Pencarian

Tikam Samurai 30

Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik Bagian 30


Kemudian dia menembak ke arah tembakan yang nyaris saja menghantam telinganya.
Sebuah pekik terdengar dari balik sebuah pohon besar, sekitar lima puluh meter di depannya. Kemudian
sepi. Si Bungsu beralih tegak ke tempat senapan mesin ringan yang ditinggalkan Thi Binh. Dia menembak ke
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 659
tempat tempat yang firasatnya mengatakan ada Vietnam di baliknya. Dengan tembakan senapan yang berbeda
dari tempat yang berbeda pula, Si Bungsu berhasil memperdaya tentara Vietnam yang mengepung itu. Mereka
menyangka di balik batu itu tetap berada empat orang dengan senjata yang memiliki persediaan peluru yang
lebih dari cukup. Tak seorang pun dari mereka yang berani bergerak mendekat. Padahal setelah menghitung
peluru yang tersisa, Si Bungsu yakin hanya keajaiban yang bisa me nyelamatkan dirinya jika Vietnam-Vietnam
itu menyerang serentak. Si Bungsu dan ketiga orang yang sudah menyingkir itu kebetulan mendapatkan tempat
perlindungan yang amat tangguh.
Tempat itu berupa batu-batu besar yang tersusun sedemikian rupa, membentuk setengah lingkaran. Ada
celah-celah kecil dan bahagian-bahagian yang agak rendah di antara ujung yang mencuat tinggi. Kini celah kecil
dan tempat kerendahan itulah yang dipakai Si Bungsu sebagai tempat berlindung.
Peluru yang ditembakkan tentara Vietkong amat sulit untuk memasuki celah kecil itu. Satu-satunya
tempat menyerang yang ampuh adalah dari belakang. Hal itu tadi sudah dicoba oleh dua tentara Vietkong yang
datang dari barak, tapi keduanya mati ditembak Roxy. Si Bungsu kembali menghitung peluru yang ada di tiga
senjata yang ditinggalkan untuknya. Dia menarik nafas. Jika dia bertempur terus, paling-paling dia hanya bisa
bertahan sepuluh menit. Semua pelurunya akan habis. Satu-satunya yang akan tinggal adalah dua peluru howitzer. Dia berharap
bisa menipu tentara Vietkong itu dalam waktu cukup lama, agar Duval dan rombongannya bisa mencapai
tempat Kolonel MacMahon. Dalam situasi seperti itu, detik demi detik terasa merangkak amat cepat. Seolaholah tak ada waktu bagi Duval dan rombongannya untuk bisa bergerak cukup jauh.
Dia menatap unggukan batu besar yang seperti berlapis-lapis ke atas. Seolah-olah peti yang diletakkan
bersusun setinggi lebih kurang sepuluh meter. Dia tatap batu besar yang memanjang sekitar lima puluh depa
itu. Dia membidik ke salah satu celah pada batu tersebut. Menembakkan serentetan peluru senapan mesin. Dia
yakini tembakannya tak mengenai siapapun di balik batu itu.
Diletakkannya senapan, lalu mendekapkan telinganya ke tanah. Memejamkan mata dan memasang
indera secermat mungkin. Pendengarannya yang amat terlatih mengisyaratkan bahwa di balik batu besar itu
paling tidak berlindung sepuluh tentara Vietnam. Tempat itu memang amat startegis. Dengan keyakinan
demikian dia ambil howitzer, dia masukkan roket ke dalam tabungnya. Kemudian membidikkan senjata antitank yang kini ada di tangannya.
Matanya menatap ke arah susunan batu-batu besar yang tingkat bertingkat itu. Diletakkannya howitzer
yang tadi sudah dibidikkan. Kemudian dia ambil howitzer yang sebuah lagi dan mengisikan roket terakhir ke
howitzer tersebut. Dalam Neraka Vietnam -bagian- 625
Kini kedua senjata penghancur tank itu sudah terisi. Si Bungsu kembali membidik bahagian tengah batu
bersusun itu. Lalu di tariknya pelatuk roket kecil itu. Dengan mendesis peluru howitzer itu meluncur. Hanya
setengah detik setelah peluru meluncur, dia meletakkan howitzer kosong itu dan segera menyambar howitzer
yang satu lagi. Dengan gerakan amat cepat, dia membidik tempat berdekatan dengan sasaran pertama. Dan
kembali menembak! Dua peluru howitzer menghantam batu besar berlapis itu.
Akibatnya sungguh luar biasa. Batu besar itu seperti diterjang sepuluh gajah. Bahagian yang terkena
hantaman roket howitzer berserpihan. Namun akibat dorongan roket itu menyebabkan batu-batu besar itu
terdorong ke belakang dan" runtuh dengan dengan suara menggelegar ke bawah. Hal itu memang sesuatu
yang amat di luar dugaan komandan pasukan Vietkong yang berlindung di bawah batu-batu besar tersebut.
Semula, dari balik celah batu perlindungan mereka hanya menatap dengan diam jejak asap memanjang
ke arah batu-batu besar di atas perlindungan mereka. Mereka hanya sedikit terkejut mengetahui bahwa orang
yang mereka kepung ternyata memiliki howitzer. Namun rasa terkejut yang sedikit itu segera berubah menjadi
pekik histeris, tatkala mereka mendengar ada suara guruh di atas kepala mereka. Ketika mereka melihat ke
atas, tak ada lagi kejut yang bisa digambarkan.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 660
Batu besar, yang jaraknya sekitar enam atau tujuh meter di atas kepala mereka, sudah berguling dan
melayang ke bawah. Akibatnya sungguh mengerikan. Di bawah batu-batu besar itu berlindung empat belas
tentara yang baru saja datang. Semua mereka ditimpa batu-batu besar yang diterjang peluru howitzer itu.
Sebuah getaran dahsyat, seperti gempa, terdengar ketika batu itu menimpa tanah, meremukkan tubuh-tubuh
manusia yang berlindung di bawahnya. Tak ada yang sempat memekik, apalagi menyelamatkan diri.
Keempat belas tentara itu lumat dan terkubur di sana. Sementara tentara Vietnam lainnya, yang berada
tak jauh dari tempat celaka itu menatap dengan mata mendelik dan tubuh menggigil. Mereka sudah terbiasa
dalam menyaksikan teman mereka yang mampus secara amat mengerikan, selama perang belasan tahun
menghadapi tentara Amerika. Namun yang lumat seluruh tulang belulangnya, dan terkubur remuk seperti
bubur di bawah himpitan batu seberat ratusan ribu ton, baru sekali ini mereka saksikan Neraka ini. Baru kali
ini! Saking ngerinya, beberapa di antara mereka sampai terkencing-kencing di celana.
Setelah beberapa saat terdiam dicekam rasa kejut yang dahsyat, seorang Kapten memerintahkan agar
mereka menyerbu tentara Amerika yang sudah sejak tadi mereka kepung itu. Demikianlah, rasa takut dan kejut
yang dahsyat menimbulkan amarah yang dahsyat pula. Mereka segera membuat formasi melingkari batu besar
dari mana tembakan howitzer itu datang. Dengan formasi tapak kuda mereka mendekati pertahanan Si Bungsu.
Makin lama kepungan dengan formasi tapak kuda itu semakin merapat. Dengan berlari dari satu perlindungan
ke perlindungan yang ada di depan.
Sekitar dua puluh tentara Vietnam yang masih tersisa dalam pertempuran itu maju dengan bedil siap
ditembakkan. Si Kapten memberi isyarat pada enam anak buahnya untuk melingkar semakin jauh ke belakang
tempat pertahanan tentara Amerika itu. Ketika ke enam tentara itu mulai bergerak, si Kapten memberi isyarat
untuk menembak secara serentak.
Dalam Neraka Vietnam -bagian-626
Tembakan gencar dari belasan orang itu dimaksudkannya sebagai pengalihan perhatian tentara
Amerika yang sudah terkepung itu. Perhatian mereka pasti sudah tertuju kepada tembakan.
Ke enam tentara yang melambung ke bahagian belakang pertahanan Si Bungsu sudah mencapai tepi
sungai. Di bawah tembakan kamuflase teman-temannya, mereka segera merangsek maju. Mereka segera tiba
persis di bahagian belakang pertahanan tentara Amerika tersebut. Yaitu tempat di mana tadi Si Bungsu
menembakkan dua peluru howitzer. Tempat di mana dua tentara Vietnam yang datang dari barak membokong
Roxy dan Thi Binh, tapi keduanya ditembak mati oleh Roxy. Sambil maju tentara Vietnam itu menghujani
perlindungan tersebut dengan tembakan gencar.
Mereka pun sampai ke tempat howitzer itu ditembakkan dan menyebabkan dua batu besar seberat
puluhan ton di atas perlindungan teman-teman mereka tadi runtuh. Namun mereka hanya menemukan dua
buah tabung howitzer, sebuah senapan mesin dan dua buah senapan semi otomatis yang mirip dengan yang
mereka pergunakan. Tak ada seorang pun di sana. Salah seorang di antara mereka segera memperhatikan jejak
yang menuju ke sungai di belakang batu besar itu. Dia segera tahu, ada empat orang di sini tadinya. Kini ke
empat mereka sudah meloloskan diri lewat sungai.
Dia lalu memberi isyarat kepada si Kapten. Tembakan segera dihentikan. Dalam waktu singkat semua
sisa tentara Vietnam itu sudah berkumpul di sana. "Mereka belum sampai sepuluh menit meninggalkan tempat
ini. Buru mereka"!" perintah si Kapten. Perintah itu tak perlu diulang sampai dua kali. Mereka segera berlarian
menyusuri tebing sungai. Beberapa orang di antaranya masuk ke sungai itu, untuk melacak jejak. Dari jejak
yang tertinggal menunjukkan bahwa ke empat orang Amerika itu, atau siapa pun mereka, memang menuju
langsung ke arah hulu sungai dangkal berbatu ini. Jejak mereka jelas terlihat pada batu-batu besar yang
mencuat di permukaan air. Si Bungsu memang mempergunakan kesempatan terkejutnya tentara Vietnam atas
runtuhnya batu besar tersebut untuk meloloskan diri.
Semua senjata yang tinggal, kecuali senapan mesin ringan itu, sudah habis pelurunya. Senapan mesin
ringan itu pun pelurunya hanya sekitar enam puluh buah, yang tersusun dalam bentuk rantai. Tadinya rantai
peluru itu cukup panjang. Namun karena sudah dipakai terus, rantai peluru itu sudah demikian pendeknya.
Tak sampai semeter. Jika ingin selamat dia harus menghindar cepat dari sana. Tentu saja dia ingin selamat.
Paling tidak dia ingin memastikan Thi Binh, Roxy dan tentara Amerika lainnya itu lolos. Namun Si Bungsu hanya
menuruti alur sungai tersebut sekitar dua ratus meter.
Setelah itu dia masuk ke hutan. Kemudian bergerak cepat searah matahari terbit. Dia harus cepat
menyusul MacMahon. Ketika pertama menyelidiki barak tentara tadi, dia memperkirakan jumlah tentara di
sana sekitar 100 orang. Pasukan itu disebar pagi tadi untuk mengejar mereka ke berbagai arah. Namun hari
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 661
sudah hampir sore. Kini pasukan yang mengejar itu tentu sudah dalam perjalanan pulang ke barak. Semua
tentara yang kembali ke barak dipastikan akan ditugaskan memburu mereka. Ada perasaan tak sedap menjalar
dalam hati Si Bungsu saat menyelinap di hutan ke tempat di mana MacMahon bertahan.
Dalam Neraka Vietnam -bagian-627
Apa sebenarnya yang terjadi dengan kelompok MacMahon yang berjumlah enam orang itu" Ketika
pertama kali Si Bungsu, Duval, Thi Binh dan Roxy sampai di belakang barak, mereka melihat seregu tentara
Vietnam menuju arah datangnya tembakan. Mereka di pastikan akan melintasi hutan tempat Kolonel
MacMahon menunggu dengan jebakannya. Si Bungsu mengatakan pada Duval agar menunggu regu yang
berangkat itu masuk dulu kedalam jebakan MacMahon.
Kemudian baru mereka menyerang pasukan yang ada di barak. Masuknya tentara yang memburu itu
kedalam jebakan bisa ditandai dari suara tembakan yang pasti sampai ketempat mereka ini. Menjelang suara
tembakan itu terdengar, Si Bungsu menyelinap kedalam barak penyimpanan senjata. Mengambil dua buah
howitzer, dua buah bren dan peluru secukupnya. Dan begitu suara tembakan terdengar sayup-sayup dari dari
arah pertahanan MacMahon, mereka juga memulai serangan terhadap barak tersebut.
Salah seorang dari tentara baret hijau yang di tugaskan oleh MacMahon untuk mengambil posisi paling
ujung dari jebakan yang di pasang, memberi isyarat dengan tiruan bunyi burung. Tentara Baret Hijau itu
melihat dua orang tentara Vietnam berjalan dengan cepat menuju hutan tersebut, sekitar lima meter dari
persembunyiannya. Sekitar sepuluh meter di belakang kedua tentara itu, yang nampaknya bertindak sebagai
pemantau di bahagian depan, terlihat tiga tentara lagi dengan jarak tiga-tiga depa.
Dari cara mereka bergerak, tentara baret hijau itu tahu. Bahwa tentara Vietnam ini sedikitpun tidak tahu
kalau buruan mereka ada di depan mereka. Hal itu di sebabkan perhatian mereka tertuju pada suara tembakan
yang berasal dari barak, suara yang mereka dengar itu adalah pertempuran dengan pasukan yang duluan
menyelamatkan diri, dengan Duc Thio sebagai penunjuk jalan. Kini tentara yang akan memberikan bantuan itu,
masuk kedalam jebakan MacMahon. Anggota Baret Hijau Amerika yang jadi pengintai di bahagian ujung
jebakan itu, membiarkan tentara Vietnam itu masuk sampai sepuluh depa di depannya. Dari tempat
persembunyiannya dia menatap diam waktu tiga tentara Vietnam berikutnya lewat, kemudian lima, kemudian
tiga, lalu delapan, terakhir dua orang. Mereka bergerak dengan formasi berpencar. Jumlah semuanya dua puluh
orang. Dua tentara paling depan lewat di dekat persembunyian Kolonel MacMahon.
Kolonel ini juga membiarkan mereka lewat satu persatu. Begitu semua tentara Vietnam itu berada dalam
garis jebakan, Kolonel MacMahon menembak tiga orang tentara yang ada dalam jarak bidiknya.Tiga tembakan
beruntun itu sebagai isyarat pembuka serangan. Tiga tentara yang di tembak itu hanya dua yang mati, seorang
lagi hanya kena bahunya. Dan tentara yang terluka itu masih sempat mencari tempat perlindungan.
Tembakan dari lima anggota Kolonel MacMahon itu termasuk Han Doi menghajar kedua puluh orang
tentara Vietnam itu. Pertempuran itu boleh dikatakan cukup singkat. Sebab jebakan yang mereka buat memang
amat jitu. Kecil peluang bagi yang masukan jebakan untuk selamat. Namun dengan demikian, tentara Vietnam
itu masih bisa membuat tentara baret hijau yang memberi isyarat tadi mati dengan kepala tertembus peluru.
Dia satu-satunya yang mati di antara kelima anggota MacMahon.Tetapi sebelum mati, tentara baret hijau
ini juga masih sempat menembak mati tiga orang tentara Vietnam. Tak berapa lama setelah pertempuran usai,
saat mereka menggali lobang untuk menguburkan tentara baret hijau itu, Kolonel MacMahon dan ke empat
anggota pasukan kecilnya itu mendengar dua suara ledakan beruntun. Ketika mereka menoleh kearah barak
tentara Vietnam, jauh di bawah sana, mereka melihat lidah api dan asap menyemburat ke udara. "Mereka
berhasil menghancurkan gudang senjata itu?" ujar Kolonel MacMahon.
Ke empat anggotanya termasuk Han Doi hanya mendengarkan dengan diam, dan menatap asap yang
membumbung dari pucuk belantara itu di kejauhan sana. Upacara pemakaman tentara baret hijau itu
berlangsung dengan singkat. Tak ada lagi label yang terbuat dari plat almunium tipis, yang menerangkan nama
tanggal lahir dan kesatuan si pemakai yang biasanya di kalungkan dengan rantai aluminium di setiap leher
tentara yang di terjunkan ke medan perang.
Label itu telah disita tentara Vietnam begitu mereka di tangkap. Mereka, tentara Amerika yang
tertangkap di beri nomor dan kode khusus. Sebagai tawanan, mereka tak lagi bernama dan berpangkat. Mereka
hanya sederatan nomor dan kode, yang bila tak di perlukan lagi dapat di hapus dari daftar. Hanya para
komandan berpangkat Kolonel keatas yang berada di wilayah tempat mereka di tawan, yang menyimpan daftar
nama, pangkat, kesatuan dan tanggal lahir tawanan.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 662
Dalam Neraka Vietnam -bagian-628
Namun tentara Amerika tidak ada yang mengetahui hal tersebut. Kalau saja mereka tahu, bahwa daftar
nama mereka disimpan oleh seorang komandan berpangkat Kolonel, MacMahon pasti menugaskan
pasukannya untuk mencari daftar itu di barak di bawah sana. Sebab mereka tahu, komandan barak yang
menawan mereka berpangkat Kolonel. Hanya mereka tak tahu, si Kolonel sudah jadi serpihan daging tak
berbentuk, dihantam roket howitzer yang ditembakkan Thi Binh, yang lidah api dan asapnya baru saja mereka
lihat membubung ke udara di kejauhan.
Ketika lobang kuburan usai ditimbun, dua potong kayu sebesar lengan kemudian diikat membentuk
salib, ditancapkan di bahagian kepala. Tak ada pembacaan doa. Si Kolonel dan anggotanya membuat tanda salib
dengan gerakan tangan pada tubuh mereka sebagaimana jamaknya dilakukan orang-orang Katolik. Sekali lagi
si Kolonel memandang ke arah asap yang membubung di bawah sana. Mereka mendengar suara tembakan
sayup-sayup. Mereka tahu, di sana sedang terjadi pertempuran.
"Kita berangkat menyusul rombongan pertama tadi?" ujar si Kolonel sambil menatap pada Han Doi.
"Apakah kita tidak menunggu mereka yang di bawah sana?" tanya Han Doi. "Kita tinggalkan pesan melalui
tanda-tanda di pohon?" jawab si Kolonel. Han Doi masih tegak dengan ragu. "Sudah berapa lama Anda
mengenal lelaki dari Indonesia itu?" tanya MacMahon pada Han Doi. "Baru sekitar satu bulan"."
"Apakah engkau yakin dia akan mampu memenangkan pertempuran di bawah sana?"
Han Doi tak segera bisa menjawab. Karenanya MacMahon melanjutkan. "Saya baru mengenal tadi
malam, saat dia muncul di goa tempat kami disekap. Kendati baru mengenalnya satu hari satu malam, namun
saya yakin, lelaki tangguh itu akan memenangkan pertempuran di bawah sana. Dan dia akan membawa Letnan
Duval dan kedua gadis itu menyusul kita?"
Han Doi menarik nafas. Dia juga yakin bahwa Si Bungsu akan mampu memenangkan pertempuran itu.
Mereka kemudian mengganti persenjataan dengan senjata otomatis milik dua puluh tentara Vietnam yang mati
malang melintang di sekitar mereka. Kemudian mereka meninggalkan tempat itu. Pada tempat-tempat
tertentu, anggota SEAL yang ada di rombongan MacMahon membuat tanda-tanda khusus. Mereka menelusuri
jalan yang tadi ditempuh rombongan Duc Thio. Yaitu rombongan pertama yang berjumlah 11 orang, empat di
antaranya wanita, termasuk Helena. Anggota pasukan logistik yang sudah lama sakit di dalam tempat
penyekapannya di goa sana.
Thi Binh, Roxy dan Duval yang sedang menerobos belantara, setelah keluar dari sungai dangkal yang
mereka mudiki sekitar seperempat jam, tiba-tiba pada terhenti. Mereka tegak mematung dengan perasaan
tegang, terutama Thi Binh dan Roxy. Langkah mereka mendadak sontak terhenti karena mendengar dua
ledakan dahsyat beruntun, disusul suara menggelar di bumi. "Ledakan apa itu, granat?" desis Thi Binh dengan
air mata mulai mengalir di pipinya.
Dia membayangkan tubuh Si Bungsu hancur berkeping karena ledakan granat yang dilemparkan tentara
Vietnam ke tempat pertahanan Si Bungsu. "Tidak. Itu ledakan peluru howitzer?" ujar Duval. "Siapa yang
menembak, siapa yang tertembak?" suara Thi Binh kembali mendesis dan menggigil. "Si Bungsu yang
menembak"." "Tidak, tidak mungkin"." "Dalam operasi di hutan, tentara tidak membawa peluncur roket,
Nona"." Duval yang faham benar seluk-beluk peperangan mencoba menjelaskan kepada Thi Binh. Penjelasannya
bukan sekedar bujukan. Dia tahu benar, tentara Vietnam yang memburu mereka takkan membawa-bawa
howitzer. Tank mana pula yang harus dihancurkan dengan howitzer di dalam belantara lebat ini" Thi Binh
menatap letnan dan pasukan SEAL Amerika itu. "Anda boleh yakin kepada penjelasan saya, Nona. Saya sudah terjun ke kancah peperangan selama lima belas
tahun. Anda juga boleh yakin kepada saya, bahwa orang Indonesia itu terlalu tangguh untuk dikalahkan tentara
Vietnam yang mengepung kita tadi?" tutur Duval.
Hati Thi Binh sedikit terhibur. Dia menatap pada Roxy. Roxy mendekat dan memeluk bahunya. Thi Binh
balas memeluk perawat Amerika tersebut. "Engkau sengaja bersembunyi, kemudian menemuinya sendirian,
ketika kita mulai berangkat tadi, bukankah begitu, Kak?" bisik Thi Binh saat berada dalam pelukan Roxy. Dug!
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 663
Jantung Roxy rasa mau copot mendengar pertanyaan yang amat tiba-tiba dan sangat tepat itu. Dia tak segera
bisa memberikan jawaban. Dia sungguh tak tega melukai hati Thi Binh. Namun dia juga tak ingin berbohong.
"Engkau juga mencintainya, bukan?" kembali Thi Binh berbisik perlahan. Dug lagi!
Jantung Roxy kembali hampir copot oleh pertanyaan yang amat langsung, amat terus terang dan amat
tepat itu. Ibarat bermain catur, dia benar-benar mati langkah akibat pertanyaan-pertayaan yang dilontarkan
Thi Binh. Thi Binh melepaskan pelukannya, kemudian menatap pada Roxy. Perawat Amerika itu tak bisa
menjawab, bahkan hampir saja dia tak berani membalas tatapan mata Thi Binh.
"Dia memang lelaki yang pantas dicintai siapa saja?" ujar Thi Binh perlahan. Suaranya demikian jernih,
demikian datar dan demikian bersahabat. Tak ada nada menyindir sedikit pun. Tiba-tiba saja Roxy merasa
demikian kecil di hadapan gadis kecil ini. Dia raih kembali gadis itu ke dalam pelukannya.
"Ya, aku bersembunyi ketika engkau lewat. Kemudian menemuinya sendirian. Aku khawatir tak lagi
akan bertemu dengannya. Aku" aku memang mencintainya. Maafkan aku, Adikku?" bisik Roxy terbata. Sesaat
Thi Binh mempererat pelukannya pada tubuh Roxy. Kemudian melepaskannya perlahan. Kemudian
menatapnya tepat-tepat. Kemudian bibirnya mengukir senyum. "Engkau menciumnya?" Lagi-lagi, dug!
Dalam Neraka Vietnam -bagian-629
Pertanyaan yang di ajukan dengan lembut dan dengan bibir tersenyum itu justru membuat Roxy
kepanasan dan salah tingkah. Namun senyum gadis itu demikian lugu. Roxy akhirnya terpaksa mengangguk.
"Curang, kenapa tidak mengajakku?" ujar Thi Binh sambil mencubit pipi Roxy. Roxy gelagapan. Thi Binh
tertawa kecil. Akhirnya roxy tersenyum lalu ikut tertawa renyah. Mereka lupa bahwa mereka sedang di buru.
Bahwa nyawa mereka di tentukan oleh secepat apa mereka bisa bergerak menyusul Kolonel MacMahon.
"Kalau perundingan kalian sudah selesai, kita harus bergerak cepat menyusul MacMahon?" ujar Duval
yang sejak tadi terpaksa memasang telinga dan mata, menjaga kedua gadis itu, sekaligus berwaspada terhadap
kemungkinan munculnya secara tiba-tiba pasukan Vietnam.
Roxy dan Thi Binh yang tersadar bahwa mereka sedang dalam upaya menyelamatkan diri. Mereka samasama tersenyum dan segera mengikuti Duval yang mulai bergerak cepat menerobos belantara. Saat mereka
mulai bergerak menuju tempat MacMahon, Kolonel yang mereka tuju itu sudah bergerak pula meninggalkan
tempatnya. Dan ketika Duval, Thi Binh dan Roxy sampai ketempat MacMahon memasang jebakan, mereka
bertiga tertegak diam. Yang mereka temukan hanyalah belasan mayat tentara Vietnam, terserak di berbagai
tempat di areal yang tak begitu luas.
"Mereka tertangkap atau meloloskan diri?"desis Roxy.
Tak ada yang menjawab. Duval berusaha meneliti dan mencari sesuatu di beberapa tempat. Dia yakin,
MacMahon pasti meninggalkan isyarat buatnya. Isyarat itu segera dia temukan dalam waktu yang cukup
singkat. Dari sebuah batu dan ranting yang patah, yang hanya tentara Amerika yang mengenal isyarat itu, dia
tahu MacMahon selamat. Dia bersama rombongannya sudah meninggalkan tempat itu. Dan dari isyarat itu
Duval tahu kemana arah MacMahon dan rombongan bergerak.
Namun baik Duval maupun Roxy dan Thi Binh tak tahu, bahwa salah seorang tentara Baret Hijau yang
berada dalam rombongan MacMahon mati tertembak. Mereka tak melihat kuburan tentara baret hijau itu,yang
letaknya memang terlindung dari tempat mereka berada oleh sebuah batu besar. Duval bergegas membawa
Roxy

Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan Thi Binh menyusul rombongan MacMahon. "Apakah kita tak menunggu Bungsu?" tanya Thi Binh.
Roxy juga sepakat dengan Thi Binh, sebaiknya mereka menunggu Si Bungsu lebih dulu. Namun Duval
berpendapat lain. "Saya baru mengenal lelaki itu baru sehari ini. Namun saya yakin, dia mengenal belantara
seperti mengenal halaman rumahnya sendiri. Dia bisa bergerak cepat sekali. Kalau kita menunggu disini,
geraknya akan menjadi lambat. Karena gerakan kita tidak secepat dia. Jika kita bergerak lebih dulu, dia bisa
bergerak cepat, dan segera pula bisa menyusul kita. Membantu diri kita agar bisa jauh dari tentara yang
mengejar adalah juga membantu Si Bungsu?" tutur Duval
Dalam Neraka Vietnam -bagian-630
Kedua gadis itu tak membantah. Mereka memahami dan menerima kebenaran yang diucapkan Duval.
Mereka bertiga lalu meninggalkan tempat dipakai sebagai jebakan oleh Kolonel MacMahon. Duval di depan,
matanya tajam menatap tanda-tanda yang ditinggalkan MacMahon. Sebentar dia menunduk, melihat bekas
jejak kaki di tanah. Pada saat lain dia menatap dedaunan yang secara sepintas kelihatan biasa-biasa saja.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 664
Namun mata Duval yang terlatih dapat mengetahui daun yang sudah bergeser dengan tubuh manusia dengan
daun yang belum tersentuh apapun.
Akan halnya Si Bungsu, yang berusaha meloloskan diri setelah menembakkan dua roket dari howitzer,
tiba-tiba menghentikan langkahnya. Dia mendekapkan telinga ke tanah. Dia tak tahu secara persis berapa
tentara yang memburunya. Namun dari inderanya yang sangat terlatih dia memperkirakan jumlah tentara yang
mengejarnya paling tidak ada belasan orang. Dia menghitung sisa peluru bren yang dia bawa masih ada sekitar
20 buah. Dia sadar, tak mungkin dia menuju ke tempat MacMahon dan rombongan yang lain.
Kalau dia langsung menuju ke arah orang-orang tersebut sama artinya dengan membawa tentara
Vietnam ini ke tempat mereka. Dia harus berusaha menjauhkan para pemburu ini dari rombongan MacMahon.
Dengan fikiran demikian, dia berbalik arah. Tadinya, dengan kemahiran yang jarang dimiliki tentara manapun,
dia nyaris tak meninggalkan jejak di tanah. Hal itu menyebabkan tentara Vietnam kebingungan menentukan
arah, kemana harus dikejar.
Namun, jika jejak Si Bungsu tak berhasil mereka temukan, mereka justru dengan mudah menemukan
jejak Duval, Roxy dan Thi Binh. Pemimpin pasukan Vietnam itu segera diberitahu anak buahnya yang ahli
melacak jejak. Bahwa dari empat orang yang tadi menembaki mereka, kini hanya ada tiga jejak. Si komandan
berhenti sejenak, demikian juga semua anak buahnya. Dia menatap bekas jejak kaki di tanah. Melemparkan
pandangan ke depan. Kemudian menatap pencari jejak tersebut tepat-tepat. "Sejak di mana engkau ketahui
bahwa jejak yang kita buru ini hanya jejak tiga orang?" tanyanya menyelidik. "Sejak naik dari sungai tadi"."
Si Komandan kembali menatap ke arah tempat mereka mengepung tentara Amerika itu tadi, yang sudah
jauh mereka tinggalkan. Dia mencoba mengingat tembakan-tembakan yang menghujani mereka sebelum dan
setelah dua peluru howitzer menghantam dan meruntuhkan batu besar itu. Dia lalu duduk, menatap jejak di
tanah. Tiba-tiba dia menyumpah. Dia baru sadar sekarang, bahwa tadi sesungguhnya mereka ditipu.
"Mereka hanya empat orang. Tiga orang terlebih dahulu menyelamatkan diri. Yang seorang"." Si
komandan menghentikan ucapannya. Dia melangkah dua depa ke kanan, menatap jejak yang tertinggal di sana.
Kemudian menatap ke depan, lalu melangkah lagi. Menatap lagi jejak di sana. Ada beberapa saat dia
membandingkan jejak-jejak yang membekas di tanah dalam jarak beberapa depa itu.
"Yang tiga ini, satu lelaki dan dua wanita. Merekalah yang disuruh duluan lari menyelamatkan diri. Yang
seorang lagi, tetap bertahan dan menembaki kita dengan tiga bedil yang ditinggalkan. Setelah itu, baru yang
seorang itu menembakkan howitzer yang dicuri dari gudang senjata kita. Sesaat setelah menembakkan
howitzer, dia melarikan diri"." si komandan berhenti sejenak.
Dalam Neraka Vietnam -bagian-631-632-633
Matanya menyambar ke bahagian kanan, ke kayu-kayu besar yang tegak mematung sejak ratusan tahun
yang lalu. Kemudian ke bahagian kiri. Ke arah segerombolan pinang merah yang rimbun. Beberapa anak
buahnya ikut menatap dengan tajam ke arah yang ditatap si komandan.
"Siapa pun orangnya yang menembakkan howitzer itu, yang kini tak kita temukan jejaknya, dia adalah
tentara yang luar biasa. Dia pasti salah seorang yang sangat ahli dalam peperangan, ahli mencari dan
menghilangkan jejak. Kita tidak tahu di mana dia kini, apakah di depan atau di belakang kita. Dia bisa saja
menyerang dengan sangat tiba-tiba. Siapa pun dia, dia adalah lawan yang sangat tangguh. Kita akan bergerak
cepat memburu ke tiga orang yang jejaknya bisa dilacak ini. Tapi waspadalah?" ujar si komandan sambil
berdiri dari jongkoknya. Belasan anak buahnya yang mendengar tidak hanya menjadi sangat waspada, namun sekaligus juga
dicengkeram ketegangan. Tiba-tiba saja mereka pada menoleh dengan perasaan penuh khawatir ke pohonpohon besar, ke belukar dan semak-semak di sekitar mereka. Tentara Amerika tangguh yang disebut si
komandan itu seolah-olah sudah berada di sana, mengarahkan bedilnya dengan telunjuk di pelatuk, ke arah
kepala mereka. Orang itu seolah-olah sudah berada persis di depan atau di belakang mereka.
Si Komandan memberi isyarat kepada dua anak buahnya yang memang ahli melacak jejak. Kedua orang
itu segera melangkah duluan. Mereka bergerak cepat. Hanya sesekali membungkukkan badan, melihat ke arah
mana jejak kaki yang mereka ikuti itu berbelok. Setelah mengetahui kemana arahnya, mereka segera bergerak
dengan cepat. Si komandan dan belasan anak buahnya tinggal mengikuti kedua pencari jejak itu saja.
Kedua pencari jejak itu direkrut dari satu atau paling banyak tiga suku pengunungan di utara Vietnam.
Suku-suku di pegunungan itu merupakan suku yang instingnya luar biasa. Mereka selalu diandalkan bila
pasukan berusaha meloloskan diri dari kejaran Amerika. Sebaliknya, mereka juga diandalkan untuk mencari
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 665
jejak dan pertahanan Amerika yang tersembunyi di belantara selama berkecamuknya perang Vietnam yang
belasan tahun itu. Orang-orang pencari jejak ini amat dilindungi dan diistimewakan pula. Tentara Amerika sangat pula
mengintai mereka. Mereka merupakan sasaran utama dalam peperangan. Sebab, sudah tak terhitung nyawa
tentara Amerika yang melayang akibat kemahiran para pencari jejak ini. Hampir tak ada tempat
persembunyian yang tak mereka temukan!
Kedua pencari jejak itu pula yang punya firasat tak sedap, tatkala mereka mulai melangkahkan kaki saat
si komandan jongkok dekat jejak ketiga orang yang mereka buru. Mereka tak tahu apa wujud perasaan tak
sedap itu secara pasti. Yang jelas mereka merasa ada bahaya mengancam di setiap langkah yang mereka
ayunkan. Jika tadi mereka memburu dengan cepat, kini langkah mereka agak tertahan. Tiap sebentar mereka
menatap pohon besar di depan dan di samping mereka dengan penuh curiga. Pasukan Vietnam yang melakukan
pengejaran itu bergerak dalam formasi "V" terbalik atau bentuk ujung panah. Si pencari jejak di depan sekali
dan si komandan di belakang mereka.
Kemudian pasukan yang lain membentuk sayap dikiri kanan dalam jarak yang satu dengan yang lain
antara dua sampai lima depa. Mereka bergerak dari pohon ke pohon, dari palunan belukar yang satu ke palunan
berikut di depannya. Tentara yang berada di posisi paling ujung di bahagian kanan menyelusup dari balik pohon besar ke
sebuah palunan semak dengan senjata siap ditembakkan. Begitu dia memasuki palunan semak itu tiba-tiba saja
sebuah tangan membekap mulutnya dari samping. Dia terkejut separoh mati, namun itulah kesempatan
terakhir baginya untuk merasakan bagaimana terkejut semasa hidup. Sebab setelah itu, tangan orang yang
membekap mulutnya, yang tak lain dari Si Bungsu, menyentakkan tangannya yang membekap mulut si tentara
itu dengan teknik yang amat khusus, yang hanya mampu dilakukan oleh ahli beladiri yang sangat terlatih.
Begitu kepalanya diputar dengan teknik khusus itu, terdengar suara yang berderak dari dalam leher tentara
Vietnam tersebut. Matanya mendelik, dan kini benar-benar mati penuh. Tak ada kesempatan si tentara untuk berteriak
memberi tahu teman-temannya. Padahal jarak temannya hanya sekitar lima depa didepannya. Apalagi untuk
mempergunakan bedil. Padahal, tangan yang membekapnya tidaklah kukuh besar. Hanya gerakannya
demikian terlatih dan demikian cepat. Tubuhnya sudah tak bernyawa tatkala dibaringkan Si Bungsu perlahan
di tanah. Pada saat itu, tentara yang lain bergerak maju.
Si Bungsu menunggu beberapa saat, kemudian dengan gerakan cepat dia bergerak pula dari palunan
belukar itu ke balik pohon besar sekitar enam depa di depannya. Orang ke dua di ujung sayap kanan itu
menoleh ke kiri, ke kawannya yang berada di bahagian paling ujung sayap tersebut. Dia tak melihat ada gerakan
di bahagian ujung itu. Sambil melangkah maju ke arah sebuah pohon besar di depannya, dia bersiul kecil ke
arah temannya itu. Tak ada jawaban dan tak ada yang bergerak maju.
Dia masih belum curiga saat tubuhnya mencapai pohon besar tersebut. Dia masih menolehkan kepala
ke bahagian kiri, berharap melihat teman yang dia siuli tadi. Ketika tak ada gerakan dari arah kanannya, dia
berniat memberi tahu temannya yang lain, yang berada di posisi kirinya. Namun matanya melotot, tatkala
menolehkan kepala ke kanan. Seorang lelaki tegak di bawah pohon yang sama dengannya.
Jantungnya hampir copot saking kagetnya. Dia sama sekali tak mendengar suara apa pun saat lelaki itu
mendekati tempatnya. Ataukah lelaki ini sudah ada di bawah pohon itu saat dia datang" Kalau ya, kenapa dia
tak melihatnya" Tapi apa pedulinya dengan bagaimana cara lelaki itu berada di bawah pohon tersebut. Jarak
antara dia dengan lelaki itu hanya sejengkal. Mereka berada rapat di bawah pohon besar yang sama. Dia segera
teringat pada ucapan komandannya tadi.
"Siapapun orangnya yang menembakkan howitzer itu, yang kini tak kita temukan jejaknya, dia adalah
tentara yang luar biasa. Dia pasti salah seorang yang sangat ahli dalam peperangan, ahli mencari dan
menghilangkan jejak. Kita tidak tahu di mana dia kini, apakah dia di depan atau di belakang kita. Dia bisa saja
menyerang dengan sangat tiba-tiba. Siapa pun dia, dia adalah lawan yang sangat tangguh. Kita akan bergerak
cepat memburu ketiga orang yang jejaknya bisa dilacak ini. Tapi waspadalah"."
Tentara itu yakin inilah orang yang dimaksud si komandan. Ternyata orang itu bukan orang Amerika.
Paling tidak bukan bule dan bukan pula Negro, sebagaimana lazimnya tentara Amerika yang selama ini mereka
hadapi. Mungkin orang Vietnam dari salah satu suku di selatan. Orang ini juga tidak berseragam tentara. Atau
barangkali orang ini orang Kamboja, pikir tentara Vietnam itu. Tapi peduli setan dan darimana asal usulnya,
yang jelas inilah orang yang tadi dikatakan "amat berbahaya" tersebut.
Si tentara yang belum habis rasa kagetnya itu segera membuka mulut, dia ingin berteriak memberitahu
kawan-kawannya. Namun, sebelum mulutnya terbuka, tangan Si Bungsu bergerak. Sebuah pukulan dari
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 666
kepalan yang digenggam erat, yang ruas jari tengahnya menonjol dari ruas jari-jari yang lain, menghantam
leher tentara itu persis di bahagian jakunnya. Terdengar suara berderak lemah, seperti suara kerupuk terinjak.
Tulang rawan jakun-jakun lelaki itu remuk kena hantam ruas jari tengah Si Bungsu. Matanya mendelik.
Dari mulutnya perlahan meleleh darah, kemudian dari hidungnya. Kemudian dia mati. Namun kendati si
tentara tak sempat berteriak, temannya yang berada di balik pohon sekitar enam depa dari tempat itu, melihat
senjata si tentara yang kena pukul tersebut jatuh. Tentara itu semula merasa heran. Dia tak jadi bergerak ke
depan, melainkan menatap dengan seksama, dengan bedil siap tembak.
Hanya beberapa detik kemudian, tubuh temannya itu melorot dan terkapar di bawah pohon besar
tersebut. Si tentara sadar, ada sesuatu yang amat tak beres. Dia mengangkat bedil, kemudian melangkah
perlahan mendekati pohon tersebut. Saat itu Si Bungsu tiba-tiba muncul dari balik pohon besar itu. Tentara itu
ternganga. Si Bungsu tak memberi kesempatan, tangannya bergerak.
Sebuah samurai kecil meluncur dengan kecepatan tak terikutkan oleh mata. Melesak masuk ke mulut
tentara yang sedang ternganga itu. Menancap di lehernya bagian dalam, tembus ke tengkuk! Tentara itu
harusnya bisa memekik, namun karena di dalam mulutnya ada samurai kecil yang menembus lehernya, suara
yang keluar hanya seperti suara kerbau disembelih. Saperti suara air mendidih. Lalu tumbang. Namun saat
tumbang tangannya masih di pelatuk bedil, tak sengaja pelatuk bedil itu tertarik. Bedil meletus, pelurunya
menembus tanah. Dia rubuh. Lalu mati!
Suara tembakan tunggal dari bedil lelaki itu merobek kesunyian belantara. Si komandan yang berada
sekitar lima puluh depa di depan, begitu juga belasan tentara lain, pada terkejut dan secara reflek mencari
pohon terdekat untuk berlindung kemudian menjatuhkan diri di tanah. "Darimana asal tembakan itu?" ujar si
komandan pada kedua pancari jejak di sampingnya. "Dari ujung sayap kanan?" jawab salah seorang pencari
jejak yang ditanya. Si komandan memberi isyarat agar lima anggota pasukannya yang terdekat segera memeriksa ke tempat
letusan itu. Kelima mereka segera bergerak cepat dengan merayap ke arah yang ditunjukkan si pencari jejak.
Mereka merayap dengan posisi menyebar. Hanya dalam beberapa saat, mereka segera melihat tubuh temannya
yang bedilnya meledak itu tertelungkup di tanah. Kedua tangannya terhimpit di bawah tubuhnya, namun masih
dalam posisi memegang dan menghimpit bedil yang tadi meletus.
Kelima mereka memeriksa dengan tatapan penuh selidik situasi hutan di sekitar mayat itu terkapar.
Setelah yakin tak ada bahaya, komandan regu memerintahkan dua anggotanya untuk memeriksa mayat
tersebut. Yang tiga orang tiarap dengan bedil siap tembak dan sikap penuh waspada, berjaga-jaga dari tempat
mereka tiarap. Kedua tentara yang merayap itu sampai ke tubuh temannya. Yang seorang segera bangkit
berjongkok, kemudian membalikkan tubuh temannya yang mati itu.
Dalam Neraka Vietnam -bagian-634
Namun saat itu pula ada sosok muncul dari balik kayu besar sekitar empat depa dari mereka. Sosok itu
tak lain dari Si Bungsu. Dia muncul mendadak sambil menembak dua tentara di dekat mayat tersebut. Kedua
orang itu terkejut namun tak sempat berbuat apapun. Yang jongkok dan akan membalikkan tubuh temannya
itu kena hajar kepalanya oleh peluru dari bedil rampasan Si Bungsu. Sementara yang tiarap sekitar dua depa
dari mayat itu, kena hajar persis di jidatnya.
Sebab, begitu dia melihat ada sosok yang muncul dari balik pohon, dia mengangkat kepala dan siap
menarik pelatuk bedilnya. Bedilnya memang meletus, namun pelurunya melenceng. Sebab jidatnya ditembus
peluru! Sesudah itu sepi. Hutan itu dicekam kesepian yang menakutkan. Namun hanya sesaat. Setelah itu
beberapa tentara menghambur serentak ke arah pohon besar dimana Si Bungsu berlindung. Mereka maju
sambil berteriak seperti orang histeris, sembari bedilnya memuntahkan peluru.
Dalam jarak sekitar lima sampai sepuluh depa, semua mereka berhenti mendadak. Ada yang berlindung
di balik pohon, ada yang tiarap di tanah, ada yang jongkok dengan bedil diangkat setinggi dagu, siap
ditembakkan. Pohon di mana tadi Si Bungsu muncul terkelupas diterkam peluru di berbagai tempat setinggi
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 667
lelaki dewasa. Si komandan juga sudah berada di antara anak buahnya. Dia memberi isyarat. Lima orang segera
menyiram sisi kiri dan kanan pohon besar itu dengan tembakan gencar.
Semut pun tak bisa selamat jika dia berada di sisi kiri atau kanan pohon itu sampai jarak satu atau dua
meter. Demikian rapat tembakan tersebut. Bersamaan dengan payung tembakan itu, empat orang
diperintahkan si komandan untuk membuat lingkaran, dari kiri dan kanan, mendekati pohon besar tersebut.
Namun tak seorang pun di sana. Tembakan dihentikan secara mendadak. Mereka saling menatap. Si komandan
masih jongkok di balik pohon perdu rindang setinggi setengah meter.
Dia menatap anak buahnya yang berada dalam jarak tiga atau empat meter di sekitarnya. Dari anak
buahnya dia menatap ke pohon-pohon besar disekitarnya. Ke dahan-dahan dan dedaunan yang rimbun di atas
mereka. Tak ada sesuatu yang bergerak. Bahkan angin pun seperti berhenti bertiup. Si Komandan memberi
isyarat dengan gerak tangan, agar anak buahnya bergerak ke berbagai arah dalam jarak sekitar dua puluh lima
meter untuk mencari orang yang mereka buru. "Orang itu masih berada di sekitar ini?" ujarnya melalui isyarat
tangan. Anak buahnya segera maju dengan menunduk-nunduk, menatap dengan seksama setiap pohon dan
setiap semak-semak. Si komandan bersama dua pencari jejak yang juga penembak mahir, tetap berada di
tempatnya. Siaga dengan bedil, siap memuntahkan peluru. Antara dia dengan kedua penembak mahir di
sebelah kanannya, hanya dibatas jarak tiga meter. Kedua orang itu berada di balik dua pohon besar yang
tumbuh sangat rapat. Seorang tentara yang berada di bahagian kiri, sekitar sepuluh meter di depan si
komandan, tiba-tiba terkejut karena ada yang bergerak di balik semak dua depa di depannya. Dia, dan dua
temannya di kiri kanannya, segera menghamburkan peluru ke arah semak tersebut. Sepi!
Mereka kembali menghujani semak itu dengan peluru sambil berlari mendekat. Saat sampai di semak
itu mereka tertegak diam. Di balik semak itu, tergeletak sosok bersimbah darah, tanpa nyawa. Anak rusa!
Tubuh anak rusa itu seolah-olah tak ada yang tidak ditembus peluru. Salah seorang di antara mereka surut, dan
menoleh ke arah si komandan. Lalu memberi isyarat dengan tangan, bahwa yang berada di balik semak itu
hanya seekor anak rusa. Namun tangan si tentara belum turun setelah memberi isyarat, tubuhnya tiba-tiba
mengejang, matanya mendelik. Teman-temannya menatap dengan kaget, juga si komandan.
Lalu, tubuh tentara itu rubuh tertelungkup. Padahal tak ada suara tembakan satu pun! Dua tentara lagi,
yang berada di dekat tentara yang rubuh itu, segera menjatuhkan diri, tiarap. Yang seorang, yang berada di
kanan mayat yang terhantar itu, menatap dengan heran bercampur takut ke arah temannya yang tiba-tiba saja
rubuh tanpa sebab tersebut. Matanya membesar, tatkala melihat ada benda kecil menancap di leher temannya
yang rubuh itu. Dia merayap dengan cepat mendekati mayat tersebut. Menatap dengan nanap benda kecil yang
menancap itu. Lalu mencabutnya. Benda itu ternyata sebuah samurai dalam ukuran tak lebih dari sepanjang
jari, namun runcing dan kedua sisinya tajam bukan main. Panjang samurai kecil itu sekitar sejengkal.
Gagangnya terbuat dari sejenis gading. Samurai itu menancap sampai sebatas gagangnya. Dengan masih dalam
posisi tiarap, dia mengangkat bahagian dadanya dari tanah untuk menoleh ke arah si komandan.
Komandan tentara Vietnam yang berada dalam jarak sekitar lima belas depa dari tentara yang
memegang samurai kecil itu, dapat melihat si tentara di antara sela-sela pohon besar antara dia dengan si
prajurit. Si prajurit mengangkat samurai kecil itu, memperlihatkannya pada si komandan. Si komandan
mengerenyitkan keningnya. Dari kejauhan dia menatap senjata kecil itu nanap-nanap. Si komandan segera
mengetahui benda yang membunuh anak buahnya itu ternyata sebuah miniatur samurai.
Sebagai seorang yang juga lahir dari puak Cina, si komandan tahu bahwa senjata itu merupakan senjata
rahasia kelompok penjahat atau pesilat Cina atau Jepang. Dia mengenal hal itu tidak hanya dari cerita-cerita.
Tapi pernah melihat demonstrasi kemahiran mempergunakan senjata sejenis itu, yang oleh orang Cina disebut
sebagai "piaw" atau senjata rahasia. Piaw biasanya berbentuk pisau kecil, bukan miniatur samurai sebagaimana
tadi diperlihatkan padanya.
Dia mulai merasa curiga terhadap orang yang sejak tadi mereka buru, dan kini balik "memburu" mereka.
Hampir bisa diyakini, orang yang mempergunakan senjata dalam bentuk samurai kecil itu bukanlah orang
Amerika. Juga bukan orang Eropah manapun. Dia mulai menduga-duga. Orang itu pasti dibayar oleh Amerika
untuk mencari dan membebaskan sandera. Jika Amerika menyerahkan tugas seperti itu kepadanya, maka
orang itu tentulah bukan sembarangan orang. Tapi, siapa dia"
Dia mencoba mencari kemungkinan di antara orang-orang Jepang, Cina dan Vietnam, atau orang
Kamboja. Sebab, sepanjang yang dia ketahui, hanya orang-orang dari puak itulah yang memiliki kepandaian
menerobos belantara dan sekaligus mahir mempergunakan senjata rahasia. Di Jepang mereka mengenal
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 668
kelompok Jakuza. Kelompok penjahat yang amat ditakuti. Juga mereka mengenal kelompok Ninja. Kedua
kelompok inilah yang biasanya amat mahir mempergunakan senjata rahasia.
Ninja! Apakah benar orang yang mereka buru ini adalah anggota Ninja" Benar atau tidak, yang jelas kini
mereka sudah saling memburu, tanpa ada kepastian siapa memburu siapa. Si komandan menatap keliling.
Kemudian bersiul kecil memberi isyarat kepada anak buahnya agar siap-siap untuk melakukan gerakan
mendadak. Tugas mereka semula, yaitu memburu tawanan yang melarikan diri, ternyata tersendat di sini.
Mereka harus melayani satu atau mungkin paling banyak tiga orang.
Kini orang itu tengah mengendap entah di pohon yang mana, entah di semak mana. Tapi yang pasti,
orang itu masih berada di sekitar mereka. Orang itu pasti belum pergi dari sekitar sini. Nalurinya sebagai
prajurit yang sudah kenyang berperang dalam rimba membisikkan hal itu. Kini harus dia akui, orang yang
mereka buru itu posisinya jauh lebih beruntung dari mereka. Orang itu tahu di mana posisi mereka, sedangkan
dia dan pasukannya tak tahu di mana orang itu menyurukkan tubuhnya.
Dalam Neraka Vietnam -bagian-635
Si komandan berfikir, sudah sampai di mana tawanan, yang di antaranya ada para wanita itu, kini berada.
Dia yakin, para pelarian itu pasti belum jauh benar. Untuk keluar dari belantara ini diperlukan pesawat udara.
Dan pesawat udara yang bisa menjemput pelarian hanyalah helikopter. Sebab, di hutan perawan yang luas ini
tak ada lapangan dimana pesawat terbang bisa mendarat. Helikopter yang menjemput tawanan tak perlu
mendarat. Pilotnya cukup menahan pesawatnya di atas pucuk belantara. Kemudian menurunkan tangga dari tali.
Orang bisa naik melalui tangga itu. Itulah satu-satunya cara untuk melarikan diri. Tetapi, dia tak khawatir para
pelarian itu akan dijemput helikopter. Helikopter mana pula yang berani melintasi wilayah Vietnam ini, yang


Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

setiap saat udaranya dijaga oleh pesawat tempur" Dengan fikiran demikian, dia lalu memutuskan untuk segera
menyergap orang yang telah membunuh beberapa anggota pasukannya itu.
Cuma, putusan untuk menyergap orang yang sudah menyebar maut di tengah pasukannya itu dihadang
oleh sebuah pertanyaan. Berapa sebenarnya jumlah orang yang kini mereka buru, atau yang tengah "memburu"
mereka" Namun pertanyaan itupun tak memerlukan jawaban. Yang pasti orang itu merupakan ancaman yang
serius. Kini, dia harus membuat jebakan, agar orang itu bisa dihabisi. Untuk menghabisi orang tersebut, dia
mengandalkan pencari jejak yang berada di dekatnya.
"Sersan, engkau bersamaku dan sebahagian pasukan akan pura-pura melanjutkan pemburuan terhadap
tawanan yang lari. Sementara Lok Ma dan dua tentara yang lain tetap di sini,menjaga bahagian belakang kami,
sekaligus memasang jebakan terhadap orang yang kini sedang mengintai kita?" bisik si komandan kepada dua
pencari jejak di sampingnya. Sersan bernama Lok Ma itu segera merayap ke bahagian kanan, ke arah seorang
kopral yang berlindung di balik sebuah pohon besar.
Dia membisikkan rencana yang dipaparkan si komandan. Kemudian dia memberi isyarat pada seorang
prajurit yang berada sekitar sepuluh depa dari tempatnya. Si Prajurit mengangguk, memahami isyarat yang
disampaikan padanya. Si Sersan lalu memberi isyarat kepada komandannya. Setelah itu dia merayap ke suatu
tempat yang dijadikan sebagai tempat pengintaian.
Si Kapten lalu memberi isyarat kepada seluruh anak buahnya. Mereka kemudian bergerak meninggalkan
lokasi tersebut, kecuali Sersan Lok Ma dan dua tentara lainnya, yang ditugaskan tinggal untuk menjebak orang
yang sudah membunuh beberapa dari mereka, yang sampai saat ini tak mereka ketahui bentuk dan
kesatuannya itu. Belasan tentara Vietnam itu bergerak cepat dari balik pohon yang satu ke balik pohon yang
lain. Mereka menuju danau besar yang memang menjadi tujuan tentara Amerika tersebut. Baik yang dahuluan
bersama Duc Thio, termasuk para wanita, maupun yang kemudian bersama MacMahon dan terakhir diikuti
Duval, Thi Binh dan Roxy.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 669
Sersan Lok Ma menatap dengan perasaan heran kepada prajurit yang tadi memperlihatkan kepada si
komandan samurai kecil yang dia cabut dari leher teman mereka yang mati itu. Tentara itu masih tetap tiarap,
tak bergerak sedikit pun. Yang membuat dia heran, wajah si tentara membenam ke dedaunan kering di bawah
tubuhnya. Lok Ma segera menyimpulkan bahwa tentara itu sudah mati. Dia segera teringat, sesaat setelah
memperlihatkan samurai kecil itu kepada si komandan, prajurit itu segera tiarap. Namun gerakannya tidak
seperti biasa. Tubuhnya jatuh ke tanah seperti tanpa tenaga sedikit pun. Lok Ma merasa tak perlu datang
memeriksa. Dia yakin tentara itu juga mati dihantam senjata rahasia. Senjata rahasia itu bisa saja berbentuk
samurai kecil seperti yang dia perlihatkan kepada si komandan, bisa saja dalam bentuk yang lain.
Lok Ma juga tahu, orang yang ahli mempergunakan senjata tajam bisa saja memiliki lebih dari satu
bentuk senjata rahasia. Dugaan Lok Ma bahwa tentara yang "tiarap" itu sudah mati memang benar. Si Bungsu
yang berada sekitar sepuluh depa dari tempat si tentara yang sedang memperlihatkan samurai kecilnya itu,
segera memanfaatkan peluang tersebut. Dia menunggu si tentara selesai memperlihatkan samurai itu. Saat
tentara itu menggerakkan badan akan menurunkan bahagian atas tubuhnya untuk tiarap, tangan kanannya
bergerak. Dalam Neraka Vietnam -bagian-636
Sebuah besi baja pipih dengan beberapa bahagiannya yang amat runcing, meluncur dengan kecepatan
penuh dan menancap di urat besar pada bahagian kanan leher tentara tersebut. Urat besar itu, berikut
beberapa urat saraf ke kepala, langsung putus ketika lempengan besi pipih sebesar jari itu menancap hampir
separohnya, tiga jari di bawah telinga tentara tersebut. Wajahnya langsung membenam ke tumpukan daun
kering di tanah. Dia memang tak sempat menggelepar, karena saraf-saraf yang menghubungkan pusat gerak di otak ke
berbagai bahagian tubuh sudah terputus. Itu pula sebabnya si komandan dan teman-temannya tak tahu, bahwa
nyawanya sudah melayang, beberapa detik sebelum tubuhnya yang akan tiarap itu sempurna mencapai tanah.
Si Bungsu ternyata masih berada di tempat darimana dia tadi melemparkan besi pipih kecil dan tajam, yang
merenggut nyawa tentara Vietnam itu.
Dari tempatnya berada dia bisa mengawasi sebahagian lokasi di sekitarnya. Dia memang tak dapat
melihat di mana komandan tentara Vietnam itu berada. Namun dia dapat melihat ketika hampir semua pasukan
itu bergerak meninggalkan tempat masing-masing. Semua menuju ke arah yang sama. Dan Si Bungsu tahu,
mereka sedang menuju ke arah danau besar di balik bukit-bukit sana. Memburu para pelarian tentara Amerika
itu. Si Bungsu juga tahu, tidak semua tentara Vietnam itu meninggalkan lokasi ini. Beberapa di antara mereka
tetap tinggal. Mereka yang tinggal bertugas memasang jebakan untuknya. Hanya dia tak tahu dengan pasti, berapa
orang tentara yang ditinggal untuk menjebaknya itu. Lebih celaka lagi, dia juga tidak tahu di mana saja orangorang yang ditinggalkan itu menunggunya. Si Bungsu tahu, di antara tentara Vietnam itu ada pencari jejak yang
mahir. Dia sudah mendapat cerita dari beberapa pensiunan tentara Amerika, ketika dia masih di Dallas maupun
saat bepergian bersama Alfonso Rogers dan Yoshua ke Los Angeles dan New York, tentang beberapa warga
suku pegunungan di bahagian utara Vietnam, yang menjadi pencari jejak yang tangguh di dalam hutan
belantara. Dia tak boleh gegabah. Untuk sementara, menjelang dia mengetahui berapa orang yang tinggal dan di
mana posisi bertahan, dia harus memaksa mereka yang duluan membuat gerakan. Dengan fikiran demikian,
perlahan dia merobah posisi. Jika tadi dia berjongkok, kini perlahan dia duduk di tanah. Lalu menengadah dan
menarik nafas panjang. Menatap ke daun pohon-pohon raksasa yang membatasi pandangannya ke langit di
atas sana. Beberapa ekor burung serindit berwarna indah, kuning tentang dada dan hijau di bahagian tubuh
yang lain, kelihatan terbang dan hinggap dari dahan ke dahan.
Menatap burung-burung itu hinggap dari dahan ke dahan, Si Bungsu tiba-tiba terperangah. Dia
tertunduk tatkala perasaan galau menjalar perlahan ke hulu jantungnya. Jika burung saja memiliki dahan untuk
hinggap, bagaimana dengan dirinya" Diibaratkan dirinya adalah seekor burung, ke dahan mana dia akan
hinggap" Bertahun-tahun sudah meninggalkan kampung halamannya, Situjuh Ladang Laweh, di kaki Gunung
Sago di Luhak 50 sana. Di sana darahnya tertumpah ketika dilahirkan ke dunia. Di sana ayah bunda dan
kakaknya berkubur, mati dibunuh dan dianiaya balatentara Jepang di bawah komando Saburo Matsuyama.
Jika burung saja memiliki dahan untuk hinggap, kampung dan negeri mana yang bisa dia jadikan sebagai
"dahan" untuk hinggap" Situjuh Ladang Laweh, adakah anak negeri itu masih ingat padanya, dagang yang larat
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 670
di rantau ini" Di kampung nya, pengakuan terhadap seseorang diukur dari harta dan pusaka yang dimiliki. Di
Minangkabau ada bidal : Hilang rono dek cahayo, hilang bangso dek harato. Dia faham benar makna bidal itu,
yang berlaku secara umum di tanah Minangkabau. Sejak dahulu, sampai kini.
Dalam Neraka Vietnam -bagian-367
Seseorang tak lagi di pandang karena ilmu dan budinya, tapi di hitung ada jika dia memiliki harta, lagi
pula, kini di minangkabau tempat orang berunding dan meminta kata putus tidak lagi ninik mamak. Bahkan
gelar datuk, sutan, bagindo, sidi dan gelar lainnya, tak lagi memerlukan keabsahan ranji dan garis keturunan.
Uang bisa menciptakan ranji dan garis keturunan, sesuai dengan keinginan pembeli. Dengan uang bisa di suruh
membuat ranji baru. Maka dengan ranji tersebut dia bisa mendapat gelar datuk, rajo, sidi, sutan atau bagindo.
Hutan, tanah ulayat, dan tanah kaum bukan lagi hanya di bawah kendali ninik mamak kepala kaum.
Dengan uang kendali atas hutan dapat berpindah pada cina misalnya, pindahnya itu bisa karena ninik mamak
telah mendapat uang, bisa pula karena yang mendapatkan uang dari orang-orang di pemerintahan, yang
putusannya harus di patuhi oleh ninik mamak di desa-desa.
Ranji dan marwah adat begitu kusut masai. Tak tahu apakah penyebabnya terlalu jauh memasuki
wilayah kekuasaan adat atau ninik mamak begitu mudah tergiur uang yang di tawarkan, atau gabungan
keduanya .Yang jelas, yang bernasib malang adalah anak kemanakan. Sebagian besar di antara mereka tak tahu
siapa sebenarnya yang menjadi nahkoda di biduk adat mereka, dan ke pulau mana biduknya itu dilayarkan.
Karena takut atau kerana uang mereka terpaksa patuh pada penghulu adat mereka, kendati penghulu
adat itu menjual ulayat mereka. Padahal terhadap ulayat ada hukum adat yang tertera dalam bidal : "Gadai tak
makan pagang-Jua tak makan bali". Maknanya adalah, ulayat tak boleh di perjual belikan. Kecuali untuk yang
tertera juga di bidal "mayik tabujua di tangah rumah, gadih gadang alun balaki". Meski tak semua adat di
kampungnya kusut masai oleh perangai ninik mamak, namun sebagian besar itulah yang terjadi.
Pikiran Si Bungsu akhirnya menerawang kepada tentara Vietnam yang kini tengah memasang jebakan
untuknya. Dia tahu, tentara itu juga menanti dengan diam. Sama dengan dirinya, mereka juga nyaris tak
bergerak. Si Bungsu tahu, lawan yang kini mengintai dirinya adalah orang-orang yang masih mampu bertahan
dan lolos dari maut yang ribuan kali mengintai lewat ribuan kali pertempuran, besar maupun kecil, melawan
tentara Amerika. Hanya saja, mereka yang memenangkan peperangan dan menguasai Vietnam sekarang adalah tentara
yang amat kejam dan sadis. Dia sebenarnya akan menaruh hormat, kalau saja Vietkong adalah tentara yang
melindungi rakyat, tapi justru perbuatan tentara Vietkong tidak bisa di terima akal sehat.
Mereka mengumpulkan wanita-wanita cantik dari kota maupun desa-desa, kemudian di giring ke kampkamp untuk di jadikan pemuas nafsu tentara-tentaranya. Sebagaimana di negeri komunis lainnya di Vietnam
selatan pun di berlakukan undang-undang yang sama dengan utara. Ribuan orang yang diduga terlibat
membantu Amerika di tangkap dan di bunuh atau lenyap tanpa kabar berita.
Siapapun tahu kalau mereka di bunuh di hutan-hutan atau ladang-ladang yang jauh terpencil, lalu di
kubur secara masal. Kendati perang sudah berakhir, namun tentara Vietnam yang seluruhnya adalah tentara
utara, masih tetap melakukan pembersihan di kalangan rakyat. Semua mereka dilucuti dan di sebar keratusan
penjara dengan pengawalan ketat.
Pada minggu-minggu pertama kejatuhan selatan, data intelijen Amerika mencatat, belasan ribu dari
sekitar sejuta tentara selatan tak sampai ke penjara. Mereka dibunuh sepanjang jalan, kemudian sebagian lagi
mati setelah disiksa di kamp-kamp tawanan. Dimana pun didunia ini, tentara yang menang akan membalas
dendam kepada tentara yang kalah, kendati tak satupun hukum didunia yang membenarkannya. Namun, balas
dendam yang dilakukan tentara utara terhadap tentara selatan luar biasa kejamnya. Sulit membedakannya
dengan yang dilakukan rezim Pol Pot di Kamboja.
Pikiran Si Bungsu terus menerawang sembari matanya menatap ke beberapa burung yang hinggap di
dahan-dahan kayu di atasnya. Terawang pikirannya terhenti ketika melihat seekor burung terbang dari dahan
yang agak rendah ke pohon yang lain yang lebih jauh. Bagi orang lain mungkin tak ada yang aneh atas
terbangnya burung itu. Namun bagi Si Bungsu yang sudah hafal pada tingkah laku belantara dan segenap yang
menghuninya, langsung arif bahwa ada sesuatu yang tak wajar pada cara burung itu terbang dari tempatnya.
Dia tahu, ada sesuatu yang membuat burung itu terbang lebih cepat dari semestinya. Sesuatu adalah
yang tak lazim di belantara. Dia berbaring diam. Inderanya yang amat tajam mengetahui ada yang bergerak di
bahagian kanannya. Jaraknya paling jauh hanya sekitar sepuluh depa. Gerakan itulah yang menyebabkan
burung tadi terkejut dan terbang lebih cepat dari semestinya. Si Bungsu tahu, salah seorang dari tentara yang
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 671
memasang jebakan untuknya yang sampai kini belum dia ketahui berapa jumlahnya, kini semakin mendekati
tempatnya. Dia memejamkan mata. Meletakkan lengan kanan menutup matanya tersebut. Lewat pendengaran yang
amat tajam, Si Bungsu tahu orang yang ingin menyergapnya itu kini masih berada dalam jarak sekitar sepuluh
depa dari dia. Dia mendengar suara di geser di tanah. Lalu suara bedil diangkat. Lalu suara tangan begeser di
besi menuju pelatuk bedil. Bahkan dia bisa mendengar saat orang itu menarik dan menghembuskan nafasnya.
Dari cara orang itu menggerakkan kaki dan menarik nafas, Si Bungsu tahu, orang tersebut sedikit gugup.
Tiba-tiba saja, entah mengapa. Dia kehilangan nafsu untuk membunuh. Dia menjadi bimbang, untuk apa
dia membunuh tentara Vietnam selama beberapa hari ini" Perang ini bukan perang negerinya dengan Vietnam.
Dia tak ada sangkut pautnya dengan perang ini. Lalu dia mendengar suara telunjuk menarik pelatuk bedil. Dia
bergulingan ke kiri, tangan kanannya bergerak. Sebuah letusan menggema. Pelurunya menghujam persis ke
tempat dimana tadi tubuhnya berada. Kalau dia masih berbaring menelentang di sana, peluru itu akan
menghujam persis di dadanya.
Namun dia sudah berguling ke kanan. Peluru menghujam tanah. Pada saat bergulingan itu tangan
kanannya yang tadi disilangkan menutup mata, bergerak. Samurai kecilnya meluncur. Beruntung tentara
Vietnam tersebut, karena Si Bungsu memutuskan tidak lagi membunuh seorangpun tentara negeri ini. Samurai
yang meluncur itu hulunya lebih dahulu. Sebelum si tentara sempat menarik pelatuk bedil untuk kali kedua,
hulu samurai kecil tersebut menghantam bahagian tengah dadanya, persis di hulu. Karena yang melempar
adalah seorang yang amat mahir. Hentakkan hulu samurai kecil tersebut membuat tentara berhenti bernafas
sesaat, tubuhnya langsung limbung, dan ambruk ke tanah. Pingsan!
Si Bungsu tak bangkit sedikitpun. Dari posisinya yang menelungkup, dia menoleh ke arah datangnya
suara tembakan. Beberapa pohon langsung menghalangi pandangannya kearah orang yang menembaknya.
Namun pada bahagian kanan dari pohon yang menghalangi, dia lihat sebuah bedil tergeletak. Pada bahagian
kanan dari pohon yang menghalangi, dia lihat sebuah kaki tertekuk. Popor bedil itu menghadap kekaki yang
tertekuk tak bergerak itu. Dia tahu kalau lemparan dia telah membuat orang itu jatuh pingsan. Setelah itu sepi!.
Dalam Neraka Vietnam -bagian-638
Sersan Lok Ma menanti dengan diam di tempat perlindungannya, di balik sebuah pohon besar. Beberapa
saat sebelumnya kopral yang berada sekitar lima belas depa dari tempatnya, bergerak, kemudian memberi
isyarat, bahwa dia telah melihat tempat persembunyian orang yang mereka buru. Lok Ma memberi isyarat agar
si kopral jangan terlalu mendekati tempat orang tersebut. Namun ada dua hal yang mendorong si kopral untuk
meringsek ke dekat tempat persembunyian Si Bungsu. Pertama, rasa ingin menjadi hero. Kedua keinginan agar
tembakannya tidak meleset. Dari tempat dia berada saat memberi isyarat kepada Sersan Lok Ma, dia hanya
melihat bahagian kaki orang yang mereka buru.
Dengan kedua alasan yang saling atas mengatasi itu, si kopral menggeser tegak inci demi inci. Kemudian
berlarian dengan cepat ke pohon kembar sekitar tiga depa di depannya, dengan jarak sepuluh depa dari tempat
Si Bungsu. Saat itulah seekor burung serindit yang berada di salah satu dahan di pohon kembar itu terkejut.
Lalu terbang menjauh. Dan terbangnya burung itulah yang menjadi isyarat bagi Si Bungsu, bahwa di bawah
pohon dari mana burung itu terbang ada sesuatu yang tak biasa. Di bawah pohon itu pasti ada sesuatu yang
menyebabkan burung itu terkejut dan terbang menjauh. Dugaan Si Bungsu ternyata benar.
Kemudian, dari tempatnya tegak si kopral menembak. Hanya sebuah tembakan tunggal. Dan setelah itu
Sersan Lok Ma maupun kopral yang seorang lagi, tak mendengar apapun dari mana arah tempat si kopral
melepaskan tembakan. Tak mendengar apapun dan tak melihat apapun! Mereka sama-sama menanti dalam
diam. Ada beberapa saat dipergunakan Si Bungsu untuk menunggu reaksi dari kelompok yang menyerangnya.
Karena tak ada reaksi apapun, dia lalu bergerak.
Dia merayap hampir tanpa suara kearah tentara yang pingsan dihantam hulu samurai kecil yang dia
lemparkan tadi. Pertama yang dia lakukan setelah sampai ke dekat tubuh prajurit yang terkapar pingsan itu
adalah mengambil samurai kecilnya, yang tergeletak dekat topi wajah si prajurit. Dia sisipkan kembali ke sabuk
karet tipis di balik lengan bajunya. Setelah itu, masih dalam posisi tiarap dia mengelupas kulit kayu besar yang
tadi dijadikan si prajurit sebagai tempat berlindung. Serat kulit kayu itu kenyal dan dan alot sekali. Kedua
tangan tentara yang masih tak sadar diri itu dia ikat ke belakang dengan kulit kayu yang tak mungkin diungkai.
Usai mengikat si tentara, dengan membawa bedil prajurit pingsan yang magazinnya masih penuh
dengan peluru, dia bergerak menjauhi tempat tersebut. Dia sengaja mengambil jalan melambung, menuju ke
arah danau menyusul Kolonel MacMahon dan teman-temannya yang lain. Seperti sudah dia duga, langkahnya
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 672
pasti ada yang menyusul. Dan yang menyusul adalah Sersan Lok Ma dan seorang kopral lainnya. Ke dua orang
itu tak lagi melihat temannya yang tadi melepaskan temabakan ke arah orang yang dia buru. Mereka sudah
merasa yakin, bahwa orang yang mereka buru ini telah menghabisi teman mereka. Sebab teman mereka itu tak
bersua atau tak memberi isyarat apapun usai menembak tadi.
Lok Ma baru menyadari orang yang mereka buru sudah pergi, setelah melihat beberapa burung di
pohon-pohon yang agak jauh pada berterbangan dari dahan yang ada di bawah, pindah ke dahan yang di atas.
Dia lalu memberi isyarat pada kopral yang berada sekitar sepuluh depa di kirinya. Mereka berdua kemudian
bergerak menyusul Si Bungsu. Benar saja, sekitar beberapa menit melacak dalam belantara itu, Lok Ma
menemukan jejak orang yang mereka uber. Jejak itu hanya terlihat amat samar di tumpukan dedaunan kering
yang menutupi tanah. Dalam Neraka Vietnam -bagian- 639
Ada beberapa helai daun pada beberapa tempat dalam jarak yang hampir sama, yang bergeser letaknya.
Sebagai pencari jejak yang sangat andal, Lok Ma tahu beberapa helai dedaunan kering itu bergeser karena
tekanan kaki manusia. Namun, betapapun Lok Ma merasa kagum sekaligus terkejut, melihat cara orang yang mereka buru ini
menyelusup di dalam belantara. Jika bukan pencari jejak sekaliber dia, orang pasti takkan mampu menemukan
jejak lelaki yang mereka buru ini. Sekarang saja jejak orang buruan mereka itu hanya terlihat di beberapa
tempat. Setelah itu lenyap sama sekali, kendati tempat yang dilalui adalah tanah lembab. Tak ada bekas sama
sekali. Lok Ma bisa terus memburu arah matahari terbit, hanya dengan keyakinan bahwa orang yang mereka
buru ini menuju arah yang sama dengan para pelarian tentara Amerika itu. Yaitu sama-sama menuju ke danau
luas dan angker di balik bukit-bukit batu sana.
Jarak antara Lok Ma dengan kopral yang seorang lagi ada sekitar sepuluh depa. Mereka bergerak dalam
posisi sejajar. Setiap saat setelah melewati batu-batu atau pohon besar, mereka bisa saling mengawasi. Saat itu
Lok Ma harus melewati sebuah pohon tumbang, sementara kopral di sebelah kirinya harus melewati sebuah
batu yang tingginya tak lebih dari setinggi tegak lelaki dewasa. Lok Ma dengan cepat membungkuk di bawah
kayu besar yang tumbang itu, kemudian melanjutkan pengejaran dengan langkah lebar. Dia menoleh ke arah
kopral di bahagian kirinya, yang tadi akan melewati sebuah batu besar setinggi tegak. Si kopral belum
kelihatan. Batu besar itu seperti penjaga hutan yang tegak patuh zaman demi zaman.
Lok Ma masih meneruskan langkahnya empat lima langkah lagi. Kemudian menoleh ke arah batu besar
yang di lewati si kopral itu. Tetap tak kelihatan. Kopral itu tentu tidak di balik batu itu lagi, pasti sudah bergerak
ke depan sekitar sebelas atau lima belas langkah. Sambil bergerak terus maju, Lok Ma memperhatikan
belantara di bahagian kanan, yang sejajar dengan posisinya sekarang. Tak ada satupun benda yang bergerak.
Dia memberi isyarat dengan siulan. Tak ada sahutan. Dia bersiul sekali lagi, agak panjang dari yang pertama.
Tetap tak ada sahutan Lok Ma, tiba-tiba berhenti. Tiba-tiba dia sadar kopral itu pasti sudah celaka. Dia
berlindung di balik sebuah batu besar, menatap ke arah batu besar di mana kopral itu dia lihat kali terakhir.
Lok Ma tak melihat gerakan apapun dari sekitar batu besar itu. Lalu kenapa kopral itu lenyap seperti
ditelan bumi saat melintas di balik batu besar itu" Apakah di balik batu itu ada lobang yang amat dalam,
sehingga si kopral terperosok ke dalamnya" Atau di balik batu itu orang yang mereka buru menunggu" Lok Ma
benar-benar merasa curiga. Dia ditugaskan untuk memasang jebakan pada orang yang mengacau balaukan
pasukan mereka. Tapi kini merekalah justru yang terjebak ke dalam jebakan. Lok Ma memutuskan untuk
langsung saja ke arah batu besar tersebut. Apapun yang terjadi harus dia hadapi dan diselesaikan dengan
segera. Dia lalu memutar badan untuk melangkah ke arah lenyapnya si kopral. Namun saat dia memutar badan
itu tiba-tiba jantungnya seperti akan copot. Ada orang berdiri hanya dalam jarak sehasta dari tempatnya. Orang
itu tak memakai seragam militer manapun. Juga tak ada tanda-tanda pangkat atau tanda lain yang
mengisyaratkan dia adalah seorang tentara. Juga bukan orang Amerika seperti yang dia duga. Kalau pun ada
benda yang biasanya menjadi milik tentara pada orang itu, maka benda tersebut adalah sebuah bedil otomatis.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 673
Lok Ma segera mengenali senapan itu sebagai senapan kopral yang tadi menembak di balik pohon besar,
kemudian lenyap begitu saja.
Bedil itu adalah bedil standar milik tentara Vietnam, yang sama bentuk dan kalibernya dengan senapan
yang kini dia pegang. Orang yang berada sehasta dari tempatnya itu memegang bedil tersebut dengan tangan
kirinya. Tak ada ancaman sama sekali. Ujung bedil di tangan orang tersebut mengarah ke tanah. Kalau orang
ini akan menembak, harus mengangkat bedilnya setinggi pinggang, kemudian bersamaan dengan itu tangan
kanannya bergerak pula ke arah popor. Lalu jari telunjuknya menyentuh pelatuk. Semua gerakan tersebut,
sampai peluru pertama bisa ditembakkan, jika orang yang melakukannya demikian mahir, dibutuhkan waktu
paling tidak dua atau tiga detik.
Lok Ma yang memegang bedil dengan kedua tangannya, dan telunjuk tetap siaga di pelatuk, yakin dia
bisa menghujamkan peluru empat atau lima buah ke tubuh lelaki di depannya ini, saat orang itu baru akan
menembak. Lok Ma sudah berniat melakukan hal tersebut, ketika tiba-tiba dia teringat bahwa teman-temannya
yang terbunuh tidak hanya oleh peluru. Tetapi juga oleh samurai kecil atau baja tipis yang amat tajam. Ingat
akan hal itu, Lok Ma mengurungkan niatnya menembak orang yang di depannya ini. Dia tahu, orang ini memiliki
ketangguhan yang luar biasa. Jika orang ini mau, Lok Ma yakin dia sudah mati sejak tadi.
Orang ini sudah berada di belakangnya ketika tadi dia memutar gerak. Dan yang membuat bulu tengkuk
Lok Ma merinding adalah kehebatan orang ini dalam mendekati dirinya. Dia adalah seorang andalan dalam
mencari jejak dan memburu orang. Andalannya adalah firasat, penglihatan dan pendengaran. Ternyata,


Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jangankan suara langkah, dia malah tak mendengar suara apapun saat orang ini mendekatinya. Lok Ma sadar,
orang ini bukan lawannya. Tiba-tiba orang itu mengulurkan tangan kanannya. Seperti akan bersalaman. Lok
Ma kaget. Dia sampai tersurut selangkah saking kagetnya melihat orang itu ingin menyalaminya. Namun tak
ada niat apapun terlihat pada wajah orang tersebut, selain keikhlasan semata.
Dan orang itu tiba-tiba tersenyum. Lok Ma menjadi salah tingkah. Tapi tatapan mata orang itu, yang
demikian bersih dan bersahabat, wajahnya yang demikian jernih, seperti magnet yang membuat Lok Ma tak
kuasa untuk tidak menyambut uluran tangannya. Kedua orang yang sebelumnya saling mengintai dan saling
memburu untuk saling berbunuhan, kini saling bersalaman dengan erat di tengah belantara Vietnam selatan
tersebut. Lok Ma merasakan betapa genggam tangan orang asing di depannya itu demikian kukuh. Pertanda
kekukuhan hati dan keramahan sikapnya.
"Anda bisa berbahasa Inggeris?" tiba-tiba orang itu yang masih menggenggam tangannya itu bertanya
dalam bahasa Ingeris. Lok Ma mengangguk. "Inggeris dan Perancis?" jawab Lok Ma. "O, saya hanya bisa
berbahasa Inggeris. Nama saya Bungsu?" "Nama saya Lok Ma?"
Si Bungsu, orang yang menggenggam tangan Lok Ma itu, melepaskan genggaman tangannya. Dalam
posisi tegak tak sampai sedepa itu, mereka saling bertatapan. Sebagai anak suku yang hidup secara tradisional
dan penuh acara-acara magis di pegunungan, Lok Ma merasa orang yang di depannya ini benar-benar bukan
orang sembarangan. "Tuan dari Indonesia?" ujar Lok Ma.
Si Bungsu kaget. Buat pertama kali dalam hidupnya yang mengembara dari benua ke benua, dari negeri
satu negeri lain, barulah sekali ini orang secara pasti menebak dan menyebut nama negerinya. Dia tatap tentara
yang berpenampilan sederhana itu. "Kenapa Anda menyangka saya dari Indonesia?" "Ada dua bangsa yang saya
kenal yang mampu mempelajari dan menguasai hal-hal supranatural dan metafisik. Bangsa India dan
Indonesia. Anda memiliki kedua kekuatan ini. Saya sering bertemu orang India. Namun belum pernah bertemu
orang Indonesia. Anda tidak memiliki spesifikasi khas orang India. Maka hanya ada satu pilihan, Anda adalah
orang Indonesia?" Lok Ma dan Si Bungsu kembali saling menatap. "Apa suku Anda Aceh, Banten, Minang, Riau
atau Dayak?" Dalam Neraka Vietnam -bagian-640
Si Bungsu kaget atas pengetahuan Lok Ma terhadap suku-suku di Indonesia. Tapi di sisi lain dia tak
mengerti kemana arah pertanyaan itu. "Kenapa Anda bertanya tentang suku?" "Sepanjang cerita yang saya
dengar, hanya lima suku itu yang memiliki kemampuan mempelajari dan menguasai hal-hal metafisik dan
supranatural"." Si Bungsu tersenyum. "Saya orang Minang. Namun untuk Anda ketahui, saya tak memiliki
kekuatan supranatural atau metafisik sebagaimana yang Anda sebutkan itu"." Kini giliran Lok Ma yang
tersenyum mendengar ucapan Si Bungsu.
"Kemampuan Anda mempergunakan senjata rahasia, kemampuan Anda menguasai belantara, naluri
Anda yang demikian tajam, merupakan bukti yang tak bisa Anda mungkiri bahwa Anda menguasai hal-hal yang
tak dikuasai manusia biasa itu?" "Saya menguasainya dengan berlatih secara fisik, bertahun-tahun. Bukan
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 674
dengan doa dan jampi. Saya tak yakin ada orang yang bisa menguasai hal-hal dahsyat hanya dengan doa dan
jampi. Selama ratusan tahun Belanda bermaha sirajalela, menjajah dan menganiaya bangsa kami, di mana
kehebatan doa dan jampi itu?" Mereka kembali bertatapan.
"Di negeri Anda ini pun, Lok Ma, barangkali ada kepercayaan tentang hal-hal magis diiringi doa dan
jampi itu. Tetapi, kenapa kalian tak bisa mengusir Perancis yang ratusan tahun menjajah negeri ini, kemudian
tak bisa mengusir Amerika" Kenapa akhirnya perang belasan tahun dengan korban jutaan nyawa baru bisa
menyelesaikannya?" Lok Ma terdiam mendengarkan cecaran bukti yang diuraikan Si Bungsu. Kembali mereka
saling tatap. "Kenapa Anda tidak membunuh saya?" tanya Lok Ma. "Perang ini bukan perang saya"." "Tapi Anda telah
membunuhi banyak sekali tentara Vietnam"." "Ada saat di mana orang berubah pikiran Atau paling tidak dia
merasa bosan membunuh"." "Yang mana yang merobah pikiran Anda. Karena bosan atau karena berubah
fikiran?" Si Bungsu tak menjawab. Lok Ma memang tak memerlukan jawaban. Dia tahu, lelaki di depan ini tak mau
membunuhnya bukan karena bosan membunuh. Ada sesuatu di dalam hatinya, yang membuat fikiran berubah,
tentang perang yang dimasukinya tanpa alasan yang jelas. "Jika merasa tak ada kaitannya dengan perang ini,
kenapa Anda membebaskan tentara Amerika yang kami tawan"." "Karena salah seorang yang kalian tawan
adalah perawat. Petugas yang oleh hukum perang harus dilindungi oleh pihak manapun.
Karena mereka akan merawat tidak hanya anggota pasukannya yang terluka, tetapi juga merawat
pasukan musuh yang tertangkap dan memerlukan perawatan?" "Ada tiga perawat yang kami tawan. Yang
mana yang Anda maksudkan?" "Yang bernama Roxy?" "Anak multimilyuner itu?" Si Bungsu mengangguk.
"Kenapa tidak hanya dia yang Anda bebaskan?" "Tak ada hukum yang melarang saya membebaskan semuanya,
bukan?" "Anda membebaskannya karena dia pacar Anda atau karena sebab-sebab lain?" "Karena saya dibayar
oleh ayahnya"." "Anda pernah bertemu dengan ayahnya?" "Ya"." "Di mana?" "Di Amerika"." "Jadi, Anda datang
ke belantara Vietnam ini langsung dari Amerika sana?" "Ya"."
Mereka sama-sama terdiam. Si Bungsu kemudian teringat dia harus segera menyusul teman-temannya.
"Dua temanmu yang ingin membunuh saya, tidak kubunuh. Yang menembakku di tempat kalian menjebakku
tadi dan senjatanya kubawa ini, hanya kubuat pingsan. Sekarang mungkin dia sudah sadar. Kopral di balik batu
besar itu juga demikian. Dalam Neraka Vietnam -bagian-641
Dia hanya kutotok. Engkau juga Sersan. Aku tak ingin ada korban berjatuhan lagi. Tidak di pihak kalian
juga tidak di pihak pelarian itu. Beri mereka waktu untuk meninggalkan negeri kalian ini"."
Sehabis berkata tangan kanan Si Bungsu bergerak. Lok Ma tak dapat mengikuti gerakan yang demikian
cepat. Dia hanya merasa tubuhnya tiba-tiba lemas dan tak mampu bergerak. Dia masih berada dalam keadaan
sadar penuh. Namun totokan ke urat leher di bahagian kiri, membuat dia tak bisa menggerakkan bahagian
manapun dari anggota tubuhnya. Bedilnya jatuh, dan saat giliran tubuhnya yang akan jatuh, tangannya
disambar si Buyung. Kemudian perlahan disandarkan ke kayu besar tempat dia tadi berlindung. "Untuk
beberapa saat engkau takkan pulih, Lok Ma. Begitu juga anak buahmu di balik batu besar itu. Saat itu saya harap
tawanan Amerika yang melarikan diri tersebut sudah tak bisa lagi kalian kejar. Nah, barangkali kita masih akan
bertemu di lain kesempatan, kawan?" ujar Si Bungsu sambil melangkah meninggalkan tempat itu.
Lok Ma hanya bisa menatap dengan diam kepergian orang tersebut. Aneh, dia justru merasa senang
orang itu bisa pergi. Senang bukan semata-mata karena orang itu tak membunuhnya. Tapi karena hatinya
diam-diam tertarik pada orang tersebut. Dia berharap orang itu bisa bebas dari buruan pasukannya. Aneh,
diam-diam dia sungguh-sungguh berdoa, semoga orang Indonesia ini berikut orang-orang Amerika yang
dibebaskannya, bisa lolos dengan selamat. Keanehan yang amat jarang terjadi dalam pertempuran, namun
pernah terjadi! Senja sudah hampir turun, ketika para pelarian yang kini berada di dekat danau alam itu mendengar
suara deru pesawat helikopter. Kolonel MacMahon menyuruh dua anak buahnya untuk tegak ke padang lalang
yang tak begitu luas, tak jauh dari bahagian tepi danau. Helikopter itu datang karena isyarat yang dipancarkan
dari gelombang pendek di jam tangan Si Bungsu, yang dia berikan pada Sersan anggota SEAL yang pergi
bersama Duc Thio. Isyarat itu ditangkap oleh kapal perang USS Alamo. Kapal yang ditompangi Ami Florence
dan abangnya Le Duan, setelah lolos dalam perang laut bersama Si Bungsu. Ami lah yang memberikan jam
tangan dengan berbagai kegunaan itu kepada Si Bungsu.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 675
Tapi gadis itu sudah tidak lagi berada di kapal ketika isyarat dari jam tangan tersebut ditangkap oleh
radar USS Alamo. Ami Florence dan Le Duan dikirim ke Manila. Kemudian untuk sementara ditempatkan di
sebuah hotel. Hanya setiap hari dia menelepon ke kapal besar tersebut dengan fasilitas khusus. Dia menelpon
menanyakan apakah sudah ada isyarat dari Si Bungsu. Selama ini, yang dia terima selalu jawaban "zero". Belum
ada berita apapun dari Vietnam!
Siang tadi dia juga menelepon. Namun karena memang belum ada isyarat, perwira navigasi hanya bisa
memberi jawaban yang sama padanya: "zero"! Ami bertekad belum akan meninggalkan Manila, menuju tempat
adaptasi yang dia pilih, sebelum ada kabar tentang Si Bungsu. Dan sore itu, ketika perwira navigasi menerima
pemberitahuan dari bintara bahagian radar ada sinyal dari daratan Vietnam, nakhoda kapal tersebut buruburu ke ruang komando. Mereka melihat sinyal itu di layar komputer. "Pastikan koordinatnya, segera!"
perintah nakhoda. Enam orang perwira dan bintara yang biasanya mengolah data posisi di peta, segera sibuk dengan
peralatannya masing-masing. Sebuah peta Vietnam segara muncul di kaca besar yang selalu stanby di ruang
komando itu. "Munculkan di peta, cari desa terdekat segera!" perintah nakhoda sambil menatap peta di kaca.
Dalam Neraka Vietnam -bagian-642
Semua kembali sibuk" menghitung dan menekan berbagai perangkat komputer. Hanya beberapa detik
kemudian" "Isyarat itu berasal dari sebuah danau di tengah belantara. Sekitar 400 kilometer di selatan Kota
Saigon, kota terdekat dengan belantara itu sekitar 100 kilometer, yaitu Kota Can Tho, Sir!" lapor perwira
bahagian peta. Nakhoda kapal tersebut memperhatikan peta di kaca bening tembus pandang. Semua posisi
berdasarkan keterangan yang dilaporkan si perwira segera tampil di kaca besar dalam ruang komando
tersebut. "Cari gugus pasukan kita dengan fasilitas helikopter terdekat dengan tempat itu!" ujar Nakhoda.
Peta di kaca itu diperbesar dan bahagian Laut Cina Selatan di penggal, lalu ditarik ke arah barat. Segera
tampil di sana sebahagian peta Kamboja yang berbatasan dengan Vietnam bahagian selatan. Semua staf peta
dan koordinat ini menghitung dan menganalisa. "Sir, menurut data, satu regu pasukan SEAL dengan kapal
selam dan dua buah heli ada di salah satu tempat tersembunyi di Teluk Kompong Sam, di bahagian paling
selatan Kamboja. Jarak dari posisi pasukan SEAL itu ke tempat isyarat yang dipancarkan hanya sekitar 100
kilometer. Hanya mereka yang terdekat dengan posisi isyarat yang dikirim itu, Sir"." "Hubungkan saya dengan
pasukan itu!" ujar Nakhoda kepada perwira telekomunikasi. "Yes, Sir!"
Hanya beberapa detik, hubungan dengan kapal selam rahasia pasukan SEAL Amerika di tempat rahasia
di Teluk Kom Pong Sam di selatan Kamboja itu segera didapat. "Sir, Mayor Murphy Black, komandan kapal
selam SEAL di Teluk Kom Pong Sam, di telepon Anda"." Komandan USS Alamo segera menyambar telepon
berwarna putih di depannya. "Laksamana Billy Yones Lee, Komandan USS Alamo di sini, Mayor Black?" "Yes,
Sir! Mayor SEAL Murphy Black, Komandan kapal selam khusus di posisi khusus, saya menunggu perintah Anda,
Laksamana!" "Anda memiliki dua helikopter di sana, Black?" "Siap, yes, Sir!" "Staf akan menyampaikan rincian
yang lain kepada Anda. Tugas Anda menjemput sekarang juga orang kita di wilayah Vietnam, tak jauh dari
tempat Anda!" "Perintah diterima dan segera dilaksanakan, Sir! Rincian berikutnya kirim ke helikopter, yang segera
saya terbangkan sendiri ke target yang ditentukan, Sir!" "Mayor Black!" "Yes, Sir"." "Perintah ini tidak pernah
ada. Namun saya tak ingin mengusulkan ke Pentagon agar Anda dipecat karena Anda tak berhasil membawa
orang-orang itu pulang dengan selamat"!" "Siap Sir! Perintah dan hubungan ini tidak pernah ada. Saya
berusaha tak akan gagal. Laksamana"!" "Satu lagi, Black"." "Yes Sir"."
"Ada orang gila di antara yang akan Anda jemput itu. Namanya Si Bungsu. Jangan dia sampai tak ada
dalam daftar orang-orang yang Anda selamatkan"." "Si Bungsu, siap Sir".!" "Good luck, Black!" "Good luck, Sir!"
Laksamana Billy Yones Lee memerintahkan kepada perwira radio yang memberikan rincian tempat
darimana datangnya isyarat yang diberikan Si Bungsu itu kepada Mayor Murphy Black. "Mayor Black"." "Yap,
Mayor Black di sini"." "Mayor Aland Snow, perwira radio USS Alamo di sini. Anda siap menerima rincian
koordinat yang Anda tuju"." "Ya, Saya sudah di helikopter. Silahkan rinciannya"." Aland Snow segera
memberikan rincian yang dimaksud. Kemudian hubungan segera di putus. Mereka tak melihat apapun di layar
radar. "Tak ada tanda-tanda helikopter atau pesawat apapun dari wilayah Teluk KomPong Sam, Laksamana"."
ujar perwira radar. "Ya, kita takkan melihat tanda apapun. Pesawat yang digunakan SEAL itu dirancang khusus
untuk tak terdeteksi oleh radar. Termasuk radar kita"." ujar Laksamana Lee perlahan. Suara helikopter yang
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 676
tak terdeteksi radar itulah yang terdengar suaranya oleh rombongan Kolonel MachMahon di tepi danau besar
di belantara Vietnam itu. Mayor Black yang segera sampai dengan pesawatnya ke kordinat yang diinformasikan
dari USS Alamo, hanya melihat belantara, kemudian sedikit padang lalang di bawah sana. Dia segera
mengarahkan heli yang dicat dengan warna hitam total tersebut ke padang lalang itu dan memerintahkan
untuk siaga penuh. Dua orang Sersan yang masing-masing memegang senapan mesin 12,7 siaga di kiri kanan pintu heli
berukuran besar itu. Yang seorang lagi adalah orang yang setiap detik siap terjun ke bawah untuk memberikan
bantuan darurat terhadap orang-orang yang akan naik ke heli. Namun sebelum heli tersebut sempat turun,
pelarian yang berada di tepi danau itu tiba-tiba diserang dari segala penjuru oleh tentara Vietnam!
Hal yang semula memang tidak diperhitungkan oleh MacMahon dan Si Bungsu adalah bergabungnya
sisa pasukan Vietnam yang siang tadi memburu mereka. Sebenarnya mereka tidak bergabung. Pasukan yang
berada di barak itu dipencar ke lima penjuru. Masing-masing satu peleton, yaitu sekitar tiga puluh orang. Dua
peleton di antaranya berhadapan dengan Si Bungsu dan MacMahon. Sisanya, hanya belasan orang melanjutkan
memburu Duval dan Roxy serta Thi Binh yang disuruh duluan oleh Si Bungsu.
Yang tiga peleton lagi, ternyata sama-sama menjadikan danau besar di tengah belantara itu sebagai
sasaran akhir pengejaran mereka. Kini, dalam waktu yang hampir bersamaan seluruh sisa pasukan Vietnam itu
sampai di sana. Karena tentara yang datang dari arah kiri dan kanan danau, serta dari arah barak, para pelarian
itu benar-benar terjepit. Namun MacMahon memerintahkan semua lelaki yang memegang bedil melindungi
para wanita yang lari menuju helikopter.
Mayor Black menyumpah mendengar suara tembakan yang seolah-olah berdatangan dari segala
penjuru. Dengan cepat dia menurunkan pesawatnya. Kedua Sersan yang memegang senapan mesin itu
menghajar setiap sumber tembakan dengan peluru mereka. Mayor Black berteriak menyuruh wanita-wanita
itu segera lari mendekati pesawatnya. Beberapa tembakan menghajar tubuh helikopter tersebut. Namun
tembakan itu dibalas oleh kedua Sersan bersenapan mesin itu dengan tembakan gencar.
Dalam Neraka Vietnam -bagian-643
Di bawah hujan tembakan, wanita-wanita itu berlarian kearah helikopter. Roxy yang sudah akan berlari,
melihat Thi Binh sedang membalas tembakan dari balik sebuah pohon, dia berbalik dan berlari kearah Thi Binh.
Thi Binh masih membalas tembakan kearah tentara Vietnam di balik-balik hutan, yang makin lama menjepit
posisi mereka. Setiap usai menembak, gadis itu melihat kearah bukit batu yang di tumbuhi pohon berdaun
merah di selatan sana. Yaitu kearah dari mana tadi mereka datang, dia berharap Si Bungsu muncul. Namun
orang yang diharapkan entah berada dimana. Tak terlihat bayangannya sama sekali.
"Thi-thi, ayo cepat"!" seru Roxy. Gadis Vietnam itu menoleh kearah Roxy, kemudian dia menggeleng.
Matanya basah. Akhirnya Roxy tahu apa yang menjadi penyebab. Dia memeluk gadis itu. Matanya juga ikut
basah. "Ikutlah dengan ku Thi-thi"." "Pergilah Roxy. Aku takkan pergi tanpa Si Bungsu?" Roxy menahan
isaknya. "Aku juga ingin menantinya. Tapi ini kesempatan terakhir kita untuk selamat. Si Bungsu akan mudah
mengurus dirinya tanpa kita. Yakinlah, dia akan selamat Thi-thi?"
Thi Binh menggeleng. Dan tiba-tiba tubuhnya tersentak. Darah menyembur di mulutnya. Roxy
menyambar senapan yang hampir jatuh dari tangan gadis itu. Kemudian menyemburkan peluru kearah
belakang ke tempat dari mana peluru yang menghantam Thi Binh berasal. Seorang tentara Vietnam yang
menyembulkan kepalanya dari balik pohon, terjerangkang di hajar peluru Roxy. Tak ada kesempatan, Roxy
memanggul Thi Binh yang berlumuran darah. Entah mati entah hidup. Dengan sisa tenaganya dia berlari
menuju helikopter. Beberapa peluru mendesing di sekitar kepalanya. Anggota SEAL yang memegang senapan
mesin di helikopter, dengan menyebut nama Tuhan segera melindungi wanita yang tiba-tiba muncul dari balik
belantara itu dengan rentetan tembakan senapan mesinnya. "Cepat..cepaaat"!"serunya.
Dengan tertatih-tatih Roxy akhirnya mencapai pintu helikopter. Sementara itu dua tubuh tentara
Amerika yang melarikan diri bersama MacMahon kelihatan tergeletak dihantam peluru Vietnam beberapa
depa menjelang pintu helikopter. Duc Thio yang masih berada di balik pohon, segera berlari menyusul Roxy.
Bersama roxy dia memanggul tubuh Thi Binh. Han Doi dan Kolonel MacMahon masih bertahan melindungi
orang-orang yang berlarian kearah helikopter dari balik pohon besar di tepi danau. "Anda duluan kawan"..!"
seru MacMahon pada Han Doi.
Han Doi segera berlari. Namun separuh jalan dia tersungkur. Anggota SEAL yang siap membantu itu
segera terjun berlari sambil memberi tahu temannya yang memegang senapan mesin, agar melindungi dirinya.
Dia berlari kearah Han Doi. Kemudian menyeretnya ke arah heli. Dia sengaja tidak memangkunya, karena kalau
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 677
di pangku, dengan mudah mereka menjadi sasaran tembak. Dengan menunduk dan sesekali membalas
menembak, dia menyeret tubuh Han Doi, sampai akhirnya dinaikkan ke heli.
Kini hanya Kolonel MacMahon yang belum naik, Kolonel ini ternyata sudah tertembak perutnya. Dia
masih bertahan dengan membalas tembakan. Mayor Black yang sejak tadi sudah tahu, bahwa yang berada di
hutan itu adalah Kolonel Mac mahon, salah satu komandan tertinggi di SEAL, segera arif kalau Kolonel itu
terluka. Hal itu di tandai dari irama tembakan si Kolonel, yang satu-satu dan tak terkontrol. Dia menunggu
beberapa saat. Kemudian terjun dan berlari dibawah lindungan tembakan senapan mesin untuk menolong
komandannya itu. "Oke, Kolonel, kini kita berangkat?" ujarnya ketika melihat tubuh Kolonel itu sudah mandi darah. "No,
Anda berangkat. Tinggalkan saya, selamatkan semua yang masih hidup.." ujar si Kolonel. Namun Mayor tak
peduli, dia pikul tubuh Kolonel itu. Kemudian dengan senapan menyemburkan tembakan kesegala arah di
bantu tembakan gencar dari dua senapan mesin di helikopter, dia mulai bergerak kearah helinya. Namun
berapa benarlah mereka menghadapi puluhan tentara Vietnam yang menyergap itu. Mayor Black akhirnya
tertembak kakinya. Tiga tentara Vietnam segera memburu. Dan saat itulah, tiba-tiba dari arah selatan,
terdengar rentetan tembakan. Ketiga tentara itu terhenti mendadak. Senapanya pada tercampak, akibat tangan
mereka dihantam peluru! Kolonel MacMahon yang merasa ajalnya segera menjemputnya. Segera tahu, kalau yang menembak
ketiga tentara Vietnam itu, yang tembakannya dari arah bukit berpohon merah itu, adalah Si Bungsu. Namun
dia tak sempat berkata, dua tentara yang di heli segera turun dan membawanya naik. Mayor Black segera duduk
di belakang kemudi, dan meninggalkan tempat itu. Di bawah, suara tembakan dari arah selatan tetap bergema,
menghantam posisi tentara Vietnam yang akan menyerang heli itu. Lalu mereka yang di heli tersebut melihat
orang yang menolong mereka itu muncul ditengah padang lalang.
"My God! Siapa orang itu?" seru Mayor Black. "Si Bungsu. Dia yang mengeluarkan kami dari tempat
penyekapan. Turun dan jemput dia!" perintah Roxy. "My God! peluru kalian masih berapa?" seru Black pada
anak buahnya yang memegang senapan mesin. "Hanya beberapa butir?"jawab keduanya serentak.
Serentetan peluru menghantam tubuh helikopter. Black sadar, jika dia turun sama artinya dengan
menyerahkan semua personel di pesawat ke tangan elmaut! Dia teringat pesan Laksamana Billy Yones Lee,
Komandan USS Alamo. Bahwa jangan sampai orang gila bernama Bungsu tak ada dalam daftar orang-orang
yang akan diselamatkan. Namun dalam kondisi seperti ini, dia harus lolos dari lubang jarum, tidak
memungkinkan dia menurunkan heli ketanah. Ketengah puluhan tentara Vietnam yang haus darah, untuk
menjemput "orang gila" yang dipesan laksamana tersebut.
"Maaf kawan, saya harus menyelamatkan yang ada di pesawat ini. Saya akan datang lagi. Segera"!" ujar
Black sambil dengan cepat memacu helinya kearah perbatasan kamboja. Dari atas mereka melihat sesuatu yang
amat dramatis di bawah sana, yang membuat mereka terpaku dalam diam yang mencekam. Orang yang
menolong mereka untuk bisa melarikan diri itu, nampak mencampakkan senapannya yang kehabisan peluru.
Lalu mengangkat tangannya tinggi-tinggi keudara. Namun dalam keadaan mengangkat tangan tinggi-tinggi itu,
tubuhnya masih dua tiga kali tersentak-sentak di hantam peluru. Lelaki itu masih tegak, dengan dua tangan
mengacung keatas, seperti akan menggapai langit. Dalam waktu yang amat singkat, lelaki dari Indonesia itu
sudah di kepung oleh lusinan tentara Vietkong.
Roxy yang melihat peristiwa itu merasa nyawanya ikut melayang. Dia tak mampu menahan
perasaannya, gadis itu jatuh pingsan. MacMahon, Duc Thio, dan Han Doi menatap peristiwa itu dengan sendisendi dan otot-otot terasa copot. Mereka tak menyangka, lelaki perkasa itu akan berakhir seperti ini. Dia sudah
menyelamatkan puluhan nyawa, mungkin ratusan. Namun kini lelaki itu seperti sengaja mengorbankan
dirinya, agar pesawat heli yang mengangkut belasan tawanan perang melarikan diri dari lubang jarum! Tak
seorangpun yang mampu bersuara. Tak seorangpun! Dan helikopter itu lenyap dalam langit senja yang merah.
Dalam situasi yang demikian. Thi Binh yang masih masih tak sadarkan diri jauh lebih beruntung. Dia tak
melihat bagaimana akhir nasib Si Bungsu, lelaki yang dia cintai sepenuh hati. Kalau saja dia masih dalam
keadaan sadar, dan melihat apa yang terjadi di bawah sana, dia mungkin akan terjun dan tubuhnya akan remuk
terhempas. Di pastikan dia akan memilih cara demikian, dari pada melihat Si Bungsu terbunuh oleh puluhan
tentara Vietnam. Tentara Amerika yang di bebaskan Si Bungsu dari sekapan di goa itu, dengan mata basah
membuat tanda silang didada mereka.
Mereka bersyukur bisa selamat keluar dari Dalam Neraka Vietnam yang amat brutal ini. Namun tetap
saja mereka tak mampu menerima kenyataan, bahwa orang yang menolong mereka menerima nasib tragis
seperti ini. Saat dia membutuhkan pertolongan, tak satupun diantara mereka yang memberikannya.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 678


Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Padahal untuk menolong mereka, orang itu mempertaruhkan nyawanya, tiba-tiba mereka merasa
seperti orang yang tak berbudi sekali. Orang yang mementingkan diri sendiri. Bertahun-tahun mereka di
gelandang dari penyekapan yang satu ketempat penyekapan yang lain. Yang laki-laki disiksa dengan kejam dan
wanita di perkosa ramai-ramai.
Tak ada tentara Amerika yang mampu menolong mereka. Usahkan menolong mereka, menemukan
tempat mereka disekap saja tak ada yang bisa, sampai akhirnya lelaki dari Indonesia itu datang sendiri ke goa
tersebut. Mempertaruhkan nyawa ketika menginjak ranjau yang di tanam tentara Vietkong. Orang itulah yang
menyuruh sebagian mereka untuk lebih dulu melarikan diri kearah danau itu.
Duval, salah satu yang selamat itu, mengingat betapa dia disuruh menyusul MacMahon. Sementara dia
sendirian bertahan di balik bebatuan sembari memberi waktu mereka untuk meloloskan diri. Duval adalah
tentara yang sudah kenyang pahit getir pertempuran. Namun kali ini dia tak mampu menahan airmata yang
membasahi pipi. Dia masih berusaha melihat kebawah sana, namun yang terlihat hanya noktah kecil. Dia
menatap Roxy yang pingsan dan teman-temanya yang tertunduk dengan mata basah.
Suasana di heli itu sangat tak menentu. MacMahon mencoba menghitung sisa rombongannya yang
selamat. Jika dihitung dengan Si Bungsu, Thi Binh, Duc Thio dan Han Doi, jumlah mereka 21 orang. Sebab, dia
dan tentara Amerika lainnya diselamatkan Si Bungsu 17 orang. Kini di pesawat yang lolos dari Mulut Neraka
itu hanya 13 orang. Kolonel itu memejamkan mata. Tiga anggota SEAL di helikopter itu kini berusaha
menyelamatkan nyawa orang-orang yang tertembak kakinya sudah di kebat dengan perban. Yang parah adalah
Kolonel Mac Mahon yang tertembak di perut. Thi Binh tertembak didada kanannya. Ketiga anggota SEAL itu
mengerahkan segala kemampuan mereka untuk menyelamatkan kedua orang yang terluka parah tersebut.
Sebelum matahari terbenam di balik kaki laut, Mayor Black sudah mendaratkan helinya di tepi Teluk Kom Pong
Sam, diselatan Kamboja, di perairan teluk Siam.
Dengan cepat dia memerintahkan untuk mengevakuasi seluruh penumpang di heli itu ke kapal selam
yang juga dimodifikasi sedemikian rupa, sehingga tak satupun radar yang bisa mendeteksinya. Sedangkan dia
segera pindah ke heli yang lebih kecil, dan yang di penuhi senapan mesin dan roket. Sebelum berangkat dia
memerintahkan wakilnya yang berpangkat Kapten untuk mengantar semua penumpang kapal itu menuju ke
arah Philipina. "Buka, hubungan dengan Laksaman Lee di USS Alamo, minta petunjuk kemana orang-orang itu
harus diantar. Saya juga akan menghubunginya dengan radio saya. Saya harus menyelamatkan orang yang di
Vietnam sana?"ujarnya.
Dalam Neraka Vietnam -bagian-644Ketika Kapten yang kini menjadi komandan kapal selam itu masih dalam sikap memberi tabik untuk
melaksanakan perintahnya, Mayor Black sudah menerbangkan helikopternya ke arah wilayah selatan Vietnam.
Kepada empat anggota SEAL yang menyertainya, dia memberi perintah agar bersiap menghadapi
kemungkinan yang paling buruk sebentar lagi. Pesawat berwarna hitam legam itu diterbangkan dengan rendah
di atas wilayah Vietnam oleh Mayor Black. Hanya beberapa belas meter di atas pucuk-pucuk belantara Vietnam.
Sementara itu di kapal selam yang ukurannya sangat kecil, tapi bertenaga nuklir. Kapal yang hanya
mampu memuat sekitar 30 personil dan penumpang itu segera menyelusup menuju mulut Teluk KomPong Sam.
Ketika kapal itu sudah berada di perairan Teluk Siam, Kaptennya mengarahkan haluan ke Laut Cina Selatan.
Kemudian membuka hubungan radio dengan USS Alamo, di salah satu tempat di perairan Philipina.
"Laksamana, kontak dari Sea Devil?" ujar perwira radio di USS Alamo. Laksamana Billy Yones Lee segera
menyambar gagang telepon. "Laksamana Yones Lee di sini. Silahkan masuk?"
Kapten kapal selam SEAL itu segera memberitahukan identitasnya. Kemudian melaporkan dia
membawa 13 orang di kapalnya untuk diselamatkan. Tiga orang di antaranya adalah orang Vietnam, sepuluh
lainnya tentara Amerika yang berhasil dibebaskan. Kemudian si Kapten meminta petunjuk, kemana dia harus
membawa ke 13 penumpang di kapalnya tersebut. "Ada orang Indonesia yang bernama Si Bungsu di antara
yang tiga belas itu?" potong Laksamana Lee. Kapten tersebut gelagapan sesaat. Tanpa memberitahu lewat radio
bahwa dia akan bertanya, dia membiarkan saja hubungan terbuka kemudian menanyakan kepada Kolonel
MacMahon, apakah ada yang bernama Si Bungsu di antara orang yang berada di kapal itu. MacMahon
menggeleng. "Orang yang Anda maksud tidak berada di kapal ini, Laksamana?" lapor Lee. "Apa!" Mana Mayor Murphy
Black"!" sergah Lakmasana Lee. Sergahan itu segera dijawab langsung oleh Mayor Murphy Black yang
memonitor hubungan radio itu dari heli yang kembali menuju Vietnam. "Siap, Sir! Saya kembali menuju ke
tempat sinyal yang dikirimkan dari Vietnam itu. Berusaha menjemput orang yang Anda pesankan harus ada
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 679
dalam daftar yang saya selamatkan. Jika operasi penjemputan ini selesai, saya akan laporkan secara lengkap
kepada Anda hasilnya, Sir!"
Laksamana Lee tertegun. Dia tak mengerti secara penuh apa yang sudah terjadi. Kenapa ada tiga belas
orang yang sudah dievakuasi dari Vietnam, tetapi kini Mayor Black harus kembali menjemput Si Bungsu.
Namun dia faham, hubungan radio ini tak bisa dilakukan berkepanjangan. Radio pelacak Vietnam bisa
mengetahui percakapan mereka. Dengan isyarat-isyarat khusus dia memberikan perintah kepada Kapten yang
sedang berada di kapal selamnya di Laut Cina Selatan itu. Dia meminta agar kapal selam itu membawa mereka
ke suatu koordinat di perairan internasional, yang membentang luas antara Vietnam dengan kepulauan
Philiphina. "Kami akan menjemput mereka di sana dengan pesawat khusus?" ujar Laksamana sambil menutup
percakapan. Di padang lalang dekat belantara dan rawa yang membentuk danau besar di mana pertempuran saat
helikopter menjemput para pelarian itu tadinya berlangsung, Si Bungsu ternyata tiba terlambat. Dari jauh, tak
berapa lama setelah dia meninggalkan Sersan Lok Ma yang dia totok hingga tak bisa bergerak, dia sudah
mendengar rentetan tembakan. Dia segera berlari dan melihat tentara Vietnam sedang menembaki beberapa
orang terakhir yang akan naik ke helikopter tersebut. Dia langsung terjun ke kancah peperangan. Dia tidak
bersembunyi, melainkan menembak sambil menampakkan dirinya.
Dia sengaja berbuat hal itu, agar perhatian tentara Vietnam tersebut beralih kepadanya. Dengan
demikian dia berharap helikopter dengan para bekas tawanan itu bisa lolos dengan selamat. Taktiknya
berhasil. Beberapa orang Vietnam terjengkang karena tangan atau kaki mereka kena tembakan Si Bungsu. Kini
belasan tentara Vietnam tersebut mengarahkan tembakan mereka padanya, karena dia berada di tempat
terbuka, tubuhnya menjadi sasaran empuk tembakan. Sebuah peluru menghantam perutnya. Dia terbungkuk.
Namun dia masih sempat menembak kaki seorang tentara, yang membuat tentara itu terjungkal. Pada saat
yang sama dua tembakannya menghajar pula dua tentara Vietnam.
Yang seorang tercampak bedilnya karena tembakan Si Bungsu menghajar lengan kanannya yang
memegang bedil. Yang seorang lagi langsung ambruk karena peluru menghajar pahanya. Namun sebuah
tembakan lagi menghajar bahu kiri Si Bungsu. Dia tersentak ke belakang. Pada saat itu helikopter berhasil
meloloskan diri, keluar dari jangkauan tembakan. Dan dari atas, Duval, Roxy serta Kolonel MacMahon melihat
semua peristiwa yang terjadi di bawah sana. Melihat tubuh Si Bungsu tersentak-sentak dihajar peluru,
kemudian lelaki itu mengangkat tangan setelah melemparkan bedilnya!
Saat dia mengangkat tangan, dua peluru lagi menghajar tubuhnya. Namun dia masih berdiri saat belasan
tentara Vietnam tegak mengepung hanya dalam jarak dua tiga depa dari dirinya. Tubuh Si Bungsu yang masih
berdiri seolah-olah nyala akibat cahaya merah matahari senja menerpa tubuhnya yang berlumur darah.
Seorang tentara mengokang bedil dan menembak. Salah seorang di antara mereka, yang berpangkat Kapten,
berteriak, untuk tidak menembak. Namun teriakan itu terlambat. Paling tidak ada tiga butir peluru sudah
menyembur dari moncong bedil otomatis itu. Tetapi hanya beberapa detik sebelum pelatuk ditarik, Si Bungsu
sudah tak mampu lagi bertahan.
Dalam Neraka Vietnam -bagian-645
Dia masih sempat melihat helikopter yang selamat itu, yang hanya merupakan sebuah titik kecil di langit
sana, sesaat sebelum tubuhnya yang bermandi darah ambruk mencium bumi. Bibirnya masih sempat
membayangkan sebuah senyum, mengetahui para pelarian itu selamat. Dia yakin, sudah tak ada harapan lagi
baginya untuk hidup. Di sinilah, di belantara lebat dalam neraka perang Vietnam, takdir menjemputnya. Jauh
dari kampung halaman, tak ada sanak famili. Tak ada yang menangisi. Takkan ada yang datang menjenguk.
Bahkan tubuhnya pun mungkin takkan dikuburkan. Dibiarkan tergeletak di padang lalang itu, dimakan
ulat belatung. Ketiga peluru yang muntah dari mulut bedil tentara Vietnam tersebut menerpa tempat kosong.
Sebab tubuh orang yang akan dijadikan sasaran yang tadi masih berdiri, kini sudah tergeletak di tanah. Bagi Si
Bungsu sendiri semua menjadi gelap gulita ketika tubuhnya masih dalam proses tumbang dan terjerembab di
padang lalang. Dalam udara senja dengan langit menyemburatkan warna merah itu, tubuh Si Bungsu yang
tergeletak diam dan bermandi darah dari ujung rambut ke ujung kaki, ditatap dari jarak satu sampai dua meter
oleh belasan tentara Vietnam sembari menodongkan bedil yang siap memuntahkan peluru. Tubuh yang
terjerembab dalam posisi tertelentang tersebut, diam tanpa tanda-tanda kehidupan sedikit pun.
Kapten yang tadi berseru agar jangan menembak, membungkukkan tubuh. Anak buahnya siaga dengan
bedil, siap mencecar tubuh yang tertelungkup itu jika sedikit saja ada tanda mencurigakan. Si Kapten merasa
agak aneh. Orang ini tidak memakai seragam militer. Tak ada tanda-tanda kepangkatan atau identitas secuil
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 680
pun bahwa dia tentara. Wajah lelaki ini bersimbah darah, yang mengalir dari luka akibat serempetan peluru di
kepalanya. Saat itu beberapa tentara yang lain membawa dua tubuh tentara Amerika yang terbunuh sebelum
kemunculan Si Bungsu dalam pertempuran tersebut. Kedua mayat tentara Amerika itu dilemparkan di sisi
tubuh Si Bungsu. Si Kapten memberi isyarat pada seorang tentara yang juga bertugas di bahagian kesehatan. Tentara
berpangkat Sersan itu memeriksa satu demi satu denyut nadi di leher ke tiga sosok tubuh berlumur darah
tersebut. Usai menekan dengan ujung jarinya urat nadi di leher, tentara itu mendekapkan telinga ke dada
tubuh-tubuh tersebut. "Yang dua ini sudah mati. Yang ini, masih ada denyut lemah di jantungnya Kapten?" ujar
si Sersan seraya menunjuk mana yang sudah mati dan mana yang masih berdetak jantungnya.
Horor Di Camp Jellyjam 2 Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya Hong San Khek Pertikaian Tokoh Tokoh Persilatan 3
^