolan Datuk itu merajalela untuk kepentingan mereka
secara tak langsung. Dalam setiap kekacauan, mereka memetik untungnya ?" Si Bungsu menarik nafas panjang.
Mereka sama sama terdiam. Yang terdengar memecah sunyi adalah suara ladam kuda yang beradu
dengan aspal. Membelah malam yang telah jauh menikam larut. Si Bungsu tak menyadari kemana bendi itu
tengah menuju. Rusuknya yang patah membuat dirinya letih tak terkira. Makan kaki lelaki lelaki di penginapan
tadi benar benar meluluhkan tubuhnya. Mei-meilah yang pertama menyadari, bahwa bendi itu makin jauh dan
makin masuk kepalunan gelap. Dia menggoyang tubuh Si Bungsu yang bersandar ke dirinya. Si Bungsu tak
bergerak. "Koko .. Koko ?" panggilnya perlahan dekat telinga Si Bungsu. Si Bungsu mengeluh pendek. Tak bisa
menjawab, tapi keluhan itu sebagai tanda bahwa dia mendengarkan panggilan Mei-mei.
"Kemana kita Koko ?" ada nada cemas dalam suara gadis itu.
"Kemana ?"" Si Bungsu balas bertanya perlahan.
"Lihatlah, kita dibawa kepalunan rimba ?" bisik Memei. Masih dalam keadaan menyandarkan kepalanya
yang terasa amat berat, tanpa membuka mata, Si Bungsu bertanya perlahan.
"Akan bapak bawa kemana kami ?"
"Kalian tak punya tempat untuk menginap di kota anak muda .."
"Ya. Tapi kini kami akan bapak bawa kemana ?"
"Ke rumah saya ?"
"Ke rumah bapak ?""
"Ya. Di rumah saya kalian akan aman. Hais ck ck .." kusir itu mendecah kudanya. Terasa goncangan agak
keras ketika bendi itu mulai meninggalkan jalan beraspal dan memasuki jalan kecil yang tak datar. Mei-mei
memeluk bahu Si Bungsu agar jangan sampai melosoh turun.
"Kerumah bapak ?"" Si Bungsu mengulangi tanyanya perlahan.
Dan setelah itu dia tak sadar diri. Mei-mei tak bisa berbuat apa apa. Kalaupun dia berniat melawan, dan
bisa melarikan diri, namun dia tak akan melakukannya. Dia tak mau meninggalkan anak muda yang telah
menolongnya ini. Kalaupun bencana akan menimpa dirinya, dia ingin tetap berada di dekat Si Bungsu.
"Haissy ck " ck Haissy ?" kusir bendi tersebut mendecah kudanya lagi. Kuda itu seperti berjalan dalam
cahaya terang. Berlari seenaknya. Melangkahi lobang dan batu sebesar-besar tinju. Dia hafal jalan itu. Meski
malam yang hampir disambut subuh itu amat kental gelapnya. Mei-mei coba memperhatikan jalan dan
belantara yang mereka lalui.
Jalan itu di kiri kanannya penuh oleh pohon pohon. Seperti hutan saja layaknya. Tapi yang paling banyak
di antara pohon pohon itu adalah pohon bambu. Besar dan tinggi seperti akan menjangkau langit. Dahulu waktu
kecil, dia pernah tinggal di kota ini. Tapi saat itu dia masih kecil, kemudian si Babah, ayah tirinya itu, membawa
mereka pindah ke Payakumbuh. Waktu kecil itu, dia tak pernah sampai kemari. Paling paling hanya ke rumah
tetangga di kampung cina. Tiba tiba bendi itu berhenti. Kusir berseru, kemudian dia berjalan ke belakang. Ke
tempat Si Bungsu dan Mei-mei duduk.
"Mari kutolong menurunkannya ?" kata kusir tua itu lagi sambil memegang tangan Si Bungsu. Lalu tiba
tiba, dalam gerakannya yang amat cepat tubuh Si Bungsu telah berada di bahunya. Pintu pondok terbuka.
Seorang perempuan separoh baya muncul dengan lampu togok di tangannya. Mei-mei turun dari bendi dan
mengikuti kusir itu. Saat akan masuk kepondok perempuan paroh baya itu tertegun menatap Mei-mei. Tapi
hanya sebentar. Kemudian menghindar dari pintu memberi jalan pada Mei-mei..
"Masuklah .." katanya.
Suaranya lembut. Mei-mei melangkah masuk. Pondok itu cukup besar. Berdinding bambu, berlantai
tanah beratap rumbia. Seorang anak perempuan muncul. Barangkali usianya sekitar dua belas tahun. Namun
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 70
tubuhnya kelihatan segar. Kusir bendi itu meletakkan tubuh Si Bungsu di sebuah kamar di atas balai balai
bambu. Mei-mei tegak di sisi pembaringan.
"Biarkan dia tidur ?" kata kusir itu sambil melangkah ke luar kamar.
Dia minta istrinya untuk membuat kopi. Mei-mei duduk termenung di tepi pembaringan dekat tubuh Si
Bungsu. Anak muda itu tergolek tak sadar diri. Gadis itu meraba wajahnya. Terasa dingin dan berpeluh. Dia
tegak dan berjalan kepintu.
"Pak. dia berpeluh dan tubuhnya dingin ?" katanya pada kusir yang kini tengah membuka kekang
kudanya. "Biarkan saja. Dia takkan apa apa. Dia memiliki tubuh yang kuat. Sebentar lagi dia akan sembuh. Nona
istirahatlah di dalam ?" kata kusir itu.
Suaranya terdengar berat tapi ramah dan bersahabat. Kekawatiran yang sejak tadi bersarang di hati Meimei lenyap ketika mendengar suara kusir itu. Dia lalu berbalik ke kamar. Duduk di sebuah bangku kecil dekat
dinding. Menatap diam diam pada Si Bungsu yang masih saja tak sadar. Tak lama kemudian, terdengar suara
azan dari kejauhan. Kusir itu sembahyang subuh dengan istri dan gadis kecilnya. Tak selang berapa lama
Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
setelah sembahyang subuh itu, Mei-mei mendengar suara orang datang. Dia mendengar kusir itu berjalan ke
luar. Kemudian sepi. Tapi hanya sebentar. Tak lama antaranya, dia dengar suara tanah berdentam dan suara
seperti orang berkelahi. Mei-mei tertegak. Takutnya muncul. Siapa orang yang baru datang itu " Dia tegak dan berjalan ketempat
tidur di mana Si Bungsu masih terbaring. Dia ingin membangunkan anak muda itu. Tapi dia tak sampai hati.
Anak muda itu tidak tidur, melainkan tak sadar karena letih dikeroyok. Kini dia terbaring diam. Suara
perkelahian di luar masih terdengar. Dengan perlahan Mei-mei berjalan kejendela. Dia mengintip dari lobang
kecil yang terdapat di pinggir jendela. Di luar sana, dalam cahaya subuh, dia lihat orang tua yang jadi kusir
bendi yang mereka tumpangi tadi, sedang berkelahi dengan seorang anak muda.
Anak muda itu kelihatan amat gesit. Namun kusir itu juga gesit. Tubuh tuanya yang malam tadi
dibungkus dengan kain dan sebuah sebo, kini kelihatan terbuka. Hanya memakai celana panjang hitam tanpa
baju. Tubuhnya kelihatan biasa saja, namun di balik tubuh yang biasa itu jelas terbaca tenaga yang tangguh.
"Sampai di sini dulu, Kini kau upik .." kusir itu berkata menunjuk gadis kecil yang dia temui malam tadi.
Dari lobang kecil itu dia melihat gadis kecil anak kusir itu maju ke tengah lapangan kecil di belakang
rumah itu. Gadis berusia dua belas tahun itu berpakaian seperti lelaki. Bercelana dan berbaju longgar. Dari
caranya bersiap. Mei-mei segera menarik nafas lega. orang itu ternyata hanya latihan silat. Dia jadi tertarik.
Ingin melihat gadis kecil itu bersilat. Gadis itu mulai membuka serangan setelah memberi hormat.
"Jangan memukul ketika menarik nafas .." kusir itu berkata memberi petunjuk.
Gadis itu menarik lagi pukulannya yang tengah dia lancarkan. Memulai lagi langkah dari awal. Kemudian
beruntun mengirimkan pukulan dan tendangan ke arah ayahnya. Gerakan gadis itu cukup cepat. Namun
dengan mudah kusir itu mengelak dan memberi petunjuk terus. Tiba tiba lelaki tua itu berhenti, lalu
menghadap kepondoknya. "Hei, Nona Jangan mengintip di situ. Kalau ingin belajar silat, datang kemari.." Seru lelaki itu.
Mei-mei cepat cepat menarik kepalanya dari lobang yang tak sampai sebesar jari itu. Dia kaget pada
ketajaman firasat kusir itu. Dia duduk kembali di pembaringan dekat Si Bungsu yang masih tertidur. Sesekali
matanya memandang juga ke lobang kecil di tepi jendela di mana tadi dia mengintip. Suara kusir yang
menyuruhnya keluar itu seperti memanggil manggilnya. Dia tatap wajah Si Bungsu, hatinya jadi lega. Sebab kini
wajah anak muda itu tak lagi meringis seperti tadi. Kini dia seperti benar benar tidur. Wajahnya tak lagi
menahan sakit. Nampaknya dia memang tengah tertidur lelap. Mei-mei menarik nafas lega. Di luar dia dengar lagi orang
latihan bersilat. Lambat lambat dia melangkah keluar. Berjalan ke belakang. Dan tiba di pinggir lapangan
berpasir yang luasnya tak sampai lima depa persegi. Di tengah lapangan Upik anak kusir itu tengah bersilat
dengan lelaki muda yang tadi dia lihat bersilat dengan kusir. Kusir itu tengah tegak dengan kaki terpentang
menatap ke tengah sasaran.
Mei-mei duduk di bangku bambu yang terletak di pinggir sasaran. Tak lama kemudian kedua orang itu
selesai berlatih. Si Upik dengan tersenyum ramah mendekati Mei-mei. Gadis kecil itu mengulurkan tangan
bersalaman. Mei-mei ikut tersenyum melihat keramahannya dan menyambut uluran tangannya.
"Nama saya Upik. Siapa nama kakak ?" tanyanya dengan suara bersahabat.
Mei-mei terharu, jarang sekali sikap bersahabat begini datang dari orang Melayu terhadap orang
Tionghoa. Biasanya dia merasa diasingkan di tengah orang orang Melayu. Tapi gadis kecil ini, demikian juga
ayahnya yang kusir itu, seperti telah mengenalnya dengan baik selama bertahun tahun. Sebenarnya jarak usia
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 71
kedua gadis itu hanya sekitar lima tahun. Suatu jarak yang tak seberapa jauh. Si Upik benar benar gadis desa
yang polos dan manja. Sementara Mei-mei adalah gadis muda yang dalam usianya yang belum seberapa itu,
telah menapaki kehidupan manusia dewasa yang alangkah pahitnya dan alangkah hitamnya.
(14) "Nama saya Mei-mei .." katanya sambil tersenyum.
Ketika Mei-mei melihat kusir itu menatapnya, dia segera mendatanginya. Kemudian dengan sikap
hormat menyalami orang tua itu.
"Terima kasih atas bantuan Bapak kepada kami .." katanya.
Kusir tua itu tersenyum. "Nama saya Datuk Penghulu Basa. Kau boleh panggil saya dengan sebutan bapak atau pak Datuk.
Tinggallah di sini buat sementara. Menjelang kokomu sehat. Saya rasa rusuknya ada yang patah. Berbahaya
kalau dia berada di kota dalam keadaan seperti itu. Teman teman Datuk yang dia pancung semalam dan juga
Kempetai pasti mencari. Siapa nama kokomu itu?" "Bungsu. Kami baru datang dari Payakumbuh.."
"Ya. Saya ada di depan penginapan itu ketika kalian turun dari bus .."
Datuk Penghulu Basa lalu menceritakan tentang siapa yang dibunuh oleh Si Bungsu di penginapan itu.
Tentang kawanan penyamun yang bermarkas di rimba buluh di lembah Tambuo itu.
"Hei, kenalkan, muridku si Salim ".."
Datuk Penghulu memperkenalkan anak muda yang tadi berlatih dengannya kepada Mei-mei. Gadis itu
menyambut salam tersebut. Salim merasakan hatinya berdebar ketika menyalami tangan gadis Tionghoa yang
cantik itu. Hari hari setelah itu Si Bungsu dirawat oleh Datuk Penghulu di rumahnya. Dia terpaksa berbaring
selama tiga puluh hari di tempat tidur. Rusuknya patah tidak hanya dua buah. Melainkan ada tiga yang kupak
dimakan kaki Datuk penyamun dan anak buahnya itu.
Selama itu pula Mei-mei juga tinggal di sana. Dia sebilik dengan upik. Tiap hari Datuk Penghulu Basa
tetap mencari nafkah dengan bendinya. Dia menceritakan pada Mei-mei dan Si Bungsu. Jepang sebenarnya
berterima kasih pada orang yang tak dikenal yang telah membunuh kawanan penyamun itu. Namun selain
berterima kasih Jepang juga tetap mencari Si Bungsu. Sebab betapapun jua, si pembunuh harus didengar
keterangannya tentang peristiwa itu. Datuk kepala penyamun yang buntung tangan dan kakinya itu dirawat di
rumah sakit. Dia masih tetap hidup. Kempetai berhasil mengorek keterangan dari mulut kepala penyamun ini
tentang markas mereka di Tambuo. Jepang lalu menggerebek markas mereka dalam rimba bambu itu. Tujuh
orang lagi berhasil diringkus dari sana.
Kini, orang tak merasa khawatir lagi lewat di penurunan Tambuo seperti masa masa sebelumnya. Kalau
dulu, untuk ke Bukittinggi dari Tigobaleh dan sekitarnya, orang harus memutar jalan ke Simpang Limau. Atau
berputar ke Banu Hampu terus ke Jambu Air. Mereka tak pernah aman lewat di penurunan Tambuo itu. Tak
jarang orang menemui mayat di Batang Tambuo yang berair deras itu. Tapi kini masa seperti itu sudah lewat.
Suatu hari ketika Si Bungsu merasa agak baik, dia coba untuk berdiri. Sudah berlalu masa dua puluh hari sejak
dia dibawa ke rumah ini. Tiga tulang rusuknya yang patah sudah agak terasa nyaman, itu karena rawatan datuk itu anak beranak.
Mei-mei dengan tambahan ramuan kering yang dia bawa dari gunung Sago. Pagi itu dia terbangun karena kicau
burung dan suara bentakan bentakan di luar rumah. Dia buka jendela dan menghirup udara pagi segar yang
menerobos masuk. Dilihatnya kopi sudah terletak di atas meja kecil di dalam kamar itu. Dalam sebuah gelas
terletak beberapa bunga bunga kobra bunga mawar.
Pastilah Mei-mei yang meletakkannya. Seperti kebiasaan gadis itu setiap pagi selama di rumah ini. Datuk
Penghulu pasti belum kembali. Sebab malam tadi dia berkata, bahwa malam ini mereka ada perlu. Kabarnya
ada pertemuan pejuang di Bukit Ambacang. Datuk itu termasuk salah seorang dari pejuang itu. Ketika dia
menoleh ke arah belakang, dia tertegun. Di lapangan kecil di belakang rumah itu, dilihatnya orang sedang
bersilat. Yang satu pastilah si Salim. Kemenakan Datuk Penghulu. Dia kenal pemuda itu selama berada di rumah
ini. Pemuda baik dan rendah hati dan berbudi.
Yang dia hampir hampir tak percaya atas penglihatannya adalah lawan si Salim bersilat itu. Lawannya
adalah seorang perempuan. Seorang gadis. Berpakaian serba hitam dan rambutnya yang panjang diikat tinggi
tinggi. Pakaian yang hitam sangat kontras dengan kulitnya kuning bersih. Jurus silat yang dia bawakan amat
berlawanan dengan tubuhnya yang lemah lembut, dan wajahnya yang cantik. Mei-mei. Mei-mei belajar silat. Ini
benar benar suatu yang luar biasa.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 72
Di tepi lapangan, si Upik anak Datuk Penghulu Basa melihat dengan penuh perhatian. Sesekali gadis kecil
itu bersorak bila tendangan atau pukulan Mei-mei mengenai tubuh Salim. Atau sesekali gadis itu berseru
berang bila kebetulan pemuda itu mengenai tubuh Mei-mei. Si Bungsu benar benar terpesona. Dia tak mengerti
silat. Tapi melihat gerakan Mei-mei, dia yakin gadis itu sudah mulai cepat dengan kaki dan tangannya. Padahal
baru dua puluh hari dia belajar.
Saat itu, ketika Salim berniat menangkap pukulan tangan Mei-mei, gadis itu membiarkannya. Ketika
Salim berniat menguasai tangan tersebut, di luar dugaan, kaki kiri Mei-mei yang berada di belakang kaki
kanannya, menendang kedepan dengan kuat dan cepat sekali. Tendangan itu demikian telaknya. Salim baru
menyadari bahaya tendangan itu ketika sudah terlambat.
Tendangan itu masuk keperutnya Tak ada ampun. Tubuhnya terlipat dan terguling ketanah. Si Upik
bersorak gembira. Mei-mei tertegun melihat akibat tendangannya. Salim meringis dan merangkak bangun.
Mei-mei membantunya tegak dengan wajah penuh penyesalan.
"Maaf" maafkan saya tak sengaja ?" Salim tegak tapi tersenyum.
"Benar benar jurus cuek Sadapo yang sempurna. Saya tak pernah berhasil sebaik itu dalam
mempergunakan jurus tersebut?"
Salim berkata jujur sambil menghapus peluhnya. Mereka terkejut tatkala mendengar tepuk tangan dari
rumah. Ketika mereka menoleh, mereka melihat Si Bungsu tegak dengan senyum di dekat jendela. Mei-mei
menghambur gembira melihat anak muda itu sudah bisa berdiri.
"Koko .." serunya tersendat.
"Moy-moy. Selamatlah. Engkau telah menjadi seorang pesilat.." suara Si Bungsu terdengar bernada
gembira dan bangga. Mei-mei menatap anak muda itu. Dan tiba tiba dia memeluk anak muda itu dengan isak tertahan. Gadis
ini sangat merisaukan kesehatan Si Bungsu, itu sebabnya ketika kini dia melihatnya telah mampu berdiri,
hatinya sangat bersyukur. Dia menangis karena bahagia. Hanya Si Bungsu yang jadi terheran heran, tatkala
mengetahui. "Mei-mei menangis. Hei, ada apa Mei-mei ..?"
"Saya bahagia, koko telah sembuh. Saya sangat khawatir koko tak sembuh sembuh. Saya sangat hawatir
".." "Orang kalau gembira pasti tertawa. Ini gembira kok menangis. Hei Salim, bagaimana ini. Pesilat tak
boleh menangis bukan ?" Salim hanya tersenyum, si Upik berlari pada Mei-mei.
"Jangan menagis, Uni?" katanya.
Mei-mei melepaskan pelukannya dari Si Bungsu, kemudian menghapus air matanya. Kemudian menatap
pada Si Bungsu. Si Bungsu tersenyum.
"Teruslah berlatih. Saya bangga melihatmu jadi seorang pesilat .."
"Kami sudah selesai. Hanya tinggal menutup dengan pernafasan .." terdengar suara Salim.
"Ayolah kita tutup latihan ini Uni. Kesehatan bisa rusak bila tak diakhiri dengan latihan pernafasan itu
.." Ujar Upik membujuk Mei-mei. Gadis itu kemudian melangkah lagi ke lapangan kecil di belakang rumah
tersebut. Lalu mengatur pernafasan sebagai penutup latihan.
Si Bungsu mengenal latihan ini. Pernafasan mempertajam pendengaran dan mengatur tenaga yang telah
terpaksa. Latihan begitu tiap hari dia lakukan ketika di gunung Sago dahulu. Mei-mei memang telah mulai
latihan silat sejak dua hari kedatangannya kerumah Datuk Penghulu ini. Dia tertarik melihat si Upik berlatih.
Karena itu ketika Datuk Penghulu Basa menawarkan untuk ikut, tanpa malu malu diapun ikut. Dengan
cepat ternyata dia bisa menguasai pelajaran yang diberikan. Sebenarnya Datuk Penghulu bukan sekedar
menawarkan latihan saja pada Mei-mei. Dia punya alasan yang kuat. sebagai guru gadang aliran Silek Tuo yang
berasal dari Pariangan Padangpanjang, yaitu aliran silat yang merupakan induk dari silat silat yang ada di
Minangkabau, seperti silat Lintau, Kumango, Pangian dan lain lain, dia dapat melihat tulang seorang pesilat
pada tubuh orang. Mula pertama melihat Mei-mei, hatinya berdetak keras. Susunan tulang Mei-mei merupakan
susunan yang hampir hampir sempurna bagi seorang pesilat. Dia yakin gadis ini mempunyai bakat silat yang
luar biasa. Itulah sebabnya dia menawarkan gadis itu untuk belajar. Dan ketajaman penglihatannya itu segera saja
terbukti. Ketika dalam waktu tak sampai satu bulan, Mei-mei telah melalap dan memahami dengan baik
pelajaran pelajaran pokok dan kunci kunci serangan yang diberikan Datuk Penghulu Basa. Tak seorangpun
yang mengetahui, bahkan Mei-mei sendiri, bahwa gadis itu sebenarnya adalah turunan seorang pesilat
tangguh. Ayah dari kakek Mei-mei berasal dari Tinggoan di daratan Tlongkok sana.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 73
Dan ayah kakeknya ini adalah seorang Tiang Bujin, atau dedengkot silat aliran Siau Lim Pay yang sangat
tersohor. Ayah dari kakeknya bergelar Bu Beng Tay Hiap. Si Pendekar Pedang Tak Bernama. Setiap pesilat di
daratan tiongkok pasti menaruh segan pada pendekar itu. Dan ternyata bakat dan susunan tulangnya menurun
pada buyutnya yang dilahirkan di Indonesia, yaitu Mei-mei. Tak seorangpun yang mengetahui hal ini. Dan itu
pulalah sebabnya, kenapa ketika ditawarkan untuk belajar silat oleh Datuk Penghulu gadis itu menerima
dengan rasa gembira. Tentu saja dia gembira, sebab darah pesilat di dalam tubuhnya mendorong-dorong.
Hanya saja selama ini tak pernah mendapat penyaluran Pelajaran silat yang diberikan padanya, segera saja
dapat dia terima secara sempurna. Di samping merasa bangga dan gembira, Datuk Penghulu juga merasa kaget
pada kemajuan yang dicapai gadis itu. Si Upik yang telah setahun belajar, kini justru diajar oleh Mei-mei. Dan
kini kalau Datuk itu tak di rumah, Salimlah yang membimbing Mei-mei.
Salim memberikan pelajaran yang telah dia terima selama tiga tahun ini. Baik pelajaran yang telah dia
kuasai. Maupun pelajaran dalam taraf dilatih. Ternyata pelajaran Mei-mei maju dengan sangat cepat. Malah
kini dia sangat sukar menundukkan gadis itu. Dalam rimba persilatan, memang terdapat apa yang disebut anak
anak ajaib. Di Tiongkok, yaitu tempat asal muasal silat yang ada di seluruh dunia, anak ajaib di kalangan
persilatan ini lahir satu atau dua orang dalam seratus tahun.
Itupun sangat sulit menemukannya. Kalau ada, maka sejak lahirnya anak itu senantiasa menjadi rebutan
kalangan persilatan. Sebab bisa diduga, siapa saja yang berhasil menjadikannya murid, pastilah perguruannya
akan menjadi perguruan yang disegani. itu pulalah yang terjadi pada ayah dari kakek Mei-mei. Bu Beng Kiam
Hiap dari Tinggoan yang terkenal itu. Ayah kakeknya ini, lahir di biara Budha. Biara itu milik perguruan Bu
Tong Pay. Kala itu Biksu Bu Tong Pay yang melihat pertama kalinya sangat terkejut. Diam diam dia memelihara
anak itu. Namun Biksu itu membuat suatu kesalahan. Dalam rangka mengamankan anak itu agar tak sampai
jatuh ke tangan perguruan lain, dia sampai sampai tak membenarkan ayah ibunya menemui si anak.
Ini sudah keterlaluan. Suatu malam anak itu diculik oleh ayahnya sendiri. Dan si ayah hampir mati di
tangan si Biksu. Namun saat itu muncul seorang pendekar dari perguruan Siaw Lim Pay, yang menolong ayah
dan ibu anak itu dari kematian. Membawa ketiga beranak itu ke perguruannya. Dan tentu kehadiran anak itu
disambut dengan kaget dan gembira oleh guru guru besar perguruan tersebut. Akhirnya ayah kakek Mei-mei
menjadi pesilat yang kesohor. Kesohor karena dia selalu muncul di saat saat genting.
Dimana ada penindasan dari yang kuat pada yang lemah, di sana dia muncul dan turun tangan menolong.
Siapa sangka, cucu buyutnya yang lahir di Indonesia juga mempunyai susunan tulang seperti dia. Dan kini
menjadi murid dari Perguruan Silat Tuo di Minangkabau. Datuk Penghulu tak memiliki banyak murid.
Bukannya tak ada orang yang ingin berguru padanya. Cukup banyak orang yang datang. Tapi dia selalu menolak
dengan halus. Kini muridnya hanya tiga orang. Si Upik anaknya, Salim kemenakannya dan Mei-mei. Hanya tiga
orang. Namun dia merasa puas dengan ketiga muridnya ini. Salim dan Mei-mei menjadi dua sahabat. Kehadiran
Mei-mei di rumah Datuk Penghulu tak banyak diketahui orang. Pertama karena rumah Datuk itu terletak di
tengah kebun yang luas, selain itu dikelilingi pula oleh hutan bambu di daerah Padang Gamuak. Di daerah itu
hanya ada beberapa rumah.
Mei-mei juga sangat menyayangi Upik. Gadis kecil ini tak punya abang dan tak punya kakak. Itulah
kenapa dia memanggil Mei-mei dengan sebutan Uni. Mei-mei senang punya adik seperti dia. Baik Datuk
Penghulu maupun istrinya, sangat menyayangi Mei-mei. Gadis itu sangat pandai membawa diri. Dia sudah bisa
bertanak dan menggulai. Pandai merendang dan membuat dendeng.
Mei-mei gadis yang tak segan bekerja keras membantu istri Datuk Penghulu. Hari ini, selesai latihan
Salim mengawani Si Bungsu. Dia ingin membawa anak muda itu berjalan jalan keliling rumah untuk melatih
kakinya. Mereka berjalan di bawah pohon bambu. Kemudian tengah hari mereka kembali kerumah. Si Bungsu
duduk di bawah pohon jambu di depan rumah tersebut, dikawani oleh Salim. Salim menceritakan kemajuan
kemajuan yang dicapai oleh Mei-mei dalam latihan silat.
"Saya dengar mak Datuk bercerita tentang perkelahian engkau dengan penyamun penyamun di
Penginapan itu .." Salim berkata setelah dia bercerita tentang kemajuan Mei-mei dalam silat.
"Oh ya ..?" "Ya. Saya ingin sekali belajar mempergunakan samurai itu. Apakah sulit belajarnya ..?" Si Bungsu
tersenyum. "Ilmu silatmu cukup tinggi. Saya pernah mencoba belajar. Namun tak pernah bisa. Saya memang tak ada
jodoh untuk jadi pesilat. Mempergunakan samurai inipun hanya karena takdir saja. Kekerasan tekad untuk
membalas dendam". Dia lalu menceritakan nasib keluarganya. Nasib yang menimpa diri mereka. cerita itu pernah dia
Ceritakan pada Datuk Penghulu Basa dan istrinya ketika lima belas hari dia terbaring. Dia juga menceritakan
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 74
nasib yang menimpa diri Mei-mei kepada kedua suami istri itu. Itulah sebabnya kenapa suami istri kusir bendi
itu merasa sayang pada Mei-mei. Mereka menganggap Mei-mei sebagai kakak si Upik. Dan kini Si Bungsu
menceritakan perihal dirinya pada Salim.
"Saya tak menyangka demikian pahitnya hidupmu Bungsu .." kata Salim, setelah Si Bungsu selesai
bercerita. Si Bungsu menarik nafas panjang, ketika Salim permisi sembahyang ke Mesjid di tepi jalan besar di luar
hutan bambu ini, Si Bungsu tegak dan berjalan perlahan dengan dibantu sebuah tongkat kerumah. Di ruang
tengah dia melewati istri Datuk Penghulu yang tengah sembahyang. Dia ingat belum sembahyang lohor. Tapi
dalam keadaan sakit begini apakah dia mungkin untuk sujud" Sembahyang duduk sajakah" Dia mencari kain
sarungnya. Mungkin dijemur. Dia kembali lewat di ruang tengah. Akan ke belakang mencari Mei-mei untuk
mengambil sarungnya. Namun di pintu ruang tengah dia tertegak seperti patung.
Dia tertegak diam melihat pada perempuan sembahyang yang tadi dia sangka istri Datuk Penghulu itu.
Perempuan itu nampaknya baru selesai sembahyang. Kini dia tengah menampungkan tangannya membaca
doa. Dan ketika dia benar benar selesai sembahyang, dia menoleh pada Si Bungsu. Si Bungsu benar-benar
terkesima. Dia ingin bicara, namun lidahnya terasa kelu.
"Koko .." akhirnya perempuan itulah yang bicara perlahan.
Masih dalam keadaan terpukau, Si Bungsu melangkah kembali ke ruang tengah. Perlahan dia duduk di
depan perempuan itu. Perempuan yang baru saja selesai sembahyang itu tak lain daripada Mei-mei.
"Koko .. sebentar ini aku berdoa untuk arwah ibu dan ayahku. Dan aku berdoa untukmu. Untuk
kesembuhanmu. Untuk keselamatanmu .."
"Mei-mei kau ..?" hanya itu kalimat yang terucap Si Bungsu.
Ada perasaan yang amat luar biasa menyelusup ke hatinya melihat gadis itu sembahyang Lohor.
"Ya, koko. Telah saya pikirkan. Dan saya memilih islam sebagai agama saya .."
"Tapi ?" "Saya merasa tentram dan damai setelah sholat. Bukankah koko yang mengatakan itu dipenginapan
dulu?" Si Bungsu masih tak kuasa bicara.
"Masih ingatkah koko waktu saya bertanya, apakah tak meletihkan sembahyang lima kali sehari
semalam" Koko katakan, bahwa diri koko merasa tentram dan damai setiap selesai sembahyang. Diri koko
merasa mendapatkan tenaga dan semangat baru setiap selesai sholat. Itulah yang mendorongku untuk masuk
Islam. Tak ada yang membujuk. Tak ada yang memaksaku. Di rumah ini kulihat mereka sembahyang semua.
Dan mereka bahagia, damai, sabar. Meskipun mereka miskin. Bukankah kedamaian dan kebahagian itu yang
dicari orang" Kusampaikan niatku itu pada Pak Datuk. Kusampaikan pada istrinya Mak Ani. Mereka
membawaku ke Mesjid. Mak Ani memandikanku. Dan Imam yang ada di mesjid itu membacakan dua Kalimah
Shahadat, dan kuikuti. Pak Datuk dan Salim serta Mak Ani sebagai saksi. Sejak hari itu, dua pekan yang lalu, aku
telah menjadi seorang muslimah. Dan aku memang mendapatkan kedamaian, ketentraman, semangat baru
setiap selesai sholat .. aku bahagia memilih Islam menjadi agamaku ?"
Tanpa dapat ditahan, mata si Bungsi jadi basah. Mei-mei menatap matanya yang basah. Dan pelan pelan,
mata gadis itu ikut basah. Dan tiba tiba mereka berpelukan.
"Koko, engkau sedih aku masuk Islam ?"
"Tidak Moy-moy. Tidak. Aku hanya akan sedih kalau kau masuk Islam hanya karena ingin
menyenangkan hatiku. Percayalah, tanpa masuk Islam pun engkau, aku tetap kusayang padamu. Engkau tetap
adikku .." "Tidak koko. Aku masuk Islam bukan karena engkau. Aku masuk Islam karena takdir Tuhan. Bukankah
takdir manusia di tangan Tuhan Yang Satu" Tuhan mentakdirkan aku bertemu denganmu. Tuhan pula yang
Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mentakdirkan aku masuk Islam. Aku bahagia menerima takdir itu koko. Sama seperti aku juga bahagia berada
di dekatmu?" "Terima kasih Moy-moy. Terima kasih adikku .."
Peristiwa itu dilihat oleh Datuk Penghulu yang baru pulang. juga dilihat dan didengar oleh Mak Ani, ibu
si Upik yang tegak di ruang tengah. Karenanya mereka pada mengusap matanya yang basah. Terharu melihat
persaudaraan kedua anak muda yang berlainan bangsa ini. Yang satu kehilangan seluruh familinya di tangan
Jepang. Yang satu kehilangan kehormatannya di tangan Jepang. Nasib mempertemukan mereka. Persis seperti
diucapkan oleh Mei-mei sebentar ini. Bahwa mereka dipertemukan oleh Takdir yang telah diatur oleh Yang
Satu. Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 75
-000Tanpa terasa setahun telah berlalu. Selama setahun itu Mei-mei dan Si Bungsu tetap tinggal di rumah
Datuk Penghulu di kampung Padang Gamuak Tarok. Mereka seperti tinggal di rumah orangtua sendiri. Datuk
Penghulu dan istrinya menerima mereka dengan tangan terbuka. Datuk Penghulu ternyata seorang pejuang
yang menghubungi anggota Gyugun, yaitu tentara Jepang yang berasal dari pemuda pemuda Indonesia. Dia
menginventarisir senjata yang berhasil dicuri, juga logistik, dikumpulkan untuk mempersiapkan bila terjadi
perang kelak. Dia juga mencatat nama nama para anggota Gyugun yang bersedia menjadi tentara Peta yaitu
pasukan Pembela Tanah Air. Kesibukan Datuk Penghulu akhir akhir ini memang makin meningkat.
Sementara itu, kemahiran Mei-mei dalam persilatan setahun ini maju dengan amat pesat. Salim yang
selama ini bertindak sebagai pembantu Datuk Penghulu untuk mengajar Mei-mei, kini sudah tercecer jauh
sekali. Bahkan dalam beberapa kali latihan, Mei-mei berhasil mengalahkan Datuk Penghulu. Datuk Penghulu
jadi sangat bangga dan bahagia mempunyai murid seperti dia. Berbeda dengan guru guru silat pada umumnya,
yang merasa terhina bila muridnya berhasil mengalahkannya. Datuk Penghulu justru merasa karena tak ada
lagi ilmu yang bisa dia turunkan kepada Mei-mei.
Sedangkan Si Bungsu juga melatih samurainya. Dia tak ikut belajar silat. Meskipun Datuk Penghulu
pernah menawarkan padanya untuk ikut namun dia merasa sudah terlambat. Keinginannya kini hanya satu,
membalaskan dendam keluarganya membunuh Saburo dengan samurainya. Ayahnya telah bersumpah sesaat
sebelum mati, bahwa dia akan menuntut balas membunuh Saburo dengan samurai. Dia saksi langsung saat
sumpah itu diucapkan. Adalah kewajibannya untuk melaksanakan. Karena itu, selama setahun di rumah Datuk
dia melatih kecepatan samurainya dalam hutan bambu yang ada di sana.
Dia mengulangi lagi cara latihannya seperti di gunung Sago dahulu. Mencabut dan memasukkan samurai
secepat yang mampu dia laksanakan. Memancungkannya keempat penjuru. Berkali kali hal serupa itu dia
ulangi. setelah kecepatannya kembali normal, lalu dia memejamkan mata, memusatkan konsentrasi.
Mengerahkan tenaga untuk mendengarkan geseran yang paling halus sekalipun ketika angin berhembus.
Beberapa daun bambu jatuh. Dia menanti, ketika daun bambu itu tinggal sedepa dari permukaan tanah
dia mencabut samurainya, secepat kilat. Kemudian dengan masih tetap memejamkan mata, dia bergerak dua
langkah kekanan. Menyabetkan samurainya dua kali. Dua helai daun bambu terbelah.
Kemudian berguling cepat kekiri, menyabetkan samurainya dua kali, sehelai daun bambu belah dua. Dan
sehelai lagi luput dari tebasan samurainya. Dia mengulangi latihan begitu terus menerus. Hingga akhirnya
kecepatan dan kemahirannya bertambah dari yang sudah sudah. Selama setahun itu mereka tetap tinggal
bersama Datuk Penghulu dan Tek Ani. Dengan uang yang mereka bawa dari Payakumbuh, ditambah perhiasan
yang mereka peroleh dari rumah Babah gemuk pimpinan komunis itu, Mei-mei dan Si Bungsu dapat membantu
kehidupan Datuk itu. Bahkan Mei-mei menyuruh si Upik sekolah terus dengan biayanya. Malam itu, ketika
Datuk Penghulu dan Si Bungsu tak di rumah, Mei-mei tengah membaca Al Quran, Tek Ani dan Upik
menyimaknya. Suaranya yang halus lembut seperti membelah hutan bambu. Menyelusup di antara pohon
pohon dan daunnya yang hijau. Di rumah Datuk itu hanya mereka bertiga kini.
Datuk Penghulu entah berada dimana. Kegiatannya sangat memuncak. Sebab waktu itu adalah
penghujung bulan Juli 1945. Yaitu dua pekan lagi sebelum Proklamasi dibacakan di Pengangsaan Timur Jakarta.
Pejuang pejuang Indonesia saling mengadakan kontak dengan tokoh tokoh pergerakan. Datuk Penghulu
pimpinan dari delapan kurir utama kaum pejuang yang berpusat di Bukittinggi. Dialah yang menghubungkan
kontak antara Mayor Dakhlan Jambek yang saat itu bertugas dalam Gyugun dan bermarkas di Pasaman dengan
Mayor Makkimuddin di Payakumbuh.
Kepada mereka disampaikan pesan pesan dari Engku Syafei. Tokoh pejoang di bawah tanah yang
bermarkas di Kayu Tanam. Kontak itu juga menghubungkan mereka dengan encik Rahmah El Yunussiyah.
Seorang pejuang wanita yang mendirikan sekolah Diniyah Puteri di Padangpanjang. Menjelang hari
Proklamasi, kesibukan para pejuang sangat meningkat. sebaliknya, Kempetai yang merupakan Polisi Militer
Jepang, memperketat pula pengawasan mereka.
Sudah tentu anggota anggota Gyugun yang berasal dari pemuda Indonesia berada dalam pengawasan
utama dan sangat ketat. Gerak gerik mereka diawasi secara rahasia. Dari pengawasan dan penyelidikan itulah
bocor rahasia tentang diri Datuk Penghulu ayah si Upik di Padang Gamuak itu. Dari penyelidikan diketahui
bahwa kusir bendi hanya dibuat sebagai kedok saja dari tugas mata matanya. Kempetai menyiapkan suatu
penyerangan ke rumahnya. Dan malam itu lima orang Kempetai pilihan datang kerumah mereka. Namun seperti telah diutarakan di
atas, saat itu Datuk tersebut tak ada di rumah. Yang ada hanyalah istri Datuk itu, Mei-mei dan si Upik.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 76
Perempuan ketiganya. Si Bungsu sendiripun tak ada di rumah tersebut. Dia tengah menggantikan tugas Datuk
Penghulu membawa bendinya. Ada berita penting yang sedang dia nanti di kota. Yaitu tentang diri Saburo.
Untuk itu dia menyamar sebagai kusir untuk menemui kurir di kota. Tek Ani, si Upik dan Mei-mei kaget dan
terhenti mengaji tatkala pintu didobrak oleh Kempetai.
"Mana Datuk Penghulu .."
Seorang Kempetai bertanya dengan senjata terhunus. Sementara yang seorang lagi mengawasi setiap
sudut rumah. Mata mereka merah dan nyalang. Waspada terhadap segala kemungkinan. Ketika pernyataan itu
diulangi, barulah tek Ani menjawab, bahwa suaminya memang tak ada. Orang yang menggeledah itu kemudian
berbisik bisik dengan Komandannya yang berpangkat Djun-i (Pembantu Letnan) yang memimpin
penggerebekan itu. Djun-i itu menatap Mei-mei dengan mata berkilat. Ketika dia mengangguk, yang berbisik
tadi lalu keluar. Lalu terdengar suaranya menyuruh jaga sekitar rumah itu. Dari jawaban di luar, Mei-mei segera
tahu bahwa di luar ada tiga orang lagi tentara Jepang.
"Hei, kamu sini ikut. Saya mau periksa .." Ujar Djun-i itu kepada Mei-mei.
Si Upik mulai menangis. Tapi dia terdiam begitu dibentak oleh Kempetai yang seorang lagi. Perlahan
Mei-mei bangkit. Mei-mei itu menelan ludahnya melihat tubuh montok gadis cina itu. Segera saja dia menyeret
tangan Mei-mei ke bilik yang biasanya ditempati Si Bungsu.
Kemudian pintu dia tutup, Si Upik memeluk ibunya dengan wajah pucat. Sementara serdadu yang satu
lagi menatap mereka dengan seringai buruk. Dari dalam kamar terdengar suara gelosok posoh tak menentu.
Dan Kempetai yang di ruang tengah itu menelan ludahnya beberapa kali. Membayangkan kenikmatan yang
sedang dikenyam oleh komandannya di dalam bilik itu bersama gadis montok tadi. Dia jadi tak sabaran
menunggu giliran, cukup lama dia menanti, dan tiba tiba pintu kamar terbuka. Mei-mei muncul dengan senyum
di bibir. Dia memberi isyarat pada Kempetai yang ada di ruang tengah itu. Kempetai itu bergegas.
Tak peduli komandannya tadi belum keluar, yang jelas dia harus cepat mendapat giliran. Dia masuk
kamar itu. Didapatinya komandannya masih terbaring dalam pakaian lengkap. Tapi yang menjadikannya heran
adalah karena komandannya itu terbaring tidak di tempat tidur. Melainkan di lantai. Pertanyaan belum
menjawab, ketika dia berpaling pada gadis itu, tangan gadis itu bergerak cepat sekali. Pukulan dengan sisi
tangannya mendarat di tengkuk Kempetai itu. Kempetai tersebut bukanlah orang lemah. Sebagai seorang
Kempetai, dia belajar karate dan Yudo. Pukulan pertama dia tangkis dengan tangannya. Namun meleset.
Pukulan gadis itu amat cepat. Tapi pukulan itu belum merubuhkannya. Dalam keadaan heran dan kaget
Kempetai itu coba memeluk gadis tersebut.
Itulah kesalahannya. Mei-mei membiarkan Kempetai itu memeluknya, disaat tubuh mereka merapat,
Mei-mei menghantamkan lututnya keatas. Mendarat persis di selangkang Jepang itu. Jepang itu hampir saja
terpekik. Mei-mei bertindak cepat. Tangannya segera menutup mulut Jepang itu. Kalau teriakannya sampai
kedengaran oleh tiga temannya di luar, bisa berbahaya. Dan Kempetai itu melosoh turun. Kentang kentangnya
pecah. Mei-mei hari ini bukan lagi Mei-mei setahun yang lalu.
Bukan lagi Mei-mei yang lemah yang tak dapat berbuat apa apa ketika tubuhnya digumuli oleh perwira
perwira Jepang di Payakumbuh dulu. Mei-mei hari ini adalah gadis yang telah berisi. Dia membuktikan hal itu
dengan merubuhkan kedua Kempetai ini dengan mudah. Kempetai yang berpangkat Djun-i yang masuk
pertama kali tadi juga mendapatkan perlakuan yang sama. Begitu masuk dan menutup pintu, dia segera
memeluk dan berusaha mencium gadis itu.
Mei-mei seperti akan membalas pelukannya. Namun kedua tangannya memegang leher Djun-i itu.
Begitu terpegang lehernya, sementara Jepang itu masih asik menciumi mukanya, Mei-mei menghantam
lututnya keselangkang Jepang itu. Ketika Jepang itu tersentak kaget dan amat sakit, kedua tangannya
memegang leher Jepang itu bergerak pula. Yang satu mencengkram rambut di belakang kepala Kempetai itu.
Tangan yang satu lagi menghantam dagunya. Rambut Jepang itu dia tarik sekuat kuatnya arak kekanan.
Sementara dagunya dipukul arah kekiri.
Akibatnya kepala Jepang itu terputar dengan paksa amat kuat. Terdengar suara tulang berderak. Leher
Jepang itu patah tulangnya. Dia mati tanpa sempat berteriak. Itulah yang dialami oleh Djun-i yang masuk
pertama kali. Kini sudah dua orang selesai oleh Mei-mei. Benci dan dendam yang telah lama menyala dalam
dada gadis ini kepada Jepang yang telah melaknati tubuhnya, kini mendapat tempat pelampiasannya. Diam
diam dia mengunci pintu kamar. Kemudian mengambil samurai yang panjangnya dua jengkal yang tersisip di
pinggang Djun-i yang telah mati itu. Lalu perlahan dia membuka jendela dan berjingkat dia keluar. Masuk
kedalam malam yang gelap.
Tadi dia mendengar ada tiga Jepang lagi menjaga di luar rumah. Dia ingin menyudahi ketiga Jepang
jahanan itu. Perlahan lahan dia menuju ke depan. Tiba tiba langkahnya terhenti. Dari depan seorang Kempetai
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 77
rupanya menaruh curiga akan situasi rumah yang sepi itu. Dengan bedil terhunus dia mengitari rumah
tersebut. Dan dia melihat sesosok bayangan tegak mematung dekat dinding.
"Siapa itu..!" Jepang itu membentak sambil mengacungkan bedil yang siap memuntahkan peluru.
"Malaikat maut.." Jawab Mei-mei dengan suara mendesis tajam. Dan seiring dengan itu tubuhnya
bergulingan di tanah. Dalam tiga kali bergulingan yang amat cepat, dari posisi berbaring menyamping di tanah,
kaki kanannya menghantam keatas. Terdengar seruan terkejut dan kesakitan dari mulut Jepang itu ketika sisi
kaki Mei-mei yang terlatih mendarat di perutnya. Namun Jepang itu tak rubuh. Dia hanya terjajar kebelakang.
Bedil masih terpegang ditangannya. Dan justru saat itu, dalam keadaan terjajar kebelakang itu,
telunjuknya menarik pelatuk bedil. Suara dentaman bedil mengoyak malam yang kelam. Membuat terkejut
kedua temannya yang berada di depan. Mereka segera berlari kesamping.
Mei-mei merasa bahunya pedih. "Aku kena," bisik hatinya. Namun dia tak menyerah. Masih dia ingat
betapa jahanam ini ketika di Payakumbuh dulu melanyau dirinya. Mungkin memang tidak mereka. Tapi
komandan komandan mereka. Namun apa bedanya. Tubuhnya segera bangkit. Sebelum kedua Kempetai yang
ada di depan sampai ketempat itu, sebuah tendangan lagi menghantam kerampang Jepang itu. Kali ini bedilnya
jatuh. Kedua tangannya menggigil memegang tempat yang baru saja kena tendangan. Terdengar keluhan yang
menegakkan bulu tengkuk. Dia segera saja jatuh di kedua lututnya. Tendangan itu benar benar tendangan malaikat maut. Ketika dia
terjatuh di atas kedua lututnya itulah sebuah tendangan sisi kaki mendarat di tengkuknya. Riwayat Kempetai
itu the end di sana. Saat itu pula kedua serdadu yang tadi ada di depan sampai di situ. Mereka melihat temannya
terduduk. Yang paling depan mengangkat bedil. Namun jaraknya dengan Mei-mei terlalu dekat. Bedilnya
direngutkan oleh gadis itu. Tubuh Jepang itu terhuyung kedepan.
Sebuah tinju menyongsong mulutnya. Tangan Mei-mei terasa ngilu. Buku jarinya mendarat dengan telak
di bibir Jepang itu. Tapi kalau buku buku jarinya ngilu, maka Jepang itu merasa mulutnya bengkak. Dan hampir
saja dia menelan giginya yang copot tiga buah. Kempetai ini tak melihat dengan jelas siapa lawannya. Namun
dia tahu, orang ini pastilah pesilat. Dan mereka sudah mengetahui, bahwa silat di Minangkabau tak dapat
dianggap enteng. Bedilnya sudah sejak tadi lepas. Yaitu sejak mulutnya kena bogem mentah. Tapi kini dengan
cepat kakinya melayang kedepan. Mengirimkan sebuah tendangan karate bernama maei-geri yang telak.
Mei-mei melihat gerakan yang cepat itu. Dia menyilangkan kedua lengannya kebawah, menanti
tendangan itu. Sebuah tangkisan Silang Bawah yang ampuh dari Silek Tuo dalam menangkis tendangan yang
datang dari bawah. Tapi gadis ini memang belum berpengalaman. Dia memang mahir bersilat, tapi baru kali ini
berkelahi langsung. Dan justru mempertaruhkan nyawa. Tangkisan silang bawah itu sebenarnya memang
ampuh untuk menangkis tendangan pesilat Minang yang umumnya tak bersepatu. Tapi Kempetai ini memakai
sepatu. Lagipula tangkisannya agak teriambat. Tak ampun lagi, tulang tangannyalah yang kena tendang. Meimei terpekik. Tangannya segera saja jadi bengkak. Dan Jepang itu segera menyadari dari suaranya, bahwa
lawannya ini adalah seorang perempuan.
"Onaaa ?" serunya.
"Onaa ?" (perempuan) tanya kawan di belakangnya.
"Haik?" jawabnya.
Dengan jawaban begitu, Kempetai itu maju ingin memeluk Mei Mei. Ingin menangkap dan meringkusnya
hidup hidup, Namun disinilah kesalahan tentara Jepang itu. Disini pula kebanyakan kesalahan setiap lelaki
dalam menghadapi perempuan. Selalu mendahului nafsu. Begitu dia mendekat, Mei-mei yang sudah bertekad
untuk membunuh atau dibunuh itu segera menghunus samurai pendek yang tadi dia ambil dari pinggang
Kempetai yang mati dalam bilik.
Ketika tangan Kempetai ini terjulur, tangannya juga terulur".. crep samurai tajam dan tipis itu masuk
persis ke jantungnya. Kempetai itu terbelalak menyeringai sakit. Suaranya seperti suara kerbau disembelih.
Gadis itu tak mau tanggung tanggung. Samurai itu dia renggutkan dengan kuat ke kanan. Merobek dada Jepang
itu selebar satujengkal. Lalu samurai itu dia cabut dengan cepat dan dia tikamkan keleher Jepang itu Demikian
cepat peristiwa itu. Demikian lihai gadis ini menjadi pembunuh orang yang dia benci. Kehidupan keras yang
dialami selama tahun tahun yang hitam di Payakumbuh, membuat hatinya tak mudah terguncang melihat
kematian. Umurnya masih sangat muda. Belum cukup delapan belas tahun. Tapi lihatlah, Kempetai yang satu lagi
benar benar tertegun melihat perkelahian itu. Tak pernah dia sangka seorang wanita bisa berbuat begitu. Tapi
dia sadar wanita ini amat berbahaya. Dengan kesadaran demikian, dia menghantamkan pangkal bedilnya ke
tengkuk Mei-mei. Mei Mei merasa ada gerakan angin di belakangnya. Dengan cepat dia menjatuhkan diri. Kedua
tangannya bertelekan di tanah. Namun tangan kirinya terasa lumpuh. Kelumpuhan akibat tembakkan dan
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 78
tendangan tadi. Dengan tangan kanan bertelekan dia menghujamkan kakinya kebelakang. sebuah cuek
belakang yang telak. Jepang itu tersurut selangkah ketika kena hantam pahanya. Terasa sakit kena hantam
tumit gadis itu. Kempetai ini memutar bedil, mengarahkan moncong bedil itu ke depan untuk menembak, namun saat
itu pula Mei-mei berputar sangat cepat. Tangan kanannya yang memegang samurai terayun cepat pula. Samurai
itu melesat dalam gelap dan menancap persis di antara kedua mata si Kempetai. Begitu samurai pendek itu
lepas dari ujung ujung jarinya Mei-mei berguling lagi dengan cepat ke kanan. Bedil Jepang itu menyalak saat
dia sudah dua kali dia bergulingan. Peluru bedil itu menerpa tempat kosong, bersamaan rubuhnya tubuh
Kempetai itu. Mei-mei tersandar ke dinding rumah. Nafasnya memburu. Suasana sepi. Salak anjing yang biasanya riuh
di malam begini, kini pada terdiam mendengar suara dua kali letusan itu. Mereka menyurutkan diri ke dalam
semak atau ke bawah rumah. Sebab sudah beberapa kali Jepang memburu anjing. Memburunya masuk
kampung keluar kampung. Menurut Jepang, anjing itu harus dibunuhi. Sebab dia memakan makanan yang
harusnya jadi makanan manusia. Tambahan lagi, yang paling parah, anjing anjing itu sedang dijangkiti penyakit
rabies. Penyakit yang biasanya menulari anjing bila penduduk suatu negeri dilanda kekurangan makanan.
Dewasa itu pula, penduduk mana di Indonesia yang tak kekurangan makanan di bawah Pemerintahan Rasisme
Jepang " Manusia dan anjing memang saling berebutan makanan. Suatu tragedi sebenarnya. Tapi begitulah
sejarah mencatatnya. Penduduk Indonesia yang mengalami tahun tahun penderitaan di bawah kuku Jepang itu,
akan tetap mengingatnya sampai mati. Etek Ani dan si Upik yang sejak tadi duduk berpelukan di ruangan
tengah, yaitu sejak Mei-mei diseret masuk bilik oleh Djun-i, kini menanti dengan tegang.
"Unii. Uni Uni Mei-mei?" si Upik memanggil di antara tangisnya.
Memanggil uninya yang tak kunjung keluar dan tak kunjung terdengar suaranya dari dalam bilik yang
tadi dimasuki dua orang Kempetai itu. Tak ada jawaban dari dalam.
"Uni Mei Mei .." si Upik mulai menangis. Dia berdiri menuju kepintu bilik.
"Uni " buka pintu uni .."
Tak ada jawaban. Sepi"!!
Tiba tiba etek Ani mendengar suara halus. Dia mengangkat kepala. Suara itu seperti dari luar.
"Upik " , Etek ?"
Suara itu terdengar lagi. Seperti suara Mei-mei. Istri Datuk itu tegak. Dia seperti mendengar suara itu
dari luar. Kenapa dari luar "
"Etek .. tolong saya. Saya di luar .." Ujar suara itu perlahan, seperti orang kehabisan tenaga. Si Upik
mendengar pula suara itu. ibunya mengambil lampu dinding. Kemudian perlahan membuka pintu Melangkah
kesamping pintu. Mereka tertegak kaku melihat tiga tubuh Kempetai yang telah jadi mayat. Lalu mereka
melihat tubuh Mei-mei tersandar di dinding rumah. Dari bahu kirinya darah mengalir. Kepala gadis itu terkulai.
Dan matanya menatap sayu.
"Mei-mei?" "Etek ?" himbau gadis itu lirih.
Upik menangis memeluk uninya itu. Istri Datuk berusaha menolong Mei-mei untuk bangkit dan
memapahnya ke dalam. Tapi gadis itu menolak.
"Mayat mayat ini harus disembunyikan etek. Komandan mereka yang menugaskan mencari pak Datuk
kemari pasti akan curiga kalau mereka tak kembali pada waktunya. Mereka akan mengirimkan pasukan lagi
kemari. Bukankah di belakang rumah ada lobang besar tempat membakar sampah " Seretlah mayat ini kesana.
Nampaknya etek terpaksa bekerja dengan upik. Saya tak dapat membantu. Bahu saya tertembak. Di dalam
kamar masih ada dua mayat lagi. Seretlah etek" kemudian timbun dengan apa saja. Asal mayat mereka tak
kelihatan" Istri Datuk itu memang tak melihat jalan lain yang lebih baik selain mengikuti petunjuk Mei-mei. Dengan
mengerahkan semua tenaganya, dengan bantuan si Upik, dia menyeret kelima mayat Kempetai itu ke lobang
pembakaran sampah di belakang rumah. Mei-mei hanya mampu melihat dari tempatnya bersandar. cukup
lama pekerjaan itu mereka lakukan. Setelah selesai istri Datuk itu berniat membawa Mei-mei masuk. Namun
Mei-mei menggeleng. "Tidak etek. Berbahaya kalau saya masuk kerumah.
Kalau Kempetai datang dan ternyata teman temannya tak ada, mereka akan memaksa kita. Barangkali
mereka juga berniat memperkosa saya. Dan mereka akan melihat dan mengetahui luka saya ini adalah luka
bekas tembakan. Mereka akan curiga. Kematian kelima teman mereka akan segera mereka ketahui.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 79
Sembunyikan saja saya ke tempat lain. Bawa saya kepondok kecil di tengah rumpun bambu di samping sana.
Biarlah saya di sana menjelang koko pulang ?"
"Saya akan ikut dengan uni ?" si Upik berkata sambil menangis.
"Tidak Upik. Upik harus tetap bersama etek di rumah. Tolong ambilkan obat di kamar uni. obat ramuan
yang dulu diberikan koko kepada kita. Ingat ?"
Upik mengangguk. Kemudian cepat masuk. Mengambil obat, kain dan beberapa potong kue yang mereka
beli siang tadi. Kemudian sebuah bantal dan tikar. Dengan suluh mereka segera menuju kepondok kecil di
tengah hutan bambu itu. Pondok itu dibuat oleh Si Bungsu untuk istirahat jika selesai latihan. Sesampai d i
pondok Mei-mei minta tolong menaburkan obat ramuan itu di lukanya.
Peluru bedil Kempetai itu ternyata menembus bahunya dari depan tembus ke belakang. Luka di
belakang tiga kali selebar luka yang di depan. Gadis itu sudah sangat pucat karena darah banyak keluar. Setelah
ramuan obat yang dibawa Si Bungsu dari gunung Sago itu ditebarkan dilukanya, dia kelihatan sedikit tenang.
"Pulanglah etek, Upik. Kalau koko datang, katakan aku di sini ?"
"Tidak. Upik tidak pulang. Upik di sini mengawani uni ?"
Si Upik tak tahan untuk tak menangis melihat penderitaan Mei-mei. Mei-mei jadi terharu. Dia belai
kepala adiknya itu. "Tidak Upik. Upik harus menemani amak di rumah.
Bagaimana kalau Jepang datang, dan dia menganggu amak ?""
"Amak juga di sini. Amak jangan pulang. Kita di sini saja bersama uni ya mak?" si Upik membujuk ibunya
Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
diantara tangisnya. "Tidak Upik. Kalau Upik dan amak di sini, Jepang pasti curiga. Mereka akan membakar rumah dan
mencari kita sampai dapat. Upik dan amak harus di rumah. Menjawab pertanyaan Jepang yang datang.
Mei-mei berusaha meyakinkan gadis kecil itu. Akhirnya Upik pulang juga bersama ibunya. Mei-mei
tinggal sendiri. Dia tak berani menghidupkan lampu togok yang ada di pondok itu. Tidak juga menghidupkan
api unggun untuk menghalau nyamuk. Dia khawatir kalau api yang dia pasang akan kelihatan oleh Jepang. Gadis
ini memang mempunyai firasat yang tajam. Sebab tak lama setelah Upik dan ibunya sampai di rumah,
sepasukan tentara Jepang sampai pula di sana.
Sementara itu, di sebuah kedai kopi di pasar atas, Si Bungsu telah menantikan kedatangan seorang lelaki.
Bendinya tegak tak jauh dari kedai kopi. Kegiatan Jepang nampaknya makin sibuk menjelang awal Agustus itu.
Perang melawan Sekutu di Samudra Pasifik mengirimkan berita tak menyenangkan Jepang ke seluruh tanah
jajahannya. Tiba tiba Si Bungsu melihat lelaki yang dia nanti itu muncul dari arah Jam Gadang.
Lelaki itu adalah kurir dari Datuk Penghulu Basa. Dari dia diharapkan berita tentang dimana kini Kapten
Saburo Matsuyama berada. Sampai saat ini, Si Bungsu belum mengetahui kalau Kapten yang telah naik pangkat
jadi Mayor itu telah dipaksa pensiun dan dipaksa pulang ke Jepang oleh Kolonel Fujiyama. Lelaki itu nampak
tergesa. Si Bungsu hanya menoleh sebentar. Kemudian membelakangi lelaki itu, menghadap kopi dan pisang
gorengnya. Lelaki itu mengambil tempat duduk disampingnya.
(15) "Kopi pahit satu ?" Katanya sambil menjangkau sebuah goreng ubi. Dia mengunyah goreng itu.
Sementara Si Bungsu menghirup kopinya. Lelaki yang baru datang itu melayangkan pandangannya ke berbagai
penjuru. Ketika dia lihat tak ada yang mencurigakan, dia berkata perlahan.
"Dia sudah dipensiunkan ?"
Si Bungsu menghirup lagi kopinya, lalu bertanya.
"Dimana dia kini ?"
"Sudah pulang ke Jepang ?"
Si Bungsu tertegun. Hampir saja gelas di tangannya jatuh. Sudah pulang ke Jepang Mungkinkah itu" Dia
seharusnya tak menoleh pada lelaki tersebut. Namun dia tak perduli. Dia menatap pada lelaki yang tetap saja
menatap kedepan dan mengunyah goreng ubinya.
"Pulang ke Jepang ?"
"Ya. Fujiyama tidak suka tentara Jepang bertindak sadis. Karena itu dia memaksa Mayor itu untuk
pensiun dan memaksanya untuk pulang ke Jepang"
"Tapi buktinya masih banyak pembunuhan dan pemerkosaan yang dilakukan oleh tentara Jepang .."
"Ya. Dan itu pasti tak sampai ketelinga Fujiyama.Sebuah peraturan dan disiplin yang baik yang
diputuskan atasan, belum tentu baik pelaksanaannya sampai ke bawah. Tapi jelas, Fujiyama sebagai pimpinan
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 80
tertinggi pasukan Jepang di Sumatera telah berbuat banyak untuk membuat pasukannya agar tak menjadi iblis.
Hanya saja bawahannya tak semua mendukung kebijakannya. Atas kebersihannya itu, Fujiyama telah
dinaikkan pangkatnya dari Tei Sha (Kolonel) menjadi Syo Sho (Mayor Jenderal).."
"Kenaikan dua tingkat ?"
"Tidak. Hanya satu tingkat. Dalam ketentaraan Jepang tak dikenal pangkat Brigadir Jenderal. Dari
Kolonel langsung ke Mayor Jenderal ?"
"Sudah berapa lama Saburo pulang ke Jepang ?"
"Tiga bulan yang lalu .."
"Tiga bulan yang lalu ?"
"Ya .." "Sebelum itu dia berada di kota ini ?"
"Tidak. Setelah pindah dari Payakumbuh, dia berada di kota ini dua bulan. Kemudian diangkat menjadi
chu-Tei cho (Komandan Kompi di Batusangkar). Dan ketika dia .." ucapan lelaki itu terhenti ketika mereka
mendengar suara bentakan dan derap sepatu.
Mereka menoleh, dan empat orang Kempetai kelihatan menuju ke arah mereka. Di depan mereka ada
seorang lelaki. Jelas lelaki itu orang Indonesia. Lelaki itu menunjuk kearah kedai kopi dimana kini mereka
duduk. "Jahannam. Ada penghianat. Saya sudah menduga, banyak orang awak yang jadi penghianat. Awas dia
"saya harus pergi"
Lelaki itu beranjak cepat. Namun bentakkan menyuruh berhenti terdengar dari mulut Kempetai itu.
Karena hari malam, lelaki itu tak perduli. Dia melompat, namun saat itu senapan Kempetai itu meledak. Lelaki
itu terpekik rubuh. Kakinya kena tembak. Kempetai Kempetai itu berlarian dengan samurai terhunus.
"Larilah Bungsu. Katakan pada pak Datuk saya terbunuh di sini. Saya akan melawan sampai tetes darah
terakhir .." Lelaki itu bicara sambil tetap berguling seperti mati. Keempat Kempetai itu sampai di sana. Yang satu
menunduk membalikkan tubuh lelaki yang sampai saat itu tak diketahui oleh Si Bungsu siapa namanya. Begitu
Jepang itu menjamah tubuhnya, begitu lelaki itu bergerak. Tangannya terayun keatas. Keris di tanganya
menancap di leher Kempetai itu. Mati Demikian cepatnya peristiwa itu berlangsung. Si Bungsu masih duduk
ditempatnya tadi. Tangannya masih memegang gelas berisi kopi. Pemilik lepau itu juga tertegak diam.
Kini, kedua Jepang yang masih hidup bersama lelaki yang tadi menunjuk kearah mereka, yang dimaki
sebagai jahanam penghianat oleh kurir anak buah Datuk Penghulu Basa itu, mendekat ke lepau. Si Bungsu
tertegun menyaksikan peristiwa kematian anak buah Datuk Penghulu tersebut. Lelaki itu telah berkata
sebelum dia mati, bahwa dia akan berjuang sampai tetes darah terakhir. Lelaki itu sudah memilih jalan
berjuang sampai mati dari pada harus tertawan oleh Kempetai.
Sebab sudah bukan rahasia lagi, setiap pejuang yang melawan Jepang, yang berhasil ditawan Kempetai,
akan mendapatkan siksaan yang amat pahit sebelum nyawa mereka direngutkan. Kalau begitu ditangkap
kemudian dibawa kedepan regu tembak atau dipancung, tak akan jadi soal. Artinya mereka tak takut
menghadapi kematian yang demikian. Tetapi menghadapi siksaan cabut seluruh kuku, kemudian jari jemari
dipatahkan satu demi satu, kemudian rambut dibotaki dengan cara mencabutnya, siapakah yang akan tahan "
Begitulah penyiksaan model Kempetai.
Daripada menyerah dalam tahanan, menyerah dengan menyebutkan rahasia teman teman, lelaki itu
merasa lebih baik mati dalam perlawanan. Dan dia telah membuktikan hal itu di hadapan mata Si Bungsu.
Tanpa dapat ditahan, air mata meleleh di pipi anak muda itu. Dia teringat pada ayahnya. Pada pejuang
pejuang yang telah mengorbankan nyawa mereka demi mengusir penjajah. Dan dia juga teringat pada si
Baribeh dan si Juling yang sampai hati berkhianat. Dia juga teringat lelaki yang jadi tukang tunjuk tadi. Dia
yakin lelaki itu pastilah orang Minang juga. Dia melihat hal itu pada gaya dan pakaiannya. Kedua Kempetai dan
lelaki tukang tunjuk itu berhenti tiga depa di belakangnya. Dia dengar suara bedil dikokang. Lalu sebuah suara
serak. "Hei, kamu pemilik lepau dan yang pakai baju hitam, kemari cepat. Kemari dengan mengangkat
tanganmu tinggi-tinggi . . ."
Pemilik lepau itu menatap dengan tenang pada Si Bungsu. Si Bungsu heran melihat ketenangan lelaki
itu. Lambat lambat tangan lelaki itu mendekati meja di depannya. Dan sekali pandang, Si Bungsu melihat keris
di atas meja yang dipenuhi pisang itu. Segera saja Si Bungsu dapat menebak, lelaki ini pastilah salah seorang
kurir atau mata mata pihak pejuang Indonesia. Sebab kalau tidak, takkan mungkin Datuk Penghulu menyuruh
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 81
dia menanti kurir yang telah mati itu di lepau ini. Si Bungsu juga segera menyadari bahaya besar kalau sampai
pemilik lepau ini mengambil kerisnya.
Dia berada di bawah bayangan lampu, gerakannya pasti kelihatan oleh Kempetai yang sudah siap
dengan bedil terkokang. Lelaki itu akan mati sebelum dia sempat berbuat apa apa. Tapi dia tak bisa memberi
ingat, lelaki itu sudah menjamah kerisnya. Saat itulah Si Bungsu melemparkan gelas berisi kopi di tangannya
kebelakang, ke arah Kempetai itu.
Serentak dengan itu tangannya menyambar samurai di pahanya. Tubuhnya dia jatuhkan ke belakang.
Tiga kali bergulingan cepat, lalu samurainya bekerja. Kedua Kempetai itu semula menatap dengan bengis
melihat gerak tangan lelaki itu mengambil kerisnya.
Mereka sudah siap menarik pelatuk bedil begitu keris diangkat. Tapi mereka jadi kaget ketika tiba-tiba
sebuah gelas berisi kopi panas melayang ke wajah mereka. Mereka lalu menghindar sebisanya, namun tetap
saja wajah mereka terpercik kopi panas itu. Mereka tahu siapa melemparkan gelas kopi ini. Pasti orang yang
duduk si sebelah kurir yang telah mati itu. Namun begitu mereka bersiap. begitu Si Bungsu sampai di dekat
mereka dengan cara bergulingan di tanah. Dan "
Sret " sret .. snap!!
Dua buah sabetan amat cepat, kemudian sebuah tikaman ke belakang. Tikam Samurai. Kedua Kempetai
itu mati di tempat. Bedil di tangan kedua Jepang itu tak pernah menyalak. Tapi orang orang sudah berkerumun
di kejauhan. Pemilik lepau itu tertegun. Keris di tangannya, belum sempat dia cabut dari sarungnya, kini masih
terpegang di tangannya. Dia masih belum beranjak setapakpun dari tempatnya. Dia ingin mengadakan
perlawanan, tapi musuh yang akan dilawannya itu sudah mati keduanya. Demikian cepat anak muda itu
bertindak. Lelaki yang tadi jadi tukang tunjuk melihat gelagat tak baik itu segera lari. Namun pemilik lepau itu
melihatnya, demikian pula Si Bungsu. Pemilik lepau itu dengan menggeretakkan gigi menghayunkan tangan.
Kerisnya melayang memburu lelaki yang akan lari itu. Demikian pula Si Bungsu. Dia menjadi benci separo mati
pada si Minang yang sampai hati menghianati bangsanya.
Tangannya bergerak pula. Samurai panjangnya melesat dalam kegelapan malam. Lelaki itu tiba tiba
terhenti larinya. Matanya mendelik, lalu rubuh. Dalam cahaya listrik yang remang remang, orang melihat
sebuah keris menancap hampir seluruhnya di tengkuk lelaki itu. Sementara sebuah samurai tegak di
punggungnya. Persis di bahagian jantung. Menembus sampai ke dada. Lelaki itu tertelungkup.
Jam Gadang yang tak jauh dari tempat lelaki itu rubuh berdentang sebelas kali. orang orang di pasar atas
yang telah dewasa saat itu pasti takkan pernah melupakan peristiwa ini. Pada Kamis malam Jumat diakhir
bulan Juli tahun 1945 itu adalah malam malam kematian bagi banyak Serdadu Jepang di Bukittinggi. Kota
dimana Markas Besar Balatentara Jepang se Sumatera berkedudukan.
"Kemari, ikuti saya ?" tiba tiba Si Bungsu mendengar suara.
Dia lihat lelaki pemilik lepau itu mencabut keris dari tengkuk si lelaki. Dan berlari arah ke arah Pasar
Teleng. Si Bungsu menuruti lelaki tersebut mencabut samurainya dari tubuh penghianat itu. Kemudian
memangku tubuh kurir yang tadi menyampaikan berita tentang Saburo. Dan dengan cepat dia mengikuti lelaki
pemilik lepau itu. Dari kejauhan mereka mendengar suara peluit dan bentakkan tentara Jepang. Suara derap
sepatu terdengar memburu. Namun saat itu mereka telah aman. Sebuah toko terbuka ketika lelaki pemilik
lepau itu lewat. Lelaki itu masuk kesana dan Si Bungsu ikut.
Pemilik toko itu menutupkan pintu dengan cepat. Mengunci dengan sebuah balok besar. Tak lama
setelah itu derap sepatu berlarian di luar. Derap sepatu Kempetai. Tentara Jepang itu seperti mencari hantu
yang hilang dalam gelap. Sementara pemilik toko di Pasar Teleng itu membawa mereka keruang bawah
tokonya. "Jangan khawatir. Di sini aman. Suara takkan terdengar ke atas sana. Letakkan mayat itu di pembaringan
?" kata pemilik toko tersebut. Si Bungsu meletakkan mayat kurir itu di tikar.
"Hmm, Sutan Pangeran rupanya .." kata pemilik toko setelah melihat mayat itu, kemudian menatap pada
Si Bungsu. "Bapak mengenalnya ?" tanya Si Bungsu. Lelaki itu menarik nafas.
"Saya mengenal hampir setiap lelaki di kota ini anak muda. Termasuk dirimu. Saya mengenal siapa
pejuang dan siapa penghianat. Sutan Pangeran anak buah Datuk Penghulu. Sementara dia ini adalah Sutan
Permato, mata mata Dakhlan Jambek Saya sendiri kurir penghubung seperti Datuk Penghulu ?"
Si Bungsu menarik nafas lega mendengar penuturan lelaki itu. Dia lega berada diantara para pejuang
bangsanya. "Apa yang harus saya lakukan dengan mayat ini ?" tanyanya.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 82
"Biarkan di sini. ini urusan saya. Termasuk memberitahu isteri dan anak anaknya. Engkau bertindak
benar dan cepat dengan melarikan mayatnya. Kalau Jepang sampai tahu wajah dan alamat mayat ini, maka
keluarganya akan ikut punah. Syukur jejaknya engkau hapus. Kini saya rasa engkau lebih baik cepat cepat
pulang kerumah Datuk Penghulu. Dia tidak di rumah, tengah menghadiri pertemuan di Kayu Tanam bersama
Engku Syafei dan Etek Rahmah El Yutnusiyah. Kabarnya Jepang mulai terpukul di Pilipina oleh Sekutu. Sedang
diperhitungkan langkah apa yang akan diambil oleh para anggota Gyugun. Makanya engkau saya suruh pulang,
tadi saya mendapat informasi bahwa ada pasukan Jepang ditugaskan menangkap Datuk Penghulu. Saya jadi
ingat anak isterinya. Dan saya mendapat kabar bahwa di sana ada juga adikmu yang bernama Mei-mei. Saya
hawatir dengan nasib mereka ?"
Si Bungsu tertegun. Hatinya berdebar aneh. Ada perasaan tak sedap menyelusup di hatinya.
"Berapa orang Jepang kesana ?" tanyanya perlahan.
"Antara empat atau lima orang. Semuanya Kempetai ?"
"Kempetai ?""
"Ya. cepatlah kesana. Yang penting kau selamatkan anak bini Datuk itu serta adikmu .."
Si Bungsu tak banyak bicara lagi. Kalau dapat saat itu juga dia ingin berada di Padang Gamuak.
"Bagaimana tentang bendi pak Datuk" Bendi itu saya tinggalkan tak jauh dari lepau kopi itu ?"
"Jangan khawatir. Telah ada yang mengaturnya. Keluarlah lewat pintu bawah. Akan ada yang
mengantarmu lewat jalan memintas melalui rel kereta api ?"
Lalu Si Bungsu diantar melalui jalan memintas ke Padang Gamuak.
"Anak muda yang benar benar luar biasa ?" kata pemilik lepau kopi itu setelah Si Bungsu pergi.
"Ya. Dia telah mulai membunuhi Jepang, barangkali sudah puluhan yang mati ditangannya. Sementara
pejuang pejuang baru dalam taraf rencana saja. Kita harus malu padanya ?" pemilik toko bertingkat itu berkata
perlahan. "Saya tak bisa percaya ketika dahulu ada yang bercerita bahwa di Payakumbuh ada seorang anak muda
yang membunuhi Jepang dengan samurai. Tapi ketika tadi dia membunuh dua Jepang itu dengan cepat, bahkan
tak sempat saya ketahui bagaimana caranya, saya baru bisa yakin. Bahkan saya merasa malu karena dulu tak
yakin ?" pemilik lepau kopi itu berkata lagi.
Si Bungsu tertegak di pematang sawah. Jaraknya dari tempat tegak itu kerumah Datuk Penghulu masih
sekitar lima ratus meter. Tapi dia tegak dengan kaku di pematang itu karena melihat cahaya api. Cahaya api itu
jelas datangnya dari tengah hutan bambu. Dia berdoa semogalah api yang berkobar itu bukan dari rumah Datuk
Penghulu. Dengan berdoa terus begitu, dia mempercepat langkahnya. Bahkan kini berlari melompati parit,
kayu kayu dan bambu yang tumbang. Dan tiba tiba dia tertegak. Rumah itulah yang terbakar. Kini telah runtuh.
Rata dengan tanah. Api masih menjilati sisa puingnya.
"Mei-meiiii".!!: dia berteriak dengan tubuh menggigil. Sepi"..
Yang menyahut hanya gemertak api memakan sisa dinding bambu rumah yang rubuh itu.
"Tek Aniiii?" Sepi".. Anjingpun tak ada yang melolong. Gemertak api memakan puing makin perlahan.
"Upiiiik" Mei-meiii".: Matanya mulai basah.
"Ya Tuhan, selamatkanlah mereka. Selamatkanlah mereka ya Allah ?" katanya perlahan sambil mulai
mengitari rumah yang telah jadi bara itu. Tiba di bahagian belakang rumah dia tertegak.
"Nauzubilah ?" bulu tengkuknya berdiri.
Dekat rumpun pisang, terbaring sesosok tubuh perempuan. Kepalanya hampir putus. Perempuan itu
adalah Tek Ani, isteri Datuk Penghulu. Perempuan ini jelas dibunuh setelah diperkosa. Perempuan berumur
empat puluh tahun itu memang masih cantik dan bertubuh bersih. Kini dia dibunuh Jepang. Pakaiannya tak
menentu. Si Bungsu jongkok. Menutup tubuh perempuan itu dengan kainnya yang tergeletak tak jauh dari situ.
Tiba tiba dia dengar keluhan. Dia segera bangkit dan menoleh. Si Upik" Gadis berumur tiga belas tahun
itu juga habis diperkosa. Pakaiannya centang perenang. Dia tersandar di rumpun bambu.
"Upik. Ya Allah, nasib apa yang menimpa kalian dik ?"
Ujar Si Bungsu sambil mengangkat tubuh gadis itu, sementara air matanya telah memabasahi pipi. Si
Upik menggeleng. Dia pegang tangan Si Bungsu, kemudian berkata perlahan :
"Uda " Uda " dimana amak ?"
Si Bungsu menggigit bibir agar tak menangis. Dia segera teringat nasib dirinya. Betapa dahulu ibu, ayah
dan kakaknya dibunuhi Jepang. Bagaimana dia akan mengatakan pada si Upik bahwa ibunya telah terbunuh"
Bagaimana" Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 83
"Tolong carikan amak. Uda. Tadi dia diseret Jepang kebelakang. Uni Mei-mei berada di pondok di tengah
rumpun bambu itu, di tempat uda latihan "."
Gadis kecil itu terkulai kepalanya di tangan Si Bungsu. Penderitaan yang tiada taranya itu telah merengut
nyawanya. Si Bungsu menegadah ke langit yang gelap. Dia memeluk mayat gadis itu dan.. menangis.
"Maafkan saya Upik, Maafkan saya terlambat membantu kalian. Ya Tuhan, kenapa aku pergi pula malam
ini ?" Mayat itu dia baringkan di dekat mayat ibunya. Kemudian dia segera ingat pada Mei-mei. Seperti terbang
dia menuju kepondok kecil itu. Tapi lagi lagi dia tertegak kaku. Pondok itu sudah runtuh seperti diobrak abrik
setan. "Mei-mei .." dia ingin berteriak memanggil.
Tapi saking cemasnya, yang keluar dari mulutnya hanyalah keluhan kecil. Keluhan diantara mata yang
basah. "Koko ?" sebuah rintihan halus dekat rumpun bambu.
Rintihan itu sudah cukup bagi Si Bungsu untuk mengetahui dimana gadis itu berada. Dia melompat
kesana. Hari sangat gelap. namun dia mendapatkan tubuh Mei-mei tersandar kepohon bambu.
"Mei-mei ?" "Koko .." dia peluk gadis itu.
Mei-mei ingin membalas pelukannya. Namun tangannya seperti tak ada tenaga. Tapi dia tetap juga
membalas pelukan anak muda itu, di dalam hati. Si Bungsu memangku tubuh adiknya itu ke bekas rumah Datuk
Penghulu. Kemudian membaringkannya di tempat bersih. Dalam cahaya api wajah Mei-mei kelihatan sangat
pucat. "Moy- moy ?" "Koko ?" Dengan suara putus putus Mei-mei menceritakan dari mula kisah kedatangan Jepang itu. Kisah dia
membunuh kelima Kempetai yang akan memperkosanya itu. Kemudian menceritakan kedatangan dua belas
Kempetai yang telah membakar dan memperkosa mereka bergantian.
"Engkau tahu siapa yang telah memperkosa mu ?"
Mei-mei memejamkan mata. Seperti mengumpulkan ingatannya.
"Saya tidak melihat wajah mereka koko. Di pondok itu terlalu gelap. Tapi saya mengetahui jumlah
mereka. Dua belas. Mereka melaknati saya bergantian. Dan kalau tak salah, mereka memanggil komandan
mereka dengan sebutan syo-i Atto " Koko .. aku ingin membahagiakan engkau. Sayang malam ini Tuhan
memisahkan kita ?" "Jangan berkata begitu Moy-moy ?"
"Dengarlah koko, jangan potong bicaraku. Aku tahu engkau hanya mengangap aku sebagai adikmu. Aku
memang tak bisa berharap lebih dari itu bukan" Namun ketahuilah koko sayang, aku mencintaimu. Aku belum
pernah merasakan jatuh cinta. Tapi kerinduanku padamu, rasa sayangku padamu, rasa ingin selalu berada di
dekatmu, rasa gelisah bila engkau tinggalkan meski sesaat, rasa gundah bila engkau murung, adalah rasa
cintaku padamu. Aku tahu, perempuan seperti aku, yang telah dilumuri dosa dan noda yang takkan tercuci, tak
layak mendapat apa apa darimu ..koko.."
"Mei-mei ?" "Dengarlah koko " satu satunya milikku yang paling berharga kini, adalah cintaku. Aku tak lagi punya
kehormatan. Karena telah direngut dan dirobek robek oleh orang yang tak pernah kukenali. Namun cintaku
tak pernah ada yang menyentuh. Dan kalau engkau tak merasa hina menerimanya, kuberikan cintaku itu
padamu koko ?" "Mei-mei ?" Si Bungsu memanggil.
"Koko, aku mencintaimu. Aku belajar bertanak menggulai dan menjahit dari tek Ani adalah untukmu.
Aku selalu mengimpikan betapa bahagianya bila engkau menikahiku. Aku menjadi istrimu, bertanak.
Menjahitkan kemeja dan sarungmu yang koyak, mencucikan pakaian. Sesakit sesenang denganmu. Ah. Itulah
Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
satu satunya impianku yang paling indah. Engkau tak marah aku bermimpi seperti itu koko" " hanya mimpi.
Dan malam ini mimpiku itu terbakar hangus, jadi abu ?"
Si Bungsu merasa dadanya sesak. Seakan akan pecah menahan haru, dia peluk gadis itu erat erat.
Kemudian berbisik diantara air matanya yang turun.
"Engkau tak bermimpi sayangku. Engkau tak bermimpi Itu akan jadi kenyataan. Percayalah. Aku juga
mencintaimu. Mei-mei dengarlah, aku mencintaimu. Kau dengar ucapanku" Aku mencintaimu dengan seluruh
jiwaku. Mei-mei ?" Mata gadis itu terpejam.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 84
"Mei-mei .." Si Bungsu memanggil. Memanggil di antara tangisnya. "Mei-mei kau dengar aku sayang "
Aku mencintaimu, kita akan segera menikah?"
Mei-mei membuka matanya. Perlahan sekali. Wajahnya bersemu merah. Dia seperti tersenyum. Bibirnya
bergerak. Namun tak ada suara.
"Mei-mei " Mei-meiii.."
"Ko " koko. Benarkah itu.. ?"
"Tuhan jadi saksinya sayang. Tuhan saksinya. Tuhan yang aku sembah. Tuhan yang engkau sembah .."
"Koko " ciumlah aku ?"
Si Bungsu mendekatkan wajahnya ke wajah Mei-mei. Mata gadis itu terpejam. Bibirnya mengurak
senyum. Namun kaki dan tangannya terasa dingin. Si Bungsu mencium kening gadis itu perlahan. Kemudian
mengecup bibirnya perlahan. Nafas Mei-mei terasa panas. Dan manik manik air mata mengalir dipipinya.
"Koko sayang ?" desahnya amat pelan.
Mei-mei tidak menjawab. Si Bungsu menguncang tubuhnya. Namun Mei-mei terlalu banyak
mengeluarkan darah. Dia jatuh pingsan.
"Mei-mei ?" Si Bungsu memanggil.
Dia mendekatkan telinganya ke dada gadis itu. Pelan pelan terdengar degup jantungnya. Amat perlahan.
"Ya Tuhan, ya Tuhan. Selamatkan dia. Selamatkan dia. Tolonglah nyawanya ya Tuhan ?" dia berdoa
diantara matanya yang basah.
"Bungsu .." tiba tiba ada suara memanggilnya.
Dia menoleh. Dibelakangnya berdiri tegak Datuk Penghulu. Datuk itu tegak terdiam menatap rumahnya
yang rata dengan tanah. Yang sisi pekarangannya sedang dijilati api. Kenapa dia tiba tiba saja sampai ada di
sini" -000Sejak dua hari yang lalu dia pergi ke Padang Panjang. Di Diniyah Putri tengah berlangsung rapat
perjuangan yang dipimpin oleh Engku Syafei. Tak ada tempat yang paling aman untuk rapat kecuali ruangan
belakang sekolah Diniyah Puteri itu. Sebab, encik Rahmah El Yunusiah yang memimpin sekolah itu amat
disegani oleh balatentara Jepang. Rahmah tak pernah mau dibujuk untuk menerima bantuan bagi sekolahnya.
Sejak pemerintahan Belanda Rahmah sudah bertegas tegas menolak bantuan dari penjajah. Kini Jepang yang
menjajah. Dia tahu Jepang adalah fasis yang amat kejam. Dan itu segera terbukti. Rahmah menjadi salah seorang
pejuang yang ikut membina dan menghubungi pemuda pemuda Indonesia yang ada dalam Gyugun. Dalam
rapat itu sudah banyak yang dibicarakan. Umum nya tentang taktik melucuti senjata Jepang. Tentang markas,
tentang logistik dan penyergapan gudang amunisi diberbagai kota.
"Saya lihat engku Datuk tidak tenang. Barangkali teringat pada keluarga di Bukit tinggi ?" Encik Rahmah
yang bermata amat tajam bertanya.
Datuk Penghulu terkejut. Namun dia tak mau mendustai kata hatinya. Dia memang gelisah. Pikirannya
ke rumah saja. Seperti ada yang tak selesai rasanya.
"Benar. Saya khawatir kalau-kalau ada yang terjadi atas anak istri saya ?" katanya.
Encik Rahmah memandang kepada Engku Syafei. Engku Syafei dari Kayu Tanam itu mengangguk. Orang
orang ini adalah orang orang yang arif. Mereka seperti dapat membaca, bahwa akan ada musibah yang bakal
menimpa diri Datuk itu. "Saya sebenarnya tidak begitu khawatir. Sebab keluarga saya tinggal bersama seorang anak muda yang
tangguh. Yang bernama Si Bungsu ?"
Engku Syafei dan encik Rahmah saling pandang lagi begitu nama Si Bungsu disebut. Si Bungsu. Nama itu
sudah demikian terkenal. "Kiranya dia berada di rumahmu Datuk?"
"Ya. Sudah cukup lama. Saya memang tak memberitahukannya pada encik dan pak syafei" "Hmm.
Syukurlah, anak muda itu ada di sana. Jasanya amat besar bagi membangkitkan semangat juang pemuda
pemuda kita" "Ya. Karena ada dialah, saya berani datang kemari dengan meninggalkan keluarga saya. Tapi sejak
kemaren hati saya tak sedap ?"
"Saya rasa lebih baik Datuk pulang dulu. Rapat ini hanya tinggal menyelesaikan yang kecil kecil saja.
Besok saya kirim kurir untuk menyampaikan putusan ?" ujar Engku Syafei.
"Baiklah. saya berharap bisa sampai malam nanti di rumah ?"
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 85
Datuk Penghulu lalu tegak. Meninggalkan rapat rahasia yang jumlah pengikutnya lima belas orang itu.
Kini dia telah berada dirumahnya. Tapi telah terlambat. Rumahnya sudah rata dengan tanah. Sisanya marak
dimakan api. Tubuhnya terasa linu. Di depan api dia lihat Si Bungsu memeluk tubuh Mei-mei.
"Mana etek dan adikmu Bungsu ?""
Datuk itu bertanya dari tempat tegaknya. Pertanyaan perlahan. Bungsu meletakkan tubuh Mei-mei.
Kemudian menghadap pada Datuk itu.
"Maafkan saya pak " mereka ?"
Bungsu tak dapat melanjutkan ucapannya. Bagaimana dia akan berkata. Bagaimana dia akan
menyampaikan musibah itu" Dia memang tak perlu menyampaikannya.
Begitu mula datang tadi, Datuk ini sudah dapat menduga apa yang terjadi. Dia sudah menduga bahwa
istri dan anaknya telah binasa. Matanya menyapu sekitar tempat itu. Di balik unggun rumahnya yang telah
runtuh, dia lihat sesosok tubuh terbujur ditutupi kain. Dekat batang pisang, dia lihat tubuh si Upik, anaknya.
Lelaki tua itu, yang sehari hari adalah kusir bendi, tapi dalam jiwanya berkobar semangat perjuangan
untuk kemerdekaan bagi bangsanya itu, tertegak dengan diam. Matanya bergantian menatap kedua mayat anak
dan istrinya. Perlahan di pipinya yang tua kelihatan air mata mengalir. Si Bungsu jadi kagum melihat ketabahan
orangtua ini. Dia sudah melihat jenazah anak dan istrinya. Namun setapakpun dia tak beranjak dari tempatnya.
"Kalian menjadi orang pertama yang meninggal sebagai korban perang kemerdekaan di kota ini. Semoga
Tuhan menerima kalian ?" dia berkata perlahan pada anak dan istrinya.
Ya, kedua anak beranak itu, korban korban pertama di kota Jam Gadang itu dalam sejarah perjuangan
kemerdekaan. Mereka memang tak terlibat langsung dalam peperangan itu. Sebab perang kemerdekaan belum
lagi dimulai. Sementara di Payakumbuh, ayah Si Bungsu dan teman temannya yang mati di tangan Kempetai
lebih dari setahun yang lalu, merupakan tumbal pertama pula bagi perang kemerdekaan yang akan meletus itu.
Datuk Penghulu masih tertegak melihat mayat anak dan istrinya dari jauh. Melihat api menjilat sisa rumahnya.
Si Bungsu yang tadi heran melihat kenapa Datuk itu tak mau mendekat mayat istri dan anaknya, tiba tiba
merasa tegang. Diantara gemertak suara api memakan sisa rumah, di antara kesepian yang mencekap di hutan bambu
Kampung Tarok itu nalurinya menangkap sesuatu. Naluri yang dia bawa turun dari gunung Sago. Setahun dia
hidup di rimba belantara itu. Hidup dan bersaing dengan kekerasan dan keganasan alam. Hidup dan belajar
untuk tetap bertahan tak mati dari keganasan binatang buas.
Naluri yang sudah tertempa. Karena dia manusia, maka nalurinya melebihi naluri hewan buas di hutan.
Kini, dia menangkap sesuatu yang mengancam jiwa. Ancaman itu datang dari sekitar tempat mereka kini tegak.
Datang dari arah kegelapan hutan bambu yang tegak seperti iblis mengelilingi mereka. Ketinggian pohon pohon
bambu di kampung Padang Gamuak Tarok itu seperti tangan elmaut yang siap mencekik leher mereka.
Tubuhnya jadi tegang. Telinganya yang amat tajam, yang terlatih selama dua tahun di rimba gunung
sago, menangkap bunyi-bunyi halus di belakangnya. Dia melihat Datuk Penghulu itu masih tegak diam. Jarak
antara dia dan Datuk itu sekitar dua depa.
"Ada orang datang pak Datuk ?" Katanya perlahan sekali. Tapi suaranya yang perlahan itu terdengar
oleh Datuk tersebut. "Ya. Tapi berbuatlah seperti kita tak tahu. Mereka enam orang berbedil dan mereka adalah Kempetai ?"
Ujar si Datuk perlahan. Si Bungsu jadi kaget. Dia hanya baru taraf mengetahui bahwa ada orang datang.
Tapi Datuk itu telah mengetahui jumlahnya. Dan mengetahui bahwa yang datang itu adalah serdadu Jepang.
Dia telah menjalani latihan setahun penuh. Belajar dari binatang buas di gunung Sago. Kepandaiannya dalam
mendengarkan sesuatu yang jauh sangat tajam. Tapi Datuk Penghulu ternyata punya firasat lebih tajam lagi.
Bayangkan betapa tingginya ilmu Datuk itu. Diam diam Si Bungsu memuji ketinggian ilmu orang tua ini.
"Biarkan tubuh Mei-mei di sana. Mereka pasti menyangka gadis itu telah mati. Hitung enam hitungan setelah
ini. Kemudian melompatlah. Kita balas kejahanaman mereka," ujar Datuk perlahan.
(16) Begitu habis ucapannya, tiba-tiba Datuk itu memekik. Tubuhnya melenting dan tiba-tiba bergulung
lenyap kedalam palunan semak empat depa sebelah kanan Si Bungsu mengikuti. Dengan mempergunakan
lompat tupai yang sangat mahir, tubuhnya bergulingan ke belakang. Dan lenyap ke balik pohon buluh. Saat itu
pulalah enam senjata meledak. Tapi tembakan itu menemui tempat kosong. Terdengar makian dalam bahasa
Jepang. Tentara Jepang itu, setelah sampai ke markasnya rupanya segera diperintahkan lagi oleh komandannya
untuk kembali. Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 86
"Mereka pasti pulang. Dan tangkap Datuk itu atau anak muda yang bernama Si Bungsu keparat itu. Dia
baru saja membunuh dua orang Kempetai di pasar sebentar ini ?" Ujar komandan Kempetai itu berang.
Enam orang Kempetai segera kembali ke Tarok. Dan memang benar, mereka datang persis ketika Datuk
Penghulu itu sampai di sana. Mereka lalu mengendap-endap mendekati kedua orang itu. Maksudnya untuk
menyergap mereka setelah dekat. Ternyata kedatangan mereka diketahui kedua orang itu.
"Datuk. Menyerahlah .." seorang Kempetai berpangkat syo cho (Sersan Mayor) berteriak. Namun yang
menyahut hanyalah sepi. Dia memberi isyarat. Dan enam bedil di tangan mereka kembali menyalak. Tiga ke
arah semak dimana Datuk Penghulu tadi lenyap. Tiga lagi kearah lenyapnya Si Bungsu. Kedua tempat itu
dirobek-robek peluru. Namun tak ada suara apa apa. Kempetai itu nampaknya sudah bertekad untuk
membunuh saja kedua orang ini.
"Jahanam ?" Sersan itu menyumpah.
Tetapi saat itu pula dari arah kiri mereka sebuah bayangan berkelebat. Datuk Penghulu menghambur.
Seorang Hei-cho (Kopral) yang tegak paling belakang tiba-tiba melihat kehadiran Datuk itu di depannya. Dia
mengangkat bedil. Namun kaki Datuk itu bekerja cepat sekali tendangan pertama mendarat di kerampang
Jepang itu. Jepang itu memekik. Namun sebelum pekikannya habis tendangan kedua menghantam lehernya
disusul sebuah tusukan jari tangan yang amat cepat dan amat kuat. Terdengar Jepang itu meraung. Kedua biji
matanya tercukil keluar. Bukan main cepatnya kejadian itu berlangsung. Sehingga ketika kelima Kempetai yang
lain menoleh, yang kelihatan hanyalah bayangan tubuh Datuk itu lenyap ke dalam palunan semak. Kembali lima
senjata menyalak kearah semak itu. Namun sepi. Kempetai yang satu itu meraung, matanya buta seketika.
Namun raungnya tiba-tiba terhenti. Kedua tendangan Datuk itu ternyata mengakhiri penderitaannya. Sersan
Mayor tadi memerintahkan untuk membuat lingkaran dengan membelakangi satu sama lain. Dengan demikian
tak ada kemungkinan diserang dari belakang. Krosaakk"!! Terdengar semak berisik di sebelah kiri mereka.
segera saja senjata mereka terarah dan memuntahkan peluru ke arah itu. Tapi begitu senjata mereka menyalak
dan mereka memandang ke arah semak itu, tubuh Datuk Penghulu kembali muncul di sebelah kanan. Kini
sebilah keris di tangannya. Tanpa memberi ampun, kerisnya beraksi. seorang Kempetai berpangkat Nitto-Hei
(Prajurit dua) pertama-tama jadi sasaran. Dia akan memalingkan kepala melihat Datuk yang muncul tiba-tiba
itu, tapi itulah gerakannya yang terakhir. Karena setelah itu lehernya hampir putus ditebas Datuk Penghulu.
Sasaran berikutnya adalah prajurit di kanannya. Sebuah tendangan mematahkan rusuknya. Ketika ia
melenguh, sebuah cuek belakang menghantam jantungnya. Seusai cuek itu tubuh si Datuk melompat dan
lenyap ke dalam kegelapan, kedua Jepang itu mati.
"Bageroooo"!! si Sersan Mayor berteriak berang.
Dalam waktu hanya sepuluh hitungan, tiga orang anak buahnya mati. Kini mereka jadi gugup dan tegang.
Sersan Mayor itu berniat untuk menarik regunya. Untuk melanjutkan menyerang membabi buta tak mungkin.
Mereka memang punya bedil tapi daerah ini bukan daerah mereka, cuaca sangat gelap, satu-satunya cahaya
penerangan hanyalah cahaya api bekas rumah Datuk yang terbakar itu. Itupun cahayanya sangat sedikit.
Mereka bisa saja menembak tak menentu. Tapi kedua orang itu bisa menghindar sebelum bedil meledak.
Sebab mereka berada dalam kegelapan. Lagipula mereka mengenal setiap jengkal semak dan hutan bambu di
kampung itu. "Kami akan kemari lagi. Kami akan menangkap kalian. Awaslah..!!"
Seru si Sersan menggertak. Lalu dia memberi isyarat pada kedua temannya untuk mengundurkan diri.
Mereka mulai melangkah langkah demi langkah dengan senjata siap ditembakkan. Dari semak
persembunyiannya, Datuk Penghulu melihat mereka dengan penuh dendam dan kebencian.
"Giliranmu, Bungsu..!"
Dia berseru dari tempat persembunyiannya. Begitu suaranya terdengar, begitu ketiga Kempetai itu
menembaki tempat gelap tersebut. Namun Datuk ini sudah pindah tempat. Dia bergerak amat cepat. Kembali
Kempetai itu menembaki tempat kosong.
Akan halnya Si Bungsu, sejak tadi menonton saja dari persembunyiannya bagaimana Datuk itu
membantai ketiga Jepang tersebut. Dia kagum pada gerakan silat Datuk Penghulu itu. Dan kini dia mendengar
Datuk itu meminta dia bertindak. Ketiga Kempetai itu mundur terus. Selangkah, dua, tiga, empat, lima. Tak
terlihat ada gerakan dari Si Bungsu. Datuk Penghulu menatap terus. Dia yakin anak muda itu akan bertindak.
Kempetai itu makin jauh. "Siap-siaplah untuk lari. Kampung ini kampung setan,"
Bisik si Sersan Mayor pada kedua temannya. Teman-temannya dengan mata sipit yang dibesar-besarkan
coba menembus kegelapan malam untuk melihat kalau-kalau kedua orang yang bersembunyi itu muncul.
"Nah sekarang lariii"!" Sersan Mayor itu berseru.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 87
Kedua temannya segera balik kanan dan mulai melangkah lebar. Namun saat itu pula sedepa di depan
mereka pohon-pohon bambu pada bertumbangan kejalan yang bakal mereka lalui. Tidak hanya dua tiga batang.
Pohon bambu itu tumbang dalam jumlah puluhan batang. Kempetai itu jadi kalang kabut. Ada yang
tertelungkup kesandung, ada yang takapere mencoba mengelak dari bambu yang rubuh seperti hujan lebat
dalam gelap itu. Datuk penghulu menatap kejadian itu dengan tersenyum tipis. Si Bungsu mulai beraksi.
Ternyata dia yang membabat rumpun bambu di pinggir jalan yang akan dilalui sebagai tempat lari oleh para
Kempetai. "Bagero. Bagerooo. Bageroo. Ute Utee Utee (tembak)"
Sersan Mayor itu menghardik, memerintah dan bercarut bungkang memerintahkan agar kedua anak
buahnya menembak, kearah mana saja dan apa saja. Pokoknya bedil meletus. Terdengar tiga bedil menyalak.
Tapi tembakan mereka tak menentu. Ada yang menghadap ke atas. Ada yang ke tanah. Sebab pada waktu
menembak mereka juga harus menghindarkan diri agar tak tertimpa pohon-pohon bambo yang runtuh seperti
hujan. Lalu tiba-tiba sepi. Pohon bambu tak ada lagi yang runtuh.
Ketiga Jepang itu tegak terengah-engah. Mereka tegak dalam reruntuhan pohon bambu. Yang kelihatan
kini sebatas leher ke atas. Sebatas leher ke bawah ditimbuni oleh pohon bambu. Suatu saat mereka melihat
sesosok tubuh di arah pangkal pohon bambu itu, tapi karena gelap tak jelas wajahnya.
"Siapa di sana!!" si Sersan membentak sambil berusaha mengangkat bedilnya yang terhalang oleh pohon
bambu. Kedua temannya menoleh pula ke sana.
"Saya Si Bungsu. Siapa diantara kalian bernama Atto, dan berpangkat Syo-I (Letnan dua) ?" ujar Si
Bungsu. Nama yang dia tanyakan itu adalah nama pimpinan regu yang senja tadi memperkosa Mei-Mei, si Upik
dan Tek Ani. "Hei Bungsu Lebih baik kau menyerah. Kalau tidak. kau bisa ditembak..," Sersan Mayor itu kembali
menggertak. "Jawab pertanyaanku. Ada diantara kalian yang bernama Atto?"
Suara Si Bungsu terdengar dingin, menegakkan bulu roma yang mendengar. Jepang-Jepang ini tak
mengetahui siapa Si Bungsu. Tak ada cerita mengenai diri anak muda itu yang nampaknya hanya bersenjatakan
sebuah tongkat itu. Si Sersan Mayor itu berusaha mencampakkan bambu yang menghalanginya. Kemudian bergegas ke arah
Si Bungsu untuk menantangnya dengan jurus karate. Namun Si Bungsu sudah sampai pada puncak sabarnya.
Dia melangkah dua langkah di atas pohon bambu yang rubuh setinggi pinggang itu. Kemudian membabat
bambu yang menghalangi Sersan Mayor tersebut. Kini Sersan Mayor itu bebas. Dia mengangkat bedilnya.
Namun saat itulah samurai ditangan Si Bungsu bekerja. Tangan Kempetai yang memegang badil itu potong
keduanya. Dia meraung-raung .
"Jawab pertanyaanku. Dimana Atto!!"
Namun Sersan itu bukan menjawab, dia memaki dan memerintah anak buahnya untuk menembak.
"Bageroo uteeee (tembak)" pekiknya.
Namun tak ada letusan sebuahpun. Sebab yang seorang senjatanya telah tercampak entah kemana
ketika dia berusaha menghindarkan runtuhnya pohon bambu tadi. Yang satu lagi bedil memang masih di
tangannya. Tapi untuk mengangkatnya ke atas untuk menembak tak mungkin. Sebab terhalang oleh pohon
bambu yang menjepit tubuhnya. Saat berikutnya, suara Sersan terhenti. Kepalanya belah di makan samurai Si
Bungsu. Perlahan Si Bungsu menoleh pada kedua Kempetai yang masih tinggal.
"Kini katakan. Siapa di antara kalian yang bernama Atto?"
Dan kedua Kempetai ini ternyata juga manusia biasa, yang punya sikap amat takut mati. Begitu melihat
komandannya mati dengan kepala terbelah, dan melihat mereka tak bisa selamat dari anak muda luar biasa
hebat, tubuh mereka pada menggigil, yang satu malah menangis. "Sho-I Atto ada di markas. Dialah yang memperkosa istri tet..tuan. Kami tet..tak ikut. Ampunkan kami. . ."
Si Bungsu merasa jijik pada tentara yang meminta belas kasihan itu. Dia tahu, mereka ikut dalam
memperkosa keluarga Datuk Penghulu dan Mei-mei malam tadi. Dia ingin membunuhnya saat ini. Namun
kedua orang itu dalam keadaan tak berdaya. Terhimpit dan terkalang oleh kedua bambu. Dan dia tak mau
membunuh orang yang tak dapat melawan. Samurainya berkelebat. Kedua Kempetai itu terpekik pekik. Tapi
mereka segera menjadi malu. Ternyata samurai di tangan anak muda itu hanya membabat rumpun bambu yang
menghimpit tubuh mereka. Dan tiba-tiba mereka bebas. Yang masih memegang bedil, segera menikamkan
sangkur di ujung bedilnya ke perut Si Bungsu yang jaraknya hanya sedepa. Namun Si Bungsu lebih cepat. Dia
menunduk dalam-dalam. Kemudian" Srep..!! Samurainya menikam jantung si Kempetai hingga tembus ke
Pendekar Latah 21 Pusaka Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Hina Kelana 20
"Koko tidak tidur ?"
"Ya. Saya juga akan tidur. Tapi saya akan sembahyang dulu"
(13) Dia lalu berganti pakain dengan kain sarung. Kemudian ke kamar mandi berudhuk. Mei-mei belum
tertidur. Dia melihat anak muda itu sembahyang. Dia melihat tubuh anak muda yang semampai itu. Bermuka
lembut atau lebih tepat dikatakan murung. Sinar matanya sayu. Ketika Si Bungsu selesai sembahyang Isa, ketika
dia menoleh mengucapkan salam dia melihat Mei-mei belum juga tidur. Masih menatap padanya. Dia
tersenyum pada gadis itu. "Belum tidur Moy-moy ?"
Mei-mei menggeleng. Kemudian duduk di sisi tempat tidur. Si Bungsu masih duduk di lantai yang beralas
tikar. Mei-mei pindah duduk ke bawah, duduk tak jauh dari Si Bungsu. "Koko sembahyang apa ?"
"Isa .." "Kenapa orang Islam harus sembahyang lima kali sehari semalam ?"
"Karena begitu suruhan Tuhan .."
"Tidak melelahkan ?"
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 66
Bungsu menatap Mei-mei. Dia tersenyum. Pertanyaan begitu pernah memenuhi tengkoraknya dulu.
Ketika ayahnya selalu menyuruhnya sembahyang. Waktu itu dia bukan hanya sekedar bertanya, tapi malah
membangkangi suruhan ayahnya. Tak mau sembahyang. Buat apa sembahyang, pikirnya. Kesempatan untuk
bersuka ria adalah waktu muda. Kelak kalau sudah tua, barulah sembahyang.
Lagi pula, sembahyang lima kali sehari semalam, alangkah seringnya. Kenapa sembahyang itu tidak
hanya sekali seminggu, atau paling tidak sekali dua hari misalnya. Itu mungkin lebih ringan
Namun ketika sendirian di Gunung Sago, ketika dia bersujud menyembah Allah di tengah belantara, dia
merasakan betapa tentram hatinya saat dan setelah sembahyang. Dia merasakan betapa Tuhan melindunginya.
Dia merasakan suatu kedamaian setiap selesai sembahyang. Dia merasakan seperti mendapat tenaga dan
semangat baru selesai sholat. Ya, itulah intinya. Menemukan kedamaian dan ketentraman, menemukan
semangat dan tenaga baru, setelah mengerjakan suruhan Tuhan. Perlahan dia menjawab pertanyaan Mei-mei,
"Tidak ada pekerjaan yang melelahkan, bila pekerjaan itu dikerjakan dengan ikhlas. Apalagi kalau kita
mencintai pekerjaan itu Moy-moy"
Mei-mei menatapnya. "Engkau pernah sembahyang Moy-moy ?"
Mei-mei menggeleng. "Waktu kecil bersama ibu saya pernah sembahyang. Tapi semenjak ibu meninggal, saya tak lagi pernah
melakukannya .." ujar Gadis itu sembari menunduk.
"Nah, tidurlah Moy-moy. Koko juga mengantuk .."
Namun mereka belum sempat membaringkan dirinya di tempat tidur, ketika terdengar suara heboh.
Suara heboh itu diikuti oleh suara menggedor pintu kamar mereka.
"Hei beruk yang ada di dalam. Buka pintu ini cepat"
Suara berat terdengar memerintah. Dari suara yang berbahasa Minang itu, Si Bungsu segera tahu bahwa
orang di luar adalah lelaki asal daerah ini. Dia menatap pada Mei-mei yang tertunduk di tepi pembaringan.
Kemudian mengambil samurainya. Kemudian melangkah kepintu.
"Tenang saja di dalam Moy- moy. Jangan buka pintu kalau bukan saya yang menyuruhnya.."
"Koko .." gadis itu berlari memeluknya.
"Tenanglah .." "Jangan tinggalkan saya koko .."
"Tidak. Saya akan kembali .."
"Saya akan bunuh diri kalau koko meninggalkan saya.."
"Tenanglah. Nah kunci pintu .."
Dia muncul di gang di luar kamarnya. Di depan pintu, orang lelaki berjambang kasar tegak berkacak
pinggang. Begitu dia muncul, lelaki itu mencekal lengannya. Kemudian menariknya keruang tengah.
Mendorongnya hingga Si Bungsu terjajar.
"Ini beruk yang waang katakan itu Pudin ?" orang bertubuh kasar itu berkata.
Si Bungsu menatap pada orang itu. Dan dia segera kembali mengenali kelima lelaki yang mencoba
merampoknya tadi. Di sana juga ada sopir bus.
"Benar. Dialah orangnya Datuk .." jawab si Kurus.
Orang bertubuh besar itu menggerendeng. Sementara penghuni penginapan yang lain tak berani
menampakkan muka. Mereka lebih merasa aman berada rapat rapat di bawah selimut daripada mencampuri
urusan orang yang satu ini.
"Waang telah melukai anak buah saya buyung. Itu hanya bisa dibayar dengan dua hal. Pertama dengan
seluruh isi bungkusan yang waang bawa. Atau kalau waang keberatan, maka harus waang bayar dengan nyawa
waang dan tubuh bini waang ?" dan si Tinggi besar itu meludah.
Hampir saja dahaknya mengenai kepala Si Bungsu. Si Bungsu tegak dengan diam. Muaknya muncul
melihat lelaki ini. Dia teringat lagi akan cerita kedua perempuan yang sama sama satu bus dengannya tadi.
Cerita tentang perampokan yang dilakukan oleh orang Minang terhadap orang orang yang bepergian dengan
bus. Dia lihat, selain si Besar tinggi ini, masih ada temannya yang lain. Jumlah mereka kini sembilan orang.
Hanya yang menjadi heran di hatinya adalah keberanian penyamun penyamun ini muncul di tengah kota.
Nampaknya mereka tak merasa gentar sedikitpun pada Kempetai Jepang.
Selama hidup beberapa bulan di Payakumbuh, Si Bungsu mengetahui, bahwa tentara pendudukan
Jepang menjalankan roda pemerintahan dengan ketat. Mereka menangkapi para penjudi dan perampok. Kini
sembilan lelaki ini berani muncul di tengah kota. Apakah mereka memang orang bagak. Yang pada Kempetai
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 67
sekalipun mereka tak merasa takut" Atau barangkali karena hari sudah lewat tengah malam, mereka tahu
bahwa bakal takkan ada patroli Kempetai. Atau barangkali mereka memang dilindungi oleh Jepang "
Tapi dia tak sempat berfikir dan menyimpulkan pikirannya. Datuk bersisungut (berkumis) dan bertubuh
besar itu telah memberi isyarat pada kedua anak buahnya. Dan kedua lelaki itu segera bertindak. Yang satu
menangkap tengkuk Si Bungsu, yang satu lagi memegang tangannya. Si Bungsu menghantamkan samurainya
yang masih bersarung itu. Kayu samurai tersebut menghantam leher dan kepala lelaki itu dengan keras. Kedua
lelaki itu terpekik. Namun mereka maju lagi dengan berang. Namun itu sudah cukup. Di mana Mei-mei berada.
Kedua lelaki itu berhenti sedepa di depan Si Bungsu. Sebuah kilatan cahaya putih yang amat cepat menahan
gerakkan mereka. Mereka tertahan karena tiba tiba saja setelah kilat cahaya yang amat cepat itu, dada mereka
merasakan terasa amat pedih. Dan ketika mereka lihat, pakaian mereka telah robek lebar dari pundak ke perut.
Dari balik pakaian yang robek seperti disayat pisau silet itu, merembes darah segar. Mereka memang tidak
rubuh. Karena Si Bungsu hanya sekedar melukai mereka saja.
"Hari telah larut malam. Saya tak bermusuhan dengan kalian. Saya harap jangan menganggu kami .." ujar
Si Bungsu datar. Sementara samurainya telah masuk kesarungnya kembali. Di sudut lain, dua lelaki yang tadi berjalan ke
kamar dimana Mei-mei berada, sekali mendobrak berhasil menghantam pintu kamar sehingga terbuka.
Terdengar pekikan Mei-mei. Si Bungsu bergerak ke kamarnya. Namun Datuk yang tak diketahui namanya itu
menghadangnya bersama empat temannya yang lain. Dan saat itu kedua lelaki yang masuk kamar tadi muncul
dengan bungkusan mereka dan Mei-mei dalam ringkusan tangannya. Nyata sekali gadis itu menderita akibat
cengkeraman tangan orang yang meringkus bahunya.
Koko .. rintihannya dengan air mata yang mengalir. Melihat hal itu Si Bungsu menatap Datuk bersungut
itu dengan kemarahan besar. Datuk itu dapat membaca kemarahan itu. Dia menyeringai dan berkata :
"Hee .. waang beruntung buyung, bisa berbini cina. Tentu lamak(enak) ya .." He .. he ..saya juga ingin
mengicok (mencoba) sedikit. Kau boleh menonton .."
Habis berkata Datuk buruk bersungut ini berbalik. Menarik tangan Mei-mei. Wajah Si Bungsu menegang.
Dia sebenarnya tak ingin menurunkan tangan kejam lagi pada bangsanya sendiri. Dia tak bisa menghitung
sudah berapa banyak nyawa yang telah dia rengut lewat samurainya. Namun dari sebanyak itu yang terbunuh,
baru dua orang Minang yang jadi korban. Baribeh dan si Juling yang dia bunuh bersama si Babah mata mata
itu. Kedua orang itu memang berhak mendapatkan kematian. Sebab mereka memata matai perjuangan
bangsanya sendiri. Bekerja untuk cina yang jadi mata mata Jepang. cina yang menjadi penggerak Komunis. Tapi
kini nampaknya dia terpaksa berlaku kejam lagi. Sejak tadi dia bersabar. Membiarkan dirinya dibekuk dan
diseret dari depan kamar. Membiarkan dirinya dihina.
Tapi ketika si Datuk kalera itu merobek baju Mei-mei dan gadis itu terpekik, saat itu pula samurainya di
tangannya bekerja. Tiga lelaki yang tegak tak jauh darinya, yang tadi ikut bersamanya dalam bus dan berusaha
merampok mereka, terpekik dan rubuh dengan dada belah. Mati. Datuk itu tertegun. Teman temannya yang
lain kaget. "Ohooo ..jual lagak waang pada saya ya " Waang sangka saya takut dengan permainan samurai waang
itu he" Sehabis ucapkannya tangannya bergerak menyentak kain Mei-mei. Pakaian gadis itu robek lebar. Dan
dengan jahanam sekali, tangan Datuk itu meremas dada gadis itu. Mei-mei terpekik. Dengan cepat setelah
mencabik baju Mei-mei Datuk itu berbalik menerjang kearah Si Bungsu. Bukan main cepatnya kejadian itu
berlangsung. Mulai dari menyobek baju hingga menyerang, hanya berlalu beberapa detik. Si Bungsu masih
tertegun ketika serangan datuk itu datang. Dia berusaha mengelak. Namun Datuk ini seorang pesilat yang
tangguh. Terjangannya mendarat di pusat Si Bungsu. Anak muda itu terjajar menghantam dinding di belakangnya.
Kemudian tubuhnya melosoh turun. Matanya berkunang-kunang. Dia ingin bangkit. Tapi Datuk itu datang lagi
menerjang. Dan kali ini rusuknya kena. Rusuk kiri. Terdengar suara berderak. Tanpa dapat ditahan Si Bungsu
terpekik. Dua tulang rusuknya kupak. Datuk itu menerjang lagi dengan seringai buruk di bibirnya. Tubuh Si
Bungsu tercampak dari kaki penyamun yang satu ke kaki penyamun yang lain. Itulah malangnya karena tadi
dia masih tenggang menenggang. Tak segera bersikap tegas kepada lelaki lelaki ini.
Padahal dia sudah diberitahu oleh kedua perempuan yang satu bus dengannya dari Payakumbuh itu.
Bahwa lelaki lelaki itu adalah penyamun-penyamun yang sering merampok pedagang yang dalam perjalanan
ke Bukittinggi dari Payakumbuh atau dari Padang Panjang. Dia terlalu menenggang. Dia hanya ingin membunuh
Jepang yang membunuh keluarganya. Yang menjajah negerinya. Dia tak ingin membunuh bangsanya sendiri.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 68
Ternyata belas kasihannya memakan dirinya sendiri. Mei-mei memekik mekik melihat tubuh Si Bungsu
tercampak dari satu kaki ke kaki yang lain.
"Jangan siksa dia Jangan siksa diaaa. Kuserahkan apa yang kalian minta. Jangan siksa dia " Koko "Koko"
Mei Mei menatap memohon. Lambat lambat di antara rasa sakit dan terguling guling di lanyau cuek itu, Si
Bungsu mendengar suara Mei-mei. Hatinya luluh ketika mendengar betapa gadis itu bersedia memberikan apa
saja, termasuk dirinya, asal lelaki lelaki itu berhenti menganiaya dirinya. Dia coba menyusun ingatannya
kembali. Coba mengingat dimana samurai nya terjatuh. Lalu, tiba tiba sekali, dengan sisa sisa tenaga tubuhnya
bergulingan amat cepat. Dengan mengandalkan pendengarannya yang amat tajam, telinganya menangkap
suara samurainya yang tersentuh kaki salah seorang lelaki itu.
Seperti magnit, ke sanalah tubuhnya bergulingan amat cepat. Para lelaki itu masih berusaha
mengejarnya. Masih belum mengetahui dengan sepenuhnya bahwa tubuh anak muda itu bergulingan bukan
lagi karena tendangan mereka. Ketika mereka memburu lagi, saat itulah tangan Si Bungsu berhasil meraih
samurainya. Dia tak bisa tegak sempurna. Rusuknya yang patah di sebelah kiri menghalangi gerakannya.
Namun dengan berlutut tiba tiba samurainya bekerja. Dalam tiga kali gerakan pertama, tiga lelaki dimakan
samurainya. Perut mereka robek. Ada yang dadanya belah. Menggelepar dan mati. Datuk itu kaget. Tapi dia memang
seorang pesilat tangguh. Dia menendang cepat sekali. Wajah Si Bungsu berubah keras seperti baja. Ketika kaki
Datuk itu menendang ke wajahnya, samurainya bekerja. Dan amat cepat sekali, kaki datuk itu buntung sebatas
lutut. Yang seorang lagi, yang menyerang dengan keris dia pancung tentang pinggangnya. Pinggang lelaki itu
hampir putus. Datuk itu terpekik, namun Si Bungsu menggeser tubuh. Dan samurainya kembali bekerja. Kaki kiri Datuk
itu putus sebatas betis. Datuk itu terguling. Samurai Si Bungsu bekerja lagi. Kedua tangan Datuk jahanam itu
putus hingga siku. Anak buahnya yang satu lagi, yang masih selamat, menggigil. celananya segera basah. Dan
tiba tiba dia balik kanan. Lari kedalam kegelapan. Dialah satu satunya yang selamat. Datuk itu menggelepar
gelepar. Memekik mekik. Minta ampun. Kaki dan tangannya putus semua
"Bunuhlah saya. Tolonglah. Jangan biarkan saya menderita " oh tolonglah .." dia meratap. Bungsu
menatapnya dengan wajah datar. Kemudian dia berkata dengan suara tanpa emosi.
"Engkau takkan mati Datuk. Darahmu akan kuhentikan alirannya agar kau tak mati kehabisan darah.
Kematian terlalu mulia bagimu. Engkau akan tetap hidup dengan tubuh seperti sekarang. cukup banyak orang
sengsara olehmu. Mulai hari ini, kau akan merasakan kesengsaraan yang lebih hebat dari itu. Ini adalah balasan
dari kejahatan selama ini. Engkau seorang datuk seorang penghulu, seorang kepala suku. Yang seharusnya
membimbing anak kemenakanmu. Yang seharusnya meluruskan yang bengkok, menyambung yang singkat
menyayangi yang muda, melindungi yang lemah. Tapi ternyata gelar yang engkau sandang engkau laknati
sendiri ?" "Ampun saya anak muda " tolonglah saya. Jangan biarkan diri saya hina begini. Bunuhlah saya ..
bunuhlah saya .." ratap datuk yang sudah lenyap seluruh kepongahannya Si Bungsu hanya menatapnya dengan
dingin sambil menekan beberapa bahagian di tempat tubuhnya yang putus, darah tiba-tiba berhenti mengalir.
Kemudian menatap ketujuh mayat yang bergelimpangan dalam kamar tunggu penginapan itu. Lalu lambat
lambat dia berbalik. Menghadap pada Mei-mei. Gadis itu berlari memeluknya.
"Koko .." "Mari kita pergi Moy-moy .."
Dan malam itu, mereka meninggalkan penginapan tersebut. Si Bungsu tahu dalam waktu singkat,
Kempetai akan memenuhi penginapan itu. Dan dia tak mau ditangkap. Dengan sebuah bendi yang berada di
depan penginapan itu, mereka pergi membelah malam yang dingin. Malam yang hampir bersahut dengan
subuh. "Ke mana kita koko ..?" "Saya tak tahu Moy-moy. Saya tak punya kenalan di sini. Jangan ke rumah famili
ibumu di Kampung cina, berbahaya bagi keluarganya.
" "Kita kepenginapan lain koko ?" "Tidak. Semua penginapan akan digeledah Kempetai?"
Kusir bendi, seorang lelaki tua, yang tadi mengintip perkelahian dalam penginapan itu mendengarkan
saja percakapan kedua anak muda tersebut. Dari pembicaraan mereka, dia mengetahui, bahwa kedua anak
muda ini bukan suami istri. Dia mengetahui sedikit banyaknya bahasa cina. Sebab dia bersahabat dengan
sebuah keluarga Tionghoa yang tinggal di daerah Tembok. yang berdekatan dengan Kampung cina. Kedua anak
muda ini, kalau tidak sepasang kekasih, pastilah dua orang bersahabat. Kusir tua itu juga mengetahui, bahwa
Datuk basunguik buruk dan teman temannya yang dibantai anak muda ini adalah penyamun yang ditakuti.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 69
Markas Datuk itu dan anak buahnya terletak di dalam rimba buluh di Tambuo. Suatu tempat angker di
dekat kampung Tigobaleh di tepi Kota Bukittinggi. Banyak orang yang mengetahui bahwa rimba buluh Tambuo
itu adalah markas dan sekaligus tempat persembunyian para perampok. Namun tak ada yang berani
mengadukan pada Jepang. Apalagi bertindak sendiri menangkap mereka. Datuk ini terkenal bengis. Hal itu
hampir saja terbukti kalau anak muda ini tak cepat dengan samurai nya tadi.
Kini kusir bendi itu dapat menangkap dari pembicaraan kedua penompangnya ini, bahwa mereka
kesulitan tempat menginap. Hatinya jadi hiba.
"Seluruh kota akan segera diperiksa oleh Kempetai .." kusir itu berkata perlahan. Si Bungsu menoleh
padanya. "Apakah orang orang itu dilindungi oleh Jepang " " tanyanya ingin tahu.
"Tidak. Tapi Jepang akan mencari setiap pembunuh. Apalagi yang kau bunuh malam ini tujuh orang.
Suatu jumlah yang tak sedikit Jepang membiarkan gerombolan Datuk itu merajalela untuk kepentingan mereka
secara tak langsung. Dalam setiap kekacauan, mereka memetik untungnya ?" Si Bungsu menarik nafas panjang.
Mereka sama sama terdiam. Yang terdengar memecah sunyi adalah suara ladam kuda yang beradu
dengan aspal. Membelah malam yang telah jauh menikam larut. Si Bungsu tak menyadari kemana bendi itu
tengah menuju. Rusuknya yang patah membuat dirinya letih tak terkira. Makan kaki lelaki lelaki di penginapan
tadi benar benar meluluhkan tubuhnya. Mei-meilah yang pertama menyadari, bahwa bendi itu makin jauh dan
makin masuk kepalunan gelap. Dia menggoyang tubuh Si Bungsu yang bersandar ke dirinya. Si Bungsu tak
bergerak. "Koko .. Koko ?" panggilnya perlahan dekat telinga Si Bungsu. Si Bungsu mengeluh pendek. Tak bisa
menjawab, tapi keluhan itu sebagai tanda bahwa dia mendengarkan panggilan Mei-mei.
"Kemana kita Koko ?" ada nada cemas dalam suara gadis itu.
"Kemana ?"" Si Bungsu balas bertanya perlahan.
"Lihatlah, kita dibawa kepalunan rimba ?" bisik Memei. Masih dalam keadaan menyandarkan kepalanya
yang terasa amat berat, tanpa membuka mata, Si Bungsu bertanya perlahan.
"Akan bapak bawa kemana kami ?"
"Kalian tak punya tempat untuk menginap di kota anak muda .."
"Ya. Tapi kini kami akan bapak bawa kemana ?"
"Ke rumah saya ?"
"Ke rumah bapak ?""
"Ya. Di rumah saya kalian akan aman. Hais ck ck .." kusir itu mendecah kudanya. Terasa goncangan agak
keras ketika bendi itu mulai meninggalkan jalan beraspal dan memasuki jalan kecil yang tak datar. Mei-mei
memeluk bahu Si Bungsu agar jangan sampai melosoh turun.
"Kerumah bapak ?"" Si Bungsu mengulangi tanyanya perlahan.
Dan setelah itu dia tak sadar diri. Mei-mei tak bisa berbuat apa apa. Kalaupun dia berniat melawan, dan
bisa melarikan diri, namun dia tak akan melakukannya. Dia tak mau meninggalkan anak muda yang telah
menolongnya ini. Kalaupun bencana akan menimpa dirinya, dia ingin tetap berada di dekat Si Bungsu.
"Haissy ck " ck Haissy ?" kusir bendi tersebut mendecah kudanya lagi. Kuda itu seperti berjalan dalam
cahaya terang. Berlari seenaknya. Melangkahi lobang dan batu sebesar-besar tinju. Dia hafal jalan itu. Meski
malam yang hampir disambut subuh itu amat kental gelapnya. Mei-mei coba memperhatikan jalan dan
belantara yang mereka lalui.
Jalan itu di kiri kanannya penuh oleh pohon pohon. Seperti hutan saja layaknya. Tapi yang paling banyak
di antara pohon pohon itu adalah pohon bambu. Besar dan tinggi seperti akan menjangkau langit. Dahulu waktu
kecil, dia pernah tinggal di kota ini. Tapi saat itu dia masih kecil, kemudian si Babah, ayah tirinya itu, membawa
mereka pindah ke Payakumbuh. Waktu kecil itu, dia tak pernah sampai kemari. Paling paling hanya ke rumah
tetangga di kampung cina. Tiba tiba bendi itu berhenti. Kusir berseru, kemudian dia berjalan ke belakang. Ke
tempat Si Bungsu dan Mei-mei duduk.
"Mari kutolong menurunkannya ?" kata kusir tua itu lagi sambil memegang tangan Si Bungsu. Lalu tiba
tiba, dalam gerakannya yang amat cepat tubuh Si Bungsu telah berada di bahunya. Pintu pondok terbuka.
Seorang perempuan separoh baya muncul dengan lampu togok di tangannya. Mei-mei turun dari bendi dan
mengikuti kusir itu. Saat akan masuk kepondok perempuan paroh baya itu tertegun menatap Mei-mei. Tapi
hanya sebentar. Kemudian menghindar dari pintu memberi jalan pada Mei-mei..
"Masuklah .." katanya.
Suaranya lembut. Mei-mei melangkah masuk. Pondok itu cukup besar. Berdinding bambu, berlantai
tanah beratap rumbia. Seorang anak perempuan muncul. Barangkali usianya sekitar dua belas tahun. Namun
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 70
tubuhnya kelihatan segar. Kusir bendi itu meletakkan tubuh Si Bungsu di sebuah kamar di atas balai balai
bambu. Mei-mei tegak di sisi pembaringan.
"Biarkan dia tidur ?" kata kusir itu sambil melangkah ke luar kamar.
Dia minta istrinya untuk membuat kopi. Mei-mei duduk termenung di tepi pembaringan dekat tubuh Si
Bungsu. Anak muda itu tergolek tak sadar diri. Gadis itu meraba wajahnya. Terasa dingin dan berpeluh. Dia
tegak dan berjalan kepintu.
"Pak. dia berpeluh dan tubuhnya dingin ?" katanya pada kusir yang kini tengah membuka kekang
kudanya. "Biarkan saja. Dia takkan apa apa. Dia memiliki tubuh yang kuat. Sebentar lagi dia akan sembuh. Nona
istirahatlah di dalam ?" kata kusir itu.
Suaranya terdengar berat tapi ramah dan bersahabat. Kekawatiran yang sejak tadi bersarang di hati Meimei lenyap ketika mendengar suara kusir itu. Dia lalu berbalik ke kamar. Duduk di sebuah bangku kecil dekat
dinding. Menatap diam diam pada Si Bungsu yang masih saja tak sadar. Tak lama kemudian, terdengar suara
azan dari kejauhan. Kusir itu sembahyang subuh dengan istri dan gadis kecilnya. Tak selang berapa lama
Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
setelah sembahyang subuh itu, Mei-mei mendengar suara orang datang. Dia mendengar kusir itu berjalan ke
luar. Kemudian sepi. Tapi hanya sebentar. Tak lama antaranya, dia dengar suara tanah berdentam dan suara
seperti orang berkelahi. Mei-mei tertegak. Takutnya muncul. Siapa orang yang baru datang itu " Dia tegak dan berjalan ketempat
tidur di mana Si Bungsu masih terbaring. Dia ingin membangunkan anak muda itu. Tapi dia tak sampai hati.
Anak muda itu tidak tidur, melainkan tak sadar karena letih dikeroyok. Kini dia terbaring diam. Suara
perkelahian di luar masih terdengar. Dengan perlahan Mei-mei berjalan kejendela. Dia mengintip dari lobang
kecil yang terdapat di pinggir jendela. Di luar sana, dalam cahaya subuh, dia lihat orang tua yang jadi kusir
bendi yang mereka tumpangi tadi, sedang berkelahi dengan seorang anak muda.
Anak muda itu kelihatan amat gesit. Namun kusir itu juga gesit. Tubuh tuanya yang malam tadi
dibungkus dengan kain dan sebuah sebo, kini kelihatan terbuka. Hanya memakai celana panjang hitam tanpa
baju. Tubuhnya kelihatan biasa saja, namun di balik tubuh yang biasa itu jelas terbaca tenaga yang tangguh.
"Sampai di sini dulu, Kini kau upik .." kusir itu berkata menunjuk gadis kecil yang dia temui malam tadi.
Dari lobang kecil itu dia melihat gadis kecil anak kusir itu maju ke tengah lapangan kecil di belakang
rumah itu. Gadis berusia dua belas tahun itu berpakaian seperti lelaki. Bercelana dan berbaju longgar. Dari
caranya bersiap. Mei-mei segera menarik nafas lega. orang itu ternyata hanya latihan silat. Dia jadi tertarik.
Ingin melihat gadis kecil itu bersilat. Gadis itu mulai membuka serangan setelah memberi hormat.
"Jangan memukul ketika menarik nafas .." kusir itu berkata memberi petunjuk.
Gadis itu menarik lagi pukulannya yang tengah dia lancarkan. Memulai lagi langkah dari awal. Kemudian
beruntun mengirimkan pukulan dan tendangan ke arah ayahnya. Gerakan gadis itu cukup cepat. Namun
dengan mudah kusir itu mengelak dan memberi petunjuk terus. Tiba tiba lelaki tua itu berhenti, lalu
menghadap kepondoknya. "Hei, Nona Jangan mengintip di situ. Kalau ingin belajar silat, datang kemari.." Seru lelaki itu.
Mei-mei cepat cepat menarik kepalanya dari lobang yang tak sampai sebesar jari itu. Dia kaget pada
ketajaman firasat kusir itu. Dia duduk kembali di pembaringan dekat Si Bungsu yang masih tertidur. Sesekali
matanya memandang juga ke lobang kecil di tepi jendela di mana tadi dia mengintip. Suara kusir yang
menyuruhnya keluar itu seperti memanggil manggilnya. Dia tatap wajah Si Bungsu, hatinya jadi lega. Sebab kini
wajah anak muda itu tak lagi meringis seperti tadi. Kini dia seperti benar benar tidur. Wajahnya tak lagi
menahan sakit. Nampaknya dia memang tengah tertidur lelap. Mei-mei menarik nafas lega. Di luar dia dengar lagi orang
latihan bersilat. Lambat lambat dia melangkah keluar. Berjalan ke belakang. Dan tiba di pinggir lapangan
berpasir yang luasnya tak sampai lima depa persegi. Di tengah lapangan Upik anak kusir itu tengah bersilat
dengan lelaki muda yang tadi dia lihat bersilat dengan kusir. Kusir itu tengah tegak dengan kaki terpentang
menatap ke tengah sasaran.
Mei-mei duduk di bangku bambu yang terletak di pinggir sasaran. Tak lama kemudian kedua orang itu
selesai berlatih. Si Upik dengan tersenyum ramah mendekati Mei-mei. Gadis kecil itu mengulurkan tangan
bersalaman. Mei-mei ikut tersenyum melihat keramahannya dan menyambut uluran tangannya.
"Nama saya Upik. Siapa nama kakak ?" tanyanya dengan suara bersahabat.
Mei-mei terharu, jarang sekali sikap bersahabat begini datang dari orang Melayu terhadap orang
Tionghoa. Biasanya dia merasa diasingkan di tengah orang orang Melayu. Tapi gadis kecil ini, demikian juga
ayahnya yang kusir itu, seperti telah mengenalnya dengan baik selama bertahun tahun. Sebenarnya jarak usia
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 71
kedua gadis itu hanya sekitar lima tahun. Suatu jarak yang tak seberapa jauh. Si Upik benar benar gadis desa
yang polos dan manja. Sementara Mei-mei adalah gadis muda yang dalam usianya yang belum seberapa itu,
telah menapaki kehidupan manusia dewasa yang alangkah pahitnya dan alangkah hitamnya.
(14) "Nama saya Mei-mei .." katanya sambil tersenyum.
Ketika Mei-mei melihat kusir itu menatapnya, dia segera mendatanginya. Kemudian dengan sikap
hormat menyalami orang tua itu.
"Terima kasih atas bantuan Bapak kepada kami .." katanya.
Kusir tua itu tersenyum. "Nama saya Datuk Penghulu Basa. Kau boleh panggil saya dengan sebutan bapak atau pak Datuk.
Tinggallah di sini buat sementara. Menjelang kokomu sehat. Saya rasa rusuknya ada yang patah. Berbahaya
kalau dia berada di kota dalam keadaan seperti itu. Teman teman Datuk yang dia pancung semalam dan juga
Kempetai pasti mencari. Siapa nama kokomu itu?" "Bungsu. Kami baru datang dari Payakumbuh.."
"Ya. Saya ada di depan penginapan itu ketika kalian turun dari bus .."
Datuk Penghulu Basa lalu menceritakan tentang siapa yang dibunuh oleh Si Bungsu di penginapan itu.
Tentang kawanan penyamun yang bermarkas di rimba buluh di lembah Tambuo itu.
"Hei, kenalkan, muridku si Salim ".."
Datuk Penghulu memperkenalkan anak muda yang tadi berlatih dengannya kepada Mei-mei. Gadis itu
menyambut salam tersebut. Salim merasakan hatinya berdebar ketika menyalami tangan gadis Tionghoa yang
cantik itu. Hari hari setelah itu Si Bungsu dirawat oleh Datuk Penghulu di rumahnya. Dia terpaksa berbaring
selama tiga puluh hari di tempat tidur. Rusuknya patah tidak hanya dua buah. Melainkan ada tiga yang kupak
dimakan kaki Datuk penyamun dan anak buahnya itu.
Selama itu pula Mei-mei juga tinggal di sana. Dia sebilik dengan upik. Tiap hari Datuk Penghulu Basa
tetap mencari nafkah dengan bendinya. Dia menceritakan pada Mei-mei dan Si Bungsu. Jepang sebenarnya
berterima kasih pada orang yang tak dikenal yang telah membunuh kawanan penyamun itu. Namun selain
berterima kasih Jepang juga tetap mencari Si Bungsu. Sebab betapapun jua, si pembunuh harus didengar
keterangannya tentang peristiwa itu. Datuk kepala penyamun yang buntung tangan dan kakinya itu dirawat di
rumah sakit. Dia masih tetap hidup. Kempetai berhasil mengorek keterangan dari mulut kepala penyamun ini
tentang markas mereka di Tambuo. Jepang lalu menggerebek markas mereka dalam rimba bambu itu. Tujuh
orang lagi berhasil diringkus dari sana.
Kini, orang tak merasa khawatir lagi lewat di penurunan Tambuo seperti masa masa sebelumnya. Kalau
dulu, untuk ke Bukittinggi dari Tigobaleh dan sekitarnya, orang harus memutar jalan ke Simpang Limau. Atau
berputar ke Banu Hampu terus ke Jambu Air. Mereka tak pernah aman lewat di penurunan Tambuo itu. Tak
jarang orang menemui mayat di Batang Tambuo yang berair deras itu. Tapi kini masa seperti itu sudah lewat.
Suatu hari ketika Si Bungsu merasa agak baik, dia coba untuk berdiri. Sudah berlalu masa dua puluh hari sejak
dia dibawa ke rumah ini. Tiga tulang rusuknya yang patah sudah agak terasa nyaman, itu karena rawatan datuk itu anak beranak.
Mei-mei dengan tambahan ramuan kering yang dia bawa dari gunung Sago. Pagi itu dia terbangun karena kicau
burung dan suara bentakan bentakan di luar rumah. Dia buka jendela dan menghirup udara pagi segar yang
menerobos masuk. Dilihatnya kopi sudah terletak di atas meja kecil di dalam kamar itu. Dalam sebuah gelas
terletak beberapa bunga bunga kobra bunga mawar.
Pastilah Mei-mei yang meletakkannya. Seperti kebiasaan gadis itu setiap pagi selama di rumah ini. Datuk
Penghulu pasti belum kembali. Sebab malam tadi dia berkata, bahwa malam ini mereka ada perlu. Kabarnya
ada pertemuan pejuang di Bukit Ambacang. Datuk itu termasuk salah seorang dari pejuang itu. Ketika dia
menoleh ke arah belakang, dia tertegun. Di lapangan kecil di belakang rumah itu, dilihatnya orang sedang
bersilat. Yang satu pastilah si Salim. Kemenakan Datuk Penghulu. Dia kenal pemuda itu selama berada di rumah
ini. Pemuda baik dan rendah hati dan berbudi.
Yang dia hampir hampir tak percaya atas penglihatannya adalah lawan si Salim bersilat itu. Lawannya
adalah seorang perempuan. Seorang gadis. Berpakaian serba hitam dan rambutnya yang panjang diikat tinggi
tinggi. Pakaian yang hitam sangat kontras dengan kulitnya kuning bersih. Jurus silat yang dia bawakan amat
berlawanan dengan tubuhnya yang lemah lembut, dan wajahnya yang cantik. Mei-mei. Mei-mei belajar silat. Ini
benar benar suatu yang luar biasa.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 72
Di tepi lapangan, si Upik anak Datuk Penghulu Basa melihat dengan penuh perhatian. Sesekali gadis kecil
itu bersorak bila tendangan atau pukulan Mei-mei mengenai tubuh Salim. Atau sesekali gadis itu berseru
berang bila kebetulan pemuda itu mengenai tubuh Mei-mei. Si Bungsu benar benar terpesona. Dia tak mengerti
silat. Tapi melihat gerakan Mei-mei, dia yakin gadis itu sudah mulai cepat dengan kaki dan tangannya. Padahal
baru dua puluh hari dia belajar.
Saat itu, ketika Salim berniat menangkap pukulan tangan Mei-mei, gadis itu membiarkannya. Ketika
Salim berniat menguasai tangan tersebut, di luar dugaan, kaki kiri Mei-mei yang berada di belakang kaki
kanannya, menendang kedepan dengan kuat dan cepat sekali. Tendangan itu demikian telaknya. Salim baru
menyadari bahaya tendangan itu ketika sudah terlambat.
Tendangan itu masuk keperutnya Tak ada ampun. Tubuhnya terlipat dan terguling ketanah. Si Upik
bersorak gembira. Mei-mei tertegun melihat akibat tendangannya. Salim meringis dan merangkak bangun.
Mei-mei membantunya tegak dengan wajah penuh penyesalan.
"Maaf" maafkan saya tak sengaja ?" Salim tegak tapi tersenyum.
"Benar benar jurus cuek Sadapo yang sempurna. Saya tak pernah berhasil sebaik itu dalam
mempergunakan jurus tersebut?"
Salim berkata jujur sambil menghapus peluhnya. Mereka terkejut tatkala mendengar tepuk tangan dari
rumah. Ketika mereka menoleh, mereka melihat Si Bungsu tegak dengan senyum di dekat jendela. Mei-mei
menghambur gembira melihat anak muda itu sudah bisa berdiri.
"Koko .." serunya tersendat.
"Moy-moy. Selamatlah. Engkau telah menjadi seorang pesilat.." suara Si Bungsu terdengar bernada
gembira dan bangga. Mei-mei menatap anak muda itu. Dan tiba tiba dia memeluk anak muda itu dengan isak tertahan. Gadis
ini sangat merisaukan kesehatan Si Bungsu, itu sebabnya ketika kini dia melihatnya telah mampu berdiri,
hatinya sangat bersyukur. Dia menangis karena bahagia. Hanya Si Bungsu yang jadi terheran heran, tatkala
mengetahui. "Mei-mei menangis. Hei, ada apa Mei-mei ..?"
"Saya bahagia, koko telah sembuh. Saya sangat khawatir koko tak sembuh sembuh. Saya sangat hawatir
".." "Orang kalau gembira pasti tertawa. Ini gembira kok menangis. Hei Salim, bagaimana ini. Pesilat tak
boleh menangis bukan ?" Salim hanya tersenyum, si Upik berlari pada Mei-mei.
"Jangan menagis, Uni?" katanya.
Mei-mei melepaskan pelukannya dari Si Bungsu, kemudian menghapus air matanya. Kemudian menatap
pada Si Bungsu. Si Bungsu tersenyum.
"Teruslah berlatih. Saya bangga melihatmu jadi seorang pesilat .."
"Kami sudah selesai. Hanya tinggal menutup dengan pernafasan .." terdengar suara Salim.
"Ayolah kita tutup latihan ini Uni. Kesehatan bisa rusak bila tak diakhiri dengan latihan pernafasan itu
.." Ujar Upik membujuk Mei-mei. Gadis itu kemudian melangkah lagi ke lapangan kecil di belakang rumah
tersebut. Lalu mengatur pernafasan sebagai penutup latihan.
Si Bungsu mengenal latihan ini. Pernafasan mempertajam pendengaran dan mengatur tenaga yang telah
terpaksa. Latihan begitu tiap hari dia lakukan ketika di gunung Sago dahulu. Mei-mei memang telah mulai
latihan silat sejak dua hari kedatangannya kerumah Datuk Penghulu ini. Dia tertarik melihat si Upik berlatih.
Karena itu ketika Datuk Penghulu Basa menawarkan untuk ikut, tanpa malu malu diapun ikut. Dengan
cepat ternyata dia bisa menguasai pelajaran yang diberikan. Sebenarnya Datuk Penghulu bukan sekedar
menawarkan latihan saja pada Mei-mei. Dia punya alasan yang kuat. sebagai guru gadang aliran Silek Tuo yang
berasal dari Pariangan Padangpanjang, yaitu aliran silat yang merupakan induk dari silat silat yang ada di
Minangkabau, seperti silat Lintau, Kumango, Pangian dan lain lain, dia dapat melihat tulang seorang pesilat
pada tubuh orang. Mula pertama melihat Mei-mei, hatinya berdetak keras. Susunan tulang Mei-mei merupakan
susunan yang hampir hampir sempurna bagi seorang pesilat. Dia yakin gadis ini mempunyai bakat silat yang
luar biasa. Itulah sebabnya dia menawarkan gadis itu untuk belajar. Dan ketajaman penglihatannya itu segera saja
terbukti. Ketika dalam waktu tak sampai satu bulan, Mei-mei telah melalap dan memahami dengan baik
pelajaran pelajaran pokok dan kunci kunci serangan yang diberikan Datuk Penghulu Basa. Tak seorangpun
yang mengetahui, bahkan Mei-mei sendiri, bahwa gadis itu sebenarnya adalah turunan seorang pesilat
tangguh. Ayah dari kakek Mei-mei berasal dari Tinggoan di daratan Tlongkok sana.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 73
Dan ayah kakeknya ini adalah seorang Tiang Bujin, atau dedengkot silat aliran Siau Lim Pay yang sangat
tersohor. Ayah dari kakeknya bergelar Bu Beng Tay Hiap. Si Pendekar Pedang Tak Bernama. Setiap pesilat di
daratan tiongkok pasti menaruh segan pada pendekar itu. Dan ternyata bakat dan susunan tulangnya menurun
pada buyutnya yang dilahirkan di Indonesia, yaitu Mei-mei. Tak seorangpun yang mengetahui hal ini. Dan itu
pulalah sebabnya, kenapa ketika ditawarkan untuk belajar silat oleh Datuk Penghulu gadis itu menerima
dengan rasa gembira. Tentu saja dia gembira, sebab darah pesilat di dalam tubuhnya mendorong-dorong.
Hanya saja selama ini tak pernah mendapat penyaluran Pelajaran silat yang diberikan padanya, segera saja
dapat dia terima secara sempurna. Di samping merasa bangga dan gembira, Datuk Penghulu juga merasa kaget
pada kemajuan yang dicapai gadis itu. Si Upik yang telah setahun belajar, kini justru diajar oleh Mei-mei. Dan
kini kalau Datuk itu tak di rumah, Salimlah yang membimbing Mei-mei.
Salim memberikan pelajaran yang telah dia terima selama tiga tahun ini. Baik pelajaran yang telah dia
kuasai. Maupun pelajaran dalam taraf dilatih. Ternyata pelajaran Mei-mei maju dengan sangat cepat. Malah
kini dia sangat sukar menundukkan gadis itu. Dalam rimba persilatan, memang terdapat apa yang disebut anak
anak ajaib. Di Tiongkok, yaitu tempat asal muasal silat yang ada di seluruh dunia, anak ajaib di kalangan
persilatan ini lahir satu atau dua orang dalam seratus tahun.
Itupun sangat sulit menemukannya. Kalau ada, maka sejak lahirnya anak itu senantiasa menjadi rebutan
kalangan persilatan. Sebab bisa diduga, siapa saja yang berhasil menjadikannya murid, pastilah perguruannya
akan menjadi perguruan yang disegani. itu pulalah yang terjadi pada ayah dari kakek Mei-mei. Bu Beng Kiam
Hiap dari Tinggoan yang terkenal itu. Ayah kakeknya ini, lahir di biara Budha. Biara itu milik perguruan Bu
Tong Pay. Kala itu Biksu Bu Tong Pay yang melihat pertama kalinya sangat terkejut. Diam diam dia memelihara
anak itu. Namun Biksu itu membuat suatu kesalahan. Dalam rangka mengamankan anak itu agar tak sampai
jatuh ke tangan perguruan lain, dia sampai sampai tak membenarkan ayah ibunya menemui si anak.
Ini sudah keterlaluan. Suatu malam anak itu diculik oleh ayahnya sendiri. Dan si ayah hampir mati di
tangan si Biksu. Namun saat itu muncul seorang pendekar dari perguruan Siaw Lim Pay, yang menolong ayah
dan ibu anak itu dari kematian. Membawa ketiga beranak itu ke perguruannya. Dan tentu kehadiran anak itu
disambut dengan kaget dan gembira oleh guru guru besar perguruan tersebut. Akhirnya ayah kakek Mei-mei
menjadi pesilat yang kesohor. Kesohor karena dia selalu muncul di saat saat genting.
Dimana ada penindasan dari yang kuat pada yang lemah, di sana dia muncul dan turun tangan menolong.
Siapa sangka, cucu buyutnya yang lahir di Indonesia juga mempunyai susunan tulang seperti dia. Dan kini
menjadi murid dari Perguruan Silat Tuo di Minangkabau. Datuk Penghulu tak memiliki banyak murid.
Bukannya tak ada orang yang ingin berguru padanya. Cukup banyak orang yang datang. Tapi dia selalu menolak
dengan halus. Kini muridnya hanya tiga orang. Si Upik anaknya, Salim kemenakannya dan Mei-mei. Hanya tiga
orang. Namun dia merasa puas dengan ketiga muridnya ini. Salim dan Mei-mei menjadi dua sahabat. Kehadiran
Mei-mei di rumah Datuk Penghulu tak banyak diketahui orang. Pertama karena rumah Datuk itu terletak di
tengah kebun yang luas, selain itu dikelilingi pula oleh hutan bambu di daerah Padang Gamuak. Di daerah itu
hanya ada beberapa rumah.
Mei-mei juga sangat menyayangi Upik. Gadis kecil ini tak punya abang dan tak punya kakak. Itulah
kenapa dia memanggil Mei-mei dengan sebutan Uni. Mei-mei senang punya adik seperti dia. Baik Datuk
Penghulu maupun istrinya, sangat menyayangi Mei-mei. Gadis itu sangat pandai membawa diri. Dia sudah bisa
bertanak dan menggulai. Pandai merendang dan membuat dendeng.
Mei-mei gadis yang tak segan bekerja keras membantu istri Datuk Penghulu. Hari ini, selesai latihan
Salim mengawani Si Bungsu. Dia ingin membawa anak muda itu berjalan jalan keliling rumah untuk melatih
kakinya. Mereka berjalan di bawah pohon bambu. Kemudian tengah hari mereka kembali kerumah. Si Bungsu
duduk di bawah pohon jambu di depan rumah tersebut, dikawani oleh Salim. Salim menceritakan kemajuan
kemajuan yang dicapai oleh Mei-mei dalam latihan silat.
"Saya dengar mak Datuk bercerita tentang perkelahian engkau dengan penyamun penyamun di
Penginapan itu .." Salim berkata setelah dia bercerita tentang kemajuan Mei-mei dalam silat.
"Oh ya ..?" "Ya. Saya ingin sekali belajar mempergunakan samurai itu. Apakah sulit belajarnya ..?" Si Bungsu
tersenyum. "Ilmu silatmu cukup tinggi. Saya pernah mencoba belajar. Namun tak pernah bisa. Saya memang tak ada
jodoh untuk jadi pesilat. Mempergunakan samurai inipun hanya karena takdir saja. Kekerasan tekad untuk
membalas dendam". Dia lalu menceritakan nasib keluarganya. Nasib yang menimpa diri mereka. cerita itu pernah dia
Ceritakan pada Datuk Penghulu Basa dan istrinya ketika lima belas hari dia terbaring. Dia juga menceritakan
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 74
nasib yang menimpa diri Mei-mei kepada kedua suami istri itu. Itulah sebabnya kenapa suami istri kusir bendi
itu merasa sayang pada Mei-mei. Mereka menganggap Mei-mei sebagai kakak si Upik. Dan kini Si Bungsu
menceritakan perihal dirinya pada Salim.
"Saya tak menyangka demikian pahitnya hidupmu Bungsu .." kata Salim, setelah Si Bungsu selesai
bercerita. Si Bungsu menarik nafas panjang, ketika Salim permisi sembahyang ke Mesjid di tepi jalan besar di luar
hutan bambu ini, Si Bungsu tegak dan berjalan perlahan dengan dibantu sebuah tongkat kerumah. Di ruang
tengah dia melewati istri Datuk Penghulu yang tengah sembahyang. Dia ingat belum sembahyang lohor. Tapi
dalam keadaan sakit begini apakah dia mungkin untuk sujud" Sembahyang duduk sajakah" Dia mencari kain
sarungnya. Mungkin dijemur. Dia kembali lewat di ruang tengah. Akan ke belakang mencari Mei-mei untuk
mengambil sarungnya. Namun di pintu ruang tengah dia tertegak seperti patung.
Dia tertegak diam melihat pada perempuan sembahyang yang tadi dia sangka istri Datuk Penghulu itu.
Perempuan itu nampaknya baru selesai sembahyang. Kini dia tengah menampungkan tangannya membaca
doa. Dan ketika dia benar benar selesai sembahyang, dia menoleh pada Si Bungsu. Si Bungsu benar-benar
terkesima. Dia ingin bicara, namun lidahnya terasa kelu.
"Koko .." akhirnya perempuan itulah yang bicara perlahan.
Masih dalam keadaan terpukau, Si Bungsu melangkah kembali ke ruang tengah. Perlahan dia duduk di
depan perempuan itu. Perempuan yang baru saja selesai sembahyang itu tak lain daripada Mei-mei.
"Koko .. sebentar ini aku berdoa untuk arwah ibu dan ayahku. Dan aku berdoa untukmu. Untuk
kesembuhanmu. Untuk keselamatanmu .."
"Mei-mei kau ..?" hanya itu kalimat yang terucap Si Bungsu.
Ada perasaan yang amat luar biasa menyelusup ke hatinya melihat gadis itu sembahyang Lohor.
"Ya, koko. Telah saya pikirkan. Dan saya memilih islam sebagai agama saya .."
"Tapi ?" "Saya merasa tentram dan damai setelah sholat. Bukankah koko yang mengatakan itu dipenginapan
dulu?" Si Bungsu masih tak kuasa bicara.
"Masih ingatkah koko waktu saya bertanya, apakah tak meletihkan sembahyang lima kali sehari
semalam" Koko katakan, bahwa diri koko merasa tentram dan damai setiap selesai sembahyang. Diri koko
merasa mendapatkan tenaga dan semangat baru setiap selesai sholat. Itulah yang mendorongku untuk masuk
Islam. Tak ada yang membujuk. Tak ada yang memaksaku. Di rumah ini kulihat mereka sembahyang semua.
Dan mereka bahagia, damai, sabar. Meskipun mereka miskin. Bukankah kedamaian dan kebahagian itu yang
dicari orang" Kusampaikan niatku itu pada Pak Datuk. Kusampaikan pada istrinya Mak Ani. Mereka
membawaku ke Mesjid. Mak Ani memandikanku. Dan Imam yang ada di mesjid itu membacakan dua Kalimah
Shahadat, dan kuikuti. Pak Datuk dan Salim serta Mak Ani sebagai saksi. Sejak hari itu, dua pekan yang lalu, aku
telah menjadi seorang muslimah. Dan aku memang mendapatkan kedamaian, ketentraman, semangat baru
setiap selesai sholat .. aku bahagia memilih Islam menjadi agamaku ?"
Tanpa dapat ditahan, mata si Bungsi jadi basah. Mei-mei menatap matanya yang basah. Dan pelan pelan,
mata gadis itu ikut basah. Dan tiba tiba mereka berpelukan.
"Koko, engkau sedih aku masuk Islam ?"
"Tidak Moy-moy. Tidak. Aku hanya akan sedih kalau kau masuk Islam hanya karena ingin
menyenangkan hatiku. Percayalah, tanpa masuk Islam pun engkau, aku tetap kusayang padamu. Engkau tetap
adikku .." "Tidak koko. Aku masuk Islam bukan karena engkau. Aku masuk Islam karena takdir Tuhan. Bukankah
takdir manusia di tangan Tuhan Yang Satu" Tuhan mentakdirkan aku bertemu denganmu. Tuhan pula yang
Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mentakdirkan aku masuk Islam. Aku bahagia menerima takdir itu koko. Sama seperti aku juga bahagia berada
di dekatmu?" "Terima kasih Moy-moy. Terima kasih adikku .."
Peristiwa itu dilihat oleh Datuk Penghulu yang baru pulang. juga dilihat dan didengar oleh Mak Ani, ibu
si Upik yang tegak di ruang tengah. Karenanya mereka pada mengusap matanya yang basah. Terharu melihat
persaudaraan kedua anak muda yang berlainan bangsa ini. Yang satu kehilangan seluruh familinya di tangan
Jepang. Yang satu kehilangan kehormatannya di tangan Jepang. Nasib mempertemukan mereka. Persis seperti
diucapkan oleh Mei-mei sebentar ini. Bahwa mereka dipertemukan oleh Takdir yang telah diatur oleh Yang
Satu. Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 75
-000Tanpa terasa setahun telah berlalu. Selama setahun itu Mei-mei dan Si Bungsu tetap tinggal di rumah
Datuk Penghulu di kampung Padang Gamuak Tarok. Mereka seperti tinggal di rumah orangtua sendiri. Datuk
Penghulu dan istrinya menerima mereka dengan tangan terbuka. Datuk Penghulu ternyata seorang pejuang
yang menghubungi anggota Gyugun, yaitu tentara Jepang yang berasal dari pemuda pemuda Indonesia. Dia
menginventarisir senjata yang berhasil dicuri, juga logistik, dikumpulkan untuk mempersiapkan bila terjadi
perang kelak. Dia juga mencatat nama nama para anggota Gyugun yang bersedia menjadi tentara Peta yaitu
pasukan Pembela Tanah Air. Kesibukan Datuk Penghulu akhir akhir ini memang makin meningkat.
Sementara itu, kemahiran Mei-mei dalam persilatan setahun ini maju dengan amat pesat. Salim yang
selama ini bertindak sebagai pembantu Datuk Penghulu untuk mengajar Mei-mei, kini sudah tercecer jauh
sekali. Bahkan dalam beberapa kali latihan, Mei-mei berhasil mengalahkan Datuk Penghulu. Datuk Penghulu
jadi sangat bangga dan bahagia mempunyai murid seperti dia. Berbeda dengan guru guru silat pada umumnya,
yang merasa terhina bila muridnya berhasil mengalahkannya. Datuk Penghulu justru merasa karena tak ada
lagi ilmu yang bisa dia turunkan kepada Mei-mei.
Sedangkan Si Bungsu juga melatih samurainya. Dia tak ikut belajar silat. Meskipun Datuk Penghulu
pernah menawarkan padanya untuk ikut namun dia merasa sudah terlambat. Keinginannya kini hanya satu,
membalaskan dendam keluarganya membunuh Saburo dengan samurainya. Ayahnya telah bersumpah sesaat
sebelum mati, bahwa dia akan menuntut balas membunuh Saburo dengan samurai. Dia saksi langsung saat
sumpah itu diucapkan. Adalah kewajibannya untuk melaksanakan. Karena itu, selama setahun di rumah Datuk
dia melatih kecepatan samurainya dalam hutan bambu yang ada di sana.
Dia mengulangi lagi cara latihannya seperti di gunung Sago dahulu. Mencabut dan memasukkan samurai
secepat yang mampu dia laksanakan. Memancungkannya keempat penjuru. Berkali kali hal serupa itu dia
ulangi. setelah kecepatannya kembali normal, lalu dia memejamkan mata, memusatkan konsentrasi.
Mengerahkan tenaga untuk mendengarkan geseran yang paling halus sekalipun ketika angin berhembus.
Beberapa daun bambu jatuh. Dia menanti, ketika daun bambu itu tinggal sedepa dari permukaan tanah
dia mencabut samurainya, secepat kilat. Kemudian dengan masih tetap memejamkan mata, dia bergerak dua
langkah kekanan. Menyabetkan samurainya dua kali. Dua helai daun bambu terbelah.
Kemudian berguling cepat kekiri, menyabetkan samurainya dua kali, sehelai daun bambu belah dua. Dan
sehelai lagi luput dari tebasan samurainya. Dia mengulangi latihan begitu terus menerus. Hingga akhirnya
kecepatan dan kemahirannya bertambah dari yang sudah sudah. Selama setahun itu mereka tetap tinggal
bersama Datuk Penghulu dan Tek Ani. Dengan uang yang mereka bawa dari Payakumbuh, ditambah perhiasan
yang mereka peroleh dari rumah Babah gemuk pimpinan komunis itu, Mei-mei dan Si Bungsu dapat membantu
kehidupan Datuk itu. Bahkan Mei-mei menyuruh si Upik sekolah terus dengan biayanya. Malam itu, ketika
Datuk Penghulu dan Si Bungsu tak di rumah, Mei-mei tengah membaca Al Quran, Tek Ani dan Upik
menyimaknya. Suaranya yang halus lembut seperti membelah hutan bambu. Menyelusup di antara pohon
pohon dan daunnya yang hijau. Di rumah Datuk itu hanya mereka bertiga kini.
Datuk Penghulu entah berada dimana. Kegiatannya sangat memuncak. Sebab waktu itu adalah
penghujung bulan Juli 1945. Yaitu dua pekan lagi sebelum Proklamasi dibacakan di Pengangsaan Timur Jakarta.
Pejuang pejuang Indonesia saling mengadakan kontak dengan tokoh tokoh pergerakan. Datuk Penghulu
pimpinan dari delapan kurir utama kaum pejuang yang berpusat di Bukittinggi. Dialah yang menghubungkan
kontak antara Mayor Dakhlan Jambek yang saat itu bertugas dalam Gyugun dan bermarkas di Pasaman dengan
Mayor Makkimuddin di Payakumbuh.
Kepada mereka disampaikan pesan pesan dari Engku Syafei. Tokoh pejoang di bawah tanah yang
bermarkas di Kayu Tanam. Kontak itu juga menghubungkan mereka dengan encik Rahmah El Yunussiyah.
Seorang pejuang wanita yang mendirikan sekolah Diniyah Puteri di Padangpanjang. Menjelang hari
Proklamasi, kesibukan para pejuang sangat meningkat. sebaliknya, Kempetai yang merupakan Polisi Militer
Jepang, memperketat pula pengawasan mereka.
Sudah tentu anggota anggota Gyugun yang berasal dari pemuda Indonesia berada dalam pengawasan
utama dan sangat ketat. Gerak gerik mereka diawasi secara rahasia. Dari pengawasan dan penyelidikan itulah
bocor rahasia tentang diri Datuk Penghulu ayah si Upik di Padang Gamuak itu. Dari penyelidikan diketahui
bahwa kusir bendi hanya dibuat sebagai kedok saja dari tugas mata matanya. Kempetai menyiapkan suatu
penyerangan ke rumahnya. Dan malam itu lima orang Kempetai pilihan datang kerumah mereka. Namun seperti telah diutarakan di
atas, saat itu Datuk tersebut tak ada di rumah. Yang ada hanyalah istri Datuk itu, Mei-mei dan si Upik.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 76
Perempuan ketiganya. Si Bungsu sendiripun tak ada di rumah tersebut. Dia tengah menggantikan tugas Datuk
Penghulu membawa bendinya. Ada berita penting yang sedang dia nanti di kota. Yaitu tentang diri Saburo.
Untuk itu dia menyamar sebagai kusir untuk menemui kurir di kota. Tek Ani, si Upik dan Mei-mei kaget dan
terhenti mengaji tatkala pintu didobrak oleh Kempetai.
"Mana Datuk Penghulu .."
Seorang Kempetai bertanya dengan senjata terhunus. Sementara yang seorang lagi mengawasi setiap
sudut rumah. Mata mereka merah dan nyalang. Waspada terhadap segala kemungkinan. Ketika pernyataan itu
diulangi, barulah tek Ani menjawab, bahwa suaminya memang tak ada. Orang yang menggeledah itu kemudian
berbisik bisik dengan Komandannya yang berpangkat Djun-i (Pembantu Letnan) yang memimpin
penggerebekan itu. Djun-i itu menatap Mei-mei dengan mata berkilat. Ketika dia mengangguk, yang berbisik
tadi lalu keluar. Lalu terdengar suaranya menyuruh jaga sekitar rumah itu. Dari jawaban di luar, Mei-mei segera
tahu bahwa di luar ada tiga orang lagi tentara Jepang.
"Hei, kamu sini ikut. Saya mau periksa .." Ujar Djun-i itu kepada Mei-mei.
Si Upik mulai menangis. Tapi dia terdiam begitu dibentak oleh Kempetai yang seorang lagi. Perlahan
Mei-mei bangkit. Mei-mei itu menelan ludahnya melihat tubuh montok gadis cina itu. Segera saja dia menyeret
tangan Mei-mei ke bilik yang biasanya ditempati Si Bungsu.
Kemudian pintu dia tutup, Si Upik memeluk ibunya dengan wajah pucat. Sementara serdadu yang satu
lagi menatap mereka dengan seringai buruk. Dari dalam kamar terdengar suara gelosok posoh tak menentu.
Dan Kempetai yang di ruang tengah itu menelan ludahnya beberapa kali. Membayangkan kenikmatan yang
sedang dikenyam oleh komandannya di dalam bilik itu bersama gadis montok tadi. Dia jadi tak sabaran
menunggu giliran, cukup lama dia menanti, dan tiba tiba pintu kamar terbuka. Mei-mei muncul dengan senyum
di bibir. Dia memberi isyarat pada Kempetai yang ada di ruang tengah itu. Kempetai itu bergegas.
Tak peduli komandannya tadi belum keluar, yang jelas dia harus cepat mendapat giliran. Dia masuk
kamar itu. Didapatinya komandannya masih terbaring dalam pakaian lengkap. Tapi yang menjadikannya heran
adalah karena komandannya itu terbaring tidak di tempat tidur. Melainkan di lantai. Pertanyaan belum
menjawab, ketika dia berpaling pada gadis itu, tangan gadis itu bergerak cepat sekali. Pukulan dengan sisi
tangannya mendarat di tengkuk Kempetai itu. Kempetai tersebut bukanlah orang lemah. Sebagai seorang
Kempetai, dia belajar karate dan Yudo. Pukulan pertama dia tangkis dengan tangannya. Namun meleset.
Pukulan gadis itu amat cepat. Tapi pukulan itu belum merubuhkannya. Dalam keadaan heran dan kaget
Kempetai itu coba memeluk gadis tersebut.
Itulah kesalahannya. Mei-mei membiarkan Kempetai itu memeluknya, disaat tubuh mereka merapat,
Mei-mei menghantamkan lututnya keatas. Mendarat persis di selangkang Jepang itu. Jepang itu hampir saja
terpekik. Mei-mei bertindak cepat. Tangannya segera menutup mulut Jepang itu. Kalau teriakannya sampai
kedengaran oleh tiga temannya di luar, bisa berbahaya. Dan Kempetai itu melosoh turun. Kentang kentangnya
pecah. Mei-mei hari ini bukan lagi Mei-mei setahun yang lalu.
Bukan lagi Mei-mei yang lemah yang tak dapat berbuat apa apa ketika tubuhnya digumuli oleh perwira
perwira Jepang di Payakumbuh dulu. Mei-mei hari ini adalah gadis yang telah berisi. Dia membuktikan hal itu
dengan merubuhkan kedua Kempetai ini dengan mudah. Kempetai yang berpangkat Djun-i yang masuk
pertama kali tadi juga mendapatkan perlakuan yang sama. Begitu masuk dan menutup pintu, dia segera
memeluk dan berusaha mencium gadis itu.
Mei-mei seperti akan membalas pelukannya. Namun kedua tangannya memegang leher Djun-i itu.
Begitu terpegang lehernya, sementara Jepang itu masih asik menciumi mukanya, Mei-mei menghantam
lututnya keselangkang Jepang itu. Ketika Jepang itu tersentak kaget dan amat sakit, kedua tangannya
memegang leher Jepang itu bergerak pula. Yang satu mencengkram rambut di belakang kepala Kempetai itu.
Tangan yang satu lagi menghantam dagunya. Rambut Jepang itu dia tarik sekuat kuatnya arak kekanan.
Sementara dagunya dipukul arah kekiri.
Akibatnya kepala Jepang itu terputar dengan paksa amat kuat. Terdengar suara tulang berderak. Leher
Jepang itu patah tulangnya. Dia mati tanpa sempat berteriak. Itulah yang dialami oleh Djun-i yang masuk
pertama kali. Kini sudah dua orang selesai oleh Mei-mei. Benci dan dendam yang telah lama menyala dalam
dada gadis ini kepada Jepang yang telah melaknati tubuhnya, kini mendapat tempat pelampiasannya. Diam
diam dia mengunci pintu kamar. Kemudian mengambil samurai yang panjangnya dua jengkal yang tersisip di
pinggang Djun-i yang telah mati itu. Lalu perlahan dia membuka jendela dan berjingkat dia keluar. Masuk
kedalam malam yang gelap.
Tadi dia mendengar ada tiga Jepang lagi menjaga di luar rumah. Dia ingin menyudahi ketiga Jepang
jahanan itu. Perlahan lahan dia menuju ke depan. Tiba tiba langkahnya terhenti. Dari depan seorang Kempetai
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 77
rupanya menaruh curiga akan situasi rumah yang sepi itu. Dengan bedil terhunus dia mengitari rumah
tersebut. Dan dia melihat sesosok bayangan tegak mematung dekat dinding.
"Siapa itu..!" Jepang itu membentak sambil mengacungkan bedil yang siap memuntahkan peluru.
"Malaikat maut.." Jawab Mei-mei dengan suara mendesis tajam. Dan seiring dengan itu tubuhnya
bergulingan di tanah. Dalam tiga kali bergulingan yang amat cepat, dari posisi berbaring menyamping di tanah,
kaki kanannya menghantam keatas. Terdengar seruan terkejut dan kesakitan dari mulut Jepang itu ketika sisi
kaki Mei-mei yang terlatih mendarat di perutnya. Namun Jepang itu tak rubuh. Dia hanya terjajar kebelakang.
Bedil masih terpegang ditangannya. Dan justru saat itu, dalam keadaan terjajar kebelakang itu,
telunjuknya menarik pelatuk bedil. Suara dentaman bedil mengoyak malam yang kelam. Membuat terkejut
kedua temannya yang berada di depan. Mereka segera berlari kesamping.
Mei-mei merasa bahunya pedih. "Aku kena," bisik hatinya. Namun dia tak menyerah. Masih dia ingat
betapa jahanam ini ketika di Payakumbuh dulu melanyau dirinya. Mungkin memang tidak mereka. Tapi
komandan komandan mereka. Namun apa bedanya. Tubuhnya segera bangkit. Sebelum kedua Kempetai yang
ada di depan sampai ketempat itu, sebuah tendangan lagi menghantam kerampang Jepang itu. Kali ini bedilnya
jatuh. Kedua tangannya menggigil memegang tempat yang baru saja kena tendangan. Terdengar keluhan yang
menegakkan bulu tengkuk. Dia segera saja jatuh di kedua lututnya. Tendangan itu benar benar tendangan malaikat maut. Ketika dia
terjatuh di atas kedua lututnya itulah sebuah tendangan sisi kaki mendarat di tengkuknya. Riwayat Kempetai
itu the end di sana. Saat itu pula kedua serdadu yang tadi ada di depan sampai di situ. Mereka melihat temannya
terduduk. Yang paling depan mengangkat bedil. Namun jaraknya dengan Mei-mei terlalu dekat. Bedilnya
direngutkan oleh gadis itu. Tubuh Jepang itu terhuyung kedepan.
Sebuah tinju menyongsong mulutnya. Tangan Mei-mei terasa ngilu. Buku jarinya mendarat dengan telak
di bibir Jepang itu. Tapi kalau buku buku jarinya ngilu, maka Jepang itu merasa mulutnya bengkak. Dan hampir
saja dia menelan giginya yang copot tiga buah. Kempetai ini tak melihat dengan jelas siapa lawannya. Namun
dia tahu, orang ini pastilah pesilat. Dan mereka sudah mengetahui, bahwa silat di Minangkabau tak dapat
dianggap enteng. Bedilnya sudah sejak tadi lepas. Yaitu sejak mulutnya kena bogem mentah. Tapi kini dengan
cepat kakinya melayang kedepan. Mengirimkan sebuah tendangan karate bernama maei-geri yang telak.
Mei-mei melihat gerakan yang cepat itu. Dia menyilangkan kedua lengannya kebawah, menanti
tendangan itu. Sebuah tangkisan Silang Bawah yang ampuh dari Silek Tuo dalam menangkis tendangan yang
datang dari bawah. Tapi gadis ini memang belum berpengalaman. Dia memang mahir bersilat, tapi baru kali ini
berkelahi langsung. Dan justru mempertaruhkan nyawa. Tangkisan silang bawah itu sebenarnya memang
ampuh untuk menangkis tendangan pesilat Minang yang umumnya tak bersepatu. Tapi Kempetai ini memakai
sepatu. Lagipula tangkisannya agak teriambat. Tak ampun lagi, tulang tangannyalah yang kena tendang. Meimei terpekik. Tangannya segera saja jadi bengkak. Dan Jepang itu segera menyadari dari suaranya, bahwa
lawannya ini adalah seorang perempuan.
"Onaaa ?" serunya.
"Onaa ?" (perempuan) tanya kawan di belakangnya.
"Haik?" jawabnya.
Dengan jawaban begitu, Kempetai itu maju ingin memeluk Mei Mei. Ingin menangkap dan meringkusnya
hidup hidup, Namun disinilah kesalahan tentara Jepang itu. Disini pula kebanyakan kesalahan setiap lelaki
dalam menghadapi perempuan. Selalu mendahului nafsu. Begitu dia mendekat, Mei-mei yang sudah bertekad
untuk membunuh atau dibunuh itu segera menghunus samurai pendek yang tadi dia ambil dari pinggang
Kempetai yang mati dalam bilik.
Ketika tangan Kempetai ini terjulur, tangannya juga terulur".. crep samurai tajam dan tipis itu masuk
persis ke jantungnya. Kempetai itu terbelalak menyeringai sakit. Suaranya seperti suara kerbau disembelih.
Gadis itu tak mau tanggung tanggung. Samurai itu dia renggutkan dengan kuat ke kanan. Merobek dada Jepang
itu selebar satujengkal. Lalu samurai itu dia cabut dengan cepat dan dia tikamkan keleher Jepang itu Demikian
cepat peristiwa itu. Demikian lihai gadis ini menjadi pembunuh orang yang dia benci. Kehidupan keras yang
dialami selama tahun tahun yang hitam di Payakumbuh, membuat hatinya tak mudah terguncang melihat
kematian. Umurnya masih sangat muda. Belum cukup delapan belas tahun. Tapi lihatlah, Kempetai yang satu lagi
benar benar tertegun melihat perkelahian itu. Tak pernah dia sangka seorang wanita bisa berbuat begitu. Tapi
dia sadar wanita ini amat berbahaya. Dengan kesadaran demikian, dia menghantamkan pangkal bedilnya ke
tengkuk Mei-mei. Mei Mei merasa ada gerakan angin di belakangnya. Dengan cepat dia menjatuhkan diri. Kedua
tangannya bertelekan di tanah. Namun tangan kirinya terasa lumpuh. Kelumpuhan akibat tembakkan dan
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 78
tendangan tadi. Dengan tangan kanan bertelekan dia menghujamkan kakinya kebelakang. sebuah cuek
belakang yang telak. Jepang itu tersurut selangkah ketika kena hantam pahanya. Terasa sakit kena hantam
tumit gadis itu. Kempetai ini memutar bedil, mengarahkan moncong bedil itu ke depan untuk menembak, namun saat
itu pula Mei-mei berputar sangat cepat. Tangan kanannya yang memegang samurai terayun cepat pula. Samurai
itu melesat dalam gelap dan menancap persis di antara kedua mata si Kempetai. Begitu samurai pendek itu
lepas dari ujung ujung jarinya Mei-mei berguling lagi dengan cepat ke kanan. Bedil Jepang itu menyalak saat
dia sudah dua kali dia bergulingan. Peluru bedil itu menerpa tempat kosong, bersamaan rubuhnya tubuh
Kempetai itu. Mei-mei tersandar ke dinding rumah. Nafasnya memburu. Suasana sepi. Salak anjing yang biasanya riuh
di malam begini, kini pada terdiam mendengar suara dua kali letusan itu. Mereka menyurutkan diri ke dalam
semak atau ke bawah rumah. Sebab sudah beberapa kali Jepang memburu anjing. Memburunya masuk
kampung keluar kampung. Menurut Jepang, anjing itu harus dibunuhi. Sebab dia memakan makanan yang
harusnya jadi makanan manusia. Tambahan lagi, yang paling parah, anjing anjing itu sedang dijangkiti penyakit
rabies. Penyakit yang biasanya menulari anjing bila penduduk suatu negeri dilanda kekurangan makanan.
Dewasa itu pula, penduduk mana di Indonesia yang tak kekurangan makanan di bawah Pemerintahan Rasisme
Jepang " Manusia dan anjing memang saling berebutan makanan. Suatu tragedi sebenarnya. Tapi begitulah
sejarah mencatatnya. Penduduk Indonesia yang mengalami tahun tahun penderitaan di bawah kuku Jepang itu,
akan tetap mengingatnya sampai mati. Etek Ani dan si Upik yang sejak tadi duduk berpelukan di ruangan
tengah, yaitu sejak Mei-mei diseret masuk bilik oleh Djun-i, kini menanti dengan tegang.
"Unii. Uni Uni Mei-mei?" si Upik memanggil di antara tangisnya.
Memanggil uninya yang tak kunjung keluar dan tak kunjung terdengar suaranya dari dalam bilik yang
tadi dimasuki dua orang Kempetai itu. Tak ada jawaban dari dalam.
"Uni Mei Mei .." si Upik mulai menangis. Dia berdiri menuju kepintu bilik.
"Uni " buka pintu uni .."
Tak ada jawaban. Sepi"!!
Tiba tiba etek Ani mendengar suara halus. Dia mengangkat kepala. Suara itu seperti dari luar.
"Upik " , Etek ?"
Suara itu terdengar lagi. Seperti suara Mei-mei. Istri Datuk itu tegak. Dia seperti mendengar suara itu
dari luar. Kenapa dari luar "
"Etek .. tolong saya. Saya di luar .." Ujar suara itu perlahan, seperti orang kehabisan tenaga. Si Upik
mendengar pula suara itu. ibunya mengambil lampu dinding. Kemudian perlahan membuka pintu Melangkah
kesamping pintu. Mereka tertegak kaku melihat tiga tubuh Kempetai yang telah jadi mayat. Lalu mereka
melihat tubuh Mei-mei tersandar di dinding rumah. Dari bahu kirinya darah mengalir. Kepala gadis itu terkulai.
Dan matanya menatap sayu.
"Mei-mei?" "Etek ?" himbau gadis itu lirih.
Upik menangis memeluk uninya itu. Istri Datuk berusaha menolong Mei-mei untuk bangkit dan
memapahnya ke dalam. Tapi gadis itu menolak.
"Mayat mayat ini harus disembunyikan etek. Komandan mereka yang menugaskan mencari pak Datuk
kemari pasti akan curiga kalau mereka tak kembali pada waktunya. Mereka akan mengirimkan pasukan lagi
kemari. Bukankah di belakang rumah ada lobang besar tempat membakar sampah " Seretlah mayat ini kesana.
Nampaknya etek terpaksa bekerja dengan upik. Saya tak dapat membantu. Bahu saya tertembak. Di dalam
kamar masih ada dua mayat lagi. Seretlah etek" kemudian timbun dengan apa saja. Asal mayat mereka tak
kelihatan" Istri Datuk itu memang tak melihat jalan lain yang lebih baik selain mengikuti petunjuk Mei-mei. Dengan
mengerahkan semua tenaganya, dengan bantuan si Upik, dia menyeret kelima mayat Kempetai itu ke lobang
pembakaran sampah di belakang rumah. Mei-mei hanya mampu melihat dari tempatnya bersandar. cukup
lama pekerjaan itu mereka lakukan. Setelah selesai istri Datuk itu berniat membawa Mei-mei masuk. Namun
Mei-mei menggeleng. "Tidak etek. Berbahaya kalau saya masuk kerumah.
Kalau Kempetai datang dan ternyata teman temannya tak ada, mereka akan memaksa kita. Barangkali
mereka juga berniat memperkosa saya. Dan mereka akan melihat dan mengetahui luka saya ini adalah luka
bekas tembakan. Mereka akan curiga. Kematian kelima teman mereka akan segera mereka ketahui.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 79
Sembunyikan saja saya ke tempat lain. Bawa saya kepondok kecil di tengah rumpun bambu di samping sana.
Biarlah saya di sana menjelang koko pulang ?"
"Saya akan ikut dengan uni ?" si Upik berkata sambil menangis.
"Tidak Upik. Upik harus tetap bersama etek di rumah. Tolong ambilkan obat di kamar uni. obat ramuan
yang dulu diberikan koko kepada kita. Ingat ?"
Upik mengangguk. Kemudian cepat masuk. Mengambil obat, kain dan beberapa potong kue yang mereka
beli siang tadi. Kemudian sebuah bantal dan tikar. Dengan suluh mereka segera menuju kepondok kecil di
tengah hutan bambu itu. Pondok itu dibuat oleh Si Bungsu untuk istirahat jika selesai latihan. Sesampai d i
pondok Mei-mei minta tolong menaburkan obat ramuan itu di lukanya.
Peluru bedil Kempetai itu ternyata menembus bahunya dari depan tembus ke belakang. Luka di
belakang tiga kali selebar luka yang di depan. Gadis itu sudah sangat pucat karena darah banyak keluar. Setelah
ramuan obat yang dibawa Si Bungsu dari gunung Sago itu ditebarkan dilukanya, dia kelihatan sedikit tenang.
"Pulanglah etek, Upik. Kalau koko datang, katakan aku di sini ?"
"Tidak. Upik tidak pulang. Upik di sini mengawani uni ?"
Si Upik tak tahan untuk tak menangis melihat penderitaan Mei-mei. Mei-mei jadi terharu. Dia belai
kepala adiknya itu. "Tidak Upik. Upik harus menemani amak di rumah.
Bagaimana kalau Jepang datang, dan dia menganggu amak ?""
"Amak juga di sini. Amak jangan pulang. Kita di sini saja bersama uni ya mak?" si Upik membujuk ibunya
Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
diantara tangisnya. "Tidak Upik. Kalau Upik dan amak di sini, Jepang pasti curiga. Mereka akan membakar rumah dan
mencari kita sampai dapat. Upik dan amak harus di rumah. Menjawab pertanyaan Jepang yang datang.
Mei-mei berusaha meyakinkan gadis kecil itu. Akhirnya Upik pulang juga bersama ibunya. Mei-mei
tinggal sendiri. Dia tak berani menghidupkan lampu togok yang ada di pondok itu. Tidak juga menghidupkan
api unggun untuk menghalau nyamuk. Dia khawatir kalau api yang dia pasang akan kelihatan oleh Jepang. Gadis
ini memang mempunyai firasat yang tajam. Sebab tak lama setelah Upik dan ibunya sampai di rumah,
sepasukan tentara Jepang sampai pula di sana.
Sementara itu, di sebuah kedai kopi di pasar atas, Si Bungsu telah menantikan kedatangan seorang lelaki.
Bendinya tegak tak jauh dari kedai kopi. Kegiatan Jepang nampaknya makin sibuk menjelang awal Agustus itu.
Perang melawan Sekutu di Samudra Pasifik mengirimkan berita tak menyenangkan Jepang ke seluruh tanah
jajahannya. Tiba tiba Si Bungsu melihat lelaki yang dia nanti itu muncul dari arah Jam Gadang.
Lelaki itu adalah kurir dari Datuk Penghulu Basa. Dari dia diharapkan berita tentang dimana kini Kapten
Saburo Matsuyama berada. Sampai saat ini, Si Bungsu belum mengetahui kalau Kapten yang telah naik pangkat
jadi Mayor itu telah dipaksa pensiun dan dipaksa pulang ke Jepang oleh Kolonel Fujiyama. Lelaki itu nampak
tergesa. Si Bungsu hanya menoleh sebentar. Kemudian membelakangi lelaki itu, menghadap kopi dan pisang
gorengnya. Lelaki itu mengambil tempat duduk disampingnya.
(15) "Kopi pahit satu ?" Katanya sambil menjangkau sebuah goreng ubi. Dia mengunyah goreng itu.
Sementara Si Bungsu menghirup kopinya. Lelaki yang baru datang itu melayangkan pandangannya ke berbagai
penjuru. Ketika dia lihat tak ada yang mencurigakan, dia berkata perlahan.
"Dia sudah dipensiunkan ?"
Si Bungsu menghirup lagi kopinya, lalu bertanya.
"Dimana dia kini ?"
"Sudah pulang ke Jepang ?"
Si Bungsu tertegun. Hampir saja gelas di tangannya jatuh. Sudah pulang ke Jepang Mungkinkah itu" Dia
seharusnya tak menoleh pada lelaki tersebut. Namun dia tak perduli. Dia menatap pada lelaki yang tetap saja
menatap kedepan dan mengunyah goreng ubinya.
"Pulang ke Jepang ?"
"Ya. Fujiyama tidak suka tentara Jepang bertindak sadis. Karena itu dia memaksa Mayor itu untuk
pensiun dan memaksanya untuk pulang ke Jepang"
"Tapi buktinya masih banyak pembunuhan dan pemerkosaan yang dilakukan oleh tentara Jepang .."
"Ya. Dan itu pasti tak sampai ketelinga Fujiyama.Sebuah peraturan dan disiplin yang baik yang
diputuskan atasan, belum tentu baik pelaksanaannya sampai ke bawah. Tapi jelas, Fujiyama sebagai pimpinan
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 80
tertinggi pasukan Jepang di Sumatera telah berbuat banyak untuk membuat pasukannya agar tak menjadi iblis.
Hanya saja bawahannya tak semua mendukung kebijakannya. Atas kebersihannya itu, Fujiyama telah
dinaikkan pangkatnya dari Tei Sha (Kolonel) menjadi Syo Sho (Mayor Jenderal).."
"Kenaikan dua tingkat ?"
"Tidak. Hanya satu tingkat. Dalam ketentaraan Jepang tak dikenal pangkat Brigadir Jenderal. Dari
Kolonel langsung ke Mayor Jenderal ?"
"Sudah berapa lama Saburo pulang ke Jepang ?"
"Tiga bulan yang lalu .."
"Tiga bulan yang lalu ?"
"Ya .." "Sebelum itu dia berada di kota ini ?"
"Tidak. Setelah pindah dari Payakumbuh, dia berada di kota ini dua bulan. Kemudian diangkat menjadi
chu-Tei cho (Komandan Kompi di Batusangkar). Dan ketika dia .." ucapan lelaki itu terhenti ketika mereka
mendengar suara bentakan dan derap sepatu.
Mereka menoleh, dan empat orang Kempetai kelihatan menuju ke arah mereka. Di depan mereka ada
seorang lelaki. Jelas lelaki itu orang Indonesia. Lelaki itu menunjuk kearah kedai kopi dimana kini mereka
duduk. "Jahannam. Ada penghianat. Saya sudah menduga, banyak orang awak yang jadi penghianat. Awas dia
"saya harus pergi"
Lelaki itu beranjak cepat. Namun bentakkan menyuruh berhenti terdengar dari mulut Kempetai itu.
Karena hari malam, lelaki itu tak perduli. Dia melompat, namun saat itu senapan Kempetai itu meledak. Lelaki
itu terpekik rubuh. Kakinya kena tembak. Kempetai Kempetai itu berlarian dengan samurai terhunus.
"Larilah Bungsu. Katakan pada pak Datuk saya terbunuh di sini. Saya akan melawan sampai tetes darah
terakhir .." Lelaki itu bicara sambil tetap berguling seperti mati. Keempat Kempetai itu sampai di sana. Yang satu
menunduk membalikkan tubuh lelaki yang sampai saat itu tak diketahui oleh Si Bungsu siapa namanya. Begitu
Jepang itu menjamah tubuhnya, begitu lelaki itu bergerak. Tangannya terayun keatas. Keris di tanganya
menancap di leher Kempetai itu. Mati Demikian cepatnya peristiwa itu berlangsung. Si Bungsu masih duduk
ditempatnya tadi. Tangannya masih memegang gelas berisi kopi. Pemilik lepau itu juga tertegak diam.
Kini, kedua Jepang yang masih hidup bersama lelaki yang tadi menunjuk kearah mereka, yang dimaki
sebagai jahanam penghianat oleh kurir anak buah Datuk Penghulu Basa itu, mendekat ke lepau. Si Bungsu
tertegun menyaksikan peristiwa kematian anak buah Datuk Penghulu tersebut. Lelaki itu telah berkata
sebelum dia mati, bahwa dia akan berjuang sampai tetes darah terakhir. Lelaki itu sudah memilih jalan
berjuang sampai mati dari pada harus tertawan oleh Kempetai.
Sebab sudah bukan rahasia lagi, setiap pejuang yang melawan Jepang, yang berhasil ditawan Kempetai,
akan mendapatkan siksaan yang amat pahit sebelum nyawa mereka direngutkan. Kalau begitu ditangkap
kemudian dibawa kedepan regu tembak atau dipancung, tak akan jadi soal. Artinya mereka tak takut
menghadapi kematian yang demikian. Tetapi menghadapi siksaan cabut seluruh kuku, kemudian jari jemari
dipatahkan satu demi satu, kemudian rambut dibotaki dengan cara mencabutnya, siapakah yang akan tahan "
Begitulah penyiksaan model Kempetai.
Daripada menyerah dalam tahanan, menyerah dengan menyebutkan rahasia teman teman, lelaki itu
merasa lebih baik mati dalam perlawanan. Dan dia telah membuktikan hal itu di hadapan mata Si Bungsu.
Tanpa dapat ditahan, air mata meleleh di pipi anak muda itu. Dia teringat pada ayahnya. Pada pejuang
pejuang yang telah mengorbankan nyawa mereka demi mengusir penjajah. Dan dia juga teringat pada si
Baribeh dan si Juling yang sampai hati berkhianat. Dia juga teringat lelaki yang jadi tukang tunjuk tadi. Dia
yakin lelaki itu pastilah orang Minang juga. Dia melihat hal itu pada gaya dan pakaiannya. Kedua Kempetai dan
lelaki tukang tunjuk itu berhenti tiga depa di belakangnya. Dia dengar suara bedil dikokang. Lalu sebuah suara
serak. "Hei, kamu pemilik lepau dan yang pakai baju hitam, kemari cepat. Kemari dengan mengangkat
tanganmu tinggi-tinggi . . ."
Pemilik lepau itu menatap dengan tenang pada Si Bungsu. Si Bungsu heran melihat ketenangan lelaki
itu. Lambat lambat tangan lelaki itu mendekati meja di depannya. Dan sekali pandang, Si Bungsu melihat keris
di atas meja yang dipenuhi pisang itu. Segera saja Si Bungsu dapat menebak, lelaki ini pastilah salah seorang
kurir atau mata mata pihak pejuang Indonesia. Sebab kalau tidak, takkan mungkin Datuk Penghulu menyuruh
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 81
dia menanti kurir yang telah mati itu di lepau ini. Si Bungsu juga segera menyadari bahaya besar kalau sampai
pemilik lepau ini mengambil kerisnya.
Dia berada di bawah bayangan lampu, gerakannya pasti kelihatan oleh Kempetai yang sudah siap
dengan bedil terkokang. Lelaki itu akan mati sebelum dia sempat berbuat apa apa. Tapi dia tak bisa memberi
ingat, lelaki itu sudah menjamah kerisnya. Saat itulah Si Bungsu melemparkan gelas berisi kopi di tangannya
kebelakang, ke arah Kempetai itu.
Serentak dengan itu tangannya menyambar samurai di pahanya. Tubuhnya dia jatuhkan ke belakang.
Tiga kali bergulingan cepat, lalu samurainya bekerja. Kedua Kempetai itu semula menatap dengan bengis
melihat gerak tangan lelaki itu mengambil kerisnya.
Mereka sudah siap menarik pelatuk bedil begitu keris diangkat. Tapi mereka jadi kaget ketika tiba-tiba
sebuah gelas berisi kopi panas melayang ke wajah mereka. Mereka lalu menghindar sebisanya, namun tetap
saja wajah mereka terpercik kopi panas itu. Mereka tahu siapa melemparkan gelas kopi ini. Pasti orang yang
duduk si sebelah kurir yang telah mati itu. Namun begitu mereka bersiap. begitu Si Bungsu sampai di dekat
mereka dengan cara bergulingan di tanah. Dan "
Sret " sret .. snap!!
Dua buah sabetan amat cepat, kemudian sebuah tikaman ke belakang. Tikam Samurai. Kedua Kempetai
itu mati di tempat. Bedil di tangan kedua Jepang itu tak pernah menyalak. Tapi orang orang sudah berkerumun
di kejauhan. Pemilik lepau itu tertegun. Keris di tangannya, belum sempat dia cabut dari sarungnya, kini masih
terpegang di tangannya. Dia masih belum beranjak setapakpun dari tempatnya. Dia ingin mengadakan
perlawanan, tapi musuh yang akan dilawannya itu sudah mati keduanya. Demikian cepat anak muda itu
bertindak. Lelaki yang tadi jadi tukang tunjuk melihat gelagat tak baik itu segera lari. Namun pemilik lepau itu
melihatnya, demikian pula Si Bungsu. Pemilik lepau itu dengan menggeretakkan gigi menghayunkan tangan.
Kerisnya melayang memburu lelaki yang akan lari itu. Demikian pula Si Bungsu. Dia menjadi benci separo mati
pada si Minang yang sampai hati menghianati bangsanya.
Tangannya bergerak pula. Samurai panjangnya melesat dalam kegelapan malam. Lelaki itu tiba tiba
terhenti larinya. Matanya mendelik, lalu rubuh. Dalam cahaya listrik yang remang remang, orang melihat
sebuah keris menancap hampir seluruhnya di tengkuk lelaki itu. Sementara sebuah samurai tegak di
punggungnya. Persis di bahagian jantung. Menembus sampai ke dada. Lelaki itu tertelungkup.
Jam Gadang yang tak jauh dari tempat lelaki itu rubuh berdentang sebelas kali. orang orang di pasar atas
yang telah dewasa saat itu pasti takkan pernah melupakan peristiwa ini. Pada Kamis malam Jumat diakhir
bulan Juli tahun 1945 itu adalah malam malam kematian bagi banyak Serdadu Jepang di Bukittinggi. Kota
dimana Markas Besar Balatentara Jepang se Sumatera berkedudukan.
"Kemari, ikuti saya ?" tiba tiba Si Bungsu mendengar suara.
Dia lihat lelaki pemilik lepau itu mencabut keris dari tengkuk si lelaki. Dan berlari arah ke arah Pasar
Teleng. Si Bungsu menuruti lelaki tersebut mencabut samurainya dari tubuh penghianat itu. Kemudian
memangku tubuh kurir yang tadi menyampaikan berita tentang Saburo. Dan dengan cepat dia mengikuti lelaki
pemilik lepau itu. Dari kejauhan mereka mendengar suara peluit dan bentakkan tentara Jepang. Suara derap
sepatu terdengar memburu. Namun saat itu mereka telah aman. Sebuah toko terbuka ketika lelaki pemilik
lepau itu lewat. Lelaki itu masuk kesana dan Si Bungsu ikut.
Pemilik toko itu menutupkan pintu dengan cepat. Mengunci dengan sebuah balok besar. Tak lama
setelah itu derap sepatu berlarian di luar. Derap sepatu Kempetai. Tentara Jepang itu seperti mencari hantu
yang hilang dalam gelap. Sementara pemilik toko di Pasar Teleng itu membawa mereka keruang bawah
tokonya. "Jangan khawatir. Di sini aman. Suara takkan terdengar ke atas sana. Letakkan mayat itu di pembaringan
?" kata pemilik toko tersebut. Si Bungsu meletakkan mayat kurir itu di tikar.
"Hmm, Sutan Pangeran rupanya .." kata pemilik toko setelah melihat mayat itu, kemudian menatap pada
Si Bungsu. "Bapak mengenalnya ?" tanya Si Bungsu. Lelaki itu menarik nafas.
"Saya mengenal hampir setiap lelaki di kota ini anak muda. Termasuk dirimu. Saya mengenal siapa
pejuang dan siapa penghianat. Sutan Pangeran anak buah Datuk Penghulu. Sementara dia ini adalah Sutan
Permato, mata mata Dakhlan Jambek Saya sendiri kurir penghubung seperti Datuk Penghulu ?"
Si Bungsu menarik nafas lega mendengar penuturan lelaki itu. Dia lega berada diantara para pejuang
bangsanya. "Apa yang harus saya lakukan dengan mayat ini ?" tanyanya.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 82
"Biarkan di sini. ini urusan saya. Termasuk memberitahu isteri dan anak anaknya. Engkau bertindak
benar dan cepat dengan melarikan mayatnya. Kalau Jepang sampai tahu wajah dan alamat mayat ini, maka
keluarganya akan ikut punah. Syukur jejaknya engkau hapus. Kini saya rasa engkau lebih baik cepat cepat
pulang kerumah Datuk Penghulu. Dia tidak di rumah, tengah menghadiri pertemuan di Kayu Tanam bersama
Engku Syafei dan Etek Rahmah El Yutnusiyah. Kabarnya Jepang mulai terpukul di Pilipina oleh Sekutu. Sedang
diperhitungkan langkah apa yang akan diambil oleh para anggota Gyugun. Makanya engkau saya suruh pulang,
tadi saya mendapat informasi bahwa ada pasukan Jepang ditugaskan menangkap Datuk Penghulu. Saya jadi
ingat anak isterinya. Dan saya mendapat kabar bahwa di sana ada juga adikmu yang bernama Mei-mei. Saya
hawatir dengan nasib mereka ?"
Si Bungsu tertegun. Hatinya berdebar aneh. Ada perasaan tak sedap menyelusup di hatinya.
"Berapa orang Jepang kesana ?" tanyanya perlahan.
"Antara empat atau lima orang. Semuanya Kempetai ?"
"Kempetai ?""
"Ya. cepatlah kesana. Yang penting kau selamatkan anak bini Datuk itu serta adikmu .."
Si Bungsu tak banyak bicara lagi. Kalau dapat saat itu juga dia ingin berada di Padang Gamuak.
"Bagaimana tentang bendi pak Datuk" Bendi itu saya tinggalkan tak jauh dari lepau kopi itu ?"
"Jangan khawatir. Telah ada yang mengaturnya. Keluarlah lewat pintu bawah. Akan ada yang
mengantarmu lewat jalan memintas melalui rel kereta api ?"
Lalu Si Bungsu diantar melalui jalan memintas ke Padang Gamuak.
"Anak muda yang benar benar luar biasa ?" kata pemilik lepau kopi itu setelah Si Bungsu pergi.
"Ya. Dia telah mulai membunuhi Jepang, barangkali sudah puluhan yang mati ditangannya. Sementara
pejuang pejuang baru dalam taraf rencana saja. Kita harus malu padanya ?" pemilik toko bertingkat itu berkata
perlahan. "Saya tak bisa percaya ketika dahulu ada yang bercerita bahwa di Payakumbuh ada seorang anak muda
yang membunuhi Jepang dengan samurai. Tapi ketika tadi dia membunuh dua Jepang itu dengan cepat, bahkan
tak sempat saya ketahui bagaimana caranya, saya baru bisa yakin. Bahkan saya merasa malu karena dulu tak
yakin ?" pemilik lepau kopi itu berkata lagi.
Si Bungsu tertegak di pematang sawah. Jaraknya dari tempat tegak itu kerumah Datuk Penghulu masih
sekitar lima ratus meter. Tapi dia tegak dengan kaku di pematang itu karena melihat cahaya api. Cahaya api itu
jelas datangnya dari tengah hutan bambu. Dia berdoa semogalah api yang berkobar itu bukan dari rumah Datuk
Penghulu. Dengan berdoa terus begitu, dia mempercepat langkahnya. Bahkan kini berlari melompati parit,
kayu kayu dan bambu yang tumbang. Dan tiba tiba dia tertegak. Rumah itulah yang terbakar. Kini telah runtuh.
Rata dengan tanah. Api masih menjilati sisa puingnya.
"Mei-meiiii".!!: dia berteriak dengan tubuh menggigil. Sepi"..
Yang menyahut hanya gemertak api memakan sisa dinding bambu rumah yang rubuh itu.
"Tek Aniiii?" Sepi".. Anjingpun tak ada yang melolong. Gemertak api memakan puing makin perlahan.
"Upiiiik" Mei-meiii".: Matanya mulai basah.
"Ya Tuhan, selamatkanlah mereka. Selamatkanlah mereka ya Allah ?" katanya perlahan sambil mulai
mengitari rumah yang telah jadi bara itu. Tiba di bahagian belakang rumah dia tertegak.
"Nauzubilah ?" bulu tengkuknya berdiri.
Dekat rumpun pisang, terbaring sesosok tubuh perempuan. Kepalanya hampir putus. Perempuan itu
adalah Tek Ani, isteri Datuk Penghulu. Perempuan ini jelas dibunuh setelah diperkosa. Perempuan berumur
empat puluh tahun itu memang masih cantik dan bertubuh bersih. Kini dia dibunuh Jepang. Pakaiannya tak
menentu. Si Bungsu jongkok. Menutup tubuh perempuan itu dengan kainnya yang tergeletak tak jauh dari situ.
Tiba tiba dia dengar keluhan. Dia segera bangkit dan menoleh. Si Upik" Gadis berumur tiga belas tahun
itu juga habis diperkosa. Pakaiannya centang perenang. Dia tersandar di rumpun bambu.
"Upik. Ya Allah, nasib apa yang menimpa kalian dik ?"
Ujar Si Bungsu sambil mengangkat tubuh gadis itu, sementara air matanya telah memabasahi pipi. Si
Upik menggeleng. Dia pegang tangan Si Bungsu, kemudian berkata perlahan :
"Uda " Uda " dimana amak ?"
Si Bungsu menggigit bibir agar tak menangis. Dia segera teringat nasib dirinya. Betapa dahulu ibu, ayah
dan kakaknya dibunuhi Jepang. Bagaimana dia akan mengatakan pada si Upik bahwa ibunya telah terbunuh"
Bagaimana" Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 83
"Tolong carikan amak. Uda. Tadi dia diseret Jepang kebelakang. Uni Mei-mei berada di pondok di tengah
rumpun bambu itu, di tempat uda latihan "."
Gadis kecil itu terkulai kepalanya di tangan Si Bungsu. Penderitaan yang tiada taranya itu telah merengut
nyawanya. Si Bungsu menegadah ke langit yang gelap. Dia memeluk mayat gadis itu dan.. menangis.
"Maafkan saya Upik, Maafkan saya terlambat membantu kalian. Ya Tuhan, kenapa aku pergi pula malam
ini ?" Mayat itu dia baringkan di dekat mayat ibunya. Kemudian dia segera ingat pada Mei-mei. Seperti terbang
dia menuju kepondok kecil itu. Tapi lagi lagi dia tertegak kaku. Pondok itu sudah runtuh seperti diobrak abrik
setan. "Mei-mei .." dia ingin berteriak memanggil.
Tapi saking cemasnya, yang keluar dari mulutnya hanyalah keluhan kecil. Keluhan diantara mata yang
basah. "Koko ?" sebuah rintihan halus dekat rumpun bambu.
Rintihan itu sudah cukup bagi Si Bungsu untuk mengetahui dimana gadis itu berada. Dia melompat
kesana. Hari sangat gelap. namun dia mendapatkan tubuh Mei-mei tersandar kepohon bambu.
"Mei-mei ?" "Koko .." dia peluk gadis itu.
Mei-mei ingin membalas pelukannya. Namun tangannya seperti tak ada tenaga. Tapi dia tetap juga
membalas pelukan anak muda itu, di dalam hati. Si Bungsu memangku tubuh adiknya itu ke bekas rumah Datuk
Penghulu. Kemudian membaringkannya di tempat bersih. Dalam cahaya api wajah Mei-mei kelihatan sangat
pucat. "Moy- moy ?" "Koko ?" Dengan suara putus putus Mei-mei menceritakan dari mula kisah kedatangan Jepang itu. Kisah dia
membunuh kelima Kempetai yang akan memperkosanya itu. Kemudian menceritakan kedatangan dua belas
Kempetai yang telah membakar dan memperkosa mereka bergantian.
"Engkau tahu siapa yang telah memperkosa mu ?"
Mei-mei memejamkan mata. Seperti mengumpulkan ingatannya.
"Saya tidak melihat wajah mereka koko. Di pondok itu terlalu gelap. Tapi saya mengetahui jumlah
mereka. Dua belas. Mereka melaknati saya bergantian. Dan kalau tak salah, mereka memanggil komandan
mereka dengan sebutan syo-i Atto " Koko .. aku ingin membahagiakan engkau. Sayang malam ini Tuhan
memisahkan kita ?" "Jangan berkata begitu Moy-moy ?"
"Dengarlah koko, jangan potong bicaraku. Aku tahu engkau hanya mengangap aku sebagai adikmu. Aku
memang tak bisa berharap lebih dari itu bukan" Namun ketahuilah koko sayang, aku mencintaimu. Aku belum
pernah merasakan jatuh cinta. Tapi kerinduanku padamu, rasa sayangku padamu, rasa ingin selalu berada di
dekatmu, rasa gelisah bila engkau tinggalkan meski sesaat, rasa gundah bila engkau murung, adalah rasa
cintaku padamu. Aku tahu, perempuan seperti aku, yang telah dilumuri dosa dan noda yang takkan tercuci, tak
layak mendapat apa apa darimu ..koko.."
"Mei-mei ?" "Dengarlah koko " satu satunya milikku yang paling berharga kini, adalah cintaku. Aku tak lagi punya
kehormatan. Karena telah direngut dan dirobek robek oleh orang yang tak pernah kukenali. Namun cintaku
tak pernah ada yang menyentuh. Dan kalau engkau tak merasa hina menerimanya, kuberikan cintaku itu
padamu koko ?" "Mei-mei ?" Si Bungsu memanggil.
"Koko, aku mencintaimu. Aku belajar bertanak menggulai dan menjahit dari tek Ani adalah untukmu.
Aku selalu mengimpikan betapa bahagianya bila engkau menikahiku. Aku menjadi istrimu, bertanak.
Menjahitkan kemeja dan sarungmu yang koyak, mencucikan pakaian. Sesakit sesenang denganmu. Ah. Itulah
Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
satu satunya impianku yang paling indah. Engkau tak marah aku bermimpi seperti itu koko" " hanya mimpi.
Dan malam ini mimpiku itu terbakar hangus, jadi abu ?"
Si Bungsu merasa dadanya sesak. Seakan akan pecah menahan haru, dia peluk gadis itu erat erat.
Kemudian berbisik diantara air matanya yang turun.
"Engkau tak bermimpi sayangku. Engkau tak bermimpi Itu akan jadi kenyataan. Percayalah. Aku juga
mencintaimu. Mei-mei dengarlah, aku mencintaimu. Kau dengar ucapanku" Aku mencintaimu dengan seluruh
jiwaku. Mei-mei ?" Mata gadis itu terpejam.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 84
"Mei-mei .." Si Bungsu memanggil. Memanggil di antara tangisnya. "Mei-mei kau dengar aku sayang "
Aku mencintaimu, kita akan segera menikah?"
Mei-mei membuka matanya. Perlahan sekali. Wajahnya bersemu merah. Dia seperti tersenyum. Bibirnya
bergerak. Namun tak ada suara.
"Mei-mei " Mei-meiii.."
"Ko " koko. Benarkah itu.. ?"
"Tuhan jadi saksinya sayang. Tuhan saksinya. Tuhan yang aku sembah. Tuhan yang engkau sembah .."
"Koko " ciumlah aku ?"
Si Bungsu mendekatkan wajahnya ke wajah Mei-mei. Mata gadis itu terpejam. Bibirnya mengurak
senyum. Namun kaki dan tangannya terasa dingin. Si Bungsu mencium kening gadis itu perlahan. Kemudian
mengecup bibirnya perlahan. Nafas Mei-mei terasa panas. Dan manik manik air mata mengalir dipipinya.
"Koko sayang ?" desahnya amat pelan.
Mei-mei tidak menjawab. Si Bungsu menguncang tubuhnya. Namun Mei-mei terlalu banyak
mengeluarkan darah. Dia jatuh pingsan.
"Mei-mei ?" Si Bungsu memanggil.
Dia mendekatkan telinganya ke dada gadis itu. Pelan pelan terdengar degup jantungnya. Amat perlahan.
"Ya Tuhan, ya Tuhan. Selamatkan dia. Selamatkan dia. Tolonglah nyawanya ya Tuhan ?" dia berdoa
diantara matanya yang basah.
"Bungsu .." tiba tiba ada suara memanggilnya.
Dia menoleh. Dibelakangnya berdiri tegak Datuk Penghulu. Datuk itu tegak terdiam menatap rumahnya
yang rata dengan tanah. Yang sisi pekarangannya sedang dijilati api. Kenapa dia tiba tiba saja sampai ada di
sini" -000Sejak dua hari yang lalu dia pergi ke Padang Panjang. Di Diniyah Putri tengah berlangsung rapat
perjuangan yang dipimpin oleh Engku Syafei. Tak ada tempat yang paling aman untuk rapat kecuali ruangan
belakang sekolah Diniyah Puteri itu. Sebab, encik Rahmah El Yunusiah yang memimpin sekolah itu amat
disegani oleh balatentara Jepang. Rahmah tak pernah mau dibujuk untuk menerima bantuan bagi sekolahnya.
Sejak pemerintahan Belanda Rahmah sudah bertegas tegas menolak bantuan dari penjajah. Kini Jepang yang
menjajah. Dia tahu Jepang adalah fasis yang amat kejam. Dan itu segera terbukti. Rahmah menjadi salah seorang
pejuang yang ikut membina dan menghubungi pemuda pemuda Indonesia yang ada dalam Gyugun. Dalam
rapat itu sudah banyak yang dibicarakan. Umum nya tentang taktik melucuti senjata Jepang. Tentang markas,
tentang logistik dan penyergapan gudang amunisi diberbagai kota.
"Saya lihat engku Datuk tidak tenang. Barangkali teringat pada keluarga di Bukit tinggi ?" Encik Rahmah
yang bermata amat tajam bertanya.
Datuk Penghulu terkejut. Namun dia tak mau mendustai kata hatinya. Dia memang gelisah. Pikirannya
ke rumah saja. Seperti ada yang tak selesai rasanya.
"Benar. Saya khawatir kalau-kalau ada yang terjadi atas anak istri saya ?" katanya.
Encik Rahmah memandang kepada Engku Syafei. Engku Syafei dari Kayu Tanam itu mengangguk. Orang
orang ini adalah orang orang yang arif. Mereka seperti dapat membaca, bahwa akan ada musibah yang bakal
menimpa diri Datuk itu. "Saya sebenarnya tidak begitu khawatir. Sebab keluarga saya tinggal bersama seorang anak muda yang
tangguh. Yang bernama Si Bungsu ?"
Engku Syafei dan encik Rahmah saling pandang lagi begitu nama Si Bungsu disebut. Si Bungsu. Nama itu
sudah demikian terkenal. "Kiranya dia berada di rumahmu Datuk?"
"Ya. Sudah cukup lama. Saya memang tak memberitahukannya pada encik dan pak syafei" "Hmm.
Syukurlah, anak muda itu ada di sana. Jasanya amat besar bagi membangkitkan semangat juang pemuda
pemuda kita" "Ya. Karena ada dialah, saya berani datang kemari dengan meninggalkan keluarga saya. Tapi sejak
kemaren hati saya tak sedap ?"
"Saya rasa lebih baik Datuk pulang dulu. Rapat ini hanya tinggal menyelesaikan yang kecil kecil saja.
Besok saya kirim kurir untuk menyampaikan putusan ?" ujar Engku Syafei.
"Baiklah. saya berharap bisa sampai malam nanti di rumah ?"
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 85
Datuk Penghulu lalu tegak. Meninggalkan rapat rahasia yang jumlah pengikutnya lima belas orang itu.
Kini dia telah berada dirumahnya. Tapi telah terlambat. Rumahnya sudah rata dengan tanah. Sisanya marak
dimakan api. Tubuhnya terasa linu. Di depan api dia lihat Si Bungsu memeluk tubuh Mei-mei.
"Mana etek dan adikmu Bungsu ?""
Datuk itu bertanya dari tempat tegaknya. Pertanyaan perlahan. Bungsu meletakkan tubuh Mei-mei.
Kemudian menghadap pada Datuk itu.
"Maafkan saya pak " mereka ?"
Bungsu tak dapat melanjutkan ucapannya. Bagaimana dia akan berkata. Bagaimana dia akan
menyampaikan musibah itu" Dia memang tak perlu menyampaikannya.
Begitu mula datang tadi, Datuk ini sudah dapat menduga apa yang terjadi. Dia sudah menduga bahwa
istri dan anaknya telah binasa. Matanya menyapu sekitar tempat itu. Di balik unggun rumahnya yang telah
runtuh, dia lihat sesosok tubuh terbujur ditutupi kain. Dekat batang pisang, dia lihat tubuh si Upik, anaknya.
Lelaki tua itu, yang sehari hari adalah kusir bendi, tapi dalam jiwanya berkobar semangat perjuangan
untuk kemerdekaan bagi bangsanya itu, tertegak dengan diam. Matanya bergantian menatap kedua mayat anak
dan istrinya. Perlahan di pipinya yang tua kelihatan air mata mengalir. Si Bungsu jadi kagum melihat ketabahan
orangtua ini. Dia sudah melihat jenazah anak dan istrinya. Namun setapakpun dia tak beranjak dari tempatnya.
"Kalian menjadi orang pertama yang meninggal sebagai korban perang kemerdekaan di kota ini. Semoga
Tuhan menerima kalian ?" dia berkata perlahan pada anak dan istrinya.
Ya, kedua anak beranak itu, korban korban pertama di kota Jam Gadang itu dalam sejarah perjuangan
kemerdekaan. Mereka memang tak terlibat langsung dalam peperangan itu. Sebab perang kemerdekaan belum
lagi dimulai. Sementara di Payakumbuh, ayah Si Bungsu dan teman temannya yang mati di tangan Kempetai
lebih dari setahun yang lalu, merupakan tumbal pertama pula bagi perang kemerdekaan yang akan meletus itu.
Datuk Penghulu masih tertegak melihat mayat anak dan istrinya dari jauh. Melihat api menjilat sisa rumahnya.
Si Bungsu yang tadi heran melihat kenapa Datuk itu tak mau mendekat mayat istri dan anaknya, tiba tiba
merasa tegang. Diantara gemertak suara api memakan sisa rumah, di antara kesepian yang mencekap di hutan bambu
Kampung Tarok itu nalurinya menangkap sesuatu. Naluri yang dia bawa turun dari gunung Sago. Setahun dia
hidup di rimba belantara itu. Hidup dan bersaing dengan kekerasan dan keganasan alam. Hidup dan belajar
untuk tetap bertahan tak mati dari keganasan binatang buas.
Naluri yang sudah tertempa. Karena dia manusia, maka nalurinya melebihi naluri hewan buas di hutan.
Kini, dia menangkap sesuatu yang mengancam jiwa. Ancaman itu datang dari sekitar tempat mereka kini tegak.
Datang dari arah kegelapan hutan bambu yang tegak seperti iblis mengelilingi mereka. Ketinggian pohon pohon
bambu di kampung Padang Gamuak Tarok itu seperti tangan elmaut yang siap mencekik leher mereka.
Tubuhnya jadi tegang. Telinganya yang amat tajam, yang terlatih selama dua tahun di rimba gunung
sago, menangkap bunyi-bunyi halus di belakangnya. Dia melihat Datuk Penghulu itu masih tegak diam. Jarak
antara dia dan Datuk itu sekitar dua depa.
"Ada orang datang pak Datuk ?" Katanya perlahan sekali. Tapi suaranya yang perlahan itu terdengar
oleh Datuk tersebut. "Ya. Tapi berbuatlah seperti kita tak tahu. Mereka enam orang berbedil dan mereka adalah Kempetai ?"
Ujar si Datuk perlahan. Si Bungsu jadi kaget. Dia hanya baru taraf mengetahui bahwa ada orang datang.
Tapi Datuk itu telah mengetahui jumlahnya. Dan mengetahui bahwa yang datang itu adalah serdadu Jepang.
Dia telah menjalani latihan setahun penuh. Belajar dari binatang buas di gunung Sago. Kepandaiannya dalam
mendengarkan sesuatu yang jauh sangat tajam. Tapi Datuk Penghulu ternyata punya firasat lebih tajam lagi.
Bayangkan betapa tingginya ilmu Datuk itu. Diam diam Si Bungsu memuji ketinggian ilmu orang tua ini.
"Biarkan tubuh Mei-mei di sana. Mereka pasti menyangka gadis itu telah mati. Hitung enam hitungan setelah
ini. Kemudian melompatlah. Kita balas kejahanaman mereka," ujar Datuk perlahan.
(16) Begitu habis ucapannya, tiba-tiba Datuk itu memekik. Tubuhnya melenting dan tiba-tiba bergulung
lenyap kedalam palunan semak empat depa sebelah kanan Si Bungsu mengikuti. Dengan mempergunakan
lompat tupai yang sangat mahir, tubuhnya bergulingan ke belakang. Dan lenyap ke balik pohon buluh. Saat itu
pulalah enam senjata meledak. Tapi tembakan itu menemui tempat kosong. Terdengar makian dalam bahasa
Jepang. Tentara Jepang itu, setelah sampai ke markasnya rupanya segera diperintahkan lagi oleh komandannya
untuk kembali. Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 86
"Mereka pasti pulang. Dan tangkap Datuk itu atau anak muda yang bernama Si Bungsu keparat itu. Dia
baru saja membunuh dua orang Kempetai di pasar sebentar ini ?" Ujar komandan Kempetai itu berang.
Enam orang Kempetai segera kembali ke Tarok. Dan memang benar, mereka datang persis ketika Datuk
Penghulu itu sampai di sana. Mereka lalu mengendap-endap mendekati kedua orang itu. Maksudnya untuk
menyergap mereka setelah dekat. Ternyata kedatangan mereka diketahui kedua orang itu.
"Datuk. Menyerahlah .." seorang Kempetai berpangkat syo cho (Sersan Mayor) berteriak. Namun yang
menyahut hanyalah sepi. Dia memberi isyarat. Dan enam bedil di tangan mereka kembali menyalak. Tiga ke
arah semak dimana Datuk Penghulu tadi lenyap. Tiga lagi kearah lenyapnya Si Bungsu. Kedua tempat itu
dirobek-robek peluru. Namun tak ada suara apa apa. Kempetai itu nampaknya sudah bertekad untuk
membunuh saja kedua orang ini.
"Jahanam ?" Sersan itu menyumpah.
Tetapi saat itu pula dari arah kiri mereka sebuah bayangan berkelebat. Datuk Penghulu menghambur.
Seorang Hei-cho (Kopral) yang tegak paling belakang tiba-tiba melihat kehadiran Datuk itu di depannya. Dia
mengangkat bedil. Namun kaki Datuk itu bekerja cepat sekali tendangan pertama mendarat di kerampang
Jepang itu. Jepang itu memekik. Namun sebelum pekikannya habis tendangan kedua menghantam lehernya
disusul sebuah tusukan jari tangan yang amat cepat dan amat kuat. Terdengar Jepang itu meraung. Kedua biji
matanya tercukil keluar. Bukan main cepatnya kejadian itu berlangsung. Sehingga ketika kelima Kempetai yang
lain menoleh, yang kelihatan hanyalah bayangan tubuh Datuk itu lenyap ke dalam palunan semak. Kembali lima
senjata menyalak kearah semak itu. Namun sepi. Kempetai yang satu itu meraung, matanya buta seketika.
Namun raungnya tiba-tiba terhenti. Kedua tendangan Datuk itu ternyata mengakhiri penderitaannya. Sersan
Mayor tadi memerintahkan untuk membuat lingkaran dengan membelakangi satu sama lain. Dengan demikian
tak ada kemungkinan diserang dari belakang. Krosaakk"!! Terdengar semak berisik di sebelah kiri mereka.
segera saja senjata mereka terarah dan memuntahkan peluru ke arah itu. Tapi begitu senjata mereka menyalak
dan mereka memandang ke arah semak itu, tubuh Datuk Penghulu kembali muncul di sebelah kanan. Kini
sebilah keris di tangannya. Tanpa memberi ampun, kerisnya beraksi. seorang Kempetai berpangkat Nitto-Hei
(Prajurit dua) pertama-tama jadi sasaran. Dia akan memalingkan kepala melihat Datuk yang muncul tiba-tiba
itu, tapi itulah gerakannya yang terakhir. Karena setelah itu lehernya hampir putus ditebas Datuk Penghulu.
Sasaran berikutnya adalah prajurit di kanannya. Sebuah tendangan mematahkan rusuknya. Ketika ia
melenguh, sebuah cuek belakang menghantam jantungnya. Seusai cuek itu tubuh si Datuk melompat dan
lenyap ke dalam kegelapan, kedua Jepang itu mati.
"Bageroooo"!! si Sersan Mayor berteriak berang.
Dalam waktu hanya sepuluh hitungan, tiga orang anak buahnya mati. Kini mereka jadi gugup dan tegang.
Sersan Mayor itu berniat untuk menarik regunya. Untuk melanjutkan menyerang membabi buta tak mungkin.
Mereka memang punya bedil tapi daerah ini bukan daerah mereka, cuaca sangat gelap, satu-satunya cahaya
penerangan hanyalah cahaya api bekas rumah Datuk yang terbakar itu. Itupun cahayanya sangat sedikit.
Mereka bisa saja menembak tak menentu. Tapi kedua orang itu bisa menghindar sebelum bedil meledak.
Sebab mereka berada dalam kegelapan. Lagipula mereka mengenal setiap jengkal semak dan hutan bambu di
kampung itu. "Kami akan kemari lagi. Kami akan menangkap kalian. Awaslah..!!"
Seru si Sersan menggertak. Lalu dia memberi isyarat pada kedua temannya untuk mengundurkan diri.
Mereka mulai melangkah langkah demi langkah dengan senjata siap ditembakkan. Dari semak
persembunyiannya, Datuk Penghulu melihat mereka dengan penuh dendam dan kebencian.
"Giliranmu, Bungsu..!"
Dia berseru dari tempat persembunyiannya. Begitu suaranya terdengar, begitu ketiga Kempetai itu
menembaki tempat gelap tersebut. Namun Datuk ini sudah pindah tempat. Dia bergerak amat cepat. Kembali
Kempetai itu menembaki tempat kosong.
Akan halnya Si Bungsu, sejak tadi menonton saja dari persembunyiannya bagaimana Datuk itu
membantai ketiga Jepang tersebut. Dia kagum pada gerakan silat Datuk Penghulu itu. Dan kini dia mendengar
Datuk itu meminta dia bertindak. Ketiga Kempetai itu mundur terus. Selangkah, dua, tiga, empat, lima. Tak
terlihat ada gerakan dari Si Bungsu. Datuk Penghulu menatap terus. Dia yakin anak muda itu akan bertindak.
Kempetai itu makin jauh. "Siap-siaplah untuk lari. Kampung ini kampung setan,"
Bisik si Sersan Mayor pada kedua temannya. Teman-temannya dengan mata sipit yang dibesar-besarkan
coba menembus kegelapan malam untuk melihat kalau-kalau kedua orang yang bersembunyi itu muncul.
"Nah sekarang lariii"!" Sersan Mayor itu berseru.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 87
Kedua temannya segera balik kanan dan mulai melangkah lebar. Namun saat itu pula sedepa di depan
mereka pohon-pohon bambu pada bertumbangan kejalan yang bakal mereka lalui. Tidak hanya dua tiga batang.
Pohon bambu itu tumbang dalam jumlah puluhan batang. Kempetai itu jadi kalang kabut. Ada yang
tertelungkup kesandung, ada yang takapere mencoba mengelak dari bambu yang rubuh seperti hujan lebat
dalam gelap itu. Datuk penghulu menatap kejadian itu dengan tersenyum tipis. Si Bungsu mulai beraksi.
Ternyata dia yang membabat rumpun bambu di pinggir jalan yang akan dilalui sebagai tempat lari oleh para
Kempetai. "Bagero. Bagerooo. Bageroo. Ute Utee Utee (tembak)"
Sersan Mayor itu menghardik, memerintah dan bercarut bungkang memerintahkan agar kedua anak
buahnya menembak, kearah mana saja dan apa saja. Pokoknya bedil meletus. Terdengar tiga bedil menyalak.
Tapi tembakan mereka tak menentu. Ada yang menghadap ke atas. Ada yang ke tanah. Sebab pada waktu
menembak mereka juga harus menghindarkan diri agar tak tertimpa pohon-pohon bambo yang runtuh seperti
hujan. Lalu tiba-tiba sepi. Pohon bambu tak ada lagi yang runtuh.
Ketiga Jepang itu tegak terengah-engah. Mereka tegak dalam reruntuhan pohon bambu. Yang kelihatan
kini sebatas leher ke atas. Sebatas leher ke bawah ditimbuni oleh pohon bambu. Suatu saat mereka melihat
sesosok tubuh di arah pangkal pohon bambu itu, tapi karena gelap tak jelas wajahnya.
"Siapa di sana!!" si Sersan membentak sambil berusaha mengangkat bedilnya yang terhalang oleh pohon
bambu. Kedua temannya menoleh pula ke sana.
"Saya Si Bungsu. Siapa diantara kalian bernama Atto, dan berpangkat Syo-I (Letnan dua) ?" ujar Si
Bungsu. Nama yang dia tanyakan itu adalah nama pimpinan regu yang senja tadi memperkosa Mei-Mei, si Upik
dan Tek Ani. "Hei Bungsu Lebih baik kau menyerah. Kalau tidak. kau bisa ditembak..," Sersan Mayor itu kembali
menggertak. "Jawab pertanyaanku. Ada diantara kalian yang bernama Atto?"
Suara Si Bungsu terdengar dingin, menegakkan bulu roma yang mendengar. Jepang-Jepang ini tak
mengetahui siapa Si Bungsu. Tak ada cerita mengenai diri anak muda itu yang nampaknya hanya bersenjatakan
sebuah tongkat itu. Si Sersan Mayor itu berusaha mencampakkan bambu yang menghalanginya. Kemudian bergegas ke arah
Si Bungsu untuk menantangnya dengan jurus karate. Namun Si Bungsu sudah sampai pada puncak sabarnya.
Dia melangkah dua langkah di atas pohon bambu yang rubuh setinggi pinggang itu. Kemudian membabat
bambu yang menghalangi Sersan Mayor tersebut. Kini Sersan Mayor itu bebas. Dia mengangkat bedilnya.
Namun saat itulah samurai ditangan Si Bungsu bekerja. Tangan Kempetai yang memegang badil itu potong
keduanya. Dia meraung-raung .
"Jawab pertanyaanku. Dimana Atto!!"
Namun Sersan itu bukan menjawab, dia memaki dan memerintah anak buahnya untuk menembak.
"Bageroo uteeee (tembak)" pekiknya.
Namun tak ada letusan sebuahpun. Sebab yang seorang senjatanya telah tercampak entah kemana
ketika dia berusaha menghindarkan runtuhnya pohon bambu tadi. Yang satu lagi bedil memang masih di
tangannya. Tapi untuk mengangkatnya ke atas untuk menembak tak mungkin. Sebab terhalang oleh pohon
bambu yang menjepit tubuhnya. Saat berikutnya, suara Sersan terhenti. Kepalanya belah di makan samurai Si
Bungsu. Perlahan Si Bungsu menoleh pada kedua Kempetai yang masih tinggal.
"Kini katakan. Siapa di antara kalian yang bernama Atto?"
Dan kedua Kempetai ini ternyata juga manusia biasa, yang punya sikap amat takut mati. Begitu melihat
komandannya mati dengan kepala terbelah, dan melihat mereka tak bisa selamat dari anak muda luar biasa
hebat, tubuh mereka pada menggigil, yang satu malah menangis. "Sho-I Atto ada di markas. Dialah yang memperkosa istri tet..tuan. Kami tet..tak ikut. Ampunkan kami. . ."
Si Bungsu merasa jijik pada tentara yang meminta belas kasihan itu. Dia tahu, mereka ikut dalam
memperkosa keluarga Datuk Penghulu dan Mei-mei malam tadi. Dia ingin membunuhnya saat ini. Namun
kedua orang itu dalam keadaan tak berdaya. Terhimpit dan terkalang oleh kedua bambu. Dan dia tak mau
membunuh orang yang tak dapat melawan. Samurainya berkelebat. Kedua Kempetai itu terpekik pekik. Tapi
mereka segera menjadi malu. Ternyata samurai di tangan anak muda itu hanya membabat rumpun bambu yang
menghimpit tubuh mereka. Dan tiba-tiba mereka bebas. Yang masih memegang bedil, segera menikamkan
sangkur di ujung bedilnya ke perut Si Bungsu yang jaraknya hanya sedepa. Namun Si Bungsu lebih cepat. Dia
menunduk dalam-dalam. Kemudian" Srep..!! Samurainya menikam jantung si Kempetai hingga tembus ke
Pendekar Latah 21 Pusaka Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Hina Kelana 20