Pencarian

Tikam Samurai 2

Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik Bagian 2


desisnya dengan sepenuh rasa benci. Dan samurainya bekerja! Dua kali tebasan ke muka. Pada tebasan
pertama, dada Cindaku yang sedang melayang ke arahnya kena dia tebas. Pada tebasan berbalik yang kedua,
leher Cindaku itu hampir putus. Dan anak muda ini berputar ke belakang. Tubuh Cindaku itu turut tertegak
setengah depa di belakangnya. Dan saat itu dia menirukan gerak yang dipergunakan ayahnya dahulu.
Menikamkan samurai di tangannya ke belakang sambil menjatuhkan diri di lutut kanan! Crep! Plasss!!
Samurai itu menembus dada kiri jadi-jadian itu. Terdengar raungannya memecah senja. Merobek
ketenangan hutan. Suara ribut hewan gunung terdengar tatkala hewan-hewan itu berlarian dari semak ke
semak mencari perlindungan. Kera berlompatan dari pohon ke pohon. Raungan itu amat dahsyat. Harimauharimau yang berada di bawah pada terlompat mundur saking kagetnya.
Si Bungsu menarik samurainya, dan snapp!! Samurai itu kembali masuk ke sarungnya dengan amat
cepat. Dia tegak membelakangi tubuh Cindaku yang terkapar tak bernyawa itu. Menghadap pada Cindaku besar
yang tertegun kaget di ujung batu sana. Mereka saling menatap. Wajah Si Bungsu yang biasanya murung dan
sinar matanya yang kuyu, kini berobah. Wajahnya jadi keras dan penuh kebencian. Matanya bersinar penuh
amarah. Dan tiba-tiba terdengar suara gemuruh. Harimau-harimau yang ada di bawah sana mengaum hampir
bersamaan. Mengaum dan menganga menghadapkan moncong mereka ke bulan yang kelihatan seperti sabit di
langit yang tinggi. Pertanda apa pula ini" Pikir Si Bungsu. Dia ingin tahu untuk apa kehadiran harimau-harimau
itu. Dengan tetap tak melepaskan pandangan matanya dari Cindaku besar di depannya, dia mundur tiga
langkah. Lalu dia tendang bangkai Cindaku mati itu ke bawah. Terdegar suara kaki menjauh dan auman panjang. Lalu
suara berkrosak. Suara saling rebut. Cindaku besar yang masih hidup di depannya mendengus dan menggeram.
Nyata sekali dia jadi murka. Lalu tiba-tiba dia menyerang dengan loncatan panjang ke arah Si Bungsu. Si Bungsu
kembali menyentak Samurai dan menghayunkan dalam empat kali tebasan. Namun dengan terkejut dia melihat
Cindaku itu melambung dan kembali tegak di tempatnya semula!
Luar biasa! Dalam terkamannya tadi dia rupanya bisa melihat kilatan samurai yang demikian cepat.
Tidak hanya mampu melihat, tapi sekaligus juga mengelakkannya! Tak segorespun dia kena. Samurai itu sudah
berada kembali di dalam sarungnya. Kini samurai bersarung itu dia pegang dengan tangan kiri. Mereka
bertatapan. Tiba-tiba Cindaku itu menyerang lagi. Tapi kali ini menyerang dengan bergulingan di bawah.
Tubuhnya bergulung seperti pohon yang digulingkan dari atas tebing.
Si Bungsu melompat ke kiri dan mencabut samurainya. Cres, cres, cres! Dari kiri dia mengirimkan tiga
sabetan cepat ke tubuh Cindaku itu. Lalu samurai itu kembali masuk ke sarangnya. Namun kembali dia lihat
Cindaku itu tegak tiga depa di depannya. Tak kurang satu apapun. Luar biasa. Dia yakin benar tadi, bahwa
sabetannya mengenai tubuh Cindaku ini. Apakah tubuh Cindaku besar ini tak mempan oleh senjata tajam"
Bulu tengkuknya merinding. Kalau hal itu benar, maka itu berarti tamatlah riwayatnya di sini. Dia tak
memiliki ilmu batin seperti pesilat-pesilat lainnya. Dia hanya mempunyai kepandaian memainkan samurai dan
meloncat seperti tupai atau kera yang dia pelajari selama di gunung ini. Bukan ilmu silat. Bukan Kumango
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 22
seperti yang dimiliki ayahnya. Bukan pula silat Lintau seperti yang dimiliki Datuk Maruhun, ayah Renobulan.
Apakah di sini ajalnya"
Tidak!. Dia tak mau mati sekarang. Alangkah akan sia-sianya dia menahan segala derita selama belasan
purnama kalau hanya akan mati di sini. Dia teringat pada sumpah ayahnya sewaktu akan meninggal. Bahwa
ayahnya akan menuntut balas. Bukankah itu suatu isyarat, bahwa dialah yang akan dipergunakan ayahnya
untuk menuntut balas atas dendam keluarganya itu" Tangan siapa lagi yang akan dipakai ayahnya untuk
membalas kekejaman Saburo dan ptajuritnya kalau tidak tangannya sendiri"
Tidak. Dia tak boleh mati sekarang. Kalau dia mati sekarang, maka dendam ayahnya takkan pernah
berbalas. Kematian keluarganya dan kematian orang kampungnya takkan pernah ada yang membalaskan.
Kalau dia mati sekarang, maka sia-sialah segala usahanya selama ini. Tidak. Dia tak mau mati sekarang. Apalagi
kematian di mulut seekor Cindaku. Seekor harimau jadi-jadian.
Tapi, sampai bila dia mampu bertahan" Sementara punggungnya luka parah. Luka itu terasa amat
mengganggu. Sangat pedih. Kata orang, konon kuku dan gigi Cindaku mengandung bisa. Nah, kini punggungnya
telah terluka. Berapa lamakah dia bisa bertahan" Dia lihat Cindaku di depannya merendah. Dia tegak dengan
melebarkan kaki dan membungkukkan lipatan lutut. Kemudian meletakkan samurai itu melintang di depan
dadanya. Dia menanti gerakan Cindaku itu berikutnya.
Jadi-jadian itu mulai melangkah memutar ke kanan. Dia tetap dalam posisinya. Langkah Cindaku itu dia
ikuti dengan sudut mata. Cindaku itu kini berada di sebelah kirinya. Berarti berada tentang ujung samurai. Dia
masih tegak menanti. Wajah lurus ke depan dan sudut mata menikam ke arah Cindaku itu. Cindaku itu bergerak
ke belakangnya. Dia tak memalingkan kepala. Tidak. Untuk memalingkan kepala dia harus memakai sekian
detik. Dan itu merugikannya. Dia lalu memejamkan mata. Memusatkan konsentrasi dan "melihat" melalui
pendengarannya yang amat tajam.
Langkah Cindaku itu amat ringan. Di atas batu besar dimana kini mereka berada langkah mahluk itu
hampir-hampir tak terdengar. Namun dia sudah belasan purnama berlatih. Dia tak khawatir, dengan
memejamkan mata dia dapat mendengar dengan jelas langkah Cindaku itu. Langkah terutama jadi jelas baginya
karena gesekan halus kuku Cindaku yang panjang itu dengan batu. Bagi orang biasa, gesekan itu pasti takkan
terdengar. Namun bagi Si Bungsu, suara gesekan itu amat jelas terdengar. Cindaku itu berhenti tepat di
belakangnya. Sejajar dengan tulang punggungnya dalam jarak sedepa. Itu berarti mahluk jadi-jadian itu bisa
menjangkau punggungnya dengan tangannya yang panjang. Dia menanti, sementara suara dengus dan
berebutan daging mentah di bawah sana sudah berhenti. Dia yakin harimau-harimau itu kini menatap ke atas,
ke arah mereka. Si Bungsu tetap memejamkan mata. Dia mendengar nafas Cindaku itu memburu. Dia yakin kini
Cindaku itu bersiap untuk meyerang. Nafasnya yang memburu itu sebagai tanda. Dan nafas memburu itu juga
sebagai pertanda bahwa Cindaku itu juga menaruh rasa gentar. Ya, sama saja seperti dia yang juga merasa
gentar. Nafasnya juga memburu.
Tiba-tiba dia rasakan angin bersuit. Itu pertanda Cindaku itu tengah menyerang! Samurainya bergerak.
Dia berputar sangat cepat menirukan berputarnya macan kumbang. Kemudian samurainya berkelebat.
Cras! cras! cras!! Tiga kali sabetan cepat dan kuat, kemudian dia menikamkan samurai ke belakang. Snap! Dia duduk di
lutut kanan dan menekankan samurai itu ke belakang kuat-kuat. Namun jadi-jadian di belakangnya masih
bergerak. Dan tiba-tiba sebuah hantaman menerpa kepalanya! Dia terpekik dan terlempar ke batu. Samurainya
lepas! Kulit kepalanya di bahagian belakang terkelupas selebar telapak tangan! Buat sesaat dia nanar. Namun
di antara rasa terkejutnya yang luar biasa, dia ingat bahwa dia harus tetap hidup. Dia sadar bahwa dirinya kini
dalam keadaan kritis. Loncat Tupai! Gerak itu kembali dia lakukan. Berkali-kali gerakan tupai bergelut itu telah
menyelamatkan dirinya. Kini begitu tubuhnya menghantam batu, dia bergulingan tiga kali ke kanan saat
Cindaku itu menerkam. Seringan tupai dia bergulingan dengan lambungan sehasta tiga kali ke kiri. Kemudian
berputar. Cindaku itu menerkam ke sana. Dia bersalto ke belakang! Tegak di atas kedua kaki dengan lipatan
lutut di bengkokkan. Cindaku itu tegak pula empat depa di depannya. Dia hoyong. Luka di punggung dan di belakang
kepalanya mengucurkan banyak darah. Berdenyut-denyut. Dia menatap Cindaku itu. Ternyata apa yang dia
khawatirkan benar adanya. Cindaku itu tidak mempan oleh senjata tajam. Tidak mempan. Ilmu Cindaku kecil
tadi rupanya belum mencapai tingkat yang sempurna. Masih banyak kadar manusianya. Itulah sebabnya dia
termakan oleh senjata tajam. Tapi yang satu ini nampaknya sudah mencapai tingkatan yang tinggi. Tak lagi
dimakan besi. Kini Si Bungsu tidak lagi bersenjata selain sarung samurai. Samurainya sendiri berada sedepa di
depannya. Berarti senjata itu berada di antara dia dengan Cindaku itu. Dia tak berani gegabah memungut
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 23
senjata yang terletak sedepa di depannya itu. Tidak, itu akan memudahkan Cindaku itu menerkamnya. Dia
makin lemah. Dan rasa takut yang luar biasa menjalarinya. Dia takut mati. Tapi takut tak bisa membalaskan
dendam keluarganya. Cindaku itu mulai lagi mempersiapkan diri untuk menyerang, Si Bungsu tetap tegak di
tempatnya. Ketika Cindaku itu menggeser tegak ke kiri, dia menggeser tegaknya ke kanan. Jadi mereka
bergerak searah. Dia bukannya tak tahu, bahwa Cindaku itu kembali ingin menyerangnya dari sebelah kiri.
Yaitu di bahagian rusuknya yang luka.
Tapi dia sendiri juga punya maksud menggeser tegaknya ke kanan. Dia ingin meletakkan samurai itu di
bahagian kirinya. Dua langkah, tiga langkah, empat!. Dan tiba-tiba Cindaku itu menyerang. Loncat tupai!
Gerakan itu lagi-lagi menyelamatkan dirinya. Tubuhnya berguling ke kiri dengan ringan dua kali putaran, kali
ketiga tangannya menyentuh hulu samurai. Gerakan keempat sambil menggenggam samurai itu tubuhnya
melentik setinggi setengah depa dan hep! Dia tertegak di pinggir batu. Geraman harimau terdengar di bawah!
Kini dia bisa bernafas lega. Samurai itu berada lagi di tangannya. Dia tahu, bahwa senjata ini takkan mempan
pada makhluk tersebut. Namun tanpa senjata. Dia merasa dirinya seperti telanjang. Meskipun tak mempan,
senjata ini memberinya semacam sugesti. Dia tegak dengan diam. Melintangkan samurai itu di depan dadanya.
Memusatkan konsentrasi dan pendengaran. Jauh di bawah sana, dari kampung di pinggang gunung itu dia
mendengar suara tabuh. Tabuh itu pastilah tabuh sembahyang Isa. Suaranya sayup-sayup. Tapi itu jelas suara tabuh dari suara
atau masjid. Telinga yang amat tajam dapat mendengar suara tabuh itu. Suara tabuh itu jelas terdengar
olehnya tiap hari setiap dia memusatkan konsentrasi di gunung Sago ini. Barangkali tabuh itu berasal dari
masjid di kampung Manang Kadok atau kampung Sikabu-kabu. Yang tak terdengar sampai kemari adalah suara
azan muazinnya. Mungkin karena suara manusia jauh lebih pelan daripada suara tabuh.
Azan! Ya, dia segera ingat pada azan. Bukankah ayahnya yang taat beragama itu pernah bercerita, bahwa
banyak ilmu-ilmu hitam yang bisa dipunahkan dengan suara azan" Azan di subuh hari, azan di senja hari yaitu
setiap subuh dan maghrib, selain bermaksud memanggil orang sembahyang, juga punya makna mengusir
segala roh jahat dan pengaruh ilmu siluman yang coba mempengaruhi kehidupan manusia. Menurut ayahnya
azan di subuh hari bermakna juga mengusir pengaruh setan yang menyelusup di waktu tidur lewat tengah
malam. Azan di waktu Maghrib mempunyai makna mengusir roh-roh jahat untuk tak terbawa tidur.
Itu menurut cerita ayahnya sewaktu dia masih kecil. Apakah hal itu benar" Apakah azan mampu
memunahkan ilmu kebal makhluk siluman ini" Dia harus mencobanya. Harus! Mustahil ayahnya bercerita
sewaktu mereka kecil dulu hal-hal yang tak bermanfaat. Ayahnya bukan jenis orang yang mau menakut-nakuti
anaknya dengan cerita-cerita seperti itu. Kini dia meletakkan sarung samurainya. Memegang samurai itu
dengan tangan kanannya. Meletakkan telapak tangan kiri di telinga kiri. Dia memusatkan konsentrasi.
Kemudian memejamkan mata. Keselamatannya kini sepenuhnya digantungkan pada pendengarannya. Begitu
matanya terpejam, dia membaca Bismillah. Kemudian mulai melafaskan bait-bait azan.
"Allahuakbar-Allahuakbar".
Suara bergema mengoyak kesunyian belantara. Dia dengar Cindaku itu tersurut selangkah.
"Allahuakbar-Allahuakbar".
Cindaku itu melangkah ke kanan tiga langkah. Kemudian selangkah lagi.
"Ashadualaaa-ila haillallaaah!"
Cindaku itu meyerang dengan sebuah dengusan panjang. Sambil tetap melafaskan kalimah Ashadualaaaila haillallaaah itu sekali lagi, samurainya bergerak secepat kilat. Dua kali sabetan cepat. Dia yakin sabetan
samurainya mengena. Namun dia tetap memejamkan mata. Membaca terus lafas azan itu.
"Ashaduanna Muhammadarasulullah"!"
Tiga langkah di belakangnya Cindaku itu terdengar mendengus. Ketika dia mengulangi kalimah itu sekali
lagi, Cindaku itu kembali menyerang dengan sebuah lompatan dan terkaman yang tak tanggung-tanggung. Dia
berguling di lantai. Kemudian sambil mempergunakan gerak tupai bergelut, samurainya menghantam ke atas.
Sret! Sret! Sret! Tiga sabetan berlainan arah. Kena!
Cindaku itu terhenti. Si Bungsu tetap tegak sambil memejamkan mata. Memusatkan konsentrasi dan
membaca terus lafas azan itu. Dia seperti mendapatkan tenaga baru ketika membaca azan tersebut. Dia seperti
mendapat sugesti. Ketika dia membaca kalimah "Hayaalasholah" dia mendengar benda jatuh. Dia membuka
mata. Dan Cindaku itu tengah berlutut di batu, mendekap dadanya. Dalam temeram cahaya dia lihat darah
hitam kental mengalir dari sela tangan Cindaku itu.
"Allahuakbar. Maha Besar Engkau ya Allah?" dia berkata perlahan.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 24
Tak terasa air mata merembes di pipinya. Dia selamat setelah mengingat ajaran-ajaran yang pernah
diberikan ayahnya dahulu. Ya, dia berkali-kali tak mau tidur di rumah, karena kala dia tidur di rumah, subuhsubuh buta sudah dibangunkan ayahnya. Disuruh azan. Dan dipaksa sembahyang. Alangkah bencinya dia.
Alangkah muaknya dia atas suruhan itu. Dia ingin bangun tengah hari. Bahkan ingin bangun sore, sebab
sepanjang malam dia berjudi. Sewaktu kecil dia memang mengerjakan suruhan itu. Tapi setelah agak dewasa,
dia lebih senang tidur di rumah temannya. Kini, ternyata ajaran ayahnya itu telah menyelamatkan nyawanya.
Dia menangis. Benar-benar menangis. Si Bungsu yang dahulu ketika ayah, ibu dan kakaknya mati tak tahu
bagaimana caranya menangis, malam ini menangis di tengah rimba di Gunung Sago. Dia menangis karena
menyesal telah membangkang perintah ayahnya. Dia menangis karena rindu pada orang tua yang keras dan
angkuh itu. Sikap ayahnya adalah gambaran dirinya sendiri.
"Terima kasih Allah. Engkau selamatkan aku dengan ayat-ayatMu. Terima kasih ayah. Engkau
selamatkan aku dengan ajaranmu yang pernah aku ingkari. Terima kasih. Aku yakin Tuhan akan menempatkan
engkau di tempat yang bahagia"." dia berbisik di antara air matanya yang mengalir turun.
Dan tiga depa di depannya, Cindaku itu jatuh terguling. Ada keluhan panjang keluar dari mulutnya. Ada
lenguhan sakit dan penderitaan yang amat sangat terdengar. Tubuhnya terlonjak-lonjak seperti ayam tak
sempurna dipotong. Ajal seperti mempermainkannya. Menyakiti seluruh pembuluh darah dan setiap bulu di
tubuhnya. Mungkin sebagai pembalasan atas segala laknat yang telah dia sebar semasa hidupnya.
Si Bungsu jadi hiba melihat penderitaan makhluk itu. Dia melangkah ke dekatnya. Sinar mata jadi-jadian
yang tadi merah menyala, kini menatapnya minta dikasihani. Sinar mata itu seperti minta pertolongan.
Lenguhnya menghiba seperti meminta agar nyawanya cepat diambil.
"Maafkan saya?" Si Bungsu berkata.
Dan samurai di tangannya berkelebat. Cres! Cres! Dua kali sabetan cepat dan kuat. Membuat dada kiri
jadi-jadian itu robek besar. Membuat lehernya hampir putus. Penderitaan makhluk itu benar-benar berakhir.
Tiba-tiba rimba itu seperti dikoyak lagi oleh raungan harimau yang ada di bawah. Seperti raung kemenangan.
Bulu tengkuk Si Bungsu kembali merinding. Dia ngeri kalau-kalau harimau itu berlompatan naik. Itu bisa
menyebabkan nyawanya melayang.
Dia melemparkan mayat jadi-jadian itu ke bawah. Terdengar suara berkerosak. Dan dalam waktu
sekejap, semua harimau yang ada di bawah melompat dan lenyap ke palunan rimba. Masing-masing membawa
serpihan bangkai makhluk jadi-jadian itu. Si Bungsu menghapus air matanya. Menghapus keringat dingin yang
merengas di keningnya. Ternyata ayahnya berkata benar tentang ada ayat-ayat Al Qur"an dan lafas Azan yang
sanggup memunahkan ilmu hitam. Dia membuktikannya malam ini.
Kini tubuhnya terasa lemah. Dia tak tahu sudah berapa banyak darah yang keluar dari luka di punggung
dan belakang kepalanya. Dengan mengumpulkan segala tenaga, dia berjalan ke sudut kanan batu pipih dimana
dia mendirikan pondoknya. Batu pipih itu sebagai halaman pondok darurat tersebut. Di pondoknya dia
menyimpan ramuan obat-obatan. Obat yang dibuat dari ramuan daun dan kulit kayu. Dengan ramuan itu
dahulu luka menganga bekas bacokan samurai Kapten Saburo Matsuyama dia obat.
Dengan susah payah dia masuk. Menggesekkan dua batu api dengan sisa tenaganya untuk memasang
damar yang dibuat dari getah kayu. Dengan sedikit sisa tenaga, sebisanya dia pergunakan untuk menempelkan
ramuan obat kering itu ke lukanya. Kemudian dia berbaring. Sakit, lelah dan tertidur. Tiga hari dia diserang
demam hebat. Tubuhnya panas dingin. Dia harus berjuang melawan maut. Untunglah daging macan tutul yang
dia buat dendeng sangat membantu kesembuhannya. Daging macan itu berkhasiat melawan bisa dan racun.
Daging itu juga membuat daya tahan tubuh melebihi manusia biasa. Dia mengunyah dendeng harimau itu
sambil terbaring diam. Hari keempat dia mulai berangsur sembuh. Namun masih belum mampu untuk berdiri. Tapi di pagi
keempat dia bisa lagi menikmati kicau burung. Menikmati pekik siamang dan cericit burung punai dan balam,
yang barangkali puluhan banyaknya di atas pohon rimbun dekat pondoknya. Burung-burung itu menyanyi di
sana. Berlompatan dari cabang ke cabang. Memakan buahnya yang kecil-kecil. Kini dia bisa tersenyum
mendengar dendang sahabat-sahabatnya itu.
Ya, selama belasan purnama di gunung ini, sahabatnya adalah hewan-hewan yang ada. Burung, tupai,
beruk, siamang, kijang bahkan terkadang harimau dan ular. Sementara di kampungnya dia tak punya sahabat
seorangpun. Kehadirannya pertama kali memang mengejutkan dan dimusuhi oleh penghuni-penghuni gunung
tersebut. Mereka seperti sangat keberatan atas kehadiran pihak lain di tempat mereka yang selalu aman itu.
Tak jarang harimau dan ular berniat menerkamnya. Namun di bulan-bulan pertama itu, Si Bungsu memilih
diam saja di dalam pondoknya. Kalaupun dia keluar, itu hanya untuk berlatih di batu pipih di depan pondoknya.
Kalau akan minum dia cukup pergi ke sudut selatan batu lebar tersebut. Di bahagian itu ada air mengalir dari
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 25
batu di atas batu layah itu. Air itu nampaknya mengalir dari puncak gunung. Tak terlalu besar, namun airnya
jernih, sejuk dan segar. Di sudut selatan itu ada kolam kecil yang terbentuk karena tikaman air terjun, mungkin sudah ratusan
tahun. Lebar kolam itu tak lebih dari tiga depa persegi, dengan dalam sedepa. Di dalam tebat batu alam itu
hidup ikan kecil-kecil. Tak lebih dari sebesar telapak tangan. Ikan-ikan yang alangkah indah warnanya. Ada
yang hijau bercampur merah. Seperti bendera. Ada yang hitam dengan biru dan merah. Bergaris-garis seperti
ragi kain. Ketika pertama kali dia mandi di dalam tebat itu, ikan itu berlarian ketakutan. Mungkin menyangka
dia sejenis makhluk gergasi yang akan menelan mereka.
Namun dari hari terbilang purnama, akhirnya ikan-ikan itu jadi sahabatnya. Jika dia mandi, ikan-ikan itu
selalu bersamaan berenang dan membenturkan kepala mereka ke perut Si Bungsu. Si Bungsu terpekik-pekik
kegelian. Ikan-ikan itu mengulangi lagi tingkah mereka. Sebaliknya, lama-lama Si Bungsu berhasil dengan
mudah menangkap ikan tersebut. Terkadang dia berhasil menangkap empat ekor. Kecepatan tangannya
terlatih berkat biasa dan diulang berkali-kali hari demi hari.
"Ku gulai kalian. Ku makan kalian dengan tulang-tulang kalian," dia berseru sambil memegang ikan-ikan
itu. Ikan-ikan tersebut menggelepar-gelepar ingin melepaskan diri. Nampak seperti ketakutan. Dengan
tertawa Si Bungsu melepaskan ikan-ikan itu kembali. Dan mereka kembali berenang dan membenturkan diri
ke perut Si Bungsu. Terkadang menggigit daging perutnya. Membuat Si Bungsu kembali terpekik-pekik.
Demikian persahabatan aneh itu terjalin. Begitu juga dengan burung-burung. Tupai dan musang.
Ah, semuanya sangat indah. Seindah bila dia melihat ke kampung-kampung di bawah sana. Kalau siang
dia lihat asap mengepul. Mungkin dari ladang, dan mungkin dari dapur di rumah. Dari batu pipih ini, dia dapat
melihat dengan jelas kampung-kampung di kaki gunung Sago itu. Dia dapat melihat rumah atau kerlip lampu
di malam hari dari Kampung Sikabu-kabu, Situjuh Ladanglaweh, Tungka, Manangkadok, Padangmangatas,
Tabing, Sungaikumayang, Tanjungharo, Halaban atau si Tujuhbatur.
Dari atas sini semua terlihat indah. Asap yang membawa harumnya jagung dari pembakaran di ladangladang. Dia sepertinya mencium bau harumnya jagung panggang. Atau nikmatnya rasa gelamai. Ah, semua
rasanya menghimbaunya untuk segera turun. Namun dia harus bertahan beberapa waktu lagi di atas ini.
Memang tak ada yang melarangnya untuk turun. Dia bisa pergi setiap saat bila dia mau. Namun yang
menahannya adalah hatinya sendiri.
Dia tak akan turun sebelum dia merasa yakin akan mampu menuntut balas dendam keluarganya. Dia
takkan turun sebelum dia yakin akan bisa menyaingi kemahiran Saburo Matsuyama mempergunaskan samurai
dalam perkelahian. Dia harus mampu!. Sebab ayahnya telah bersumpah untuk membalas dendam. Ayahnya
telah bersumpah untuk membunuh Saburo dengan samurai.
Sumpah ayahnya itu dia dengar nyata. Bukankah itu suatu isyarat padanya, agar melaksanakan perintah
ayah yang tak pernah dia patuhi suruhannya selama ayahnya hidup" Dia harus melaksanakan niat ayahnya.
Hanya itu yang bisa dia lakukan untuk menebus segala dosa yang pernah dia buat pada si ayah. Semasa dia
hidup dia tak pernah menyenangkan hati ayahnya. Kini setelah orang tua itu mati, dia ingin melaksanakan niat
ayahnya. Dia ingin berbuat baik padanya.
Dari pondoknya tak jauh di depannya dia lihat dua ekor tupai bergelut bekejaran. Saling terkam,
bergulingan. Lepas, terkam lagi, bergulingan lagi. Lambat-lambat dia melangkah keluar. Kedua tupai itu masih
berlarian. Masih bergelut. Masih bergulingan. Meloncat. Melambung dan menerkam. Dia memperhatikan
kembali dengan seksama. Gerakan itu seperti sengaja diperlihatkan kepadanya berulang-ulang. Dan gerakan
itu telah dia tiru berkali-kali, sampai mahir. Ya, gerakan yang telah menyelamatkan nyawanya dalam
perkelahian dengan Cindaku itu dia tiru dari gerakan dua tupai itu.
Suatu hari dia melihat keduanya berkelahi di cabang pohon. Berkelahi dengan sengit. Saling loncat,
saling terkam. Bergulung dan melambung di cabang pohon. Namun tak seekorpun yang jatuh. Mereka
nampaknya memiliki ilmu keseimbangan yang sempurna. Kemudian dia menirukan gerakan itu. Mula-mula
sudah tentu tak berkelincitan. Tubuhnya berkelukuran. Namun berbulan-bulan setelah itu dia jadi bisa. Dan
anehnya, tanpa dia sangka kedua tupai itu ternyata memperhatikan setiap tingkah lakunya. Kemudian kedua
tupai itu sering bergelut di batu layah itu. Seperti memberikan petunjuk dan pelajaran baru padanya. Dan tentu


Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saja dia mengikutinya. Dan tupai-tupai itu kemudian menjadi "sahabat dan guru"nya.
"Terima kasih, saya akan ingat selalu atas pelajaran yang kalian berikan?" ujarnya suatu hari.
Kedua tupai itu menjilat kaki depan mereka. Kemudian meloncat pergi. Dia melambai meskipun tupai itu tak
melihat lagi padanya. Dia menatap pada burung-burung yang bernyanyi di pohon. Menatap pada ikan-
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 26
ikan kecil di tebat alam di atas batu itu. Menatap dan mencium dengan segenap rasa terima kasih bau
harumnya hutan belantara itu. Ini adalah hari-hari terakhir dia berada di gunung Sago itu.
Dia tak pernah punya guru secara langsung. Gurunya adalah alam terkembang. Dia lihat Jepang berkelahi
mempergunakan samurai. Dia tiru gerakan itu. Dia lihat ayahnya berkelahi menikamkan samurai. Dia tiru cara
menikaman samurai itu. Dia lihat tupai berkelahi dan bergulingan. Dia tiru gerakan itu. Tuhan menjadikan alam
ini untuk dipelajari. Dan dia belajar banyak sekali padanya. Banyak hikmah tersembunyi di balik alam semesta
ini. Hanya manusia yang tak mengetahui isyarat-isyarat yang dijadikan Allah Yang Maha Pencipta itu.
(7) Kampung itu telah ramai sekali. Kehidupan sudah berlangsung seperti biasa. Hari itu hari Jumat,
panasnya bukan main. Lelaki boleh dikatakan semuanya berkumpul di masjid. Mereka sebahagian besar
hampir tertidur tatkala khatib membaca khotbah. Khotbah yang dibacakan berasal dari penguasa Jepang. Para
khatib tidak lagi bebas berkhotbah seperti biasa. Mula-mula cara berkhotbah begitu terasa menyakitkan hati
umat islam. Tidak hanya di kampung itu, tapi juga di seluruh Minangkabau.
Namun lama-lama hal itu menjadi biasa. Kehendak penguasa memang harus ditaati. Masih untung yang
mereka wajibkan hanya membaca khotbah yang sudah ditentukan. Lagipula khotbah itu rasanya tak ada yang
melanggar ajaran agama. Selain berisi ayat-ayat Al Quran dan hadis seperti biasa, menyeru berbuat baik dan
menjauhi yang mungkar, kini ditambah dengan menyeru untuk mematuhi perintah yang datang dari Jepang
sebagai saudara tua. Mematuhi perintah Jepang berarti membantu mengamankan kampung halaman- juga
berarti membangun negeri. Nah, apa beratnya membaca khotbah seperti itu bukan" jemaah sebenarnya ingin
cepat khotbah itu berakhir. Namun tak seorangpun yang berani meninggaikan masjid. Sebab mereka tahu,
kalau mereka pergi berarti tak suka pada khotbah. Dan tak suka pada khotbah di masjid berarti tak menyukai
seruan Jepang si saudara tua. Nah, ini bisa mengundang kesusahan.
Daripada susah lebih baik di masjid. Meskipun ngantuk.
Akhirnya sembahyang Jumat yang dua rakaat itupun selesai. orang-orang bersalaman untuk pulang.
Seorang lelaki seporah baya yang duduk di saf paling belakang disalami oleh orang yang duduk di sebelahnya.
Dia menerima salam itu dengan senyum. Namun tatkala dia melihat pada orang yang menyalaminya itu,
senyumnya lenyap tiba-tiba. Tangannya yang tengah bersalaman itu dia tarik cepat-cepat. Dia seperti orang
yang terpandang pada setan di siang hari. Lalu tiba-tiba dia bangkit. Kemudian bergegas ke pintu. Dua orang
lelaki yang akan keluar tertabrak olehnya.
"Hei, bergegas kelihatannya. Akan kemana Datuk?" orang yang ditabrak dipintu mesjid itu bertanya.
Lelaki seporah baya yang dipanggil dengan sebutan Datuk itu mula-mula akan terus keluar. Namun dia berbalik
dan berbisik pada kedua lelaki yang ditabrak itu. Kedua lelaki itu tak percaya. Mereka surut kembali ke tengah
masjid. Menatap orang yang bersalaman dengan Datuk itu. Yang kini masih duduk menunduk. Kedua orang ini
juga tersurut. Kemudian cepat-cepat berlalu. Sudah tentu sikap ini menarik perhatian yang lain. Dan beberapa
orang, meniru perbuatannya pula. Berbalik ke tengah masjid dan melihat pada orang yang masih duduk
menunduk itu. Kemudian juga mereka seperti melihat setan. Lalu keluar cepat-cepat. Dalam waktu yang
singkat, hampir semua lelaki di kampung itu, yang datang sembahyang Jumat ke masjid, mengetahui bahwa Si
Bungsu laknat anak Datuk Berbangsa itu ternyata masih hidup, Dan kini dia kembali ke kampung ini. Ada
perasaan tak sedap dan tak aman di hati hampir seluruh lelaki kampung atas kehadiran Si Bungsu. Anak muda
itu masih duduk di tengah masjid. Duduk dengan kepala menunduk. Dia tahu tadi orang memperhatikannya.
Dia tahu orang berbisik membencinya. Dan itulah kini yang dia renungkan. Dia menyangka dengan masuknya
rumah Allah ini perasaannya akan tentram. Dia menyangka bahwa di rumah Allah ini semua insan sama.
Bukankah setiap kaum muslim itu bersaudara" Dan bukankah masjid ini adalah lambang dari persaudaraan
orang Islam" Mengapa kebencian di luar sana harus dibawa ke rumah suci ini" Atau di rumah Allah inipun
manusia sebenarnya tak bisa melepaskan dirinya dari sikap manusia yang hewani. Saling membenci, saling
dengki, saling atas mengatasi, saling himpit menghimpit" Atau barangkali dia tak dianggap sebagai seorang
Muslim" "Engkau itu Bungsu?"
Tiba-tiba suara lembut menyapa. Menyadarkan dirinya dari lamunan. Dia mengangkat kepala. Dan
matanya tertatap pada imam yang barusan menyapa. Imam itu masih duduk di depan, di dekat mihrab.
"Benar. Saya inilah pak Haji?" dia berkata sambil kembali menunduk.
"Sudah lama kau tiba di kampung ini?"
Aneh. Suara imam itu tetap lembut. Tak ada nada permusuhan sedikitpun.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 27
"Saya tiba malam tadi pak"." katanya masih tetap menunduk.
"Angkat kepalamu Bungsu. Ini rumah Allah. Di sini setiap manusia sama nilainya. Mereka hanya berbeda
amalnya di sisi Allah." Imam itu seperti bisa membaca yang tersirat di hatinya. Dia mengangkat kepala. Menatap
imam itu dengan heran. "Disenangi. Dibenci. Dipuja. Disanjung. Dilupakan. Dicaci maki, atau tak diacuhkan.
Itulah yang dinamakan kehidupan Bungsu. Manusia harus berjuang di antara kemungkinan-kemungkinan itu.
orang takkan mulia karena pujian. Sebaliknya orang juga takkan mati karena caci maki."
Si Bungsu termenung. Dalam masjid itu tak ada orang lain. Hanya dia dan imam itu saja.
"Dimana engkau malam tadi?" Imam itu bertanya lagi.
"Di surau lama di hilir kampung ini pak Haji"."
"Hmm. Masih senang main koa atau dadu?"
Dia menggeleng, kepalanya kembali menunduk.
"Kenapa tak terus ke rumahmu?"
Kini dia mengangkat kepala. Menatap pada haji itu.
"Saya sudah sampai di sana pak Haji. Tapi saya lihat ada orang yang menunggu. Saya tak
berani membangunkan mereka. Saya tak tahu siapa yang telah menghuni?" "Yang menghuni adalah Sutan
Lembang. Menantu mamakmu Datuk Sati. Semua orang di kampung ini menyangka engkau telah mati. Jadi
seluruh pusaka keluargamu menurut adat jatuh pada kakak lelaki ibumu. Dia punya rumah banyak. Karena itu
rumah ibumu disuruh tunggunya pada anak perempuannya. Isteri Sultan Lembang."
"Ada yang ingin saya tanyakan pada pak Imam?"
"Tentang kuburan ayah, ibu dan kakakmu yang di tengah laman rumah itu?" Si Bungsu kaget. Alangkah
tajamnya firasat Imam ini. Dia memang akan menanyakan kuburan itu. Malam tadi dalam cahaya rembulan,
kuburan itu tak dia lihat lagi di tengah halaman itu. Padahal dulu di sanalah dia menguburkan ayah, ibu dan
kakaknya. Benar. Saya ingin tahu dimana kini kuburan mereka akhirnya dia berkata juga.
"Dahulu mereka kau kuburkan di tengah halaman bukan" Dan kakakmu dekat jenjang. Benar begitu"."
Kembali dia terkejut mendengar ketepatan terkaan Haji ini. "Benar pak Haji?"
"Dan seorang anak yang kau kubur dekat pohon gajus di sebelah sekolah. Dua orang perempuan di
bawah batang manggis. Tiga orang lelaki dekat kandang kerbau. Begitu bukan Bungsu?"
"Apakah pak Haji ada waktu saya menguburkan mereka?"
Si Bungsu bertanya di antara rasa kaget dan herannya. Haji itu menarik nafas panjang. Kemudian berkata
perlahan : "Allah Maha Besar. Hari ini Allah membuktikan apa yang kuduga selama ini. Terima kasih Bungsu.
Engkau telah menyelenggarakan mayat-mayat itu dengan baik. Salah satu lelaki yang kau kubur itu adalah
adikku. Dan anak itu adalah ponakanku. Terima kasih. Saya sudah menduga sejak semula. Bahwa kaulah yang
menguburkan mereka. Sebab saat itu semua kami sudah melarikan diri. Kami lihat kau kena hantam samurai.
Ketika kami kembali sebulan kemudian, kuburan itu kami gali kembali. Kami pindahkan ke pekuburan kaum.
Ternyata mayatmu tak kami jumpai. Semua orang menyangka mayatmu diseret binatang ke kaki gunung dan
memamahnya di sana. Namun aku menduga, engkau pasti selamat. Dan engkaulah yang menguburkan mereka.
Aku tak tahu bagaimana caramu menguburkan mayat sebanyak itu dalam keadaan luka. Dan aku juga tak tahu
berapa lama waktu kau perlukan untuk mengubur mereka. Namun aku yakin, pekerjaan itu pastilah pekerjaan
yang tak mudah bagimu, mengingat lukamu yang parah itu. Sekali lagi terima kasih nak. Atas bantuanmu
mengubur mayat ponakanku, mayat adikku, dan mayat seluruh penduduk yang terbunuh. Kau selenggarakan
mayat mereka, meskipun semasa hidupnya mereka selalu membencimu. Tuhan akan membalas budimu nak?"
Air mata imam itu merembes dipipinya. Betapa tidak. dia yakin anak muda inilah yang telah menolong
mayat-mayat itu. Namun alangkah malangnya dia. Dia tak mampu menjelaskan pada orang kampung tentang
keyakinannya itu. Dia takut orang kampung akan membencinya. Dia jadi malu pada kelemahan dirinya itu.
Seorang imam yang tak berani mengatakan yang benar hanya karena dia takut dikucilkan orang kampung.
Padahal dia tahu benar ada ayat yang berbunyi Katakanlah yang benar, meskipun sangat pahit. Dia menangis
menyesali kelemahannya . "Jadi kuburan ibu, ayah dan kakak saya sudah dipindahkan ke makam kaum di hilir sana pak Haji?"
"Ya, mereka sudah dipindahkan ke sana nak"."
"Terima kasih pak"." dia lalu bangkit.
"Akan kemana kau Bungsu?"
"Saya akan ke kuburan itu pak". Setelah itu" Belum saya pikirkan?"
"Kalau engkau masih lama di kampung ini. Singgahlah ke rumah saya. Masih di tempat yang lama. Dekat
pohon kuini besar yang sering kau lempari buahnya dahulu. Singgahlah"."
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 28
"Terima kasih pak. Insyaallah. Saya permisi. Assalamualaikum"."
"Waalaikum salam"."
Dia turun dari masjid. Imam itu menatap punggungnya. Aneh kalau lelaki yang turun dari mesjid tadi
merasa suatu yang tak sedap dan suatu ketegangan yang mencengkam mereka atas kehadiran anak muda ini,
pak Haji ini justru sebaliknya. Ketika menatap punggung anak muda itu. menatap bayang-bayangnya
melangkah keluar, ada semacam perasaan bangga dan aman menjalari hati tuanya.
Ya, Si Bungsu telah kembali setelah dianggap mati sejak peristiwa berdarah yang memusnahkan
keluarganya belasan purnama yang lalu. Orang kampungnya tak melihat satu perubahanpun pada diri anak
muda itu. Kesan mereka terhadapnya tetap sama seperti dahulu. Seorang penjudi dengan muka murung dan
mata sayu seperti orang yang tak punya semangat. Dan lebih daripada itu, mereka tetap menganggapnya
sebagai seorang laknat yang telah membuka rahasia tentang penyusunan kegiatan di kampung ini dalam
melawan Jepang. Itulah sebabnya dia tetap tak disukai kembali ke kampungnya. Perasaan tak suka itu segera
saja diperlihatkan di hari pertama dia berada di kampung kelahirannya itu. Saat tengah berjalan menuju ke
rumahnya setelah kembali dari kuburan, lewat sedikit dari masjid dia dihadang oleh enam lelaki yang rata-rata
mempunyai tubuh kekar. Dengan wajah yang tetap murung dan sinar mata yang kuyu, dia tatap lelaki itu satu persatu. Dia segera
mengenali mereka. Mereka adalah pesilat-pesilat. Dua di antaranya adalah murid ayahnya, yang lain murid
Datuk Maruhun. "Assalamualaikum?".." sapanya perlahan setelah dari pihak yang mencegat beberapa saat tetap tak
bersuara. Salah seorang itu terbatuk-batuk kecil. orang itu dia kenal sebagai Malano, murid ayahnya.
"Apa perlumu kemari Bungsu"." Malano bertanya.
Alangkah menyakitkannya pertanyaan itu. Ini adalah kampung halamannya. Tempat dia dilahirkan dan
dibesarkan. Kini dia pulang ke kampungnya untuk melihat pusara ayah, ibu dan kakaknya. Sejelas itu
kedatangannya, masih ada orang yang bertanya, untuk apa dia kembali. Namun meski pahit sekali pertanyaan
itu, dengan kepala masih menunduk dia tetap menjawab dengan suara yang rendah.
"Saya ingin melihat kuburan ayah, ibu dan kakak ". "
"Telah kau lihat kuburan mereka bukan?"
Seorang lagi bertanya. Tanpa melihat orangnya, dia tahu bahwa yang bertanya itu adalah Sutan Permato.
Murid silat Datuk Maruhun.
"Ya. Saya datang dari kuburan."
"Nah, kalau sudah kau lihat, kini tinggalkanlah kampung ini"." suara Malano kembali terdengar. Dia
mengangkat kepala. Ucapan terakhir ini seperti perintah dan ancaman sekaligus. Apakah dia tak salah dengar"
Nampaknya memang tidak. Keenam lelaki itu mengelilinginya. Menatapnya dengan penuh kebencian. Dan dari
balik kain-kain pintu, dari rumah-rumah yang berdekatan dengan tempat mereka, perempuan-perempuan dan
anak-anak mengintip kejadian itu.
"Kenapa saya mesti harus pergi dari kampung ini?" dia bertanya.
"Kenapa?" cis.. karena ini..?"
Dan terjadilah peristiwa itu. Dulu dia tak ada daya sama sekali tatkala dikeroyok oleh si Baribeh dan
ketiga temannya selesai berjudi di surau lapuk di hilir kampung itu. Kini juga dia seperti tak ada daya tatkala
keenam lelaki yang rata-rata mempunyai ilmu silat lumayan itu menghantamkan kaki dan tangan ke tubuhnya.
Dia terjajar dari satu kaki ke kaki yang lain. Dari satu tangan ke tangan yang lain. Dan akhirnya dia jatuh
tersungkur. Tertelungkup dengan mulut dan hidung berdarah.
"Kalau tak memandang waang anak Datuk Berbangsa, sudah kami cincang badan laknat waang itu.
Pengkhianat jahanam. Penjudi laknat. Kalau sampai petang nanti waang masih ada di kampung ini, jangan
salahkan kami kalau nyawa waang kami akhiri"
Itu adalah suara Malano. Dia hanya mendengar suara itu sayup-sayup, Kemudian keenam lelaki itu pergi.
Anak itu ternyata tetap seperti dahulu. Tak mengerti silat selangkahpun. Lelaki yang tak lengkap sebagai lelaki.
Namun dalam telungkupnya yang pasrah itu, Si Bungsu bermohon pada Tuhan, agar hatinya dikuatkan untuk
tidak menggunakan samurai yang dia bawa bukan untuk mencelakai orang kampungnya.
Dia pasrah menerima perlakuan itu. Sebab dia tahu mereka melakukan itu adalah karena cinta mereka
pada kampung jua. Telinganya yang amat tajam yang terlatih mendengar suara kaki lelaki itu menjauh. Bahkan
dalam telungkupnya dia dapat mengetahui, yang dua orang berjalan ke arah Utara. Yang tiga orang ke Selatan.
Sementara yang satu lagi naik ke rumah tak jauh dari tempat dia terbaring. Telinganya mendengar langkah
kaki mereka. Namun badannya memang letai. Makan tangan dan kaki keenam lelaki itu harus dia akui sangat
ligat. Perutnya terasa mual. Kepalanya berdenyut-denyut.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 29
Kejadian itu sudah diduga akan terjadi oleh Imam di masjid tadi. Ketika keenam lelaki itu mempermak
Si Bungsu, Imam itu menyaksikannya dari balik jendela masjid. Dia ingin berteriak mencegah orang-orang itu
memukuli Si Bungsu. ingin benar. Dia kasihan pada anak muda itu. Namun dia tidak berani menampakkan diri.
Dia tak punya cukup keberanian untuk melarang mereka. Dia Imam masjid ini. Di masjid ini dia menerima
sedekah, wakaf, zakat atau uang akad nikah dari penduduk. Kalau dia sempat tak sependapat dengan
penduduk. bisa-bisa penduduk tak lagi menyerahkan zakat fitrah atau sedekah padanya. Atau kalau akan
menikah, orang pergi saja ke Iman atau kadi yang lain.
Itu berarti menutup mata pencahariannya. Dan dalam zaman serba kacau seperti sekarang ini,
kehilangan mata pencaharian merupakan malapetaka hebat. Ah, tidak. Dia tak mau kehilangan mata
pencaharian dengan melawan arus pendapat penduduk. Tapi ketika keenam lelaki itu menyelesaikan
pekerjaan tangan mereka, dan Si Bungsu tergeletak dengan tubuh lenyai, dia merasa malu pada dirinya. Dia
kini berada dalam rumah Allah, di mana tiap Jumat dia berkhotbah menyerukan berbuat kebaikan. Menyeru
berbuat jujur. Menyeru untuk berkata benar. Menyeru untuk tidak munafik, orang munafik kebencian Allah,
begitu dia sering berkata dalam khotbahnya.
Namun apa nama pekerjaannya kini" Apakah membiarkan anak muda itu dilanyau, bukan suatu
perbuatan pengecut dan munafik" Bukankah selesai Jumat tadi dia berkata pada anak muda itu bahwa dia
mengetahui kebaikannya yang dibuatnya" Bukankah dia mengetahui bahwa anak muda itu tidak bersalah"
Kenapa dia tak berani membela anak muda itu" Apakah kepentingan perutnya jauh lebih penting daripada
menegakkan suatu kebenaran" Ah, tiba-tiba dia menjadi malu berada dalam rumah Allah ini.
"Ampunkan hambamu yang lemah ini ya Allah".." bisiknya sambil melangkah turun. Dia melangkah ke
arah Si Bungsu yang masih tertelungkup, Dia tahu, dari balik pintu dan jendela rumah-rumah penduduk banyak
orang yang mengintip. Dan itu juga berarti mengintip padanya yang kini berjongkok dekat tubuh Si Bungsu.
"Bungsu".." dia memanggil sambil membalikkan tubuh Si Bungsu. Dia merasa hiba melihat hidung dan
bibirnya yang berdarah. "Bangkitlah. Mari ke rumah saya"
Anak muda itu bangkit dengan berpegang kuat-kuat pada tubuh imam itu. Imam itu sudah tua. Tubuhnya
sudah lemah. Namun kali ini tubuhnya seperti mendapat tenaga baru untuk memapah anak muda itu ke
rumahnya. Dijenjang dia berhenti. Sengaja dilayangkan pandangannya keliling. Menatap ke rumah-rumah
sekitarnya dengan kepala tegak. Seperti ingin mengatakan pada orang yang mengintip itu, bahwa dia membela
anak muda ini. "Saleha".buka pintu"
Dia memanggil ke rumah. Seorang gadis membuka pintu dengan ragu-ragu. Gadis berkulit kuning
berwajah bundar itu menatap pada ayahnya, kemudian menatap ke rumah-rumah di sekitarnya dengan
perasaan cemas. "Bukalah. sediakan air panas di panci dan kain bersih. Cepat"
Gadis itu cepat menghilang ke belakang saat ayahnya membawa Si Bungsu naik dan mendudukkannya
di ruang tengah, di atas tikar pandan yang bersih. Saleha muncul lagi membawa baskom dengan air hangathangat kuku serta sehelai kain lap bersih.
"Bapak akan susah karena bantuan bapak ini"." Si Bungsu berkata perlahan.
Untuk pertama kali gadis anak imam itu menatap padanya. Pada wajahnya yang memar dan mulut serta
hidungnya yang berdarah. Si Bungsu juga menatap padanya. Mereka sebenarnya sudah saling mengenal
bertahun-tahun. Bukankah mereka tinggal sekampung" Hanya saja alangkah asingnya dia terasa di kampung
ini. Dan gadis ini, anak Imam yang merupakan salah satu bunga di kampungnya ini, juga menatapnya dengan
perasaan asing. "Terima kasih atas air dan kain lapnya Saleha".." dia bekata perlahan.
Gadis itu tak menjawab. Dia masih menatapnya diam-diam. Memperhatikan anak muda yang oleh orang
kampung disebut telah menjual kampung ini pada Jepang beberapa waktu yang lalu. Menatap pada anak muda
yang terkenal pemain judi nomor satu itu.
"Sediakan nasi. Kami akan makan bersama. Mana Sawal?"
Imam itu memberi perintah, sekaligus bertanya sambil membersihkan muka Si Bungsu. Saleha masih
terdiam. Dia heran kenapa ayahnya mau membantu sampai membersihkan wajah penjudi ini.
"Kemana Sawal?" kembali Imam itu bertanya.
"Sudah sejak kepetang dia tidak pulang"
"Sediakanlah nasi"."
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 30
Namun sebelum Saleha beranjak. pintu digedor orang dari luar. Wajah Saleha berobah pucat. Demiklan
juga Imam itu. "Pak Imam".Pak Imam". cepat buka pintu" terdengar suara lelaki dari luar. Mereka
berpandangan. Si Bungsu bersandar. Menatap pada Iman dan Saleha yang pucat. Dan tiba-tiba tanpa
dibuka, pintu didobrak dari luar. Dua orang lelaki masuk. Si Bungsu segera mengenalnya sebagai orang yang
tadi ikut mengeroyoknya. Kedua lelaki itu sejenak tertegun memandangnya.
"Ada apa Leman?" Imam tersebut bertanya sambil berdiri.
"Sawal pak Imam"."
"Ada apa dengan Sawal?"
"Dia ditangkap Kempetai bersama Malano"."
Saleha terpekik. Imam itu sendiri tertegun. Nama Kempetai membuat tubuhnya jadi lemah. Intel tentara
Jepang itu terkenal kekejamannya. Tentara pilihan saja yang dapat masuk menjadi Kempetai. Pilihan dalam
bela diri dan kejamnya. Kalau Kempetai sudah turun tangan, itu berarti mati
"Mengapa dia sampai ditangkap Kempetai".?" Imam itu bertanya dengan lemah.
"Dua malam yang lalu dia mencuri senjata Jepang di Kubu Gadang. Bersama Malano dan beberapa
pejuang kita. Dua orang sudah tertangkap. senjata yang berhasil dicuri hanya enam pucuk. Kini mereka berdua
berada dalam masjid".."
"Dalam masjid?"
"Ya?" Tanpa bicara ba atau bu, Haji itu bergegas turun diikuti oleh kedua lelaki tadi. Kemudian juga Saleha. Si
Bungsu menarik nafas panjang. Mengambil kain lap dan kembali membersihkan mukanya.
Malano tertangkup, Demikian pula Sawal. Abang Saleha anak Imam ini. Yang dulu sering menyebut
dirinya penjudi kapir. Sawal memang terkenal santri. Bukan karena ayahnya Haji dan imam di masjid. Tapi
pemuda itu memang pemuda yang soleh. Dia guru mengaji di kampung ini. Kini anak muda itu ditangkap
Kempetai karena ketahuan mencuri senjata di Markas Jepang di Kubu Gadang. Bah, anak muda itu terlalu bagak.


Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pikirnya sambil tetap bergolek di tikar.
Di depan masjid berdiri tiga orang kempetai. Mereka tegak berkacak pinggang. Penduduk berdesak tak
jauh dari halaman masjid tersebut. Ketiga Kempetai itu tak membawa bedil panjang. sebagai anggota-anggota
Kempetai pilihan, mereka hanya membawa sebuah pistol dan samurai.
"Suruh anakmu keluar Haji. Kalau tidak. kami akan menyeretnya keluar"
Seorang di antara Kempetai itu berkata. Kempetai itu bertubuh gemuk. Saleha menangis dekat ayahnya.
Imam itu tak bersuara. Dia masuk ke mesjid. Di dalam, dekat mihrab, dia temui Sawal duduk dengan wajah
pucat. Bahunya luka. Nampaknya terjadi perkelahian ketika dia mencuri senjata bersama beberapa orang
pejuang Indonesia. Di dekatnya duduk Malano.
Lelaki yang tadi memukuli Si Bungsu. Dia adalah seorang pejuang bawah tanah. Yang bersumpah akan
membunuh Jepang sebanyak mungkin. Sebagai balas dendam atas kematian gurunya Datuk Berbangsa satahun
yang lalu. Haji itu menatap Malano dengan diam. Banyak yang ingin dia ucapkan. Namun tak ada kata yang bisa
terucapkan dalam saat seperti ini. Dia ingin menyuruh anaknya melarikan diri. Namun kalau dia melarikan diri,
penduduk yang lain akan ditangkap Jepang sebagai gantinya. Bukankah dulu Saburo pernah berkata, kalau ada
serdadu Jepang yang mati, maka setiap satu Jepang yang mati akan dibalas dengan membunuh tiga penduduk.
Kalau anaknya dan Malano melarikan diri, maka penduduk yang tak berdosa akan menjadi korban
pembunuhan Jepang. Hal ini sudah beberapa kali terjadi di kampung-kampung sekitar ini. Tiba-tiba di luar
terdengar pekikan Saleha. Imam itu dan Sawal terkejut. Mereka berlarian ke pintu. Di luar mereka lihat Saleha
berada dalam pelukan salah seorang Kempetai.
Begitu Sawal muncul, Kempetai yang gemuk itu mencabut pistol dan menembakkannya. Sawal berlari
kembali ke dalam masjid. Peluru pistol menghantam ayahnya. Haji itu terpekik dan rubuh. Jepang gemuk itu
memberi perintah kepada kedua temannya. Kedua Kempetai itu menghambur masuk dengan sepatu yang
dipenuhi lumpur. Penduduk jadi kaget dan berang melihat serdadu itu masuk ke rumah ibadah mereka tanpa
membuka alas kaki. Namun marah mereka terpaksa mereka pendam. Siapa pula yang berani marah pada Kempetai" Meski
mereka hanya bertiga, tapi itu berarti sama dengan sebuah pasukan besar. Terdengar bentakan dan pekikan di
dalam. Kemudian penduduk melihat Sawal dan Malano digiring keluar dengan tubuh luka-luka.
"Kedua lelaki ini, dan anak gadismu terpaksa kami tahan pak Imam. Gadismu ini hanya kami jadikan
sebagai jaminan agar abangnya tidak melarikan diri .Jangan khawatir, dia akan aman-?" Jepang gemuk itu
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 31
berkata dengan senyum memuakkan. Imam tersebut hanya duduk tersandar ke pintu. Luka di bahunya
mengalirkan darah. Sementara Saleha meronta-ronta melepaskan diri. Tapi yang memegang tangannya terlalu
kuat buat dia lawan. Ketiga Jepang itu memutar tubuh dan mulai melangkah meninggalkan halaman mesjid itu.
Tiba-tiba mereka tertegun. Seorang lelaki, berbaju gunting cina, berkain sarung melintang di bahunya,
bercelana gunting Jawa tegak menghadang jalan mereka. Si Bungsu!
(8) Ya. Dialah yang tegak menghadang itu. Di sudut bibirnya masih menetes darah dari bekas dilanyau
Malano dan teman-temannya beberapa menit berselang.
"Apakah bangsa kalian tak beradab sedikitpun, sehingga masuk rumah ibadah tanpa membuka sepatu
yang kotor?" Anak muda itu berkata dengan nada suara yang setajam pisau. Jepang-Jepang itu tertegun. Mereka lebih
banyak heran daripada kaget. Heran ada lelaki pribumi yang berani menghadang Kempetai. Apakah lelaki ini
edan, pikir mereka. Namun yang bertubuh gemuk itu segera ingat anak muda ini.
"Hei beruk. Bukankah kamu orang yang kami tangkap malam itu ketika bersembunyi dekat Sasaran silat
rahasia itu" Ya, engkaulah orangnya. Kamu orang anak Datuk Berbangsa jahanam itu ya?" penduduk pada
terdiam. "Tangkap anak jahanam ini. Ayahnya seorang pemberontak. Anaknya tentu sama saja?" sigemuk itu
berkata lagi. Si Bungsu segera ingat bahwa si gemuk ini adalah Jepang yang dulu memimpin penangkapan atas
pesilat-pesilat di sasaran rahasia yang waktu itu dilatih oleh Datuk Maruhun.
"Lepaskan gadis itu?" dia berkata perlahan.
"Tangkap dia" perintah si gemuk menggelegar.
Salah seorang Kempetai itu melepaskan pegangannya dari Malano. Kemudian maju menangkap Si
Bungsu. Namun sebuah tendangan menyebabkan Kempetai tersurut dengan perut mual.
"Bagero... Habisi nyawanya" si gemuk yang merasa sudah banyak waktunya yang terbuang segera
memerintahkan untuk membunuh anak muda itu. Kedua Jepang itu maju dengan menghunus samurai mereka.
Mata Si Bungsu tiba-tiba berkilat. orang yang hadir tak melihat perubahan sedikitpun pada diri anak muda itu.
Wajahnya tetap murung. Sinar matanya tetap layu. Begitu dulu, begitu sekarang. Tiba-tiba kedua Jepang itu
membabat. Dan tiba-tiba".snap. Tiga bacakon yang terlalu cepat untuk bisa diikuti. Akhirnya sebuah tikaman
yang telak ke belakang. Persis seperti jurus yang dipergunakan oleh ayahnya, Datuk Berbangsa, di halaman
rumahnya belasan purnama yang lalu.
Kedua Kempetai itu tertegak diam. Mata mereka menatap kosong ke depan. Wajah mereka seperti
keheranan. Tiba-tiba mereka rubuh Si Bungsu tegak diam di tempatnya. Samurai di tangannya berada kembali
dalam sarungnya. Semua orang terdiam. Bahkan anginpun seperti berhenti bertiup, Jepang gemuk itu juga
tertegun. Namun hanya sesaat, kemudian dengan memaki dalam bahasa Jepang dia maju. Tangannya
tergantung dekat samurai. Dia maju setelah mendorong Saleha hingga rubuh.
"Kubunuh kau jahanam" Jepang gemuk itu memaki, dan samurainya berkelebat.
Aneh, tiba-tiba pula seperti halnya ketika dia melawan harimau jadi-jadian di gunung sago sebulan yang
lalu, wajah Kempetai gemuk ini seperti berubah. Wajahnya kini mirip wajah Saburo Matsuyama. Komandan
Kempetai yang membunuh ayah, ibu dan memperkosa kakaknya. Wajahnya yang murung berubah jadi keras.
Gerakan samurai si gemuk itu bukan main cepatnya. Namun lebih cepat lagi gerakan lompat tupai yang
dipergunakan oleh Si Bungsu.
Tubuhnya tiba-tiba berguling ke kanan. Samurai si gemuk memburu ke sana. Kosong. Tiba-tiba dia
melambung tegak dua depa di depan Kempetai itu. Kini mereka berhadapan. Tak seorangpun di antara
penduduk yang percaya atas apa yang baru saja mereka saksikan.
Mulai dari saat kematian kedua Kempetai itu, sampai pada peristiwa sebentar ini. Benarkah yang berada
di hadapan mereka dan yang berhadapan dengan Kempetai itu adalah Si Bungsu anak Datuk Berbangsa" Si
penjudi yang terkenal penakutnya itu". Mereka tak sempat berpikir. Kedua lelaki itu berhadapan lagi. Kempetai
gemuk itu menggeser telapak kakinya di tanah, inci demi inci. Tiba-tiba samurainya bekerja.
Tapi saat itu Si Bungsu mencabut samurainya. Tak seorangpun yang melihat bergeraknya samurai kedua
orang itu. Kedua-duanya alangkah cepatnya. Namun, kini Si Bungsu kelihatan berlutut di lutut kirinya.
Samurainya menghujam ke belakang. Dan di ujung samurainya Kempetai gemuk itu tertusuk persis di dada kiri
Kempetai itu tertegak diam. Matanya mendelik. Samurainya terangkat tinggi.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 32
Dia menggertakkan geraham. Menghimpun tenaga. Kemudian menghayunkan samurai di tangannya ke
tengkorak Si Bungsu yang berlutut disebelah kaki membelakanginya. Saleha terpekik. Begitu pula beberapa
perempuan yang tegak dengan kaku di sekitar halaman masjid itu. Namun hayunan samurai si gemuk hanya
sampai separoh. Kempetai itu rubuh ke tanah. Si Bungsu menyentakan samurainya dan dengan amat cepat
memasukkan kembali ke sarungnya.
Gerakan cepat Bungsu mencabut samurainya diawal pertarungan tadi membuat konsentrasi si gemuk
terganggu. itulah salah satu sebab kenapa serangannya tak terarah. Tak pernah dia sangka sedikitpun, bahkan
hampir tak masuk di akal, ada penduduk pribumi yang masih sangat muda memiliki kecepatan luar biasa
mempergunakan samurai. Lebih cepat dari seorang Kempetai. Apakah ini bisa terjadi" Ketika kedua anak
buahnya meninggal tadi, sebenarnya dia sudah merasa heran.
Kuda-kuda dan langkah kaki anak muda ini tak menurut aturan dan teori seorang samurai.
Nampaknya asal melangkah saja. Bahkan beberapa gerakannya terlihat canggung dan lucu. Tapi kenapa
dia bisa secepat itu" Kempetai gemuk itu tak sempat mengambil kesimpulan atas pertanyaan di kepalanya. Dia
keburu mati. Kalau Kempetai itu sudah menganggap bahwa Si Bungsu terlalu cepat dengan samurainya, maka
penduduk kampung itu benar-benar tak tahu apa yang terjadi. Mereka melihat Si Bungsu hanya sekali
memegang samurai terhunus. Yaitu ketika dia menikamkan samurai itu pada si gemuk di belakangnya.
Kemudian samurai itu disentakkan, dan lenyap ke dalam sarungnya. Kini anak muda itu seperti hanya
memegang sebuah tongkat kayu yang panjangnya kurang sedepa.
Si Bungsu tegak di antara mayat-mayat Kempetai itu. Menatap pada Saleha, kemudian pada Sawal dan
Malano. Sementara mereka membalas tatapannya dalam diam. Mereka benar-benar takjub. Kejadian ini terlalu
luar biasa bagi mereka. Anak muda itu masih tegak dengan muka murung. Lalu Si Bungsu menoleh pada Imam
yang masih tersandar di pintu masjid.
"Saya rasa Kempetai ini hanya datang bertiga. Mudah-mudahan yang lain tak tahu. Kuburkan mereka
jauh-jauh. Lenyapkan segala tanda kedatangan mereka kemari. Jangan sampai yang lain tahu. Kalau mereka
tahu mereka mati di sini, yang lain akan mereka bunuh. Terima kasih atas bantuan pak Imam pada saya"." lalu
dia menoleh pada Sawal. "Tinggalkan kampung ini buat sementara. Agar Jepang-Jepang itu tak curiga." Kemudian dia menghadap
lagi pada Malano yang tadi melanyaunya dengan tangan.
"Terima kasih Malano, engkau seorang pejuang. Ayah pasti bangga mempunyai murid seperti engkau.
Siang tadi kalian memberiku waktu sampai sore untuk berada di kampung ini. Sudah tiba saatnya bagi saya
untuk pergi?" Lalu dia memandang pada Saleha. Gadis itu juga menatap padanya.
"Terima kasih Saleha. Atas air hangat dan kain lap yang engkau berikan tadi"."
Tak ada yang menjawab. Tak ada yang bersuara. Dan anak muda itu berjalan menuju hilir kampung.
Suaranya tadi terdengar tenang. Tak ada nada dendam. Tak ada nada sakit hati. Dia tetap seperti dahulu.
Wajahnya tetap murung dengan tatapan mata yang kuyu. Ya, tak ada yang berobah pada dirinya. Dia tetap
seperti dulu. Bedanya kini hanyalah Samurai di tangan dan bara dendam di hatinya
Si Bungsu makin lama makin jauh. Semua orang ingin memanggil dan berkata agar dia jangan pergi.
Semua orang ingin minta maaf atas apa yang telah mereka perlakukan terhadap anak muda itu. Saleha, Malano,
Sawal. Semuanya. Namun tak seorangpun yang mampu membuka mulut. Tak ada suara yang mampu
diucapkan. Tak tahu bagaimana cara memulai kalimat. Imam ayah Saleha itulah yang bicara. Dia bicara
perlahan, di antara air matanya yang mengalir turun. Dia bicara dari pintu masjid, sambil bersandar ke pintu
dan memegangi luka di dadanya.
"Setahun yang lalu, ketika semua kita melarikan diri dari kampung ini, dialah yang menguburkan jenazah
anak kemenakan kalian. Dialah yang menguburkan suami dan isteri kalian. Dia tak ingin mayat-mayat itu
dimakan binatang buas. Dia kuburkan mereka dalam keadaan dirinya sendiri luka parah. Bukankah engkau
Datuk Labih yang melihat bahwa dia kena bacokan samurai sebelum engkau sendiri melarikan diri"
Meninggalkan kakak perempuanmu diperkosa dan dibunuh tentara Jepang" Kemudian engkau pula yang
mengatakan pada orang kampung bahwa tak mungkin dia menguburkannya. Bahwa bangkainya pasti telah
dimakan anjing atau diseret binatang buas ke rimba" Bahwa kalian semua mempercayai, bahkan memang
berharap. Anak itu mendapat celaka seperti itu" Bukankah begitu?"
Tak ada yang menjawab. Beberapa orang kelihatan menghapuskan air mata. Imam itu juga menghapus
air mata di pipinya yang tua. Tiba-tiba dia menjadi muak melihat orang kampungnya ini. Dia juga muak pada
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 33
dirinya. Kenapa tak sejak dahulu dia mempunyai keberanian untuk berkata begini" Seekor burung Gagak
terbang tinggi. Suaranya menyayat pilu.
Gaaak".gaaak"gaaak. Di ujung sana, tubuh Si Bungsu lenyap di balik tikungan. Pergi bersama
tenggelamnya matahari senja. Hilang si Noru tampak pagai. Hilang dilamun-lamun ombak. Hilang Si Bungsu
karano sansai. Hilang di mato urang banyak.
"ooooMalam itu gerimis turun membasahi bumi. Empat orang serdadu Jepang kelihatan berkumpul di sebuah
kedai kopi di kampung Tabing. Kampung itu masih terletak dikaki gunung Sago. Sebuah desa kecil yang tak
begitu ramai. Namun karena letak kampung itu di dalam kacamata militer cukup strategis, maka Jepang
menjadikan kampung itu sebagai salah satu markasnya.
Ada beberapa markas Jepang yang termasuk besar di sekitar kaki Gunung sago di Luhak 50 kota ini.
Yaitu Padang Mangatas, Tabing, Pekan Selasa dan Kubu Gadang. Jepang menganggap daerah Luhak 50 Kota ini
sebagai daerah strategis. Karena dari sini dekat mengirimkan pasukan atau suplay ke Batu Sangkar atau ke
Logas dan Pekanbaru. Di daerah mana Jepang mempunyai tambang-tambang emas dan berbagai kepentingan
militer lainnya. Kedai kopi itu sebenarnya sudah akan tutup, Pemiliknya seorang lelaki tua sudah akan tidur. Namun
keempat serdadu Jepang itu tetap menggedor pintu kedainya.
"Jangan bobok dulu Pak tua. Kami ingin makan panyaram dengan sake. Ayo keluarkan panyaramnya.."
salah seorang bicara. Dari mulut mereka tercium bau sake. Semacam minuman keras khas Jepang.
"Panyaram sudah habis tuan?"
"Ah jangan ngicuh laa. Tak baik ngicuh. Tadi siang masih banyak. Ayooo."
Dan orang tua itu mereka dorong sampai terdede-dede masuk ke kedainya. Mereka langsung saja duduk
di kursi panjang dan mengambil empat buah gelas. Dari kantong mereka mengeluarkan beberapa buah botol
porselin. Menuangkan isi botol itu ke dalam gelas. Hanya sedikit, lalu meminumnya. Mereka lalu berbisik. Salah
seorang lalu berseru : "Hei, pak tua. Mana panyaramnya."
Lelaki itu terpaksa mengambil kaleng empat segi yang berisi panyaram. Kemudian meletakkannya ke
depan tentara Jepang tersebut.
"Mana Siti pak tua. Suruh dia membuatkan kami kopi"
Hati gaek itu jadi tak sedap. Siti adalah anak gadisnya. Biasanya dia berada di Padang Panjang. Sekolah
Diniyah Putri di sana. Tapi sejak Jepang masuk. dia merasa anak gadisnya tak aman di sana. Lagipula, banyak
orang tua yang menyuruh pulang anak-anaknya yang sekolah jauh. Pak tua ini juga menjemput Siti. Dan selama
di kampung dia lebih banyak di rumah.
"Tak ada lagi air panas untuk membuat kopi tuan?" dia masih coba mengelak.
Tapi terus terang saja hatinya sangat kecut. Keganasan Jepang terhadap perempuan bukan rahasia lagi.
Meskipun belum lewat dua tahun mereka di Minangkabau ini. Beberapa hari yang lalu, dua orang penduduk
yang dituduh mencuri senjata di Kubu Gadang, dipenggal ditepi batang Agam. Dan segera saja tentara Jepang
itu memaki. Belasan perempuan, tak peduli gadis atau bini orang, telah jadi korban perkosaan.
"Jangan banyak cincong pak tua. Suruh anakmu turun membuatkan kopi untuk kami"." bentak salah
seorang tentara itu. Lelaki tua itu tak punya pilihan lain selain menyuruh anaknya turun dan membuatkan kopi. Siti memakai
pakaian yang buruk. Mengusutkan rambutnya kemudian turun membuatkan kopi. Namun meski dia berusaha
memburuk-burukkan badannya dan pakaian yang dia pakai longgar, tetap tak dapat menyembunyikan
kecantikan dan kepadatan tubuhnya. Tak dapat menghilangkan bahwa pinggulnya padat berisi. Dadanya
sedang ranum. Semua itu masih jelas terbayang. Bahkan makin merangsang dalam cahaya pelita yang teram
temaram dalam kedai kecil itu.
Ketika dia lewat hendak ke dapur di dekat ke empat serdadu itu, dengan kurang ajar sekali yang seorang
meremas pinggulnya. Yang seorang dengan cepat mencubit dadanya, gadis ini terpekik dan menangis. Dia
segera akan lari ke atas rumahnya kembali. Namun dia terpekik lagi ketika larinya dihadang oleh sebuah
samurai. Samurai itu berkelebat. Dan ujung kain batik yang dia pakai sebagai selendang putus Dapat
dibayangkan betapa tajamnya senjata itu.
"Kau Siti, dan kau juga pak tua, jangan banyak tingkah. Kami ingin minum kopi, makan Panyaram
sediakan cepat kalau tidak ingin dimakan mata samurai ini?"
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 34
Siti menggigil. Ayahnya mengangguk tanda menyuruh. Sambil menangis terisak-isak, gadis berumur
tujuh belas tahun itu menghidupkan api untuk membuat kopi.
"Assalamualaikum?"." tiba-tiba terdengar suara perlahan dari luar.
Tak ada yang menyahut kecuali tolehan kepala. Lelaki tua itu, anak gadisnya, dan keempat serdadu
Jepang itu menoleh ke pintu. Di ambang pintu muncul seorang lelaki muda dengan wajah murung. Matanya
yang kuyu menatap isi kedai. Dia memandang pada Siti. Sebentar saja. Tapi dia melihat pipi gadis itu basah. Dia
memandang pada pemilik kedai. Kemudian pada keempat serdadu itu. Dia mengangguk memberi hormat.
Anggukan pelan saja. Meski tak di balas, dia melangkah masuk. Di tangannya ada sebuah tongkat kayu.
Ke empat serdadu Jepang itu kembali meminum sake mereka. Nampaknya minta kopi hanya sekedar
untuk menyuruh anak gadis itu untuk turun ke kedai ini saja. Untuk minum mereka mempunyai sake. Anak
muda yang baru masuk itu duduk di sudut kedai. Membelakangi pada keempat serdadu itu.
Apakah saya bisa minta kopi secangkir upik" Dia bertanya perlahan pada Siti yang duduk dekat tungku
menuggu air, sedepa di sampingnya. Gadis itu menoleh padanya. Anak muda itu menunduk. Seperti sedang
melihat daun meja. Gadis itu tak menyahut. Meski dia yakin anak muda itu tak melihat anggukannya, dia
mengangguk juga sebagai tanda akan menyediakan kopi yang diminta. Meski menunduk, anak muda itu dapat
melihat anggukan gadis itu.
"Hei pak tua, bukankah Sumite yang bertubuh gemuk itu minum di sini lima hari yang lalu?"
Tentara Jepang itu bertanya pada lelaki pemilik kedai. Lelaki itu tak segera menjawab.
"Sumite. Kempetai yang bertubuh gemuk itu. Bukankah dia minum bersama dua orang anak buahnya di
sini lima hari yang lalu?"
Pemilik kedai itu segera tahu siapa yang ditanyakan Jepang itu. Kempetai bertubuh gemuk itu memang
minum disini lima hari yang lalu. Kemudian dia pergi. Tapi sejak hari itu, Kempetai itu lenyap tak berbekas. Dia
harus hati-hati menjawab. Jangan sampai dia berurusan pula ke Kempetai nanti. Kempetai telah datang kemari
dua kali. Dia menjawab seadanya.
"Ya tuan. Dia minum di sini bersama dua orang temannya."
"Tak ada dia mengatakan kemana dia akan pergi?"
"Tak ada tuan" "Nah, dia lenyap tak berbekas. Dia diperintahkan untuk menangkap dua orang lelaki yang mencuri
senjata di kampung di kaki gunung sana. Tapi tak pernah kembali. Kampung itu sudah diperiksa. orang yang
ditangkap itu juga tak pernah pulang ke kampungnya."
"Barangkali dia melarikan diri ke Agam. Dan Sumite memburunya ke sana?" Jepang yang satu lagi
memotong pembicaraan. "Tak tahulah. Di negeri ini memang banyak setannya. Hei Siti, cepat bawa kemari kopi itu" Naah, bagus,
bagus".Yoroshi?"
Siti datang membawa empat gelas kopi. Ketika dia akan meletakkannya Jepang yang bertubuh kurus
memeluk pinggangnya. Siti terpekik.
"Tak apa. Tak apa. Saya sayang Siti. Saya sayang Siti. Saya akan belikan Siti kain." Jepang kurus itu merayu
sambil mencium-cium punggung Siti. Siti menangis. Segelas kopi terserak. Jepang-Jepang itu tertawa. Ayah Siti
pernah belajar silat. Namun menghadapi empat serdadu dengan samurai ini hatinya jadi gacar. Apalagi tak jauh
dari kedainya terdapat kamp tentara Jepang. Dia terpaksa diam.
Jepang kurus itu sudah mendudukkan siti di pangkuannya. Kemudian membelai wajah gadis itu.
Kemudian mencium pipinya. Bau sake membuat Siti ingin muntah. Bau keringat Jepang itu membuat Siti
hampir pingsan. "Mana kopi saya Siti"."
Tiba-tiba terdengar suara dari belakang Jepang-Jepang itu. Jepang-Jepang yang sedang tertawa itu
terdiam. Mereka menoleh. Dan melihat pada lelaki yang masuk tadi yang duduk menunduk membelakangi
mereka. Di kanannya di atas meja kelihatan tongkat kayu melintang. Dialah yang barusan minta kopi pada Siti.
"Kamu orang bicara sebentar ini?" si kurus bicara.
"Ya," orang itu menjawab perlahan
"Apa bicara kamu orang?"
"Saya tadi meminta kopi. Dan Siti terlalu lama."
"Kamu bisa bikin sendiri kopi. Itu ada air di tungku."
"Tidak. Saya meminta Siti yang membikinkan?"
"Siti ada perlu dengan saya?"
"Tidak. Dia harus membikin kopi untuk saya"
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 35
"Bagero. Kurang ajar"."
"Siti mana kopi saya," anak muda itu tetap tenang dan menunduk tanpa mengacuhkan Jepang yang


Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berang itu. Siti melepaskan dirinya dari pelukan Jepang tersebut. Namun si kurus mendorong tubuh Siti ke
pangkuan temannya satu lagi. Lalu dia sendiri tegak dengan gelas kopi di tangannya. Jepang itu berjalan ke arah
anak muda yang meminta kopi itu.
"Kau minta kopi ya ini minumlah"
Berkata begitu si kurus menyiramkan kopi itu ke kepala anak muda tersebut. Namun tiba-tiba ada
cahaya berkelebat cepat sekali. Dan...trasss Gelas di tangan Jepang itu belah dua. Kopinya tumpah ke wajahnya
sendiri. Tangannya luka mengucurkan darah Jepang itu terpekik kaget dan melompat mundur. Anak muda itu
masih membelakang. Kini kelihatan dia lambat-lambat meletakkan tongkatnya. Samurai. Tanpa terasa keempat
serdadu itu berkata sambil tegak. Mereka menatap dengan kaget. Siti. "Ambilkan kopi untuk saya?"
Anak muda yang tak lain daripada Si Bungsu itu berkata lagi perlahan. Dia masih teap duduk
memunggungi keempat serdadu Jepang tersebut. Si kurus yang tangannya luka, tiba-tiba dengan memekikkan
kata Banzai yang panjang mencabut samurainya. Dan menebas leher Si Bungsu. Namun tiba-tiba setengah depa
di belakang anak muda itu, sebelum dia sempat membabatkan samurainya sebacokpun, tubuhnya seperti
ditahan. Ternyata yang menahan adalah ujung tongkat kayu anak muda itu. Samurai itu tak dia cabut. Hanya
sarungnya yang dia hentakkan ke dada tentang jantung si kurus. Kini mereka berempat, termasuk Siti dan
ayahnya, baru dapat melihat dengan jelas wajah anak muda itu. Seorang anak muda yang berwajah gagah, tapi
amat murung. "Saya tak bermusuhan dengan kamu kurus. Kalau engkau coba melawan saya, engkau akan mati seperti
anjing. Pemilik kedai ini serta anak gadisnya juga tak bermusuhan dengan kalian. Kalian datang menjajah
kemari. Kalian telah banyak menangkapi para lelaki. Dan memperkosa wanita negeri ini. Karena ini jangan
ganggu gadis ini. Saya meminta kopi, jangan ganggu saya minum"."
Sehabis berkata begini, dia menolakkan tongkatnya. Dan si kurus terdorong ke belakang tanpa sempat
membabatkan samurai di tangannya yang telah terangkat. Si Bungsu menatap pada Siti yang masih duduk di
pangkuan salah seorang Jepang tersebut. "Siti, ambilkan kopi saya?" katanya perlahan.
Siti segera berdiri. Jepang yang memeluknya seperti tersihir, tak berani menahan gadis itu. Siti segera
membuatkan kopi. Kemudian meletakkannya di depan anak muda itu.
"Duduklah?" anak muda itu menyuruh Siti duduk di kursi di depannya. Sudah tentu dengan segala
senang hati Siti menurutinya.
"Apapun yang akan terjadi Siti, tetaplah diam?" dia berkata perlahan sekali sebelum meneguk kopinya.
Siti mendengar ucapan itu. Matanya tak lepas menatap anak muda tersebut. Dia mengangguk. Dan saat
itu si kurus yang tadi masih tertegak dengan samurai terhunus tak dapat membiarkan dirinya dilumuri taik
seperti itu. Tanpa teriakan Banzai seperti tadi, dengan diam-diam saja agar tidak di ketahui, dia melangkah
maju. Dan tiba-tiba dia membabatkan samurainya ke tengkuk anak muda tersebut.
Ketiga temannya memperhatikan dengan tenang. Siti ingin berteriak. Namun dia segera ingat pada pesan
anak muda ini barusan. Agar dia tetap tenang, apapun yang akan terjadi. Meski matanya terbeliak karena kaget
dan ingin memperingatkan, namun dia menggigit bibirnya. Sudah terbayang olehnya leher anak muda di
depannya ini putus dibabat samurai. Namun apa yang harus terjadi, terjadilah. Jepang kurus itu tetap tak
sempat membabatkan samurainya meski seayunpun. Dengan kecepatan yang amat luar biasa, Si Bungsu
mencabut samurainya. Dua kali ayunan cepat dan sebuah tikaman ke belakang mengakhiri pertarungan itu.
Babatan pertama memuat putus lengan si kurus yang memegang samurai. Lengan dan samurainya terlempar
menimpa barang jualan di kedai itu. Darah menyembur-nyembur Babatan kedua merobek dadanya. Dan
tikaman terakhir menembus jantungnya. Tikam Samurai. Ketiga Jepang lain tertegak dengan wajah takjub dan
pucat. "Sudah saya katakan. Kalau dia melawan saya, dia akan mati seperti anjing?" anak muda ini berkata
perlahan. (9) "Kalian mencari teman kalian si Kempetai gendut bernama Sumite itu bukan?"
Ketiga Jepang itu seperti dikomando pada mengangguk. Mereka masih terpesona melihat kehebatan
anak muda ini memainkan samurai.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 36
"Nah, dia dan dua kempetai lainnya, juga mati di tangan saya. Mati seperti anjing. Bukan salah saya.
Mereka yang meminta. Karena kalian sudah mendengar, maka kalian juga harus mati. Tapi sebelum kalian mati,
kalian harus menjawab pertanyaan saya. Dimana Kapten Saburo Matsuyama kini berada?"
Tak ada yang menjawab. Ketiga Jepang itu saling pandang. Dan tiba-tiba seperti dikomando, mereka
melompat mencabut samurai mereka. Si Bungsu meloncat ke atas meja. Ketiga samurai itu memburu ke sana.
Dia meloncat turun. Ketiga Jepang itu memburunya. Dan kembali terjadi apa yang harus terjadi Dua buah
sabetan yang amat cepat, kemudian disusul sebuah tikaman ke belakang. Tikaman yang pernah dipergunakan
Datuk Berbangsa ketika melawan belasan purnama yang lalu.
Dua kali babatan pertama merubuhkan dua tentara Jepang. Yang satu robek dadanya. Yang satu hampir
putus lehernya. Dan tikaman membelakang terakhir, menyudahi nyawa serdadu yang ketiga. Anak muda itu
terhenti sesaat. Kemudian cepat dia mencabut samurai yang tertancap di dada Jepang itu. Dan...trap samurai
itu masuk ke sarung di tangan kirinya. Kini dia hanya seperti memegang sebuah tongkat kayu.
Siti dan ayahnya seperti terpaku di tempat mereka. Anak muda itu berjalan lagi dengan tenang ke
mejanya, di mana Siti duduk dengan diam. Dia mengangkat gelas kopinya. Kemudian meminum kopinya tiga
teguk. Kemudian memandang pada Siti. Kemudian menoleh pada pemilik kedai itu. "Maafkan saya terpaksa
menyusahkan Bapak?" dia melangkah ke dekat lelaki tua itu.
Lalu tiba-tiba samurainya bekerja. Sret.. Lelaki itu terpekik. Siti terpekik. Lelaki tua itu merasakan
dadanya amat perih. Samurai Si Bungsu memancung dadanya. Mulai dari bahu kanan robek ke perut bawah.
Siti menghambur dan memukul anak muda itu sambil memekik-mekik. Namun lelaki tua itu masih tegak
dengan wajah pucat. "Pergilah lari ke markas Jepang di ujung jalan ini. Laporkan di sini ada serdadu yang mabuk dan
berkelahi. Cepatlah"
Lelaki tua itu kini tiba-tiba sadar apa sandiwara yang akan dia mainkan. Luka di dada dan perutnya
hanya luka di kulit yang tipis. Meski darah banyak keluar, tetapi luka itu tak berbahaya. Anak muda ini
nampaknya seorang yang amat ahli mempergunakan samurainya. Siti yang juga maklum, jadi terdiam. Dia jadi
malu telah memaki dan memukuli anak muda itu.
"Pergilah. Kami akan mengatur keadaan di sini?"
Si Bungsu berkata. Orang tua itu mulai berlarian dalam hujan yang mulai lebat. Memekik dan berteriakteriak hingga sampai ke Markas Tentara Jepang. Dalam waktu singkat, lebih dari selusin serdadu Jepang dan
puluhan penduduk datang membawa suluh. Kedai itu berubah seperti pasar malam. Kedai itu kelihatan centang
perenang. Meja dan kursi terbalik-balik.
Seorang anak muda kelihatan tersandar ke dinding di lantai. Dada dan tangannya berlumur darah.
Nampaknya dia kena bacokan samurai pula. Siti kelihatan menangis di dapur. Baju di punggungnya robek
panjang. Dari robekan itu kelihatan darah merengas tipis. Di antara mereka kelihatan keempat serdadu Jepang
itu telah jadi mayat. Samurai-samurai mereka kelihatan berlumur darah.
"Mereka mabuk. Minum sake dan minta kopi. Kemudian entah apa sebabnya mereka lalu saling
mencabut samurai. Main bacok. Kami tak sempat menghindar"saya terkena bacokan, entah samurai siapa saya
tak tahu. Anak muda itu yang sudah sejak sore tadi terkurung hujan juga kena sabetan samurai".Siti juga?"
Lelaki pemilik kedai itu bercerita dengan wajah pucat penuh takut.
"Lihatlah kedai saya"centang perenang. Saya rugi?" katanya.
Tiga orang Kempetai yang juga ikut nampak sibuk mempelajari situasi kedai itu dan mencatat di buku
laporan mereka. "Saya sudah bilang jangan biarkan mereka minum sake dalam tugas.."
Komandan Kempetai itu berkata dengan berang. Kemudian menghadap pada pemilik kedai.
"Maaf, anak buah saya membuat kekacauan. Dia sudah pantas menerima kematian atas kebodohan
mereka ini. Bapak besok bisa datang ke Markas. Kami ingin minta keterangan tambahan dan memberikan ganti
rugi yang timbul malam ini. Kami tak mau tentara Jepang merugikan rakyat"Nipong Indonesia sama-sama.
Nipong saudara tua, Indonesia saudara muda?"
Dia lalu memerintahkan anak buahnya untuk mengangkut mayat-mayat itu ke markas. Penduduk lalu
berkerumun menanyai pemilik kedai. Tetapi lelaki itu segera menutup kedainya. orang terpaksa pulang karena
hujan makin lebat. Kini dalam kedai yang centang perenang itu, tinggallah mereka bertiga. Siti menghentikan
tangis pura-puranya. Ayahnya terduduk lemah. Si Bungsu bangkit. Merogoh kantong. Mengambil sebungkus
kecil ramuan. Mengeluarkannya, kemudian dia mendekati Siti. "Menunduklah. Saya mempunyai obat luka yang
manjur?" katanya. Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 37
Siti menurut. Si Bungsu menaburkan obat ramuan yang dia bawa dari gunung Sago itu ke luka di
punggung gadis tersebut. Ramuan itu mendatangkan rasa sejuk dan nyaman di luka itu. "Terima kasih" gadis
itu berkata perlahan. Luka itu sengaja dibuat oleh Si Bungsu dengan samurainya. Agar kelihatan bahwa memang ada
perkelahian dalam kedai itu. Demikian pula samurai Jepang itu dia lumuri dengan darah. Kemudian dia juga
menaburkan bubuk obat itu di luka yang dia buat di dada ayah Siti. Lelaki itu menatap padanya.
"Maaf saya harus berbuat ini pada Bapak?" katanya perlahan
"Kami yang harus berterima kasih padamu, Nak. Saya dengar engkau tadi menanyakan Tai-I (Kapten)
Saburo Matsuyama pada serdadu-serdadu itu?"
Si Bungsu tertegun. "Benar. Bapak mengenalnya?"
"Tidak ada yang tak kenal padanya Nak.."
"Dimana dia sekarang?"
"Nampaknya ada sesuatu yang amat penting hingga kau mencarinya"."
Hampir saja Si Bungsu menceritakan apa yang telah menimpa keluarganya. Namun dia segera sadar, hal
itu tak ada gunanya. "Ya, ada sesuatu yang penting yang harus saya selesaikan.."
"Balas dendam?"
Kembali anak muda itu tertegun. Menatap dalam-dalam pada lelaki tua itu. "Engkau menuntut balas
kematian ayah, ibu dan kakak perempuanmu?" Ucapan lelaki itu lagi lagi membuat Si Bungsu terdiam.
"Tidak perlu kau sembunyikan padaku siapa dirimu Nak. Setiap orang di sekitar Gunung Sago ini
mendengar tentang kematian ayahmu. Saya mengenalnya. Kami dulu sama-sama belajar silat Kumango. Dan
semua orang juga mengetahui, bahwa anak lelakinya bernama Si Bungsu?"
Anak muda itu menunduk. "Apakah bapak mengetahui di mana Saburo kini?"
"Beberapa hari yang lalu masih di sini. Tapi tempat yang mudah mencari opsir Jepang adalah di
Lundang?" "Di Lundang?" "Di tepi batang Agam itu?"
"Ya. Di sanalah."
"Ada apa di sana. Apakah mereka mendirikan markas di sana?"
"Tidak. Di sana tempat mereka memuaskan nafsu dengan perempuan-perempuan.."
"Tempat pelacuran?"
"Begitulah.." "Terima kasih. Saya akan mencarinya ke sana."
"Marilah kita naik. Besok kau teruskan perjalananmu. "
"Terima kasih Pak. Saya harus pergi sekarang."
"Tapi hari hujan dan malam telah larut."
"Tidak apa. Saya biasa berjalan dalam suasana bagaimanapun"
"Tapi bukankah engkau disuruh datang besok ke markas Kempetai?"
"Ah, saya kira biar Bapak saja. Katakan saya sudah pergi."
"Engkau benar-benar tak ingin bermalam di sini agak semalam?"
"Terima kasih pak?"
Dia kemudian menoleh pada Siti yang masih duduk. Gadis itu menunduk.
"Terima kasih kopinya Siti. Engkau pandai membuatnya. Saya belum pernah minum seenak itu"." Siti
melihat padanya. Ada air menggenang di pelupuk matanya
"Benar kopi itu enak?" tanya gadis itu perlahan.
"Benar?" "Saya lupa memberinya gula," karena ketakutan Gadis itu berkata sambil bibirnya tersenyum
malu. "Ya, ya. Itulah justru kenapa kopinya jadi enak. Nah, selamat tinggal."
Dia genggam tangan Siti sesaat. Kemudian melangkah keluar.
"Doa kami untukmu Nak?"
"Terima kasih Pak?"
"Kalau suatu hari kelak kau lewat di sini, singgahlah?"
"Pasti saya akan singgah.."
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 38
Dan dia lenyap ke dalam gelap yang basah di luar sana. Siti menangis ketika dia pergi. Ayahnya menarik
nafas panjang. -000Ya. Untuk sementara peristiwa itu tak tercium. Tapi kemudian ada lagi perintah untuk kenaikan pangkat
bagi dua orang perwira. Dan kedua perwira itu diharuskan melapor ke Markas Besar di Bukittinggi. Kembali
Eraito memberi jawaban bahwa kedua perwira itu sakit. Kecurigaan mulai timbul di Markas Besar. Eraito
meminta waktu agak sepekan untuk merawat perwira itu, kemudian mengirimkannya untuk upacara kenaikan
pangkat di Bukittinggi. Eraito berharap, waktu seminggu itu cukup baginya untuk alasan bahwa kedua perwira itu mati dalam
perawatan. Dan kematiannya karena minum racun sebelum masuk rumah sakit. Penguburan seperti biasa bisa
dilakukan sendiri tanpa dihadiri Kolonel Fujiyama. Sebab sudah biasa kematian amat banyak dalam
pertempuran seperti tahun-tahun dalam amukan perang dunia ke II ini. Begitulah harapan Eraito. Kolonel
Fujiyama belum mencium siasat ini. Namun Perwira Intelijen bawahan Fujiyama mencium sesuatu yang tak
beres dalam laporan Eraito. Perwira Intelijen itu adalah Chu Sha (Letnan Kolonel) Fugirawa. Diam-diam Chu
Sha ini mengirim dua orang Intelijennya ke Payakumbuh dihari diterimanya laporan Eraito.
Kedua mata-mata itu langsung menuju rumah sakit. Memeriksa daftar pasien. Mereka tak menemui
nama kedua perwira itu di sana. Mereka kemudian memeriksa markas dan daftar nama pada pos-pos komando
di seluruh Luhak 50 Kota. Ternyata nama kedua perwira itu, dan beberapa nama lainnya, termasuk prajuritprajurit Kempetai beberapa orang, telah lenyap. Kedua Intelijen ini menghentikan penyelidikannya. Langsung
ke Bukittinggi dan melapor pada Chu Sha Fugirawa. Letnan Kolonel Kepala Intelijen ini memberi laporan dan
analisa staf pada Fujiyama. Fujiyama segera pula mencium sesuatu yang tak beres dalam laporan Eraito. Dia
menulis surat pada Eraito, agar segera datang melapor ke Markas Besar. Dia harus datang bersama kedua
perwira yang dia laporkan sakit. Bila keduanya sudah mati, maka dia harus datang bersama mayatnya.
Eraito menerima surat itu. Apa yang harus dia perbuat " Kedua perwira itu telah mati beberapa bulan
yang lalu di tempat pelacuran di Lundang. Mati dibabat samurai orang tak dikenal. Akan datangkah dia ke
Bukittinggi dengan terlebih dahulu menggali kuburan kedua perwira itu dan membawa mayatnya yang sudah
busuk " Akhirnya dia membuka bungkusan kedua yang dikirim oleh Kolonel Fujiyama. Bungkusan itu berwarna
kuning. Di dalamnya ada benda panjang dua jengkal berbungkus bendera Jepang bergambar matahari. Dia buka
bungkusan bendera itu. Benda sepanjang dua jengkal itu persis seperti yang dia duga, samurai pendek ! Dia
mengangguk pada tiga orang Kapten yang membawa surat perintah itu. Ketiga Kapten itu memberi hormat
padanya. Eraito melilitkan bendera itu ke kepalanya. Kemudian memberi hormat kearah matahari terbit. Ke arah
kerajaan Kaisar Tenno Haika. Lalu dia duduk berlutut di lantai. Ketiga Kapten yang dikirim dari Bukit Tinggi
itu juga berlutut. " Tai-I Sambu .. " Eraito memanggil. Yang dipanggil, seorang Tai-I ( Kapten ) masuk memberi hormat. Dia
terkejut melihat keempat orang yang berlutut. Ketika matanya terpandang pada bendera yang melilit kepala
komandannya, kemudian pada samurai di depan Eraito, Kapten itu segera sadar apa yang akan terjadi. Dia
mengangguk memberi hormat. Kemudian duduk di hadapan komandannya.
" Setelah tugas saya selesai, serahkan seluruh berkas perkara kematian itu pada mereka .." Eraito
berkata. " Hai ..!!" perwira itu mengangguk dalam-dalam. Kemudian Eraito mengambil samurai itu. Membukanya.
Mulutnya komat kamit. Kemudian menghujamkan samurai itu keperutnya. Dengan tekanan yang kukuh,
samurai yang alangkah tajamnya itu, dia iriskan kekiri. Darah membersit. Dia masih berlutut dengan nafas
terengah. Kemudian jatuh. Kepalanya mencecah lantai. Dia seperti orang Islam yang sujud kelantai. Dan
perwira ini mati dalam keadaan begitu. Dia telah melakukan Seppuku, yang juga disebut Harakiri. Segera
setelah dia mati, Kapten wakilnya itu menyerahkan laporan berkas kematian perwira-perwira itu pada ketiga
Kapten utusan Fujiyama. Berkas perkara itu disampulnya. Tak seorangpun yang berhak membacanya, kecuali
Kolonel Fujiyama. Bahkan Letkol Fugirawa sendiripun, kendati jabatannya Kepala Intelijen, tetap tak berhak
membaca laporan itu. Berkas itu dibawa ke Bukittinggi. Fujiyama membacanya dengan teliti. Laporan itu antara
lain berisi: "Ada seorang anak Minang yang berkeliaran dengan samurai maut di tangannya. Anak muda ini entah
dari siapa belajar samurai, ilmu samurainya meskipun ngawur, namun amat tinggi. Diduga dia mencari
seseorang untuk membalas dendam atas keluarganya. Mungkin yang dia cari adalah Tai-I Saburo, yang dulu
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 39
menjabat sebagai Cho ( Komandan Peleton ) Kempetai di Payakumbuh. Saburo memang terkenal terlalu ganas
di Payakumbuh. Itulah sebabnya dahulu dia diusulkan untuk pindah dari kota kecil ini. Kini ada yang menuntut
balas kekejamannya. Diduga lebih dari dua puluh orang tentara Jepang, perwira dan prajurit, telah mati
dimakan samurai anak Minang itu. Tapi rahasia ini dipegang teguh, penyelidikan tetap dijalankan. Usaha
mencari dan membekuk anak muda yang kabarnya bernama Si Bungsu ( anak paling kecil ) dari Dusun Situjuh
Ladang laweh itu tetap diusahakan dengan ketat. Namun sampai saat ini anak muda itu tak pernah bersua. Dia
lenyap seperti burung elang yang terbang ke kaki langit. Semoga dengan restu Tenno Haika, demi kejayaannya,
anak muda itu segera dapat ditangkap."
Demikian bunyi dan akhir dari laporan Mayor Eraito yang berkedudukan sebagai Bu Tei Cho (Komandan
Batalyon) balatentara Jepang di Payakumbuh. Dalam laporan itu dilampirkan nama-nama yang diduga mati di
tangan Si Bungsu. Kolonel Fujuyama menarik nafas dan menutup laporan itu. Eraito telah menjalankan
tugasnya dengan baik. Menutup rahasia itu rapat-rapat. Tapi dia memang harus mati, karena di puncak
hidungnya sendiri anak buahnya banyak yang mati. Mati bukan dalam pertempuran. Hukuman bagi
komandannya adalah tembak mati atau Harakiri. Eraito memilih yang kedua. Laporan itu dimasukkan ke dalam
penyimpanan dokumen paling rahasia oleh Kolonel Fujiyama. Kolonel Fujiyama terkenal sebagai seorang
Perwira Senior yang kukuh pada tradisi Militer Jepang yang amat konvensional. Baginya, seorang tentara
adalah seorang tentara. Seorang tentara berperang untuk negaranya. Bukan untuk diri pribadi. Seorang tentara
hanya bermusuhan dengan tentara dari negara yang melawan negara Jepang. Lawan tentara Jepang hanyalah
tentara negara tersebut, atau mata-mata dari tentara yang berasal dari orang sipil. Seorang tentara Kerajaan
Tenno Haika tak layak melakukan kekejaman pada rakyat sipil. Kolonel ini terkenal sekali dengan sikap yang
demikian. Dia adalah pemeluk agama Budha yang taat.
Sebagai Dai Tai Cho, Komandan Divisi dan Komandan balatentara Jepang di Pulau Sumatera, dia berhak
mengambil putusan-putusan yang amat prinsipil. Dan itulah yang dia lakukan. Yaitu dengan menyuruh Eraito,
seorang Mayor yang gagal untuk Harakiri. Kini dia mengambil langkah kedua dalam urusan peristiwa Si Bungsu
ini. Dia memerintahkan pada Saburo yang saat itu sudah berpangkat Syo Sha ( Mayor ) dan menjabat sebagai
Bu Tei Cho ( Komandan Batalyon ) di Batu Sangkar, untuk datang menghadapnya di Markas Besar. Saat Saburo
Matsuyama datang dia dipaksa oleh Fujiyama untuk minta pensiun. Kemudian dipaksa untuk pulang ke Jepang.
Putusan ini mengejutkan perwira-perwira Jepang. Sebab Saburo dikenal sebagai perwira yang cekatan. Namun
itulah putusan Fujiyama. "Saya punya keyakinan, kalau engkau masih di negeri ini, engkau akan bertemu dengan anak muda
bersamurai yang bernama Si Bungsu itu. Dan kalau kalian bertemu, perkelahian tak terhindarkan. Saya tak
dapat menerka bagaimana cara anak itu berkelahi, tapi saya punya firasat, engkau akan mati di tangannya.
Karena itu pulanglah kekampungmu Syo Sha. Di sana engkau akan aman. Aman dari perbuatan memperkosa
anak bini orang. Namun saya merasa pasti anak muda ini akan tetap mengejarmu kemanapun engkau pergi .."
Begitu Kolonel Fujiyama berkata pada Saburo, Saburo termenung.
" Apakah engkau punya anak ?"


Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

" Ada Kolonel .."
" Berapa orang ?"
" Seorang, dan perempuan .."
" Dimana dia kini ?"
" Di Nagoya. Baru berumur enam belas .."
" Dalam agama ada ajaran, bahwa setiap orang akan menerima balasan dari perbuatannya. Saya
khawatir, suatu saat anakmu ketemu dengan anak muda ini. Dan kalau dia membalas dendam padanya, dapat
kau bayangkan apa yang akan terjadi Saburo " Saya tak menakut-nakutimu. Tapi berdoalah, agar anak muda
itu melupakan. Nah selamat jalan.. !"
Kata-kata ini masih terngiang di telinga Saburo dalam perjalanannya ke Singapura untuk terus pulang
ke Jepang. Anaknya seorang gadis yang amat cantik. Yang telah kematian ibu ketika anak itu masih berumur
sepuluh tahun. Dia terbayang pada pembunuhan yang dia lakukan di Situjuh Ladang Laweh. Pada gadis yang
dia perkosa di rumah adat itu. Pada ayah dan ibunya yang dia bunuh. Pada pembunuhan gadis itu sendiri
setelah dia perkosa. Dan pada anak lelakinya yang pengecut. Kini ternyata anak lelakinya itu memburunya
dengan samurai di tangan. Dengan Samurai. Ya Tuhan, tiba-tiba Saburo Matsuyama tertegak. Seluruh bulu
tubuhnya pada merinding. Anak muda itu mencarinya dengan samurai.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 40
Dan menurut cerita Fujiyama, anak muda itu amat lihai dan tangguh mempergunakan samurainya. Dia
segera teringat pada sumpah Datuk Berbangsa sesaat sebelum mati dulu. Saat itu sebuah samurai menancap
di dada Datuk itu. "Saya akan menuntut balas atas perbuatanmu ini Saburo. Engkau takkan selamat. Saya bersumpah untuk
membunuhmu dengan samurai dari negerimu sendiri. Kau ingat itu baik-baik .."
Suara itu seperti bergema. Lelaki Minangkabau itu ternyata memang memburunya melalui anak
kandungnya. Dulu dia menganggap hal-hal mistis ini sebagai nonsens. Tapi kini anak muda itu mencarinya
dengan samurai. Bukankah itu merupakan suatu perwujudan dari sumpah Datuk itu " Saburo mulai seperti
dikejar bayang-bayang. Dia banyak mendengar tentang kesaktian orang-orang Minangkabau. Namun selama
dia di negeri itu, tak satupun di antara kesaktian itu yang terbukti. Kabarnya orang Minang bisa membuat orang
lain jadi gila, senewen memanjat-manjat dinding, namanya sijundai. Tapi dia dan pasukannya yang telah terlalu
banyak berbuat maksiat di negeri itu, kenapa tak satupun di antara kesaktian itu yang mempan pada mereka
". Kabarnya ada pula semacam senjata rahasia yang berbahaya. Yang bisa membunuh orang dari jarak
jauh. Konon bernama Gayung, Tinggam atau Permayo. Tapi kenapa tak satupun di antara pasukan Jepang yang
terkena senjata rahasia itu " Ataukah hanya mempan untuk sesama orang Minang saja " Saburo termasuk orang
praktis yang tak mempercayai segala macam bentuk mistik. Tapi kali ini, terhadap sumpah Datuk Berbangsa
yang telah mati lebih dari dua tahun yang lalu, kenapa dia harus takut " Dia ingin segera pulang ke kampungnya
di Jepang sana. Dia ingin bersenang-senang barang sebulan dua di Singapura. Demikian putusan yang dia ambil
dalam kapal ketika berlayar dari Dumai ke Singapura.
Tapi senja ini perempuan-perempuan di Lundang itu merasa surprise bercampur heran. Sebab kesana
datang seorang anak muda. Meskipun wajahnya murung, namun tak dapat disangkal bahwa dia seorang yang
gagah. Sinar matanya yang kuyu justru membuat perempuan-perempuan kembang di sana menjadi tertarik.
Sejak senja tadi dia "dikawal" oleh dua perempuan. Untuk ukuran disana, kedua perempuan itu adalah
perempuan pilihan. Biasanya mereka hanya mau melayani opsir-opsir berpangkat tinggi. Paling rendah yang
berpangkat Kapten. Tak sembarangan saja mereka mau melayani orang. Senja ini keduanya merasa perlu
melayani anak muda itu. Soalnya belum pernah mereka dikunjungi urang awak, gagah pula. Mereka bercerita
perlahan hilir mudik. Bercerita di bawah bayangan pohon cery. Minum teh manis dan makan pisang goreng.
Anak muda itu kelihatannya bukan dari golongan orang berada. Pakaiannya sederhana saja. Pakai baju gunting
Cina, celana Jawa dengan kain sarung menyilang dari bahu kiri ke kanan. Di tangannya ada sebuah tongkat
kayu. Kalau saja dia pakai Saluak, maka orang akan percaya bahwa pastilah dia seorang penghulu. Gayanya
memang mirip seorang kepala kaum.
"Nampaknya uda tengah menanti seseorang".", perempuan yang bekulit hitam manis, berhidung
mancung dengan mata yang gemerlap dan menarik, berkata. Dia memperhatikan anak muda itu beberapa kali
melirik ke gerbang setiap ada orang yang datang.
"Ada teman yang akan datang?" perempuan itu bertanya lagi.
"Ya, saya menanti seseorang."
"Perempuan?" "Tidak, bukankah kalian sudah ada?"
"Ya. Tapi kenapa sejak tadi hanya duduk saja di sini" Ayolah ke rumah?". Perempuan yang satu lagi,
yang berkulit kuning dan dan bertubuh montok, berkata sambil menarik tangan anak muda itu. Umur kedua
perempuan itu barangkali tak lebih dari 22 tahun. Masih terlalu muda.
"Tunggulah. Sebentar lagi mungkin dia datang. Tapi bagaimana saya akan ke rumah, kalian berdua."
"Tak jadi soal. Bisa gantian toh Uda?" ujar perempuan hitam manis itu sambil mengerdipkan matanya
yang indah. Muka anak muda itu jadi merah. Dia melirik ke meja di seberang sana, pada beberapa serdadu dan
opsir Jepang yang sedang minum. Rasanya dia mengenal dua orang diantara mereka. Dia coba mengingat-ingat.
"Bagaimana" Ayolah ke rumah!" Perempuan cantik berkulit kuning itu merengek lagi sambil menarik
tangannya. Saat itulah salah seorang dari serdadu Jepang yang duduk tak jauh darinya berdiri. Berjalan menuju
meja di mana mereka duduk. Tubuh Jepang itu berdegap. Dia menatap pada kedua perempuan yang ada di
samping anak muda itu. "Hmmm"nona mari ikut aku?" katanya sambil memegang tangan si hitam manis. Perempuan itu
menyentak tangannya. "Maaf Kamura, saya sedang ada tamu?", ujarnya mengelak. Jepang yang bernama Kamura dan
berpangkat Gun Syo (Sersan Satu) itu menyeringai. Menatap pada tamu yang disebutkan si hitam manis
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 41
tersebut. Ketika yang dia lihat tamunya itu hanyalah seorang lelaki tanggung, pribumi pula, dia tertawa.
Memperlihatkan seringai yang memuakkan.
"Ha, kalian orang ada berdua. Ada si hitam ada si kuning. Kamu jangan serakah ya. Saya bawa yang hitam
manis ini?" Jepang itu berkata sambil tetap menyeret tangan si hitam manis. Tak ada daya perempuan itu
selain menuruti kehendak Kamura. Teman-temannya tertawa dan bertepuk tangan. Sementara itu si cantik
berkulit kuning segera merapatkan duduknya dan memegang lengan anak muda itu erat-erat.
"Cepatlah kita ke bilik. Nanti datang yang lain membawa saya?", perempuan itu merengek lagi. Anak
muda itu, yang tak lain dari pada Si Bungsu tak mendengar ucapan si cantik ini. Pikirannya tengah melayang.
Dia coba mengingat seringai buruk Gun Syo Kamura tadi. Dimana dia pernah melihatnya" Tiba-tiba kini dia
ingat. Bukankah Jepang itu yang menghadangnya ketika dia akan mendekati ayah, ibu dan kakaknya sewaktu
penyergapan di rumah mereka dulu" Dia ingat peristiwa itu. Ayah, kakak dan ibunya baru saja diperintahkan
untuk keluar dari persembuyian di atas loteng oleh Kapten Saburo. Ketika mereka muncul di tangga rumah
Gadang, Si Bungsu yang berada di antara kerumunan penduduk berlari ke depan sambil memanggil ayah dan
ibunya. Tapi seorang serdadu Jepang bertubuh kurus menghadangnya. Dia berhenti, menatap pada serdadu
kurus itu. Serdadu itu menyeringai. Dia tertegak ngeri di tempatnya. Nah, serdadu itulah tadi yang membawa
si hitam manis ke atas. Dia tandai seringainya itu. Tadi dia lupa karena serdadu itu tubuhnya tidak lagi kurus
seperti belasan purnama yang lalu. Kini tubuhnya besar berdegap. Senang nampaknya dia di Lima Puluh Kota
ini. "Kita masuk?" si cantik kuning itu gembira melihat dia tegak. Si Bungsu menatapnya.
"Ya. Kita masuk.." katanya. Dengan gembira si kuning itu memegang tangannya. Kemudian
membimbingnya ke atas rumah di mana Kamura tadi juga masuk bersama kawannya si hitam manis. Di dalam
kamar, si kuning cantik itu mendudukkan anak muda berwajah murung itu di tempat tidurnya yang beralaskan
kain satin dan berbau harum.
"Duduklah. Mau minum apa?" tanyanya dengan manja. Si Bungsu menatap perempuan itu. Menatapnya
diam-diam. "Jangan memandang seperti itu Uda. Hatiku luluh uda buat".", katanya manja sambil memegang kedua
belah pipi Si Bungsu. "Kulihat engkau mencari seseorang kemari?" perempuan itu berbisik. Si Bungsu masih duduk diam.
"Kulihat engkau mengenali dan menaruh dendam pada Jepang yang tadi membawa temanku si hitam itu"."
perempuan itu berkata lagi perlahan.
Si Bungsu mengagumi ketajaman penglihatan perempuan ini.
"Di balik matamu yang sayu, di balik wajahmu yang murung, tersimpan lahar gunung berapi. Yang akan
memusnahkan orang-orang yang kau benci. Sesuatu yang sangat dahsyat dalam hidupmu pastilah telah terjadi.
Sehingga engkau menyimpan demikian besar gumpalan dendam di hatimu. Apakah keluargamu dilaknati oleh
Jepang?" Si Bungsu benar-benar terkejut mendengar ucapan perempuan ini. Dia menerkanya seperti membaca
halaman sebuah buku. "Upik, siapa namamu?" tanyanya sambil menatap perempuan cantik itu.
"Tak perlu engkau ketahui. Setiap lelaki yang datang kemari menanyakan namaku. Kemudian mereka
akan melupakannya." "Katakanlah, siapa namamu!"
"Mariam?" "Mariam?" "Ya" "Apakah itu namamu yang sebenarnya?"
"Tak ada yang harus kusembunyikan. Sedang kehormatan saja di sini diperjual belikan. Apalah artinya
menyembunyikan sebuah nama."
"Maaf. Tapi engkau menerka diriku seperti sudah demikian engkau kenali?"
"Bagi orang lain mungkin sulit buat menebak siapa dirimu. Tapi tidak bagiku. Aku kenal apa yang ada
dalam hatimu, karena aku jaga mengalami hal yang sama?"
"Keluargamu dibunuh Jepang?"
"Tepatnya suamiku?"
"Suamimu?" "Ya. Aku yatim piatu. Ibu dan ayah meninggal setelah aku menikah dan suamiku di bunuh Jepang karena
tak mau ikut ke Logas.Kemudian diriku mereka nistai. Tak cukup hanya demikian, aku mereka seret kemari.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 42
Pernah kucoba untuk melarikan diri, tapi negeri ini tak cukup luas untuk lepas dari jangkauan tangan Kempetai.
Akhirnya aku diseret lagi kemari untuk memuaskan nafsu mereka. Di sini aku"hidup dan menanti mati."
Perempuan itu mulai terisak. Si Bungsu jadi luluh hatinya. Perempuan secantik ini, yang barangkali sama
cantiknya dengan Renobulan, bekas tunangannya dulu. Atau dengan Saleha. Atau dengan Siti. Kini terdampar
di Lundang ini. Penuh noda. Dibenci orang kampungnya. Namun tahukah mereka apa penyebabnya maka dia
sampai kemari" "Mariam. Dimana kampungmu?" tanyanya sambil memegang bahu perempuan itu. Perempuan itu
menghapus air mata. Berusaha menahan tangis.
"Saya berasal dari Pekan Selasa?", jawabnya perlahan.
"Engkau kenal siapa yang menistai dirimu dan yang membunuh suamimu, Mariam?" "Jepang yang tadi
membawa teman saya, yang berkulit hitam manis itu salah seorang di antara mereka"."
"Maksudmu Jepang yang tadi dipanggil dengan nama Kamura oleh temanmu itu?" Mariam mengangguk.
"Jahanam. Dia jugalah yang dulu ikut membantai kedua orang tua dan kakakku. Dia yang menerjangku
ketika aku lari ke arah ayahku?" desis Si Bungsu.
"Siapa lagi yang kau kenal Mariam?"
"Saya tak ingat. Tapi komandannya adalah Saburo?"
Si Bungsu tersentak. "Saburo?" katanya mendesis tajam.
(10) "Ya, Saburo!. Kenapa?"" Mariam tertegun kecut melihat sikap Si Bungsu.
"Dialah yang telah membunuh ayah, ibu dan memperkosa kakakku sebelum dia dibunuh. Kemudian
dialah yang membabat punggungku dengan samurainya. Jahanam. Di mana dia kini?"!" Suara Si Bungsu
hampir saja tak bisa di kontrol jika tidak cepat-cepat mulutnya ditutup dengan tangan oleh Mariam.
"Tenanglah. Kamura di sebelah. Saya tak tahu dimana Saburo. Sudah lama dia tak datang kemari. Padahal
biasanya tiap malam dia pasti datang?"
"Mariam. Apakah engkau tak berniat untuk meninggalkan tempat ini?"
"Kemana?" "Kemana saja. Asal jangan kembali ke tempat ini. Barangkali kau bisa hidup dengan tenang si suatu
tempat. Dengan seorang suami"." Mariam mulai lagi terisak.
"Siapa yang tak menginginkan kehidupan yang tentram dengan seorang suami" Itulah dulu yang
kuinginkan ketika kawin dengan pemuda yang kucintai sampai Saburo membunuhnya. Dan kini, siapa lagi
lelaki yang mau menerimaku sebagai isterinya?"
"Tapi engkau juga tak mungkin di sini terus Mariam?"
"Lalu akan kemana aku?"
"Carilah suatu tempat yang jauh dari sini. Mungkin ada lelaki yang mencintaimu. Engkau masih muda
dan ". cantik"."
"Takkan ada yang mau, apalagi bila mereka tahu siapa aku?"
"Engkau belum mencobanya. Jangan menyerah sebelum kau coba"."
"Baiklah, akan kucoba sekarang. Aku mau meninggalkan tempat ini. Aku mau pergi kalau kau
menikahiku. Apakah kau bersedia menjadi suamiku?"
Si Bungsu tertegun. Dia tak menduga perempuan ini akan berkata begitu. Melihat dia tertegun, Mariam
berkata lagi. "Jangan coba mengelak dengan mengatakan bahwa engkau telah punya isteri. Saya mengenal lelaki yang
telah kawin dengan yang masih bujangan. Nah, maukah engkau menikah denganku?" Perempuan itu menatap
nanap padanya. Si Bungsu terdiam, peluh mulai membasai tubuhnya. Mula-mula dia masih bisa menatap
Mariam. Tapi kemudian dia tertunduk. Mariam terisak. Menelungkup di tilam tipis di pembaringannya. Si
Bungsu jadi serba salah. Perlahan dia pegang bahu perempuan itu, mendudukkannya, kemudian tiba-tiba
Mariam memeluknya sambil menangis.
"Diamlah"jangan menangis.." ujarnya pelan. Ketika perempuan itu masih terisak, perlahan di pegang
wajahnya. Entah apa yang mendorongnya, tahu-tahu pipi perempuan itu diciumnya. Lalu.. dengan lembut
ciumannya pindah ke bibir perempuan itu. Perempuan itu sesaat masih terisak. Kemudian terdiam, lalu
membalas ciuman Si Bungsu. Tapi kemudian tiba-tiba dia melepaskan bibirnya dari bibir Si Bungsu. Si Bungsu
kaget dan malu. Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 43
"Aku perempuan pertama yang kau cium, Uda?" Mariam bertanya dengan suara gemetar. Si Bungsu ingin
mengangguk. Namun anggukannya tak jadi. Ingin menggeleng, tapi dia tak bisa berdusta. Perasaan malu dan
takut bercampur aduk. "Terima kasih Uda. Engkau membuat aku bahagia. Akan kukenang ciuman ini," Mariam berkata sambil
menghapus air matanya. Si Bungsu menarik nafas lega, kemudian berkata pelan.
"Menghindarlah dari rumah ini Mariam. Akan terjadi huru-hara sebentar lagi?"
"Sudah lama aku memimpikan melihat seorang Minangkabau melawan Jepang. Membunuhnya,
berkelahi dengan mereka. Mungkin mereka akan mati. Namun di hatiku, mereka tetap seorang pahlawan.
Sudah lama aku ingin melihat hal itu terjadi. Betapa seorang lelaki Minangkabau tegak dengan perkasa
menghadapi samurai Jepang yang zalim itu. Dan kini barangkali aku akan melihatnya. Kenapa aku harus pergi"
Tidak, aku akan berada di sini sampai huru hara itu usai, Uda?"
Si Bungsu tak lagi bekata. Dia tegak dan melangkah. Kemudian membuka pintu. Berbelok ke kanan.
Menerjang pintu kamar dimana Kamura tadi masuk dengan perempuan berkulit hitam manis itu.
Kamura yang tadi membawa si Hitam Manis kini tengah bermandi peluh dalam kamar tersebut. Si Hitam
Manis juga bermandi peluh. Tubuhnya yang tak berkain tertelentang. Sebelah kakinya terjuntai kebawah
tempat tidur. Dan Kamura sedang duduk di lantai di antara kaki si Hitam Manis ketika tiba-tiba pintu kamarnya
dihantam hingga terbuka. Kamura terlompat bangun. Si Hitam Manis hanya menelungkupkan tubuhnya. Dia
menyangka yang masuk adalah kawan Kamura. Sebab sudah biasa Jepang-Jepang itu bergantian masuk
kesebuah bilik bila temannya telah puas. Namun kini yang masuk bukanlah tentara Jepang, melainkan Si
Bungsu. Kamura memaki berang melihat yang masuk ternyata seorang Melayu.
"Bagero !. Masuk siapa kemari yang kamu berani, he !" " bentaknya terbalik-balik. Padahal yang ingin dia
ucapkan adalah "Siapa kamu yang berani masuk kemari, he"
Mata Si Bungsu menyipit. Mulutnya terkatup rapat. Kemudian dari sela bibirnya terdengar suara
mendesis : "Aku anak Datuk Berbangsa dari kampung Situjuh Ladang Laweh. Yang kalian bunuh dua tahun yang
lalu. Dimana Saburo kini " "
Tanpa lebih dahulu memakai celananya. Kamura menerjang Si Bungsu. Namun Si Bungsu sudah siap. Dia
mengelak. Tubuh Kamura yang telanjang bulat itu menerpa pintu. Kemudian terpelanting ke ruangan tengah.
Si Hitam Manis terpekik. Di ruang tengah, dua orang serdadu Jepang yang tengah keluar jadi tertegun.
Kemudian tertawa terbahak-bahak melihat Kamura yang telanjang bulat itu. Mereka menyangka Kamura
mabuk. Namun Kamura dengan cepat menyentak samurai di pinggang seorang perwira, dan menerjang
kembali masuk kekamar dimana tadi Si Bungsu tegak. Tapi tubuhnya segera tercampak lagi keluar kamar. Dan
kali ini dengan tubuh hampir terpotong dua pada dadanya ! Perempuan-perempuan yang ada dalam rumah
petak itu pada terpekik. Empat orang sedadu Jepang segera naik menghambur keatas. Di pintu bilik si Hitam
Manis itu, tegak Si Bungsu dengan sebuah tongkat di tangannya. Dia tegak dengan tenang. Menatap pada enam
Jepang yang kini tegak pula menatapnya. Mereka bertatapan. Dengan sudut matanya Si Bungsu melihat di
sebelah kirinya, agak jauh di tepi dinding, tegak Mariam di antara beberapa temannya. Perempuan itu menatap
padanya dengan sinar mata penuh kebanggaan. Salah seorang dari perwira Jepang itu segera saja mencabut
pistol dan menembakkannya kearah Si Bungsu. Si Bungsu menggelinding di lantai. Gerakkan Lompat Tupai !
Peluru perwira itu menerpa tempat kosong. Dua kali menggelinding dengan cepat, akhirnya ketika dia tegak
samurainya bekerja. Perwira itu terpekik. Tangannya yang tadi menembakkan pistol putus hingga siku.
Sebelum pekiknya berakhir, samurai di tangan Si Bungsu bekerja lagi. Kepalanya belah dua ! Suasana tiba-tiba
Macan Tutul Lembah Daru 1 Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl Pedang Pelangi 1
^