Pencarian

Tikam Samurai 33

Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik Bagian 33


orang yang berada dalam keadaan sakratul maut. Dari pengalaman itu dia sangat yakin Sersan ini sudah mati.
Dan dia yakin, bagi mereka yang sudah bertahun dalam sekapan ini, kematian merupakan anugerah, dibanding
harus mati setelah menderita dalam waktu yang amat panjang.
Si Bungsu kembali meluruskan badannya bersandar ke dinding. Dia menoleh ke arah Smith. Tak ada
yang kelihatan, kendati jarak antara mereka berdua hanya sehasta. Kegelapan yang kental menyebabkan
suasana di dalam lobang itu tenggelam dalam kelam yang tak terbayangkan.
Dalam Neraka Vietnam-bagian-686
Namun dia tahu Smith masih tegak di sisinya, juga bersandar ke dinding. Suara nafas lelaki itu dia dengar
teratur. Dia juga tahu Smith sedang tidur. Hampir dua tahun disekap seperti ini, membuat tentara Amerika itu
benar-benar terlatih dan tahu bagaimana tidur dalam segala kondisi.
Pendengarannya yang tajam juga menangkap dengkur perlahan Letnan Cowie dan Kopral Jock Graham.
Perlahan dia berbisik, memanggil Smith yang tegak di sisinya. "Smith"." "Ya"." jawab Smith, juga berbisik
tanpa membuka mata. "Orang ini sudah mati"." Tak ada jawaban. Dari kegelapan di atas sana sayup-sayup
terdengar suara burung malam. "Apa?"" "Clark sudah mati"." Smith menarik nafas panjang. "Kau yakin?"
"Ya?" Tak ada jawaban dari Smith. Yang dia lakukan, justru melepaskan pegangan kedua tangannya di paha
Mike Clark yang tubuhnya mengapung di permukaan air. "Lepaskan saja?" ujar Smith perlahan sambil
menggeliat. Saat Si Bungsu melepaskan pegangannya pada punggung bahagian atas tubuh Clark, juga pegangan
di bahagian kepala. Smith masih menggeliat panjang. Dia meregangkan kedua tangannya yang hampir
kesemutan tinggi-tinggi ke atas. Lalu dia melemaskan jari-jarinya. Menarik jari itu bergantian satu demi satu,
sehingga buku-buku jarinya memperdengarkan bunyi gemeletuk. Kemudian dia menguap panjang dan
menegakkan tubuhnya yang bersandar hampir sepanjang malam. Lalu memutar badan bahagian atasnya,
melemaskah pinggang dan otot-ototnya yang semua terasa kaku.
Si Bungsu juga melakukan hal yang sama. Meluruskan tegak dari posisi bersandar. Menggeliat dengan
meregangkan kedua tangannya tinggi-tinggi ke atas. Lalu memutar tubuh bahagian atasnya ke kiri, ke kanan
dan sedikit membungkuk. Mereka jelas tak bisa membungkuk benar, karena air di dalam lobang itu tingginya
hampir mencapai leher mereka masing-masing. Dalam kegelapan yang kental tersebut, mayat Clark yang
mengapung perlahan ke bahagian tengah lobang penyekapan itu, tak kelihatan sama sekali.
Bagi orang-orang di atas sana, bahkan bagi hampir separuh rakyat Amerika; perang Vietnam sudah
berbulan-bulan usai. Namun bagi mereka yang berada dalam lobang penyekapan ini, dan bagi ratusan tawanan
perang Amerika yang dinyatakan sebagai MIA, yang disekap di puluhan tempat rahasia, perang Vietnam benarbenar belum selesai. Memang tak ada peluru berdesingan atau bom yang menggelegar. Karena mereka yang
tertawan dan disekap memang tak memiliki senjata dalam bentuk yang paling purba sekalipun. Tetapi, dalam
peperangan ada kata-kata yang dihafal hampir seluruh prajurit yang maju ke medan tempur. Kata-kata nasehat
sekaligus peringatan itu bermula dari saat latihan.
"Lebih baik bermandi keringat dalam latihan, daripada bermandi darah dalam pertempuran". Kemudian
jika mereka benar-benar sudah berada di medan tempur, ada kata-kata. "Peperangan hanyalah latihan. Menjadi
tawanan musuh adalah pertempuran sesungguhnya". Hanya bagi mereka yang pernah ditawan Vietnam, yang
sangat memahami kebenaran kata-kata peringatan itu. Sebagaimana halnya dialami oleh mereka yang kini
berada dalam lobang penyekapan bersama Si Bungsu, yang disekap di wilayah Vietnam yang mereka tak
ketahui di mana lokasinya.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 723
Mendengar ada suara perlahan, Cowie yang juga sedang tidur berdiri, segera terbangun. Membuka mata
atau tidak, dalam sergapan gelap seperti sekarang, bagi mereka sama saja. Yang kelihatan hanya hitam kelam.
Bahkan mereka juga takkan melihat jari-jari mereka sendiri, kendati mereka meletakkan jari jari tangannya
persis di depan mata. "Smith?" imbau Cowie perlahan. "Yes, Sir"." "Clark mati?" "Yes, Sir! Si Bungsu memastikan hal itu"."
"Bungsu"." "Ya, Letnan"." "Sudah berapa lama dia mati?" "Sekitar sepuluh menit yang lalu, Letnan"." Letnan
Cowie, dan juga Kopral Jock Graham yang ikut terbangun dalam kegelapan yang kental itu, termenung.
"Bungsu?" ujar Cowie perlahan, setelah mereka lama saling berdiam diri dalam kegelapan tersebut. "Ya,
Letnan"." "Terimakasih, Anda telah ikut bersusah-susah memegangi Sersan Clark.?"
Si Bungsu menarik nafas panjang. Dia merasa tak perlu mengomentari ucapan terimakasih Cowie.
Fikirannya melayang, sampai kapan mereka berada dalam sekapan ini" Sampai nyawa mereka tercabut satu
demi satu, seperti Clark dan yang mati pertama karena malaria itu" Dia tidak ingat sudah berapa belas hari dia
berada di dalam lobang sekapan maut ini. Dia tak pernah menghitung. Tetapi ada juga pelajaran yang dia
peroleh dari Cowie dan Smith, bagaimana cara melepaskan lelah dalam air berlumpur tersebut. Jika penat
berdiri atau bersandar di dalam air yang hampir mencapai dada itu, mereka lalu mengapungkan diri.
Menelentang atau menelungkup di air. Karena airnya kental, berat jenis air itu lebih besar dari berat
jenis air sungai yang jernih. Dengan berat jenis air yang lebih besar itu tubuh mereka yang memang sudah
kurus dengan mudah mengapung lebih lama dibanding jika mereka mengapungkan diri di sungai. Jika ada yang
melihat ke dalam lobang itu pada saat mereka "istirahat" di atas air, ke empat lelaki tersebut akan nampak
seperti mayat yang berapungan di air. Mayat Clark ternyata lebih baik nasibnya dari mayat-mayat sebelumnya
yang mati dalam lobang tersebut.
Dalam Neraka Vietnam-bagian-687
Sekitar pukul sepuluh esoknya, dua milisi Vietnam datang mengantar makanan untuk mereka. Seperti
biasa, jatah mereka tetap saja nasi sisa dan sedikit basi. Di Tambah ikan asin dan rebus umbi keladi, lalu air
minum yang di bungkus plastik. Cowie yang sedikit-sedikit bisa berbahasa Vietnam, memberi tahu kedua milisi
itu tentang kematian Clark. Karena sudah tiga hari tidak ada yang melihat ke lobang itu, Cowie mengatakan
sudah tiga hari dia meninggal.
Kedua Vietnam itu menatap kepada mayat Clark. Kemudian menghilang, tanpa sepatah katapun. Tak
lama setelah mereka selesai makan jatah mereka, kedua milisi tadi datang lagi bersama tiga orang tentara.
"Telentangkan dia.."ujar seorang tentara Vietnam itu dalam bahasa Inggris yang cukup baik. Cowie menuruti
perintah itu. Ketiga tentara di atas, yang tegak sambil menodongkan bedil, memperhatikan wajah Clark. Mayat
itu memang sudah kaku. Mulutnya ternganga, kedua tangannya kaku dan membengkok keatas. Salah seorang
dari tentara itu melemparkan tali nilon sebesar empat jari kaki. "Ikatkan tali itu di bagian lehernya?" ujar si
tentara. Keempat orang didalam lobang itu mengerti, kalau itu sikap berjaga jaga, kalau -kalau tentara itu hanya
pura-pura mati. Cowie membuat jeratan di ujung tali itu, kemudian mengalungkannya ke leher Sersan Mike
Clark. Ketiga tentara yang di atas menarik tubuh Clark sampai setengah lobang. Kemudian membiarkannya
tergantung sambil di perhatikan dengan seksama, apakah tubuh yang di gantung itu ada sedikit gerakan.
Tentu saja tubuh itu tak bergerak, karena Clark memang sudah meninggal dari malam kemaren. Setelah
beberapa lama memperhatikan, kalau mulut dan tangan mayat itu tak bergerak sedikitpun, barulah tentara
yang bisa berbahasa inggris itu memerintahkan untuk menarik mayat itu sampai keatas. Setelah itu peristiwa
yang rutin kembali mereka saksikan. Loteng bambu diatas kembali di tutup. Tiga kayu pemberat sebesar tiga
kali tubuh manusia kembali di himpitkan di atasnya. Lalu semak dan dedaunan kembali di timbunkan.
Kemudian mereka kembali di cekam suasana sunyi. Si Bungsu menatap air yang seperti biasa disisakan
Cowie untuk cadangan. Air itu berada di kantong plastik berbentuk tas kresek berwarna hitam. Sejak dia berada
di dalam tahanan ini, entah sudah berapa belas hari, kalau dia tak salah sudah empat kali pengiriman makanan
disertai minuman dengan tas plastik tersebut. Jika isinya sudah habis, tas itu dia buang begitu saja ke air,
kemudian tenggelam perlahan dan lenyap. Sekali lagi Si Bungsu menatap tas plastik yang tergantung di dinding
dekat Cowie. Disangkutkan di ranting yang di tancapkan ke tanah dinding lobang tersebut. Tas yang masih
menggelembung di bagian bawahnya. Tak ada air yang menetes, karena pori plastik itu demikian rapatnya.
"Apakah mereka selalu mengirimkan makanan dan minuman dengan tas plastik itu?" tanya Si Bungsu pada
Cowie dari tempatnya bersandar. Letnan PL Cowie yang tadi sedang menengadah keatas, mengalihkan
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 724
tatapannya kepada Si Bungsu. Kemudian mengalihkan pandangannya pada tas plastik yang tergantung di
dinding itu. Lalu menatap kembali pada Si Bungsu, kemudian mengangguk. "Mengapa..?"
Si Bungsu menggeleng. Namun dengan kakinya dia meraba-raba dasar lobang di sekitar tempatnya
tegak. Tak begitu lama meraba-raba, hanya berapa kali mencungkil lumpur, jarinya tersentuh pada sebuah
kantong kresek itu. Dengan jari-jari kakinya dia jepit plastik itu, kemudian mengangkatnya ke atas, kemudian
tangannya masuk ke lumpur meraih plastik itu, lalu dia perhatikan plastik itu dengan seksama.
Di genggam dan di luruskannya sehingga membentuk sebuah tali yang panjangnya sekitar dua setengah
jengkal. Lalu dia pegang kedua ujung nya, di tariknya perlahan. Dia tahu "tali" dari kantong plastik itu cukup
kuat dan alot. Takkan putus ditarik. Namun dia tetap ingin mencoba. Ingin membuktikan sekuat apa "tali" itu.
Ternyata liat sekali. Ditariknya dengan kuat, tetap tak putus. Cowie yang dari tadi memperhatikan, tiba-tiba
tersadar. Dia faham benar apa yang dipikirkan Si Bungsu. "Anda benar?"desis Cowie sembari menatap dengan
mata melotot ke arah "tali" plastik yang tengah di tarik sekuat tenaga oleh Si Bungsu.
Kopral Jock Graham dan Sersan Tim Smith juga terbelalak setelah mendengar ucapan Cowie, kemudian
menatap kepada tali yang ada di tangan Si Bungsu. "Kumpulkan semua kantong plastik yang ada dalam lobang
ini"." bisik Cowie kepada Sersan dan kopral itu. Dalam beberapa detik, ketiga tentara itu, yang sudah kering
kerempeng tersebut segera saja lenyap dari pandangan Si Bungsu. Mereka menyelam dan tangan mereka
gentayangan ke segala penjuru. Mengundak-ngundak lumpur di dasar lobang tempat penyekapan mereka,
berusaha mendapatkan kantong plastik yang pernah mereka terima sebagai tempat minum. Dalam waktu
singkat ketiganya segera mendapatkan empat belas kantong plastik. Mereka membersihkannya dari lumpur.
Kemudian meluruskannya sehingga membentuk sebuah tali.
Sambil membersihkan kantong-kantong plastik itu, sesekali Cowie memandang ke atas. Seperti khawatir
kalau-kalau tentara Vietnam yang mengintai apa yang sedang mereka kerjakan. Cowie menyumpahi
kebodohan mereka, kenapa tak dari dahulu mereka punya pikiran bahwa kantong plastik itu di sambungsambung menjadi tali. Mereka bekerja dengan diam. Tiap kantong yang mereka luruskan, mereka buhul di
tengahnya. Kemudian mereka sambung-sambungkan. Tiba-tiba saja di tangan mereka kini terdapat tali yang
kukuh dan liat. Panjangnya sekitar tiga meter lebih. Mereka saling bertukar tatapan satu dengan yang lainnya.
Kemudian ke bambu-bambu yang melintang jauh di atas mereka. Mata mereka pada berbinar. Untuk pertama
kali selama bertahun-tahun, mereka menjadi gemetar dan gugup. Gemetar dan gugup membayangkan
kemungkinan mereka bisa keluar dan melarikan diri dari lobang sekapan dan Dalam Neraka Vietnam ini!
Dalam Neraka Vietnam-bagian-688
"Ayo kita cari lagi. Saya rasa masih cukup banyak kantong seperti ini, yang sudah kita buang dan
terbenam jauh di bawah lumpur?" bisik Cowie. Ke tiga tentara Amerika itu kembali menyelam. Begitu juga Si
Bungsu. Yang pertama dia lakukan adalah menggulung kantong plastik itu sehingga menjadi gulungan kecil.
Kemudian dia letakkan baik-baik di tepi dinding di dasar lobang. Ditimbunnya dengan dua kepal lumpur agar
jangan mengapung ke permukaan. Lalu tangannya menggerayang lagi mengaduk-aduk lumpur. Beberapa kali
mereka saling berbenturan kepala di dalam air kental tersebut, atau tangan mereka saling beradu saat
mengaduk-aduk lumpur. Ketika satu demi satu mereka muncul lagi dengan nafas tersengal-sengal, di tangan Cowie ada tiga
kantong plastik. Smith mendapat enam, Graham dua buah dan Si Bungsu lima. Mereka pada bersandar terlebih
dahulu di dinding lobang. Mengatur pernafasan. Namun tak seorang pun yang mengangkat kantong plastik
yang mereka dapat kepermukaan. Mereka memegang kantong-kantong plastik tersebut di dalam air.
Semua mereka merasa perlu waspada. Kendati mereka yakin takkan ada seorang pun tentara atau milisi
Vietnam yang akan mencoba melihat dari atas. Namun harapan untuk bebas yang tiba-tiba demikian besar
membersit, membuat mereka berhati-hati. Mereka tak ingin ada Vietnam yang melihat bahwa mereka tengah
mengumpulkan kantong plastik tersebut.
Sore sudah turun saat mereka menyelesaikan pekerjaan menyambung-nyambung tali dari kantong
plastik itu. Kini mereka memiliki tali sepanjang lebih kurang lima depa. Cowie memberi isyarat agar
menyembunyikan saja tali itu di dalam air. Tak usah dicoba menarik-narik untuk menguji kekuatannya. Cowie,
dan mereka semua sepakat, agar bersikap lebih hati-hati. Jangan sampai ada mata yang mengintai apa yang
mereka lakukan di dalam lobang ini. Fikiran dan kecurigaan seperti itu tak pernah muncul selama ini. Fikiran
itu baru muncul setelah mereka memiliki alat untuk melarikan diri.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 725
Cahaya sore yang merah, membias ke dalam lobang di mana mereka berada. Ke tiga tentara Amerika itu,
Letnan PL Cowie, Sersan Tim Smith dan Kopral Jock Graham, tiba-tiba saja seperti orang yang baru bangkit dari
kubur. Wajah mereka membiaskan harapan untuk bebas amat besar. Berbeda dari saat sebelum tali plastik itu
mereka buat. Dimana wajah dan mata mereka kelihatan murung dan tak bercahaya. Kini, wajah mereka memang tetap
pucat, namun ada rona dan harapan yang membersit di sana. Ketika gelap sudah meraup semua lobang
tersebut, Cowie dan Si Bungsu segera mengatur ujicoba kekuatan tali plastik yang mereka buat. Wajah mereka
membiaskan harapan hidup yang amat besar. Berbeda dari saat sebelum tali plastik itu mereka buat. Dimana
wajah dan mata mereka tetap kelihatan murung dan tak bercahaya. Kini, wajah mereka memang tetap pucat,
namun ada rona dan harapan yang membersit di sana.
Ketika gelap sudah meraup semua lobang tersebut, Cowie dan Si Bungsu segera mengatur uji coba
kekuatan tali plastik yang mereka buat. Si Bungsu menyelam di tempat yang sudah dia beri tanda di mana dia
menyimpan tali plastik yang lima depa itu. Tangannya mengaiskan lumpur yang dia jadikan sebagai pemberat,
agar tali itu tidak mengapung. Setelah muncul dan tegak di sisi Cowie, dia menyerahkan ujung yang satu kepada
letnan tersebut. Sementara ujung yang satu lagi tetap dia pegang. "Saya dengan Smith, Anda dengan Graham?"
bisik Cowie. "Oke"." ujar Si Bungsu.
Kedua orang yang disebut Cowie, Smith dan Graham, yang juga tegak di dekat mereka, segera berbagi
tegak. Smith mengikuti langkah Cowie ke dinding yang berseberangan dengan tempat tegak Si Bungsu.
Sementara Graham mendekatkan tegaknya ke dekat Si Bungsu. Kini tali plastik itu mereka regang. Si Bungsu
dan Graham di ujung yang satu, sementara Cowie dan Smith di ujung lainnya. "Siap".?" bisik Si Bungsu. "Yap"!"
jawab Cowie. Keempat mereka memegang masing-masing ujung tali itu kuat-kuat ketika Si Bungsu menghitung
mundur dari tiga, dua, satu dan nol. Pada hitungan nol, mereka menarik tali itu sekuat mungkin. Namun yang
terjadi bukannya tali yang putus, tapi Cowie dan Smith di ujung sana tertarik kuat ke depan. Mereka berdua
sampai kehilangan keseimbangan dan kelelep di air. "Pantat kurap"." sumpah Smith diiringi sederet panjang
makin lain. Rupanya dia tak bisa menahan tarikan kuat Si Bungsu dan Graham, beberapa teguk air kental tertelan
olehnya. Untuk beberapa saat dia kelam kabut menyemburkan air bekas mayat teman-temannya itu. Cowie
tertawa, Graham tertawa. Smith akhirnya ikut tertawa. Cowie segera sadar, tenaga mereka amat tak berimbang
dibanding tenaga orang Indonesia itu. Soalnya dia dan Smith memang sudah tak punya tenaga sedikit pun.
Habis terhisap selama dalam lobang sekapan dengan makan amat minim selama lebih dari dua tahun.
Sementara Si Bungsu masih segar bugar.
Si Bungsu juga menyadari perbedaan antara tenaga yang dia miliki dibanding tenaga ketiga teman satu
tahanannya tersebut. Dia faham, bertahun-tahun di dalam sekapan, dengan makanan dan minum yang amat
kurang, menyebabkan tubuh para tawanan menjadi seperti mayat hidup. Benar-benar hanya tinggal tulang
belulang dibalut kulit. Dia sendiri tak yakin bisa bertahan hidup jika ditahan selama itu.
Mereka lalu kembali mengulangi percobaan dalam gelap gulita itu. Kali ini, Si Bungsu tegak sendirian,
sementara Cowie, Smith dan Graham bergabung jadi satu di ujung yang lain. "Siap?" bisik Si Bungsu. "Yap?"
ujar Cowie. Si Bungsu kembali mengulang menghitung mundur. Pada saat dia menyebut angka nol, mereka semua
mengerahkan tenaga. Menarik sekuat daya ujung tali pada bahagian masing-masing. Hanya beberapa saat, tibatiba semua mereka merasakan tali itu putus dan mereka pada tersandar dengan agak keras ke dinding di
belakangnya. Nafas ketiga tentara Amerika itu pada memburu. "Cowie".?" bisik Si Bungsu. "Ya"." "Putus?"
"Ya"." "Periksa bahagian ujung yang putus itu".."
Cowie menghela tali plastik tersebut. Menggulungnya perlahan sampai ujung yang putus itu tiba di
tangannya. Demikian juga Si Bungsu. "Bungsu"." bisik Cowie. "Ya?"" "Tak ada serpihan bekas putus di ujung
tali ini"." "Ya, di ujung ini juga tidak?" jawab Si Bungsu. "Kalau demikian, tali ini tidak putus. Melainkan
terlepas sambungannya?" ujar Cowie. "Ya, menurut saya juga begitu?" jawab Si Bungsu. "Kita uji lagi?" tanya
Cowie. "Ya, kecuali kita ingin tetap berada di dalam lobang celaka ini selama-lamanya?" ujar Si Bungsu sambil
melangkah di dalam air, mendekati tempat Cowie dan kawan-kawannya.
Dalam Neraka Vietnam-bagian-689
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 726
"Kami sudah cukup lama di sini. Kalau ada yang harus tinggal lebih lama, lebih baik kau saja. Sebab
pengalamanmu berada di dalam lobang seperti ini harus diperdalam. Makin lama engkau berada di sini makin
banyak yang bisa kau pelajari".." ujar Cowie, disambut tawa cekikikan Smith.
"Sebaiknya Smith atau Graham saja yang diperpanjang masa tugasnya di lobang ini, jangan saya. Saya
orang asing, bukan orang Amerika. Jadi tak ada manfaatnya bagi Vietnam"." ujar Si Bungsu membalas guyonan
Cowie. Smith bercarut marut diiringi tawa. Senang juga hatinya mendengar senda gurau orang Indonesia ini.
Mereka lalu menyambung lagi ujung tali yang ikatannya terlepas itu. Kemudian pengujian kembali dilakukan
dengan menarik sekuat mungkin. Beberapa kali mencoba, tali itu memang kenyal dan alot sekali. Tak bisa putus
meski ditarik kuat-kuat oleh empat lelaki dewasa. Mereka kini benar-benar punya harapan untuk bisa
membebaskan diri. Mereka tak tahu bagaimana caranya. Belum pula pernah merencanakan apapun. Jadi
mereka sebenarnya tak tahu, apa yang akan mereka lakukan.
Bisa melarikan diri memang menjadi idaman setiap tawanan. Namun risikonya adalah nyawa. Kendati
belum ada rencana apapun, belum tahu kapan saatnya melarikan diri, namun memiliki tali yang amat kukuh
dengan panjang sekitar lima depa itu benar-benar memberi dorongan semangat pada mereka. Hidup bebas di
luar merupakan bayangan yang amat indah. "Besok kita uji dengan bergantung di tali ini?" bisik Si Bungsu
yang bersandar di sisi Cowie. "Saya yakin, engkau bisa membawa kami keluar dari lobang ini, Bungsu?" ujar
Cowie perlahan, didengar dengan diam oleh Smith dan Graham.
"Saya tidak melihat bagaimana caranya. Lobang ini terlalu tinggi untuk dilompati. Kita tak memiliki
senjata apapun?" ujar Si Bungsu. Kendati dia berkata perlahan, namun karena mereka berempat tegak
berdekatan, semua bisa mendengar percakapan perlahan itu dengan cukup jelas. "Engkau sudah memulainya
kawan. Gagasan membuat tali dari kantong plastik itu tak pernah terfikirkan oleh kami sebelumnya. Kini
engkau ternyata melihat hal itu. Kita tunggu saat yang tepat serta merencanakannya sebaik mungkin?" ujar
Cowie. Kemudian mereka lebih banyak berdiam diri. Tak lama setelah itu, Si Bungsu memisahkan diri dari
kelompok tersebut. Dia pergi ke bahagian lain dari dinding itu. Kemudian orang-orang hanya mendengar suara
air bersibak. Cukup lama. "Hei, kau belajar berenang?" tanya Smith perlahan, diiringi suara tawanya separoh
terkekeh. Tak ada jawaban dari Si Bungsu. Suara air berkecipak itu tetap saja mereka dengar berkepanjangan.
Akhirnya ketiga tentara itu hanya mendengar dengan diam. Mereka memang tak dapat melihat apapun di
dalam lobang itu jika gelap sudah turun. Mungkin ada sekitar tiga atau empat jam suara air berkecipak itu
mereka dengar. Setelah itu mereka dengar tarikan nafas, lalu sepi. Mereka lalu tertidur dalam pulas. Paginya
semua pada tersentak terbangun mendengar carut marut Smith. Cowie yang membuka mata duluan menatap
ke arah Smith, lalu Graham.
Smith ternyata sedang melototkan matanya ke arah Si Bungsu. Cowie dan Graham ikut memandang ke
arah yang dipandang Smith. Dan mereka juga ikut melotot seperti Smith. Betapa mereka takkan melotot, kalau
di seberang sana, mereka melihat lelaki asal Indonesia itu tidur menyandarkan diri. Tapi yang membuat
mereka melotot bukannya tidur Si Bungsu, melainkan batas air yang terlihat di tubuh lelaki itu. Jika di tentang
mereka ketinggian air tetap saja sebatas pangkal leher, di tentang Si Bungsu air ternyata hanya sebatas
perutnya! Tidaklah mungkin air di ruangan yang sama, dengan kedalaman lobang yang sama, bisa dangkal di suatu
tempat dan dalam sangat di tempat yang lain. Mungkin atau tak mungkin, bukti yang kini mereka saksikan
dengan mata kepala sendiri memang begitu. Ketiga mereka lalu perlahan ke arah tempat Si Bungsu, yang masih
saja tidur pulas. Smithlah yang pertama terhenti langkahnya. Langkahnya terhenti karena tiba-tiba saja
tubuhnya kejeblos ketempat yang lebih dalam. Kepalanya tiba-tiba lenyap dari permukaan air. Dia kaget dan
sempat kelelep sebelum akhirnya menggerapai mundur.
"Setan" pantat kurap! Apa-apaan ini?" rutuk Smith begitu kembali berdiri di tempat yang datar. Si
Bungsu terbangun. Dia membuka mata dan segera tertawa sambil menatap kepada tiga teman-temannya yang
kurus kerempeng itu. Ketiga mereka kini berada di tengah lobang, sekitar dua meter dari tempatnya. "Hai?"
ujarnya sambil tersenyum.
Ketiga tentara Amerika itu masih melongo menatapnya, yang seolah-olah berada di atas air. Si Bungsu
menggapaikan tangannya ke depan, ke bahagian bawah tempat duduk tersebut. Lalu memperagakannya pada


Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ketiga tentara Amerika itu. Mereka masih terlongo, sebab yang diperagakan Si Bungsu hanyalah sekepal
lumpur. Cowie yang pertama menyadari kenapa orang Indonesia itu kini seolah-olah berada di ketinggian. Hal
itu berkaitan erat dengan apa yang dilakukan orang Indonesia itu tadi malam. Dia memang berada di posisi
lebih tinggi dibanding posisi mereka kini.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 727
Tadi malam, kecipak air yang mereka dengar selama berjam-jam itu adalah akibat lelaki dari Indonesia
ini bekerja keras. Menyelam mengumpulkan lumpur. Lalu menumpuknya di salah satu dinding tahanan.
Berjam-jam melakukan penumpukan, tentu saja lumpur itu makin lama makin tinggi. Dan kini, dia tak perlu
berdiri lagi. Pekerjaannya malam tadi menghasilkan sebuah "kursi" yang terdiri dari unggukan lumpur. Di kursi
itulah dia kini duduk, sehingga air seolah-olah sebatas perutnya. Ketiga tentara Amerika itu kemudian
berdatangan ke "kursi" Si Bungsu.
Lalu mereka menjadi seperti anak-anak yang mendapat permainan baru. Bergantian naik ke "kursi"
lumpur tersebut. Sersan Tim Smith kemudian tak mau kalah. Dia segera melangkah ke sisi dinding yang lain.
Kemudian menyelam. Lalu dari kedalaman air itu dia meraup lumpur dengan tangannya. Mengungguk lumpur
sedikit demi sedikit ke tepi dinding. Dia juga ingin membuat sebuah "kursi" untuk tempatnya duduk. Malah
kalau bisa, dia ingin membuat tempat tidur. Dengan demikian dia tak usah lagi harus berdiri. Dia berharap bisa
berbaring-baring di tempat tidurnya yang baru itu. Cowie dan Kopral Jock Graham hanya menatap dengan
diam. Namun lewat tengah hari, mereka dikejutkan dengan dibukanya penutup lobang tersebut. Empat tentara
Vietnam dan dua milisi berjejer di atas dengan bedil ditodongkan ke bawah.
Dalam Neraka Vietnam-bagian-690
"Hei, Negro?" ujar salah seorang di antara tentara yang tidak menodongkan bedil, yang bersenjata pistol
di pinggang, ke arah Cowie dalam bahasa Inggris. Cowie menatap dengan diam ke atas. "Sambut ini?" ujarnya
sambil memperlihatkan sebuah gari. Sebelum habis ucapannya dia sudah melemparkan belenggu terbuka itu,
yang disambut oleh Cowie. "Pasangkan pada kedua tangan orang itu?" ujar tentara tersebut sambil menunjuk
pada Si Bungsu. Cowie segera berjalan dalam air kental itu ke arah Si Bungsu. Dia faham benar tak ada gunanya
memperlambat melaksanakan perintah tentara Vietnam tersebut, apalagi membantahnya. Cowie, dan
siapapun tentara Amerika, yang pernah merasakan tertangkap oleh Vietnam tahu benar bahwa terhadap
tawanan tentara Amerika tentara maupun milisi Vietnam tak memiliki kata iba, kasihan atau bentuk timbang
rasa apapun. Mereka dengan segala senang hati akan menghamburkan peluru dengan sedikit alasan saja.
Bahkan dengan alasan yang kadang-kadang tak masuk akal.
Itulah sebabnya ketika tentara Vietnam itu melempar kan gari ke arahnya, Cowie segera menyambutnya.
Kemudian ketika diperintah untuk membelenggu Si Bungsu, Cowie segera mendekati orang Indonesia itu,
untuk melaksanakan perintah yang diberikan kepadanya. Si Bungsu juga faham bahwa tentara Vietnam tak
suka dibantah. Maka ketika Cowie mendekatinya dengan belenggu di tangan, yang diperbuat Si Bungsu adalah
menjulurkan kedua tangannya ke arah Cowie.
Dia bisa memahami dan bersyukur bahwa Cowie memasangkan pula gari itu dengan baik. Sebab, jika
misalnya belenggu itu tidak terkunci dengan benar, maka kemungkinan yang terjadi setelah diperiksa di atas
adalah Si Bungsu langsung ditembak. Atau yang ditembak justru Cowie. Bukannya hal yang mustahil pula
bahwa yang ditembak bukan salah seorang di antara mereka, melainkan kedua mereka sekaligus. Mereka
berusaha untuk tidak saling memandang ketika memasang belenggu itu, agar tidak ditafsirkan sebagai
memberi isyarat atau apapun yang bisa diartikan sebagai usaha persiapan melarikan diri.
Usai belenggu dipasangkan, tali nilon sebesar empu jari kaki dilemparkan ke bawah. Tali tersebut adalah
tali nilon yang biasanya dipergunakan untuk menarik mayat dari lobang sekapan itu ke atas. "Ikat kedua
pergelangan tangannya yang dibelenggu itu?" ujar tentara Vietnam yang melemparkan belenggu ke pada
Cowie. Cowie kembali mengambil ujung tali nilon tersebut. Lalu membuat jeratan, sebagaimana beberapa hari
yang lalu dia juga membuat jeratan di ujung tali yang sama, untuk di kalungkan ke leher Sersan Mike Clark yang
sudah mati. Jerat itu kemudian dia kalungkan ke tangan Si Bungsu yang dibelenggu. Setelah itu tali plastik
tersebut dia lilitkan di tengahnya. Ikatan seperti itu mencegah tangan Si Bungsu tidak terluka atau terlalu sakit
ketika tubuh Si Bungsu ditarik ke atas.
"Tarik"!" ujar tentara Vietnam yang berpistol, begitu melihat Cowie selesai mengikat kedua pergelangan
tangan Si Bungsu. Tiga orang tentara Vietnam segera menarik dengan kasar tali tersebut. Tarikan kuat dan tibatiba itu membuat tubuh Si Bungsu terputar dan wajahnya menghantam dinding lobang. Hal itu terjadi sebelum
dia sempat mengantisipasi dengan menekankan kakinya ke dinding. Benturan diikuti tarikan yang
menyebabkan wajahnya tergesek dengan keras ke dinding, mengakibatkan hidung dan kening Si Bungsu
berdarah. Sesampai tubuhnya di atas dia segera digelandang menuju ke perkampungan. Sementara dua tentara
lainnya segera pula menutup lobang tempat menyekap para tawanan tersebut.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 728
Dalam Neraka Vietnam-bagian-691
Si Bungsu tiba-tiba merasa tubuhnya dijalari rasa hangat yang alangkah nikmatnya. Hal itu disebabkan
cahaya matahari yang selama ini tak pernah menyentuh tubuhnya, kini hal itu langsung dia rasakan. Dia
terkejut tatkala sambil melangkah dia melihat ke arah kakinya. Kakinya pucat bukan main. Selain pucat juga
berkerut karena lama disekap dalam lobang tersebut. Barangkali sudah lebih dua bulan. Selama itu pula
tubuhnya terendam. Dia menjadi semakin faham kenapa banyak tahanan yang mati perlahan dalam lobang
sekapan itu. Untunglah selama dalam penyekapan itu dia tetap menjaga kondisi dengan mengatur pernafasan,
kemudian melakukan gerakan-gerakan seperti senam. Sehingga kendati kaki, pinggang dan tangannya
mengkerut karena air, namun reaksi dan gerak bahagian-bahagian tubuhnya tersebut tetap normal. Apalagi
kini tubuhnya mendapat cahaya panas matahari secara langsung. Keningnya berkerut tatkala terpandang pada
kedua pergelangan tangannya yang digari. Lobang gari itu ternyata terlalu besar bagi tangannya yang sudah
mengecil. Bahkan jikapun tangannya dia kepalkan, dia yakin kepalan tangannya itu tetap saja bisa lolos dari lobang
gari tersebut. Rasa hiba terhadap dirinya, terhadap tawanan yang masih disekap dalam lobang, berangsurangsur berobah menjadi marah. Dengan sedikit menggoyang tangan, gari di tangannya itu meluncur turun. Gari
yang di tangan kanannya saat meluncur ke bawah dia tahan dengan telapak tangan. Digenggamnya erat-erat.
Gari yang di tangan kiri terhenti di punggung buku-buku jarinya yang dia kepalkan. Dia mempelajari situasi di
mana dia kini berada. Jalan yang mereka tempuh ternyata melintasi hutan bambu. Lalu dia mempelajari jumlah tentara
Vietnam yang menggiringnya. Hanya ada empat orang. Dua milisi yang tadi menodongkan bedil ke lobang saat
dia akan ditarik, ternyata petugas yang menjaga di pondok dekat lobang penyekapan tersebut. Kini mereka
tetap tinggal di sana. Dua orang tentara, termasuk si komandan yang berpistol, berjalan di depannya. Dua orang
lagi di belakang. Namun hatinya mulai bimbang. Masih tetap cepatkah reaksi tangan dan kakinya" Masih sekuat dulukah
pukulan dan tendangannya" Dia mencoba mengepalkan tengannya kuat-kuat. Kepalan tangannya tetap terasa
kuat dan kukuh. Urat-urat darahnya mengencang dan darahnya terasa berjalan normal. Langkahnya menjadi
lambat saat dia terbatuk keras. Dia berjalan lagi, dan tiba-tiba batuk keras dan panjang kembali menyergapnya.
Langkahnya terhenti. Dia sampai terbungkuk dengan tangan menahan dadanya dan terasa sakit akibat
batuk tersebut. Dua tentara yang di belakang dengan bedil tetap ditodongkan, terhenti pada jarak sedepa. Saat
itulah gari yang sudah lepas dari pergelangannya dia hantamkan ke tentara terdekat.
Bersamaan dengan itu tangan kirinya menepis sekaligus merenggutkan ujung bedil tentara Vietnam
tersebut. Belenggu berwarna putih itu menghantam bahagian belakang telinga si tentara. Dia rubuh pingsan
bersamaan dengan berpindah tangannya bedil yang dia todongkan ke tangan Si Bungsu. Tentara yang seorang
lagi belum sempat mengetahui apapun, ketika dadanya dihantam popor bedil yang dihentakkan oleh Si Bungsu
dari posisi berlutut. Tentara itu mengeluh, matanya mendelik. Lalu dia jatuh berlutut dan terlentang di jalan. Kejadian itu
amat cepat, hanya dalam hitungan detik! Saking cepatnya peristiwa itu terjadi menyebabkan dua tentara yang
berjalan di depan, yang menoleh ke belakang karena mendengar ada keluhan, tak segera bisa menyadari apa
sesungguhnya yang sedang dan telah terjadi. Sesaat mereka hanya tertegun. Mereka tiba-tiba aja melihat
tawanan yang mereka giring itu, yang kini masih dalam posisi berlutut di kaki kirinya, sudah menodongkan
ujung bedil kepada mereka.
Dalam gerakan yang amat cepat, orang itu sudah melakukan dua gebrakan yang langsung melumpuhkan
dua teman mereka berada di belakang. Padahal kedua teman mereka itu mengawal dengan telunjuk siaga di
pelatuk bedil. Sungguh-sungguh tak pernah mereka bayangkan tawanan yang mereka giring ini bisa bergerak
secepat dan setangguh itu. Kini semuanya terlambat sudah. "Taruh senjata kalian, di tanah. Letakkan perlahan.
Saya sudah membunuh lebih dari seratus tentara, karenanya jangan bunuh diri dengan mencoba melakukan
tindakan bodoh?" ujar Si Bungsu perlahan dalam bahasa Inggris.
Kedua tentara itu tak memiliki pilihan lain. Tatapan mata dan kata-kata yang keluar dari bibir tawanan
di depan mereka menggambarkan sikap yang amat profesional. Mereka menuruti perintah Si Bungsu,
meletakkan senjata di tanah. Dengan tangan kiri di pelatuk bedil, tangan kanan Si Bungsu meraih belenggu
yang tergeletak di tanah. Kemudian melemparkannya dengan kuat dan cepat ke arah si komandan. Gari itu
menetak kening si komandan, matanya juling.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 729
Tanpa sempat mengeluh, tentara itu rubuh, pingsan! Yang seorang lagi ternganga dan menggigil. Si
Bungsu melangkah ke arahnya, kemudian tangannya bergerak. "Pletak!" Si Bungsu mendaratkan ruas-ruas jari
tengahnya lewat sebuah pukulan melingkar ke belakang telinga tentara yang tegak seperti kehilangan
semangat itu. Pukulan tersebut menotok urat darahnya dan membuat dia rubuh dalam keadaan pingsan. Si
Bungsu menyambar tali nilon sebesar empu jari kaki, yang tadi dipergunakan untuk menarik dirinya dari dalam
sekapan. Dia bergerak cepat, merampas bedil dan sebuah pistol milik ke empat tentara itu. Kemudian kembali ke
lobang penyekapan. Menjelang sampai ke tempat penyekapannya dia masuk ke hutan bambu. Dan mendekati
pondok penjagaan dari sisi kanan. Kedua milisi Vietnam itu ternyata sedang berjudi dengan kartu ceki. Dinding
pondok kecil itu hanya dibuat sekitar tujuh puluh lima sentimeter. Dengan demikian, jikapun pengawal duduk,
dia masih bisa melihat langsung ke lobang penyekapan yang terletak sekitar empat meter dari pondok. Selain
itu, dengan dinding yang hanya separoh tersebut, mereka yang dipondok juga bisa mengawasi seluruh penjuru
sekitar pondok itu. Dalam Neraka Vietnam-bagian-692
Namun, jika sial lagi datang ada-ada saja kesalahan yang dibuat. Saat berjudi itu, mereka menyandarkan
bedilnya ke dinding pondok. Tengah asyik memperhatikan kartu ceki di tangan, tiba-tiba saja ada bayangan
orang tegak di depan tangga pondok yang tingginya hanya semeter dari tanah. Mereka menoleh, dan tiba-tiba
muka mereka menjadi pucat. Mereka melihat di sana tegak tawanan yang tadi baru ditarik ke atas dari lobang
penyekapan. Kini lelaki itu tegak menodongkan bedil kepada mereka. Bagaimana mungkin mereka bisa
melakukan perlawanan, bedil mereka tersandar di dinding.
Bedil itu memang bisa diraih, tapi telunjuk lelaki yang menodong itu siaga di pelatuk. Buat sesaat mereka
menatap Si Bungsu dengan melongo. "Turun dan buka penutup lobang itu?" perintah Si Bungsu. Untuk sesaat
mereka masih berdiam diri. Namun Si Bungsu segera menukar bedil dengan tali plastik besar itu. Sebelum
kedua pengawal di pondok tersebut faham apa yang akan diperbuat Si Bungsu, tangan Si Bungsu bergerak. Di
tangannya, tali plastik itu berubah menjadi senjata yang tangguh. Entah dengan cara bagaimana, kedua orang
itu terpekik tatkala daun telinga mereka robek dan berdarah kena sabet cambuk tali nilon tersebut. Salah
seorang yang bertubuh kurus, memanfaatkan waktu yang sesaat itu untuk menyambar bedil di kanannya.
Namun dia kalah cepat. Ujung cambut di tangan Si Bungsu menghajar lengannya. Lengan baju kain
mereka yang berwarna hitam itu robek, dan daging lengannya juga ikut robek. Dia terpekik. "Turun dan buka
tutup lobang itu cepat"!" perintah Si Bungsu.
Kini kedua orang Vietnam tersebut benar-benar tak berani untuk tidak mematuhi. Karena di tangan kiri
orang yang memerintah mereka teracung bedil dengan telunjuk di pelatuk. Mereka bergerak turun dari
pondok. Kemudian memindahkan kayu-kayu besar yang berfungsi sebagai penghimpit "pintu" yang menutup
lobang. Usai itu mereka segera membuka salah satu bahagian yang berfungsi sebagai "jendela" tempat
memasukkan atau mengeluarkan tawanan. Ketika pintu lobang itu terbuka, dengan tangan kanan
menodongkan bedil, Si Bungsu melemparkan tali nilon ke dalam lobang tersebut.
Cowie, Smith dan Jock Graham yang semula merasa heran kenapa tutup lobang tahanan mereka dibuka,
pada ternganga tatkala melihat ke atas. Di tepi lobang terlihat Si Bungsu tengah menodongkan bedil. "Tarik
mereka satu demi satu ke atas?" perintah Si Bungsu.
Kedua Vietnam itu kelihatan berusaha mencari celah untuk melakukan perlawanan. Namun melihat
telunjuk kanan Si Bungsu bergerak menarik pelatuk, mereka cepat-cepat memegang ujung tali. Lalu menanti.
Si Bungsu memberi isyarat pada Letnan PL Cowie. Letnan Negro itu segera menyambar ujung tali. Lalu
tubuhnya ditarik ke atas. Dengan cepat dia menerima salah sebuah senjata yang diberikan Si Bungsu. Senjata
yang baru saja dirampas dari keempat tentara yang tadi menggiringnya. Kini Cowie mengawasi kedua tentara
Vietnam itu menarik Tim Smith.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 730
Smith juga menerima sepucuk senjata. Kemudian dia bergerak ke bahagian kanan, berlutut di dekat
pohon kayu mengawasi jalan yang menuju ke arah kampung. Cowie memberi isyarat kepada Jock Graham, yang
segera menyambar tali tersebut. Dia segera ditarik ke atas. Di atas Graham juga menerima sebuah bedil dari Si
Bungsu. "Masukkan mereka ke lobang"." ujar Si Bungsu kepada Cowie. Cowie dan Jock Graham memerintahkan
kedua Vietnam itu membuka sepatu dan celana mereka. Kemudian dengan hanya berkolor dan berbaju, hampir
secara bersamaan keduanya kena hantaman pada tengkuk oleh popor bedil di tangan Cowie dan Smith. Entah
mati entah hidup, yang jelas keduanya tercebur dengan suara agak keras ke dalam air kuning berlumpur itu.
Baik Cowie maupun Smith memang tidak menembak kedua milisi itu, karena suara tembakan akan
mengundang tentara yang ada di perkampungan."Kita berangkat?" ujar Si Bungsu. "Kemana?" tanya Cowie
sambil memakai sepatu dan pakaian salah seorang tentara Vietnam itu.
Si Bungsu menunjuk ke arah belantara lebat di bahagian utara lobang tempat mereka disekap. Bagi
Cowie, Smith dan Graham memang ke sana pilihan terbaik untuk lari. Mereka tak mungkin masuk ke kampung.
Hutan adalah tempat yang aman, meski untuk sementara. Bagi Si Bungsu, hutan lebat itu menjadi pilihan
karena hutan merupakan "rumah"nya. Cowie mengambil semua peluru dan dua bedil yang pemiliknya sudah
terjun ke lobang penyekapan. Tanpa banyak membuang waktu, mereka segera menuju ke arah belantara yang
terlihat tak begitu jauh.
Yang tak mendapat jatah pakaian adalah Tim Smith. Dia hanya mendapat sepatu. Karena sepatu itu
kebesaran di kaki Jock Graham. Namun keempat mereka kini memiliki bedil dan peluru. Kendati jumlah peluru
yang mereka miliki tak mencukupi untuk bertempur lama, namun bagi seorang pelarian memiliki bedil dan
peluru merupakan sesuatu yang amat luar biasa harganya.
Dalam Neraka Vietnam-bagiann-693
Mereka baru saja bergerak sekitar seratus langkah, ketika tiba-tiba mereka mendengar suara ledakan
dari tempat yang baru saja mereka tinggalkan. Mereka terhenti, namun hanya sesaat. Kesadaran bahwa
ledakan itu mengundang kedatangan tentara Vietnam menyebabkan mereka segera bergerak cepat. "Ledakan
apa itu?" tanya Graham sambil melompati sebuah kayu besar yang melintang. "Granat?" ujar Cowie, sambil
melompati pula kayu tersebut.
Si Bungsu menyumpah dalam hatinya. Dia menyesal tidak menyuruh tentara Vietnam itu membuka
bajunya sebelum dimasukkan ke lobang penyekapan menggantikan mereka. Dia teringat, kantong baju salah
seorang milisi Vietnam yang mereka ceburkan itu kelihatan menggembung. Dia yakin, granat yang ledakannya
barusan mereka dengar berasal dari dari dalam kantong baju yang menggelembung itu. Dia tak curiga karena
granat biasanya dicantelkan diikat pinggang. Tapi kenapa granat itu baru diledakkan setelah keempat pelarian
itu bergerak cukup jauh"
Milisi Vietnam yang kantongnya menggelembung yang dilihat Si Bungsu, tak lama setelah diceburkan ke
lobang segera mengeluarkan granat dari kantong bajunya begitu keempat pelarian tersebut lenyap dari
pandangan mereka di atas lobang penyekapan itu. Dia sudah akan mencabut pin granat itu, namun temannya
yang seorang lagi segera mencegah.
"Jangan sekarang?" ujarnya. "Kau mau bunuh diri" Mereka belum jauh. Begitu granat ini meledak,
mereka akan kembali dan menembak kita" "ujarnya. "Tapi, kita akan ditembak komandan kalau mereka sudah
jauh dan berhasil meloloskan diri"." "Belum tentu kita ditembak oleh bangsa sendiri. Sebab, empat tentara
yang tadi menggiring mereka, adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas lolosnya tawanan itu. Di bawah
pengawalan mereka, orang itu lolos?"
Yang memegang granat dapat memahami penjelasan temanya. Dia urungkan mencabut pin granat
tersebut. Lalu mereka sama-sama menanti. Menanti dengan cemas, apa hukuman yang akan mereka terima,
jika nanti mereka diadili. Setelah merasa keempat tawanan itu lari cukup jauh, granat tersebut lalu dilemparkan
ke atas dan meledak. Suara ledakan tersebut lalu membuat tentara yang berada di kampung yang tak jauh dari
penyekapan itu tersentak. Dalam waktu yang amat singkat lima belas tentara segera memburu ke tempat
tersebut lewat tiga jalur yang berbeda.
Regu pertama menuju ke lobang penyekapan itu dengan memutar dari kiri. Regu ke dua melambung
dari arah kanan. Regu ke tiga mendatangi tempat tersebut dari jalan setapak yang biasa dilewati. Regu ketigalah
yang menemukan ke empat teman-teman mereka pada tergeletak di jalan, tak berapa jauh dari kampung. Ke
empat mereka masih dalam keadaan pingsan. Malang melintang di jalan kecil di antara hutan bambu tersebut.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 731
Komandan regu segera mengirim salah seorang anggotanya kembali ke markas di kampung. Memberitahu apa
yang mereka temukan. Setelah itu, yang empat orang lagi segera melanjutkan perjalanan menuju ke lobang di mana selama ini
mereka menyekap tawanan perang tersebut. Regu pertama yang melambung dari arah kanan, segera sampai
ke bahagian belakang pondok pengawalan beberapa meter dari lobang penyekapan.
Dalam Neraka Vietnam-bagian-694
Dari tempat mereka berada, sekitar sepuluh depa dari pondok, mereka melihat pondok pengawasan itu
kosong. Regu yang melambung dari arah kiri juga segera tiba. Dari jarak belasan meter mereka melihat penutup
lobang tempat penyekapan tawanan itu terbuka. Baik regu yang di kanan maupun yang di kiri, segera mengirim
tiga orang anggota masing-masing mendekati lobang penyekapan. Ketiga orang itu merayap dalam hutan
bambu tersebut, hampir tanpa menimbulkan suara sedikitpun. Lalu akhirnya, mereka mendapatkan yang
berada dalam lobang penyekapan itu adalah dua milisi yang seharusnya d pondok berjaga. Kedua milisi itu tak
segera bisa di tarik naik. Sebab tali nilon yang biasa untuk menarik mayat tawanan yang mati, ternyata di bawa
kabur oleh para tawanan tersebut.
Letnan yang bertanggung jawab atas tawanan itu segera memerintahkan anak buahnya melacak kearah
larinya tawanan tersebut. Hanya di butuhkan beberapa saat,tiga orang yang di tugaskan melacak telah datang
melapor. "Mereka ke arah hutan, jejak masih jelas?" lapor salah seorang dari yang bertiga itu. Si letnan
menatap kearah hutan dan bukit yang di tunjuk oleh anak buahnya. "Mereka memasuki Neraka yang lebih
berbahaya?"ujarnya. Namun sebelum ke empat pelarian itu memasuki "Neraka yang lebih berbahaya" sebagaimana di ucapkan
sang komandan, yang pertama memasuki Neraka adalah ke empat orang Vietnam yang terkait dengan empat
pelarian itu. Neraka yang mereka tempati adalah Neraka yang biasa di tempati oleh para tawanan tentara
Amerika. Ke dua milisi yang berjudi ceki itu tetap tak boleh keluar dari lobang penyekapan itu, mereka di
tambah dengan empat tentara yang menggiring Si Bungsu sampai perkampungan.
Komandan yang bermarkas di desa itu berpangkat Mayor. Saking berangnya, muka sang Mayor sampai
berubah-rubah seperti jadi-jadian. Sebentar merah padam, sebentar kemudian pucat, kemudian merah padam
lagi. Ke empat tentara yang di lumpuhkan Si Bungsu itu di jebloskan saat mereka masih pening-pening lalat.
Mula-mula mereka dingkat teman-teman nya. Mereka menyangka akan di rawat di bangsal kesehatan
sebagaimana jika ada tentara yang sakit. Namun harapan itu sangat jauh panggang dari pada api. Tubuh mereka
di lempar kedalam lobang penyekapan.
Baru beberapa saat dalam lobang berair kuning kental itu, keenam tentara Vietnam itu muntah kayak.
Bau yang amat menusuk, bau bekas mayat dan bau kotoran manusia, yang bercampur aduk jadi satu membuat
perut mereka benar-benar mual dan tak mampu bernafas. Namun lobang itu sudah di perintahkan si Mayor
untuk di tutup. Setelah itu si Mayor memerintahkan seluruh tentara dan milisi di desa itu untuk berkumpul di
dekat lobang penyekapan itu. Ada sekitar tiga puluh tentara reguler, kemudian dua puluh milisi berkumpul,
sepuluh di antaranya wanita.
Si Mayor membagi kekuatan setengah kompi itu dalam tiga kelompok. Dua bagian harus menyisir hutan,
memburu tawanan dari dua arah, yang sebagian lagi hanya sekitar sepuluh orang, siaga di markas mereka di
desa itu. "Jangan kalian pulang jika tidak membawa empat orang itu. Saya tak peduli apakah yang kalian bawa
pulang orangnya atau hanya kepalanya. Ingat itu, jangan pulang tanpa mereka..!!"hardik si Mayor kepada kedua
kelompok itu.

Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sementara di dalam lobang, dua dari enam orang yang di "cemplungkan" karena membiarkan tawanan
itu melarikan diri. Jatuh pingsan setelah isi perut mereka keluar semua. Namun si Mayor tak peduli. Setelah
dua kelompok itu berangkat. Dia memerintahkan empat orang untuk menjaga di pondok pengawalan itu.
"Jangan ada yang berani memberi makan atau minum, dalam bentuk apapun tanpa perintah saya, jika kalian
langgar, kalian saya tembak?" tukas si Mayor dengan suara serak saking menahan berangnya.
Tapi ke empat orang yang melarikan diri itu, ternyata memang menghadapi tantangan yang tak kecil.
Tantangan pertama yang harus mereka hadapi adalah kondisi fisik mereka sendiri. Yang pertama ambruk sejak
mereka keluar dari lobang itu adalah kopral Jack Graham. Kopral ini sama-sama di pindahkan bersama Si
Bungsu dengan truk. Ternyata kondisinya sudah demikian buruk. Demam panas menyerang pula. Si Bungsu
yang posisinya paling belakang, melihat kopral itu memeluk sebatang pohon besar dengan tubuh menggigil.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 732
Bedil di tangan nya hampir jatuh, Si Bungsu paham, kalau orang itu tak mungkin untuk terus berjalan.
Kalau saja dia punya waktu untuk mengumpulkan dedaunan untuk ramuan. Ingatan itu segera menyadarkan
Si Bungsu tentang apa yang harus dia lakukan.
Dalam Neraka Vietnam-bagian-695
"Tetaplah bertahan, Jock. Saya akan buatkan obat untukmu?" ujar Si Bungsu. Matanya coba meneliti
beberapa dedaunan dan lumut yang bisa dibuat ramuan obat. Namun baru dua dari empat jenis daun yang
harus diperoleh, pendengarannya yang amat tajam mendengar bunyi langkah tak jauh di belakang mereka.
Sementara Smith dan Cowie sudah terpisah dari mereka oleh palunan hutan lebat tersebut. Cowie yang
berjalan di bahagian depan sekali berhenti dan menoleh ke belakang. Dia merasa ada sesuatu yang tak beres.
Dia tidak melihat Jock Graham dan Si Bungsu.
"Jock"!!" serunya. Tak ada sahutan apapun. Sepi sekali. Hanya suara binatang hutan terdengar di manamana. "Bungsu".!!" serunya. Tetap tak ada sahutan apapun. Sepi dan amat mencekam. Smith yang nafasnya
sudah sesak bersandar ke pohon besar. Matanya menatap jalan yang tadi mereka tempuh. Tak ada jalan
sebenarnya, karena yang mereka tempuh saat ini adalah belantara lebat yang belum pernah dijejak manusia.
Perang Vietnam-Amerika pun, yang berlangsung amat ganas dan bertahun-tahun, tak sampai menjamah daerah
ini. Smith maupun Cowie hanya melihat hutan belantara yang maha lebat dan angker. Apa yang terjadi dengan
Jock Graham dan Si Bungsu"
Mengapa mereka tak menyahuti panggilan Cowie" Saat Si Bungsu sedang memetik beberapa lembar
daun untuk obat Jock Graham, kemudian mendengar suara langkah tak jauh di belakangnya, dia bergerak cepat
ke tempat Jock Graham yang masih tegak bersandar seperti memeluk pohon besar itu. Dia menotok bahagian
belakang leher tentara Amerika tersebut. Totokan yang amat terlatih itu membuat Jock Graham lumpuh. Si
Bungsu memanggul tubuh yang sudah tak bertenaga itu. Kemudian dengan cepat membawanya pergi dari sana.
Dia membawa tubuh kurus kerempeng itu ke bawah sebuah pohon yang besarnya sekitar tiga pelukan
lelaki dewasa. Letaknya sekitar dua puluh depa dari tempat Jock Graham tegak pertama. Urat kayu itu
berbentuk pipih dan besar-besar. Urat-uratnya yang muncul di atas tanah menyebabkan bahagian bawah
pohon besar itu memiliki sekat-sekat seperti kamar. Tiap urat pipih yang membentuk sekat itu bisa setinggi
tegak lelaki dewasa. Dia dudukkan tentara yang tak sadar diri itu di antara sekat tersebut, persis saat salah satu
regu Vietnam sampai ke tempat mereka tadi.
Belasan tentara Vietnam tersebut melihat bekas Jock Graham tegak. Namun setelah itu jejaknya hilang.
Tapi saat itu pula mereka mendengar suara orang memanggil sampai dua kali. Suara yang didengar tentara
Vietnam itu adalah suara Cowie yang memanggil Jock Graham dan Si Bungsu. Pimpinan regu memberi isyarat
kepada anak buahnya dengan meletakkan telunjuk ke bibir. Kemudian dia membagi formasi anak buahnya
untuk menyergap orang yang hanya kedengaran suaranya itu. Dia bagi anak buahnya dalam dua sayap, kiri dan
kanan. Mereka memang tak bisa melihat siapapun, karena belantara dimana kini mereka berada demikian lebat.
Jarak pandang hanya bisa menembus antara tiga sampai empat meter. Selepas itu pandangan terhambat oleh
pohon besar dan belukar yang rapat sekali. Pemburuan itu semakin dipersulit oleh sore yang sudah turun.
Hutan yang sudah gelap itu dengan cepat menjadi semakin gelap. Mereka bergerak perlahan, namun cepat, ke
arah sumber suara memanggil tadi. Sementara itu, usai mendudukkan Jock Graham Si Bungsu menekan urat di
belakang leher tentara tersebut. Jock Graham mengeluh saat pertama sadar. Namun mulutnya dibekap oleh Si
Bungsu. Dia berbisik di telinga tentara itu.
"Dengar Jock! Belasan tentara Vietnam berada hanya beberapa langkah dari tempat kita. Engkau akan
cukup kuat untuk mengangkat bedil dan menembakkannya kalau keadaan terdesak. Saya akan membuatkan
obat untukmu. Tapi sebelum itu kita harus bisa lolos diri dari buruan Vietnam itu"." Usai memberikan
penjelasan Si Bungsu menyerahkan kembali bedil rampasan dari tentara Vietnam yang tadi nyaris lepas dari
tangan Jock. Kemudia dia menotok dan mengurut dengan cepat beberapa urat di pusat, kening dan punggung
tentara itu. Dengan perasaan takjub Jock Graham merasakan kondisi tubuhnya agak membaik.
"Terimakasih, kawan?" ujarnya perlahan. "Jangan bergerak. Tetap duduk seperti ini, pasang telinga dan
matamu. Saya akan melihat apa yang masih bisa dilakukan. Maaf, saya belum sempat meramu obat untukmu.
Tapi kunyah saja daun ini, telan airnya. Agak pahit bercampur asin rasanya, tapi itu obat. Usahakan agar tak
tertelan ampas daunnya?" ujar Si Bungsu dalam kalimat cepat, sembari menyumpalkan tiga lembar daun
selebar telapak tangan ke mulut Jock Graham, kemudian dia menyelinap dengan cepat meninggalkan tempat
itu. Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 733
Jock Graham mengunyah daun yang disumbatkan lelaki dari Indonesia itu ke mulutnya. Daun itu kesat
sekali. Seperti kertas ampelas. Rasanya memang agak asin. Kalau saja bukan lelaki dari Indonesia itu yang
menyumbatkan daun sialan tersebut, sudah sejak tadi dia muntahkan. Tapi dia yakin, orang Indonesia itu
bukan sembarangan lelaki. Dia tidak hanya sekedar pandai meramu obat, juga tangguh luar biasa. Buktinya
adalah kemampuan lelaki itu melumpuhkan empat tentara Vietnam yang menggiringnya. Dengan fikiran
demikian dia meneruskan mengunyah daun rasa kentut tersebut. Kemudian menelan airnya yang juga rasa
kentut. Air getah daun yang dia telan itu sebagaimana tadi dijelaskan Si Bungsu, memang terasa agak asin dan
agak pahit. Dia ingin meludah, namun tiba-tiba di depannya telah berdiri seorang tentara Vietnam! Tentara itu
sebenarnya tak tahu bahwa di balik ceruk akar pohon yang besar-besar itu bersembunyi orang yang mereka
buru. Dalam Neraka Vietnam-bagian-696
Dia datang ke tempat itu untuk memeriksa belukar lebat tak jauh dari pohon besar tersebut. Namun
ketika dia melewati sebuah sisi akar kayu besar itu, tiba-tiba saja dia melihat seorang tawanan yang mereka
buru ada di sana. Duduk bersandar ke pohon di antara dua urat kayu pipih lebar dan tinggi, sehingga tak
kelihatan jika tidak berada di alur yang sama dengan celah urat kayu tersebut.
Orang itu dia pergoki sedang mengunyah-ngunyah. Namun pertemuan yang mendadak dan saling
menatap itu membuat dia kaget dan tertegun. Lupa pada bedil di tangannya. Begitu juga halnya dengan Jock
Graham. Kendati kedua mereka sama-sama memegang bedil yang sama-sama teracung ke arah lawannya
masing-masing, namun belum satu letusan pun yang terdengar. Telunjuk masing-masing tetap dipelatuk bedil.
Jock Graham masih terus mengunyah daun kayu di mulutnya. Mengunyah perlahan, namun tak lagi
mampu menelan getah daun yang sudah terkumpul dalam mulutnya. Tapi kemudian, terjadi juga apa yang
harus terjadi. Jock Graham ternyata lebih duluan menyadari situasi berbahaya itu. Telunjuknya bergerak.
"Klik"."Senjatanya macet!
Jock Graham menarik lagi pelatuk tersebut. Tak ada bunyi sama sekali. Bedil buatan Cina yang dikenal
dengan nama Chung itu memang banyak mengundang celaka tentara yang memakainya. Suara "klik" dari bedil
pelarian tersebut membuat si Vietnam sadar. Telunjuknya segera bekerja. Namun tetap saja tak ada sebuah
letusan pun yang terdengar. Yang terjadi adalah mendeliknya mata si Vietnam tersebut. Sesaat kemudian
tubuhnya terjungkal ke depan. Jatuh tertelungkup sehasta di depan Jock Graham, yang sedetik lalu sudah
pasrah menunggu maut. Sebelum hilang rasa kejutnya, tiba-tiba Si Bungsu muncul. Tangannya memberi isyarat agar Jock Graham
jangan bersuara. Saat itu Jock Graham baru bisa kembali menelan getah daun kayu yang dia kunyah. Kemudian
daun yang sudah menjadi ampas itu dia ludahkan. Dia melihat ampas daun kayu itu berwarna merah. Dia
terkejut, apakah dia muntah darah" Dia meludah, ludahnya juga merah. Dia menatap ke arah Si Bungsu.
Si Bungsu menggeleng perlahan, sebagai isyarat agar dia tak khawatir. Kemudian mata Si Bungsu
kembali menatap tajam ke belantara gelap di depannya. Suasana benar-benar sepi. Sore sudah melakukan
serah terima tugasnya menerangi bumi dengan senja. Gelap yang makin kental perlahan merayap menerkam
rimba tersebut. Si Bungsu memang berharap agar malam cepat turun. Semakin gelap hari semakin terlindung
mereka dari pengejaran. Hal yang sama juga diinginkan Letnan PL Cowie yang bersembunyi dalam sebuah
palunan belukar lebat. Tadi ketika usai dia memanggil Jock Graham dan Si Bungsu, tiba-tiba telinganya yang memang sudah
terlatih dalam perang Vietnam yang bertahun-tahun, ternyata masih berfungsi dengan baik. Dia mendengar
suara belukar disibakkan dan daun kayu diinjak kaki manusia. Dia segera memberi isyarat pada Smith untuk
menghindar dengan cepat dari tempat itu. Dan latihan bagaimana bergerak di belantara dengan tak banyak
meninggalkan jejak juga masih mereka kuasai dengan baik. Itu sebab pasukan Vietnam yang mahir melacak
jejak dalam hutan sulit menemukan ke mana larinya buruan mereka.
Apalagi cahaya gelap yang sudah turun makin mempersulit mereka meneliti bekas injakan kaki di
dedaunan. Senter bukannya tak bermanfaat dalam kondisi seperti itu. Namun mempergunakan senter sama
halnya dengan memberi tahu kepada musuh di mana awak berada. Dan itu artinya adalah bunuh diri.
Dalam Neraka Vietnam-bagian-697
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 734
Maka kini, mereka benar-benar hanya menyerahkan nasib dan nyawa mereka pada ketajaman
pendengaran masing-masing. Hutan itu, dalam radius hanya sekitar lima ratus meter persegi, dipenuhi tak
kurang dari 40 manusia. Mereka adalah tiga puluhan tentara Vietnam yang terbagi dalam dua regu, serta empat
pelarian yang kurus kerempeng dan kelaparan. Hanya karena malam dan belantara itu amat lebat saja mereka
tak saling melihat antara satu dengan yang lain.
Setelah cukup lama menanti, namun tak ada tanda-tanda gerakan apapun dari pelarian tersebut, kedua
komandan regu tentara Vietnam itu sepakat mengambil insiatif untuk menggeledah saja belantara itu. Mereka
berani mengambil inisiatif karena mereka lebih banyak dan kondisi tubuh mereka tentu saja lebih baik di
banding kondisi tubuh orang yang mereka buru.
Kedua regu tentara itu segera membentuk formasi bersaf. Dengan formasi seperti itu mereka mulai
begerak maju. Jarak seorang tentara dengan yang lain hanya sekitar lima depa. Maju selangkah demi selangkah,
sambil tiap sebentar berhenti, mendengarkan kalau-kalau ada gerakan lain di sekitarnya. Tentu saja tak
seorang pun yang mengetahui, bahwa di antara ke empat pelarian yang sedang mereka buru itu adalah
"pangeran belantara"! Seorang yang benar-benar hafal bentuk dan struktur rimba raya. Seorang yang bisa
berlari cepat di belantara lebat, kendati dalam suasana gelap gulita.
Seorang yang bisa membedakan apakah sebuah daun bergoyang karena angin atau karena sebab yang
lain. Seorang yang bisa membedakan bau kayu atau daun yang sudah disentuh manusia dengan bau daun kayu
yang belum disentuh apa pun. Tak seorang pun di antara tentara Vietnam itu yang tahu, bahwa ada orang
dengan kualifikasi seperti itu di antara ke empat pelarian yang sedang mereka buru itu. Kalau saja mereka tahu,
bahwa setiap saat, setiap detik, orang itu tiba-tiba bisa berada sejengkal di depan hidung mereka, tanpa
diketahui dari mana datangnya, mereka takkan gegabah merancah hutan tersebut.
Namun bagi beberapa tentara Vietnam yang bernasib malang, waktu sudah terlambat. Seorang prajurit
di bahagian kanan, ketika merunduk-runduk melewati sebuah dahan besar, tiba-tiba seutas tali menjerat
lehernya. Dia ingin berteriak, tapi teriakannya tersangkut di tenggorokan yang dijerat semakin ketat oleh tali
kasar itu. Dia berusaha menarik pelatuk bedilnya, namun jarinya tak bisa dia gerakkan. Tubuhnya telah dibuat
lumpuh! Dalam Neraka Vietnam-bagian-698
Ada yang mendengar suara bergedebuk agak lemah, disusul suara bergedebuk lebih keras. Kemudian
sepi. Tak seorang pun yang menyangka, suara gedebuk pertama adalah suara jatuhnya senapan dari tangan
kawan mereka yang lehernya kena jerat itu. Gedebuk kedua adalah suara jatuhnya tubuh si tentara ke tanah
beralaskan dedaunan kering. Si Bungsu lalu turun, mengambil bedil yang jatuh tersebut. Kemudian berlutut di
tanah. Lalu menembak ke arah kiri. Usai beberapa tembakan dia melompat cepat beberapa meter ke belakang.
Dan memutar ujung bedil dan menembak ke arah kanan.
Saat dia menembak kekiri terdengar pekikan-pekikan. Begitu juga saat dia menembak ke kanan. Hanya
sesaat setelah itu, semburan api dan rentetan peluru terdengar dari kiri dan kanan ke tempat dia memuntahkan
peluru. Kemudian sepi! Tembakan balasan dari belasan tentara Vietnam itu menerpa tempat kosong. Sebab begitu bedilnya usai
memuntahkan peluru, disusul pekikan tentara yang diterkam timah panas itu, Si Bungsu segera bergerak
secepat yang bisa dia lakukan. Menghindar dari lokasi tersebut. Cowie dan Tim Smith mendengar rentetan
tembakan itu dengan tegang.
Namun hanya beberapa saat setelah tembakan balasan terdengar, dalam suasana sepi yang mencekam,
Cowie dan Tim Smith tiba-tiba dibuat sangat terkejut oleh suara yang hanya berjarak sedepa dari tempat
mereka. Mereka sudah siap menarik pelatuk bedil bersamaan, tatkala tiba-tiba mereka mendengar suara Si
Bungsu berbisik. "Jangan tembak, ini saya dan Jock"."
Mengetahui yang datang adalah Si Bungsu, Cowie menarik nafas, Smith bercarut-carut. Dalam gelap yang
kental itu mereka mendengar erangan Jock Graham. "Kenapa dia?" tanya Cowie. "Demam" tapi sudah agak
baikan"." "Anda yang menembak tadi?" "Ya"." "Saya kira ada tiga atau empat orang mereka yang terbunuh"."
"Mereka hanya saya lumpuhkan. Jumlah mereka sangat banyak. Kita harus memecah rombongan?" ujar Si
Bungsu. "Maksudmu?" "Anda bisa mencari jalan dalam gelap ini untuk menghindar sejauh mungkin. Letnah
Cowie?" "Jika tidak dikepung, barangkali bisa"." "Baik. Saya akan mengalihkan perhatian mereka ke arah lain.
Kalian larilah sejauh yang kalian bisa hingga pagi tiba. Saya akan menyusul"."
"Sebaiknya saya tinggal berdua dengan Anda, sehingga yang meloloskan diri pertama adalah Smith
dengan membawa Jock. Atau yang tinggal Smith, saya membawa Jock?" bisik Cowie. "Akan sulit bila hanya
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 735
seorang yang memapah Jock. Memapah sambil mencari jalan dalam gelap bukan pekerjaan yang mudah"."
"Tetapi, sendirian menghadapi puluhan Vietnam itu bukan juga pekerjaan yang mudah?" bisik Cowie. "Cowie,
hutan adalah rumahku. Aku hafal setiap lekuk likunya. Aku mustahil bisa bertempur frontal dengan mereka.
Aku hanya akan memancing perhatian mereka ke tempat lain, sehingga kalian bisa melarikan diri sejauh
mungkin?" bisik Si Bungsu. Akhirnya Cowie memahami penjelasan dan rencana Si Bungsu.
"Untuk mengalihkan perhatian dan memancing mereka ke arah lain, saya memerlukan peluru lebih
banyak?" ujar Si Bungsu. Cowie lalu membuka magazin senjata Jock Graham. Kemudian dia membuka magazin
senjata yang ada padanya. Mengeluarkan separoh isinya. Begitu juga peluru di magazin senjatanya sendiri.
Kemudian diisikannya peluru tersebut ke magazin senjata Jock Graham. Ketika magazin itu penuh, masih ada
beberapa peluru lagi. "Kemarikan magazin senjatamu. Masih ada beberapa peluru. Ini magazin yang sudah
penuh?" ujar Cowie sambil menyerahkan magazin yang sudah berisi penuh itu kepada Si Bungsu.
Si Bungsu membuka magazin senjata di tangannya. Kemudian menyerahkan pada Cowie, sembari
menerima dan memasangkan magazin yang diserahkan Cowie ke senjata nya. Cowie memasukkan sisa peluru
di tangannya ke magazin yang diserahkan Si Bungsu. Kemudian memberikan magazin yang juga akhirnya
menjadi penuh oleh peluru tersebut kepada orang Indonesia itu.
"Saya akan meninggalkan kalian. Saya mengetahui tempat mereka berada. Mereka membentuk formasi
lurus dalam jarak emat sampai lima depa. Saya akan menembaki mereka. Bergeraklah saat kalian mendengar
tembakan balasan dari mereka?" ujar Si Bungsu. Ketika dia akan bergerak meninggalkan tempat itu, terdengar
Jock Graham berkata. "Kawan, jika tidak engkau tolong, saya sudah terbunuh di luar sana, atau dilemparkan kembali ke lobang
jahanam itu. Terimakasih juga pada obatmu"." "Jaga dirimu, Jock?" ujar Si Bungsu. Ketika dia akan pergi,
Letnan PL Cowie memegang tangannya. "Kawan, kami tidak tahu siapa engkau sebenarnya. Namun kami
berhutang nyawa padamu. Kendati pun pelarian ini gagal dan kami mati semua, namun keluarga kami, dan juga
Amerika, berhutang padamu. Saya tak tahu apakah kita masih akan bertemu atau tidak. Karenanya saya perlu
menyampaikan, terimakasih atas segala yang kau lakukan untuk kami, kawan"."
Dari Kecamuk Perang Saudara Ke Dallas Menuntut Balas (Episode II-699)
Si Bungsu menggenggam tangan Cowie. Demikian juga tangan Smith dan Jock Graham, yang dalam gelap
gulita itu juga mengulurkan tangan pada Si Bungsu.
"Cowie, setelah ini dengan atau tanpa saya, saya yakin engkau bisa membawa teman-temanmu keluar
dengan selamat dari neraka ini. Kalian adalah orang-orang hebat dan tangguh. Jika kalian bergerak, usahakan
agar bergerak ke arah barat. Ke arah barat Cowie, karena arah itu menuju ke perbatasan Kamboja. Beberapa
bulan yang lalu, saya melihat helikopter tempur Amerika yang menjemput Kolonel MacMahon bergerak ke arah
itu. Barangkali di sana ada gugus tugas pasukan Amerika. Ingat, ke arah barat, Cowie".!"
"Tunggu, bagaimana kami tahu bahwa yang menembak pertama adalah engkau, sehingga kami yakin
bahwa tembakan setelah itu merupakan tembakan balasan dari tentara Vietnam" Bisa saja merekalah yang
pertama kali menembakmu?" ujar Cowie. Si Bungsu terdiam. Benar juga ucapan orang ini, fikirnya.
"Baik, tembakan pertama akan saya arahkan ke tempat kalian ini. Kemudian baru ke arah mereka. Nah
kawan, saya pergi.?" Si Bungsu lalu bergerak cepat. Baik Cowie maupun Jock Graham dan Smith, nyaris tak
mendengar suara apapun ketika lelaki itu menjauh dari mereka. Padahal lelaki itu bergerak di antara belukar
yang amat lebat. Dia bergerak seolah-olah tak menyentuh sehelai daun pun. Cowie menarik nafas panjang.
"Lelaki yang luar biasa. Hanya saya tak mengerti, untuk apa dia berada di Vietnam ini"." Tak ada yang
mengomentari ucapannya. Malam terasa merangkak amat perlahan dalam belantara yang ditelan kegelapan
kental itu. Ada suara burung hantu di kejauhan. Ada suara desir angin di pucuk-pucuk pohon, jauh di ketinggian
belantara. Sesekali ada bunyi kepak sayap kelelawar, yang terbang melintas dari pohon yang satu ke pohon
yang lain. Dalam kegelapan yang mencekam tersebut terdengar Tim Smith yang memiliki banyak sekali
perbendaharaan sumpah serapah dan carut marut itu, berkata perlahan. Perkataan yang seolah-olah ditujukan
pada dirinya sendiri. "Saya tak faham ucapannya. Orang itu sungguh penuh misteri. Dia mengatakan melihat helikopter
tempur menjemput Kolonel MacMahon dari arah perbatasan Kamboja. Dia tentu berada di sana ketika
MacMahon dijemput helikopter tersebut. Mengapa dia ada di sana" Kalau dia berada di pihak Amerika, dia
tentu pergi meninggalkan Vietnam bersama MacMahon. Ternyata dia tak pergi. Itu berarti dia berada di pihak
Vietnam. Tetapi, jika dia di pihak Vietnam kenapa dia disekap bersama kita dalam neraka berlumpur itu?" Tak
segera ada yang mengomentari ucapan Smith. Cowie bertanya pada Jock Graham.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 736
"Engkau datang bersamanya Jock. Apakah engkau tahu kenapa dia ditangkap Vietnam?" "Saya bertemu
dengan dia ketika sudah di atas truk yang akan mengangkut kami ke tempat kalian. Selama di truk tak ada
pembicaraan. Mata kami saja ditutup dengan kain"."
Cowie dan Smith mendengar jawaban Jock Graham yang singkat itu dengan berdiam diri, sampai tibatiba mereka mendengar suara tembakan. Dan peluru tembakan pertama itu mereka dengar menghantam
sebuah dahan kayu di atas mereka. Detik berikutnya mereka dengar tembakan beruntun, tapi mereka bisa
menandai bahwa tembakan beruntun itu berasal dari bedil yang sama dengan suara tembakan pertama
tadi,Lalu sepi" Dalam Neraka Vietnam-700 Hanya sesaat, lalu terdengar tembakan balasan dari belasan bedil yang lain. Demikian ramainya, seolahsolah akan merobek belantara tersebut.
"Kita pergi, sekarang"!" ujar Cowie sambil bangkit memapah Jock Graham. "Saya bisa berjalan. Kondisi
saya sudah jauh lebih baik?" ujar Jock Graham yang memang merasakan kondisinya tubuhnya lebih memadai
setelah menelan dedaunan yang diberikan Si Bungsu. "Kalau begitu kita pergi. Jangan terpisah terlalu jauh. Go!
Go".!" bisik Cowie.
Dengan merunduk dia menyelusup diiringi Jock dan Smith di bahagian belakang sekali. Mereka keluar
dari belukar lebat tempat mereka bersembunyi sejak senja tadi. Dari belakang mereka masih terus mendengar
tembakan beruntun. Kemudian disusul tembakan balasan satu-satu. Tidaklah diperlukan pengalaman perang
yang berlebihan untuk mengetahui bahwa tembakan dari belasan bedil itu berlawanan arah dengan tempat
mereka. Artinya, Si Bungsu telah mengatur posisi mengalihkan perhatian tentara Vietnam ke arah yang
berlawanan dari ke tiga tentara Amerika yang melarikan diri itu.
Ketiga tentara Amerika tersebut tahu bahwa tembakan salvo, tembakan satu-satu dari dua bedil yang
dibawa Si Bungsu ganti berganti, adalah upaya orang Indonesia itu untuk mengecoh tentara Vietnam. Dengan
tembakan salvo dari dua bedil tersebut, ada dua hal yang difahami Cowie. Pertama, orang-orang Vietnam
tersebut tahu bahwa tembakan salvo itu dalam upaya para pelarian menghemat peluru. Kedua, dua bedil itu
memberikan kesan, bahwa ke empat orang tersebut masih berkelompok. Dugaan Cowie itulah yang memang
termakan oleh komandan pasukan Vietnam tersebut.
Dia memang menduga ke empat pelarian tersebut masih mengelompok. Cowie mendengar tembakan
salvo Si Bungsu mau pun tembakan balasan dari lima sampai enam bedil orang-orang Vietnam itu secara


Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bergantian, semakin lama semakin jauh dari posisi mereka. Cowie tahu, hal itu disebabkan dua hal. Pertama,
mereka memang sedang bergerak menjauhi tempat mereka terkepung tadi. Kedua, Si Bungsu berhasil
memancing tentara Vietnam tersebut memburu dirinya yang semakin ke arah timur. Ke arah yang berlawanan
dengan arah larinya Cowie dan dua temannya.
Si Bungsu sebenarnya dengan mudah bisa berputar dan tiba-tiba berada di belakang salah seorang para
pemburunya. Dia mengenal belantara seperti mengenal garis di telapak tangannya. Namun dia tak melakukan
hal itu. Karena tujuannya hanya ingin memperjauh jarak antara tentara Vietnam ini dengan Cowie, Smith dan
Jock Graham. Tujuannya bukan untuk membunuh. Kemudian beberapa tembakan balasan menghajar kayu
besar tempatnya berlindung, Si Bungsu memekik. Kemudian diam.
"Mereka kena"!" desis komandan regu Vietnam kepada Sersan di sebelahnya. "Sudah dua yang kena?"
ujar Sersan tersebut. Sebab tadi dia juga mendengar pekik kesakitan dalam kecamuk tembakan. "Tinggal dua
lagi. Saya yakin dua orang yang kena tembak itu segera mati. Kondisi mereka sudah amat buruk saat di lobang
penyekapan?" ujar si komandan.
Melalui perintah beranting, dari mulut ke mulut, dia menyuruh cek berapa pasukannya yang tertembak.
Tak berapa lama, pesan beranting itu sampai kembali kepada si komandan. Ada dua anak buahnya yang tak
diketahui nasibnya dan sembilan orang mereka yang tertembak. Namun sembilan yang tertembak itu
nampaknya bernasib baik. Tak seorang pun yang mati.
"Siapa kedua orang yang tak bertemu itu?" tanya si komandan. Sersan yang berada di sebelahnya
menyebut dua nama. Tak seorang pun di antara mereka yang tahu, bahwa kedua teman mereka itu tergeletak
lumpuh kena totok. Pengejaran dan pengepungan ini amat melelahkan. Ke empat tentara Amerika yang mereka
buru seperti tahu saja di mana posisi mereka. Tembakan ke empat orang itu hampir bisa dipastikan selalu
memakan korban. Si komandan melihat jam tangannya. Kegelapan yang mencekam yang angka-angka dan jarumnya
memakai radium, yang menyebabkan angka dan jarum jam tersebut bersinar hijau dalam kegelapan. Semakin
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 737
gelap hari, semakin jelas cahaya yang dipancarkan radium pada angka dan jarum jam tersebut. "Sudah pukul
empat lewat?" ujarnya.
Dia lalu kembali memberi perintah beranting untuk memperkecil jepitan pengepungan dengan sistem
tapal kuda. Dia memerintahkan ada yang ditangkap hidup-hidup untuk diinterogasi. Kini tugas utama adalah
memperkecil jepitan kepungan, kemudian tunggu matahari terbit. Baru disergap. Menjelang itu, bertahan
sambil berjaga agar tak ada yang lolos. Bisik berisi perintah itu diteruskan si Sersan secara berantai. Orang
pertama yang mendengar pesan itu segera merayap atau berjalan membungkuk-bungkuk lima atau enam depa
ke sampingnya, sampai bertemu dengan temannya yang lain.
Lalu menyampaikan pesan si komandan. Saat pesan kedua bergerak ke kanan atau ke kiri untuk
menyampaikan pesan pada orang berikutnya, yang menyampaikan pesan pertama kembali ke posisi semula.
Dalam Neraka Vietnam-bagian-701
Demikian cara menyampaikan pesan beranting dalam pertempuran dimana tak ada radio atau isyarat
lain yang bisa di lihat. Ketika si komandan merasa isyaratnya sampai kesayap kiri maupun ke sayap kanan, dia
melakukan uji coba untuk mengetahui apakah buruan mereka masih berada di titik sasaran yang mereka
perkirakan. Dia memuntahkan beberapa tembakan ke arah yang mereka perkirakan itu.
Kemudian mereka menanti. Tak berapa lama, dua tembakan balasan terdengar menggema. Dan si
komandan bercarut marut dengan wajah pucat, karena salah satu peluru nyaris menyambar pipinya. Tapi dia
merasa lega. Orang yang mereka buru masih berada di depan sana.
"Sebentar lagi! Tunggulah sebentar lagi! Begitu cahaya pagi turun kau ku bekuk. Dan kau harus menjilat
pantatku. Harus! Jika tidak, akan ku sayat daging pipi, paha dan betismu. Akan ku patahkan jari kakak dan jari
tanganmu satu persatu. Akan ku cabuti gigimu satu demi satu?" desis si komandan dengan kebencian
memenuhi hampir seluruh pembuluh darahnya.
Betapa dia takkan dendam, dia sudah bisa menebak hukuman atau paling tidak cemooh yang akan dia
terima sekembalinya ke markas besok. Memburu empat pelarian yang kurus kerempeng, sakit-sakitan dan
kelaparan, ada sembilan anak buahnya yang luka tertembak. Yang dua lagi mungkin sudah mati, cemooh
semakin tak bisa di bayangkan. Masih untung kalau dia hanya mendapat cemooh bisa-bisa turun pangkat dan
tak di beri jabatan apapun. Dia bersandar di pohon besar sambil memejamkan mata.
Dia yakin buruan mereka takkan lolos. Dia yakin anak buahnya sudah melakukan kepungan yang ketat.
Tak mudah orang bisa meloloskan diri. Dia yakin itu, karena mereka sudah sangat terlatih bertempur,
mengepung dan menjebak tentara Amerika dalam pertempuran belantara begini. Baik siang maupun malam
hari. Sudah belasan kali mereka melewati peperangan di belantara seperti ini. Malah kali ini sebenarnya
sungguh sebuah pertempuran yang sangat ringan.
Biasanya, dalam setiap pertempuran mereka selalu di hujani peluru mortir atau peluru senapan mesin.
Lagi pula, biasanya musuh mereka jumlahnya selalu lebih banyak! Kini, yang mereka hadapi hanya empat
orang. Itupun keadaannya hanya compang-camping. Usahkan mortir ataupun senapan mesin senapan semi
otomatis yang mereka miliki pun nampaknya sudah kehabisan peluru. Itu di buktikan dari beberapa kali
tembakan balasan yang terdengar dari orang yang mereka kejar. Malah ketika dia perintahkan pasukannya
tidak menembak, tetap tak ada tembakan balasan.
Waktu merangkak perlahan. Si komandan tersentak saat si Sersan mencowel bahunya. Rupanya dia
tertidur. Sayup-sayup terdengar kokok ayam hutan. Dia melihat jam tangannya. Sudah pukul lima lewat, namun
hutan itu masih sangat gelap. Di menoleh kearah di mana pelarian itu di duga sudah mereka "kunci". Tak ada
yang kelihatan, masih sangat gelap. Di luar belantara cahaya sudah cukup terang. Dia mengambil sebuah
ranting kecil. Mematahkannya jadi dua potong, masing-masing sepanjang dua jengkal. Yang satu di bagikan
kepada Sersan yang di kiri, satunya kepada yang kanan.
Tanpa sepatah katapun, karena sudah memahami yang di inginkan sang komandan, kedua Sersan itu
merayap. Yang kiri ke arah kiri, yang kanan ke arah kanan. Setelah merayap beberapa jauh mereka bertemu
dengan teman mereka, mereka serahkan ranting tersebut. Seperti meneruskan pesan lisan berantai
sebelumnya, terutama saat terkepung maupun mengepung. Saling membangunkan dan atau untuk mengontrol.
Mengontrol apakah jumlah personel masih lengkap atau tidak. Memakan waktu hanya setengah jam,
kedua ranting itu kebali ke tangan sang komandan. Si letnan mengambil penples air di pinggangnya. Dia
memang sudah menyuruh bagian dapur untuk selalu mengisi penplesnya itu dengan kopi yang di beri gula
sedikit. Di teguk kopi itu dengan nikmat. Kedua Sersan yang ada di kiri kanan nya berbuat hal yang sama.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 738
Hari sudah pukul enam lewat saat sang komandan memberi perintah dengan suara tembakan, untuk
memulai penyerangan ke arah pelarian yang sejak semalam sudah mereka "kunci". Hanya beberapa detik
setelah tembakan pertama si letnan, kesunyian belantara itu di robek oleh dengan suara-suara letusan bedil.
Dalam cahaya pagi yang sudah mulai terang-terang tanah, mereka melihat tempat yang di jadikan pelarian
tentara Amerika itu adalah sebuah pohon besar yang tumbang melintang panjang.
Bukan main, rupanya mereka mendapat tempat perlindungan yang kokoh. Si letnan membari perintah
agar pasukannya yang berada di belakang pohon tersebut segera merengsek maju, sementara dia dan belasan
tentara lainnya melindungi dari tempat mereka, demikian cara demikian tak ada lagi celah bagi pelarian itu
untuk lolos. Dari arah kiri dan kanan delapan tentara Vietnam itu merengsek maju ke tempat perlindungan
tentara Amerika tersebut.
Saat kedelapan tentara itu mendapatkan posisi yang baik, ganti ujung lainnya yang maju dan mereka
pula yang melindungi. Karena belantara sudah cukup terang, dengan cepat mereka bisa maju. Dalam tiga kali
bergerak tiap ujung yang menjepit itu, mereka kini sampai ke dekat pohon itu. Salah satu tentara yang maju itu
melihat sebuah ujung bedil di balik pohon besar itu.
Tentu saja dia tahu kalau di ujung pangkal bedil itu pasti ada orangnya. Dengan gerakan yang cepat dia
melangkah kearah kanan sambil melepaskan tembakan gencar ke arah semak ujung pangkal bedil itu. Mereka
juga bergerak cepat dengan menghujani tembakan ke arah persembunyian pelarian itu, tapi mereka lupa pesan
komandannya tadi malam kalau salah satu dari pelarian itu harus di biarkan hidup.
Dari Kecamuk Perang Saudara Ke Dallas Menuntut Balas (Episode II-702)
Mereka berfikir, daripada orang yang mereka buru lolos, atau malah balas menembak, sehingga nyawa
mereka pula yang terancam, lebih baik membunuh saja keempat pelarian itu! Usai rentetan tembakan yang
panjang itu tiba-tiba suasana menjadi sepi! Mereka menunggu. Tak ada reaksi atau balasan apapun dari
keempat pelarian tersebut. Usah kan balasan tembakan, gerakan saja pun tak terlihat dari arah sekitar bedil
tersebut. Kedua bedil itu sudah terpental ketika kena hajaran peluru. Mereka lalu menyergap dengan bedil
terhunus ke tempat itu. Dan"
Mereka semua, sekitar dua belas tentara Vietnam yang merangsek maju ke dekat pohon tumbang itu,
pada tertegak kaku! Si Komandan,yang memperhatikan dari jarak sekitar dua puluh depa, menatap dengan
tegang ke arah anak buahnya tersebut. Dia menjadi agak heran juga, melihat belasan anak buahnya itu tibatiba tertegak diam di seberang pohon besar yang tumbang itu. Dia memberi isyarat kepada anak buahnya,
menanyakan apakah keadaan aman. Anak buahnya yang berada dekat pohon tumbang itu memberi isyarat
aman. Si letnan segera melangkah ke lokasi yang sudah dikepung belasan prajuritnya. Dia faham sudah, ke
empat pelarian itu sudah jadi mayat. Tak apalah. Yang penting perburuan yang melelahkan ini selesai sudah.
Walau pun dia tak bisa mewujudkan niatnya, tak apalah. Yang jelas dia bisa kembali dengan membawa kepala
ke empat pelarian itu. Kepalanya saja! Bikin apa membawa-bawa tubuh mereka. Menambah-nambah beban
saja. Bukankah komandan mereka sudah memerintahkan agar membawa kepala para pelarian itu ke markas"
Si letnan pun sampai ke tempat tersebut. Dia melompat naik ke kayu besar yang tumbang itu. Dari sana
dia menatap ke bawah, ke arah tempat yang sudah dikerumuni belasan pasukannya. Dan, sebagaimana anak
buahnya, dia juga ikut tertegun tatkala melihat tempat yang dikepung itu. Kecuali dua buah bedil yang sudah
sompeng popornya dimakan peluru, tak ada siapa pun di sana! Jangankan empat pelarian yang mereka buru,
kentut pelarian itu pun tak lagi terlihat! Dia hampir tak mempercayai penglihatannya. Di tempat itu memang
ada belasan selongsong peluru, dan bekas orang tiarap.
Memang tak ada kentut, tapi yang membuat sakit hati si komandan adalah ketika melihat di antara bekas
belasan selongsong peluru itu, orang yang mereka buru ternyata meninggalkan embahnya kentut. Sungguh
mati, di sana mereka melihat seonggok tahi manusia! Benar-benar tahi manusia! Dan onggokan tahi itu ternyata
sudah cerai berai oleh hajaran peluru anak buahnya. Ooo, sakitnya hati si letnan. Ooo remuk redam jantungnya
terasa. Dulu dia dikhianati pacarnya. Sakiiiiit.. sekali. Tapi, apa yang dia lihat sekarang, sakitnya seribu eh..
sejuta kali lebih sakit dari dikhianati pacarnya dulu. Sakiiiit sekali!
Dengan muka sebentar merah dan sebentar hijau, lalu sebentar kebiru-biruan, si letnan menatap hilir
mudik. Ke arah pangkal kayu besar itu, kemudian ke arah ujungnya. Berharap di salah satu tempat yang dia
lihat ada kepala atau telinga salah seorang pelarian tersebut. Agak seorang jadilah. Tapi, dia memang lagi sial.
Dalam Neraka Vietnam-bagian-703
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 739
Apa yang sudah dia bayangkan, pulang membawa empat kepala pelarian itu, habis terbenam dalam tahi
yang sudah kocar-kacir oleh peluru anak buahnya. Tak ada seorang pun pelarian itu di sana.
Bahkan jejaknya, kecuali tahi dan selongsong peluru itu, lenyap seperti ditelan hantu rimba. Tubuh si
letnan menggigil. Mungkin menahan marah, mungkin menahan malu. Matanya melirik ke kanan, ada air
mengalir sedalam lebih kurang setengah meter dengan lebar aliran satu meter. Dia menyumpah dalam hatinya.
Orang yang mereka buru itu nampaknya sengaja meninggalkan "induk kentut"nya. Sebab, lazimnya orang akan
buang air besar di air yang mengalir. Sekalian bisa membersihkan dirinya usai buang hajat. Tapi orang ini
nampaknya sengaja buang air di darat.
Agak jauh dari air yang mengalir, dengan maksud mempermalukan para pemburunya. Oo sakitnya hulu
jantung si letnan. "Buru mereka".!!" hardiknya dengan muka merah padam. Salah seorang pasukannya,
seorang berpangkat Sersan yang ahli pencari jejak, menghampirinya. Bicara perlahan. Letnan itu mendelik.
Bicara beberapa patah. Si Sersan memberikan penjelasan, sambil menunjuk ke satu arah. Si letnan menoleh ke
arah yang ditunjuk. Puluhan anak buahnya menanti.
"Apakah waang tidak salah?" hardiknya berang. "Tidak, Let! Saya sudah periksa semua penjuru dengan
sangat teliti. Jejak orang itu hilang di batang besar ini. Hanya ada dua kemungkinan kenapa hal itu bisa terjadi.
Pertama punya sayap, sehingga bisa terbang"."
Ucapannya terhenti karena sebuah tempelengan dari letnan itu mendarat di pipinya. Bibir Sersan
pencari jejak tersebut pecah dan darah merembes perlahan. Dia dianggap berolok-olok dalam situasi gawat
dan memalukan itu, dengan mengatakan ada manusia bersayap dan bisa terbang. Si Sersan memahami
kekeliruannya. Dia mengambil sikap sempurna. Kemudian meminta maaf, lalu melanjutkan penjelasan
"Saya bisa memastikan yang berada di sini malam tadi hanya seorang di antara empat pelarian itu,
Letnan. Dia sengaja memancing kita memburu dirinya, sehingga tiga temannya yang lain punya kesempatan
lolos dari pengejaran. Dan orang yang seorang ini adalah orang yang sangat mengenal belantara. Demikian
mahirnya dia, sehingga kami tak bisa melihat sebuah tempat pun di sini, bekas yang diinjaknya, kecuali tempat
dia bertahan, kemudian buang air besar itu"."
Si Sersan mengakhiri penjelasannya. Letnan tersebut menoleh kepada seorang kopral, anggota pencari
jejak yang satunya lagi. Di pasukannya itu memang ada dua pencari jejak. Namun yang amat mahir adalah si
Sersan yang barusan melapor. Si kopral mengangguk, membenarkan uraian Sersan tadi. "Kalian tak
menemukan jejaknya sedikit pun?""
"Jejaknya tidak, Letnan. Tapi saya bisa menduga, dia kembali ke tempat awal di mana kita pertama
membuat formasi berbanjar untuk mengejar mereka senja kemarin. Di sana dia berpisah dengan temantemannya. Dia sengaja memancing kita dengan membawa dua bedil dan peluru yang memadai, sehingga kita
menyangka mereka masih tetap empat orang. Pada saat kita mengejarnya ke arah ini, teman-temannya punya
kesempatan melarikan diri ke arah yang berlawanan.
Saya rasa mereka sudah sangat jauh. Mengenai orang yang tadi malam bertahan di sini, melihat ke
mahirannya memancing kita kemari, dan kemahirannya mengenal setiap lekuk liku belantara ini, saya rasa
sudah hampir mencapai ketiga orang lainnya itu. Dengan kemahirannya dia pasti bisa berjalan dengan cepat
sekali dalam belantara lebat ini?" ujar si Sersan mengkhiri penjelasannya.
Bukan main sakitnya hati si letnan. Bukan mendengar uraian pencari jejak tersebut. Melainkan pada
kebodohan dirinya, yang mudah saja dikecoh. Tadi pun, sebelum si Sersan bertutur, dia sudah menduga-duga
seperti itu. Namun dalam hal mencari jejak di belantara, dia memang mengandalkan si Sersan. Kini dia benarbenar tak tahu apa yang harus dia lakukan. Bagaimana mungkin dia bisa kembali ke markas mereka" Kembali
dengan membawa cerita bahwa di akhir pengepungan mereka hanya berhasil menemukan seungguk induk
kentut" Dalam Neraka Vietnam-bagian-704
Letnan itu memutuskan meneruskan pengejaran. Dia tahu, pengejaran harus dia lakukan. Sebab dia
sudah mendengar perintah komandannya, sebelum berhasil menangkap ke empat pelarian itu mereka tak
dibolehkan pulang ke markas!
Letnan Cowie memutuskan istirahat di balik sebuah jeram air terjun. Belantara yang sudah mereka
lewati sepanjang dua hari dua malam ini nampaknya benar-benar belum pernah disentuh kaki manusia. Dia
dengan teguh menuruti petunjuk Si Bungsu, agar menjaga arah pelarian, tetap menuju ke arah barat. Kendati
medan yang harus mereka tempuh semakin berat, namun dia tetap mengarahkan jalan ke arah matahari
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 740
terbenam. Di hari ketiga, menjelang tengah hari mereka sudah meninggalkan belantara yang datar dan berawa.
Dari kejauhan mereka melihat bukit-bukit yang menjulang.
Ketika menemui sebuah sungai yang cukup besar dan berair jernih, mereka mengikuti alur sungai itu ke
arah hulu. Semakin jauh ke hulu semakin sulit medan yang harus mereka tempuh. Mendaki bukit batu cadas
terjal dan menuruni tebing curam. Namun mereka semua yakin, apa yang diucapkan lelaki Indonesia itu
tentang helikopter tempur yang menjemput Kolonel MacMahon. Helikopter itu datang dan pergi ke arah barat,
ke arah perbatasan Kamboja.
Lewat tengah hari, mereka tiba-tiba menemukan sebuah air terjun dua tingkat yang selain tinggi dan
terjal, juga sangat indah. Di bahagian bawah, di mana air terjun itu terhempas, tercipta sebuah danau selebar
lapangan bola volli. Di seluruh tepinya adalah hamparan pasir putih yang landai. Sedikit bahagian yang terjal
dan berbatu-batu besar ada di bahagian air itu menghujam dari ketinggian sekitar lima puluh meter. Di
bahagian itu pula tercipta pelangi yang melengkung dari sisi kanan ke sisi kiri. Seolah-olah sebuah jembatan
yang terbuat dari selendang. Sungguh-sungguh teramat indah.
Baik di danau kecil tempat air itu menghujam maupun di sungai yang dalamnya hanya sekitar dua meter,
yang mengalirkan air yang amat jernih ke arah danau berpelangi itu, terlihat dengan jelas ikan-ikan mulai dari
sebesar telapak tangan sampai sebesar paha lelaki dewasa hilir mudik. Jumlahnya ratusan!
"Ya Tuhan, saya hampir tak yakin bahwa ada tempat yang begini indah di tengah belantara yang belum
pernah ditempuh manusia ini?" desis Cowie sembari menatap dengan mulut separuh ternganga ke arah air
terjun tersebut. Lalu ketiga mereka, termasuk Jock Graham yang demamnya sudah benar-benar sembuh,
segera mencebur ke sungai dengan dasar pasir yang amat putih itu. Minum air tawar sepuas hati mereka,
sembari mencoba menangkap ikan yang kelihatannya seperti jinak-jinak merpati. Smith yang gagal menangkap
ikan, segera kumat lagi penyakit bercarut-carut dan sumpah serapahnya. Semua sumpah serapah yang sudah
beberapa hari istirahat dari mulutnya, kini berhamburan. Dimakinya ikan-ikan sebesar betis yang lepas dan
lepas lagi, padahal sudah tersentuh oleh tangannya.
Makian dan sumpah serapahnya sungguh teramat lengkap. Mulai dari ikan berpantat kurap, ikan kena
sipilis, ikan pukimak, ikan impoten, ikan panau, ikan mirip beruk, monyet-gorila. Hampir delapan tahun
bertugas bersama Smith, Cowie tahu makian anak buahnya itu hanya asbun, asal bunyi. Kegembiraan yang
sangat, bebas dari buruan dan berada di tempat yang seolah-olah sebuah sudut sorga di atas dunia ini,
menyebabkan mereka semua melupakan segala rasa penat dan rasa takut. Apalagi di bahagian kanan air terjun
itu ada hutan pisang emas dan beberapa pohon durian yang buahnya sedang ranum.
Tuhan nampaknya memang melimpahi sepenggal wilayah jauh di tengah belantara Vietnam Selatan itu
dengan rahmat yang amat luar biasa. Sebagai tentara yang sudah malang melintang dalam berbagai medan
tempur, yang sudah menjelajahi banyak sekali wilayah, Cowie yakin di balik tirai air terjun itu pasti ada tempat
yang aman untuk berteduh. Dia segera melangkah ke sana. Dari sisi sebelah timur dia menyelinap di antara air
terjun dengan dinding batu. Benar!
Di belakang air terjun itu ada sebuah goa berbentuk ruangan sekitar tiga kali tiga meter. Lantainya
memang tak begitu datar, namun tempat itu merupakan tempat yang luar biasa indah dan nyaman untuk
tempat tinggal. Ruangan di balik air terjun itu tak kelihatan dari luar. Tertutup oleh curahan air terjun yang tak
putus-putusnya, yang lebarnya sekitar enam meter. Namun dari dalam goa kecil itu pemandangan bisa
menembus air terjun tersebut. Semua yang ada di bahagian depan, hamparan pasir empat meter di kiri dan
empat meter di kanan sungai kecil tersebut, sejauh lima puluh meter ke hilir sungai kelihatan dengan jelas.
Menemukan sorga di tengah belantara itu, ketiga pelarian tentara Amerika tersebut benar-benar bergembira,
memekik-mekik seperti kanak-kanak yang mendapat permainan baru.
"Saya akan membangun istana di sini. Akan cari cewek Vietnam untuk isteri?" ujar Smith. "Saya akan
jadi nelayan. Ikan-ikan ini akan saya kembangbiakan, untuk dijual ke Washington?" ujar Jock Graham. "Kalau
begitu saya akan menjadi eksportir pisang dan durian. Saya akan menjual pisang dan durian ini ke New York
dan Hollywood. Agar bintang-bintang film Hollywood tak berkurap pantatnya. Hei, Cowie! Apakah ada bintang
Hollywood yang tak berkurap pantatnya?""
Cowie yang sedang berbaring di pasir putih itu hanya tersenyum. Namun semua kegembiraan itu lenyap
tiba-tiba, menguap seperti kabut pagi disergap terik matahari. Begitu Tim Smith usai dengan sumpah
serapahnya, tiga tembakan menghajar sekitar tempat mereka. Cowie sampai terlambung saking kagetnya, Tim
Smith ternganga dan menggigil di dalam air. Durian di mulutnya sampai terlompat keluar. Jock Graham yang
sedang menyusun-nyusun kayu kering untuk perapian membakar ikan, langsung melompat ke balik pohon
pisang, tak jauh dari tempatnya tadi menyusun kayu perapian.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 741
Dalam Neraka Vietnam-bagian-705
Smith tak berani bergerak dari dalam air. Kepalanya saja yang nongol di permukaan air. Matanya liar
menatap ke kiri dan kanan. Dia merasa tak ada gunanya lari ke darat, sudah terlambat. Jika dia bangkit, dia
akan menjadi sasaran tembak. Cowie berlindung di balik sebatang kayu, tak jauh dari Jock Graham. Suasana
tiba-tiba dicekam sepi yang mencekik. Cowie merasa heran, arah tembakan itu rasanya berasal dari goa di balik
air terjun. Yaitu tempat di mana mereka meninggalkan dua buah bedil rampasan yang mereka bawa dalam
pelarian selama dua hari ini. Tiba-tiba terdengar sebuah suara dari arah air terjun tersebut. "Hallo".."
Semua masih terdiam karena terguncang oleh ketakutan yang sangat tiba-tiba. Lalu" di balik tirai air
itu, kelihatan seseorang muncul memegang bedil. Begitu melihat orang yang baru menembak mereka itu, yang
tak lain dari Si Bungsu, terdengar makian Tim Smith bertubi-tubi. "Pukimak! Sundal! Sipilis! Monyet kurap!
Pantat kurap".!"
Cowie dan Jock Graham juga menyumpah panjang pendek. Namun Cowie segera sadar, apa yang
dilakukan orang itu adalah peringatan halus pada mereka. Bahwa adalah suatu pekerjaan sia-sia berada di
hutan liar ini tanpa bedil. Apalagi meninggalkan bedil di tempat yang jauh dari mereka. Mereka berdiri dan


Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berjalan menyongsong Si Bungsu dengan senyum lebar karena lega. Tidak demikian halnya dengan Smith. Dia
menyelam, kemudian muncul dengan sengenggam pasir. Pasir itu dia lemparkan ke arah Si Bungsu. Berkalikali dia lakukan hal itu, sambil mulutnya tetap saja bercarut panjang pendek.
Bahkan, dia tetap saja melempari Si Bungsu dengan pasir, tatkala Cowie dan Jock Graham memeluk Si
Bungsu. Ketiga orang tersebut dibuatnya mandi pasir. Tapi akhirnya dia juga tak mau ketinggalan. Dia
melompati ketiga orang yang tengah berpelukan itu. Kendati tubuhnya kurus kerempeng, namun akibat
terpaan loncatan tersebut semua mereka jatuh saling tindih dan berguling-guling di pasir putih dan landai
tersebut, diiringi gelak tawa berderai. Sungguh ini pertemuan yang luar biasa. Mereka tak menyangka akan
bisa disusul dan ditemukan Si Bungsu secepat itu.
Namun, sebagaimana sudah dijanjikan Si Bungsu, dia akan segera menyusul dan menemukan mereka,
hal itu bisa dibuktikan kini. Baik Cowie, Smith maupun Jock Graham tak bisa lain dari pada mengakui bahwa
orang Indonesia yang sepintas kelihatan "biasa-biasa saja" ini sesungguhnya adalah seorang yang amat luar
biasa. Mereka bisa lolos tanpa hadangan sedikit pun dari puluhan tentara Vietnam malam itu benar-benar
berkat keahlian orang Indonesia ini mengecoh para pemburu tersebut. Ketika baru berangkat, mereka
mendengar tembakan sahut bersahut di belakang mereka.
Cowie mengajak kedua temannya untuk berdoa bagi keselamatan lelaki dari Indonesia itu. Sesaat
mereka berhenti dalam kegelapan. Kemudian membaca doa untuk keselamatan orang yang menolong mereka
itu, yang kini sedang dihujani tembakan, dan menutup doa dengan tangan mereka membuat tanda salib di
kening dada masing-masing. Setelah itu tanpa menoleh lagi, mereka segera merunduk-runduk. Menghindar
dari tempat itu secepat dan sejauh mungkin!
Dalam Neraka Vietnam-bagian-706
Kini keempat mereka sudah berkumpul. Ketika ditanya mengapa secepat itu dia bisa menyusul, Si
Bungsu bercerita ala kadarnya. Semula, beberapa saat setelah dia menyuruh ketiga orang itu melarikan diri
arah ke barat, dia bertahan di balik sebuah pohon besar yang tumbang. Dari sana dia menembaki tentara
Vietnam, untuk mengalihkan perhatian mereka. Saat akan pergi dari kayu besar tempat dia bertahan itu, tibatiba saja perutnya memilin-milin. Kalau saja sabut dimasukkan ke perutnya yang memilin-milin itu, hampir
bisa dipastikan akan dihasilkan tali yang alot, saking kuatnya perutnya memilin. Di antara tembakan yang
dar"dor" der" darrrr". dia teringat baru saja memakan buah rukam yang ranum. Rukam yang batangnya
penuh duri itu buahnya persis buah anggur.
Hanya bedanya, jika anggur manis, maka rasa buah rukam berbaur antara sepat, asam dan manis. Yang
paling mendominasi di antara ketiga rasa itu tentu saja sepat dan asam. Manisnya hanya sedikit, sekedar
pelepas tanya. Karena lapar, apalagi semasa di Gunung Sago dulu buah rukam adalah menu makanannya setiap
hari, maka dia segera saja memetik belasan buah tersebut. Sambil berlindung dari incaran tentara Vietnam, dia
menikmati buah rukam itu. Eh, akibat terlalu banyak makan buah rukam perutnya menjadi memilin-milin. Dia
sudah akan melangkah ke batang kayu besar tempat dia berlindung. Namun pilin perutnya sungguh kalera. Tak
mau kompromi. Perutnya seolah-olah berpihak pada tentara Vietnam. Apa boleh buat, sambil membalas
tembakan dua kali ke sembarang tempat. Dia lalu melorotkan celana. Lalu mencongkong. Ketika ada balasan
tembakan. Dia merunduk di balik batang tumbang itu. Diangkatnya bedilnya ke atas kayu, sambil menunduk
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 742
dua tiga kali. Kemudian kedua bedil yang sudah habis pelurunya itu dia sandarkan ke kayu besar tersebut. Lalu
dia pergi ke sungai kecil itu, cebok di sana.
Di antara cecaran tembakan dari tentara Vietnam, dia kembali memakai celananya. Lalu, dalam
kegelapan tersebut dia naik ke kayu besar yang tumbang itu. Dengan amat mudah dia berjalan ke bahagian
ujung. Di sana ada sebuah pohon besar, dengan beberapa akar besar menjulai ke bawah. Ditariknya akar itu,
dia memejamkan mata. Lalu tiba-tiba dengan bergantung di akar besar itu, tubuhnya melayang ke arah barat,
melewati sela-sela batang kayu yang tumbuh rapat sekali di belantara tersebut. Beberapa orang tentara
Vietnam mendengar suara mendesis di atas kepala mereka. "Kelelawar atau enggang?" bisik hati mereka.
Padahal, kalau saja hari sedikit terang, mereka mungkin akan ternganga. Sebab suara mendesis itu
bukan enggang, apalagi kelelawar. Yang melintas di atas batok kepala mereka justru salah seorang dari empat
pelarian yang mereka buru! Si Bungsu mirip tarzan yang berayun dari pohon ke pohon dengan
mempergunakan akar, yang lazimnya disebut sebagai akar angin. Kendati hanya sekali bisa memanfaatkan
akar kayu itu, namun akar kayu itu telah membawanya keluar dari kepungan tersebut. Dia meninggalkan
kepungan dengan sekaligus meninggalkan seungguk "induk kentut" yang esoknya membuat komandan
Vietnam yang melakukan pengepungan menjadi murka.
Dengan pengalamannya selama bertahun-tahun hidup di belantara Gunung Sago, dia tahu kapan ayunan
akar kayu itu akan berhenti. Ketika ayunan akar itu dia rasa melemah, tangan kirinya masih memegang akar
itu agar tubuhnya tak jatuh seperti goni buruk ke tanah. Sementara tangan kanannya menggapai ke sisi,
mencari dahan atau pohon yang bisa dipegang. Tangannya menangkap dahan yang lumayan besar. Tubuhnya
bertahan di sana. Untuk sesaat tubuhnya masih berada di dahan yang baru dia pegang. Lalu akar pohon yang
baru dia pergunakan untuk meloloskan diri itu dia ikatkan ke dahan di mana tangan kanannya kini berpegang.
Dengan demikian, akar itu tak kembali ke tempat awal. Hal itu perlu, sebab kalau akar itu kembali ke tempat
semula, pencari jejak andal yang biasanya dimiliki tiap pasukan Vietnam, dengan mudah bisa melacak
bagaimana dan kemana dia meloloskan diri. Dalam kegelapan dia naik dan menelungkup di dahan yang
besarnya sebesar betis lekaki dewasa tersebut.
Bertahan dengan diam dan memusatkan konsentrasi. Dia mendengar tentara yang gelisah diserang
nyamuk jauh di utara sana. Jarak antara dia dengan tentara terdekat dia perkirakan sekitar dua puluh meter.
Itu berarti ayunan akar kayu itu sudah mengantarnya ketempat lain sejauh lebih kurang tiga puluh meter,
kemudian dia mencari jalan untuk segera turun. Setelah itu mulai melangkah meninggalkan tempat tersebut.
Dalam waktu tak begitu lama dia berhasil menemukan tempat di mana dia meninggalkan Cowie, Jock dan
Smith. Dia bisa menemukan setiap jejak yang di tinggalkan ketiga orang tersebut. Menjelang siang dia
memanjat sebuah pohon besar dan tinggi. Dari pohon itu dia memandang ke arah dari mana dia datang. Melihat
kalau-kalau tentara Vietnam itu menyusul. Ada sekitar satu jam dia di pohon besar dan rindang itu, namun tak
ada gerakan apapun yang dia lihat.
Dalam Neraka Vietnam-bagian-707
Tentara Vietnam memang meneruskan pemburuannya. Namun mereka terpaksa bergerak amat lambat,
karena sulit menemukan jejak para pelarian. Kesulitan itu muncul karena sebahagian besar hutan itu adalah
hutan dengan rawa yang dalam. Jejak yang ditinggalkan pelarian dapat dilihat dengan jelas.
Namun untuk memburu orang-orang itu di dalam rawa, yang kadang-kadang kedalamannya mencapai
setinggi kepala itu, menyebabkan gerak maju mereka sangat lamban. Hardik dan berang si letnan, agar pasukan
bergerak cepat tak ada gunanya. Cowie Smith dan Jock Graham tertawa terkekeh-kekeh mendengar penuturan
Si Bungsu. Terutama saat Si Bungsu menceritakan betapa dia terpaksa membalas tembakan tentara Vietnam
sambil jongkok berlindung sekaligus terberak-berak di balik kayu besar, akibat perutnya memilin-milin karena
kebanyakan memakan buah rukam tersebut.
Mereka memutuskan untuk beristirahat satu atau dua hari di goa di balik air terjun itu guna memulihkan
tenaga yang benar-benar berada di bawah titik nol akibat dikurung sekian lama di lobang berair busuk
tersebut. Mereka tak usah takut kelaparan. Tak lama setelah mereka bertemu, Si Bungsu memungut beberapa
kerikil. Kemudian tegak di tepi sungai yang airnya amat jernih itu. Menatap ikan-ikan besar berlalu lalang
seperti di dalam akuarium saja. Ketiga tentara Amerika itu tak faham apa yang akan diperbuat Si Bungsu
dengan batu-batu kerikil sebesar ibu jari tersebut.
Sampai suatu saat Si Bungsu melemparkan batunya ke air. Tak lama kemudian, dua depa ke bahagian
hilir, mereka melihat seekor ikan baung sebesar betis lelaki dewasa mengapung dengan kepala pecah. Sekali
lagi Si Bungsu melemparkan batu kerikil di tangannya. Namun lemparan itu nampaknya luput. Dia melempar
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 743
sekali lagi, dan kali ini yang mengapung adalah seekor ikan lele yang besarnya yang sama dengan ikan baung
pertama. Ketiga tentara Amerika itu ternganga melihat keahlian yang belum pernah mereka temukan seumur
hidup itu. Bagaimana mungkin orang memiliki keahlian dan tenaga yang demikian besar. Yang kekuatan
lemparannya tetap tak berkurang setelah menembus air, dan mampu mengenai serta membunuh seekor ikan"
"Pukimak! Pantat orang ini pasti berkurap banyak. Kalau tak berkurap dia takkan punya kepandaian demikian
tinggi?" ujar Smith menyumpah panjang pendek. Sumpah-serapahnya yang tak berketentuan itu tidak hanya
membuat Cowie dan Jock yang tertawa, tapi juga Si Bungsu. Si Bungsu membuka celananya. Kemudian
menungging ke arah Smith. Lalu terjun ke air diiringi tawa Cowie dan Jock Graham. "Banyak kurap di pantatnya,
Smith?"" ujar Cowie yang sampai berair matanya karena tertawa melihat Smith ditunggingi Si Bungsu. "Tidak
hanya kurap, tapi juga sipilis. Orang ini rupanya kena induk sipilis?" ujar Smith yang merasa jengkel
ditunggingi oleh Si Bungsu.
Si Bungsu yang sudah berenang dan melempar bajunya ke pasir, tak dapat menahan tawanya. Dia
mengacungkan jari tengahnya ke arah Smith. Sebuah tindakan yang bagi orang Amerika dianggap memaki
dengan kasar. Smith tetap saja masih menggerutu dia memunguti dua ekor ikan yang terbunuh oleh lemparan
Si Bungsu. Kemudian melemparkannya kepada Jock Graham. "Hei koki pantat kurap, masak ikan ini!
Jenderalmu ini sudah lapar"." ujarnya kepada Jock Graham. "Jenderal emaknya sipilis?" ujar Jock Graham
sambil memunguti ikan tersebut. "Bukan aku yang induk sipilis. Itu Si Bungsu itu. Saya lihat pantatnya tadi
penuh ulat. Kita jangan ikut-ikut mandi di sungai ini. Sungai ini sudah tertular virus sipilis?" ujar Tim Smith.
Usai berkata begitu, Smith melangkah ke arah dua buah durian yang tadi mereka ambil. Lalu
membelahnya dengan bayonet. Lalu memakan isinya dengan lahap. Atas pertanyaan Cowie, Si Bungsu
Pedang Langit Dan Golok Naga 20 Wiro Sableng 164 Janda Pulau Cingkuk Hina Kelana 20
^