Tikam Samurai 5
Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik Bagian 5
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 88
belakang. Kempetai yang satu lagi, yang bedilnya sudah tercampak entah kemana segera mengambil langkah
seribu. Lari" Tapi malang, dalam paniknya dia ternyata lari ke arah rumah Datuk Penghulu yang sudah menjadi abu.
Dan dia terhenti, ketika di depannya tegak sesosok tubuh. Datuk Penghulu. Dari panik, dia menjadi nekad. Dia
memasang ancang-ancang karate, dan menyerang Datuk itu dengan serangan bernama reng-geri. Yaitu
serangan dua kali tendangan yang amat cepat. Yang pertama mengarah ke dada yang kedua ke perut.
Malang Kempetai ini. Lawannya adalah Datuk Penghulu. Hanya dengan sedikit memiringkan tubuh,
kedua tendangan itu mengenai tempat kosong. Namun Kempetai itu, yang memiliki sabuk coklat karate, segera
menyerang lagi dengan tiga pukulan yang amat cepat. Yaitu pukulan Sam-Hong Tsuki yang mengarah ke kening
dan dua pukulan kejantung. Tapi Datuk Penghulu adalah guru gadang silat Kumango. Pukulan itu tidak dia
tangkis, melainkan dia biarkan lewat di sisinya. Lalu dengan suatu gerakan menyamping yang amat cepat,
sikunya masuk ke rusuk si Jepang. Terdengar suara berderak dari dalam. Jepang itu terhenti nafas, tapi kembali
terpekik. Rusuknya mengirimkan rasa sakit yang membuat celananya basah, rusuknya patah dua buah
Kemudian kaki Datuk itu menghantam lipatan lutut si Jepang. Jepang itu jatuh berlutut.
"Ini untuk laknat yang engkau berikan kepada anak dan istriku. . ." berkata begitu, kaki datuk itu
menerpa tengkuk si Jepang.
Kembali terdengar suara berderak. Leher Jepang itu seperti dihantam besi. Patah". Tubuhnya terhantar
di sana. Mati" Si Bungsu yang tegak tak jauh dari sana, menjadi ngeri melihat makan tangan dan makan kaki
Datuk ini. Dia menjadi ngeri melihat bagaimana Datuk ini murka.
"Ini adalah permulaan. Sudah terlalu lama saya menahan diri untuk tidak memulai perkelahian dengan
penjajah jahanam ini. Tapi mulai malam ini, saya akan membunuh mereka sebanyak mungkin. Hutang nyawa
harus mereka bayar dengan nyawa Demi Allah, saya akan melakukannya" Suara Datuk itu bersipongang dalam
hutan bambu yang lebat itu. Angin berembus menggeser batang-batang buluh. Menimbulkan bunyi seperti
nyanyian malam. Seperti menjadi saksi atas sumpah Datuk itu. Dan sumpahnya dia buktikan. Hari-hari setelah
itu, adalah hari-hari yang penuh teror bagi balatentara Jepang di kota Bukittinggi dan sekitarnya.
Hari sudah pagi ketika perwira piket di markas Besar balatentara Jepang di Panorama merasa curiga,
sebab enam orang pasukan Kempetai yang dikirim malam tadi ke tempat Datuk Penghulu belum kembali.
Perwira piket itu berpangkat Tai-i (Kapten) bernama Akira. Sebelum para perwira masuk kantor dia cepatcepat mengumpulkan regu cadangan. Kemudian memerintahkan seorang chu-I (Letnan satu) memimpin dua
belas Kempetai menyusul ke tempat Datuk Penghulu.
"Saya rasa regu malam tadi dalam bahaya. Kepung tempat itu dan tangkap beberapa penduduk untuk
menunjukkan dimana Datuk Penghulu . . .," demikian isi perintahnya.
Dan chu-I itu berangkat ke Tarok menaiki sebuah truk. Truk berisi dua belas orang Kempetai itu melaju
mengoyak udara pagi dengan suara menggeram-geram. Di atasnya tegak dengan kukuh kedua belas Kempetai
itu. Di tangan mereka tergenggam senjata yang lengkap dengan sangkur terhunus. Truk itu mula-mula menuju
ke arah stasiun kereta api. Kemudian berbelok ke arah tangsi militer. Lalu berbelok lagi kejembatan besi.
Meluncur terus ke arah Tarok.
Para pedagang yang sudah keluar pagi itu, pada menepi cepat-cepat begitu melihat truk dengan lampu
yang dihidupkan itu lewat. Truk dengan kap terbuka dan Serdadu Jepang tegak dengan wajah keras. Tak lama
kemudian mereka sampai ke daerah kampung Tarok. Mereka membelok ke sebuah jalan kecil di antara pohon
bambu yang rimbun menuju ke Padang Gamuak. Sekitar dua puluh meter masuk kepalunan bambu itu, tibatiba di depan sebuah gerobak yang dipenuhi batang ubi kelihatan tegak. Truk tak bisa terus. Sopirnya
menyumpah-nyumpah. Letnan yang ada di depan memerintahkan seorang anak buahnya turun untuk
mencampakkan gerobak sial itu ke dalam semak. Tapi sebelum dia turun, saat itulah dua bayangan tiba-tiba
melesat dari balik pohon bambu ke atas truk yang terbuka itu. Kedua bayang-bayang itu adalah Si Bungsu dan
Datuk Penghulu. Mereka sudah menduga, bahwa Jepang pasti akan mengirimkan bantuan untuk mencari
regunya malam tadi. Datuk Penghulu lalu menyusun siasat. Merekalah yang meletakkan gerobak yang dipenuhi
batang ubi untuk menghalang jalan truk. Kini mereka berada diatas truk itu. Diantara sebelas serdadu Jepang
yang memegang senjata dengan sangkur terhunus.
"Penjajah jahanam kalian terima pembalasan kami.."
Berkata begini, Datuk Penghulu yang baru menghambur ke atas truk itu menghantam kekiri dan ke
kanan. Kempetai-kempetai yang ada di truk itu kaget melihat kehadiran kedua orang itu di atas truk mereka.
Tendangan Datuk itu yang pertama mendarat di perut seorang prajurit. Tubuh prajurit itu terlipat. Matanya
mendelik, mulutnya berbuih. Bukan main melinukannya cuek itu. Teman yang di sebelahnya masih terheran
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 89
heran, ketika pukulan tangan Datuk itu mendarat di hulu hatinya. Tubuhnya terhumbalang. Temannya yang
berada di sisi lain dari truk itu menghunjamkan bayonetnya ke punggung Datuk Penghulu. Tapi samurai di
tangan Si Bungsu memutus kedua tangannya. Dia meraung.
Saat berikutnya samurai Si Bungsu bekerja. Terlalu cepat untuk diikuti mata. Terlalu cepat untuk
disadari oleh Kempetai-kempetai yang ada di atas truk itu. Dan pagi itu, terjadilah sebuah pembantaian yang
tak mengenal ampun, sebelas orang Kempetai yang berdiri tegak diatas truk terbuka itu, tak sempat sekalipun
menembakkan bedil mereka. Truk yang hanya muat untuk tempat tegak itu, tak bisa memberi keleluasaan pada
para kempetai itu untuk mempergunakan bedil.
Delapan orang telah mati terbantai samurai atau kena pukulan tangan dan kaki Datuk Penghulu. Sersan
yang tegak di depan sekali melompat ke atas kap truk. Dari atas dia mengangkat bedilnya. Dia bermaksud
menembak Si Bungsu. Tapi gerakannya dilihat oleh Datuk Penghulu yang tengah menghantam seorang kopral
dengan siku tepat di tenggorokan. Sebelum pelatuk bedil sempat dia tarik, tubuh Datuk Penghulu tiba-tiba
melambung didahului pekik menyeramkan. Jarak antara dia dengan Jepang yang ada di atas atap truk itu
sekitar empat depa. Dan jarak empat depa itu dia lewati dalam loncatan panjang tak lebih dari tiga detik. Yang
duluan tiba adalah pukulannya.
(17) Pukulan tangan kanannya mendarat di perut Kempetai yang tengah membidikkan bedilnya itu. Kedua
tubuh mereka terjatuh ke atas kap depan. Kempetai itu duluan tegak. Tapi kaki Datuk Penghulu menghajar
pusarnya dari bawah. Dia terlambung ke tanah persis di depan truk. Ketika akan bangkit, saat itu pula tubuh
Datuk Penghulu terjun. Kakinya mendarat di tengkuk si Jepang. Terdengar tulang patah. Dan Kempetai itu mati.
Pada saat yang sama, Si Bungsu menyelesaikan tugasnya di belakang. Kempetai kesepuluh mati dengan leher
putus. Demikian cepatnya keadaan itu berlangsung.
Sehingga, dari saat truk itu berhenti, sampai pada Kempetai yang kesepuluh orang itu mati, waktunya
barangkali hanya tiga menit. Memang terlalu fantastis. Namun begitulah yang terjadi. Si Bungsu pembenci
Jepang nomor satu. Dalam usahanya mencari Kapten Saburo Matsuyama untuk membalaskan dendam
keluarganya, dia menyapu habis setiap Jepang yang menghalanginya. Dan pagi ini, kembali samurainya bekerja
terlalu cepat bagi Jepang-Jepang tersebut. Sedangkan Datuk penghulu, yang selama ini terlalu sabar dengan
menyimpan-nyimpan ilmunya, kini setelah anak dan istrinya mati ternista di tangan Jepang, membalaskan
dendamnya dengan segenap kebencian.
Empat orang Kempetai mati kena makan tangan dan kakinya pagi itu. Dan saat itulah chu-I (Letnan satu)
yang memimpin regu penyergapan itu menyadari bahaya yang mengancamnya. Sejak tadi dia duduk di sebelah
sopir. Dia hanya mendengar suara hingar bingar di belakangnya. Dan tiba-tiba di kap di depannya ada tubuh
yang jatuh. Tubuh itu tak lain tubuh Datuk Penghulu dengan seorang prajurit. Ketika prajurit itu mati, dia baru
menyadari bahaya mengancam. Segera saja dia mengeluarkan pistolnya. Kemudian dari tempat duduknya dia
membidik ke arah kepala Datuk Penghulu di luar sana. Dia bermaksud menembak Datuk itu melalui kaca depan.
Namun subuh itu memang merupakan subuh berlumur darah bagi balatentara Jepang di kota
Bukittinggi. Sebab, melalui kaca yang membatasi ruangan sopir dengan bahagian belakang truk Si Bungsu yang
tegak di bahagian belakang sekali dari truk itu, melihat pistol yang sedang dibidikkan kearah Datuk Penghulu
di depan sana. Untuk berlari mengejar tak mungkin lagi. Maka satu-satunya jalan tercepat adalah dengan melemparkan
samurai di tangannya. Dengan mengumpulkan segenap tenaga anak muda ini tiba-tiba melemparkan
samurainya. Samurai itu terbang seperti kilat. Ujungnya menghantam kaca belakang truk. Menembusnya, dan
sedetik sebelum pistol di tangan chu-I itu meledak, samurai tersebut menghujam di tengkuknya.
Pistolnya meledak juga. Pelurunya memecah kaca depan, tapi arahnya sudah tak menentu. Datuk
Penghulu terkejut, dia menoleh, dan melihat chu-I itu terkulai mati. sopir truk itu menjadi kecut. Dia
menghidupkan mesin truk dan menginjak gas. Namun Datuk Penghulu lebih cepat lagi. Dia membuka pintu
truk tersebut dan menyeret sopirnya turun. Truk itu terhenti tiba-tiba. Saat itu Si Bungsu sampai ke depan.
"Jangan bunuh dia." Si Bungsu berseru ketika Datuk itu sudah siap mengirimkan pukulan kejantung
Jepang tersebut. "Dimana Sho-i Atto yang memimpin penyergapan malam tadi ?" Suara Si Bungsu mendesis tajam. Sopir
truk tak segera menjawab. Si Bungsu merenggutkan samurai dari tengkuk cho-I yang telah mati di sebelah
sopir tadi. Di sepanjang mata samurai itu masih meleleh darah. Sopir itu tiba-tiba menjadi ngeri bukan main.
Dia telah mendengar dari bisik-bisik temannya, bahwa ada seorang anak muda yang sangat mahir dan sangat
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 90
cepat dalam mempergunakan samurai. Kini anak muda itu ada di depannya. Tanpa dapat ditahan, tubuhnya
jadi menggigil. "Sebutkan dimana Atto sekarang . . .," suara Si Bungsu mendesis lagi.
"A. . . .apakah saya akan tuan bebaskan, kalau saya sebutkan di mana dia?" Jepang itu coba mencari jalan
selamat dari lobang jarum ini.
Namun tiba-tiba Datuk Penghulu menamparnya. Tamparan Datuk yang tengah berang ini bukan main
dahsyatnya. Gigi sopir itu copot dua buah.
"Sebutkan dimana Atto atau kami bunuh waang sekarang ".." suara Datuk itu mengancam.
"Ya . Ya Tapi berjanjilah bahwa kalian akan membebaskan saya. . . ."
Suaranya terputus. Karena kaki Datuk Penghulu terangkat. Lututnya menghantam selangkang Jepang
itu. Mata Jepang itu terbeliak. Dan Datuk Penghulu melepaskan pegangannya. Tubuh Jepang itu jatuh ke tanah.
Dia memang sudah mendapatkan yang dia inginkan. Suatu kebebasan. Datuk itu berkata perlahan
melihat tubuh Jepang yang tak berkutik itu.
"Atto yang engkau tanyakan itu pasti berada di markasnya buyung. Dan kita akan mendapatkan dia. Dia
harus membayar hutangnya. Hutang darah dibayar darah. Hutang nyawa harus dia bayar dengan nyawanya.
Nah, cepat kita menghindarkan dari sini "."
Sambil berkata begitu, Datuk Penghulu mengangkat tubuh sopir tersebut. Kemudian melemparkannya
ke atas truk bahagian belakang. Si Bungsu mengangkat tubuh Sersan yang mati kena hantam di depan truk.
Juga meletakkannya di bak belakang bersama sebelas mayat lainnya. Datuk Penghulu mengambil jerigen berisi
minyak yang terikat di luar truk itu. Kemudian menyerakkannya pada mayat-mayat di belakang. Si Bungsu
membuka kap truk itu. Memecah karburatornya. Bensin meleleh keluar.
Datuk Penghulu menyulut korek api. Kemudian melemparkannya ke mayat yang telah disiram bensin
tersebut. Api segera saja menyala dengan marak. Melalap bangkai-bangkai Jepang itu. Kemudian mereka
menghilang ke dalam palunan hutan bambu. Meninggalkan truk dan bangkai-bangkai Jepang itu dimakan api.
Tak berapa lama kemudian, subuh buta itu dipecahkan oleh dentuman dahsyat dari truk itu meledak
berkeping-keping. Menghancurkan dan menghamburkan bangkai hangus menjadi serpihan-serpihan tak
berbentuk. Hari itu pecah kabar di kota Bukittinggi tentang pembantaian tentara Jepang tersebut. Kempetai
dan pasukan-pasukan Jepang memeriksa dan memasuki seluruh hutan bambu di Tarok dan Padang Gamuak.
Mereka mencari tempat persembunyian Datuk Penghulu dan Si Bungsu. Sampai sore seluruh rimba
bambu itu mereka periksa dengan lebih dari lima puluh tentara dan tiga ekor anjing pelacak. Namun kedua
orang yang mereka cari tak kelihatan batang hidungnya. Bahkan dekat rumah Datuk Penghulu yang terbakar
itu pun tak kelihatan ada bekas kuburan. Syo-i Atto yang pada malamnya memimpin penyergapan dan
memperkosa perempuan-perempuan itu menjadi penunjuk jalan.
Dari dia komandan Garnizun Jepang di Bukittinggi mendapatkan kabar bahwa setidak-tidaknya ada dua
orang yang mati malam sebelumnya. Yaitu istri dan anak Datuk Penghulu. Setelah tak berhasil mencari jejak
Datuk penghulu, kini Kempetai mulai memeriksa seluruh tanah perkuburan kaum di kota itu. Mereka mencari
kuburan yang baru digali. Kalau ada yang baru maka diselidiki, kuburan siapa itu.
Mereka berharap menemukan kuburan anak dan istri Datuk Penghulu. Dengan menemukan kuburan
itu, mereka berharap dapat mencium jejak kedua orang tersebut. Penjagaan dan pemeriksaan di seluruh
tempat dalam kota dilakukan dengan ketat dan keras. Setiap kendaraan, motor, pedati, bendi, gerobak dan
tempat tempat yang mencurigakan diperiksa dengan cermat.
Tapi kedua orang itu lenyap seperti embun di siang hari. Tapi kemanakah lenyapnya kedua orang itu "
Dan kemana pula mayat-mayat si Upik dan ibunya mereka sembunyikan" Ternyata kedua orang itu tak pergi
jauh. Mereka bersembunyi di sebuah surau kecil di kampung Tarok itu juga. Entah karena apa, surau itu
ternyata tak diperhatikan oleh Jepang. Padahal belasan tentara Jepang lalu lalang di depannya.
Mungkin karena surau itu letaknya di pinggir jalan. Atau mungkin karena Tuhan memang melindungi
mereka, surau itu tak sempat diperiksa. Dibahagian belakang surau itu ada pekuburan yang terlindung di balik
pohon pisang. Subuh tadi kedua mayat anak dan istri Datuk Penghulu telah mereka kuburkan di belakang surau
itu. Mereka dibantu oleh garin di surau tersebut.
Ketika balatentara Jepang memeriksa seluruh isi kota, kedua orang itu naik ke loteng surau itu. Di atas
loteng itu pula Mei-Mei terbaring. Loteng surau itu cukup lebar untuk menampung enam orang dewasa. Jalan
naik dan turunnya dari belakang. Yaitu dari arah kuburan. Di balik tanah perkuburan kecil itu terdapat hutan
bambu. Dan di hutan bambu itu sejak tadi puluhan tentara Jepang telah mondar-mandir bersama anjing
pelacaknya. Kedua mereka mendengarkan pencarian itu dengan tegang dari atas pagu di surau itu. Si Bungsu
tiba-tiba mendengar suara Mei-mei memanggil. Gadis itu dibaringkan di atas sehelai tikar dan diselimuti
dengan kain panjang. Dia telah diberi obat-obatan yang dibuat oleh Si Bungsu.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 91
"Uda. . . ." "Mei-mei. . . ," Si Bungsu mendekat dan memegang tangan gadis itu dengan lembut.
"Uda. . ." "Ya sayang. . ."
"Mana Bapak. . .?"
Si Bungsu menoleh pada Datuk Penghulu, kemudian mengangguk perlahan. Datuk itu mendekati
mereka. "Saya disini nak. . ."
"Pak, . . . maafkan saya. Saya tidak bisa membantu ibu dan Upik. . ."
"Tenanglah nak. Jangan menyesali dirimu. Memang janjian mereka sudah begitu?"
"Tapi. . . harusnya saya bisa membantu mereka."
"Jangan dipikirkan juga nak. . .",
Mei-mei menangis. "Terima kasih atas budi bapak selama ini. Menompangkan diri saya, mengajarkan saya silat.
Memberikan saya kasih sayang, seperti bapak menyayangi si Upik. Kasih sayang yang tak pernah saya terima
dari ibu bapak saya. . ."
"Tenanglah nak. . .jangan itu dipikirkan . ."
"Saya memikirkannya karena saya orang cina. Selama ini orang cina selalu disisihkan oleh orang
Melayu." "Mei-mei, jangan begitu sayang. . ." Si Bungsu berkata perlahan.
Mei-mei memegang tangan Si Bungsu.
"Uda. . . benarkah uda mencintai saya. . . .?"
"Kenapa tidak. Saya seorang lelaki, dan saya tak pernah berbohong dengan ucapan saya."
"Uda, tidak menyesal dengan keputusan uda ?"
"Uda, saya tak kuat lagi. Maut sudah menjangkaukan tangannya pada saya. . ."
"Mei-mei, tenanglah?" tapi meskipun dia berkata begitu, Si Bungsu merasakan bulu tengkuknya tetap
saja merinding mendengar kata-kata gadis itu.
"Dengarlah uda. Dengarlah. . .jangan dipotong dulu bicara saya." Gadis itu berhenti. nampaknya seperti
mengumpulkan sisa tenaganya.
Si Bungsu jadi gugup, Dia menoleh pada Datuk Penghulu, kemudian berbisik. Datuk Penghulu bergegas
turun dari loteng surau itu. Kini mereka tinggal berdua.
"Uda. . . masih ingat Kempetai Atto, yang menistai diriku. . . ?"
"Saya akan selalu mengingatnya Mei-mei Saya akan mencarinya. Akan saya cencang tubuhnya. . . akan
saya . . . ," Mei-mei menggeleng. Ia memegang tangan Si Bungsu.
Menariknya. Si Bungsu menunduk. Mendekatkan wajahnya pada wajah Mei-mei.
"Tidak Uda, tidak. Itulah yang sangat saya takutkan. Jika engkau mencarinya, berarti engkau mencari
bahaya. Seperti hari ini. Kalian diancam bahaya. Lupakanlah dendammu itu. Lupakanlah apa yang dia perbuat
pada diriku. Saya tak ingin Uda terancam bahaya. Apa yang telah terjadi pada diriku tak lagi bisa diperbaiki.
saya tak ingin Uda terancam bahaya. Kematian Atto takkan mencuci noda yang kuterima. Jangan engkau cari
dia Uda. Jangan engkau libatkan dirimu dalam bahaya. . .jangan . . saya tak mau Uda binasa. . ., U.. uda. . ."
"Mei-mei . . ."
Saat itu Datuk Penghulu naik lagi dia bersama dengan seorang imam yang ditemuinya di surau ketika
akan sembahyang Ashar. Mereka mendekat kepada kedua anak muda itu. Mata Mei-mei terpejam.
"Mei-mei. ". .dengarlah. Ini pak Imam. Kita akan menikah disini. . ."
Si Bungsu berkata perlahan ke telinga gadis itu. Mei-mei tersenyum sebelum matanya terbuka.
Senyumnya senyum lelah. Senyumnya senyum yang amat letih dan kalah. Dimatanya tergenang manik-manik
air yang lambat-lambat meleleh turun.
"Benarkah . . .benarkah Uda mau mengambil saya jadi istri" Setulus hati menikahi anak cina yang
sepanjang hidupnya dilumuri dosa ini" Benarkah uda. . . .?"
"Demi Allah yang kusembah, aku mencintaimu sayang. . . ."
"Uda...saya bahagia. . .engkau menjadi suamiku. Aku mengabdikan diriku menjadi istrimu. ."
Mata gadis itu terpejam. Si Bungsu menoleh pada Imam dan Datuk Penghulu, kemudian mengangguk.
Imam itu mengingsutkan duduknya.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 92
"Jawab pertanyaan saya ini anak muda. Apakah engkau bersedia menerima Mei-mei menjadi istrimu,
menjaga dan membelanya dalam sakit dan senang. Akan membahagiakannya dan tidak akan berbuat aniaya
padanya. . . .?" "Saya menerimanya dengan setulus hati saya." Jawab Si Bungsu.
Imam itu menoleh Mei-mei. Kemudian berkata :
"Apakah engkau bersedia menerima pemuda ini menjadi suamimu dan berjanji akan mengabdikan
dirimu padanya, dalam sakit dan senang dan akan tabah menerima setiap cobaan?" Gadis itu tak menjawab.
Matanya masih terpejam. Si Bungsu mendekatkan wajahnya ke wajah gadis itu.
"Jawablah sayang.." Mei-mei tak menjawab.
"Jawablah dengan mengangguk kalau engkau setuju, atau menggeleng kalau engkau tak setuju.." Imam
itu berkata perlahan. Namun Mei-mei tak menjawab. Tak menggeleng. Tak pula mengangguk. Datuk Penghulu
berdetak hatinya. Dia mengulurkan tangan. Meraba leher Mei-mei. Meraba nadi tangannya.
"Innalillahi wa Inalillahi rojiun", desisnya perlahan.
Si Bungsu terpana. Terpaku. Kemudian suaranya seperti berbisik-bisik memanggil nama Mei-mei. "Meimei".. Mei-mei?"
Tapi gadis itu memang sudah berpulang ke Khaliknya. Seulas senyum masih membayang di bibirnya.
Datuk Penghulu menghapus air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Betapapun jua, dia sangat
menyayangi gadis ini. Gadis yang telah dianggap sebagai anak kandungnya. Yang sepermainan dan sayang
menyayangi dengan si Upik anaknya. Malam tadi si Upik meninggal. Dia berharap Mei-mei lah tempat dia
mencurahkan sayang, pengganti anaknya. Ada sedikit hartanya, dan itu semua akan dia serahkan pada Meimei. Dia akan mengangkat gadis ini sebagai anaknya. Tapi kini, Tuhan ternyata menentukan lain dari rencana
yang dia buat. Air mata mengalir di pipinya yang tua. Si Bungsu masih termenung. Menatap wajah gadis itu.
seperti masih terngiang di telinganya ucapan Mei-mei yang terakhir :
"Uda saya" bahagia engkau suamiku.. dan aku mengabdikan diriku menjadi istrimu,"
Rupanya gadis itu telah melafazkan akad nikahnya sebelum Imam datang. Dia sadar Tuhan akan
memanggilnya. Kiranya Tuhan pula yang menyuruhnya untuk melafazkan ucapannya yang terakhir itu. Tibatiba Si Bungsu berdiri.
"Jepang jahanam. Kubunuh kalian. Demi Allah, saya akan membunuh kalian sebanyak yang bisa saya
lakukan" Habis berkata dia menyambar samurainya yang terletak di lantai. Kemudian bergegas turun. Namun
Datuk Penghulu mencegahnya.
"Jangan memperlihatkan diri saat ini Buyung. Dijalanan berkeliaran ratusan serdadu Jepang.."
Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Persetan . .saya akan membunuh mereka?"
Dia berbalik untuk turun. Tapi saat itu pula tangan Datuk Penghulu menghantam tengkuknya. Anak
muda itu terkulai, dia berusaha memutar wajah menatap Datuk Penghulu, sinar matanya memancarkan rasa
sakit dan heran, kenapa Datuk itu sampai berbuat demikian. Kemudian dia jatuh pingsan. Imam yang ada di
sana itu juga menatap heran bercampur terkejut atas sikap Datuk Penghulu.
"Kenapa Datuk pukul dia?"
Datuk Penghulu menarik nafas panjang sebelum menjawab.
"Sudah terlalu banyak saya kehilangan Pak Imam. Malam tadi anak dan istri saya. Sebentar ini gadis ini
pula. Gadis yang telah saya anggap sebagai anak saya sendiri. Kini, kalau saya biarkan dia mengamuk diluar
sana, mungkin dia akan bisa membunuh sepuluh atau dua puluh Jepang dengan kemahirannya
mempergunakan samurai. Tapi setelah itu, betapapun jua peluru jauh lebih unggul dan lebih ampuh dari
samurai di tangannnya. Bagaimana hebatnya sekalipun, Saya tak mau kehilangan dirinya. Dia sudah banyak
berjasa pada bangsanya. Telah banyak membunuh Jepang yang merampok dan memperkosa rakyat. Meskipun
dia tak menyadari jasanya itu, karena dia berbuat itu hanya untuk membela diri dan membalaskan dendam
keluarganya. Tapi Indonesia banyak berhutang padanya. Saya tak mau dia mati terlalu cepat. Masih banyak halhal besar yang bisa dia lakukan daripada harus mati cepat-cepat dia pelindung orang yang lemah?"
(18) Imam itu terdiam mendengarkan keterangan Datuk penghulu. Kemudian menoleh pada mayat Mei-mei.
"Kasihan gadis ini.. dia meninggal sebelum sempat merasakan kebahagiaan," Kata Imam itu perlahan.
"Ya. Sepanjang hidupnya, yang dia rasakan hanyalah penderitaan. Ada saat-saat di mana dia merasa bahagia.
Yaitu di saat dia merawat Si Bungsu yang sedang luka. Saya sudah mengetahui sejak lama, bahwa kedua anak
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 93
muda ini saling mencintai. Ternyata ketika mereka telah saling mengetahui bahwa mereka saling mencinta,
maut datang menjemput Mei-mei." Mayat Mei-mei kelihatan tetap cantik, meski wajahnya pucat. Senyum
tipisnya seakan berkata bahwa dia rela pergi setelah mengetahui bahwa Si Bungsu juga mencintainya.
Sementara Si Bungsu terbaring sehasta di sampingnya.
"Bila kita kuburkan mayat Mei-mei..?" Imam itu bertanya perlahan.
"Kalau tak ada patroli, nanti malam kita kebumikan." jawab si Datuk.
"Tapi siapa yang akan memandikan jenazahnya?"
"Pak Imam tolonglah memanggil beberapa penduduk sekitar sini. Tek Munah, Tek Niar dan Amai Zainab.
Katakan pada mereka apa yang telah terjadi. Minta mereka untuk datang seperti Sholat berkaum malam nanti
kemari. Bawakan juga kain kapan dan bunga rampai. Juga tolong katakan pada Pak Bidin dan Pak Tamam untuk
datang membantu menggali pusara?" "Ya. Ya. Saya akan mengerjakan semua pesan Datuk. Tapi bagaimana
kalau tentara Jepang yang berkeliaran itu sampai mengetahui bahwa kita berada disini ?"
"Jika itu terjadi, hanya ada dua kemungkinan pak Imam. Membunuh atau dibunuh. Hanya berusahalah
untuk tidak menimbulkan kecurigaan .."
"Ya.Ya. Saya akan berhati-hati. . lebih baik saya turun sekarang. . ."
"Ya. Saya rasa juga begitu. Kalau kemari nanti tolong bawakan makanan."
"Ya. Akan saya bawakan. Tunggulah disini. . .."
Imam itu bergerak turun. Pada saat yang sama, Si Bungsu mulai sadar diri. Dia masih merasakan
kepalanya berdenyut bekas dihantam Datuk Penghulu. Sebenarnya dia sudah sadar agak lama. Hanya saja dia
tak bisa menggerakkan tubuhnya. Dia mendengar pembicaraan terakhir antara Datuk Penghulu dengan Imam
itu. Ketika dia bangkit, dia terpandang pada mayat Mei-mei. Kemudian dia memandang pada Datuk Penghulu.
"Maafkan saya buyung. Mei-mei berkata benar. Bukankah dia berpesan padamu, agar engkau tak mencari si
Atto, tidak lagi melibatkan diri dalam perkelahian" Dia menginginkan keselamatanmu. Dan dia mengharapkan
itu dikala ajalnya akan datang. Tak ada salahnya engkau menuruti pesan orang yang akan meninggal dunia,
apalagi orang yang amat mencintai dirimu?"
Si Bungsu menarik nafas. Lalu duduk disisi mayat Mei-mei. Manatap wajah mayat itu diam-diam. Datuk
Penghulu memperhatikan dengan sudut mata.
"Secara hakikat, kalian telah menjadi suami isteri."
Datuk Penghulu berkata perlahan. Si Bungsu menoleh padanya.
"Ya. Kalian telah sama-sama berikrar untuk jadi suami isteri. Ikrar yang suci dan ikhlas itu saja sudah
merupakan suatu ikatan. Meskipun belum disahkan oleh kadi dan tak ada saksi. Namun pada mulanya, dahulu
kala lembaga pernikahan belum ada. Dia hanya ada setelah Islam atau agama dikenal manusia. Sebelum agama
turun ke muka bumi, sebelum lembaga pernikahan seperti sekarang dikenal manusia, maka pernikahan
dilangsungkan secara apa adanya, sementara yang jadi saksi bisa manusia, bisa pula tak ada saksi. Tetapi yang
jadi kadinya secara hakikat adalah Tuhan"
Si Bungsu masih tetap diam mendengar ucapan Datuk Penghulu ini. Sementara itu, di luar hari
merangkak memasuki malam. Di langit guruh terdengar menderam-deram. Angin bersuit-suit. Tanpa mereka
sadari, Imam yang tadi akan menikahkan Si Bungsu dan Mei-mei sudah cukup lama berlalu.
Adalah Si Bungsu yang pertama menegakkan kepala. Dalam geram guruh dan suitan angin di luar surau,
dalam kesepian yang kelam itu, dia merasakan sesuatu yang ganjil. Mereka sebenarnya harus merasa aman
dengan guruh dan angin ribut itu. Apalagi kalau hujan sempat turun. Sebab dengan demikian Jepang yang
mencari mereka tentunya menarik diri ke posnya dan mereka dengan aman bisa menguburkan jenazah Meimei.
Kemudian dengan aman pula bisa melarikan diri dari kepungan tentara-tentara Jepang itu. Namun tidak
demikian halnya dengan Si Bungsu. Ada firasat lain yang membuat hatinya tak enak dalam kesunyian di loteng
surau kecil itu. Nalurinya yang tajam, yang terbiasa mencium marabahaya, yang telah terlatih ketika hidup
lebih dari setahun bersama binatang-binatang buas di belantara Gunung Sago, kini mencium bahaya adanya
yang tersembunyi. "Ada apa?" Datuk Penghulu bertanya melihat perobahan air muka anak muda itu.
Si Bungsu tak segera menjawab. Dia masih tetap duduk di dekat mayat Mei-mei. Namun matanya berkilat
aneh. Wajahnya jadi tegang.
"Kita terperangkap. . . .," katanya perlahan.
Datuk Penghulu menegakkan kepala.
"Perangkap ?" desisnya sambil coba menangkap suara-suara yang menyelingi suitan angin dan gemuruh
guruh di luar surau. Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 94
Namun dia tak menangkap suara apa-apa. Tapi dia percaya pada anak muda ini. Dia sudah beberapa kali
membuktikan bahwa indera dan naluri anak muda didepannya itu amat tajam. Datuk itu segera teringat pada
Imam yang turun tadi. Apakah Imam itu mengkhianati mereka" Ternyata Jepang itu memang mengetahui
persembunyian mereka dari Imam tersebut.
Ketika Datuk Penghulu membawa Imam itu naik sore tadi, seorang penduduk pribumi yang telah lama
jadi mata-mata Jepang, melihat mereka. Dia segera saja melaporkannya kepada seorang Letnan yang berada
tak jauh dari sana. Dan Letnan itu menanti di rumah si Imam. Begitu Imam itu muncul di rumahnya, dia jadi
terkejut. Di ruang depan rumahnya sudah berkumpul dua anak gadisnya dan istrinya. Mereka di kawal oleh
enam orang Serdadu Jepang dengan bedil dan bayonet terhunus.
"Nah, kini katakan cepat siapa yang ada di surau itu pak imam.?"
Letnan Jepang itu segera saja buka suara begitu dia masuk. Imam itu jadi pucat. Namun rasa nasionalnya
yang tebal menolak untuk membuka rahasia.
"Tak ada siapa-siapa. Di sana hanya seorang perempuan yang akan sembahyang?"
"Apakah tak ada orang lain?"
"Tak ada. Boleh lihat kesana."
Imam itu berkata pasti. Sebab dia tahu, loteng surau itu dari bawah kelihatannya hanya terbuat dari
bambu. Padahal loteng itu berlapis dua. Bahagian atasnya terbuat dari papan. Garin serta penjaga mesjid
lainnya tidur disana. Jalan naik ke atas berada di bahagian belakang, tersembunyi dari pandangan orang.
Letnan itu tak mengulangi pertanyaan, tapi tangannya langsung bekerja. Sebuah tamparan mendarat di
pipi si Imam. Demikian kuatnya tamparan itu, sehingga Imam itu terpelanting dan mulutnya berdarah. Istri dan
anak-anaknya terpekik dan mulai menangis. Imam itu menatap dengan penuh kebencian pada Jepang-Jepang
tersebut. "Jahanam. Kalian takkan selamat di tangan negeri ini . . ." desisnya.
Letnan itu menggerakkan kaki. Ujung sepatunya yang keras mendarat di dagu Imam tersebut. Kembali
Imam ini terpelanting. Kali ini giginya copot beberapa buah. Istrinya memburu dan memeluknya. Ketika anak
gadisnya juga mendekat. Letnan itu menyambar tangannya. Gadis itu terpekik dan meronta. Tapi Letnan itu
merenggut pakaiannya hingga robek. "Nah, Imam, bicaralah yang sebenarnya. Kalau tidak, anakmu ini akan
kubawa ke kamar .." Ujar Letnan itu menyeringai. Imam itu melompat bangkit ingin menghantam letnan tersebut. Tapi
sebuah tendangan kembali membuat dia terjajar.
"Hmm Baik. Kalau kau tak mau buka suara, saya akan menikmati anakmu ini."
Si Letnan lalu menyeret gadis berusia enam belas tahun itu ke bilik, Akhirnya Imam itu tak bisa berbuat
lain dari pada harus mengaku. Dia berharap agar kedua orang yang ada di loteng surau itu menyadari bahwa
bahaya mengancam mereka. Dia berharap agar kedua mereka segera turun dan melarikan diri. Dia terpaksa
mengakui bahwa kedua buronan yang di cari Jepang itu berada di loteng surau itu. Jalan ini benar-benar dia
lakukan dengan sangat terpaksa. Orang tua mana yang tak menginginkan keselamatan anaknya" Si Letnan
memang tak jadi membawa gadis itu ke kamar. Dia memberi instruksi kepada delapan orang Kempetai yang
ada diluar untuk mencek kebenaran ucapan si Imam. Dia juga memerintahkan untuk menangkap mereka. Kalau
ternyata laporan imam ini tak benar, maka dia akan melanjutkan rencananya menyelesaikan anak gadis Imam
yang ada di rumah ini. Kedelapan Kempetai itu segera menuju ke surau tersebut. Kedatangan mereka inilah yang dapat
dirasakan oleh naluri Si Bungsu.
"Kita harus meninggalkan surau ini. . . . .," kata Datuk Penghulu.
"Tapi bagaimana dengan Mei-mei." ujar Si Bungsu. Datuk Penghulu menarik nafas. "Terpaksa kita
tinggalkan nak. Tapi yakinlah Jepang takkan menganiaya mayatnya. Kita hanya sedih tak bisa mengurus
mayatnya sebagaimana yang kita kehendaki. Namun mayat akan dikuburkan. Mungkin oleh Jepang, mungkin
oleh penduduk yang disuruh Jepang. Percayalah. Kini mari kita menghindar dari surau ini sebelum terlambat.
. . ." Si Bungsu menatap pada mayat Mei-mei. Tanpa dapat dia tahan, air matanya mengenang di pelupuk
matanya. "Semasa hidupmu, kita jarang bersama. Ketika engkau meninggal pun, aku terpaksa meninggalkan
jasadmu. Kita memang orang-orang yang bernasib malang Mei-mei. Kudoakan semoga engkau bahagia
ditempatmu yang baru. Jika di dunia jasadmu menderita, semoga Tuhan menempatkan rohmu di tempat yang
bahagia. Dan aku yakin, Tuhan akan menempatkanmu disana. . . Selamat tinggal sayang. . . ."
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 95
Dia menunduk. mencium kening mayat yang mulai mendingin itu. Kemudian dengan mengeraskan
hatinya, dia tegak. "Kita berangkat. . .," katanya pada Datuk Penghulu. Datuk Penghulu sendiri merasakan matanya basah
melihat kedua anak muda ini.
"Mei-mei anakku, maafkan kami tak bisa menyelenggarakan jenazahmu. Hanya Tuhan yang tahu bahwa
kami benar-benar menyayangimu. Tinggallah nak. . . ," Ujarnya perlahan.
Kemudian mereka mulai menuruni jenjang yang menuju ke belakang surau. Gerimis menyambut mereka
begitu menjejakkan kaki di tanah.
"Mereka sudah dekat. ." Si Bungsu berbisik.
Datuk Penghulu bergegas membawa Si Bungsu ke dekat sebuah tebat di belakang surau. Dia hapal betul
dengan situasi surau ini. Sebab dia termasuk salah seorang yang membuat surau itu. Derap sepatu Kempetai
terdengar memasuki surau ketika Datuk tersebut mulai memasuki tebat.
"Masuklah . . . .", katanya pada Si Bungsu.
Si Bungsu tak banyak tanya. Dia segera masuk. Tebat itu cukup dalam. Mereka bisa menyelam. Di arah
batang pisang itu, di bawahnya ada terowongan yang tembus ke sungai kecil di balik hutan bambu sana.
"Kita akan keluar persis di belakang rumah Imam tadi. Kita bisa menyelami terowongan itu. cukup lama,
salah-salah bisa kehabisan nafas sebelum sampai ke sungai belakang bambu itu. Dan jika kita sampai kehabisan
nafas, maka mayat kita akan tersangkut dalam terowongan. Ayo mulai menyelam. . . ."
(19) Datuk itu memang mulai membenamkan diri. Saat itu seorang Kempetai telah sampai ke loteng dan
berteriak pada temannya di bawah. Jepang-Jepang itu mulai mencari ke belakang surau. Sesaat sebelum
mereka muncul, Si Bungsu telah membenamkan diri dan mulai menuju terowongan yang di maksud Datuk
Penghulu. Terowongan air itu melintasi sebuah tanggul sebelum sampai ke sebuah sungai kecil. cukup lama Si
Bungsu menahan nafas dan berenang mengikuti arus air, kemudian dia merasa melayang-layang. Dia
menjangkau tangannya ke atas. Ketika dirasanya tak ada langit-langit yang menghalangi, dia lalu muncul.
"Lekaslah "." Ujar Datuk Penghulu yang telah tegak di tebing, dan mulai melangkah.
"Yang kelihatan lampu sedikit itu rumah Imam tadi,"
Datuk Penghulu berkata sambil menunjuk ke belakang. Di rumah Imam itu Letnan yang tadi memegang
anak gadis si Imam masih duduk di kursi. Sementara di lantai, duduk Imam yang berlumuran darah itu
bersama-sama istrinya. Di luar hujan gerimisan turun. Mata Letnan itu menyambar dengan kilatan birahi ke
tubuh anak Imam itu. Gadis itu punggungnya kelihatan jelas karena bajunya robek. Letnan itu beberapa kali
menelan ludahnya. Pinggul gadis itu merangsang birahinya. Dan tiba-tiba dia memberi isyarat pada seorang
prajurit yang menjaga. Prajurit itu mendekat. Mereka berbisik. Kemudian si Letnan bangkit. Dan menyambar
tangan gadis itu. "Tuan telah berjanji tidak mengganggu kami. . . . ", Imam itu berkata.
Tapi Letnan itu nyengir seperti iblis. Dia tetap menarik tangan gadis yang meronta-ronta itu. Tapi apalah
dayanya. Letnan itu terlalu kuat baginya. Dalam dua kali renggut dia sudah sampai ke pintu bilik. Gadis ini
berteriak. Ayahnya bangkit akan menolong anaknya. Tapi ketiga prajurit lainnya sudah siap sejak tadi. Dengan
sebuah pukulan popor bedil Imam itu terkulai. Istrinya terpekik memeluknya. Sementara gadis itu dengan
masih memekik-mekik di seret ke bilik orang tuanya. Dua puluh depa dari rumah itu, Si Bungsu dan datuk
Penghulu yang baru saja keluar dari sungai, telah melangkahkan kaki untuk memulai pelarian mereka, jadi
tertegun. Mereka seperti mendengar pekik perempuan.
Pekik itu juga terdengar oleh beberapa penduduk yang rumahnya berdekatan dengan rumah Datuk
Penghulu. Namun tak seorang pun diantara para lelaki yang ada disekitar itu yang berani memberikan
pertolongan. Mereka semua mengetahui bahwa di rumah Datuk itu ada Kempetai. Dan bila ada perempuan
memekik, itu bisa disadari apa artinya.
Tak ada yang berani menolong. Sebab pertolongan berarti melawan Jepang. Dan melawan Jepang artinya
cabut kuku atau dibunuh. Nah, dari pada mencari susah lebih baik diam di rumah. Itu lebih selamat. "Bikin apa
cari penyakit," pikir mereka.
Tapi tak demikian halnya dengan Si Bungsu dan Datuk Penghulu. Hampir bersamaan, mereka yang
sedianya akan melarikan diri itu, pada mengayunkan langkah panjang ke rumah Imam tersebut. Mereka sadar,
jika mereka kelihatan oleh Jepang, itu artinya maut mengintai. Tapi menyadari bahwa ada orang lain yang
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 96
butuh pertolongan, mereka melupakan bahaya yang mengancam diri mereka sendiri. Mereka segera mancapai
belukar di pinggir rumah itu. Pekik dan tangis masih terdengar dari dalam.
"Ada tiga orang diluar" Si Bungsu berbisik.
Lalu seperti sudah bermufakat, tiba-tiba saja mereka meloncat ke depan. Ketiga Serdadu Jepang yang
tegak di bawah cucuran atap itu, yang berteduh dari gerimis, terkejut melihat kehadiran mereka yang amat
tiba-tiba. Yang seorang berniat membentak, tapi suaranya hanya sampai di tenggorokan. Kerampangnya kena
tendang Datuk Penghulu. Kemudian sebuah tinju mendarat di jantungnya. Dia terjajar, mati.
Yang dua lagi mengangkat bedil. Namun bedil itu tak pernah meletus. Sebuah sinar halus melesat amat
cepat. Dan tahu-tahu yang satu lehernya hampir putus, yang satu lagi dadanya terburai. Mereka mati tanpa
sempat mengeluh. Dan tak sempat pula mengetahui, apa yang menjadi malaikat maut yang merenggut nyawa
mereka demikian cepatnya. Dan Si Bungsu menyisipkan kembali samurainya.
Datuk Penghulu memberi isyarat. Si Bungsu mengangguk. Di dalam bilik si Letnan tadi sudah merenggut
seluruh pakaian anak gadis Imam itu. Gadis malang itu tegak di sudut ruangan dengan tubuh menggigil tanpa
pakaian secabikpun. Kempetai itu menjilat bibir dan meneguk liurnya beberapa kali melihat tubuh montok
gadis itu. "Hhhhh, bagusy badan . . .bagusy badaaaan . . . .," katanya seperti orang menggigil.
Dan dalam gigilannya itu dia membuka pula pakaiannya sendiri. Kemudian mendekat pada si gadis.
Gadis itu tak kuasa lagi memekik. Dia menutupi wajahnya. Dan tiba-tiba dia terkulai pingsan saking ngeri dan
malunya. Tubuhnya yang terkulai cepat disambut oleh Jepang itu. Kemudian menghempaskannya ke
pembaringan. Saat itulah jendela kamar itu pecah di hantam dari luar. Seiring dengan masuknya papan pecahan
jendela, sesosok tubuh berpakaian serba hitam tiba-tiba saja sudah tegak dalam kamar itu. Dia adalah Datuk
Penghulu yang masuk dengan meloncat menerjang jendela kamar Kempetai itu tertegun. Tapi itulah tegunnya
yang terakhir. Itulah kesempatan baginya untuk tertegun semasa hidupnya, sebab setelah itu dengan penuh
kebencian pukulan Datuk Penghulu menghujam ke arah jantungnya. Dia berusaha untuk mengelak dengan
mempergunakan tangkisan karate. Namun Datuk itu sudah sampai ke puncak berangnya. Begitu tangannya
ditangkis, tangan yang menangkis itu dia tangkap.
Kemudian dengan sebuah pelintiran yang telak, tubuh Jepang itu terjerembab ke tanah. Saat berikutnya,
dengan masih memegang tangan kanan Jepang itu, kaki Datuk Penghulu menghujam ke bawah. Hujaman
pertama membuat tulang leher Jepang itu berderak. Kemudian hentakkan kedua adalah hentakkan tumit ke
hulu hati. Jantung dan hati Jepang itu pecah oleh jurus Hentak Alu yang dipergunakan oleh Datuk tadi.
Pada saat Datuk itu menjebol jendela, saat itu pula Si Bungsu membuka pintu depan. Kemudian dia
berdiri dua depa dari ketiga Jepang yang mengawasi imam dan istrinya itu. Semula mereka tak acuh.
Menyangka bahwa yang hadir itu adalah temannya yang tadi keluar. Tapi begitu mendengar jendela dijebol,
mereka terkejut. Dan ketika diperhatikan, ternyata yang tegak dekat pintu adalah pemuda yang mereka caricari.
"Bagero ini dia. Dia iniiiiii..!!" yang seorang memekik saking kagetnya.
Serentak mereka mengangkat bedil. Tiga letusan bergema mengoyak kesunyian. Tapi saat Si Bungsu
sudah mempergunakan loncat tupainya yang tangguh itu. Tubuhnya bergulingan ke depan sesaat sebelum
ketiga bedil itu menyalak. Dalam saat seperti itu, tak ada kalimat yang bisa menggambarkan kecepatan anak
muda itu mempergunakan samurainya yang tangguh itu. Dia mempergunakannya tak tanggung-tanggung. Dia
baru saja kematian kekasih. Gadis cina yang dicintainya sepenuh hati. Mati karena ditembak dan diperkosa
Jepang malam kemaren. Gadis itu meninggal di depannya hanya beberapa detik sebelum mereka mengucapkan
ijab kabul di depan kadi Karenanya, dalam berang dan dendamnya yang amat sangat menyala-nyala, dia
menebaskan samurai di tangannya dengan tak tanggung-tanggung pula. Hanya sekali tabas, ketiga kepala
Kempetai itu putus Sebelum ketiga tubuh mereka jatuh memecah lantai, sekali lagi samurai di tangan anak
muda itu bekerja. Tubuh mereka terpotong dua persis di tentang dada.
"Bungsu Jangan menganiaya mayat"
Suara Datuk Penghulu yang telah tegak di pintu bilik menyadarkan anak muda ini dari gejolak dendam
dan amarahnya. Dia tertegun, wajahnya yang semula tegang menakutkan dengan sinar mata berkilat, lambatlambat biasa kembali. Dia menatap kepala dan potongan tubuh serta darah yang berceceran di lantai.
Kemudian menunduk. Kemudian lambat-lambat menyarungkan kembali samurainya.
Istri imam itu dan anak gadisnya yang kecil terdiam. imam itu yang lambat-lambat menyadari apa yang
terjadi, juga tak bisa bicara. Mereka sudah lama mengenal anak muda ini. Karena dia selalu bepergian dengan
Datuk Penghulu. Ada orang yang berbisik-bisik, bahwa anak muda ini sangat mahir memakai samurai. Dan
konon kabarnya sudah puluhan Jepang dia bunuh ketika masih di Payakumbuh.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 97
Namun itu hanya mereka dengar dari bisik-bisik. Bahkan ketika malam tadi banyak Jepang yang mati di
bekas rumah Datuk Penghulu, kemudian ditemukan pula mayat yang berkeping-keping bersama ledakan di
truk dekat jalan, banyak orang yang menduga itu adalah pembalasan Datuk Penghulu dan Si Bungsu. Tapi
mereka belum juga percaya, bahwa anak muda yang pendiam dengan wajah dan sinar mata murung ini adalah
seorang perkasa begini. Kini, ketika hal itu berlangsung di hadapan mereka, mereka bukan hanya ternganga tak percaya. Tapi
lebih dari itu, mereka merasa kejadian ini terlalu hebat dalam kehidupan mereka. Sesuatu yang amat luar biasa.
Sesuatu yang tak pernah mereka impikan akan bertemu dalam kehidupan mereka. Seorang anak minang,
pribumi yang terjajah, yang selalu ditekan dan dianggap sampah, kini di hadapan mereka menghajar JepangJepang yang laknat itu. Tidak hanya sekedar menghajar. Melainkan melakukan pembalasan yang luar biasa.
Tak pernah terbayangkan. Tak pernah terfikirkan. Istri imam itu bangkit menuju kamar, melihat anak
gadisnya yang sudah diselimuti dengan kain panjang. Sementara di lantai terbujur mayat Letnan yang tadi akan
melaknati tubuh anaknya itu.
Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Anakmu selamat pak imam. . . ." Datuk Penghulu berkata perlahan. imam itu tiba-tiba bangkit. Dia
teringat sesuatu. "Di luar masih ada tiga orang Kempetai lagi. . . . ,"katanya perlahan dengan wajah cemas.
"Jangan khawatir, mereka telah diselesaikan. . ." Imam itu menarik nafas. Kemudian perlahan dia
berkata. "Maafkan saya Datuk. Bungsu. Saya telah mengkhianati kalian, sayalah yang mengatakan pada mereka
tempat persembunyian kalian ?""
"Jangan dipikirkan pak Imam. Pak Imam tak pernah mengkhianati kami. Kami dapat menerka apa yang
terjadi. Mereka pasti sudah di rumah ini ketika pak Imam baru keluar dari surau itu. Dan peristiwa selanjutnya
dapat diterka. Mereka memaksa Pak Imam untuk membuka rahasia, kalau tidak anak istri pak Imam akan
mereka nodai. Kami bisa menerka hal itu, karena memang demikian watak tentara pendudukan, dimanapun.
Nah, kini kami harus pergi. Saya rasa pak Imam tak usah takut, nantikan saja Kempetai yang ke surau itu disini.
Kalau mereka kembali, katakan kami yang membantai teman-teman mereka. Dan katakan bahwa kami juga
mencari mereka. . . .."
"Tapi . . . .apakah mereka takkan mempersusah kami.. . .?"
"Mereka akan sibuk mencari yang membunuh tentara mereka daripada sekedar mempersusah Bapak.."
Ujar Si Bungsu sambil mengangguk pada imam itu, kemudian pada istrinya. Dan ketika akan melangkah
dia teringat sesuatu. "Pak imam, mayat Mei-mei kami tinggalkan di surau. Kalau tidak akan menyusahkan Bapak. mohon
Bapak selenggarakan mayat itu. Kami harus segera berlalu dari sini. . . ."
"Saya akan mengurusnya Bungsu. Saya akan mengurusnya. Percayalah. Terima kasih atas bantuanmu
menyelamatkan keluarga saya. . .."
Kedua orang itu segera lenyap ke dalam hujan yang telah menggantikan gerimis. Tak lama setelah
mereka pergi, kedelapan Serdadu Jepang yang dikirim untuk menangkap mereka di surau itu juga tiba di sana.
Mereka menjadi menggigil melihat tubuh teman-teman mereka kena cencang. Mereka segera melaporkan ke
markas. Kemudian imam itu serta anak istrinya juga di bawa ke markas besar Jepang di Panorama. Untung bagi
imam ini, di markas itu dia ditanya langsung oleh syo-sho (Mayor Jenderal) Fujiyama Tai cho (Komandan
Divisi) dan Panglima Tertinggi pasukan Jepang di sumatera. Dia baru saja naik pangkat dari Tai Sha (Kolonel)
ke Mayor Jenderal. Imam itu beruntung karena Fujiyama terkenal sebagai tentara sejati. Dialah yang telah menekan Syo Sha
(Mayor) Saburo Matsuyama untuk pensiun karena telah membunuh banyak pribumi di Situjuh Ladang Laweh,
diantaranya orang tua Si Bungsu. Dan setelah Saburo meminta pensiun dalam usia yang belum pantas untuk
pensiun, Fujiyama kembali menekannya untuk kembali ke Jepang. Fujiyama tak senang pada tentara yang
menindas rakyat. Dia datang memang untuk menjajah. Tetapi penajajahan dalam arti kemiliteran yang dianut
Fujiyama adalah penjajahan di bidang politik, ekonomi dan pertahanan. Menurut doktrin tentara, rakyat negara
yang terjajah, tetap saja sebagai manusia yang harus dihormati. Kalau ada permusuhan, maka yang
bermusuhan adalah tentara dan pemimpin kedua negara. Bukan tentara dengan rakyat. Kecuali rakyat yang
mengorganisir perlawanan. Kalau hanya rakyat biasa, maka hak mereka harus dihormati. Inilah perbedaan
yang sangat menyolok antara komandan divisi yang berkedudukan di Bukitinggi ini dengan sebagian besar
perwiranya. Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 98
Kini dialah yang menanyai langsung Imam itu. Imam itu menceritakan seluruh peristiwa itu. Dimulai
dari dimintanya dia untuk menikahkan Mei-mei dengan Si Bungsu. Kemudian diceritakannya pula bahwa gadis
itu meninggal sesaat sebelum membacakan ijab kabul.
"Kenapa dia meninggal. . . ?" Fujiyama memotong.
"Ditembak dan diperkosa bergantian oleh?" Ucapan Imam itu berhenti, dia tak berani melanjutkan
bicaranya. "Siapa yang menembak dan memperkosanya. Katakan, jangan takut. . . ."
"Kabarnya. . . .kabarnya anggota pasukan tuan yang datang ke rumah Datuk Penghulu itu untuk
menangkap Datuk itu. Tapi yang mereka temui hanyalah isteri Datuk itu, si Upik anaknya dan Mei-mei. . .."
"Siapa itu Mei-mei . . . ?"
"Gadis yang akan menikah dengan Si Bungsu itu. . ."
"Namanya seperti nama cina. .."
"Benar. Dia memang anak cina. Tapi dia telah masuk Islam. Hidupnya penuh penderitaan. Dia ditolong
oleh Si Bungsu dan diakui anak oleh Datuk Penghulu"."
Fujiyama mengangguk-angguk. "Teruskan ceritamu pak Imam. . .."
(20) "Setelah Mei-mei meninggal, saya diminta Datuk mencari orang untuk menguburkannya. Tapi di rumah
saya, telah menanti enam orang serdadu tuan. Saya disiksa untuk mengatakan dimana kedua orang itu
bersembunyi. Ketika saya tak mau mengatakan, anak saya akan diperkosa. Akhirnya saya katakan juga bahwa
kedua orang itu bersembunyi di loteng surau. Saya katakan setelah Letnan itu berjanji takkan mengganggu
anak dan isteri saya. Tapi begitu anak buahnya pergi ke surau itu, dia menendang saya hingga rubuh kemudian
menyeret anak saya ke kamar. Dan . . .saya tak tahu lagi sampai Si Bungsu dan Datuk itu membunuh mereka
semua. . . ." Komandan tertinggi balatentara Jepang itu menjadi merah mukanya. Dia memanggil komandan
Intelejen. Kemudian memerintahkan untuk membebaskan Imam anak beranak. Diiringi dengan perintah untuk
jangan mengganggu Imam itu. Dan dengan marah pula dia memerintahkan untuk menangkap komandan
Kempetai kota itu. Komandan Kempetai itu berpangkat syo sha (Mayor) bernama Akiwara. "Telah saya katakan
bahwa engkau harus mengawasi dengan ketat tingkah laku tentara Jepang yang ada di kota ini. Tentara tidak
untuk ditakuti rakyat. Tentara harus dihormati dan disegani. Dan rakyat tak akan menyegani dan menghormati
tentara kalau tentara itu sendiri kelakuannya tidak terhormat. Saya sudah mendapat laporan tentang banyak
perbuatan jahanam yang dilakukan oleh tentara dalam wilayah Garnizun yang engkau bawahi. Bahkan
Kempetai sendiri yang seharusnya menjaga disiplin itu, berkelakuan demikian pula. Dan saya mendengar pula
tentang banyaknya korban jatuh dipihak tentara Jepang karena tak mampu menangkap hanya dua orang
penduduk pribumi. Untuk itu semua, engkau saya penjarakan enam bulan, dan kedudukanmu digantikan oleh
Tai-i (Kapten) Imamura dari Padang Panjang"
Tak ada kata yang bisa di ucapkan oleh Syo Sha Akiwara mendengar putusan komandan tertingginya itu.
Dia hanya tegak dengan sikap sempurna. Kemudian di akhir perintah komandannya itu dia membungkuk dan
berseru "Haik". Namun akhirnya, Mayor Jenderal Fujiyama itu tersingkir juga dari jabatannya sebagai
komandan Tertinggi Balatentara Kekaisaran Jepang di Sumatera.
Disiplin dan Hati Bersih dalam ketentaraan yang dia anut, yaitu sikap yang dia terima tatkala mula
pertama balatentara Kekaisaran Tenno Heika didirikan, bersumber pada ajaran-ajaran Budha, dianggap tak
cocok untuk tentara pendudukan. Tak cocok bagi kebanyakan perwira-perwira bawahannya.
Memang ada beberapa perwira tinggi yang sependapat dengan dia. Tetapi sebagaimana jamaknya dalam
tubuh ketentaraan, perwira-perwira senior selalu dianggap makin lama makin tak mengikuti jaman. Tak
mengikuti perkembangan dan tak sesuai lagi untuk hal-hal yang praktis. Dengan segala cara mereka
disingkirkan. Dengan halus maupun kasar. Itulah yang dialami oleh Jenderal Fujiyama. Namun satu hal yang
pasti, dia dianggap sebagai prototip tentara sejati. Yang melandaskan setiap tindakan pada sikap satria.
Si Bungsu dan Datuk Penghulu lenyap tak berbekas. Meski Komandan Kempetai untuk Garnizun
Bukittinggi ditahan dan dicopot, namun Fujiyama tetap memerintahkan untuk mencari dan menangkap kedua
orang pelarian itu. Mata-mata disebar. Tidak hanya mata-mata dari kalangan militer Jepang. juga mata-mata
dari kalangan pribumi yang bersedia bekerja untuk fasis tersebut. Perintah itu telah membuat penjagaan
diperketat dimana-mana. Dan itu menyebabkan beberapa rencana yang telah disusun oleh para pejuang bawah
tanah Indonesia jadi berobah. Dirobah sebab kewaspadaan yang sangat ditingkatkan oleh Jepang.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 99
Hal ini membuat beberapa pemimpin perjuangan bawah tanah Indonesia menjadi tidak senang. Datuk
Penghulu dan Si Bungsu dipanggil ke sebuah markas yang tersembunyi di Birugo, mereka seperti diadili. Datuk
Penghulu duduk bersebelahan dengan Si Bungsu. Sementara di depan mereka, duduk enam orang lelaki. Di
luar, di tempat yang tak kelihatan tak kurang setengah lusin lelaki saling berjaga-jaga terhadap sergapan
serdadu Jepang. Sebab yang ada di dalam rumah itu beberapa orang diantaranya adalah pucuk pimpinan
pergerakan kemerdekaan Indonesia di Sumatera Barat.
"Datuk sengaja kami panggil beserta Si Bungsu. . . ." yang duduk di tengah memakai baju putih mulai
bicara. Datuk Penghulu hanya diam.
"Adapun yang ingin kami bicarakan adalah sepak terjang Datuk dan Si Bungsu bulan ini. Kegaduhan dan
pembunuhan yang Datuk lakukan bersama Si Bungsu telah menyebabkan rencana kita gagal. Dan itu sangat
merugikan perjuangan kita. Kami ingin meminta pertanggungjawaban Datuk. Kenapa Datuk sampai melanggar
perjanjian yang telah kita buat." Semua terdiam menanti jawaban Datuk Penghulu.
"Jawablah Datuk." Seorang lelaki yang pakai baju kuning bicara. Suara lelaki itu perlahan saja. Tapi di
dalamnya jelas tergambar adanya nada tekanan. Datuk Penghulu menatap mereka. "Apa yang harus kujawab
untuk kalian . . . ," katanya datar.
Dengan menyebut kata kalian jelas ada nada menentang dari datuk itu. Hal itu menyebabkan suasana
kurang enak diantara yang hadir.
"Yang harus Datuk jawab adalah, kenapa Datuk bertindak sendiri-sendiri. Datuk telah mulai menyerang
Jepang sebelum ada perintah. Dan itu mengacaukan rencana yang telah kita susun berbulan-bulan . . .."
"Saya rasa tak pernah ada larangan atau ketentuan untuk tak melakukan serangan.." "Secara tertulis
memang tidak. Tapi dalam kemiliteran, segala tindakan harus dengan satu komando. Sebagai perwira Intelejen,
Datuk telah melanggar ketentuan itu." "Apakah saya harus membiarkan anak istri saya diperkosa kemudian
dibunuh tanpa membalas?" "Datuk harus berpikir secara Nasional. Kita berjuang bukan untuk membela
kepentingan keluarga atau pribadi. Kita berjuang untuk Negara dan Bangsa."
"Ya, tuan-tuan bisa berkata begitu karena tuan-tuan belum merasakan apa yang saya rasakan".." Datuk
itu mulai meninggikan suaranya.
"Apakah hanya karena emosi pribadi Datuk bersedia mengorbankan tujuan yang besar?" "Tuan-tuan
harus memisahkan mana yang pribadi, mana yang tujuan bersama. . . ."
"Bukan kami yang harus memisahkan, tapi Datuk"
Suara mereka terputus ketika Si Bungsu tiba-tiba tegak. Dia melangkah keluar. "Bungsu. . ."
Lelaki yang tadi membuka rapat itu memanggil. Si Bungsu membalikkan badan. Dia menunggu orang itu
bicara. Tapi karena lelaki itu tak juga bicara, dia berbalik lagi. Tapi kembali terhenti ketika lelaki itu berkata
"Tunggu." "Tuan bicara pada saya?" tanyanya.
"Ya, saya bicara padamu. . . ."
"Nama saya Bungsu. Bukan Tunggu. Ada apa maka saya tuan cegah keluar . . . ?"
"Persoalan ini juga menyangkut diri Saudara. . .."
"Diri saya?" Si Bungsu merasa heran.
"Ya, sepak terjang Saudara merugikan rencana kami?"
"Rencana yang mana?"
"Rencana penyergapan kami terhadap beberapa markas Jepang. . ."
Si Bungsu tersenyum tipis. Kemudian berbalik menghadap tepat-tepat pada keenam lelaki itu. Dan
ketika dia bicara, suaranya terdengar mendesis tajam.
"Saya tidak punya sangkut paut dengan rencana tuan-tuan. Saya tak punya sangkut paut dengan
kemerdekaan atau kebebasan yang tuan inginkan. Saya bukan pejuang. Dan saya berhak berbuat sekehendak
saya. . ." Dia berhenti bicara. Menatap keenam lelaki itu dengan tajam. Sejak mereka mengata-ngatai Datuk
Penghulu tadi dia sudah merasa mual. Karenanya dia merasa lebih baik berada di luar ruangan itu daripada
mendengar pembicaraan yang menyesakkan dadanya ini. Lelaki yang berbaju kuning berdiri.
"Kau tak bisa berbuat sekehendakmu buyung. Daerah ini daerah perjuangan. Kami telah membaginya
dalam sektor-sektor. Tiap sektor berada dalam satu tangan komando. Dan kau berada di dalam sektorku.
Karenanya engkau harus tunduk di bawah perintahku."
"Baik. Apa perintah Tuan pada saya. . ."."
"Buat sementara, untuk menghindarkan kekacauan pada rencana induk yang telah disusun, kau
serahkan samuraimu. Ini hanya untuk sementara. Sampai saat yang memungkinkan. Harap dimengerti. . ."
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 100
Datuk Penghulu sampai tegak mendengar kata-kata ini. Tapi sebelum dia buka suara, Si Bungsu telah
menyahut, "Baik. Datanglah kemari, dan ambil sendiri samurai ini"."
Dia mengulurkan tangan kirinya yang memegang samurai. Sikapnya menentang sekali. Semua orang
yang ada di sana pada tertegun.
"Ambillah. Tapi untuk tuan mengerti, sebelum tuan, sudah ada lebih dari empat puluh Jepang yang ingin
mengambilnya dari saya. Dan saya telah bersumpah, jika ada yang berniat mengambil samurai ini, maka hanya
satu di antara dua pilihan. Saya atau orang itu yang mati. Dan selama ini, saya masih bisa bertahan hidup,
Barangkali hari ini keadaan jadi lain, silahkan saja Tuan coba mengambilnya. . .."
Keenam lelaki itu mengerti, ucapan anak muda ini tidak hanya sekedar gertak sambal. Dari beberapa
orang, mereka sudah mendengar kehebatan anak muda tersebut. Namun beberapa orang diantara mereka
memang belum pernah tahu tentang Si Bungsu. Kini mendengar betapa dalam rapat khusus ini ada anak muda
yang seperti takabur dan menantang pimpinan gerilya, salah seorang di antara mereka tegak.
"Baik, saya ingin mencoba mengambil samuraimu buyung. Dan jangan menangis kalau dapat
merampasnya. . ." Sehabis berkata ini lelaki itu meninggalkan tempat duduknya. Namun dia di cegat oleh Datuk Penghulu.
"Sabarlah. Sebagai pimpinan saudara harus banyak sabar. Anak muda itu tak bergurau dengan
menyebutkan bahwa sudah puluhan Jepang mati di mata samurainya. Kau akan sia-sia merebut samurainya
itu. ." Datuk Penghulu sebenarnya bermaksud baik. Ingin menyabarkan dan menghindarkan pertumpahan
darah di antara sesama awak. Tapi larangannya itu justru dianggap sebagai gertak oleh lelaki itu. Dia
menyentakkan tangannya yang tengah dipegang oleh Datuk Penghulu. Datuk Penghulu tahu, demikian juga
lelaki yang lain dalam ruangan itu, bahwa lelaki yang satu ini cukup berisi. Dia juga seorang guru silat dan guru
ilmu batin. Kini dia tegak dua depa di depan Si Bungsu.
"Nah buyung, kau serahkan baik-baik samurai celakamu itu atau kurampas dari tanganmu. Mana yang
kau pilih. . .?" Semua yang hadir menatap dengan tegang. Datuk Penghulu sendiri jadi serba salah. Dia menatap saja
tepat-tepat pada Si Bungsu.
"Saya rasa tak ada salahnya Tuan mengambil samurai celaka ini . ." Si Bungsu berkata sambil tanganya
bergerak. Suatu gerakan yang alangkah cepatnya. Lelaki itu, dan lelaki-lelaki yang ada dalam ruangan rapat
khusus itu, hanya melihat secarik cahaya putih. Muncul dari dalam sarung samurai dan masuk lagi ke sarung
samurai itu. Lamanya hanya sekitar empat detik. Ketika terdengar bunyi "trak" maka samurai itu sudah masuk
lagi ke sarungnya. "Ambillah. . .," kata Si Bungsu menyambung ucapannya.
Tapi lelaki itu tegak dengan kaget. Mukanya berobah jadi pucat pasi. Dia memakai baju kemeja. Empat
buah kancing baju kemeja itu sudah putus dan jatuh ke lantai. Tidak hanya sampai disitu, persis tentang
jantungnya kemeja itu potong dua dari kanan ke kiri dan dua dari kiri ke kanan. Namun tak segores pun
kulitnya tersentuh oleh ujung samurai. Demikian cepatnya, demikian telitinya, dan demikian terlatihnya
gerakan anak muda itu. Lelaki itu jadi pucat pasi. Karena kalau saja anak muda itu mau, maka tubuhnya pasti
sudah putus beberapa potong. Dia menjilat bibirnya yang serta merta jadi kering. Si Bungsu tersenyum tipis.
Wajahnya jadi keras. Matanya berkilat.
"Sudah kukatakan, kita tak punya sangkut paut. Ingatlah itu baik-baik. Saya tak mencampuri urusan
perjuangan kalian. Karena itu jangan campuri urusan pribadi saya. . . ." Ujar Si Bungsu perlahan. Kemudian dia
menoleh pada Datuk Penghulu.
"Saya tunggu Pak Datuk di luar. Saya rasa rapat ini bukan untuk orang seperti saya,"
Dia lalu mengangguk memberi hormat pada semua orang. Lalu berbalik dan melangkah dengan tenang
keluar. Beberapa lelaki yang masih duduk di kursinya tiba-tiba bernafas lega. Mereka pada mengusap peluh
yang entah kenapa mengalir saja di wajah mereka. Luar biasa, benar-benar luar biasa Lelaki yang tadi
memimpim rapat berkata perlahan. Akan halnya lelaki yang buah bajunya dan bajunya tercabik-cabik putus
itu, lambat-lambat kembali ke tempat duduknya.
"Ya" dia sangat hebat. Saya beruntung dapat mengetahuinya dengan pasti. . .," katanya sambil duduk.
"Tapi percobaan itu sangat berbahaya. . . .," yang berbaju kuning berkata.
"Habis yang lain tak ada yang mau melaksanakan rencana itu. . . .," dia membela diri.
"Saya sendiri yakin anak muda itu akan mampu mengontrol dirinya. Tapi tetap saja peluh membasahi
tubuh saya. . . .," Ujar yang seorang lagi.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 101
Datuk Penghulu terheran-heran mendengar pembicaraan teman-temannya ini. Dan yang memimpin
rapat tadi mengetahui keheranannya itu. Dia lantas berkata :
"Ini semua sebuah sandiwara. Datuk dan anak muda itu sengaja kami undang kemari untuk sebuah
pembuktian. Sudah tersebar dari mulut ke mulut, dari bisik ke bisik, bahwa ada seorang anak muda yang
perkasa, anak Minang yang bangkit menuntut balas kematian keluarganya justru mempergunakan samurai
sebagai senjatanya. Pimpinan tertinggi menyuruh kami mencek kebenaran itu. Dan sampailah akhirnya berita
bahwa anak dan istri Datuk binasa dilaknati Kempetai.
Kami berduka atas peristiwa itu. Hari ini, kami ingin menyampaikan duka cita itu. Tapi harap maafkan,
kami tak bisa menahan hati untuk tak membuktikan sampai dimana kehebatan anak muda itu mempergunakan
samurainya. Kami menyangka hebat, sehebat yang diceritakan orang. Ternyata hari ini kami buktikan bahwa
kehebatannya jauh melampaui yang diceritakan orang banyak. . . ."
(21) Datuk Penghulu masih saja terheran-heran. Yang berbaju kuning, yaitu yang membawahi sektor
Pasaman bicara pula, "Kita semua memerlukan anak muda seperti dia. Coba bayangkan hasil yang akan kita
capai kalau ada sepuluh orang seperti dia. Sepuluh orang pemuda dengan kemahiran seperti itu. Ah ?" lelaki
itu tak menyudahi ucapannya.
"Jadi saya dipanggil kemari hanya untuk memperlihatkan pada tuan-tuan betapa kepandaian anak muda
itu mempergunakan samurainya ?"
"Ya. Tapi kalau kami beritahu pada Datuk maka kami yakin dia takkan datang."
"Kalau begitu, saya menyesal tidak menyuruh dia menyiksa kalian tadi. . . ."
"Apa maksud Datuk. .."
"Kalau saja saya tahu, saya hasut dia sehingga ada diantara kalian yang akan dia cencang menjadi
potongan-potongan sate" Lelaki yang putus buah bajunya itu nyengir mendengar olok-olokan Datuk ini.
"Nah kita tak punya waktu lagi. Mari kita semua susun rencana berikutnya." Yang memimpin rapat itu
bicara lagi. "Satuan tugas yang dikirim menyelidiki kegiatan Jepang dalam sebulan ini mendapat informasi, banyak
amunisi yang datang dari Medan dan langsung lenyap setibanya di lapangan Gadut. Setelah diteliti, ternyata
dari lapangan itu ada terowongan. Diduga terowongan itu menuju ke bawah kota Bukittinggi. Terowonganterowongan itu dibuat untuk menyimpan peralatan perang serta sekaligus untuk perlindungan bila mereka
nanti terdesak oleh tentara Sekutu. Jepang sudah mensinyalir bahwa ada dua bahaya yang akan mengancam
mereka di Indonesia ini. Pertama gerakan Kemerdekaan dari pemuda-pemuda Indonesia dan kedua
kembalinya Belanda merebut bekas jajahannya. Belanda diduga akan ikut membonceng bersama tentara
Sekutu. Kini tugas kita adalah merebut persenjataan sebanyak mungkin. Atau kalau itu tak bisa, maka kita harus
meruntuhkan terowongan yang mereka buat. Dengan demikian kita berarti melumpuhkan jalur suplai
mereka"." Dan rapat itu berlangsung terus. Kontak-kontak telah di buka dan disampaikan melalui radio
rahasia antara pejuang-pejuang di Sumatera Utara, Jawa dan Sumatera Barat. Saat peristiwa ini terjadi, hari
proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 45 hanya menunggu saatnya saja. Waktu itu tanggal telah memasuki awal
Agustus 45. Di luar, Si Bungsu bosan menanti. Dia pergi ke kedai kopi. Memesan secangkir kopi dan memakan ketan
dengan pisang goreng. Dia termasuk yang beruntung berada di kedai kopi itu. Sebab tengah ia makan itu, tibatiba saja sebuah truk militer berhenti. Delapan orang Kempetai berloncatan turun mengepung rumah tersebut.
Demikian cepatnya gerakan mereka. Tak diketahui siapa yang telah membocorkan rahasia rapat itu ke pihak
kempetai. Enam lelaki berpakaian preman yang sebenarnya ditugaskan untuk menjaga keamanan di luar
rumah itu, jadi tak berdaya ketika tiba-tiba dari balik beberapa rumah, selusin Kempetai muncul melecuti
mereka. Beberapa orang ada juga yang berusaha memberikan perlawanan. Tapi dengan jurus-jurus karate dan
judo yang amat mahir, dengan mudah Kempetai kempetai itu melumpuhkan mereka. Seorang lelaki ingin
berteriak, tetapi sebuah tusukan bayonet menghentikan suaranya.
Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dia terkulai, dan tubuhnya dicampakkan ke atas truk. Penduduk segera berlarian. Menutup pintu dan
bersembunyi. Dalam waktu singkat, kampung Birugo Puhun itu seperti dikalahkan garuda. Sepi. Bahkan anjing
pun tak ada yang kelihatan di luar. Mereka yang ada di kedai kopi pada terdiam. Dan selama mereka berdiam
diri, mereka nampaknya tak digubris oleh Kempetai-kempetai itu. Dalam kedai kopi itu ada empat lelaki.
Keempatnya, termasuk Si Bungsu, pada tertegun kaget dan tak tahu harus berbuat apa. Rumah di mana tengah
berlangsung rapat rahasia itu telah dikepung dengan senjata dan bayonet terhunus. Cahaya sore mengirim
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 102
sinarnya yang panas ke pintu rumah. Seorang Syo Sha (Mayor) maju ke depan. Di antara sekian tentara Jepang
yang ada, hanya dia yang tak menghunuskan senjatanya. Sebuah pistol tergantung dipinggangnya sebelah kiri.
Hulunya menghadap kedepan. Sedangkan sebuah samurai tergantung di pinggang kanan.
Dari caranya menggantungkan kedua senjata ini, orang segera dapat menebak, bahwa Kapten ini mahir
bermain samurai dengan tangan kiri. Sementara pistol dipergunakan dengan tangan kanan. Hanya saja letak
pistol itu terbalik dari umumnya orang-orang yang kidal. Di belakang syo-Sha itu tegak seorang ajudan yang
berpangkat Letnan. Mayor itu lalu berseru dengan suara lantang.
"Datuk Penghulu, Datuk Putih Nan Sati, Sutan Baheramsyah, atas nama Kaisar Tenno Heika, kalian saya
perintahkan untuk menyerahkan diri. Kalian kami tangkap dengan tuduhan berkomplot ingin mencuri senjata,
meledakkan rumah-rumah perwira, menculik dan membunuh perwira-perwira Jepang. Dokumen kalian telah
kami temukan. Kini menyerahlah. . ."
Tak ada sahutan. Rumah itu tiba-tiba jadi sepi. Suara Mayor itu bergema jelas. Bahkan dapat didengar
oleh penduduk yang rumahnya berdekatan dengan rumah dimana rapat itu sedang berlangsung. Angin bertiup
perlahan. Semua menanti dengan tegang. "Saya hitung sampai sepuluh Jika kalian tak menyerah, kami akan
meledakkan rumah ini dengan dinamit. Kalian boleh pilih, menyerah untuk diadili, atau mati berkeping-keping
dalam rumah ini".?"
Syo sha itu mulai menghitung. Di dalam rumah, Datuk Penghulu dan semua lelaki yang tadi namanya
disebutkan oleh Syo Sha tersebut pada tertegak diam. Mereka memang tak membawa senjata apapun. Meski
mereka pimpinan gerilya, namun membawa senjata siang hari sangat berbahaya. Tapi mereka tak menyangka
sedikitpun akan terperangkap hari ini.
"Pasti ada yang berkhianat." Datuk Penghulu berkata.
Pejuang yang lain masih terdiam. Hitungan di luar sudah mencapai angka empat. Lelaki yang tadi punah
buah bajunya dimakan samurai Si Bungsu, perlahanlahan bergerak ke tepi dinding. Dari sebuah lubang kecil
dia mengintai. Kemudian menghadap kepada teman-temannya yang memandang kepadanya dengan tegang.
"Semua petugas yang ada di luar sudah diringkus. Ada seorang nampaknya terluka. Kini dia terbaring di
atas truk berlumur darah. . . Mana anak muda tadi?"
Tiba-tiba yang buah bajunya putus itu, yang rupanya bernama Datuk Putih Nan Sati yang dipanggil Syo
sha tadi bertanya. Sebagai jawabannya dia mengintip lagi dari lubang kecil itu. Matanya coba mengintip ke luar.
Menatap apakah di antara petugas yang tertangkap dan kini ditegakkan dekat truk itu ada Si Bungsu atau tidak.
Letih dia mencari anak muda itu tetap tak kelihatan.
"Dia tidak termasuk di antara yang ditangkap" katanya
"Apakah. . apakah tidak mungkin dia yang memberitahukan pada Jepang bahwa kita rapat disini," salah
seorang bertanya. Mereka saling pandang.
"Tak mungkin. Saya berani mempertaruhkan nyawa saya untuk itu . . ." Datuk Penghulu membantah, lalu
mereka sama-sama terdiam.
Di luar hitungan sudah mencapai delapan Akhirnya si lelaki yang berbaju kuning, yang tak lain dari Sutan
Baheramsyah yang menjadi pimpinan di antara seluruh mereka yang ada di rumah itu, tegak. Melangkah ke
tengah ruangan. "Apakah mereka memang bermaksud meledakkan kita dengan dinamit ?" tanyanya.
"Saya lihat memang begitu. ".." Datuk Putih Nan Sati yang kembali mengintai dari lobang kecil itu
menyahut. "Nah, kita kali ini kebobolan. Tapi daripada mati percuma, lebih baik menyerah. Saya yakin, dipenjara
masih ada kesempatan untuk melarikan diri. Kalau kita menyerah, ada kesempatan bagi teman-teman yang
lain untuk membebaskan kita. Mari kita keluar. ."
Sehabis berkata Sutan Baheramsyah melangkah ke depan. Yang lain tak dapat membantah. Sebab
hitungan Syo Sha yang di luar sudah menyebutkan angka sepuluh Syo Sha itu sudah akan memberi isyarat
untuk membakar sumbu dinamit, ketika pintu rumah itu terbuka. Lalu kelihatan Sutan Baheramsyah, Datuk
Penghulu, Datuk Putih Nan Sati melangkah keluar bersama-sama teman-temanya yang lain.
Mereka berhenti dan tegak berjejer di depan rumah itu. Tegak berhadapan dalam jarak sepuluh depa
dengan Syo Sha tersebut. Tak sedikitpun di wajah mereka tergambar rasa takut. Mereka menatap kepada
Jepang-Jepang itu dengan kepala terangkat dan pandangan yang lurus.
"Silahkan tuan naik ke atas truk. ".." Syo Sha itu berkata. Dari bilik pintu dan jendela penduduk pada
mengintip kejadian itu dengan perasaan tegang.
"Kami adalah para perwira. Menurut perjanjian militer kami harus pula diperlakukan seperti perwira
"." Sutan Baheramsyah berkata dengan nada datar.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 103
"Tak ada tanda-tanda kepangkatan yang menandakan tuan seorang perwira, dan kami tak dapat
memperlakukan tuan sebagai perwira karena tak ada tanda-tanda tersebut. . . ." Syo sha itu menjawab dengan
nada tegas kemudian memberi perintah pada anak buahnya. Keenam lelaki itu digiring dengan bayonet
terhunus ke atas truk yang telah menanti. Di atas truk, beberapa orang cepat membantu petugas yang tadi
terluka kena tusukan bayonet. Namun dengan terkejut mereka mendapatkan pejuang itu sudah
menghembuskan nafas yang terakhir.
"Jahanam. . benar-benar jahannam .." Datuk Putih Nan Sati memaki.
Semua mereka sudah dinaikkan ke atas truk. Syo Sha itu melangkah mendekati jipnya yang terletak tak
jauh dari truk itu. Dia melangkah dengan wajah angkuh dan lewat di depan kedai kopi dimana beberapa lelaki
sedang terdiam. Syo Sha itu seorang perwira yang punya firasat tajam. Ketika lewat kedai kopi itu dia
menyadari membuat Suatu kekeliruan kecil. Yaitu tidak memeriksa dan menangkapi lelaki yang ada dalam
kedai kopi itu. Siapa tahu di antara mereka ada pejuang-pejuang bawah tanah Indonesia. Siapa tahu di dalam
kedai ada penembak tersembunyi. Menyadari kekeliruan kecil ini. Mayor itu segera menoleh ke belakang untuk
memerintahkan pada bawahannya guna memeriksa lelaki yang ada dalam kedai tersebut. Namun instingnya
terlambat. Firasatnya sebagai perwira intelejen ternyata tak menolong. Karena begitu dia berhenti untuk
menoleh ke belakang, seorang lelaki tiba-tiba muncul di dekat jip yang dia naiki. Tak jauh dari sana, seorang
kempetai yang tegak dengan bedil terhunus segera mengenali lelaki yang muncul itu adalah Si Bungsu.
Kempetai itu mengangkat bedilnya dan menembak. Sebab sudah sejak sepekan yang lalu anak muda itu
dicari dengan perintah Tangkap hidup atau mati. Kini dia tak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Bukankah
pangkatnya akan naik kalau dia berhasil menembak mati anak muda yang telah membunuh banyak tentara
Jepang itu" Dan impiannya itu sebenarnya bisa terwujud, yaitu kalau saja anak muda itu bukan Si Bungsu.
Begitu mengangkat bedil, naluri Si Bungsu yang amat tajam itu segera menyadari bahaya mengancamnya.
Lompat Tupai. Tubuhnya segera berguling ke depan dengan kecepatan yang sukar diikuti mata. Dan letusan itu
mengejutkan si Mayor. Begitu dia menoleh, begitu sesosok bayangan tegak di depannya. Mayor ini secara
naluriah mengetahui bahaya yang mengancam. Dia segera mencabut samurai dengan tangan kiri. Tapi begitu
samurai itu keluar dari sarungnya, begitu sebuah babatan menghantam samurainya tersebut.
Tangannya rasa kesemutan. Begitu kuat hantaman samurai itu. Tanpa dapat dia tahan samuarainya
terpental. Jatuh ke tanah. Dan saat itulah orang yang belum dia lihat wajahnya itu berputar ke belakang dan
sebuah benda dingin, tajam, tipis dan menakutkan, menempel di lehernya. Anak muda itu tegak di belakangnya
sambil memegang kepala si Mayor. Kepala Mayor itu dia buat tertengadah dan mata samurainya itu dia
tekankan ke lehernya. "Perintahkan semua anak buahmu melemparkan senjata mereka ke tanah, Mayor" Suara
Si Bungsu mendesis tajam. Bukan main cepatnya kejadian itu berlangsung. Sebahagian besar Serdadu Jepang
itu masih tegak terpana. Dan kini menatap dengan mulut ternganga pada komandan mereka yang terancam itu.
Mayor itu sendiri hampir-hampir tak percaya kejadian yang dia alami ini. Dia tak yakin ada manusia
yang dapat bergerak demikian cepatnya. cepat dalam bergerak. Dan cepat dalam memainkan samurainya.
"Si Bungsu . . ." akhirnya Mayor itu bersuara perlahan.
Nama anak muda itu sudah menjadi buah bibir di antara para perwira di Markas besar mereka. Anak
muda yang mahir dengan samurai.
"Ya. Sayalah Si Bungsu Mayor. Dan saya tidak main-main dengan samurai saya ini. Sudah banyak bangsa
saya yang terbunuh oleh samurai kalian ini. Dan dengan samurai ini pula, sudah puluhan Jepang yang saya
bunuh. Dengan segala senang hati hari ini saya akan menambah jumlah itu dengan diri tuan. Yaitu kalau tuan
tidak memerintahkan anak buah tuan melemparkan senjata mereka. . ."
Tanpa dapat ditahan Mayor itu merasakan seluruh bulu di tubuhnya pada merinding. Dia sudah
berperang selam puluhan tahun. Mulai dari daratan Mongolia sampai ke daratan cina. Menembus rawa-rawa
maut di sungai Yang Tse Kiang. Dia sudah menghadapi berbagai macam bentuk manusia yang siap merenggut
nyawanya. Dia sudah berhadapan dengan tentara Belanda, Amerika dan lain-lain. Namun dia tak pernah merasa
gentar. Tapi sore ini, di bawah ancaman anak muda ini, tubuhnya tiba-tiba terasa mendingin. Tak hanya
mendingin, buat pertama kali dalam hidupnya sebagai militer, tubuhnya tiba-tiba menggigil.
"Perintahkan Mayor Atau perlu kuhitung sampai sepuluh seperti engkau menghitung tadi ?" Bulu
tengkuk Mayor ini tambah merinding. Dia sudah banyak mendengar, bahkan melihat sendiri betapa mayatmayat tentara Jepang ketika akan menangkap anak muda ini di Tarok, terputus-putus seperti dijagai kena
samurai. "Lemparkan seluruh senjata kalian ke tanah . ." suara Mayor itu terdengar serak.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 104
Satu demi satu anak buahnya melemparkan senjata. Si Bungsu menyeret tubuh Mayor itu hingga
tersandar ke dinding rumah yang tadi hampir saja diledakkan dengan dinamit. Dengan meletakkan tubuh
Mayor itu tetap di depannya, maka Si Bungsu dapat mengawasi seluruh pasukan Jepang itu.
"Suruh mereka berkumpul di dekat truk. Semuanya .."
(22) Anak muda itu berkata lagi sambil memberi isyarat pada Datuk Penghulu dan kawan-kawannya yang
berada di atas truk untuk turun. Mereka segera turun dan bergabung dengan di Bungsu di tepi dinding rumah.
"Cepat suruh mereka berkumpul dekat truk itu Mayor"." Si Bungsu kembali mengancam.
"Syo-i Atto. Perintahkan semuanya berbaring dekat truk. Lekasss..!!"
Mayor itu berteriak lagi dengan suara seraknya. Syo- I (Letnan dua ) itu segera melaksanakan perintah
Mayor tersebut. Sebaliknya tubuh Si Bungsu menegang tiba-tiba begitu mendengar nama Atto disebut si Mayor.
Demikian juga halnya dengan Datuk Penghulu. Mereka saling tatap. Mata Si Bungsu menatap tajam dan
membersitkan amarah yang hebat.
Atto. Nama itu mengiang di telinganya. Dia teringat pada saat-saat menjelang kematian Mei-mei. Gadis
itu mengatakan bahwa dia diperkosa oleh satu regu Kempetai. Yang memulai perkosaan itu adalah komandan
mereka. Gadis itu mendengar namanya disebut dengan Atto. Dan kini Letnan dua yang bernama Atto itu siap
melaksanakan tugasnya. Dia tegak di depan prajurit-prajurit Jepang yang jumlahnya sekitar delapan belas
orang itu. Seluruh senjata mereka seperti karabin, pistol dan samurai, bergelatakan di tanah. Si Bungsu segera
tersadar dari lamunannya pada Mei-mei. Lamunannya dan kebenciannya membuat tangannya tak terkontrol
Dan mata samuarinya amat tajam itu melukai leher si Mayor. Darah mengalir kebawah, tapi untunglah lukanya
hanya luka luar saja. Tentara Jepang yang lain pada merinding.
Mereka menyangka anak muda ini sudah menyembelih pimpinan mereka. Si Bungsu menoleh pada
Datuk Penghulu. "Ambillah bedil yang ada di tanah itu. Dan juga pistol Mayor ini. Awasi dia. Saya akan buat perhitungan .
." Datuk Penghulu segera mengetahui maksud anak muda itu. Dia mengambil pistol Mayor itu dari
pinggangnya. Yang lain pada memungut bedil di tanah. Kemudian mereka ganti menodong Jepang-Jepang itu.
Dari balik pintu, dari balik jendela, penduduk tetap mengintai dengan diam. Mengintai dengan takut.
Barangkali ada rasa gembira dan bangga di hati mereka melihat betapa pejuang-pejuang itu berbalik
menguasai tentara Jepang yang mereka benci. Namun sebagaimana umumnya rakyat sipil dari sebuah negara
yang sedang dilanda perang, dimanapun negara itu berada, bangsa manapun dia, ketakutan terhadap militer
selalu saja menghantui mereka. Di setiap negara yang dilanda perang, apalagi negara yang dijajah, maka
penduduk sipil selalu saja menjadi korban tak berdosa dari keganasan militer. Saat itupun, penduduk di Birugo
itu selain merasa bangga, sekaligus juga merasa takut. Bangga karena bangsa mereka ternyata sudah mulai
unjuk gigi dalam melawan penjajah. Ngeri karena mengingat pembalasan yang akan datang dari Jepang.
Karena betapapun jua, pejuang Indonesia itu pastilah sebentar berada di kota. Setelah itu mereka akan
lenyap bersembunyi. Karena seluruh jengkal tanah di bumi Indonesia saat itu dikuasai oleh Jepang. Penduduk
dapat membayangkah setelah sore hari ini, maka akan ada ratusan tentara Jepang yang akan memeriksa
seluruh rumah di Birugo ini. Dan mereka ada yang akan ditangkap. Ada yang diperkosa. Begitu selalu. Dan dari
balik pintu, dari balik jendela, mereka melihat anak muda yang tadi meringkus Mayor itu berjalan ke depan.
Mayor itu kini berada di bawah ancaman senjata yang dipegang oleh Datuk Penghulu. Si Bungsu melangkah ke
dekat truk. Sepuluh langkah di depan Letnan dua yang bernama Atto itu dia berhenti. Samurai sudah berada
dalam sarangnya. Dia pegang dengan tangan kiri. Dia menatap tajam pada atto yang sama sekali tak mengenal
anak muda ini. Tapi ditatap begitu, bulu tengkuknya merinding.
"Ambil samuraimu yang tergelak di tanah itu Atto . . ." Tiba-tiba dia dengar anak muda ini bersuara. Dia
tertegun. Kaget dan tak percaya pada pendengarannya.
"Ambillah samuraimu. Engkau yang bernama Atto, yang memimpim penangkapan dan pembakaran
rumah di Tarok dua puluh hari yang lalu bukan ?"
Tanpa dia sadari, letnan itu mengangguk.
"Nah, sayalah suami dari gadis yang bernama Mei-mei yang engkau perkosa ketika dia dalam luka parah
di pondok dalam hutan bambu di Tarok malam itu, masih ingat?" Seperti orang dungu, letnan itu kembali
mengangguk. Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 105
"Dia sudah mati. Mati karena menderita. Menderita kalian perkosa bersama-sama. Namun sebelum dia
meninggal, saya telah bersumpah untuk membunuhmu. Kini ambillah samurai itu. Atau kau akan saya bantai
tanpa membela diri. Bagi saya sama saja. Saya hitung sampai tiga. Kalau kau tetap tak mau mengambil
samuraimu, kau akan saya bunuh seperti membunuh seekor anjing. Satu"..!"
Suara Si Bungsu bergema. Dia sudah mulai menghitung. Tidak hanya Atto dan prajurit-prajurit Jepang
yang banyak itu, Datuk-Datuk yang berada di pihak Si Bungsu yang kini tegak dekat Datuk Penghulu, juga
merasa ngeri mendengar ancaman anak muda itu. Dan Atto, sebagaimana jamaknya samurai-samurai dari
Jepang, merasa harga dirinya di injak-injak mendengar penghinaan anak muda itu. Dia segera memungut
samurainya. Dengan sikap seorang samurai sejati, dia mulai melangkah mendekati anak muda itu. Si Bungsu
tegak dengan kaki terpentang selebar bahu. Tegak dengan diam. Menatap tepat-tepat ke mata si Atto. Wajahnya
membersitkan rasa benci yang sangat dalam. Terbayang di matanya betapa Atto yang bertubuh kekar ini
merenggut pakaian Mei-mei. Kemudian setelah nafsu setannya puas, dia menyuruh anak buahnya untuk
meneruskan perbuatannya. Saat itulah Atto membuka serangan. Sebuah sabetan yang amat cepat. Si Bungsu
kaget, khayalannya tengah menerawang ketika serangan itu datang. Tak ampun lagi, bahunya terbabat
menganga lebar. Darah menyembur, Datuk Penghulu terpekik. Hampir saja dia menembak Atto dengan pistol
di tangannya. Tapi dia segera ingat. Si Bungsu berniat membunuh letnan dengan tangannya sendiri.
Kini dengan bahu kiri luka lebar, darah membanjir, Si Bungsu tegak dengan waspada empat depa di
depan Atto. Si Bungsu yakin, jika lama dia tegak begini tubuhnya akan jatuh sendiri karena kehabisan darah
Maka dia segera memancing agar Atto menyerang. Tubuhnya sempoyongan. Meliuk ke kiri. Ke kanan. Dan saat
itu dengan cepat sekali Atto menyerang dengan tiga kali bacokan cepat terarah.
Datuk Penghulu sudah bertekad untuk menembak saja Jepang laknat itu. Tapi maksudnya belum
kesampaian, ketika tiba-tiba tubuh Si Bungsu jatuh ke tanah di atas lututnya. Dan tahu-tahu sebuah sinar yang
amat cepat berkelebat. Pada sabetan yang pertama samurai di tangan Atto seperti dihantam martil besar.
Samurainya terpental. Pada bacokan kedua, tangan perwira muda itu putus di atas bahu. Dia memekik. samurai
di tangan Si Bungsu bekerja lagi. Kedua lutut letnan itu putus.
Tubuhnya tersungkur ke tanah tanpa lengan tanpa kaki. Persis seperti nasib penyamun yang kena babat
di penginapan kecil ketika mula-mula dia datang ke kota ini bersama Mei-mei. Tapi Atto masih beruntung. Dia
tak sempat hidup merana tanpa kaki tanpa tangan seperti Datuk Penyamun itu. Karena begitu tubuhnya
tergolek di tanah, samurai di tangan Si Bungsu bekerja lagi. Dadanya terbelah dua.
Dan kali terakhir kepalanya putus Semua yang hadir di sana memalingkan kepala .Tak sanggup melihat
kejadian itu. Si Bungsu benar-benar menjadi amat buas. Dia seperti bukan manusia lagi. Dia seperti sudah
menjelma menjadi tukang jagal yang tidak punya perikemanusiaan. "Bungsu . . ."
Datuk Penghululah yang berteriak itu. Datuk itu sendiri merasa ngeri dan merasa bahwa perbuatan Si
Bungsu itu sudah melampaui batas. Si Bungsu tertegak diam. Dia segera menyadari kebuasannya sebentar ini.
cepat sekali samurainya sudah masuk ke sarungnya. Dia menatap pada belasan Serdadu Jepang yang tegak
terpaku dekat truk. Dan semua mereka pada merinding ketakutan ditatap anak muda itu. Kemudian dia
berbalik menatap pada Mayor tadi. Mayor itu tersurut. Dia seperti melihat malaikat maut. Kecepatan dan
kehebatan anak muda itu mempergunakan samurainya hampir-hampir tak masuk akalnya.
"Nah, sekarang terserah pada Datuk apa langkah selanjutnya. . ."
Akhirnya Si Bungsu berkata pada Datuk Penghulu. Datuk itu menatap pada teman-temannya.
Nampaknya mereka sudah punya rencana. Semua tentara Jepang itu mereka giring ke sebuah tebat. Dan setelah
disuruh telanjang bulat, mereka disuruh masuk ke dalam tebat yang banyak taik itu.
"Tetap saja berendam di dalam tabek itu, Mayor. Jika ada yang keluar, akan kami bunuh"." kata Datuk
Penghulu. Dan Mayor itu bersama belasan anak buahnya terpaksa tegak diam dalam tebat tersebut. Berendam
dalam air setinggi leher dalam keadaan bugil. oo, tak pernah mereka dipermalukan begini. Tidak pernah,
seumur hidup mereka Dengan cepat Datuk Penghulu dan teman-temannya mengumpulkan semua senjata.
Melemparkannya ke atas jip milik Kempetai yang sudah mereka rampas.
Kemudian mereka naik. Sebelum berangkat mereka terlebih dahulu merusak truk di dekat itu agar tak
bisa digunakan memburu mereka. Lalu Datuk Putih Nan Sati menjalankan jip itu kearah Padang Luar melarikan
diri. Tak seorang pun yang tahu ke mana arah mereka. Begitu terdengar mesin jip dihidupkan, Mayor tadi
melompat naik ke atas. Tapi ketika lanciriknya yang tak bertutup itu sudah ada di tebing tebat, sementara betis
ke bawah masih di dalam air, seorang anak buahnya yang masih di tebat berkata:
"Awas, Yor. Anak muda bersamurai itu mungkin masih ada di atas"
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 106
Mayor itu tertegun. Kemudian cepat tubuhnya meluncur kembali ke dalam tebat. Ya, kalau kepadanya
diingatkan bahwa yang masih ada di sekitar tebat itu awas, beberapa orang berbedil masih mengawasi,
barangkali Mayor itu takkan merasa gentar. Ia akan tetap naik, berpakaian dan kembali kemaerkas untuk
menyusun pembalasan. Tapi karena peringatan itu berbunyi anak muda bersamurai itu mungkin masih ada di
atas, maka gacarnya timbul. Saking gacarnya, dia tak dapat menahan kentutnya. Berantai dan kuat seperti bunyi
mercon pula tu. Prep..prep..thoot" Thootthoot..pohh..pooh..!!
(23) Dua bunyi poh.. yang terakhir terpancar ketika pantatnya sudah masuk ke air tebat. Hal itu
menyebabkan air tebat tentang pantatnya seperti menggelegak sesaat, karena ada beberapa gelembung udara
memecah ke atas. Belasan anak buahnya yang masih kedinginan dalam tebat busuk itu tiba-tiba terbagi
menjadi tiga kelompok. sebagian tetap diam karena amat kedinginan- Sebagian juga kedinginan, tapi tak berani
tertawa. Mereka hanya nyengir. Tapi sebagian lagi, kendati tebat itu dingin dan busu, tak dapat menahan rasa
gelinya. Suara kentut si Mayor akibat ketakutan itu benar-benar menjadi hiburan langka, karenanya
merekapun tertawa "Huhu.. hihi..hehe.."
Mayor ini benar-benar merasa gacar. Dan tak seorang pun diantara mereka yang berani cepat-cepat naik
ke darat. Seperti terbayang di mata, betapa kalau mereka naik, tiba-tiba saja anak muda bersamurai itu muncul.
Lalu menebas batang leher mereka seperti menebas leher Atto tadi.
Hiii"! Tapi setelah hari agak senja, karena tak tahan dingin akhirnya Mayor itu merangkak juga ke atas. Apalagi
bau tebat yang busuk karena tai manusia itu membuat beberapa dari mereka sudah mutah kayak. Bahagian
bawah tubuh mereka juga jadi geli karena disundul-sundul ikan emas.
Setelah merangkak ke atas si Mayor bergegas berpakaian dan berteriak memanggil prajuritnya yang
masih di dalam tebat untuk naik semua. Tatkala semua sudah naik dan berbaris mengikuti perintahnya, yang
tadi berteriak menakut-nakutinya dengan mengatakan mungkin Si Bungsu masih ada, yang menyebabkan
kentutnya terpancar saat dia kembali melosoh ke dalam tebat, dia perintahkan tegak ke depan. Lalu dengan
Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sepenuh berang dia tampar prajurit bego itu.
"Bagerooo Waang takut-takuti saya yaa"
Puak. . . .puak. . . .plak. . plak.!
Muka prajurit itu lapuak-lapuak di lampang si Mayor yang mukanya sudah membiru kedinginan itu.
Tidak hanya yang satu itu, semua dapat bagian tempelengnya, sebab hampir semua tertawa ketika kentutnya
tabosek tadi. Si prajurit hanya tegak dengan sikap sempurna. Untunglah tak lama setelah mereka kena
tempeleng, sebuah jeep dan sebuah truk datang. Seorang Tai-I (Kapten) turun. Dia memberi hormat. Namun
segera terheran-heran melihat pasukan yang ada di depannya basah kuyup,
"Jangan melongo" saja Mayor itu membentak. Si Kapten segera sadar.
"Saya diperintahkan untuk mencari pak Mayor. Sejak siang tadi dinanti di markas besar. Kami kira
mendapat kesulitan. . ."
"Tak ada kira-kira. Kau pikir kami sedang lomba renang di sini?" Mayor itu membentak lagi sambil
bergegas naik ke atas jeep. Pasukan yang lain melompat keatas truk. Dan kendaraan itu bergerak menuju ke
Panorama. Malam itu juga dikerahkan tak benar dua kurang dari seratus tentara Jepang untuk mencari jejak
pejuang-pejuang tersebut. Dan benar juga dugaan penduduk Birugo Puhun. Semua rumah digeledah sepanjang
malam itu. Hampir seribu penduduk diinterogasi.
Beberapa orang ditangkap. Jepang tak peduli, bahwa rumah yang dipergunakan untuk rapat itu
sebenarnya rumah yang sudah lama tak berpenghuni. Pemiliknya sudah pindah ke Bandung sejak lima tahun
yang lalu. Jepang tak perduli itu. Yang jelas perusuh-perusuh itu rapat di wilayah Birugo Puhun. Tentu
penduduk kampung itu merestui pertemuan itu. Maka penghuni lima buah rumah yang berdekatan dengan
rumah tempat rapat itu ditangkap. Diinterogasi di markas besar. Begitu selalu nasib penduduk sipil. Namun
bagi penduduk. nasib demikian nampaknya sudah mereka terima dengan tabah. Keganasan suatu rezim justru
menimbulkan kebencian pada rezim itu. Tak ada yang bisa dicapai dengan kekerasan. Penduduk justru makin
mengharapkan agar pejuang-pejuang itu makin kuat. Meski dari luar mereka terlihat pasrah menerima nasib
atas perlakuan rezim yang menjajah negeri mereka. Sebab, apakah lagi yang bisa mereka perbuat, jika kepada
mereka yang lemah ditodongkan ujung sangkur dan moncong bedil. Apalagi bisa diperbuat selain dari pasrah.
Namun, dari dalam tahanan para penduduk tetap berdoa semoga perang segera meletus. Mereka berdoa dan
berharap. Agar kemerdekaan segera tercipta bagi negara mereka.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 107
Siang itu Si Bungsu sedang berada di rumah seorang tabib, untuk mengobati luka di bahunya akibat
perkelahian dengan Syo-I Atto di Birugo tempo hari. Saat menunggu tabib meramu obat itulah tiba-tiba saja
rumah itu telah dikepung oleh dua puluh tentara Jepang. Dia sudah dianggap demikian berbahayanya. Sehingga
Jepang mengerahkan hampir seluruh intelejennya yang ada di Sumatera Barat untuk mencium jejak
pelariannya. Tiga hari sebelumnya, mata-mata mereka mengetahui bahwa Si Bungsu bersembunyi di sebuah
rumah di kaki gunung Merapi. Diketahui pula bahwa lukanya akan diobati di rumah seorang tabib obat di Koto
Baru. Begitulah, saat dia tengah menanti obat diramu, satuan-satuan tentara Jepang yang telah disiapkan segera
mengepung tempat tersebut. Dan yang memimpin penangkapan itu tak lain adalah Mayor yang dia suruh
berendam ke dalam tebat dalam keadaan telanjang di Birugo dulu. Si Mayor yang telah tegak di depan rumah
tabib tersebut terdengar berseru :
"Bungsu, keluarlah. Rumah ini telah dikepung. Kalau kalian tak keluar dalam lima hitungan, rumah ini
akan saya ledakkan dengan dinamit"
Dia seperti mengulangi lagi kalimat berbentuk ancaman yang dia ucapkan saat dia dan pasukannya
mengepung rumah tempat para pejuang rapat di Birugo Puhun, sepekan yang lalu. Kali ini kemujuran serta
nasib baik nampaknya tidak berpihak pada Si Bungsu. Luka di dadanya mengalami infeksi. Ramuan obat yang
dia ramu saat di Gunung Sago dan selalu dia bawa kemanapun pergi, telah habis.
Ketika dia ingin kembali meramu obat-obatan itu, dia terbentur pada ketiadaan beberapa jenis
tumbuhan untuk bahan pembuatnya. Ada empat macam jenis akar, kulit, daun dan bunga kayu yang
mengandung bisa dan tiga jenis rerumputan menjalar yang bergetah yang dia pakai sebagai ramuan. Di kaki
gunung Merapi, dimana dia bersembunyi, tak semua jenis kayu dan rerumputan itu dia peroleh. Kendati sudah
empat lima orang mencarinya selama beberapa hari. Karena lukanya semakin berinfeksi, akhirnya dia menurut
ketika disarankan berobat ke seorang tabib di Koto Baru.
Mereka sebelumnya memang telah khawatir bahwa akan diketahui intelijen Jepang. Kini kekhawatiran
itu terbukti. Datuk Penghulu yang selalui berada bersama Si Bungsu tertegun. Dia menatap pada si tabib. Si
Bungsu perlahan duduk dari pembaringannya. Tubuhnya amat lemah, wajahnya pucat karena sudah dua hari
demam dengan panas amat tinggi. Di luar sana terdengar suara si Mayor mulai menghitung. Tabib yang ditatap
Datuk Penghulu itu sendiri jadi pucat.
"Saya tidak mengkhianati tuan-tuan. Demi Allah, saya tidak mengkhianati tuan-tuan" ujar tabib itu.
Datuk Penghulu masih menatapnya. Demikian pula Si Bungsu.
"Tidak. Kami tahu bapak tidak mengkhianati kami. Mereka memang telah menyebar ratusan intelejen. .
. jangan takut "." Si Bungsu berkata sambil melangkah turun.
Bersama Datuk Penghulu dia membuka pintu tatkala hitungan mencapai empat. Semua tentara Jepang
yang mengepung rumah itu mengacungkan bedil mereka. Mayor itu sendiri tegak dengan pistol di tangan.
Nampaknya dia tak mau menanggung resiko. Pengalaman di Birugo Puhun dulu menyebabkan dia amat
berhati-hati. "Lemparkan samuraimu Bungsu. Lemparkan ke tanah. Kemudian kalian berdua berjalan kemari dengan
tangan ke atas dan bergerak mundur. cepat. . . ."
Si Bungsu melakukan perintah Mayor itu. Dan melemparkan samurainya ke tanah. Kemudian samurai
itu dipungut oleh seorang Sersan. Mayor yang pernah mereka rendam di dalam tebat di Birugo beberapa hari
yang lalu itu melangkah mendekat, begitu dia lihat samurai Si Bungsu sudah dipungut anak buahnya.
Mayor ini merasa malu bukan main sejak peristiwa berendam dalam tebat tersebut. Marah serta dendam
itu kini dia muntahkan. Dia tegak setengah depa di depan Si Bungsu. Menatap anak muda itu dengan pandangan
seperti akan melulurnya mentah-mentah. Tiba-tiba tangannya bergerak. Cepat sekali. Demikian cepatnya,
sehingga Datuk penghulu sendiri tak melihat bagaimana cara Mayor itu menggerakkan tangannya. Si Bungsu
terdengar memekik. Tangan Mayor itu bergerak lagi, dan meski sudah ditahan sekuat mungkin, namun tetap
saja Si Bungsu tak dapat untuk tidak memekik. Gerakan Mayor itu adalah sebuah gerakan karate bern chudan
Nukite choki. Yaitu sebuah tusukan dengan keempat jari-jari tangan ke luka di bahu kiri Si Bungsu. Tusukan
jari-jari tangan yang dirapatkan itu amat telak dan amat cepat.
Kembali menusuk luka bekas tebasan samurai Syo-i Atto itu seperti pisau menusuk daging. Pada tusukan
keempat jari pertama, kain yang membalut luka sementara dibahu Si Bungsu jebol, amblas ke dalam luka
tersebut. Pada hantaman ke dua, keempat jari tangan Mayor tersebut masuk hampir sepertiganya. Demikian
kuat dan cepatnya gerakan itu. Dilakukan oleh seorang ahli karate yang telah memiliki tingkatan Dan IV. Yaitu
tingkatan keempat bagi pemegang sabuk hitam. Mendengar pekik yang menahan sakit luar biasa dari mulut Si
Bungsu, itu Datuk Penghulu yang tegak empat depa di belakangnya tersentak.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 108
Anak muda itu rubuh ke tanah. Saat itulah, dengan melupakan setiap mara bahaya, semata-mata karena
kasihan dan sayangnya pada Si Bungsu, Datuk Penghulu tiba-tiba menghambur. Tubuhnya melayang di udara.
Dan sebelum Kempetai-Kempetai itu sadar apa yang terjadi, tendangannya mendarat di kepala Syo Sha
tersebut. Mayor itu terpelanting dua depa. Jatuh berguling di tanah, seorang prajurit mengangkat bedil.
Namun Datuk yang sudah kalap itu bergulingan. Ketika dia berdiri, tendangannya menghantam
kerampang prajurit yang tengah membidik senapan itu meledak, tapi alat-alat di kerampangnya juga meledak
kena tendang. Peluru itu senapannya menghantam tanah. Masih dalam kecepatan yang hanya dimiliki oleh
pesilat-pesilat tangguh, pada langkah keempat setelah menyepak kerampang si prajurit, dia sampai kedekat
Mayor yang kini sudah akan bangkit.
Mayor itu mencabut samurainya. Gerakannya demikian cepat. Dia masih berlutut ketika samurainya
sudah keluar separoh. Tapi saat itu pula tendangan Datuk Penghulu menghajar dadanya. Namun saat itu pula
samurainya berkelebat. Tubuh Mayor itu tercampak. Dari mulutnya menyembur darah merah. Rusuknya patah
tiga buah, lalu tergeletak tak sadar diri dengan muka membiru.
(24) Datuk Penghulu tegak dengan kaki terpentang. Menghadap Mayor itu dengan perasaan muak. Disamping
Mayor itu tergeletak samurainya. Si Bungsu yang baru saja tergolek jatuh, melihat betapa perkasanya Datuk
itu. Demikian cepat dia bergerak. Benar-benar seorang pesilat yang tangguh. Dia melihat betapa Datuk itu tetap
tegak tanpa bergerak ketika Kempetai-kempetai itu mengepungnya dengan sangkur terhunus. Lalu tiba-tiba
tubuh Datuk itu meliuk. Dan lambat-lambat dia berputar di atas kedua lututnya. Dan lambat-lambat dia jatuh
di atas kedua lututnya. Tubuhnya berputar, menghadap pada Si Bungsu yang masih tertelentang. Dengan
terkejut, sesaat sebelum jatuh pingsan, Si Bungsu melihat betapa perut Datuk itu robek mengalirkan darah
perlahan ke bawah. Mereka bertatapan. Mulut Datuk itu bergerak. Tapi satu suara pun tak keluar. Namun,
meskipun tak ada suara, Si Bungsu seperti dapat menangkap apa yang akan diucapkan Datuk itu,
"Jaga dirimu baik-baik. Tetap bertahanlah untuk hidup, Jangan menyerah pada penjajah. Tuhan
bersamamu, nak." Sepertinya kalimat itulah yang akan diucapkan Datuk Penghulu. Mulutnya tak bersuara. Tapi Si Bungsu
dapat membaca kalimat itu lewat ekspresi wajahnya. Lewat matanya yang berangsur jadi redup.
"Pak. . ." suara Si Bungsu bergetar perlahan.
Namun setelah itu dia sendiri jatuh pingsan. Hantaman jari-jari tangan Mayor itu amat menderanya.
Luka di dadanya robek. Penderitaan itu tak mampu dia tahankan, dia jatuh pingsan. Dan itulah saat terakhir
dia melihat Datuk Penghulu. Sebab orang tua perkasa itu mati menyusul anak dan istrinya. Tatkala dia
menendang Mayor itu, samurai si Mayor sudah tercabut separoh. Ketika tendangannya mendarat di rusuk si
Mayor Jepang itu membabatkan. Mayor itu adalah samurai yang tangguh. Pangkatnya yang Syo Sha itu saja
sudah menjamin bahwa dia adalah seorang samurai yang tak bisa dikatakan tak cepat. Setiap perwira Jepang
tidak hanya wajib mahir dalam mempergunakan samurai. Lebih dari itu, samurai merupakan suatu seni bela
diri turun-temurun. Yang mendarah daging, yang merupakan kebanggaan tradisi bagi lelaki Jepang untuk
mempelajarinya Makin mahir lelaki Jepang dengan samurainya, makin tinggi penghormatan orang padanya.
Nah, saat akan rubuh itulah dia sempat membabat perut Datuk Penghulu. Dan babatannya sebagai
seorang samurai andalan, berhasil membelah perut Datuk Penghulu serta memutus ususnya. Datuk itu masih
bisa bertahan tetap tegak semata-mata karena ketangguhan dan kekerasan hatinya saja. saat Si Bungsu jatuh
pingsan, mata Datuk itu terpejam. Di sudut matanya kelihatan manik-manik air merembes perlahan. Lalu
kepalanya terkulai bersama tubuhnya.
Tergeletak mencium bumi. Nyawanya dijemput Yang Khalik sebelum tubuhnya sempurna terguling di
bumi Semua tentara Jepang yang tegak mengelilingi orang tua itu pada tertegun. Diam-diam mereka
mengagumi keperkasaan lelaki yang tersungkur di hadapan mereka ini. Dihadapan mereka sekarang tergeletak
dua manusia yang barangkali tak terpaut jauh beda usianya. Yang satu adalah komandan mereka yang
berpangkat Mayor itu. Yang satu lagi adalah Datuk Penghulu. Lelaki pribumi yang tercatat sebagai musuh
balatentara Jepang. Yang satu mati karena melawan fasisme yang menjajah negaranya. Yang satu lagi tergolek
hampir mampus karena mempertahankan kekuasaan negerinya untuk menjajah negeri lain. Keduanya samasama pejuang buat negeri masing-masing. Keduanya sama-sama mengabdikan dirinya buat bangsa mereka
pada posisi yang saling berhadapan.
Si Bungsu tak tahu beberapa lama sudah dia jatuh pingsan. Namun ketika dia sadar yang pertama dia
rasakan adalah rasa sakit yang amat menyiksa di bahunya. Demikian sakitnya, sehingga tubuhnya terasa
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 109
menggigil. Panas dan berpeluh. Demam dengan panas yang amat tinggi masih menyerang dirinya. Dia tak kuasa
menggerakkan tubuh. Bahkan menggerakkan jari-jarinya saja dia tak kuat. Satu-satunya yang mampu dia
perbuat kini hanyalah membuka kelopak matanya.
Terasa berat. Tapi dia paksakan juga. Penglihatannya berputar. Merah, hitam, kuning, hijau. Warnawarni tak menentu bermain dan berpusing di hadapannya. Dia pejamkan matanya kembali. Dengan
pendengarannya yang amat terlatih dia mencoba menangkap suara. Tapi tak terdengar apapun, kini lambatlambat kembali dia buka matanya. Dan menarik nafas. Menatap ruangan di mana dia kini berada.
"Pak Datuk "." Himbaunya tatkala melihat sesosok tubuh terikat empat depa di depannya. Tak ada
jawaban. "Pak Datuk . . ." Himbaunya lagi dengan suara pecah.
Lambat-lambat sosok tubuh itu mengangkat kepala. Bukan, dia bukan Datuk Penghulu. Si Bungsu segera
mengenalinya sebagai salah satu seorang pimpinan rapat di Birugo dahulu. Dia memang tidak mengenal siapa
namanya, tapi dia kenal betul lelaki itu. Saat dalam rapat itu dahulu lelaki ini hanya berdiam diri.
"Datuk Penghulu telah meninggal, Bungsu "." ujar lelaki itu mulai bicara.
"Meninggal "..?" Ujar Si Bungsu. Tapi suaranya hilang di tenggorokan.
"Ya, dia meninggal ketika mula pertama kalian ditangkap di Kota Baru. . . ."
"Meninggal" Datuk Penghulu meninggal?" Bungsu masih berkata sendiri. Sepertinya tak percaya dia
akan apa yang dia dengar.
"Mustahil, mustahil Datuk Penghulu meninggaL Bukankah dia melihat lelaki itu tegak dengan
perkasanya setelah menghantam Syo Sha itu dengan sebuah tendangan?"
"Tak ada yang mustahil bagi takdir Tuhan anak muda. Datuk Penghulu memang telah meninggal. Banyak
jasanya bagi persiapan perjuangan yang akan datang. Tapi selain teman-teman dekat, tak ada orang lain yang
mengenali perjuangannya. orang hanya mengenal dia sebagai kusir bendi. Tak lebih. Dan kami, telah
kehilangan seorang pejuang, seorang teman, seorang mata-mata yang tangguh. Seorang guru silat yang berilmu
tinggi. Hanya ada seorang muridnya yang menerima warisan ilmunya. Seorang gadis cina bernama Mei-mei.
Tapi saya dengar gadis itu sudah meninggal pula beberapa waktu yang lalu. Kini, ilmunya itu dia bawa mati. . .
." Lelaki itu terdiam. Si Bungsu menatapnya. Nampaknya lelaki ini cukup banyak mengetahui tentang
Datuk Penghulu. Meski ada juga yang tak dia ketahui, misalnya tentang diri Mei-mei yang sebenarnya adalah
tunangannya. "Saya melihat Bapak dalam rapat di Birugo dahulu. Siapakah bapak?"
"Nama saya Kari Basa . . ." Ucapan lelaki itu terhenti tatkala pintu terdengar berderit.
"Nah, sejak saat ini, kita saling tak mengenal."
Lelaki itu masih sempat berkata perlahan sebelum pintu diujung terbuka. Dan kepala laki-laki itu
terkulai lagi, pura-pura pingsan. Si Bungsu buat pertama kalinya menyadari, bahwa dirinya terikat kuat.
Tangannya digantung ke atas. Kakinya diikat ke lantai. Buat pertama kalinya pula dia menyadari, dia kini
berada di dalam sebuah gua. Dalam gua.
Tadi dia tak menyadari hal itu karena terpukau akan berita kematian Datuk Penghulu. Dan kini dalam
guha itu telah tegak tiga orang Kempetai. Gua itu diterangi oleh lampu listrik. Si Bungsu bisa menebak. bahwa
dia berada di salah satu terowongan yang digali Jepang di bawah kota Bukittinggi.
Dia sudah banyak mendengar cerita tentang gua di kota itu. Cerita dari bisik ke bisik. Sebab tak ada cerita
yang pasti tentang penggalian terowongan itu. Para lelaki yang menggali adalah romusha yang diambil dari
Tentara Sekutu yang ditawan setelah dilucuti, ditambah dengan ribuan lelaki bangsa Indonesia dari segala
penjuru tanah air. Termasuk di dalamnya puluhan laki-laki dari kota Bukittinggi dan daerah-daerah lainnya di
Minangkabau. Namun tak seorang pun di antara romusha itu yang sempat berada di luar terowongan. Setiap
romusha yang masuk terowongan itu tak pernah diketahui ada yang keluar. Tak pernah. Mereka dimasukkan
ke terowongan itu di malam buta. Tapi tak seorang pun yang melihat mereka keluar hidup ataupun mati. Si
Pembunuhan Di Sungai Nil 5 Fear Street - Sagas Iii Rahasia Rahasia Kelam Forbidden Secrets Sepasang Walet Merah 1
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 88
belakang. Kempetai yang satu lagi, yang bedilnya sudah tercampak entah kemana segera mengambil langkah
seribu. Lari" Tapi malang, dalam paniknya dia ternyata lari ke arah rumah Datuk Penghulu yang sudah menjadi abu.
Dan dia terhenti, ketika di depannya tegak sesosok tubuh. Datuk Penghulu. Dari panik, dia menjadi nekad. Dia
memasang ancang-ancang karate, dan menyerang Datuk itu dengan serangan bernama reng-geri. Yaitu
serangan dua kali tendangan yang amat cepat. Yang pertama mengarah ke dada yang kedua ke perut.
Malang Kempetai ini. Lawannya adalah Datuk Penghulu. Hanya dengan sedikit memiringkan tubuh,
kedua tendangan itu mengenai tempat kosong. Namun Kempetai itu, yang memiliki sabuk coklat karate, segera
menyerang lagi dengan tiga pukulan yang amat cepat. Yaitu pukulan Sam-Hong Tsuki yang mengarah ke kening
dan dua pukulan kejantung. Tapi Datuk Penghulu adalah guru gadang silat Kumango. Pukulan itu tidak dia
tangkis, melainkan dia biarkan lewat di sisinya. Lalu dengan suatu gerakan menyamping yang amat cepat,
sikunya masuk ke rusuk si Jepang. Terdengar suara berderak dari dalam. Jepang itu terhenti nafas, tapi kembali
terpekik. Rusuknya mengirimkan rasa sakit yang membuat celananya basah, rusuknya patah dua buah
Kemudian kaki Datuk itu menghantam lipatan lutut si Jepang. Jepang itu jatuh berlutut.
"Ini untuk laknat yang engkau berikan kepada anak dan istriku. . ." berkata begitu, kaki datuk itu
menerpa tengkuk si Jepang.
Kembali terdengar suara berderak. Leher Jepang itu seperti dihantam besi. Patah". Tubuhnya terhantar
di sana. Mati" Si Bungsu yang tegak tak jauh dari sana, menjadi ngeri melihat makan tangan dan makan kaki
Datuk ini. Dia menjadi ngeri melihat bagaimana Datuk ini murka.
"Ini adalah permulaan. Sudah terlalu lama saya menahan diri untuk tidak memulai perkelahian dengan
penjajah jahanam ini. Tapi mulai malam ini, saya akan membunuh mereka sebanyak mungkin. Hutang nyawa
harus mereka bayar dengan nyawa Demi Allah, saya akan melakukannya" Suara Datuk itu bersipongang dalam
hutan bambu yang lebat itu. Angin berembus menggeser batang-batang buluh. Menimbulkan bunyi seperti
nyanyian malam. Seperti menjadi saksi atas sumpah Datuk itu. Dan sumpahnya dia buktikan. Hari-hari setelah
itu, adalah hari-hari yang penuh teror bagi balatentara Jepang di kota Bukittinggi dan sekitarnya.
Hari sudah pagi ketika perwira piket di markas Besar balatentara Jepang di Panorama merasa curiga,
sebab enam orang pasukan Kempetai yang dikirim malam tadi ke tempat Datuk Penghulu belum kembali.
Perwira piket itu berpangkat Tai-i (Kapten) bernama Akira. Sebelum para perwira masuk kantor dia cepatcepat mengumpulkan regu cadangan. Kemudian memerintahkan seorang chu-I (Letnan satu) memimpin dua
belas Kempetai menyusul ke tempat Datuk Penghulu.
"Saya rasa regu malam tadi dalam bahaya. Kepung tempat itu dan tangkap beberapa penduduk untuk
menunjukkan dimana Datuk Penghulu . . .," demikian isi perintahnya.
Dan chu-I itu berangkat ke Tarok menaiki sebuah truk. Truk berisi dua belas orang Kempetai itu melaju
mengoyak udara pagi dengan suara menggeram-geram. Di atasnya tegak dengan kukuh kedua belas Kempetai
itu. Di tangan mereka tergenggam senjata yang lengkap dengan sangkur terhunus. Truk itu mula-mula menuju
ke arah stasiun kereta api. Kemudian berbelok ke arah tangsi militer. Lalu berbelok lagi kejembatan besi.
Meluncur terus ke arah Tarok.
Para pedagang yang sudah keluar pagi itu, pada menepi cepat-cepat begitu melihat truk dengan lampu
yang dihidupkan itu lewat. Truk dengan kap terbuka dan Serdadu Jepang tegak dengan wajah keras. Tak lama
kemudian mereka sampai ke daerah kampung Tarok. Mereka membelok ke sebuah jalan kecil di antara pohon
bambu yang rimbun menuju ke Padang Gamuak. Sekitar dua puluh meter masuk kepalunan bambu itu, tibatiba di depan sebuah gerobak yang dipenuhi batang ubi kelihatan tegak. Truk tak bisa terus. Sopirnya
menyumpah-nyumpah. Letnan yang ada di depan memerintahkan seorang anak buahnya turun untuk
mencampakkan gerobak sial itu ke dalam semak. Tapi sebelum dia turun, saat itulah dua bayangan tiba-tiba
melesat dari balik pohon bambu ke atas truk yang terbuka itu. Kedua bayang-bayang itu adalah Si Bungsu dan
Datuk Penghulu. Mereka sudah menduga, bahwa Jepang pasti akan mengirimkan bantuan untuk mencari
regunya malam tadi. Datuk Penghulu lalu menyusun siasat. Merekalah yang meletakkan gerobak yang dipenuhi
batang ubi untuk menghalang jalan truk. Kini mereka berada diatas truk itu. Diantara sebelas serdadu Jepang
yang memegang senjata dengan sangkur terhunus.
"Penjajah jahanam kalian terima pembalasan kami.."
Berkata begini, Datuk Penghulu yang baru menghambur ke atas truk itu menghantam kekiri dan ke
kanan. Kempetai-kempetai yang ada di truk itu kaget melihat kehadiran kedua orang itu di atas truk mereka.
Tendangan Datuk itu yang pertama mendarat di perut seorang prajurit. Tubuh prajurit itu terlipat. Matanya
mendelik, mulutnya berbuih. Bukan main melinukannya cuek itu. Teman yang di sebelahnya masih terheran
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 89
heran, ketika pukulan tangan Datuk itu mendarat di hulu hatinya. Tubuhnya terhumbalang. Temannya yang
berada di sisi lain dari truk itu menghunjamkan bayonetnya ke punggung Datuk Penghulu. Tapi samurai di
tangan Si Bungsu memutus kedua tangannya. Dia meraung.
Saat berikutnya samurai Si Bungsu bekerja. Terlalu cepat untuk diikuti mata. Terlalu cepat untuk
disadari oleh Kempetai-kempetai yang ada di atas truk itu. Dan pagi itu, terjadilah sebuah pembantaian yang
tak mengenal ampun, sebelas orang Kempetai yang berdiri tegak diatas truk terbuka itu, tak sempat sekalipun
menembakkan bedil mereka. Truk yang hanya muat untuk tempat tegak itu, tak bisa memberi keleluasaan pada
para kempetai itu untuk mempergunakan bedil.
Delapan orang telah mati terbantai samurai atau kena pukulan tangan dan kaki Datuk Penghulu. Sersan
yang tegak di depan sekali melompat ke atas kap truk. Dari atas dia mengangkat bedilnya. Dia bermaksud
menembak Si Bungsu. Tapi gerakannya dilihat oleh Datuk Penghulu yang tengah menghantam seorang kopral
dengan siku tepat di tenggorokan. Sebelum pelatuk bedil sempat dia tarik, tubuh Datuk Penghulu tiba-tiba
melambung didahului pekik menyeramkan. Jarak antara dia dengan Jepang yang ada di atas atap truk itu
sekitar empat depa. Dan jarak empat depa itu dia lewati dalam loncatan panjang tak lebih dari tiga detik. Yang
duluan tiba adalah pukulannya.
(17) Pukulan tangan kanannya mendarat di perut Kempetai yang tengah membidikkan bedilnya itu. Kedua
tubuh mereka terjatuh ke atas kap depan. Kempetai itu duluan tegak. Tapi kaki Datuk Penghulu menghajar
pusarnya dari bawah. Dia terlambung ke tanah persis di depan truk. Ketika akan bangkit, saat itu pula tubuh
Datuk Penghulu terjun. Kakinya mendarat di tengkuk si Jepang. Terdengar tulang patah. Dan Kempetai itu mati.
Pada saat yang sama, Si Bungsu menyelesaikan tugasnya di belakang. Kempetai kesepuluh mati dengan leher
putus. Demikian cepatnya keadaan itu berlangsung.
Sehingga, dari saat truk itu berhenti, sampai pada Kempetai yang kesepuluh orang itu mati, waktunya
barangkali hanya tiga menit. Memang terlalu fantastis. Namun begitulah yang terjadi. Si Bungsu pembenci
Jepang nomor satu. Dalam usahanya mencari Kapten Saburo Matsuyama untuk membalaskan dendam
keluarganya, dia menyapu habis setiap Jepang yang menghalanginya. Dan pagi ini, kembali samurainya bekerja
terlalu cepat bagi Jepang-Jepang tersebut. Sedangkan Datuk penghulu, yang selama ini terlalu sabar dengan
menyimpan-nyimpan ilmunya, kini setelah anak dan istrinya mati ternista di tangan Jepang, membalaskan
dendamnya dengan segenap kebencian.
Empat orang Kempetai mati kena makan tangan dan kakinya pagi itu. Dan saat itulah chu-I (Letnan satu)
yang memimpin regu penyergapan itu menyadari bahaya yang mengancamnya. Sejak tadi dia duduk di sebelah
sopir. Dia hanya mendengar suara hingar bingar di belakangnya. Dan tiba-tiba di kap di depannya ada tubuh
yang jatuh. Tubuh itu tak lain tubuh Datuk Penghulu dengan seorang prajurit. Ketika prajurit itu mati, dia baru
menyadari bahaya mengancam. Segera saja dia mengeluarkan pistolnya. Kemudian dari tempat duduknya dia
membidik ke arah kepala Datuk Penghulu di luar sana. Dia bermaksud menembak Datuk itu melalui kaca depan.
Namun subuh itu memang merupakan subuh berlumur darah bagi balatentara Jepang di kota
Bukittinggi. Sebab, melalui kaca yang membatasi ruangan sopir dengan bahagian belakang truk Si Bungsu yang
tegak di bahagian belakang sekali dari truk itu, melihat pistol yang sedang dibidikkan kearah Datuk Penghulu
di depan sana. Untuk berlari mengejar tak mungkin lagi. Maka satu-satunya jalan tercepat adalah dengan melemparkan
samurai di tangannya. Dengan mengumpulkan segenap tenaga anak muda ini tiba-tiba melemparkan
samurainya. Samurai itu terbang seperti kilat. Ujungnya menghantam kaca belakang truk. Menembusnya, dan
sedetik sebelum pistol di tangan chu-I itu meledak, samurai tersebut menghujam di tengkuknya.
Pistolnya meledak juga. Pelurunya memecah kaca depan, tapi arahnya sudah tak menentu. Datuk
Penghulu terkejut, dia menoleh, dan melihat chu-I itu terkulai mati. sopir truk itu menjadi kecut. Dia
menghidupkan mesin truk dan menginjak gas. Namun Datuk Penghulu lebih cepat lagi. Dia membuka pintu
truk tersebut dan menyeret sopirnya turun. Truk itu terhenti tiba-tiba. Saat itu Si Bungsu sampai ke depan.
"Jangan bunuh dia." Si Bungsu berseru ketika Datuk itu sudah siap mengirimkan pukulan kejantung
Jepang tersebut. "Dimana Sho-i Atto yang memimpin penyergapan malam tadi ?" Suara Si Bungsu mendesis tajam. Sopir
truk tak segera menjawab. Si Bungsu merenggutkan samurai dari tengkuk cho-I yang telah mati di sebelah
sopir tadi. Di sepanjang mata samurai itu masih meleleh darah. Sopir itu tiba-tiba menjadi ngeri bukan main.
Dia telah mendengar dari bisik-bisik temannya, bahwa ada seorang anak muda yang sangat mahir dan sangat
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 90
cepat dalam mempergunakan samurai. Kini anak muda itu ada di depannya. Tanpa dapat ditahan, tubuhnya
jadi menggigil. "Sebutkan dimana Atto sekarang . . .," suara Si Bungsu mendesis lagi.
"A. . . .apakah saya akan tuan bebaskan, kalau saya sebutkan di mana dia?" Jepang itu coba mencari jalan
selamat dari lobang jarum ini.
Namun tiba-tiba Datuk Penghulu menamparnya. Tamparan Datuk yang tengah berang ini bukan main
dahsyatnya. Gigi sopir itu copot dua buah.
"Sebutkan dimana Atto atau kami bunuh waang sekarang ".." suara Datuk itu mengancam.
"Ya . Ya Tapi berjanjilah bahwa kalian akan membebaskan saya. . . ."
Suaranya terputus. Karena kaki Datuk Penghulu terangkat. Lututnya menghantam selangkang Jepang
itu. Mata Jepang itu terbeliak. Dan Datuk Penghulu melepaskan pegangannya. Tubuh Jepang itu jatuh ke tanah.
Dia memang sudah mendapatkan yang dia inginkan. Suatu kebebasan. Datuk itu berkata perlahan
melihat tubuh Jepang yang tak berkutik itu.
"Atto yang engkau tanyakan itu pasti berada di markasnya buyung. Dan kita akan mendapatkan dia. Dia
harus membayar hutangnya. Hutang darah dibayar darah. Hutang nyawa harus dia bayar dengan nyawanya.
Nah, cepat kita menghindarkan dari sini "."
Sambil berkata begitu, Datuk Penghulu mengangkat tubuh sopir tersebut. Kemudian melemparkannya
ke atas truk bahagian belakang. Si Bungsu mengangkat tubuh Sersan yang mati kena hantam di depan truk.
Juga meletakkannya di bak belakang bersama sebelas mayat lainnya. Datuk Penghulu mengambil jerigen berisi
minyak yang terikat di luar truk itu. Kemudian menyerakkannya pada mayat-mayat di belakang. Si Bungsu
membuka kap truk itu. Memecah karburatornya. Bensin meleleh keluar.
Datuk Penghulu menyulut korek api. Kemudian melemparkannya ke mayat yang telah disiram bensin
tersebut. Api segera saja menyala dengan marak. Melalap bangkai-bangkai Jepang itu. Kemudian mereka
menghilang ke dalam palunan hutan bambu. Meninggalkan truk dan bangkai-bangkai Jepang itu dimakan api.
Tak berapa lama kemudian, subuh buta itu dipecahkan oleh dentuman dahsyat dari truk itu meledak
berkeping-keping. Menghancurkan dan menghamburkan bangkai hangus menjadi serpihan-serpihan tak
berbentuk. Hari itu pecah kabar di kota Bukittinggi tentang pembantaian tentara Jepang tersebut. Kempetai
dan pasukan-pasukan Jepang memeriksa dan memasuki seluruh hutan bambu di Tarok dan Padang Gamuak.
Mereka mencari tempat persembunyian Datuk Penghulu dan Si Bungsu. Sampai sore seluruh rimba
bambu itu mereka periksa dengan lebih dari lima puluh tentara dan tiga ekor anjing pelacak. Namun kedua
orang yang mereka cari tak kelihatan batang hidungnya. Bahkan dekat rumah Datuk Penghulu yang terbakar
itu pun tak kelihatan ada bekas kuburan. Syo-i Atto yang pada malamnya memimpin penyergapan dan
memperkosa perempuan-perempuan itu menjadi penunjuk jalan.
Dari dia komandan Garnizun Jepang di Bukittinggi mendapatkan kabar bahwa setidak-tidaknya ada dua
orang yang mati malam sebelumnya. Yaitu istri dan anak Datuk Penghulu. Setelah tak berhasil mencari jejak
Datuk penghulu, kini Kempetai mulai memeriksa seluruh tanah perkuburan kaum di kota itu. Mereka mencari
kuburan yang baru digali. Kalau ada yang baru maka diselidiki, kuburan siapa itu.
Mereka berharap menemukan kuburan anak dan istri Datuk Penghulu. Dengan menemukan kuburan
itu, mereka berharap dapat mencium jejak kedua orang tersebut. Penjagaan dan pemeriksaan di seluruh
tempat dalam kota dilakukan dengan ketat dan keras. Setiap kendaraan, motor, pedati, bendi, gerobak dan
tempat tempat yang mencurigakan diperiksa dengan cermat.
Tapi kedua orang itu lenyap seperti embun di siang hari. Tapi kemanakah lenyapnya kedua orang itu "
Dan kemana pula mayat-mayat si Upik dan ibunya mereka sembunyikan" Ternyata kedua orang itu tak pergi
jauh. Mereka bersembunyi di sebuah surau kecil di kampung Tarok itu juga. Entah karena apa, surau itu
ternyata tak diperhatikan oleh Jepang. Padahal belasan tentara Jepang lalu lalang di depannya.
Mungkin karena surau itu letaknya di pinggir jalan. Atau mungkin karena Tuhan memang melindungi
mereka, surau itu tak sempat diperiksa. Dibahagian belakang surau itu ada pekuburan yang terlindung di balik
pohon pisang. Subuh tadi kedua mayat anak dan istri Datuk Penghulu telah mereka kuburkan di belakang surau
itu. Mereka dibantu oleh garin di surau tersebut.
Ketika balatentara Jepang memeriksa seluruh isi kota, kedua orang itu naik ke loteng surau itu. Di atas
loteng itu pula Mei-Mei terbaring. Loteng surau itu cukup lebar untuk menampung enam orang dewasa. Jalan
naik dan turunnya dari belakang. Yaitu dari arah kuburan. Di balik tanah perkuburan kecil itu terdapat hutan
bambu. Dan di hutan bambu itu sejak tadi puluhan tentara Jepang telah mondar-mandir bersama anjing
pelacaknya. Kedua mereka mendengarkan pencarian itu dengan tegang dari atas pagu di surau itu. Si Bungsu
tiba-tiba mendengar suara Mei-mei memanggil. Gadis itu dibaringkan di atas sehelai tikar dan diselimuti
dengan kain panjang. Dia telah diberi obat-obatan yang dibuat oleh Si Bungsu.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 91
"Uda. . . ." "Mei-mei. . . ," Si Bungsu mendekat dan memegang tangan gadis itu dengan lembut.
"Uda. . ." "Ya sayang. . ."
"Mana Bapak. . .?"
Si Bungsu menoleh pada Datuk Penghulu, kemudian mengangguk perlahan. Datuk itu mendekati
mereka. "Saya disini nak. . ."
"Pak, . . . maafkan saya. Saya tidak bisa membantu ibu dan Upik. . ."
"Tenanglah nak. Jangan menyesali dirimu. Memang janjian mereka sudah begitu?"
"Tapi. . . harusnya saya bisa membantu mereka."
"Jangan dipikirkan juga nak. . .",
Mei-mei menangis. "Terima kasih atas budi bapak selama ini. Menompangkan diri saya, mengajarkan saya silat.
Memberikan saya kasih sayang, seperti bapak menyayangi si Upik. Kasih sayang yang tak pernah saya terima
dari ibu bapak saya. . ."
"Tenanglah nak. . .jangan itu dipikirkan . ."
"Saya memikirkannya karena saya orang cina. Selama ini orang cina selalu disisihkan oleh orang
Melayu." "Mei-mei, jangan begitu sayang. . ." Si Bungsu berkata perlahan.
Mei-mei memegang tangan Si Bungsu.
"Uda. . . benarkah uda mencintai saya. . . .?"
"Kenapa tidak. Saya seorang lelaki, dan saya tak pernah berbohong dengan ucapan saya."
"Uda, tidak menyesal dengan keputusan uda ?"
"Uda, saya tak kuat lagi. Maut sudah menjangkaukan tangannya pada saya. . ."
"Mei-mei, tenanglah?" tapi meskipun dia berkata begitu, Si Bungsu merasakan bulu tengkuknya tetap
saja merinding mendengar kata-kata gadis itu.
"Dengarlah uda. Dengarlah. . .jangan dipotong dulu bicara saya." Gadis itu berhenti. nampaknya seperti
mengumpulkan sisa tenaganya.
Si Bungsu jadi gugup, Dia menoleh pada Datuk Penghulu, kemudian berbisik. Datuk Penghulu bergegas
turun dari loteng surau itu. Kini mereka tinggal berdua.
"Uda. . . masih ingat Kempetai Atto, yang menistai diriku. . . ?"
"Saya akan selalu mengingatnya Mei-mei Saya akan mencarinya. Akan saya cencang tubuhnya. . . akan
saya . . . ," Mei-mei menggeleng. Ia memegang tangan Si Bungsu.
Menariknya. Si Bungsu menunduk. Mendekatkan wajahnya pada wajah Mei-mei.
"Tidak Uda, tidak. Itulah yang sangat saya takutkan. Jika engkau mencarinya, berarti engkau mencari
bahaya. Seperti hari ini. Kalian diancam bahaya. Lupakanlah dendammu itu. Lupakanlah apa yang dia perbuat
pada diriku. Saya tak ingin Uda terancam bahaya. Apa yang telah terjadi pada diriku tak lagi bisa diperbaiki.
saya tak ingin Uda terancam bahaya. Kematian Atto takkan mencuci noda yang kuterima. Jangan engkau cari
dia Uda. Jangan engkau libatkan dirimu dalam bahaya. . .jangan . . saya tak mau Uda binasa. . ., U.. uda. . ."
"Mei-mei . . ."
Saat itu Datuk Penghulu naik lagi dia bersama dengan seorang imam yang ditemuinya di surau ketika
akan sembahyang Ashar. Mereka mendekat kepada kedua anak muda itu. Mata Mei-mei terpejam.
"Mei-mei. ". .dengarlah. Ini pak Imam. Kita akan menikah disini. . ."
Si Bungsu berkata perlahan ke telinga gadis itu. Mei-mei tersenyum sebelum matanya terbuka.
Senyumnya senyum lelah. Senyumnya senyum yang amat letih dan kalah. Dimatanya tergenang manik-manik
air yang lambat-lambat meleleh turun.
"Benarkah . . .benarkah Uda mau mengambil saya jadi istri" Setulus hati menikahi anak cina yang
sepanjang hidupnya dilumuri dosa ini" Benarkah uda. . . .?"
"Demi Allah yang kusembah, aku mencintaimu sayang. . . ."
"Uda...saya bahagia. . .engkau menjadi suamiku. Aku mengabdikan diriku menjadi istrimu. ."
Mata gadis itu terpejam. Si Bungsu menoleh pada Imam dan Datuk Penghulu, kemudian mengangguk.
Imam itu mengingsutkan duduknya.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 92
"Jawab pertanyaan saya ini anak muda. Apakah engkau bersedia menerima Mei-mei menjadi istrimu,
menjaga dan membelanya dalam sakit dan senang. Akan membahagiakannya dan tidak akan berbuat aniaya
padanya. . . .?" "Saya menerimanya dengan setulus hati saya." Jawab Si Bungsu.
Imam itu menoleh Mei-mei. Kemudian berkata :
"Apakah engkau bersedia menerima pemuda ini menjadi suamimu dan berjanji akan mengabdikan
dirimu padanya, dalam sakit dan senang dan akan tabah menerima setiap cobaan?" Gadis itu tak menjawab.
Matanya masih terpejam. Si Bungsu mendekatkan wajahnya ke wajah gadis itu.
"Jawablah sayang.." Mei-mei tak menjawab.
"Jawablah dengan mengangguk kalau engkau setuju, atau menggeleng kalau engkau tak setuju.." Imam
itu berkata perlahan. Namun Mei-mei tak menjawab. Tak menggeleng. Tak pula mengangguk. Datuk Penghulu
berdetak hatinya. Dia mengulurkan tangan. Meraba leher Mei-mei. Meraba nadi tangannya.
"Innalillahi wa Inalillahi rojiun", desisnya perlahan.
Si Bungsu terpana. Terpaku. Kemudian suaranya seperti berbisik-bisik memanggil nama Mei-mei. "Meimei".. Mei-mei?"
Tapi gadis itu memang sudah berpulang ke Khaliknya. Seulas senyum masih membayang di bibirnya.
Datuk Penghulu menghapus air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Betapapun jua, dia sangat
menyayangi gadis ini. Gadis yang telah dianggap sebagai anak kandungnya. Yang sepermainan dan sayang
menyayangi dengan si Upik anaknya. Malam tadi si Upik meninggal. Dia berharap Mei-mei lah tempat dia
mencurahkan sayang, pengganti anaknya. Ada sedikit hartanya, dan itu semua akan dia serahkan pada Meimei. Dia akan mengangkat gadis ini sebagai anaknya. Tapi kini, Tuhan ternyata menentukan lain dari rencana
yang dia buat. Air mata mengalir di pipinya yang tua. Si Bungsu masih termenung. Menatap wajah gadis itu.
seperti masih terngiang di telinganya ucapan Mei-mei yang terakhir :
"Uda saya" bahagia engkau suamiku.. dan aku mengabdikan diriku menjadi istrimu,"
Rupanya gadis itu telah melafazkan akad nikahnya sebelum Imam datang. Dia sadar Tuhan akan
memanggilnya. Kiranya Tuhan pula yang menyuruhnya untuk melafazkan ucapannya yang terakhir itu. Tibatiba Si Bungsu berdiri.
"Jepang jahanam. Kubunuh kalian. Demi Allah, saya akan membunuh kalian sebanyak yang bisa saya
lakukan" Habis berkata dia menyambar samurainya yang terletak di lantai. Kemudian bergegas turun. Namun
Datuk Penghulu mencegahnya.
"Jangan memperlihatkan diri saat ini Buyung. Dijalanan berkeliaran ratusan serdadu Jepang.."
Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Persetan . .saya akan membunuh mereka?"
Dia berbalik untuk turun. Tapi saat itu pula tangan Datuk Penghulu menghantam tengkuknya. Anak
muda itu terkulai, dia berusaha memutar wajah menatap Datuk Penghulu, sinar matanya memancarkan rasa
sakit dan heran, kenapa Datuk itu sampai berbuat demikian. Kemudian dia jatuh pingsan. Imam yang ada di
sana itu juga menatap heran bercampur terkejut atas sikap Datuk Penghulu.
"Kenapa Datuk pukul dia?"
Datuk Penghulu menarik nafas panjang sebelum menjawab.
"Sudah terlalu banyak saya kehilangan Pak Imam. Malam tadi anak dan istri saya. Sebentar ini gadis ini
pula. Gadis yang telah saya anggap sebagai anak saya sendiri. Kini, kalau saya biarkan dia mengamuk diluar
sana, mungkin dia akan bisa membunuh sepuluh atau dua puluh Jepang dengan kemahirannya
mempergunakan samurai. Tapi setelah itu, betapapun jua peluru jauh lebih unggul dan lebih ampuh dari
samurai di tangannnya. Bagaimana hebatnya sekalipun, Saya tak mau kehilangan dirinya. Dia sudah banyak
berjasa pada bangsanya. Telah banyak membunuh Jepang yang merampok dan memperkosa rakyat. Meskipun
dia tak menyadari jasanya itu, karena dia berbuat itu hanya untuk membela diri dan membalaskan dendam
keluarganya. Tapi Indonesia banyak berhutang padanya. Saya tak mau dia mati terlalu cepat. Masih banyak halhal besar yang bisa dia lakukan daripada harus mati cepat-cepat dia pelindung orang yang lemah?"
(18) Imam itu terdiam mendengarkan keterangan Datuk penghulu. Kemudian menoleh pada mayat Mei-mei.
"Kasihan gadis ini.. dia meninggal sebelum sempat merasakan kebahagiaan," Kata Imam itu perlahan.
"Ya. Sepanjang hidupnya, yang dia rasakan hanyalah penderitaan. Ada saat-saat di mana dia merasa bahagia.
Yaitu di saat dia merawat Si Bungsu yang sedang luka. Saya sudah mengetahui sejak lama, bahwa kedua anak
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 93
muda ini saling mencintai. Ternyata ketika mereka telah saling mengetahui bahwa mereka saling mencinta,
maut datang menjemput Mei-mei." Mayat Mei-mei kelihatan tetap cantik, meski wajahnya pucat. Senyum
tipisnya seakan berkata bahwa dia rela pergi setelah mengetahui bahwa Si Bungsu juga mencintainya.
Sementara Si Bungsu terbaring sehasta di sampingnya.
"Bila kita kuburkan mayat Mei-mei..?" Imam itu bertanya perlahan.
"Kalau tak ada patroli, nanti malam kita kebumikan." jawab si Datuk.
"Tapi siapa yang akan memandikan jenazahnya?"
"Pak Imam tolonglah memanggil beberapa penduduk sekitar sini. Tek Munah, Tek Niar dan Amai Zainab.
Katakan pada mereka apa yang telah terjadi. Minta mereka untuk datang seperti Sholat berkaum malam nanti
kemari. Bawakan juga kain kapan dan bunga rampai. Juga tolong katakan pada Pak Bidin dan Pak Tamam untuk
datang membantu menggali pusara?" "Ya. Ya. Saya akan mengerjakan semua pesan Datuk. Tapi bagaimana
kalau tentara Jepang yang berkeliaran itu sampai mengetahui bahwa kita berada disini ?"
"Jika itu terjadi, hanya ada dua kemungkinan pak Imam. Membunuh atau dibunuh. Hanya berusahalah
untuk tidak menimbulkan kecurigaan .."
"Ya.Ya. Saya akan berhati-hati. . lebih baik saya turun sekarang. . ."
"Ya. Saya rasa juga begitu. Kalau kemari nanti tolong bawakan makanan."
"Ya. Akan saya bawakan. Tunggulah disini. . .."
Imam itu bergerak turun. Pada saat yang sama, Si Bungsu mulai sadar diri. Dia masih merasakan
kepalanya berdenyut bekas dihantam Datuk Penghulu. Sebenarnya dia sudah sadar agak lama. Hanya saja dia
tak bisa menggerakkan tubuhnya. Dia mendengar pembicaraan terakhir antara Datuk Penghulu dengan Imam
itu. Ketika dia bangkit, dia terpandang pada mayat Mei-mei. Kemudian dia memandang pada Datuk Penghulu.
"Maafkan saya buyung. Mei-mei berkata benar. Bukankah dia berpesan padamu, agar engkau tak mencari si
Atto, tidak lagi melibatkan diri dalam perkelahian" Dia menginginkan keselamatanmu. Dan dia mengharapkan
itu dikala ajalnya akan datang. Tak ada salahnya engkau menuruti pesan orang yang akan meninggal dunia,
apalagi orang yang amat mencintai dirimu?"
Si Bungsu menarik nafas. Lalu duduk disisi mayat Mei-mei. Manatap wajah mayat itu diam-diam. Datuk
Penghulu memperhatikan dengan sudut mata.
"Secara hakikat, kalian telah menjadi suami isteri."
Datuk Penghulu berkata perlahan. Si Bungsu menoleh padanya.
"Ya. Kalian telah sama-sama berikrar untuk jadi suami isteri. Ikrar yang suci dan ikhlas itu saja sudah
merupakan suatu ikatan. Meskipun belum disahkan oleh kadi dan tak ada saksi. Namun pada mulanya, dahulu
kala lembaga pernikahan belum ada. Dia hanya ada setelah Islam atau agama dikenal manusia. Sebelum agama
turun ke muka bumi, sebelum lembaga pernikahan seperti sekarang dikenal manusia, maka pernikahan
dilangsungkan secara apa adanya, sementara yang jadi saksi bisa manusia, bisa pula tak ada saksi. Tetapi yang
jadi kadinya secara hakikat adalah Tuhan"
Si Bungsu masih tetap diam mendengar ucapan Datuk Penghulu ini. Sementara itu, di luar hari
merangkak memasuki malam. Di langit guruh terdengar menderam-deram. Angin bersuit-suit. Tanpa mereka
sadari, Imam yang tadi akan menikahkan Si Bungsu dan Mei-mei sudah cukup lama berlalu.
Adalah Si Bungsu yang pertama menegakkan kepala. Dalam geram guruh dan suitan angin di luar surau,
dalam kesepian yang kelam itu, dia merasakan sesuatu yang ganjil. Mereka sebenarnya harus merasa aman
dengan guruh dan angin ribut itu. Apalagi kalau hujan sempat turun. Sebab dengan demikian Jepang yang
mencari mereka tentunya menarik diri ke posnya dan mereka dengan aman bisa menguburkan jenazah Meimei.
Kemudian dengan aman pula bisa melarikan diri dari kepungan tentara-tentara Jepang itu. Namun tidak
demikian halnya dengan Si Bungsu. Ada firasat lain yang membuat hatinya tak enak dalam kesunyian di loteng
surau kecil itu. Nalurinya yang tajam, yang terbiasa mencium marabahaya, yang telah terlatih ketika hidup
lebih dari setahun bersama binatang-binatang buas di belantara Gunung Sago, kini mencium bahaya adanya
yang tersembunyi. "Ada apa?" Datuk Penghulu bertanya melihat perobahan air muka anak muda itu.
Si Bungsu tak segera menjawab. Dia masih tetap duduk di dekat mayat Mei-mei. Namun matanya berkilat
aneh. Wajahnya jadi tegang.
"Kita terperangkap. . . .," katanya perlahan.
Datuk Penghulu menegakkan kepala.
"Perangkap ?" desisnya sambil coba menangkap suara-suara yang menyelingi suitan angin dan gemuruh
guruh di luar surau. Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 94
Namun dia tak menangkap suara apa-apa. Tapi dia percaya pada anak muda ini. Dia sudah beberapa kali
membuktikan bahwa indera dan naluri anak muda didepannya itu amat tajam. Datuk itu segera teringat pada
Imam yang turun tadi. Apakah Imam itu mengkhianati mereka" Ternyata Jepang itu memang mengetahui
persembunyian mereka dari Imam tersebut.
Ketika Datuk Penghulu membawa Imam itu naik sore tadi, seorang penduduk pribumi yang telah lama
jadi mata-mata Jepang, melihat mereka. Dia segera saja melaporkannya kepada seorang Letnan yang berada
tak jauh dari sana. Dan Letnan itu menanti di rumah si Imam. Begitu Imam itu muncul di rumahnya, dia jadi
terkejut. Di ruang depan rumahnya sudah berkumpul dua anak gadisnya dan istrinya. Mereka di kawal oleh
enam orang Serdadu Jepang dengan bedil dan bayonet terhunus.
"Nah, kini katakan cepat siapa yang ada di surau itu pak imam.?"
Letnan Jepang itu segera saja buka suara begitu dia masuk. Imam itu jadi pucat. Namun rasa nasionalnya
yang tebal menolak untuk membuka rahasia.
"Tak ada siapa-siapa. Di sana hanya seorang perempuan yang akan sembahyang?"
"Apakah tak ada orang lain?"
"Tak ada. Boleh lihat kesana."
Imam itu berkata pasti. Sebab dia tahu, loteng surau itu dari bawah kelihatannya hanya terbuat dari
bambu. Padahal loteng itu berlapis dua. Bahagian atasnya terbuat dari papan. Garin serta penjaga mesjid
lainnya tidur disana. Jalan naik ke atas berada di bahagian belakang, tersembunyi dari pandangan orang.
Letnan itu tak mengulangi pertanyaan, tapi tangannya langsung bekerja. Sebuah tamparan mendarat di
pipi si Imam. Demikian kuatnya tamparan itu, sehingga Imam itu terpelanting dan mulutnya berdarah. Istri dan
anak-anaknya terpekik dan mulai menangis. Imam itu menatap dengan penuh kebencian pada Jepang-Jepang
tersebut. "Jahanam. Kalian takkan selamat di tangan negeri ini . . ." desisnya.
Letnan itu menggerakkan kaki. Ujung sepatunya yang keras mendarat di dagu Imam tersebut. Kembali
Imam ini terpelanting. Kali ini giginya copot beberapa buah. Istrinya memburu dan memeluknya. Ketika anak
gadisnya juga mendekat. Letnan itu menyambar tangannya. Gadis itu terpekik dan meronta. Tapi Letnan itu
merenggut pakaiannya hingga robek. "Nah, Imam, bicaralah yang sebenarnya. Kalau tidak, anakmu ini akan
kubawa ke kamar .." Ujar Letnan itu menyeringai. Imam itu melompat bangkit ingin menghantam letnan tersebut. Tapi
sebuah tendangan kembali membuat dia terjajar.
"Hmm Baik. Kalau kau tak mau buka suara, saya akan menikmati anakmu ini."
Si Letnan lalu menyeret gadis berusia enam belas tahun itu ke bilik, Akhirnya Imam itu tak bisa berbuat
lain dari pada harus mengaku. Dia berharap agar kedua orang yang ada di loteng surau itu menyadari bahwa
bahaya mengancam mereka. Dia berharap agar kedua mereka segera turun dan melarikan diri. Dia terpaksa
mengakui bahwa kedua buronan yang di cari Jepang itu berada di loteng surau itu. Jalan ini benar-benar dia
lakukan dengan sangat terpaksa. Orang tua mana yang tak menginginkan keselamatan anaknya" Si Letnan
memang tak jadi membawa gadis itu ke kamar. Dia memberi instruksi kepada delapan orang Kempetai yang
ada diluar untuk mencek kebenaran ucapan si Imam. Dia juga memerintahkan untuk menangkap mereka. Kalau
ternyata laporan imam ini tak benar, maka dia akan melanjutkan rencananya menyelesaikan anak gadis Imam
yang ada di rumah ini. Kedelapan Kempetai itu segera menuju ke surau tersebut. Kedatangan mereka inilah yang dapat
dirasakan oleh naluri Si Bungsu.
"Kita harus meninggalkan surau ini. . . . .," kata Datuk Penghulu.
"Tapi bagaimana dengan Mei-mei." ujar Si Bungsu. Datuk Penghulu menarik nafas. "Terpaksa kita
tinggalkan nak. Tapi yakinlah Jepang takkan menganiaya mayatnya. Kita hanya sedih tak bisa mengurus
mayatnya sebagaimana yang kita kehendaki. Namun mayat akan dikuburkan. Mungkin oleh Jepang, mungkin
oleh penduduk yang disuruh Jepang. Percayalah. Kini mari kita menghindar dari surau ini sebelum terlambat.
. . ." Si Bungsu menatap pada mayat Mei-mei. Tanpa dapat dia tahan, air matanya mengenang di pelupuk
matanya. "Semasa hidupmu, kita jarang bersama. Ketika engkau meninggal pun, aku terpaksa meninggalkan
jasadmu. Kita memang orang-orang yang bernasib malang Mei-mei. Kudoakan semoga engkau bahagia
ditempatmu yang baru. Jika di dunia jasadmu menderita, semoga Tuhan menempatkan rohmu di tempat yang
bahagia. Dan aku yakin, Tuhan akan menempatkanmu disana. . . Selamat tinggal sayang. . . ."
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 95
Dia menunduk. mencium kening mayat yang mulai mendingin itu. Kemudian dengan mengeraskan
hatinya, dia tegak. "Kita berangkat. . .," katanya pada Datuk Penghulu. Datuk Penghulu sendiri merasakan matanya basah
melihat kedua anak muda ini.
"Mei-mei anakku, maafkan kami tak bisa menyelenggarakan jenazahmu. Hanya Tuhan yang tahu bahwa
kami benar-benar menyayangimu. Tinggallah nak. . . ," Ujarnya perlahan.
Kemudian mereka mulai menuruni jenjang yang menuju ke belakang surau. Gerimis menyambut mereka
begitu menjejakkan kaki di tanah.
"Mereka sudah dekat. ." Si Bungsu berbisik.
Datuk Penghulu bergegas membawa Si Bungsu ke dekat sebuah tebat di belakang surau. Dia hapal betul
dengan situasi surau ini. Sebab dia termasuk salah seorang yang membuat surau itu. Derap sepatu Kempetai
terdengar memasuki surau ketika Datuk tersebut mulai memasuki tebat.
"Masuklah . . . .", katanya pada Si Bungsu.
Si Bungsu tak banyak tanya. Dia segera masuk. Tebat itu cukup dalam. Mereka bisa menyelam. Di arah
batang pisang itu, di bawahnya ada terowongan yang tembus ke sungai kecil di balik hutan bambu sana.
"Kita akan keluar persis di belakang rumah Imam tadi. Kita bisa menyelami terowongan itu. cukup lama,
salah-salah bisa kehabisan nafas sebelum sampai ke sungai belakang bambu itu. Dan jika kita sampai kehabisan
nafas, maka mayat kita akan tersangkut dalam terowongan. Ayo mulai menyelam. . . ."
(19) Datuk itu memang mulai membenamkan diri. Saat itu seorang Kempetai telah sampai ke loteng dan
berteriak pada temannya di bawah. Jepang-Jepang itu mulai mencari ke belakang surau. Sesaat sebelum
mereka muncul, Si Bungsu telah membenamkan diri dan mulai menuju terowongan yang di maksud Datuk
Penghulu. Terowongan air itu melintasi sebuah tanggul sebelum sampai ke sebuah sungai kecil. cukup lama Si
Bungsu menahan nafas dan berenang mengikuti arus air, kemudian dia merasa melayang-layang. Dia
menjangkau tangannya ke atas. Ketika dirasanya tak ada langit-langit yang menghalangi, dia lalu muncul.
"Lekaslah "." Ujar Datuk Penghulu yang telah tegak di tebing, dan mulai melangkah.
"Yang kelihatan lampu sedikit itu rumah Imam tadi,"
Datuk Penghulu berkata sambil menunjuk ke belakang. Di rumah Imam itu Letnan yang tadi memegang
anak gadis si Imam masih duduk di kursi. Sementara di lantai, duduk Imam yang berlumuran darah itu
bersama-sama istrinya. Di luar hujan gerimisan turun. Mata Letnan itu menyambar dengan kilatan birahi ke
tubuh anak Imam itu. Gadis itu punggungnya kelihatan jelas karena bajunya robek. Letnan itu beberapa kali
menelan ludahnya. Pinggul gadis itu merangsang birahinya. Dan tiba-tiba dia memberi isyarat pada seorang
prajurit yang menjaga. Prajurit itu mendekat. Mereka berbisik. Kemudian si Letnan bangkit. Dan menyambar
tangan gadis itu. "Tuan telah berjanji tidak mengganggu kami. . . . ", Imam itu berkata.
Tapi Letnan itu nyengir seperti iblis. Dia tetap menarik tangan gadis yang meronta-ronta itu. Tapi apalah
dayanya. Letnan itu terlalu kuat baginya. Dalam dua kali renggut dia sudah sampai ke pintu bilik. Gadis ini
berteriak. Ayahnya bangkit akan menolong anaknya. Tapi ketiga prajurit lainnya sudah siap sejak tadi. Dengan
sebuah pukulan popor bedil Imam itu terkulai. Istrinya terpekik memeluknya. Sementara gadis itu dengan
masih memekik-mekik di seret ke bilik orang tuanya. Dua puluh depa dari rumah itu, Si Bungsu dan datuk
Penghulu yang baru saja keluar dari sungai, telah melangkahkan kaki untuk memulai pelarian mereka, jadi
tertegun. Mereka seperti mendengar pekik perempuan.
Pekik itu juga terdengar oleh beberapa penduduk yang rumahnya berdekatan dengan rumah Datuk
Penghulu. Namun tak seorang pun diantara para lelaki yang ada disekitar itu yang berani memberikan
pertolongan. Mereka semua mengetahui bahwa di rumah Datuk itu ada Kempetai. Dan bila ada perempuan
memekik, itu bisa disadari apa artinya.
Tak ada yang berani menolong. Sebab pertolongan berarti melawan Jepang. Dan melawan Jepang artinya
cabut kuku atau dibunuh. Nah, dari pada mencari susah lebih baik diam di rumah. Itu lebih selamat. "Bikin apa
cari penyakit," pikir mereka.
Tapi tak demikian halnya dengan Si Bungsu dan Datuk Penghulu. Hampir bersamaan, mereka yang
sedianya akan melarikan diri itu, pada mengayunkan langkah panjang ke rumah Imam tersebut. Mereka sadar,
jika mereka kelihatan oleh Jepang, itu artinya maut mengintai. Tapi menyadari bahwa ada orang lain yang
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 96
butuh pertolongan, mereka melupakan bahaya yang mengancam diri mereka sendiri. Mereka segera mancapai
belukar di pinggir rumah itu. Pekik dan tangis masih terdengar dari dalam.
"Ada tiga orang diluar" Si Bungsu berbisik.
Lalu seperti sudah bermufakat, tiba-tiba saja mereka meloncat ke depan. Ketiga Serdadu Jepang yang
tegak di bawah cucuran atap itu, yang berteduh dari gerimis, terkejut melihat kehadiran mereka yang amat
tiba-tiba. Yang seorang berniat membentak, tapi suaranya hanya sampai di tenggorokan. Kerampangnya kena
tendang Datuk Penghulu. Kemudian sebuah tinju mendarat di jantungnya. Dia terjajar, mati.
Yang dua lagi mengangkat bedil. Namun bedil itu tak pernah meletus. Sebuah sinar halus melesat amat
cepat. Dan tahu-tahu yang satu lehernya hampir putus, yang satu lagi dadanya terburai. Mereka mati tanpa
sempat mengeluh. Dan tak sempat pula mengetahui, apa yang menjadi malaikat maut yang merenggut nyawa
mereka demikian cepatnya. Dan Si Bungsu menyisipkan kembali samurainya.
Datuk Penghulu memberi isyarat. Si Bungsu mengangguk. Di dalam bilik si Letnan tadi sudah merenggut
seluruh pakaian anak gadis Imam itu. Gadis malang itu tegak di sudut ruangan dengan tubuh menggigil tanpa
pakaian secabikpun. Kempetai itu menjilat bibir dan meneguk liurnya beberapa kali melihat tubuh montok
gadis itu. "Hhhhh, bagusy badan . . .bagusy badaaaan . . . .," katanya seperti orang menggigil.
Dan dalam gigilannya itu dia membuka pula pakaiannya sendiri. Kemudian mendekat pada si gadis.
Gadis itu tak kuasa lagi memekik. Dia menutupi wajahnya. Dan tiba-tiba dia terkulai pingsan saking ngeri dan
malunya. Tubuhnya yang terkulai cepat disambut oleh Jepang itu. Kemudian menghempaskannya ke
pembaringan. Saat itulah jendela kamar itu pecah di hantam dari luar. Seiring dengan masuknya papan pecahan
jendela, sesosok tubuh berpakaian serba hitam tiba-tiba saja sudah tegak dalam kamar itu. Dia adalah Datuk
Penghulu yang masuk dengan meloncat menerjang jendela kamar Kempetai itu tertegun. Tapi itulah tegunnya
yang terakhir. Itulah kesempatan baginya untuk tertegun semasa hidupnya, sebab setelah itu dengan penuh
kebencian pukulan Datuk Penghulu menghujam ke arah jantungnya. Dia berusaha untuk mengelak dengan
mempergunakan tangkisan karate. Namun Datuk itu sudah sampai ke puncak berangnya. Begitu tangannya
ditangkis, tangan yang menangkis itu dia tangkap.
Kemudian dengan sebuah pelintiran yang telak, tubuh Jepang itu terjerembab ke tanah. Saat berikutnya,
dengan masih memegang tangan kanan Jepang itu, kaki Datuk Penghulu menghujam ke bawah. Hujaman
pertama membuat tulang leher Jepang itu berderak. Kemudian hentakkan kedua adalah hentakkan tumit ke
hulu hati. Jantung dan hati Jepang itu pecah oleh jurus Hentak Alu yang dipergunakan oleh Datuk tadi.
Pada saat Datuk itu menjebol jendela, saat itu pula Si Bungsu membuka pintu depan. Kemudian dia
berdiri dua depa dari ketiga Jepang yang mengawasi imam dan istrinya itu. Semula mereka tak acuh.
Menyangka bahwa yang hadir itu adalah temannya yang tadi keluar. Tapi begitu mendengar jendela dijebol,
mereka terkejut. Dan ketika diperhatikan, ternyata yang tegak dekat pintu adalah pemuda yang mereka caricari.
"Bagero ini dia. Dia iniiiiii..!!" yang seorang memekik saking kagetnya.
Serentak mereka mengangkat bedil. Tiga letusan bergema mengoyak kesunyian. Tapi saat Si Bungsu
sudah mempergunakan loncat tupainya yang tangguh itu. Tubuhnya bergulingan ke depan sesaat sebelum
ketiga bedil itu menyalak. Dalam saat seperti itu, tak ada kalimat yang bisa menggambarkan kecepatan anak
muda itu mempergunakan samurainya yang tangguh itu. Dia mempergunakannya tak tanggung-tanggung. Dia
baru saja kematian kekasih. Gadis cina yang dicintainya sepenuh hati. Mati karena ditembak dan diperkosa
Jepang malam kemaren. Gadis itu meninggal di depannya hanya beberapa detik sebelum mereka mengucapkan
ijab kabul di depan kadi Karenanya, dalam berang dan dendamnya yang amat sangat menyala-nyala, dia
menebaskan samurai di tangannya dengan tak tanggung-tanggung pula. Hanya sekali tabas, ketiga kepala
Kempetai itu putus Sebelum ketiga tubuh mereka jatuh memecah lantai, sekali lagi samurai di tangan anak
muda itu bekerja. Tubuh mereka terpotong dua persis di tentang dada.
"Bungsu Jangan menganiaya mayat"
Suara Datuk Penghulu yang telah tegak di pintu bilik menyadarkan anak muda ini dari gejolak dendam
dan amarahnya. Dia tertegun, wajahnya yang semula tegang menakutkan dengan sinar mata berkilat, lambatlambat biasa kembali. Dia menatap kepala dan potongan tubuh serta darah yang berceceran di lantai.
Kemudian menunduk. Kemudian lambat-lambat menyarungkan kembali samurainya.
Istri imam itu dan anak gadisnya yang kecil terdiam. imam itu yang lambat-lambat menyadari apa yang
terjadi, juga tak bisa bicara. Mereka sudah lama mengenal anak muda ini. Karena dia selalu bepergian dengan
Datuk Penghulu. Ada orang yang berbisik-bisik, bahwa anak muda ini sangat mahir memakai samurai. Dan
konon kabarnya sudah puluhan Jepang dia bunuh ketika masih di Payakumbuh.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 97
Namun itu hanya mereka dengar dari bisik-bisik. Bahkan ketika malam tadi banyak Jepang yang mati di
bekas rumah Datuk Penghulu, kemudian ditemukan pula mayat yang berkeping-keping bersama ledakan di
truk dekat jalan, banyak orang yang menduga itu adalah pembalasan Datuk Penghulu dan Si Bungsu. Tapi
mereka belum juga percaya, bahwa anak muda yang pendiam dengan wajah dan sinar mata murung ini adalah
seorang perkasa begini. Kini, ketika hal itu berlangsung di hadapan mereka, mereka bukan hanya ternganga tak percaya. Tapi
lebih dari itu, mereka merasa kejadian ini terlalu hebat dalam kehidupan mereka. Sesuatu yang amat luar biasa.
Sesuatu yang tak pernah mereka impikan akan bertemu dalam kehidupan mereka. Seorang anak minang,
pribumi yang terjajah, yang selalu ditekan dan dianggap sampah, kini di hadapan mereka menghajar JepangJepang yang laknat itu. Tidak hanya sekedar menghajar. Melainkan melakukan pembalasan yang luar biasa.
Tak pernah terbayangkan. Tak pernah terfikirkan. Istri imam itu bangkit menuju kamar, melihat anak
gadisnya yang sudah diselimuti dengan kain panjang. Sementara di lantai terbujur mayat Letnan yang tadi akan
melaknati tubuh anaknya itu.
Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Anakmu selamat pak imam. . . ." Datuk Penghulu berkata perlahan. imam itu tiba-tiba bangkit. Dia
teringat sesuatu. "Di luar masih ada tiga orang Kempetai lagi. . . . ,"katanya perlahan dengan wajah cemas.
"Jangan khawatir, mereka telah diselesaikan. . ." Imam itu menarik nafas. Kemudian perlahan dia
berkata. "Maafkan saya Datuk. Bungsu. Saya telah mengkhianati kalian, sayalah yang mengatakan pada mereka
tempat persembunyian kalian ?""
"Jangan dipikirkan pak Imam. Pak Imam tak pernah mengkhianati kami. Kami dapat menerka apa yang
terjadi. Mereka pasti sudah di rumah ini ketika pak Imam baru keluar dari surau itu. Dan peristiwa selanjutnya
dapat diterka. Mereka memaksa Pak Imam untuk membuka rahasia, kalau tidak anak istri pak Imam akan
mereka nodai. Kami bisa menerka hal itu, karena memang demikian watak tentara pendudukan, dimanapun.
Nah, kini kami harus pergi. Saya rasa pak Imam tak usah takut, nantikan saja Kempetai yang ke surau itu disini.
Kalau mereka kembali, katakan kami yang membantai teman-teman mereka. Dan katakan bahwa kami juga
mencari mereka. . . .."
"Tapi . . . .apakah mereka takkan mempersusah kami.. . .?"
"Mereka akan sibuk mencari yang membunuh tentara mereka daripada sekedar mempersusah Bapak.."
Ujar Si Bungsu sambil mengangguk pada imam itu, kemudian pada istrinya. Dan ketika akan melangkah
dia teringat sesuatu. "Pak imam, mayat Mei-mei kami tinggalkan di surau. Kalau tidak akan menyusahkan Bapak. mohon
Bapak selenggarakan mayat itu. Kami harus segera berlalu dari sini. . . ."
"Saya akan mengurusnya Bungsu. Saya akan mengurusnya. Percayalah. Terima kasih atas bantuanmu
menyelamatkan keluarga saya. . .."
Kedua orang itu segera lenyap ke dalam hujan yang telah menggantikan gerimis. Tak lama setelah
mereka pergi, kedelapan Serdadu Jepang yang dikirim untuk menangkap mereka di surau itu juga tiba di sana.
Mereka menjadi menggigil melihat tubuh teman-teman mereka kena cencang. Mereka segera melaporkan ke
markas. Kemudian imam itu serta anak istrinya juga di bawa ke markas besar Jepang di Panorama. Untung bagi
imam ini, di markas itu dia ditanya langsung oleh syo-sho (Mayor Jenderal) Fujiyama Tai cho (Komandan
Divisi) dan Panglima Tertinggi pasukan Jepang di sumatera. Dia baru saja naik pangkat dari Tai Sha (Kolonel)
ke Mayor Jenderal. Imam itu beruntung karena Fujiyama terkenal sebagai tentara sejati. Dialah yang telah menekan Syo Sha
(Mayor) Saburo Matsuyama untuk pensiun karena telah membunuh banyak pribumi di Situjuh Ladang Laweh,
diantaranya orang tua Si Bungsu. Dan setelah Saburo meminta pensiun dalam usia yang belum pantas untuk
pensiun, Fujiyama kembali menekannya untuk kembali ke Jepang. Fujiyama tak senang pada tentara yang
menindas rakyat. Dia datang memang untuk menjajah. Tetapi penajajahan dalam arti kemiliteran yang dianut
Fujiyama adalah penjajahan di bidang politik, ekonomi dan pertahanan. Menurut doktrin tentara, rakyat negara
yang terjajah, tetap saja sebagai manusia yang harus dihormati. Kalau ada permusuhan, maka yang
bermusuhan adalah tentara dan pemimpin kedua negara. Bukan tentara dengan rakyat. Kecuali rakyat yang
mengorganisir perlawanan. Kalau hanya rakyat biasa, maka hak mereka harus dihormati. Inilah perbedaan
yang sangat menyolok antara komandan divisi yang berkedudukan di Bukitinggi ini dengan sebagian besar
perwiranya. Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 98
Kini dialah yang menanyai langsung Imam itu. Imam itu menceritakan seluruh peristiwa itu. Dimulai
dari dimintanya dia untuk menikahkan Mei-mei dengan Si Bungsu. Kemudian diceritakannya pula bahwa gadis
itu meninggal sesaat sebelum membacakan ijab kabul.
"Kenapa dia meninggal. . . ?" Fujiyama memotong.
"Ditembak dan diperkosa bergantian oleh?" Ucapan Imam itu berhenti, dia tak berani melanjutkan
bicaranya. "Siapa yang menembak dan memperkosanya. Katakan, jangan takut. . . ."
"Kabarnya. . . .kabarnya anggota pasukan tuan yang datang ke rumah Datuk Penghulu itu untuk
menangkap Datuk itu. Tapi yang mereka temui hanyalah isteri Datuk itu, si Upik anaknya dan Mei-mei. . .."
"Siapa itu Mei-mei . . . ?"
"Gadis yang akan menikah dengan Si Bungsu itu. . ."
"Namanya seperti nama cina. .."
"Benar. Dia memang anak cina. Tapi dia telah masuk Islam. Hidupnya penuh penderitaan. Dia ditolong
oleh Si Bungsu dan diakui anak oleh Datuk Penghulu"."
Fujiyama mengangguk-angguk. "Teruskan ceritamu pak Imam. . .."
(20) "Setelah Mei-mei meninggal, saya diminta Datuk mencari orang untuk menguburkannya. Tapi di rumah
saya, telah menanti enam orang serdadu tuan. Saya disiksa untuk mengatakan dimana kedua orang itu
bersembunyi. Ketika saya tak mau mengatakan, anak saya akan diperkosa. Akhirnya saya katakan juga bahwa
kedua orang itu bersembunyi di loteng surau. Saya katakan setelah Letnan itu berjanji takkan mengganggu
anak dan isteri saya. Tapi begitu anak buahnya pergi ke surau itu, dia menendang saya hingga rubuh kemudian
menyeret anak saya ke kamar. Dan . . .saya tak tahu lagi sampai Si Bungsu dan Datuk itu membunuh mereka
semua. . . ." Komandan tertinggi balatentara Jepang itu menjadi merah mukanya. Dia memanggil komandan
Intelejen. Kemudian memerintahkan untuk membebaskan Imam anak beranak. Diiringi dengan perintah untuk
jangan mengganggu Imam itu. Dan dengan marah pula dia memerintahkan untuk menangkap komandan
Kempetai kota itu. Komandan Kempetai itu berpangkat syo sha (Mayor) bernama Akiwara. "Telah saya katakan
bahwa engkau harus mengawasi dengan ketat tingkah laku tentara Jepang yang ada di kota ini. Tentara tidak
untuk ditakuti rakyat. Tentara harus dihormati dan disegani. Dan rakyat tak akan menyegani dan menghormati
tentara kalau tentara itu sendiri kelakuannya tidak terhormat. Saya sudah mendapat laporan tentang banyak
perbuatan jahanam yang dilakukan oleh tentara dalam wilayah Garnizun yang engkau bawahi. Bahkan
Kempetai sendiri yang seharusnya menjaga disiplin itu, berkelakuan demikian pula. Dan saya mendengar pula
tentang banyaknya korban jatuh dipihak tentara Jepang karena tak mampu menangkap hanya dua orang
penduduk pribumi. Untuk itu semua, engkau saya penjarakan enam bulan, dan kedudukanmu digantikan oleh
Tai-i (Kapten) Imamura dari Padang Panjang"
Tak ada kata yang bisa di ucapkan oleh Syo Sha Akiwara mendengar putusan komandan tertingginya itu.
Dia hanya tegak dengan sikap sempurna. Kemudian di akhir perintah komandannya itu dia membungkuk dan
berseru "Haik". Namun akhirnya, Mayor Jenderal Fujiyama itu tersingkir juga dari jabatannya sebagai
komandan Tertinggi Balatentara Kekaisaran Jepang di Sumatera.
Disiplin dan Hati Bersih dalam ketentaraan yang dia anut, yaitu sikap yang dia terima tatkala mula
pertama balatentara Kekaisaran Tenno Heika didirikan, bersumber pada ajaran-ajaran Budha, dianggap tak
cocok untuk tentara pendudukan. Tak cocok bagi kebanyakan perwira-perwira bawahannya.
Memang ada beberapa perwira tinggi yang sependapat dengan dia. Tetapi sebagaimana jamaknya dalam
tubuh ketentaraan, perwira-perwira senior selalu dianggap makin lama makin tak mengikuti jaman. Tak
mengikuti perkembangan dan tak sesuai lagi untuk hal-hal yang praktis. Dengan segala cara mereka
disingkirkan. Dengan halus maupun kasar. Itulah yang dialami oleh Jenderal Fujiyama. Namun satu hal yang
pasti, dia dianggap sebagai prototip tentara sejati. Yang melandaskan setiap tindakan pada sikap satria.
Si Bungsu dan Datuk Penghulu lenyap tak berbekas. Meski Komandan Kempetai untuk Garnizun
Bukittinggi ditahan dan dicopot, namun Fujiyama tetap memerintahkan untuk mencari dan menangkap kedua
orang pelarian itu. Mata-mata disebar. Tidak hanya mata-mata dari kalangan militer Jepang. juga mata-mata
dari kalangan pribumi yang bersedia bekerja untuk fasis tersebut. Perintah itu telah membuat penjagaan
diperketat dimana-mana. Dan itu menyebabkan beberapa rencana yang telah disusun oleh para pejuang bawah
tanah Indonesia jadi berobah. Dirobah sebab kewaspadaan yang sangat ditingkatkan oleh Jepang.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 99
Hal ini membuat beberapa pemimpin perjuangan bawah tanah Indonesia menjadi tidak senang. Datuk
Penghulu dan Si Bungsu dipanggil ke sebuah markas yang tersembunyi di Birugo, mereka seperti diadili. Datuk
Penghulu duduk bersebelahan dengan Si Bungsu. Sementara di depan mereka, duduk enam orang lelaki. Di
luar, di tempat yang tak kelihatan tak kurang setengah lusin lelaki saling berjaga-jaga terhadap sergapan
serdadu Jepang. Sebab yang ada di dalam rumah itu beberapa orang diantaranya adalah pucuk pimpinan
pergerakan kemerdekaan Indonesia di Sumatera Barat.
"Datuk sengaja kami panggil beserta Si Bungsu. . . ." yang duduk di tengah memakai baju putih mulai
bicara. Datuk Penghulu hanya diam.
"Adapun yang ingin kami bicarakan adalah sepak terjang Datuk dan Si Bungsu bulan ini. Kegaduhan dan
pembunuhan yang Datuk lakukan bersama Si Bungsu telah menyebabkan rencana kita gagal. Dan itu sangat
merugikan perjuangan kita. Kami ingin meminta pertanggungjawaban Datuk. Kenapa Datuk sampai melanggar
perjanjian yang telah kita buat." Semua terdiam menanti jawaban Datuk Penghulu.
"Jawablah Datuk." Seorang lelaki yang pakai baju kuning bicara. Suara lelaki itu perlahan saja. Tapi di
dalamnya jelas tergambar adanya nada tekanan. Datuk Penghulu menatap mereka. "Apa yang harus kujawab
untuk kalian . . . ," katanya datar.
Dengan menyebut kata kalian jelas ada nada menentang dari datuk itu. Hal itu menyebabkan suasana
kurang enak diantara yang hadir.
"Yang harus Datuk jawab adalah, kenapa Datuk bertindak sendiri-sendiri. Datuk telah mulai menyerang
Jepang sebelum ada perintah. Dan itu mengacaukan rencana yang telah kita susun berbulan-bulan . . .."
"Saya rasa tak pernah ada larangan atau ketentuan untuk tak melakukan serangan.." "Secara tertulis
memang tidak. Tapi dalam kemiliteran, segala tindakan harus dengan satu komando. Sebagai perwira Intelejen,
Datuk telah melanggar ketentuan itu." "Apakah saya harus membiarkan anak istri saya diperkosa kemudian
dibunuh tanpa membalas?" "Datuk harus berpikir secara Nasional. Kita berjuang bukan untuk membela
kepentingan keluarga atau pribadi. Kita berjuang untuk Negara dan Bangsa."
"Ya, tuan-tuan bisa berkata begitu karena tuan-tuan belum merasakan apa yang saya rasakan".." Datuk
itu mulai meninggikan suaranya.
"Apakah hanya karena emosi pribadi Datuk bersedia mengorbankan tujuan yang besar?" "Tuan-tuan
harus memisahkan mana yang pribadi, mana yang tujuan bersama. . . ."
"Bukan kami yang harus memisahkan, tapi Datuk"
Suara mereka terputus ketika Si Bungsu tiba-tiba tegak. Dia melangkah keluar. "Bungsu. . ."
Lelaki yang tadi membuka rapat itu memanggil. Si Bungsu membalikkan badan. Dia menunggu orang itu
bicara. Tapi karena lelaki itu tak juga bicara, dia berbalik lagi. Tapi kembali terhenti ketika lelaki itu berkata
"Tunggu." "Tuan bicara pada saya?" tanyanya.
"Ya, saya bicara padamu. . . ."
"Nama saya Bungsu. Bukan Tunggu. Ada apa maka saya tuan cegah keluar . . . ?"
"Persoalan ini juga menyangkut diri Saudara. . .."
"Diri saya?" Si Bungsu merasa heran.
"Ya, sepak terjang Saudara merugikan rencana kami?"
"Rencana yang mana?"
"Rencana penyergapan kami terhadap beberapa markas Jepang. . ."
Si Bungsu tersenyum tipis. Kemudian berbalik menghadap tepat-tepat pada keenam lelaki itu. Dan
ketika dia bicara, suaranya terdengar mendesis tajam.
"Saya tidak punya sangkut paut dengan rencana tuan-tuan. Saya tak punya sangkut paut dengan
kemerdekaan atau kebebasan yang tuan inginkan. Saya bukan pejuang. Dan saya berhak berbuat sekehendak
saya. . ." Dia berhenti bicara. Menatap keenam lelaki itu dengan tajam. Sejak mereka mengata-ngatai Datuk
Penghulu tadi dia sudah merasa mual. Karenanya dia merasa lebih baik berada di luar ruangan itu daripada
mendengar pembicaraan yang menyesakkan dadanya ini. Lelaki yang berbaju kuning berdiri.
"Kau tak bisa berbuat sekehendakmu buyung. Daerah ini daerah perjuangan. Kami telah membaginya
dalam sektor-sektor. Tiap sektor berada dalam satu tangan komando. Dan kau berada di dalam sektorku.
Karenanya engkau harus tunduk di bawah perintahku."
"Baik. Apa perintah Tuan pada saya. . ."."
"Buat sementara, untuk menghindarkan kekacauan pada rencana induk yang telah disusun, kau
serahkan samuraimu. Ini hanya untuk sementara. Sampai saat yang memungkinkan. Harap dimengerti. . ."
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 100
Datuk Penghulu sampai tegak mendengar kata-kata ini. Tapi sebelum dia buka suara, Si Bungsu telah
menyahut, "Baik. Datanglah kemari, dan ambil sendiri samurai ini"."
Dia mengulurkan tangan kirinya yang memegang samurai. Sikapnya menentang sekali. Semua orang
yang ada di sana pada tertegun.
"Ambillah. Tapi untuk tuan mengerti, sebelum tuan, sudah ada lebih dari empat puluh Jepang yang ingin
mengambilnya dari saya. Dan saya telah bersumpah, jika ada yang berniat mengambil samurai ini, maka hanya
satu di antara dua pilihan. Saya atau orang itu yang mati. Dan selama ini, saya masih bisa bertahan hidup,
Barangkali hari ini keadaan jadi lain, silahkan saja Tuan coba mengambilnya. . .."
Keenam lelaki itu mengerti, ucapan anak muda ini tidak hanya sekedar gertak sambal. Dari beberapa
orang, mereka sudah mendengar kehebatan anak muda tersebut. Namun beberapa orang diantara mereka
memang belum pernah tahu tentang Si Bungsu. Kini mendengar betapa dalam rapat khusus ini ada anak muda
yang seperti takabur dan menantang pimpinan gerilya, salah seorang di antara mereka tegak.
"Baik, saya ingin mencoba mengambil samuraimu buyung. Dan jangan menangis kalau dapat
merampasnya. . ." Sehabis berkata ini lelaki itu meninggalkan tempat duduknya. Namun dia di cegat oleh Datuk Penghulu.
"Sabarlah. Sebagai pimpinan saudara harus banyak sabar. Anak muda itu tak bergurau dengan
menyebutkan bahwa sudah puluhan Jepang mati di mata samurainya. Kau akan sia-sia merebut samurainya
itu. ." Datuk Penghulu sebenarnya bermaksud baik. Ingin menyabarkan dan menghindarkan pertumpahan
darah di antara sesama awak. Tapi larangannya itu justru dianggap sebagai gertak oleh lelaki itu. Dia
menyentakkan tangannya yang tengah dipegang oleh Datuk Penghulu. Datuk Penghulu tahu, demikian juga
lelaki yang lain dalam ruangan itu, bahwa lelaki yang satu ini cukup berisi. Dia juga seorang guru silat dan guru
ilmu batin. Kini dia tegak dua depa di depan Si Bungsu.
"Nah buyung, kau serahkan baik-baik samurai celakamu itu atau kurampas dari tanganmu. Mana yang
kau pilih. . .?" Semua yang hadir menatap dengan tegang. Datuk Penghulu sendiri jadi serba salah. Dia menatap saja
tepat-tepat pada Si Bungsu.
"Saya rasa tak ada salahnya Tuan mengambil samurai celaka ini . ." Si Bungsu berkata sambil tanganya
bergerak. Suatu gerakan yang alangkah cepatnya. Lelaki itu, dan lelaki-lelaki yang ada dalam ruangan rapat
khusus itu, hanya melihat secarik cahaya putih. Muncul dari dalam sarung samurai dan masuk lagi ke sarung
samurai itu. Lamanya hanya sekitar empat detik. Ketika terdengar bunyi "trak" maka samurai itu sudah masuk
lagi ke sarungnya. "Ambillah. . .," kata Si Bungsu menyambung ucapannya.
Tapi lelaki itu tegak dengan kaget. Mukanya berobah jadi pucat pasi. Dia memakai baju kemeja. Empat
buah kancing baju kemeja itu sudah putus dan jatuh ke lantai. Tidak hanya sampai disitu, persis tentang
jantungnya kemeja itu potong dua dari kanan ke kiri dan dua dari kiri ke kanan. Namun tak segores pun
kulitnya tersentuh oleh ujung samurai. Demikian cepatnya, demikian telitinya, dan demikian terlatihnya
gerakan anak muda itu. Lelaki itu jadi pucat pasi. Karena kalau saja anak muda itu mau, maka tubuhnya pasti
sudah putus beberapa potong. Dia menjilat bibirnya yang serta merta jadi kering. Si Bungsu tersenyum tipis.
Wajahnya jadi keras. Matanya berkilat.
"Sudah kukatakan, kita tak punya sangkut paut. Ingatlah itu baik-baik. Saya tak mencampuri urusan
perjuangan kalian. Karena itu jangan campuri urusan pribadi saya. . . ." Ujar Si Bungsu perlahan. Kemudian dia
menoleh pada Datuk Penghulu.
"Saya tunggu Pak Datuk di luar. Saya rasa rapat ini bukan untuk orang seperti saya,"
Dia lalu mengangguk memberi hormat pada semua orang. Lalu berbalik dan melangkah dengan tenang
keluar. Beberapa lelaki yang masih duduk di kursinya tiba-tiba bernafas lega. Mereka pada mengusap peluh
yang entah kenapa mengalir saja di wajah mereka. Luar biasa, benar-benar luar biasa Lelaki yang tadi
memimpim rapat berkata perlahan. Akan halnya lelaki yang buah bajunya dan bajunya tercabik-cabik putus
itu, lambat-lambat kembali ke tempat duduknya.
"Ya" dia sangat hebat. Saya beruntung dapat mengetahuinya dengan pasti. . .," katanya sambil duduk.
"Tapi percobaan itu sangat berbahaya. . . .," yang berbaju kuning berkata.
"Habis yang lain tak ada yang mau melaksanakan rencana itu. . . .," dia membela diri.
"Saya sendiri yakin anak muda itu akan mampu mengontrol dirinya. Tapi tetap saja peluh membasahi
tubuh saya. . . .," Ujar yang seorang lagi.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 101
Datuk Penghulu terheran-heran mendengar pembicaraan teman-temannya ini. Dan yang memimpin
rapat tadi mengetahui keheranannya itu. Dia lantas berkata :
"Ini semua sebuah sandiwara. Datuk dan anak muda itu sengaja kami undang kemari untuk sebuah
pembuktian. Sudah tersebar dari mulut ke mulut, dari bisik ke bisik, bahwa ada seorang anak muda yang
perkasa, anak Minang yang bangkit menuntut balas kematian keluarganya justru mempergunakan samurai
sebagai senjatanya. Pimpinan tertinggi menyuruh kami mencek kebenaran itu. Dan sampailah akhirnya berita
bahwa anak dan istri Datuk binasa dilaknati Kempetai.
Kami berduka atas peristiwa itu. Hari ini, kami ingin menyampaikan duka cita itu. Tapi harap maafkan,
kami tak bisa menahan hati untuk tak membuktikan sampai dimana kehebatan anak muda itu mempergunakan
samurainya. Kami menyangka hebat, sehebat yang diceritakan orang. Ternyata hari ini kami buktikan bahwa
kehebatannya jauh melampaui yang diceritakan orang banyak. . . ."
(21) Datuk Penghulu masih saja terheran-heran. Yang berbaju kuning, yaitu yang membawahi sektor
Pasaman bicara pula, "Kita semua memerlukan anak muda seperti dia. Coba bayangkan hasil yang akan kita
capai kalau ada sepuluh orang seperti dia. Sepuluh orang pemuda dengan kemahiran seperti itu. Ah ?" lelaki
itu tak menyudahi ucapannya.
"Jadi saya dipanggil kemari hanya untuk memperlihatkan pada tuan-tuan betapa kepandaian anak muda
itu mempergunakan samurainya ?"
"Ya. Tapi kalau kami beritahu pada Datuk maka kami yakin dia takkan datang."
"Kalau begitu, saya menyesal tidak menyuruh dia menyiksa kalian tadi. . . ."
"Apa maksud Datuk. .."
"Kalau saja saya tahu, saya hasut dia sehingga ada diantara kalian yang akan dia cencang menjadi
potongan-potongan sate" Lelaki yang putus buah bajunya itu nyengir mendengar olok-olokan Datuk ini.
"Nah kita tak punya waktu lagi. Mari kita semua susun rencana berikutnya." Yang memimpin rapat itu
bicara lagi. "Satuan tugas yang dikirim menyelidiki kegiatan Jepang dalam sebulan ini mendapat informasi, banyak
amunisi yang datang dari Medan dan langsung lenyap setibanya di lapangan Gadut. Setelah diteliti, ternyata
dari lapangan itu ada terowongan. Diduga terowongan itu menuju ke bawah kota Bukittinggi. Terowonganterowongan itu dibuat untuk menyimpan peralatan perang serta sekaligus untuk perlindungan bila mereka
nanti terdesak oleh tentara Sekutu. Jepang sudah mensinyalir bahwa ada dua bahaya yang akan mengancam
mereka di Indonesia ini. Pertama gerakan Kemerdekaan dari pemuda-pemuda Indonesia dan kedua
kembalinya Belanda merebut bekas jajahannya. Belanda diduga akan ikut membonceng bersama tentara
Sekutu. Kini tugas kita adalah merebut persenjataan sebanyak mungkin. Atau kalau itu tak bisa, maka kita harus
meruntuhkan terowongan yang mereka buat. Dengan demikian kita berarti melumpuhkan jalur suplai
mereka"." Dan rapat itu berlangsung terus. Kontak-kontak telah di buka dan disampaikan melalui radio
rahasia antara pejuang-pejuang di Sumatera Utara, Jawa dan Sumatera Barat. Saat peristiwa ini terjadi, hari
proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 45 hanya menunggu saatnya saja. Waktu itu tanggal telah memasuki awal
Agustus 45. Di luar, Si Bungsu bosan menanti. Dia pergi ke kedai kopi. Memesan secangkir kopi dan memakan ketan
dengan pisang goreng. Dia termasuk yang beruntung berada di kedai kopi itu. Sebab tengah ia makan itu, tibatiba saja sebuah truk militer berhenti. Delapan orang Kempetai berloncatan turun mengepung rumah tersebut.
Demikian cepatnya gerakan mereka. Tak diketahui siapa yang telah membocorkan rahasia rapat itu ke pihak
kempetai. Enam lelaki berpakaian preman yang sebenarnya ditugaskan untuk menjaga keamanan di luar
rumah itu, jadi tak berdaya ketika tiba-tiba dari balik beberapa rumah, selusin Kempetai muncul melecuti
mereka. Beberapa orang ada juga yang berusaha memberikan perlawanan. Tapi dengan jurus-jurus karate dan
judo yang amat mahir, dengan mudah Kempetai kempetai itu melumpuhkan mereka. Seorang lelaki ingin
berteriak, tetapi sebuah tusukan bayonet menghentikan suaranya.
Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dia terkulai, dan tubuhnya dicampakkan ke atas truk. Penduduk segera berlarian. Menutup pintu dan
bersembunyi. Dalam waktu singkat, kampung Birugo Puhun itu seperti dikalahkan garuda. Sepi. Bahkan anjing
pun tak ada yang kelihatan di luar. Mereka yang ada di kedai kopi pada terdiam. Dan selama mereka berdiam
diri, mereka nampaknya tak digubris oleh Kempetai-kempetai itu. Dalam kedai kopi itu ada empat lelaki.
Keempatnya, termasuk Si Bungsu, pada tertegun kaget dan tak tahu harus berbuat apa. Rumah di mana tengah
berlangsung rapat rahasia itu telah dikepung dengan senjata dan bayonet terhunus. Cahaya sore mengirim
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 102
sinarnya yang panas ke pintu rumah. Seorang Syo Sha (Mayor) maju ke depan. Di antara sekian tentara Jepang
yang ada, hanya dia yang tak menghunuskan senjatanya. Sebuah pistol tergantung dipinggangnya sebelah kiri.
Hulunya menghadap kedepan. Sedangkan sebuah samurai tergantung di pinggang kanan.
Dari caranya menggantungkan kedua senjata ini, orang segera dapat menebak, bahwa Kapten ini mahir
bermain samurai dengan tangan kiri. Sementara pistol dipergunakan dengan tangan kanan. Hanya saja letak
pistol itu terbalik dari umumnya orang-orang yang kidal. Di belakang syo-Sha itu tegak seorang ajudan yang
berpangkat Letnan. Mayor itu lalu berseru dengan suara lantang.
"Datuk Penghulu, Datuk Putih Nan Sati, Sutan Baheramsyah, atas nama Kaisar Tenno Heika, kalian saya
perintahkan untuk menyerahkan diri. Kalian kami tangkap dengan tuduhan berkomplot ingin mencuri senjata,
meledakkan rumah-rumah perwira, menculik dan membunuh perwira-perwira Jepang. Dokumen kalian telah
kami temukan. Kini menyerahlah. . ."
Tak ada sahutan. Rumah itu tiba-tiba jadi sepi. Suara Mayor itu bergema jelas. Bahkan dapat didengar
oleh penduduk yang rumahnya berdekatan dengan rumah dimana rapat itu sedang berlangsung. Angin bertiup
perlahan. Semua menanti dengan tegang. "Saya hitung sampai sepuluh Jika kalian tak menyerah, kami akan
meledakkan rumah ini dengan dinamit. Kalian boleh pilih, menyerah untuk diadili, atau mati berkeping-keping
dalam rumah ini".?"
Syo sha itu mulai menghitung. Di dalam rumah, Datuk Penghulu dan semua lelaki yang tadi namanya
disebutkan oleh Syo Sha tersebut pada tertegak diam. Mereka memang tak membawa senjata apapun. Meski
mereka pimpinan gerilya, namun membawa senjata siang hari sangat berbahaya. Tapi mereka tak menyangka
sedikitpun akan terperangkap hari ini.
"Pasti ada yang berkhianat." Datuk Penghulu berkata.
Pejuang yang lain masih terdiam. Hitungan di luar sudah mencapai angka empat. Lelaki yang tadi punah
buah bajunya dimakan samurai Si Bungsu, perlahanlahan bergerak ke tepi dinding. Dari sebuah lubang kecil
dia mengintai. Kemudian menghadap kepada teman-temannya yang memandang kepadanya dengan tegang.
"Semua petugas yang ada di luar sudah diringkus. Ada seorang nampaknya terluka. Kini dia terbaring di
atas truk berlumur darah. . . Mana anak muda tadi?"
Tiba-tiba yang buah bajunya putus itu, yang rupanya bernama Datuk Putih Nan Sati yang dipanggil Syo
sha tadi bertanya. Sebagai jawabannya dia mengintip lagi dari lubang kecil itu. Matanya coba mengintip ke luar.
Menatap apakah di antara petugas yang tertangkap dan kini ditegakkan dekat truk itu ada Si Bungsu atau tidak.
Letih dia mencari anak muda itu tetap tak kelihatan.
"Dia tidak termasuk di antara yang ditangkap" katanya
"Apakah. . apakah tidak mungkin dia yang memberitahukan pada Jepang bahwa kita rapat disini," salah
seorang bertanya. Mereka saling pandang.
"Tak mungkin. Saya berani mempertaruhkan nyawa saya untuk itu . . ." Datuk Penghulu membantah, lalu
mereka sama-sama terdiam.
Di luar hitungan sudah mencapai delapan Akhirnya si lelaki yang berbaju kuning, yang tak lain dari Sutan
Baheramsyah yang menjadi pimpinan di antara seluruh mereka yang ada di rumah itu, tegak. Melangkah ke
tengah ruangan. "Apakah mereka memang bermaksud meledakkan kita dengan dinamit ?" tanyanya.
"Saya lihat memang begitu. ".." Datuk Putih Nan Sati yang kembali mengintai dari lobang kecil itu
menyahut. "Nah, kita kali ini kebobolan. Tapi daripada mati percuma, lebih baik menyerah. Saya yakin, dipenjara
masih ada kesempatan untuk melarikan diri. Kalau kita menyerah, ada kesempatan bagi teman-teman yang
lain untuk membebaskan kita. Mari kita keluar. ."
Sehabis berkata Sutan Baheramsyah melangkah ke depan. Yang lain tak dapat membantah. Sebab
hitungan Syo Sha yang di luar sudah menyebutkan angka sepuluh Syo Sha itu sudah akan memberi isyarat
untuk membakar sumbu dinamit, ketika pintu rumah itu terbuka. Lalu kelihatan Sutan Baheramsyah, Datuk
Penghulu, Datuk Putih Nan Sati melangkah keluar bersama-sama teman-temanya yang lain.
Mereka berhenti dan tegak berjejer di depan rumah itu. Tegak berhadapan dalam jarak sepuluh depa
dengan Syo Sha tersebut. Tak sedikitpun di wajah mereka tergambar rasa takut. Mereka menatap kepada
Jepang-Jepang itu dengan kepala terangkat dan pandangan yang lurus.
"Silahkan tuan naik ke atas truk. ".." Syo Sha itu berkata. Dari bilik pintu dan jendela penduduk pada
mengintip kejadian itu dengan perasaan tegang.
"Kami adalah para perwira. Menurut perjanjian militer kami harus pula diperlakukan seperti perwira
"." Sutan Baheramsyah berkata dengan nada datar.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 103
"Tak ada tanda-tanda kepangkatan yang menandakan tuan seorang perwira, dan kami tak dapat
memperlakukan tuan sebagai perwira karena tak ada tanda-tanda tersebut. . . ." Syo sha itu menjawab dengan
nada tegas kemudian memberi perintah pada anak buahnya. Keenam lelaki itu digiring dengan bayonet
terhunus ke atas truk yang telah menanti. Di atas truk, beberapa orang cepat membantu petugas yang tadi
terluka kena tusukan bayonet. Namun dengan terkejut mereka mendapatkan pejuang itu sudah
menghembuskan nafas yang terakhir.
"Jahanam. . benar-benar jahannam .." Datuk Putih Nan Sati memaki.
Semua mereka sudah dinaikkan ke atas truk. Syo Sha itu melangkah mendekati jipnya yang terletak tak
jauh dari truk itu. Dia melangkah dengan wajah angkuh dan lewat di depan kedai kopi dimana beberapa lelaki
sedang terdiam. Syo Sha itu seorang perwira yang punya firasat tajam. Ketika lewat kedai kopi itu dia
menyadari membuat Suatu kekeliruan kecil. Yaitu tidak memeriksa dan menangkapi lelaki yang ada dalam
kedai kopi itu. Siapa tahu di antara mereka ada pejuang-pejuang bawah tanah Indonesia. Siapa tahu di dalam
kedai ada penembak tersembunyi. Menyadari kekeliruan kecil ini. Mayor itu segera menoleh ke belakang untuk
memerintahkan pada bawahannya guna memeriksa lelaki yang ada dalam kedai tersebut. Namun instingnya
terlambat. Firasatnya sebagai perwira intelejen ternyata tak menolong. Karena begitu dia berhenti untuk
menoleh ke belakang, seorang lelaki tiba-tiba muncul di dekat jip yang dia naiki. Tak jauh dari sana, seorang
kempetai yang tegak dengan bedil terhunus segera mengenali lelaki yang muncul itu adalah Si Bungsu.
Kempetai itu mengangkat bedilnya dan menembak. Sebab sudah sejak sepekan yang lalu anak muda itu
dicari dengan perintah Tangkap hidup atau mati. Kini dia tak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Bukankah
pangkatnya akan naik kalau dia berhasil menembak mati anak muda yang telah membunuh banyak tentara
Jepang itu" Dan impiannya itu sebenarnya bisa terwujud, yaitu kalau saja anak muda itu bukan Si Bungsu.
Begitu mengangkat bedil, naluri Si Bungsu yang amat tajam itu segera menyadari bahaya mengancamnya.
Lompat Tupai. Tubuhnya segera berguling ke depan dengan kecepatan yang sukar diikuti mata. Dan letusan itu
mengejutkan si Mayor. Begitu dia menoleh, begitu sesosok bayangan tegak di depannya. Mayor ini secara
naluriah mengetahui bahaya yang mengancam. Dia segera mencabut samurai dengan tangan kiri. Tapi begitu
samurai itu keluar dari sarungnya, begitu sebuah babatan menghantam samurainya tersebut.
Tangannya rasa kesemutan. Begitu kuat hantaman samurai itu. Tanpa dapat dia tahan samuarainya
terpental. Jatuh ke tanah. Dan saat itulah orang yang belum dia lihat wajahnya itu berputar ke belakang dan
sebuah benda dingin, tajam, tipis dan menakutkan, menempel di lehernya. Anak muda itu tegak di belakangnya
sambil memegang kepala si Mayor. Kepala Mayor itu dia buat tertengadah dan mata samurainya itu dia
tekankan ke lehernya. "Perintahkan semua anak buahmu melemparkan senjata mereka ke tanah, Mayor" Suara
Si Bungsu mendesis tajam. Bukan main cepatnya kejadian itu berlangsung. Sebahagian besar Serdadu Jepang
itu masih tegak terpana. Dan kini menatap dengan mulut ternganga pada komandan mereka yang terancam itu.
Mayor itu sendiri hampir-hampir tak percaya kejadian yang dia alami ini. Dia tak yakin ada manusia
yang dapat bergerak demikian cepatnya. cepat dalam bergerak. Dan cepat dalam memainkan samurainya.
"Si Bungsu . . ." akhirnya Mayor itu bersuara perlahan.
Nama anak muda itu sudah menjadi buah bibir di antara para perwira di Markas besar mereka. Anak
muda yang mahir dengan samurai.
"Ya. Sayalah Si Bungsu Mayor. Dan saya tidak main-main dengan samurai saya ini. Sudah banyak bangsa
saya yang terbunuh oleh samurai kalian ini. Dan dengan samurai ini pula, sudah puluhan Jepang yang saya
bunuh. Dengan segala senang hati hari ini saya akan menambah jumlah itu dengan diri tuan. Yaitu kalau tuan
tidak memerintahkan anak buah tuan melemparkan senjata mereka. . ."
Tanpa dapat ditahan Mayor itu merasakan seluruh bulu di tubuhnya pada merinding. Dia sudah
berperang selam puluhan tahun. Mulai dari daratan Mongolia sampai ke daratan cina. Menembus rawa-rawa
maut di sungai Yang Tse Kiang. Dia sudah menghadapi berbagai macam bentuk manusia yang siap merenggut
nyawanya. Dia sudah berhadapan dengan tentara Belanda, Amerika dan lain-lain. Namun dia tak pernah merasa
gentar. Tapi sore ini, di bawah ancaman anak muda ini, tubuhnya tiba-tiba terasa mendingin. Tak hanya
mendingin, buat pertama kali dalam hidupnya sebagai militer, tubuhnya tiba-tiba menggigil.
"Perintahkan Mayor Atau perlu kuhitung sampai sepuluh seperti engkau menghitung tadi ?" Bulu
tengkuk Mayor ini tambah merinding. Dia sudah banyak mendengar, bahkan melihat sendiri betapa mayatmayat tentara Jepang ketika akan menangkap anak muda ini di Tarok, terputus-putus seperti dijagai kena
samurai. "Lemparkan seluruh senjata kalian ke tanah . ." suara Mayor itu terdengar serak.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 104
Satu demi satu anak buahnya melemparkan senjata. Si Bungsu menyeret tubuh Mayor itu hingga
tersandar ke dinding rumah yang tadi hampir saja diledakkan dengan dinamit. Dengan meletakkan tubuh
Mayor itu tetap di depannya, maka Si Bungsu dapat mengawasi seluruh pasukan Jepang itu.
"Suruh mereka berkumpul di dekat truk. Semuanya .."
(22) Anak muda itu berkata lagi sambil memberi isyarat pada Datuk Penghulu dan kawan-kawannya yang
berada di atas truk untuk turun. Mereka segera turun dan bergabung dengan di Bungsu di tepi dinding rumah.
"Cepat suruh mereka berkumpul dekat truk itu Mayor"." Si Bungsu kembali mengancam.
"Syo-i Atto. Perintahkan semuanya berbaring dekat truk. Lekasss..!!"
Mayor itu berteriak lagi dengan suara seraknya. Syo- I (Letnan dua ) itu segera melaksanakan perintah
Mayor tersebut. Sebaliknya tubuh Si Bungsu menegang tiba-tiba begitu mendengar nama Atto disebut si Mayor.
Demikian juga halnya dengan Datuk Penghulu. Mereka saling tatap. Mata Si Bungsu menatap tajam dan
membersitkan amarah yang hebat.
Atto. Nama itu mengiang di telinganya. Dia teringat pada saat-saat menjelang kematian Mei-mei. Gadis
itu mengatakan bahwa dia diperkosa oleh satu regu Kempetai. Yang memulai perkosaan itu adalah komandan
mereka. Gadis itu mendengar namanya disebut dengan Atto. Dan kini Letnan dua yang bernama Atto itu siap
melaksanakan tugasnya. Dia tegak di depan prajurit-prajurit Jepang yang jumlahnya sekitar delapan belas
orang itu. Seluruh senjata mereka seperti karabin, pistol dan samurai, bergelatakan di tanah. Si Bungsu segera
tersadar dari lamunannya pada Mei-mei. Lamunannya dan kebenciannya membuat tangannya tak terkontrol
Dan mata samuarinya amat tajam itu melukai leher si Mayor. Darah mengalir kebawah, tapi untunglah lukanya
hanya luka luar saja. Tentara Jepang yang lain pada merinding.
Mereka menyangka anak muda ini sudah menyembelih pimpinan mereka. Si Bungsu menoleh pada
Datuk Penghulu. "Ambillah bedil yang ada di tanah itu. Dan juga pistol Mayor ini. Awasi dia. Saya akan buat perhitungan .
." Datuk Penghulu segera mengetahui maksud anak muda itu. Dia mengambil pistol Mayor itu dari
pinggangnya. Yang lain pada memungut bedil di tanah. Kemudian mereka ganti menodong Jepang-Jepang itu.
Dari balik pintu, dari balik jendela, penduduk tetap mengintai dengan diam. Mengintai dengan takut.
Barangkali ada rasa gembira dan bangga di hati mereka melihat betapa pejuang-pejuang itu berbalik
menguasai tentara Jepang yang mereka benci. Namun sebagaimana umumnya rakyat sipil dari sebuah negara
yang sedang dilanda perang, dimanapun negara itu berada, bangsa manapun dia, ketakutan terhadap militer
selalu saja menghantui mereka. Di setiap negara yang dilanda perang, apalagi negara yang dijajah, maka
penduduk sipil selalu saja menjadi korban tak berdosa dari keganasan militer. Saat itupun, penduduk di Birugo
itu selain merasa bangga, sekaligus juga merasa takut. Bangga karena bangsa mereka ternyata sudah mulai
unjuk gigi dalam melawan penjajah. Ngeri karena mengingat pembalasan yang akan datang dari Jepang.
Karena betapapun jua, pejuang Indonesia itu pastilah sebentar berada di kota. Setelah itu mereka akan
lenyap bersembunyi. Karena seluruh jengkal tanah di bumi Indonesia saat itu dikuasai oleh Jepang. Penduduk
dapat membayangkah setelah sore hari ini, maka akan ada ratusan tentara Jepang yang akan memeriksa
seluruh rumah di Birugo ini. Dan mereka ada yang akan ditangkap. Ada yang diperkosa. Begitu selalu. Dan dari
balik pintu, dari balik jendela, mereka melihat anak muda yang tadi meringkus Mayor itu berjalan ke depan.
Mayor itu kini berada di bawah ancaman senjata yang dipegang oleh Datuk Penghulu. Si Bungsu melangkah ke
dekat truk. Sepuluh langkah di depan Letnan dua yang bernama Atto itu dia berhenti. Samurai sudah berada
dalam sarangnya. Dia pegang dengan tangan kiri. Dia menatap tajam pada atto yang sama sekali tak mengenal
anak muda ini. Tapi ditatap begitu, bulu tengkuknya merinding.
"Ambil samuraimu yang tergelak di tanah itu Atto . . ." Tiba-tiba dia dengar anak muda ini bersuara. Dia
tertegun. Kaget dan tak percaya pada pendengarannya.
"Ambillah samuraimu. Engkau yang bernama Atto, yang memimpim penangkapan dan pembakaran
rumah di Tarok dua puluh hari yang lalu bukan ?"
Tanpa dia sadari, letnan itu mengangguk.
"Nah, sayalah suami dari gadis yang bernama Mei-mei yang engkau perkosa ketika dia dalam luka parah
di pondok dalam hutan bambu di Tarok malam itu, masih ingat?" Seperti orang dungu, letnan itu kembali
mengangguk. Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 105
"Dia sudah mati. Mati karena menderita. Menderita kalian perkosa bersama-sama. Namun sebelum dia
meninggal, saya telah bersumpah untuk membunuhmu. Kini ambillah samurai itu. Atau kau akan saya bantai
tanpa membela diri. Bagi saya sama saja. Saya hitung sampai tiga. Kalau kau tetap tak mau mengambil
samuraimu, kau akan saya bunuh seperti membunuh seekor anjing. Satu"..!"
Suara Si Bungsu bergema. Dia sudah mulai menghitung. Tidak hanya Atto dan prajurit-prajurit Jepang
yang banyak itu, Datuk-Datuk yang berada di pihak Si Bungsu yang kini tegak dekat Datuk Penghulu, juga
merasa ngeri mendengar ancaman anak muda itu. Dan Atto, sebagaimana jamaknya samurai-samurai dari
Jepang, merasa harga dirinya di injak-injak mendengar penghinaan anak muda itu. Dia segera memungut
samurainya. Dengan sikap seorang samurai sejati, dia mulai melangkah mendekati anak muda itu. Si Bungsu
tegak dengan kaki terpentang selebar bahu. Tegak dengan diam. Menatap tepat-tepat ke mata si Atto. Wajahnya
membersitkan rasa benci yang sangat dalam. Terbayang di matanya betapa Atto yang bertubuh kekar ini
merenggut pakaian Mei-mei. Kemudian setelah nafsu setannya puas, dia menyuruh anak buahnya untuk
meneruskan perbuatannya. Saat itulah Atto membuka serangan. Sebuah sabetan yang amat cepat. Si Bungsu
kaget, khayalannya tengah menerawang ketika serangan itu datang. Tak ampun lagi, bahunya terbabat
menganga lebar. Darah menyembur, Datuk Penghulu terpekik. Hampir saja dia menembak Atto dengan pistol
di tangannya. Tapi dia segera ingat. Si Bungsu berniat membunuh letnan dengan tangannya sendiri.
Kini dengan bahu kiri luka lebar, darah membanjir, Si Bungsu tegak dengan waspada empat depa di
depan Atto. Si Bungsu yakin, jika lama dia tegak begini tubuhnya akan jatuh sendiri karena kehabisan darah
Maka dia segera memancing agar Atto menyerang. Tubuhnya sempoyongan. Meliuk ke kiri. Ke kanan. Dan saat
itu dengan cepat sekali Atto menyerang dengan tiga kali bacokan cepat terarah.
Datuk Penghulu sudah bertekad untuk menembak saja Jepang laknat itu. Tapi maksudnya belum
kesampaian, ketika tiba-tiba tubuh Si Bungsu jatuh ke tanah di atas lututnya. Dan tahu-tahu sebuah sinar yang
amat cepat berkelebat. Pada sabetan yang pertama samurai di tangan Atto seperti dihantam martil besar.
Samurainya terpental. Pada bacokan kedua, tangan perwira muda itu putus di atas bahu. Dia memekik. samurai
di tangan Si Bungsu bekerja lagi. Kedua lutut letnan itu putus.
Tubuhnya tersungkur ke tanah tanpa lengan tanpa kaki. Persis seperti nasib penyamun yang kena babat
di penginapan kecil ketika mula-mula dia datang ke kota ini bersama Mei-mei. Tapi Atto masih beruntung. Dia
tak sempat hidup merana tanpa kaki tanpa tangan seperti Datuk Penyamun itu. Karena begitu tubuhnya
tergolek di tanah, samurai di tangan Si Bungsu bekerja lagi. Dadanya terbelah dua.
Dan kali terakhir kepalanya putus Semua yang hadir di sana memalingkan kepala .Tak sanggup melihat
kejadian itu. Si Bungsu benar-benar menjadi amat buas. Dia seperti bukan manusia lagi. Dia seperti sudah
menjelma menjadi tukang jagal yang tidak punya perikemanusiaan. "Bungsu . . ."
Datuk Penghululah yang berteriak itu. Datuk itu sendiri merasa ngeri dan merasa bahwa perbuatan Si
Bungsu itu sudah melampaui batas. Si Bungsu tertegak diam. Dia segera menyadari kebuasannya sebentar ini.
cepat sekali samurainya sudah masuk ke sarungnya. Dia menatap pada belasan Serdadu Jepang yang tegak
terpaku dekat truk. Dan semua mereka pada merinding ketakutan ditatap anak muda itu. Kemudian dia
berbalik menatap pada Mayor tadi. Mayor itu tersurut. Dia seperti melihat malaikat maut. Kecepatan dan
kehebatan anak muda itu mempergunakan samurainya hampir-hampir tak masuk akalnya.
"Nah, sekarang terserah pada Datuk apa langkah selanjutnya. . ."
Akhirnya Si Bungsu berkata pada Datuk Penghulu. Datuk itu menatap pada teman-temannya.
Nampaknya mereka sudah punya rencana. Semua tentara Jepang itu mereka giring ke sebuah tebat. Dan setelah
disuruh telanjang bulat, mereka disuruh masuk ke dalam tebat yang banyak taik itu.
"Tetap saja berendam di dalam tabek itu, Mayor. Jika ada yang keluar, akan kami bunuh"." kata Datuk
Penghulu. Dan Mayor itu bersama belasan anak buahnya terpaksa tegak diam dalam tebat tersebut. Berendam
dalam air setinggi leher dalam keadaan bugil. oo, tak pernah mereka dipermalukan begini. Tidak pernah,
seumur hidup mereka Dengan cepat Datuk Penghulu dan teman-temannya mengumpulkan semua senjata.
Melemparkannya ke atas jip milik Kempetai yang sudah mereka rampas.
Kemudian mereka naik. Sebelum berangkat mereka terlebih dahulu merusak truk di dekat itu agar tak
bisa digunakan memburu mereka. Lalu Datuk Putih Nan Sati menjalankan jip itu kearah Padang Luar melarikan
diri. Tak seorang pun yang tahu ke mana arah mereka. Begitu terdengar mesin jip dihidupkan, Mayor tadi
melompat naik ke atas. Tapi ketika lanciriknya yang tak bertutup itu sudah ada di tebing tebat, sementara betis
ke bawah masih di dalam air, seorang anak buahnya yang masih di tebat berkata:
"Awas, Yor. Anak muda bersamurai itu mungkin masih ada di atas"
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 106
Mayor itu tertegun. Kemudian cepat tubuhnya meluncur kembali ke dalam tebat. Ya, kalau kepadanya
diingatkan bahwa yang masih ada di sekitar tebat itu awas, beberapa orang berbedil masih mengawasi,
barangkali Mayor itu takkan merasa gentar. Ia akan tetap naik, berpakaian dan kembali kemaerkas untuk
menyusun pembalasan. Tapi karena peringatan itu berbunyi anak muda bersamurai itu mungkin masih ada di
atas, maka gacarnya timbul. Saking gacarnya, dia tak dapat menahan kentutnya. Berantai dan kuat seperti bunyi
mercon pula tu. Prep..prep..thoot" Thootthoot..pohh..pooh..!!
(23) Dua bunyi poh.. yang terakhir terpancar ketika pantatnya sudah masuk ke air tebat. Hal itu
menyebabkan air tebat tentang pantatnya seperti menggelegak sesaat, karena ada beberapa gelembung udara
memecah ke atas. Belasan anak buahnya yang masih kedinginan dalam tebat busuk itu tiba-tiba terbagi
menjadi tiga kelompok. sebagian tetap diam karena amat kedinginan- Sebagian juga kedinginan, tapi tak berani
tertawa. Mereka hanya nyengir. Tapi sebagian lagi, kendati tebat itu dingin dan busu, tak dapat menahan rasa
gelinya. Suara kentut si Mayor akibat ketakutan itu benar-benar menjadi hiburan langka, karenanya
merekapun tertawa "Huhu.. hihi..hehe.."
Mayor ini benar-benar merasa gacar. Dan tak seorang pun diantara mereka yang berani cepat-cepat naik
ke darat. Seperti terbayang di mata, betapa kalau mereka naik, tiba-tiba saja anak muda bersamurai itu muncul.
Lalu menebas batang leher mereka seperti menebas leher Atto tadi.
Hiii"! Tapi setelah hari agak senja, karena tak tahan dingin akhirnya Mayor itu merangkak juga ke atas. Apalagi
bau tebat yang busuk karena tai manusia itu membuat beberapa dari mereka sudah mutah kayak. Bahagian
bawah tubuh mereka juga jadi geli karena disundul-sundul ikan emas.
Setelah merangkak ke atas si Mayor bergegas berpakaian dan berteriak memanggil prajuritnya yang
masih di dalam tebat untuk naik semua. Tatkala semua sudah naik dan berbaris mengikuti perintahnya, yang
tadi berteriak menakut-nakutinya dengan mengatakan mungkin Si Bungsu masih ada, yang menyebabkan
kentutnya terpancar saat dia kembali melosoh ke dalam tebat, dia perintahkan tegak ke depan. Lalu dengan
Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sepenuh berang dia tampar prajurit bego itu.
"Bagerooo Waang takut-takuti saya yaa"
Puak. . . .puak. . . .plak. . plak.!
Muka prajurit itu lapuak-lapuak di lampang si Mayor yang mukanya sudah membiru kedinginan itu.
Tidak hanya yang satu itu, semua dapat bagian tempelengnya, sebab hampir semua tertawa ketika kentutnya
tabosek tadi. Si prajurit hanya tegak dengan sikap sempurna. Untunglah tak lama setelah mereka kena
tempeleng, sebuah jeep dan sebuah truk datang. Seorang Tai-I (Kapten) turun. Dia memberi hormat. Namun
segera terheran-heran melihat pasukan yang ada di depannya basah kuyup,
"Jangan melongo" saja Mayor itu membentak. Si Kapten segera sadar.
"Saya diperintahkan untuk mencari pak Mayor. Sejak siang tadi dinanti di markas besar. Kami kira
mendapat kesulitan. . ."
"Tak ada kira-kira. Kau pikir kami sedang lomba renang di sini?" Mayor itu membentak lagi sambil
bergegas naik ke atas jeep. Pasukan yang lain melompat keatas truk. Dan kendaraan itu bergerak menuju ke
Panorama. Malam itu juga dikerahkan tak benar dua kurang dari seratus tentara Jepang untuk mencari jejak
pejuang-pejuang tersebut. Dan benar juga dugaan penduduk Birugo Puhun. Semua rumah digeledah sepanjang
malam itu. Hampir seribu penduduk diinterogasi.
Beberapa orang ditangkap. Jepang tak peduli, bahwa rumah yang dipergunakan untuk rapat itu
sebenarnya rumah yang sudah lama tak berpenghuni. Pemiliknya sudah pindah ke Bandung sejak lima tahun
yang lalu. Jepang tak perduli itu. Yang jelas perusuh-perusuh itu rapat di wilayah Birugo Puhun. Tentu
penduduk kampung itu merestui pertemuan itu. Maka penghuni lima buah rumah yang berdekatan dengan
rumah tempat rapat itu ditangkap. Diinterogasi di markas besar. Begitu selalu nasib penduduk sipil. Namun
bagi penduduk. nasib demikian nampaknya sudah mereka terima dengan tabah. Keganasan suatu rezim justru
menimbulkan kebencian pada rezim itu. Tak ada yang bisa dicapai dengan kekerasan. Penduduk justru makin
mengharapkan agar pejuang-pejuang itu makin kuat. Meski dari luar mereka terlihat pasrah menerima nasib
atas perlakuan rezim yang menjajah negeri mereka. Sebab, apakah lagi yang bisa mereka perbuat, jika kepada
mereka yang lemah ditodongkan ujung sangkur dan moncong bedil. Apalagi bisa diperbuat selain dari pasrah.
Namun, dari dalam tahanan para penduduk tetap berdoa semoga perang segera meletus. Mereka berdoa dan
berharap. Agar kemerdekaan segera tercipta bagi negara mereka.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 107
Siang itu Si Bungsu sedang berada di rumah seorang tabib, untuk mengobati luka di bahunya akibat
perkelahian dengan Syo-I Atto di Birugo tempo hari. Saat menunggu tabib meramu obat itulah tiba-tiba saja
rumah itu telah dikepung oleh dua puluh tentara Jepang. Dia sudah dianggap demikian berbahayanya. Sehingga
Jepang mengerahkan hampir seluruh intelejennya yang ada di Sumatera Barat untuk mencium jejak
pelariannya. Tiga hari sebelumnya, mata-mata mereka mengetahui bahwa Si Bungsu bersembunyi di sebuah
rumah di kaki gunung Merapi. Diketahui pula bahwa lukanya akan diobati di rumah seorang tabib obat di Koto
Baru. Begitulah, saat dia tengah menanti obat diramu, satuan-satuan tentara Jepang yang telah disiapkan segera
mengepung tempat tersebut. Dan yang memimpin penangkapan itu tak lain adalah Mayor yang dia suruh
berendam ke dalam tebat dalam keadaan telanjang di Birugo dulu. Si Mayor yang telah tegak di depan rumah
tabib tersebut terdengar berseru :
"Bungsu, keluarlah. Rumah ini telah dikepung. Kalau kalian tak keluar dalam lima hitungan, rumah ini
akan saya ledakkan dengan dinamit"
Dia seperti mengulangi lagi kalimat berbentuk ancaman yang dia ucapkan saat dia dan pasukannya
mengepung rumah tempat para pejuang rapat di Birugo Puhun, sepekan yang lalu. Kali ini kemujuran serta
nasib baik nampaknya tidak berpihak pada Si Bungsu. Luka di dadanya mengalami infeksi. Ramuan obat yang
dia ramu saat di Gunung Sago dan selalu dia bawa kemanapun pergi, telah habis.
Ketika dia ingin kembali meramu obat-obatan itu, dia terbentur pada ketiadaan beberapa jenis
tumbuhan untuk bahan pembuatnya. Ada empat macam jenis akar, kulit, daun dan bunga kayu yang
mengandung bisa dan tiga jenis rerumputan menjalar yang bergetah yang dia pakai sebagai ramuan. Di kaki
gunung Merapi, dimana dia bersembunyi, tak semua jenis kayu dan rerumputan itu dia peroleh. Kendati sudah
empat lima orang mencarinya selama beberapa hari. Karena lukanya semakin berinfeksi, akhirnya dia menurut
ketika disarankan berobat ke seorang tabib di Koto Baru.
Mereka sebelumnya memang telah khawatir bahwa akan diketahui intelijen Jepang. Kini kekhawatiran
itu terbukti. Datuk Penghulu yang selalui berada bersama Si Bungsu tertegun. Dia menatap pada si tabib. Si
Bungsu perlahan duduk dari pembaringannya. Tubuhnya amat lemah, wajahnya pucat karena sudah dua hari
demam dengan panas amat tinggi. Di luar sana terdengar suara si Mayor mulai menghitung. Tabib yang ditatap
Datuk Penghulu itu sendiri jadi pucat.
"Saya tidak mengkhianati tuan-tuan. Demi Allah, saya tidak mengkhianati tuan-tuan" ujar tabib itu.
Datuk Penghulu masih menatapnya. Demikian pula Si Bungsu.
"Tidak. Kami tahu bapak tidak mengkhianati kami. Mereka memang telah menyebar ratusan intelejen. .
. jangan takut "." Si Bungsu berkata sambil melangkah turun.
Bersama Datuk Penghulu dia membuka pintu tatkala hitungan mencapai empat. Semua tentara Jepang
yang mengepung rumah itu mengacungkan bedil mereka. Mayor itu sendiri tegak dengan pistol di tangan.
Nampaknya dia tak mau menanggung resiko. Pengalaman di Birugo Puhun dulu menyebabkan dia amat
berhati-hati. "Lemparkan samuraimu Bungsu. Lemparkan ke tanah. Kemudian kalian berdua berjalan kemari dengan
tangan ke atas dan bergerak mundur. cepat. . . ."
Si Bungsu melakukan perintah Mayor itu. Dan melemparkan samurainya ke tanah. Kemudian samurai
itu dipungut oleh seorang Sersan. Mayor yang pernah mereka rendam di dalam tebat di Birugo beberapa hari
yang lalu itu melangkah mendekat, begitu dia lihat samurai Si Bungsu sudah dipungut anak buahnya.
Mayor ini merasa malu bukan main sejak peristiwa berendam dalam tebat tersebut. Marah serta dendam
itu kini dia muntahkan. Dia tegak setengah depa di depan Si Bungsu. Menatap anak muda itu dengan pandangan
seperti akan melulurnya mentah-mentah. Tiba-tiba tangannya bergerak. Cepat sekali. Demikian cepatnya,
sehingga Datuk penghulu sendiri tak melihat bagaimana cara Mayor itu menggerakkan tangannya. Si Bungsu
terdengar memekik. Tangan Mayor itu bergerak lagi, dan meski sudah ditahan sekuat mungkin, namun tetap
saja Si Bungsu tak dapat untuk tidak memekik. Gerakan Mayor itu adalah sebuah gerakan karate bern chudan
Nukite choki. Yaitu sebuah tusukan dengan keempat jari-jari tangan ke luka di bahu kiri Si Bungsu. Tusukan
jari-jari tangan yang dirapatkan itu amat telak dan amat cepat.
Kembali menusuk luka bekas tebasan samurai Syo-i Atto itu seperti pisau menusuk daging. Pada tusukan
keempat jari pertama, kain yang membalut luka sementara dibahu Si Bungsu jebol, amblas ke dalam luka
tersebut. Pada hantaman ke dua, keempat jari tangan Mayor tersebut masuk hampir sepertiganya. Demikian
kuat dan cepatnya gerakan itu. Dilakukan oleh seorang ahli karate yang telah memiliki tingkatan Dan IV. Yaitu
tingkatan keempat bagi pemegang sabuk hitam. Mendengar pekik yang menahan sakit luar biasa dari mulut Si
Bungsu, itu Datuk Penghulu yang tegak empat depa di belakangnya tersentak.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 108
Anak muda itu rubuh ke tanah. Saat itulah, dengan melupakan setiap mara bahaya, semata-mata karena
kasihan dan sayangnya pada Si Bungsu, Datuk Penghulu tiba-tiba menghambur. Tubuhnya melayang di udara.
Dan sebelum Kempetai-Kempetai itu sadar apa yang terjadi, tendangannya mendarat di kepala Syo Sha
tersebut. Mayor itu terpelanting dua depa. Jatuh berguling di tanah, seorang prajurit mengangkat bedil.
Namun Datuk yang sudah kalap itu bergulingan. Ketika dia berdiri, tendangannya menghantam
kerampang prajurit yang tengah membidik senapan itu meledak, tapi alat-alat di kerampangnya juga meledak
kena tendang. Peluru itu senapannya menghantam tanah. Masih dalam kecepatan yang hanya dimiliki oleh
pesilat-pesilat tangguh, pada langkah keempat setelah menyepak kerampang si prajurit, dia sampai kedekat
Mayor yang kini sudah akan bangkit.
Mayor itu mencabut samurainya. Gerakannya demikian cepat. Dia masih berlutut ketika samurainya
sudah keluar separoh. Tapi saat itu pula tendangan Datuk Penghulu menghajar dadanya. Namun saat itu pula
samurainya berkelebat. Tubuh Mayor itu tercampak. Dari mulutnya menyembur darah merah. Rusuknya patah
tiga buah, lalu tergeletak tak sadar diri dengan muka membiru.
(24) Datuk Penghulu tegak dengan kaki terpentang. Menghadap Mayor itu dengan perasaan muak. Disamping
Mayor itu tergeletak samurainya. Si Bungsu yang baru saja tergolek jatuh, melihat betapa perkasanya Datuk
itu. Demikian cepat dia bergerak. Benar-benar seorang pesilat yang tangguh. Dia melihat betapa Datuk itu tetap
tegak tanpa bergerak ketika Kempetai-kempetai itu mengepungnya dengan sangkur terhunus. Lalu tiba-tiba
tubuh Datuk itu meliuk. Dan lambat-lambat dia berputar di atas kedua lututnya. Dan lambat-lambat dia jatuh
di atas kedua lututnya. Tubuhnya berputar, menghadap pada Si Bungsu yang masih tertelentang. Dengan
terkejut, sesaat sebelum jatuh pingsan, Si Bungsu melihat betapa perut Datuk itu robek mengalirkan darah
perlahan ke bawah. Mereka bertatapan. Mulut Datuk itu bergerak. Tapi satu suara pun tak keluar. Namun,
meskipun tak ada suara, Si Bungsu seperti dapat menangkap apa yang akan diucapkan Datuk itu,
"Jaga dirimu baik-baik. Tetap bertahanlah untuk hidup, Jangan menyerah pada penjajah. Tuhan
bersamamu, nak." Sepertinya kalimat itulah yang akan diucapkan Datuk Penghulu. Mulutnya tak bersuara. Tapi Si Bungsu
dapat membaca kalimat itu lewat ekspresi wajahnya. Lewat matanya yang berangsur jadi redup.
"Pak. . ." suara Si Bungsu bergetar perlahan.
Namun setelah itu dia sendiri jatuh pingsan. Hantaman jari-jari tangan Mayor itu amat menderanya.
Luka di dadanya robek. Penderitaan itu tak mampu dia tahankan, dia jatuh pingsan. Dan itulah saat terakhir
dia melihat Datuk Penghulu. Sebab orang tua perkasa itu mati menyusul anak dan istrinya. Tatkala dia
menendang Mayor itu, samurai si Mayor sudah tercabut separoh. Ketika tendangannya mendarat di rusuk si
Mayor Jepang itu membabatkan. Mayor itu adalah samurai yang tangguh. Pangkatnya yang Syo Sha itu saja
sudah menjamin bahwa dia adalah seorang samurai yang tak bisa dikatakan tak cepat. Setiap perwira Jepang
tidak hanya wajib mahir dalam mempergunakan samurai. Lebih dari itu, samurai merupakan suatu seni bela
diri turun-temurun. Yang mendarah daging, yang merupakan kebanggaan tradisi bagi lelaki Jepang untuk
mempelajarinya Makin mahir lelaki Jepang dengan samurainya, makin tinggi penghormatan orang padanya.
Nah, saat akan rubuh itulah dia sempat membabat perut Datuk Penghulu. Dan babatannya sebagai
seorang samurai andalan, berhasil membelah perut Datuk Penghulu serta memutus ususnya. Datuk itu masih
bisa bertahan tetap tegak semata-mata karena ketangguhan dan kekerasan hatinya saja. saat Si Bungsu jatuh
pingsan, mata Datuk itu terpejam. Di sudut matanya kelihatan manik-manik air merembes perlahan. Lalu
kepalanya terkulai bersama tubuhnya.
Tergeletak mencium bumi. Nyawanya dijemput Yang Khalik sebelum tubuhnya sempurna terguling di
bumi Semua tentara Jepang yang tegak mengelilingi orang tua itu pada tertegun. Diam-diam mereka
mengagumi keperkasaan lelaki yang tersungkur di hadapan mereka ini. Dihadapan mereka sekarang tergeletak
dua manusia yang barangkali tak terpaut jauh beda usianya. Yang satu adalah komandan mereka yang
berpangkat Mayor itu. Yang satu lagi adalah Datuk Penghulu. Lelaki pribumi yang tercatat sebagai musuh
balatentara Jepang. Yang satu mati karena melawan fasisme yang menjajah negaranya. Yang satu lagi tergolek
hampir mampus karena mempertahankan kekuasaan negerinya untuk menjajah negeri lain. Keduanya samasama pejuang buat negeri masing-masing. Keduanya sama-sama mengabdikan dirinya buat bangsa mereka
pada posisi yang saling berhadapan.
Si Bungsu tak tahu beberapa lama sudah dia jatuh pingsan. Namun ketika dia sadar yang pertama dia
rasakan adalah rasa sakit yang amat menyiksa di bahunya. Demikian sakitnya, sehingga tubuhnya terasa
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 109
menggigil. Panas dan berpeluh. Demam dengan panas yang amat tinggi masih menyerang dirinya. Dia tak kuasa
menggerakkan tubuh. Bahkan menggerakkan jari-jarinya saja dia tak kuat. Satu-satunya yang mampu dia
perbuat kini hanyalah membuka kelopak matanya.
Terasa berat. Tapi dia paksakan juga. Penglihatannya berputar. Merah, hitam, kuning, hijau. Warnawarni tak menentu bermain dan berpusing di hadapannya. Dia pejamkan matanya kembali. Dengan
pendengarannya yang amat terlatih dia mencoba menangkap suara. Tapi tak terdengar apapun, kini lambatlambat kembali dia buka matanya. Dan menarik nafas. Menatap ruangan di mana dia kini berada.
"Pak Datuk "." Himbaunya tatkala melihat sesosok tubuh terikat empat depa di depannya. Tak ada
jawaban. "Pak Datuk . . ." Himbaunya lagi dengan suara pecah.
Lambat-lambat sosok tubuh itu mengangkat kepala. Bukan, dia bukan Datuk Penghulu. Si Bungsu segera
mengenalinya sebagai salah satu seorang pimpinan rapat di Birugo dahulu. Dia memang tidak mengenal siapa
namanya, tapi dia kenal betul lelaki itu. Saat dalam rapat itu dahulu lelaki ini hanya berdiam diri.
"Datuk Penghulu telah meninggal, Bungsu "." ujar lelaki itu mulai bicara.
"Meninggal "..?" Ujar Si Bungsu. Tapi suaranya hilang di tenggorokan.
"Ya, dia meninggal ketika mula pertama kalian ditangkap di Kota Baru. . . ."
"Meninggal" Datuk Penghulu meninggal?" Bungsu masih berkata sendiri. Sepertinya tak percaya dia
akan apa yang dia dengar.
"Mustahil, mustahil Datuk Penghulu meninggaL Bukankah dia melihat lelaki itu tegak dengan
perkasanya setelah menghantam Syo Sha itu dengan sebuah tendangan?"
"Tak ada yang mustahil bagi takdir Tuhan anak muda. Datuk Penghulu memang telah meninggal. Banyak
jasanya bagi persiapan perjuangan yang akan datang. Tapi selain teman-teman dekat, tak ada orang lain yang
mengenali perjuangannya. orang hanya mengenal dia sebagai kusir bendi. Tak lebih. Dan kami, telah
kehilangan seorang pejuang, seorang teman, seorang mata-mata yang tangguh. Seorang guru silat yang berilmu
tinggi. Hanya ada seorang muridnya yang menerima warisan ilmunya. Seorang gadis cina bernama Mei-mei.
Tapi saya dengar gadis itu sudah meninggal pula beberapa waktu yang lalu. Kini, ilmunya itu dia bawa mati. . .
." Lelaki itu terdiam. Si Bungsu menatapnya. Nampaknya lelaki ini cukup banyak mengetahui tentang
Datuk Penghulu. Meski ada juga yang tak dia ketahui, misalnya tentang diri Mei-mei yang sebenarnya adalah
tunangannya. "Saya melihat Bapak dalam rapat di Birugo dahulu. Siapakah bapak?"
"Nama saya Kari Basa . . ." Ucapan lelaki itu terhenti tatkala pintu terdengar berderit.
"Nah, sejak saat ini, kita saling tak mengenal."
Lelaki itu masih sempat berkata perlahan sebelum pintu diujung terbuka. Dan kepala laki-laki itu
terkulai lagi, pura-pura pingsan. Si Bungsu buat pertama kalinya menyadari, bahwa dirinya terikat kuat.
Tangannya digantung ke atas. Kakinya diikat ke lantai. Buat pertama kalinya pula dia menyadari, dia kini
berada di dalam sebuah gua. Dalam gua.
Tadi dia tak menyadari hal itu karena terpukau akan berita kematian Datuk Penghulu. Dan kini dalam
guha itu telah tegak tiga orang Kempetai. Gua itu diterangi oleh lampu listrik. Si Bungsu bisa menebak. bahwa
dia berada di salah satu terowongan yang digali Jepang di bawah kota Bukittinggi.
Dia sudah banyak mendengar cerita tentang gua di kota itu. Cerita dari bisik ke bisik. Sebab tak ada cerita
yang pasti tentang penggalian terowongan itu. Para lelaki yang menggali adalah romusha yang diambil dari
Tentara Sekutu yang ditawan setelah dilucuti, ditambah dengan ribuan lelaki bangsa Indonesia dari segala
penjuru tanah air. Termasuk di dalamnya puluhan laki-laki dari kota Bukittinggi dan daerah-daerah lainnya di
Minangkabau. Namun tak seorang pun di antara romusha itu yang sempat berada di luar terowongan. Setiap
romusha yang masuk terowongan itu tak pernah diketahui ada yang keluar. Tak pernah. Mereka dimasukkan
ke terowongan itu di malam buta. Tapi tak seorang pun yang melihat mereka keluar hidup ataupun mati. Si
Pembunuhan Di Sungai Nil 5 Fear Street - Sagas Iii Rahasia Rahasia Kelam Forbidden Secrets Sepasang Walet Merah 1