Pencarian

Partai Rimbah Hitam 1

Pendekar Naga Putih 04 Partai Rimbah Hitam Bagian 1


PARTAI RIMBA HITAM
Oleh T Hidayat Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Pro's
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dan penerbit
T. Hidayat Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode: Partai Rimba Hitam
128 hal. ; 12 x 18 cm
1 Sinar matahari terasa panas nenyengat kulit. Angin laut berhembus keras, membawa
udara sejuk dan melenakan.
Di bawah teriknya sinar matahari, seorang pemuda berjubah putih tengah melangkah
menyurusi tepian Pantai Alor yang berpasir putih. Langkahnya terlihat tenang,
seolah-olah tidak merasa terganggu panasnya sinar matahari di pagi itu.
Pemuda tampan dan gagah itu tak lain adalah Panji, atau yang berjuluk Pendekar
Naga Putih. Berkat ke-dahsyatan ilmunya, maka dalam beberapa waktu saja nama
Pendekar Naga Putih telah dikenal hampir seluruh tokoh persilatan. Baik dari
golongan putih maupun golongan hitam.
Saat ini, Pendekar Naga Putih kehilangan dua orang seperjalanannya di dalam
sebuah hutan (Untuk jelasnya baca serial Pendekar Naga Putih dalam episode:
"Algojo Gunung Sutra"). Karena usaha pencariannya itulah, maka langkah kakinya
terbawa hingga ke daerah Langkar, perkampungan nelayan ini.
Dengan tidak pernah merasa bosan, Panji terus berusaha mencari keterangan
tentang dua orang temannya, Suntara dan Rahayu.
"Ah! Lebih baik aku mencari kedai makan, karena di tempat-tempat seperti itu
biasanya tersebar macam-macam berita," ucap hati Panji.
Sudah cukup lama berjalan, akhirnya Panji menemukan sebuah kedai yang cukup
ramai di Desa Langkar.
Bergegas, dilangkahkan kakinya mendekati kedai. Namun belum lagi memasuki kedai
yang dimaksud, langkahnya segera terhenti ketika terdengar bentakan-bentakan
kasar. Pendekar Naga Putih itu menolehkan kepalanya ke arah perahu perahu nelayan yang
sedang ditambatkan, ditempat bentak-bentakan tadi berasal. Dengan hati dipenuhi
tanda tanya, Panji melangkahkan kakinya mendekati tempat itu.
Dari kejauhan, terlihat para nelayan berkerumun dan memandang kesatu arah.
Pendekar Naga Putih itu pun ikut membaurkan dirinya di antara kerumunan orang.
Kening pemuda tampan itu berkerut ketika melihat suatu kejadian
Beberapa puluh tombak di hadapannya, tampak seorang laki-laki kasar tengah
membentak-bentak seorang laki-laki setengah baya yang bersimpuh di depannya.
Laki-laki setengah baya yang berpakaian seperti seorang nelayan itu menjawab
dengan suara gemetar, dan penuh permohonan. Beberapa luka memar tertera di wajah
tuanya. Pendekar Naga Putih belum berani bertindak, karena sama sekali belum mengetahui
duduk persoalannya. Maka pemuda digdaya itu hanya menyaksikan dengan kening
berkerut. Tapi biar bagaimanapun juga, ia tidak menye-tujui perbuatan laki-laki
kasar itu. "Ingat, Pak Tua! Perbuatan ini akan menjadi malapetaka bagi seluruh keluargamu!"
bentak laki-laki kasar itu dengan suara menggelegar.
"Tapi, Tuan. Aku betul-betul belum mempunyai uang untuk membayar hutang-hutang
itu. Tolonglah. Berilah
waktu satu minggu lagi, Tuan!" jawab laki-laki tua itu penuh permohonan.
Deeesss! Sebuah tendangan keras menghantam iga laki-laki tua itu. Tubuhnya seketika
terjengkang dan bergulingan sejauh satu tombak. Dia meringis-ringis kesakitan
sambil memegangi iganya yang terasa remuk! Dari celah-celah bibirnya, tampak
cairan merah mengalir turun. Dengan terbungkuk-bungkuk, laki-laki tua itu
bangkit duduk. "Bangsat tua keras kepala! Apakah kau ingin seluruh keluargamu digantung Tuan
Barja"! Kau tahu, sudah berapa lama kau tidak membayar hutang-hutangmu itu!
Sudah hampir dua bulan, tahu! Dan setiap kali ditagih, selalu bilang tidak punya
uang. Lalu, apa saja kerjamu selama ini, hah!" bentak laki-laki kasar itu
semakin geram. Tangannya kembali terangkat hendak menghajar orang tua malang itu. Namun
gerakannya terhenti, ketika terdengar suara halus, disusul munculnya seorang
gadis manis yang langsung menghambur ke arah tubuh orang tua itu.
"Ayaaah...!"
Tubuh semampai itu langsung memeluk orang tua yang tengah bersimpuh sambil
memegangi perutnya. Sejenak mata tua itu membelalak kaget, kemudian berubah
memancarkan sinar kekhawatiran yang dalam.
"Kami! Mengapa kau kemari, Nak" Tidak tahukah kau bahwa kedatanganmu akan
menimbulkan malapetaka baru" Ya Tuhan..., selamatkan anakku dari kekejaman
orang-orang jahat itu!" ujar orang tua itu dengan suara gemetar penuh
kekhawatiran. Kekhawatiran yang ditunjukkan orang tua itu memang
tak terlalu berlebihan. Sebab orang yang disebut Tuan Barja oleh lelaki kasar
yang menyiksanya itu, adalah seorang lelaki mata keranjang. Dan apabila matanya
yang berminyak itu tertarik kepada seorang wanita, ia akan berusaha
mendapatkannya dengan jalan apa pun! Sekali pun wanita yang diingininya itu
telah bersuami! Itulah sebabnya, mengapa nelayan tua itu mengkhawatirkan
keselamatan putrinya.
"Tapi, Ayah. Aku tidak tahan melihat orang-orang kejam itu menyiksamu terus-
menerus. Aku..., aku tidak tahan, Ayah!"
Sehabis berkata demikian, tangis gadis itu pun meledak! Sehingga beberapa orang
yang menyaksikan, memalingkan mukanya dengan penuh haru. Bahkan beberapa wanita
di antaranya, sudah pula meneteskan air mata. Seakan-akan suami dan anak mereka
sendirilah yang diperlakukan demikian.
"Iblis! Kalian benar-benar tidak mempunyai perasaan kasihan sama sekali! Manusia
kejam! Ayo, bunuh kami!
Siksa kami! Lebih baik kami mati daripada diperlakukan seperti binatang begini!"
teriak gadis yang dipanggil Kami itu, penuh amarah.
Semenjak melihat gadis manis itu, laki-laki kasar tadi tersenyum penuh
kelicikan. Di depan matanya terbayang sekantung uang yang akan didapat, apabila
bisa membawa gadis itu kehadapan majikannya.
"He he he.... Gadis anak Pak Tua itu, boleh juga, Kakang!" seru salah seorang
kawan laki-laki kasar itu.
Wajahnya menyeringai penuh nafsu.
"Wah! Kita bisa berpesta, kalau bisa membawa gadis
itu kehadapan Tuan Barja," sahut yang lainnya lagi.
Bibirnya tersenyum karena membayangkan hadiah besar yang bakal diterima
Wajah laki-laki kasar yang semula bengis itu, mendadak ramah. Senyumnya
membayang. Sikapnya benar-benar berubah, karena kehadiran Kami.
"Hm..., Pak Tua. Kami yakin apabila anakmu mau membicarakan hal ini kepada Tuan
Barja, tentu hutang-hutangmu akan segera lunas. Dan kau sendiri akan mendapat
sebuah perahu yang baik dan dapat digunakan semaumu! Bagaimana?" tanya laki-laki
itu dengan suara yang dibuat ramah.
"Oh, tidak! Jangan... biarlah aku berjanji akan melunasinya dalam dua hari ini,"
jawab nelayan tua itu ketakutan. Memang sudah dapat dibayangkan apa yang akan
terjadi terhadap anak gadisnya itu. Wajah nelayan tua itu seketika pucat dan
matanya berputar liar, seolah-olah hendak mencari dukungan dari orang-orang di
sekitarnya. "Hm.... Jadi kau tidak mau menuruti anjuranku, monyet tua! Lagipula mana mungkin
kau dapat melunasi hutangmu hanya dalam waktu dua hari! Ke mana kau akan mencari
uang sebanyak itu, heh!" bentak laki-laki kasar yang sudah menjadi marah ketika
mendengar penolakkan orang tua itu.
"Ah! Sudahlah, Kakang. Buat apa melayani monyet tua itu. Bawa saja anak
gadisnya, kan beres!" usul salah seorang kawannya.
"Ah! Jangan! Jangan... Kasihanilah anakku, Tuan! Aku berjanji akan melunasinya,"
ratap orang tua itu, mulai gelisah.
"Huh! Minggat kau, monyet tua tak tahu diuntung!"
bentak laki-laki kasar itu, sambil melayangkan kakinya ke perut nelayan tua itu
Tubuh tua itu kembali terlempar akibat tendangan yang cukup keras, sehingga
terlontar sejauh dua tombak.
"Manusia biadab! Iblis kau...!" teriak Kami, langsung menubruk laki-laki kasar
yang menyiksa ayahnya. Gadis itu memukul membabi buta.
Namun, apa artinya pukulan seorang gadis lemah seperti Kami. Dengan sekali
mengayunkan tangan saja, Kami kontan terpelanting terkena tamparan laki-laki
kasar itu. "Huh, perempuan liar!" umpat laki-laki kasar itu, sambil mengulurkan tangan
menangkap pergelangan tangan gadis tersebut. Langsung saja Kami diseret
meninggalkan tempat yang masih dikerumuni orang itu
"Oh, lepaskan! Lepaskan aku! Ayah, tolooong...!"
Kami berteriak-teriak dan meronta-ronta dalam pondongan laki-laki kasar yang
membawanya pergi ke rumah Tuan Barja majikannya.
Panji yang semula berniat menolong gadis itu, seketika, membatalkan niatnya saat
melihat sesosok bayangan merah berkelebat mendahuluinya. Pendekar Naga Putih itu
kembali menonton dan menunggu perkembangan selanjutnya. Karena, ingin diketahui
juga apa yang akan dilakukan si bayangan merah itu.
"Hei, anjing-anjing busuk! Hendak kau bawa ke mana gadis itu"!" bentak si
bayangan merah yang sudah berdiri dengan kaki terpentang, menghadang ke-empat
orang laki-laki kasar itu.
"Sundari...! Apa pula yang dikerjakannya di tempat ini?" Panji menjadi terkejut
begitu mengenali bayangan merah, yang tahu-tahu telah berada di tempat itu.
Ucapan Panji memang tidak salah. Sosok bayangan merah itu memang Sundari yang
berjuluk Dewi Tangan Merah. Gadis pendekar yang paling tidak suka terhadap
segala perbuatan jahat itu langsung turun tangan ketika melihat kekejaman ber-
langsung di depan matanya.
Dengan wajah merah karena marah, Dewi Tangan Merah itu menudingkan telunjuknya
yang mungil ke arah si laki-laki kasar yang memondong tubuh Kami.
"Turunkan gadis itu, atau nyawa anjingmu akan melayang!" ancam Dewi Tangan Merah
tegas. "Wah, Kakang. Gadis yang kau pondong itu tidak ada artinya apabila dibandingkan
dengannya. Eh, Nini Cantik.
Apakah kau bersedia menggantikannya untuk menghadap Tuan Barja" Marilah! Tuan
Barja pasti akan senang menerima kedatanganmu!" seru salah seorang kawan laki-
laki kasar itu, sambil mengulurkan tangannya menangkap pergelangan Sundari.
Plakkk! "Aduuuh...!"
Entah dengan cara bagaimana, tahu-tahu saja tubuh laki-laki yang hendak
menangkap tangan Sundari itu terpelanting sambil berteriak kesakitan. Darah
seketika mengucur dari celah-celah bibirnya yang pecah akibat tamparan tangan
Sundari. "Pruhhh.... Pruhhh...!" laki-laki itu meludahkan darah yang terus mengalir.
Bahkan beberapa buah giginya ikut tanggal akibat tamparan tangan halus tadi.
"Bangsat! Perempuan setan! Rupanya kau ingin cari mampus!"
Sriiing! Laki-laki itu langsung mencabut pedang yang ter-gantung di pinggangnya. Seketika
diserangnya Dewi Tangan Merah dengan ganas. Sedangkan Sundari yang berjuluk Dewi
Tangan Merah itu tersenyum mengejek, sambil menggeser tubuhnya sedikit. Dan
tahu-tahu saja tangan kanannya dengan jari-jari terbuka mencelat menusuk
tenggorokan lawan. Gerakannya cepat sekali, sehingga laki-laki itu tidak sempat
lagi menghindar.
Diiringi jeritan ngeri, laki-laki itu terjungkal sejauh satu depa! Setelah
berkelojotan sesaat, tubuh itu pun meregang dan diam tak bergerak untuk
seterusnya. Dia tewas dengan leher bolong.
Melihat keadian Ini laki-laki kasar tadi segera melepaskan tubuh Kami yang
tengah dipondongnya. Matanya membelalak karena sama sekali tidak diduga kalau
kawannya akan tewas di tangan gadis cantik itu. Malah hanya dalam segebrakan
saja! "Perempuan ibilis! Siapa kau sebenarnya"! Dan apa maksudmu mencampuri urusan
kami"!" teriak lelaki kasar itu gusar, penuh kemarahan. Meskipun sebenarnya
terkejut dan gentar menghadap gadis cantik itu, namun ia merasa malu untuk
menunjukkan kelemahannya di depan orang banyak. Lelaki kasar itu mencabut
goloknya diikuti kedua orang kawannya yang lain. Sundari diterjang dengan
serangan yang ganas dan mematikan. Golok ketiga orang itu berkelebatan mengincar
tubuh ramping yang menyelinap cepat, di antara sambaran-sambaran sejata.
Dewi Tangan Merah itu rupanya sudah tak segan-segan
menurunkan tangan maut kepada tiga orang lawannya.
Dan dalam beberapa saat saja terdengar tenakan ngeri. Itu pun masih disusul oleh
terlemparnya salah seorang dari tiga lawan dalam keadaan tak bernyawa. Tak lama
kemudian, kembali seorang menggelepar tewas akibat sambaran jari-jari tangan
runcing yang mengandung hawa maut itu.
"Perempuan keparat! Perempuan iblis! Kubunuh kau...!" teriak laki-laki kasar
yang kini hanya tinggal seorang itu. Digerakkannya senjatanya membabi buta,
karena sadar sepenuhnya bahwa ia tidak mungkin dapat mengalahkan gadis cantik
berbaju merah yang ternyata sangat tinggi kepandaiannya.
Tentu saja gerakan yang tak terarah itu semakin memberi peluang buat Sundari.
Gadis itu sengaja tidak menghindar ketika pedang lawan mengarah pinggangnya.
Dengan sebuah gerakan indah, gadis berbaju merah itu baru berkelit ketika pedang
itu hampir membabat pinggangnya, sambil melepaskan sebuah tendangan kilat ke
perut lawan Bukkk! Tubuh laki-laki kasar itu terjungkal keras mencium tanah berpasir. Namun ia
masih berusaha untuk bangkit meskipun otot-otot perutnya terasa hancur. Sambil
terbungkuk-bungkuk berusaha dipungut pedangnya yang terlempar dari tangannya.
Wajahnya menyeringai menahan rasa sakit yang hebat, sementara dari sela-sela
bibirnya mengalir darah segar.
"Heh, anjing buduk! Enyahlah dari sini! Laporkan pada majikanmu bahwa Dewi
Tangan Merah akan berkunjung
untuk mengambil kepalanya. Cepaaat...! Jangan sampai aku berubah pikiran!" ancam
Dewi Tangan Merah atau Sundari dengan wajah menyeringai.
Sejenak laki-laki kasar itu meragu, seolah-olah tidak mempercayai
pendengarannya. Tapi ketika mendengar bentakan gadis berbaju merah itu, ia pun
segera mengambil langkah seribu tanpa menoleh-noleh lagi. Laki-laki kasar itu
berlari sambil memegangi perutnya yang masih terasa sakit akibat tendangan kilat
Sundari. Dewi Tangan Merah itu berdiri terpaku, sambil memandangi kepergian lawannya
"Nini Pendekar...! Terima kasih atas pertolonganmu.
Entah apa jadinya terhadap putriku tanpa pertolongan Nini! Sekali lagi kami
mengucapkan terima kasih," ucap nelayan tua itu yang tahu-tahu saja telah
berlutut di bawah telapak kaki Dewi Tangan Merah, diikuti putrinya.
"Ah! Bangunlah, Paman! Dan kau juga Adik Manis.
Bangunlah! Yang kulakukan tadi bukan apa-apa. Dan lagi pula itu memang sudah
menjadi kewajibanku." ujar Dewi Tangan Merah merendah, sambil tersenyum manis
dan mengangkat tubuh ayah dan anak itu supaya berdiri.
"Nini. Sebaiknya Nini cepat-cepat meninggalkan desa ini, sebelum Logar dan
kawan-kawannya datang kembali!"
jelas nelayan tua itu dengan wajah penuh kecemasan.
Nelayan tua itu memang tidak yakin kalau wanita berbaju merah itu dapat
mengalahkan Logar yang terkenal ganas dan kejam. Dia juga tangan kanan Tuan
Barja. "Hm.... Aku memang akan pergi, Paman. Tapi bukan untuk meninggalkan desa ini,
melainkan hendak mengunjungi orang yang bernama Tuan Barja itu," Jelas
Dewi Tangan Merah tersenyum sabar
"Tapi, tapi Nini. Tukang pukul Tuan Barja itu banyak sekali! Dan mereka rata-
rata memiliki kepandaian cukup tinggi. Apalagi yang bernama Logar itu.
Kepandaian silat-nya hebat sekali, Nini. Dulu pernah ada seorang pendekar muda
yang mencoba memperingati Tuan Barja tentang perbuatannya itu. Ya, dia memang
suka memeras tenaga nelayan-nelayan miskin seperti saya ini. Dan Nini tahu
akibatnya" Hhh..., pendekar muda itu tewas di tangan Logar dengan leher putus!
Maka karena itulah kuperingat-kan pada Nini. Sungguh aku tidak ingin Nini
mengalami hal seperti itu. Bahkan mungkin nasib Nini akan lebih buruk lagi,"
ujar orang tua itu mengakhiri ceritanya.


Pendekar Naga Putih 04 Partai Rimbah Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Eh, Paman. Apakah sebabnya sampai mereka itu tega menyiksa Paman sedemikian
rupa" Apakah kesalahan yang telah Paman perbuat" Kalau hanya soal hutang,
bukankah Paman dapat membayarnya dengan hasil menangkap ikan?" tanya Dewi Tangan
Merah mengalihkan pembicaraan. Ia memang sengaja tidak menanggapi pembicaraan
nelayan tua itu, karena biar dijelaskan bagaimanapun laki-laki itu tetap tidak
akan paham. "Yahhh... Sebenarnya kalau hanya soal hutang, Paman rasa semua nelayan di
kampung ini akan sanggup membayarnya. Namun, bunga yang kian hari kian membukit
itulah, yang tidak sanggup dibayar," jawab nelayan tua itu sambil menghela napas
berat. Seolah-olah dadanya ditekan sebongkah batu yang berat, sehingga napasnya
harus segera dilonggarkan
"Jadi, Paman sudah melunasi hutang yang diberikan Tuan Barja itu?" tanya Dewi
Tangan Merah yang mulai
mengerti duduk persoalan sebenarnya
"Benar, Nini! Namun Tuan Barja selalu menekan kami dengan bunga-bunga yang tak
pernah habis. Setiap ter-lambat membayarnya, maka bunga itu akan semakin
berlipat. Apalagi dalam musim badai seperti ini, saat para nelayan tidak bisa
melaut. Maka dapat Nini bayangkan, berapa banyak bunga yang harus kami bayar,"
jawab orang tua itu, lagi.
"Kalau begitu, mengapa penduduk desa ini masih juga meminjam kepada Tuan Barja"
Bukankah mereka sudah tahu kalau hal itu akan mendatangkan kesulitan?" tanya
Dewi Tangan Merah penasaran.
"Habis, ke mana lagi kami harus meminjam uang untuk membeli alat-alat penangkap
ikan atau perahu, Nini" Kami terpaksa melakukannya! Sebab kalau tidak begitu,
apa yang dapat diberikan kepada keluarga kami?" jawab orang tua itu bernada
sedih. "Ah! Sudahlah, Paman! Sekarang lebih baik kembali saja. Biar aku yang akan
membicarakan persoalan ini kepada Tuan Barja itu!" tegas Sundari.
Selesai berkata demikian Dewi Tangan Merah berkelebat lenyap dari hadapan ayah
beranak itu. Cukup tinggi ilmu meringankan tubuhnya, sehingga membuat kedua
teriongo-longo dengan wajah tidak percaya. Tubuh Dewi Tangan Merah bagai hilang
ditelan bumi saja.
"Oh! Mungkinkah ia seorang dewi yang sengaja di-datangkan untuk menolong kita"
Kalau seorang manusia, mengapa ia pandai menghilang?" gumam nelayan tua itu,
setengah berharap.
Tanpa sepengetahuan Dewi Tangan Merah mau pun
para nelayan yang berada di sekitar tempat itu, sesosok bayangan putih ikut pula
melesat cepat luar biasa.
Sehingga para nelayan itu hanya melihat seberkas sinar putih yang meluncur
melewati kepala mereka.
Bayangan putih yang memang adalah Panji itu sengaja mengikuti Sundari. Karena
ingin dia ketahui apa yang akan diperbuat gadis itu terhadap orang yang disebut
Tuan Barja. Pendekar Naga Putih itu sengaja memperlambat larinya, agar tidak
diketahui Dewi Tangan Merah.
Tidaklah terlalu sulit untuk menemukan rumah kediaman orang yang bernama Subarja
atau biasa dipanggil Tuan Barja itu. Setelah bertanya pada salah seorang
penduduk desa itu, Dewi Tangan Merah langsung melesat ke arah sebuah rumah besar
dan megah. Tampak di depan pintu gerbang rumah besar itu dua orang tukang pukul Subarja
tengah bertugas menjaga.
Sementara itu dengan langkah ringan, Sundari menghampiri pintu gerbang. Melihat
kedatangan seseorang, dua orang penjaga itu segera menahan langkah Dewi Tangan
Merah. "Nini, berhenti...!" perintah salah seorang dari kedua penjaga, sambil
menghadang pintu masuk.
"Eh! Mengapa menahanku" Apakah kawan kalian belum memberitahu?" tanya Dewi
Tangan Merah sambil bertolak pinggang disertai senyum mengejek.
"Bangsat! Rupanya kaulah perempuan liar itu!" bentak keduanya sambil menghunus
pedang. Tanpa dikomando mereka langsung menerjang Dewi Tangan Merah dengan
serangan gencar.
Bagai burung walet, Sundari bergerak cepat meng-
hindari serangan kedua orang penjaga itu. Dan tahu-tahu kedua tangannya meluncur
bagai kilat! Desss! Bukkk! "Ahhhkkk...!"
Kedua orang penjaga Itu tidak sempat lagi mengelak dari dua telapak tangan
Sundari yang halus itu. Mereka terjungkal sambil memuntahkan darah segar dan
langsung menggeletak pingsan.
Dewi Tangan Merah itu langsung melesat ke arah bangunan utama rumah Tuan Barja.
Sementara angin sore bersilir lembut, seolah olah memberikan semangat kepada
Dewi Tangan Merah.
*** 2 "Hei, Subarja! Keluar kau...!" teriak Dewi Tangan Merah lantang. Teriakan yang
didorong tenaga dalam tinggi itu, bergema ke seluruh pelosok rumah besar milik
Tuan Barja Sebenarnya Dewi Tangan Maut tidak perlu berteriak seperti itu, karena
belasan sosok tubuh yang memang sudah tahu kedatangannya telah berloncatan dari
dalam gedung dengan gerakan gesit. Dan mereka langsung bergerak mengurung Dewi
Tangan Merah, dengan berbagai macam senjata.
Dari cara mengurungnya, Dewi Tangan Merah dapat menilai kalau tingkat kepandaian
mereka rata-rata cukup tangguh. Jadi Dewi Tangan Merah tidak perlu mengulur-ulur
waktu lagi. Begitu tangannya bergerak, sebatang pedang yang bersinar kehijauan
sudah tergenggam di tangan kanannya.
"Hm.... Majulah, monyet-moyet busuk! Hari ini aku akan mengajak kalian untuk
menikmati kematian.
Haaaiiittt...!" segulung sinar kehijauan berkelebatan disertai suara mengaung
tajam, membuat para pengurung-nya serentak berloncatan mundur.
Seeenggg! Mengetahui kekuatan yang terkandung di dalam sambaran pedang bersinar kehijauan
itu cukup berbahaya para pengeroyok Dewi Tangan Merah tidak berani memapaknya.
Belasan tukang pukul Tuan Barja itu bergulingan ke kiri dan kanan, sambil
bertukar posisi. Di lain
saat, tubuh mereka mencelat dan melakukan serangan dari segala penjuru secara
bergolongan. Sebuah serangan balasan yang berbahaya dan telah diperhitungan
cermat! Dewi Tangan Merah memutar pedang untuk melindungi tubuhnya dari ancaman senjata
lawan yang bagaikan air hujan itu. Sinar kehijauan bergulung-gulung menyelimuti
seluruh tubuh ramping berbaju merah itu.
Trang! Trang! Trang!
Beberapa buah pedang lawan yang hampir menyentuh tubuhnya, berpatahan terlanggar
pedang pusaka di tangan Sundari. Terdengar seruan-seruan tertahan dari para
pengeroyok, yang merasa terkejut melihat keampuhan senjata Dewi Tangan Merah.
Kesempatan seperti itu tidak dilewatkan begitu saja oleh Dewi Tangan Merah.
Cepat-cepat tubuhnya berkelebat disertai sambaran pedangnya.
Terdengar jerit kematian merobek udara, ketika pedang sinar hijau di tangan
Sundari berkelebat membabat tubuh dua orang lawan yang berada paling dekat
dengannya. Dua orang tukang pukul Tuan Barja itu terjungkal tewas tanpa dapat
bangkit lagi! Bukan main marahnya para tukang pukul Tuan Barja ketika melihat dua orang kawan
mereka telah menjadi korban pedang bersinar kehijauan lawannya itu. Kembali
mereka menerjang Sundari dengan serangan serangan lebih ganas dan berbahaya.
Senjata-senjata mereka berkelebatan bagaikan iblis-iblis haus darah!
Dewi Tangan Merah menangkis dua batang pedang yang meluncur ke tubuhnya. Tapi
sebelum sempat membalas, kembali dua batang pedang lainnya mengancam dari arah
belakang. Cepat Sundari bergulingan ke kiri, sambil
menusukkan pedangnya ke salah seorang dari pem-bokongnya. Orang itu menjerit
tertahan ketika pedang di tangan Sundari menembus lambungnya. Tanpa dapat
dicegah lagi orang itu ambruk ke tanah sambil memegangi lambungnya yang
mengucurkan darah segar!
"Tahaaan...!" tiba-tiba terdengar bentakan yang dibarengi melayangnya sesosok
tubuh ke tengah pertempuran. Sosok tubuh tinggi kurus itu berdiri tegak di
hadapan Sundari dalam jarak dua tombak.
"Hm..., Dewi Tangan Merah! Rupanya suatu nama besar telah membuatmu menjadi
sombong dan tidak memandang muka kepada orang lain. Tapi di sini, kau jangan
jual lagak, perempuan liar!" bentak orang bertubuh tinggi kurus itu. Suaranya
melengking bagaikan suara seorang wanita saja layaknya. Pandang matanya yang
tajam dan berpengaruh itu, membuat Dewi Tangan Merah merasa berhati-hati untuk
menghadapi orang ini.
"Huh, cacing kurus kurang makan! Kalau aku tidak salah lihat, bukankah kau yang
berjuluk Setan Pemburu Mayat" Hi hi hi.... Tidak kusangka kalau kau begitu
merendahkan dirimu sehingga menjadi anjing peliharaan Tuan Barja! Apakah kau
kurang makan, cacing kurus?"
ujar Dewi Tangan Merah sambil tertawa menghina Mendengar hinaan itu, bergetar
sekujur tubuh orang yang berjuluk Setan Pemburu Mayat itu. Dengan sebuah
gerengan murka, tubuhnya meluruk ke arah Dewi Tangan Merah dengan kedua tangan
terkembang. Bresss! Debu mengepul tinggi ketika sepasang lengan Setan Pedang Pemburu Mayat yang
bertenaga kuat mengenai
tempat kosong. Memang, Sundari sudah lebih dahulu menghindar disertai sebuah
tendangan kilat yang mengancam kepala lawan. Cepat-cepat Setan Pemburu Mayat
merendahkan tubuhnya sambil berputar dengan kaki terjulur menyapu kaki Dewi
Tangan Merah. Sundari segera menarik pulang kaki dan melempar tubuhnya ke
belakang. Empuk sekali menjejakkan kakinya, sejauh tiga tombak dari lawannya.
"Siapkan jala...!" perintah Setan Pemburu Mayat.
Belasan tukang pukul yang semenjak tadi hanya berdiri menonton pertarungan
tersebut bergegas berlari mengambil jala. Rupanya laki-laki kurus itu tidak
ingin berlama-lama menghadapi Dewi Tangan Merah. Meskipun sebenarnya tingkat
kepandaian mereka tidak jauh atau bahkan mungkin seimbang.
Tidak beberapa lama kemudian, delapan orang tukang pukul Tuan Barja telah siap
dengan jala di tangan masing-masing. Kelihatannya jala itu terbuat dari semacam
akar pepohonan yang liat dan alot. Tak main-main, jala itu sudah diberi ramuan
khusus sehingga tidak mudah putus.
Bahkan oleh pedang sekalipun.
Delapan tukang pukul itu sudah berloncatan mengitari Dewi Tangan Merah yang
menjadi tegang karena keadaannya sekarang benar-benar terancam! Sebelum delapan
orang itu bergerak, tiba-tiba terdengar angin tajam berkesiutan, menuju Dewi
Tangan Merah. Sundari menjadi terkejut sekali melihat dua buah sinar putih berkelebat cepat
saling susul-menyusul! Gadis jelita itu segera bergulingan menghindarkan
serangan maut yang dilakukan Setan Pemburu Mayat. Rupanya laki-laki itu
telah menggunakan sepasang pedang berukuran satu depa lebih.
Setan Pemburu Mayat memang bukan tokoh kosong belaka! Karena ke mana pun tubuh
Dewi Tangan Merah menghindar, sepasang pedang bercagak itu selalu membayanginya.
Tentu saja hal ini membuatnya bergidik ngeri. Sehingga pada satu ketika,
terpaksa harus ditangkis serangan lawan dengan pedangnya!
Dan akibatnya benar-benar di luar dugaan Sundari!
Entah dengan cara bagaimana, tahu-tahu saja pedang di tangan lawan berputar dan
membelit pedangnya! Sebelum Dewi Tangan Merah itu menyadari keadaannya, pedang
yang di tangan kiri lawan sudah meluncur menebas pergelangan tangannya yang
memegang pedang. Terpaksa Sundari melepaskan pedangnya dan bergulingan
menghindari sabetan berikutnya dari pedang lawan. Dalam keadaan terdesak, gadis
itu masih sempat melepaskan sebuah pukulan jarak jauh mengandung tenaga 'Tangan
Pasir Merah' yang menjadi ilmu andalannya.
Wuuusss! Seketika serangan angin panas terlontar dari sepasang tangan Sundari yang sudah
berubah berwarna merah sebatas siku. Angin itu terus meluncur, dan langsung
menerpa tubuh Setan Pemburu Mayat yang tidak sempat lagi menghindar!
Blukkk! "Huaaakkk...!"
Tubuh Setan Pemburu Mayat terdorong mundur sejauh sepuluh langkah. Mulutnya
memuntahkan darah segar yang berwarna agak kehitaman. Ternyata pukulan
'Tangan Pasir Merah' yang mengenai dada kirinya itu, telah membuat laki-laki
kurus itu terluka dalam. Setan Pemuru Mayat berdiri terhuyung-huyung sambil
menekap dadanya yang bagaikan terbakar itu. Tampak kulit dadanya berwarna agak
kehitaman, sedangkan baju di bagian tubuhnya telah hancur bagaikan di makan api.
"Kakang Logar, kau tidak apa apa...?" tanya salah seorang kawannya, sambil
memburu ke arah Setan Pemburu Mayat yang ternyata bernama Logar itu
"Gunakan jala itu untuk menangkapnya, goblok!
Kuntilanak itu harus dapat ditangkap hidup-hidup!"
bentak Setan Pemburu Mayat atau Logar penuh kemarahan.
Kedelapan orang tukang pukul Tuan Barja yang memegang jala itu segera berputar
untuk mengaburkan pandangan Dewi Tangan Merah. Sedangkan Logar juga sudah
menerjang kembali dengan sepasang pedangnya yang berbahaya itu. Maka Dewi Tangan
Merah yang sudah tidak bersenjata itu benar-benar kerepotan dibuatnya.
Di tengah serangannya yang menderu-deru itu, tiba-tiba tubuh Logar melompat jauh
ke belakang. Dan pada saat yang sama, dua buah jala terlontar ke arah Dewi
Tangan Merah. Gadis itu segera bergulingan untuk menghindarkannya. Namun ketika
berdiri, sebuah jala lain tahu-tahu saja telah mengurungnya. Dewi Tangan Merah
meronta-ronta berusaha keluar dari jala itu.
Desss! "Ouggghhh...!"
Dewi Tangan Merah mengeluh pendek, ketika sebuah tendangan keras telah
menghantam punggungnya!
Ternyata Logar berbuat curang. Tubuh Dewi Tangan Merah langsung terjerembab ke
depan. Darah segar mulai mengalir dari celah-celah bibirnya.
Namun tiba-tiba saja, tubuh para tukang pukul yang memegang jala beterbangan
bagaikan diamuk angin topan dahsyat! Terdengar teriakan-teriakan ngeri dari
mulut mereka. Lima orang di antaranya ternyata telah tewas dengan tubuh membiru,
seolah-olah diserang hawa dingin hebat! Sedang tiga orang lainnya tergeletak
pingsan setelah menggigil hebat, bagaikan orang terserang demam tinggi!
Logar dan para tukang pukul yang lainnya tersentak mundur dengan wajah pucat
pasi. Mereka sama sekali tidak mengetahui, apa yang telah terjadi pada delapan
orang kawannya itu. Dan mata mereka menjadi terbelalak ketika memandang seorang
pemuda tampan berjubah putih, yang dengan tenangnya membebaskan Dewi Tangan
Merah dari kurungan jala tadi.
"Ah, rupanya Kakang Panji lagi, terima kasih!
Kedatanganmu benar-benar tepat sekali," ujar Dewi Tangan Merah sambil tersenyum
manis, ketika mengenali pemuda berjubah putih yang telah menolongnya itu.
Pemuda tampan berjubah putih yang memang Panji dan lebih dikenal sebagai
Pendekar Naga Putih itu, cepat memberikan sebutir ramuan berupa pil berwarna
hijau. Tanpa bertanya lagi, Sundari segera menelannya.
Beberapa saat kemudian, dirasakan hawa yang hangat berkumpul di pusar untuk
kemudian menyebar ke seluruh anggota tubuhnya. Dan kini tubuhnya kembali terasa
segar seperti semula.
"Adik Sundari. Kau pergilah ke dalam, dan cari orang
yang bernama Subarja itu. Biar aku yang mengatasi mereka!" tegas Panji dengan
suara tenang "Baiklah, Kakang! Kalau begitu, aku pergi dulu...!"
seru Dewi Tangan Merah.
Setelah berkata demikian, tubuh ramping itu pun berkelebat memasuki bangunan
besar itu. Setan Pemburu Mayat dan para tukang pukul Tuan Barja segera bertindak untuk
menghalangi Sundari.
Namun sebelum dapat mengejar gadis itu, sebuah bayangan putih berkelebat
menghadang mereka.
"Heh, Anak Muda! Apa maksudmu mencampuri urusan kami" Bukankah kita belum saling
berurusan"!"
bentak Logar dengan suara garang.
Meskipun Logar melihat apa yang telah menimpa pada kedelapan orang kawannya
tadi, namun ia masih meragukan kebenarannya. Apakah benar pemuda tampan itu yang
melakukannya, atau ada orang lain yang membantu dua orang muda itu secara
sembunyi-sembunyi"
"Hm.... Di antara kita memang tidak ada urusan, Kisanak! Tapi ketahuilah, bahwa
kehadiranku dan Dewi Tangan Merah ke sini adalah sebagai wakil para nelayan yang
telah diperas tenaganya oleh majikanmu," jawab Panji, masih tetap bersikap
tenang tanpa menunjukkan amarah sedikit pun
"Siapa kau sebenarnya, Anak Muda"! Dan apa hubunganmu dengan para nelayan di
sini"!" tanya Logar sambil menggeram marah.


Pendekar Naga Putih 04 Partai Rimbah Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sudahlah, Kakang! Untuk apa bertanya lagi. Bunuh saja pemuda usilan itu, habis
perkara!" seru salah seorang kawannya yang rupanya sudah tidak sabar mendengar
pembicaraan itu.
"Benar, Kakang. Bunuh saja dia!" seru yang lain, ikut mendukung perkataan
kawannya tadi. "Hm... Jadi mau kalian begitu" Lalu mengapa tidak segera dilakukan" Apa lagi
yang kalian tunggu?" tantang Panji sambil tersenyum lebar.
"Bangsat! Kau makanlah senjataku! Hiaaattt...!"
Dengan kemarahan yang menggelegak, salah seorang yang berbicara tadi segera
menerjang Panji dengan ayunan pedangnya. Namun sebelum pedangnya menyentuh tubuh
pemuda sakti itu, tiba-tiba orang itu terjungkal terhantam telapak tangan Panji
yang telah dialiri 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'. Orang itu berkelojotan sesaat,
kemudian tewas dengan dada remuk!
Dapat dibayangkan, betapa terkejutnya Logar dan para tukang pukul lainnya
menyaksikan kawan mereka tewas dalam segebrakkan saja. Seketika wajah mereka
menjadi pucat, dan mata terbelalak seakan-akan tidak mempercayai kejadian itu.
Tanpa sadar Logar dan kawan-kawannya melangkah mundur dengan hati diliputi
kegentaran! "Siiiapppaaa... kau, Anak Muda...?" tanya Logar, suaranya begitu kering. Sambil
berkata demikian, matanya memperhatikan mayat kawan kawannya. Mungkin saja dia
dapat mengenalil tokoh persilatan yang memiliki ilmu pukulan berhawa dingin luar
biasa seperti itu.
"Apakah kau yang berjuluk Pendekar Naga Putih...?"
sentak Logar. Dia kini teringat seorang pendekar muda yang telah mengguncangkan dunia
persilatan dengan ilmu-ilmunya yang dahsyat. Dan menurut cerita, pendekar muda
itu berwajah tampan dan selalu mengenakan jubah putih. Ada selapis kabut bersinar
putih keperakan yang menyelimuti tubuhnya. Tapi karena belum menyaksikan ciri-
ciri yang terakhir dari pendekar itu, maka Logar pun masih sangsi akan
dugaannya. "Begitulah, julukan yang diberikan orang kepadaku,"
jawab Panji tanpa merasa bangga sedikit pun pada julukannya.
"Huh! Siapapun kau, maka atas perbuatanmu ini berarti telah menanamkan bibit
permusuhan dengan Partai Rimba Hitam! Dan kau akan menyesali perbuatanmu hari
ini!" ancam Logar yang terpaksa membuka kedoknya guna menakut-nakuti Panji.
Karena biar bagaimanapun, Logar masih merasa gentar akan kepandaian lawannya
yang masih muda itu.
Namun alangkah kecewanya hati Logar ketika melihat lawannya sama sekali tidak
terkejut terhadap ancamannya.
Karena memang, Panji belum pernah mendengar partai yang misterius itu. Dan tentu
saja ancaman Logar itu sama sekali tidak mengejutkannya. Sebaliknya, pemuda itu
malah mengerutkan keningnya tanda tidak mengerti.
"Hm..., apa maksudmu dengan ancaman itu" Dan partai macam apa, Partai Rimba
Hitam itu" Bisakah kau menjelaskannya?" tanya Panji penasaran.
Karena sudah terlanjur membuka kedok, maka Logar pun segera menjelaskan tentang
Partai Rimba Hitam.
Maksudnya agar lawan menjadi gentar dan tak lagi mencampuri urusannya.
"Nah! Oleh karena itu, sayangilah nyawamu, Anak Muda. Karena dengan mencampuri
urusanku berarti juga
telah berurusan dengan seluruh anggota Partai Rimba Hitam!" jelas Logar menutup
keterangannya. Terbayang senyum kemenangan di bibirnya karena merasa yakin
lawannya pasti akan gentar mendengar keterangannya.
Tapi sayang dugaan Logar kembali meleset! Panji memang terkejut ketika mendengar
keterangan Logar tentang Partai Rimba Hitam itu Namun, keterkejutannya bukan
karena gentar. Melainkan karena justru mencurigai partai itu sebagai biang
keladinya. Dan mungkin orang-orang Partai Rimba Hitam itulah yang telah menculik
Suntara dan Rahayu.
"Hm.... Kalau begitu, kau harus tunjukkan padaku, di mana markas Partai Rimba
Hitam itu!"
Begitu ucapannya selesai, tubuh pemuda itu langsung melesat ke arah Logar dengan
totokan-totokan yang cepat bagai kilat! Panji memang berniat menahan lawannya
hidup-hidup, karena merupakan satu-satunya petunjuk yang dibutuhkan.
Bukan main terperanjatnya Logar melihat lawannya yang bukannya gentar, tapi
malah semakin ganas serangannya. Maka Logar menjadi kewalahan menghindar!
serangan Panji yang luar biasa cepatnya itu. Dalam beberapa jurus saja Logar
sudah terdesak hebat!
Setelah lewat sepuluh jurus, Logar tidak mampu lagi untuk menghindari sebuah
totokan tangan kanan Panji yang meluncur deras ke arahnya
Tukkk! "Ughhh...!"
Logar mengeluh pendek. Tubuhnya kontan ambruk bagaikan sehelai karung basah
ketika totokan pemuda itu
mendarat telak dan melumpuhkannya.
Namun belum lagi Panji sempat mendekati tubuh lawannya, tiba-tiba terdengar
desingan senjata-senjata gelap yang mengancam dirinya. Panji menjejakkan kakinya
ke tanah, maka seketika tubuhnya langsung melenting ke atas. Cepat bagai kitat,
tangannya mengibas untuk meruntuhkan beberapa buah senjata yang masih meng-
ancamnya. "Bangsat curang...!" gerutu Panji begitu kakinya mendarat di tanah. Dan
kegeraman pemuda itu bertambah ketika didapati tubuh Logar sudah tak bernyawa
lagi, karena tertancap beberapa buah senjata di tubuhnya.
Dengan penuh kemarahan, Panji segera berkelebat ke arah asal senjata-senjata
gelap tadi. Setelah beberapa lama mengitari tempat itu, pemuda itu menjadi
kecewa karena sama sekali tidak menemui apa yang dicarinya itu.
"Tunggulah pembalasan Partai Rimba Hitam, Pendekar Naga Putih...!" samar-samar
terdengar ancaman dari kejauhan.
Ketika mendengar suara itu, tubuh Panji kembali berkelebat ke arah asal suara
tadi. Lagi-lagi pemuda itu harus menelan kekecewaan karena sama sekali tidak
menemukan apa-apa. Dengan langkah lesu Pendekar Naga Putih itu kembali ke tempat
kediaman Tuan Barja untuk menemui Dewi Tangan Merah yang masih berada di situ.
"Dari mana saja kau, Kakang ..?" tegur Dewi Tangan Merah ketika Panji memasuki
pekarangan rumah kediaman Tuan Barja itu. Sementara di sebelahnya seorang laki-
laki setengah tua dan berkepala setengah botak, tertunduk dengan wajah pucat.
"Hm.... Jadi inikah orangnya yang bernama Tuan Barja itu?" tanya Panji tanpa
menjawab pertanyaan Sundari.
"Benar, Kakang," jawab Sundari. "Nah, bandot tua.
Sekarang ucapkanlah janjimu di hadapan Pendekar Naga Putih!" Sundari mendorong
tubuh laki-laki gendut itu hingga terjajar ke depan.
Laki-laki gendut yang bernama Subarja itu menjatuhkan dirinya berlutut di
hadapan Pendekar Naga Putih sambil mengucapkan janjinya. Suaranya terdengar
gemetar. "Kau ingat-ingatlah, Subarja! Apabila terdengar kau mengulangi perbuatanmu lagi,
maka Dewi Tangan Merah dan Pendekar Naga Putih akan datang untuk mengambil
kepala botakmu! Mengerti"!" bentak Dewi Tangan Merah yang membuat tubuh Subarja
semakin gemetar.
"Baik... baik, aku berjanji tidak akan mengulangi perbuatanku lagi. Dan aku akan
berusaha membantu nelayan-nelayan di desa ini, Nini Pendekar," ucap Tuan Barja
terputus-putus sambil mengangguk-anggukkan kepalanya yang agak botak itu.
"Eh, Kakang. Kau belum menjawab pertanyaanku tadi?" ujar Sundari ketika keduanya
melangkah bersisian meninggalkan kediaman Tuan Subarja.
Mendengar pertanyaan itu, Panji kembali teringat kejadian yang benar-benar
membuatnya amat penasaran.
Segera diceritakan pengalamannya itu kepada Sundari, sehingga gadis itu pun
menjadi penasaran dan marah dibuatnya.
"Hm.., jadi Setan Pemburu Mayat itu adalah salah seorang anggota Partai Rimba
Hitam. Pantas saja berani
berlagak. Rupanya dia mempunyai andalan yang tidak tanggung-tanggung. Hm....
Kalau begitu, kita harus mencari keterangan tentang letak markas Partai Rimba
Hitam itu. Mari, Kakang...!" sambil berkata demikian Sundari segera mengerahkan
ilmu meringankan tubuhnya berlari mendahului Panji
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Panji segera menggenjot tubuhnya dan langsung
melesat menyusul Dewi Tangan Merah. Dalam beberapa saat saja tubuhnya sudah
dapat disejajarkan di sebelah gadis itu. Diam-diam Dewi Tangan Merah ini semakin
kagum akan kepandaian pemuda yang berjuluk Pendekar Naga Putih itu.
*** 3 "Berhenti...!"
Sepuluh orang laki-laki gagah serentak menghentikan langkahnya ketika mendengar
bentakan itu. Untuk beberapa saat lamanya, mereka hanya saling pandang satu sama
lain dengan wajah heran. Namun, sikap kesepuluh orang itu terlihat tenang
sekali, seolah-olah tidak merasa khawatir oleh suara bentakan yang menggelegar
tadi. Tiga tombak di depan, tampak belasan laki-laki berwajah bengis berdiri
menghadang perjalanan sepuluh orang itu. Seorang laki-laki brewok yang merupakan
pimpinan para penghalang itu melangkah ke depan.
Lagaknya dibuat sewibawa mungkin, tapi justru memuakkan. Laki-laki brewok itu
menatap ke arah sepuluh orang laki-laki gagah itu satu persatu, seperti seorang
panglima perang yang sedang memeriksa barisan pasukannya.
"Hm.... Hendak ke mana, kalian" Mengapa begitu tergesa-gesa?" tanya laki-laki
brewok itu sambil bertolak pinggang dengan lagak sombong. Seolah-olah dia sedang
bertanya kepada anak buahnya, sehingga sama sekali tidak memandang sebelah mata
pun kepada sepuluh orang laki-laki gagah itu.
Seorang di antara sepuluh laki-laki gagah itu, melangkah ke depan mewakili
kawan-kawannya yang lain.
Wajahnya terlihat apik dan berwibawa. Ketenangannya menandakan kalau dia adalah
orang sabar dan ber-
pandangan luas. Sengaja dia mendahului untuk menghindari hal hal yang tidak
diinginkan. "Maafkan kami, Kisanak. Kami sedang menghadapi sebuah persoalan yang sangat
pribadi dan sangat mendesak sifatnya. Maka ijinkanlah kami lewat. Sekali lagi
kami mohon maaf," ucap laki-laki gagah itu sambil membungkuk hormat
"He he he.... Kau pikir kami tidak tahu ke mana tujuanmu, Pendekar Tangan
Sakti"! Bukankah kalian ingin mengunjungi Gunung Salaka" Nah, kalau begitu
bersiaplah! Kami akan segera mengantar agar kalian lebih cepat tiba di sana
untuk menemani si Tua Surya Kencana!"
ujar laki-laki brewok itu. Suaranya bernada menghina sekali.
Laki-laki gagah yang ternyata berjuluk Pendekar Tangan Sakti itu terkejut sekali
ketika mendengar perkataan laki-laki brewok di depannya itu. Sama sekali tidak
disangka kalau dirinya dapat dikenali. Lebih-lebih ketika laki-laki brewok itu
menyebut-nyebut Gunung Salaka dan Ki Surya Kencana. Tanpa sadar Pendekar Tangan
Sakti melangkah mundur sejauh lima tjndak!
Meskipun wajahnya masih terlihat tenang, namun sinar matanya berkilat tajam
Kesepuluh orang laki-laki gagah itu memang hendak mengunjungi Gunung Salaka
setelah mendengar kematian Ki Surya Kencana. (Untuk lebih jelasnya baca serial
Pendekar Naga Putih dalam episode: "Algojo Gunung Sutra"). Memang orang nomor
dua di Perguruan Gunung Salaka itu adalah guru kesepuluh orang itu. Mereka
meninggalkan Perguruan Gunung Salaka, karena ingin
meluaskan pengalaman. Begitu mendengar guru mereka tewas, para murid Perguruan
Gunung Salaka yang tengah mencari pengalaman itu pun segera berbondong-bondong
mengunjungi perguruan untuk memastikan kebenaran berita itu. Dan tanpa d sangka,
tahu-tahu perjalanan mereka dihadang belasan orang yang sama sekali tidak
menunjukkan sikap bersahabat
"Hm..., siapa kau sebenarnya" Dan apa maksud menghadang perjalanan kami"' tanya
laki-laki yang berjuluk Pendekar Tangan Sakti itu. Pendekar Tangan Sakti yang
benar-benar terpukul atas kematian gurunya yang tanpa diketahui siapa
pembunuhnya menjadi curiga kepada laki-laki kasar di depannya ini. Dan kini,
laki-laki brewok itu tampaknya sangat memusuhi Perguruan Gunung Salaka.
Memang bisa jadi orang ini mempunyai hubungan dengan pembunuhan gurunya. Apalagi
melihat sikap laki-laki brewok yang mencurigakan itu.
"He he he..., Pendekar Tangan Sakti! Demikian lemahkah ingatanmu sehingga tidak
mengenaliku lagi"
Apakah kau sudah lupa kejadian setahun yang lalu" Bukankah gadis itu sudah
menjadi istrimu?" ujar laki-laki brewok itu, mengingatkan.
Kening Pendekar Tangan Sakti berkerut dalam. Jelas, dia tengah berpikir keras.
"Ya, aku ingat sekarang!" jawab laki-laki gagah itu setelah berpikir sesaat.
"Lalu, apa maumu sekarang, Setan Kali Gantang! Apakah ingin membalas dendam?"
Pendekar Tangan Sakti mulai waspada ketika mengenali laki-laki brewok yang
menghadangnya itu.
Tatapan matanya tajam, mengawasi orang di depannya.
"He he he...., kira-kira begitulah!" jawab laki-laki brewok yang berjuluk Setan
Kali Gantang itu. Sikapnya benar-benar memandang rendah lawan.
Melihat sikap lawan yang sepertinya begitu yakin dapat mengalahkannya, Pendekar
Tangan Sakti tidak mau bertindak ceroboh. Maka segera dipersiapkan tenaga
dalamnya untuk menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi. Sementara
kawan-kawannya sudah pula menghampiri ketika melihat sikap Pendekar Tangan Sakti
yang seperti akan bertarung itu. Namun sebelum kesembilan orang kawan Pendekar
Tangan Sakti bertindak, tiba-tiba...
"Seraaanggg...!" teriak laki-laki brewok yang berjuluk Setan Kali Gantang.
Belum juga gema suara itu hilang, laki-laki kasar itu sudah mencabut sebilah
golok besar dari pinggangnya.
Langsung saja diterjangnya Pendekar Tangan Sakti.
Sementara pendekar itu langsung berkelit dan membalas dengan pukulan-pukulan
yang menimbulkan desir angin tajam. Dalam waktu singkat saja, keduanya segera
terlibat pertarungan sengit dan mati-matian.
Demikian pula belasan orang anak buah Setan Kali Gantang. Mereka sudah
berlompatan menyerbu sembilan orang kawan Pendekar Tangan Sakti. Yang segera
menyambut dengan tidak kalah ganasnya. Bunga api berpijaran ketika senjata-
senjata dari kedua belah pihak berbenturan sehingga menimbulkan suara berdering
yang memekakkan telinga. Kilatan kilatan pedang dan golok berkelebatan dan
menyambar-nyambar mencari sasaran.
Akibatnya membuat pertempuran itu semakin ramai dan sengit!
*** Setelah bertempur selama kurang lebih lima jurus, sembilan orang kawan Pendekar
Tangan Sakti terkejut sekali. Ternyata kepandaian lawan-lawan mereka ternyata
cukup hebat! Tidak heran kalau mereka yang telah di-gembleng di Perguruan Gunung
Salaka itu harus mengeluarkan seluruh kemampuan. Gerakan-gerakan lawan ternyata
cukup gesit dan membingungkan. Seolah-olah belasan orang itu memang sudah
dipersiapkan sejak lama! Dan hal itu benar-benar di luar dugaan mereka.
Sedangkan pertarungan Pendekar Tangan Sakti melawan Setan Kali Gantang tampak
berlangsung seimbang. Pendekar itu memang pernah mengalahkan Setan Kali Gantang
pada setahun yang lalu. Tapi kini hatinya merasa terkejut sekali melihat
kemajuan lawannya.
Padahal, dulu Setan Kali Gantang dapat dikalahkan tak lebih dari sepuluh jurus.
Kini belasan jurus telah dilalui, namun Pendekar Tangan Sakti belum juga dapat
mendesak lawannya. Apalagi untuk mengalahkan. Dan hal ini benar-benar
mengejutkan baginya.
Pada jurus kedelapan belas, Pendekar Tangan Sakti mulai mengeluarkan salah satu
ilmu andalan perguruannya
'Sebelas Jurus Penahan Ombak'. Jurus ini diciptakan Ki Tunggul Jagad untuk
menahan serangan yang bagaimana pun hebatnya. Di dalam jurus itu terkandung
pukulan-pukulan tersembunyi yang dapat dilontarkan secara mendadak, dan sama
sekali tidak diduga lawan Setan Kali Gantang tersentak kaget, ketika setiap
serangan yang dilakukan bagaikan membentur benteng
yang tak tampak. Beberapa kali tubuhnya terdorong mundur dan terhuyung-huyung
ketika melakukan serangan gencar. Meskipun demikian, semangat Setan Kali Gantang
memang patut dipuji. Hatinya sama sekali tidak merasa gentar. Diiringi sebuah
teriakan parau, Setan Kali Gantang memutar-mutar golok besarnya hingga
menimbulkan angin menderu-deru. Tubuhnya melesat diiringi suara mengaung yang
ditimbulkan golok besarnya.
Pendekar Tangan Sakti mempercepat gerakan tangannya untuk menghalau serangan
lawan. Disertai hentakan keras, tubuhnya segera berputar sehingga bacokan Setan
Kali Gantang hanya mendapatkan tempat kosong. Namun gerakan Pendekar Tangan
Sakti tidak sampai di situ saja.
Tangan kanannya yang berputar itu, tiba-tiba mencelat cepat bagai kilat menuju
lambung lawan! Bukan main terkejutnya Setan Kali Gantang ketika melihat serangan mendadak itu.
Sedangkan pada saat itu dirinya dalam keadaan membacok. Sehingga, kesempatan-nya
untuk menghindar pupus sudah.
Desss!

Pendekar Naga Putih 04 Partai Rimbah Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aaakkkhhh...!"
Setan Kali Gantang menjent tertahan ketika pukulan yang dilancarkan Pendekar
Tangan Sakti menghantam lambung. Tubuh laki-laki brewok itu melintir bagai
putaran gangsing. Belum lagi dapat mengatur kuda-kudanya, tiba-tiba tubuh
Pendekar Tangan Sakti sudah mencelat mengejarnya. Tidak sampai di situ saja,
pendekar itu langsung mendorongkan kedua telapak tangannya sepenuh tenaga!
Bukkk! Setan Kali Gantang menjerit tinggi ketika sepasang lengan yang dialiri tenaga
dalam penuh itu menggedor dadanya. Kontan tubuh laki-laki itu terjungkal dan
ambruk di tanah sejauh satu setengah tombak. Darah segar mengallr dari celah-
celah bibirnya yang memucat. Setelah memuntahkan darah segar beberapa kali,
tubuh Setan Kali Gantang itu diam tak bergerak lagi, tewas dengan dada hancur.
Pada saat yang bersamaan terdengar pula jerit kematian yang merobek angkasa.
Empat sosok tubuh telah terjerembab dalam keadaan tewas. Perut dan lambung
mereka masing-masing robek ditembus senjata. Salah seorang di antaranya adalah
murid Gunung Salaka yang sebelumnya telah menewaskan dua orang lawannya.
Pertempuran kembali berlangsung sengit. Korban dari pihak anak buah Setan Kali
Gantang kembali berjatuhan ketika salah seorang murid Gunung Salaka membabatkan
pedangnya sehingga merobek perut dua orang lawannya.
Pendekar Tangan Sakti yang telah terjun dalam arena pertempuran kembali, telah
pula merobohkan seorang lawan dengan pukulan ampuhnya. Dan hal itu semakin
menambah semangat kawan-kawannya.
Para pengeroyok yang kini tinggal tiga belas orang itu, menjadi kalang kabut
menghadapi gempuran murid-murid Gunung Salaka. Kini mereka hanya dapat bertarung
sambil mundur, karena rasa gentar telah mulai menguasai hati mereka.
Brettt! Brettt!
"Ouuuggghhh...!"
Terdengar suara senjata yang mengenai sasaran. Lima
orang penghadang kembali terjerembab dengan tubuh berlumuran darah! Mereka tewas
tersambar lima batang pedang yang dikelebatkan murid-murid Gunung Salaka yang
telah haus darah itu. Tentu saja hal itu semakin menambah ciut hati para lawan.
Mata mereka pun mulai liar, mencari-cari kesempatan untuk meloloskan diri.
Namun kesembilan Pendekar Gunung Salaka itu sama sekali tidak memberi kesempatan
kepada musuh-musuhnya untuk meloloskan diri.
Namun pada saat para penghadang yang kini tinggal delapan orang itu kalut, tiba-
tiba melesat tiga sosok bayangan yang langsung memasuki kancah pertempuran.
Begitu ketiga sosok bayangan itu menggerakkan tangannya, tiga orang pendekar
dari Gunung Salaka kontan terjungkal ke belakang dihantam oleh pukulan bertenaga
dalam tinggi. Darah segar mengalir dari sela-sela bibir mereka. Dengan gerakan
limbung, tiga orang Pendekar Gunung Salaka itu mencoba bangkit berdiri.
"Ha ha ha..., cecurut-cecurut Gunung Salaka! Sebentar lagi kalian akan menyusul
si tua bangka Surya Kencana itu!" ujar salah seorang dari tiga bayangan itu,
sambil tertawa pongah. Wajahnya yang berwarna kuning memang mudah dikenali.
Siapa lagi kalau bukan Ular Muka Kuning yang telah menewasakan Ki Surya Kencana!
Sedang sosok yang kedua adalah seorang wanita cantik berambut merah.
Kepandaiannya juga tidak bisa dipandang rendah, karena termasuk salah seorang
tokoh golongan sesat yang kejam dan genit. Kesenangannya adalah menggaet pemuda-
pemuda tampan. Entah sudah berapa banyak pemuda tampan yang telah jadi korban
rayuan dan kecantikannya. Tapi, begitu merasa bosan, maka korbannya akan dibunuh
dengan mulut tersenyum.
Sehingga, dalam dunia persilatan ia dijuluki Setan Cantik.
Dan yang sangat mengejutkan hati para pendekar Gunung Salaka itu, adalah orang
ketiga. Tubuhnya jangkung dengan sebaris kumis lebat menghias wajahnya itu.
Jelas-jelas hal ini membuat mata para pendekar Gunung Salaka terbelalak bagai
melihat hantu di siang bolong!
*** "Ki Ageng Sampang...!" teriak mereka berbarengan, dengan wajah pucat
"Ki Ageng! Apa..., apa maksudnya semua ini...?" seru Pendekar Tangan Sakti,
kebingungan. Memang, bagaimana hati pendekar itu tidak menjadi bingung" Sebab, selama ini dia
mengenal Ki Ageng Sampang adalah sahabat guru mereka, Ki Surya Kencana.
Tapi, mengapa sekarang tahu-tahu orang tua yang berjuluk Algojo Gunung Sutra
itu, berpihak kepada tokoh-tokoh sesat" Padahal Ki Ageng Sampang yang selama ini
mereka kenal adalah orang tua yang sabar dan bijaksana. Tentu saja hal itu
sangat membingungkannya.
"Ha ha ha...! Rupanya kau belum mengerti maksudku, anak bodoh! Ketahuilah bahwa
kedatanganku ke sini untuk mengantarmu menemui Ki Surya Kencana. Nah,
bersiaplah," ujar orang yang berwajah Ki Ageng Sampang itu, dingin. Dan begitu
ucapannya selesai, tubuh jangkung itu segera melayang ke arah Pendekar Tangan
Sakti yang masih berdiri bagai orang linglung.
Wuttt! Sambaran tangan orang tua jangkung itu hebat sekali.
Serangkum angin dingin berhembus mendahului gerakan tangannya. Untunglah
Pendekar Tangan Sakti cepat merendahkan tubuhnya, sehingga serangan orang tua
itu lewat beberapa rambut di atas kepalanya. Kalau tidak, pasti batok kepalanya
remuk terkena hantaman itu! Begitu serangan itu berhasil dielakkan, tubuhnya pun
mencelat ke belakang untuk menghindari serangan berikutnya.
Pendekar Tangan Sakti yang menyadari siapa lawannya, segera mengempos
semangatnya. Dikerahkannya seluruh tenaga dalam untuk memainkan ilmu 'Menggetar
Langit Mengacau Bumi'. Ilmu ini merupakan andalan Guru Besar Gunung Salaka, Ki
Tunggul Jagad. Orang tua itu memang telah mewariskan ilmu-ilmu tingkat tinggi
kepada setiap muridnya yang memiliki bakat bagus dalam ilmu silat. Dan salah
seorang yang beruntung adalah Pendekar Tangan Sakti. Dan dalam urutan perguruan,
Pendekar Tangan Sakti dapat disejajarkan dengan tokoh perguruan lainnya seperti
Santiaji dan Ranjita. Maka dapatlah diukur sampai di mana kepandaian yang
dimiliki pendekar itu.
Dengan ilmu yang jarang digunakan, Pendekar Tangan Sakti menyerang sepenuh
tenaga orang yang bertubuh jangkung itu. Angin keras berputar, ketika Pendekar
Tangan Sakti melancarkan serangan ke arah lawan! Kedua tangannya bergerak sallng
susul menyusul disertai desiran angin tajam, sehingga jubah lawan berkibaran.
Tapi sayang tenaga dan kematangan ilmu yang dimiliki Pendekar Tangan Sakti masih
belum mampu menandingi
musuhnya. Sehingga biarpun telah dikerahkan seluruh kemampuannya, tetap saja
Pedang Langit Dan Golok Naga 21 Dewi Ular 71 Kupu Kupu Iblis Eng Djiauw Ong 3
^