Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 23

07 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 23


Karena itu, maka kedua orang itupun bertempur semakin cepat. Keduanya memiliki kelebihan yang mendebarkan.
Sementara itu. Sekar Mirah telah kehilangan seorang lawannya. Dengan demikian, maka terasa tugasnya menjadi semakin ringan. Namun dalam pada itu, dengan jantung yang berdebaran ia melihat seorang pengawal yang telah terluka itu semakin terdesak. Bahkan bukan hanya seorang saja. Beberapa orang yang lainpun telah terdesak pula oleh lawan-lawannya, prajurit-prajurit terpilih dari pasukan khusus Pajang yang ternyata masih memiliki pengalaman yang lebih luas dari para pengawal. Hanya karena para pengawal itu telah mengalami tempaan yang luar biasa sajalah, mereka memiliki kemampuan untuk bertahan terhadap prajurit-prajurit pilihan dari Pajang itu.
Dalam puncak kesulitan, pengawal yang terluka itu telah kehilangan harapan untuk dapat keluar dengan selamat dari arena. Namun ia sudah dengan sengaja menempatkan diri melawan prajurit itu. Ia sama sekali tidak menjadi ketakutan seandainya pedang lawannya itu menghunjam didadanya. Namun yang membuatnya gelisah, bahwa usahanya itu seakan-akan menjadi sia-sia. Sekar Mirah tidak dengan cepat menyelesaikan lawannya yang sudah berkurang seorang itu dan membantu meringankan tugas para pengawal.
Namun agaknya Sekar Mirah dapat mengetahui kesulitannya. Dalam keadaan yang paling pahit, yang hampir saja merampas nyawanya, maka Sekar Mirah telah bergeser mendekatinya.
Dengan perhitungannya sendiri. Sekar Mirah tiba-tiba saja telah meloncat kedekat pengawal itu sambil berkata lantang, "Kita bertempur berpasangan, biarlah kedua-orang prajurit itu juga berpasangan."
Pengawal itu masih dicengkam oleh ketegangan. Ia masih melihat ujung pedang lawannya terjulur lurus kedadanya, sementara pedangnya bagaikan menjadi seberat bandul timah oleh kedudukannya yang sulit, karena keseimbangannya yang kurang mapan.
Namun tiba-tiba pedang lawannya telah membentur tongkat baja putih yang dengan cepat telah memotong serangan itu. Demikian kerasnya sehingga ujung senjata lawannya itu telah berkisar dan bahkan senjata itu hampir saja terlepas dari tangannya.
Sekar Mirah tidak membiarkan kesempatan itu berlalu. Dengan cepat ia bergeser dan sekali lagi tongkatnya terayun. Dengan sengaja Sekar Mirah tidak menghantam leher orang itu sehingga patah, tetapi senjata Sekar Mirah terayun mendatar menghantam paha lawannya.
Terdengar keluhan tertahan. Orang itu telah terlempar kesamping dan kemudian jatuh berguling. Dengan cepat orang itu berusaha untuk bangkit. Namun demikian ia bangkit, maka iapun terjatuh sambil mengaduh kesakitan. Ternyata sentuhan senjata Sekar Mirah seolah-olah telah memecahkan tulangnya.
Dalam pada itu, lawan Sekar Mirah sendiri telah memburunya. Dengan cepat orang itu menyerang Sekar Mirah. Tetapi Sekar Mirah sempat menghindar. Bahkan dengan segenap kekuatannya. Sekar Mirah telah memukul senjata lawannya, sehingga senjata itu telah terlempar beberapa langkah.
Seperti yang terdahulu, maka Sekar Mirah tidak melepaskan kesempatan itu. Dengan cepat ia sekali lagi mengayunkan tongkat baja putihnya. Dan sekali lagi terdengar lawannya mengaduh. Ayunan tongkat baja putih Sekar Mirah telah menyambar kaki orang itu pula, sehingga lawannya itupun telah jatuh terpelanting di tanah.
Pengawal yang telah diselamatkan oleh Sekar Mirah itupun menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada berat ia berkata, "Terima kasih."
Sekar Mirah tersenyum. Katanya, "Tugas kita belum selesai. Lihat, kawan-kawan kita mulai terdesak."
"Apa yang harus aku lakukan?" bertanya orang itu.
"Obati lukamu. Kemudian bantu kawan-kawanmu. Jangan segan bertempur berpasangan sebagaimana orang-orang Pajangpun tidak segan melakukannya. Aku sudah bertempur melawan dua orang," jawab Sekar Mirah, "dalam pertempuran seperti ini, kita tidak perlu menempatkan diri selalu dalam perang tanding."
Pengawal itu menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnyalah ia memang segan untuk bertempur berpasangan, tetapi sebagaimana dikatakan oleh Sekar Mirah bahwa arena itu bukan arena perang tanding.
Karena itu, maka orang itupun telah bergeser menepi, mendekati kawannya yang masih sibuk memukul bende untuk mengobati luka-lukanya. Sementara itu iapun berkata kepada kawannya yang lain, "Aku akan bertempur berpasangan."
"Kau sajalah yang tinggal. Kau sudah terluka. Aku akan menggantikanmu," berkata kawannya yang menunggui pemukul bende itu.
Pengawal yang terluka itu tidak mencegahnya ketika orang itu kemudian berlari ke medan.
Sekar Mirah yang telah kehilangan lawannya, telah memasuki arena pertempuran yang sengit diantara para pengawal dan para prajurit Pajang. Namun dengan demikian, maka kehadirannya itu akan mempunyai pengaruh yang sangat besar.
Kemenangan Sekar Mirah telah menggetarkan hati para prajurit Pajang. Namun mereka adalah prajurit-prajurit pilihan. Untuk mengimbanginya, maka para prajurit itu bersama-sama telah meningkatkan segenap kemampuan mereka, agar mereka dapat mengalahkan lawan-lawan mereka dengan cepat.
Namun para pengawalpun telah berusaha dengan segenap kemampuan mereka pula untuk mernpertahankan diri, sehingga akan datang saatnya. Sekar Mirah mengambil lawan mereka satu demi satu, atau kawan mereka yang lain untuk bertempur berpasangan.
Dalam pada itu. Pandan Wangipun telah sampai kepuncak kemampuannya pula. Sepasang pedangnya yang berputaran dan yang memiliki kecepatan melampaui ujud wadagnya, membuat lawannya menjadi gelisah. Bahkan semakin lama, meskipun tidak dengan serta merta. Pandan Wangi berhasil mendesak lawannya.
Ketika Pandan Wangi, Sekar Mirah dan para pengawal sudah mulai menguasai lawan-lawan mereka, maka pertempuran diarena yang panjang antara pasukan Mataram dan Pajang itupun menjadi semakin sengit pula.
Namun dalam pada itu, pasukan Pajang yang dikerahkan bukan saja terdiri dari para prajurit dari pasukan khusus, tetapi juga dari kekuatan-kekuatan lain yang mendukung perjuangan Kakang Panji, ternyata mulai menggelisahkan orang-orang Mataram. Prajurit-prajurit dari pasukan khusus yang semula di pimpin oleh Ki Tumenggung Prabadaru, memang memiliki kemampuan tempur yang tinggi. Sementara itu orang-orang yang hadir dipertempuran itu dari lingkungan diluar para prajurit Pajang, telah bertempur dengan cara mereka sendiri. Sementara prajurit-prajurit Pajang yang lain, dibawah pimpinan para Senapati yang sejalan dengan langkah Ki Tumenggung Prabadarupun telah bertempur dengan sengitnya.
Sebagaimana dikatakan oleh Kakang Panji lewat para pengikutnya, bahwa jika hari itu mereka gagal menghancurkan orang-orang Mataram, maka perjuangan mereka akan menjadi semakin panjang. Karena itu, maka segenap kekuatan harus mereka kerahkan. Mataram harus dihancurkan di medan yang berat di Prambanan itu.
Ternyata Raden Sutawijaya yang mengikuti pertempuran itu dengan saksama, mulai dicemaskan oleh suasana di medan yang menjadi semakin sulit dikendalikan. Sorak yang kadang-kadang meledak, dentang senjata dan korban yang berjatuhan, membuat para prajurit dan pengawal di kedua belah pihak menjadi kehilangan pengamatan diri. Mereka tidak lagi sempat mengekang perasaan mereka yang meledak-ledak. Mereka tidak lagi berusaha untuk menghindarkan kematian atas lawan-lawan mereka yang sudah tidak berdaya. Apalagi orang-orang yang hadir dipeperangan itu atas permintaan Kakang Panji bersama para pengikut mereka, diluar para prajurit Pajang sendiri. Mereka ternyata telah menjadi liar dan ganas.
Dalam keadaan yang demikian, maka tidak ada pilihan lain bagi Raden Sutawijaya daripada mempercepat penyelesaian pertempuran yang mengerikan itu. Meskipun benturan yang terjadi akan menjadi semakin dahsyat, tetapi dengan mempercepat penyelesaian, maka diharapkan korbanpun menjadi semakin berkurang. Bagaimanapun juga, Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga itu tidak dapat mengabaikan nilai jiwa seseorang, tanpa membedakan apakah ia kawan atau lawan.
Karena itu, maka Raden Sutawijaya itupun akhirnya telah memerintahkan penghubungnya untuk menyampaikan perintah kepada induk pasukan yang dipimpin oleh Ki Juru untuk turun kemedan. Apalagi dengan satu keyakinan, sesuai dengan pesan yang diterimanya dari Pangeran Benawa, lewat Aji Pameling, bahwa pasukan induk Pajang yang dipimpin oleh Kangjeng Sultan sendiri, tidak akan mungkin bergerak. Dan sebagaimana yang terjadi, maka didalam pasukan Pajang itu tidak hadir pasukan induk atau sebagian daripadanya.
"Kita harus menyelesaikan pertempuran ini secepatnya, agar korban tidak menjadi semakin besar," berkata Raden Sutawijaya, "sampaikan pesan ini kepada paman Juru Martani. Yang akan kita lakukan bukan satu pertempuran, tetapi justru untuk berusaha menyelamatkan jiwa sejauh dapat dijangkau."
Demikianlah dua orang penghubung telah meninggalkan medan, untuk pergi ke induk pasukan Mataram yang justru masih belum tampil di medan. Pasukan yang dipimpin oleh Ki Juru Martani itu, sejak meninggalkan pasanggrahan, telah mundur dalam garis lurus. Tidak menyibak sebagaimana kedua sayapnya. Sesuai dengan pembicaraan antara para pemimpin Mataram dalam waktu singkat sebelum mereka meninggalkan pasanggrahan, maka pasukan itu akan menghentikan pasukan Pajang jika pasukan itu mengikuti terus garis mundur pasukan Mataram. Sementara kedua sayapnya akan memukul pasukan Pajang itu dari belakang.
Tetapi yang terjadi adalah sebaliknya. Raden Sutawijaya telah menggerakkan kedua sayap pasukannya sebelum pasukan Pajang itu membentur pasukan induk Mataram yang dipimpin oleh Ki Juru Martani, karena Raden Sutawijaya tidak tahan melihat kekejaman orang-orang Pajang setelah mereka membakar rumah orang-orang yang tidak bersalah. Sementara itu pasukan yang dipimpin oleh Ki Jurulah yang akan menyerang pasukan Pajang itu dari belakang.
Ketika perintah itu sampai kepada Ki Juru, maka Ki Jurupun dapat mengerti suasana dalam keseluruhan. Ki Jurupun melihat asap yang mengepul sampai menyentuh langit. Dan hatinyapun telah bergejolak melihat sikap orang-orang Pajang, meskipun Ki Juru mengerti, bahwa yang melakukan itu tentu bukan prajurit-prajurit Pajang yang sebenarnya. Apalagi atas perintah Kangjeng Sultan atau Pangeran Benawa.
Namun agar pasukannya tidak melakukan kesalahan sehingga merusakkan rencana dalam keseluruhan, maka pasukan Ki Juru Martani telah menunggu perintah dari Raden Sutawijaya.
Karena itu, setelah Ki Juru menerima perintah itu, maka iapun segera memerintahkan pasukannya untuk bersiaga sepenuhnya. Sebentar kemudian, maka iapun memerintahkan pasukannya untuk bergerak. Sebagaimana dikehendaki oleh Raden Sutawijaya, maka Ki Jurupun telah berpesan kepada pasukannya, agar mereka tidak kehilangan nalar dan tetap bersikap sebagai seorang kesatria.
"Apapun yang dilakukan oleh lawan kalian, tetapi kalian harus tetap bersikap sebagai seorang yang beradab, seorang yang berpijak pada satu sikap yang telah menjadi pegangan kita, sikap seorang kesatria," kemudian, "kalian memang harus mempertahankan hidup kalian. Namun kalian tentu sudah mengetahui paugeran seorang prajurit dimedan perang."
Sejenak kemudian, maka Ki Jurupun telah membawa pasukannya langsung menuju kemedan yang semakin lama menjadi semakin dahsyat.
Sementara itu, di belakang pasukan Mataram, Pandan Wangi dan Sekar Mirah telah berhasil menguasai lawan mereka sepenuhnya. Beberapa orang prajurit Pajang telah dapat dilumpuhkan, sementara para pengawa dari Mataram telah bertempur berpasangan. Sebagaimana prajurit Pajang, mereka tidak terikat kepada perang tanding seorang melawan seorang.
Namun demikian, ketika para prajurit terpilih dari pasukan khusus itu sudah tidak berdaya. Senapati yang memimpin sekelompok prajurit itu masih bertempur melawan Pandan Wangi.
"Menyerahkah," berkata Pandan Wangi, "kawan-kawanmu sudah menyerah dan yang lain telah terluka parah. Jika ada diantara mereka yang terbunuh, itu sama sekali bukan yang kami maksud. Tetapi dalam pertempuran mungkin saja seseorang kehilangan nyawanya."
"Persetan," geram Senapati itu, "aku bukan pengecut."
"Baiklah," jawab Pandan Wangi, "agaknya kau ingin bertempur sampai batas kemampuanmu yang terakhir."
"Aku akan membunuhmu," Senapati itu hampir berteriak, "jangan menyesal."
Pandan Wangi tidak menjawab. Iapun meningkatkan serangannya untuk menekan Senapati yang tidak mau menyerah itu.
Sekar Mirah dan para pengawal yang lain, telah berhasil menyelesaikan tugas mereka, telah mengerumuni arena pertempuran antara Pandan Wangi dan Senapati itu. Mereka melihat satu benturan ilmu yang mengagumkan. Pandan Wangi yang memiliki kemampuan yang sulit dimengerti semakin mendesak lawannya. Bahkan akhirnya lawannya itu tidak mampu lagi mengimbangi kecepatan gerak Pandan Wangi. Apalagi justru karena ujung pedang Pandan Wangi seolah-olah mampu meloncat mendahului ujudnya.
Selagi Pandan Wangi berusaha menyelesaikan tugasnya, maka tiba-tiba saja terdengar sorak yang mengguntur dimedan perang yang tidak terlalu jauh dari arena pertempuran antara sekelompok kecil pasukan Pajang yang ingin mendapatkan bende Kiai Becak melawan sekelompok pengawal Mataram yang dipimpin oleh Pandan Wangi dan Sekar Mirah.
"Apa yang terjadi?" bertanya Sekar Mirah kepada para pengawal.
Para pengawal itupun saling berpandangan. Merekapun tidak mengetahui apa yang telah terjadi dimedan.
Namun ternyata sorak yang bagaikan membelah langit itu telah mendebarkan jantung Pandan Wangi, justru karena ia tidak mengerti artinya. Karena itu, agar tidak terjadi sesuatu yang menyulitkannya, maka iapun segera mengerahkan segenap kemampuannya untuk segera menyelesaikan pertempuran itu.
Karena keadaan Senapati itu memang sudah sulit, ditandai dengan luka-lukanya yang tergores dibeberapa bagian dari tubuhnya, maka perlawanan Senapati itu semakin lama menjadi semakin lemah.
Disaat-saat terakhir. Pandan Wangi telah mendesaknya sehingga Senapati itu berloncatan surut. Beberapa orang pengawal Mataram yang melingkari pertempuran itu telah menyibak. Mereka sengaja tidak ikut mencampuri perkelahian itu, karena merekapun ingin menunjukkan, bahwa Senapati Pajang itu bukan orang sang tidak terkalahkan. Bahkan melawan seorang perempuan Senapati itu tidak berhasil mengalahkannya.
Sementara itu, para pengawal Mataram yang melihat kedatangan pasukan yang dipimpin oleh Ki Juru Martani itupun telah bersorak bagaikan meruntuhkan langit. Dengan kedatangan pasukan itu, mereka semakin yakin, bahwa mereka akan dapat memenangkan pertempuran itu.
Namun dalam pada itu, orang-orang Pajang telah mengumpat-umpat. Kedatangan pasukan yang dipimpin oleh Ki Juru itu telah menambah kemarahan mereka, meskipun sebagian dari mereka menjadi berdebar-debar pula.
Tetapi para prajurit khusus dari Pajang, menyambut kedatangan pasukan lawan itu dengan kemarahan yang mereka mulai mendesak orang-orang Mataram, maka dari arah belakang mereka, telah datang pasukan Mataram yang akan dapat menikam punggung.
Namun orang-orang Pajang itu tidak dapat ingkar. Mereka merasa berkewajiban untuk menghancurkan lawan dari manapun arahnya.
"Apakah orang-orang Mataram telah mendatangkan bantuan dari Mataram ?" bertanya seorang prajurit Pajang.
"Kau yang dungu," jawab kawannya, "pada saat mereka menarik diri, ada sebagian diantara mereka yang mengambil lurus."
Kawannya mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lagi.
Sementara itu, yang jantungnya bagaikan meledak adalah kakang Panji. Ia melihat pasukan yang datang dari arah belakang itu. Pasukan yang dapat diabaikan kekuatannya.
Ketika pasukan Pajang sedang menghadapi ujung senjata dari dua arah, maka Pandan Wangi benar-benar telah menyelesaikan lawannya. Namun Senapati itu benar-benar seorang prajurit. Ia tidak mau menyerah meskipun tubuhnya telah tergores oleh luka silang menyilang. Baru ketika ia kehilangan kekuatannya dan jatuh terkulai, maka ia tidak lagi dapat melawan. Namun pada saat-saat terakhir. Senapati itu masih melemparkan senjatanya kearah Pandan Wangi. Namun dengan mudah Pandan Wangi dapat menghindarinya.
"Urusilah mereka," berkata Pandan Wangi.
"Apakah mereka harus dibunuh?" bertanya salah seorang pengawal.
"Tentu tidak," jawab Pandan Wangi, "maksudku, kumpulkan yang terluka dan yang terbunuh. Yang menyerah supaya mendapat pengawasan yang kuat."
"Kami telah mengikat tangan dan kaki mereka," jawab seorang pengawal.
"Tetapi hati-hatilah dengan mereka, kami akan pergi kemedan," lalu katanya kepada Sekar Mirah, "bukankah tempat ini sudah dapat kami tinggalkan?"
"Ya," jawab Sekar Mirah, "sesuatu telah terjadi di medan. Aku mendengar sorak yang gemuruh."
"Marilah," ajak Pandan Wangi. Lalu katanya kepada para pengawal, "Usahakan untuk mengobati yang luka-luka. Dan biarlah bende itu berbunyi terus. Jika ada sekelompok prajurit yang lain yang datang ke tempat ini dengan kekuatan yang tidak dapat kalian lawan, maka hentikan bunyi bende itu sebagai isyarat. Kami akan datang membantu kalian."
Sejenak kemudian, maka Pandan Wangi dan Sekar Mirah itupun segera meninggalkan sekelompok pengawal yang telah berhasil menguasai lawan mereka menuju kemedan perang yang gemuruh.
Pada saat yang demikian, pasukan yang dipimpin oleh Ki Juru Martani menjadi semakin dekat. Sementara itu, beberapa orang Senapati Pajang yang telah melihat kedatangan musuh dari arah yang berlawanan dari musuh yang sedang dihadapinya telah mempersiapkan pasukannya.
Namun mereka mulai diganggu oleh pertanyaan, apakah kedatangan pasukan baru itu akan berarti kesulitan yang sulit diatasi.
Dalam pada itu, ternyata kakang Panji sudah tidak sabar lagi. Ia tidak dapat lagi mempercayakan kemenangan pertempuran itu kepada pasukannya saja. Karena itu, maka iapun dengan tergesa-gesa telah memanggil beberapa orang kepercayaannya yang terdekat.
"Aku tidak mempunyai pilihan lain," berkata kakang Panji.
"Apa yang akan kakang Panji lakukan?" bertanya salah seorang kepercayaannya.
"Aku tidak akan membiarkan keadaan tidak menentu ini kian berlarut-larut," jawab kakang Panji, "aku harus mengakhirinya. Ternyata orang-orang yang aku harapkan akan dapat membantuku menyelesaikan persoalan ini telah terbentur pada orang-orang yang memiliki kemampuan seimbang, bahkan melampauinya. Beberapa orang telah terbunuh dan kini orang-orang yang disebut bernama Kiai Gringsing, Ki Waskita, putera Ki Gede Pasantenan dan beberapa orang lainnya telah sangat mengganggu rencanaku. Bahkan Agung Sedayu telah membunuh Ki Tumenggung Prabadaru."
"Apakah kakang Panji akan turun kemedan?" bertanya seorang kepercayaannya.
"Ya. Aku akan menghadapi pasukan yang datang itu. Siapkan orang-orang kita yang khusus dan biar sebagian dari pasukan yang ada ikut bersamaku," jawab kakang Panji, "sebagian dari pasukan khusus itu akan membantu kita. Perintahkan semuanya bersiap sekarang. Para Senapati akan dapat membagi diri sebaik-baiknya. Tetapi sebelumnya aku akan membuat mereka gemetar."
"Apa yang akan kakang Panji lakukan untuk menakut-nakuti mereka yang baru datang?" bertanya kepercayaannya.
Kakang Panji menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, "Yang akan terjadi segera terjadilah. Aku akan mempergunakan puncak kemampuanku. Aku tidak perlu bersembunyi lagi. Semuanya akan segera berakhir. Aku akan menggempur pasukan yang pertama memasuki daerah jangkau kekuatanku."
"Seharusnya kakang Panji tidak menunggu sampai keadaan yang paling sulit. Jika sejak pertempuran ini kekuatan itu dipergunakan, maka perang ini tidak akan berkepanjangan."
"Aku tidak ingin dikenal dengan serta-merta," jawab kakang Panji, "tetapi aku tidak mempunyai cara lain. Prabadaru sudah mati. Meskipun aku sadar, bahwa pada pihak Mataram, ada juga orang yang memiliki kemampuan yang tinggi. Mungkin Sutawijaya sendiri, mungkin Ki Juru atau orang lain. Tetapi orang itu tidak akan mampu mengimbangi aku."
Orang kepercayaannya pun mengangguk-angguk. Sebagian dari merekapun segera menyampaikan perintah kakang Panji kepada pasukan-pasukan yang tergabung dalam pasukan Pajang.
Dengan demikian, maka para Senapatipun menjadi sibuk. Mereka telah membagi pasukannya. Sebagian dari mereka harus menghadapi pasukan Mataram yang baru datang dan arah yang berlawanan dengan pasukan Mataram yang lain.
Tetapi seperti yang diperintahkan kakang Panji, pasukan yang akan menghadapi pasukan yang baru datang itu hanya sebagian kecil saja dari seluruh kekuatan mereka, agar pasukan Pajang itu tidak digilas oleh Pasukan Mataram yang terdahulu.
"Aku tidak memerlukan pasukan yang terlalu kuat untuk menghadapi pasukan yang baru datang ini," berkata kakang Panji.
Demikianlah, ketika pasukan Pajang bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan, maka Ki Juru dan pasukannyapun menjadi semakin dekat. Mereka mendengar orarg-orang Mataram yang bertempur terdahulu telah bersorak dengan gemuruh. Ternyata bahwa sorak itu telah membesarkan hati mereka pula.
Namun dalam pada itu, seorang yang menamakan dirinya kakang Panji telah berdiri tegak diantara beberapa orang kepercayaannya, sementara sebagian kecil dari pasukan Pajang telah bersiap pula menghadapi kehadiran Ki Juru Martani itu.
Namun dalam pada itu, ternyata bahwa kakang Panji telah sampai kepada batas kesabarannya. Ia tidak mau lagi menunda waktu. Pertempuran yang terjadi itu sudah cukup lama, sementara kekuatan lawan justru bertaMbah banyak. Karena itu, jika ia tidak segera bertindak, maka pasukannya tentu akan dapat dikoyak dan dihancurkan oleh orang-orang Mataram. Bukan sebaliknya, sebagaimana yang diinginkannya bahwa pasukan Mataram harus hancur pada hari itu juga.
Karena itu, maka kakang Panji itupun telah memusatkan segenap kemampuannya. Ia ingin membuat pangeram-eram menghadapi pasukan Mataram yang baru datang, agar orang-orang Mataram itu menjadi kecut dan menyadari dengan siapa mereka berhadapan.
Dengan demikian, maka ketika pasukan Mataram itu menjadi semakin dekat, maka kakang Panji itupun sudah menakupkan kedua telapak tangannya. Dipusatkannya ilmunya pada telapak tangannya itu. Sehingga ilmunya yang nggegirisipun akan dapat memancar dari telapak tangannya itu.
Pada jarak jangkau kekuatannya, maka kakang Panji itupun telah menggerakkan tangannya, seakan-akan ia telah menghantam sasaran. Namun sebenarnyalah kakang Panji telah melepaskan kemampuan ilmunya. Ia telah melontarkan kekuatan pukulan dari jarak yang jauh.
Sebenarnyalah Ki Juru terkejut bukan buatan. Untunglah bahwa ia seorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Demikian ia sadar, melihat sikap orang yang menunggu kehadiran pasukannya, maka iapun telah bersiap-siap. Karena itu, ketika ia melihat gerak tangan orang yang menyebut dirinya kakang Panji, maka seakan-akan digerakkan oleh nalurinya, maka Ki Juru itupun telah meloncat sambil berteriak, "Cepat menghindar."
Namun orang-orang yang berdiri dibelakangnya terlambat bergerak. Mereka tidak sempat menghindari ketika tanah tempat Ki Juru berpijak itu bagaikan meledak. Untunglah Ki Juru telah melontarkan diri sehingga ia bebas dari bencana. Namun beberapa orang telah dengan sangat terkejut mengalami hentakkan kekuatan yang luar biasa meskipun sasaran kakang Panji bukanlah mereka.
Tiga orang telah terlempar dan jatuh berguling. Dua orang lainnya tergetar dan terdorong surut. Tiga orang yang terguling itu dadanya menjadi sesak, sehingga seakan-akan mereka tidak dapat lagi bernafas. Sementara dua orang yang terdorong surut untuk sesaat mereka telah kehilangan kesadaran.
Dalam keadaan yang gawat itu, Ki Juru telah berteriak, "Cepat, capai garis benturan. Aku akan menghadapi orang itu."
Ki Juru berharap, bahwa setelah benturan terjadi, orang itu tidak akan mungkin dapat menyerang orang-orangnya dari jarak jauh, karena hal itu akan dapat mengenai orang-orangnya sendiri.
Sementara itu, Ki Juru harus bekerja cepat untuk menghindarkan orang-orangnya dari kemungkinan yang paling buruk. Jika ia sendiri mampu menghindar, maka orang-orangnyalah yang akan mengalami kesulitan.
Sebenarnyalah kakang Panji adalah orang yang garang. ia tidak menghiraukan apapun juga untuk mencapai maksudnya. Dalam benturan pertama itu ia ingin menunjukkan kepada orang-orang Mataram, bahwa mereka berhadapan dengan satu kekuatan yang tidak dapat mereka lawan.
Karena itu, ketika ia gagal menghancurkan orang yang dianggapnya memimpin pasukan yang datang itu, maka ia telah mengulanginya. Tetapi kakang Panji tidak ingin serangannya gagal. Karena itu maka arah sasarannya adalah justru para pengawal yang sedang bergejolak oleh serangannya yang pertama.
Akibatnya memang mengerikan. Sekali lagi tanah tempat orang-orang Mataram berdiri itu meledak oleh kekuatan ilmu kakang Panji. Dua orang terlempar dan langsung jatuh tanpa dapat bernafas lagi. Empat orang lainnya nafasnya bagaikan tersumbat dan tiga orang terpental dari tempatnya.
Jantung Ki Juru bagaikan meledak melihat serangan-serangan itu. Orang itu akan dapat membunuh pengawal-pengawalnya. Karena itu, maka ia harus berbuat sesuatu, sementara para pengawalnya telah berlari menyerang, agar mereka segera berada dalam pertempuran.
Ki Juru yang ingin melindungi orang-orangnya itu telah memusatkan kemampuannya pula. Tetapi ia tidak mempunyai kemampuan menyerang seperti orang itu. Karena itu, maka Ki Jurupun telah menggapai sebuah tombak seorang pengawalnya. Yang dapat dilakukannya adalah memusatkan kemampuan ilmunya pada tangannya.
Dengan kekuatan penuh Ki Juru itu telah melontarkan tombaknya langsung mengarah kepada orang yang memiliki ilmu yang mendebarkan jantung itu.
Ki Juru yang tua ternyata masih dapat mengejutkan orang yang disebut kakang Panji. Meskipun Ki Juru tidak dapat melontarkan serangan sebagaimana dilakukan oleh kakang Panji, namun ternyata bahwa Ki Juru mampu mengumpulkan segenap kekuatan dan kekuatan cadangannya pada lontaran tombaknya. Bahkan kekuatan itu seolah-olah telah berpengaruh pada tombaknya itu sendiri.
Karena itu yang terlontar itu bukannya sekedar tombak yang terdiri dari landean dan mata tombak yang runcing tajam, namun senjata itu seolah-olah telah memiliki kekuatan yang luar biasa, melampaui nilai sebuah tombak biasa.
Dorongan kekuatan Ki Juru Martani benar-benar diluar dugaan kakang Panji. Tombak yang dilontarkan dengan landasan segenap kekuatan ilmunya itu meluncur dengan kecepatan yang sulit dimengerti.
Ternyata bahwa Ki Juru Martani untuk sesaat merampas perhatian kakang Panji. Tombak yang meluncur itu demikian cepatnya, sehingga kakang Panji tidak dapat mengabaikannya.
Karena itu, maka kakang Panji itupun telah mengerahkan kekuatannya untuk menghadapi tombak yang meluncur kearahnya. Dengan satu lontaran kekuatan, maka kakang Panji telah menyerang tombak yang mengarah ketubuhnya itu.
Akibatnya memang luar biasa. Tombak itu bagaikan menghantam lapisan yang hampir tidak tertembus. Namun tombak itu dilontarkan oleh kekuatan Ki Juru Martani, sehingga dengan demikian maka dorongan ilmu Ki Juru itu telah membentur kekuatan kakang Panji yang dahsyat.
Kedua orang itu telah bersama-sama terkejut. Ki Juru terkejut, bahwa kekuatan yang dilontarkan dari tangan kakang Panji itu berhasil menahan tombaknya. Meskipun tombak itu tidak hancur karena seakan-akan tombak itu telah dilapisi kekuatan ilmu Ki Juru, namun tombak itu tidak mampu menukik langsung mengenai tubuh kakang Panji meskipun Ki Juru berhasil membidiknya dengan tepat.
Tombak itu bagaikan membentur dinding baja dan jatuh beberapa langkah di sisi kakang Panji.
"Gila," geram kakang Panji, "ada juga iblis tua yang mampu melontarkan kekuatan yang luar biasa."
Namun dalam pada itu Ki Jurupun berkata didalam hati, "Orang ini memang luar biasa. Ia memiliki ilmu yang sulit dikenali pada saat ini." Bahkan tiba-tiba saja Ki Jurupun teringat apa yang pernah terjadi atas Agung Sedayu yang mendapat serangan dengan diam-diam lewat indera penciumannya.
"Apakah orang ini yang melakukan atau orang lain?" bertanya Ki Juru didalam hatinya, "jika orang lain, maka Pajang benar-benar telah mengerahkan kekuatan yang sulit dilawan. Apalagi setelah angger Agung Sedayu terluka. Yang ada tinggal angger Sutawijaya, karena agaknya Ki Waskita dan Kiai Gringsing telah terlibat dalam perkelahian orang-orang yang berilmu tinggi pula sejak kemarin."
Namun dalam pada itu, Ki Juru tidak dapat merenung terlalu lama. Namun justru setelah ia sempat menyaksikan orang-orang Mataram menebar dan menyerbu kemedan, maka hatinya menjadi agak tenang. Jika ia harus menghadapi orang itu, maka ia tidak akan berkeberatan meskipun ia tidak pasti, bahwa ia akan mampu melawannya.
Tetapi Ki Juru adalah seorang yang berilmu tinggi. Karena itu, maka apapun yang akan terjadi, maka ia akan langsung menghadapinya.
Dalam pada itu, para pengawal Matarampun segera menyadari, dengan siapa mereka berhadapan.
Karena itu, maka beberapa orang yang mampu berpikir cepat, segera mengambil sikap. Ternyata orang yang telah menyerang mereka dengan cara yang kurang mereka mengerti itu, akan sangat berbahaya bagi pasukan Mataram yang tersisa, pasukan yang masih belum sempat membentur pasukan Pajang dari arah punggung.
Untuk mengurangi bahaya itu, maka beberapa orang pengawal telah memberanikan diri menyerang kakang Panji. Mereka tidak menghiraukan keselamatan mereka sendiri.
Ternyata usaha para pengawal itu berhasil. Kakang Panji tidak membiarkan tubuhnya dikoyak oleh senjata. Sementara itu, kakang Panji yang belum mengetahui tataran kemampuan berani mengabaikan mereka. Jika diantara lawan-lawannya itu ada yang memiliki kemampuan untuk mengatasi daya tahan tubuhnya, maka ia akan mengalami kesulitan.
Orang-orang Mataram yang melihat kekuatan yang mampu dilontarkan oleh orang itu, telah melawannya dalam kelompok kecil. Mereka berusaha untuk tidak memberi kesempatan orang itu melepaskan ilmu seperti yang sudah mereka lihat. Ilmu yang mampu meledakkan tanah dan melemparkan beberapa orang kawannya kendara, membantingnya sehingga tulang-tulangnya berpatahan.
Dalam keadaan yang demikian, maka kakang Panjipun menjadi sibuk. Serangan telah datang dari segala penjuru berurutan dan tidak henti-hentinya. Namun dengan tangkas ia mampu menghindari serangan lawannya. Kecepatan geraknya benar-benar sangat mengagumkan.
Dalam pada itu, ternyata Ki Juru telah mendapat kesempatan bersama beberapa orang pengawal untuk mendekati arena. Para pengawalpun segera membentur prajurit-prajurit Pajang yang sudah dipersiapkan menghadapi mereka.
Hampir seluruh medan yang panjang itu bergetar oleh kehadiran Ki Juru Martani. Beberapa kelompok pasukan Pajang telah menahan mereka.
Tetapi jumlah orang-orang Mataram ternyata jauh lebih banyak dibanding dengan orang-orang Pajang yang sempat menghadapi mereka. Sehingga karena itu, meskipun para prajurit Pajang memiliki pengalaman yang lebih baik dari orang-orang Mataram, namun jumlah kekuatan merakapun telah mengalami keseimbangan yang berat sebelah. Orang-orang Mataram ternyata berjumlah lebih banyak dari orang-orang Pajang yang masih harus bertahan dari tekanan pasukan Mataram dari sayap-sayap pasukan di tebing sebelah Barat Kali Opak di Prambanan.
Pembagian pasukan Pajang itu memang terasa sangat membebani setiap orang didalam pasukan Pajang itu.
Namun dalam pada itu, yang kemudian menjadi gelisah adalah Ki Juru Martani. Ternyata orang yang telah menyerang pasukan Mataram dari jarak beberapa depa dan seolah-olah berhasil meledakkan tanah tempat lawannya berpijak itu, benar-benar seorang yang memiliki ilmu yang luar biasa.
Dalam waktu yang pendek, dua orang Mataram yang bertempur dalam kelompok kecil melawan kakang Panji itu telah terlempar dari arena. Meskipun keduanya tidak terbunuh, tetapi keduanya sudah tidak lagi mampu berbuat sesuatu selain merangkak menjauhi hiruk pikuk pertempuran.
"Luar biasa," desis Ki Juru. Sementara itu ia tidak membiarkan korban semakin banyak. Karena itu, maka iapun segera menempatkan diri melawan orang yang memiliki ilmu yang luar biasa itu.
"Minggirlah," desis Ki Juru.
Orang-orang Mataram itu menyibak. Mereka memberi tempat kepada Ki Juru menghadapi orang yang nggegirisi itu. Namun orang-orang Mataram yang mengetahui kemampuan orang itu tidak segera meninggalkannya. Mereka ingin melihat apa yang akan terjadi antara orang itu dengan Ki Juru Martani.
Dalam ketegangan itu, terdengar orang itu bertanya, "He apakah kau memang sudah jemu melihat pertempuran ini?"
"Aku tidak mengerti maksudmu," jawab Ki Juru.
"Orang setua kau memang sudah waktunya mati," berkata orang itu pula, "marilah. Aku akan mengantarkanmu, Ki Juru. Bukankah kau yang bernama Ki Juru Martani ?"
"Ya. Aku yang disebut Ki Juru Martani," jawab Ki Juru, "tetapi siapa kau sebenarnya" Kau memiliki ilmu yang sekarang sulit dicari bandingnya."
"Namaku Panji. Orang-orang memanggilku kakang Panji, karena mereka menganggap aku sebagai saudara tua mereka," jawab orang itu.
"Kakang Panji, hanya begitu" Atau masih ada kelengkapan nama Panji itu?" bertanya Ki Juru.
"Namaku Panji. Itu saja," jawab orang itu, "sekarang kita sudah berhadapan di medan. Tetapi kehadiranmu benar-benar mengecewakan aku. Aku ingin bertemu Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga."
Ki Juru memandang orang itu dengan saksama, sementara disekitar mereka pertempuran menjadi semakin sengit. Namun masih ada juga beberapa orang Mataram yang bebas, karena jumlah mereka memang lebih banyak.
"Kenapa kau mencari Senapati Ing Ngalaga?" bertanya Ki Juru.
"Bukankah ia orang yang dianggap memiliki hak untuk memerintah Mataram dengan gelarnya itu, namun yang kemudian disalah gunakannya untuk memberontak kepada Kangjeng Sultan" Dan bukankah bagi Mataram tidak ada orang yang dianggap mumpuni selain Senapati Ing Ngalaga " Nah, aku adalah salah seorang prajurit yang setia kepada Kangjeng Sultan. Aku ingin menangkap Sutawijaya hidup atau mati, sekaligus membuktikan bahwa Sutawijaya bukan orang yang tidak terkalahkan sebagaimana diperkirakan orang."
"Ki Sanak," berkata Ki Juru, "apakah kau masih menganggap bahwa Pajang akan mungkin dipulihkan kembali kewibawaannya" Apalagi sekarang Kangjeng Sultan Pajang sedang dalam keadaan yang gawat."
"Itu adalah karena ulah Senapati Ing Ngalaga. Seorang yang sama sekali tidak mengenal terima kasih. Seorang yang diangkat dari kehinaan menjadi anak angkat Kangjeng Sultan. Seorang yang telah menerima warisan ilmu yang tidak terkatakan nilainya. Seorang yang mendapat kedudukan yang tinggi meskipun sebenarnya tidak ada darma baktinya sama sekali yang dapat dikenang oleh Pajang," jawab kakang Panji, "semuanya itu diakhiri dengan sebuah pemberontakkan yang tidak mengenal tatanan sama sekali."
"Jangan berpura-pura tidak tahu Ki Sanak," jawab Ki Juru, "kau tentu lebih tahu, isi dari istana Pajang sekarang" Seandainya disini ada Kangjeng Sultan Hadiwijaya, apakah ia akan mengatakan seperti yang kau katakan, atau justru Kangjeng Sultan itu akan berkata kepada Senapati Ing Ngalaga agar Senapati bersedia membantunya, menyingkirkan duri yang tumbuh didalam jantung kehidupan Pajang."
Wajah kakang Panji menegang. Namun kemudian katanya, "Baiklah. Apapun yang dapat kau sebutkan, berilah kesempatan Sutawijaya untuk membuktikan bahwa ia adalah orang yang pilih tanding."
"Dipeperangan kau tidak usah memilih lawan Panji. Marilah kita hadapi siapa saja yang ada dihadapan kita," jawab Ki Juru Martani.
Wajah kakang Panji menjadi semakin tegang. Tetapi sebenarnyalah bahwa ia merasa kecewa karena ia tidak dapat bertemu dengan Raden Sutawijaya. Ia ingin membuktikan kata-katanya bahwa ia akan mampu membunuh Raden Sutawijaya meskipun hampir setiap orang mengatakan bahwa Raden Sutawijaya adalah orang yang memiliki ilmu yang hampir sempurna.
Dalam pada itu, maka sambil bergeser setapak orang itu berkata, "Marilah orang tua. Umurmu memang sudah tidak terlalu panjang lagi."
Namun Ki Juru menjawab, "Kita sudah sama-sama tua Ki Sanak. Aku atau kaulah yang akan mati."
Kakang Panji menggeram. Iapun segera mempersiapkan diri.
Ki Juru yang melihat kakang Panji bersiap, dengan cepat ia bergeser justru mendekat. Ia tidak ingin mendapat serangan dengan lontaran pukulan yang mampu mengenai lawan yang berdiri beberapa langkah dari padanya.
Kakang Panji mengerutkan keningnya. Tetapi iapun menyadari bahwa Ki Juru adalah seorang tua sebagaimana dirinya, yang memiliki perbendaharaan pengalaman yang tidak terbatas.
Karena itulah, bagaimanapun juga, kakang Panji itu harus berhati-hati. Apalagi ia masih juga melihat beberapa orang Mataram berdiri disekitarnya. Di setiap saat orang-orang itu akan dapat meloncat langsung memasuki arena pertempuran.
Namun agaknya orang-orang Mataram itu tidak ingin segera mencampuri pertempuran yang bakal terjadi. Mereka menyadari bahwa baik Ki Juru maupun lawannya itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang luar biasa.
Demikianlah kedua orang itupun bersiap-siap. Keduanya bergeser saling mendekat. Ki Juru memang ingin bertempur tanpa jarak, sehingga ia akan mempunyai kesempatan sama dengan lawannya.
Pada saat-saat yang tepat, maka Ki Jurupun mencoba memancing lawannya. Dengan langkah pendek itu menyerang lawan dengan tangannya.
Kakang Panji yang tahu bahwa serangan itu bukannya serangan yang berbahaya tidak meloncat menghindarinya, tetapi ia sekedar menarik tubuhnya condong menyamping. Namun tiba-tiba saja ia telah meloncat dengan kecepatan yang luar biasa menyerang Ki Juru dengan kakinya mengarah ke lambung.
Ki Juru terkejut, tetapi ia sempat menghindari serangan itu dengan satu loncatan surut. Namun pada saat yang demikian, ia melihat bahaya yang dapat menghancurkannya. Benar-benar menghancurkannya, ketika lawannya hampir saja mendapat kesempatan untuk memukulnya pada jarak dua tiga langkah.
Karena itu, dengan cepat Ki Jurupun meloncat maju. Tangannya terjulur lurus kearah dada. Namun ketika kakang Panji itu mengelak dengan putaran setengah lingkaran, maka tangan Ki Jurupun menebas kesamping mengarah kening.
Kakang Panji meloncat surut. Cepat sekali. Namun Ki Jurupun telah memburunya dan menyerang dengan keras.
Tetapi serangan-serangan itu tidak berhasil menyentuh lawannya. Kakang Panji cukup tangkas. Namun juga sebaliknya, Ki Juru itu bagaikan bayangan yang tidak teraba.
Demikianlah keduanya telah bertempur dengan sengitnya. Semakin lama semakin cepat. Semakin lama keduanya semakin tenggelam kekedalaman ilmu mereka masing-masing.
Dalam peda itu, selagi kedua orang itu bertempur semakin dahsyat maka benturan antara orang-orang Pajang dan Matarampun menjadi semakin seru pula. Namun karena orang-orang Mataram yang menggempur pasukan Pajang dari dua arah itu berjumlah lebih banyak, maka pasukan Mataram itupun telah mengguncang kegelisahan orang-orang Pajang.
Meskipun orang-orang Pajang memiliki pengalaman yang pada umumnya lebih baik dari orang-orang Mataram, bahkan pasukan khususnya, namun jumlah kedua pasukan itupun ternyata sangat berpengaruh pula.
Dalam pada itu, para Senapati dan para pemimpin dari Pajangpun telah berusaha dengan sepenuh kemampuan mereka untuk mengatasi kesulitan yang mulai terasa. Namun karena perhatian pasukan Pajang itu terbagi, maka mereka benar-benar harus memeras ilmu yang ada pada mereka.
Namun demikian, terasa meskipun perlahan-lahan, bahwa orang-orang Pajang semakin mengalami kesulitan. Meskipun diantara mereka masih tertdapat orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi, namun mereka telah mendapat lawan mereka masing-masing.
Dalam pada itu, selagi kedua pasukan itu berbenturan dengan dahsyatnya, dari jarak yang tidak terlalu dekat, seseorang tengah memperhatikan pertempuran itu dengan saksama. Namun orang itu tidak lagi dicengkam oleh kegelisahan setelah ia melihat apa yang terjadi di medan. Apalagi ketika orang itu melihat pasukan induk Mataram ikut melibatkan diri melawan pasukan Pajang yang telah melepaskan diri dari ikatan pangeran itu.
"Bagaimanapun juga, mereka tidak akan dapat mengalahkan pasukan kakangmas Sutawijaya," desis orang itu. Namun ia masih saja berada ditempatnya. Ia masih ingin melihat pertempuran itu lebih lama lagi.
Dalam kegelisahannya, orang-orang Pajang itupun telah mendengar laporan bahwa pasukan Pajang di induk pasukan, yang dipimpin langsung oleh Kangjeng Sultan telah meninggalkan medan dan kembali ke Pajang sambil membawa Kangjeng Sultan yang terluka parah dibagian dalam tubuhnya setelah Kangjeng Sultan itu jatuh dari punggung gajah membentur sebongkah batu hitam yang justru pecah karenanya.
Tetapi orang-orang Pajang yang ada dimedan itu memang tidak mengharap sama sekali bantuan dari induk pasukan. Mereka telah menyerang pasukan Mataram dengan cara yang lain dari paugeran perang. Namun agaknya rencana licik mereka itu telah diketahui oleh lawan mereka sehingga orang-orang Mataram itu sempat menyingkirkan diri dan bahkan seakan-akan telah menjebak pasukan Pajang itu kedalam satu keadaan yang sangat sulit.
Namun berbeda dengan para pengawal dari Mataram yang berhasil mendesak orang-orang Pajang, maka Ki Juru menghadapi satu kesulitan yang besar dengan lawannya. Bahkan ternyata kakang Panji itu benar-benar seorang yang memiliki ilmu yang luar biasa. Meskipun Ki Juru berusaha untuk bertempur dalam jarak yang pendek, namun ternyata sekali-sekali kakang Panji itu berhasil melontarkan pukulan petirnya. Untunglah bahwa Ki Juru yang tua itu masih tetap Ki Juru yang memiliki kecepatan gerak yang mengagumkan, sehingga beberapa kali ia berhasil menghindarkan diri dari lontaran pukulan ilmu yang dahsyat, yang mampu meledakkan tanah tempat lawannya berpijak. Hanya karena kemampuan Ki Juru meloncat dengan cepat sajalah, maka ia masih sempat menyelamatkan diri dari ledakan pukulan orang yang menyebut dirinya kakang Panji. Bahkan setiap kali, Ki Juru masih juga berhasil menemukan kembali jarak yang dikehendakinya dalam perlawanannya.
"Orang tua ini benar-benar liat," gumam kakang Panji. Dengan demikian iapun telah meningkatkan ilmunya. Yang kemudian terjadi bukan saja sekedar pertempuran ujud wadag kedua orang itu. Bukan saja lontaran-lontaran pukulan yang mampu meledakkan sasaran yang disentuhnya. Tetapi kedua orang itu telah mulai mengerahkan kekuatan ilmu mereka yang sulit dimengerti oleh paria pengawal dan prajurit yang berada disekitar arena perkelahian antara kedua orang tua itu.
Dengan demikian pertempuran itu menjadi semakin dahsyat. Diantara pertempuran antara prajurit Pajang dan para pengawal dari Mataram maka lontaran-lontaran ilmu antara kakang Panji dan Ki Juru Martani merupakan ledakan-ledakan yang mentakjubkan.
Di seberang lain, pertempuranpun menjadi semakin dahsyat. Ada juga orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi, yang bertempur diluar kemampuan pengamatan nalar. Namun lambat laun, pertempuran itupun menjadi semakin lemah, karena para pengawal dari Mataram semakin lama menjadi semakin menguasai medan. Bahkan para Senapatinyapun seakan-akan telah terpengaruh oleh keadaan dan suasana itu sehingga merekapun seakan-akan telah kehilangan harapan. Disekitar mereka para pengawal dari Mataram yang jumlahnya melampaui para prajurit dan orang-orang Pajang, ternyata mendesak lawan mereka disegala tempat. Pengalaman yang mendasari para prajurit Pajang, ternyata terdesak oleh jumlah lawan mereka yang bertambah. Apalagi orang-orang Mataram itupun memiliki bekal yang cukup pula.
Di sebelah sisi dari pasukan Mataram, Untara dan para prajurit Pajang yang berada dibawah pimpinannya, benar-benar merupakan imbangan yang berat bagi lawan-lawan mereka, sementara sekelompok terpilih diantara mereka yang dipimpin oleh Sabungsari, tidak kalah nilainya dari setiap prajurit dari pasukan khusus Pajang yang berada dibawah pengaruh Tumenggung Prabadaru.
Sementara itu, putera Ki Gede Pasantenanpun mampu membuat pangeram-eram. Lawannya menjadi gelisah dan bahkan kemudian tidak berdaya.
Dalam pada itu, pertempuran antara Ki Juru dan kakang Panjipun menjadi semakin dahsyat. Kakang Panji telah mengerahkan segenap kemampuannya. Dengan kecepatannya ia setiap kali berhasil mengambil jarak dan menyerang Ki Juru dengan kemampuannya yang mengagumkan.
Setiap kali Ki Juru harus berloncatan. Ledakan-ledakan tanah tempat ia berpijak, membuatnya berdebar-debar, karena ledakan itu akan dapat melontarkannya. Bukan saja wadagnya, tetapi jika nasibnya buruk, maka nyawanyalah yang akan terloncat dari tubuhnya.
Serangan-serangan yang mendebarkan itu semakin lama menjadi semakin sering. Ki Juru harus berloncatan dengan cepat dan tergesa-gesa, sehingga semakin lama, maka pengerahan tenaga itupun telah mempengaruhinya.
Karena itu, maka Ki Jurupun mulai dengan caranya untuk mengurangi kesibukannya. Iapun sadar, kelengahan yang terjadi, akan dapat berarti maut baginya.
Karena itu, maka Ki Jurupun mulai mengerahkan ilmunya. Dalam satu hentakan oleh serangan kakang Panji yang dahsyat, Ki Juru itupun telah meloncat menghindar. Namun kakang Panji tidak melepaskannya. Sekali lagi ia mengangkat tangannya. Jika tangan itu terayun, maka kekuatan yang terloncat dari tangannya itu akan menyambar sasaran dan menghancur lumatkannya.
Tetapi ayunan tangan kakang Panji tertahan. Sekali lagi ia mengumpat, "Orang gila, anak iblis."
Kakang Panji berdiri tegang memandang sasarannya yang membuatnya tertegun.
Dalam pada itu, Ki Juru yang tidak memiliki kemampuan seperti kakang Panji untuk menyerangnya dari jarak tertentu, telah mempergunakan ilmunya sekedar untuk bertahan. Namun demikian, yang dilakukannya itu telah membuat kakang Panji menjadi bingung.
Ketika serangan kakang Panji menjadi semakin cepat dan semakin dekat memburunya kemana saja ia meloncat, maka Ki Jurupun tiba-tiba telah melepaskan ilmunya yang sulit dicari bandingnya.
Dalam keadaan yang sulit, pada saat kakang Panji sudah hampir sampai kepada satu batas kemenangan, tiba tiba saja Ki Juru telah meloncat kedua arah sekaligus. Tiba-tiba saja orang yang bernama Ki Juru Martani itu bagaikan terpecah menjadi dua. Seorang meloncat ke kiri, seorang meloncat kekanan.
Dalam keadaan yang demikian, kakang Panji menjadi bingung. Yang nampak dihadapannya bukannya bayangan semu yang akan dapat diurainya dan dikenalinya, tetapi keduanya sama sekali tidak dapat dibedakannya. Baik oleh mata wadagnya, maupun oleh mata hatinya.
Karena itu, untuk sesaat kakang Panji menjadi bingung. Sementara dalam keadaan yang demikian, kedua bayangan itu telah meloncat semakin dekat.
Tiba-tiba saja selagi kakang Panji belum sempat mengambil keputusan, kedua bayangan itu telah menyerangnya dari dua arah. Bersama-sama.
Kakang Panji yang masih dicengkam oleh kebingungan tidak mempunyai kesempatan untuk berbuat sesuatu. Ia ragu-ragu untuk melontarkan serangan karena ia tidak tahu, yang manakah yang harus menjadi sasarannya.
Karena itu, yang dapat dilakukannya, adalah meloncat jauh-jauh mengambil jarak dari kedua orang yang ujudnya sebagaimana Ki Juru Martani.
Dalam pada itu, kedua bayangan Ki Juru itu masih tetap mengejarnya dan menyerang dari arah yang berbeda pula.
"Persetan," geram kakang Panji. Ia tidak mau terlalu lama dibingungkan oleh keadiaan itu. Tiba-tiba saja ia telah melontarkan serangannya kesalah seorang diantara kedua orang yang berujud Ki Juru Martani itu.
Namun sekali lagi kakang Panji mengumpat. Ujud itu tidak meledak dan hancur menjadi kepingan daging dan tulang. Tetapi ujud itu telah lenyap bagaikan asap.
Namun pada saat ia tercenung oleh peristiwa itu, ternyata ujud yang lain benar-benar telah menyerang dan menghantam tubuhnya dengan kekuatan luar biasa. Seolah-olah Gunung Merapi telah terlontar menghantam tubuhnya, menghimpit dadanya.
Kakang Panji terdorong beberapa langkah. Hampir saja ia kehilangan keseimbangannya dan jatuh berguling. Namun ternyata bahwa ia masih mampu menguasai keseimbangannya, sehingga iapun sejenak kemudian telah tegak kembali.
Ki Juru melihat lawannya yang dalam sekejap telah mampu berdiri tegak kembali. Karena itu, maka hatinyapun menjadi berdebar-debar. Lawannya memang bukan orang kebanyakan. Lawannya adalah orang yang berilmu tinggi.
Karena itu. maka Ki Jurupun segera mempersiapkan dirinya kembali. Tidak ada waktu untuk merenungi keadaan lawannya, karena dalam sekejap kemudian, kakang Panji telah melontarkan ilmu yang dahsyat. Dengan mengayunkan tangannya, maka sebuah kekuatan yang tidak kasat mata telah menyambar Ki Juru.
Namun Ki Juru cukup tangkas. Sekali lagi ia meloncat. Tetapi karena ia tidak terdesak dalam keadaan yang hampir tidak teratasi, maka ia tidak merasa perlu untuk menjadikan dirinya kembar.
Demikian serangan kekang Panji meluncur, maka Ki Juru,telah tidak lagi berdiri ditempatnya, sehingga yang kemudian meledak adalah tanah bekas tempatnya berdiri.
Sementara itu, Ki Juru telah meloacat menyerang dengan loncatan panjang. Demikian cepatnya, sehingga Kakang Panji tidak sempat mendahuluinya. Bahkan ia harus bergeser dari tempatnya dengan cepat.
Ki Juru tidak melepaskannya. Dengan tangkas pula ia memburunya. Tetapi kakang Panji sama sekali tidak kehilangan kesempatan untuk menghindarinya dan bahkan kemudian menyerang langsung dengan wadagnya.
Namun sebenarnyalah bahwa keduanya adalah orang-orang yang luar biasa.
Sementara itu, pertempuran antara pasukan Mataram dan pasukan Pajang masih berlangsung dengan sengitnya. Namun sudah mulai nampak kesulitan pada pasukan Pajang. Perlahan-lahan pasukan Mataram menyusup kesegenap celah-celah pasukan lawan.
Namun dalam pada itu, orang-orang Pajang bukannya orang-orang yang mudah menjadi putus asa. Mereka adalah orang-orang yang berpengalaman. Baik para prajurit apalagi mereka dari pasukan khusus. Juga orang-orang yang menjadi pengikut kakang Panji dari padepokan-padepokan dan kelompok-kelompok yang mendukung gagasannya. Juga dari orang-orang yang merasa mempunyai sentuhan dengan kejayaan masa lampau dengan tanpa menilai persoalan yang dihadapinya.
Bahkan dalam keadaan yang sulit, orang-orang yang berada didalam lingkungan pasukan Pajang itu sepiakin tidak merasa lagi terikat oleh paugeran perang gelar. Mereka lebih banyak bertempur sebagai seorang yang memiliki ilmu kanuragan. Apakah dengan demikian mereka justru terlepas dari gelar perang atau tidak, mereka sama sekali tidak menghiraukannya.
Namun dengan demikian, orang-orang Pajang memang agak terpengaruh karenanya. Mereka menghadapi orang-orang yang bertempur menurut cara mereka masing-masig. Menurut dasar ilmu yang berbeda-beda.
Namun untunglah, baik pasukan khusus Mataram yang ditempa di Tanah Perdikan Menoreh, maupun prajurit Pajang di Jati Anom yang dipimpin oleh Untara atau Sabungsari, telah mendapatkan latihan-latihan dalam perang yang demikian. Mereka mendapat latihan untuk bertempur seorang-seorang.
Tetapi sebagian dari lawan-lawan mereka tiba-tiba saja telah berubah. Mereka menjadi kasar dan keras. Sehingga dengan demikian maka arena itu perlahan-lahan telah berubah. Gelar yang mapan telah hampir kehilangan bentuknya.
Jika semula orang-orang Mataram berhasil menyusup kecelah-celah pasukan Pajang yang lemah, namun ternyata bahwa mereka telah memasuki satu lingkungan yang mengejutkan. Orang-orang Pajang memang tidak lagi menjaga keutuhan gelarnya. Celah-celah didalam gelar mereka nampaknya menjadi semakin banyak. Tetapi justru karena sebagian dari orang-orang Pajang telah bertempur dengan cara mereka sendiri.
Namun dalam keadaan yang demikian, maka para Senapati dari pasukan khusus Mataram telah meneriakkan perintah, agar mereka berusaha untuk tetap dalam satu keterikatan pasukan. Perintah yang sambung bersambung.
Demikian pula Sabungsari di sisi yang lain berusaha untuk tetap mengikat pasukannya agar tak terpancang oleh cara yang dipergunakan orang-orang Pajang.
Namun dalam pada itu, diantara orang-orang Mataram terdapat pula orang-orang yang mampu dengan tangkas menanggapi cara bertempur orang-orang Pajang itu. Sebagian dari para pemimpin pasukan yang bergabung dengan Mataram mampu menghadapi orang-orang yang melepaskan diri dari keterikatan gelar.
Dengan demikian maka pertempuran itupun menjadi semakin hiruk pikuk. Selain dentang senjata dan teriakan-teriakan yang garang, maka para prajurit dan pengawal masih juga bersorak-sorak apabila mereka mendapatkan kemenangan-kemenangan kecil. Bukan saja karena kemampuannya, namun dengan sorak yang riuh itu, mereka berusaha untuk mempengaruhi perasaan lawan.
Dalam kekalutan itu, tiba-tiba telah terjadi sesuatu. Jika suara bende yang tidak henti-hentinya itu semula tidak lagi dihiraukan oleh pasukan kedua belah pihak justru karena telinga mereka seakan-akan telah terbiasa, namun tiba-tiba suara bende itu telah berubah.
Suara bende yang semula melengking-lenking memenuhi arena dan bahkan terasa menyakitkan telinga, maka suara itu kemudian telah terhenti.
Kepercayaan kakang Panji yang memerintahkan sekelompok orangnya mencari bende yang sebenarnya bernama Kiai Becak itu mengira, bahwa sekelompok orang-orangnya itulah yang telah membungkam bende itu. Namun yang justru terjadi kemudian sangat menggejutkannya.
Setelah beberapa saat suara bende yang menyakitkan telinga itu terhenti, tiba-tiba saja telah berbunyi suara bende yang lain. Suara bende yang bagaikan menggelepar mengguncang udara disekitar arena pertempuran.
Suara itu benar-benar menggetarkan. Suara itu tiba-tiba telah mengingatkan mereka yang bertempur, suara bende yang pertama kali mereka dengar. Suara itu. Bukan suara yang baru saja terhenti.
Suara yang berubah itu ternyata telah menyentuh setiap orang dalam pertempuran yang dahsyat itu. Suara itu telah membuat mereka yang mendengarnya menyadari, bahwa yang mereka dengar selama ini bukanlah suara bende itu. Bukan suara bende yang mereka dengar pertama kali di pinggir Kali Opak.
Selama ini orang-orang Pajang tidak menghiraukannya. Bahkan mereka memang berusaha untuk tidak mendengar dan terpengaruh oleh suara bende itu. Sehingga dengan demikian, mereka tidak menyadari, bahwa suara bende itu telah berubah.
Namun kini setelah suara bende itu didengar kembali, maka orang-orang Pajang ita tidak dapat menahan getar didalam dadanya. Mereka tidak dapat mengingkari bahwa suara bende itu mempunyai pengaruh yang kuat didalam hati mereka.
Dalam suasana yang demikian, maka orang-orang Mataram justru mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Suara bende itu mempunyai pengaruh yang sebaliknya bagi mereka, karena menurut kepercayaan mereka, jika bende itu melontarkan bunyi yang lantang, maka itu berarti bahwa mereka akan mendapatkan kemenangan.
Ternyata kepercayaan yang demikian itu mempunyai pengaruh yang sangat besar. Pasukan Mataram yang memang berjumlah lebih banyak itu merasa bahwa mereka akan segera memenangkan perang, sehingga dengan demikian, maka merekapun telah mengerahkan segenap ilmu dan kemampuan mereka.
Gelombang yang dahsyat itu terasa melanda pertahanan orang-orang Pajang. Bergulung-gulung tidak henti-hentinya, sehingga pertahanan orang-orang Pajang itupun seakan-akan menjadi semakin rapuh karenanya. Jumlah yang banyak dari orang-orang Mataram, telah mengisi kekurangan mereka dalam perbendaharaan pengalaman.
Namun dalam pada itu, Ki Juru masih tetap merasakan betapa beratnya tekanan lawannya. Setiap kali Ki Juru terpaksa mempergunakan kemampuannya untuk membuat dirinya sendiri menjadi rangkap. Namun lambat laun, kakang Panji itupun telah mempergunakan cara yang membuat Ki Juru mengalami kesulitan. Setiap kali kakang Panji selalu berusaah mengambil jarak untuk melontarkan serangannya kepada kedua ujud yang kembar itu berturut-turut.
Namun dalam keadaan yang demikian, Ki Juru masih mempunyai kesempatan untuk mempersiapkan diri menghindari serangan yang nggegirisi itu.
Dengan demikian, maka pertempuran antara kedua orang itupun semakin lama menjadi semakin dahsyat. Meskipun Ki Juru tidak mempunyai kemampuan menyerang pada jarak diluar jangkauan tangannya, namun dalam puncak ilmunya Ki Juru telah membuat kakang Panji berdebar-debar. Pada saat-saat yang kadang-kadang diluar perhitungan kakang Panji. Ki Juru tiba-tiba saja telah menyerang dengan gerak yang sangat cepat. Pada saat kakang Panji sempat menghindar, sehingga serangan Ki Juru menyentuh sasaran yang lain, maka tiba-tiba sentuhannya itu telah mengeluarkan asap.
"Sentuhan tangannya melampaui panasnya api," geram kakang Panji yang marah. Namun serangan kakang Panjipun tidak kalah dahsyatnya.
Orang-orang yang ada disekitar kedua orang itupun semakin lama telah menyibak semakin jauh. Namun dalam pada itu, orang-orang Mataramlah yang berhasil mendesak orang-orang Pajang, sehingga dengan demikian, beberapa orang kepercayaan kakang Panji telah bertahan mati-matian untuk tidak terdesak dari landasan mereka untuk tetap berada tidak terlalu jauh dari arena pertempuran kakang Panji.
Ternyata mereka adalah orang-orang bukan saja memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi mereka adalah orang-orang yang tidak lagi menghiraukan apapun yang juga selain usaha untuk tetap berada diarena yang tidak terlalu jauh.
Sementara itu, dibagian lain dari arena pertempuran itu. Raden Sutawijaya melihat bahwa pasukannya mulai menguasai keadaan. Raden Sutawijaya sendiri masih tetap belum turun kearena. Ia ingin melihat pertempuran itu dalam keseluruhan. Apalagi setelah pasukannya berhasil mendesak lawannya.
Dibeberapa bagian. Raden Sutawijaya memang melihat, orang-orang berilmu tinggi masih bertempur dengan sengitnya. Namun keadaan pertempuran itu dalam keseluruhan sangat mempengaruhinya, sehingga orang-orang berilmu tinggi itupun akhirnya sulit untuk bertahan menghadapi Ki Waskita, putera Ki Gede Pasantenan dan beberapa orang yang lain.
Namun dalam pada itu. Raden Sutawijaya merasa kehilangan seseorang. Dari para pengamat yang mendapat tugas daripadanya untuk membuat laporan menyeluruh. Raden Sutawijaya tidak melihat Kiai Gringsing diarena pertempuran itu.
"Kiai Gringsing telah menyelesaikan lawannya," seseorang melaporkan. "Namun kemudian ia tidak lagi berada ditempatnya atau menghadapi lawan yang lain."
Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi untuk sementara ia masih saja membiarkannya. Katanya, "Mungkin Kiai Gringsing perlu beristirahat atau ia telah memilih satu tugas tertentu yang penting dan berada diluar pengamatan kita."
Petugas yang melaporkan itu hanya mengangguk-angguk. Namun ia mendapat pesan dari Raden Sutawijaya, "Tetapi usahakan untuk melihat, dimana Kiai Gringsing itu sekarang."
"Baik Raden," jawab petugas itu, "aku akan mencarinya."
Namun sementara petugas itu meninggalkan, maka telah datang menghadap seorang penghubung dari induk pasukan yang melaporkan keadaan pertempuran di induk pasukan secara menyeluruh.
"Jadi paman Juru Martani mengalami kesulitan dengan lawannya itu?" bertanya Raden Sutawijaya.
"Ya Raden. Lawannya adalah orang yang luar biasa," jawab petugas yang melaporkannya.
"Paman Juru Martani bukan orang kebanyakan," desis Raden Sutawijaya, "ia memiliki ilmu yang dahsyat. Dan pada puncak kemarahannya ia adalah orang yang sangat berbahaya bagi lawan-lawannya."
Namun penghubung yang menghadap itu menjelaskan apa yang terjadi. Lawan Ki Juru mempunyai kemampuan yang jarang dimiliki oleh orang-orang berilmu tinggi sekalipun.
"Ia mampu melontarkan serangan diluar jangkauan wadagnya?" bertanya Raden Sutawijaya.
"Ya Raden. Bahkan jarak jangkau serangannya itu mencapai beberapa langkah dari tempatnya berdiri," jawab penghubung itu.
"Beberapa langkah" " ulang Raden Sutawijaya.
"Ya Raden. Memang orang luar biasa," jawab penghubung itu.
"Baiklah. Aku akan melihatnya. Aku akan menyerahkan pimpinan dan pengamatan pasukan Mataram kepada seseorang. Mungkin kepada Untara yang menguasai masalah-masalah keprajuritan. Sementara itu aku akan menyeberang ke belakang orang-orang Pajang untuk melihat apa yang telah terjadi dimedan sebelah," berkata Raden Sutawijaya.
"Silahkan Raden. Aku akan menunjukkannya," berkata petugas itu.
"Tunggulah disini. Aku akan menemui beberapa orang disini," berkata Raden Sutawijaya kemudian.


07 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sejenak kemudign Raden Sutawijaya telah meninggalkan tempatnya. Ketika ia berhasil menemui Untara, maka iapun memerintahkan Untara untuk mengamati seluruh medan disisi Timur.
"Aku akan berada disisi Barat," berkata Raden Sutawijaya.
"Baik Raden. Aku akan berbuat sebaik-baiknya. Tetapi apakah para Senapati sudah mengetahui?" bertanya Untara.
"Aku akan memberitahukan kepada mereka," jawab Senapati Ing Ngalaga.
"Silahkan Raden," jawab Untara.
Seperti yang dikatakan, maka Raden Sutawijayapun segera berloncatan dari satu tempat ketempat yang lain diikuti oleh dua orang pengawal kepercayaannya. Ditemuinya putera Ki Gede Pasantenan. Ditemuinya Ki Waskita. Sabungsari, Ki Lurah Branjangan dan para pemimpin yang lain.
Kepada mereka Raden Sutawijaya memberitahukan bahwa pimpinan pasukan dalam keseluruhan ada ditangan Untara, yang dianggap mengerti dan menguasai gelar perang dan tata keprajuritan, meskipun bukan berarti bahwa Untara adalah orang yang memiliki ilmu yang tertinggi diantara orang-orang Mataram.
Namun dalam pada itu, seperti yang dilaporkan oleh para petugas dan sebagaimana disaksikan sendiri. Kiai Gringsing tidak ada di medan.
Tidak seorangpun yang dapat mengatakannya. Glagah Putihpun tidak melihatnya. Apalagi Pandan Wangi dan Sekar Mirah yang kemudian telah memasuki arena pertempuran itu pula, setelah mereka berhasil menjebak sekelompok prajurit Pajang yang ingin merampas bende Kiai Becak.
Tetapi Raden Sutawijaya tidak mencarinya lebih lama. Ia mencemaskan keadaan Ki Juru Martani. Meskipun Ki Juru adalah orang yang memiliki ilmu yang tinggi, namun ternyata ia mengalami kesulitan.
"Tentu orang yang menjadi lawannya itu orang yang luar biasa," berkata Raden Sutawijaya didalam hatinya.
Bahkan Raden Sutawijayapun kemudian teringat seseorang yang telah melintasi Kali Opak di malam hari ketika pasukan Pajang dan pasukan Mataram saling berhadapan seberang menyeberang Kali Opak. Seorang yang telah menyerangnya dengan sambaran ilmu yang memecahkan batu padas.
Karena itu, maka Raden Sutawijayapun dengan tergesa-gesa telah meninggalkan medan disisi Timur. Mereka akan pergi kemedan di seberang Barat.
"Kita melingkari medan," berkata Raden Sutawijaya kepada kedua orang pengawal yang akan menyertainya.
Demikianlah, maka merekapun telah berusaha pergi keseberang. Mereka menyusuri medan sampai keujung. Kemudian melingkar untuk pergi ke seberang sebelah Barat. Agaknya jalan itu lebih baik daripada mereka menerobos medan.
Namun tiba-tiba langkah Raden Sutawijaya terhenti. Dengan sigap ia bergeser.
Kedua pengawalnyapun terkejut. Namun mereka segera mempersiapkan diri pula.
Namun Raden Sutawijayapun kemudian menarik nafas dalam-dalam. Yang kemudian muncul dari balik gerumbul adalah Pangeran Benawa.
"Kau adimas?" bertanya Raden Sutawijaya.
Pangeran Benawa tersenyum. Dengan nada dalam ia bertanya, "Apakah kakangmas akan melihat arena disebelah Barat?"
"Ya," jawab Raden Sutawijaya, "paman Juru Martani bertempur di sebelah Barat."
"Paman Juru Martani akan menyelesaikan semua persoalan," berkata Pangeran Benawa selanjutnya.
"Mudah-mudahan," desis Raden Sutawijaya. Namun katanya kemudian, "Tetapi menurut laporan yang aku terima, paman Juru Martani mengalami kesulitan."
Pangeran Benawa mengerutkan keningnya. Sementara itu Raden Sutawijaya bertanya, "Kenapa adimas berada ditempat ini" Aku menerima pesan adimas lewat Aji Pameling. Aku kira Adimas masih berada di pasanggrahan."
"Aku memang ingin melihat medan," jawab Pangeran Benawa yang kemudian menceriterakan tentang ayahandanya Sultan Hadiwijaya.
Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Ada sepercik kegelisahan didalam hatinya tentang ayahandanya. Sultan Hadiwijaya. Namun sejenak kemudian ia berusaha untuk melenyapkan kesan kegelisahannya itu.
"Baiklah," berkata Raden Sutawijaya kemudian, "sekarang kita menghadapi keadaan yang rumit ini. Meskipun orang-orang Mataram nampaknya berhasil menguasai lawan-lawan mereka, namun ada sesuatu yang menggelisahkan."
"Apa yang telah menggelisahkan kakangmas?" bertanya Pangeran Benawa.
"Ki Juru Martani mengalami kesulitan menghadpi lawannya," jawab Raden Sutawijaya.
"Paman Juru?" bertanya Pangeran Benawa agak kurang percaya.
"Ya. Karena itu, aku melingkari arena untuk menyaksikan apa yang telah terjadi," jawab Raden Sutawijaya.
Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, "Aku ikut bersama kakangmas. Menarik sekali bahwa ada orang yang mampu mengatasi kemampuan paman Juru Martani diantara orang-orang Pajang."
"Aku teringat apa yang terjadi di pinggir Kali Opak, ketika pada suatu malam seseorang telah menyeberang dan pada saat ia meninggalkan tebing Barat, telah menyerangku dengan ilmu yang dahsyat," berkata Raden Sutawijaya.
Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Mungkin orang itu yang telah menghadapi Ki Juru sekarang."
"Ciri-ciri ilmunya memang menunjukkan demikian," berkata Raden Sutawijaya kemudian. Lalu, "marilah. Kita akan melihat apa yang telah terjadi."
Pangeran Benawapun kemudian mengikuti Raden Sutawijaya melingkari arena menuju kesisi sebelah Barat. Dengan hati-hati mereka telah mendekati medan. Bahkan para pengawalpun kemudian telah membaurkan diri didalam arena bersama-sama dengan para prajurit dari Mataram dengan segala ciri-cirinya.
Namun dalam pada itu, Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya masih tetap mengambil jarak. Meskipun demikian merekapun kemudian dapat menyaksikan apa yang telah terjadi dengan Ki Juru Martani.
Dalam pada itu, Ki Juru memang telah mengerahkan segenap kemampuannya. Bukan saja benda-benda yang tersentuh tangannya menjadi berasap sebagaimana tersentuh panasnya api. Tetapi hampir setiap benda yang tersentuh tangannya kemudian justru telah hangus menjadi abu.
Tetapi tangan Ki Juru itu masih belum mampu menyentuh tubuh lawannya. Bahkan setiap kali Ki Juru terpaksa harus berloncatan, menjadikan dirinya rangkap, bahkan dengan susah payah membuat lawannya untuk sejenak memperhitungkan geraknya dalam ujudnya yang rangkap.
Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Iapun segera melihat bahwa lawan Ki Juru memang orang yang luar biasa. Serangan-serangan yang terlontar dari tangannya, benar-benar mendebarkan jantung. Meskipun seseorang memiliki daya tahan yang sangat tinggi, namun mereka tentu akan mengalami cidera jika mereka tersentuh serangan lawan Ki Juru yang dahsyat itu.
Meskipun demikian, lawan Ki Juru yang luar biasa itupun merasa betapa liatnya Ki Juru yang tua itu. Kemarahan orang itupun menjadi semakin memuncak. Orang yang menyebut dirinya kakang Panji itu tidak menyangka, bahwa Ki Juru Martani akan dapat mengimbangi ilmunya untuk sekian lamanya.
"Nyawa orang ini memang liat sekali," geram orang itu.
Namun dalam pada itu, orang itupun benar benar ingin segera menghancurkan lawannya.
"Aku tidak peduli dengan pertempuran dalam keseluruhan sekarang ini," katanya didalam hati. Tetapi kakang Panji itu yakin, jika ia dapat mengalahkan Ki Juru dalam waktu yang singkat, maka iapun tentu akan segera dapat menghancurkan orang-orang Mataram. Ia dapat mempergunakan ilmunya. Jika orang-orang Mataram benar-benar telah mendesak orang-orang Pajang, maka ia akan dapat menyerang dari belakang garis perang. Ia dapat menghancurkan orang-orang Mataram dari arah punggung tanpa mengorbankan orang-orang Pajang sendiri, meskipun mungkin ada juga satu dua diantara mereka yang akan menjadi korban tanpa disengajanya.
Tetapi Ki Juru itu tidak segera dapat dilumatkan. Ki Juru itu tidak dapat segera terkena sambaran kekuatan tangannya dan meledaknya menjadi sayatan daging dan pecahan tulang. Ki Juru masih saja dapat membuatnya bingung.
Demikianlah pertempuran antara kedua orang itu menjadi semakin lama semakin dahsyat. Meskipun Ki Juru tidak dapat sepenuhnya mengimbangi ilmu lawannya, tetapi lawannyapun tidak mudah dapat mengalahkannya dan apalagi menghancurkannya.
Dalam keadaan yang paling gawat dari benturan ilmu kedua orang itu, maka tiba-tiba saja orang yang menyebut dirinya kakang Panji itu telah mengambil jarak yang cukup. Disaat Ki Juru bersiap menghadapi sambaran serangan dari tangan kakang Panji, ternyata orang itu telah mengambil sikap yang lain. Orang itu sama sekali tidak mengayunkan tangannya dan tidak menghentakkan kekuatan dari tangannya itu, yang akan dapat memecahkan batu-batu padas. Namun orang itu justru sekali lagi mengambil jarak.
Ki Juru memang menjadi heran. Ia sadar, bahwa ia akan dapat memasuki jebakan ilmu jika ia kurang berhati-hati.
Namun selagi Ki Juru memperhatikan lawannya dengan saksama, maka barulah ia menyadari apa yang sedang terjadi. Ternyata kakang Panji itu telah mengerahkan jenis ilmunya yang lain. Ilmu yang mempunyai kekuatan luar biasa. Tidak lewat benturan kekuatan atau kecepatan gerak, tetapi kakang Panji telah menyerang lawannya lewat indera penciumannya.
Serangan itu memang mengejutkan Ki Juru. Ketika tercium bau yang sangat wangi, maka Ki Juru itupun sadar, bahwa ia telah memasuki satu perjuangan yang sangat berat.
Bau yang sangat tajam menunjuk hidung itu, ternya ta,bukan saja hanya tercium oleh Ki Juru, tetapi orang-orang yang ada disekitarnyapun telah menciumnya pula. Meskipun demikian, sebagaimana yang telah terjadi, sasaran utama yang dikehendaki yang dapat dijangkau oleh penglihatannyalah yang mengalami gangguan yang terbesar. Orang-orang lain yang tidak menjadi sasarannya langsung memang tidak terlalu terpengaruh oleh bau yang menusuk itu.
Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa telah mencium bau itu pula. Dan merekapun segera mengetahui, bahwa pada saat Agung Sedayu bertempur melawan Ki Tumenggung Prabadaru, maka orang itu, atau orang yang seperguruan orang itu telah mengganggu Agung Sedayu dengan serangannya.
Dan kini, ia tidak sekedar mengganggu, tetapi kini ia berhadapan dengan Ki Juru Martani. Dengan ilmu itu pula ia telah menyerang disamping ilmunya yang lain yang ada padanya. Ilmu petirnya yang dapat dilontarkannya dari tangannya, menyambar lawannya dan menghancurkannya.
Ki Jurupun menyadari akan hal itu. Karena itu, maka segera ia memusatkan bukan saja ilmunya untuk menghancurkan lawannya apabila berhasil disentuhnya, tetapi juga kemampuan batinnya untuk mengatasi serangan pada indera penciumannya.
Dengan segenap kemampuan yang ada padanya, Ki Juru berusaha untuk menutup indera penciumannya tanpa mengganggu pernafasannya, sementara ia masih harus memperhatikan kekuatan petir yang setiap kali datang menyambarnya.
Namun lawannya memang seorang yang tangguh tanggon. Dalam keadaan yang demikian, maka tangannya telah terayun dan melepaskan serangannya. Ki Juru yang melihat gerak itupun telah meloncat ke dua arah, karena ujudnya yang rangkap.
Ujud yang rangkap itu memang dapat sekedar membingungkan lawannya dan memberinya kesempatan mempersiapkan diri menghadapi serangan-serangan berikutnya. Namun serangan lewat indera penciumannya itu ternyata demikian tajamnya. Meskipun kadang-kadang lawannya harus melepaskan serangannya, justru pada saat-saat Ki Juru berhasil menyusup kedalam perisai pertahanannya, namun ketajaman bau yang sangat menusuk itu telah berhasil menembus inderanya betapapun ia berusaha untuk menutupnya rapat-rapat.
Buku 170 TETAPI Ki Juru menyadari sepenuhnya, bahwa jika ia dapat mengatasi perasaannya, maka bau itu sendiri tidak akan mampu berbuat apa-apa atas dirinya.
Demikianlah maka pertempuran antara kedua orang berilmu tinggi itu semakin lama menjadi semakin dahsyat. Dalam keadaan yang paling sulit sekalipun, Ki Juru kadang-kadang masih juga berhasil menyusup melalui lapisan-lapisan pertahanan lawannya. Namun lawannya-pun memiliki kecepatan bergerak yang mengagumkan. Serangan tangan Ki Juru yang panasnya melampaui api, selalu dapat dielakkannya.
Namun yang terjadi kemudian sangat mendebarkan hati Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa. Ternyata lawan Ki Juru itu semakin lama menjadi semakin berhasil menguasai medan. Serangan-serangannya menjadi semakin cepat dan sangat berbahaya. Serangan pada indera penciumannya itupun menjadi semakin tajam menusuk hidung Ki Juru Martani.
Sebagaimana yang terjadi dengan Agung Sedayu, maka bau yang sangat tajam itu lambat laun telah membuat Ki Juru menjadi pening. Usahanya untuk menutup indera penciumannya, ternyata masih saja mampu tertembus. Bahkan pertahanannya terhadap bau yang sangat tajam itu terasa semakin lama menjadi semakin lemah.
Keletihan dan pening yang mencengkam, membuat perlawanan Ki Juru menjadi semakin lemah. Justru karena itu, maka iapun menjadi semakin terdesak oleh sambaran-sambaran serangan lawannya yang harus dihindarinya. Dengan demikian maka ujud rangkap Ki Juru itupun menjadi semakin sering nampak untuk memberinya kesempatan mempersiapkan diri selama lawannya masih harus memilih sasaran, atau kedua-duanya.
Pada saat-saat yang demikian. Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa menjadi semakin gelisah. Mereka tidak dapat langsung terjun ke arena, membantu Ki Juru Martani. Sifat kesatria dan kejantanan mereka telah mencegahnya, meskipun mereka menyadari, bahwa mereka tidak sedang menyelenggarakan perang tanding. Tetapi yang terjadi itu adalah pertempuran dalam satu medan yang besar.
Sementara Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa menjadi berdebar-debar, ternyata pasukan Mataram semakin mendesak lawannya. Orang-orang Pajang menjadi kehilangan kesempatan untuk memberikan serangan-serangan yang berarti. Dalam kesulitan itu, mereka hanya mampu bertahan.
Tetapi bertahan itupun sudah cukup memberikan harapan bagi kakang Panji yang berkata didalam hati, "Asal aku dapat mengalahkan lawanku lebih cepat lagi."
Bau yang tajam itu masih menebar di medan. Tetapi yang tidak langsung menjadi sasaran yang dapat dijangkau oleh penglihatan mata kakang Panji tidak mengalami kesulitan seperti sasarannya. Mereka memang mencium bau yang sangat wangi, tetapi bau itu tidak langsung menusuk ke pusat kesadaran mereka.
Meskipun demikian, kakang Panji itupun masih saja mengumpat. Ternyata serangannya pada indera penciuman itu tidak mencekik sasarannya sebagaimana diharapkan. Ki Juru itu masih mampu bertahan untuk waktu yang berlipat ganda dari yang diperkirakan.
"Orang ini mempunyai aji yang mampu menutup indera penciumannya," berkata kakang Panji didalam hatinya, "namun demikian ia yakin bahwa serangannya itu tentu berhasil menembus pagar indera penciuman itu, karena semakin lama Ki Juru itupun menjadi semakin lemah.
Meskipun demikian, Ki Juru itu benar2 menjengkelkan, sementara pasukan Pajang menjadi semakin terdesak dan kehilangan kemampuannya untuk menyerang sama sekali.
Dengan mengerahkan sisa kemampuan yang ada, orang-orang Pajang itu berusaha untuk bertahan. Namun tekanan yang sangat berat dari orang-orang Mataram yang berjumlah lebih banyak itupun terasa semakin lama semakin tidak tertahankan.
Sementara itu, kakang Panji ternyata masih belum mampu mengalahkan Ki Juru yang meskipun menjadi semakin lemah, namun masih mampu melawan, dan bahkan kadang-kadang masih membuat kakang Panji itu terkejut dan berdebar-debar.
Sementara itu. Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawapun menjadi semakin gelisah pula. Mereka yang berada diluar arena itu, mampu melihat lebih jelas, bahwa Ki Juru memang mengalami kesulitan yang pada suatu saat tidak akan teratasi lagi.
Dalam kegelisahannya itu. Pangeran Benawapun berdesis, "Kakangmas. Apakah kita akan membiarkan saja Ki Juru mengalami kesulitan" Menurut penilaianku, yang dihadapi oleh paman Juru adalah seorang Senapati dipeperangan. Seandainya kita tidak akan mengorbankan harga diri kita, maka kita akan dapat menggantikan kedudukan Ki Juru tanpa bertempur berpasangan. Mungkin aku, mungkin kakangmas Sutawijaya. Sebab Ki Juru tidak sedang melakukan perang tanding."
"Aku mengerti adimas," berkata Raden Sutawijaya. Lalu, "Orang itu adalah orang yang luar biasa. Paman Juru Martani adalah orang yang sudah menguasai segala macam ilmu. Namun ia masih juga mengalami kesulitan. Orang itu memiliki kemampuan lebih tinggi dari Tumenggung Prabadaru."
"Kakangmas benar. Orang itu memiliki ilmu lebih tinggi dari Ki Tumenggung Prabadaru. Orang itu memiliki ilmu yang sudah jarang dikenal oleh mereka yang menekuni olah kanuragan sekarang," desis Pangeran Benawa.
"Tetapi bukan berarti bahwa aku harus ingkar dari tanggung jawab. Aku adalah orang yang bertanggung jawab atas segalanya yang terjadi di Prambanan ini. Karena itu, akulah yang seharusnya menghadapi orang itu, apapun yang akan terjadi," jawab Raden Sutawijaya.
"Seandainya ayahanda Sultan masih sempat bertemu dengan orang itu di medan dalam keadaan yang baik," desis Pangeran Benawa.
"Ayahandapun memiliki ilmu yang sudah jarang dikenal sekarang ini," desis Raden Sutawijaya, "ilmu yang masih tetap tersimpan dan tidak temurun."
"Itulah kelemahan kita semuanya," jawab Pangeran Benawa, "seorang guru pada umumnya masih menyimpan satu jenis ilmu yang tidak diberikan kepada murid-muridnya."
"Aku dapat mengerti," jawab Senapati Ing Ngalaga, "dengan kelebihannya itu, seorang guru masih akan tetap dapat mengatasi murid-muridnya yang kemudian memberontak terhadap perguruannya. Mungkin seorang murid tidak lagi mentaati perintah dan petunjuk-petunjuknya atau justru mencemarkan nama baik perguruannya."
"Ya. Tetapi dengan demikian, tingkat ilmu itu sendiri semakin lama akan menjadi semakin susut. Sebagaimana kita lihat sekarang, ilmu orang itu dalam beberapa segi kurang kita kenal. Bahkan Ki Juru yang sebaya dengan orang itupun mengalami kesulitan, justru karena watak ilmu orang itu terasa asing," berkata Pangeran Benawa.
Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, "Aku tidak boleh membiarkan mereka terlalu lama bertempur. Paman Juru Martani sudah mulai diganggu oleh tenaganya yang susut. Meskipun mungkin paman Juru masih akan mampu bertahan beberapa lama, tetapi akhirnya ia akan kehabisan tenaga dan pertahanannya itupun akan runtuh."
"Maksud kakangmas?" bertanya Pangeran Benawa.
"Aku akan menghadapinya," jawab Raden Sutawijaya.
"Apakah kakangmas sudah melihat kemungkinan untuk mengimbangi ilmunya?" bertanya Pangeran Benawa.
Raden Sutawijaya termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Apapun yang akan terjadi, aku tidak akan ingkar. Aku adalah orang yang memang harus menghadapinya."
Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Raden Sutawijaya tidak akan dapat membuat pertimbangan lain. Ia memang harus bertanggung jawab.
Namun dalam pada itu, ada semacam kecemasan dihati Pangeran Benawa. Meskipun ia mengerti, bahwa Raden Sutawijaya adalah orang yang memiliki ilmu yang sulit dijajagi, namun Pangeran Benawa. masih melihat kekurangan Raden Sutawijaya dibandingkan dengan ayahandanya Sultan Hadiwijaya, sebagaimana dirinya sendiri yang masih merasa belum mewarisi segenap kemampuan ayahandanya.
Tetapi Pangeran Benawa tidak akan dapat mencegahnya. Dan Pangeran Benawapun tahu, bahwa bagi Raden Sutawijaya maupun dirinya sendiri tidak akan bersedia bertempur berpasangan melawan orang itu.
Sementara itu, pertahanan Ki Juru memang menjadi semakin lemah. Sementara itu lawannyapun telah berusaha untuk secepatnya mengakhiri perlawanan Ki Juru agar ia dapat berbuat sesuatu atas pasukannya.
"Mudah-mudahan aku mendapat waktu sebelum aku akan menghancurkan Sutawijaya pula," berkata orang itu didalam hatinya. Menurut perhitungan orang itu. Raden Sutawijaya tentu berada diseberang sebelah Timur dari medan itu.
Namun sebenarnyalah bahwa Raden Sutawijaya sudah siap menghadapi orang yang menyebut dirinya kakang Panji itu.
Sementara itu, orang-orang Mataram benar-benar telah menguasai sebagian besar dari medan. Pasukan Mataram yang berada disisi Timur yang jumlahnya lebih besar dari pasukan yang berada disisi Barat, memang dengan sengaja tidak mendesak lawannya. Atas perintah Untara mereka harus berusaha untuk tetap berada dalam satu garis pertempuran. Bahkan pasukan Mataram itu justru mulai menebar dan mencapai sisi dari gelar pasukan lawan. Pasukan Mataram itu justru menekan lawan mereka dari kedau sisi, agar pasukan lawan itu tidak justru bergeser ke Barat.
Dengan demikian, maka untuk sementara ajang pertempuran itu tidak bergerak kearah manapun juga.
Dalam pada itu, kakang Panjipun telah bertempur semakin sengit. Ditumpahkannya segenap kemampuannya untuk segera dapat mengalahkan Ki Juru Martani. Dalam pada itu, kakang Panji itupun yakin, bahwa ia akan dapat melakukannya. Bahkan iapun yakin akan dapat mengalahkan juga Raden Sutawijaya sebagaimana orang tua yang liat itu.
Tetapi sementara itu terkilas didalam benaknya, orang yang telah melindungi Agung Sedayu dengan kabut. Orang itu jelas bukan Ki Juru yang tidak memberikan tanda-tanda memiliki jenis-jenis ilmu dari perguruan yang pernah dikenalnya itu.
"Tentu juga bukan Raden Sutawijaya," desis kakang Panji.
Namun disamping keyakinannya untuk dapat mengalahkan Ki Juru dan Raden Sutawijaya. maka kakang Panji itupun mulai digoda oleh satu dugaan, bahwa pada satu saat, orang itu tentu akan muncul dan harus dihadapinya.
"Persetan dengan orang itu," tiba-tiba saja kakang Panji menggeram. Ia tidak mau diganggu oleh sekedar dugaan tentang orang yang memiliki ilmu yang akan dapat mengimbanginya.
"Aku akan menghancurkannya menjadi debu," katanya didalam hati.
Sementara itu, Ki Juru benar-benar berada dalam kesulitan. Serangan kakang Panji menjadi semakin cepat. Sementara bau yang dihamburkan kesekitarnya, menusuk hidungnya semakin tajam menembus dinding yang telah menutup indera penciumannya.
"Gila," geram Ki Juru, "ternyata ilmuku tidak mampu menutup indera penciumannku. Nampaknya ilmu iblis itu mampu menembus pertahananku."
Dengan demikian maka Ki Juru itupun menjadi semakin pening. Apalagi setiap kali ia harus mengelabui lawannya dengan ujud rangkapnya, sekedar mendapat kesempatan untuk mengelakkan serangan berikutnya.
Namun kemampuannyapun menjadi semakin lama semakin kabur. Sehingga Ki Juru tidak lagi mampu melakukannya dengan sebaik-baiknya. Sehingga dengan demikian, maka kedudukannyapun menjadi semakin sulit. Yang dapat dilakukan hanyalah tinggal menghindar dan menghindar saja. Namun ia tidak lagi mendapatkan kesempatan untuk menyerang. Apalagi menyentuh lawannya dengan telapak tangannya yang menjadi sepanas api.
Pada saat yang demikian, Raden Sutawijaya tidak dapat membiarkannya lebih lama lagi. Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga itu sendiri kurang yakin, apakah ia akan dapat mengatasi ilmu orang itu. Tetapi ia tidak akan mengelak dari tanggung jawab. Jika ia harus membentur kekuatan puncak dari lawannya, itu sudah sewajarnya. Bukan orang lain.
"Sudahlah adimas, aku akan maju kemedan." gumam Raden Sutawijaya, "aku pesan, agar adimas sudi menghubungi Untara. Ia telah aku serahi mengatur seluruh pasukan dari Mataram. Meskipun menurut gelar lahiriah adimas adalah orang Pajang dan barangkali salah seorang Senapati pengapit dari ayahanda, tetapi aku mengerti apa yang sebenarnya tersirat didalam hati adimas. Pesan adimas lewat aji pameling telah menyelamatkan kami dari tindakan licik orang-orang Pajang yang aku sekarang hampir pasti, telah dipengaruhi oleh bayangan kekuasaan orang yang bertempur melawan paman Juru itu."
Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Tetapi iapun mencemaskan nasib Raden Sutawijaya. Karena itu, maka katanya kemudian, "Baiklah kakangmas. Aku akan menghubungi Untara. Tetapi perkenankanlah aku menyaksikan apa yang akan terjadi jika kakangmas turun kemedan."
Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya kemudian, "Terserahlah kepada adimas. Tetapi aku adalah Senapati Ing Ngalaga. Pemimpin tertinggi dan Senapati Agung dari Mataram. Apapun yang terjadi, aku akan mempertanggung jawabkannya."
Pangeran Benawa tidak menjawab lagi. Sementara itu, Raden Sutawijaya telah mempersiapkan diri lahir dan batin. Segala macam ilmu yang ada padanya telah ditrapkannya. Ia memiliki ilmu yang lebih mapan dari Ki Juru Martani meskipun Ki Juru juga termasuk orang yang luar biasa. Namun kemudaan Raden Sutawijaya dan pengembaraannya telah mematangkan ilmunya dengan hampir sempurna. Sementara itu sumber ilmu Raden Sutawijaya yang utama memang lebih kaya dari ilmu yang ada pada Ki Juru, yaitu Mas Karebet yang kemudian bergelar Sultan Hadiwijaya.
Yakin akan kelebihannya dari Ki Juru Martani, maka Raden Sutawijaya berharap akan dapat mengimbangi kemampuan orang yang bertempur melawan Ki Juru, meskipun ada juga pengakuan didalam hatinya. bahwa ilmu orang itu memang ngedab-edabi.
Demikianlah, maka setelah Raden Sutawijaya mengetrapkan segala macam ilmunya, maka iapun telah bersiap untuk melangkah menuju kemedan. Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja, telinga batinnya telah disentuh pula oleh aji Pameling. Sudah tentu bukan dari Pangeran Benawa, karena Pangeran Benawa ada disisinya.
"Aku mendapat pesan lewat aji Pameling," desis Raden Sutawijaya.
Pangeran Benawa mengerutkan keningnya. Dengan bimbang ia bertanya, "Tentu hanya ditujukan kepada kakangmas. Aku tidak mendapat isyarat itu."
Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Sementara itu pesan itupun telah berbicara kepadanya, "Jangan tergesa-gesa memasuki medan Raden."
Raden Sutawijayapun menjadi bimbang. Ia tidak dapat menjawab, karena ia tidak tahu dari siapa yang mendapatkan pesan itu, sehingga ia tidak dapat memusatkan arah aji yang sama dengan tajam kepada seseorang. Sementara orang yang menyampaikan pesan itu tidak menyebut tentang dirinya.
"Setan," geram Raden Sutawijaya, "kau telah mendapat gangguan batin. Aku tidak peduli."
Namun sejenak kemudian, pesan itu menyentuh lagi telinga batinnya, "Dengar aku Raden. Jangan memasuki arena. Meskipun aku tahu, kemampuan Raden melampaui kemampuan Ki Juru Martani, tetapi orang itu bukan lawanmu. Orang itu adalah salah satu murid dari perguruan yang tidak atau hampir tidak dikenal lagi sekarang ini."
Wajah Raden Sutawijaya menjadi tegang. Sekilas dipandanginya arena pertempuran yang semakin kalut. Tetapi dalam pada itu, Ki Juru Martani menjadi semakin terdesak oleh lawannya. Bahkan keadaannya telah menjadi semakin berbahaya.
Sementara itu. Aji Pameling itu terdengar lagi, "Aku berkata sebenarnya Raden. Aku tidak ingin mengacaukan ketahanan batin Raden Sutawijaya karena aku tahu itu tidak akan ada gunanya. Tetapi sebaliknya aku juga berkewajiban untuk menyelesaikan persoalan yang tidak akan dapat Raden atasi sekarang ini."
Ketegangan di hati Raden Sutawijayapun menjadi semakin memuncak, sementara ia tetap tidak dapat menjawab pesan itu, karena ia tidak tahu, siapakah yang telah memberikan isyarat itu kepadanya."
"Adimas Pangeran," berkata Raden Sutawijaya itu kemudian, "suara itu benar-benar telah mengganggu. Tetapi aku tidak peduli."
"Apa yang dikatakannya?" bertanya Pangeran Benawa.
"Pesan itu mengatakan, bahwa orang itu bukan lawanku karena ia adalah seorang murid dari sebuah perguruan yang tidak ada lagi sekarang ini yang memiliki ilmu yang tidak ada taranya," jawab Raden Sutawijaya.
"Salah satu diantaranya adalah ilmu yang dapat menyerang indera penciuman itu," sahut Pangeran Benawa.
"Aku dapat menutup indera penciuman itu," desis Raden Sutawijaya.
"Apakah paman Juru tidak dapat melakukannya?" bertanya Pangeran Benawa.
"Ya. Paman Juru juga dapat melakukannya. Tetapi agaknya pertahanan itu dapat tertembus. Juga pertahanan paman Juru yang lain. Untunglah paman Juru mampu membuat dirinya rangkap," desis Raden Sutawijaya pula.
"Karena itu sebaiknya kakangmas mempertimbangkan pesan itu," berkata Pangeran Benawa.
Raden Sutawijaya masih saja termangu mangu. Namun tiba-tiba saja ia teringat sesuatu. Dengan suara yang bergetar ia berkata, "Adimas. Ada sesuatu yang aneh di medan."
"Apa yang aneh itu?" bertanya Pangeran Benawa.
"Kiai Gringsing tidak ada dimedan," jawab Raden Sutawijaya.
"Apakah kakangmas menduga, bahwa yang memberikan pesan lewat Aji Pameling itu Kiai Gringsing?" bertanya Pangeran Benawa pula.
"Aku tidak pasti. Tetapi aku akan mencoba menjawabnya. Jika orang itu menangkap jawabanku, maka aku yakin, ia adalah Kiai Gringsing," jawab Raden Sutawijaya.
"Jika bukan Kiai Gringsing dan Kiai Gringsing memiliki daya tangkap atas Aji Pameling?" bertanya Pangeran Benawa.
"Ia akan mendengar pesanku, tetapi ia tidak akan tanggap, karena ternyata ada orang lain," berkata Raden Sutawijaya.
Pangeran Benawa tidak menjawab lagi. Tetapi ia membiarkan Raden Sutawijaya untuk mencoba berhubungan dengan orang yang memberikan pesan lewat Aji Pameling itu.
Namun akhirnya Raden Sutawijaya menggelengkan kepalanya. Katanya, "Tidak ada hubungan. Nampaknya orang itu bukan Kiai Gringsing. Pesanku tidak mendapat tanggapan. Seandainya orang itu Kiai Gringsing ia tentu memberikan tanggapan yang serta merta atas pesanku.
Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Tetapi iapun nampaknya ikut berpikir, siapakah orang yang paling mungkin memberikan pesan itu.
Namun akhirnya. Raden Sutawijaya berkata, "Aku tidak mau terombang-ambing oleh pesan yang tidak menentu. Mungkin orang itu sengaja mempengaruhi agar aku tidak maju kemedan perang, sehingga nasib yang buruk itu akan menimpa paman Juru Martani."
Pangeran Benawa tidak menjawab. Namun tiba-tiba terdengar lagi pesan itu, "jangan cemas Raden. Aku tidak akan menjebakmu."
Raden Sutawijaya menghentakkan kakinya. Geramnya, "Sekali lagi orang itu berpesan, agar aku mempercayainya. Persetan. Aku akan turun kemedan sekarang."
Namun dalam pada itu Pangeran Benawa berkata, "Kakangmas. Ada seorang yang tidak kita kenal berada di medan ini."
"Siapa?" bertanya Raden Sutawijaya.
"Orang yang telah melingkari Agung Sedayu dengan kabut sehingga Agung Sedayu terbebas dari serangan pada indera penciumannya," jawab Pangeran Benawa.
Wajah Raden Sutawijaya menjadi tegang. Namun kemudian iapun mengangguk-angguk kecil. Katanya, "Mungkin orang itu telah memberikan pesan lewat Aji Pameling. Nampaknya orang itu juga memiliki ilmu dari perguruan yang sekarang tidak lagi dikenal atau sudah jarang sekali dikenal."
"Ya. Orang itu mampu menciptakan kabut untuk melindungi arena sehingga Agung Sedayu dan Ki Tumenggung Prabadaru telah bertempur seorang melawan seorang tanpa terganggu oleh siapapun juga.," sahut Pangeran Benawa.
Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Namun dalam pada itu, ia masih melihat Ki Juru dalam kesulitan. Beberapa kali Ki Juru sudah terdesak surut. Dalam ujud rangkapnya Ki Juru selalu berusaha untuk menjauhkan dari lawannya, yang justru telah memberikan kesempatan kepada kakang Panji itu untuk menyerangnya dengan sambaran petir dari tangannya.
Untunglah bahwa setiap kali ujud rangkap Ki Juru mampu menyelamatkannya, karena saat-saat tertentu kakang Panji masih juga menjadi ragu-ragu menghadapi kedua ujud itu.
Tetapi keadaan Ki Juru sudah menjadi semakin buruk. Meskipun Ki Juru adalah seorang laki-laki yang tidak gentar oleh keadaan yang bagaimanapun juga, namun ia masih juga berusaha untuk tidak mati disambar kekuatan yang terlontar dari tangan kakang Panji.
Dalam keadaan yang mendesak itu, Raden Sutawijaya tidak dapat menunggu lagi. Dengan jantung yang berdebaran oleh pesan yang menyentuh hatinya itu iapun telah bersiap untuk meloncat turun kemedan yang garang itu.
Tetapi tiba tiba saja langkahnya terhenti. Ia melihat sesuatu yang mendebarkan jantungnya. Bahkan Pangeran Benawa telah terkejut pula melihat keadaan medan itu.
Sejenak kedua orang yang berilmu mumpuni itu menjadi tegang. Dalam keadaan yang paling sulit dari Ki Juru Martani yang sudah terdesak dan terpaksa berloncatan menjauh dalam ujud rangkapnya, maka lawannya sudah siap untuk menyerang. Kakang Panji sudah siap untuk menghancurkan lawannya. Jika ia salah memilih sasaran karena ia tidak mengenal lawannya yang sebenarnya, maka iapun sudah siap untuk menghantam yang lain dengan serangan petir yang seakan-akan memancar dari telapak tangannya.
Namun ketika ilmu yang nggegirisi disela-sela serangan pada indera penciuman itu hampir dilontarkan, maka tiba-tiba telah bertiup angin yang sangat kencang memotong medan. Debu yang berhamburan mengangkat dedaunan yang berserakan di tanah. Bagaikan angin pusaran yang mengamuk menghamburkan segala macam sampah yang berserakan di medan membuat batas yang pepat gelap antara kakang Panji dan Ki Juru Martani.
Angin pusaran yang terhambur itu terjadi tidak terlalu lama. Sejenak kemudian, angin itupun susut dan sampah yang berhamburan itupun telah berjatuhan kembali ditanah.
Namun dalam pada itu, orang yang menyebut dirinya kakang Panji itu mengumpat dengan kasarnya. Sasaran yang hampir pasti dapat dihancurkan itu sudah tidak ada ditempat.
"Licik, pengecut, betina tidak tahu diri," kakang Panji itu berteriak.
Tidak seorangpun yang menjawab. Namun Ki Juru benar-benar telah hilang. Seolah-olah ikut terhambur dibawa oleh angin pusaran yang melintas medan itu.
"Tentu bukan angin pusaran yang sewajarnya," desis Raden Sutawijaya.
"Paman Juru Martani sudah tidak ada ditempat," desis Pangeran Benawa.
"Ya. Tetapi itu akan dapat membahayakan setiap orang didalam pasukan Mataram. Orang itu akan mengamuk karena ia telah kehilangan sasaran. Ia dapat menyerang siapa saja dengan kemampuannya yang nggegirisi itu," berkata Raden Sutawijaya.
Pangeran Benawa tidak menjawab. Tetapi iapun menjadi cemas terhadap orang yang kehilangan lawannya.
Sebenarnyalah kakang Panji yang kehilangan lawannya itupun kemudian dengan sangat marah memperhatikan medan. Dengan wajah yang tegang ia melihat orang-orangnya yang terdesak dan mengalami kesulitan. Meskipun orang-orang Mataram tidak menekan dan mendorong orang-orang Pajang sehingga menggeser medan, namun dua kekuatan dari sisi-sisi gelar justru telah menghimpit orang-orang Pajang itu sehingga mereka akan menjadi hancur didalamnya.
"Gila," geram kakang Panji, "orang-orang Mataram memang terlalu licik. Aku harus mengancurkannya tanpa ampun."
Dengan kemarahan yang tidak tertahankan, maka kakang Panji itupun kemudian mengarahkan pandangannya kepada para pengawal Mataram yang sedang bertempur melawan orang-orang Pajang.
Raden Sutawijaya yang tidak ingin membiarkan para pengawal Mataram menjadi sasaran kemarahan orang yang kehilangan lawannya itupun kemudian telah bersiap untuk meloncat kemedan. Apapun yang terjadi dan apapun yang akan dilakukan oleh orang yang tidak dikenalnya, yang telah menyelamatkan Ki Juru itu. Raden Sutawijaya masih tetap merasa bertanggung jawab atas pasukan Mataram.
Namun dalam pada itu, ternyata bahwa kakang Panji itu seolah-olah telah tertahan oleh satu hambatan yang tidak dapat diketahui oleh Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa, sehingga rencananya untuk menumpahkan kemarahannya kepada para pengawal dari Mataram itupun tertahan pula.
Dengan tegang kakang Panji itupun mengedarkan pandangannya segenap penjuru medan. Bahkan kemudian dengan lantang ia berkata, "Jangan bersembunyi pengecut. Aku tahu, bahwa kau memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi seharusnya kau menampakkan diri. Dengan licik kau telah membantu Ki Juru sehingga ia terlepas dari maut. Sekarang, kau dengan sembunyi-sembunyi mengintip aku dan berusaha dengan tiba-tiba menyerangku dalam keadaan yang lengah."
Suara kakang Panji itu mengumandangkan di seluruh medan. Seolah-olah suara itu telah dilontarkan kembali oleh setiap helai daun di sawah yang menjadi berserakan dan oleh setiap batang cabang dan ranting pepohonan sehingga seluruh medan itupun tergetar karenanya.
Ternyata suara kakang Panji itu mampu membuat setiap hati menjadi berdebar-debar. Orang-orang Mataram yang sudah berhasil menguasai medan itu menjadi termangu-mangu pula. Seolah-olah kekuatan seorang yang menyebut dirinya kakang Panji itu akan mampu mengatasi seluruh kekuatan pasukan Mataram.
Namun dalam pada itu, kakang Panji itupun telah digelitik oleh satu kekuatan yang tidak segera dapat dilihatnya. Kekuatan yang sebenarnya dapat dikenalnya. Kakang Panji itupun mengerti, bahwa orang yang telah membuat angin pusaran dan menyelamatkan Ki Juru itu tentu orang yang telah menyelamatkan Agung Sedayu itu pula, yang telah melindungi anak muda itu dengan kabut dan bahkan kemudian menjadi arena pertempuran antara Agung Sedayu dan Ki Tumenggung Prabadaru.
"Cepat," tiba-tiba saja kakang Panji itu berteriak tidak dengan suara wajarnya. Tetapi suara itu bergelora bergulung-gulung menggetarkan arena, "jika kau tidak segera keluar dari persembunyianmu, maka aku akan membinasakan semua orang Mataram. Aku akan membakar mereka dengan ilmu petirku dan aku akan melumatkan mereka sampai hancur menjadi debu."
Untuk beberapa saat masih belum terdengar jawaban. Namun kekuatan ilmu yang melontarkan suara kakang Panji itu telah mencengkam seluruh medan. Suara itu seolah-olah mengandung kekuatan yang mampu menghentakkan setiap dada. Bukan saja orang-orang Mataram yang rasa-rasanya dadanya menjadi sesak, tetapi juga orang-orang Pajang sendiri telah terpengaruh karenanya.
Karena itu, maka terasa betapa ketegangan telah mencengkam medan pertempuran antara orang-orang Pajang dan orang-orang Mataram. Meskipun orang-orang Mataram sudah hampir menguasai seluruh arena, namun suara orang yang menyebut dirinya kakang Panji itu benar-benar mempengaruhi hati mereka. Suara yang bergulung-gulung bagaikan merontokkan jantung.
Sebenarnyalah orang yang menyebut dirinya kakang Panji itu mempunyai kekuatan yang luar biasa. Kemarahannya telah membangkitkan niatnya untuk tidak mengekang diri sama sekali. Ilmu yang dapat dilontarkan dan menyerang indera penciuman lawannya ternyata dibarengi oleh ilmu yang dapat dilontarkan lewat suaranya menyerang indera pendengaran. Suaranya yang gemuruh memekakkan telinga itu seolah-olah langsung menusuk sampai kepusat jantung.
Dengan kemampuan yang jarang ada bandingnya, maka kakang Panji itu kemudian telah berteriak dengan suara yang gemuruh, bahkan yang sudah sempat disaringnya, sehingga suara itu seakan-akan hanya menusuk indera pendengaran lawan saja, meskipun berpengaruh juga atas orang-orang Pajang sendiri, namun tidak separah lawan mereka.
"He, orang yang licik. Sekali lagi aku memanggilmu. Jika kau tidak segera datang, maka sebentar lagi, medan ini akan dipenuhi dengan mayat orang-orang Mataram. Aku tidak peduli siapa mereka. Namun semua orang Mataram adalah musuh-musuhku."
Orang-orang Mataram yang berada di medan itu merasa seakan-akan petir meledak disisi telinganya. Bahkan kemudian dada merekapun terasa sesak, sehingga pernafasan merekapun menjadi terengah-engah. Beberapa orang telah berusaha menutup telinga mereka, sehingga senjata orang-orang itu telah disarungkan kedalam rangkanya atau justru telah diletakkannya.
Orang-orang Pajang juga terganggu oleh suara itu. Tetapi ketika kakang Panji semakin ketat mengetrapkan ilmunya yang mampu menyaring sasarannya, maka suara itu tidak terlalu menyakiti telinganya.
Dengan demikian, maka keadaan orang Mataram itu telah menimbulkan satu harapan baru bagi orang-orang Pajang. Diluar sadarnya orang-orang Mataram telah menundukkan senjata mereka dan mereka lebih banyak memperhatikan telinga mereka masing-masing.
"Kenapa kita tidak mempergunakan kesempatan ini," desis seorang prajurit Pajang.
Kawannya yang berada disampingnyapun mengerutkan keningnya. Mereka melihat orang-orang Mataram yang bagaikan menjadi gila. Sementara masih juga terdengar suara gemuruh "Aku sudah mulai dengan seranganku atas orang-orang Mataram, meskipun aku belum mempergunakan ilmu petirku. Ternyata suaraku telah mampu mempengaruhi medan sebelum aku membunuh mereka dengan sambaran kekuatan tanganku yang akan dapat membakar mereka menjadi abu."
Ternyata masih belum ada jawaban. Karena itu, maka kakang Panji tidak lagi berusaha menahan diri. Karena itu, maka iapun mulai memperhatikan orang orang Mataram yang sedang kehilangan keseimbangan oleh suaranya yang gemuruh.
"Mereka adalah sasaran yang menyenangkan. Aku dapat meledakkan orang-orang Mataram itu seperti bumbung beruas dikedua ujungnya, tanpa menyakiti orang-orang Pajang," berkata kakang Panji didalam hatinya.
Namun melihat akibat pada orang-orang Mataram oleh kekuatan ilmunya yang menyerang indera pendengaran orang-orang Mataram, maka niatnya menjadi berubah. Ia tidak ingin melakukan pembunuhan itu sendiri.
"Kenapa aku harus mengotori ilmuku dengan nyawa tikus-tikus kecil itu" Jika mereka kehilangan kemampuan untuk melawan, maka biarlah orang-orang Pajang mengakhiri perlawanan mereka," berkata kakang Panji itu kepada diri sendiri.
Warisan Agung 2 Lupus Tragedi Sinemata Sengketa Ahli Sihir 1
^