Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 24

07 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 24


Karena itu, maka tiba-tiba saja terdengar suaranya tertawa. Menggelegar, semakin lama semakin keras. Mengguncang-guncang udara diseluruh medan dan menyusup kesetiap telinga, menusuk langsung kepusat jantung lawan.
"Orang-orang Pajang yang berani," berkata kakang Panji lewat getaran ilmunya, "kenapa kalian justru termenung" Bukankah lawan-lawan kalian sudah menundukkan kepalanya. Kenapa kahan tidak mengangkat pedang dan menebas kepala orang-orang Mataram yang membeku bagaikan patung " Mereka lebih menghargai telinga mereka daripada jiwa mereka."
Kata-kata yang mengumandang itu benar-benar telah membangunkan orang-orahg Pajang. Beberapa orang yang telah bersiap oleh kesadaran mereka sendiri terhadap keadaan lawan mereka, rasa-rasanya menjadi semakin mantap. Lawan-lawan mereka memang sudah menundukkan kepala mereka sambil menutup telinga mereka dengan kedua belah tangan, sementara suara itu masih belurn sampai pada tingkat menggetarkan dada orang-orang Pajang sendiri meskipun suara itu menyakiti telinga mereka pula.
Raden Sutawijayapun terguncang pula oleh suara itu. Tetapi dengan cepat ia berhasil mengatasinya. Bahkan Raden Sutawijaya sadar, bahwa jalan satu-satunya untuk menghentikan serangan itu adalah dengan menyerang sumbernya, sehingga orang itu tidak sempat melontarkan ilmunya yang nggegirisi itu, yang justru lebih berbahaya bagi seluruh pasukan Mataram daripada sekedar lontaran serangan lewat indera penciuman yang hanya mengenal satu sasaran utama.
Di antara orang-orang Mataram yang ada di daerah medan sebelah Timur, mendengar pula suara yang menggelegar lewat lontaran ilmu yang dahsyat itu. Tetapi suara itu tidak banyak berpengaruh atas orang-orang Mataram. Bahkan para pengawal didalam pasukan Mataram itupun tidak mengalami banyak gangguan karena jarak yang sudah melampaui kemampuan jangkauan ilmu kakang Panji. Namun demikian, terasa juga sesuatu telah menggetarkan jantung mereka. Orang-orang terpenting didalam lingkungan pasukan Mataram itupun merasa, bahwa sesuatu telah terjadi. Mereka mulai mengenah bahwa satu macam ilmu yang dahsyat telah mulai menyentuh mereka.
"Jika ilmu ini masih mampu ditingkatkan, maka akibatnya akan menjadi sangat gawat bagi orang-orang didalam pasukan Mataram," berkata Ki Waskita didalam hati.
Sementara itu, ternyata bahwa Untarapun telah memikirkan untuk mengambil sikap tertentu untuk mengatasi keadaan yang gawat itu.
Dengan kelebihan yang ada Untara harus menekan lawannya sehingga mereka benar-benar tidak akan mampu berbuat sesuatu lagi meskipun pengaruh suara yang mulai terasa itu benar-benar akan menyentuh telinga hati orang-orang Mataram yang bertempur disisi Timur.
Karena itu, maka Untarapun segera memerintahkan pasukannya untuk bertempur semakin cepat. Bahkan iapun telah menyampai kaupesan kepada Ki Waskita, Ki Lurah Branjangan, Putera Ki Gede Pasantenan dan para pemimpin yang lain agar mereka berbuat lebih banyak lagi justru nampaknya ada kekuatan yang melampaui kemampuan mereka untuk melawan.
Namun dalam pada itu, para pengawal Mataram yang bertempur disekitar arena yang luas di sisi barat menjadi semakin lemah oleh pengaruh suara kakang Panji yang tertawa berkepanjangan. Dengan sengaja ia telah menghancurkan ketahanan orang-orang Mataram lewat indera pendengarannya. Semakin lama semakin parah. Sementara orang-orang Pajang telah terbangun dari kecemasan yang membayangi mereka, karena mereka melihat sebagaimana dikatakan oleh kakang Panji, bahwa orang-orang Mataram telah menundukkan kepala mereka.
Tetapi sementara orang-orang Pajang sedang bersiap-siap, sedangkan Raden Sutawijaya yang kecemasan itu sudah akan meloncat pula untuk menyerang orang yang menyebut dirinya kakang Panji untuk menghentikan kekuatan orang itu yang telah mencengkam para pengawal dari Mataram dengan langsung menghentikan pancaran ilmu itu dari sumbernya, ternyata telah terjadi sesuatu yang mengejutkan pula. Tiba-tiba saja telah terdengar pula suara yang nyaring. Seolah-olah telah menjawab kata-kata orang yang menyebut dirinya kakang Panji.
"He, orang-orang Mataram. Jangan biarkan diri kalian menjadi kambing yang dengan mudah dibantai oleh orang-orang Pajang. Kalian adalah pengawal yang bercita-cita. Kalian adalah pengawal dari Mataram yang sedang berjuang dengan satu keyakinan."
Suara itu tidak banyak berpengaruh atas orang-orang Mataram. Tetapi justru terhadap orang-orang Pajang. Berbeda dengan suara orang yang menyebut dirinya bernama kakang Panji itu, yang seolah-olah telah menusuk telinga orang-orang Mataram, maka suara yang nyaring itu terdengar bagaikan ledakan-ledakan yang memecahkan selaput telinga orang-orang Pajang.
Dengan demikian, maka orang-orang Pajang yang sudah siap untuk mengayunkan senjatanya, menebas leher orang-orang Mataram atau menusuk menembus jantung, telah tertahan oleh ledakan-ledakan ditelinga mereka. Demikian sakitnya suara yang menusuk-nusuk itu, sehingga beberapa orang diantara mereka tidak tahan lagi, sehingga mereka terpaksa menutup telinga mereka dengan kedua tangannya. Seperti orang-orang Mataram, mereka telah menyarungkan pedangnya, ada yang melemparkannya saja ditanah atau mengepitnya dengan lengannya.
Dengan demikian maka suasana di medan itu menjadi aneh. Kedua belah mengalami kesulitan yang sama. Kedua belah pihak telah diganggu oleh kekuatan yang dapat mengganggu indera pendengaran mereka. Menyengat telinga dan langsung menusuk kepusat dada.
Dalam beberapa saat suasana menjadi tegang. Raden Sutawijaya justru tertegun ketika ia melihat akibat dari suara nyaring yang menggelepar meliputi medan, menindih suara tertawa orang yang menyebut dirinya kakang Panji itu.
Sementara itu, ketika suara itu terhenti, maka terdengar lagi oleh telinga batinnya pesan lewat Aji Pameling, "Jangan turun ke medan Raden. Aku mohon. Orang itu adalah orang yang memiliki ilmu tidak ada taranya. Ia memiliki ilmu dari perguruan yang pernah mengguncangkan Majapahit pada masa kejayaannya, yang mengalir lewat beberapa tataran sehingga akhirnya bersarang didalam dirinya."
Dada Raden Sutawijaya menjadi berdebar-debar. Hampir diluar sadarnya ia berkata, "Adimas, aku mendengar pesan itu lagi. Orang yang telah mengguncang medan itu memiliki jalur ilmu dari sebuah perguruan di masa kejayaan Majapahit. Aku mulai percaya kepada orang itu. Ia telah menahan pengaruh suara yang mencekik orang-orang Mataram. Hampir saja orang Mataram akan dibantai tanpa mengadakan perlawanan. Namun dengan pengaruh yang sama, orang itu telah membuat orang-orang Pajang juga kehilangan kemampuan untuk menguasai dirinya. Telinga mereka bagaikan tertusuk sengat kumbang yang paling garang sehingga mereka telah kehilangan nalar mereka."
"Akupun mempercayainya kakangmas," jawab Pangeran Benawa, "meskipun aku tidak mendengar pesan-pesannya, tetapi mendengarnya lewat kakangmas, rasa-rasanya orang itu memang bersungguh-sungguh."
Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya medan yang dicengkam oleh suasana yang asing. Keduabelah pihak bagaikan tidak mempunyai kesempatan untuk berbuat sesuatu.
"Pertempuran yang aneh telah terjadi," desis Raden Sutawijaya.
"Ya. Yang akan terjadi adalah pertempuran antara beberapa orang Senapati yang mampu melepaskan diri dari cengkaman serangan indera pendengarannya, "berkata Sutawijaya kemudian.
Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Namun yang terdengar kemudian adalah suara yang menggelegar, "Pengecut. Keluarlah. Kita akan bertempur beradu dada."
Sejenak suara itu bergetar diatas medan yang dicengkam oleh suasana yang asing itu. Sementara di sisi Timur dari medan itu, Untara telah meningkatkan usahanya untuk dengan segera menyelesaikan pertempuran. Suara-suara yang menggetarkan jantung itu memberikan isyarat bahwa telah terjadi benturan ilmu yang dahsyat yang tidak akan dapat diatasi oleh para pengawal kebanyakan. Namun dengan demikian Untara tidak dapat mencegah pasukannya yang mendesak lawannya bergeser merapat, sehingga medan itu di sisi Timur bergeser ke Barat.
Sementara itu, orang yang menyebut dirinya kakang Panji itu masih saja memanggil, "Marilah. Aku tahu kau orang yang memiliki ilmu yang jarang ada bandingnya. Tetapi sayang, bahwa kau adalah pengecut besar."
"Jangan terlalu sombong Ki Sanak," terdengar jawaban nyaring, "aku tidak bersembunyi. Tetapi aku ingin melihat, apa yang akan kau lakukah terhadap para pengawal yang tidak akan dapat menghindarkan diri dari cengkaman ilmumu yang nggegirisi itu."
Wajah orang itu menjadi tegang. Dipandanginya seluruh medan dari ujung sampai ke ujung. Disisi Barat itu, pertempuran seolah-olah memang sudah berhenti. Kedua belah pihak telah terkena serangan yang sama pada indera pendengaran.
Dengan demikian, maka yang terjadi disisi Barat dari medan itu adalah satu benturan ilmu yang dahsyat yang telah menguasai seluruh arena pertempuran. Hanya beberapa orang Senapati di kedua belah pihak sajalah yang masih dapat menyadari dengan samar-samar apa yang telah terjadi atasnya. Sementara itu Raden Sutawijaya berdesis, "Satu pertempuran yang aneh telah terjadi adimas Pangeran. Dua orang yang memiliki ihnu raksasa sedang bertempur, sementara pasukan dari kedua belah pihak telah dicengkam oleh sentuhan ilmu itu pula sehingga mereka tidak berdaya."
"Menarik sekali kakangmas. Aku merasa beruntung berkesempatan melihat benturan dua ilmu yang jarang, diketemukan sekarang ini," berkata Pangeran Benawa.
Raden Sutawijaya mengangguk. Pertempuran itu akan dapat menjadi pertempuran yang sangat dahsyat. Tetapi jika keduanya tidak dapat mengekang diri, maka benturan ilmu itu justru akan menjadi sangat gawat bagi orang-orang yang berada diarena itu. Mereka tentu tidak akan dapat bertahan atas sentuhan-sentuhan ilmu pada diri mereka.
Dalam keadaan yang demikian itu, terdengar suara yang berada diantara pasukan Pajang itu, "Aku berada di peperangan. Aku akan membunuh setiap orang yang aku anggap musuh."
"Itukah yang akan dilakukan oleh seorang kesatria yang mengaku trah Majapahit dan yang ingin berusaha membangun kembali kejayaan masa silam itu dengan cara yang sangat mengerikan" Memang tidak mustahil jika kau akan dapat dengan melakukan pembunuhan yang paling keji atas orang-orang Mataram dengan melumpuhkan kemampuan perlawanan mereka dan membiarkan orang-rang Pajang yang menjadi pengikutmu itu untuk membantainya. Tetapi itu bukan cara seorang kesatria," terdengar jawaban yang menggetarkan udara diatas medan.
"Satu sikap yang sangat cengeng dari seorang pengecut. Aku tidak peduli. Aku akan membunuh semua orang-orang Mataram dengan cara apapun juga. Aku adalah orang yang memiliki ilmu tidak terlawan. Kaupun tidak akan dapat melawan aku," geram orang yang menyebut dirinya kakang Panji itu. Suaranya masih tetap dilambari dengan ilmunya yang dahsyat yang bagaikan menusuk langsung kedalam setiap dada orang-orang.
"Kau telah mempergunakan aji Gelap Ngampar yang sangat berbahaya itu," berkata suara yang lain, "tetapi jika aku tidak mengimbangi dengan ilmu yang sama maka orang-orang Mataram tidak akan dapat bertahan sepenginang. Pedang orang-orang Pajang itu akan segera membantai mereka, sehingga mayat mereka berserakan."
"Lalu apa yang kau kehendaki pengecut?" bertanya orang yang menyebut dirinya kakang Panji.
"Tidak ada cara yang lebih baik dari perang tanding," jawab suara yang lain.
"Bagus," teriak orang yang menyebut dirmya kakang Panji, suaranya menggelegar bagaikan meruntuhkan langit, "kau memang sombong dan dungu. Kau belum tahu siapa aku, sehingga kau berani menantang perang tanding. Kau kira aku setingkat saja dengan Tumenggung Prabadaru yang telah dibunuh oleh anak ingusan itu?"
"Kau benar Ki Sanak, aku memang belum mengenalmu. Tetapi perang tanding adalah satu-satunya cara yang paling baik untuk menghindarkan pengaruh ilmu terhadap pasukan Mataram yang sudah hampir mencapai kemenangan."
"Ternyata kau memang sangat licik. Tetapi aku tidak berkeberatan. Jika aku tetap mempergunakan aji Gelap Ngampar, maka pasukan Mataram tidak akan dapat berbuat apa-apa meskipun karena kau juga mempergunakan ilmu yang sama sehingga orang-orang Pajang juga tidak akan dapat berbuat sesuatu. Namun dengan demikian aku sudah menghentikan satu gerak menuju kehancuran pasukan Pajang," jawab orang yang menyebut dirinya kakang Panji. Sementara itu ia melanjutkan.
"Sementara itu, baiklah kau mengenalku sebagai kakang Panji. Jika kau hadir di arena ini, mungkin kau akan dapat menyebutku dengan nama lain. Tetap coba katakan, siapakah namamu?"
"Kita memiliki kesamaan dalam hal ini. Aku dapat menyebut namaku dengan siapa saja. Kau tak akan dapat mengenali namaku yang dalam sehari dapat berganti sampai tujuh kali. Tetapi kita sebaiknya memang harus berhadapan."
"Mungkin kita sudah pernah saling mengenal sebelumnya, tetapi mungkin pula belum," jawab suara yang lain.
"Jangan hanya berteriak-teriak saja untuk memamerkan aji Gelap Ngamparmu yang jelek. Aku sudah berada di medan. Jika kau memang ingin berperang tanding, maka kaulah yang harus datang kemari. Kita akan bertemu di medan sekarang ini." tantang kakang Panji.
"Bagus," jawab orang yang masih belum diketahui itu, "aku akan segera datang."
Suasana medan itu menjadi semakin tegang. Dua orang berilmu raksasa akan bertemu dan bertempur di medan itu pula. Masing-masing akan melontarkan ilmu mereka dan akibatnya memang akan dapat menjadi gawat bagi kedua belah.
Dalam pada itu, selagi Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya termangu-mangu, maka sekali lagi Raden Sutawijaya mendengar pesan lewat kemampuan aji Pameling.
"Raden. Hati-hatilah. Terserah kepada kebijaksanaan Raden atas pasukan Mataram yang berada di medan. Jika benar akan terjadi perang tanding, maka biar Raden menjaga, agar orang-orang Mataram tidak mengalami kesulitan."
Raden Sutawijaya hanya dapat menarik nafas. Tetapi ia tidak dapat menjawab, karena ia tidak tahu siapakah yang telah berbicara dengan mempergunakan pesan lewat aji Pameling itu.
Namun dalam pada itu iapun bergumam, "Adimas. Akan terjadi perang tanding yang dahsyat. Mungkin tidak ada benturan dalam ujud wadag, tetapi yang terjadi adalah benturan ilmu yang nggegirisi itu.
Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Ia adalah orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Bahkan hampir mumpuni. Sebagaimana Raden Sutawijaya. Pangeran Benawa memiliki sumber ilmu dari Sultan Hadiwijaya yang telah dapat dikembangkannya sendiri sehingga ilmunya merupakan ilmu yang sulit untuk dicari imbangannya. Sebagaimana sebuah kedung, maka Pangeran Benawa menampung arus ilmu dari aliran yang bermacam-macam, namun kemudian luluh didalam dirinya.
Meskipun demikian, ia menjadi berdebar-debar seperti juga Raden Sutawijaya. Di medan itu telah hadir dua orang yang memiliki kemampuan yang seolah-olah tidak dapat dijangkau dengan nalarnya.
Dalam pada itu, kedua orang yang berilmu tinggi itu menunggu dengan dada yang berdebar-debar. Apakah yang akan terjadi kemudian di medan itu apabila kedua orang berilmu tinggi itu sudah saling berhadapan.
Sementara itu, kedua belah pihak pasukan yang saling berhadapan itu seolah-olah telah kehilangan kemampuan untuk dapat berbuat sesuatu. Dada mereka bagaikan telah, dirontokkan oleh ilmu Gelap Ngampar yang tersaring dengan sasaran yang berlawanan. Dengan demikian, maka kedua belah telah terpukau oleh bentakan-bentakan didalam jantung mereka, sehingga mereka tidak lagi mampu berbuat sesuatu.
Beberapa orang Senapati yang memiliki daya tahan melampaui pasukannya, berusaha untuk tetap menyadari apa yang telah terjadi pada mereka. Tetapi mereka harus berjuang sekuat-kuat tenaga untuk tidak kehilangan pengamatan diri karena kekuatan aji yang menghentak-hentak dada.
Meskipun demikian, ternyata merekapun tidak lagi mampu bertahan lebih lama lagi. Ketika percakapan dua orang yang memiliki ilmu yang nggegirisi itu menjadi semakin panjang, maka dada merekapun menjadi semakin terguncang-guncang.
Dalam pada itu, maka dengan tegang kakang Panji menunggu orang yang telah dapat mengimbangi ilmunya dengan ilmu yang sama. Gelap Ngampar. Bahkan karena orang itu tidak sabar lagi menunggu, terdengar suaranya bergema diseluruh medan, "Cepatlah pengecut, sebelum aku memusnakan orang-orang Mataram dengan api yang dapat aku lontarkan dari telapak tanganku."
Tidak ada jawaban. Tetapi sejenak kemudian terdengar suara angin yang berputaran dengan dahsyatnya. Beberapa langkah saja disisi Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya yang masih tetap berusaha untuk tidak menampakkan dirinya, karena mereka berada di belakang semak-semak.
Angin pusaran itu bagaikan telah mengisap debu dan dedaunan kering, melontarkannya kendara. Semakin lama semakin keras. Namun angin pusaran itu sama sekali tidak bergeser dari tempatnya.
Angin pusaran itu telah menarik perhatian setiap orang. Kakang Panjipun memandanginya dengan tegang. Namun kemudian ia berkata, "Pengecut. Kau tidak yakin akan dirimu sendiri, sehingga menganggap perlu untuk membuat pengeram-eram."
Tidak terdengar jawaban. Namun angin pusaran itu semakin lama menjadi semakin lambat, sehingga akhirnya perlahan-lahan segala macam yang dilontarkan keudara itupun mulai terhambur berjatuhan. Debupun menjadi semakin tipis, sehingga akhirnya, perlahan-lahan angin pusaran itu hilang tanpa bergeser setapakpun dari tempatnya.
Namun dalam pada itu, semua mata terpukau melihat ketempat angin pusaran yang kemudian lenyap. Ditempat itu berdiri seseorang menghadap kearah kakang Panji berdiri. Seorang yang setua kakang Panji. Bahkan agak lebih tua meskipun tidak terlalu banyak.
"Kiai Gringsing," desis Raden Sutawijaya.
Pangeran Benawapun memandanginya dengan tanpa berkedip. Menurut penglihatannya, orang itu memang Kiai Gringsing.
"Aku sudah mencoba menghubunginya dengan Aji Pameling," desis Raden Sutawijaya, "tetapi tidak ada sentuhan apa-apa."
"Mungkin ia menerima pesan kakangmas. Tetapi ia sengaja tidak menjawabnya agar kakangmas tetap tidak mengetahui, siapakah yang telah memberikan pesan kepada kakangmas," jawab Pangeran Benawa.
Raden Sutawijaya mengangguk-angguk.
Dalam pada itu, kakang Panji memandang orang yang muncul dari balik angin pusaran itu dengan hati yang berdebar-debar. Ia sudah pernah melihat orang itu di arena, ia tahu bahwa orang itulah yang disebut Kiai Gringsing. Seorang yang dianggap memiliki ilmu yang tinggi sebagaimana Ki Gede Menoreh yang telah terluka itu. Sebagaimana Ki Waskita dan satu dua orang yang tidak terlalu banyak untuk dapat disebut. Namun kakang Panji itu tidak mengira, bahwa orang yang bernama Kiai Gringsing yang bersenjata cambuk itu mampu melontarkan ilmu yang dapat mengimbangi ilmu Gelap Ngampar-nya.
Tetapi kakang Panji tidak menjadi gentar. Ia merasa bahwa didalam dirinya masih tersimpan ilmu yang nggegirisi. Dari tangannya dapat memancar api, sehingga Ki Juru Martanipun tidak berhasil melawan kekuatan ilmu dari telapak tangannya itu, meskipun Ki Juru mampu membuat dirinya menjadi rangkap dan sempat membuatnya menjadi bingung.
Karena itu, maka dengan suaranya yang lantang masih dalam lambaran ilmu Gelap Ngampar ia berkata, "Jadi kaulah orangnya yang merasa diri mampu melawan aku" Jadi kau jugakah yang telah mengganggu perang tanding antara Ki Tumenggung Prabadaru dan Agung Sedayu?"
"Aku tidak bermaksud mengganggunya," jawab Kiai Gringsing yang mengimbangi getar ilmu Gelap Ngampar lawannya, "Aku justru berusaha agar perang tanding itu tidak terganggu. Bukankah kau telah berbuat curang dengan melontarkan serangan tersembunyi kepada Agung Sedayu lewat indera penciumannya?"
"Persetan," jawab kakang Panji, "yang kini berhadapan adalah kita berdua. Marilah. Mungkin kau sudah berhasil membunuh beberapa orang kepercayaanku, orang-orang yang aku anggap dapat membantuku. Tetapi mereka bukan aku."
"Aku mengerti. Dan aku ingin mencegah tingkah lakumu. Bukan saja dipeperangan ini."
Wajah kakang Panji menjadi tegang. Dipandanginya orang yang menyebut dirinya Kiai Gringsing itu melangkah mendekati arena. Namun dalam kediamannya. Kiai Gringsing masih sempat berkata kepada Raden Sutawijaya dengan aji Pameling, "Maaf Raden. Bukannya aku merasa diriku mumpuni dan mempunyai kelebihan dari Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa. Jika kali ini aku maju menghadapi orang yang menyebut dirinya kakang Panji itu karena aku merasa mempunyai kewajiban untuk melakukannya."
Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Kini ia pasti bahwa yang berbicara kepadanya memang Kiai Gringsing. Karena itu maka iapun sempat menjawab, "Ketika aku mencoba menghubungi Kiai, nampaknya Kiai tidak berminat untuk menjawab."
"Aku masih bersembunyi saat itu. Kini aku sudah ada disini," jawab Kiai Gringsing dengan aji Pameling.
Raden Sutawijaya tidak menjawab lagi. Dipandanginya saja Kiai Gringsing yang kemudian melangkah maju mendekati orang yang menyebut dirinya kakang Panji.
"Luar biasa," berkata kakang Panji, "jadi kau berani menghadapi aku" Kau kira aku setingkat dengan orang-orang yang telah kau bunuh dipeperangan ini?"
"Tidak kakang Panji," berkata Kiai Gringsing, "aku tahu bahwa kau memiliki kemampuan dan ilmu yang tidak ada bandingnya."
"Jika demikian, kenapa kau memasuki arena justru perang tanding" Apakah kau memang sengaja ingin membunuh diri?" bertanya kakang Panji.
"Tidak. Aku masih ingin untuk tetap hidup meskipun aku sudah tua. Meskipun demikian, tentang hidup dan mati itu bukannya persoalan manusia. Kita tinggal menjalani saja," jawab Kiai Gringsing.
"Lalu apa maumu?" bertanya kakang Panji.
"Kita akan bertempur. Kita akan menentukan siapa yang akan tetap hidup," jawab Kiai Gringsing.
Kakang Panji tertawa. Katanya, "Kau menyangka bahwa kau memiliki kemampuan seperti aku?" bertanya kakang Panji.
Suara tertawanya menggelegar. Jantung orang-orang Mataram menjadi semakin sakit. Namun sementara itu. Kiai Gringsingpun menjawab tidak kalah lantangnya, "Aku tahu bahwa kau memiliki bermacam ilmu yang ngedab-edabi kakang Panji. Kau memiliki ilmu Gelap Ngampar. Kau mampu menyerang indera pendengaran dengan ilmu Gelap Ngampar ini. Tetapi kau juga mampu menyerang indera penciuman lawan-lawanmu. Kaupun mampu melontarkan petir dari tanganmu. Nah, apa lagi. Bahkan mungkin kau masih memiliki bermacam ilmu yang lain yang akan dapat kau banggakan di medan ini."
"Nah, ternyata kau mengetahui sebagian dari ilmuku. Jika demikian, kenapa kau berani menghadapi aku apalagi dalam perang tanding" Karena sebenarnya kau masih memiliki kesempatan jika kau tidak menempatkan dirimu dalam perang tanding melawan kakang Panji," jawab kakang Panji.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Namun katanya, "Ki Sanak yang perkasa. Betapapun tinggi ilmu seseorang, tetapi ia tentu mempunyai kelemahan. Aku tahu, bahwa kelemahanmu terletak pada sikap dan pandangan hidupmu. Usahamu menguasai Pajang adalah cermin dari ketamakanmu. Karena itu, bagaimanapun juga, maka ilmu dan kemampuanmu tidak akan dapat mendukung niatmu yang buram itu."
"Omong kosong," teriak kakang Panji, "itu adalah kepercayaan yang cengeng. Kau sangka bahwa kepercayaan semacam itu akan dapat menolongmu" Menolong Sutawijaya dan Ki Juru Martani " Baik atau buruk, putih atau hitam gegayuhan seseorang, jika hal itu didukung oleh kemampuan dan kekuatan yang memadai, maka usaha itu tentu akan berhasil. Aku tidak percaya bahwa hanya berbekal dengan satu anggapan yang belum tentu kebenarannya, bahwa dengan berpihak kepada kebaikan, maka ia akan dapat mengalahkan kejahatan, maka kau benar-benar ingin menang."
"Jadi menurut pendapatmu?" bertanya Kiai Gringsing.
"Siapa yang kuat, ialah yang akan menang. Kelemahan terletak pada ketiadaan ilmu dan kebodohan. Tidak pada gegayuhan dan cita-cita. Dengan penuh kepercayaan, aku akan mencapai gegayuhanku. Mendirikan satu negara sebagaimana yang pernah kita kenal dengan Majapahit pada jamannya," jawab kakang Panji.
"Kau berkiblat kepada kekuatan duniawi saja," jawab Kiai Gringsing, "kau melupakan kekuatan yang tidak terjangkau oleh nalar manusia."
Kakang Panji tertawa berkepanjangan. Katanya, "Hanya orang yang tidak memiliki kepercayaan kepada diri sendiri sajalah yang lari kepada satu kepercayaan yang tidak menentu ujung pangkalnya."
"Baiklah kakang Panji," berkata Kiai Gringsing, "nampaknya kau memang sudah berdiri pada satu keyakinan. Tetapi akupun berpijak pada satu keyakinan, bahwa kelaliman, kerakusan dan kejahatan tentu akan dapat dihancurkan. Karena itu, maka aku berani menempatkan diri menghadapimu."
"Omong kosong," jawab kakang Panji, "kau berani melawan aku karena kau merasa memiliki sejenis ilmu yang sama dengan ilmuku. Ilmu gelap ngampar. Tetapi kau tidak mempunyai kekuatan untuk melawan ilmuku yang lain."
"Sebut jajaran ilmu yang kau miliki," berkata Kiai Gringsing, "aku tidak akan gentar, karena aku yakin bahwa kau berada diatas daerah kelemahanmu dengan kesalahan-kesalahan yang kau lakukan."
"Omong kosong. Kau merasa mampu melindungi dengan kabut, dengan angin pusaran atau ujud-ujud yang lain yang dapat mengganggu tatapan mataku. Kau sangsi bahwa hanya dengan tatapan mataku saja ilmuku dapat mengenai sasaran," geram kakang Panji.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, "Tetapi kau sudah melakukan satu kesalahan besar. Apakah kekurangan gurumu atau jalur ilmumu, memang seperti yang kau lakukan sekarang ini?"
"O, kau mgin menggores kecengenganku," bentak kakang Panji, "kau ingin aku mengenang guruku. Meratap dan kemudian menangisi tingkah lakuku."
Kiai Gringsing memandang wajah orang yang menyebut dirinya kakang Panji itu dengan dada yang berdebaran. Nampaknya ia memang berhadapan dengan seseorang yang telah dengan pertimbangan yang masak melakukan rencananya. Bahkan dengan satu keyakinan yang pasti.
Karena itu, maka agaknya tidak ada pilihan lain bagi Kiai Gringsing selain menghadapi orang itu dengan benturan ilmu.
Dengan demikian, maka Kiai Gringsing itupun telah mempersiapkan dirinya sebaik-baiknya. Setiap saat orang yang menyebut dirinya kakang Panji itu akan mampu melontarkan ilmunya yang nggegirisi. Ilmu yang jarang ada bandingnya.
Sementara itu, nampaknya kakang Panjipun menjadi heran melihat sikap orang yang menamakan dirinya Kiai Gringsing itu. Ternyata orang itu bukan saja berilmu tinggi. Tetapi ia memiliki beberapa unsur ilmu sebagaimana dimilikinya. Bahkan orang itu mengetahui beberapa hal tentang kekuatan-kekuatan yang tersembunyi didalam dirinya. Apalagi orang yang menamakan dirinya Kiai Gringsing itu sudah menyebut guru dan perguruannya.
Dalam pada itu. maka Kiai Gringsingpun menjadi semakin dekat ketika ia melangkah semakin maju. Dengan lantang Kiai Gringsingpun kemudian berkata, "Ki Sanak. Aku sama sekali tidak ingin berusaha untuk membuatmu meratapi tingkah lakumu. Meskipun tingkah lakumu itu sesat menurut pandangan guru dan ilmumu, tetapi jika itu memang sudah menjadi tujuan hidupmu, maka aku kira tidak ada orang lain yang akan dapat memaksamu. Mungkin secara lahiriah, orang akan dapat menghalangi niatmu secara batin. Kau dapat berbuat apa saja didalam batinmu, meskipun tubuhmu terbelenggu. Karena yang dapat menghentikan angan-anganmu adalah kau sendiri atau satu-satunya jalan lain adalah kematian.
"Tepat Kiai," jawab kakang Panji, "karena itu segala usaha akan sia-sia. Sementara itu tidak seorangpun akan dapat membunuhku, karena tidak ada orang lain yang akan dapat mengimbangi ilmuku. Aku dapat melawan seluruh pasukan Mataram dengan ilmu Gelap Ngamparku. Sementara itu aku akan dapat membunuhmu dengan ilmuku yang lain, yang memenuhi perbendaharaan batinku."
"Kau terlalu cepat mengambil kesimpulan," jawab Kiai Gringsing, "ilmu Gelap Ngamparmu tidak akan berarti apa-apa bagi orang-orang berilmu tinggi. Misalnya Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa atau Ki Waskita dan beberapa orang lagi. Mereka akan dapat mengatasinya dan merekapun akan dapat berbuat seperti apa yang kau lakukan untuk melawan orang-orang Pajang."
"Persetan," jawab kakang Panji, "aku tidak akan banyak berbicara lagi. Sekarang datang saatnya untuk membunuhmu. Tetapi katakan, persamaan diantara kita, kau dapatkan dari jalur yang mana?"
"Mungkin kita tidak saling mengenal secara pribadi. Tetapi ternyata kau mengenal aku dan akupun mengenalmu. Baiklah. Aku ingin menunjukkan ciriku. Tetapi kaupun harus menunjukkan cirimu, dari cabang yang manakah yang telah mengalirkan ilmu kedalam lubuk yang keruh."
"Tutup mulutmu," bentak kakang Panji, "kau selalu menyebut aku sebagai pihak yang bersalah dalam hal ini. Tetapi itu justru karena kau tidak mendalami makna dari tindakanku menyelamatkan Pajang sekarang ini dari kehancuran. Bahkan berusaha membangkitkan kemegahan Majapahit yang Agung."
"Seandainya tujuanmu bersih, tetapi cara yang kau pergunakan adalah cara yang paling kotor. Kau menganut sikap yang membenarkan cara apapun untuk mencapai tujuan. Dan itu bertentangan dengan sikap perguruan yang mengalirkan sumber ilmu kedalam dirimu," jawab Kiai Gringsing.
"Sejak semula aku tidak peduli anggapan seperti itu," jawab kakang Panji, "aku tidak akan menyesali segala perbuatanku. Aku sudah meyakini kebenarannya. Dan aku akan melakukannya terus. Sekarang, sebut cirimu sebelum kau mati."
Kiai Gringsing termangu-mangu. Namun akhirnya ia berkata, "Aku tidak bermimpi untuk mempergunakan ilmu ini. Aku pernah bertempur dan terluka parah. Tetapi aku tidak mempergunakan ilmu yang hadir dalam rangkuman ciri-ciri di pergelanganku ini. Tetapi ketika aku bertemu dengan seseorang yang memiliki sumber ilmu yang sama dan tanpa mengekang diri telah mempergunakannya, maka aku tidak mempunyai pilihan lain kecuali mempergunakan ilmu yang bersumber dari jalur yang sama untuk melestarikan peradaban Pajang."
"Setan alas," bentak kakang Panji. Lalu, "Cepat, sebut cirimu. Ini ciriku. Aku akan menunjukkannya."
Kakang Panji itupun kemudian menengadahkan dadanya. Sambil membuka bajunya ia berkata, "Aku adalah murid dari perguruan Sari Pati."
"Wajah Kiai Gringsing menegang. Perguruan itu adalah perguruan yang dekat sekali dengan jalur perguruannya. Meskipun bukan tempatnya berguru untuk pertama kali. Tetapi justru perguruan kakeknya sendiri."
Dengan demikian maka Kiai Gringsingpun sadar, bahwa ia memang berhadapan dengan orang yang memiliki ilmu yang sulit dicari tandingannya. Karena itu, ia tidak mau melihat kakang Panji itu merasa dirinya terlalu besar. Sehingga karena itupun maka Kiai Gringsingpun telah mengangkat tangannya sambil menyingsingkan lengan bajunya.
"He, murid Sari Pati. Murid dari satu perguruan yang bersih dan putih. Kau ternyata telah mengotori nama perguruanmu. Namun kau masih berani mengangkat dadamu sambil menunjukkan ciri dari perguruan Sari Pati. Kau masih berani menganggap bahwa tanda kuncup bunga menur itu sebagai ciri perguruanmu," geram Kiai Gringsing.
"Tutup mulutmu. Sekarang tunjukkan cirimu. Kau mengaku mempunyai sumber yang sama dengan perguruanku, atau karena kau pada suatu saat berhasil mencuri sebagian kecil ilmu perguruanku," sahut kakang Panji.
"Buka matamu. Aku tahu, kau memiliki pandangan yang sangat tajam, sehingga kau mampu melihat pergelangan tanganku yang aku angkat tinggi-tinggi ini," jawab Kiai Gringsing.
Orang itu tertegun sejenak. Kemudian dengan ketajaman indera penglihatannya ia mulai mengamati pergelangan tangan Kiai Gringsing. Ia mulai memperhatikan lukisan cakra dipergelangan tangan itu.
Terasa degup jantung orang yang menyebut dirinya kakang Panji itu menjadi semakin cepat. Ia melihat lukisan di pergelangan tangan Kiai Gringsing itu. Lukisan, yang dikenalnya dengan baik sebagai ia mengenal ciri perguruannya sendiri.
Dengan suara sendat ia berdesis, "Perguruan Windujati."
"Ya. Aku adalah salah seorang dari keluarga perguruan Windujati," jawab Kiai Gringsing.
Wajah orang itu menjadi tegang. Dengan nada dalam ia berkata, "Siapa sebenarnya kau orang bercambuk," bertanya orang yang menyebut dirinya kakang Panji, "aku ingin mengenalmu lebih dekat jika kau memang salah seorang dari lingkungan keluarga Windujati."
"Sebagaimana kau lihat pada ciri ini," jawab Kiai Gringsing, "tetapi kau tidak perlu mengenal lebih banyak tentang diriku. Dengan saling mengenal ciri-ciri perguruan kita masing-masing, maka kita sudah dapat mengerti, bahwa kita adalah keluarga. Tetapi agaknya jalan yang kita pilih agak berlainan."
"Kau belum memahami perjuangan kami," berkata kakang Panji, "jika kau mengenal lebih dalam lagi, maka kau tentu tidak akan memusuhi aku. Apalagi ternyata kita adalah keluarga."
"Seandainya aku sependapat dengan cita-cita yang ingin kau capai dengan perjuanganmu, maka cara untuk mencapainya bertentangan dengan ajaran perguruan kita. Maksudku perguruan Sari Pati dan perguruan Windujati yang merupakan aliran dari sumber yang sama," berkata Kiai Gringsing. "Justru karena aku mengenali ilmumu yang nggegirisi, maka aku merasa terpanggil untuk bangkit dan berdiri berseberangan denganmu, meskipun aku tahu, bahwa kita tentu mempunyai sumber yang sama."
"Kiai Gringsing," berkata kakang Panji, "marilah. Cobalah memahami perjuangan kami. Kau tentu mempunyai waktu untuk melakukannya. Kau tentu merasa wajib untuk melakukannya, justru karena kau merasa dirimu keluarga Windujati."
"Aku berpendirian sebaliknya," berkata Kiai Gringsing, "justru aku keluarga perguruan Windujati maka aku ingin memberimu peringatan. Hentikan segala tingkah lakumu yang dapat menumbuhkan akibat yang sangat luas ini."
"Kau tentu ingin mendengar alasanku," berkata kakang Panji.
"Aku tidak berkeberatan. Tetapi tarik orang-orangmu dari Prambanan. Kau harus meletakkan dasar kekuasaan Demak sebagaimana sediakala. Kangjeng Sultan Hadiwijaya adalah lambang dari pemerintahan Demak yang harus ditaati. Namun justru kau telah melakukan satu langkah yang bertentangan dengan itu," berkata Kiai Gringsing.
"Langkah itulah yang akan aku jelaskan. Bukan untuk ditarik kembali." jawab kakang Panji.
"Aku mensyaratkannya, jika kau ingin berbicara dengan aku," jawab Kiai Gringsing, "dengan demikian kita akan berbicara sebagai keluarga. Kita telah kembali kedalam jalur ajaran perguruan kita lebih dahulu."
"Syaratmu terlalu berat Kiai," jawab kakang Panji, "agaknya aku tidak akan dapat melakukannya."
"Aku menasehatkan kepadamu," berkata Kiai Gringsing, "agaknya kau belum terlambat mengambil satu sikap yang bijakana."
"Kiai," berkata kakang Panji, "perguruan Windujati darahnya memang lebih tua dari perguruan Sari Pati. Tetapi itu bukan berarti bahwa apa yang kau katakan itu harus aku ikuti. Dalam kehidupan ini tidak jarang terjadi, bahwa yang muda itu memiliki kelebihan dari yang tua. Apalagi dalam putaran jaman yang berubah. Maka datang saatnya bahwa yang tua itu harus ditinggalkan."
Wajah Kiai Gringsing menjadi semakin tegang. Agaknya orang yang menamakan dirinya kakang Panji itu sudah sulit untuk diajak berbicara. Agaknya ia memang sudah bertekad bulat untuk melakukan rencananya.
"Sejak tataran yang manakah perguruan Sari Pati sudah kehilangan arahnya. Apakah pada orang ini atau sejak gurunya yang sudah kehilangan kiblat," berkata Kiai Gringsing didalam hatinya.
Namun dalam pada itu, maka Kiai Gringsingpun kemudian berkata, "Panji, bagaimanapun juga aku akan bertindak sebagai saudara tua. Aku ingin memberimu peringatan dan mengajakmu kembali kejalan yang benar. Tetapi jika kau tetap pada pendirianmu, maka aku adalah orang yang pertama-tama merasa berkewajiban untuk mencegahmu, justru karena aku adalah saudara tuamu."
"Kiai. Aku tidak dapat berpaling dari perjuanganku yang sudah aku persiapkan sejak lama. Saat ini adalah langkahku yang terakhir. Aku akan segera menikmati perjuanganku. Aku akan membinasakan Mataram. Selanjutnya aku akan membinasakan Pajang sama sekali," jawab orang yang menyebut dirinya kakang Panji itu.
"Baiklah," berkata Kiai Gringsing, "jika aku sudah tidak lagi bermimpi untuk mempergunakan ilmu perguruan Windujati pada puncak kemampuannya, karena aku tidak mengira, bahwa masih ada juga sisa-sisa orang yang memiliki ilmu dari sumber yang sama, justru untuk kepentingan yang berlawanan dengan maksud perguruannya. Agaknya karena itu, maka aku harus mengingat kembali, bahwa sebenarnya aku adalah murid sepenuhnya dari perguruan Windujati, meskipun Windujati bukan satu-satunya perguruan tempat aku belajar."
"Apapun yang kau katakan," jawab orang itu, "kau tetap aku akui sebagai saudara tuaku. Tetapi aku bukan kanak-kanak lagi. Sebagaimana aku katakan, yang muda mungkin jauh lebih baik dari yang tua pada masa sekarang ini."
"Mungkin juga sebaliknya," jawab Kiai Gringsing, "tetapi baiklah kita akan melihat, apakah aku masih mampu menempatkan diriku sebagai saudara tuamu."
"Kita akan memperbandingkan ilmu perguruan Sari Pati dengan perguruan Windujati. Jika kau kalah, bukan salah perguruan Windujati bahwa pada keturunan kedua mendapatkan seorang murid yang lebih bodoh dari murid Sari Pati."
Kiai Gringsing tidak menjawab lagi. Ia sudah yakin, bahwa yang akan terjadi adalah benturan kekuatan. Ia tidak akan dapat merubah sikap murid dari perguruan Sari Pati itu.
Karena itu, yang dapat dilakukan oleh Kiai Gringsing kemudian adalah mempersiapkan diri untuk menghadapi ilmu yang tinggi. Ilmu dari keluarga perguruan Sari Pati. Meskipun perguruan itu adalah perguruan yang bersih, ternyata segala sesuatunya tergantung juga kepada manusia yang menguasainya. Dan yang berdiri dihadapan Kiai Gringsing itu ternyata mempunyai sikap tersendiri yang menyimpang dari sikap perguruan Sari Pati.
Ketika orang yang menyebut dirinya bernama kakang Panji itu mempersiapkan diri, maka Kiai Gringsing telah meraba pergelangan tangannya. Seolah-olah ia masih ingin meyakinkan dirinya sendiri, bahwa ia adalah keturunan yang mewarisi ilmu dari perguruan Windujati disamping perguruan yang lain.
Sejenak kemudian, maka orang yang menyebut dirinya bernama kakang Panji itupun telah bersiap pula. Keduanya langsung berada dalam tataran tertinggi dari ilmu mereka masing-masing.
Dalam pada itu, orang-orang Mataram dan orang-orang Pajang seolah-olah sudah tidak lagi mampu melanjutkan pertempuran diantara mereka. Aji Gelap Ngampar yang dilontarkan oleh kedua orang yang bersumber ilmu perguruan yang sama itu telah membuat jantung orang-orang Mataram dan orang-orang Pajang bagaikan pecah. Sementara itu merekapun telah dicengkam oleh perang tanding yang berlangsung antara kedua orang yang memiliki ilmu yang jarang ada bandingnya itu.
Namun dalam pada itu, pertempuran disisi Timur masih berlangsung terus. Pasukan Mataram semakin lama mendesak pasukan Pajang semakin jauh ke Barat, sehingga sebentar lagi, pertempuran itu tentu akan segera menyatu dengan arena pertempuran di bagian Barat yang seakan-akan telah terhenti sama sekali itu.
Sementara itu. Kiai Gringsing dan kakang Panji telah berhadapan dalam puncak ilmu mereka masing-masing. Agaknya kakang Panji tidak ingin bertempur pada jarak yang dekat. Ia tahu bahwa Kiai Gringsing memiliki senjata yang dahsyat, meskipun hanya berujud sebuah cambuk. Namun dalam puncak ilmunya, cambuk itu akan dapat mengoyak kulit dan dagingnya silang melintang.
Namun agaknya Kiai Gringsing tidak tergesa-gesa mempergunakan cambuknya. Ia masih ingin bertempur sebagaimana dilakukan oleh lawannya. Tanpa senjata.
Sejenak kemudian, ternyata kakang Panji itu pun telah memulainya. Sebagaimana dilakukan atas Ki Juru Martani, maka kakang Panji itupun telah mengayunkan tangannya. Seleret sambaran api telah menyerang Kiai Gringsing yang masih berdiri tegak.
Namun ketika terjadi ledakan. Kiai Gringsing telah beringsut dari tempatnya meskipun tidak seorangpun yang melihat, tubuh Kiai Gringsing itu bergerak. Bahkan tiba-tiba saja orang-orang yang masih tetap sadar atas medan yang dihadapi, melihat Kiai Gringsingpun telah mengayunkan tangannya pula.
Ternyata Kiai Gringsingpun telah melontarkan serangan yang serupa.
Serangan itu mengejutkan kakang Panji. Meskipun iapun yakin kalau Kiai Gringsing mampu melakukannya. Tetapi ternyata serangan Kiai Gringsing itu tidak kalah dahsyatnya dari serangan yang telah dilontarkannya.
Dengan loncatan panjang, kakang Panji menghindari serangan Kiai Gringsing. Bahkan sambil mengumpat. Ternyata Kiai Gringsing mempunyai cara yang lebih baik untuk menghindari serangannya daripada yang dilakukannya. Kiai Gringsing tidak meloncat atau melontarkan diri dari tempatnya berdiri. Tetapi seakan-akan Kiai Gringsing itu tiba-tiba saja sudah berpindah tempat tanpa dapat dilihat oleh mata wadag. Bahkan dalam sekejap Kiai Gringsing itupun telah mampu membalas serangannya dengan cara yang sama.
Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Mereka memang menganggap bahwa Kiai Gringsing adalah orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi ketika mereka melihat Kiai Gringsing pada tataran yang sebenarnya, maka merekapun menjadi semakin kagum karenanya.
Sebelumnya mereka tidak pernah melihat Kiai Gringsing bertempur dengan wajah yang demikian tegang, penuh dengan kemarahan yang menghentak-hentak. Sikap orang yang memiliki ilmu dari sumber yang sama dengan dirinya sendiri itu telah membuat Kiai Gringsing sulit untuk mengekang dirinya.
"Orang itu harus mendapat hukuman," berkata Kiai Gringsing didalam hatinya, "Ia tidak saja menodai perguruan Sari Pati, tetapi sekaligus ia telah menghancurkan Pajang dari dalam dengan cara sangat licik."
Dalam pada itu, maka kakang Panji itupun tidak segera merasa dirinya kecil dihadapan Kiai Gringsing. Sekali lagi ia melontarkan serangan petirnya menyambar lawannya.
Tetapi yang terjadi adalah seperti yang pernah terjadi Kiai Gringsing yang nampaknya tetap berdiri tegak itu sudah tidak ada ditempatnya. Tetapi ia sudah berdiri dua langkah dari tempatnya, sehingga yang kemudian meledak adalah tanah tempatnya semula berpijak.
"Permainan yang menjemukan," desis Kiai Gringsing, "apakah kau tidak mempunyai permainan yang lain, yang lebih menarik" Seharusnya kau tahu, bahwa cara ini tidak akan menyelesaikan persoalan diantar kita. Akupun mengerti bahwa serangan-seranganku dengan cara seperti ini tidak akan berhasil. Karena itu, aku akan menggunakan cara yang lain."
Kakang Panji itu menjadi tegang. Serangan-serangannya itulah yang telah mengguncangkan pertahanan Ki Juru, meskipun Ki Juru mampu membuatnya ragu-ragu untuk menyerang, karena ujudnya yang kemudian menjadi rangkap.
Namun tiba-tiba saja kakang Panji itu telah melontarkan serangannya yang lain. Tiba-tiba arena pertempuran itu telah dipenuhi dengan bau yang sangat harum. Dan bau itu telah menusuk indera penciuman Kiai Gringsing langsung menghentak-hentak isi dadanya dan mempengaruhi keseimbangan nalarnya.
Namun Kiai Gringsing menyadari apa yang terjadi. Iapun mengerti bahwa bau yang sangat harum itu adalah salah satu jenis ilmu yang dilontarkan oleh orang yang menyebut dirinya kakang Panji. Ilmu yang dikembangkan untuk satu tujuan yang baik, karena dengan ilmu itu seseorang dapat mengakhiri perlawanan lawannya tanpa menyakitinya. Sehingga lawannya akan dapat ditundukkan dalam keadaan yang utuh.
Tetapi cara itu sudah bergeser. Ilmu itu dapat dipergunakan untuk melemahkan pertahanan lawannya, sehingga dengan demikian, maka lawannya itu akan dengan mudah dapat dibunuhnya.
Demikian juga agaknya yang dilakukan oleh kakang Panji. Ia ingin melumpuhkan perlawanan Kiai Gringsing sebagaimana ia berhasil menembus benteng pertahanan Ki Juru Martani.
Namun dalam pada itu, menyadari bahwa serangan itu sangat berbahaya, maka Kiai Gringsingpun segera menutup indera penciumannya. Karena Kiai Gringsing mengerti, bahwa ilmu itu berhasil menembus sekar indera penciuman Ki Juru, maka Kiai Gringsingpun telah mempergunakan segenap kemampuan ilmunya menutup indera penciumannya.
Sejenak Kiai Gringsing masih terasa terganggu oleh bau yang sangat harum itu. Namun kemudian perlahan-lahan ia berhasil mengatasinya, sehingga bau itu sama sekali tidak menumbuhkan akibat apapun atas dirinya.
Tetapi Kiai Gringsing tidak segera menunjukkan keberhasilannya. Ia masih menunjukkan kegelisahan yang sangat sehingga akhirnya kakang Panji itupun tertawa menggelegar mengguncang udara diatas medan karena aji Gelap Ngamparnya.
Dalam pada itu Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya didalam hati, "Orang ini luar biasa. Ia dapat menyerang sekaligus indera pendengaran dan penciuman, meskipun yang mampu dibatasi sasarannya baru serangan atas indera penciuman. Karena itu, aku memang tidak boleh lepas tangan. Aku tentu tidak akan dianggap bersalah, bahwa aku telah menurunkan ilmu dari perguruan Windujati yang sudah aku simpan untuk waktu yang lama, melampaui peristiwa-peristiwa yang mendebarkan dan dapat mengancam jiwaku." Suara tertawa kakang Panji menjadi semakin keras. Disela-sela suara tertawanya terdengar ia berkata, "Nah Kiai. Ternyata bahwa Kiai harus memperhitungkan segala kemungkinan yang dapat terjadi atas Kiai, jika Kiai mencoba menghadapkan diri kepada murid perguruan Sari Pati."
"Panji," berkata Kiai Gringsing dengan nada bergetar, "jika bukan aku, tentu tidak ada orang lain yang akan mampu menahan gejolak angkara murkamu. Aku yang merasa sauara tuamu, wajib berbuat sesuatu untuk menyelamatkan nyawamu."
"Gila," geram kakang Panji, "apa yang dapat kau lakukan atasku sehingga kau akan menyelamatkan aku dari maut."
"Bukan keselamatan nyawa dalam pengertian kewadagan. Tetapi keselamatanmu secara rohaniah. Kau mengerti maksudku?" berkata Kiai Gringsing.
"Kau terlalu sombong. Kau akan mengangkat aku dari kematian langsung?" kakang Panji itu ganti bertanya.
Kiai Gringsing termangu-mangu.
Sementara itu kakang Panji berkata seterusnya, "Aku minta maaf Kiai, bahwa aku terpaksa bertindak dengan keras. Kau akan kehilangan keseimbanganmu karena gangguan indera penciumanmu. Dan akan jatuh berlutut dihadapanku. Tetapi maaf sekali lagi Kiai. Kau sudah terlambat untuk memohon ampun kepadaku, karena aku sudah terlanjur memutuskan untuk membunuh semua lawan-lawanku. Akan datang gilirannya, aku membunuh Ki Waskita, Untara, anak Ki Gede Pasantenan yang bagaikan gila itu, dan yang terakhir adalah Raden Sutawijaya sendiri."
"Panji," sahut Kiai Gringsing, "apakah kau benar-benar akan berbuat demikian?"
"Ya. Aku akan berbuat demikian," jawab kakang Panji.
Wajah Kiai Gringsing menegang. Sebenarnya masih ada sepercik harapan bahwa orang yang menyebut dirinya kakang Panji itu akan dapat melihat satu kenyataan tentang persoalan yang dihadapinya. Tetapi agaknya hadapan itu akan sia-sia saja.
Ketika kakang Panji meningkatkan serangannya atas indera penciumannya, maka Kiai Gringsing benar-benar merasa bahwa ia tidak dapat berbuat lain. Karena itu, maka katanya, "Baiklah Panji. Kita akan bersungguh-sungguh. Kau tahu, bahwa aku akan dapat mengurung diriku dengan kabut, sehingga serangan indera penciuman yang kau lontarkan itu akan kehilangan sasaran?"
"Aku dapat menghalau kabutmu dengan arus prahara. Jangan terlalu percaya kepada kabutmu itu," jawab kakang Panji.
Kiai Gringsing tidak menjawab lagi. Tetapi iapun kemudian menempatkan dirinya pada pusat putaran ilmunya. Perlahan-lahan ilmu itupun berkembang, sehingga disekitar Kiai Gringsing itu seolah-olah telah tumbuh tirai yang keputih-putihan. Perlahan-lahan, namun semakin lama semakin jelas ujudnya sebagai kabut yang memutari dirinya.
"Gila," geram kakang Panji. Karena itu, maka ia pun cepat bertindak sebelum kabut itu menjadi semakin tebal.
Dengan ilmunya kakang Panji telah menghentakkan tangannya. Sambaran yang dahsyat telah menyerang Kiai Gringsing yang masih nampak jelas dibalik kabut yang menebal.
Ternyata serangan kakang Panji itu mampu menembus kabut yang berputar itu. Tanah tempat Kiai Gringsing itupun meledak. Namun seperti yang telah terjadi, Kiai Gringsing sudah tidak berada ditempatnya lagi.
Naman dalam pada itu, kakang Panji telah berhasil memecahkan pemusatan pikiran, sehingga lontaran ilmu Kiai Gringsing menjadi agak terganggu. Kabut itu tidak cepat menjadi rapat, tetapi perkembangannya menjadi semakin lamban ketika kakang Panji mengulangi serangannya itu dua tiga kali.
Tetapi yang tidak diduga-duga oleh kakang Panji, bahwa perlahan-lahan pula telah tercium pula bau yang sangat wangi menusuk hidungnya. Sementara itu ia merasa mampu menggagalkan usaha Kiai Gringsing untuk melingkari dirinya dengan kabut, maka serangan bau yang sangat harum itu telah mendebarkan jantungnya.
Ternyata bahwa dugaan kakang Panji sekali lagi keliru. Jika kabut yang melingkari Kiai Gringsing tidak menjadi semakin tebal, bukan karena Kiai Gringsing telah kehilangan kesempatan. Tetapi agaknya orang tua itu telah berusaha untuk menunjukkan kepada lawannya, bahwa iapun mampu menyamai ilmunya, serangan atas indera penciuman.
Kakang Panji menjadi semakin gelisah. Orang yang menyebut dirinya Kiai Gringsing itu bukan saja memiliki kemampuan untuk menutup inderanya, tetapi ia juga mampu menyerang lawannya dengan ilmu yang sama.
Kegelisahan itu menjadi semakin menghentak didadanya, ketika ia mendengar Kiai Gringsing berkata, "Ki Sanak. Apa yang dapat kau lakukan tentu dapat aku lakukan. Apa yang dikuasai oleh perguruan Sari Pati, tentu dikuasai oleh perguruan Windujati. Tetapi tidak sebaliknya. Ada yang dimiliki oleh perguruan Windujati, tetapi tidak dimiliki oleh saudara mudanya, perguruan Sari Pati."
"Omong kosong," geram kakang Panji, "aku masih memiliki sejumlah ilmu yang tidak kau kenal. Bukan saja dari perguruan Sari Pati, tetapi dari perguruan-perguruan lain. Aku berguru kepada lebih dari sepuluh perguruan yang setingkat dengan perguruan Sari Pati. Selebihnya aku telah mampu mengembangkan ilmu dari sepuluh perguruan itu menjadi ilmu yang tidak ada bandingnya."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Tetapi katanya, "Kita sudah berhadapan di medan. Sebaiknya kita tidak berceritera terlalu banyak tentang diri kita sendiri. Jika kau memang memiliki dan mampu menghancurkan aku, lakukanlah."
Kakang Panji menggeram. Sementara itu, bau yang wangi itu menjadi semakin tajam menusuk kedalam kesadaran keseimbangan nalarnya.
Namun kakang Panjipun orang yang luar biasa. Iapun kemudian telah menutup indera penciumannya sebagaimana dilakukan oleh Kiai Gringsing, sehingga sesaat kemudian iapun telah terbebas dari gangguan indera penciumannya itu.
Tetapi agaknya Kiai Gringsingpun menyadari pula. Karena itu, maka ia melepaskan serangannya pada indera penciuman lawannya. Bahkan tiba-tiba saja ia telah meloncat jauh mendekati lawannya sambil menggeram, "Kita tidak akan membuang waktu untuk permainan kita yang jelek. Marilah, kita akan membenturkan ilmu kanuragan kita."
"Gila," geram kakang Panji.
Tetapi ia tidak dapat berbuat banyak. Kiai Gringsing berdiri semakin dekat dan siap untuk menyerangnya dengan sentuhan wadagnya yang sebenarnya.
Namun kakang Panjipun menyadari, jika sentuhan tangan orang-orang dari perguruan Windujati itu mengenainya, maka itu akan berarti segumpal dagingnya menjadi hangus.
Tetapi kakang Panji memang sulit untuk menghindarkan diri dari benturan ilmu kanuragan dengan wadagnya. Ketika ia berusaha untuk menyerang lawannya dengan ilmu petirnya, maka serangannya itu bagaikan menghantam tempat yang kosong. Kiai Gringsing selalu tidak lagi berada ditempat meskipun kemampuan mata wadag tidak dapat menangkap geraknya ketika ia meloncat menghindar.
Tetapi kakang Panji tidak menjadi gentar. Diulanginya serangannya itu beruntun. Tetapi seperti serangannya yang terdahulu, semuanya tidak berarti apa-apa. Bahkan tiba-tiba saja iapun melihat Kiai Gringsing menggerakkan tangannya, sehingga iapun harus meloncat menghindar.
Namun kakang Panji itu terkejut, ketika tiba-tiba saja, demikian ia berjejak diatas tanah setelah menghindari serangan Kiai Gringsing yang terlontar dari tangannya sebagaimana dilakukan oleh kakang Panji itu sendiri, serangan Kiai Gringsing telah memburunya dan menyambarnya. Dengan wadagnya.
Dengan tergesa-gesa kakang Panji bergeser pula menghindar sehingga tangan Kiai Gringsing yang terayun itu tidak menyentuhnya.
Namun seperti yang diduganya, maka serangan yang berikutnyapun telah datang beruntun. Demikian cepatnya.
Kakang Panji harus mengerahkan kemampuannya untuk menghindari serangan yang mengalir itu. Susul menyusul. Sehingga akhirnya kakang Panji itu harus meloncat jauh kebelakang sambil melontarkan serangan petirnya.
Kiai Gringsing memang terhalang oleh serangan itu. Ia harus menghindarinya, sehingga karena itu, kakang Panji mendapat kesempatan untuk memperbaiki keadaannya.
Namun dalam pada itu, kakang Panji memang harus mempersiapkan diri bagi pertempuran yang akan menjadi sangat berat.
Sementara itu, pertempuran antara pasukan Pajang dan Mataram disisi Timur telah bergeser semakin dekat ke Barat. Pasukan Pajang perlahan-lahan tetapi pasti, mengalami penyusutan. Mereka tidak dapat bertahan terhadap jumlah orang-orang Mataram yang lebih banyak.
Bergesernya medan itu, menggelisahkan beberapa orang Pajang disisi sebelah Barat. Satu dua Senapati Pajang yang mampu bertahan atas serangan aji Gelap Ngampar, memperhatikan debu yang mengepul semakin dekat dengan jantung yang berdegupan. Mereka sadar bahwa pasukan Mataram tentu lebih kuat dari pasukan Pajang, sehingga pasukan Pajang itu harus bergeser ke Barat.
Tetapi Senapati itupun berharap, jika pertempuran antara kedua orang berilmu sangat tinggi itu masih berlanjut, dan sekali-sekali aji Gelap Ngampar itu masih terlontar juga, maka betapapun selisih kekuatan antara Mataram, dan Pajang, namun agaknya tidak akan banyak berarti, karena baik orang-orang Pajang maupun orang-orang Mataram seolah-olah akan menjadi kehilangan kemampuannya, karena dada mereka terguncang oleh kekuatan yang tidak terlawan.
Namun dalam pada itu, kegelisahan yang lain telah mencengkam pula. Agaknya kakang Panji itu tidak dengan segera menguasai lawannya.
"Ternyata kakang Panji bukan iblis yang tidak ada duanya," desis seseorang, "di medan ini ia menemukan kekuatan yang seimbang dengan kekuatannya. Bahkan saudara seperguruan. Meskipun mereka menyebut nama perguruan yang berbeda, tetapi ternyata bahwa keduanya bersumber dari ilmu yang sama."
"Satu hal yang tidak diduga sebelumnya oleh kakang Panji," sahut yang lain.
Sebenarnyalah apa yang dihadapi oleh kakang Panji itu sama sekali tidak diduganya. Meskipun kakang Panji pernah mendengar nama Kiai Gringsing, tetapi ia sama sekali tidak membayangkan, bahwa Kiai Gringsing memiliki kemampuan yang dapat mengimbanginya, bahkan agaknya sulit untuk dapat dikalahkan.
Tetapi kakang Panji adalah orang yang memiliki pengalaman yang luas sebagaimana Kiai Gringsing. Karena itu, maka iapun memiliki ketabahan yang luar biasa, menghadapi kesulitan yang betapapun besarnya.
Itulah sebabnya, menghadapi Kiai Gringsing kakang Panji tidak menjadi gentar. Betapapun tinggi ilmu Kiai Gringsing, namun kakang Panjipun merasa dirinya mempunyai bekal yang cukup untuk melawannya.
"Pada suatu saat, aku akan mendapatkan kelemahannya dan aku akan dapat menghancurkannya," berkata kakang Panji didalam hatinya.
Demikianlah keduanya bertempur semakin dahsyat. Kiai Gringsing berusaha untuk membenturkan kemampuan kanuragannya dengan wadagnya. Tetapi kakang Panji selalu berusaha mengambil jarak untuk dapat melontarkan serangan-serangannya dari jarak tertentu.
Dalam pada itu, sorak yang menggelegar bagaikan memecahkan selaput telinga telah terdengar. Orang-orang Mataram yang berhasil mendesak orang-orang Pajang telah bersorak-sorak dengan gemuruh. Sementara itu medanpun bergeser semakin ke Barat, semakin mendekati arena pertempuran disisi Barat yang seolah-olah telah membeku oleh kekuatan Aji Gelap Ngampar.
Betapapun kakang Panji mengalami kesulitan, namun ia sempat juga melihat debu yang mengepul. Namun ia justru berharap bahwa medan itu akan menjadi semakin dekat, sehingga kekuatan Aji Gelap Ngamparnya akan berhasil mencengkam jantung orang-orang Mataram, agar dengan demikian pertempuran akan dapat terhenti.
Ternyata sebagaimana diharapkan, akhirnya medan itupun menjadi semakin dekat. Dalam pada itu, selagi kakang Panji sempat meloncat melepaskan diri dari libatan serangan Kiai Gringsing, maka terdengar orang itu berteriak nyaring dalam lambaran aji Gelap Ngampar, "Marilah orang-orang Mataram, mendekatlah."
Suara itu bergulung-gulung diatas medan pertempuran yang semakin mendekati medan disisi Barat. Bahkan kemudian suara tertawa kakang Panji itupun telah meledak menghentak-hentak isi dada orang-orang Pajang.
Namun sementara itu. Kiai Gringsing yang mengetahui maksud kakang Panji itupun telah menjawab, "Baiklah kakang Panji. Tetapi jangan diharapkan bahwa orang-orang Pajang akan mampu berbuat sesuatu atas orang-orang Mataram."
Pembicaraan kedua orang itu benar-benar telah mengguncang-guncang jantung. Baik orang-orang Mataram, maupun orang-orang Pajang seakan-akan telah kehilangan kemampuan mereka oleh guncangan-guncangan didalam dadanya.
Sementara itu, beberapa orang Senapati Pajang mampu bertahan dari hentakkan-hentakkan dijantung mereka. Namun mereka tidak segera bertindak, karena beberapa orang Matarampun mampu mengelakkan diri dari serangan aji yang sama. Sehingga dengan demikian, maka orang-orang Pajang itu harus menghitung kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi.
Tetapi ternyata sesuatu menarik perhatian mereka.
Mereka melihat keadaan orang-orang Mataram dan Pajang yang terdahulu berada di medan itu. Merekapun telah kehilangan kemampuan mereka untuk bertempur, sementara itu, di bagian lain mereka melihat dua orang yang bertempur dengan ilmu yang luar biasa.
"Kakang Panji," desis seorang Senapati Pajang yang masih mampu melepaskan diri dari pengaruh Aji Gelap Ngampar.
Namun agaknya perhatian orang-orang Pajang, maupun orang-orang Mataram telah tertuju kepada pertempuran antara Kiai Gringsing dan kakang Panji. Pertempuran yang semakin lama menjadi semakin dahsyat. Mereka sadar sepenuhnya bahwa sumber Aji Gelap Ngampar adalah kedua orang yang sedang bertempur dengan sengitnya itu. Namun Aji Gelap Ngampar yang mampu mengguncang jantung itu, sama sekali tidak menimbulkan akibat apapun pada kedua orang yang sedang bertempur itu.
Demikianlah, maka pertempuran antara Kiai Gringsing dan kakang Panji itu berlangsung terus. Bahkan akhirnya keduanya terlibat dalam pusaran benturan ilmu yang nggegirisi.
Beberapa orang yang menyadari bahaya yang dapat timbul diarena itu atas orang-orang yang ada disekitarnya, telah berusaha untuk menghindar. Mereka yang dadanya bagaikan retak dan tidak mampu berbuat apa-apa lagi, masih juga berusaha untuk bergeser dari tempatnya, menjauhi arena pertempuran antara Kiai Gringsing dan kakang Panji yang setiap kali telah terjadi benturan dan lontaran ilmu yang kadang-kadang lepas dari sasaran dan menghantam tempat disekitar arena itu.
Dalam pada itu. Kiai Gringsing dan kakang Panji benar-benar telah terlibat dalam satu pertempuran yang sulit dimengerti. Mereka telah mempergunakan berbagai macam ilmu yang ada didalam diri mereka masing-masing, yang sebagian besar bersumber dari perguruan yang sama.
Lontaran-lontaran ilmu yang dahsyat telah memecahkan batu-batu padas dan meledakkan tanggul dan pematang diarena itu. Pepohonan yang disambar oleh serangan petir yang terlontar dari tangan mereka, telah berpatahan. Sementara itu, keduanya bagaikan terlibat dalam satu pusaran yang sulit di urai menurut penglihatan mata wadag. Namun setiap kali salah seorang dari keduanya telah terlontar beberapa langkah. Kadang-kadang mereka jatuh diatas kedua kaki mereka Tetapi sekali-sekali mereka terpelanting dan jatuh berguling diatas tanah.
Serangan-serangan yang dahsyat, akhirnya telah menyentuh tubuh-tubuh mereka. Semakin cepat mereka bertempur, maka kesempatan untuk mengelak dan menghindarpun menjadi semakin sempit.
Dalam benturan-benturan ilmu yang kemudian menjadi semakin dahsyat itu, telah memaksa keduanya melindungi diri mereka dengan ilmu yang sebelumnya tidak pernah nampak dipergunakan oleh Kiai Gringsing. Ilmu yang dikenal pada masa-masa sebelumnya, yang mempunyai kekuatan mirip dengan ilmu kebal. Yaitu ilmu Tameng Waja, sebagaimana yang dimiliki oleh Sultan Demak terakhir dan Sultan Hadiwijaya. Namun karena ilmu keduanya yang tinggi, maka kadang-kadang ilmu Tameng Waja itupun dapat tertembus oleh serangan lawan dan terasa serangan itu menusuk sampai kedalam isi dada.
Namun demikian, kedua orang yang memiliki ilmu dari sumber yang sama itu sama sekali tidak lagi mengekang diri. Mereka telah mengerahkan segenap kemampuan yang ada didalam diri mereka. Puncak segala macam ilmu dan kemampuan kanuragan. Bahkan segala macam aji yang mereka miliki telah mereka tumpahkan dalam benturan yang dahsyat itu.
Dalam keadaan yang demikian, maka pasukan dari kedua belah pihak seakan-akan telah kehilangan perhatian mereka terhadap pertempuran antara kedua pasukan itu sendiri. Tetapi mereka telah tercengkam oleh benturan ilmu dari kedua orang yang memiliki ilmu yang tidak ada bandingnya itu.
Dalam pada itu, baik kakang Panji maupun Kiai Gringsing tidak lagi sempat melontarkan aji Gelap Ngampar. Sehingga perlahan-lahan pasukan Mataram dan Pajang itu telah bebas dari cengkaman ilmu yang bagaikan meremas dada mereka itu.
Meskipun demikian, seolah-olah mereka tidak lagi ingat tentang diri mereka. Tentang pasukan mereka dan tentang permusuhan diantara orang-orang Mataram dan Pajang. Yang menjadi pusat perhatian mereka kemudian adalah pertempuran antara Kiai Gringsing dan kakang Panji yang kadang-kadang berada diluar jangkauan nalar mereka.
Sementara itu pertempuran itupun telah berlangsung semakin dahsyat. Seolah-olah udara disekitar arena itu telah bergejolak. Bahkan semakin lama menjadi semakin panas. Aji Gelap Ngampar dan serangan terhadap indera penciuman masing-masing sama sekali tidak berarti lagi bagi keduanya, sehingga mereka tidak mempergunakannya lagi. Namun kedua belah pihak seolah-olah dilapisi oleh dinding baja yang sulit ditembus oleh ilmu yang betapapun tajamnya.
Tetapi ternyata bahwa lapisan ilmu Tameng Waja itu sekali-sekali dapat tertembus juga. Bahkan kadang-kadang salah seorang diantara mereka telah terlempar keluar dari lingkaran pertempuran dan terbanting jatuh. Namun dalam sekejap merekapun telah melenting berdiri dan bahkan meluncur seperti anak panah memasuki putaran pertempuran berikutnya.
Demikian dahsyatnya pertempuran itu, sehingga rasa-rasanya bumi telah berguncang. Dahan pepohonan berpatahan dan batu-batu padaspun pecah berserakan.
Namun yang terjadi kemudian telah mencengkam hati setiap orang yang ada diseputar arena itu. Orang-orang Mataram dan orang-orang Pajang pun seakan-akan telah membeku. Bahkan Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa berdiri mematung ditempatnya.
Kedua orang itu akhirnya tidak lagi berloncatan saling menyerang. Tetapi gerak mereka justru menjadi semakin lamban. Bukan karena mereka telah kehabisan tenaga dan tidak lagi mampu bergerak. Tetapi demikianlah akhirnya keduanya berdiri tegak dengan tangan bersilang didada masing-masing.
Dengan tajamnya keduanya saling memandang. Keduanya tidak memancarkan serangan dari matanya seperti yang dilakukan oleh Agung Sedayu dan Sabungsari. Tetapi keduanya tetap saling memandang langsung kehitam mata masing-masing.
Tidak seorangpun yang tahu, apa yang sedang mereka lakukan dengan sikap itu. Namun terasa oleh orang-orang yang berdiri disekitar arena pertempuran yang dahsyat itu, bahwa keduanya sedang membenturkan ilmu mereka masing-masing. Ilmu yang tidak dapat dimengerti oleh orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu dengan hati yang berdebar-debar.
Namun dalam pada itu, baik Kiai Gringsing maupun kakang Panji memang sedang bertempur dengan ilmu mereka yang luar biasa. Ilmu yang sudah tidak banyak dikenal lagi apalagi oleh anak-anak muda. Bahkan Pangeran Benawa dan Raden Sutawijayapun memperhatikan pertempuran itu dengan hati yang berdebar-debar.
"Apa yang sedang mereka lakukan?" desis Pangeran Benawa.
"Satu pertempuran yang aneh," sahut Raden Sutawijaya.
"Nampaknya keduanya memang memiliki ilmu yang tidak ada bandingnya. Pertempuran yang dahsyat itu terlalu sulit untuk dimengerti," desis Pangeran Benawa selanjutnya.


07 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Itulah sebabnya, maka orang yang menyebut dirinya kakang Panji itu telah berusaha untuk mencapai satu kedudukan yang tertinggi dalam satu pemerintahan yang setiap kali disebutnya sebagai kelanjutan dari kerajaan Majapahit," berkata Raden Sutawijaya selanjutnya, "ternyata bahwa ia bukan sekedar bermimpi. Ia memang memiliki ilmu melampaui kita semuanya."
"Sayang bagi orang itu," sahut Pangeran Benawa, "ternyata pula bahwa masih ada juga sisa kekuatan yang seimbang dari masa lampau yang besar itu."
"Tetapi adimas," berkata Raden Sutawijaya kemudian, "aku yakin, bahwa kakang Panji itu selain memiliki ilmu yang sangat tinggi, tentu merasa dirinya pewaris dari kerajaan Agung itu. Meskipun langkahnya itu hanya dapat dianggap benar bagi dirinya sendiri, namun rasa-rasanya ia memang keturunan dari tahta Majapahit itu sendiri."
"Aku juga menduga demikian kakangmas," sahut Pangeran Benawa, "sebagaimana juga Kiai Gringsing sendiri. Bedanya, bahwa Kiai Gringsing dapat menerima perkembangan apa yang ada sekarang. Sedangkan orang yang menyebut dirinya kakang Panji itu masih dihinggapi oleh pamrih dan bahkan sifat-sifat tamak dan mementingkan diri sendiri."
"Keduanya adalah kekuatan masa yang sedang berlalu. Kekuatan yang justru ada bandingnya. Namun keduanya harus berhadapan dan saling membenturkan ilmu mereka yang sangat dahsyat itu."
Pangeran Benawa tidak menyahut. Kedua orang itu masih saja melihat Kiai Gringsing dan orang yang menyebut dirinya kakang Panji itu berdiri tegak sambil menyilangkan tangannya didada.
Sementara itu, orang-orang lain dari kedua belah pihakpun telah dicengkam oleh pertempuran yang terasa menjadi semakin dahsyat itu. Ki Waskita sekali-sekali nampak tersenyum. Namun kemudian alisnya telah berkerut. Ketegangan terasa mencengkam jantung.
Glagah Putih yang terbebas dari pertempuran karena keadaan yang mengguncang seluruh medan itu, berdiri mematung menyaksikan apa yang sedang terjadi.
Sebenarnyalah Kiai Gringsing dan kakang Panji benar-benar telah sampai kepuncak ilmu mereka. Dalam keadaan yang demikian, mereka tidak memerlukan lagi Aji Gelap Ngampar, ilmu yang dapat menyerang indera penciuman, dan ilmu-ilmu yang lain. Tetapi mereka sedang mengadu kekuatan ilmu yang terpancar lewat benturan batin mereka yang tidak dapat dilihat oleh siapapun juga.
Dalam pada itu, bukan hanya Glagah Putih sajalah yang tertegun heran. Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya, Ki Waskita, Putera Pasantenan, Sabungsari dan para Senapati yang lain. Ki Lurah Branjangan pun berdiri mematung seolah-olah ia bukan lagi seorang Senapati, yang telah memimpin satu pasukan khusus dipersiapkan untuk satu benturan kekuatan yang dahsyat. Dalam kebingungan ia tidak lebih dari seorang anak-anak yang sedang menyaksikan satu tontonan yang tidak dapat dimengertinya.
Demikianlah benturan ilmu itu benar-benar telah mencengkam semua orang yang menyaksikan. Para prajurit Pajang dan para pengawal Mataram, merasa diri mereka terlalu dungu menghadapi pertempuran antara dua raksasa yang menggetarkan itu.
Dengan wajah yang semakin tegang, orang-orang yang ada disekitar arena itu menyaksikan, seolah-olah tubuh kedua orang itu telah berasap. Semakin lama semakin nyata. Tidak saja dari ubun-ubun mereka. Tetapi kemudian dari dahi, tengkuk dan dada merekapun telah mengepul asap keputih-putihan.
Sementara itu wajah kedua orang itupun menjadi semakin tegang. Bahkan kemudian wajah-wajah itu telah menjadi merah seperti bara.
Kakang Panji yang tidak menyangka bahwa ia akan menghadapi seorang lawan yang memiliki ilmu dari sumber yang sama, mengumpat didalam hati. Bahkan semakin lama terasa, bahwa ilmu lawannya itu telah mendesaknya semakin dalam.
Ketegangan benar-benar telah mencengkam arena pertempuran itu. Udara yang panas menjadi semakin panas. Dedaunanpun menjadi layu dan orang-orangpun telah menyibak semakin jauh dari kedua orang yang masih berdiri tegak mematung itu.
Namun dalam pada itu, ketika asap menjadi semakin tebal mengepul dari tubuh kedua orang itu, maka wajah kakang Panjipun mulai berubah. Wajah yang merah membara itu menjadi pudar. Bahkan semakin lama nampak menjadi semakin pucat.
Orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu dari kejauhan tidak dapat melihat perubahan itu. Tetapi orang-orang berilmu yang ada disekitar tempat itu, yang masih mampu berdiri tidak terlalu jauh dan memiliki pandangan yang tajam, melihat perubahan yang terjadi perlahan-lahan tetapi pasti itu.
Akhirnya, dalam keadaan yang tidak tertahankan lagi, orang-orang yang berdiri di seputar arena itu, meskipun agak jauh, melihat cairan yang meleleh dari bibir kakang Panji. Cairan yang berwarna merah kehitam-hitaman. Darah.
Terasa jantung orang-orang Pajang itupun berguncang. Kakang Panji adalah orang yang mempunyai nama yang sangat besar bagi mereka. Seolah-olah kakang Panji adalah seorang tokoh dalam satu ceritera kepahlawanan yang sangat dikagumi. Meskipun ada diantara mereka yang semula belum pernah melihat orang yang bernama kakang Panji itu, namun namanya telah penah hinggap didalam hati mereka sebagai seorang seakan-akan mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari orang kebanyakan.
Namun kini mereka menyaksikan satu kenyataan, bahwa orang yang bernama kakang Panji sebagaimana diucapkannya sendiri itu, mengalami kesulitan melawan orang yang menyebut dirinya Kiai Gringsing. Seorang yang memang dianggap orang berilmu tinggi, namun sebelumnya orang-orang Pajang tidak membayangkan, bahwa Kiai Gringsing itu mampu melawan kakang Panji, yang sudah berhasil membayangi kekuasaan Kangjeng Sultan Hadiwijaya di Pajang, dan yang mempersiapkan diri untuk memimpin satu pemerintahan yang besar sebagaimana masa kejayaan Majapahit.
Sementara itu kedua orang yang sedang bertempur itu masih tetap berdiri ditempatnya. Keduanya masih tegak sambil menyilangkan tangannya didadanya. Namun dalam pada itu, kakang Panji semakin lama telah menjadi semakin lemah. Darah yang meleleh dari bibirnya semakin lama menjadi semakin banyak.
Kiai Gringsing masih tetap berdiri tegak. Tetapi wajahnya yang membarapun telah berubah pula, seperti yang telah terjadi pada kakang Panji sebelumnya.
Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya menjadi sangat cemas. Jika kakang Panji mampu bertahan untuk beberapa saat dan sempat melontarkan kekuatan ilmunya yang terakhir dan menghentak, mungkin Kiai Gringsing akan mengalami kesulitan.
Untuk beberapa saat keduanya masih tetap dalam keadaannya. Darah masih meleleh dari bibir kakang Panji. Namun wajah Kiai Gringsingpun semakin lama menjadi semakin pucat.
Dalam pada itu, Ki Waskita berdiri tegak dengan jantung yang bagaikan berdentang semakin cepat. Ia melihat apa yang terjadi, sebagaimana yang dilihat oleh Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa. Tetapi seperti juga Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa, maka Ki Waskitapun tidak dapat berbuat sesuatu. Ia tidak dapat dengan curang membantu Kiai Gringsing dengan ilmunya yang manapun juga, karena Kiai Gringsing dan kakang Panji nampaknya telah sepakat untuk bertempur seorang melawan seorang. Demikian juga Sabungsari. Sebenarnya ia dapat dengan diam-diam menyerang kakang Panji dengan lontaran ilmunya lewat matanya. Dalam keadaan yang sudah melemah itu, maka ilmunya tentu akan dapat mengakhiri perlawanan kakang Panji. Namun Sabungsari tidak dapat melakukannya sebagaimana Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Ki Waskita. Karena itu, yang dapat dilakukannya hanyalah sekedar menggeram dan menggeretakkan giginya.
Namun dalam pada itu, wajah Kiai Gringsing memang menjadi semakin pucat sebegaimana telah terjadi pada lawannya sejak kekuatannya menjadi jauh menyusut.
Dengan demikian, maka orang-orang yang menyaksikan keadaan Kiai Gringsing itupun menjadi semakin berdebar-debar pula.
Namun keadaan itupun segera diakhiri ketika orang yang menyebut kakang Panji itu sudah tidak mampu bertahan lebih lama lagi. Ketika darah mengalir semakin banyak dari sela-sela bibirnya, maka kepalanyapun semakin lama menjadi semakin menunduk. Matanya tidak lagi mampu memandang hitam mata Kiai Gringsing, sementara asap yang mengepul dari tubuhnya telah berubah menjadi kemerah-merahan.
Perlahan-lahan kakang Panji itu terguncang. Tubuhnya menjadi semakin lemah, sehingga akhirnya orang itupun terhuyung-huyung. Betapapun orang itu bertahan dengan sisa tenaganya, namun akhirnya kakang Panji itupun jatuh pada lututnya. Dengan kedua tangannya ia berusaha untuk menahan tubuhnya yang menjadi semakin lemah.
Namun akhirnya, kakang Panji itupun tidak dapat lagi menahan dirinya dan jatuh berguling ditanah.
Masih terdengar orang itu mengumpat lirih. Tetapi kemudian nafasnya menjadi terengah-engah, sementara matanyapun mulai terpejam.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun ternyata sudah menjadi terlalu lemah. Ketika ia mencoba untuk melangkah, maka ia harus menjadi sangat berhati-hati untuk menahan keseimbangan tubuhnya.
Namun dalam pada itu, demikian kakang Panji itu rebah, maka Glagah Putihpun segera berlari-lari mendekati Kiai Gringsing dan mencoba menahannya agar orang tua itu tidak terjatuh karenanya.
"Terima kasih Glagah Putih," desis Kiai Gringsing. Lalu katanya, "Bawa aku mendekati orang yang terbaring itu."
Glagah Putih menjadi ragu-ragu. Namun akhirnya ia-pun membawa Kiai Gringsing mendekati orang yang terbaring diam dengan nafas yang terengah-engah.
Asap yang mengepul dari tubuh kedua orang itupun telah lenyap dengan sendirinya. Namun demikian asap yang kemerah-merahan itu lenyap, maka keringat yang membasahi diseluruh tubuh kakang Panji itulah yang menjadi kemerah-merahan, seolah-olah telah bercampur dengan darah.
Perlahan-lahan Kiai Gringsing mendekatinya. Kemudian orang tua itupun telah berlutut di sisi tubuh kakang Panji. Dengan ragu-ragu Kiai Gringsing menyentuh tubuh orang itu.
"Ki Sanak," desis Kiai Gringsing dengan suara parau.
Orang itu tidak segera menjawab. Namun perlahan-lahan ia telah membuka matanya.
Sementara itu, pertempuran benar-nenar telan terhenti. Semua orang dicengkam oleh ketegangan. Pangeran Benawa dan Raren Sutawijayapun telah mendekati Kiai Gringsing yang berlutut disisi tubuh kakang Panji. Bahkan kemudian beberapa orang yang lainpun telah mendekatinya pula.
"Ki Sanak," sekali lagi Kiai Gringsing berdesis, "dalam keadaan parah ini, cobalah kau mengatakan, siapakah kau sebenarnya jika kau memang murid dari perguruan Sari Pati."
Wajah orang itu menjadi semakin putih. Tetapi dicobanya juga berbicara, "kau memang luar biasa Ki Sanak. Akupun yakin, bahwa kau memang murid Windujati."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Tetapi ia memang menginginkan orang itu mengatakan sesuatu tentang dirinya. Karena itu, maka Kiai Gringsingpun kemudian berkata, "Ki Sanak. Bukan maksudku untuk mengaku-aku atau apalagi menyombongkan diri, tetapi baiklah kita saling berterus terang. Jika kau percaya Ki Sanak, aku adalah murid perguruan Windujati, meskipun bukan satu-satunya tempat aku berguru. Namun sebenarnyalah aku cucu Empu Windujati."
Wajah orang itu menegang. Dengan suara gemetar ia mengulang, "Jadi kau cucu Empu Windujati?"
"Begitulah Ki Sanak. Jika aku mengatakannya, aku sekedar bermaksud agar kaupun menyatakan, siapakah kau sebenarnya," desak Kiai Gringsing.
Orang itu menelan ludahnya. Keadaannya menjadi semakin parah. Kiai Gringsing yang lemah itupun melihat, bahwa orang itu sudah tidak mungkin lagi diharapkan untuk dapat disembuhkan, kecuali jika terjadi satu keajaiban.
Ketika orang itu kemudian menarik nafas dalam-dalam, maka iapun kemudian berkata, "Pantas, kau memiliki kemampuan yang tidak ada bandingnya. Kau memang seharusnya memenangkan pertempuran ini. Sejauh aku ketahui, aku belum pernah melihat orang yang memiliki tingkat ilmu seperti yang kau miliki, kecuali guru."
"Jangan memuji," desis Kiai Gringsing, "tetapi siapakah kau sebenarnya."
Orang itu nampaknya masih juga ragu-ragu. Tetapi akhirnya ia berdesis, "Aku adalah putera Raden Rangga Surapada."
"Raden Rangga Surapada," Kiai Gringsing mengulang. Tetapi ia belum mengenal nama itu. Karena itu, maka iapun bertanya, "Apakah Raden Rangga Surapada mempunyai gelar atau sebutan yang lain."
"Tidak. Ayah memang tidak banyak dikenal. Tetapi ayah adalah putera Raden Dipasura, dan Raden Dipasura adalah putera Pangeran Handayapati."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia berdesis, "Jadi kau adalah cicit Pangeran Handayapati. Pangeran yang tidak ada duanya pada masanya. Aku pernah mendengar nama Pangeran Handayapati dan juga nama Raden Dipasura yang bergelar Raden Lembu Gandang yang dikenal dengan seorang kesatria bersenjata canggah bermata lengkung."
"Kau mengenal kakekku?" desis orang yang menyebut dirinya kakang Panji.
"Ya. Memang salah seorang pemimpin dari perguruan Sari Pati," jawab Kiai Gringsing, "tetapi apakah sejak kakekmu yang bergelar Raden Lembu Gandang dan dikenal sebagai kesatria bersenjata canggah bermata lengkung itu sudah terbersit satu keinginan untuk mengungkat kekuasaan Majapahit lama itu ?"
Kakang Panji yang sudah menjadi semakin parah itu menarik nafas dalam-dalam. Namun terasa bahwa nafasnya seakan-akan sudah tidak lagi dapat mengalir dengan lancar lewat lubang hidungnya.
"Ki Sanak," berkata Kiai Gringsing, "aku mempunyai sejenis obat yang barangkali dapat memperingan penderitaanmu."
"Aku tidak menderita apa-apa," ternyata kakang Panji itu masih tersinggung. Lalu katanya, "jangan mengasiani aku. Aku memang tidak memerlukan belas kasihan. Apa yang terjadi bukannya sesuatu yang mustahil. Seorang prajurit akan mengalami keadaan seperti ini sebagai satu kemungkinan yang sangat wajar."
"Tetapi, bukankah setiap orang yang terluka sudah wajar pula untuk diobati?" bertanya Kiai Gringsing.
"Tidak ada gunanya. Umurku sudah tidak akan dapat disambung lagi dengan cara apapun," jawab kakang Panji. Lalu katanya, "Tetapi aku masih ingin menjawab pertanyaanmu. Kakek sama sekali tidak pernah menyebut tentang kekuasaan Majapahit lama.
He, kapan kau bertemu dengan kakek?"
"Aku hanya mengenal namanya," jawab Kiai Gringsing, "jika umurmu dan umurku tidak terpaut banyak, maka pengenalanku atas kakekmu adalah pengenalan anak-anak terhadap seorang yang sudah kawentar."
Kakang Panji termangu-mangu sejenak. Matanya masih berkedip meskipun kadang-kadang terpejam.
"Ki Sanak," berkata kakang Panji kemudian, "pada saat seperti ini, sebaiknya aku tidak lagi berbohong kepadamu. Yang mula-mula berniat untuk mengungkit warisan kekuasaan Majapahit adalah ayahku. Rangga Surapada sejak kekuasaan Demak terakhir. Tetapi ayah tidak sempat berbuat sesuatu sampai akhir hayatnya. Namun demikian cita-cita itu telah terpahat dihatiku, sehingga aku mulai merintis sejak aku merasa memiliki bekal yang cukup. Tetapi ternyata bahwa disini aku bertemu dengan cucu Empu Windujati."
"Sudahlah Ki Sanak," berkata Kiai Gringsing, "bagaimanapun juga usaha wajib dilakukan. Aku akan berusaha mengobatimu. Aku akan meramu beberapa jenis obat yang barangkali akan dapat menolongmu."
Tetapi kakang Panji yang sudah terlalu lemah itu menggelengkan kepalanya sambil berkata, "Tidak Ki Sanak. Itu tidak perlu. Aku tahu bahwa kau adalah seorang ahli dalam ilmu obat-obatan. Tetapi kemampuan seseorang tentu terbatas. Dan nampaknya aku sudah berada diluar batas kemampuanmu."
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Namun menurut pengamatannya keadaan orang yang menyebut dirinya kakang Panji itu memang sudah terlalu parah.
"Ki Sanak," berkata Kiai Gringsing, "kau belum menyebut namamu."
Orang itu memandang wajah Kiai Gringsing sekilas. Namun kemudian iapun bergumam, "Namaku adalah Panji."
"Jangan bersembunyi juga Ki Sanak. Mungkin pengenalanku atas namamu akan bermainfaat bagiku atau juga bagimu."
Tetapi orang itu masih berusaha tersenyum. Katanya, "Namaku memang Panji. Panji Surapati."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Sebagai seorang Senapati yang tidak banyak dikenal namanya memang Surapati. Tetapi dilingkungan tertentu, orang mengenalnya dengan nama kakang Panji.
Namun dalam pada itu, keadaan kakang Panji memang sudah terlalu parah. Nafasnya menjadi semakin sesak. Meskipun demikian ia masih juga tersenyum sambil berkata, "Ki Sanak. Sebagai cucu Empu Windujati, kau adalah keturunan langsung dari Prabu Brawijaya. Apakah kau tidak mempunyai niat, walau hanya setitik, untuk menyalakan kembali kuasa Majapahit atas tanah ini?"
Kiai Gringsing memandang wajah kakang Panji yang menjadi semakin pucat. Dengan suara lemah ia berkata, "Sudahlah Kiai. Biarlah aku pergi. Aku tidak mampu melaksanakan sebagaimana juga ayahku tidak dapat melihat kenyataan dari satu mimpi yang indah, karena aku telah membentur kuasa perguruan Windujati yang bersumber dari mata air yang sama dengan perguruan Sari Pati."
"Aku minta maaf Ki Sanak. Tetapi aku tidak dapat berbuat lain," jawab Kiai Gringsing.
Sekali lagi bibir kakang Panji bergerak. Betapa lemahnya, namun masih membayang sebuah senyuman dibibirnya itu. Hampir tidak terdengar ia berkata, "Aku harus melihat kenyataan ini. Biarlah Raden Sutawijaya mencoba untuk melakukannya. Memulihkan kembali kekuasaan Majapahit diatas tanah Mataram."
Kiai Gringsing mengangguk kecil. Tetapi iapun kemudian berpaling kepada Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa yang sudah berjongkok pula disebelahnya.
"Apakah Raden mendengarnya?" bertanya Kiai Gringsing.
"Ya. Aku mendengarnya," jawab Raden Sutawijaya.
Dalam pada itu, dengan mata yang redup masih terdengar suara kakang Panji lambat sekali, "Aku mengucapkan selamat kepadamu Raden. Nampaknya kau akan berhasil. Sepeninggalku tidak akan adi artinya lagi hambatan yang dapat merintangi tumbuhnya kekuasaan Pajang di Mataram. Bahkan kekuasaan Majapahit itu."
Kiai Gringsing masih mengangguk-angguk. Namun sebagai seorang yang ahli didalam ilmu pengobatan, maka iapun melihat bahwa sesuatu telah terjadi didalam tubuh kakang Panji. Nafasnya menjadi semakin sendat dan matanya bertambah redup. Bahkan akhirnya mata itupun telah terpejam dan sebuah tarikan nafas yang panjang, telah mengakhiri hidup kakang Panji yang gagal itu.
Kiai Gringsing menundukkan wajahnya. Bagaimanapun juga, ia masih mempunyai sambungan bukan saja arus ilmu yang tumurun dari sumber yang sama, tetapi keduanya adalah trah Majapahit yang terdampar kedalam satu lingkungan dengan alas berpijak yang berbeda.
Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawapun masih berjongkok disamping Kiai Gringsing. Namun dalam pada itu, Untaralah yang masih tetap bersiaga, kerena di arena itu, masih bertebaran prajurit Pajang dan para pengikut kakang Panji yang ditangannya tergenggam senjata.
Namun ternyata kematian kakang Panji telah membawa pengaruh yang sangat besar. Beberapa orang pengikut kakang Panji dan kepercayaannya yang memegang pimpinan pada kelompok kelmpok pasukan atau para kepercayaannya yang menjadi penghubung antara satu kesatuan dengan kesatuan yang lain, seakan-akan telah kehilangan pegangan, sehingga mereka tidak bernafsu lagi untuk melanjutkan pertempuran. Tanpa kakang Panji, maka mereka tidak akan berarti apa-apa dihadapan orang yang telah membunuh kakang Panji itu, apalagi diantara orang-orang Mataram masih terdapat beberapa orang lain yang memiliki ilmu yang tinggi.
Karena itu, maka para pemimpin dari sisa-sisa pasukan Pajang dan para pengikut kakang Panji itupun tanpa berunding lebih dahulu, telah meletakkan senjata mereka. Mereka menganggap bahwa perlawanan berikutnya akan tidak berarti sama sekali, kecuali untuk membunuh diri.
Demikianlah, maka para Senapati Matarampun segera mendapat perintah untuk menawan sisa-sisa pasukan Pajang. Untara dan Ki Lurah Branjanganpun menjadi sibuk. Sementara beberapa orang yang lain telah merawat kawan-kawan mereka yang terluka, sedang sebagian dari lawan mereka yang telah menyerah itupun telah mendapat tugas untuk merawat kawan-kawan mereka pula.
Dengan demikian, maka pertempuran besar antara pasukan Mataram dengan pasukan Pajang yang berada dibawah pengaruh orang yang menyebut dirinya kakang Panji itupun telah berakhir. Untuk mempersiapkan segala-galanya, maka pasukan Mataram telah mengambil kebijaksanaan untuk tetap berada di pasanggrahan untuk satu dua hari sambil membenahi seluruh pasukan mereka.
Dalam pada itu, maka Raden Sutawijaya telah berusaha untuk menemui semua pemimpin pasukan yang telah berdiri dipihaknya. Yang sama sekali tidak cidera, maupun yang terluka. Termasuk Ki Juru Martani, yang ternyata telah mengalami kesulitan pada bagian dalam tubuhnya, meskipun tidak berbahaya.
"Orang yang menyebut dirinya kakang Panji itu memang orang yang luar biasa," desis Ki Juru Martani ketika Raden Sutawijaya menemuinya.
"Ia murid perguruan Sari Pati," sahut Raden Sutawijaya, "untunglah diantara kita terdapat murid Windujati."
"Cucu Windujati," Ki Juru menyahut.
"Ya. Cucu Windujati," desis Raden Sutawijaya kemudian.
Namun sementara itu, Kiai Gringsing tidak ada diantara mereka, karena Kiai Gringsing berada diantara kedua muridnya yang terluka dalam pertempuran itu. Namun keduanya telah menjadi semakin baik. Apalagi Swandaru. Seakan-akan lukanya sudah tidak mempengaruhinya lagi.
Ki Gedepun telah menjadi semakin baik pula. Namun nampaknya cacat pada kakinya menjadi semakin berat. Keringkihan tubuhnya pada saat ia terluka, nampaknya mempunyai pengaruh yang tidak langsung atas Ki Gede. Tetapi agaknya Ki Gede sama sekali tidak menyesali keadaannya. Apapun yang terjadi, Ki Gede tidak akan menolaknya sebagai satu kenyataan.
"Satu akibat yang wajar dari tugas-tugas yang harus aku lakukan," berkata Ki Gede.
Sementara itu, Ki Juru dan Raden Sutawijaya secara khusus telah mengucapkan terima kasih kepada Kiai Gringsing yang telah berhasil membatasi tingkah laku orang yang menyebut dirinya kakang Panji. Tanpa Kiai Gringsing, maka persoalan kakang Panji itu akan berkepanjangan. Mungkin akan dapat menghancurkan sama sekali perkembangan Mataram dan bahkan Pajang sekaligus, sehingga akhirnya akan berdiri satu kekuasaan bayangan dari sebuah mimpi yang akan dapat menumbuhkan kesulitan bagi rakyat, karena pengetrapan yang tidak wajar.
Agung Sedayu dan Swandaru yang kemudian dengar juga keadaan seluruhnya dari medan itupun telah menjadi berbangga hati. Pandan Wangi dan Sekar Mirahpun ikut berbangga pula bahwa Kiai Gringsing, guru dari Agung Sedayu dan Swandaru itu adalah orang yang memiliki ilmu yang mumpuni. melampaui dugaan mereka semuanya.
Ketika kemudian malam turun, didalam sebuah bilik di pasanggrahan orang-orang.Mataram di Prambanan, Kiai Gringsing duduk diantara kedua muridnya bersama isteri-isteri mereka. Dengan terperinci Kiai Gringsing menjelaskan apa yang terjadi.
"Sebaiknya kau mendengar langsung dari aku sendiri. Ceritera orang lain mungkin sudah bergeser dari kenyataan yang sebenarnya. Mungkin ditambah mungkin pula dikurangi," berkata Kiai Gringsing.
"Yang kami dengar tidak jauh berbeda dengan yang guru katakan," sahut Swandaru, "ternyata bahwa yang kami lihat sebelumnya, adalah tataran yang paling rendah dari kemampuan guru yang sebenarnya."
Tetapi Kiai Gringsing menggeleng. Katanya, "Tidak Swandaru. Kalian berdua telah melengkapi dasar-dasar ilmu yang aku miliki. Memang mungkin ada beberapa hal yang masih belum terjangkau dengan bekal ilmu yang sekarang. Tetapi dengan mematangkan diri, maka kalian akan sampai kepada satu kesempatan untuk memanjat lebih tinggi."
"Apakah hal itu dapat terjadi tanpa tuntunan guru?" bertanya Swandaru.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya kemudian, "Anak-anakku. Rasa-rasanya aku sudah menjadi semakin tua. Aku tidak tahu, apakah memang demikian yang digariskan atasku. Namun rasa-rasanya dengan lenyapnya orang yang bernama kakang Panji itu tugasku serasa sudah selesai."
"Tentu belum guru," jawab Swandaru, "mungkin masih ada orang yang memiliki ilmu setingkat dengan orang yang menyebut dirinya kakang Panji itu."
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Katanya, "Aku menjadi semakin tua. Sudah sepantasnya aku menjadi semakin dekat dengan Yang Maha Pencipta. Kesempatanku tentu sudah menjadi semakin tipis, karena semakin tua umur seseorang, maka masanya menjadi semakin dekat baginya untuk menghadap kepada Yang Maha Pencipta itu."
Agung Sedayu. dan Swandaru suami isteri menundukkan kepalanya. Mereka menyadari, bahwa pada suatu saat Kiai Gringsing itu benar-benar akan menyendiri dalam arti, membelakangi keduniawian sejauh mungkin, meskipun bukan berarti bahwa ia tidak akan lagi berhubungan dengan orang lain.
Namun kedua muridnya memang merasa masih terlalu kecil dibandingkan dengan kemampuan gurunya yang tidak diduganya sebelumnya. Bahkan keduanya masih merasa kecil dibandingkan dengan Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa. Meskipun apa yang tumbuh didalam diri Agung Sedayu berbeda dengan apa yang berkembang didalam diri Swandaru. Bukan saja arahnya, tetapi juga bobotnya. Dan agaknya hal itu kurang disadari oleh Swandaru meskipun dari beberapa pihak ia telah mendengar kelebihan Agung Sedayu dari orang kebanyakan.
Dalam pada itu, maka Kiai Gringsingpun kemudian berkata selanjutnya, "Anak-anakku. Sudah tentu aku tidak akan dengan serta merta memisahkan diri dari kalian. Aku masih tetap akan membantu semua kesulitan yang bakal kalian alami sejauh dapat aku lakukan. Dan barangkali aku masih dapat membantu memperkembangkan bekal yang telah kalian miliki selama ini."
"Apa yang dapat guru lakukan?" bertanya Swandaru, "dalam keadaan yang gawat ini, maka segalanya memang harus berlangsung dengan cepat. Jika kita terlambat selangkah, maka kita akan ketinggalan untuk selanjutnya."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Memang tidak ada salahnya kita bertindak cepat. Tetapi kita tidak boleh kehilangan pertimbangan yang mapan."
Bersambung ke Buku 171 .............
Api Di Bukit Menoreh II Buku 171 SWANDARU mengangguk-angguk. Tetapi rasa-rasanya ada sesuatu yang mendesaknya sehingga katanya, "Guru. Apakah masih ada persoalan lain yang harus kita lakukan, sehingga kita tidak akan dapat segera sampai kepada usaha untuk meningkatkan diri itu?"
"Tidak ada persoalan apa-apa," jawab Kiai Gringsing, "kita memang dapat melakukannya segera. Tetapi bukankah kita tidak dapat dengan serta merta menguasai sesuatu dalam lingkaran olah kanuragan tanpa laku" Nah, kita harus memperhitungkan saat yang paling baik untuk melakukannya."
Swandaru mengangguk-angguk. Ketika ia berpaling kearah Agung Sedayu, maka dilihatnya Agung Sedayu masih tetap menundukkan kepalanya.
"Apa yang dipikirkannya," bertanya Swandaru didalam dirinya, "nampaknya kakang Agung Sedayu tidak lagi berminat untuk menempa dirinya. Yang berbahaya adalah, apabila dengan mengalahkan Tumenggung Prabadaru, kakang Agung Sedayu sudah merasa dirinya seorang yang tidak terlawan, sehingga dengan demikian, maka ia tidak akan lagi dapat meningkat."
Dalam pada itu, sebelum mereka melan njutkan pembicaraan mereka, maka seorang pengawal telah mengetuk bilik itu. Ketika Kiai Gringsing membukanya, maka pengawal itupun berkata, "Jika Kiai tidak berkeberatan, Raden Sutawijaya mengharap Kiai hadir di ruang dalam pasanggrahan Raden Sutawijaya."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Jawabnya, "Baiklah. Aku segera akan menghadap."
Ketika pengawal itu kemudian minta diri dan meninggalkan tempat itu, maka Kiai Gringsingpun segera berkemas. Katanya kepada kedua orang muridnya, "Beristirahatlah. Lebih-lebih Agung Sedayu. Kau harus berusaha memulihkan tenagamu."
"Baik guru," jawab Agung Sedayu.
Demikianlah, maka Kiai Gringsingpun kemudian meninggalkan murid-muridnya menuju ke pasanggrahan Raden Sutawijaya.
Ternyata di ruang dalam itu telah berkumpul beberapa orang. Ketika Kiai Gringsing memasuki ruang itu, maka iapun dipersilahkan untuk duduk disebelah Raden Sutawijaya.
"Tidak ada persoalan yang penting Kiai," berkata Raden Sutawijaya, "yang akan berbicara dengan Kiai sekarang dan saudara-saudara kita yang lain adalah adimas Pangeran Benawa."
Semua orang kemudian memandang Pangeran Benawa yang tersenyum. Iapun kemudian beringsut setapak dan mulai berbicara, "Tidak ada yang penting sebagaimana dikatakan oleh kakangmas Sutawijaya. Aku hanya ingin minta diri. Aku akan kembali ke Pajang. Sementara itu, biarlah para tawanan dibawa oleh kakang mas Sutawijaya ke Mataram."
Wajah-wajahpun menjadi berkerut. Meskipun mereka tahu, bahwa Pangeran Benawa adalah putera Sultan Hadiwijaya di Pajang, yang telah memimpin langsung pasukan Pajang di garis pertempuran di Prambanan, namun para pemimpin dari Mataram itupun tahu pasti sikap Pangeran Benawa itu.
Karena itu, kepergian Pangeran Benawa rasa-rasanya menyentuh juga perasaan para pemimpin Mataram.
"Sebenarnya aku masih ingin berada diantara kalian," berkata Pangeran Benawa selanjutnya, "tetapi ayahanda Sultan ada dalam keadaan sakit yang agak gawat. Karena itu, aku harus segera kembali dan menghadap melaporkan apa yang aku lihat disini."
Para pemimpin dari Mataram itu mengangguk-angguk. Sementara itu Raden Sutawijayapun berkata, "Kami, seluruh pasukan Mataram mengucapkan terima kasih kepadamu adimas."
"Kenapa?" bertanya Pangeran Benawa, "aku tidak berbuat apa-apa disini" Aku hanya menonton."
"Ya. Tetapi tanpa petunjuk adimas lewat keheningan budi itu, pasukan Mataram akan menjadi lumat dihancurkan oleh kakang Panji," sahut Raden Sutawijaya.
"Tidak kakangmas. Selagi masih ada Kiai Gringsing, maka kakang Panji itu tidak akan berarti apa-apa," jawab Pangeran Benawa.
"Bukan begitu," berkata Kiai Gringsing kemudian, "kita sudah melakukan bersama-sama. Sebab dalam perang seperti ini, kita satu-satu tidak akan banyak berarti."
"Kiai masih saja selalu merendahkan diri," sahut Pangeran Benawa. "Tetapi baiklah. Aku akan minta diri. Aku merasa ada dorongan untuk segera menghadap ayahanda yang dalam keadaan gawat itu."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Bagaimanapun juga terasa olehnya, bahwa kemenangan pasukan Mataram atas pasukan kakang Panji adalah hasil satu kerja sama dari beberapa pihak. Bukan hanya Kiai Gringsing. Bukan hanya Pangeran Benawa, bukan hanya Raden Sutawijaya, bukan Agung Sedayu, Ki Juru atau orang-orang lain seorang demi seorang. Tetapi setiap unsur yang ada telah menyebabkan pasukan Mataram memenangkan pertempuran melawan kekuatan kakang Panji yang selama itu terselubung dan baru terbuka pada saat-saat terakhir benturan kekuatan antara Mataram dan pasukan kakang Panji itu.
Dalam pada itu, sebenarnyalah bahwa Pangeran Benawa akan meninggalkan Prambanan. Bahkan katanya kemudian, "Kakangmas Sutawijaya, aku akan mohon diri. Aku akan kembali ke Pajang sekarang."
"Sekarang?" Raden Sutawijaya terkejut. Bahkan orang-orang yang ada diruang itupun terkejut pula, "apakah adimas tidak menunggu sampai esok pagi?"
"Aku merasa sangat gelisah mengingat keadaan ayahanda. Setelah aku yakin akan keadaan pasukan Mataram sekarang ini, maka biarlah aku meninggalkannya. Agaknya ayahandapun menunggu berita tentang pertempuran ini," jawab Pangeran Benawa.
"Tidak ada yang dapat menahannya," desis Raden Sutawijaya. Lalu katanya kepada Pangeran Benawa, "Baiklah adimas. Hati-hatilah di perjalanan."
"Aku minta diri. Aku mohon restu kepada semua pihak," berkata Pangeran Benawa. Lalu, "Aku akan berangkat sekarang. Aku ingin singgah untuk minta diri kepada Agung Sedayu dan Swandaru."
Demikianlah, maka Pangeran Benawapun meninggalkan tempat itu. Ia masih ingin berbicara dengan Agung Sedayu dan Swandaru. Iapun akan minta diri kepada Ki Gede dan para pemimpin pasukan khusus dari Mataram yang lain. Juga kepada para pemimpin pasukan dari Mangir dan Pasantenan.
Sejenak kemudian, maka Pangeran Benawa itupun telah berada di punggung kudanya. Agung Sedayu dan Swandaru memandanginya dari tangga pendapa. Keduanya masih lemah, terutama Agung Sedayu meskipun ia memaksa diri untuk keluar dari pondoknya sampai ke pendapa.
Ketika kuda itu kemudian berderap, maka dengan langkah berat Agung Sedayu dengan dibantu oleh Sekar Mirah kembali kedalam biliknya. Swandaru tidak lagi memerlukan bantuan. Ia sudah dapat berjalan wajar, meskipun kekuatannya belum pulih sepenuhnya
Sementara itu. Pangeran Benawa telah berpacu keluar dari padukuhan yang dipergunakan oleh pasukan Mataram untuk pasanggrahan. Sejenak kemudian kuda itu telah menyeberang Kali Opak dan berpacu dengan kencangnya. Meskipun keadaan masih gawat akibat peperangan yang telah terjadi antara Pajang dan Mataram di Prambanan, namun bagi Pangeran Benawa sama sekali tidak menjadi hambatan.
Sepeninggal Pangeran Benawa, maka orang-orang Mataram yang masih berada di Prambanan itupun segera beristirahat pula. Meskipun demikian mereka sama sekali tidak meninggalkan kewaspadaan.
Namun dalam pada itu. Kiai Gringsing dan Ki Waskita tidak segera berada didalam bilik mereka. Keduanya masih saja berada di serambi sambil berbincang-bincang. Keduanya duduk disebuah amben bambu yang panjang.
"Tugasku rasa-rasanya sudah selesai Ki Waskita," berkata Kiai Gringsing kemudian, "meskipun aku tidak dengan sengaja menunggu hadirnya seseorang yang mengaku keturunan Majapahit dan bertekad untuk menegakkan kembali kuasa yang besar itu, namun setelah orang itu tidak ada lagi, rasa-rasanya aku tidak mempunyai beban yang dapat mengikatku lagi."
"Apakah menurut Kiai, tidak ada orang lain yang mempunyai darah Majapahit setelah orang yang menyebut dirinya kakang Panji itu?" bertanya Ki Waskita.
"Tentu ada. Banyak sekali Ki Waskita, tetapi mereka tidak sangat berbahaya seperti kakang Panji yang bernama Panji Surapati itu," jawab Kiai Gringsing.
"Jika ada" Mungkin keturunan perguruan Sari Pati, tetapi juga mungkin keturunan perguruan Windujati sendiri?" desak Ki Waskita.
Tetapi Kiai Gringsing menggeleng. Katanya, "Tidak. Menurut perhitunganku tidak akan terjadi seperti itu."
"Apakah dengan demikian berarti Kiai Gringsing tidak lagi merasa berkewajiban atas tegaknya Mataram?" bertanya Ki Waskita.
"Tentu Ki Waskita," jawab Kiai Gringsing, "tetapi aku tidak akan terlibat langsung. Mungkin pada saat-saat tertentu aku harus hadir. Tetapi aku tidak akan lagi melibatkan diri dalam persoalan sehari-hari. Juga dengan Agung Sedayu dan Swandaru yang sudah aku anggap cukup dewasa."
"Kiai akan meninggalkan mereka?" bertanya Ki Waskita.
"Bukan berarti demikian. Tetapi biarlah keduanya berbuat sebagaimana murid-murid yang sudah dewasa. Aku akan berada di padepokan kecil di Jati Anom itu. Mungkin aku akan mendapat ketenangan," jawab Kiai Gringsing.
Ki Waskita mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, "Kiai tidak mengangkat murid-murid Kiai sampai tuntas, seperti apa yang dapat Kiai lakukan."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kita sudah saling mengetahui bahwa aku tidak dapat melakukannya."
"Aku mengerti, biasanya guru memang tidak memberikan seluruhnya. Seandainya seseorang yang memang air dari dalam kelenthing, maka kelenthing itu tidak akan dikeringkannya sama sekali. Kita sepakat bahwa kita harus mensisakan barang sedikit. Kelebihan itulah yang menjadi pegangan kita jika pada suatu saat murid kita tidak lagi tunduk kepada kebenaran. Tetapi apakah dengan demikian, kita sudah meniti jalan yang keliru Kiai?" bertanya Ki Waskita.
"Maksud Ki Waskita" " Kiai Gringsing ganti bertanya.
"Dengan demikian kita sudah mencurigai murid-murid kita sendiri. Selebihnya ilmu kita akan menjadi semakin susut pada tataran demi tataran," jawab Ki Waskita.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Sejenak Kiai Gringsing justru termangu-mangu. Sementara itu Kiai Gringsingpun sadar, bahwa Ki Waskita, yang bukan guru Agung Sedayu telah melakukan lebih dari yang dilakukan. Tanpa curiga. Ki Waskita telah memberikan kesempatan kepada Agung Sedayu untuk membaca isi kitabnya. Padahal Ki Waskita mengetahui, bahwa Agung Sedayu mempunyai ketajaman ingatan atas penglihatannya, seakan-akan langsung terpahat didalam hatinya. Setiap saat Agung Sedayu akan dapat membacanya kembali dari ingatannya. Padahal Kiai Gringsingpun mengetahui bahwa isi kitab itu adalah perbendaharaan ilmu yang tiada taranya. Sebenarnyalah bahwa kepesatan Agung Sedayu dalam olah kanuragan sangat mengherankan orang-orang tua.
Misteri Rumah Mengkerut 1 Wiro Sableng 129 Tahta Janda Berdarah Bloon Cari Jodoh 8
^