Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 14

07 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 14


Untara menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya ia tadak ingin membuat Kiai Gringsing gelisah. Tetapi ia tidak mempunyai alasan yang cukup baik untuk mengundangnya selain alasan yang sebenarnya. Tetapi iapun tidak dapat mengatakan alasan yang sebenarnya dihadapan orang yang kurang diyakini kesetiaannya, sehingga karena itu maka ia dengan terpaksa sekali telah membuat orang tua itu berdebar-debar.
"Baiklah," berkata Untara, "supaya aku tidak membuatnya terlalu lama berteka-teki. maka aku akan segera menjumpainya. Kau boleh ikut bersamaku."
Sabungsari mengerutkan keningnya. Dipandanginya dua orang prajurit yang mengawaninya ke Sangkal Putung. Namun dalam pada itu, agaknya Untara mengerti kebimbangan di hati anak muda itu. Karena itu maka katanya, "Biarlah kedua orang kawanmu itu beristirahat."
Sabungsari menarik nafas dalam-dalam ia memang sudah menduga, bahwa Untara tentu tidak akan menghendaki kedua orang itu menyertainya ke padepokan.
Sejenak kemudian. maka Untarapun telah meninggalkan rumahnya diiringi oleh dua orang perwira kepercayaannya dan Sabungsari yang memang terlalu sering berada di padepokan. Bahkan beberapa orang pengikutnya masih tetap berada di padepokan itu pula. Bahkan seperti Sabungsari. merekapun telah menempatkan diri dalam satu cara kehidupan baru yang jauh lebih baik dari yang pernah mereka lakukan sebelumnya.
Kiai Gringsing tidak menduga, bahwa Untara akan datang demikian cepatnya. Karena itu. ketika ia sedang menikmati minuman hangat, ia terkejut ketika seorang cantrik mengatakan kepadanya, bahwa Untara telah datang.
Dengan tergesa-gesa Kiai Gringsingpun segera keluar dan melintasi pendapa menyongsong tamunya ke halaman.
"Marilah ngger," Kiuai Gringsing mempersilahkan.
Untara mengangguk hormat. Katanya, "Aku mohon maaf, bahwa aku telah membuat Kiai gelisah."
"O, tidak apa ngger. Aku mengucapkan terima kasih, bahwa angger masih selalu ingat kepadaku dalam soal Agung Sedayu. karena aku adalah gurunya," jawab Kiai Gringsing.
Untara menarik nafas dalam-dalam. Agaknya Kiai Gringsing benar-benar menjadi gelisah karena pesannya lewat Sabunasari.
Dalam pada itu, Kiai Gringsingpun kemudian mempersilahkan Untara duduk di pendapa. bekerapa saat keduanya masih saling menanyakan keselamatan masing-masing.
Dalam pembicaman yang akan dilakukan oleh Untara, maka ia sama sekali tidak mencurigai Sabungsari yang sudah banyak mengetahui persoalan yang terjadi di Mataram. karena ia sering berada di perjalanan antara Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh. Justru karena Sabungsari terasa erat sekali hubungannya dengan Agung Sedayu, maka Untara menganggap bahwa sebenarnyalah bahwa Sabungsari sudah bersikap sadar atau tidak sadar.
Karena itu. maka setelah seorang cantrik menghidangkan minuman dan makanan, maka Untarapun mulai mengatakan kepentingannya kepada Kiai Gringsing.
"Maaf Kiai, bahwa aku telah membuat Kiai gelisah," berkata Untara.
"Karena itu aku segera datang ngger. Aku lebih senang untuk lebih cepat mengetahui persoalan Agung Sedayu itu. Dengan demikian apabila diperlukan, aku akan segera dapat mengambil sikap."
"Sekali lagi aku mohon maaf Kiai," berkata Untara kemudian, "sebenarnyalah aku tidak ingin berbicara tentang Agung Sedayu. Nampaknya Agung Sedayu tidak mengalami sesuatu, karena dari Tanah Perdikan Menoreh tidak terdengar berita yang kurang menyenangkan."
Wajah Kiai Gringsing menjadi tegang. Dipandaginya Sabungsari dan dua orang perwira kepercayaan Untara yang menyertainya. Baru kemudian ia berkata, "Aku tidak mengerti maksud angger. Menurut pendengaranku, pesan angger yang disampaikan oleh angger Sabungsari kepadaku menyangkut persoalan muridku itu."
"Ya Kiai. Aku tidak mempunyai cara lain yang lebih baik untuk mengundang Kiai datang ke padepokan ini." jawab Untara.
Kiai Gringsing termenung sejenak. Namun kemudian iapun mengangguk-angguk. Katanya, "Lalu. apakah maksud angger yang sebenarnya?"
"Kiai," berkata Untara, "Kiai jangan salah mengerti. Aku tidak bermaksud buruk. Tetapi aku sebenarnya ingin mobon nasehat karena aku sedang menghadapi satu masalah yang rumit."
Kiai Gringsmg mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian bertanya, "Angger Untara. Kau memang pandai membuat hatiku berdebar-debar. Semula aku berdebar-debar karena angger berpesan lewat angger Sabungsari, kemudian aku berdebar-debar karena angger ingin minta nasehat kepadaku. Nasehat apakah yang akan dapat aku berikan kepada angger Untara dalam keadaan seperti ini."
"Aku sudah terbiasa dengan sifat Kiai," jawab Untara, "Kiai sudah merendahkan diri. Tetapi tidak apa. Aku akan langsung mengatakan persoalannya. Tiga orang prajurit yang bersamaku ini tidak akan mengganggu pembicaraan kita selanjutnya."
"Tetapi aku sudah mengatakan sebelumnya ngger. Mungkin aku tidak akan berarti apa-apa. Mungkin aku justru tidak tahu sama sekali persoalan yang angger kemukakan," berkata Kiai Gringsing.
Untara menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, "Baiklah Kiai. Tanggapan apapun yang akan aku dapatkan, tetapi aku memang ingin mengatakannya."
"Silahkan ngger," jawab Kiai Gringsing kemudian.
Dalam pada itu. maka Untarapun kemudian menceriterakan apa yang dilakukannya dalam usahanya untuk meyakinkan sikapnya menghadapi pergolakan keadaan yang tidak menentu. Bahkan iapun telah mempertaruhkan nyawanya untuk bertemu langsung dengan Kangjeng Sultan Hadiwijaya. Untunglah, bahwa ia berhasil. Dan Kangjeng Sultan sendiri tidak menganggapnya bersalah. Jika Kangjeng Sultan menganggapnya bersalah, maka Kangjeng Sultan tentu akan menangkapnya dan menyerahkannya kepada para penjaga malam itu.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Angger telah melakukan suatu tugas yang sangat berbahaya."
"Ya. Tetapi kemudian aku dapat langsung mendengar sikap Kangjeng Sultan meskipun bagiku masih tetap kabur," jawab Untara Lalu, "Karena itulah, maka aku mohon Kiai datang ke padepokan ini. Aku ingin mendengar pendapat Kiai. Di sangkal Putung aku merasa kurang bebas untuk berbicara panjang lebar."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk Katanya, "Angger memang aneh. Angger dapat saja membuat aku cemas tentang nasib angger Agung Sedayu. Tetapi baiklah. akupun justru menjadi ingin tahu. apa yang pernah dikatakan atau dilakukan oleh Kangjeng Sultan pada saat angger menghadapnya dengan cara yang tidak sewajarnya."
Untara termangu-mangu sejenak. Tetapi iapun kemudian menceriterakan sikap dan kata-kata Kangjeng Sultan. Dari awal sampai akhir tanpa ada yang terlampaui. Tetapi juga tidak ditambahinya.
Kiai Gringsing mendengarkannya dengan saksama. Sekali-sekali nampak kerut merut dahinya. Namun kadang-kadang orang tua itu mengangguk-angguk. Namun sekali-sekali ia bergeser setapak. Keterangan Untara benar-benar menarik bagi orang tua itu.
Namun dalam pada itu. Kiai Gringsing itupun menyadari. bahwa pada akhirnya Untara akan bertanya kepadanya. sikap apakah yang sebaiknya dilakukannya.
"Sebenarnyalah " bahwa Untara akhirnya memang sampai pada satu pertanyaan, "Kiai. Menurut pendapat Kiai. apakah yang harus aku lakukan. Aku adalah seorang prajurit Pajang. Seorang Senapati yang memimpin satu pasukan segelar sepapan. Aku kira aku tidak akan menjadi terlalu gelisah jika aku menentukan sikap pribadiku. Tetapi sikapku sabagai Senapati adalah sikap satu pasukan yang tentu akan dapat ikut menentukan keadaan jika perang benar-benar akan pecah antara Pajang dan Mataram."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Untara sejenak. Kemudian prajurit-prajurit Pajang yang lain. Yang datang bersamanya.
Sejenak Kiai Gringsing merenung. Kemudian katanya ragu-ragu, "Angger Untara. Pertanyaan angger adalah satu pertanyaan yang sulit untuk aku jawab. Sebenarnyalah bahwa aku bukan seorang prajurit. sehingga agak sulit bagiku untuk dapat bersikap sebagai seorang prajurit. Karena jika aku memberikan satu pendapat bagi angger Untara. maka aku tidak akan dapat melupakan, bahwa angger Untara adalah seorang Senapati seperti yang angger katakan."
"Kiai benar. Tetapi pengalaman Kiai yang luas akan dapat memberikan pertimbangan yang sangat menentukan bagiku," berkata Untara kemudian, "memang aku tidak mengharap Kiai dapat mengambil satu sikap yang akan bulat-bulat aku ambil sebagai sikapku. Tetapi setidak-tidaknya aku akan memberikan banyak petunjuk yang akan dapat menuntun aku untuk mengambil satu sikap yang pasti."
"Angger Untara," berkata Kiai Gringsing, "menurut pendapatku. maka sebenarnyalah yang paling penting dari sikap Kangjeng Sultan adalah kepercayaan Kangjeng Sultan, bahwa Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga adalah satu-satunya orang yang akan dapat mencapai satu keadaan sebagaimana pernah dicita-citakan oleh Kangjeng Sultan di Pajang. Menurut pendapatku, maksud Kangjeng Sultan adalah, bahwa sebaiknya Raden Sutawijayalah yang meneruskan segala usaha dengan landasan kepercayaan kepadanya untuk memimpin pemerintahan."
"Aku sudah menduga. Tetapi kenapa dalam kesempatan itu juga Kangjeng Sultan mengatakan, bahwa Kangjeng Sultan sendiri akan turun kemedan untuk melawan Raden Sutawijaya," bertanya Untara.
"Tetapi manakah yang lebih bernilai dari kedua hal yang nampaknya bertentangan itu. Masa depan atau saat mendatang yang dekat," sahut Kiai Gringsing, "menurut pendapatku. Kangjeng Sultanpun akan lebih menghargai masa depan Pajang. Masa depan yang panjang bagi seluruh rakyat Pajang, karena sebenarnyalah yang dicita-citakan oleh Kangjeng Sultan adalah kebahagiaan seluruh rakyat Pajang. Jika Kangjeng Sultan akan turun kemedan. maka tentu Kangjeng Sultan mempunyai maksud lain yang kurang kita ketahui. Akupun tidak dapat meraba apa yang akan dilakukannya. Tetapi menilik kesehatan Kangjeng Sultan yang semakin menurun, maka niat itupun termasuk satu hal yang kurang dapat dimengerti."
Untara termangu-mangu. Namun kemudian iapun mengangguk-angguk. Katanya, "Aku mengerti maksud Kiai. Dan akupun sependapat dengan Kiai. Dengan demikian, bagaimana pendapat Kiai. jika aku mengambil kesimpulan, sebaiknya aku memang menghadap Raden Sutawijaya. Aku merasa, sikapku selama ini adalah sikap seorang prajurit Pajang terhadap perkembangan kekuasaan di luar kekuasaan Pajang. Tetapi ketika aku mendengar langsung sikap Kangjeng Sultan, maka aku akan dapat mengambil satu tindakan yang sesuai dengan kedudukanku sebagai seorang prajurit."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, "Aku kira sikap itu cukup dapat dipertanggung jawabkan. Angger memang seorang prajurit. Tetapi kepemimpinan di Pajang sebenarnyalah sudah goyah. Hal itu tentu angger sadari dan aku kira beberapa orang lainpun akan menyadarinya pula. Kesetiaan terhadap kedudukan angger sebagai seorang prajurit bukan satu keharusan untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran sikap seorang prajurit itu sendiri."
"Terima kasih Kiai. Aku sudah menemukan sikap itu. Seperti yang aku duga. Kiai banyak menolong aku. Sebenarnyalah aku sudah mempunyai pendirian yang demikian. Tetapi aku ingin meyakinkan diri bahwa aku sudah melangkah pada jalan yang seharusunya aku lakukan," berkata Untara. Lalu, "Aku akan menghadap Raden Sutawijaya untuk menyampaikan salam Kangjeng Sultan seperti yang pernah dikatakannya kepadaku."
"Biarlah Raden Sutawijaya membuat uraian tersendiri atas pesan itu," berkata Kiai Gringsing, "Jika hal itu merupakan satu perintah terhadapnya, maka Raden Sutawijaya yang lantip itu tentu akan mengerti. Sehingga dengan demikian hari depan Pajang akan berada di tangannya sebagaimana dikehendaki oleh Kangjeng Sultan. Sementara itu maka iapun akan dapat menilai sikapmu."
"Baiklah Kiai. Aku sudah mengambil satu keputusan," berkata Untara kemudian dalam waktu dekat mendatang, aku akan pergi sebelum suasana bertaMbah buruk sekarang ini. Ki Tumenggung Prabadaru dapat berbuat sewaktu-waktu, bahkan kadang-kadang di luar perhitungan orang lain."
Kiai Gringsing mengangguk angguk. Katanya, "Dalam hal ini angger Untara tentu lebih banyak mengetahui daripada aku. Namun dalam pada itu. angger Untara juga harus memperhitungkan kemungkinan yang dapat terjadi atas Sangkal Putung, Jati Anom dan Kademangan-kademangan yang lain di garis hubungan antara Pajang dan Mataram. Karena menurut pendapatku sebenarnyalah perang itu akan terjadi."
Untara mengangguk-angguk. Ia memang seorang Senapati yang memerintah pasukan sejelar sepapan. Tetapi apakah ia juga mempunyai pengaruh yang cukup untuk mengatur para Demang didaerah yang akan langsung mengalami akibat dari benturan yang akan terjadi antara Pajang dan Mataram.
Namun dalam pada itu. maka katanya, "Kiai aku akan berusaha untuk mengatur segala-galanya sehingga jika perang itu terjadi, rakyat tidak akan menjadi korban. Namun segala sesuatunya akan tergantung atas beberapa kemungkinan."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ia sependapat dengan Untara. Bahwa banyak sekali unsur yang harus diperhitungkan dan yang ikut menentukan. Mungkin sekali ada Kademangan yang merasa dirinya wajib berpihak kepada Pajang. Tetapi ada juga yang menentukan sikap lain.
Justru mereka harus mendapat banyak pengamatan. Jika karena perbedaan pandangan maka Kademangan akan bertempur melawan Kademangan, maka akibatnya akan sangat gawat. Perang yang terjadi diantara rakyat akan meluas dan korban akan banyak sekali berjatuhan tanpa perang yang sebenarnya," berkata Untara kepada diri sendiri.
Demikianlah, akhirnya Untara yang sudah menentukan sikap itu minta diri. Bersama para perwira dan Sabungsari mereka meninggalkan padepokan kecil yang terasa semakin sepi itu.
Sepeninggal mereka. Kiai Gringsing termangu-mangu seorang diri. Rasa-rasanya perang memang sudah diambang pintu. Namun seperti Untara iapun menjadi cemas. Kedemangan-kademangan disepanjang jalur antara Pajang dan Mataram mungkin mempunyai sikap yang berbeda, sehingga karena itu, maka mereka akan saling bermusuhan.
Tetapi hal itu agaknya diperhitungkan masak-masak oleh Untara dan para perwiranya setelah mereka tiba di Jati Anom dan padepokan kecil Kiai Gringsing. Sebagaimana mendung dilangit yang menjadi semakin kelam. maka para perwira itupun bertindak cepat untuk mendahului suasana yang semakin memburuk.
"Besok aku akan menghadap Raden Sutawijaya," berkata Untara, "aku sadar, bahwa sikapku selama ini dapat menimbulkan kesan tersendiri pada Raden Sutawijaya. Tetapi aku mengemban sikap Kangjeng Sultan. Tidak ada orang yang lebih aku percayai di Pajang dari Kangjeng Sultan sendiri. Karena itu. Maka landasan sikap keprajuritanpun ditentukan oleh pertemuanku dengan Kangjeng Sultan itu. meskipun nampaknya menjadi berubah dari sikapku semula. Tetapi sebenarnyalah yang aku lakukan menurut pendapatku adalah sikap yang sebaik-baiknya bagi seorang prajurit. Karena aku sadar. bahwa beberapa pihak diantara para prajurit dan Kangjeng Sultan telah menentukan sikap sendiri bagi kepentingan mereka sendiri."
Para perwira itupun menjadi semakin mantap pula. Merekapun segera mengatur diri untuk langsung berbuat sesuatu di Kademangan-kademangan. agar tidak timbul benturan diantara rakyat dengan cara mereka sendiri karena landasan sikap mereka yang berbeda tanpa mengetahui dengan pasti, api yang sudah bergejolak di istana Pajang selama itu.
Para perwira itu merasa yakin, bahwa Kademangan-kademangan di sebelah Barat Sangkal Putung tidak akan terlalu sulit untuk dihubungi. Juga Kademangan-kademangan disekitar Sangkal Putung. Tetapi Kademangan-kademangan di sebelah Timur dan yang lebih jauh lagi dari Sangkal Putung. masih harus diamati sebaik-baiknya.
Dengan para perwiranya Untara telah menemukan langkah-langkah dan waktu untuk bertindak. Di keesokan harinya mereka harus mulai dengan langkah-langkah mereka, meskipu mereka sadar, bahwa hal itu harus mereka lakukan dengan sangat berhati-hati. Mungkin justru akan dapat menumbuhkan persoalan baru. Namun mereka berharap bahwa dengan demikian, sikap daerah Selatan itu akan dapat dikuasai.
Disamping menghubungi Kademangan-kademangan maka Untarapun telah memutuskan untuk menempa para prajuritnya sehingga tidak akan jauh berselisih dengan kemampuan para prajurit yang disebut pasukan khusus oleh Tumenggung Prabadaru dan pasukan khusus yang sedang dipersiapkan di Tanah Perdikan Menoreh.
"Jika terjadi benturan, prajurit-prajurit di Jati Anom jangan menjadi anak bawang yang pantas dikasihani," berkata Untara kepada para perwira.
Para perwirapun sepakat untuk meningkatkan latihan-latihan di hari-hari mendatang. Meskipun kesempatan mereka sudah menjadi terlalu sempit. Namun mereka menganggap bahwa kesempatan yang sempit itu harus mereka pergunakan sebaik-baiknya.
Malam itu telah dipergunakan oleh Untara dan para perwiranya menentukan sikap yang terperinci. Segala sesuatunya akan semakin ditingkalkan setelah Untara menghadap Raden Sutawijaya yang Senapati Ing Ngalaga.
Dalam pada itu. Kiai Gringsingpun merasa berkewajiban untuk memberikan arah yang lebih tegas kepada Agung Sedayu dan Swandaru mengenai perkembangan keadaan. Menilik perkembangan sikapnya. Agung Sedayu tidak merupakan persoalan lagi. Tetapi Swandaru yang merasa dirinya kuat diantara para pengawal di Sangkal Putung itu. akan dapat menumbuhkan persoalan dalam hubungannya dengan sikap Untara. Agaknya sulit untuk menempatkan Swandaru di bawah satu perhitungan dasar yang mungkin akan dibuat oleh Untara atas persetujuan Raden Sutawijaya menghadapi sikap orang-orang Pajang yang sudah semakin jauh meninggalkan paugeran keprajuritan. Mungkin Swandaru akan merasa dirinya adalah orang yang paling berhak untuk memimpin semua pasukan yang ada di Sangkal Putung dan sekitarnya.
Buku 162 "KARENA itu agaknya Raden Sutawijaya sendiri harus menjatuhkan perintah," berkata Kiai Gringsing didalam hatinya, "karena dalam perlawanan atas orang-orang Pajang, Swandaru tentu menganggap bahwa Senapati tertinggi Mataram adalah Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga. Hanya perintahnyalah yang wajib ditaati."
"Namun agaknya Untarapun akan menempatkan diri kedalam satu jalur perintah Raden Sutawijaya itu," berkata Kiai Gringsing lebih lanjut kepada diri sendiri.
Sementara itu Kiai Gringsing merasa bahwa ia tidak perlu terlalu lama berada di Jati Anom. Ia harus segera berada di Sangkal Putung untuk sedikit demi sedikit memberikan keterangan kepada Swandaru mengenai sikap Untara setelah ia bertemu langsung dengan Kangjeng Sultan Pajang.
Tetapi agar para cantrik tidak terlalu kecewa. Kiai Gringsing telah bermalam satu malam lagi. Ia sempat bermain-main dengan para cantrik dalam olah kanuragan hampir semalam suntuk.
Di hari berikutnya, sebelum Kiai Gringsing meninggalkan padepokan kecil itu, ternyata Ki Widura telah datang pula. Adalah kebetulan bagi Kiai Gringsing, bahwa dengan demikian ia masih sempat berbincang serba sedikit tentang sikap Untara.
"Aku sudah merencanakan untuk kembali ke Sangkal Putung," berkata Kiai Gringsing.
"Kiai tidak memerintahkan satu dua orang cantrik untuk pergi ke Banyu Asri," sahut Ki Widura.
"Tidak ada persoalan yang sangat penting. Jika ada, maka aku kira pada suatu saat angger Untara tentu akan berbicara dengan Ki Widura," berkata Kiai Gringsing kemudian.
"Ya," jawab Ki Widura, "aku sudah singgah di rumah Untara. Semalam Untara menemui aku di Banyu Asri. Pagi ini aku singgah barang sejenak, karena pagi ini Untara telah berangkat ke Mataram."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ia memang sudah menduga, bahwa Untara sudah pergi ke Mataram untuk menemui Raden Sutawijaya. Ternyata bahwa sebelum berangkat, Untara juga telah berbicara dengan Ki Widura, bukan saja sebagai pamannya, tetapi tentu juga sebagai seorang yang pernah menjadi seorang Senapati Pajang pula.
Untuk beberapa saat. Kiai Gringsing dan Ki Widura sempat berbincang. Meskipun mereka berbicara dengan Untara pada kesempatan yang berbeda, namun ternyata bahwa sikap mereka sejalan sebagaimana sikap Untara sendiri.
"Sukurlah," berkata Kiai Gringsing, "kita tidak berbeda pendirian dalam hal ini," berkata Kiai Gringsing, "sehingga dengan demikian, maka langkah-langkah berikutnyapun dapat kita tempuh bersama. Mudah-mudahan di Mataram angger Untara juga menemukan sikap yang serupa."
"Bagi Raden Sutawijaya sikap Untara akan sangat menguntungkan," berkata Ki Widura.
"Bukan sekedar sikap Untara, karena Untara melandasi sikapnya atas pertemuannya dengan Kangjeng Sultan Pajang," jawab Kiai Gringsing.
Ki Widura mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Kiai benar."
"Namun dalam pada itu," berkata Kiai Gringsing selanjutnya, "apakah Tanah Perdikan Menoreh perlu diberi tahu langsung atau dengan sendirinya akan mendengarnya dari Raden Sutawijaya."
"Aku kira pasukan khusus di Tanah Perdikan Menoreh akan segera mengetahui persoalannya, "jawab Ki Widura, "sementara itu, Agung Sedayu yang ada didalam pasukan khusus itupun akan menyampaikan persoalan itu kepada Tanah Perdikan Menoreh."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ia sependapat bahwa Tanah Perdikan Menoreh akan mendapat berita yang penting itu dari Mataram. Sehingga karena itu. maka merekapun sependapat, bahwa mereka tidak perlu pergi ke Tanah Perdikan Menoreh.
Dalam pada itu. Kiai Gringsing yang memang sudah siap untuk meninggalkan padepokan kecil itupun telah minta diri. Kepada para cantrik ia berkata, bahwa Ki Widura akan berada di padepokan itu untuk beberapa lama, sehingga merekapun akan mendapat kawan untuk meningkatkan ilmu mereka.
Sepeninggal Kiai Gringsing, maka Ki Widuralah yang menunggui padepokan itu. Seperti biasa, maka pada saat-saat tertentu ia memberikan tuntutan kepada para cantrik untuk meningkatkan ilmu mereka, karena Ki Widurapun menyadari, dalam keadaan yang gawat, para cantrik itu harus mampu melindungi diri mereka sendiri. Mereka yang pernah menjadi pengikut Sabungsari memang mempunyai tataran yang lebih tinggi dari para cantrik yang lain. Namun setelah mereka merasa hidup dalam satu lingkungan, maka merekapun tidak berkeberatan untuk memberi kesempatan kepada cantrik-cantrik yang lain meningkatkan ilmu kanuragan mereka. Namun dalam pada itu, dengan tuntunan mereka yang berada di padepokan itu, bekas pengikut Sabungsari itupun harus menyesuaikan dasar-dasar ilmu kanuragan mereka, dengan ilmu yang dipelajari oleh para cantrik di padepokan itu.
Dalam pada itu, sebenarnyalah Untara telah pergi ke Mataram bersama dua orang perwira kepercayaannya. Mereka sama sekali tidak mengenakan pakaian keprajuritan dan ciri-ciri yang lain yang akan dapat menarik perhatian. Mereka pergi ke Mataram dalam pakaian orang kebanyakan, sehingga orang-orang yang berpapasan dengan mereka tidak langsung mengenalinya sebagai Untara, Senapati Pajang di daerah Mataram.
Dengan tanpa hambatan, maka ketiga orang itu telah memasuki pintu gerbang Mataram. Seperti kebanyakan orang, mereka tidak dihalangi untuk pergi kemanapun didalam kota. Bahkan merekapun mendapat kesempatan untuk mendekati regol rumah Raden Sutawijaya.
"Apakah kita akan berterus terang?" bertanya seorang perwira.
"Ya," jawab Untara, "itu lebih baik. Kita mohon kesempatan untuk menghadap Raden Sutawijaya."
"Bagaimana jika para penjaga itu bertanya, siapakah kita?" bertanya perwira yang lain.
"Aku tidak mempunyai cara lain kecuali dengan terus terang mengatakan, bahwa aku adalah Untara," jawab Untara.
Agaknya memang seperti yang dikatakan oleh Untara. Jika mereka pura-pura atau menyebut alasan-alasan lain yang barangkali justru akan menimbulkan kecurigaan, mereka akan mendapatkan kesulitan. Tetapi dengan berterus terang, maka permohonan mereka akan disampaikan langsung kepada Raden Sutawijaya jika kebetulan Raden Sutawijaya ada di rumahnya.
Dengan kebulatan tekad, maka Untarapun turun dari kudanya dan menuntunnya ke gardu para pengawal yang sedang bertugas. Seperti yang dikatakannya, maka iapun berterus terang kepada pemimpin pengawal, bahwa ia adalah Untara yang ingin menghadap Raden Sutawijaya karena satu kepentingan yang khusus dan tidak dapat ditunda.
Para pengawal itu mengerutkan keningnya. Mereka memandang orang yang menyebut dirinya Untara itu dengan hati yang berdebar-debar. Karena mereka tahu, bahwa Untara adalah Senapati Pajang di daerah yang langsung berhadapan dengan Mataram.
Tetapi yang berdiri dihadapan mereka bukanlah seseorang yang mengenakan pakaian kebesaran seorang Senapati. Apalagi dengan ciri-ciri jabatannya sebagai seorang pemimpin prajurit Pajang.
Yang ada dihadapan mereka adalah seseorang dalam pakaian orang kebanyakan bersama dua orang kawannya, juga tanpa ciri-ciri seorang prajurit.
Selagi pengawal itu termangu-mangu, maka Untarapun berkata, "Aku akan menghadap Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga. Ia akan dapat mengenali aku sebagai Senapati Pajang di Jati Anom."
Pemimpin pengawal yang kebetulan belum mengenal Untara itu tidak segera berbuat sesuatu. Ia tidak mau melakukan satu kesalahan yang akan dapat berakibat buruk bagi Raden Sutawijaya. Karena itu maka iapun masih juga bertanya, "Ki Sanak. Kami tidak mengenal Ki Sanak. Sementara itu Ki Sanak sama sekali tidak mengenakan ciri-ciri yang dapat meyakinkan kami."
"Kami tidak ingin menarik perhatian orang disepanjang perjalanan, sementara kami ingin segera sampai ke Mataram," berkata Untara. Lalu, "Tetapi orang yang paling berhak menentukan, apakah kami dapat diterima atau tidak, memang Raden Sutawijaya sendiri yang sudah mengenal aku dengan baik."
"Ki Sanak," berkata pengawal itu, "kami hanya dapat menyampaikan permintaanmu. Tetapi segala sesuatu tergantung kepada Senapati Ing Ngalaga sendiri. Apakah ia mempunyai kesempatan untuk menerimamu atau tidak, karena kehadiranmu kurang meyakinkan kami."
"Baiklah. Tetapi tolong, sebut namaku dan jabatanku. Mudah-mudahan Senapati Ing Ngalaga akan dapat menerima aku dan kawan-kawanku," jawab Untara.
Dalam pada itu, selagi pemimpin pengawal itu melangkah untuk melaporkan kehadiran Untara, maka sambil tersenyum seseorang berdiri di tangga pendapa sambil berkata, "Silahkan mereka naik. Aku memang sudah menunggu mereka."
Semua orang berpaling kearah suara itu. Ternyata Raden Sutawijaya telah berdiri di tangga pendapa diiringi oleh Ki Juru Martani.
Untara menjadi berdebar-debar. Sementara itu, pemimpin pengawal itupun berkata, "Silahkan. Senapati sendiri telah menyatakan, untuk menerima kehadiran Ki Sanak."
Dengan agak ragu-ragu Untara dan pengiringnyapun segera melangkah ke tangga pendapa. Sekali lagi Raden Sutawijaya itu mempersilahkannya naik dengan ramah, "Marilah. Aku sudah memperhitungkan bahwa kau akan datang."
Untara termangu-mangu. Apakah dengan demikian berarti bahwa Raden Sutawijaya telah mengerti bahwa ia akan datang"
Namun Untara tidak segera bertanya. Bersama pengiringnya iapun kemudian duduk di pendapa bersama Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martani.
Sebagai biasanya, Raden Sutawijaya dan Ki Juru telah menanyakan keselamatan Untara dan mereka yang ditinggalkan di Jati Anom. Baru kemudian, Raden Sutawijaya bertanya, "Jika tidak ada sesuatu yang sangat penting, Untara tentu tidak akan datang ke tempat ini. Bukankah begitu?"
Untara mengangguk hormat. Katanya," benar Raden. Jika tidak ada sesuatu yang sangat penting, aku memang tidak akan, menghadap Raden."
"Nah, sekarang katakan, apakah yang penting itu" " Raden Sutawijaya mempersilahkan.
Untara menarik nafas dalam-dalam. Baru kemudian katanya, "Aku ingin menyampaikan salam ayahanda Raden Sutawijaya bagi Raden."
"Ayahanda Sultan, maksudmu?" bertanya Raden Sutawijaya pula.
"Ya Raden," jawab Untara singkat.
Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, "Terima kasih Untara. Aku terima salam ayahanda dengan kedua belah tangan. Tetapi bukankah ada hal lain yang penting yang ingin kau katakan?"
"Benar Raden," jawab Untara ragu-ragu. Kemudian, "Tetapi nampaknya ada sesuatu yang kurang aku mengerti. Raden sudah mengatakan bahwa Raden sudah menunggu kedatanganku."
Wajah Raden Sutawijaya nampak berkerut. Namun kemudian katanya, "Aku hanya menduga."
"Tetapi Raden sudah yakin," jawab Untara.
Raden Sutawijaya termangu-mangu. Dipandanginya Ki Juru sekilas. Namun agaknya Ki Juru mengerti perasaan Raden Sutawijaya sehingga katanya, "Raden memang sudah terlanjur mengatakannya."
"Ya paman. Aku sudah terlanjur mengatakannya. Tetapi sebenarnya aku tidak ingin mengecewakan Untara," jawab Raden Sutawijaya.
"Ia tidak akan kecewa ngger," desis Ki Juru kemudian.
Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Sambil memandangi Untara ia berkata, "Baiklah Untara. Tetapi bukan maksudku mendahului keteranganmu. Aku memang tidak sengaja mengatakannya bahwa aku sudah memperhitungkan kehadiranmu."
Untara menjadi tegang sejenak. Sementara itu Raden Sutawijaya berkata selanjutnya, "Sebenarnyalah aku sudah mengerti apa yang telah terjadi di Pajang. Sekali lagi, bukan maksudku membuat kau kecewa. Sebenarnyalah bahwa aku justru bergembira sekali atas sikap ayahanda dan sikapmu yang tidak goyah. Sikap seorang prajurit Pajang yang sejati."
"Apakah yang Raden maksud?" bertanya Untara.
"Aku sudah mengetahuinya bahwa kau telah menghadap ayahanda dan menerima pesan langsung dari ayahanda. Atas dasar itulah aku memperhitungkan bahwa kau tentu akan datang kemari. Justru karena aku percaya bahwa kau tetap seorang prajurit," berkata Raden Sutawijaya.
Wajah Untara menjadi semakin tegang. Dengan ragu-ragu pula ia bertanya, "Darimana Raden mengetahuinya.?"
Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat ketegangan dihati Untara. Karena itu, ia harus bersikap sebaik-baiknya untuk benar-benar tidak mengecewakan tamunya.
Sejenak Raden Sutawijaya masih termangu-mangu. Namun kemudian iapun menjawab, "Untara. Tentu bukan maksud ayahanda Sultan Pajang untuk tidak mempercayaimu. Tetapi aku kira ayahandapun telah didesak oleh perasaannya. Kedatanganmu seolah-olah mengingatkan kepada ayahanda, untuk segera berbuat sesuatu. Karena itu, maka ayahanda Sultan telah menempuh dua jalur. Partama, ayahanda memang sudah berpesan kepadamu, meskipun tidak jelas dan tegas. Kedua, ayahanda telah langsung memerintahkan seorang kepercayaannya datang kepadaku, memberitahukan kehadiranmu dengan diam-diam di ruang pembaringan ayahanda dan pesan yang telah disampaikan oleh ayahanda kepadamu."
Untara menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian mengangguk-angguk sambil berkata, "Baiklah Raden. Aku mengerti. Tetapi barangkali yang disampaikan kepada Raden jauh lebih jelas dari pesan yang diberikan oleh Kangjeng Sultan kepadaku."
Tetapi Raden Sutawijaya menggeleng. Katanya, "Yang disampaikan kepadakupun tidak jelas. Ayahanda hanya menyatakan bahwa kau telah menghadap. Ayahanda telah berpesan kepadamu untuk menyampaikan salamnya kepadaku. Selanjutnya ayahanda menyatakan, bahwa ayahanda mempercayakan hari depan dan cita-cita ayahanda kepadaku sebagai anak angkatnya dan sekaligus muridnya, sehingga ajaran-ajaran ayahanda akan berkembang didalam diriku."
Untara mengangguk-angguk kecil. Tetapi pesan itu baginya lebih jelas dari yang diterimanya. Sementara itu, Untarapun yakin, bahwa Raden Sutawijaya telah dapat mengurainya dan mengambil satu kesimpulan. Karena itu, maka iapun bertanya, "Raden. Tentu Raden mengenal ayahanda Raden jauh lebih baik dari aku mengenalinya secara pribadi. Karena itu, tentu Raden sudah dapat menangkap maksud pesan itu."
"Untara," jawab Raden Sutawijaya, "aku memang berusaha untuk dapat mengurai pesan itu dan menentukan satu sikap. Tetapi katakan, apa yang terbersit didalam hatimu. Aku ingin menguji, apakah tanggapanmu dan tanggapanku mempunyai titik-titik persamaan."
Untara memandang Raden Sutawijaya dengan tajamnya. Namun iapun kemudian menganggap bahwa lebih baik segalanya menjadi jelas. Karena itu, maka katanya, "Raden. Menurut tanggapanku, maka Kangjeng Sultan telah memilih hari depan yang paling baik bagi Pajang. Menurut pendapatku, Kangjeng Sultan tidak lagi percaya kepada seorangpun di Pajang untuk melanjutkan cita-citanya. Bahkan kepada Pangeran Benawapun Kangjeng Sultan tidak lagi menaruh harapan, meskipun karena alasan yang lain, sementara Pangeran Benawa sendiri sama sekali tidak lagi berminat untuk berbuat sesuatu bagi Pajang. Nampaknya Kangjeng Sultan lebih mempercayai Raden dari setiap orang yang ada di Pajang sekarang ini."
Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Agaknya jalan pikiranmu sesuai dengan jalan pikiranku. Satu tugas yang sangat berat telah dibebankan dipundakku."
"Pangeran Benawa tentu tidak akan berkeberatan," berkata Untara kemudian.
"Ya. Akupun yakin. Tetapi akupun sadar, bahwa disamping tugas yang berat untuk menyelesaikan kemelut yang tumbuh di Pajang sekarang ini, aku harus masih menyandang satu sebutan yang sangat berat pula," berkata Raden Sutawijaya.
"Sebutan apa Raden?" bertanya Untara.
"Jika ayahanda benar-benar turun ke medan dengan maksud apapun, maka setiap orang tentu akan mengatakan, bahwa aku telah benar-benar memberontak terhadap ayahanda, terhadap guru, dan terhadap rajaku." desis Raden Sutawijaya.
Untara mengerutkan keningnya. Namun iapun mengangguk-angguk.
Sementara itu, Ki Juru yang ikut mendengarkan pembicaraan itupun kemudian berkata, "Angger Sutawijaya. Maaf bahwa aku ingin mengatakan sesuatu. Aku kira, kehadiran Untara dan orang-orang kepercayaannya tidak akan menimbulkan akibat yang tidak kita kehendaki meskipun mereka mendengarkan sikapku," Ki Juru berhenti sejenak, lalu, "sebenarnya akupun pernah mengatakan sebutan yang demikian itu kepada angger Sutawijaya. Sebenarnyalah aku menganggap bahwa Raden Sutawijaya dapat bersikap lebih baik dari sikapnya itu tidak akan dapat dihapuskannya kembali. Jika kemudian Kangjeng Sultan Hadiwijaya mempercayakannya hari depan Pajang kepada Raden Sutawijaya, maka karena Kangjeng Sultan memang sangat mencintai Raden Sutawijaya, selebihnya memang tidak ada orang lain yang memandang hari depan setajam pandangan Raden Sutawijaya, karena pada umumnya mereka telah dibaurkan oleh buramnya kabut pamrih dan kepentingan diri sendiri."
Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak membantah. Ia mengerti maksud Ki Juru, karena sebenarnyalah bahwa Ki Juru pernah mengatakan kepadanya, bahwa ia telah menentang ayahandanya, gurunya dan rajanya. Tetapi pada saat itu, bahkan sampai saat terakhir, Raden Sutawijaya tidak juga mau datang ke paseban di Pajang.
Namun dalam pada itu, Untarapun kemudian bertanya, "Tetapi Ki Juru. Apakah artinya bahwa Kangjeng Sultan sendiri akan turun ke medan. Aku sudah membicarakannya dengan Kiai Gringsing. Tetapi Kiai Gringsing tidak dapat memberikan pemecahan yang pasti."
"Akupun tidak," berkata Ki Juru, "tetapi menurut pendapatku, Kangjeng Sultan akan tetap bertindak sebagai seorang Senapati dan seorang raja disaat-saat kesehatannya sudah jauh menurun. Kangjeng Sultan tetap menganggap Senapati Ing Ngalaga telah melawannya. Tetapi ia memberikan restu atas perlawanan puteranya yang sangat dicintainya, muridnya yang menyandang harapan dimasa datang dan salah seorang rakyatnya yang bercita-cita sebagaimana dicita-citakan."
Untara menarik nafas dalam-dalam. Sementara Raden Sutawijayapun menundukkan kepalanya.
Beberapa saat mereka yang berada di pendapa itu dicengkam oleh kediaman yang beku. Masing-masing hanyut dalam arus perasaannya. Raden Sutawijaya tidak dapat mengingkari kata-kata yang diucapkan oleh Ki Juru, pemomongnya yang sangat mengasihinya itu.
Sementara itu, hati Untarapun telah bergejolak. Ia akan sangat sulit menghadapi perkembangan keadaan. Ia adalah prajurit Pajang. Jika ia tidak berpihak kepada Pajang, justru Kangjeng Sultan sendiri telah turun kemedan, maka ia tidak lebih dari seorang pengkhianat. Seorang Senapati yang tidak berpegang kepada paugeran seorang prajurit. Tetapi dari Kangjeng Sultan sendiri ia mendengar, bahwa orang yang paling tepat untuk memegang kepemimpinan di masa datang bagi Pajang adalah Raden Sutawijaya.
Ternyata bahwa Untara tidak merendam kebimbangannya itu didalam hatinya. Dengan terus terang ia mengatakannya kepada Ki Juru Martani dan Raden Sutawijaya.
"Aku tidak tahu, sikap yang manakah yang harus aku pegang," berkata Untara kemudian.
"Untara," berkata Ki Juru, "sulit bagiku untuk mengatakannya, karena aku berdiri disatu sisi didalam persoalan ini. Tetapi seandainya kau mau mendengarkannya, maka aku kira kau akan dapat memilih. Kesetiaanmu kepada Pajang menurut pandangan orang kebanyakan, atau kesetiaanmu kepada jiwa yang sudah di letakkan oleh Kangjeng Sultan yang masih harus diperjuangkan. Yang menurut katamu yang kau dengar dari Kangjeng Sultan sendiri, hal itu telah dipercayakan kepade Raden Sutawijaya. Dengan demikian maka kau telah dihadapkan pada satu pilihan. Pajang dalam ujud kewadagannya atau Pajang dalam ujud jiwani, meskipun akan berganti wadag. Mataram, misalnya."
Untara menarik nafas dalam-dalam. Meskipun dengan kata-kata yang berbeda, tetapi yang dikatakan itu tidak berbeda jiwanya dengan yang telah dikatakan oleh Kiai Gringsing.
Karena itu, seolah-olah Untara telah mendapatkan pengukuhan atas sikapnya.
Dalam pada itu, Untara itupun kemudian berkata, "Baiklah Ki Juru. Aku mengerti. Aku akan mematangkan sikapku bersama para Perwira. Aku yakin, bahwa aku akan bersikap yang paling baik yang dapat aku lakukan sebagai seorang prajurit."
Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martani mengangguk-angguk. Meskipun Untara tidak mengatakannya, tetapi keduanya sudah dapat menangkap sikap Untara, karena sikap itu sebenarnya memang telah ada didalam diri Senapati itu.
Sejenak kemudian, maka Untarapun minta diri. Ia harus segera mengadakan pembicaraan lagi dengan para perwiranya untuk memastikan sikap yang akan mereka tempuh.
Namun dalam pada itu, Untara masih juga berkata, "Raden. Pada suatu saat. Raden harus mengamati sikap orang-orang yang tinggal di Kademangan-kademangan disepanjang jalur antara Pajang dan Mataram. Apakah mereka akan dapat mengikat, diri dalam satu sikap atau mereka akan bertindak sendiri-sendiri meskipun sejalan.
Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Ia mengerti, maksud Untara. justru karena Untara seorang Senapati, yang terbiasa bergerak dengan derap dibawah satu perintah.
"Baiklah Untara," berkata Raden Sutawijaya, "aku akan mengamatinya dan kemudian menentukan satu sikap yang paling baik bagi semua pihak."
Demikianlah Untara dan pengiringnyapun kemudian meninggalkan Mataram kembali ke Jati Anom, dengan sikap yang semakin mantap. Untara telah menemukan arti dari pembicaraannya dengan Kiai Gringsing setelah ia mendengar keterangan Ki Juru Martani yang sejiwa.
Karena itu, maka di sepanjang jalan ia telah sepakat dengan para perwiranya, bahwa tidak ada lagi keragu-raguan untuk mengambil satu keputusan dan menjatuhkan perintah, meskipun semuanya itu masih harus tersamar dan khusus bagi para prajuritnya yang setia, terutama para perwira yang memegang jalur perintah.
Dalam pada itu, sepeninggal Untara, maka Raden Sutawijayappn memandang perlu untuk segera memberitahukan persoalan yang gawat itu kepada Tanah Perdikan Menoreh. Meskipun setiap orang didalam pasukan khusus masih belum perlu mendengar keterangan itu, namun para pemimpin termasuk Agung Sedayu dan Ki Gede Menoreh, perlu untuk mendengarnya, sehingga mereka dapat mengambil langkah-langkah yang perlu untuk menghadapi setiap kemungkinan.
"Dengan demikian, maka perang pasti akan pecah paman," berkata Raden Sutawijaya kepada Ki Juru.
Ki Juru menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Agaknya memang demikian. Tetapi tanpa perang agaknya keserakahan, ketamakan dan mementingkan diri sendiri di Pajang tidak akan dapat dihapuskan."
Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Aku akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh, paman."
Seperti biasa, Ki Juru tidak menahannya jika persoalannya tidak benar-benar gawat. Perjalanan yang demikian adalah kebiasaan Raden Sutawijaya kapanpun ia menghendaki.
Karena itu, maka katanya, "Terserahlah kepada Raden. Mudah-mudahan tidak ada kesulitan di perjalanan. Demikian pula sikap orang-orang Tanah Perdikan."
"Aku yakin," berkata Raden Sutawijaya, "tidak akan ada kesulitan apapun di Tanah Perdikan Menoreh."
Demikianlah, maka dengan diam-diam sebagaimana sering dilakukannya. Raden Sutawijaya seorang diri pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Ia ingin sampai di Tanah Perdikan justru setelah malam hari, sehingga tidak ada orang yang menaruh perhatian kepadanya, karena orang-orang Tanah Perdikan banyak yang telah mengenalnya.
Sementara itu, kegiatan di Tanah Perdikan Menoreh berlangsung sebagaimana biasa. Tidak ada masalah yang memerlukan sikap yang khusus. Agung Sedayu dan Sekar Mirah telah berhasil melupakan apa yang pernah terjadi atas mereka akibat perbuatan Kiai Tali Jiwa dan Mbah Kanthil. Bahkan merekapun sama sekali tidak berniat untuk membalas dendam kepada orang yang telah menjadi sumber perbuatan itu, meskipun mereka dapat menduganya. Hubungan mereka dengan Prastawa berlangsung seperti biasa, meskipun Prastawa sendirilah yang menjadi semakin segan kepada kedua orang suami isteri itu. Namun ia menganggap bahwa Agung Sedayu dan Sekar Mirah tentu tidak mengetahui bahwa ialah sumber dari perbuatan orang-orang yang telah melarikan diri dari Tanah Perdikan itu.
Karena itu, maka Prastawapun semakin lama menjadi semakin tenang pula, bahkan iapun kemudian berhasil bersikap seolah-olah tidak pernah terjadi apapun juga padanya dalam hubungannya dengan Agung Sedayu dan Sekar Mirah.
"Mudah-mudahan dua orang tua itu telah mati," geram Prasatawa disaat-saat kecemasannya itu menyentuh jantungnya. Tetapi tidak terlalu lama, karena sebentar kemudian, ia sudah melupakannya lagi.
Dalam pada itu, dalam suasana yang nampaknya tenang. Tanah Perdikan Menoreh selalu sibuk mempersiapkan sebuah pasukan khusus di barak yang langsung ditangani oleh Mataram, tetapi juga latihan-latihan yang keras bagi anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh yang lain diluar barak yang diatur oleh Agung Sedayu dan Glagah Putih.
Demikianlah, maka pada suatu ketika, saat gelapnya malam mulai turun. Raden Sutawijaya menyeberangi Kali Opak menuju ke barak pasukan khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh. Seperti yang dikehendakinya, maka Raden Sutawijaya itu tidak berjumpa dengan seorangpun juga. Seandainya ada juga orang yang berada di sawah untuk membuka pematang, mengalirkan air kotak sawahnya, orang itu tidak akan terlalu menghiraukan orang yang lewat.
Karena itu, maka tidak seorangpun diantara orang-orang tanah Perdikan Menoreh yang mengetahui bahwa Raden Sutawijaya tengah berada di Tanah Perdikannya, untuk menyampaikan pesan yang penting bagi para pemimpin dan setiap anggauta pengawal dari pasukan khusus yang tengah dipersiapkan dengan masak.
Ternyata bahwa Sutawijaya dapat menempuh jarak yang cukup panjang itu dengan cepat meskipun ia hanya berjalan kaki. Tetapi Raden Sutawijaya memang mempunyai kemampuan untuk berjalan lebih cepat dari kebanyakan orang.
Ketika Raden Sutawijaya sampai diregol halaman barak pasukan khusus itu, para penjaga telah menghentikannya. Dengan pendek seorang penjaga di muka regol bertanya, "Siapa?"
Ternyata Raden Sutawijaya tidak merahasiakan dirinya. Dengan pendek pula ia menjawab, "Sutawijaya yang bergelar Senopati Ing Ngalaga."
Penjaga itu mengerutkan keningnya. Diamatinya orang yang berada di muka regol itu dengan seksama. Nyala obor minyak yang menggapai-gapai akhirnya meyakinkan penjaga itu, bahwa sebenarnyalah orang itu adalah Raden Sutawijaya.
Karena itu, maka dengan tergopoh-gopoh penjaga itupun telah mengangguk hormat. Kemudian dengan lantang ia berkata kepada para penjaga yang ada di dalam gardu, "Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga telah datang mengunjungi barak ini."
Para petugas di gardu terkejut. Ada diantara mereka yang menyangka bahwa penjaga itu sedang bergurau. Tetapi adalah tidak wajar, bahwa gurau itu telah menyebut Raden Sutawijaya, apalagi dalam keadaan bertugas pula.
Namun akhirnya para penjaga itupun yakin. Sebenarnyalah Raden Sutawijaya telah memasuki barak mereka.
Dengan tergesa-gesa para petugas itupun berloncatan berdiri tegak, sementara Raden Sutawijaya tersenyum melihat kesigapan para pengawal dari pasukan khusus itu.
"Terima kasih," berkata Raden Sutawijaya, "aku akan menemui Ki Lurah."
Dua orang diantara para petugas itupun kemudian mengantarkannya ke sebuah bilik khusus, sementara yang lain telah memberitahukan kehadiran Raden Sutawijaya itu kepada Ki Lurah Branjangan yang sudah berada didalam biliknya.
Ki Lurah Branjanganpun terkejut. Iapun kemudian dengan tergesa-gesa pula membenahi pakaiannya, dan sejenak kemudian, iapun telah pergi ke bilik khusus itu pula.
Sementara itu, di rumahnya. Agung Sedayupun dengan tergesa-gesa pergi ke pintu rumahnya yang sudah tertutup ketika ia mendengar ketukan lembut. Sementara itu Sekar Mirah yang juga belum tidur berdiri beberapa langkah sambil memandangi pintu yang kemudian dengan perlahan-lahan di buka oleh Agung Sedayu.
Betapa terkejut kedua orang suami isteri itu. Yang muncul dari balik pintu adalah orang yang sudah mereka kenal dengan baik. Pangeran Benawa.
"Pangeran," desis Agung Sedayu.
Pangeran Benawa tersenyum. Katanya, "Apakah aku boleh masuk?"
"Silahkan. Silahkan Pangeran," jawab Agung Sedayu.
Pangeran Benawapun kemudian duduk diruang tengah, disebuah amben yang besar bersama Agung Sedayu. Sementara Sekar Mirah pergi ke dapur untuk merebus air.
"Malam ini aku tidak berkeberatan jika aku mendapat air jahe panas," berkata Pangeran Benawa sambil tertawa.
"Baik Pangeran," jawab Sekar Mirah, "aku akan menghidangkannya."
"Terima kasih. Dinginnya udara malam ini," desis Pangeran Benawa kemudian.
Sementara Sekar Mirah merebus air, Pangeran Benawa bertanya pula, "Apakah kalian memang hanya berdua saja tinggal disini?"
"Tidak Pangeran. Kami berempat dirumah ini. Kami berdua, Glagah Putih dan seorang anak tetangga yang membantu membersihkan halaman. Masih sangat muda." jawab Agung Sedayu.
"Dimana mereka?" bertanya Pangeran Benawa.
"Glagah Putih berada diantara anak-anak muda Tanah Perdikan. Tetapi kadang-kadang bersama dengan anak-anak muda pula, ia menangkap ikan disungai. Sementara anak tetangga itupun biasanya berada disungai sejak matahari terbenam," jawab Agung Sedayu.
"Juga mencari ikan?" bertanya Pangeran Benawa pula.
"Ya. Dengan membuka pliridan. Tetapi jarang sekali ia mendapat ikan yang cukup. Biasanya ia hanya membawa sebungkus kecil ikan untuk memberi makan seekor kucing," jawab Agung Sedayu pula.
Pangeran Benawa tertawa pula. Kemudian katanya, "Rasa-rasanya Tanah Perdikan ini masih selalu tenang."
Agung Sedayu tersenyum sambil mengangguk-angguk. Namun sebenarnyalah terasa bahwa kata-kata Pangeran Benawa itu mengandung arti tersendiri. Rasa-rasanya di luar Tanah Perdikan ini ketenangan telah terganggu.
Agung Sedayu yang mempunyai ketajaman pengamatan itupun menangkap pengertian, bahwa Pangeran Benawa tentu melihat satu suasana yang semakin kalut di Pajang.
Dalam pada itu, Agung Sedayu itupun kemudian bertanya, "Pangeran. Meskipun aku sudah terlalu sering bertemu, melihat atau mendengar Pangeran selalu menempuh satu perjalanan, ada atau tidak ada kepentingan yang mendesak, namun perkenankanlah aku bertanya, apakah kali ini Pangeran mempunyai satu kepentingan atau sekedar singgah dari sebuah perjalanan, atau Pangeran ingin menunjukkan lagi kepadaku, sesuatu yang akan sangat berarti bagiku seperti kasiat air didalam goa dibawah pohon raksasa yang telah mati itu?"
Pangeran Benawa tersenyum. Katanya, "Aku sedang menunggu air jahe hangat dengan segumpal gula kelapa atau gula aren."
Agung Sedayupun tersenyum pula. Tetapi sebelum ia menjawab, terdengar desir kaki Sekar Mirah mendekat, diruang belakang.
"Aku memang menunggu isterimu," berkata Pangeran Benawa kemudian. Lalu, "Biarlah ia turut mendengarkan. Ada sesuatu yang ingin aku ceriterakan kepadamu."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sementara itu Sekar Mirah telah mempersiapkan mangkuk dan gula kelapa di ruang belakang. Namun denting mangkuknya telah terdengar dari ruang tengah.
"Isterimu memang orang luar biasa," desis Pangeran Benawa perlahan-lahan, "ia seorang yang mumpuni di antara mereka yang berada didalam dunia olah kanuragan. Tetapi ia juga seorang isteri yang baik dan mengerti tugasnya sebagai seorang perempuan."
Agung Sedayu hanya tersenyum saja.
Sejenak kemudian, maka Sekar Mirahpun telah datang sambil menjinjing nampan, untuk menghidangkan minuman panas. Air jahe dengan beberapa potong gula kelapa.
"Gula kelapa Pangeran," berkata Agung Sedayu, "bukan gula aren."
"Sama saja," jawab Pangeran Benawa sambil tersenyum pula. Lalu katanya, "Nah, setelah air masak, kau duduk pula disini Sekar Mirah."
Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian duduk pula disamping suaminya.
Agung Sedayu mempersilahkan Pangeran Benawa untuk minum. Namun Pangeran itu menjawab, "Masih sangat panas. Nanti sajalah. Biarlah aku berceritera sambil menunggu air itu agak dingin."
Agung Sedayu memang ingin segera mendengarnya. Karena itu, maka jawabnya, "Silahkan Pangeran. Agaknya ceritera Pangeran memang sangat menarik."
Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, "Sesuatu yang penting memang sedang terjadi. Ayahanda Sultan telah mengambil satu keputusan."
Wajah Agung Sedayu dan Sekar Mirah telah menegang. Dengan nada datar Agung Sedayu bertanya, "Keputusan tentang apa?"
Pangeran Benawa memandang Agung Sedayu dan Sekar Mirah berganti-ganti. Kemudian katanya, "Untara telah menghadap ayahanda langsung."
"Kakang Untara?" bertanya Agung Sedayu.
"Ya. Dengan cara yang sangat khusus. Untara tidak mendapat kesempatan menghadap ayahanda dengan cara yang wajar. Dengan berbagai macam alasan, maka permohonan Untara untuk menghadap selalu ditolak. Tentu saja diluar pengetahuan ayahanda sendiri. Orang-orang yang berada diseputar ayahanda memang telah melakukannya," berkata Pangeran Benawa kemudian, lalu, "Namun agaknya Untara tidak berputus asa. Ia mempunyai cara tersendiri untuk menghadap. Ia berhasil menembus para penjaga dan para peronda. Akhirnya ia mendapat kesempatan untuk langsung berbicara kepada ayahanda."
"Apakah kakang Untara telah mengatakannya kepada Pangeran?" bertanya Agung Sedayu.
"Aku belum bertemu dengan Untara. Tetapi aku melihat Untara memasuki halaman istana dengan diam-diam. Dengan memanjat dinding ia menyusup diantara para penjaga." berkata Pangeran Benawa, "namun aku sudah menduga apa yang akan dilakukannya. Karena itu, aku biarkan saja ia memasuki bilik ayahanda."
"Satu pekerjaan yang sangat berbahaya," gumam Agung Sedayu.
"Ya. Tetapi rasa-rasanya aku mempunyai kewajiban untuk melindunginya. Untunglah bahwa Untara berhasil melakukan rencananya itu dengan selamat," sambung Pangeran Benawa. Lalu, "Di keesokan harinya aku menghadap ayahanda. Aku berkata terus terang bahwa aku melihat Untara memasuki bilik ayahanda. Aku memang tidak berbuat apa-apa, karena aku yakin bahwa Untara tidak akan berkhianat dan melakukan satu tindakan yang dapat membahayakan ayahanda."
Agung Sedayu mengangguk-angguk, sementara Sekar Mirah mendengarkannya dengan tegang.
"Dari ayahanda aku mendengar, bahwa ayahanda telah mengatakan kepada Untara, bahwa saatnya hampir tiba. Dan ayahanda sendiri akan turun kemedan untuk melawan Mataram," berkata Pangeran Benawa selanjutnya.
"Jadi ayahanda akan langsung menghadapi Raden Sutawijaya jika terjadi perang?" bertanya Agung Sedayu dengan cemas.
"Ya. Tetapi ayahanda juga berpesan kepada Untara, untuk menyampaikan salam ayahanda kepada kakangmas Senapati Ing Ngalaga. Bahkan ayahanda telah mengatakan, tidak ada orang lain yang akan dapat melanjutkan cita-citanya selain kakangmas Senapati Ing Ngalaga." Pangeran Benawa melanjutkan.
Agung Sedayu dan Sekar Mirah menjadi termangu-mangu. Dengan ragu-ragu Agung Sedayu bertanya, "Apakah maksud ayahanda Pangeran?"
"Sudah jelas," berkata Pangeran Benawa, "kakangmas Senapati Ing Ngalaga adalah murid ayahanda yang paling dipercaya. Putera yang sangat dikasihinya seperti puteranya sendiri dan seorang diantara rakyatnya yang mengerti jangkauan masa depan seperti yang dikehendaki oleh ayahanda."
Agung Sedayu dan Sekar Mirah termangu-mangu. Ia seolah-olah melihat dua arti yang saling bertentangan dari sikap Kangjeng Sultan.
Pangeran Benawa yang melihat keragu-raguan itu disorot mata Agung Sedayu berkata, "Kau harus dapat melihat ke kedalaman sikap ayahanda. Kau jangan membaca sikap ayahanda dari gelar kewadagannya. Bukan sekedar melihat ayahanda yang akan turun ke medan. "
Agung Sedayu dan Sekar Mirah mengangguk-angguk kecil. Mereka mengerti maksud Pangeran Benawa, sehingga mereka dapat serba sedikit menangkap arti sikap Kangjeng Sultan.
Dalam pada itu, Pangeran Benawa itupun berkata, "Nah barangkali minumanmu itu sudah agak dingin Sekar Mirah."
"O," Sekar Mirah tergegap karena tiba-tiba saja Pangeran Benawa berkisar dari pokok pembicaraannya. Lalu, "Silahkan Pangeran."
Pangeran Benawapun kemudian menggapai mangkok yang masih hangat.
Dalam pada itu, disaat yang sama, di barak pasukan khusus yang dibentuk oleh Mataram di Tanah Perdikan Menoreh. Raden Sutawijaya sedang berbincang dengan Ki Lurah Branjangan. Dengan sungguh-sungguh keduanya berbicara tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi.
"Pasukan ini harus siap dalam waktu beberapa hari saja," berkata Raden Sutawijaya.
"Ya Raden," jawab Ki Lurah, "selebihnya, apakah pasukan ini akan segera dipindahkan."
"Mereka harus bersiap berangkat ke medan," berkata Raden Sutawijaya, "yang penting adalah kesiapan jiwani. Secara wadag nampaknya pasukan ini sudah cukup. Mereka sudah memiliki kemampuan yang pantas bagi sebuah pasukan khusus. Di hari-hari terakhir Ki Lurah sudah bekerja keras, sehingga mereka telah menempatkan diri pada tataran pasukan khusus Pajang. Sesuai dengan laporan Ki Lurah itu, maka yang penting kemudian adalah menempa mereka, sehingga dengan sikap seorang pengawal dari pasukan khusus secara jiwani, mereka akan berada di peperangan yang benar-benar akan pecah."
Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. Jawabnya, "Baiklah Raden. Sejak malam ini mereka akan kami arahkan. Kami para pembimbing disini akan bekerja keras agar mereka dalam satu dua hari siap untuk berada di medan."
"Setiap saat mereka akan bergerak," berkata Raden Sutawijaya, "sementara ini aku masih harus menterjemahkan sikap Pajang dengan sebaik-baiknya. Beberapa orang yang berada di Pajang, kadang-kadang sulit untuk mendapat keterangan tentang perkembangan yang tidak terduga-duga seperti yang dilakukan Untara itu. Seandainya ayahanda tidak dengan kebesaran jiwa memerintahkan seseorang menghubungi aku, maka aku sudah tertinggal selangkah. Jika tiba-tiba saja aku bertemu dengan ayahanda di peperangan. maka aku tidak mempunyai kesempatan untuk bersiap secara jiwani."
Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. Katanya, "Segalanya akan kami siapkan sebaik-baiknya Raden."
"Besok aku akan melihat, apa yang dapat dilakukan oleh pasukan khusus ini."
"Silahkan Raden, besok Raden, akan dapat bertemu pula dengan Agung Sedayu dan Sekar Mirah," berkata Ki Lurah Branjangan.
Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Ia masih mengadakan beberapa pembicaraan berikutnya dengan Ki Lurah Branjangan sampai larut malam. Sementara Pangeran Benawa masih juga berbincang dengan Agung Sedayu dan Sekar Mirah sambil meneguk air sere dengan gula kelapa.
Ternyata bukan hanya mereka sajalah yang sedang berbicara malam itu tentang perkembangan hubungan antara Pajang dan Mataram.
Di sangkal Putung, Kiai Gringsingpun mulai mengarahkan sikap Swandaru atau perkembangan keadaan. Meskipun Kiai Gringsing agak ragu-ragu atas tanggapan Swandaru, tetapi ia harus mengatakannya. Jika benar-benar perang terjadi, maka Sangkal Putung tentu akan mengalaminya pula.
Swandaru yang duduk bersama Pandan Wangi dan Ki Demang Sangkal Putung mendengarkan keterangan Kiai Gringsing mengenai perkembangan keadaan terakhir dengan saksama. Meskipun Kiai Gringsing tidak dengan sepenuhnya mengatakan apa yang diketahuinya, tetapi sedikit demi sedikit dengan berhati-hati, karena ia mengerti sifat muridnya, namun Swandaru, Pandan Wangi dan Ki Demangpun telah dapat membayangkan apa yang akan terjadi.
"Kita harus memperhatikan Kademangan ini," geram Swandaru.
"Kita akan menyesuaikan diri dengan rencana Raden Sutawijaya dalam ke seluruhan," berkata Kiai Gringsing.
"Ya. Tetapi yang paling berkewajiban memperhatikan Kademangan kita, adalah kita sendiri. Pada saat Tohpati berada di hadapan hidung kita, maka kita jugalah yang harus berjuang untuk mempertahankan Kademangan yang subur ini dari terkaman Macan Kepatihan itu," berkata Swandaru dengan lantang.


07 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tetapi pada saat itu Ki Widura dan kemudian Untara berada di Kademangan ini dengan pasukannya," berkata Kiai Gringsing.
"Kekuatan mereka tidak seberapa pada waktu itu," jawab Swandaru, "jika kita sendiri tidak mempertaruhkan apa saja yang kita punyai pada waktu itu, maka pasukan Pajang tidak akan dapat berbuat apa-apa."
"Itulah yang disebut bekerja bersama," berkata Kiai Gringsing, "pasukan Pajang saja mungkin memang tidak akan dapat bertahan menghadapi kekuatan Tohpati yang kehilangan sasaran perjuangannya sehingga mereka seolah-olah teleih bertempur asal saja tanpa tujuan. Tetapi sebaliknya, para pengawal Kademangan ini saja juga tidak akan mampu melakukannya sendiri pada waktu itu."
Swandaru mengerutkan keningnya, sementara Ki Demanglah yang menjawab, "benar, Kiai. Kita pada waktu itu memang bertempur bersama-sama. Saling membantu, saling membantu."
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, "Kita akan menyesuaikan dengan rencana besar Raden Sutawijaya berlandaskan kepentingan kita sendiri."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Dipandanginya mata Swandaru yang memancarkan ketegangan hatinya. Namun dalam pada itu. Kiai Gringsing itupun berkata, "Baik Swandaru. Tetapi aku condong mengatakan, kita akan memperhatikan kepentingan kita disini, disesuaikan dengan rencana besar Raden Sutawijaya. Adalah wajar jika yang besar itulah yang akan mencakup bagian-bagiannya dengan keseimbangan yang wajar pula."
Swandaru tidak menjawab. Tetapi Ki Demang Sangkal Putung mengangguk-angguk sambil berdesis, "Ya. Kami disini harus mengerti."
Kiai Gringsingpun tidak segera menyahut. Dengan demikian maka merekapun untuk sejenak saling berdiam diri. Tetapi ternyata bahwa didalam dada mereka, masing-masing telah menekan gejolak debar jantung mereka.
Namun dalam pada itu, saat itu merupakan permulaan dari persiapan sungguh-sungguh dari Mataram untuk menghadapi Pajang. Raden Sutawijaya di barak pasukan khusus beberapa kali menjelaskan kepada Ki Lurah, meskipun ayahandanya akan turun kemedan, tetapi jika ia mengerahkan kekuatan, bukan berarti bahwa ia akan melawan ayahandanya. Karena sebenarnyalah Raden Sutawijaya tahu, sesuai dengan pesan yang diterimanya, ayahandanya telah memberikan restu atas perkembangan Mataram selanjutnya.
Di Tanah Perdikan Menoreh, Pangeran Benawa masih menghirup minuman hangat yang dihidangkan oleh Sekar Mirah. Namun beberapa saat kemudian iapun minta diri meninggalkan Tanah Perdikan.
"Apakah Pangeran tidak akan bermalam?" bertanya Agung Sedayu.
Pangeran Benawa tersenyum. Katanya, "Aku lebih senang berjalan di malam hari. Udara terasa segar, sementara jalan-jalan sudah menjadi lengang. Rasa-rasanya perjalanan menjadi tenang. Jika langit bersih, aku sempat pula melihat gemerlapnya bintang yang bergayutan di langit."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia sadar, bahwa ia tidak akan dapat menahan Pangeran Benawa. Apa yang ingin dilakukan, akan dilakukannya.
Demikian juga saat itu. Pangeran Benawapun benar-benar meninggalkan rumah Agung Sedayu. Tetapi di regol ia masih berpesan, "Kakangmas Sutawijaya sudah mengetahui hal ini. Ia tentu akan segera menghubungi pasukan khususnya. Dan kaupun akan mendengar untuk kedua kalinya."
"Apakah Pangeran Benawa tahu sikap Raden Sutawijaya?" bertanya Agung Sedayu.
"Aku tidak tahu pasti. Tetapi menurut perhitunganku, kakangmas akan mengemban tugas yang dibebankan kepadanya. Menyongsong hari depan sebagaimana dicita-citakan oleh ayahanda," jawab Pangeran Benawa.
"Dan perang itu akan terjadi seperti perang-perang yang pernah terjadi. Perang diantara kita. Perang diantara saudara sendiri," desis Agung Sedayu.
Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, "Memang menyedihkan. Sekat-sekat kehidupan pemerintahan di tanah ini harus ditandai dengan darah. Tetapi aku yakin, bahwa pada suatu saat kita akan lebih banyak mempergunakan dasar-dasar pertimbangan nalar daripada membiarkan perasaan kita bergejolak. Kita akan lebih banyak mengurai dan memperhitungkan langkah-langkah kita dalam satu musyawarah. Jika kita masih tetap berpegang kepada alas tempat kita berpijak menurut kepentingan masing-masing tanpa mengingat kehidupan kita dalam satu lingkungan keluarga besar, maka kita tentu masih akan selalu tergelincir kedalam satu pertentangan ke pertentangan yang lain."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia berkata, "Adakah kemungkinan Pajang sekarang ini untuk lebih banyak berbincang daripada mempersiapkan kekuatan dan senjata?"
Terdengar desah nafas Pangeran Benawa. Sambil menggeleng ia berkata, "Aku tidak melihat kemungkinan itu. Agaknya keadaan sudah menjadi semakin parah. Ketamakan dan nafsu untuk memanjakan diri sendiri sudah demikian besarnya."
Agung Sedayu menahan dirinya ketika satu dorongan keinginannya hampir saja mengucapkan satu pertanyaan, apakah yang dimaksud oleh Pangeran Benawa itu termasuk ayahanda Pangeran itu sendiri.
Tetapi diluar dugaan, meskipun ia tidak mengucapkan pertanyaan itu, Pangeran Benawa berkata, "Aku menyesal, bahwa ayahandapun telah terdorong untuk melakukannya. Kecintaanku kepada ibundaku telah membuat aku kehilangan gairah seorang Pangeran. Akupun telah melakukan satu kesalahan yang besar, karena aku tidak berjuang untuk mencegah kemunduran yang kini menyelubungi Pajang. Sementara pada saat terakhir, Pamanda Ki Gede Pemanahan telah terlepas pula dari kendali nalarnya saat ia meninggalkan Pajang, karena ia menganggap ayahanda Sultan tidak akan memenuhi janjinya. Sikap itulah yang menjadi dasar sikap kakangmas Raden Sutawijaya yang juga lebih banyak dikuasai oleh perasaannya. Ia merasa terhina ketika para pemimpin di Pajang menganggap bahwa ia tidak akan berhasil membuka Mataram, sehingga ia bersumpah untuk tidak lagi menginjak paseban di Pajang, sebelum Mataram bangkit menjadi satu negeri yang ramai. Ternyata bahwa kebangkitan Mataram telah menumbuhkan persoalan yang semakin berlarut-larut di Pajang." Pangeran Benawa berhenti sejenak, lalu, "Ah, mungkin penilaianku salah. Aku memang tidak banyak mengetahui. Tetapi rasa-rasanya perang memang tidak akan dapat dihindari."
"Jika perang itu terjadi, dimana Pangeran akan berdiri" " tiba-tiba saja Agung Sedayu bertanya.
Pangeran Benawa terkejut mendengar pertanyaan yang tidak diduganya itu. Karena itu untuk beberapa saat ia justru berdiam diri sambil memandangi wajah Agung Sedayu dalam kesuraman malam.
Baru sejenak kemudian Pangeran Benawa berkata, "Aku adalah seorang yang tidak memiliki landasan berpijak. Aku adalah orang yang paling buruk dari semua orang yang cacat itu."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Aku mohon maaf Pangeran. Mungkin pertanyaanku tidak Pangeran kehendaki."
"Tidak. Bukan begitu," jawab Pangeran Benawa. "Aku berkata sebenarnya. Aku adalah orang yang seakan-akan tidak harus mengikuti ikatan yang mana pun juga. Sudah aku katakan, bahwa aku telah melakukan satu kesalahan yang sangat besar. Aku tidak berbuat sesuatu untuk mencegah kemunduran yang akhirnya menyeret Pajang kedalam jurang keruntuhan, karena aku terlalu condong kepada perasaanku. Perasaan seorang anak yang sangat mencintai ibunya."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menyahut.
Dalam pada itu, maka Pangeran Benawa itupun berkata, "Sudahlah Agung Sedayu. Aku hanya ingin menyampaikan kabar itu kepadamu, meskipun kau akan mendengarnya juga. Agak berbeda dengan kakangmas Senapati Ing Ngalaga, bahwa ia mempunyai sasaran untuk menyampaikan perintahnya, maka aku hanya ingin sekedar mengatakan hal ini kepadamu. Ada yang mendesak untuk mengatakan kepada seseorang. Karena aku tidak mengenal orang lain yang pantas aku beritahu, maka aku telah datang kepadamu."
"Terima kasih Pangeran," jawab Agung Sedayu, "berita ini sangat bermanfaat bagiku. Dengan demikian aku dapat mempersiapkan diri untuk menghadapi tugas yang tentu akan sangat berat."
Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Aku sudah terlau lama berdiri disini. Didalam aku sudah menghabiskan beberapa mangkuk air jahe hangat. Aku minta diri."
Agung Sedayu tersenyum. Jawabnya, "Sebenarnya aku ingin mempersilahkan Pangeran untuk tinggal lebih lama lagi."
"Lain kali aku akan datang lagi," berkata Pangeran Benawa.
Sebenarnyalah bahwa Pangeran Benawapun meninggalkan rumah Agung Sedayu. Sejenak kemudian bayangan tubuhnya telah hilang ditelan gelapnya malam.
Agung Sedayu termangu-mangu. Namun kemudian iapun telah melangkah masuk kembali kedalam rumahnya.
Untuk beberapa saat Agung Sedayu dan Sekar Mirah masih berbincang. Mereka memang sudah memperhitungkan, bahwa saat-saat yang demikian itu tidak akan lama lagi terjadi. Orang-orang Pajang melihat perkembangan Mataram sebagai bertumbuhnya seekor harimau di halaman rumahnya. Mereka menganggap bahwa lebih baik membunuh harimau itu selagi belum menjadi dewasa, sebelum taring dan kuku-kukunya tumbuh dan menjadi tajam.
"Raden Sutawijaya tentu akan segera memberikan perintah kepada pasukan khusus," berkata Sekar Mirah.
"Ya. Mungkin besok kita sudah dapat melihat perkembangan keadaan itu di barak pasukan khusus," jawab Agung Sedayu.
"Tetapi apakah Raden Sutawijaya akan menarik pasukan itu ke Mataram segera?" bertanya Sekar Mirah.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sambil menggeleng ia menjawab, "Aku tidak tahu, Mirah. Tetapi jika terjadi demikian, maka kitapun harus meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh."
"Apaboleh buat," jawab Sekar Mirah, "bahkan mungkin kita harus berada di Sangkal Putung. Aku kira kekuatan yang dapat dipercaya di paling depan bagi Mataram adalah Kademangan Sangkal Putung yang sudah mempunyai pengalaman melawan pasukan Macan Kepatihan."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi ia berkata, "sangkal Putung memang mempunyai pengalaman. Tetapi menghadapi Tohpati yang bergelar Macan Kepatihan dengan pasukan Pajang sekarang ini, jauh berbeda. Pasukan Tohpati adalah pasukan yang sudah terpecah-belah. Dengan kekuatan yang jumlahnya tidak terlalu besar serta landasan yang rapuh."
"Apa kelebihan pasukan Pajang sekarang dari pasukan Tohpati?" bertanya Sekar Mirah.
"Pasukan Pajang adalah pasukan yang utuh. Pasukan yang kuat dan jumlahnya terlalu banyak untuk dilawan oleh Sangkal Putung. Apalagi Pajang menyiapkan sebuah pasukan khusus dibawah Ki Tumenggung Prabadaru," jawab Agung Sedayu. Lalu, "Selebihnya, kekuatan Pajang akan didukung oleh kekuatan para Adipati dari berbagai daerah. Mungkin ada diantara mereka yang sudah dapat melihat kelemahan pimpinan Pajang sekarang, sehingga mereka lebih baik untuk tidak terlibat dalam benturan antara Pajang dan Mataram. Bahkan mungkin ada yang akan mempergunakan kesempatan ini untuk kepentingan mereka sendiri. Jika Pajang dan Mataram hancur, maka mereka akan dapat tegak bukan sebagai seorang Adipati yang tunduk kepada seorang Raja, tetapi mereka dapat mengangkat diri mereka sendiri menjadi seorang Raja pula. Tetapi tentu ada pula yang karena kesetiaannya sama sekali tidak mengetahui, apa yang sebenarnya telah terjadi dan berkembang di Pajang."
Sekar Mirah mengangguk-angguk. Namun demikian ia bertanya, "Meskipun kekuatan Pajang berlimpah, tetapi Mataram dapat juga meningkatkan kekuatannya di Sangkal Putung. Dengan demikian maka Mataram akan menahan pasukan Pajang sebelum mereka memasuki Kademangan Sangkal Putung yang subur, yang diharapkan oleh Tohpati pada saat ia masih memimpin pasukannya untuk menjadi landasan perbekalan."
"Aku kurang tahu Mirah. Tetapi segala perhitungan tentu akan dibuat oleh Raden Sutawijaya. Kita akan melakukan tugas sebaik-baiknya sesuai dengan keputusan Raden Sutawijaya." Agung Sedayu berhenti sejenak, lalu, "Tetapi kita akan dapat melihat pula sikap kakang Untara."
"Bagaimana sikap kakang Untara?" bertanya Sekar Mirah.
"Menilik keterangan Pangeran Benawa, kakang Untara dapat melihat kanyataan yang berkembang di Pajang. Mudah-mudahan kita dapat mengharapkannya," jawab Agung Sedayu.
Sekar Mirah mengangguk-angguk. Namun segalanya masih harus diyakinkan. Sebenarnyalah untuk mengambil satu sikap, diperlukan perhitungan dan pertimbangan yang masak.
Karena itu, maka Agung Sedayu berkata, "Mudah-mudahan besok kita dapat mendengarnya pula di barak, apa yang sudah berkembang di Mataram sekarang ini."
Sekar Mirah tidak bertanya lagi. Iapun sependapat, bahwa besok mudah-mudahan mereka akan mendengar hal yang baru saja di katakan oleh Pangeran Benawa menurut sudut pandangan Mataram.
Namun dalam pada itu, selagi keduanya bangkit dari tempat duduk mereka, sementara Sekar Mirah mengangkat mangkuk-mangkuk untuk dibawa keruang belakang, terdengar pintu butulan diketuk perlahan-lahan.
"Siapa?" bertanya Agung Sedayu.
"Aku kakang," terdengar jawaban.
Agung Sedayu dan Sekar Mirah mengenal suara itu. Suara Glagah Putih. Sehingga karena itu, maka Agung Sedayupun melangkah kepintu butulan dan membukanya.
"Aku mendapat seekor pelus," desis Glagah Putih sebelum ia melangkah masuk.
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dilihatnya Glagah Putih membawa seekor pelus yang cukup besar. Sementara anak laki-laki pembantu di rumah itu berdiri termangu-mangu di belakangnya.
"Kau dapat apa?" bertanya Agung Sedayu kepada anak itu.
"Malam ini akupun mendapat serenteng ikan lele," jawab anak itu dengan bangga.
Agung Sedayu tersenyum. Kemudian katanya, "Masuklah."
"Nampaknya kakang belum tidur," desis Glagah Putih.
"Belum. Baru sekarang aku mulai mengantuk," berkata Agung Sedayu.
"Tidurlah. Aku akan membersihkan ikan pelus ini," berkata Glagah Putih.
"Aku juga akan membersihkan serenteng ikan lele ini," berkata anak laki-laki pembantu rumah itu.
Sementara itu Sekar Mirahpun datang pula. Dilihatnya seekor ikan pelus yang besar dan cukup panjang, sementara pembantunya yang nakal itu membawa serenteng ikan lele.
"Jadi kau tidak berada di gardu malam ini Glagah Putih?" bertanya Sekar Mirah.
"Aku berada digardu bersama anak-anak muda Tanah Perdikan. Tetapi ketika aku akan pulang, aku telah diajak menangkap pelus. Ada tiga ekor pelus yang tertangkap malam ini di bendungan. Aku mendapat seekor diantaranya. Dan ini bukan yang terbesar dari tiga ekor yang dapat kami tangkap," berkata Glagah Putih.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi katanya, "bersihkan ikan-ikan itu. Aku akan tidur. Jangan lupa menyelarak pintu jika kau sudah selesai. Biar besok mbakayumu memasak urip-urip yang tidak terlalu pedas."
Demikianlah ketika Agung Sedayu dan Sekar Mirah pergi ke bilik mereka, Glagah Putih dan pembantu yang nakal itu justru membawa sebuah lampu minyak kesumur untuk membersihkan ikan yang mereka tangkap.
"Bagaimanapun juga. Glagah Putih tidak dapat melepaskan diri dari sifat-sifat anak-anak muda kebanyakan," berkata Agung Sedayu.
"Umurnya memang masih sangat muda," sahut Sekar Mirah.
"Biarlah jiwanya berkembang secara wajar, meskipun ia sudah memiliki landasan ilmu kanuragan yang cukup," desis Agung Sedayu kemudian.
Sebenarnyalah, Glagah Putih di Tanah Perdikan Menoreh justru mendapat kawan bukan saja dalam kewajiban mereka terhadap Tanah Perdikan, tetapi juga kawan bermain-main yang baik. Dalam saat-saat tertentu Glagah Putih merupakan seorang pembimbing dalam olah kanuragan. Namun jika mereka sudah berbaur dalam lingkungan anak-anak muda, maka tidak ada batas lagi antara Glagah Putih dan anak-anak muda di Tanah Perdikan. Juga di saat-saat mereka berada di sungai atau di hutan kecil untuk berburu kijang.
Demikianlah, di larut malam itu Glagah Putih masih saja sibuk dengan ikan pelusnya. Baru setelah ikan pelus dan ikan-ikan lele itu bersih, merekapun masuk keruang dalam lewat pintu butulan. Pembantu rumah itupun kemudian menyelarak pintu dan meletakkan ikan yang sudah bersih itu di ruang belakang, didalam sebuah belanga yang ditutup rapat, agar tidak dicuri kucing.
Dikeesokan harinya, Sekar Mirah bangun pagi-pagi untuk memasak ikan-ikan itu. Baru kemudian, maka bersama Agung Sedayu, keduanya pergi ke barak sebagaimana biasa.
Keduanya terkejut ketika di sebuah bilik khusus didalam barak itu yang disediakan bagi para perwira dan pembimbing, Raden Sutawijaya sudah menunggu. Demikian mereka datang, maka Raden Sutawijaya itupun telah mempersilahkan keduanya untuk duduk bersama para perwira Mataram yang ada di barak itu.
"Kapan Raden datang ke barak ini?" bertanya Agung Sedayu.
"Malam tadi," jawab Raden Sutawijaya.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Agaknya Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa telah bersama-sama datang ke Tanah Perdikan Menoreh, meskipun mereka tidak berjanji. Tetapi ngakunya merekapun tidak saling bertemu karena arah mereka yang berbeda. Raden Sutawijaya langsung pergi ke barak pasukan khusus, sedangkan Pangeran Benawa pergi kerumah Agung Sedayu.
Ketika Agung Sedayu dan Sekar Mirah telah duduk diantara mereka, maka Raden Sutawijayapun berkata, "Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan dengan kalian semuanya yang bertanggung jawab atas pasukan khusus ini."
Agung Sedayu dan Sekar Mirah saling berpandangan sejenak. Mereka sudah dapat menduga, apa yang akan dikatakan oleh Raden Sutawijaya. Tetapi keduanya sama sekali tidak memberikan kesan, bahwa mereka sudah mendengar persoalan yang akan di sampaikan oleh Raden Sutawijaya. Mungkin memang ada beberapa perbedaan, karena sudut pandangan yang berbeda antara Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa. Tetapi mungkin karena keduanya mengatakan apa yang ada, maka keterangan merekapun akan sama.
Demikian, maka para perwira dan para pembimbing pasukan khusus itupun mendengarkan penjelasan Raden Sutawijaya yang diberikan secara singkat pada pokok-pokok persoalannya saja.
Ki Lurah Branjangan yang telah banyak mendengar penjelasan Raden Sutawijaya semalam, mengangguk-angguk dengan kerut-merut di dahinya. Sementara itu perwira-perwira yang lainpun mendengarkannya dengan sungguh-sungguh.
Dalam pada itu. Agung Sedayu dan Sekar Mirahpun kadang-kadang saling berpandangan. Memang tidak ada bedanya dengan keterangan yang diberikan oleh Pangeran Benawa. Meskipun ada beberapa tanggapan yang agak lain, tetapi pada dasarnya yang mereka katakan adalah sama.
"Jika Untara tidak mengambil jalan khusus untuk menghadap ayahanda, maka aku kira persoalannya tidak segera menjadi jelas bagi kita," berkata Raden Sutawijaya kemudian, "Apalagi jika tiba-tiba saja kita melihat satu kenyataan bahwa ayahanda Kangjeng Sultan ternyata berada di medan."
Para perwira mengangguk-angguk. Sementara itu. Agung Sedeyu dan Sekar Mirah menjadi semakin jelas, bahwa Untara agaknya telah menyatakan sikapnya pula.
Dengan sikap Untara itu, maka ternyata Kangjeng Sultan telah memberikan pesan khusus kepada Raden Sutawijaya, sehingga Raden Sutawijayapun dapat menentukan sikap pula.
"Jadi tegasnya," bertanya seorang perwira, "kita akan menghadapi Pajang digaris perang?"
"Ya," jawab Raden Sutawijaya, "dengan seluruh kekuatan yang ada pada kita."
"Lalu, bagaimana sikap kita terhadap Kangjeng Sultan di peperangan itu" Apakah kita akan mengaggapnya sebagai lawan?" bertanya seorang perwira yang lain pula.
"Tidak," jawab Raden Sutawijaya, "kita akan membiarkan saja ayahanda yang akan turun ke medan. Apapun yang akan dilakukannya, kita tidak akan menghiraukannya. Kita akan menghadapi setiap prajurit Pajang."
"Jika Kangjeng Sultan memberikan perintahnya kepada Raden" Misalnya untuk menyerah?" bertanya yang lain pula.
"Aku akan bersikap seolah-olah aku tidak bertemu dengan ayahanda. Seolah-olah ayahanda tidak ada di medan. Aku percaya kepada pesan yang diberikan sebelumnya lewat utusan khususnya," jawab Raden Sutawijaya.
Para perwira itupun mengangguk-angguk. Mereka mengerti apa yang dimaksud Raden Sutawijaya, dan merekapun tahu apa yang harus mereka lakukan di peperangan. Mungkin peperangan itu memang akan menjadi satu peperangan yang dahsyat. Tumenggung Prabadaru dengan pasukan khususnya yang menjadi alat utama bagi orang-orang yang memang ingin menghancurkan Pajang dan Mataram, serta berniat untuk membangun satu lingkungan baru yang menguntungkan mereka dan orang-orang yang berpihak kepada mereka dengan menyebutnya sebagai kelanjutan dari kekuasaan Majapahit lama. Orang-orang yang mengaku keturunan dalam garis lurus dari para Raja di Majapahit telah menempuh satu cara yang khusus untuk memenuhi keinginan mereka bagi kepentingan mereka sendiri.
Dalam pada itu, maka Raden Sutawijayapun berkata, "Karena itu, maka pasukan khusus ini harus benar-benar bersiap. Setiap saat pasukan ini akan bergerak. Meskipun pasukan ini untuk waktu dekat tidak akan ditarik dari barak itu, namun apabila perkembangan keadaan tidak dapat dikekang lagi, maka pasukan ini memang akan bergerak. Sementara ini masih ada kesempatan dalam hitungan hari untuk mematangkan semua yang pernah diberikan kepada setiap orang didalam pasukan khusus ini."
"Hitungan hari," desis Ki Lurah Branjangan.
"Ya," sahut Raden Sutawijaya, "dalam hitungan hari. Nampaknya Pajang benar-benar telah siap. Bahkan pasukan dari beberapa daerah menurut pendengaranku telah ditarik ke Pajang untuk menghadapi keadaan yang khusus dengan Mataram. Mungkin beberapa orang Adipati telah menerima penjelasan yang sengaja diputar balikkan dari kenyataan yang terjadi di Pajang. Tetapi mungkin ada juga yang memang telah sepakat dengan mereka untuk menumbuhkan angan-angan dan mimpi tentang masa lampau, tetapi semata-mata sekedar sebagai satu alat untuk mengelabui pendapat orang banyak agar niat mereka yang sebenarnya dapat terselubung karenanya. Seolah-olah mereka adalah pewaris yang setia kepada kegemilangan dan kebesaran masa lampau. Namun yang semata-mata berbuat bagi kepentingan sekelompok kecil rakyat dari daerah yang mereka sebut daerah kekuasaan Majapahit lama itu."
"Jika demikian," tiba-tiba seorang perwira bertanya, "apakah kita akan membangun satu garis pertempuran. Mungkin kita akan menetapkan satu daerah yang akan menjadi alas pertahanan kita jika pasukan Pajang itu menyerang."
Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya. Namun kemudian jawabnya, "Ya. Kita memang akan membangun satu landasan pertahanan untuk membendung pasukan Pajang."
"Tentu tidak di pintu gerbang Mataram sendiri," berkata perwira yang lain. Lalu, "Apakah Raden sudah menentukan garis pertahanan itu?"
Raden Sutawijaya menggeleng. Katanya, "belum Aku akan menentukan kemudian."
"Sebaiknya Raden menentukan secepatnya. Pasukan khusus ini akan segera berada di garis pertahanan itu. Dengan demikian maka kita tidak akan terlambat jika pasukan Pajang itu dengan tiba-tiba saja telah bergerak. Sementara sambil menunggu, pasukan itu masih akan dapat mematangkan diri sebagaimana dilakukan disini," berkata perwira yang lain.
Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Katanya, "Memang baik sekali. Tetapi akupun menunggu tanda-tanda yang masih akan aku terima. Seandainya ayahanda tidak memberikan pesan di tempat-tempat yang memungkinkan untuk memberikan keterangan tentang gerak pasukan Pajang."
Para perwira itu mengangguk-angguk pula. Bagaimanapun juga Raden Sutawijaya masih segan untuk mendahului gerak pasukan Pajang, meskipun dengan demikian ada kemungkinan untuk terlambat bertindak.
Namun dalam pada itu, ternyata Raden Sutawijayapun kemudian memberikan keterangan yang mendebarkan, terutama bagi Agung Sedayu dan Sekar Mirah, karena Raden Sutawijaya telah menyinggung nama Untara, Senapati Pajang di Jati Anom.
"Untara telah menemui aku langsung," berkata Raden Sutawijaya, "karena Untarapun mendapat pesan dari ayahanda Sultan, agar ia menyampaikan salam ayahanda kepadaku. Dan Untarapun memenuhinya, karena bagi Untara, seorang Senapati yang teguh hati, masih tetap menganggap bahwa Sultan adalah pusat kekuasaan di Pajang. Dalam keadaan yang kemelut itu, Untara berusaha untuk dapat langsung menghadap ayahanda Sultan. Dari hasil pertemuan itulah maka Untara telah menentukan satu sikap menghadapi kemelut keadaan. Untara tidak lagi berpaut kepada jalur kepemimpinan di Pajang, sesuai dengan tanggapannya atas pembicaraannya dengan ayahanda."
Para perwira sudah mendengar pada permulaan keterangan Raden Sutawijaya tentang cara yang dipergunakan oleh Untara untuk bertemu dengan Sultan. Namun baru kemudian Raden Sutawijaya mengatakan sikap yang akan diambil oleh Untara menghadapi perkembangan keadaan.
Sementara itu Raden Sutawijaya berkata selanjutnya, "Dan sikap yang kemudian diambil oleh Untara adalah tegas, sebagaimana dikatakan oleh ayahanda, bahwa ayahanda mempercayakan hari depan Pajang kepada Mataram."
Agung Sedayu dan Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Meskipun mereka sudah mengira bahwa demikianlah sikap Untara sesuai dengan pembicaraan mereka dengan Pangeran Benawa, tetapi keterangan Raden Sutawijaya telah membuat hati mereka menjadi semakin tenang.
"Jika kakang Untara tetap berpegang kepada sikap seorang Senapati yang patuh kepada jalur kepemimpinannya, maka sikapnya tentu akan lain," berkata Agung Sedayu didalam hatinya, "namun kakang Untara telah mengambil sikap khusus dengan menghadap langsung Kangjeng Sultan di Pajang, sehingga ia dapat mengambil satu langkah yang paling baik menghadapi orang-orang yang mementingkan diri sendiri di Pajang."
Dengan singkat Raden Sutawijayapun menjelaskan, bahwa ia harus selalu berhubungan dengan Untara untuk menentukan garis pertahanan Mataram terhadap pasukan Pajang, karena bagaimanapun juga kekuatan Untara di Jati Anom akan ikut menentukan kekuatan Mataram.
"Aku tidak mempunyai penjelasan lain kali ini," berkata Raden Sutawijaya selanjutnya. Lalu "Kalian dapat pergi ke tugas kalian masing-masing. Kalian dapat memanggil para pemimpin tataran tertentu untuk memberikan perintah kesiagaan tertinggi. Hari ini aku akan melihat, apa yang telah dicapai oleh pasukan ini."
Demikianlah, maka para perwira itupun segera kembali ketugas mereka. Terutama yang memimpin langsung pasukan khusus pada tataran tertentu. Sebagaimana dikatakan oleh Raden Sutawijaya, mereka harus mematangkan kesiagaan pasukan khusus itu sebaik-baiknya.
Dalam pada itu. Agung Sedayu dan Sekar Mirah yang tidak langsung memegang pasukan, tidak segera terjun kedalam tugas, karena pasukan khusus itu masih berkumpul dalam kelompok-kelompok besar untuk mendapat penjelasan singkat. Bukan seluruh masalah di beritahukan, tetapi para perwira yang memimpin kelompok-kelompok besar itu memberikan perintah-perintah yang langsung berhubungan dengan kesiap siagaan pasukan khusus itu.
Dalam pada itu, maka Raden Sutawijaya masih sempat berbicara beberapa saat dengan sikap Untara.
"Aku sudah menjadi cemas," berkata Agung Sedayu, "namun agaknya kakang Untara tidak mengabaikan kenyataan, sebagaimana dialaminya sendiri. Apalagi sikap Tumenggung Prabadaru yang sudah berkisar dari sikap seorang Senapati."
Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Katanya, "Sokurlah bahwa Untara mengambil satu sikap yang terpuji. Ia langsung menilai keterangan ayahanda Kangjeng Sultan. Tanpa berbuat demikian, maka Untara akan tetap terumbang ambing oleh sikap para pemimpin Pajang yang condong kepada mementingkan kepentingan mereka sendiri tanpa menghiraukan kepentingan Pajang dalam keseluruhan." Raden Sutawijaya berhenti sejenak, lalu, "Namun dengan demikian tanggung jawabku menjadi sangat berat. Aku harus berjuang untuk melaksanakan segala usaha untuk mencapai cita-cita ayahanda, tetapi sekaligus guruku dan pemimpinku."
"Memang harus ada orang yang dapat berbuat demikian," berkata Agung Sedayu, "tanpa orang yang dapat berbuat demikian, maka hari depan akan menjadi sangat suram. Bahkan mungkin perjalanan kita semuanya tidak ubahnya dengan perjalanan sekelompok orang buta didalam gelapnya malam."
Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Kau dapat menyampaikan persoalan ini kepada Ki Gede."
"Apakah Raden tidak akan bertemu dengan Ki Gede" Tanggapan Ki Gede tentu akan berbeda jika Raden sendiri sempat menemuinya."
Raden Sutawijaya berpikir sejenak. Kemudian sambil mengangguk-angguk kecil ia berkata, "Baiklah. Aku akan menemuinya. Siang nanti kita akan pergi menghadap Ki Gede."
Agung Sedayu dan Sekar Mirah mengerti, bahwa Raden Sutawijaya minta untuk datang bersama mereka berdua menemui Ki Gede. Karena itu, maka Agung Sedayupun menjawab, "Baiklah Raden. Ki Waskita saat ini juga berada di rumah Ki Gede."
"Kebetulan sekali," jawab Raden Sutawijaya, "aku akan berbicara dengan orang-orang tua. Untara sudah berbicara dengan Kiai Gringsing. Nampaknya tanggapan Kiai Gringsing tidak jauh berbeda dengan tanggapan pamanda Ki Juru Martani. Mudah-mudahan aku tidak menemui perbedaan yang penting dengan sikap Ki Gede dan Ki Waskita."
"Aku kira perbedaan itu tidak akan ada," berkata Agung Sedayu, "semuanya sudah jelas. Tetapi sebaiknya Raden dapat bertemu."
Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Katanya, "Aku akan melihat anak-anak di pasukan khusus ini. Baru kemudian aku akan bertemu dengan Ki Gede dan Ki Waskita."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Nampaknya Raden Sutawijaya tidak terlalu tergesa-gesa. Biasanya Raden Sutawijaya tidak mempunyai banyak waktu. Tetapi karena persoalannya adalah persoalan yang sangat penting, maka agaknya Raden Sutawijaya telah menyediakan waktu secara khusus.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, maka Raden Sutawijayapun telah berada di tempat terbuka. Dengan para perwira yang memimpin barak itu, termasuk Ki Lurah Branjangan diikuti pula oleh Agung Sedayu dan Sekar Mirah, Raden Sutawijaya menyaksikan latihan-latihan yang berat oleh anak-anak muda yang sudah berada di dalam lingkungan pasukan khusus itu. Latihan kelompok, gelar perang dan ketrampilan olah kanuragan.
Sambil mengangguk-angguk Raden Sutawijaya berkata kepada Ki Lurah, "Nampaknya mereka sudah berada pada tataran yang cukup sebagai pengawal dalam lingkungan pasukan khusus. Meskipun kemampuan ini masih dapat ditingkatkan, tetapi seandainya setiap saat mereka harus mempergunakan ilmu mereka, maka mereka akan dapat menyesuaikan diri dengan pasukan khusus yang manapun juga. Juga dengan pasukan khusus yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Prabadaru itu."
Ki Lurah mengangguk-angguk. Iapun merasa berbangga bahwa pasukan khusus yang dipimpinnya itu memenuhi keinginan Raden Sutawijaya. Dengan demikian, maka kerjanya itu bukannya kerja yang sia-sia.
Ternyata Raden Sutawijaya menyaksikan hampir segala jenis latihan dan tingkat kemampuan para pengawal dalam pasukan khusus itu. Bahkan bersama pasukan itu. Raden Sutawijaya pergi ke lereng bukit untuk menunjukkan kemampuan pasukan itu dalam perang gelar. Demikian juga mempergunakan senjata lontar. Lembing, bandil, busur dan panah dan sebagainya.
Raden Sutawijaya yang sudah mempunyai gambaran tentang kemampuan para prajurit di pasukan khusus di Pajang, merasa bahwa pasukannya yang terdiri seluruhnya dari anak-anak muda itu, dalam beberapa hal tidak berada dibawah tataran pasukan khusus yang dipimpin oleh Tumenggung Prabadaru. Namun yang pasti, pasukan khusus di Tanah Perdikan Menoreh itu kalah dalam pengalaman, karena anggauta pasukan khusus Pajang pada mulanya memang sudah seorang prajurit.
Dengan hati yang puas. Raden Sutawijaya mengakhiri pengamatannya atas pasukan khusus yang dibentuknya dan diserahkan kepimpinannya kepada Ki Lurah Branjangan.
Bagaimanapun juga, ia harus mengucapkan terima kasih secara khusus kepada Agung Sedayu dan Sekar Mirah yang telah dengan sungguh-sungguh membantu perkembangan pasukan khusus itu, terutama dalam kemampuan mereka secara pribadi.
"Kami masih tetap mengharapkan bantuan kalian," berkata Raden Sutawijaya, yang kemudian minta kepada Agung Sedayu dan Sekar Mirah untuk mengantarkannya kerumah Ki Gede.
Karena Raden Sutawijaya tidak mengenakan kelengkapan kebesarannya, justru dalam pakaian orang kebanyakan, maka kepergiannya ke rumah Ki Gede bersama Agung Sedayu dan Sekar Mirah sama sekali tidak menarik perhatian. Orang-orang yang berada di sawah sudah terbiasa melihat Agung Sedayu dan Sekar Mirah lewat. Jika hari itu keduanya lewat bersama seorang anak muda, maka orang-orang itu mengira, bahwa anak muda itu adalah salah seorang anggauta pasukan khusus di barak.
Namun dalam pada itu, kedatangan Raden Sutawijaya di rumah Ki Gede sudah mengejutkan seisi rumah itu.
Ki Gede dan Ki Waskita dengan tergopoh-gopoh telah menyambutnya dan mempersilahkan Raden Sutawijaya itu naik kependapa
"Selamat datang di Tanah Perdikan ini Raden," sapa Ki Gede.
Raden Sutawijaya tersenyum sambil mengangguk. Jawabnya, "Selamat Ki Gede. Mudah-mudahan keluarga di Tanah Perdikan inipun seluruhnya dalam keadaan selamat."
"Agaknya demikian Raden," jawab Ki Gede, lalu, "sebenarnyalah kehadiran Raden yang tiba-tiba ini sangat mengejutkan kami. Mudah-mudahan tidak ada masalah yang sangat penting selain sekedar keinginan untuk berkunjung."
"Memang Ki Gede," jawab Raden Sutawijaya, "tidak ada yang penting. Aku memang hanya sekedar berkunjung."
"Sokurlah. Mungkin Raden ingin melihat-lihat perkembangan pasukan khusus itu," berkata Ki Gede kemudian.
Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Iapun kemudian menanyakan keselamatan Ki Waskita dan keluarganya, sebagaimana kebiasaan yang berlaku.
"Semuanya sangat menggembirakan," berkata Raden Sutawijaya kemudian, "pasukan khusus itu telah memenuhi keinginanku. Semuanya itu dapat terjadi karena bantuan Ki Gede dan Ki Waskita."
"Apa yang dapat kami lakukan," sahut Ki Gede, "kecuali sekedar tempat."
"Jauh lebih dari itu," berkata Raden Sutawijaya, "sehingga ternyata segala bantuan itu sangat terasa dalam saat-saat sekarang ini."
Ki Gede dan Ki Waskita menangkap satu permulaan dari pembicaraan yang akan menjadi lebih bersungguh-sungguh. Meskipun Raden Sutawijaya mengatakan bahwa kedatangannya itu tidak membawa persoalan yang penting, namun Ki Gede dan Ki Waskita sudah menduga, bahwa tentu ada masalah yang akan disampaikannya.
Ternyata bahwa kemudian, setelah mendapat hidangan air sere hangat dengan gula kelapa, maka mulailah Raden Sutawijaya menceriterakan kepentingannya yang sebenarnya datang ke Tanah Perdikan, meskipun tidak sampai ke bagian yang sekecil-kecilnya.
Tetapi baik Ki Gede maupun Ki Waskita segera dapat menangkap maksud pembicaraan itu. sehingga keduanya mengangguk-angguk. Bagaimanapun juga keadaan yang demikian memang sudah mereka perhitungkan.
Namun yang masih belum mereka mengerti adalah sikap Kanjeng Sultan. Meskipun demikian, keduanya dapat pula melihat hubungan yang akan berkelanjutan dengan sikap Raden Sutawijaya. meskipun Kangjeng Sultan akan menghadapinya sebagai lawan di peperangan.
Dalam pada itu. maka Ki Gede dan Ki Waskitapun menyadari, bahwa perkembangan keadaan telah benar-benar mengarah pada satu ledakan yang akan membakar Pajang dan Mataram dalam satu arena peperangan yang mendebarkan.
Ki Gedepun mengerti, bahwa pemberitahuan itu tentu akan menuntut kesiagaan bagi Tanah Perdikan Menoreh, karena ia tidak akan dapat ingkar, bahwa jika perang itu meledak, maka Tanah Perdikan Menoreh akan langsung terlibat kedalamnya. Bahkan sebenarnyalah Tanah Perdikan Menoreh sudah terlibat sebelumnya. Dengan memberikan tempat bagi Kesatuan Khusus Mataram di Tanah Perdikan Menoreh, maka Tanah Perdikan Menoreh sudah menempatkan dirinya dengan pasti.
"Raden," berkata Ki Gede kemudian, "nampaknya perang memang sudah diambang pintu. Karena itu, agaknya Raden akan memberikan perintah kepada kami."
Tetapi Raden Sutawijaya tersenyum. Jawabnya, "belum sekarang Ki Gede. Tetapi aku mohon Ki Gede mempersiapkan diri. Memang setiap saat, aku akan mengajukan beberapa permohonan kepada Ki Gede. Sama sekali bukan perintah."
Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, "Kami akan selalu siap setiap saat. Meningkatnya hubungan yang gawat berarti aba-aba kepada kami untuk mempersiapkan diri."
"Terima kasih Ki Gede," sahut Raden Sutawijaya, "sudah barang tentu, Matarampun akan berterima kasih kepada Ki Gede dan Ki Waskita."
"Kami akan mencoba berbuat sebaik-baiknya Raden. Bukan saja sebaik-baiknya bagi kita sekarang, tetapi sebaik-baiknya bagi anak cucu kita kelak," berkata Ki Gede kemudian.
"Sungguh satu sikap yang besar," desis Raden Sutawijaya, "mudah-mudahan hari-hari mendatang akan merupakan hari-hari yang jauh lebih cerah dari sekarang."
Ki Gedepun kemudian menyatakan kesiagaannya. Namun ia tidak akan dapat berbuat sesuatu tanpa perintah Raden Sutawijaya.
Pembicaraan itu masih berlangsung beberapa lama. Namun akhirnya Raden Sutawijaya itupun minta diri.
"Apakah Raden tidak akan bermalam saja?" bertanya Ki Gede.
"Aku akan bermalam di barak Ki Gede. Aku akan melihat isi barak itu lebih dekat lagi," jawab Raden Sutawijaya.
Dalam pada itu. Raden Sutawijayapun kemudian meninggalkan rumah Ki Gede. Agung Sedayu akan mengantarkannya sampai ke barak, sementara Sekar Mirah akan kembali kerumahnya.
Disepanjang jalan kembali ke barak. Raden Sutawijaya berkata, "Agung Sedayu. Dalam keadaan yang semakin gawat, kau tidak akan dapat berdiri ditempatmu sekarang ini. Kau harus menempatkan dirimu didalam satu lingkungan. Agaknya yang paling tepat adalah dalam Kesatuan Khusus yang sudah menjadi semakin mantap itu."
"Aku tidak akan berkeberatan Raden. Tetapi aku akan menjadi salah seorang diantara mereka didalam lingkungan Pasukan Khusus itu," jawab Agung Sedayu.
Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah mengenal Agung Sedayu sejak lama. Dan iapun tahu bahwa Agung Sedayu akan berkata demikian.
Karena itu. maka Raden Sutawijaya tidak mengata kan apa-apa lagi tentang kedudukan Agung Sedayu didalam lingkungan pasukan khusus itu. Yang dikatakannya kemudian adalah kemampuan anak-anak muda didalam lingkungan pasukan khusus itu, yang ternyata cukup memberikan kebanggaan bagi Mataram.
Sementara itu, Ki Gede dan Ki Waskita yang kemudian berbincang di pendapa bersama Prastawa, telah mengambil satu kesimpulan, bahwa anak anak muda Tanah Perdikan Menoreh harus segera tersusun. Selain para pengawal, maka setiap orang yang menyatakan diri untuk ikut serta akan diberi kesempatan sesuai dengan tingkat kemampuan mereka masing masing.
"Kita dapat memanfaatkan Glagah Putih," berkata Ki Waskita.
"Ya," Ki Gede mengangguk-angguk.
Namun dalam pada itu, wajah Prastawapun segera menjadi pudar.
"Bagaimana dengan angger Agung Sedayu dan Sekar Mirah?" bertanya Ki Gede.
"Nampaknya mereka akan berada didalam lingkungan pasukan khusus yang akan menjadi kekuatan pokok dari pasukan Mataram disamping para pengawal yang telah ada dan terlatih baik di Mataram yang jumlahnya tentu kurang memadai," berkata Ki Waskita, "disamping itu, agaknya akan ikut pula anak-anak muda dari berbagai daerah yang telah dengan pasti menempatkan dirinya dipihak Mataram."
Ki Gede mengangguk angguk. Katanya kemudian, "Nampaknya waktunya tidak akan terlalu banyak. Kita harus segera membenahi diri. Sejak esok pagi kita harus sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan."
"Apakah Ki Gede bermaksud mengumumkan persoalan yang sebenarnya sedang dihadapi?" bertanya Ki Waskita.
Ki Gede mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, "belum perlu. Menurut pendapatku, kita tidak akan dengan tergesa-gesa menyebut kemungkinan pecahnya perang dengan terus-terang. Mungkin kita akan menyinggungnya sepintas."
Ki Waskitapun mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Gede berkata kepada Prastawa, "Kau akan mempunyai tugas yang berat. Tetapi agaknya Glagah Putih akan dapat membantumu. Ia memiliki kemauan bekerja yang sangat besar, seperti Agung Sedayu. Namun watak anak ini agak berbeda. Ia lebih terbuka, mantap dan tidak ragu-ragu. meskipun karena umurnya yang masih sangat muda kadang-kadang kurang pertimbangan. Ini justru terbalik dengan sifat Agung Sedayu yang lebih tertutup dan diam."
Prastawa mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak begitu senang atas keterlibatan Glagah Putih meskipun anak itu akan dapat membantunya. Namun ia tidak ingin kehilangan pengaruh sehingga seolah-olah ia tidak berarti apa apa lagi di Tanah Perdikan Menoreh. Kehadiran Agung Sedayu telah mendesaknya menepi. Dan agaknya Glagah Putihpun mempunyai beberapa kelebihan yang akan dapat semakin mendorongnya menepi.
Tetapi Prastawa tidak dapat menolak pesan pamannya. Bagaimanapun juga ia sadar, bahwa baik Prastawa maupun Agung Sedayu dan Sekar Mirah akan tetap menjadi orang-orang terpenting di Tanah Perdikan Menoreh.
Dalam pada itu, di barak pasukan khusus. Raden Sutawijaya masih sempat mengadakan pengamatan yang lebih mendalam atas anak-anak muda dari Kesatuan Khusus itu. Namun agaknya Raden Sutawijaya tidak akan tinggal terlalu lama. Malam itu, Raden Sutawijaya masih akan berbicara dengan para pemimpin barak itu termasuk Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Tetapi malam itu juga Raden Sutawijaya akan kembali ke Mataram seorang diri sebagaimana ia datang ke Tanah Perdikan Menoreh.
"Kenapa begitu tergesa-gesa?" bertanya Ki Lurah Branjangan.
"Aku masih harus membenahi Mataram dalam keseluruhan. Aku masih harus bertemu lagi dengan Untara untuk mengatur pertahanan di jalur lurus antara Pajang dan Mataram. Untara adalah seorang Senapati yang berpengalaman. Ia adalah seorang yang mengenal daerah kelahirannya dan sekitarnya dengan sebaik-baiknya. Karena itu, maka aku akan dapat menyadap pengenalannya itu sebanyak-banyaknya. Apalagi setelah ia bertemu dengan ayahanda Kangjeng Sultan di Pajang, sikapnya menjadi semakin jelas," berkata Raden Sutawijaya kemudian.
"Baiklah Raden," jawab Ki Lurah Branjangan, "kami akan menunggu perintah berikutnya. Kami akan bersiaga sepenuhnya, sehingga setiap saat kami siap menjalankan perintah."
Seperti yang dikehendaki, maka malam itu juga Raden Sutawijaya telah meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi justru karena ia hanya berjalan seorang diri, maka perjalanannya sama sekali tidak menarik perhatian. Juga ketika ia menyeberang Kali Praga. Meskipun ia harus membangunkan tukang satang yang sudah tertidur nyenyak, namun ia berhasil menyeberang juga.
"Malam-malam begini, apakah ada keperluan yang sangat mendesak Ki Sanak?" bertanya tukang satang yang masih mengantuk itu.
"Isteriku akan melahirkan. Aku harus mengundang seorang dukun bayi keseberang Praga," jawab Raden Sutawijaya.
"Kenapa harus keseberang Praga. Bukankah di sebelah Kali Praga ada berpuluh dukun bayi?" bertanya tukang satang itu.
"Dukun bayi itu adalah nenek sendiri. Isteriku tidak mau ditolong oleh dukun yang manapun jika tidak oleh nenek sendiri," jawab Raden Sutawijaya pula.
"Salah sendiri," gumam tukang satang.
"Kenapa?" bertanya Raden Sutawijaya.
"Bukankah dengan demikian justru akan mempersulit diri sendiri" Untung aku tertidur di tepian. Jika tidak seorangpun tukang satang yang ada, apakah kelahiran anakmu itu dapat kau tunda sampai esok?" bertanya tukang satang itu pula.
"Aku akan berenang," jawab Raden Sutawijaya.
"Tetapi saat kau kembali bersama nenekmu" Apakah nenekmu akan kau dukung sambil berenang?" desak tukang satang itu.
Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya. Ia telah terlibat dalam satu perdebatan yang tidak menentu. Karena itu, maka jawabnya, "Aku ternyata telah bersukur, bahwa Ki Sanak masih tetap berada di tepian."
"O," tukang satang itu mengangguk-angguk.
Sementara itu Raden Sutawijaya berkata didalam hatinya, "kau kira aku tidak dapat menyeberangi sungai ini tanpa rakit" Tetapi aku baru segan menjadi basah."
Ketika kemudian Raden Sutawijaya sampai ketepian dan meloncat turun, setelah ia memberikan upah yang lebih besar dari biasanya di siang hari bagi tukang satang itu, maka tukang satang itupun bertanya, "Ki Sanak, apakah aku harus menunggumu disini sampai saatnya kau datang bersama nenekmu?"
Raden Sutawijaya menggeleng. Jawabnya, "Tidak perlu Ki Sanak. Jika kebetulan nenek tidak ada dirumahnya, maka aku tentu tidak akan segera menyeberang."
Yang Paling Oke 1 Pendekar Rajawali Sakti 93 Bidadari Dasar Neraka Bayangan Berdarah 2
^