Pencarian

Tikam Samurai 32

Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik Bagian 32


dicemooh memukuli orang yang dalam keadaan terikat.
"Buka ikatannya?" ujar si Kapten kepada Lok Ma. "Jangan, engkau takkan mampu menyentuh ujung
bajuku sedikit pun, kalau ikatan ini dibuka, Kapten?" potong Si Bungsu sebelum Lok Ma sempat berdiri. Ucapan
Si Bungsu itu, yang jelas-jelas mempermalukan dan sekaligus menganggap dirinya remeh, membuat amarah si
Kapten benar-benar sampai di batas. Tanpa membuang waktu lagi dia mengirimkan sebuah pukulan lurus ke
telinga lelaki yang sejak tadi menyombong terus itu. Si Bungsu tetap tegak dengan posisi agak menyamping.
Pukulan yang lurus mengarah ke wajahnya itu dia biarkan mendekat. Dan dalam jarak yang sudah
diperhitungkan, dia mengibaskan kayu yang melintang tempat kedua tangannya terikat. Terdengar suara
berdetak. Kapten Bunh Dhuang meringis. Kepalan tangannya yang memukul, persis di buku-buku jari, kena
kibasan sudut kayu sebesar lengan yang tersandang di bahu lelaki tersebut. Ketika dia lihat dua buku jarinya,
yaitu buku jari tengah dan buku jari telunjuk, kelihatan terkelupas dan darah meleleh dari sana! Orang-orang
pada terbelalak diam. Si Kapten kembali melancarkan dua pukulan beruntun yang amat cepat. Namun hanya
dengan merobah posisi kakinya sedikit, kedua pukulan itu lagi-lagi dikibas dan kena hantam, oleh kayu yang
melintang di bahu Si Bungsu!
Kini kedua buku tangan si Kapten terkelupas dan berdarah. Kapten itu menggeram. Tetapi kekuatannya
memang luar biasa. Kendati buku-buku kedua tangannya sudah terkelupas dan berlumuran darah, dengan
pekik penuh marah dia kembali melakukan serangan cepat dan berkali-kali. Kaki Si Bungsu seperti
mencengkam tanah. Bergeser sedikit ke kiri dan ke kanan. Sementara kayu sebesar lengan, yang panjangnya
sekitar sedepa, yang melintang di bahunya dengan efektif sekali dia pergunakan untuk menangkis.
Tidak hanya menangkis, bahkan balik menyerang kedua kepalan si Kapten yang datang seperti balingbaling ke arah wajah, kepala dan bahunya. Kayu itu seperti bermata dan bernyawa, yang bisa memapas setiap
pukulan si Kapten. Belasan kali Kapten Bunh Dhuang menyerang dengan bentakan-bentakan keras, dan
belasan kali pula serangannya tidak hanya tak satu pun pukulannya yang berhasil "menyentuh ujung baju" Si
Bungsu, malahan kedua tangannya yang memukul tetap saja kena sabet kayu di bahu lelaki itu. Sampai suatu
ketika, terdengar suaranya demikian keras.
Orang tak tahu apakah suaranya masih bentakan atau pekikan. Jika pekik, orang juga tak tahu persis
apakah pekik marah sembari melancarkan serangan dengan jurus maut, atau pekik itu karena kesakitan.
Bentuk pekik keras Bhun Dhuang baru menjadi jelas tatkala dia terlompat mundur beberapa langkah. Orangorang pada merinding melihat kedua kepalan tangan si Kapten, yang besarnya nyaris sebesar buah kelapa
kuning, benar-benar berlumur darah. Tidak hanya itu, bulu tengkuk mereka merinding melihat kedua
pergelangan tangan Kapten tersebut terkulai. Pada masing-masing pergelangannya kelihatan sebuah bengkak
merah kebiru-biruan sebesar telur bebek. Yang membuat mereka hampir tak bisa mempercayai penglihatan
mereka adalah posisi lelaki dari Indonesia yang kedua tangannya terikat itu.
Dalam Neraka Vietnam-bagian-667
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 702
Diserang demikian dahsyat dari segala penjuru, tubuhnya ternyata tak pernah bergeser dari tempat
berdirinya semula, di dekat kursi yang remuk kena tendang si Kapten. Bekas jejak kakinya di lantai tanah
memperlihatkan bahwa dia hanya menggeser tegak di radius setengah meter.
Sekeras apapun si Kapten berusaha mendesaknya, paling-paling dia hanya menggeser kaki kanan ke
samping, kemudian meliukkan atau memiringkan badan sebagai jurus mengelak yang amat tangguh. Begitu
pukulan si Kapten hampir menerpa wajahnya, kayu sebesar lengan yang di bahunya memapas pukulan itu
dengan keras. Setiap tangkisan atau papasan ujung kanan atau ujung kiri kayu itu, hampir bisa dipastikan selalu
menghantam dua tempat secara persis. Jika tidak buku-buku jari yang terkepal, pastilah pergelangan
tangannya. Pekik keras terakhir ternyata disebabkan rasa sakit yang luar biasa, tatkala Si Bungsu menghantam
secara keras dan telak kedua pergelangan tangan si Kapten. Menyebabkan persendian kedua pergelangan
tangan itu retak dan lepas! Hanya sesaat Kapten Bunh Dhuang yang tubuhnya seperti gorilla itu tertegun. Saat
berikutnya dia menyerang. Barangkali semula dia merasa tak perlu memakai kaki, dengan kedua kepala
tangannya yang seperti martil itu, menurut dia, dia bisa meremukkan wajah dan rusuk lelaki dari Indonesia ini.
Namun ternyata selain memang tidak bisa menyentuh tubuh lelaki tersebut sedikit pun, kedua
tangannya justru dibuat lumpuh. Kini, kendati terlambat, dia menyerang dengan tendangan yang amat terlatih
dan dengan kekuatan penuh. Namun orang yang dia hadapi benar-benar tidaklah takabur ketika mengatakan
bahwa Kapten itu "takkan pernah mampu menyentuh ujung bajunya sekalipun". Kini ucapannya yang semula
terdengar takabur itu dibuktikan orang itu. Ketika kaki kanan si Kapten baru saja terangkat beberapa jari dari
tanah, sebelum digerakkan ke depan dalam bentuk sebuah tendangan yang amat keras, tubuh Si Bungsu
berputar dua kali. Tiba-tiba saja ujung kanan kayu tempat tangannya diikat, menempel di tenggorokan si Kapten. Kapten
itu dengan terkejut membatalkan tendangannya. Dia menelan ludah dengan susah payah. Ujung kayu itu tidak
disodokkan, hanya ditempelkan begitu saja persis ke jakunnya. Dia tidak tahu bagaimana orang ini bergerak
dengan cepat dan menempelkan ujung kayu itu ke lehernya tanpa dapat dia ketahui sedikit pun! Ada beberapa
saat mereka saling menatap. Kemudian Si Bungsu memutar tegak, dan ujung kayu itu lepas dari leher di bawah
dagu si Kapten. Dia membelakang bulat kepada si Kapten. Dan Kapten itu tak menyia-nyiakan kesempatan tersebut.
Sebuah tendangan menyamping dia arahkan ke tengkuk lelaki yang membelakanginya itu. Semua orang seperti
terhenti bernafas. Namun hanya selisih sekian detik Si Bungsu memiringkan tegak dan kakinya bergeser
mendekat si Kapten. Tendangan maut itu lewat hanya dalam ukuran sejari dari hidung Si Bungsu. Namun
karena tubuhnya sudah mendekat ke arah si Kapten, ketika tendangannya ditarik kaki Kapten itu tersangkut
di bahu Si Bungsu. Pada saat yang sama, ketika sebelah kaki si Kapten tersangkut di bahu kanan Si Bungsu ujung kayunya
menohok persis di bawah hidung si Kapten. Ujung kayu itu tertempel di bibirnya. Tiap kepalanya mencoba
miring ujung kayu itu tak pernah lepas. Lengket seolah-olah ada lem di sana. Si Kapten tak bisa menggerakkan
kepalanya terlalu jauh, karena sebelah kakinya masih tertahan di bahu Si Bungsu. Dia hanya berdiri dengan
kaki kiri. Terjingkat-jingkat seperti orang bodoh. Lalu detik berikutnya, Si Bungsu melepaskan tekanan ujung
kayu itu dari bawah hidung si Kapten.
Pada detik yang hampir bersamaan dia membungkuk. Kaki kanan Kapten itu terbebas. Namun dalam
gerakan yang amat cepat, ujung kiri-kanan kayu di bahu Si Bungsu secara bergantian "menetak" dengan cepat
beberapa tempat di tubuh si Kapten. Mula-mula menusuk persis ke hulu hati di dadanya. Kemudian dia
berputar, ujung kayu itu menetak pelipis kanan. Lalu dia berputar lagi, ganti kini ujung yang satu lagi menetak
tengkuk. Sekali putar lagi, ujung yang satu menetak pelipis kiri. Lalu Si Bungsu menggeser kakinya dengan amat
cepat. Kini dia tegak dengan kaki dan tubuh lurus dua depa di hadapan si Kapten.
Semua orang, termasuk si Kapten dan semua perwira yang menyaksikan peristiwa itu, dibuat tak
bergerak sedikit pun. Semua orang tahu, sebuah tusukan ujung kayu ke hulu hati dan tiga tetakan ke pelipis
kiri dan kanan serta ke tengkuk si Kapten, jika dilakukan dengan kekuatan penuh, tidak hanya ditempelkan
sedikit seperti yang terjadi, pasti sudah mencabut nyawa si Kapten. Semua mereka tahu itu. Orang ini ternyata
melakukan demonstrasi beladiri yang luar biasa hebatnya.
Si Bungsu tegak dengan diam, dengan sikap yag amat tenang. Tak ada ekspresi kelelahan mau pun
kesommbongan sedikitpun. Gerakannya yang demikian cepat sejak menangkis pukulan si Kapten sampai
gerakan terakhir, seperti tak meninggalkan bekas lelah sedikit pun pada dirinya. Sementara si Kapten tegak
dengan nafas memburu. Mereka berdua saling menatap. Akhirnya overste yang menjadi komandan di pasukan
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 703
itulah yang memecahkan kesunyian dengan bertepuk tangan. Diikuti para perwira, kemudian oleh semua
tentara Vietnam yang ada di rumah besar itu.
Mereka benar-benar belum pernah menyaksikan pertarungan dengan ketangguhan individu demikian
hebat. Si Kapten, untuk pertama kali dalam hidupnya, merasa benar-benar merasa ditaklukkan. Pada tusukan
pertama saja, tatkala ujung kayu itu ditusukkan ke hulu jantungnya, lelaki itu sudah bisa membunuhnya. Ujung
kayu itu tidak hanya menyentuh sebuah titik kematian di tubuh si Kapten, tetapi empat titik dalam jarak waktu
yang hanya hitungan detik.
Dalam Neraka Vietnam -bagian-668
Jika dia memiliki empat nyawa, maka sebenarnya kini empat nyawa nya itu telah melayang di ujung kayu
lelaki tangguh itu. Orang-orang pada berhenti bertepuk tangan, tatkala si Kapten merapatkan kedua kakinya,
berdiri lurus menatap Si Bungsu. Kemudian membungkukkan badan, memberi hormat sebagaimana layaknya
karateka atau judoka bersikap kepada orang yang mereka hormati. Lalu dia berbicara dengan bahasa Vietnam
yang di tujukan pada Si Bungsu.
"Anda benar-benar tangguh. Terimakasih anda sudah mengajar saya bagaimana seharusnya bersikap
satria. Terimakasih, anda telah mengampuni nyawa saya?" Si Bungsu tertegun. Tak di sangka Kapten itu akan
berbuat dan berkata begitu. Dia balas sikap Kapten itu juga dengan tegak lurus, kemudian dengan tangan yang
masih terikat di kayu itu, dia membungkukkan badan membalas penghormatan yang di berikan padanya.
Dengan kejujuran kemudian dia berkata dengan bahasa Inggris, yang di terjemahkan Lok Ma untuk si Kapten,
dan untuk semua yang hadir di rumah tersebut.
"Andalah yang telah menyelamatkan nyawa saya. Ketika saya di gantung dengan kepala kebawah. Anda
bisa saja membunuh saya dengan peluru atau pisau. Namun hal itu tidak anda lakukan. Terimakasih atas
kemurahan hati anda Kapten?" Kapten itu membalas penghormatan itu beberapa kali dan kemudian
menghadap pada si overste yang jadi komandannya. Bicara dalam bahasa Vietnam. Tak satupun ucapan si
Kapten di terjemahkan Lok Ma. Overste itu menanyakan sesuatu. Kemudian overste itu bicara pada Si Bungsu.
Tadi anda katakan, bahwa anda bisa menyembuhkan penyakit sipilis dengan ramuan hanya dalam seminggu.
Apakah anda masih mempunyai obat itu?" "Tidak, tetapi saya bisa membuatnya dengan dedaunan yang ada
disini?" Overste itu kembali berbicara dengan si Kapten. Kemudian kepada Lok Ma. Sersan Lok Ma akhirnya
mendekati Si Bungsu. Memutus kedua tali yang mengikat tangannya, begitu juga yang mengikat kakinya. "Anda
menjadi tamu kami, tuan. Sampai beberapa tentara sembuh, setelah itu kami akan mengantarkan tuan ke da
Nang atau hanoi.." ujar si overste, sembari memberi perintah pada Lok Ma.
Yang pertama dilakukan Si Bungsu adalah mandi di sungai sepuas-puasnya, di sungai besar dan deras
yang terletak tak jauh dari rumah besar tempat dia di interogasi tersebut. Untuk pergi kesungai dia di kawal
oleh dua orang tentara bersenjata. Lok Ma memberi dia sepasang pakaian, lengkap dengan sepatu. Di sungai
beberapa orang lelaki dan perempuan terlihat sedang mandi atau mencuci. Mereka pada berhenti sebentar,
menatap padanya dengan pandangan heran. Tapi begitu tertatap pada dua orang tentara yang tegak menjaga,
dengan bedil siap tembak di tebing, mereka dengan cepat mengalihkan pandangan dari Si Bungsu. Mereka
melanjutkan mandi atau mencuci. Kendati sama-sama orang Vietnam, namun penduduk demikian takut pada
tentara. Usai mandi, dari batu yang bermunculan di tepi sungai, Si Bungsu memilih segenggam lumut yang warna
hijaunya sudah kehitam-hitaman kerena sudah belasan tahun ada disana. Kemudian di jalan kecil antara sungai
itu dan perkampungan kecil itu, dia memetik beberapa helai daun. Lumut dan pucuk-pucuk rimba itu dia
bungkus dengan daun pisang dan di bawa kebarak. Dia di tempatkan di sebuah barak kecil.
Ada selembar tikar yang dianyam dari bilah-bilah bambu dan sehelai selimut yang bergaris-garis, seperti
selimut yang lazim di pakai di rumah sakit. Bedanya, selimut itu sudah compang-camping. Dua orang tentara
mengantarkan nasi ransum dengan sedikit daging ikan. Si Bungsu jadi tahu kalau disini menu utamanya adalah
ikan. Saat makan, tentara yang mengantarkan makanan itu berbicara dengan pelan, namun karena tentara itu
memakai bahasa Vietnam, jadi dia tak mengerti apa yang dimaksud tentara itu.
Tentara itu membuka baju, dan memperlihatkan lengannya yang masih berbalut perban. Lalu si tentara
menunjuk bedil, menunjuk Si Bungsu. Si Bungsu jadi mengerti kalau kedua tentara itu ikut dalam pertempuran
di padang lalang itu saat heli datang menjemput tawanan itu. Kedua tentara itu memberi hormat dan
mengulurkan tangan. Si Bungsu menatap mereka sejenak, kemudian menyambut uluran tangan tersebut.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 704
"Terimakasih anda tidak membunuh saya, kalau tidak ibu saya akan sangat sedih sekali. Saya anak
tunggal?" ujar tentara itu. Si Bungsu hanya mengerti ucapan kata-kata terimakasihnya saja, karena dia pernah
diajarkan oleh Ami Florence. "Terima kasih kembali.." ujarnya dengan bahasa Vietnam. Setelah itu tentara yang
satu nya lagi yang mengulurkan tangan. "Terimakasih?"katanya sambil membungkuk kan badan sampai dua
kali. Si Bungsu kembali menjawab "terimakasih kembali" seperti yang pernah diajarkan Thi Binh. Sambil
membungkuk kan badan sambil duduk, kemudian kedua tentara itu meninggalkan pondok. Si Bungsu yang
tinggal sendiri, segera menyantap nasi dan ikan panggang tersebut dengan lahap. Nampaknya, dimanapun, ikan
segar yang dibakar dan di beri sedikit garam sangat nikmat. Kendati nasi nya dikit, karena ikan bakarnya
lumayan besar jadi perut nya kenyang juga, selesai makan dia mengamparkan selimut bergaris itu diatas tikar
bambu tersebut. Kemudian membaringkan badan, sambil pikiran nya melayang pada tentara yang menahannya di barak
ini. Lewat ciri mata dan bintik di wajah tentara yang ada di rumah besar tadi juga dua tentara yang mengantar
nasi tadi, Si Bungsu tahu mereka terkena penyakit Vietnam Rose, sebutan lain dari penyakit sipilis. Dia bertekad
untuk menolong mereka semampunya. Akhirnya karena didera kelelahan dan kekenyangan dia tertidur pulas
sekali. Hari sudah senja, ketika dia di bangunkan oleh Lok Ma. Dia datang dengan ditemanin seorang prajurit,
yang tetap siap sedia dengan bedil nya. Lok Ma mengatakan kalau overste ingin bertemu dengannya malam
nanti setelah makan malam. Lok Ma bercerita waktu berjalan ke sungai, kalau sembilan tentara Amerika yang
di tawan disini telah di pindahkan, termasuk tawanan yang di kandang babi di sebelah kurungan Si Bungsu.
"Belasan" Saya hanya melihat sekitar lima orang. Dimana yang lain di tahan ?" "Mereka dikurung di sungai di
belakang kandang babi tersebut. Kurungan mereka jauh lebih parah. Mereka berminggu-minggu di rendam
sebatas leher. Makanan di masukan kedalam plastik kemudian di ulurkan dengan tali. Mereka hanya menikmati
di daratan ketika di interogasi"." tutur Lok Ma.
"Kemana mereka dipindahkan?" tanya Si Bungsu. Namun begitu pertanyaan itu di ucapkan, dia segera
sadar kalau tak ada jawaban dari pertanyaan itu. "Tidak ada yang mengetahui, kapan para tawanan di
pindahkan dan kemana mereka akan di pindahkan. Hanya komandan yang tahu. Perintah pemindahan di
berikan secara lisan pada seseorang?" Si Bungsu hanya mendengar tentang penuturan pemindahan tawanan
Amerika itu dengan diam. Beberapa lelaki dan wanita terlihat di hulu maupun di hilir sungai.
Dalam Neraka Vietnam-bagian-669
Sungai cukup besar, airnya amat jernih. "Apakah penduduk di sini suka ikan sungai?" tanya Si Bungsu
pada Lok Ma, yang bersama prajurit berbedil itu mengawasinya dari atas tebing.
"Ikan memang makanan utama mereka bersama nasi. Babi biasanya dijual kepada tentara. Atau di bawa
ke desa terdekat, biasanya dua sampai tiga hari perjalanan, untuk dijual. Dibawa pakai gerobak dua atau tiga
ekor"." "Dengan apa mereka menangkap ikan?" "Biasanya dengan kail"." "Anda keberatan kalau saya memberi
beberapa ekor ikan segar kepada mereka?" tanya Si Bungsu sambil menunjuk pada beberapa wanita dan anakanak sekitar dua puluh meter di hilir tempatnya.
Lok Ma menatap ke hilir. Beberapa wanita berada di sana. Sesekali mencuri pandang ke arah Si Bungsu
maupun ke arah Lok Ma. "Mereka akan senang sekali. Tapi bagaimana engkau memperoleh ikan segar itu?" ujar
Sersan tersebut sambil menatap pada Si Bungsu yang berendam dalam air setinggi dada. Si Bungsu menyelam.
Hanya beberapa detik, kemudian dia muncul lagi. Dia memperagakan beberapa butir batu sebesar ibu jari
kepada Lok Ma. "Pernah belajar menangkap ikan dengan batu-batu seperti ini?"" Lok Ma menggeleng. "Apa
bisa?" ujarnya. "Bisa"!"
Lok Ma menoleh pada prajurit yang menemaninya. Kemudian bicara dalam bahasa Vietnam.
Menceritakan bahwa Si Bungsu bisa menangkap ikan dengan batu-batu di tangannya itu. Si prajurit menatap
ke arah Si Bungsu dengan tatapan tak percaya. Si Bungsu berdiri dan menatap tajam ke air jernih di sekitarnya.
Batu-batu kecil itu dia pindahkan ke tangan kirinya. Hanya sebuah yang berada di tangan kanannya. Tiba-tiba
dia menyambitkan batu tersebut ke air sekitar dua depa di depannya. Si Bungsu menanti, Lok Ma dan prajurit
berbedil itu juga menanti.
"Tak ada yang kena?" ujar Si Bungsu sambil tetap mengawasi air di sekitarnya. Beberapa saat kemudian
dia kembali menyambitkan batu ke arah hilir. "Kena! Suruh mereka yang di hilir itu mengambilnya?" ujar Si
Bungsu ke arah Lok Ma. Lok Ma menatap dengan diam ke air. Tak ada apapun yang terlihat. Namun hanya
beberapa detik kemudian, dia melihat seekor ikan sebesar betisnya mengapung dengan perut ke atas.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 705
"Hei, ambil ikan itu! Itu ada ikan yang baru kena lempar batu. Ikan itu untuk kalian, ambil" ambil"!"
seru Lok Ma. Para wanita di hilir hanya termangu, tak mengerti. Sementara itu Si Bungsu kembali
menyambitkan beberapa batu lagi ke air. Para wanita itu baru ribut dan berceburan ke air setelah melihat dua
tiga ekor ikan mengapung di permukaan sungai. Mereka berebut memunguti ikan yang kepalanya pada pecah
itu. Lok Ma ternganga, ketika wanita-wanita itu dengan tertawa mengangkat ikan-ikan yang berhasil mereka
kumpulkan. Besarnya tak kurang dari sebesar betis lelaki dewasa.
Beberapa lelaki dan wanita yang berada belasan meter di bahagian hulu segera berenang ke hilir.
Mereka sampai ke tempat Si Bungsu. Si Bungsu kembali menyelam memunguti beberapa batu. Lalu tangannya
menyambit dan menyambit lagi. Enam, sampai tujuh ekor ikan sebesar lengan maupun betis pada mati dan
berapungan. Penduduk memunguti ikan tersebut. "Hei, bisa kupinjam pisaumu?" ujar Si Bungsu mengejutkan
Lok Ma. Dalam Neraka Vietnam-bagian-670
Tanpa pikir panjang Lok Ma mencabut pisau di pinggangnya. Kemudian melemparkannya kepada Si
Bungsu. Si Bungsu menyambut pisau itu. Lalu kembali memperhatikan sungai di sekitarnya. Beberapa saat
kemudian dia menyelam. Semua pada terdiam. Namun dari atas tebing, baik Lok Ma maupun prajurit berbedil
itu dapat melihat bayang-bayang tubuh Si Bungsu di dalam air sungai yang jernih tersebut. Mereka menatap
dengan diam dan penuh tanda tanya, apa yang akan dilakukan lelaki tersebut dengan pisau tajam itu.
Cukup lama Lok Ma melihat Si Bungsu menyelam hilir mudik di dalam air. Suatu saat tubuhnya nampak
berdiam diri dengan berpegangan pada sebuah batu besar di dalam sungai. Kemudian tiba-tiba tubuh lelaki
tersebut meluncur ke hilir dengan cepat. Tak lama kemudian kepalanya muncul, kedua tangannya terangkat.
Lok Ma yang semula duduk mencangkung, sampai tertegak tatkala melihat di kedua tangan lelaki tersebut
terpegang seekor ikan yang besarnya tak kurang dari paha lelaki dewasa, pisau komando tentara Amerika milik
Lok Ma tertancap di bahagian dada ikan tersebut!
"Wuaw"!" seru Lok Ma. "Wuaw"..!" seru prajurit yang memegang bedil di sampingnya. Penduduk
menatap lelaki asing itu dengan tercengang. Usahkan melihat, mendengar saja mereka belum pernah. Tentang
orang yang mampu menangkap ikan hanya dengan lemparan batu atau menyelam dengan pisau. Apa yang
mereka lihat senja ini adalah suatu hal yang amat menakjubkan. "Apakah komandanmu suka ikan sungai?"
tanya Si Bungsu tatkala berjalan pulang dari sungai. "Dia tak begitu suka ikan. Dia suka daging babi. Tapi semua
tentara di sini menyukai ikan. Kita bisa pesta ikan bakar malam ini?" ujar Lok Ma.
Beberapa wanita yang tadi berada di hilir, kemudian berpapasan dengan mereka di jalan menuju
kampung, pada mengangguk dengan hormat sembari mengucapkan terimakasih pada Si Bungsu. Si Bungsu
membalas ucapan terimakasih yang sangat dia hafal itu dengan ucapan "terimakasih kembali" sembari
membungkukkan badan. Wanita-wanita itu tertawa bergumam senang mendengar balasan terimakasih
mereka yang diucapkan lelaki asing tersebut dalam bahasa ibu mereka. Beberapa lelaki kampung pada
berbisik, kemudian mengangguk kepada Si Bungsu.
Mereka, terutama kanak-kanak, pada berbaris mengikuti Lok Ma, Si Bungsu dan prajurit yang membawa
ikan sebesar paha itu. Ikan itu diikat dengan tali moncongnya lewat insangnya. Kemudian sebuah kayu panjang
sedepa diambil dari tepi sungai. Dengan kayu itu, ikan besar tersebut dipikul oleh Lok Ma dan si prajurit. Cara
aneh yang dilakukan Si Bungsu menangkap ikan di sungai tersebut segera diketahui seisi kampung. Mereka
ramai-ramai ke depan rumah besar yang dijadikan markas komandan tentara di desa ini. Sebelas ikan sebesar
betis yang dibawa oleh para wanita dibawa ke markas tersebut.
Si overste yang mendengar ramai-ramai segera keluar. Dia terheran-heran melihat semua penduduk
berkumpul di depan markasnya. Dan semakin heran melihat ikan demikian banyak dan yang seekor alangkah
besarnya. Lok Ma segera menceritakan bagaimana ikan-ikan itu didapat.
Dalam Neraka Vietnam-bagian-671
Kemudian seorang lelaki tua, pimpinan desa itu maju. Dia bicara kepada si komandan. Si Komandan
mendengar pembicaraan pimpinan desa itu dengan seksama. Kemudian dia mengangguk. Lalu bicara pada
masyarakat dan belasan tentara yang ada di depan rumah besar itu.
Semua mereka bertepuk tangan usai si komandan berbicara. Di dalam rumah, kepada Si Bungsu si
overste bercerita, besok kebetulan Hari Raya Tet. Salah satu hari raya besar di antara belasan hari raya orang
Vietnam tiap tahunnya. Penduduk ingin merayakannya dengan mengadakan hiburan sambil makan-makan
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 706
bersama. Selain seluruh ikan yang baru diperoleh itu, juga akan dipanggang dua ekor babi sumbangan
penduduk.

Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tuan suka babi?"" tanya overste tersebut. Si Bungsu menggeleng. "Saya seorang muslim?" ujarnya
menjelaskan. "Oo, moslem. Islam" ya agama Islam melarang makan babi?" ujar overste itu mengingat
pelajarannya di Akademi Militer. "Siang tadi Tuan mengatakan saya menderita penyakit paru-paru yang sudah
berat. Dari mana Tuan tahu?" "Dari wajah dan warna ludah Anda, Overste?" jawab Si Bungsu perlahan sambil
menatap wajah letnan Kolonel itu. Overste itu menatap Si Bungsu beberapa saat, tanpa berkata sepatah pun.
Kemudian menunduk. Dan tiba-tiba matanya basah. Dia berusaha menghapusnya. Seperti tak ingin dilihat
menangis di depan orang. Namun betapapun dia tak mampu menahan agar matanya tak basah.
"Saya telah membunuh anak-anak saya yang paling saya cintai dengan menularkan penyakit celaka ini.
Usia mereka masih terlalu muda untuk mampu bertahan?" ujarnya perlahan dengan suara terdengar bergetar.
"Saya ikut berduka?" ujar Si Bungsu perlahan. "Saya sudah berobat kemana-mana. Tetapi, rokok, minuman
keras, heroin dan perang celaka ini tidak hanya menghancurkan hidup saya, juga anak-anak saya yang
tertular?" ujar si overste.
"Saya pernah belajar membuat ramuan obat, tatkala saya sendirian selama dua tahun dalam belantara
di kampung saya. Semula ramuan obat itu saya buat asal-asalan, untuk mempertahankan hidup. Namun setelah
mencoba berbagai jenis daun, kulit, akar, getah kayu rumput dan lumut yang ternyata berkhasiat untuk obat.
Lalu ketika saya di Amerika, seorang Indian menambah banyak sekali pengetahuan saya tentang ramuan obat
dari lumut, rumput, akar, daun dan getah beberapa jenis kayu lagi. Jika Anda mau mencoba Overste, di sungai
tadi saya telah mengumpulkan lumut yang baik sekali untuk obat, berikut beberapa jenis rumput dan daun
kayu"." "Berapa lama ramuan itu bisa se?" pertanyaan overste itu terhenti oleh sedakan batuk yang mulamula ringan.
Namun batuknya makin lama makin keras dan membuat dia sulit bernafas. Si Bungsu tahu, jika siang
hari orang yang menderita penyakit seperti overste ini takkan begitu merasakan penyakit yang
menggerogotinya. Sebab siang hari udara panas. Namun begitu malam mulai turun, seperti sekarang, penyakit
itu kambuh. Makin dingin hari, makin dahsyat serangannya. "Saya akan kembali ke pondok saya, akan saya
buatkan ramuan itu segera?" ujar Si Bungsu sambil berdiri
Overste itu hanya mampu mengangguk, sementara batuknya kemudian menyerang berkali-kali. Lok Ma
yang ada dalam rumah itu segera membantu komandannya. Mengambilkan sebaskom air panas dari periuk di
tungku, kemudian sebuah handuk kecil yang bersih. Di luar rumah, Si Bungsu melihat kesibukan penduduk dan
tentara mempersiapkan segala sesuatu untuk merayakan Hari Raya Tet malam nanti. Mereka membuat dua
perapian untuk membakar ikan dan babi. Kemudian sebuah lagi untuk menanak nasi. Melihat Si Bungsu
muncul, beberapa lelaki datang menyalaminya.
Beberapa wanita saling berbisik. Para tentara menatapnya dengan diam. Dia masuk ke pondoknya.
Mengambil lumut dan beberapa jenis daun yang dia bungkus dengan daun pisang senja tadi. Di daun pisang itu
bahan-bahan tersebut dia remas menjadi satu. Saat dia keluar kebetulan Lok Ma datang. Kepada Lok Ma dia
minta dicarikan air kelapa muda. Kemudian anak pisang. Dalam waktu yang tak begitu lama bahan-bahan itu
diantarkan Lok Ma kepadanya. Dia meminta sebuah baskom alumunium, atau periuk kecil. Ramuan itu dia
masukkan ke periuk kecil Dalam Neraka Vietnam-bagian-672
Bersama anak pisang yang dicencang halus, ramuan itu dia rebus dengan air kelapa, sampai airnya
tinggal sedikit sekali. Ramuan yang sudah direbus itu diletakkannya ke selimut rombeng yang diberikan Lok
Ma untuk selimut tidurnya. Karena dia merebus ramuan itu di luar pondok, banyak penduduk dan tentara yang
melihat apa yang dia lakukan.
"Sekarang carikan sebuah mangkuk?" ujarnya pada Lok Ma, sembari menyisihkan umbut anak pisang
ke sebuah piring. Lok Ma bicara pada seorang gadis. Gadis itu segera berlari-lari kecil ke rumahnya. Kemudian
datang lagi membawa sebuah mangkuk porselen yang sudah sumbing di beberapa tempat. Si Bungsu meremas
ramuan itu, memasukkan pati remasannya ke dalam mangkuk porselen. Hasilnya didapat hampir semangkuk
penuh. "Mari kita ke komandanmu. Mudah-mudahan ramuan ini tepat campurannya?" ujar Si Bungsu pada Lok
Ma. Ketika mereka masuk ke rumah besar berlantai tanah yang dijadikan sebagai markas tentara itu, si overste
ternyata sudah terbaring lemah. Tubuhnya memanas, wajahnya pucat. Dia ditunggui oleh Kapten Bhun Dhuang,
yang duduk di sebuah kursi di dekat pembaringannya.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 707
"Dua bulan yang lalu, ketika saya di Da Nang, dokter mengatakan nyawa saya hanya bisa bertahan
selama lima bulan. Menurut dia, paru-paru saya sudah tak berfungsi?" tutur overste itu ketika Si Bungsu dan
Lok Ma duduk di sisi pembaringannya. "Dia mengatakan apa penyakit Tuan, Overste?"" tanya Si Bungsu.
"Seperti yang Tuan katakan, paru-paru"." "Maaf, paru-paru Tuan digerogoti kanker, Overste?" ujar Si Bungsu
perlahan. Overste itu, si Kapten dan Lok Ma, tertegun dan pada menatap Si Bungsu. "Maaf, saya hanya ingin Tuan
mengetahui apa penyakit yang menggerogoti Tuan, Overste?" sambung Si Bungsu. "Apakah Anda seorang
dokter?" tanya si overste. Si Bungsu menggeleng. "Lalu bagaimana Anda bisa menebak bahwa penyakit saya
adalah kanker?""
"Guratan hijau halus di mata Tuan, kuku Tuan yang juga menghijau, kendati amat samar-samar, adalah
tanda yang amat jelas bahwa paru-paru Tuan diserang kanker. Saya belajar tentang itu dari Indian tua di
Amerika, sebagaimana pernah saya ceritakan pada Tuan?" tutur Si Bungsu, seraya meminta Lok Ma
menyediakan segelas air putih. "Kapten Bhun, kamu yang memimpin perayaan Tet di luar. Saya tak mungkin
bisa berdiri?" ujar overste itu dengan suara mulai menggigil.
"Pertama Tuan harus memakan habis anak pisang ini. Kemudian Tuan minum cairan ini setengah gelas.
Obat ini hanya untuk tiga hari. Namun untuk melihat apakah ramuannya tepat atau tidak. Tuan tidak perlu
menunggu sampai tiga hari. Reaksi pertama setelah Tuan memakan habis rebusan anak pisang dan meminum
cairan ini, panas tubuh Tuan akan turun. Lalu Tuan akan tertidur. Jika Tuan merasa lebih segar saat bangun
berarti obat ini bisa diharap menyembuhkan penyakit Tuan. Sembuhnya bisa berbulan-bulan, namun asal Tuan
bisa istirahat total, nyawa Tuan ada harapan bisa tertolong?" tutur Si Bungsu perlahan.
Overste itu tersenyum lemah. Mungkin karena memang makan atau tak makan obat itu sama saja
baginya, dia pasrah saja. Dikunyahnya rebus anak pisang itu. Mula-mula dia meringis, merasakan betapa tak
sedap dan kelatnya rebus anak pisang itu. Karena susah menelannya, beberapa kali dia dorong untuk meneguk
sedikit cairan di dalam gelas tersebut. Tiap meneguk cairan itu dia kembali meringis.
"Saya rasa yang Anda berikan ini bukan obat, tapi racun?" rutuk overste itu dengan muka masam,
sembari terus mengunyah dan menelan sisa rebus anak pisang di mulutnya. "Racun yang kadarnya di atas
cianyda sedikit?" ujar Si Bungsu, yang disambut dengan senyum si overste, juga Sersan Lok Ma dan Kapten
Bunh Dhuang. Setelah itu perwira tersebut kembali berbaring. Beberapa kali dia menguap. Lok Ma meraba
tangan Overste itu. "Panasnya turun drastis?" ujar Lok Ma takjub.
Kapten Bhun Dhuang ikut-ikutan meraba tangan si Overste, dan dengan heran dia menatap pada Si
Bungsu. "Obat Anda amat manjur. Cepat sekali?" ujarnya. "Masih harus kita buktikan beberapa jam lagi, apakah
dia bisa bangun atau langsung mati?" ujar Si Bungsu, yang kembali disambut dengan senyum masam oleh
overste yang sudah mulai mengantuk itu.
Mereka lalu meninggalkan perwira itu sendirian di kamarnya. Si Bungsu diantarkan Lok Ma ke
pondoknya. Namun ketika akan keluar dari rumah besar itu, Si Bungsu menoleh pada Kapten Bhun Dhuang.
Dia lihat kedua tangan Kapten itu, mulai dari pergelangan hingga seluruh jari-jarinya dibalut dengan perban.
"Maaf saya sudah mencederai Anda, Kapten?" ujarnya. Si Kapten menjawabnya dengan senyum.
Dalam Neraka Vietnam-bagian-673
"Saya tidak tahu, apakah obat yang Anda pakai di balik perban itu cukup manjur atau tidak. Jika Anda
tak keberatan, saya punya ramuan di pondok?" ujar Si Bungsu. Kapten itu menatap kedua tangannya yang
berbalut perban mirip orang akan bertanding tinju. "Saya berminat juga mencoba obat Anda, dokter?" ujar
Bhun Dhuang, sambil mengikuti Si Bungsu dan Lok Ma ke pondoknya.
Di luar, di halaman yang cukup luas untuk berkumpul seratus orang, yang merupakan alun-alun di desa
tersebut, orang semakin sibuk mempersiapkan tempat perayaan Hari Raya Tet. Tentara bekerja membuat meja
panjang dan kursi darurat. Karena desa itu memang berada jauh di tengah hutan belantara, dengan mudah
mereka mendapatkan pohon-pohon yang diperlukan untuk dijadikan tiang meja dan kursi. Untuk alas tempat
duduk dan daun meja, mereka memotong bambu, yang disusun menjadi bidang luas. Beberapa lelaki kelihatan
tengah membersihkan dua ekor babi.
Kedua hewan itu dibunuh dengan terlebih dahulu mengikat kedua kakinya. Lalu digantung dengan
kepala menghadap ke bawah. Lehernya ditusuk dengan sebilah pisau yang amat runcing dan tajam. Darah yang
mengalir dari leher babi itu ditampung dengan sebuah tong kayu yang cukup besar. Darah tersebut dicampur
dengan semacam asam sehingga mengental mirip hati. Darah beku yang digoreng atau dibakar merupakan
makanan yang luar biasa nikmatnya bagi orang-orang Vietnam.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 708
"Bisa minta air yang agak panas?" ujar Si Bungsu pada Lok Ma, saat mereka akan masuk ke pondoknya
bersama Kapten Bhun Dhuang. Lok Ma segera mengambil baskom tempat Si Bungsu meremas ramuan obat
tadi. Kemudian memanggil seorang wanita. Menyuruh bersihkan baskom tersebut dan mengisi nya dengan air
panas. Ketika wanita itu kembali dengan air panas, dia menatap Si Bungsu. "Assalamualaikum?" sapa wanita
itu perlahan. Si Bungsu, Lok Ma dan Bhun Dhuang menatap pada wanita itu. Jika kedua Vietnam itu menatap dengan
heran, Si Bungsu justru terkejut. "Wa"alaikummussalam?" ujar Si Bungsu perlahan, sambil menatap hampir
tak percaya pada wanita itu. "Ana anta Islam?" ujar wanita separoh baya itu dalam bahasa Arab yang ala
kadarnya. Si Bungsu ternganga. Dia menoleh pada Lok Ma. "Suruh dia masuk dan duduk. Tanyakan padanya
darimana di tahu saya seorang Islam?" ujar Si Bungsu dalam bahasa Inggris pada Lok Ma.
Sersan itu menyuruh si wanita masuk dan duduk di tikar bambu di depan Si Bungsu dan Bhun Dhuang.
Dengan takut-takut dia mendekat, namun tetap berdiri. Dia baru duduk dengan amat sopan setelah Kapten
Bhun Dhuang ikut menyuruh dia duduk. Lok Ma kemudian menanyakan darimana dia tahu Si Bungsu seorang
Islam. "Saya melihatnya ketika dia sembahyang Asyhar setelah mandi sore tadi di tepi sungai?" ujar wanita itu,
yang diteruskan oleh Lok Ma kepada Si Bungsu.
"Sampeyan tiang Jawi?"" tiba-tiba wanita itu kembali mengejutkan Si Bungsu, tatkala dia bertanya
dalam bahasa Jawa apakah Si Bungsu orang Jawa. Tentu saja Lok Ma dan Bhun Dhuang tak faham apa arti
pertanyaan wanita tersebut. Si Bungsu sampai dibuat ternganga. Buat sesaat dia tak bisa bicara sepatah pun.
"Ibu dari Jawa?" ujarnya dalam bahasa Indonesia.
Dalam Neraka Vietnam-bagian-674
Kali ini wanita itu yang ternganga. "Ja" uwa" ya, Ja uwa?" ujarnya mencoba mengeja. Si Bungsu
menoleh pada Lok Ma, kemudian dia berkata. "Ibu ini nampaknya turunan dari Jawa, salah satu pulau di
Indonesia. Tolong tanyakan padanya, tentang asal usulnya, juga tentang keluarganya di sini. Barangkali ayah
atau ibunya berasal dari Indonesia?"ujar Si Bungsu.
Namun sebelum Lok ma menanyai wanita itu, Si Bungsu teringat, bahwa dia harus mengobati tangan
Kapten Bhun Dhuang. Dia minta maaf pada si Kapten, dan menyuruh Lok Ma mengundurkan pertanyaannya.
Namun Kapten itu menyuruh agar pembicaraan itu dilanjutkan, sementara dia membersihkan tangannya
dengan air suam-suam kuku yang tadi dibawakan wanita tersebut. Lok Ma lalu menyampaikan pertanyaan Si
Bungsu kepada wanita itu. Dan bertuturlah wanita tersebut. Kakeknya adalah seorang pelaut yang lahir dari
perkawinan campuran, ibu Madura dan ayah Jawa.
Sekitar tujuh puluh tahun yang lalu, kakek buyutnya itu merantau ke Thailand. Kemudian berdagang ke
Vietnam Selatan, yang juga beberapa pedagang asal Indonesia dan Malaya. Di Vietnam ini lelaki itu tertarik
pada seorang gadis setempat dari keluarga muslim. Mereka menikah dan menetap di Vietnam. Pasangan ini
melahirkan dua anak lelaki dan seorang anak perempuan. Dia adalah anak perempuan itu. Dia tak bisa
berbahasa Indonesia karena ayahnya jarang sekali berbahasa Indonesia. Apalagi ayahnya sudah meninggal
sekitar lima belas tahun yang silam.
Dia hanya hafal beberapa potong bahasa Jawa yang pernah diajarkan ayahnya ketika dia masih berusia
belasan tahun. Namun karena tak pernah dipergunakan lagi, bahasa itu berangsur-angsur lenyap dari
ingatannya. Si Bungsu menyalami wanita itu, setelah ceritanya dalam bahasa Vietnam itu diterjemahkan Lok
ma ke dalam bahasa Inggris. Wanita berusia separoh baya itu menyambut uluran tangan Si Bungsu dengan
mata berkaca-kaca. Sambil meramu obat, mereka lalu terlibat pembicaraan yang diterjemahkan oleh Lok Ma.
Lok Ma menjadi penerjemah untuk kedua orang itu.
Jika wanita itu yang bicara Lok Ma menerjemahkan bahasa Vietnam itu untuk Si Bungsu ke dalam bahasa
Inggeris. Sebaliknya Si Bungsu yang bicara dalam bahasa Inggeris kemudian diterjemahkan untuk wanita itu
oleh Lok Ma ke dalam bahasa Vietnam.
"Menurut kakek saya, Kota Jawa itu besar sekali, penduduknya juga amat ramai?" ujar wanita tersebut.
"Jawa itu nama pulau, Bu. Ada ratusan kota di sana. Jawa itu bahagian dari negeri yang bernama Indonesia. Ada
ribuan pulau besar kecil di negeri itu"." "Tuan juga berasal dari Jawa?" "Tidak. Saya dari pulau Sumatera.?"
"Jauh dari Jawa?" "Tidak juga"." "Tuan pernah ke Jawa?" "Pernah, ke Jakarta"." "Jauh Kakarta itu dari Jawa?"
"Jakarta itu ibukota Indonesia, seperti Saigon ibukota Vietnam Selatan dulu. Jakarta itu terletak di Pulau
Jawa?" ujar Si Bungsu sambil mengoleskan ramuannya yang sudah selesai dibuat ke pergelangan tangan dan
buku-buku jari Kapten Bhun Dhuang.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 709
"Ada berapa keluarga muslim di kampung ini?"" "Ada lima keluarga.?" "Berapa keluarga di sini
semuanya?" "Kira-kira lima puluh keluarga"." "Saya bahagia sekali bisa bertemu dengan orang seagama dan
dengan orang yang sekampung dengan ayah saya. Saya ingin sekali datang ke Jawa. Mungkin suatu hari kelak,
saya akan datang ke sana bersama anak-anak saya?" ujar wanita itu dengan mata berlinang.
Lalu dia membungkukkan badan, memberi hormat. Kemudian minta izin meninggalkan pondok itu. Si
Bungsu berdiri, menyalami wanita tersebut. Dia mengantarkannya ke pintu. "Saya doakan niat Ibu untuk
datang ke Jawa disampaikan Tuhan. Saya senang di sini bisa bertemu dengan keturunan orang Indonesia?"
ujar Si Bungsu. Si Bungsu lama berdiri di pintu. Menatap wanita itu berbaur dengan penduduk lainnya di halaman
rumah besar di ujung sana. Dari kejauhan dia lihat wanita itu dikerubungi beberapa wanita dan anak-anak.
Nampaknya dia bercerita tentang pertemuan mereka sebentar ini. Kemudian bersama Lok Ma yang tadi
menjadi juru bahasanya dia kembali masuk ke pondok. Melihat tangan si Kapten yang sudah dia olesi ramuan
obat. "Terimakasih, kawan, ramuan obatmu manjur sekali?" ujar Kapten Bhun Dhuang ketika melihat Si
Bungsu masuk bersama Lok Ma. Si Bungsu memeriksa kedua kepalan tangan perwira tersebut. Bengkaknya
sudah jauh menyusut. Warna merah kehitam-hitaman yang tadi terlihat dari pergelangan tangan sampai ke
batas siku, kini sudah lenyap sama sekali. Kedua pergelangan tangan yang retak dan membengkak sebesar telur
ayam, kini sudah hilang bengkaknya. Si Bungsu lalu meminta perban kepada Lok Ma. Lalu membalut kedua
tangan si Kapten mulai dari pergelangan tangannya ampai ke ujung lima jarinya.
"Maaf, untuk sementara bila lapar Anda terpaksa disuapkan. Tapi, jika obat ini manjur besok pagi Anda
bisa memegang sendok. Hanya saya kurang yakin?" ujar Si Bungsu. "Bila Anda kurang yakin saya justru sangat
yakin?" ujar si Kapten sambil tersenyum.
Namun besok yang diucapkan Si Bungsu merupakan hari yang tak pernah terbayangkan sedikitpun, baik
oleh Si Bungsu maupun oleh semua tentara Vietnam yang bermarkas di kampung tersebut. Subuh sekali, tatkala
malam perayaan Hari Raya Tet baru saja usai, dan hampir semua penduduk serta tentara pada bergelimpangan
tidur karena kenyang dan lelah menari, dua peleton pasukan khusus tentara Vietnam, ditambah tiga perwira
dari korp polisi militer, yang dikirim langsung dari Kota Ben Hoa, menyelusup masuk.
Tanpa banyak bicara mereka mengambil alih tawanan. Termasuk Si Bungsu, yang karena lelah sedang
tidur lelap. Dia tersentak bangun ketika merasa ada yang menindih tubuhnya yang sedang menelungkup. Dia
tak sempat bergerak banyak karena dua orang ternyata sudah menginjak tengkuk dan pinggangnya. Lalu dia
merasa tangannya kembali diikat ke sebuah kayu pendek yang disandangkan ke bahunya. Nasib seperti siang
kemarin ternyata kembali terulang. Sebuah kayu diletakkan di bahunya. Kedua tangannya diikat ke kayu
sebesar lengan lelaki dewasa itu.
Subuh belum bersambut dengan pagi, pasukan khusus itu kemudian menggelandang tawanannya. Si
Bungsu baru tahu, ternyata masih ada tiga orang tentara Amerika yang disekap di desa tersebut. Dia tak tahu
di mana mereka disekap. Dalam Neraka Vietnam-bagian-675
Namun melihat tubuh mereka, dia menduga mereka di sekap dalam kerangkeng dalam air. Atau mereka
di sekap dalam rawa atau di dalam sungai.Itu dapat dilihat di kaki mereka yang pucat dan berkerut. Ada kudis
dan lintah di beberapa bagian kaki mereka. Mata mereka amat cekung, wajahnya amat pucat.
Tentara dan penduduk desa yang tersentak bangun oleh kedatangan pasukan khusus itu, hanya tegak
termangu melihat para tawanan diikat, kemudian di gelandang di bawah todongan bedil bersangkur. Beberapa
orang diantaranya termasuk Si Bungsu, tanpa sebab yang jelas di hajar dengan popor senjata. Overste yang jadi
komandan pasukan di desa itu, mendapat penjelasan pendek dari salah seorang polisi militer itu yang
berpangkat Kapten. Si Overste sebenarnya keberatan Si Bungsu di bawa.
Tapi dia terpaksa berdiam diri melihat ketiga polisi militer itu, berikut Mayor yang mengomandani
pasukan khusus itu, menatap padanya dengan tajam. Baik dari cara polisi militer itu berbicara pada overste,
juga sikap overste yang hanya berdiam diri, dapat di tebak bahwa pasukan khusus yang datang ini membawa
wewenang dari politbiro partai komunis dan dengan kekuasaan yang tak bisa di bantah siapapun. Dalam
sebuah negara yang kacau, juga di sebuah negara otoriter, hukum dan kekuasaan di tentukan oleh ujung bedil.
Fakta itu tak bisa di bantahkan.
Bukanlah hal yang aneh, di kalangan sesama tentara juga terjadi persaingan dan pamer kekuasaan.
Namun, di negara manapun dan dalam kondisi apapun, perang atau damai, polisi militer dan pasukan khusus
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 710
tetap saja merupakan pasukan yang amat di segani. Bahkan dalam keadaan tertentu, di takuti oleh tentara,
apapun pangkatnya. Si Overste terpaksa berdiam diri, karena menurut komandan polisi militer yang datang,
perintah pemindahan tawanan perintah langsung dari komite sentral partai komunis Vietnam yang
berkedudukan di hanoi, ibukota Vietnam.
Laporan tentang lolosnya tawanan Amerika dan terbantainya pasukan yang menjaganya, berikut
Kolonel yang menjadi komandannya, ternyata sudah tersebar luas di Vietnam. Dan laporan yang di sampaikan
ke Hanoi memang tidak di sebut-sebut nama Si Bungsu sebagai penyebab lolosnya tentara Amerika, tapi salah
seorangnya berpangkat Kolonel dari SEAL. Yang disebut menyebabkan lolosnya tentara Amerika dan infiltrasi
dari beberapa helikopter tempur yang canggih.
Kendati yang menyerang hanya satu heli, itu sudah cukup bagi mereka untuk "memperbanyak" jumlah
heli yang menyerang. Para jendral Vietnam tentu takkan bisa menerima kalau yang menyapu bersih satu
pasukan hanya 17 orang pelarian dan satu orang sipil yang belum pernah latihan militer. Pemalsuan berita itu
sudah di mulai dari tingkat paling bawah. Dan hal itu tentu menyelamatkan Si Bungsu, paling tidak untuk
sementara. Dia hanya di kenal salah seorang mata-mata yang ikut dalam penyerangan oleh helikopter Amerika
yang di sebut sampai enam buah. Polisi militer itu bukan PM biasa. Mereka di rekrut dari kader pilihan partai
komunis. Mereka tidak memakai helm putih, sebagaimana jamak di negara lain. Tanda mereka sebagai polisi
militer adalah ban merah yang di ikat di lengan kanan bertuliskan aksara Vietnam.
Mereka bukan tentara biasa, mereka adalah pilihan dari komite partai sentral. Tentara tak bisa
melakukan apapun tanpa persetujuan partai. Anggaran untuk partai juga di tentukan oleh partai. Dan siapasiapa yang naik pangkat juga di tentukan partai. Kekuasaan tertinggi berada di tangan partai, bukan di tangan
presiden atau panglima-panglima tentara. Partai komunis dimanapun di dunia, mengontrol semua yang
berlaku di negara bersangkutan. Baik pemerintahan militer, politik, sosial kemasyarakatan, juga seni dan
budaya. Semua sistem harus mendukung, membesarkan partai. Karena itu, polisi militer itu selain di benci juga
di takuti tentara reguler yang bukan berasal dari partai. Kendati mereka sama-sama komunis. Pimpinan
komunis di Hanoi nampaknya kuatir, tentara Amerika melakukan operasi besar-besaran memebebaskan
tentara mereka yang di tawan di Dalam Neraka Vietnam. Dari laporan mengenai helikopter Amerika datang
dari arah barat dan kembali kearah itu, para petinggi militer segera bisa menebak.
Bahwa pasukan rahasia Amerika, mungkin dalam unit-unit kecil, membuat markas tersembunyi di
Kamboja. Oleh karena itu para tawanan di pindahkan ke tempat rahasia yang berdekatan dengan perbatasan
kamboja, agar sesegeranya di pindahkan dari arah itu. Mereka harus di pindahkan ketempat rahasia di wilayah
yang cukup jauh dari lokasi semula.
Partai mengerahkan pasukan khusus yang terpercaya untuk mengambil dan membawa para tawanan
ke berbagai tempat. Kemudian meyekap mereka di tempat-tempat yang sudah di tentukan. Para tawanan itu
tidak pernah di beritakan penangkapan mereka apalagi identitas mereka. Itu sebabnya disebut (Missing In
action) MIA personel yang hilang di peperangan. Bagi Vietnam, semakin lama mereka menahanan tentara
Amerika, yang mereka tawan dalam peperangan semakin baik.
Karena tawanan itu bisa menjadi alat penekan bagi mereka di setiap perundingan. Amerika sendiri tak
bisa menekan Vietnam, bahwa mereka tak punya bukti kalau para tentaranya di tawan Vietnam. Jadi pasukan


Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

khusus yang berusaha sekuat tenaga mencari MIA itu bertindak secara individu-individu. Hanya tentu sangat
di rahasiakan. Ada dua alasan kenapa Amerika masih mempertahankan dan membiayai unit-unit kecil untuk
membebaskan MIA di Vietnam.
Pertama, karena masalah harga diri. Amatlah memalukan bagi negara sehebat Amerika ternyata
meninggalkan ribuan tentaranya di peperangan di belantara Vietnam tanpa mengetahui bagaimana nasib
mereka. Kedua, karena desakan keluarga tentara-tentara yang hilang itu. Yang didukung belasan organisasi
anti perang di Amerika. Mereka menuduh Amerika ikut campur urusan negara lain dengan mengorbankan
ribuan anak-anak muda Amerika yang tak berdosa. Ikut campurnya Amerika di berbagai pertempuran di
berbagai belahn bumi, tak seluruh rakyat Amerika yang mendukung.
Dalam Neraka Vietnam-bagian-676
Ada berbagai lapisan kelompok masyarakat, umumnya intelektual, yang menganggap campur tangan
Amerika di negara lain adalah tindakan yang sudah kelewat batas. Ambisi pemerintah Amerika untuk menjadi
polisi dunia, menyebabkan mereka ditentang oleh segolongan rakyatnya sendiri. Mengirim pasukan ke negara
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 711
lain, yang sudah tentu memerlukan biaya yang amat tinggi, tidak hanya menghamburkan uang untuk hal-hal
yang tidak jelas, tetapi sekaligus juga mengorbankan nyawa anak-anak muda Amerika.
Sebagian dari mereka yang dikirim ke medan perang adalah anak-anak muda yang harus ikut dalam
program wajib militer. Dengan dukungan Undang-Undang, program ini memang sudah dilaksanakan sejak
meletusnya Perang Dunia II. Dan sejak itu pula, sudah ratusan ribu pemuda Amerika gugur. Hancur bersama
pesawatnya yang tertembak di udara, berkeping oleh ranjau, remuk ditembaki artileri, hilang di belantara, atau
terkubur di lautan. Si Bungsu dan ketiga tentara Amerika yang kini berada di bawah kekuasaan pasukan khusus dan Polisi
Militer Vietnam itu benar-benar tak pernah membayangkan nasib buruk yang tengah menanti mereka. Dalam
posisi kedua tangan terikat ke kayu yang disandangkan ke bahu, mata mereka ditutup dengan kain tebal ketika
akan meninggalkan kampung tersebut. Selain itu, kaki mereka dirantai dan dihubungkan antara yang satu
dengan yang lain. Membawa tawanan dengan cara seperti itu sudah menunjukkan bahwa tawanan tersebut
tidak saja dinilai penting, tetapi juga berbahaya.
Mereka digelandang naik sebuah truk tua buatan Rusia. Di truk itu, rantai yang mengikat kaki mereka
dikuncikan ke beberapa gelang yang sengaja dibuat dan ditempelkan pada dinding truk dengan mur dan baut
yang menembus dinding truk itu. Gelang itu terbuat dari besi sebesar ibu jari. Mereka disuruh tiarap. Lalu truk
itu berjalan. Suara mesinnya ribut bukan main. Jalan yang ditempuh luar biasa rusaknya. Selama dalam
perjalanan yang alangkah lama dan jauhnya, melewati jalan tanah berlumpur, keempat tawanan yang tiarap di
lantai truk dengan mata tertutup itu sengsara bukan main.
Truk tua buatan Rusia tersebut tidak hanya oleng dan terguncang-guncang, tetapi juga terlambunglambung. Ada kesan bahwa truk ini dilarikan dengan kencang untuk mengejar waktu yang sudah ditetapkan.
Beberapa kali kedua truk itu terpaksa berhenti karena terperosok ke dalam lumpur. Ke empat tawanan tetap
dijaga di atas truk dalam keadaan tertelungkup. Sesekali seorang tentara memeriksa tutup mata mereka. Truk
yang terpuruk itu kemudian ditarik mempergunakan wing baja, yang memang tersedia pada hampir semua
truk perang. Kawat baja yang panjangnya sekitar dua puluh meter, yang digulungkan pada sebuah silinder besi di
bahagian depan truk, direntang ulur dengan menghidupkan mesin. Ujungnya yang dipasang kait besi besar
dililitkan ke pohon terdekat. Lalu mesin dihidupkan untuk menggulung kembali kawat baja tersebur. Kawat
yang diikatkan ke pohon itu menjadi tegang, dan putaran mesin yang menggulung kawat itu menyebabkan truk
tertarik keluar dari lumpur, yang terkadang dalamnya membenamkan seluruh roda-roda besar truk tersebut.
Dengan kedua tangan masih terikat ke kayu di bahu, dengan mata tertutup dan kaki terantai satu sama
lain, yang dikuncikan lagi ke cincin besi di dinding truk, bagi Si Bungsu maupun ketiga tawanan Amerika itu
benar-benar tak ada kemungkinan untuk melarikan diri. Ketiga tentara Amerika tersebut nampaknya benarbenar parah. Yang seorang, yang lintah masih lekat di pahanya, nampaknya dalam kondisi paling buruk. Dia
diserang demam malaria tropikana. Yang dua lagi, kendati tubuh mereka sudah seperti mayat hidup, kurus dan
pucat, namun tidak separah yang diserang malaria itu.
Celana dan baju loreng yang mereka kenakan sudah benar-benar compang-camping. Ketiganya tidak
mamakai sepatu. Kudis menggerogoti sebahagian besar tubuh mereka, terutama sebatas dada ke bawah. Pada
batas dada ke atas kentara sekali bedanya. Bahagian dada ke bawah pucat dan keriput, bahagian dada ke atas
agak mendingan. Batas dan keriput itu tercipta karena selama berbulan-bulan mereka direndam dalam
kurungan yang dibuat di dalam sungai atau rawa yang airnya bercampur lumpur. Tempat menyekap tawanan
Amerika dengan kondisi seperti itu merupakan hal yang lazim bagi Vietnam.
Jumlahnya bisa puluhan, mungkin ratusan buah di seluruh Vietnam. Selain siksaan yang nyaris tak bisa
dibayangkan, kurungan model itu jelas dimaksudkan untuk meruntuhkan moral tentara yang mereka tawan.
Ketiga tentara Amerika itu nampaknya sudah menyerahkan nasib mereka bulat-bulat ke tangan takdir. Hampir
sehari penuh tersiksa di atas truk, akhirnya konvoi yang hanya terdiri dari dua truk bermuatan penuh oleh
pasukan khusus Vietnam itu berhenti di suatu desa kecil dan terpencil. Si Bungsu mendengar suara kokok
ayam. Kemudian mendengar suara orang bicara.
Suara tentara melompat turun dari truk. Kemudian suara langkah mendekat. Lalu ada pembicaraan
dalam bahasa Vietnam, yang tentu saja tak dimengerti baik oleh Si Bungsu maupun oleh ketiga tawanan
Amerika itu. Kemudian mereka mendengar perintah untuk turun dalam bahasa Inggris yang cukup baik,
diiringi sentakan keras pada kaki mereka. Karena kaki-kaki mereka saling dihubungkan dengan rantai, hanya
dengan amat susah payah mereka baru bisa turun dari truk tersebut. Kain yang diikatkan erat-erat penutup
mata mereka sesampai di bawah kembali diperiksa.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 712
Kemudian tentara Vietnam itu kembali menggiring ke empat tawanan tersebut dengan mendorongdorong tubuh mereka. Ada sekitar sepuluh menit berjalan dengan saling terantuk-antuk, baru mereka disuruh
berhenti. Si Bungsu mendengar ada suara riak air di bawah. Dari arah riak air itu dia mendengar ada suara
nafas manusia. Rantai di kaki mereka dibuka. Tapi sebelum mereka sempat berfikir apapun, kepala mereka
dihantam dengan popor bedil. Si Bungsu adalah yang pertama kali menerima hantaman itu. Persis di bahagian
belakang kepalanya. Dia tak sempat berbuat apapun. Usahkan berbuat sesuatu, merasakan sakit kena hantam popor senjata
itu pun dia hampir tak sempat. Hanya amat sesaat, sekitar dua atau tiga detik. Rasa sakit yang amat sangat itu
sudah lenyap bersamaan dengan lenyapnya semua rasa apapun, saat tubuhnya jatuh dan tercebur ke dalam air
berlumpur. Saat itu semua menjadi gelap gulita baginya. Setelah dia, berturut-turut ketiga tawanan Amerika
lainnya mendapat giliran. Setelah keempat mereka tercebur, dua orang tentara milisi menutup pintu kurungan
yang terbuat dari batang-batang bambu.
Milisi adalah pasukan yang direkrut dari kader partai komunis di desa-desa dan tidak memiliki seragam
militer kecuali bedil. Usai pintu kurungan itu ditutup, seperti menutup sebuah peti, tiga batang kayu
berdiameter hampir satu meter digelindingkan ke atas pintu bambu itu. Jarak kayu yang satu dengan yang lain
diatur sedemikian rupa. Sehingga tak mungkin ditolak dari bawah. Sebenarnya, tanpa kayu besar itu pun sudah
hampir mustahil bagi yang terkurung di lobang itu untuk keluar. Keempat sisi dinding kurungan itu bukannya
terbuat dari bambu melainkan tanah.
Kurungan ini nampaknya dibuat lain dari yang lain. Di sebidang tanah tanah keras dibuat lobang empat
persegi, sedalam empat kali empat meter. Bahagian atasnya tiga per empat dilantai dengan bambu hampir
sebesar betis lelaki dewasa. Yang seperempat lagi dibuat sebagai pintu yang bisa dibuka dan ditutup. Tawanan
dilemparkan begitu saja ke dalam lobang 4 x 4 m itu. Dengan kedalaman 4 meter, dengan air bercampur lumpur
sebatas dada, adalah mustahil bagi orang untuk "terbang" agar bisa bebas. Namun bagi Vietnam berjaga-jaga itu
tentu saja amat perlu. Dalam Neraka Vietnam-bagian-677
Makanya di atas bambu-bambu yang diikat dengan kukuh itu, yang berfungsi sebagai "atap" kurungan,
masih dipalang lagi dengan tiga batang kayu besar. Lobang yang berfungsi sebagai kurungan itu di dalamnya
sudah berisi dua tawanan, tentu saja juga tentara Amerika. Kedua tentara itulah yang kemudian berusaha
menolong agar empat tawanan yang baru saja dilemparkan masuk ke lobang itu tidak langsung mati terbenam.
Mereka segera berusaha agar bahagian kepala para pendatang baru itu tetap mengapung agar bisa bernafas.
Mereka diupayakan bisa duduk dan disandarkan ke dinding. Namun salah seorang di antaranya, yaitu
yang kena demam malaria tropikana, ternyata sudah tak tertolong lagi. Hantaman popor bedil di kepalanya
mengakhiri derita panjang yang dia alami. "Hei, orang ini sudah mati?" ujar tentara yang berusaha
memberikan pertolongan. Namun pasukan khusus Vietnam yang berada di atas hanya menatap dengan diam
dengan tatapan dingin. "Orang ini sudah mati, tolong angkat dan kuburkan dia?" ujar si tentara kurus yang tadi berusaha
memberikan pertolongan. Usahkan pertolongan, sepatah jawaban pun tak terdengar. Mereka justru
meninggalkan tempat itu, dengan sikap tak peduli. Kini di sana hanya tinggal dua orang milisi yang tadi
menutupkan pintu kurungan tersebut. Kedua mereka juga menatap dengan tatapan dingin. Kemudian
beranjak, mengambil dedaunan yang sudah agak mengering. Dedaunan itu ditimbunkan ke atas pintu
kurungan. Nampaknya hal itu disengaja, agar orang menyangka bahwa di daerah itu hanya semak belukar. Usai
menutup lobang besar itu dengan dedaunan, kedua milisi itu naik ke sebuah pondok kecil.
Pondok itu berada sekitar lima meter dari lobang penyekapan. Pondok sengaja dibuat agak tinggi,
khusus untuk tempat mengawasi lobang di mana para tawanan disekap. Di pondok kecil tersebut ada sebuah
bren, sejenis senapan mesin ringan dengan peluru berantai. Dengan kurungan hanya beberapa meter dari
pondok penjagaan, ditambah dua penjaga yang siaga dengan bedil, ditambah sebuah senapan mesin ringan,
kalaupun yang dikurung di dalam lobang besar itu adalah semut, maka semut itu pun takkan mungkin bisa
meloloskan diri. Kedua tawanan Amerika yang kedatangan empat "tamu" baru itu saling menatap dalam diam. Yang
memegang tentara yang mati tersebut akhirnya melepaskan mayat di tangannya. Kemudian mereka berdua
dengan susah payah membuka ikatan tangan ke tiga orang yang masih hidup. Mereka berdua nampaknya tak
begitu kaget. Hal-hal luar biasa sudah menjadi bahagian dari kehidupan mereka. Malah sebenarnya di dalam
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 713
hati mereka merasa gembira dengan datangnya tawanan baru. Sudah beberapa bulan ini mereka hanya berdua
di kurungan tersebut. Kini ada tambahan teman baru.
Paling tidak mereka kini memiliki tambahan teman bicara. Kedua orang itu, yang kondisi tubuhnya juga
sudah demikian buruk, harus berusaha sekuat tenaga agar ketiga orang yang baru diterjun bebaskan ke tempat
mereka itu tidak mati lemas, terbenam dalam air berlumpur tersebut. Begitulah, dengan menyandarkan ketiga
orang tersebut ke dinding lobang, dengan menekan dadanya sehingga kepalanya tidak terbenam ke air dan
lumpur, mereka bisa memperlambat datangnya elmaut. Si Bungsu siuman pertama. Itu karena dialah yang
paling sehat tubuhnya. Yang satu jelas sudah mati, sementara yang dua lagi sudah demikian lenyai. Dia membuka mata karena
merasa sangat kedinginan. Yang pertama dia rasakan selain rasa dingin, adalah kepalanya yang berdenyutdenyut. Kemudian rasa lapar luar biasa. Kemudian rasa tekanan pada dadanya. Saat matanya terbuka
kepalanya masih tunduk terkulai. Dia melihat sebuah tangan pucat dan berbulu menahan dadanya. Ketika dia
membuka mata dan menolehkan kepala ke arah pangkal tangan yang menahan dadanya itu, dia segera
menampak sebuah wajah berjambang lebat.
Rambutnya gondrong, wajahnya pucat dan kotor sekali. Dari pakaian lorengnya yang sudah menguning
karena lumpur, dia tahu orang ini adalah tawanan Amerika. Dia terbatuk tiba-tiba. Masih ada sisa air di dadanya
saat dia jatuh tercebur. "Hei, selamat datang di neraka?" ujar orang yang dia tatap sambil melepaskan
pegangan tangannya di dada Si Bungsu. Begitu tekanan tangannya dia lepas, tubuh Si Bungsu tiba-tiba melorot
masuk ke air. Tentara itu menjambak rambut Si Bungsu, persis sebelum hidungnya masuk ke air.
Dalam Neraka Vietnam-bagian-678
"Hei orang asing, itu kali terakhir aku menolongmu. Setelah itu kau harus menolong dirimu sendiri.
Sudah dua hari kau kupegangi agar tak mampus lemas?" ujar tentara itu menyumpah.
Si Bungsu memperkuat tegaknya di dalam air. Kemudian dia mengangguk, lalu jambakan pada
rambutnya dilepaskan. Tubuhnya masih doyong dan jatuh berlutut, kepalanya segera tenggelam. Dia cepat
menyesuaikan diri. Sesaat kepalanya muncul, dia kembali terbatuk. Kedua tentara Amerika yang sudah hampir
dua hari memegangi ketiga orang itu hanya menatapnya dengan diam. Si Bungsu dengan susah payah
melangkah di dalam air kuning kental yang hampir setinggi leher dan lumpurnya ternyata tebal sekali di dasar
kurungan tersebut. Kemudian dia bersandar ke dinding tanah.
Cahaya matahari siang yang menerobos masuk dari celah dedaunan kering, yang selintas kelihatan
hanya seperti timbunan sampah yang menutup bahagian atas kurungan itu, membantu Si Bungsu mengenali
"rumah baru-"nya tersebut. Sambil bersandar dia mengurut beberapa urat di tengkuknya. Kemudian di
perutnya. Dalam waktu tak begitu lama, semua rasa sakit akibat hantaman popor itu lenyap. Kemudian dia
menoleh pada mayat yang mengapung tertelungkup hanya semeter dari tempatnya tegak. Dia segera tahu,
mayat itu adalah mayat tentara yang kena malaria tropikana itu.
Kemudian matanya menatap kepada dua tentara yang masih terkulai yang dipegang oleh dua temannya.
Dia tahu, kedua tentara itu adalah yang sama-sama diangkut dengannya dengan truk. Dia juga tahu, kedua
mereka pingsan akibat pukulan popor senapan di belakang kepalanya, seperti yang dia terima sebelum jatuh
ke lobang ini. Si Bungsu melangkah ke arah mereka. Di bawah tatapan kedua tentara itu dia mengurut perlahan
urat di belakang tengkuk dan pada bahagian tertentu dekat pusar kedua tentara yang masih pingsan tersebut.
Tak lama kemudian kedua tentara yang pingsan itu terdengar mengerang. Kemudian nafas mereka mulai
normal. Kemudian membuka mata. Kemudian menggeleng-gelengkan kepala. Kedua tentara yang tadi
memegang mereka menyumpah dan menatap heran pada Si Bungsu.
"Pantat kurap! He.. orang asing, apakah kamu punya ilmu sihir makanya bisa membuat orang sembuh
secepat itu?" ujar yang rambutnya hampir botak. "Terimakasih, kawan. Kalian sudah menyelamatkan nyawa
saya dan orang-orang ini dengan memegang kami agar tak mati terbenam selama".. berapa lama tadi kau
katakan?" ujar Si Bungsu. "Pantat kur"." Sumpah serapahnya terhenti karena disikut temannya yang seorang
lagi. "Hei". Hei..! Kenapa kau main sikut. Karena kau letnan dan aku Sersan, he" Tak kau lihat keanehan yang
dia lakukan" Hanya dengan menjilat tengkuk dan pusat si kerempeng yang berdua ini, dia bisa membuat
mereka bangkit dari liang kubur. Tak kau lihat keanehan itu?""
Si rambut hampir botak itu benar-benar mencerocos seenak udelnya. Mengatakan Si Bungsu menjilat
tengkuk dan pusar kedua orang itu. Padahal yang dilakukan Si Bungsu adalah mengurut dengan jari-jarinya.
Kemudian dia mengatakan kedua orang yang baru ditolong Si Bungsu itu sebagai dua orang yang "kurus
kerempeng". Seolah-olah tubuhnya gemuk benar, padahal hanya tinggal tulang belulang. Si letnan, seorang
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 714
Negro dengan bibir tebal dan rambut benar-benar kribo saking lamanya tak bertemu tukang pangkas, yang
menyikut si Sersan hampir botak itu, tersenyum mendengar cerocos kawannya.
"Hai, kawan Anda bisa bahasa Inggris?" tanya letnan Negro tersebut dengan sikap sopan. Si Bungsu
mengangguk. Kemudian menatap jerajak bambu yang di atasnya ditimbuni sampah, jauh di atas kepala mereka.
Saat itu seekor cecak jatuh dari sela-sela timbunan dedaunan tersebut. Belum sampai sedetik tubuh cecak kecil
itu terhempas ke air, Si Bungsu dibuat terkejut oleh apa yang dilakukan kedua tentara tersebut. Mereka hampir
serentak, melompat ke arah jatuhnya cecak tadi dengan tangan terulur dan jari-jari terkembang siap
menangkap cecak, itu. Ternyata si hampir botak lebih cepat. Si Bungsu dapat melihat dengan jelas tangan kanan
Sersan itu menyambar cecak yang baru jatuh itu.
Namun si hampir botak tak segera berdiri. Dia justru langsung menyelam. Si letnan menarik nafas,
kemudian melangkah lagi ke dinding. Lalu matanya menatap ke atas, ke arah bambu yang menjadi atap lobang
seperti mengharapkan sesuatu jatuh lagi dari atas sana. Saat itulah si hampir botak timbul lagi dari menyelam.
Si Bungsu merasa mual tatkala melihat ujung ekor cecak itu masih tersembul sedikit di antara bibir si hampir
botak. Ekor cecak itu masih bergerak-gerak. Namun dengan cepat lidah si hampir botak terjulur keluar,
mulutnya ternganga sedikit, dan ekor cecak itu lenyap!
Kemudian kelihatan si hampir botak menelan dengan luar biasa nikmatnya. Si letnan, dan dua tentara
yang tadi datang bersama Si Bungsu hanya melihat dengan diam. Malah selera mereka seperti ikut terangsang
melihat si hampir botak itu menikmati cecak sebesar telunjuk tersebut. Si Bungsu menahan rasa mualnya
dengan menatap dinding kurungan yang seluruhnya terdiri dari tanah napal.
Nampaknya lumpur yang ada di bawah kaki mereka sengaja dimasukkan, begitu juga airnya. Sebab air
yang kedalamannya hampir mencapai leher mereka itu, kuning dan bau sekali. Hal itu tentu berbeda kalau air ini berasal dari dalam tanah. Saat itu si Sersan yang tadi bertanya apakah Si
Bungsu bisa berbahasa Inggris kembali bersuara.
Dalam Neraka Vietnam-bagian-679
"Saya tahu bangsa Amerika berasal dari berbagai suku bangsa. Anda dari tentara reguler atau wajib
militer?" tanya letnan tersebut. Si Bungsu menatap letnan itu beberapa saat. Kemudian menatap Sersan yang
hampir botak kepalanya itu. Lalu dua tentara lainnya, yang sama-sama diangkut bersama dia dengan truk.
Keempat orang itu, semuanya berpakaian loreng yang sudah kehilangan bentuk, lusuh dan robek hampir di
seluruh tempat, menatapnya dengan diam.
"Tidak, saya bukan dari ketentaraan Amerika?" jawab Si Bungsu perlahan. Si Letnan dan ketiga tentara
lainnya terdiam sembari menatap Si Bungsu beberapa saat. "Well, kalau begitu Anda tentu bertugas sebagai
mata-mata bayaran?" tanya si letnan, namun ucapannya segera disambar si kepala hampir botak. "Sudah
kukatakan tadi, dia tukang sihir.?"
Namun si letnan dan kedua tentara yang lainnya tak ambil peduli dengan ucapan si Sersan. Begitu juga
Si Bungsu. "Saya orang Indonesia. Saya tidak berkerja untuk dinas rahasia mana pun, termasuk yang tadi Anda
sebutkan?" ujar Si Bungsu perlahan. "Pantat kudis! Kalau begitu dia ini mata-mata Vietnam, yang sengaja
diselusupkan.?" Ucapannya terhenti lagi oleh tepukan tangan si letnan di tengkuknya. "Pantat! Kau tak percaya
dia mata-mata Vietnam" Dia sudah mengatakan tidak bekerja untuk Amerika, lalu untuk siapa lagi dia bekerja,
kalau bukan untuk Vietnam" Dia mengatakan orang In". apa itu tadi" Mana ada negara yang dia sebutkan
tadi?" ujar si Sersan, yang seumur hidup memang tidak pernah mendengar ada negara bernama Indonesia.
Si Bungsu kembali memperhatikan lobang besar tempat mereka dikurung, kemudian menatap ke atas.
Dari semua yang dia perhatikan, dia yakin siapapun yang disekap di lobang ini, termasuk dirinya, takkan bisa
melarikan diri tanpa bantuan orang yang berada di atas sana. Dia yakin, kalaupun mereka bisa mencapai bambu
yang menutup lobang ini, misalnya dengan cara yang satu berdiri di bahu yang lain, agaknya tiga atau empat
orang sambung bersambung, pintu bambu itu takkan bisa mereka buka. Dari bawah kelihatan tiga kayu sebesar
manusia gemuk, dibelintangkan di "atap" bambu.
"Di mana Indonesia itu" Salah satu negara di Afrika atau Asia Tengah?" ujar si letnan yang seumur hidup
juga belum pernah mendengar nama Indonesia. "Antara Singapura dengan Australia?" ujar Si Bungsu. "Oo"
sebelah mana Bali?"" tanya si letnan. Si Bungsu balas menatap si letnan. "Anda pernah ke Bali?"" "Tidak, tapi
negara itu kabarnya indah sekali. Sebuah sorga di laut Pacific, kata orang?" ujar letnan tersebut.
Si Bungsu menarik nafas. Bagi dia, yang hampir setahun berada di Amerika, menjelajahi belasan kota di
sana, antara lain New York, Dallas, Los Angeles, Washington DC dan San Fransisco, ucapan si letnan bukanlah
hal yang aneh. Sebagian besar orang yang dia kenal di Amerika memang tak pernah mengenal nama Indonesia.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 715
Sebagian kecil di antaranya hanya mengenal nama Bali. Bahkan beberapa di antara yang dia kenal justru pernah
datang ke Bali. Tapi sebahagian dari mereka yang pernah ke Bali juga tak tahu bahwa Bali itu hanyalah sebuah
pulau yang amat kecil di negara bernama Indonesia.
Dia tak tahu kenapa kejanggalan seperti itu, tak dikenalnya nama Indonesia oleh kebanyakan orang
Amerika, bisa terjadi. "Bali itu adalah bahagian dari Indonesia?" ujar Si Bungsu perlahan sambil jari-jari kaki
kanannya menggaruk betis kaki kirinya di dalam air, yang terasa gatal sekali. Matanya kembali menatap loteng
bambu di atas sana. "Ingin mencoba lari?"" ujar si Letnan. Si Bungsu menatapnya. "Kami sudah lebih dari
setahun di sini, kau lihat dinding itu?" ujar si letnan sambil menunjuk ke dinding yang berada di sebelah
kanannya. Si Bungsu menoleh ke arah yang ditunjuk letnan tersebut. Dinding itu, setinggi yang bisa dijangkau
tangan, penuh goresan pendek-pendek. Nampaknya tiap sembilan goresan pendek ditutup dengan sebuah
garis menyilang. Goresan menyilang di dinding itu menjadikan tiap satu ikat goresan tersebut genap sepuluh.
Ada puluhan ikat goresan memenuhi dua dinding tanah napal tersebut.
"Satu goresan adalah satu hari. Kami berhenti pada goresan ke lima ratus. Semula pada setiap goresan


Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kami memiliki harapan untuk bebas. Baik dibebaskan teman, dibebaskan karena perang usai dan kesepakatan
penukaran tawanan perang diperoleh antara Amerika dan Vietkong, atau bebas karena melarikan diri. Namun,
barangkali sudah beberapa bulan yang lalu kami berhenti menggores. Tak ada gunanya membuat goresan lagi.
Kami berhenti berharap. Dahulu jumlah kami tujuh orang. Lihat dinding itu, ada tujuh nama di sana. Yang lima
yang diberi tanda sudah mati di lobang ini. Yang terakhir mati adalah Sersan Matley, barangkali dua bulan yang
lalu?" tutur si letnan perlahan.
Keadaan menjadi sunyi saat Si Bungsu menatap ke arah tujuh nama di dinding tersebut. Menatap lima
tanda di ujung lima nama. Dari dua nama yang tertoreh di sana, yang belum diberi tanda, Si Bungsu menjadi
tahu nama kedua orang yang masih hidup ini. Sebab di akhir tiap nama mereka dicantum kan pangkat yang
bersangkutan. Si letnan ternyata bernama PL Cowie. Dia tak tahu apa kepanjangan PL tersebut. Kalau Cowie
pasti nama klan atau nama ayah. Sementara si Sersan yang rambutnya hampir habis, sehingga kepalanya
hampir botak, yang kalau bicara suka menyumpah dan memaki, bernama Tim Smith.
"Well, kalian yang berdua, apa pangkat kalian dan dari kesatuan mana kalian?" ujar si letnan kepada dua
tentara Amerika yang datang bersama Si Bungsu. "Yes, Sir. Sersan Mike Clark dari Divisi Enam Kompi Senjata
Bantuan, pasukan infrantri?" ujar yang seorang. "Kopral Jock Graham dari Divisi Enam Kompi Senjata Bantuan,
bahagian radio?" ujar yang seorang lagi. "Dan Anda, Tuan?" ujar Letnan Cowie pada Si Bungsu. "Saya orang
sipil, nama saya Bungsu"." Semua mata menatap ke arahnya.
"Maaf, saya sangat yakin Anda bukan mata-mata untuk siapa pun. Namun, sebohong apapun cerita yang
akan Anda sampaikan, harap beritahu kami, kenapa Anda sampai ikut ditawan dan disekap bersama kami?"
ujar Cowie. "Anda dari pasukan SEAL?" tanya Si Bungsu kepada letnan jangkung itu. Letnan itu menatap ke
arahnya. Begitu juga yang lain. "Kenapa Anda menebak seperti itu?"
Dalam Neraka Vietnam-bagian-680
"Hanya firasat. Saya pernah bertemu beberapa anggota SEAL, dan Anda punya ciri seperti mereka?" ujar
Si Bungsu perlahan. Keempat tentara Amerika itu menatap ke arahnya. "Siapa anggota SEAL yang Anda kenal?"
tanya si letnan. Si Bungsu ganti menatap letnan itu dengan tajam. Dia haqqul yakin, Cowie adalah anggota SEAL yang
terkenal itu. Lalu berkata perlahan. "MacMahon"." "Kolonel MacMahon" Si Bungsu mengangguk, letnan
tersebut tertegun. Begitu juga yang lain. "Anda mengenal Kolonel MacMahon?"" "Ya"." "Di mana?" "Di tempat
dia disekap bersama tentara Amerika yang lain, di sebuah goa di bukit batu di daerah selatan. Tapi sekarang
mereka sudah bebas.?" "Kolonel MacMahon bebas?" "Ya".!" "Pertukaran tawanan perang?" Si Bungsu
menggeleng. "Melarikan diri?" Si Bungsu mengangguk. "Anda ada di sana saat dia melarikan diri?""
Si Bungsu menarik nafas. Menatap sesaat kepada ke empat tentara Amerika yang tubuh mereka sudah
mirip jailangkung karena kurusnya itu. "Ya" saya di sana.?" jawab Si Bungsu perlahan. Ke empat tawanan
kurus seperti jailangkung itu tertegun. "Anda juga ikut tertawan dengannya?" ujar Letnan Cowie dengan penuh
keingintahuan. "Tidak?"
Untuk sesaat letnan Negro berbibir tebal dan berambut kribo karena tak pernah bertemu tukang
pangkas itu menatap Si Bungsu. Kemudian dia berkata perlahan. "Jika demikian. Anda pastilah salah seorang
dari orang-orang yang membebaskan Kolonel MacMahon?" ujar Cowie perlahan. Jari-jari kaki kiri Si Bungsu
ganti menggaruk betis kanannya di dalam air yang menjadi gatal pula. Kemudian tangannya menggaruk paha,
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 716
lalu dada. Lalu punggung. Sekujur tubuhnya terasa gatal. Si rambut hampir botak tertawa terkekeh melihat Si
Bungsu menggaruk kiri kanan, atas bawah. "Anda salah seorang yang membebaskan Kolonel MacMahon?"
kembali Letnan Cowie bertanya. Si Bungsu akhirnya mengangguk perlahan. Kendati ada sedikit kesalahan
dalam perkiraan tersebut. Dia bukan "salah seorang" dari yang membebaskan MacMahon. Dia adalah satusatunya orang yang membebaskan perwira tersebut bersama belasan yang lain. Tapi tak ada gunanya
menjelaskan hal itu dalam kurungan dengan air berlendir seperti yang mereka huni sekarang. "Lalu Anda tak
berhasil melarikan diri dan tertangkap?" ujar Cowie. Si Bungsu kembali mengangguk. "Fuck! Orang ini ternyata
bisu. Dia hanya bisa mengangguk dan menggeleng?" Sersan Tim Smith, tentara yang rambutnya hampir botak
itu, memaki sambil terkekeh.
Letnan Cowie menarik nafas panjang, tetapi matanya menatap tajam pada Si Bungsu. "Maaf, tadi Anda
mengatakan bukan tentara mana pun. Saya yakin itu. Saya juga yakin Anda bukan mata-mata pihak mana pun.
Namun kenapa Anda berada bersama pasukan yang membebaskan MacMahon" Anda penunjuk jalan bagi
pasukan pembebas itu?"" ujar Cowie. "Tidak, saya datang ke sana karena harus membebaskan seseorang.
Kebetulan di tempat dia ditawan ada MacMahon dan tawanan lainnya. Membebaskan seorang tawanan atau
tujuh belas, saya rasa sama saja.?" "Maksudnya, Anda membebaskan ketujuh belas tawanan itu sendiri?" ujar
Cowie. Tidak hanya Letnan Cowie yang sangat ingin tahu jawaban orang Indonesia ini, tapi juga ketiga tawanan
lainnya. Mereka menatap Si Bungsu nanap-nanap. "Tidak, kami berempat"." "Tiga lainnya adalah pasukan
Amerika?" "Tidak, tiga lainnya adalah orang Vietnam"." "Tentara semua?" "Hanya satu. Itu pun bekas tentara.
Yang dua lagi penduduk sipil. Yang satu seorang lelaki tua, sekitar 55 tahun. Yang seorang lagi anaknya, seorang
gadis berusia sekitar 15 tahun"."
Terdengar umpat, sumpah dan gerutuan dari si hampir botak dan dua tentara lainnya. "Siapa yang Anda
cari untuk dibebaskan itu?" ujar Cowie. "Roxy.?" "Oh Tuhan, Roxy Roger maksud Anda?" "Ya"." "Anda dibayar
ayahnya untuk mencari dan membebaskan cewek itu?" "Rencananya ya"."
Dalam Neraka Vietnam-bagian-681
"Maksud anda?"" "Alfonso Rogers, Ayah Roxy, bersedia membayar saya berapa saja. Asal anak gadisnya
bisa di cari dan di bebaskan.." "Lalu?" "Ya, sekarang uang bayarannya tak mungkin lagi saya minta. Anak itu
sudah bebas, sedangkan saya di sini. Di antara mayat hiup dan mayat beneran. Kecuali kita bisa membuka Bank
di lobang ini, dan ayah gadis itu bisa mengirimkan uang itu kesini?" ujar Si Bungsu sambil tersenyum.
Si rambut hampir botak kembali memaki-maki. Namun Letnan Cowie dan yang lainnya hanya nyengir
mendengar guyonan orang Indonesia ini. "Barangkali anda bisa menolong kami keluar dari lobang berair ini
Bungsu. Saya sudah tak peduli mati hari ini atau esok. Tapi, kalau mati saya memang akan protes dikuburkan
dalam lobang ini.." ujar Cowie sambil meludah. "Hei,hei,hei! Apakah aku tak salah dengar, bahwa engkau
mempercayai orang berkulit berwarna ini akan membebaskan kita?" ujar si rambut hampir botak. "Jangan
dengarkan omomgannya. Jika ada orang yang tak di caci makinya mungkin ibu bapaknya, tapi aku juga kurang
yakin akal hal itu?" Ucapan si Letnan belum berakhir. Sersan Tim Smith yang berambut hampi botak itu
menerjangnya. Namun gerakan kakinya seperti film yang di putar lambat, slow motion kata orang. Letnan
Cowie mengibaskan kaki kurus yang terangkat di air secara perlahan itu. Tim Smith segera terjengkang.
Tubuhnya tak tenggelam karena cowie dengan cepat meraih leher bajunya yang compang-camping itu. "Fuck
you! Fuck.. Fuck..!!!" maki Tim Smith bercarut-carut.
Dan ujung carutnya adalah batuk yang terkaing-kaing. Lidahnya sampai terjulur dan liurnya meleleh
oleh batuk terkaing-kaing panjang itu. Si Bungsu baru benar-benar merasakan sebagian Dalam Neraka
Vietnam. Selama tiga hari dia di dalam lobang itu tak sebutir nasipun atau sepotong makanan apapun yang di
berikan tentara Vietnam kepada mereka. Namun yang benar-benar membuat mereka kehabisan tenaga adalah
bau mayat. Mayat tentara Amerika yang kepalanya di popor waktu pertama kali datang di pinggir lobang ini
tak pernah di angkat. Mayat itu sudah menggembung besar. Baunya minta ampun. Dua tentara yang sama di campakkan ke
lobang itu berkali-kali jatuh pingsan. Namun letnan Cowie dan Sersan Tim Smith berusaha agar dua orang yang
sebentar pingsan itu tak tenggelam. Sebab, jika itu terjadi di pastikan dalam satu menit orang itu akan mati.
Kedua orang itu, Cowie dan Smith, nampaknya sudah agak imun dengan bau mayat. Mereka memang ikut
menderita dengan bau mayat itu tapi tak sampai pingsan.
Dalam waktu tiga hari dalam keadaan tak makan dan minum itu, Si Bungsu jadi tahu azab apa yang
dialami Cowie, Smith dan teman-temannya. Mereka di beri makan apabila orang Vietnam itu merasa perlu
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 717
untuk memberi. Kadang-kadang sekali sehari, kadang-kadang sampai dua atau tiga hari baru di beri makan.
Makananya pun makanan yang sudah agak basi atau makanan yang sudah akan di buang. Benar-benar tak ada
gunanya memikirkan konvensi perang tentang hak-hak tawanan perang.
Bahkan ketika bau busuk sudah tak tertahankan, Cowie mengingatkan tak ada gunanya memanggil
penjaga. Teriakan memerlukan tenaga. Teriakan menguras energi. Tak ada gunanya, sekalipun sampai ke langit
mereka berteriak, takkan ada yang peduli. Lebih baik menyimpan tenaga agar tak lebih menderita. Satusatunya harapan mereka mengisi perut adalah ketika hujan. Dengan membuka baju dan menambung air hujan,
mereka peras langsung ke mulut.
Air perasan baju itu, alangkah nikmatnya, untuk mengisi perut mereka juga memakan cecak yang jatuh
ke lobang tersebut. "Apapun yang jatuh dari atas, cecak, lipan, keong, katak dan ular sekalipun pernah kami
makan ketika ada ular sebasar tangan jatuh kesini, habis kami santap. Hal itu kami lakukan semata-mata demi
pempertahankan hidup.."ujar Cowie perlahan.
"Saya punya firasat. Dan saya selalu yakin pada firasat saya, karena seringkali terbukti benar, bahwa
siapapun diri anda Tuan, kami berharap anda bisa membantu kami keluar dari Dalam lubang Neraka ini.."ujar
Cowie sambil menatap Si Bungsu. Kali ini Tim Smith yang tukang carut-carut dan induk cemooh itu, tak
mengeluarkan kata sepatahpun. Semula dia menatap pada komandan kompinya yang bernama PL Cowie itu
dengan tatapan heran mendengar ucapan yang sungguh-sungguh itu. Ketika dia lihat Cowie menatap lelaki
asing itu, dia jadi sadar kalau lelaki itu bukan kroco sebagaimana yang dia duga. Cowie tak pernah memuji jika
sesuatu yang dia yakini dan tak pantas di puji. Cowie juga tak pernah berharap, jika firasatnya mengatakan
kalau tak ada harapan. Lalu dia juga ikut menatap Si Bungsu. Si Bungsu hanya berdiam diri. Sesekali menggaruk paha, perut dan
punggungnya yang gatal. Tiba-tiba Smith ingat sesuatu. Dia teringat perkataan Smith, Dua, tiga hari lalu yang
di ucapkannya berkali-kali. "Ini orang yang kau sebutkan itu letnan?"ujar Smith perlahan. Cowie menatap pada
Smith beberapa saat. Kemudian mengangguk. Si Bungsu dan kedua tentara lainnya hanya berdiam diri, tak
mengerti apa yang di bicarakan kedua orang tersebut.
"Tapi"tapi saya tak melihatnya membawa samurai.." sambil mempelototi Si Bungsu. Mendengar ucapan
itu, Si Bungsu lah yang tersentak. Dia menatap pada Smith, kemudian pada Cowie. Smith kembali bicara. "Cowie
adalah, maaf, maksud saya, sebagaimana orang Amerika keturunan negro lainya, nenek moyang Cowie berasal
dari afrika. Beberapa di antaranya masih mewarisi naluri,firasat atau pengetahuan metafisik, semacam ilmu
dari dunia ghaib. Pasukan kami beberapa kali selamat karena firasat leluhurnya itu. Dan kami masuk ke lobang
Neraka ini karena komandan kami tak mengikuti sarannya. Nah, beberapa kali Cowie berkata, bahwa dia
melihat sebuah bayangan orang asia, berpedang samurai, yang akan datang membebaskan kami. Setahu saya,
bangsa yang memakai samurai hanya bangsa Jepang.. Tapi..menurut dia sebentar ini, andalah yang beberapa
kali dia lihat dalam bayangan metafisik itu. Apakah anda membawa samurai..?" ujar Smith.
Lama Si Bungsu terpana mendengar cerita tim Smith. Dia menatap PL Cowie, negro kurus berbibir tebal
dan berambut kribo itu juga menatapnya. Si Bungsu segera menyakini cerita Tim Smith kalau ada seseuatu
yang lain pada diri negro yang satu ini. Nalurinya membisikkan itu. Sebaliknya, sejak awal-awal kedatangan Si
Bungsu, Cowie sudah merasakan bahwa lelaki itu bukan sembarang orang. Si Bungsu tiba-tiba teringat pada
Thi Binh. Gadis itu juga pernah melihatnya dalam mimpi. Mimipi itu, menurut penuturan Thi Binh, datang
berkali-kali saat dia di perkosa dan di paksa menjadi budak nafsu di barak pasukan Vietnam.
Kini ternyata mengalami hal yang sama. Bedanya, jika Thi Binh melalui mimpi, Cowie melihatnya dalam
bayangan Metafisik. Semacam halusinasi dan bayang samar, saat orang tertentu berkonsentrasi dan
menghubungkan diri dengan alam ghaib. "Anda pernah memiliki samurai ?" desak Smith. Si Bungsu menatap
pada Cowie. Cowie juga tengah menatap padanya dengan tajam. Demikian juga Smith dan kedua orang lainnya.
Akhirnya Si Bungsu mengangguk. Ketiga tentara itu pada terpana. "Oh,my god..! Anda akan
mempergunakannya?"ujar Smith dengan suara bergetar.
Si Bungsu tak segera menjawab. Namun di depan Cowie tak seharusnya dia menutup-nutupi siapa
dirinya. Lelaki ini memiliki pandangan yang menembus ruang dan waktu. Yang dalam ilmu pengetahuan di
sebut alam metafisik, yang di warisi dia dari leluhurnya dari belatara Afrika sana. "Anda mahir
mempergunakan samurai?" kembali smith bertanya. Keempat tentara dalam lobang itu kembali diingatkan
kembali pada keaadaan mereka saat ini. Mereka juga menatap keliling, kemudian keatas. Ke Bambu yang silang
menyilang yang di jadikan penutup lubang. Jerajak bambu yang di jadikan penutup lubang itu sebesar paha
lelaki dewasa hanya sekitar empat meter di atas mereka.
Dalam Neraka Vietnam-bagian-682
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 718
Namun karena kukuhnya dan karena kondisi mereka seperti sekarang, tanpa alat apapun untuk bisa
dipakai melarikan diri, atap bambu yang tingginya hanya empat meter itu terasa berada jauh di atas langit sana.
Kelima mereka hampir serentak memandang ke atas. Karena saat itu sayup-sayup mereka mendengar
pekik wanita. Namun yang terlihat tetap saja bambu bersilang-silang empat segi, daun pepohonan yang
ditimbunkan ke bambu itu, yang berfungsi sebagai kamuflase sekaligus atap lobang tempat mereka disekap.
Tak ada satu pun yang terlihat. Yang sampai ke tempat mereka hanya suara pekik dan erangan perempuan.
Suara pekik dan erangan itu memang berasal dari mulut seorang wanita, datang dari pondok penjagaan sekitar
tiga depa dari mulut lobang tempat menyekap tawanan perang tersebut.
Karena dekatnya jarak antara mulut lobang dengan pondok itulah makanya mereka yang berada di
dalam lobang tersebut tidak hanya mendengar pekik si wanita, tetapi juga erangannya. Bahkan sayup-sayup
mereka menangkap suara nafas yang tersengal-sengal. Nafas memburu seperti berlari kencang yang keluar
dari mulut lelaki, yang juga keluar dari mulut wanita. Mereka menatap nanap ke atas dengan mata hampir
melotot. Seolah-olah ingin mengetahui apa sebenarnya yang tengah terjadi di atas sana. Di atas sana, di pondok
penjagaan itu, memang sedang terjadi sesuatu.
Milisi Vietnam, yaitu orang-orang sipil yang menjalani wajib militer, tidak hanya dikenakan pada kaum
pria. Juga dikenakan kepada wanita. Itu pun tidak hanya kepada mereka yang dewasa, yang masih kanak-kanak
pun demikian. Soalnya, sebelum pecah menjadi Vietnam Utara dan Selatan, negeri ini sudah menjalani
peperangan yang sangat panjang. Sudah sejak zaman negeri ini dijajah Perancis selama 100 tahun. Dalam
perang yang amat panjang untuk merdeka, yang meremukkan hampir seluruh sendi kehidupan Vietnam itu,
negeri tersebut sudah mengorbankan ratusan ribu, jika tidak jutaan orang.
Itulah sebabnya hampir semua penduduk, lelaki wanita, tua maupun muda, dihimbau untuk angkat
senjata melawan penjajahan, atau siapa saja yang mencoba mengekspansi negeri mereka. Yang terakhir, dalam
upaya menyatukan negeri itu di bawah kekuasaan komunis, mereka berusaha merebut kembali Vietnam
Selatan yang dibeking habis-habisan oleh Amerika. Namun mereka, orang-orang utara, yang sebelum dan
semasa penjajahan Perancis sebenarnya bersatu dengan selatan, kini tidak hanya berhasil menyatukan kembali
selatan dengan utara, tetapi juga mengusir tentara Amerika.
Mengusir tentara dari negara paling super dan paling ditakuti, karena memiliki peralatan perang paling
canggih di dunia. Jika akhir peperangan itu mendatangkan rasa bangga yang luar biasa bagi rakyat Vietnam
Utara yang komunis, karena berhasil mengalahkan tentara dari negara terkuat di dunia, maka bagi Amerika
akhir perang Vietnam adalah sebuah aib besar, yang takkan mungkin terhapus dengan apapun sepanjang
zaman. Wanita Vietnam yang ikut memanggul senapan tugasnya sama saja dengan pria. Dalam perang selama
puluhan tahun, mereka sudah tertempa dengan berbagai kondisi.
Hari itu, saat kelima tawanan di dalam lobang sekapan mendengar suara jerit dan erang, adalah saat
aplusan untuk menjaga lobang penyekapan tersebut. Saat Si Bungsu pertama tiba, yang menjaga adalah dua
milisi pria, maka kini yang menggantikan adalah seorang milisi wanita dan seorang milisi pria. Para milisi ini
berpakaian hitam-hitam, semuanya tanpa tanda pangkat. Perang, sebagaimana terjadi di belahan bumi
manapun, ternyata tidak hanya mendatangkan bencana secara fisik kepada negeri tempat terjadinya perang,
tetapi juga memporak-porandakan moral dan nilai-nilai.
Yang paling menderita adalah para wanita. Ya musuh, ya orang kampung sendiri, asal dia ikut berperang
tiba-tiba saja fi"ilnya berubah menjadi beringas. Kaum wanitalah yang senantiasa paling banyak menjadi
korban kebuasan perang. Kebuasan tentara penyerang, maupun tentara pihak bertahan.
Begitulah kebuasan sebuah perang. Kebuasan yang tak mengenal batas moral dan agama. Tak mengenal
batas buruk dan baik. Bila keberingasan dan nafsu sudah memanjat ke ubun-ubun, semua batas pun runtuh.
Dua milisi yang tegak berjaga di bawah pondok itu pun bersiap turun, manakala melihat penggantinya sudah
tiba. Saat keduanya akan turun, tiba-tiba yang seorang matanya terpandang pada dada wanita milisi yang akan
menggantikannya. Padahal baju seragam tentara berwarna hitam yang dikenakan wanita itu buahnya
terkancing semua. Namun karena dada wanita itu memang demikian ranum dan sekal, ada celah terbuka di
antara dua kancing bajunya. Dari celah baju yang tersingkap tak sampai seukuran kelingking itu, dia mengintip
pangkal dada wanita tersebut. Putih dan memabukkan dan mengirimkan sentakan ke ubun-ubun. Anggota
milisi yang akan turun itu mendagut liurnya. Lalu dengan kaki separoh menggigil menuruni tiga buah anak
tangga pondok tersebut. Dalam Neraka Vietnam-bagian-683
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 719
Sambil melangkahi tiap anak jenjang, matanya melotot ke dada wanita tersebut. Dia masih menahan diri.
Tapi pikirannya merayap kemana-mana. Bukan, bukan kemana-mana. Pikirannya merayap hanya ke satu
tempat, yaitu ke balik baju wanita itu. Kesela dadanya yang ranum dan sekal. Nafasnya memburu ketika dia
sampai di bawah. Perempuan itu lalu naik. Si milisi menoleh ke belakang.
Dan" ampun, ketika perempuan itu naik, pinggulnya yang besar membayang jelas. Terbungkus oleh
celana hitamnya yang ketat. Tubuhnya agak kurus. Namun dada dan pinggulnya yang amat sintal membuat
lutut lelaki yang melihat goyah gemertak. Senyum dan tatap matanya amat mengundang selera buruk lelaki.
Itulah yang terjadi begitu dia menaiki anak tangga di pondok pengawalan tersebut. Dia baru saja akan
menghenyakkan pinggulnya di lantai beralas tikar, ketika anggota milisi yang baru turun itu tiba-tiba saja
sudah berada di sisinya. "Ada apa?" ujarnya kaget sambil menatap ke arah milisi tinggi kurus bermata juling yang tegak di
depannya. Perang panjang sering membuat manusia kehilangan akal sehat. Dan akal sehat itulah yang hilang dari
tempurung kepala anggota milisi kurus tinggi di pondok penjagaan itu. Dia langsung saja menyergap wanita
itu. Si wanita yang kaget bukan main, berusaha berontak dan berteriak. Namun teriaknya tersumbat di
tenggorokan. Mulut milisi kurus itu sudah menyumpal mulut si wanita dengan rakus. Berontaknya hanya
berupa gelinjang tanpa daya, karena si kurus sudah dikuasai nafsu. Satu-satunya harapan adalah dua milisi
lelaki yang kini berada di bawah pondok.
Yang satu adalah yang sama-sama datang dengannya ke pondok ini untuk menggantikan tugas
penjagaan. Yang satu lagi adalah teman si kurus, yang akan mereka gantikan. Namun reaksi kedua lelaki itu
justru bertolak belakang dengan yang diinginkan si wanita. Kedua mereka justru mengawasi jalan setapak ke
arah kampung. Melihat kalau-kalau ada yang datang. Tentu saja takkan ada yang datang. Tempat penyekapan
itu terletak di tengah pepohonan dan hutan bambu. Jarak ke perkampungan ada sekitar 500 meter. Memekik
kuat pun si wanita tetap takkan terdengar ke kampung. Apalagi pekiknya tertahan di tenggorokan.
Angin bertiup kencang. Atap penutup lobang penyekapan di depan pondok itu terkuak-kuak. Cahaya
terang menerobos masuk ke lobang itu. Bau busuk segera menerobos ke atas. Para milisi tersebut segera pada
menutup hidung mereka dengan kain. Salah seorang segera melemparkan tali yang tadi dia sandang di
bahunya. Si wanita yang masih berpeluh hanya menatap dari tempat duduknya di atas pondok. Dia seperti
kehabisan tenaga untuk bergerak.
"Ikat mayat itu dengan tali ini?" ujar pimpinan milisi Vietnam itu dalam bahasa Inggris.
Kendati bahasa Inggrisnya tak begitu baik, namun mereka yang berada dalam lobang sekapan itu faham
apa yang disuruh. Letnan PL Cowie maju dan mengikatkan tali sebesar empu jari kaki itu ke pinggang mayat
yang sudah tiga hari mengapung di dalam lobang itu. Tali itu segera ditarik. Masih untung mayat itu belum
berulat. Udara dingin di dalam lobang tersebut membuat mayat itu tak cepat menjadi rusak. Lalu di bawah
todongan bedil salah seorang milisi, dua milisi lain segera menarik mayat itu ke atas. Diperlukan kerja yang
cukup menguras tenaga untuk menarik mayat gembung itu.
Si wanita yang masih duduk tersandar menutup hidungnya dan membuang pandangannya ke tempat
lain. Betapapun sudah seringnya dia ikut dalam pertempuran dan menyaksikan mayat bergelimpangan, namun
melihat mayat gembung yang baru saja diangkat itu tetap saja membuat perutnya mual. Setelah mayat
diangkat, bambu-bambu kembali ditutupkan ke lobang tersebut. Kemudian semak-semak ditimbunkan
kembali di atasnya. Setelah itu, mayat tersebut mereka bawa kearah hutan. Dan dikubur di sebuah lubang
dangkal. Lalu ketiga milisi itu kembali ke perkampungan.
Kini di pondok penjagaan wanita itu hanya tinggal bersama seorang milisi lelaki. Di dalam lobang
penyekapan, kelima lelaki yang terkurung di sana bisa agak bernafas lega. Kendati bau bangkai masih saja
memenuhi lobang tersebut. Mereka bersandar dengan diam. Air dalam lobang itu nampaknya agak menyusut.
Jika semula sebatas dada, kini sudah turun sedikit. Namun masalah mereka untuk bertahan hidup tidak hanya
harus berjuang melawan lapar, tapi harus mampu berdiri terus menerus. Tidak satu pun batang atau ranting
yang bisa dijadikan tempat berpegang.
Satu-satunya yang bisa mereka lakukan adalah bersandar ke dinding. Penat bersandar mereka berjalan
di dalam air berlumpur itu. Si Bungsu menjadi faham cerita Cowie, bahwa sebahagian dari tentara Amerika


Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang ditawan dalam lobang ini mati karena tak kuat berdiri. Mereka terbenam dan mati lemas. Ini adalah cara
menyiksa yang luar biasa. Tentara Vietnam tak perlu rugi sebutir pelurupun untuk membunuh tawanannya.
Satu persatu tawanan mati karena lapar, gila atau sakit, kemudian terbenam. Mereka harus berjuang untuk bisa
tetap tegak, dengan kaki yang makin melemah.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 720
Semakin lama mereka mampu bertahan untuk berdiri, makin lama pula mereka bisa bertahan hidup.
Siapa pun yang berada dalam lobang penyekapan itu pasti takkan pernah membayangkan apa yang mereka
hadapi kini. Yaitu kala mereka hidup di kota di Amerika sana, saat mereka masih belum mendaftar menjadi
tentara. Saat sebahagian dari mereka masih mengisi hidupnya dengan masuk bar keluar bar. Masuk nightclub
yang satu ke nightclub yang lain. Menenggak bir atau wisky, melahap lezatnya hamburger atau sandwich,
berjoget dan kemudian main perempuan.
Kini, dalam lobang neraka segi empat berair kuning dan berbau bangkai ini, mereka kembali mendengar
cekikikan perempuan. Mereka pada memasang telinga. Suara cekikikan itu suara siapa lagi, kalau bukan suara
milisi wanita bertubuh agak kurus tapi berdada dan berpinggul bahenol, yang bisa membuat mata lelaki jadi
juling dan lemas kelelep itu. Dia memang sedang terlibat pembicaraan dengan teman lelakinya yang sama-sama
menjaga di pondok pengawalan tersebut. Penempatan pengawalan di pondok itu nampaknya hanya sebagai
sikap berjaga-jaga. Lobang itu memang tak perlu diawasi benar. Sebab, hampir bisa dipastikan orang yang disekap di
dalamnya, takkan bisa melarikan diri. Tapi begitulah, namanya saja tawanan perang. Kan aneh kalau tak ada
yang menjaga tempat mereka ditawan. Itulah sebabnya setiap 12 jam pengawalan ditukar.
Perempuan itu sedang berada dalam posisi berbaring menelungkup di lantai pondok. Di bahagian depan,
agak ke samping kanan, duduk temannya yang lelaki. Sesekali memandang ke arah timbunan semak belukar
yang menutupi lobang penyekapan. Namun matanya lebih sering menatap bongkol pinggul perempuan yang
menelungkup itu. Dari Kecamuk Perang Saudara Ke Dallas Menuntut Balas (Episode II-684)
Atau ke dadanya yang seakan-akan mau pecah karena tertekan ke lantai. Nampaknya si lelaki sedang
membicarakan peristiwa tadi, yang membuat wanita itu terpekik-pekik. Si wanita nampaknya memang centil,
atau katakanlah dia termasuk wanita jongkek. Sebab tiap sebentar, bila ada yang agak lucu atau yang tak dapat
dia komentari, tangannya mencubit paha lelaki tersebut. Akan halnya lelaki, yang masih berusaha bertahan
duduk, nampaknya berprinsip "Bukan kaba sambarang kaba, kaba dibao mantiko muncak. Bukan saba
sambarang saba, saba mananti kutiko rancak".
Dan saat kutiko rancak itu tiba, yaitu saat darahnya sudah naik ke ubun-ubun, dia menjerembabkan diri
ke atas tubuh perempuan jongkek yang sok-sok menelungkup itu. Perempuan itu terpekik kecil. Bukan pekik
terkejut apalagi pekik marah. Dari pekiknya saja orang pasti bisa menebak dia memang jongkek. Sebab
pekiknya hanya perlahan, diiringi erangan, entah apa yang dierangkannya. Pokoknya dia mengerang. Si lelaki
yang juga bertubuh agak kurus, segera membuat pekerjaan tangan. Maksudnya tangannya bekerja ke bawah,
ke atas. Meraba meremas. Dan si perempuan nampaknya memang mengharap kan semua yang diperbuat si lelaki. Dia
menelentangkan diri. Kemudian dia pula yang mendahului membuka baju si lelaki.
"Suara seperti itu pasti suara poyok?" ujar Tim Smith menggerendeng.
Ke empat lelaki lain dalam lobang sekapan itu hanya berdiam diri. Dari atas sana makin jelas terdengar
suara wanita dan lelaki. Mengerang, mendesah. Makin lama makin keras, makin lama makin cepat. Kemudian
suara pekik panjang perempuan, kemudian suara pekik panjang lelaki. Lalu diam.
"Ayo main tebak-tebakan. Kenapa mereka memekik?" tiba-tiba kesunyian di dalam lubang itu
dipecahkan oleh suara Tim Smith, Sersan yang rambutnya hampir botak dan tukang carut itu.
Pertanyaan yang dia lontarkan mau tak mau membuat semua yang ada dalam lobang itu nyengir. Jarang
sekali mereka bisa tersenyum. Hal itu disebabkan tak satupun yang bisa dianggap lucu, atau tak satupun bisa
menghibur hati mereka selama berada dalam lobang terkutuk itu. Namun ucapan yang dilontarkan Tim Smith
sebentar ini, ajakan untuk main tebak-tebakan kenapa kedua orang di atas sana memekik-mekik, benar-benar
memaksa mereka untuk tersenyum.
Meski senyum yang lebih tepat disebut nyengir. Sebab, betapapun bentuk senyum yang tergurat di
wajah orang-orang seperti mereka, yang kelihatan adalah guratan muram. Segala bentuk ekspresi, termasuk
ekspresi marah, menjadi berbeda tampilnya di wajah, karena dirobah oleh ketegangan dan derita selama
bertahun di dalam penyekapan.
"Ayo, siapa bisa menerka. Kenapa mereka memekik?" kembali Smith melontarkan pertanyaan.
Tak ada yang menjawab, selain senyum tergurat di wajah setiap orang dalam lobang itu, termasuk Si
Bungsu. Sampai akhirnya Kopral Jock Graham, petugas bahagian radio yang sama-sama diangkut dengan truk
bersama Si Bungsu, memberikan jawaban.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 721
"Mereka dicekik hantu?" ujarnya.
Jawaban itu membuat senyum semakin lebar di wajah kelima lelaki tersebut.
"Mereka bukan dicekik hantu, tapi pekik menyindir. Kau yang disindirnya, Smith?" ujar Sersan Mike
Clark. Mereka tersenyum lagi. Smith yang semula tertegun, tiba-tiba terkekeh.
"Bukan, bukan aku yang mereka sindir dengan pekiknya itu. Mereka menyindir kita semua?" ujar Smith.
Mereka kemudian pada tertawa. Tetapi setelah itu, hari-hari mereka lalui dengan kesunyian dan derita
panjang. Memang tak ada penyiksaan dalam bentuk pemukulan. Tapi apa yang mereka alami dalam lobang itu
tak kalah dahsyatnya dari penyiksaan dalam bentuk sepak dan terjang. Akan halnya sepak, terjang atau cabut
kuku, itu mereka alami di tahun pertama mereka tertangkap. Cowie misalnya, giginya copot dua buah akibat
dihajar popor senapan. Dalam Neraka Vietnam-bagian-685
Smith kalau berjalan pasti tak lurus. Tulang kering kaki kanannya patah dihajar, juga dengan popor bedil.
Kini memang sudah sembuh, tapi tulang keringnya itu bertaut secara tak benar. Kalau dia berjalan, jalannya
tak normal. Setelah Si Bungsu berada di hari kelima di dalam kurungan itu, barulah orang Vietnam memberi
mereka makanan. Makanan berupa sisa yang terdiri dari rebus ubi kayu, keladi dan ikan asin itu dimasukkan
ke dalam sejenis kambut. Kemudian dilempar begitu saja ke dalam lobang penyekapan tersebut. Cowie yang
pangkatnya memang tertinggi, mengatur agar semua mereka tidak berebutan. Sebab pengalaman sudah
mengajarkan, ketika bulan-bulan pertama disekap, sebahagian dari mereka babak belur saling pukul karena
berebut makanan, yang selain tak memenuhi syarat, jumlahnya pun amat sedikit.
"Makanlah, karena mana tahu ini adalah makanan terakhir bagi salah seorang di antara kita?" ujar
Cowie. Mereka makan dengan diam tapi dengan cepat. Hanya beberapa saat, makanan yang menjadi bahagian
masing-masing itu habis. Smith malah menjilati tangannya, merasakan nikmatnya rasa asin ikan yang
tertinggal di jari-jarinya. Kemudian mereka meminum air yang dikirim bersama makanan itu. Air mentah, tapi
jernih, barangkali air sungai atau air sumur, yang dibungkus dengan kantong plastik. Cowie memberi jatah air
dua teguk seorang, kemudian tempat air digantung pada sebuah ranting yang ditancapkan di dinding tanah
napal itu. Tak ada yang membantah aturan yang ditetapkan Cowie, karena aturan itu amat mereka perlukan.
Mereka tak mungkin meminum air setinggi dada dalam lobang dimana mereka disekap. Selain airnya kuning
dan kental karena lumpur, air itu juga sudah kotor dan bau sekali. Maklum, di lobang tersebut sudah lebih dari
enam atau tujuh orang yang mati. Setiap ada yang mati, mayatnya tak segera diangkat orang Vietnam. Ada yang
sehari, ada yang dua hari, malah seperti mayat terakhir baru pada hari ketiga diangkat. Namun makanan yang
mereka terima itu ternyata tak bisa menolong Sersan Mike Clark.
Kondisi Sersan itu sudah demikian buruknya sebelum dipindahkan ke lobang laknat ini. Kondisi
kesehatannya yang buruk itu diperburuk oleh bau mayat selama tiga hari di dalam lobang 4 x 4 meter itu. Tak
lama setelah usai makan, dia diserang demam. Nampaknya dia terkena tularan kawannya dua minggu yang
lalu. Dia menggigil dan mengigau. Tiap sebentar tubuhnya melorot dan terbenam ke dalam air. Cowie sudah
berkali-kali menyangga badan temannya itu agar tak terbenam. Si Bungsu menyesal kehabisan ramuan
tradisionalnya. Kalau saja dia mendapat sedikit dedaunan atau lumut yang cocok untuk obat, dia yakin dia bisa
menolong Mike Clark. Namun dalam kondisi seperti sekarang kemana dia harus mencari dedaunan atau lumut"
Tubuh Sersan itu dipegangi Jock Graham. Mereka tak berusaha berteriak meminta bantuan kepada dua penjaga
yang ada di atas. Teriakan atau panggilan dalam bentuk apa pun takkan pernah diacuhkan. Memanggil atau
berteriak hanya akan menghabis-habiskan tenaga. Mereka sudah berkali-kali mengalami hal seperti itu.
Berkali-kali pula yang sakit di dalam lobang penyekapan ini harus menyerahkan nyawa mereka benarbenar pada takdir Tuhan. Hanya ada satu di antara dua kemungkinan yang harus mereka tunggu. Sembuh
dengan sendirinya, atau mati. Untuk kemungkinan pertama, bukannya tak ada. Baik Cowie maupun Tim Smith
pernah menderita demam berhari-hari. Namun karena demam mereka stadiumnya masih rendah, akhirnya
mereka sembuh sendiri. Tetapi sebahagian besar lainnya, demam memang mengantar mereka ke pintu kubur.
Sersan Mike Clark sudah benar-benar tak sadar pada dirinya. Tubuhnya menggigil terguncang-guncang.
Setiap satu jam mereka bergiliran memegang tubuh Sersan itu agar tak tenggelam. Dan menjelang larut malam,
hanya sekitar enam jam setelah mereka mendapat jatah makanan, tubuh Sersan itu sudah tak bergerak.
Kebetulan saat itu yang mendapat giliran untuk memegangi tubuh Sersan tersebut adalah Si Bungsu dan Tim
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 722
Smith. Si Bungsu memegangi Clark pada bahagian kepala dan punggung, sementara Smith memegangi bahagian
pinggul dan paha. Dengan kedua tangan berada di bahagian bawah tubuh yang ditelentangkan itulah mereka menjaga agar
si sakit tidak tenggelam. Sebenarnya, dengan bantuan air menahan tubuh orang agar tak tenggelam tidaklah
begitu berat. Apalagi semua mereka di dalam lobang itu, kecuali Si Bungsu, badannya pada kurus kerempeng.
Kalau saja dinaikkan ke timbangan, beratnya rata-rata mungkin hanya sekitar 40an kilogram. Dengan tubuh di
atas 175 cm, berat badan sekian membuat mereka seperti kerangka hidup. Menjelang larut malam itu, Si
Bungsu merasa tak ada gerakan apapun lagi pada tubuh Clark.
Perlahan tangannya yang memegang kepala Clark, meraba nadi di leher Sersan itu. Tak ada gerakan, tak
ada denyut sehalus apa pun. Dia tak perlu meraba atau mendengarkan degup jantung Sersan itu untuk
memastikan apakah dia benar-benar sudah mati atau masih hidup. Tidak, dia sudah belasan kali menghadapi
Kisah Hantu Goosebumps I 1 Putri Bong Mini 03 Pedang Teratai Merah Partai Rimbah Hitam 1
^