Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 3

07 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 3


Dalam pada itu, dalam keadaan yang sulit, kedua Pertapa
". hilang sebagian "..
________________________________________
garang, namun sorot matanya tidak meyakinkannya bahwa ia dapat berbuat sekeras kata-katanya itu.
"Kita pergi ke Mataram," berkata Agung Sedayu lebih lanjut, "jangan membuat kalian lebih menderita. Jangan memaksa kami mengikatmu dan menyeretmu dibelakang kuda kami disepanjang jalan menuju ke Mataram, sehingga kalian berdua akan menjadi tontonan banyak orang."
Kedua Pertapa itu menggeram. Tetapi sebenarnyalah mereka tidak akan dapat berbuat lain.
"Berikan senjata kalian," minta Agung Sedayu.
"Ini pusaka kami. Kami tidak akan melepaskannya," jawab salah seorang dari mereka.
"Kau sangka aku tidak dapat mengambilnya dari tanganmu. Hidup atau mati?" sahut Agung Sedayu.
Sepasang Pertapa itu tidak dapat mengingkari kenyataan. Ternyata mereka bagaikan kehilangan kesempatan untuk menentukan sikap. Sehingga dengan demikian, maka merekapun telah melepaskan senjata mereka.
Agung Sedayu dan Ki Waskita telah mengambil luwuk itu sekaligus bersama wrangkanya. Kemudian mempersilahkan kedua orang Pertapa itu membenahi pakaiannya. Yang terluka telah memampatkan lukanya dengan obat yang dibawanya. Sehingga akhirnya keduanya tidak dapat berbuat lain kecuali mengikuti segala perintah Agung Sedayu dan Ki Waskita.
Agung Sedayu masih sempat mengetuk pintu warung yang telah ditutup. Membayar makanan dan minuman yang telah dimakan dan diminum olehnya bertiga dan oleh kedua orang Pertapa itu. Bahkan Agung Sedayu telah memberinya sekedar uang untuk, memperbaiki kebunnya yang rusak.
Pemilik warung itu sama sekali tidak mengira. Justru karena itu untuk sesaat ia menjadi bingung.
"Ambillah," desis Agung Sedayu.
Dengan jantung yang berdebaran pemilik warung itupun telah menerima uang yang diberikan oleh Agung Sedayu. Katanya gugup, "Terima kasih anak muda."
"Bukalah kembali warungmu. Bukankah kau masih mempunyai makanan dan minuman yang cukup?" berkata Agung Sedayu.
"Ya, ya. Anak muda," jawab pemilik warung itu dengan serta merta.
Demikianlah, maka Agung Sedayu dan Ki Waskitapun kemudian membawa kedua Pertapa yang menjadi sangat letih itu bersama mereka ke Mataram. Tidak ada kesempatan bagi Sepasang Pertapa itu untuk menolak segala perintah Agung Sedayu. Sebenarnyalah Pertapa itu mengakui bahwa Agung Sedayu dan Ki Waskita akan mampu berbuat apa saja atas mereka.
Ada semacam penyesalan dihati kedua Pertapa itu. Mereka merasa diri mereka terlalu kuat menghadapi pengawal kebanyakan. Namun ternyata bahwa pengawal dari Mataram ini justru dapat menangkapnya.
Keduanyapun sadar, bahwa di Mataram mereka harus berbicara tentang rencananya membeli kain ikat kepala dengan lukisan khusus itu. Dan merekapun sadar, bahwa orang-orang Mataram akan dapat memperlakukannya sekehendak hati mereka.
Tetapi mereka tidak dapat berbuat sesuatu untuk menolaknya.
Karena itu, maka Sepasang Pertapa itupun tidak akan mempunyai kesempatan untuk mengingkari diri mereka dan tugas-tugas mereka.
Dalam pada itu, pengawal dari Mataram yang sebenarnya, yang telah terluka, tidak banyak dapat berbuat sesuatu. Ia justru hanya mengikuti saja apa yang dilakukan oleh Agung Sedayu dan Ki Waskita.
Sebenarnyalah Agung Sedayu dan Ki Waskita telah membawa Sepasang Pertapa itu ke Mataram. Mereka langsung menuju kerumah Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga.
Kedatangan Agung Sedayu dan Ki Waskita telah mengejutkan para petugas dan kemudian Raden Sutawijaya sendiri. Dengan berdebar-debar Raden Sutawijaya telah menerima mereka dipendapa.
Namun sebelum Raden Sutawijaya bertanya sesuatu, maka Agung Sedayu telah mendahului, "Raden. Kami telah menangkap dua orang yang menyebut dirinya Sepasang Pertapa dari Goa Kelelawar. Mohon keduanya dapat ditempatkan ditempat yang paling baik bagi keduanya, sebelum kami memberikan penjelasan."
Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian dapat menanggapi sikap Agung Sedayu itu. Karena itu, maka iapun telah memanggil Senapati yang sedang bertugas serta beberapa orang pengawal untuk membawa kedua orang itu serta memasukkannya kedalam bilik tahanan.
"Keduanya adalah orang yang luar biasa," desis Agung Sedayu.
Raden Sutawijaya mengangguk kecil. Iapun kemudian memberikan beberapa pesan kepada Senapati itu, agar kedua orang itu tidak sempat melepaskan diri.
"Disini masih tersimpan beberapa orang yang apabila kami lengah, akan mampu membuat keonaran," berkata Raden Sutawijaya.
Agung Sedayu dan Ki Waskita mengangguk. Merekapun mengerti, bahwa Raden Sutawijaya masih mempunyai beberapa orang tahanan, diantaranya adalah orang-orang yang mumpuni.
Baru setelah-kedua orang yang menyebut dirinya Sepasang Pertapa itu disingkirkan. Agung Sedayu telah menceriterakan apa yang telah terjadi.
"Pengawal yang terluka ini akan dapat melengkapi ceriteraku," berkata Agung Sedayu.
Raden Sutawijaya memandang pengawal itu sejenak. Sambil mengangguk kecil ia berkata, "Katakan apa yang kau ketahui tentang kedua orang itu."
"Bukan tentang kedua orang itu Raden," jawab pengawal yang terluka, "tetapi tentang peristiwa-peristiwa sebelumnya."
"Ya. Katakan apa saja yang akan kau katakan," desis Raden Sutawijaya kurang sabar.
Pengawal itupun kemudian menceriterakan segala sesuatu tentang ikat kepala yang aneh itu dan tentang orang-orang yang kemudian memburunya setelah ia berhasil merebut kain itu.
Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu. Agung Sedayupun telah mengambil kain itu, dan menyerahkannya kepada Raden Sutawijaya. "Inilah. Kain itu ada padaku."
Raden Sutawijaya menerima kain itu dan mengamatinya. Sambil menggelengkan kepalanya ia berkata, "Lengkap sekali. Kain ini memberi gambaran menyeluruh tentang isi kota Mataram."
"Segala sesuatunya terserah kepada Raden," berkata Agung Sedayu, "kami sudah menyerahkannya. Segala persoalan akan dapat Raden bicarakan dengan pengawal ini."
"Ya, ya tentu. Tetapi bukankah kau dan Ki Waskita tidak akan dengan tergesa-gesa meninggalkan kami?" bertanya Raden Sutawijaya yang melihat sikap Agung Sedayu dan Ki Waskita.
"Raden," berkata Ki Waskita, "sebenarnyalah kami tidak berniat untuk singgah. Tetapi karena persoalan yang tiba-tiba saja telah melihat kami, maka kami terpaksa singgah bersama pengawal yang terluka ini."
"Kalian tidak usah tergesa-gesa," berkata Raden Sutawijaya.
"Kami tidak melampaui waktu yang kami janjikan kepada Ki Lurah Branjangan. Jika kedatangan kami, kami undurkan lagi, maka Ki Lurah tentu akan menjadi gelisah," sahut Agung Sedayu.
Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Ia mengerti bahwa tenaga Agung Sedayu memang diperlukan di Tanah Perdikan Menoreh. Baik oleh Ki Gede, maupun oleh Ki Lurah Branjangan.
Karena itu, maka Raden Sutawijayapun kemudian berkata, "Baiklah Agung Sedayu. Aku mengerti bahwa Tanah Perdikan Menoreh memang sedang menunggumu. Aku tidak akan menahanmu untuk bermalam. Tetapi biarlah kau beristirahat sejenak, untuk minum dan makan."
Agung Sedayu dan Ki Waskita tidak dapat menolak. Karena itu, maka merekapun telah menunggu sejenak untuk menerima hidangan. Namun setelah mereka selesai dengan makan dan minum, mereka benar-benar minta diri.
"Raden dapat bertanya kepada Sepasang Pertapa itu, untuk siapa mereka bekerja," berkata Agung Sedayu, "kemudian terserahlah kesimpulan apa yang akan Raden ambil."
"Baiklah," jawal Raden Sutawijaya, "aku akan minta keterangan kepada mereka berdua. Dan pada saatnya aku akan memberimu kabar, hasil dari pembicaraanku dengan kedua orang itu."
Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu dan Ki Waskitapun segera minta diri. Juga kepada pengawal yang terluka itu keduanya minta diri pula.
"Aku mengucapkan terima kasih," berkata pengawal itu, "tanpa kalian berdua, bukan saja aku telah terbunuh. Tetapi kain itu tentu benar-benar akan jatuh ketangan mereka."
Agung Sedayu dan Ki Waskita hanya tersenyum saja. Sementara itu Raden Sutawijaya berbisik, "Aku sudah mempunyai dugaan, bahwa kedua orang itu berhubungan dengan Ki Tumenggung Prabadaru."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Mungkin sekali. Nampaknya Tumenggung itu memegang peranan yang penting dalam pergolakan ini."
"Tetapi aku yakin, bahwa pasukan khusus yang kita susun tidak akan kalah nilainya dengan pasukan khusus yang dipimpin oleh Tumenggung Prabadaru. Pasukan yang mempunyai latar belakang yang berbeda-beda dan dasar ilmu yang berbeda-beda pula. Mereka berhimpun dengan sikap mereka masing-masing."
Agung Sedayu dan Ki Waskita mengangguk-angguk. Mereka mengerti maksud Raden Sutawijaya. Namun yang masih perlu diperhatikan, meskipun mweka berlatar belakang yang berbeda-beda, namun pada dasarnya sejak semula mereka adalah prajurit-prajurit.
Tetapi Agung Sedayu dan Ki Waskita tidak menjawab. Merekapun kemudian sekali lagi mohon diri dan meninggalkan Mataram menuju ke Tanah Perdikan Menoreh.
Kedatangan Agung Sedayu ke tlatah Tanah Perdikan Menoreh disambut dengan gembira oleh anak-anak muda. Ketika keduanya turun dari getek penyeberangan di Kali Praga dan kemudian menelusuri jalan-jalan di bulak-bulak panjang, beberapa orang anak muda yang berada di sawah telah menyapanya dengan ramah. Ketika mereka mulai memasuki padukuhan-padukuhan, maka anak-anak muda yang kebetulan berada di jalan-jalan padukuhanpun telah menyambut mereka pula.
"Bukankah tidak ada persoalan apapun selama aku pergi?" bertanya Agung Sedayu kepada anak-anak muda itu.
"Tidak," jawab anak-anak muda itu tetapi langit mulai kelabu. Jika musim basah segera datang, maka sungai-sungai minta banyak perhatian."
Agung Sedayu dan Ki Waskita mengangguk-angguk. Diluar sadar, merekapun menengadahkan wajah mereka kelangit. Tetapi saat itu langit nampak bersih.
Meskipun demikian Agung Sedayupun berkata, "Baiklah. Kita harus mulai memikirkannya. Melihat bendungan-bendungan dan menjaga agar dimusim basah tidak larut oleh banjir."
Ketika Agung Sedayu meneruskan perjalanan bersama Ki Waskita dan mengamati daerah Tanah Perdikan Menoreh, maka perubahan memang sudah nampak. Parit-parit tidak lagi kering dan jalan-jalan nampak rata dan bersih. Sawah-sawah tidak lagi nampak kering dan gersang. Meskipun musim hujan belum datang, tetapi tanaman di sawah tetap nampak hijau segar.
Menelusuri jalan-jalan di Tanah Perdikan, Agung Sedayu sempat mengenang daerah Sangkal Putung yang subur. Kademangan yang besar itu mempunyai tata pemerintahan dan pengaturan tata kehidupan yang baik dibawah usaha Swandaru. Sementara itu, Tanah Perdikan Menoreh dari sedikit sudah mulai menyusulnya.
Akhirnya Agung Sedayu telah memasuki padukuhan induk. Anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh yang tidak ikut serta dalam pasukan khusus ternyata tetap melakukan tugas-tugas mereka sebaik-baiknya. Mereka yang bekerja disawah, di pategalan maupun mereka yang bertugas sebagai pengawal.
Prastawa yang muncul dari regol rumah Ki Gede mengerutkan keningnya ketika ia melihat Agung Sedayu dan Ki Waskita. Namun kemudian iapun mengangguk kecil sambil berkata, "Selamat datang Ki Waskita. Silahkan. Paman ada dirumah."
"Terima kasih ngger," sahut Ki Waskita. Namun karena Prastawa ternyata tidak berhenti, Ki Waskita dan Agung Sedayupun memasuki regol.
Seperti yang dikatakan oleh Prastawa, maka Ki Gede ada dirumahnya. Ketika Ki Gede mengetahui bahwa Agung Sedayu dan Ki Waskita telah datang, maka iapun telah dengan tergesa-gesa menyongsong mereka dan mempersilahkannya naik kependapa.
"Bukankah tidak ada sesuatu hambatan diperjalanan ?" bertanya Ki Gede dengan serta merta.
"Tidak Ki Gede," sahut Ki Waskita.
"Kalian datang terlambat," berkata Ki Gede pula.
Ki Waskita dan Agung Sedayu saling berpandangan sejenak. Namun Ki Waskitapun kemudian sambil tersenyum berkata, "Kami terpaksa menunda perjalanan kami kembali, karena kami harus bermalam lagi di Jati Anom setelah semalam berada di Sangkal Putung. Karena itu, maka kami datang terlambat."
"Kalian datang di sore hari. Apakah kalian tidak berangkat pagi-pagi dari Jati Anom ?" bertanya Ki Gede pula.
Ki Waskita masih tersenyum. Katanya, "Ya. Kami berangkat sudah menjelang tengah hari. Kami sempat berhenti di Kali Opak melihat-lihat candi dari kejauhan."
Ki Gedepun tertawa. Tetapi dalam pada itu Ki Waskita masih belum berceritera tentang ikat kepala yang aneh itu.
Baru kemudian, setelah minum beberapa teguk, Ki Waskita dan Agung Sedayu mulai menceriterakan apa yang sebenarnya mereka alami di perjalanan kembali, sehingga menjelang senja mereka haru memasuki padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.
"Nampaknya waktu menjadi semakin dekat," berkata Ki Gede, "orang-orang yang bergerak dilingkungan istana Pajang menjadi semakin mendesak pula, mempercepat sentuhan antara Pajang dan Mataram."
"Mataram sudah siap," berkata Ki Waskita. "Tetapi memang harus diakui bahwa Pajang memiliki segalanya lebih banyak dari Mataram. Meskipun demikian, kita yakin, bahwa Pajang tidak akan dapat merupakan satu kesatuan yang bulat, karena diantara merekapun terdapat perbedaan sikap."
Ki Gede mengangguk-angguk sambil berdesis, "Mudah-mudahan tidak terjadi ledakan secepat yang kita duga. Sebentar lagi kita sendiri akan mempunyai kesibukan."
Ki Waskita mengerutkan keningnya. Sementara Ki Gede meneruskan, "Bukankah waktu yang dijanjikan bagi angger Agung Sedayu sudah sampai pada batasnya?"
"Waktu apa?" bertanya Ki Waskita.
"Bulan diakhir tahun," jawab Ki Gede.
"O," Ki Waskita mengangguk angguk, "persoalan itu telah disinggung pula oleh Ki Demang Sangkal Putung. Sebenarnyalah bahwa saat-saat yang demikian itupun harus mendapat perhatian yang khusus. Mudah-mudahan yang terjadi tidak secepat yang kita duga seperti yang dimaksud oleh Ki Gede. Yang direncanakan itu sebaiknya dapat dilaksanakan pada saatnya tanpa gangguan apapun juga."
Ki Gede tersenyum sambil memandang Agung Sedayu. Katanya, "Jangan cemas. Yang direncanakan itu tidak akan terganggu oleh hubungan antara Pajang dan Mataram."
Agung Sedayu sendiri hanya menundukkan kepala. Namun demikian sebenarnyalah bahwa iapun mulai berpikir, apakah kemelut yang terjadi antara Pajang dan Mataram akan dapat mempengaruhi rencana pribadinya dalam hubungannya dengan Sekar Mirah.
Tetapi Agung Sedayu sendiri tidak tahu dengan pasti, apakah ia lebih senang persoalan itu diselesaikan lebih dahulu, atau justru akan tertunda karena keadaan yang menjadi semakin panas.
Namun Agung Sedayu tidak akan dapat menutup mata, bahwa orang tua Sekar Mirah nampaknya tidak akan bersedia menunda lagi. Sebagai orang tua seorang gadis yang sudah dewasa penuh, maka sepantasnya bahwa Ki Demang Sangkal Putung menjadi gelisah memikirkan anak gadisnya itu.
Dalam pada itu, Ki Waskitapun berkata selanjutnya, "Di Jati Anom, Ki Widura sudah akan membicarakannya dengan angger Untara. Waktu memang tinggal sedikit. Tetapi pihak-pihak yang paling berkepentingan telah mulai mempersiapkan segala sesuatunya. Ki Widura sebagai ganti orang tua angger Agung Sedayu tentu akan selalu berhubungan dengan angger Untara. Meskipun angger Untara selalu sibuk, namun ia tentu akan menyisihkan waktunya untuk kepentingan satu-satunya adik kandungnya."
Ki Gede mengangguk-angguk sambil berkata, "Tentu. Akupun merasa berkewajiban, sebagaimana Kiai Gringsing tentu merasa berkewajiban pula. Angger Agung Sedayu sudah aku anggap sebagai anak sendiri, sementara Kiai Gringsing adalah gurunya."
"Aku juga akan mengakui anak meskipun barangkali aku tidak dapat berbuat banyak dalam hubungan dengan hari-hari perkawinan itu," berkata Ki Waskita sambil tertawa.
Ki Gedepun tertawa. Tetapi Agung Sedayu menjadi semakin tunduk.
"Sudahlah," berkata Ki Gede, "sekarang aku ingin mempersilahkan kalian untuk beristirahat. Kalian tentu letih, karena kalian bukan saja menempuh perjalanan, tetapi kalian harus berkelahi di perjalanan."
"Ya Ki Gede," jawab Agung Sedayu, "setelah mandi, akupun ingin pergi ke barak. Aku sudah terlambat sekali menurut perjanjian yang aku buat pada saat aku berangkat."
"Ah," desis Ki Gede, "tentu tidak akan menimbulkan persoalan apa-apa."
"Memang tidak. Tetapi Ki Lurah tentu menjadi gelisah," jawab Agung Sedayu.
Dengan demikian maka Agung Sedayupun meninggalkan pendapa bersama Ki Waskita. Setelah keduanya membersihkan diri dan melakukan kewajiban mereka masing-masing, Agung Sedayupun segera minta diri untuk pergi ke barak.
Tetapi rasa-rasanya Ki Waskita tidak ingin melepaskannya berjalan sendiri. Karena itu, maka katanya, "Baiklah. Aku akan ikut pergi ke barak. Aku akan menjadi saksi, kenapa kau datang agak terlambat."
Agung Sedayu memandang Ki Waskita sejenak. Namun sambil menarik safas dalam-dalam ia berkata, "Apakah Ki Waskita tidak ingin beristirahat saja?"
Ki Waskita tersenyum. Katanya, "Aku ingin juga berjalan-jalan di malam hari."
Agung Sedayupun tersenyum pula. Jawabnya, "Baiklah. Kita akan pergi bersama-sama."
Keduanyapun kemudan minta diri kepada Ki Gede untuk pergi kebarak pasukan khusus yang sudah ditinggalkan beberapa hari. Rasa-rasanya Agung Sedayu sudah pergi terlalu lama sehingga ia merasa wajib untuk segera berada di lingkungan anak-anak itu kembali.
Kedatangan Agung Sedayu dan Ki Waskita telah disambut langsung oleh Ki Lurah Branjangan di ruang khusus bagi para pemimpin barak pasukan khusus itu. Dengan beberapa orang pemimpin yang lain, merekapun kemudian duduk disebuah amben yang besar.
"Aku sudah gelisah," berkata Ki Lurah Branjangan.
"Aku terlambat Ki Lurah," jawab Agung Sedayu, "ternyata bahwa aku tidak dapat menolak untuk bermalam di Sangkal Putung dan di Jati Anom."
"Kenapa kau tidak dapat menolaknya" Bukankah kau dapat mengatakan bahwa kau tergesa-gesa sehingga persoalannya akan dapat diselesaikan segera?" bertanya Ki Lurah, "tidak ada orang yang dapat menggantikan tugasmu disini, meskipun mereka dapat berlatih sendiri, namun mereka tentu kurang bergairah. Terutama mereka yang merasa dirinya masih mempunyai beberapa kekurangan."
"Bukankah disini banyak perwira pengawal dari Mataram" Mereka akan dapat memberikan petunjuk bagi anak-anak muda itu. Meskipun mungkin di bidang masing-masing. Selama aku pergi, tentu mereka dapat berbuat sesuatu bagi kepentingan anak-anak itu," berkata Agung Sedayu.
"Dapat atau tidak dapat, tetapi itu akan menjadi kebiasaan yang kurang menguntungkan bagi barak sebuah pasukan khusus," berkata Ki Lurah, "aku mengajari anak-anak itu menepati waktu yang ditentukan. Aku kira kitapun sebaiknya berbuat demikian."
"Sebaiknya memang demikian Ki Lurah," jawab Agung Sedayu, "tetapi ternyata aku tidak dapat menolak untuk bermalam seperti yang aku katakan. Apalagi sebagaimana Ki Lurah ketahui, aku mempunyai ikatan khusus dengan Ki Demang di Sangkal Putung."
"Masalah itu terlalu pribadi," berkata salah seorang perwira pengawal yang bertugas di lingkungan pasukan thusus itu, "dalam barak ini kita mempertimbangkan kepentingan pribadi dibawah ikatan kita sebagai anggauta pasukan khusus."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Tiba-tiba saja ia merasa diadili. Diluar sadarnya ia berpaling kearah Ki Waskita yang termangu-mangu. Sebenarnyalah yang terjadi itu benar-benar diluar dugaan.
Karena itulah, maka hampir diluar sadarnya Agung Sedayupun kemudian berkata, "Sejak semula sudah aku katakan. Aku bukan seorang yang tepat dan baik untuk menjadi seorang pengawal. Apakah Ki Lurah ingat" Dan apakah Ki Lurah ingat, apakah kedudukanku didalam pasukan khusus ini" Sebenarnya aku dapat memberikan alasan yang lebih baik, kenapa aku terlambat. Tetapi sebaiknya Ki Lurah menilai diriku dalam tugas ini tanpa menyebut alasan apapun juga."
Kata kata Agung Sedayu itu tidak diduga sama sekali oleh para perwira pengawal yang memimpin pasukan khusus itu. Juga oleh Ki Lurah Branjangan. Hampir saja Ki Lurah itu merasa tersinggung oleh jawaban Agung Sedayu itu. Namun ketika ia mulai mempertimbangkannya dengan nalar, maka ia mulai dapat melihat Agung Sedayu seutuhnya.
Agung Sedayu memang bukan seorang prajurit. Bukan seorang pengawal dalam tugas sepenuhnya didalam pasukan khusus itu. Justru karena ia tidak dapat mengikat diri dalam paugeran yang ketat. Bukan dirinya sendiri, tetapi ia tidak dapat bertindak tegas terhadap orang lain, terhadap anak-anak muda didalam pasukan khusus itu, jika mereka bersalah.
Karena itu, ia harus mempunyai sikap yang lain terhadap Agung Sedayu daripada terhadap setiap orang didalam pasukan khusus itu. Apakah ia seorang pemimpin, seorang perwira, atau seorang yang baru saja mengikuti latihan-latihan yang berat didalam lingkungan pasukan khusus itu.
Meskipun demikian, Ki Lurah tidak dapat begitu saja membiarkan Agung Sedayu tanpa peringatan atas kelambatannya. Karena itu, maka katanya, "Angger Agung Sedayu. Aku hanya ingin menegakkan segala ketentuan dan paugeran didalam lingkungan pasukan khusus ini. Dengan demikian maka segala peraturan akan berlaku dengan tidak ada kecualinya. Sebuah pasukan khusus adalah pasukan yang seharusnya mempunyai ikatan yang lebih kuat dari pasukan yang lain. Itulah sebabnya yang mendorong aku untuk memberikan sebuah peringatan kepadamu. Meskipun kau bukan sepenuhnya anggauta pasukan khusus."
Dalam pada itu, sebelum Agung Sedayu menjawab, justru Ki Waskitalah yang menjawab, "Baiklah Ki Lurah. Kami menerima peringatan itu. Meskipun ikatan bagiku lebih longgar dari angger Agung Sedayu. Namun aku mengerti maksud Ki Lurah. Agung Sedayupun dapat mengertinya pula."
Ki Lurah Mengerutkan keningnya. Ki Waskita juga seorang yang ikut serta membantu sejak terbentuknya pasukan khusus bersama Ki Gede dalam ikatan yang sangat longgar. Namun justru Ki Waskitalah yang telah menjawab dan menerima peringatannya itu.
Namun dalam pada itu, terasa sesuatu telah melintang dihati Agung Sedayu. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa ia akan mendapat peringatan tentang kelambatannya dihadapan para perwira yang memimpin pasukan khusus itu. Namun justru setelah Ki Waskita menjawab, ia telah berdiam diri. Tetapi dalam kediamannya itu, terbaca oleh Ki Lurah Branjangan, bahwa Agung Sedayu merasa kurang mapan mengalami sikap yang demikian.
"Sudahlah," berkata Ki Lurah kemudian, "aku berharap bahwa hal yang serupa tidak akan terjadi. Kita akan berusaha untuk menegakkan segala ketentuan yang berlaku didalam pasukan khusus ini."
"Baiklah," jawab Ki Waskita, "kami akan berusaha."
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Agung Sedayu berkata, "Sekarang, setelah kami melaporkan kedatangan kami, kami minta diri. Kami perlu beristirahat."
Ki Lurah mengerutkan keningnya. Ditatapnya wajah Ki Waskita sejenak. Namun kemudian jawabnya, "Baiklah. Beristirahatlah. Besok kau mulai dengan kewajibanmu lagi."
Agung Sedayu sama sekali tidak menjawab. Tetapi iapun kemudian berdiri meninggalkan ruang itu diikuti oleh Ki Waskita.
Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Seorang perwira muda berkata, "Aku mengenalnya dengan baik. Tetapi aku tidak dapat mengerti sikapnya. Seolah-olah ia tidak bersedia ditegur dan diperingatkan bahwa ia telah berbuat salah."
"Ia memang bukan seorang prajurit. Jauh berbeda dengan jiwa kakaknya, Untara. Untara adalah prajurit seutuhnya. Itulah sebabnya maka keduanya mencari jalan hidupnya masing-masing," berkata Ki Lurah.
"Tetapi anak muda itu tidak boleh menumbuhkan kebiasaan buruk disini," berkata seorang perwira muda yang lain, yang kurang begitu mengenal Agung Sedayu.
"Sebenarnya ia tidak bermaksud demikian. Aku yakin," berkata Ki Lurah Branjangan.
"Aku akan melihat," berkata perwira yang belum begitu mengenalnya itu, "apakah ia akan menjalankan kewajibannya dengan baik, atau justru dapat menimbulkan persoalan-persoalan yang tidak kita kehendaki didalam lingkungan pasukan khusus ini. Mungkin ia merasa kemampuannya sangat diperlukan disini, sehingga ia berlagak seperti seorang yang tidak ada duanya. Sebenarnya, apakah kelebihan anak muda itu ?"
"Jangan mempertanyakan hal itu," jawab Ki Lurah Branjangan, "kau harus dapat mengerti. Tanpa kelebihan yang berarti. Raden Sutawijaya tidak akan tertarik untuk mencalonkannya menjadi seorang pemimpin dari pasukan khusus ini."
"Dan pasukan ini akan menjadi sekelompok anak-anak muda yang liar dan tidak mempunyai ikatan paugeran yang berarti," jawab perwira muda yang memang belum begitu banyak mengenal Agung Sedayu. Lalu katanya, "Menilik sikapnya, aku cenderung untuk tidak mempergunakannya dalam pasukan ini. Kita dapat membuat laporan kepada Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga sehingga Raden Sutawijaya akan mendapat gambaran yang benar tentang anak muda itu."
Tetapi Ki Lurah Branjangan menggeleng, "Aku tidak akan berani melakukannya. Aku mengetahui hubungan antara Raden Sutawijaya dengan anak muda itu. Dan anak muda yang bernama Agung Sedayu itu benar-benar tidak mempunyai maksud apapun juga selain bahwa ia memang bukan seorang pengawal, apalagi pengawal khusus."
Agaknya perwira muda itu kurang mengerti sikap Ki Lurah yang tidak dapat bertindak tegas terhadap Agung Sedayu yang jelas telah mengabaikan pangeran seorang prajurit. Apalagi dalam pasukan khusus.
Sementara itu. Agung Sedayu yang meninggalkan barak itupun masih saja merasa berdebar-debar. Diluar sadarnya ia berkata, "Ki Waskita, aku tidak merasa tersinggung ketika Prastawa dan beberapa orang kawannya memukuli aku. Aku masih dapat berpikir bening untuk mencari penyelesaian yang baik. Tetapi kali ini aku merasa jantungku sangat berdebar-debar."
Ki Waskita tersenyum. Dipandanginya Agung Sedayu yang nampak muram didalam keremangan malam. Kemudian dengan nada rendah ia berkata, "Angger Agung Sedayu. Ki Lurah Branjangan adalah seorang pengawal. Sebelumnya ia adalah prajurit. Karena itu, sikapnya adalah sikap seorang prajurit. Ia sama sekali tidak bermaksud merendahkanmu dihadapan para perwira yang lain. Tetapi semata-mata karena ia ingin menegakkan wibawanya sebagai seorang pemimpin pasukan khusus. Yang dilakukan itu akan berlaku juga bagi setiap perwira yang ada didalam barak itu."
"Tetapi mereka adalah memang pengawal yang berada didalam lingkungan pasukan khusus," sahut Agung Sedayu.
"Kita adalah keluarga dari pasukan itu. Sebenarnyalah tidak ada persoalan apa-apa," berkata Ki Waskita.
Agung Sedayu tidak menjawab lagi. Tetapi rasa-rasanya memang kurang menyenangkan untuk menerima sikap Ki Lurah dihadapan para perwira. Meskipun demikian, ia berusaha untuk mengerti keterangan Ki Waskita.
Demikianlah untuk beberapa saat lamanya mereka berdua berjalan didalam gelapnya malam sambil berdiam diri. Mereka agaknya tengah digelut oleh angan-angan masing-masing.
Namun ketika mereka mulai memasuki padukuhan di ujung bulak, maka merekapun telah berhenti disebuah gardu yang diterangi oleh sebuah obor biji jarak yang tidak terlalu terang. Tetapi nampaknya beberapa orang pengawal Tanah Perdikan dan anak-anak muda padukuhan itu sedang duduk berbincang didalam gardu. Yang lain duduk sambil berkerudung kain panjang di mulut lorong di depan gardu.
Kedatangan Agung Sedayu dan Ki Waskita telah mereka sambut dengan riuh. Kemudian merekapun telah mempersilahkan keduanya untuk naik ke gardu pula.
"Terima kasih," jawab Ki Waskita, "kami ingin berjalan-jalan malam ini. Kemudian kembali ke rumah Ki Gede untuk beristirahat. Baru sore ini kami kembali dari Jati Anom. Karena itu, kami memang agak letih."
"O," anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba seorang anak muda yang bertubuh gemuk berkata, "Duduk sajalah dahulu. Sebentar lagi minuman akan kami hidangkan. Air sere yang masih panas dengan gula aren. Ketela rebus dalam badek aren. He, apakah kalian sering menikmati makanan yang demikian."
Ki Waskita tersenyum. Ketika ia memandang Agung Sedayu, ternyata Agung Sedayu mengangguk kecil.
"Baiklah," berkata Ki Waskita, "nampaknya angger Agung Sedayu tertarik kepada ketela rebus dalam badek aren. Tentu enak sekali. Apalagi bersama air sere yang masih hangat dengan gula aren pula."
Anak-anak muda itupun kemudian menyibak, memberikan tempai kepada Ki Waskita dan Agung Sedayu yang kemudian naik ke gardu perondan yang penuh dengan anak-anak muda itu.
Bersama anak-anak muda di Tanah Perdikan Menoreh, Agung Sedayu merasa lebih sesuai. Sambil bersandar dinding gardu. Agung Sedayu duduk disisi Ki Waskita yang sibuk menjawab pertanyaan anak-anak muda itu. Sekali-sekali Agung Sedayupun harus menjawabnya pula.
Banyak hal yang ingin diketahui oleh anak-anak muda itu. Tentang perjalanan Agung Sedayu dan Ki Waskita, tentang pasukan khusus di Tanah Perdikan itu dan tentang kawan-kawan mereka yang berada di pasukan khusus itu.
Belum terlalu lama mereka duduk, sebenarnyalah anak-anak itu telah menghidangkan air sere hangat dengan gula aren dan ketela rebus dan badek aren pula.
Karena itulah, maka Agung Sedayu dan Ki Waskita telah terjerat dalam pembicaraan yang panjang sambil minum dan makan ketela rebus. Karena itu, maka mereka berada di gardu itu sampai jauh lewat tengah malam.
Demikianlah, pada hari-hari berikutnya, Ki Waskita berhasil meyakinkan Agung Sedayu, bahwa ia harus melakukan segala kewajibannya sebagaimana seharusnya. Setiap hari Agung Sedayu selalu berada di barak pasukan khusus untuk memberikan bimbingan khusus bagi anak-anak muda yang lebih dahulu datang ke barak itu dan telah diangkat menjadi pembantu pimpinan dalam tataran-tataran tertentu.
Namun ternyata bahwa mereka berhasil melakukan tugas mereka sebaik-baiknya. Apalagi pada saat-saat tertentu Agung Sedayu masih memberikan tuntunan kepada mereka berganti-ganti, disamping para perwira yang lain dalam bidang yang berbeda-beda.
Dalam pada itu, selain memberikan tuntunan kepada anak-anak muda yang berada didalam lingkungan pasukan khusus. Agung Sedayu tidak mengabaikan tugasnya bagi Tanah Perdikan Menoreh, meskipun justru karena tugas-tugasnya didalam barak itu, waktunya menjadi jauh berkurang. Tetapi anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh, masih tetap mendapat bimbingannya, langsung atau tidak langsung. Karena pengawal Tanah Perdikan Menoreh sebagian telah terhisap kedalam pasukan khusus yang dibentuk oleh Mataram, maka Agung Sedayu telah mempersiapkanya yang baru. Ternyata di Tanah Perdikan Menoreh cukup terdapat anak-anak muda yang memiliki pengabdian yang tinggi terhadap kampung halamannya, sehingga Agung Sedayu sama sekali tidak mengalami kesulitan untuk mencari anak-anak muda dalam jumlah yang dikehendaki.
Sebenarnyalah Agung Sedayu telah bekerja keras. Ki Waskita yang mengetahui langsung, apa saja yang dilakukan oleh anak muda itu kadang-kadang merasa juga heran. Tetapi karena iapun mengetahui kemampuan yang tersimpan didalam diri anak muda itu, maka iapun dapat memaklumi bahwa Agung Sedayu mampu melakukannya.
Sejalan dengan perkembangan pasukan khusus yang dibentuk oleh Mataram di Tanah Perdikan Menoreh, maka Tanah Perdikan Menoreh sendiri berkembang dengan pesat. Tingkat kehidupannya telah berkembang. Jalan-jalan yang menghubungkan padukuhan-padukuhan menjadi bertambah ramai. Pedati-pedati yang membawa muatan beraneka ragam. Hasil bumi, buah-buahan dan sayur-sayuran. Hubungan dengan tetangga-tetanggapun menjadi semakin luas. Kademangan-kademangan besar kecil diseputar Tanah Perdikan Menoreh telah terpercik pula oleh kemajuan Tanah Perdikan itu.
*** Dalam pada itu, selagi Agung Sedayu tenggelam dalam kerja yang berat, tetapi memberikan banyak kesempatan kepadanya untuk menunjukkan pengabdiannya kepada sesama dalam meningkatkan tataran kehidupan di Tanah Perdikan Menoreh, dan kesempatan untuk meningkatkan ilmu kanuragan kepada para pemimpin dari pasukan khusus yang terdiri dari anak-anak muda yang mendahului kawan-kawannya berada di barak itu, di Jati Anom Ki Widura dan Untara telah mengadakan pembicaraan-pembicaraan yang sungguh-sungguh tentang hari perkawinan Agung Sedayu. Ki Widura dan Untara tidak dapat melepaskan tanggung jawab mereka atas pembicaraan yang pernah mereka lakukan dengan Ki Demang Sangkal Putung.
Karena itu, maka secara tidak langsung, Ki Widura selalu berhubungan dengan Ki Demang lewat Kiai Gringsing. Mereka membicarakan segala persiapan dan hari yang terpilih bagi perkawinan Agung Sedayu dan Sekar Mirah.
Namun dalam pada itu. Kiai Gringsing tidak dapat menyingkirkan kecemasannya karena perkembangan hubungan antara Pajang dan Mataram. Jika saat yang ditentukan itu tiba, sementara hubungan antara Pajang dan Mataram menjadi semakin buruk, maka persoalannya tentu akan menjadi berkaitan.
Hal itu tidak dapat disimpan saja didalam dada Kiai Gringsing. Kepada Ki Widura ia sudah berterus terang. Kemungkinan yang tidak dikehendaki itu akan dapat terjadi.
"Aku akan berbicara dengan Untara," berkata Ki Widura.
"Persoalannya sebenarnya tidak terletak kepada pimpinan keprajuritan di Pajang yang langsung berada dibawah perintah Kangjeng Sultan sendiri," berkata Kiai Gringsing, "tetapi justru orang-orang yang telah memanfaatkan keadaan bagi keuntungan diri mereka sendiri."
"Aku mengerti," jawab Ki Widura, "namun dengan pertimbangan Untara sebagai seorang Senapati, kami akan mendapat petunjuk-petunjuk pelaksanaan yang akan sangat bermanfaat. Karena Agung Sedayu adalah adik Untara itu sendiri."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, "Tentu. Tetapi biarlah aku berterus terang kepada Ki Demang tentang keadaan yang sebenarnya sedang dihadapi Pajang dan Mataram, karena sebenarnya Swandarupun sudah mengetahuinya."
Widura sama sekah tidak berkeberatan. Karena itu, maka baik pihak keluarga Agung Sedayu, maupun keluarga Sekar Mirah sudah memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi pada saat perkawinan itu berlangsung.
Pada saat-saat Kiai Gringsing di Sangkal Putung, ia banyak ikut dalam pembicaraan tentang kemungkinan-kemungkinan itu. Kemungkinan yang paling baik sampai kemungkinan yang paling pahit.
Tetapi Swandaru terlalu percaya kepada kekuatan para pengawal Kademangan Sangkal Putung. Dengan bangga ia berkata kepada Kiai Gringsing, "Guru, para pengawal akan sanggup menjaga ketenangan hari-hari perkawinan itu. Kami sanggup membentengi Kademangan ini dengan senjata. Pihak manapun juga yang akan mengacaukan hari-hari yang kita anggap penting itu, akan dapat kami usir keluar dari Kademangan ini."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak ingin membuat muridnya kecewa. Lalu katanya, "Aku mengerti Swandaru. Tetapi alangkah lebih baik jika hari-hari perkawinan itu tidak terganggu oleh apapun juga."
"Jadi maksud Guru?" bertanya Swandaru.
"Kita dapat membuat perhitungan yang sedikit cermat dari pertimbangan kasar yang dapat aku sebut, bahwa Mataram tidak akan mungkin mengganggu perkawinan itu," berkata Kiai Gringsing, "karena itu, maka kemungkinan terbesar yang akan mengganggu adalah orang-orang yang selama ini memusuhi Agung Sedayu."
"Orang-orang Pajang?" bertanya Swandaru.
"Jangan sebut demikian," jawab Kiai Gringsing, "mungkin memang satu dua orang yang kebetulan adalah orang-orang Pajang. Namun ada kemungkinan lain, bahwa yang terjadi bukan semata-mata ditujukan untuk mengacaukan hari-hari perkawinan itu sendiri. Tetapi jika yang terjadi itu benturan kekuatan antara Pajang dan Mataram justru pada saat-saat perkawinan itu terjadi. Dengan demikian kita akan dapat menyebut Pajang atau Mataram."
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia masih juga menjawab, "Kita akan berjaga-jaga guru. Pihak manapun juga yang akan memasuki Sangkal Putung, akan kita halau."
"Swandaru," berkata Kiai Gringsing, "jika persoalannya menyangkut perang antara Pajang dan Mataram, maka kau tentu akan dapat membayangkan, kekuatan yang akan dikerahkan, baik oleh Pajang maupun oleh Mataram."
Buku 153 SWANDARU menarik nafas dalam-dalam. Ia memang dapat membayangkan, jika Pajang bertempur melawan Mataram, maka keduanya akan mengerahkan kekuatan yang sangat besar.
"Swandaru," berkata Kiai Gringsing, "yang kita harapkan, adalah keterangan-keterangan yang meyakinkan bahwa perang tidak akan pecah pada bulan di akhir tahun ini."
Swandaru mengangguk-angguk. Jawabnya, "Ya guru."
"Nah, untuk itulah Ki Widura akan berhubungan terus menerus dengan Untara. Bukan saja sebagai kakak Agung Sedayu yang memang mempunyai tanggung jawab atas pelaksanaan hari perkawinan itu, tetapi ia adalah seorang Senapati Pajang. Ia akan banyak mendapat keterangan tentang perkembangan keadaan di Pajang meskipun terus terang, bahwa jalur kekuasaan keprajuritan Pajang telah bercabang-cabang, sehingga jalur yang satu tidak berhubungan dengan jalur yang lain, atau justru dengan sengaja bersembunyi dari pengamatan jalur kekuasaan yang lain."
Swandaru masih mengangguk-angguk. Katanya, "Salah satu cara guru. Mudah-mudahan pada waktu dekat tidak terjadi sesuatu yang akan dapat mengurungkan hari-hari perkawinan yang sudah ditunggu-tunggu bukan saja oleh orang tuaku, tetapi juga oleh orang-orang Sangkal Putung, karena mereka akan merasa ikut mengadakan peralatan itu."
Sebenarnyalah Untara sendiri kadang-kadang tidak dapat menyembunyikan kecemasan hatinya. Kepada Ki Widura ia mengakui, bahwa banyak hal yang tidak diketahuinya berkembang di Pajang pada hari-hari terakhir. Bahkan Untara melihat betapa para pemimpin keprajuritan di Pajang seolah-olah telah kehilangan ikatan, sehingga mereka bertindak sendiri-sendiri sesuai dengan kepentingan masing-masing.
"Jadi bagaimana menurut pertimbanganmu ?" bertanya Ki Widura.
"Bagaimanapun juga aku masih seorang Senapati, paman," jawab Untara, "aku masih akan dapat berbuat sebagai seorang Senapati didaerah ini."
"Apa maksudmu?" bertanya Ki Widura.
"Untuk menghindari kemungkinan buruk itu, aku masih dapat bertindak bersama pasukanku," jawab Untara, "atau mungkin aku akan menerima perintah dalam hubungannya dengan sikap pemimpin keprajuritan Pajang, yang manapun juga yang pada saat terakhir menguasai keadaan."
"Bagaimana jika perintah itu bukan yang dapat memberi peluang bagi Agung Sedayu untuk melakukan perkawinan itu?" bertanya Ki Widura.
"Jika memang keadaan memaksa, bukankah lebih baik perkawinan itu ditunda?" jawab Untara, "aku kira hal itu lebih baik dari pada perkawinan itu dipaksakan juga berlangsung pada hari yang telah ditentukan, tetapi akan mengalami gangguan-gangguan yang akan dapat menyulitkan!"
Ki Widura mengangguk-angguk. "Tetapi rasa-rasanya Sangkal Putung akan sangat menjadi kecewa apabila perkawinan itu harus ditunda. Namun, jika keadaan memang menjadi sangat gawat, maka apa boleh buat."
"Paman," berkata Untara, "sebenarnya aku tidak dapat mengatakannya kepada siapapun juga. Tetapi karena paman adalah bekas prajurit, maka aku kira paman akan dapat menyimpan kecemasan ini didalam hati. Sejak terbentuknya pasukan khusus yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Prabadaru, aku justru menjadi bimbang terhadap kebijaksanaan pimpinan prajurit di Pajang," Untara berhenti sejenak, lalu "Sebagai paman ketahui, aku adalah seorang prajurit. Aku sudah menyerahkan diri kedalam ikatan yang utuh bagi seorang prajurit. Tetapi sudah barang tentu aku bukan alat yang mati bagi Pajang. Aku masih tetap seorang yang mempunyai pertimbangan nalar budi, sehingga keadaan yang berkembang pada saat terakhir, dapat mengguncang nalar dan pertimbanganku, sehingga menimbulkan berbagai pertanyaan didalam diri."
"Bukankah dengan demikian kau berada didalam kesulitan untuk menentukan sikap?" bertanya Ki Widura.
"Aku sudah sepakat dengan para perwira di Jati Anom, bahwa kami akan mempertimbangkan semua keadaan yang berkembang kemudian. Sebenarnyalah kami sudah mengetahui, bahwa sejak beberapa lama. Sultan di Pajang sudah tidak memerintah lagi sebagaimana yang seharusnya. Dalam keadaan sakit-sakitan, maka pemerintahan sedang terombang-ambing diantara orang-orang yang tamak dan mementingkan diri sendiri."
Ki Widura menarik nafas dalam-dalam. Sebagai seorang bekas prajurit ia dapat mengerti, betapa sulitnya kedudukan Untara kemudian. Bagaimanapun juga Untara masih terikat pada susunan tataran keprajuritan. Namun ia mengetahui, bahwa jalur tingkatan keprajuritan itu sudah rapuh justru di tingkat puncaknya.
"Tetapi sikap itu mengandung kemungkinan yang berbahaya bagi kesatuanmu Untara," desis Ki Widura kemudian.
"Memang paman. Mungkin akan dapat berakibat sangat buruk bagi aku sendiri. Tetapi aku tidak dapat berbuat lain. Aku menganggap bahwa hal itu akan lebih baik daripada secara buta dan tuli aku berbuat berdasarkan perintah, namun jalur urutan perintah itu tidak lagi sampai kepada puncak pimpinan pemerintahan Pajang yang sebenarnya. Dalam hal ini Kangjeng Sultan sendiri," jawab Untara. Lalu, "Aku akan dapat menghindari segala tindakan dan perbuatan yang dapat menjerat aku kedalam satu sikap mati, sebagai sekedar alat untuk alas kepentingan seseorang."
Ki Widura menarik nafas dalam-dalam. Bagaimanapun juga sikap Untara adalah sikap seorang prajurit Pajang, yang tetap mengakui Kangjeng Sultan Hadiwijaya sebagai pimpinan pemerintahan yang sah.
Namun karena itu, maka agaknya Untarapun tidak akan mudah berpaling ke Mataram, meskipun pada suatu saat ia akan menentang perintah yang datang dari Pajang, namun yang tidak lagi berpangkal kepada perintah Kangjeng Sultan di Demak.
Segala macam peristiwa itulah yang ternyata harus dipertimbangkan oleh Widura, Kiai Gringsing dan Ki Demang Sangkal Putung. Meskipun Ki Widura tidak mengatakannya hal itu kepada Ki Demang, namun ia sudah membayangkan kemungkinan-kemungkinan apabila perkawinan harus ditunda.
"Tetapi itu adalah kemungkinan yang paling pahit, yang akan kita pertimbangkan apabila kita sudah tidak mempunyai jalan lain," berkata Ki Widura.
Sementara itu, haripun merayap semakin dekat dengan saat yang telah ditentukan. Hari, pekan dan bulan seolah-olah berlari seperti bayangan. Demikian cepatnya, sehingga tidak seorangpun yang dapat mengelakkan diri dari kejaran waktu.
Pada saat terakhir, ternyata Untara memberikan isyarat kepada Ki Widura, bahwa keadaan masih cukup tenang. Meskipun kemelut yang terdapat di Pajang memang menjadi semakin kabur, berbaur dengan kepentingan seorang-seorang, tetapi Untara menganggap bahwa masih belum akan sampai kepada satu saat untuk meledak.
"Kecuali jika Mataramlah yang justru mengambil kesempatan," berkata Untara, "karena Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga adalah seorang yang cermat mengamati keadaan, maka mungkin sekali ia melihat satu peluang yang paling baik untuk menghancurkan Pajang sama sekali."
Tetapi Ki Widura kemudian bertanya, "Apakah kau mempunyai satu dugaan, betapapun tipisnya, bahwa Raden Sutawijaya dapat berbuat demikian?"
Untara menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Widura sejenak. Namun kemudian katanya, "Terus-terang paman, aku memang mempunyai dugaan bahwa Raden Sutawijaya pada suatu saat akan mempergunakan kesempatan untuk berbuat sesuatu atas Pajang yang dianggapnya tidak akan dapat ditolongnya lagi."
"Apakah dengan demikian, kau dapat menyebut bahwa Mataram akan memberontak?" bertanya Widura kemudian.
Untara termangu-mangu sejenak. Namun kemudian jawabnya, "Kita semuanya masih ingat, bagaimana Ki Gede Pemanahan dan puteranya itu meninggalkan Pajang. Kitapun mengerti, bahwa Raden Sutawijaya sudah menyatakan diri tidak akan naik ke paseban di Pajang, sebelum Mataram berhasil membentuk dirinya. Bagaimana tanggapan paman atas sikap itu" Bukankah sikap itu tidak ubahnya satu sikap perlawanan terhadap kekuasaan Pajang?"
"Selama Kangjeng Sultan masih memegang pimpinan pemerintahan dengan wajar. Tetapi Raden Sutawijaya bukan seorang anak yang bodoh, yang melihat, bahwa sebenarnya yang sekarang berkuasa di Pajang adalah satu lingkungan yang tidak pasti."
"Dan karena itu. Raden Sutawijaya ingin menyelamatkan Pajang, atau justru menghancurkan Pajang?" bertanya Widura.
"Paman," jawab Untara, "aku adalah seorang prajurit. Sikapku adalah sikap seorang prajurit Pimpinan tertinggi Pajang adalah Sultan Hadiwijaya. Siapapun yang kemudian akan tampil, tanpa restu Kangjeng Sultan Hadiwijaya, ia bukan orang yang berhak memerintah aku."
Widura menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, "Baiklah Untara. Aku tidak bermaksud berbicara tentang sikap Mataram. Tetapi kita akan berbicara tentang hari-hari perkawinan Agung Sedayu. Nah, bagaimana pendapatmu?"
"Sudah aku katakan. Pada hari-hari yang ditentukan itu akan dapat dilaksanakan sesuai dengan rencana. Untuk menghindari persoalan dengan Pajang, aku akan dengan sengaja, memberitahukan kepada pimpinan prajurit di Pajang, dimanapun mereka berdiri, bahwa aku akan menempatkan pasukanku untuk menjaga ketenangan hari-hari perkawinan itu. Sudah tentu, bahwa Agung Sedayu tidak berhak untuk mendapatkan pengawalan yang demikian. Tetapi aku dapat mempergunakan dalih apapun, seolah-olah aku mendapat keterangan bahwa ada pihak-pihak tertentu yang akan mengacaukan hubungan antara Pajang dan Mataram, dengan mempergunakan kesempatan saat-saat perkawinan itu."
Ki Widura mengangguk-angguk. Untara memang cukup cepat berpikir. Ia tidak mengerahkan pasukannya bagi hari peralatan adiknya. Tetapi baginya, keterangan tentang akan timbulnya kekacauan itulah yang penting, yang dapat dipergunakannya sebagai alasan untuk mengerahkan pasukannya.
Dengan demikian, karena yang bersiap-siap di sekitar Sangkal Putung adalah prajurit Pajang, maka Pajang atau orang-orang yang ditunjuk tentu akan berpikir ulang jika mereka akan memanfaatkan hari-hari perkawinan Agung Sedayu itu untuk membuat keonaran.
Meskipun demikian, kemungkinan yang paling buruk-pun masih dapat terjadi. Mungkin orang-orang yang tidak dikenal, akan dapat mengaku dari pihak manapun juga untuk membuat kekacauan. Karena itu, maka disamping pasukan yang akan dipersiapkan oleh Untara, maka sebaiknya beberapa pemimpin dari Matarampun diundang pula dalam peralatan itu.
"Memang kurang mapan. Bahkan deksura, jika perkawinan Agung Sedayu, seorang penghuni padepokan kecil dengan seorang gadis anak seorang Demang telah mengundang pemimpin-pemimpin di Mataram," berkata Widura. Lalu, "Tetapi mengingat hubungan antara Raden Sutawijaya dengan Agung Sedayu secara pribadi, maka hal itu mungkin dilakukan."
Untara mengangguk-angguk. Bahkan hampir diluar sadarnya ia bergumam, "Paman, selama ini aku menganggap Agung Sedayu adalah seorang anak muda perajuk yang tidak berarti. Seorang anak muda yang menyimpan kemampuan didalam diri, sebagaimana seorang yang menyembunyikan cintanya terhadap seorang gadis yang tidak dikenalnya. Ia seakan-akan menyingkir disebuah padepokan kecil yang tidak berarti apa-apa. Namun pada saat yang demikian, baru aku melihat, bahwa sebenarnya Agung Sedayu adalah seorang yang mempunyai pengaruh yang luas, jika aku tidak ingin mempergunakan istilah seorang yang besar. Ia mendapat sorotan tajam dari Pajang dan Mataram disaat ia akan kawin. Bahkan ternyata ia telah menggerakkan sepasukan prajurit Pajang dan mungkin pemimpin-pemimpin dari Mataram."
Ki Widura menarik nafas dalam-dalam. Ternyata akhirnya Untara mengakui juga kelebihan pada adiknya itu, meskipun selama ini ia selalu mendesaknya agar Agung Sedayu segera menggantungkan diri bagi suatu masa mendatang yang panjang.
Meskipun demikian, Ki Widurapun tidak dapat ingkar, bahwa kebesaran Agung Sedayu sebagian itu telah lewat, apakah pengabdiannya itu masih akan tetap dikenang oleh pihak yang bersangkutan. Tidak jarang bahwa mereka yang telah menunjukkan pengabdian yang tinggi, justru terjerat oleh keadaan yang paling pahit, setelah masa pengabdian itu lewat.
Karena itu, maka kebesaran Agung Sedayu pada satu saat tertentu bukan jaminan yang baik bagi masa depannya. Bagi masa depan keluarganya. Sementara Ki Widura serba sedikit dapat mengenali sifat dan watak Sekar Mirah yang mirip dengan watak dan sifat kakaknya, Swandaru.
Namun dalam pada itu, hari-haripun telah lewat. Sangkal Putung benar-benar telah mempersiapkan satu peralatan yang cukup meriah. Sementara itu, Ki Widura dan Untara masih selalu mencari keterangan-keterangan yang berhubungan dengan perkembangan keadaan di Pajang.
Dalam pada itu, Kiai Gringsingpun berpendapat, bahwa pihak Matarampun harus dihubungi. Karena itu, maka ia telah menyatakan dirinya untuk pergi ke Tanah Perdikan Menoreh, menemui dan berbicara dengan Agung Sedayu sendiri sebagai seseorang yang berkepentingan. Apalagi di Tanah Perdikan Menoreh terdapat Ki Waskita dan Ki Gede.
"Waktunya sudah terlalu dekat," berkata Kiai Gringsing, "sebaiknya Agung Sedayu sudah berada di Jati Anom beberapa hari lagi. Jika mungkin aku akan kembali bersamanya agar kita tidak selalu gelisah karenanya."
Ternyata baik Widura maupun Ki Demang Sangkal Putung sependapat dengan Kiai Gringsing. Agung Sedayu harus secepatnya berada di Jati Anom, agar jika waktunya tiba, semua pihak tidak menjadi gelisah karenanya.
"Tetapi dengan siapa guru akan pergi?" bertanya Swandaru.
"Aka dapat pergi seorang diri," berkata Kiai Gringsing, "nampaknya justru aku akan aman diperjalanan."
"Keadaan menjadi semakin tidak menentu," berkata Swandaru, "sebaiknya guru tidak pergi sendiri dalam keadaan seperti ini."
"Tetapi sebaiknya kaupun tidak meninggalkan Sangkal Putung," berkata Kiai Gringsing, "banyak hal dapat terjadi. Meskipun Pandan Wangi dan Sekar Mirah memiliki kemampuan olah kanuragan, tetapi mereka tidak akan dapat mengambil sikap sebagaimana kau lakukan."
Swandaru mengangguk-angguk. Sebenarnyalah bahwa ia tidak akan sampai hati meninggalkan Sangkal Putung menjelang hari-hari yang penting. Swandaru menyadari, bahwa dikehendaki atau tidak dikehendaki, ternyata banyak pihak yang memusuhi Agung Sedayu dan dirinya sendiri.
Kiai Gringsing melihat kebimbangan di wajah Swandaru itupun kemudian berkata, "Baiklah. Jika Ki Widura bersedia, aku akan pergi bersamanya."
"Ki Widura bukan orang yang dapat disejajarkan dengan orang-orang berilmu tinggi," hampir diluar sadarnya Swandaru menjawab.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Mungkin memang demikian. Tetapi ia adalah bekas seorang perwira prajurit Pajang yang berpengaruh pada masanya."
"Memang pada waktu itu," jawab Swandaru, "tetapi apakah guru tidak justru harus melindunginya dalam keadaan yang sulit diperjalanan."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ia memang mengerti bahwa Swandaru tidak bermaksud buruk. Sebenarnyalah bahwa ilmu Ki Widura sudah tertinggal dibanding dengan Agung Sedayu dan Swandaru sendiri. Tetapi bagaimanapun juga Ki Widura adalah seorang Senapati pada masa lewat. Bahkan justru di hari tuanya ia sempat memperdalam ilmunya bersama anak laki-laki-nya didalam goa yang telah diketemukan oleh Agung Sedayu.
Dalam pada itu, tiba-tiba saja Kiai Gringsing teringat kepada seorang prajurit yang bersahabat baik dengan Agung Sedayu. Sabungsari. Karena itu, dengan serta merta ia berkata, "Mungkin aku akan mendapat ijin angger Untara untuk membawa Sabungsari bersamaku."
Swandaru mengerutkan keningnya. Ia mengenal Sabungsari. Dan iapun mengakui bahwa Sabungsari adalah seorang prajurit yang memiliki kelebihan dari prajurit kebanyakan. Sehingga karena itu, maka Swandaru itupun kemudian berkata, "Jika Untara tidak berkeberatan, ada juga baiknya guru pergi bersama Sabungsari bersama Ki Widura. Atau kedua-duanya."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah, aku akan berbicara dengan mereka."
"Silahkan guru," jawab Swandaru, "selain bagi kelancaran perjalanan guru, sebaiknya di perjalanan kembali, dapat dijamin bahwa Agung Sedayu akan selamat sampai ke Jati Anom. Meskipun aku percaya bahwa kakang Agung Sedayu sendiri cukup mempunyai ilmu, tetapi jika yang dihadapi sejumlah orang diluar kemampuan perlawanannya, maka ia tidak akan dapat berbuat banyak."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Aku akan segera menghubungi angger Untara dan Ki Widura."
"Saatnya sudah menjadi semakin dekat. Paling lambat, sepasar sebelum hari perkawinan. Agung Sedayu harus sudah siap." berkata Swandaru.
Kiai Gringsingpun kemudian minta diri kepada Ki Demang untuk pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Namun sebelumnya ia akan singgah lebih dahulu di Jati Anom.
Ternyata Untara sama sekali tidak berkeberatan ketika Kiai Gringsing menyatakan untuk mohon pertolongan Sabungsari pergi bersamanya ke Tanah Perdikan Menoreh bersama Ki Widura. Meskipun perjalanan itu tidak terlalu lama, tetapi kemungkinan-kemungkinan yang tidak diinginkan akan dapat terjadi di sepanjang perjalanan.
Tetapi ternyata bahwa Glagah Putih tidak mau ditinggalkan sendiri. Sebenarnya Ki Widura sudah menduga, bahwa Glagah Putih tentu akan ikut pergi ke Tanah Perdikan Menoreh jika Ki Widura memperkenankan.
Ternyata setelah berbicara dengan Kiai Gringsing dan Sabungsari, Ki Widura tidak berkeberatan untuk membawa Glagah Putih bersama mereka ke Tanah Perdikan Menoreh.
Pada saat yang ditentukan, ketika matahari terbit dipagi yang cerah, empat orang berkuda meninggalkan padepokan Jati Anom. Mereka adalah Kiai Gringsing, Ki Widura, Sabungsari dan Glagah Putih. Rasa-rasanya Glagah Putih mendapat kesempatan untuk ikut bertamasya, sehingga wajahnyapun menjadi cerah seperti cerahnya pagi itu pula.
Perjalanan yang ditempuh oleh Glagah Putih bukannya perjalanan yang pertama kali. Meskipun demikian, ia masih saja sempat menikmati segarnya udara di bulak-bulak panjang yang hijau.
Titik-titik embun yang masih bergayutan di daun padi, nampak berkilat-kilat memantulkan cahaya matahari pagi.
Kudanya yang tegar berlari mendahului Kiai Gringsing dan Ki Widura. Dibelakangnya Sabungsari seakan-akan mengikuti saja anak muda yang gembira itu.
Dalam perjalanan yang menuju ke Tanah Perdikan Menoreh itu, Kiai Gringsing dan Ki Widura sudah bersepakat; bahwa mereka tidak akan singgah di Mataram. Mereka akan langsung menuju ke Tanah Perdikan Menoreh dan setelah bermalam satu dua malam, mereka akan mengajak Agung Sedayu kembali ke Jati Anom sampai saatnya hari perkawinannya tiba.
"Sebelum Agung Sedayu berada di Jati Anom, adalah sangat wajar jika Ki Demang dan keluarganya selalu dibayangi oleh kegelisahan. Apalagi mereka mengetahui, bahwa ada orang-orang yang kadang-kadang tanpa diketahui sangkan parannya berusaha untuk membinasakannya."
Tidak ada hambatan yang timbul diperjalanan. Ketika mereka menuruni jalan yang lebih besar menuju ke Mataram, nampaknya jalan tidak terlalu ramai. Meskipun demikian, ada juga beberapa pedati yang lewat membawa hasil panenan.
Seperti semula kadang-kadang Glagah Putih mendahului ayahnya yang berkuda bersama Kiai Gringsing. Sabungsari berada tidak terlalu jauh dibelakangnya.
Ketika mereka menuruni Kali Opak di Prambanan, maka matahari sudah terasa menyengat kulit. Untuk beberapa saat mereka memberi kesempatan kepada kuda mereka untuk beristirahat. Sementara penunggangnya duduk diatas bebatuan dibawah pohon yang rindang.


07 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah kuda mereka minurri dan makan rerumputan yang hijau dipinggir Kali Opak, maka merekapun segera melanjutkan perjalanan.
Tetapi rasa-rasanya ada kelainan yang mereka jumpai di jalan yang menuju ke Mataram itu. Ia melihat jalan itu menjadi semakin sepi. Ada satu dua orang yang lewat dengan tergesa-gesa.
Bahkan ketika mereka semakin jauh meninggalkan Kali Opak, maka seseorang yang berkuda bertentangan arah telah menghentikan mereka.
"Ki Sanak," bertanya orang itu dengan nafas terengah-engah, "kemana kalian akan pergi?"
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya, "Kami akan pergi ke Menoreh."
"Aku persilahkan Ki Sanak mengambil jalan lain," berkata orang itu.
"Kenapa?" bertanya Glagah Putih ingin tahu.
"Di pedukuhan sebelah telah terjadi satu keributan," jawab orang itu.
"Keributan apa?" Ki Widurapun tertarik.
"Aku kurang mengerti. Tetapi sekelompok orang-orang yang marah telah membakar sebuah warung. Aku tidak tahu nasib pemilik warung itu," jawab orang berkuda. Lalu, "Aku lebih baik menghindari persoalan yang tidak aku mengerti, dan sama sekali tidak menyangkut diriku sendiri. Karena itu, aku anjurkan Ki Sanak untuk mengambil jalan lain."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah Ki Sanak. Terima kasih. Kami akan mengambil jalan lain yang meskipun barangkali jalan lebih buruk."
"Ya. Tetapi kalian tidak akan terlibat kedalam persoalan yang mungkin sangat berbahaya," berkata orang berkuda itu sambil minta diri, "aku akan mencari jalan pula."
Keempat orang dari Jati Anom itu termangu-mangu sejenak. Mereka memandangi orang berkuda yang kemudian berpacu dengan cepat menuju kearah yang berlawanan.
"Bagaimana dengan kita," desis Kiai Gringsing, "apakah kita akan mencari jalan lain?"
"Tidak," tiba-tiba saja Glagah Putih menyahut, "mungkin seseorang memerlukan pertolongan."
Ki Widura menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti, bahwa darah petualangan anak muda mengalir dalam diri anaknya. Tetapi iapun juga merasa berbangga bahwa anaknya merasa dirinya berkewajiban untuk menolong sesama yang memerlukannya.
Karena itu, maka Ki Widurapun kemudian bertanya kepada Kiai Gringsing, "Bagaimana pertimbangan Kiai?"
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Seakan-akan ia berdiri dijalan simpang. Jika ia mencampuri persoalan yang tidak diketahuinya, mungkin sekali persoalan itu akan dapat mengganggu perjalanannya yang sangat penting bagi keluarga Sangkal Putung itu.
Tetapi apakah ia akan sampai hati membiarkan persoalan yang menekan seseorang dan bahkan mungkin membahayakannya tanpa memberikan pertolongan seperti yang dikatakan oleh Glagah Putih.
Selagi Kiai Gringsing dibayangi oleh keragu-raguan, Glagah Putih itupun mendesaknya, "Kita mempunyai kewajiban menolong sesama. Kiai. Mudah-mudahan kita tidak terlambat."
Akhirnya Kiai Gringsing mengangguk. Katanya, "Baiklah. Kita akan berjalan terus melalui jalan ini. Bagaimana pertimbangan angger Sabungsari?"
Sabungsari mengerutkan keningnya. Namun jawabnya kemudian, "Aku sependapat Kiai."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Karena itu, maka mereka berempatpun kemudian meneruskan perjalanan. Ketika mereka sempat berpaling maka orang berkuda yang telah menghentikan mereka telah menjadi semakin jauh dan kemudian hilang ditikungan.
Dalam pada itu, jalan yang mereka lalui benar-benar lengang. Mereka menjadi berdebar-debar ketika mereka melihat asap yang mengepul di pedukuhan dihadapan mereka.
Ternyata Glagah Putih menjadi tidak sabar. Ia telah memacu kudanya semakin cepat.
Sejenak kemudian, mereka telah memasuki padukuhan yang sedang ditimpa kemalangan. Mereka segera melihat sebuah rumah yang tidak terlalu besar sedang terbakar. Sebuah warung yang terletak dipinggir jalan. Sementara itu, mereka melihat beberapa orang sedang membentak-bentak dan bahkan diantara mereka tengah menyakiti seseorang yang tidak mampu berbuat sesuatu. Beberapa langkah dari orang-orang yang kasar itu, seorang perempuan memeluk anaknya sambil menangis.
"Gila. Apa yang mereka lakukan," geram Glagah Putih.
Tetapi ternyata Glagah Putih memang masih terlalu muda, sehingga Sabungsari harus menahannya, "Tunggu. Kita bersama-sama mendekat."
Tetapi Glagah Putih seolah-olah tidak mendengarnya. Justru karena itu, maka ia telah melecut kudanya semakin cepat.
Karena itu, maka Sabungsari tidak rela membiarkannya mendahului seorang diri. Iapun kemudian memacu kudanya pula, sementara Kiai Gringsing dan Ki Widura dengan serta merta mengikuti kedua anak muda itu pula.
Jarak mereka berempat sudah tidak begitu jauh. Karena itu, maka agaknya orang-orang yang sedang sibuk itu telah tertarik pula untuk memperhatikan keempat orang berkuda yang datang itu.
Glagah Putih yang pertama mendekati orang-orang yang sedang sibuk dengan seorang yang sudah tidak berdaya itu segera meloncat turun. Setelah mengikat kudanya pada sebatang pohon yang tidak terlalu dekat dengan api yang sedang menelan warung dipinggir jalan itu, maka iapun segera mendekati orang-orang kasar yang memandanginya dengan heran.
"Apa yang sedang kalian lakukan?" justru Glagah Putih yang pertama-tama bertanya.
"Siapa kau?" geram salah seorang dari orang-orang yang sedang marah itu.
"Aku bertanya lebih dahulu," bentak Glagah Putih, "apa yang sedang kalian lakukan terhadap orang yang tidak berdaya itu. Apa salahnya dan apakah sudah sepantasnya kalian memperlakukannya demikian. Orang itu sama sekali tidak melawan. Sama sekali tidak mempunyai kemampuan untuk melawan. Namun kalian masih saja bertindak sewenang-wenang."
"Apa pedulimu," tiba-tiba seorang yang berjambang dan berjanggut lebat berteriak, "kau tidak berurusan dengan kami. Kau bukan sanak bukan kadang orang ini. Aku minta kau pergi secepatnya jika kau tidak ingin mengalami nasib seperti orang ini."
"Persetan," geram Glagah Putih, "setiap orang berkepentingan dengan tindak sewenang-wenang. Setiap orang berhak mencegah dan menjaga agar tindakan sewenang-wenang tidak terulang lagi."
Wajah orang itu menjadi merah. Katanya, "Kau gila. Siapakah sebenarnya kau heh. Apa sangkut pautmu dengan orang ini. Sekali lagi aku peringatkan. Pergi dari tempat ini, atau kau akan aku lemparkan kedalam api itu."
Tetapi Glagah Putih sama sekali tidak menjawab. Katanya, "Aku peringatkan. Lepaskan orang itu."
Orang berjambang dan berjanggut lebat itu rasa-rasanya tidak dapat menahan hatinya lagi. Namun sementara itu, Sabungsari, Kiai Gringsing dan Ki Widura sudah berada dibelakang anak muda itu.
"Ki Sanak," Widuralah yang kemudian bertanya, "kami memang ingin mengetahui, persoalan apakah yang telah terjadi. Mungkin orang itu sudah bersalah. Jika ia bersalah, apa yang telah dilakukannya. Jika kalian bersedia memberikan keterangan, dan kami dapat mengerti, mungkin kami akan bersikap lain. Anakku itupun akan bersikap lain."
Orang berjambang dan berjanggut lebat itu sudah tidak ingin berbicara lagi. Kemarahannya telah sampai ke ubun-ubunnya. Namun seorang yang bertubuh tinggi, kekar dan bermata juling telah maju selangkah sambil berkata, "Baiklah. Kalian memang ingin tahu apa yang telah terjadi. Nampaknya kalian memang orang-orang yang ingin mencari persoalan dan barangkali juga petualang, menilik senjata-senjata yang kalian bawa. Orang ini telah mengkhianati dua orang kawan kami."
"Pengkhianatan apa yang telah dilakukan?" bertanya Ki Widura.
"Ceritanya panjang Ki Sanak," jawab orang juling itu, "tetapi baiklah aku ceriterakan secara singkat. Dua orang kawan kami yang tinggal di warung ini telah diumpankan kepada segerombolan orang yang ternyata telah merampoknya. Barang kawan kami yang sangat berharga telah dibawa oleh segerombolan orang itu dan kedua kawan kami sampai saat ini tidak pernah kembali. Orang ini tentu mengetahui, siapakah orang-orang yang telah membawa kawan kami itu."
Ki Widura mengangguk-angguk. Katanya, "Darimana kalian tahu, bahwa kedua kawan kalian telah dirampok di warung ini, karena kedua orang kawan kalian tidak pernah kembali."
"Kau memang bodoh. Terjadi perkelahian disini. Banyak orang yang mengetahuinya meskipun mereka tidak berani menyaksikannya. Berita itu telah tersebar dan sampai ketelinga kami. Kami yakin, dua orang yang berkelahi di tempat ini adalah kawan-kawan kami."
Ki widura masih mengangguk-angguk, dipandanginya orang yang dengan lemah terduduk di tanah. Sementara beberapa langkah di sebelah mereka, seorang perempuan menangis sambil memeluk anaknya. Di belakang sebuah halaman sempit sebuah rumah sedang terbakar. Tidak seorangpun yang berani keluar untuk membantu memadamkan api yang bagaikan menjilat mega-mega di langit.
"Ki sanak," bertanya Ki Widura kepada orang yang sudah hampir pingsan itu, "apakah kau tahu serba sedikit, siapakah yang telah membawa dua orang kawan orang-orang ini?"
"Mereka menyebut diri mereka pengawal dari Mataram," jawab orang itu sendat hampir tak terdengar.
"Bohong," teriak orang juling itu, sementara seorang yang lain telah menarik rambutnya, "sekali lagi kau sebut pengawal dari Mataram, aku cincang kau disini. Pengawal dari Mataram tidak akan merampok kedua kawanku itu."
Yang terdengar adalah keluhan tertahan. Orang itu sudah tidak dapat berbuat apapun lagi. Karena itu, ketika rambutnya dilepaskan, ia telah jatuh terjerembab.
Glagah Putih hampir saja meloncat. Tetapi sabungsari yang lebih masak oleh pengalamannya telah menggamitnya, sehingga niatnya telah diurungkannya.
"Ki Sanak," berkata Kiai Gringsing kemudian, "apakah keuntungan orang itu berbohong. Mungkin ia mengatakan sebenarnya apa yang diketahuinya. Memang tidak masuk akal bahwa pengawal dari Mataram telah merampok. Tetapi yang berbohong mungkin bukan orang itu. Tetapi orang-orang yang mengaku diri mereka pengawal dari Mataram itu. Apalagi di tempat ini telah terjadi perkelahian. Agaknya yang terjadi mungkin perampokan, tetapi mungkin perselisihan."
"Kau jangan membuat kami bertambah marah," teriak orang yang berjambang dan berjanggut lebat, "kami sudah siap untuk membunuh. Siapapun yang mencoba menentang kami akan kami bunuh. Jika orang ini tidak mau mengatakan yang sebenarnya, iapun akan kami bunuh pula."
"Itu tidak adil," jawab Kiai Gringsing, "mungkin orang itu benar-benar tidak mengetahuinya. Keterangan yang kalian dapatpun tidak lengkap dan cukup kuat untuk menjatuhkan tuduhan yang demikian."
Orang-orang itu tidak dapat menahan diri lagi. Mereka yang masih mengerumuni orang yang sudah tidak berdaya itu telah meninggalkannya dan dengan wajah yang tegang mereka menghadapi keempat orang berkuda yang mereka anggap mulai mengganggu itu.
"Jangan banyak bicara lagi," orang juling itu berkata, "pergi dari tempat ini sekarang, atau aku akan menganggap kalian bersalah seperti orang itu."
"Kalian yang harus pergi," teriak Glagah Putih tiba-tiba. "perbuatan kalian sudah melampaui batas kemanusiaan. Apa pula salah rumah yang kau bakar itu?"
"Diam monyet kecil," bentak orang berjambang dan berjanggut lebat, "kau membuat perutku mual."
Sekali lagi Sabungsari harus menggamit Glagah Putih sambil berbisik, "Biarlah Kiai Gringsing mengambil sikap."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Didampinginya Sabungsari yang nampaknya masih tetap tenang itu.
Sekilas Kiai Gringsing sempat menghitung orang-orang yang dengan kasar berkeliaran didepan warung yang terbakar itu. Nampaknya mereka memang tidak takut terhadap orang-orang yang melihat peristiwa itu. Agaknya mereka memperhitungkan, bahwa jarang sekali terdapat satu kelompok peronda yang lewat padukuhan itu. Jika ada peronda yang lewat, maka mereka adalah para pengawal Pajang yang berkedudukan di Prambanan, dan yang masih berada dibawah kepemimpinan Senapati Pajang di bagian Selatan. Apalagi mereka mengetahui bahwa prajurit Pajang di Prambanan hampir tidak berarti sama sekali, selain sekedar mengawasi keadaan.
"Sepuluh orang," desis Kiai Gringsing didalam hatinya.
Dalam pada itu, agaknya Ki Widura dan Sabungsari pun melakukan hal yang serupa. Merekapun berkata kepada diri sendiri, "Sepuluh orang."
Hanya Glagah Putih sajalah yang tidak menghiraukannya. Terdorong oleh darahnya yang masih terlalu cepat menggelegak, maka ia tidak lagi sempat membuat perhitungan-perhitungan sebagaimana orang-orang yang telah berpengalaman.
"Ki Sanak," tiba-tiba Kiai Gringsing berkata, "sebaiknya aku mengajukan satu permintaan. Orang itu tidak cukup bukti telah terlibat dalam satu kesalahan seperti yang kau tuduhkan. Yang terjadi didalam warungnya bukan sepenuhnya menjadi tanggung jawabnya. Bahkan mungkin ia sudah menderita kerugian karenanya. Karena itu, lepaskan saja tuntutan kalian atas orang yang tidak tahu apa-apa itu."
"Kalian jangan mengigau," geram orang yang bermata juling dan bertubuh tinggi besar itu, "sebenarnya kami tidak ingin mengotori tangan kami dengan darah petualang dungu seperti kalian. Tetapi jika kalian memaksa kami, maka apaboleh buat. Kami akan melakukannya."
"Jangan begitu Ki Sanak," jawab Kiai Gringsing, "bukan maksud kami mencari persoalan, apalagi pertentangan. Tetapi kamipun tidak akan dapat tinggal diam melihat perlakuan kalian. Karena itu, kami mengusulkan, agar kalian berpikir sedikit bening. Orang itu sudah akan dapat mengatakan apapun yang kalian kehendaki, apalagi untuk menemukan jejak kedua kawanmu yang hilang itu."
"Cukup," teriak orang bermata juling, "kalian memang ingin mati. apapun yang aku lakukan, dan berapapun korban yang akan jatuh, aku harus menemukan kedua orang kawanku. Aku sudah cukup sabar, karena aku sudah berhari-hari mencarinya. Namun akhirnya aku harus sampai kepada satu sikap yang tegas. Kalau perlu bukan saja warung itu yang aku bakar. Tetapi seluruh padukuhan ini akan aku bakar habis menjadi debu."
"Hanya perbuatan orang gila sajalah yang demikian itu," berkata Ki Widura, "karena itu sebaiknya kalian merenungi apa yang kalian lakukan ini sebaik-baiknya."
Ternyata orang bermata juling itu tidak dapat menahan hati lagi. Dengan lantang ia berkata, "Bungkam orang-orang ini. Baru kemudian aku akan memaksa pemilik warung itu mengatakan, apa yang telah terjadi. Berapa ia mendapat upah untuk menjebak kawan kita dari Goa Kelelawar itu."
Yang pertama menarik pedang adalah justru Glagah Putih. Dengan lantang ia berkata, "Aku akan melawan kesewenang-wenangan disini. Apapun yang akan terjadi."
Kiai Gringsing dan Ki Widura hanya menarik nafas dalam-dalam. Mereka dapat mengerti sikap anak muda itu. Memang berbeda dengan sikap Agung Sedayu yang umurnya sebesar Glagah Putih itu. Glagah Putih mempunyai darah yang lebih panas. Apalagi pengalaman yang masih terlalu sempit membuatnya kurang berperhitungan.
Sabungsari yang berada dibelakang Glagah Putihpun kemudian menarik Glagah Putih surut selangkah. Sementara itu, orang-orang yang berjumlah sepuluh itu telah memencar. Dengan wajah dan sikap yang garang mereka berusaha mengepung keempat orang yang mereka anggap mengganggu kerja mereka itu.
Sementara itu api masih berkobar terus. Tetapi justru semakin lama menjadi semakin susut. Untunglah bahwa warung itu tidak berdekatan dengan bangunan-bangunan yang lain yang akan dapat ikut terbakar.
Dalam pada itu, tidak seorangpun yang berani membantu memadamkan api. Bahkan tidak seorangpun yang berani memukul tanda bahaya. Agaknya kesepuluh orang itu sudah berhasil menakut-nakuti seisi padukuhan itu sebelum mereka bertindak atas pemilik warung itu. Bahkan orang-orang yang berada diujung-ujung padukuhan, berusaha untuk mernberitahukan orang-orang yang akan lewat, bahwa keadaan menjadi gawat. Sebaiknya mereka memilih jalan lain saja.
Ternyata kesepuluh orang itu, diluar perhitungan mereka telah bertemu dengan empat orang yang datang dari Jati Anom. Empat orang yang tidak mereka ketahui tingkat kemampuannya. Sehingga dengan demikian, maka sepuluh orang itu sama sekali tidak memperhitungkan bahwa akan terjadi sesuatu diluar dugaan.
Namun bahwa keempat orang itu agaknya sama sekali tidak gentar, telah menjadi pertimbangan orang bermata juling itu, sehingga karena itu, iapun menjadi lebih berhati-hati.
Yang tidak sabar kemudian adalah Glagah Putih. Demikian orang-orang itu mengepung mereka, maka iapun mulai menggerakkan pedangnya. Dengan garang, maka ia telah bersiap menghadapi pertempuran yang gawat.
Kiai Gringsing dan Ki Widura memperhatikan Glagah Putih dengan seksama. Seumur Glagah Putih itu Agung Sedayu baru mulai segala-galanya. Meskipun Agung Sedayu mempunyai kemampuan dasar, tetapi pada masa remajanya ia adalah seorang penakut, sementara di usia remaja Glagah Putih adalah seorang yang garang.
Orang-orang yang kasar itupun tidak sabar pula. Apalagi melihat sikap Glagah Putih yang mereka anggap sebagai seorang anak muda yang sombong.
Seorang yang berkumis jarang telah menyerang Glagah Putih dengan senjatanya yang menggetarkan. Sebuah pedang yang besar, yang tajam di kedua sisinya.
Tetapi Glagah Putih benar-benar telah siap. Ia sempat menghindari serangan itu, bahkan kemudian sambil bergeser ia mengayunkan pedangnya mendatar. Namun lawannya cukup cepat untuk meloncat surut. Tetapi demikian kakinya menyentuh tanah, maka iapun segera meloncat maju sambil mengayunkan goloknya dengan segenap kekuatannya mengarah kekening anak muda itu.
Demikian cepatnya, sehingga Glagah Putih tidak sempat untuk menghindar. Namun sebenarnyalah Glagah Putih memang tidak ingin meloncat menghindar. Ia hanya bergeser sambil menyilangkan pedangnya untuk menangkis serangan lawannya.
Satu tindakan yang berbahaya. Tetapi sifat ingin tahu Glagah Putih telah mendorongnya untuk menjajagi kekuatan lawannya.
Pada saat yang demikian, maka sepuluh orang itu telah bergerak serentak. Dengan demikian, maka Kiai Gringsing, Widura dan Sabungsaripun telah melawan mereka pula. Widura dan Sabungsari ternyata telah mempergunakan pedang mereka pula, sementara Kiai Gringsing masih berusaha melawan tanpa mempergunakan senjata sama sekali.
Sebenarnyalah sepuluh orang itu bukan lawan yang terlalu berat buat empat orang dari Jati Anom itu, meskipun mereka tidak dapat mengabaikannya. Karena bagaimanapun juga, mereka adalah orang-orang yang memiliki bekal bagi pekerjaannya.
Dalam pada itu, ternyata ayunan pedang yang besar dari orang berkumis telah menghantam pedang Glagah Putih. Dengan sengaja Glagah Putih tidak memukul pedang lawannya menyamping. Tetapi ia telah benar-benar berusaha untuk membentur dan beradu kekuatan.
Ternyata akibatnya sangat mengejutkan lawannya. Orang berkumis yang garang itu tidak menyangka sama sekali, bahwa lawannya yang masih terlalu muda itu telah memiliki kekuatan yang luar biasa. Pedangnya yang besar yang tajam dikedua sisi, seolah-olah telah menghantam segumpal besi baja. Betapa terasa tangannya telah tergetar, sehingga jari-jarinya terasa menjadi sakit. Untunglah bahwa ia masih sempat menahan senjatanya, agar tidak terlepas dari tangannya.
Namun dalam pada itu, Glagah Putih tidak membiarkan lawannya berusaha untuk memperbaiki keadaannya. Meskipun tangan Glagah Putih juga terasa bergetar, tetapi keadaannya ternyata masih lebih menguntungkan dari lawannya. Karena itu, maka ia mampu bergerak lebih cepat. Berbekal ilmu yang telah dipelajarinya sampai tataran terakhir, maka iapun mampu menunjukkan kepada lawannya, bahwa ia bukan sekedar anak-anak yang sedang belajar bermain jirak kemiri.
Dengan serta merta, maka pedang Glagah Putihlah yang kemudian terjulur kearah lawannya. Demikian cepat, sehingga tidak ada kesempatan cukup bagi lawannya untuk membebaskan diri. Karena itulah, maka sesaat kemudian terdengar keluhan tertahan. Orang itu memang berusaha mengelak. Namun ujung senjata itu masih menyentuh lengannya.
Orang berkumis itupun mengumpat kasar. Tetapi serangan Glagah Putih justru datang beruntun seperti arus banjir, sehingga orang berkumis itu harus berloncatan mundur.
Ketika seorang kawannya berusaha untuk membantu, ternyata orang itu gagal membantunya. Seperti tanpa sangkan paran, tiba-tiba saja Sabungsari telah mencegah orang itu dengan serangan pedangnya yang cepat, justru sambil memotong arah.
"Gila," geram lawannya. Tiga orang bersama-sama telah menyerang Sabungsari. Tetapi Sabungsari sama sekali tidak merasa terdesak dan banyak mengalami kesulitan, meskipun ia harus bergerak dengan cepat dan mempergunakan segenap kemampuannya. Namun demikian Sabungsari masih belum menganggap perlu untuk mempergunakan ilmu pamungkasnya yang dapat dipancarkannya lewat matanya.
Widura, yang juga sudah memperdalam ilmunya bersama anaknya, namun yang telah memiliki pengalaman jauh lebih luas dari Glagah Putih, telah menghadapi tiga orang lawan pula. Tetapi ketiga orang lawannya memang bukan orang yang terlalu kuat. Sehingga dengan demikian, meskipun tubuh Widura segera basah oleh keringat, tetapi ketiga lawannya itu tidak terlalu berbahaya baginya.
Yang berloncatan dengan tangkas dan cepat adalah Kiai Gringsing. Ia tidak banyak melawan, kecuali pada saat-saat mendesak. Ia lebih banyak menghindar dan berloncatan dengan langkah-langkah panjang, sehingga ketiga orang lawannya justru mengumpat-umpat.
"Pengecut," geramnya.
Namun Kiai Gringsing tidak menghiraukannya. Ia sama sekali tidak mengerti, apa yang telah terjadi sebelumnya. Tetapi dengan dasar pertimbangan yang serupa, maka iapun tidak mempergunakan senjata khususnya.
Baru ketika ia mulai merasa bahwa perjalanannya sudah terlalu lama terganggu, maka tiba-tiba saja ia melihat seorang dari ketiga lawannya dengan kecepatan yang tidak diketahui terjadinya. Yang kemudian terjadi, pedang orang itu telah berpindah di tangan Kiai Gringsing, sementara orang itu jatuh terguling dengan pergelangan tangannya yang serasa patah.
"Kami sudah terlalu lama disini," berkata Kiai Gringsing.
Kata-kata itu bagaikan perintah bagi ketiga orang yang bersamanya dari Jati Anom untuk segera menyelesaikan tugas mereka.
Yang kemudian menyerang lawannya bagaikan badai adalah Glagah Putih. Lawannya yang telah terluka benar-benar tidak mempunyai kesempatan lagi untuk menyerang. Yang dapat dilakukannya adalah sekedar bertahan dan berloncatan menghindar.
Sabungsaripun telah mempercepat serangan-serangannya pula. Senjatanya benar-beanr telah membingungkan ketiga orang lawannya. Anak muda itu seolah-olah berada di seputar mereka dan menyerang dari segala arah.
Kiai Gringsing yang tidak tahu pasti, apa yang telah terjadi, memang tidak ingin berbuat lebih jauh dari mengusir mereka dan memaksa mereka untuk tidak kembali lagi. Karena itu, maka memang tidak terbersit niatnya untuk membunuh seorangpun diantara mereka, kecuali melukainya, sehingga membuat mereka jera.
Widura dan Sabungsaripun mengerti pula maksud Kiai Gringsing, sementara Glagah Putih masih harus mendapat peringatan, karena anak muda itu masih saja diliputi oleh gejolak jiwanya yang seolah-olah sedang mendidih.
Karena tekanan yang menjadi semakin berat, maka orang-orang itupun akhirnya merasa tidak mempunyai pilihan lain dari melarikan diri. Mereka tidak dapat menolak kenyataan, bahwa orang-orang yang tidak diperhitungkan itu telah hadir, dan tidak mampu mereka lawan dengan kekerasan senjata.
Namun demikian, ternyata Kiai Gringsing memang tidak melepaskan semua orang untuk lari. Dalam keadaan yang paling berat dari lawan-lawannya, maka Kiai Gringsing sempat melihat, siapakah diantara kesepuluh orang itu yang menjadi pemimpinnya.
Karena itu, ketika orang-orang itu tidak lagi dapat memilih dan berusaha untuk melarikan diri, maka justru orang yang dianggap pemimpin mereka itupun telah terlibat dalam satu perkelahian yang tidak dapat dihindarinya. Demikian kawan-kawannya melarikan diri, maka ia telah jatuh terduduk ditanah. Kakinya serasa menjadi lumpuh sehingga untuk berdiripun rasa-rasanya menjadi gemetar. Sementara itu, lawan Glagah Putih telah terluka lagi, sehingga iapun tidak sempat untuk melarikan diri. Namun pada saat yang gawat baginya, ternyata bahwa Glagah Putihpun memiliki perasaan yang tidak terlalu garang. Demikian lawannya kehilangan senjatanya yang terlepas dari tangannya, serta terjatuh terlentang tanpa dapat memberikan perlawanan lagi, Glagah Putih tidak menghunjamkan pedangnya kedada orang itu.
"Aku menyerah," desis orang itu.
"Kau bukan menyerah," geram Glagah Putih, "tetapi kau memang sudah kalah."
"Ya, aku kalah. Aku mohon ampun. Jangan bunuh aku," minta orang itu.
Glagah Putih memandang wajah orang itu. Darahnya telah meleleh dari luka di lengan dan pundaknya.
Dalam pada itu, ketika ia berpaling kearah ayahnya. Kiai Gringsing dan Sabungsari, maka ketiga orang itu memandanginya dengan sorot mata yang redup. Bukan sorot mata yang menyala dari mereka yang sedang terlibat dalam pertempuran untuk mempertaruhkan nyawa.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti, bahwa bagi ketiga orang itu, apa yang terjadi, memang bukannya pertarungan untuk mempertaruhkan nyawa.
Karena itu, maka Glagah Putihpun kemudian melangkah mundur. Dibiarkannya lawannya bangkit dan duduk ditanah.
"Kemarilah," panggil Kiai Gringsing.
Orang itu termangu-mangu. Namun akhirnya ia mengerti, bahwa ia harus mendekati seorang kawannya yang seakan-akan menjadi lumpuh itu.
Dengan kepala tunduk kedua orang itu duduk ditanah. Api yang membakar warung itu telah jauh susut. Bahkan telah hampir menjadi padam karena warung itu telah menjadi debu.
Kiai Gringsingpun kemudian melihat dua orang suami isteri yang ketakutan duduk dengan gemetar bersama anak mereka.
"Kemarilah," berkata Kiai Gringsing pula kepada keduanya.
Keduanya masih nampak ketakutan. Namun karena menurut penilaian mereka, orang-orang yang datang kemudian itu telah menolong mereka, maka merekapun kemudian mendekatinya.
"Aku ingin meyakinkan orang ini, bahwa kau memang tidak tahu apa-apa," berkata Kiai Gringsing, "agar dengan demikian, orang ini tidak lagi merasa perlu untuk datang sambil mendendam."
Pemilik warung itu memandang Kiai Gringsing dengan wajah yang masih pucat.
"Nah," berkata Kiai Gringsing kemudian, "apakah yang kau ketahui tentang orang-orang yang ditanyakan oleh sepuluh orang itu?"
"Sebenarnya aku tidak tahu apa-apa," jawab orang itu, "tiga orang pengawal Mataram berada di warungku. Justru mereka datang lebih dahulu. Baru kemudian datang dua orang yang nampaknya dengan sengaja membuat persoalan. Ternyata kemudian bahwa ketiga orang pengawal dari Mataram itu telah menangkap kedua orang yang datang kemudian itu."
"Tidak ada yang kau ketahui lagi tentang persoalan mereka?" bertanya Kiai Gringsing.
Pemilik warung itu menggeleng. Katanya, "Aku tidak mengetahui lebih dari itu. Mereka bertempur, dan aku menjadi ketakutan. Memang mungkin sekali ada beberapa orang yang mengetahui bahwa orang-orang itu telah bertempur. Dihari berikutnya, akupun berbicara dengan tetangga-tetangga. Dan agaknya berita itu telah tersebar."
Kiai Gringsing memandang dua orang dari kelompok yang telah terusir itu. Katanya, "Kau dengar. Tidak ada gunanya kau memaksa orang itu berbicara. Yang diketahuinya terlalu sedikit. Aku percaya bahwa orang ini tidak tahu apa-apa tentang orang yang sedang kau cari itu."
Kedua orang yang telah menyerah itu mengangguk-angguk. Delapan orang kawannya telah melarikan diri. Dan keduanya masih belum tahu, nasib apa yang akan mereka alami kemudian.
Namun dalam pada itu, rasa-rasanya mereka memang melihat kebenaran kata-kata pemilik warung itu. Dalam keadaan lemah, mereka mulai percaya, bahwa pemilik warung itu memang tidak tahu apa-apa.
Tetapi semuanya sudah terlambat. Mereka berdua telah jatuh ketangan orang-orang yang tidak diketahui. Apakah mereka orang-orang yang akan bertindak baik, atau mungkin bertindak adil dengan melihat kesalahan keduanya atau bahkan mungkin mereka adalah orang-orang yang memiliki tingkah laku yang dapat membuat kedua orang itu sangat menderita.
Namun dalam pada itu. Kiai Gringsingpun kemudian berkata, "Ki Sanak. Sebenarnya aku dapat berbuat jauh lebih banyak dari yang aku lakukan sekarang. Juga ketiga orang kawan-kawanku. Jika kami kehendaki, maka kami dapat membunuh kalian semuanya. Tetapi aku pikir itu bukan penyelesaian. Karena kalian dan kawan-kawan kalian adalah orang-orang yang segan mempergunakan nalar kalian. Kalian tentu akan mendendam. Dan kawan-kawan kalian akan datang membakar seluruh padukuhan ini." Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu "karena itu aku mencoba mempergunakan jalan lain. Bagaimanapun juga aku masih percaya bahwa kalianpun masih mempunyai nalar dan perasaan seperti kami. Kami sengaja membiarkan kawan-kawan kalian melarikan diri, dan menahan kalian berdua untuk meyakinkan bahwa pemilik warung itu tidak bersalah. Apalagi seisi padukuhan ini. Dengan demikian kalian tidak pada tempatnya mendendamnya. Dengan membiarkan kalian hidup, aku berharap kekerasan dan kematian akan dapat kalian hindari pula jika kalian ingin mencari penyelesaian atas satu masalah. Terutama atas padukuhan ini."
Kedua orang itu tidak menjawab. Tetapi mereka jarang sekali mendengar penjelasan yang demikian. Kematian bagi mereka adalah penyelesaian yang paling baik untuk memecahkan satu persoalan. Membunuh atau dibunuh. Tetapi tiba-tiba ia mengalami satu peristiwa yang lain. Orang-orang yang telah menguasai mereka itu tidak membunuh mereka, dan bahkan menyakiti lebih jauh lagipun tidak, selain luka yang dideritanya dalam pertempuran.
Apalagi ketika tiba-tiba keduanya mendengar Kiai Gringsing berkata, "Pergilah. Tetapi kalian harus berjanji didalam hati, bahwa kalian tidak akan kembali lagi ke padukuhan ini untuk menakut-nakuti orang yang tidak bersalah. Jika terjadi sesuatu atas padukuhan ini, kami akan memburu kalian sampai keujung bumi sekalipun. Bahkan siapapun yang bersangkut paut dengan kalian, bersalah atau tidak bersalah, akan kami musnahkan. Dengarlah baik-baik. Kami adalah empat orang dari sejumlah penghuni satu padepokan. Jika kami bergerak serentak, maka semua padepokan, bahkan Pajangpun akan berguncang."
Orang itu termangu-mangu sejenak. Memang terasa bahwa yang dikatakan oleh Kiai Gringsing itu adalah satu ancaman yang berlebihan, tetapi merekapun sadar, bahwa sebagian dari ancaman itu tentu akan dapat dilakukan. Mereka sudah membuktikan, sepuluh orang bersama-sama tidak mampu berbuat apa-apa melawan hanya ampat orang, di antaranya dua orang anak muda.
"Pergilah," sekali lagi Kiai Gringsing berdesis.
Orang yang terluka itupun kemudian berusaha berdiri. Tetapi justru kawannya masih saja bagaikan lumpuh. Dengan susah payah ia berusaha untuk bangkit. Meskipun ia berhasil berdiri, tetapi hampir saja ia terjatuh, jika kawannya yang terluka itu tidak menahannya.
"Daya tahan tubuhmu terlalu lemah," berkata Kiai Gringsing, "seharusnya kau sudah dapat bangkit berdiri dan berjalan pergi."
Orang itu tidak menjawab. Kiai Gringsinglah yang kemudian mendekatinya, mengurut punggungnya dengan ibu jarinya.
Rasa-rasanya tubuh orang itu menjadi bertambah baik. Dengan berat kakinya telah dapat diangkat dan melangkah. Namun kawannya masih harus memapahnya. Justru kawannya yang terluka.
"Apakah mereka akan dapat selamat?" bertanya Ki Widura. "Yang terluka itu akan kehabisan darah."
"Orang-orang yang demikian tentu membawa obat. Ia belum sempat saja melakukannya disini. Tetapi jika mereka sudah menjauh, maka orang itu akan memampatkan luka-lukanya yang tidak terlalu parah itu."
Tetapi ternyata Glagah Putih ingin meyakinkannya. Ia merasa bahwa ia adalah orang yang telah melukainya. Karena itu, maka rasa-rasanya iapun berkepentingan.
"He," bertanya Glagah Putih, "apakah kalian membawa obat untuk mengobati luka itu?"
Kedua orang yang baru saja melangkah pergi itu berpaling. Salah seorang dari keduanya menjawab, "Aku membawa obat pemampat luka."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ia memang sudah mengenal kebiasaan orang-orang yang bertualang didunia kekerasan seperti orang-orang itu.
Sepeninggal orang itu, maka Kiai Gringsingpun kemudian berkata kepada pemilik warung yang terbakar itu, "Kau tidak akan diganggu lagi. Tetapi jika ada seorang saja diantara mereka yang terbunuh, mungkin dendam mereka akan dapat terungkat kembali."
"Terima kasih," berkata pemilik warung itu.
"Tetapi sebenarnyalah, kamipun ingin mendapat keterangan tentang peristiwa yang telah terjadi itu," berkata Kiai Gringsing kemudian, "menurut pendengaranmu, ketiga orang yang menangkap dua orang yang datang kemudian itu adalah pengawal dari Mataram."
"Ya," jawab pemilik warung itu, "nampaknya mereka memperebutkan sesuatu."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Dari pemilik warung itu ia mendapat sedikit gambaran tentang para pengawal itu. Namun karena pemilik warung itu sama sekali tidak menyebut ciri-ciri yang mudah dikenal dari Agung Sedayu dan Ki Waskita, maka sebenarnyalah Kiai Gringsing sama sekali tidak menduga, bahwa tiga orang pengawal itu, dua diantaranya adalah orang-orang yang paling dekat dengan dirinya.
"Baiklah Ki Sanak," berkata Kiai Gringsing, "aku tidak dapat membantumu lebih banyak lagi. Mungkin dengan kebakaran itu kau mengalami kerugian yang tidak kecil. Mudah-mudahan kau berhasil bangkit dari kepahitan ini dan melanjutkan usahamu itu, sehingga kau tidak kehilangan mata pencaharian. Mungkin tetangga-tetanggamu akan dapat membantumu."
Pemilik warung itu memandang Kiai Gringsing dengan tatapan mata yang redup. Namun dari sela-sela bibirnya yang masih gemetar ia berkata, "Kiai. Yang Kiai berikan kepada kami sekeluarga adalah yang paling berharga bagi kami, karena Kiai dan kawan-kawan Kiai telah menyelamatkan hidup kami."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, "Aku minta diri. Kami berempat telah berusaha untuk mengusir orang-orang itu tanpa melekati dendam dihati mereka. Tetapi jika yang terjadi kemudian diluar perhitungan kami, maka kami mungkin tidak dapat berbuat sesuatu."
"Kami mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga terhadap apa yang telah Kiai berikan kepada kami," desis pemilik warung itu.
Dalam pada itu, Ki Widura, Sabungsari dan Glagah Putihpun kemudian telah minta diri pula. Meskipun masih ada sesuatu yang rasa-rasanya menekan di hati, tetapi mereka memang harus melanjutkan perjalanan segera.
Beberapa saat kemudian, mereka berempatpun telah meninggalkan padukuhan itu. Ternyata para tetangga pemilik warung itupun segera keluar dari persembunyian mereka, ketika mereka mengetahui bahwa orang-orang yang garang itu telah terusir.
"Siapakah yang telah menolongmu?" bertanya salah seorang tetangga.
"Sayang," jawab pemilik warung itu, "dalam keadaan yang sangat bingung aku lupa menanyakan kepada mereka, siapakah mereka berempat itu."
"Dan kau juga lupa mengucapkan terimakasih?" bertanya tetangganya yang lain.
"Tidak," jawab pemilik warung itu, "aku sudah mengucapkan terima kasih."
Dalam pada itu. Kiai Gringsing, Ki Widura, Sabungsari dan Glagah Putih telah berpacu semakin jauh. Mereka masih saja berbincang tentang sepuluh orang yang dengan kasar telah memperlakukan pemilik warung dan bahkan telah membakar warung itu pula.
"Apakah kita akan singgah di Mataram" " tiba-tiba Glagah Putih bertanya.
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Dipandanginya Ki Widura sekilas. Kemudian katanya, "Apakah hal itu perlu sekali?"
"Tentu ada laporan tentang tiga orang pengawal yang menangkap dua orang yang dicari kawan-kawannya itu," berkata Glagah Putih.
"Tetapi hal itu bukannya pokok dari tujuan perjalanan kita," jawab Widura, "karena itu, sebaiknya kita pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Jika masih ada waktu, kita akan singgah di Mataram untuk mendapatkan keterangan tentang dua orang yang hilang itu. Tetapi yang penting bagi kita, justru melaporkan apa yang telah terjadi, agar Mataram dapat mengambil langkah-langkah yang diperlukan."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Iapun sependapat, bahwa mereka akan lebih dahulu pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Karena sebenarnyalah kepentingan utama mereka adalah menghubungi Agung Sedayu dan membawanya kembali ke Jati Anom, justru pada saat hari perkawinannya sudah menjadi semakin dekat.
Demikianlah, maka iring-iringan kecil itupun melaju semakin cepat. Mereka telah memutuskan untuk mengambil jalan yang tidak melalui kota Mataram yang sedang tumbuh, karena mereka memang tidak ingin singgah.
Perjalanan selanjutnya telah mereka tempuh tanpa hambatan. Dengan gethek mereka melintasi Kali Praga. Kemudian merekapun telah sampai ke Tanah Perdikan Menoreh.
Ketika mereka menelusuri bulak-bulak panjang di Tanah Perdikan Menoreh, maka merekapun segera melihat, bahwa memang sudah terjadi perubahan-perubahan di Tanah Perdikan itu. Parit-parit mengalir dengan lancar menelusuri kotak-kotak sawah. Tanaman yang hijau segar dan jalan-jalan yang nampak terpelihara. Setiap kali mereka berpapasan dengan pedati-pedati yang membawa hasil sawah dari pategalan. Sementara pande-pande besi-pun tersebar di beberapa padukuhan. Meskipun pande-pande besi telah menutup dan memadamkan perapian untuk kerja hari itu, namun dengan demikian teranya bahwa Tanah Perdikan memang sudah berkembang meskipun masih perlu ditingkatkan terus.
Padukuhan demi padukuhan telah mereka lewati. Sehingga akhirnya merekapun menjadi semakin dekat dengan padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.
Dalam pada itu, ternyata sebelum mereka memasuki padukuhan induk, beberapa orang telah mengenal mereka, sehingga orang-orang itupun telah menyapa dengan ramahnya.
Sebenarnyalah kehadiran mereka di padukuhan induk telah mengejutkan beberapa orang. Sehingga satu dua orang telah langsung melaporkan kehadiran Kiai Gringsing kepada Ki Gede Menoreh.
Dengan tergopoh-gopoh Ki Gede menyongsong tamu-tamu yang datang itu. Ketika Ki Gede turun dari pendapa, maka Kiai Gringsing, Ki Widura, Sabungsari dan Glagah Putih telah mengikat kuda mereka pada pathok-pathok yang tersedia di halaman.
Ki Gedepun kemudian mempersilahkan tamu-tamu itu naik kependapa. Merekapun segera duduk melingkar sambil saling menanyakan keadaan masing-masing.
Baru kemudian Ki Gede berkata, "Kedatangan Kiai telah mengejutkan kami di Tanah Perdikan ini. Bukankah tidak ada persoalan yang sangat penting dan mendesak?"
"O, tidak Ki Gede," jawab Kiai Gringsing, "kami datang hanya sekedar menengok keselamatan seisi Tanah Perdikan ini termasuk Agung Sedayu dan Ki Waskita."
"Kami dalam keadaan baik. Sokurlah jika tidak ada masalah yang sangat penting dan mendesak," jawab Ki Gede.
Kiai Gringsing sengaja masih belum mengatakan kepentingan datang ke Tanah Perdikan itu sambil menunggu kehadiran Agung Sedayu sendiri dan Ki Waskita. Yang kemudian mereka bicarakan adalah keadaan masing-masing. Keadaan Tanah Perdikan Menoreh yang tumbuh dan Jati Anom yang menjadi semakin hangat oleh berbagai masalah.
Namun Ki Gedepun kemudian berkata, "Agung Sedayu dan Ki Waskita sedang berada di barak. Tetapi sebentar lagi mereka akan kembali."
Demikianlah, maka setelah para tamu dari Jati Anom itu beristirahat dan membersihkan diri di ujung malam, Agung Sedayu dan Ki Waskitapun datang dari barak Pasukan Khusus di Tanah Perdikan Menoreh itu.
Ketika tiba-tiba saja mereka berhadapan dengan Kiai Gringsing, Ki Widura, Sabungsari dan Glagah Putih, maka merekapun terkejut bercampur gembira.
"Silahkan mandi," Ki Gede mempersilahkan Agung Sedayu dan Ki Waskita, "kita akan makan bersama."
Sebentar kemudian, di ruang dalam, disebuah amben yang besar, mereka telah melingkari suguhan makan malam. Ki Gede, Prastawa, Agung Sedayu dan Ki Waskita sebagai tuan rumah, sedangkan yang baru datang dari Jati Anom sebagai tamu yang sedang mendapat jamuan.
Namun dalam pada itu, setelah makan selesai. Kiai Gringsing mempergunakan saat itu untuk sekaligus mengatakan maksud kedatangannya. Dengan hati-hati ia berkata, "Ki Gede. Kedatangan kami memang tidak mempunyai satu kepentingan khusus. Namun demikian, kami telah membawa pesan dari angger Untara bagi adiknya Agung Sedayu."
"O," Ki Gede mengerutkan keningnya, "justru mendebarkan. Pesan dari angger Untara untuk angger Agung Sedayu?"
"Ya Ki Gede," jawab Kiai Gringsing, "angger Untara sebagai seorang saudara tua yang dengan demikian berdiri sebagai ganti orang tua angger Agung Sedayu dalam hubungannya dengan hari perkawinan yang semakin dekat."
Ki Gede mengangguk-angguk. Meskipun Kiai Gringsing masih belum mengatakan sepenuhnya, namun rasa-rasanya Ki Gede sudah mengetahui apa yang akan dikatakan oleh Kiai Gringsing dan Ki Widura.
Sementara itu. Kiai Gringsingpun telah berpaling kearah Ki Widura, seolah-olah telah mempersilahkan untuk melanjutkan persoalan yang harus dikatakannya kepada Ki Gede Menoreh, justru karena ia adalah paman Agung Sedayu.
Ki Widura menarik nafas dalam-dalam. Kemudian iapun beringsut setapak sambil berkata, "Ki Gede. Kedatangan kami berempat sebenarnyalah telah membawa satu pesan dari angger Untara dan yang telah kami bicarakan bersama di Jati Anom, bahwa sebaiknya Agung Sedayu yang dalam beberapa hari lagi akan melangsungkan hari perkawinannya berada saja di Jati Anom. Segala sesuatu akan dapat dipersiapkan sebaik-baiknya, bahkan dengan demikian rasa-rasanya hati menjadi tenang."
Ki Gede Menoreh mengangguk-angguk. Katanya, "Tentu aku tidak akan dapat menolaknya. Akupun menyadari, bahwa hari-hari yang ditentukan itu sudah menjadi sangat dekat. Karena itu, segala sesuatunya terserah kepada angger Agung Sedayu yang akan menjalaninya sendiri saat-saat yang tentu sudah dinanti-nantikannya itu."
Semua orangpun kemudian berpaling kearah Agung Sedayu yang justru menjadi tunduk. Wajahnya serasa menjadi panas, justru karena ia menjadi pusat perhatian.
"Nah, bagaimana pendapatmu Agung Sedayu?" bertanya Ki Widura.
Agung Sedayu menarik nafas. Tetapi wajahnya masih menunduk meskipun kemudian ia menjawab, "Segalanya terserah kepada orang-orang tua. Aku akan melakukan yang paling baik harus aku lakukan."
Ki Widura mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah Agung Sedayu. Segalanya semata-mata untuk menjaga agar segala rencana dapat dilakukan sebaik-baiknya."
Demikianlah, beberapa saat kemudian, mereka masih berbincang tentang rencana kepergian Agung sedayu ke Jati Anom. Sementara Agung Sedayupun menyatakan, bahwa ia harus berhubungan pula dengan Ki Lurah Branjangan.
"Agaknya akupun ingin ikut serta," berkata Ki Waskita kemudian.
"Tentu," jawab Ki Widura, "kita semua akan menjadi orang tua Agung Sedayu disamping Untara."
"Aku juga," sahut Ki Gede Menoreh, "pada saatnya aku juga akan berada di Jati Anom. Perkawinan itu harus berlangsung dengan meriah. Meskipun sudah barang tentu harus disesuaikan dengan keadaan yang berkembang kemudian."
Yang dikatakan oleh Ki Gede itu justru mengingatkan Kiai Gringsing dalam hubungannya dengan Mataram. Sehingga Kiai Gringsingpun kemudian minta pertimbangan Ki Gede dan Ki Waskita, apakah yang paling baik dilakukannya dalam hubungannya dengan Raden Sutawijaya.
"Kita dapat singgah," berkata Ki Widura, "apakah aku cukup pantas untuk menyampaikan persoalan ini kepada Raden Sutawijaya?"
"Apa salahnya jika kita sekedar memberitakan apa yang akan dilakukan. Bukankah Agung Sedayu termasuk salah seorang yang ikut membina pasukan khusus itu" Dan bahkan seolah-olah Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati itu sendiri yang telah memintanya?" sahut Ki Gede. Kemudian, "Dan bukankah Ki Widura adalah paman langsung angger Agung Sedayu, sehingga dapat disebut ganti ayah bundanya?"
Orang-orang yang ikut dalam pembicaraan itupun sependapat bahwa mereka akan singgah dan memberitahukan rencana hari-hari perkawinan itu kepada Raden Sutawijaya.
"Sekedar memberitahukan," berkata Ki Widura, "apakah kita pantas untuk mengundangnya?"
"Kita akan berbicara dengan Ki Demang Sangkal Putung," sahut Kiai Gringsing, "tetapi pemberitahuan itu memang penting. Jika ada rencana atau apapun dalam hubungan dengan persoalan Pajang dan Mataram, mudah-mudahan kita mendapatkan satu isyarat."
Sementara pembicaraan berkisar pada rencana pemberitahuan kepada Raden Sutawijaya, maka harnpir diluar sadarnya Kiai Gringsing telah mengatakan apa yang di jumpainya pada saat ia berada diperjalanan menuju ke Tanah Perdikan Menoreh.
"Sebuah warung dipinggir jalan itu musna menjadi abu," berkata Kiai Gringsing.
Ki Waskita dan Agung Sedayu saling berpandangan sejenak. Dengan ragu-ragu Agung Sedayu berkata, "Mereka mempersoalkan dua orang yang telah dibawa oleh tiga orang pengawal dari Mataram." Lalu kemudian katanya kepada Ki Waskita, "Apakah yang mereka maksud dua pertapa dari goa kelelawar itu?"
Ki Waskita termangu-mangu sejenak. Lalu iapun bertanya kepada Kiai Gringsing, "Apakah Kiai tidak bertanya, ciri-ciri dari ketiga orang pengawal dari Mataram itu?"
"Pemilik warung itu mengatakan," berkata Kiai Gringsing, "tetapi sudah tentu aku tidak akan mengenal para pengawal dari Mataram. Mungkin satu dua orang dapat aku kenal. Tetapi dengan menyebut seorang diantara mereka adalah seorang anak muda, sedangkan yang seorang lagi telah terluka, adalah sulit sekali untuk mengetahui, siapakah para pengawal itu."
Agung Sedayu dan Ki Waskita saling berpandangan sejenak. Kemudian Ki Waskitapun berkata, "Yang mereka maksud pengawal dari Mataram adalah kami bertiga. Aku, angger Agung Sedayu dan seorang yang memang pengawal dari Mataram."
Kiai Gringsing memandang Agung Sedayu dan Ki Waskita berganti-ganti, sementara itu Glagah Putih berkata, "Tetapi tidak dikatakan oleh pemilik warung itu, bahwa anak muda itu bersenjata cambuk."
Agung Sedayu tersenyum. Jawabnya, "Aku memang tidak bersenjata cambuk. Aku tidak ingin tersangkut lagi dengan persoalan yang dapat aku hindari. Pertapa dari goa Kelelawar itu tentu tidak berdiri sendiri. Jika mereka mengenal ciri-ciri orang berembuk dari Jati Anom, maka persoalanku akan bertambah lagi dengan satu perkara dengan pertapa dari goa Kelelawar itu."
Kiai Gringsing, Ki Widura, Sabungsari dan Glagah Putih berbareng mengangguk-angguk.
Pedang Dan Kitab Suci 15 Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari Tanah Warisan 9
^