Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 2

07 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 2


Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat bukan saja kemajuan Glagah Putih yang masih sangat muda itu. Tetapi iapun melihat kedahsyatan ilmu yang tumurun dari Ki Sadewa. Pada dasarnya ilmu itu adalah ilmu yang mengagumkan.
Demikianlah, maka Glagah Putih benar-benar telah menunjukkan, bahwa ia telah menguasai ilmu yang terlukis pada dinding goa dan urutan yang pertama sampai urutan yang terakhir menjelang bagian yang terhapus pada saat Agung Sedayu berada di dalam goa itu. Bahkan Agung Sedayu telah melihat, dalam beberapa hal. Glagah Putih telah mampu mengembangkan tata gerak yang dipelajarinya pada pahatan didinding goa itu. Sehingga dengan demikian maka nampak betapa jiwa anak muda itu hidup dan trampil menanggapi perkembangan ilmunya.
Agung Sedayu mengangguk-angguk sambil mengikuti gerak Glagah Putih. Sebenarnyalah yang dicapai oleh anak itu telah melampaui dugaannya. Sehingga dengan demikian Agung Sedayu dapat menjajagi. bahwa Glagah Putih memang seorang anak muda yang pinunjul Ing apapak. Anak muda yang memiliki kelebihan dari anak muda kebanyakan.
Beberapa saat kemudian. maka Glagah Putihpun mulai mengendurkan tata geraknya setelah ia mencapai puncak kemampuannya. Perlahan-lahan, sehingga akhirnya ia berhenti sama sekali.
Dengan tubuh yang basah oleh keringat Glagah Putih berdiri tegak menghadap Agung Sedayu yang masih saja terpukau oleh kemajuan yang dicapai oleh adik sepupunya itu.
"Bagaimana menurut pendapatmu kakang?" bertanya Glagah Putih.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnyalah ia mengagumi kemampuan anak itu. Tetapi ia tidak ingin menyesatkan tanggapan Glagah Putih. Karena itu maka katanya, "Ternyata kau mempelajarinya dengan tekun Glagah Putih. Kau sudah memiliki dasar ilmu dari perguruan Ki Sadewa. Tetapi yang kau kuasai baru dasarnya saja. Aku sudah melihat, kau berhasil mengembangkan beberapa bagian. tetapi masih dalam batas-batas yang sempit. Tetapi itu tidak apa. Mungkin orang lain sama sekali belum dapat berbuat seperti yang kau lakukan sekarang."
Glagah Putih berdiri tegak sambil memperhatikan pendapat Agung Sedayu. Sebenarnyalah bahwa Agung Sedayu memujinya. Tetapi tidak berlebih-lebihan sehingga dengan demikian, meskipun Glagah Putih menjadi bangga, tetapi ia tidak kehilangan pengakuan, bahwa sebenarnyalah yang dikuasainya itu baru sebagian saja dari bekal yang harus dimilikinya, apabila pada suatu saat sengaja atau tidak sengaja ia akan terseret kedalam petualangan di dunia oleh kanuragan.
"Karena itu Glagah Putih," berkata Agung Sedayu kemudian, "masih banyak yang harus kau lakukan. Kau harus memahami yang telah kau pelajari itu sebaik-baiknya. Kau harus mengenal watak setiap unsur gerak dari ilmumu itu. Meskipun demikian, kau masih harus tetap dalam satu kesadaran, bahwa kau tidak akan dapat memaksa dirimu sendiri melampaui batas kemampuanmu. Sebenarnyalah bahwa yang dapat dicapai oleh seseorang hanyalah sebutir debu di pantai yang luas. Karena itu kau harus selalu mengingat betapa tingginya langit dan betapa luasnya lautan. Dengan demikian kau akan selalu teringat betapa kecilnya kita dihadapan Yang Maha Pencipta.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan ia mengangkat wajahnya, memandangi Agung Sedayu dan Ki Waskita berganti-ganti.
Dua orang yang berdiri dihadapannya itu adalah contoh yang paling dekat, bahwa sebenarnyalah betapa tinggi Ilmu seseorang. namun mereka akan tetap merasa dirinya kecil. Meskipun demikian, sebagaimana dikatakan oleh Agung Sedayu. bahwa masih banyak yang harus dikerjakan. Dan Glagah Putihpun mengerti bahwa ia masih harus bekerja keras. Berusaha. Namun dengan pengenalan diri. betapa terbatasnya kemampuan yang dapat dicapainya.
Dalam pada itu. selagi Glagah Putih sedang merenungi kata-kata Agung Sedayu. maka Agung Sedayupun berkata selanjutnya, "Nah. Glagah Putih. Aku sudah melihat bagaimana kau mempertunjukkan kemampuanmu dalam penguasaan ilmu dasar dari perguruan Ki Sadewa. Sekarang, aku ingin melihat, bagaimana kau mengetrapkan ilmumu dalam benturan Ilmu."
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, "Baiklah kakang. Mudah-mudahan aku tidak terlalu mengecewakan."
Agung Sedayupun kemudian menyingsingkan baju dan kain panjangnya. Kepada Ki Waskita dan Ki Widura ia berkata, "Aku mohon paman berdua sempat mengawasinya. Karena aku terlibat langsung, maka agaknya paman berdua akan dapat lebih jelas melihat, apa yang dapat dilakukan oleh Glagah Putih."
"Aku akan mencoba," berkata Ki Waskita. Namun Ki Widura menyahut, "Mungkin kemampuanku telah tertinggal jauh. Tetapi biarlah aku mencobanya pula."
Agung Srdayu tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab.
Sejenak kemudian maka Agung Sedayu dan Glagah Putihpun telah bersiap. Beberapa langkah mereka bergeser berputaran. Namun Agung Sedayulah yang lebih dahulu membuka serangan.
Serangan itu masih belum berarti, Glagah Putih bergeser selangkah kesamping. Namun demikian ia tegak, maka Glagah Putihlah yang kemudian meloncat menyerang.
Demikianlah merekapun kemudian bergerak semakin lama semakin cepat. Mereka saling menyerang berganti-ganti. Glagah Putih ternyata berhasil menyusun unsur-unsur gerak yang telah dikuasainya dalam satu rangkaian yang mapan, sehingga dalam perkelahian yang sebenarnya, perkembangan ilmu itu menjadi lebih nampak.
Dalam pada itu, Agung Sedayu yang ingin menjajagi batas kemampuan Glagah Putih telah menyerangnya dengan cepat. Ternyata ia seolah-olah telah bertempur dengan sungguh-sungguh. Dengan demikian maka Glagah Putihpun telah mengerahkan segenap kemampuannya dalam lambaran Ilmu dari perguruan Ki Sadewa.
Pertempuran itu semakin lama menjadi semakin cepat. Tangan Agung Sedayupun telah mulai mengenai Glagah Putih. Bahkan oleh satu dorongan yang kuat dari arah yang tidak disangka. Glagah Putih sudah terlempar jatuh. Namun setelah sekali berguling, ia sempat melenting berdiri dan bersiap menghadapi segala kemunkinan.
Tetapi serangan Agung Sedayu datangnya terlalu cepat sehingga sekali lagi ia terdorong kesamping. Namun dengan loncatan panjang ia berhasil menguasai keseimbangannya yang goncang.
Latihan yang nampaknya seakan-akan perkelahian yang sesungguhnya itu menjadi semakin cepat. Mula-mula Agung Sedayu mempergunakan cabang ilmu yang sama yang telah dikuasainya pula.
Dengan demikian, maka dalam beberapa hal Glagah Putih mampu menebak gerak lawan berlatihnya, meski pun kadang-kadang ia harus mengakui bahwa Ilmu itu telah berkembang didalam ungkapannya, sehingga beberapa kali ia salah hitung. Karena itu. maka beberapa kali pula ia harus menyeringai menahan sakit dan bahkan dorongan-dorongan yang kuat hampir saja membantingnya dilantai sanggar itu.
Namun semakin lama tata gerak Agung Sedayu menjadi semakin kabur bagi Glagah Putih. Dalam beberapa hal ia tidak mengenal sama sekali unsur-unsur gerak yang dipergunakan oleh Agung Sedayu. Namun ia harus melawannya dengan ilmu yang telah dikuasainya.
Glagah Putihpun kemudian sadar, bahwa dalam perkelahian yang sebenarnya, lawannya justru mempunyai ilmu yang berbeda. Jarang sekali terjadi benturan antara mereka yang memiliki ilmu yang bersumber dari perguruan yang sama, meskipun hal yang demikian itu dapat saja terjadi pada suatu keadaan tertentu.
Dengan perubahan yang terjadi pada perlawanan Agung Sedayu. maka latihan yang keras itu menjadi semakin keras dan cepat. Seolah-olah keduanya benar-benar telah bertempur dengan segenap kemampuannya.
Semakin lama gerak Agung Sedayupun menjadi semakin cepat. Serangannya datang dari segala arah pada setiap saat. Namun Glagah Putih benar-benar telah memiliki ketrampilan yang tinggi. Ia mampu mengimbangi kecepatan gerak Agung Sedayu. Bahkan ketika Glagah Putih teldah mengerahkan tenaga cadangannya sesuai dengan tuntunan yang diberikan oleh Agung Sedayu dan dimatangkan oleh lambang-lambang ilmu yang terdapat didalam goa. maka Agung Sedayu justru menjadi semakin mengaguminya.
Namun dalam pada itu. akhirnya kemampuan Glagah Putihpun sampai kepada batasnya. Batas tingkat ilmunya dan kemudian batas kemampuan wadagnya. Karena itulah, setelah perlawanan Glagah Putih mencapai puncaknya. maka terasa perlawanannya mulai susut.
Agung Sedayu tidak lagi sempat mengingat waktu. Karena itu. ia tidak menyadari, bahwa latihan itu sudah berlangsung cukup lama sehingga matahari justru telah turun ke Barat.
Sementara itu, ternyata bahwa dengan mengerahkan segenap kemampuan dan kekuatannya, maka Glagah Putihpun menjadi terlalu cepat letih. Untuk menghadapi serangan Agung Sedayu yang bagaikan serangan yang sebenarnya, yang benar-benar menyakiti tubuhnya, maka Glagah Putih telah memeras segenap tenaganya.
Karena itu. ketika sanggar itu menjadi semakin suram. Agung Sedayupun mulai mengurangi tekanannya. Perlahan-lahan meskipun sekali-sekali ia masih menyakiti Glagah Putih, tetapi terasa bahwa Agung Sedayu telah hampir mengakhiri penjajagannya.
Glagah Putih masih tetap bertahan dengan sisa kekuatan dan kemampuannya. Namun tata geraknya mulai goyah dari polanya. Justru karena ia telah menjadi semakin letih.
Akhirnya Agung Sedayu yang melihat keadaan Glagah Putih itupun mengakhiri serangan serangannya, iapun kemudian meloncat menjauh sambil memberikan isyarat, bahwa latihan dan penjajagan itu sudah cukup.
Glagah Putih berdiri termangu-mangu. Nafasnya terengah-engah, sedangkan keringatnya bagaikan terperas dari tubuhnya.
"Cukup Glagah Putih," berkata Agung Sedayu.
Glagah Putih memandang Agung Sedayu dengan heran. Seolah-olah Agung Sedayu itu sama sekali tidak merasakan letih meskipun nampaknya iapun telah bergerak dengan cepat dan keras. Berloncatan dan berputaran. Menyerang dan sekali-sekali menghindar serangan. Rasa-rasanya Agung Sedayu masih tetap segar seperti pada saat ia memasuki sanggar. Seandainya ia tidak mengalami kesulitan apapun dalam penjajagan itu. namun ia telah bergerak dalam tata gerak yang cepat, tangkas dan keras, untuk waktu yang cukup lama.
Dalam pada itu. Agung Sedayu yang tersenyum itu pun berkata, "Kau memang memiliki kemauan yang keras dalam latihan-latihan yang kau lakukan selama ini. Kemampuanmu maju dengan pesat. Kau sudah memiliki tingkat yang cukup bagi anak-anak muda sebayamu. Bahkan kau memiliki kelebihan dari anak-anak muda kebanyakan, maksudku mereka yang mempelajari olah kanuragan untuk waktu yang sama seperti yang kau lakukan."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Betapapun ia merasa terlalu kecil dihadapan Agung Sedayu, namun Agung Sedayu, kakak sepupunya yang menjadi gurunya itu tidak mencelanya dan nampaknya ia tidak kecewa.
Itu sudah cukup bagi Glagah Putih. Seandainya gurunya tidak memujinya, ia sudah merasa tidak menyia-nyiakan tenaga Agung Sedayu yang banyak terbuang untuk kepentingannya.
Dengan nafas yang masih berkejaran di lubang hidungnya ia berkata, "Terima kasih atas pujian itu kakang. Tetapi bagaimanakah yang sebenarnya?"
"Seperti yang aku katakan. Cukup baik, tetapi seperti yang sudah aku katakan pula. kau masih harus banyak berbuat bagi perkembangan ilmumu. Kau masih harus bekerja keras. Yang kau capai adalah tataran pertama. Masih ada banyak tataran. Bahkan tidak akan ada habisnya," berkata Agung Sedayu.
Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia mengerti, bahwa ia tidak boleh terlalu cepat berbangga dan dengan demikian segalanya akan berhenti.
"Kembangkan Ilmu yang sudah kau kuasai sesuai dengan pengalamanmu," berkata Agung Sedayu, "pada saatnya kau harus mempelajari bagian dari ilmu itu yang terhapus. Justru puncak dari ilmu itu. Jika kau sudah menguasai puncak dari ilmu yang kau pelalari itu. maka kau sudah mempunyai bekal yang cukup. Bekalmu yang cukup Bekal untuk dikembangkan lebih jauh lagi. karena segala macam ilmu di dunia ini nampaknya berkembang terus. Meskipun ada ilmu yang tengelam dan tidak dikenal lagi. namun yang lain meningkat semakin tinggi."
Glagah Putihpun mendengarkan petunjuk-petunjuk Agung Sedayu itu dengan sungguh-sungguh. Bahkan ia justru telah berjanji kepada diri sendiri. bahwa ia ingin bekerja lebih keras untuk mengembangkan ilmu yang telah dimilikinya.
Sementara itu. maka Agung Sedayupun kemudian berkata, "Aku kira untuk kali ini sudah cukup Glagah Putih. Aku sudah mempunyai sedikit gambaran tentang tingkat ilmumu sekarang.
Glagah Putih mengangguk. Katanya, "Mudah-mudahan tidak mengecewakanmu kakang. Dan mudah-mudahan di saat-saat mendatang, aku akan dapat berbuat lebih baik bagi perkembangan ilmuku."
"Kau harus bekerja keras," jawab Agung Sedayu, "tetapi jangan memaksa diri dan berbuat melampaui batas kemampuanmu."
"Aku mengerti," jawab Glagah Putih.
Demikianlah, maka mereka berempatpun kemudian keluar dari sanggar. Agung Sedayu mengangkat wajahnya. memandang langit yang menjadi merah oleh cahaya matahari yang sudah menjadi sangat rendah.
"Kau bermalam di padepokan ini," desis Widura.
Agung Sedayu tersenyum. Katanya, "Baiklah. Tidak ada pilihan lain."
Sementara itu. maka Glagah Putihpun merasa tubuhnya menjadi nyri dan pedih. Ternyata sentuhan tangan Agung Sedayu benar-benar menyakitinya. Tetapi ia tidak mau mengeluh. Ditahankannya perasaan sakit itu sehingga keringatnya justru tidak susut karenanya.
Namun dalam pada itu. meskipun Glagah Putih tidak mengatakan sesuatu, ternyata Ki Waskita mengetahuinya. Karena itu sambil tersenyum ia berkata, "Dibagian manakah yang terasa nyeri Glagah Putih?"
Glagah Putih tidak dapat berbohong lagi. Iapun tersenyum dan menjawab, "Diseluruh tubuh paman."
Ki Waskita, Ki Widura dan Agung Sedayu tertawa.
"Belum seberapa," berkata Ki Widura, "lebih baik nyeri sekarang daripada tubuhmu koyak di pertempuran yang sebenarnya."
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Jawabnya, "Aku mengerti ayah. Karena itu aku diam saja."
Ki Widura tertawa semakin keras. Ketika kemudian ia berpaling mengamati anaknya, nampak beberapa noda kebiru-biruan di wajahnya.
"Aku mempunyai sejenis param yang baik," berkata Ki Waskita mungkin akan dapat menolong."
"Kali ini cukup dengan param," berkata Ki Widura, "bukan sejenis obat untuk memampatkan luka."
Glagah Putih, tidak menyahut. Tetapi perasaan nyeri itu masih menyengat sampai ketulang.
Dalam pada itu. ketika mereka naik kependapa. ternyata ampat orang perwira telah berada di pendapa itu. Dengan senyum yang jernih mereka mempersilahkan Agung Sedayu dan Ki Waskita naik.
"Dari sanggar?" berkata perwira itu.
"Ya," jawab Agung Sedayu sambil duduk, "sekedar melayani Glagah Putih untuk membantu menilik kemampuannya."
Perwira-perwira itu mengangguk-angguk. Salah seorang dari mereka berkata, "Anak itu rajin sekali berlatih. Ilmunya tentu maju dengan pesat jika dinilai sejak kau meninggalkannya beberapa waktu yang lalu."
"Cukup baik," berkata Agung Sedayu, "tetapi ia memang tidak berhenti."
Sejenak kemudian. seorang cantrik telah menghidangkan minuman dan makanan. Sementara Ki Waskita berkata, "Aku akan ke pakiwan."
"Silahkan paman," jawab Agung Sedayu, "Aku akan minum dahulu.
Demikianlah bergantian Agung Sedayu dan Ki Waskita membesihkan diri dan berganti pakaian. Sementara para perwira itu nampaknya sudah tidak mempunyai tugas lagi menjelang malam hari sehingga mereka tetap berada di pendapa.
Baru setelah gelap. Sabungsari datang dari tugasnya ia menjadi sangat gembira dapat bertemu dengan Agung Sedayu dan Ki Waskita. Namun demikian Agung Sedayu tidak mengatakan kepentingannya yang sebenarnya atas kedatangannya ia hanya mengatakan bahwa ia telah merasa sangat rindu dengan padepokan kecil itu dan ia ingin menilik kemajuan ilmu Glagah Putih.
Tetapi Sabungsari tertawa. Katanya, "Kau sudah tidak lagi dapat menahan betapa rindu gejolak didalam hati. Tetapi tidak dengan padepokan ini."
"Lalu?" bertanya Agung Sedayu.
Sabungsari tertawa semakin keras. Para perwira itu pun mulai tersenyum. karena merekapun mengerti yang dimaksudkan oleh Sabungsari. Bahkan seorang dari antara mereka berkata, "Tentu Sangkal Putung."
Wajah Agung Sedayu memerah sesaat. Namun iapun kemudian tersenyum sambil berkata, "Tentu aku tidak dapat membantah."
Demikianlah pembicaraan mereka di pendapa itu menjadi meriah dengan gurau. Apalagi ketika Glagah Putih ada diantara mereka bersama ayahnya. Beberapa orang melihat noda kebiru-biruan di tubuhnya sehingga dengan tertawa Sabungsari berkata, "Apa saja yang telah dilakukan oleh Agung Sedayu" Jika aku ada, aku bantu kau membalasnya."
Glagah Putih tertawa. Katanya, "Ki Waskita sudah menyediakan obatnya."
Percakapan itu berlangsung sampai malam menjadi bertambah dalam. Baru kemudian, setelah mereka makan malam, maka masing-masing segera memasuki biliknya yang terpisah. menebar di lingkungan padepokan itu.
Namun dalam pada itu. ketika mereka sudah beristirahat barang sesaat. Agung Sedayu berkata kepada Glagah Putih, "Marilah. Aku ingin memberimu beberapa petunjuk."
Glagah Pulih termangu-mangu sejenak. Namun apa yang dilakukan oleh Agung Sedayu telah membuka nalarnya. Seolah-olah ia telah dihadapkan kepada kemungkinan-kemungkinan yang cukup banyak untuk mengembangkan llmunya bagi kepentingan yang berbeda-beda.
Karena itu, maka ketika ia mandapat kesempatan untuk melakukannya. maka iapun telah mencobanya.
Dalam beberapa hal Glagah Putih memang sudah melakukannya. Tetapi sangat terbatas dan masih sangat dekat dengan pola unsur gerak pada ilmunya. Namun dengan petunjuk yang diberikan oleh Agung Sedayu. maka kemungkinan yang dihadapinya menjadi sangat luas.
"Kau dapat belajar dari alam," berkata Agung Sedayu, "bagaimana sebatang pohon ilalang tidak roboh oleh angin."
Buku 152 "JUSTRU karena batangnya cukup lentur. Kecuali jika angin itu terlalu kencang diluar batas kemampuan ilalang itu. Dan hal yang demikian berlaku juga bagi ilmu yang betapapun tangguhnya." Agung Sedayu berhenti sejenak, lalu. "Kaupun dapat melihat tingkah laku seekor binatang. Mereka tidak pernah mempelajari apapun juga, karena binatang tidak mempunyai akal budi. Namun secara naluriah mereka juga menghindar dari bahaya yang akan menimpanya. Nah, dengan dasar unsur gerak yang kau pelajari dalam susunan ilmumu, maka kau akan dapat berbuat lebih banyak lagi."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Hatinya menjadi semakin terbuka. Karena itu, maka sejenak kemudian, ia-pun mulai mencobanya. Sedikit demi sedikit. Namun yang sedikit itu telah menunjukkan, bahwa ia memang memiliki ketajaman nalar untuk melakukannya.
Demikianlah keduanya berada didalam sanggar untuk waktu yang cukup lama. Baru lewat tengah malam keduanya menyelesaikan latihan-latihan yang cukup berat bagi Glagah Putih. Selagi perasaan nyeri dan sakitnya masih terasa, ia sudah harus bekerja keras untuk mengikuti latihan-latihan khusus yang diberikan oleh Agung Sedayu bagi perkembangan ilmunya.
Meskipun waktunya tidak termasuk panjang, namun yang didapat oleh Glagah Putih adalah petunjuk-petunjuk yang harus dilakukannya sendiri. Untuk melakukannya itulah maka ia memerlukan waktu yang cukup panjang.
Malam yang tersisa masih dapat dipergunakan oleh Agung Sedayu dan Glagah Putih untuk beristirahat. Mereka masih dapat tidur nyenyak setelah bekerja keras di sanggar.
Di hari berikutnya. Agung Sedayu dan Ki Waskita telah bersiap-siap untuk kembali ke Tanah Perdikan Menoreh. Dalam kesempatan yang singkat itu, Ki Waskita masih sempat menyampaikan pesan Ki Demang Sangkal Putung. Waktu untuk mempertemukan Agung Sedayu dan Sekar Mirah dalam upacara perkawinan mereka, sudah menjadi semakin dekat.
Widura menarik nafas dalam-dalam. Agung Sedayu adalah kemenakannya. Karena itu, maka adalah wajar sekali bahwa ia termasuk salah seorang yang berkewajiban untuk memikirkannya disamping Untara.
Namun dalam pada itu, Ki Widura itupun berdesis perlahan, "Tetapi nampaknya kemelut antara Pajang dan Mataram menjadi semakin meningkat disaat-saat terakhir."
Ki Waskita mengangguk-angguk. Katanya, "Nampaknya memang agak mencemaskan. Mudah-mudahan rencana itu tidak terganggu. Jika terjadi sesuatu antara Pajang dan Mataram, maka Sangkal Putung berada di garis yang menghubungkan antara keduanya, meskipun ada jalur yang lebih dekat. Tetapi Kademangan Sangkal Putung yang subur itu akan menjadi perhatian dari kedua belah pihak."
Ki Widura tidak menyahut lagi. Para perwira yang tinggal di padepokan itupun kemudian duduk bersama mereka pula. Demikian pula Sabungsari.
Namun dalam pada itu, setelah makan pagi, maka Agung Sedayu dan Ki Waskitapun minta diri. Mereka harus kembali ke Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan mereka telah terlambat satu hari dibanding dengan rencana mereka saat mereka berangkat dari Tanah Perdikan Menoreh.
Sebenarnya para penghuni padepokan itu, terutama Glagah Putih dan Sabungsari masih ingin menahan mereka barang sehari lagi. Tetapi Agung Sedayu dan Ki Waskita terpaksa mengelak.
"Tidak lama lagi Agung Sedayu akan kembali untuk waktu yang cukup lama," berkata Ki Waskita.
"Tetapi dalam keadaan yang jauh berbeda," sahut Glagah Putih.
"Ya. Dan jika Agung Sedayu kembali pada bulan diakhir tahun mendatang, ia tidak akan mempedulikan kami lagi," Sabungsari menyambung.
Yang mendengar kelakar itu tertawa. Agung Sedayu sendiri juga tertawa. Tetapi ia tidak dapat menjawabnya.
Demikianlah maka Agung Sedayu dan Ki Waskitapun segera bersiap untuk berangkat. Para penghuni padepokan itu mengantarnya sampai keluar regol padepokan. Di regol. Agung Sedayu masih sempat memberikan beberapa pesan kepada Glagah Putih. Sekedar untuk melengkapi pesan-pesannya semalam di sanggar.
Keduanyapun kemudian minta diri. Mereka meninggalkan regol padepokan sebelum matahari memanjat terlalu tinggi.
Kepada Ki Widura Agung Sedayu sudah berpesan, agar pamannya menyampaikan permintaan maafnya kepada Untara, karena ia tidak dapat singgah.
Demikianlah keduanyapun kemudian meninggalkan padepokannya semakin jauh. Sementara itu terasa panas matahari di pagi hari mulai menggatalkan kulit. Sementara burung-burung liar berterbangan dilangit yang jernih.
Para petani nampak terbongkok-bongkok diantara tanaman padi yang hijau untuk mencabuti rerumputan yang tumbuh liar diantara batang-batangnya, sehingga apabila dibiarkan saja, akan dapat mengganggu perkembangan dan pertumbuhan batang-batang padi itu.
Dalam pada itu, maka Agung Sedayu dan Ki Waskita berpacu semakin cepat, meskipun tidak terlalu kencang. Perjalanan yang sudah mereka tempuh berulang kali itu kadang-kadang masih terasa mendebarkan jantung justru pada saat-saat yang rasa-rasanya menjadi semakin gawat.
Keduanya telah mengambil jalan di sebelah Barat, sehingga mereka tidak perlu lagi melalui Kademangan Sangkal Putung. Kecuali mereka memang tidak ingin singgah, maka jalan menjadi bertambah pendek.
Sejenak kemiudian, maka keduanya mulai menyelusuri jalan di pinggir hutan yang tidak begitu lebat dan tidak begitu luas. Lewat hutan itu maka mereka akan memasuki jalan yang lebih besar menuju ke Mataram.
Namun merekapun tidak akan singgah di Mataram. Karena itu mereka sepakat untuk meninggalkan jalan itu setelah mereka mendekati kota Mataram, dan mengambil jalan memintas menuju ke jalur penyeberangan Kali Progo.
Dalam pada itu, selagi keduanya sedang berbincang untuk melupakan jarak perjalanan yang masih panjang, tiba-tiba di ujung hutan dihadapan mereka, nampak seorang penunggang kuda memacu kudanya sekencang-kencangnya, sehingga debu yang putih mengambur membatasi penglihatan.
Tetapi Ki Waskita dan Agung Sedayu merasa curiga. Penunggang kuda itu nampaknya tidak mampu lagi duduk dengan baik dipunggung kudanya, sehingga seolah-olah ia telah meletakkan seluruh tubuhnya menelungkup.
Meskipun demikian orang itu masih dapat mengendalikan kudanya. Demikian orang itu sampai diujung hutan, maka ia telah membelokkan kudanya memasuki hutan yang tidak terlalu lebat itu.
"Aneh," desis Agung Sedayu.
"Tentu telah terjadi sesuatu," sahut Ki Waskita.
"Rasa-rasanya ingin melihat, apa yang telah terjadi," berkata Agung Sedayu kemudian.
"Ya. Marilah. Mungkin ia memerlukan pertolongan." jawab Ki Waskita.
Kedua orang itupun kemudian mempercepat laju kuda mereka. Seperti orang yang mencurigakan itu, maka keduanyapun segera memasuki hutan yang tidak begitu lebat itu pula.
Ternyata keduanya tidak begitu sulit untuk mengikuti jejak kuda itu. Beberapa ranting perdu telah berpatahan. Bahkan kadang-kadang jejak kaki kuda di tanah yang lembab itupun nampak dengan jelas.
Beberapa lama kedua orang itu mengikuti jejak kuda yang semakin dalam memasuki hutan itu. Namun tiba-tiba langkah kuda mereka terhenti ketika mereka melihat sesuatu bergeser menyusup kedalam semak-semak.
"Orang itu telah turun dari kudanya," desis Agung Sedayu.
Agung Sedayu dan Ki Waskitapun kemudian meloncat turun pula. Dengan ragu-ragu keduanya menambatkan kudanya. Dengan nada datar Agung Sedayu berkata kepada orang yang bersembunyi di semak-semak, "Ki Sanak. Kami tidak bermaksud apa-apa. Karena kami melihat bahwa agaknya Ki Sanak berada dalam kesulitan; maka kami berusaha untuk mengikuti Ki Sanak."
Beberapa saat lamanya tidak terdengar jawaban.
Agung Sedayu dan Ki Waskita saling berpandangan sejenak. Namun tiba-tiba saja mereka mendengar orang dibalik semak-semak itu berdesis, "Agung Sedayu."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Katanya, "Ya, aku Agung Sedayu. Siapa kau?"
Orang itu ternyata telah berusaha keluar dari semak-semak. Demikian orang itu berdiri, maka nampaklah bajunya berlumuran darah.
Agung Sedayu dan Ki Waskitapun dengan tergesa-gesa mendekatinya. Dengan tegang Agung Sedayu berkata, "Duduklah. Kau terluka?"
Orang itu menahan nyeri pada lukanya. Namun iapun kemudian duduk dibantu oleh Agung Sedayu dan Ki Waskita.
"Kau pengawal Mataram?" bertanya Agung Sedayu yang kurang mengenali orang itu, meskipun orang itu telah mengenalnya.
"Ya. Aku seorang pengawal Mataram," jawabnya.
"Aku sudah mengira, meskipun aku tidak mengenalmu dengan akrab. Tetapi dari siapa kau mengenal aku?" bertanya Agung Sedayu.
"Aku sering melihat kau di Mataram. Mungkin kau tidak mengenal aku, karena aku salah seorang saja dari para pengawal yang sering bertugas di regol halaman rumah Senapati ing Ngalaga disaat-saat kau singgah."
"Tetapi kenapa kau terluka ?" bertanya Agung Sedayu.
Orang itu telah berusaha untuk mengambil sehelai kain dari bawah bajunya. Katanya, "Aku titip kain ini. Serahkan kepada Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga."
"Ikat kepala ini?" bertanya Agung Sedayu.
"Bukan ikat kepala. Kau dapat melihatnya, karena aku percaya kepadamu. Tetapi cepat, tinggalkan tempat ini. Aku sedang dikejar oleh sekelompok orang-orang yang akan merebut kain itu," berkata pengawal itu.
"Kain apakah sebenarnya ini?" desak Ki Waskita.
"Lihatlah. Tetapi cepat tinggalkan tempat ini agar kain itu tidak jatuh ketangan orang yang tidak berhak, meskipun mereka sendiri yang membuatnya," jawab orang itu.
Ada semacam keinginan yang mendesak untuk melihat gambar pada kain yang diperebutkan itu. Tentu ada arti tersendiri, justru karena kain itu telah dipertahankan dengan darahnya.
Ketika kain itu kemudian dibentangkan, maka Agung Sedayu dan Ki Waskita melihat, bahwa gambar pada kain itu sama sekali bukan gambar sebagaimana terdapat pada ikat kepala. Tetapi yang nampak jelas adalah batas-batas kota Mataram. Regol dan tempat-tempat penting. Sepintas nampaknya kain itu adalah ikat kepala batik seperti kebanyakan. Namun ternyata ikat kepala itu telah dibuat khusus untuk memberikan gambaran tentang kota Mataram yang sedang berkembang.
"Nah, kalian sudah melihatnya," berkata orang yang terluka itu, "sekarang cepat, tinggalkan tempat ini, dan usahakan menghapus jejak. Sebentar lagi mereka tentu akan datang."
"Lalu kau ?" bertanya Agung Sedayu.
"Biarlah aku disini. Aku sudah melepaskan kudaku. Aku akan mencoba menahan mereka," jawab pengawal itu.
"Tidak mungkin, Kau sudah terluka," berkata Ki Waskita, "lebih baik aku berusaha untuk mengobati lukamu untuk sementara. Kemudian kita pergi bersama-sama. Kudamu tentu tidak akan lari jauh dari tempat ini. Sementara aku mengobatimu. Agung Sedayu akan mencari kudamu."
Orang itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berkata, "Itu tidak perlu. Aku masih dapat melawan mereka sementara kau sempat meninggalkan tempat ini. Mereka tidak akan mengejarmu. Aku berharap bahwa kain itu akan dapat di ketahui oleh Raden Sutawijaya atau Ki Juru Martani, sehingga mereka akan mendapat gambaran, bahwa di Mataram terdapat orang-orang yang dengan teliti mengamati perkembangan kota. Lebih dari pada itu, gambar itu menunjukkan segi-segi yang kuat dan yang lemah dari tata pertahanan Mataram."
"Siapa yang mengejarmu ?" bertanya Ki Waskita.
"Pemilik kain itu," jawab pengawal yang terluka itu.
"Kami kurang mengerti," desis Agung Sedayu, "tetapi marilah. Kita tinggalkan tempat ini. Mudah-mudahan kita bertiga tidak tertangkap."
Orang itu merenung sejenak. Namun tiba-tiba terdengar derap kaki kuda di kejauhan.
"Mereka telah datang," desis orang itu, "cepat tinggalkan tempat ini. Tinggalkan aku disini. Aku akan menahan mereka."
"Kau terluka," berkata Agung Sedayu.
"Cepat. Jika kain itu dapat mereka rebut, maka Mataram akan terancam. Apalagi karena aku tidak dapat melaporkan apa yang terjadi. Orang-orang Mataram hanya menganggap aku hilang begitu saja. Dan untuk selamanya mereka tidak mengetahui bahwa rahasia pertahanan Mataram sudah diketahui oleh orang-orang yang tidak senang melihat perkembangan Mataram," berkata orang itu.
Tetapi Agung Sedayu dan Ki Waskita tidak sempat meninggalkan orang yang terluka itu. Mereka mendengar kuda itu semakin dekat. Bahkan mereka sudah mendengar seseorang berteriak, "Kita ikuti terus jejaknya, ia tidak akan terlalu jauh lagi."
Ki Waskita dan Agung Sedayu saling berpandangan sejenak. Kemudian Agung Sedayupun berkata, "Apaboleh buat. Kita tidak akan dapat meninggalkan tempat ini. Mereka sudah terlalu dekat."
Sambil menyembunyikan kain itu dibawah bajunya, Agung Sedayu bertanya, "Bagaimana mungkin kain ini jatuh ketanganmu?"
"Kau masih sempat pergi," desis orang itu.
Agung Sedayu menggeleng. Katanya, "Tidak. Aku tidak sempat meninggalkan tempat ini. Mereka sudah terlalu dekat."
Pengawal itu menarik nafas dalam-dalam. Namun tiba-tiba saja ia berusaha untuk berdiri, "Aku harus bertempur."
"Duduklah," cegah Ki Waskita.
"Mereka akan membunuh aku. Biarlah aku mati sebagai seorang pengawal. Bukan sebagai seekor sapi di tangan para jagal," berkata pengawal itu.
Dalam pada itu. Agung Sedayu dan Ki Waskitapun kemudian berdiri pula. Ki Waskita masih sempat menaburkan obat pada luka pengawal itu sambil berkata, "Aku akan membantumu menyelamatkan kain ini."
"Jika demikian, pergilah," desis pengawal itu.
"Aku akan mencoba dengan cara lain," sahut Ki Waskita.
Pengawal itu menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti maksud Ki Waskita, karena pengawal itupun mengerti, bahwa Agung Sedayu dan Ki Waskita adalah orang-orang yang memiliki kemampuan yang tinggi, sementara itu mereka berdua mempunyai hubungan yang akrab dengan Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga."
Karena itu, maka pengawal itupun berkata, "Terserahlah kepada kalian berdua. Aku hanya dapat mengucapkan terima kasih."
Keduanyapun kemudian bersiap-siap menghadapi kemungkinan yang bakal datang. Sementara Agung Sedayu masih berkata, "Duduk sajalah. Darahmu sudah mulai pampat."
"Aku akan bertempur," berkata pengawal itu.
Sementara itu, kuda-kuda itupun menjadi semakin dekat. Suara mereka yang duduk dipunggung kuda itu menjadi semakin jelas.
"Arah ini," terdengar salah seorang dari mereka berkata. Lalu tiba-tiba, "Itu kudanya."
"Dua ekor," sahut yang lain.
Sejenak kemudian, beberapa orang telah berloncatan dari kuda mereka. Dengan serta merta mereka berlari-lari mendekati Ki Waskita, Agung Sedayu dan pengawal yang terluka itu.
"Inilah mereka," geram salah seorang yang agaknya menjadi pemimpin mereka.
Ki Waskita dan Agung Sedayu berdiri sebelah menyebelah dari pengawal yang terluka itu. Ketika keduanya memandang setiap orang yang datang, maka merekapun mengetahui, bahwa orang-orang yang datang itu adalah orang-orang yang garang. Tetapi menurut pendapat mereka, orang-orang itu tentu bukan prajurit-prajurit Pajang.
"Siapakah kalian " " tiba-tiba saja Agung Sedayu bertanya.
"Jangan banyak bicara. Serahkan kain itu kepada kami," berkata orang yang berkumis lebat.
"Kain apa?" bertanya Agung Sedayu.
"Jika kau terlalu banyak bicara, maka kami akan membunuh kalian dan mengambil kain itu dari salah seorang diantara kalian," geram orang berkumis itu.
"Tunggulah Ki Sanak," berkata Agung Sedayu, "jangan terlalu garang. Kami akan berbicara dengan tenang dan baik."
"Persetan," geram orang itu, "orang yang terluka itu telah merebut sehelai kain dari tangan kawan kami. Mungkin harga sehelai kain tidak akan lebih mahal dari ujung kumisku. Tetapi penghinaan itu pantas ditebus dengan nyawanya. Apalagi seorang kawanku telah terluka parah."
"Sudahlah Ki Sanak," berkata Ki Waskita, "anggap sajalah bahwa persoalannya sudah selesai. Seorang kawanmu terluka parah, dan seorang kawanku terluka parah pula."
"Jangan gila," bentak orang berkumis itu, "ia masih membawa kain batikku. Kain untuk ikat kepala yang dibuat secara khusus sesuai dengan keinginan guruku. Bahwa orang itu menyamun kain ikat kepala yang khusus itu merupakan penghinaan bagi seluruh perguruanku."
"Jangan memperbodoh orang yang sudah terluka itu," berkata Ki Waskita, "kau tentu tahu pasti, lukisan apa yang terdapat pada sehelai kain yang kau sebut ikat kepala itu."
Orang berkumis itu menjadi semakin tegang. Dipandanginya Ki Waskita dan Agung Sedayu berganti-ganti. Tiba-tiba saja ia bertanya, "Siapa kau?"
"Aku datang bersama kawanku yang terluka ini," sahut Ki Waskita.
"Kalian orang-orang Mataram?" desak orang berkumis itu.
"Ya," sahut Ki Waskita pula.
Orang itu tidak lagi dapat mengekang kemarahannya.
Selangkah ia maju sambil menggeram, "Kembalikan kain itu, apapun gunanya. Jika tidak, aku akan membunuh kalian. Kalian lihat, bahwa kami berenam. Kami dapat membunuh kalian dalam sekejap."
"Maaf Ki Sanak," jawab Ki Waskita, "kain itu tidak pantas kau miliki. Mungkin kain itu tidak banyak gunanya bagi kami. Tetapi ditanganmu kain itu akan sangat berbahaya. Karena itu, lebih baik kain itu kami musnahkan daripada jatuh kembali ke tanganmu."
"Persetan," geram orang berkumis itu, "jika demikian, tidak ada jalan lain yang dapat kami tempuh. Kami akan membunuh kalian dan mengambil kain itu dari tangan kalian."
"Perbuatan kalian sebenarnya telah melanggar paugeran Mataram. Dengan perbuatan kalian, berarti kalian telah menjual keterangan yang sangat berbahaya bagi Mataram. Apakah kalian tidak menyadari, bahwa tindakan yang demikian akan dapat dikenakan hukuman mati."
"Siapa yang akan menghukum kami?" bertanya orang berkumis itu.
"Raden Sutawijaya," jawab Ki Waskita.
Tiba-tiba saja orang itu tertawa berkepanjangan. Kawan-kawannyapun tertawa pula sehinggga tubuh mereka tergucang-guncang.
"Kami bukan kawula Raden Sutawijaya," jawab orang berkumis itu, "jika ia akan menghukum kami, kami persilahkan. Tetapi Raden Sutawijaya harus dapat menembus benteng pertahanan kami lebih dahulu."
"Apa sulitnya " He, dimana benteng pertahananmu?" bertanya Ki Waskita.
"Cukup," geram orang itu, "bersiaplah untuk mati."
Ki Waskita dan Agung Sedayupun merasa, bahwa tidak ada kemungkinan lain yang dihadapinya selain bertempur. Karena itu, maka keduanyapun segera mempersiapkan diri. Yang akan mereka hadapi adalah enam orang yang nampaknya cukup garang.
Sejenak kemudian keenam orang itu telah menebar diseputar semak-semak yang tumbuh diantara pepohonan hutan. Senjata mereka yang garangpun mulai teracu. Orang berkumis itu ternyata menggenggam sebatang canggah bertangkai pendek. Seorang kawannya membawa tombak pendek dengan ujung tajam berduri pandan. Seorang yang lain membawa sebatang tongkat besi. Sedang yang lain lagi membawa pedang dan golok yang besar.
Ki Waskita tidak dapat bertempur dengan tangannya. Demikian pula Agung Sedayu. Jika ia tidak bersenjata, maka ia akan menjadi lebih garang. Namun ia tidak akan mempergunakan senjatanya sebagai ciri perguruannya. Dengan demikian maka ia akan mudah dikenal sehingga orang-orang itu akan dapat mengatakannya, bahwa ia telah bertemu dengan salah seorang dari orang-orang bercambuk dari Jati Anom.
Dalam pada itu, Ki Waskitapun telah mendekati orang terluka itu sambil berkata, "berikan senjatamu."
"Aku akan bertempur," geram orang yang terluka itu.
"Kau akan mendapat kesempatan untuk memampatkan lukamu. Jika darahmu terlalu banyak mengalir, maka kau akan mati. Dan kain itu tidak akan sampai kepada yang kau kehendaki," berkata Ki Waskita.
"Aku minta tolong kepada kalian," berkata orang itu.
"Jika demikian, berikan senjatamu," minta Ki Waskita.
Orang itu bagaikan terpukau oleh pesona yang tidak dapat dilawannya. Ia telah menyerahkan senjatanya kepada Ki Waskita. Sebilah pedang. Namun sementara itu, orang itu telah mencabut pisau belati dilambungnya. Bagaimanapun juga ia merasa perlu untuk melindungi dirinya sendiri dari pada keadaan tertentu."
Agung Sedayu tidak dapat mengambil pisau belati itu. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia telah meloncat menggapai sehelai sulur pepohonan hutan. Dengan sekali hentak, sulur itu telah putus ditengah, sehingga Agung Sedayu akan dapat mempergunakan ujungnya sebagai senjatanya.
"Orang-orang gila," geram orang berkumis itu, "ternyata kalian adalah orang-orang yang sangat sombong. Kalian sama sekali tidak bersiap dengan senjata kalian sendiri. Namun demikian kalian telah memberanikan diri melawan kami. Karena itu, maka kalian akan sangat menyesal karena kesombongan kalian itu."
Ki Waskita dan Agung Sedayu tidak menjawab. Mereka menempatkan diri sebelah menyebelah orang yang terluka itu. Bagaimanapun juga, mereka merasa wajib untuk melindungi.
Ketika keenam orang itu melangkah mendekat, maka Agung Sedayu dan Ki Waskitapun segera bersiap. Mereka harus menghadapi keenam orang yang akan menyerang mereka dari segala arah.
"Usahakan menyesuaikan dirimu," berkata Ki Waskita kepada orang yang telah terluka, "aku sudah mencoba mengulur waktu, agar obat dilukamu semakin memampatkan luka-lukamu itu. Tetapi jangan bergerak terlalu banyak, agar luka itu tidak berdarah lagi."
Pengawal dari Mataram itu mengangguk. Tetapi iapun sudah bersiap dengan sebilah pisau belati yang panjang. Ia tidak boleh membiarkan orang-orang itu pada suatu saat menyusup dan membunuhnya tanpa perlawanan meskipun kain yang diperebutkan itu sudah dibawa oleh Agung Sedayu.
"Aku tidak takut mati," berkata pengawal itu didalam hatinya, "tetapi mati sebagai seorang pengawal di peperangan."
Ketika orang-orang yang mengejar pengawal itu mulai menggerakkan senjatanya, maka Agung Sedayupun kemudian mulai memutar sulur ditangannya. Ia berusaha untuk menyesuaikan tangannya dengan sifat sulur itu. Ternyata bahwa sulur itu tidak terlalu lentur. Namun demikian dengan memotong sulur itu sepanjang rentangan kedua tangannya, maka Agung Sedayu dapat mempergunakan sebaik-baiknya. Senjata itu agak lebih panjang dari jangkauan senjata lawan-lawannya.
Sejenak kemudian, maka Ki Waskita dan Agung Sedayupun sudah mulai terlibat dalam pertempuran dengan keenam orang yang garang itu.
Keenam orang itu ternyata merasa sangat tersinggung melihat sikap Agung Sedayu yang melawannya hanya dengan sebatang sulur sepanjang rentangan tangan. Karena itu, maka merekapun berusaha untuk menghancurkannya pada serangan-serangan mereka yang pertama.
Namun keenam orang itu terkejut melihat kedua orang lawannya yang berusaha melindungi orang yang telah terluka itu. Meskipun mereka serentak menyerang dengan senjata-senjata mereka yang mengerikan itu, namun Ki Waskita dan Agung Sedayu sama sekali tidak mengalami kesulitan. Mereka mengelak dan dengan serta merta telah membalas serangan itu dengan serangan beruntun. Sementara itu, keduanya berusaha dengan sungguh-sungguh untuk melindungi pengawal Mataram yang terluka itu.
Keenam orang itu menjadi heran melihat kedua orang yang tiba-tiba saja telah melibatkan diri. Namun mereka sama sekali tak dapat mengenali ciri dari keduanya. Ki Waskita tidak mempergunakan ikat pinggangnya atau kain kepalanya sebagai senjatanya, sementara Agung Sedayupun tidak mempergunakan cambuknya.
Dengan demikian maka keenam orang itu tidak dapat menyebutkan, siapakah sebenarnya lawan mereka.
Namun demikian, keenam orang itupun cukup garang. Mereka menyerang beruntun bagaikan badai. Seorang demi seorang menghambur dengan senjata ditangan dari arah yang berbeda. Kadang-kadang mereka berenam bergeser berputaran. Bahkan berlari-lari. Dengan tiba-tiba mereka berhenti berputar dan serentak menyerang dengan garangnya.
Karena itulah, maka Ki Waskita dan Agung Sedayupun kemudian mengenali mereka, bahwa mereka adalah saudara-saudara seperguruan.
Karena itu, sambil bertempur Agung Sedayu bertanya, "He, apakah ilmu kalian bersumber dari perguruan yang sama?"
"Apa pedulimu," geram salah seorang dari mereka.
"Aku dapat mengenalnya. Meskipun senjata kalian berbeda, tetapi bekal ilmu yang nampak pada kalian adalah sama. Yang membawa canggah bertangkai pendek, tombak pendek berduri pandan, tongkat besi maupun yang membawa golok dan parang," berkata Agung Sedayu kemudian, "namun ada diantara kalian yang berhasil mengembangkan ilmu kalian dengan baik, namun ada yang telah ditelusupi dengan tata gerak yang keras dan bahkan kasar."
"Tutup mulutmu," bentak salah seorang dari mereka, "sebentar lagi kalian akan mati."
"Jangan terlalu kasar," desis Ki Waskita.
"Kalian banyak bicara," potong orang berkumis itu hampir berteriak.
Agung Sedayu dan Ki Waskita tidak bertanya lagi. Merekapun kemudian menjadi sibuk. Bukan saja mengelak dan menangkis serangan lawan, tetapi keduanya harus melindungi pengawal Mataram yang terluka. Meskipun lukanya sudah pampat, tetapi jika ia harus melibatkan diri kedalam pertempuran itu, maka luka itu akan berdarah lagi.
Dalam pada itu, keenam orang itupun menjadi semakin garang. Serangan mereka menjadi semakin kuat dan keras. Sekali-sekali mereka berusaha untuk memancing keduanya agar memisahkan diri. Tetapi Ki Waskita menyadari, bahwa dengan demikian orang-orang itu ingin mencari lubang untuk dapat menyerang pengawal Mataram yang terluka itu. Karena mereka menganggap bahwa kain yang mirip dengan ikat kepala itu masih berada pada orang itu.
Dengan demikian usaha memancing salah seorang atau kedua-duanya untuk menjauhi pengawal yang terluka itu tidak akan pernah berhasil. Sehingga karena itulah, maka pertempuran itu meskipun menjadi semakin seru namun tidak bergeser dari tempatnya. Jika Ki Waskita dan Agung Sedayu terpaksa bergeser, maka pengawal itu telah menyesuaikan dirinya, sehingga ia tetap berada dibawah perlindungan Ki Waskita dan Agung Sedayu.
Dalam pada itu, meskipun pengawal itu masih tetap menggenggam pisau belati di tangan, namun ia menjadi semakin percaya kepada kedua orang yang melindunginya. Sebenarnyalah Ki Waskita dan Agung Sedayu adalah dua orang yang memiliki ilmu yang tinggi, sehingga meskipun keduanya harus menghadapi enam orang lawan, tetapi keenam orang itu seolah-olah tidak berdaya menghadapi keduanya.
Namun karena Ki Waskita dan Agung Sedayu terikat pada tempatnya, maka orang-orang itu selalu mempunyai kesempatan untuk menghindarkan diri dari libatan senjata Agung Sedayu dan Ki Waskita. Setiap kali mereka mengalami kesulitan, mereka segera meloncat menjauh, karena mereka mengetahui, bahwa Agung Sedayu maupun Ki Waskita tidak akan meloncat memburu.
Kelemahan itu disadari oleh Ki Waskita dan Agung Sedayu. Tetapi mereka memang tidak dapat berbuat lain. Jika salah seorang dari mereka mengejar lawannya, maka akan terbuka kesempatan bagi lawan yang lain untuk menyerang orang yang terluka itu.
Karena itu, maka akhirnya Ki Waskita dan Agung Sedayu mengambil kesimpulan, bahwa mereka harus melumpuhkan lawannya justru pada saat mereka menyerang. Jika keduanya tidak berbuat demikian, maka pertempuran itu akan menjadi berkepanjangan dan tidak akan dapat selesai dalam waktu yang panjang sekali.
Ternyata baik Ki Waskita dan Agung Sedayu mengambil keputusan dalam waktu yang hampir bersamaan meskipun keduanya tidak saling berbincang. Namun ditandai dengan perlawanan mereka, maka ternyata bahwa keduanya menginginkan pertempuran itu segera dapat diselesaikan.
Karena itulah, maka keenam orang itu semakin lama justru menjadi semakin bingung menghadapi kedua orang itu. Baik Agung Sedayu maupun Ki Waskita mulai bersikap keras pula menghadapi lawan-lawannya yang garang.
Dengan demikian, maka ketika salah seorang dari lawan-lawannya meloncat menyerang dari arah lambung, maka Ki Waskita seolah-olah membiarkan lambungnya terbuka. Karena itulah, maka dengan golok terjulur lurus kedepan, orang itu berusaha untuk menikam.
Namun, pada saat yang tepat, Ki Waskita sempat bergeser. Bahkan iatidak saja mengelak. Tetapi dengan serta merta, pedangnya telah memukul pedang lawan sedemikian kuatnya.
Pukulan Ki Waskita benar-benar tidak terlawan. Karena itu, maka orang yang dikenalnya sama sekali tidak mampu bertahan. Dengan demikian maka golok yang terjulur lurus itupun telah melenting dari tangannya.
Demikian golok itu terjatuh, maka orang yang kehilangan senjatanya itu segera meloncat surut. Tetapi Ki Waskita tidak dapat memburunya, karena kawan-kawan orang itupun segera berloncatan menyerangnya pula.
Namun mereka tidak berhasil mengenai sasaran. Ki Waskita cukup tangkas untuk mengelak dan menangkis.
Sementara itu, ternyata pengawal dari Mataram yang terluka itupun bertindak cepat. Demikian golok seorang lawan jatuh tidak terlalu jauh daripadanya, maka dengan serta merta iapun telah memungutnya.
"Aku dapat melindungi diriku sendiri," berkata pengawal itu.
Ki Waskita mengerutkan keningnya. Meskipun demikian ia tidak melepaskan pengawal itu sepenuhnya untuk bertempur dalam keadaan luka meskipun luka itu sudah diobati.
Agung Sedayu ternyata mempunyai cara yang lain. Agar ketiga lawannya tidak mengambil kesempatan untuk melawan orang yang terluka itu, maka ia telah melihat ketiga lawannya dengan kecepatan semakin tinggi, sehingga tidak seorangpun yang sempat meninggalkannya. Ketiga lawannya menjadi demikian sibuk melawan sepotong sulur ditangan Agung Sedayu yang berputar seperti baling-baling.
Karena pengawal yang terluka itu sudah bersenjata, dan nampaknya lukanya untuk sementara sudah pampat, maka Agung Sedayu tidak lagi terlalu terikat bertempur didekatnya. Bahkan iapun kemudian mendorong ketiga lawannya menjauh. Namun dalam kecepatan gerak yang semakin tinggi, ketiga lawannya menjadi semakin bingung pula.
Dalam pada itu. lawan Ki Waskita yang bersenjata tinggal dua orang. Namun yang telah kehilangan goloknya itu, telah mencabut pisau belatinya pula. Tetapi dengan senjata pendek, ia sama sekali tidak berarti bagi Ki Waskita.
Sementara kedua kawannya yang masih bersenjata utuh bertempur dengan gigihnya, orang yang kehilangan senjatanya itu mencoba untuk merayap mendekati pengawal yang telah terluka. Namun ternyata orang yang terluka itu dengan golok ditangannya berdiri tegak dengan garang menunggu seorang lawan yang bersenjata pisau belati.
"Gila," geram orang itu, "senjataku sudah ditangannya."
Karena itulah, maka ia menjadi ragu-ragu.


07 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Meskipun demikian ia telah memaksa diri untuk mendekat. Ia berharap bahwa orang yang terluka itu menjadi sangat lemah dan tidak akan mampu mempergunakan goloknya dengan sebaik-baiknya.
Pengawal yang terluka itu menyadari keadaannya. Karena itu, maka ia harus menyesuaikan diri. Ia tidak boleh terlalu banyak bergerak agar lukanya tidak berdarah lagi.
Karena itu, maka ia tetap berdiri tegak ditempatnya. Goloknya sajalah yang teracu siap menghadapi lawannya yang menjadi semakin dekat.
Tetapi orang itu tidak segera dapat menyerang pengawal yang terluka itu. Ia terkejut ketika ia mendengar seorang kawannya berdesah menahan sakit. Ketika ia berpaling, ia sempat melihat seorang kawannya terlempar dan jatuh terguling ditanah.
Tidak ada darah yang menitik dari tubuhnya. Tetapi ketika ia berusaha bangkit berdiri, maka sekali lagi ia terduduk dengan menyeringai menahan akit. Kakinya menjadi bagaikan lumpuh setelah sulur ditangan Agung Sedayu sempat mengenainya.
Dalam pada itu, kedua orang kawannya yang lain berusaha untuk menyerang Agung Sedayu dengan sepenuh kemampuan agar Agung Sedayu tidak sempat memburu kawannya yang terjatuh. Tetapi Agung Sedayu memang tidak ingin memburunya. Demikian kedua lawannya itu menyerang maka ia telah bergeser surut, seolah-olah serangan kedua lawannya itu telah menekannya.
Namun ketika kedua lawannya itu memburunya, maka sekali lagi terdengar salah seorang dari keduanya berdesis. Sekali lagi salah seorang dari kedua lawan Agung Sedayu itu terdorong jatuh. Bukan kakinya yang bagaikan lumpuh, tetapi betapa punggungnya terasa sakit. Sulur yang lentur ditangan Agung Sedayu itu telah mengenai punggungnya, sehingga seolah-olah punggungnya menjadi patah.
Orang yang telah siap menyerang pengawal yang terluka itu menjadi ragu-ragu. Ia melihat lawan Agung Sedayu tinggal seorang Sementara itu, betapa orang itu terkejut, ketika sepasang tongkat besi yang terlempar hampir saja jatuh menimpa kepalanya. Ketika ia berpaling, ternyata lawan Ki Waskita yang seorang telah kehilangan senjatanya pula.
Keenam orang yang ternyata tidak mampu mengalahkan Agung Sedayu dan Ki Waskita itu benar-benar telah kehilangan akal. Mereka tidak lagi dapat mengharapkan sesuatu lagi. Mereka tidak akan berhasil mengalahkan kedua orang lawannya, apalagi untuk mendapatkan kain yang dibuat secara khusus itu.
Karena itu, maka perlawanan merekapun seolah-olah telah terhenti dengan sendirinya. Orang-orang yang masih bersenjata itupun mundur beberapa langkah.
"Nah Ki Sanak," berkata Ki Waskita, "bagaimana pendapat kalian" Apakah kalian masih akan bertempur terus?"
Tidak seorangpun yang menjawab. Karena itu, Ki Waskitapun berkata, "Jika demikian, cepat, tinggalkan tempat ini sebelum kami mengambil keputusan lain. Jangan berusaha untuk menyusul kami lagi meskipun kalian sempat memanggil sepasukan kawan-kawan kalian, karena sebentar lagi, kami akan sampai kesuatu tempat, dimana kawan-kawan kami yang lebih banyak lagi telah menunggu. Mungkin diantara mereka terdapat orang-orang yang berjiwa lebih keras dari kami sekarang, sehingga kalian akan mengalami nasib yang lebih buruk."
Orang-orang itu termangu-mangu. Sementara Agung Sedayu berkata, "Cepat sedikit. Jangan menunggu kami kehabisan kesabaran."
Orang-orang itu masih ragu-ragu. Namun merekapun kemudian segera bergeser surut. Orang orang yang kesakitanpun telah dibantu oleh kawan-kawan mereka menuju kekuda masing-masing.
Meskipun demikian, orang-orang itu masih saja dicengkam oleh keheranan. Lawan-lawan mereka ternyata tidak membunuh mereka meskipun seandainya mereka akan berbuat demikian, keenam orang itu tidak akan dapat mencegah lagi.
Bahkan pengawal Mataram yang terluka itupun merasa heran, bahwa begitu mudahnya orang-orang itu pergi meninggalkan medan.
Tetapi orang yang terluka itu tidak berkeberatan. Bagi pengawal itu, yang terpenting adalah kain yang telah dirampasnya dan dibawa oleh Agung Sedayu.
Namun dalam pada itu, pengawal itu tiba-tiba teringat kudanya yang telah dilepaskannya. Karena itu, maka katanya, "Tinggalkan seekor dari kuda-kuda kalian."
Keenam orang itu termangu-mangu. Namun Agung Sedayulah yang menegaskan, "Tinggalkan seekor dari keenam kuda itu. Dua orang diantara kalian akan naik di seekor punggung kuda. Jika kuda kalian merasa terlalu berat, maka kalian dapat bergantian kuda."
Keenam orang itu tidak membantah. Mereka meninggalkan seekor dari keenam kuda mereka. Dua orang diantara merekapun telah mempergunakan seekor kuda. Meskipun agak terlalu berat, tetapi kuda itupun dapat juga berlari meninggalkan hutan itu bersama dengan kuda-kuda yang lain.
Sepeninggal keenam orang itu, maka Ki Waskitapun segera berkata, "Kita tinggalkan tempat ini. Aku tidak yakin bahwa mereka tidak akan kembali dengan kawan-kawan mereka yang lain."
Pengawal dari Mataram itupun mengangguk. Apalagi setelah ada seekor kuda baginya, sehingga ia tidak perlu bersusah payah mencari kudanya.
Sejenak kemudian ketiga orang itu telah berada dipunggung kuda. Agung Sedayu yang telah mendapat kepercayaan untuk membawa ikat kepala itupun berkuda di paling depan. Diikuti oleh pengawal yang terluka itu. Dipaling belakang adalah Ki Waskita yang telah menyerahkan kembali senjata pengawal dari Mataram itu.
Bertiga mereka meninggalkan hutan yang tidak terlalu lebat itu setelah mereka membenahi pakaian mereka.
Ketiga orang itu memang tidak banyak menarik perhatian. Meskipun demikian beberapa orang berpaling ketika mereka melihat tiga orang berkuda dengan cepat menuju ke arah Mataram.
"Mau tidak mau, kalian harus singgah," berkata pengawal itu.
Agung Sedayu memandang Ki Waskita sejenak. Namun kemudian iapun bergumam, "Ya. Aku akan singgah."
Dalam pada itu, ketika mereka menyeberang Kali Opak, mereka sempat berhenti sejenak. Membersihkan tubuh mereka dengan air yang bening untuk mendapatkan kesegaran baru sambil memberi kesempatan kepada kuda mereka untuk beristirahat.
Ketika orang itu saling berpandangan ketika mereka yang sedang duduk dibawah sebatang pohon perdu yang rimbun itu melihat tiga orang berpacu diatas punggung kuda. Tetapi ketiga orang itu tidak berpaling kearah mereka dan melintas dengan cepat menyeberangi kali opak yang kebetulan airnya tidak sedang meluap itu.
"Siapa mereka?" bertanya Agung Sedayu kepada pengawal dari Mataram itu.
Tetapi pengawal itu menggeleng sambil menjawab, "Aku belum mengenalnya."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja ia bertanya, "Aku masih belum mendengar ceriteramu tentang kain yang kalian perebutkan itu."
Pengawal itu mengangguk-angguk. Katanya, "Secara kebetulan, seorang juru soga mengatakan kepadaku bahwa ada sejenis kain ikat kepala yang aneh. Menurut ceriteranya, aku dapat meraba bahwa kain yang dibuat seperti ikat kepala itu mempunyai nilai tersendiri. Karena itu, aku telah datang ketempat yang disebut, dimana orang itu bekerja. Tetapi ketika aku sampai ke tempat itu, ikat kepala yang sudah siap itu telah dibawa oleh pemiliknya. Belum lama, pada saat aku datang. Tanpa memberikan laporan kepada siapapun juga, aku menyusul mereka. Tetapi dua orang yang disebut dengan ciri-ciri sebagai orang yang mengambil ikat kepala itu, menyadari bahwa aku mengikutinya. Karena itu, maka keduanyapun berpacu semakin lama semakin cepat."
"Kau menyusulnya sampai hampir Sangkal Putung?" bertanya Agung Sedayu.
"Ya. Aku tidak dapat berbuat lain ketika keduanya sama sekali tidak mau memperlambat kuda mereka," berkata pengawal itu. Lalu. "Tetapi kami benar-benar saling mengejar setelah kami melampaui Kali Opak. Sebelumnya aku hanya mengikutinya saja. Bahkan keduanya masih sempat memberi kesempatan kuda mereka minum. Akupun dapat berbuat demikian pula. Namun ketika aku merasa bahwa kedua orang itu agaknya menjadi semakin dekat dengan suatu tempat yang dapat membahayakan aku, maka aku baru bertindak atas mereka. Aku bertempur melawan dua orang. Aku menganggap bahwa orang yang terkuat dari keduanyalah yang tentu membawa ikat kepala itu. Karena itu, maka seranganku lebih banyak aku tujukan kepadanya. Ketika ia terluka, maka kawannya telah meninggalkannya atas perintahnya. Aku tahu, mereka akan memanggil kawan-kawannya. Dalam pertempuran antara hidup dan mati, aku telah terluka. Tetapi aku berhasil membinasakan lawanku. Seperti yang aku duga, kain itu ada padanya. Sebagaimana kalian lihat, kain itu dapat aku rebut. Namun aku sadar, bahwa kawannya yang seorang itu akan kembali dengan kawan-kawannya. Karena itu aku telah meninggalkan lawanku. Ternyata sebagaimana kalian ketahui, kawan-kawannya telah menelusuri jejakku sampai mereka menemukan aku di hutan itu. Agaknya merekapun mengerti bahwa aku terluka. Mungkin lawanku itu belum mati, mungkin tetesan darah di sepanjang perjalananku, telah memberi tahukan kepada orang-orang itu."
"Siapakah sebenarnya mereka. Apakah mereka orang-orang yang tinggal di sekitar arena pertempuran itu" Apakah kau yakin bahwa tempat tinggal mereka tidak begitu jauh?" bertanya Ki Waskita.
"Aku melihat gelagat itu. Jika seseorang meninggalkan arena untuk memanggil kawannya, maka tempat tinggalnya tentu tidak terlalu jauh," jawab pengawal itu.
Agung Sedayu dan Ki Waskita mengangguk-angguk. Namun dengan demikian mereka telah mendapat gambaran, bahwa di sepanjang garis hubungan Pajang dan Mataram, telah ditanam orang-orang yang mempunyai tugas-tugas tertentu, yang telah diatur sebaik-baiknya. Namun mereka bukannya prajurit-prajurit Pajang yang sebenarnya dalam tugas sandi. Mereka adalah orang-orang yang memang khusus melakukannya bagi satu kepentingan tertentu.
"Mereka tidak saja mengawasi Mataram," berkata Agung Sedayu, "tetapi juga Jati Anom. Karena orang-orang itu tidak yakin akan apa yang dilakukan olen kakang Untara."
"Ya," jawab Ki Waskita, "bahkan juga Sangkal Putung tentu mendapat pengawasan yang khusus pula."
Agung Sedayupun mengangguk-angguk pula. Ia sependapat dengan Ki Waskita. Karena itu, maka baik Jati Anom maupun Sangkal Putung harus menyadari keadaan itu.
Namun dalam pada itu. Agung Sedayu tidak ingin kembali ke Jati Anom atau ke Sangkal Putung. Ia harus mengantarkan pengawal itu menyerahkan ikat kepala yang aneh, yang telah direbutnya dari kedua orang yang tidak dikenalnya.
Sejenak kemudian, maka Ki Waskitapun berkata, "Marilah. Kita akan melanjutkan perjalanan. Mudah-mudahan ketiga orang berkuda itu tidak akan menghambat perjalanan kita lagi."
Agung Sedayu dan pengawal dari Mataram itupun kemudian berdiri sambil mengibaskan pakaian mereka. Luka pengawal itu nampaknya sudah benar-benar pampat, meskipun masih terasa sakit sekali.
Dengan hati-hati pengawal itu meloncat kepunggung kudanya. Demikian pula Agung Sedayu dan Ki Waskita. Merekapun kemudian meninggalkan Kali Opak setelah tubuh mereka merasa segar. Terutama pengawal yang terluka itu.
Meskipun demikian, mereka tidak boleh kehilangan kewaspadaan. Tiga orang berkuda yang berpacu ke arah Mataram itu memang mendebarkan. Mungkin mereka adalah pemimpin-pemimpin dari sekelompok orang yang telah membuat ikat kepala khusus yang mempunyai nilai tersendiri itu. Karena harganya tidak saja sebagaimana ikat kepala biasa, tetapi keterangan yang termuat di ikat kepala itulah yang mempunyai harga yang sangat mahal.
Tetapi untuk beberapa saat mereka tidak terganggu. Mereka menyusuri jalan yang masih banyak dilalui orang. Orang-orang berkuda, pedati dan orang-orang yang berjalan kaki. Mungkin seseorang yang sekedar ingin berkunjung ke padukuhan sebelah. Tetapi mungkin orang yang berjalan jauh.
Namun akhirnya ketiga orang itu menyadari, bahwa di belakang mereka dua orang berkuda mengikutinya. Jika ketiga orang itu mempercepat lari kudanya, kedua orang itupun mempercepatnya pula. Jika Agung Sedayu, Ki Waskita dan pengawal Mataram itu memperlambat kudanya, maka keduanyapun memperlambat pula.
"Apakah artinya?" desis Agung Sedayu.
"Kita harus berhati-hati," berkata Ki Waskita, "mereka mungkin mempunyai hubungan erat dengan keenam orang itu. Agaknya keenam orang itu telah kembali ke sarang mereka dan melaporkan apa yang telah terjadi."
"Tiga orang yang terdahulu, tentu kawan-kawan mereka pula," sahut pengawal dari Mataram itu.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "nampaknya mereka benar-benar ingin memiliki ikat kepala ini."
"Kita akan mempertahankannya," berkata pengawal itu, "ikat kepala itu akan memberikan keterangan yang gamblang tentang Mataram. Kekuatan dan kelemahan. Lubang-lubang yang dapat disusupi dan dinding-dinding yang tidak mungkin dapat diterobos lagi."
"Ya. Kita akan mempertahankannya," ulang Agung Sedayu.
Namun dalam pada itu, mereka terkejut ketika disebelah sebuah warung mereka melihat seseorang berdiri dibawah sebatang pohon melandingan. Dengan ragu-ragu orang itu memberikan isyarat agar Agung Sedayu berhenti.
"Jangan turun," berkata orang itu, "dengar sajalah. Kedua orang yang mengikutimu itu adalah orang-orang yang pilih tanding. Merekalah yang akan membeli ikat kepala yang kau rampas dari kawanku itu."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Baru kemudian ia sadar, bahwa orang itu adalah salah seorang dari enam orang yang telah mencari pengawal Mataram di hutan itu.
Agung Sedayu, Ki Waskita dan pengawal dari Mataram itu berhenti. Tetapi mereka tidak turun dari kuda sebagaimana diminta oleh orang itu.
"Kami tahu, bahwa kalian beristirahat di kali Opak. Tetapi kami pura-pura tidak mengetahuinya. Karena itu kami berpacu terus. Sementara kedua orang itu yang berkuda dibelakang kami, tentu akan melihat kalian bertiga," berkata orang itu.
"Apakah mereka mengenal kami?" bertanya Ki Waskita.
"Ciri-ciri kalian," jawab orang itu, "karena itu, jika kalian mendapat kesempatan, menghindarlah. Mereka sama sekali tidak mengenal ampun." orang itu berhenti sejenak, lalu. "aku memberitahukan hal ini karena kami berenam merasa berhutang budi, bahwa kalian tidak membunuh kami."
Agung Sedayu tidak sempat berpikir terlalu lama, karena orang itu berkata, "Mereka tentu menjadi semakin dekat. Mungkin mereka curiga bahwa kalian berhenti terlalu lama."
"Berikan senjatamu," desis Agung Sedayu.
Orang itu ragu-ragu sejenak. Namun tiba-tiba Agung Sedayu justru meloncat turun sambil berkata, "Aku akan singgah diwarung ini."
"Menghindarlah," minta orang itu.
"Tidak mungkin. Mereka akan mengikuti kami sampai dimanapun juga."
Ki Waskita yang tanggap akan maksud Agung Sedayupun telah meloncat turun pula diikuti oleh pengawal dari Mataram itu.
"Tinggalkan kami. Kami akan singgah diwarung itu. Tetapi berikan senjatamu, lengkap dengan sarungnya." minta Agung Sedayu.
Orang itu tidak dapat berpikir terlalu lama pula. Karena itu, maka diberikannya goloknya beserta sarungnya kepada Agung Sedayu.
Agung Sedayu bergeser mendekat. Diterimanya golok yang masih berada didalam sarungnya itu. Kemudian katanya, "Kau sajalah yang menghindar."
"Kami memang tidak akan berani menampakkan diri. Tetapi sekali lagi aku mencoba memperingatkanmu, menghindarlah. Mereka adalah orang-orang yang tidak dapat berpikir selain membunuh," berkata orang itu.
Tetapi mereka tidak mendapat kesempatan untuk berbicara lebih banyak. Agung Sedayu dan Ki Waskitapun kemudian menuntun kuda mereka mendekati warung dipinggir jalan itu diikuti oleh pengawal dari Mataram yang terluka. Sambil mengikat kuda mereka di sebatang pohon melanding di sebelah warung itu, pengawal dari Mataram itu bertanya, "Apakah kita memang tidak akan menghindar?"
"Tidak ada gunanya," sahut Agung Sedayu sambil memandang kedua penunggang kuda yang sudah menjadi semakin dekat. Sementara orang yang memberikan senjata kepadanya telah hilang dibalik pohon-pohon perdu dan kembali ketempatnya bersembunyi bersama kawan-kawannya.
Agung Sedayu telah menggantungkan golok itu dipinggangnya. Kemudian mereka bertigapun memasuki sebuah warung yang tidak begitu besar dipinggir jalan itu. Beberapa orang telah berada didalam warung itu dan sedang menikmati minuman panas dan beberapa jenis makanan.
"Aku akan mempergunakan senjatamu lagi," bisik Ki Waskita kepada pengawal dari Mataram yang terluka itu.
Pengawal yang terluka itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku telah memaksa kalian terlibat dalam persoalan yang bukan menjadi tanggung jawab kalian."
"Itu adalah kewajiban kami," berkata Ki Waskita, "kami tidak tahu pasti, siapakah orang-orang itu. Karena itu, kewajiban kami membantumu menyelamatkan kain yang memuat petunjuk-petunjuk tentang isi Mataram itu.
Agung Sedayu yang duduk lebih dahulu dari Ki waskita kemudian telah memesan tiga mangkok minuman panas. Sementara pengawal yang terluka itupun telah duduk disisinya disusul oleh Ki Waskita.
Justru karena pengawal itu kemudian duduk, maka pakaiannya yang kotor dan bernoda merah kehitam-hitaman telah menarik perhatian orang-orang yang lebih dahulu berada di warung itu. Bahkan ada diantara mereka yang tiba-tiba menjadi cemas melihat ketiga orang yang datang dengan senjata yang besar dilambung. Sehingga karena itu, maka merekapun segera menyelesaikan minuman mereka dan membayar harganya.
Sementara itu, kedua orang berkuda yang mengikuti Ki Waskita dan Agung Sedayu itupun telah berhenti pula dimuka warung itu. Ketika keduanya kemudian turun dan masuk pula kedalam warung setelah mengikat kuda mereka, maka orang-orang yang terdahulu berada di warung itupun menjadi semakin gelisah. Satu-satu mereka meninggalkan warung itu setelah mereka membayar minuman dan makanan yang telah mereka makan.
Yang kemudian menjadi sangat gelisah adalah pemilik warung itu. Memenuhi pesanan Agung Sedayu dan kedua orang yang bersamanya, maka pemilik warung itu telah membuat tiga mangkuk minuman dan beberapa jenis makanan yang diletakkannya dalam sebuah tambir kecil.
Tetapi ketika ia akan menyerahkan minuman panas itu, maka tiba-tiba salah seorang dari kedua orang yang datang kemudian itu berkata, "Serahkan minuman itu kepada kami."
Pemilik warung itu tertegun. Dipandanginya kedua orang itu, kemudian dipandanginya pula Agung Sedayu.
Namun nampaknya Agung Sedayu tidak menghiraukannya. Bahkan ketika ia melihat pemilik warung itu kebingungan, iapun mengangguk kecil untuk memberi isyarat agar minuman itu diberikan kepada kedua orang yang datang kemudian itu.
Pemilik warung itu menarik nafas dalam-dalam. Ia berharap bahwa dengan demikian tidak akan terjadi apa-apa diwarungnya yang tidak terlalu besar itu.
Dengan tegang iapun kemudian menyerahkan ketiga mangkuk minuman itu kepada dua orang yang datang kemudian. Setelah meletakkan minuman itu dihadapan keduanya, maka pemilik warung itu telah membuat minuman baru yang akan diberikannya kepada Agung Sedayu.
Agung Sedayu, Ki Waskita dan pengawal dari Mataram itu sama sekali tidak menghiraukan kedua orang yang datang kemudian itu. Mereka duduk diatas amben bambu disebelah geledeg makanan yang rendah. Ketika tiga mangkuk minuman kemudian telah diserahkan kepada mereka, maka mereka bertigapun mulai meneguknya dan kemudian memungut beberapa potong makanan yang disediakan pada tambir-tambir kecil.
Justru sikap Agung Sedayu dan kedua orang yang bersamanya itu telah membuat kedua orang yang mengikutinya itu semakin bergejolak. Mereka menganggap bahwa orang-orang itu telah mengabaikannya.
Karena itu, maka keduanya mulai berbuat sesuatu untuk menarik perhatian Agung Sedayu, Ki Waskita dan pengawal dari Mataram itu. Salah seorang dari keduanya telah berdiri dan mendekati geledeg rendah tempat makanan. Sambil memilih makanan yang terdapat dibeberapa tambir diatas geledeg rendah itu. orang itupun bergeremang. Tidak ada makanan yang nampaknya sesuai.
Namun diluar dugaan, maka orang itupun kemudian mendekati Agung Sedayu Langsung saja ia mengambil tambir kecil yang diletakkan dihadapannya.
"Nah. ini baru makanan," desisnya.
Pemilik warung itupun menjadi semakin gelisah. Makanan di tambir kecil itu diambilnya juga dari antara makanan diatas geledeg. Namun kedua orang yang datang kemudian itu agaknya memang ingin membuat persoalan.
Tetapi Agung Sedayu. Ki Waskita dan pengawal dari Mataram itu ternyata tidak berbuat apapun juga. Bahkan Agung Sedayu masih sempat berkata, "Silahkan Ki Sanak. Kami sudah cukup."
Orang itu mengerutkan keningnya. Tetapi dibawanya juga makanan itu kepada kawannya.
Pengawal yang terluka itu tidak berbuat apa-apa. Namun ialah yang justru hampir tidak dapat menahan diri lagi. Baginya sikap orang itu benar-benar telah mendapatkan dadanya.
Namun iapun masih teringat pesan orang yang menghentikannya disebelah warung itu. Kedua orang yang mengikutinya, itu adalah orang yang luar biasa. Bahkan orang yang menghentikannya itu menganjurkan, agar mereka bertiga lebih baik menyingkir saja.
Karena itu, maka pengawal dari Mataram itu masih juga menahan diri. Ia berbuat seperti apa yang dilakukan oleh Agung Sedayu dan Ki Waskita.
Sementara itu Agung Sedayu dan Ki Waskita seolah-olah sama sekali tidak menghiraukan kedua orang itu. Bahkan seakan-akan tidak ada orang lain di warung itu kecuali mereka berdua.
Dalam pada itu, kedua orang yang mengikuti Agung Sedayu itu justru menjadi kecewa melihat sikap ketiga orang itu. Mereka sama sekali tidak berbuat apa-apa.
Namun karena itu, maka mereka berdua pun telah mencari persoalan baru yang mungkin akan dapat membuat ketiga orang itu tersinggung.
Tetapi agaknya salah seorang dari kedua orang itu tidak telaten. Kepada kawannya ia berdesis, "Kita tidak usah mencari-cari perkara. Kita langsung dapat bertanya kepada mereka, sehingga dengan demikian persoalan kita akan cepat selesai. Waktu kita tidak terlalu banyak untuk bermain-main dengan tikus-tikus celurut itu."
Kawannya menarik nafas panjang. Lalu katanya, "Baiklah. Aku akan bertanya saja langsung kepada mereka. Agaknya mereka bukan orang-orang jantan yang berani mempertahankan harga dirinya. Mereka membiarkan diri mereka terhina tanpa berbuat apa-apa."
Yang lain tidak menjawab. Tetapi ia mengangguk kecil.
Kawannyapun kemudian mendehem sekali. Dengan ragu-ragu ia pun mendekati Agung Sedayu yang duduk dipaling ujung.
"Ki Sanak," berkata orang itu, "apakah kerja kalian disini?"
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya, "Sebagaimana kau tahu Ki Sanak. Kami sedang menyegarkan badan kami dengan minuman panas ini."
"Bagus," jawab orang itu, "darimanakah kalian bertiga ini?"
"O," Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian jawabnya, "kami adalah orang-orang Randusari."
"Dan kalian akan pergi kemana?" desak orang itu pula.
Agung Sedayu memandang orang itu sejenak. Lalu jawabnya, "Kami akan pergi ke Piridan."
Orang itu mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, "Jangan mencoba membohongi kami berdua Ki Sanak. Mungkin kalian dapat berkata demikian kepada orang lain. Tetapi tidak kepada kami berdua."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, "Apakah bedanya dengan kalian dengan orang lain?"
Orang itu menjadi tegang mendengar pertanyaan Agung Sedayu. Dengan nada meninggi ia berkata, "Aku mengerti. Jadi kalian memang sudah dengan sengaja menunggu kami berdua ya" Pertanyaanmu itu adalah satu pernyataan, bahkan kalian memang sudah mempunyai sikap tertentu. Bukankah dengan demikian kalian ingin mengatakan bahwa kami berdua bukan apa-apa?"
Agung Sedayu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, "Bukan begitu Ki Sanak. Aku sama sekali tidak bermaksud berkata demikian. Tetapi aku benar-benar ingin bertanya tentang diri kalian berdua."
"Omong kosong," yang seorang lagi agaknya sudah tidak sabar. Sambil berdiri ia berkata, "Katakan, dimana ikat kepala yang kalian rampas dari dua orang kawanku itu."
Agung Sedayu menjadi tegang. Persoalannya memang tidak akan dapat dibatasi lagi. Iapun sudah menduga, bahwa ia tidak akan dapat mengelak dari tindak kekerasan.
Sementara itu, pemilik warung itupun menjadi semakin ketakutan. Jika terjadi sesuatu didalam warungnya sehingga barang-barangnya akan menjadi rusak, maka ia akan mengalami kerugian yang baginya sangat besar. Namun untuk mencegahnya, pemilik warung itu tidak akan mampu melakukannya.
Namun dalam pada itu. Agung Sedayupun berkata, "Ki sanak. Apakah yang sebenarnya kalian telah mengikuti kami sejak kami naik Kali Opak sehingga kami tidak akan membuat orang lain menjadi cemas tentang diri kami."
"Kau memang sombong anak muda," jawab orang itu, "aku sudah berkata berterus terang. Berikan ikat kepala yang kalian rampas dari kawan kami. Aku tidak peduli dimana aku menghentikan kalian. Dimanapun tidak akan ada bedanya bagi kami. Kami sudah siap untuk membunuh jika kalian tidak menyerahkan ikat kepala itu.
"Ikat kepala yang mana yang kalian maksudkan?" bertanya Agung Sedayu.
"Jangan berpura-pura. Serahkan atau aku terpaksa membantaimu didalam warung ini," geram orang itu.
"Baiklah. Kami tidak akan ingkar. Bahkan dengan demikian kami mengetahui, siapakah sebenarnya yang memerlukan keterangan tentang kota Mataram," jawab Agung Sedayu, "he, Ki Sanak. Apakah yang sebenarnya kalian kehendaki dari gambar pada ikat kepala itu" Dan untuk siapakah sebenarnya kalian bekerja" Untuk Tumenggung Prabadaru" Atau orang lain yang memiliki mimpi yang sama dengan Tumenggung itu?"
"Gila," geram orang itu, "siapakan kau sebenarnya?"
Kami adalah pengawal-pengawal dari Mataram. Kami sangat berkepentingan dengan ikat kepala itu. Tetapi kalian merampasnya. Bahkan kalian telah dengan sombong mengalahkan keenam orang kawanan kelinci itu dan tidak membunuh mereka," berkata salah seorang dari kedua orang itu, "tetapi kalian akan sangat menyesal. Dengan demikian kami berdua telah mendapat keterangan tentang kalian bertiga. Seorang diantara kalian telah terluka."
"Ya," jawab Agung Sedayu, "seorang kawan kami terluka. Tetapi kami sudah bertekad untuk menyelamatkan kota Mataram. Segala keterangan tentang kota itu, yang disusun untuk maksud buruk, harus kami rampas dan kami serahkan kepada Raden Sutawijaya."
Wajah kedua orang itu menjadi menyala. Terutama bahwa anak muda itu benar-benar ingin mempertahankan ikat kepala yang telah dirampas dari tangan dua orang pemiliknya, sehingga kedua orang itu telah gagal membelinya.
Karena itu, maka kedua orang itu agaknya tidak mempunyai pilihan lain kecuali merampasnya kembali dengan paksa.
"Jangan menyesal jika kami berdua akan membunuh kalian bertiga," geram salah seorang dari kedua orang itu.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya sekilas wajah Ki Waskita, ternyata Ki Waskita mengangguk kecil, seolah-olah ia memberikan isyarat bahwa yang dilakukan oleh Agung Sedayu sudah benar.
Sementara, pengawal dari Mataram itupun hampir tidak dapat menahan diri. Namun iapun sadar, bahwa karena lukanya, maka tidak akan banyak yang dapat dilakukannya. Meskipun lukanya sudah mampat oleh obat Ki Waskita, namun jika ia terlalu banyak bergerak, maka luka itu tentu akan berdarah lagi. Namun jika perlu, apaboleh buat. Tentu lebih baik baginya untuk bertempur lagi daripada ia harus dibantai tanpa perlawanan.
Namun dalam pada itu, pemilik warung itu benar-benar menjadi cemas. Yang berada didalam warung itu adalah seluruh miliknya. Seluruh yang dipunyainya untuk mencari nafkah bagi anak dan isterinya. Jika orang-orang itu berkelahi dan merugikan warung dan barang-barang dagangannya, maka ia akan kehilangan segala-galanya sehingga ia tidak akan dapat bekerja lagi untuk menghidupi anak dan isterinya.
Tetapi ternyata Agung Sedayu dapat mengerti akan kecemasannya. Karena itu maka katanya, "Ki Sanak. Jika kita bersamaan kepentingan dengan ikat kepala itu sehingga kita akan memperebutkan, maka sebaiknya kita tidak berada didalam warung yang sempit. Dibelakang warung ini aku kira ada kebun yang cukup luas. Kita dapat bertempur dengan segenap kemampuan kita. Sehingga kita benar-benar akan dapat mengukur kemampuan diantara kita, siapakah yang sebenarnya lebih berhak memiliki ikat kepala itu."
"Anak Setan," geram salah seorang dari keduanya, "kau benar-benar sombong. Baiklah, kita akan bertempur dibelakang warung ini. Aku ingin merobek mulutmu yang besar itu."
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi iapun kemudian bangkit dan berkata, "Marilah. Pergilah lebih dahulu."
"Kalian akan lari?" geram orang itu.
Agung Sedayu tersenyum. Katanya, "Jika aku akan lari, aku tidak akan berhenti di warung ini. Kami memang telah menunggu kalian, karena kalian telah mengikuti kami. Kami sudah menduga, bahwa kalian berkepentingan dengan ikat kepala ini."
Kedua orang itu tidak dapat menahan diri lagi. Keduanyapun kemudian melangkah keluar lewat pintu butulan sambil berkata, "Cepat. Nampaknya kalian ingin menunjukkan bahwa kalian adalah laki-laki."
Agung Sedayu yang telah membawa golok yang besar milik orang yang telah menghentikannya dan memberitahukan kehadiran dua orang yang berilmu tinggi itu, diikuti oleh Ki Waskita yang bersenjata pedang milik pengawal dari Mataram yang terluka itu, segera keluar dari warung itu pula. Pengawal Mataram yang terluka itupun mengikuti pula sambil menyiapkan sebilah pisau belati panjang. Jika keadaan memaksanya untuk bertempur, maka pisau belati itu akan dapat dipergunakannya sebagai senjata.
Pemilik warung itu menjadi gemetar. Ia sama sekali tidak dapat mencegah apa yang terjadi. Bahkan kemudian ia telah mencari anaknya dan mengajaknya masuk kedalam warung bersama isterinya.
"Apa yang terjadi ayah?" bertanya anaknya yang masih kecil.
"Entahlah," jawab ayahnya, "tetapi disini sajalah. Mereka akan berkelahi."
"Kenapa?" bertanya isterinya.
"Aku tidak tahu persoalannya," jawab pemilik warung itu.
Sementara itu, kedua orang yang berkepentingan dengan ikat kepala itu berdiri pada jarak beberapa langkah. Dengan wajah yang merah membara mereka menunggu kehadiran Agung Sedayu dan Ki Waskita, sementara pengawal yang terluka itu berdiri di teritisan warung itu.
"Marilah, sebaiknya kalian bertempur bertiga," berkata salah seorang dari kedua orang itu.
"Kalian hanya berdua," jawab Ki Waskita.
"Persetan," potong yang lain, "ternyata bukan hanya yang muda saja yang terlalu sombong. Yang tuapun tidak kalah sombongnya sehingga mendorong keinginanku untuk membawamu kepada kawan-kawanku. Kau tentu akan dapat menjadi alat permainan yang menyenangkan."
"Apapun yang akan kalian lakukan, tetapi katakan siapakah sebenarnya kalian?" bertanya Ki Waskita.
Pertanyaan itu membuat keduanya tertawa. Sambil mengangkat wajahnya salah seorang dari keduanya berkata, "Itulah sebabnya, kalian jangan terlalu cepat menyombongkan diri sebelum kalian tahu, dengan siapa kalian berhadapan."
"Ya, dengan siapa kami telah berhadapan," sahut Agung Sedayu.
"Jika kau memang orang-orang yang terbiasa bergaul dengan ilmu kanuragan, kalian tentu pernah mendengar nama kebesaran kami," jawab yang seorang, "kamilah sepasang pertapa dari Goa KELELAWAR."
Agung Sedayu dan Ki Waskita saling berpandangan sekejap, sementara pengawal dari Mataram yang berada di teritisan itupun mengerutkan keningnya. Bahkan Agung Sedayupun kemudian mengulanginya, "Sepasang Pertapa dari Goa Kelelawar" Maaf Ki Sanak, kami belum pernah mendengarnya."
Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Lalu, "Jika demikian kalian adalah orang-orang kerdil yang tidak tahu apapun tentang dunia olah kanuragan. Jika demikian, sebaiknya kalian jangan membunuh diri dengan cara yang sangat mengerikan. Ketahuilah, bahwa aku terbiasa membunuh orang yang menentang kehendakku dengan cara paling baik."
Agung Sedayu memandang Ki Waskita sekilas. Ia sekedar ingin memberi isyarat bahwa kedua orang itu agaknya memang orang yang berilmu.
Ki Waskita nampaknya mengerti maksud Agung Sedayu, sehingga iapun mengangguk kecil. Bahkan sorot matanyapun meyakinkan, bahwa ia akan menghadapi salah seorang dari kedua orang itu dengan bersungguh-sungguh.
Karena itu, maka Agung Sedayu itupun berkata, "Ki Sanak yang bergelar sepasang Pertapa dari Goa Kelelawar. Kami sama sekali tidak ingin bertentangan dengan siapapun juga. Juga dengan Ki Sanak berdua. Apalagi membunuh diri dengan cara apapun juga. Yang sedang kami lakukan adalah tugas keprajuritan kami karena kami adalah pengawal-pengawal dari Mataram."
Kedua orang itu menggeram. Salah seorang berkata, "Apapun yang kau katakan, tetapi kalian berdua memang harus mati. Jika kami tidak membunuh kalian bertiga, maka kami tidak akan mendapatkan kain yang kami perlukan itu."
Agung Sedayu melihat keduanya mulai bergeser. Karena itu, maka iapun telah melangkah menjauhi Ki Waskita, sehingga dengan demikian, seolah-olah kedua orang itu telah dihadapi oleh seorang lawan.
Sepasang Pertapa dari Goa Kelelawar itu mengumpat. Kedua orang yang mengaku pengawal dari Mataram itu belum pernah mendengar kebesaran namanya sehingga keduanya sama sekali tidak terganggu oleh kebesaran nama itu.
Ketika kedua orang itu benar-benar mulai menyerang, maka keduanya telah mempergunakan senjatanya. Keduanya telah menarik sebilah luwuk yang berwarna kehitaman dengan pamor yang cerah berkilat.
"Luar biasa," desis Agung Sedayu didalam hatinya, "yang dipergunakan itu benar-benar pusaka yang menggetarkan."
Ki Waskitapun mengerutkan keningnya pula melihat senjata orang-orang yang menyebut diri mereka Sepasang Pertapa dari Goa Kelelawar. Tetapi Ki Waskita adalah orang yang berpengalaman sangat luas, sehingga karena itu, maka iapun segera dapat menyesuaikan hatinya menghadapi senjata yang luar biasa itu.
Meskipan luwuk itu tidak begitu besar, namun cukup panjang untuk mengimbangi senjata pedang. Apalagi jika luwuk semacam itu berada di tangan orang-orang yang mumpuni.
Karena itu, ketika luwuk itu mulai berputar. Agung Sedayu dan Ki Waskitapun telah menarik senjata masing-masing. Agung Sedayu dengan sebilah golok yang besar, sedangkan Ki Waskita mempergunakan pedang pengawal dari Mataram itu, karena keduanya tidak ingin mempergunakan ciri mereka masing-masing, sehingga orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu akan berkata, bahwa yang merebut kain yang bergambar tlatah Mataram itu adalah orang bercambuk dari Jati Anom.
Kedua orang yang menyebut diri mereka Sepasang Pertapa dari Goa Kelelawar itu sudah tidak sabar lagi. Mereka mulai bergerak untuk menyerang dengan senjata-senjata mereka yang luar biasa. Namun kedua orang lawan merekapun telah bersiaga sepenuhnya pula.
Agung Sedayu sadar, bahwa goloknya adalah golok kebanyakan. Sama sekali bukan golok yang mempunyai kelebihan seperti luwuk lawannya. Karena itu, maka iapun harus mempergunakan sebaik-baiknya sehingga dalam benturan-benturan kekuatan, golok itu tidak mengalami nasib buruk.
Agaknya demikian pula perhitungan Ki Waskita atas pedang yang dipergunakannya. Pedang itu adalah pedang seorang pengawal yang dibuat dalam jumlah yang banyak, sehingga pedang itupun tidak memiliki kelebihan apapun juga.
Meskipun demikian bukan berarti bahwa keduanya tidak dapat mempergunakan senjata-senjata itu untuk melawan. Karena bagaimanapun juga tangan-tangan yang menggenggam senjata itupun ikut menentukan.
Sejenak kemudian, maka pertempuran antara dua orang yg menyebut dirinya Sepasang Pertapa dari Goa Kelelawar melawan Agung Sedayu dan Ki Waskita. Dua orang yang sebenarnya tidak mempunyai persoalan apapun juga dengan sepasang Pertapa itu. Tetapi karena keduanya merasa wajib menyelamatkan ikat kepala yang khusus itu, maka keduanya telah melibatkan diri kedalam pertempuran.
Pertempuran itu telah menyala di dua lingkaran. Agung Sedayu melawan salah seorang dari kedua orang Pertapa itu, sementara Ki Waskita melawan yang seorang lagi.
Dalam beberapa saat kemudian, telah terjadi sentuhan-sentuhan senjata antara mereka. Kedua orang Pertapa itu mengerti, bahwa lawan-lawannya berusaha untuk tidak membuat sentuhan langsung dengan senjata-senjata mereka. Karena itu, maka mereka justru dengan berani menyerang dengan senjata mereka.
Tetapi kedua lawannya ternyata cukup tangkas. Mereka mampu bergerak cepat dan menangkis serangan-serangan kedua pertapa itu dengan sangat hati-hati, sehingga tidak pernah terjadi benturan langsung antara senjata-senjata mereka.
Namun agaknya kedua belah pihak masih belum mengerahkan ilmu mereka yang paling baik. Kedua belah pihak masih berusaha menjajagi kemampuan lawan. Meskipun demikian, karena mereka adalah orang-orang yang berilmu tinggi, maka merekapun telah bergerak dengan cepat dan kuat.
Pengawal dari Mataram yang terluka, yang menyaksikan pertempuran itu diteritisan, menjadi berdebar-debar. Ia melihat pertempuran itu semakin lama menjadi semakin cepat dan semakin kuat. Kedua belah pihak perlahan-lahan telah meningkatkan ilmu masing-masing.
Dalam pada itu, salah seorang Pertapa itu mengumpat sambil berkata, "Kau nampaknya pantas untuk menyombongkan diri, berani melawan kami, karena nampaknya kau memang mempunyai bekal ilmu."
Agung Sedayu yang melawannya berkata, "Aku adalah pengawal dari Mataram. Itu saja. Terdorong oleh kewajiban, aku akan berbuat sebaik-baiknya."
"Persetan," geram lawannya, "kau jangan menjadi besar kepala. Kau sangka aku memujimu?"
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Kemudian sambil bergeser menghindari serangan lawannya ia menyahut, "Aku tidak menganggapmu demikian. Akupun tidak menginginkan mendapat pujian. Tetapi bahwa aku akan melawanmu sejauh dapat aku lakukan, itu adalah kewajibanku."
Pertapa yang bertempur melawan Agung Sedayu itu menggeram. Tetapi serangannya justru menjadi semakin cepat. Rasa-rasanya anak muda yang melawannya itu sama sekali tidak mencemaskan nasibnya, meskipun ia berhadapan dengan sepasang Pertapa dari Goa Kelelawar.
Yang bertempur melawan Ki Waskitapun merasa telah membentur kekuatan yang tangguh. Karena Ki Waskita mengaku seorang pengawal dari Mataram, maka lawannya itupun mulai menilai, bahwa para pengawal dari Mataram memang memiliki bekal yang cukup.
"Tentu bukan pengawal kebanyakan," berkata Pertapa itu didalam hatinya, "mungkin ia seorang Senapati, atau pasukan khusus yang memiliki ilmu yang tinggi, yang dikirim untuk menangani persoalan kain yang bernilai tinggi itu."
Dengan demikian maka Pertapa itu telah mengerahkan kemampuannya untuk segera mengakhiri pertempuran.
"Waktuku tidak banyak," berkata Pertapa itu didalam hatinya, "aku tidak perlu bermain-main terlalu lama."
Justru karena itu, maka tiba-tiba saja Ki Waskita merasakan tekanan lawannya itu menjadi semakin berat.
Tetapi Ki Waskitapun belum sampai kepuncak kemampuannya. Ia masih saja mengikuti lawannya pada tataran-tataran tertentu dari tingkat ilmunya. Sementara terasa pada saat terakhir, bahwa lawannya nampaknya telah benar-benar ingin menyelesaikan pertempuran itu dengan cepat.
Sebenarnyalah, maka salah seorang Pertapa itu telah berkata, "Kita tidak boleh terlalu lama disini. Sebaiknya orang-orang ini segera kita selesaikan, sementara kita akan segera dapat melakukan tugas yang lain."
"Aku tidak akan menemui kesulitan," jawab Pertapa yang lain, yang kebetulan melawan Agung Sedayu, "aku hanya ingin mengetahui sampai pada tingkat yang mana kesombongan anak ini."
"Waktu kita telah habis," desis lawan Ki Waskita.
"Baiklah," jawab lawan Agung Sedayu.
Hampir bersamaan keduanya telah meningkatkan ilmu mereka sampai kepuncak.
Dengan demikian maka pertempuran itupun menjadi semakin sengit. Kedua belah pihak telah terlibat dalam permainan senjata yang cepat dan berbahaya. Agung Sedayu dan Ki Waskita tidak terbiasa mempergunakan senjata pedang, apalagi golok yang besar seperti yang dipergunakan oleh Agung Sedayu. Namun ternyata karena ilmu mereka yang mapan, maka dengan senjata yang tidak terbiasa mereka pergunakan itupun mereka mampu melawan kedua Pertapa dari Goa Kelelawar itu.
Meskipun Agung Sedayu dan Ki Waskita yakin bahwa senjata mereka tidak akan dapat mengimbangi kekuatan senjata lawan, namun dengan kemampuan mereka mempermainkan senjata mereka itu, maka Pertapa dari Goa Kelelawar itupun tidak dapat berbuat banyak.
Betapa kemarahan menghentak-hentak jantung kedua Pertapa itu. Mereka merasa sebagai orang yang mumpuni, yang disegani dan ditakuti. Namun pengawal Mataram itu dengan senjata yang sederhana mampu mengimbanginya.
Dengan segenap kemampuan Sepasang Pertapa itu berusaha untuk mengalahkan lawannya. Namun mereka sama sekali tidak berhasil. Bahkan semakin lama lawan-lawan mereka itupun semakin membingungkan.
Dalam pada itu, pengawal Mataram yarig terluka, yang menyaksikan pertempuran itu diteritisan belakang warung di pinggir jalan itu, menjadi semakin heran. Keempat orang yang terlibat dalam perkelahian itu mampu bergerak cepat sekali.
"Tanpa Agung Sedayu dan Ki Waskita, aku tidak akan dapat berbuat apa-apa. Jangankan melawan kedua orang itu, melawan enam orang yang menyusul aku lebih dahulu itupun aku tidak akan dapat bertahan," berkata pengawal itu didalam hatinya.
Dalam pada itu perkelahian itu masih berlangsung terus. Untunglah bahwa pertempuran itu terjadi dibelakang sebuah warung, sehingga tidak semata-mata nampak dan jalan yang membujur antara Prambanan ke Mataram. Apalagi disebelah menyebelah warung itu terdapat dinding halaman dan turus-turus melandingan yang rapat, diselingi oleh tanaman-tanaman perdu yang rimbun.
Didalam warung itu, pemiliknya membeku bersama isteri dan anaknya. Mereka tidak tahu apa yang terjadi. Namun dalam pada itu, mereka sempat menutup pintu depan warung mereka, sehingga warung itu tidak akan disinggahi oleh seorang tamupun lagi.
Pertapa yang bertempur melawan Agung Sedayu berusaha dengan sungguh-sungguh menguasai lawannya. Dengan mempercayakan diri kepada kecepatan geraknya ia berusaha mengurung Agung Sedayu dengan memotong arah loncatan-loncatannya. Sekali-sekali langkah Agung Sedayu memang terpotong. Namun orang itu tidak mampu menguasainya dengan libatan senjatanya.
Sebenarnyalah bahwa pertapa yang bertempur melawan Agung Sedayu itu sama sekali tidak mengerti, bahwa Agung Sedayu mempunyai kemampuan memperingan tubuhnya, sehingga ia akan mampu bergerak jauh lebih cepat dari yang dilakukan. Bahkan jika Agung Sedayu mau mempergunakan kemampuannya yang jarang sekali dimiliki oleh siapapun itu, ialah yang akan membuat lawannya kehilangan kiblat.
Namun Agung Sedayu ingin bertempur dengan wajar. Selama lawannya tidak menunjukkan ilmu yang melampaui ilmu kewadagan, maka Agung Sedayupun akan melayaninya dengan cara yang sewajarnya.
Nampaknya tanpa berjanji, Ki Waskitapun berbuat seperti yang dilakukan oleh Agung Sedayu. Ki Waskita masih belum mempergunakan ilmunya yang paling menggetarkan, karena sepanjang pengamatannya lawannyapun masih bertempur sewajarnya, meskipun mereka telah mempergunakan tenaga cadangan mereka.
Meskipun demikian, Agung Sedayu dan Ki Waskitapun sudah mempersiapkan diri untuk bertempur pada tingkat ilmu yang lebih tinggi apabila lawan-lawan merekapun melakukannya.
Ternyata bahwa kedua pertapa itu menjadi semakin marah. Usaha mereka selalu sia-sia. Golok dan pedang yang tidak lebih dari senjata kebanyakan itu masih saja mampu melawan kedua luwuk yang dianggap oleh para pemiliknya mempunyai kekuatan yang dapat mempengaruhi mereka yang mempergunakan.
Tetapi bahwa yang terjadi, kedua orang yang menyebut dirinya Sepasang Pertapa itu tidak dapat berbuat banyak atas kedua lawannya. Agung Sedayu dan Ki Waskita.
Namun dalam pada itu, Ki Waskita dan Agung Sedayupun menyadari, bahwa jenis senjata luwuk memang mempunyai kekuatan seperti halnya sebilah keris yang selalu dimandikan dengan air warangan.
Setiap goresan akan dapat berarti racun. Agaknya kedua luwuk yang berwarna hitam dan mempunyai sifat-sifat sebilah keris yang besar itu, tentu selalu dimandikan dengan warangan pula, sehingga luwuk itupun tentu mempunyai kekuatan racun warangan.
Tetapi Sepasang Pertapa itu sama sekali tidak berhasil menggoreskan ujung luwuknya pada kulit lawannya. Dengan golok dan pedang kebanyakan Agung Sedayu dan Ki Waskita selalu berhasil menangkis serangan Sepasang Pertapa yang menjadi semakin marah itu.
Namun ternyata tidak ada yang dapat mereka lakukan untuk melawan kedua orang yang menyebut dirinya pengawal dari Mataram itu. Serangan-serangan mereka selalu kandas, sehingga setiap kali mereka hanya dapat menggeram sambil mengumpat.
Tetapi Sepasang Pertapa itu tidak berputus asa. Setelah mereka merasa bahwa dengan luwuk mereka tidak dapat mengalahkan lawannya, maka merekapun mulai mempergunakan senjata mereka yang lain. Hampir bersamaan keduanya memindahkan luwuk mereka ketangan kiri, sementara tangan kanan merekapun segera menggenggam pisau-pisau kecil yang terselip di ikat pinggang mereka.
Agung Sedayu dan Ki Waskita harus dengan segera menyesuaikan diri. Mereka melihat kedua tangan Sepasang Pertapa itu mengembang. Pedang di tangan kiri itu tiba-tiba saja menyambar dengan garangnya. Mereka meluncur dengan cepat, menggeliat dan meloncat menjauh. Dalam keadaan yang demikian, tiba-tiba saja pisau-pisau kecil telah meluncur dari sela-sela jari mereka.
Ki Waskita meloncat menjauh. Beberapa bilah pisau itu meluncur di depan tubuhnya. Namun pisau yang terakhir hampir saja menyambar lengannya. Untunglah bahwa Ki Waskita dengan tangkas memukul pisau itu dengan pedangnya, sehingga tidak sebilah pisaupun yang sempat mengenainya.
Tetapi Ki Waskita sadar, bahwa serangan-serangan berikutnya tentu masih akan datang. Karena itu, maka iapun harus bersiap sebaik-baiknya. Pisau-pisau yang demikian itu tentu tidak hanya berjumlah lima atau enam. Tetapi tentu beberapa puluh yang berada diikat pinggangnya, bersusun.
Sebenarnya, seperti yang diduga Ki Waskita, justru karena Ki Waskita sudah sering mengenali orang-orang yang mempergunakan senjata lontar seperti yang dipergunakan oleh Pertapa itu. Namun yang tidak diduga oleh Ki Waskita, adalah serangan-serangannya yang kemudian. Sekali lagi orang itu melontarkan tiga bilah pisau kearah Ki Waskita. Seperti semula Ki Waskita menghindar dengan cepatnya, sehingga pisau-pisau itu tidak mengenainya. Namun ketika kemudian pisau-pisau itu menyambar batu dinding halaman yang rendah, maka pisau-pisau kecil itu seolah-olah sebuah paju baja yang besar yang mampu memecahkan batu-batu.
Ki Waskita benar-benar terkejut. Dengan serta merta iapun berkata didalam dirinya, "Itulah sebabnya, orang-orang yang mengenalnya menjadi ketakutan."
Namun justru karena itu, Ki Waskita tidak dapat melawannya dengan perlawanan wajar. Meskipun ia tidak ingin dikenal, tetapi iapun tidak mau dihancurkan oleh pisau-pisau kecil itu. Pedang pengawal dari Mataram itu, tentu tidak akan mampu melawan pisau-pisau kecil yang dilontarkan dengan kemampuan yang luar biasa atas dorongan tenaga cadangan yang tidak ternilai besarnya.
Karena itulah, maka dengan cepatnya, Ki Waskita berusaha melindungi dirinya. Tiba-tiba saja ia telah membuka ikat kepalanya dan melilitkannya pada pergelangan tangan kirinya.
Sebenarnyalah ikat kepala di pergelangan tangan Ki Waskita itu merupakan satu perisai yang melampaui kekuatan perisai baja yang paling tebal sekalipun.
Lawannya tidak tahu makna dari ikat kepala Ki Waskita itu. Karena itu, tanpa menghiraukannya iapun telah melemparkan lagi dua bilah pisaunya beruntun.
Ki Waskita masih berusaha untuk menghindarinya. Ia memang tidak ingin menunjukkan arti dari ikat kepalanya apabila tidak terpaksa. Namim saat ia baru saja menjejakkan kakinya ditanah, maka pisau yang ketiga sudah menyusul menyambarnya, sehingga ia secepatnya harus mengelak lagi.
Dengan pedangnya Ki Waskita berusaha untuk menangkis serangan itu sekaligus untuk menjajagi kekuatan yang terlontar. Namun, meskipun ia berhasil memukul pisau itu, tetapi sebenarnyalah seperti yang diduganya, pedang itu telah patah ditengah. Meskipun demikian pisau itu tidak mengenainya karena ia sempat memiringkan tubuhnya.
Pengawal yang berdiri diteritisan itu terkejut. Meskipun pedangnya adalah pedang kebanyakan, yang diterimanya karena ia seorang pengawal namun bahwa sebilah pisau belati kecil dapat mematahkannya, adalah sangat mengherankan. Namun dengan demikian ia menyadari, bahwa seandainya pedang itu tidak berada di tangan Ki Waskita, pedang itu tentu sudah patah pada benturan-benturan dengan luwuk lawannya sebelumnya.
Dalam pada itu, Pertapa yang melihat pedang Ki Waskita patah, dengan serta merta telah melemparnya dengan pisaunya susul menyusul.
Tiga buah pisau telah meluncur. Orang itu sudah memastikan, bahwa ia akan segera mengakhiri pertempuran. Salah satu dari tiga buah pisau itu akan mengoyak tubuh Ki Waskita, menghunjam bahkan tembus sampai kepunggung.
Namun yang terjadi adalah bukan seperti yang dikehendaki oleh Pertapa itu. Dengan tangkas Ki Waskita menangkis pisau yang meluncur susul menyusul itu dengan ikat kepala yang membelit di pergelangan tangan kirinya.
Jantung Pertapa itu bagaikan berhenti berdenyut. Pisau yang dapat memecahkan batu itu ternyata tidak dapat mengoyak ikat kepala dipergelangan tangan Ki Waskita, sehingga ketiga buah pisaunya telah melesat tanpa menyentuh sasaran.
Pertapa itu termangu-mangu sejenak. Dengan wajah tegang ia memandang Ki Waskita yang berdiri tegak, yang tidak dapat lagi menyembunyikan salah satu dari cirinya. Ikat kepalanya. Namun ia bertekad tidak akan mempergunakan ikat pinggangnya, sehingga akan menunjukkan ciri-cirinya yang lebih lengkap.
Pertapa itupun menjadi ragu-ragu sejenak. Pisau yang terselip diikat pinggangnya melingkari seluruh tubuhnya tidak akan dapat tumbuh dengan sendirinya. Karena itu, jika ia melemparkannya tanpa mengenai sasaran, maka pisau-pisau itupun akan segera habis sebelum lawannya dapat dilumpuhkannya.
Karena itu, maka Pertapa yang melihat pedang Ki Waskita telah patah itupun segera mendesak maju. Ia ingin bertempur dengan luwuknya lagi, menghadapi lawannya yang senjatanya sudah cacat.
Dalam pada itu, Pertapa yang lain, yang menghadapi Agung Sedayu telah dicengkam oleh kecemasan pula. Dengan segenap kekuatannya ia berusaha untuk dengan segera menghancurkan lawannya. Tetapi anak muda itu ternyata memiliki ketangkasan yang menakjubkan. Bahkan seolah-olah senjata ditangannya itu jarang sekali dipergunakan. Anak muda itu lebih percaya kepada kecepatannya bergerak daripada mempergunakan goloknya yang besar. Namun demikian, golok yang besar itu kadang-kadang dengan tiba-tiba saja menyusup putaran pertahanannya, sehingga sangat membahayakannya.
Bahkan ternyata kecepatan gerak Agung Sedayu melampaui kemampuan ilmu Pertapa dari Goa Kelelawar itu, sehingga ketika Pertapa itu menusuk langsung mengarah jantung lawannya, namun tidak menyentuh sasarannya. Agung Sedayu telah menggeser goloknya yang besar itu justru pada saat tangan Pertapa itu terjulur lurus.
Pertapa itu meloncat surut ketika terasa tajam golok anak muda itu menggores di lambungnya.
Luka dilambung itu tidak begitu dalam. Namun bahwa ia telah terluka, telah membuat Pertapa itu menjadi sangat marah. Terdengar Pertapa itu mengumpat. Kemudian, tangannya bagaikan mengambang menyambar-nyambar.
Tetapi bagaimanapun juga, ia tidak mampu mengatasi kecepatan gerak Agung Sedayu. Betapa ia berusaha, namun anak muda itu demikian tangkasnya, sehingga dalam libatan serangan yang sangat cepat, anak muda itu sama sekali tidak menunjukkan kebingungannya, apalagi kehilangan akal. Bahkan kadang-kadang justru anak itulah yang telah membuat Pertapa yang merasa dirinya mumpuni itu menjadi kebingungan.
Dalam pada itu, maka seperti Pertapa yang lain, ketika lawan Agung Sedayu itu merasa tidak mampu lagi mengalahkan lawannya dengan luwuknya, maka iapun mulai menyiapkan senjata rangkapnya. Sebagaimana Pertapa yang lain, maka iapun telah menghentakkan pisau belati kecil yang terlontar dari tangan kanannya, sementara luwuknya telah berpindah ke tangan kirinya.
Agung Sedayu yang sudah melihat bahwa pedang Ki Waskita patah, tidak berniat sama sekali menangkis pisau-pisau itu dengan goloknya, yang tentu akan patah pula. Karena itulah, maka Agung Sedayu hanya berusaha untuk menghindari serangan-serangan pisau belati itu dengan loncatan-loncatan.
Namun ternyata bahwa pisau-pisau itu berdesing dengan cepatnya susul menyusul. Meskipun tubuh Agung Sedayu dapat menjadi seringan kapas, namun Agung Sedayu tidak mengabaikan kemampuan lawannya itu.
Karena itulah, maka Agung Sedayupun telah mengetrapkan ilmu kebalnya pula. Sehingga seandainya pisau-pisau itu menyentuhnya, maka kulitnya tidak akan terluka.
Tetapi ternyata bahwa ilmu kebal itu tidak nampak sama sekali oleh lawannya, karena pisau-pisaunya sama sekali tidak berhasil mengenai tubuh anak muda yang tangkas, terampil dan trengginas itu. Pisau-pisaunya meluncur mengenai bebatuan, dinding halaman dan menghunjam kedalam pepohonan.
Demikian kedua orang Pertapa yang menyebut dirinya Pertapa dari Goa Kelelawar itu harus menghadapi satu kenyataan, bahwa mereka tidak akan dapat mengalahkan kedua orang yang menyebut dirinya pengawal dari Mataram itu. Sebenarnyalah mereka tidak menyangka sama sekali, bahwa para pengawal dari Mataram ternyata terdiri dari orang-orang yang pilih tanding, yang tidak terlalu mudah untuk dikalahkan.
Anak Berandalan 1 Luka Semalam Karya Hasina Binti Harits Hati Yang Terberkahi 11
^