Warisan Berdarah 2
Si Tolol 1 Warisan Berdarah Bagian 2
Tak lama kemudian ia kembali dari kamarnya
sambil membawa surat-surat yang diminta Den
Wangsa. Dengan tangan gemetar ia menyerahkan
surat itu kepada Den Wangsa.
"Ini suratnya, Den...!" ucap Pak Tirta dengan
wajah pucat sekali.
"Bagus! Sekarang kau tulis kembali surat itu
sesuai dengan permintaanku tadi," perintah Den
Wangsa dengan keras.
"Ba... baik. Den," sahut Pak Tirta sambil melirik
ke tangan Den Wangsa yang masih menggenggam keris
dan pistol di kedua tangannya.
"Setelah kau tulis kembali, aslinya berikan
kepadaku, untuk kusimpan. Besok sore surat itu
harus sudah disahkan oleh Kotapraja. Kalau tidak...
hmmmh. Timah panas ini akan bersarang di
kepalamu."
"I... iya..., Den!"
Di saat Pak Tirta sedang menjalankan perintah
Den Wangsa. Suasana di lereng Gunung Burangrang
atau tepatnya di dekat air terjun yang curam itu,
tampak sudah sepi kembali. Rupanya pertarungan
sudah berakhir. Tapi korban-korban dari pertarungan
tersebut masih tampak tersisa, dua laki-laki yang
mengambang di air masih tetap terselip di antara batu-batu sungai.
Ada lagi sebuah pemandangan yang mengerikan.
sebuah kepala tanpa badan ditancapkan di sebuah
batang pohon kering dekat sungai. Kepala itu tak lain adalah kepala orang yang
menyebut dirinya Si Pecok
Sejuta. Rupanya ia baru saja dikalahkan oleh Si
Tangan Kilat beberapa saat yang lalu. Ini tampak
sekali dari tetesan darah yang masih terus keluar dari leher korban.
*** 6 Hembusan angin makin terasa dinginnya di
malam itu. Apalagi rintik hujan sudah mulai
mengiringi ke mana angin itu bertiup. Cuaca buruk itu terus berlangsung hingga
pagi harinya. Di saat ayam berkokok saling bersahutan. Di
ruang belakang rumah Den Surya tampak Den Wangsa
yang biasanya bangun tengah hari, di pagi itu sudah
sibuk mempersiapkan sesuatu.
Encum, pembantu rumah Den Surya, agak
terkejut melihat kesibukan Sang Juragan di dapur.
Tapi ia pun tak berani bertanya apa-apa. Ia pun
langsung mengerjakan pekerjaan rutinnya tanpa
memperdulikan Sang Juragan yang tampaknya agak
aneh baginya. "Dengan racun inilah Surya akan lebih cepat
berangkat ke akhirat. Tahap pertama sudah
kulaksanakan dengan baik. Nanti sore Si Tirta sudah
siap membuat surat wasiat. Sekarang tahap kedua
pun harus berhasil dengan sempurna. Apalagi si Surya
sudah pergi ke liang kubur, baru kuselesaikan
masalah anak-anaknya. Kurasa menyelesaikan tikus-
tikus kecil itu tak perlu repot-repot. Sekali kibas pun semuanya akan beres,"
gumam Den Wangsa sambil
membuat minuman beracun itu.
Setelah siap membuat ramuan itu Den Wangsa
pun melangkah ke sumur menemui Encum yang lagi
sibuk mencuci piring
"Hei.. Cum. Ke sini kamu!" perintah Den Wangsa
kepada pembantu rumah tangga itu, seorang gadis
kecil yang masih seumur anak Pak Kohar.
"Iya, Gan...!" sahut Encum sambil menggosok
tangannya yang basah dengan lap yang tergantung di
dinding. "Sudah kau siapkan sarapan pagi untuk Juragan
Surya?" tanya Den Wangsa.
"Belum, Gan...! Habis, Juragan Surya masih
tidur sih, Gan...!" jawab Encum dengan polos.
"Bagus...! Nanti setelah Juragan bangun, tolong
antarkan jamu yang baru saja kudapatkan dari tempat
yang jauh ini," pinta Den Wangsa kepada Encum.
"Baik, Gan...!" balas Encum sambil
memindahkan jamu yang diberikan oleh Den Wangsa
ke atas baki. Di atas baki itu pun telah tersedia segelas teh manis dan
semangkuk bubur, untuk sarapan pagi
Den Surya. Tak lama setelah Encum mendengar suara batuk
Den Surya, ia segera mengantarkan sarapan pagi
untuk majikannya itu berikut titipan majikan yang
satunya yaitu Den Wangsa.
Di dalam kamar Den Surya tampak anak sang
majikan dengan enaknya tidur bersandar di dinding
tanpa alas sama sekali, padahal bukan main dinginnya
ubin tersebut apabila diinjak tanpa alas kaki.
"Duuuh, Den Tolol. Kalau tidur asal jadi saja!"
gumam Encum sambil melangkah menuju ke tempat
pembaringan majikannya. "Kalau sudah sarapan,
minumlah jamunya Gan. Mudah-mudahan Agan cepat
sembuh dan tidak sakit-sakit lagi," ucapnya ketika
meletakkan baki yang dipegangnya ke atas meja dekat
tempat tidur Den Surya.
Encum kembali ke dapur setelah memberikan
sarapan pagi. Tapi apa yang terjadi" Baru saja ia akan membenahi piring yang
baru dicucinya, tiba-tiba
terdengar jeritan keras dari Si Tolol sehingga membuat piring yang dipegangnya
terlepas dan pecah
berserakan di lantai.
Tanpa pikir panjang lagi, ia segera berlari
menuju ke kamar majikannya. "Apa yang terjadi,
Den...?" teriak Encum setelah tiba di muka pintu.
"Waaaaaaa.... Ayaaaaaah...!! Jangan tinggalkan
Tolol, Ayaaah! Tolol tak mau ditinggal Ayah...!
Waaaaaa... aaa...! Tolol sama siapa kalau Ayah tidak
ada..! Huu... uuu...!" Tangis Tolol dengan keras sambil memeluk ayahnya yang
telah tak bernyawa lagi.
Kematian Den Surya sungguh tragis sekali,
tubuhnya tampak membiru, matanya terbelalak ke
atas, dan mulutnya berbusa. Rupanya racun yang
dibuat adik sepupunya sangat cepat sekali reaksinya.
Gelas bekas ramuan yang dibuat Den Wangsa pun
tampak masih berada di dekat tangan Den Surya hal
ini yang membuat Encum berteriak tanpa kendali.
"Jamu itukah yang membuat Agan mati"! Ooooh...!
Tolooooong...!" teriak Encum sambil berlari keluar dan menjatuhkan dirinya di
emper rumah. "Toloooong...,
Agan tolooooong...!" teriaknya tanpa henti.
"Heh! Bocah Goblok! Kenapa kau berteriak-teriak
seperti itu. Kesurupan kau, ya"! Tidak tahukah kalau
Juragan Besarmu sedang sakit keras"! Diam! Kalau
tidak ku-rotan kau nanti!" hardik Den Wangsa yang
tiba-tiba muncul dari balik pintu.
"Gan, tolong Agan Besar di dalam, Gan... tolong.
Gan...! Oh... Agan besar baru saja minum..." jelas
Encum terputus-putus.
"Diam!" sela Den Wangsa dengan marah. "Ayo
kau kembali ke dapur sana!" bentaknya kembali
sambil mengancam.
Memang maut sudah tak dapat dihindarkan lagi.
Den Surya kini telah pergi untuk selama-lamanya. Di
antara sekian banyak pelayat yang datang tampak
pula Pak Tirta. Sorot mata kebencian kepada Den
Wangsa kelihatan tampak sekali di wajahnya. Apalagi
ketika melihat kesedihan Den Wangsa dalam
menyalami tamu-tamu yang datang. Sungguh, air
mata buaya! Saat itu Pak Kohar dan anak gadisnya tampak
sedih sekali. Ia benar-benar merasa kehilangan
seorang majikan yang bijaksana.
Sepeninggalan ayahnya. Tolol tampak semakin
tolol saja. Ia bagai ayam yang kehilangan induknya.
Selalu mengingat terus Ayah dan Ibunya yang telah
tiada itu. Sedangkan ketiga kakaknya, sibuk dengan
kesenangannya masing-masing. Seperti Si Kasep,
misalnya, ayam aduan yang dimilikinya tampak
semakin banyak. Kerjanya setiap hari mengurus dan
mengadu ayam, tak memikirkan keadaan adiknya yang
kecil ini. Jangankan mengurus, menyapanya pun
tidak. Sungguh kasihan sekali nasib anak itu.
Pada suatu hari ketika Kasep hendak berangkat
untuk menyabung ayam. Si Tolol datang menemuinya.
"Kang Acep mau ke mana" Tolol ikut dong...!"
ucap Tolol dengan gaya khasnya.
"Tidak! Anak kecil tak boleh ikut!" jawab
kakaknya dengan ketus.
"Bodo...! Pokoknya Tolol mau ikut!" sela Si Tolol
dengan muka yang kelihatan mau menangis.
"Ayo cepat masuk!" bentak Si Kasep dengan mata
melotot. "Nggak... nggak mau! Tolol ikut! Tolol ikut!
Huuu...!" "He! Apa-apaan kau ini, hah"! Cepat lepaskan!"
"Nggak, Tolol nggak mau lepas... pokoknya Tolol
mau ikut... huuuuu!" rengeknya sambil erat-erat
memegang baju kakaknya.
"Awas! Kalau kau tak mau melepaskan kakiku
ini. Aku jitak kau!" Si Tolol berpindah memeluk erat-
erat kaki kakaknya.
"Kak...! Tolol nggak mau ditinggalkan sendirian
di rumah. Tolol mau ikut...! Waaaaaaa... huaaa...! Tolol sekarang udah nggak
ileran lagi..., ileran juga enggak!
Tolol udah bisa seka sendiri."
"Hmmmmh! Benar-benar keterlaluan! Lihat
tanganku ini. Kujitak kau! Hih, rasakan!"
Tangan kakaknya dengan cepat melayang dan
mendarat di kepala Si Tolol 'Pletak!' suara dari kepala yang plontos itu pun
terdengar nyaring.
"Waaaaaaa...!" jerit Si Tolol langsung terdengar
dengan nyaring pula, "Kang Acep jahat...! Jahaaaat!
Kang Acep jahat! Huuuwaaaaa... uwaaaaaa...!" jeritnya kembali dengan suara yang
makin melengking.
Den Wangsa melihat Si Tolol menjerit-jerit bagai
anak yang disengat tawon, segera menghampirinya.
"Tolol... kenapa kau menangis?" ucapnya lembut,
karena ada maunya.
"Kepala Tolol dijitak sama Kang Acep..., Paman!"
sahut Si Tolol polos.
"Cep... sudahlah diam. Jangan menangis. Nanti
Paman kasih duit buat jajan," balas Pamannya sambil
merogoh saku. "Abisnya sakit deh, dijitak...!" sela Tolol sambil
memegang kepalanya.
"Ssst, diam ya...! Lihat nih. Paman kasih
seringgit. Nanti malam, Paman ajak nonton wayang
golek! Rame deh?"
"Betul nih, Paman"! Tolol ikut ya?" sahut Tolol
dengan wajah yang kembali cerah dan berseri seperti
lupa dengan sakit di kepalanya.
"Betul. Tapi kalau mau ikut Paman, Tolol musti
mandi dulu dan pakai baju yang bagus dan bersih...!"
"Ini juga bagus.... Paman!"
"Iya... bajumu memang sudah bagus. Tapi otomu
itu sudah jelek, musti diganti dengan yang baru...!
Bagaimana kalau Paman tukar dengan yang ini..!"
"Oh... iya...! Bagus sekali, Paman...!"
"Ini sengaja Paman bawakan untukmu... karena
Paman lihat. Otomu itu sudah dekil sekali. Selain itu otomu yang bekas ingus dan
iler itu baunya bukan
main. Ayo, bukalah otomu itu. Nak...! Paman sengaja
bawakan untukmu bermacam-macam warna... ada
yang merah, ada yang kuning, biru dan hijau."
Sementara Den Wangsa berbicara, tiba-tiba
pikiran Si Tolol menerawang sejenak. Ia teringat pesan dari seseorang,
"Ingatlah! Jangan mau jika ada orang
yang hendak menukarkan yang kau pakai ini!" suara
itu seakan jelas terlintas kembali di dalam pikirannya.
"Hei, kenapa kau bengong. Ayo cepatlah buka!"
ucap Den Wangsa kembali yang spontan membuat Si
Tolol terhentak dari lamunannya." Nanti kusuruh
Kohar mencuci otomu yang sudah bau macam air
comberan itu...!"
"Nggak ah, Paman!"
"Lho. Kenapa tidak mau" Oto yang kubeli ini kan
oto yang bagus, harganya pun mahal. Lihatlah
gambarnya, bagus-bagus, bukan"!"
"Biar, Paman. Tolol pakai yang ini saja. jelek juga
nggak apa-apa! Biarin, deh!"
"Ayo ganti! Kalau kau tak mau ganti, nanti
kuminta lagi duit yang kukasih tadi! Ayo...! Mau ganti atau mau duitnya kuminta
kembali dan tak jadi
kuajak nonton wayang golek nanti malam...!"
"Tidak mau...! lepaskan. Paman..., geli nih...!
Aduh..., aduh! Iya deh Tolol kembalikan duit Paman,
asal Tolol boleh pakai terus oto jelek ini."
Akhirnya Den Wangsa melepaskan juga
tangannya yang sebelumnya berusaha ingin membuka
oto yang dipakai anak itu.
"Tuh duitnya. Tolol mau nonton wayang golek
sendiri saja. Tolol mau minta duit sama Kang Tompel
saja!" ucap Si Tolol sambil berjalan dan melempar
uang logam tinggi-tinggi ke arah Den Wangsa, tanpa
menoleh sedikit pun.
Bukan main kesalnya sang Raden ini melihat
tingkah yang diperbuat Si Tolol terhadap dirinya.
"Huh! Bagong cilik ini betul-betul tolol apa pinter,
sih"! Kenapa aku ikut-ikutan jadi tolol. Kutunggu saja sampai Si Bego ini mandi.
Tentu otonya kan gampang
Si Tolol 1 Warisan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kucuri!" gumam Den Wangsa sambil menggaruk-garuk
kepala tidak gatal.
Tolol yang telah jauh meninggalkan Pamannya,
kini telah berada di sekitar halaman rumah Pak Kohar.
Di sekitar tempat itu memang ada tempat yang teduh
dan sering dipakai oleh Si Tolol sebagai tempat
istirahatnya. Tapi kali ini tidak, sebab baru saja ia akan melonjorkan kakinya
tiba-tiba ia melihat salah
seorang kakaknya lewat di situ.
"Kang..., Kang Tompel! Tunggu! Tunggu Kang...!"
teriak Si Tolol sambil berlari menyusul kakaknya yang berjalan cepat sekali.
"Ada apa panggil-panggil?" bentak kakaknya.
"Minta duit, Kang!" sahut Si Tolol.
"Duit. Lagi-lagi duit! Duit monyong lu!" bentak
Tompel sambil melotot.
"Tolol mau nonton. Kang. Minta duit buat jajan!"
pinta Tolol kembali.
"Tidak! Aku lagi kalah main! Tidak ada duit-
duitan!" "Seringgit aja. Kang..., buat beli getuk."
"Seperak pun nggak ada!"
"Uhuuuu... uuuu..., minta dong Kang Tompel."
"Nggak! Sudah pergi sana jangan rewel! Nanti
kupelintir lehermu kalau masih rewel!"
"Kang Tompel pelit.... Kang Tompel pelit. Minta
duit seringgit aja nggak dikasih...! Peliiiiiit! Uuuu...
uhuuuu...!"
"Doakan..., kalau aku menang, kau akan
kubagi!" Setelah itu Den Tompel pun berangkat lagi. Si
Tolol ditinggal seorang diri.
Pak Kohar yang kebetulan baru pulang dari
ladang, setelah melihat Si Tolol ada di situ, segera
menghampirinya.
"Kenapa kau menangis di sini, Den?" sapa Pak
Kohar dengan lembut.
"Tolol mau jajan nggak punya duit. Minta sama
Kang Tompel nggak dikasih. Huuuu... uuu...
uuuuuuuu!" sahut Si Tolol dengan tangis yang makin
menjadi-jadi. "Sudahlah, Den..., diamlah!" balas Pak Kohar
sambil mengelus-elus kepala Si Tolol.
"Tolol mau jajan.... Tolol mau jajaaaan...!
Uuuu...!" "Nih Bapak punya uang sedikit, ambillah!"
"Uuuu... uuu...!"
"Sudahlah...! Bukankah Aden ingin membeli
getuk"! Belilah! Uang itu cukup buat beli dua getuk
manis!" "Terima kasih. Pak Kohar!"
"Ya...! Cep..., jangan menangis lagi, ya!"
"Kalau Kang Lungguh sih nggak pelit ya. Pak.
Cuma sayang nggak pernah pulang-pulang. Kemana
sih Pak"! Kata anak-anak Kang Lungguh suka nginap
di rumah orang. Betul apa nggak sih" Emang rumah
orang itu bagus apa enggak sih?"
"Sudahlah, Den. Pergilah main...! Tapi hati-hati,
ya..., jangan ngelantur."
Bukan main senangnya hati Tolol setelah
mendapatkan uang jajan tersebut. Ia langsung berlari
sambil bernyanyi dan dalam beberapa detik saja sudah
menghilang dari tempat itu.
Menyaksikan keadaan tersebut bukan main
sedihnya hati Pak Kohar. Tanpa terasa air matanya
berlinang membasahi pipi.
"Aduh... Gusti! Betapa malangnya nasibmu, Den.
Tak ubahnya seperti layangan putus. Saudara-
saudaramu semua tak ada yang perduli sama sekali.
Mereka ketiga-tiganya punya jalan sendiri-sendiri dan jalan yang mereka tempuh,
terkutuk semua! Begitu
pula dengan Pamanmu sendiri. Si Serigala berbulu
domba itu tampak semakin tamak saja. Sesungguhnya
kau butuh perlindungan. Tapi sayang kau berlindung
di tempat manusia-manusia iblis yang buas dan
serakah yang tak segan-segan akan memangsamu
demi tercapai kehendaknya. Percayalah aku tetap
berusaha memperhatikanmu, walaupun diriku tak
berarti apa-apa." ucap Pak Kohar di dalam hati sambil mengelus-elus dada
sendiri. Setelah beberapa saat berdiri, ia pun segera
mengambil Cangkulnya kembali dan langsung berjalan
menuju ke rumahnya. Di depan rumah tersebut
tampak pula Encum yang sejak tadi
memperhatikannya. Encum pun kelihatan sedih sekali.
Si Tolol yang sudah mengantongi uang
pemberian dari Pak Kohar, kini telah berada di
pinggiran pasar. Rupanya ia sedang berusaha
menghibur dirinya sendiri.
*** 7 Di sudut Pasar Babakan, tampak seorang
pengamen sedang asyik memainkan kecapinya di
bawah pohon yang agak besar. Lagu yang dibawakan
pada saat itu adalah sebuah lagu Sunda berjudul
Bubuy Bulan. Mendengar lagu itu. Si Tolol langsung
mendekatinya. "Hmmm... enak sekali lagu ini," gumam Si Tolol.
Si Tolol segera jongkok di depan pengamen itu.
Saat ia perhatikan wajahnya, bukan main terkejutnya.
Ia seakan-akan pernah bertemu dengan orang ini, tapi
kapan dan di mana ia bertemunya sulit sekali diingat
di dalam pikirannya.
"Mau minta lagu, Den?" tanya pengamen itu.
"Oh..., ya... ya! Coba minta lagu Bubuy Bulannya
sekali lagi. Nih uangnya!" balas Si Tolol agak terkejut.
"Baik, Den..., terima kasih!"
"Sebentar, Pak..., aku mau cari tempat yang enak
untuk melonjor," pinta Si Tolol sambil membersihkan
tempat di samping pengamen, "Nah, mainkanlah!"
perintahnya kembali setelah ia duduk bersandar di
bawah pohon. Pengamen itu pun langsung bernyanyi, "Bubuy...
bulan, bubuy bulan sangray bentang. Panon poe'...
panon poe'... disasate' Unggal bulan..., unggal bulan abdi' teang. Unggal
poe'... unggal poe' oge' hade'..."
Belum lagi lagu tersebut habis. Si Tolol sudah
terapung-apung di alam mimpi.
"Parantos... Den. lagunya sudah selesai. Eh...,
tidur"!"
Dari mulai terik sinar matahari terasa menyengat
hingga matahari itu tergelincir ke Barat Si Tolol belum juga bangun. Untunglah
ada dua anak yang lewat di
situ dan kasihan kepadanya.
"Eh..., itu Den Tolol ketiduran di situ," ucap
salah seorang di antara mereka.
"Bangunin ah, kasihan...!" sahut temannya.
"Den... Den Tolol. Bangun, Den, sudah sore...!"
"Wah pules sekali kayanya!"
"Den... Den Tolol...! Bangun...!"
Setelah berkali-kali dibangunkan akhirnya Si
Tolol terbangun juga.
"Oahhhhhmmm.., nyem.. nyem.. nyem..! Oh,
ngantuuuuk! Eh, ke mana tukang ngamen tadi?"
"Tukang ngamen yang mana, Den?"
"Yang tadi di sini."
"Wah udah lama perginya, Den."
"Katanya mau nyanyikan aku lagu Bubuy
Bulan..., kok pergi sih...!"
"Mungkin Aden tadi ketiduran."
"Ah... nggak. Aku cuma ngejerejep sebentar,
kok." "Itu kan perasaan Aden."
"Sungguh, aku nggak tidur."
"Aden pulas di sini hampir setengah hari.
Percayalah...! Sekarang lebih baik Aden pulang,
sebentar lagi pasti Pak Kohar disuruh mencari Aden."
"Ya... ya, aku memang mau pulang. Mau mandi!"
"Baiklah kalau begitu, kamu duluan ya. Den...!"
Untung sekali nasib Si Tolol saat itu. Ia
mendapatkan anak yang mengenal keadaannya lebih
dekat. Biasanya ia selalu mendapatkan anak-anak
yang sering mengganggu dan mengejeknya.
Setelah menggeliat beberapa kali, Si Tolol pun
bangkit lalu berdiri. Uang dan nonton wayang golek
sudah lepas dari ingatannya, kini tujuannya adalah
ingin cepat kembali ke rumahnya untuk mandi.
Setibanya di rumah, sebagaimana biasa Encum
menyambutnya dengan ramah. Ini adalah pesan dari
Pak Kohar agar ia harus memperhatikan anak itu
dengan baik. "Aden mau mandi" Tunggu ya. Den, Encum mau
tuangkan airnya dulu di tahang," sambut Encum.
"Ho... oh! Tolol mau mandi!"
Orang yang disebut oleh Pak Kohar sebagai
manusia serigala dan tamak, begitu melihat Si Tolol
datang, segera mengintai.
Senyumnya mulai tersungging di bibir ketika
melihat Si Tolol hendak mandi.
"Ini baru kesempatan yang bagus dan inilah
saatnya aku bisa mendapatkan oto wasiat! Ayo
sayang..., cepatlah mandi. Bukalah pakaianmu.
Nak...!" ucapnya dengan perlahan sekali dan tak
mungkin dapat terdengar oleh Si Tolol maupun Si
Encum. Den Wangsa yang begitu perlente dan keren kali
ini mau bersusah payah menyelinap ke dapur dekat
kayu bakar yang berdebu dan kotor. Apalagi waktu
mendekati pakaian Si Tolol, ia mendekam bagaikan
seekor kucing yang hendak menerkam tikus, kalau
seandainya ia memakai baju putih tentu baju tersebut
sudah berubah warna menjadi hitam, untunglah ia
memakai baju hitam celana hitam, jadi hanya bagian
muka dan telapak tangan saja yang kelihatan berubah
dari bersih menjadi coreng-moreng.
Memang, ia benar-benar sudah tak memikirkan
keadaan dirinya pada waktu itu. Yang penting oto itu
harus berada di tangan, karena di dalam oto tersebut
terdapat petunjuk untuk mengetahui tempat simpanan
harta warisan seperti apa yang diucapkan oleh
almarhum Raden Surya sebelum ia wafat.
Setelah dengan susah payah akhirnya Raden
Wangsa dapat mengambil oto tersebut tanpa diketahui
oleh Si Tolol maupun Encum
"Ini dia saatnya! Sebentar lagi aku akan menjadi
orang yang paling kaya seantara Babakan Sumedang
Tapi... uuf... ffuuuhhh... bek..! Busyeeet dah, baunya bukan maiiin...! Kalau
kucemplungkan di kali tentu
semua ikan mabok nih," ucap Den Wangsa setelah
berada kembali, di kamarnya.
Den Wangsa segera menyiapkan peralatan tulis
dan dengan cepat ia menyalin semua yang tergambar
di dalam oto itu. Dalam menyalin kerajinan tangan
yang begitu indah, terpaksa ia harus bertahan dengan
bau yang menusuk hidung. Sulaman yang terdiri dari
rangkaian kalimat yang disusun berbentuk bunga
disalin sebagaimana aslinya. Untuk yang kurang jelas
ia pun tak segan-segan mengorek-ngorek bekas ingus
dan iler yang mengering dengan ujung kukunya.
"Supaya tidak lupa, perlu juga kutulis penjelasan
di kain ini, kalau sudah selesai aku pun harus cepat-
cepat mengembalikannya, agar anak bego itu tidak
ribut!" gumamnya setelah selesai menyalin seluruh
kalimat yang isinya antara lain menyebutkan bahwa,
harta itu terletak di ujung bayangan tebing saat bulan purnama dan seratus
langkah dari puncak air terjun.
Sementara itu Si Tolol masih asyik berendam di
air. "Horeee...! Tolol sedang berlayar di laut! Horeeee!"
Tahang yang terbuat dari kayu itu rupanya
sudah tak tahan lagi menahan tubuh Tolol yang
gembrot. Di saat ia sedang bergoyang keras tiba-tiba
"Brak!... Byaaaar!" terdengar bunyi yang cukup keras.
Tahang kayu yang sudah tua itu pecah berantakan
dan airnya banjir ke seluruh ruang dapur.
"Wah. Kapalnya pecah...! Encuuum...!
Encuuuum! Tolol udah mandinya. Tuh, benahin
tahangnya!" teriak Si Tolol kepada pembantunya.
"Iya... Den! Aden pakailah baju dulu. Biar nanti
Encum yang rapikan," sahut Encum dari balik pintu.
"Iya... ini juga lagi pake baju!" sahut Tolol
kembali. Beberapa saat setelah Tolol memakai baju.
Encum pun masuk kembali ke dapur.
"Ya ampun...! Apa-apaan nih. Den?"
"Tolol kan abis main kapal-kapalan."
"Tapi kenapa bisa pecah begini?"
"Nggak tau...! Pecah sendiri kok!"
"Hmmmh... Aden... Aden, keliwatan amat sih."
"Besok kapal-kapalannya yang lebih gede ya,
Cum?" "Iya... iya deh!"
Dengan jengkel Encum merapikan papan-papan
pecahan tahang tersebut dan langsung dipelnya lantai
dapur yang belum lama dibanjiri Si Tolol. Sedangkan
Si Tolol yang telah menumpahkannya sudah berlalu
entah ke mana. Keesokan harinya, setelah mengumpulkan uang
pemberian dari Encum dan Pak Kohar yang bernilai
masing-masing setalen. Si Tolol tampak keluar rumah
dengan muka cerah.
Dengan lagak bak jutawan, ia berjalan sambil
menyiulkan lagu Bubuy Bulan. Sungguh aneh bin
Si Tolol 1 Warisan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ajaib, oto yang dikenakan, tetap oto yang itu-itu juga, padahal sudah dekil dan
kumel. Sepertinya ia bertekad akan sehidup semati dengan oto yang satu ini.
Untuk pakaian di balik oto, setiap hari memang
selalu diganti. Tapi mode, jenis, dan coraknya selalu sama begitu pula dengan
warnanya, tetap itu-itu saja, sehingga menimbulkan kesan seolah-olah tak pernah
diganti. Entah apa yang menyebabkan ia sangat senang
dengan corak loreng yang terbuat dari jenis bahan kain kasur itu. Tak ada yang
mengetahui. Pernah suatu
ketika almarhum ayahnya membelikan warna yang
lain dari bahan yang lebih bagus, Tolol tetap tak mau pakai, ia menolak mentah-
mentah. Oleh karena itulah
Tolol dibiarkan memakai pakaian yang sesuai dengan
kehendaknya. *** 8 Pagi ini Tolol tampak sangat bergembira sekali,
sejak ia keluar dari rumah siulannya tak pernah
berhenti, kedua tangannya tetap berada di belakang,
bagai seorang Mandor sedang mengontrol pekerjaan
anak buahnya. Tapi sayang, tanpa sepengetahuannya,
ada orang lain yang menginginkan darinya. Sejak
mengetahui Si Tolol sedang bermain ia terus mengintai dari jarak jauh dengan
sabar ia mengikuti ke mana Si
Tolol pergi. Orang yang mengikuti Si Tolol itu tak lain adalah Si Tangan Kilat.
Entah apa yang akan
diperbuat terhadap anak itu oleh manusia yang telah
banyak membunuh ini.
"Bagus... bagus... Tong! Lewatilah jalan yang sepi
itu..., bergembiralah terus, sebentar lagi aku akan
menyusulmu. Sebab kalau tidak, tentu ada orang lain
yang akan mendekatimu dan mempunyai tujuan yang
sama denganku," gumam si Tangan Kilat dengan
tersenyum. Setelah Si Tolol jauh dari pandangannya, ia pun
segera melesat dan bersalto beberapa kali di udara.
Setelah berada di atas pohon, ia pun segera melompat
ke pohon lainnya persis bagai seekor tupai.
Dalam waktu singkat Si Tangan Kilat telah
berhasil melewati lebih dari tujuh pohon, kini ia telah dapat melihat kembali
dengan jelas tingkah Si Tolol
yang aneh ini. "Hmh...! Inilah saat yang kutunggu-tunggu! Oto
itu sebentar lagi akan berada di tanganku. Percuma
mempunyai julukkan Si Tangan Kilat kalau mengambil
barang yang kelihatan di ujung hidung nggak mampu,"
gumam Si Tangan Kilat sambil lompat. Setelah tiba di
bawah, ia pun langsung mencabut pisau yang terselip
di pinggangnya. "Walaupun apa yang bakal terjadi. Oto yang merupakan satu-
satunya petunjuk untuk
mendapatkan harta itu, harus kudapatkan hari ini!
Kalau perlu, anak bego ini pun kukubur hidup-hidup
di dalam lumpur!" ucapnya dalam hati.
Si Tangan Kilat langsung menyelinap kembali di
balik pohon, setelah melihat Si Tolol mulai dekat
dengannya. Rupanya ia sengaja berada jauh di depan,
agar mudah mengambil posisi.
Begitu Si Tolol lewat, reaksi tangan laki-laki itu
pun bergerak cepat. Pisau yang digenggamnya
langsung bergoyang dangdut beberapa detik di
belakang badan Si Tolol. Kemudian "Plas...!" Pisau
yang begitu berkilat dan sangat tajam menyontek oto
yang dikenakan Si Tolol.
Dengan wajah berseri, Si Tangan Kilat dengan
cepat melejit lagi. Ia kembali menyelinap di atas pohon, menunggu keadaan aman.
Sungguh luar biasa kehebatan laki-laki itu.
Pantaslah ia menyebut dirinya Si Tangan Kilat. Dalam
tempo yang sangat singkat ia telah berhasil mengambil oto yang dikenakan Si
Tolol tanpa melukainya. Bahkan
sang empunya diri tidak tahu 'barang berharganya'
diambil orang. Yang sangat mengherankan, si anak ini
masih tetap menyenandungkan lagu Bubuy Bulan
tanpa terputus dengan kejadian barusan.
"He... he... heh...! Sebentar lagi aku akan menjadi
orang kaya besar...! He... he... heh! Inilah buktinya.
Oto si bego' sudah berada di tanganku! Tak
seorangpun akan berhasil menemukan tempat rahasia
penyimpanan harta karun itu. Karena kuncinya sudah
berada di dalam genggamanku" ucap Si Tangan Kilat
yang berbicara sendiri setelah Si Tolol jauh pergi.
Setelah melihat situasi yang memungkinkan, Si
Tangan Kilat kemudian berjalan dengan tenang
memasuki pasar dan berhenti di sebuah kedai.
"Tolong buatkan kopi pahit. Neng!" ucapnya
setelah ia berada di dalam kedai tersebut.
"Baik..., Kang!" sahut pemilik kedai dengan
ramah. Melihat Si Tangan Kilat duduk sambil
mengangkat kaki, beberapa orang yang ada di situ pun
minggir satu persatu secara perlahan dan tak lama
kemudian hanya tinggal satu orang saja yang
menemaninya, yakni si pemilik kedai sendiri.
"Kenapa kamu juga nggak ikut pergi?" tanya Si
Tangan Kilat kepada pemilik kedai itu.
"Kalau saya pergi, nanti siapa yang menunggu
warung ini Kang?" ucap si pemilik kedai yang balik
bertanya. "Bagus. Tak kusangka perempuan cantik macam
kau ini mempunyai keberanian yang lebih tinggi dari
semua laki-laki tadi," balas Si Tangan Kilat yang tak henti-hentinya memandang
tubuh pemilik kedai dari
ujung kaki sampai ke ujung rambut.
"Kenapa sih, Kang" Kok mandangi saya sampai
begitu?" tanya wanita itu kembali. Padahal sebenarnya jantungnya terasa mau
copot dalam menghadapi tamu
yang tak diharapkan datang ini.
Si Tangan Kilat tidak menjawab pertanyaan yang
diajukan tadi. Ia langsung mendekat pemilik kedai dan langsung memegang kedua
pundak wanita itu dari
belakang. "Baru kali ini aku melihat pemilik warung
secantik kau, Geulis He... he... heh!" ucap Si Tangan Kilat yang kelihatannya
belum puas menikmati
keindahan tubuh wanita itu kalau tidak dari dekat.
"Ah, Kang..., jangan, Kang...!" pinta wanita itu.
"Jangan kuatir, Geulis. Tak mungkin ada orang
yang berani nongol, kalau mereka tahu Si Tangan Kilat ada di sini. He... he...
he...!" balasnya.
"Tapi saya punya laki, Kang. Sebentar lagi juga
dia datang menjemput saya ke sini." jelas wanita itu
yang tampak semakin pucat sekali.
"Persetan dengan suamimu! Pokoknya aku mau
nginap di sini. Suruh dia mondok di tempat lain!"
bentaknya. Wanita itu benar-benar tak berdaya dibuatnya.
Tangan yang sangat kuat dan kekar itu terus
membekap tubuh pemilik kedai dengan jari-jari tangan
yang semakin tak tahu aturan.
"Heh! Lihat tuh, Kang. Ada apa di luar ribut-
ribut! Coba lihat, Kang..., kayaknya suara Den Tolol
tuh yang nangis!" ucap wanita itu untuk mengalihkan
perhatian kepada Si Tangan Kilat.
Mendengar sebutan Si Tolol, laki-laki itu
langsung melepaskan wanita itu, "Hmmm. Sial! Gara-
gara ada cewek ini, hampir saja aku lupa dengan
tugasku, jangan-jangan ada orang yang
mendahuluinya," ucapnya di dalam hati.
Bukan main girangnya wanita itu, rasa badan
yang seakan-akan patah tak dihiraukan lagi. Ia
langsung mundur beberapa langkah menjauhi laki-laki
yang kini sedang meneguk sisa kopi.
"Nih duitnya. Neng...!" ucap laki-laki itu setelah
menghabiskan kopinya.
"Ah..., biar saja, Kang. Nggak usah bayarlah!"
sahut wanita itu.
"Jangan. Nanti kau rugi. Nih ambil!" balas Si
Tangan Kilat sambil meletakkan lebih dari sepuluh
keping uang ringgit di atas meja.
"Buat apa itu. Kang...?" tanya wanita itu dengan
terkejut. "Ambil buat kau semua!" balas Si Tangan Kilat
sambil berjalan melangkah ke luar tanpa menoleh
sedikit pun. Apa yang dikatakan oleh pemilik kedai itu
memang benar. Di tengah-tengah pasar tampak orang
berkerumun menyaksikan Si Tolol sedang menggeloso
di atas tanah sambil menangis keras di depan penjual
getuk. "Waaaaa..., otoku hilang..., otoku hilaaaaaang, waaaa...!" raung Si Tolol
yang semakin lama semakin
menjadi-jadi. "Kenapa... Den, kenapa" Ayo cep, jangan
menangis...!" bujuk salah seorang yang berkerumun
itu, "Kenapa dia. Bu?" tanyanya kembali sambil
menoleh ke arah penjual getuk.
"Entahlah...! Tadi dia memesan getuk, tapi begitu
ia hendak membayar, tiba-tiba kelihatan kebingungan
sekali. Belum sempat ditanya dia sudah menangis,"
jelas penjual getuk itu.
"Mungkin uangnya hilang," ucap yang lain lagi.
"Mungkin juga!" balas penjual getuk.
"Bukan uang saja..., tapi otoku juga hilaaang.
Aku tak mau..., otoku hilaaaaang...!" jerit Si Tolol yang semakin menjadi-jadi
dan telah membuat orang-orang
di sekeliling tempat itu kebingungan.
"Sudahlah, Den... kalau memang uang itu hilang,
biarlah. Tak bayar pun tak apa-apa. Ambillah getukmu
ini. Den...!" bujuk penjual getuk itu kembali.
Kita tinggalkan sejenak orang-orang yang
kepusingan menghadapi Si Tolol yang macam orang
kesurupan itu, sekarang kita lihat dulu suasana di
rumahnya. Di rumah besar itu tampak Pak Kohar
masih sibuk merapikan pekarangan rumah bersama
dengan putrinya yang semata wayang itu. "Cum...,
sudah kau siapkan air untuk mandi Den Tolol?" tanya
Pak Kohar kepada anaknya.
"Sudah, Pak...." sahut Encum.
"Syukurlah, Bapak mau susul si Aden dulu."
"Baik, Pak...."
Pak Kohar segera mencari Si Tolol ke tempat
yang biasa dia buat mangkal. Tapi sayang setelah
mencari di beberapa tempat tersebut belum juga
berhasil ia menemui majikan kesayangannya,
kekhawatiran mulai timbul setelah berjam-jam
mencari tanpa hasil sama sekali.
"Hei, Tong...! Apakah kalian melihat Den Tolol?"
tanya pak Kohar kepada anak-anak yang sedang asyik
bermain. "Tidak, Wak," jawab salah seorang di antara
mereka. "Benar tidak ada yang melihat?" tanya Pak Kohar
sekali lagi. "Tidak, Pak," jawab anak yang lainnya.
"Apakah Den Tolol, yang gede-gede masih ileran
dan ingusan?" sela salah seorang anak yang baru saja
membenahi mainannya.
"Rupanya kau telah melihatnya, ya... Tong" Di
mana" Coba tolong kasih tahu Uwak, Tong..!" pinta
Pak Kohar kepada anak itu.
"Kalau yang Uwak maksud anak itu, tadi saya
lihat jalan ke sana, sehabis menangis di pasar," jelas anak yang bernama Kusin.
"Menangis?" tanya Pak Kohar terkejut.
"Ya, Wak!" jawabnya singkat.
"Memangnya kenapa?" tanya Pak Kohar kembali.
"Entahlah, Tapi menurut orang-orang, katanya
dia kehilangan oto yang dipakainya!"
"Apa"! Otonya hilang...?"
"Benar, Wak! Mungkin ada orang yang iseng atau
kurang senang melihat oto yang sudah dekil itu masih
dipakai terus. Nah kalau sudah hilang begini kan
terpaksa dia ganti dengan yang baru dan enak
dipandang mata."
"Ya... ya...! Mungkin juga. Memang itulah yang
Uwak harapkan...! Tapi ngomong-ngomong masa iya
kalian sebanyak ini nggak ada yang tahu ke mana
tujuannya..."!"
"Sungguh, Wak, kami tidak tahu!"
"Pokoknya yang pasti dia pergi ke sono, tuh! Dari
jalan ini teruuuuuus saja, nah... di ujung sana, dia
belok ke kiri!"
"Ya... ya... terima kasih, Tong!"
"Ya..., Wak!"
Pak Kohar segera pergi meninggalkan anak-anak
itu, ia akan melanjutkan pencariannya sesuai dengan
petunjuk anak-anak tadi walaupun hari sudah mulai
gelap. Apa yang dilakukan oleh pesuruh tua ini,
semata-mata bukan karena tugas, tetapi karena kasih
sayangnya kepada anak majikan yang selalu
dikucilkan oleh pihak keluarga. Terutama setelah
ayahnya tiada. Berkat kesabaran dan ketekunan, akhirnya Pak
Kohar. pun berhasil menemui anak itu. Si Tolol pada
saat ditemukan, sedang tidur dengan nyenyaknya di
sebuah dangau. Udara malam terus berhembus dan semakin
dingin rasanya. Namun Pak Kohar kini dapat tidur
dengan perasaan lega di rumahnya.
Sejak hilangnya milik kesayangan Si Tolol, Pak
Kohar tak begitu dipusingkan lagi membujuk majikan
yang aneh ini. Si Tolol sekarang sudah mau mengganti
otonya setiap hari asal warna dan bahannya sama
Si Tolol 1 Warisan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan oto yang hilang.
*** 9 Pada suatu malam, di saat bulan purnama
muncul dengan indahnya, tampak sesosok tubuh laki-
laki berdiri di atas batu yang berada di tengah puncak air terjun. Laki-laki itu
tak lain adalah Si Tangan Kilat.
Rupanya saat inilah yang ditunggu-tunggu untuk
mengambil harta warisan itu.
"Seratus langkah dari tengah-tengah puncak air
terjun ini," gumamnya sendirian," Kemudian menuju
ke bayangan tebing... Oh, mungkin yang dimaksud
dengan tebing itu adalah tebing yang di ujung sana.
Sebab hanya ada satu tebing di daerah ini. Baik mulai dari atas batu ini
kuhitung langkah. Satu... dua...
tiga... empat... lima..."
Si Tangan Kilat terus menghitung langkahnya
hingga sampai hitungan keseratus sambil menelusuri
bayangan tebing. Setelah sampai pada hitungan
keseratus ia pun segera menancapkan linggis yang
sebelumnya telah dipersiapkan.
"Mudah-mudahan aku tak salah perhitungan."
Dengan tenaga semaksimal mungkin, ia langsung
menggali lubang yang diperkirakan ada benda
tersimpan di dalamnya. Tangan laki-laki ini sungguh
cekatan sekali, dalam tempo beberapa menit saja,
lubang itu sudah dalam dibuatnya.
"Hei... Bulan Purnama...! Kau sekarang telah
menjadi saksiku. Bahwa di malam ini aku menjadi
orang kaya... ha... ha... hah...! Hua... ha... ha... hah...!
Eh"! Linggisku membentur benda keras...! Hah...,
inilah rupanya harta karun itu. Aku harus hati-hati
sekarang...! Ah..., lebih baik pakai tangan saja! Hup..., eh, huuuup!"
Semangat Tangan Kilat kini semakin tinggi
setelah ditemukan sesuatu di dalam lubang itu.
Wajahnya langsung berseri ketika yang didapatkan
adalah sebuah peti.
"Huuuphhh! Wadoooouuw, berat buaanget! Pasti
harta di dalamnya banyak sekali...!"
Dengan susah payah akhirnya Tangan Kilat
berhasil dapat mengangkat peti besar tersebut.
Rupanya ia sudah tak sabar lagi untuk melihat isi dari peti itu. Dengan kekuatan
yang dimilikinya ia langsung memegang gembok yang sudah berkarat yang melekat
di peti tersebut.
Beberapa detik saja gembok itu tampak mulai
berasap dan bagaikan melepaskan tutup botol dari
gabus, ia dengan mudah membuka peti yang baru
didapatkannya. Bukan main terkejutnya ketika peti itu dibuka.
"Hah!" Apa-apaan ini!" Kurang ajar. Ternyata
aku tertipu. Sial!! Cape-cape tak ada hasil!"
Tangan Kilat langsung mengangkat peti itu
tinggi-tinggi untuk melemparkannya jauh-jauh, tapi
tiba-tiba ia mengurungkan niatnya. Dengan hati-hati
peti itu diletakkan kembali ke tanah dan langsung
menguncinya kembali.
Kemampuan laki-laki ini memang sungguh luar
biasa, setelah ia memasukkan kembali gembok itu, tak
kelihatan ada tanda-tanda bekas dibuka.
"Kalau aku bisa ditipu begini. Orang lain pun
harus kutipu juga supaya nilainya satu-satu! Tentang
harta warisan ini, biar bagaimana pun aku harus
mendapatkannya. Aku harus cari orang yang telah
mendahuluiku!"
Baru saja ia akan membungkus peti itu dengan
kain sarung yang dipakainya. Tiba-tiba terdengar
suara ranting pohon yang patah akibat benturan
benda keras. Ternyata benda-benda itu adalah berupa tombak
yang baru saja dilemparkan orang dari tempat
persembunyian. Si Tangan Kilat yang pendengarannya cukup
terlatih ini segera melompat menghindari serangan
yang datang ke arahnya. Begitu kakinya melesat, lima
buah tombak jatuh menancap di tempat ia berdiri tadi.
Tapi serangan tersebut tidak cukup sampai di
situ saja. Lagi-lagi serangan beruntun datang bertubi-tubi ke arahnya sehingga
ia harus melompat ke sana
ke mari. "Hei! Pengecut! Ke luar kalian kalau berani.
Jangan beraninya membokong seperti ini! Ayo keluar!"
teriak Si Tangan Kilat sambil menangkis senjata-
senjata yang dilemparkan pihak lawan ke arahnya.
"Cukup! Ayo keluar semua!" teriak seorang lelaki
dengan keras dari tempat persembunyian.
Dengan terdengarnya komando tadi maka
muncul sepuluh orang laki-laki berpakaian serba
hitam. Mereka langsung mengurung Si Tangan Kilat
tanpa mengeluarkan ucapan sepatah pun.
"Nah... macam beginilah yang aku inginkan...!
Kalau macam begini, jangankan sepuluh, tiga puluh
pun masih tetap kulayani. Ayo. Majulah...! Mau satu-
satu, atau sekaligus...!?" teriak Tangan Kilat separuh mengejek.
Kesepuluh orang itu pun langsung mengambil
ancang-ancang untuk melakukan menyerangnya
kembali. Tapi belum sempat mereka bergerak, tiba-tiba terdengar perintah dari
atas batu yang agak tinggi.
"Tahan!!"
Tanpa banyak komentar lagi mereka dengan
cepat kembali ke posisi semula. Tak berapa lama
kemudian 'Sang Komandan' pun turun ke gelanggang
dan langsung menghampiri Si Tangan kilat.
"Serahkan peti itu dan cepat tinggalkan tempat
ini," perintahnya dengan suara lantang kepada Si
Tangan Kilat. "Bagaimana kalau aku tidak mau?" sambut Si
Tangan Kilat dengan senyum sinis.
"Terpaksa aku gunakan kekerasan," balas lelaki
gendut, yang ternyata Pamannya Si Tolol sendiri alias Den Wangsa.
"Silahkan...." sahut Si Tangan Kilat dengan
santai. "Jadi kau tak takut kalau timah panas ini
memecahkan matamu yang tinggal satu itu, hah"!"
bentak Den Wangsa sambil mengarahkan moncong
pistolnya ke arah Tangan Kilat.
"Hei, Perut Buncit! Jangan coba-coba kau
menakutiku dengan barang yang kau sendiri tak tahu
cara menggunakannya. Lain halnya dengan senjataku
ini. Sering kupakai dan sudah terbukti
keampuhannya, mau coba"!" ejek Si Tangan Kilat
kembali sambil menimang-nimang pisau yang baru
dikeluarkan dari sarungnya.
Salah seorang anak buah Den Wangsa rupanya
terpancing juga emosinya. Begitu melihat Si Tangan
Kilat sedang memainkan pisaunya, ia langsung
membokongnya. Gelagat si penyerang itu mudah dirasakan
gerakannya, karena di samping suaranya yang keras,
gerakannya pun sepertinya tak sepenuh hati. Masih
ada rasa was-was pada dirinya. Serangan macam ini
bukan main mudahnya diatasi oleh orang yang
mempunyai ilmu tinggi semacam Si Tangan Kilat ini. Ia cukup menggeser kuda-
kudanya selangkah dan
langsung tangannya menyambar dan akibatnya
membuat orang itu tersungkur tak bergerak lagi.
"Sebenarnya aku tak mau memberi contoh
tentang keampuhan senjataku, tapi berhubung anak
buahmu ingin mencobanya, yah, apa boleh buat," ejek
Tangan Kilat kembali sambil menggosok pisaunya yang
penuh dengan darah.
Melihat kejadian ini Den Wangsa segera
memerintahkan anak buah yang lainnya," Kurung dia
jangan sampai lolos! Upah kalian akan kutambah dua
kali lipat, kalau kalian berhasil mendapatkan peti itu!"
teriaknya sambil mondar-mandir macam orang
kebingungan, "Ayo...! Ayo...! Rebut peti itu cepat! Kalau kubilang cepat ya
cepat! Ayo bergerak cepaaaaat!"
perintahnya lagi.
"Hei, perut buncit! Kenapa kau ini, hah"! Macam
cacing kepanasan saja kelihatannya.." Percayalah...,
anak buahmu itu tak ada yang mampu menandingi
serigala macam aku ini. Lebih baik kau suruh mereka
pulang. Mereka lebih cocok kau tempatkan di ladang,
dari pada kita mikirin pepesan kosong...!" sahut
Tangan Kilat yang tak henti-hentinya menyindir Den
Wangsa. "Pepesan kosong"! Apa maksudmu?" tanya Den
Wangsa menanggapi ucapan Si Tangan Kilat.
"Oh... tidak, tidak! Lidahku hanya keseleo
sedikit...! Sebenarnya yang kumaksud, kita sama-sama
manusia tamak yang ingin menyerakahi harta yang
bukan milik kita. Cuma sayang, ada perbedaan di
antara kita."
"Apa perbedaannya?"
"Sebenarnya kau sendiri pun sudah mengetahui
jawabannya, bahwa aku mengambil harta itu hanya
sekedar untuk makan atau penyambung hidup!
Sedangkan kau, tidak! Kau sudah berduit, punya
usaha tetap, tapi masih saja kemaruk dengan harta
itu. Memang dasar kau benar-benar tamak. Pantas
perutmu itu semakin buncit, mungkin lama-kelamaan
bakal meletus!"
"Tutup mulutmu, Kunyuk! Sekarang katakan apa
maumu" Jangan bertele-tele!"
"Terserah kau saja. Apa pun aku layani! Tapi
yang kuharapkan, kita bisa berdamai saja!"
"Berdamai"!"
"Ya! Sebab aku tidak membutuhkan emas
permata seperti yang ada di dalam peti ini. Yang
kuharapkan adalah uang tunai untuk makan. Itu saja!
Jadi apabila kau menginginkan harta yang ada di
dalam peti ini, tak perlu susah payah lagi menggali.
Cukup kau memberiku uang sebagai imbalan dan aku
pun rela memberikan peti yang telah kuperoleh dengan
susah payah ini! Bagaimana" Kau setuju, bukan"!"
"Godverdom Zeg! Perduli apa dengan dirimu!
Sebenggol pun tak akan rela kuberikan untuk tikus
keparat macam kau!"
"Terserah... aku pun tak akan memaksamu!
Minggirlah kalian. Aku mau pergi!"
"Tunggu!"
"Apa lagi?"
"Kau boleh angkat kaki dari sini, tapi tinggalkan
peti itu di tanah!"
"Fuiiih! Enak lu nggak enak gua dong!"
"Tutup mulutmu, Kunyuk! Hei, kenapa kalian
semua bengong hah"! Ayo sikat tikus keparat ini biar
mampus! Cepat..! Pokoknya kalau ada yang berhasil
mendapatkan peti itu, utangmu kuanggap lunas dan
kutambah dengan hadiah-hadiah yang besuuaaaar...!
Ayo... ayo.. kesempatan ini kuberikan hanya kali ini
kepada kalian. Besok-besok nggak ada lagi!"
Den Wangsa terus berkoar bagai orang mabuk
minuman sambil petantang-petenteng tak keruan.
Seluruh anak buahnya diharuskan menyerang Si
Tangan Kilat tanpa kecuali.
"Teruuus... teruuuus...! Sikaaat, cingcang biar
dia tahu rasa! Ayo jangan takut. Maju teruuuus! Awas, siapa yang mundur, akan
kuhajar dengan timah panas
ini," teriak Den Wangsa sambil memberikan ancaman
kepada anak buahnya, sambil mengacungkan
pistolnya. "Hei, Gendut! Peluru yang cuma semata wayang
itu lebih baik kau tembakkan saja ke jidatmu yang
dempak itu," teriak Si Tangan Kilat sambil menangkis
serangan yang datang secara bertubi-tubi.
Dalam menangkis serangan lawan. Si Tangan
Kilat cukup menggunakan peti besi itu sebagai perisai, sehingga golok-golok
lawan yang datang ke arahnya
menjadi kandas.
*** 10 Den Wangsa melihat anak buahnya satu persatu
dapat dilumpuhkan, tampak mulai kebingungan dan
nyalinya mulai terasa ciut. Apalagi begitu salah
seorang yang baru saja ambruk di depannya akibat
sebuah tendangan telak yang dilancarkan Si Tangan
Kilat kepada orang itu.
Anak buah Wangsa saat itu tampak kelihatan
bernafsu sekali untuk merebut peti yang ada di tangan Si Tangan Kilat, tapi
sayang, setiap serangan yang
dilancarkan selalu dapat dielakkan, bahkan Si Tangan
Kilat tak segan-segan melancarkan pukulan mautnya
ke arah mereka.
"Minggir semua!"
Teriakan keras yang datang secara tiba-tiba
membuat semua anak buah Den Wangsa terkejut dan
langsung mundur.
Orang yang memberi aba-aba itu dengan cepat
lompat ke tengah-tengah arena. Rupanya orang inilah
yang ditunggu-tunggu Den Wangsa sejak tadi.
"Nah. Sekarang kau baru mendapat lawan yang
seimbang, Kunyuk! Dialah Si Mehong, pengawal
setiaku yang sampai saat Ini belum ada tandingannya.
Ayo cepat selesaikan tugasmu, Mehong! Pokoknya ada
deh hadiah yang cukup buat ngasi keempat bini lu itu
di samping upah yang sudah dijanjikan!" teriak Den
Wangsa kegirangan.
Pengawal andalan Den Wangsa memang tampak
beringas sekali. Tanpa banyak omong lagi, ia langsung menyerang Si Tangan Kilat
Si Tolol 1 Warisan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan senjata andalannya
berupa keris dalam ukuran besar. Melihat serangan
dari orang yang bertubuh besar, hampir satu setengah
kali ukuran badannya ini. Si Tangan Kilat pun sangat
berhati-hati sekali. Setiap langkah benar-benar
diperhitungkan secara matang.
"Gila! Keras sekali pukulan orang ini hampir saja
pecah kepalaku dibuatnya!" ucap Si Tangan Kilat di
dalam hati," Aku harus mencari akal supaya dapat
mengalahkan orang ini."
Si Tangan Kilat kembali mendapat serangan
keras dari Si Mehong dan serangan yang tak diduga-
duga ini tak sempat ditepis sama sekali. Maka tak
ampun lagi baginya, tubuhnya langsung terpental ke
belakang. Untuk menjaga kemungkinan serangan
berikutnya datang lagi. Si Tangan Kilat dengan cepat
menggulirkan badannya jauh-jauh. Kemudian ia
berusaha bangkit lagi sambil memegangi perutnya
dengan kedua tangannya. Kelihatan pukulan yang
diterimanya cukup keras sekali, sehingga ia lemah tak segesit waktu melawan
kesepuluh orang itu.
Den Wangsa melihat jagoannya telah berada di
atas angin langsung bertepuk tangan kegirangan.
"Ayo...! Sikat terus. Jangan beri dia kesempatan
untuk bangun. Kalau perlu putuskan lehernya!"
teriaknya sambil berjingkrak-jingkrak macam anak
kecil. Si Tangan Kilat tak memberi reaksi atas ucapan Den Wangsa yang begitu
bersemangat. Ia tetap diam,
malah kepalanya mulai tertunduk sepertinya tak
sanggup lagi mengadakan perlawanan.
Entah ini merupakan siasat atau memang ia
sudah tak berdaya sama sekali. Hal ini pun menjadi
pemikiran Si Mehong yang agak ragu-ragu untuk
menyerangnya kembali.
Setelah beberapa saat tertunduk, sang lawan
pun langsung mendekati dengan niat untuk
melaksanakan permintaan sang majikan.
"Cuma begini saja kemampuanmu, hah"!
Sekarang terimalah ini. Kunyuk...!" ucap Si Mehong
sambil mengambil ancang-ancang bagai orang yang
ingin menebas pohon. Tapi tiba-tiba, "Hekkh!"
suaranya seakan-akan tersumbat. Wajahnya yang
sebelumnya garang langsung berubah menjadi pucat,
senjata yang di tangannya pun terjatuh. Pada detik
berikutnya darah segar pun keluar dari bagian perut
yang sekaligus membuatnya ambruk ke tanah tak
berkutik lagi. "Hua... ha... ha... hah! Sudah kubilang... tak satu
pun ada yang mampu menandingiku, ha... ha... ha...!
He... he... heh!" tawa lebar Si Tangan Kilat kembali
terdengar dengan keras sekali. Rupanya apa yang
dilakukan tadi hanyalah tipuan untuk mengelabui
lawan. Kini Den Wangsa kembali ciut nyalinya. Bibirnya
tampak gemetar walaupun di tangannya masih
menggenggam benda kebanggaannya yang sering
digunakan untuk menggertak penduduk dalam
menagih hutang.
"Nih kukembalikan kepadamu!" teriak Si Tangan
Kilat sambil mengangkat dan kemudian melemparkan
tubuh Si Mehong yang sudah tak bernyawa itu ke arah
Den Wangsa. Tubuh Den Wangsa yang begitu gemuk, seakan-
akan mau patah pinggangnya saat ketiban tubuh Si
Mehong yang besar. Dengan nafas tersengal-sengal.
Den Wangsa berusaha bangkit.
Melihat tuannya terjatuh dan susah untuk
bangun, beberapa orang yang masih segar segera
menolong sang majikan agar dapat berdiri kembali.
Den Wangsa celingukan setelah dapat berdiri
kembali, sepertinya mencari sesuatu barang yang
hilang. Si Tangan Kilat yang berada tak jauh dari
dekatnya segera menghampiri.
"Inikah barang yang kau cari?" ucap Si Tangan
Kilat sambil menempelkan laras pistol itu ke kening
Den Wangsa. "Oh... Ja... jangan!" pinta Den Wangsa sambil
mengangkat kedua tangannya yang sudah gemetaran
itu. "Jangan main-main dengan benda itu... berbahaya
sekali..." ucapnya lagi dengan sungguh-sungguh takut.
"Bagaimana" Masih bertahan atau...."
"Tidak... tidak! Kita berdamai saja!"
"Nah begitu dong... kenapa tidak sejak tadi saja.
Kan tidak sampai memakan korban segala...."
"Berapa yang kau ingin kan?"
"Terserah, yang mana yang kau pilih. Mau
berikut pistol kebanggaanmu ini, atau cuma petinya
saja" Kalau petinya saja cukup kau berikan dengan
seratus ringgit, tapi kalau lengkap dengan pistolnya, yah... tambah saja sepuluh
ringgit. Jumlah uang yang
tak berarti bagimu, bukan"!"
"Hah! Seratus ringgit"! Sudah gila rupanya kau
ini, hah"!"
"Cukup sesuai dengan nilai barang-barang yang
akan kau peroleh ini."
"Nih, terimalah seratus ringgit! Cepat kau
berikan barang-barang itu."
"Apakah kau anggap aku ini dagang cabe
bawang"! Kaulah yang harus cepat memberikan sisa
uang itu sebelum aku mengubah pikiran. Jangan
sampai nanti kuhitung juga lelahku menghadapi
ceroco-ceroco itu dengan uang!"
"Sudah... sudah...! Nih terimalah! Bawa sana
cepat!" "Tentu, barang-barang ini pasti akan
kuserahkan. Aku adalah orang yang selalu berpegang
teguh pada janji. Terima kasih atas imbalan yang kau
berikan dengan kerelaan hati ini. Sekarang terimalah
peti dan pistol ini! Huuuu!"
Den Wangsa segera menerima peti yang baru saja
dilemparkan oleh Si Tangan Kilat. Bukan main
girangnya Den Wangsa setelah memeriksa peti yang
kelihatan masih orisinil itu.
"Nah, kurasa sudah tak ada lagi yang perlu kita
bicarakan, bukan?"
"Ya... ya!"
"Baiklah! Kalau begitu aku akan berangkat
sekarang!"
"Silahkan!"
Si Tangan Kilat langsung melompat ke atas
tebing dan menghilang entah ke mana. Sedangkan Den
Wangsa yang tak sadar bahwa dirinya telah ditipu
mentah-mentah, tampak masih diliputi suasana
gembira. Tak lama kemudian ia pun memerintahkan
seluruh anak buahnya untuk kembali.
"Sini, Den... kalau berat biar aku yang bawa!"
"Tak usah. Biar saja! Hhh... hh...."
"Iya, Den. Biar saja Si Ujang yang bawa...!
Kasihan kan Aden kelihatannya keberatan...! Atau sini deh gotongan denganku!"
"Hhh... hh... nggak, nggak apa-apa!"
Rasa curiga yang begitu besar ternyata telah
menyusahkan diri Den wangsa sendiri. Ketika dia
hendak menuruni tebing, tiba-tiba kakinya tergelincir dan membuatnya jatuh duduk
bersama peti yang berat
itu. "Wadaaauw! Tolong... tolong angkat peti ini...!"
teriak Den Wangsa kesakitan.
"Jang. Ayo kita gotongan!" sambut salah seorang
anak buah Den Wangsa kepada temannya.
"Ayo cepat!" sahut temannya sambil mengangkat
peti itu mengimbangi temannya.
Melihat peti yang tadi menimpa perutnya, kini
sudah diangkat oleh kedua anak buahnya. Den
Wangsa segera berusaha bangun. Tetapi beberapa kali
ia coba belum juga berhasil karena kaki dan
pinggangnya terasa sakit sekali.
"Hei...! Tungguuu..! Jangan tinggalkan akuuuuu!
Aku tak bisa banguuuuun...!" teriaknya dengan keras
sekali. Mendengar teriakan tersebut, beberapa anak
buahnya bukan main terkejutnya.
"Heh"! Lihat! Den Wangsa tertinggal!"
"Oh..., iya! Kupikir Si Aden berada di belakang
kita... Ayo cepat kita bantu!"
"Ayo!"
Dengan susah payah kedua orang itu
mengangkat majikannya. Setelah diupayakan tak juga
berhasil, maka mereka pun mohon bantuan kepada
yang lainnya. "Hei, bantuin dong...! Kami tidak kuat, nih!"
teriak anak buah Den Wangsa yang berbadan
kerempeng itu. Dua orang lainnya segera datang membantu
mengangkat sang majikan yang tampak masih
meringis menahan sakit.
"Sudahlah...! Lebih baik bopong saja supaya
lebih cepat tiba di rumah." usul Si Kerempeng.
"Ya... itu usul yang baik. Tapi bagaimana dengan
Den Wangsa. Apakah Si Aden mau?" bisik temannya.
"Tanyalah...!" sahut Si Kerempeng kembali
dengan suara perlahan.
"Baiklah...," balas temannya sambil melangkah
mendekati Den Wangsa yang baru saja didudukkan di
atas batu dan belum dapat berdiri.
"Den... Bagaimana kalau Aden kami gotong saja
sampai ke rumah"!" tanya sang anak buah kepada
majikannya. "Terserah! Yang penting cepat kalian cari jalan
yang terbaik supaya aku tiba di rumah dengan cepat!
Hei, ke mana peti itu"! Siapa yang bawa..."!" sahut Den Wangsa dan langsung
balik bertanya kepada keempat
anak buah yang berada di dekatnya.
"Sudah dibawa lebih dulu oleh si Unang dan
Ujang, Den...!" sahut orang yang ada di sebelah
kanannya. "Kalau begitu, cepat gorong aku! Kita susul
mereka!" perintah Den Wangsa.
Tanpa banyak komentar lagi, keempat orang itu
pun segera mengangkat tubuh majikannya yang begitu
berat dan dengan susah payah akhirnya mereka
berhasil juga membawa Den Wangsa tiba di rumah.
Suasana malam telah berubah menjadi suasana
pagi. Di pagi buta itu Den Wangsa telah membuka peti
yang didapatkannya semalam.
Apa yang terjadi"
Tak dapat terlukiskan bagaimana rasa
kecewanya, ketika diketahui bahwa isinya hanyalah
batu-batu kerikil saja dan peti itu langsung dibanting sambil mengumpat yang tak
habis-habisnya.
"Sial! Sial dangkalan!" ucapnya sendirian sambil
geregetan. Tubuhnya yang gembrot dan bermandi
keringat itu dijatuhkan di atas kursi goyang.
"Huhhhhhh... aku telah dikentuti oleh Si Picek
keparat...!" keluhnya lagi dengan nada yang semakin
lemas akibat punahnya impian-impian muluk yang
selama ini memperbudak benaknya.
TAMAT Pembaca yang budiman,
Siapa yang telah mendahului menguras isi peti
harta karun yang konon berisi emas permata yang tak
ternilai harganya itu"
Mungkinkah Pak Kohar yang melakukannya"
Mungkinkah dilakukan oleh anak-anak Den
Surya yang masing-masing mempunyai kebiasaan
buruk seperti berjudi dan main perempuan"
Atau mungkin telah dilakukan oleh Si Tolol
sendiri" Jawabannya dapat anda ikuti dalam episode
berikutnya yang berjudul: "Serigala-Serigala Berbulu
Domba" Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Haura
Http://duniaabukeisel.blogspot.com
Document Outline
1 *** 2 *** 3 *** 4 *** 5 *** 6 *** 7 *** 8 *** 9 *** 10 TAMAT Kaki Tiga Menjangan 40 Sang Ratu Tawon Pendekar 4 Alis Seri 9 Karya Khulung Patung Emas Kaki Tunggal 4
Tak lama kemudian ia kembali dari kamarnya
sambil membawa surat-surat yang diminta Den
Wangsa. Dengan tangan gemetar ia menyerahkan
surat itu kepada Den Wangsa.
"Ini suratnya, Den...!" ucap Pak Tirta dengan
wajah pucat sekali.
"Bagus! Sekarang kau tulis kembali surat itu
sesuai dengan permintaanku tadi," perintah Den
Wangsa dengan keras.
"Ba... baik. Den," sahut Pak Tirta sambil melirik
ke tangan Den Wangsa yang masih menggenggam keris
dan pistol di kedua tangannya.
"Setelah kau tulis kembali, aslinya berikan
kepadaku, untuk kusimpan. Besok sore surat itu
harus sudah disahkan oleh Kotapraja. Kalau tidak...
hmmmh. Timah panas ini akan bersarang di
kepalamu."
"I... iya..., Den!"
Di saat Pak Tirta sedang menjalankan perintah
Den Wangsa. Suasana di lereng Gunung Burangrang
atau tepatnya di dekat air terjun yang curam itu,
tampak sudah sepi kembali. Rupanya pertarungan
sudah berakhir. Tapi korban-korban dari pertarungan
tersebut masih tampak tersisa, dua laki-laki yang
mengambang di air masih tetap terselip di antara batu-batu sungai.
Ada lagi sebuah pemandangan yang mengerikan.
sebuah kepala tanpa badan ditancapkan di sebuah
batang pohon kering dekat sungai. Kepala itu tak lain adalah kepala orang yang
menyebut dirinya Si Pecok
Sejuta. Rupanya ia baru saja dikalahkan oleh Si
Tangan Kilat beberapa saat yang lalu. Ini tampak
sekali dari tetesan darah yang masih terus keluar dari leher korban.
*** 6 Hembusan angin makin terasa dinginnya di
malam itu. Apalagi rintik hujan sudah mulai
mengiringi ke mana angin itu bertiup. Cuaca buruk itu terus berlangsung hingga
pagi harinya. Di saat ayam berkokok saling bersahutan. Di
ruang belakang rumah Den Surya tampak Den Wangsa
yang biasanya bangun tengah hari, di pagi itu sudah
sibuk mempersiapkan sesuatu.
Encum, pembantu rumah Den Surya, agak
terkejut melihat kesibukan Sang Juragan di dapur.
Tapi ia pun tak berani bertanya apa-apa. Ia pun
langsung mengerjakan pekerjaan rutinnya tanpa
memperdulikan Sang Juragan yang tampaknya agak
aneh baginya. "Dengan racun inilah Surya akan lebih cepat
berangkat ke akhirat. Tahap pertama sudah
kulaksanakan dengan baik. Nanti sore Si Tirta sudah
siap membuat surat wasiat. Sekarang tahap kedua
pun harus berhasil dengan sempurna. Apalagi si Surya
sudah pergi ke liang kubur, baru kuselesaikan
masalah anak-anaknya. Kurasa menyelesaikan tikus-
tikus kecil itu tak perlu repot-repot. Sekali kibas pun semuanya akan beres,"
gumam Den Wangsa sambil
membuat minuman beracun itu.
Setelah siap membuat ramuan itu Den Wangsa
pun melangkah ke sumur menemui Encum yang lagi
sibuk mencuci piring
"Hei.. Cum. Ke sini kamu!" perintah Den Wangsa
kepada pembantu rumah tangga itu, seorang gadis
kecil yang masih seumur anak Pak Kohar.
"Iya, Gan...!" sahut Encum sambil menggosok
tangannya yang basah dengan lap yang tergantung di
dinding. "Sudah kau siapkan sarapan pagi untuk Juragan
Surya?" tanya Den Wangsa.
"Belum, Gan...! Habis, Juragan Surya masih
tidur sih, Gan...!" jawab Encum dengan polos.
"Bagus...! Nanti setelah Juragan bangun, tolong
antarkan jamu yang baru saja kudapatkan dari tempat
yang jauh ini," pinta Den Wangsa kepada Encum.
"Baik, Gan...!" balas Encum sambil
memindahkan jamu yang diberikan oleh Den Wangsa
ke atas baki. Di atas baki itu pun telah tersedia segelas teh manis dan
semangkuk bubur, untuk sarapan pagi
Den Surya. Tak lama setelah Encum mendengar suara batuk
Den Surya, ia segera mengantarkan sarapan pagi
untuk majikannya itu berikut titipan majikan yang
satunya yaitu Den Wangsa.
Di dalam kamar Den Surya tampak anak sang
majikan dengan enaknya tidur bersandar di dinding
tanpa alas sama sekali, padahal bukan main dinginnya
ubin tersebut apabila diinjak tanpa alas kaki.
"Duuuh, Den Tolol. Kalau tidur asal jadi saja!"
gumam Encum sambil melangkah menuju ke tempat
pembaringan majikannya. "Kalau sudah sarapan,
minumlah jamunya Gan. Mudah-mudahan Agan cepat
sembuh dan tidak sakit-sakit lagi," ucapnya ketika
meletakkan baki yang dipegangnya ke atas meja dekat
tempat tidur Den Surya.
Encum kembali ke dapur setelah memberikan
sarapan pagi. Tapi apa yang terjadi" Baru saja ia akan membenahi piring yang
baru dicucinya, tiba-tiba
terdengar jeritan keras dari Si Tolol sehingga membuat piring yang dipegangnya
terlepas dan pecah
berserakan di lantai.
Tanpa pikir panjang lagi, ia segera berlari
menuju ke kamar majikannya. "Apa yang terjadi,
Den...?" teriak Encum setelah tiba di muka pintu.
"Waaaaaaa.... Ayaaaaaah...!! Jangan tinggalkan
Tolol, Ayaaah! Tolol tak mau ditinggal Ayah...!
Waaaaaa... aaa...! Tolol sama siapa kalau Ayah tidak
ada..! Huu... uuu...!" Tangis Tolol dengan keras sambil memeluk ayahnya yang
telah tak bernyawa lagi.
Kematian Den Surya sungguh tragis sekali,
tubuhnya tampak membiru, matanya terbelalak ke
atas, dan mulutnya berbusa. Rupanya racun yang
dibuat adik sepupunya sangat cepat sekali reaksinya.
Gelas bekas ramuan yang dibuat Den Wangsa pun
tampak masih berada di dekat tangan Den Surya hal
ini yang membuat Encum berteriak tanpa kendali.
"Jamu itukah yang membuat Agan mati"! Ooooh...!
Tolooooong...!" teriak Encum sambil berlari keluar dan menjatuhkan dirinya di
emper rumah. "Toloooong...,
Agan tolooooong...!" teriaknya tanpa henti.
"Heh! Bocah Goblok! Kenapa kau berteriak-teriak
seperti itu. Kesurupan kau, ya"! Tidak tahukah kalau
Juragan Besarmu sedang sakit keras"! Diam! Kalau
tidak ku-rotan kau nanti!" hardik Den Wangsa yang
tiba-tiba muncul dari balik pintu.
"Gan, tolong Agan Besar di dalam, Gan... tolong.
Gan...! Oh... Agan besar baru saja minum..." jelas
Encum terputus-putus.
"Diam!" sela Den Wangsa dengan marah. "Ayo
kau kembali ke dapur sana!" bentaknya kembali
sambil mengancam.
Memang maut sudah tak dapat dihindarkan lagi.
Den Surya kini telah pergi untuk selama-lamanya. Di
antara sekian banyak pelayat yang datang tampak
pula Pak Tirta. Sorot mata kebencian kepada Den
Wangsa kelihatan tampak sekali di wajahnya. Apalagi
ketika melihat kesedihan Den Wangsa dalam
menyalami tamu-tamu yang datang. Sungguh, air
mata buaya! Saat itu Pak Kohar dan anak gadisnya tampak
sedih sekali. Ia benar-benar merasa kehilangan
seorang majikan yang bijaksana.
Sepeninggalan ayahnya. Tolol tampak semakin
tolol saja. Ia bagai ayam yang kehilangan induknya.
Selalu mengingat terus Ayah dan Ibunya yang telah
tiada itu. Sedangkan ketiga kakaknya, sibuk dengan
kesenangannya masing-masing. Seperti Si Kasep,
misalnya, ayam aduan yang dimilikinya tampak
semakin banyak. Kerjanya setiap hari mengurus dan
mengadu ayam, tak memikirkan keadaan adiknya yang
kecil ini. Jangankan mengurus, menyapanya pun
tidak. Sungguh kasihan sekali nasib anak itu.
Pada suatu hari ketika Kasep hendak berangkat
untuk menyabung ayam. Si Tolol datang menemuinya.
"Kang Acep mau ke mana" Tolol ikut dong...!"
ucap Tolol dengan gaya khasnya.
"Tidak! Anak kecil tak boleh ikut!" jawab
kakaknya dengan ketus.
"Bodo...! Pokoknya Tolol mau ikut!" sela Si Tolol
dengan muka yang kelihatan mau menangis.
"Ayo cepat masuk!" bentak Si Kasep dengan mata
melotot. "Nggak... nggak mau! Tolol ikut! Tolol ikut!
Huuu...!" "He! Apa-apaan kau ini, hah"! Cepat lepaskan!"
"Nggak, Tolol nggak mau lepas... pokoknya Tolol
mau ikut... huuuuu!" rengeknya sambil erat-erat
memegang baju kakaknya.
"Awas! Kalau kau tak mau melepaskan kakiku
ini. Aku jitak kau!" Si Tolol berpindah memeluk erat-
erat kaki kakaknya.
"Kak...! Tolol nggak mau ditinggalkan sendirian
di rumah. Tolol mau ikut...! Waaaaaaa... huaaa...! Tolol sekarang udah nggak
ileran lagi..., ileran juga enggak!
Tolol udah bisa seka sendiri."
"Hmmmmh! Benar-benar keterlaluan! Lihat
tanganku ini. Kujitak kau! Hih, rasakan!"
Tangan kakaknya dengan cepat melayang dan
mendarat di kepala Si Tolol 'Pletak!' suara dari kepala yang plontos itu pun
terdengar nyaring.
"Waaaaaaa...!" jerit Si Tolol langsung terdengar
dengan nyaring pula, "Kang Acep jahat...! Jahaaaat!
Kang Acep jahat! Huuuwaaaaa... uwaaaaaa...!" jeritnya kembali dengan suara yang
makin melengking.
Den Wangsa melihat Si Tolol menjerit-jerit bagai
anak yang disengat tawon, segera menghampirinya.
"Tolol... kenapa kau menangis?" ucapnya lembut,
karena ada maunya.
"Kepala Tolol dijitak sama Kang Acep..., Paman!"
sahut Si Tolol polos.
"Cep... sudahlah diam. Jangan menangis. Nanti
Paman kasih duit buat jajan," balas Pamannya sambil
merogoh saku. "Abisnya sakit deh, dijitak...!" sela Tolol sambil
memegang kepalanya.
"Ssst, diam ya...! Lihat nih. Paman kasih
seringgit. Nanti malam, Paman ajak nonton wayang
golek! Rame deh?"
"Betul nih, Paman"! Tolol ikut ya?" sahut Tolol
dengan wajah yang kembali cerah dan berseri seperti
lupa dengan sakit di kepalanya.
"Betul. Tapi kalau mau ikut Paman, Tolol musti
mandi dulu dan pakai baju yang bagus dan bersih...!"
"Ini juga bagus.... Paman!"
"Iya... bajumu memang sudah bagus. Tapi otomu
itu sudah jelek, musti diganti dengan yang baru...!
Bagaimana kalau Paman tukar dengan yang ini..!"
"Oh... iya...! Bagus sekali, Paman...!"
"Ini sengaja Paman bawakan untukmu... karena
Paman lihat. Otomu itu sudah dekil sekali. Selain itu otomu yang bekas ingus dan
iler itu baunya bukan
main. Ayo, bukalah otomu itu. Nak...! Paman sengaja
bawakan untukmu bermacam-macam warna... ada
yang merah, ada yang kuning, biru dan hijau."
Sementara Den Wangsa berbicara, tiba-tiba
pikiran Si Tolol menerawang sejenak. Ia teringat pesan dari seseorang,
"Ingatlah! Jangan mau jika ada orang
yang hendak menukarkan yang kau pakai ini!" suara
itu seakan jelas terlintas kembali di dalam pikirannya.
"Hei, kenapa kau bengong. Ayo cepatlah buka!"
ucap Den Wangsa kembali yang spontan membuat Si
Tolol terhentak dari lamunannya." Nanti kusuruh
Kohar mencuci otomu yang sudah bau macam air
comberan itu...!"
"Nggak ah, Paman!"
"Lho. Kenapa tidak mau" Oto yang kubeli ini kan
oto yang bagus, harganya pun mahal. Lihatlah
gambarnya, bagus-bagus, bukan"!"
"Biar, Paman. Tolol pakai yang ini saja. jelek juga
nggak apa-apa! Biarin, deh!"
"Ayo ganti! Kalau kau tak mau ganti, nanti
kuminta lagi duit yang kukasih tadi! Ayo...! Mau ganti atau mau duitnya kuminta
kembali dan tak jadi
kuajak nonton wayang golek nanti malam...!"
"Tidak mau...! lepaskan. Paman..., geli nih...!
Aduh..., aduh! Iya deh Tolol kembalikan duit Paman,
asal Tolol boleh pakai terus oto jelek ini."
Akhirnya Den Wangsa melepaskan juga
tangannya yang sebelumnya berusaha ingin membuka
oto yang dipakai anak itu.
"Tuh duitnya. Tolol mau nonton wayang golek
sendiri saja. Tolol mau minta duit sama Kang Tompel
saja!" ucap Si Tolol sambil berjalan dan melempar
uang logam tinggi-tinggi ke arah Den Wangsa, tanpa
menoleh sedikit pun.
Bukan main kesalnya sang Raden ini melihat
tingkah yang diperbuat Si Tolol terhadap dirinya.
"Huh! Bagong cilik ini betul-betul tolol apa pinter,
sih"! Kenapa aku ikut-ikutan jadi tolol. Kutunggu saja sampai Si Bego ini mandi.
Tentu otonya kan gampang
Si Tolol 1 Warisan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kucuri!" gumam Den Wangsa sambil menggaruk-garuk
kepala tidak gatal.
Tolol yang telah jauh meninggalkan Pamannya,
kini telah berada di sekitar halaman rumah Pak Kohar.
Di sekitar tempat itu memang ada tempat yang teduh
dan sering dipakai oleh Si Tolol sebagai tempat
istirahatnya. Tapi kali ini tidak, sebab baru saja ia akan melonjorkan kakinya
tiba-tiba ia melihat salah
seorang kakaknya lewat di situ.
"Kang..., Kang Tompel! Tunggu! Tunggu Kang...!"
teriak Si Tolol sambil berlari menyusul kakaknya yang berjalan cepat sekali.
"Ada apa panggil-panggil?" bentak kakaknya.
"Minta duit, Kang!" sahut Si Tolol.
"Duit. Lagi-lagi duit! Duit monyong lu!" bentak
Tompel sambil melotot.
"Tolol mau nonton. Kang. Minta duit buat jajan!"
pinta Tolol kembali.
"Tidak! Aku lagi kalah main! Tidak ada duit-
duitan!" "Seringgit aja. Kang..., buat beli getuk."
"Seperak pun nggak ada!"
"Uhuuuu... uuuu..., minta dong Kang Tompel."
"Nggak! Sudah pergi sana jangan rewel! Nanti
kupelintir lehermu kalau masih rewel!"
"Kang Tompel pelit.... Kang Tompel pelit. Minta
duit seringgit aja nggak dikasih...! Peliiiiiit! Uuuu...
uhuuuu...!"
"Doakan..., kalau aku menang, kau akan
kubagi!" Setelah itu Den Tompel pun berangkat lagi. Si
Tolol ditinggal seorang diri.
Pak Kohar yang kebetulan baru pulang dari
ladang, setelah melihat Si Tolol ada di situ, segera
menghampirinya.
"Kenapa kau menangis di sini, Den?" sapa Pak
Kohar dengan lembut.
"Tolol mau jajan nggak punya duit. Minta sama
Kang Tompel nggak dikasih. Huuuu... uuu...
uuuuuuuu!" sahut Si Tolol dengan tangis yang makin
menjadi-jadi. "Sudahlah, Den..., diamlah!" balas Pak Kohar
sambil mengelus-elus kepala Si Tolol.
"Tolol mau jajan.... Tolol mau jajaaaan...!
Uuuu...!" "Nih Bapak punya uang sedikit, ambillah!"
"Uuuu... uuu...!"
"Sudahlah...! Bukankah Aden ingin membeli
getuk"! Belilah! Uang itu cukup buat beli dua getuk
manis!" "Terima kasih. Pak Kohar!"
"Ya...! Cep..., jangan menangis lagi, ya!"
"Kalau Kang Lungguh sih nggak pelit ya. Pak.
Cuma sayang nggak pernah pulang-pulang. Kemana
sih Pak"! Kata anak-anak Kang Lungguh suka nginap
di rumah orang. Betul apa nggak sih" Emang rumah
orang itu bagus apa enggak sih?"
"Sudahlah, Den. Pergilah main...! Tapi hati-hati,
ya..., jangan ngelantur."
Bukan main senangnya hati Tolol setelah
mendapatkan uang jajan tersebut. Ia langsung berlari
sambil bernyanyi dan dalam beberapa detik saja sudah
menghilang dari tempat itu.
Menyaksikan keadaan tersebut bukan main
sedihnya hati Pak Kohar. Tanpa terasa air matanya
berlinang membasahi pipi.
"Aduh... Gusti! Betapa malangnya nasibmu, Den.
Tak ubahnya seperti layangan putus. Saudara-
saudaramu semua tak ada yang perduli sama sekali.
Mereka ketiga-tiganya punya jalan sendiri-sendiri dan jalan yang mereka tempuh,
terkutuk semua! Begitu
pula dengan Pamanmu sendiri. Si Serigala berbulu
domba itu tampak semakin tamak saja. Sesungguhnya
kau butuh perlindungan. Tapi sayang kau berlindung
di tempat manusia-manusia iblis yang buas dan
serakah yang tak segan-segan akan memangsamu
demi tercapai kehendaknya. Percayalah aku tetap
berusaha memperhatikanmu, walaupun diriku tak
berarti apa-apa." ucap Pak Kohar di dalam hati sambil mengelus-elus dada
sendiri. Setelah beberapa saat berdiri, ia pun segera
mengambil Cangkulnya kembali dan langsung berjalan
menuju ke rumahnya. Di depan rumah tersebut
tampak pula Encum yang sejak tadi
memperhatikannya. Encum pun kelihatan sedih sekali.
Si Tolol yang sudah mengantongi uang
pemberian dari Pak Kohar, kini telah berada di
pinggiran pasar. Rupanya ia sedang berusaha
menghibur dirinya sendiri.
*** 7 Di sudut Pasar Babakan, tampak seorang
pengamen sedang asyik memainkan kecapinya di
bawah pohon yang agak besar. Lagu yang dibawakan
pada saat itu adalah sebuah lagu Sunda berjudul
Bubuy Bulan. Mendengar lagu itu. Si Tolol langsung
mendekatinya. "Hmmm... enak sekali lagu ini," gumam Si Tolol.
Si Tolol segera jongkok di depan pengamen itu.
Saat ia perhatikan wajahnya, bukan main terkejutnya.
Ia seakan-akan pernah bertemu dengan orang ini, tapi
kapan dan di mana ia bertemunya sulit sekali diingat
di dalam pikirannya.
"Mau minta lagu, Den?" tanya pengamen itu.
"Oh..., ya... ya! Coba minta lagu Bubuy Bulannya
sekali lagi. Nih uangnya!" balas Si Tolol agak terkejut.
"Baik, Den..., terima kasih!"
"Sebentar, Pak..., aku mau cari tempat yang enak
untuk melonjor," pinta Si Tolol sambil membersihkan
tempat di samping pengamen, "Nah, mainkanlah!"
perintahnya kembali setelah ia duduk bersandar di
bawah pohon. Pengamen itu pun langsung bernyanyi, "Bubuy...
bulan, bubuy bulan sangray bentang. Panon poe'...
panon poe'... disasate' Unggal bulan..., unggal bulan abdi' teang. Unggal
poe'... unggal poe' oge' hade'..."
Belum lagi lagu tersebut habis. Si Tolol sudah
terapung-apung di alam mimpi.
"Parantos... Den. lagunya sudah selesai. Eh...,
tidur"!"
Dari mulai terik sinar matahari terasa menyengat
hingga matahari itu tergelincir ke Barat Si Tolol belum juga bangun. Untunglah
ada dua anak yang lewat di
situ dan kasihan kepadanya.
"Eh..., itu Den Tolol ketiduran di situ," ucap
salah seorang di antara mereka.
"Bangunin ah, kasihan...!" sahut temannya.
"Den... Den Tolol. Bangun, Den, sudah sore...!"
"Wah pules sekali kayanya!"
"Den... Den Tolol...! Bangun...!"
Setelah berkali-kali dibangunkan akhirnya Si
Tolol terbangun juga.
"Oahhhhhmmm.., nyem.. nyem.. nyem..! Oh,
ngantuuuuk! Eh, ke mana tukang ngamen tadi?"
"Tukang ngamen yang mana, Den?"
"Yang tadi di sini."
"Wah udah lama perginya, Den."
"Katanya mau nyanyikan aku lagu Bubuy
Bulan..., kok pergi sih...!"
"Mungkin Aden tadi ketiduran."
"Ah... nggak. Aku cuma ngejerejep sebentar,
kok." "Itu kan perasaan Aden."
"Sungguh, aku nggak tidur."
"Aden pulas di sini hampir setengah hari.
Percayalah...! Sekarang lebih baik Aden pulang,
sebentar lagi pasti Pak Kohar disuruh mencari Aden."
"Ya... ya, aku memang mau pulang. Mau mandi!"
"Baiklah kalau begitu, kamu duluan ya. Den...!"
Untung sekali nasib Si Tolol saat itu. Ia
mendapatkan anak yang mengenal keadaannya lebih
dekat. Biasanya ia selalu mendapatkan anak-anak
yang sering mengganggu dan mengejeknya.
Setelah menggeliat beberapa kali, Si Tolol pun
bangkit lalu berdiri. Uang dan nonton wayang golek
sudah lepas dari ingatannya, kini tujuannya adalah
ingin cepat kembali ke rumahnya untuk mandi.
Setibanya di rumah, sebagaimana biasa Encum
menyambutnya dengan ramah. Ini adalah pesan dari
Pak Kohar agar ia harus memperhatikan anak itu
dengan baik. "Aden mau mandi" Tunggu ya. Den, Encum mau
tuangkan airnya dulu di tahang," sambut Encum.
"Ho... oh! Tolol mau mandi!"
Orang yang disebut oleh Pak Kohar sebagai
manusia serigala dan tamak, begitu melihat Si Tolol
datang, segera mengintai.
Senyumnya mulai tersungging di bibir ketika
melihat Si Tolol hendak mandi.
"Ini baru kesempatan yang bagus dan inilah
saatnya aku bisa mendapatkan oto wasiat! Ayo
sayang..., cepatlah mandi. Bukalah pakaianmu.
Nak...!" ucapnya dengan perlahan sekali dan tak
mungkin dapat terdengar oleh Si Tolol maupun Si
Encum. Den Wangsa yang begitu perlente dan keren kali
ini mau bersusah payah menyelinap ke dapur dekat
kayu bakar yang berdebu dan kotor. Apalagi waktu
mendekati pakaian Si Tolol, ia mendekam bagaikan
seekor kucing yang hendak menerkam tikus, kalau
seandainya ia memakai baju putih tentu baju tersebut
sudah berubah warna menjadi hitam, untunglah ia
memakai baju hitam celana hitam, jadi hanya bagian
muka dan telapak tangan saja yang kelihatan berubah
dari bersih menjadi coreng-moreng.
Memang, ia benar-benar sudah tak memikirkan
keadaan dirinya pada waktu itu. Yang penting oto itu
harus berada di tangan, karena di dalam oto tersebut
terdapat petunjuk untuk mengetahui tempat simpanan
harta warisan seperti apa yang diucapkan oleh
almarhum Raden Surya sebelum ia wafat.
Setelah dengan susah payah akhirnya Raden
Wangsa dapat mengambil oto tersebut tanpa diketahui
oleh Si Tolol maupun Encum
"Ini dia saatnya! Sebentar lagi aku akan menjadi
orang yang paling kaya seantara Babakan Sumedang
Tapi... uuf... ffuuuhhh... bek..! Busyeeet dah, baunya bukan maiiin...! Kalau
kucemplungkan di kali tentu
semua ikan mabok nih," ucap Den Wangsa setelah
berada kembali, di kamarnya.
Den Wangsa segera menyiapkan peralatan tulis
dan dengan cepat ia menyalin semua yang tergambar
di dalam oto itu. Dalam menyalin kerajinan tangan
yang begitu indah, terpaksa ia harus bertahan dengan
bau yang menusuk hidung. Sulaman yang terdiri dari
rangkaian kalimat yang disusun berbentuk bunga
disalin sebagaimana aslinya. Untuk yang kurang jelas
ia pun tak segan-segan mengorek-ngorek bekas ingus
dan iler yang mengering dengan ujung kukunya.
"Supaya tidak lupa, perlu juga kutulis penjelasan
di kain ini, kalau sudah selesai aku pun harus cepat-
cepat mengembalikannya, agar anak bego itu tidak
ribut!" gumamnya setelah selesai menyalin seluruh
kalimat yang isinya antara lain menyebutkan bahwa,
harta itu terletak di ujung bayangan tebing saat bulan purnama dan seratus
langkah dari puncak air terjun.
Sementara itu Si Tolol masih asyik berendam di
air. "Horeee...! Tolol sedang berlayar di laut! Horeeee!"
Tahang yang terbuat dari kayu itu rupanya
sudah tak tahan lagi menahan tubuh Tolol yang
gembrot. Di saat ia sedang bergoyang keras tiba-tiba
"Brak!... Byaaaar!" terdengar bunyi yang cukup keras.
Tahang kayu yang sudah tua itu pecah berantakan
dan airnya banjir ke seluruh ruang dapur.
"Wah. Kapalnya pecah...! Encuuum...!
Encuuuum! Tolol udah mandinya. Tuh, benahin
tahangnya!" teriak Si Tolol kepada pembantunya.
"Iya... Den! Aden pakailah baju dulu. Biar nanti
Encum yang rapikan," sahut Encum dari balik pintu.
"Iya... ini juga lagi pake baju!" sahut Tolol
kembali. Beberapa saat setelah Tolol memakai baju.
Encum pun masuk kembali ke dapur.
"Ya ampun...! Apa-apaan nih. Den?"
"Tolol kan abis main kapal-kapalan."
"Tapi kenapa bisa pecah begini?"
"Nggak tau...! Pecah sendiri kok!"
"Hmmmh... Aden... Aden, keliwatan amat sih."
"Besok kapal-kapalannya yang lebih gede ya,
Cum?" "Iya... iya deh!"
Dengan jengkel Encum merapikan papan-papan
pecahan tahang tersebut dan langsung dipelnya lantai
dapur yang belum lama dibanjiri Si Tolol. Sedangkan
Si Tolol yang telah menumpahkannya sudah berlalu
entah ke mana. Keesokan harinya, setelah mengumpulkan uang
pemberian dari Encum dan Pak Kohar yang bernilai
masing-masing setalen. Si Tolol tampak keluar rumah
dengan muka cerah.
Dengan lagak bak jutawan, ia berjalan sambil
menyiulkan lagu Bubuy Bulan. Sungguh aneh bin
Si Tolol 1 Warisan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ajaib, oto yang dikenakan, tetap oto yang itu-itu juga, padahal sudah dekil dan
kumel. Sepertinya ia bertekad akan sehidup semati dengan oto yang satu ini.
Untuk pakaian di balik oto, setiap hari memang
selalu diganti. Tapi mode, jenis, dan coraknya selalu sama begitu pula dengan
warnanya, tetap itu-itu saja, sehingga menimbulkan kesan seolah-olah tak pernah
diganti. Entah apa yang menyebabkan ia sangat senang
dengan corak loreng yang terbuat dari jenis bahan kain kasur itu. Tak ada yang
mengetahui. Pernah suatu
ketika almarhum ayahnya membelikan warna yang
lain dari bahan yang lebih bagus, Tolol tetap tak mau pakai, ia menolak mentah-
mentah. Oleh karena itulah
Tolol dibiarkan memakai pakaian yang sesuai dengan
kehendaknya. *** 8 Pagi ini Tolol tampak sangat bergembira sekali,
sejak ia keluar dari rumah siulannya tak pernah
berhenti, kedua tangannya tetap berada di belakang,
bagai seorang Mandor sedang mengontrol pekerjaan
anak buahnya. Tapi sayang, tanpa sepengetahuannya,
ada orang lain yang menginginkan darinya. Sejak
mengetahui Si Tolol sedang bermain ia terus mengintai dari jarak jauh dengan
sabar ia mengikuti ke mana Si
Tolol pergi. Orang yang mengikuti Si Tolol itu tak lain adalah Si Tangan Kilat.
Entah apa yang akan
diperbuat terhadap anak itu oleh manusia yang telah
banyak membunuh ini.
"Bagus... bagus... Tong! Lewatilah jalan yang sepi
itu..., bergembiralah terus, sebentar lagi aku akan
menyusulmu. Sebab kalau tidak, tentu ada orang lain
yang akan mendekatimu dan mempunyai tujuan yang
sama denganku," gumam si Tangan Kilat dengan
tersenyum. Setelah Si Tolol jauh dari pandangannya, ia pun
segera melesat dan bersalto beberapa kali di udara.
Setelah berada di atas pohon, ia pun segera melompat
ke pohon lainnya persis bagai seekor tupai.
Dalam waktu singkat Si Tangan Kilat telah
berhasil melewati lebih dari tujuh pohon, kini ia telah dapat melihat kembali
dengan jelas tingkah Si Tolol
yang aneh ini. "Hmh...! Inilah saat yang kutunggu-tunggu! Oto
itu sebentar lagi akan berada di tanganku. Percuma
mempunyai julukkan Si Tangan Kilat kalau mengambil
barang yang kelihatan di ujung hidung nggak mampu,"
gumam Si Tangan Kilat sambil lompat. Setelah tiba di
bawah, ia pun langsung mencabut pisau yang terselip
di pinggangnya. "Walaupun apa yang bakal terjadi. Oto yang merupakan satu-
satunya petunjuk untuk
mendapatkan harta itu, harus kudapatkan hari ini!
Kalau perlu, anak bego ini pun kukubur hidup-hidup
di dalam lumpur!" ucapnya dalam hati.
Si Tangan Kilat langsung menyelinap kembali di
balik pohon, setelah melihat Si Tolol mulai dekat
dengannya. Rupanya ia sengaja berada jauh di depan,
agar mudah mengambil posisi.
Begitu Si Tolol lewat, reaksi tangan laki-laki itu
pun bergerak cepat. Pisau yang digenggamnya
langsung bergoyang dangdut beberapa detik di
belakang badan Si Tolol. Kemudian "Plas...!" Pisau
yang begitu berkilat dan sangat tajam menyontek oto
yang dikenakan Si Tolol.
Dengan wajah berseri, Si Tangan Kilat dengan
cepat melejit lagi. Ia kembali menyelinap di atas pohon, menunggu keadaan aman.
Sungguh luar biasa kehebatan laki-laki itu.
Pantaslah ia menyebut dirinya Si Tangan Kilat. Dalam
tempo yang sangat singkat ia telah berhasil mengambil oto yang dikenakan Si
Tolol tanpa melukainya. Bahkan
sang empunya diri tidak tahu 'barang berharganya'
diambil orang. Yang sangat mengherankan, si anak ini
masih tetap menyenandungkan lagu Bubuy Bulan
tanpa terputus dengan kejadian barusan.
"He... he... heh...! Sebentar lagi aku akan menjadi
orang kaya besar...! He... he... heh! Inilah buktinya.
Oto si bego' sudah berada di tanganku! Tak
seorangpun akan berhasil menemukan tempat rahasia
penyimpanan harta karun itu. Karena kuncinya sudah
berada di dalam genggamanku" ucap Si Tangan Kilat
yang berbicara sendiri setelah Si Tolol jauh pergi.
Setelah melihat situasi yang memungkinkan, Si
Tangan Kilat kemudian berjalan dengan tenang
memasuki pasar dan berhenti di sebuah kedai.
"Tolong buatkan kopi pahit. Neng!" ucapnya
setelah ia berada di dalam kedai tersebut.
"Baik..., Kang!" sahut pemilik kedai dengan
ramah. Melihat Si Tangan Kilat duduk sambil
mengangkat kaki, beberapa orang yang ada di situ pun
minggir satu persatu secara perlahan dan tak lama
kemudian hanya tinggal satu orang saja yang
menemaninya, yakni si pemilik kedai sendiri.
"Kenapa kamu juga nggak ikut pergi?" tanya Si
Tangan Kilat kepada pemilik kedai itu.
"Kalau saya pergi, nanti siapa yang menunggu
warung ini Kang?" ucap si pemilik kedai yang balik
bertanya. "Bagus. Tak kusangka perempuan cantik macam
kau ini mempunyai keberanian yang lebih tinggi dari
semua laki-laki tadi," balas Si Tangan Kilat yang tak henti-hentinya memandang
tubuh pemilik kedai dari
ujung kaki sampai ke ujung rambut.
"Kenapa sih, Kang" Kok mandangi saya sampai
begitu?" tanya wanita itu kembali. Padahal sebenarnya jantungnya terasa mau
copot dalam menghadapi tamu
yang tak diharapkan datang ini.
Si Tangan Kilat tidak menjawab pertanyaan yang
diajukan tadi. Ia langsung mendekat pemilik kedai dan langsung memegang kedua
pundak wanita itu dari
belakang. "Baru kali ini aku melihat pemilik warung
secantik kau, Geulis He... he... heh!" ucap Si Tangan Kilat yang kelihatannya
belum puas menikmati
keindahan tubuh wanita itu kalau tidak dari dekat.
"Ah, Kang..., jangan, Kang...!" pinta wanita itu.
"Jangan kuatir, Geulis. Tak mungkin ada orang
yang berani nongol, kalau mereka tahu Si Tangan Kilat ada di sini. He... he...
he...!" balasnya.
"Tapi saya punya laki, Kang. Sebentar lagi juga
dia datang menjemput saya ke sini." jelas wanita itu
yang tampak semakin pucat sekali.
"Persetan dengan suamimu! Pokoknya aku mau
nginap di sini. Suruh dia mondok di tempat lain!"
bentaknya. Wanita itu benar-benar tak berdaya dibuatnya.
Tangan yang sangat kuat dan kekar itu terus
membekap tubuh pemilik kedai dengan jari-jari tangan
yang semakin tak tahu aturan.
"Heh! Lihat tuh, Kang. Ada apa di luar ribut-
ribut! Coba lihat, Kang..., kayaknya suara Den Tolol
tuh yang nangis!" ucap wanita itu untuk mengalihkan
perhatian kepada Si Tangan Kilat.
Mendengar sebutan Si Tolol, laki-laki itu
langsung melepaskan wanita itu, "Hmmm. Sial! Gara-
gara ada cewek ini, hampir saja aku lupa dengan
tugasku, jangan-jangan ada orang yang
mendahuluinya," ucapnya di dalam hati.
Bukan main girangnya wanita itu, rasa badan
yang seakan-akan patah tak dihiraukan lagi. Ia
langsung mundur beberapa langkah menjauhi laki-laki
yang kini sedang meneguk sisa kopi.
"Nih duitnya. Neng...!" ucap laki-laki itu setelah
menghabiskan kopinya.
"Ah..., biar saja, Kang. Nggak usah bayarlah!"
sahut wanita itu.
"Jangan. Nanti kau rugi. Nih ambil!" balas Si
Tangan Kilat sambil meletakkan lebih dari sepuluh
keping uang ringgit di atas meja.
"Buat apa itu. Kang...?" tanya wanita itu dengan
terkejut. "Ambil buat kau semua!" balas Si Tangan Kilat
sambil berjalan melangkah ke luar tanpa menoleh
sedikit pun. Apa yang dikatakan oleh pemilik kedai itu
memang benar. Di tengah-tengah pasar tampak orang
berkerumun menyaksikan Si Tolol sedang menggeloso
di atas tanah sambil menangis keras di depan penjual
getuk. "Waaaaa..., otoku hilang..., otoku hilaaaaaang, waaaa...!" raung Si Tolol
yang semakin lama semakin
menjadi-jadi. "Kenapa... Den, kenapa" Ayo cep, jangan
menangis...!" bujuk salah seorang yang berkerumun
itu, "Kenapa dia. Bu?" tanyanya kembali sambil
menoleh ke arah penjual getuk.
"Entahlah...! Tadi dia memesan getuk, tapi begitu
ia hendak membayar, tiba-tiba kelihatan kebingungan
sekali. Belum sempat ditanya dia sudah menangis,"
jelas penjual getuk itu.
"Mungkin uangnya hilang," ucap yang lain lagi.
"Mungkin juga!" balas penjual getuk.
"Bukan uang saja..., tapi otoku juga hilaaang.
Aku tak mau..., otoku hilaaaaang...!" jerit Si Tolol yang semakin menjadi-jadi
dan telah membuat orang-orang
di sekeliling tempat itu kebingungan.
"Sudahlah, Den... kalau memang uang itu hilang,
biarlah. Tak bayar pun tak apa-apa. Ambillah getukmu
ini. Den...!" bujuk penjual getuk itu kembali.
Kita tinggalkan sejenak orang-orang yang
kepusingan menghadapi Si Tolol yang macam orang
kesurupan itu, sekarang kita lihat dulu suasana di
rumahnya. Di rumah besar itu tampak Pak Kohar
masih sibuk merapikan pekarangan rumah bersama
dengan putrinya yang semata wayang itu. "Cum...,
sudah kau siapkan air untuk mandi Den Tolol?" tanya
Pak Kohar kepada anaknya.
"Sudah, Pak...." sahut Encum.
"Syukurlah, Bapak mau susul si Aden dulu."
"Baik, Pak...."
Pak Kohar segera mencari Si Tolol ke tempat
yang biasa dia buat mangkal. Tapi sayang setelah
mencari di beberapa tempat tersebut belum juga
berhasil ia menemui majikan kesayangannya,
kekhawatiran mulai timbul setelah berjam-jam
mencari tanpa hasil sama sekali.
"Hei, Tong...! Apakah kalian melihat Den Tolol?"
tanya pak Kohar kepada anak-anak yang sedang asyik
bermain. "Tidak, Wak," jawab salah seorang di antara
mereka. "Benar tidak ada yang melihat?" tanya Pak Kohar
sekali lagi. "Tidak, Pak," jawab anak yang lainnya.
"Apakah Den Tolol, yang gede-gede masih ileran
dan ingusan?" sela salah seorang anak yang baru saja
membenahi mainannya.
"Rupanya kau telah melihatnya, ya... Tong" Di
mana" Coba tolong kasih tahu Uwak, Tong..!" pinta
Pak Kohar kepada anak itu.
"Kalau yang Uwak maksud anak itu, tadi saya
lihat jalan ke sana, sehabis menangis di pasar," jelas anak yang bernama Kusin.
"Menangis?" tanya Pak Kohar terkejut.
"Ya, Wak!" jawabnya singkat.
"Memangnya kenapa?" tanya Pak Kohar kembali.
"Entahlah, Tapi menurut orang-orang, katanya
dia kehilangan oto yang dipakainya!"
"Apa"! Otonya hilang...?"
"Benar, Wak! Mungkin ada orang yang iseng atau
kurang senang melihat oto yang sudah dekil itu masih
dipakai terus. Nah kalau sudah hilang begini kan
terpaksa dia ganti dengan yang baru dan enak
dipandang mata."
"Ya... ya...! Mungkin juga. Memang itulah yang
Uwak harapkan...! Tapi ngomong-ngomong masa iya
kalian sebanyak ini nggak ada yang tahu ke mana
tujuannya..."!"
"Sungguh, Wak, kami tidak tahu!"
"Pokoknya yang pasti dia pergi ke sono, tuh! Dari
jalan ini teruuuuuus saja, nah... di ujung sana, dia
belok ke kiri!"
"Ya... ya... terima kasih, Tong!"
"Ya..., Wak!"
Pak Kohar segera pergi meninggalkan anak-anak
itu, ia akan melanjutkan pencariannya sesuai dengan
petunjuk anak-anak tadi walaupun hari sudah mulai
gelap. Apa yang dilakukan oleh pesuruh tua ini,
semata-mata bukan karena tugas, tetapi karena kasih
sayangnya kepada anak majikan yang selalu
dikucilkan oleh pihak keluarga. Terutama setelah
ayahnya tiada. Berkat kesabaran dan ketekunan, akhirnya Pak
Kohar. pun berhasil menemui anak itu. Si Tolol pada
saat ditemukan, sedang tidur dengan nyenyaknya di
sebuah dangau. Udara malam terus berhembus dan semakin
dingin rasanya. Namun Pak Kohar kini dapat tidur
dengan perasaan lega di rumahnya.
Sejak hilangnya milik kesayangan Si Tolol, Pak
Kohar tak begitu dipusingkan lagi membujuk majikan
yang aneh ini. Si Tolol sekarang sudah mau mengganti
otonya setiap hari asal warna dan bahannya sama
Si Tolol 1 Warisan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan oto yang hilang.
*** 9 Pada suatu malam, di saat bulan purnama
muncul dengan indahnya, tampak sesosok tubuh laki-
laki berdiri di atas batu yang berada di tengah puncak air terjun. Laki-laki itu
tak lain adalah Si Tangan Kilat.
Rupanya saat inilah yang ditunggu-tunggu untuk
mengambil harta warisan itu.
"Seratus langkah dari tengah-tengah puncak air
terjun ini," gumamnya sendirian," Kemudian menuju
ke bayangan tebing... Oh, mungkin yang dimaksud
dengan tebing itu adalah tebing yang di ujung sana.
Sebab hanya ada satu tebing di daerah ini. Baik mulai dari atas batu ini
kuhitung langkah. Satu... dua...
tiga... empat... lima..."
Si Tangan Kilat terus menghitung langkahnya
hingga sampai hitungan keseratus sambil menelusuri
bayangan tebing. Setelah sampai pada hitungan
keseratus ia pun segera menancapkan linggis yang
sebelumnya telah dipersiapkan.
"Mudah-mudahan aku tak salah perhitungan."
Dengan tenaga semaksimal mungkin, ia langsung
menggali lubang yang diperkirakan ada benda
tersimpan di dalamnya. Tangan laki-laki ini sungguh
cekatan sekali, dalam tempo beberapa menit saja,
lubang itu sudah dalam dibuatnya.
"Hei... Bulan Purnama...! Kau sekarang telah
menjadi saksiku. Bahwa di malam ini aku menjadi
orang kaya... ha... ha... hah...! Hua... ha... ha... hah...!
Eh"! Linggisku membentur benda keras...! Hah...,
inilah rupanya harta karun itu. Aku harus hati-hati
sekarang...! Ah..., lebih baik pakai tangan saja! Hup..., eh, huuuup!"
Semangat Tangan Kilat kini semakin tinggi
setelah ditemukan sesuatu di dalam lubang itu.
Wajahnya langsung berseri ketika yang didapatkan
adalah sebuah peti.
"Huuuphhh! Wadoooouuw, berat buaanget! Pasti
harta di dalamnya banyak sekali...!"
Dengan susah payah akhirnya Tangan Kilat
berhasil dapat mengangkat peti besar tersebut.
Rupanya ia sudah tak sabar lagi untuk melihat isi dari peti itu. Dengan kekuatan
yang dimilikinya ia langsung memegang gembok yang sudah berkarat yang melekat
di peti tersebut.
Beberapa detik saja gembok itu tampak mulai
berasap dan bagaikan melepaskan tutup botol dari
gabus, ia dengan mudah membuka peti yang baru
didapatkannya. Bukan main terkejutnya ketika peti itu dibuka.
"Hah!" Apa-apaan ini!" Kurang ajar. Ternyata
aku tertipu. Sial!! Cape-cape tak ada hasil!"
Tangan Kilat langsung mengangkat peti itu
tinggi-tinggi untuk melemparkannya jauh-jauh, tapi
tiba-tiba ia mengurungkan niatnya. Dengan hati-hati
peti itu diletakkan kembali ke tanah dan langsung
menguncinya kembali.
Kemampuan laki-laki ini memang sungguh luar
biasa, setelah ia memasukkan kembali gembok itu, tak
kelihatan ada tanda-tanda bekas dibuka.
"Kalau aku bisa ditipu begini. Orang lain pun
harus kutipu juga supaya nilainya satu-satu! Tentang
harta warisan ini, biar bagaimana pun aku harus
mendapatkannya. Aku harus cari orang yang telah
mendahuluiku!"
Baru saja ia akan membungkus peti itu dengan
kain sarung yang dipakainya. Tiba-tiba terdengar
suara ranting pohon yang patah akibat benturan
benda keras. Ternyata benda-benda itu adalah berupa tombak
yang baru saja dilemparkan orang dari tempat
persembunyian. Si Tangan Kilat yang pendengarannya cukup
terlatih ini segera melompat menghindari serangan
yang datang ke arahnya. Begitu kakinya melesat, lima
buah tombak jatuh menancap di tempat ia berdiri tadi.
Tapi serangan tersebut tidak cukup sampai di
situ saja. Lagi-lagi serangan beruntun datang bertubi-tubi ke arahnya sehingga
ia harus melompat ke sana
ke mari. "Hei! Pengecut! Ke luar kalian kalau berani.
Jangan beraninya membokong seperti ini! Ayo keluar!"
teriak Si Tangan Kilat sambil menangkis senjata-
senjata yang dilemparkan pihak lawan ke arahnya.
"Cukup! Ayo keluar semua!" teriak seorang lelaki
dengan keras dari tempat persembunyian.
Dengan terdengarnya komando tadi maka
muncul sepuluh orang laki-laki berpakaian serba
hitam. Mereka langsung mengurung Si Tangan Kilat
tanpa mengeluarkan ucapan sepatah pun.
"Nah... macam beginilah yang aku inginkan...!
Kalau macam begini, jangankan sepuluh, tiga puluh
pun masih tetap kulayani. Ayo. Majulah...! Mau satu-
satu, atau sekaligus...!?" teriak Tangan Kilat separuh mengejek.
Kesepuluh orang itu pun langsung mengambil
ancang-ancang untuk melakukan menyerangnya
kembali. Tapi belum sempat mereka bergerak, tiba-tiba terdengar perintah dari
atas batu yang agak tinggi.
"Tahan!!"
Tanpa banyak komentar lagi mereka dengan
cepat kembali ke posisi semula. Tak berapa lama
kemudian 'Sang Komandan' pun turun ke gelanggang
dan langsung menghampiri Si Tangan kilat.
"Serahkan peti itu dan cepat tinggalkan tempat
ini," perintahnya dengan suara lantang kepada Si
Tangan Kilat. "Bagaimana kalau aku tidak mau?" sambut Si
Tangan Kilat dengan senyum sinis.
"Terpaksa aku gunakan kekerasan," balas lelaki
gendut, yang ternyata Pamannya Si Tolol sendiri alias Den Wangsa.
"Silahkan...." sahut Si Tangan Kilat dengan
santai. "Jadi kau tak takut kalau timah panas ini
memecahkan matamu yang tinggal satu itu, hah"!"
bentak Den Wangsa sambil mengarahkan moncong
pistolnya ke arah Tangan Kilat.
"Hei, Perut Buncit! Jangan coba-coba kau
menakutiku dengan barang yang kau sendiri tak tahu
cara menggunakannya. Lain halnya dengan senjataku
ini. Sering kupakai dan sudah terbukti
keampuhannya, mau coba"!" ejek Si Tangan Kilat
kembali sambil menimang-nimang pisau yang baru
dikeluarkan dari sarungnya.
Salah seorang anak buah Den Wangsa rupanya
terpancing juga emosinya. Begitu melihat Si Tangan
Kilat sedang memainkan pisaunya, ia langsung
membokongnya. Gelagat si penyerang itu mudah dirasakan
gerakannya, karena di samping suaranya yang keras,
gerakannya pun sepertinya tak sepenuh hati. Masih
ada rasa was-was pada dirinya. Serangan macam ini
bukan main mudahnya diatasi oleh orang yang
mempunyai ilmu tinggi semacam Si Tangan Kilat ini. Ia cukup menggeser kuda-
kudanya selangkah dan
langsung tangannya menyambar dan akibatnya
membuat orang itu tersungkur tak bergerak lagi.
"Sebenarnya aku tak mau memberi contoh
tentang keampuhan senjataku, tapi berhubung anak
buahmu ingin mencobanya, yah, apa boleh buat," ejek
Tangan Kilat kembali sambil menggosok pisaunya yang
penuh dengan darah.
Melihat kejadian ini Den Wangsa segera
memerintahkan anak buah yang lainnya," Kurung dia
jangan sampai lolos! Upah kalian akan kutambah dua
kali lipat, kalau kalian berhasil mendapatkan peti itu!"
teriaknya sambil mondar-mandir macam orang
kebingungan, "Ayo...! Ayo...! Rebut peti itu cepat! Kalau kubilang cepat ya
cepat! Ayo bergerak cepaaaaat!"
perintahnya lagi.
"Hei, perut buncit! Kenapa kau ini, hah"! Macam
cacing kepanasan saja kelihatannya.." Percayalah...,
anak buahmu itu tak ada yang mampu menandingi
serigala macam aku ini. Lebih baik kau suruh mereka
pulang. Mereka lebih cocok kau tempatkan di ladang,
dari pada kita mikirin pepesan kosong...!" sahut
Tangan Kilat yang tak henti-hentinya menyindir Den
Wangsa. "Pepesan kosong"! Apa maksudmu?" tanya Den
Wangsa menanggapi ucapan Si Tangan Kilat.
"Oh... tidak, tidak! Lidahku hanya keseleo
sedikit...! Sebenarnya yang kumaksud, kita sama-sama
manusia tamak yang ingin menyerakahi harta yang
bukan milik kita. Cuma sayang, ada perbedaan di
antara kita."
"Apa perbedaannya?"
"Sebenarnya kau sendiri pun sudah mengetahui
jawabannya, bahwa aku mengambil harta itu hanya
sekedar untuk makan atau penyambung hidup!
Sedangkan kau, tidak! Kau sudah berduit, punya
usaha tetap, tapi masih saja kemaruk dengan harta
itu. Memang dasar kau benar-benar tamak. Pantas
perutmu itu semakin buncit, mungkin lama-kelamaan
bakal meletus!"
"Tutup mulutmu, Kunyuk! Sekarang katakan apa
maumu" Jangan bertele-tele!"
"Terserah kau saja. Apa pun aku layani! Tapi
yang kuharapkan, kita bisa berdamai saja!"
"Berdamai"!"
"Ya! Sebab aku tidak membutuhkan emas
permata seperti yang ada di dalam peti ini. Yang
kuharapkan adalah uang tunai untuk makan. Itu saja!
Jadi apabila kau menginginkan harta yang ada di
dalam peti ini, tak perlu susah payah lagi menggali.
Cukup kau memberiku uang sebagai imbalan dan aku
pun rela memberikan peti yang telah kuperoleh dengan
susah payah ini! Bagaimana" Kau setuju, bukan"!"
"Godverdom Zeg! Perduli apa dengan dirimu!
Sebenggol pun tak akan rela kuberikan untuk tikus
keparat macam kau!"
"Terserah... aku pun tak akan memaksamu!
Minggirlah kalian. Aku mau pergi!"
"Tunggu!"
"Apa lagi?"
"Kau boleh angkat kaki dari sini, tapi tinggalkan
peti itu di tanah!"
"Fuiiih! Enak lu nggak enak gua dong!"
"Tutup mulutmu, Kunyuk! Hei, kenapa kalian
semua bengong hah"! Ayo sikat tikus keparat ini biar
mampus! Cepat..! Pokoknya kalau ada yang berhasil
mendapatkan peti itu, utangmu kuanggap lunas dan
kutambah dengan hadiah-hadiah yang besuuaaaar...!
Ayo... ayo.. kesempatan ini kuberikan hanya kali ini
kepada kalian. Besok-besok nggak ada lagi!"
Den Wangsa terus berkoar bagai orang mabuk
minuman sambil petantang-petenteng tak keruan.
Seluruh anak buahnya diharuskan menyerang Si
Tangan Kilat tanpa kecuali.
"Teruuus... teruuuus...! Sikaaat, cingcang biar
dia tahu rasa! Ayo jangan takut. Maju teruuuus! Awas, siapa yang mundur, akan
kuhajar dengan timah panas
ini," teriak Den Wangsa sambil memberikan ancaman
kepada anak buahnya, sambil mengacungkan
pistolnya. "Hei, Gendut! Peluru yang cuma semata wayang
itu lebih baik kau tembakkan saja ke jidatmu yang
dempak itu," teriak Si Tangan Kilat sambil menangkis
serangan yang datang secara bertubi-tubi.
Dalam menangkis serangan lawan. Si Tangan
Kilat cukup menggunakan peti besi itu sebagai perisai, sehingga golok-golok
lawan yang datang ke arahnya
menjadi kandas.
*** 10 Den Wangsa melihat anak buahnya satu persatu
dapat dilumpuhkan, tampak mulai kebingungan dan
nyalinya mulai terasa ciut. Apalagi begitu salah
seorang yang baru saja ambruk di depannya akibat
sebuah tendangan telak yang dilancarkan Si Tangan
Kilat kepada orang itu.
Anak buah Wangsa saat itu tampak kelihatan
bernafsu sekali untuk merebut peti yang ada di tangan Si Tangan Kilat, tapi
sayang, setiap serangan yang
dilancarkan selalu dapat dielakkan, bahkan Si Tangan
Kilat tak segan-segan melancarkan pukulan mautnya
ke arah mereka.
"Minggir semua!"
Teriakan keras yang datang secara tiba-tiba
membuat semua anak buah Den Wangsa terkejut dan
langsung mundur.
Orang yang memberi aba-aba itu dengan cepat
lompat ke tengah-tengah arena. Rupanya orang inilah
yang ditunggu-tunggu Den Wangsa sejak tadi.
"Nah. Sekarang kau baru mendapat lawan yang
seimbang, Kunyuk! Dialah Si Mehong, pengawal
setiaku yang sampai saat Ini belum ada tandingannya.
Ayo cepat selesaikan tugasmu, Mehong! Pokoknya ada
deh hadiah yang cukup buat ngasi keempat bini lu itu
di samping upah yang sudah dijanjikan!" teriak Den
Wangsa kegirangan.
Pengawal andalan Den Wangsa memang tampak
beringas sekali. Tanpa banyak omong lagi, ia langsung menyerang Si Tangan Kilat
Si Tolol 1 Warisan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan senjata andalannya
berupa keris dalam ukuran besar. Melihat serangan
dari orang yang bertubuh besar, hampir satu setengah
kali ukuran badannya ini. Si Tangan Kilat pun sangat
berhati-hati sekali. Setiap langkah benar-benar
diperhitungkan secara matang.
"Gila! Keras sekali pukulan orang ini hampir saja
pecah kepalaku dibuatnya!" ucap Si Tangan Kilat di
dalam hati," Aku harus mencari akal supaya dapat
mengalahkan orang ini."
Si Tangan Kilat kembali mendapat serangan
keras dari Si Mehong dan serangan yang tak diduga-
duga ini tak sempat ditepis sama sekali. Maka tak
ampun lagi baginya, tubuhnya langsung terpental ke
belakang. Untuk menjaga kemungkinan serangan
berikutnya datang lagi. Si Tangan Kilat dengan cepat
menggulirkan badannya jauh-jauh. Kemudian ia
berusaha bangkit lagi sambil memegangi perutnya
dengan kedua tangannya. Kelihatan pukulan yang
diterimanya cukup keras sekali, sehingga ia lemah tak segesit waktu melawan
kesepuluh orang itu.
Den Wangsa melihat jagoannya telah berada di
atas angin langsung bertepuk tangan kegirangan.
"Ayo...! Sikat terus. Jangan beri dia kesempatan
untuk bangun. Kalau perlu putuskan lehernya!"
teriaknya sambil berjingkrak-jingkrak macam anak
kecil. Si Tangan Kilat tak memberi reaksi atas ucapan Den Wangsa yang begitu
bersemangat. Ia tetap diam,
malah kepalanya mulai tertunduk sepertinya tak
sanggup lagi mengadakan perlawanan.
Entah ini merupakan siasat atau memang ia
sudah tak berdaya sama sekali. Hal ini pun menjadi
pemikiran Si Mehong yang agak ragu-ragu untuk
menyerangnya kembali.
Setelah beberapa saat tertunduk, sang lawan
pun langsung mendekati dengan niat untuk
melaksanakan permintaan sang majikan.
"Cuma begini saja kemampuanmu, hah"!
Sekarang terimalah ini. Kunyuk...!" ucap Si Mehong
sambil mengambil ancang-ancang bagai orang yang
ingin menebas pohon. Tapi tiba-tiba, "Hekkh!"
suaranya seakan-akan tersumbat. Wajahnya yang
sebelumnya garang langsung berubah menjadi pucat,
senjata yang di tangannya pun terjatuh. Pada detik
berikutnya darah segar pun keluar dari bagian perut
yang sekaligus membuatnya ambruk ke tanah tak
berkutik lagi. "Hua... ha... ha... hah! Sudah kubilang... tak satu
pun ada yang mampu menandingiku, ha... ha... ha...!
He... he... heh!" tawa lebar Si Tangan Kilat kembali
terdengar dengan keras sekali. Rupanya apa yang
dilakukan tadi hanyalah tipuan untuk mengelabui
lawan. Kini Den Wangsa kembali ciut nyalinya. Bibirnya
tampak gemetar walaupun di tangannya masih
menggenggam benda kebanggaannya yang sering
digunakan untuk menggertak penduduk dalam
menagih hutang.
"Nih kukembalikan kepadamu!" teriak Si Tangan
Kilat sambil mengangkat dan kemudian melemparkan
tubuh Si Mehong yang sudah tak bernyawa itu ke arah
Den Wangsa. Tubuh Den Wangsa yang begitu gemuk, seakan-
akan mau patah pinggangnya saat ketiban tubuh Si
Mehong yang besar. Dengan nafas tersengal-sengal.
Den Wangsa berusaha bangkit.
Melihat tuannya terjatuh dan susah untuk
bangun, beberapa orang yang masih segar segera
menolong sang majikan agar dapat berdiri kembali.
Den Wangsa celingukan setelah dapat berdiri
kembali, sepertinya mencari sesuatu barang yang
hilang. Si Tangan Kilat yang berada tak jauh dari
dekatnya segera menghampiri.
"Inikah barang yang kau cari?" ucap Si Tangan
Kilat sambil menempelkan laras pistol itu ke kening
Den Wangsa. "Oh... Ja... jangan!" pinta Den Wangsa sambil
mengangkat kedua tangannya yang sudah gemetaran
itu. "Jangan main-main dengan benda itu... berbahaya
sekali..." ucapnya lagi dengan sungguh-sungguh takut.
"Bagaimana" Masih bertahan atau...."
"Tidak... tidak! Kita berdamai saja!"
"Nah begitu dong... kenapa tidak sejak tadi saja.
Kan tidak sampai memakan korban segala...."
"Berapa yang kau ingin kan?"
"Terserah, yang mana yang kau pilih. Mau
berikut pistol kebanggaanmu ini, atau cuma petinya
saja" Kalau petinya saja cukup kau berikan dengan
seratus ringgit, tapi kalau lengkap dengan pistolnya, yah... tambah saja sepuluh
ringgit. Jumlah uang yang
tak berarti bagimu, bukan"!"
"Hah! Seratus ringgit"! Sudah gila rupanya kau
ini, hah"!"
"Cukup sesuai dengan nilai barang-barang yang
akan kau peroleh ini."
"Nih, terimalah seratus ringgit! Cepat kau
berikan barang-barang itu."
"Apakah kau anggap aku ini dagang cabe
bawang"! Kaulah yang harus cepat memberikan sisa
uang itu sebelum aku mengubah pikiran. Jangan
sampai nanti kuhitung juga lelahku menghadapi
ceroco-ceroco itu dengan uang!"
"Sudah... sudah...! Nih terimalah! Bawa sana
cepat!" "Tentu, barang-barang ini pasti akan
kuserahkan. Aku adalah orang yang selalu berpegang
teguh pada janji. Terima kasih atas imbalan yang kau
berikan dengan kerelaan hati ini. Sekarang terimalah
peti dan pistol ini! Huuuu!"
Den Wangsa segera menerima peti yang baru saja
dilemparkan oleh Si Tangan Kilat. Bukan main
girangnya Den Wangsa setelah memeriksa peti yang
kelihatan masih orisinil itu.
"Nah, kurasa sudah tak ada lagi yang perlu kita
bicarakan, bukan?"
"Ya... ya!"
"Baiklah! Kalau begitu aku akan berangkat
sekarang!"
"Silahkan!"
Si Tangan Kilat langsung melompat ke atas
tebing dan menghilang entah ke mana. Sedangkan Den
Wangsa yang tak sadar bahwa dirinya telah ditipu
mentah-mentah, tampak masih diliputi suasana
gembira. Tak lama kemudian ia pun memerintahkan
seluruh anak buahnya untuk kembali.
"Sini, Den... kalau berat biar aku yang bawa!"
"Tak usah. Biar saja! Hhh... hh...."
"Iya, Den. Biar saja Si Ujang yang bawa...!
Kasihan kan Aden kelihatannya keberatan...! Atau sini deh gotongan denganku!"
"Hhh... hh... nggak, nggak apa-apa!"
Rasa curiga yang begitu besar ternyata telah
menyusahkan diri Den wangsa sendiri. Ketika dia
hendak menuruni tebing, tiba-tiba kakinya tergelincir dan membuatnya jatuh duduk
bersama peti yang berat
itu. "Wadaaauw! Tolong... tolong angkat peti ini...!"
teriak Den Wangsa kesakitan.
"Jang. Ayo kita gotongan!" sambut salah seorang
anak buah Den Wangsa kepada temannya.
"Ayo cepat!" sahut temannya sambil mengangkat
peti itu mengimbangi temannya.
Melihat peti yang tadi menimpa perutnya, kini
sudah diangkat oleh kedua anak buahnya. Den
Wangsa segera berusaha bangun. Tetapi beberapa kali
ia coba belum juga berhasil karena kaki dan
pinggangnya terasa sakit sekali.
"Hei...! Tungguuu..! Jangan tinggalkan akuuuuu!
Aku tak bisa banguuuuun...!" teriaknya dengan keras
sekali. Mendengar teriakan tersebut, beberapa anak
buahnya bukan main terkejutnya.
"Heh"! Lihat! Den Wangsa tertinggal!"
"Oh..., iya! Kupikir Si Aden berada di belakang
kita... Ayo cepat kita bantu!"
"Ayo!"
Dengan susah payah kedua orang itu
mengangkat majikannya. Setelah diupayakan tak juga
berhasil, maka mereka pun mohon bantuan kepada
yang lainnya. "Hei, bantuin dong...! Kami tidak kuat, nih!"
teriak anak buah Den Wangsa yang berbadan
kerempeng itu. Dua orang lainnya segera datang membantu
mengangkat sang majikan yang tampak masih
meringis menahan sakit.
"Sudahlah...! Lebih baik bopong saja supaya
lebih cepat tiba di rumah." usul Si Kerempeng.
"Ya... itu usul yang baik. Tapi bagaimana dengan
Den Wangsa. Apakah Si Aden mau?" bisik temannya.
"Tanyalah...!" sahut Si Kerempeng kembali
dengan suara perlahan.
"Baiklah...," balas temannya sambil melangkah
mendekati Den Wangsa yang baru saja didudukkan di
atas batu dan belum dapat berdiri.
"Den... Bagaimana kalau Aden kami gotong saja
sampai ke rumah"!" tanya sang anak buah kepada
majikannya. "Terserah! Yang penting cepat kalian cari jalan
yang terbaik supaya aku tiba di rumah dengan cepat!
Hei, ke mana peti itu"! Siapa yang bawa..."!" sahut Den Wangsa dan langsung
balik bertanya kepada keempat
anak buah yang berada di dekatnya.
"Sudah dibawa lebih dulu oleh si Unang dan
Ujang, Den...!" sahut orang yang ada di sebelah
kanannya. "Kalau begitu, cepat gorong aku! Kita susul
mereka!" perintah Den Wangsa.
Tanpa banyak komentar lagi, keempat orang itu
pun segera mengangkat tubuh majikannya yang begitu
berat dan dengan susah payah akhirnya mereka
berhasil juga membawa Den Wangsa tiba di rumah.
Suasana malam telah berubah menjadi suasana
pagi. Di pagi buta itu Den Wangsa telah membuka peti
yang didapatkannya semalam.
Apa yang terjadi"
Tak dapat terlukiskan bagaimana rasa
kecewanya, ketika diketahui bahwa isinya hanyalah
batu-batu kerikil saja dan peti itu langsung dibanting sambil mengumpat yang tak
habis-habisnya.
"Sial! Sial dangkalan!" ucapnya sendirian sambil
geregetan. Tubuhnya yang gembrot dan bermandi
keringat itu dijatuhkan di atas kursi goyang.
"Huhhhhhh... aku telah dikentuti oleh Si Picek
keparat...!" keluhnya lagi dengan nada yang semakin
lemas akibat punahnya impian-impian muluk yang
selama ini memperbudak benaknya.
TAMAT Pembaca yang budiman,
Siapa yang telah mendahului menguras isi peti
harta karun yang konon berisi emas permata yang tak
ternilai harganya itu"
Mungkinkah Pak Kohar yang melakukannya"
Mungkinkah dilakukan oleh anak-anak Den
Surya yang masing-masing mempunyai kebiasaan
buruk seperti berjudi dan main perempuan"
Atau mungkin telah dilakukan oleh Si Tolol
sendiri" Jawabannya dapat anda ikuti dalam episode
berikutnya yang berjudul: "Serigala-Serigala Berbulu
Domba" Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Haura
Http://duniaabukeisel.blogspot.com
Document Outline
1 *** 2 *** 3 *** 4 *** 5 *** 6 *** 7 *** 8 *** 9 *** 10 TAMAT Kaki Tiga Menjangan 40 Sang Ratu Tawon Pendekar 4 Alis Seri 9 Karya Khulung Patung Emas Kaki Tunggal 4